Migrasi Di Indonesia

25
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran) 1 MIGRASI DI INDONESIA: KONSEP, POLA DAN PERILAKU MIGRAN A. PENDAHULUAN Analisis demografi memberi sumbangan yang sangat besar, baik kualitatif maupun kuantitatif pada kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan terjadi karena adanya dinamika kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan perpindahan penduduk (migrasi) terhadap perubahan-perubahan dalam jumlah, komposisi dan pertumbuhan penduduk. Perubahan-perubahan unsur demografi tersebut pada gilirannya mempengaruhi perubahan dalam berbagai bidang pembangunan secara langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya perubahan-perubahan yang terjadi di berbagai bidang pembangunan akan mempengaruhi dinamika kelahiran, kematian dan perpindahan penduduk. Khususnya untuk migrasi, Tjiptoherijanto (2000) menyatakan bahwa migrasi penduduk merupakan kejadian yang mudah dijelaskan dan tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari, namun pada prakteknya sangat sulit untuk mengukur dan menentukan ukuran bagi migrasi itu sendiri. Hal itu disebabkan karena hubungan antara migrasi dan proses pembangunan yang terjadi dalam suatu negara/daerah saling mengkait. Umumnya migrasi penduduk mengarah pada wilayah yang “subur” pembangunan ekonominya, karena faktor ekonomi sangat kental mempengaruhi orang untuk pindah. Hal ini dipertegas lagi oleh Tommy Firman (1994), bahwa migrasi sebenarnya merupakan suatu reaksi atas kesempatan ekonomi pada suatu wilayah. Pola migrasi di negara-negara yang telah berkembang biasanya sangat rumit (kompleks) menggambarkan kesempatan ekonomi yang lebih seimbang dan saling ketergantungan antar wilayah di dalamnya. Sebaliknya di negara-negara berkembang biasanya pola migrasi menunjukkan suatu polarisasi, yaitu pemusatan arus migrasi ke daerah-daerah tertentu saja, khususnya kota-kota besar. Migrasi ini juga merefleksikan keseimbangan aliran sumber daya manusia dari suatu wilayah ke wilayah lainnya. Tinjauan migrasi secara regional sangat penting dilakukan terutama terkait dengan kepadatan dan distribusi penduduk yang tidak merata, adanya faktor-faktor pendorong dan penarik bagi penduduk untuk melakukan migrasi, kelancaran sarana transportasi antar wilayah, dan pembangunan wilayah dalam kaitannya dengan desentralisasi pembangunan. Di Indonesia dengan alasan pemerataan penyebaran penduduk dan peningkatan pembangunan daerah serta peningkatan kualitas hidup penduduk maka

description

pola migrasi dan perilaku mmigran di indonesia

Transcript of Migrasi Di Indonesia

Page 1: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

1

MIGRASI DI INDONESIA: KONSEP, POLA DAN PERILAKU MIGRAN

A. PENDAHULUAN

Analisis demografi memberi sumbangan yang sangat besar, baik kualitatif

maupun kuantitatif pada kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan terjadi

karena adanya dinamika kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan perpindahan

penduduk (migrasi) terhadap perubahan-perubahan dalam jumlah, komposisi dan

pertumbuhan penduduk. Perubahan-perubahan unsur demografi tersebut pada gilirannya

mempengaruhi perubahan dalam berbagai bidang pembangunan secara langsung

maupun tidak langsung. Selanjutnya perubahan-perubahan yang terjadi di berbagai

bidang pembangunan akan mempengaruhi dinamika kelahiran, kematian dan

perpindahan penduduk.

Khususnya untuk migrasi, Tjiptoherijanto (2000) menyatakan bahwa migrasi

penduduk merupakan kejadian yang mudah dijelaskan dan tampak nyata dalam

kehidupan sehari-hari, namun pada prakteknya sangat sulit untuk mengukur dan

menentukan ukuran bagi migrasi itu sendiri. Hal itu disebabkan karena hubungan antara

migrasi dan proses pembangunan yang terjadi dalam suatu negara/daerah saling

mengkait. Umumnya migrasi penduduk mengarah pada wilayah yang “subur”

pembangunan ekonominya, karena faktor ekonomi sangat kental mempengaruhi orang

untuk pindah. Hal ini dipertegas lagi oleh Tommy Firman (1994), bahwa migrasi

sebenarnya merupakan suatu reaksi atas kesempatan ekonomi pada suatu wilayah. Pola

migrasi di negara-negara yang telah berkembang biasanya sangat rumit (kompleks)

menggambarkan kesempatan ekonomi yang lebih seimbang dan saling ketergantungan

antar wilayah di dalamnya. Sebaliknya di negara-negara berkembang biasanya pola

migrasi menunjukkan suatu polarisasi, yaitu pemusatan arus migrasi ke daerah-daerah

tertentu saja, khususnya kota-kota besar. Migrasi ini juga merefleksikan keseimbangan

aliran sumber daya manusia dari suatu wilayah ke wilayah lainnya.

Tinjauan migrasi secara regional sangat penting dilakukan terutama terkait dengan

kepadatan dan distribusi penduduk yang tidak merata, adanya faktor-faktor pendorong

dan penarik bagi penduduk untuk melakukan migrasi, kelancaran sarana transportasi

antar wilayah, dan pembangunan wilayah dalam kaitannya dengan desentralisasi

pembangunan. Di Indonesia dengan alasan pemerataan penyebaran penduduk dan

peningkatan pembangunan daerah serta peningkatan kualitas hidup penduduk maka

Page 2: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

2

migrasi ini disusun dalam suatu kegiatan yang terprogram dan terencana yang

dinamakan transmigrasi.

Jabbar dan Rofiq Ahmad (1993) menguraikan tentang transmigrasi sejak dari

zaman kolonisasi sampai dengan transmigrasi yang berorientasi ekonomi. Pada zaman

penjajahan Belanda, daerah pengalihan penduduk dari Jawa ialah di Pulau Sumatera.

Tempat yang pertama kali menjadi daerah tujuan transmigrasi yaitu di sekitar Metro,

Lampung. Setelah mengalami perkembangan, saat ini terus diseimbangkan kepadatan

penduduk Indonesia di setiap pulau. Oleh karena itu disamping Pulau Sumatera, Pulau

lain seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Papua juga diprogramkan untuk menerima

transmigran dari Pulau Jawa. Diluar program transmigrasi, kepadatan penduduk yang

memusat di Pulau Jawa dikarenakan oleh migrasi penduduk yang tidak terkendali dan

menuju ke Pulau Jawa. Dapat dimaklumi mengapa Pulau Jawa sebagai pulau yang

menjadi daerah tujuan utama migran dari pulau-pulau yang lain karena pulau ini

merupakan tempat pusat perekonomian, pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan pusat

kegiatan-kegiatan sosial ekonomi lainnya, sehingga penduduk dari pulau-pulau diluar

Jawa ingin menetap (tinggal) di Pulau Jawa.

Mencermati berbagai kajian dan penelitian tentang migrasi, termasuk migrasi

internasional, salah satu kesan yang menonjol adalah kentalnya fokus pada event yang

teramati dan terukur. Maksudnya, kajian migrasi terlalu banyak mengaitkan variabel

yang teramati (observable), khususnya variabel-variabel sosial ekonomi, untuk

menjelaskan berbagai hal yang terkait dengan migrasi, yang memang diyakini memiliki

dimensi yang kompleks. Akhir-akhir ini ada kekhawatiran bahwa kecenderungan ini

akan menyebabkan pendangkalan sekaligus penciutan kajian migrasi meskipun

diupayakan untuk melebarkan konteksnya. Dalam kajian migrasi internasional,

misalnya, permasalahan sering hanya terfokus pada kaitan antara besarnya ketersediaan

tenaga kerja dan peluang kerja di luar negeri. Atau, besarnya daya dorong dan daya

tarik sebagai penyebab arus migrasi merupakan penjelas paling tepat dalam

menganalisis proses migrasi. Dengan kata lain, orang pergi migrasi ke luar negeri

terbatas sebagai respons terhadap stimulus yang ada.

Pandangan ini tidak keliru, tetapi dapat menjebaknya ke dalam cognitive drones.

Mengapa? Di sini manusia tidak dipandang sebagai makhluk yang memiliki latar

belakang sosial dan budaya dan tidak hidup dalam konteks waktu dan tempat tertentu.

Migran kurang diperhatikan sebagai individu dan anggota kelompok sosial. Akibatnya,

Page 3: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

3

migran sering harus menanggung beban dan menjadi korban atas proses itu, meskipun

mereka juga menikmati hasilnya.

Gejala di atas juga diyakini menyebabkan terpisahnya penelitian migrasi dengan

perkembangan teori-teori sosial, padahal migrasi sebagai salah satu gejala sosial yang

sangat tua tidak mungkin terlepas dari perkembangan sosial, politik, dan ekonomi pada

umumnya (lihat Robinson & Carey, 2000).

Permasalahan ini bukan hanya permasalahan konseptual, tetapi juga permasalahan

pendekatan. Barangkali kajian-kajian yang ada terlalu banyak mengandalkan pada,

seperti yang dikemukakan Giddens (dalam Goss &Linquist, 1995), diskursif yaitu

segala sesuatu yang dikatakan, yaitu data-data yang dikumpulkan dari para migran

seperti pada penelitian survei. Sebaliknya, pendekatan praktikal, tepatnya disebut

Giddens sebagai kesadaran praktikal, yaitu sesuatu yang tidak dapat dikatakan atau

diartikulasikan secara verbal, tetapi menjadi bagian penting dari pemikiran orang yang

bersangkutan, kurang diperhatikan. Hal ini terkait dengan pendekatan dan metode yang

digunakan dalam penelitian migrasi. Sejauh ini perspektif yang digunakan untuk

mengkaji migrasi cenderung berangkat dari salah satu atau kedua perspektif besar yang

sudah mapan, yaitu strukturalis dan fungsionalis. Giddens mengusulkan alternatif lain

yang disebutnya sebagai perspektif strukturasionis. Dalam perspektif ini duality of

structure menjadi bagian penting, agen dan struktur berinteraksi timbal balik, yang

struktur itu direproduksi oleh agen dan agen dipengaruhi oleh norma dan harapan

masyarakat.

Tulisan ini dimaksudkan untuk menjadi salah satu sumbangan pengisi celah-celah

yang masih dapat dimasuki dari sudut konsep. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk

menjawab semua tantangan yang muncul karena tidak mungkin melakukannya. Kajian

dalam tulisan ini akan menggunakan disiplin sosiologi dengan fokus pada migran

sebagai individu. Dipilih kajian sosiologis karena bagian ini menjadi salah satu

kekurangan yang terus-menerus dirasakan dalam kajian migrasi. Namun pendekatan

sosiologi ini tidak dimaksudkan sebagai jawaban atas kekurangan itu. Hal ini hanya

merupakan upaya untuk mencoba melihatnya dari sisi yang lain tentang migrasi.

B. MIGRASI: TINJAUAN TEORITIS

B.1. Definisi Migrasi

Istilah umum bagi gerak penduduk dalam demografi adalah population mobility

atau secara lebih khusus territorial mobility yang biasanya mengandung makna gerak

Page 4: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

4

spasil, fisik dan geografis (Shryllock dan Siegel, 1973 dalam Rusli,1996: 136).

Kedalamnya termasuk baik dimensi gerak penduduk permanen maupun dimensi non-

permanen. Migrasi merupakan dimensi gerak penduduk permanen, sedangkan dimensi

gerak penduduk non-permanen terdiri dari sirkulasi dan komunikasi (Rusli,1996: 136).

Defenisi lain, migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap

dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas

administrasi/batas bagian dalam suatu negara (Munir, 2000: 116). Dengan kata lain,

migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah (negara)

ke daerah (negara) lain.

Migrasi sukar diukur karena migrasi dapat didefenisikan dengan berbagai cara dan

merupakan suatu peristiwa yang mungkin berulang beberapa kali sepanjang hidupnya.

Hampir semua definisi menggunakan kriteria waktu dan ruang, sehingga perpindahan

yang termasuk dalam proses migrasi setidak-tidaknya dianggap semi permanen dan

melintasi batas-batas geografis tertentu. (Young,1984: 94).

Untuk Indonesia sendiri, analis migrasi hanya dapat menggunakan data hasil

sensus penduduk yang dilakukan 10 tahun sekali dan data sampel hasil Survei

Penduduk Antar Sensus (SUPAS), yang dilakukan di tengah-tengah antar dua sensus.

Oleh karena itu, analisis migrasi masih sangat kurang dilakukan orang, mengingat data

pendukung analisis ini sangat kurang sekali, kecuali jika program pendataan model

registrasi penduduk telah dilakukan oleh suatu negara dengan baik.

B.2. Jenis-Jenis Migrasi

Jenis migrasi adalah pengelompokan migrasi berdasarkan dua dimensi penting

dalam analisis migrasi, yaitu dimensi ruang/daerah (spasial) dan dimensi waktu. Dalam

konteks ini, terdapat dua jenis migrasi yaitu migrasi internasional dan mograsi internal.

Migrasi internasional adalah perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain.

Migrasi internasional merupakan jenis migrasi yang memuat dimensi ruang. Migrasi

internal adalah perpindahan penduduk yang terjadi dalam satu negara, misalnya

antarpropinsi, antarkota/kabupaten, migrasi dari wilayah perdesaan ke wilayah

perkotaan atau satuan administratif lainnya yang lebih rendah daripada tingkat

kabupaten/kota, seperti kecamatan dan kelurahan/desa. Migrasi internal merupakan

jenis migrasi yang memuat dimensi ruang.

Selain itu migrasi dapat dibedakan berdasarkan dimensi waktunya. Migran

menurut dimensi waktu adalah orang yang berpindah ke tempat lain dengan tujuan

untuk menetap dalam waktu enam bulan atau lebih. Migran sirkuler (migrasi musiman)

Page 5: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

5

adalah orang yang berpindah tempat tetapi tidak bermaksud menetap di tempat tujuan.

Migran sikuler biasanya adalah orang yang masih mempunyai keluarga atau ikatan

dengan tempat asalnya seperti tukang becak, kuli bangunan, dan pengusaha warung

tegal, yang sehari-harinya mencari nafkah di kota dan pulang ke kampungnya setiap

bulan atau beberapa bulan sekali. Migran ulang-alik (commuter) adalah orang yang

pergi meninggalkan tempat tinggalnya secara teratur, (misal setiap hari atau setiap

minggu), pergi ke tempat lain untuk bekerja, berdagang, sekolah, atau untuk kegiatan-

kegiatan lainnya, dan pulang ke tempat asalnya secara teratur pula (missal pada sore

atau malam hari atau pada akhir minggu). Migran ulang-alik biasanya menyebabkan

jumlah penduduk di tempat tujuan lebih banyak pada waktu tertentu, misalnya pada

siang hari.

Sementara itu menurut versi BPS, ada tiga kriteria migran: seumur hidup, risen,

dan total (dikutip dari http://demografi.bps.go.id/versi1). Migran seumur hidup (life time

migrant) adalah orang yang tempat tinggalnya pada saat pengumpulan data berbeda

dengan tempa tinggalnya pada waktu lahir. Migran risen (recent migrant) adalah orang

tempat tinggalnya pada saat pengumpulan data berbeda dengan tempat tinggalnya pada

waktu lima tahun sebelumnya. Migran total (total migrant) adalah orang yang pernah

bertempat tinggal di tempat yang berbeda dengan tempat tinggal pada waktu

pengunpulan data.

Kriteria migrasi yang digunakan dalam makalah ini adala migrasi risen (recent

migration), karena lebih mencerminkan dinamika spasial penduduk antardaerah

daripada migrasi seumur hidup (life time migration) yang relatif statis. Sedangkan

migrasi total tidak dibahas karena definisinya tidak memasukkan batasan waktu antara

tempat tinggal sekarang (waktu pencacahan) dan tempat tinggal terakhir sebelum

tempat tinggal sekarang. Akan tetapi migrasi total biasa dipakai untuk menghitung

migrasi kembali (return migration).

Selain dari jenis-jenis migrasi tersebut di atas, terdapat beberapa istilah lain untuk

jenis migrasi, yaitu:

1. Migrasi masuk (In Migration): Masuknya penduduk ke suatu daerah tempat tujuan

(area of destination)

2. Migrasi Keluar (Out Migration): Perpindahan penduduk keluar dari suatu daerah

asal (area of origin)

3. Migrasi Neto (Net Migration): Merupakan selisih antara jumlah migrasi masuk dan

migrasi keluar Apabila migrasi yang masuk lebih besar dari pada migrasi keluar

Page 6: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

6

maka disebut migrasi neto positif sedangkan jika migrasi keluar lebih besar dari

pada migrasi masuk disebut migrasi neto negatif.

4. Migrasi Semasa/Seumur Hidup (Life Time Migration): Migrasi semasa hidup

adalah mereka yang pada waktu pencacahan sensus bertempat tinggal di daerah

yang berbeda dengan daerah tempat kelahirannya tanpa melihat kapan pindahnya.

5. Urbanisasi (Urbanization): Bertambahnya proporsi penduduk yang berdiam di

daerah kota yang disebabkan oleh proses perpindahan penduduk ke kota dan/atau

akibat dari perluasan daerah kota dan pertumbuhan alami penduduk kota. Definisi

urban berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya tetapi biasanya

pengertiannya berhubungan dengan kota-kota atau daerah-daerah pemukiman lain

yang padat. Klasifikasi yang dipergunakan untuk menentukan daerah kota biasanya

dipengaruhi oleh indikator mengenai penduduk, indikator mengenai kegiatan

ekonomi, indikator jumlah fasilitas urban atau status administrasi suatu pemusatan

penduduk.

6. Transmigrasi (Transmigration): Transmigrasi adalah salah satu bagian dari migrasi.

Istilah ini memiliki arti yang sama dengan 'resettlement' atau 'settlement'.

Transmigrasi adalah pemindahan dan/kepindahan penduduk dari suatu daerah

untuk menetap ke daerah lain yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia

guna kepentingan pembangunan negara atau karena alasan-alasan yang dipandang

perlu oleh pemerintah berdasarkan ketentuan yang diatur dalam undang-undang.

Transmigrasi diatur dengan Undang-Undang No.3 Tahun 1972. Transmigrasi yang

diselenggarakan dan diatur pemerintah disebut Transmigrasi Umum, sedangkan

transmigrasi yang biaya perjalanannya dibiayai sendiri tetapi ditampung dan diatur

oleh pemerintah disebut Transmigrasi Spontan atau Transmigrasi Swakarsa.

B.3 Teori-Teori Seputar Migrasi

Teori migrasi sebenarnya telah berkembang dan berbagai ahli telah banyak

membahas tentang teori migrasi tersebut dan sekaligus melakukan penelitian tentang

migrasi. Ravenstein (1885) memulai uraian tentang migrasi. Penedekatan Ravenstein ini

dirasakan terlalu general sehingga sulit untuk memilih faktor-faktor determinan

keputusan untuk melakukan migrasi.

Lee (1966) mendekati migrasi dengan formula yang lebih terarah. Lee

menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan untuk bermigrasi dapat

dibedakan atas kelompok sebagai berikut :

a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat asal migran (origin).

Page 7: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

7

b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat tujuan migran (destination).

c. Faktor-faktor penghalang atau pengganggu (intervening factors).

d. Faktor-faktor yang berhubungan dengan individu migran.

Faktor-faktor yang ada di tempat asal migran maupun di tempat tujuan migran

dapat terbentuk faktor positif maupun faktor negatif. Faktor-faktor di tempat asal

migran misalnya dapat berbentuk faktor yang mendorong untuk keluar atau menahan

untuk tetap dan tidak berpindah. Di daerah tempat tujuan migran fakor tersebut dapat

berbentuk penarik sehingga orang mau datang kesana atau menolak yang menyebabkan

orang tidak tertarik untuk datang. Tanah yang tidak subur, penghasilan yang rendah di

daerah tempat asal migran merupakan pendorong untuk pindah. Namun rasa

kekeluargaan yang erat, lingkungan sosial yang kompak merupakan faktor yang

menahan agar tidak pindah. Upah yang tinggi, kesempatan kerja yang menarik di daerah

tempat tujuan migran merupakan faktor penarik untuk datang kesana namun

ketidakpastian, resiko yang mungkin dihadapi, pemilikan lahan yang tidak pasti dan

sebagainya merupakan faktor penghambat untuk pindah ke tempat tujuan migran

tersebut.

Jarak yang jauh, informasi yang tidak jelas, transportasi yang tidak lancar,

birokrasi yang tidak baik merupakan contoh intervening faktor yang menghambat. Di

pihak lain adanya informasi tentang kemudahan, seperti kemudahan angkutan dan

sebagainya merupakan intervening faktor yang mendorong migrasi.

Pendekatan Lee tersebut sudah lebih terarah dibanding pendekatan dari

Revenstein. Namun berbagai ahli terus mencoba menjabarkan lebih jauh untuk

menemukan variable kebijaksanaan yang dapat digunakan untuk mempengaruhi

keputusan bermigrasi dari penduduk.

Lewis (1954) dan Fei dan Ranis (1971) menganalisa migrasi dalam kontek

pembangunan. Mereka membagi sektor perekonomian atas sektor tradisional dan sektor

modern, sektor pertanian dan sektor industri. Sedangkan migrasi terjadi dari sektor

tradisional ke sektor modern, dari sektor pertanian ke sektor industri. Tetapi beberapa

kelemahan menyebabkan pendekatan Lewis, Fei dan Ranis ini tidak selalu dapat

diterapkan.

Sjaastad (1962) dan Bodenhofer (1967) mendekati migrasi lewat teori human

investment. Mereka menyatakan bahwa migrasi adalah suatu investasi sumberdaya

manusia yang menyangkut keuntungan dan biaya-biaya. Biaya-biaya bermigrasi

tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) Risiko, (2) Pendapatan yang hilang

Page 8: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

8

(earning forgone), (3) Ketidaknyamanan karena meninggalkan kampung halaman

(disutility of moving), (4) Ketidaknyamanan dalam perjalanan, (5) Ketidaknyamanan di

lingkungan baru, dan (6) Psychic costs (biaya psikhis) karena berbagai

ketidaknyamanan tersebut.

Sedangkan benefit yang diperoleh adalah pendapatan yang lebih baik yang

diperoleh di daerah baru nantinya. Todaro (1976) menyatakan bahwa pendapatan

tersebut dalam bentuk expected income (pendapatan yang diharapkan).

C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MIGRASI

Sementara itu Lee (1966) mengajukan empat faktor yang menyebabkan orang

mengambil keputusan untuk melakukan migrasi yaitu: (1) Faktor-faktor yang terdapat

di daerah asal, (2) Faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan, (3) Rintangan-rintangan

yang menghambat, dan (4) Faktor-faktor pribadi.

Di setiap tempat asal ataupun tujuan, ada sejumlah faktor yang menahan orang

untuk tetap tinggal di situ, dan menarik orang luar luar untuk pindah ke tempat tersebut;

ada sejumlah faktor negatif yang mendorong orang untuk pindah dari tempat tersebut;

dan sejumlah faktor netral yang tidak menjadi masalah dalarn keputusan untuk migrasi.

Selalu terdapat sejumlah rintangan yang dalam keadaan-keadaan tertentu tidak seberapa

beratnya, tetapi dalam keadaan lain dapat diatasi. Rintangan-rintangan itu antar lain

adalah mengenai jarak, walaupun rintangan "jarak" ini meskipun selalu ada, tidak selalu

menjadi faktor penghalang. Rintangn-rintangan tersebut mempunyai pengaruh yang

berbeda-beda pada orang-orang yang mau pindah. Ada orang yang memandang

rintangan-rintangan tersebut sebagai hal sepele, tetapi ada juga yang memandang

sebagai hal yang berat yang menghalangi orang untuk pindah.

Sedangkan faktor dalam pribadi mempunyai peranan penting karena faktor-faktor

nyata yang terdapat di tempat asal atau tempat tujuan belum merupakan faktor utama,

karena pada akhirnya kembali pada tanggapan seseorang tentang faktor tersebut,

kepekaan pribadi dan kecerdasannnya.

Sahota (1968) dalam penelitiannya menemukan faktor penghambat dalam

keputusan bermigrasi adalah pendapatan yang hilang di daerah asal dan biaya

akomodasi (penginapan) di daerah baru. Makanya orang lebih mudah pergi ke suatu

tempat jika disana ada kerabat atau keluarga yang dapat menerima mereka untuk

Page 9: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

9

sementara sampai memperoleh pekerjaan, karena keluarga paling tidak dapat

menyediakan tempat menginap dan lebih-lebih lagi jika dapat memperoleh makan.

Demikian pula Soon (1977) memperlihatkan bahwa income/wage rate merupakan

faktor utama dalam menarik migran untuk datang (penyebab orang tertarik ke Malaysia

untuk memperoleh Ringgit dan ke Saudi Arabia memperoleh Real).

Adanya faktor-faktor sebagai penarik ataupun pendorong di atas merupakan

perkembangan dari ketujuh teori migrasi (The Law of Migration) yang dikembangkan

oleh E.G Ravenstein pada tahun 1885 (Munir, 2000: 122).

Dari faktor-faktor keputusan migran dalam melakukan migrasi seperti yang

disebutkan Lee (1966), ternyata faktor ekonomi merupakan motif yang paling sering

dijadikan sebagai alasan utama untuk bermigrasi (Todaro, 1969). Sehingga daerah yang

kaya sumber alam tentunya akan lebih mudah menciptakan pertumbuhan ekonominya,

meskipun mungkin kurang stabil. Daerah yang kaya sumber daya manusia akan menjadi

lokasi yang menarik bagi manufaktur atau jasa, terutama yang menggunakan teknologi

tinggi. Seperti lazimnya dalam ilmu ekonomi regional, tenaga kerja akan cenderung

melakukan migrasi dari daerah dengan kesempatan kerja kecil dan upah rendah ke

daerah dengan kesempatan kerja besar dan upah tinggi (Brodjonegoro, 2000).

Dari kacamata ekonomi, berbagai teori telah dikembangkan dalam menganalisis

fenomena migrasi. Teori yang berorientasikan pada ekonomi neoklasik (neoclassical

economics) misalnya, baik secara makro maupun mikro, lebih menitikberatkan pada

perbedaan upah dan kondisi kerja antardaerah atau antarnegara, serta biaya, dalam

keputusan seseorang untuk melakukan migrasi. Menurut aliran ini, perpindahan

penduduk merupakan keputusan pribadi yang didasarkan atas keinginan untuk

mendapatkan kesejahteraan yang maksimum. Dalam teori ini, mobilitas penduduk

dipandang sebagai mobilitas geografis tenaga kerja, yang merupakan respon terhadap

ketidakseimbangan distribusi keruangan lahan, tenaga kerja, kapital dan sumberdaya

alam. Ketidakseimbangan lokasi geografis faktor produksi tersebut pada gilirannya

mempengaruhi arah dan volume migrasi.

Namun pada sisi lain, aliran ekonomi baru migrasi (new economics of migration)

beranggapan bahwa perpindahan penduduk terjadi bukan saja berkaitan dengan pasar

kerja, namun juga karena adanya faktor-faktor lain. Keputusan untuk melakukan

migrasi tidak semata-mata merupakan keputusan individu, namun terkait dengan

lingkungan sekitar, utamanya lingkungan keluarga dan kondisi daerah yang ditinggali

Page 10: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

10

maupun yang dituju. Lingkungan sekitar ini termasuk juga kondisi politik, agama, dan

bencana alam.

Dari kedua teori di atas jelas, bahwa migrasi disebabkan oleh faktor pendorong

(push factor) suatu wilayah dan faktor penarik (pull factor) wilayah lainnya. Faktor

pendorong suatu wilayah menyebabkan orang pindah ke tempat lain, misalnya karena di

daerah itu tidak tersedia sumber daya yang memadai untuk memberikan jaminan

kehidupan bagi penduduknya. Perpindahan penduduk ini juga terkait dengan persoalan

kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di suatu wilayah. Sedangkan faktor penarik

suatu wilayah adalah jika wilayah tersebut mampu atau dianggap mampu menyediakan

fasilitas dan sumber-sumber penghidupan bagi penduduk, baik penduduk di wilayah itu

sendiri maupun penduduk di sekitarnya dan daerah-daerah lain. Penduduk wilayah

sekitarnya dan daerah-daerah lain yang merasa tertarik dengan daerah tersebut

kemudian berpindah dalam rangka meningkatkan taraf hidup.

D. POLA, ARUS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

MIGRASI DI INDONESIA

D.1. Pola dan Arus Migrasi di Indonesia

Berikut adalah gambaran pola dan arus migrasi di Indonesia dari tahun 2000

dengan menggunakan data data migrasi yang digunakan adalah data Survei Penduduk

Antar Sensus (SUPAS) 2005 dan Sensus Penduduk (SP) 2000. Data pola dan arus

migrasi ini dikutip dari hasil penelitian Beni Darmawan (2007) dan Emalisa (2003).

Ada dua pola migrasi yang akan dibahas yaitu pola migrasi semasa hidup antar pulau

dan pola migrasi semasa hidup antar propinsi.

1. Migrasi Semasa Hidup Antar Pulau

Berdasar pada data hasil penelitian Beny Darmawan (2007) dan Emalisa (2003),

bahwa untuk migrasi keluar, selama 24 tahun terakhir secara absolut Pulau Jawa adalah

pulau yang paling banyak mengeluarkan migran, yaitu: pada tahun 1971 sebanyak

1.935 ribu, tahun 1980 sebanyak 3.584,9 ribu, dan tahun 1990 sebanyak 3.053,2 ribu,

yang kemudian pada tahun 1995 menjadi 5.5330,2 ribu. Dari sebanyak migran keluar

tersebut sampai tahun 1980 sebagian besar menuju Pulau Sumatera, yaitu sebesar

89,66% pada tahun 1971 dan 81,06% pada tahun 1980. Namun demikian mulai tahun

1990 terjadi penurunan arus migran dari Pulau Jawa ke Sumatera yaitu menjadi hanya

sebesar 69,73%, dan tahun 1995 persentasenya menurun lagi menjadi 68,28%. Kondisi

ini memperlihatkan bahwa mulai dekade 1980 - 1990 penyebaran penduduk dari Pulau

Page 11: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

11

Jawa sudah mulai menyebar ke pulau-pulau lain, tidak hanya terpusat di Pulau Sumatera

saja.

Berikutnya Pulau Sumatera yang menduduki urutan kedua dalam besarnya

migrasi keluar, pada tahun 1971 mempunyai migran keluar sebesar 369 ribu, kemudian

pada tahun 1980 naik menjadi 786,4 ribu migran keluar dan naik lagi menjadi 1.175,7

ribu pada tahun 1990. Selanjutnya pada tahun 1995 naik lagi menjadi sekitar 1.534 ribu.

Sebagian besar migran keluar dari Pulau Sumatera menuju Pulau Jawa yaitu 94,31

% pada tahun 1971, 91,35% pada tahun 1980, 90,94% pada tahun 1990 dan 1991, 94%

pada tahun 1995. Dari data tersebut terlihat arus migrasi dari Pulau Sumatera ke Pulau

Jawa boleh dikatakan hampir tidak ada perubahan. Kecenderungan orang Sumatera

pergi (pindah) menuju Pulau Jawa masih tetap merupakan prioritas utama.

Seperti halnya Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan dan Kepulauan lain juga

merupakan daerah yang migran keluarnya kebanyakan menuju Pulau Jawa. Arus yang

terjadi dari Pulau Kalimantan dan Kepulauan lain menuju Pulau Jawa cenderung tidak

berubah sejak tahun 1971 sampai tahun 1995 atau penurunan persentase yang terjadi

relatif kecil. Berbeda dengan Pulau Sulawesi, arus migran yang keluar dari pulau ini

hampir tersebar secara merata ke pulau-pulau lain dan kecenderungan ini berjalan sejak

tahun 1971 yang berlangsung secara terus sampai tahun 1995.

Menurut Emalisa (2003), dapat dimaklumi mengapa Pulau Jawa sebagai pulau

yang menjadi daerah tujuan utama migran dari pulau-pulau yang lain karena pulau ini

merupakan tempat pusat perekonomian, pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan pusat

kegiatan-kegiatan sosial ekonomi lainnya, sehingga penduduk dari pulau-pulau di luar

Jawa ingin menetap (tinggal) di Pulau Jawa.

Emalisa (2003) juga menggambarkan data penelitian migran yang masuk seumur

hidup menurut pulau tempat lahir dan tempat tinggal sekarang. Untuk migrasi masuk,

Pulau Sumatera adalah pulau yang paling banyak menerima migran baik pada tahun

1970, 1980, 1990 maupun pada tahun 1995. Dari jumlah tersebut lebih dari 90 persen

sejak tahun 1971 sampai dengan tahun 1995 adalah migran yang berasal dari Pulau

Jawa. Demikian juga Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan lain, migran yang

masuk ke pulau-pulau ini sebagian besar berasal dari Pulau Jawa. Sehingga dapat

dikatakan bahwa Pulau Jawa yang memang mempunyai penduduk terbesar di Indonesia

merupakan pulau pengirim migran terbesar untuk setiap pulau-pulau yang ada di

Indonesia. Sedang migrasi masuk ke Pulau Jawa sendiri dari tahun 1971 sampai dengan

tabun 1995 kebanyakan (sekitar 60%) berasal dari Pulau Sumatera. Hal ini dapat

Page 12: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

12

dimaklumi karena Pulau Sumatera secara geografis berdekatan dengan Pulau Jawa

dibanding dengah pulau-pulau lainnya, dan juga karena sistem transportasi yang

menghubungkan kedua pulau ini lebih baik dan lancar baik dari segi banyaknya

frekuensi maupun jenis angkutan dibandingkan dengan sistem transportasi yang

menghubungkan Pulau Jawa dengan pulau-pulau yang lain, selain Pulau Sumatera.

2. Migrasi Semasa Hidup Antar Propinsi

Pola dan arus migrasi seumur hidup per propinsi di Indonesia sangat bervariasi

dan besarnya tidak selalu sama antara satu propinsi dengan propinsi lain. Secara umum

propinsi-propinsi di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara merupakan propinsi-propinsi

pengirim migran, baik pada tabun 1971 1980, 1990 maupun pada tahun 1995 kecuali

DKI Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat dan Timor Timur. DKI Jakarta sejak

tahun 1971 hingga pada tahun 1995 merupakan propinsi penerima migran. Sedangkan

Jawa Barat pada tahun 1971 dan 1980 merupakan propinsi pengirim migran, tetapi pada

tahun 1990 dan 1995 menjadi propinsi penerima migran.

Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian sejak tahun 1971 hingga tahun

1990 DKI Jakarta adalah propinsi yang paling banyak didatangi oleh migran, dengan

jumlahnya yang semakin membesar dari tahun ke tahun. Pada tahun 1971 DKI Jakarta

menerima sekitar 1,8 juta migran, tahun 1980 menerima sekitar 2,6 juta migran, tahun

1990 menerima 3,1 juta migran dan pada tahun 1995 menerima 3,4 juta migran. Jika

dilihat asal migran yang ke DKI Jakarta, yang paling banyak adalah migran yang

berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pada tahun 1990 dan 1995. Dan sisanya

adalah berasal dari 24 propinsi lainnya yang persentasenya relatif kecil. Propinsi kedua

terbesar yang didatangi migran pada tahun 1990 adalah Jawa Barat, dengan jumlah

migran sebesar 2,4 juta orang. Selanjutnya hasil SUPAS95 menunjukkan bahwa dengan

jumlah migran masuk sebesar 3,6 juta orang. Propinsi Jawa Barat telah menggeser

kedudukan DKI Jakarta sebagai penerima migran terbesar. Migran yang masuk ke Jawa

Barat ini sebagian besar berasal dari propinsi tetangganya yaitu Jawa Tengah dan DKI

Jakarta dengan persentase masing-masing sebesar 30,25% dan 35,09% pada tahun 1995.

Pada tahun 1971 dan 1980, Lampung merupakan merupakan propinsi kedua

terbesar yang menjadi daerah tujuan migran dengan jumlah migran tidak kurang dari 1

juta orang pada tahun 1971 dan 1,8 juta migran pada tahun 1980 masuk ke propinsi ini.

Tetapi pada tahun 1990 dan 1995, Lampung tergeser oleh Jawa Barat menjadi propinsi

ketiga terbesar yang didatangi oleh migran.

Page 13: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

13

Walaupun demikian dalam jumlah absolut sebagai penerima migran, Lampung

tetap merupakan propinsi penerima migran terbesar di luar Pulau Jawa sejak tahun

1971. Hal ini dapat mengerti karena Lampung rnerupakan daerah tujuan transmigrasi

terbesar di Indonesia pada saat itu. Pada tahun 1971 Lampung menerima tidak kurang

dari 1 juta migran, yang kemudian meningkat menjadi 1,7 juta orang pada tahun 1980

dan 1990, dan hampir 2 juta orang pada tahun 1995. Ada tiga propinsi yang merupakan

propinsi asal sebagian besar migran masuk ke Lampung, yaitu Jawa Tengah (33,50%),

Jawa Timur (28,20%) dan Jawa Barat (13,35%).

D.2. Pengaruh Urbanisasi terhadap Pola dan Arus Migrasi di Indonesia

Berdasarkan data migrasi seumur hidup antar propinsi, sejak tahun 1971 hingga

1990, Jakarta merupakan tujuan propinsi penerima migran paling besar (nomor satu) di

Indonesia. Namun kemudian pada tahun 1995 posisi ini digantikan oleh propinsi Jawa

Barat, yang merupakan propinsi terdekat dari wilayah DKI Jakarta. Hal ini tidaklah

terlepas dari adanya pengaruh urbanisasi yang terjadi di kota Jakarta yang pada

akhirnya mempengaruhi perkembangan daerah-daerah yang ada di sekitarnya, termasuk

kota-kota yang terdapat di propinsi Jawa Barat, seperti yang dikenal dengan istilah

Botabek (Bogor, Tanggerang, Bekasi).

Dengan adanya urbanisasi di wilayah Jakarta ini, banyak penduduk yang bekerja

di Jakarta, namun bertempat tinggal di wilayah di sekitar Jakarta (Botabek), dengan

berbagai sebab, karena ingin mendapatkan tempat tinggal yang lebih luas, lebih baik,

dan lebih sedikit polusi untuk keluarga mereka. Disamping itu banyak Industri didirikan

di daerah pinggiran kota Jakarta (Botabek), banyak menarik tenaga kerja secara khusus

dan penduduk secara umum untuk bermigrasi ke daerah Botabek (Jawa Barat) ini.

Menurut Firman (1995), kecenderungan berkembangnya dengan pesat kegiatan

ekonomi di kota-kota besar seperti di DKI Jakarta adalah tidak lain karena ada

"ekonomi urbanisasi" (urbanisation economies) yang terdapat di kota-kota besar

tersebut, yang secara sederhana didefinisikan sebagai keuntungan-keuntungan ekonomi

dari sebuah kota, terutama kota besar, yang menarik pendirian usaha dalam kota.

Sebagai gambaran sebagaimana kota-kota besar dapat bersaing dengan berbagai macam

aktivitas ekonomi, yaitu adanya kenyataan bahwa hingga Juli 1995, kira-kira setengah

Penanaman Modal asing (PMA) dan Penanaman modal Dalam Negeri (PMDN), dari

koordinasi penanaman modal (BKPM) terkonsentrasi di Jabotabek atau Jakarta

D.3. Pengaruh Program Transmigrasi oleh Pemerintah

Page 14: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

14

Data migrasi seumur hidup antar pulau maupun antar propinsi, kita dapat melihat

bahwa pulau yang paling besar menerima migran adalah pulau Sumatera sejak tahun

1971 hingga sekarang, sedangkan propinsi terbesar kedua setelah DKI Jakarta

menerima migran adalah propinsi Lampung, yaitu sejak tahun 1971 hingga 1990,

namun kemudian posisi Lampung tersebut digantikan oleh propinsi Jawa Barat.

Besamya migran yang masuk ke pulau Sumatera, khususnya ke propinsi Lampung ini

tidak terlepas dari adanya program pemerintah yang telah menjalankan program

transmigrasi dimana daerah Sumatera, yang mencakup Aceh, Lampung, Sumatera Utara

dan lainnya menjadi daerah penerima transmigrasi.

Jika kita melihat sejarah dari program transmigrasi tersebut, kita ketahui bahwa

program transmigrasi ini telah dimulai pertama sekali oleh pemerintah Belanda, yaitu

pada tahun 1905 dengan mengirim 155 keluarga dari Jawa ke daerah propinsi Lampung,

yang waktu itu dikenal dengan istilah kolonisasi. Dan pada waktu pemerintahan Jepang

di Indonesia usaha transmigrasi inipun tetap dijalankan. Kemudian pada tahun 1950

pemerintah Indonesia melakukan usaha transmigrasi pertama sekali dengan

memindahkan 77 jiwa dari Jawa ke Lampung (Munir, 2000). Dan hingga tahun 1990

propinsi Lampung masih menjadi tujuan transmigrasi. Dan ini tentunya sangat besar

pengaruhnya terhadap besarnya para migran yang masuk ke propinsi Lampung dan ke

pulau Sumatera pada umumnya, disamping adanya pengaruh dari dekatnya posisi pulau

Jawa dengan Sumatera dan dengan adanya prasarana transportasi yang baik dan lancar

hal ini juga mempengaruhi besarnya arus migrasi dari pulau Jawa ke pulau Sumatera.

E. PERILAKU MIGRAN PADA KAJIAN MIGRASI DI INDONESIA

E.1. Migran dan Fenomena Remitan (remittance)

Tenaga kerja akan pindah dari tempat dengan kapital langka dan tenaga kerja

banyak (karenanya upah rendah) ke tempat dengan kapital banyak dan tenaga kerja

langka (karenanya upah tinggi). Oleh karenanya Spengler dan Myers (1977) dalam

Wood (1982) mengemukakan migrasi dapat dipandang sebagai suatu proses yang

membantu pemerataan pembangunan yang bekerja dengan cara memperbaiki

ketidakseimbangan hasil faktor produksi antar daerah.

Migrasi yang terjadi di negara-negara sedang berkembang dipandang memiliki

efek yang sama. Namun, terdapat fenomena khusus dari migrasi di negara-negara ini,

yang diperkirakan lebih mempercepat pemerataan pembangunan. Fenomena tersebut

berbentuk transfer pendapatan ke daerah asal (baik berupa uang ataupun barang), yang

Page 15: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

15

dalam teori migrasi dikenal dengan istilah remitan (remittance). Menurut Connel

(1980), di negara-negara sedang berkembang terdapat hubungan yang sangat erat antara

migran dengan daerah asalnya, dan hal tersebutlah yang memunculkan fenomena

remitan.

Remitan dalam konteks migrasi di negara-negara sedang berkembang merupakan

bentuk upaya migran dalam menjaga kelangsungan ikatan sosial ekonomi dengan

daerah asal, meskipun secara geografis mereka terpisah jauh. Selain itu, migran

mengirim remitan karena secara moral maupun sosial mereka memiliki tanggung jawab

terhadap keluarga yang ditinggalkan (Curson,1983). Kewajiban dan tanggung jawab

sebagai seorang migran, sudah ditanamkan sejak masih kanak-kanak. Masyarakat akan

menghargai migran yang secara rutin mengirim remitan ke daerah asal, dan sebaliknya

akan merendahkan migran yang tidak bisa memenuhi kewajiban dan tanggung

jawabnya.

Dalam perspektif yang lebih luas, remitan dari migran dipandang sebagai suatu

instrumen dalam memperbaiki keseimbangan pembayaran, dan merangsang tabungan

dan investasi di daerah asal. Oleh karenanya dapat dikemukakan bahwa remitan

menjadi komponen penting dalam mengkaitkan mobilitas pekerja dengan proses

pembangunan di daerah asal.

Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan di daerah Jatinom Jawa

Tengah (Effendi, 1993). Sejak pertengahan tahun 1980an, seiring dengan meningkatnya

mobilitas pekerja, terjadi perubahan pola makanan keluarga migran di daerah asal

menuju pada pola makanan dengan gizi sehat. Perubahan ini tidak dapat dilepaskan dari

peningkatan daya beli keluarga migran di daerah asal, sebagai akibat adanya remitan.

Peningkatan daya beli tidak hanya berpengaruh pada pola makanan, namun juga

berpengaruh pada kemampuan membeli barang-barang konsumsi rumah tangga lainnya,

seperti pakaian, sepatu, alat-alat dapur, radio, televisi dan sepeda motor. Permintaan

akan barang-barang tersebut telah memunculkan peluang berusaha di sektor

perdagangan, dan pada tahap selanjutnya berefek ganda pada peluang berusaha di sektor

lainnya.

Namun di sisi lain, remitan ternyata tidak hanya mempengaruhi pola konsumsi

keluarga migran di daerah asal. Dalam kerangka pemupukan remitan, migran berusaha

melakukan berbagai kompromi untuk mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya,

dan mengadopsi pola konsumsi tersendiri di daerah tujuan.

Page 16: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

16

Para migran akan melakukan "pengorbanan" dalam hal makanan, pakaian, dan

perumahan supaya bisa menabung dan akhirnya bisa mengirim remitan ke daerah asal.

Secara sederhana para migran akan meminimalkan pengeluaran untuk memaksimalkan

pendapatan. Migran yang berpendapatan rendah dan tenaga kerja tidak terampil, akan

mencari rumah yang paling murah dan biasanya merupakan pemukiman miskin di

pusat-pusat kota.

Bijlmer (1986) mengemukakan bahwa untuk memperbesar remitan, ada

kecenderungan migran mengadopsi sistem pondok, yakni tinggal secara bersama-sama

dalam satu rumah sewa atau bedeng di daerah tujuan. Sistem pondok memungkinkan

para migran untuk menekan biaya hidup, terutama biaya makan dan penginapan selama

bekerja di kota.

Hal yang sama juga ditemukan oleh Mantra (1994) dalam penelitiannya di

berbagai daerah di Indonesia. Buruh-buruh bangunan yang berasal dari Jawa Timur

yang bekerja di proyek pariwisata Nusa Dua Bali, tinggal di bedeng-bedeng yang

kumuh untuk mengurangi pengeluaran akomodasi. di berbagai daerah di Indonesia.

Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim ditemukan pada tukang becak di Yogyakarta

yang berasal dari Klaten. Pada waktu malam hari tidur di becaknya untuk menghindari

pengelua¬ran menyewa pondokan.

Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa besarnya remitan yang

dikirimkan migran ke daerah asal relatif bervariasi. Penelitian yang dilakukan Rose dkk

(1969) dalam Curson (1983) terhadap migran di Birmingham menemukan bahwa

remitan migran India sebesar 6,3 persen dari penghasilannya sedangkan migran

Pakistan mencapai 12,1%. Bahkan dalam penelitian yang dilakukan Jellinek (1978)

dalam Effendi (1993) menemukan bahwa remitan yang dikirimkan para migran penjual

es krim di Jakarta mencapai 50 persen dari penghasilan yang diperolehnya.

Besar kecilnya remitan ditentukan oleh berbagai karakteristik migrasi maupun

migran itu sendiri. Karakteristik tersebut mencakup sifat mobilitas/migrasi, lamanya di

daerah tujuan, tingkat pendidikan migran, penghasilan migran serta sifat hubungan

migran dengan keluarga yang ditinggalkan di daerah asal.

Berkaitan dengan sifat mobilitas/migrasi dari pekerja, terdapat kecenderungan

pada mobilitas pekerja yang bersifat permanen, remitan lebih kecil dibandingkan

dengan yang bersifat sementara (sirkuler) (Connel,1980). Hugo (1978) dalam penelitian

di 14 desa di Jawa Barat menemukan bahwa remitan yang dikirimkan oleh migran

Page 17: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

17

sirkuler merupakan 47,7 persen dari pendapatan rumah tangga di daerah asal, sedangkan

pada migran permanen hanya 8,00%.

Sejalan dengan hal tersebut, besarnya remitan juga dipengaruhi oleh lamanya

migran menetap (bermigrasi) di daerah tujuan. Lucas dkk (1985) mengemukakan bahwa

semakin lama migran menetap di daerah tujuan maka akan semakin kecil remitan yang

dikirimkan ke daerah asal.

Adanya arah pengaruh yang negatif ini selain disebabkan oleh semakin

berkurangnya beban tanggungan migran di daerah asal (misalnya anak-anak migran di

daerah asal sudah mampu bekerja sendiri), juga disebabkan oleh semakin berkurangnya

ikatan sosial dengan masyarakat di daerah asal. Migran yang telah menetap lama

umumnya mulai mampu menjalin hubungan kekerabatan baru dengan

masyarakat/lingkungan di daerah tujuannya.

Tingkat pendidikan migran lebih cenderung memiliki pengaruh yang positif

terhadap remitan. Rempel dan Lobdell (1978) mengemukakan bahwa semakin tinggi

tingkat pendidikan migran, maka akan semakin besar remitan yang dikirimkan ke

daerah asal. Hal ini pada dasarnya berkaitan dengan fungsi remitan sebagai pembayaran

kembali (repayment) investasi pendidikan yang telah ditanamkan keluarga kepada

individu migran. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan migran menunjukkan besar

kecilnya investasi pendidikan yang ditanamkan keluarga, dan pada tahap selanjutnya

berdampak pada besar kecilnya "repayment" yang diwujudkan dalam remitan.

Pengaruh positif juga ditemukan antara penghasilan migran dan remitan

(Wiyono,1994). Remitan pada dasarnya adalah bagian dari penghasilan migran yang

disisihkan untuk dikirimkan ke daerah asal. Dengan demikian, secara logis dapat

dikemukakan semakin besar penghasilan migran maka akan semakin besar remitan

yang dikirimkan ke daerah asal.

Besarnya remitan juga tergantung pada hubungan migran dengan keluarga

penerima remitan di daerah asal. Keluarga di daerah asal dapat dibagi atas dua bagian

besar, yaitu keluarga inti (batih) yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak, serta

keluarga di luar keluarga inti. Dalam konteks ini, Mantra (1994) mengemukakan bahwa

remitan akan lebih besar jika keluarga penerima remitan di daerah asal adalah keluarga

inti. Sebaliknya, remitan akan lebih kecil jika keluarga penerima remitan di daerah asal

bukan keluarga inti.

Tujuan pengiriman remitan akan menentukan dampak remitan terhadap

pembangunan daerah asal. Berbagai pemikiran dan hasil penelitian telah menemukan

Page 18: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

18

keberagaman tujuan remitan ini, namun demikian dapat dikelompokkan atas tujuan-

tujuan sebagai berikut:

a. Kebutuhan hidup sehari-hari keluarga

Sejumlah besar remitan yang dikirim oleh migran berfungsi untuk menyokong

kerabat/keluarga migran yang ada di daerah asal. Migran mempunyai kewajiban dan

tanggung jawab untuk mengirimkan uang/barang untuk menyokong biaya hidup sehari-

hari dari kerabat dan keluarganya, terutama untuk anak-anak dan orang tua. Hal ini

ditemukan Caldwell (1969) dalam Mantra (1994) pada penelitian di Ghana, Afrika. Di

daerah ini, 73 persen dari total remitan yang dikirimkan oleh migran dituju¬kan untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari dari keluarga di daerah asal.

b. Peringatan hari-hari besar yang berhubungan dengan siklus hidup manusia

Di samping mempunyai tanggung jawab terhadap kebutuhan hidup sehari-hari keluarga

dan kerabatnya, seorang migran juga berusaha untuk dapat pulang ke daerah asal pada

saat diadakan peringatan hari-hari besar yang berhubungan dengan siklus hidup

manusia, misalnya kelahiran, perkawinan, dan kematian. Menurut Curson (1983) pada

saat itulah, jumlah remitan yang dikirim atau ditinggalkan lebih besar daripada hari-hari

biasa.

c. Investasi

Bentuk investasi adalah perbaikan dan pembangunan peruma¬han, membeli tanah,

mendirikan industri kecil, dan lain-lain¬nya. Kegiatan ini tidak hanya bersifat ekonomi,

tetapi juga sebagai sarana sosial dan budaya dalam menjaga kelangsungan hidup di

daerah asal, tetapi juga bersifat psikologis, karena erat hubungannya dengan prestise

seseorang.

Effendi (1993) dalam penelitiannya di tiga desa Jatinom, Klaten menemukan bahwa

remitan telah digunakan untuk modal usaha pada usaha-usaha skala kecil seperti

pertanian jeruk, peternakan ayam, perdangan dan bengkel sepeda.

d. Jaminan hari tua

Migran mempunyai keinginan, jika mereka mempunyai cukup uang atau sudah pensiun,

mereka akan kembali ke daerah asal. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi investasi,

mereka akan membangun rumah atau membeli tanah di daerah asal sebagai simbol

kesejahteraan, prestisius, dan kesuksesan di daerah rantau. Lee (1992) mengemukakan

bahwa berbagai pengalaman baru yang diperoleh di tempat tujuan, apakah itu

keterampilan khusus atau kekayaan, sering dapat menyebabkan orang kembali ke

Page 19: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

19

tempat asal dengan posisi yang lebih menguntungkan Selain itu, tidak semua yang

bermigrasi bermaksud menetap selama- lamanya di tempat tujuan.

E.2. Adaptasi Migran (Transmigran) Dalam Migrasi Lokal (Transmigrasi)

Saat ini program transmigrasi sudah banyak dilupakan publik. Padahal, tidak

sedikit dari anggota keluarga, tetangga, atau kenalan kita yang menjadi transmigran.

Transmigrasi telah dimulai sejak zaman kolonial, lewat regulasi Politik Etis yang

dicetuskan Van Deventer, yakni emigrasi atau transmigrasi, edukasi, dan irigasi.

Kontingen transmigran pertama merantau ke Gedong Tataan Lampung pada tahun

1905.

Sejak itu, transmigran secara bergelombang merantau ke Sumatera, kemudian

Kalimantan, dan belakangan dikembangkan di Sulawesi, termasuk Maluku hingga

Papua. Di Sumatera konsentrasi terbesar transmigran bermukim di Sumatera Bagian

Selatan (Sumbagsel), khususnya di Lampung serta di Jambi. Kontingen transmigran

biasanya berangkat per kabupaten (dahulu per karesidenan) sejumlah antara 30 hingga

40 kepala keluarga (KK).

Mereka menempati Satuan Permukiman yang disebut SP, ada juga yang disebut

Unit-unit. Secara administratif, transmigran dibagi dalam SP I, II atau Unit I, II, dan

seterusnya. Namun, dalam perkembangannya transmigran asal Jawa lebih suka

mengidentifikasi SP dan Unit ini dengan nama karesidenan atau kabupaten asal, atau

paling tidak menggunakan nama-nama berbau Jawa.

Banyak dari SP atau Unit ini yang kemudian berkembang menjadi desa atau

kecamatan. Sehingga, kita mengenal nama-nama Kecamatan atau Desa Pringsewu,

Kalirejo, Sidodadi, atau Sidomulyo di daerah transmigran.

Transmigran di tanah perantauan telah berkembang dan memiliki keturunan

hingga beberapa generasi. Bila transmigran berangkat pada kontingen pertama tahun

1905 hingga 1920-an, saat ini mereka telah berkembang hingga keturunan kelima atau

keenam. Bila mereka menjadi transmigran setelah zaman republik antara tahun 1950

hingga 1960an- jumlah ini yang paling banyak, mereka telah memiliki tiga hingga

empat generasi. Periode terakhir, tahun 1970-an berkembang hingga keturunan kedua

atau ketiga.

Setelah tahun 1980-an, transmigran asal Jawa mulai dikurangi untuk selanjutnya

dihentikan karena pemerintah setempat mulai banyak mengenalkan program

transmigrasi lokal. Transmigran asal Jawa pada tahun-tahun setelah 1980-an banyak

terkonsentrasi di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua.

Page 20: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

20

Kebanyakan transmigran asal Jawa masih memegang teguh adat dan tradisi yang

dibawa dari Jawa, di samping berbaur dengan budaya dan penduduk lokal. Selamatan,

nyadran, ngelmu petungan, tata krama, prosesi pernikahan, hingga bahasa ibu masih

digunakan oleh transmigran.

Generasi pertama transmigran masih mengikuti adat istiadat ini seperti aslinya

yang dilakukan leluhurnya di Jawa. Namun, bagi generasi kedua dan ketiga tradisi ini

mulai diikuti secara moderat. Maksudnya, tata cara dilaksanakan, namun tidak lengkap

atau dimodifikasi menjadi lebih sederhana.

Meskipun demikian, warna nJawani-nya masih terasa. Namun, tidak sedikit pula

generasi kedua, ketiga, maupun keempat dan kelima yang lebih memilih menggunakan

tata cara nasional sama sekali. Tata cara nasional ini dapat disebut sebagai tata cara

yang sudah diakui menasional dan banyak dilakukan oleh banyak penduduk Indonesia

lain, meski banyak yang diserap dari kebudayaan Jawa.

Tradisi transmigran asal Jawa yang masih dipegang teguh di tanah perantauan

semakin berkurang jumlahnya dan semakin sederhana bentuknya. Hal ini terjadi karena

generasi pertama transmigran sudah banyak yang wafat.

Generasi selanjutnya semakin melonggarkan tradisi yang ada karena di samping

referensi "yang asli" sudah wafat maupun otoritas kebudayaan semisal keraton seperti

halnya di Jawa tidak ada, generasi transmigran ini banyak bersinggungan dengan

kebudayaan lokal maupun kebudayaan pendatang lain hingga kebudayaan nasional.

Akulturasi ini melahirkan kebudayaan yang khas di daerah-daerah transmigran.

Tidak hanya di daerah transmigran saja yang orisinalitas kebudayaannya mulai

meluntur. Di Jawa sendiri pun sebenarnya laju kematian bahasa ibu terus bertambah

setiap tahun hingga tidak banyak penduduk Jawa usia muda yang nJawani.

Namun, tren lunturnya orisinalitas kebudayaan yang menurun pada keturunan

transmigran khas dan berbeda konteksnya dengan melunturnya kebudayaan Jawa pada

generasi muda di Jawa. Keturunan transmigran di perantauan ini kemudian menjadi

individu kosmopolitan.

Menariknya, penduduk lokal masih menganggap keturunan ketiga atau keempat,

bahkan keturunan yang baru lahir dari transmigran asal Jawa sebagai "orang Jawa".

Padahal, banyak keturunan transmigran ini yang sudah tidak mengikuti adat istiadat

Jawa secara utuh, berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, dan tidak mengerti sama

sekali bahasa Jawa, termasuk bahasa ngoko, hingga tidak memiliki keluarga lagi di

Jawa.

Page 21: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

21

Hubungan dengan leluhur di Jawa yang kepaten obor ini bisa disebabkan karena

mereka di tanah perantauan kurang berhasil-dan jumlah ini sangat banyak- sehingga

tidak memiliki sumber daya lebih untuk menjalin silaturahmi semacam mudik. Dapat

juga disebabkan karena keluarga di Jawa sudah tidak terlacak, sedangkan generasi

pertama sudah wafat.

Keturunan transmigran yang masih dianggap sebagai "orang Jawa" ini berada

dalam situasi kepribadian terbelah (split personality). Mereka oleh penduduk lokal

dianggap sebagai "orang Jawa", namun di Jawa, bahkan oleh keluarga leluhur mereka

dianggap sebagai "orang Lampung" atau "orang Sumatera". Mereka yang dianggap

sebagai "orang Jawa" ini kurang nJawani sekaligus tidak mengerti banyak kebudayaan

lokal. Sehingga, tepat bila keturunan transmigran ini disebut sebagai individu

kosmopolitan: bercita rasa nasional, tidak memiliki akar kebudayaan (bolehlah disebut

apatride kebudayaan; meminjam istilah penduduk yang tidak memiliki

kewarganegaraan karena tidak memenuhi asas kelahiran (ius soli) dan asas keturunan

(ius sanguinis)) sehingga menjadikan mereka "anak-anak kebudayaan Indonesia.

F. PENUTUP

Determinan migran yang paling utama adalah faktor ekonomi. Ini terlihat dari

pola dan arus migrasi yang terjadi di Indonesia sebagaimana dilaporkan oleh hasil-hasil

penelitian tentang kependudukan. Kesenjangan yang sangat jauh antara tingkat ekonomi

di Jawa dengan luar Jawa mengakibatkan arus migrasi mengalir dari luar Jawa menuju

ke Pulau Jawa. Sehingga tepatlah kalau dikatakan bahwa migrasi di Indonesia masih

bersifat Jawa "centris", dengan pengertian tujuan terbesar migrasi di Indonesia masih

dominan menuju ke kota-kota atau daerah-daerah di pulau Jawa. Adanya urbanisasi

yang terjadi di DKI Jakarta berdampak terhadap meluasnya DKI Jakarta hingga

meliputi wilayah Botabek (Bogor, Tangerang dan Bekasi), yang pada akhirnya

mempunyai pengaruh besar terhadap meningkatnya jumlah migran yang masuk ke

propinsi Jawa Barat, sebagai daerah yang terdekat dengan wilayah DKI Jakarta.

Propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah merupakan sumber/asal migran terbesar di

Indonesia pada tahun 1980, 1990 dan 1995.Tidak ada satu propinsi pun yang ada di

Indonesia yang tidak mengalami perpindahan penduduk, baik perpindahan masuk,

maupun perpindahan keluar.

Page 22: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

22

Fenomena migran melahirkan masalah-masalah sosial yang menarik untuk dikaji

dalam pengebangan keilmuan ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi. Fenomena seperti

remiten dan adaptasi migran di tempat tujuan adalah kajian yang sudah “keluar” dari

outline demografi sehingga membutuhkan masuknya analisis dari disiplin-disiplin lain

termasuk sosiologi. Di sinilah menariknya kajian demografi pada waktu-waktu terakhir

ini.

Page 23: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

23

DAFTAR PUSTAKA

Biro Pusat Statistik, Estimasi Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi, Hasil Survei PendudukAntara Sensus (SUPAS) 1995, Jakarta, 1995.

Brodjonegoro, P.S. Bambang, “Pemulihan Ekonomi, Otonomi Daerah dan KesempatanKerja di Indonesia”, Warta Demografi, Tahun Ke 30, No. 3, 2000.

Darmawan, Beny, “Perkiraan Pola Migrasi Antarprovinsi Di Indonesia Berdasarkan“Indeks Ketertarikan Ekonomi”, Makalah Disampaikan Pada Seminar Poverty,Population & Health Di Kampus Ui Depok, 13 Desember 2007.

Emalisa, Pola dan Arus Migrasi Di Indonesia, diunduh darihttp://library.usu.ac.id/download/fp/sosek-emalisa.pdf. pada tanggal 21 Januari2008.

Faturochman, “Why People Move: A Psychological Analysis of Urban Migration”,Populasi 1 (3), 1992.

Fawcett, James T., “Migration Psychology: New Behavioral Model”, Population andEnvironment 8 (1), 1986.

Firman, Tommy. “Migrasi Antar Provinsi dan Pembangunan Wilayah di Indonesia”.Prisma No.7 Th. XXIII, 1994.

Goss, Jon D. and Bruce Lindquist, “Conceptualizing International Migration: AStructuration Perspective”, International Migration Review 29(2), 1995.

Goetz. J. Stephan, Theory of Population Migration, Migration and Local LaborMarkets, Penn State University, 2003.

Haslam, S. Alexander, Psychology in Organization: the Social Identity Approach.London: Sage, 2001.

Isserman, A.M., D.A. Plane, P.A. Rogersen and and P.M. Beaumont, “ForecastingInterstate Migration with Limited Data: A Demographic-Economic Approach”,Journal of the American Statistical Association, Vol. 80, No. 390, 1985.

Janis, Irving L. and Leon Mann, Decision Making: a Psychological Analysis of Conflict,Choice and Commitment,. New York: Free Press, 1977.

Kahar, Suleman Hi. Abdul, Migrasi Keluar dari Sulawesi Selatan Analisis Data SUPAS1995, Jakarta: Program Pascasarjana Program Studi Kependudukan danketenagakerjaan, Universitas Indonesia, 2001.

Keban, Y.T., “Niat Bermigrasi di Tiga Kota, Determinan dan Intervensi”. MajalahPrisma. No.7. LP3ES Jakarta, 1994.

Lee, Everett S., “A Theory of Migration”, Demography. 3, 1966.

Munir, R., “Migrasi” dalam Lembaga Demografi FEUI, Dasar-dasar Demografi: Edisi2000, Jakarta: Lembaga Penerbit UI, 2000.

Nasution, M. Arif, “Mobilitas Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar Negeri dan Dampaknyaterhadap Diri Migran: Suatu Tinjauan Awal terhadap Kasus Buruh Bangunan diKuala Lumpur”, Populasi 9 (2), 1998.

_____, Orang Indonesia di Malaysia: Menjual Kemiskinan Membangun Identitas,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Page 24: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

24

Pernia, E. M., “The Impact of Migration on Rural Areas in the Philippines”, The PEJ.No. 33. Vol. XVI. Nos. 1 and 2, 1977.

Pernia, E. M., “Individual and Household Migration Decision”, The PEJ. No. 36. Vol.XVII. Nos. 1 and 2, 1978.

Ramadhan KH, Hamid Jabbar dan Rofiq Ahmad, Transmigrasi Harapan danTantangan, Jakarta: Departemen Transmigrasi RI, 1993.

Ritchey, P. Neal, “Explanation of Migration”, Annual Review of Sociology 2, 1976.

Robinson, V. and M. Carey, “Peopling Skilled International Migration: Indian Doctorsin the UK”, International Migration 38(1), 2000.

Rogers, Andrei. “Migration Patterns and Population Redistribution”. In Andrei Rogers(ed), Migration, Urbanization and Spatial Population Dynamics, Boulder:Westview Press, 1984.

Roer-Strier, Dorit, “In The Mind of The Beholder: Evaluation of Coping Style ofImmigrant Parents”, International Migration 35 (2),1997.

Rusli, S., Pengantar Ilmu Kependudukan: Edisi Revisi, Jakarta: LP3ES, 1996.

Setiadi, “Konteks Sosiokultural Migrasi Internasional: Kasus di Lewotolok, FloresTimur”, Populasi 10 (2), 1999.

_____, “Masalah Reintegrasi Sosial dan Ekonomi Migran Kembali”, Populasi 12 (1),2001.

Sjaastad, L. A., “The Costs and Returns of Human Migration”. JPE. LXX, 1962.

Standing, Guy, Konsep-konsep Mobilitas di Negara Sedang Berkembang, Yogyakarta:Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, 1983.

Syaukat, Ahmad, Faktor-faktor yang menentukan Pilihan Daerah Tujuan MigrasiPenduduk Jawa Barat Berdasarkan Data SUPAS 1985, Jakarta: ProgramPascasarjana Program Studi Kependudukan dan ketenagakerjaan, UniversitasIndonesia, 1997.

Tamtiari, Wini, “Dampak Sosial Migrasi Tenaga Kerja ke Malaysia”, Populasi 10 (2),1999.

Tisdell, Clem and Gopal Regmi. “Push-and-Pull Migration and Satisficing VersusOptimizing Migratory Behavior: A Review And Nepalese Evidence”, Asian andPacific Migration Journal 9 (2), 2000.

Tjiptoherijanto, Prijono, “Mobilitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi”, WartaDemografi, Tahun Ke 30, No. 3, 2000.

Todaro, Michael P., “A Model of Labour Migration and Urban Unemployment”.American Economic Review, 1969.

Yosephine, Susane, Faktor-faktor Penentu Migrasi Masuk dan Migrasi Keluar AntarPropinsi di Indonesia, Jakarta: Program Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia,1989.

Young, E., “Migrasi” dalam Lucas D., dkk., Pengantar Kependudukan, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 1884.

Page 25: Migrasi Di Indonesia

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

25

PERTUMBUHAN, KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI PENDUDUKDAN KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN DI INDONESIA

MakalahMata Kuliah Kependudukan

Dosen : Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MA

Disusun Oleh:

RITA RAHMAWATI / I363080031

SUBAIR / I363080041

PROGRAM DOKTOR MAYOR SOSIOLOGI PEDESAANDEPARTEMEN KPM FEMA IPB

2008