BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO I
Kasus Malaria di Indonesia Masih Tinggi
JAKARTA — Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang
Kementerian Kesehatan Andi Muhadir mengatakan prevalensi penyakit malaria di
Indonesia masih tinggi, mencapai 417.819 kasus positif pada 2012. Andi mengatakan
saat ini 70 persen kasus malaria terdapat di wilayah Indonesia Timur, terutama di
diantaranya Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi dan Nusa
Tenggara. Wilayah endemik malaria di Indonesia Timur, ujar Andi, tersebar di 84
kabupaten/kota dengan jumlah penduduk berisiko 16 juta orang. Andi menjelaskan
faktor geografis yang sulit dijangkau dan penyebaran penduduk yang tidak merata
merupakan beberapa penyebab sulitnya pengendalian malaria di wilayah itu. Untuk
itu, menurut Andi, pihaknya terus melakukan terobosan untuk mengatasi malaria di
wilayah tersebut, diantaranya dengan melakukan pemeriksaan darah massal dan
membagikan kelambu berinsektisida kepada masyarakat. Selain itu, pihaknya juga
melakukan pemberdayaan masyarakat dengan pembentukan pos malaria desa yang
jumlahnya kini mencapai 1.325 pos, ujar Andi.
“Jadi kalau dulu kita hanya menunggu penderitanya di puskesmas, sekarang
kita aktif surveillance dan kemudian kita langsung layani dan diberikan pengobatan.
Perlu dicatat obatnya sendiri gratis, jadi tidak ada persoalan. Jadi kita akan
melakukan pemeriksaan seluruhnya,” ujarnya di Kementerian Kesehatan, Selasa
(23/4). “Yang kedua, kita kampanyekan ke semua masyarakat yang masih ada
penularan harus menggunakan kelambu.”
1
Satu-satunya daerah bebas malaria di Indonesia adalah Kepulauan Seribu.
Pada peringatan Hari Malaria Sedunia yang jatuh tanggal 25 April ini, Menteri
Kesehatan Nafsiah Mboi memberikan sertifikat bebas malaria untuk Kepulauan
Seribu di Balai Kartini, Jakarta. Syarat sebuah daerah bebas malaria adalah Annual
Parasite Incident (API), atau insiden parasit tahunan, di bawah satu per 1.000
penduduk dan tidak terdapat kasus malaria pada penduduk lokal selama tiga tahun
berturut-turut.
Kepulauan Seribu pada 2001 menghadapi kejadian luar biasa (KLB) malaria.
Saat itu tercatat 427 jumlah kasus malaria positif dan 10 persen penderitanya
meninggal. Akan tetapi KLB tersebut cepat dapat ditangani dengan melakukan
langkah investigasi dan pengendalian wabah. Kepala Seksi Pengendalian Masalah
Kesehatan Kepulauan Seribu, Suhendro mengatakan, saat ini pihaknya melakukan
surveillance migrasi dengan penegakan diagnosa dan pengobatan. Hal ini untuk
mencegah adanya kembali malaria di Kepulauan Seribu, ujarnya. “Jadi kita pastikan
dulu warga pulau sendiri yang baru pulang dari daerah endemis karena kan mayoritas
nelayan dan juga wisatawan yang dari daerah endemis. Kalau wisatawan inap dan
demam, maka pihak pemilik penginapan akan melaporkan ke dinas kesehatan
setempat lalu dinas kesehatan akan langsung mengambil sampel darahnya untuk
diperiksa,” ujarnya. Pemerintah menargetkan Indonesia bebas malaria pada 2030.
Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium
yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia yang ditularkan
oleh nyamuk malaria betina.
.
2
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Seven Jump
1. Langkah I: Klarifikasi istilah dan konsep
Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut:
a. Prevalensi adalah jumlah total kasus penyakit tertentu yang terjadi pada
waktu tertentu di wilayah tertentu.
b. Endemik adalah penyakit dengan morbiditas rendah yang secara konstan
ada pada komunitas manusia, tapi hanya beberapa kasus yang dapat
diketahui secara klinis.
c. Kelambu berinsektisida adalah kelambu yang sudah dilapisi dengan
insektisida piretroid yang berfungsi mencegah tergigit nyamuk Anopheles,
vektor penyebab malaria.
d. Pos malaria desa adalah wadah prmberdayaan masyarakat dalam
pencegahan dan penanggulangan malaria yang dibentuk dari, oleh dan
untuk masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan.
e. Surveillance adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data secara terus-
menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan)
kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit
dan masalah kesehatan lainnya.
f. Annual Parasite Incident (API) adalah jumlah penderita malaria positif per
seribu penduduk yang dibandingkan dengan jumlah penduduk yang
berisiko terkena malaria di wilayah yang sama.
g. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu
daerah dalam kurun waktu tertentu.
3
h. Surveillance migrasi adalah melakukan pengawasan terus menerus terhadap
perpindahan penduduk terutama dari daerah endemis.
2. Langkah II: Menetapkan/mendefinisikan permasalahan
Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut:
a. Apa saja kriteria dan langkah investigasi KLB dan wabah?
b. Di mana wilayah endemik malaria di Indonesia dan bagaimana
pengendaliannya?
c. Apa saja macam surveilans dan bagiamana alur pelaporan kasus surveilans?
d. Bagaimana perhitungan dan tingkatan Annual Paracite Incidence (API)?
e. Bagaimana pemberdayaan masyarakat dalam pos malaria?
f. Apa saja kriteria penyakit yang perlu screening?
g. Bagaimana perjalanan penyakit menular (trias epidemiologi) & multi causa
faktor yang mempengaruhi?
h. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi prevalensi
i. Apakah yang dimaksud sporadik, endemik, epidemik, dan pandemik?
j. Apa saja perbedaan KLB dan wabah serta perbedaan surveilans dan
screening?
3. Langkah III: Analisis masalah
Berikut analisa dan pernyataan sementara dari masalah yang telah ditetapkan:
a. Penjelasan mengenai sporadik, endemik, epidemik, dan pandemik
Sporadik adalah suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan (umumnya
penyakit) yang ada di suatu wilayah tertentu frekuensinya berubah-ubah
menurut perubahan waktu (Azwar, 1988).
4
Contoh :
Polio meilitis adalah penyakit yang disebabkan oleh virus polio. Virus ini
menginfeksi saraf pada tulang belakang sehingga menimbulkan
kelumpuhan. Penyakit polio paling sering menyerang anak di bawah lima
tahun (balita). Virus polio sangat menular dan menginfeksi manusia lewat
mulut dan berkembangbiak di usus halus. Penyakit ini sering menyerang
suatu wilayah salah satunya di Sukabumi Kabupaten Garut.
Endemi adalah adalah suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan
(umumnya penyakit) frekuensinya pada suatu wilayah tertentu menetap
dalam waktu yang lama (Azwar, 1988). Penyakit menular dikatakan
endemik apabila penyakit ini timbul secara konstan pada suatu daerah dan
populasi tertentu dengan tingkat prevalensi serta insiden yang relatif tinggi
(Bonita, 2006).
Contoh :
a) Penyakit Demam Berdarah di tiga wilayah Kecamatan Pemalang,
Jawa Tengah yaitu Kebon dalem, Mulyoharjo, dan Sugihwaras. Daerah
tersebut merupakan daerah rawan banjir yang memungkinkan munculnya
jentik-jentik nyamuk Aedesaegpty .Hal serupa juga terjadi di Kelurahan
Kandang Panjang, Kecamatan Kota Pekalongan Utara.
b) Malaria
Malaria adalah penyakit menular yang ditularkan oleh nyamuk Aedes
Aegypti betina.Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium yang
berkembangbiak di tubuh nyamuk lalu menularkannya pada manusia
melalui darah. Penyakit malaria adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina.
Penyakit malaria ini dapat menyerang siapa saja terutama penduduk yang
tinggal di daerah di mana tempat tersebut merupakan tempat yang sesuai 5
dengan kebutuhan nyamuk untuk berkembangbiak. Malaria menjadi
penyakit endemik di beberapa daerah di dunia, seperti Afrika, India,
Bangladesh dan juga di Indonesia. Di Indonesia, malaria menjadi endemik
di Papua dan Mamuju, Sulawesi Selatan.
c) Flu Burung
Flu burung merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus
influenza tipe A strain H5N1 yang berasal dari kotoran dan cairan sekreta
burung dan unggas. Pada Januari 2004, di beberapa provinsi di Indonesia
terutama Bali, Botabek, JawaTimur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan
Kalimantan Barat, dilaporkan kejadian kematian ayam ternak yang sangat
besar.
d) Leptospirosis
Suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospirain terrogans dan
bias menyerang hewan dan manusia. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia,
tetapi lebih banyak di Negara beriklim tropis dan bersuhu
panas. Di Indonesia, Jakarta merupakan kota yang pernah terserang wabah
ini pada tahun 2002, setelah banjir besar mulai surut.
e) Meliodosis
Meliodosis merupakan suatu penyakit infeksi pada manusia dan hewan
yang disebabkan oleh bakteri Burkholderia ( Pseudomonas ) pseudomallei.
Binatang yang mengandung kuman tersebut yaitu biri – biri , kuda, domba,
babi, kelinci , anjing dan kucing. Manusia tertular kuman melalui kontak
langsung kulit dengan air dan tanah yang tercemar kuman dari binatang
tersebut. Binatang tersebut mencemari air dantahan, terutama lahan
pertanian, lalu kuman masuk melalui kulit yang lecet atau luka tembak,
misalnya penularan pada pasukan tentara yang menjelajahi hutan
berlumpur setiap hari. Meliodosis termasuk penyakit endemis di Negara
6
beriklim tropis seperti ASEAN. Penyakit ini banyak dilaporkan di Vietnam,
Laos, Thailand, Malaysia dan Myanmar.
Epidemi adalah suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan (umumnya
penyakit) yang ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam waktu yang
singkat berada dalam frekuensi yang meningkat (Azwar, 1988). Epidemik
adalah timbulnya suatu penyakit atau kondisi tertentu yang melebihi
perkiraan pada suatu daerah dan waktu tertentu. batas yang melebihi
perkiraan berbeda pada tiap penyakitnya. Hal ini bisa dibandingkan dengan
angka kejadian pada bulan atau tahun sebelumnya. Epidemik yang
menyebar luas ke daerah lain bisa disebut dengan pandemik (Bonita, 2006)
Contoh :
Flu babi telah menyita perhatian warga dunia setelah menyerang
sejumlah warga Meksiko. Berdasarkan laporan Associated Press (AP),
hingga 27 April telah meninggal dunia sebanyak 103 orang dari 1.614
orang di Meksiko. Laporan AP juga menyebutkan suspect flu babi telah
menyebar pada sedikitnya delapan negara, diantaranya Kanada, Amerika
Serikat, Prancis, dan Selandia Baru. Pemerintah Kanada telah mendapatkan
kasus flu babi pertama pada 27 April lalu, sedang Amerika Serikat, Prancis
dan Selandia Baru telah melaporkan kasus serupa beberapa hari
sebelumnya.
Para pengidap flu babi di Kanada ternyata sebelumnya telah
mengadakan kontak dengan sejumlah orang yang baru datang dari
Mexico.Demikian halnya dengan kasus di Selandia Baru yang menimpa
beberapa pelajar di Rangitoto College, sebelumnya melakukan aktifitas
belajar (study tour) di Mexico dan telah dinyatakan positif flu babi. Kasus
di Selandia Baru mirip dengan kasus di Amerika Serikat karena sama-sama
menimpa para pelajar. Di AS, dari sekitar 100 pelajar di sekolah swasta 7
Saint Francis di wilayah Queen, 11 kasus diantaranya positif flu babi. Dari
laporan pemerintah Meksiko, virus flu babi telah menyerang sedikitnya
1.300 orang, sedang 900 orang diantaranya dinyatakan sembuh. Sementara
empat daerah pada Negara tersebut dinyatakan rawan flu babi, termasuk
Meksiko City. Berdasarkan data KBRI di Meksiko, dari 90 orang WNI
yang bermukim di Mexico, 70 orang diantaranya berada di Ibukota
Meksiko itu.
Fenomena flu babi yang menyebar secara cepat ke berbagai negara
dapat menyebabkan terjadinya pandemi yakni penyebaran virus flu babi
secara global.Organisasi kesehatan dunia (WHO) pun menggelar
pertemuan dengan ahli kesehatan guna membahas kasus flu babi yang telah
menjadi ancaman baru kesehatan masyarakat dunia.
Pandemi adalah adalah suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan
(umumnya penyakit) frekuensinya dalam waktu yang singkat
memperlihatkan peningkatan yang amat tinggi serta penyebarannya telah
mencakup suatu wilayah yang amat luas (Azwar, 1988).
Contoh :
Pada pertengahan Maret 2009, kasus-kasus individu dan kelompok yang
tidak biasa seperti influenza – penyakit ( ILI ) dilaporkan di Meksiko dan
Amerika Serikat . Uji laboratorium menunjukkan bahwa etiologi dari
infeksi adalah strain baru influenza A ( H1N1 ) virus . Virus baru ini pada
awalnya bernama Flu Babi , kemudian Meksiko Flu , novel influenza A
( H1N1 ) 2009, dan akhirnya secara resmi disebut sebagai Pandemi
Influenza Virus A ( H1N1 ) 2009 oleh WHO . Virus ini mampu
mentransmisikan secara efektif dari manusia ke manusia , dan menyebar ke
lebih dari 80 negara dalam waktu yang relatif singkat , mendorong WHO
untuk meningkatkan tingkat kesiapan pandemi 3-4 , lima , dan akhirnya 8
enam , yang berarti ditiup pandemi penuh. Untuk mengantisipasi
penyebaran virus baru di Indonesia , Departemen Kesehatan telah memulai
dengan strategi tujuh langkah , yaitu , pemindaian termal di bandara
internasional , mengaktifkan influenza dan surveilans sentinel
pneumonia,penimbunan obat antivirus , menyiapkan dan mengaktifkan
rumah sakit dan laboratorium , penyebaran informasi dan persiapan Desa
Siaga ,dan simulasi pandemi . Namun, dengan terus menyebarnya virus di
beberapa provinsi di Indonesia , pemerintah perlu mengubah strategi ke
dalam upaya mitigasi ( Sedyaningsih, 2009).
b. Perbedaan KLB dan wabah serta perbedaan surveilans dan screening
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu
daerah dalam kurun waktu tertentu (PP Menkes RI
No.949/MENKES/SK/VII/2004).
Wabah adalah berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat
yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada
kejadian yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat
menimbulkan malapetaka. Menteri menetapkan dan mencabut daerah
tertentu dalam wilayah Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah
wabah (PP Menkes RI No.949/MENKES/SK/VII/2004).
Kriteria KLB (Keputusan Dirjen PPM No.451/91):
Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau
tidak dikenal.
Peningkatan kejadian penyakit terus menerus selama 3 kurun waktu
berturut- turut menurut penyakitnya (jam, hari, minggu).
Peningkatan kejadian penyakit/ kematian 2 kali lipat atau lebih
dibandingkan dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, tahun).9
Jumlah penderita baru dalam satu bulan naik 2 kali lipat/ lebih
dibandingkan angka rata- rata perbulan tahun sebelumnya.
Wabah harus mencakup (UU Wabah 1969):
Jumlah kasus yang besar
Derah yang luas
Waktu yang lebih lama
Dampak yang ditimbulkan berat
Menurut UU No.6 Tahun 1962 tentang Wabah. Wabah meliputi:
1) Penyakit-penyakit karantina berdasarkan Undang-undang No.1 tahun
1962 tentang
Karantina Laut dan Undang-undang No.2 tahun 1962 tentang Karantina
Udara.
2)
a. Tifus perut (Typhus abdominalis)
b. Para-tifus A, B dan C,
c. Disentri (mejan) basili (Dycenteriabacillaris),
d. Radang hati menular (Hepatitisinfectiosa),
e. Para-cholera Eltor,
f. Diphtheria,
g. Kejang tengkuk (Meningitiscerebrospinalis epidemica),
h. Lumpuh kanak-kanak (Poliomyelitisanterior acuta).
3) Penyakit lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan
analisis data secara terus menerus dan sistematis yang kemudian
didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang
bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan
lainnya (DCP2, 2008). Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan 10
kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak pada
populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan
reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut
kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah
pencegahan dan pengendalian penyakit (Last, 2001). Kadang digunakan
istilah surveilans epidemiologi. Baik surveilans kesehatan masyarakat
maupun surveilans epidemiologi hakikatnya sama saja, sebab
menggunakan metode yang sama, dan tujuan epidemiologi adalah untuk
mengendalikan masalah kesehatan masyarakat, sehingga epidemiologi
dikenal sebagai sains inti kesehatan masyarakat (core science of public
health).
Sedangkan screening atau skrining memilah orang-orang yang terlihat
sehat untuk dikelompokkan menjadi kelompok orang yang mungkin
memiliki penyakit dan kelompok orang yang mungkin tidak. Sebuah tes
skrining ini tidak dimaksudkan untuk menjadi diagnostik. Orang dengan
temuan positif atau mencurigakan harus dirujuk ke dokter untuk diagnosis
dan pengobatan yang diperlukan. Inisiatif untuk skrining biasanya berasal
dari penyidik atau orang atau badan kesehatan dan bukan dari keluhan
pasien. Skrining biasanya berkaitan dengan penyakit kronis dan bertujuan
untuk mendeteksi penyakit yang belum umum dalam pelayanan medis.
Screening dapat mengidentifikasi faktor - faktor risiko, kecenderungan
genetik , dan pencetus , atau bukti awal penyakit (Unit Pengkajian
Teknologi Kesehatan, 2008).
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi prevalensi
Prevalensi adalah jumlah orang dalam suatu populasi yang menderita suatu
penyakit atau kondisi tertentu pada jangka waktu tertentu. prevalensi 11
dipengaruhi banyak hal sehingga angka prevalensi dapat berubah-ubah.
Berikut hal yang dapat mempengaruhi angka prevalensi :
1. Faktor yang meningkatkan angka prevalensi
a. Durasi penyakit lebih lama
b. Banyak pasien yang tidak sembuh
c. Peningkatan kejadian atau penyakit baru
d. Orang sakit atau kondisi tertentu yang migrasi masuk ke suatu
wilayah
e. Orang sehat migrasi keluar dari suatu wilayah
f. Fasilitas diagnostik lebih baik sehingga banyak kasus yang
terdeteksi
2. Faktor yang menurunkan angka prevalensi
a. Durasi penyakit yang pendek
b. Tingkat kematian yang tinggi dari suatu penyakit
c. Sedikit atau menurunnya kejadian atau penyakit baru
d. Orang sehat yang migrasi masuk ke suatu wilayah
e. Orang sakit yang migrasi keluar dari suatu wilayah
f. Peningkatan jumlah kasus yang sembuh (Bonita, 2006).
4. Langkah IV: Menginventarisasi secara sistematis berbagai penjelasan
yang didapatkan pada langkah 3
5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada skenario ini yaitu sebagai berikut:
a. Menjelaskan kriteria dan langkah investigasi KLB dan wabah.
b. Mengidentifikasi wilayah endemik malaria di Indonesia dan
pengendaliannya.
c. Menjelaskan surveilens dan alur pelaporan kasus surveilens.12
d. Menjelaskan perhitungan dan tingkatan API
e. Menjelaskan pemberdayaan masyarakat dalam pos malaria.
f. Menjelaskan kriteria penyakit yang perlu discreening.
g. Menjelaskan perjalanan penyakit menular (trias epidemiologi) dan multi
causa faktor yang mempengaruhi.
6. Langkah VI: Belajar mandiri
Mahasiswa mengumpulkan informasi dari sumber-sumber ilmiah.
7. Langkah VII: Melakukan sintesis dan pengujian informasi yang telah
terkumpul
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari sumber-sumber ilmiah, maka
penyelesaian dari masalah pada tujuan pembelajaran adalah sebagai berikut:
a. Menjelaskan kriteria dan langkah investigasi KLB dan wabah
1. Kriteria KLB
Dalam menentukan KLB perlu batasan yang jelas tentang komunitas, daerah,
dan waktu terjadinya peningkatan kasus. Untuk dapat dikatakan KLB, jumlah
kasus tidak harus luar biasa banyak dalam arti absolut, melainkan luar biasa
dalam arti relatif, ketika dibandingkan dengan insidensi biasa pada masa yang
lalu, disebut tingkat endemis (Greenberg et al, 2005). Segelintir kasus bisa
merupakan KLB jika muncul pada kelompok, tempat dan waktu yang tidak
biasa. Ditemukannya dua kasus penyakit yang telah lama absen (misalnya,
variola) atau pertama kali invasi di suatu populasi atau wilayah (misalnya
HIV/AIDS), dapat dikatakan KLB, dan otoritas kesehatan dapat memulai
melakukan penyelidikan dan pengendalian terhadap KLB itu (Last, 2001).
Deteksi Dini KLB Deteksi dini KLB merupakan kewaspadaan terhadap
timbulnya KLB dengan mengidentifikasi kasus berpotensi KLB, pemantauan
wilayah setempat terhadap penyakit-penyakit berpotensi KLB dan penyelidikan
dugaan KLB.
13
a. Identifikasi Kasus Berpotensi KLB.
Setiap kasus berpotensi KLB yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan,
diwawancarai kemungkinan adanya penderita lain di sekitar tempat tinggal,
lingkungan sekolah, lingkunganperusahaan atau asrama yang kemudian dapat
disimpulkandugaan adanya KLB. Adanya dugaan KLB pada suatu lokasi
tertentu diikuti dengan penyelidikan.
b. Pemantauan Wilayah Setempat Penyakit Berpotensi KLB
Setiap Unit Pelayanan Kesehatan merekam data epidemiologi penderita
penyakit berpotensi KLB menurut desa atau kelurahan. Setiap Unit Pelayanan
Kesehatan menyusun tabel dan grafik pemantauan wilayah setempat KLB.
Setiap Unit Pelayanan Kesehatan melakukan analisis terusmenerus dan
sistematis terhadap perkembangan penyakit yang berpotensi KLB di daerahnya
untuk mengetahui secara diniadanya KLB. Adanya dugaan peningkatan
penyakit dan faktor risiko yang berpotensi KLB diikuti dengan penyelidikan.
c. Penyelidikan Dugaan KLB Penyelidikan dugaan KLB
Hal ini dilakukan dengan cara :
1) Di Unit Pelayanan Kesehatan, petugas kesehatan menanyakan setiap
pengunjung Unit Pelayanan Kesehatan tentang kemungkinan adanya
peningkatan sejumlah penderita penyakit yang diduga KLB pada lokasi
tertentu.
2) Di Unit Pelayanan Kesehatan, petugas kesehatan meneliti register
rawat inap dan rawat jalan terhadap kemungkinan adanya peningkatan kasus
yang dicurigai pada lokasi tertentu berdasarkan alamat penderita, umur dan
jenis kelamin atau karakteristik lain.
3) Petugas kesehatan mewawancarai kepala desa, kepala asrama dan
setiap orang yang mengetahui keadaan masyarakat tentang adanya peningkatan
penderita penyakityang diduga KLB.
14
4) Membuka pos pelayanan di lokasi yang diduga terjadi KLB dan
menganalisis data penderita berobat untuk mengetahui kemungkinan adanya
peningkatan penyakit yang dicurigai.
5) Mengunjungi rumah-rumah penderita yang dicurigai atau kunjungan
dari rumah ke rumah terhadap semua penduduk tergantung pilihan tim
penyelidikan
Langkah investigasi KLB
a. Identifikasi outbreak
Outbreak adalah peningkatan kejadian kasus penyakit yang lebih banyak
daripada ekspektasi normaldi di suatu area atau pada suatu kelompok tertentu,
selama suatu periode waktu tertentu. Informasi tentang potensi outbreak
biasanya datang dari sumber-sumber masyarakat, yaitu laporan pasien (kasus
indeks), keluarga pasien, kader kesehatan, atau warga masyarakat. Tetapi,
informasi tentang potensi outbreak bisa juga berasal dari petugas kesehatan,
hasil analisis data surveilans, laporankematian, laporan hasil pemeriksaan
laboratorium, atau media lokal (surat kabar dan televisi).Hakikatnya outbreak
merupakan deviasi (penyimpangan) dari keadaan rata-rata insidensi yang
konstan dan melebihi ekspektasi normal Karena itu outbreak ditentukan dengan
cara membandingkan jumlah kasus sekarang dengan rata-rata jumlah kasus dan
variasinya di masa lalu (minggu, bulan, kuartal, tahun). Besar deviasi yang
masih berada dalam “ekspektasi normal” bersifat arbitrer, tergantung dari
tingkat keseriusan dampak yang diakibatkan bagi kesehatan masyarakat dimasa
yang lalu. Sebagai ancar-ancar kuantitatif, pembuat kebijakan dapat
menggunakan mean+3SD sebagai batas untuk menentukan keadaan outbreak.
Batas mean+/- 3SD lazim digunakan dalam biostatistik untuk menentukan
observasi ekstrim yang disebut outlier (Greenberg et al, 2005), jadi suatu
kondisi yang sesuai dengan definisi epidemi/ outbreak. Sumber data kasus 15
untuk menenetukan terjadinya outbreak: (1) Catatan surveilans dinaskesehatan;
(2) Catatan morbiditas dan mortalitas di rumah sakit; (3) Catatan morbiditas
danmortalitas di puskesmas; (4) Catatan praktik dokter, bidan, perawat; (5)
Catatan morbiditas upaya kesehatan sekolah (UKS).
b. Investigasi kasus
Peneliti melakukan verifikasi apakah kasus-kasus yang dilaporkan telah
didiagnosisdengan benar (valid). Peneliti outbreak mendefinisikan kasus
dengan menggunakan seperangkatkriteria sebagai berikut: (1) Kriteria klinis
(gejala, tanda, onset); (2) Kriteria epidemiologis (karakteris-tik orang yang
terkena, tempat dan waktu terjadinya outbreak); (3) Kriteria laboratorium (hasi
lkultur dan waktu pemeriksaan) (Bustan, 2006). Definisi kasus harus valid
(benar), baku, dan sebaiknya seragam. Definisi kasus yang bakudan seragam
penting untuk memastikan bahwa setiap kasus didiagnosis dengan cara yang
sama,konsisten, tidak tergantung pada siapa yang mengidentifikasi kasus,
maupun di mana dan kapankasus tersebut terjadi. Definisi kasus yang baku
memungkinkan dilakukannya perbandingan jumlahkasus penyakit yang terjadi
di suatu waktu atau tempat dengan jumlah kasus yang terjadi di waktuatau
tempat lainnya. Sebagai contoh, dengan definsi kasus baku dapat dibandingkan
jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang terjadi pada Januari 2010
di Surakarta dengan jumlah kasuspada Februari 2010 di kota itu. Demikian pula
dapat dibandingkan jumlah kasus DBD yang terjadipada Januari 2010 di
Surakarta dengan jumlah kasus pada Januari 2010 di Jakarta. Dengan
definisikasus standar, maka jika ditemukan perbedaan jumlah kasus maka
merupakan perbedaan yang sesungguhnya, bukan karena perbedaan dalam
mendiagnosis (Greenberg et all, 2005). Penggunaan definisi kasus seperti yang
direkomendasikan Standar Surveilans WHO memungkinkan pertukaran
informasi tentang kejadian penyakit-penyakit secara internasional. Dengan
menggunakan definisi kasus, maka individu yang diduga mengalami penyakit 16
akan dimasukkan dalam salah satu klasifikasi kasus. Berdasarkan tingkat
ketidakpastian diagnosis, kasus dapat diklasifikasikan menjadi: (1) kasus
suspek (suspected case, syndromic case), (2) kasus mungkin (probable case,
presumptive case), dan (3) kasus pasti (confirmed case, definite case)
c. Investigasi kausa
Intinya, tujuan wawancara dengan kasus dan nara sumber terkaitkasus adalah
untuk menemukan kausa outbreak. Dengan menggunakan kuesioner dan
formulir baku, peneliti mengunjungi pasien (kasus), dokter, laboratorium,
melakukan wawancara dan doku-mentasi untuk memperoleh informasi berikut:
(1) Identitas diri (nama, alamat, nomer telepon jikaada); (2) Demografis (umur,
seks, ras, pekerjaan); (3) Kemungkinan sumber, paparan, dan kausa; (4) Faktor-
faktor risiko; (5) Gejala klinis (verifikasi berdasarkan definisi kasus, catat
tanggal onset gejalauntuk membuat kurva epidemi, catat komplikasi dan
kematian akibat penyakit); (6) Pelapor (berguna untuk mencari informasi
tambahan dan laporan balik hasil investigasi). Pemeriksaan klinisulang perlu
dilakukan terhadap kasus yang meragukan atau tidak didiagnosis dengan
benar(misalnya, karena kesalahan pemeriksaan laboratorium). Informasi
tentang masing-masing kasus yang diwawancara/ ditemui dimasukkan dalam
“tabel outbreak” (line listing). Dalam tabel outbreak, variabel-variabel tentang
informasi kasusdiletakkan pada kolom, sedang urutan kasus diletakkan pada
baris. Ikhtisar informasi tentang kasusyang dicatat dalam tabel outbreak
berguna untuk merumuskan teori/ hipotesis tentang sumber,kausa, dan cara
penyebaran penyakit.
d. Melakukan pencegahan dan pengendalian
Bila investigasi kasus dan kausa telah memberikan fakta di pelupuk mata
tentang kausa, sumber, dancara transmisi, maka langkah pengendalian
hendaknya segera dilakukan, tidak perlu melakukan studi analitik yang lebih
formal. Prinsipnya, makin cepat respons pengendalian, makin besar peluang 17
keberhasilan pengendalian. Makin lambat repons pengendalian, makin sulit
upaya pengendalian, makin kecil peluang keberhasilan pengendalian, makin
sedikit kasus baru yang bisa dicegah. Prinsip intervensi untuk menghentikan
outbreak sebagai berikut: (1) Mengeliminasi sumber patogen; (2) Memblokade
proses transmisi; (3) Mengeliminasi kerentanan (Greenberg et al., 2005).
Sedang eliminasi sumber patogen mencakup: (1) Eliminasi atau inaktivasi pato-
gen; (2) Pengendalian dan pengurangan sumber infeksi (source reduction); (3)
Pengurangan kontakantara penjamu rentan dan orang atau binatang terinfeksi
(karantina kontak, isolasi kasus, dan seba-gainya); (4) Perubahan perilaku
penjamu dan/ atau sumber (higiene perorangan, memasak daging dengan benar,
dan sebagainya); (5) Pengobatan kasus. Blokade proses transmisi mencakup:
(1) Penggunaan peralatan pelindung perseorangan (masker, kacamata, jas,
sarung tangan, respirator); (2) Disinfeksi/ sinar ultraviolet; (3) Pertukaranudara/
dilusi; (4) Penggunaan filter efektif untuk menyaring partikulat udara; (5)
Pengendalianvektor (penyemprotan insektisida nyamuk Anopheles, pengasapan
nyamuk Aedes aegypti, penggunaan kelambu berinsektisida, larvasida, dan
sebagainya). Eliminasi kerentanan penjamu (host susceptibility) mencakup: (1)
Vaksinasi; (2) Pengobatan(profilaksis, presumtif); (3) Isolasi orang-orang atau
komunitas tak terpapar (reverse isolation); (4) Penjagaan jarak sosial
(meliburkan sekolah, membatasi kumpulan massa).
e. Melakukan studi analitik (jika perlu)
Dalam investigasi outbreak, tidak jarang peneliti dihadapkan kepada teka-teki
menyangkut sejumlahkandidat agen penyebab. Fakta yang diperoleh dari
investigasi kasus dan investigasi kausa kadangbelum memadai untuk
mengungkapkan sumber dan kausa outbreak. Jika situasi itu yang terjadi,maka
peneliti perlu melakukan studi analitik yang lebih formal. Desain yang
digunakan lazimnyaadalah studi kasus kontrol atau studi kohor retrospektif.
Seperti desain studi epidemiologi analitiklainnya, studi analitik untuk 18
investigasi outbreak mencakup: (1) pertanyaan penelitian; (2) signi-fikansi
penelitian; (3) desain studi; (4) subjek; (5) variabel-variabel; (6) pendekatan
analisis data; (7)interpretasi dan kesimpulan.Contoh, 75 orang menghadiri
sebuah acara kenduri di sebuah desa. Terdapat 5 jenismakanan dihidangkan.
Esok harinya mulai berjatuhan sejumlah kasus penyakit, sehingga disimpul-kan
terjadi outbreak karena makanan terkontaminasi (foodborne disease). Makanan
mana dari ke 4 jenis tersebut yang mengandung agen kausal dan merupakan
penyebab outbreak? Karena sebagian besar kasus telah terjadi, maka peneliti
melakukan studi kohor retrospektif untuk menjawab perta-nyaan tersebut. Data
yang dikumpulkan disajikan dalam
f. Mengkomunikasikan temuan
Temuan dan kesimpulan investigasi outbreak dikomunikasikan kepada
berbagai pihak pemangkukepentingan kesehatan masyarakat. Dengan tingkat
rincian yang bervariasi, pihak-pihak yang perludiberitahu tentang hasil
penyelidikan outbreak mencakup pejabat kesehatan masyarakat setempat,
pejabat pembuat kebijakan dan pengambil keputusan kesehatan, petugas
fasilitas pelayanan kesehatan, pemberi informasi peningkatan kasus, keluarga
kasus, tokoh masyarakat, dan media. Penyajian hasil investigasi dilakukan
secara lisan maupun tertulis (laporan awal dan laporan akhir). Pejabat dinas
kesehatan yang berwewenang hendaknya hadir pada penyajian hasil
investigasioutbreak. Temuan-temuan disampaikan dengan bahasa yang jelas,
objektif dan ilmiah, dengan kesimpulan dan rekomendasi yang dapat
dipertanggungjawabkan. Peneliti outbreak memberikan laporan tertulis dengan
format yang lazim, terdiri dari: (1) introduksi, (2) latar belakang, (3) metode,
(4) hasil-hasil, (5) pembahasan, (6) kesimpulan, dan (7)rekomendasi. Laporan
tersebut mencakup langkah pencegahan dan pengendalian, catatan
kinerjasistem kesehatan, dokumen untuk tujuan hukum, dokumen berisi
rujukan yang berguna jika terjadisituasi serupa di masa mendatang19
g. Mengevaluasi dan meneruskan surveilans
Pada tahap akhir investigasi outbreak, Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten dan
peneliti outbreak perlumelakukan evaluasi kritis untuk mengidentifikasi
berbagai kelemahan program maupun defisiensi infrastruktur dalam sistem
kesehatan. Evaluasi tersebut memungkinkan dilakukannya perubahan-
perubahan yang lebih mendasar untuk memperkuat upaya program, sistem
kesehatan, termasuk surveilans itu sendiri. Investigasi outbreak memungkinkan
identifikasi populasi-populasi yang terabaikan atau terpinggirkan, kegagalan
strategi intervensi, mutasi agen infeksi, ataupun peristiwa-peristiwa yang terjadi
di luar kelaziman dalam program kesehatan. Evaluasi kritis terhadap kejadian
outbreak memberi kesempatan kepada penyelidik untuk mempelajari
kekurangan-kekurangan dalam investigasi outbreak yang telah dilakukan, dan
kelemahan-kelemahan dalam sistemkesehatan, untuk diperbaiki secara
sistematis di masa mendatang, sehingga dapat mencegah terulangnya outbreak.
Kriteria KLB Malaria :
1. Terdapat kasus positif malaria dua kali lebih banyak atau lebih daripada
kasus di tahun sebelumnya dan terjadi peningkatan.
2. Hasil Mass Fever Survey (MFS) menyatakan terdapat penderita positif
Plasmodium Falciparum dominan
3. Ada kasus bayi positif malaria
4. Ada kematian karena/diduga malaria
5. Terjadi keresahan masyarakat karena malaria (Bustan, 2006).
20
b. Mengidentifikasi wilayah endemik malaria di Indonesia dan
pengendaliannya
Daerah endemis malaria di Indonesia :
a. Daerah endemis tinggi ( API 5 per 1000 penduduk)
Provinsi : Sumatera Utara khusus Kabupaten Nias dan Nias Selatan),
Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, Papua dan NTT.
b. Daerah endemis sedang (API = 1-5 per 1000 penduduk)
21
Provinsi : Aceh (kabupaten Simeuleu, Bangka Belitung, Kepulauan
Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
NTB, Jawa Tengah (Kab/Kota Wonosobo, Banjarnegara, Banyumas,
Pekalongan dan Sragen), Jawa Barat.
c. Daerahendemis rendah (API >0 s/d 1 per 1000 penduduk)
Sebagian Pulau Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.
d. Daerah non endemis malaria ( API = 0)
Provinsi DKI Jakarta, Bali, Kepri (Kemenkes RI, 2010).
Pengendalian malaria menurut Depkes RI (2010), pengendalian vektor
terpadu dilakukan secara bersama dari beberapa metode, meliputi
pengendalian fisik, biologi, kimia dan pemberdayaan masyarakat.
a) Pengendalian fisik
Pengendalian fisik dapat berupa penimbunan kolam, pengangkatan
tumbuhan air, pengeringan sawah secara berkala setidaknya setiap dua
minggu sekali dan pemasangan kawat kasa jendela.
b) Pengendalian biologi
Pengendalian biologi dapat berupa penebaran ikan dan Bacillus
thuringiensis serta predator larva lainnya.
c) Pengendalian kimia
Pengendalian kimia dapat menggunakan kelambu berinsektisida,
indoor residual spray, repellent, insektisida rumah tangga dan penaburan
larvasida.
d) Pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya menumbuhkan
kesadaran, kemauan, kemampuan masyarakat dalam upaya Eliminasi
malaria. Setelah masyarakat memperoleh pengetahuan yang cukup tentang
penyakit malaria dan pencegahannya, maka diharapkan muncul kegiatan
mobilisasi masyarakat untuk melakukan penemuan dini kasus Malaria di 22
masyarakat melalui kegiatan Pos Malaria Desa (POSMALDES) dan
pemberantasan vektor malaria (Depkes RI, 2010).
c. Menjelaskan surveilans dan alur pelaporan kasus surveilans
Dikenal beberapa jenis surveilans: (1) Surveilans individu; (2) Surveilans
penyakit; (3) Surveilans sindromik; (4) Surveilans Berbasis
Laboratorium; (5) Surveilans terpadu; (6) Surveilans kesehatan
masyarakat global.
1. Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan
memonitor individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit
serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis.
Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional
segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat
dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi institusional
yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat
tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode
menular. Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama
masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001).
2. Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan
terus-menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit,
melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-
laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus
perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu.
Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung
melalui program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program surveilans 23
tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa dari sistem surveilans
vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara
dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya.
Banyak program surveilans penyakit vertikal yang berlangsung paralel
antara satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan fungsi
penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumberdaya
masing-masing, dan memberikan informasi duplikatif, sehingga
mengakibatkan inefisiensi (Murti, 2008).
3. Surveilans Sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan
pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala)
penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik
mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun
populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans
sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti pola
perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat
ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium
tentang suatu penyakit.
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit
tertentu dari fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas,
pada lokasi tertentu, disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui
sistem surveilans sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor
masalah kesehatan dengan menggunakan sumber daya yang terbatas
(DCP2, 2008; Erme dan Quade, 2010).
4. Surveilans Berbasis Laboratorium
Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan
menonitor penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang 24
ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah
laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu
memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan
lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari
klinik-klinik (DCP2, 2008).
5. Surveilans Terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan
semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/
kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersa-ma. Surveilans
terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama,
melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan
pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap
memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakit-penyakit
tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006).
Karakteristik pendekatan surveilans terpadu: (1) Memandang
surveilans sebagai pelayanan bersama (common services); (2)
Menggunakan pendekatan solusi majemuk; (3) Menggunakan pendekatan
fungsional, bukan struktural; (4) Melakukan sinergi antara fungsi inti
surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan, analisis data, tanggapan) dan
fungsi pendukung surveilans (yakni, pelatih-an dan supervisi, penguatan
laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya); (5) Mendekatkan
fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun menggunakan
pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang penyakit yang
berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda (WHO, 2002).
6. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi
manusia dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit 25
infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi
negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan
bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut
dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang
manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi
internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang
melintasi batas-batas negara.
Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik
penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases),
maupun penyakit-penyakit yang baru muncul (new-emerging diseases),
seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang
kompre-hensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku
kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi (DCP2, 2008).
7. Surveilans Migrasi
Surveilans Migrasi adalah kegiatan pengambilandarah orang-orang
yangyang baru datang dari daerahendemis malaria dalam rangka
mencegahmasuknya kasus impor. Kasus impor adalah kasus malaria yang
berasal dari luar daerah. Tatalaksana pengawasan masuknya malariadari
luar daerah/surveilans migrasi dilakukandengan memeriksa sediaan darah
dari seluruhpendatang dari luar daerah atau penduduk
setempat yang datang setelah berkunjung kedaerah malaria, baik yang
menunjukkan gejalamalaria atau tidak (Perbup Kulon Progo, 2013).
Sedangkan berdasarkan cara pendekatan surveilans dibagi menjadi
surveilans pasif dan surveilans aktif. Surveilans pasif memantau penyakit
secara pasif, dengan menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan
(reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan.
26
Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan.
Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit
infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat
dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional. Kekurangan
surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan
penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak
semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kese-hatan formal. Selain itu,
tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena
waktu petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan
pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk
mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat sederhana
dan ringkas.
Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk
kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter
dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan
tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut
penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks.
Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab
dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan
tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi
outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit
untuk dilakukan daripada surveilans pasif.
Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut
community surveilance. Dalam community surveilance, informasi
dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga
memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi
kasus yang sensitif dapat membantu para kader kesehatan mengenali dan
merujuk kasus mungkin (probable cases) ke fasilitas kesehatan tingkat 27
pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi dilatih menggunakan
definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi laboratorium.
Community surveillance mengurangi kemungkinan negatif palsu (JHU,
2006).
Berikut alur pelaporan kasus surveillance dalam skema di bawah ini
Bagan 1 Sistem surveillance. Sumber: http://fk.uns.ac.id/static/materi/Surveilans_-_Prof_Bhisma_Murti.pdf. Diakses tanggal 4 September 2014.
d. Menjelaskan perhitungan dan tingkatan API
API (Annual Parasite Incidence) merupakan jumlah kasus malaria tiap
1.000 populasi per tahun. API menggambarkan ukuran yang paling dapat
dipakai untuk mengukur risiko infeksi. Banyak kebijakan yang didasarkan
pada API dalam menghitung risiko infeksi yang ada. Dalam statistik sering
digunakan untuk membandingkan risiko infeksi antara komunitas populasi
tertentu, daerah, provinsi, dan negara.
Cara pengukuran API sebagai berikut:
28
API = Kasus infeksi yang dilaporkan x 1.000
Jumlah penduduk
Dengan hasil pengolahan data, maka selanjutnya dibuat data stratifikasi
dengan wilayah puskesmas dengan batas desa. Kemudian dibagi daerah itu
berdasarkan reseptivitas, infrastruktur data entomologi, pemberantasan
vektor, dan API per desa. API dikelompokkan sebagai berikut :
- HCI (High Case Incidence) API > 5 %o
- MCI (Moderate Case Incidence) API 1 - < 5 %o
- LCI (Low Case Incidence) API < 1 %o (Doolan, 2002).
e. Menjelaskan pemberdayaan masyarakat dalam pos malaria
Bentuk pemberdayaan masyarakat dalam rangka mewujudkan surveilans
berbasis masyarakat tentang kondisi kesehatan/penyakit serta faktor risiko
penyakit malaria yg ada di masyarakat & lingkungannya.
Kegiatannya meliputi:
1. Pengamatan/pemantauan
2. Pelaporan
3. Memberikan informasi kepada petugas kesehatan terkait
prinsipnya yaitu:
• Pemberdaayaan: pemberdayaan masyarakat setempat dalam upaya
mencegah muncul dan berkembangnya penyakit malaria melalui
pengamatan & pemantauan secara terus menerus.
29
• Kemandirian: masyarakat mengupayakan pencegahan &
penanggulangan penyakit malaria sec. mandiri sesuai kemampuan yg
dimiliki, di bantu petugas kesehatan/ terkait.
Tujuan umum:
• terselenggaranya surveilans penyakit malaria berbasis masyarakat
• dgn upaya kewaspadaan & kesiapsiagaan thd kemungkinan terjadinya
penyakit yg akan mengancam & merugikan masyarakat itu sendiri.
Tujuan khusus:
Masyarakat mengetahui:
tanda2 penyakit malaria sec.dini dan melaporkannya ke petugas
kesehatan/petugas terkait.
faktor risiko muncul/ berkembangnya penyakit malaria.
upaya penanggulangan secara sederhana (Riyadi, 2011)
f. Menjelaskan kriteria penyakit yang perlu di-screening
Menurut Komisi Penyakit Kronis AS (1951) dalam kamus
Epidemiologi (A Dictionary of Epidemiology), skrining didefinisikan
sebagai "identifikasi dugaan penyakit atau kecacatan yang belum
dikenali dengan menerapkan pengujian, pemeriksaan atau prosedur lain
yang dapat diterapkan dengan cepat. Tes skrining memilah orang-
orang yang terlihat sehat untuk dikelompokkan menjadi kelompok
orang yang mungkin memiliki penyakit dan kelompok orang yang
30
mungkin tidak. Sebuah tes skrining ini tidak dimaksudkan untuk menjadi
diagnostik. Orang dengan temuan positif atau mencurigakan harus
dirujuk ke dokter untuk diagnosis dan pengobatan yang diperlukan.
Skrining juga merupakan pemeriksaan untuk membantu mendiagnosa
penyakit (atau kondisi prekursor penyakit) dalam fase awal riwayat alamiah
atau di ujung kondisi yang belum parah dari spektrum dibanding yang
dicapai dalam praktek klinis rutin. Sedangkan menurut Bonita et.al
(2006) skrining adalah proses menggunakan tes dalam skala besar
untuk mengidentifikasi adanya penyakit pada orang sehat. Tes skrining
biasanya tidak menegakkan diagnosis, melainkan ada atau tidak adanya
faktor risiko yang diidentifikasi, sehingga individu membutuhkan tindak
lanjut dan pengobatan. Sebagai penerima skrining biasanya orang-
orang yang tidak memiliki penyakit adalah penting bahwa tes skrining itu
sendiri sangat mungkin untuk menyebabkan kerusakan.
Prinsip Dalam Skrining
Untuk menghasikan program skrining yang bermanfaat bagi masyarakat
luas, harus ada kriteria tertentu dalam memilih penyakit apa yang akan
diskrining. Berikut beberapa katrakteristik penyakit yang harus
dipertimbangkan dalam memutuskan kebijkan skrining:
1. Jenis penyakit harus termasuk jenis penyakit yang parah, yang relatif
umum dan dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat oleh
masyarakat
2. Harus mengerti riwayat alamiah penyakit dengan baik dan percaya
bahwa dengan melakukan skrining maka akan menghasilkan outcome
yang jauh lebih baik.
31
Misalnya pada Kanker Prostat, secara biologis penderita kanker tidak
bisa dibedakan, namun kemungkinan banyak pria yang kanker bisa
terdeteksi oleh pemeriksaan ini (PSA Test). Meskipun dmeikian,
skrining kanker prostat juga berbahaya sehingga umumnya skrining ini
tidak dianjurkan, meskipun dapat digunakan. Penelitian sedang
dilakukan di sejumlah negara dalam upaya untuk menjelaskan dilema
ini dan memungkinkan lebih banyak informasi
3. Pada umumnya memiliki prevalensi yang tinggi pada tahap pra-
klinis. Hal ini berkaitan dengan biaya relatif dari program skrining
dalam kaitannya dengan jumlah kasus yang terdeteksi dan nilai
prediksi positif. Pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk kegiatan
skrining harus dipertanggungjawabkan dengan menghilangkan atau
mengurangi konsekuensi kesehatan yang merugikan. Namun kriteria ini
menjadi kurang penting karena keparahan dari suatu penyakit.
Contohnya skrining Fenilketouria atau Phenylketouria (PKU) pada
bayi baru lahir. Fenilketouria adalah gangguan desakan autosomal
genetik yang dikenali dengan kurangnya enzim fenilalanin hidroksilase
(PAH). Enzim ini sangat penting dalam mengubah asam amino
fenilalanina menjadi asam amino tirosina. Jika penderita mengkonsumsi
sumber protein yang mengandung asam amino ini, produk akhirnya akan
terakumulasi di otak, yang mengakibatkan retardasi mental. Meskipun
hanya satu dari 15.000 bayi yang terlahir dengan kondisi ini, karena
faktor kemudahan, murah dan akurat maka skrining ini sangat bermanfaat
untuk dilakukan kepada setiap bayi yang baru lahir.
4. Skrining akan sangat bermanfaat jika dilakukan pada saat yang
tepat. Periode antara kemungkinan diagnosis awal dapat dilakukan dan
periode kemunculan gejala merupakan waktu yang sangat tepat (lead 32
time). Namun jika penyakit berkembang dengan cepat dari tahap pra-
klinis ke tahap klinis maka intervensi awal kurang begitu manfaat, dan
akan jauh lebih sulit untuk membuat penyakit tersebut jauh lebih jinak.
Selanjutnya, Syarat untuk program skrining adalah harus melakukan tes
yang akan memungkinkan kita untuk mendeteksi penyakit sebelum
waktu biasa dari diagnosis. setiap tes seperti yang gunakan harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Skrining harus akurat dan reliable. Tingkat akurasi menggambarkan
sejauh mana hasil tes sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dari
fenomena yang diukur. Sedangkan reliabilitas biasanya berhubungan
salah satu dengan standardisasi atau kalibrasi peralatan pengujian atau
keterampilan dan keahlian dari orang-orang menafsirkan tes.
2. Skrining harus aman dan dapat diterima oleh masyarakat luas.
Karena kita menyarankan orang yang tampaknya cocok untuk menjalani
pemeriksaan, tidak harus menawarkan mereka sebuah tes yang
mungkin mempengaruhi kesehatan mereka.
3. Proses skrining harus mudah dan murah. Jika kita akan melakukan
skrining dalam jumlah proporsi yang besar maka skrining harus murah
dan mudah untuk diselenggarakan.
g. Menjelaskan perjalanan penyakit menular (trias epidemiologi) dan
multi causa faktor yang mempengaruhi
Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya intereaksi antara “agen”
atau faktor penyebab penyakit, manusia sebagai “pejamu” atau host, dan
faktor lingkungan yang mendukung. Ketiga faktor tersebut dikenal sebagai
trias penyebab penyakit.
33
I. Host
a. Manusia (Host Intermediate)
Pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria, tetapi kekebalan yang
ada pada manusia merupakan perlindungan terhadap infeksi plasmodium
malaria. Kekebalan adalah kemampuan tubuh manusia untuk
menghancurkan plasmodium yang masuk atau membatasi
perkembangannya. Keadaan manusia dapat menjadi pengandung
gametosit yang dapat meneruskan daur hidup nyamuk. Manusia ada yang
rentan yaitu yang dapat ditular malaria, tapi ada juga yang kebal dan tidak
mudah ditular malaria. Faktor manusia yang dapat mempengaruhi
terjadinya penyakit malaria yaitu :
a. Umur
Anak-anak lebih rentan terhadap penyakit malaria dibandingkan orang
dewasa. Anak-anak usia kurang dari 5 tahun adalah kelompok terbanyak
yang berisiko terhadap malaria. Pertahanan tubuh terhadap malaria yang
diturunkan penting untuk melindungi anak kecil atau bayi karena sifat
khusus eritrosit yang relative resisten terhadap masuk dan berkembang
biaknya parasit malaria.
b. Jenis Kelamin
Infeksi parasit plasmodium dapat menyerang semua masyarakat dari
segala golongan termasuk golongan yang paling rentan seperti wanita
hamil. Hasilpenelitian Gomes (2001) menyatakan bahwa ibu hamil yang
anemia kemungkinan8,56 kali menderita malaria falsiparum dibandingkan
dengan ibu hamil yang tidak anemia.
c. Pekerjaan
Pekerjaan yang tidak menetap atau mobilitas yang tinggi berisiko lebih
besar terhadap penyakit malaria, seperti tugas-tugas dinas di daerah
endemis untuk jangka waktu yang lama sampai bertahun-tahun misalnya 34
petugas medis, petugas militer, misionaris, pekerja tambang, dan lain-lain.
Pekerjaan sebagai buruh perkebunan yang datang dari daerah yang non
endemis ke daerah yang endemiss belum mempunyai kekebalan terhadap
penyakit di daerah yang baru tersebut
sehingga berisiko besar untuk menderita malaria. Begitu pula pekerja-
pekerja yang didatangkan dari daerah lain akan berisiko menderita
malaria. Menurut penelitian Dasri (2005) dengan desain penelitian case
control penderita malaria kemungkinan 4 kali bekerja di luar rumah
malam hari dibandingkan dengan tidak penderita malaria.
d. Ras
Berbagai bangsa atau ras mempunyai kerentanan yang berbeda-beda
(faktor rasial) terhadap penyakit malaria. Individu yang tidak mempunyai
determinangolongan darah Duffy (termasuk kebanyakan negro Afrika)
mempunyai resistensi alamiah terhadap Plasmodium vivax.
e. Riwayat malaria
Kekebalan residual adalah kekebalan terhadap reinfeksi yang timbul
akibat infeksi terdahulu dengan strain homolog spesies parasit malaria.
Kekebalan ini menetap hanya untuk beberapa waktu.
f. Cara Hidup
Cara hidup sangat berpengaruh terhadap penularan malaria, seperti tidur
tidak memakai kelambu, tidak menggunakan repelen nyamuk pada saat
melakukanaktivitas di luar rumah dan pada saat sore hari, dan penggunaan
insektisida yang tidak teratur di dalam rumah.
Menurut penelitian Dasri (2005) dengan desain penelitian case control
menyatakan bahwa penderita malaria kemungkinan 3,2 kali tidak
memakai repelen dibandingkan dengan tidak penderita malaria.
g. Imunitas
35
Masyarakat yang tinggal di daerah endemis malaria memiliki kekebalan
alami terhadap penyakit malaria. Di daerah endemi dengan transmisi
malaria yang tinggi hampir sepanjang tahun, penduduknya sangat kebal
dan sebagian besardalam darahnya terdapat parasit malaria dalam jumlah
kecil. Selain itu, di daerah endemis malaria terdapat kekebalan kongenital
(atau neonatal) pada bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan kekebalan
tinggi.
h. Status gizi
Seorang penderita malaria yang mengalami gizi buruk akan
mempengaruhi kerja farmakokinetik obat anti malaria seperti diare dan
muntah menurunkan absorpsi obat. Selain itu, disfungsi hati menyebabkan
metabolism obat menurun. Anak yang bergizi baik dapat mengatasi
malaria berat dengan lebih cepat dibandingkan anak bergizi buruk.
i. Sosial Budaya
Kebiasaan untuk berada diluar rumah sampai larut malam, dimana
vektornya lebih bersifat eksofilik dan eksofagik akan memperbesar jumlah
gigitan nyamuk. Penggunaan kelambu, kawat kasa pada rumah dan
pengguna zat penolak nyamuk yang intensitasnya berbeda sesuai dengan
perbedaan status sosial masyarakat akan mempengaruhi angka kesakitan
malaria.
b. Nyamuk Anopheles sp. (Host Defenitive)
Nyamuk Anopheles sp. sebagai penular penyakit malaria yang menghisap
darah hanya nyamuk betina yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
mematangkan telurnya. Jenis nyamuk Anopheles sp. di Indonesia lebih
dari 90 macam. Dari jenis yang ada hanya beberapa jenis yang mempunyai
potensi untuk menularkan malaria (vektor). Menurut data di Subdit SPP,
penular penyakit malaria di Indonesia berjumlah 18 species. Di Indonesia
dijumpai beberapa jenis Anopheles36
sp. sebagai vektor Malaria, antara lain : An, sundaicus sp, An. Maculates
sp, An. Balabacensis sp, An, Barbnirostrip sp (Depkes RI, 2005). Di setiap
daerahdimana terjdi transmisi malaria biasanya hanya ada 1 atau paling
banyak 3 spesiesAnopheles sp. yang menjadi vektor penting. Vektor-
vektor tersebut memilikihabitat mulai dari rawa-rawa, pegunungan, sawah,
pantai dan lain-lain (Achmadi,2008).
II. Agent
Penyebab penyakit malaria adalah genus plasmodia, family plasmodiidae
dan ordo Coccidiidae. Jenis parasit (plasmodium) sampai saat ini dikenal
empat macam (species) parasit malaria yaitu:
a. Plasmodium vivax
Plasmodium vivax akan memberikan intensitas serangan dalam bentuk
demam setiap 3 hari sekali sehingga sering dikenal dengan istilah malaria
tertian (malariabenigna). Jenis malaria ini tersebar di seluruh kepulauan di
Indonesia dan pada umumnya di daerah endemis mempunyai frekuensi
tertinggi diantara spesies yang lain.
Eritrosit yang dihinggapi parasit P. vivax mengalami perubahan yaitu
menjadi besar, berwarna pucat dan tampak titik-titik halus berwarna merah
yang bentuk dan besarnya sama (titik Schuffner). Masa tunas intrinsik
berlangsung 12-17 hari.
b. Plasmodium malariae
Plasmodium malariae adalah penyebab malaria malariae atau malaria
kuartana
karena serangan demam berulang pada tiap hari keempat. Penyakit malaria
kurtana meluas meliputi daerah tropik maupun daerah subtropik.
Frekuensi penyakit ini di beberapa daerah cenderung menurun. Eritrosit
yang dihinggapi Plasmodium malariae tidak membesar atau ukuran dan
37
bentuk eritrosit normal. Masa tunas intrinsik berlangsung 18 hari dan
kadang-kadang sampai 30-40 hari.
c. Plasmodium ovale
Plasmodium ovale mempunyai waktu demam yang lebih pendek dan
biasanya bisa sembuh spontan. Masa tunas intrinsik sama seperti
Plasmodium vivax, yaitu 12-17 hari. Plasmodium ovale dapat ditemukan
di daerah tropik Afrika bagian barat, di daerah Pasifik Barat dan beberapa
lain di dunia. Di Indonesia parasit ini terdapat di Pulau Owi sebelah
selatan Biak Irian Jaya dan di Pulau Timor. Perubahan eritrosit yang
terjadi yaitu eritrosit tampak oval dengan tepi bergerigi. Titik Schuffner
menjadi lebih banyak.
d. Plasmodium falciparum
Parasit ini ditemukan di daerah tropik terutama di Afrika dan Asia
Tenggara sehingga disebut dengan penyebab malaria tropika (malaria
maligna). DiIndonesia parasit ini tersebar di seluruh kepulauan. Spesies ini
merupakan palingberbahaya karena penyakit yang ditimbulkannya dapat
menjadi berat. Pada malaria falciparum, eritrosit yang terinfeksi tidak
membesar selama stadium perkembangan parasit. Namun, terjadi
perubahan yang menyerupai bentuk pisang.
III. Lingkungan (Environment)
Menurut Mukono (2000) yang dikutip oleh Ririh (2011) menyebutkan
bahwa bahwa lingkungan adalah sebagai faktor ekstrinsik yang terdiri dari
lingkungan fisik, biologis dan sosial yang dapat menyebakan penyakit
termasuk penyakit malaria.
1. Lingkungan Fisik
a. Suhu
Udara sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus Sporogami atau
masa inkubasi Ektrinsik. Masa inkubasi Ekstrinsik adalah mulai saat 38
masuknyagametosit ke dalam tubuh nyamuk sampai terjadinya stadium
sporogami dalam nyamuk yaitu terbentuknya sporozoit yang kemudian
masuk kedalam kelenjar liur. Makin tinggi suhu maka makin pendek masa
inkubasi Ekstrinsik. Pengaruh suhu berbeda dari setiap species pada suhu
26,7oC. Masa inkubasi Ekstrinsik
untuk setiap species sebagai berikut:
1. Parasit falciparum : 10 – 12 hari
2. Parasit vivax : 8 – 11 hari
3. Parasit malariae: 14 hari
4. Parasit ovale : 15 hari
Masa inkubasi Intrinsik adalah waktu mulai masuknya Sprozoit darah
sampai timbulnya gejala klinis/demam atau sampai pecahnya sizon darah
dalam tubuh penderita. Masa inkubasi Intrinsik berbeda tiap species :
1. Plasmodium falciparum : 10 – 14 hari (12)
2. Plasmodium vivax : 12 – 17 hari (13)
3. Plasmodium malariae : 18 – 40 hari (28)
4. Plasmodium ovale : 16 – 18 hari (7)
b. Curah Hujan
Selama musim kemarau, jumlah kasus malaria umumnya menurun,
sedangkan setelah hujan beberapa minggu jumlah kasus malaria mulai
menanjak sampaimencapai puncaknya. Air hujan yang menyebabkan
genangan-genangan air merupakan tempat perindukan nyamuk sehingga
dengan bertambahnya tempatperindukan populasi nyamuk juga akan
bertambah penularannya.
c. Kelembaban
Perkembangan Plasmodium dan penularan infeksi terjadi ketika
kelembaban paling rendah 60%. Kelembaban yang relatif tinggi akan
39
memperpanjang hidup nyamuk dan juga akan memperpanjang penularan
infeksi ke orang lain.
d. Angin
Kecepatan angin akan mempengaruhi jarak terbang nyamuk. Nyamuk
Anopheles biasanya tidak ditemukan dalam jumlah besar lebih dari 2-3 km
dari tempat perindukannya. Normalnya, nyamuk betina menyebar lebih
jauh dari nyamuk jantan dan pengaruh angin bisa membawa nyamuk
sejauh 30 km dari tempat perindukan
e. Sinar Matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-
beda. An. sundaicus lebih suka tempat teduh, sebaliknya An. hyrcanus
lebih menyukaitempat terbuka. An. barbirostris dapat hidup baik di tempat
yang teduh maupun ditempat yang terang.
f. Arus Air
An. barbirostris menyukai tempat perindukan yang airnya statis atau
mengalir sedikit. An. minimus menyukai tempat perindukan yang aliran
airnya cukup deras dan An. sundaicus di tempat yang airnya tergenang.
2. Lingkungan Biologi
Jenis tumbuhan air yang ada seperti bakau (Mangroves), ganggang dan
berbagai jenis tumbuhan lain yang dapat mempengaruhi kehidupan larva
nyamuk, karena ia dapat menghalangi sinar matahari yang masuk atau
menghalangi dariserangan mahkluk hidup lain. Beberapa jenis tanaman air
merupakan indikator bagi jenis-jenis nyamuk tertentu.
Tanaman air bukan saja menggambarkan sifat fisik, tetapi juga
menggambarkan susunan kimia dan suhu air misalnya pada lagun banyak
ditemui lumut perut ayam (Heteromorpha) dan lumut sutera
(Enteromorpha) kemungkinan di lagun tersebut ada larva An. Sundaicus.
Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah 40
(Plocheilus panchax Panchax sp), Gambusi sp, Oreochromis niloticus (nila
merah),Oreochromis mossambica (mujair), akan mempengaruhi populasi
nyamuk disuatu daerah. Selain itu adanya ternak besar seperti sapi dan
kerbau dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila
kandang hewan tersebut diletakkan diluar rumah, tetapi tidak jauh dari
rumah atau cattle barrier.
3. Lingkungan Sosial Budaya
Faktor ini terkadang besar sekali pengaruhnya dibandingkan dengan faktor
lingkungan yang lain. Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut
malam, dimana vektornya lebih bersifat eksofilik dan eksofagik akan
memperbesar jumlah gigitan nyamuk. Penggunaan kelambu, kawat kasa
pada rumah dan penggunaan zat penolak nyamuk/repellen yang
intensitasnya berbeda sesuai dengan perbedaan status sosial masyarakat
akan mempengaruhi angka kesakitan malaria.
Penelitian oleh Zaluchu (2007) di Kecamatan Gunungsitoli, Kabupaten
Nias, menemukan ternyata malaria yang telah sekian lama menjadi suatu
penyakit masyarakat dianggap tidak lagi menjadi penyakit yang berbahaya
atau penyakit biasa dan bahkan menyatakan malaria bukan penyakit
menular yang harus dikhawatirkan (Chahaya, 2014).
41
BAB IIIPENUTUP
A. Simpulan
1. Prevalensi Malaria di Indonesia masih tinggi dan Indonesia bagian timur (
Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi dan Nusa tenggara)
termasuk daerah Endemis Malaria.
2. Berbagai Upaya telah dilakukan guna mencegah timbulnya peningkatan
kejadian malaria mulai dari pembagian kelambu berinsteksida kepada
masyarakat, deteksi dini sampai pembentukan pemberdayaan masyarakat
berupa posmalindes.
3. Guna mengendalikan dan menanggulangi Kejadian Luar Biasa (KLB)
diperlukan Surveilans dan Penyelidikan Epidemiologi.
B. Saran
1. Diharapkan mahasiswa lebih aktif dalam kegiatan tutorial sehingga semua
tujuan pembelajaran bisa terccapai.
2. Diharapkan Program Pemberantasan Penyakit Malaria di daerah endemis
(Indonesia bagian timur) bekerja sama dengan linta sektoral terkait
mengingat kendala pengendalian malaria di daerah endemis berupa faktor
geografis yang sulit dijangkau dan penyebaran penduduk yang tidak
merata.
3. Diharapkan mahasiwa lebih memahami langkah-langkah seven jump agar
tutorial belajar lebih efektif dan efisien.
42
DAFTAR PUSTAKA
Azwar , Azrul (1988). Pengantar Epidemiologi. Jakarta : P.T. Binarupa Aksara..
Bhopal, R.S. Concepts of Epidemiology: An integrated introduction to the ideas, theories, principles and methods of epidemiology. 2002: Oxford University Press.
Bonita R, Beaglehole R, Kjellsrom T (2006). Basic Epidemiology (2nd ed). Geneva:
WHO.
Bustan, M.N (2006). Pengantar Epidemiologi, Edisi Revisi. Rineka Cipta: Jakarta.
Chahaya, Indra (2014) Epidemiologi Malaria di Indonesia. Medan: Universitas
Sumatera Utara.
DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease Control Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf
Depkes RI (2010). Rencana Operasional Promosi Kesehatan untuk Eliminasi
Malaria. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan RI.
Doolan, D L (2002). Malaria methods and protocols. New Jersey: Humana Press Inc.
Erme MA, Quade TC (2010). Epidemiologic surveillance. Enote. www.enotes.com/public-health.../ epidemiologic-surveillance.Diakses 21 Agustus 2010.
43
Giesecke, J (2002). Modern Infection Disease Epidemiology. Oxford University Press Inc.: USA.
Greenberg RS, Daniel SR, Flanders WD, Eley JW, Boring JR (2005). Medical
Epidemiology. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill.
JHU (=Johns Hopkins University) (2006). Disaster epidemiology. Baltimore, MD: The Johns Hopkins and IFRC Public Health Guide for Emergencies.
Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc.
Marchand, R., Tousignant, and H. Chang, Cost-effectiveness of screening compared to case-finding approaches to tuberculosis in long-term care facilities for the elderly. International Journal of Epidemiology, 1999. 28: p. 563-570.
Murti, B., Validitas dan Realibilitas Pengukuran. 2011, Universitas Negeri Solo: Semarang.
_____ (2008). Surveilans. http://fk.uns.ac.id/static/materi/Surveilans_-_Prof_Bhisma_Murti.pdf. Diakses tanggal 4 September 2014
Perbup Kulon Progo (2013). Peraturan Bupati Kulon Progo No. 67 Tahun 2013 tentang Eliminasi Malaria di Daerah.
Ryadi, S. and Wijayanti (2011). Dasar- Dasar Epidemiologi. Jakarta: Salemba Medika.
Sedyaningsih, Endang R dan Vivi Setiawaty (2009). Awal Pandemi Influenza
A(H1N1), Jurnal Penyakit Menular .http://www.litbang.depkes.go.id/. diunduh
pada tanggal 18 Maret 2014.
Sloan PD, MacFarqubar JK, Sickbert-Bennett E, Mitchell CM, Akers R, Weber DJ, Howard K (2006). Syndromic surveillance for emerging infections in office practice using billing data. Ann Fam Med 2006;4:351-358.
44
Unit Pengkajian Teknologi Kesehatan, Skrining Kanker Leher Rahim dengan Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA). 2008, Departemen Kesehatan: Jakarta.
Webb, P., C. Bain, and S. Pirozzo, Essential Epidemiology, An Introduction for Students and Health Professionals. 2005, New York: Cambridge University Press.
WHO (2001). An integrated approach to communicable disease surveillance. Weekly epidemiological record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer. Diakses tanggal 4 September 2014.
_____ (2002). Surveillance: slides. http://www.who.int. Diakses tanggal 4 September 2014.
45
Top Related