DISKUSI TOPIK
BELL’S PALSY
Oleh:
Rona Qurrotul Aina (1111103000014)
Pembimbing:
dr. Maysam Irawati, Sp.S
STASE NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015
DAFTAR ISI
Daftar Isi.......................................................................................................................ii
BAB I STATUS PASIEN...........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................12
2.1 Anatomi N VII.....................................................................................................12
2.2 Bell’s Palsy..........................................................................................................14
2.2.1 Definisi........................................................................................................14
2.2.2 Epidemiologi...............................................................................................14
2.2.3 Etiologi........................................................................................................14
2.2.4 Patofisiologi................................................................................................15
2.2.5 Gejala klinis................................................................................................16
2.2.6 Pemeriksaan Fisik.......................................................................................17
2.2.7 Diagnosis.....................................................................................................18
2.2.8 Pengobatan..................................................................................................18
2.2.9 Pembedahan................................................................................................19
2.2.10 Diagnosis banding.....................................................................................19
2.2.11 Prognosis...................................................................................................20
2.2.12 Komplikasi................................................................................................21
2.2.13 Fisioterapi..................................................................................................21
BAB III KESIMPULAN..........................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................25
ii
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. R M
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat / Tanggal Lahir : Jakarta/ 10 Februari 1990
Umur : 24 tahun
Agama : Islam
Alamat : Jl. Asem II cilandak, Jakarta Selatan.
Pendidikan : Tamat SLTA
Status : Menikah
Pekerjaan : Karyawan
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Mulut mencong ke kanan sejak 3 minggu yang lalu.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan mulut pasien mencong ke kanan
sejak 3 minggu lalu, hal tersebut berlangsung tiba-tiba, terjadi pada sore
hari saat pasien main di mall. Pasien mengeluh bicara menjadi pelo. Pasien
juga merasa kesulitan bila mengunyah menggunakan mulut bagian kiri.
Ketika pasien minum dan berkumur-kumur, air keluar dari sudut mulut
sebelah kiri. Mata kiri pasien juga tidak bisa menutup rapat. Pasien juga
mengatakan, pipi dan dahi bagian kiri menjadi lebih kebas dibandingkan
bagian kanan. Terdapat nyeri di belakang telinga kiri dan nyeri di leher
kiri. Gangguan penglihatan disangkal, gangguan pengecapan disangkal,
gangguan pendengaran disangkal, sering tersedak ketika makan atau
minum disangkal. Keluhan pasien tidak didahului oleh demam atau nyeri
1
pada daerah belakang telinga. Tidak terdapat kelemahan sisi tubuh pada
pasien. Pasien sudah berobat 2 minggu lalu ke dokter saraf, sekarang
datang untuk control. Pasien mengaku dikantor sering terpapar oleh AC
C. Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah menderita penyakit cacar 4 tahun lalu, terdapat darah
tinggi sejak setahun lalu namun tidak minum obat. Stroke sebelumnya
disangkal, kencing manis disangkal, cedera kepala sebelumnya disangkal
.
D. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada yang menderita penyakit serupa di keluarga. Ayah
pasien menderita kencing manis dan darah tinggi.
II. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 104x/mnt
Pernapasan : 16x/mnt
Suhu : 36,3º C
Berat Badan : 59 kg
Tinggi badan : 153 cm
Mata
Inspeksi :
alis mata cukup, warna hitam, enoftalmus (-)/(-), eksoftalmus(-)/(-),
nistagmus (-)/(-), ptosis (-)/(-), lagoftalmus (-)/(-), edema palpebra (-)/(-),
bulu mata lentik, Konjungtiva Anemis(-)/(-), Sklera Ikterik (-)/(-), sekret
(-)/(-), tampak berair, pterigium (-)/(-), ulkus kornea (-)/(-), pupil isokor
dengan diameter 3 mm/3 mm, RCL (+)/(+), RCTL (+)/(+), kekeruhan
lensa (-)/(-), arkus senilis (-)/(-).2
Palpasi : tekanan bola mata secara manual normal.
Telinga,Hidung,Tenggorokan
Hidung :
Inspeksi : Deformitas (-), kavum nasi lapang, sekret (-)/(-), deviasi septum
(-)/(-), edema (-)/(-).
Palpasi : nyeri tekan pada sinus maksilaris (-)/(-), etmoidalis(-)/(-),
frontalis(-)/(-).
Telinga :
Inspeksi Aurikula dekstra :
Preaurikuler : hiperemis (-), abses (-), massa (-), scar (-)
Aurikuler : normotia, hiperemis (-), cauli flower (-), pseudokista (-)
Postaurikuler : hiperemis (-), abses (-), massa (-), scar (-)
Liang telinga : lapang, serumen (-) Ottorhea (-)
Inspeksi Aurikula sinistra :
Preaurikuler : hiperemis (-), abses (-), massa (-), scar (-)
Aurikuler : normotia, hiperemis (-), cauli flower (-), pseudokista (-)
Postaurikuler : hiperemis (-), abses (-), massa (-), scar (-)
Liang telinga : lapang, serumen (-), Ottorhea (-)
Tenggorokan dan Rongga mulut :
Bucal : warna normal, ulkus (-)
Lidah : pergerakan simetris, massa (-)
Palatum mole dan uvula simetris pada keadaan diam dan bergerak, arkus
faring simetris, penonjolan (-)
Tonsil : T1/T1, kripta (-)/(-), detritus(-)/(-), membran (-)/(-)
Dinding anterior faring licin, hiperemis (-)
Dinding posterior faring licin, hiperemis (-), Post nasal drip (-)
Pursed lips breathing (-), karies gigi (-), Kandidiasis oral (-)
Leher
3
Inspeksi : bentuk simetris, warna normal, penonjolan vena jugularis (-),
tumor (-), retraksi suprasternal (-), tidak tampak perbesaran KGB
Palpasi : pulsasi arteri carotis normal, perbesaran kelenjar tiroid (-), posisi
trakea ditengah, KGB tidak teraba membesar
Auskultasi : bruit (-),
Thoraks Depan
Inspeksi : Penggunaan otot bantuan nafas (-)/(-), Retraksi sela iga (-/-),
bentuk dada normal, barrel chest (-), pectus carinatum (-)/(-), pectus
ekskavatum (-)/(-), pelebaran sela iga (-)/(-), tumor (-)/(-), scar (-),
emfisema subkutis (-)/(-), pergerakan kedua paru simetris statis dan
dinamis, pola pernapasan normal.
Palpasi : massa (-)/(-), emfisema subkutis(-)/(-), ekspansi dada simetris,
vocal fremitus melemah di paru kanan, pelebaran sela iga (-)/(-)
Perkusi :
Sonor di kedua lapang paru
Batas paru hati : pada garis midklavikula kanan sela iga 6, peranjakan hati
sebesar 2 jari
Batas paru lambung : pada garis aksilaris anterior kiri sela iga 8
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+ /+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terihat
Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba 2 jari medial dari linea
midklavikulasinistra ICS V, thrill (-), heaving (-), lifting (-), tapping (-)
Perkusi : batas jantung kanan pada ICS IV 1 jari medial linea parasternal
dekstra, batas jantung kiri pada ICS V 2 jari medial linea midklavikula
sinistra. Pinggang jantung ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I-II reguler normal, murmur (-), gallop (-)
4
Abdomen
Inspeksi : massa (-),striae (-), scar (-), bekas operasi (-)
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (-), massa (-)
Hepar dan lien tidak teraba
Ginjal : Ballotemen (-)/(-)
Perkusi : timpani, shifting dullnes (-)
Ekstremitas
Akral teraba hangat, sianosis (-), CRT < 3 detik, edema (-)/(-), jari tabuh (-),
deformitas (-).
Status Neurologis
GCS 15: E4 M6 V5
Mata: Pupil bulat isokor, 3 mm/ 3mm RCL +/+, RCTL +/+
1. Tanda Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : -
Lesegue : > 700/ > 700
Kernig : > 1350/ > 1350
Brudzinski I : -
Brudzinski II : -
2. Peningkatan Tekanan Intrakranial
Penurunan kesadaran : tidak ada
Muntah proyektil : tidak ada
Pupil anisokor : -
Edema papil : tidak diperiksa
3. Nervus Kranialis
N I (Olfaktorius) : tidak dilakukan
5
N II (Opticus)
Acies visus : kesan baik/kesan baik
Visus campus : baik/ baik
Lihat Warna : baik/ baik
Funduskopi : tidak dilakukan
N III, IV, VI (Okulomotor, Troklear, Abducen)
Kedudukan bola mata: ortoposisi/ ortoposisi
Pergerakan bola mata
Nasal : baik/ baik
Temporal : baik/ baik
Nasal atas : baik/ baik
Temporal atas : baik/ baik
Temporal bawah : baik/ baik
Eksoftalmus : -/ -
Nistagmus : -/ -
Pupil : isokor/ isokor
Bentuk : bulat/ bulat
Refleks Cahaya Langsung : +/ +
Releks Cahaya Tak Langsung: +/ +
Akomodasi : baik/ baik
Konvergensi : baik/ baik
N. V (Trigeminus)
Cabang motoric: baik/ baik
Cabang sensorik
Ophtalmik : baik/ hipestesia
Maxilla : baik/ hipestesia
Mandibularis : baik/ hipestesia
Kesan : parese N.V cabang sensorik sinistra
N. VII (Facialis)
6
Motorik Orbitofrontal : baik/ tidak dapat mengangkat alis kiri,
tidak dapat mengerutkan dahi kiri
Motorik Orbicularis oculi : baik/ kelopak mata kiri tidak dapat
menutup
Motorik Orbicularis oris : baik/ plika nasolabialis kiri lebih datar,
menggembungkan pipi bocor ke kiri, tidak
dapat mencucukan bibirnya
Pengecap lidah : tidak dilakukan
Kesan : parese N.VII sinistra perifer
N. VIII (Vestibulokoklear)
Vestibular
Nistagmus : -/ -
Cochlear
Rhinne : +/+
Weber : tidak ada lateralisasi
Swabach: sama dengan pemeriksa
N. IX, X (Glossofaringeal, Vagus)
Motorik : uvula di tengah, arcus faring simetris
Sensorik : refleks muntah (+)
N. XI (Accesorius)
Mengangkat bahu : baik
Menoleh : baik/ baik
N. XII (Hypoglossus)
Pergerakan Lidah
Saat dijulurkan : tidak ada deviasi
7
Saat istirahat : tidak ada deviasi
Atrofi : (-)
Fasikulasi : (-)
Tremor : (-)
Sistem Motorik
Ekstremitas atas proksimal- distal
Ekstremitas bawah proksimal- distal
Gerakan Involunter
Tremor : -/ -
Chorea : -/ -
Atetose : -/ -
Miokloni : -/ -
Tics : -/ -
Trofik : Eutrofik
Tonus : Normotonus
Sistem Sensorik
Proprioseptif : baik/ baik
Eksteroseptif : baik/ baik
Fungsi Otonom
Miksi : baik
Defekasi : baik
Sekresi Keringat : baik
Ereksi : tidak dilakukan
Refleks Fisiologis
Kornea : +/ +
Bisep : +2/ +2
8
5555 5555
5555 5555
Trisep : +2/ +2
Radius : +2/ +2
Patella : +2/ +2
Achilles : +2/ +2
Refleks Patologis
Hoffman Trommer : -/ -
Babinsky : -/ -
Chaddock : -/ -
Gordon : -/ -
Gonda : -/ -
Scaeffer : -/ -
Klonus Lutut : -/ -
Klonus Tumit : -/ -
Fungsi Serebelar
Ataxia : -
Tes Romberg : -
Disdiadokokinesia : -/-
Jari-jari : baik/baik
Jari-hidung : baik/baik
Tumit-lutut : baik/baik
Fungsi Luhur
Astereognosia : -
Apraxia : -
Afasia : -
Keadaan Psikis
Intelegensia : baik
Tanda regresi : -
Demensia : -
RESUME
9
Ny. RM, 24 tahun mengeluh mulut mencong ke kanan, tiba-tiba, bicara
pelo (+), sulit mengunyah menggunakan mulut bagian kiri (+), saat minum keluar
air dari mulut bagian kiri (+), mata kiri pasien tidak bisa menutup rapat. Pada PF
N. VII (Facialis): tidak dapat mengangkat alis dan dahi kiri, kelopak mata kiri
tidak dapat menutup, saat tersenyum bibir tertarik ke arah kanan,
menggembungkan pipi bocor ke kiri, tidak dapat mencucukan bibirnya: parese N.
VII sinistra perifer. Serta sensibiitas terganggu di dahi, pipi dan dagu bagian kiri.
DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis: Parese N.VII sinistra perifer
Diagnosis Topis: nervus facialis
Diagnosis Etiologis: idiopatik
Diagnosis Kerja : Bells Palsy Sinistra
PENATALAKSANAAN
Non-Farmakologis :
o Konsul ke Fisioterapi
o Latihan penguatan otot pipi dan wajah kiri dengan kerut dahi, tutup
mata, tersenyum, meringis, meniup bola pingpong/lilin, berkumur
o Latihan makan dengan mengunyah di sisi yang lemah
o Gunakan kacamata untuk melindungi mata
o Dapat gunakan plaster untuk menutup kelopak mata ketika tidur
Farmakologis :
o Prednisone 4x15 mg PO selama 3 hari dilanjutkan tapering off selama 7
hari
o Mecobalamin 2x500mg
PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Nervus VII terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik
wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang
mengantarkan rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah dan sensasi kulit dari dinding
anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut kecap pertama-tama melintasi nervus
lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia
membawa sensasi kecap melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-
serabut sekretomotor menginnervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial
major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae
(n.II), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga
tengah.
2. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior.
Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung,
sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga
bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.1
Nukleus komponen motorik nervus fasialis terletak di bagian ventrolateral
tegmentum pontis, neuron nucleus motorik ini analog dengan sel-sel kornu anterior
medulla spinalis, tetapi secara embriologi berasal dari lengkung brankhialis kedua.
Serabut radiks nucleus ini memiliki perjalanan yang rumit. di dalam batang otak, serabut
ini berjalan memutari nucleus abdusens (membentuk yang disebut genu internum nervus
11
fasialis sehingga membentuk penonjolan kecil di dasar ventrikel ke empat. Kemudian
serabut ini membentuk berkas yang padat, yang berjalan di ventrolateral menuju ujung
kaudal pons dan kemudian keluar dari batang otak, menembus ruang di subarachnoid di
cerebropontin angel dan kemudian keluar dari meatus akustikus internus bersama dengan
nervus intermedius dan nervus cranial VIII. Nervus fasialis terus berjalan melalui kanalis
fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion
pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal
memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu n.
fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar
parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah, m.
stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.
Pada Bell’s palsy lokasi cedera di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera
tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya berlokasi di bagian proksimal
ganglion genikulatum, maka paralisis motorik akan disertai gangguan fungsi pengecapan
dan gangguan fungsi otonom. Lesi yang terletak antara ganglion genikulatum dan pangkal
korda timpani akan mengakibatkan hal serupa tetapi tidak mengakibatkan gangguan
lakrimasi. Jika lesinya berlokasi di foramen stilomastoideus maka yang terjadi hanya
paralisis fasial (wajah).
Gambar 2.1 Nervus Facialis
12
2.2 Bell’s Palsy
2.2.1 Definisi
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor
neuron akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya
tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit
neurologis lainnya. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus atau setelah
imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita
hipertensi.
2.2.2 Epidemiologi
Bell’s palsy adalah penyebab umum dari kelainan facial unilateral. Kejadian
rata-rata adalah 10 sampai dengan 30 kasus untuk setiap 100.000 orang dalam satu
populasi. Tak ada batasan umur bagi seseorang untuk beresiko terkena penyakit ini,
namun penyakit ini umumnya menyerang antara usia 15-45, baik pria maupun wanita
memiliki peluang yang sama, begitu juga sisi wajah kiri maupun kanan berpeluang
sama untuk terkena bell’s palsy. Sekitar 7-10% kasus menyerang bagian wajah secara
ipsilateral maupun kontralateral. Ada 8- 10% pasien yang positif menderita bell’s palsy
karena keturunan.6
2.2.3 Etiologi
Menurut perkiraan para ahli penyebab bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi,
baru beberapa tahun terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada
umumnya kasus bell’s palsy sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen
Herpes Simplex Virus (HSV) dalam geniculate ganglion penderita bell’s palsy. Dahulu
yang kita ketahui sebagai pemicu bell’s palsy adalah terpapar angin atau suhu yang
ekstrem misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela terbuka
dianggap sebagai pemicu bell’s palsy. Selain itu penyebab yang lain adalah perubahan
tekanan atmosfir yang tiba-tiba seperti menyelam dan terbang, serta otitis media akut
atau inflamasi di telinga tengah. Akan tetapi, sekarang banyak yang meyakini Herpes
Simplex Virus (HSV) sebagai penyebab bell’s palsy.7
Tahun 1972, McCormick pertama kali mengusulkan Herpes Simplex Virus
(HSV) sebagai penyebab paralisis fasial idiopatik. Dengan analaogi bahwa Herpes
13
Simplex Virus (HSV) ditemukan pada keadaan masuk angin (panas dalam/cold sore),
dan beliau memberikan hipotesis bahwa Herpes Simplex Virus (HSV) bisa tetap
dorman dalam geniculate ganglion. Sejak saat itu, penelitian memperlihatkan adanya
Herpes Simplex Virus (HSV) dalam geniculate ganglion pasien bell’s palsy. Dengan
melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural facial nerve
(N.VII), penderita bell’s palsy berat yang menjalani pembedahan dan menemukan
Herpes Simplex Virus (HSV) dalam cairan endoneural. Apabila Herpes Simplex Virus
(HSV) diinokulasi pada telinga dan lidah tikus, maka akan ditemukan antigen virus
dalam facial nerve (N.VII) dan geniculate ganglion.8
Herpes Simplex Virus (HVS), Cytomegalo yang banyak ditularkan lewat
ciuman. Virus Herpes Simplex (HVS) ditularkan antara lain lewat berciuman (juga pada
anak-anak oleh orang tua), handuk, saputangan, dan sariawan, lalu membawanya
sebagai pembawa (carrier). Dalam tubuh pembawa, virus dalam keadaan tenang tanpa
mengganggu. Baru jika tubuh yang ditumpangi sedang menurun kondisinya, virus
berubah jadi ganas, dan menyerang tubuh yang ditumpanginya. Selain virus dan bakteri,
infeksi telinga tengah bisa juga menjadi penyebab penyakit bell’s palsy, termasuk
kondisi autoimun. Kemunculan faktor penentu virus ini menyerang adalah seperti
sedang sakit menahun dan ada trauma fisik maupun mental. Facial nerve (N.VII)
mengalami peradangan, lalu membengkak, dan terjepit di liang tulang bawah telinga
yang dilaluinya. Jepitan pada saraf yang sedang membengkak ini yang menimbulkan
gejala bell’s palsy yang khas itu.9
2.2.4 Patofisiologi
Salah satu teori menyebutkan terjadinya Bell’s palsy karena adanya proses
inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis
sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi
atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang
dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear,
nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks
14
motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang
berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah
reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf
kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel
satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut
terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Labyrinthine segment,
merupakan bagian pertama dari kanalis fasialis merupakan bagian tersempit. Lokasi ini
adalah lokasi tersering kompresi nervus fasialis. Pada Bells palsy, jejas pada nervus
fasialis terletark perifer dari nucleus tersebut.
Adanya paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi
dengan kaca jendela yang terbuka juga diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya
Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa
terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di
foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang
terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis.
Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus
lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan
timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap
dengan 2/3 bagian depan lidah).
2.2.5 Gejala Klinik
Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun
tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya
kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat
dengan menggunakan cermin. Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis,
kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup
kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak
dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi
mulut yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan
tempat/lokasi lesi:
15
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi
dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi
menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air
mata akan keluar terus menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya
ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena
berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus
intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda
timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya
hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang
dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran
timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan
dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran
timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d), ditambah dengan tuli sebagi
akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus
abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus. Sindrom air mata buaya
16
(crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s palsy, beberapa bulan pasca
awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata yang terkena pada
saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis dan glandula
salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi
dalam perkembangannya terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.
2.2.6 Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Fisis
Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik
tetapi yang harus diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain yang
menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis. Pada lesi supranuklear, dimana lokasi lesi
di atas nukleus fasialis di pons, maka lesinya bersifat UMN. Pada kelainan tersebut,
sepertiga atas nervus fasialis normal, sedangkan dua pertiga di bawahnya mengalami
paralisis. Pemeriksaan nervus kranialis yang lain dalam batas normal.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bell’s palsy.
3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-
Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang,
stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s
palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis,
atau pada telinga, ganglion genikulatum.
2.2.7 Diagnosis
17
Gambar 2.2 : wajah penderita sindrom bell’s palsy
Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese
dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata
dan rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus
dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN.
2.2.8 Pengobatan
Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau
1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian),
pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk
meningkatkan peluang kesembuhan pasien. Dasar dari pengobatan ini adalah untuk
menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang
disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit.
2.2.9 Pembedahan
Tindakan pembedahan dekompresi saraf fasialis dapat menjadi salah satu
pilihan dalam penatalaksanaan, terutama sebagai intervensi yang lebih awal, yaitu
dalam 14 hari setelah onset paralisis total. Tidak disarankan dilakukan tindakan bedah
yang agresif pada pasien dengan paralisis inkomplit karena pasien dengan paralisis
inkomplit dapat pulih sempurna. Daerah patologik primer dari saraf fasialis adalah
segmen labirin, dengan demikian dekompresi pada paralisis total dengan kraniotomi
subtemporal pada fosa media adalah paling aman dan efektif.
2.2.10 Diagnosis Banding
Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis diantaranya
tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom),
penyakit Lyme, AIDS dan sarkoidosis, Guillain Barre syndrom, Diabetes Mellitus.
2.2.11 Komplikasi
Kira-kira 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti fungsi
motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf parasimpatik.
Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme nervus
fasialis yang kronik dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan kelenjar
lakrimalis tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi infeksi pada kornea.
18
a. Crocodile tears phenomenon
Yaitu keluarnya air mata saat penderita makan makanan, dapat timbul
beberapa bulan setelah terjadi parese dan terjadinya akibat terjadi regenerasi yang
salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke
kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.
b. Synkinesis
Yaitu keadaan dimana otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu, selalu
timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata maka akan
timbul gerakan involunter elevasi sudut mulut, kontraksi platisma atau berkerutnya
dahi. Penyebabnya adalah inervasi yang salah,serabut saraf yang mengalami
regenerasi bersambung dengan serabut otot yang salah.
c. Hemifacial spasm
Timbul “kedutan” pada wajah dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan.
Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah, tapi kemudian akan mnegenai sisi
yang lainnya
d. Kontraktur
Dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih terlihat
pada sisi yang lumpuh. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot wajah istirahat,
tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak.
2.2.12 Prognosis
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh
dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur
60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi
meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya
perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa.
Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan
gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23
% kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15
% penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII
atau tumor kelenjar parotis.
19
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk
mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain.
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko
yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
Usia di atas 60 tahun
Paralisis komplit
Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh
Nyeri pada bagian belakang telinga
Berkurangnya air mata.
2.2.13 Fisioterapi
Fisioterapi yang sering digunakan yaitu : Infra merah, terapi Ultrasound,
Electrical Simulation, Short wave diathermy (SWD), Micro wave diathermy (MWD), massage
dan excerise.
1. Infra Merah
Infra merah dapat diterapkan untuk menghangatkan otot dan meningkatkan
fungsi, tetapi harus dipastikan bahwa mata dilindungi dengan penutup mata. Waktu
penerapan selama 10 sampai 20 menit pada jarak biasanya antara 50 dan 75 cm.
2. Terapi Ultrasound
Terapi ultrasound diterapkan pada batang saraf di depan tragus telinga dan di
daerah antara prosesus mastoideus dan mandibula. Terapi ultrasound selalu
diterapkan pada sisi lesi di depan tragus telinga & di daerah antara prosesus
mastoideus dan mandibula. Hal ini diterapkan dengan gerakan melingkar yang
lambat dengan dosis awal 1 watt per sentimeter persegi untuk 10 menit. Dosis dapat
ditingkatkan pada sesi berikutnya. Gelombang ultrasound tidak dapat melintasi atau
menembus tulang yang berarti bahwa ultrasound memiliki penetrasi nol pada
tulang. Penerapan terapi ultrasound pada bell palsy Ini hanya untuk jenis lesi saraf
tepi (Lower Motor Neuron).
3. Stimulasi Elektrik (Electrical Stimulation)
Stimulasi listrik yaitu teknik yang menggunakan arus listrik untuk
mengaktifkan saraf penggerak otot dan ekstremitas. Bentuk arus listrik yang
digunakan pada wajah adalah arus searah yang diputus-putus (Interrupted Direct
Current) atau disebut juga Arus Galvanic. Stimulasi listrik untuk menjaga sebagian
20
besar otot-otot wajah dan mencegah atrofi sambil menunggu untuk reinnervasi
dalam kasus axotomesis atau reconduction setelah neurapraxia jika saraf tidak rusak
sepenuhnya. Jika kontraktur sekunder terjadi, semua bentuk stimulasi listrik harus
ditinggalkan sementara untuk menghindari kerusakan lebih lanjut pada otot. Wajah
harus segera direnggangkan dan dipijat lembut.
4. Microwave Diathermy
Micro Wave Diathermy (MWD) adalah suatu jenis terapi dengan
menggunakan stressor fisik berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus
listrik bolak – balik dengan frekuensi 2450 MHz dan panjang gelombang 12,25
cm. Tujuan terapi ini untuk melancarkan sirkulasi darah, relaksasi otot-otot wajah
dan mengurangi spasme otot stilomastoideus.
5. Massage
Massage yaitu manipulasi lapisan superficial otot dan jaringan ikat untuk
meningkatkan fungsi dan relaksasi otot dan kebugaran. Pada kondisi Bell’s palsy
massage diberikan dengan tujuan memobilisasi serabut-serabut otot di area yang
mengalami paralysis sehingga terjadi pergerakan pasif dari otot wajah dan
memberikan stimulasi gerak. selain itu juga berguna untuk mencegah terjadinya
kontraktur otot.
6. Exercise
Latihan yang diberikan umumnya merupakan latihan aktif berupa Mirror
Exercise. Pasien diminta untuk berdiri di depan cermin sambil berusaha untuk
menggerakkan otot wajah yang mengalami kelumpuhan. Gerakan yang dapat
dilakukan berupa : Tersenyum, Tertawa, Mencucukan mulut, bersiul, Mengatupkan
bibir, Menutup dan membuka mulut, Mengerutkan hidung, Mengerutkan dahi,
Gunakan telunjuk dan ibu jari untuk menarik sudut mulut secara manual,
Mengangkat alis secara manual dengan keempat jari
BAB III
KESIMPULAN
21
1. Tn. RM, 24 tahun mengeluh mulut mencong ke kanan, tiba-tiba, bicara pelo (+), sulit
mengunyah menggunakan mulut bagian kiri (+), saat minum keluar air dari pipi kiri
(+), mata kiri pasien tidak bisa menutup rapat.
2. Pada PF N. VII (Facialis): tidak dapat mengangkat alis dan dahi kiri, kelopak mata
kiri tidak dapat menutup, saat tersenyum bibir tertarik ke arah kanan,
menggembungkan pipi bocor ke kiri, tidak dapat mencucukan bibirnya: parese N. VII
sinista perifer. Sensibilitas pada dahi, pipi dan dagu kiri juga terganggu: parese N.V
sensorik sinistra
3. Tatalaksana untuk pasien ini yaitu,
Non-Farmakologis :
a. Fisioterapi: Infra merah, terapi Ultrasound, Electrical Simulation, Short wave
diathermy (SWD), Micro wave diathermy (MWD), massage dan excerise
b. Latihan penguatan otot pipi dan wajah kiri dengan kerut dahi, tutup mata,
tersenyum, tertawa, meringis, meniup bola pingpong/lilin, berkumur,
Mengangkat alis secara manual dengan keempat jari, Gunakan telunjuk dan
ibu jari untuk menarik sudut mulut secara manual
c. Gunakan kacamata untuk melindungi mata
d. Dapat gunakan plaster untuk menutup kelopak mata ketika tidur
Farmakologis :
o Prednisone 60 mg PO selama 5 hari (tapering off)
4. Prognosis: Ad vitam bonam, Ad functionam dubia ad bonam, Ad sanationam dubia ad
bonam.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Baehar, M. Frotscher. Diagnosis Topik Neurologi DUUS edisi 4. Jakarta: Buku
kedokteran EGC. 2012
2. Gerald, Tortora. Principles of Anatomy and Physiology. 12th edition. USA :
MCGrawHill. 2009
3. Sidharta Priguna, M. D., Ph. D. Neurologi Klinik Dalam Praktek Umum, cetakan
kelima, PT. Dian Rakyat, Jakarta, 2005,403.
4. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta
neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2003. p 297-300
5. Campbell WW, editor. The Facial Nerve. DeJong’s The Neurologic Examination. 6th
ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 1992. p 208-211.
6. Ropper AH, Brown RH, editors. The Seventh, or Facial Nerve. Adams and Victor’s
Principles of Neurology. 8th ed. New York: MacGraw-Hill; 2003. p 1180-1182.
7. Saraf Otak. Dalam: Prof. DR.dr.SM. Lumbantobing, ed. Neurologi klinik,
pemeriksaan Fisik dan Mental; Jakarta: FK-UI.2004. p 55-57.
8. Bell’s Palsy. In : Gerald M. Fenichel, eds. Clinical Pediatric Neurology, A sign and
symptoms Approach 5th ed. United States. Elseivers saunders.2005. p 335-336
9. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. p 174
10. Samuel. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Bell’s Palsy Kiri Dengan Modalitas
Electrical Stimulation dan Massage. Semarang: Akademi Fisioterapi Widya Husada.
2012.
23