JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 219 - 230
219
KESADARAN KONSEP UCHI-SOTO PADA PEGAWAI
THORIS CO., LTD DENGAN PESERTA MAGANG (EP) DARI
AIESEC
Mercy Pinasthi Mulya
Rahaditya Puspa Kirana
Program Studi Studi Kejepangan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286
Email: [email protected]
Email: [email protected]
Abstrak
Konsep uchi-soto merupakan suatu konsep interaksi sosial yang telah menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat Jepang. Konsep uchi-soto adalah konsep yang membagi pola interaksi
menjadi uchi (orang dalam) dan soto (orang luar) sehingga membedakan sikap masyarakat Jepang
ketika mereka bersosialisasi dengan orang lain, baik dengan sesama orang Jepang atau non-Jepang.
Kesadaran akan konsep uchi-soto ini juga tampak pada pegawai di perusahaan Thoris Co., ltd
terlebih lagi ketika mereka berinteraksi dengan peserta magang (EP) dari AIESEC. Adanya
kesadaran konsep uchi-soto dalam pola interaksi pegawai Thoris Co., ltd ini membuat peneliti
tertarik untuk menelitinya. Penelitian ini menggunakan teori interaksi sosial dan konsep uchi-soto
kemudian teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam pada tiga pegawai di Thoris Co., ltd. Dengan pemakaian teori interaksi sosial serta konsep uchi-soto, hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa masing-masing dari informan menganggap bahwa konsep uchi-
soto ini dipandang sebagai patokan rambu-rambu dalam pola interaksi mereka serta membedakan
bagaimana pola bahasa yang mereka gunakan pada lawan bicara.
Kata kunci: uchi-soto, interaksi sosial, komunikasi
Abstract
The concept of uchi-soto is a concept of social interaction that has become part of the life of Japanese society. The concept of uchi-soto is a concept that divides interaction patterns into uchi
(insiders) and soto (outsiders) so as to distinguish the attitude of Japanese society when socializing
with other people, either fellow Japanese or non-Japanese. Awareness of the concept of uchi-soto
is also apparent to employees at Thoris Co., ltd especially when they interact with apprentices (EP)
from AIESEC. The awareness of the concept of uchi-soto in the interaction pattern of employees
of Thoris Co., ltd this makes the researcher interested to study it. This study uses the theory of
social interaction and concept of uchi-soto then data collection techniques using in-depth interview
method at three employees in Thoris Co., ltd. With the use of social interaction theory and the
concept of uchi-soto, researchers found that each of the informants considered that the concept of
uchi-soto is seen as a benchmark of the signs in their interaction patterns and distinguish how the
pattern of language they use on the other person.
Keywords: uchi-soto, social interaction, communication
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 219 - 230
220
1. Pendahuluan
Jepang dahulu menganut sistem keluarga tradisional yang disebut
dengan ie, yakni sistem kekeluargaan yang berisikan banyak orang meskipun
tidak berhubungan darah dalam satu rumpun keluarga. Implementasi dari
konsep ie ini terlihat pada sistem keluarga tradisional, dahulu suatu keluarga
dapat berisikan orang selain keluarga inti (ayah, ibu, anak-anak) tapi kakek,
nenek, saudara, bahkan orang lain yang bekerja pada keluarga tersebut dapat
termasuk menjadi satu ie.
Kata ie sendiri berasal dari kanji家 dan memiliki beberapa arti, yaitu
1) bangunan yang memiliki fungsi sebagai tempat tinggal, 2) keluarga, rumah
tangga, 3) sebuah grup yang berisikan satu anggota keluarga berdasarkan
kode sipil Jepang kuno, dan 4) garis keluarga yang berasal dari seorang
leluhur yang akan berlanjut di masa depan (Davies dan Ikeno, 2002: 119).
Meskipun kini konsep keluarga tradisional tak lagi digunakan sebagai
patokan keluarga di Jepang, tetapi konsep ie ini telah menjadi adat budaya
kekeluargaan di Jepang. Konsep keluarga ie yang majemuk membuat
masyarakat Jepang merasa terbiasa untuk menjadi bagian dari suatu
kelompok, oleh karena itu terdapat juga kriteria formasi kelompok di
masyarakat yang berupa “kerangka” dan “atribut”. Kerangka adalah kriteria
yang beriorientasi ke kelompok sosial dan menjadi indentifikasi dari
kelompok tertentu sedangkan atribut adalah kriteria yang berorientasi ke
individu seseorang dan mengidentifikasi individu tersebut di dalam sebuah
kelompok. Atribut dapat tergabung ke dalam sebuah kerangka maupun lebih
dan kerangka dapat dengan bebas menerima berbagai macam atribut maupun
mendepak atribut dari bagiannya (Chie, 1967: 1).
Konsep uchi-soto adalah konsep turunan dari konsep ie, di mana
konsep ini membagi pola interaksi ke dalam uchi (no mono) sebagai orang
dalam dan soto (no mono) sebagai orang luar. Orang yang merasa tergabung
dengan suatu grup tertentu biasanya akan menyebut dirinya sebagai uchi
sedangkan orang yang di luar grupnya akan dianggap sebagai soto. Strategi
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 219 - 230
221
komunikasi berbasis uchi-soto ini kerap digunakan orang Jepang sebagai
ekspresi interaksi sosialnya (Maynard, 1997: 32).
Dari kesadaran akan konsep uchi-soto di interaksi sosial orang Jepang
dapat berimbas pada gaya bahasa yang digunakan. Apabila berbicara dengan
orang yang dianggap sebagai uchi, akan cenderung menggunakan bahasa non-
formal sedangkan bila berbicara dengan orang yang dianggap sebagai soto maka
akan cenderung menggunakan bahasa formal dan sopan untuk menghormati orang
luar tersebut.
Kesadaran tentang konsep uchi-soto ini teraplikasikan secara luas di
Jepang, tak hanya di kalangan masyarakat biasa saja tapi juga teraplikasikan pada
perusahaan di Jepang. Dalam perusahaan selain pekerja tetap ada juga pekerja
magang. Pekerja magang adalah pekerja tidak tetap yang bekerja dalam kurun
waktu tertentu sesuai dengan kontrak. Sistem magang di Jepang berlangsung
dalam jangka yang lama (hingga 5 tahun) dan pilihan lapangan pekerjaannya pun
bervariasi tetapi cenderung pada pekerjaan lapangan dan praktik. Saat ini pekerja
magang di Jepang dapat dilakukan oleh orang-orang dari luar Jepang sehingga
kesempatan untuk bersentuhan dengan kultur baru menjadi lebih bersar.
Salah satu perusahaan yang menerapkan sistem pekerja magang adalah
Thoris Co., ltd cabang Tokyo1, suatu perusahaan desain grafis di mana perusahaan
tersebut sejak tahun 2015 mulai menerima pekerja magang internasional bekerja
sama dengan AIESEC (pekerja magang tersebut disebut sebagai EP). EP adalah
pekerja magang yang dinaungi oleh lembaga AIESEC, yaitu organisasi
kepemudaan internasional yang tidak dibawahi oleh organisasi politik maupun
pemerintah yang bertujuan untuk mengembangkan potensi kepemimpinan
generasi muda yang telah berdiri sejak tahun 1948.
Perbedaan EP dengan pegawai magang biasa adalah status EP yang masih
menjadi mahasiswa aktif universitas sehingga EP bukan dari kalangan umum
(https://www.aiesec.org/about-us). AIESEC sendiri lebih mengedepankan anak-
anak muda yang ingin mendapatkan pengalaman kepemimpinan baru melalui
1 Perusahaan Thoris Co., ltd berdiri pada tahun 2003 di Tokyo dan memiliki 2 cabang lain, yakni
di Fukuoka dan Niigata. Per-bulan April 2017 jumlah pekerja sekitar 30 orang.
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 219 - 230
222
bekerja magang di luar negeri. Hingga saat ini AIESEC telah tersebar hingga ke
125 negara dengan jumlah anggota lebih dari puluhan ribu.
Pada perusahaan Thoris Co., ltd, pegawai-pegawai yang biasanya hanya
berinteraksi dengan sesama orang Jepang dihadapkan pada tantangan untuk
bersosialisasi dengan EP. Dalam situasi tersebut, akan terlihat bagaimana sikap
dari pegawai Thoris Co., ltd apakah mereka menganggap EP sebagai anggota dari
uchi no mono perusahaan, ataukan menjadi soto no mono perusahaan. Oleh karena
itu, permasalahan yang akan diangkat adalah bagaimana bentuk kesadaran tentang
konsep uchi-soto pada pegawai Thoris Co., ltd ketika berinteraksi dengan pekerja
magang (EP) dari AIESEC yang bekerja magang di perusahaan mereka?
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian deskriptif-kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong,
2002: 3) penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati. Penelitian ini
lebih sesuai menggunakan metode kualitatif karena mengangkat permasalahan
yang terjadi di lingkungan kerja perusahaan Thoris Co., ltd dan peneliti
mengamati kejadian dari kesadaran konsep uchi-soto di dalam perusahaan tersebut.
Penelitian kualitatif juga dianggap dapat memberikan gambaran dari sebab-akibat
suatu kejadian, hubungan persoalan yang terjadi di suatu tempat.
Lokasi penelitian di perusahan Thoris Co., ltd cabang Tokyo. Alasan
pemilihan Thoris Co., Ltd sebagai lokasi penelitian adalah karena peneliti pernah
melakukan magang di selama enam bulan perusahaan ini. Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah dengan wawancara mendalam pada tiga informan
yaitu Saitou, Oohara, dan Matsumoto. Selain itu, peneliti juga melakukan
observasi partisipatoris di mana peneliti turut serta mengikuti program magang
AIESEC dan menjadi EP di perusahaan tersebut. Penentuan informan untuk
wawancara yaitu pegawai Thoris Co., ltd dengan kriteria pegawai yang telah
bekerja selama lima tahun, pernah bertemu dan berinteraksi dengan EP ketika
bekerja maupun di luar jam kerja, dan tidak terbatas pada gender tertentu demi
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 219 - 230
223
mendapatkan data dari berbagai sudut pandang. Kemudian setelah data terkumpul,
peneliti akan menganalisis data-data dengan mengumpulkan dan menyaring data
yang dibutuhkan, menarik data-data dari wawancara dan observasi, lalu menarik
kesimpulan.
3. Hasil Dan Pembahasan
Konsep uchi-soto adalah turunan dari sistem ie yang membedakan
pola interaksi antara orang dalam (uchi) atau orang luar (soto). Konsep orang
dalam-orang luar ini terfleksikan dalam diagram yang disusun oleh
Kuwayama (dalam Adams dkk, 2009: 6).
Gambar 1: Diagram posisi diri sendiri di dalam lingkup uchi-soto
Pada diagram tersebut, terlihat 私 watashi atau diri sendiri hadir di tengah-
tengah lingkungan miuchi atau keluarga, kemudian disusul oleh uchi atau orang
dalam. Lalu terdapat zona liminal yakni zona transisi atau batas antara siapa saja
yang menjadi bagian dari uchi atau soto. Kemudian ada soto atau orang luar dan
juga tannin yakni orang asing.
Dalam konsep ini tidak ada aturan jelas tentang keanggotaan uchi-soto
karena konsep ini lentur. Seperti teori kerangka dan atribut oleh Nakane Chie,
bahwa kerangka (sosial masyarakat) dapat dengan bebas memasukkan siapa saja
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 219 - 230
224
anggota dari atribut (individu) dan atribut bebas untuk bergabung dengan
kerangka mana saja.
Dari hasil wawancara kepada ketiga informan, dapat terlihat bahwa ada
kesadaran akan konsep uchi-soto pada diri masing-masing informan namun
meskipun begitu mereka tidak terlalu ketat dalam menjalankan konsep uchi-soto
ketika berinteraksi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan informan sebagai berikut:
“気になるところもあるけど、自分は深ふか
く意識い し き
したことはあまりない。
Ki ni naru tokoro mo arukedo, jibun wa fukai ishiki shita koto wa
amarinai.
“Ada rasa peduli namun aku tidak terlalu sadar (tentang
munculnya konsep itu).”
(Saitou, 2018)
“節度のようなことでしょうか。日本では多少は必要と思います。”
Setsudou no youna koto deshouka. Nihon de wa tashou wa
hitsuyou to omoimasu.
“Apakah ini seperti sebuah standar? Kurasa sedikit banyak
diperlukan di Jepang.”
(Oohara, 2018)
Berdasarkan jawaban dari Saitou dan Oohara, terlihat bahwa mereka
memiliki persepsi konsep uchi-soto berbeda-beda. Saitou menyadari konsep uchi-
soto ada namun tidak terlalu menyadari sedangkan Oohara merasa bahwa konsep
tersebut diperlukan karena dapat dijadikan sebagai standar berinteraksi sosial.
Konsep uchi-soto ini tetap dianggap penting di masyarakat Jepang dan menjadi
patokan norma bersosialisasi tetapi masyarakat Jepang cenderung tidak sadar
telah melakukan konsep uchi-soto. Dalam hal ini ketidaksadaran disebabkan oleh
konsep uchi-soto telah menjadi adat budaya di Jepang sehingga mereka telah
terbiasa melakukannya.
Konsep uchi-soto juga tetap perlu dipertahankan namun mengikuti situasi
dan kondisi tertentu seperti bila sedang di lingkungan kerja atau lingkungan luar
kerja khususnya ketika berinteraksi dengan EP dari AIESEC. Menurut mereka,
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 219 - 230
225
konsep uchi-soto tidak perlu dipaksakan harus berjalan ketika berinteraksi sosial
dengan EP karena EP bukan berasal dari Jepang dan dengan waktu interaksi yang
singkat ingin lebih menjadi dekat dengan EP.
“どちらかにしないといけないなら「外」でもあり「内」でもある。客観的に
見ると自分の意思だけではなく外部からの支援やきっかけ、私の中に
「アイセックからのお客様」という意識も少しあったから。でも一緒に職
場での時間は間違いなく「内」。そこに「アイセック」や「EP」とかそういう
気持ちは芽生えることなく、普通にみんなが「仲間」っていう気持ちしか
なかったから。”
Dochira ka ni shinai to ikenai nara “soto” demo ari “uchi” demo
aru. Kyakkanteki ni miru to jibun no ishi dake de wa naku gaibu
kara no shien ya kikkake, watashi no naka ni “Aisekku kara no
okyaku sama” to iu ishiki mo sukoshi atta kara. Demo isshhoni
shokuba de no jikan wa machigainaku “uchi”. Soko ni “Aisekku”
ya “EP” toka sou iu kimochi wa nuboeru koto naku, futsuu ni
minna ga “nakama” tte iu kimochi shika nakattakara.
“Jika harus mengkategorikan, EP bisa menjadi ‘orang luar’ juga
‘orang dalam’. Kalau dilihat secara obyektif, tidak hanya dari dari
tujuan saja tapi juga dari alasan eksternal dukungan dari luar.
Dalam diriku aku sedikit merasa bahwa EP adalah ‘tamu dari
AIESEC’. Tetapi pada saat berada di dalam tempat kerja yang
sama tidak salah lagi EP adalah bagian dari ‘orang dalam’. Dari
situlah tanpa berpikiran membedakan ‘AIESEC’ kah ataukah ‘EP’,
semuanya melebur tergabung menjadi satu ‘rekan sesama’.”
(Saito, 2018)
“相手によります。社外の人とはきちんとすると思います。ただし、親し
い間柄であれば少し緩和すると思います。”
Aite ni yorimasu. Shagai no hito to wa kichinto suru to omoimasu.
Tadashi, shitashii aidagara de areba sukoshi kanwa suru to
omoimasu.
“Tergantung kepada lawan bicara. Kalau dengan orang di luar
perusahaan pastinya akan melakukannya dengan akurat, namun
kalau dengan orang yang dekat maka akan jadi sedikit lebih rileks.”
(Oohara, 2018)
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 219 - 230
226
Berdasarkan tanggapan dari dua informan di atas dapat terlihat keluwesan
konsep uchi-soto di mana keanggotaan dari uchi-soto dapat berubah-ubah sesuai
dengan kondisi dan situasi yang terjadi. Dalam pendapat Saitou menunjukkan
keluwesan di mana ia melihat status EP sebagai orang dalam perusahaan namun
ada juga perasaan bahwa EP tidak sepenuhnya menjadi orang dalam perusahaan
karena statusnya sebagai tamu dari AIESEC. Meskipun begitu ia tetap
beranggapan bahwa apabila sudah bekerja dan duduk di satu tempat, maka orang
tersebut termasuk ke dalam lingkup orang dalam.
Tanggapan dari Oohara lebih menitikberatkan pada siapa lawan bicaranya.
Ia baru akan mengaplikasikan konsep uchi-soto dengan patuh apabila sedang
bersosialisasi dengan orang di luar perusahaan tempatnya bekerja. Hal ini
dilakukan selain sebagai formalitas, juga untuk membedakan status antara dirinya
dengan lawan. Jika ia sedang bersama temannya, ia cenderung untuk melepaskan
konsep uchi-soto.
Selain itu ada keragaman kesadaran dan pandangan atas konsep uchi-soto
di diri mereka. Meskipun informan adalah sesama rekan kerja dan teman, tetapi
masing-masing memiliki persepsi berbeda tentang keanggotaan dari konsep uchi-
soto. Baik Saitou maupun Oohara beranggapan bahwa EP termasuk ke dalam uchi
no mono atau orang dalam di perusahaan (meskipun tidak menganggap
kedudukannya sejajar) karena sama-sama bekerja di satu perusahaan sedangkan
pendapat dari Matsumoto berbeda.
“同じとは思っていません。仕事への責任はありませんので。ただ、EP
は EPでとても尊敬できる存在と思っています。”
Onaji to wa omotteimasen. Shigoto he no sekinin wa arimsen
node. Tada, EP wa EP de totemo sonkei dekiru sonzai to
omotteimasu.
“Aku tidak menganggap sama karena tanggung jawab terhadap
pekerjaan tidak ada. Tetapi bagaimanapun juga, EP adalah EP
yang mana kedudukan maupun posisinya sebisa mungkin
kuhormati.”
(Oohara, 2018)
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 219 - 230
227
Matsumoto menganggap bahwa EP adalah soto no mono dari perusahaan
karena mempertimbangkan cara masuk EP ke dalam perusahaan dan lamanya EP
berada di Thoris Co., ltd. Akan tetapi, meskipun Matsumoto dengan tegas
menyatakan bahwa EP termasuk sebagai soto no mono Matsumoto tetap berusaha
menjaga hubungan baiknya dengan para EP, mengingat ia juga menjadi rekan
kerja di satu perusahaan.
“会社の外一時的なものだから”
Kaisha no soto, ichijiteki na mono dakara.
“EP termasuk orang luar dari perusahaan karena sifat kehadiran
mereka yang sementara.”
(Matsumoto, 2018)
Konsep uchi-soto ini juga mempengaruhi gaya bahasa yang digunakan
oleh pegawai Thoris Co., ltd. Gaya bahasa informal dipakai sebagai penunjuk
kedekatan antara individu dengan orang lain di mana sikap ini merujuk pada sikap
“honne” yakni sikap berkata jujur sesuai isi hati dan “tatemae” sikap yang lebih
disesuaikan kepada lawan bicara atau sosial sekitar (tidak sejujurnya). Gaya
bahasa yang digunakan oleh pegawai Thoris Co., ltd ketika berbicara dengan EP
cenderung memakai bahasa non-formal. Hal ini dikarenakan mereka ingin
berteman baik dengan EP.
普通仲良くなりたいから
Futsuu. Nakayoku naritai kara.
“Bahasa informal.Aku ingin berteman baik dengan EP.”
(Matsumoto, 2018)
普通だったと思います。多少は丁寧だったかもしれませんが。普通に
話すのは親しみを込めて、丁寧に話すのは尊敬の意味を込めてです。
Futsuu datta to omoimasu. Tashou wa teinei datta kamo
shiremasen ga. futsuu ni hanasu no wa shitashimi wo komete,
teinei ni hanasu no wa sonnkei no imi wo komete desu.
“Kupikir gaya bahasa futsuu kei. Kurang lebih mungkin aku tetap
memakai bahasa yang sopan. Berbicara dalam bahasa informal
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 219 - 230
228
adalah untuk menerapkan keakraban, berbicara menggunakan
bahasa yang sopan (formal) adalah untuk menunjukkan rasa
hormat, respek kepada pembicara.”
(Oohara, 2018)
普通の言葉を使ってたと思います。日本語の敬語は難しく伝わりに
くいことと、少ない時間でより近づけるようにしたかったから、固い言葉
は使いませんでした。
Futsuu no kotoba wo tsukatteta to omoimasu. Nihon go no keigo
wa muzukashiku tsutawari nikui koto to, sukunai jikan de yori
chikadzukeru youni shitakatta kara, katai kotoba wa tsukaimasen
deshita.
“Kupikir aku menggunakan bahasa informal. Bahasa sopan atau
keigo dalam bahasa Jepang sukar dan susah untuk
menyampaikannya dan karena waktu yang pendek itu ingin
menjadi lebih dekat, aku tidak memakai bahasa yang kaku ketika
berbicara.”
(Saito, 2018)
Dari jawaban ketiga informan gaya bahasa yang cenderung dipakai oleh
mereka adalah gaya bahasa informal. Kecenderungan ini disebabkan karena para
informan ingin mengakrabkan diri dengan EP, juga karena pertimbangan bahasa
formal akan menyulitkan proses interaksi sosial. Jika hal ini dilihat hubungannya
dengan konsep uchi-soto, gaya bahasa informal yang dipakai oleh informan
kepada EP merupakan sebuah bentuk keakraban. Hal ini juga menunjukkan
bahwa informan yang merupakan pegawai Thoris telah menganggap bahwa EP
juga termasuk ke dalam anggota uchi no mono perusahaan.
4. Simpulan
Dari hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa pegawai Thoris
Co., ltd menganggap penting konsep uchi-soto dalam interaksi mereka sehari-hari
baik dengan sesama rekan kerja maupun ketika berinteraksi dengan EP. Walaupun
para informan menganggap konsep uchi-soto sebagai patokan namun mereka
sendiri tidak terlalu memikirkan atau menerapkan secara ketat tentang konsep
uchi-soto ketika berinteraksi sosial. Terlebih lagi ketika berinteraksi dengan para
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 219 - 230
229
EP yang berasal dari luar Jepang karena memaksakan konsep uchi-soto akan
menghambat interaksi sosial dan kedekatan antara pegawai dengan EP.
Selain itu konsep uchi-soto yang telah melebur menjadi bagian dari adat
budaya dari masyarakat Jepang pun cenderung tanpa sadar telah mempraktikkan
konsep tersebut dalam kegiatan sehari-hari. Seperti penjelasan dari informan
Saitou, ia merasa bahwa konsep tersebut ada tetapi ia tidak terlalu m
Kesadaran konsep uchi-soto tersebut tampak pada pandangan mengenai
status EP bagi mereka, apakah EP termasuk sebagai orang dalam atau orang luar.
Jawaban yang diberikan pun beragam, Saito dan Oohara menganggap EP adalah
orang dalam perusahaan dikarenakan EP sama-sama bekerja di perusahaan Thoris
Co., ltd sedangkan Matsumoto menganggap bahwa EP adalah orang luar
perusahaan dikarenakan proses masuk dan jangka waktu kerja yang singkat.
Kesadaran konsep uchi-soto pada masing-masing informan dapat dilihat
pada pertimbangan kapan saatnya mereka memakai bahasa informal dan formal
ketika berbicara. Penggunaan bahasa informal menunjukkan tentang kedekatan
dari si pembicara dengan lawan bicaranya. penggunaan bahasa formal atau non-
formal untuk menunjukkan rasa hormat, tapi juga dari anggapan seberapa
dekatnya informan dengan lawan bicara.
Konsep ini begitu lentur karena bisa saja walaupun sama-sama menjadi
rekan satu tempat kerja, belum tentu menjadi bagian dari uchi malah dianggap
sebagai soto no mono atau orang luar, sebaliknya meskipun berasal dari luar
perusahaan bisa saja dianggap menjadi bagian dari uchi no mono atau orang
dalam. Penentuan keanggotaan ini dipengaruhi dari bagaimana informan
memandang kedudukan dari lawan bicaranya dan membuktikan betapa luwesnya
konsep uchi-soto ini.
Daftar Pustaka
Buku:
Davies, Roger J dan Osamu Ikeno. 2002. The Japanese Mind. Boston: Tuttle
Publishing
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 219 - 230
230
Moleong, Lexy. J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Nakane, Chie. 1981. Masyarakat Jepang. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan
Jurnal:
Adams, Murata K. dan Orito Y. Agustus 2009.The Japanese Sense of Information
Policy.Supported by Global Research Award from the UK’s Royal Academy
of engineering.
Maynard, Senko K. 1997. Japanese Communication: Language and Thought in
Context. University of Hawaii Press.
Website:
Thoris Co., ltd http://www.thoris.jp/company (diakses 17 April 2018)
AIESEC https://www.aiesec.org/about-us (diakses 17 April 2018)
PDF:
Ministry of Japan “New Technical Intern Training Program” (April, 2017)
Data Wawancara:
Wawancara terhadap Saitou, 2018.
Wawancara terhadap Matsumoto, 2018.
Wawancara terhadap Oohara, 2018.
Top Related