POLA MIGRASI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI ANTAR...
Transcript of POLA MIGRASI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI ANTAR...
TUGAS KELOMPOK
POLA MIGRASI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI
ANTAR PROVINSI DI INDONESIA
MATA KULIAH : MOBILITAS
DOSEN : Drs. Chotib, M.Si
ESTHER V. SIMANULLANG (NPM. 1206304105)
FERNANDO SILAEN (NPM. 1206304124)
SUNDARI BUDIANI (NPM. 1206304295)
PROGRAM STUDI PASCASARJANA KAJIAN KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN
UNIVERSITAS INDONESIA TAHUN 2012
2
1. Pendahuluan
Pergerakan yang dilakukan penduduk, secara historis merupakan gambaran
terdapatnya perbedaan pertumbuhan ekonomi, ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara
satu daerah dengan daerah lain, kesenjangan penghasilan, maupun struktur pekerjaan yang
ada. Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah dengan daerah lainnya menyebabkan
penduduk terdorong untuk melakukan pergerakan dari satu daerah ke daerah lainnya.
Banyak peneliti menyatakan bahwa seseorang melakukan migrasi cenderung
disebabkan oleh motif ekonomi. Hal ini mencerminkan bahwa penduduk yang melakukan
migrasi telah memperhitungkan berbagai kerugian dan keuntungan yang akan didapatnya
sebelum yang bersangkutan memutuskan untuk berpindah atau menetap di tempat asalnya
(Tjiptoherijanto, 2000). Seseorang cenderung melakukan migrasi dengan harapan dapat
memperbaiki kondisi ekonominya. Dengan demikian, perbedaan pembangunan ekonomi
antara satu daerah dengan daerah lain yang kemudian tercermin pada perbedaan pendapatan
penduduk mendorong dan menarik seseorang untuk melakukan mobilitas (Ananta dan
Wongkaren, 1996).
Migrasi penduduk merupakan bagian integral dari proses pembangunan secara
keseluruhan (Tjiptoherijanto, 2000; Skeldon, 2008; de Haas, 2010a). Migrasi telah menjadi
penyebab dan penerima dampak dari perubahan struktur ekonomi dan sosial suatu daerah.
Pembangunan tetap dipandang sebagai dasar kekuatan yang menggerakkan migrasi sampai
saat ini, dengan melihat fakta bahwa adanya kenaikan migrasi keluar nasional yang meningkat
akibat terjadinya pertumbuhan ekonomi modern di Eropa, pada awalnya bertahap, mencapai
puncaknya, dan kemudian menurun (Chiswick dan Hatton, 2003).
Borjas (2000) menyatakan bahwa pola migrasi internal ditentukan oleh umur,
pendidikan, jarak, dan faktor lainnya. Pada umumnya migrasi dilakukan oleh pekerja yang
lebih muda dan lebih berpendidikan. Hal ini disebabkan oleh keuntungan dari migrasi yang
dilakukan (net gains to migration) cenderung lebih besar. Lebih lanjut, Borjas berpendapat
bahwa hubungan antara migrasi dengan jarak adalah suatu bagian integral dari gravity models.
Indikator pembangunan ekonomi yang digunakan dalam tulisan ini adalah Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) riil per kapita, angka pengangguran, dan upah minimum
provinsi (UMP).
3
2. Migrasi
2.1 Konsep dan Definisi Migrasi
Definisi migrasi (Lee, 1966) adalah perubahan tempat tinggal secara permanen atau
semi permanen, tanpa mempermasalahkan dekat jauhnya perpindahan, mudah atau sulit,
terpaksa atau sukarela, maupun dalam negeri atau luar negeri.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan batasan migrasi sebagai bentuk dari
mobilitas geografi (geographic mobility) atau mobilitas keruangan (spatial mobility) dari
suatu unit geografi ke unit geografi lainnya, yang menyangkut mendefinisikan migrasi
sebagai perubahan tempat tinggal secara permanen dari suatu unit geografis tertentu ke unit
geografis yang lain (United Nations, 1970). Dalam definisi ini menyangkut dua unsur pokok
yaitu dimensi waktu dan dimensi geografis. Definisi migrasi menurut UN ini tidak
memberikan batasan interval waktu dan jarak unit geografi.
Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan definisi migrasi berdasarkan dimensi waktu
dan wilayah. BPS mendefinikan migrasi sebagai perpindahan penduduk yang melewati batas
administratif dengan jangka waktu tinggal di tempat tujuan minimal enam bulan secara
berturut-turut. Dalam tulisan ini mengacu pada definisi yang telah ditetapkan oleh BPS.
2.2 Jenis-Jenis Migrasi
Beberapa jenis migrasi berdasarkan daerah dan waktu pindah, yaitu:
1. Migrasi masuk (in migration) adalah perpindahan penduduk ke suatu daerah tempat
tujuan (area of destination).
2. Migrasi keluar (out migration) adalah perpindahan penduduk keluar dari suatu
daerah asal (area of origin).
3. Migrasi neto (net migration) merupakan selisih antara jumlah migrasi masuk dan
migrasi keluar. Apabila migrasi masuk lebih besar daripada migrasi keluar, maka
disebut migrasi neto positif, sedangkan jika migrasi keluar lebih besar daripada
migrasi masuk, maka disebut migrasi neto negatif.
4. Migrasi bruto (gross migration) adalah jumlah migrasi masuk dan migrasi keluar.
5. Migrasi risen (recent migration) adalah migrasi yang melewati batas provinsi dalam
kurun waktu tertentu sebelum pencacahan, misalnya lima tahun sebelum sensus atau
survei.
4
6. Migrasi semasa hidup (life time migration) adalah migrasi yang terjadi antara saat
lahir dan saat sensus atau survei.
7. Migrasi total (total migration) adalah migrasi antar provinsi tanpa memperlihatkan
kapan perpindahannya, sehingga provinsi tempat tinggal sebelumnya berbeda dengan
provinsi tempat tinggal saat pencacahan.
8. Migrasi pulang (return migration) merupakan pengurangan antara migrasi total dan
migrasi seumur hidup.
9. Migrasi internasional (international migration) merupakan perpindahan penduduk
dari suatu negara ke negara lain.
10. Migrasi parsial (partial migration) adalah jumlah migrasi ke suatu daerah tujuan dari
suatu daerah asal atau dari daerah asal ke daerah tujuan.
11. Migrasi yang diliaht berdasarkan waktu, yaitu arus migrasi (migration stream) yaitu
sekelompok migran yang daerah asal dan tujuan migrasinya sama dalam suatu
periode migrasi yang diberikan.
2.3 Ukuran-ukuran Migrasi
Kejadian atau dinamika migrasi penduduk dapat diukur atas beberapa ukuran
sebagaimana ukuran dalam kejadian fertilitas maupun mortalitas, ukuran-ukuran migrasi
tersebut adalah:
1. Angka Mobilitas
Adalah rasio dari banyaknya penduduk yang pindah secara lokal (mover) dalam
suatu jangka waktu tertentu dengan banyaknya penduduk per seribu perbandingan
penduduk yang ada.
(
)
dimana:
m = angka mobilitas
M = jumlah movers
P = penduduk
k = 1000 (nilai konstanta yang menyatakan dari 1000 orang pengamatan)
5
2. Angka Migrasi Masuk atau Crude In Migration Rate (CIMR)
Adalah angka yang menunjukkan angka migran yang masuk per seribu orang
penduduk daerah tujuan dalam kurun waktu satu tahun.
( )
dimana:
mi = angka migrasi masuk ke wilayah i
Mi = jumlah migrasi masuk (in migration)
Pi = penduduk pertengahan tahun daerah tujuan
k = 1000
3. Angka Migrasi Keluar atau Crude Out Migration Rate (COMR)
Adalah angka yang menunjukkan angka migran yang keluar per seribu orang
penduduk daerah asal dalam kurun waktu satu tahun.
( )
dimana:
mo = angka migrasi keluar (out)
Mo = jumlah migrasi keluar (out migration)
Po = penduduk pertengahan tahun daerah asal
k = 1000
4. Angka Migrasi Neto atau Net Migration Rate (NMR)
Adalah selisih banyaknya migran masuk dan keluar ke dan dari suatu daerah per
seribu penduduk dalam satu tahun.
(
)
dimana:
mn = angka migrasi neto
Mi = jumlah migrasi masuk (in migration)
Mo = jumlah migrasi keluar (out migration)
P = penduduk pertengahan tahun
k = 1000
6
3. Pembangunan Ekonomi
Menurut model perubahan struktural yang dikemukakan oleh Chenery dalam Todaro
(2006), pembangunan ekonomi merupakan suatu proses pertumbuhan dan perubahan ekonomi
yang berkaitan dengan transisi dari pola perekonomian agraris ke perekonomian industri,
akumulasi modal fisik dan manusia, transformasi produksi, perubahan komposisi permintaan
konsumen, perdagangan internasional dan sumberdaya, serta faktor lainnya yang dapat
meningkatkan pendapatan. Selanjutnya dianggap bahwa dengan pertumbuhan ekonomi hasil
pembangunan akan dinikmati melalui proses merambat ke bawah (trickling-down effect)
sehingga menciptakan lapangan pekerjaan dan berbagai peluang ekonomi yang pada akhirnya
akan menumbuhkan dan menyebarkan distribusi hasil-hasil pertumuhan ekonomi secara
merata. Strategi ini kemudian dikenal sebagai strategi pertumbuhan.
Namun sebagai akibat diberlakukannya strategi pertumbuhan ini muncul adanya
ketimpangan pendapatan yang semakin tinggi. Pembangunan ekonomi bukan lagi
menciptakan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, melainkan juga bagaimana
menanggulangi ketimpangan pendapatan yang semakin melebar antara kota desa dan antar
daerah.
Lewis dalam Todaro (2006) menyatakan proses pembangunan yang terjadi antara
daerah kota dan desa ditandai dengan transformasi tenaga kerja dan output sektor tradisional
ke sektor modern. Sektor tradisional, yang bertumpu pada sektor pertanian mengalami surplus
tenaga kerja, sedangkan sektor modern yang bertumpu pada sektor industri, memiliki tingkat
produktifitas yang tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja. Kecepatan
transformasi struktural ini ditentukan oleh tingkat investasi dan akumulasi modal secara
keseluruhan di sektor industri.
Dalam satu wilayah, ada penduduk atau kegiatan yang terkonsentrasi pada suatu
tempat, yang disebut dengan berbagai istilah seperti: kota, pusat perdagangan, pusat industri,
pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat permukiman, atau daerah modal. Sebaliknya,
daerah di luar puat konsentrasi dinamakan daerah pedalaman, wilayah belakang (hinterland),
daerah pertanian atau daerah perdesaan (Tarigan, 2006).
Perkembangan ekonomi cenderung mendukung wilayah-wilayah geografis tertentu.
Beberapa wilayah tertentu bersifat dinamis dan mampu menarik aktivitas ekonomi maupun
penduduk, sementara wilayah-wilayah yang lain tumbuh lamban atau bahkan menurun.
7
Terkait dengan kecenderungan ini penduduk menjadi lebih terpusat secara spasial, para
migran berpindah dari wilayah kritis ke wilayah yang dinamis, dari perdesaan ke perkotaan,
dari kota kecil ke kota besar. Proses konsentrasi spasial dan perubahan ekonomi perdesaan
menuju ekonomi perkotaan ini mengakibatkan menguatnya perbedaan pendapatan dan
kesejahteraan daerah (Josef Gugler, 1989).
Pembangunan wilayah yang tidak berimbang akan memunculkan kecenderungan
untuk migrasi. Rustiadi, et al. (2011) mengemukakan bahwa interaksi faktor-faktor di negara-
negara berkembang, seperti tingginya tekanan penduduk terhadap ketersediaan lahan yang
dapat diolah, rendahnya kesempatan kerja dengan tingkat upah gaji yang baik, serta harapan
untuk bekerja dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, secara konstan terus mendorong
kecenderungan migrasi desa-kota.
4. Tinjauan Teoritis
4.1 Teori-Teori Pengambilan Keputusan Bermigrasi
Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, berbagai teori migrasi telah dikembangkan
dalam menganalisa mobilitas penduduk. Teori-teori ini terus berkembang seiring dengan
perkembangan tingkat sosial-ekonomi masyarakat dan penelitian yang terus menerus
dilakukan. Penelitian ilmiah mengenai migrasi pertama kali diperkenalkan oleh Ravenstein,
dimana dia merumuskan “the laws of migration”. Ravenstein berpendapat bahwa migrasi
merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan dan dorongan utama migrasi
adalah motif ekonomi (Lee, 1966). Pola migrasi selanjutnya adalah pandangan Skeldon
(1997) yang mengasumsikan bahwa gerakan perpindahan cenderung ke arah keseimbangan
spasial-ekonomi tertentu. Tjiptoherijanto (2000) mengungkapkan bahwa terjadinya mobilitas
dan perpindahan penduduk di Indonesia didorong oleh kegiatan pembangunan ekonomi.
Proses pembangunan ekonomi tidak hanya terkait dengan sebaran sumber daya yang ada
tetapi juga terkait dengan kebijakan pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya.
Teori yang berorientasikan pada neoclassical economics baik makro maupun mikro
lebih memberikan perhatian pada perbedaan upah dan kondisi kerja antar daerah atau antar
negara, serta biaya, dalam keputusan seseorang melakukan migrasi (Massey, et al., 1993).
Menurut aliran ini, perpindahan penduduk merupakan keputusan pribadi yang didasarkan atas
keinginan untuk mendapatkan kesejahteraan yang maksimum. Aliran new economics of
migration, di lain pihak beranggapan bahwa perpindahan penduduk terjadi bukan saja
8
berkaitan dengan pasar kerja, namun juga karena adanya faktor-faktor lain. Aliran ini juga
menekankan bahwa keputusan untuk melakukan migrasi tidak semata-mata keputusan
individu saja, namun terkait dengan lingkungan sekitar, utamanya lingkungan keluarga.
Aliran lain untuk menganalisis timbulnya minat melakukan migrasi adalah dual
labor market theory. Menurut paham ini migrasi terjadi karena adanya keperluan akan
klasifikasi tenaga kerja tertentu pada daerah atau negara yang telah maju. Dengan demikian,
migrasi terjadi bukan karena push factors yang ada pada daerah asal, namun lebih karena
adanya pull factors pada daerah tujuan; keperluan akan tenaga kerja dengan spesifikasi
tertentu yang tidak mungkin dielakkan.
Mengacu pada berbagai pendapat tersebut, pembangunan ekonomi memang akan
mendorong terjadinya perpindahan penduduk. Penduduk akan berpindah menuju tempat yang
menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi diri maupun keluarganya, yang tidak lain adalah
tempat yang lebih berkembang secara ekonomi dibandingkan dengan tempat asalnya
(Tjiptoherijanto, 2000).
Dalam konteks pengambilan keputusan bermigrasi ditingkat individu, sebenarnya
ada banyak model pendekatan teoritis yang bisa digunakan, dan salah satu di antaranya
misalnya model Todaro. Menurut Todaro (1980), dorongan utama migrasi adalah
pertimbangan ekonomi yang rasional terhadap keuntungan (benefit) dan biaya (cost) baik
dalam arti finansial maupun psikologis. Ada dua alasan mengapa seseorang melakukan
perpindahan. Pertama, meskipun pengangguran di kota bertambah, tetapi seseorang masih
mempunyai harapan (expecting) untuk mendapatkan salah satu dari sekian banyak lapangan
kerja yang ada di kota. Kedua, seseorang masih berharap untuk memperoleh pendapatan yang
lebih tinggi di tempat tujuan dibandingkan dengan daerah asal.
Teori pengambilan keputusan bermigrasi di tingkat individu dari perspektif geografi
yang berpengaruh kuat dalam analisis-analisis migrasi pada era 1970-an hingga menjelang
awal tahun 1990-an, adalah teori yang diajukan oleh Everett S. Lee. Menurut Lee (1966),
keputusan bermigrasi di tingkat individu, dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor yaitu; (1) faktor-
faktor yang ada di daerah asal migran; (2) faktor yang terdapat di daerah tujuan migrasi; (3)
faktor penghalang migrasi dan (4) faktor individu pelaku migrasi.
Teori lain yang juga sering dipakai di dalam analisis pengambilan keputusan
bermigrasi adalah teori New Household Economic. Menurut teori ini, arus migrasi akan
9
membentuk strategi perekonomian rumah tangga guna memaksimalkan pendapatan dan
meminimalkan resiko serta menghilangkan tekanan yang berasal dari kegagalan pasar
(Massey, et al., 1993). Teori ini menjelaskan bahwa aturan migrasi tidaklah dibuat oleh
individu yang terisolasi, tetapi dibuat oleh sekelompok orang yang saling berhubungan yaitu
semacam kerabat atau keluarga dimana orang-orang akan bertindak secara kolektif (Massey,
et al., 1993). Semua pendekatan teoritis yang bersumber dari paradigma ekonomi
sebagaimana di paparkan di atas, sudah sangat lazim digunakan dalam analisis-analisis
migrasi.
4.2 Teori Transisi Mobilitas (Hubungan Migrasi dan Pembangunan)
Berdasarkan sejarah mobilitas penduduk di berbagai negara maju dan berdasarkan
perkiraan mobilitas di masa depan, Zelinsky (1971) mencoba melihat keterkaitan tahap
pembangunan dengan mobilitas penduduk. Zelinsky mengungkapkan bahwa ada lima tahap
perkembangan masyarakat: masyarakat tradisional pra modern (the premodern traditional
society), masyarakat transisi awal (the early transitional society), masyarakat transisi akhir
(the late transitional society), masyarakat maju (the advanced society), dan masyarakat super
maju masa depan (a future super advan2ced society).
Dua dekade berselang, Skeldon (1990) kemudian menyempurnakan pemikiran
Zelinsky dengan menganalisis pola migrasi penduduk di negara-negara sedang berkembang.
Skeldon mengembangkan tahap transisi mobilitas penduduk menjadi tujuh tahap yaitu (1)
masyarakat pra transisi (pretransitional society), (2) masyarakat transisi awal (early
transitional society), (3) masyarakat transisi menengah (intermediate transitional society), (4)
masyarakat transisi akhir (late transitional society), (5) masyarakat mulai maju (early
advanced society), (6) masyarakat maju lanjut (late advanced society), dan (7) masyarakat
maju super (super advanced society).
Teori transisi mobilitas yang dikemukakan Zelinsky dan Skeldon di atas memberikan
suatu pandangan yang sangat penting untuk mengetahui pola dan tren migrasi. Meskipun
demikian, de Haas (2010b) berpendapat bahwa teori tersebut memiliki kelemahan tertentu
yang perlu diperbaiki agar lebih realistis. Pertama, teori transisi tersebut sebagian besar
disusun berdasarkan bukti empiris antara transisi demografi dan ekonomi di satu sisi dan pola
migrasi pada sisi lainnya. Akibatnya, teori transisi ini tidak dapat menentukan secara spesifik
10
mekanisme sebab akibat yang mendasari hubungan mobilitas dengan pembangunan yang
digambarkan.
Kedua adalah kelemahan dari karakter evolusi yang berkaitan dengan asumsi bahwa
ada jalur tunggal, unilinier terhadap pembangunan dan kemajuan. Ada perbedaan kondisi
dimana migrasi di negara-negara berkembang terjadi jelas berbeda dari orang-orang Eropa
abad kesembilan belas dan awal kedua puluh. Hal ini berarti pola transisi migrasi di tiap-tiap
negara unik atau berbeda satu dengan lainnya. Namun, karakteristik dan penggerak dari
proses transisi demografi yang dialami memiliki suatu bentuk universal atau tunggal.
Ketiga, kritik terhadap asumsi bahwa masyarakat pre-modern terdiri dari komunitas
orang desa (peasant) yang relatif terisolasi, stabil, statis, dan homogen, dimana migrasi
merupakan sesuatu yang luar biasa. Berdasarkan penelitian sejarah di Eropa dan Jepang serta
masyarakat perdesaan berkembang saat ini telah menunjukkan bahwa komunitas orang desa
pre modern dan “tradisional” pada umumnya sudah sangat mobile (de Haan 1999, Moch
1992, Skeldon 1997 dalam de Haas, 2010b).
Keempat, konsep pembangunan yang agak sempit yaitu difokuskan hanya pada
determinan demografi dan ekonomi dari migrasi. Teori ini sangat sedikit membicarakan
tentang motif individu dan faktor makro yang mendorong migrasi. Migrasi biasanya
dimotivasi oleh gabungan faktor sosial, ekonomi, politik.
Berdasarkan kritikan tersebut, de Haas (2010b) menyatakan bahwa pertama, migrasi
merupakan fungsi dari kemampuan dan aspirasi untuk bermigrasi, yang dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 1. Hypothesized effect of human development on migration capabilities and
aspirations
11
Kedua, hubungan non linear antara pembangunan dan proses migrasi. Dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 2. Graphic representation of migration transition theory
Ketiga, di luar pendekatan evolusi: mobiltias turunan meningkat, stagnasi/rigiditas
dan reversibilitas. Faktor demografi tidak mungkin menjadi penyebab langsung dari transisi
demografi, variabel yang direpresentasikan dengan tingkat pendidikan cenderung lebih terkait
langsung karena dampaknya pada aspirasi dan kemampuan. Lebih lanjut, de Haas (2010b)
mengemukakan penting untuk membedakan antara dampak migrasi yang disebabkan oleh
pembangunan pada tingkat makro-struktural, yang mana membedakan struktur spasial,
dengan dampak akibat pembangunan kemampuan dan aspirasi maisng-masing individu.
4.3 Teori Migrasi dan Pembangunan Ekonomi
4.3.1 Teori Lewis-Fei-Ranis
Terjadinya perpindahan tenaga kerja dari sektor tradisional (pertanian) ke sektor
modern (sektor industri) karena sektor modern di perkotaan senantiasa memerlukan tenaga
kerja, dengan asumsi bahwa sektor tradisional (pertanian) terjadi surplus tenaga kerja. Jumlah
perpindahan tenaga kerja dan pertumbuhan lapangan pekerjaan berkaitan erat dengan
perluasan industri di perkotaan. Dengan asumsi bahwa di sektor tradisional (pertanian) terjadi
surplus tenaga kerja, maka berakibat produktivitas tenaga kerja sangat rendah atau nol,
sedangkan di sektor industri ditandai dengan tingkat produktivitas tenaga kerja yang tinggi,
sehingga hal ini memberikan motivasi pada tenaga kerja di sektor tradisional untuk pindah
atau bermigrasi ke kota.
4.3.2 Teori Migrasi Todaro
Todaro (1980) mengemukakan bahwa keputusan individu untuk bermigrasi
didasarkan atas adanya perbedaan expected gain antara sektor perdesaan dan perkotaan
12
sehingga menumbuhkan peluang terjadinya mobilitas tenaga kerja dari desa ke kota.
Expeceted gain diukur dengan: (a) perbedaan pendapatan riil antara kesempatan kerja di
perdesaan dan perkotaan, dan (b) peluang migran baru dalam memperoleh pekerjaan di
perkotaan.
Secara matematis, model Todaro dapat dijelaskan sebagai berikut. Jika V(0) adalah
present value dari arus pendapatan neto sepanjang jangka waktu bermigrasi; Yu,r(t) adalah
pendapatan riil rata-rata individu yang bekerja di perkotaan dan perdesaan; n adalah
banyaknya periode dalam jangka waktu rencana bermigrasi; dan i adalah tingkat diskon yang
mencerminkan tingkat preferensi waktu dari migran, maka keputusan untuk bermigrasi atau
tidak bermigrasi tergantung apakah V(0) bernilai negatif atau positif, dimana:
( ) ∫[ ( ) ( ) ( )] ( )
dimana C(0) mencerminkan biaya bermigrasi, dan p(t) adalah peluang seseorang migran
memperoleh “urban job” pada tingkat pendapatan rata-rata di periode t.
4.3.3 Teori Migrasi Harris -Todaro
Selanjutnya Todaro bersama rekannya John Harris menggunakan sekaligus
memperluas kerangka dasar Todaro untuk membangun model pertukaran internal dua sektor
tentang migrasi dan pengangguran yang memungkinkan perhatian yang lebih eksplisit
mengenai dampak migrasi terhadap pendapatan di perdesaan, tingkat output di perkotaan dan
perdesaan, serta kesejahteraan sosial secara keseluruhan. Kedua sektor tersebut adalah sektor
perkotaan dan perdesaan yang dibedakan menurut produksi dan pendapatan.
Secara matematis, model Harris-Todaro dapat diterangkan sebagai berikut: jika Wr
dan Wu masing-masing merupakan tingkat upah nominal di perdesaan dan di perkotaan, Eu
adalah jumlah pekerjaan di perkotaan, dan Lu adalah jumlah tenaga kerja di perkotaan yang
diharapkan (expected urban income), E(Wu) dapat ditulis sebagai berikut:
( )
Pendapatan yang diharapkan di perdesaan (expected rural income), E(Wr) adalah Wr.
Jumlah migran dari perdesaan ke perkotaan merupakan fungsi dari perbedaan upah yang
diharapkan (expected wage), atau secara matematis dituliskan:
13
( ( ) ( ))
sehingga
atau
=
Berdasarkan ini, pada tingkat keseimbangan terdapat tingkat pengangguran di
perkotaan sebesar:
Dengan kata lain, tingkat pengangguran di perkotaan berhubungan terbalik dengan
perbedaan pendapatan yang diharapkan.
4.4 Pendekatan Model Gravity
4.4.1 Model Tradisional
Pendekatan Model Gravity merupakan pengembangan dari model yang
dikembangkan Rogers (1984). Model migrasi ini memperkirakan jumlah orang bermigrasi
dari wilayah i ke wilayah j (Mij) yang ditentukan oleh jumlah atau ukuran populasi di wilayah
i (Pi) di wilayah j (Pj) dan jarak antara wilayah i dan wilayah j (Dij) dengan persamaan umum
sebagai berikut:
*
+
dimana G, r, s dan t adalah parameter yang harus diestimasikan (misalnya, dengan
menggunakan kriteria jumlah kuadrat terkecil, setelah itu kita ubah persamaannya ke dalam
bentuk logaritma). Model gravitasi ini memiliki ciri khas adanya jarak sebagai faktor kunci.
Meskipun debat mengenai jarak mana yang digunakan dalam perhitungan model ini,
penghilangan variabel jarak atau sturktur spasial secara umum dapat mempengaruhi hasil
studi secara empiris. Jarak, pada kenyataannya biasanya digunakan sebagai pendekatan untuk
mengukur dan menangkap biaya-biaya psikis yang sebenarnya tidak bisa terukur, tetapi
sesungguhnya mempengaruhi arus migrasi (Etzo, 2008).
4.4.2 Model Lowry
Model gravitasi dasar bisa dikembangkan dengan memasukkan variabel – variabel
ekonomi secara bersamaan dengan jumlah penduduk dan jarak yang tentunya mempengaruhi
migrasi. Lowry (1966) memperkenalkan variabel gaji dan pengangguran sebagai variabel
14
ekonomi yang mempengaruhi migrasi (Etzo,2008). Sebagian dari hasil empirisnya yaitu
tentang peranan relatif daerah tujuan versus kondisi ekonomi daerah asal. Model ini telah
mengestimasi data sensus untuk pergerakan antara daerah metropolitan. Model Lowry dapat
diformulasikan sebagai berikut:
(
)
dimana:
Mij = migrasi dari i ke j
Ui dan Uj = tingkat pengangguran di i dan j
Wi dan Wj = tingkat upah
Li dan Lj = angkatan kerja
Dij = jarak
k = konstanta
Lowry melihat bahwa kondisi ekonomi relatif di dua daerah merupakan variabel yang
penting. Secara hipotesis ia menduga bahwa kondisi ekonomi di daerah asal dan daerah tujuan
akan mempunyai efek simetris terhadap migrasi.
Hasil penelitiannya ternyata tidak mendukung hipotesanya tersebut. Berdasarkan hasil
penelitian secara empiris. Lowry mengemukakan teori migrasinya bahwa analisa migrasi
internal tidak perlu dengan membandingkan kondisi ekonomi daerah asal dan daerah tujuan
secara simultan. Pengertian migrasi di suatu tempat dapat dilihat secara terpisah dengan
meneliti komponen migrasi masuk dan migrasi keluar secara terpisah. Setelah penelitian ini,
banyak peneliti lainnya yang meneliti faktor-faktor penentu migrasi baik dari daerah asal
maupun dari daerah tujuan secara terpisah.
4.4.3 Model Hybrida
Agar dapat menentukan besarnya migrasi yang perhitungannya hanya
mempertimbangkan indikator ekonomi digunakan pendekatan model hybrida, dimana metode
ini model dasarnya dari pendekatan model tradisonal. Model ini dapat kita modifikasikan
dengan menyertakan variabel ekonomi seperti tenaga kerja, rata-raa upah, rata-rata
pengangguran dan lain-lain (Isserman, et al., 1985).
15
( ) ( ) * ( )
( )+
[ ( )
( )⁄
( ) ( )⁄
]
dimana:
Aj (t-1) = Nilai faktor ekonomi provinsi tujuan pada tahun t-1
Aj (b-1) = Nilai faktor ekonomi provinsi tujuan pada tahun b-1
An (t-1) = Nilai faktor ekonomi nasional pada tahun t-1
An (b-1) = Nilai faktor ekonomi nasional pada tahun b-1
4.4.4 Model Structural Gravity
( ) (1)
dimana:
= Arus migrasi dari i ke j
= Penduduk di daerah j
= Upah di daerah i
dimana ( ) ( )
∑ ( ) , sehingga dengan menggunakan logaritma,
persamaan migrasi menjadi:
⁄
∑ ⁄ (2)
dimisalkan = ∑ ⁄ dan tenaga kerja yang ditawarkan ke i dari daerah-daerah asal
adalah: ∑ (3)
, dan penawaran tenaga kerja dunia ∑ ∑ , sehingga persamaan pasar tenaga
kerja adalah:
∑ ((
⁄ ⁄ ) )
16
Lalu
(4)
dimana ⁄
(5)
Dengan mensubstitusikan persamaan (4), maka upah di daerah j adalah:
∑ ⁄
(6)
Upah di persamaan (2) diganti dengan menggunakan upah persamaan (4) menghasilkan
persamaan structural gravity dari migrasi sebagai berikut:
⁄
(7)
4.5 Hubungan antara migrasi, pasar kerja dan variabel makro ekonomi
Migrasi merupakan perubuhan tempat tinggal seseorang baik secara permanen
maupun semi permanen, dan tidak ada batasan jarak bagi perubahan tempat tinggal tersebut
(Lee, 1991). Proses migrasi internal dan internasional terjadi sebagai suatu reaksi dari
berbagai perbedaan antara daerah asal dan daerah tujuan. Perbedaan ini disebabkan oleh
faktor ekonomi, sosial dan lingkungan baik pada level individu maupun komunitas. Beberapa
studi migrasi mengindikasikan bahwa migrasi teradi terutama disebabkan alasan ekonomi,
yaitu untuk memperolah pekerjaan dan pendapataan yang lebih tinggi. Maka dapat ditegaskan
bahwa migrasi merupakan suatu usaha untuk meningkatkan kualitas hidup.
Kondisi tersebut sesuai dengan model migrasi Todaro (2006) yang menyatakan
bahwa arus migrasi berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan pendapatan
antara daerah asal dan daerah tujuan. Namun pendapatan yang dipersoalkan disini bukan
pendapatan aktual, tetapi pendapatan yang diharapkan (expected income). Berdasarkan model
ini, para migran mempertimbangkan dan membandingkan pasar tenaga kerja yang tersedia
bagi mereka di daerah asal dan daerah tujuan, kemudian memilih salah satunya yang ianggap
dapat memaksimumkan keuntungan yang diharapkan (expected gains).
Gambar di bawah menunjukkan model migrasi Todaro yang menghubungkan antara
migrasi dan pasar kerja. Model ini mengasumsikan perekonomian suatu negara hanya ada dua
sektor, yaitu sektor pertanian di daerah asal dan sektor industri di daerah tujuan. Permintaan
17
tenaga kerja yang digambarkan oleh kurva produk marjinal tenaga kerja pada sektor pertanian
digambarkan oleh garis AA’. Sedangkan permintaan tenaga kerja sektor industri digambarkan
oleh gais MM’. Total angkatan kerja yang tersedia disimbol dengan OAOM. Dalam
perekonomian neoklasik (upah ditentukan oleh mekanisme pasar dan seluruh tenaga kerja
akan terserap), upah ekuilibriumnya WA* = WM*, dengan pembagian tenaga kerja sebanyak
OALA* untuk sektor pertanian, dan OMLM* untuk sektor industri. Sesuai dengan asumsi full
employment, seluruh tenaga kerja yang tersedia terserap habisoleh kedua sektor ekonomi
tersebut.
Jika upah ditetapkan oleh pemerintah sebesar WM, yang terletak diatas WA, dan
diamsikan tidak ada pengangguran maka tenaga kerja sebesar OMLM akan bekerja pada sektor
industri di kota, sedangkan sisanya sebanyak OALM akan berada pada sektor pertanian di desa
dengan tingkat upah sebanyak OAWA**. Sehingga terjadi kesenjangan upah antara desa dan
kota sebanyak WM-WA**. Jika asyarakat pedesaan bebas melakukan migrasi, maka meskipun
di desa tersedia lapangan kerja sebanyak OALM, mereka akan migrasi ke kota untuk
memperoleh upah yang lebih tinggi.
Adanya selisih tingkat upah desa-kota tersebut mendorong terjadinya arus migrasi
dari desa ke kota. Titik-titik peluang tersebut digambarkan oleh garis qq’, dan titik
ekuilibrium yang baru aalah Z. Selisih antara pendapatan aktual antara desa-kota adalah WM-
WA. Jumlah tenaga kerja yang masih ada pada sektor pertanian adalah OALA, dengan tenaga
kerja di sektor industri sebanyak OMLM dengan tingkat upah WM. Sisanya yakni LUS = OMLA-
OMLM, akan menganggur atau memasuki sektor inforal yang berpendapatan rendah.
Hubungan Migrasi dan Pasar Kerja (Todaro, 2006)
18
5. Tinjauan Penemuan Sebelumnya
Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa di dalam berbagai kesempatan,
mobilitas penduduk secara geografis atau konkritnya migrasi dari desa-ke kota, merupakan
salah satu strategi yang penting bagi rumah tangga miskin di pedesaan untuk meningkatkan
penghasilan mereka sebagai suatu cara untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan
(Skeldon, 2003).
Beberapa studi mengenai pola migrasi internal di Indonesia antara lain dilakukan
oleh Alatas (1995) menemukan bahwa tingkat mobilitas penduduk Indonesia meningkat dari
4,94 persen pada tahun 1971 menjadi 8,25 persen pada tahun 1990. Jawa Barat merupakan
daerah tujuan utama migran setelah DKI Jakarta. DKI Jakarta dianggap sebagai daerah tujuan
yang telah jenuh, yang ditandai dengan mengalirnya migran dari DKI Jakarta menuju Jawa
Barat, khususnya daerah penopang Jakarta (di daerah Bogor, Tangerang dan Bekasi).
Hal senada disampaikan Firman (1994), yang menyatakan bahwa migrasi internal
terpusat ke Pulau Jawa. Meskipun sejak tahun 70-an terlihat kecenderungan arus migrasi
mulai beralih keluar Jawa, namun konsentrasi penduduk Indonesia masih terpusat di Pulau
Jawa. Penurunan persentase penduduk Pulau Jawa dari 68,7 persen pada tahun 1930 menjadi
60 persen pada tahun 1990 diikuti dengan naiknya persentase penduduk di Pulau Sumatera,
menunjukkan aliran penduduk terjadi dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera, kemudian menuju
Kalimantan dan seterusnya.
Ahmad (1990) dengan menggunakan data Sensus Penduduk (SP) 1970, 1980 dan
Supas 1985 menemukan bahwa tingkat industrialisasi memiki hubungan negatif dengan
tingkat migrasi di Provinsi Sulawesi Tenggara, baik migrasi masuk maupun keluar. Pola
pertumbuhan industrialisasi menunjukkan bahwa pertumbuhan tingkat industrialisasi di
daerah asal lebih cepat daripada daerah Sulawesi Tenggara. Oleh karena itu, migrasi masuk ke
Sulawesi Tenggara semakin berkurang dan migrasi keluar cenderung semakin bertambah
besar. Selanjutnya, Ahmad juga menemukan bahwa tingkat kesempatan kerja (TKK)
memiliki pengaruh negatif terhadap migrasi masuk maupun keluar. TKK di Sulawesi
Tenggara lebih menarik relatif terhadap daerah asal sehingga menambah migrasi masuk dan
mengurangi migrasi keluar dari Sulawesi Tenggara.
Syaukat (1997) meneliti faktor-faktor yang menentukan pilihan daerah tujuan
migrasi penduduk Jawa Barat. Berdasarkan pengolahan terhadap data Supas 1985 dengan
19
analisis regresi multinomial logistik, Syaukat menemukan bahwa kondisi ekonomi daerah
tujuan dan daerah asal sangat mempengaruhi pilihan tujuan migrasi penduduk Jawa Barat.
Daerah yang memiliki karakteristik angka pengangguran tinggi dan sektor industri tinggi
biasanya merupakan tujuan migran antar wilayah pembangunan di dalam Jawa Barat.
Penduduk Jawa Barat yang bermigrasi ke DKI pada umumnya berasal dari wilayah
pembangunan dengan angka pengangguran rendah, pertumbuhan PDRB relatif rendah, dan
pertumbuhan PDRB per kapita rendah. Sementara itu, migran yang menuju ke Jawa
sepertinya kurang dipengaruhi oleh perbedaan angka pengangguran daerah tujuan dan daerah
asal, sedangkan terhadap perbedaan pertumbuhan PDRB dan PDRB per kapita memiliki
hubungan yang negatif. Probabilitas migran yang menuju ke luar Jawa semakin rendah
dengan semakin kecilnya perbedaan angka pengangguran. Selanjutnya, Syaukat juga
menyimpulkan bahwa pendidikan mempengaruhi pola migrasi penduduk Jawa Barat.
Semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi proporsi responden untuk melakukan migrasi
antar wilayah pembangunan di Jawa Barat. Sebaliknya, proporsi responden yang pindah ke
DKI semakin kecil dengan semakin meningkatnya pendidikan.
Penelitian yang hampir serupa dilakukan oleh Abdullah (1996) dengan responden
penduduk Provinsi Lampung. Dalam tesisnya Abdullah menjelaskan bahwa pertama, migrasi
antar kabupaten lebih tinggi daripada migrasi antar provinsi. Kedua, perbedaan menurut umur
yang besar terjadi pada expected probabilita migrasi antar provinsi, yaitu penduduk muda
memiliki kecenderungan dua kali lebih tinggi dibanding penduduk tua. Ketiga, expected
probabilitas migran menurut pendapatan per kapita tidak ada perbedaan, tetapi menurut nilai
PDRB sektor industri terdapat perbedaan menurut perkembangan industri daerah asal.
Taslim (1998) dengan menggunakan data Supas 1995 menemukan bahwa DKI
Jakarta masih memiliki daya tarik yang cukup besar bagi provinsi lainnya, dimana angka
migrasi masuk maupun keluar merupakan yang tertinggi. Angka migrasi masuk terendah
adalah di Provinsi Nusa Tenggara Barat, sedangkan angka migrasi keluar terendah ditemukan
pada Provinsi Sulawesi Utara. Selanjutnya, Taslim juga menemukan bahwa pola migrasi
spasial menunjukkan adanya kecenderungan terfokusnya daerah tujuan utama pada Jawa dan
Kalimantan Timur.
Dohar (1999) melakukan penelitian migrasi tenaga kerja ke Provinsi Jawa Barat
dengan menggunakan data Supas 1995, PDRB, dan tingkat industri 1990-1995. Sebagian
besar migran tenaga kerja berasal dari provinsi dengan expected wage lebih tinggi dari
20
Provinsi Jawa Barat. Demikian juga halnya dengan PDRB dan tingkat industri, yaitu
persentase yang lebih besar berasal dari provinsi yang memiliki PDRB lebih tinggi maupun
tingkat industri lebih tinggi daripada Jawa Barat.
Tjiptoherijanto (2000) mengemukakan bahwa pola dan kenyataan migrasi penduduk
di Indonesia memperlihatkan dengan jelas keterkaitan antara strategi pembangunan ekonomi
dengan pola migrasi penduduk. Lebih lanjut, Tjiptoherijanto mengatakan bahwa pemusatan
kegiatan ekonomi, pendidikan, dan politik di Pulau Jawa memberikan pengaruh terhadap pola
perpindahan penduduk di Indonesia.
Chotib (2003) menganalisis migrasi antardaerah di Indonesia dengan menggunakan
pendekatan model place to place migration. Model yang dikembangkan Chotib
menyimpulkan bahwa PDRB yang tinggi di suatu daerah cenderung meningkatkan jumlah
migran yang keluar dari daerah tersebut dan menurunkan jumlah migran yang masuk.
Sementara, angka urbanisasi yang tinggi di suatu daerah cenderung “menahan” orang untuk
keluar dari daerah tersebut dan “menarik” orang untuk datang ke daerah yang bersangkutan.
Industrialisasi yang tinggi di suatu daerah cenderung meningkatkan interaksi antara kedua
daerah yang sama-sama memiliki tingkat industrialisasi yang tinggi pula. Migrasi juga
cenderung mengalir pada daerah-daerah yang saling berbatasan langsung dengan daerah-
daerah lain yang lokasinya lebih jauh dari daerah asal.
Winarno (2004) meneliti pola migrasi interregional kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Barat dengan menggunakan hasil SP 2000. Jumlah penduduk dan jarak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap migrasi di Sumatera Barat, dimana jarak berhubungan
negatif sedangkan jumlah penduduk di daerah asal dan daerah tujuan berhubungan positif
terhadap migrasi. Selain itu, kesempatan kerja juga berpengaruh terhadap migrasi.
Darmawan (2007) menganalisis pola migrasi di Indonesia 2000-2005 dengan
menggunakan model hybrida. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa arus migrasi menuju
provinsi yang lebih tinggi PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Konstan, rendah tingkat
penganggurannya, namun nilai UMP lebih rendah.
Saepudin (2007) meneliti faktor-faktor yang mendorong migrasi risen tenga kerja
masuk ke wilayah Bodetabek, termasuk pola dan kecenderungannya dengan menggunakan
data Supas 2005. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi dan
peran sektor industri memiliki hubungan negatif, artinya variabel pertumbuhan ekonomi atau
21
peran sektor industri yang tinggi di daerah asal migran menjadi faktor penghambat terjadinya
migran pindah ke Bodetabek. Sementara itu, peningkatan upah di daerah asal migran tidak
menjadi penghambat terjadinya migrasi ke wilayah Bodetabek. Demikian juga halnya dengan
tingkat pengangguran dimana kecenderungan bermigrasi ke Bodetabek masih tetap besar
walaupun terjadi peningkatan rasio pengangguran daerah asal relatif terhadap Bodetabek.
Secara umum, pekerja yang tinggal di daerah dengan kondisi perekonomian yang
relatif rendah, cenderung bermigrasi ke daerah dengan kondisi perekonomian lebih tinggi.
Faktor-faktor positif (daya tarik) di suatu daerah seperti terdapatnya peluang usaha, luasnya
kesempatan kerja, lebih tingginya upah nyata, terdapatnya fasilitas sosial yang gratis dan
murah, terdapatnya eksternalitas ekonomi yang lebih menguntungkan, cenderung mendorong
orang untuk bermigrasi keluar, apalagi jika daerah asal terdapat faktor negatif seperti tidak
adanya peluang usaha dan kesempatan kerja, upah rendah, biaya hidup tinggi dan pajak tinggi
(Wajdi, 2010).
6. Kerangka Pikir Konseptual
Provinsi
Asal Migrasi Provinsi
Tujuan
Pembangunan Ekonomi :
1. PDRB riil per kapita
2. Tingkat Pengangguran
3. UMP
Model structural gravity
22
7. Referensi
Abdullah, Syahfirin. (1996). Faktor-faktor Penentu Status Migrasi Penduduk Propinsi
Lampung. Tesis. Depok: Program Studi Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan
Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Ananta, Aris dan Turro S. Wongkaren. (1996). Mobilitas Penduduk di Indonesia. Dalam Aris
Ananta dan Chotib. Mobilitas Penduduk di Indonesia. Jakarta: Lembaga Demografi
FEUI dan Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN.
Anderson, James E. (2011). The Gravity Model. This review was prepared for Annual Review
of Economics, vol. 3. Boston College and NBER.
Alatas, Secha. (1995). Migrasi dan Distribusi Penduduk di Indonesia: Kantor Menteri Negara
Kependudukan/BKKBN, Jakarta.
Ahmad, Sabir. (1990). Migrasi, dan Produktivitas Tenaga Kerja di Sulawesi Tenggara. Tesis.
Depok: Program Studi Kependudukan dan Ketenagakerjaan Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia.
Borjas, George J. (2000, February). Economics of Migration. International Encyclopedia of
Social and Behavioral Sciences, Section No. 3.4, Article No. 38. Harvard University.
Chiswick, B. R. and T. J. Hatton. (2003). International Migration and The Integration of
Labor Markets, in M. D. Bordo, A. M. Taylor, and J. G. Williamson (eds.),
Globalization in historical Perspective. Chicago: University of Chicago Press, pp.
65–120.
Chotib. (1998). Skedul Model Migrasi dari dan ke DKI Jakarta: Analisis Data SUPAS 1995
dengan Pendekatan Demografi Multiregional, Warta Demografi 28(3).
Chotib. (2003). Tinjauan Ekonometrika Model Migrasi dan Pembangunan Regional di
Indonesia, Warta Demografi, 33(4).
Darmawan, Beny dan Chotib. (2007). Perkiraan Pola Migrasi Antarprovinsi Di Indonesia
Berdasarkan Indeks Ketertarikan Ekonomi. Paper pada Parallel Session IIIC:
Poverty, Population & Health, 13 Desember 2007. Jakarta: Lembaga Demografi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
23
Darmawan, Beny. (2007). Pengaruh Faktor-Faktor Ekonomi Terhadap Pola Migrasi Antar
Provinsi di Indonesia. Tesis. Depok: Program Studi Kajian Kependudukan dan
Ketenagakerjaan Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
de Haas, Hein. (2010a). Migration and Development: A theoretical Perspective, International
Migration Review, 44 (1).
de Haas, Hein. (2010b). Migration Transitions: A Theoretical and Empirical Inquiry into The
Developmental Drivers of International Migration, Oxford, International Migration
Institute, University of Oxford.
Dohar, Ahmad. (1999). Migrasi Tenaga Kerja ke Propinsi Jawa Barat: Analisis Data Supas
1995. Tesis. Depok: Program Studi Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan
Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Etzo, Ivan. (2008). Internal migration: a review of the literature, University of Cagliari. May
2008. Online at http://mpra.ub.uni-muenchen.de/8783/. MPRA Paper No. 8783,
posted 18. May 2008 / 04:42 UTC.
Firman, Tommy. (1994). Migrasi Antarpropinsi dan Pengembangan Wilayah di Indonesia :
Prisma, No. 7. P. 3-15.
Gugler, Josef. (1989). Woman Stay on Farm No More, Changing Pattern of Rural-Urban
Migration in Sub Saharan Africa, The Journal of Modern African Studies, Vol. 27,
No. 2, pp. 347-352.
Isserman, A.M, D.A. Plane, P.A. Rogersen and P.M. Beaumont. (1985). Forecasting
Interstate Migration With Limited Data: A Demographic-Economic Approach.
Journal of The American Statistical Association, Vol.80, No.390, pp. 277-285.
Lee, Everet. S. (1966). A Theory of Migration. Demography, Vol. 3, No. 1 (1966), pp. 47-57.
Massey, D.S, J. Arango, G. Hugo, A. Kouaouci, A. Pelpegrino, and J. E. Taylor. (1993).
Theories of International Migration: A Review and Appraisal. Population and
Development Review, Vol. 19, No. 3, (Sep. 1993), pp. 431-466.
Rustiadi, Ernan, S. Saefulhakim, dan D. R. Panuju. (2011). Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah. Crestpent Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.
24
Saepudin, Asep. (2007). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Migrasi Risen Tenaga
Kerja Masuk ke Wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek):
Analisis Data Supas 2005. Tesis. Depok: Program Studi Kajian Kependudukan dan
Ketenagakerjaan Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Skeldon, Ronald. (1990). Population Mobility in Developing Countries: A Reinterpretation,
Belhaven, London.
Skeldon, Ronald. (1997). Migration and Development: A Global Perspective, Longman,
London.
Skeldon, Ronald. (2008). International Migration as A Tool in Development Policy: A
Passing Phase?, Population and Development Review, 34(1): 1-18.
Syaukat, Ahmad. (1997). Faktor-Faktor yang Menentukan Pilihan Daerah Tujuan Migrasi
Penduduk Jawa Barat: Berdasarkan Data Supas 1985. Tesis. Depok: Program Studi
Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan Program Pascasarjana Universitas
Indonesia.
Tarigan, Robinson. (2006). Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi. Penerbit Bumi
Aksara, Jakarta.
Taslim, Susanna. (1998). Estimasi Angka Migrasi Risen Berdasarkan Lama Tinggal pada
Propinsi-Propinsi di Indonesia: Berdasarkan Data Supas 1995 dengan Pertanyaan
Lamanya Tinggal 5,4,3,2 dan 1 Tahun). Tesis. Depok: Magister Kependudukan dan
Ketenagakerjaan Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Tjiptoherijanto, Priyono. (2000). Mobilitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi, Makalah
disampaikan dalam Simposium Dua Hari Kantor Menteri Negara Transmigrasi dan
Kependudukan/BAKMP, Jakarta 25-26 Mei.
Todaro, Michael P. (1980). Internal Migration in Developing Countries: A Survey Population
and Economic Change in Developing Countries. University of Chicago Press,
pp.361-402.
25
United Nations. (1970). Manuals on Methods of Estimating Population: Manual IV: Methods
of Measuring Internal Migration, Population Studies No. 47, New York: Department
of Economic and Social Affairs.
Wajdi, M. Nashrul. (2010). Migrasi Antar Pulau Di Indonesia: Analisis Model Skedul
Migrasi dan Model Gravitasi Hybrida. Tesis. Depok: Program Studi Kajian
Kependudukan dan Ketenagakerjaan Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Winarno. (2004). Pola Interaksi Migrasi Interregional Kabupaten/Kota Propinsi Sumatera
Barat: Aplikasi Model Interaksi Spasial Gravity dan Model Feeney. Tesis. Depok:
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Zelinsky, Wilbur. (1971). The Hypothesis of The Mobility Transition: Geographical Review,
61, 219-49.