upaya peningkatkan keterampilan membaca wacana berhuruf ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of upaya peningkatkan keterampilan membaca wacana berhuruf ...
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 1
UPAYA PENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBACA WACANA
BERHURUF JAWA MENGGUNAKAN MODEL KOOPERATIF TIPE
TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION (TAI) PADA SISWA KELAS
VIII C SMP NEGERI 7 PURWOREJO TAHUN AJARAN 2012/2013
Yuli Widiyono, Eko Santosa, Eni Susiyati Universitas Muhammadiyah Purworejo
ABSTRAK
Eni Susiyati “Upaya Peningkatan Keterampilan Membaca Wacana Berhuruf
Jawa Menggunakan Model Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization
(TAI) Pada Siswa Kelas VIII C SMP Negeri 7 Purworejo Tahun Ajaran
2012/2013”.Skripsi. Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa. Universitas
Muhammadiyah Purworejo. 2012
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) langkah-langkah
pembelajaran membaca wacana berhuruf Jawa menggunkan model (TAI)
padasiswa kelas VIII C SMP N 7 Purworejo, (2) motivasi belajar siswa terhadap
penggunaan model (TAI) dalam membaca wacana berhuruf Jawa, (3) kemampuan
hasil belajar siswa setelah menggunakan model (TAI).
Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII C yang berjumlah 31 siswa.
Faktor yang diteliti berupa peningkatan keterampilan membaca wacana berhuruf
Jawa. Terdiri dari empat tahapan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan,
dan refleksi. Teknik pengumpulan data yang digunakan observasi, angket, tes
dan dokumentasi. Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan menggunakan
teknik kuantitatif dan teknik kualitatif.
Dari hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa penggunaan model (TAI)
dapat meningkatkan (1) aktivitas siswa maupun guru, (2) motivasi belajar siswa
dan, (3) hasil tes kemampuan siswa pada setiap siklusnya. Peningkatan ini, terlihat
dari hasil observasi, pada kegiatan pra siklus aktivitas belajar siswa sebesar 40 %,
guru 40%, siklus I sebesar 76,6%, guru 80% dan pada siklus II sebesar 93,3%,
guru 100%. Rerata gabungan tiap pernyataan motivasi siswa pada siklus I yaitu
sebesar 3,88 termasuk baik meningkat menjadi 4,61 termasuk sangat baik pada
siklus II. Peningkatan hasil belajar siswa terlihat pada hasil pre test kegiatan pra
siklus mean yang diperoleh sebesar 65,03 dengan rata-rata ketuntasan belajar yang
diperoleh sebesar 32,26% belum memenuhi KKM. Pada kegiatan siklus I
diperoleh mean post test 1 sebesar 73,68 dengan rata-rata ketuntasan belajar yang
diperoleh sebesar 67,74%. Hasil belajar siswa meningkat menjadi 78,84 mean
post test II, dengan rata-rata ketuntasan belajar sebesar 83,87% sudah memenuhi
KKM, pada siklus II. Pemberian penghargaan berdasarkan skor rata-rata nilai
kemajuan yang diperoleh tiap kelompok. Jadi, penerapan model (TAI), dapat
meningkatkan keterampilan membaca wacana berhuruf Jawa siswa Kelas VIII C
SMP N 7 Purworejo tahun ajaran 2012/2013.
Kata Kunci: Peningkatan, Keterampilan, Membaca Wacana Berhuruf Jawa, Team
Assisted Individualization (TAI)
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 2
A. Pendahuluan
Dalam pelajaran bahasa Jawa di SD, SMP, maupun SMA, siswa dituntut
untuk dapat membaca teks wacana behuruf Jawa dengan baik dan lancar.
Membaca sebagai salah satu kemampuan dasar, perlu mendapat perhatian khusus
dari semua pihak baik sekolah sebagai penyelenggara pendidikan, masyarakat,
maupun pemerintah. Ilmu yang tersimpan dalam buku harus digali dan dicari
melalui kegiatan membaca. Kemampuan membaca merupakan dasar untuk
menguasai berbagai bidang studi. Anak yang kurang dalam kemampuan
membacanya, maka ia akan mengalami banyak kesulitan dalam mempelajari
berbagai bidang. Membaca huruf Jawa perlu adanya proses latihan dan belajar
secara teratur. Siswa terlebih dahulu harus menguasai huruf-huruf Jawa, mulai
dari aksara carakan atau dentawyanjana sebagai huruf baku dalam tulisan Jawa,
pasangan, sandhangan, aksara suara, aksara rekan, aksara murda, angka Jawa,
dan tanda baca yang digunakan dalam teks beraksara Jawa.
Berdasarkan observasi dan berbincang-bincang dengan beberapa siswa di
SMP N 7 Purworejo pada tanggal 29 Februari 2012, pada umumnya mengatakan
bahwa membaca wacana berhuruf Jawa adalah kompetensi yang dianggap paling
sukar dan menakutkan. Permasalahan tersebut juga disebabkan oleh anggapan
siswa bahwa pelajaran bahasa Jawa adalah pelajaran yang kurang penting karena
tidak termasuk mata pelajaran yang diujikan secara nasional atau UNAS.
Anggapan semacam ini pula yang mengakibatkan kurangnya minat dan motivasi
siswa pada mata pelajaran bahasa Jawa. Permasalahan lain juga timbul dari pihak
guru. Guru dalam mengelola pembelajaran belum menggunakan strategi
pembelajaran yang bervariasi. Informasi dari siswa dan guru ini yang memperkuat
keinginan penulis untuk melakukan penelitian di SMP N 7 Purworejo karena
penulis merasa prihatin. Penelitian tindakan kelas di SMP N 7 Purworejo,
dilakukan di kelas VIII C. Pemilihan kelas tersebut dikarenakan pada saat
observasi awal terdapat beberapa kekurangan dalam pembelajaran bahasa Jawa,
antara lain; 1). Rata-rata nilai Ulangan akhir Semester (UAS) di kelas VII belum
memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) mata pelajaran Bahasa Jawa yaitu
sebesar 70, 2). Rendahnya motivasi dan minat belajar siswa kelas VIII C pada
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 3
mata pelajaran bahasa Jawa, 3). Siswa kelas VIII C paling heterogen
dibandingkan kelas lainnya.
Model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI), diterapkan
dalam pembelajaran membaca wacana berhuruf Jawa oleh penulis dalam upaya
meningkatkan keterampilan membaca siswa. Team Assisted Individualization
(TAI) merupakan model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran
kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran dimana para
siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu
sama lain dalam mempelajari materi pelajaran.
Dengan penerapan model Team Assisted Individualization (TAI) dalam
meningkatkan keterampilan membaca wacana berhuruf Jawa kali ini, penulis
berharap dapat meningkatkan minat dan hasil belajar yang lebih baik. Tujuan
lain, yaitu diharapkan siswa dapat termotivasi untuk belajar memahami materi
secara mandiri, tidak hanya mengandalkan hasil pembelajaran teman.
B. Dasar Teori
1. Hakekat Belajar dan Pembelajaran
Istilah pembelajaran mengandung makna kegiatan belajar. Belajar
merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Siswa adalah
penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar itu. Mengajar
merupakan proses membimbing kegiatan belajar, dan kegiatan belajar
hanya bermakna bila terjadi kegiatan belajar siswa. Guru harus betul-
betul memahami tentang proses belajar siswa, agar ia dapat memberikan
bimbingan dan menyediakan lingkungan belajar yang tepat.
“Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui
pengalaman. (Learning is defined as the modifikation or streng-thening of
behavior through experiencing)” (Hamalik 2007: 36). Menurut
pengertian tersebut, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan
bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi
lebih luas dari pada itu, yakni mengalami, hasil belajar bukan suatu
penguasaan hasil latihan, melainkan perubahan kelakuan. Definisi belajar
menurut Dimyati (2006: 7) adalah tindakan dan perilaku siswa yang
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 4
kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa
sendiri. Proses belajar terjadi berkat siswa memperoleh sesuatu yang
berada di lingkungan sekitar.
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar
merupakan suatu kegiatan yang terjadi dalam diri seseorang. Belajar
adalah proses untuk menghasilkan perubahan yang ditampakkan dalam
bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku. Wujutnya seperti
peningkatan hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya. Penyelenggaraan pembelajaran merupakan salah satu
tugas utama guru.
Pembelajaran mempunyai banyak pengertian serta peran di
dalamnya. Menurut Mulyasa (2006: 100) mendefinisikan pembelajaran
pada hakekatnya adalah “proses interaksi antara peserta didik dengan
lingkungannya, seingga terjadi perilaku ke arah yang baik”. Tugas guru
yang utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang
terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Pendapat ini berbeda
dengan seorang ahli yaitu Sudjana (1991 : 1) yang mengungkapkan
bahwa proses belajar-mengajar atau proses pengajaran merupakan suatu
kegiataan melaksanakan kurikulum suatu lembaga pendidkan, agar dapat
mempengaruhi para siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang pengertian pembelajaran di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses
perubahan tingkah laku dan perubahan kemampuan yang dicapai
seseorang melalui aktivas. Pembelajaran bersifat permanen sebagai hasil
dari pengalaman karena adanya respon terhadap sesuatu situasi.
2. Aksara Jawa
Aksara Aksara Jawa, merupakan salah satu peninggalan budaya yang
tak ternilai harganya. Bentuk aksara dan seni pembuatannya pun menjadi
suatu peninggalan yang patut untuk dilestarikan.
Adapun perangkat huruf Jawa yang dipergunakan dalam ejaan bahasa
Jawa ada bermacam-macam yaitu carakan atau dentawyanjana, pasangan,
sandhangan, angka ,pada ,aksara murda, aksara swara,dan aksara rekan.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 5
Tabel 1
Aksara Jawa dan Pasangan
Aksara
Jawa
Pasangan
Ha Na Ca Ra Ka
Aksara
Jawa
Pasangan
Da Ta Sa Wa la
Aksara
Jawa
Pasangan
Pa Dha Ja Ya Nya
Aksara
Jawa
Pasangan
Ma Ga Ba Tha Nga
3. Membaca Teks Beraksara Jawa
Teks merupakan rangkaian kata-kata pada bacaan dengan isi tertentu.
Membaca teks berarti membaca rangkain kata-kata dari suatu bacaan. Kata
tersususn dari huruf-huruf dengan demikian, membaca teks juga berarti
membaca huruf-huruf. Dalam bahasa Jawa, teks dapat disampaikan melalui
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 6
tulisan Latin dan tulisan Jawa. Tulisan Latin dan tulisan Jawa mempunyai
sifat yang berbeda.
4. Model Pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI)
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang
dilakukan secra kelompok. Pembelajaran kooperatif mempunyai banyak
jenis, diantaranya model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted
Individualization (TAI). Model pembelajaran kooperatif tipe Team
Assisted Individualization merupakan strategi pembelajaran kelompok yang
berpusat pada siswa (Amin Suyitno, 2002). Menurut Susilo (2010) Team
Assisted Individualization (TAI) yang dikembangkan oleh Slavin
menggabungkan pembelajaran kooperatif dengan pengajaran individual.
Pada TAI, siswa masuk dalam sebuah urutan kemampuan individual sesuai
dengan hasil tes penempatan dan kemudian maju sesuai dengan
kecepatannya sendiri. Anggota tim pada umumnya, bekerja pada unit-unit
bahan ajar yang berbeda. Siswa saling memeriksa pekerjaan teman sesama
tim, dengan dipandu oleh lembar jawaban dan saling membantu dalam
memecahkan setiap masalah. Tes unit akhir dikerjakan tanpa bantuan
teman sesama tim dan diskor segera. Menurut Slavin (2008: 195) model
pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI)
memiliki 7 unsur sebagai berikut.
1)Teams, yaitu para siswa dibagi menjadi tim-tim kecil
beranggotakan 4 sampai 5 orang. 2) Tes penempatan, yakni
pemberian pre-test kepada siswa atau melihat rata-rata nilai harian
siswa agar guru mengetahui kelemahan siswa dalam bidang tertentu.
3) Materi-materi kurikulum, para siswa mempelajari materi-materi
kurikulum secara individual. 4) Belajar kelompok, siswa
melaksanakan tugas dalam suatu kelompok. 5) Recognisitim, yaitu
pemberian skor tehadap hasil kerja kelompok dan memberikan
kriteria penghargaan terhadap kelompok yang behasil kurang berhasil
dalam menyelesaikan tugas. 6) Kelompok pengajaran. Tujuan dari
sesi ini adalah untuk mengenalkan konsep-konsep utama siswa. 7)
Tes fakta, yaitu pemberian materi oleh guru kembali dan akhir waktu
pembelajaran.
Pendapat Slavin tersebut di atas, jelas terlihat bahwa unsur-unsur
pembelajaran kooperatif tipe Team Menurut Bambang Priyo Darminto
(2004: 25) dari ketujuh unsur di atas, maka dapat dibuat langkah
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 7
pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif Team Assisted
Individualization (TAI) sebagai berikut. Team Assisted Individualization
(TAI) terdapat aturan atau langkah-langkahnya.
1)Guru menentukan suatu pokok bahasan. 2) Gurumenjelaskan
kepada siswa tentang pola kerja sama antar siswa dalam suatu
kelompok. 3) Guru menyiapkan materi bahan ajar dan dapat
memanfaatkan LKS yang dimiliki para siswa. 4) Guru memberikan
pre-test kepada siswa tentang materi yang akan diajarkan. Pre-test
bisa digantikan dengan nilai rata-rata ulangan harian siswa. 5) Guru
menjelaskan materi baru secara singkat (mengadopsi komponen
teaching group). 6) Guru membentuk kelompok-kelompok kecil
dengan anggota 4-5 siswa pada setiap kelompoknya. Kelompok
dibuat heterogen tingkat kepandainnya (mengadopsi komponen
teams). 7) Guru menguasai kelompok dengan bahan yang sudah
disiapkan. 8) Ketua kelompok menetapkan setiap anggota telah
memahami materi bahan ajar yang diberikan guru, diberi ulangan,
guru harus mengumumkan hasilnya dan menetapkan kelompok
terbaik sampai kelompok yang kurang berhasil (jika ada). 9) Pada
saat guru memberikan tes, tindakan ini mengadopsi komponen fact
tests. 10) Menjelang akhir waktu, guru menberikan latihan
pendalaman secara klasikal dengan menekankan strategi pemecahan
masalah (mengadopsi komponen whole class units). 11) Guru dapat
memberikan tes formatif, sebagai TPK/kompetensi yang ditentukan.
C. Pembahasan
1. Langkah-langkah pembelajaran membaca wacana berhuruf Jawa, dengan
model kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI).
Pada bagian ini, terdapat tiga pertemuan yaitu kegiatan prasiklus, siklus
I, dan siklus II. Masing-masing pertemuan terdiri dari beberapa tahap.
Tahap yang dilakukan dalam 3 pertemuan ini terdiri dari tahap
Perencanaan, Pelaksanaan, Pengamatan dan Refleksi. Deskripsi
selengkapnya bisa dilihat pada laporan penelitian yang utuh.
2. Peningkatan aktivitas belajar siswa prasiklus sampai dengan siklus II
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 8
3. Peningkatan aktivitas guru siswa prasiklus sampai dengan siklus II
4. Peningkatan motifasi siswa prasiklus sampai dengan siklus II
5. Peningkatan Hasil belajar keterampilan membaca wacana berkasara Jawa
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 9
Berdsarkan tabel 4.20 di atas, dapat terlihat adanya peningkatan nilai
dari pra siklus, siklus I hingga siklus II, yang digolongkan berdasarkan kriteria
pembelajaran dengan persentase. Kegiatan pra sikluis persentase untuk kriteria
kurang yang diperoleh siswa sebanyak 19,35%, cukup 67,74%, baik 12,90%.
Pada siklus II, nilai meningkat. Kriteria kurang tidak ada, cukup menurun
menjadi 54,83%, baik 38,70% dan krieria sangat baik meningkat sebanyak
6,45%. Nilai kemudian meningkat lagi yaitu, untuk kriteria cukup menurun
menjadi 29,03%, baik meningkat menjadi 48,38% dan kriteria sangat baik
menjadi 22,58%. Hasil atau nilai ini, menunjukakkan bahwa adanya peningkatan
nilai siswa yang sudah digolongkan menurut kriteria pembelajaran dengan
persentase kegiatan pra siklu, siklusI dan siklus II.
D. Simpulan
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 10
1. Dengan model kooperatif tipe Team assisted Individualization (TAI)
aktivitas siswa dalam pembelajaran mengalami peningkatan. Meningkat
dari pra siklus sebesar 40%, siklus I sebesar 76,6% kemudian menjadi
93,3% pada siklus II, sedangkan untuk aktifitas guru juga meningkat dari
pra siklus sebesar 40%, siklus I sebesar 80 % kemudian menjadi 100%
pada siklus II.
2. Motivasi belajar siswa kelas VIII C SMP Negeri 7 Purworejo terhadap
penggunaan model kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI), dalam
membaca wacana berhuruf Jawa juga mengalami peningkatan. Meningkat dari
siklus I diperoleh skor sebanyak 1204 dengan skor rata-rata gabungan sebesar
3,88 termasuk dalam kategori baik, karena 3,50 ≤ 3,88 ≤ 4,49. Pada siklus II
meningkat menjadi 1414 skor dengan skor rata-rata gabungan sebesar 4,6
termasuk dalam kategori sangat baik, karena 4,50 ≤ 4,61 ≤ 5,00.
3. Model kooperatif tipe Team assisted Individualization (TAI), dapat
meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII C SMP Negeri 7 Purworejo, pada
aspek keterampilan membaca wacana berhuruf Jawa tahun ajaran 2011/2012.
Kegiatan pra siklus diperoleh mean sebesar 64,90, median 64, modus 72 dengan
persentase ketuntasan belajar sebesar 32,26% meningkatmenjadi sebesar 73,68
meannya, median 72, modus 72 dengan persentase ketuntasan belajar sebesar
67,74%. Pada siklus II meningkat menjadi 78,84 mean, 80 median, modus
adalah 76 dengan persentase ketuntasan sebesar 83,87%.
E. Daftar Pustaka
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar Dan Pembelajaran. Jakarta:
Pt.Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:
Bumi Aksara.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Slavin, Robert E. 2008. Cooperative Learning. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sudjana, Nana dan Ahmad Rivai. 1991. Media Pengajaran. Bandung:
CV. Sinar Baru.
Susilo. 2010. Diakses dari. http: //www.unesa.ac.id |elearning.unesa.ac.id/
pada tanggal 2 Mei 2012.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 11
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERDISKUSI BAHASA JAWA
DENGAN MEDIA AUDIO VISUAL PADA KELAS XII IPS 2 SMA
NEGERI 1 RAWALO TAHUN AJARAN 2012/2013
Lina Ekawati Universitas Muhammadiyah Purworejo
ABSTRAK
Wati, Lina Eka, 2012, “Peningkatan Kemampuan Berdiskusi Bahasa Jawa
dengan Media Audio Visual pada Kelas XII IPS 2 SMA Negeri 1 Rawalo Tahun
Ajaran 2012/2013”, Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Universitas
Muhammadiyah Purworejo.
Ada dua masalah pokok yang penulis teliti yaitu, bagaimana penerapan
media Audio Visual pada pembelajaran berdiskusi bahasa Jawa pada siswa kelas
XII IPS 2 SMA N I Rawalo Banyumas dan bagaimana peningkatan hasil belajar
berdiskusi bahasa Jawa pada siswa kelas XII IPS 2 SMA N I Rawalo dengan
media Audio Visual. Teori yang mendukung dalam penelitian ini adalah teori
yang terdapat dalam Retorika: Terampil Berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi,
Bernegosiasi sering disebut dengan retorika yang diartikan sebagai kesenian untuk
berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antar manusia
(Hendrikus, 1991:14-15).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
tindakan kelas dengan dua siklus yang dilaksanakan pada siswa kelas XII IPS 2
SMA Negeri Rawalo Banyumas. Keterampilan berdiskusi bahasa Jawa siswa
dapat ditingkatkan melalui media audio visual. Skor peningkatan kemampuan
berdiskusi bahasa Jawa diperoleh dari skor rata-rata siklus II dikurangi skor rata-
rata pretes. Peningkatan aspek keakuratan dan keaslian gagasan sebesar 0.93, dari
3.03 menjadi 3.96. Aspek kemampuan argumentasi 3.31 dan pada akhir tindakan
sebesar 4.31 artinya naik sebesar 1. Peningkatan sebesar 1.1 terjadi pada aspek
keruntutan penyampaian gagasan, dari 2.93 menjadi 4.03. Aspek pemahaman
sebesar 1,03 dari 3,65 menjadi 4,68. Aspek ketepatan kata sebesar 1,24 dari 2,72
menjadi 3,96. Aspek ketepatan kalimat sebesar 1,45 dari 2,48 menjadi 3,93.
Aspek ketepatan stile penuturan sebesar 1,73 dari 2,27 menjadi 4. Aspek
kelancaran sebesar 1,19 dari 2,93 menjadi 4,13. Peningkatan nilai rata-rata kelas
juga terlihat dari prasiklus, siklus I dan siklus II. Nilai rata-rata kelas pada
prasiklus adalah 58,3 dan siswa yang mencapai KKM hanya 4 siswa atau 14%,
siklus I meningkat menjadi 71,72 siswa yang mencapai KKM sebanyak 23 siswa
atau 79%, dan siklus II meningkat menjadi 82.58, pada siklus ini semua siswa
sudah memenuhi KKM yang ada yaitu 68 sebesar 100%.
Kata-kata kunci : Audio Visual Meningkatkan Berdiskusi Bahasa Jawa.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 12
A. Pendahuluan
Keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang sulit dibandingkan
dengan keterampilan yang lain, maka untuk menguasai keterampilan
berbicara diperlukan waktu yang lama dan banyak latihan. Salah satu cara
melatih keterampilan berbicara yaitu menggunakan diskusi. Di dalam diskusi
ini proses interaksi antara dua atau lebih individu yang terlibat, saling tukar
menukar pengalaman, informasi, memecahkan masalah, dapat terjadi juga
semuanya aktif tidak ada yang pasif sebagai pendengar saja. Keterampilan
berbicara menggunakan teknik berdiskusi harus bisa meningkatkan kualitas
pembelajaran. Pada kenyataannya selama ini pembelajaran berbicara di kelas
XII IPS 2 SMA N I Rawalo Banyumas lebih banyak disajikan dalam bentuk
teori dan ceramah, akibatnya mereka menganggap bahwa pelajaran bahasa
Jawa kurang memberikan konstribusi yang signifikan dalam kehidupan.
Siswa cenderung kurang bergairah dalam pelajaran bahasa Jawa. Selain itu,
ketidakmampuan siswa dalam keterampilan berbicara pada materi bahasa
Jawa disebabkan siswa tidak memiliki alat bantu yang mampu membantu
proses belajarnya sehingga siswa mengalami kesulitan dalam
mengapresiasikan gagasannya. Tidak dimilikinya alat bantu tersebut
disebabkan guru jarang membiasakan siswa untuk menggunakan alat bantu
belajar selama proses pembelajaran. Selain itu, guru di sekolah hanya
menggunakan media berupa LKS belum menggunakan media yang
bervariasi.
Lokasi yang dipilih adalah SMA Negeri I Rawalo Kabupaten Banyumas.
Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa lokasi tersebut belum pernah
digunakan untuk penelitian, khususnya yang berhubungan dengan bahasa
Jawa dan penggunaan media Audio Visual. Hal tersebut dikarenakan mata
pelajaran bahasa Jawa tidak terlalu penting dibandingkan mata pelajaran lain
yang membutuhkan waktu yang lama serta konsentrasi tinggi. Sering kali
mata pelajaran bahasa Jawa dikesampingkan ketika akan menggunakan media
berupa media Audio Visual. Mengingat pula kondisi sarana prasarana yang
dimiliki sekolah belum cukup memadai.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 13
Berdasarkan observasi yang peneliti laksanakan pada tanggal 13 april
2012, peneliti menyimpulkan bahwa terdapat berbagai persoalan yang dapat
diteliti. Persoalan pertama, hasil pembelajaran keterampilan berbicara masih
kurang diperhatikan rendahnya prestasi siswa. Persoalan kedua, kurang
menunjukkan minat positif dalam pembelajaran bahasa Jawa. Mereka
menganggap bahwa pembelajaran bahasa Jawa kurang memberikan
kontribusi yang signifikan dalam kehidupan, akibatnya siswa cenderung
kurang bergairah dalam pembelajaran bahasa Jawa. Persoalan ketiga adalah
ketidakmampuan siswa dalam keterampilan berbicara pada materi bahasa
Jawa. Keempat, guru belum menggunakan media sebagai pembelajaran yang
bervariasi.
Berdasarkan landasan pemilihan judul di atas penulis mempunyai
kepentingan akan melakukan penelitian dengan judul‟‟ Peningkatan
Kemampuan Berdiskusi Bahasa Jawa Dengan Media Audio Visual Pada
Kelas XII IPS2 SMA Negeri 1 Rawalo Tahun Ajaran 2012/2013.”
B. Dasar Teori
1. Keterampilan Berbicara
Berbicara (Speech) merupakan suatu bagian integral dari
keseluruhan personalitas atau kepribadian, mancerminkan lingkungan
sang pembicara, kontak sosial, dan pendidikannya (Umi Faizah 2011:4).
Berbicara sesungguhnya merupakan kemampuan menyampaikan pesan
melalui bahasa lisan. Berbicara dapat dimaknai sebagai kemampuan
mengucapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekspresikan atau
menyampaikan pikiran, gagasan atau perasaan secara lisan. Dari uraian di
atas mengenai pengertian berbicara, penulis menyimpulkan bahwa
berbicara adalah alat, kemampuan, aktivitas untuk menyampaikan
pendapat, perasaan, ide, gagasan secara lisan. Berbicara merupakan alat
komunikasi yang umum dalam masyarakat, merupakan aktivitas
komunikasi yang mengharapkan hubungan antara penutur selaku
pembicara dan penanggap tutur selaku pendengar. Dalam berbicara kita
harus menetapkan tujuan yang ingin dicapai setelah kegiatan berbicara
selesai. Tujuan utama dari berbicara adalah untukberkomunikasi (Umi
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 14
Faizah 2011:8). Agar dapat menyampaikanpikiran secara efektif, maka
sebaiknya si pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin
dikomunikasikannya. Pembicara harus mampu mengevaluasi efek
komunikasinya terhadap para pendengar, dan dia harus mengetahui
prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara
umum maupun perorangan.
2. Audio Visual Sebagi Media Pembelajaran
Media Audio (media dengar) adalah media yang isi pesannya
hanya diterima melalui indera pendengaran. Dengan kata lain, media jenis
ini hanya melibatkan indera dengar dan memanipulasi unsur bunyi atau
suara semata. Suara adalah fenomena fisik yang dihasilkan oleh getaran
suatu benda yang berupa sinyal analog dengan amplitude yang berubah
secara kontinyu terhadap waktu. Suara dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1995: 966) di antaranya berarti bunyi yang dikeluarkan dari
mulut manusia, bunyi binatang, ucapan (perkataan), dan bunyi bahasa
(bunyi ujar). Dari itu, dilihat dari sifat pesan yang diterima, media audio
ini bisa menyampaikan pesan verbal maupun non verbal. Pesan verbal
berupa bahasa lisan atau kata-kata, sedangkan pesan non verbal berwujud
bunyi-bunyian dan vokalisasi, seperti gerutuan, gumam, musik, dan lain-
lain.
Video sebenarnya berasal dari bahasa Latin, video-vidi-visum
yang artinya melihat (mempunyai daya penglihatan) Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1995: 1119) mengartikan video dengan: 1) bagian yang
memancarkan gambar pada pesawat televisi; 2) rekaman gambar hidup
untuk ditayangkan pada pesawat televisi. Dapat disimpulkan bahwa video
itu berkenaan dengan apa yang dapat dilihat, utamanya adalah gambar
hidup (bergerak; motion), proses perekamannya, dan penayangannya yang
tentunya melibatkan teknologi. Karenanya, banyak orang yang memahami
video dalam dua pengertian: 1. sebagai rekaman gambar hidup yang
ditayangkan (di sini video sama dengan film, dan pada makalah ini
penyebutan video seringkali dipakai bergantian dengan film). Aplikasi
umum dari video adalah telefisi atau media proyektor lainnya; dan 2.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 15
sebagai teknologi yaitu teknologi pemrosesan sinyal elektronik
mewakilkan gambar bergerak. Di sini istilah video juga digunakan
sebagai singkatan dari videotape dan juga perekam video dan pemutar
video. Video, dilihat sebagai media penyampai pesan, termasuk media
audio-visual atau media pandang-dengar. Media audio visual dapat dibagi
menjadi dua jenis: pertama, dilengkapi fungsi peralatan suara dan gambar
dalam satu unit, dinamakan media audio-visual murni; dan kedua, media
audio-visual tidak murni. Film bergerak (movie), televisi, dan video
termasuk jenis yang pertama, sedangkan slide, opaque, OHP dan
peralatan visual lainnya yang diberi suara termasuk jenis yang kedua.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, video merupakan teknologi
pemrosesan sinyal elektronik yang meliputi gambar gerak dan suara.
Piranti yang berkaitan dengan video adalah playback, storage media
(seperti pita magnetik dan disc), dan monitor. Agar mampu
memanfaatkan video sebagai alternatif media untuk pembelajaran, ada
baiknya mengetahui piranti media video ini, di antaranya:
1. Video Pita Magnetik (Video Tape Recorder [VTR], Video Cassette
Recorder [VCR], dan Mini-DV)
2. Video Disc, Video Compact Disc (VCD) Digital Video/Versatile
Disc (DVD)
3. Handycam.
C. HASIL PENELITIAN
Untuk mengetahui keberhasilan tindakan, berikut disajikan tabel peningkatan
nilai rata-rata siklus I dan postes siklus II
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 16
Keterangan:
5 = Sangat baik
4 = Baik
3 = Cukup
2 = Kurang
1 = Sangat kurang
1. Grafik Batang Peningkatan Setiap Aspek Berdiskusi bahasa Jawa
a) Aspek Keakuratan dan Keaslian Gagasan
Pada aspek keakuratan dan keaslian gagasan mengalami
peningkatan dari prasiklus hingga siklus II. Seperti diterangkan dalam
grafik nilai pretes mendapatkan 3,03, pada siklus I mengalami
peningkatan sebesar 0,65 dengan nilai 3,68, sedangkan di siklus II
mengalami kenaikan sebesar 0,28 dengan nilai 3,96.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 17
b) Kemampuan Berargumentasi
Pada aspek kemampuan berargumentasi mengalami peningkatan
dari prasiklus hingga siklus II. Seperti diterangkan dalam grafik nilai
pretes mendapatkan 3,31, pada siklus I mengalami peningkatan sebesar
0,69 dengan nilai 4, sedangkan di siklus II mengalami kenaikan sebesar
0,31 dengan nilai 4,31.
c) Keruntutan Penyampaian Gagasan
Pada aspek keruntutan penyampaian gagasan mengalami
peningkatan dari prasiklus hingga siklus II. Seperti diterangkan dalam
grafik nilai pretes mendapatkan 2,93, pada siklus I mengalami peningkatan
sebesar 0,65 dengan nilai 3,58, sedangkan disiklus II mengalami kenaikan
sebesar 0,45 dengan nilai 4,03.
d) Pemahaman
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 18
Pada aspek pemahaman mengalami peningkatan dari prasiklus
hingga siklus II. Seperti diterangkan dalam grafik nilai pretes mendapatkan
3,65, pada siklus I mengalami peningkatan sebesar 0,35 dengan nilai 4,
sedangkan di siklus II mengalami kenaikan sebesar 0,68 dengan nilai
4,68.
e) Ketepatan Kata
Pada aspek ketepatan kata mengalami peningkatan dari prasiklus
hingga siklus II. Seperti diterangkan dalam grafik nilai pretes
mendapatkan 2,72, pada siklus I mengalami peningkatan sebesar 0,86
dengan nilai 3,58, sedangkan di siklus II mengalami kenaikan sebesar
0,38 dengan nilai 3,96.
f) Ketepatan Kalimat
Pada aspek ketepatan kalimat mengalami peningkatan dari prasiklus
hingga siklus II. Seperti diterangkan dalam grafik nilai pretes mendapatkan
2,48, pada siklus I mengalami peningkatan sebesar 0,72 dengan nilai 3,20,
sedangkan di siklus II mengalami kenaikan sebesar 0,73 dengan nilai 3,93.
g) Ketepatan Stile Penuturan
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 19
Pada aspek ketepatan stile penuturan mengalami peningkatan dari
prasiklus hingga siklus II. Seperti diterangkan dalam grafik nilai pretes
mendapatkan 2,27, pada siklus I mengalami peningkatan sebesar 0,79
dengan nilai 3,06, sedangkan di siklus II mengalami kenaikan sebesar 0,97
dengan nilai 4.
h) Kelancaran
Pada aspek kelancaran mengalami peningkatan dari prasiklus hingga
siklus II. Seperti diterangkan dalam grafik nilai pretes mendapatkan 2,93,
pada siklus I mengalami peningkatan sebesar 0,55 dengan nilai 3,48,
sedangkan di siklus II mengalami kenaikan sebesar 0,65 dengan nilai
4,13.
D. Simpulan
1. Keterampilan berdiskusi bahasa Jawa siswa kelas XII IPS 2 SMA Negeri
Rawalo Banyumas dapat ditingkatkan melalui media audio visual.
Peningkatan tersebut meliputi beberapa aspek yaitu keakuratan dan
keaslian gagasan, kemampuan argumentasi, keruntutan penyampaian
gagasan, pemahaman, ketepatan kata, ketepatan kalimat, ketepatan stile
penuturan, kelancaran . Skor peningkatan kemampuan berdiskusi bahasa
Jawa diperoleh dari skor rata-rata postes (siklus II) dikurangi skor rata-
rata pretes (sebelum dikenai tindakan). Peningkatan aspek keakuratan dan
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 20
keaslian gagasan sebesar 0.93, dari 3.03 menjadi 3.96. nilai aspek
kemampuan argumentasi 3.31 dan pada akhir tindakan sebesar 4.31
artinya naik sebesar 1. Peningkatan sebesar 1.1 terjadi pada aspek
keruntutan penyampaian gagasan, naik dari 2.93 menjadi 4.03.
peningkatan aspek pemahaman sebesar 1,03 dari 3,65 menjadi 4,68.
Aspek ketepatan kata sebesar 1,24 dari 2,72 menjadi 3,96. Aspek
ketepatan kalimat sebesar 1,45 dari 2,48 menjadi 3,93. Aspek ketepatan
stile penuturan sebesar 1,73 dari2,27 menjadi 4. Aspek kelancaran sebesar
1,19 dari 2,93 menjadi 4,13. Peningkatan nilai rata-rata kelas juga terlihat
dari prasiklus, siklus I dan siklus II, Nilai rata-rata kelas pada prasiklus
adalah 58,3 dan siswa yang mencapai KKM hanya 4 siswa atau 14%,
siklus I meningkat menjadi 71,72 siswa yang mencapai KKM sebanyak
23 siswa atau 79%, dan siklus II meningkat menjadi 82.58, pada siklus
ini semua siswa sudah memenuhi KKM yang ada yaitu 68, nilai tertinggi
diraih oleh siswa yang bernama Elsy dan Mei Fajar Wahyuni dengan nilai
90, dan nilai terendah diraih oleh 2 siswa yang bernama Sanjay
Alwighani dan Tri Hartono. Selain dapat meningkatan keterampilan
berdiskusi bahasa Jawa, media audio visual dapat membuat suasana kelas
menjadi lebih hidup, siswa aktif dan kreatif sedangkan guru dapat
berperan secara maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Dkk.2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta.: Bumi
Aksara.
Arsyad, Azhar.2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Djamarah, Syaiful Bahri, Dkk. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
Faizah, Umi. 2011. Pengantar Keterampilan Berbicara berbasis Cooperative
Learning Think Pair Share. Yogyakarta. Media Perkasa.
Harjanto. 2006. Perencanaan Pengajaran.Jakarta: Rineka Cipta.
Munadi, Yudhi. 2008. Media Pembelajaran, Sebuah Pendekatan Baru, Gaung
Persada Press, Ciputat.
ANALISIS SEMIOTIK DALAM SERAT PEPELING
LAN PAMRAYOGA KARYA JAGAWIGATA
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 21
Rochimansyah, Taufik Suhardi Universitas Muhammadiyah Purworejo
ABSTRAK
Serat Pepeling lan Pamrayoga sebagai salah satu karya sastra tulis
mengandung nilai-nilai kehidupan. Hal ini dipengaruhi oleh masyarakat
Jawa yang masih menjunjung tinggi keluhuran budi atau nilai-nilai
kehidupan. Tidak mengherankan jika karya sastra yang ada dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi pada zaman ketika karya itu diciptakan. Cara yang paling
mudah menyampaikan informasi adalah menggunakan bahasa. Bahasa
sebagai bahasa komunikasi yang dianggap paling praktis. Akan tetapi, tidak
semua karya sastra yang ada dapat dimaknai secara mudah. Bahasa sebagai
sebuah sistem tanda dalam teks sastra menyaran kepada sistem makna
tingkat pertama (first order semiotic system) dan sistem makna tingkat kedua
(second order semiotic system). sajak (karya sastra) timbul dari arti bahasa
karena pemakaian bahasa yang sesuai dengan struktur sastra menurut
konvensinya, yaitu arti tambahan berdasarkan konvensi-konvensi sastra dan
teori yang mengemukakan bahwa dalam menganalisis puisi melalui
pendekatan semiotik dapat mengikuti langkah pembacaan heuristik dan
pembacaan hermeneutik atau retroaktif.
Teks Serat Pepeling lan Pamrayoga ditemukan banyak penyimpangan
frasa (kata) dan kalimat (sintaksis) yang disebabkan oleh penggunaan
konvensi guru lagu, guru gatra dan guru wilangan, sehingga pembacaan
heuristik dianggap sangat membantu pembaca dalam memaknai teks
tembang tersebut. Namun hasil pembacaan heuristik yang dilakukan dengan
pengembangan frasa dan kalimat belum dapat memaknai teks secara
lengkap, karena dalam teks terdapat makna yang lebih luas yang disebabkan
konvensi bahasa kiasan sarana retorika dan gaya bahasa pada umumnya,
sehingga diperlukan analisis pembacaan hermeneutik. Makna yang
didapatkan dari isi teks tersebut adalah pentingnya menjadi manusia yang
selalu waspada, konsisten, rukun, jujur, adil, dan pantang menyerah dalam
mengusahakan kemajuan organisasi ataupun kemajuan negara.
Kata-kata kunci : heuristik, hermeneutik, tembang
A. Pendahuluan
Karya sastra merupakan sebuah wahana yang digunakan pengarang untuk
menuangkan ide-ide dan pandangan pengarang terhadap berbagai situasi yang
diamati di lingkungannya. Karya sastra bukan semata-mata sebuah ide kreatif
pengarang, tetapi juga karena mendapatkan pengaruh situasional budaya
ketika karya sastra tersebut diciptakan. Dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat Jawa misalnya, teks-teks klasik yang tertuang ke dalam buku
yang sering disebut serat banyak memuat tentang ajaran-ajaran moral dan
nilai pendidikan budi pekerti. Hal ini disebabkan karena masyarakat Jawa
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 22
selalu menjunjung tinggi moral, etika, dan budi pekerti sehingga
mempengaruhi karya sastra pada masa itu. Dibuktikan dengan banyaknya
teks-teks klasik yang berisi tentang piwulang (pelajaran), piweling
(peringatan) dan pitutur (nasihat) seperti teks Serat Wulangreh, Serat
Wulangreh Putri, Serat Nitisastra, serat Centhini, serat Gatholoco, serat
Brotosunu, dan lain-lain.
Sebagai warisan budaya, kajian terhadap teks-teks sastra klasik tersebut
perlu dilakukan untuk mengungkap informasi mengenai berbagai hal
mengenai kehidupan masa lalu, termasuk mengungkap nilai-nilai yang
relevan ketika diterapkan dalam kehidupan saat ini. Salah satu karya sastra
klasik yang juga berisi pelajaran, nasihat ataupun peringatan adalah Serat
Pepeling lan Pamrayoga yang dikarang oleh Jagawigata sekitar tahun 1914.
Berdasarkan etimologi kata yang terdapat dalam judul teks, pepeling berasal
dari kata eling yang berarti mangerti maneh perkara sing wis lawas
(mengetahui kembali perkara yang sudah lalu atau ingat)
(Poerwadarminta,1939: 114) dan pamrayoga berasal dari kata prayoga yang
berarti panglimbang kang becik (pertimbangan yang baik atau saran)
(Poerwadarminta, 1939: 509). Dari kedua kata tersebut dimungkinkan bahwa
teks Serat Pepeling lan Pamrayoga berisi pitutur atau nasihat yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca.
Teks Serat Pepeling lan Pamrayoga adalah sebuah karya sastra yang
memanfaatkan bahasa sastra sebagai mediumnya. Teeuw dalam Pradopo
(2009 : 106) menganggap bahwa karya sastra adalah sebuah benda mati yang
akan mempunyai makna dan objek estetik jika diberi arti oleh pembaca
(kongkretisasi). Untuk memaknai sebuah karya sastra diperlukan suatu kajian
atau analisis sastra karena dalam sebuah karya sastra tersimpan sesuatu yang
tidak langsung, unik dan kompleks yang menyebabkan sulitnya pembaca
menafsirkan sebuah teks. Untuk itu, diperlukan suatu upaya untuk
menjelaskan, dan biasanya disertai bukti hasil kerja analisis untuk memahami
sebuah karya sastra seperti diungkapkan Nurgiyantoro (2009 : 32), bahwa
tujuan utama kerja analisis sastra, fiksi, puisi ataupun yang lain adalah untuk
dapat memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan, disamping
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 23
untuk membantu menjelaskan pembaca yang kurang memahami karya sastra.
Dalam rangka memahami dan mengungkap sesuatu yang terdapat dalam
karya sastra, khususnya dalam teks tembang, diperlukan suatu analisis sastra
dengan pendekatan semiotik. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-
aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
mempunyai arti. Selain itu, untuk memaknai sebuah karya sastra yang
berbentuk sajak ataupun tembang seperti teks Serat Pepeling lan Pamrayoga,
diperlukan sebuah pendekatan semiotik melalui pembacaan heuristik dan
hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan tembang berdasarkan
struktur bahasanya. Melalui pembacaan heuristik teks Serat Pepeling lan
Pamrayoga, akan didapatkan makna harfiah atau makna tersuratnya. Namun
dalam banyak kasus, pemaknaan sajak atau tembang tidak cukup hanya pada
pemaknaan secara tersurat karena dalam tembang ataupun sajak juga terdapat
makna tersirat. Karena itu harus dilakukan pembacaan hermeneutik untuk
memperoleh makna secara keseluruhan. Pembacaan hermeneutik adalah
pembacaan ulang sesudah pembacaan heuristik dengan memberi makna pada
konvensi-konvensi sastranya. Dari pembacaan heuristik dan hermeneutik teks
Serat Pepeling lan Pamrayoga tersebut akan didapatkan pemahaman yang
lebih baik untuk mengungkapkan sesuatu yang terkandung di dalamnya, baik
itu ajaran moral ataupun nilai-nilai budi pekerti. Menurut Baroroh Baried
(1985: 1) studi terhadap karya tulis masa lampau perlu dilakukan karena
adanya anggapan bahwa dalam peninggalan tertulis terkandung nilai-nilai
yang masih relevan untuk masa sekarang dan masa mendatang.
B. Pembacaan Semiotik Serat Pepeling lan Pamrayoga
Menurut Hoed dalam Nurgiyantoro (2009: 40), semiotik adalah ilmu atau
metode analisis untuk mengkaji tanda. Kedua teori semiotik tersebut mengacu
kepada pandangan semiotik yang berasal dari teori mengenai bahasa oleh
Sausure dalam Nurgiyantoro (2009: 39) bahwa bahasa merupakan sebuah
sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang
disebut makna. Lebih lanjut dijelaskan menurut Culler dalam Nurgiyantoro
(2009: 39), bahwa bahasa sebagai suatu sistem tanda dalam teks kesastraan,
tidak hanya menyaran pada sistem (tataran) makna tingkat pertama (first
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 24
order semiotic system), melainkan terlebih pada sistem makna tingkat kedua
(second order semiotic system). Hal itu sejalan dengan proses pembacaan teks
kesastraan yang bersifat heuristik dan hermeneutik. Sedangkan menurut
Preminger dalam Pradopo (2009 : 118) semiotik adalah ilmu tentang tanda-
tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan
kebudayaan merupakan tanda-tanda.
Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensikonvensi
yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan
kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah
penggunaan bahasa yang bergantung pada (ditentukan) konvensi-konvensi
tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-
macam cara (modus) wacana mempunyai makna. Sejalan dengan pendapat
Eco (2011: 38) bahwa kebudayaan merupakan sebuah fenomena semiotik.
Kebudayaan dipahami secara menyeluruh jika dilihat dari sudut pandang
semiotik. Benda-benda, perilaku dan hubungan produksi serta nilai-nilai bisa
berfungsi sedemikian rupa secara sosial.
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan
sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya.
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah
pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastranya (Pradopo, 2009 :
135). Sedangkan menurut Teeuw dalam Nurgiyantoro (2009: 33),
hermeneutik adalah ilmu atau teknik memahami karya sastra dan ungkapan
bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya. Pradopo (2009: 135)
menjelaskan bahwa dalam pembacaan retroaktif atau hermeneutik,
pembacaan heuristik harus diulang kembali dengan bacaan retroaktif atau
ditafsirkan secara hermeneutik berdasarkan konvensi sastra (puisi), yaitu
sistem semiotik tingkat kedua. Konvensi sastra yang memberikan makna itu
di antaranya konvensi ketaklangsungan ucapan (ekspresi) sajak. Cara kerja
untuk penafsiran karya sastra, menurut Teeuw dalam Nurgiyantoro (2009: 34)
dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya, dan
sebaliknya, pemahaman unsur-unsur berdasarkan keseluruhannya.
C. Deskripsi Serat Pepeling lan Pamrayoga
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 25
Naskah yang dijadikan sebagai bahan penelitian dalam tulisan ini adalah
naskah cetakan bernomor 426, ditulis menggunakan bahasa Jawa dan aksara
Jawa cetak berjudul serat Pepeling lan Pamrayoga. Naskah terdiri atas
halaman sampul, kata pengantar pengarang dan isi yang terdiri atas tiga
pupuh tembang. Naskah tersebut merupakan koleksi Musium Dewantara Kirti
Griya Taman Siswa Yogyakarta. Judul teks serat Pepeling lan Pamrayoga
ditulis dengan menggunakan huruf Jawa. Bahan naskah dari kertas. Ukuran
naskah 14x21 cm, ukuran teks 10x14 cm. Naskah asli cetakan dalam keadaan
baik. Nomor naskah adalah 426. Naskah ini disimpan di Musium Dewantara
Kirti Griya Taman Siswa Yogyakarta. Naskah ini merupakan koleksi Musium
Dewantara Kirti Griya Taman Siswa Yogyakarta.
Keadaan naskah dalam keadaan baik. Terdapat beberapa kertas yang
berlubang di beberapa lembar halamannya. Naskah telah diperbanyak dengan
fotocopy. Ukuran naskah 14 x 21 cm, ukuran teks 10 x 14 cm. Tebal naskah
adalah 4 mm, jumlah lembaran kertas sebanyak 24 lembar dengan nomor
halaman sebanyak 47. Kertas yang digunakan untuk sampul adalah kertas
karton tebal berukuran 14,5 x 21 cm dengan dilapisi kertas sampul berwarna
coklat tipis, sedangkan kertas isi menggunakan kertas HVS berukuran 14,5 x
21 cm. Huruf yang digunakan adalah aksara Jawa. Jenis hurufnya adalah
huruf Jawa cetakan. Warna tinta hitam.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa baru, berbentuk tembang
macapat. Keseluruhan teks Serat Pepeling lan Pamrayoga ditulis dalam
bentuk tembang kecuali pada bagian kata pengantar. Teks serat tersebut
menggunakan pola persajakan yang berdasarkan kepada konvensi guru gatra
(baris dalam sajak), guru lagu (vokal pada akhir baris) dan guru wilangan (
jumlah suku kata dalam tiap baris). Konvensi guru gatra, guru lagu dan guru
wilangan yang terdapat dalam teks dijabarkan sebagai berikut: (a) Pupuh
pertama teks serat menggunakan konvensi tembang Dhandhanggula yang
berjumlah 54 pada (bait), dengan jumlah baris tiap baitnya (guru gatra)
adalah 10, dan masing-masing guru wilangan dan guru lagunya adalah 10-i,
10-a, 8-e, 7-u, 9-i, 7-a, 6-u, 8-a, 12-i, dan 7-a; (b) Pupuh kedua teks serat
menggunakan konvensi tembang Sinom yang berjumlah 52 pada (bait),
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 26
dengan jumlah baris tiap baitnya (guru gatra) adalah 10, dan masing-masing
guru wilangan dan guru lagunya adalah 10-i, 10-a, 8-e, 7-u, 9-i, 7-a, 6-u, 8-a,
12-i, dan 7-a. (c) Pupuh ketiga teks serat menggunakan konvensi tembang
Pangkur yang berjumlah 51 pada (bait), dengan jumlah baris tiap baitnya
(guru gatra) adalah 10, dan masing-masing guru wilangan dan guru lagunya
adalah 10-i, 10-a, 8-e, 7-u, 9-i, 7-a, 6-u, 8-a, 12-i, dan 7-a.
D. Pembacaan Heuristik Serat Pepeling lan Pamrayoga
Pembacaan terhadap teks Serat Pepeling lan Pamrayoga dilakukan dengan
memperhatikan struktur bahasa, yaitu mengembalikan penyimpangan frasa
dan sintaksis agar dapat mencapai kebulatan makna dalam setiap baris
maupun bait. Penyimpangan frasa (kata) ataupun sintaksis (kalimat) terjadi
karena tembang disusun dengan mengikuti aturan guru gatra, guru lagu, dan
guru wilangan. Berikut ini adalah beberapa pembacaan heuristik terhadap
teks tersebut setelah dilakukan pengembangan struktur kata ataupun kalimat.
Dhandhanggula
Kutipan:
a. ébating tyas kongsi tanpa manis, (amargi) kaprabawan hobahing
rat jawa (ingkang) wimbuh gumrah sabawané, (lan sampun)
manjing (ing) (sa)jro(ning) jaman maju. (prayogané) (ing)kang
tinuju mung aja kongsi, rinêngkuh dén sawiyah. Séjané (namung)
hanjunjung hajining darajat (bangsa) jawa, (kanthi) sayuk hiyêg
gumolong hanunggil budi, (jumbuh kalawan) baya karSaning
Suksma.
Terjemahan:
“Terpananya hati sampai tanpa manis, karena terperdaya
pergerakan bumi Jawa, yang bertambah bergemuruh keadaannya,
dan sudah merasuk ke dalam jaman maju. Sebaiknya yang dituju
hanyalah jangan sampai, menganggapnya sepele. Harapannya hanya
menjunjung harkat dan derajad bangsa Jawa, dengan bersama-sama
bersatu menyatukan kebaikan, sesuai dengan keinginan Tuhan”
kutipan:
b. (kasunyatan menika) paring osik kang hutama yêkti, (nun inggih
osik ingkang) tumuwuh ing têmbung : kamajuwan, (ingkang
sampun) lumrah dadi kêmbang lambé. Nyata (menika saged dados)
sèwu pitulung(ngan). (ing) lêngnging cipta (mung) kari mumuji,
(mugi-mugi) wijining kamajuwan bangkit katumuju (kasunyatan)
(ingkang) jumbuh lawan (dhawuhe) Sa(ng)winênang, sumawana
kang samya pantês ngayomi, (mrih) hayuning wiyah janma.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 27
Terjemahan :
“Kenyataan ini memberi peringatan yang sangat penting, yaitu
peringatan yang muncul dalam kata „kemajuan‟, yang sudah wajar
menjadi bunga bibir. Nyatalah ini bisa menjadi seribu pertolongan.
Di kedalaman hati tinggallah berdoa, semoga benih kemajuan bisa
bangkit menuju kenyataan, yang sesuai dengan perintah Tuhan, dan
juga akan pantas memberi pengayoman untuk kesejahteraan
manusia”
Kutipan:
c. tinuwuhna piwêlas ing galih, (a)wit tan liyan jiwaning kawula,
(tansah) tinalèn sih wilasané (Gusti Allah). déné (ing)kang sêdya
(nggayuh urip ingkang) rukun, mung miliha (wong) kang mitulungi,
(yaiku wong ingkang) (nu-)tuduh(-ake) bênêring marga. aja (sira)
slura-sluru, karana yèn tan rinêksa, nora wurung (bakal) kadi
sulung (ing) lêbu gêni, (ingkang) barêng tibèng (tiba ing) sangsara.
Terjemahan:
“Lahirkanlah rasa kasih-mengasihi di dalam hati, karena tak lain
jiwa-jiwa manusia selalu terikat kasih sayang gusti Allah.
Sedangkan yang berniat menggapai hidup rukun, hanya memilihlah
orang yang memberi pertolongan, yaitu orang yang menunjukkan
jalan kebenaran. Jangan kamu sering salah, karena jika tidak
waspada, pasti akan seperti laron dalam debu api, yang bersamaan
jatuh dalam kesengsaraan”
E. Pembacaan Hermeneutik Serat Pepeling lan Pamrayoga
Pembacaan hermeneutik terhadap teks Serat Pepeling lan Pamrayoga
dilakukan dengan memperhatikan konvensi-konvensi seperti konvensi
ketaklangsungan ekspresi yang disebabkan oleh displacing of meaning,
distorting of meaning dan creating of meaning. Konvensi tersebut disebabkan
oleh penggunaan bahasa kiasan, sarana retorika, dan gaya bahasa pada
umumnya. Berikut pembacaan hermeneutik terhadap teks Serat Pepeling lan
Pamrayoga setelah melakukan pembacaan ulang atas pembacaan heuristik.
Dhandhanggula
Kutipan:
a. hébatting tyas kongsi tanpa manis, kaprabawan hobahhing rat
jawa, wimbuh gumrah sabawané. manyjing jro jaman maju. kang
tinuju mung haja kongsi, rinêngkuh dén sawiyah. séjané
hanyjunyjung, hajining darajat jawa, sayuk hiyêg gumolong
hanunggil budi, baya karSaning Suksma.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 28
Terjemahan:
hati saya (pengarang) begitu terpana sehingga tak mampu
mengucapkan kata-kata sanjungan, karena terperdaya saat
memperhatikan perkembangan sosial budaya di tanah Jawa, yang
keadaannya semakin bertambah bergemuruh, dan sudah merasuk ke
dalam jaman maju. Sebaiknya yang dituju hanyalah jangan sampai,
dikuasai dan disepelekan. Harapannya hanya menjunjung harkat dan
derajad bangsa Jawa, dengan bersama-sama bersatu menyatukan
kebaikan, sesuai dengan keinginan Tuhan.‟
Kata tanpa manis pada baris pertama dapat disebut sebagai ambiguitas,
karena kata tersebut memiliki arti ganda dan menimbulkan banyak tafsiran.
Ambiguitas adalah salah satu penyebab terjadinya distorting of meaning
(penyimpangan arti). Ebating tyas kongsi tanpa manis dapat ditafsirkan
dalam beberapa arti bahwa terpananya hati sampai tak mampu merasakan
manis, terpana hingga tak merasa nyaman, atau mungkin tanpa ukara
ingkang manis (tanpa kalimat yang indah), atau mungkin juga manis yang
dimaksud adalah mulut manis seorang penyanjung.
Ambiguitas secara tidak langsung memberi kesempatan kepada pembaca
untuk menafsirkan sesuai pemahaman pembaca. Selain ambigu, pada kata
tersebut terdapat konvensi berupa sarana retorika yang terdapat pada kata
manis. Pengarang memilih menggunakan kata manis dalam tanpa manis
dimaksudkan untuk memenuhi tradisi penggunaan sasmitaning tembang
(simbol tembang). Sasmitaning tembang tembang Dhandhanggula yang
sering digunakan adalah kata gendhis, sarkara, manis, madu, dhandhang,
yoga dan sebagainya. Melalui kata manis tersebut pengarang memberi tahu
kepada pembaca bahwa pada jenis tembang yang digunakan pada pupuh
pertama adalah tembang
Pada bait pertama, selain terdapat distorting of meaning juga terdapat
displacing of meaning (penggantian arti) dan creating of meaning (penciptaan
arti). Penggantian arti dalam bait tersebut disebabkan oleh penggunaan
personifikasi dalam kata obahing rat jawa. Sudah sewajarnya bumi bergerak,
tetapi bumi bukan hanya milik orang Jawa saja. Karena itu personifikasi
obahing rat Jawa dalam bait tersebut dapat ditafsirkan sebagai perkembangan
atau perubahan dalam segala bidang, seperti bidang sosial dan kebudayaan
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 29
yang terjadi di tanah Jawa. Penciptaan arti dalam teks tersebut berkaitan
dengan persajakan yang dalam puisi Jawa disebut konvensi guru gatra, guru
lagu dan guru wilangan. Pupuh pertama teks serat Pepeling lan Pamrayoga
terdiri atas 54 bait tembang dengan konvensi guru gatra, guru lagu dan guru
wilangannya adalah 10-i, 10-a, 8-e, 7-u, 9-i, 7-a, 6-u, 8-a, 12-i, dan 7-a.
Berdasarkan konvensi tersebut serta berdasarkan sarana retorika yang
diwujudkan dalam sasmitaning tembang, dipastikan bahwa jenis tembang
yang digunakan adalah tembang Dhandhanggula. Seperti jenis tembang yang
lainya, tembang Dhandhanggula juga memiliki watak dan kegunaan. Watak
dari tembang Dhandhanggula adalah luwes, bersemangat dan serba pas yang
gunanya untuk memberikan nasihat atau pitutur. Jadi melalui konvensi
tersebut, secara tidak langsung pupuh pertama yang terdiri dari 54 bait
menjelaskan bahwa teks berisi nasihat-nasihat yang disampaikan pengarang
dengan bersemangat.
F. Kesimpulan
Melakukan analisis pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan ulang
(retroaktif) terhadap hasil pembacaan heuristik ditemukan konvensi-konvensi
dalam tembang, seperti konvensi bahasa kiasan, sarana retorika dan gaya
bahasa pada umumnya, yang menjadikan pemaknaan teks lebih lengkap dan
semakin mudah dimengerti. Konvensi ketaklangsungan ekspresi yang
terdapat dalam teks serat Pepeling lan Pamrayoga lebih banyak disebabkan
oleh penggunaan displacing of meaning (penggantian arti) karena
penggunaan bahasa kiasan seperti personifikasi, metafora, simile, alegori, dan
beberapa disebabkan oleh distorting of meaning (penyimpangan) serta
creating of meaning (penciptaan arti).
Berdasarkan konvensi sarana retorika yang diwujudkan dalam sasmita
tembang dan konvensi guru gatra, guru lagu dan guru wilangan, jenis
tembang yang digunakan dalam teks serat Pepeling lan Pamrayoga ada 3,
yaitu Dhandhanggula, Sinom dan pangkur. Sasmita tembang dhandhanggula
adalah kata manis, kata nonoman untuk tembang sinom, dan kata ungkurna
untuk pangkur. Pembaitan (rima) dari masing-masing tembang tersebut
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 30
adalah 10-i, 10-a, 8-e, 7-u, 9-i, 7-a, 6-u, 8-a, 12-i dan 7-a. Pupuh tembang
dhandhanggula, 8-a, 8-i, 8-a, 7-i, 8-u, 7-a, 8-i, dan 12-a untuk pupuh
tembang sinom, 8-a, 11-i, 8-u, 7-a, 12-u, 8-a, dan 8-i untuk pupuh tembang
pangkur. Tembang dhandanggula yang terdiri dari 54 bait berisi tentang
kritik dan saran pengarang terhadap cara berpikir orang-orang yang keliru
dalam kehidupannya. Tembang sinom yang terdiri dari 52 bait berisi tentang
nasihat dan saran kepada para pemimpin sebuah perkumpulan untuk selalu
waspada dalam setiap langkahnya serta terus berusaha memajukan
perkumpulannya sehingga dapat memakmurkan warga masyarakat. Tembang
pangkur yang terdiri dari 51 bait berisi tentang nasihat dan saran untuk
menjaga tatanan kehidupan di desa, serta nasihat kepada kaum pekerja dan
pedagang agar adil, rukun dan jujur dalam mengupayakan kemajuan.
Keseluruhan makna yang didapatkan dari teks serat Pepeling lan Pamrayoga
adalah tentang kritik, saran dan nasihat yang ditujukan kepada seluruh lapisan
masyarakat Jawa agar waspada dalam setiap langkah dan keputusannya untuk
bersama-sama satu tekad dan satu tujuan bersatu mewujudkan cita-cita
organisasi dalam memakmurkan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Baried, Siti Baroroh dkk. 1985. Pengantar Teori Folologi. Jakarta : Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Eco,Umberto. 2011. Teori Semiotika ; Signifikasi Komunikasi, Teori kode,
serta
teori produksi – tanda. Bantul : Kreasi Wacana Offset
Nurgiyantoro,Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press
Pradopo,Rachmat Djoko. 2009. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik,dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Poerwadarminta. 1939. Baoesastra Djawa. Jakarta: J.B. Wolters Iutgevers
Maatschappij.
KAJIAN FEMINISME DALAM LAYANG PANUNTUN
KAMULYANING BOCAH WADON
KARYA RADEN WIRAWANGSA
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 31
Herlina Setyowati, Djoko Sulaksono, Apriliani Ekaningsih
Universitas Muhammadiyah Purworejo
ABSTRAK
Konsep fundamental Jawa mengenai kedudukan seorang wanita
di masyarakat masih menjadi hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Keberadaan karya sastra yang adapun, sedikit banyak terpengaruh oleh
feminism atau konsep kesetaraan gender. Begitupun karya sastra tulis
Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon karya Raden Wirawangsa.
Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon diartikan sebagai
buku penuntun kemuliaan bagi anak perempuan. Teks sastra ini berisi
nasehat pengarang mengenai pentingnya memuliakan anak perempuan
agar menjadi wanita yang mandiri. Sebagai salah satu teks sastra klasik
yang menyampaikan kebangkitan wanita Jawa dalam status sosial
budayanya, Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon menjadi bukti
bahwa teks sastra tersebut merupakan hasil imajinasi pengarang atas
pengaruh situasi sosial budaya pada masa itu. Bagaimanapun juga, karya
sastra merupakan perpaduan harmonis antara lingkungan dan faktor
kehidupan pengarang.
Kata Kunci : Feminisme, Relevansi, Layang
A. Pendahuluan
Karya sastra merupakan hasil kerja pemikiran kreatif pengarang atas
pengaruh kehidupan sosial dan budaya di masa pengarang mencipta sebuah karya
sastra. Melalui karya satra, seorang pengarang menuangkan gagasan, pandangan,
dan pendapatnya menjadi sebentuk dunia baru yang menarik. Dalam kesusastraan
Jawa, ide-ide pengarang atas kondisi sosial budaya di masa lalu disampaikan
secara kreatif ke dalam bentuk gancaran (prosa) ataupun tembang (puisi Jawa).
Dari teks-teks sastra Jawa, baik yang berbentuk prosa ataupun tembang, beberapa
diantaranya membahas mengenai kehidupan sosial budaya wanita-wanita Jawa.
Dalam dunia nyata ataupun dunia sastra, status sosial wanita dalam masyarakat
Jawa berada pada posisi sebagai pelayan bagi kaum laki-laki. Wanita dilekatkan
dengan istilah “dapur, sumur, kasur” yang berarti harus memasak, mencuci untuk
seluruh anggota keluarga, dan melayani suami di kasur. Dalam masyarakat Jawa
juga ada istilah yang ditujukan kepada wanita yaitu masak, macak, manak, yang
berarti memasak, bersolek dan melahirkan anak-anak untuk suaminya. Istilah-
istilah tersebut terasa menyakitkan bagi kaum wanita, karena wanita terkesan
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 32
hanya sebagai pelayan bagi kepentingan kaum lelaki, walaupun disadari memang
kondisi tersebut adalah kodrat semua wanita.
Penindasan terhadap hak wanita-wanita Jawa telah terjadi berabad-abad
lamanya. Penindasan itu terlihat dengan jelas pada keluarga yang feodalistik,
seperti keluarga priyayi pada masyarakat Jawa. Dalam kebudayaan priyayi,
konstruksi gender berkembang sangat kuat. Masyarakat priyayi bersifat
patriarkhal, dengan menonjolkan peran dominan kaum laki-laki. Kaum
perempuan ditempatkan pada peran yang kurang penting. Kaum laki-laki adalah
pemimpin dan bersifat otoriter, sehingga seorang istri pejabat tidak boleh keluar
rumah pada saat suami tidak ada di rumah, istri diharuskan berbusana rapi, bersih,
berwajah cerah, tidak boleh mendahului makan sebelum suaminya makan, dan
istri tidak boleh mengeluh jika suaminya memiliki selir walaupun lebih dari satu.
Ini menunjukkan bahwa wanita hanyalah menjadi pelayan bagi kepentingan laki-
laki, terlebih kepada kepentingan biologis saja.
Begitupula pada masyarakat pedesaan, wanita hanyalah diberi posisi
sebagai pengurus rumah tangga dan tidak diperkenankan mencampuri urusan
kaum lelaki. Untuk menyelamatkan hak perempuan yang tertindas berabad-abad
lamanya, munculah gerakan feminisme, yaitu gerakan wanita yang mengusahakan
persamaan hak antara pria dan wanita. Tokoh pelopor feminisme di Indonesia
yang terkenal adalah R.A. Kartini. Beliau sebagai keturunan priyayi Jawa yang
mampu membebaskan diri dari kekangan tradisi budaya Jawa, dengan dibantu
teman-temanya dari Belanda. Kartini mampu membentuk pola pikir baru dalam
masyarakat, yaitu bahwa wanita berhak mendapatkan kesempatan yang sama
dengan laki-laki dalam hal memperoleh pendidikan.
Semenjak permasalahan Kartini menjadi acuan semua wanita Indonesia
khususnya di Jawa, banyak sekali karya sastra lama yang berusaha menyajikan
konsep kesetaraan gender. Para pujangga berlomba-lomba menuangkan idenya
tentang konsep-konsep hidup wanita Jawa. Salah satu karya sastra lama tersebut
adalah Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon karya Raden Wirawangsa
yang ditulis pada tahun 1917 menggunakan bahasa dan aksara Jawa. Berdasar
judulnya, Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon yang diartikan sebagai
buku penuntun kemuliaan anak perempuan, dimungkinkan berisi nasehat
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 33
pengarang mengenai pentingnya memuliakan anak perempuan agar menjadi
wanita yang mandiri. Sebagai salah satu teks sastra klasik yang menyampaikan
kebangkitan wanita Jawa dalam status sosial budayanya, Layang Panuntun
Kamulyaning Bocah Wadon menjadi bukti bahwa teks sastra tersebut merupakan
hasil imajinasi pengarang atas pengaruh situasi sosial budaya pada masa itu.
Perkembangan feminisme di Jawa sangat menarik untuk dikaji, terlebih
yang tertuang dalam teks-teks sastra klasik. Namun sayangnya teks-teks sastra
klasik sudah tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat, sehingga pengkajian
mengenai feminisme terhadap teks sastra klasik masih sangat jarang. Hal tersebut
disebabkan karena teks Layang panuntun Kamulyaning Bocah wadon ditulis
menggunakan aksara dan bahasa Jawa yang sudah tidak dimengerti oleh pembaca
masa kini, serta kurangnya minat masyarakat terhadap teks-teks klasik.
B. Pemahaman Konsep Feminisme Wanita Jawa
Menurut Moeliono dalam Sugihastuti (2010: 18) dalam arti leksikal,
feminisme ialah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara
kaum wanita dan pria. Sependapat dengan Fakih (2008:100), feminisme
merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur
yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil perempuan maupun laki-laki.
Sedangkan Goefe dalam Sugihastuti dan Itsna (2007: 18) menjelaskan bahwa
Feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di
bidang politik ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganiasi yang
memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Inti tujuan feminisme
adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar
dengan kedudukan serta derajat laki-laki (Djajanegara, 2003:4).
Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ada berbagai
cara. Salah satu cara adalah berjuang untuk hak dan lingkungan keluarga dan
rumah tangga, yang sering disebut dengan gerakan pembebasan wanita. Agar
mampu mandiri, pertama-tama perempuan harus diberi kesempatan untuk
memperoleh pendidikan yang memungkinkan perempuan mengasah daya
pikirnya. Dengan daya pikir terasah, wanita akan sanggup mengembangkan
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 34
dirinya lebih lanjut, yaitu mencapai kemandirian ekonomis, yang pada akhirnya
akan memberikan kekuasaan (Djajanegara, 2003: 5).
Tuntutan kaum feminis mula-mula mencakup bidang hukum, ekonomi dan
sosial. Tuntutan-tuntutan di bidang hukum, meliputi hak-hak dalam perkawinan
seperti yang telah diatur dalam undang-undang perkawinan. Di bidang ekonomi,
tuntutan kaum feminis antara lain meliputi hak atas harta. Sebelum kawin, harta
seorang wanita dikuasai ayah atau saudara-saudara laki-lakinya, sesudah kawin
hartanya menjadi milik suaminya. Lebih dari itu, sebagian besar lapangan kerja
tertutup bagi wanita. Kalaupun diberi kesempatan untuk mencari nafkah, upah
yang diterimanya jauh lebih rendah daripada upah yang diterima kaum laki-laki.
Di bidang sosial pun hak-hak perempuan sangat terbatas.
Tradisi menghendaki wanita menjadi pengurus rumah tangga dan
keluarga, sehingga sebagian besar masa hidupnya dihabiskan dalam lingkungan
rumah saja. Wanita tidak diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan tinggi,
memangku jabatan-jabatan tertentu, atau menekuni profesi-profesi tertentu
(Djajanegara, 2003: 6).
Melihat posisi perempuan yang sulit, kaum feminis sadar bahwa satu-
satunya jalan untuk mampu terjun ke dunia politik adalah melalui pendidikan.
Dengan harapan melalui pendidikan, pengetahuan mereka menjadi luas dan
mereka bisa mengetahui liku-liku berbagai bidang termasuk bidang politik yang
selalu didominasi kaum laki-laki (Djajanegara, 2003: 7). Fakih dalam Binarti
(2009: 19) menjelaskan bahwa feminism sebagai gerakan pada mulanya berangkat
dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya tertindas dan dieksploitasi,
maka mereka berusaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut.
Walaupun ada perbedaan antar feminis mengenai apa, mengapa, dan bagaimana
penindasan dan eksploitasi itu terjadi, tetapi mereka sepaham, pada hakekatnya
perjuangan feminis itu demi kesamaan dan mengontrol raga serta kehidupan baik
di dalam maupun di luar rumah.
Feminisme tidak hanya memperjuangkan emansipasi perempuan di
hadapan kaum laki-laki saja, tetapi mereka juga sadar bahwa laki-laki juga
mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi
dari sistem yang tidak adil. Dengan demikian strategi perjuangan panjang gerakan
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 35
feminisme tidak sekedar upaya pemenuhan kebutuhan praktis kaum perempuan
atau hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya, seperti:
eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan dan penjinakan belaka,
melainkan perjuangan transformasi sosial ke arah pencipta struktur yang secara
fundamental baru dan lebih baik. Dari beberapa pendapat di atas, penulis
menyimpulkan bahwa feminisme dipahami sebagai suatu gerakan kaum wanita
yang menuntut persamaan hak antara kaum wanita dan laki-laki dalam bidang
politik, sosial, budaya, dan beberapa bidang lain untuk menekan ketertindasan
kaum wanita yang telah terjadi selama ribuan tahun.
C. Feminisme dalam Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon
Kajian feminisme terhadap Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon
dilakukan dengan mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh wanita untuk dicari
kedudukannya di dalam masyarakat. Kajian feminisme secara lengkap adalah
sebagai berikut.
a. Kedudukan Tokoh-tokoh Wanita Dalam Masyarakat
Sarpinah adalah seorang anak perempuan dari pasangan Bekel Jagakarya.
Sedangkan Ruminah adalah anak perempuan seorang Lurah di desa Karang Lo,
yang bernama Lurah Karti Rumeksa.
Sebagai anak-anak yang ditakdirkan menjadi wanita dalam tradisi Jawa,
kesempatan mendapatkan pendidikan adalah sebuah hal yang sulit. Hal ini
disebabkan atauran tradisi yang
menghendaki wanita hanya menjadi sosok pengurus rumah tangga saja. Namun,
berkat bantuan tokoh-tokoh lain, kedua anak perempuan tersebut bisa
mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan. Pada awal cerita, kedua tokoh
tersebut tidak ditampilkan. Namun pada akhir cerita, pengarang lebih banyak
mengisahkan kedua tokoh tersebut. Dikisahkan, dalam kedua tokoh tersebut
mengusahakan kepandaiannya, mereka sambil mengajar anak-anak perempuan
dari masyarakat kelas bawah. Usaha mereka dalam mengusahakan peningkatan
kemampuan kaum wanita pada masa itu mendapat respon positif dari masyarakat.
Hal ini tampak pada kutipan berikut.
Kutipan :
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 36
Bocah loro mau anggone padha marsudi undhaking
kapinterane, disambi angeberake kawruhe mulang marang
bocah bocah wadon anake wong cilik ing desa kono. Mula
wong sadesa padha seneng kabeh pikire sarta amumuji
marang bocah loro mau, bisaa lestari ing salawas lawase
dadi panutaning bocah wadon kabeh (Wirawangsa,55)
Terjemahan :
“Kedua anak tersebut dalam mengusahakan peningkatan
kepandaiannya, sambil menyebarkan pengetahuan dengan
mengajar anak-anak perempuan masyarakat kecil desa
tersebut. Sehingga orang satu desa sangat gembira serta
memuji kedua anak tersebut, semoga bisa selamanya
bertahan menjadi panutan semua anak perempuan‟
Begitu terhormatnya mereka dalam kalangan masyarakat karena usaha
mereka dalam mengembangkan kemampuan wanita dengan mendirikan sekolahan
swasta. Anak didik mereka sudah mencapai sekitar limapuluh. Kenyataan tersebut
adalah hal yang membanggakan, karena di desa bisa berdiri sekolah untuk wanita
dengan murid sebanyak itu.
b. Tujuan hidup Tokoh-tokoh Wanita
Dari uraian tentang kedudukan tokoh di atas sudah dapat digambarkan
bahwa tujuan hidup Sarpinah dan Ruminah adalah memperjuangkan hak-hak
mereka para kaum wanita agar kehidupannya tidak tergantung kepada laki-laki.
Hal ini juga tampak pada kutipan berikut.
Kutipan :
Dene nalika samana si ruminah umur 13 tahun, si sarpinah
umur 12 tahun, dadi dheweke isih padha kaconggah
ambanjurake kawruhe sarana tuku buku buku pangawikan
kanggoning bocah wadon, sabab bocah loro mau padha
karepe sumedya anggayuh bisaa dadi guru wadon,
kapengine banget ambabarake kapinteran lan kawruhe,
aweh pangajaran marang kanca kancane bocah wadon
padesan anake wong miskin, supaya padha weruh marang
pangajaran kang nuntun marang kautamaning uripe
(Wirawangsa, 54)
Terjemahan :
“Saat itu Ruminah berumur 13, sedangkan Sarpinah
berumur 12 tahun, jadi mereka masih sangat bersemangat
meningkatkan pendidikan dengan membeli buku-buku
tentang keahlian wanita, karena kedua anak tersebut
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 37
mempunyai keinginan yang sama yaitu ingin menjadi guru
wanita, ingin sekali memberikan kepandaian dan
pengetahuanya, memberikan ilmu kepada teman-teman
wanita desa anak orang miskin, agar mendapatkan ilmu
yang menuntun kepada kehidupan yang lebih baik‟
Dari kutipan tersebut memperjelas tujuan hidup Ruminah dan Sarpinah,
yaitu mereka sangat ingin penjadi penggerak kebangkitan kaum wanita dari
kobodohannya demi kehidupan yang lebih baik di masa depan. Akan tetapi, apa
yang dilakukan Sarpinah dan Ruminah tidak serta merta diteladani oleh kaum
wanita lain. Misalnya, tokoh Ibu Bekel Jagakarsa. Sebagai seorang istri dalam
tradisi Jawa, tidak banyak hal yang bisa diinginkan seorang wanita selain tunduk
kepada aturan yaitu mengikuti perintah serta melayani suami. Karena posisinya
yang hanya tunduk kepada suami, kemampuan wanita menjadi tidak dapat
berkembang. Mereka telah terbiasa dengan kenyataan yang ada sehingga aplikasi
dalam kehidupannya juga dipetik dari tradisi yang ada, seperti pada kutipan
berikut.
Kutipan :
pakne, ajeng sampeyan gayuhaken napa anak sampeyan.
Hathik anak wadon mawon ngangge disekolahake barang.
Bocah wadon niku anggere empun bisa ngopen-openi
ngomah kalih olah-olah, ajeng napa malih. Boten kangge
kalih sing lanang bok gih kajenge, neh, tiwas ngekeh-kehi
ragat, ning boten enten prelune, boten wurung wong wadon
gih taksih dadi reh-rehane wong lanang. Bocah wadon niku
watone burus atine, boten duwe patrap ala, rak empun
cukup. Niku yen kula, lo (Wirawangsa, 39)
Terjemahan :
“Pakne, akan kamu jadikan apa anakmu. Anak perempuan
kok disekolahkan segala. Anak perempuan itu jika sudah
bisa merawat rumah dan masak, mau apa lagi. Tidak
dipakai oleh suaminya ya biarkanlah. Selain itu, kita sudah
mengeluarkan banyak biaya, tetapi tidak ada perlunya, pada
akhirnya perempuan juga masih menjadi alat para pria.
Anak perempuan itu jika hatinya halus, tidak memiliki sifat
buruk, itu sudah cukup. Itu kalau saya lho”.
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Ibu Bekel sebagai seorang wanita
yang sudah lama berada dalam lingkaran tradisi, telah tunduk dan
mengaplikasikan keadaan yang ada kepada anaknya. Tokoh tersebut tidak
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 38
berusaha mengubah keadaan yang ada, tetapi hanya pasrah dengan keadaan
karena merasa tidak mungkin mampu. Tokoh ini dianggap tidak memiliki tujuan
untuk mendukung gerakan feminisme karena hanya melestarikan tradisi
ketertindasan wanita. apapun kenyataan yang ada, tokoh ini hanya mengikuti
keputusan suaminya, seperti pada kutipan berikut.
Kutipan :
ah, boten prelu, wong kula empun monat manut mawon,
kok dadak ken golek pasaksen malih (Wirawangsa, 46).
Terjemahan :
“ah, tidak perlu, saya sudah ikut saja, tidak perlu mencari saksi lagi”.
D. Relevansi Feminisme Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon
terhadap Kehidupan Sekarang
Walaupun Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon adalah sebuah
karya sastra lama yang dibuat dengan tujuan untuk memberikan tuntunan dalam
kehidupan masyarakat Jawa pada masa
lalu, tetapi isinya masih memiliki hubungan atau berkaitan dengan kehidupan
sekarang. Hal ini dikarenakan saat ini masih banyak kaum wanita yang masih
tertidas oleh kepentingan kaum laki-laki. Relevansi Feminisme Layang Panuntun
Kamulyaning Bocah Wadon terhadap kehidupan saat ini adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan dalam segala bidang untuk kaum wanita perlu terus
diusahakan, seperti pada kutipan berikut.
Kutipan :
“Dene sagedipun tiyang jawi naracak pinter, manawi estrinipun
sampun tumut pinter” (Wirawangsa, 14)
Terjemahan :
“bisanya masyarakat Jawa menjadi pandai-pandai, jika kaum
wanitanya juga sudah ikut pandai‟
b. Kaum wanita dituntut terus meningkatkan kemampuannya agar
kehidupannya menjadi lebih baik, seperti kutipan berikut.
Kutipan :
“Meruhana apese wong tinitah dadi wadon, yen ora pinter
pinter, saiki kalakon mung bakal dadi dolanane wong lanang
bae, tangeh angrasakake kamuktening wong jojodhowan, ora
wurung disawiyah lan dianggep kaya bature sing ala banget
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 39
kae” (Wirawangsa, 52)
Terjemahan :
“Ketahuilah sialnya ditakdirkan menjadi perempuan, jika tidak
pandai-pandai, sekarang bisa hanya menjadi permainan lakilaki
saja, tidak akan bisa merasakan kemuliaan pernikahan,
yang pada akhirnya disia-siakan dan dianggap seperti
pembantu yang paling buruk itu”
Dari kutipan tersebut dijelaskan bahwa manusia yang ditakdirkan menjadi
perempuan yang tidak pintar adalah sebuah kesialan karena justru hanya akan
menjadi bahan permainan kaum lelaki saja, tidak akan mungkin merasakan
puncak kenikmatan orang berumah tangga, yang nantinya pasti akan diangap
seperti pembantunya yang paling buruk itu. Karena itu wanita dituntut mampu
meningkatkan kemampuannya setiap saat agar kehidupannya menjadi lebih baik.
c. Walaupun wanita terus memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki
dengan perempuan, wanita tidak boleh lupa kepada kodratnya sebagai wanita. hal
tersebut tampak dalam kutipan berikut.
Kutipan :
“Lare estri lajeng rumaos anggenipun dados
patih. Patih makaten wewenangipun namung andamel tata
tentreming praja, anyumerepi punapa kuwajibanipun
kaliyan atiti” (Wirawangsa, 28)
Terjemahan :
Lalu anak perempuan merasa menjadi seorang patih. Patih
itu hanya berwenang menciptakan ketentraman negara,
mengetahui apa yang menjadi kewajibanya.
Kutipan :
“prasasat patih wicaksana dhateng lurah
kridhaning westhi, amadhangi sureming praja sarta saged
adamel tata tentreming sakukubanipun”. (Wirawangsa, 28)
Terjemahan :
Seperti patih bijaksana kepada lurah, menerangi kegelapan
negara serta bisa menciptakan ketentraman wilayahnya.
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa wanita dalam keluarga diibaratkan
sebagai patih yang berwenang menjaga ketentraman keluarga dengan memahami
apa yang menjadi kewajiban kodrat wanita. Sedangkan suami adalah seorang raja
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 40
yang memimpin keutuhan keluarga. Jadi, walaupun wanita memiliki hak yang
sama, tidak boleh lupa akan kodratnya sebagai seorang wanita.
E. Kesimpulan
Berdasarkan kajian feminisme terhadap teks Layang Panuntun Kamulyaning
Bocah Wadon, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Teks Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon dibuat pengarang
sebagai wujud kampanye kebangkitan wanita dalam menuntut persamaan
hak dalam bidang pendidikan, dimana wanita berkesempatan memperoleh
pendidikan setinggi-tingginya.
2. Tokoh-tokoh, watak, dan ide-ide yang disampaikan oleh tokoh-tokoh
tersebut mewakili ide pengarang tentang gerakan feminisme. Melalui teks
tersebut, pengarang ingin mengubah pandangan masyarakat bawah yang
masih terikat tradisi Jawa dimana wanita tidak mendapatkan hak untuk
mendapatkan pendidikan.
3. Relevansi Feminisme teks Layang Panuntun Kamulyaning Bocah Wadon
dengan kehidupan saat ini adalah tentang kewajiban mengusahakan
pendidikan dalam segala bidang untuk kaum wanita. Kaum wanita dituntut
terus meningkatkan kemampuannya agar kehidupannya menjadi lebih baik.
Selain itu walaupun wanita saat ini telah mendapatkan kesempatan untuk
terus memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan,
tetapi wanita tidak boleh lupa kepada kodratnya sebagai wanita.
DAFTAR PUSTAKA
Sugiastuti dan Itsna Hadi. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
Fakieh, Mansoer. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra feminis; Sebuah Pengantar. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Binarti, Sadar. 2009. Skripsi: Kajian Feminisme Novel Sintru, Oh Sintru Karya
Suryadi WS: Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa FKIP Universitas
Muhammadiyah Purworejo
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 41
HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL
ORANG TUA DENGAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA
JAWA PESERTA DIDIK SMP NEGERI 2 KALIWIRO
KABUPATEN WONOSOBO
Aris Hidayat, Gusti Surawening Pradanasiwi
Universitas Muhammadiyah Purworejo
ABSTRAK
Bahasa Jawa pada hakekatnya merupakan identitas dan sebagai
pembentuk budi pekerti orang Jawa. Bahasa Jawa memiliki unggah-ungguh
bahasa yang khas. Unggah-ungguh adalah tata cara berbahasa sesuai dengan
tata krama, yakni tata cara berbicara terhadap orang lain dan tindak tanduk
serta tingkah laku yang baik dan tepat.
Sekolah atau pendidikan formal menjadi salah satu cara menanamkan
pendidikan karakter bagi para peserta didik. Akan tetapi, keterbatasan waktu
belajar di sekolah menuntut peran serta orang tua dalam membantu
pembentukan karakter peserta didik, tingkat pendidikan formal orang tua
mempengaruhi cara mendidik dan membentuk karakter peserta didik.
Karakter peserta didik yang baik dapat terlihat dari sopan santun dan cara
bicara peserta didik. Sopan santun keseharian peserta didik di sekolah
mencerminkan kebiasaan peserta didik dalam keluarga.
Kata-kata kunci : pendidikan karakter, peserta didik, unggah-ungguh
bahasa Jawa
A. Pendahuluan
Bahasa Jawa ialah bahasa ibu orang-orang Jawa yang tinggal terutama, di
propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur
(Pudjasoedarma, 1979:1). Bahasa Jawa berkedudukan sebagai bahasa daerah dan
identitas daerah. Selain sebagai bahasa daerah dan bahasa ibu, bahasa Jawa
dijadikan sebagai media pembentuk budi pekerti yang sesuai dengan unggah-
ungguh pada generasi muda, karena dalam bahasa Jawa terdapat tingkat tutur
yang digunakan untuk membedakan tingkat sosial penuturnya. Tingkat tutur
tersebut adalah untuk menghormati lawan tutur atau lawan bicaranya.
Dalam berkomunikasi dengan orang tua banyak yang tidak memperhatikan
unggah-ungguh.Unggah-ungguh adalah tata cara berbahasa sesuai dengan tata
krama, yakni tata cara berbicara terhadap orang lain dan tindak tanduk serta
tingkah laku yang baik dan tepat. Undha usuk adalah variasi-variasi bahasa yang
perbedaan antara satu dan lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 42
ada pada pembicara terhadap mitra bicara (Sutardjo, 2008:16). Unggah-ungguh
bahasa tersebut mewujudkan adat sopan santun bahasa jawa, karena kebiasaan
menggunakan sopan santun bahasa adalah ciri kepribadian masyarakat jawa
(Sutardjo, 2008:10-11). Upaya pelestarian perlu dilakukan mengingat saat ini ada
gejala yang menunjukkan bahwa Bahasa Jawa akan ditinggalkan oleh penuturnya,
terutama kaum muda. Upaya yang paling tepat dan harus dilakukan adalah
melalui jalur pendidikan, yaitu melalui pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa
dalam kerangka Budaya Jawa. Jalur ini merupakan upaya yang dapat dikatakan
sangat efektif dalam usaha pelestarian Kebudayaan dan Bahasa Jawa.
Upaya pelestarian Bahasa Jawa kiranya tidak cukup jika hanya melalui
pembelajaran di sekolah. Dalam kenyataannya bahwa hampir sebagian besar
masyarakat Jawa Tengah menggunakan Bahasa Jawa dalam kegiatan non-formal
sehari-hari, baik dalam keluarga, dengan masyarakat, maupun dalam situasi-
situasi formal yang mengharuskan orang berbahasa Jawa.
Bahasa Jawa juga sebagai sarana pendidikan karakter yang paling baik.
Pendidikan ini dimulai dari keluarga atau orang tua. Tingkat pendidikan formal
orang tua dapat menentukan tingkat perhatian dan bimbingan dalam proses
pembelajaran peserta didik di rumah yang pada akhirnya dapat berpengaruh pada
prestasi belajar peserta didik. Bimbingan dan perhatian orang tua dalam belajar
terhadap anak di rumah berguna dalam membantu mengatasi masalah-masalah
belajar atau kesulitan belajar dan membantu menyelesaikan tugas sekolah
(Parmonodewo, 2003:125). Lebih lanjut Parmonodewo (2003:126) menyatakan
bahwa kualitas bimbingan orang tua dalam membantu belajar di rumah
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan formal orang tua. Semakin tinggi tingkat
pendidikan formal orang tua semakin menunjang proses bimbingan belajar di
rumah.
Pendidikan karakter dapat diaplikasikan terutama pada mata pelajaran
Bahasa Jawa. Bahasa Jawa dianggap tepat karena bahasanya sangat membedakan
sopan santun berbicara antara pembicara dengan mitra bicara. Variasi-variasi
bahasa yang perbedaan antara satu dan lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap
santun yang ada pada diri pembicara terhadap mitra bicara (Sutardjo, 2008:11).
Proses pembelajaran pada hakekatnya terjadi dua kegiatan yang berbeda, yaitu
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 43
kegiatan belajar dan kegiatan mengajar. Secara umum belajar dapat dipahami
sebagai tahap perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif mantap
sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan
proses kognitif (Syah, 2004:137), sedangkan mengajar merupakan usaha
mewariskan kebudayaan masyarakat pada generasi berikut sebagai generasi
penerus (Slameto,2010:30).
Keterbatasan waktu belajar di sekolah menuntut peran serta orang tua
dalam membantu pembentukan karakter peserta didik, tingkat pendidikan formal
orang tua mempengaruhi cara mendidik dan membentuk karakter peserta didik.
Karakter peserta didik yang baik dapat terlihat dari sopan santun dan cara bicara
peserta didik. Sopan santun keseharian peserta didik di sekolah mencerminkan
kebiasaan peserta didik dalam keluarga. Disinilah akan terlihat bagaimana peran
orang tua dalam pembentukan karakter peserta didik. Berdasarkan uraian maka
dilakukan penelitian tentang hubungan tingkat pendidikan formal orang tua
dengan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik SMP Negeri 2 Kaliwiro
Kabupaten Wonosobo, sebagai salah satu cara untuk mengetahui faktor apa
sajakah yang mempengaruhi semakin berkurangnya pengguna bahasa Jawa,
diantaranya dengan membandingkan dengan tingkat pendidikan formal orang tua.
B. Unggah-ungguh Bahasa Jawa sebagai sumber pendidikan karakter
Pendidikan karakter pada dasarnya adalah pendidikan budi pekerti dengan
cara menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didik. Nilai adalah sesuatu
yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai moral merupakan nilai tertinggi, yang
memiliki ciri-ciri: (1) berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab,
(2) berkaitan dengan hati nurani, (3) mewajibkan manusia secara absulut yang
tidak bisa ditawar-tawar, dan (4) bersifat formal. Nilai moral berkaitan juga
dengan apa yang seyogyanya tidak dilakukan karena berkaitan dengan prinsip
moralitas yang ditegakkan (Kbj5, 2012) Nilai moral terdiri dari ajaran-ajaran,
wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, kumpulan peraturan dan ketetapan baik
lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia
menjadi manusia yang baik. Nilai moral yang terkandung dalam bahasa dan sastra
Jawa yang berwujud tata nilai kehidupan Jawa, seperti norma, keyakinan,
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 44
kebiasaan, konsepsi, dan simbol-simbol yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat Jawa, toleransi, kasih sayang, gotong royong, andhap asor,
kemanusiaan, nilai hormat, tahu berterima kasih, dan lainnya dapat digunakan
sebagai sumber pendidikan karakter (Kbj5, 2012).
Realisiasi pendidikan budi pekerti bangsa yang digali dari sumber bahasa
dan sastra Jawa dapat dimulai dari kalangan pendidikan melalui pembelajaran
bahasa dan sastra Jawa dan pengembangan kultur sekolah. Dalam pembelajaran
bahasa dan sastra Jawa, hendaknya dapat berlangsung melalui proses membuat
bermakna dimata peserta didik, sehingga akan terjadi internalisasi nilai-nilai
dalam diri siswa. Pengembangkan kultur sekolah dapat dilakukan dengan cara
memberi keteladanan secara langsung sesuai dengan nilai-nilai cultural bahasa
dan sastra Jawa. Pendidikan karakter pada dasarnya adalah pendidikan budi
pekerti dengan cara menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didik (Kbj5,
2012). Bahasa Jawa juga sebagai sarana pendidikan karakter yang paling baik,
maka setelah kita mengetahui penyebab kemerosotan penggunaan bahasa Jawa
kita juga harus mencari solusi dari permasalahan yang didapat. Melalui unggah-
ungguh basa, siswa dapat ditanamkan nilai-nilai sopan santun. Upaya yang lain
adalah melalui berbagai karya sastra Jawa. Sastra wayang misalnya, selain
berfungsi sebagai tontonan (pertunjukan) juga berfungsi sebagai tuntunan
(pendidikan). Melalui sastra wayang, para siswa dapat ditanamkan nilai-nilai
etika, estetika, sekaligus logika. Ungkapan tradisonal Jawa juga banyak
mengandung nilai-nilai local Jawa untuk kepentingan pendidikan. Semboyan
pendidikan nasional kita “Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan
Tutwuri Handayani” juga berasal dari ungkapan tradisional Jawa. Dalam
khasanah bahasa dan sastra Jawa banyak mengandung nilai-nilai lokal Jawa yang
dapat berfungsi untuk mengembangkan fungsi edukatif, yaitu fungsi untuk
pembentukan kepribadian (Kbj5, 2012).
C. Tingkat Tutur Bahasa Jawa
Unggah-ungguh basa jawa dapat dibedakan menjadi berbagai jenis
tingkatan, menurut Sasangka (2009:15-27) pada dasarnya tingkat tutur dalam
bahasa jawa dapat dibedakan menjadi dua yakni ngoko (ragam ngoko) dan krama
(ragam krama). Jika terdapat bentuk unggah-ungguh yang lain dapat dipastikan
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 45
bahwa bentuk-bentuk itu hanya merupakan varian dari ragam ngoko atau krama.
Varian bahasa jawa yang ada diantaranya terbagi menjadi 3 yakni ngoko, madya,
dan krama (Sutardjo, 2008:20). Pendapat lain dikatakan oleh Ki Padmasusastra
(dalam Sutardjo, 2008:20) yakni unggah-ungguh basa jawa dibedakan menjadi 6
tataran, yaitu ngoko, krama, kram inggil, krama desa, basa kedhaton atau basa
bagongan, dan basa kasar. Sedangkan Soepomo (dalam Sutardjo, 2008:21)
berpendapat bahwa unggah-ungguh basa dapat dibedakan menjadi 9, yaitu mudha
krama, kramantara, wredha krama, madya krama, madyantara, madya ngoko,
basa antya, antya basa, dan ngoko lugu. Berdasarkan pendapat-pendapat diatas
dapat dilihat bahwa pendapat dari Sasangka (2009:15-27) yang paling mudah
dipelajari, karena tidak terlalu banyak membedakan tataran unggah-ungguh basa.
Ngoko itu sendiri yakni bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari tanpa
ada unsur untuk menghormati satu sama lain, biasanya digunakan oleh sesama
teman dan orang tua pada anaknya. Sedangkan krama adalah bahasa yang yang
dalam penyampaiannya mengandung unsur untuk menghormati dengan kadar
kehalusan dan penghormatannya yang tinggi (Sutardjo, 2008:33-34). Bahasa
ngoko digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang sudah terbiasa serta
yang dianggap sesama atau satu strata sosial. Adapun bahasa krama digunakan
untuk berkomunikasi dengan orang yang belum terbiasa dan yang strata sosialnya
lebih tinggi (Harjawiyana, 2001:2). Bahasa Jawa merupakan bahasa yang kaya
akan variasi bahasanya.
Sudaryanto (dalam Sasangka, 2009:18), membagi tingkat tutur bahasa
Jawa menjadi empat, yaitu: ngoko,ngoko alus, krama, dan krama alus. Kajian lain
yang lain adalah kajian yang dilakukan oleh Ekowardono, dkk (dalam Sasangka,
2009:18), mengelompokkan unggah-ungguh bahasa Jawa menjadi dua, yaitu :
ngoko dan krama. Jika unggah-ungguh ngoko ditambah kata krama inggil,
unggah-ungguh tersebut akan berubah menjadi ngoko alus. Jika unggah-ungguh
krama ditambah krama inggil, unggah-ungguh tersebut berubah menjadi krama
alus. Tanpa pemunculan kata krama inggil, unggahungguh itu hanya berupa
ngoko lugu atau krama lugu. Menurut Kridalaksana (2001:22), mengemukakan
bahwa secara garis besar, unggah-ungguh basa dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu: ngoko, madya, dan krama. Selain itu Koentjaraningrat (1984:21),
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 46
menyebutkan bahwa terdapat tiga gaya yang paling mendasar, yaitu gaya tidak
resmi, gaya setengah resmi, dan gaya resmi (yaitu ngoko, madya, dan krama), dan
ada enam gaya lain yang terbentuk dari kombinasi dari ketiga gaya dasar tersebut.
Kecuali dari kesembilan gaya bahasa tersebut, masih ada basa kedhaton atau
bagongan. Kosakata bahasa Jawa dipakai untuk membicarakan milik, bagian
tubuh, tindakan, atau sifat-sifat orang kedua yang sederajat, atau orang ketiga
yang lebih tinggi kedudukannya atau lebih senior umurnya.
Skema pembagian unggah-ungguh basa adalah sebagai berikut: 1) basa
ngoko: ngoko lugu, ngoko andhap;2)basa madya:madya ngoko, madya krama,
madyantara;3)basa krama:mudho krama, kramantara, wredha krama, krama
inggil, krama desa. Unggah-ungguh basa Jawa berdasarkan pada leksikon atau
kata bakunya ada tiga, yaitu, ngoko, madya, dan krama. Atau unggah-ungguh
basa mempunyai makna dan manfaat yang dapat mewujudkan sopan satun pada
bab bahasa (linguistic etiquette), yang dibagi menjadi tiga, yaitu: 1)low honorifict
yang artinya sopan santun rendah;2)midle honorifict, artinya sopan santun cukup
atau sedang;3)high honorifict, artinya sopan santun yang tinggi (Sutardjo,
2008:20). Unggah-ungguh basa Jawa yang sampai saat ini masih digunakan,
yaitu ragam ngoko dan ragam krama. Kedua ragam tersebut memiliki beberapa
variasi, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus serta krama lugu dan krama alus.
D. Faktor yang mempengaruhi menurunnya tingkat penggunaan bahasa
Jawa dan cara penanggulangannya
Menurut Purwo (dalam embunsayan, 2012) ada beberapa faktor yang
menyebabkan bahasa menjadi punah selain globalisasi dan modernisasi, yaitu:
a. Bahasa mati karena penduduknya mati semua karena wabah penyakit
parah, seperti yang dialami penduduk asli Tasmania
b. Ada bahasa yang mati karena ditinggalkan oleh para penuturnya. Karena
mereka meninggalkan bahasa ibunya dan pindah ke bahasa lain karena
dipaksa. Ini terjadi pada penduduk asli Australia.
c. Penuturnya terpaksa memilih pindah kebahasa lain karena bahasa lain
dianggap lebih maju dan modern, sedangkan bahasa ibu dianggap
terbelakang. Seperti yang terjadi pada Masyarakat Papua Nugini.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 47
d. Penuturnya berjumlah di bawah 100.000. di Indonesia ada 109 lebih
bahasa yang penuturnya di bawah jumlah itu.
e. Mengajarkan bahasa non-ibu sebagai bahasa pendidikan.
Para pelajar Bahasa Jawa dialek Banyumas tidak bersusah payah
mempelajari Bahasa Jawa dialek Surakarta yang terlalu sulit bagi mereka, baik
dari segi fonologi, morfologi, maupun kosa katanya (Embunsayan, 2012). Dalam
situasi-situasi formal inilah hendaknya kita lebih menggiatkan pemakaian Bahasa
Jawa tidak menjadi asing di rumah kita sendiri, khususnya bagi generasi muda.
Karena memang generasi muda Etnis Jawa saat ini telah banyak yang tidak bias
berbahasa Jawa terutama Bhasa Jawa ragam krama. Padahal ini penting kaitannya
dengan unggah-ungguh (tingkat tutur) dalam kehidupan masyarakat. Unggah-
ungguh ini bias secara otomatis tertanam dalam jiwa orang manakala ia
memahami unggah-ungguh dalam berbahasa. Dalam kegiatan non-formal lain,
misalnya pemakaian Bahasa Jawa dalam kesenian, khususnya sastra, juga tak
kalah pentingnya. Saat ini karya Sastra Jawa sangat sedikit, cerpen, novel, drama.
Yang masih sering muncul adalah dalam bentuk tembang campursari. Akan tetapi,
ini pun tampaknya telah mulai meredup (Embunsayan, 2012).
E. Hubungan tingkat pendidikan formal orang tua dengan unggah-ungguh
Bahasa Jawa peserta didik
Data hasil penelitian tingkat pendidikan formal orang tua peserta didik
berupa skor angket dan tes kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik
berupa nilai dari tes yang telah diberikan kepada peserta didik sebelumnya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari 122 orang tua peserta didik yang dijadikan
sebagai sampel memiliki tingkat pendidikan formal yang bervariasi. Skor
maksimal untuk angket tingkat pendidikan formal orang tua peserta didik, yaitu
32 yang menunjukan tingkat pendidikan formal orang tua peserta didik tinggi.
Skor tingkat pendidikan formal orang tua peserta didik terendah 10 dan tertinggi
30, sehingga skor 10 dikategorikan untuk orang tua peserta didik dengan tingkat
pendidikan formal rendah dan skor 30 dikategorikan untuk orang tua peserta didik
dengan tingkat pendidikan formal tinggi.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 48
Data tingkat kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik
diperoleh dari tes kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik yang
telah diberikan sebelumnya. Data skor nilai tes kemampuan unggahungguh
bahasa Jawa peserta didik diperoleh skor terendah 4 dan tertinggi 9 dengan rata-
rata 6,66. Skor maksimal untuk kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta
didik adalah 10 yang menunjukan skor kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa
peserta didik tinggi, sehingga nilai 9 dikategorikan nilai yang tinggi dan nilai 4
dikategorikan sebagai nilai yang rendah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa data unggah-ungguh bahasa Jawa peserta
didik SMP Negeri 2 Kaliwiro termasuk dalam kriteria baik. Hal tersebut dapat
dilihat dari hasil tes kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa yang telah
diberikan kepada peserta didik dengan rata-rata 6,66. Berdasarkan persentase
keseluruhan dari 122 sampel peserta didik didapat 5,74% peserta didik dengan
hasil tes baik, 92,64% peserta didik dengan hasil tes cukup, dan 1,64% dengan
hasil tes rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan peserta didik
dalam unggah-ungguh bahasa Jawa cukup baik.
Latar belakang tingkat pendidikan formal orang tua peserta didik SMP
Negeri 2 Kaliwiro yang dijadikan sampel sebanyak 122 memiliki tingkat
pendidikan formal setingkat dasar dan menengah sebanyak 95,9%, orang tua
peserta didik dengan tingkat pendidikan formal tinggi sebanyak 3,28%, dan orang
tua peserta didik tidak berpendidikan formal sebanyak 0,82%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa latar belakang tingkat pendidikan formal orang tua peserta
didik rata-rata cukup baik, yaitu setingkat sekolah dasar dan menengah.
Berdasarkan perhitungan dengan korelasi produk momen diperoleh
besarnya nilai korelasi antara variabel tingkat pendidikan formal orang tua dengan
unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik (rxy) sebesar 0,606. Harga rtabel dengan
taraf kesalahan yang ditetapkan 5% (tingkat kepercayaan 95%) dan jumlah sampel
122 memiliki nilai sebesar 0,176, sehingga nilai rhitung lebih besar dari nilai rtabel.
Besarnya nilai rhitung dari rtabel menunjukkan adanya hubungan yang saling
mempengaruhi dan terkait antara pendidikan formal orang tua dengan unggah-
ungguh bahasa Jawa peserta didik SMP Negeri 2 Kaliwiro. Menurut Sugiyono
(2009:149), harga rhitung > rtabel menunjukkan adanya hubungan yang positif dan
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 49
signifikan. Hubungan pendidikan formal orang tua dengan unggah-ungguh bahasa
Jawa peserta didik memiliki nilai korelasi sebesar 0,606 termasuk tingkat
hubungan yang kuat.
Pendidikan formal orang tua yang tinggi diasumsikan dapat membantu
menyelesaikan tugas-tugas belajar yang belum sepenuhnya tersampaikan di
sekolah. Seperti halnya dalam pendidikan karakter peserta didik yang tidak akan
tercapai sepenuhnya tanpa peran serta orang tua. Semakin tinggi tingkat
pendidikan formal orang tua maka akan lebih kolektif dalam cara mendidik anak
di rumah. Cara orang tua mendidik anak besar pengaruhnya terhadap cara belajar
anak (Slameto,2010:61).
Uji signifikasi koefisien korelasi menggunakan uji F, diperoleh Fhitung
sebesar 47,954. Harga Ftabel dengan taraf kesalahan 5% dengan jumlah sampel
122 menunjukkan nilai 3,07 menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara tingkat pendidikan formal dan unggah-ungguh bahasa jawa peserta didik.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sugiyono (2009:162), jika harga Fhitung >
harga Ftabel maka Ho ditolak dan Ha diterima, jadi koefisien korelasi yang
ditemukan adalah signifikan. Dengan kuatnya hubungan antara tingkat pendidikan
formal orang tua dengan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik, dapat
diketahui bahwa peserta didik yang memiliki latar belakang orang tua
berpendidikan formal
tinggi dapat berpengaruh terhadap unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik.
Hal tersebut terjadi karena peserta didik mendapatkan bantuan dalam
kesulitan-kesulitan dengan unggah-ungguh bahasa Jawa lebih banyak, karena
orang tua yang berpendidikan formal lebih tinggi memiliki lebih banyak cara
dalam mengatasi kesulitan yang dialami oleh peserta didik sehingga unggah-
ungguh peserta didik dapat lebih baik. Peserta didik dengan latar belakang orang
tua berpendidikan formal rendah berpengaruh terhadap unggah-ungguh bahasa
Jawa peserta didik, dimana unggah-ungguh bahasa Jawanya tidak sebaik peserta
didik yang latar belakang orang tuanya berpendidikan formal tinggi. Hal ini
terjadi karena peserta didik dalam meminta bantuan kesulitan terbatas oleh
pengetahuan orang tua yang memiliki latar belakang pendidikan formal rendah.
Ketika kesulitan peserta didik tidak dapat dibantu oleh orang tua akan berdampak
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 50
pada psikologis peserta didik, dimana faktor orang tua adalah yang terpenting
dalam perkembangan psikologis peserta didik (Slameto, 2010:133-134).
Kerawanan hubungan peserta didik dengan orang tua dapat menyebabkan masalah
psikologis dalam diri peserta didik baik di rumah maupun di sekolah.
F. Kesimpulan
Pembahasan data didapatkan tingkat pendidikan formal orang tua peserta
didik cukup baik, yaitu dari sampel sebanyak 122, didapat 95,5% pendidikan
formal orang tua setingkat dasar dan menengah, 3,28% pendidikan formal tinggi,
dan 0,82% tidak mengenyam pendidikan formal. Selanjutnya hasil tes
unggahungguh bahasa Jawa peserta didik didapatkan cukup baik dimana 5,74%
dengan hasil baik, 92,64% baik, dan 1,64% kurang. Selanjutnya hasil tadi
dikorelasikan dengan mengguanakan menggunakan rumus korelasi product
moment, dengan hasil (rxy) 0,606, dengan rtabel taraf kesalahan 5% dan tingkat
kepercayaan 95% didapat skor 0,176, maka rhitung > rtabel. Hal tersebut
membuktikan bahwa tingkat pendidikan formal orang tua dengan unggah-ungguh
bahasa Jawa terdapat hubungan yang kuat.
Daftar Pustaka
Embunsayan. 2011. Diakses melalui http://embunsayan.blogspot.com/ diunggah
pada 31 Mei 2011.
Harjawiyana, H dan Th. Supriya. 2001. Kamus Unggah-Ungguh Bahasa Jawa.
Yogyakarta: Kanisius.
Kbj5. 2011. Diakses melalui http://kbj5.com/ diunggah pada 31 Mei 2012.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kridalaksana, Harimurti, dkk. 2001. Wiwaha Pengantar Bahasa dan Kebudayaan
Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Parmonodewo, S. 2003. Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Poedjosudarma, Soepomo, dkk. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta:
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sasangka, Sry S.T.W. 2009. Unggah-Ungguh Bahasa Jawa. Jakarta:
Paramalingua.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 51
PENCITRAAN TOKOH WANITA DALAM NOVEL
CINTRONG PAJU-PAT KARYA SUPARTO BRATA
Aris Aryanto,Catur Handayani
Universitas Muhammadiyah Purworejo
ABSTRAK
Catur Handayani. Pencitraan Tokoh Wanita dalam Novel Cintrong Paju Pat
Karya Suparto Brata. Skripsi. Purworejo. Fakultas Keguruan dan
IlmuPendidikan Bahasa dan sastra Jawa. Universitas Muhammadiyah
Purworejo.2012.
Permasalahan yang dibahas adalah (1) bagaimana struktur pembangun
novel, (2) Bagaimana citra tokoh utama wanita, dan (3) Bagaimana perjuangan
tokoh utama dalam novel Cintrong Paju-Pat Karya Suparto Brata. Sesuai dengan
judul dan permasalahan penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur
pembangun novel, citra wanita dan perjuangan tokoh utama wanita dalam novel
Cintrong Paju-Pat Karya Suparto Brata. Teori yang penulis pergunakan dalam
penelitian ini adalah teori struktural,teori feminisme dan gender. Wijaya Heru
(2009) teori struktural, bahwa unsur-unsur struktur, karya sastra terdiri dari tema,
tokoh dan penokohan, alur, latar. Teori feminisme menurut sugihastuti (2002),
adalah sebuah teori yang menyangkut dua hal pokok, yakni citra diri dan citra
sosial, sedangkan gender memperjuangkan untuk mendapatkan pekerjaan. Teknik
pengumpulan data menggunakan teknik analisis isi, teknik pustaka,dan observasi.
teknik pustaka adalah menggunakan sumber-sumber tertulis untuk mengumpulkan
data. Teknik observasi adalah teknik yang dilakukan dengan membaca secara
kritis dan teliti seluruh teks. Teknik analisis data menggunakan analisis feminis,
mengkaji dan membahas unsur strukutur, citra tokoh utama wanita dan perjuangan
tokoh wanita dalam novel Cintrong Paju-Pat Karya Suparto Brata.
Dari hasil analisis yang diperoleh bahwa, novel Cintrong Paju-Pat terdiri
dari:(1) Tema, cinta segi empat dan perjuangan wanita. Tokoh, yakni tokoh utama
wanitanya Abrit (sebagai tokoh antagonis), dan Lirih (sekaligus sebagai tokoh
protagonis). Alurnya maju atau lurus. Latar meliputi: latar tempat, waktu dan
sosial. (2) Citra pribadi wanita dapat digambarkan melalui, Citra fisik wanita yang
ditunjukan dalam novel yaitu wanita yang cantik, sederhana dan cerdas.
Menunjukan citra perilaku. Citra psikis wanita adalah wanita yang mandiri, dan
tanggung jawab. Citra sosial wanita adalah seorang selebritis (wanita karir). (3)
Perjuangan diri tokoh utama (Lirih), yakni wanita yang memperjuangkan untuk
mendapatkan suatu pekerjaan.
Kata kunci : struktural, citra wanita dan perjuangannya.
A. Pendahuluan
Permasalahan tentang wanita tidak akan habis untuk dibicarakan. Wanita
adalah sosok yang mempunyai dua sisi. Di satu pihak, wanita adalah keindahan.
Di sisi lain, ia dianggap lemah. Anehnya, kelemahan itu kadang dijadikan alasan
oleh laki-laki jahat untuk mengeksploitasi keindahannya. Bahkan, ada juga yang
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 52
beranggapan bahwa wanita itu hina, wanita kelas dua yang walaupun cantik,
tidak diakui eksistensinya sebagai wanita sewajarnya (Sugihastuti, 2010:32).
Berbagai sarana yang kiranya bisa digunakan sebagai ajang pengungkapan
permasalahan tersebut sedapat mungkin digunakan, tidak terkecuali dunia sastra.
Sastra merupakan media yang tepat bagi pengarang untuk mengekspresikan
pengalaman-pengalamannya.
Novel Cintrong Paju-Pat mempunyai keistimewaan sendiri, yakni cerita
yang dipaparkan oleh pengarang seperti dunia realitas yang dialami oleh manusia
di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern. Cintrong Paju-Pat juga
merupakan salah satu karya sastra yang menyoroti tentang feminisme. Di dalam
novel tersebut menggambarkan tentang perjuangan perjalanan hidup dua wanita
cantik serta kisah cintanya (cinta segi empat) antara dua orang wanita cantik dan
dua orang laki-laki yang berbeda status sosialnya. Perjungan yang terdapat dalam
novel ini perjuangan dalam bidang mendapatkan suatu pekerjaan. Dari sisi citra
wanita menggambarkan wanita yang cantik, cerdas, mandiri dan penuh
perjuangan. Dan dalam novel ini, pengarang juga memberi gambaran kepada kita
betapa wanita memiliki persamaan hak, memperoleh kesempatan dalam
pendidikan, cinta atau kasih sayangnya, dan pekerjaan tidak hanya
mengandalkan kecantikan, kekayaan, ataupun pendidikan tinggi.
B. Unsur struktur Novel Cintrong Paju-Pat Karya Suparto Brata
Tema
Tema pokok dalam novel Cintrong PajuPat Karya Suparto Brata Cinta
segi empat antara dua orang wanita cantik (Abrit dan Lirih) dan dua orang
laki-laki (Luhur dan Trengginas) yang berbeda status sosialnya juga
lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan kalimat
berikut ini :
“Ing surat kabar dipasang gambare ngegla, Abrit Mayamaya karo
dheweke, Luhur Dirgantara. Ing latar mburi sanajan bureng, ora fokus,
katon fotone ibu lan bapake. Kuwi genah potret sing dijepret dhek wingi,
ing ruwang Dhirektur Pratama kantor Bale Prodhuksi Manahira
Adsvertising Agency. “ Acara gendheng-gendhengan!” (Citrong Paju-
Pat:27)
Terjemahan :
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 53
“Di surat kabar dipasang gambarnya jelas, Abrit Mayamaya dengan
dirinya, Luhur Dirgantara. Dilatar belakang walaupun tidak jelas, tidak
fokus, terlihat fotonya ibu dan bapaknya, itu jelas foto yang diambil
kemarin, di ruang Direktur Utama Manahira Adsvertising Agency. Acara
gila-gilaan!”
“Prawan ayu Abrit Mayamaya lagi turu kepati. Mau bengi mulih jam telu
bengi, mentas dolan ing Café Sunar Rembulan ing Kemang karo kanca-
kanca para selebriti. (Cintrong Paju-Pat:31).
Terjemahan :
“Perawan cantik Abrit Mayamaya yang sedang tidur terkejut. Semalam
pulang jam tiga malam, baru saja main di Café Sinar Rembulan di
Kemang dengan teman-teman para selebriti”.
“Eee Cintrong kuwi ora bisa direkayasa. Ben ta, thukul ngrembaka. Yen
Dhimas Luhur kok tampik terang-terangan, bisa-bisa malah brangasan
mengko tandange. Wis netral wae. Sakarep tanggepanmu. Kepriye
solahmu. Angger aja gawe geger! Kowe dekbelani. Cah ayu, kowe
dakbelani!Arek iki sing kekasihku. Duduk ko-ën! (Cintrong Paju-Pat:256)
Terjemahan :
“Berdiri di belakang Lirih, Trengginas langsung memeluk pelan tubuh
Lirih. Dengan kata-kata lembut” kamu itu salah, Brit. Orang inilah
kekasihku. Bukan kamu!”
“Alah, kuwi gampang banget, kok, Bu! Aku ora bakal kawin karo Abrit!
Kaet Biyen aku ya wis ora seneng, kok!” (Cintrong Paju-Pat:277)
Terjemahan :
“Alah, itu mudah sekali, kok, Bu! Aku tidak mungkin menikah dengan
Abrit! Dari dulu aku ya sudah tidak suka, kok!” “Nah, wis aku genah
dalasane. Sesuk aku nyang Amerika. Golek bojo! (Cintrong Paju-Pat:276)
Terjemahan :
“Nah, sudah semakin jelas alasanya. Besuk aku ke Amerika. Mencari
istri”.
Tema tambahan atau pendukung dalam Novel Cintrong Paju-Pat Karya
Suparto Brata Penggambaran perjalanan hidup dua wanita cantik dan
berbeda kelas sosialnya yaitu Abrit dan Lirih. Hal ini dapat dilihat dari
kutipan kalimat berikut ini :
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 54
“Ora gampang nggrapyaki wong ayu lan misuwur kaya Britney
Spears!”. (Cintrong Paju-Pat:46)
“Tidak mudah mendekati orang cantik dan terkenal seperti Britney
Spear”.
“Hus! Kowe iki aja kandha ngono! Bapakmu, aku, Jeng Arum, Dhik
Satuhu, wis padha sayuk njodhokake kowe karo Nak Luhur! Jejodoan
elite, lanange calon dhirektur pratama Manahira Advertising Agency,
sing wadon sripanggung sinetron kondhang!” (Cintrong Paju-Pat:172)
Terjemahan :
“Hus! Kamu itu jangan bicara seperti itu! Bapakmu, aku, Jeng Arum,
Dhik Satuhu, sudah dengan baik menjodohkan kamu dengan Nak Luhur!
Perjodohan elit, laki-lakinya calon Direktur Utama Manahira Advertising
Agency, yang wanita artis sinetron terkenal”.
“Mongsok anake Brigjen entuk anake Kapten? (Cintrong Paju-Pat:63)
Terjemahan :
“Masa anaknya Brigjen dapat anaknya Kapten?”.
“Ayo, iki! Tepungake! Sirsirane atiku wiwit mahasiswa ITS biyen.
Jenenge Trengginas! Wangsulane Abrit canthas, anggak lan setengahe
pamer. ”Mula aja grusa-grusu nyebut-nyebut wis tunangan karo aku,
terus sembrana arep ngekep ngambung sasenenge nafsumu, Hur!”.
(Cintrong Paju-Pat:117)
Terjemahan :
“Ayo, ini! Kenalkan! yang aku sukai mulai dari mahasiswa ITS dulu.
Namanya Trengginas!” jawabannya Abrit tegas, sombong dan
setenganhya pamer. “Makanya jangan main-main menyebut sudah
tunangan dengan aku, terus kurangajar mau memeluk menyium sesuka
nafsumu, Hur!”
“Kowe ki niyatmu menyang Jakarta golek panguripan apa mung arep
blayangan piknik? Lagek seminggu nang kutha, wis nglokro, njaluk
rekreasi! Aku wingi-wingi isih neng Caruban rak wis kandha. Yen
mung weton SMA wae golek pegawean kantoran ing Jakarta mesthi
kangelan. (Cintrong Paju-Pat:48)
Terjemahan :
“Kamu itu niatmu ke Jakarta mencari pekerjaan apa hanya mau
keluyuran piknik? Baru seminggu di kota, sudah mengendor, minta
rekreasi! Aku kemarin waktu masih di Caruban kan sudah bilang. Kalau
hanya keluaran SMA saja cari kerjaan kantoran di Jakarta pasti
kesusahan”.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 55
“Lirih ra wis seminggu saben dina midering rat ngubengi Jakarta golek
pegawean”.(Cintrong Paju-Pat:71)
Terjemahan :
“Lirih kan sudah satu minggu setiap hari menjelajahi dunia mengelilingi
Jakarta mencari pekerjaan”.
“Wis, ta. Tumrap bocah iki, aku sing duwe kewenangan. Lan dheweke
dina iki dakcopot!” ujare Arum Manahira….”. (Cintrong Paju-Pat:264)
Terjemahan :
“Sudah, ta. Perilaku anak ini, aku yang mempunyai wewenang. Dan dia
hari ini aku berentikan dari pekerjaan! Katanya arum Satuhu…”.
“Biyen kancane Abrit, kanca kenthel. Saiki aku tunangane Dhik Lirih.
Iki mau mentas daklamar. Mesakake, dheweke crita jare mentas dicopot
saka penggaweane. Dadi ya arep dakopeni!” Muni ngono Trenginas karo
nggandheng lengene Lirih. Lirihe ya nglendhet ngalem. Rumangsa
kopen, sawise awan mau ketula-tula. (Cintrong Paju-Pat:272)
Terjemahan :
“Dulu temannya Abrit, teman dekat. Sekarang aku tunangannya Dhik
Lirih. Ini baru saja aku lamar kasian, dia cerita katanya baru saja
diberhentikan dari pekerjaanya. Jadi ya mau aku jaga!” bilang seperti itu
Trengginas sambil nggandeng lengannya Lirih. Lirihnya ya mendekat
memuji. Merasa terawat, setelah tadi siang ketula-tula”.
Tokoh atau Penokohan
Tokoh-tokoh novel yang akan dipaparkan adalah semua tokoh yang
berperan dalam novel Cintrong Paju-Pat, meliputi tokoh utama cerita, yaitu
Abrit Mayamaya (sekaligus tokoh antagonis), Lirih Nagari (sekaligus
Protagonis orang paling dikagumi), Langit Nilakandi, Bu Arum Satuhu dan
Bu Kinyis tokoh-tokoh tersebut ini yang nanti akan dianalisis dengan analisis
citra wanita. Ada beberapa tokoh pembangun dalam novel Cintrong Paju-Pat
antara lain: tokoh datar hanya memiliki satu watak yang tertentu saja
(Madusari, Maniking, Pikole (Piko)), tokoh bulat diungkap dari berbagai sisi
kehidupannya (Suradira, Luhur Dirgantara, Trengginas, Satuhu Manahira).
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 56
Alur
Alur adalah rangkaian peristiwa yang mempengaruhi jalannya cerita dan
menimbulkan berbagai konflik. Alur yang terdapat dalam novel Cintrong
Paju-Pat karya Suparto Brata adalah alur maju. Pada tahap awal cerita
disampaikan untuk memperkenalkan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita,
konflik sedikit demi sedikit juga sudah mulai dimunculkan (Nurgiyantoro,
2010:142-145). Hal ini dapat dilihat seperti kutipan kalimat berikut ini :
“Ing surat kabar dipasang gambare ngegla, Abrit Mayamaya karo
dheweke, Luhur Dirgantara. Ing latar mburi sanajan bureng, ora fokus,
katon fotone ibu lan bapake. Kuwi genah potret sing dijepret dhek wingi,
ing ruwang Dhirektur Pratama kantor Bale Prodhuksi Manahira
Adsvertising Agency. “ Acara gendheng-gendhengan!” (Citrong Paju-
Pat:27)
Terjemahan :
“Di surat kabar dipasang gambarnya jelas, Abrit Mayamaya dengan
dirinya, Luhur Dirgantara. Dilatar belakang walau tidak jelas. Tidak
fokus, terlihat fotonya ibu dan bapaknya, itu jelas foto yang diambil
kemarin, di ruang direktur utama Manahira Adsvertising Agency. Acara
gila-gilaan!”
Dari kutipan di atas, menunjukkan bahwa awal mula kisah dari berita
yang terdapat di surat kabar yang memuat foto Abrit dengan Luhur yang
beritanya tidak disukai oleh Luhur yang mengenai perjodohannya dengan
Abrit Mayamaya. Dalam tahap tengah inilah klimaks ditampilkan, yaitu
ketika konflik (utama) telah mencapai titik intensitas tertinggi (Nurgiyantoro,
2010:145). Hal ini terbukti dalam kutipan kalimat berikut ini :
“Ana Bu. Aku kecintrong Trengginas!” Ora Abrit ora mental njawab
mengkono. Bakal nglarani atine ibune. (Cintrong Paju-Pat:34).
Terjemahan :
“Ada Bu. Aku jatuh cinta pada Trengginas!. Tidak! Abrit tidak tega
menjawab seperti itu. Akan menyakiti ibunya”.
Kutipan diatas, menunjukkan bahwa Abrit yang dijodohkan dengan Luhur
ternyata mencintai orang lain yaitu Trengginas. Di sini mulai terdapat
pemunculan konflik. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan kalimat berikut :
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 57
“Aaah. Kuwi kowe urik! Aja dirembug sing kuwi dhisik. Kuwi mau salah
kedaden, dak isih padha cedhak-cedhakan, Lirih terus njiwit lengene
Luhur seru-seru. (Cintrong Paju-Pat:83).
Terjemahan :
“Aaah. Itu kamu curang! Jangan dibicarakan yang itu dulu. Itu tadi salah
kejadian, kuberitahu! Bicara seperti itu, tapi ternyata badannya masih
berdekatan, Lirih terus mencubit lengannya Luhur keras-keras”.
Dari kutipan tersebut dijelaskan Luhur dan Lirih mulai saling menyukai.
Di sinilah mulai ditimbulkan konflik lain dari cerita. Hal ini dapat dilihat
seperti kutipan kalimat berikut ini :
“Ngucuwani! Sapatemone karo Abrit kuwi jan nguciwani banget. Luhur
tatu atine. Dheweke kipa-kipa gage oncat saka papan shooting, marga
ngrasa isin banget ditampik terang-terangan dening calon tunangane.
(Cintrong Paju-Pat:119).
Terjemahan :
“Mengecewakan! Pertemuannya dengan Abrit benar-benar
mengecewakan sekali. Luhur terluka hatinya. Dirinya buru-buru
langsung pergi dari tempat shooting, karena merasa malu sekali ditolak
terang-terangan oleh calon tunangannya”.
Latar
Latar adalah cara pengarang melukiskan suatu peristiwa yang meliputi
tempat, lingkungan, penempatan waktu sebagai latar belakang cerita. Dalam
Cintrong Paju-Pat ini terdapat beberapa latar yang dipakai meliputi latar
tempat, latar waktu dan latar sosial.
C. Perjuangan Tokoh Utama Wanita dalam Novel Cintrong Paju-Pat
Karya Suparto Brata
Perjuangan merupakan sebuah proses tindakan atau perbuatan dalam
kurun waktu tertentu yang membutuhkan pengorbanan baik harta, jiwa, dan
raga dalam menghadapi segala kesulitan yang terjadi dilakukan dengan suka
rela dan tanpa pamrih serta dengan cara positif untuk mencapai cita-cita
hidup yang baik sesuai dengan pandangan hidup yang baik pula, tapi kadang
kala seseorang akan lupa akan hal itu. Di zaman yang modern seseorang akan
melakukan berbagai cara supaya apa yang diharapkan akan terwujud.
Perjuangan tokoh utama wanita dalam novel Cintrong Paju-Pat Karya
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 58
Suparto Brata perjuangannya Lirih dalam bidang mendapatkan suatu
pekerjaan.
Sikap mandiri tokoh wanita yang dilukiskan dalam novel Cintrong
Paju-Pat adalah tokoh Lirih Nagari. Lirih adalah seorang wanita atau gadis
desa dari Caruban yang mengembara ingin mencaripekerjaan di Jakarta.
Dengan ijazah SMA dan keterampilan lain yangia miliki, Lirih sangat bercita-
cita untuk bisa bekerja disebuah kantorSeperti kutipan kalimat berikut ini :
“Lulusan SMA kuwi, Mbak. Pak Piko melu nyelani gunem.Tambah
kursus komputer. Aku nguwasani MS word, Excel, e-mail, databis
lotus, lan program aplikasi liyane. Lirihmamerake kaluwihan
kaprigelane tinimbang mung ijazahSMA”. (Cintrong Paju-Pat:58)
Terjemahan :
“Lulusan SMA itu, Mbak. Tahun kemarin. Pak Piko ikutannyelani
bicara. Tambah kursus Komputer. Aku menguwasaiMS word, Excel,
e-mail, databis lotus, dan program aplikasilainnya. Lirih memamerkan
kelebihan lainnya yang bisadiandalkan tidak hanyan lulusan SMA.
Dari kutipan di atas terlihat bahwa meskipun Lirih berasal daridesa dan
hanya lulusan SMA tapi dia mempunyai ketrampilan dankecerdasan yang
bisa diandalkan. Lirih mampu menguwasai programMS word, Excel, e-mail,
databis lotus, dan program aplikasi lainnya.Pada saat Abrit meremehkan
Langit Pak Piko yang pada saat itu berada.
D. Simpulan
1. Struktural: dari segi strukturalnya novel Cintrong Paju-Pat yang
menciptakan intensitas cerita meliputi : tema, tokoh dan penokohan, alur ,
dan latar. Tema Tokoh pelaku cerita utama adalah Abrit, Lirih, Langit, Bu
Arum dan Bu Kinyis, sedangkan tokoh tambahannya adalah Madusari,
Maniking, Trengginas, Luhur, Piko, Marsedik, Suradira dan Arum
Satuhu. Alurnya maju atau lurus. Latar menyaran pada latar tempat,
waktu dan sosial.
2. Feminisme: dari aspek feminismenya, difokuskan pada citra wanita yang
meliputi, citra diri wanita dan sosial. Penulis menyimpulkan sebagai
berikut. Citra pribadi wanita dapat digambarkan melalui cita fisik yaitu
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 59
gambaran wanita berdasarkan penampilannya (fisik), menunjukkan
citra perilaku yaitu penggambaran wanita berdasarkan perilakunya
dalam kehidupan sehari-hari, citra psikis yaitu penggambaran citra diri
berdasarkan kejiwaannya, mandiri dan tanggung jawab dan citra
sosialnya menunjukkan gambaran wanita dalam masyarakat.
Melaluipenggambaran citra pribadi tersebut, dapat diketahui kehidupan
wanita dalam kesehariannya. Citra diri dan sosial tokoh Abrit, Lirih,
Langit, Bu kinyis dan Bu Arum.
3. Gender: dari aspek gender bukan memperjuangankan kedudukan laki-laki
dan wanita bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tetapi, perjuangan
Lirih dalam mendapatkan suatu pekerjaan. Perjuangan Lirih dalam
mendapatkan suatu pekerjaan dengan melakukan berbagai macam cara.
Lirih berani jauh dari orang tua demi mencapai cita-citanya. Lirih adalah
seorang wanita yang berasal dari desa mengembara ke kota untuk mencari
pekerjaan dan berkeinginan kuat untuk bisa berkerja di gedung besar.
Dengan bekal ijazah SMA dan ketrampilan lain yang dia miliki.
DAFTAR PUSTAKA
Binarti, Sadar. 2009. Kajian Feminisme Novel Sintru, Oh Sintru Karya Suryadi
WS. Skripsi. Purworejo: Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Brata, Suparto. 2010. Cintrong Paju – Pat. Yogyakarta: Narasi.
Dyanegara, soenarjati. 2003. Kritik Sastra Feminis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: FBS
Universitas Negri Yogyakarta.
Fakih, mansoer. 2010. Analisis Gender dan Tranformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Kutha Ratna, Nyoman. 2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Masngudah, Wiwin. 2008. “Citra dan Perjuangan Hidup Tokoh Utama Wanita
dalam Novel Saraswati Si Gadis Dalam karya AA.Novis”. Skripsi.
Purworejo: Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 60
Novianti, Evin. 2005. “Citra Tokoh Wanita Novel Ms, B:” Panggil Aku B karya
Fira Basuki”. Skripsi. Purworejo: Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi . Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sugihastuti, Istna Hadi. 2010. Gender dan Inferioritas Wanita. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2011. Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung: Alfabet
Suharsono, ddk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang. CV.
Widya Karya
Suharto, Sugihastuti. 2010. Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 61
ANALISIS STRUKTURAL DAN NILAI PENDIDIKAN MORAL DALAM
SULUK SUKSMA LELANA KARYA RADEN NGABEHI
RANGGAWARSITA
Priska Tias Deswari
Universitas Muhammadiyah Purworejo
ABSTRAK
Deswari, Priska Tias. 2011, “Nilai Pendidikan Moral Dalam Suluk Suksmalelana
Karya Raden Ngabehi Ranggawarsita (Tinjauan Struktural Sastra)” (Skripsi).
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Penelitian ini membahas permasalahan pokok, yaitu: 1) Apa sajakah jenis
nilai-nilai pendidikan moral yang terdapat dalam Suluk Suksmalelana karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita? 2) Bagaimanakah relevansi nilai-nilai pendidikan moral
yang terdapat dalam Suluk Suksmalelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita
dengan kehidupan masa sekarang? 3) Bagaimanakah struktur cerita yang terdapat
dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita?. Tujuan
Penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai pendidikan moral dan
mengetahui struktural sastra serta menemukan jenis-jenis nilai pendidikan moral
yang terkandung dalam Suluk Suksmalelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian analisis konten atau analisis isi,
sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif
kualitatif. Sumber data diperoleh dari objek penelitian, yaitu Suluk Suksmalelana
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang diterbitkan oleh Paheman Radya
Pustaka Surakarta pada tahun 1970. Subjek dalam penelitian ini adalah naskah
Suluk Suksmalelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Objek dari penelitian
ini adalah nilai pendidikan moral (tinjauan struktural sastra) yang terkandung
dalam naskah Suluk Suksmalelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Data
penelitian ini diperoleh dari Suluk Suksmalelana karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya struktural sastra, yang meliputi:
1)Tema, 2) Tokoh dan penokohan, 3) Alur, 4) Latar, dan adanya nilai pendidikan
moral, yaitu: 1) Nilai pendidikan moral hubungan antara manusia dengan Tuhan,
meliputi: a) Percaya pada Kekuasaan dan Keagungan Tuhan, b) Percaya pada
takdir Tuhan, c) Percaya pada Sifat-sifat baik Tuhan, d) Memohon ampunan pada
Tuhan, 2) Nilai pendidikan moral hubungan antara manusia dengan sesama
manusia, meliputi: a) Moralitas anak terhadap orang tua yaitu mematuhi perintah
orang tua dengan mengabulkan keinginan orang tua, sayang dan patuh pada orang
tua, b) Moralitas guru dengan memberikan nasihat kepada pengikut atau
muridnya. 3) Nilai pendidikan moral hubungan antara manusia dengan alam
sekitar. 4) Relevansi nilai moral dengan kehidupan sekarang.
Kata kunci: Struktural, Nilai Pendidikan Moral
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 62
A. Pendahuluan
Berbagai kebudayaan yang ada pada masa lampau banyak terekam dalam
tulisan berbentuk naskah, dengan menganalisis ataupun mengkaji naskah dapat
diketahui kesenian, sastra, tradisi, nilai-nilai, adat istiadat, dan peristiwa yang ada
pada masa lampau. Melalui penelitian filologi, isi kandungan naskah dapat diteliti
sehingga dapat diketahui nilai-nilai dalam peninggalan masa lampau yang masih
relevan dengan kehidupan sekarang. Hal ini menandakan bahwa masyarakat Jawa
sangat suka pada kesenian dan sastra, terbukti dengan banyaknya naskah yang
berisikan hal tersebut, misalnya: tembang, wayang-pedalangan, tari, cerita, dan
lain-lain.
Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita sangat
menarik untuk diteliti karena tulisannya mudah dibaca walaupun ditulis dalam
bentuk manuskrip atau tulisan tangan. Selain itu penyajian ajaran-ajaran yang
disampaikan berupa tembang, sehingga lebih menarik dalam penyampaiannya.
Selain itu, dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita
terkandung ajaran budi pekerti yang sangat baik untuk pembentukan kepribadian
seseorang. Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita merupakan
karya sastra yang ditulis dalam bentuk tembang macapat yang menjelaskan
tentang awal dan akhir kehidupan manusia. Dalam Suluk Suksma Lelana karya
Raden Ngabehi Ranggawarsita dijelaskan tentang perjalanan panjang kehidupan
manusia yang dipenuhi oleh berbagai rintangan. Rintangan dalam hal ini adalah
ujian dan cobaan yang harus dihadapi oleh manusia demi mencapai kesempurnaan
atau kehidupan sejati. Untuk memperoleh hal yang diinginkannya manusia harus
belajar ajaran budi pekerti yang baik serta dapat mengendalikan antara lahir dan
batinnya (hawa nafsu) sebagai tameng pengendalian diri.
B. Dasar Teori
1. Filologi
Filologi adalah ilmu yang berhubungan dengan karya masa lampau
yang berupa tulisan, studi terhadap karya masa lampau dilakukan karena
adanya anggapan dalam peninggalan tulisan terkandung nilai-nilai yang masih
relevan dengan kehidupan masa ini. Filologi berasal dari kata dalam bahasa
Yunani “philos” yang berarti “cinta” dan logos ” yang diartikan kata. Pada
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 63
kata “filologi” kedua kata itu membentuk arti “cinta kata” atau “senang
bertutur”. Arti ini kemudian berkembang menjadi “senang belajar” atau
“senang kebudayaan”. Pengkajian filologi pun selanjutnya membatasi diri
pada penelitian hasil kebudayaan masyarakat lama yang berupa tulisan dalam
naskah (Hasjim, 1985: 2).
Objek penelitian filologi adalah adalah manuskrip kuna, dan di dalam
manuskrip meliputi naskah dan teks. Dalam objek penelitian filologi akan
membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan seluk beluk naskah, teks, dan
tempat penyimpanan naskah (Baried, 1985: 3).
Menurut penulis, pengertian filologi adalah suatu ilmu yang
mempelajari segala sesuatu berupa tulisan-tulisan bernilai tinggi seperti karya
sastra yang berasal dari masa lampau dengan objek kajian naskah dan teks,
yang kemudian dijelaskan asal-usul serta kebudayaan dari naskah tersebut.
2. Pengertian naskah
Naskah merupakan tulisan tangan yang menyimpan berbagai
ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau,
yang merupakan benda konkret yang dapat dilihat atau dipegang. Naskah
memiliki ciri-ciri fisik yang membuatnya berbeda dengan tulisan lain, naskah
pada umumnya berbentuk buku dan memuat cerita yang lengkap (Hasjim,
1985: 55), sedangkan menurut Poerwadaminta (1954: 447), naskah adalah
karangan tulisan tangan, baik yang asli maupun salinannya.
Naskah diartikan sebagai semua bahan tulisan tangan yang berisi
berbagai sumbangan pemikiran dan perasaan atas segala peristiwa yang terjadi
disekitar manusia sebagai hasil budaya bangsa masa lalu. Naskah merupakan
hasil karya tulis nenek moyang yang menyimpan berbagai informasi yang
mampu mengungkapkan berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti aspek
agama, sosial, politik, ekonomi, sejarah, hukum, sastra, budaya, ajaran moral,
doa, pendidikan atau piwulang, dan sebagainya yang berkesinambungan
dengan kehidupan masa kini.
Suatu naskah adalah semua barang tulisan tangan yang ada pada
koleksi perpustakaan atau arsip; misalnya, surat-surat atau buku harian milik
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 64
seseorang yang ada pada koleksi perpustakaan (Library and Information
Science, 2009: 4).
Jadi, menurut penulis naskah adalah suatu karya sastra yang berupa
tulisan baik berupa tulisan tangan maupun cetak yang bersifat nyata atau
memiliki wujud yang konkret dan berasal dari masa lampau, serta menyimpan
sejarah tentang asal usul kebudayaan kehidupan manusia sejak dahulu hingga
masa yang akan datang.
3. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi
pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intelek), dan pertumbuhan
anak. Dalam memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan
penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya (Erawati,
2010: 12).
Satu hal yang dibutuhkan manusia dalam hidupnya adalah kebutuhan
akan pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting, pendidikan
berfungsi untuk mengembangkan manusia, masyarakat, dan alam sekitarnya.
Oleh karena itu pendidikan harus merupakan usaha yang menuju kearah yang
baik (Suwarna, 1988: 37).
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara (1967: 65 ) adalah daya
upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti, intelek, dan jasmani
anak-anak. Maksudnya adalah supaya dapat memajukan kehidupan agar
menuju kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak
selaras dengan alam dan masyarakatnya. Pendidikan tersebut dapat berfungsi
dengan baik jika dilaksanakan secara berkesinambungan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai
pendidikan yang terdapat dalam karya sastra meliputi:
a. Pendidikan Ketuhanan;
b. Pendidikan kekeluargaan;
c. Pendidikan Kemasyarakatan;
d. Pendidikan Kerohanian;
e. Pendidikan moral.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 65
Jadi, menurut penulis pendidikan adalah suatu upaya pengembangan
mental, spiritual, dan intelektual manusia untuk membentuk kepribadian yang
baik dalam beradaptasi dengan kehidupan sosialnya melaui proses
pembelajaran baik secara formal maupun informal.
4. Pengertian Moral
Ajaran moral yang terdapat pada karya sastra dapat dimanfaatkan
sebagai alternatif untuk membentuk dan membina pribadi yang berbudi luhur.
Darma (1984: 47) menyatakan bahwa karya sastra yang baik selalu memberi
pesan kepada pembaca untuk berbuat baik, dalam konteks tersebut adalah
ajaran moral. Pendapat lain dikemukakan oleh Rusydi (1996: 13), moral
adalah penilaian terhadap suatu karya dalam kaitannya dengan nilai
kemanusiaan.
Ajaran moral tersebut merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan
oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah
kehidupan, sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Masalah tersebut
bersifat praktis karena dapat ditampilkan sebagai suatu model yang
ditampilkan sebagai suatu model dalam kehidupan nyata, sebagaimana model
yang ditampilkan dalam cerita lewat tokoh-tokohnya.
Ajaran moral tersebut dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan
kehidupan. Seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat, manusia
itu secara garis besar membahas persoalan hidup dan kehidupan manusia.
Persoalan itu pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam persoalan hubungan
manusia dengan diri sendiri, manusia dengan manusia lain dalam lingkup
sosial, termasuk juga hubungan dengan lingkungan alam dan hubungan
manusia dengan Tuhan.
Jadi, menurut penulis pengertian moral adalah sebuah penilaian baik
buruk perbuatan, sikap, akhlak, susila, dan budi pekerti manusia yang
merupakan sebuah penilaian dari masyarakat sosial yang memiliki sanksi
tertentu dalam menertibkan perilaku moral masyarakatnya.
5. Nilai Pendidikan Moral dalam Sastra
Pada dasarnya karya sastra adalah wujud representasi dunia dalam
bentuk lambang (kebahasaan). Karya sastra merupakan salah satu media yang
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 66
dapat menjadi sumber pengalaman estetik yang pada gilirannya akan
mengantarkan seseorang untuk mencapai pengalaman yang religius, oleh
karena itu secara langsung maupun tidak langsung karya sastra mengandung
sesuatu yang baik (Darma, 1984: 79 dalam Rini Adiati, 2002: 3).
Wellek dan Waren (1962: 27), menyatakan bahwa karya sastra
memberikan manfaat yang berupa keseriusan yang bersifat didaktis, yaitu
keseriusan yang bernilai pendidikan. Pendapat lain dikemukakan oleh
Padmopuspita (1990: 39) yang menegaskan kembali tentang pemanfaatan nilai
pendidikan dalam karya sastra, bahwa di dalam karya sastra terdapat ajaran,
pesan-pesan dan nilai-nilai kehidupan yang dapat diangkat dan dimanfaatkan
sebagai piwulang (ajaran) dan pedoman hidup baik dimasa lampau, sekarang,
maupun pada masa yang akan datang oleh generasi berikutnya.
Karya sastra akan muncul pada masyarakat yang telah memiliki
konversi, tradisi, pandangan tentang estetika, tujuan berseni, dan lain-lain,
yang kesemuanya dapat dipandang sebagai wujud kebudayaan, dan tidak
mustahil sastra merupakan “rekaman” terhadap pandangan masyarakat tentang
seni. Hal itu berarti bahwa sesungguhnya sastra merupakan konversi
masyarakat, karena masyarakat menginginkan adanya suatu bentuk kesenian
yang bernama sastra (Nurgiyantoro, 1998: 15).
Sebagai salah satu hasil kebudayaan karya sastra memiliki fungsi
bagi kehidupan manusia. Menurut Horace (dalam Wellek 1990: 25) fungsi
karya sastra adalah dulce et utile (sweet and useful) yang berarti indah dan
bermanfaat. Keindahan dalam karya sastra dapat menyenangkan pembacanya,
dalam arti dapat memberi hiburan serta rekreasi bagi pembaca atau
penikmatnya. Bermanfaat dalam karya sastra yaitu kegiatan membaca atau
menikmati karya sastra untuk mendapatkan masukan yang dapat memperkaya
batin. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan antara yang lainnya sehingga
membentuk keterkaitan.
Karya sastra dapat digunakan sebagai media pendidikan yang tidak
terbatas oleh waktu. Ajaran, pesan, dan nilai-nilai kehidupan yang terdapat
dalam karya sastra merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat dari
generasi ke generasi. Hal tersebut dapat dipahami karena kehidupan manusia
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 67
dari jaman dahulu hingga sekarang tidak dapat terlepas dari nilai-nilai
kehidupan. Sehingga karya sastra digunakan sebagai alternative untuk
mengontrol tingkah laku manusia agar tatanan kehidupannya tetap selaras.
Pendidikan dalam hal ini dikaitkan dengan ajaran nilai pendidikan moral yang
terkandung dalam karya sastra. Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan
manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau
buruk. Dalam hal ini mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan
manusia (Poespoprodjo, 1998: 118).
Jadi, menurut penulis nilai pendidikan moral dalam sastra merupakan
suatu penilaian baik buruk budi pekerti yang disampaikan melalui tokoh cerita
serta kebudayaan pada masa lampau yang tertuang dalam isi dari karya sastra
tersebut.
6. Struktural Sastra dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita 1. Tema
Dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita terdapat
tema cerita, yaitu tentang seseorang yang ingin mencari jati dirinya dengan
mendekatkan diri dengan Sang Khalik (Tuhan) ke negri Sukawarastra karena
telah merasa jenuh dengan segala godaan dan ujian yang ia hadapi dalam
kehidupannya yang termasuk golongan priyayi atau bangsawan, ia adalah
Raden Sukmalelana. Hal ini terlihat dalam kutipan Suluk Suksma Lelana
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam pupuh pocung pada 4, sebagai
berikut:
“Darbé karsa, rentjana marang Sang Bagus, supadi katrema, nèng
Sukawastra nagri, dumadakan kukuh Dyan Sukmalelana”.
Terjemahan:
„Mempunyai keinginan dan sebuah rencana untuk mendekatkan
diri kepada Sang Maha Sempurna supaya diterima di Negara
Sukawastra, tiba-tiba dengan kemantapannya Raden Sukmalelana
pergi‟.
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Raden Sukmalelana sangat ingin
mencapai kesempurnaan hidup atau oleh masyarakat Jawa sering disebut
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 68
dengan ngudi kasampurnan. Dalam kutipan tersebut, Negara Sukawastra
merupakan negara yang damai di ibaratkan surga yang member kedamaian
batin bagi manusia yang sedang dilanda kegundahan seperti Raden
Sukmalelana tersebut. Oleh karena itu dengan kemantapan lahir batin, Raden
Sukmalelana melangkahkan.
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh utama cerita dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita adalah Raden Sukmalelana, sedangkan tokoh tambahan yang
paling dominan adalah Ki Dremba, Sang Harda, dan Sang Dyah, yang akan
dijelaskan perwatakannya melalui penjabaran sebagai berikut:
3. Alur
Alur adalah cerita yang berisi urutan peristiwa, tetapi setiap peristiwa itu
dihubungkan secara kasual. Peristiwa yang satu disebabkan atau
menyebabkan peristiwa yang lain. Alur yang terdapat dalam Suluk Suksma
Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita,adalah alur maju yang akan
dijelaskan, sebagai berikut :
4. Latar
Dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, latar
tempat terdapat pada kutipan pupuh sinom pada 15, sebagai berikut:
“Kawarta ing wod siratal”
„Diberitahukan di jembatan Siratal’
Gambaran latar juga terdapat dalam pupuh sinom pada 2, sebagai berikut:
“Kaélokan wignja ngambah dirgantara”.
„Keindahan kecerdasan dapat menapakkan kaki di angkasa’
Gambaran latar juga terdapat dalam pupuh mijil pada 2, sebagai berikut:
“djroning wana sahéndranja kabèh”
‘Di dalam hutan beserta semua makhluk yang hidup didalamnya‟.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 69
Dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, latar
waktu terdapat dalam pupuh sinom pada 15, sebagai berikut:
“punika ing djaman ngakir”
„Tersebut pada jaman akhir kehidupan’.
Pernyataan tersebut merupakan sebuah nasihat kepada manusia supaya
mempercayai akan datangnya hari kiamat dimana hari tersebut merupakan
akhir perjalanan dari semua makhluk.
7. Nilai Pendidikan Moral dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita
Dalam Suluk Suksma Lelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita
terdapat nilai pendidikan moral yang berhubungan dengan Tuhan, yaitu
percaya pada takdir dan kekuasaan Tuhan, percaya pada sifat-sifat baik Tuhan
serta memohon ampunan pada Tuhan. Indikator yang menunjukkan nilai-nilai
pendidikan moral tersebut dicetak tebal dalam setiap kutipan teks tersebut.
Demikian juga pada nilai-nilai pendidikan moral yang menjelaskan hubungan
manusia dengan sesama manusia dan dengan alam sekitar.
Proses kehidupan di dunia ini adalah bersosialisasi dengan sesama
makhluk. Demikian halnya dengan manusia, ia beradaptasi dengan alam
disekitarnya dan bersosial dengan sesamanya (manusia), karena manusia
tidak dapat hidup dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Hubungan antara
manusia dengan sesama manusia diatur dalam sebuah etika yang berlaku
dalam kehidupan bermasyarakat yang disebut dengan moralitas. Etika
merupakan dasar kemanusiaan atau petunjuk dasar bagi tingkah laku, cara
pikir, dan keyakinan manusia. Sedangkan moralitas adalah suatu ajaran yang
berkaitan dengan perbuatan yang pada hakikatnya merupakan pencerminan
akhlak dan budi pekerti.
8. Relevansi Nilai Moral dengan Kehidupan Sekarang
Kutipan nilai pendidikan moral yang terkandung dalam Suluk
Suksmalelana karya Raden Ngabehi Ranggawarsita adalah sebuah bukti nyata
bahwa kehidupan manusia telah di atur sesuai norma yang berlaku dalam
masyarakat sejak jaman dahulu sampai sekarang. Relevansi nilai pendidikan
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 70
moral yang terkandung dalam Suluk Suksmalelana karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita dengan kehidupan manusia pada jaman modern seperti
sekarang adalah berupa peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah
dalam wujud undang-undang dasar beserta sanksi yang diterapkan pada
pelanggarnya.
Nilai pendidikan moral pada saat ini sudah mulai pudar, terbukti dengan
semakin meningkatnya tindak kejahatan di lingkungan masyarakat. Perbuatan
manusia semakin tidak terarah dan tidak teratur. Kepercayaan terhadap Tuhan
merupakan salah satu jalan manusia untuk terhindar dari kesesatan, dengan
cara beribadah dan meningkatkan kualitas keimanan dan toleransi terhadap
sesama.
DAFTAR PUSTAKA
Baribin, Raminah. 1985. Teori dan Apresiasi Prosa Fiksi. Semarang: IKIP Press
Darmiyati, Zuchdi. 1993. Panduan Penelitian Analisis Konten. Yogyakarta:
Lembaga Pendidikan IKIP Yogyakarta.
Ekoputranti, Adiati, Rini. 2002. Religiusitas Dalam Sastra Jawa Modern. Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Endraswara, Suwardi. 2006. Budi Pekerti Jawa. Jogjakarta: Buana Pustaka.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Widyatama.
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Poespoprodjo, W. 1998. Filsafat Moral. Bandung: CV Pustaka Grafika.
Purwaningsih, Indrastri. 2009. Nilai-Nilai Pendidikan Moral Dalam Serat Pusara
Krama (skripsi). Jogjakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 71
VERBA DENOMINAL BAHASA JAWA
PADA MAJALAH DJAKA LODHANG
EDISI JULI SAMPAI SEPTEMBER TAHUN 2008
Zuly Qurniawati, Santi Ratna Dewi S.
Universitas Muhammadiyah Purworejo
ABSTRAK
Majalah merupakan bagian dari kebudayaan manusia, dimana
bahasa dan budaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Majalah
Djaka Lodhang merupakan salah satu contoh penyampaian bahasa secara
tertulis, sebagai salah satu media massa cetak berbahasa Jawa. Melalui
majalah Djaka Lodhang selain memuat tentang bahasa juga memuat
tentang sastra dan budaya. Tidak mengherankan jika pengkajian yang
mendalam banyak dilakukan untuk mengungkap berbagai hal yang
sangat luas. Dalam hal ini terkait dengan perubahan-perubahan dari
pembentukan suatu kata dan perubahan makna kata (verba denominal).
Perubahan bentuk kata verba denominal bahasa Jawa terdapat tiga
perubahan, yaitu: (a). Perubahan kata jadian yang diturunkan dari bentuk
kata dasarnya, yaitu dengan memperoleh afiksasi atau imbuhan berupa
prefiks, sufiks, konfiks, dan afik gabung. (b). Perubahan bentuk kata
ulang yang diturunkan dari bentuk kata dasarnya. Dalam penelitian ini
ditemukan dwipurwa, ulang afiks, dan ulang semu. (c). Perubahan bentuk
kata majemuk yang diturunkan dari bentuk kata dasarnya. Dalam
penelitian ini ditemukan majemuk berafiks. Setiap pembentukan kata
pada proses morfologi menimbulkan nosi atau arti baru akibat dari
adanya proses tersebut. Perubahan makna kata verba denominal bahasa
Jawa berdasar gradasi kadar pembentuk verba. verba denominal bahasa
Jawa pada Majalah Djaka Lodang Tahun 2008 kurang produktif. Hal
tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian pada kesimpulan yang hanya
ditemukan adanya 3 macam perubahan bentuk, dan terdapat 37 macam
perubahan makna kata.
Kata kunci: Majalah Djaka Lodhang, verba denominal.
A. Pendahuluan
Bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol,
bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang dipakai
sebagai alat komunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan
pikiran. Dalam berkomunikasi bahasa sebagai sarana yang digunakan oleh setiap
orang untuk menyampaikan gagasan, perasaan, dan sebagainya kepada orang lain,
baik berupa bahasa lisan maupun tulisan. maka, setiap orang diperlukan
pemahaman tentang apa dan bagaimana penggunaan bahasa yang baik dan benar.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 72
Bahasa Jawa digunakan oleh penduduk suku bangsa Jawa di Jawa Tengah,
Yogyakarta, dan Jawa Timur. Bahasa Jawa adalah bahasa daerah yang digunakan
dan dilestarikan oleh orang Jawa terutama orang DIY dan Jateng. Bahasa jawa
dihormati dan diberi tempat untuk hidup dan berkembang. Kedudukan bahasa
daerah ditentukan, dibina, dan dilestarikan oleh pemerintah. Hal tersebut,
dibuktikan dengan adanya pasal 32 ayat 2, yaitu ”Negara menghormati dan
memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa kedudukan bahasa
Jawa adalah sebagai bahasa daerah dan yang berkewajiban melestarikan membina
dan mengembangkan bahasa Jawa adalah negara dan rakyat pemilik bahasa Jawa.
Salah satu wujud pelestarian, pembinaan, dan pengembangan bahasa Jawa yaitu
dengan terbitnya majalah-majalah berbahasa Jawa. Adapun majalah-majalah
berbahasa Jawa tersebut antara lain Djaka Lodhang, Mekar Sari, Panjebar
Semangat, dan Jaya Baya. Majalah Djaka Lodhang adalah majalah berbahasa
Jawa yang terbit pertama kali pada tahun 1971 di Yogyakarta. Majalah tersebut
terbit setiap hari sabtu dalam satu minggu. Setiap bulan majalah tersebut terbit
sebanyak 4-5 kali tergantung jumlah minggu dalam tiap bulan. Dalam majalah
Djaka Lodhang selain memuat tentang bahasa juga memuat tentang sastra dan
budaya. Majalah merupakan salah satu contoh penyampaian bahasa secara tertulis,
sebagai salah satu media massa cetak. Majalah adalah bagian dari kebudayaan
manusia, dimana bahasa dan budaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Sebagai pengguna bahasa perlu memahami bahasa itu sendiri, dengan pengkajian
dan penelitian bahasa yang mendalam. Sebagai objek kajian, bahasa mempunyai
berbagai persoalan yang sangat luas. Pada tulisan ini, penulis mengkaji tentang
perubahan-perubahan dari pembentukan suatu kata.
Pembentukan kata selain mempelajari proses pembentukan kata-kata juga
mempelajari pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata dan makna kata. Kata
dapat dibentuk atau diturunkan dari kata dasar itu sendiri, tetapi juga dari kata
dasar kata lain, contohnya kata kerja. Kata kerja tidak hanya dapat dibentuk dari
kata dasar kata kerja, tetapi juga dari kata dasar kata benda, kata keadaan, kata
bilangan, kata ganti, dan lain-lain. Dalam hal ini kajian akan menekankan pada
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 73
kata kerja yang dibentuk dan diturunkan dari kata benda atau dalam istilah
morfologi disebut verba denominal.
Dalam penelitian tentang verba denominal ini, tidak menekankan pada
proses pembentukan kata-kata, tetapi perubahan-perubahan bentuk kata, dan
makna kata. Penelitian ini menekankan pada perubahan-perubahan, karena suatu
golongan kata dapat ditransformasikan ke golongan kata lain dan perlu diketahui
perubahan transformasi kata tersebut. Penelitian ini menekankan golongan kata
kerja yang dapat ditransformasikan ke dalam golongan kata lain, misalnya dari
kata kerja dapat ditransformasikan ke dalam kata benda. Suatu kata juga dapat
diartikan dengan berbagai macam makna setelah mengalami perubahan bentuk.
Dengan demikian, dalam penelitian tentang verba denominal juga perlu
memaparkan perubahan bentuk kata dan makna kata tersebut.
B. Proses Morfologi Kata
Menurut Mulyana (2007: 5) Istilah “morfologi” diturunkan dari bahasa
Inggris morphology, artinya cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang
susunan atau bagian-bagian kata secara gramatikal. Secara etimologi, istilah
morfologi sebenarnya berasal dari Yunani, yaitu gabungan antara morphe yang
artinya „bentuk‟ dan logos berarti „ilmu‟ (Ralibi dalam Mulyana, 2007: 5).
Yasin (1987: 20) mengemukakan morfologi ialah ilmu yang mempelajari
hal-hal yang berhubungan dengan bentuk kata atau struktur kata dan pengaruh
perubahan-perubahan bentuk kata terhadap jenis kata dan makna kata. Ramlan
(1987: 21) menyatakan bahwa pengertian morfologi adalah sebagai berikut:
“Morfologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang
membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk kata serta
pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap
golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk kata serta fungsi
perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatikal
maupun fungsi semantik”.
Proses morfologi ialah proses pembentukan kata-kata dari satuan lain yang
merupakan bentuk dasarnya (Ramlan, 1987: 51). Dalam berbagai bahasa, berlaku
proses morfologi tersebut, karena setiap bahasa tidak akan sama antara bahasa
yang satu dengan bahasa yang lain. Dengan kata lain, dalam bahasa Jawa tentu
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 74
berlaku proses morfologi atau pembentukan kata. Dalam pembentukan kata
terdapat tiga proses, yaitu proses afiksasi, proses pengulangan, dan proses
pemajemukan.
C. Verba Denominal
Untuk menentukan apakah sebuah kata bahasa Indonesia termasuk kata
kerja atau tidak, dapat ditinjau dari sudut:
1. morfologis (bentuk kata)
kata-kata bahasa Indonesia yang mengandung afiks atau imbuhan me-,
ber-, di-, ter-, -kan, -i, termasuk kelas kata kerja. Contoh: menyanyi,
menyapu, bermain, berdendeng, ditulis, diambil, terinjak, tersenggol,
naikkan, doakan, tulisi, lempari, dll.
2. fraseologis (kelompok kata)
a. kata-kata bahasa Indonesia yang dapat berfrase dengan kata dengan +
kata sifat, termasuk kelas kata kerja. Contoh: berjalan dengan cepat,
baca dengan cemat, pukul dengan keras,dll.
b. kata-kata bahasa Indonesia yang dapat berfrase dengan kata akan,
hendak, ingin, tidak, boleh, telah, sedang, sambil, termasuk kelas kata
kerja. Contoh: akan makan, akan pergi, hendak bermain, hendak
menari, ingin bertemu, ingin menengok, tidak masuk, tidak minum,
boleh pergi, boleh berbicara, sedang belajar, sedang menulis, telah
mandi, sambil minum, dll.
Dapat dikenali melalui (1) bentuk morfologis, (2) perilaku sintaksis, dan
(3) perilaku semantis dari keseluruhan kalimat. Selain itu, verba dapat didampingi
dengan kata tidak. Ia tidak belajar di kampus. Ia tidak makan di rumah. Mereka
tidak menulis makalah. Berdasarkan bentuk kata (morfologis), verba dapat
dibedakan menjadi: (1) verba dasar (tanpa afiks), misalnya: makan, pergi, minum,
duduk, dan tidur, (2) verba turunan a) verba dasar + afiks (wajib) menduduki,
mempelajari, menyanyi, me-manggil-manggil, menanyakan; b) verba dasar +
afiks (tidak wajib) (mem)baca, (men)dengar, (men)cuci; c) verba dasar (terikat
afiks) + afiks (wajib) bertemu, bersua, mengungsi; d) reduplikasi atau bentuk
ulang berjalan-jalan, minum-minum, mengais-ngais; e) majemuk cuci mata, naik
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 75
haji, belai kasih. Berdasarkan banyaknya pembuktian (argumentasi), verba dapat
dibedakan menjadi (1) verba transitif disertai objek (a) monotransitif, misalnya:
menyanyikan lagu, membacakan buku, melukiskan pemandangan, dan
memperhatikan temannya; (b) verba bitransitif, misalnya: menyanyikan lagu
Indonesia Raya dan Maju Tak Gentar, membaca majalah, dan surat kabar, (c)
verba ditransitif, misalnya: mengembangkan agrobisnis, lembaga pendididkan
internasional, dan pendidikan berteknologi tinggi. (2) verba intransitif tidak
menghendaki adanya objek. Ia berdagang.
Berdasarkan perpindahan kelas kata: (1) verba denominal (nomina ke
verba), misalnya: berbudaya, mencangkul, dan mencambuk; (2) verba deadjektif,
misalnya: menghina, menyakiti, dan mencintai, (3) deadverbial, misalnya:
menyudahi, memung-kinkan, mengakhiri, dan mengawali. Verba denomial adalah
verba yang terbentuk dari nomina. Contoh: berbudaya, bertelur, memahat,
merotan, menyemir.
D. Perubahan Bentuk Kata Verba Denominal Bahasa Jawa pada Majalah
Djaka Lodhang
Perubahan bentuk kata pada verba denominal bahasa Jawa pada majalah
Djaka Lodang edisi bulan Juli sampai September tahun 2008 dapat
diklasifikasikan sebagai berikut, a) perubahan kata jadian yang diturunkan dari
kata dasarnya, b) perubahan kata ulang yang diturunkan dari kata dasarnya, dan c)
perubahan kata majemuk yang diturunkan dari kata dasarnya. Masing-masing
akan dibahas lebih lanjut.
1. Perubahan kata jadian yang diturunkan dari kata dasarnya
Adapun proses morfologi yang terjadi pada pembentukan verba denominal
bahasa Jawa pada majalah Djaka Lodang edisi bulan Juli sampai September tahun
2008 khususnya dalam pembentukan kata jadian yang diturunkan dari kata
dasarnya berupa proses afiksasi. Dalam proses afiksasi meliputi prefiks dengan
imbuhan ater-ater hanuswara N- terdiri atas n-, ny-, m-, ng-; ater-ater tripurusa
dak-, tak-, kok-, di-; prefik ka-, ke-, ma-, me-; sufiks -i, -en, -an; konfiks m- / -i,
ng- / -i , m- / -ake, di- / -i, di- / -ake, ke- / -an; afiks gabung n- / -i, ny- / -i, m- / -i,
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 76
ng- / -i, ny- / -ake, m- / -ake, ng- / -ake, ny- / -e, m- / -na, dak- / -i, tak- / -i , di- / -i,
di- / -ake, di- / -na, ka- / -ake, -in- / -an, -in- /-ake.
2. Perubahan kata rangkap yang diturunkan dari kata dasarnya
Adapun proses morfologi yang terjadi pada pembentukan verba denominal bahasa
Jawa pada majalah Djaka Lodang edisi bulan Juli sampai September tahun 2008
khususnya dalam pembentukan kata rangkap yang diturunkan dari kata dasarnya
berupa proses perulangan. Dalam proses perulangan meliputi perulangan
dwipurwa, ulang afik, dan ulang semu.
Nosi dwipurwa pada kata verba denominal ditemukan 5 macam nosi dwipurwa,
yakni (1) nosi dwipurwa pada kekemul, ialah mengenakan; (2) nosi dwipurwa
pada tetamba, ialah menggunakan sebagai; (3) nosi dwipurwa pada peputra, ialah
mempunyai; (4) nosi dwipurwa pada dedagangan, ialah melakukan tindakan; dan
(4) nosi dwipurwa pada bebandan, ialah membuat/menghasilkan.
Nosi ulang afiks pada kata verba denominal ditemukan 7 macam nosi ulang afiks,
yakni (1) nosi ulang afiks pada pit-pitan, ialah naik/mengendarai; (2) nosi ulang
afiks pada jaran-jaranan, ialah menyerupai; (3) nosi ulang afiks pada bal-balan,
ialah menggunakan; (4) nosi ulang afiks pada disilet-silet, ialah dikenai berulang-
ulang; (5) nosi ulang afiks pada ngoca-ngaca, ialah menggunakan berulang-ulang;
(6) nosi ulang afiks pada nyenyandhang, yakni mengenakan; dan (7) nosi ulang
afiks pada tetanen yakni menjadi.
3. Perubahan kata pemajemukan yang diturunkan dari kata dasar
Adapun proses morfologi yang terjadi pada pembentukan verba denominal bahasa
Jawa pada majalah Djaka Lodang edisi bulan Juli sampai September tahun 2008
khususnya dalam pembentukan kata majemuk yang diturunkan dari kata dasarnya
berupa proses pemajemukan. Dalam proses pemajemukan dalam penelitian ini
ditemukan majemuk berafiks.
E. Perubahan Makna Verba Denominal Bahasa Jawa pada Majalah Djaka
Lodhang
Hasil penelitian perubahan makna kata verba denominal bahasa Jawa pada
majalah Djaka Lodang edisi bulan Juli sampai September tahun 2008 di atas,
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 77
terdapat 37 macam perubahan makna kata verba yang diturunkan dari kata benda.
Dari hasil penelitian setiap kata bentukan memiliki makna berbeda-beda
berdasarkan gradasi kadar imbuhan pembentuk verba bukan berdasarkan jenis
imbuhan yang melekat pada verba (arti/nosi), antara lain:
1. Perubahan makna kata kerja melakukan pekerjaan dengan menggunakan
apa yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda
bermakna alat dan benda.
2. Perubahan makna kata kerja melakukan pekerjaan atau menjadi apa yang
dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna orang
3. Perubahan makna kata kerja menuju ke/ pergi ke apa yang dinyatakan
bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna tempat dan arah
4. Perubahan makna kata kerja melakukan tindakan dengan naik apa yang
dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna alat.
5. Perubahan makna kata kerja melakukan pekerjaan dengan membuat apa
yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna
benda
6. Perubahan makna kata kerja mengeluarkan (mempunyai) aran kongkrit
yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna
orang dan benda
7. Perubahan makna kata kerja bermakna merasa apa yang dinyatakan bentuk
dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna hewan
8. Perubahan makna kata kerja bermakna mempunyai apa yang dinyatakan
bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna benda dan orang
9. Perubahan makna kata kerja bermakna melakukan tindakan dengan
menempati apa yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata
benda bermakna tempat
10. Perubahan makna kata kerja bermakna perbuatan yang dilakukan oleh
orang pertama tunggal yang diturunkan dari kata benda bermakna tempat
dan alat
11. Perubahan makna kata kerja bermakna perbuatan yang dilakukan oleh
orang kedua, baik tunggal maupun jamak yang diturunkan dari kata benda
bermakna alat
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 78
12. Perubahan makna kata kerja bermakna dikenai tindakan dengan
menggunakan apa yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata
benda bermakna alat dan benda
13. Perubahan makna kata kerja bermakna diberi atau diolesi sesuatu yang
dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna alat
dan benda
14. Perubahan makna kata kerja bermakna dibuat menjadi apa yang
dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna benda
dan orang
15. Perubahan makna kata kerja bermakna dimasukkan dalam apa yang
dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna alat
dan tempat
16. Perubahan makna kata kerja bermakna peristiwa yang diacu terjadi dengan
tidak sengaja yang diturunkan dari kata benda bermakna benda dan orang
17. Perubahan makna kata kerja bermakna belajar pada, atau memiliki apa
yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna
orang
18. Perubahan makna kata kerja bermakna perintah untuk melakukan tindakan
dengan menggunakan apa yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan
dari kata benda bermakna alat dan benda
19. Perubahan makna kata kerja bermakna melakukan tindakan untuk diri
sendiri dengan memakai/mengenakan apa yang dinyatakan bentuk dasar
yang diturunkan dari kata benda bermakna benda
20. Perubahan makna kata kerja bermakna mengadakan pertunjukkan yang
dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna benda
21. Perubahan makna kata kerja bermakna nama permainan yang diturunkan
dari kata benda bermakna benda, tempat, dan hewan
22. Perubahan makna kata kerja bermakna memberi apa yang dinyatakan
bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna benda
23. Perubahan makna kata kerja bermakna berulang-ulang memasukkan
sesuatu ke dalam yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata
benda bermakna benda
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 79
24. Perubahan makna kata kerja bermakna melakukan tindakan dengan
keadaan seperti yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata
benda bermakna benda
25. Perubahan makna kata kerja bermakna melakukan tindakan dengan
menyerupai apa yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata
benda bermakna sebagai benda, orang, dan hewan
26. Perubahan makna kata kerja bermakna melakukan perbuatan untuk uwong
lain yang diturunkan dari kata benda bermakna alat, tempat, benda, dan
orang
27. Perubahan makna kata kerja bermakna dikenai perbuatan dengan
digunakan sebagai apa yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari
kata benda bermakna tempat
28. Perubahan makna kata kerja bermakna berulang-ulang dimasukkan dalam
sesuatu yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda
bermakna benda
29. Perubahan makna kata kerja bermakna di dalam keadaan yang dinyatakan
bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna tempat
30. Perubahan makna kata kerja bermakna tindakan yang dilakukan untuk
uwong lain dengan menggunakan yang dinyatakan bentuk dasar yang
diturunkan dari kata benda bermakna alat
31. Perubahan makna kata kerja bermakna dibuat menyerupai apa yang
dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna orang
32. Perubahan makna kata kerja bermakna meskipun dikenai apa yang
dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna alat
33. Perubahan makna kata kerja bermakna meskipun diberi apa yang
dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna alat
34. Perubahan makna kata kerja bermakna dikenai tindakan berulang kali
menggunakan apa yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata
benda bermakna alat
35. Perubahan makna kata kerja bermakna melakukan tindakan berulang-
ulang dengan menggunakan apa yang dinyatakan bentuk dasar yang
diturunkan dari kata benda bermakna alat dan benda
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 80
36. Perubahan makna kata kerja melakukan pekerjaan berulang-ulang dengan
membuat apa yang dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata
benda bermakna benda
37. Perubahan makna kata kerja mengandung atau menjadi apa yang
dinyatakan bentuk dasar yang diturunkan dari kata benda bermakna benda
F. Simpulan
Dalam morfologi selain mempelajari seluk beluk kata juga mempelajari
perubahan- perubahan yang terjadi dalam pembentukan kata. Penelitian ini
menganalisis tentang perubahan-perubahan tersebut, yakni:
1. Pembentukan suatu kata tidak terlepas dari perubahan bentuk kata.
Perubahan bentuk kata dalam penelitian ditemukan 3 macam perubahan
bentuk, yakni: perubahan bentuk kata jadian yang diturunkan dari bentuk
kata dasar, perubahan bentuk kata ulang yang diturunkan dari bentuk kata
dasar dan perubahan bentuk kata majemuk yang diturunkan dari bentuk
kata dasarnya.
2. Selain perubahan bentuk kata dalam penelitian ini, juga terjadi perubahan
makna kata. Perubahan makna kata verba denominal bahasa Jawa dalam
penelitian ditemukan 37 macam perubahan makna kata verba denominal
berdasarkan gradasi kadar pembentuk verba.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyana. 2007. Morfologi Bahasa Jawa Bentuk dan Struktur Bahasa Jawa.
Yogyakarta: Kanwa Publiher.
Ramlan, M. 1987. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: C.V.
Karyono.
Samsuri. 1978. Analisis Bahasa. Jakarta.: Penerbit Erlangga.
Yasin, Sulchan. 1987. Tinjauan Deskriptif Seputar Morfologi. Surabaya: Usaha
Nasional.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 81
KAJIAN FOLKLOR TRADISI MERTI DHUSUN DI DUSUN TUGONO
DESA KALIGONO KECAMATAN KALIGESING
KABUPATEN PURWOREJO
Amalia Septi Puspitasari
Universitas Muhammadiyah Purworejo
ABSTRAK
Amalia Septi Puspitasari. Kajian Folklor Tradisi Merti Dhusun di Dusun
Tugono Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Skripsi.
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa. Universitas Muhammadiyah Purworejo.
2012.
Penelitian ini mendeskripsikan permasalahan (1) Prosesi tradisi merti
dhusun di dusun Tugono, (2) Fungsi tradisi merti dhusun di dusun Tugono, (3)
Makna simbolik yang terkandung dalam ubarampe yang digunakan dalam
tradisi merti dhusun di dusun Tugono. Penelitian “Kajian Folklor Tradisi Merti
Dhusun di Dusun Tugono, Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten
Purworejo” dilakukan dengan metode pendekatan emik, dimana peneliti budaya
mendasarkan pada sudut pandang partisipan (informan setempat). Jenis penelitian
menggunakan metode deskriptif kualitatif. Subjek penelitian adalah kepala desa
Kaligono, kepala dusun Tugono, sesepu dusun Tugono, warga dusun Tugono, dan
warga sekitar dusun Tugono. Objek penelitian adalah prosesi tradisi merti dhusun
di dusun Tugono, fungsi tradisi merti dhusun di dusun Tugono, makna simbolik
yang terkandung dalam ubarampe yang digunakan dalam tradisi merti dhusun di
dusun Tugono. Lokasi penelitian berada di dusun Tugono, desa Kaligono,
kecamatan Kaligesing, kabupaten Purworejo. Teknik pengumpulan data
menggunakan teknik observasi, wawancara, dokumentasi, dan analisis isi. Teknik
analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif. Teknik keabsahan data
menggunakan triangulasi.
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) prosesi tradisi merti dhusun di
dusun Tugono yaitu (a) membersihkan dusun dan bersih kubur, (b) ziarah kubur,
(c) tayub siang, (d) mengumpulkan jolen, (e) kirab dilanjutkan hiburan tayub
sampai pagi hari. (2) Fungsi tradisi merti dhusun di dusun Tugono antara lain (a)
Fungsi Sosial, (b) Fungsi Ritual, (c) Fungsi Pelestarian Tradisi, (d) Fungsi
Hiburan, (e) Fungsi Pendidikan, (f) Fungsi Ekonomi. (3) Ubarampe
yangmemiliki makna simbolis, meliputi: (a) Tumpeng robyong, (b) Tumpeng
tunjung, (c) Tumpeng rasul dan ayam ingkung, (d) Bonang baning, (e) Jenang
abang putih, (f) Sega golong lima, (g) Ambeng kalih, (h) Sekul sepuh, (i) Jajan
rakan, (j) Jajan pasar.
Kata kunci: Folklor, Tradisi , Merti Dhusun
A. Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan zaman, upacara tradisi seperti upacara
menyambut kelahiran anak, upacara sedekah bumi dan upacara permohonan
keselamatan sekarang ini sudah semakin punah. Namun, masih di beberapa
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 82
tempat masih dijumpai upacara tradisi yang masih dilakukan. Upacara tradisi
yang masih eksis dan masih dilaksanakan oleh masyarakat Jawa salah satunya
adalah upacara tradisi merti dhusun di Dusun Tugono, Desa Kaligono,
Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Tradisi merti dhusun
merupakan upacara selamatan dusun yang dijadikan tradisi di Dusun Tugono,
Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Tradisi ini
dilaksanakan setiap tahun pada bulan Sapar (bulan Jawa). Bagi masyarakat
dusun Tugono, merti dhusun dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur
kepada Sang Pencipta yang telah memberi keselamatan dan hasil panen yang
melimpah. Puncak acara upacara tradisi merti dhusun di dusun Tugono ini
adalah saat kirab pada malam hari yang dilanjutkan dengan hiburan tayub
sampai dini hari. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik meneliti upacara
tradisi merti dhusun di Dusun Tugono karena (a) tradisi merti dhusun ini
unik, yaitu selain sebagai ungkapan rasa syukur, merti dhusun ini juga
sebagai tolak-balak. Ada yang meminta bedak kepada ronggeng dan ada
yang menari bersama ronggeng, (b) tradisi merti dhusun mengandung
beberapa nilai di antaranya: nilai sosial, nilai ritual dan nilai pendidikan bagi
masyarakat sekitar, (c) upacara tradisi merti dhusun merupakan budaya asli
masyarakat yang kemudian berinteraksi dan terjalin dalam proses akulturasi
dengan budaya Hindu dan Islam. Budaya Hindu yang terlihat dalam tradisi ini
adalah adanya sesaji, yang meliputi bunga dan dupa, sedangkan budaya Islam
terlihat pada waktu berdoa menggunakan doa secara Islam. Masyarakat
percaya bahwa tradisi merti dhusun ini dapat membawa berkah.
B. Dasar Teori
1. Konsep Folklor
Istilah folklor merupakan pengindonesiaan kata bahasa Inggris
folklore. Ditinjau dari etimologinya, folklor berasal dari dua kata dasar yaitu
folk yang berarti “rakyat” dan lore yang berarti “adat”. Folk adalah
sekelompok orang yang memiliki ciri sosial budaya tertentu sehingga dapat
dibedakan dari kelompok-kelompok lain, sedangkan lore adalah tradisi folk,
atau dengan kata lain lore adalah tradisi turun-temurun yang secara lisan atau
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 83
melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat (Danandjadja dalam
Purwadi, 2009:1-2).
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Purwadi (2009: 2) yang
menyatakan bahwa folklor terdiri dari dongeng, cerita, hikayat,
kepahlawanan, adat-istiadat, lagu, tata-cara, kesusastraan, kesenian dan
busana daerah. Semua itu milik masyarakat tradisional kolektif.
Perkembangan folklor mengutamakan jalur lisan. Dari waktu ke waktu
bersifat inovatif atau jarang mengalami perubahan. Dengan uraian pengertian
di atas, maka dapat diketahui bahwa folklor atau cerita rakyat yang
diturunkan secara lisan dari mulut ke mulut di dalam suatu kolektif
masyarakat yang mempunyai cerita berbeda-beda antara daerah yang satu
dengan daerah yang lain.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 395) dijelaskan bahwa
folklor merupakan adat-istiadat dan cerita hikayat yang diwariskan turun-
temurun, tetapi tidak dibukukan. Folklor juga merupakan ilmu adat-istiadat
tradisional dan cerita-cerita rakyat yang tidak dibukukan. Pendapat lain
dikemukakan oleh Endraswara (2010: 3-4), bahwa folklor merupakan wujud
budaya dan diwariskan secara turun-temurun secara lisan (oral) dan berguna
bagi pendukungnya. Lebih lanjut, folklor juga meliputi berbagai hal, seperti
pengetahuan, asumsi, tingkah laku, etika, perasaan, kepercayaan dan segala
praktik-praktik kehidupan tradisional, serta memiliki fungsi tertentu bagi
pemiliknya
Berdasarkan pengertian di atas, maka folklor merupakan bagian dari
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat suatu kelompok, masih bersifat
tradisional dan dilaksanakan secara turun-temurun. Folklor yang terdapat
dalam upacara merti dhusun termasuk dalam adat-istiadat (tradisi) yang
berkembang dimasyarakat dan berupa ritual. Merti dhusun merupakan tradisi
yang sudah bertahun-tahun berkembang di dalam masyarakat. Tradisi merti
dhusun ini, merupakan tradisi yang sudah dilakukan secara turun-temurun
sejak nenek moyang yang masih dilaksanakan sampai sekarang. Hal ini
sesuai dengan kajian teori yang tertuang dalam landasan teori tentang teori
folklor.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 84
2. Konsep Tradisi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1483) dijelaskan bahwa
tradisi yaitu adat kebiasaan turun-temurun yang masih dijalankan dalam
masyarakat. Pengertian lain, tradisi adalah penilaian atau anggapan bahwa
cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. Tradisi
adalah segala sesuatu (seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran) turun
temurun dari nenek moyang (Poerwadarminta, 1976: 1088). Tradisi atau adat-
istiadat disebut juga adat tata kelakuan (Koentjaraningrat dalam Herusatoto,
2008: 164). Pompy (2009: 20) menyebutkan bahwa tradisi adalah segala
sesuatu baik berupa nilai, norma sosial, pola kelakuan, dan adat-kebiasaan
tertentu yang merupakan wujud dari berbagai aspek kehidupan serta
diwariskan secara turun temurun dan masih berlangsung hingga sekarang.
Pendapat Pompy tersebut dipertegas oleh Sztompka (2011: 69) yang
menyatakan bahwa tradisi merupakan keseluruhan benda materi dan gagasan
yang berasal dari masa lalu namun benar-benar masih ada dimasa kini, belum
dihancurkan, dirusak, dibuang atau dilupakan. Shils (dalam Sztompka, 2011:
70), berpendapat bahwa tradisi adalah sesuatu yang disalurkan dari masa lalu
ke masa kini. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diketahui bahwa
tradisi merupakan kegiatan sosial, adat, kebiasaan secara turun-temurun yang
diwariskan oleh nenek moyang, yang masih tetap dijalankan sampai sekarang.
Sztompka (2011: 74-76), menyatakan bahwa tradisi memiliki
beberapafungsi antara lain: (a) dalam bahasa klise dinyatakan bahwa tradisi
adalah kebijakan turun-temurun. Tepatnya di dalam kesadaran, keyakinan,
norma, dan nilai yang kita anut serta di dalam benda yang diciptakan dimasa
lalu, (b) memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan,
pranata antara yang sudah ada. Peranan tradisi dalam meletakkan pondasi
wewenang yakni kekuasaan yang diakui dan diterima, (c) menyediakan
simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat royalitas primordial
terhadap bangsa, komunitas, dan kelompok, (d) membantu menyediakan
tempat pelarian dari ketidakpuasan dan kekecewaan kehidupan modern.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 85
3. Konsep Merti Dhusun
Endraswara (dalam Jurnal Kebudayaan Jawa UNY, 2006) menyebutkan
bahwa kata “merti” berasal dari kata mreti yang diambil dari kata dasar
pitre. Pitre dalam karya sastra Jawa Kuna berarti memiliki hajat, memberi
kepada arwah para leluhur. Pendapat tersebut dipertegas lagi oleh Suseno
(1998) bahwa merti berasal dari bahasa Jawa “petri” yang berarti memetri
(memelihara). Jadi, merti dhusun adalah memelihara dhusun, menjaga dan
melestarikan dengan sebaik-baiknya. Menurut Purwadi (2006: 222), merti
desa adalah kenduri desa tiap tahun. Berdasarkan pengertian di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa merti dhusun adalah sebuah warisan dari nilai-
nilai luhur budaya lama yang menunjukkan bahwa manusia menyatu dengan
alam. Tradisi ini biasanya dilaksanakan sekali dalam setahun. Merti dhusun
merupakan salah satu upacara adat Jawa yang diselenggarakan setelah panen
yang merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah mengabulkan hasil panen.
Kegiatan merti dhusun banyak dilakukan oleh masyarakat desa di Jawa
dengan nama dan cara yang tidak selalu sama. Ada yang menyebutkan
sedekah dhusun karena didalam acara tersebut diadakan sedekah massal. Ada
yang menyebut memetri dhusun karena dalam kegiatannya dilakukan
pembenahan dan pemeliharaan desa, dan lain sebagainya. Tradisi merti
dhusun mempunyai tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk
keselamatan dari ancaman bencana alam dan sekaligus sebagai ungkapan rasa
syukur masyarakat atas rizki, kesehatan, dan ketentraman. Ada perbedaan
yang terdapat dalam merti dusun di dusun Tugono, Desa Kaligono,
Kecamatan Kaligesing ini. Selain sebagai ungkapan syukur, acara ini juga
sebagai tolak-balak. Dilihat dari sejarah atau asal-mula diadakannya acara ini
yaitu pada saat Wijayadiningrat yang merupakan putra raja Brawijaya sebagai
cikal-bakal adanya dusun Tugono ini bernadzar saat melihat warganya
terserang penyakit aneh dan mematikan. Nadzar dari beliau adalah akan
menanggap tledek jika rakyatnya sembuh. Tidak begitu lama wargapun
sembuh dan wabah itupun sudah tidak ada lagi. Wijayadiningrat kemudian
melakukan nadzarnya tersebut. Sampai sekarang saat tledekan, para ibu
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 86
membawa anaknya yang sakit untuk minta didoakan para penarinya. Warga
tidak berani untuk melanggar tradisi tersebut karena takut akan datang
malapetaka. Dalam tradisi ini masyarakat dusun Tugono juga menggunakan
jolen. Menurut Teja Sutrisno (narasumber, wawancara tanggal 12 Mei
2012), jolen berasal dari kata aja dan lalen. Kata ini hanya merupakan
lambang atau simbol dari para sesepuh dan leluhur. Pada intinya Jolen
digunakan untuk mengingatkan kepada manusia pada umumnya dan generasi
muda yang ada di dusun Tugono khususnya, agar jangan mudah terlena
dengan kebahagiaan duniawi, senantiasa bersyukur atas apa yang
dianugerahkan Tuhan kepada manusia dan tidak melupakan tradisi yang
telah di lakukan secara turun-temurun ini.
C. Prosesi Upacara Tradisi Merti Dhusun di Dusun Tugono, Desa
Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo
Upacara tradisi merti dhusun di Dusun Tugono rutin dilaksanakan pada
bulan Sapar. Adapun urutan prosesinya adalah membersihkan dusun dan bersih
kubur, ziarah makam, tayub siang, pengumpulan jolen, dan kirab dilanjutkan
tayub hingga pagi hari.
D. Makna-makna Simbolik Ubarampe yang Digunakan dalam Upacara
Merti Dhusun di Dusun Tugono, Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing,
Kabupaten Purworejo
1. Tumpeng robyong, sebagai bukti bakti kepada kyai Tarub dan nyai Tarub
serta sebagai permohonan masyarakat Tugono kepada Tuhan Yang Maha
Esa agar memberikan kesuburan tanaman dan hasil yang melimpah.
2. Tumpeng tunjung, merupakan wujud bakti kepada Bapak Adam dan Ibu
Hawa serta meminta berkah safa‟at, kesehatan untuk masyarakat
Dusun Tugono sejak di dunia sampai di akhirat. Tumpeng rasul dan ayam
ingkung, merupakan wujud bakti kepada Rasulullah SAW, sahabat,
keluarga sampai keturunannya dengan harapan diberi kebahagiaan dan
kemudahan di dunia dan di akhirat oleh Allah SWT.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 87
3. Bonang baning, merupakan wujud bakti kepada yang lahir lebih sehari,
yang pernah tua dan yang pernah muda, yang berada di kiblatnya
masyarakat dusun Tugono serta diharapkan masyarakat dusun Tugono
selalu berfikir positif dan bening seperti air.
4. Jenang abang putih, sebagai wujud penghormatan dan permohonan serta
bakti kepada ibu dan ayah agar mendapatkan keselamatan di dunia dan di
akhirat. Sega golong lima, sebagai wujud bakti kepada cikal bakal yang
ada di dusun Tugono, melindungi pekarangan yang ada di dalam maupun
di luar dusun Tugono, mendoakan leluhur, dan wujud harapanmasyarakat
dusun Tugono agar dikabulkan segala permohonannya kepada Allah SWT.
5. Ambeng kalih, mempunyai makna bahwa masyarakat dusun Tugono
berbakti kepada ahli kubur baik putra maupun putri, jauh maupun dekat,
terawat maupun tidak terawat semuanya didoakan agar diberiampunan
oleh Allah SWT dan mengingatkan manusia bahwa semua yang hidup
pasti akan mati.
6. Sekul sepuh, mempunyai makna bahwa masyarakat dusun Tugono
berbakti kepada kyai Nagapertala dan nyai Nagapertala agar diberikan
keselamatan dan dijauhkan dari ganguan-gangguan. Jajan rakan, sebagai
wujud bakti kepada malaikat Kasim agar memohonkan kepada Allah SWT
sehingga masyarakat dusun Tugono dapat memperoleh rizki dan hasil
panen yang melimpah.
7. Jajan pasar, mempunyai makna meminta berkah kepada Sang Pencipta
agar dijauhkan dari kyai Sambang Jalan dan nyai Sambang Jalan agar
tidak mengganggu masyarakat dusun Tugono serta mengabulkan
permohonan masyarakat dusun Tugono dan memberikan panen yang
melimpah.
E. Simpulan
1. Prosesi pelaksanaan tradisi merti dhusun di dusun Tugono meliputi:
membersihkan dusun dan bersih kubur, ziarah makam, tayub siang,
pengumpulan jolen, dan kirab dilanjutkan tayub hingga pagi hari.
2. Fungsi tradisi tradisi merti dhusun di dusun Tugono.
a. Fungsi Sosial
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 88
Tradisi merti dhusun di dusun Tugono merupakan warisan budaya
nenek moyang yang memuat adat-istiadat dan norma-norma yang masih
dipatuhi dan dipelihara hingga sekarang. Pelaksanaan tradisi merti
dhusun berfungsi untuk mengatur perilaku antar individu dan
masyarakat juga menata manusia dengan alam lingkungan terutama
kepada Allah SWT. Selain itu, merti dhusun juga sebagai ungkapan rasa
syukur kepada Sang Pencipta juga sebagai saraa kerukunan hidup serta
pengungkap rasa kegotong-royongan antar warga.
b. Fungsi Ritual
Fungsi ritual yang ada dalam tradisi merti dhusun adalah masyarakat
dapat mengungkapkan harapan-harapan mereka melalui penyelenggaraan
tradisi ini. Masyarakat akan merasa tentram jika telah melaksanakan
tradisi ini dan masyarakat juga masih percaya dengan melaksanakan
tradisi merti dhusun semua harapan akan terkabul.
c. Fungsi Pelestarian Tradisi
Tradisi merti dhusun di dusun Tugono merupakan budaya lokal yang
harus dijaga dan tetap dilestarikan. Sebagai pelestarian budaya, tradisi
merti dhusun sudah dilaksanakan secara turun-temurun oleh nenek
moyang dan telah menjadi tradisi yang harus dilaksanakan setiap
tahunnya. Masyarakat Dusun Tugono tetap menjalankan tradisi merti
dhusun secara turun-temurun dari nenek moyang dan akan tetap
dilaksanakan sampai kapan pun
d. Fungsi Hiburan
Tradisi merti dhusun di dusun Tugono menjadi hiburan masyarakat
Dusun Tugono maupun yang ada di luar Dusun Tugono, karena dalam
pelaksanaannya terdapat tayub. Pertunjukan tayub selain sebagai
hiburan untuk masyarakat juga sebagai wujud pelestarian budaya Jawa.
e. Fungsi Pendidikan yang meliputi:
1) Pendidikan Ketuhanan
Tradisi merti dhusun di Dusun Tugono dapat melatih dan
mengingatkan masyarakat untuk selalu berdoa dan berserah diri
kepada Allah SWT, bersyukur atas segala nikmat yang Allah SWT
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 89
berikan.
2) Pendidikan Budi Pekerti
Tradisi merti dhusun di Dusun Tugono juga menjadikan
masyarakat memiliki budi pekerti yang baik. Budi pekerti itu
antara lain dengan menghormati leluhur, menghormati orang lain,
dan melatih bertanggung jawab.
f. Fungsi Ekonomi
Tradisi merti dhusun di Dusun Tugono memiliki fungsi ekonomi.
Banyak masyarakat yang berjualan saat acara merti dhusun
memperoleh laba yang banyak, dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat dusun Tugono itu sendiri.
3. Makna Simbolik
a. Tumpeng robyong, sebagai bukti bakti kepada kyai Tarub dan nyai
Tarub serta sebagai permohonan masyarakat Tugono kepada Tuhan
Yang Maha Esa agar memberikan kesuburan tanaman dan hasil yang
melimpah.
b. Tumpeng tunjung, merupakan wujud bakti kepada Bapak Adam dan
Ibu Hawa serta meminta berkah safa‟at, kesehatan untuk
masyarakat Dusun Tugono sejak di dunia sampai di akhirat.
Tumpeng rasul dan ayam ingkung, merupakan wujud bakti kepada
Rasulullah SAW, sahabat, keluarga sampai keturunannya dengan
harapan diberi kebahagiaan dan kemudahan di dunia dan di akhirat
oleh Allah SWT.
c. Bonang baning, merupakan wujud bakti kepada yang lahir lebih
sehari, yang pernah tua dan yang pernah muda, yang berada di
kiblatnya masyarakat dusun Tugono serta diharapkan masyarakat
dusun Tugono selalu berfikir positif dan bening seperti air.
d. Jenang abang putih, sebagai wujud penghormatan dan permohonan
serta bakti kepada ibu dan ayah agar mendapatkan keselamatan di
dunia dan di akhirat. Sega golong lima, sebagai wujud bakti kepada
cikal bakal yang ada di dusun Tugono, melindungi pekarangan yang
ada di dalam maupun di luar dusun Tugono, mendoakan leluhur,
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 90
dan wujud harapanmasyarakat dusun Tugono agar dikabulkan segala
permohonannya kepada Allah SWT.
e. Ambeng kalih, mempunyai makna bahwa masyarakat dusun Tugono
berbakti kepada ahli kubur baik putra maupun putri, jauh maupun
dekat, terawat maupun tidak terawat semuanya didoakan agar
diberiampunan oleh Allah SWT dan mengingatkan manusia bahwa
semua yang hidup pasti akan mati.
f. Sekul sepuh, mempunyai makna bahwa masyarakat dusun Tugono
berbakti kepada kyai Nagapertala dan nyai Nagapertala agar
diberikan keselamatan dan dijauhkan dari ganguan-gangguan. Jajan
rakan, sebagai wujud bakti kepada malaikat Kasim agar
memohonkan kepada Allah SWT sehingga masyarakat dusun
Tugono dapat memperoleh rizki dan hasil panen yang melimpah.
g. Jajan pasar, mempunyai makna meminta berkah kepada Sang
Pencipta agar dijauhkan dari kyai Sambang Jalan dan nyai Sambang
Jalan agar tidak mengganggu masyarakat dusun Tugono serta
mengabulkan permohonan masyarakat dusun Tugono dan
memberikan panen yang melimpah.
DAFTAR PUSTAKA
Cokrowinoto, Sardanto. 1986. Makalah: Manfaat Folklor Bagi Pembangunan
Masyarakat. Disajikan dalam Seminar Kebudayaan Jawa. Javanologi.
Yogyakarta.
Endraswara, Suwardi. 2005. Buku Pinter Budaya Jawa Mutiara Adiluhung Orang
Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Herusatoto, Budiono. 2008. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:
Ombak.
Kutha Ratna, Nyoman. 2010. Metodologi Penitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial
Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maryaeni. 2008. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 91
ANALISIS DEIKSIS DALAM NOVEL
LINTANG PANJER RINA KARYA DANIEL TITO
DAN PEMBELAJARANNYA DI SMA
Diyah Agustiyan
Universitas Muhammadiyah Purworejo
ABSTRAK
DiyahAgustiyan. 2012. “Analisis Deiksisdalam Novel Lintang Panjer Rina
Karya Daniel Tito danPembelajarannya di SMA. Pendidikan Bahasa dan Sastra
Jawa.Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah
Purworejo.
Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendeskripsikan macam-macam
deiksis yang terdapat dalam novel Lintang Panjer Rinakarya Daniel Tito ; (2)
mendeskripsikan pembelajaran sastra khususnya deiksis dalam novel Lintang
Panjer Rina karya Daniel Tito di SMA.
Subjek penelitian ini adalah novel Lintang Panjer Rinakarya Daniel Tito
yang diterbitkan oleh Yayasan Sasmita Budaya Sragen merupakan arsip pada
tahun 2002dengan tebal 115 halaman.Objek penelitian ini adalah analisis deiksis
dan juga pembelajarannya. Fokus penelitian ini adalah macam-macam deiksis
serta pembelajarannya di SMA. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik kepustakaan, oleh karena itu pengumpulan datanya
dilakukan dengan cara observasi. Penelitian ini penulis menggunakan teknik
penyajian data informal. Jadi, penyajian hasil penelitian, penulis menggunakan
kata-kata biasa.
Hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa (1) ada tiga macam deiksis yang
terdapat pada novel Lintang Panjer Rina karya Daniel Tito yaitu deiksis persona
yang dalam penelitian ini berupakata: dheweke, Panambang –e, Bocah-bocah
mau, panambang –mu, panambang –ku, aku, bocah loro, kowe, bocah-bocah
kuwi, wadon tuwa iki, loro-lorone, sampeyan, dhik, mas, bulik , wong loro;
deiksis waktu meliputi: wayah mengkono, mau, mengko, saiki, yah mene,
sesuk, wingi, sore iki, wengi iki, sewelas dina kepungkur, mengko bengi, awan
kuwi, dina iki, emben, wengi kuwi, wektu semana, biyen, sesuk bengi, pirang-
pirang dina iki, telung dina kepungkur, wulan ngarep, wiwit kuwi, lebaran
wingi, telung sasi sadurunge,sore iku, minggu cendhake;deiksis tempatmeliputi:
kono, ing kana, kene, njero gedung, panambang –e, dhaerah kuwi, dhaerah kono,
mrono, kantor, mrene; (2) Pembelajaran novel Lintang Panjer Rina karya Daniel
Tito terdiri dari tiga tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Perencanaan pembelajaran berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang tertuang dalam silabus. Pembelajaran novelLintangPanjerRinakarya
Daniel Tito menggunakan model pembelajaranJigsaw.Metode yang digunakan
yaitu, ceramah, Tanya jawab, diskusi, dan penugasan. Evaluasi berupa soal
uraian.
Kata kunci:analisis, deiksis, novel, dan pembelajaran.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 92
A. Pendahuluan
Di dalam novel seringkali terdapat kata-kata yang butuh penafsiran lebih
untuk dapat memahami siapa tokoh yang sedang dibicarakan, dimana latar
kejadian yang sedang dibahas serta kapan sebenarnya kejadian tersebut
berlangsung. Untuk lebih memahaminya dibutuhkan suatu ilmu yang disebut
deiksis. Deiksis merupakan cabang ilmu pragmatik dimana unsur yang sama
dengan referen yang dapat berubah tergantung dari penuturnya. Deiksisselalu
muncul dalam novel, sehingga penting sekali untuk dikaji dan dipelajari
karena erat kaitannya dengan pembelajaran sastra yang berkaitan dengan
persona, tempat atau latar, dan waktu dalam novel.Novel Lintang Panjer
Rinaadalah salah satu novel karangan Daniel Tito. Daniel Tito adalah seorang
pengarang Jawa yang banyak menghasilkan karya sastra yang dimuat di
media massa. Penulis tertarik untuk menganalisis novel Lintang Panjer Rina
dengan analisis deiksis dengan alasan sebagai berikut: novel Lintang Panjer
Rina dari segi tokoh terdapat banyak tokoh(personal)seperti Harjito,
Winarsih, Joko, dan lain-lain, dari segi waktu, terdapat banyak waktu yang
dimunculkan mulai dari tokoh utama yang bersekolah di SPG hingga lulus
dan merantau dan akhirnya pulang kembali dan berencana akan melanjutkan
sekolahnya. Dari segi tempat juga terdapat banyak gambaran tentang tempat
yang dimunculkan mulai dari kelas, SPG, Ngawi, sampai Sumatra Selatan.
Jadi akan terdapat banyak deiksis dan refensinya. Alasan lain yaitu bahwa
novel Lintang Panjer Rina yang belum pernah dikaji dari segi deiksis. Salah
satu indikator penulis menganalisis novel Lintang Panjer Rina antara lain di
dalam novel tersebut terdapat kalimat,“ Harjito pamit ngarepake wanci
sandyakala. Mesthi wayah mengkono dheweke mulih saka omahe Winarsih”.
(Harjito pamit menjelang petang. Saat seperti itulah dia selalu pamit dari
rumah Winarsih). Dari kalimat di atas terdapat kata wayah mengkono (waktu
seperti itu) dan dheweke (dia), kata tersebut mempunyai acuan yaitu wayah
mengkono mengacu pada sandyakala, karena sudah dijelaskan pada kalimat
sebelumnya yaitu ngarepake wanci sandyakala. Dheweke mengacu pada
Harjito, karena pada kalimat sebelumnya telah dijelaskan bahwa Harjitolah
yang pamit pada petang hari. Selain contoh kalimat tersebut, terdapat juga
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 93
contoh lain yaitu “ Kanggo sateruse Harjito dipindhah menyang Jene wetara
100 km dohe saka Pendopo. Gek mlebu alas, dalane during aspalan. Nanging
kuwi dudu sesawangan kang nggumunake tumrap wong-wong ing dhaerah
kono”. Dari kalimat tersebut terdapat kata dhaerah kono, dari kalimat
tersebut dapat diketahui bahwa dhaerah kono mengacu pada Jene.
B. Dasar Teori
Deiksis berasal dari kata Yunani deiktikos yang berarti hal penunjukkan
secara langsung. Kata ini digunakan untuk menggambarkan fungsi kata ganti
persona, kata ganti demonstrative dan lain-lain yang referensinya berpindah-
pindah (Lubis, 1994: 32).
Kata deiksis dijelaskan sebagai pronomina yang referennya tergantung
dari identitas penutur. Dalam konteks yang lebih luas, apa yang dimaksud
dengan istilah deiksisadalah semantik (di dalam tuturan tertentu) yang berakar
pada identitas penutur(Verhaar, 2010: 397). Purwo (dalam Sumarlan, 2009:
63) mengungkapkan bahwa deiksis adalah unsur yang sama bentuk, tetapi
mengacu pada realitas acuan yang berganti-ganti atau berpindah-pindah.
Deiksis adalah hal atau fungsi menunjuk sesuatu di luar bahasa
(Kridalaksana dalam Mulyana, 2005: 79).
Tidak banyak kajian linguistik klinis yang telah menyelidiki fenomena-
fenomena deiksis. Namun demikian, sebagai isyarat sangat pentingnya
deiksis sebagai konsep pragmatik inilah sehingga tes formal terhadap
fungsional harus memasukkan deiksis sebagai salah satu kategorinya. Dengan
cara demikian, para subjek dinilai berdasarkan atas kemampuannya untuk
memberikan respons yang benar terhadap ujaran-ujaran (Chummings, 2007:
371) Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa deiksis
adalah unsur yang sama dengan referen yang dapat berubah tergantung dari
penuturnya.
Kushartanti (2005: 111-112) mengungkapkan, ada tiga macam deiksis,
yaitu deiksis persona, deiksis waktu, dan deiksis tempat atau ruang.
a. Deiksis persona, dapat dilihat pada bentuk-bentuk pronominal. Bentuk-
bentuk pronominal itu sendiri di bedakan atas pronominal orang
pertama, pronominal orang kedua, dan pronominal orang ketiga.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 94
b. Deiksis waktu, berkaitan dengan waktu relatif penutur atau penulis dan
mitra tutur atau pembaca. Dalam bahasa Indonesia mengungkapkan
waktu dengan sekarang untuk waktu kini, tadi dan dulu untuk waktu
lampau, nanti untuk waktu yang akan dating. Hari ini, kemarin, dan
besok juga merupakan hal yang relatif, dilihat dari kapan suatu ujaran
diucapkan.
c. Deiksis ruang, berkaitan dengan lokasi relatif penutur dan mitra tutur
yang terlibat di dalam interaksi. Di dalam bahasa Indonesia, misalnya,
kita mengenal di sini, di situ, dan di sana. Titik tolak penutur
diungkapkan dengan dengan ini dan itu.
C. Metode Pembelajaran Novel Lintang Panjer Rina Karya Daniel Tito
Pembelajaran sastra mengutamakan apresiasi karya sastra sebagai kegiatan
belajar mengajar. Oleh karena itu, guru harus memilih metode pembelajaran
yang sesuai dengan bahan ajar yang disajikan. Proses belajar mengajar
apresiasi sastra guru menggunakan metode, yaitu diskusi, tanya jawab, dan
pemberian tugas.
1. Metode Tanya Jawab
Metode tanya jawab adalah suatu cara mengelola pembelajaran dengan
menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan peserta didik
memahami materi pelajaran. Metode tanya jawab akan menarik apabila
pertanyaan yang diajukan bervariasi serta disajikan dengan cara yang
menarik.
2. Metode Diskusi
Metode diskusi merupakan metode yang paling baik dalam pengajaran
sastra, karena guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai
alternatif pemecahan masalah.
3. Metode Pemberian Tugas
Metode pemberian tugas adalah cara mengajar atau penyajian materi
melalui penugasan siswa untuk melakukan suatu pekerjaan. Pemberian tugas
dapat secara individu atau kelompok. Pemberian tugas untuk setiap siswa
atau kelompok dapat sama dan dapat pula berbeda.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 95
4. Strategi Pembelajaran Novel Lintang Panjer Rina Karya Daniel Tito
Strategi yang digunakan pada proses belajar mengajar adalah strategi
sastra yang dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap penjelajahan, tahap
intrepretasi, dan tahap rekreasi.
5. Langkah-langkah Pembelajaran Novel Lintang Panjer Rina Karya Daniel
Tito
a) Persiapan
(1) satu minggu sebelum kegiatan belajar mengajar, guru memberi
tugas kepada peserta didik untuk membaca Novel Lintang Panjer
Rina Karya Daniel Tito;
(2) guru mempersiapkan perangkat mengajar yang akan digunakan
untuk mengajar yang berupa power point ditampilkan melalui
LCD.
b) Kegiatan belajar mengajar di kelas
(1) guru membagi kelompok dengan jumlah anggota enam anak;
(2) peserta didik diberi materi tentang macam deiksis. Peserta didik
yang mendapat materi yang sama bergabung membentuk satu
kelompok yaitu tim ahli;
(3) dalam tim ahli, peserta didik mendiskusikan materi macam deiksis
yang mereka dapat;
(4) setelah peserta didik berdiskusi dengan tim ahli, mereka kembali ke
kelompok asal. Dalam kelompok asal pesertadidik saling
menjelaskan tentang macam deiksis yang telah mereka pelajari
kepada teman satu kelompok secara bergantian;
(5) tim ahli kemudian mempresentasikan hasil pembahasan mereka;
(6) guru memberi evaluasi berupa soal esai yang bersifat kelompok.
c) Menutup kegiatan belajar mengajar
Guru dan peserta didik bersama-sama menyimpulkan hasil dari
pembelajaran Novel Lintang Panjer Rina Karya Daniel Tito.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 96
d) Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian yang bertujuan untuk mengukur tingkat
keberhasilan guru dan peserta didik dalam melaksanakan kegiatan
belajar mengajar. Kegiatan tersebut akan diketahui berhasil atau
tidaknya melalui hasil evaluasi yang diperoleh. Penilaian proses belajar
pelajaran bahasa dan sastra Jawa mencakup pengetahuan, keterampilan,
dan sikap berbahasa. Semua ini dapat diketahui melalui kegiatan
pembelajaran, baik lisan maupun tulisan. Alat evaluasi yang paling
tepat adalah menggunakan bentuk tes esai, karena tes esai tepat untuk
menilai proses berpikir yang melibatkan aktivitas kognitif, sehingga
peserta didik tidak sembarangan dalam menjawab setiap pertanyaan.
Peserta didik harus benar-benar memahami materi dan dapat
mengemukakan jawabannya dalam kalimat yang benar.Bentuk tes yang
digunakan oleh penulis adalah tes esai sebab tes esai dapat mengurangi
sikap dan tindakan spekulasi pada peserta didik. Sebab alat tes esai ini
hanya dapat dijawab bila peserta didik benar-benar menguasai pelajaran
dengan baik, jika tidak kemungkinan besar anak didk tidak dapat
menjawab pertanyaan dengan baik dan benar. Terdapat kelemahan dan
keunggulan dari soal esai. Keunggulannya antara lain yang pertama,
dapat mencakup lingkup materi yang banyak dan dapat disortir dengan
mudah, cepat, dan objektif. Keunggulan yang kedua adalah peserta
didik dapat mengukur kemampuannya dalam hal menyajikan jawaban
terurai secara bebas, mengorganisasikan pikirannya, menggemukakan
pendapatnya, dan mengekspresikan gagasan-gagasan dengan
menggunakan kata-kata atau kalimat peserta didik sendiri. Sedangkan
kelemahannya, antara lain cenderung mengukur kemampuan mengingat
saja (simple recall), dan jumlah materi yang dapat ditanyakan terbatas.
Dari segi pembuatan soal tidak semua bahan pelajaran dalam satu
semester dapat tertampung untuk disuguhkan kepada peserta didik pada
waktu ulangan.
Contoh soal esai:
(1) Apakah yang dimaksud dengan deiksis?
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 97
(2) Sebutkan macam deiksis?
(3) Deiksis apa saja yang terdapat dalam novel Lintang
Panjer Rina dan seebutkan beserta contohnya?Skor
penilaian masing-masing soal
Skor untuk soal nomor satu 10
Skor untuk soal nomor dua 10
Skor untuk soal nomor tiga 80
Jumlah keseluruhan skor adalah 100
D. Deiksis dalam novel Lintang Panjer Rina.
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 98
Vol. 01 / No. 01 / November 2012
Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 99
E. Simpulan
1. Macam-macam deiksis yang terdapat dalam novel Lintang Panjer Rina
karya Daniel Tito, yaitu deiksis persona, deiksis waktu, dan deiksis
tempat. Deiksis persona meliputi: dheweke (dirinya, dia),Panambang –e
(imbuhan –nya), Bocah-bocah mau (anak-anak tadi), Panambang –mu
(imbuhan –mu), Panambang –ku (imbuhan –ku), Aku, Bocah loro (kedua
anak), Kowe (kamu), Bocah-bocah kuwi (anak-anak tadi), Wadon tuwa
iki (perempuan tua ini), Loro-lorone (keduanya), Sampeyan (anda),
Wong loro (dua orang). Deiksis waktu meliputi: Wayah mengkono
(waktu seperti itu), Mau (tadi), Mengko (nanti), Saiki (sekarang), Yah
mene (saat ini), Sesuk (besok), Wingi (kemaren), Sore iki (sore ini),
Wengi iki (malam ini), Sewelas dina kepungkur (sebelas hari yang lalu),
Mengko bengi (nanti malam), Awan kuwi (siang itu), Dina iki (hari
ini), Emben (dahulu), Wengi kuwi (malam itu), Wektu semana (waktu
itu), Biyen (dahulu), Sesuk bengi (besok malam), Pirang-pirang dina iki
(beberapa hari ini), Telung dina kepungkur (sebelas hari yang lalu),
Wulan ngarep(bulan depan), Wiwit kuwi (mulai saat itu), Lebaran
wingi (lebaran kemarin), Telung sasi sadurunge (tiga bulan sebelumnya),
Sore iku (sore itu), Minggu cendhake (minggu depannya). Deiksis
tempatmeliputi: Kono (situ), Ing kana (di sana), Kene (sini), Njero
gedung (dalam gedung), Panambang –e (imbuhan –nya), Dhaerah
kuwi (daerah itu), Dhaerah kono (daerah sana), Mrono (ke situ), Mrene
(ke sini).
2. Pembelajaran novel Lintang Panjer Rina karya Daniel Tito terdiri dari
tiga tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Perencanaan
pembelajaran berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang tertuang dalam silabus. Pelaksanaan pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran Jigsaw. Metode yang digunakan
yaitu, ceramah, Tanya jawab, diskusi, dan penugasan. Evaluasi berupa
soal uraian.