Analisis furosemid dan hidroklorotiazida pada sediaan obat tradisional jamu dilakukan
dengan melarutkan serbuk Jamu Iboe, furosemid dan hidroklorotiazida dengan menggunakan
methanol. Khusus untuk furosemid dan hidroklorotiazida, karena keduanya berbentuk tablet
maka diserbukkan dahulu di dalam mortir masing-masing sebanyak dua tablet. Metanol
digunakan karena eluen yang digunakan juga methanol. Metanol juga merupakan pelarut polar
yang akan melarutkan bahan kimia tadi. Hal ini sesuai dengan sifat larutan ” like disolve like “
atau melarutkan sesama. (Adnan, 1987)
Lempeng KLT yang digunakan adalah silica GF254 karena silica ini akan berfluoresensi
pada spektroskopi pada panjang gelombang 254 nm. Silica dibuat dengan ukuran 7 cm x 5 cm
menyesuaikan tinggi dan lebar chamber. Kemudian pada sisi bawah ditarik garis setinggi 1 cm
sebagi garis start yang nantinya akan menjadi tempat penotolan sampel dan dari garis start ditarik
sepanjang 10 cm sebagai garis front nantinya akan menandakan elusi sudah cukup. Pada garis
start ditotolkan masing-masing sampel yaitu sebanyak 3 totolan kemudian keringkan (Gandjar,
2011)
Lempeng KLT yang telah ditotolkan sampel dimasukkan ke dalam chamber yang telah
berisi larutan eluen yang terdiri dari methanol : etil asetat dengan perbandingan 2 : 3 yaitu 2 ml
methanol dan 3 ml etil asetat. Perbandingan ini digunakan untuk mempermudah meletakkan
lempeng KLT karena chamber yang kecil sehingga jarak garis front dan start tidak terlalu dekat
ataupun jauh. Digunakan metanol dan asetil salisilat karena dalam pemilihan eluen harus
disesuaikan dengan senyawa atau bahan obat yang akan dianalisis, sehingga akan memperoleh
nilai Rf yang maksimal. Sifat methanol yang merupakan pelarut polar dan etil asetat yang
menengah polar. Eluen tersebut dimasukkan ke dalam chamber ditutup dan ditunggu sekitar 10
menit dengan tujuan eluen yang berada di dalam chamber tepat jenuh ketika akan digunakan
untuk mengelusi. Kemudian silica gel yang sudah ditotolkan sampel dimasukkan ke dalam
chamber dengan posisi berdiri tegak sehingga eluen yang naik akan tepat bersama-sama sampai
digaris front , garis start tidak boleh menyentuh eluen karena akan menyebabkan sampel yang
ditotolkan larut dalam eluen, Kemudian chamber ditutup,ditunggu hingga eluen mencapai garis
front. Elusi selesai pada saat eluen telah mencapai garis front. Silica dalam chamber diangkat
dengan menggunaka pinset dan dikeringkan. Kira-kira cukup kering silica diamati dibawah
spektroskopi sinar uv 254. Lempeng KLT dilihat di bawah UV 245 untuk melihat bercak yang
tidak terlihat secara visible. Penggunaan UV 254 dikarenakan lempeng silica gel yang digunakan
hanya dapat berflouresensi maksimal pada panjang gelombang 254, maka semua bercak terlihat
ketika dilihat pada UV 254. Lempeng kemudian disemprot dengan (Dragendorff atau besi (III)
klorida), Penambahan reagen ini berfungsi sebagai reagen penampak noda. Setelah itu diamati
noda yang timbul. Kemudian dikeringakan kembali lempeng KLT. Kemudian ukur jarak yang
ditempuh masing-masing bercak komponen sampel dan bercak standar. Baru kemudian
dimasukkan dalam rumus Rf. Bilangan Rf diperoleh dengan mengukur jarak antara titik awal
dan pusat bercak yang dihasilkan senyawa dan jarak ini kemudian dibagi dengan jarak antara
titik awal dan garis depan (jarak yang ditempuh cairan pengembang) (Gandjar dan Rohman,
2007).
Hasil yang diperoleh Rf standar Hidroklortiazid, Rf standar Furosemid, Rf jamu
berturut-turut : 0,904 cm , 0,865 cm , 0,942cm. Dua senyawa dikatakan idenitik jika mempunyai
nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi KLT yang sama pula. Jamu yang terudentifikasi
mengandung bahan kimia hidroklortiazid dilihat dari harga Rf yang hampir sama dengan HCT.
Gandjar, I.G dan Abdul Rohman. 2011. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Gandjar, Ibnu Tholib dan Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : UGM
Moch, Adnan. 1987. Teknik kromatografi untuk analisis bahan makanan. Yogyakarta : ANDI
Top Related