BAB I
PENDAHULUAN
Menghilangkan rasa nyeri merupakan hal yang sangat diinginkan oleh pasien
terutama .Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi nyeri ini adalah dengan
pemberian obat analgetika. Analgetika yang akan dibahas pada materi ini adalah yang
termasuk golongan anti inflamasi non-sterid yang dikenal dengan AINS yang memiliki
efek analgetika, anti piretika dan antiinflamasi. AINS banyak digunakan pada pasien
pediatric. Obat ini merupakan bahan aktif yang secara farmakologi tidak homogen dan
terutama bekerja menghambat produksi prostaglandin serta digunakan untuk perawatan
nyeri akut dan kronik. Obat ini mempunyai sifat mampu mengurangi nyeri, demam dengan
inflamasi, dan yang disertai dengan gangguan inflamasi nyeri lainnya.
Dalam prakteknya dokter selalu menanggulangi keluhan rasa sakit atau nyeri pada
pasien dengan pemberian obat - obatan analgetika sederhana, dan pada kenyataannya
belum mampu mengontrol rasa sakit akibat inflamasi. AINS merupakan sediaan yang
paling luas peresepannya terutama pada kasus-kasus nyeri inflamasi karena efeknya yang
kuat dalam mengatasi nyeri inflamasi tingkat ringan sampai sedang. Dalam peresepan
AINS hal yang terpenting adalah pertimbangan efek terapi dan efek samping yang
berhubungan dengan mekanisme kerja sediaan obat ini. Dimana efek samping AINS dapat
terjadi pada berbagai organ tubuh terpenting seperti saluran cerna, jantung dan ginjal.
Tentunya hal ini patutlah menjadi perhatian, khususnya menyangkut pengetahuan
farmakokinetik dan farmakologik obat atau patofisiologi proses penyakit yang akan
diterapi. Seiring dengan perkembangan sediaan AINS, para ahli mengupayakan penyediaan
obat ini dengan efek samping yang seminimal mungkin, diantaranya merubah formulasi
dan penemuan sediaan AINS baru. Akan tetapi ternyata sediaan terkinipun tidak mampu
memberikan solusi yang terbaik sebab disatu sisi memberikan efek samping minimal
terhadap suatu organ tubuh tertentu, tetapi memberi efek samping yang lebih besar
terhadap organ tubuh lainnya. Untuk itu hal yang terbaik dilakukan adalah menghindari
peresepan yang tidak diperlukan, sebab resikonya akan lebih besar jika kontraindikasi
AINS tidak diindahkan atau tidak menjadi perhatian yang utama, khususnya pemberian
pada anak. Untuk itu pemberian obat AINS ini perlu dikaji dengan seksama dan
melakuakan terapi medikamentosa secara rasional. .Tulisan ini diharapkan dapat
memberikan masukan yang bermanfaat dalam hal penggunaan dan pemilihan AINS.
BAB II
ISI
I. Nyeri dan Inflamasi
Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala, fungsinya memberi tanda
tentang adanya gangguan-gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi kuman
atau kejang otot. Rasa nyeri disebabkan rangsang mekanis atau kimiawi, kalor
atau listrik, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan melepaskan zat yan
disebut mediator nyeri (pengantara). Zat ini merangsang reseptor nyeri yang
letaknya pada ujung syaraf bebas di kulit, selaput lendir dan jaringan lain. Dari
tempat ini rangang dialaihkan melalui syaraf sensoris ke susunan syaraf pusat
(SSP), melalui sumsum tulang belakang ke talamus (optikus) kemudian ke pusat
nyeri dalam otak besar, dimana rangsang terasa sebagai nyeri.
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan
yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat
mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk mengaktifasi atau merusak
organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat
perbaikan jaringan. Jika penyembuhan lengkap, proses peradangan biasanya reda.
Namun kadang-kadang inflamasi tidak bisa dicetuskan oleh suatu zat yang tidak
berbahaya seperti tepung sari, atau oleh suatu respon imun, seperti asma atau
artritisrematid. Antiinflamasi adalah obat yang dapat mengurangi atau
menghilangkan peradangan.
Nyeri inflamasi, terjadinya nyeri oleh karena stimuli yang sangat kuat
sehingga merusak jaringan. Jaringan yang dirusak mengalami inflamasi dan
menyebabkan fungsi berbagai komponen nosiseptif berubah. Jaringan yang
mengalami inflamasi mengeluarkan berbagai mediator inflamasi, seperti:
bradikinin, leukotrin, prostaglandin, purin dan sitokin yang dapat mengaktivasi
atau mensensitisasi nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung. Aktivasi
nosiseptor menyebabkan nyeri, sedangkan sensitisasi nosiseptor menyebabkan
hiperalgesia. Meskipun nyeri merupakan salah satu gejala utama dari proses
inflamasi, tetapi sebagian besar pasien tidak mengeluhkan nyeri terus menerus.
Kebanyakan pasien mengeluhkan nyeri bila jaringan atau organ yang berlesi
mendapat stimuli, misalnya: sakit gigi semakin berat bila terkena air es atau saat
makan, sendi yang sakit semakin hebat bila digerakkan
II. Perkembangan Obat analgesik Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)
Obat analgesik anti inflamasi non steroid merupakan suatu kelompok
sediaan dengan struktur kimia yang sangat heterogen, dimana efek samping dan
efek terapinya berhubungan dengan kesamaan mekanisme kerja sediaan ini pada
enzim cyclooxygenase (COX). Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir
memberikan penjelasan mengapa kelompok yang heterogen tersebut memiliki
kesamaan efek terapi dan efek samping, ternyata hal ini terjadi berdasarkan atas
penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). Mekanisme kerja yang
berhubungan dengan biosintesis PG ini mulai dilaporkan pada tahun 1971 oleh
Vanedan kawan-kawan yang memperlihatkan secara invitro bahwa dosis rendah
aspirin dan indometason menghambat produksi enzimatik PG. Dimana juga telah
dibuktikan bahwa jika sel mengalami kerusakan maka PG akan dilepas. Namun
demikian obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrin, yang
diketahui turut berperan dalam inflamasi. AINS menghambat enzim
cyclooxygenase (COX) sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2
terganggu. Setiap obat menghambat cyclooxysigenase dengan cara yang berbeda.
AINS dikelompokkan berdasarkan struktur kimia, tingkat keasaman dan
ketersediaan awalnya. Sekarang yang popoler dikelompokkan berdasarkan
selektifitas hambatannya pada penemuan dua bentuk enzim constitutive
cyclooxygenase-1 (COX-1) dan inducible cycloocygenase-2 (COX-2). COX-1
selalu ada diberbagai jaringan tubuh dan berfungsi dalam mempertahankan
fisiologi tubuh seperti produksi mukus di lambung tetapi sebaliknya ,COX-2
merupakan enzim indusibel yang umumnya tidak terpantau di kebanyakan
jaringan, tapi akan meningkat pada keadaan inflamasi atau patologik. AINS yang
bekerja sebagai penyekat COX akan berikatan pada bagian aktif enzim, pada
COX-1 dan atau COX -2, sehingga enzim ini menjadi tidak berfungsi dan tidak
mampu merubah asam arakidonat menjadi mediator inflamasi prostaglandin.
AINS yang termasuk dalam tidak selektif menghambat sekaligus COX-1 dan
COX-2 adalah ibuprofen,indometasin dan naproxen. Asetosal dan ketorokal
termasuk sangat selektif menghambat menghambat COX-1. Piroxicam lebih
selektif menyekat COX-1, sedangkan yang termasuk selektif menyekat COX-2
antara lain diclofenak, meloxicam, dan nimesulid. Celecoxib dan rofecoxib
sangat selektif menghambat COX-2.
III. Obat golongan Antiinflamasi non Steroid
a. Turunan asam salisilat : aspirin, salisilamid,diflunisal
Aspirin adalah agen antiinflamasi yang tertua, merupakan penghambat
prostaglandin yang menurunkan proses inflamasi dan dahulu merupakan agen
antiinflamasi yang paling sering dipakai sebalum adanya ibuprofen. Aspirin
yang denga dosis tinggi untuk inflamasi menyebabkan rasa tidak enak pada
lambung.Pada situasi seperti ini, biasanya digunakan tablet enteric-coated.
Aspirin tidak boleh dipakai bersama-sama dengan NSAIA/NSAID karena
menurunkan kadar NSAIA/NSAID dalam darah dan efektifitasnya. Aspirin
juga dianggap sebagai obat antiplatelet untuk klien dengan gangguan jantung
atau pembuluh darah otak.
b. Turunan paraaminofenol : Paracetamol
Parasetamol (asetaminofen) seringkali dikelompokkan sebagai NSAID,
walaupun sebenarnya parasetamol tidak tergolong jenis obat-obatan ini, dan
juga tidak pula memiliki khasiat anti nyeri yang nyata.Merupakan
penghambat prostaglandin yang lemah.Parasetamol mempunyai efek
analgetik dan antipiretik, tetapi kemampuan antiinflamasinya sangat lemah.
Intoksikasi akut parasetamol adalah N-asetilsistein, yang harus diberikan
dalam 24 jam sejak intake parasetamol.
c. Turunan 5-pirazolidindion : Fenilbutazon, Oksifenbutazon.
Kelompok derivat pirazolon tinggi berikatan dengan protein.
Fenilbutazon (butazolidin) berikatan 96% dengan protein. Telah dipakai
bertahun-tahun untuk obat artritis rematoid dan gout akut.Obat ini
mempunyai waktu paruh 50-65 jam sehingga sering timbul reaksi yang
merugikan dan akumulasi obat dapat terjadi.Iritasi lambung terjadi pada 10-
45% klien. Agen lain: oksifenbutazon (tandearil), aminopirin (dipirin),
dipiron (feverall), jarang dipakai kerena reaksi yang ditimbulkannya karena
terjadi toksisitas. Reaksi yang paling merugikan dan berbahaya dari
kelompok ini adalah diskrasia darah, seperti agranulositosis dan anmeia
aplastik. Fenilbutazon hanya boleh dipakai untuk obat artritis dengan keadaan
NSAIA/NSAID yang berat dimana NSAIA/NSAID lainnya yang kurang
toksik telah digunakan tanpa hasil.
d. Turunan asam N-antranilat : Asam mefenamat, Asam flufenamat
Untuk keadaan artritis akut dan kronik.Dapat mengiritasi
lambung.Klien dengan riwayat tukak peptik jangan menggunakan obat ini.
Efek lain: edema, pusing, tinnitus, pruritus. Fenamanat lain: meklofenamanat
sodium monohidrat (meclomen), dan asam mefenamat (ponstel).
e. Turunan asam arilasetat/asam propionat : Naproksen, Ibuprofen,
Ketoprofen
Kelompok ini lebih relatif baru. Obat-obat ini seperti aspirin, tetapi
mempunyai efek yang lebih kuat dan lebih sedikit timbul iritasi
gastrointestinal—tidak seperti pada aspirin, indometacin, dan
fenilbutazon.Diskrasia darah tidak sering terjadi. Agen ini yaitu: fenoprofen
kalsium (nalfon), naproksen (naprosyn), suprofen (suprol), ketoprofen
(orudis), dan flurbiprofen (ansaid).
f. Turunan oksikam : Peroksikam, Tenoksikam, Meloksikam.
Piroksikam/feldene adalah NSAIA/NSAID baru.Indikasinya untuk
artritis yang lama seperti rematoid dan osteoartritis.Keuntungan utama, waktu
paruh panjang sehingga mungkin dipakai satu kali sehari. Menimbulkan
masalah lambung seperti tukak dan rasa tidak enak pada epigastrium, tetapi
jarang daripada NSAIA/NSAID lain. Oksikam juga tinggi berikatan dengan
protein.
g. Asam Paraklorobenzoat/asam asetat indol
NSAIA/NSAID yang mula-mula diperkenalkan adalah
indometacin/indocin, yang digunakan untuk obat rematik, gout, dan
osteoartritis.Merupakan penghambat prostaglandin yang kuat. Obat ini
berikatan dengan protein 90% dan mengambil alih obat lain yang berikatan
dengan protein sehingga dapat menimbullkan toksisitas. Indometacin
mempunyai waktu paruh sedang (4-11 jam).Indocin sangat mengiritasi
lambung dan harus dimakan sewaktu makan atau bersama-sama makanan.
Derivat asam paraklorobenzoat yang lain adalah sulindak (clinoril) dan
tolmetin (tolectin), yang dapat menimbulkan penurunan reaksi yang
merugikan daripada indometacin. Tolmetin tidak begitu tinggi berikatan
dengan protein seperti indometacin dan sulindak dan mempunyai waktu paruh
yang singkat.Kelompok NSAIA/NSAID ini dapat menurunkan tekanan darah
dan menyebabkan retensi natrium dan air.
h. Turunan asam fenilasetat : Natrium diklofenak
Diklofenak sodium (voltaren), adalah NSAIA/NSAID terbaru yang
mempunyai waktu paruh plasmanya 8-12 jam. Efek analgesik dan
antiinflamasinya serupa dengan aspirin, tetapi efek antipiretiknya minimal
atau tidak sama sekali ada. Indikasi untuk artritis rematoid, osteoartritis, dan
ankilosing spondilitis. Reaksi sama seperti obat-obat NSAIA/NSAID lain.
Agen lain: ketorelak/toradol adalah agen antiinflamasi pertama yang
mempunyai khasiat analgesik yang lebih kuat daripada yang lain. Dianjurkan
untuk nyeri jangka pendek. Untuk nyeri pascabedah, telah terbukti khasiat
analgesiknya sama atau lebih dibanding analgesik opioid.
IV. Natrium Diklofenak
a. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat sintesis
prostaglandin, mediator yang berperan penting dalam proses
terjadinya inflamasi, nyeri dan demam. Kalium diklofenak akan
diabsorbsi dengan cepat dan lengkap dan jumlah yang
diabsorbsi tidak berkurang jika diberikan bersama dengan
makanan. Kadar puncak obat dicapai dalam ½ -1 jam. Ikatan
protein 99,7%, waktu paruh 1-2 jam. Pemberian dosis berulang
tiidak menyebabkan akumulasi . eliminasi terutama melalui urin
Natrium diklofenak dalam bentuk CR/lepas-lambat
terkendali adalah salah satu tekonologi yang dikembangkan
untuk memperbaiki efikasi dan toleransi diklofenak.
Pengembangan formulasi yang canggih dengan teknologi tinggi
pada “drug delivery System” telah dilakukan oleh Klinge Pharma
GmbH dan telah dipasarkan di Indonesia dengan nama Deflamat
CR oleh PT. Actavis Indonesia. Deflamat CR (gabungan antara
teknologi Enteric-Coated dengan Sustained-Release ) memiliki
bentuk yang unik yaitu pelet CR dimana zak aktif terbagi dalam
ratusan unit sferis kecil ( pelet) yang akan menjamin penyebaran
yang baik dari zat aktif diseluruh saluran gastro-intestinal
sehingga akan memperbaiki toleransi gastro-intestinal dari obat
AINS.
Selain itu, dengan ukuran partikel yang kecil, pelet bisa
melintasi pilorus dengan cepat bersama kimus, dimana
transportasi menuju doudenum tidak bergantung pada
pengosongan lambung, sehingga waktu transit obat rata-rata
lebih cepat dan dengan sistem pelepasannya yang terkendali,
absorpsi yang cepat dan kontinyu memberikan kontribusi utama
untuk memperbaiki bioavilabilitas obat AINS.
Beberapa studi klinis natrium diklofenak yang diberikan sebagai
monoterapi atau kombinasi, menunjukkan obat ini efektif meredakan gejala
osteoartritis (OA) maupun reumatoid artritis (RA). Studi yang dilakukan di
Jerman terhadap 230 pasien menunjukkan, penggunaan diklofenak dalam sediaan
gel untuk pasien osteoartritis pada lulut terbukti efektif dan aman untuk
meredakan gejala osteoartritis pada lutut. Studi ini dimuat dalam Journal of
Rheumatology
b. Indikasi
Sebagai pengobatan jangka pendek untuk kondisi-kondisi
akut sebagai berikut:
- Nyeri inflamasi setelah trauma seperti terkilir.
- Nyeri dan inflamasi setelah operasi, seperti operasi gigi atau
tulang.
Sebagai adjuvant pada nyeri inflamsi yang berat dari
infeksi telinga, hidung, atau tenggorokan misalnya
tonsilofaringitis, otitis.
Sesuai dengan prinsip pengobatan umum, penyakitnya sendiri
harus diobati dengan terapi dasar. Demam sendiri bukan suatu
indikasi.
c. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap zat aktif dan tukak lambung. Juga
dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat tercetusnya
serangan asma, urtikaria atau rhinitis akut akibat obat-obat
anti nonsteroid lainnya
d. Peringatan dan perhatian
Hati-hati penggunaan pada penderita dekomposisi jantung
atau hipertensi, karena diklofenak dapat menyebabkan
retensi cairan dan edema.
Hati-hati penggunaan pada penderita gangguan fungsi
ginjal, jantung, hati, penderita usia lanjut dan penderita
dengan luka atau perdarahan pada saluran pencernaan.
Hindarkan penggunaan pada penderita porfiria hati.
Hati-hati penggunaan selama kehamilan karena diklofenak
dapat menembus plasenta.
Diklofenak tidak dianjurkan untuk ibu menyusui karena
diklofenak diekskresikan melalui ASI.
Pada anak-anak efektivitas dan keamanannya belum
diketahui dengan pasti.
e. Efek samping
Saluran pencernaan :
Kadang- kadang : nyeri epigastrum, gangguan saluran
pencernaan seperti mual, muntah, diare, kejang perut,
dyspepsia, perut kembung, anoreksia.
Jarang : perdarahan saluran pencernaan ( hematemesis,
melena, tukak lambung dengan atau tanpa perdarahan/
perforasi, diare berdarah )
Sangat jarang : gangguan usus bawah seperti
“nonspesifik haemorrhagic colitis” dan eksaserbasi
colitis ulseratif atau chron’s disease, stomatitis
aphthosa, glositis, lesi esophagus, konstipasi.
Saluran saraf pusat dan perifer :
Kadang- kadang : sakit kepala, pusing, vertigo
Jarang : perasaan ngantuk
Sangat jarang : gangguan sensasi ternasuk parestesia,
gangguan memori, disorientasi, gangguan penhlihatan (
blurred vision, diplopia ), gangguan pendengaran,
tinnitus, insomnia, iritabilitas, kejang, depresi,
kecemasan,mimpi buruk, tremor, reaksi psikotik,
gangguan perubahan rasa.
Kulit :
Kadang-kadang : ruam atau erupsi kulit
Jarang : urtikaria
Sangat jarang : erupsi bulosa , eksema, eritema
multiforme, SSJ, lyell syndrome ( epidermolisis toksik
akut ), eritrodema ( dermatitis exfoliatif ), rambut
rontok, reaksi fotosensitivitas, purpura termasuk
purpura alergi.
Sistem urogenital, fungsi hati, darah, hipersensitivitas,
susunan organ lainnya.
f. Interaksi obat
Apabila diberikan bersamaan dengan preparat yang
mengandung lithium atau digoxin, kadar obat-obat tersebut
dalam plasma meningkat tetapi tidak dijumpai adanya gejala
kelebihan dosis.
Beberapa obat antiinflamasi nonsteroid dapat
menghambat aktivitas dari diuretika. Pengobatan bersamaan
dengan diuretika golongan hemat kalium mungkin mungkin
disertai dengan kenaikan kadar kalium dalam serum.
Pemberian bersamaan dengan antiinflamasi nonsteroid
sistemik dapat menambah terjadinya efek samping. Meskipun
pada uji klinik diklofenak tidak mempengaruhi efek
antikoagulan, sangat jarang dilaporkan adanya penambahan
resiko perdarahan dengan kombinasi diklofenak dan
antikoagulan, oleh karena itu dianjrkan untuk dilakukan
pemantauan yang ketat terhadap pasien tersebut. Seperti
dengan anti inflamasi nonsteroid lainnya, diklofenak dalam
dosis tinggi (200 mg ) dapat menghambat agrregasi platelet
untuk sementara.
Uji klinik memperlihatkan bahwa diklofenak dapat
diberikan bersamaan dengan anti diabetic oral tanpa
mempengaruhi efek klinis dari masing-masing obat. Sangat
jarang dilaporkan efek hipoglikemik dan hiperglikemik dengan
adanya diklofenak sehingga diperlukan penyesuaian dosis
obat-obat hipoglikemik. Perhatian harus diberikan bila
antiinflamasi nonsteroid diberikan kurang dari 24 jam
sebelum atau setelah pengobatan dengan methotrexate
dalam darah dapat meningkat dan toksisitas dari pbat ini
bertambah. Penambahan nefrotoksisitas cyclosporine munkin
terjadi oleh karena efek obat-obat antiinflamasi nonsteroid
terhadap prostaglandin ginjal.
g. Dosis berlebih
Penanganan keracunan akut dengan antiinflamasi
nonsteroid pada dasrnya dilakukan dengan tindakan supportif
dan simptomatik. Tidak ada gambaran klinis yang khas dari
dosis berlebih diklofenak. Tindakan pengobatan yang
dilakukan dalam hal dosis berlebih adalah sebagai erikut :
absorbs harus dicegah segera setelah dosis berlebih dengan
pencucian lambungdan pengobatan dengan arang aktif.
Pegobatan suportif dan simptomatik harus diberikan untuk
komplikasi seperti hipotensi, gagal ginjal, kejang, iritasi
saluran pencernaan dan depresi pernapasan. Tetapi spesifik
seperti “ forced dieresis”, dialysis atau hemoperfusi mungkin
tidak membantu menghilangkan antirematik non steroid
karena jumlah ikatan protein yang tinggi.
h. Dosis
Umumnya takaran permulaan untuk dewasa 100-150
mg sehari. Pada kasus-kasus yang sedang , juga untuk anak-
anak di atas usia 14 tahun 75-100 mg sehari pada umumnya
sudah mencukupi. Dosis seharian harus diberikan dengan
dosis terbagi 2-3 kali. Tablet harus diberikan dengan air,
sebaiknya sebelum makan, tidak dianjurkan untuk pemakaian
anak-anak.
i. Nasib Obat dalam Tubuh
1. Absorpsi
Diklofenak pemberian topikal terabsorpsi ke dalam sirkulasi sistemik,
tetapi konsentrasi plasmanya sangat rendah jika dibandingkan dengan pemberian
oral. Pemberian 4 g Natrium diklofenak secara topikal (gel 1%) 4x sehari pada
satu lutut, konsentrasi mean peak plasma sebanyak 15 ng/ml terjadi setelah 14
jam. Pada pemberian gel ke kedua lutut dan kedua tangan 4x sehari (48 g gel
sehari), konsentrasi mean peak plasma sebanyak 53,8 ng/ml terjadi setelah 10
jam. Pemaparan sistemik 16 g atau 48 g sehari adalah sebanyak 6 atau 20% jika
dibandingkan dengan administrasi oral dosis 50 mg 3x sehari. Penggunaan heat
patch selama 15 menit sebelum pemakaian gel tidak berpengaruh terhadap
absorpsi sistemik.
2. Distribusi (AHFS 2010, hal.2087)
Untuk sediaan topikal, seperti gel, diklofenak tidak mengalami distribusi.
Sediaan oral, diklofenak terdistribusi ke cairan sinovial. Mencapai puncak 60-
70% yang terdapat pada plasma. Namun, konsentrasi diklofenak dan metabolitnya
pada cairan sinovial melebihi konsentrasi dalam plasma setelah 3-6 jam.
Diklofenak terikat secara kuat dan reversibel pada protein plasma, terutama
albumin.Pada konsentrasi plasma 0,15-105 mcg/ml, diklofenak terikat 99-99,8%
pada albumin.
Diklofenak pemberian topikal tidak mengalami distribusi.
3. Metabolisme (AHFS 2010, hal.2087; GG Ed.11, hal.698)
Metabolisme diklofenak secara jelas belum diketahui, namun
dimetabolisme secara cepat di hati. Diklofenak mengalami hidroksilasi, diikuti
konjugasi dengan asam glukoronat, amida taurin, asam sulfat dan ligan biogenik
lain. Konjugasi dari unchanged drug juga terjadi. Hidroksilasi dari cincin aromatic
diklorofenil menghasilkan 4′-hidroksidiklofenak dan 3′ hidroksidiklofenak.
Konjugasi dengan asam glukoronat dan taurin biasanya terjadi pada gugus
karboksil dari cincin fenil asetat dan konjugasi dengan asam sulfat terjadi pada
gugus 4′ hidroksil dari cincin aromatik diklorofenil. 3′ dan/atau 4′-hidroksi
diklofenak dapat melalui 4′-0. Metilasi membentuk 3′-hidroksi-4′-metoksi
diklofenak. Diklofenak pemberian topikal tidak mengalami metabolisme.
4. Eliminasi (AHFS 2010, hal.2087 dan GG Ed.11, hal.698)
Diklofenak dieksresikan melalui urin dan feses dengan jumlah minimal
yang dieksresikan dalam bentuk tidak berubah (unchanged). Eksresi melalui feses
melalui eliminasi biliari. Konjugat dari diklofenak yang tidak berubah
dieksresikan melalui empedu (bile), sementara metabolit terhidroksilasi dieksresi
melalui urin.
j. Kimia dan Farmakokinetika
AINS dikelompokkan dalam berbagai kelompok kimiawi. Sekalipun
ada banyak perbedaan dalam kinetika AINS, mereka mempunyai beberapa
karakteristik umum yang sama. Semua kecuali satu dari AINS adalah asam
organik lemak kecuali nabumeton. Sebagian besar obat-obat ini diserap
dengan baik, dan makanan tidak mempengaruhi bioavailibilitas mereka secara
substansial. Sebagian besar dari AINS sangat dimetabolisme, beberapa oleh
mekanisme fase 1I dan fase II dan lainnya hanya oleh glukoronidasi langsung
(fase II). Metabolisme dari sebagian besar AINS berlangsung sebagian
melalui enzin P450 kelompok CYP3A dan CYP2C dalam hati. Sekalipun
ekskresi ginjal adalah rute yang paling penting untuk eliminasi terakhir,
hampir semuanya melalui berbagai tingkat ekskresi empedu dan penyerapan
kembali (sirkulasi enterohepatis). Kenyataannya, tingkat iritasi saluran cerna
bagian bawah berkorelasi dengan jumlah sirkulasi enterohepatis. Sebagian
besar AINS berikatan protein tinggi (> 98 %), biasanya dengan albumin.
Beberapa AINS (misalnya ibuprofen) adalah campuran rasemik, sementara
naproksen tersedia sebagai enansiomer tunggal dan beberapa tidak
mempunyai pusat kiral (misalnya diklofenak). Semua AINS didapatkan dalam
cairan sinovial setelah pemberian berulang kali. Obat-obat dengan paruh
waktu pendek tinggal lebih lama dalam sendi-sendi dari pada yang bisa
diprediksi dari waktu paruh mereka, sedangkan obat-obat dengan waktu paruh
yang lebih panjang hilang dari cairan sinovial dengan laju yang sebanding
dengan waktu paruh mereka.
BAB IIIPENUTUP
Kesimpulan:Penggunaan AINS seharusnya dilakukan dengan sangat cermat. Berbagai penelitian telah
dilakukan untuk menentukan jenis obat yang paling aman. Akan tetapi setiap obat
memiliki efek samping dan daya kerja yang masing-masing disesuaikan dengan
kebutuhan dan kondisi sistemik pasien yang memerlukan pemberian obat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Goodman ., Gillman’s. The Pharmacological Basis of Therapeutics, 8th ed. Millan
Publishing Company,1990; 207-300.
Lelo A . NSAIDS: Friend or Foe, Journal of the Indonesia Dental Association.
Makassar 2005.
Neal,M.J., 2006, Farmakologi Medis, 70-71, Erlangga, Jakarta
Radde C., Macleod S.M. Pediatric Pharmacology and Therapeutics , 2 ed. Hipocrates,
1998, 665-7.
Sala A., Folco G. Actual Role of Prostaglandin in inflammation, in Drug invest, 1999.
4-9
Vane J.R., Botting R.M. Inhibition of prostaglandin synthesis’ as a mechanism of action
for aspirin-like drugs. Nature 1971; 231: 232 – 5.
Top Related