AGEN PERUBAHAN DAN PERANNYA DALAM DIFUSI INOVASI
Menurut Everret Inovasi memiliki karakteristik yang menentukan dalam hubungannya
dengan pengadopsian yaitu : keuntungan relative (relative advantage), Kecocokan
(compatibility), kompleksitas (complexity), Keterujian ( trialability), dan teramati (observability).
Dalam pembahasan kelompok 4 telah disinggung adanya sejumlah tingkatan adopter yang
terdiri dari 5 tingkatan yaitu :
Innovators (venturesome);
Early adopters (respectable);
Early majority (deliberate);
Late majority (sceptical);
Laggards (traditional).
Yang ternyata adanya lima tingkatan itu sangat tergantung pada kekuatan dari saluran
komunikasinya, yang mana hal ini merupakan salah satu faktor determinan dari empat elemen
difusi, determinan tersebut adalah saluran komunikasi yang memiliki 3 komponen yaitu :
Opinion leaders (yaitu orang yang sering berhubungan dengan adopter secara tidak
informal dan mampu mempengaruhi tingkah laku orang lain);
Change agents (yaitu yang secara positif mempengaruhi keputusan inovasi dengan melalui
perantaraan media agen perubahan dan sistem sosial yang relevan);
Change aides (yaitu orang yang melengkapi pekerjaan agen perubah dengan melakukan
kontak lebih intensif pada penerima atau adopter walaupun orang tersebut memiliki
kredibilitas kompetensi yang kurang tetapi dapat dipercaya kejujuran dan keamanannya).
Fungsi dari Agen Perubah (The change agent functions) adalah:
Mengembangkan kebutuhan perubahan pada khalayak ;
Memunculkan informasi dan hubungannya dengan perubahan;
Mendiagnose kebutuhan khalayak;
Menciptakan keinginan perubahan pada khalayak;
Mewujudkan keinginan melalui tindakan;
Mengukuhkan adopsi dan menjaga pemutusan ; dan
Nama : Fikri BudimanNPM : 0914081230
Memindahkan kepercayaan khalayak dari ketergantungan pada agen perubahan menuju
pada kepercayaan diri sendiri
Selain dari adanya agen perubahan yang disebutkan di atas menurut Greg Orr (2003)
berpendapat kecepatan difusi inovasi akan sangat dipengaruhi dengan tingkat kecerdasan mass
media dalam keikutsertaan pengembangan sebuah inovasi. Pada bentuk budaya modern
dimana mass media mulai menjadi konsumsi harian bagi masyarakat maka opini masyarakat
akan dituntun dan diarahkan berdasarkan berita yang dilaunching oleh mass media.
Kekuatan dari agen perubahan juga akan dipengaruhi dengan sistem kepemimpinan
yang ada pada masyarakat, sistem kepemimpinan biasanya akan memberikan stressing kepada
agen perubah dengan memberikan target – target penyebaran yang telah ditetapkan, oleh
karena itu kreativitas dari adanya agen Perubahan.
Dalam penelitian yang dilakukan di Afrika tentang peranan agen perubahan pada
sejumlah program kesehatan oleh Bent Davies (2005) menunjukkan peranan dari agen
perubahan sangat dipengaruhi pula oleh adanya saluran komunikasi dan media serta tuntutan
pada agen perubahan oleh pimpinan. Hal ini juga dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan di
Vietnam oleh Von Rungen (2006) yang mengubah pola pembentukan ekonomi rakyat melalui
pendidikan vokasional sangat dipengaruhi saluran komunikasi dan mas media, yang mana
selama ini masyarakat sudah banyak terlanjur pada pola – pola sistem rezim Pol Pot yang
bersifat ekonomi kolektif.
Perubahan sosial, bukanlah suatu fenomena yang terjadi secara kebetulan, melainkan
sesuatu yang direncanakan atau diprakarsai oleh agen pembaharu. Agen pembaharu adalah
pekerja profesional yang berusaha mempengaruhi atau mengarahkan keputusan adopsi inovasi
selaras dengan yang diharapkan lembaga pembaharu (change agency) tempat dia bekerja atau
yang menjadi anak buahnya Rogers (1995). Siapapun yang menawarkan produk atau gagasan
baru ke sistem sosial adalah agen pembaru. Secara formal, agen pembaharu memiliki bentuk
kelembagaan yang beragam.
Agen pembaharu memegang posisi vital dalam saluran komunikasi difusi inovasi.
Rogers (1995) menyebutkan tujuh peran penting agen pembaharu. Pertama agen pembaharu
berperan membangkitkan kebutuhan untuk berubah pada diri klien. Agen pembaharu
menjalankan fungsi sebagai katalisator (pembuka kran) dan mempengaruhi klien tentang
pentingnya digunakannya inovasi menuju perubahan yang lebih baik.
Kedua, mengadakan hubungan (relationship) untuk perubahan. Setelah tumbuh
kesadaran untuk berubah, agen pembaharu harus dapat menjalin keakraban dengan klien.
Keakraban dapat diperkuat melalui penciptaan kesan yang dapat dipercaya, kejujuran, dan
empati terhadap masalah klien. Sebelum dapat diterima secara sosial oleh klien, agen
pembaharu harus dapat diterima secara fisik. Terbangunnya hubungan ini penting, karena
menjadi landasan dalam berinteraksi berikutnya.
Ketiga, mendiagnosis masalah, yaitu memahami problematik klien, mengapa cara yang
ada perlu dilakukan perubahan. Untuk dapat menyimpulkan, agen pembaharu dituntut terjun
langsung ke lapangan dan memahami perilaku klien sebelumnya dan perubahan yang
ditawarkan menurut pandangan klien sendiri, untuk selanjutnya dicari cara yang terbaik untuk
mengatasi. Hal ini hanya berhasil, jika agen pembaharu memiliki empati yang tinggi terhadap
klien.
Keempat, memotivasi klien untuk berubah. Agen pembaharu harus dapat memotivasi
klien untuk menerima atau setidak-tidaknya menaruh minat menggunakan inovasi. Namun,
dalam menjalankan peran ini, agen pembaharu harus tetap berorientasi kepada kebutuhan
klien. Ini merupakan tugas ambigo dan sering menimbulkan konflik peran, karena posisinya
sebagai jembatan dua sistem sosial yang sering memiliki kepentingan berbeda.
Kelima, merencanakan tindakan perubahan. Setelah timbul minat untuk mengadopsi,
agen pembaharu dituntut dapat mengarahkan perilaku klien untuk menjalankan
rekomendasinya sesuai dengan kebutuhan klien. Ini berarti klien diharapkan bukan hanya
sekedar menyetujui atau berminat terhadap inovasi, melainkan juga merencanakan program-
program untuk menggunakan inovasi.
Keenam, agen pembaharu dituntut memelihara program pembaharuan dan mencegah
kemungkinan berhenti. Peran ini dapat dilakukan secara efektif dengan menyampaikan pesan-
pesan yang menunjang, sehingga klien merasa aman dan terus berminat mengadopsi inovasi.
Tindakan ini penting terutama, ketika klien masih dalam tahap percobaan sampai konfirmasi,
sebelum klien memutuskan untuk menjadi pemakai tetap inovasi.
Peran terakhir adalah mencapai pemutusan hubungan (terminal relationship). Tujuan
akhir agen pembaharu adalah berkembangnya perilaku “memperbaharui diri sendiri” pada diri
klien (Rogers, 1995). Ini berarti, agen pembaharu dituntut dapat mengembangkan kliennya
sebagai agen pembaharu paling tidak bagi dirinya sendiri. Kondisi demikian terjadi, jika klien
mampu mengimplementasikan inovasi dan semakin percaya terhadap kemampuan diri sendiri.
Jika kondisi demikian tercapai, maka agen pembaharu untuk sementara waktu dapat
menghentikan hubungan, namun bukan berarti hubungan berhenti secara total, akan tetapi
agen pembaharu perlu memonitor penggunaan inovasi, setelah berjalan beberapa waktu.
Memperhatikan peran agen pembaharu dalam difusi inovasi, tampak jelas bahwa dia
dituntut dapat menjalin hubungan yang akrab dengan kliennya. Kemampuan menjalin hubungan
dengan klien ini menjadi prasyarat keberhasilan agen pembaharu, sebelum agen pembaharu
melakukan pemutusan hubungan. Beberapa faktor yang menunjang keberhasilan agen
pembaharu adalah:
1. Gencarnya promosi/komunikasi,
2. Lebih berorientasi pada klien,
3. Kompatibilitas program difusi dengan kebutuhan klien,
4. Empati,
5. Persamaan karakteristik sosial ekonomi dengan klien (homophily),
6. Kredibilitas di mata klien, dan
7. Kemampuan kerja sama dengan tokoh masyarakat (Rogers, 1995)
Promosi bentuk komunikasi yang dapat dilakukan melalui media massa (iklan) atau
kunjungan langsung. Gencarnya promosi agen pembaharu, diperlukan terutama pada tahap
awal pengenalan inovasi. Ini juga mengharuskan agen pembaharu untuk lebih banyak berada di
lapangan untuk bertemu langsung dengan klien dan tokoh masyarakat. Kualitas dan kuantitas
komunikasi agen pembaharu, akan mempercepat tersebarnya informasi inovasi ke sistem sosial.
Guru Sebagai Agen Perubahan
Dalam upaya mengimplementasikan paradigma pendidikan masa depan, peran guru
sebagai pilar utama peningkatan mutu pendidikan jelas tidak boleh dipandang sebelah mata.
Sudah saatnya guru diberi kebebasan dan keleluasaan untuk mengelola proses pembelajaran
secara kreatif, “liar”, dan mencerdaskan, sehingga pembelajaran berlangsung efektif, menarik,
dan menyenangkan.
Profesi guru bukan sembarangan, melainkan penting dan menentukan masa depan
bangsa. Dengan demikian guru harus menjadi orang yang memiliki jati diri kuat,
senantiasa menjadi tauladan dan merencanakan, melaksanakan pembelajaran dengan
serius sepenuh hati. Siswa juga harus memiliki cara pandang baru, yakni, sekolah bukan
merupakan keharusan melainkan kebutuhan; siswa bukan peserta pasif, melainkan
peserta aktif, siswa bukan tidak berdaya, melainkan memiliki kekuatan untuk merealisir
apa yang dinginkan. Dalam konteks demikian, guru harus benar-benar menjadi “agen
perubahan” dan menjadi sosok profesional yang senantiasa bersikap responsif dan kritis
terhadap berbagai perkembangan dan dinamika peradaban yang terus berlangsung di
sekitarnya.
Seiring dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru tidak
perlu lagi menjadi “pengkhutbah” yang terus berceramah dan menjejalkan bejibun teori kepada
siswa didik. Sudah bukan zamannya lagi anak diperlakukan bagai “keranjang sampah” yang
hanya sekadar menjadi penampung ilmu. Peserta didik perlu diperlakukan secara utuh dan
holistik sebagai manusia-manusia pembelajar yang akan menyerap pengalaman sebanyak-
banyaknya melalui proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Oleh karena itu,
kelas perlu didesain sebagai “masyarakat mini” yang mampu memberikan gambaran bagaimana
sang murid berinteraksi dengan sesamanya. Dengan kata lain, kelas harus mampu menjadi
“magnet” yang mampu menyedot minat dan perhatian siswa didik untuk terus belajar, bukan
seperti penjara yang mengkrangkeng kebebasan mereka untuk berpikir, berbicara, berpendapat,
mengambil inisiatif, atau berinteraksi.
Gurulah yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyusun rencana
pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, mengevaluasi, menganalisis hasil evaluasi,
dan melakukan tindak lanjut. Dalam konteks demikian, gurulah yang akan menjadi “aktor”
penentu keberhasilan siswa didik dalam mengadopsi dan menumbuhkembangkan nilai-nilai
kehidupan hakiki.
Ketika sang guru masuk kelas dan menutup pintu, di situlah sang guru akan menjadi
pusat perhatian berpasang-pasang mata siswa didiknya. Mulai model potongan rambut, busana
yang dikenakan, hingga sepatu yang dipakai akan ditelanjangi habis oleh murid-muridnya. Belum
lagi bagaimana gaya bicara sang guru, caranya berjalan, atau kedisiplinannya dalam mengajar. Di
mata sang murid, guru seolah-olah diposisikan sebagai pribadi perfect yang nihil cacat dan cela.
Itu juga makna yang tersirat dalam akronim “digugu dan ditiru” (dipercaya dan diteladani). Tidak
heran kalau banyak kalangan yang berpendapat bahwa maraknya tindakan premanisme,
korupsi, manipulasi, penyalahgunaan jabatan, pengingkaran makna sumpah pejabat, jual-beli
ijazah, dan semacamnya, gurulah yang pertama kali dituding sebagai pihak yang paling
bertanggung jawab terhadap maraknya berbagai ulah anomali sosial semacam itu.
Harus diakui tugas guru memang berat. Mereka tidak hanya dituntut untuk melakukan
aksi “lahiriah” dalam bentuk kegiatan mengajar, tetapi juga harus melakukan aksi “batiniah”,
yakni mendidik; mewariskan, mengabadikan, dan menyemaikan nilai-nilai luhur hakiki kepada
siswa didik. Ini jelas tugas dan amanat yang amat berat ketika nilai-nilai yang berkembang di
tengah-tengah kehidupan masyarakat sudah demikian jauh merasuk dalam dimensi peradaban
yang chaos dan kacau.
Kalau proses pembelajaran berlangsung monoton dan seadanya; guru cenderung
bergaya indoktrinatif dan dogmatis seperti orang berkhotbah, upaya penyemaian nilai-nilai
luhur hakiki saya kira akan sulit berlangsung dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Apalagi,
kalau anak-anak hanya diperlakukan sebagai objek yang pasif, tidak diajak untuk berdialog dan
berinteraksi. Maka, kegagalan penyemaian nilai-nilai luhur kepada siswa didik hanya tinggal
menunggu waktu. Dalam konteks demikian, guru perlu mengambil langkah dan inisiatif untuk
mendesain proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Guru
memiliki kebebasan untuk melakukannya di kelas. KTSP sangat leluasa memberikan kesempatan
kepada guru untuk menerapkan berbagai gaya dan kreativitasnya dalam kegiatan pembelajaran.
Melalui kegiatan pembelajaran yang inovatif, atmosfer kelas tidak terpasung dalam
suasana yang kaku dan monoton. Para siswa didik perlu lebih banyak diajak untuk berdiskusi,
berinteraksi, dan berdialog sehingga mereka mampu mengkonstruksi konsep dan kaidah-kaidah
keilmuan sendiri, bukan dengan cara dicekoki atau diceramahi. Para murid juga perlu dibiasakan
untuk berbeda pendapat sehingga mereka menjadi sosok yang cerdas dan kritis. Tentu saja,
secara demokratis, tanpa melupakan kaidah-kaidah keilmuan, sang guru perlu memberikan
penguatan-penguatan sehingga tidak terjadi salah konsep yang akan berbenturan dengan nilai-
nilai kebenaran itu sendiri.
Melalui suasana pembelajaran yang kondusif dengan memberikan kesempatan kepada
siswa didik untuk bebas berpendapat dan bercurah pikir, guru akan lebih mudah dalam
menyemaikan nilai-nilai luhur hakiki. Dengan cara demikian, peran guru sebagai agen perubahan
diharapkan bisa terimplementasikan dengan baik. Meskipun korupsi, manipulasi, dan berbagai
jenis “penyakit sosial” menyebar dan meruyak di tengah-tengah kehidupan masyarakat, melalui
proses rekonstruksi konsep yang dibangunnya, anak-anak bangsa negeri ini mudah-mudahan
memiliki benteng moral yang tangguh dalam gendang nuraninya sehingga pantang untuk
melakukan tindakan culas yang merugikan bangsa dan negara.
Guru diharapkan mampu memainkan peran membawa perubahan-perubahan positif
bagi anak didik dan sekolahnya. Peran itu setidaknya dijalankan dalam konteks kurikulum, di
mana guru menjalankan kurikulum dan mengevaluasi pelaksanaan kurikulum dalam interaksi
bersama anak didik di kelas. Lebih luas dari itu, seorang guru juga diteladani oleh anak didiknya
dalam kaitan dengan kebiasaan pribadi yang dilakukannya.
---------------oooOOOooo---------------