upaya peningkatkan keterampilan membaca wacana berhuruf ...

100
Vol. 01 / No. 01 / November 2012 Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 1 UPAYA PENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBACA WACANA BERHURUF JAWA MENGGUNAKAN MODEL KOOPERATIF TIPE TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION (TAI) PADA SISWA KELAS VIII C SMP NEGERI 7 PURWOREJO TAHUN AJARAN 2012/2013 Yuli Widiyono, Eko Santosa, Eni Susiyati Universitas Muhammadiyah Purworejo ABSTRAK Eni Susiyati Upaya Peningkatan Keterampilan Membaca Wacana Berhuruf Jawa Menggunakan Model Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization (TAI) Pada Siswa Kelas VIII C SMP Negeri 7 Purworejo Tahun Ajaran 2012/2013”.Skripsi. Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa. Universitas Muhammadiyah Purworejo. 2012 Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) langkah-langkah pembelajaran membaca wacana berhuruf Jawa menggunkan model (TAI) padasiswa kelas VIII C SMP N 7 Purworejo, (2) motivasi belajar siswa terhadap penggunaan model (TAI) dalam membaca wacana berhuruf Jawa, (3) kemampuan hasil belajar siswa setelah menggunakan model (TAI). Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII C yang berjumlah 31 siswa. Faktor yang diteliti berupa peningkatan keterampilan membaca wacana berhuruf Jawa. Terdiri dari empat tahapan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Teknik pengumpulan data yang digunakan observasi, angket, tes dan dokumentasi. Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan menggunakan teknik kuantitatif dan teknik kualitatif. Dari hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa penggunaan model (TAI) dapat meningkatkan (1) aktivitas siswa maupun guru, (2) motivasi belajar siswa dan, (3) hasil tes kemampuan siswa pada setiap siklusnya. Peningkatan ini, terlihat dari hasil observasi, pada kegiatan pra siklus aktivitas belajar siswa sebesar 40 %, guru 40%, siklus I sebesar 76,6%, guru 80% dan pada siklus II sebesar 93,3%, guru 100%. Rerata gabungan tiap pernyataan motivasi siswa pada siklus I yaitu sebesar 3,88 termasuk baik meningkat menjadi 4,61 termasuk sangat baik pada siklus II. Peningkatan hasil belajar siswa terlihat pada hasil pre test kegiatan pra siklus mean yang diperoleh sebesar 65,03 dengan rata-rata ketuntasan belajar yang diperoleh sebesar 32,26% belum memenuhi KKM. Pada kegiatan siklus I diperoleh mean post test 1 sebesar 73,68 dengan rata-rata ketuntasan belajar yang diperoleh sebesar 67,74%. Hasil belajar siswa meningkat menjadi 78,84 mean post test II, dengan rata-rata ketuntasan belajar sebesar 83,87% sudah memenuhi KKM, pada siklus II. Pemberian penghargaan berdasarkan skor rata-rata nilai kemajuan yang diperoleh tiap kelompok. Jadi, penerapan model (TAI), dapat meningkatkan keterampilan membaca wacana berhuruf Jawa siswa Kelas VIII C SMP N 7 Purworejo tahun ajaran 2012/2013. Kata Kunci: Peningkatan, Keterampilan, Membaca Wacana Berhuruf Jawa, Team Assisted Individualization (TAI)

Transcript of upaya peningkatkan keterampilan membaca wacana berhuruf ...

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 1

UPAYA PENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBACA WACANA

BERHURUF JAWA MENGGUNAKAN MODEL KOOPERATIF TIPE

TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION (TAI) PADA SISWA KELAS

VIII C SMP NEGERI 7 PURWOREJO TAHUN AJARAN 2012/2013

Yuli Widiyono, Eko Santosa, Eni Susiyati Universitas Muhammadiyah Purworejo

ABSTRAK

Eni Susiyati “Upaya Peningkatan Keterampilan Membaca Wacana Berhuruf

Jawa Menggunakan Model Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization

(TAI) Pada Siswa Kelas VIII C SMP Negeri 7 Purworejo Tahun Ajaran

2012/2013”.Skripsi. Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa. Universitas

Muhammadiyah Purworejo. 2012

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) langkah-langkah

pembelajaran membaca wacana berhuruf Jawa menggunkan model (TAI)

padasiswa kelas VIII C SMP N 7 Purworejo, (2) motivasi belajar siswa terhadap

penggunaan model (TAI) dalam membaca wacana berhuruf Jawa, (3) kemampuan

hasil belajar siswa setelah menggunakan model (TAI).

Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII C yang berjumlah 31 siswa.

Faktor yang diteliti berupa peningkatan keterampilan membaca wacana berhuruf

Jawa. Terdiri dari empat tahapan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan,

dan refleksi. Teknik pengumpulan data yang digunakan observasi, angket, tes

dan dokumentasi. Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan menggunakan

teknik kuantitatif dan teknik kualitatif.

Dari hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa penggunaan model (TAI)

dapat meningkatkan (1) aktivitas siswa maupun guru, (2) motivasi belajar siswa

dan, (3) hasil tes kemampuan siswa pada setiap siklusnya. Peningkatan ini, terlihat

dari hasil observasi, pada kegiatan pra siklus aktivitas belajar siswa sebesar 40 %,

guru 40%, siklus I sebesar 76,6%, guru 80% dan pada siklus II sebesar 93,3%,

guru 100%. Rerata gabungan tiap pernyataan motivasi siswa pada siklus I yaitu

sebesar 3,88 termasuk baik meningkat menjadi 4,61 termasuk sangat baik pada

siklus II. Peningkatan hasil belajar siswa terlihat pada hasil pre test kegiatan pra

siklus mean yang diperoleh sebesar 65,03 dengan rata-rata ketuntasan belajar yang

diperoleh sebesar 32,26% belum memenuhi KKM. Pada kegiatan siklus I

diperoleh mean post test 1 sebesar 73,68 dengan rata-rata ketuntasan belajar yang

diperoleh sebesar 67,74%. Hasil belajar siswa meningkat menjadi 78,84 mean

post test II, dengan rata-rata ketuntasan belajar sebesar 83,87% sudah memenuhi

KKM, pada siklus II. Pemberian penghargaan berdasarkan skor rata-rata nilai

kemajuan yang diperoleh tiap kelompok. Jadi, penerapan model (TAI), dapat

meningkatkan keterampilan membaca wacana berhuruf Jawa siswa Kelas VIII C

SMP N 7 Purworejo tahun ajaran 2012/2013.

Kata Kunci: Peningkatan, Keterampilan, Membaca Wacana Berhuruf Jawa, Team

Assisted Individualization (TAI)

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 2

A. Pendahuluan

Dalam pelajaran bahasa Jawa di SD, SMP, maupun SMA, siswa dituntut

untuk dapat membaca teks wacana behuruf Jawa dengan baik dan lancar.

Membaca sebagai salah satu kemampuan dasar, perlu mendapat perhatian khusus

dari semua pihak baik sekolah sebagai penyelenggara pendidikan, masyarakat,

maupun pemerintah. Ilmu yang tersimpan dalam buku harus digali dan dicari

melalui kegiatan membaca. Kemampuan membaca merupakan dasar untuk

menguasai berbagai bidang studi. Anak yang kurang dalam kemampuan

membacanya, maka ia akan mengalami banyak kesulitan dalam mempelajari

berbagai bidang. Membaca huruf Jawa perlu adanya proses latihan dan belajar

secara teratur. Siswa terlebih dahulu harus menguasai huruf-huruf Jawa, mulai

dari aksara carakan atau dentawyanjana sebagai huruf baku dalam tulisan Jawa,

pasangan, sandhangan, aksara suara, aksara rekan, aksara murda, angka Jawa,

dan tanda baca yang digunakan dalam teks beraksara Jawa.

Berdasarkan observasi dan berbincang-bincang dengan beberapa siswa di

SMP N 7 Purworejo pada tanggal 29 Februari 2012, pada umumnya mengatakan

bahwa membaca wacana berhuruf Jawa adalah kompetensi yang dianggap paling

sukar dan menakutkan. Permasalahan tersebut juga disebabkan oleh anggapan

siswa bahwa pelajaran bahasa Jawa adalah pelajaran yang kurang penting karena

tidak termasuk mata pelajaran yang diujikan secara nasional atau UNAS.

Anggapan semacam ini pula yang mengakibatkan kurangnya minat dan motivasi

siswa pada mata pelajaran bahasa Jawa. Permasalahan lain juga timbul dari pihak

guru. Guru dalam mengelola pembelajaran belum menggunakan strategi

pembelajaran yang bervariasi. Informasi dari siswa dan guru ini yang memperkuat

keinginan penulis untuk melakukan penelitian di SMP N 7 Purworejo karena

penulis merasa prihatin. Penelitian tindakan kelas di SMP N 7 Purworejo,

dilakukan di kelas VIII C. Pemilihan kelas tersebut dikarenakan pada saat

observasi awal terdapat beberapa kekurangan dalam pembelajaran bahasa Jawa,

antara lain; 1). Rata-rata nilai Ulangan akhir Semester (UAS) di kelas VII belum

memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) mata pelajaran Bahasa Jawa yaitu

sebesar 70, 2). Rendahnya motivasi dan minat belajar siswa kelas VIII C pada

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 3

mata pelajaran bahasa Jawa, 3). Siswa kelas VIII C paling heterogen

dibandingkan kelas lainnya.

Model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI), diterapkan

dalam pembelajaran membaca wacana berhuruf Jawa oleh penulis dalam upaya

meningkatkan keterampilan membaca siswa. Team Assisted Individualization

(TAI) merupakan model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran

kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran dimana para

siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu

sama lain dalam mempelajari materi pelajaran.

Dengan penerapan model Team Assisted Individualization (TAI) dalam

meningkatkan keterampilan membaca wacana berhuruf Jawa kali ini, penulis

berharap dapat meningkatkan minat dan hasil belajar yang lebih baik. Tujuan

lain, yaitu diharapkan siswa dapat termotivasi untuk belajar memahami materi

secara mandiri, tidak hanya mengandalkan hasil pembelajaran teman.

B. Dasar Teori

1. Hakekat Belajar dan Pembelajaran

Istilah pembelajaran mengandung makna kegiatan belajar. Belajar

merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Siswa adalah

penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar itu. Mengajar

merupakan proses membimbing kegiatan belajar, dan kegiatan belajar

hanya bermakna bila terjadi kegiatan belajar siswa. Guru harus betul-

betul memahami tentang proses belajar siswa, agar ia dapat memberikan

bimbingan dan menyediakan lingkungan belajar yang tepat.

“Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui

pengalaman. (Learning is defined as the modifikation or streng-thening of

behavior through experiencing)” (Hamalik 2007: 36). Menurut

pengertian tersebut, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan

bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi

lebih luas dari pada itu, yakni mengalami, hasil belajar bukan suatu

penguasaan hasil latihan, melainkan perubahan kelakuan. Definisi belajar

menurut Dimyati (2006: 7) adalah tindakan dan perilaku siswa yang

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 4

kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa

sendiri. Proses belajar terjadi berkat siswa memperoleh sesuatu yang

berada di lingkungan sekitar.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar

merupakan suatu kegiatan yang terjadi dalam diri seseorang. Belajar

adalah proses untuk menghasilkan perubahan yang ditampakkan dalam

bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku. Wujutnya seperti

peningkatan hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan

lingkungannya. Penyelenggaraan pembelajaran merupakan salah satu

tugas utama guru.

Pembelajaran mempunyai banyak pengertian serta peran di

dalamnya. Menurut Mulyasa (2006: 100) mendefinisikan pembelajaran

pada hakekatnya adalah “proses interaksi antara peserta didik dengan

lingkungannya, seingga terjadi perilaku ke arah yang baik”. Tugas guru

yang utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang

terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Pendapat ini berbeda

dengan seorang ahli yaitu Sudjana (1991 : 1) yang mengungkapkan

bahwa proses belajar-mengajar atau proses pengajaran merupakan suatu

kegiataan melaksanakan kurikulum suatu lembaga pendidkan, agar dapat

mempengaruhi para siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Berdasarkan pendapat para ahli tentang pengertian pembelajaran di atas,

maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses

perubahan tingkah laku dan perubahan kemampuan yang dicapai

seseorang melalui aktivas. Pembelajaran bersifat permanen sebagai hasil

dari pengalaman karena adanya respon terhadap sesuatu situasi.

2. Aksara Jawa

Aksara Aksara Jawa, merupakan salah satu peninggalan budaya yang

tak ternilai harganya. Bentuk aksara dan seni pembuatannya pun menjadi

suatu peninggalan yang patut untuk dilestarikan.

Adapun perangkat huruf Jawa yang dipergunakan dalam ejaan bahasa

Jawa ada bermacam-macam yaitu carakan atau dentawyanjana, pasangan,

sandhangan, angka ,pada ,aksara murda, aksara swara,dan aksara rekan.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 5

Tabel 1

Aksara Jawa dan Pasangan

Aksara

Jawa

Pasangan

Ha Na Ca Ra Ka

Aksara

Jawa

Pasangan

Da Ta Sa Wa la

Aksara

Jawa

Pasangan

Pa Dha Ja Ya Nya

Aksara

Jawa

Pasangan

Ma Ga Ba Tha Nga

3. Membaca Teks Beraksara Jawa

Teks merupakan rangkaian kata-kata pada bacaan dengan isi tertentu.

Membaca teks berarti membaca rangkain kata-kata dari suatu bacaan. Kata

tersususn dari huruf-huruf dengan demikian, membaca teks juga berarti

membaca huruf-huruf. Dalam bahasa Jawa, teks dapat disampaikan melalui

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 6

tulisan Latin dan tulisan Jawa. Tulisan Latin dan tulisan Jawa mempunyai

sifat yang berbeda.

4. Model Pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI)

Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang

dilakukan secra kelompok. Pembelajaran kooperatif mempunyai banyak

jenis, diantaranya model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted

Individualization (TAI). Model pembelajaran kooperatif tipe Team

Assisted Individualization merupakan strategi pembelajaran kelompok yang

berpusat pada siswa (Amin Suyitno, 2002). Menurut Susilo (2010) Team

Assisted Individualization (TAI) yang dikembangkan oleh Slavin

menggabungkan pembelajaran kooperatif dengan pengajaran individual.

Pada TAI, siswa masuk dalam sebuah urutan kemampuan individual sesuai

dengan hasil tes penempatan dan kemudian maju sesuai dengan

kecepatannya sendiri. Anggota tim pada umumnya, bekerja pada unit-unit

bahan ajar yang berbeda. Siswa saling memeriksa pekerjaan teman sesama

tim, dengan dipandu oleh lembar jawaban dan saling membantu dalam

memecahkan setiap masalah. Tes unit akhir dikerjakan tanpa bantuan

teman sesama tim dan diskor segera. Menurut Slavin (2008: 195) model

pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI)

memiliki 7 unsur sebagai berikut.

1)Teams, yaitu para siswa dibagi menjadi tim-tim kecil

beranggotakan 4 sampai 5 orang. 2) Tes penempatan, yakni

pemberian pre-test kepada siswa atau melihat rata-rata nilai harian

siswa agar guru mengetahui kelemahan siswa dalam bidang tertentu.

3) Materi-materi kurikulum, para siswa mempelajari materi-materi

kurikulum secara individual. 4) Belajar kelompok, siswa

melaksanakan tugas dalam suatu kelompok. 5) Recognisitim, yaitu

pemberian skor tehadap hasil kerja kelompok dan memberikan

kriteria penghargaan terhadap kelompok yang behasil kurang berhasil

dalam menyelesaikan tugas. 6) Kelompok pengajaran. Tujuan dari

sesi ini adalah untuk mengenalkan konsep-konsep utama siswa. 7)

Tes fakta, yaitu pemberian materi oleh guru kembali dan akhir waktu

pembelajaran.

Pendapat Slavin tersebut di atas, jelas terlihat bahwa unsur-unsur

pembelajaran kooperatif tipe Team Menurut Bambang Priyo Darminto

(2004: 25) dari ketujuh unsur di atas, maka dapat dibuat langkah

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 7

pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif Team Assisted

Individualization (TAI) sebagai berikut. Team Assisted Individualization

(TAI) terdapat aturan atau langkah-langkahnya.

1)Guru menentukan suatu pokok bahasan. 2) Gurumenjelaskan

kepada siswa tentang pola kerja sama antar siswa dalam suatu

kelompok. 3) Guru menyiapkan materi bahan ajar dan dapat

memanfaatkan LKS yang dimiliki para siswa. 4) Guru memberikan

pre-test kepada siswa tentang materi yang akan diajarkan. Pre-test

bisa digantikan dengan nilai rata-rata ulangan harian siswa. 5) Guru

menjelaskan materi baru secara singkat (mengadopsi komponen

teaching group). 6) Guru membentuk kelompok-kelompok kecil

dengan anggota 4-5 siswa pada setiap kelompoknya. Kelompok

dibuat heterogen tingkat kepandainnya (mengadopsi komponen

teams). 7) Guru menguasai kelompok dengan bahan yang sudah

disiapkan. 8) Ketua kelompok menetapkan setiap anggota telah

memahami materi bahan ajar yang diberikan guru, diberi ulangan,

guru harus mengumumkan hasilnya dan menetapkan kelompok

terbaik sampai kelompok yang kurang berhasil (jika ada). 9) Pada

saat guru memberikan tes, tindakan ini mengadopsi komponen fact

tests. 10) Menjelang akhir waktu, guru menberikan latihan

pendalaman secara klasikal dengan menekankan strategi pemecahan

masalah (mengadopsi komponen whole class units). 11) Guru dapat

memberikan tes formatif, sebagai TPK/kompetensi yang ditentukan.

C. Pembahasan

1. Langkah-langkah pembelajaran membaca wacana berhuruf Jawa, dengan

model kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI).

Pada bagian ini, terdapat tiga pertemuan yaitu kegiatan prasiklus, siklus

I, dan siklus II. Masing-masing pertemuan terdiri dari beberapa tahap.

Tahap yang dilakukan dalam 3 pertemuan ini terdiri dari tahap

Perencanaan, Pelaksanaan, Pengamatan dan Refleksi. Deskripsi

selengkapnya bisa dilihat pada laporan penelitian yang utuh.

2. Peningkatan aktivitas belajar siswa prasiklus sampai dengan siklus II

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 8

3. Peningkatan aktivitas guru siswa prasiklus sampai dengan siklus II

4. Peningkatan motifasi siswa prasiklus sampai dengan siklus II

5. Peningkatan Hasil belajar keterampilan membaca wacana berkasara Jawa

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 9

Berdsarkan tabel 4.20 di atas, dapat terlihat adanya peningkatan nilai

dari pra siklus, siklus I hingga siklus II, yang digolongkan berdasarkan kriteria

pembelajaran dengan persentase. Kegiatan pra sikluis persentase untuk kriteria

kurang yang diperoleh siswa sebanyak 19,35%, cukup 67,74%, baik 12,90%.

Pada siklus II, nilai meningkat. Kriteria kurang tidak ada, cukup menurun

menjadi 54,83%, baik 38,70% dan krieria sangat baik meningkat sebanyak

6,45%. Nilai kemudian meningkat lagi yaitu, untuk kriteria cukup menurun

menjadi 29,03%, baik meningkat menjadi 48,38% dan kriteria sangat baik

menjadi 22,58%. Hasil atau nilai ini, menunjukakkan bahwa adanya peningkatan

nilai siswa yang sudah digolongkan menurut kriteria pembelajaran dengan

persentase kegiatan pra siklu, siklusI dan siklus II.

D. Simpulan

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 10

1. Dengan model kooperatif tipe Team assisted Individualization (TAI)

aktivitas siswa dalam pembelajaran mengalami peningkatan. Meningkat

dari pra siklus sebesar 40%, siklus I sebesar 76,6% kemudian menjadi

93,3% pada siklus II, sedangkan untuk aktifitas guru juga meningkat dari

pra siklus sebesar 40%, siklus I sebesar 80 % kemudian menjadi 100%

pada siklus II.

2. Motivasi belajar siswa kelas VIII C SMP Negeri 7 Purworejo terhadap

penggunaan model kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI), dalam

membaca wacana berhuruf Jawa juga mengalami peningkatan. Meningkat dari

siklus I diperoleh skor sebanyak 1204 dengan skor rata-rata gabungan sebesar

3,88 termasuk dalam kategori baik, karena 3,50 ≤ 3,88 ≤ 4,49. Pada siklus II

meningkat menjadi 1414 skor dengan skor rata-rata gabungan sebesar 4,6

termasuk dalam kategori sangat baik, karena 4,50 ≤ 4,61 ≤ 5,00.

3. Model kooperatif tipe Team assisted Individualization (TAI), dapat

meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII C SMP Negeri 7 Purworejo, pada

aspek keterampilan membaca wacana berhuruf Jawa tahun ajaran 2011/2012.

Kegiatan pra siklus diperoleh mean sebesar 64,90, median 64, modus 72 dengan

persentase ketuntasan belajar sebesar 32,26% meningkatmenjadi sebesar 73,68

meannya, median 72, modus 72 dengan persentase ketuntasan belajar sebesar

67,74%. Pada siklus II meningkat menjadi 78,84 mean, 80 median, modus

adalah 76 dengan persentase ketuntasan sebesar 83,87%.

E. Daftar Pustaka

Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar Dan Pembelajaran. Jakarta:

Pt.Rineka Cipta.

Hamalik, Oemar. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:

Bumi Aksara.

Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Slavin, Robert E. 2008. Cooperative Learning. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Sudjana, Nana dan Ahmad Rivai. 1991. Media Pengajaran. Bandung:

CV. Sinar Baru.

Susilo. 2010. Diakses dari. http: //www.unesa.ac.id |elearning.unesa.ac.id/

pada tanggal 2 Mei 2012.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 11

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERDISKUSI BAHASA JAWA

DENGAN MEDIA AUDIO VISUAL PADA KELAS XII IPS 2 SMA

NEGERI 1 RAWALO TAHUN AJARAN 2012/2013

Lina Ekawati Universitas Muhammadiyah Purworejo

ABSTRAK

Wati, Lina Eka, 2012, “Peningkatan Kemampuan Berdiskusi Bahasa Jawa

dengan Media Audio Visual pada Kelas XII IPS 2 SMA Negeri 1 Rawalo Tahun

Ajaran 2012/2013”, Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Universitas

Muhammadiyah Purworejo.

Ada dua masalah pokok yang penulis teliti yaitu, bagaimana penerapan

media Audio Visual pada pembelajaran berdiskusi bahasa Jawa pada siswa kelas

XII IPS 2 SMA N I Rawalo Banyumas dan bagaimana peningkatan hasil belajar

berdiskusi bahasa Jawa pada siswa kelas XII IPS 2 SMA N I Rawalo dengan

media Audio Visual. Teori yang mendukung dalam penelitian ini adalah teori

yang terdapat dalam Retorika: Terampil Berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi,

Bernegosiasi sering disebut dengan retorika yang diartikan sebagai kesenian untuk

berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antar manusia

(Hendrikus, 1991:14-15).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

tindakan kelas dengan dua siklus yang dilaksanakan pada siswa kelas XII IPS 2

SMA Negeri Rawalo Banyumas. Keterampilan berdiskusi bahasa Jawa siswa

dapat ditingkatkan melalui media audio visual. Skor peningkatan kemampuan

berdiskusi bahasa Jawa diperoleh dari skor rata-rata siklus II dikurangi skor rata-

rata pretes. Peningkatan aspek keakuratan dan keaslian gagasan sebesar 0.93, dari

3.03 menjadi 3.96. Aspek kemampuan argumentasi 3.31 dan pada akhir tindakan

sebesar 4.31 artinya naik sebesar 1. Peningkatan sebesar 1.1 terjadi pada aspek

keruntutan penyampaian gagasan, dari 2.93 menjadi 4.03. Aspek pemahaman

sebesar 1,03 dari 3,65 menjadi 4,68. Aspek ketepatan kata sebesar 1,24 dari 2,72

menjadi 3,96. Aspek ketepatan kalimat sebesar 1,45 dari 2,48 menjadi 3,93.

Aspek ketepatan stile penuturan sebesar 1,73 dari 2,27 menjadi 4. Aspek

kelancaran sebesar 1,19 dari 2,93 menjadi 4,13. Peningkatan nilai rata-rata kelas

juga terlihat dari prasiklus, siklus I dan siklus II. Nilai rata-rata kelas pada

prasiklus adalah 58,3 dan siswa yang mencapai KKM hanya 4 siswa atau 14%,

siklus I meningkat menjadi 71,72 siswa yang mencapai KKM sebanyak 23 siswa

atau 79%, dan siklus II meningkat menjadi 82.58, pada siklus ini semua siswa

sudah memenuhi KKM yang ada yaitu 68 sebesar 100%.

Kata-kata kunci : Audio Visual Meningkatkan Berdiskusi Bahasa Jawa.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 12

A. Pendahuluan

Keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang sulit dibandingkan

dengan keterampilan yang lain, maka untuk menguasai keterampilan

berbicara diperlukan waktu yang lama dan banyak latihan. Salah satu cara

melatih keterampilan berbicara yaitu menggunakan diskusi. Di dalam diskusi

ini proses interaksi antara dua atau lebih individu yang terlibat, saling tukar

menukar pengalaman, informasi, memecahkan masalah, dapat terjadi juga

semuanya aktif tidak ada yang pasif sebagai pendengar saja. Keterampilan

berbicara menggunakan teknik berdiskusi harus bisa meningkatkan kualitas

pembelajaran. Pada kenyataannya selama ini pembelajaran berbicara di kelas

XII IPS 2 SMA N I Rawalo Banyumas lebih banyak disajikan dalam bentuk

teori dan ceramah, akibatnya mereka menganggap bahwa pelajaran bahasa

Jawa kurang memberikan konstribusi yang signifikan dalam kehidupan.

Siswa cenderung kurang bergairah dalam pelajaran bahasa Jawa. Selain itu,

ketidakmampuan siswa dalam keterampilan berbicara pada materi bahasa

Jawa disebabkan siswa tidak memiliki alat bantu yang mampu membantu

proses belajarnya sehingga siswa mengalami kesulitan dalam

mengapresiasikan gagasannya. Tidak dimilikinya alat bantu tersebut

disebabkan guru jarang membiasakan siswa untuk menggunakan alat bantu

belajar selama proses pembelajaran. Selain itu, guru di sekolah hanya

menggunakan media berupa LKS belum menggunakan media yang

bervariasi.

Lokasi yang dipilih adalah SMA Negeri I Rawalo Kabupaten Banyumas.

Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa lokasi tersebut belum pernah

digunakan untuk penelitian, khususnya yang berhubungan dengan bahasa

Jawa dan penggunaan media Audio Visual. Hal tersebut dikarenakan mata

pelajaran bahasa Jawa tidak terlalu penting dibandingkan mata pelajaran lain

yang membutuhkan waktu yang lama serta konsentrasi tinggi. Sering kali

mata pelajaran bahasa Jawa dikesampingkan ketika akan menggunakan media

berupa media Audio Visual. Mengingat pula kondisi sarana prasarana yang

dimiliki sekolah belum cukup memadai.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 13

Berdasarkan observasi yang peneliti laksanakan pada tanggal 13 april

2012, peneliti menyimpulkan bahwa terdapat berbagai persoalan yang dapat

diteliti. Persoalan pertama, hasil pembelajaran keterampilan berbicara masih

kurang diperhatikan rendahnya prestasi siswa. Persoalan kedua, kurang

menunjukkan minat positif dalam pembelajaran bahasa Jawa. Mereka

menganggap bahwa pembelajaran bahasa Jawa kurang memberikan

kontribusi yang signifikan dalam kehidupan, akibatnya siswa cenderung

kurang bergairah dalam pembelajaran bahasa Jawa. Persoalan ketiga adalah

ketidakmampuan siswa dalam keterampilan berbicara pada materi bahasa

Jawa. Keempat, guru belum menggunakan media sebagai pembelajaran yang

bervariasi.

Berdasarkan landasan pemilihan judul di atas penulis mempunyai

kepentingan akan melakukan penelitian dengan judul‟‟ Peningkatan

Kemampuan Berdiskusi Bahasa Jawa Dengan Media Audio Visual Pada

Kelas XII IPS2 SMA Negeri 1 Rawalo Tahun Ajaran 2012/2013.”

B. Dasar Teori

1. Keterampilan Berbicara

Berbicara (Speech) merupakan suatu bagian integral dari

keseluruhan personalitas atau kepribadian, mancerminkan lingkungan

sang pembicara, kontak sosial, dan pendidikannya (Umi Faizah 2011:4).

Berbicara sesungguhnya merupakan kemampuan menyampaikan pesan

melalui bahasa lisan. Berbicara dapat dimaknai sebagai kemampuan

mengucapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekspresikan atau

menyampaikan pikiran, gagasan atau perasaan secara lisan. Dari uraian di

atas mengenai pengertian berbicara, penulis menyimpulkan bahwa

berbicara adalah alat, kemampuan, aktivitas untuk menyampaikan

pendapat, perasaan, ide, gagasan secara lisan. Berbicara merupakan alat

komunikasi yang umum dalam masyarakat, merupakan aktivitas

komunikasi yang mengharapkan hubungan antara penutur selaku

pembicara dan penanggap tutur selaku pendengar. Dalam berbicara kita

harus menetapkan tujuan yang ingin dicapai setelah kegiatan berbicara

selesai. Tujuan utama dari berbicara adalah untukberkomunikasi (Umi

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 14

Faizah 2011:8). Agar dapat menyampaikanpikiran secara efektif, maka

sebaiknya si pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin

dikomunikasikannya. Pembicara harus mampu mengevaluasi efek

komunikasinya terhadap para pendengar, dan dia harus mengetahui

prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara

umum maupun perorangan.

2. Audio Visual Sebagi Media Pembelajaran

Media Audio (media dengar) adalah media yang isi pesannya

hanya diterima melalui indera pendengaran. Dengan kata lain, media jenis

ini hanya melibatkan indera dengar dan memanipulasi unsur bunyi atau

suara semata. Suara adalah fenomena fisik yang dihasilkan oleh getaran

suatu benda yang berupa sinyal analog dengan amplitude yang berubah

secara kontinyu terhadap waktu. Suara dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (1995: 966) di antaranya berarti bunyi yang dikeluarkan dari

mulut manusia, bunyi binatang, ucapan (perkataan), dan bunyi bahasa

(bunyi ujar). Dari itu, dilihat dari sifat pesan yang diterima, media audio

ini bisa menyampaikan pesan verbal maupun non verbal. Pesan verbal

berupa bahasa lisan atau kata-kata, sedangkan pesan non verbal berwujud

bunyi-bunyian dan vokalisasi, seperti gerutuan, gumam, musik, dan lain-

lain.

Video sebenarnya berasal dari bahasa Latin, video-vidi-visum

yang artinya melihat (mempunyai daya penglihatan) Kamus Besar Bahasa

Indonesia (1995: 1119) mengartikan video dengan: 1) bagian yang

memancarkan gambar pada pesawat televisi; 2) rekaman gambar hidup

untuk ditayangkan pada pesawat televisi. Dapat disimpulkan bahwa video

itu berkenaan dengan apa yang dapat dilihat, utamanya adalah gambar

hidup (bergerak; motion), proses perekamannya, dan penayangannya yang

tentunya melibatkan teknologi. Karenanya, banyak orang yang memahami

video dalam dua pengertian: 1. sebagai rekaman gambar hidup yang

ditayangkan (di sini video sama dengan film, dan pada makalah ini

penyebutan video seringkali dipakai bergantian dengan film). Aplikasi

umum dari video adalah telefisi atau media proyektor lainnya; dan 2.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 15

sebagai teknologi yaitu teknologi pemrosesan sinyal elektronik

mewakilkan gambar bergerak. Di sini istilah video juga digunakan

sebagai singkatan dari videotape dan juga perekam video dan pemutar

video. Video, dilihat sebagai media penyampai pesan, termasuk media

audio-visual atau media pandang-dengar. Media audio visual dapat dibagi

menjadi dua jenis: pertama, dilengkapi fungsi peralatan suara dan gambar

dalam satu unit, dinamakan media audio-visual murni; dan kedua, media

audio-visual tidak murni. Film bergerak (movie), televisi, dan video

termasuk jenis yang pertama, sedangkan slide, opaque, OHP dan

peralatan visual lainnya yang diberi suara termasuk jenis yang kedua.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, video merupakan teknologi

pemrosesan sinyal elektronik yang meliputi gambar gerak dan suara.

Piranti yang berkaitan dengan video adalah playback, storage media

(seperti pita magnetik dan disc), dan monitor. Agar mampu

memanfaatkan video sebagai alternatif media untuk pembelajaran, ada

baiknya mengetahui piranti media video ini, di antaranya:

1. Video Pita Magnetik (Video Tape Recorder [VTR], Video Cassette

Recorder [VCR], dan Mini-DV)

2. Video Disc, Video Compact Disc (VCD) Digital Video/Versatile

Disc (DVD)

3. Handycam.

C. HASIL PENELITIAN

Untuk mengetahui keberhasilan tindakan, berikut disajikan tabel peningkatan

nilai rata-rata siklus I dan postes siklus II

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 16

Keterangan:

5 = Sangat baik

4 = Baik

3 = Cukup

2 = Kurang

1 = Sangat kurang

1. Grafik Batang Peningkatan Setiap Aspek Berdiskusi bahasa Jawa

a) Aspek Keakuratan dan Keaslian Gagasan

Pada aspek keakuratan dan keaslian gagasan mengalami

peningkatan dari prasiklus hingga siklus II. Seperti diterangkan dalam

grafik nilai pretes mendapatkan 3,03, pada siklus I mengalami

peningkatan sebesar 0,65 dengan nilai 3,68, sedangkan di siklus II

mengalami kenaikan sebesar 0,28 dengan nilai 3,96.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 17

b) Kemampuan Berargumentasi

Pada aspek kemampuan berargumentasi mengalami peningkatan

dari prasiklus hingga siklus II. Seperti diterangkan dalam grafik nilai

pretes mendapatkan 3,31, pada siklus I mengalami peningkatan sebesar

0,69 dengan nilai 4, sedangkan di siklus II mengalami kenaikan sebesar

0,31 dengan nilai 4,31.

c) Keruntutan Penyampaian Gagasan

Pada aspek keruntutan penyampaian gagasan mengalami

peningkatan dari prasiklus hingga siklus II. Seperti diterangkan dalam

grafik nilai pretes mendapatkan 2,93, pada siklus I mengalami peningkatan

sebesar 0,65 dengan nilai 3,58, sedangkan disiklus II mengalami kenaikan

sebesar 0,45 dengan nilai 4,03.

d) Pemahaman

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 18

Pada aspek pemahaman mengalami peningkatan dari prasiklus

hingga siklus II. Seperti diterangkan dalam grafik nilai pretes mendapatkan

3,65, pada siklus I mengalami peningkatan sebesar 0,35 dengan nilai 4,

sedangkan di siklus II mengalami kenaikan sebesar 0,68 dengan nilai

4,68.

e) Ketepatan Kata

Pada aspek ketepatan kata mengalami peningkatan dari prasiklus

hingga siklus II. Seperti diterangkan dalam grafik nilai pretes

mendapatkan 2,72, pada siklus I mengalami peningkatan sebesar 0,86

dengan nilai 3,58, sedangkan di siklus II mengalami kenaikan sebesar

0,38 dengan nilai 3,96.

f) Ketepatan Kalimat

Pada aspek ketepatan kalimat mengalami peningkatan dari prasiklus

hingga siklus II. Seperti diterangkan dalam grafik nilai pretes mendapatkan

2,48, pada siklus I mengalami peningkatan sebesar 0,72 dengan nilai 3,20,

sedangkan di siklus II mengalami kenaikan sebesar 0,73 dengan nilai 3,93.

g) Ketepatan Stile Penuturan

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 19

Pada aspek ketepatan stile penuturan mengalami peningkatan dari

prasiklus hingga siklus II. Seperti diterangkan dalam grafik nilai pretes

mendapatkan 2,27, pada siklus I mengalami peningkatan sebesar 0,79

dengan nilai 3,06, sedangkan di siklus II mengalami kenaikan sebesar 0,97

dengan nilai 4.

h) Kelancaran

Pada aspek kelancaran mengalami peningkatan dari prasiklus hingga

siklus II. Seperti diterangkan dalam grafik nilai pretes mendapatkan 2,93,

pada siklus I mengalami peningkatan sebesar 0,55 dengan nilai 3,48,

sedangkan di siklus II mengalami kenaikan sebesar 0,65 dengan nilai

4,13.

D. Simpulan

1. Keterampilan berdiskusi bahasa Jawa siswa kelas XII IPS 2 SMA Negeri

Rawalo Banyumas dapat ditingkatkan melalui media audio visual.

Peningkatan tersebut meliputi beberapa aspek yaitu keakuratan dan

keaslian gagasan, kemampuan argumentasi, keruntutan penyampaian

gagasan, pemahaman, ketepatan kata, ketepatan kalimat, ketepatan stile

penuturan, kelancaran . Skor peningkatan kemampuan berdiskusi bahasa

Jawa diperoleh dari skor rata-rata postes (siklus II) dikurangi skor rata-

rata pretes (sebelum dikenai tindakan). Peningkatan aspek keakuratan dan

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 20

keaslian gagasan sebesar 0.93, dari 3.03 menjadi 3.96. nilai aspek

kemampuan argumentasi 3.31 dan pada akhir tindakan sebesar 4.31

artinya naik sebesar 1. Peningkatan sebesar 1.1 terjadi pada aspek

keruntutan penyampaian gagasan, naik dari 2.93 menjadi 4.03.

peningkatan aspek pemahaman sebesar 1,03 dari 3,65 menjadi 4,68.

Aspek ketepatan kata sebesar 1,24 dari 2,72 menjadi 3,96. Aspek

ketepatan kalimat sebesar 1,45 dari 2,48 menjadi 3,93. Aspek ketepatan

stile penuturan sebesar 1,73 dari2,27 menjadi 4. Aspek kelancaran sebesar

1,19 dari 2,93 menjadi 4,13. Peningkatan nilai rata-rata kelas juga terlihat

dari prasiklus, siklus I dan siklus II, Nilai rata-rata kelas pada prasiklus

adalah 58,3 dan siswa yang mencapai KKM hanya 4 siswa atau 14%,

siklus I meningkat menjadi 71,72 siswa yang mencapai KKM sebanyak

23 siswa atau 79%, dan siklus II meningkat menjadi 82.58, pada siklus

ini semua siswa sudah memenuhi KKM yang ada yaitu 68, nilai tertinggi

diraih oleh siswa yang bernama Elsy dan Mei Fajar Wahyuni dengan nilai

90, dan nilai terendah diraih oleh 2 siswa yang bernama Sanjay

Alwighani dan Tri Hartono. Selain dapat meningkatan keterampilan

berdiskusi bahasa Jawa, media audio visual dapat membuat suasana kelas

menjadi lebih hidup, siswa aktif dan kreatif sedangkan guru dapat

berperan secara maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, Dkk.2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta.: Bumi

Aksara.

Arsyad, Azhar.2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Djamarah, Syaiful Bahri, Dkk. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka

Cipta.

Faizah, Umi. 2011. Pengantar Keterampilan Berbicara berbasis Cooperative

Learning Think Pair Share. Yogyakarta. Media Perkasa.

Harjanto. 2006. Perencanaan Pengajaran.Jakarta: Rineka Cipta.

Munadi, Yudhi. 2008. Media Pembelajaran, Sebuah Pendekatan Baru, Gaung

Persada Press, Ciputat.

ANALISIS SEMIOTIK DALAM SERAT PEPELING

LAN PAMRAYOGA KARYA JAGAWIGATA

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 21

Rochimansyah, Taufik Suhardi Universitas Muhammadiyah Purworejo

ABSTRAK

Serat Pepeling lan Pamrayoga sebagai salah satu karya sastra tulis

mengandung nilai-nilai kehidupan. Hal ini dipengaruhi oleh masyarakat

Jawa yang masih menjunjung tinggi keluhuran budi atau nilai-nilai

kehidupan. Tidak mengherankan jika karya sastra yang ada dipengaruhi oleh

situasi dan kondisi pada zaman ketika karya itu diciptakan. Cara yang paling

mudah menyampaikan informasi adalah menggunakan bahasa. Bahasa

sebagai bahasa komunikasi yang dianggap paling praktis. Akan tetapi, tidak

semua karya sastra yang ada dapat dimaknai secara mudah. Bahasa sebagai

sebuah sistem tanda dalam teks sastra menyaran kepada sistem makna

tingkat pertama (first order semiotic system) dan sistem makna tingkat kedua

(second order semiotic system). sajak (karya sastra) timbul dari arti bahasa

karena pemakaian bahasa yang sesuai dengan struktur sastra menurut

konvensinya, yaitu arti tambahan berdasarkan konvensi-konvensi sastra dan

teori yang mengemukakan bahwa dalam menganalisis puisi melalui

pendekatan semiotik dapat mengikuti langkah pembacaan heuristik dan

pembacaan hermeneutik atau retroaktif.

Teks Serat Pepeling lan Pamrayoga ditemukan banyak penyimpangan

frasa (kata) dan kalimat (sintaksis) yang disebabkan oleh penggunaan

konvensi guru lagu, guru gatra dan guru wilangan, sehingga pembacaan

heuristik dianggap sangat membantu pembaca dalam memaknai teks

tembang tersebut. Namun hasil pembacaan heuristik yang dilakukan dengan

pengembangan frasa dan kalimat belum dapat memaknai teks secara

lengkap, karena dalam teks terdapat makna yang lebih luas yang disebabkan

konvensi bahasa kiasan sarana retorika dan gaya bahasa pada umumnya,

sehingga diperlukan analisis pembacaan hermeneutik. Makna yang

didapatkan dari isi teks tersebut adalah pentingnya menjadi manusia yang

selalu waspada, konsisten, rukun, jujur, adil, dan pantang menyerah dalam

mengusahakan kemajuan organisasi ataupun kemajuan negara.

Kata-kata kunci : heuristik, hermeneutik, tembang

A. Pendahuluan

Karya sastra merupakan sebuah wahana yang digunakan pengarang untuk

menuangkan ide-ide dan pandangan pengarang terhadap berbagai situasi yang

diamati di lingkungannya. Karya sastra bukan semata-mata sebuah ide kreatif

pengarang, tetapi juga karena mendapatkan pengaruh situasional budaya

ketika karya sastra tersebut diciptakan. Dalam kehidupan sosial budaya

masyarakat Jawa misalnya, teks-teks klasik yang tertuang ke dalam buku

yang sering disebut serat banyak memuat tentang ajaran-ajaran moral dan

nilai pendidikan budi pekerti. Hal ini disebabkan karena masyarakat Jawa

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 22

selalu menjunjung tinggi moral, etika, dan budi pekerti sehingga

mempengaruhi karya sastra pada masa itu. Dibuktikan dengan banyaknya

teks-teks klasik yang berisi tentang piwulang (pelajaran), piweling

(peringatan) dan pitutur (nasihat) seperti teks Serat Wulangreh, Serat

Wulangreh Putri, Serat Nitisastra, serat Centhini, serat Gatholoco, serat

Brotosunu, dan lain-lain.

Sebagai warisan budaya, kajian terhadap teks-teks sastra klasik tersebut

perlu dilakukan untuk mengungkap informasi mengenai berbagai hal

mengenai kehidupan masa lalu, termasuk mengungkap nilai-nilai yang

relevan ketika diterapkan dalam kehidupan saat ini. Salah satu karya sastra

klasik yang juga berisi pelajaran, nasihat ataupun peringatan adalah Serat

Pepeling lan Pamrayoga yang dikarang oleh Jagawigata sekitar tahun 1914.

Berdasarkan etimologi kata yang terdapat dalam judul teks, pepeling berasal

dari kata eling yang berarti mangerti maneh perkara sing wis lawas

(mengetahui kembali perkara yang sudah lalu atau ingat)

(Poerwadarminta,1939: 114) dan pamrayoga berasal dari kata prayoga yang

berarti panglimbang kang becik (pertimbangan yang baik atau saran)

(Poerwadarminta, 1939: 509). Dari kedua kata tersebut dimungkinkan bahwa

teks Serat Pepeling lan Pamrayoga berisi pitutur atau nasihat yang ingin

disampaikan pengarang kepada pembaca.

Teks Serat Pepeling lan Pamrayoga adalah sebuah karya sastra yang

memanfaatkan bahasa sastra sebagai mediumnya. Teeuw dalam Pradopo

(2009 : 106) menganggap bahwa karya sastra adalah sebuah benda mati yang

akan mempunyai makna dan objek estetik jika diberi arti oleh pembaca

(kongkretisasi). Untuk memaknai sebuah karya sastra diperlukan suatu kajian

atau analisis sastra karena dalam sebuah karya sastra tersimpan sesuatu yang

tidak langsung, unik dan kompleks yang menyebabkan sulitnya pembaca

menafsirkan sebuah teks. Untuk itu, diperlukan suatu upaya untuk

menjelaskan, dan biasanya disertai bukti hasil kerja analisis untuk memahami

sebuah karya sastra seperti diungkapkan Nurgiyantoro (2009 : 32), bahwa

tujuan utama kerja analisis sastra, fiksi, puisi ataupun yang lain adalah untuk

dapat memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan, disamping

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 23

untuk membantu menjelaskan pembaca yang kurang memahami karya sastra.

Dalam rangka memahami dan mengungkap sesuatu yang terdapat dalam

karya sastra, khususnya dalam teks tembang, diperlukan suatu analisis sastra

dengan pendekatan semiotik. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-

aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut

mempunyai arti. Selain itu, untuk memaknai sebuah karya sastra yang

berbentuk sajak ataupun tembang seperti teks Serat Pepeling lan Pamrayoga,

diperlukan sebuah pendekatan semiotik melalui pembacaan heuristik dan

hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan tembang berdasarkan

struktur bahasanya. Melalui pembacaan heuristik teks Serat Pepeling lan

Pamrayoga, akan didapatkan makna harfiah atau makna tersuratnya. Namun

dalam banyak kasus, pemaknaan sajak atau tembang tidak cukup hanya pada

pemaknaan secara tersurat karena dalam tembang ataupun sajak juga terdapat

makna tersirat. Karena itu harus dilakukan pembacaan hermeneutik untuk

memperoleh makna secara keseluruhan. Pembacaan hermeneutik adalah

pembacaan ulang sesudah pembacaan heuristik dengan memberi makna pada

konvensi-konvensi sastranya. Dari pembacaan heuristik dan hermeneutik teks

Serat Pepeling lan Pamrayoga tersebut akan didapatkan pemahaman yang

lebih baik untuk mengungkapkan sesuatu yang terkandung di dalamnya, baik

itu ajaran moral ataupun nilai-nilai budi pekerti. Menurut Baroroh Baried

(1985: 1) studi terhadap karya tulis masa lampau perlu dilakukan karena

adanya anggapan bahwa dalam peninggalan tertulis terkandung nilai-nilai

yang masih relevan untuk masa sekarang dan masa mendatang.

B. Pembacaan Semiotik Serat Pepeling lan Pamrayoga

Menurut Hoed dalam Nurgiyantoro (2009: 40), semiotik adalah ilmu atau

metode analisis untuk mengkaji tanda. Kedua teori semiotik tersebut mengacu

kepada pandangan semiotik yang berasal dari teori mengenai bahasa oleh

Sausure dalam Nurgiyantoro (2009: 39) bahwa bahasa merupakan sebuah

sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang

disebut makna. Lebih lanjut dijelaskan menurut Culler dalam Nurgiyantoro

(2009: 39), bahwa bahasa sebagai suatu sistem tanda dalam teks kesastraan,

tidak hanya menyaran pada sistem (tataran) makna tingkat pertama (first

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 24

order semiotic system), melainkan terlebih pada sistem makna tingkat kedua

(second order semiotic system). Hal itu sejalan dengan proses pembacaan teks

kesastraan yang bersifat heuristik dan hermeneutik. Sedangkan menurut

Preminger dalam Pradopo (2009 : 118) semiotik adalah ilmu tentang tanda-

tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan

kebudayaan merupakan tanda-tanda.

Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensikonvensi

yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan

kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah

penggunaan bahasa yang bergantung pada (ditentukan) konvensi-konvensi

tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-

macam cara (modus) wacana mempunyai makna. Sejalan dengan pendapat

Eco (2011: 38) bahwa kebudayaan merupakan sebuah fenomena semiotik.

Kebudayaan dipahami secara menyeluruh jika dilihat dari sudut pandang

semiotik. Benda-benda, perilaku dan hubungan produksi serta nilai-nilai bisa

berfungsi sedemikian rupa secara sosial.

Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan

sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya.

Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah

pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastranya (Pradopo, 2009 :

135). Sedangkan menurut Teeuw dalam Nurgiyantoro (2009: 33),

hermeneutik adalah ilmu atau teknik memahami karya sastra dan ungkapan

bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya. Pradopo (2009: 135)

menjelaskan bahwa dalam pembacaan retroaktif atau hermeneutik,

pembacaan heuristik harus diulang kembali dengan bacaan retroaktif atau

ditafsirkan secara hermeneutik berdasarkan konvensi sastra (puisi), yaitu

sistem semiotik tingkat kedua. Konvensi sastra yang memberikan makna itu

di antaranya konvensi ketaklangsungan ucapan (ekspresi) sajak. Cara kerja

untuk penafsiran karya sastra, menurut Teeuw dalam Nurgiyantoro (2009: 34)

dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya, dan

sebaliknya, pemahaman unsur-unsur berdasarkan keseluruhannya.

C. Deskripsi Serat Pepeling lan Pamrayoga

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 25

Naskah yang dijadikan sebagai bahan penelitian dalam tulisan ini adalah

naskah cetakan bernomor 426, ditulis menggunakan bahasa Jawa dan aksara

Jawa cetak berjudul serat Pepeling lan Pamrayoga. Naskah terdiri atas

halaman sampul, kata pengantar pengarang dan isi yang terdiri atas tiga

pupuh tembang. Naskah tersebut merupakan koleksi Musium Dewantara Kirti

Griya Taman Siswa Yogyakarta. Judul teks serat Pepeling lan Pamrayoga

ditulis dengan menggunakan huruf Jawa. Bahan naskah dari kertas. Ukuran

naskah 14x21 cm, ukuran teks 10x14 cm. Naskah asli cetakan dalam keadaan

baik. Nomor naskah adalah 426. Naskah ini disimpan di Musium Dewantara

Kirti Griya Taman Siswa Yogyakarta. Naskah ini merupakan koleksi Musium

Dewantara Kirti Griya Taman Siswa Yogyakarta.

Keadaan naskah dalam keadaan baik. Terdapat beberapa kertas yang

berlubang di beberapa lembar halamannya. Naskah telah diperbanyak dengan

fotocopy. Ukuran naskah 14 x 21 cm, ukuran teks 10 x 14 cm. Tebal naskah

adalah 4 mm, jumlah lembaran kertas sebanyak 24 lembar dengan nomor

halaman sebanyak 47. Kertas yang digunakan untuk sampul adalah kertas

karton tebal berukuran 14,5 x 21 cm dengan dilapisi kertas sampul berwarna

coklat tipis, sedangkan kertas isi menggunakan kertas HVS berukuran 14,5 x

21 cm. Huruf yang digunakan adalah aksara Jawa. Jenis hurufnya adalah

huruf Jawa cetakan. Warna tinta hitam.

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa baru, berbentuk tembang

macapat. Keseluruhan teks Serat Pepeling lan Pamrayoga ditulis dalam

bentuk tembang kecuali pada bagian kata pengantar. Teks serat tersebut

menggunakan pola persajakan yang berdasarkan kepada konvensi guru gatra

(baris dalam sajak), guru lagu (vokal pada akhir baris) dan guru wilangan (

jumlah suku kata dalam tiap baris). Konvensi guru gatra, guru lagu dan guru

wilangan yang terdapat dalam teks dijabarkan sebagai berikut: (a) Pupuh

pertama teks serat menggunakan konvensi tembang Dhandhanggula yang

berjumlah 54 pada (bait), dengan jumlah baris tiap baitnya (guru gatra)

adalah 10, dan masing-masing guru wilangan dan guru lagunya adalah 10-i,

10-a, 8-e, 7-u, 9-i, 7-a, 6-u, 8-a, 12-i, dan 7-a; (b) Pupuh kedua teks serat

menggunakan konvensi tembang Sinom yang berjumlah 52 pada (bait),

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 26

dengan jumlah baris tiap baitnya (guru gatra) adalah 10, dan masing-masing

guru wilangan dan guru lagunya adalah 10-i, 10-a, 8-e, 7-u, 9-i, 7-a, 6-u, 8-a,

12-i, dan 7-a. (c) Pupuh ketiga teks serat menggunakan konvensi tembang

Pangkur yang berjumlah 51 pada (bait), dengan jumlah baris tiap baitnya

(guru gatra) adalah 10, dan masing-masing guru wilangan dan guru lagunya

adalah 10-i, 10-a, 8-e, 7-u, 9-i, 7-a, 6-u, 8-a, 12-i, dan 7-a.

D. Pembacaan Heuristik Serat Pepeling lan Pamrayoga

Pembacaan terhadap teks Serat Pepeling lan Pamrayoga dilakukan dengan

memperhatikan struktur bahasa, yaitu mengembalikan penyimpangan frasa

dan sintaksis agar dapat mencapai kebulatan makna dalam setiap baris

maupun bait. Penyimpangan frasa (kata) ataupun sintaksis (kalimat) terjadi

karena tembang disusun dengan mengikuti aturan guru gatra, guru lagu, dan

guru wilangan. Berikut ini adalah beberapa pembacaan heuristik terhadap

teks tersebut setelah dilakukan pengembangan struktur kata ataupun kalimat.

Dhandhanggula

Kutipan:

a. ébating tyas kongsi tanpa manis, (amargi) kaprabawan hobahing

rat jawa (ingkang) wimbuh gumrah sabawané, (lan sampun)

manjing (ing) (sa)jro(ning) jaman maju. (prayogané) (ing)kang

tinuju mung aja kongsi, rinêngkuh dén sawiyah. Séjané (namung)

hanjunjung hajining darajat (bangsa) jawa, (kanthi) sayuk hiyêg

gumolong hanunggil budi, (jumbuh kalawan) baya karSaning

Suksma.

Terjemahan:

“Terpananya hati sampai tanpa manis, karena terperdaya

pergerakan bumi Jawa, yang bertambah bergemuruh keadaannya,

dan sudah merasuk ke dalam jaman maju. Sebaiknya yang dituju

hanyalah jangan sampai, menganggapnya sepele. Harapannya hanya

menjunjung harkat dan derajad bangsa Jawa, dengan bersama-sama

bersatu menyatukan kebaikan, sesuai dengan keinginan Tuhan”

kutipan:

b. (kasunyatan menika) paring osik kang hutama yêkti, (nun inggih

osik ingkang) tumuwuh ing têmbung : kamajuwan, (ingkang

sampun) lumrah dadi kêmbang lambé. Nyata (menika saged dados)

sèwu pitulung(ngan). (ing) lêngnging cipta (mung) kari mumuji,

(mugi-mugi) wijining kamajuwan bangkit katumuju (kasunyatan)

(ingkang) jumbuh lawan (dhawuhe) Sa(ng)winênang, sumawana

kang samya pantês ngayomi, (mrih) hayuning wiyah janma.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 27

Terjemahan :

“Kenyataan ini memberi peringatan yang sangat penting, yaitu

peringatan yang muncul dalam kata „kemajuan‟, yang sudah wajar

menjadi bunga bibir. Nyatalah ini bisa menjadi seribu pertolongan.

Di kedalaman hati tinggallah berdoa, semoga benih kemajuan bisa

bangkit menuju kenyataan, yang sesuai dengan perintah Tuhan, dan

juga akan pantas memberi pengayoman untuk kesejahteraan

manusia”

Kutipan:

c. tinuwuhna piwêlas ing galih, (a)wit tan liyan jiwaning kawula,

(tansah) tinalèn sih wilasané (Gusti Allah). déné (ing)kang sêdya

(nggayuh urip ingkang) rukun, mung miliha (wong) kang mitulungi,

(yaiku wong ingkang) (nu-)tuduh(-ake) bênêring marga. aja (sira)

slura-sluru, karana yèn tan rinêksa, nora wurung (bakal) kadi

sulung (ing) lêbu gêni, (ingkang) barêng tibèng (tiba ing) sangsara.

Terjemahan:

“Lahirkanlah rasa kasih-mengasihi di dalam hati, karena tak lain

jiwa-jiwa manusia selalu terikat kasih sayang gusti Allah.

Sedangkan yang berniat menggapai hidup rukun, hanya memilihlah

orang yang memberi pertolongan, yaitu orang yang menunjukkan

jalan kebenaran. Jangan kamu sering salah, karena jika tidak

waspada, pasti akan seperti laron dalam debu api, yang bersamaan

jatuh dalam kesengsaraan”

E. Pembacaan Hermeneutik Serat Pepeling lan Pamrayoga

Pembacaan hermeneutik terhadap teks Serat Pepeling lan Pamrayoga

dilakukan dengan memperhatikan konvensi-konvensi seperti konvensi

ketaklangsungan ekspresi yang disebabkan oleh displacing of meaning,

distorting of meaning dan creating of meaning. Konvensi tersebut disebabkan

oleh penggunaan bahasa kiasan, sarana retorika, dan gaya bahasa pada

umumnya. Berikut pembacaan hermeneutik terhadap teks Serat Pepeling lan

Pamrayoga setelah melakukan pembacaan ulang atas pembacaan heuristik.

Dhandhanggula

Kutipan:

a. hébatting tyas kongsi tanpa manis, kaprabawan hobahhing rat

jawa, wimbuh gumrah sabawané. manyjing jro jaman maju. kang

tinuju mung haja kongsi, rinêngkuh dén sawiyah. séjané

hanyjunyjung, hajining darajat jawa, sayuk hiyêg gumolong

hanunggil budi, baya karSaning Suksma.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 28

Terjemahan:

hati saya (pengarang) begitu terpana sehingga tak mampu

mengucapkan kata-kata sanjungan, karena terperdaya saat

memperhatikan perkembangan sosial budaya di tanah Jawa, yang

keadaannya semakin bertambah bergemuruh, dan sudah merasuk ke

dalam jaman maju. Sebaiknya yang dituju hanyalah jangan sampai,

dikuasai dan disepelekan. Harapannya hanya menjunjung harkat dan

derajad bangsa Jawa, dengan bersama-sama bersatu menyatukan

kebaikan, sesuai dengan keinginan Tuhan.‟

Kata tanpa manis pada baris pertama dapat disebut sebagai ambiguitas,

karena kata tersebut memiliki arti ganda dan menimbulkan banyak tafsiran.

Ambiguitas adalah salah satu penyebab terjadinya distorting of meaning

(penyimpangan arti). Ebating tyas kongsi tanpa manis dapat ditafsirkan

dalam beberapa arti bahwa terpananya hati sampai tak mampu merasakan

manis, terpana hingga tak merasa nyaman, atau mungkin tanpa ukara

ingkang manis (tanpa kalimat yang indah), atau mungkin juga manis yang

dimaksud adalah mulut manis seorang penyanjung.

Ambiguitas secara tidak langsung memberi kesempatan kepada pembaca

untuk menafsirkan sesuai pemahaman pembaca. Selain ambigu, pada kata

tersebut terdapat konvensi berupa sarana retorika yang terdapat pada kata

manis. Pengarang memilih menggunakan kata manis dalam tanpa manis

dimaksudkan untuk memenuhi tradisi penggunaan sasmitaning tembang

(simbol tembang). Sasmitaning tembang tembang Dhandhanggula yang

sering digunakan adalah kata gendhis, sarkara, manis, madu, dhandhang,

yoga dan sebagainya. Melalui kata manis tersebut pengarang memberi tahu

kepada pembaca bahwa pada jenis tembang yang digunakan pada pupuh

pertama adalah tembang

Pada bait pertama, selain terdapat distorting of meaning juga terdapat

displacing of meaning (penggantian arti) dan creating of meaning (penciptaan

arti). Penggantian arti dalam bait tersebut disebabkan oleh penggunaan

personifikasi dalam kata obahing rat jawa. Sudah sewajarnya bumi bergerak,

tetapi bumi bukan hanya milik orang Jawa saja. Karena itu personifikasi

obahing rat Jawa dalam bait tersebut dapat ditafsirkan sebagai perkembangan

atau perubahan dalam segala bidang, seperti bidang sosial dan kebudayaan

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 29

yang terjadi di tanah Jawa. Penciptaan arti dalam teks tersebut berkaitan

dengan persajakan yang dalam puisi Jawa disebut konvensi guru gatra, guru

lagu dan guru wilangan. Pupuh pertama teks serat Pepeling lan Pamrayoga

terdiri atas 54 bait tembang dengan konvensi guru gatra, guru lagu dan guru

wilangannya adalah 10-i, 10-a, 8-e, 7-u, 9-i, 7-a, 6-u, 8-a, 12-i, dan 7-a.

Berdasarkan konvensi tersebut serta berdasarkan sarana retorika yang

diwujudkan dalam sasmitaning tembang, dipastikan bahwa jenis tembang

yang digunakan adalah tembang Dhandhanggula. Seperti jenis tembang yang

lainya, tembang Dhandhanggula juga memiliki watak dan kegunaan. Watak

dari tembang Dhandhanggula adalah luwes, bersemangat dan serba pas yang

gunanya untuk memberikan nasihat atau pitutur. Jadi melalui konvensi

tersebut, secara tidak langsung pupuh pertama yang terdiri dari 54 bait

menjelaskan bahwa teks berisi nasihat-nasihat yang disampaikan pengarang

dengan bersemangat.

F. Kesimpulan

Melakukan analisis pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan ulang

(retroaktif) terhadap hasil pembacaan heuristik ditemukan konvensi-konvensi

dalam tembang, seperti konvensi bahasa kiasan, sarana retorika dan gaya

bahasa pada umumnya, yang menjadikan pemaknaan teks lebih lengkap dan

semakin mudah dimengerti. Konvensi ketaklangsungan ekspresi yang

terdapat dalam teks serat Pepeling lan Pamrayoga lebih banyak disebabkan

oleh penggunaan displacing of meaning (penggantian arti) karena

penggunaan bahasa kiasan seperti personifikasi, metafora, simile, alegori, dan

beberapa disebabkan oleh distorting of meaning (penyimpangan) serta

creating of meaning (penciptaan arti).

Berdasarkan konvensi sarana retorika yang diwujudkan dalam sasmita

tembang dan konvensi guru gatra, guru lagu dan guru wilangan, jenis

tembang yang digunakan dalam teks serat Pepeling lan Pamrayoga ada 3,

yaitu Dhandhanggula, Sinom dan pangkur. Sasmita tembang dhandhanggula

adalah kata manis, kata nonoman untuk tembang sinom, dan kata ungkurna

untuk pangkur. Pembaitan (rima) dari masing-masing tembang tersebut

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 30

adalah 10-i, 10-a, 8-e, 7-u, 9-i, 7-a, 6-u, 8-a, 12-i dan 7-a. Pupuh tembang

dhandhanggula, 8-a, 8-i, 8-a, 7-i, 8-u, 7-a, 8-i, dan 12-a untuk pupuh

tembang sinom, 8-a, 11-i, 8-u, 7-a, 12-u, 8-a, dan 8-i untuk pupuh tembang

pangkur. Tembang dhandanggula yang terdiri dari 54 bait berisi tentang

kritik dan saran pengarang terhadap cara berpikir orang-orang yang keliru

dalam kehidupannya. Tembang sinom yang terdiri dari 52 bait berisi tentang

nasihat dan saran kepada para pemimpin sebuah perkumpulan untuk selalu

waspada dalam setiap langkahnya serta terus berusaha memajukan

perkumpulannya sehingga dapat memakmurkan warga masyarakat. Tembang

pangkur yang terdiri dari 51 bait berisi tentang nasihat dan saran untuk

menjaga tatanan kehidupan di desa, serta nasihat kepada kaum pekerja dan

pedagang agar adil, rukun dan jujur dalam mengupayakan kemajuan.

Keseluruhan makna yang didapatkan dari teks serat Pepeling lan Pamrayoga

adalah tentang kritik, saran dan nasihat yang ditujukan kepada seluruh lapisan

masyarakat Jawa agar waspada dalam setiap langkah dan keputusannya untuk

bersama-sama satu tekad dan satu tujuan bersatu mewujudkan cita-cita

organisasi dalam memakmurkan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Baried, Siti Baroroh dkk. 1985. Pengantar Teori Folologi. Jakarta : Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan

Eco,Umberto. 2011. Teori Semiotika ; Signifikasi Komunikasi, Teori kode,

serta

teori produksi – tanda. Bantul : Kreasi Wacana Offset

Nurgiyantoro,Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press

Pradopo,Rachmat Djoko. 2009. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik,dan

Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Poerwadarminta. 1939. Baoesastra Djawa. Jakarta: J.B. Wolters Iutgevers

Maatschappij.

KAJIAN FEMINISME DALAM LAYANG PANUNTUN

KAMULYANING BOCAH WADON

KARYA RADEN WIRAWANGSA

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 31

Herlina Setyowati, Djoko Sulaksono, Apriliani Ekaningsih

Universitas Muhammadiyah Purworejo

ABSTRAK

Konsep fundamental Jawa mengenai kedudukan seorang wanita

di masyarakat masih menjadi hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Keberadaan karya sastra yang adapun, sedikit banyak terpengaruh oleh

feminism atau konsep kesetaraan gender. Begitupun karya sastra tulis

Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon karya Raden Wirawangsa.

Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon diartikan sebagai

buku penuntun kemuliaan bagi anak perempuan. Teks sastra ini berisi

nasehat pengarang mengenai pentingnya memuliakan anak perempuan

agar menjadi wanita yang mandiri. Sebagai salah satu teks sastra klasik

yang menyampaikan kebangkitan wanita Jawa dalam status sosial

budayanya, Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon menjadi bukti

bahwa teks sastra tersebut merupakan hasil imajinasi pengarang atas

pengaruh situasi sosial budaya pada masa itu. Bagaimanapun juga, karya

sastra merupakan perpaduan harmonis antara lingkungan dan faktor

kehidupan pengarang.

Kata Kunci : Feminisme, Relevansi, Layang

A. Pendahuluan

Karya sastra merupakan hasil kerja pemikiran kreatif pengarang atas

pengaruh kehidupan sosial dan budaya di masa pengarang mencipta sebuah karya

sastra. Melalui karya satra, seorang pengarang menuangkan gagasan, pandangan,

dan pendapatnya menjadi sebentuk dunia baru yang menarik. Dalam kesusastraan

Jawa, ide-ide pengarang atas kondisi sosial budaya di masa lalu disampaikan

secara kreatif ke dalam bentuk gancaran (prosa) ataupun tembang (puisi Jawa).

Dari teks-teks sastra Jawa, baik yang berbentuk prosa ataupun tembang, beberapa

diantaranya membahas mengenai kehidupan sosial budaya wanita-wanita Jawa.

Dalam dunia nyata ataupun dunia sastra, status sosial wanita dalam masyarakat

Jawa berada pada posisi sebagai pelayan bagi kaum laki-laki. Wanita dilekatkan

dengan istilah “dapur, sumur, kasur” yang berarti harus memasak, mencuci untuk

seluruh anggota keluarga, dan melayani suami di kasur. Dalam masyarakat Jawa

juga ada istilah yang ditujukan kepada wanita yaitu masak, macak, manak, yang

berarti memasak, bersolek dan melahirkan anak-anak untuk suaminya. Istilah-

istilah tersebut terasa menyakitkan bagi kaum wanita, karena wanita terkesan

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 32

hanya sebagai pelayan bagi kepentingan kaum lelaki, walaupun disadari memang

kondisi tersebut adalah kodrat semua wanita.

Penindasan terhadap hak wanita-wanita Jawa telah terjadi berabad-abad

lamanya. Penindasan itu terlihat dengan jelas pada keluarga yang feodalistik,

seperti keluarga priyayi pada masyarakat Jawa. Dalam kebudayaan priyayi,

konstruksi gender berkembang sangat kuat. Masyarakat priyayi bersifat

patriarkhal, dengan menonjolkan peran dominan kaum laki-laki. Kaum

perempuan ditempatkan pada peran yang kurang penting. Kaum laki-laki adalah

pemimpin dan bersifat otoriter, sehingga seorang istri pejabat tidak boleh keluar

rumah pada saat suami tidak ada di rumah, istri diharuskan berbusana rapi, bersih,

berwajah cerah, tidak boleh mendahului makan sebelum suaminya makan, dan

istri tidak boleh mengeluh jika suaminya memiliki selir walaupun lebih dari satu.

Ini menunjukkan bahwa wanita hanyalah menjadi pelayan bagi kepentingan laki-

laki, terlebih kepada kepentingan biologis saja.

Begitupula pada masyarakat pedesaan, wanita hanyalah diberi posisi

sebagai pengurus rumah tangga dan tidak diperkenankan mencampuri urusan

kaum lelaki. Untuk menyelamatkan hak perempuan yang tertindas berabad-abad

lamanya, munculah gerakan feminisme, yaitu gerakan wanita yang mengusahakan

persamaan hak antara pria dan wanita. Tokoh pelopor feminisme di Indonesia

yang terkenal adalah R.A. Kartini. Beliau sebagai keturunan priyayi Jawa yang

mampu membebaskan diri dari kekangan tradisi budaya Jawa, dengan dibantu

teman-temanya dari Belanda. Kartini mampu membentuk pola pikir baru dalam

masyarakat, yaitu bahwa wanita berhak mendapatkan kesempatan yang sama

dengan laki-laki dalam hal memperoleh pendidikan.

Semenjak permasalahan Kartini menjadi acuan semua wanita Indonesia

khususnya di Jawa, banyak sekali karya sastra lama yang berusaha menyajikan

konsep kesetaraan gender. Para pujangga berlomba-lomba menuangkan idenya

tentang konsep-konsep hidup wanita Jawa. Salah satu karya sastra lama tersebut

adalah Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon karya Raden Wirawangsa

yang ditulis pada tahun 1917 menggunakan bahasa dan aksara Jawa. Berdasar

judulnya, Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon yang diartikan sebagai

buku penuntun kemuliaan anak perempuan, dimungkinkan berisi nasehat

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 33

pengarang mengenai pentingnya memuliakan anak perempuan agar menjadi

wanita yang mandiri. Sebagai salah satu teks sastra klasik yang menyampaikan

kebangkitan wanita Jawa dalam status sosial budayanya, Layang Panuntun

Kamulyaning Bocah Wadon menjadi bukti bahwa teks sastra tersebut merupakan

hasil imajinasi pengarang atas pengaruh situasi sosial budaya pada masa itu.

Perkembangan feminisme di Jawa sangat menarik untuk dikaji, terlebih

yang tertuang dalam teks-teks sastra klasik. Namun sayangnya teks-teks sastra

klasik sudah tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat, sehingga pengkajian

mengenai feminisme terhadap teks sastra klasik masih sangat jarang. Hal tersebut

disebabkan karena teks Layang panuntun Kamulyaning Bocah wadon ditulis

menggunakan aksara dan bahasa Jawa yang sudah tidak dimengerti oleh pembaca

masa kini, serta kurangnya minat masyarakat terhadap teks-teks klasik.

B. Pemahaman Konsep Feminisme Wanita Jawa

Menurut Moeliono dalam Sugihastuti (2010: 18) dalam arti leksikal,

feminisme ialah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara

kaum wanita dan pria. Sependapat dengan Fakih (2008:100), feminisme

merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur

yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil perempuan maupun laki-laki.

Sedangkan Goefe dalam Sugihastuti dan Itsna (2007: 18) menjelaskan bahwa

Feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di

bidang politik ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganiasi yang

memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Inti tujuan feminisme

adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar

dengan kedudukan serta derajat laki-laki (Djajanegara, 2003:4).

Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ada berbagai

cara. Salah satu cara adalah berjuang untuk hak dan lingkungan keluarga dan

rumah tangga, yang sering disebut dengan gerakan pembebasan wanita. Agar

mampu mandiri, pertama-tama perempuan harus diberi kesempatan untuk

memperoleh pendidikan yang memungkinkan perempuan mengasah daya

pikirnya. Dengan daya pikir terasah, wanita akan sanggup mengembangkan

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 34

dirinya lebih lanjut, yaitu mencapai kemandirian ekonomis, yang pada akhirnya

akan memberikan kekuasaan (Djajanegara, 2003: 5).

Tuntutan kaum feminis mula-mula mencakup bidang hukum, ekonomi dan

sosial. Tuntutan-tuntutan di bidang hukum, meliputi hak-hak dalam perkawinan

seperti yang telah diatur dalam undang-undang perkawinan. Di bidang ekonomi,

tuntutan kaum feminis antara lain meliputi hak atas harta. Sebelum kawin, harta

seorang wanita dikuasai ayah atau saudara-saudara laki-lakinya, sesudah kawin

hartanya menjadi milik suaminya. Lebih dari itu, sebagian besar lapangan kerja

tertutup bagi wanita. Kalaupun diberi kesempatan untuk mencari nafkah, upah

yang diterimanya jauh lebih rendah daripada upah yang diterima kaum laki-laki.

Di bidang sosial pun hak-hak perempuan sangat terbatas.

Tradisi menghendaki wanita menjadi pengurus rumah tangga dan

keluarga, sehingga sebagian besar masa hidupnya dihabiskan dalam lingkungan

rumah saja. Wanita tidak diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan tinggi,

memangku jabatan-jabatan tertentu, atau menekuni profesi-profesi tertentu

(Djajanegara, 2003: 6).

Melihat posisi perempuan yang sulit, kaum feminis sadar bahwa satu-

satunya jalan untuk mampu terjun ke dunia politik adalah melalui pendidikan.

Dengan harapan melalui pendidikan, pengetahuan mereka menjadi luas dan

mereka bisa mengetahui liku-liku berbagai bidang termasuk bidang politik yang

selalu didominasi kaum laki-laki (Djajanegara, 2003: 7). Fakih dalam Binarti

(2009: 19) menjelaskan bahwa feminism sebagai gerakan pada mulanya berangkat

dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya tertindas dan dieksploitasi,

maka mereka berusaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut.

Walaupun ada perbedaan antar feminis mengenai apa, mengapa, dan bagaimana

penindasan dan eksploitasi itu terjadi, tetapi mereka sepaham, pada hakekatnya

perjuangan feminis itu demi kesamaan dan mengontrol raga serta kehidupan baik

di dalam maupun di luar rumah.

Feminisme tidak hanya memperjuangkan emansipasi perempuan di

hadapan kaum laki-laki saja, tetapi mereka juga sadar bahwa laki-laki juga

mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi

dari sistem yang tidak adil. Dengan demikian strategi perjuangan panjang gerakan

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 35

feminisme tidak sekedar upaya pemenuhan kebutuhan praktis kaum perempuan

atau hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya, seperti:

eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan dan penjinakan belaka,

melainkan perjuangan transformasi sosial ke arah pencipta struktur yang secara

fundamental baru dan lebih baik. Dari beberapa pendapat di atas, penulis

menyimpulkan bahwa feminisme dipahami sebagai suatu gerakan kaum wanita

yang menuntut persamaan hak antara kaum wanita dan laki-laki dalam bidang

politik, sosial, budaya, dan beberapa bidang lain untuk menekan ketertindasan

kaum wanita yang telah terjadi selama ribuan tahun.

C. Feminisme dalam Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon

Kajian feminisme terhadap Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon

dilakukan dengan mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh wanita untuk dicari

kedudukannya di dalam masyarakat. Kajian feminisme secara lengkap adalah

sebagai berikut.

a. Kedudukan Tokoh-tokoh Wanita Dalam Masyarakat

Sarpinah adalah seorang anak perempuan dari pasangan Bekel Jagakarya.

Sedangkan Ruminah adalah anak perempuan seorang Lurah di desa Karang Lo,

yang bernama Lurah Karti Rumeksa.

Sebagai anak-anak yang ditakdirkan menjadi wanita dalam tradisi Jawa,

kesempatan mendapatkan pendidikan adalah sebuah hal yang sulit. Hal ini

disebabkan atauran tradisi yang

menghendaki wanita hanya menjadi sosok pengurus rumah tangga saja. Namun,

berkat bantuan tokoh-tokoh lain, kedua anak perempuan tersebut bisa

mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan. Pada awal cerita, kedua tokoh

tersebut tidak ditampilkan. Namun pada akhir cerita, pengarang lebih banyak

mengisahkan kedua tokoh tersebut. Dikisahkan, dalam kedua tokoh tersebut

mengusahakan kepandaiannya, mereka sambil mengajar anak-anak perempuan

dari masyarakat kelas bawah. Usaha mereka dalam mengusahakan peningkatan

kemampuan kaum wanita pada masa itu mendapat respon positif dari masyarakat.

Hal ini tampak pada kutipan berikut.

Kutipan :

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 36

Bocah loro mau anggone padha marsudi undhaking

kapinterane, disambi angeberake kawruhe mulang marang

bocah bocah wadon anake wong cilik ing desa kono. Mula

wong sadesa padha seneng kabeh pikire sarta amumuji

marang bocah loro mau, bisaa lestari ing salawas lawase

dadi panutaning bocah wadon kabeh (Wirawangsa,55)

Terjemahan :

“Kedua anak tersebut dalam mengusahakan peningkatan

kepandaiannya, sambil menyebarkan pengetahuan dengan

mengajar anak-anak perempuan masyarakat kecil desa

tersebut. Sehingga orang satu desa sangat gembira serta

memuji kedua anak tersebut, semoga bisa selamanya

bertahan menjadi panutan semua anak perempuan‟

Begitu terhormatnya mereka dalam kalangan masyarakat karena usaha

mereka dalam mengembangkan kemampuan wanita dengan mendirikan sekolahan

swasta. Anak didik mereka sudah mencapai sekitar limapuluh. Kenyataan tersebut

adalah hal yang membanggakan, karena di desa bisa berdiri sekolah untuk wanita

dengan murid sebanyak itu.

b. Tujuan hidup Tokoh-tokoh Wanita

Dari uraian tentang kedudukan tokoh di atas sudah dapat digambarkan

bahwa tujuan hidup Sarpinah dan Ruminah adalah memperjuangkan hak-hak

mereka para kaum wanita agar kehidupannya tidak tergantung kepada laki-laki.

Hal ini juga tampak pada kutipan berikut.

Kutipan :

Dene nalika samana si ruminah umur 13 tahun, si sarpinah

umur 12 tahun, dadi dheweke isih padha kaconggah

ambanjurake kawruhe sarana tuku buku buku pangawikan

kanggoning bocah wadon, sabab bocah loro mau padha

karepe sumedya anggayuh bisaa dadi guru wadon,

kapengine banget ambabarake kapinteran lan kawruhe,

aweh pangajaran marang kanca kancane bocah wadon

padesan anake wong miskin, supaya padha weruh marang

pangajaran kang nuntun marang kautamaning uripe

(Wirawangsa, 54)

Terjemahan :

“Saat itu Ruminah berumur 13, sedangkan Sarpinah

berumur 12 tahun, jadi mereka masih sangat bersemangat

meningkatkan pendidikan dengan membeli buku-buku

tentang keahlian wanita, karena kedua anak tersebut

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 37

mempunyai keinginan yang sama yaitu ingin menjadi guru

wanita, ingin sekali memberikan kepandaian dan

pengetahuanya, memberikan ilmu kepada teman-teman

wanita desa anak orang miskin, agar mendapatkan ilmu

yang menuntun kepada kehidupan yang lebih baik‟

Dari kutipan tersebut memperjelas tujuan hidup Ruminah dan Sarpinah,

yaitu mereka sangat ingin penjadi penggerak kebangkitan kaum wanita dari

kobodohannya demi kehidupan yang lebih baik di masa depan. Akan tetapi, apa

yang dilakukan Sarpinah dan Ruminah tidak serta merta diteladani oleh kaum

wanita lain. Misalnya, tokoh Ibu Bekel Jagakarsa. Sebagai seorang istri dalam

tradisi Jawa, tidak banyak hal yang bisa diinginkan seorang wanita selain tunduk

kepada aturan yaitu mengikuti perintah serta melayani suami. Karena posisinya

yang hanya tunduk kepada suami, kemampuan wanita menjadi tidak dapat

berkembang. Mereka telah terbiasa dengan kenyataan yang ada sehingga aplikasi

dalam kehidupannya juga dipetik dari tradisi yang ada, seperti pada kutipan

berikut.

Kutipan :

pakne, ajeng sampeyan gayuhaken napa anak sampeyan.

Hathik anak wadon mawon ngangge disekolahake barang.

Bocah wadon niku anggere empun bisa ngopen-openi

ngomah kalih olah-olah, ajeng napa malih. Boten kangge

kalih sing lanang bok gih kajenge, neh, tiwas ngekeh-kehi

ragat, ning boten enten prelune, boten wurung wong wadon

gih taksih dadi reh-rehane wong lanang. Bocah wadon niku

watone burus atine, boten duwe patrap ala, rak empun

cukup. Niku yen kula, lo (Wirawangsa, 39)

Terjemahan :

“Pakne, akan kamu jadikan apa anakmu. Anak perempuan

kok disekolahkan segala. Anak perempuan itu jika sudah

bisa merawat rumah dan masak, mau apa lagi. Tidak

dipakai oleh suaminya ya biarkanlah. Selain itu, kita sudah

mengeluarkan banyak biaya, tetapi tidak ada perlunya, pada

akhirnya perempuan juga masih menjadi alat para pria.

Anak perempuan itu jika hatinya halus, tidak memiliki sifat

buruk, itu sudah cukup. Itu kalau saya lho”.

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Ibu Bekel sebagai seorang wanita

yang sudah lama berada dalam lingkaran tradisi, telah tunduk dan

mengaplikasikan keadaan yang ada kepada anaknya. Tokoh tersebut tidak

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 38

berusaha mengubah keadaan yang ada, tetapi hanya pasrah dengan keadaan

karena merasa tidak mungkin mampu. Tokoh ini dianggap tidak memiliki tujuan

untuk mendukung gerakan feminisme karena hanya melestarikan tradisi

ketertindasan wanita. apapun kenyataan yang ada, tokoh ini hanya mengikuti

keputusan suaminya, seperti pada kutipan berikut.

Kutipan :

ah, boten prelu, wong kula empun monat manut mawon,

kok dadak ken golek pasaksen malih (Wirawangsa, 46).

Terjemahan :

“ah, tidak perlu, saya sudah ikut saja, tidak perlu mencari saksi lagi”.

D. Relevansi Feminisme Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon

terhadap Kehidupan Sekarang

Walaupun Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon adalah sebuah

karya sastra lama yang dibuat dengan tujuan untuk memberikan tuntunan dalam

kehidupan masyarakat Jawa pada masa

lalu, tetapi isinya masih memiliki hubungan atau berkaitan dengan kehidupan

sekarang. Hal ini dikarenakan saat ini masih banyak kaum wanita yang masih

tertidas oleh kepentingan kaum laki-laki. Relevansi Feminisme Layang Panuntun

Kamulyaning Bocah Wadon terhadap kehidupan saat ini adalah sebagai berikut:

a. Pendidikan dalam segala bidang untuk kaum wanita perlu terus

diusahakan, seperti pada kutipan berikut.

Kutipan :

“Dene sagedipun tiyang jawi naracak pinter, manawi estrinipun

sampun tumut pinter” (Wirawangsa, 14)

Terjemahan :

“bisanya masyarakat Jawa menjadi pandai-pandai, jika kaum

wanitanya juga sudah ikut pandai‟

b. Kaum wanita dituntut terus meningkatkan kemampuannya agar

kehidupannya menjadi lebih baik, seperti kutipan berikut.

Kutipan :

“Meruhana apese wong tinitah dadi wadon, yen ora pinter

pinter, saiki kalakon mung bakal dadi dolanane wong lanang

bae, tangeh angrasakake kamuktening wong jojodhowan, ora

wurung disawiyah lan dianggep kaya bature sing ala banget

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 39

kae” (Wirawangsa, 52)

Terjemahan :

“Ketahuilah sialnya ditakdirkan menjadi perempuan, jika tidak

pandai-pandai, sekarang bisa hanya menjadi permainan lakilaki

saja, tidak akan bisa merasakan kemuliaan pernikahan,

yang pada akhirnya disia-siakan dan dianggap seperti

pembantu yang paling buruk itu”

Dari kutipan tersebut dijelaskan bahwa manusia yang ditakdirkan menjadi

perempuan yang tidak pintar adalah sebuah kesialan karena justru hanya akan

menjadi bahan permainan kaum lelaki saja, tidak akan mungkin merasakan

puncak kenikmatan orang berumah tangga, yang nantinya pasti akan diangap

seperti pembantunya yang paling buruk itu. Karena itu wanita dituntut mampu

meningkatkan kemampuannya setiap saat agar kehidupannya menjadi lebih baik.

c. Walaupun wanita terus memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki

dengan perempuan, wanita tidak boleh lupa kepada kodratnya sebagai wanita. hal

tersebut tampak dalam kutipan berikut.

Kutipan :

“Lare estri lajeng rumaos anggenipun dados

patih. Patih makaten wewenangipun namung andamel tata

tentreming praja, anyumerepi punapa kuwajibanipun

kaliyan atiti” (Wirawangsa, 28)

Terjemahan :

Lalu anak perempuan merasa menjadi seorang patih. Patih

itu hanya berwenang menciptakan ketentraman negara,

mengetahui apa yang menjadi kewajibanya.

Kutipan :

“prasasat patih wicaksana dhateng lurah

kridhaning westhi, amadhangi sureming praja sarta saged

adamel tata tentreming sakukubanipun”. (Wirawangsa, 28)

Terjemahan :

Seperti patih bijaksana kepada lurah, menerangi kegelapan

negara serta bisa menciptakan ketentraman wilayahnya.

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa wanita dalam keluarga diibaratkan

sebagai patih yang berwenang menjaga ketentraman keluarga dengan memahami

apa yang menjadi kewajiban kodrat wanita. Sedangkan suami adalah seorang raja

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 40

yang memimpin keutuhan keluarga. Jadi, walaupun wanita memiliki hak yang

sama, tidak boleh lupa akan kodratnya sebagai seorang wanita.

E. Kesimpulan

Berdasarkan kajian feminisme terhadap teks Layang Panuntun Kamulyaning

Bocah Wadon, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

1. Teks Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon dibuat pengarang

sebagai wujud kampanye kebangkitan wanita dalam menuntut persamaan

hak dalam bidang pendidikan, dimana wanita berkesempatan memperoleh

pendidikan setinggi-tingginya.

2. Tokoh-tokoh, watak, dan ide-ide yang disampaikan oleh tokoh-tokoh

tersebut mewakili ide pengarang tentang gerakan feminisme. Melalui teks

tersebut, pengarang ingin mengubah pandangan masyarakat bawah yang

masih terikat tradisi Jawa dimana wanita tidak mendapatkan hak untuk

mendapatkan pendidikan.

3. Relevansi Feminisme teks Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon

dengan kehidupan saat ini adalah tentang kewajiban mengusahakan

pendidikan dalam segala bidang untuk kaum wanita. Kaum wanita dituntut

terus meningkatkan kemampuannya agar kehidupannya menjadi lebih baik.

Selain itu walaupun wanita saat ini telah mendapatkan kesempatan untuk

terus memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan,

tetapi wanita tidak boleh lupa kepada kodratnya sebagai wanita.

DAFTAR PUSTAKA

Sugiastuti dan Itsna Hadi. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta

: Pustaka Pelajar.

Fakieh, Mansoer. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra feminis; Sebuah Pengantar. Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama.

Binarti, Sadar. 2009. Skripsi: Kajian Feminisme Novel Sintru, Oh Sintru Karya

Suryadi WS: Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa FKIP Universitas

Muhammadiyah Purworejo

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 41

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL

ORANG TUA DENGAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA

JAWA PESERTA DIDIK SMP NEGERI 2 KALIWIRO

KABUPATEN WONOSOBO

Aris Hidayat, Gusti Surawening Pradanasiwi

Universitas Muhammadiyah Purworejo

ABSTRAK

Bahasa Jawa pada hakekatnya merupakan identitas dan sebagai

pembentuk budi pekerti orang Jawa. Bahasa Jawa memiliki unggah-ungguh

bahasa yang khas. Unggah-ungguh adalah tata cara berbahasa sesuai dengan

tata krama, yakni tata cara berbicara terhadap orang lain dan tindak tanduk

serta tingkah laku yang baik dan tepat.

Sekolah atau pendidikan formal menjadi salah satu cara menanamkan

pendidikan karakter bagi para peserta didik. Akan tetapi, keterbatasan waktu

belajar di sekolah menuntut peran serta orang tua dalam membantu

pembentukan karakter peserta didik, tingkat pendidikan formal orang tua

mempengaruhi cara mendidik dan membentuk karakter peserta didik.

Karakter peserta didik yang baik dapat terlihat dari sopan santun dan cara

bicara peserta didik. Sopan santun keseharian peserta didik di sekolah

mencerminkan kebiasaan peserta didik dalam keluarga.

Kata-kata kunci : pendidikan karakter, peserta didik, unggah-ungguh

bahasa Jawa

A. Pendahuluan

Bahasa Jawa ialah bahasa ibu orang-orang Jawa yang tinggal terutama, di

propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur

(Pudjasoedarma, 1979:1). Bahasa Jawa berkedudukan sebagai bahasa daerah dan

identitas daerah. Selain sebagai bahasa daerah dan bahasa ibu, bahasa Jawa

dijadikan sebagai media pembentuk budi pekerti yang sesuai dengan unggah-

ungguh pada generasi muda, karena dalam bahasa Jawa terdapat tingkat tutur

yang digunakan untuk membedakan tingkat sosial penuturnya. Tingkat tutur

tersebut adalah untuk menghormati lawan tutur atau lawan bicaranya.

Dalam berkomunikasi dengan orang tua banyak yang tidak memperhatikan

unggah-ungguh.Unggah-ungguh adalah tata cara berbahasa sesuai dengan tata

krama, yakni tata cara berbicara terhadap orang lain dan tindak tanduk serta

tingkah laku yang baik dan tepat. Undha usuk adalah variasi-variasi bahasa yang

perbedaan antara satu dan lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 42

ada pada pembicara terhadap mitra bicara (Sutardjo, 2008:16). Unggah-ungguh

bahasa tersebut mewujudkan adat sopan santun bahasa jawa, karena kebiasaan

menggunakan sopan santun bahasa adalah ciri kepribadian masyarakat jawa

(Sutardjo, 2008:10-11). Upaya pelestarian perlu dilakukan mengingat saat ini ada

gejala yang menunjukkan bahwa Bahasa Jawa akan ditinggalkan oleh penuturnya,

terutama kaum muda. Upaya yang paling tepat dan harus dilakukan adalah

melalui jalur pendidikan, yaitu melalui pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa

dalam kerangka Budaya Jawa. Jalur ini merupakan upaya yang dapat dikatakan

sangat efektif dalam usaha pelestarian Kebudayaan dan Bahasa Jawa.

Upaya pelestarian Bahasa Jawa kiranya tidak cukup jika hanya melalui

pembelajaran di sekolah. Dalam kenyataannya bahwa hampir sebagian besar

masyarakat Jawa Tengah menggunakan Bahasa Jawa dalam kegiatan non-formal

sehari-hari, baik dalam keluarga, dengan masyarakat, maupun dalam situasi-

situasi formal yang mengharuskan orang berbahasa Jawa.

Bahasa Jawa juga sebagai sarana pendidikan karakter yang paling baik.

Pendidikan ini dimulai dari keluarga atau orang tua. Tingkat pendidikan formal

orang tua dapat menentukan tingkat perhatian dan bimbingan dalam proses

pembelajaran peserta didik di rumah yang pada akhirnya dapat berpengaruh pada

prestasi belajar peserta didik. Bimbingan dan perhatian orang tua dalam belajar

terhadap anak di rumah berguna dalam membantu mengatasi masalah-masalah

belajar atau kesulitan belajar dan membantu menyelesaikan tugas sekolah

(Parmonodewo, 2003:125). Lebih lanjut Parmonodewo (2003:126) menyatakan

bahwa kualitas bimbingan orang tua dalam membantu belajar di rumah

dipengaruhi oleh tingkat pendidikan formal orang tua. Semakin tinggi tingkat

pendidikan formal orang tua semakin menunjang proses bimbingan belajar di

rumah.

Pendidikan karakter dapat diaplikasikan terutama pada mata pelajaran

Bahasa Jawa. Bahasa Jawa dianggap tepat karena bahasanya sangat membedakan

sopan santun berbicara antara pembicara dengan mitra bicara. Variasi-variasi

bahasa yang perbedaan antara satu dan lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap

santun yang ada pada diri pembicara terhadap mitra bicara (Sutardjo, 2008:11).

Proses pembelajaran pada hakekatnya terjadi dua kegiatan yang berbeda, yaitu

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 43

kegiatan belajar dan kegiatan mengajar. Secara umum belajar dapat dipahami

sebagai tahap perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif mantap

sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan

proses kognitif (Syah, 2004:137), sedangkan mengajar merupakan usaha

mewariskan kebudayaan masyarakat pada generasi berikut sebagai generasi

penerus (Slameto,2010:30).

Keterbatasan waktu belajar di sekolah menuntut peran serta orang tua

dalam membantu pembentukan karakter peserta didik, tingkat pendidikan formal

orang tua mempengaruhi cara mendidik dan membentuk karakter peserta didik.

Karakter peserta didik yang baik dapat terlihat dari sopan santun dan cara bicara

peserta didik. Sopan santun keseharian peserta didik di sekolah mencerminkan

kebiasaan peserta didik dalam keluarga. Disinilah akan terlihat bagaimana peran

orang tua dalam pembentukan karakter peserta didik. Berdasarkan uraian maka

dilakukan penelitian tentang hubungan tingkat pendidikan formal orang tua

dengan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik SMP Negeri 2 Kaliwiro

Kabupaten Wonosobo, sebagai salah satu cara untuk mengetahui faktor apa

sajakah yang mempengaruhi semakin berkurangnya pengguna bahasa Jawa,

diantaranya dengan membandingkan dengan tingkat pendidikan formal orang tua.

B. Unggah-ungguh Bahasa Jawa sebagai sumber pendidikan karakter

Pendidikan karakter pada dasarnya adalah pendidikan budi pekerti dengan

cara menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didik. Nilai adalah sesuatu

yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai moral merupakan nilai tertinggi, yang

memiliki ciri-ciri: (1) berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab,

(2) berkaitan dengan hati nurani, (3) mewajibkan manusia secara absulut yang

tidak bisa ditawar-tawar, dan (4) bersifat formal. Nilai moral berkaitan juga

dengan apa yang seyogyanya tidak dilakukan karena berkaitan dengan prinsip

moralitas yang ditegakkan (Kbj5, 2012) Nilai moral terdiri dari ajaran-ajaran,

wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, kumpulan peraturan dan ketetapan baik

lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia

menjadi manusia yang baik. Nilai moral yang terkandung dalam bahasa dan sastra

Jawa yang berwujud tata nilai kehidupan Jawa, seperti norma, keyakinan,

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 44

kebiasaan, konsepsi, dan simbol-simbol yang hidup dan berkembang dalam

masyarakat Jawa, toleransi, kasih sayang, gotong royong, andhap asor,

kemanusiaan, nilai hormat, tahu berterima kasih, dan lainnya dapat digunakan

sebagai sumber pendidikan karakter (Kbj5, 2012).

Realisiasi pendidikan budi pekerti bangsa yang digali dari sumber bahasa

dan sastra Jawa dapat dimulai dari kalangan pendidikan melalui pembelajaran

bahasa dan sastra Jawa dan pengembangan kultur sekolah. Dalam pembelajaran

bahasa dan sastra Jawa, hendaknya dapat berlangsung melalui proses membuat

bermakna dimata peserta didik, sehingga akan terjadi internalisasi nilai-nilai

dalam diri siswa. Pengembangkan kultur sekolah dapat dilakukan dengan cara

memberi keteladanan secara langsung sesuai dengan nilai-nilai cultural bahasa

dan sastra Jawa. Pendidikan karakter pada dasarnya adalah pendidikan budi

pekerti dengan cara menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didik (Kbj5,

2012). Bahasa Jawa juga sebagai sarana pendidikan karakter yang paling baik,

maka setelah kita mengetahui penyebab kemerosotan penggunaan bahasa Jawa

kita juga harus mencari solusi dari permasalahan yang didapat. Melalui unggah-

ungguh basa, siswa dapat ditanamkan nilai-nilai sopan santun. Upaya yang lain

adalah melalui berbagai karya sastra Jawa. Sastra wayang misalnya, selain

berfungsi sebagai tontonan (pertunjukan) juga berfungsi sebagai tuntunan

(pendidikan). Melalui sastra wayang, para siswa dapat ditanamkan nilai-nilai

etika, estetika, sekaligus logika. Ungkapan tradisonal Jawa juga banyak

mengandung nilai-nilai local Jawa untuk kepentingan pendidikan. Semboyan

pendidikan nasional kita “Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan

Tutwuri Handayani” juga berasal dari ungkapan tradisional Jawa. Dalam

khasanah bahasa dan sastra Jawa banyak mengandung nilai-nilai lokal Jawa yang

dapat berfungsi untuk mengembangkan fungsi edukatif, yaitu fungsi untuk

pembentukan kepribadian (Kbj5, 2012).

C. Tingkat Tutur Bahasa Jawa

Unggah-ungguh basa jawa dapat dibedakan menjadi berbagai jenis

tingkatan, menurut Sasangka (2009:15-27) pada dasarnya tingkat tutur dalam

bahasa jawa dapat dibedakan menjadi dua yakni ngoko (ragam ngoko) dan krama

(ragam krama). Jika terdapat bentuk unggah-ungguh yang lain dapat dipastikan

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 45

bahwa bentuk-bentuk itu hanya merupakan varian dari ragam ngoko atau krama.

Varian bahasa jawa yang ada diantaranya terbagi menjadi 3 yakni ngoko, madya,

dan krama (Sutardjo, 2008:20). Pendapat lain dikatakan oleh Ki Padmasusastra

(dalam Sutardjo, 2008:20) yakni unggah-ungguh basa jawa dibedakan menjadi 6

tataran, yaitu ngoko, krama, kram inggil, krama desa, basa kedhaton atau basa

bagongan, dan basa kasar. Sedangkan Soepomo (dalam Sutardjo, 2008:21)

berpendapat bahwa unggah-ungguh basa dapat dibedakan menjadi 9, yaitu mudha

krama, kramantara, wredha krama, madya krama, madyantara, madya ngoko,

basa antya, antya basa, dan ngoko lugu. Berdasarkan pendapat-pendapat diatas

dapat dilihat bahwa pendapat dari Sasangka (2009:15-27) yang paling mudah

dipelajari, karena tidak terlalu banyak membedakan tataran unggah-ungguh basa.

Ngoko itu sendiri yakni bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari tanpa

ada unsur untuk menghormati satu sama lain, biasanya digunakan oleh sesama

teman dan orang tua pada anaknya. Sedangkan krama adalah bahasa yang yang

dalam penyampaiannya mengandung unsur untuk menghormati dengan kadar

kehalusan dan penghormatannya yang tinggi (Sutardjo, 2008:33-34). Bahasa

ngoko digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang sudah terbiasa serta

yang dianggap sesama atau satu strata sosial. Adapun bahasa krama digunakan

untuk berkomunikasi dengan orang yang belum terbiasa dan yang strata sosialnya

lebih tinggi (Harjawiyana, 2001:2). Bahasa Jawa merupakan bahasa yang kaya

akan variasi bahasanya.

Sudaryanto (dalam Sasangka, 2009:18), membagi tingkat tutur bahasa

Jawa menjadi empat, yaitu: ngoko,ngoko alus, krama, dan krama alus. Kajian lain

yang lain adalah kajian yang dilakukan oleh Ekowardono, dkk (dalam Sasangka,

2009:18), mengelompokkan unggah-ungguh bahasa Jawa menjadi dua, yaitu :

ngoko dan krama. Jika unggah-ungguh ngoko ditambah kata krama inggil,

unggah-ungguh tersebut akan berubah menjadi ngoko alus. Jika unggah-ungguh

krama ditambah krama inggil, unggah-ungguh tersebut berubah menjadi krama

alus. Tanpa pemunculan kata krama inggil, unggahungguh itu hanya berupa

ngoko lugu atau krama lugu. Menurut Kridalaksana (2001:22), mengemukakan

bahwa secara garis besar, unggah-ungguh basa dapat dikelompokkan menjadi

tiga, yaitu: ngoko, madya, dan krama. Selain itu Koentjaraningrat (1984:21),

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 46

menyebutkan bahwa terdapat tiga gaya yang paling mendasar, yaitu gaya tidak

resmi, gaya setengah resmi, dan gaya resmi (yaitu ngoko, madya, dan krama), dan

ada enam gaya lain yang terbentuk dari kombinasi dari ketiga gaya dasar tersebut.

Kecuali dari kesembilan gaya bahasa tersebut, masih ada basa kedhaton atau

bagongan. Kosakata bahasa Jawa dipakai untuk membicarakan milik, bagian

tubuh, tindakan, atau sifat-sifat orang kedua yang sederajat, atau orang ketiga

yang lebih tinggi kedudukannya atau lebih senior umurnya.

Skema pembagian unggah-ungguh basa adalah sebagai berikut: 1) basa

ngoko: ngoko lugu, ngoko andhap;2)basa madya:madya ngoko, madya krama,

madyantara;3)basa krama:mudho krama, kramantara, wredha krama, krama

inggil, krama desa. Unggah-ungguh basa Jawa berdasarkan pada leksikon atau

kata bakunya ada tiga, yaitu, ngoko, madya, dan krama. Atau unggah-ungguh

basa mempunyai makna dan manfaat yang dapat mewujudkan sopan satun pada

bab bahasa (linguistic etiquette), yang dibagi menjadi tiga, yaitu: 1)low honorifict

yang artinya sopan santun rendah;2)midle honorifict, artinya sopan santun cukup

atau sedang;3)high honorifict, artinya sopan santun yang tinggi (Sutardjo,

2008:20). Unggah-ungguh basa Jawa yang sampai saat ini masih digunakan,

yaitu ragam ngoko dan ragam krama. Kedua ragam tersebut memiliki beberapa

variasi, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus serta krama lugu dan krama alus.

D. Faktor yang mempengaruhi menurunnya tingkat penggunaan bahasa

Jawa dan cara penanggulangannya

Menurut Purwo (dalam embunsayan, 2012) ada beberapa faktor yang

menyebabkan bahasa menjadi punah selain globalisasi dan modernisasi, yaitu:

a. Bahasa mati karena penduduknya mati semua karena wabah penyakit

parah, seperti yang dialami penduduk asli Tasmania

b. Ada bahasa yang mati karena ditinggalkan oleh para penuturnya. Karena

mereka meninggalkan bahasa ibunya dan pindah ke bahasa lain karena

dipaksa. Ini terjadi pada penduduk asli Australia.

c. Penuturnya terpaksa memilih pindah kebahasa lain karena bahasa lain

dianggap lebih maju dan modern, sedangkan bahasa ibu dianggap

terbelakang. Seperti yang terjadi pada Masyarakat Papua Nugini.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 47

d. Penuturnya berjumlah di bawah 100.000. di Indonesia ada 109 lebih

bahasa yang penuturnya di bawah jumlah itu.

e. Mengajarkan bahasa non-ibu sebagai bahasa pendidikan.

Para pelajar Bahasa Jawa dialek Banyumas tidak bersusah payah

mempelajari Bahasa Jawa dialek Surakarta yang terlalu sulit bagi mereka, baik

dari segi fonologi, morfologi, maupun kosa katanya (Embunsayan, 2012). Dalam

situasi-situasi formal inilah hendaknya kita lebih menggiatkan pemakaian Bahasa

Jawa tidak menjadi asing di rumah kita sendiri, khususnya bagi generasi muda.

Karena memang generasi muda Etnis Jawa saat ini telah banyak yang tidak bias

berbahasa Jawa terutama Bhasa Jawa ragam krama. Padahal ini penting kaitannya

dengan unggah-ungguh (tingkat tutur) dalam kehidupan masyarakat. Unggah-

ungguh ini bias secara otomatis tertanam dalam jiwa orang manakala ia

memahami unggah-ungguh dalam berbahasa. Dalam kegiatan non-formal lain,

misalnya pemakaian Bahasa Jawa dalam kesenian, khususnya sastra, juga tak

kalah pentingnya. Saat ini karya Sastra Jawa sangat sedikit, cerpen, novel, drama.

Yang masih sering muncul adalah dalam bentuk tembang campursari. Akan tetapi,

ini pun tampaknya telah mulai meredup (Embunsayan, 2012).

E. Hubungan tingkat pendidikan formal orang tua dengan unggah-ungguh

Bahasa Jawa peserta didik

Data hasil penelitian tingkat pendidikan formal orang tua peserta didik

berupa skor angket dan tes kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik

berupa nilai dari tes yang telah diberikan kepada peserta didik sebelumnya. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa dari 122 orang tua peserta didik yang dijadikan

sebagai sampel memiliki tingkat pendidikan formal yang bervariasi. Skor

maksimal untuk angket tingkat pendidikan formal orang tua peserta didik, yaitu

32 yang menunjukan tingkat pendidikan formal orang tua peserta didik tinggi.

Skor tingkat pendidikan formal orang tua peserta didik terendah 10 dan tertinggi

30, sehingga skor 10 dikategorikan untuk orang tua peserta didik dengan tingkat

pendidikan formal rendah dan skor 30 dikategorikan untuk orang tua peserta didik

dengan tingkat pendidikan formal tinggi.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 48

Data tingkat kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik

diperoleh dari tes kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik yang

telah diberikan sebelumnya. Data skor nilai tes kemampuan unggahungguh

bahasa Jawa peserta didik diperoleh skor terendah 4 dan tertinggi 9 dengan rata-

rata 6,66. Skor maksimal untuk kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta

didik adalah 10 yang menunjukan skor kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa

peserta didik tinggi, sehingga nilai 9 dikategorikan nilai yang tinggi dan nilai 4

dikategorikan sebagai nilai yang rendah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa data unggah-ungguh bahasa Jawa peserta

didik SMP Negeri 2 Kaliwiro termasuk dalam kriteria baik. Hal tersebut dapat

dilihat dari hasil tes kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa yang telah

diberikan kepada peserta didik dengan rata-rata 6,66. Berdasarkan persentase

keseluruhan dari 122 sampel peserta didik didapat 5,74% peserta didik dengan

hasil tes baik, 92,64% peserta didik dengan hasil tes cukup, dan 1,64% dengan

hasil tes rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan peserta didik

dalam unggah-ungguh bahasa Jawa cukup baik.

Latar belakang tingkat pendidikan formal orang tua peserta didik SMP

Negeri 2 Kaliwiro yang dijadikan sampel sebanyak 122 memiliki tingkat

pendidikan formal setingkat dasar dan menengah sebanyak 95,9%, orang tua

peserta didik dengan tingkat pendidikan formal tinggi sebanyak 3,28%, dan orang

tua peserta didik tidak berpendidikan formal sebanyak 0,82%. Hal tersebut

menunjukkan bahwa latar belakang tingkat pendidikan formal orang tua peserta

didik rata-rata cukup baik, yaitu setingkat sekolah dasar dan menengah.

Berdasarkan perhitungan dengan korelasi produk momen diperoleh

besarnya nilai korelasi antara variabel tingkat pendidikan formal orang tua dengan

unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik (rxy) sebesar 0,606. Harga rtabel dengan

taraf kesalahan yang ditetapkan 5% (tingkat kepercayaan 95%) dan jumlah sampel

122 memiliki nilai sebesar 0,176, sehingga nilai rhitung lebih besar dari nilai rtabel.

Besarnya nilai rhitung dari rtabel menunjukkan adanya hubungan yang saling

mempengaruhi dan terkait antara pendidikan formal orang tua dengan unggah-

ungguh bahasa Jawa peserta didik SMP Negeri 2 Kaliwiro. Menurut Sugiyono

(2009:149), harga rhitung > rtabel menunjukkan adanya hubungan yang positif dan

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 49

signifikan. Hubungan pendidikan formal orang tua dengan unggah-ungguh bahasa

Jawa peserta didik memiliki nilai korelasi sebesar 0,606 termasuk tingkat

hubungan yang kuat.

Pendidikan formal orang tua yang tinggi diasumsikan dapat membantu

menyelesaikan tugas-tugas belajar yang belum sepenuhnya tersampaikan di

sekolah. Seperti halnya dalam pendidikan karakter peserta didik yang tidak akan

tercapai sepenuhnya tanpa peran serta orang tua. Semakin tinggi tingkat

pendidikan formal orang tua maka akan lebih kolektif dalam cara mendidik anak

di rumah. Cara orang tua mendidik anak besar pengaruhnya terhadap cara belajar

anak (Slameto,2010:61).

Uji signifikasi koefisien korelasi menggunakan uji F, diperoleh Fhitung

sebesar 47,954. Harga Ftabel dengan taraf kesalahan 5% dengan jumlah sampel

122 menunjukkan nilai 3,07 menunjukkan adanya hubungan yang signifikan

antara tingkat pendidikan formal dan unggah-ungguh bahasa jawa peserta didik.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sugiyono (2009:162), jika harga Fhitung >

harga Ftabel maka Ho ditolak dan Ha diterima, jadi koefisien korelasi yang

ditemukan adalah signifikan. Dengan kuatnya hubungan antara tingkat pendidikan

formal orang tua dengan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik, dapat

diketahui bahwa peserta didik yang memiliki latar belakang orang tua

berpendidikan formal

tinggi dapat berpengaruh terhadap unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik.

Hal tersebut terjadi karena peserta didik mendapatkan bantuan dalam

kesulitan-kesulitan dengan unggah-ungguh bahasa Jawa lebih banyak, karena

orang tua yang berpendidikan formal lebih tinggi memiliki lebih banyak cara

dalam mengatasi kesulitan yang dialami oleh peserta didik sehingga unggah-

ungguh peserta didik dapat lebih baik. Peserta didik dengan latar belakang orang

tua berpendidikan formal rendah berpengaruh terhadap unggah-ungguh bahasa

Jawa peserta didik, dimana unggah-ungguh bahasa Jawanya tidak sebaik peserta

didik yang latar belakang orang tuanya berpendidikan formal tinggi. Hal ini

terjadi karena peserta didik dalam meminta bantuan kesulitan terbatas oleh

pengetahuan orang tua yang memiliki latar belakang pendidikan formal rendah.

Ketika kesulitan peserta didik tidak dapat dibantu oleh orang tua akan berdampak

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 50

pada psikologis peserta didik, dimana faktor orang tua adalah yang terpenting

dalam perkembangan psikologis peserta didik (Slameto, 2010:133-134).

Kerawanan hubungan peserta didik dengan orang tua dapat menyebabkan masalah

psikologis dalam diri peserta didik baik di rumah maupun di sekolah.

F. Kesimpulan

Pembahasan data didapatkan tingkat pendidikan formal orang tua peserta

didik cukup baik, yaitu dari sampel sebanyak 122, didapat 95,5% pendidikan

formal orang tua setingkat dasar dan menengah, 3,28% pendidikan formal tinggi,

dan 0,82% tidak mengenyam pendidikan formal. Selanjutnya hasil tes

unggahungguh bahasa Jawa peserta didik didapatkan cukup baik dimana 5,74%

dengan hasil baik, 92,64% baik, dan 1,64% kurang. Selanjutnya hasil tadi

dikorelasikan dengan mengguanakan menggunakan rumus korelasi product

moment, dengan hasil (rxy) 0,606, dengan rtabel taraf kesalahan 5% dan tingkat

kepercayaan 95% didapat skor 0,176, maka rhitung > rtabel. Hal tersebut

membuktikan bahwa tingkat pendidikan formal orang tua dengan unggah-ungguh

bahasa Jawa terdapat hubungan yang kuat.

Daftar Pustaka

Embunsayan. 2011. Diakses melalui http://embunsayan.blogspot.com/ diunggah

pada 31 Mei 2011.

Harjawiyana, H dan Th. Supriya. 2001. Kamus Unggah-Ungguh Bahasa Jawa.

Yogyakarta: Kanisius.

Kbj5. 2011. Diakses melalui http://kbj5.com/ diunggah pada 31 Mei 2012.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Kridalaksana, Harimurti, dkk. 2001. Wiwaha Pengantar Bahasa dan Kebudayaan

Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Parmonodewo, S. 2003. Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Poedjosudarma, Soepomo, dkk. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta:

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Sasangka, Sry S.T.W. 2009. Unggah-Ungguh Bahasa Jawa. Jakarta:

Paramalingua.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 51

PENCITRAAN TOKOH WANITA DALAM NOVEL

CINTRONG PAJU-PAT KARYA SUPARTO BRATA

Aris Aryanto,Catur Handayani

Universitas Muhammadiyah Purworejo

ABSTRAK

Catur Handayani. Pencitraan Tokoh Wanita dalam Novel Cintrong Paju Pat

Karya Suparto Brata. Skripsi. Purworejo. Fakultas Keguruan dan

IlmuPendidikan Bahasa dan sastra Jawa. Universitas Muhammadiyah

Purworejo.2012.

Permasalahan yang dibahas adalah (1) bagaimana struktur pembangun

novel, (2) Bagaimana citra tokoh utama wanita, dan (3) Bagaimana perjuangan

tokoh utama dalam novel Cintrong Paju-Pat Karya Suparto Brata. Sesuai dengan

judul dan permasalahan penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur

pembangun novel, citra wanita dan perjuangan tokoh utama wanita dalam novel

Cintrong Paju-Pat Karya Suparto Brata. Teori yang penulis pergunakan dalam

penelitian ini adalah teori struktural,teori feminisme dan gender. Wijaya Heru

(2009) teori struktural, bahwa unsur-unsur struktur, karya sastra terdiri dari tema,

tokoh dan penokohan, alur, latar. Teori feminisme menurut sugihastuti (2002),

adalah sebuah teori yang menyangkut dua hal pokok, yakni citra diri dan citra

sosial, sedangkan gender memperjuangkan untuk mendapatkan pekerjaan. Teknik

pengumpulan data menggunakan teknik analisis isi, teknik pustaka,dan observasi.

teknik pustaka adalah menggunakan sumber-sumber tertulis untuk mengumpulkan

data. Teknik observasi adalah teknik yang dilakukan dengan membaca secara

kritis dan teliti seluruh teks. Teknik analisis data menggunakan analisis feminis,

mengkaji dan membahas unsur strukutur, citra tokoh utama wanita dan perjuangan

tokoh wanita dalam novel Cintrong Paju-Pat Karya Suparto Brata.

Dari hasil analisis yang diperoleh bahwa, novel Cintrong Paju-Pat terdiri

dari:(1) Tema, cinta segi empat dan perjuangan wanita. Tokoh, yakni tokoh utama

wanitanya Abrit (sebagai tokoh antagonis), dan Lirih (sekaligus sebagai tokoh

protagonis). Alurnya maju atau lurus. Latar meliputi: latar tempat, waktu dan

sosial. (2) Citra pribadi wanita dapat digambarkan melalui, Citra fisik wanita yang

ditunjukan dalam novel yaitu wanita yang cantik, sederhana dan cerdas.

Menunjukan citra perilaku. Citra psikis wanita adalah wanita yang mandiri, dan

tanggung jawab. Citra sosial wanita adalah seorang selebritis (wanita karir). (3)

Perjuangan diri tokoh utama (Lirih), yakni wanita yang memperjuangkan untuk

mendapatkan suatu pekerjaan.

Kata kunci : struktural, citra wanita dan perjuangannya.

A. Pendahuluan

Permasalahan tentang wanita tidak akan habis untuk dibicarakan. Wanita

adalah sosok yang mempunyai dua sisi. Di satu pihak, wanita adalah keindahan.

Di sisi lain, ia dianggap lemah. Anehnya, kelemahan itu kadang dijadikan alasan

oleh laki-laki jahat untuk mengeksploitasi keindahannya. Bahkan, ada juga yang

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 52

beranggapan bahwa wanita itu hina, wanita kelas dua yang walaupun cantik,

tidak diakui eksistensinya sebagai wanita sewajarnya (Sugihastuti, 2010:32).

Berbagai sarana yang kiranya bisa digunakan sebagai ajang pengungkapan

permasalahan tersebut sedapat mungkin digunakan, tidak terkecuali dunia sastra.

Sastra merupakan media yang tepat bagi pengarang untuk mengekspresikan

pengalaman-pengalamannya.

Novel Cintrong Paju-Pat mempunyai keistimewaan sendiri, yakni cerita

yang dipaparkan oleh pengarang seperti dunia realitas yang dialami oleh manusia

di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern. Cintrong Paju-Pat juga

merupakan salah satu karya sastra yang menyoroti tentang feminisme. Di dalam

novel tersebut menggambarkan tentang perjuangan perjalanan hidup dua wanita

cantik serta kisah cintanya (cinta segi empat) antara dua orang wanita cantik dan

dua orang laki-laki yang berbeda status sosialnya. Perjungan yang terdapat dalam

novel ini perjuangan dalam bidang mendapatkan suatu pekerjaan. Dari sisi citra

wanita menggambarkan wanita yang cantik, cerdas, mandiri dan penuh

perjuangan. Dan dalam novel ini, pengarang juga memberi gambaran kepada kita

betapa wanita memiliki persamaan hak, memperoleh kesempatan dalam

pendidikan, cinta atau kasih sayangnya, dan pekerjaan tidak hanya

mengandalkan kecantikan, kekayaan, ataupun pendidikan tinggi.

B. Unsur struktur Novel Cintrong Paju-Pat Karya Suparto Brata

Tema

Tema pokok dalam novel Cintrong PajuPat Karya Suparto Brata Cinta

segi empat antara dua orang wanita cantik (Abrit dan Lirih) dan dua orang

laki-laki (Luhur dan Trengginas) yang berbeda status sosialnya juga

lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan kalimat

berikut ini :

“Ing surat kabar dipasang gambare ngegla, Abrit Mayamaya karo

dheweke, Luhur Dirgantara. Ing latar mburi sanajan bureng, ora fokus,

katon fotone ibu lan bapake. Kuwi genah potret sing dijepret dhek wingi,

ing ruwang Dhirektur Pratama kantor Bale Prodhuksi Manahira

Adsvertising Agency. “ Acara gendheng-gendhengan!” (Citrong Paju-

Pat:27)

Terjemahan :

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 53

“Di surat kabar dipasang gambarnya jelas, Abrit Mayamaya dengan

dirinya, Luhur Dirgantara. Dilatar belakang walaupun tidak jelas, tidak

fokus, terlihat fotonya ibu dan bapaknya, itu jelas foto yang diambil

kemarin, di ruang Direktur Utama Manahira Adsvertising Agency. Acara

gila-gilaan!”

“Prawan ayu Abrit Mayamaya lagi turu kepati. Mau bengi mulih jam telu

bengi, mentas dolan ing Café Sunar Rembulan ing Kemang karo kanca-

kanca para selebriti. (Cintrong Paju-Pat:31).

Terjemahan :

“Perawan cantik Abrit Mayamaya yang sedang tidur terkejut. Semalam

pulang jam tiga malam, baru saja main di Café Sinar Rembulan di

Kemang dengan teman-teman para selebriti”.

“Eee Cintrong kuwi ora bisa direkayasa. Ben ta, thukul ngrembaka. Yen

Dhimas Luhur kok tampik terang-terangan, bisa-bisa malah brangasan

mengko tandange. Wis netral wae. Sakarep tanggepanmu. Kepriye

solahmu. Angger aja gawe geger! Kowe dekbelani. Cah ayu, kowe

dakbelani!Arek iki sing kekasihku. Duduk ko-ën! (Cintrong Paju-Pat:256)

Terjemahan :

“Berdiri di belakang Lirih, Trengginas langsung memeluk pelan tubuh

Lirih. Dengan kata-kata lembut” kamu itu salah, Brit. Orang inilah

kekasihku. Bukan kamu!”

“Alah, kuwi gampang banget, kok, Bu! Aku ora bakal kawin karo Abrit!

Kaet Biyen aku ya wis ora seneng, kok!” (Cintrong Paju-Pat:277)

Terjemahan :

“Alah, itu mudah sekali, kok, Bu! Aku tidak mungkin menikah dengan

Abrit! Dari dulu aku ya sudah tidak suka, kok!” “Nah, wis aku genah

dalasane. Sesuk aku nyang Amerika. Golek bojo! (Cintrong Paju-Pat:276)

Terjemahan :

“Nah, sudah semakin jelas alasanya. Besuk aku ke Amerika. Mencari

istri”.

Tema tambahan atau pendukung dalam Novel Cintrong Paju-Pat Karya

Suparto Brata Penggambaran perjalanan hidup dua wanita cantik dan

berbeda kelas sosialnya yaitu Abrit dan Lirih. Hal ini dapat dilihat dari

kutipan kalimat berikut ini :

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 54

“Ora gampang nggrapyaki wong ayu lan misuwur kaya Britney

Spears!”. (Cintrong Paju-Pat:46)

“Tidak mudah mendekati orang cantik dan terkenal seperti Britney

Spear”.

“Hus! Kowe iki aja kandha ngono! Bapakmu, aku, Jeng Arum, Dhik

Satuhu, wis padha sayuk njodhokake kowe karo Nak Luhur! Jejodoan

elite, lanange calon dhirektur pratama Manahira Advertising Agency,

sing wadon sripanggung sinetron kondhang!” (Cintrong Paju-Pat:172)

Terjemahan :

“Hus! Kamu itu jangan bicara seperti itu! Bapakmu, aku, Jeng Arum,

Dhik Satuhu, sudah dengan baik menjodohkan kamu dengan Nak Luhur!

Perjodohan elit, laki-lakinya calon Direktur Utama Manahira Advertising

Agency, yang wanita artis sinetron terkenal”.

“Mongsok anake Brigjen entuk anake Kapten? (Cintrong Paju-Pat:63)

Terjemahan :

“Masa anaknya Brigjen dapat anaknya Kapten?”.

“Ayo, iki! Tepungake! Sirsirane atiku wiwit mahasiswa ITS biyen.

Jenenge Trengginas! Wangsulane Abrit canthas, anggak lan setengahe

pamer. ”Mula aja grusa-grusu nyebut-nyebut wis tunangan karo aku,

terus sembrana arep ngekep ngambung sasenenge nafsumu, Hur!”.

(Cintrong Paju-Pat:117)

Terjemahan :

“Ayo, ini! Kenalkan! yang aku sukai mulai dari mahasiswa ITS dulu.

Namanya Trengginas!” jawabannya Abrit tegas, sombong dan

setenganhya pamer. “Makanya jangan main-main menyebut sudah

tunangan dengan aku, terus kurangajar mau memeluk menyium sesuka

nafsumu, Hur!”

“Kowe ki niyatmu menyang Jakarta golek panguripan apa mung arep

blayangan piknik? Lagek seminggu nang kutha, wis nglokro, njaluk

rekreasi! Aku wingi-wingi isih neng Caruban rak wis kandha. Yen

mung weton SMA wae golek pegawean kantoran ing Jakarta mesthi

kangelan. (Cintrong Paju-Pat:48)

Terjemahan :

“Kamu itu niatmu ke Jakarta mencari pekerjaan apa hanya mau

keluyuran piknik? Baru seminggu di kota, sudah mengendor, minta

rekreasi! Aku kemarin waktu masih di Caruban kan sudah bilang. Kalau

hanya keluaran SMA saja cari kerjaan kantoran di Jakarta pasti

kesusahan”.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 55

“Lirih ra wis seminggu saben dina midering rat ngubengi Jakarta golek

pegawean”.(Cintrong Paju-Pat:71)

Terjemahan :

“Lirih kan sudah satu minggu setiap hari menjelajahi dunia mengelilingi

Jakarta mencari pekerjaan”.

“Wis, ta. Tumrap bocah iki, aku sing duwe kewenangan. Lan dheweke

dina iki dakcopot!” ujare Arum Manahira….”. (Cintrong Paju-Pat:264)

Terjemahan :

“Sudah, ta. Perilaku anak ini, aku yang mempunyai wewenang. Dan dia

hari ini aku berentikan dari pekerjaan! Katanya arum Satuhu…”.

“Biyen kancane Abrit, kanca kenthel. Saiki aku tunangane Dhik Lirih.

Iki mau mentas daklamar. Mesakake, dheweke crita jare mentas dicopot

saka penggaweane. Dadi ya arep dakopeni!” Muni ngono Trenginas karo

nggandheng lengene Lirih. Lirihe ya nglendhet ngalem. Rumangsa

kopen, sawise awan mau ketula-tula. (Cintrong Paju-Pat:272)

Terjemahan :

“Dulu temannya Abrit, teman dekat. Sekarang aku tunangannya Dhik

Lirih. Ini baru saja aku lamar kasian, dia cerita katanya baru saja

diberhentikan dari pekerjaanya. Jadi ya mau aku jaga!” bilang seperti itu

Trengginas sambil nggandeng lengannya Lirih. Lirihnya ya mendekat

memuji. Merasa terawat, setelah tadi siang ketula-tula”.

Tokoh atau Penokohan

Tokoh-tokoh novel yang akan dipaparkan adalah semua tokoh yang

berperan dalam novel Cintrong Paju-Pat, meliputi tokoh utama cerita, yaitu

Abrit Mayamaya (sekaligus tokoh antagonis), Lirih Nagari (sekaligus

Protagonis orang paling dikagumi), Langit Nilakandi, Bu Arum Satuhu dan

Bu Kinyis tokoh-tokoh tersebut ini yang nanti akan dianalisis dengan analisis

citra wanita. Ada beberapa tokoh pembangun dalam novel Cintrong Paju-Pat

antara lain: tokoh datar hanya memiliki satu watak yang tertentu saja

(Madusari, Maniking, Pikole (Piko)), tokoh bulat diungkap dari berbagai sisi

kehidupannya (Suradira, Luhur Dirgantara, Trengginas, Satuhu Manahira).

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 56

Alur

Alur adalah rangkaian peristiwa yang mempengaruhi jalannya cerita dan

menimbulkan berbagai konflik. Alur yang terdapat dalam novel Cintrong

Paju-Pat karya Suparto Brata adalah alur maju. Pada tahap awal cerita

disampaikan untuk memperkenalkan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita,

konflik sedikit demi sedikit juga sudah mulai dimunculkan (Nurgiyantoro,

2010:142-145). Hal ini dapat dilihat seperti kutipan kalimat berikut ini :

“Ing surat kabar dipasang gambare ngegla, Abrit Mayamaya karo

dheweke, Luhur Dirgantara. Ing latar mburi sanajan bureng, ora fokus,

katon fotone ibu lan bapake. Kuwi genah potret sing dijepret dhek wingi,

ing ruwang Dhirektur Pratama kantor Bale Prodhuksi Manahira

Adsvertising Agency. “ Acara gendheng-gendhengan!” (Citrong Paju-

Pat:27)

Terjemahan :

“Di surat kabar dipasang gambarnya jelas, Abrit Mayamaya dengan

dirinya, Luhur Dirgantara. Dilatar belakang walau tidak jelas. Tidak

fokus, terlihat fotonya ibu dan bapaknya, itu jelas foto yang diambil

kemarin, di ruang direktur utama Manahira Adsvertising Agency. Acara

gila-gilaan!”

Dari kutipan di atas, menunjukkan bahwa awal mula kisah dari berita

yang terdapat di surat kabar yang memuat foto Abrit dengan Luhur yang

beritanya tidak disukai oleh Luhur yang mengenai perjodohannya dengan

Abrit Mayamaya. Dalam tahap tengah inilah klimaks ditampilkan, yaitu

ketika konflik (utama) telah mencapai titik intensitas tertinggi (Nurgiyantoro,

2010:145). Hal ini terbukti dalam kutipan kalimat berikut ini :

“Ana Bu. Aku kecintrong Trengginas!” Ora Abrit ora mental njawab

mengkono. Bakal nglarani atine ibune. (Cintrong Paju-Pat:34).

Terjemahan :

“Ada Bu. Aku jatuh cinta pada Trengginas!. Tidak! Abrit tidak tega

menjawab seperti itu. Akan menyakiti ibunya”.

Kutipan diatas, menunjukkan bahwa Abrit yang dijodohkan dengan Luhur

ternyata mencintai orang lain yaitu Trengginas. Di sini mulai terdapat

pemunculan konflik. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan kalimat berikut :

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 57

“Aaah. Kuwi kowe urik! Aja dirembug sing kuwi dhisik. Kuwi mau salah

kedaden, dak isih padha cedhak-cedhakan, Lirih terus njiwit lengene

Luhur seru-seru. (Cintrong Paju-Pat:83).

Terjemahan :

“Aaah. Itu kamu curang! Jangan dibicarakan yang itu dulu. Itu tadi salah

kejadian, kuberitahu! Bicara seperti itu, tapi ternyata badannya masih

berdekatan, Lirih terus mencubit lengannya Luhur keras-keras”.

Dari kutipan tersebut dijelaskan Luhur dan Lirih mulai saling menyukai.

Di sinilah mulai ditimbulkan konflik lain dari cerita. Hal ini dapat dilihat

seperti kutipan kalimat berikut ini :

“Ngucuwani! Sapatemone karo Abrit kuwi jan nguciwani banget. Luhur

tatu atine. Dheweke kipa-kipa gage oncat saka papan shooting, marga

ngrasa isin banget ditampik terang-terangan dening calon tunangane.

(Cintrong Paju-Pat:119).

Terjemahan :

“Mengecewakan! Pertemuannya dengan Abrit benar-benar

mengecewakan sekali. Luhur terluka hatinya. Dirinya buru-buru

langsung pergi dari tempat shooting, karena merasa malu sekali ditolak

terang-terangan oleh calon tunangannya”.

Latar

Latar adalah cara pengarang melukiskan suatu peristiwa yang meliputi

tempat, lingkungan, penempatan waktu sebagai latar belakang cerita. Dalam

Cintrong Paju-Pat ini terdapat beberapa latar yang dipakai meliputi latar

tempat, latar waktu dan latar sosial.

C. Perjuangan Tokoh Utama Wanita dalam Novel Cintrong Paju-Pat

Karya Suparto Brata

Perjuangan merupakan sebuah proses tindakan atau perbuatan dalam

kurun waktu tertentu yang membutuhkan pengorbanan baik harta, jiwa, dan

raga dalam menghadapi segala kesulitan yang terjadi dilakukan dengan suka

rela dan tanpa pamrih serta dengan cara positif untuk mencapai cita-cita

hidup yang baik sesuai dengan pandangan hidup yang baik pula, tapi kadang

kala seseorang akan lupa akan hal itu. Di zaman yang modern seseorang akan

melakukan berbagai cara supaya apa yang diharapkan akan terwujud.

Perjuangan tokoh utama wanita dalam novel Cintrong Paju-Pat Karya

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 58

Suparto Brata perjuangannya Lirih dalam bidang mendapatkan suatu

pekerjaan.

Sikap mandiri tokoh wanita yang dilukiskan dalam novel Cintrong

Paju-Pat adalah tokoh Lirih Nagari. Lirih adalah seorang wanita atau gadis

desa dari Caruban yang mengembara ingin mencaripekerjaan di Jakarta.

Dengan ijazah SMA dan keterampilan lain yangia miliki, Lirih sangat bercita-

cita untuk bisa bekerja disebuah kantorSeperti kutipan kalimat berikut ini :

“Lulusan SMA kuwi, Mbak. Pak Piko melu nyelani gunem.Tambah

kursus komputer. Aku nguwasani MS word, Excel, e-mail, databis

lotus, lan program aplikasi liyane. Lirihmamerake kaluwihan

kaprigelane tinimbang mung ijazahSMA”. (Cintrong Paju-Pat:58)

Terjemahan :

“Lulusan SMA itu, Mbak. Tahun kemarin. Pak Piko ikutannyelani

bicara. Tambah kursus Komputer. Aku menguwasaiMS word, Excel,

e-mail, databis lotus, dan program aplikasilainnya. Lirih memamerkan

kelebihan lainnya yang bisadiandalkan tidak hanyan lulusan SMA.

Dari kutipan di atas terlihat bahwa meskipun Lirih berasal daridesa dan

hanya lulusan SMA tapi dia mempunyai ketrampilan dankecerdasan yang

bisa diandalkan. Lirih mampu menguwasai programMS word, Excel, e-mail,

databis lotus, dan program aplikasi lainnya.Pada saat Abrit meremehkan

Langit Pak Piko yang pada saat itu berada.

D. Simpulan

1. Struktural: dari segi strukturalnya novel Cintrong Paju-Pat yang

menciptakan intensitas cerita meliputi : tema, tokoh dan penokohan, alur ,

dan latar. Tema Tokoh pelaku cerita utama adalah Abrit, Lirih, Langit, Bu

Arum dan Bu Kinyis, sedangkan tokoh tambahannya adalah Madusari,

Maniking, Trengginas, Luhur, Piko, Marsedik, Suradira dan Arum

Satuhu. Alurnya maju atau lurus. Latar menyaran pada latar tempat,

waktu dan sosial.

2. Feminisme: dari aspek feminismenya, difokuskan pada citra wanita yang

meliputi, citra diri wanita dan sosial. Penulis menyimpulkan sebagai

berikut. Citra pribadi wanita dapat digambarkan melalui cita fisik yaitu

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 59

gambaran wanita berdasarkan penampilannya (fisik), menunjukkan

citra perilaku yaitu penggambaran wanita berdasarkan perilakunya

dalam kehidupan sehari-hari, citra psikis yaitu penggambaran citra diri

berdasarkan kejiwaannya, mandiri dan tanggung jawab dan citra

sosialnya menunjukkan gambaran wanita dalam masyarakat.

Melaluipenggambaran citra pribadi tersebut, dapat diketahui kehidupan

wanita dalam kesehariannya. Citra diri dan sosial tokoh Abrit, Lirih,

Langit, Bu kinyis dan Bu Arum.

3. Gender: dari aspek gender bukan memperjuangankan kedudukan laki-laki

dan wanita bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tetapi, perjuangan

Lirih dalam mendapatkan suatu pekerjaan. Perjuangan Lirih dalam

mendapatkan suatu pekerjaan dengan melakukan berbagai macam cara.

Lirih berani jauh dari orang tua demi mencapai cita-citanya. Lirih adalah

seorang wanita yang berasal dari desa mengembara ke kota untuk mencari

pekerjaan dan berkeinginan kuat untuk bisa berkerja di gedung besar.

Dengan bekal ijazah SMA dan ketrampilan lain yang dia miliki.

DAFTAR PUSTAKA

Binarti, Sadar. 2009. Kajian Feminisme Novel Sintru, Oh Sintru Karya Suryadi

WS. Skripsi. Purworejo: Universitas Muhammadiyah Purworejo.

Brata, Suparto. 2010. Cintrong Paju – Pat. Yogyakarta: Narasi.

Dyanegara, soenarjati. 2003. Kritik Sastra Feminis. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: FBS

Universitas Negri Yogyakarta.

Fakih, mansoer. 2010. Analisis Gender dan Tranformasi Sosial. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Kutha Ratna, Nyoman. 2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Masngudah, Wiwin. 2008. “Citra dan Perjuangan Hidup Tokoh Utama Wanita

dalam Novel Saraswati Si Gadis Dalam karya AA.Novis”. Skripsi.

Purworejo: Universitas Muhammadiyah Purworejo.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 60

Novianti, Evin. 2005. “Citra Tokoh Wanita Novel Ms, B:” Panggil Aku B karya

Fira Basuki”. Skripsi. Purworejo: Universitas Muhammadiyah Purworejo.

Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi . Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Sugihastuti, Istna Hadi. 2010. Gender dan Inferioritas Wanita. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Sugiyono. 2011. Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung: Alfabet

Suharsono, ddk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang. CV.

Widya Karya

Suharto, Sugihastuti. 2010. Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 61

ANALISIS STRUKTURAL DAN NILAI PENDIDIKAN MORAL DALAM

SULUK SUKSMA LELANA KARYA RADEN NGABEHI

RANGGAWARSITA

Priska Tias Deswari

Universitas Muhammadiyah Purworejo

ABSTRAK

Deswari, Priska Tias. 2011, “Nilai Pendidikan Moral Dalam Suluk Suksmalelana

Karya Raden Ngabehi Ranggawarsita (Tinjauan Struktural Sastra)” (Skripsi).

Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan

Universitas Muhammadiyah Purworejo.

Penelitian ini membahas permasalahan pokok, yaitu: 1) Apa sajakah jenis

nilai-nilai pendidikan moral yang terdapat dalam Suluk Suksmalelana karya Raden

Ngabehi Ranggawarsita? 2) Bagaimanakah relevansi nilai-nilai pendidikan moral

yang terdapat dalam Suluk Suksmalelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita

dengan kehidupan masa sekarang? 3) Bagaimanakah struktur cerita yang terdapat

dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita?. Tujuan

Penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai pendidikan moral dan

mengetahui struktural sastra serta menemukan jenis-jenis nilai pendidikan moral

yang terkandung dalam Suluk Suksmalelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analisis konten atau analisis isi,

sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif

kualitatif. Sumber data diperoleh dari objek penelitian, yaitu Suluk Suksmalelana

karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang diterbitkan oleh Paheman Radya

Pustaka Surakarta pada tahun 1970. Subjek dalam penelitian ini adalah naskah

Suluk Suksmalelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Objek dari penelitian

ini adalah nilai pendidikan moral (tinjauan struktural sastra) yang terkandung

dalam naskah Suluk Suksmalelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Data

penelitian ini diperoleh dari Suluk Suksmalelana karya Raden Ngabehi

Ranggawarsita.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya struktural sastra, yang meliputi:

1)Tema, 2) Tokoh dan penokohan, 3) Alur, 4) Latar, dan adanya nilai pendidikan

moral, yaitu: 1) Nilai pendidikan moral hubungan antara manusia dengan Tuhan,

meliputi: a) Percaya pada Kekuasaan dan Keagungan Tuhan, b) Percaya pada

takdir Tuhan, c) Percaya pada Sifat-sifat baik Tuhan, d) Memohon ampunan pada

Tuhan, 2) Nilai pendidikan moral hubungan antara manusia dengan sesama

manusia, meliputi: a) Moralitas anak terhadap orang tua yaitu mematuhi perintah

orang tua dengan mengabulkan keinginan orang tua, sayang dan patuh pada orang

tua, b) Moralitas guru dengan memberikan nasihat kepada pengikut atau

muridnya. 3) Nilai pendidikan moral hubungan antara manusia dengan alam

sekitar. 4) Relevansi nilai moral dengan kehidupan sekarang.

Kata kunci: Struktural, Nilai Pendidikan Moral

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 62

A. Pendahuluan

Berbagai kebudayaan yang ada pada masa lampau banyak terekam dalam

tulisan berbentuk naskah, dengan menganalisis ataupun mengkaji naskah dapat

diketahui kesenian, sastra, tradisi, nilai-nilai, adat istiadat, dan peristiwa yang ada

pada masa lampau. Melalui penelitian filologi, isi kandungan naskah dapat diteliti

sehingga dapat diketahui nilai-nilai dalam peninggalan masa lampau yang masih

relevan dengan kehidupan sekarang. Hal ini menandakan bahwa masyarakat Jawa

sangat suka pada kesenian dan sastra, terbukti dengan banyaknya naskah yang

berisikan hal tersebut, misalnya: tembang, wayang-pedalangan, tari, cerita, dan

lain-lain.

Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita sangat

menarik untuk diteliti karena tulisannya mudah dibaca walaupun ditulis dalam

bentuk manuskrip atau tulisan tangan. Selain itu penyajian ajaran-ajaran yang

disampaikan berupa tembang, sehingga lebih menarik dalam penyampaiannya.

Selain itu, dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita

terkandung ajaran budi pekerti yang sangat baik untuk pembentukan kepribadian

seseorang. Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita merupakan

karya sastra yang ditulis dalam bentuk tembang macapat yang menjelaskan

tentang awal dan akhir kehidupan manusia. Dalam Suluk Suksma Lelana karya

Raden Ngabehi Ranggawarsita dijelaskan tentang perjalanan panjang kehidupan

manusia yang dipenuhi oleh berbagai rintangan. Rintangan dalam hal ini adalah

ujian dan cobaan yang harus dihadapi oleh manusia demi mencapai kesempurnaan

atau kehidupan sejati. Untuk memperoleh hal yang diinginkannya manusia harus

belajar ajaran budi pekerti yang baik serta dapat mengendalikan antara lahir dan

batinnya (hawa nafsu) sebagai tameng pengendalian diri.

B. Dasar Teori

1. Filologi

Filologi adalah ilmu yang berhubungan dengan karya masa lampau

yang berupa tulisan, studi terhadap karya masa lampau dilakukan karena

adanya anggapan dalam peninggalan tulisan terkandung nilai-nilai yang masih

relevan dengan kehidupan masa ini. Filologi berasal dari kata dalam bahasa

Yunani “philos” yang berarti “cinta” dan logos ” yang diartikan kata. Pada

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 63

kata “filologi” kedua kata itu membentuk arti “cinta kata” atau “senang

bertutur”. Arti ini kemudian berkembang menjadi “senang belajar” atau

“senang kebudayaan”. Pengkajian filologi pun selanjutnya membatasi diri

pada penelitian hasil kebudayaan masyarakat lama yang berupa tulisan dalam

naskah (Hasjim, 1985: 2).

Objek penelitian filologi adalah adalah manuskrip kuna, dan di dalam

manuskrip meliputi naskah dan teks. Dalam objek penelitian filologi akan

membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan seluk beluk naskah, teks, dan

tempat penyimpanan naskah (Baried, 1985: 3).

Menurut penulis, pengertian filologi adalah suatu ilmu yang

mempelajari segala sesuatu berupa tulisan-tulisan bernilai tinggi seperti karya

sastra yang berasal dari masa lampau dengan objek kajian naskah dan teks,

yang kemudian dijelaskan asal-usul serta kebudayaan dari naskah tersebut.

2. Pengertian naskah

Naskah merupakan tulisan tangan yang menyimpan berbagai

ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau,

yang merupakan benda konkret yang dapat dilihat atau dipegang. Naskah

memiliki ciri-ciri fisik yang membuatnya berbeda dengan tulisan lain, naskah

pada umumnya berbentuk buku dan memuat cerita yang lengkap (Hasjim,

1985: 55), sedangkan menurut Poerwadaminta (1954: 447), naskah adalah

karangan tulisan tangan, baik yang asli maupun salinannya.

Naskah diartikan sebagai semua bahan tulisan tangan yang berisi

berbagai sumbangan pemikiran dan perasaan atas segala peristiwa yang terjadi

disekitar manusia sebagai hasil budaya bangsa masa lalu. Naskah merupakan

hasil karya tulis nenek moyang yang menyimpan berbagai informasi yang

mampu mengungkapkan berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti aspek

agama, sosial, politik, ekonomi, sejarah, hukum, sastra, budaya, ajaran moral,

doa, pendidikan atau piwulang, dan sebagainya yang berkesinambungan

dengan kehidupan masa kini.

Suatu naskah adalah semua barang tulisan tangan yang ada pada

koleksi perpustakaan atau arsip; misalnya, surat-surat atau buku harian milik

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 64

seseorang yang ada pada koleksi perpustakaan (Library and Information

Science, 2009: 4).

Jadi, menurut penulis naskah adalah suatu karya sastra yang berupa

tulisan baik berupa tulisan tangan maupun cetak yang bersifat nyata atau

memiliki wujud yang konkret dan berasal dari masa lampau, serta menyimpan

sejarah tentang asal usul kebudayaan kehidupan manusia sejak dahulu hingga

masa yang akan datang.

3. Pengertian Pendidikan

Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi

pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intelek), dan pertumbuhan

anak. Dalam memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan

penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya (Erawati,

2010: 12).

Satu hal yang dibutuhkan manusia dalam hidupnya adalah kebutuhan

akan pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting, pendidikan

berfungsi untuk mengembangkan manusia, masyarakat, dan alam sekitarnya.

Oleh karena itu pendidikan harus merupakan usaha yang menuju kearah yang

baik (Suwarna, 1988: 37).

Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara (1967: 65 ) adalah daya

upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti, intelek, dan jasmani

anak-anak. Maksudnya adalah supaya dapat memajukan kehidupan agar

menuju kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak

selaras dengan alam dan masyarakatnya. Pendidikan tersebut dapat berfungsi

dengan baik jika dilaksanakan secara berkesinambungan dari satu generasi ke

generasi berikutnya.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai

pendidikan yang terdapat dalam karya sastra meliputi:

a. Pendidikan Ketuhanan;

b. Pendidikan kekeluargaan;

c. Pendidikan Kemasyarakatan;

d. Pendidikan Kerohanian;

e. Pendidikan moral.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 65

Jadi, menurut penulis pendidikan adalah suatu upaya pengembangan

mental, spiritual, dan intelektual manusia untuk membentuk kepribadian yang

baik dalam beradaptasi dengan kehidupan sosialnya melaui proses

pembelajaran baik secara formal maupun informal.

4. Pengertian Moral

Ajaran moral yang terdapat pada karya sastra dapat dimanfaatkan

sebagai alternatif untuk membentuk dan membina pribadi yang berbudi luhur.

Darma (1984: 47) menyatakan bahwa karya sastra yang baik selalu memberi

pesan kepada pembaca untuk berbuat baik, dalam konteks tersebut adalah

ajaran moral. Pendapat lain dikemukakan oleh Rusydi (1996: 13), moral

adalah penilaian terhadap suatu karya dalam kaitannya dengan nilai

kemanusiaan.

Ajaran moral tersebut merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan

oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah

kehidupan, sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Masalah tersebut

bersifat praktis karena dapat ditampilkan sebagai suatu model yang

ditampilkan sebagai suatu model dalam kehidupan nyata, sebagaimana model

yang ditampilkan dalam cerita lewat tokoh-tokohnya.

Ajaran moral tersebut dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan

kehidupan. Seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat, manusia

itu secara garis besar membahas persoalan hidup dan kehidupan manusia.

Persoalan itu pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam persoalan hubungan

manusia dengan diri sendiri, manusia dengan manusia lain dalam lingkup

sosial, termasuk juga hubungan dengan lingkungan alam dan hubungan

manusia dengan Tuhan.

Jadi, menurut penulis pengertian moral adalah sebuah penilaian baik

buruk perbuatan, sikap, akhlak, susila, dan budi pekerti manusia yang

merupakan sebuah penilaian dari masyarakat sosial yang memiliki sanksi

tertentu dalam menertibkan perilaku moral masyarakatnya.

5. Nilai Pendidikan Moral dalam Sastra

Pada dasarnya karya sastra adalah wujud representasi dunia dalam

bentuk lambang (kebahasaan). Karya sastra merupakan salah satu media yang

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 66

dapat menjadi sumber pengalaman estetik yang pada gilirannya akan

mengantarkan seseorang untuk mencapai pengalaman yang religius, oleh

karena itu secara langsung maupun tidak langsung karya sastra mengandung

sesuatu yang baik (Darma, 1984: 79 dalam Rini Adiati, 2002: 3).

Wellek dan Waren (1962: 27), menyatakan bahwa karya sastra

memberikan manfaat yang berupa keseriusan yang bersifat didaktis, yaitu

keseriusan yang bernilai pendidikan. Pendapat lain dikemukakan oleh

Padmopuspita (1990: 39) yang menegaskan kembali tentang pemanfaatan nilai

pendidikan dalam karya sastra, bahwa di dalam karya sastra terdapat ajaran,

pesan-pesan dan nilai-nilai kehidupan yang dapat diangkat dan dimanfaatkan

sebagai piwulang (ajaran) dan pedoman hidup baik dimasa lampau, sekarang,

maupun pada masa yang akan datang oleh generasi berikutnya.

Karya sastra akan muncul pada masyarakat yang telah memiliki

konversi, tradisi, pandangan tentang estetika, tujuan berseni, dan lain-lain,

yang kesemuanya dapat dipandang sebagai wujud kebudayaan, dan tidak

mustahil sastra merupakan “rekaman” terhadap pandangan masyarakat tentang

seni. Hal itu berarti bahwa sesungguhnya sastra merupakan konversi

masyarakat, karena masyarakat menginginkan adanya suatu bentuk kesenian

yang bernama sastra (Nurgiyantoro, 1998: 15).

Sebagai salah satu hasil kebudayaan karya sastra memiliki fungsi

bagi kehidupan manusia. Menurut Horace (dalam Wellek 1990: 25) fungsi

karya sastra adalah dulce et utile (sweet and useful) yang berarti indah dan

bermanfaat. Keindahan dalam karya sastra dapat menyenangkan pembacanya,

dalam arti dapat memberi hiburan serta rekreasi bagi pembaca atau

penikmatnya. Bermanfaat dalam karya sastra yaitu kegiatan membaca atau

menikmati karya sastra untuk mendapatkan masukan yang dapat memperkaya

batin. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan antara yang lainnya sehingga

membentuk keterkaitan.

Karya sastra dapat digunakan sebagai media pendidikan yang tidak

terbatas oleh waktu. Ajaran, pesan, dan nilai-nilai kehidupan yang terdapat

dalam karya sastra merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat dari

generasi ke generasi. Hal tersebut dapat dipahami karena kehidupan manusia

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 67

dari jaman dahulu hingga sekarang tidak dapat terlepas dari nilai-nilai

kehidupan. Sehingga karya sastra digunakan sebagai alternative untuk

mengontrol tingkah laku manusia agar tatanan kehidupannya tetap selaras.

Pendidikan dalam hal ini dikaitkan dengan ajaran nilai pendidikan moral yang

terkandung dalam karya sastra. Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan

manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau

buruk. Dalam hal ini mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan

manusia (Poespoprodjo, 1998: 118).

Jadi, menurut penulis nilai pendidikan moral dalam sastra merupakan

suatu penilaian baik buruk budi pekerti yang disampaikan melalui tokoh cerita

serta kebudayaan pada masa lampau yang tertuang dalam isi dari karya sastra

tersebut.

6. Struktural Sastra dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi

Ranggawarsita 1. Tema

Dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita terdapat

tema cerita, yaitu tentang seseorang yang ingin mencari jati dirinya dengan

mendekatkan diri dengan Sang Khalik (Tuhan) ke negri Sukawarastra karena

telah merasa jenuh dengan segala godaan dan ujian yang ia hadapi dalam

kehidupannya yang termasuk golongan priyayi atau bangsawan, ia adalah

Raden Sukmalelana. Hal ini terlihat dalam kutipan Suluk Suksma Lelana

karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam pupuh pocung pada 4, sebagai

berikut:

“Darbé karsa, rentjana marang Sang Bagus, supadi katrema, nèng

Sukawastra nagri, dumadakan kukuh Dyan Sukmalelana”.

Terjemahan:

„Mempunyai keinginan dan sebuah rencana untuk mendekatkan

diri kepada Sang Maha Sempurna supaya diterima di Negara

Sukawastra, tiba-tiba dengan kemantapannya Raden Sukmalelana

pergi‟.

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Raden Sukmalelana sangat ingin

mencapai kesempurnaan hidup atau oleh masyarakat Jawa sering disebut

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 68

dengan ngudi kasampurnan. Dalam kutipan tersebut, Negara Sukawastra

merupakan negara yang damai di ibaratkan surga yang member kedamaian

batin bagi manusia yang sedang dilanda kegundahan seperti Raden

Sukmalelana tersebut. Oleh karena itu dengan kemantapan lahir batin, Raden

Sukmalelana melangkahkan.

2. Tokoh dan Penokohan

Tokoh utama cerita dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi

Ranggawarsita adalah Raden Sukmalelana, sedangkan tokoh tambahan yang

paling dominan adalah Ki Dremba, Sang Harda, dan Sang Dyah, yang akan

dijelaskan perwatakannya melalui penjabaran sebagai berikut:

3. Alur

Alur adalah cerita yang berisi urutan peristiwa, tetapi setiap peristiwa itu

dihubungkan secara kasual. Peristiwa yang satu disebabkan atau

menyebabkan peristiwa yang lain. Alur yang terdapat dalam Suluk Suksma

Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita,adalah alur maju yang akan

dijelaskan, sebagai berikut :

4. Latar

Dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, latar

tempat terdapat pada kutipan pupuh sinom pada 15, sebagai berikut:

“Kawarta ing wod siratal”

„Diberitahukan di jembatan Siratal’

Gambaran latar juga terdapat dalam pupuh sinom pada 2, sebagai berikut:

“Kaélokan wignja ngambah dirgantara”.

„Keindahan kecerdasan dapat menapakkan kaki di angkasa’

Gambaran latar juga terdapat dalam pupuh mijil pada 2, sebagai berikut:

“djroning wana sahéndranja kabèh”

‘Di dalam hutan beserta semua makhluk yang hidup didalamnya‟.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 69

Dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, latar

waktu terdapat dalam pupuh sinom pada 15, sebagai berikut:

“punika ing djaman ngakir”

„Tersebut pada jaman akhir kehidupan’.

Pernyataan tersebut merupakan sebuah nasihat kepada manusia supaya

mempercayai akan datangnya hari kiamat dimana hari tersebut merupakan

akhir perjalanan dari semua makhluk.

7. Nilai Pendidikan Moral dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden

Ngabehi Ranggawarsita

Dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita

terdapat nilai pendidikan moral yang berhubungan dengan Tuhan, yaitu

percaya pada takdir dan kekuasaan Tuhan, percaya pada sifat-sifat baik Tuhan

serta memohon ampunan pada Tuhan. Indikator yang menunjukkan nilai-nilai

pendidikan moral tersebut dicetak tebal dalam setiap kutipan teks tersebut.

Demikian juga pada nilai-nilai pendidikan moral yang menjelaskan hubungan

manusia dengan sesama manusia dan dengan alam sekitar.

Proses kehidupan di dunia ini adalah bersosialisasi dengan sesama

makhluk. Demikian halnya dengan manusia, ia beradaptasi dengan alam

disekitarnya dan bersosial dengan sesamanya (manusia), karena manusia

tidak dapat hidup dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Hubungan antara

manusia dengan sesama manusia diatur dalam sebuah etika yang berlaku

dalam kehidupan bermasyarakat yang disebut dengan moralitas. Etika

merupakan dasar kemanusiaan atau petunjuk dasar bagi tingkah laku, cara

pikir, dan keyakinan manusia. Sedangkan moralitas adalah suatu ajaran yang

berkaitan dengan perbuatan yang pada hakikatnya merupakan pencerminan

akhlak dan budi pekerti.

8. Relevansi Nilai Moral dengan Kehidupan Sekarang

Kutipan nilai pendidikan moral yang terkandung dalam Suluk

Suksmalelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita adalah sebuah bukti nyata

bahwa kehidupan manusia telah di atur sesuai norma yang berlaku dalam

masyarakat sejak jaman dahulu sampai sekarang. Relevansi nilai pendidikan

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 70

moral yang terkandung dalam Suluk Suksmalelana karya Raden Ngabehi

Ranggawarsita dengan kehidupan manusia pada jaman modern seperti

sekarang adalah berupa peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah

dalam wujud undang-undang dasar beserta sanksi yang diterapkan pada

pelanggarnya.

Nilai pendidikan moral pada saat ini sudah mulai pudar, terbukti dengan

semakin meningkatnya tindak kejahatan di lingkungan masyarakat. Perbuatan

manusia semakin tidak terarah dan tidak teratur. Kepercayaan terhadap Tuhan

merupakan salah satu jalan manusia untuk terhindar dari kesesatan, dengan

cara beribadah dan meningkatkan kualitas keimanan dan toleransi terhadap

sesama.

DAFTAR PUSTAKA

Baribin, Raminah. 1985. Teori dan Apresiasi Prosa Fiksi. Semarang: IKIP Press

Darmiyati, Zuchdi. 1993. Panduan Penelitian Analisis Konten. Yogyakarta:

Lembaga Pendidikan IKIP Yogyakarta.

Ekoputranti, Adiati, Rini. 2002. Religiusitas Dalam Sastra Jawa Modern. Jakarta:

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Endraswara, Suwardi. 2006. Budi Pekerti Jawa. Jogjakarta: Buana Pustaka.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Penerbit

Pustaka Widyatama.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi

Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Poespoprodjo, W. 1998. Filsafat Moral. Bandung: CV Pustaka Grafika.

Purwaningsih, Indrastri. 2009. Nilai-Nilai Pendidikan Moral Dalam Serat Pusara

Krama (skripsi). Jogjakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 71

VERBA DENOMINAL BAHASA JAWA

PADA MAJALAH DJAKA LODHANG

EDISI JULI SAMPAI SEPTEMBER TAHUN 2008

Zuly Qurniawati, Santi Ratna Dewi S.

Universitas Muhammadiyah Purworejo

ABSTRAK

Majalah merupakan bagian dari kebudayaan manusia, dimana

bahasa dan budaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Majalah

Djaka Lodhang merupakan salah satu contoh penyampaian bahasa secara

tertulis, sebagai salah satu media massa cetak berbahasa Jawa. Melalui

majalah Djaka Lodhang selain memuat tentang bahasa juga memuat

tentang sastra dan budaya. Tidak mengherankan jika pengkajian yang

mendalam banyak dilakukan untuk mengungkap berbagai hal yang

sangat luas. Dalam hal ini terkait dengan perubahan-perubahan dari

pembentukan suatu kata dan perubahan makna kata (verba denominal).

Perubahan bentuk kata verba denominal bahasa Jawa terdapat tiga

perubahan, yaitu: (a). Perubahan kata jadian yang diturunkan dari bentuk

kata dasarnya, yaitu dengan memperoleh afiksasi atau imbuhan berupa

prefiks, sufiks, konfiks, dan afik gabung. (b). Perubahan bentuk kata

ulang yang diturunkan dari bentuk kata dasarnya. Dalam penelitian ini

ditemukan dwipurwa, ulang afiks, dan ulang semu. (c). Perubahan bentuk

kata majemuk yang diturunkan dari bentuk kata dasarnya. Dalam

penelitian ini ditemukan majemuk berafiks. Setiap pembentukan kata

pada proses morfologi menimbulkan nosi atau arti baru akibat dari

adanya proses tersebut. Perubahan makna kata verba denominal bahasa

Jawa berdasar gradasi kadar pembentuk verba. verba denominal bahasa

Jawa pada Majalah Djaka Lodang Tahun 2008 kurang produktif. Hal

tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian pada kesimpulan yang hanya

ditemukan adanya 3 macam perubahan bentuk, dan terdapat 37 macam

perubahan makna kata.

Kata kunci: Majalah Djaka Lodhang, verba denominal.

A. Pendahuluan

Bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol,

bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang dipakai

sebagai alat komunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan

pikiran. Dalam berkomunikasi bahasa sebagai sarana yang digunakan oleh setiap

orang untuk menyampaikan gagasan, perasaan, dan sebagainya kepada orang lain,

baik berupa bahasa lisan maupun tulisan. maka, setiap orang diperlukan

pemahaman tentang apa dan bagaimana penggunaan bahasa yang baik dan benar.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 72

Bahasa Jawa digunakan oleh penduduk suku bangsa Jawa di Jawa Tengah,

Yogyakarta, dan Jawa Timur. Bahasa Jawa adalah bahasa daerah yang digunakan

dan dilestarikan oleh orang Jawa terutama orang DIY dan Jateng. Bahasa jawa

dihormati dan diberi tempat untuk hidup dan berkembang. Kedudukan bahasa

daerah ditentukan, dibina, dan dilestarikan oleh pemerintah. Hal tersebut,

dibuktikan dengan adanya pasal 32 ayat 2, yaitu ”Negara menghormati dan

memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa kedudukan bahasa

Jawa adalah sebagai bahasa daerah dan yang berkewajiban melestarikan membina

dan mengembangkan bahasa Jawa adalah negara dan rakyat pemilik bahasa Jawa.

Salah satu wujud pelestarian, pembinaan, dan pengembangan bahasa Jawa yaitu

dengan terbitnya majalah-majalah berbahasa Jawa. Adapun majalah-majalah

berbahasa Jawa tersebut antara lain Djaka Lodhang, Mekar Sari, Panjebar

Semangat, dan Jaya Baya. Majalah Djaka Lodhang adalah majalah berbahasa

Jawa yang terbit pertama kali pada tahun 1971 di Yogyakarta. Majalah tersebut

terbit setiap hari sabtu dalam satu minggu. Setiap bulan majalah tersebut terbit

sebanyak 4-5 kali tergantung jumlah minggu dalam tiap bulan. Dalam majalah

Djaka Lodhang selain memuat tentang bahasa juga memuat tentang sastra dan

budaya. Majalah merupakan salah satu contoh penyampaian bahasa secara tertulis,

sebagai salah satu media massa cetak. Majalah adalah bagian dari kebudayaan

manusia, dimana bahasa dan budaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

Sebagai pengguna bahasa perlu memahami bahasa itu sendiri, dengan pengkajian

dan penelitian bahasa yang mendalam. Sebagai objek kajian, bahasa mempunyai

berbagai persoalan yang sangat luas. Pada tulisan ini, penulis mengkaji tentang

perubahan-perubahan dari pembentukan suatu kata.

Pembentukan kata selain mempelajari proses pembentukan kata-kata juga

mempelajari pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata dan makna kata. Kata

dapat dibentuk atau diturunkan dari kata dasar itu sendiri, tetapi juga dari kata

dasar kata lain, contohnya kata kerja. Kata kerja tidak hanya dapat dibentuk dari

kata dasar kata kerja, tetapi juga dari kata dasar kata benda, kata keadaan, kata

bilangan, kata ganti, dan lain-lain. Dalam hal ini kajian akan menekankan pada

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 73

kata kerja yang dibentuk dan diturunkan dari kata benda atau dalam istilah

morfologi disebut verba denominal.

Dalam penelitian tentang verba denominal ini, tidak menekankan pada

proses pembentukan kata-kata, tetapi perubahan-perubahan bentuk kata, dan

makna kata. Penelitian ini menekankan pada perubahan-perubahan, karena suatu

golongan kata dapat ditransformasikan ke golongan kata lain dan perlu diketahui

perubahan transformasi kata tersebut. Penelitian ini menekankan golongan kata

kerja yang dapat ditransformasikan ke dalam golongan kata lain, misalnya dari

kata kerja dapat ditransformasikan ke dalam kata benda. Suatu kata juga dapat

diartikan dengan berbagai macam makna setelah mengalami perubahan bentuk.

Dengan demikian, dalam penelitian tentang verba denominal juga perlu

memaparkan perubahan bentuk kata dan makna kata tersebut.

B. Proses Morfologi Kata

Menurut Mulyana (2007: 5) Istilah “morfologi” diturunkan dari bahasa

Inggris morphology, artinya cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang

susunan atau bagian-bagian kata secara gramatikal. Secara etimologi, istilah

morfologi sebenarnya berasal dari Yunani, yaitu gabungan antara morphe yang

artinya „bentuk‟ dan logos berarti „ilmu‟ (Ralibi dalam Mulyana, 2007: 5).

Yasin (1987: 20) mengemukakan morfologi ialah ilmu yang mempelajari

hal-hal yang berhubungan dengan bentuk kata atau struktur kata dan pengaruh

perubahan-perubahan bentuk kata terhadap jenis kata dan makna kata. Ramlan

(1987: 21) menyatakan bahwa pengertian morfologi adalah sebagai berikut:

“Morfologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang

membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk kata serta

pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap

golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan

bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk kata serta fungsi

perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatikal

maupun fungsi semantik”.

Proses morfologi ialah proses pembentukan kata-kata dari satuan lain yang

merupakan bentuk dasarnya (Ramlan, 1987: 51). Dalam berbagai bahasa, berlaku

proses morfologi tersebut, karena setiap bahasa tidak akan sama antara bahasa

yang satu dengan bahasa yang lain. Dengan kata lain, dalam bahasa Jawa tentu

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 74

berlaku proses morfologi atau pembentukan kata. Dalam pembentukan kata

terdapat tiga proses, yaitu proses afiksasi, proses pengulangan, dan proses

pemajemukan.

C. Verba Denominal

Untuk menentukan apakah sebuah kata bahasa Indonesia termasuk kata

kerja atau tidak, dapat ditinjau dari sudut:

1. morfologis (bentuk kata)

kata-kata bahasa Indonesia yang mengandung afiks atau imbuhan me-,

ber-, di-, ter-, -kan, -i, termasuk kelas kata kerja. Contoh: menyanyi,

menyapu, bermain, berdendeng, ditulis, diambil, terinjak, tersenggol,

naikkan, doakan, tulisi, lempari, dll.

2. fraseologis (kelompok kata)

a. kata-kata bahasa Indonesia yang dapat berfrase dengan kata dengan +

kata sifat, termasuk kelas kata kerja. Contoh: berjalan dengan cepat,

baca dengan cemat, pukul dengan keras,dll.

b. kata-kata bahasa Indonesia yang dapat berfrase dengan kata akan,

hendak, ingin, tidak, boleh, telah, sedang, sambil, termasuk kelas kata

kerja. Contoh: akan makan, akan pergi, hendak bermain, hendak

menari, ingin bertemu, ingin menengok, tidak masuk, tidak minum,

boleh pergi, boleh berbicara, sedang belajar, sedang menulis, telah

mandi, sambil minum, dll.

Dapat dikenali melalui (1) bentuk morfologis, (2) perilaku sintaksis, dan

(3) perilaku semantis dari keseluruhan kalimat. Selain itu, verba dapat didampingi

dengan kata tidak. Ia tidak belajar di kampus. Ia tidak makan di rumah. Mereka

tidak menulis makalah. Berdasarkan bentuk kata (morfologis), verba dapat

dibedakan menjadi: (1) verba dasar (tanpa afiks), misalnya: makan, pergi, minum,

duduk, dan tidur, (2) verba turunan a) verba dasar + afiks (wajib) menduduki,

mempelajari, menyanyi, me-manggil-manggil, menanyakan; b) verba dasar +

afiks (tidak wajib) (mem)baca, (men)dengar, (men)cuci; c) verba dasar (terikat

afiks) + afiks (wajib) bertemu, bersua, mengungsi; d) reduplikasi atau bentuk

ulang berjalan-jalan, minum-minum, mengais-ngais; e) majemuk cuci mata, naik

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 75

haji, belai kasih. Berdasarkan banyaknya pembuktian (argumentasi), verba dapat

dibedakan menjadi (1) verba transitif disertai objek (a) monotransitif, misalnya:

menyanyikan lagu, membacakan buku, melukiskan pemandangan, dan

memperhatikan temannya; (b) verba bitransitif, misalnya: menyanyikan lagu

Indonesia Raya dan Maju Tak Gentar, membaca majalah, dan surat kabar, (c)

verba ditransitif, misalnya: mengembangkan agrobisnis, lembaga pendididkan

internasional, dan pendidikan berteknologi tinggi. (2) verba intransitif tidak

menghendaki adanya objek. Ia berdagang.

Berdasarkan perpindahan kelas kata: (1) verba denominal (nomina ke

verba), misalnya: berbudaya, mencangkul, dan mencambuk; (2) verba deadjektif,

misalnya: menghina, menyakiti, dan mencintai, (3) deadverbial, misalnya:

menyudahi, memung-kinkan, mengakhiri, dan mengawali. Verba denomial adalah

verba yang terbentuk dari nomina. Contoh: berbudaya, bertelur, memahat,

merotan, menyemir.

D. Perubahan Bentuk Kata Verba Denominal Bahasa Jawa pada Majalah

Djaka Lodhang

Perubahan bentuk kata pada verba denominal bahasa Jawa pada majalah

Djaka Lodang edisi bulan Juli sampai September tahun 2008 dapat

diklasifikasikan sebagai berikut, a) perubahan kata jadian yang diturunkan dari

kata dasarnya, b) perubahan kata ulang yang diturunkan dari kata dasarnya, dan c)

perubahan kata majemuk yang diturunkan dari kata dasarnya. Masing-masing

akan dibahas lebih lanjut.

1. Perubahan kata jadian yang diturunkan dari kata dasarnya

Adapun proses morfologi yang terjadi pada pembentukan verba denominal

bahasa Jawa pada majalah Djaka Lodang edisi bulan Juli sampai September tahun

2008 khususnya dalam pembentukan kata jadian yang diturunkan dari kata

dasarnya berupa proses afiksasi. Dalam proses afiksasi meliputi prefiks dengan

imbuhan ater-ater hanuswara N- terdiri atas n-, ny-, m-, ng-; ater-ater tripurusa

dak-, tak-, kok-, di-; prefik ka-, ke-, ma-, me-; sufiks -i, -en, -an; konfiks m- / -i,

ng- / -i , m- / -ake, di- / -i, di- / -ake, ke- / -an; afiks gabung n- / -i, ny- / -i, m- / -i,

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 76

ng- / -i, ny- / -ake, m- / -ake, ng- / -ake, ny- / -e, m- / -na, dak- / -i, tak- / -i , di- / -i,

di- / -ake, di- / -na, ka- / -ake, -in- / -an, -in- /-ake.

2. Perubahan kata rangkap yang diturunkan dari kata dasarnya

Adapun proses morfologi yang terjadi pada pembentukan verba denominal bahasa

Jawa pada majalah Djaka Lodang edisi bulan Juli sampai September tahun 2008

khususnya dalam pembentukan kata rangkap yang diturunkan dari kata dasarnya

berupa proses perulangan. Dalam proses perulangan meliputi perulangan

dwipurwa, ulang afik, dan ulang semu.

Nosi dwipurwa pada kata verba denominal ditemukan 5 macam nosi dwipurwa,

yakni (1) nosi dwipurwa pada kekemul, ialah mengenakan; (2) nosi dwipurwa

pada tetamba, ialah menggunakan sebagai; (3) nosi dwipurwa pada peputra, ialah

mempunyai; (4) nosi dwipurwa pada dedagangan, ialah melakukan tindakan; dan

(4) nosi dwipurwa pada bebandan, ialah membuat/menghasilkan.

Nosi ulang afiks pada kata verba denominal ditemukan 7 macam nosi ulang afiks,

yakni (1) nosi ulang afiks pada pit-pitan, ialah naik/mengendarai; (2) nosi ulang

afiks pada jaran-jaranan, ialah menyerupai; (3) nosi ulang afiks pada bal-balan,

ialah menggunakan; (4) nosi ulang afiks pada disilet-silet, ialah dikenai berulang-

ulang; (5) nosi ulang afiks pada ngoca-ngaca, ialah menggunakan berulang-ulang;

(6) nosi ulang afiks pada nyenyandhang, yakni mengenakan; dan (7) nosi ulang

afiks pada tetanen yakni menjadi.

3. Perubahan kata pemajemukan yang diturunkan dari kata dasar

Adapun proses morfologi yang terjadi pada pembentukan verba denominal bahasa

Jawa pada majalah Djaka Lodang edisi bulan Juli sampai September tahun 2008

khususnya dalam pembentukan kata majemuk yang diturunkan dari kata dasarnya

berupa proses pemajemukan. Dalam proses pemajemukan dalam penelitian ini

ditemukan majemuk berafiks.

E. Perubahan Makna Verba Denominal Bahasa Jawa pada Majalah Djaka

Lodhang

Hasil penelitian perubahan makna kata verba denominal bahasa Jawa pada

majalah Djaka Lodang edisi bulan Juli sampai September tahun 2008 di atas,

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 77

terdapat 37 macam perubahan makna kata verba yang diturunkan dari kata benda.

Dari hasil penelitian setiap kata bentukan memiliki makna berbeda-beda

berdasarkan gradasi kadar imbuhan pembentuk verba bukan berdasarkan jenis

imbuhan yang melekat pada verba (arti/nosi), antara lain:

1. Perubahan makna kata kerja melakukan pekerjaan dengan menggunakan

apa yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda

bermakna alat dan benda.

2. Perubahan makna kata kerja melakukan pekerjaan atau menjadi apa yang

dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna orang

3. Perubahan makna kata kerja menuju ke/ pergi ke apa yang dinyatakan

bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna tempat dan arah

4. Perubahan makna kata kerja melakukan tindakan dengan naik apa yang

dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna alat.

5. Perubahan makna kata kerja melakukan pekerjaan dengan membuat apa

yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna

benda

6. Perubahan makna kata kerja mengeluarkan (mempunyai) aran kongkrit

yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna

orang dan benda

7. Perubahan makna kata kerja bermakna merasa apa yang dinyatakan bentuk

dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna hewan

8. Perubahan makna kata kerja bermakna mempunyai apa yang dinyatakan

bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna benda dan orang

9. Perubahan makna kata kerja bermakna melakukan tindakan dengan

menempati apa yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata

benda bermakna tempat

10. Perubahan makna kata kerja bermakna perbuatan yang dilakukan oleh

orang pertama tunggal yang diturunkan dari kata benda bermakna tempat

dan alat

11. Perubahan makna kata kerja bermakna perbuatan yang dilakukan oleh

orang kedua, baik tunggal maupun jamak yang diturunkan dari kata benda

bermakna alat

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 78

12. Perubahan makna kata kerja bermakna dikenai tindakan dengan

menggunakan apa yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata

benda bermakna alat dan benda

13. Perubahan makna kata kerja bermakna diberi atau diolesi sesuatu yang

dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna alat

dan benda

14. Perubahan makna kata kerja bermakna dibuat menjadi apa yang

dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna benda

dan orang

15. Perubahan makna kata kerja bermakna dimasukkan dalam apa yang

dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna alat

dan tempat

16. Perubahan makna kata kerja bermakna peristiwa yang diacu terjadi dengan

tidak sengaja yang diturunkan dari kata benda bermakna benda dan orang

17. Perubahan makna kata kerja bermakna belajar pada, atau memiliki apa

yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna

orang

18. Perubahan makna kata kerja bermakna perintah untuk melakukan tindakan

dengan menggunakan apa yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan

dari kata benda bermakna alat dan benda

19. Perubahan makna kata kerja bermakna melakukan tindakan untuk diri

sendiri dengan memakai/mengenakan apa yang dinyatakan bentuk dasar

yang diturunkan dari kata benda bermakna benda

20. Perubahan makna kata kerja bermakna mengadakan pertunjukkan yang

dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna benda

21. Perubahan makna kata kerja bermakna nama permainan yang diturunkan

dari kata benda bermakna benda, tempat, dan hewan

22. Perubahan makna kata kerja bermakna memberi apa yang dinyatakan

bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna benda

23. Perubahan makna kata kerja bermakna berulang-ulang memasukkan

sesuatu ke dalam yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata

benda bermakna benda

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 79

24. Perubahan makna kata kerja bermakna melakukan tindakan dengan

keadaan seperti yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata

benda bermakna benda

25. Perubahan makna kata kerja bermakna melakukan tindakan dengan

menyerupai apa yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata

benda bermakna sebagai benda, orang, dan hewan

26. Perubahan makna kata kerja bermakna melakukan perbuatan untuk uwong

lain yang diturunkan dari kata benda bermakna alat, tempat, benda, dan

orang

27. Perubahan makna kata kerja bermakna dikenai perbuatan dengan

digunakan sebagai apa yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari

kata benda bermakna tempat

28. Perubahan makna kata kerja bermakna berulang-ulang dimasukkan dalam

sesuatu yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda

bermakna benda

29. Perubahan makna kata kerja bermakna di dalam keadaan yang dinyatakan

bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna tempat

30. Perubahan makna kata kerja bermakna tindakan yang dilakukan untuk

uwong lain dengan menggunakan yang dinyatakan bentuk dasar yang

diturunkan dari kata benda bermakna alat

31. Perubahan makna kata kerja bermakna dibuat menyerupai apa yang

dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna orang

32. Perubahan makna kata kerja bermakna meskipun dikenai apa yang

dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna alat

33. Perubahan makna kata kerja bermakna meskipun diberi apa yang

dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna alat

34. Perubahan makna kata kerja bermakna dikenai tindakan berulang kali

menggunakan apa yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata

benda bermakna alat

35. Perubahan makna kata kerja bermakna melakukan tindakan berulang-

ulang dengan menggunakan apa yang dinyatakan bentuk dasar yang

diturunkan dari kata benda bermakna alat dan benda

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 80

36. Perubahan makna kata kerja melakukan pekerjaan berulang-ulang dengan

membuat apa yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata

benda bermakna benda

37. Perubahan makna kata kerja mengandung atau menjadi apa yang

dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna benda

F. Simpulan

Dalam morfologi selain mempelajari seluk beluk kata juga mempelajari

perubahan- perubahan yang terjadi dalam pembentukan kata. Penelitian ini

menganalisis tentang perubahan-perubahan tersebut, yakni:

1. Pembentukan suatu kata tidak terlepas dari perubahan bentuk kata.

Perubahan bentuk kata dalam penelitian ditemukan 3 macam perubahan

bentuk, yakni: perubahan bentuk kata jadian yang diturunkan dari bentuk

kata dasar, perubahan bentuk kata ulang yang diturunkan dari bentuk kata

dasar dan perubahan bentuk kata majemuk yang diturunkan dari bentuk

kata dasarnya.

2. Selain perubahan bentuk kata dalam penelitian ini, juga terjadi perubahan

makna kata. Perubahan makna kata verba denominal bahasa Jawa dalam

penelitian ditemukan 37 macam perubahan makna kata verba denominal

berdasarkan gradasi kadar pembentuk verba.

DAFTAR PUSTAKA

Mulyana. 2007. Morfologi Bahasa Jawa Bentuk dan Struktur Bahasa Jawa.

Yogyakarta: Kanwa Publiher.

Ramlan, M. 1987. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: C.V.

Karyono.

Samsuri. 1978. Analisis Bahasa. Jakarta.: Penerbit Erlangga.

Yasin, Sulchan. 1987. Tinjauan Deskriptif Seputar Morfologi. Surabaya: Usaha

Nasional.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 81

KAJIAN FOLKLOR TRADISI MERTI DHUSUN DI DUSUN TUGONO

DESA KALIGONO KECAMATAN KALIGESING

KABUPATEN PURWOREJO

Amalia Septi Puspitasari

Universitas Muhammadiyah Purworejo

ABSTRAK

Amalia Septi Puspitasari. Kajian Folklor Tradisi Merti Dhusun di Dusun

Tugono Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Skripsi.

Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa. Universitas Muhammadiyah Purworejo.

2012.

Penelitian ini mendeskripsikan permasalahan (1) Prosesi tradisi merti

dhusun di dusun Tugono, (2) Fungsi tradisi merti dhusun di dusun Tugono, (3)

Makna simbolik yang terkandung dalam ubarampe yang digunakan dalam

tradisi merti dhusun di dusun Tugono. Penelitian “Kajian Folklor Tradisi Merti

Dhusun di Dusun Tugono, Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten

Purworejo” dilakukan dengan metode pendekatan emik, dimana peneliti budaya

mendasarkan pada sudut pandang partisipan (informan setempat). Jenis penelitian

menggunakan metode deskriptif kualitatif. Subjek penelitian adalah kepala desa

Kaligono, kepala dusun Tugono, sesepu dusun Tugono, warga dusun Tugono, dan

warga sekitar dusun Tugono. Objek penelitian adalah prosesi tradisi merti dhusun

di dusun Tugono, fungsi tradisi merti dhusun di dusun Tugono, makna simbolik

yang terkandung dalam ubarampe yang digunakan dalam tradisi merti dhusun di

dusun Tugono. Lokasi penelitian berada di dusun Tugono, desa Kaligono,

kecamatan Kaligesing, kabupaten Purworejo. Teknik pengumpulan data

menggunakan teknik observasi, wawancara, dokumentasi, dan analisis isi. Teknik

analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif. Teknik keabsahan data

menggunakan triangulasi.

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) prosesi tradisi merti dhusun di

dusun Tugono yaitu (a) membersihkan dusun dan bersih kubur, (b) ziarah kubur,

(c) tayub siang, (d) mengumpulkan jolen, (e) kirab dilanjutkan hiburan tayub

sampai pagi hari. (2) Fungsi tradisi merti dhusun di dusun Tugono antara lain (a)

Fungsi Sosial, (b) Fungsi Ritual, (c) Fungsi Pelestarian Tradisi, (d) Fungsi

Hiburan, (e) Fungsi Pendidikan, (f) Fungsi Ekonomi. (3) Ubarampe

yangmemiliki makna simbolis, meliputi: (a) Tumpeng robyong, (b) Tumpeng

tunjung, (c) Tumpeng rasul dan ayam ingkung, (d) Bonang baning, (e) Jenang

abang putih, (f) Sega golong lima, (g) Ambeng kalih, (h) Sekul sepuh, (i) Jajan

rakan, (j) Jajan pasar.

Kata kunci: Folklor, Tradisi , Merti Dhusun

A. Pendahuluan

Seiring dengan perkembangan zaman, upacara tradisi seperti upacara

menyambut kelahiran anak, upacara sedekah bumi dan upacara permohonan

keselamatan sekarang ini sudah semakin punah. Namun, masih di beberapa

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 82

tempat masih dijumpai upacara tradisi yang masih dilakukan. Upacara tradisi

yang masih eksis dan masih dilaksanakan oleh masyarakat Jawa salah satunya

adalah upacara tradisi merti dhusun di Dusun Tugono, Desa Kaligono,

Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Tradisi merti dhusun

merupakan upacara selamatan dusun yang dijadikan tradisi di Dusun Tugono,

Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Tradisi ini

dilaksanakan setiap tahun pada bulan Sapar (bulan Jawa). Bagi masyarakat

dusun Tugono, merti dhusun dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur

kepada Sang Pencipta yang telah memberi keselamatan dan hasil panen yang

melimpah. Puncak acara upacara tradisi merti dhusun di dusun Tugono ini

adalah saat kirab pada malam hari yang dilanjutkan dengan hiburan tayub

sampai dini hari. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik meneliti upacara

tradisi merti dhusun di Dusun Tugono karena (a) tradisi merti dhusun ini

unik, yaitu selain sebagai ungkapan rasa syukur, merti dhusun ini juga

sebagai tolak-balak. Ada yang meminta bedak kepada ronggeng dan ada

yang menari bersama ronggeng, (b) tradisi merti dhusun mengandung

beberapa nilai di antaranya: nilai sosial, nilai ritual dan nilai pendidikan bagi

masyarakat sekitar, (c) upacara tradisi merti dhusun merupakan budaya asli

masyarakat yang kemudian berinteraksi dan terjalin dalam proses akulturasi

dengan budaya Hindu dan Islam. Budaya Hindu yang terlihat dalam tradisi ini

adalah adanya sesaji, yang meliputi bunga dan dupa, sedangkan budaya Islam

terlihat pada waktu berdoa menggunakan doa secara Islam. Masyarakat

percaya bahwa tradisi merti dhusun ini dapat membawa berkah.

B. Dasar Teori

1. Konsep Folklor

Istilah folklor merupakan pengindonesiaan kata bahasa Inggris

folklore. Ditinjau dari etimologinya, folklor berasal dari dua kata dasar yaitu

folk yang berarti “rakyat” dan lore yang berarti “adat”. Folk adalah

sekelompok orang yang memiliki ciri sosial budaya tertentu sehingga dapat

dibedakan dari kelompok-kelompok lain, sedangkan lore adalah tradisi folk,

atau dengan kata lain lore adalah tradisi turun-temurun yang secara lisan atau

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 83

melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat (Danandjadja dalam

Purwadi, 2009:1-2).

Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Purwadi (2009: 2) yang

menyatakan bahwa folklor terdiri dari dongeng, cerita, hikayat,

kepahlawanan, adat-istiadat, lagu, tata-cara, kesusastraan, kesenian dan

busana daerah. Semua itu milik masyarakat tradisional kolektif.

Perkembangan folklor mengutamakan jalur lisan. Dari waktu ke waktu

bersifat inovatif atau jarang mengalami perubahan. Dengan uraian pengertian

di atas, maka dapat diketahui bahwa folklor atau cerita rakyat yang

diturunkan secara lisan dari mulut ke mulut di dalam suatu kolektif

masyarakat yang mempunyai cerita berbeda-beda antara daerah yang satu

dengan daerah yang lain.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 395) dijelaskan bahwa

folklor merupakan adat-istiadat dan cerita hikayat yang diwariskan turun-

temurun, tetapi tidak dibukukan. Folklor juga merupakan ilmu adat-istiadat

tradisional dan cerita-cerita rakyat yang tidak dibukukan. Pendapat lain

dikemukakan oleh Endraswara (2010: 3-4), bahwa folklor merupakan wujud

budaya dan diwariskan secara turun-temurun secara lisan (oral) dan berguna

bagi pendukungnya. Lebih lanjut, folklor juga meliputi berbagai hal, seperti

pengetahuan, asumsi, tingkah laku, etika, perasaan, kepercayaan dan segala

praktik-praktik kehidupan tradisional, serta memiliki fungsi tertentu bagi

pemiliknya

Berdasarkan pengertian di atas, maka folklor merupakan bagian dari

kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat suatu kelompok, masih bersifat

tradisional dan dilaksanakan secara turun-temurun. Folklor yang terdapat

dalam upacara merti dhusun termasuk dalam adat-istiadat (tradisi) yang

berkembang dimasyarakat dan berupa ritual. Merti dhusun merupakan tradisi

yang sudah bertahun-tahun berkembang di dalam masyarakat. Tradisi merti

dhusun ini, merupakan tradisi yang sudah dilakukan secara turun-temurun

sejak nenek moyang yang masih dilaksanakan sampai sekarang. Hal ini

sesuai dengan kajian teori yang tertuang dalam landasan teori tentang teori

folklor.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 84

2. Konsep Tradisi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1483) dijelaskan bahwa

tradisi yaitu adat kebiasaan turun-temurun yang masih dijalankan dalam

masyarakat. Pengertian lain, tradisi adalah penilaian atau anggapan bahwa

cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. Tradisi

adalah segala sesuatu (seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran) turun

temurun dari nenek moyang (Poerwadarminta, 1976: 1088). Tradisi atau adat-

istiadat disebut juga adat tata kelakuan (Koentjaraningrat dalam Herusatoto,

2008: 164). Pompy (2009: 20) menyebutkan bahwa tradisi adalah segala

sesuatu baik berupa nilai, norma sosial, pola kelakuan, dan adat-kebiasaan

tertentu yang merupakan wujud dari berbagai aspek kehidupan serta

diwariskan secara turun temurun dan masih berlangsung hingga sekarang.

Pendapat Pompy tersebut dipertegas oleh Sztompka (2011: 69) yang

menyatakan bahwa tradisi merupakan keseluruhan benda materi dan gagasan

yang berasal dari masa lalu namun benar-benar masih ada dimasa kini, belum

dihancurkan, dirusak, dibuang atau dilupakan. Shils (dalam Sztompka, 2011:

70), berpendapat bahwa tradisi adalah sesuatu yang disalurkan dari masa lalu

ke masa kini. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diketahui bahwa

tradisi merupakan kegiatan sosial, adat, kebiasaan secara turun-temurun yang

diwariskan oleh nenek moyang, yang masih tetap dijalankan sampai sekarang.

Sztompka (2011: 74-76), menyatakan bahwa tradisi memiliki

beberapafungsi antara lain: (a) dalam bahasa klise dinyatakan bahwa tradisi

adalah kebijakan turun-temurun. Tepatnya di dalam kesadaran, keyakinan,

norma, dan nilai yang kita anut serta di dalam benda yang diciptakan dimasa

lalu, (b) memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan,

pranata antara yang sudah ada. Peranan tradisi dalam meletakkan pondasi

wewenang yakni kekuasaan yang diakui dan diterima, (c) menyediakan

simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat royalitas primordial

terhadap bangsa, komunitas, dan kelompok, (d) membantu menyediakan

tempat pelarian dari ketidakpuasan dan kekecewaan kehidupan modern.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 85

3. Konsep Merti Dhusun

Endraswara (dalam Jurnal Kebudayaan Jawa UNY, 2006) menyebutkan

bahwa kata “merti” berasal dari kata mreti yang diambil dari kata dasar

pitre. Pitre dalam karya sastra Jawa Kuna berarti memiliki hajat, memberi

kepada arwah para leluhur. Pendapat tersebut dipertegas lagi oleh Suseno

(1998) bahwa merti berasal dari bahasa Jawa “petri” yang berarti memetri

(memelihara). Jadi, merti dhusun adalah memelihara dhusun, menjaga dan

melestarikan dengan sebaik-baiknya. Menurut Purwadi (2006: 222), merti

desa adalah kenduri desa tiap tahun. Berdasarkan pengertian di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa merti dhusun adalah sebuah warisan dari nilai-

nilai luhur budaya lama yang menunjukkan bahwa manusia menyatu dengan

alam. Tradisi ini biasanya dilaksanakan sekali dalam setahun. Merti dhusun

merupakan salah satu upacara adat Jawa yang diselenggarakan setelah panen

yang merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang

telah mengabulkan hasil panen.

Kegiatan merti dhusun banyak dilakukan oleh masyarakat desa di Jawa

dengan nama dan cara yang tidak selalu sama. Ada yang menyebutkan

sedekah dhusun karena didalam acara tersebut diadakan sedekah massal. Ada

yang menyebut memetri dhusun karena dalam kegiatannya dilakukan

pembenahan dan pemeliharaan desa, dan lain sebagainya. Tradisi merti

dhusun mempunyai tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk

keselamatan dari ancaman bencana alam dan sekaligus sebagai ungkapan rasa

syukur masyarakat atas rizki, kesehatan, dan ketentraman. Ada perbedaan

yang terdapat dalam merti dusun di dusun Tugono, Desa Kaligono,

Kecamatan Kaligesing ini. Selain sebagai ungkapan syukur, acara ini juga

sebagai tolak-balak. Dilihat dari sejarah atau asal-mula diadakannya acara ini

yaitu pada saat Wijayadiningrat yang merupakan putra raja Brawijaya sebagai

cikal-bakal adanya dusun Tugono ini bernadzar saat melihat warganya

terserang penyakit aneh dan mematikan. Nadzar dari beliau adalah akan

menanggap tledek jika rakyatnya sembuh. Tidak begitu lama wargapun

sembuh dan wabah itupun sudah tidak ada lagi. Wijayadiningrat kemudian

melakukan nadzarnya tersebut. Sampai sekarang saat tledekan, para ibu

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 86

membawa anaknya yang sakit untuk minta didoakan para penarinya. Warga

tidak berani untuk melanggar tradisi tersebut karena takut akan datang

malapetaka. Dalam tradisi ini masyarakat dusun Tugono juga menggunakan

jolen. Menurut Teja Sutrisno (narasumber, wawancara tanggal 12 Mei

2012), jolen berasal dari kata aja dan lalen. Kata ini hanya merupakan

lambang atau simbol dari para sesepuh dan leluhur. Pada intinya Jolen

digunakan untuk mengingatkan kepada manusia pada umumnya dan generasi

muda yang ada di dusun Tugono khususnya, agar jangan mudah terlena

dengan kebahagiaan duniawi, senantiasa bersyukur atas apa yang

dianugerahkan Tuhan kepada manusia dan tidak melupakan tradisi yang

telah di lakukan secara turun-temurun ini.

C. Prosesi Upacara Tradisi Merti Dhusun di Dusun Tugono, Desa

Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo

Upacara tradisi merti dhusun di Dusun Tugono rutin dilaksanakan pada

bulan Sapar. Adapun urutan prosesinya adalah membersihkan dusun dan bersih

kubur, ziarah makam, tayub siang, pengumpulan jolen, dan kirab dilanjutkan

tayub hingga pagi hari.

D. Makna-makna Simbolik Ubarampe yang Digunakan dalam Upacara

Merti Dhusun di Dusun Tugono, Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing,

Kabupaten Purworejo

1. Tumpeng robyong, sebagai bukti bakti kepada kyai Tarub dan nyai Tarub

serta sebagai permohonan masyarakat Tugono kepada Tuhan Yang Maha

Esa agar memberikan kesuburan tanaman dan hasil yang melimpah.

2. Tumpeng tunjung, merupakan wujud bakti kepada Bapak Adam dan Ibu

Hawa serta meminta berkah safa‟at, kesehatan untuk masyarakat

Dusun Tugono sejak di dunia sampai di akhirat. Tumpeng rasul dan ayam

ingkung, merupakan wujud bakti kepada Rasulullah SAW, sahabat,

keluarga sampai keturunannya dengan harapan diberi kebahagiaan dan

kemudahan di dunia dan di akhirat oleh Allah SWT.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 87

3. Bonang baning, merupakan wujud bakti kepada yang lahir lebih sehari,

yang pernah tua dan yang pernah muda, yang berada di kiblatnya

masyarakat dusun Tugono serta diharapkan masyarakat dusun Tugono

selalu berfikir positif dan bening seperti air.

4. Jenang abang putih, sebagai wujud penghormatan dan permohonan serta

bakti kepada ibu dan ayah agar mendapatkan keselamatan di dunia dan di

akhirat. Sega golong lima, sebagai wujud bakti kepada cikal bakal yang

ada di dusun Tugono, melindungi pekarangan yang ada di dalam maupun

di luar dusun Tugono, mendoakan leluhur, dan wujud harapanmasyarakat

dusun Tugono agar dikabulkan segala permohonannya kepada Allah SWT.

5. Ambeng kalih, mempunyai makna bahwa masyarakat dusun Tugono

berbakti kepada ahli kubur baik putra maupun putri, jauh maupun dekat,

terawat maupun tidak terawat semuanya didoakan agar diberiampunan

oleh Allah SWT dan mengingatkan manusia bahwa semua yang hidup

pasti akan mati.

6. Sekul sepuh, mempunyai makna bahwa masyarakat dusun Tugono

berbakti kepada kyai Nagapertala dan nyai Nagapertala agar diberikan

keselamatan dan dijauhkan dari ganguan-gangguan. Jajan rakan, sebagai

wujud bakti kepada malaikat Kasim agar memohonkan kepada Allah SWT

sehingga masyarakat dusun Tugono dapat memperoleh rizki dan hasil

panen yang melimpah.

7. Jajan pasar, mempunyai makna meminta berkah kepada Sang Pencipta

agar dijauhkan dari kyai Sambang Jalan dan nyai Sambang Jalan agar

tidak mengganggu masyarakat dusun Tugono serta mengabulkan

permohonan masyarakat dusun Tugono dan memberikan panen yang

melimpah.

E. Simpulan

1. Prosesi pelaksanaan tradisi merti dhusun di dusun Tugono meliputi:

membersihkan dusun dan bersih kubur, ziarah makam, tayub siang,

pengumpulan jolen, dan kirab dilanjutkan tayub hingga pagi hari.

2. Fungsi tradisi tradisi merti dhusun di dusun Tugono.

a. Fungsi Sosial

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 88

Tradisi merti dhusun di dusun Tugono merupakan warisan budaya

nenek moyang yang memuat adat-istiadat dan norma-norma yang masih

dipatuhi dan dipelihara hingga sekarang. Pelaksanaan tradisi merti

dhusun berfungsi untuk mengatur perilaku antar individu dan

masyarakat juga menata manusia dengan alam lingkungan terutama

kepada Allah SWT. Selain itu, merti dhusun juga sebagai ungkapan rasa

syukur kepada Sang Pencipta juga sebagai saraa kerukunan hidup serta

pengungkap rasa kegotong-royongan antar warga.

b. Fungsi Ritual

Fungsi ritual yang ada dalam tradisi merti dhusun adalah masyarakat

dapat mengungkapkan harapan-harapan mereka melalui penyelenggaraan

tradisi ini. Masyarakat akan merasa tentram jika telah melaksanakan

tradisi ini dan masyarakat juga masih percaya dengan melaksanakan

tradisi merti dhusun semua harapan akan terkabul.

c. Fungsi Pelestarian Tradisi

Tradisi merti dhusun di dusun Tugono merupakan budaya lokal yang

harus dijaga dan tetap dilestarikan. Sebagai pelestarian budaya, tradisi

merti dhusun sudah dilaksanakan secara turun-temurun oleh nenek

moyang dan telah menjadi tradisi yang harus dilaksanakan setiap

tahunnya. Masyarakat Dusun Tugono tetap menjalankan tradisi merti

dhusun secara turun-temurun dari nenek moyang dan akan tetap

dilaksanakan sampai kapan pun

d. Fungsi Hiburan

Tradisi merti dhusun di dusun Tugono menjadi hiburan masyarakat

Dusun Tugono maupun yang ada di luar Dusun Tugono, karena dalam

pelaksanaannya terdapat tayub. Pertunjukan tayub selain sebagai

hiburan untuk masyarakat juga sebagai wujud pelestarian budaya Jawa.

e. Fungsi Pendidikan yang meliputi:

1) Pendidikan Ketuhanan

Tradisi merti dhusun di Dusun Tugono dapat melatih dan

mengingatkan masyarakat untuk selalu berdoa dan berserah diri

kepada Allah SWT, bersyukur atas segala nikmat yang Allah SWT

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 89

berikan.

2) Pendidikan Budi Pekerti

Tradisi merti dhusun di Dusun Tugono juga menjadikan

masyarakat memiliki budi pekerti yang baik. Budi pekerti itu

antara lain dengan menghormati leluhur, menghormati orang lain,

dan melatih bertanggung jawab.

f. Fungsi Ekonomi

Tradisi merti dhusun di Dusun Tugono memiliki fungsi ekonomi.

Banyak masyarakat yang berjualan saat acara merti dhusun

memperoleh laba yang banyak, dapat meningkatkan pendapatan

masyarakat dusun Tugono itu sendiri.

3. Makna Simbolik

a. Tumpeng robyong, sebagai bukti bakti kepada kyai Tarub dan nyai

Tarub serta sebagai permohonan masyarakat Tugono kepada Tuhan

Yang Maha Esa agar memberikan kesuburan tanaman dan hasil yang

melimpah.

b. Tumpeng tunjung, merupakan wujud bakti kepada Bapak Adam dan

Ibu Hawa serta meminta berkah safa‟at, kesehatan untuk

masyarakat Dusun Tugono sejak di dunia sampai di akhirat.

Tumpeng rasul dan ayam ingkung, merupakan wujud bakti kepada

Rasulullah SAW, sahabat, keluarga sampai keturunannya dengan

harapan diberi kebahagiaan dan kemudahan di dunia dan di akhirat

oleh Allah SWT.

c. Bonang baning, merupakan wujud bakti kepada yang lahir lebih

sehari, yang pernah tua dan yang pernah muda, yang berada di

kiblatnya masyarakat dusun Tugono serta diharapkan masyarakat

dusun Tugono selalu berfikir positif dan bening seperti air.

d. Jenang abang putih, sebagai wujud penghormatan dan permohonan

serta bakti kepada ibu dan ayah agar mendapatkan keselamatan di

dunia dan di akhirat. Sega golong lima, sebagai wujud bakti kepada

cikal bakal yang ada di dusun Tugono, melindungi pekarangan yang

ada di dalam maupun di luar dusun Tugono, mendoakan leluhur,

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 90

dan wujud harapanmasyarakat dusun Tugono agar dikabulkan segala

permohonannya kepada Allah SWT.

e. Ambeng kalih, mempunyai makna bahwa masyarakat dusun Tugono

berbakti kepada ahli kubur baik putra maupun putri, jauh maupun

dekat, terawat maupun tidak terawat semuanya didoakan agar

diberiampunan oleh Allah SWT dan mengingatkan manusia bahwa

semua yang hidup pasti akan mati.

f. Sekul sepuh, mempunyai makna bahwa masyarakat dusun Tugono

berbakti kepada kyai Nagapertala dan nyai Nagapertala agar

diberikan keselamatan dan dijauhkan dari ganguan-gangguan. Jajan

rakan, sebagai wujud bakti kepada malaikat Kasim agar

memohonkan kepada Allah SWT sehingga masyarakat dusun

Tugono dapat memperoleh rizki dan hasil panen yang melimpah.

g. Jajan pasar, mempunyai makna meminta berkah kepada Sang

Pencipta agar dijauhkan dari kyai Sambang Jalan dan nyai Sambang

Jalan agar tidak mengganggu masyarakat dusun Tugono serta

mengabulkan permohonan masyarakat dusun Tugono dan

memberikan panen yang melimpah.

DAFTAR PUSTAKA

Cokrowinoto, Sardanto. 1986. Makalah: Manfaat Folklor Bagi Pembangunan

Masyarakat. Disajikan dalam Seminar Kebudayaan Jawa. Javanologi.

Yogyakarta.

Endraswara, Suwardi. 2005. Buku Pinter Budaya Jawa Mutiara Adiluhung Orang

Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang.

Herusatoto, Budiono. 2008. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:

Ombak.

Kutha Ratna, Nyoman. 2010. Metodologi Penitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial

Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Maryaeni. 2008. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 91

ANALISIS DEIKSIS DALAM NOVEL

LINTANG PANJER RINA KARYA DANIEL TITO

DAN PEMBELAJARANNYA DI SMA

Diyah Agustiyan

Universitas Muhammadiyah Purworejo

ABSTRAK

DiyahAgustiyan. 2012. “Analisis Deiksisdalam Novel Lintang Panjer Rina

Karya Daniel Tito danPembelajarannya di SMA. Pendidikan Bahasa dan Sastra

Jawa.Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah

Purworejo.

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendeskripsikan macam-macam

deiksis yang terdapat dalam novel Lintang Panjer Rinakarya Daniel Tito ; (2)

mendeskripsikan pembelajaran sastra khususnya deiksis dalam novel Lintang

Panjer Rina karya Daniel Tito di SMA.

Subjek penelitian ini adalah novel Lintang Panjer Rinakarya Daniel Tito

yang diterbitkan oleh Yayasan Sasmita Budaya Sragen merupakan arsip pada

tahun 2002dengan tebal 115 halaman.Objek penelitian ini adalah analisis deiksis

dan juga pembelajarannya. Fokus penelitian ini adalah macam-macam deiksis

serta pembelajarannya di SMA. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah teknik kepustakaan, oleh karena itu pengumpulan datanya

dilakukan dengan cara observasi. Penelitian ini penulis menggunakan teknik

penyajian data informal. Jadi, penyajian hasil penelitian, penulis menggunakan

kata-kata biasa.

Hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa (1) ada tiga macam deiksis yang

terdapat pada novel Lintang Panjer Rina karya Daniel Tito yaitu deiksis persona

yang dalam penelitian ini berupakata: dheweke, Panambang –e, Bocah-bocah

mau, panambang –mu, panambang –ku, aku, bocah loro, kowe, bocah-bocah

kuwi, wadon tuwa iki, loro-lorone, sampeyan, dhik, mas, bulik , wong loro;

deiksis waktu meliputi: wayah mengkono, mau, mengko, saiki, yah mene,

sesuk, wingi, sore iki, wengi iki, sewelas dina kepungkur, mengko bengi, awan

kuwi, dina iki, emben, wengi kuwi, wektu semana, biyen, sesuk bengi, pirang-

pirang dina iki, telung dina kepungkur, wulan ngarep, wiwit kuwi, lebaran

wingi, telung sasi sadurunge,sore iku, minggu cendhake;deiksis tempatmeliputi:

kono, ing kana, kene, njero gedung, panambang –e, dhaerah kuwi, dhaerah kono,

mrono, kantor, mrene; (2) Pembelajaran novel Lintang Panjer Rina karya Daniel

Tito terdiri dari tiga tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

Perencanaan pembelajaran berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) yang tertuang dalam silabus. Pembelajaran novelLintangPanjerRinakarya

Daniel Tito menggunakan model pembelajaranJigsaw.Metode yang digunakan

yaitu, ceramah, Tanya jawab, diskusi, dan penugasan. Evaluasi berupa soal

uraian.

Kata kunci:analisis, deiksis, novel, dan pembelajaran.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 92

A. Pendahuluan

Di dalam novel seringkali terdapat kata-kata yang butuh penafsiran lebih

untuk dapat memahami siapa tokoh yang sedang dibicarakan, dimana latar

kejadian yang sedang dibahas serta kapan sebenarnya kejadian tersebut

berlangsung. Untuk lebih memahaminya dibutuhkan suatu ilmu yang disebut

deiksis. Deiksis merupakan cabang ilmu pragmatik dimana unsur yang sama

dengan referen yang dapat berubah tergantung dari penuturnya. Deiksisselalu

muncul dalam novel, sehingga penting sekali untuk dikaji dan dipelajari

karena erat kaitannya dengan pembelajaran sastra yang berkaitan dengan

persona, tempat atau latar, dan waktu dalam novel.Novel Lintang Panjer

Rinaadalah salah satu novel karangan Daniel Tito. Daniel Tito adalah seorang

pengarang Jawa yang banyak menghasilkan karya sastra yang dimuat di

media massa. Penulis tertarik untuk menganalisis novel Lintang Panjer Rina

dengan analisis deiksis dengan alasan sebagai berikut: novel Lintang Panjer

Rina dari segi tokoh terdapat banyak tokoh(personal)seperti Harjito,

Winarsih, Joko, dan lain-lain, dari segi waktu, terdapat banyak waktu yang

dimunculkan mulai dari tokoh utama yang bersekolah di SPG hingga lulus

dan merantau dan akhirnya pulang kembali dan berencana akan melanjutkan

sekolahnya. Dari segi tempat juga terdapat banyak gambaran tentang tempat

yang dimunculkan mulai dari kelas, SPG, Ngawi, sampai Sumatra Selatan.

Jadi akan terdapat banyak deiksis dan refensinya. Alasan lain yaitu bahwa

novel Lintang Panjer Rina yang belum pernah dikaji dari segi deiksis. Salah

satu indikator penulis menganalisis novel Lintang Panjer Rina antara lain di

dalam novel tersebut terdapat kalimat,“ Harjito pamit ngarepake wanci

sandyakala. Mesthi wayah mengkono dheweke mulih saka omahe Winarsih”.

(Harjito pamit menjelang petang. Saat seperti itulah dia selalu pamit dari

rumah Winarsih). Dari kalimat di atas terdapat kata wayah mengkono (waktu

seperti itu) dan dheweke (dia), kata tersebut mempunyai acuan yaitu wayah

mengkono mengacu pada sandyakala, karena sudah dijelaskan pada kalimat

sebelumnya yaitu ngarepake wanci sandyakala. Dheweke mengacu pada

Harjito, karena pada kalimat sebelumnya telah dijelaskan bahwa Harjitolah

yang pamit pada petang hari. Selain contoh kalimat tersebut, terdapat juga

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 93

contoh lain yaitu “ Kanggo sateruse Harjito dipindhah menyang Jene wetara

100 km dohe saka Pendopo. Gek mlebu alas, dalane during aspalan. Nanging

kuwi dudu sesawangan kang nggumunake tumrap wong-wong ing dhaerah

kono”. Dari kalimat tersebut terdapat kata dhaerah kono, dari kalimat

tersebut dapat diketahui bahwa dhaerah kono mengacu pada Jene.

B. Dasar Teori

Deiksis berasal dari kata Yunani deiktikos yang berarti hal penunjukkan

secara langsung. Kata ini digunakan untuk menggambarkan fungsi kata ganti

persona, kata ganti demonstrative dan lain-lain yang referensinya berpindah-

pindah (Lubis, 1994: 32).

Kata deiksis dijelaskan sebagai pronomina yang referennya tergantung

dari identitas penutur. Dalam konteks yang lebih luas, apa yang dimaksud

dengan istilah deiksisadalah semantik (di dalam tuturan tertentu) yang berakar

pada identitas penutur(Verhaar, 2010: 397). Purwo (dalam Sumarlan, 2009:

63) mengungkapkan bahwa deiksis adalah unsur yang sama bentuk, tetapi

mengacu pada realitas acuan yang berganti-ganti atau berpindah-pindah.

Deiksis adalah hal atau fungsi menunjuk sesuatu di luar bahasa

(Kridalaksana dalam Mulyana, 2005: 79).

Tidak banyak kajian linguistik klinis yang telah menyelidiki fenomena-

fenomena deiksis. Namun demikian, sebagai isyarat sangat pentingnya

deiksis sebagai konsep pragmatik inilah sehingga tes formal terhadap

fungsional harus memasukkan deiksis sebagai salah satu kategorinya. Dengan

cara demikian, para subjek dinilai berdasarkan atas kemampuannya untuk

memberikan respons yang benar terhadap ujaran-ujaran (Chummings, 2007:

371) Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa deiksis

adalah unsur yang sama dengan referen yang dapat berubah tergantung dari

penuturnya.

Kushartanti (2005: 111-112) mengungkapkan, ada tiga macam deiksis,

yaitu deiksis persona, deiksis waktu, dan deiksis tempat atau ruang.

a. Deiksis persona, dapat dilihat pada bentuk-bentuk pronominal. Bentuk-

bentuk pronominal itu sendiri di bedakan atas pronominal orang

pertama, pronominal orang kedua, dan pronominal orang ketiga.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 94

b. Deiksis waktu, berkaitan dengan waktu relatif penutur atau penulis dan

mitra tutur atau pembaca. Dalam bahasa Indonesia mengungkapkan

waktu dengan sekarang untuk waktu kini, tadi dan dulu untuk waktu

lampau, nanti untuk waktu yang akan dating. Hari ini, kemarin, dan

besok juga merupakan hal yang relatif, dilihat dari kapan suatu ujaran

diucapkan.

c. Deiksis ruang, berkaitan dengan lokasi relatif penutur dan mitra tutur

yang terlibat di dalam interaksi. Di dalam bahasa Indonesia, misalnya,

kita mengenal di sini, di situ, dan di sana. Titik tolak penutur

diungkapkan dengan dengan ini dan itu.

C. Metode Pembelajaran Novel Lintang Panjer Rina Karya Daniel Tito

Pembelajaran sastra mengutamakan apresiasi karya sastra sebagai kegiatan

belajar mengajar. Oleh karena itu, guru harus memilih metode pembelajaran

yang sesuai dengan bahan ajar yang disajikan. Proses belajar mengajar

apresiasi sastra guru menggunakan metode, yaitu diskusi, tanya jawab, dan

pemberian tugas.

1. Metode Tanya Jawab

Metode tanya jawab adalah suatu cara mengelola pembelajaran dengan

menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan peserta didik

memahami materi pelajaran. Metode tanya jawab akan menarik apabila

pertanyaan yang diajukan bervariasi serta disajikan dengan cara yang

menarik.

2. Metode Diskusi

Metode diskusi merupakan metode yang paling baik dalam pengajaran

sastra, karena guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai

alternatif pemecahan masalah.

3. Metode Pemberian Tugas

Metode pemberian tugas adalah cara mengajar atau penyajian materi

melalui penugasan siswa untuk melakukan suatu pekerjaan. Pemberian tugas

dapat secara individu atau kelompok. Pemberian tugas untuk setiap siswa

atau kelompok dapat sama dan dapat pula berbeda.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 95

4. Strategi Pembelajaran Novel Lintang Panjer Rina Karya Daniel Tito

Strategi yang digunakan pada proses belajar mengajar adalah strategi

sastra yang dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap penjelajahan, tahap

intrepretasi, dan tahap rekreasi.

5. Langkah-langkah Pembelajaran Novel Lintang Panjer Rina Karya Daniel

Tito

a) Persiapan

(1) satu minggu sebelum kegiatan belajar mengajar, guru memberi

tugas kepada peserta didik untuk membaca Novel Lintang Panjer

Rina Karya Daniel Tito;

(2) guru mempersiapkan perangkat mengajar yang akan digunakan

untuk mengajar yang berupa power point ditampilkan melalui

LCD.

b) Kegiatan belajar mengajar di kelas

(1) guru membagi kelompok dengan jumlah anggota enam anak;

(2) peserta didik diberi materi tentang macam deiksis. Peserta didik

yang mendapat materi yang sama bergabung membentuk satu

kelompok yaitu tim ahli;

(3) dalam tim ahli, peserta didik mendiskusikan materi macam deiksis

yang mereka dapat;

(4) setelah peserta didik berdiskusi dengan tim ahli, mereka kembali ke

kelompok asal. Dalam kelompok asal pesertadidik saling

menjelaskan tentang macam deiksis yang telah mereka pelajari

kepada teman satu kelompok secara bergantian;

(5) tim ahli kemudian mempresentasikan hasil pembahasan mereka;

(6) guru memberi evaluasi berupa soal esai yang bersifat kelompok.

c) Menutup kegiatan belajar mengajar

Guru dan peserta didik bersama-sama menyimpulkan hasil dari

pembelajaran Novel Lintang Panjer Rina Karya Daniel Tito.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 96

d) Evaluasi

Evaluasi adalah penilaian yang bertujuan untuk mengukur tingkat

keberhasilan guru dan peserta didik dalam melaksanakan kegiatan

belajar mengajar. Kegiatan tersebut akan diketahui berhasil atau

tidaknya melalui hasil evaluasi yang diperoleh. Penilaian proses belajar

pelajaran bahasa dan sastra Jawa mencakup pengetahuan, keterampilan,

dan sikap berbahasa. Semua ini dapat diketahui melalui kegiatan

pembelajaran, baik lisan maupun tulisan. Alat evaluasi yang paling

tepat adalah menggunakan bentuk tes esai, karena tes esai tepat untuk

menilai proses berpikir yang melibatkan aktivitas kognitif, sehingga

peserta didik tidak sembarangan dalam menjawab setiap pertanyaan.

Peserta didik harus benar-benar memahami materi dan dapat

mengemukakan jawabannya dalam kalimat yang benar.Bentuk tes yang

digunakan oleh penulis adalah tes esai sebab tes esai dapat mengurangi

sikap dan tindakan spekulasi pada peserta didik. Sebab alat tes esai ini

hanya dapat dijawab bila peserta didik benar-benar menguasai pelajaran

dengan baik, jika tidak kemungkinan besar anak didk tidak dapat

menjawab pertanyaan dengan baik dan benar. Terdapat kelemahan dan

keunggulan dari soal esai. Keunggulannya antara lain yang pertama,

dapat mencakup lingkup materi yang banyak dan dapat disortir dengan

mudah, cepat, dan objektif. Keunggulan yang kedua adalah peserta

didik dapat mengukur kemampuannya dalam hal menyajikan jawaban

terurai secara bebas, mengorganisasikan pikirannya, menggemukakan

pendapatnya, dan mengekspresikan gagasan-gagasan dengan

menggunakan kata-kata atau kalimat peserta didik sendiri. Sedangkan

kelemahannya, antara lain cenderung mengukur kemampuan mengingat

saja (simple recall), dan jumlah materi yang dapat ditanyakan terbatas.

Dari segi pembuatan soal tidak semua bahan pelajaran dalam satu

semester dapat tertampung untuk disuguhkan kepada peserta didik pada

waktu ulangan.

Contoh soal esai:

(1) Apakah yang dimaksud dengan deiksis?

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 97

(2) Sebutkan macam deiksis?

(3) Deiksis apa saja yang terdapat dalam novel Lintang

Panjer Rina dan seebutkan beserta contohnya?Skor

penilaian masing-masing soal

Skor untuk soal nomor satu 10

Skor untuk soal nomor dua 10

Skor untuk soal nomor tiga 80

Jumlah keseluruhan skor adalah 100

D. Deiksis dalam novel Lintang Panjer Rina.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 98

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 99

E. Simpulan

1. Macam-macam deiksis yang terdapat dalam novel Lintang Panjer Rina

karya Daniel Tito, yaitu deiksis persona, deiksis waktu, dan deiksis

tempat. Deiksis persona meliputi: dheweke (dirinya, dia),Panambang –e

(imbuhan –nya), Bocah-bocah mau (anak-anak tadi), Panambang –mu

(imbuhan –mu), Panambang –ku (imbuhan –ku), Aku, Bocah loro (kedua

anak), Kowe (kamu), Bocah-bocah kuwi (anak-anak tadi), Wadon tuwa

iki (perempuan tua ini), Loro-lorone (keduanya), Sampeyan (anda),

Wong loro (dua orang). Deiksis waktu meliputi: Wayah mengkono

(waktu seperti itu), Mau (tadi), Mengko (nanti), Saiki (sekarang), Yah

mene (saat ini), Sesuk (besok), Wingi (kemaren), Sore iki (sore ini),

Wengi iki (malam ini), Sewelas dina kepungkur (sebelas hari yang lalu),

Mengko bengi (nanti malam), Awan kuwi (siang itu), Dina iki (hari

ini), Emben (dahulu), Wengi kuwi (malam itu), Wektu semana (waktu

itu), Biyen (dahulu), Sesuk bengi (besok malam), Pirang-pirang dina iki

(beberapa hari ini), Telung dina kepungkur (sebelas hari yang lalu),

Wulan ngarep(bulan depan), Wiwit kuwi (mulai saat itu), Lebaran

wingi (lebaran kemarin), Telung sasi sadurunge (tiga bulan sebelumnya),

Sore iku (sore itu), Minggu cendhake (minggu depannya). Deiksis

tempatmeliputi: Kono (situ), Ing kana (di sana), Kene (sini), Njero

gedung (dalam gedung), Panambang –e (imbuhan –nya), Dhaerah

kuwi (daerah itu), Dhaerah kono (daerah sana), Mrono (ke situ), Mrene

(ke sini).

2. Pembelajaran novel Lintang Panjer Rina karya Daniel Tito terdiri dari

tiga tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Perencanaan

pembelajaran berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) yang tertuang dalam silabus. Pelaksanaan pembelajaran dengan

menggunakan model pembelajaran Jigsaw. Metode yang digunakan

yaitu, ceramah, Tanya jawab, diskusi, dan penugasan. Evaluasi berupa

soal uraian.

Vol. 01 / No. 01 / November 2012

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 100

DAFTAR PUSTAKA