UPAYA PENERAPAN KONSISTENSI DALAM MENDIDIK ANAK USIA 4-6 TAHUN

28
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakter adalah perwujudan dari membangun karakter bangsa. Karakter sendiri dari segi pandangan islam didasarkan atas tiga hal yakni; ihsan, iman dan islam. Tidak ada pemisahan dalam kegiatan antara amal, ilmu dan kehidupan melainkan semuanya mesti terjadi dan dilalui oleh manusia secara terintegrasi. Ketika kita pisahkan spiritual dengan kehidupan duniawi, maka karakter kita akan menyebabkan beribadah hanya pada waktu-waktunya. Karakter dimaknai sebagai sebuah dimensi yang positif dan konstruktif. Jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), karakter bersifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. Sehingga dapat dikemukakan bahwa karakter anak yang diharapkan adalah kualitas mental atau kekuatan moral, akhlak atau budi pekerti yang merupakan kepbribadian khusus yang harus melekat kepada anak-anak bangsa ini. Dari hari pertama anak dilahirkan, dia mulai belajar tentang dunia sekitarnya. Anak tersebut mulai belajar apa yang bisa ia percayai dan apa yang tidak. Seiring petumbuhan, otaknya terus memproses ulang pesan-pesan yang dia terima. Agar pesan-pesan itu bisa diterima akalnya, harus ada konsistensi dalam pesan- pesan itu. 1

Transcript of UPAYA PENERAPAN KONSISTENSI DALAM MENDIDIK ANAK USIA 4-6 TAHUN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karakter adalah perwujudan dari membangun karakter bangsa.

Karakter sendiri dari segi pandangan islam didasarkan atas

tiga hal yakni; ihsan, iman dan islam. Tidak ada pemisahan

dalam kegiatan antara amal, ilmu dan kehidupan melainkan

semuanya mesti terjadi dan dilalui oleh manusia secara

terintegrasi. Ketika kita pisahkan spiritual dengan kehidupan

duniawi, maka karakter kita akan menyebabkan beribadah hanya

pada waktu-waktunya.

Karakter dimaknai sebagai sebuah dimensi yang positif dan

konstruktif. Jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia

(1989), karakter bersifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti

yang membedakan seseorang dengan orang lain. Sehingga dapat

dikemukakan bahwa karakter anak yang diharapkan adalah

kualitas mental atau kekuatan moral, akhlak atau budi pekerti

yang merupakan kepbribadian khusus yang harus melekat kepada

anak-anak bangsa ini.

Dari hari pertama anak dilahirkan, dia mulai belajar tentang

dunia sekitarnya. Anak tersebut mulai belajar apa yang bisa ia

percayai dan apa yang tidak. Seiring petumbuhan, otaknya terus

memproses ulang pesan-pesan yang dia terima. Agar pesan-pesan

itu bisa diterima akalnya, harus ada konsistensi dalam pesan-

pesan itu.

1

Dalam mendidik anak khusunya usia 4 – 6 tahun yang dalam

masa peralihan menuju pendidikan sekolah dasar diperlukan

adanya suatu konsistensi baik dari pendidik maupun orang tua.

Jika konsistensi ini tidak diterapkan, maka informasi-

informasi baik berupa aturan, ketrampilan hidup dan lai

sebagainya tidak akan berjalan maksimal, bahkan dapat berbalik

arah ke pendidik atau orang tua jika salah dalam pengenalan

konsep. Upaya penerapan konsistensi dalam mendidik anak usia 4

– 6 tahun akan dibahas secara rinci dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan mendidik ?

2. Apa tujuan mendidik ?

3. Bagaimana karateristik aspek moral, social emosional dan

bahasa anak usia 4-6 tahun ?

4. Apa yang dimaksud dengan konsistensi ?

5. Bagaimana hubungan antara konsistensi dan mendidik ?

6. Bagaimana upaya penerapan konsistensi dalam mendidik anak

usia 4 – 6 taun ?

7. apa manfaat adanya konsistensi dalam mendidik anak usia 4

– 6 tahun ?

2

1.3 Metode Pemecahan Masalah

Metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif.

1.4 Tujuan Makalah

- Memberikan informasi kepada tenaga pendidik mengenai

penerapan konsistensi dalam mendidik anak usia dini usia 4 –

6 tahun.

- Memberikan informasi mengenai dampak yang akan terjadi atas

didikan yang tidak terlaksana dengan konsisten.

3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Mendidik, Peserta Didik dan Pendidikan

Jauh sejak pendiri Republik ini memancangkar sendi-sendi

normative kehidupan bangsa, mereka mencanangkan bahwa satu

cita-cita kemerdekaan adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”

yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini secara

eksplisit diemukakan dalam Pembukaan UUD 1945 yang diperjelas

dalam Pasal 31 : “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan

pengajaran”. Pertanyaan yang muncul adalah, kehidupan bangsa

yang cerdas itu yang bagaimana ? secara harfiah, cerdas

berarti pandai, berpikiran tajam dan berwawasan luas. Jadi

konotasinya lebih pada aspek kognitif-intelektual. Tetapi kita

percaya, bukan itu saja yang dimaksud oleh the founding fathers

negeri ini. “cerdas” hanyalah satu istilah yang mewakili

berbagai pengertian yang amat luas, meliputi aspek-aspek

kognitif, afektif dan keterampilan sekaligus.

Bahwa dalam rumusan Pembukaan UUD 1945 itu tidak

dikemukakan, misalnya “manusia yang berakhlak”. Dalam UU No 20

tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, ditegaskan

bahwa kecerdasan meruapakan salah satu dari difat manusia

Indonesia yang berkualitas. Usaha untuk menciptakan manusia

macam itu dipercayakan kepada pendidikan.

UNESCO menyebutkan bahwa: “education is now engaged is

preparinment for a life Society which does not yet exist” atau

4

bahwa pendidikan itu sekarang adalah untuk mempersiapkan

manusia bagi suatu tipe masyarakat yang masih belum ada.

Konsep system pendidikan mungkin saja berubah sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan pengalihan nilai-nilai kebudayaan

(transfer of culture value). Konsep pendidikan saat ini tidak

dapat dilepaskan dari pendidikan yang harus sesuai dengan

tuntutan kebutuhan pendidikan masa lalu,sekarang,dan masa yang

akan datang.

2.2 Tujuan mendidik dan pendidikan

Pendidikan karakter didasarkan pada enam nilai-nilai etis.

Beberapa hal di bawah ini yang dapat kita jelaskan untuk membantu

peserta didik memahami Enam Pilar Pendidikan Berkarakter, yaitu

sebagai berikut :

1. Trustworthiness (Kepercayaan)

Jujur, jangan menipu, menjiplak atau mencuri, jadilah handal

– melakukan apa yang anda katakan anda akan melakukannya,

minta keberanian untuk melakukan hal yang benar, bangun

reputasi yang baik, patuh – berdiri dengan keluarga, teman

dan negara.

2. Recpect (Respek)

Bersikap toleran terhadap perbedaan, gunakan sopan santun,

bukan bahasa yang buruk, pertimbangkan perasaan orang lain,

5

jangan mengancam, memukul atau menyakiti orang lain,

damailah dengan kemarahan, hinaan dan perselisihan.

3. Responsibility (Tanggung jawab)

Selalu lakukan yang terbaik, gunakan kontrol diri, disiplin,

berpikirlah sebelum bertindak – mempertimbangkan

konsekuensi, bertanggung jawab atas pilihan anda.

4. Fairness (Keadilan)

Bermain sesuai aturan, ambil seperlunya dan berbagi,

berpikiran terbuka; mendengarkan orang lain, jangan

mengambil keuntungan dari orang lain, jangan menyalahkan

orang lain sembarangan.

5. Caring (Peduli)

Bersikaplah penuh kasih sayang dan menunjukkan anda peduli,

ungkapkan rasa syukur, maafkan orang lain, membantu orang

yang membutuhkan.

6. Citizenship (Kewarganegaraan)

Menjadikan sekolah dan masyarakat menjadi lebih baik,

bekerja sama, melibatkan diri dalam urusan masyarakat,

menjadi tetangga yang baik, mentaati hukum dan aturan,

menghormati otoritas, melindungi lingkungan hidup.

Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa

yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran,

bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis,

berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai

oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan

Pancasila.

6

Pendidikan karakter berfungsi untuk:

1. Mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran

baik, dan berperilaku baik

2. Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur

3. Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam

pergaulan dunia.

Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang

mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil,

masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.

2.3 Pencapaian perkembangan anak usia 4 – 6 tahun

Setelah anak memasuki usia prasekolah dan taman kanak-kanak,

meeka mulai menjelajahi dunia melalui pengalaman tidak

langsung, seperti cerita, gambar dan televise. Pada tahap ini

kegiatan bermain membantu anak untuk mengembnagkan pengetahuan

mereka dan pemahaman tentang dunia. Namun, dewasa ini jalur

pembelajaran normal adakalanya diselewengkan pula oleh orang

tua, seperti keinginan orang tua yang menggebu untuk melihat

anaknya sukses. Hal ini sejalan dengan umur yang “golden age”

diaman lebih cepat dalam mempelajari apapun yang dilihat dan

didengar oleh anak. Tindakan orang tua yang overstimulasi, tanpa

disadari membebabani secara berlebihan dan merampoknya dari

masa kecil normal yang bahagia.

7

Berasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik

Indonesia Nomor 58 Tahun 2009 Tentang Sistem Pendidikan Anak

Usia Dini Tahun 2009, Tingkat Pencapaian Perkembangan kelompok

usia 4-6 tahun adalah sebagai berikut :

Lingkup

perkembangan

Tingkat Pencapaian PerkembanganUsia 4 - <5 tahun Usia 5 - <6 tahun

I. Nilai agama

dan moral

1. Mengenal Tuhan

melalui agama

yang

dianutnya.

2. Meniru gerakan

ibadah.

3. Mengucapkan

doa

sebelum/sesuda

h melakukan

sesuatu.

4. Mengenal

perilaku baik

dan buruk.

5. Membiasakan

diri

berprilaku

baik.

6. Mengucapkan

salam dan

1. Mengenal agama

yang dianut.

2. Membiasakan

diri beribadah.

3. Memahami

perilaku

manusia (jujur,

penolong,

sopan, hormat,

dsb)

4. Membedakan

perilaku baik

dan buruk.

5. Mengenal ritual

dan hari besar

islam.

6. Menghormati

agama orang

lain.

8

membalas

salam.II. Kognitif 1. Mengenal benda

berdasarkan

fungsi.

2. Menggunakan

benda sebagai

permainan

simbolik.

3. Mengenal

gejala sebab

dan akibat

yang terkait

dengan

dirinya.

4. Mengenal

konsep

sederhana dari

kehidupan

sehari-hari.

5. Mengkreasikan

sesuatu dengan

idenya

sendiri.

1. Mengklasifikasi

kan benda

berdasarkan

fungsi.

2. Menunjukkan

aktifitas yang

bersifat

eksploratif dan

menyelidik.

3. Menyusun

perencanaan

kegiatan yang

akan dilakukan.

4. Mengenal sebab

akibat tentang

lingkungannya.

5. Menunjukkan

inisiatif dalam

memilih tema

permainan.

6. Memecahkan

masalah.III. Bahasa 1. Menyimak

perkataan

1. Mengerti

beberapa

9

orang lain.

2. Mengerti dua

perintah yang

diberikan

bersamaan.

3. Memahami

cerita yang

dibacakan.

4. Mengenal

perbendaharaan

kata mengenai

kata sifat.

5. Mengungkapkan

perasaan

dengan kata

sifat baik.

6. Menyebutkan

kata-kata yang

dikenal.

7. Mengutarakan

pendapat

kepada orang

lain.

8. Menyatakan

alsan terhadap

sesuatu yang

perintah secara

bersamaan.

2. Mengulang

kalimat yang

lebih kompleks.

3. Mamahami aturan

dalam suatu

permainan.

4. Menjawab

pertanyaan

lebih kompeks.

5. Berkomunikasi

secara lisan,

memiliki

perbendaharaan

kata serta

mengenal simbl-

simbol untuk

persiapan

calistung.

6. Memiliki banyak

kata-kata untuk

mengekpresikan

ide kepada

orang lain.

7.

10

diinginkan

atau ketidak

setujuan.IV. Sosial

emosional

1. Menunjukkan

sikap mandiri

dalam meilih

kegiatan.

2. Mau berbagi,

menolong dan

membantu

teman.

3. Menunjukkan

antusiasme

dalam

melakukan

permainan

kompetitif

secara

positif.

4. Mengendalikan

perasaan.

5. Menaati aturan

yang berlaku.

6. Menunjukkan

rasa percaya

diri.

1. Bersikap

kooperatif

dengan teman.

2. Menunjukkan

sikap toleran.

3. Mengekspresikan

emosi yang

sesuai dengan

kondisi yang

ada.

4. Mengenal tata

krama dan sopan

santun sesuai

dengan nilai

sosial budaya

setempat.

5. Memahami

peraturan dan

disiplin.

6. Menunjukkan

rasa empati.

7. Memiliki sikap

gigih.

11

7. Menjaga diri

sendiri dan

lingkungannya.

8. Menghargai

orang lain.

8. Bangga terhadap

hasil karya

sendiri.

9. Menghargai

kunggulan orang

lain.

2.4 Pengertian Konsistensi

Konsistensi, merupakan konsep dasar komunikasi yang baik.

Hal ini membuat anak merasa aman dan memberikan anak batasan-

batasan yang jelas.

Mengajarkan konsistensi penting agar anak dapat memegang

prinsip dan nilai-nilai positif kelak. Nah, dalam mengajarkan

konsistensi peran lingkungan cukup besar dalam mengajarkan

konsistensi anak. Jika sedari dini anak sudah terbiasa melihat

perilaku yang tidak konsisten, anak pun akan belajar dengan

caranya sendiri untuk bersikap tidak konsisten.

Seperti contoh, orangtua tengah membangun tatanan kepribadian

anaknya, namun karena ada ketidaksepakatan dalam menyikapi

perilaku anak, rusaklah tatanan kepribadian yang tengah

dibangun tersebut. Padahal membangun kepribadian anak sejak

dini merupakan investasi di usia besarnya nanti. Bila orangtua

salah meletakkan dasar nilainya, maka proses pikir anak pun

menjadi salah. Padahal proses pikir tadi mendasari

perilakunya.

12

Seperti contoh di atas, ketika anak memperoleh apa yang

diinginkannya dari nenek/pengasuhnya dengan caranya merengek-

rengek, disini anak belajar dari mengamati lingkungannya,

kepada siapa dia bisa memanfaatkan situasi yang ada. Suatu

kali perilaku anak untuk bisa minum air dingin ini akan

berulang. Anak akan memanfaatkan atau memanipulasi situasi

maupun orang-orang dewasa yang bisa dimanipulasinya. Selain

itu, anak juga akan dengan mudahnya dalam melanggar suatu

aturan yang ada.

Dampak dari ketidakkonsistenan yang diamati anak ini tak

hanya berpengaruh pada satu aspek kehidupannya saja, tetapi

banyak implikasinya dalam dimensi lainnya. Contoh: orangtua

ingin menanamkan disiplin waktu belajar sejak usia prasekolah.

Meski belajar di usia ini belum dalam arti sesungguhnya,

melainkan melakukan kegiatan bermain dengan media edukatif

yang terarah. Seperti belajar menempel, menggambar, main

pasel, dan sebagainya. Kemudian orangtua menentukan waktunya

sekitar 15 menit di sore hari sekitar pukul 16.00-17.00,

misalnya. Aturan ini harus dilakukan secara konsisten. Kalau

kemudian anak melakukan negosiasi tak mau melakukan aktivitas

di jam tersebut karena ingin main atau malas dan sebagainya.

Kemudian orangtua membolehkannya maka ini pun menjadi tidak

konsisten.

Akibatnya, tak hanya pada masalah pembentukan disiplin anak

saja namun implikasinya pada hal lain seperti anak tidak

terbangun mental tafness/ ketangguhannya ketika menghadapi

13

suatu kesulitan, daya juangnya rendah, tidak sabaran, tidak

mau usaha, dan lain-lain. Hal-hal negatif ini akan terbangun

dalam pribadinya yang tentu akan berdampak pula dalam

kehidupan di usia selanjutnya.

2.5 Hubungan antara konsistensi dan mendidik

Ketika pendidik konsisten sejak awal, anak-anak belajar

tentang apa yang diharapkan dari pendidik mereka. Ini membantu

proses keterikatan antara pendidik dan anak. Konsistensi

memberi anak rasa aman. Mereka tahu, jika mereka menangis,

pendidik yang menyayanginya akan datang sebotol susu atau siap

mengganti popoknya. Anak dengan pendidik yang konsisten tidak

sering merasakan kecemasan. Mereka belajar bahwa mereka bisa

mengandalkan pendidik dan percaya bahwa kebutuhan mereka akan

dipenuhi.

Menjaga keteraturan rutinitas dengan seorang anak juga

merupakan bagian penting dari konsistensi. Keributan dan

perdebatan berkurang jika anak tahu apa yang diharapkan dari

mereka sejak bangun tidur, sepulang sekolah atau menjelang

tidur malam. Konsisten membantu anak merasa bertanggung jawab

karena mereka tahu apa yang diharapkan dari mereka.

Berkurang pula keinginan anak-anak untuk menguji batasan

yang sudah ditentukan dengan tegas ketika mereka tahu ada

konsekuensi untuk perilaku membantah. Mereka belajar bahwa

“tidak” berarti “tidak”. Konsistensi pun mengajarkan hubungan

14

sebab-akibat kepada anak. Dengan konsistensi, mereka

mengembangkan kemampuan keputusan dengan lebih bijak.

Sebaliknya, ketidakkonsistenan menimbulkan sejumlah masalah

akibat pesan-pesan yang disampaikan. Pendidik A atau pendidik

B pastilah telah membuat suatu aturan, tapi setelah gagal

menegakkannya, mereka hanya membiarkan anak-anak berbuat

sesuka mereka tanpa konsekuensi.

Pendidik A atau pendidik B berkata “tidak” terhadap

permintaan anak, tapi kemudian mengalah dan mengatakan “ya”

ketika anak bersikeras dan merengek. Mungkin juga masih adak

ketidak sepakatan antara ayah dan ibu atau setiap pendidik

mengenai aturan tersebut. ayah berkata “ya”, sementara ibu

tegas mengatakan “tidak” untuk permintaan yang sama dengan

anak-anak. Bahkan mungkin mereka pernah mengancam anak-anak,

tapi tidak benar-benar berniat melaksanakan ancaman tersebut.

Sangat sulit memang bagi pendidik untuk mempertahankan

konsistensi yang dibutuhkan anak dalam dunia yang sibuk, penuh

dengan stimulasi berlebihan. Setiap pendidik pastilah tidak

ingin menjadi pendidik yang “jahat”, juga tidak ingin merasa

sudah bersikap terlalu keras atau lembek. Itulah sebabnya

peneapan konsistensi dalam mendidik anak sangat penting.

2.6 Penerapan konsistensi dalam mendidik anak usia 4 -6 tahun

2.6.1 Konsistensi Antara Pendidik

Pendidik menjadi figure yang dilihat oleh peserta didik

selain orang tua. Maka sangat diperlukan suatu kesatuan antara

15

pendidik ketika berada di depan anak-anak. Pendidik perlu adanya

saling komunikasi tentang aturan dan konsekuensinya bagi anak-

anak Anak-anak selalu melihat celah dalam pertahanan pendidik.

Pendidik A tau pendidik B kah yang lebih mudah dibujuk ? anak-

anak belajar bagaimana memanfaatkan salah satu pendidik untuk

mendobrak pertahanan yang lainnya. Karena itu, pastika pendidik

saling sepakat dan sejalan dalam aturan, permintaan dan disiplin

sebelum menyampaikan keputusan kepada anak-anak.

2.6.2 Konsistensi Dalam Aturan

Aturan adalah bagian penting dalam kehidupan sehari-hari.

Aturan memudahkan kita bergaul dengan orang lain. Jika anak-anak

tidak belajar bagaimana berprilaku baik, mereka akan sulit

berinteraksi dengan orang dewasa dan anak-anak lain. Mereka akan

menemui kesulitan dalam belajar disekolah, tidak bisa membawa

diri dan menjadi tidak bahagia dan frustasi. Pemahaman anak

terhadap aturan serta mengawasi pelaksanaannya dengan konsisten

menjadi kunci keberhasilan dalam menegakkan aturan.

Berikut empat prinsip penegakan aturan pada anak (Baihaqi,

2013:135) :

1. Anak-anak bukan orang dewasa versi kecil

Meskipun orang tua menginginkan anak-anak mereka tahu bahwa

mereka didengar, hindari kekeliruan umum pendidik dalam

membuat aturan dirumah, yaitu anak diberi suara setara

dengan pendidik dalam membuat aturan. Ini bukanlah suatu

demokrasi, melainkan hubungan pendidik dan anak. Aturan

16

adalah keputusan pendidik. Anak-anak dilibatkan dalam

pembicaraan tentang alasan-alasan yang mendasari keputusan

pendidik agar mereka mengerti.

2. Jelaskan aturan agar mudak dipahami oleh anak

Jelaskan aturan dengan bahasa yang mudah dipahami anak.

Untuk anak usia 5-6 tahun arahkan anak untuk mengulang apa

yang telah dijelaskan, tentunya dengan bahasa nya sendiri

(anak usia 5-6 belum memahami makna aturan dan batasan).

Jika mereka tidak bisa mengulangi kata-kata anda, bisa saja

pesan yang disampaikan terlalu rumit dan panjang.

Anak lebih dapat memahami aturan jika dijelaskan

pentingnya aturan tersebut dan mengapa harus dipatuhi.

Simaklah percakapan berikut :

Dari percakapan diatas, jelas terlihat perbedaan antara

pendidik biasa dan pendidik inspiratif. Pada saat penjelasan

aturan gunakanlah kata yang konkrit (tidak abstrak), seperti kata

“sore” yang masih terlalu abstrak untuk anak usia 5-6 tahun, maka

harus diperjelas dengan mengatakan pukul berapa seperti “pada

pukul 4 sore”, sehingga pada akhirnya anak akan mengerti benar

mengapa dan kapan ia harus melakukan sesuatu. Dengan begitu,

pendidik tidak harus melakukan berulang-ulang.

17

Pendidik biasa : “Pokoknya ikuti saja” atau “Ayah bilangbegitu, turuti saja”

Pendidik inspiratif : “Bukankah mainanmu yang kecil-kecilsering tersapu Bibi ? Nah, agar tidak hilang lagi, sebelumBibi menyapu kamu sudah harus memasukkan mainan mu pukul 4

Percakapan 1

3. Jelaskan konsekuensinya

Pemberian konsekuensi merupakan hal penting dalam penerapan

aturan. Konsekuensi dalam penerapan aturan diarahkan kepada

hal-hal yang positif yakni konsekuensi yang tidak terlalu

berat sehingga pendidik tidak tega namun juga tidak terlalu

ringan sehingga anak meremehkannya, pada intinya konsekuensi

tersebut mengandung unsur kegiatan yang “tidak disukai oleh anak”.

Sehingga anak paham akan pentingya suatu aturan.

Pendidik memberikan pilihan yaitu : membereskan mainan atau

menghadapi konsekuensinya.

4. Laksanakan dengan konsisten

Terkadang anak akan menguji pendidik dalam penerapan aturan.

Pada waktu yang ditentukan, anak tersebut tidak mau

membereskan mainannya. Meskipun pendidik telah mengingatkan

akan pilihannya, namun anak tersebut tetap menolahknya. Maka

seperti yang telah dijanjikan dan disepakati, pendidik tetap

harus menyimpan mainannya lalu membawa pergi. Anak mungkin

akan memprotes, merebut, menangis, mengiba, membujuk,

berjanji untuk membereskannya dilain waktu agar mendapatkan

18

Pendidik inspiratif : “Kalau kamu tidak memasukkan mainanmuke kotak pada waktunya. Bunda yang akan memasukinya. Tapi,mainan itu akan Bunda simpan selama dua hari.”

Percakapan 2

Percakapan 3

Pendidik inspiratif : “Mainanmu akan Bunda simpan karenatadi Bunda yang membereskannya. Kamu boleh main lagi setelah

kembali mainannya saat itu juga. Tapi sebagai pendidik yang

bijak, haruslah bersikap konsisten.

Jika saat itu pendidik tergoda oleh janji anak dan

mengembalikan mainannya, maka secara tidak langsung pendidik

telah mengajari anak untuk ingkar janji. Karena itu,

tentukan sebuah konsistensi dengan penuh pertimbangan. Tidak

terlalu berat atau tidak mungkin melakukannya (misalnya :

membuang mainan ke tempat sampah). Tapi jangan terlalu

ringan sehingga anak-anak meremehkannya (misalnya :

menyimpan mainan hanya selama 1-2 jam).

Inilah konsep yang diajarkan kepada anak-anak dai sejak usia

dini “ aturan bukanlah aturan, kecuali mampu ditegakkan

dengan konsisten.” Anak akan belajar dengan cepat dan

terampil bagaimana menguji pendidik dan menentukan aturan

mana yang harus mereka tanggapi secara serius.

2.6.3 Konsistensi Dalam Rutinitas

Di kalangan orang dewasa, ada anggapan bahwa rutinitas

selalu membosankan dan kita perlu sekali-kali keluar dari

rutinitas. Tapi ini tidak berlaku untuk anak-anak. Rutinitas yang

dimaksud orang dewasa mengalami penyempitan makna, yaitu hanya

19

berkaitan dengan pekerjaan di kantor yang mungkin monoton.

Rutinitas bagi anak-anak berarti keteraturan hidup dan kemudahan

bagi mereka memaknai hidup.

Banyak kegiatan keluarga membutuhkan rutinitas, seperti

waktu tidur, pelaksaaan tugas dirumah, waktu makan, mandi dan

bersiap ke sekolah. Anak-anak menyukai rutinitas (peristiwa yang

dapat diprediksikan). Sebagai contoh, waktu tidur seorang anak

akan mencakup menggosok gigi, buang air besar atau kecil, memakai

baju tidur, dibacakan buku dan berdoa. Waktu tidur harus pada

waktu yang sama setiap malam. Jika rutinitas ini konsisten, anak-

anak akan mematuhinya dengan lebih mudah.

Bagaimanapun, rutinitas harus ditegakkan sama dengan cara

penegakan terhadap suatu aturan. Jelaskan mengapa rutinitas

diberlakukan dan mengapa anak-anak harus mengikutinya dengan

patuh. Lalu, jelaskan konsekuensinya jika rutinitas dilanggar.

Setelah itu laksanakan dengan konsisten.

20

Minggu Seni

n

Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu

07.30-

08.0008.00-

08.3008.30-

09.0009.00-

09.3009.30-

10.0010.00-

10.3010.30-

11.0011.00-

11.3011.30-

12.0012.00-

12.3012.30-

13.0013.00-

13.30

21

13.30-

14.0014.30-

15.0015.30-

16.0016.30-

17.0017.30-

18.0018.30-

19.0019.30-

20.00CONTOH JADWAL HARIAN ANAK

\

22

2.6.4 Konsisten Antara Kata Dan Perbuatan Pendidik

Aturan pada umunya dibuat pendidik bagi anak-anaknya dengan

asumsi bahwa ana-anak memang perlu “diatur”. Karena tanpa aturan,

anak-anak akan keliru dalam berprilaku. Asumsi berikutnya adalah

pendidik sudah dewasa, tidak mungkin berprilaku buruk, jadi tidak

terikat dengan aturan seperti anak-anak. .

Sebagai contoh, pendidik mungkin sudah konsisten mengawasi

pelaksanaan aturan “kapan boleh menonton televisi” bagi anak-

anak. Anak-anak patuh hanya menonton acara pilihan selama

setengah jam. Sesudah acaranya berakhir, anak tersebut akan

segera mematikan televisi. Namun, kemudian Ayah atau Bunda

mengambil alih remote televisi dan menonton tanpa batas. Mungkin

mereka perlu menyaksikan berita penting, ataupun sedang dalam

keadaan suntuk dan membutuhkan hiburan, atau mungkin mereka yakin

bahwa bahaya televisi hanya mempengaruhi anak, bukan pendidik.

Apapun alasannya, jika ini dilakukan, pendidik telah mematahkan

konsistensinya sendiri. Menunjukkan kepada anak-anak bahwa atuan

hanya bagi mereka yang lebih kecil, lebih lemah dan tidak

berkuasa.

Anak-anak akan lebih mudah memahami pentingnya aturan dibuat

dan dipatuhi, jika pendidiknya pun berada di dalam batasan yang

dibutanya sendiri. Inilah konsistensi antara kata dan perbuatan

pendidik.

2.6.7 Konsistensi Dalam Larangan

23

Selain aturan yang sudah dikomunikasikan terlebih dahulu,

pendidik juga menggunakan larangan yang dikeluarkan mendadak

untuk mengendalikan perilaku anak-anak atau untuk menanggapi

permintaan mereka. Sebagai pendidik, kita sudah berusaha untuk

selalu proaktif, mengantisipasi berbagai situasi. Tetapi,

adakalanya situasi yang muncul benar-benar baru dan diluar

dugaan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pendidik harus

bersikap bijaksana dan tetap konsisten. Jika memang siatuasi yang

tiba-tiba muncul tidak membahayakan bagi anak, tidak ada salahnya

jika kita memberikan izin. Konsistenlah dengan larangan, dan

pertimbangkan dengan bijak sebelum kita sebagai pendidik

menjatuhkan larangan.

2.6.8 Tetapkan Batasan Yang Tetap

Sangatlah penting bagi anak-anak untuk mengetahui bahwa

peraturan-peraturan tidak akan pernah dirubah dan akan selalu

ditegakkan. Kelabilan emosional pada anak usia 4-6 tahun membuat

mereka semakin sering berupaya mndorong batasan-batasan ini.

Tetapi tetap, batasan ini tidak boleh dirubah.

Semakin baik upaya pendidik mempertahankan batasan-batasan

tersebut, akan semakin mudah mengatur anak-anak. Setelah mereka

yakin bahwa kita sebagai pendidik tidak akan pernah menyerah,

maka dengan sendrinya mereka akan mematuhi dan memahami batasan-

24

batasan tersebut. Anak-anak juga tidak ingin melakukan hal yang

sia-sia, dengan begitu bukan saja merka yang merasa lebih bahagia

dan percaya diri, mereka juga akan belajar menerima jawaban

“tidak”.

Itu artinya, tidak ada lagi permintaan untuk mengulur-ngulur

waktu tidur. Tidak ada lagi rengekan untuk membeli ini dan itu

pada saat berbelanja, tidak ada lagi rengekan setelah Anda

mengatakan “tidak”.

25

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berusaha untuk selalu bersikap konsisten mengajarkan

anak untuk mempercayai apa yang pendidik utarakan. Dengan

perencanaan yang baik, akan membantu kita sebagai pendidik

untuk bisa selalu konsisten. Setelah pendidik mengetahui hal

yang tepat bagi anak, maka gunakanlah strategi tersebut

secara teratur, jika konsekuensi yang diberikan sesekali

berubah, tidak akan berpengaruh buruk, tapi jika kita

sebagai pendidik sering mengubah-ngubah konsekuensi

tersebut, maka anak akan berada pada jalur kebimbangan.

Mendidik adalah sutau upaya untuk mencerdaskan

kehidupan bangsa yang secara langsung tersirat pada

pembukaan UUD 1945 dan diperjelas kembali oleh UU Sistem

Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003. Untuk mewujudkan hal

ini diperlukan suatu usaha yang jelas dengan komitmen serta

konsisten. Usia 4-6 tahun merupakan masa kritis yang jika

orang tua atau pendidik tidak melaksanakan tanggung jawabnya

secara tidak maksimal, maka anak akan memperoleh konsep yang

salah (bermakna negative), begitu pula sebaliknya jika

pendidik mampu bertanggung jawab atas didikannya yang baik

sesuai dengan perkembangan anak, maka anak tersebut akan

tumbuh dan berkembang menjadi sumber daya manusia yang

berkualitas serta komperhensif.

26

3.2 Saran

Harapan penulis, dengan adanya makalah ini setiap

pendidik baik guru maupun orang tua dapat mendidik anak secara

konsisten, baik dari perkataan maupun perbuatan. Harapan

penulis, dengan adanya makalah ini mahasiswa, instansi, LSM

maupun organisasi masyarakat lainnya dapat bekerja sama dalam

mensosialisasikan perlunya suatu uapay dalam penerapan

konsistensi dalam mendidik anak, khususnya usia 4-6 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Baihaqi Ihsan (2013), “Yuk, Jadi Orang Tua Shalih”. Jakarta : PT

Mizan Pustaka.

Elfiendri (2012). “Pendidikan Karalter”. Jakarta : Baduose Media

Jakarta

Pendidikan Karakter (2012). Retrieved from

http://pndkarakter.wordpress.com/category/tujuan-dan-fungsi-

pendidikan-karakter/ (Access on 22 November 2014).

Retrieved from

http://www.tabloid-nakita.com/read/2090/ingin-disiplin-ajarkan-

konsistensi-pada-anak (Acces on November 2014)

27

Rimm Sylvia (2003), “Mendidik dan Menerapkan Disiplin pada Anak

Prasekolah (Terjemahan Indonesia oleh Lina Jusuf)”. Jakarta : PT Gramedia

Pustaka Utama.

Yunus Z Helmi, dkk (2006). “Profesi Pendidikan”. Dinas Pendidikan

Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam : Universitas Syiah Kuala.

28