UPAYA PENERAPAN KONSISTENSI DALAM MENDIDIK ANAK USIA 4-6 TAHUN
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
6 -
download
0
Transcript of UPAYA PENERAPAN KONSISTENSI DALAM MENDIDIK ANAK USIA 4-6 TAHUN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karakter adalah perwujudan dari membangun karakter bangsa.
Karakter sendiri dari segi pandangan islam didasarkan atas
tiga hal yakni; ihsan, iman dan islam. Tidak ada pemisahan
dalam kegiatan antara amal, ilmu dan kehidupan melainkan
semuanya mesti terjadi dan dilalui oleh manusia secara
terintegrasi. Ketika kita pisahkan spiritual dengan kehidupan
duniawi, maka karakter kita akan menyebabkan beribadah hanya
pada waktu-waktunya.
Karakter dimaknai sebagai sebuah dimensi yang positif dan
konstruktif. Jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1989), karakter bersifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti
yang membedakan seseorang dengan orang lain. Sehingga dapat
dikemukakan bahwa karakter anak yang diharapkan adalah
kualitas mental atau kekuatan moral, akhlak atau budi pekerti
yang merupakan kepbribadian khusus yang harus melekat kepada
anak-anak bangsa ini.
Dari hari pertama anak dilahirkan, dia mulai belajar tentang
dunia sekitarnya. Anak tersebut mulai belajar apa yang bisa ia
percayai dan apa yang tidak. Seiring petumbuhan, otaknya terus
memproses ulang pesan-pesan yang dia terima. Agar pesan-pesan
itu bisa diterima akalnya, harus ada konsistensi dalam pesan-
pesan itu.
1
Dalam mendidik anak khusunya usia 4 – 6 tahun yang dalam
masa peralihan menuju pendidikan sekolah dasar diperlukan
adanya suatu konsistensi baik dari pendidik maupun orang tua.
Jika konsistensi ini tidak diterapkan, maka informasi-
informasi baik berupa aturan, ketrampilan hidup dan lai
sebagainya tidak akan berjalan maksimal, bahkan dapat berbalik
arah ke pendidik atau orang tua jika salah dalam pengenalan
konsep. Upaya penerapan konsistensi dalam mendidik anak usia 4
– 6 tahun akan dibahas secara rinci dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan mendidik ?
2. Apa tujuan mendidik ?
3. Bagaimana karateristik aspek moral, social emosional dan
bahasa anak usia 4-6 tahun ?
4. Apa yang dimaksud dengan konsistensi ?
5. Bagaimana hubungan antara konsistensi dan mendidik ?
6. Bagaimana upaya penerapan konsistensi dalam mendidik anak
usia 4 – 6 taun ?
7. apa manfaat adanya konsistensi dalam mendidik anak usia 4
– 6 tahun ?
2
1.3 Metode Pemecahan Masalah
Metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif.
1.4 Tujuan Makalah
- Memberikan informasi kepada tenaga pendidik mengenai
penerapan konsistensi dalam mendidik anak usia dini usia 4 –
6 tahun.
- Memberikan informasi mengenai dampak yang akan terjadi atas
didikan yang tidak terlaksana dengan konsisten.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Mendidik, Peserta Didik dan Pendidikan
Jauh sejak pendiri Republik ini memancangkar sendi-sendi
normative kehidupan bangsa, mereka mencanangkan bahwa satu
cita-cita kemerdekaan adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini secara
eksplisit diemukakan dalam Pembukaan UUD 1945 yang diperjelas
dalam Pasal 31 : “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan
pengajaran”. Pertanyaan yang muncul adalah, kehidupan bangsa
yang cerdas itu yang bagaimana ? secara harfiah, cerdas
berarti pandai, berpikiran tajam dan berwawasan luas. Jadi
konotasinya lebih pada aspek kognitif-intelektual. Tetapi kita
percaya, bukan itu saja yang dimaksud oleh the founding fathers
negeri ini. “cerdas” hanyalah satu istilah yang mewakili
berbagai pengertian yang amat luas, meliputi aspek-aspek
kognitif, afektif dan keterampilan sekaligus.
Bahwa dalam rumusan Pembukaan UUD 1945 itu tidak
dikemukakan, misalnya “manusia yang berakhlak”. Dalam UU No 20
tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, ditegaskan
bahwa kecerdasan meruapakan salah satu dari difat manusia
Indonesia yang berkualitas. Usaha untuk menciptakan manusia
macam itu dipercayakan kepada pendidikan.
UNESCO menyebutkan bahwa: “education is now engaged is
preparinment for a life Society which does not yet exist” atau
4
bahwa pendidikan itu sekarang adalah untuk mempersiapkan
manusia bagi suatu tipe masyarakat yang masih belum ada.
Konsep system pendidikan mungkin saja berubah sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan pengalihan nilai-nilai kebudayaan
(transfer of culture value). Konsep pendidikan saat ini tidak
dapat dilepaskan dari pendidikan yang harus sesuai dengan
tuntutan kebutuhan pendidikan masa lalu,sekarang,dan masa yang
akan datang.
2.2 Tujuan mendidik dan pendidikan
Pendidikan karakter didasarkan pada enam nilai-nilai etis.
Beberapa hal di bawah ini yang dapat kita jelaskan untuk membantu
peserta didik memahami Enam Pilar Pendidikan Berkarakter, yaitu
sebagai berikut :
1. Trustworthiness (Kepercayaan)
Jujur, jangan menipu, menjiplak atau mencuri, jadilah handal
– melakukan apa yang anda katakan anda akan melakukannya,
minta keberanian untuk melakukan hal yang benar, bangun
reputasi yang baik, patuh – berdiri dengan keluarga, teman
dan negara.
2. Recpect (Respek)
Bersikap toleran terhadap perbedaan, gunakan sopan santun,
bukan bahasa yang buruk, pertimbangkan perasaan orang lain,
5
jangan mengancam, memukul atau menyakiti orang lain,
damailah dengan kemarahan, hinaan dan perselisihan.
3. Responsibility (Tanggung jawab)
Selalu lakukan yang terbaik, gunakan kontrol diri, disiplin,
berpikirlah sebelum bertindak – mempertimbangkan
konsekuensi, bertanggung jawab atas pilihan anda.
4. Fairness (Keadilan)
Bermain sesuai aturan, ambil seperlunya dan berbagi,
berpikiran terbuka; mendengarkan orang lain, jangan
mengambil keuntungan dari orang lain, jangan menyalahkan
orang lain sembarangan.
5. Caring (Peduli)
Bersikaplah penuh kasih sayang dan menunjukkan anda peduli,
ungkapkan rasa syukur, maafkan orang lain, membantu orang
yang membutuhkan.
6. Citizenship (Kewarganegaraan)
Menjadikan sekolah dan masyarakat menjadi lebih baik,
bekerja sama, melibatkan diri dalam urusan masyarakat,
menjadi tetangga yang baik, mentaati hukum dan aturan,
menghormati otoritas, melindungi lingkungan hidup.
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa
yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran,
bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis,
berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai
oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan
Pancasila.
6
Pendidikan karakter berfungsi untuk:
1. Mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran
baik, dan berperilaku baik
2. Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur
3. Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam
pergaulan dunia.
Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang
mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil,
masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.
2.3 Pencapaian perkembangan anak usia 4 – 6 tahun
Setelah anak memasuki usia prasekolah dan taman kanak-kanak,
meeka mulai menjelajahi dunia melalui pengalaman tidak
langsung, seperti cerita, gambar dan televise. Pada tahap ini
kegiatan bermain membantu anak untuk mengembnagkan pengetahuan
mereka dan pemahaman tentang dunia. Namun, dewasa ini jalur
pembelajaran normal adakalanya diselewengkan pula oleh orang
tua, seperti keinginan orang tua yang menggebu untuk melihat
anaknya sukses. Hal ini sejalan dengan umur yang “golden age”
diaman lebih cepat dalam mempelajari apapun yang dilihat dan
didengar oleh anak. Tindakan orang tua yang overstimulasi, tanpa
disadari membebabani secara berlebihan dan merampoknya dari
masa kecil normal yang bahagia.
7
Berasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 58 Tahun 2009 Tentang Sistem Pendidikan Anak
Usia Dini Tahun 2009, Tingkat Pencapaian Perkembangan kelompok
usia 4-6 tahun adalah sebagai berikut :
Lingkup
perkembangan
Tingkat Pencapaian PerkembanganUsia 4 - <5 tahun Usia 5 - <6 tahun
I. Nilai agama
dan moral
1. Mengenal Tuhan
melalui agama
yang
dianutnya.
2. Meniru gerakan
ibadah.
3. Mengucapkan
doa
sebelum/sesuda
h melakukan
sesuatu.
4. Mengenal
perilaku baik
dan buruk.
5. Membiasakan
diri
berprilaku
baik.
6. Mengucapkan
salam dan
1. Mengenal agama
yang dianut.
2. Membiasakan
diri beribadah.
3. Memahami
perilaku
manusia (jujur,
penolong,
sopan, hormat,
dsb)
4. Membedakan
perilaku baik
dan buruk.
5. Mengenal ritual
dan hari besar
islam.
6. Menghormati
agama orang
lain.
8
membalas
salam.II. Kognitif 1. Mengenal benda
berdasarkan
fungsi.
2. Menggunakan
benda sebagai
permainan
simbolik.
3. Mengenal
gejala sebab
dan akibat
yang terkait
dengan
dirinya.
4. Mengenal
konsep
sederhana dari
kehidupan
sehari-hari.
5. Mengkreasikan
sesuatu dengan
idenya
sendiri.
1. Mengklasifikasi
kan benda
berdasarkan
fungsi.
2. Menunjukkan
aktifitas yang
bersifat
eksploratif dan
menyelidik.
3. Menyusun
perencanaan
kegiatan yang
akan dilakukan.
4. Mengenal sebab
akibat tentang
lingkungannya.
5. Menunjukkan
inisiatif dalam
memilih tema
permainan.
6. Memecahkan
masalah.III. Bahasa 1. Menyimak
perkataan
1. Mengerti
beberapa
9
orang lain.
2. Mengerti dua
perintah yang
diberikan
bersamaan.
3. Memahami
cerita yang
dibacakan.
4. Mengenal
perbendaharaan
kata mengenai
kata sifat.
5. Mengungkapkan
perasaan
dengan kata
sifat baik.
6. Menyebutkan
kata-kata yang
dikenal.
7. Mengutarakan
pendapat
kepada orang
lain.
8. Menyatakan
alsan terhadap
sesuatu yang
perintah secara
bersamaan.
2. Mengulang
kalimat yang
lebih kompleks.
3. Mamahami aturan
dalam suatu
permainan.
4. Menjawab
pertanyaan
lebih kompeks.
5. Berkomunikasi
secara lisan,
memiliki
perbendaharaan
kata serta
mengenal simbl-
simbol untuk
persiapan
calistung.
6. Memiliki banyak
kata-kata untuk
mengekpresikan
ide kepada
orang lain.
7.
10
diinginkan
atau ketidak
setujuan.IV. Sosial
emosional
1. Menunjukkan
sikap mandiri
dalam meilih
kegiatan.
2. Mau berbagi,
menolong dan
membantu
teman.
3. Menunjukkan
antusiasme
dalam
melakukan
permainan
kompetitif
secara
positif.
4. Mengendalikan
perasaan.
5. Menaati aturan
yang berlaku.
6. Menunjukkan
rasa percaya
diri.
1. Bersikap
kooperatif
dengan teman.
2. Menunjukkan
sikap toleran.
3. Mengekspresikan
emosi yang
sesuai dengan
kondisi yang
ada.
4. Mengenal tata
krama dan sopan
santun sesuai
dengan nilai
sosial budaya
setempat.
5. Memahami
peraturan dan
disiplin.
6. Menunjukkan
rasa empati.
7. Memiliki sikap
gigih.
11
7. Menjaga diri
sendiri dan
lingkungannya.
8. Menghargai
orang lain.
8. Bangga terhadap
hasil karya
sendiri.
9. Menghargai
kunggulan orang
lain.
2.4 Pengertian Konsistensi
Konsistensi, merupakan konsep dasar komunikasi yang baik.
Hal ini membuat anak merasa aman dan memberikan anak batasan-
batasan yang jelas.
Mengajarkan konsistensi penting agar anak dapat memegang
prinsip dan nilai-nilai positif kelak. Nah, dalam mengajarkan
konsistensi peran lingkungan cukup besar dalam mengajarkan
konsistensi anak. Jika sedari dini anak sudah terbiasa melihat
perilaku yang tidak konsisten, anak pun akan belajar dengan
caranya sendiri untuk bersikap tidak konsisten.
Seperti contoh, orangtua tengah membangun tatanan kepribadian
anaknya, namun karena ada ketidaksepakatan dalam menyikapi
perilaku anak, rusaklah tatanan kepribadian yang tengah
dibangun tersebut. Padahal membangun kepribadian anak sejak
dini merupakan investasi di usia besarnya nanti. Bila orangtua
salah meletakkan dasar nilainya, maka proses pikir anak pun
menjadi salah. Padahal proses pikir tadi mendasari
perilakunya.
12
Seperti contoh di atas, ketika anak memperoleh apa yang
diinginkannya dari nenek/pengasuhnya dengan caranya merengek-
rengek, disini anak belajar dari mengamati lingkungannya,
kepada siapa dia bisa memanfaatkan situasi yang ada. Suatu
kali perilaku anak untuk bisa minum air dingin ini akan
berulang. Anak akan memanfaatkan atau memanipulasi situasi
maupun orang-orang dewasa yang bisa dimanipulasinya. Selain
itu, anak juga akan dengan mudahnya dalam melanggar suatu
aturan yang ada.
Dampak dari ketidakkonsistenan yang diamati anak ini tak
hanya berpengaruh pada satu aspek kehidupannya saja, tetapi
banyak implikasinya dalam dimensi lainnya. Contoh: orangtua
ingin menanamkan disiplin waktu belajar sejak usia prasekolah.
Meski belajar di usia ini belum dalam arti sesungguhnya,
melainkan melakukan kegiatan bermain dengan media edukatif
yang terarah. Seperti belajar menempel, menggambar, main
pasel, dan sebagainya. Kemudian orangtua menentukan waktunya
sekitar 15 menit di sore hari sekitar pukul 16.00-17.00,
misalnya. Aturan ini harus dilakukan secara konsisten. Kalau
kemudian anak melakukan negosiasi tak mau melakukan aktivitas
di jam tersebut karena ingin main atau malas dan sebagainya.
Kemudian orangtua membolehkannya maka ini pun menjadi tidak
konsisten.
Akibatnya, tak hanya pada masalah pembentukan disiplin anak
saja namun implikasinya pada hal lain seperti anak tidak
terbangun mental tafness/ ketangguhannya ketika menghadapi
13
suatu kesulitan, daya juangnya rendah, tidak sabaran, tidak
mau usaha, dan lain-lain. Hal-hal negatif ini akan terbangun
dalam pribadinya yang tentu akan berdampak pula dalam
kehidupan di usia selanjutnya.
2.5 Hubungan antara konsistensi dan mendidik
Ketika pendidik konsisten sejak awal, anak-anak belajar
tentang apa yang diharapkan dari pendidik mereka. Ini membantu
proses keterikatan antara pendidik dan anak. Konsistensi
memberi anak rasa aman. Mereka tahu, jika mereka menangis,
pendidik yang menyayanginya akan datang sebotol susu atau siap
mengganti popoknya. Anak dengan pendidik yang konsisten tidak
sering merasakan kecemasan. Mereka belajar bahwa mereka bisa
mengandalkan pendidik dan percaya bahwa kebutuhan mereka akan
dipenuhi.
Menjaga keteraturan rutinitas dengan seorang anak juga
merupakan bagian penting dari konsistensi. Keributan dan
perdebatan berkurang jika anak tahu apa yang diharapkan dari
mereka sejak bangun tidur, sepulang sekolah atau menjelang
tidur malam. Konsisten membantu anak merasa bertanggung jawab
karena mereka tahu apa yang diharapkan dari mereka.
Berkurang pula keinginan anak-anak untuk menguji batasan
yang sudah ditentukan dengan tegas ketika mereka tahu ada
konsekuensi untuk perilaku membantah. Mereka belajar bahwa
“tidak” berarti “tidak”. Konsistensi pun mengajarkan hubungan
14
sebab-akibat kepada anak. Dengan konsistensi, mereka
mengembangkan kemampuan keputusan dengan lebih bijak.
Sebaliknya, ketidakkonsistenan menimbulkan sejumlah masalah
akibat pesan-pesan yang disampaikan. Pendidik A atau pendidik
B pastilah telah membuat suatu aturan, tapi setelah gagal
menegakkannya, mereka hanya membiarkan anak-anak berbuat
sesuka mereka tanpa konsekuensi.
Pendidik A atau pendidik B berkata “tidak” terhadap
permintaan anak, tapi kemudian mengalah dan mengatakan “ya”
ketika anak bersikeras dan merengek. Mungkin juga masih adak
ketidak sepakatan antara ayah dan ibu atau setiap pendidik
mengenai aturan tersebut. ayah berkata “ya”, sementara ibu
tegas mengatakan “tidak” untuk permintaan yang sama dengan
anak-anak. Bahkan mungkin mereka pernah mengancam anak-anak,
tapi tidak benar-benar berniat melaksanakan ancaman tersebut.
Sangat sulit memang bagi pendidik untuk mempertahankan
konsistensi yang dibutuhkan anak dalam dunia yang sibuk, penuh
dengan stimulasi berlebihan. Setiap pendidik pastilah tidak
ingin menjadi pendidik yang “jahat”, juga tidak ingin merasa
sudah bersikap terlalu keras atau lembek. Itulah sebabnya
peneapan konsistensi dalam mendidik anak sangat penting.
2.6 Penerapan konsistensi dalam mendidik anak usia 4 -6 tahun
2.6.1 Konsistensi Antara Pendidik
Pendidik menjadi figure yang dilihat oleh peserta didik
selain orang tua. Maka sangat diperlukan suatu kesatuan antara
15
pendidik ketika berada di depan anak-anak. Pendidik perlu adanya
saling komunikasi tentang aturan dan konsekuensinya bagi anak-
anak Anak-anak selalu melihat celah dalam pertahanan pendidik.
Pendidik A tau pendidik B kah yang lebih mudah dibujuk ? anak-
anak belajar bagaimana memanfaatkan salah satu pendidik untuk
mendobrak pertahanan yang lainnya. Karena itu, pastika pendidik
saling sepakat dan sejalan dalam aturan, permintaan dan disiplin
sebelum menyampaikan keputusan kepada anak-anak.
2.6.2 Konsistensi Dalam Aturan
Aturan adalah bagian penting dalam kehidupan sehari-hari.
Aturan memudahkan kita bergaul dengan orang lain. Jika anak-anak
tidak belajar bagaimana berprilaku baik, mereka akan sulit
berinteraksi dengan orang dewasa dan anak-anak lain. Mereka akan
menemui kesulitan dalam belajar disekolah, tidak bisa membawa
diri dan menjadi tidak bahagia dan frustasi. Pemahaman anak
terhadap aturan serta mengawasi pelaksanaannya dengan konsisten
menjadi kunci keberhasilan dalam menegakkan aturan.
Berikut empat prinsip penegakan aturan pada anak (Baihaqi,
2013:135) :
1. Anak-anak bukan orang dewasa versi kecil
Meskipun orang tua menginginkan anak-anak mereka tahu bahwa
mereka didengar, hindari kekeliruan umum pendidik dalam
membuat aturan dirumah, yaitu anak diberi suara setara
dengan pendidik dalam membuat aturan. Ini bukanlah suatu
demokrasi, melainkan hubungan pendidik dan anak. Aturan
16
adalah keputusan pendidik. Anak-anak dilibatkan dalam
pembicaraan tentang alasan-alasan yang mendasari keputusan
pendidik agar mereka mengerti.
2. Jelaskan aturan agar mudak dipahami oleh anak
Jelaskan aturan dengan bahasa yang mudah dipahami anak.
Untuk anak usia 5-6 tahun arahkan anak untuk mengulang apa
yang telah dijelaskan, tentunya dengan bahasa nya sendiri
(anak usia 5-6 belum memahami makna aturan dan batasan).
Jika mereka tidak bisa mengulangi kata-kata anda, bisa saja
pesan yang disampaikan terlalu rumit dan panjang.
Anak lebih dapat memahami aturan jika dijelaskan
pentingnya aturan tersebut dan mengapa harus dipatuhi.
Simaklah percakapan berikut :
Dari percakapan diatas, jelas terlihat perbedaan antara
pendidik biasa dan pendidik inspiratif. Pada saat penjelasan
aturan gunakanlah kata yang konkrit (tidak abstrak), seperti kata
“sore” yang masih terlalu abstrak untuk anak usia 5-6 tahun, maka
harus diperjelas dengan mengatakan pukul berapa seperti “pada
pukul 4 sore”, sehingga pada akhirnya anak akan mengerti benar
mengapa dan kapan ia harus melakukan sesuatu. Dengan begitu,
pendidik tidak harus melakukan berulang-ulang.
17
Pendidik biasa : “Pokoknya ikuti saja” atau “Ayah bilangbegitu, turuti saja”
Pendidik inspiratif : “Bukankah mainanmu yang kecil-kecilsering tersapu Bibi ? Nah, agar tidak hilang lagi, sebelumBibi menyapu kamu sudah harus memasukkan mainan mu pukul 4
Percakapan 1
3. Jelaskan konsekuensinya
Pemberian konsekuensi merupakan hal penting dalam penerapan
aturan. Konsekuensi dalam penerapan aturan diarahkan kepada
hal-hal yang positif yakni konsekuensi yang tidak terlalu
berat sehingga pendidik tidak tega namun juga tidak terlalu
ringan sehingga anak meremehkannya, pada intinya konsekuensi
tersebut mengandung unsur kegiatan yang “tidak disukai oleh anak”.
Sehingga anak paham akan pentingya suatu aturan.
Pendidik memberikan pilihan yaitu : membereskan mainan atau
menghadapi konsekuensinya.
4. Laksanakan dengan konsisten
Terkadang anak akan menguji pendidik dalam penerapan aturan.
Pada waktu yang ditentukan, anak tersebut tidak mau
membereskan mainannya. Meskipun pendidik telah mengingatkan
akan pilihannya, namun anak tersebut tetap menolahknya. Maka
seperti yang telah dijanjikan dan disepakati, pendidik tetap
harus menyimpan mainannya lalu membawa pergi. Anak mungkin
akan memprotes, merebut, menangis, mengiba, membujuk,
berjanji untuk membereskannya dilain waktu agar mendapatkan
18
Pendidik inspiratif : “Kalau kamu tidak memasukkan mainanmuke kotak pada waktunya. Bunda yang akan memasukinya. Tapi,mainan itu akan Bunda simpan selama dua hari.”
Percakapan 2
Percakapan 3
Pendidik inspiratif : “Mainanmu akan Bunda simpan karenatadi Bunda yang membereskannya. Kamu boleh main lagi setelah
kembali mainannya saat itu juga. Tapi sebagai pendidik yang
bijak, haruslah bersikap konsisten.
Jika saat itu pendidik tergoda oleh janji anak dan
mengembalikan mainannya, maka secara tidak langsung pendidik
telah mengajari anak untuk ingkar janji. Karena itu,
tentukan sebuah konsistensi dengan penuh pertimbangan. Tidak
terlalu berat atau tidak mungkin melakukannya (misalnya :
membuang mainan ke tempat sampah). Tapi jangan terlalu
ringan sehingga anak-anak meremehkannya (misalnya :
menyimpan mainan hanya selama 1-2 jam).
Inilah konsep yang diajarkan kepada anak-anak dai sejak usia
dini “ aturan bukanlah aturan, kecuali mampu ditegakkan
dengan konsisten.” Anak akan belajar dengan cepat dan
terampil bagaimana menguji pendidik dan menentukan aturan
mana yang harus mereka tanggapi secara serius.
2.6.3 Konsistensi Dalam Rutinitas
Di kalangan orang dewasa, ada anggapan bahwa rutinitas
selalu membosankan dan kita perlu sekali-kali keluar dari
rutinitas. Tapi ini tidak berlaku untuk anak-anak. Rutinitas yang
dimaksud orang dewasa mengalami penyempitan makna, yaitu hanya
19
berkaitan dengan pekerjaan di kantor yang mungkin monoton.
Rutinitas bagi anak-anak berarti keteraturan hidup dan kemudahan
bagi mereka memaknai hidup.
Banyak kegiatan keluarga membutuhkan rutinitas, seperti
waktu tidur, pelaksaaan tugas dirumah, waktu makan, mandi dan
bersiap ke sekolah. Anak-anak menyukai rutinitas (peristiwa yang
dapat diprediksikan). Sebagai contoh, waktu tidur seorang anak
akan mencakup menggosok gigi, buang air besar atau kecil, memakai
baju tidur, dibacakan buku dan berdoa. Waktu tidur harus pada
waktu yang sama setiap malam. Jika rutinitas ini konsisten, anak-
anak akan mematuhinya dengan lebih mudah.
Bagaimanapun, rutinitas harus ditegakkan sama dengan cara
penegakan terhadap suatu aturan. Jelaskan mengapa rutinitas
diberlakukan dan mengapa anak-anak harus mengikutinya dengan
patuh. Lalu, jelaskan konsekuensinya jika rutinitas dilanggar.
Setelah itu laksanakan dengan konsisten.
20
Minggu Seni
n
Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu
07.30-
08.0008.00-
08.3008.30-
09.0009.00-
09.3009.30-
10.0010.00-
10.3010.30-
11.0011.00-
11.3011.30-
12.0012.00-
12.3012.30-
13.0013.00-
13.30
21
13.30-
14.0014.30-
15.0015.30-
16.0016.30-
17.0017.30-
18.0018.30-
19.0019.30-
20.00CONTOH JADWAL HARIAN ANAK
\
22
2.6.4 Konsisten Antara Kata Dan Perbuatan Pendidik
Aturan pada umunya dibuat pendidik bagi anak-anaknya dengan
asumsi bahwa ana-anak memang perlu “diatur”. Karena tanpa aturan,
anak-anak akan keliru dalam berprilaku. Asumsi berikutnya adalah
pendidik sudah dewasa, tidak mungkin berprilaku buruk, jadi tidak
terikat dengan aturan seperti anak-anak. .
Sebagai contoh, pendidik mungkin sudah konsisten mengawasi
pelaksanaan aturan “kapan boleh menonton televisi” bagi anak-
anak. Anak-anak patuh hanya menonton acara pilihan selama
setengah jam. Sesudah acaranya berakhir, anak tersebut akan
segera mematikan televisi. Namun, kemudian Ayah atau Bunda
mengambil alih remote televisi dan menonton tanpa batas. Mungkin
mereka perlu menyaksikan berita penting, ataupun sedang dalam
keadaan suntuk dan membutuhkan hiburan, atau mungkin mereka yakin
bahwa bahaya televisi hanya mempengaruhi anak, bukan pendidik.
Apapun alasannya, jika ini dilakukan, pendidik telah mematahkan
konsistensinya sendiri. Menunjukkan kepada anak-anak bahwa atuan
hanya bagi mereka yang lebih kecil, lebih lemah dan tidak
berkuasa.
Anak-anak akan lebih mudah memahami pentingnya aturan dibuat
dan dipatuhi, jika pendidiknya pun berada di dalam batasan yang
dibutanya sendiri. Inilah konsistensi antara kata dan perbuatan
pendidik.
2.6.7 Konsistensi Dalam Larangan
23
Selain aturan yang sudah dikomunikasikan terlebih dahulu,
pendidik juga menggunakan larangan yang dikeluarkan mendadak
untuk mengendalikan perilaku anak-anak atau untuk menanggapi
permintaan mereka. Sebagai pendidik, kita sudah berusaha untuk
selalu proaktif, mengantisipasi berbagai situasi. Tetapi,
adakalanya situasi yang muncul benar-benar baru dan diluar
dugaan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pendidik harus
bersikap bijaksana dan tetap konsisten. Jika memang siatuasi yang
tiba-tiba muncul tidak membahayakan bagi anak, tidak ada salahnya
jika kita memberikan izin. Konsistenlah dengan larangan, dan
pertimbangkan dengan bijak sebelum kita sebagai pendidik
menjatuhkan larangan.
2.6.8 Tetapkan Batasan Yang Tetap
Sangatlah penting bagi anak-anak untuk mengetahui bahwa
peraturan-peraturan tidak akan pernah dirubah dan akan selalu
ditegakkan. Kelabilan emosional pada anak usia 4-6 tahun membuat
mereka semakin sering berupaya mndorong batasan-batasan ini.
Tetapi tetap, batasan ini tidak boleh dirubah.
Semakin baik upaya pendidik mempertahankan batasan-batasan
tersebut, akan semakin mudah mengatur anak-anak. Setelah mereka
yakin bahwa kita sebagai pendidik tidak akan pernah menyerah,
maka dengan sendrinya mereka akan mematuhi dan memahami batasan-
24
batasan tersebut. Anak-anak juga tidak ingin melakukan hal yang
sia-sia, dengan begitu bukan saja merka yang merasa lebih bahagia
dan percaya diri, mereka juga akan belajar menerima jawaban
“tidak”.
Itu artinya, tidak ada lagi permintaan untuk mengulur-ngulur
waktu tidur. Tidak ada lagi rengekan untuk membeli ini dan itu
pada saat berbelanja, tidak ada lagi rengekan setelah Anda
mengatakan “tidak”.
25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berusaha untuk selalu bersikap konsisten mengajarkan
anak untuk mempercayai apa yang pendidik utarakan. Dengan
perencanaan yang baik, akan membantu kita sebagai pendidik
untuk bisa selalu konsisten. Setelah pendidik mengetahui hal
yang tepat bagi anak, maka gunakanlah strategi tersebut
secara teratur, jika konsekuensi yang diberikan sesekali
berubah, tidak akan berpengaruh buruk, tapi jika kita
sebagai pendidik sering mengubah-ngubah konsekuensi
tersebut, maka anak akan berada pada jalur kebimbangan.
Mendidik adalah sutau upaya untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa yang secara langsung tersirat pada
pembukaan UUD 1945 dan diperjelas kembali oleh UU Sistem
Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003. Untuk mewujudkan hal
ini diperlukan suatu usaha yang jelas dengan komitmen serta
konsisten. Usia 4-6 tahun merupakan masa kritis yang jika
orang tua atau pendidik tidak melaksanakan tanggung jawabnya
secara tidak maksimal, maka anak akan memperoleh konsep yang
salah (bermakna negative), begitu pula sebaliknya jika
pendidik mampu bertanggung jawab atas didikannya yang baik
sesuai dengan perkembangan anak, maka anak tersebut akan
tumbuh dan berkembang menjadi sumber daya manusia yang
berkualitas serta komperhensif.
26
3.2 Saran
Harapan penulis, dengan adanya makalah ini setiap
pendidik baik guru maupun orang tua dapat mendidik anak secara
konsisten, baik dari perkataan maupun perbuatan. Harapan
penulis, dengan adanya makalah ini mahasiswa, instansi, LSM
maupun organisasi masyarakat lainnya dapat bekerja sama dalam
mensosialisasikan perlunya suatu uapay dalam penerapan
konsistensi dalam mendidik anak, khususnya usia 4-6 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Baihaqi Ihsan (2013), “Yuk, Jadi Orang Tua Shalih”. Jakarta : PT
Mizan Pustaka.
Elfiendri (2012). “Pendidikan Karalter”. Jakarta : Baduose Media
Jakarta
Pendidikan Karakter (2012). Retrieved from
http://pndkarakter.wordpress.com/category/tujuan-dan-fungsi-
pendidikan-karakter/ (Access on 22 November 2014).
Retrieved from
http://www.tabloid-nakita.com/read/2090/ingin-disiplin-ajarkan-
konsistensi-pada-anak (Acces on November 2014)
27