Depresi nifas

download Depresi nifas

of 36

Transcript of Depresi nifas

LANDASAN TEORI A. Pendahuluan Masa nifas adalah masa pulih atau kembali, mulai dari persalinan selesai, sampai alat-alat kandung kembali seperti prahamil. Lama masa nifas ini yaitu 6-8 minggu (Rusman Muchtar, 1998). Pada masa ini terjadi perubahan-perubahan fisiologis, yaitu : 1. Perubahan fisik 2. Involusi uterus dan pengeluaran lochea 3. Laktasi atau pengeluaran air susu ibu 4. Perubahan sistem tubuh lainnya 5. Perubahan psikis/psikologis Tujuan 1. Menjaga kesehatan ibu dan bayinya baik fisik maupun psikologis 2. Melakukan skrening yang komprehensif 3. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan dari, nutrisi, KB, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayinya dan perawatan bayi sehat. 4. Memberikan pelayanan keluarga berencana (Prawirohardjo, 2002). B. Depresi Post Partum 1. Sejarah Depresi setelah melahirkan sudah dikenal sejak 460 tahun sebelum masehi, lewat pengungkapan oleh hippocrates. Deskripsi lebih lengkap kemudian dikembangkan dari waktu ke waktu, namun baru sekitar 15 tahun terakhir ini muncul banyak informasi. 2. Pengertian Depresi post partum adalah depresi berat yang terjadi 7 hari setelah melahirkan dan berlangsung 30 hari Gejala konstan dan persisten akan menurunkan dan bisa sembuh dengan sendirinya setelah 30 hari berlangsung. Gejala yang menonjol pada depan depresi post partum adalah adanya trias depresi. Trias a. b. c. depresi Berkurang energi Penurunan efek Hilang minat (anhedonia)

Disebabkan karena gangguan hormonal, hormon yang terkait dengan terjadinya depresi post partum adalah prolaktin, steroid dan progesteron. Depresi post partum berbeda dengan baby blues.

Baby blues termasuk dalam depresi ringan berupa penurunan efek pada ibu hamil trimester III dan 1 minggu setelah melahirkan (Margono, Kuliah Ilmu Kedokteran Jiwa, 20 Februari 2007) www.google.com Post partum syndrome atau distress post partum adalah suatu kondisi di mana seseorang ibu seringkali merasa uring-uringan, muram atau bentubentuk rasa tak bahagia lainnya. Fase ini dalam jangka waktu dua hari sampai dua minggu pasca persalinan. Syndrome ini masih tergolong normal dan sifatnya sementara. Macam-macam post partum syndrome a. Baby blues Merupakan bentuk yang paling ringan dan berlangsung hanya beberapa hari saja. Gejala berupa perasaan sedih, gelisah, seringkali uring-uringan dan khawatir tanpa alasan yang jelas. Tahapan baby blues ini hanya berlangsung dalam waktu beberapa hari saja. Pelan-pelan si ibu dapat pulih kembali dan mulai bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya. b. Depresi post partum Bentuk yang satu ini lumayan agak berat tingkat keparahannya yang membedakan ibu tidak bisa tidur atau sulit untuk tidur. Dapat terjadi dua minggu sampai setahun setelah melahirkan c. Psychosis post partum Jenis ini adalah yang paling parah. Ibu dapat mengalami halusinasi, memiliki keinginan untuk bunuh diri. Tak saja psikis si ibu yang nantinya jadi tergantung secara keseluruhan (www.depresimelahirkan.com) 3. Etiologi/penyebab a. Keadaan normal b. Dukungan sosial c. Emotional relation ship d. Komunikasi dan kedekatan e. Struktur keluarga f. Antropologi g. Perkawinan h. Demografi i. Stressor psikososial j. Lingkungan

4.

Gejala/Tanda-tanda a. Perasaan sedih yang menyeluruh b. Ketidakmampuan berhenti menangis c. Peningkatan kecemasan (mengenai kesehatan diri sendiri dan bayinya) d. Rasa tidak aman e. Kelelahan yang berlebihan f. Sulit tidur bahkan setelah bayi lahir g. Tidak menyukai atau takut menyentuh bayinya h. Sedikit perhatian terhadap penampilan diri

Perbedaan kecenderungan depresi post partum antara ibu primipara dan ibu multipara Tentukan sebagai ibu akan dirasakan semakin berat karena kurangnya pengetahuan perepuan akan perawatan bayi, terutama pada perempuan yang baru pertama kali melahirkan (primipara). Perbedaan kecenderungan depresi postpartum antara ibu primipara dan multipara dengan pemeliharaan dan hipotesis menunjukkan depresi post partum ibu primipara lebih tinggi dibandingkan dengan ibu multipara yang diakibatkan oleh kurangnya penyesuaian diri terhadap peran dan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu (Indri Astuti, F. Psikologis UMS depresi melahirkan, www.geogle.com.) Ada cara-cara menghidari atau mengatasi depresi a. Batasi pengunjung jika kehadiran mereka ternyata malah mengganggu waktu istirahat anda b. Untuk sementara waktu hindari komsumsi coklat atau gula dalam jumlah yang berlebihan karena dapat menjadi bahan pemicu depresi c. Perbanyak mendengar musik favorit anda agar anda dapat merasa lebih rileks disarankan musik-musik yang menenangkan d. Lakukan olahraga atau latihan ringan, cara ini selain ampuh dalam mengurangi depresi, tapi juga dapat membantu mengembalikan bentuk tubuh e. Sesekali berpergianlah agar anda tak merasa bosan, karena berada di rumah f. Dukungan yang suportif dari suami dan anggota keluarga lainnya sangat berpengaruh bagi keadaan psikis ibu. (www.depresimelahirkan.com)

pasien post partum depression dapat memperoleh bantuan dari psikiateer atau ahli kejiwaan dan psikologi. Pada terapi penyembuhan yang awal, pasien tidak akan diberikan obat-obatan untuk diminum, tetapi lebih kepada dukungan secara psikologis yang juga melihat orang-orang terdekat pasien. Jangan takut memberi informasi kepada pihak-pihak yang dapat membantu. Perawatan depresi Ada dua macam perawatan depresi : a. Terapi bicara : Adalah sesi bicara dengan terapi, psikologi atau pekerja sosial untuk mengubah apa yang difikir, rasa dan lakukan oleh penderita akibat menderita depresi. b. Obat medis Obat anti depresi yang diresepkan oleh dokter, sebelum mengkonsumsi obat anti depresi, sebaiknya didiskusikan benar obat mana yang tepat dan aman bagi bayi untuk dikonsumsi oleh ibu hamil atau ibu menyusui. Efek bila depresi tidak dirawat Depresi pasca melahirkan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk merawat bayinya. Dan akan mempengaruhi kemampuan bayi dalam kedekatan emosionalnya dengan orang lain, dalam masalah bersikap, tingkat aktifitas yang lemah, masalah tidur dan distress (www.depresimelahirkan.com) 5. Penatalaksanaan a. Dapat riwayat kesehatan selama priode antepartum untuk mengidentifikasi resiko potensial terjadi depresi postpartum b. Atur konseling selama periode antepartum pada klien yang beresiko c. Bantuan klien untuk mengatur mekanisme dukungan yang baik selama periode antepartum jika dia ditanyakan beresiko terhadap depresi post partum d. Dapatkan riwayat kesehatan post partum yang akurat termasuk demografi, informasi mengenai dukungan dan bantuan dirumah e. Kaji proses hubungan ibu dan anak f. Tawarkan dukungan, dorongan dan bantuan kepada klien untuk memahami bahwa perasaan depresi dalam beberapa hari setelah melahirkan adalah normal g. Peningkatan klien bahwa jika depresinya berlanjut lebih dari beberapa hari dia harus berkonsultasi h. Atur konseling selanjutnya jika klien yang memperlihatkan tanda depresi berlanjut.

Bidan dapat membantu dengan cara : a. Sensitif pada reaksi ibu b. Terlibat dengan terjadinya pada bulan-bulan awal setelah kelahiran c. Menjadi pendengar yang baik tanpa menghakimi sehingga ibu dapat mengekspresikan persoalan, keraguan dan kecemasan Jika dilakukan sejak dini, penyakit ini dapat disembuhkan dengan obatobatan dan konseling jika depresinya berat atau berkepanjangan perlu dirawat di rumah sakit.

Depresi PostpartumPosted on December 29, 2007 by klinis

1. Pengertian Kecenderungan depresi postpartum Menurut Sudarsono (1997), kecenderungan adalah hasrat, keinginan yang selalu timnbul berulang-ulang. Sedangkan Anshari (1996), berpendapat bahwa kecenderungan merupskan susunan atau disposisi untuk berkelakuan dalam cara yang benar. haplin (1995), mengartikan kecenderungan sebagai satu set atau satu susunan sikap untuk bertingkah laku dengan cara tertentu. Soekanto (1993), menyatakan kecenderungan merupakan suatu dorongan yang muncul dari dalam individu secara inharen menuju suatu arah tertentu untuk menunjukkan suka atau tidak suka kepada suatu objek. Manusia dalam kehidupannya tidak pernah terlepas dari berbagai permasalahan, baik yang tergolong sederhana sampai yang kompleks. Semua itu membutuhkan kesiapan mental untuk menghadapinya. Pada kenyataannya terdapat gangguan mental yang sangat mengganggu dalam hidup manusia, yang salah satunya adalah depresi. Gangguan mental emosional ini bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, dari kelompok mana saja, dan pada segala rentang usia. Bagi penderita depresi ini selalu dibayangi ketakutan, kengerian, ketidakbahagiaan serta kebencian pada mereka sendiri. Hadi (2004), menyatakan secara sederhana dapat dikatakan bahwa depresi adalah suatu pengalaman yang menyakitkan, suatu perasaan tidak ada harapan lagi. Kartono (2002), menyatakan bahwa depresi adalah keadaan patah hati atau putus asa yang disertai dengan melemahnya kepekaan terhadap stimulus tertentu, pengurangan aktivitas fisik maupun mental dan kesulitan dalam berpikir, Lebih lanjut Kartono menjelaskan bahwa gangguan depresi disertai kecemasan , kegelisahan dan keresahan, perasaan bersalah, perasaan menurunnya martabat diri atau kecenderungan bunuh diri. Trisna (Hadi, 2004), menyimpulkan bahwa depresi adalah suatu perasaan sendu atau sedih yang biasanya disertai dengan diperlambatnya gerak dan fungsi tubuh. Mulai dari perasaan murung sedikit sampai pada keadaan tidak berdaya. Individu yakin tidak melakukan apa pun untuk mengubahnya dan merasa bahwa respon apa pun yang dilakukan tidak akan berpengaruh pada hasil yang muncul. Individu yang mengalami depresi sering merasa dirinya tidak berharga dan merasa bersalah. Mereka tidak mampu memusatkan pikirannya dan tidak dapat membuat keputusan. Individu yang mengalami depresi selalu menyalahkan diri sendiri, merasakan kesedihan yang mendalam dan rasa putus asa tanpa sebab. Mereka mempersepsikan diri sendiri dan seluruh alam dunia dalam suasana yang gelap dan suram. Pandangan suram ini menciptakan perasaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan yang berkelanjutan (Albin, 1991).

Depresi menurut Kaplan dan Sadock (1998), merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta gagasan bunuh diri. Sebagian perempuan menganggap bahwa masamasa setelah melahirkan adalah masamasa sulit yang akan menyebabkan mereka mengalami tekanan secara emosional. Gangguangangguan psikologis yang muncul akan mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, dan sedikit banyak mempengaruhi hubungan anak dan ibu dikemudian hari. Hal ini bisa muncul dalam durasi yang sangat singkat atau berupa serangan yang sangat berat selama berbulanbulan atau bertahun tahun lamanya. Secara umum sebagaian besar wanita mengalami gangguan emosional setelah melahirkan. Clydde (Regina dkk, 2001), bentuk gangguan postpartum yang umum adalah depresi, mudah marah dan terutama mudah frustasi serta emosional. Gangguan mood selama periode postpartum merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi pada wanita baik primipara maupun multipara. Menurut DSM-IV, gangguan pascasalin diklasifikasikan dalam gangguan mood dan onset gejala adalah dalam 4 minggu pascapersalinan, dan 3 tipe gangguan mood pascasalin, diantaranya adalah maternity blues, postpartum depression dan postpartum psychosis (Ling dan Duff, 2001). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Paltiel (Koblinsky dkk, 1997), bahwa ada 3 golongan gangguan psikis pascasalin yaitu postpartum blues atau sering disebut juga sebagai maternity blues yaitu kesedihan pasca persalinan yang bersifat sementara. Postpartum depression yaitu depresi pasca persalinan yang berlangsung sampai berminggu minggu atau bulan dan kadang ada diantara mereka yang tidak menyadari bahwa yang sedang dialaminya merupakan penyakit. Postpartum psychosis, dalam kondisi seperti ini terjadi tekanan jiwa yang sangat berat karena bisa menetap sampai setahun dan bisa juga selalu kambuh gangguan kejiwaannya setiap pasca melahirkan. Depresi postpartum pertama kali ditemukan oleh Pitt pada tahun 1988. Pitt (Regina dkk, 2001), depresi postpartum adalah depresi yang bervariasi dari hari ke hari dengan menunjukkan kelelahan, mudah marah, gangguan nafsu makan, dan kehilangan libido (kehilangan selera untuk berhubungan intim dengan suami). Masih menurut Pitt (Regina dkk, 2001) tingkat keparahan depresi postpartum bervariasi. Keadaan ekstrem yang paling ringan yaitu saat ibu mengalami kesedihan sementara yang berlangsung sangat cepat pada masa awal postpartum, ini disebut dengan the blues atau maternity blues. Gangguan postpartum yang paling berat disebut psikosis postpartum atau melankolia. Diantara 2 keadaan ekstrem tersebut terdapat kedaan yang relatif mempunyai tingkat keparahan sedang yang disebut neurosa depresi atau depresi postpartum.

Menurut Duffet-Smith (1995), depresi pascasalin bisa berkaitan dengan terjadinya akumulasi stres. Ada stres yang tidak dapat dihindari, seperti operasi. Depresi adalah pengalaman yang negatif ketika semua persoalan tamapak tidak terpecahkan. Persoalan juga tidak akan terpecahkan dengan berpikir lebih positif, tetapi sikap itu akan membuat depresi lebih dapat dikendalikan. Masih menurut Duffet-Smith, faktor kunci dalam depresi pasca persalinan adalah kecapaian yang menjadi kelelahan total. Kepercayaan diri ibu dapat luntur jika ibu merasa tidak mampu menanganinya dan menjadi frustasi karena kelemahan fisiknya. Inwood (Regina dkk, 2001) menghubungkan fenomena depresi postpartum dengan gangguan perasaan mayor seperti kesedihan, perasaan tidak mampu, kelelahan, insomnia dan anhedonia. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Sloane dan Bennedict (1997), depresi postpartum merupakan tekanan jiwa sesudah melahirkan, mungkin seorang ibu baru akan merasa benar benar tidak berdaya dan merasa serba kurang mampu, tertindih oleh beban tanggung jawab terhadap bayi dan keluarganya, tidak bisa melakukan apapun untuk menghilangkan perasaan itu. Depresi pascalahir dapat berlangsung sampai 3 bulan atau lebih dan berkembang menjadi depresi lain yang lebih berat atau lebih ringan. Gejalanya sama saja tetapi disamping itu ibu mungkin terlalu memikirkan kesehatan bayinya dan kemampuannya sebagai seorang ibu (Wilkinson, 1995). Monks dkk (1988), menyatakan bahwa depresi postpartum merupakan problem psikis sesudah melahirkan seperti labilitas afek, kecemasan dan depresi pada ibu yang dapat berlangsung berbulan bulan. Sloane dan Bennedict (1997) menyatakan bahwa depresi postpartum biasanya terjadi pada 4 hari pertama masa setelah melahirkan dan berlangsung terus 1 2 minggu. LlewellynJones (1994), menyatakan bahwa wanita yang didiagnosa secara klinis pada masa postpartum mengalami depresi dalam 3 bulan pertama setelah melahirkan. Wanita yang menderita depresi postpartum adalah mereka yang secara sosial dan emosional merasa terasingkan atau mudah tegang dalam setiap kejadian hidupnya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa depresi postpartum adalah gangguan emosional pasca persalinan yang bervariasi, terjadi pada 10 hari pertama masa setelah melahirkan dan berlangsung terus menerus sampai 6 bulan bahkan sampai satu tahun. 2. Faktor faktor penyebab depresi postpartum Cycde (Regina dkk, 2001) mengemukakan bahwa depresi postpartum tidak berbeda secara mencolok dengan gangguan mental atau gangguan emosional. Suasana sekitar kehamilan dan kelahiran dapat dikatakan bukan penyebab tapi pencetus timbulnya gangguan emosional.

Nadesul (1992), penyebab nyata terjadinya gangguan pasca melahirkan adalah adanya ketidakseimbangan hormonal ibu, yang merupakan efek sampingan kehamilan dan persalinan. Sarafino (Yanita dan Zamralita, 2001), faktor lain yang dianggap sebagai penyebab munculnya gejala ini adalah masa lalu ibu tersebut, yang mungkin mengalami penolakan dari orang tuanya atau orang tua yang overprotective, kecemasan yang tinggi terhadap perpisahan, dan ketidakpuasaan dalam pernikahan. Perempuan yang memiliki sejarah masalah emosional rentan terhadap gejala depresi ini, kepribadian dan variabel sikap selama masa kehamilan seperti kecemasan, kekerasan dan kontrol eksternal berhubungan dengan munculnya gejala depresi. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh LlewellynJones (1994), karakteristik wanita yang berisiko mengalami depresi postpartum adalah : wanita yang mempunyai sejarah pernah mengalami depresi, wanita yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis, wanita yang kurang mendapatkan dukungan dari suami atau orangorang terdekatnya selama hamil dan setelah melahirkan, wanita yang jarang berkonsultasi dengan dokter selama masa kehamilannya misalnya kurang komunikasi dan informasi, wanita yang mengalami komplikasi selama kehamilan. Pitt (Regina dkk, 2001), mengemukakan 4 faktor penyebeb depresi postpartum sebagai berikut : a. Faktor konstitusional. Gangguan post partum berkaitan dengan status paritas adalah riwayat obstetri pasien yang meliputi riwayat hamil sampai bersalin serta apakah ada komplikasi dari kehamilan dan persalinan sebelumnya dan terjadi lebih banyak pada wanita primipara. Wanita primipara lebih umum menderita blues karena setelah melahirkan wanita primipara berada dalam proses adaptasi, kalau dulu hanya memikirkan diri sendiri begitu bayi lahir jika ibu tidak paham perannya ia akan menjadi bingung sementara bayinya harus tetap dirawat. b. Faktor fisik. Perubahan fisik setelah proses kelahiran dan memuncaknya gangguan mental selama 2 minggu pertama menunjukkan bahwa faktor fisik dihubungkan dengan kelahiran pertama merupakan faktor penting. Perubahan hormon secara drastis setelah melahirkan dan periode laten selama dua hari diantara kelahiran dan munculnya gejala. Perubahan ini sangat berpengaruh pada keseimbangan. Kadang progesteron naik dan estrogen yang menurun secara cepat setelah melahirkan merupakan faktor penyebab yang sudah pasti. c. Faktor psikologis. Peralihan yang cepat dari keadaan dua dalam satu pada akhir kehamilan menjadi dua individu yaitu ibu dan anak bergantung pada penyesuaian psikologis individu. Klaus dan Kennel (Regina dkk, 2001), mengindikasikan pentingnya cinta dalam menanggulangi masa peralihan ini untuk memulai hubungan baik antara ibu dan anak. d. Faktor sosial. Paykel (Regina dkk, 2001) mengemukakan bahwa pemukiman yang tidak memadai lebih sering menimbulkan depresi pada ibu ibu, selain kurangnya dukungan dalam perkawinan.

Menurut Kruckman (Yanita dan zamralita, 2001), menyatakan terjadinya depresi pascasalin dipengaruhi oleh faktor : 1. Biologis. Faktor biologis dijelaskan bahwa depresi postpartum sebagai akibat kadar hormon seperti estrogen, progesteron dan prolaktin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dalam masa nifas atau mungkin perubahan hormon tersebut terlalu cepat atau terlalu lambat. 2. Karakteristik ibu, yang meliputi : a. Faktor umur. Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seseorang perempuan untuk melahirkan pada usia antara 2030 tahun, dan hal ini mendukung masalah periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang ibu. Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat kehamilan dan persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan tersebut untuk menjadi seorang ibu. b. Faktor pengalaman. Beberapa penelitian diantaranya adalah pnelitian yang dilakukan oleh Paykel dan Inwood (Regina dkk, 2001) mengatakan bahwa depresi pascasalin ini lebih banyak ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa peran seorang ibu dan segala yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi yang sama sekali baru bagi dirinya dan dapat menimbulkan stres. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Le Masters yang melibatkan suami istri muda dari kelas sosial menengah mengajukan hipotesis bahwa 83% dari mereka mengalami krisis setelah kelahiran bayi pertama. c. Faktor pendidikan. Perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan konflik peran, antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja atau melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan peran mereka sebagai ibu rumah tangga dan orang tua dari anak anak mereka (Kartono, 1992). d. Faktor selama proses persalinan. Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi medis yang digunakan selama proses persalinan. Diduga semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul dan kemungkinan perempuan yang bersangkutan akan menghadapi depresi pascasalin. e. Faktor dukungan sosial. Banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan, persalinan dan pascasalin, beban seorang ibu karena kehamilannya sedikit banyak berkurang. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab depresi postpartum adalah faktor konstitusional, faktor fisik yang terjadi karena adanya ketidakseimbangan hormonal, faktor psikologi, faktor sosial dan karakteristik ibu. 3. Gejala gejala depresi postpartum Depresi merupakan gangguan yang betulbetul dipertimbangkan sebagai psikopatologi yang paling sering mendahului bunuh diri, sehingga tidak jarang berakhir dengan kematian. Gejala depresi seringkali timbul bersamaan dengan gejala kecemasan. Manifestasi dari kedua gangguan ini lebih lanjut sering timbul sebagai keluhan umum seperti : sukar tidur, merasa bersalah, kelelahan, sukar konsentrasi, hingga pikiran mau bunuh diri.

Menurut Vandenberg (dalam Cunningham dkk, 1995), menyatakan bahwa keluhan dan gejala depresi postpartum tidak berbeda dengan yang terdapat pada kelainan depresi lainnya. Hal yang terutama mengkhawatirkan adalah pikiran pikiran ingin bunuh diri, wahamwaham paranoid dan ancaman kekerasan terhadap anakanaknya. Hal senada juga diungkapkan oleh Ling dan Duff (2001), bahwa gejala depresi postpartum yang dialami 60 % wanita hampir sama dengan gejala depresi pada umumnya. Tetapi dibandingkan dengan gangguan depresi yang umum, depresi postpartum mempunyai karakteristik yang spesifik antara lain : a. Mimpi buruk. Biasanya terjadi sewaktu tidur REM. Karena mimpi mimpi yang menakutkan, individu itu sering terbangun sehingga dapat mengakibatkan insomnia. b. Insomnia. Biasanya timbul sebagai gejala suatu gangguan lain yang mendasarinya seperti kecemasan dan depresi atau gangguan emosi lain yang terjadi dalam hidup manusia. c. Phobia. Rasa takut yang irasional terhadap sesuatu benda atau keadaan yang tidak dapat dihilangkan atau ditekan oleh pasien, biarpun diketahuinya bahwa hal itu irasional adanya. Ibu yang melahirkan dengan bedah Caesar sering merasakan kembali dan mengingat kelahiran yang dijalaninya. Ibu yang menjalani bedah Caesar akan merasakan emosi yang bermacammacam. Keadaan ini dimulai dengan perasaan syok dan tidak percaya terhadap apa yang telah terjadi. Wanita yang pernah mengalami bedah Caesar akan melahirkan dengan bedah Caesar pula untuk kehamilan berikutnya. Hal ini bisa membuat rasa takut terhadap peralatan peralatan operasi dan jarum (Duffet-Smith, 1995). d. Kecemasan. Ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul karena dirasakan akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahuinya. e. Meningkatnya sensitivitas. Periode pasca kelahiran meliputi banyak sekali penyesuaian diri dan pembiasaan diri. Bayi harus diurus, ibu harus pulih kembali dari persalinan anak, ibu harus belajar bagaimana merawat bayi, ibu perlu belajar merasa puas atau bahagia terhadap dirinya sendiri sebagai seorang ibu. Kurangnya pengalaman atau kurangnya rasa percaya diri dengan bayi yang lahir, atau waktu dan tuntutan yang ekstensif akan meningkatkan sensitivitas ibu (Santrock, 2002). f. Perubahan mood. Menurut Sloane dan Bennedict (1997), menyatakan bahwa depresi postpartum muncul dengan gejala sebagai berikut : kurang nafsu makan, sedih murung, perasaan tidak berharga, mudah marah, kelelahan, insomnia, anorexia, merasa terganggu dengan perubahan fisik, sulit konsentrasi, melukai diri, anhedonia, menyalahkan diri, lemah dalam kehendak, tidak mempunyai harapan untuk masa depan, tidak mau berhubungan dengan orang lain. Di sisi lain kadang ibu jengkel dan sulit untuk mencintai bayinya yang tidak mau tidur dan menangis terus serta mengotori kain yang baru diganti. Hal ini menimbulkan kecemasan dan perasaan bersalah pada diri ibu walau jarang ditemui ibu yang benarbenar memusuhi bayinya.

Menurut Nevid dkk (1997), depresi postpartum sering disertai gangguan nafsu makan dan gangguan tidur, rendahnya harga diri dan kesulitan untuk mempertahankan konsentrasi atau perhatian. Kriteria diagnosis spesifik depresi postpartum tidak dimasukkan di dalam DSM-IV, dimana tidak terdapat informasi yang adekuat untuk membuat diagnosis spesifik. Diagnosis dapat dibuat jika depresi terjadi dalam hubungan temporal dengan kelahiran anak dengan onset episode dalam 4 minggu pasca persalinan. Menurut DSM IV, simptomsimptom yang biasanya muncul pada episode postpartum antara lain perubahan mood, labilitas mood dan sikap yang berlebihan terhadap bayi. Wanita yang menderita depresi postpartum sering mengalami kecemasan yang sangat hebat dan sering panik. Meskipun belum ada kriteria diagnosis spesifik dalam DSM-IV, secara karakteristik penderita depresi postpartum mulai mengeluh kelelahan, perubahan mood, memiliki episode kesedihan, kecurigaan dan kebingungan serta tidak mau berhubungan dengan orang lain. Selain itu, penderita depresi postpartum memiliki perasaan tidak ingin merawat bayinya, tidak mencintai bayinya, ingin menyakiti bayi atau dirinya sendiri atau keduanya. Gejala depresi pascasalin ini memang lebih ringan dibandingkan dengan psikosis pascasalin. Meskipun demikian, kelainankelainan tersebut memiliki potensi untuk menimbulkan kesulitan atau masalah bagi ibu yang mengalaminya (Kruckman dalam Yanita dan Zamralita, 2001). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gejalagejala depresi postpartum antara lain adalah trauma terhadap intervensi medis yang dialami, kelelahan, perubahan mood, gangguan nafsu makan, gangguan tidur, tidak mau berhubungan dengan orang lain, tidak mencintai bayinya, ingin menyakiti bayi atau dirinya sendiri atau keduanya.

DAFTAR PUSTAKA Albin, R. S. 1991. Emosi : Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya. Yogyakarta : Kanisius. American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Fourth Edition (Text Revision). Washington, DC : American Psychiatric Assosiation (APA). Anshari, H. 1996. Kamus Psychologi. Jakarta : Arcan. Arikunto, S. 1992. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi III. Jakarta : Gramedia. Asari, Y. 2005. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Kestabilan Emosi Dalam Menghadapi Kelahiran Anak Pertama. Skripsi. (tidak diterbitkan). Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Azwar, S. 1996. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Liberty. _______. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Chaplin, C.P. 1995. Kamus Lengkap Psikologi. Yogyakarta. Liberty. Cunningham, F. G, Macdonald, P. C dan Gant, N. F. 1995. Williams Obstetrics. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. Duffet-Smith, T. 1995. Persalinan dengan Bedah Caesar. Jakarta : Arcan. Erikania, J. 1999. Mengenal Post Partum Blues. Nakita. 8 Mei 199. No. 05/1. Halaman 6. Jakarta : PT Kinasih Satya Sejati. Hadi, P. 2004. Depresi dan Solusinya. Yogyakarta : Tugu Hadi, S. 1990. Metodologi Research II. Yogyakarta : Andi offset. Hinton, J. 1989. Depresi dan Perawatannya. Jakarta : Dian Rakyat. Ibrahim, Z. 2002. Psikologi Wanita. Bandung : Pustaka Hidayah. Kaplan, H. I dan Sadock, B. J. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. Kartono, K. 1992. Psikologi Wanita : Mengenal Wanita Sebagai Ibu dan Nenek. Jilid Dua. Bandung : Mandar Maju. . 2002. Patologi Sosial 3. Jakarta : Raja Grafindo Persada. LlewellynJones, D. 1994. Fundamental of Obstetrics and Gynecology. Sixth Edition. Barcelona : Mosby. Ling, F. W, dan Duff, P. 2001. Obstetrics and Gynecology. New York : Mc Graw Hill Companies. Malonda, B. F. 1999. Sosial Budaya, Gangguan Emosi dan Fisik Pasca Salin Masyarakat Pedesaan Sumedang. Diakses 29 September 2004. www.tempo.co.id/ medika arsip/ 122002/ art-2.htm. Mappiare, A. 1983. Psikologi Orang Dewasa. Surabaya : Usaha Nasional. Monks, F. J, Knoers, A. M. P, dan Rahayu, S. 1988. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Nadesul, H. 1992. Seri Kesehatan Keluarga Hippocrates. Jakarta : Arcan. Nevid, J. S dan Rathus, S. A. 1997. Abnormal Psychology in Changing World. Third edition. USA : Prentice-Hall Inc. Paltiel, F. K. 1997. Kesehatan Jiwa Wanita : Suatu Perspektif Global. Dalam Koblinsky, M, Timyan, J dan Gay, J. (ed). Kesehatan Wanita : Sebuah Perspektif Global. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Regina, Pudjibudojo, J. K dan Malinton, P. K. 2001. Hubungan Antara Depresi Postpartum Dengan Kepuasan Seksual Pada Ibu Primipara. Anima Indonesian Psychological Journal. Vol. 16. No. 3. 300 314. Santrock, J .W. 2002. Perkembangan Masa Hidup. Jilid I. Jakarta : Erlangga. Sloane, P. D, dan Benedict, S. 1997. Petunjuk Lengkap Kehamilan. Jakarta : Mitra Utama. Soekanto. 1993. Kamus Sosiologi. Jakarta : PT. Raja Grafindo. Steiner, M. 2005. Premenstrual Syndrome and Premenstrual Dysphoric Disorder. Diakses 17 April 2005. Http//www.psychdirect.com/women/PMS.htm. Sudarsono. 1997. Kamus Konseling. Jakarta : Rineka Cipta. Suparlan, YB, Rachmanto, W, dan Pardiman, S. 1990. Kamus Istilah Kependudukan dan Keluarga Berencana. Yogyakarta : Kanisius. Wiknjosastro, H, Saifudin, BR, dan Rachimhadhi, T. 1999. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Wilkinson, G. 1992. Buku Pintar Kesehatan : Depresi. Jakarta : Arcan.

www.bluerider.com/wordseach/primipara. Primipara. www.ivillage.co.uk/pregnancyandbaby/tools.pregnancy_gloss. Look Up Any Word In Our Glossary. www.Jawaban.com. Urutan Kelahiran. Yanita, A, dan Zamralita. 2001. Persepsi Perempuan Primipara Tentang Dukungan Suami Dalam Usaha Menanggulangi Gejala Depresi pascasalin. Phronesis. Vol.3. No : 5. 34 50.

Depresi dapat menyerang setiap orang, tidak terkecuali pada ibu-ibu yang baru saja melahirkan bayinya. Pada ibu yang baru saja melahirkan dikenal dengan depresi post partum, dimana depresi ini terjadi dalam kurun waktu 4 minggu bahkan dapat menyerang beberapa tahun lamanya bila tidak diatasi. Depresi postpartum dapat mengganggu hubungan tali kasih ibu dan anak, kurangnya perhatian ibu dalam merawat, mengasuh serta membesarkan anaknya, kesulitan anak dalam menjalin hubungan sosial dengan lingkungan dan teman sebaya serta konflik perkawinan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan risiko depresi postpartum antara ibu primipara dengan ibu multipara di RSIA Aisyiyah Klaten. Pemilihan sampel menggunakan metode accidental sampling. Jumlah sampel sebanyak 44 responden yang dibagi atas 22 ibu primipara dan 22 ibu multipara. Alat analisis statistik menggunakan uji beda rata-rata dua sampel yang tidak berhubungan (Independent sample T test). Pengambilan data mengenai tingkat depresi responden diperoleh setelah responden mengisi kuesioner, sehingga diperoleh data tingkat depresi responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian risiko depresi postpartum pada ibu primipara berdasarkan penerapan skala Edinburgh dilihat dari rentan usia, bahwa ibu primipara berisiko depresi postpartum pada rentan usia yang lebih muda dibandingkan dengan ibu multipara. Angka kejadian risiko depresi postpartum pada ibu multipara berdasarkan penerapan skala Edinburgh, yaitu risiko depresi pada ibu multipara lebih rendah dibandingkan dengan ibu primipara. Ada perbedaan risiko depresi postpartum antara ibu primipara dengan ibu multipara di RSIA Aisyiyah Klaten, bahwa risiko depresi postpartum ibu primipara lebih tinggi dibandingkan dengan risiko depresi postpartum pada ibu multipara dimana hasil independent t test adalah p = 0,030.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sudah menjadi kodrat seorang wanita untuk mengandung kemudian melahirkan, yang tentunya akan sangat menentukan kehidupan selanjutnya. Kehamilan dan kelahiran anak adalah proses fisiologis, namun wanita mempunyai risiko terhadap kesehatan fisik maupun mental selama dalam proses reproduksi tersebut. Kesehatan reproduksi ini tidak hanya sehat secara fisik tetapi juga meliputi sehat mental dan sosial, tidak hanya bebas dari penyakit atau gangguan proses reproduksi (Munawaroh, 2008). Melahirkan bayi merupakan suatu peristiwa penting yang sangat dinanti-nantikan oleh sebagian besar perempuan. Menjadi seorang ibu membuat seorang perempuan merasa telah berfungsi utuh dalam menjalani kehidupannya, disamping beberapa fungsi yang lain, seperti sebagai istri, sebagai bagian dari keluarga, sebagai anak dari kedua orangtuanya, serta sebagai anggota dari keluarga besar dan masyarakat (Elvira, 2006). Ibu yang baru saja mengalami proses reproduksi sangat membutuhkan dukungan psikologis dari orang-orang terdekatnya. Bobak (dalam Munawaroh, 2008) menerangkan bahwa ibu pasca melahirkan primipara (ibu yang mengandung dan melahirkan satu anak/lebih yang hidup untuk pertama kali) lebih membutuhkan support daripada yang sudah mempunyai pengalaman melahirkan sebelumnya. Kurangnya dukungan dari orang-orang terdekat dapat menyebabkan penurunan psikologis seperti mudah menangis, merasa bosan, capek, tidak bergairah, dan merasa gagal yang akan menyebabkan ibu menjadi depresi. Sichel dan Driscoll menyatakan bahwa dalam kehidupan wanita, periode postpartum merupakan periode yang berisiko tinggi bagi munculnya sebuah gangguan mood. Depresi postpartum merupakan problem sistemik yang mempengaruhi fungsi keibuan dan kesejahteraan ibu. Depresi postpartum dapat mempengaruhi kapasitas pengasuhan ibu dimana dapat menurunkan kompetensi peran keibuan yang kemungkinan besar dapat memperburuk depresinya (http://docstoc.com/docs/37713915/SKRIPSI-ANYARKU). Iskandar (dalam Munawaroh, 2008) menerangkan bahwa depresi postpartum terjadi karena kurangnya dukungan terhadap penyesuaian yang dibutuhkan oleh wanita dalam menghadapi aktivitas dan peran barunya sebagai ibu setelah melahirkan. Penyebab depresi postpartum masih belum dapat diterangkan secara jelas. Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebabnya adalah faktor paritas, hormonal, umur, dan latar belakang psikososial. Faktor paritas diduga riwayat obstetri dan komplikasi yang meliputi riwayat hamil sampai melahirkan sebelumnya. Faktor hormonal adalah kadar hormon progesterone naik dan estrogen yang menurun secara cepat setelah melahirkan. Faktor umur adalah umur saat kehamilan dan melahirkan yang berkaitan dengan kesiapan mental untuk menjadi seorang ibu. Faktor latar belakang psikososial

meliputi tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan dan keadekuatan dukungan sosial lingkungan (suami, keluarga dan teman) (Munawaroh, 2008). Hasil dari sejumlah studi menyatakan bahwa kurangnya dukungan dari suami, keluarga dan orang lain berhubungan erat dengan depresi postpartum. OHara dan Swains menyatakan bahwa beberapa prediktor dari depresi postpartum adalah riwayat psikopatologi yang lalu, gangguan psikiatri selama kehamilan, dan dinamika hubungan perkawinan, rendahnya dukungan sosial, dan tingkat stress dalam kehidupan keseharian. Dukungan sosial ini termasuk dukungan emosional dan kepuasan yang dirasakan dalam hubungannya dengan suami mereka (http://www.docstoc.com/docs/37713915/SKRIPSI-ANYARKU). Ariyanto (2009) menyebutkan bahwa dukungan sosial memainkan peranan yang penting dalam kesehatan fisik dan kesehatan mental, baik itu memelihara kesehatan maupun berfungsi sebagai pencegah stres. Individu dengan ikatan sosial yang kuat hidup lebih lama dan memiliki kesehatan lebih baik dibandingkan dengan individu yang hidup tanpa adanya sejumlah ikatan. Taylor ( dalam Ariyanto, 2009) menunjukkan suatu penelitian tentang manfaat dukungan sosial yang secara efektif menurunkan keadaan yang membahayakan secara psikologis pada saat-saat penuh ketegangan. Dukungan sosial juga muncul untuk menurunkan kemungkinan sakit dan mempercepat kesembuhan. Dukungan suami (sosial) sangat penting dan tidak bisa diremehkan dan yang tidak kalah penting membangun suasana positif, dimana istri merasakan hari-hari pertama yang melelahkan. Oleh sebab itu dukungan atau sikap positif dari pasangan dan keluarga akan memberi kekuatan tersendiri bagi ibu (Fatimah, 2009). Elvira (2006) menyebutkan bahwa dalam penelitian-penelitian sebelumnya diketahui bahwa di negara-negara barat, depresi postpartum dialami oleh lebih kurang 15-20% dari perempuan yang melahirkan, baik yang pertama kali maupun berikutnya. Di Malaysia pada tahun 1995 diketahui bahwa ibu yang mengalami depresi postpartum sebanyak 3,9%, di Singapura angka kejadiannya 1%, sedangkan di Indonesia pada tahun 1998-2001 ditemukan angka kejadiannya 11-30%. Angka kesakitan pada post sectio caesaria lebih tinggi dibandingkan dengan melahirkan pervagina, sedangkan angka kesakitan pralahir pada sectio caesaria jauh lebih rendah dibandingkan dengan melahirkan pervagina (Indiarti, 2007). Kejadian melahirkan section caesaria berisiko mengalami depresi postpartum daripada postpartum normal, maka ibu sectio caesaria perlu dilakukan dukungan fisik dan psikologis dalam pencegahan depresi postpartum, dengan alasan lama perawatan section caesaria. Penelitian Dewi (2008) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial dengan kejadian postpartum blues pada ibu primipara. Sedangkan penelitian Munawaroh (2008) menyatakan ada hubungan paritas dengan kemampuan mekanisme koping dalam menghadapi postpartum blues pada ibu post sectio caesaria, namun penelitian hubungan dukungan sosial dengan kejadian depresi postpartum pada ibu post sectio caesaria belum ada, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan yang hendak diangkat dalam penelitian ini adalah : apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan kejadian depresi postpartum pada ibu post sectio caesaria?. Meninjau dari permasalahan tersebut diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang depresi pasca-persalinan dengan judul Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Kejadian Depresi Postpartum pada Ibu Post Section Caesaria.

B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Kejadian Depresi Postpartum pada Ibu Post Section Caesaria.

C. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu : C. 1. Secara teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan ilmu dalam khasanah keilmuan psikologi selanjutnya, terutama dalam perkembangan psikologi klinis. C. 2. Secara Praktis a. Ibu Hamil

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan upaya pencegahan depresi postpartum dan dapat menjadi pengetahuan bagi ibu-ibu baru dan wanita pada umumnya. b. Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberi dan menambah pengetahuan tentang depresi postpartum. Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat sudah lebih matang dalam menghadapi dan dapat meminimalisir terjadinya depresi postpartum. c. Peneliti selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan dan bahan pertimbangan dalam melakukan penelitian pada topik yang sama nantinya.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Depresi Postpartum 1. Pengertian depresi postpartum

Depresi postpartum didefenisikan oleh Elvira (2006) sebagai suatu depresi yang ditemukan pada perempuan setelah melahirkan, yang terjadi dakam kurun waktu 4 (empat) minggu. Hal ini dapat berlangsung hingga beberapa bulan bahkan beberapa tahun bila tidak diatasi. Monks dkk (dalam Purwanto, 2007), menyatakan bahwa depresi postpartum merupakan problem psikis sesudah melahirkan seperti labilitas afek, kecemasan dan depresi pada ibu yang dapat berlangsung berbulan bulan. Sloane dan Bennedict (1997) menyatakan bahwa depresi postpartum biasanya terjadi pada 4 hari pertama masa setelah melahirkan dan berlangsung terus 1 2 minggu. Wanita yang menderita depresi postpartum adalah mereka yang secara sosial dan emosional merasa terasingkan atau mudah tegang dalam setiap kejadian hidupnya. Depresi postpartum pertama kali ditemukan oleh Pitt pada tahun 1988. Pitt (Regina dkk, 2001) menyatakan bahwa depresi postpartum adalah depresi yang bervariasi dari hari ke hari dengan menunjukkan kelelahan, mudah marah, gangguan nafsu makan, dan kehilangan libido (kehilangan selera untuk berhubungan intim dengan suami). Masih menurut Pitt (Regina dkk, 2001) tingkat keparahan depresi postpartum bervariasi. Keadaan ekstrem yang paling ringan yaitu saat ibu mengalami kesedihan sementara yang berlangsung sangat cepat pada masa awal postpartum, ini disebut dengan the blues atau maternity blues. Gangguan postpartum yang paling berat disebut psikosis postpartum atau melankolia. Diantara 2 keadaan ekstrem tersebut terdapat kedaan yang relatif mempunyai tingkat keparahan sedang yang disebut neurosa depresi atau depresi postpartum. Menurut Duffet-Smith (1995), depresi pascasalin bisa berkaitan dengan terjadinya akumulasi stres. Ada stres yang tidak dapat dihindari, seperti operasi (Purwanto, 2007). Menurut Nevid dkk (dalam Purwanto, 2007), depresi postpartum sering disertai gangguan nafsu makan dan gangguan tidur, rendahnya harga diri dan kesulitan untuk mempertahankan konsentrasi atau perhatian. Kriteria diagnosis spesifik depresi postpartum tidak dimasukkan di dalam DSM-IV, dimana tidak terdapat informasi yang adekuat untuk membuat diagnosis spesifik. Diagnosis dapat dibuat jika depresi terjadi dalam hubungan temporal dengan kelahiran anak dengan onset episode dalam 4 minggu pasca persalinan. Menurut DSM IV, simptomsimptom yang biasanya muncul pada episode postpartum antara lain perubahan mood, labilitas mood dan sikap yang berlebihan terhadap bayi. Wanita yang menderita depresi postpartum sering mengalami kecemasan yang sangat hebat dan sering panik. Meskipun belum ada kriteria diagnosis spesifik dalam DSM-IV, secara karakteristik

penderita depresi postpartum mulai mengeluh kelelahan, perubahan mood, memiliki episode kesedihan, kecurigaan dan kebingungan serta tidak mau berhubungan dengan orang lain. Selain itu, penderita depresi postpartum memiliki perasaan tidak ingin merawat bayinya, tidak mencintai bayinya, ingin menyakiti bayi atau dirinya sendiri atau keduanya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa depresi postpartum adalah labilitas afek, kecemasan dan depresi, yang terjadi pada kurun waktu 1 sampai 4 minggu setelah melahirkan dan dapat berlangsung secara terus-menerus.

2.

Faktor-faktor penyebab depresi postpartum

Penyebab pasti depresi postpartum hingga kini belum diketahui dan masih dalam penelitian para ahli, namun Elvira (2006) mengemukakan beberapa faktor yang diperkirakan mempengaruhi atau merupakan faktor risiko terjadinya depresi postpartum. Faktor-faktor tersebut antara lain : a. Dukungan sosial (terutama dari suami dan keluarga). Dukungan suami yang dimaksud disini berupa perhatian, komunikasi dan hubungan emosional yang intim, merupakan faktor yang paling bermakna menjadi pemicu terjadinya depresi postpartum. Adapun dukungan keluarga yang dimaksud adalah komunikasi dan hubungan emosional yang baik dan hangat dengan kedua orang tua, terutama ibu. Banyak perempuan yang memilih ditemani oleh ibunya daripada suaminya pada saat melahirkan. Alfiben dkk (dalam Elvira, 2006) dari penelitiannya di RS. Dr. Cipto MangunkusumoJakarta, melaporkan bahwa dukungan suami dapat menurunkan terjadinya depresi postpartum. b. Keadaan atau kualitas bayi (termasuk problem kehamilan dan kelahiran). Problem yang dialami bayi menyebabkan sang ibu kehilangan minat untuk mengurus bayinya tersebut. Problem pada bayi tersebut antara lain adanya komplikasi kelahiran (misalnya pendarahan yang terlalu banyak atau ibu mengalami infeksi, sehingga ibu harus tinggal lebih lama di rumah sakit) atau lahir dengan jenis kelamin yang tidak sesuai dengan harapan, atau lahir dengan cacat bawaan. Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan kuat antara kehamilan, persalinan dan problem bayi dengan terjadinya depresi postpartum. c. Kesiapan melahirkan bayi dan menjadi ibu. Elvira (2006) mengemukakan dalam penelitiannya bahwa kesiapan menjadi seorang ibu juga mempengaruhi terjadinya depresi postpartum. Pada perempuan yang hamil tidak direncanakan (karena belum menikah atau pada ibu yang menikah namun sudah tidak menginginkan anak lagi karena berbagai alasan, misalnya anak sudah terlalu banyak atau karena alasan ekonomi), kemungkinan mengalami depresi postpartum lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang siap dan amat menantikan kelahiran bayinya. d. Stresor psikososial. Stresor psikososial adalah suatu peristiwa atau kejadian yang mengakibatkan seseorang harus melakukan penyesuaian atau adaptasi terhadap kondisi yang dialami tersebut. Peristiwa yang terjadi tersebut menyebabkan keadaan yang semula telah stabil selama bertahun-tahun harus diubah atau disesuaikan. Ketahanan terhadap stresor ini mengakibatkan perbedaan reaksi yang berbeda-beda pada tiap orang, artinya respons atau reaksi terhadap stresor bersifat subyektif, tidak sama pada setiap orang, ada orang yang lebih tahan,

sebaliknya ada yang rentan dan mudah mengalami stres pada saat mengalami stresor. Demikian pula yang terjadi pada ibu-ibu yang melahirkan. Bagaimana persepsi seorang ibu terhadap proses kehamilan dan kelahiran tergantung dari ketahanannya atau kekuatan kepribadiannya, serta bakat yang dimilikinya. Ada yang menganggapnya sebagai karunia, namun dipihak lain ada yang menganggapnya sebagai stresor karena tidak siap atau belum atau sudah tidak ingin mempunyai anak lagi. Stresor tersebut antara lain bila ibu merasa tidak mempunyai sumber-sumber yang cukup untuk membesarkan anaknya, harus melakukan investasi untuk kesehatan dan masa depan anak serta keluarganya, mengalami problem yang belum dapat diselesaikannya. Hal-hal yang dialami itu dapat membuatnya merasa tertekan atau menjadi stres, yang menyebabkan ibu tidak dapat berfungsi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari, dan hal inilah yang kemudian dapat menjadi pemicu timbulnya depresi postpartum. e. Riwayat depresi sebelumnya atau problem emosional lainnya. Sebagian besar penelitian yang telah dilakukan, mendapatkan bahwa terdapat hubungan antara mengalami depresi dan problem emosional lain sebelumnya atau depresi selama kehamilan dengan depresi postpartum. Selain itu riwayat pernah mengalami depresi ketika anak-anak atau remaja juga dapat merupakan faktor yang berperan pada seorang perempuan pada saat mengalami hari-hari pasca persalinan. f. Faktor hormonal. Depresi postpartum juga terjadi karena perubahan produksi hormon pada masa nifas. Perubahan kadar hormon progesteron, estrogen, prolaktin dan kortisol, diketahui kecil pengaruhnya terhadap depresi postpartum. Dibandingkan dengan dukungan sosial dan kedaan bayi, faktor hormonal ini pada kebanyakan kasus depresi postpartum ternyata tidak bermakna. g. Faktor budaya. Peran budaya hingga kini masih terus diteliti pada berbagai latar belakang budaya, misalnya pada pernikahan yang berlainan suku atau budaya di mana ibu hamil mungkin mengalami kesulitan atau tak mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab depresi postpartum adalah dukungan sosial, keadaan atau kualitas bayi, kesiapan melahirkan bayi dan menjadi ibu, stresor psikososial, riwayat depresi sebelumnya atau problem emosional, faktor hormonal dan faktor budaya.

3.

Gejala-gejala depresi postpartum

Gejala-gejala yang ditemukan pada gejala depresi postpartum serupa dengan gejala gangguan depresi pada umumnya namun berkaitan dengan fungsi, peran dan tanggung jawab sebagai ibu, terutama dalam merawat atau mengurus bayi. Elvira (2006) mengemukakan gejala-gejala depresi postpartum yaitu adanya perasaan sedih, mudah marah dan ingin marah, gelisah, hilangnya minat dan semangat yang nyata dalam aktivitas seharihari yang sebelumnya disukai, tidak mau mengurus anak, sulit tidur atau terlalu banyak tidur, nafsu makan menurun atau sebaliknya meningkat sehingga mengalami penurunan atau kenaikan berat badan yang bermakna, merasa lelah atau kehilangan energi, kemampuan berpikir dan konsentrasinya menurun, merasa bersalah, merasa tidak berguna hingga putus asa dan mempunyai

ide-ide untuk bunuh diri atau bahkan ingin membunuh bayinya. Gejala-gejala tersebut dapat muncul bersamaan sekaligus atau hanya sebagian saja. Ibu yang mengalami gejala-gejala tersebut akan mengalami stres atau tertekan, sehingga sulit atau tidak dapat menjalankan fungsi dan aktivitasnya sehari-hari. Menurut Ling dan Duff (dalam Purwanto, 2007) gejala depresi postpartum yang dialami 60% wanita hampir sama dengan gejala depresi pada umumnya. Tetapi dibandingkan dengan gangguan depresi yang umum, depresi postpartum mempunyai karakteristik yang spesifik antara lain : a. Mimpi buruk. Biasanya terjadi sewaktu tidur REM. Karena mimpi-mimpi yang menakutkan, sering terbangun sehingga dapat mengakibatkan insomnia. b. Insomnia. Biasanya timbul sebagai gejala suatu gangguan lain yang mendasarinya seperti kecemasan dan depresi atau gangguan emosi yang lain. c. Phobia. Rasa takut yang irasional terhadap sesuatu benda atau keadaan yang tidak dapat dihilangkan atau ditekan oleh pasien. Ibu yang melahirkan dengan bedah caesar sering merasakan kembali dan mengingat kelahiran yang dijalaninya. Hal ini bisa membuat rasa takut terhadap peralatan-peralatan operasi dan jarum (Duffet-Smith, 1995). d. Kecemasan. Ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul karena dirasakan akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahuinya. e. Meningkatnya sensitivitas. Periode pasca persalinan menyebabkan banyak terjadi penyesuaian diri dan pembiasaan diri yang baru. Bayi yang harus diurus, ibu harus pulih kembali dari persalinan anak, belajar bagaimana merawat bayi dan belajar untuk puas atau bahagia terhadap dirinya sendiri sebagai seorang ibu. Kurangnya pengalaman dalam merawat bayi dan tuntutan yang ekstensif akan meningkatkan sensitivitas ibu (Santrock, 2002). f. Perubahan mood. Menurut Sloane dan Bennedict (1997), menyatakan bahwa depresi postpartum muncul dengan gejala sebagai berikut : kurang nafsu makan, sedih, perasaan tidak berharga, kelelahan, terganggu dengan perubahan fisik, sulit konsentrasi, dan tidak mau berhubungan dengan orang lain. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa gejala-gejala depresi postpartum antara lain adalah perasaan sedih, mudah marah, gelisah, hilangnya minat dan semangat yang nyata dalam aktivitas sehari-hari yang sebelumnya disukai, sulit tidur atau terlalu banyak tidur, merasa bersalah, merasa tidak berguna hingga putus asa dan mempunyai ide-ide untuk bunuh diri atau bahkan ingin membunuh bayinya, mimpi buruk, insomnia, phobia, kecemasan, meningkatnya sensitivitas, dan perubahan mood.

B. Dukungan Sosial 1. Pengertian dukungan sosial

Dukungan sosial (sosial support) didefenisikan oleh Koentjoro (2003) sebagai informasi verbal atau non-verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Menurut Siegel (dalam Taylor, 1999) yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama (http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/dukungan-sosial/). Menurut Sarason (dalam Pamangsah, 2008) dukungan sosial adalah transaksi interpersonal yang melibatkan salah satu faktor atau lebih dari karakteristik berikut ini: afeksi (ekspresi menyukai mencintai, mengagumi daan menghormati), penegasan (ekspresi persetujuan, penghargaan terhadap ketepatan, kebenaran dari beberapa tindak pernyataan, pandangan) dan bantuan (transaksi-transaksi dimana bantuan dan pertolongan dapat langsung diberikan seperti barang, uang, informasi, nasehat, dan waktu). Katz (1978) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan perasaan positif, menyukai kepercayaan dan perhatian dari orang lain yang berarti dalam hidup manusia, pengakuan kepercayaan seseorang dan bantuan langsung dalam bentuk-bentuk tertentu. Cobb (1987) mengartikan dukungan sosial sebagai interaksi sosial atau hubungan sosial yang memberikan bantuan yang nyata atau perasaan kasih sayang kepada individu atau kelompok yang dirasakan oleh yang bersangkutan, sebagai perhatian atau cinta (Pamangsah, 2008). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah informasi verbal atau non-verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku, transaksi interpersonal, perhatian, pengakuan kepercayaan seseorang, interaksi atau hubungan sosial yang memberikan bantuan yang nyata atau perasaan kasih sayang kepada individu atau kelompok.

2.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan sosial

Strauss dan Sayless (dalam Pamangsah, 2008) mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Sebagai mahkluk sosial, manusia mengadakan interaksi dengan manusia lainnya dan menciptakan persahabatan. Dua kebutuhan dasar manusia adalah kebersamaan atau rasa memiliki dan dimiliki serta kebutuhan untuk memperoleh dukungan satu sama lainnya. Selain mengadakan kontak-kontak sosial, manusia membutuhkan dukungan dari orang lain sebagai cara untuk meningkatkan harga diri, kepercayaan diri serta melihat kemampuan dirinya. Tanpa dukungan sosial, seseorang dapat merasa terganggu secara psikologis. Dengan kata lain bahwa individu sangat membutuhkan dukungan sosial sehingga kepribadian individu dapat tumbuh dan berkembang ke arah yang konstruktif. Menurut Ganster (dalam Pamangsah, 2008) faktor yang mempengaruhi dukungan sosial meliputi :

a. Dukungan keluarga. Keluarga merupakan tempat pertumbuhan perkembangan seseorang. Kebutuhan fisik dan psikologis mula-mula terpenuhi dari lingkungan keluarga sehimgga keluarga termasuk kelompok terdekat individu. Individu sebagai anggota kelompok akan menjadikan keluarga sebagai tumpuan harapan, tenpat bercerita dan tempat mengeluarkan keluhan-keluhan bilamana individu sedang mengalami masalah. b. Dukungan teman bergaul. Orang yang bergaul membutuhkan dukungan moral dari teman bergaulnya. Bentuknya kualitas kerjasama, kehangatan berteman, dan rasa saling membutuhkan dan mempercayai serta kebanggan menjadi anggota kelompok. c. Dukungan masyarakat atau lingkungan sekitar. Masyarakat yang mendukung, menerima dan menyukai serta mengerti kelebihan dan kekurangan individu, biasanya akan memberikan motivasi dalam pemenuhan kebutuhannya. Dukungan sosial dari masyarakat akan membuat individu menjadi lancar dan percaya diri dalam proses sosialisasi. Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan sosial adalah dukungan keluarga, dukungan teman bergaul dan dukungan masyarakat atau lingkungan sekitar karena individu sangat membutuhkan dukungan sosial sehingga kepribadian individu dapat tumbuh dan berkembang ke arah yang konstruktif. 3. Aspek-aspek dukungan sosial

Berbagai wujud dukungan dapat diperoleh individu dari lingkungannya. Menurut Houas dan Smet (dalam Ariyanto, 2008) dukungan sosial dan setiap aspek mempunyai ciri-ciri tertentu. Adapun aspek-aspek tersebut adalah : a. Aspek emosional, aspek ini melibatkan kelekatan, jaminan dan keinginan untuk percaya pada orang lain sehingga ia menjadiyakin bahwa orang lain tersebut mampu memberikan cinta dan kasih sayang padanya. b. Aspek informatif, meliputi pemberian informasi untuk mengatasi masalah pribadi, terdiri atas pemberian nasehat, pengarahan dan keteranngan lain yang dibutuhkan. c. Aspek instrumental, aspek ini meliputi penyediaan sarana untuk mempermudah menolong orang lain, meliputi peralatan, uang, perlengkapan dan sarana pendukung yang lain termasuk didalamnya memberikan peluang waktu. d. Aspek penilaian, terdiri atas peran sosial yang meliputi umpan balik, perbandingan sosial dan afirmasi (persetujuan). Koentjoro (2003) mengemukakan adanya 6 (enam) aspek dukungan sosial yang disebut sebagai The Social Provision Scale, dimana masing-masing aspek berdiri sendiri-sendiri, namun satu sama lain saling berhubungan. Adapun aspek-aspek tersebut adalah : a. Adanya pengakuan (Reanssurance of the worth). Pada dukungan sosial jenis ini individu mendapat pengakuan atas kemampuan dan keahliannya serta mendapat penghargaan dari orang

lain atau lembaga. Sumber dukungan sosial semacam ini dapat berasal dari keluarga atau lembaga/instansi atau perusahaan/organisasi dimana individu bekerja. b. Integrasi sosial (Social Integration). Jenis dukungan sosial ini memungkinkan individu untuk memperoleh perasaan memiliki suatu kelompok yang memungkinkannya untuk membagi minat, perhatian serta melakukan kegiatan yang sifatnya rekreatif secara bersma-sama. Sumber dukungan semacam ini memungkinkan individu mendapatkan rasa aman, nyaman serta merasa memiliki dan dimiliki dalam kelompok. Adanya kepedulian oleh masyarakat untuk mengorganisasi individu dan melakukan kegiatan bersama tanpa pamrih akan banyak memberikan dukungan sosial. Mereka merasa bahagia, ceria dan dapat mencurahkan segala ganjalan yang ada pada dirinya untuk bercerita, atau mendengarkan ceramah ringan yang sesuai dengan kebutuhan individu. Hal itu semua merupakan dukungan sosial yang sangat bermanfaat bagi individu. c. Ketergantungan yang dapat diandalkan (Reliable Reliance). Dalam dukungan sosial jenis ini, individu mendapat dukungan sosial berupa jaminan bahwa ada orang yang dapat diandalkan bantuannya ketika individu membutuhkan bantuan tersebut. Jenis dukungan sosial jenis ini pada umumnya berasal dari keluarga. d. Bimbingan (Guidance). Dukungan sosial ini adalah adanya hubungan kerja atau pun hubungan sosial yang memungkinkan individu mendapatkan informasi, saran, atau nasehat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan yanng dihadapi. Jenis dukungan sosial ini misalnya bersumber dari pimpinan. e. Kesempatan untuk mengasuh (Opportunity for Nurturance). Suatu aspek penting dalam hubungan interpersonal akan perasaan dibutuhkan oleh orang lain. Jenis dukungan sosial ini memungkinkan individu untuk memperoleh perasaan bahwa orang lain tergantung padanya untuk memperoleh kesejahteraan. f. Kerekatan emosional (Emotional Attachment). Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan seseorang memperoleh kerekatan (kedekatan) emosional sehingga menimbulkan rasa aman bagi yang menerima. Orang yang menerima dukungan sosial semacam ini merasa tenteram, aman dan damai yang ditunjukkan dengan sikap tenang dan bahagia. Sumber dukungan sosial ini yang paling sering dan umum adalah diperoleh dari pasangan hidup, atau anggota keluarga/teman dekat/ sanak keluarga yang akrab dan memiliki hubungan yang harmonis. Bagi individu adanya orang kedua yang cocok, terutma yang tidak memiliki pasangan hidup, menjadi sangat penting untuk dapat memberi dukungan sosial atau dukungan moral (moral support). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dukungan sosial adalah dukungan emosional yang mencakup rasa cinta dan sayang, dukungan informatif meliputi pemberian nasehat untuk mengatasi masalah, dukungan instrumental yang berbentuk bantuan materi dan fisik, dukungan penilaian, adanya pengakuan, integrasi sosial, ketergantungan yang dapat diandalkan, bimbingan, kesempatan untuk mengasuh, dan kerekatan emosional. 4. Manfaat dukungan sosial

Dukungan sosial memainkan peranan yang penting dalam kesehatan fisik dan kesehatan mental, baik itu memelihara kesehatan maupun berfungsi sebagai pencegah stres. Individu dengan ikatan sosial yang kuat hidup lebih lama dan memiliki kesehatan lebih baik dibandingkan dengan individu yang hidup tanpa adanya sejumlah ikatan. Taylor (dalam Ariyanto, 2008) menunjukkan suatu penelitian tentang manfaat dukungan sosial yang secara efektif menurunkan keadaan yang membahayakan secara psikologis pada saat-saat penuh ketegangan. Dukungan sosial juga muncul untuk menurunkan kemungkinan sakit dan mempercepat kesembuhan. Sarason (dalam Pamangsah, 2008) dalam penelitiannya menunjukkan hasil bahwa orang-orang yang mendapat dukungan sosial yang tinggi mengalami hal-hal yang positif dalam kehidupannya, memiliki harga diri yang tinggi dan mempunyai pandangan yang lebih optimis terhadap kehidupannya daripada orang-orang yang rendah dukungan sosialnya. Ganster dan Victor mengatakan keuntungan individu yang memperoleh dukungan sosial tinggi dapat menjadikan individu lebih optimis dalam menghadapi kehidupan saat ini maupun pada masa yang akan datang, lebih terampil dalam memenuhi kebutuhan psikologis dan mempunyai sistem yang lebih tinggi, serta tingkat kecemasan yang lebih rendah, mempertinggi interpersonal skill , mempunyai kemampuan untuk mencapai apa yang diinginkan sehingga menjadikan individu lebih mampu untuk mengatasi sesuatu dan penuh semangat hidup (Pamangsah, 2008). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa manfaat dukungan sosial dapat secara efektif menurunkan keadaan yang membahayakan secara psikologis pada saat-saat penuh ketegangan, mengalami hal-hal yang positif, memiliki harga diri yang tinggi, lebih optimis dan penuh semangat hidup. C. Post SectioCaesaria Bedah caesar (mengambil nama Julius Caesar, yang menurut cerita dilahirkan dengan cara ini) adalah pengangkatan bayi dengan cara pembedahan melalui sayatan pada perut sang ibu. Kalau dikerjakan dengan tangan ahli, cara ini cukup aman bagi bayi, pada kenyataannya, cara ini mungkin lebih aman dari pada kelahiran lewat vagina untuk beberapa kondisi. Kekurangannya yang utama adalah risiko bagi kesehatan ibu, bukan si bayi (Salli & Sloane, 2009). Salli dan Sloane (2009) mengatakan bahwa bedah caesar memerlukan bius total dan pembedahan perut, dan keduanya mempunyai komplikasi kecil tapi sangat berarti. Maka keputusan untuk melahirkan dengan bedah caesar perlu dipertimbangkan dengan hati-hati dan dibicarakan secara terbuka, kalau waktu memungkinkan. Bedah caesar tidak boleh di anggap sebagai kegagalan persalinan secara alami, tetapi lebih merupakan cara alternatif melahirkan anak yang digunakan kalau keadaan memaksa. Menurut Setiawan (2007), sectio caesaria adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat 500 gram, melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Sectio caesaria adalah operasi perut untuk mengeluarkan anak dari kandungan (Ramali, 2003). Sedangkan menurut Bobak (2005), sectio caesaria adaah kelahiran janin melalui insisi transabdomen pada uterus.

Angka kesakitan pada post sectio caesaria lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan normal atau per vagina, sedangkan angka kesakitan pralahir, pada sectio caesaria jauh lebih rendah dibandigkan denan persalinan normal atau per vagina (Indiarti, 2007).

D. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Kejadian Depresi Postpartum Pada Ibu Post Sectio Caesaria Monks dkk (dalam Purwanto, 2007), menyatakan bahwa depresi postpartum merupakan problem psikis sesudah melahirkan seperti labilitas afek, kecemasan dan depresi pada ibu yang dapat berlangsung berbulan bulan. Sloane dan Bennedict (1997) menyatakan bahwa depresi postpartum biasanya terjadi pada 4 hari pertama masa setelah melahirkan dan berlangsung terus 1 2 minggu. Wanita yang menderita depresi postpartum adalah mereka yang secara sosial dan emosional merasa terasingkan atau mudah tegang dalam setiap kejadian hidupnya. Berdasar penelitian, ada tiga golongan gangguan psikis pasca persalinan. Pertama, post-partum blues atau kesedihan pasca persalinan. Kedua, post-partum depression atau depresi pasca persalinan dan terakhir -puerperal psychosis atau psikosis pasca persalinan. Faktor-faktor yang mempengaruhi depresi postpartum antara lain adalah : 1) Dukungan sosial (terutama dari suami dan keluarga), yaitu dukungan berupa perhatian, komunikasi dan hubungan emosional yang intim, merupakan faktor yang paling bermakna menjadi pemicu terjadinya depresi postpartum. Adapun dukungan keluarga yang dimaksud adalah komunikasi dan hubungan emosional yang baik dan hangat dengan kedua orang tua, terutama ibu. Elvira (2006) menyimpulkan dalam penelitiannya di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo-Jakarta, melaporkan bahwa dukungan suami dapat menurunkan terjadinya depresi postpartum. 2) Keadaan atau kualitas bayi (termasuk problem kehamilan dan kelahiran). 3) Kesiapan melahirkan bayi dan menjadi ibu. 4) Stresor psikososial. 5) Riwayat depresi sebelumnya atau problem emosional lainnya. 6) Faktor hormonal. 7) Faktor budaya, misalnya pada pernikahan yang berlainan suku atau budaya di mana ibu hamil mungkin mengalami kesulitan atau tak mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Dukungan sosial di defenisikan sebagai interaksi sosial atau hubungan yang memberikan individu suatu bantuan nyata atau menetapkan individu dalam suatu system sosial yang percaya dapat memberikan cinta, perhatian, dan rasa aman (Dewi, 2008). Koentjoro (dalam Ariyanto, 2009) menyatakan bahwa dukungan sosial juga di defenisikan sebagai informasi verbal dan non-verbal, saran, bantuan yang nyata, atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Dukungan suami (sosial) sangat penting dan tidak bisa diremehkan dan yang tidak kalah penting membangun suasana positif, dimana istri merasakan hari-hari pertama yang melelahkan. Oleh sebab itu dukungan atau sikap positif dari pasangan dan keluarga akan memberi kekuatan tersendiri bagi ibu (Fatimah, 2009).

Hasil dari sejumlah studi menyatakan bahwa kurangnya dukungan dari suami, keluarga dan orang lain berhubungan erat dengan depresi postpartum. OHara dan Swains menyatakan bahwa beberapa prediktor dari depresi postpartum adalah riwayat psikopatologi yang lalu, gangguan psikiatri selama kehamilan, dan dinamika hubungan perkawinan, rendahnya dukungan sosial, dan tingkat stress dalam kehidupan keseharian. Dukungan sosial ini termasuk dukungan emosional dan kepuasan yang dirasakan dalam hubungannya dengan suami mereka (http://www.docstoc.com/docs/37713915/SKRIPSI-ANYARKU). Angka kesakitan pada post sectio caesaria lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan normal atau per vagina, oleh sebab itu dukungan sosial pada ibu post sectio caesaria lebih dibutuhkan untuk mencegah terjadinya depresi postpartum. Hal ini sesuai dengan pendapat Taylor (dalam Ariyanto, 2008), yaitu manfaat dukungan sosial yang secara efektif menurunkan keadaan yang membahayakan secara psikologis pada saat-saat penuh ketegangan. Dukungan sosial juga muncul untuk menurunkan kemungkinan sakit dan mempercepat kesembuhan. E. Hipotesis Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan diatas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut : ada hubungan negatif antara dukungan sosial dengan kejadian depresi postpartum pada ibu post sectio caesaria. Semakin tinggi dukungan sosial yang diberikan maka semakin rendah pula kejadian depresi postpartum. Sebaliknya, bila semakin rendah dukungan sosial maka semakin tinggi pula kejadian depresi postpartum pada ibu.

GAMBARAN DUKUNGAN SOSIAL PADA PENDERITA POSTPARTUM DEPRESSION ABSTRAK Penelitian ini ingin mengungkapkan dalam bentuk apa saja dukungan sosial yang diberikan kepada penderita postpartum depression dan apa saja yang dapat mempengaruhi terjadinya postpartum depression. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 1 orang sample, yaitu seorang ibu rumah tangga yang berusia 30 tahun. Subjek memiliki riwayat hidup menderita postpartum depression anak pertamamya. Penelitian ini pelaksanaanya menggunakan pengambilan data melalui observasi dan wawancara, Peneliti menganalisis kasus dengan mengalami masa lalu dan melihat perkembangan dari kesehatan subjek sekarang. Faktor penyebab subjek mengalami postpartum depression yaitu faktor biologi, faktor psikososial, dan pandangan antropologi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjek mengalami postpartum depression.Tetapi karena dukungan sosial yang diperoleh subjek besar, subjek dapat mengatasi masalahnya dalam waktu yang sebentar. Kata kunci : Dukungan Sosial, Postpartum depression BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Chaplin (2001), depresi pada orang normal dapat diartikan sebagai keadaan murung (kesedihan, patah hati, dan patah semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak puas, menurut aktivitas, dan pesimisme didalam menghadapi masa yang akan datang. Berdasarkan penelitian ternyata wanita yang mengalami penyakit depresi dua kali lebih banyak dari pada laki-laki (Sandres, 1984). Salah satu bentuk depresi yang dialami para wanita yaitu depresi setelah melahirkan (postpartum depression). Disaat melahirkan wanita merasa depresi, hal ini disebabkan karena proses melahirkan merupakan pengalaman baru bagi wanita yang baru pertama kali mengalaminya. Biasanya mereka depresi karena mereka tahu bahwa proses melahirkan merupakan peristiwa yang krisis bagi ibu dan anak. Postpartum depression ini tidak bisa diajak kompromi. Namun postpartum depression bisa diobati, sehingga penderita yang dialaminya tidak berkepanjangan (file://A\artikel depresi,2000). Postpartum depression ini memiliki simptom yang beragam, bisa muncul dalam bentuk kesedihan mendalam, sering menangis, insomnia, atau mudah tersinggung. Bentuk lain, bisa juga berupa perasaan ketakutan, hilang nafsu makan, lesu, sampai tidur berlebihan. Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh mereka yang sedang mengalami postpartum depression, mereka dapat melakukan istirahat yang cukup, Kalau kurang makan, mereka dapat dipaksa agar mau makan secara cukup. Selain itu mereka dianjurkan untuk mau olah raga ringan,karena selain gerakan tubuh akan melemaskan otot, olahraga juga memacu munculnya endorphin, hormon yang berguna memunculkan kegembiraan. Usaha terakhir dapat menyuruh mereka untuk menuangkan segala perasaan mereka pada saat itu ke dalam buku (file://A\artikel depresi,2000). Selain dengan penanganan sendiri, wanita yang mengalami penyakit depresi ini juga butuh bantuan dari luar yaitu berupa dukungan sosial. Seperti dari keluarga dekat, sahabat, rekan kerja, dan terutama dari seorang suami. Menurut Sarason dkk (1983) dukungan sosial diartikan sebagai keberadaan atau kemampuan seseorang dimana individu dapat bergantung padanya, yang menunjukkan kalau dia peduli terhadap individu, bahwa individu ini berharga dan dia mencintai atau menyayangi

individu yang bersangkutan. Dukungan sosial dapat diberikan dalam beberapa bentuk, yaitu dukungan emosional, dukungan berupa penghargaan, dukungan berupa bantuan langsung dan dukungan informasional (Clarke & Susan, 1998). Dukungan social yang dapat diberikan oleh orang-orang yang ada disekitarnya antara lain : suami, orang tua, sahabat, dan rekan kerja. Dari semua sumber dukungan sosial, dukungan sosial dari suami merupakan dukungan yang pertama dan utama dalam memberikan dukungan kepada istri. Hal ini karena suami adalah orang yang pertama yang menyadari akan adanya perubahan dalam diri pasangannya. Apabila ia menilai bahwa suami memberikan dukungan terhadap dirinya, maka akan dapat memungkinkan terjadi pengaruh positif dalam diri calon ibu tersebut (Dagun, 1990). Para ibu yang memiliki jaringan sosial yang baik, akan lebih siap menghadapi kondisi setelah melahirkan. Mereka terlihat tersenyum dan berbicara pada bayi mereka (Hagen, 1998) B. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran postpartum depression yang dialami oleh subjek? 2. Bagaimana dukungan social pada penderita postpartum depression? 3. Bagaimana pengaruh dukungan social terhadap subjek penderita postpartum depression? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran mengenai dukungan sosial yang diterima oleh penderita posrpartum depression serta karakteristik dari postpartum depression. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu penderita postpartum depression untuk memberi tahukan bahwa perlu adanya dukungan sosial dan keluarga dapat membantu mengatasi depresi yang dialami oleh subjek penderita postpartum depression. 2. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dibidang psikologis klinis dan dapat dipakai sebagai pedoman didalam melakukan penelitian secara lebih lanjut, terutama dengan mengkaji variabel-veriabel lain yang berkaitan dengan dukungan social dan postpartum depression. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Defenisi Postpartum Depression Salah satu bentuk depresi adalah postpartum depression. Postpartum depression menurut Goldman (1986) adalah sebagai kumpulan gejala klinik yang sesuai dengan gambaran gangguan depresi berat pada wanita postpartum dan gejala tersebut dimulai setelah melahirkan. 2. Gejala-gejala Postpartum Depression Suatu gangguan tidur yang parah dan kecemasan yang tinggi juga merupakan tanda dari terjadinya postpartum depression (Walther, dalam Carolan 1999). Postpartum depression ini memiliki symptom yang beragam, bias muncul dalam bentuk kesedihan mendalam, sering menangis, insomnia, hilang nafsu makan, sampai tidur berlebihan (file://A\artikel depresi, 2000). Menurut Walther (dalam Carolan, 1999) diperkirakan bahwa hanya 20% dari penderita yang mendapatkan penanganan sisanya mungkin tidak terdiagnosa, atau salah diagnosa atau tidak berusaha untuk mencari pengobatan. 3. Bentuk-bentuk Postpartum depression

Postpartum Depression menurut Brown dkk (1997) dapat dibagi berdasarkan 3 kategori sebagai berikut : a.Postpartum blues or transitory minor affective disorder b.Chronic depressive syndrome or moderate depression disorder c. Postpartum psychosis atau puerperal psychosis 4. Faktor Penyebab Postpartum Depression Kruckman (dalam Yanita, 2000) membagi factor penyebab dari postpartum depression menjadi tiga bagian : a. Faktor biologi Nott (dalam Susanti,2001) setelah menguji kadar hormon pada 27 perempuan dengan penurunan kadar progesteron, ia menyimpulkan bahwa penurunan kadar progesteron paling tajam setelah kelahiran cenderung mengalami depresi selama sepuluh hari pertama setelah melahirkan. b. Faktor psikososisal 1.) Kepribadian Berhubungan erat dengan gagasan tentang konflik peran adalah sering kali ditemukan bahwa sikap terhadap kehamilan, terutama kebimbangan, berhubungan erat dengan depresi (Siever,1985). 2.) Demografi Selama dua abad terakhir ada suatu hipotesis yang menyatakan bahwa perubahan sosial yang berskala besar seperti perang dan depresi ekonomi juga mempunyai peran pada terjadinya postpartum depression. Beberapa peneliti telah menguji variable-veriabel yang berhubungan dengan kondisi lingkungan seperti tekanan keuangan, status sosial ekonomi, mobilitas geografis, dan sebagainya. Seperti yang dinyatakan Heitler (dalam Susanti, 2001) ia menghubungkan depresi dengan keperdulian perempuan yang sedang hamil terhadap masalah keuangan dan kepercayaan terhadap situasi pekerjaan pasangannya. 3.) Hubungan Interpersonal Righetti (1998) menyatakan bahwa terpisahnya ibu-bayi, bonding yang terganggu akan diikuti dengan postpartum depression. Sedangkan (Noorhara, 1995) menyatakn bahwa perbedaan usia yang besar dan adanya perbedaan agama akan mengakibatkan peningkatan depresi. Namun, tekanan perkawinan tersebut akan menjadi masalah jika peristiwa-peristiwa lain yang menyebabkan stress juga hadir. Patut diingat bahwa factor resiko postpartum depression sangat sulit dikenali dan banyak yang bertentangan satu dengan yang lain. 4.) Proses Melahirkan Diantara hasil-hasil penelitian terkini menunjukkan bahwa disekitar proses kelahiran merupakan faktor resiko timbulnya postpartum depression. Salah satunya adalah pengalaman traumatis melahirkan, yang dihubungkan dengan ibu muda (Rona dalam Susanti, 2001). c. Pandangan Antropologis Kruckman (dalam Yanita, 2000) merasa bahwa ritual pasca melahirkan dapat secara simbolis meletakkan selimut dukungan emosi yang hangat dan aman pada ibu, melalui indakan ritual seperti memijat, memberikan makanan khusus, membacakan puisi dan lagu disampaikan pesan bahwa perasaannya, kekhawatirannya, ketakutannya, walaupun menyebabkan perasaaan tidak nyaman, merupakan suatu hal yang normal dan akan berlalu.

5. Kriteria Postpartum Depression Pitt (dalam Noorhara,1995) menetapkan criteria postpartum depression yang harus dipenuhi yaitu : 1) Penderita harus menampakkan gejala depresi, 2) Gejala tersebut muncul dan berkembang sejak melahirkan 3) Gejala tersebut tidak pernah tampak sebelum melahirkan, dan dalam beberapa keadaan menyebabkan penurunan kemampuan pasien, 4) Gejala tersebut harus menetap lebih dari dua minggu. 6. Dampak Postpartum depression a. Pengaruh postpartum depression dapat terjadi pada : b. Pengaruh postpartum depression pada anak c. Pengaruh postpartum depression pada keluarga B. Dukungan Sosial 1. Defenisi Dukungan Sosial Menurut Cobb (dalam Gottlieb, 1983) dukungan social terdiri dari informasi yang mengarah individu untuk percaya bahwa dia diperhatikan dan dicintai, informasi yang mengarah untuk percaya bahwa dihargai, dan informasi yang mengarah individu untuk percaya bahwa dia menjadi bagian dari suatu kelompok yang saling bertanggung jawab. 2. Faktor-faktor Terbentuknya Dukungan Sosial Menurut Sarafino (1996) ada tiga factor yang menyebabkan seseorang menerima dukungan yaitu : a. Potensi Penerima Dukungan b. Potensi Penyedia Dukungan c. Komposisi dan struktur jaringan social 3. Bentuk-bentuk Dukungan Sosial Dari hasil penelitian diperoleh klasifikasi tipe-tipe dukungan dengan empat macam tipe dasar dukungan ssosial antara lain : dukungan emosional, dukungan berupa penghargaan, dukungan berupa dukungan langsung, dan dukungan informasional (Clarke dan Susan,1998). 4. Sumber-sumber Dukungan Sosial Menurut Clarke dan Susan (1998) terdapat tiga sumber dukungan social antara lain yaitu : atasan, rekan kerja, dan keluarga. Sedangkan menurut Orford (1980) menyebutkan beberapa sumber yang dapat memberikan sumber dukungan social antara lain : keluarga, teman dan tetangga serta guru disekolah. Keakraban dan kepedulian merupakan karakteristik dari hubungan yang dilandasi kasih sayang baik dari teman, keluarga atau juga tetangga. 5. Pengaruh Dukungan Sosial Brehm dan Kassin (1992) mengemukakan tentang pengaruh dari dukungan sosial. Ada tiga bentuk pengaruh dari dukungan sosial : a. Pengaruh Langsung b. Pengaruh Tidak Langsung c. Pengaruh Terhambat 6. Fungsi Dukungan Sosial Menurut Weiss (1991) fungsi dukungan social adalah sebagai berikut : a. Keterikatan (Attachment) b. Integrasi Sosial (Sosial Integration) c. Bimbingan (Guindence) d. Pengakuan akan kemampuan (Reasurance of Worth) e. Jaminan Peroleh Bantuan (Reliable of Alliance) f. Kesempatan untuk Pengasuhan (Opportunity of Naturation) 7. Manfaat Dukungan Sosial

Menurut Johnson dan Johnson (dalam Oktarina,2002) dukungan sosial dapat memberikan individu dukungan social emosi, instrumental, penilai positif dan informasi yang bermanfaat bagi individu dalam : a. Meningkatkan produktifitas bila dihubungkan dengan pekerjaan. b. Meningkatkan kesejahteraan psikologis dan penyesuaian diri dengan menyediakan rasa memiliki, memperjelasidentitas diri, menambah harga diri, serta mengurangi stress. c. Meningkatkan dan memelihara kesehatan fisik. d. Pengelolaan terhadap stress dengan menyediakan pelayanan, perawatan, sumber-sumber informasi dan umpan balik yang dibutuhkan untuk menghadapi stress dan tekanan. BAB III METODELOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan bentuk penelitian studi kasus. Dan dalam penelitian ini peneliti juga memakai sebuah metode yang mengungkapkan perubahan suatu penelitian dari masa lalu ke masa sekarang metode ini disebut dengan metode retrospektif (www.depdiknas.go.htm). Metode penelitian retrospektif adalah suatu cara menganalisa suatu kasus yang terjadi dimasa lampau dan diikuti hingga saat ini (www.tempointeraktif.com) 1. Defenisi Studi Kasus Menurut Moleong (2004) studi kasus adalah studi yang berusaha memahami isu-isu yang rumit atau objek dan dapat memperluas pengalaman atau menambah kekuatan terhadap apa yang dikenal melalui hasil penelitian yang lalu. Moleong (2004) menyebutkan studi kasus memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Partikularistik b. Naturalistik c. Data uraian rinc d. Induktif e. Heruristik B. Subjek Penelitian Pada umumnya, penelitian kualitatif menggunakan pendekatan purposif, dimana partisipan tidak diambil secara acak tetapi justru dipilih mengikuti criteria tertentu (Poerwandari,1998). Hal ini dilakukan untuk menyeleksi informasi dari sutu kasus tertentu dan berfokus oada kedalamannya (Patton,1990). Oleh karena itu, partisipan penelitian ini harus memiliki criteria sebagai berikut : Jumlah sample dalam penelitian studi kasus ini adalah satu orang yaitu seorang ibu rumah tangga yang berusia 30 tahun yang memiliki riwayat hidup sebagai penderita postpartum depression. Subjek ini memiliki anak berusia 1 tahun dan merupakan anak pertama. Informasi subjek penelitian di dapat dari salah satu rumah sakit di Jakarta yaitu Rumah sakit DR. Cipto Mangunkusumo. C. Tahap-tahap Penelitian Penelitian ini melalui beberapa tahapan, agar memudahkan mendapatkan data yang akurat, yaitu melalui tahapan persiapan penelitian dan tahapan pelaksanaan penelitian. D. Teknik Pengumpulan Data Menurut Poerwandari (2001) metode dasar yang umumnya banyak digunakan dan dilibatkan dalam tipe-tipe penelitian kualitatif adalah wawancara dan observasi. Penelitian ini akan menggunakan teknik wawancara untuk memperoleh data dan observasi sebagai pelengkap. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara terbuka, terstruktur dan tidak terstruktur. Serta menggunakan

metode observasin non partisipan, karena peneliti tidak terlibat secara langsung dalam penanganan penderita postpartum depression. E. Alat Bantu Penelitian Dalam penelitian kualitatif mempunyai peran yang sangat besar dalam proses penelitian, mulai dari memilih topic, mendekati topic tersebut, mengumpulkan data hingga menganalisa dan menginterpretasikannya dan biasanya dikenal dengan istilah penelitian adalah instrument kunci (Poerwandari,1998) Dalam penelitian ini peneliti membutuhkan beberapa alat Bantu (Instrument penelitian ) untuk mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu pedoman wawancara, pedoman observasi dan alat pencatat wawancara. F. Keabsahan dan Keajegan Penelitian Studi kasus ini menggunakan penelitian pendekatan kualitatif. Untuk memperoleh hasil penelitian kualitatif yang dapat dipercaya, diperlukan data yang teruji. Menurut Moleong (2002), mengatakan bahwa keabsahan dan merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep validitas dan reabilitas, dimana didalamnya termasuk triangulasi data. Menurut Patton (dalam Moleong,2002), mengatakan triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda. Dan dalam penelitian ini pengumpulan datanya menggunakan beberapa triangulasi seperti : triangulasi data, triangulasi pengamat, triangulasi teori dan teriangulasi metode. BAB IV HASIL DAN ANALISIS Berdasarkan hasil wawancara dan observasi terhadap subjek dan significant other yang dialkukan oleh penulis diketahui bahwa subjek pernah memiliki riwayat terkena gangguan postpartum depression. Subjek diketahui sedang mengalami postpartum depression karena dapat diketahui dari beberapa gejala yang telah didiagnosa oleh dokter. Gejala-gejala yang dialami subjek yaitu gejala fisik seperti : sakit kepala, salit pada dada, pola makan yang berlebihan, sulit tidur dan sering muntah-muntah. Gejala mental seperti : cemas, kurang memperhatikan anak, sedih, dan kecewa. Sedangkan gejala perilaku subjek mengalami sering menangis, mudah tersinggung, panik, kekhawatiran yang berlebihan pada anak. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Whitton (1996) bahwa seseorang yang mengalami gangguan postpartum depression akan diketahui dari beberapa gejala yang menyertainya seperti gejala fisik, gejala mental dan gejala perilaku. Gejala postpartum depression yang dirasakan subjek dikarenakan subjek mengalami infeksi pada perut. Infeksi ini terjadi karena subjek melahirkan lama dari seharusnya yaitu 2 hari setelah air ketuban pecah. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Rona (dalam Susanti, 2001) mengenai proses melahirkan yaitu hal yang dapat memicu terjadinya postpartum depression adalah kelahiran bayi yang lebih awal atau sebaliknya dan ibu yang meninggalkan rumah sakit segera setelah melahirkan. Disesuaikan dari criteria bagi penderita postpartum depression subjek telah sesuai dengan criteria yang dikemukakan oleh Pitt (dalam Noorhara, 1995) yaitu subjek sebagai penderita postpartum depression telah menampakkan adanya gejala postpartum depression yang menyertainya. Subjek mengalami gejala postpartum depression ini selama lebih kurang 2 minggu. Tetapi karena subjek mendapat dukungan social dari keluarga terutama dari suami. Subjek dapat mengatasinya dan melewati masa postpartum depression dengan waktu yang singkat. Dalam kasus penelitian yang dilakukan peneliti dapat diketahui bahwa subjek banyak mendapat dukungan social dari keluarga berupa

dukungan emosional, dukungan bantuan langsung gan bantuan informasional (Clarce & Susan,1998). Pengaruh dukungan social yang dialami subjek mendapat pengaruh langsung dan tidak langsung. Maksu dari pengaruh ini menurut Brehm dan Kassin (1990) bahwa subjek mendapatkan dukungan social dari keluarga secar langsung dengan cara menciptakan situasi yang menyenangkan subjek dan tidak menekan subjek. Sedangkanpengaruh tidak langsung maksudnya bahwa ketika subjek sedang mekalami depresi dengan adanya dukungan social yang diberikan akan memberi kepercayaan diri, kepada subjek. Karena dengan pulihnya kepercayaan diri subjek akan berpengaruh oleh kesehatan jiwa subjek. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Subjek setelah melahirkan mengalami gangguan depresi, gangguan ini dikenal dengan gangguan postpartum depression. Gejala-gejala yang dialami subjek yaitu gejala fisik, gejala mental dan gejala perilaku. Selama subjek menderita postpartum depression subjek banyak mendapat perhatian dari keluarga, terutama suami. Pengaruh dukungan social yang tinggi terhadap subjek yang sedang mengalami gangguan postpartum depression yaitu dampak subjek akan dapat mengatasi dan mengurangi gangguan yang dideritanya dengan cepat. B. Saran Subjek hendaknya mencari informasi lebih banyak lagi tentang gangguan depresi setalah melahirkan. Dan hendaknya subjek lebih terbuka lagi dengan keluarga agar dapat membantu subjek untuk tidak mengalami postpartum depression. Significant other hendaknya lebih memberi perhatian kondisi subjek dan lebih banyak membantu dalam memberi informasi tentang kehamilan. Dan dalam penelitian selanjutnya hendaknya lebih memperhatikan karakteristik subjek dan lebih menggali permasalahannya baik mendalami masa lalu maupun perkembang subjek yang sekarang. DAFTAR PUSTAKA Brehm & Kassin. 1992. Intemate Relationships. New York: McGraw-Hill Brown,G., & Harris, T. 1997. Social Origins of Depression. London : Tanstock Carolan,P.1999.Postpartum Depression : More Than The Baby Blues. http://www.Cnn.Com Chaplin, J.P. 2001. Kamus Lengkap Psikologi. Terjemahan: Kartini Kartono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Clarke, P. & Susan, E. 1998. Surviving Modern Medicine : How to get the best from Doctors, Family and Friends. Indiana, PA : Perinatal Education Department Dagun, S.M. 1990. Psikologi Keluarga. Jakarta: PT Rhineka Cipta Goldman, J.M. 1986. Postpartum Thyroid Dysfunction. Arch. Intern. Med., 146 : 12961299. Gottlieb, B.H. 1983. Social SupportStrategies, Beverly Hills, CA : Sage Publication, Inc Hagen, E.P.1998.Measurement and Evaluation in Psychology and Education. New york : Jhon Wiley and Sons Moleong, L.J. 2002. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Noorhara. S.W. 1995. Pendekatan Psikiatri Liaison pada Depresi Pasca Partus. Jakarta : Yayasan Kesehata Jiwa Dharmawangsa Orford, J. 1980. Psychological Problems : the Social Context. Chichester : John Wiley & sons Oktarina, H. 2002. Hubungan Persepsi Siswa Terhadap Dukungan Sosial Orang Tua, Guru, dan Teman dengan Motivasi Berprestasi pada Siswa SLTP Peringkat Atas

dan Peringkat Bawah (Skripsi) Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Patton, M.Q. 1990. Research Decision : Quantitative and Qualitatif Perspectif. Toronto : HB Poerwandari, E. K. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi LPSP 3 : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Poerwandari, E. K. 2001. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia LPSP 3 : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Righetti Veltema M et al. 1998. Risk Factors and Predictive signs of Postpartum Depression. J of Affektive Disorders ; Ed 49 : 167 -168 Sandres, D. 1984. Wanita dan Depresi. Terjemahan: Ediati Kamil. Jakarta: Penerbit Arcan Sarafino, Edward P. 1996. Stress. Biopsychosocial Faktors, and ILLnes. USA: John Wiley and Sons Sarason, B.R. 1983. Assesing Social Support Measures : Theoretical and Practical Implication. Journal of Personality and Social Psychology,. 52. 813. 832 Siever, L.J. 1985. Ov