Pendahuluan
Tuberkulosis ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis (MTB). Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, merupakan
organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk organisme MTB adalah saluran pernafasan,
saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB menyebar lewat udara,
melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil tuberkel dari seseorang yang
terinfeksi1.
TB paru sebenarnya sudah sangat lama dikenal oleh manusia. Dibuktikan dengan
penemuan kerusakan tulang vertebra thorax yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg
dari kuburan jaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding
piramid di Mesir kuno pada tahun 2000 – 4000 SM. Robert Koch menemukan MTB pada tahun
1882, semacam bakteri berbentuk batang. Diagnosis secara mikrobiologis dimulai sejak tahun
1882, terlebih lagi setelah Rontgen menemukan sinar X sebagai alat bantu menegakkan diagnosis
yang lebih tepat pada tahun 1896 2.
Pada permulaan abad 19, insidens penyakit TB di Eropa dan Amerika Serikat sangat besar.
Angka kematian cukup tinggi yakni 400 per 100.000 penduduk, dan angka kematian berkisar
15-30% dari semua kematian. Usaha-usaha untuk mengurangi angka kematian dilakukan
seperti perbaikkan lingkungan hidup, nutrisi, dll, tapi hasilnya masih kurang memuaskan2.
Sejarah eradikasi TB dengan kemoterapi dimulai pada tahun 1944 ketika seorang
perempuan dengan penyakit TB paru lanjut menerima injeksi pertama Streptomisin. Segera
disusul dengan penemuan asam para amino salisilik ( PAS ). Dilanjutkan dengan penemuan
Isoniazid pada tahun 1952. Kemudian diikuti penemuan berturut-turut pirazinamid pada
tahun 1954 dan etambutol 1952, rifampisin 1963 yang menjadi obat utama TB sampai saat
ini2.
Angka insidens kasus dan mortalitas TB menurun drastis sejak terdapat kemoterapi.
Namun, dari tahun 1985 hingga 1992, kasus TB meningkat hingga 20 %. Lebih dari 80 % kasus
baru TB yang dilaporkan adalah berusia lebih dari 25 tahun1.
Kira – kira 5 hingga 100 populasi yang baru terinfeksi akan berkembang menjadi TB
paru, 1 hingga 2 tahun setelah terinfeksi. Pada 5 % kasus akan berkembang menjadi
penyakit klinis di masa yang akan datang, sedangkan 95 % sisanya tidak. Sekitar 10 % individu
1
yang terinfeksi akan berkembang menjadi TB klinis seumur hidup mereka. Namun, risiko yang
lebih besar adalah pada individu yang imunosupresif, khususnya pada mereka yang terinfeksi HIV.
Berdasarkan data CDC tahun 1996, angka penyakit TB pada orang yang terinfeksi HIV dengan
tes tuberkulin kulit positif adalah 200 hingga 800 kali lebih besar daripada angka untuk seluruh
penduduk Amerika Serikat1.
Epidemiologi
Di Indonesia saat ini diperkirakan terdapat 450.000 penderita TB menular setiap tahunnya
(atau suatu prevalensi sebesar 300/100.000) dengan angka insidens 225.000 kasus pertahunnya.
Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa
prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut laporan
Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC
pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya
diperkirakan merupakan kasus baru.
Imunisasi BCG (antituberkulosis) tidak menjamin anak bebas dari penyakit tersebut. Kuman
penyebab TBC yakni Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui percikan dahak. Jika terkena
kuman terus-menerus dari orang-orang dewasa di dekatnya, terutama orangtua, maka anak tetap
terkena. Di antara sesama anak kecil sendiri sangat kecil kemungkinan menularkan. Interaksi orangtua
sangat dekat dan intens dengan anak, apalagi yang masih bayi, sehingga anak mendapat percikan
dahak dari orangtua yang sakit TBC.
Oleh karena itu, angka anak penderita TBC sangat terpengaruh jumlah orang dewasa yang
dapat menularkan TBC. Tim External TB Monitoring Mission mencatat fakta umum, setiap tahun di
Indonesia ditemukan seperempat juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian akibat penyakit
tersebut. Indonesia merupakan negara ketiga terbesar yang bermasalah dengan TBC, setelah India dan
China.
Masalahnya orangtua sering kali malu mengakui dirinya terkena tuberkulosis atau enggan
berobat. Sedangkan penggunaan masker tidak efektif untuk memutus rantai penyebaran TBC kepada
anak. Yang terpenting orangtua menyadari jika mendapat gejala TBC segera memeriksakan diri serta
menjalani pengobatan
2
Etiologi
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang dengan
ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam
pada pewarnaan 2. MTB memiliki dinding yang sebagian besar terdiri atas lipid, kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan asam dan ia
juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat hidup dalam udara kering
maupun dalam keadaan dingin ( dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es ) dimana kuman
dalam keadaan dormant. Dari sifat ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit
tuberkulosis menjadi aktif lagi 2.
Gambar2. Mikroskopik MTB. (dikutip
dari 4)
Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag di dalam
jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya karena banyak
mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman
lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen
pada bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan
tempat predileksi penyakit tuberkulosis 2.
Faktor Resiko5-7
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya TB dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan
faktor risiko menjadi penyakit.
3
Risiko infeksi TB
Faktor risiko terjadinya infeksi TB yang utama adalah : anak yang memiliki kontak dengan
orang dewasa dengan TB aktif. Berarti, bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki
risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin dekat bayi tersebut dengan ibunya, makin besar pula
kemungkinan bayi tersebut terpajan droplet nuclei yang infeksius. Risiko timbulnya transmisi kuman
dari orang dewasa ke anak-anak akan lebih tinggi lagi jika orang dewasa tersebut selain mempunyai
BTA sputum positif juga terdapat infiltrat yang luas pada lobus atas atau kavitas, produksi sputum
banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat,
terutama sirkulasi udara yang tidak baik.
Faktor risiko lainnya antara lain : daerah endemis, penggunaan obat-obatan intravena,
kemiskinan serta lingkungan yang tidak sehat ( tempat penampungan atau panti perawatan ). Pasien
TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa disekitarnya. Hal ini disebabkan
karena kuman TB sangat jarang ditemukan dalam sekret endobronkial dan jarang terdapat batuk.
Risiko penyakit TB
Orang yang telah terinfeksi kuman TB, tidak selalu akan menderita penyakit TB. Faktor-
faktor yang dapat menyebabkan progresi infeksi TB menjadi sakit TB antara lain : Usia. Anak usia <
5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit Tb, mungkin karena
imunitas selulernya belum berkembang sempurna ( imatur ). Namun, risiko sakit TB akan berkurang
secara bertahap seiring pertambahan usia. Pada bayi usia < 1 tahun yang terinfeksi TB, 43%-nya akan
menjadi sakit TB, sedangkan pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24%. Pada usia
remaja 15% dan pada dewasa 5-10%. Anak < 5 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami TB
diseminata ( seperti TB milier dan TB meningitis ), dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi.
Risiko tertinggi terjadinya progresivitas TB adalah pada dua tahun pertama setelah infeksi. Pada bayi,
rentang waktu antara terjdinya infeksi dan timbulnya sakit TB sangat singkat dan biasanya timbul
gejala yang akut.
Faktor risiko yang lain adalah konversi tes tuberculin dalam 1-2 tahun terakhir, malnutrisi,
keadaan imunokompromais ( misal infeksi HIV, keganasan, tranplantasi organ, pengobatan
iminosupresi ), diabetes mellitus, gagal ginjal kronik dan silicosis. Pada infeksi HIV, terjadi
kerusakan imun sehingga kuman TB yang dorman mengalami aktivasi. Pandemi infeksi HIV dan
AIDS menyebabkan peningkatan pelaporan TB secara bermakna dibeberapa Negara.
Status sosio ekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunian,
pengangguran, pendidikan yang rendah dan kurangnya dana untuk pelayanan masyarakat juga
4
mempengaruhi timbulnya penyakit TB di negar berkembang. Di Negara maju, migrasi penduduk
termasuk faktor risiko.
Tabel 1. Faktor resiko infeksi TB dan faktor resiko penyakit TB
Faktor resiko infeksi TB
Anak-anak yang terekspose dengan orang dewasa resiko tinggi
Orang asing yang lahir di negara prevalensi tinggi
Orang-orang yang miskin dan kumuh, terutama di kota-kota besar
Orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal
Orang-orang pengguna obat-obatan suntik
Petugas kesehatan yang merawat pasien beresiko tinggi
Faktor resiko penyakit TB
Bayi dan anak-anak usia ≤ 4 tahun, terutama usia < 2 tahun
Dewasa dan dewasa muda
Pasien dengan infeksi penyertanya HIV
Orang dengan tes kulit konversi 1 – 2 tahun yang lalu
Orang dengan imunokompromais, terutama kasus keganasan dan tranplantasi organ,
pengobatan imunosupresif, diabetes melitus, gagal ginjal kronik, silikosis dan malnutrisi.
( Dikutip dari : Nelson textbook of pediatrics. 17th ed. Philadelphia : saunders, 2004; 197 : 958-72 )
Cara penularan8
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mycobacterium
tuberculosis yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi
umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam
paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang
rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah
infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran
pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling
sering terkena yaitu paru-paru.
5
Saat Mycobacterium tuberculosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan
tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi
imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling
bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya
menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant
inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang
hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan
mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini
membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi
sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami
pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC.
Resiko terinfeksi akan menjadi lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai produksi
sputum yang banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta faktor lingkungan yang kurang sehat
dan sirkulasi udara yang tidak baik.
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan
beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas
pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat
tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun,
virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya
infeksi TBC.
Anak-anak juga dapat tertular tuberkulosis dari susu atau daging sapi. Mycobacterium bovis
menginfeksi sapi yang menghasilkan susu, kemudian susu tersebut diminum tanpa dimasak. M. bovis
tersebut akan menginvasi mukosa usus atau kelenjar limfe di oropharing, terjadilah infeksi primer
pada usus atau pada amandel.
Pasien tuberkulosis anak jarang menularkan kuman pada anak-anak atau orang dewasa yang
lain. Hal ini disebabkan karena basil-basil tuberkulosis hanya sedikit jumlahnya dalam sekret
endobronkial dan jarang terdapat batuk.
Patogenesis dan perjalanan alamiah8
Ketika M. tuberculosis mencapai paru-paru, kuman tersebut di makan oleh makrofag di dalam
alveolus dan sebagian dari kuman akan mati atau tetap hidup dan bermultiplikasi. Waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut
6
sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4 – 8 minggu. Pada
masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103 – 104, yaitu jumlah yang cukup
untuk merangsang respon imunitas seluler.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan
makrofag mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Koloni kuman di
jaringan paru ini disebut fokus primer Ghon. Pada stadium ini belum ada gejala klinis yang muncul.
Kemudian kuman TB menyebar melalui saluran kelenjar getah bening terdekat menuju ke
kelenjar getah bening regional secara limfogen. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya limfangitis
dan limfadenitis. Sehingga terbentuklah kompleks primer yang terdiri dari fokus primer Ghon,
limfangitis, dan limfadenitis. Pada saat terbentuk kompleks primer ini ditandai oleh hipersensitivitas
terhadap tuberkuloprotein, sehingga timbul respon positif terhadap uji tuberkulin.
Di daerah ini reaksi jaringan parenkim paru dan kelenjar getah bening sekitar akan menjadi
semakin hebat dalam waktu kira-kira 2 – 12 minggu, selama kuman-kuman tersebut tumbuh semakin
banyak dan hipersensitivitas jaringan terbentuk. Setelah kekebalan tubuh terbentuk, fokus primer akan
sembuh dalam bentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi.
Kelenjar getah bening regional juga mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tapi tidak akan
sembuh sempurna. Kuman TB dapat hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Pada anak 70% lesi dalam paru terdapat di subpleura, walaupun juga bisa terdapat di seluruh
lapang kedua paru. Pembesaran kelenjar getah bening regional lebih banyak terjadi pada anak
dibanding orang dewasa. Dan pada anak, biasanya penyembuhan lebih banyak ke arah kalsifikasi,
sedangkan pada orang dewasa ke arah fibrosis.
Penyebaran kuman TB dapat terjadi secara limfogen dan hematogen. Pada penyebaran
limfogen, kuman melalui kelenjar getah bening membentuk kompleks primer. Pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke aliran sirkulasi darah dan menyebar keseluruh tubuh dan terjadi
manifestasi extrapulmonal, seperti otak, ginjal, tulang, dan lain-lain.
Proses infeksi TB tidak lansung memberikan gejala. Uji tuberculin biasanya positif dalam 4-8
minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai
demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlansung singkat sehingga
jarang terdeteksi. sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.
Tuberkulosis milier dapat terjadi pada setiap saat, tetapi biasanya berlansung dalam 3-6 bulan
pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6
bulan setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat
7
terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama yaitu 5-25 tahun
setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama,
terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah
diagnosis TB.
Diagnosis2,3,8
Konfirmasi pasti pada TB paru adalah dengan mengisolasi Mycobacterium tuberculosis dari
sputum, bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau biopsi jaringan. Spesimen untuk
kultur yang paling baik pada anak adalah cairan lambung pagi hari yang diambil sebelum anak
bangun dari tidur. Akan tetapi semua hal diatas memang sulit untuk dilakukan pada anak, sehingga
sebagian besar diagnosis berdasarkan gejala klinis, gambaran radiografi thorax, dan tuberkulin test.
A. GAMBARAN KLINIK
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan
bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya
Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)
1. Gejala respiratorik
- batuk 2 minggu
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari
luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses
penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
8
2. Gejala sistemik
- Demam
- Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat
cairan.
Pemeriksaan Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan
(awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru
pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 &
S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6).
Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis
tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada
perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi
yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”
Gambar paru : apeks lobus superior dan apeks lobus inferior
9
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai
dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru,
sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat
penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari
dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
- Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
- Pagi ( keesokan harinya )
- Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang
bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak
10
bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi)
sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk
kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke
laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang
akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan
formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak
dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
- Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya
- Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring
sebanyak + 1 ml
- Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak
mengandung bahan dahak
- Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam dus
- Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil
- Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong yang
terbuka dengan menggunakan lidi
- Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak
- Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi,
termasuk BJH) dapat dilakukan
dengan cara
- Mikroskopik
11
- Biakan
Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif ® BTA positif
1 kali positif, 2 kali negatif ® ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasiliti foto toraks, kemudian
bila 1 kali positif, 2 kali negatif ® BTA positif
bila 3 kali negatif ® BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO).
Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst
SkalaBronkhorst (BR) :
- BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan
- BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang
- BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang
- BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang
- BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang
Pemeriksaan biakan kuman:
12
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara :
- Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
- Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi
Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk
mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan,
menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta
melihat pigmen yang timbul
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik,
oblik, CT-Scan.
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-
macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior
lobus bawah
- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
- Fibrotik
- Kalsifikasi
- Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung ) :
- Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis
disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan
13
fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologik tersebut.
- Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama
pada kasus BTA negatif) :
- Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari
sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan
prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai
kaviti
- Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
Pemeriksaan khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang dibutuhkan
untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa
teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M tuberculosis
memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya
oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk
membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.
2. Polymerase chain reaction (PCR):
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA
M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi.
Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam
pelaksanaannya.
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan
tersebut
dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional.
14
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah
diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru
maupun ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat.
3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.1:
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses
antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan
antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.
b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk mendeteksi
antibodi M. Tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5
antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38
kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran
immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol.
Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan
berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis,
maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji
dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis
antigen pada membran.
c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen
lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik
ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi
spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul
perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi dalam
menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak
variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.
e. Uji serologi yang baru / IgG TB
15
Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis.
Pemeriksaan lain
1. Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi
pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura
terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang
dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi,
yaitu :
· Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
· Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)
· Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal
biopsy/TTB, biopsi paru terbuka).
· Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin
dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk
pemeriksaan histologi.
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju
endap darah
( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering
meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis.
Limfositpun kurang spesifik.
4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalensi
tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada
orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan
16
dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan
hasil negatif.
Gambar... Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa Alternatif 1)
Gambar...Alur diagnosis P2TB Alternatif 2:
17
BAB V
Tuberkulosis dengan keadaan khusus8,9
Insidens TB extrapulmonal meningkat pada anak berusia dibawah 4 tahun, terutama
meningitis dan TB kelenjar. TB extrapulmonal biasanya sekunder terhadap penyakit TB paru, akibat
penyebaran limfohematogen, tapi juga bisa penyebaran lesi primer.
18
A. Tuberkulosis ekstrapulmonal
1. Tuberkulosis kelenjar
Infeksi tuberkolosis pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan skrofula, merupakan
bentuk TB ektrapulmonal pada anak yang paling sering terjadi, terbanyak pada kelenjar limfe leher.
Menurut sejarah, skorfula pada anak biasanya terjadi akibat meminum susu sapi yang mengandung
M.Bovis dan tidak dipasteurisasi. Kebanyakan kasus timbul 6 - 9 bulan setelah infeksi awal
M.tuberculosis, tetapi beberapa kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudian. Kelenjar limfe tonsilar,
servikal anterior, submandibula dan supraklavikula dapat terinfeksi secara sekunder akibat perluasan
lesi primer pada paru bagian atas atau abdomen. Pembesaran kelenjar limfe inguinal, epitroklear, atau
daerah aksila terjadi akibat limfadenitis regional yang disebabkan oleh tuberkulosis kulit atau sistem
skeletal. Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium awal penyakit. Pembesaran
kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras, discrete dan tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering
terfiksasi pada jaringan dibawah atau diatasnya. Limfadenitis ini paling sering terjadi unilateral, tetapi
infeksi bilateral dapat terjadi karena pembuluh limfatik didaerah dada dan leher bawah saling
bersilangan. Seiring berlanjutnya penyakit, kelenjar yang terinfeksi semakin banyak sehingga
terbentuk masa dari nodus yang saling berlekatan. Gejala dan tanda sistemik yang muncul biasanya
hanya berupa demam dengan suhu yang tidak terlalu tinggi. Tes tuberkulin kulit biasanya
menunjukkan hasil yang positif. Gambaran radiografi dada terlihat normal pada 70% kasus. Onset
penyakit kadang-kadang berlangsung lebih akut, dengan pembesaran kelenjar limfe yang cepat,
demam tinggi, nyeri tekan dan terdapat fluktuasi. Gejala awaldapat berupa massa fluktuasi dengan
selulitis pada kulit diatasnya atau perubahan warna, tetapi hal ini jarang terjadi.
Limfadenitis TB dapat menyembuhkan jika tidak diobati, tetapi lebih sering berkembang
menjadi nekrosis dan perkijuan. Kapsul kelenjar dapat memecah, mengakibatkan penyebaran infeksi
ke kelenjar disekitarnya. Pecahnya kelenjar biasanya menyebabkan timbulnya traktus sinus yang
mengeluarkan cairan dan mungkin memerlukan terapi bedah. Limpadenitis TB bisanya memberikan
respons yang baik terhadap pengobatan OAT. Namun, kelenjar limpe tidak mengecil kembali ke
ukuran normal selama beberapa bulan bahkan tahun.
Diagnosis definitif memerlukan pemeriksaan histologi dan bakteriologik yang diperoleh
melalui biobsi, meskipun harus didiagnosis banding dengan mikobakteriom atipik. Kultur dari
jaringan biopsi dapat membedakan, tetapi hanya positif pada 50% kasus. Pengobatan limfadenitis TB
adalah dengan obat antituberkolosis 3 macam (rifampisin, INH, pirazinamid ). INH, rifampisin, dan
pirazinamid diberikan selama 2 bulan pertama sedangkan ripamfisia dan INH dilanjutkan sampai 6
bulan. Selain itu penanganan suportif seperti perbaikan gizi perlu diperhatikan.
2. Tuberkulosis pleura
19
Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam rongga pleura. Salah satu etiologi
yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus efusi pleura di Indonesia adalah tuberkulosis. Efusi
pleura TB bisa ditemui dalam 2 bentuk. Pertama dalam bentuk cairan serosa, bentuk ini yang paling
banyak dijumpai. Bentuk kedua yang jauh lebih jarang adalah Empiyema TB. Bentuk kedua ini
merupakan gagalnya efusi pleura TB primer yang gagal mengalami resolusi berlanjut ke proses
supuratif kronik.
Efusi pleura terbentuk sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat antigen kuman TB dalam
rongga pleura. Antigen ini masuk kedalam rongga pleura akibat pecahnya fokus subpleura.
Rangsangan pembentukan cairan oleh pleura yang terkait dengan infeksi kuman TB dapat terjadi
melalui 2 mekanisme tersebut diatas. Pleuritis TB biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam
akut disertai bentuk nonproduktif ( 94% ) dan nyeri dada (78%) tanpa peningkatan lekosit darah tepi.
Penurunan berat badan dan malaise biasa dijumpai, demikian juga menggigil. Sebagian besar efusi
pleura TB bersifat unilateral ( 95% ), agak lebih sering disisi kanan. Jumlah cairan efusi bervariasi
dari sedikit hingga banyak, meliputi setengah dari hemitoraks. Jumlah maupun terjadinya efusi tidak
mempengaruhi prognosis.
Dari gambaran radiologist biasa dijumpai kelainan parenkim paru. Bila kelainan paru terjadi
dilobus bawah maka efusi pleura terkait dengan proses infeksi TB primer. Dan bila kelainan paru di
lobus atas, maka kemungkinan besar merupakan TB pasca primer dengan reaktivasi fokus lama. Efusi
pleura hampir selalu terjadi disisi yang sama dengan kelainan parenkim parunya.
Spesimen diagnostik utama efusi pleura TB dari cairan pleura positif pada sekitar 42% kasus
dan dari biopsi positif sekitar 54%. Beberapa uji khusus seperti kadar adenosine deaminase ( ADA )
dalam cairan pleura, interferon γ dan konsentrasi lisosim telah diteliti pada diagnostik efusi pleura TB
namun belum digunakan secara rutin.
Terapi pleuritis TB sama dengan terapi TB paru. Bila respon terhadap terapi baik, suhu turun
dalam 2 minggu terapi, serta cairan pleura diserap dalam 6 minggu. Namun pada beberapa pasien
demam dapat berlangsung hingga 2 bulan dan penyerapan cairan memerlukan waktu hingga 4 bulan.
Steroid dapat memperpendek fase demam dan mempercepat penyerapan cairan serta mencegah
perlekatan, walaupun rasio manfaat dan resiko penggunaannya belum diketahui pasti. Drainase cairan
pleura secara rutin tampaknya tidak mempengaruhi hasil akhir jangka panjang. Penebalan pleura
sebagai sisa penyakit dapat terjadi pada 50% kasus.
3. Tuberkulosis tulang/sendi
Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi tuberkulosis ekstrapulmonal
yang menenai tulang atau sendi. Insidens TB sendi berkisar 1 – 7 % dari seluruh TB. TB tulang
belakang merupakan kejadian tertinggi diikuti seni panggul dan seni lutut pada TB tulang atau sendi.
20
Umumnya TB tulang atau seni mengenai satu tulang atau sendi. TB pada tulang belakang dikenal
sebagai spondilitis TB, TB pada panggul disebut koksitis TB, sedangkan pada sendi lutut disebut
gonitis TB.
Manifestasi klinis yang ditimbulkan bersifat lambat dan tidak khas sehingga umumnya
didiagnosis sudah dalam keadaan lanjut. Selain dijumpai gejala umum TB pada anak, dapat dijumpai
gejala spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan, dan nyeri pada pergerakan. Tidak jarang hanya
gejala pembekakan sendi saja yang dikeluhkan.
Gejala atau tanda pada TB tulang atau sendi bergantung pada lokasi kelainan. Kelainan pada
tulang belakang disebut gibbus menampakkan gejala benjolan pada tulang belakang yang umumnya
seperti abses tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan. Warna benjolan sama dengan
sekitarnya, tidak nyeri tekan dan menimbulkan abses dingin. Apabila dijumpai kelainan pada sendi
panggul biasanya pasien berjalan pincang dan kesulitan berdiri. Kelainan pada sendi lutut dapat
berupa pembekakan didaerah lutut. Penderita sulit berdiri dan berjalan dan kadang-kadang ditemukan
atrofi otot paha dan betis.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah pemeriksaan penunjang untuk TB pada anak
secara umum dan pemeriksaan foto pada lokasi yang dicurigai seperti tulang belakang, sendi panggul
dan sendi lutut. Pada tahap awal biasanya menunjukkan gambaran osteoporosis regional periartikuler
dan pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi. Sedangkan pada tahap lanjut, terdapat penyempitan
celah sendi, destruksi tulang rawan sendi dan lesi osteolistik pada daerah epifisis. Untuk infeksi TB
sendi gambaran yang khas adalah osteoporosis periartikuler, destruksi tulang rawan sekitar sendi dan
penyempitan celah. Pada kelainan TB tulang belakang destruksi tulang terjadi pada daerah korpus,
serta penyempitan diskus intervertebralis. Pemeriksaan lain yang dianjurkan adalan aspirasi cairan
sendi dengan bantuan ultrasonografi. Gambaran yang terlihat berupa peningkatan sel, penurunan
glukosa dan penigkatan protein, atau bahkan dapat ditemukan BTA positif ( sekitar 15 - 20% kasus ).
Pemeriksaan kultur M. tuberculosis dapat dilakukan, sedangkan pada pemeriksaan histopatologis
dapat dijumpai gambaran perkijuan ( granuloma tuberkulosis ).
Tata laksana TB tulang dan sendi adalah dengan obat anti tuberkulosis rifampisin, INH, PZA
dan etambutol. Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan PZA dan etambutol selama
2 bulan pertama. Selain medikamentosa pemberian terapi suportif juga diperlukan.
Pada TB tulang belakang harus diperhatikan adanya kelainan neurologis atau tidak. Apabila
ditemukan kelainan neurologis misalnya berupa kelumpuhan, neritis perifer, maka tindakan bedah
segera dilakukan sedangkan apabila tidak dijumpai kelainan neurologis maka tindakan bedah secara
efektif. Indikasi tindakan bedah umumnya adalah adanya kelainan neurologis, instabilitas spinal dan
tidak respons terhadap OAT.
21
Prognosis TB tulang atau sendi sangat bergantung pada derajat kerusakan sendi atau
tulangnya. Pada kelainan yang minimal umumnya dapat kembali normal, tetapi pada kelainan yang
sudah lanjut dapat menimbulkan sekuele ( cacat ) sehingga mengganggu mobilitas pasien.
4. Tuberkulosis sistem saraf pusat
Tuberkulosis pada sistem saraf pusat ditemukan dalam 3 bentuk meningitis, tuberkuloma,
araknoiditis spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara endemis TB. Dengan kasus terbanyak
berupa meningitis TB. Di Amerika Serikat yang bukan endemis TB, meningitis TB meliputi 1% dari
semua kasus TB.
Fokus tuberkel tersebar di otak atau selaput otak ( meningen ), terbentuk pada saat
penyebaran hematogen selama masa inkubasi infeksi TB primer. Bila penyebaran hematogen terjadi
dalam jumlah besar akan langsung menyebabkan penyakit TB primer seperti TB milier dan meningitis
TB. Meningitis TB juga dapat merupakan reaktivasi fokus TB ( TB pasca primer ) bertahun setelah
pembentukannya pada fase infeksi TB primer. Trauma kepala dapat menjadi pencetus reaktivasi
tersebut.
Tumpahan protein kuman TB ke ruang subaraknoid merangsang reaksi hipersensitivitas yang
hebat, selanjutnya menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di basal otak. Secara
patologi ada 3 keadaan yang terjadi pada meningitis TB. Pertama adalah araknoiditis proliferatif yang
terutama terjadi di basal otak berupa pembentukan masa fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan
menembus pembuluh darah. Kedua berupa vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah
yang melintasi membrana basalis atau berada dalam parenkim otak. Kelainan inilah yang sering
meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Kelainan ketiga adalah hidrosefalus
komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan
resorpsi likuor serebrospinal.
Gejala dan tanda meningitis TB dapat dibagi menjadi 3 fase. Fase prodromal berlangsung 2 -
3 minggu, ditandai dengan malaise, sefalgia, demam tidak tinggi dan dapat dijumpai perubahan
kepribadian. Fase meningitik sebagai fase berikutnya dengan tanda neurologis yang lebih nyata
seperti meningismus, sefalgia hebat, muntah, kebingungan dan kelainan saraf kranialis dalam
berbagai derajat. Fase paralitik merupakan fase percepatan penyakit, gejala kebingungan berlanjut ke
stupor dan koma kejang, dan hemiparesis.
Untuk keperluan terapi dan penentuan prognosis, perjalanan penyakit pasien dibagi dalam 3
tahapan klinis berdasarkan temuan klinis dan radiologis. Tahap 1 pasien relatif tenang, tidak ada tanda
kelainan neurologik fokal dan tidak ada bukti hidrosefalus. Tahap 2, pasien kebingungan, tampak
kelainan fokal dan tidak ada bukti seperti kelumpuhan saraf kranialis atau hemiparesis. Tahap 3
penyakit dalam tahap lanjut pasien delirium, stupor, koma, atau hemiplegia.
22
Diagnosis TB SSP tidak mudah. Kewaspadaan tinggi kearah kemungkinan TB pada kelainan
neurologis dan pada kasus TB milier sangat penting untuk deteksi dini dan memulai terapi segera.
Cairan serebrospinal memberi gambaran khas berupa peningkatan kadar protein dan
penurunan kadar glukosa, serta pleositosis mononuklear dengan hitung sel antara 100 – 500 sel/uL.
Pemeriksaan apusan langsung untuk menemukan BTA dan biakan dari cairan serebrospinal sangat
penting. Untuk mendapatkan hasil positif dianjurkan melakukan fungsi lumbal 3 hari berturut. Terapi
dapat berlangsung diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan fungsi lumbal ke 2 dan ke 3.
CT scan dengan kontras menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta
adanya dan luasnya hidrosefalus. Pada pasien dengan gambaran klinis sesuai TB dengan hasil CT
scan berupa kelainan basal dan hidrosefalus, apapun derajatnya sangat menunjang diagnosis
meningitis TB.
CT dan MRI kepala pada pasien meningitis TB gambarannya normal pada awal penyakit.
Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah penyangatan (
enhancement ) di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans disertai tanda-tanda edema otak atau
iskemia lokal yang masih dini. Dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah
korteks serebri atau talamus.
Terapi segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis TB.
Terapi TB sesuai dengan konsep baku yaitu 2 bulan fase intensif dengan 4 obat, INH, rifampisin, dan
PZA, serta etambutol. Dilanjutkan dengan 2 obat, INH dan rifampisin hingga 12 bulan. Bukti klinis
mendukung penggunaan steroid pada meningitis TB sebagai terapi ajuvan antivus. Steroid yang
dipakai prednison dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari, 4 minggu dosis penuh dan 4 minggu penurunan
dosis bertahap ( tapering off ).
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien terdiagnosis dan diterapi.
Semakin lanjut tahap klinisnya semakin buruk prognoses. Adanya hidrosefalus disertai penyangatan (
enhancement ) daerah basal pada pemeriksaan CT scan menunjukkan tahap lanjut penyakit dengan
prognosis yang buruk.
5. Tuberkulosis kulit
Tuberkulosis kulit dapat terjadi melalui 2 mekanisme, pertama infeksi primer atau inokulasi
langsung kuman TB di kulit dan yang kedua TB pasca primer salah satunya adalah limfadenitis TB
yang pecah ke kulit. Contoh yang pertama antara lain tuberculous chancre. Sedangkan contoh kedua
adalah skrofuloderma dan lupus vulgaris. Diantara berbagai TB kulit secara klinis, skrofuloderma
merupakan yang paling khas dan merupakan manifestasi TB di kulit yang palimg sering dijumpai
pada anak.
23
Skrofuloderma terjadi akibat penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar getah bening yang
terkena TB. Manifestasi klinis skrofuloderma adalah sama dengan gejala umum TB pada anak.
Pembentukan Lesi kulitnya dijelaskan sebagai berikut. Pada awalnya terdapat pembesaran kelenjar
getah bening yang soliter kemudian melibatkan kelenjar di sekitarnya ( multipel ). Lesi awal
skrofuloderma berupa nodul subkutan atau infiltrat subkutan dalam yang keras ( firm ), berwarna
merah kebiruan dan tidak menimbulkan keluhan ( asimtomatik ). Infiltrat kemudian meluas /
membesar dan menjadi padat kenyal ( matted and doughy ). Lesi kemudian mengalami pencairan dan
menjadi fluktuatif. Kemudian lesi pecah ( terbuka ke permukaan kulit ) dan membentuk ulkus
berbentuk linier atau serpiginosa. Ulkus ini mempunyai dasar yang bergranulasi dan tidak beraturan,
dengan tepi bergaung ( inverted ) dan berwarna kebiruan. Cairan ( discharge ) yang keluar dari lesi ini
dapat bersifat cair, purulen, ataupun kaseosa. Dapat dijumpai fistula-fistula yang saling berhubungan
dan membentuk kantung-kantung subkutan yang lunak dan berisi cairan ( discharge ). Selain kantung-
kantung yang lunak ini terdapat juga nodul gummatosa yang sedikit lebih keras. Kemudian terbentuk
jaringan parut / sikatriks berupa pita / benang fibrosa padat, yang membentuk jembatan diantara
ulhus-ulkus atau daerah kulit yang normal. Pada pemeriksaan, didapatkan berbagai bentuk lesi, yaitu
plak dengan fibrosis padat, sinus yang mengeluarkan cairan, serta massa yang fluktuatif.
Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher dan wajah, di tempat yang mempunyai kelompok
kelenjar getah bening, misalnya di daerah parotis, submandibula, subpraklavikola, dan daerah lateral
leher. Selain itu, skrofuloderma dapat timbul di ekstremitas atau trunkus tubuh, yang disebabkan oleh
tuberkulosis tulang dan sendi.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sama seperti pemeriksaan untuk menentukan
diagnosis TB secara umum. Pemeriksaan yang spesifik adalah biopsi kelenjar getah bening dengan
cara aspirasi jarum halus ( FNAB, fine nedle aspiration biopsy ) ataupun secara biopsi terbuka ( open
biopsy ). Pada pemeriksaan tersebut dicari adanya M. tuberkulosis dengan cara kultur dan
pemeriksaan histopatologis ringan. Hasil PA dapat berupa granuloma dengan nekrotik di bagian
tengahnya, terdapat sel datia Langhans, sel epiteloid dan limfosit serta basil tahan asam.
6. Tuberkulosis abdomen
Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang jarang dijumpai yaitu sekitar 1 – 5% dari
kasus TB anak. Umumnya terjadi pada dewasa dengan perbandingan perempuan lebih sering dari
laki-laki dengan perbandingan 2 : 1.
Patogenesis peritonitis TB didahului oleh infeksi M. tuberculosis yang menyebar secara
hematogen ke organ-organ di luar paru termasuk peritoneum. Dengan perjalanan waktu dan
menurunnya daya tahan tubuh dapat mengakibatkan terjadinya peritonitis TB. Cara lain adalah
24
dengan penjalaran langsung dari kelenjar mesenterika atau dari tuberkulosis usus. Pada peritoneum
terjadi tuberkel dengan massa perkijuan yang dapat membentuk satu kesatuan ( konfluen ). Pada
perkembangan selanjutnya dapat terjadi penggumpalan omentum di daerah epigastrium dan melekat
pada organ-organ abdomen yang pada akhirnya dapat menyebabkan obstruksi khusus. Di lain pihak,
kelenjar limfe yang terinfeksi dapat membesar yang menyebabkan penekanan pada vena porta dengan
akibat pelebaran vena dinding abdomen dan asites.
Umumnya gejala klinis umum TB pada anak dapat timbul disamping gejala khusus peritonitis
TB. Tanda yang dapat terlihat adalah ditemukanya massa intraabdomen, adanya asites. Kadang-
kadang ditemukan fenomena papan catur yaitu pada perabaan abdomen di dapatkan adanya massa
yang diselingi perabaan lunak, kadang-kadang didapat pada obstruksi usus. Berdasarkan
patogenesisnya manifestasi klinis tuberkulosis abdomen terbagi dua yaitu terdapatnya asites dan
adanya gambaran papan catur.
Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah sama dengan pemeriksaan pada TB secara
umum. Untuk mengetahui adanya peritonitis TB dapat dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen
yaitu dijumpai gambaran peritonitis, massa omentum dan asies. Apabila dijumpai asites maka
diperlukan pemeriksaan analisis cairan asites yang umumnya didapatkan peningkatan jumlah sel
dengan monosit dominant. Protein dan penurunan glukosa. Biopsi peritonium dapat dilakukan untuk
mencari gambaran patologis. Kultur M. tuberculosis dapat dilakukan dengan bahan cairan asites
ataupun biopsi peritonium.
Tatalaksana medikamentosa peritonitis tuberkulosis sama dengan tata laksana TB
ekstrapulmonal lain seperti skrofuloderma, spondilitis TB yaitu rifampisin, INH, dan pirazinamid.
Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan pirazinamid selama 2 bulan pertama.
Kortikosteroid diberikan 1 - 2mg/kgBB selama 1 - 2 minggu pertama. Pada keadaan obstruksi usus
karena perlengketan perlu dilakukan tindakan operasi.
7. Tuberkulosis Mata
TB pada mata umumnya mengenai konjungtiva dan kornea sehingga sering disebut
keratokonjungtivitis fliktenularis. Keratokonjungtivitis fliktenularis ( KF ) adalah penyakit pada
konjungtivitis dan kornea yang ditandai oleh terbentuknya satu atau lebih nodul inflamasi yang
disebut flikten pada daerah limbus. Umumnya ditemukan pada anak usia 3 - 15 tahun dengan faktor
resiko berupa kemiskinan, kepadatan penduduk, sanitasi buruk, dan keadaan malnutrisi. Penyebab KF
dapat dibagi 2 kelompok besar yaitu M. tuberculosis dan non tuberkulosis. Pada kelompok kedua
yang tersering adalah golongan stafilokokus dan askariasis. Patogenesis KF masih belum diketahui,
tetapi diduga akibat respons alergik terhadap tuberkulosis yang sistemik. Hal ini dapat terjadi karena
reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen. Manifestasi klinis KF dapat berupa iritasi, nyeri,
25
lakmirasi dan fotofobia serta dapat mengeluarkan sekret mata. Gambaran khas KF adalah berupa
nodul kecil berwarna putih / merah muda pada konjungtiva disertai hiperemis disekitarnya. Nodul
tersebut dapat timbul berulang dan dapat menimbulkan sikatriks yang mengakibatkan kebutaan.
Apabila KF disebabkan TB, maka gambaran TB anak secara umum dapat terlihat seperti demam
lama, berat badan tidak naik, dan sebagainya.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah untuk mencari penyebabnya seperti uji
tuberkulin, pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan feses. Yang perlu diperhatikan adalah
pemeriksaan tuberkulin bila memungkinkan menggunakan tuberkulin dengan kekuatan ringan ( first
strength ). Alasannya adalah karena diduga merupakan reaksi hipersensitivitas maka apabila diberikan
dengan kekuatan sedang ( second strength ), maka dapat menimbulkan flare up pada konjungtiva
maupun reaksi berlebihan pada lokasi penyuntikan tuberkulin. Untuk menyingkirkan penyebabkan
stafilokokus perlu dilakukan usap konjungtiva.
Tata laksana KF tidak terlepas dari tata laksana TB pada anak secara keseluruhan yaitu
pemberian obat anti tuberkulosis seperti rifampisin, INH dan pirazinamid. Dosis dan lama pemberian
OAT sama seperti pembuatan TB paru. Selain terapi diatas, pemberian kortikosteroid topikal
mempunyai efek yang baik. Tindakan keratoplasti dilakukan apabila telah terjadi komplikasi parut
kornea.
Komplikasi yang mungkin timbul adalah ulkus fasikuler, parut kornea dan perforasi kornea.
Meskipun jarang, penggunaan kortikosteroid topikal dapat menyebabkan glaukoma dan katarak.
8. Tuberkulosis hati
Tuberkulosis hati merupakan salah satu tuberkulosis extrapulmonal yang jarang ditemukan.
Terjadinya tuberkulosis hati melalui proses penyebaran hematogen dari infeksi primer di paru
kemudian mencapai sistem hepatobilier melalui vena porta. Selain itu tuberkel di hati dapat terjadi
melalui jalur limfatik yaitu rupturnya kelenjar limpe porta hepatik yang membawa M. tuberculosis ke
hati.
Lesi tuberkulosis di hati dapat berupa granuloma milier kecil ( tuberkel ). Granuloma dimulai
dengan proliferasi fokal sel Kupffer yang membentuk nodul kecil sebagai reaksi terhadap adanya M.
tuberculosis dalam sinusoid hati. Makrofag dan basil membentuk tuberkel yang mengandung sel - sel
epiteloid, sel datia Langhans ( makrofag yang bersatu ) dan limfosit T. Peningkatan aktifitas limfosit
T ini terjadi akibat timbulnya hipersensitivitas tipe lambat yang memusnahkan makrofag setempat dan
jaringan sekitarnya yang akhirnya membentuk perkijuan. Kejadian diatas akan merusak jaringan
sehingga terjadi fibrosis. Manifestasi klinis tuberkulosis hati tidak terlepas dari gejala klinis umum TB
anak seperti demam, berat badan yang tidak naik dan anoreksia. Gejala tambahan adalah
hepatomegali, splenomegali, nyeri perut dan ikterus.
26
Pemeriksaan penunjang TB secara umum tetap dikerjakan disamping pemeriksaan tambahan
untuk menentukan diagnosis tuberkulosis hati. Pemeriksaan tambahan untuk membantu diagnosis
tuberkulosis hati adalah uji fungsi hati, USG hati dan biopsi hati. Pada pemeriksaan uji fungsi hati
terjadi peningkatan enzim transaminase ( SGOT, SGPT, Gamma GT ). Pemeriksaan USG hati dapat
memperlihatkan gambaran nodul multipel dan klasifikasi. Gambaran histopatologi hati pada
tuberkulosis hati menunjukkan gambaran granuloma dengan perkijuan dan sel datia Langhans.
Tata laksana tuberkulosis hati adalah pemberian obat anti tuberkulosis dengan 4 macam obat
yaitu rifampisin, INH, pirazinamid, dan etambutol. Dosis OAT sama seperti TB yang lainnya.
Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan pirazinamid dan etambutol diberikan 2
bulan pertama pengobatan. Mengingat bahwa OAT yang diberikan bersifat hepatotoksik sedangkan
fungsi hatinya menurun maka pemantauan terhadap uji fungsi hati sangat diperlukan. Pemantauan
ketat sebaiknya dilakukan pada 2 bulan pertama dengan perhatian khusus pada 2 minggu pertama
pengobatan.
9. Tuberkulosis ginjal
Kuman TB mencapai ginjal selama fase penyebaran hematogen. Mikroorganisme dapat
ditemukan dalam urin dalam kasus TB milier dan pada beberapa kasus TB paru walaupun tidak ada
penyakit parenkim ginjal. Pada TB ginjal sejati fokus perkijuan kecil berkembang di parenkim ginjal
dan melepaskan kuman TB ke dalam tubulus. Massa yang besar terbentuk dekat dengan korteks ginjal
yang mengeluarkan bakteri melalui fistula kedalam pelvis ginjal. Infeksi kemudian menyebar secara
lokal ke ureter, prostat atau epididimis.
TB ginjal sering kali secara klinis tenang pada fase awal, hanya ditandai piuria yang steril dan
hematuria mikroskopik. Disuria, nyeri pinggang atau nyeri abdomen dan hematuria makroskopis
dapat terjadi sesuai dengan berkembangnya penyakit.
Superinfeksi dengan bakteri lain, yang sering kali menyebabkan gejala yang lebih akut. Hal
ini dapat memperlambat diagnosis TB sebagai penyakit dasarnya. Hidronefrosis atau striptur ureter
dapat memperberat penyakitnya. Biakan TB dari urin positif pada 80 - 90% kasus dan BTA positif
pada 50 -70% kasus bila diperiksa dari volume urin yang banyak. Uji tuberkulin non reaktif ( negatif
palsu ) pada 20% pasien. Pielografi intravena sering menunjukkan massa lesi, dilatasi ureter
proksimal, filling defect kecil yang multipel dan hidronefrosis jika ada striktur ureter. Sebagian besar
penyakit terjadi unilateral. Pemeriksaan pencitraan lain yang dapat digunakan adalah USG dan CT-
scan.
27
Pengobatan TB ginjal bersifat holistik yaitu selain pemberian obat antituberkulosis juga
penanganan terhadap kelainan ginjal yang terjadi. Sebagaimana terapi TB ekstrapulmonar lain maka
pemberian OAT terdiri dari minimal 4 macam obat pada 2 bulan pertama dilanjutkan dengan 2
macam obat sampai 12 bulan. Apabila diperlukan tindakan bedah, dapat dilakukan setelah pemberian
OAT 4 – 6 minggu.
10. Tuberkulosis jantung
Perikarditis TB biasanya terjadi akibt invasi kuman secara langsung atau drainase limfatik
dari kelenjar limfe subkarinal. Gejalanya tidak khas, yaitu demam subfebris, lesu dan berat badan
turun, dan nyeri dada. Dapat ditemukan friction rub dan suara jantung melemah dengan pulsus
paradoksus. Terdapat cairan perikard yangkhas, yaitu serofibrinosa atau hemoragik. BTA jarang
ditemukan pada cairan perikard, tetapi kultur dapat positif pada 30 – 70 % kasus. Hasil kultur positif
dari biopsy perikar tinggi dan adanya granuloma sering menyokong diagnosis. Pada pengobatan
perikarditis TB, selain OAT diperlukan jika terjadi penyempitan perikard.
B. Tuberkulosis perinatal
Infeksi TB pada neonatus terjadi secara kongental ( pranatal ), selama proses kelahiran
( natal ) maupun transmisi pascanatal oleh ibu pengidap TB aktif. Oleh karena itu transmisi pada
neonatus ini disebut sebagai TB perinatal. Pada TB kongenital transmisi terjadi karena penyebaran
hematogen melalui vena umbilikalis atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Pada TB natal
transmisi dapat terjadi melalui proses persalinan sedangkan pascanatal terjadi akibat penularan secara
droplet.
M. tuberculosis tidak dapat melalui sawar plasenta sehingga bakteri akan menempel pada
plasenta dan membentuk tuberkel. Apabila tuberkel pecah, maka terjadi penyebaran hernatogen dan
menyebabkan infeksi pada cairan amnion melalui vena umbilikalis. Pada saat penyebaran hematogen
M. tuberculosis menyebabkan fokus primer di hati dan melibatkan kelenjar getah bening periportal
yang pada perkembangan selanjutnya akan menyebar ke paru. Selain cara di atas, penularan ke paru
dapat terjadi melalui cairan amnion yang mengandung M. tuberculosis langsung ke paru dengan cara
aspirasi. Sedangkan penularan pasca natal secara droplet yang patogenesisnya sama seperti TB pada
anak umumnya.
Manifestasi klinis TB kongenital dapat timbul segera setelah lahir atau pada minggu ke 2 - 3
kehidupan. Gejala TB kongenital sulit dibedakan dengan sepsis neonatal sehingga sering terjadi
keterlambatan dalarn mendiagnosis. Gejala yang sering timbul adalah distres pernapasan,
hepatosplenomegali. dan demam. Gejala lain yang dapat ditemukan antara lain prematuritas, berat
lahir rendah, sulit minum, letargi dan kejang. Bisa didapatkan abortus /kematian bayi.
28
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada TB kongenital adalah perneriksaan
M.tuberculosis rnelalui umbilikus dan plasenta. Pada plasenta sebaiknya diperiksa gambaran
histopatologis dengan kemungkinan adanya granuloma kaseosa dan basil tahan asam, bila perlu
kuretase endometrium untuk mencari endornetritis TB.
Untuk menentukan TB kongenital adalah ditemukannya basil tahan asam atau ditemukannya
M. tuberculosis pada kultur umbilikus maupun plasenta. Beitzke memberikan kriteria untuk TB
kongenital yaltu ditemukannya M. tuberculosis dan memenuhi salah satu kriteria sebgai berikut: (1)
lesi pada minggu pertama, (2) kornpleks primer hati atau granuloma hati kaseosa, (3) infeksi TB pada
plasenta atau traktus genitalia, (4) kemungkinan transmisi pascanatal disingkirkan. Untuk menentukan
TB natal dan pasca natal kriterianya sama dengan TB pada anak.
Tatalaksana TB pada neonatus mempunyai ciri tersendiri yaitu rnelibatkan beberapa aspek
seperti aspek ibu, bayi dan lingkungan. Ibu harus ditatalaksana dengan baik untuk menghindari
penularan selanjutnya. Selain itu harus dicari sumber lain di lingkungannya serta memperbaiki kondisi
liagkungan. Tatalaksana pada bayi adalah dengan memberikan OAT berupa rifampisin dan INH
selama 9-12 bulan, sedangkan pirazinamid selama 2 bulan. ASI tetap diberikan dan tidak perlu kuatir
akan kelebihan dosis OAT karena kandungan OAT dalam ASI sangat kecil.
Apabila bayi tidak terkena TB kongenital ataupun TB perinatal tetapi ibu menderita TB
dengan BTA positif maka perlu perlakuan khusus pada bayinya yaitu bayi tetap diberikan ASI,
pemberian obat profilaksis INH 5-10 mg/kgBB/hari.
C. Tuberkulosis dengan HIV
Meningkatnya prevalens HIV membawa dampak peningkatan insidens TB serta masalah TB
lainnya, misalnya TB diseminata (milier), TB ekstrapulmonal, serta multi-drug resistance. Fenomena
ini dapat diamati pada daerah sub-Sahara di Afrika yang mempunyai angka pasien HIV dan ke-infeksi
TB cukup tingi. Demikian pula dengan Indonesia, kecenderungan peningkatan pengidap HIV positif,
terutama dengan meningkatnya pengguna narkoba, akan meningkatkan insidens TB dengan masalah-
masalah tertentu yang terjadi pada pengidap HIV positif. Seperti halnya pada dewasa, pada awal
infeksi HIV, saat irnunitas masih baik, tanda dan gejala TB tidak berbeda dengan anak tanpa HIV.
HIV menyebabkan imnunokompromais pada anak sehinggga diagnosis dan tata laksana TB
pada anak menjadi lebib sulit karena faktor – faktor berikut :
1. Beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan HIV, termasuk TB banyak mernpunyai
kemiripan gejala.
29
2. Interpretasi uji Tubërkülin kurang dapat dipercaya. Anak yang menderita
imunokompromais rnungkin menunjukkan hasil negatif meskipun sebenarnya telah
terinfeksi TB.
3. Anak yang kontak dengan orongtua pengidap HIV dengan sputum BTA positif mempunyai
kemungkinan terinfeksi TB mnaupun HIV. Jika hal ini terjadi, dapat terjadi kesulitan dalam
penatalaksanaan dan mempertahankan kepatuhan pengobatan.
Tanda atau gejala TB pada anak dengan HIV menjadi kurang spesifik sehingga tidak dapat
dijadikan pedoman untuk mendiagnosis TB. Manifestasi klinis yang kurang spesifik itu antara lain
adalah status gizi yang kurang/buruk, gejala infeksi kronis (demam, malaise), uji tuberkulin,
gambaran radiologis, respons terhadap OAT. Penyakit oportunis pada HIV juga dapat menyerang
paru sehingga menyerupai TB, misalnya pneumonia, lymphocytic interstitial pneumonitis (LIP),
bronkiektasis, sarkoma Kaposi pulmonal, Pneumocytis carinii, ataupun pneumonia karena jamur
Candida.
Mengingat adanya kondisi imunokompromais, cut-off point uji tuberkulin pada pasien HIV
diturunkan menjadi 5 mm, sehingga hasil indurasi 5 mm saja pada uji tuberkulin sudah dikategorikan
positif. TB paru pada bayi dapat bermanifestasi secara akut. Oleh karena itu, jika ibu mengidap HIV
dan TB, adanya TB paru harus dipikirkan pada bayi yang tidak rnemberikan respons terhadap
antibiotik standar. TB paru sukar dibedakan dengan LIP yang sering terjadi pada pasien dengan HIV
berusia di atas 2 tahun. Gejala khas LIP antara lain limfadenopati generalis dan simetris, pembesaran
kelenjar parotis dan jari tabuh.
Pengobatan TB pada anak dengan HIV belum ditetapkan secara pasti sampai saat ini.
Kebanyakan ahli berpendapat untuk memberikan paling sedikit 3 macam obat, misalnya rifampisin,
INH dan pirazinamid pada 2 bulan pertama, diikuti dengan pemberian rifampisin dan INH. Total lama
pemberian OAT adalah 9 bulan. Obat keempat, yaitu etambutol atau streptomisin diberikan pada TB
diseminata atau jika terdapat resistensi.
Kebanyakan pedoman terapi saat ini merekomendasikan pemberian paduan OAT selama 6
bulan. Akan tetapi, ternyata ditemukan bukti bahwa pada pasien dengan HIV terdapat respons yang
lebih rendah terhadap OAT dan angka relaps lebih tinggi. Respons klinis, radiologis dan
mikrobiologis terhadap pengobatan sebaiknya dievaluasi sebelum pengobatan dihentikan pada akhir
bulan ke-6. Jika respons klinis atau radiologis masih buruk, atau kultur M. tuberculosis positif setelah
fase intensif pengobatan, pemberian OAT harus diteruskan sampai minimal 9 bulan. Selain itu, harus
diselidiki penyebab kegagalan terapi, seperti ketidakteraturan berobat, absorpsi obat yang rendah dan
30
resistensi. Efektivitas lama pengobatan 9 bulan dibandingkan dengan pengobatan 6 bulan saat ini
masih dalam penelitian.
Tatalaksana TB pada anak dengan HIV yang sedang atau akan rnendapatkan pengobatan
antiretroviral harus dilakukan lebih hati-hati dan memperhatikan interaksi antara obat-obat yang
diberikan. lnteraksi antara obat TB dan antiretroviral dapat menyebabkan pengobatan HIV ataupun
TB menjadi tidak efektif, serta bertambahnya risiko toksisitas.
Keadaan klinis dan imunologis anak dengan HIV harus diperhatikan untuk menentukan hal-hal
berikut :
apakah pemberian OAT akan dimulai bersamaan dengan obat antiretroviral
apakah pernberian antiretroviral harus menunggu 2 bulan setelah pemberian OAT dimulai,
atau
apakah pengobatan TB harus diselesaikan dahulu sebelum pemberian antiretroviral dimulai.
Pada anak yang akan diberikan pengobatan TB pada saat sedang mendapatkan pengobatan
antiretroviral, harus dilakukan evaluasi kembali terhadap antiretroviral yang digunakan serta lamanya
pengobatan TB dengan paduan OAT tanpa rifampisin.
Terapi2,3,8
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
· Rifampisin
· INH
· Pirazinamid
· Streptomisin
· Etambutol
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
· Kanamisin
· Amikasin
· Kuinolon
31
· Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
· Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
o Kapreomisin
o Sikloserino PAS (dulu tersedia)
o Derivat rifampisin dan INH
o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
Kemasan
· Obat tunggal, Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol.
· Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari
3 atau 4 obat dalam satu tablet
Dosis OAT
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan
pasien dan
menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk
mengontrol epidemi TB
merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis
tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap
berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
32
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak
disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan
monoterapi
Tabel 3. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan
oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non
toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping
serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.
Efek Samping OAT :
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian
kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek
samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek samping ringan
dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di
kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg
perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan.
Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra). Efek samping berat dapat
berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis
33
imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan
khusus.
2. Rifampisin
· Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
· Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi,
rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah
pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat
dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu
khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan
khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan
arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna
untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis
yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu
setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan
okuler sulit untuk dideteksi
5. Streptomisin
34
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan
pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang
digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi
ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan
kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya
dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan
menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam
yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara
dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi
segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin
dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat
merusak syaraf pendengaran janin.
Tabel 4. Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya
Tabel 5, Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya
35
Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:
· Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara simptomatik
· Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit, umumnya disebabkan oleh INH
dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan
pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini
tidak bisa dilakukan terhadap obat lainnya
· Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal ginjal
karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIII karena streptomisin
dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon
· Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu pengobatan
perlun dipertimbangkan kembali dengan baik.
B. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
· TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
36
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau: 2 RHZE / 4R3H3 atau 2 RHZE/ 6HE
Paduan ini dianjurkan untuk:
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk memperpanjang fase lanjutan, dapat
diberikan lebih lama dari waktu yang ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi
· TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZ / 4 RH atau: 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE
· TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada
hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 5
bulan atau lebih, sehingga paduan obat yang diberikan : 2RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Bila diperlukan
pengobatan dapat diberikan lebih lama tergantung dari perkembangan penyakit.
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1
RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).
· TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 5 OAT (minimal
3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap diberikan. Lama pengobatan minimal selama
1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian
dilanjutkan sesuai uji resistensi
- Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1
RHZE/5
H3R3E3 (P2TB)
- Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
- Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
· TB Paru kasus putus berobat
37
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai
berikut :
- Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadual
- Pasien menghentikan pengobatannya ³ 2 bulan:
1) Berobat ³ 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif / perbaikan, pengobatan
OAT
STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB
dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan
dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang
lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal
2) Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka
pengobatan kategori II diulang dari awal
3) Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan radiologik positif:
pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama. Jika memungkinkan sebaiknya
diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi) terhadap OAT
· TB Paru kasus kronik
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada
hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 3 macam OAT yang masih
sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti
kuinolon, betalaktam, makrolid
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus
Penatalaksanaan TB paru di Rumah Sakit/ Klinik Praktek Dokter
38
C. PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak
ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan
atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada
prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit
komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain.
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah (profus)
39
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi rawat
D. TERAPI PEMBEDAHAN
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kaviti yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
· Bronkoskopi
· Punksi pleura
· Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh
40
· BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah
mendapatkan
pengobatan yang adekuat
· Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
· Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
E. EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat, serta
evaluasi keteraturan
berobat.
Evaluasi klinik
· Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
· Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi
penyakit
· Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
· Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
· Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
· Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi
Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
· Sebelum pengobatan
· Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat
41
dilakukan 1 bulan pengobatan)
· Pada akhir pengobatan
Evaluasi efek samping secara klinik
· Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap
· Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta asam urat
untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
· Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
· Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)
· Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada
keluhan)
· Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling
penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik
dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan
penanganan efek samping obat sesuai pedoman
Evalusi keteraturan berobat
· Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat
tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan
keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan
lingkungannya.
· Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
Evaluasi pasien yang telah sembuh Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal
dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal
yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan
sembuh. Evaluasi foto
toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
Tabel 6. Ringkasan paduan obat
42
Catatan :
l Obat yang digunakan dalam Program Nasional TB
PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS
A TB MILIER
· Rawat inap
· Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
· Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan evaluasi pengobatan,
maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang
· Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
- Tanda / gejala meningitis
- Sesak napas
- Tanda / gejala toksik
- Demam tinggi
43
· Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari, lama pemberian
4 – 6 minggu.
B. PLEURITIS EKSUDATIVA TB (EFUSI PLEURA TB)
Paduan obat: 2RHZE/4RH.
· Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan berikan kortikosteroid
· Dosis steroid : prednison 3 x 10 mg selama 3 minggu
· Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
· Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan
C. TB EKSTRA PARU (selain TB milier dan pleuritis TB)
Paduan obat 2 RHZE/ 10 RH.
Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya pengobatan untuk TB tulang, TB
sendi dan TB kelenjar.
Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan bedah dilakukan untuk :
· Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)
· Pengobatan :* perikarditis konstriktiva
* kompresi medula spinalis pada penyakit Pott's
Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk mencegah konstriksi jantung, dan pada
meningitis TB untuk menurunkan gejala sisa neurologik. Dosis yang dianjurkan ialah 0,5 mg/kg /hari
selama 3-6 minggu
D. TB PARU DENGAN DIABETES MELITUS (DM)
· Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan gula darah terkontrol
· Bila gula darah tidak terkontrol, atau pada evaluasi akhir pengobatan dianggap belum cukup, maka
pengobatan dapat dilanjutkan (bila perlu konsult ke ahli paru)
· Gula darah harus dikontrol
· Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata; sedangkan
pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
44
· Perlu diperhatikan penggunaan rifampisi karena akan mengurangi efektiviti obat oral anti diabetes
(sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
· Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi dini bila
terjadi kekambuhan
E. TB PARU DENGAN HIV / AIDS
Beberapa pasien yang datang berobat, mungkin diduga terinfeksi HIV atau menderita AIDS. Indikasi
untuk melakukan tes HIV dapat dilihat padatabel 7 di bawah ini.
· Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.
· Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan
dosisserta jangka waktu yang tepat
· Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan menyebabkan efek
toksikberat pada kulit
· Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril.
· Desensitisasi obat (INH,Rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik yang serius
pada hati
· Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan, selain
dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada
pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan,
karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam
serum
· Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2 RHZE/RH diberikan sampai 6-9
45
bulan setelah konversi dahak
· INH diberikan terus menerus seumur hidup.
· Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi / sesuai pedoman pengobatan MDR-TB
Waktu Memulai Terapi
l Waktu pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4 dan
sesuai denganrekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel 8)
Tabel 8. Pedoman pemberian ARV pada koinfeksi TB-HIV
*simptomatik, AIDS (+Kaposi/ Ca cervix / limfoma / wasting syndrome / pneumonia P. Carinii/
toksoplasmosis otak / retinitis virus sitomegalo / kandidiasis esofagus, trakea, bronkus, sel/mm3),
asimptomatik + viral load > 55.000 kopi/ml)
Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)
l Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan terjadinya efek
toksik OAT
l Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali Didanosin
(ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida
l Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan non-nukleotida dan inhibitor
protease.Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan
kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi
sampai saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan
F. TB PARU PADA KEHAMILAN DAN MENYUSUI
· Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan
· Obat antituberkulosis tetap dapat diberikan kecuali streptomisin, karena efek samping streptomisin
pada gangguan pendengaran janin
46
· Pada pasien TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan, walaupun beberapa OAT
dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan tidak menyebabkan toksik pada bayi
· Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga mendapat pengobatan OAT,
dianjurkan tidak menyusui bayinya agar bayi tidak mendapat dosis berlebihan
· Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin, dianjurkan untuk
tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan
efektiviti obat kontrasepsi hormonal berkurang.
1. TB Paru dan Gagal Ginjal
· Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan capreomycin
· Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya memanjang dan terjadi
akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan
pengawasan kreatinin
· Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, Ureum, Kreatnin)
· Rujuk ke ahli Paru
2. TB Paru dengan Kelainan Hati
· Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan
· Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
· Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH atau 2 SHE/10 HE
· Pada pasien hepatitis akut dan atau klinik ikterik , sebaiknya OAT ditunda sampai hepatitis
akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat diberikan S dan E
maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
· Sebaiknya rujuk ke ahli Paru
3. Hepatitis Imbas Obat
· Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced hepatitis)
· Penatalaksanaan
- Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) ® OAT Stop
47
- Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop
- Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:
Bilirubin > 2 ® OAT Stop
SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali ® teruskan pengobatan, dengan pengawasan
Paduan OAT yang dianjurkan :
· Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
· Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normal kembali (bilirubin,
SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis penuh (300 mg). Selama
itu perhatikan klinik dan periksa laboratorium saat INH dosis penuh , bila klinik dan laboratorium
normal , tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan).
Sehingga paduan obat menjadi RHES
· Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi
Komplikasi8
48
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :
- Batuk darah
- Pneumotoraks
- Luluh paru
- Gagal napas
- Gagal jantung
- Efusi pleura
49
Daftar pustaka
1. Price. A,Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC, 2004 : 85264.
2. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I ,
Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2006: 998-1005, 1045-9.
3. NN. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 27 Juli 2009. Available from
http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf
4. 4.Chandra P, Evelyn P. Tuberculosis. 22 Juli 2009. Available from http://
www.en.wikipedia.org/wiki/Tuberculosis
5. Nelson LJ, Schneider E, Wells CD, and Moore M.Nelson Textbook of Pediatrics. Chapter
XVII Infection : Section III Bacterial Infection: Tuberculosis. 18th edition. Philadelphia:
W.B.Saunders Company, 2007.
6. Rahajoe, Nastiti N., dkk, Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. UKK Pulmonologi PP
IDAI, Juni, 2005.
7. Tierney Jr., Lawrence M, Current Medical Diagnosis and Treatment. Chapter 9 Lung :
Pulmonary Infections: Pulmonary Tuberculosis, Mc Graw Hill, 2008.
8. Nasti R, Darmawan B S, dkk. Tuberkulosis. Bab 4. Buku ajar respirologi anak, edisi
pertama. IDAI 2008. 169-176.
50