BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis.1 Diperkirakan 1/3 dari penduduk dunia tanpa
diketahui terinfeksi kuman ini dan sekitar 95% penderita TB paru berada di
negara berkembang, dimana 75% di antaranya adalah usia produktif.2
Depresi merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai dengan
hilangnya energi dan minat, perasaan bersalah, kesulitan berkonsentrasi,
hilangnya nafsu makan, dan pikiran tentang kematian atau bunuh diri. Anxietas
adalah perasaan yang ditandai oleh rasa ketakutan yang difus, tidak
menyenangkan dan samar-samar, sering kali disertai oleh gejala otonomik seperti
nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, kekakuan pada dada, dan gangguan lambung
ringan. Kombinasi gejala depresi dan anxietas menyebabkan gangguan fungsional
yang bermakna pada orang yang terkena.3
Penelitian yang diadakan di Peru didapatkan Pasien MDR-TB yang
mengalami depresi dan anxietas sebanyak 52,2%. Di Pakistan didapatkan 72%
pasien dengan diagnosis TB mengalami depresi dan anxietas.4 Penelitian di RS
Dr. Mohammad Hoesin Palembang didapatkan penderita TB paru rawat jalan
yang mengalami depresi sebanyak 30.8% dari 39 sampel, dan 100% pada rawat
inap dari 7 sampel.5
Pada beberapa orang yang menderita penyakit kronik seperti TB, risiko
terjadinya depresi dapat diperburuk oleh adanya masalah sosial ataupun hubungan
dengan masyarakat sekitar dan buruknya tingkat kesehatan yang dirasakan oleh
penderita. Gangguan depresi juga berkaitan dengan pengobatan TB. Beberapa
obat yang digunakan dalam tatalaksana TB dapat menyebabkan penderitanya
mengalami gangguan mental berupa depresi, anxietas ataupun psikosis. Selain itu,
pemberian obat untuk gangguan mental pada penderita TB juga harus
diperhatikan karena interaksi obat-obat ini dapat menyebabkan efek yang tidak
baik. Oleh karena itu, sangat penting untuk memperhatikan hubungan antara
pengobatan TB dan gangguan mental yang menyertainya.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI PASIEN
1. Nama : Ny. M
2. Tanggal Lahir/Umur : 27 Desember 1965 / 49 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
5. Pendidikan : SMP
6. Agama : Islam
7. Alamat : PSI Lautan Lrg. Chotib No. 1128 Palembang
8. Status Perkawinan : Menikah
9. Warga Negara : Indonesia
A. STATUS INTERNUS
- Keadaan Umum
Sensorium : Compos Mentis
Suhu : 36,7oC
Nadi : 88 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 20 x/menit
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Turgor : Baik
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 155 cm
Status Gizi : 20,81 (normoweight)
- Sistem Kardiovaskular : tidak ada kelainan
- Sisem Respiratorik : TB paru
- Sistem Gastrointestinal : tidak ada kelainan
- Sistem Urogenital : tidak ada kelainan
- Kelainan Khusus : tidak ada kelainan
2
B. STATUS NEUROLOGIKUS
- Urat Syaraf Kepala (panca indera) : tidak ada kelainan
- Gejala Rangsang Meningeal : tidak ada kelainan
- Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial : tidak ada kelainan
- Mata : - Gerakan : baik ke segala arah
- Persepsi Mata : baik, diplopia tidak ada, visus
normal
- Pupil : bentuk bulat, sentral, isokor, Ø
3mm, reaksi cahaya +/+, reaksi
konvergensi +/+
- Refleks Kornea : +/+
- Pemeriksaan Oftalmoskopi : tidak dilakukan
- Motorik :
- Tonus : eutoni
- Koordinasi : baik
- Turgor : baik
- Refleks : fisiologis +/+ normal, patologis -/-
- Kekuatan : otot lengan +5/+5, otot tungkai +5/+5
- Sensibilitas : tidak ada kelainan
- Susunan Saraf Vegetatif : tidak ada kelainan
- Fungsi Luhur : tidak ada kelainan
- Kelainan khusus : tidak ada
C. ANAMNESIS
Identitas alloanamnesis (pasien datang ke Poliklinik Jiwa RSMH Palembang atas
konsul dari bagian penyakit dalam)
1. Nama : Sri Hastuti
2. Umur : 28 tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
3
5. Pendidikan : SMA
6. Agama : Islam
7. Alamat : PSI Lautan Lrg. Chotib No. 1128 Palembang
8. Hubungan dengan pasien : Anak kandung pasien
- Sebab Utama
Os sulit tidur
- Keluhan Utama
Kepala terasa berat
- Riwayat Perjalanan Penyakit
± 9 bulan yang lalu, pasien sering batuk berdarah, banyaknya 1
sendok makan setiap batuk. Pasien juga mengeluh tidak nafsu makan,
berat badan menurun, demam tidak terlalu tinggi dan berkeringat pada
malam hari. Pasien kemudian berobat ke dokter dan didiagnosis menderita
TB (Tuberkulosis) paru. Os diberi obat yang rutin diminum selama 6
bulan. Setelah konsumsi obat selama 6 bulan, pasien di-rontgen dan
dinyatakan masih menderita TB paru. Pasien kemudian diberi obat suntik
dan obat kuning selama 2 bulan. Setelah pengobatan selesai, pasien
dinyatakan sembuh.
± 8 bulan yang lalu, pasien sering melamun dan sering menangis
tiba-tiba jika teringat anak laki-lakinya yang tiba-tiba meninggal. Selain
itu, pasien juga mengeluh nafsu makan menurun. Pasien masih mampu
mengurus dirinya sendiri seperti makan, minum, mandi dan berpakaian.
Pasien masih sering bersosialisasi dengan tetangga di sekitar rumah.
Riwayat sulit tidur, sering berbicara sendiri, mudah curiga, sering marah,
mendengar bisikan, mengamuk dan muncul keinginan untuk bunuh diri
disangkal.
± 1 bulan yang lalu, pasien mengeluh batuk berdarah lagi,
banyaknya 2 sdm setiap batuk. Pasien juga mengeluh tidak nafsu makan,
berat badan menurun, demam tidak terlalu tinggi dan berkeringat pada
malam hari. Pasien berobat kembali ke dokter dan dinyatakan menderita
4
TB paru. Pasien mengaku kepalanya terasa berat dan mengalami kesulitan
tidur. Setelah tidur sekitar 15-30 menit setiap malam, pasien sering
terbangun dan tidak bisa melanjutkan tidurnya. Pasien juga sering gelisah
dan mudah marah tanpa alasan yang jelas. Pasien mengaku sering terpikir
anak lelakinya yang tiba-tiba meninggal dan anak lelaki bungsunya yang
pengangguran. Pasien juga merasakan telinganya sering berdengung tetapi
fungsi pendengaran masih baik sehingga pasien tidak berobat. Pasien
masih mampu mengurus dirinya sendiri seperti makan, minum, mandi dan
berpakaian. Riwayat sering berbicara sendiri, mudah curiga, mendengar
bisikan, mengamuk dan muncul keinginan untuk bunuh diri disangkal.
Pasien dikonsulkan dari bagian penyakit dalam dengan diagnosis MDR
TB.
- Riwayat Premorbid
Bayi : lahir spontan, cukup bulan, langsung menangis, ditolong
dukun beranak
Anak-anak : ramah, sering bermain bersama teman-teman sebaya
Remaja : ramah, mudah bergaul dengan siapa saja
Dewasa : ramah, mudah bergaul dengan siapa saja
- Riwayat Kebiasaan dan Penyakit Dahulu
Riwayat trauma kepala : tidak ada
Riwayat demam tinggi : tidak ada
Riwayat kejang : tidak ada
Riwayat darah tinggi dan kencing manis : tidak ada
Riwayat alergi obat : tidak ada
Riwayat asma : tidak ada
Riwayat penggunaan NAPZA : tidak ada
Riwayat minum alkohol : tidak ada
- Riwayat Pendidikan
SD : tamat, tidak pernah tinggal kelas, nilai rata-rata
SMP : tamat, tidak pernah tinggal kelas, nilai rata-rata
Pasien tidak melanjutkan pendidikannya ke SMA karena alasan ekonomi.
5
- Riwayat Pekerjaan
Pasien pernah bekerja sebagai tukang cuci. Namun, sejak 9 bulan terakhir
ini (sejak pasien sakit), pasien berhenti dari pekerjaannya. Sekarang,
pasien menghabiskan waktu dengan mengurus cucunya dan memasak di
rumah.
- Riwayat Perkawinan
Pasien telah menikah selama 32 tahun dan memiliki 4 orang anak.
- Riwayat Keluarga
Penderita merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
- Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Riwayat TB paru dalam keluarga disangkal.
Riwayat gangguan jiwa dalam keluarga disangkal.
- Status Ekonomi
Pasien tinggal bersama anak perempuan dan anak laki-lakinya. Semua
biaya sehari-hari ditangggung oleh menantunya.
6
D. AUTOANAMNESIS
Pemeriksa Pasien Interpretasi (Psikopatologi)
“Selamat pagi, Bu” (Pemeriksa tersenyum sambil menatap mata pasien dan mengajak bersalaman)
“Selamat pagi, Dok”(Pasien menatap mata
pemeriksa dan menjabat tangan pemeriksa)
- Kompos mentis- Perhatian ada- Kooperatif- Kontak fisik ada- Kontak mata ada- Kontak verbal ada“Kami dokter muda yang
bertugas hari ini, ibu dikonsulkan dari bagian penyakit dalam ke sini. Boleh kita ngobrol sebentar, Bu?”
“Boleh, Dok”
“Nama lengkap ibu siapo?”
“Maidar Binti Armaini”
“Tanggal lahir ibu berapo?”
“27 Desember 1965” - Daya ingat baik- Orientasi tempat,
waktu, dan orang baik
- Discriminative insight baik
- Daya ingat jangka panjang baik
- Daya konsentrasi baik
“Berapo umur Ibu sekarang?”
“48 Tahun”
“Balek mano bu?” “PSI Lautan Lr. Chotib No. 1128 Palembang”
“Ibu kan dikonsulke dari penyakit dalam, ibu tau sakit ibu apo?”
“Tau dok, paru-paru kotor ujinyo. Aku ni sudah duo kali ini Dok masuk rumah sakit umum.”
“Kapan pertamo kali ibu masuk di sini?”
“9 bulan lalu Dok, aku ni galak batuk berdarah, dak nafsu makan, badan teraso anget, galak berkeringet jugo malem-malem. Sekarang ini, ngulang lagi cak itu.”
“9 bulan lalu, ibu berobat kemano? Abis dak minum obatnyo?”
“Berobat ke dokter. Aku rutin minum obatnyo 6 bulan, terus lanjut lagi disuntik samo obat kuning 2 bulan lagi minumnyo.”
“Oh cak itu, sekarang kamar ibu dimano?”
“Di ruangan paru lantai 1,
7
Dok”
“Ibu datang ke poli dengan siapo?”
“Dengan anak cewek aku, Dok”
“Apo yang ibu rasoin sekarang ??”
“Kepala aku teraso berat”
“Sejak kapan Bu teraso berat?”
“Sejak 1 bulan lalu Dok, gara-gara aku ni susah tidur. Tiap malem cuma biso tidur 15-30 menit, abis tu aku tebangun. Aku cobo pejemke mato masih dak biso tidur”
-
“Ibu kalo dak biso tidur galak mikirin apo?”
“Aku ni galak tepikir anak cowok aku yang nomor duo tiba-tiba meninggal 8 bulan lalu. Terus anak cowok aku yang bungsu ni masih dak begawe, Dok”
“Kalau boleh tau, ngapo anak ibu yang besak tu meninggal?”
“Dak tau Dok. Tiba-tiba meninggalnyo tu, uji dokter, ado pembuluh darah pecah. Aku kaget, cepet nian dio ninggali aku. Kasian anaknyo masih kecik.”
(Pasien tiba-tiba menangis)
- Keadaan afektif: hipotimik
- Emosi: labil- Einfuhlung: bisa
dirabarasakan- Arus emosi:
normal
“Kato anak ibu tadi, ibu sering gelisah dan marah-marah yo?”
“Iyo Dok sejak aku dirawat di sini keduo kali ini kurang lebih 1 bulan lalu, aku ni jadi lebih sensitif, mudah kesel dan marah.”
“Ngapo galak kesel dan marah tu Bu?”
“Dak tau jugo Dok, bawaan hati dak lemak. Jadi kalo wong ado salah dikit atau bikin aku kesel, aku
8
gampang marah sekarang”“Ibu cak mano nafsu
makan? “Dak nafsu makan Dok. Liat
makanan rasonyo dak lemak galo. Berat badan aku bae nurun”
“Maaf Bu, ibu pernah pengen bunuh diri dak?”
“Alhamdulilah, dak pernah, Dok”
“Ibu pernah ngeliat yang dak teliat oleh wong laen dak? Pernah denger ado yang bisik-bisik dak?”
“Idak pernah, Dok”
“Ibu pernah ngoce-ngoce dewek dak?”
“Dak pernah jugo, Dok”
“Sekarang ini, ibu galak mudah curiga dak samo wong?”
“Idak, Dok. Biaso bae la”
“Baek la Bu, makasih yo sudah galak ngobrol samo kami. Lain kali kito ngobrol-ngobrol lagi yo bu”
(pemeriksa mengulurkan tangan untuk berjabat tangan)
“Samo-samo, Dok.” (Pasien menatap mata pemeriksa dan menjabat tangan pemeriksa)
E. KEADAAN UMUM
- Kesadaran/Sensorium : Compos Mentis
- Perhatian : Adekuat
- Sikap : Kooperatif
- Inisiatif : Ada
- Tingkah Laku Motorik : Normoaktif
- Ekspresi Fasial : Wajar
- Verbalisasi : Jelas
- Cara Bicara : Lancar
9
- Kontak Psikis : - Kontak Fisik : Ada, adekuat
- Kontak Mata : Ada, adekuat
- Kontak Verbal : Ada, adekuat
F. KEADAAN KHUSUS (SPESIFIK)
- Keadaan Afektif : Hipotimik
- Hidup Emosi
Stabilitas : Labil
Dalam-dangkal : Normal
Pengendalian : Terkendali
Adekuat-Inadekuat : Adekuat
Echt-Unecht : Echt
Skala Diferensiasi : Normal
Einfuhlung : Bisa dirabarasakan
Arus Emosi : Normal
- Keadaan dan Fungsi Intelek
Daya ingat (amnesia, dsb) : Amnesia tidak ada, daya ingat baik
Daya Konsentrasi : Adekuat
Orientasi : Tempat : Baik
Waktu : Baik
Personal : Baik
Luas Pengetahuan Umum dan Sekolah : Sesuai
Discriminative Judgement : Baik
Discriminative Insight : Baik
Dugaan taraf intelegensi : Baik
Kemunduran intelektual (demensia, dsb) : Tidak ada
- Kelainan Sensasi dan Persepsi
Ilusi : Tidak ada
Halusinasi : Tidak ada
- Keadaan Proses Berpikir
Psikomotilitas : Cepat
10
Mutu proses berpikir : Baik
Arus Pikiran
Produktivitas : Cukup
Kontinuitas : Relevan, koheren
Hendaya berbahasa : Tidak ada
• Flight of ideas : Tidak ada
• Inkoherensi : Tidak ada
• Sirkumstansial : Tidak ada
• Tangensial : Tidak ada
• Terhalang : Tidak ada
• Terhambat : Tidak ada
• Perseverasi : Tidak ada
• Verbigerasi : Tidak ada
- Isi Pikiran
Pola Sentral : Tidak ada
Waham : Tidak ada
Ide terfiksir : Tidak ada
Fobia : Tidak ada
Hipokondria : Tidak ada
Konfabulasi : Tidak ada
Perasaan inferior : Tidak ada
Perasaan berdosa/salah : Tidak ada
Rasa permusuhan/dendam : Tidak ada
Kecurigaan : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada
11
- Pemilikan Pikiran
Obsesi : Tidak ada
Alienasi : Tidak ada
- Bentuk Pikiran
Autistik : Tidak ada
Dereistik : Tidak ada
Simbolik : Tidak ada
Paralogik : Tidak ada
Simetrik : Tidak ada
Konkritisasi : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada
- Keadaan Dorongan Instinktual dan Perbuatan
Abulia/Hipobulia : Tidak ada
Vagabondage : Tidak ada
Katatonia : Tidak ada
Kompulsi : Tidak ada
Raptus/Impulsivitas : Tidak ada
Mannerisme : Tidak ada
Kegaduhan Umum : Tidak ada
Autisme : Tidak ada
Deviasi Seksual : Tidak ada
Logore : Tidak ada
Ekolalia : Tidak ada
Ekopraksi : Tidak ada
Mutisme : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada
- Kecemasan (anxiety) yang terlihat secara nyata (overt): Tidak ada
- Reality Testing Ability: RTA tidak terganggu alam pikiran, perasaan
dan perbuatan
G. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
- AKSIS I : F 41.2 Gangguan Campuran Anxietas dan Depresif
- AKSIS II : Tidak ada diagnosis
- AKSIS III : TB paru
- AKSIS IV : Masalah keluarga: anak laki-laki sulungnya
meninggal + anak laki-laki bungsunya yang pengangguran
Masalah kesehatan: TB paru
- AKSIS V : GAF Scale 80-71
H. DIAGNOSIS DIFERENSIAL
- F 41.2 Gangguan Campuran Anxietas dan Depresif
- F 43.2 Gangguan Penyesuaian
I. TERAPI
a. Psikofarmaka
Lorazepam (Merlopam) tab 2 mg : 1 x ½ tab
Maprotiline (Sandepril) tab 50 mg : 1 x ½ tab
Haloperidol tab 1,5 mg : 1 x ½ tab
b. Psikoterapi
Ventilasi : memberikan kesempatan pada pasien untuk menceritakan
apa yang dirasakan dan apa yang terjadi sehingga pasien menjadi lega
dan merasa diperhatikan.
Konseling : menjelaskan pada pasien tentang penyakitnya dan
pentingnya untuk minum obat dan kontrol secara teratur.
c. Sosioterapi
Memberikan penjelasan kepada keluarga dan orang sekitar tentang
penyakit pasien sehingga tercipta dukungan sosial dalam lingkungan yang
kondusif sehingga membantu proses penyembuhan
J. PROGNOSIS
Quo ad vitam: Dubia ad malam
Quo ad functionam: Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Tuberkulosis
3.1.1. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit radang granulomatosa
kronik yang disebabkan basil Mycobacterium tuberculosis6.
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang merupakan
penyebab kematian peringkat empat di Indonesia6.
3.1.2. Etiologi7
Agen etiologi yang bertanggung jawab terhadap penyakit
tuberkulosis adalah bakteri basil kecil, tidak berspora yang dikenal
dengan Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis
berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora
dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan
panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks,
terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama
dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks
(complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor,
dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi.
Mycobacterium tuberculosis ini merupakan kuman aerob
obligat, ditandai dengan jaringan yang terkena adalah jaringan
dengan kandungan oksigen yang tinggi. Kuman ini memiliki efek
langsung pada sistem imun, dimana selama proses imunitas ini
berlangsung akan menimbulkan produk yang menyebabkan reaksi
inflamasi dan kerusakan jaringan.
3.1.3. Epidemiologi
Tuberkulosis masih merupakan salah satu masalah kesehatan
global tertinggi dan penyebab kematian di seluruh dunia8,9. World
Health Organization memperkirakan sekitar 2 miliar populasi di
seluruh dunia memiliki tuberkulosis laten9. Sekitar 8 juta orang
setiap tahunnya terkena tuberkulosis dan 3 juta orang meninggal
karenanya, lebih dari 95% kasus ini terjadi di negara berkembang9.
Tuberkulosis masih menjadi masalah publik meskipun
pengobatannya telah ditemukan lebih dari 50 tahun10. Hal ini
dikarenakan adanya golongan yang resisten terhadap pengobatan
tuberkulosis10. Pada survei yang dilakukan pada tahun 2000, kasus
resisten terhadap pengobatan TB (MDR-TB) ditemukan di 72
negara yang diteliti10. Kasus baru MDR TB diperkirakan terjadi
sebanyak 273.000 setiap tahunnya10. Insiden kasus TB di Peru pada
tahun 2011 adalah 10 kasus baru per 100.000 populasi dan 2100
kasus diperkirakan merupakan kasus MDR TB8.
3.1.4. Pengobatan Tuberkulosis6
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase
intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat
yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan6.
Pengobatan TB dilakukan setidaknya dengan menggunakan 2 jenis
obat7. Terdapat 5 obat standar lini pertama yang biasanya
diresepkan untuk pasien TB.
Tabel 1. Agen Lini Pertama Pengobatan Tuberkulosis7
Isoniazid dan rifampisin merupakan agen pengobatan sentral
yang biasa digunakan karena aktivitas bakterisidal dan toksisitas
yang rendah7. Pirazinamid cukup efektif untuk menurunkan secara
cepat jumlah kuman7. Etambutol biasanya digunakan untuk
mencegah resistensi obat, sementara streptomisin telah dibatasi
penggunaannya dan hanya digunakan pada kasus berat yang
diberikan secara intravena7.
Pengobatan lini kedua diberikan pada kasus multidrugs
resistance tuberculosis (MDR TB)7. MDR TB didefinisikan
sebagai resistensi setidaknya pada obat isoniazid dan rifampisin7.
Terapi ini membutuhkan waktu setidaknya 24 bulan dan regimen
awal terapi biasanya menggunakan 3 hingga 4 jenis obat7. Terdapat
beberapa obat lini kedua yang digunakan pada pengobatan TB7.
Tabel 2. Agen Lini Kedua Pengobatan Tuberkulosis7
Kanamisin, amikasi, dan capreomisin diberikan secara injeksi
intramuskular dan efektif melawan kuman in vivo7. Etionamide
memiliki efek bakterisidal dengan cara menghambat sintesis asam
mycolic7.kuinolon memiliki efek bakterisidal dengan cara
menghambat sintesis DNA7. Asam p-aminosalisilat efektif
menghambat basil tuberkel7. Sikloserin memiliki cara kerja dengan
jalan memblok enzim yang diperlukan untuk sintesis dipeptida
yang esensial bagi dinding sel kuman7.
3.2. Gangguan Campuran Anxietas dan Depesi
3.2.1. Definisi11
Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana
masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup
berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk anxietas,
beberapa gejala otonomik harus ditemukan walaupun tidak terus-
menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan.
Kecemasan adalah keadaan individu atau kelompok
mengalami perasaan gelisah (penilaian atau opini) dan aktivitas
sistem saraf autonom dalam berespons terhadap ancaman yang
tidak jelas, nonspesifik. Kecemasan merupakan unsur kejiwaan
yang menggambarkan perasaan, keadaan emosional yang dimiliki
seseorang pada saat menghadapi kenyataan atau kejadian dalam
hidupnya.
Gangguan depresif merupakan suatu masa terganggunya
fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih
dengan gejala penyerta termasuk perubahan pola tidur, nafsu
makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus
asa, tak berdaya dan gagasan bunuh diri.
3.2.2. Etiologi11
Empat garis bukti penting mengesankan bahwa gejala
anxietas dan gejala depresif terkait secara kausal pada sejumlah
pasien yang mengalamigejala ini. Pertama, sejumlah peneliti
melaporkan temuan neuroendokrin yang serupa pada gangguan
depresif dan anxietas, terutama gangguan panik, termasuk
menumpulnya respons kortisol terhadap hormon adenokort,
kotropik, respon hormon pertumbuhan yang tumpul terhadap
klonidin (Catapres), dan respon TSH (thyroid stimulating hormone)
serta prolaktin yang tumpulterhadap TRH (thyrotropin-relasing
hormone).
Kedua, sejumlah peneliti melaporkan data yang menunjukkan
bahwa hiperkatifitas sistem noradrenergik sebagai penyebab
relevan pada sejumlah pasien dengan gangguan depresif dan
gangguan anxietas. Secara rinci, studi ini telah menemukan adanya
konsentrasi metabolit norepnefrin 3-methoxy-4-
hydroxyphenylglycol (MHPG) yang meningkat didalam urin,
plasma, atau cairan serebro spinal (LCS) pada pasien dengan
serangan panik. Seperti pada gangguan anxietas dan gangguan
depresif lain, serotonin dan asam γ-aminobutirat (GABA) juga
mungkin terlibat sebagaipenyebab di dalam gangguan campuran
depresif anxietas. Ketiga, banya studi menemukan bahwa obat
serotonergik, seperti fluoxetine (Prozac) dan clomipramine
(Anafranil), berguna dalam terapi gangguan depresif dan anxietas.
Keempat, sejumlah studi keluarga melaporkan data yang
menunjukkanbahwa gejala anxietas dan depresif berhubungan pada
secara genetik sedikitnya pada beberapa keluarga
3.2.3. Epidemiologi11
Keberadaan ganggguan depresif berat dan gangguan panik
secara bersamaan lazim ditemukan. Dua pertiga pasien dengan
gejala depresif memiliki gejala anxietas yang menonjol, dan dua
pertiganya dapat memenuhi kriteria diagnostik ganguan panik.
Peneliti telah melaporkan bahwa 20 sampai 90 persen pasien
dengan ganggguan panik memiliki episode gangguan depresif
berat. Data ini mengesankan bahwa keberadaan gejala depresif dan
anxietas secara bersamaan, tidak ada di antaranya yang memenuhi
kriteria diagnostik gangguan depresif atau anxietas lain dapat lazim
ditemukan. Meskipun demikian, sejunlah klinisi dan peneliti
memperkirakan bahwa pravelensi gangguan ini pada populasi
umum adalah 10% dan di klinik pelayanan primer sampai tertinggi
50%, walaupun perkiraan konservatif mengesankanpravelensi
sekitar 1 persen pada populasi umum.
3.2.4. Manifestasi Klinis11
Gambaran klinis bervariasi, diagnosis Gangguan Anxietas
Menyeluruh ditegakkan apabila dijumpai gejala-gejala antara lain
keluhan cemas, khawatir, was-was, ragu untuk bertindak, perasaan
takut yang berlebihan, gelisah pada hal-hal yang sepele dan tidak
utama yang mana perasaan tersebut mempengaruhi seluruh aspek
kehidupannya, sehingga pertimbangan akal sehat, perasaan dan
perilaku terpengaruh. Selain itu spesifik untuk Gangguan Anxietas
Menyeluruh adalah kecemasanya terjadi kronis secara terus-
menerus mencakup situasi hidup (cemas akan terjadi kecelakaan,
kesulitan finansial), cemas akan terjadinya bahaya, cemas
kehilangan kontrol, cemas akan`mendapatkan serangan jantung.
Sering penderita tidak sabar, mudah marah, sulit tidur.
Untuk lebih jelasnya gejala-gejala umum anxietas dapat
dilihat pada tabel di bawah:
Tabel 3. Gejala Umum Anxietas11
Ketegangan Motorik Kedutan otot/ rasa gemetar
Otot tegang/kaku/pegal
Tidak bisa diam
Mudah menjadi lelah
Hiperaktivitas
Otonomik
Nafas pendek/terasa berat
Jantung berdebar-debar
Telapak tangan basah/dingin
Mulut kering
Kepala pusing/rasa melayang
Mual, mencret, perut tak enak
Muka panas/ badan menggigil
Buang air kecil lebih sering
Kewaspadaan
berlebihan dan
Penangkapan
berkurang
Perasaan jadi peka/mudah ngilu
Mudah terkejut/kaget
Sulit konsentrasi pikiran
Sukar tidur
Mudah tersinggung
Sedangkan untuk gangguan depresif ditandai dengan suatu
mood depresif, kehilangan minat dan kegembiraan serta
berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan
menurunnya aktivitas merupakan tiga gejala utama depresi.
Gejala utama:
1. Afek depresi
2. Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan
mudah lelah ( rasa lelah yang nyata sesudah kerja yang
sedikit) dan menurunnya aktifitas.
Gejala lainnya dapat berupa :
Konsentrasi dan perhatian berkurang
Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
Tidur terganggu
Nafsu makan berkurang.
Gejala-gejala diatas dialami oleh pasien hampir setiap hari
dan di nilai berdasarkan ungkapan pribadi atau hasil pengamatan
orang lain misalnya keluarga pasien
3.2.5. Diagnosis11
Kriteria DSM-IV-TR mengharuskan adanya gejala
subsindrom anxietas dan depresi serta adanya beberapa gejala
somatik, seperti tremor, palpitasi, mulut kering, dan rasa perut yang
bergejolak. Sejumlah studi pendahuluan menunjukkan bahwa
sensitivitas dokter umum untuk sindrom gangguan campuran
anxietas depresi masih rendah walaupun kurangnya pengenalan ini
dapat mencerminkan kurangnya label diagnostik yang sesuai bagi
pasien.
Tabel 4. Kriteria DSM-IV-TR Gangguan Campuran Anxietas Depresif11
Mood disforik yang berulang atau menetap dan bertahan sedikitnya 1 bulan
Mood disforik disertai empat (atau lebih) gejala berikut selama sedikitnya 1
bulan :
1. Kesulitan berkonsentrasi atau pikiran kosong
2. Gangguan tidur (sulit untuk jatuh tertidur atau tetap tidur atau
gelisahm tidur tidak puas)
3. Lelah atau energi rendah
4. Iritabilitas
5. Khawatir
6. Mudah nangis
7. Hipervigilance
8. Antisipasi hal terburuk
9. Tidak ada harapan (pesimis yang menetap akan masa depan)
10. Harga diri yang rendah atau rasa tidak berharga
Gejala menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau hendaya
dalam area fungsi sosial, pekerjaan atau area fungsi penting lain.
Gejala tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (cth.
Penyalahguanaan obat atau pengobatan) atau keadaan medis umum
Semua hal berikut ini :
1. Kriteria tidak pernah memenuhi gangguan depresif berat, gangguan
distimik; gangguan panik, atau gangguan anxietas menyeluruh
2. Kriteria saat ini tidak memenuhi gangguan mood atau anxietas lain
(termasuk gangguan anxietas atau gangguan mood, dalam remisi
parsial)
3. Gejala tidak lebih mungkin disebabkan gangguan jiwa lain.
Pedoman diagnostik menurut PPDGJ-III
1. Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana masing-
masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat
untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk anxietas,
beberapa gejala otonomik harus ditemukan walaupun tidak
terus-menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran
berlebihan
2. Bila ditemukan anxietas berat disertai depresi yang lebih ringan,
harus dipertimbangkan kategori gangguan anxietas lainnya atau
gangguan anxietas fobik.
3. Bila ditemukan sindrom depresi dan anxietas yang cukup berat
untuk menegakkan masing-masing diagnosis, maka kedua
diagnosis tersebut dikemukakan, dan diagnosis gangguan
campuran tidak dapat digunakan. Jika karena sesuatu hal hanya
dapat dikemukakan satu diagnosis maka gangguan depresif
harus diutamakan.
4. Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stres kehidupan
yang jelas, maka harus digunakan kategori F43.2 gangguan
penyesuaian.
3.2.6. Diagnosis Banding11
Diagnosis banding mencakup gangguan anxietas dan depresif
lainnya serta gangguan kepribadian. Di anatara gangguan anxietas,
gangguan anxietas menyeluruh merupakan gangguan yang lebih
besar kemungkinannya untuk bertumpang tindih dengan gangguan
campuran anxietas-depresif. Diantara gangguan mood, gangguan
dstimik, dan gangguan depresif ringan adalah gangguan yang lebih
besar kemungkinannya untuk bertumpang tindih dengan gangguan
campuran anxietas-depresif. Diantara ganggguan kepribadian,
gangguan kepribadian mengindar, dependen, dan obsesfi kompulsif
dapar memliki gejala yang mirip dengan gejala gangguan campuran
anxietas-depresif. Diagnosis gangguan somatoform juga harus
dipertimbangkan.
3.2.7. Tatalaksana11
Karena studi yang membandingkan modalitas terapi
gangguan campuran anxietas-depresif tidak tersedia, klinis
mungkin lebih cenderung memberikan terapi berdasarkan gejala
yang muncul, keparahannya, dan tingkat pengalaman klinis
tersebut dengan berbagai modalitas terapi. Farmakoteapi untuk
gangguan campuran anxietas-depresif dapat mencakup obat
antianxietas, obat antidepresif, atau keduanya. Diantara obat
ansiolitik, sejumlah data menunjukkan bahwa penggunaan
triazolobenzodiazepine (Alprazolam (Xanax)) dapat di indikasikan
karena efektivitas nya dalam mengobati depresi yang disertai
anxietas. Obat yang mempengaruhi reseptor 5-HT, seperti busipron
juga dapat di indikasikan. Diantara anti depresan, meskipun teori
noradrenergik menghubungkan gangguan anxietas dengan
gangguan depresif, anti depresif serotonergik ( contohnya,
fluoxetine) dapat menjadi obat yang paling efektif dalam
mengobati gangguan campuran anxietas-depresif.
3.3. Pengaruh Pengobatan Tuberkulosis terhadap Gangguan Mental
3.3.1. Epidemiologi Gangguan Mental pada Penderita Tuberkulosis
Komorbiditas pada TB dan depresi sering terjadi12. Prevalensi
gangguan mood pada pasien dengan penyakit kronis adalah 8,9%-
12,9%, dengan prevalensi setelah 6 bulan adalah 5,8%-9,4%9.
Prevalensi komorbiditas depresi disertai kondisi fisik kronis
terjadi sekitar 25% hingga 33%, risiko ini meningkat berbanding
lurus dengan beratnya penyakit12. Prevalensi depresi pada pasien
TB yang didapatkan pada suatu studi adalah 45,5%, sementara
pada studi yang dilakukan sebelumnya di Nigeria ditemukan
prevalensi sebesar 52,5%12. Kejadian depresi biasanya lebih sering
ditemukan pada pasien yang sedang menjalani pengobatan TB,
khususnya pada kondisi tua, penyakit ekstensif, kondisi sakit yang
lama, pasien dengan pengobatan kategori II, berasal dari keluarga
yang tidak harmonis, dan belum menikah12.
Pada periode Agstus 1996 dan Januari 1999, dilakukan
penelitian pada 75 pasien yang memulai terapi tuberkulosisnya10.
Berikut ini merupakan tabel prevalensi gangguan mental yang
terjadi pada pasien dengan MDR TB.
Tabel 5. Prevalensi dan Insiden Psikosis, Depresi, dan Anxietas pada Pasien
MDR TB10
3.3.2. Hubungan Pengobatan Tuberkulosis dan Gangguan Mental
Adanya kelainan medis serta stigma dan diskriminasi
merupakan penyebab utama terjadinya kelainan mental terutama
untuk kelainan mood dan anxietas9. Hubungan antara kelainan
depresi dan TB sangat kompleks8. Faktor personal, sosiokultural,
dan lingkungan dapat menyebabkan pasien TB menderita depresi8.
Selain itu, kelainan mental yang cukup sering seperti depresi,
anxietas, dan psikosis selama perjalanan pengobatan penderita TB
akibat pengaruh obat TB4.
Terapi farmakologis TB bergantung pada kepatuhan pasien
terhadap regimen obat untuk menurunkan risiko resistensi7.
Pengobatan dengan menggunakan setidaknya 2 obat sangat
direkomendasikan pada pengobatan TB7. Terdapat beberapa
regimen terapi multidrugs untuk penderita TB dengan 3 kombinasi
farmakologik7. Di satu sisi, penggunaan berbagai macam obat pada
kasus TB sangat penting, akan tetapi di sisi lain penggunaan
berbagai obat akan meningkatkan efek samping psikiatri dari obat
tersebut4,7. Pasien yang mengalami gangguan psikiatri terhadap 1
jenis obat tuberkulosis, memiliki risiko terjadinya episode sekunder
lanjut terhadap pengobatan tuberkulosis lainnya4.
Beberapa bukti menunjukkan adanya kelainan psikatri
berupa depresi, anxietas, dan psikosis berhubungan dengan MDR
TB13. Depresi merupakan kelainan psikiatri yang paling sering
ditemukan pada pengobatan MDR TB13. Berikut ini merupakan
kelainan psikiatri yang ditemukan pada pasien yang sedang
menjalani pengobatan TB
Tabel 6. Kelainan Psikiatri pada Pasien yang Mendapatkan Pengobatan TB9
Efek psikiatri telah banyak diketahui pada pengobatan TB
dan berhubungan dengan prognosis serta mortalitas4. Efek samping
ini semakin mengingkat ketika penggunaan kombinasi obat
digunakan4. Berikut ini merupakan beberapa obat TB dan
pengaruhnya terhadap psikiatri
a) Isoniazid
Isoniazid memiliki efek samping neuropsikiatri
berupa depresi, iritabilitas, neurosis obsesif-kompulsif, dan
percobaan bunuh diri10. Gejala psikiatri yang paling sering
muncul akibat isoniazid adalah delusi, yang biasanya
muncul setelah sekitar 4 minggu mengkonsumsi obat ini10.
Beberapa faktor risikonya adalah penggunaan obat dengan
dosis lebih dari 5mg/kgBB, usia 50 tahun atau lebih,
penyakit komorbiditas lain seperti diabetes melitus,
insufisiensi hepatik, alkoholik, hipertiroidisme, dan riwayat
psikiatri sebelumnya10. Isoniazid memiliki efek
menurunkan kadar piridoksin (Vitamin B6) sehingga dapat
menyebabkan neuropati4. Efek psikitari dapat muncul
akibat INH-induced pyridoxine deficiency, kemudian
penurunan produksi norepinefrin, serotonin, dopamin, dan
GABA10. Isoniazid dapat menimbulkan gejala psikosis
karena isoniazid dapat bertindak sebagai monoamine
oxidase inhibitor (MAOI), disertai dengan perubahan
metabolisme katekolamin yang dapat menyebabkan
psikosis manik pada pasien dengan predisposisi instabilitas
mood4.
b) Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan mania, konfusi, dan
psikosis4,10. Mekanisme terjadinya gangguan ini akibat
etambutol masih belum diketahui10.
c) Rifampisin
Rifampisin dilaporkan menyebabkan terjadinya
delirium, sementara mekanismenya belum diketahui4.
d) Etionamide
Mekanisme neurotoksisitas akibat etionamide sama
seperti yang terjadi pada isoniazid10.
e) Sikloserin
Sikloserin merupakan agen lini kedua pengobatan TB
yang digunakan untuk kasus MDR TB4,7. Obat ini
dilaporkan memiliki efek samping psikiatri sebesar 20-
33%4. Obat ini bekerja dengan menghambat dinding sel
dengan berperan sebagai substrat D-alanine dan menembus
sawar otak4. Prevalensi psikosis sekunder sehubungan
dengan sikloserin sekitar 13%, dimana faktor
predisposisinya adalah emosi tidak stabil, riwayat alkohol
dan jenis kelamin perempuan4.
Gejala psikiatri berat yang dapat timbul adalah
halusinasi, anxiety, depresi, euforia, gangguan perilaku, dan
percobaan bunuh diri, dan gejala ini terjadi pada 9,7-50%
dari pasien yang mendapatkan sikloserin10. Neurotoksisitas
berkaitan dengan sikloserin terjadi akibat penurunan
produksi Gama Aminobutyric Acid (GABA) sistem saraf
pusat yang diakibatkan karena inhibisi glutamic
decarboxylase10. Gejala psikiatri biasanya muncul paling
sering pada 3 bulan pertama pengobatan10.
f) Fluorokuinolon
Fluorokuinolon merupakan salah satu pengobatan lini
kedua tuberkulosis7. Penggunaan obat ini berhubungan
dengan terjadinya delirium, depresi, psikosis, dan mimpi
buruk meskipun angka kejadiannya sedikit4,10.
3.3.3. Interaksi Obat Anti Tuberkulosis dan Obat Gangguan Mental
Profil farmakokinetik dari sebagian besar obat yang
digunakan dalam pengobatan TB dan perannya sebagai pemicu
enzim sitokrom p450, interaksi dengan pengobatan lain sudah
banyak dideskripsikan4. Berikut ini merupakan interaksi obat TB
dengan beberapa obat psikiatri.
Tabel 7. Interaksi Obat TB dan Obat Psikiatri9
1. Isoniazid
Isoniazid dapat berinteraksi dengan obat-obat
antidepresan4. Selective serotonin reuptake inhibitors
(SSRIs) merupakan obat lini pertama yang
direkomendasikan untuk pengobatan depresi7. Penggunaan
antidepresan pada pasien TB harus diperhatikan karena
kemungkinan adanya peningkatan potensi obat akibat
interaksi obat SSRIs dan isoniazid karena isoniazid
memiliki kemampuan untuk menghambat oksidase
monoamin di plasma7. Pengguanan isoniazid yang
dikombinasikan dengan SSRI dan antidepresan trisiklik
dikontraindikasikan karena dapat menimbulkan sindrom
serotonin, yang ditandai dengan eksitasi, diaforesis,
hipertermi, mioklonus, rigiditas dan hipertensi4,7.
Isoniazid menyebabkan meningkatnya level
karbamazepin karena obat ini memiliki aksi sebagai inducer
sitokrom 1A2, 2C9, 2C19, dan 3A3/4, dan tanda dari
toksisitas karbamazepin karena efeknya pada CYP50. Obat
ini berhubungan dengan perburukan fungsi hepar ketika
diberikan bersamaan dengan karbamazepin4. Selain itu,
isoniazid menghalangi metabolisme diazepam sehingga
terdapat risiko withdrawal ketika pemberian resep
benzodiazepin secara kombinasi4. Isoniazid juga dapat
menyebabkan meningkatnya metabolisme triazolam, tetapi
tidak pada oxazepam4.
2. Rifampisin
Rifampisin merupakan inducer poten dari enzim
CYP450. Interaksi rifampisin telah dilaporkan yaitu
menyebabkan penurunan level serum norepinefrin dan
memerlukan dosis norepinefrin yang lebih besar selama
proses pengobatan4. Hal ini dikarenakan rifampisin
memiliki efek menginduksi sitokrom p-450 oxidative
enzyme sehingga menyebabkan interaksi obat-obat4.
Rifampisin juga memiliki efek yang sama pada sertraline4.
Risperidone menunjukkan adanya penurunan efikasi klinis
ketika diresepkan bersamaan dengan rifampisin4. Selain itu,
dapat terjadi sindrom neuroleptik malignan ketika
rifampisin dan chlorpromazine diberikan secara bersamaan,
diperikirakan terjadi reaksi idiosinkratik yang menyebabkan
penurunan mendadak level serum klorpromazine4.
Rifampisin juga berinteraksi dengan valproat
berkebalikan caranya dari isoniazid, melalui meningkatkan
metabolismenya sehingga menyebabkan penuruan level
serum4. Rifampisin dapat menyebabkan penurunan level
serum karbamazepin sehingga menimbulkan hipomania4.
Selain itu, rifampisin mengiduksi metabolisme diazepam
dan meningkatkan pembuangannya 4 kali lipat sehingga
menyebabkan pasien berisiko terhadap efek withdrawal4.
3. Eritromisin
Eritromisin yang digunakan pada pengobatan MDR
TB menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma dari
buspirone melalui meknisme inhibisinya pada CYP3A44.
4. Fluorokuinolon
Ciprofloxacin, ofloxacin, dan levofloxacin digunakan
pada pengobatan MDR TB4. Meskipun termasuk ke dalam
kelas yang sama dengan obat TB namun memiliki
farmakokinetik yang berbeda dalam plasma4. Ciprofloxacin
memiliki aktivitas anti CYP1A2 yang lebih poten dibanding
ofloxacin4. Moxifloxacin memiliki efek menebabkan
peningkatan QTc interval ketika digunakan bersamaan
dengan citaprolam dan haloperidol4.
5. Sikloserin
Sikloserin merupakan agen lini kedua pengobatan TB,
yang telah dilaporkan memiliki efek terapi potensial dalam
pengobatan gejala negatif pada skizofrenia7. Perbaikan ini
dapat terjadi karena sikloserin memiliki aksi pada glycine
modulatory site pada reseptor N-aspartat7. Pengunaan
sikloserin yang dikombinasi dengan clozapin merupakan
sebuah kontraindikasi karena kombinasi 2 obat ini dapat
memperburuk gejala negatif7.
BAB IV
ANALISIS MASALAH
Ny. M, wanita, berusia 49 tahun datang dengan sebab utama sulit tidur. Os
datang ke poli jiwa RSMH Palembang atas konsul dari bagian penyakit dalam.
Wawancara dilakukan pada hari Jumat, 6 Maret 2015, pukul 09.45 WIB di Poli
Jiwa RSMH Palembang. Penampilan Os cukup rapi dan menggunakan masker.
Wawancara dilakukan pemeriksa dan Os duduk berhadapan. Wawancara
dilakukan dalam bahasa Palembang dan bahasa Indonesia.
± 9 bulan yang lalu, Os sering batuk berdarah, banyaknya 1 sendok makan
setiap batuk. Os juga mengeluh tidak nafsu makan, berat badan menurun, demam
tidak terlalu tinggi dan berkeringat pada malam hari. Os kemudian berobat ke
dokter dan didiagnosis menderita TB (Tuberkulosis) paru. Os diberi obat yang
rutin diminum selama 6 bulan. Setelah konsumsi obat selama 6 bulan, os di-
rontgen dan dinyatakan masih menderita TB paru. Os kemudian diberi obat suntik
dan obat kuning selama 2 bulan. Setelah pengobatan selesai, os dinyatakan
sembuh.
± 8 bulan yang lalu, os sering melamun dan sering menangis tiba-tiba jika
teringat anak laki-lakinya yang tiba-tiba meninggal. Selain itu, os juga mengeluh
nafsu makan menurun. Os masih mampu mengurus dirinya sendiri seperti makan,
minum, mandi dan berpakaian. Os masih sering bersosialisasi dengan tetangga di
sekitar rumah. Riwayat sulit tidur, sering berbicara sendiri, mudah curiga, sering
marah, mendengar bisikan, mengamuk dan muncul keinginan untuk bunuh diri
disangkal.
± 1 bulan yang lalu, os mengeluh batuk berdarah lagi, banyaknya 2 sendok
makan setiap batuk. Os juga mengeluh tidak nafsu makan, berat badan menurun,
demam tidak terlalu tinggi dan berkeringat pada malam hari. Os berobat kembali
ke dokter dan dinyatakan menderita TB paru. Os mengaku kepalanya terasa berat
dan mengalami kesulitan tidur. Setelah tidur sekitar 15-30 menit setiap malam, os
sering terbangun dan tidak bisa melanjutkan tidurnya. Os mengeluh bahwa
telinganya sering berdengung. Os juga sering gelisah dan mudah marah tanpa
alasan yang jelas. Os mengaku sering terpikir anak lelakinya yang tiba-tiba
meninggal dan anak lelaki bungsunya yang pengangguran. Os masih mampu
mengurus dirinya sendiri seperti makan, minum, mandi dan berpakaian. Riwayat
sering berbicara sendiri, mudah curiga, mendengar bisikan, mengamuk dan
muncul keinginan untuk bunuh diri disangkal. Os dikonsulkan dari bagian
penyakit dalam dengan diagnosis MDR TB.
Dari riwayat premorbid tidak ditemukan adanya perubahan perilaku, os
masih bersosialisasi. Dari autoanamnesis diperoleh yakni kesadaran os kompos
mentis, perhatian os baik, ekspresi fasial echt, verbalisasi jelas, dan kontak mata
ada, daya ingat baik, orientasi tempat, waktu, dan orang baik, diskriminatif insight
baik, tidak ada rasa dendam, dan perhatian yang adekuat.
Pada status internus terdapat kelainan pada os berupa sistem respiratorik
yaitu terdapat MDR TB. Pada status neurologikus semua dalam batas normal.
Pada status psikiatrikus pada keadaan umum didapatkan kesadaran
kompos mentis, perhatian adekuat, sikap kooperatif, inisiatif ada, tingkah laku
motorik normoaktif, ekspresi fasial wajar, verbalisasi jelas, cara bicara lancar, ada
kontak fisik, mata, dan verbal. Pada keadaan khusus ditemukan afek hipotimik,
hidup emosi labil, pengendalian terkendali, adekuat, echt, skala diferensiasi
normal, einfuhlung bisa dirabarasakan, arus emosi normal. Keadaan dan fungsi
intelek semua dalam batas normal. Tidak ditemukan kelainan sensasi dan
persepsi. Keadaan proses berpikir, isi pikiran, pemilikan pikiran, bentuk pikiran,
keadaan dorongan instinktual dan perbuatan dalam batas normal. RTA tidak
terganggu.
Berdasarkan alloanamnesa dan autoanamnesa didapatkan adanya gejala
klinis yang bermakna, berupa gelisah dan sedih terhadap sakit yang dialami serta
ditambah dengan kesedihan akan anaknya yang meninggal dunia 7 bulan yang
lalu. Pasien merasa jantungnya sering berdebar-debar, selain itu pasien sering
menangis dan sedih ketika teringat anaknya yang meninggal. Keadaaan ini
menimbulkan distres bagi pasien dan keluarganya, pasien menjadi suka marah-
marah tanpa alasan yang jelas, selain itu menimbulkan disability dalam pekerjaan
dan penggunaan waktu senggang, sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami Gangguan jiwa. Berdasarkan pemeriksaan status mental tidak
didapatkan halusinasi dan waham sehingga dikategorikan Gangguan jiwa non
psikotik. Pada riwayat penyakit sebelumnya dan pemeriksaan status interna dan
neurologis tidak ditemukan adanya kelainan yang mengindikasi gangguan medis
umum yang menimbulkan gangguan fungsi otak serta dapat mengakibatkan
gangguan jiwa yang diderita pasien saat ini, sehingga diagnosa Gangguan mental
dapat disingkirkan dan didiagnosa Gangguan Jiwa Non Psikotik Non-
organik.
Dari autoanamnesa dan pemeriksaan pada status mental ditemukan adanya
gejala rasa sedih dan gelisah akan penyakit yang dideritanya serta pasien
mengalami kesedihan jika teringat anaknya yang meninggal. Pasien juga
mengalami insomnia, nafsu makan menurun, serta penurunan berat badan. Pada
pasien juga ditemukan afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan dan
berkurangnya energi / rasa lelah yang nyata dan menurunnya aktivitas. Karena
terdapat gejala anxietas dan depresi dimana masing-masing tidak menunjukan
gejala berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri maka berdasarkan Pedoman
Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III) di diagnosa dengan
Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi (F41.2).
Berdasarkan PPDGJ III dapat ditegakkan diagnosis Aksis I F 41.2
gangguan campuran anxietas dan depresif dengan Aksis II tidak ada diagnosis,
Aksis III TB paru, Aksis IV masalah keluarga berupa anak laki-lakinya yang
meninggal dunia dan masalah kesehatan berupa TB paru dan Aksis V GAF Scale
80-71.
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia,
kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.
Pada pasien ini terdapat gejala utama berupa afek depresif disertai
kecemasan, berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah. Serta ditambah gejala lain berupa kesulitan untuk tidur, nafsu makan yang
berkurang serta penurunan berat badan, seluruh episode berlangsung lebih dari 2
minggu serta pasien mengalami kesulitan untuk meneruskan pekerjaan. Pasien
juga merasakan kecemasan berupa seringnya mengalami jantung yang berdebar-
debar. Keadaaan inilah yang mendukung untuk ditegakkannya diagnosis
gangguan campuran anxietas dan depresi.
Gangguan anxietas dan depresi pada penderita TB dapat timbul akibat
berbagai faktor baik internal maupun eksternal, seperti dukungan keluarga yang
kurang, adanya halangan bagi penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari
serta halangan untuk berinteraksi dengan masyarakat. Hal ini juga bisa disebabkan
oleh faktor-faktor lain seperti adanya perasaan menolak kenyataan mengenai
penyakit TB, merasa penyakit yang diderita tidak sembuh-sembuh dan akibat dari
stigma masyarakat yang negatif mengenai tuberkulosis. Selain itu, beberapa
penderita yang kontak dengan orang lain dapat memicu adanya perasaan rendah
diri dan rasa takut akan menularkan penyakit tuberkulosis. Selain dari faktor
penyakit yang diderita pasien, pasien juga memiliki masalah dalam keluarga
berupa meninggalnya anak lelakinya serta anak lelaki bungsunya yang masih
pengangguran. Keadaan inilah yang membuat pasien menjadi cemas dan depresi.
Gangguan depresi juga berkaitan dengan pengobatan Tuberkulosis.
Kejadian depresi biasanya lebih sering ditemukan pada pasien yang sedang
menjalani pengobatan TB, khususnya pada pasien ini yaitu kondisi tua, penyakit
ekstensif, kondisi sakit yang lama, dan memiliki masalah keluarga.
Dari alloanamnesa dan autoanamnesa didapatkan bahwa pasien telah
menjalani pengobatan TB selama 6 bulan dan lanjutan 2 bulan. Pasien
kemungkinan telah mengkonsumsi rimfapisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol
dan stepsomisin, dimana masing-masing obat memiliki efek sampingnya
tersendiri. Efek psikiatri yang dapat ditimbulkan dari masing-masing obat tersebut
yakni rifampisin dilaporkan menyebabkan terjadinya delirium, sementara
mekanismenya belum diketahui. Isoniazid memiliki efek samping neuropsikiatri
berupa depresi, iritabilitas, neurosis obsesif-kompulsif, dan percobaan bunuh diri.
Etambutol dapat menyebabkan mania, konfusi, dan psikosis, sementara
mekanisme terjadinya gangguan ini akibat etambutol masih belum diketahui.
Streptomisin diduga memiliki efek ototoksik yang menyebabkan telinga
berdengung.
Terapi yang akan diberikan pada pasien ini yakni meliputi psikofarmaka,
psikoterapi serta sosioterapi. Psikofarmaka berupa lorazepam (merlopam) tab 2
mg : 1 x ½ tab, maprotiline (sandepril) tab 50 mg : 1 x ½ tab, dan haloperidol tab
1,5 mg : 1 x ½ tab. Lorazepam termasuk golongan benzodiazepin diberikan untuk
mengurangi gejala anxietas pasien. Selain itu, maprotiline merupakan
antidepresan golongan tetrasiklik. Pemilihan antidepresan golongan ini untuk
mengurangi interaksi dengan obat-obatan TB. Berdasarkan beberapa penelitian
yang ada, antidepresan golongan SSRI dan tetrasiklik kontraindikasi dengan
isoniazid karena dapat menimbulkan sindrom serotonin. Haloperidol merupakan
antipsikotik tipikal, diberikan pada pasien ini dengan tujuan untuk mengurangi
paparan yang berlebihan terhadap dopamin, Penelitian menunjukkan bahwa
paparan yang berlebihan tersebut dapat menimbulkan perilaku depresif ketika
berhadapan dengan stres. Psikoterapi berupa ventilasi dengan memberikan
kesempatan pada pasien untuk menceritakan apa yang dirasakan dan apa yang
terjadi sehingga pasien menjadi lega dan merasa diperhatikan serta konseling
dengan menjelaskan pada pasien tentang penyakitnya dan pentingnya untuk
minum obat dan kontrol secara teratur. Sosioterapi berupa memberikan penjelasan
kepada keluarga dan orang sekitar tentang penyakit pasien sehingga tercipta
dukungan sosial dalam lingkungan yang kondusif sehingga membantu proses
penyembuhan pasien.
Pada pasien ini telah didiagnosis menderita MDR TB. Terdapat beberapa
obat psikofarmaka yang memiliki kontraindikasi terhadap pengobatan TB lini
kedua. Sebagai contoh, pengunaan sikloserin yang dikombinasi dengan clozapin
merupakan sebuah kontraindikasi karena kombinasi 2 obat ini dapat
memperburuk gejala negatif. Moxifloxacin yang merupakan golongan
fluorokuinolon memiliki efek menyebabkan peningkatan QTc interval ketika
digunakan bersamaan dengan citaprolam dan haloperidol.
Untuk pemilihan baik obat TB maupun obat psikiatri sebaiknya dipilih
dengan mempertimbangkan efek samping maupun kontraindikasi dari masing-
masing obat.
DAFTAR PUSTAKA
1. PDPI, Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsesus TB). 2006: 22. Ratnasari, Nita Y. Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pada
Penderita Tuberkulosis Paru (Tb Paru) di Balai Pengobatan Penyakit Paru (Bp4) Yogyakarta Unit Minggiran. dalam Jurnal Tuberkulosis Indonesia. vol-8 Maret 2012
3. Kaplan, Sadock, Grebb, MD, 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid ke-2, Binapura Angkasa, Jakarta: 17-31.
4. Doherty AM, J Kelly, C McDonald, AM O’Dywer, J Keane, J Cooney. A Review of The Interplay Between Tuberculosis and Mental Health. 2013: 1-6
5. Calisanie, M. Aulia. Depresi pada Penderita Tuberkulosis Paru di Rs Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode 1 Oktober–30 November 2014. 2014: 49-50.
6. Helmy, RD. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis. 2014: 1-24.7. Treton, AJ, GW Currier. Treatment of Comorbid Tuberculosis and
Depression. 2001. 3 (6): 236-428. Ugarte C, P Ruiz, C Zamudio, L Canaza, L Otero, H Kruger. Association of
Major Depressive Episode with Negative Outcomes of Tuberculosis Treatment. 2013. 8 (7): 1-6
9. Pachi A, D Bratis, G Moussas, A Tselebis. Psychiatric Morbidity and Other Factors Affecting Treatment Adherence in Pulmonary Tuberculosis Patients. 2013: 1-29
10. Vega P, A Sweetland, J Acha, H Castillo, D Guerra, MCS Fawzi, Shin. Psychiatric Issue in The Management of Patient with Multidrugs-Resistant Tuberculosis. 2004. 8 (6): 749-59.
11. Rismanatalai. Gangguan Campuran Cemas dan Depresi. 2011: 1-1812. Ige OM, VO Lasebikan. Prevalence of Depression in Tuberculosis Patients in
Comparison with Non-Tuberculosis Family Contacts Visiting the DOTS Clinic in a Nigerian Tertiary Care Hospital and Its Correlation with Disease Pattern. 2011. 8: 235-41.
13. Das M, P Isaakidis, R Van den Bergh, AMV Kumar, SB Nagaraja, A Valikayath, S Jha, B Jadhav, J Ladomirska. 2014. 7 (24912): 1-5.