39
V GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT INDONESIA
5.1. Sejarah Rumput Laut Indonesia
Rumput laut di Indonesia mulai diidentifikasi sejak tahun 1899 oleh Max
Weber, identifikasi ini dikenal dengan nama Siboga expedition, kemudian pada
tahun 1928 Max Weber dan Van Bose melakukan klasifikasi jenis rumput laut.
Pada tahun 1940 mulai dilakukan pemasaran rumput laut jenis Eucheuma cottonii
dan Eucheuma spinosum dari Makasar dan Surabaya. Proses identifikasi rumput
laut komersial juga dilakukan oleh Zaneveld dari FAO pada tahun 1968, jenis
rumput laut yang diidentifikasi adalah Euchema, Gracilaria, Gelidium, Hypnea,
dan Sargassum. Pada tahun 1967 pertama kali rumput laut jenis Eucheuma
Spinosum dibudidayakan di Indonesia yaitu di Kepulauan Seribu tepatnya di
Pulau Pari oleh Prof. Soerjodinito dan Hariadi Adnan, kemudian pada tahun 1947
rumput laut jenis Eucheuma cottonii yang berasal dari Filipina dapat
dibudidayakan di Indonesia, setahun kemudian LIPI memulai proyek budidaya
Spinosum di Pulau Samaringga dan Pulau Rio di Sulawesi namun proyek ini tidak
berkembang sehingga proyek dihentikan.
Pada tahun 1985 dilakukan uji coba budidaya rumput laut jenis cottonii di
Bali tepatnya di daerah Nusa Lombongan, Nusa Penida dan Nusa Ceningan.
Kemudian pada tahun 1986 Hans Porse memperkenalkan rumput laut Indonesia
jenis Euchema cottonii dan Eucheuma spinosum pada International Seaweed
Symposium di Brazil. Pada tahun 1994 APBIRI menyelenggarakan Seaweed
Symposium di Bali (Hans, Porse, 2008).
Pada tahun 2007, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan Komisi
Rumput Laut Indonesia, Aspperli dan Masyarakat Rumput Laut Indonesia / ISS
menyelenggarakan Seaweed International Bussines Forum and Exhibition /
SEABFEX di Bali, dan pada tahun 2008 SEABFEX II diselenggarakan di
Makasar bersamaan dengan Indonesia Seaweed Forum. SEABFEX II
diselenggarakan pada Juli 2010 di Surabaya, dihadiri 19 negara, dan sampai
dengan saat ini SEABFEX sudah menjadi agenda pertemuan rumput laut dunia
setiap dua tahun.
40
5.2. Jenis Komoditi Rumput Laut
Rumput laut atau algae termasuk ke dalam tumbuhan tingkat rendah,
dimana koloni tumbuh menempel pada bebatuan atau menancap pada substrat
pasir laut dengan beraneka ragam dan warna. Terdapat berbagai macam bentuk
diantaranya berbentuk bola kecil, lembaran, rumput dengan warna merah
(Rhodophyceae), coklat (Phaeophyceae), hijau (Chlorophyceae) dan warna
lainnya. Tumbuh kembangnya rumput laut tergantung pada kesesuaian faktor
fisika dan kimia perairan seperti gerakan air, suhu, kadar garam, nutrisi, atau zat
hara dan sinar matahari. Ketiga kelompok ini tumbuh di laut diperkirakan sekitar
9000 jenis dimana masing-masing 6000 jenis Rhodophyceae, 2000 jenis
Phaeophyceae dan 1000 jenis Chlorophyceae.
Pengelompokan rumput laut juga dibedakan berdasarkan kandungan
koloidnya, dimana kelompok penghasil agar atau dikenal agarofit antara lain jenis
Gracilaria dan Gelidium, sedangkan kelompok penghasil karaginan atau
karaginofit adalah Euchema dan Kappaphycus. Kelompok lainnya yaitu alginofit
sebagai penghasil alginat antara lain jenis Sargassum dan Turbinaria.
AGAROFIT Agarofit adalah jenis rumput laut penghasil agar. Jenis-jenis rumput laut
tersebut adalah Gracilaria spp, Gelidium spp, dan Gelidiela spp. Agar-agar
merupakan senyawa kompleks polisakarida yang dapat membentuk jeli. Kualitas
agar-agar dapat ditingkatkan dengan suatu proses pemurnian yaitu membuang
kandungan sulfatnya. Produk ini dikenal dengan nama agarose. Kualitas agar-agar
yang berasal dari Gelidium / Gelidiela lebih tinggi dibanding dari Gracilaria.
Dalam skala industri agar-agar dari Gelidium mutunya dapat ditingkatkan menjadi
agarose, tetapi Gracilaria masih dalam skala laboratorium.
Jenis yang dikembangkan secara luas baru Gracilaria spp. Di Indonesia,
Gracilaria verrucosa umumnya dibudidayakan di tambak. Jenis ini mempunyai
Thallus berwarna merah ungu dan kadang-kadang berwarna kelabu kehijauan
dengan percabangan alternatif atau dikotomi, perulangan lateral berbentuk
silindris, meruncing di ujung dan mencapai tinggi 1-3 cm serta berdiameter antara
0,5-2,0 mm.
41
Wilayah pengembangan Gracillaria verrucosa dan Gracillaria gigas
terdapat di perairan Sulawesi Selatan (Janeponto, Takalar, Sinjai, Wajo, Palopo,
Bone, Maros); Lombok Barat, Pantai Utara P. Jawa (Serang, Tangerang, Bekasi,
Karawang, Brebes, Pemalang, Tuban, dan Lamongan). Sedangkan untuk jenis
Gelidium spp belum banyak dibudidayakan, umumnya masih dihasilkan dari
alam. Rumput laut jenis ini banyak ditemukan hampir di seluruh perairan
Indonesia.
ALGINOFAT Na-Alginofat (atau Natrium Alginat / Alginat / Algin) merupakan zat yang
terdapat pada rumput laut coklat (Phaeophyceae). Rumput laut coklat penghasil
alginate (alginofit) biasanya di perairan subtropis terutama untuk jenis
Macrocytis, Laminaria, Aschophyllum, Nerocytis, Ecklonia, Fucus, dan
Sargassum. Sedangkan rumptu laut coklat yang tumbuh di perairan tropis seperti
di Indonesia terutama jenis-jenis Sargassum, Turbinaria, Padina, Dyctyota dan
yang paling banyak ditemukan adalah jenis Sargassum dan Turbinaria. Asam
alginat adalah suatu getah selaput (membrane mucilage) yang disebut juga gummi
alami, sedangkan alginat merupakan bentuk garam dari polisakarida yang terdapat
pada rumput laut disebut phycocolloid. Polisakarida terpenting pada rumput laut
coklat adalah asam alginate dan turunnya seperti fukoidan, funoran dan laminaran
yang merupakan komponen penyusun dinding sel seperti halnya selulosa dan
pektin.
Di perairan Indonesia terdapat sekitar 28 spesies rumput laut coklat yang
berasal dari enam genus diantaranya yaitu Dyctyota, Padine, Hormophysa,
Sargassum, Turbinaria dan Hydroclathrus. Spesies rumput laut yang telah
diidentifikasi yaitu Sargassum sp. sebanyak 14 spesies, Turbinaria sp. sebanyak 4
spesies, Hormophysa sp. baru teridentifikasi 1 spesies, Padina sp. 4 spesies,
Dyctyota sp. 5 spesies dan Hydroclathrus sp. 1 spesies. Jenis-jenis rumput laut
tersebut pada beberapa daerah di Indonesia.
Na-Alginat banyak yang digunakan banyak industri seperti industri
makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, kertas, setergen, cat, tekstil, vermis,
fotografi, kulit buatan dan lain-lain. Dalam industri zat ini digunakan sebagai
pembentuk gel (gelling agent), pengemulsi dan penstabil emulsi (emulsifying dan
42
stabilizing agent), pensuspensi (suspending agent), pengikat (binding agent),
penghalus (finishing agent), pengeras kain (stiffening agent), pembentuk struktur
(sizing agent), penjernih (clarifying agent) dan sebagainya. Untuk kebutuhan
industri di Indonesia yang saat ini terus berkembang yakni kebutuhan Na-Alginat
masih disuplai melalui impor dari beberapa negara seperti Perancis, Inggris, RRC,
Jepang.
KARAGINOFIT Karaginofit adalah rumput laut yang mengandung bahan utama
polisakarida karagin. Rumput laut yang mengandung karaginan adalah dari marga
Eucheuma yang merupakan jenis alga merah (Rhodophyceae). Karaginan terdiri
dari tiga macam, yaitu iota karaginan dikenal dengan tipe spinosum, kappa
karaginan dikenal dengan tipe cottonii dan lambda karaginan. Ketiganya
dibedakan dengan sifat jeli yang terbentuk. Iota karaginan berupa jeli lembut dan
fleksibel atau lunak. Kappa karaginan jeli bersifat kaku dan keras. Sedangkan
lambda karaginan tidak dapat membentuk jeli, tetapi berbentuk cair yang viscous.
Jenis yang potensial diantaranya Eucheuma cottonii dan Eucheuma
spinosum. Kedua jenis ini secara luas diperdagangkan, baik keperluan bahan baku
industri dalam negeri maupun ekspor. Sedangkan E. edule dan Hypnea sp hanya
sedikit sekali diperdagangkan dan tidak dikembangkan dalam usaha budidaya.
Sebaliknya Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum dibudidayakan oleh
masyarakat pantai. Dari kedua jenis tersebut E. cottonii yang paling banyak
dibudidayakan karena permintaan pasar yang sangat besar.
Rumput laut Eucheuma cottonii di Indonesia umumnya tumbuh di perairan
yang mempunyai rataan terumbu karang. Ia melekat pada substrat karang mati
atau batu gamping di daerah interdal dan subditial. Tumbuh tersebar hampir di
seluruh perairan Indonesia. Wilayah potensial untuk pengembangan budidaya
rumput laut Eucheuma cottonii terletak di perairan pantai Nanggroe Aceh
Darussalam (Sabang); Sumatera Barat (Pesisir Selatan, Mentawai); Riau
(Kepulauan Riau, Batam); Sumatera Selatan; Bangka Belitung, Banten ( Ujung
Kulon); Kepulauan Seribu; Jawa Tengah (Karimunjawa, Jepara); Jawa Timur
(Situbondo, Madura, dan Banyuwangi); Bali ( Nusa Penida, Nusa Lembongan);
NTB (Lombok Timur, Lombok Barat, Sumbawa, Bima, Dompu); NTT
43
(Larantuka, Kupang, Maumerre, P.Rote); Sulawesi Utara; Gorontalo; Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara; Kalimantan Selatan (P. Laut);
Kalimantan Timur; Maluku ( P. Seram, Halmahera, Kep. Aru dan Kei); Papua.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan rumput laut karaginofit dengan
jenis Eucheuma cottonii sebagai salah satu penelitian yang telah dilakukan.
Rumput laut jenis unggulan ini memiliki kelebihan untuk ekspor, khususnya ke
negara China.
5.3. Nilai dan Potensi Rumput Laut Eucheuma cottonii
Dalam perdagangan nasional maupun internasional, jenis rumput laut ini
dikenal dengan istilah “Cottonii”. Jenis ini memiliki bentuk thallus silindris
dengan permukaan yang licin, cartilaginaeus warna hijau, hijau kekuningan, abu-
abu atau merah. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun
yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari.
Cabang-cabang tersebut ada yang memanjang atau melengkung seperti tanduk.
Rumput laut jenis ini hidup di alam, dimana pertumbuhannya melekat
pada substrat dengan alat perekat berbentuk cakram. Jenis ini berasal dari perairan
Sabah (Malaysia) dan Kepulauan Sulu (Filipina). Kemudian dikembangkan di
berbagai negara Indonesia, Thailand, sebagai tanaman budidaya.
Nilai dan potensi pada ekonomi Indonesia, seluruh produksinya berasal
dari budidaya yang dikembangkan di daerah Lampung Selatan, Jawa, Bali, NTB,
NTT, Sulawesi dan Maluku. Komodits ini merupakan komoditas utama ekspor
dan sebagai bahan baku industri dalam negeri penghasil karaginan yang
dibudidayakan oleh masyarakat pantai. Rumput laut jenis ini dimanfaatkan secara
komersial di pasar internasional sehingga banyak dibudidayakan di perairan
Indonesia dikarenakan permintaan pasar yang sangat banyak.
5.4. Rantai Pemasaran Rumput Laut
Rantai pemasaran rumput laut berawal dari pembeli besar yang biasanya
eksportir atau pemroses rumput laut (pabrikan). Pabrikan akan mengadakan
negosiasi transaksi kepada pedagang besar mengenai harga, spesifikasi produk
dan syarat-syarat pembayaran. Dalam proses transaksi ini, bisa terjadi pedagang
besar diberi modal atau uang muka untuk pengadaan barang. Selanjutnya,
44
pedagang besar akan melakukan kontak kepada pedagang pengumpul. Pedagang
kecil akan melakukan pencarian atau pengumpulan rumput laut kering, proses
awal (sortir dan pemilihan) dan pembayaran kepada petani pembudidaya.
Biasanya pedagang pengumpul sudah memiliki “anak buah” yaitu
pembudidaya yang diberi pinjaman modal dan akan menjual hasil panennya
kepada pedagang pengumpul tersebut. Untuk pedagang besar akan
mengumpulkan rumput laut kering dari pedagang pengumpul dan juga
pembudidaya binaannya. Secara skematis jenjang rantai pemasaran dan harga
rumput laut kering di masing-masing level dapat disajikan dalam diagram berikut.
Gambar 3. Rantai Pemasaran Rumput Laut Kering
5.5. Budidaya dan Produksi Rumput Laut Eucheuma spp.
Rumput laut jenis Eucheuma cottonii pada pemanenan dan penanganan
pascapanen merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal umur dan
cuaca. Hal tersebut dikarenakan umur berkaitan erat dengan kualitas rumput laut.
Agar kandungan karaginan tersedia lebih banyak, maka panen untuk bibit
dilakukan pada umur 25-35 hari. Sedangkan panen rumput laut untuk produksi
dilakukan saat berumur 45 hari. Adapun cara yang dilakukan diantaranya:
Pembudidaya/ petani rumput laut
Pedagang pengumpul di kota
KUDPedagang pengumpul di pulau/lokal Pedagang antar pulau
Pedagang besar di kota
Pabrikan Eksportir
45
a. Proses panen
Panen dapat dilakukan dengan cara memotong sebagian tanaman. Panen
dengan cara ini mempunyai keuntungan yaitu penghematan tali pengikat bibit.
Namun cara ini memerlukan waktu kerja yang lebih lama. Sisa-sisa tanaman
thallus yang tua akan menyebabkan pertumbuhannya lambat sehingga
produktivitasnya cenderung rendah. Pemotongan tanaman lebih baik dilajukan
dengan alat pemotong yang tajam agar pada bekas potongan sisa tanaman
tersebut dapat tumbuh percabangan baru dengan baik.
Cara panen dengan mengangkat seluruh tanaman (sekaligus) akan
memerlukan waktu kerja lebih singkat. Pelepasan tanaman dari tali ris dilakukan
di darat dengan cara memotong tali pengikat. Selain itu, panen dengan cara ini
mempunyai keuntungan tersendiri, yaitu dapat melakukan penanaman atau
pengikatan kembali bibit-bibit rumput laut dengan memilih bagian-bagian dari
tanaman yang muda dengan laju pertumbuhan yang tinggi, sehingga kandungan
karaginan yang dihasilkan akan relatif lebih tinggi.
b. Penanganan Pascapanen
Mutu rumput laut kering sangat ditentukan dari cara penanganan pasca
panen. Jika panen dilakukan pada cuaca yang cerah, maka kualitas rumput laut
akan baik. Sebaliknya, jika panen dilakukan pada saat mendung akan
terfermantisi sehingga mutunya menurun.
Rumput laut hasil panen yang langsung dijemur di bawah terik sinar matahari
di atas para-para agar hasil panen tersebut tidak tercampur kotoran. Dalam
keadaan cuaca baik biasanya pengeringan akan berlangsung selama 2-3 hari
dengan kadar air 30-35 persen. Di samping itu, dilakukan juga kegiatan sortasi
dan pembersihan rumput laut dari benda-benda asing yang menempel. Pasir dan
garam akan dipisahkan melalui pengayakan secara manual atau menggunakan
mesin perontok gabah. Warna rumput laut yang sudah kering adalah ungu
keputihan dilapisi kristal garam. Setelah kering disimpan dalam gudang yang
tidak lembab. Hasil pengeringan dengan cara tersebut disebut “kering asalan”.
Pengeringan rumput laut secara fermentasi dilakukan dengan
membersihkan rumput laut terlebih dahulu, kemudian dibungkus dengan plastik
dan direndam selama 2-3 hari. Kemudian dicuci dengan air laut sampai kulitnya
46
terlepas dan warnanya menjadi putih. Selanjutnya rumput laut dijemur di atas
para selama 3-4 hari sampai berwarna putih krem dilapisi kristal garam dengan
kadar air 20-25 persen. Hasil ini disebut “kering putih” dan disimpan dalam
gudang yang tidak lembab.
Penjemuran dilakukan dengan cara meletakkan rumput laut hasil panen di
atas para atau waring selama 2-3 hari sampai kadar air kering sesuai dengan
standar. Penyusutan rumput laut dari basah ke kering 8-10:1. Setelah kering
disimpan dalam karung plastik dan diletakkan di tempat yang kering dengan
kelembaban yang standar. Berikut adalah skema kualitas produk rumput laut
yang memenuhi persyaratan standar nasional rumput laut kering Indonesia.
Setelah 45 hari,
Sterilisasi benda asing,
Alkali KOH 0,5-3,0% (2-3jam),
Kadar air 32-35% (3-4 hari),
Metode Pengepresan
Gambar 4. Standar Nasional Proses Produksi Eucheuma cottonii
5.6. Program Revitalisasi Perikanan
Revitalisasi Perikanan Budidaya (RPB) merupakan tindak lanjut dari
Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2004-2009 yang dicanangkan melalui Strategi Revitalisasi
Pertanian, Perikanan dan kehutanan (RPPK) oleh Presiden RI pada tanggal 11
Juni 2005 di Jatiluhur, Jawa Barat. Adapun misi pembangunan kelautan dan
perikanan diantaranya:
1. Peningkatan kesejahteraan masyarakat, pembudidaya ikan dan masyarakat
pesisir lainnya.
2. Peningkatan peran sektor perikanan dan kelautan sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi.
Pemanenan
Pencucian
Pengeringan
Pengemasan dan Penyimpanan
Sortasi
47
3. Pemeliharaan dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan perairan
tawar, pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan.
4. Peningkatan konsumsi ikan untuk menunjang peningkatan kecerdasan dan
kesejahteraan bangsa.
5. Peningkatan peran laut sebagai pemersatu bangsa dan peningkatan budaya
bahari bangsa Indonesia.
Strategi yang ditempuh dalam RPB ini merupakan pengembangan
kawasan secara bertahap, penerapan budidaya yang berkelanjutan, pembinaan
secara intensif dan pendekatan bisnis agribisnis yang ditunjang dengan pengadaan
kebijakan opersional. Upaya revitalisasi yang dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya mencakup strategi, kebijakan operasional dan
rencana-rencana tindak komoditas unggulan perikanan, salah satunya yaitu
rumput laut Eucheuma cottonii.
Langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah dalam upaya
revitalisasi rumput laut (Andayani 2011) adalah:
1. Bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam peluasan dalam perluasan
daerah pembudidaya rumput laut.
2. Bekerja sama dengan BPD Bali, PT.Kapal Api,serta Bank Indonesia dalam
upaya meningkatkan modal para petani rumput laut.
3. Berusaha menarik investor dalam pengembangan industry pengolahan rumput
laut di Indonesia.
4. Mempromosikan rumput laut Indonesia melalyu konferensi rumput laut
tingkat dunia, yaitu International Seaweeds Exhibitation.
5.7. Kegunaan Rumput Laut
Penggunaan rumput laut sangat beragam, baik yang diolah secara
sederhana melalui pengolahan yang lebih kompleks untuk dijadikan barang
setengah jadi, kemudian dapat diolah lebih lanjut oleh industri hilir menjadi
barang jadi yang dapat digunakan (dikonsumsi) langsung. Saat ini rumput laut
sebagai sumber karaginan dan agar telah dimanfaatkan sebagai ingredient untuk
sekitar lima ratus jenis produk yang bernilai komersial oleh industri di seluruh
48
dunia. Produk-produk tersebut antara lain berupa makanan, kosmetik, farmasi, dan
industri lain yang terkait dengan fasilitas yang dipunyai oleh karaginan.
Tabel 8. Pemanfaatan rumput laut Pemanfaatan Agar Karaginan Alginat
Makanan dan Susu - Ice cream, yoghurt, wafer cream √ √ √ - Coklat susu, pudding instant √ √ Minuman - Minuman ringan, jus buah, bir √ √ Roti √ √ √ Permen √ √ Daging, ikan, dalam kaleng √ √ √ Saus, salad dressing - Salad dressing, kecap √ √ Makanan diet - Jelly, jam, sirop, pudding √ √ Makanan lain - Makanan bayi √ √ Non pangan - Pet foods √ √ √ - Makanan ikan √ - Cat, keramik √ √ - Tekstil, kertas √ √ Farmasi dan kosmetik - Pasta gigi, shampoo, obat tablet √ √ - Bahan cetak gigi, obat salep √
Sumber : Jana T. Anggadiredja, 2006
5.8. Standar Rumput Laut Indonesia
Dalam rangka memberikan jaminan mutu dan keamanan pangan
komoditas rumput laut kering yang dipasarkan di dalam dan luar negeri, maka
Departemen Kelautan dan Perikanan bersama Badan Standarisasi Nasional
menyusun Standar Nasional Indonesia yang dapat memenuhi jaminan tersebut.
Standar ini menetapkan spesifikasi yang mencakup teknik sanitasi dan
hygiene, syarat mutu dan keamanan pangan komoditas rumput laut kering.
Standar ini berlaku untuk rumput laut kering dan tidak berlaku untuk produk yang
mengalami pengolahan lebih lanjut. Berikut adalah tabel mengenai standar
nasional rumput laut Indonesia.
49
Tabel 9. Standar Nasional Rumput Laut Indonesia Jenis uji Satuan Euchema sp. Gracilaria
sp. Gelidium sp.
a. Sensori Angka (1-9) 7 7 7
b. Kimia
- Kadar air
- Clean anhydrous weed*
%Fraksi massa
%Fraksi massa
30-35
Minimal 30
15-18
Minimal 30
15-20
Minimal 30
c. Fisik
- Benda asing
%Fraksi massa
Maksimal 5
Maksimal 5
Maksimal 5 Catatan* Bila diperlukan Sumber : Badan Standardisasi Nasional, 2009
5.9. Para pelaku / Lembaga dalam Pemasaran Internasional Produk Perikanan
Dalam melakukan proses transaksi atau pertukaran barang dari negara asal (eksportir) ke negara tujuan (importir), terdapat berbagai pelaku yang terlibat di dalamnya, diantaranya : 1. Eksportir
Pelaku utama dalam perdagangan internasional produk perikanan adalah
perusahaan pengekspor hasil perikanan. Para eksportir diklasifikasikan menjadi
tiga bagian yang disesuaikan dengan bentuk barang yang diperjualbelikan, yaitu
eksportir produsen / pengolah, eksportir agen dan eksportir pedagang.
2. Produsen / Supplier
Dalam rangka menciptakan sustainable resources atau sesuai Code of Conduct
Responsibility Fishery (CCRF), Departemen Kelautan dan Perikanan
menganjurkan eksportir bertindak sebagai produsen.
3. Perbankan
Ketika suatu negara membeli hasil perikanan berbentuk raw material dari supplier
bahan baku dan melakukan operasional proses produksi / pengolahan maka
biasanya perusahaan atau eksportir produsen / pengolah memerlukan dana segar.
Oleh sebab itu, perusahaan membutukan dana untuk operasional produksi /
pengolahan dari badan usaha lain yaitu perbankan.
4. Balai Penguji dan Sertifikasi Mutu Produk
Penjaminan terhadap mutu dan keamanan pangan dari produk perikanan yang
akan diekspor, terutama untuk menjamin keamanan produk bila dikonsumsi
dilakukan oleh lembaga sertifikasi. Pengujian ini dilakukan dengan diadakannya
50
pemeriksaan terhadap masing-masing mutu produk hasil perikanan yang akan
dijual. Hasil pemeriksaan mutu ini akan berpengaruh terhadap bonafiditas
perusahaan / eksportir dan importer / buyer sebagai penerima atau penjual produk
perikanan di luar negeri dan menghindari tuntutan ganti rugi (claims) dari pembeli
baik buyer terhadap eksportir atau konsumen terhadap importir. Eksportir perlu
mencermati dan mencantumkan Health Certificate (HC) dalam ekspor produk
perikanan.
5. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi
Dalam kegiatan ekspor produk perikanan peran Dinas Perikanan dan Kelautan
Provinsi adalah sebagai lembaga teknis untuk melakukan pembinaan teknis secara
periodik terhadap eksportir produsen / pengolah dalam hal kelayakan dasar unit
pengolahan produk perikanan.
6. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan
Departemen Kelautan dan Perikanan mengeluarkan instrument kebijakan sistem
Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan (PMMT) dalam rangka mencapai
kesepakatan dengan peraturan negara tujuan ekspor. Ditjen P2HP mendelegasikan
tugas dan fungsinya terhadap Direktorat Standarisasi dan Akreditasi.
7. Usaha Jasa Transportasi (Foreign Forwarder / Forwarding Agent)
8. Bea dan Cukai
Top Related