BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack.) berasal dari Nigeria, Afrika
Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari
Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit
di hutan Brazil dibanding dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa
sawit hidup subur di luar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand,
dan Papua Nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi per hektar yang
lebih tinggi. Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh
pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848. Tanaman kelapa sawit mulai
diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911. Perkebunan
kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh.
Kelapa sawit (Elaeis) adalah tanaman perkebunan penting penghasil
minyak makanan, minyak industri, maupun bahan bakar nabati (biodiesel).
Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit kedua dunia setelah Malaysia.
Diperkirakan pada tahun 2009, Indonesia akan menempati posisi pertama
produsen sawit dunia. Untuk meningkatkan produksi kelapa sawit dilakukan
kegiatan perluasan areal pertanaman, rehabilitasi kebun yang sudah ada dan
intensifikasi. Minyak sawit merupakan produk perkebunan yang memiliki prospek
yang cerah di masa mendatang. Potensi tersebut terletak pada keragaman
kegunaan dari minyak sawit. Minyak sawit di samping digunakan sebagai bahan
industri pangan, dapat pula digunakan sebagai bahan mentah industri nonpangan.
Minyak sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng yang banyak dipakai
di seluruh dunia. Sampai saat ini ekspor minyak sawit Indonesia masih dalam
bentuk minyak mentah atau Crude Palm Oil (CPO), dan sebagian kecil dalam
bentuk produk olahan yang merupakan hasil sampingan dan pembuatan minyak
goreng.
Upaya peningkatan produksi kelapa sawit memiliki beberapa hambatan.
Salah satu hambatan untuk meningkatkan produksi kelapa sawit adalah adanya
gangguan hama, penyakit dan gulma. Keanekaragaman dan jumlah populasi di
suatu tempat dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan yaitu:
umur tanaman, keadaan cuaca saat pengambilan sampel dan keadaan habitat di
sekitar tanaman (penggunaan tanaman penutup tanah). Pola penyebaran dan
kepadatan serangga di suatu tempat akan berbedabeda. Penyebaran dan kepadatan
serangga sangat dipengaruhi oleh banyak sedikitnya populasi serangga, prilaku
serangga dan tempat hidup (keadaan tofografi) atau habitatnya. Dalam keadaan
ekosistem yang stabil, populasi suatu jenis organisme selalu dalam keadaan
keseimbangan dengan populasi organisme lainnya dalam komunitasnya. Hama
yang menyerang Tanaman Belum Mraghasilkan (TBM) dan Tanaman yang sudah
Menghasilkan (TM) tidak selaiu sama (Risza, 1994). Hama yang menyerang
setiap stadia tanaman tidak selaiu sama diakibatkan kepentingan hama akan
nutrisi yang dibutuhkan berbeda-beda.
Dalam budidaya kelapa sawit perlunya pemeliharaan terutama
pengendalian hama penyakit harus dilakukan untuk menjaga kualitas dan
kuantitas hasil produksi. Tanaman kelapa sawit muda sering mendapat gangguan
hama dan penyakit sehingga memerlukan pengendalian sebagaimana mestinya
agar diperoleh tanaman yang tumbuh sehat dan subur. Beberapa hama dan
penyakit yang biasa menyerang tanaman muda adalah jenis serangga, misalnya
kumbang tanduk (Oryctes rhynoceros), kumbang (Apogonia sp), belalang
(Valanga sp), ulat perusak daun (Darna trima, Thosea asigna, Setora nitens,
Parasa lepida, Mahasena corbeti, dan Amatissa sp). Hama lain yang penting
diantaranya adalah tikus, babi hutan, gajah, landak, dan kera. Sedangkan penyakit
yang sering menyerang diantaranya adalah penyakit tajuk (Crown disiase) dan
penyakit busuk pucuk.
1.2 Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui berbagai hama dan penyakit yang menyerang
tanaman kelapa sawit.
2. Mahasiswa dapat mengetahui gejala – gejala yang ditimbulkan oleh hama dan
penyakit tersebut.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Nasution et al (2014), menyatakan bahwa asal usul tanaman
kelapa sawit masih belum dapat diketahui, namun memiliki dugaan berasal dari
wilayah Amerika Latin dan Afrika. Kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan
yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil
dibanding dengan Afrika. Tanaman kelapa sawit berasal dari daratan tersier, yang
merupakan daratan penghubung yang terletak diantara Afrika dan Amerika.
Kedua daratan ini kemudian terpisah oleh lautan menjadi benua Afrika dan
Amerika sehingga tempat asal komoditas kelapa sawit ini tidak lagi
dipermasalahkan. Menurut Olurunfemi et al (2014), menyatakan bahwa terdapat 2
tipe kelapa sawit yang berbeda yang berasal dari afrika dengan amerika latin. Di
Afrika memiliki spesies kelapa sawit Elaeis guineensis yang merupakan tanaman
asli dari Afrika Barat. Diwilayah Amerika Selatan memiliki spesies kelapa sawit
Elaeis oleifera yang berasal dari wilayah tropis di Amerikia Tengah dan Amerika
Selatan. Kedua spesies yang berasal dari wilayah yang berbeda memiliki hasil
yang baik dalam produksi minyak kelapa sawit.
Komoditas perkebunan di Indonesia menjadi sumber devisa bagi nergara
dari sektor non migas. Ketersediaan lapangan pekerjaan menjadi salah satu kunci
bukti peningkatan perekonomian diIndonesia. Kelapa sawit menjadi salah satu
komoditas perkebunan yang menjanjikan dalam peningkatan devisa dan sumber
perekonomian. Kelapa sawit dapat diolah menjadi minyak yang memiliki harga
cukup mahal dipasaran nasional dan Internasional. Produksi kelapa sawit
memiliki hasil yang besar per satuan hektar dalam bentuk minyak mentah (CPO)
maupun biji sawit (Khair et al, 2014).
Peningkatan luas areal tanaman kelapa sawit kurang diperhatikan dalam
budidayanya. Faktor-faktor penting dalam peningkatan produktivitas kelapa sawit
adalah faktor lingkungan, faltor genetik dan faktor budidaya. Ketidak sesuaian
lahan menjadi kendala serta penyebab penurunan hasil produksi kelapa sawit.
Analisis keseuaian lahan perlu dilakukan dalam budidaya tanaman kelapa sawit
untuk meningkatkan dan menyesuaikan lingkungan tumbuh tanaman. Faktor
lingkungan yang mempengaruhi produksi sawit adalah curah hujan, jenis tanah,
topografi, hari hujan dan OPT. Faktor genetik yang mempengaruhi adalah varietas
bibit dan umur tanaman. Faktor budidaya adalah pemupukan, konservasi tanah
dan air, pengendalian OPT dan pemeliharaan (Yohansyah et al, 2014).
Di Indonesia kelapa sawit menjadi komoditas unggulan disektor
perkebunan selain kopi dan kakao. Luas lahan yang mencapai 9,57 juta hektar
pada tahun 2012 menunjukkan kelapa sawit memiliki prospek yang menjanjikan
dalam berbudidaya. Pengembangan kelapa sawit tidak hanya dilakukan di area
lahan kering atau marginal dengan tanah mineral namun dapat dilakukan pada
lahan basah dengan BO yang tinggi atau biasa disebut lahan gambut. Lahan
gambut memiliki banyak kendala dari sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Lahan
basah memerlukan perlakuan khusus dalam penanaman kelapa saiwt, perlunya
pengolahan lahan menjadi faktor penentu dalam keberhasilan produksi kelapa
sawit (Holidi, 2014).
Produksi sawit diwilayah negara lain secara internasional menjadi salah
satu unsur yang penting. Minyak nabati didunia yang sebagian besar diproduksi
dari minyak kelapa sawit menjadi sumber terbesar minyak nabati. Ekstraksi buah
kelapa sawit mampu menghasilkan minyak nabati yang banyak, ekstraksi
dilakukan dengan mengektrak bagian mesocarp daging buah. Permintaan pasar
internasional akan minyak kelapa sawit memacu muculnya perkebunan-
perkebunan rakyat kecil. Budidaya tanaman sawit berfungsi sebagai sarana
pencaharian bagi banyak keluarga diwilayah pedesaan (Ibitoye dan Jimoh, 2014).
Banyak hama yang ditemukan di kelapa sawit merupakan hama spesifik.
Beberapa hama serangga yang bersifat polifag. Setidaknya ada 80 spesies
arthropoda yang merupakan hama potensial pada kelapa sawit. Sebagai tanaman
tumbuh, perkebunan menjadi lebih menguntungkan lingkungan untuk hama
(Kalidas, 2012). Menurut Setyamidjaja (2006), Hama yang sering menyerang
tanaman kelapa sawit di antaranya ulat api, dan ulat kantong, tikus, rayap,
Adoretus dan Apogonia, serta babi hutan. Adapun penyakit yang menjadi masalah
pada tanaman kelapa sawit di antaranya yaitu penyakit-penyakit daun pada
pembibitan. Penyakit busuk pangkal batang (Ganoderma), penyakit busuk tandan
buah (Marasmius), dan penyakit busuk pucuk (spear rot).
Jamur basidiomycete spesies Ganoderma yang menyebabkan penyakit
busuk batang basal di kelapa sawit menghancurkan ribuan hektar penanaman di
Asia Tenggara terutama di Malaysia dan Indonesia. Penyakit ini telah ditemukan
menginfeksi kelapa sawit sedini 12 sampai 24 bulan setelah tanam. Efek dari
Ganoderma infeksi menurun produktivitas tanaman sawit yang cukup besar sejak
penanaman kelapa sawit pertama kali dimulai di Asia Tenggara, terutama di
Malaysia dan Indonesia (Azahara, 2011).
Prinsip umum dari pengendalian hama dan penyakit adalah bahwa
tindakan-tindakan pencegahan (preventif) akan selalu lebih baik daripada
pengobatan (kuratif). Oleh karena itu, tindakan monitoring/pengamatan adanya
serangan dan penekanan populasi hama pada saat akan melewati ambang
ekonomis sangat diperlukan. Sistem Peringatan Dini (Early Warning System)
bertujuan untuk mengetahui adanya serangan hama sedini mungkin, sehingga
dapat dilakukan tindakan pengendalian ketika serangan tersebut masih ringan.
(Risza, 2010).
BAB 3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Budidaya Tanaman Perkebunan acara "Organisme Pengganggu
Tanaman pada Tanaman Kelapa Sawit" dilaksanakan pada hari Sabtu, 24 Oktober
2015 pada pukul 15.00 sampai selesai. Praktikum ini dilaksanakan di
Agroteknopark Jubung.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
1. Alat tulis
2. Kamera
3. Worksheet
3.2.2 Bahan
1. Tanaman kelapa sawit
3.3 Cara Kerja
1. Mengamati OPT pada tanaman kelapa sawit sesuai dengan worksheet yang
telah disediakan
2. Mengambil gambar OPT maupun gajala serangan yang ada dilapangan
dengan menggunakan kamera
3. Mendeskripsikan secara singkat dan membandingkan dengan gambar yang
ada di literatur.
4. Membuat laporan dari hasil pengamatan OPT tanaman yang dilakukan.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Tabel Hasil Pengamatan Aspek Hama Tanaman Kelapa Sawit
N
ONAMA
GAMBAR HAMA GAMBAR GEJALA
Hasil Pengamatan LiteraturHasil
PengamatanLiteratur
1
Kumbang
Oryctes
(Oryctes
rhinocero
s)
2
Hama ulat
Setora
(Setora
nitens)
4.1.2 Tabel Hasil Pengamatan Aspek Penyakit Tanaman Kelapa Sawit
NO NAMAGAMBAR
PATOGEN
GAMBAR GEJALA
Hasil
PengamatanLiteratur
1
Penyakit
Antraknose
(Gromerella
spp.)
2
Penyakit
Antraknose
(Melanconiu
m Spp.)
4.2 Pembahasan
Hasil yang diperoleh dari praktikum OPT tanaman Kelapa sawit diperoleh
hama kumbang orytes dan ulat api, penyakit diperoleh antrachnose :
1. Ulat Api
Klasifikasi hama ulat api (Setora nitens) adalah sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Kelas: Insekta
Sub Kelas: Pterygota
Orda: Lepidoptera
Famili: Limacodidae
Genus: Setora
Spesies: S. nitens
Ulat api S. nitens merupakan serangga hama yang menyerang banyak
spesies tanaman. Ulat ini memiliki toksin yang terdapat pada duri-duri yang
menyelubungi tubuhnya sehingga menimbulkan rasa seperti terbakar dan gatal
jika tericena pada kulit dan oleh sebab itu ulat ini disebut dengan ulat api. S.
nitens memiliki telur berwama kuning kehijauan, berbentuk oval, sangat tipis dan
trasparan. Telur diletakkan berderet 3-4 baris sejajar dengan permukaan daun
sebelah bawah. Telur biasanya diletakkan pada pelepah daun ke 6-17, letak telur
tidak saling bertindih, telur menetas setelah 4-7hari. Larva yang baru menetas
hidup berkelompok, memakan daging daun dari permukaan bagian bawah dan
meninggalkan epidermis permukaan bagian atas daun. Pada larva instar 2-3, larva
memakan daun mulai dari ujung kearah bagian pangkal daun. Larva S. nitens
berwama hijau kekuningan kemudian menjadi hijau dan bembah menjadi
kemerahan menjelang masa pupa. Larva ini memiliki ciri-ciri dengan adanya satu
garis membujur ditengah punggung yang berwama bim keunguan. Larva instar
terakhir adalah instar 7 dengan panjang 36mm dan lebar 14,Smm, stadia larva S.
nitens berlangsung sekitar 40-SO hari. S. nitens memiliki bentuk pupa yang bulat
dan berwama coklat Stadia pupa belangsung selama 18-21. Larva akan
menjatuhkan diri dan moicari tempat dekat tanah, di gulma atau dibalik tanaman
yang diserang pada saat akan membentuk pupa. Imago S. nitens bempa ngengat
yang mempimyai lebar rentangan sayap sekitar 35mm. Pada sayap depan
berwama cokelat dengan garis-garis yang berwama lebih gelap. Ngengat aktif
pada senja dan malam hari, pada waktu siang hari hinggap di pelepah-pelepah
daun tua dengan posisi terbalik. Setiap ngengat betina mampu bertelur hingga 300
butir. Ulat api S. nitens merupakan hama utama pada perkebunan kelapa sawit
sangat merugikan pada fase larva karena pada fase larva ini ulat api sangat aktif
memakan daun kelapa sawit. Daun kelapa sawit yang biasa diserang ulat api
adalah daun ke 9-25 dari pangkal tanaman.
2. Kumbang
Klasifkasi hama Oryctes rhinoceros ini adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Coleoptera
Family : Scarabaeidae
Genus : Oryctes
Species : Oryctes rhinoceros L.
Kumbang ini berukuran 40-50 mm, berwarna coklat kehitaman, pada
bagian kepala terdapat tanduk kecil. Pada ujung perut yang betina terdapat bulu-
bulu halus, sedang pada yang jantan tidak berbulu. Kumbang menggerek pupus
yang belum terbuka mulai dari pangkal pelepah, terutama pada tanaman muda
diareal peremajaan. Kumbang badak betina bertelur pada tunggul-tunggul karet,
kelapa dan kelapa sawit yang telah dipotong dan bahan organik lainnya. Bahan-
bahan organik adalah bahan yang mudah digerek atau telah busuk. Telur berwarna
putih, bentuk oval, diletakkan oleh imago betina 5-15 cm dibawah permukaan
bahan organic. Telur yang baru diletakkan berukuran 2,3 x 3,5 mm dan lamanya
stadia telur 8-12 hari. Imago kumbang betina ini dapat bertelur 3 sampai 4 kali
selama hidupnya dengan jumlah telur 30 butir dalam sekali bertelur, tergantung
berkembang biaknya selama 9 sapai 12 minggu kedepan, masa inkubasi telur 11
hari kemudian menjadi larva setelah 17 minggu dari peletakan telur oleh imago
dan rata-rata selama hidupnya dan selama hidupnya dapat menelur sebanyak 108
telur sepanjang hidupnya. Serangan dari O. rhinoceros ini dapat dilihat bekas
gerekan yang dibuatnya. Pada tanaman muda serangan hama ini dapat
menyebabkan kematian. Pada waktu hama ini mengebor pucuk tanaman biasanya
juga merusak bagian daun yang muda yang belum terbuka (janur) hingga waktu
daun terbuka akan terlihat bekas potongan yang simetris berbantuk segitiga atau
seperti huruf V. Akibatnya, mahkota daun tampak compang camping tidak teratur
sehingga bentuknya tidak bagus lagi. Luka dari bekas gerekan kumbang badak ini
sering mengundang hama lain. Yang merupakan hama sekunder yaitu kumbang
moncong merah (Rhynchophorus ferrugineus Oliver) dan penyakit busuk pucuk
yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora palmivora Butler
3. Penyakit Antrachnose
Gejala terdapat bercak – bercak dikelilingi warna kuning yang merupakan
batas antara bagian daun yang sehat dan yang terserang. Gejala yang lain yang
tampak adalah adanya warna coklat dan hitam diantara tulang daun. Daun – daun
yang diserang menjadi kering dan akhirnya mengalami kematian. Penyebab Jamur
Melanoconium elaedeis, Glomerella singulata dan Botryodiplodia palmarum.
Pengendalian dengan mengurangi naungan bibit sesuai dengan perkembangan
umur tanaman. Serangan yang bersifat sporadic, dapat dilakukan tindakan
pemangkasan ringan pada tajuk bibit yang terinfeksi. Jika mengalami serangan
berat, sebaiknya bibit dimusnahkan. Pemberantasan secara kimiawi dapat
dilakukan dengan menggunakan fungisida, seperti Dithane M – 45 80 WP yang
berbahan aktif mancozeb 80% dengan kosentrasi 0,2% atau dengan Captan
dengan kosentrasi 0,2%.
Menurut Setyamidjaja (2006), pengendalian hama dan penyakit tanaman
pada hakikatnya merupakan upaya untuk mengendalikan suatu kehidupan. Oleh
karena itu, konsep pengendaliannya dimulai dari pengenalan dan pemahaman
terhadap siklus hidup hama dan penyakit itu sendiri. Pengetahuan terhadap bagian
paling lemah dari seluruh siklus hidup mata rantai sangat berguna di dalam
pengendalian hama dan penyakit yang efeltif. Bagian yang dinilai paling lemah
dari siklus hama dan penyakit merupakan titik kritis karena akan menjadi dasar
acuan untuk pengambilan keputusan pengendaliannya. Pemilihan jenis, metode
(biologi, mekanik, kimia, dan terpadu), serta waktu pengendalian yang dianggap
paling cocok akan dilatarbelakangi oleh pemahaman atas siklus hidup
hama/penyakit tersebut. Usaha mendeteksi hama/penyakit pada waktu yang lebih
dini mutlak harus dilaksanakan. Selain akan memudahkan tindakan pencegahan
dan pengendalian, keuntungan deteksi dini juga bertujuan agar tidak terjadi
ledakan serangan yang tidak terkendali/terduga. Secara ekonomis, biaya
pengendalian melalui deteksi dini dipastikan jauh lebih rendah daripada
pengendalian serangan hama/penyakit yang sudah menyebar luas. Secara mekanis
dilakukan dengan memusnakan stadia telur, larva dan pupa dalam sarang-sarang
di permukaan tanah. System pencacahan batang, pengutipan kumbang dan larva,
secara kimiawi dan hayati. Semua metode pengendalian di aplikasikan secara
tunggal maupun terpadu keterbatasan dalam skala besar. Dengan menggunakan
feromon (etil – 4 oktanoate) ini berguna sebagai alat kendali populasi hama dan
sebagai perangkap masal. Rekomendasi untuk perangkap masal adalah adaah
meletakkan satu perangkap untuk 2 hektar. Pada populasi kumbang yang tinggi,
aplikasi feromon diterapkan satu perangkap untuk satu hektar.
Pembibitan kelapa sawit merupakan awal kegiatan lapangan yang harus
dimulai setahun sebelum penanaman di lapangan. Penjadualan yang tepat perlu
dilakukan karena keterbatasan yang mungkin dialami seperti kesediaan kecambah
oleh pemasok, musim tanam, ketersediaan tenaga dan lain-lain. Pemesanan
kecambah hendaknya dilakukan 3 - 6 bulan sebelum dimulai pembibitan. Jika
direncanakan penanaman di lapangan bulan September-Desember yaitu selama 4
bulan musim hujan maka kecambah harus sudah mulai ditanam di pembibitan ada
bulan bersamaan setahun sebelumnya. Menurut Pahan (2006), pengendalian
terhadap masalah hama dan penyakit maka cara yang baik adalah pencegahan.
Namun apabila terpaksa menggunakan pestisida maka harus memperhatikan :
1. Menyemprot hanya dilakukan pada kondisi yang sesuai agar tidak mengurangi
efisiensi penyemprotan.
2. Menyemprot seperlunya saja yaitu pada tanaman yang diserang penyakit.
3. Penyiraman bibit hendaknya dilakukan 2 jam sebelum atau sesudah
penyemprotan.
Perbedaan serangan hama tikus dan tupai pada tanaman kelapa sawit.
Serangan tikus pada tanaman kelapa sawit :
1. Pembibitan : memakan kecambah yang baru tumbuh, sehingga kecambah mati,
mengerat bagian pangkal pelepah sampai jaringan muda, bibit tumbuh
abnormal atau mati.
2. Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) : mengerat bagian pangkal pelepah
sehingga pelepah tumbang, mengerat jaringan jaringan meristem meristem
sehingga sehingga bibit mati.
3. Tanaman Menghasilkan (TM) : mengerat buah muda dan buah masak,
memakan brondolan, merusak bunga jantan.
Serangan tupai pada tanaman kelapa sawit : Tupai menggerek buah kelapa yang
sudah agak tua di bagian ujung buah,lubang gerekan pada bagian tempurung
bulat, tetapi lubang pada bagian serabut tidak rata, daging buah habis dimakan 2-3
hari, seekor bajing mampu merusak 1-2 buahdalam 1 bulan.
Pengendalian tikus pada dasarnya adalah upaya menekan tingkat populasi
tikus serendah mungkin melalui berbagai cara dan teknologi pengendalian.
Beberapa teknik pengendalian tikus :
1. Secara kimia pengendalian tikus menggunakan pestisida jenis rodentisida.
2. Pengendalian secara fisik dengan membuniuh tikus secara langsung,
pengendalian ini dalam waktu yang relatif singkat dapat menurunkan populasi
tikus tetapi dalam waktu jangka panjang akan terjadi kompensasi populasi.
3. Pengendalian tikus secara biologis dengan menggunaka T.alba, banyak
dikembangkan dan menjadi cara yang termasuk kedalam pengendalian hama
terpadu (PHT).
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Hasil praktikum ditemukan hama dan penyakit yang menyerang tanaman
kelapa sawit. Hama yang menyerang adalah ulat api dan kumbang orytes,
penyakit yang menyerang adalah antrachnose.
2. Pengendalian hama dimulai dari pengenalan hama terlebih dahulu, peantuan
terhadap populasi hama, pengendalian secara PHT dengan teknik kultur teknis,
mekanik dan biologi bila tidak berhasil menggunakan teknik kimia.
3. Pengendalian penyakit pada fase pembibitan dilakukan dengan menggunakan
pestisida kimia yang dianggap lebih ampuh dan cepat.
4. Gejala terdapat bercak – bercak dikelilingi warna kuning yang merupakan
batas antara bagian daun yang sehat dan yang terserang. Penyebab Jamur
Melanoconium elaedeis, Glomerella singulata dan Botryodiplodia palmarum.
Pengendalian dengan mengurangi naungan bibit sesuai dengan perkembangan
umur tanaman.
5. Gejala serangan tikus : batang kelapa sawit terdapat bekas gigi tampak tidak
lurus dengan sudut 45o dan disekitar batang terdapat bekas potongan. Gejala
serangan tupai : terdapat lubang pada tempurung kelapa dan menggerek buah
yang sudah tua. Pengendalian dengan menggunakan rodentisida, mekanik dan
biologi.
5.2 Saran
Sebaiknya praktikan lebih memperhatikan penjelasan dari asisten
praktikan agar praktikum dapat berjalan dengan lancar dan tepat waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Azahara T.M., J.C. Mustapha., S. Mazliham., P. Boursier. 2011. Temporal Analysis of Basal Stem Rot Disease in Oil Palm Plantations: An Analysis on Peat Soil. Engineering & Technology IJET-IJENS, 11(3): 96-101.
Holidi., Hermanto., D. Irawanto. 2014. Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elais guineensis Jacq.) di Media Gambut Pada Berbagai Tinggi Muka Air. Lahan Suboptimal, 2(3): 1-7.
Ibitoye., dan S. Jimoh. 2014. Economic Analysis of Palm Oil Marketing in Dekina Local Government Area of Kogistate, Nigeria. Social Sciences, Arts and Humanities, 2(1): 1-19.
Kalidas P. 2012. Pest Problems of Oil Palm and Management Strategies for Sustainability. Agrotechnol, 1(1): 1-3.
Khair H., J.S. Darmawanti., R.S. Sinaga. 2014. Uji Pertumbuhan Kelapa Sawit Dura Dan Varietas Unggul DXP Simalungun (Elais guintensis jacg) Terhadap Pupuk Organik Cair di Main Nursery. Agrium, 18(3): 250-259.
Nasution H.H., C. Hanum., dan R.R. Lahay. 2014. Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elais guineensis Jacq.) Pada Berbagai Perbandingan Media Tanam Sludge dan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) Di Pree Nur sersey. Agroteknologi, 2(4): 1419-1425.
Olorunfemi M.f., A.O. Oyebanji., T.M. Awoite., A.A Agboola., M.O. Oyelakin., J.P. Alimi., I.O. Ikotun., R.A. Olagbaju., dan A.O. Oyadele. 2014. Quality Assesment of Palm Oil on Sale in Major Markets of Ibadan, Nigeria. Food Research, 1(2): 8-15.
Pahan I. 2006. Kelapa Sawit. Jakarta: Penebar Swadaya.
Risza S. 2010. Masa Depan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Setyamidjaja D. 2006. Kelapa Sawit. Yogyakarta: Kanisius.
Yohansyah W.M., dan I. Lubis. 2014. Analisis Produktifitas Kelapa Sawit (Elais guineensis Jacq.) di P.T Perdana Inti Sawit Perkasa I, Riau. Agrohorti, 2(1): 125-131.