Untitled - Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral

258
i

Transcript of Untitled - Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral

i

ii

DAFTAR ISI

Daftar Isi .............................................................................................................................................................................. ii

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi .................................................................... 1

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi ....................................... 14

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Konservasi Energi ....................................... 21

Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Konservasi Energi ............ 33

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan ............................................................ 38

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan ................................. 46

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 121 Tahun 2015 Tentang Pengusahaan Sumber Daya Air ............... 52

Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 121 Tahun 2015 Tentang Pengusahaan Sumber Daya Air ............................................................................................................................................................................ 76

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan ................................................. 94

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan .................... 115

Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Bidang Ketenagalistrikan ............................................................... 125

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara ................. 144

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.......................................................................................................................................................................... 184

Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral Dan Batubara ............................................................................................................................. 205

Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral Dan Batubara ..................................................................................................................................................... 248

1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007

TENTANG E N E R G I

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sumber daya energi merupakan kekayaan alam sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

b. bahwa peranan energi sangat penting artinya bagi peningkatan kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional, sehingga pengelolaan energi yang meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, optimal, dan terpadu;

c. bahwa cadangan sumber daya energi tak terbarukan terbatas, maka perlu adanya kegiatan penganekaragaman sumber daya energi agar ketersediaan energi terjamin;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Energi;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ENERGI.

2

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika.

2. Sumber energi adalah sesuatu yang dapat menghasilkan energi, baik secara langsung maupun melalui proses konversi atau transformasi.

3. Sumber daya energi adalah sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan, baik sebagai sumber energi maupun sebagai energi.

4. Sumber energi baru adalah sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal).

5. Energi baru adalah energi yang berasal dari sumber energi baru.

6. Sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.

7. Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber energi terbarukan.

8. Sumber energi tak terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang akan habis jika dieksploitasi secara terus-menerus, antara lain, minyak bumi, gas bumi, batu bara, gambut, dan serpih bitumen.

9. Energi tak terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber energi tak terbarukan.

10. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

11. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

12. Badan usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus, dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

13. Bentuk usaha tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan dan berkedudukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.

14. Cadangan penyangga energi adalah jumlah ketersediaan sumber energi dan energi yang disimpan secara nasional yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional pada kurun waktu tertentu.

15. Penyediaan energi adalah kegiatan atau proses menyediakan energi, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

16. Pemanfaatan energi adalah kegiatan menggunakan energi, baik langsung maupun tidak langsung, dari sumber energi.

3

17. Pengelolaan energi adalah penyelenggaraan kegiatan penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan energi serta penyediaan cadangan strategis dan konservasi sumber daya energi.

18. Pengusahaan energi adalah kegiatan menyelenggarakan usaha penyediaan dan/atau pemanfaatan energi.

19. Pengusahaan jasa energi adalah kegiatan menyelenggarakan usaha jasa yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan penyediaan dan/atau pemanfaatan energi.

20. Cadangan energi adalah sumber daya energi yang sudah diketahui lokasi, jumlah, dan mutunya.

21. Diversifikasi energi adalah penganekaragaman pemanfaatan sumber energi.

22. Cadangan strategis adalah cadangan energi untuk masa depan.

23. Konservasi energi adalah upaya sistematis, terencana, dan terpadu guna melestarikan sumber daya energi dalam negeri serta meningkatkan efisiensi pemanfaatannya.

24. Konservasi sumber daya energi adalah pengelolaan sumber daya energi yang menjamin pemanfaatannya dan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.

25. Kebijakan energi nasional adalah kebijakan pengelolaan energi yang berdasarkan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian dan ketahanan energi nasional.

26. Dewan Energi Nasional adalah suatu lembaga bersifat nasional, mandiri, dan tetap yang bertanggung jawab atas perumusan kebijakan energi nasional.

27. Rencana umum energi adalah rencana pengelolaan energi untuk memenuhi kebutuhan energi di suatu wilayah, antarwilayah, atau nasional.

28. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

29. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

30. Menteri adalah menteri yang bidang tugasnya bertanggung jawab di bidang energi.

BAB II ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, efisiensi berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional.

Pasal 3

Dalam rangka mendukung pembangunan nasional secara berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, tujuan pengelolaan energi adalah:

a. tercapainya kemandirian pengelolaan energi;

b. terjaminnya ketersediaan energi dalam negeri, baik dari sumber di dalam negeri maupun di luar negeri;

4

c. tersedianya sumber energi dari dalam negeri dan/atau luar negeri sebagaimana dimaksud pada huruf b untuk:

1. pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri;

2. pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dalam negeri; dan

3. peningkatan devisa negara;

d. terjaminnya pengelolaan sumber daya energi secara optimal, terpadu, dan berkelanjutan;

e. termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor;

f. tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata dengan cara:

1. menyediakan bantuan untuk meningkatkan ketersediaan energi kepada masyarakat tidak mampu;

2. membangun infrastruktur energi untuk daerah belum berkembang sehingga dapat mengurangi disparitas antar daerah;

g. tercapainya pengembangan kemampuan industri energi dan jasa energi dalam negeri agar mandiri dan meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia;

h. terciptanya lapangan kerja; dan

i. terjaganya kelestarian fungsi lingkungan hidup.

BAB III PENGATURAN ENERGI Bagian Kesatu

Sumber Daya Energi

Pasal 4

(1) Sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala besar, dan sumber energi nuklir dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(2) Sumber daya energi baru dan sumber daya energi terbarukan diatur oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(3) Penguasaan dan pengaturan sumber daya energi oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Bagian Kedua

Cadangan Penyangga Energi

Pasal 5

(1) Untuk menjamin ketahanan energi nasional, Pemerintah wajib menyediakan cadangan penyangga energi.

(2) Ketentuan mengenai jenis, jumlah, waktu, dan lokasi cadangan penyangga energi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Pemerintah dan lebih lanjut ditetapkan oleh Dewan Energi Nasional.

5

Bagian Ketiga

Keadaan Krisis dan Darurat Energi

Pasal 6

(1) Krisis energi merupakan kondisi kekurangan energi.

(2) Darurat energi merupakan kondisi terganggunya pasokan energi akibat terputusnya sarana dan prasarana energi.

(3) Dalam hal krisis energi dan darurat energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mengakibatkan terganggunya fungsi pemerintahan, kehidupan sosial masyarakat, dan/atau kegiatan perekonomian, Pemerintah wajib melaksanakan tindakan penanggulangan yang diperlukan.

Bagian Keempat

Harga Energi

Pasal 7

(1) Harga energi ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana subsidi untuk kelompok masyarakat tidak mampu.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai harga energi dan dana subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Bagian Kelima

Lingkungan dan Keselamatan

Pasal 8

(1) Setiap kegiatan pengelolaan energi wajib mengutamakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan memenuhi ketentuan yang disyaratkan dalam peraturan perundang- undangan di bidang lingkungan hidup.

(2) Setiap kegiatan pengelolaan energi wajib memenuhi ketentuan yang disyaratkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan yang meliputi standardisasi, pengamanan dan keselamatan instalasi, serta keselamatan dan kesehatan kerja.

Bagian Keenam

Tingkat Kandungan Dalam Negeri

Pasal 9

6

(1) Tingkat kandungan dalam negeri, baik barang maupun jasa, wajib dimaksimalkan dalam pengusahaan energi.

(2) Pemerintah wajib mendorong kemampuan penyediaan barang dan jasa dalam negeri guna menunjang industri energi yang mandiri, efisien, dan kompetitif.

Bagian Ketujuh Kerja Sama Internasional

Pasal 10

(1) Kerja sama internasional di bidang energi hanya dapat dilakukan untuk:

a. menjamin ketahanan energi nasional;

b. menjamin ketersediaan energi dalam negeri; dan

c. meningkatkan perekonomian nasional.

(2) Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(3) Dalam hal Pemerintah membuat perjanjian internasional dalam bidang energi yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

BAB IV KEBIJAKAN ENERGI DAN DEWAN ENERGI NASIONAL Bagian Kesatu

Kebijakan Energi Nasional

Pasal 11

(1) Kebijakan energi nasional meliputi, antara lain:

a. ketersediaan energi untuk kebutuhan nasional;

b. prioritas pengembangan energi;

c. pemanfaatan sumber daya energi nasional; dan

d. cadangan penyangga energi nasional.

(2) Kebijakan energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR.

Bagian Kedua Dewan Energi Nasional

Pasal 12

(1) Presiden membentuk Dewan Energi Nasional

7

(2) Dewan Energi Nasional bertugas:

a. merancang dan merumuskan kebijakan energi nasional untuk ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;

b. menetapkan rencana umum energi nasional;

c. menetapkan langkah-langkah penanggulangan kondisi krisis dan darurat energi; serta

d. mengawasi pelaksanaan kebijakan di bidang energi yang bersifat lintas sektoral.

(3) Dewan Energi Nasional terdiri atas pimpinan dan anggota.

(4) Pimpinan Dewan Energi Nasional terdiri atas:

a. Ketua: Presiden

b. Wakil Ketua: Wakil Presiden

c. Ketua Harian: Menteri yang membidangi energi.

(5) Anggota Dewan Energi Nasional terdiri atas:

a. tujuh orang, baik Menteri maupun pejabat pemerintah lainnya yang secara langsung bertanggung jawab atas penyediaan, transportasi, penyaluran, dan pemanfaatan energi; dan

b. delapan orang dari pemangku kepentingan.

Pasal 13

(1) Anggota Dewan Energi Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) huruf a diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

(2) Anggota Dewan Energi Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) huruf b dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Anggota Dewan Energi Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) huruf b, terdiri atas:

a. 2 (dua) orang dari kalangan akademisi;

b. 2 (dua) orang dari kalangan industri;

c. 1 (satu) orang dari kalangan teknologi;

d. 1 (satu) orang dari kalangan lingkungan hidup; dan

e. 2 (dua) orang dari kalangan konsumen.

(4) Pemerintah mengusulkan calon anggota Dewan Energi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebanyak dua kali dari jumlah setiap kalangan pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) Penentuan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui proses penyaringan yang transparan dan akuntabel.

(6) Anggota Dewan Energi Nasional sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (5) huruf b diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaringan calon anggota Dewan Energi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.

8

Pasal 14

(1) Masa jabatan Anggota Dewan Energi Nasional yang berasal dari Menteri dan pejabat Pemerintah lainnya berakhir setelah tidak menjabat lagi dalam jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) huruf a.

(2) Masa jabatan Anggota Dewan Energi Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) huruf b adalah selama 5 (lima) tahun.

Pasal 15

Anggaran biaya Dewan Energi Nasional dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 16

(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Energi Nasional dibantu oleh sekretariat jenderal yang dipimpin oleh seorang sekretaris jenderal.

(2) Sekretaris jenderal diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

(3) Susunan organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional diatur lebih lanjut dengan Keputusan Ketua Dewan Energi Nasional.

Bagian Ketiga

Rencana Umum Energi Nasional

Pasal 17

(1) Pemerintah menyusun rancangan rencana umum energi nasional berdasarkan kebijakan energi nasional.

(2) Dalam menyusun rencana umum energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah mengikutsertakan pemerintah daerah serta memperhatikan pendapat dan masukan dari masyarakat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana umum energi nasional ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Bagian Keempat Rencana Umum Energi Daerah

Pasal 18

(1) Pemerintah daerah menyusun rencana umum energi daerah dengan mengacu pada rencana umum energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).

(2) Rencana umum energi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah.

Bagian Kelima

9

Hak dan Peran Masyarakat

Pasal 19

(1) Setiap orang berhak memperoleh energi.

(2) Masyarakat, baik secara perseorangan maupun kelompok, dapat berperan dalam:

a. penyusunan rencana umum energi nasional dan rencana umum energi daerah; dan

b. pengembangan energi untuk kepentingan umum.

BAB V PENGELOLAAN ENERGI Bagian Kesatu

Penyediaan dan Pemanfaatan

Pasal 20

(1) Penyediaan energi dilakukan melalui:

a. inventarisasi sumber daya energi;

b. peningkatan cadangan energi;

c. penyusunan neraca energi;

d. diversifikasi, konservasi, dan intensifikasi sumber energi dan energi; dan

e. penjaminan kelancaran penyaluran, transmisi, dan penyimpanan sumber energi dan energi.

(2) Penyediaan energi oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah diutamakan di daerah yang belum berkembang, daerah terpencil, dan daerah perdesaan dengan menggunakan sumber energi setempat, khususnya sumber energi terbarukan.

(3) Daerah penghasil sumber energi mendapat prioritas untuk memperoleh energi dari sumber energi setempat.

(4) Penyediaan energi baru dan energi terbarukan wajib ditingkatkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

(5) Penyediaan energi dari sumber energi baru dan sumber energi terbarukan yang dilakukan oleh badan usaha, bentuk usaha tetap, dan perseorangan dapat memperoleh kemudahan dan/atau insentif dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonomiannya.

Pasal 21

(1) Pemanfaatan energi dilakukan berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan:

a. mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya energi;

b. mempertimbangkan aspek teknologi, sosial, ekonomi, konservasi, dan lingkungan; dan

10

c. memprioritaskan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi di daerah penghasil sumber energi.

(2) Pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan wajib ditingkatkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

(3) Pemanfaatan energi dari sumber energi baru dan sumber energi terbarukan yang dilakukan oleh badan usaha, bentuk usaha tetap, dan perseorangan dapat memperoleh kemudahan dan/atau insentif dari Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonomiannya.

Pasal 22

(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kemudahan dan/atau insentif oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) dan Pasal 21 ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Daerah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pemanfaatan energi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 21 diatur dengan Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Daerah.

Bagian Kedua

Pengusahaan

Pasal 23

(1) Pengusahaan energi meliputi pengusahaan sumber daya energi, sumber energi, dan energi.

(2) Pengusahaan energi dapat dilakukan oleh badan usaha, bentuk usaha tetap, dan perseorangan.

(3) Pengusahaan jasa energi hanya dapat dilakukan oleh badan usaha dan perseorangan.

(4) Pengusahaan jasa energi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengikuti ketentuan klasifikasi jasa energi.

(5) Klasifikasi jasa energi ditetapkan antara lain untuk melindungi dan memberikan kesempatan pertama dalam penggunaan jasa energi dalam negeri.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi jasa energi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(7) Pengusahaan energi dan jasa energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 24

(1) Badan usaha yang melakukan kegiatan usaha energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 berkewajiban, antara lain:

a. memberdayakan masyarakat setempat;

b. menjaga dan memelihara fungsi kelestarian lingkungan

c. memfasilitasi kegiatan penelitian dan pengembangan energi; dan

11

d. memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bidang energi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pengusahaan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga Konservasi Energi

Pasal 25

(1) Konservasi energi nasional menjadi tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat.

(2) Konservasi energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh tahap pengelolaan energi.

(3) Pengguna energi dan produsen peralatan hemat energi yang melaksanakan konservasi energi diberi kemudahan dan/atau insentif oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

(4) Pengguna sumber energi dan pengguna energi yang tidak melaksanakan konservasi energi diberi disinsentif oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan konservasi energi serta pemberian kemudahan, insentif, dan disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Daerah.

BAB VI KEWENANGAN PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH

Pasal 26

(1) Kewenangan Pemerintah di bidang energi, antara lain:

a. pembuatan peraturan perundang-undangan;

b. penetapan kebijakan nasional;

c. penetapan dan pemberlakuan standar; dan

d. penetapan prosedur.

(2) Kewenangan pemerintah provinsi di bidang energi, antara lain:

a. pembuatan peraturan daerah provinsi;

b. pembinaan dan pengawasan pengusahaan di lintas kabupaten/kota; dan

c. penetapan kebijakan pengelolaan di lintas kabupaten/kota.

(3) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota di bidang energi, antara lain:

a. pembuatan peraturan daerah kabupaten/kota;

b. pembinaan dan pengawasan pengusahaan di kabupaten/kota; dan

c. penetapan kebijakan pengelolaan di kabupaten/kota.

12

(4) Kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu

Pembinaan

Pasal 27

Pembinaan kegiatan pengelolaan sumber daya energi, sumber energi, dan energi dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.

Bagian Kedua Pengawasan

Pasal 28

Pengawasan kegiatan pengelolaan sumber daya energi, sumber energi dan energi dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

BAB VIII PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Pasal 29

(1) Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi penyediaan dan pemanfaatan energi wajib difasilitasi oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

(2) Penelitian dan pengembangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diarahkan terutama untuk pengembangan energi baru dan energi terbarukan untuk menunjang pengembangan industri energi nasional yang mandiri.

Pasal 30

(1) Pendanaan kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 difasilitasi oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

(2) Pendanaan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan dana dari swasta.

(3) Pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian tentang energi baru dan energi terbarukan dibiayai dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan.

(4) Ketentuan mengenai pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

13

BAB IX KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 31

(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua peraturan perundang-undangan di bidang energi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.

(2) Badan Koordinasi Energi Nasional tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai dengan terbentuk Dewan Energi Nasional.

(3) Sebelum terbentuk Dewan Energi Nasional, kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Energi Nasional disesuaikan dengan Undang-Undang ini.

BAB X KETENTUAN PENUTUP

Pasal 32

Dewan Energi Nasional harus dibentuk dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 33

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 34

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 10 Agustus 2007

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Agustus 2007

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 96

14

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007

TENTANG E N E R G I

I. UMUM

Sumber daya energi sebagai kekayaan alam merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Selain itu, sumber daya energi merupakan sumber daya alam yang strategis dan sangat penting bagi hajat hidup rakyat banyak terutama dalam peningkatan kegiatan ekonomi, kesempatan kerja, dan ketahanan nasional maka sumber daya energi harus dikuasai negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pengelolaan energi yang meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, = optimal, dan terpadu guna memberikan nilai tambah bagi perekonomian bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaan energi yang dilakukan secara terus menerus guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam pelaksanaannya harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup.

Mengingat arti penting sumber daya energi, Pemerintah perlu menyusun rencana pengelolaan energi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional yang berdasarkan kebijakan pengelolaan energi jangka panjang.

Berdasarkan hal tersebut di atas perlu dibentuk Undang-Undang tentang Energi sebagai landasan hukum dan pedoman dalam rangka pengaturan dan pengelolaan di bidang energi.

Adapun materi pokok yang diatur dalam undang-undang ini antara lain:

a. pengaturan energi yang terdiri dari penguasaan dan pengaturan sumber daya energi;

b. cadangan penyangga energi guna menjamin ketahanan energi nasional;

c. keadaan krisis dan darurat energi serta harga energi;

d. kewenangan Pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengaturan di bidang energi;

e. kebijakan energi nasional, rencana umum energi nasional, dan pembentukan dewan energi nasional;

f. hak dan peran masyarakat dalam pengelolaan energi;

g. pembinaan dan pengawasan kegiatan pengelolaan di bidang energi;

h. penelitian dan pengembangan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

15

Pasal 2

Yang dimaksud dengan asas kemanfaatan adalah asas dalam pengelolaan energi yang harus memenuhi kebutuhan masyarakat.

Yang dimaksud dengan asas efisiensi berkeadilan adalah asas dalam pengelolaan energi yang harus mencapai pemerataan akses terhadap energi dengan harga yang ekonomis dan terjangkau.

Yang dimaksud dengan asas peningkatan nilai tambah adalah asas dalam pengelolaan energi yang harus mencapai nilai ekonomi yang optimal.

Yang dimaksud dengan asas keberlanjutan adalah asas dalam pengelolaan energi yang harus menjamin penyediaan dan pemanfaatan energi untuk generasi sekarang dan yang akan datang.

Yang dimaksud dengan asas kesejahteraan masyarakat adalah asas dalam pengelolaan energi yang harus mencapai kesejahteraan masyarakat yang sebesar-besarnya.

Yang dimaksud dengan asas pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah asas dalam pengelolaan energi yang harus menjamin kualitas fungsi lingkungan yang lebih baik.

Yang dimaksud dengan asas ketahanan nasional adalah asas dalam pengelolaan energi yang harus mencapai kemampuan nasional dalam pengelolaan energi.

Yang dimaksud dengan asas keterpaduan adalah asas dalam pengelolaan energi yang harus mencapai pengelolaan energi secara terpadu antar sektor.

Pasal 3

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Pemanfaatan energi di semua sektor sesuai dengan keperluan berdasarkan standar penggunaan energi.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

16

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Yang dimaksud nilai keekonomian berkeadilan adalah suatu nilai/biaya yang merefleksikan biaya produksi energi, termasuk biaya lingkungan dan biaya konservasi serta keuntungan yang dikaji berdasarkan kemampuan masyarakat dan ditetapkan oleh Pemerintah.

Ayat(2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat(2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

17

Yang dimaksud dengan kalangan akademisi adalah pakar energi yang berasal dari perguruan tinggi.

Huruf b

Yang dimaksud dengan kalangan industri adalah praktisi yang bergerak di bidang industri energi.

Huruf c

Yang dimaksud dengan kalangan teknologi adalah pakar di bidang rekayasa teknologi energi.

Huruf d

Yang dimaksud dengan kalangan lingkungan hidup adalah pakar lingkungan di bidang energi.

Huruf e

Yang dimaksud dengan kalangan konsumen adalah masyarakat pengguna energi.

Ayat(4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat(6)

Cukup jelas.

Ayat(7)

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Ayat (1)

Cukup jelas.

18

Ayat(2)

Peran masyarakat dalam ketentuan ini adalah pemberian masukan berupa gagasan, data, dan/atau informasi secara tertulis.

Pasal 20

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Yang dimaksud dengan neraca energi adalah gambaran keseimbangan antara pasokan berbagai sumber energi dan penggunaan energi dalam periode tertentu.

Huruf d

Cukup Jelas.

Huruf e

Cukup Jelas.

Ayat(2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan nilai keekonomian adalah nilai yang terbentuk dari keseimbangan antara pengelolaan permintaan dan penawaran. Insentif dapat berupa bantuan permodalan, perpajakan, dan fiskal. Kemudahan dapat berupa penyederhanaan prosedur perizinan dan persyaratan pengusahaan.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat(2)

19

Badan usaha meliputi badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha swasta.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat(4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat(6)

Cukup jelas.

Ayat(7)

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)

Huruf a

Bentuk pemberdayaan masyarakat setempat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di sekitar wilayah usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat(2)

Cukup jelas.

Pasal 25

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat(2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan produsen adalah produsen di dalam negeri.

Ayat(4)

Cukup jelas.

20

Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 26 Ayat (1)

Huruf a Cukup jelas.

Huruf b Penetapan kebijakan nasional antara lain termasuk penetapan harga energi.

Huruf c Cukup jelas.

Huruf d Cukup jelas.

Ayat(2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 27 Pembinaan diutamakan untuk pengembangan sumber daya manusia dan teknologi.

Pasal 28 Cukup jelas.

Pasal 29 Cukup jelas.

Pasal 30 Cukup jelas.

Pasal 31 Cukup jelas.

Pasal 32 Cukup jelas.

Pasal 33 Cukup jelas.

Pasal 34 Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4746

21

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009

TENTANG

KONSERVASI ENERGI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 25 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Energi;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KONSERVASI ENERGI.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Konservasi energi adalah upaya sistematis, terencana, dan terpadu guna melestarikan sumber daya energi dalam negeri serta meningkatkan efisiensi pemanfaatannya.

2. Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika.

3. Sumber energi adalah sesuatu yang dapat menghasilkan energi, baik secara langsung maupun melalui proses konversi atau transformasi.

4. Sumber daya energi adalah sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan, baik sebagai sumber energi maupun sebagai energi.

22

5. Badan usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus, dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

6. Bentuk usaha tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan dan berkedudukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.

7. Pengusaha adalah perseorangan, badan usaha, bentuk usaha tetap yang melakukan pengusahaan energi termasuk produsen peralatan pemanfaat energi.

8. Pemanfaatan energi adalah kegiatan menggunakan energi, baik langsung maupun tidak langsung, dari sumber energi.

9. Produsen peralatan hemat energi adalah perseorangan atau badan usaha yang mempunyai kegiatan usaha yang memproduksi dan/atau melakukan pengadaan peralatan yang hemat energi.

10. Pengguna energi adalah perseorangan, badan usaha, bentuk usaha tetap, lembaga pemerintah, dan lembaga non pemerintah, yang memanfaatkan energi untuk menghasilkan produk dan/atau jasa.

11. Pengguna sumber energi adalah perseorangan, badan usaha, bentuk usaha tetap, lembaga pemerintah, dan lembaga non pemerintah, yang menggunakan sumber energi.

12. Peralatan hemat energi adalah piranti atau perangkat atau fasilitas yang dalam pengoperasiannya memanfaatkan energi secara hemat sesuai dengan benchmark hemat energi yang ditetapkan.

13. Peralatan pemanfaat energi adalah piranti atau perangkat atau fasilitas yang dalam pengoperasiannya memanfaatkan sumber energi atau energi.

14. Audit energi adalah proses evaluasi pemanfaatan energi dan identifikasi peluang penghematan energi serta rekomendasi peningkatan efisiensi pada pengguna energi dan pengguna sumber energi dalam rangka konservasi energi.

15. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

16. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

17. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan energi.

BAB II TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH, PEMERINTAH DAERAH, PENGUSAHA DAN MASYARAKAT

Bagian Kesatu Umum

Pasal 2

(1) Konservasi energi nasional menjadi tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, pengusaha dan masyarakat.

(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan rencana induk konservasi energi nasional.

23

Pasal 3

(1) Rencana induk konservasi energi nasional disusun dan ditetapkan oleh Menteri.

(2) Rencana induk konservasi energi nasional paling sedikit memuat sasaran, pokok-pokok kebijakan, program, dan langkah-langkah konservasi energi.

(3) Penyusunan rencana induk konservasi energi nasional dilakukan dengan:

a. mengacu pada rencana umum energi nasional; dan

b. memperhatikan masukan dari instansi terkait, pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat.

(4) Rencana induk konservasi energi nasional dibuat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau setiap tahun sesuai keperluan.

Bagian Kedua

Tanggung Jawab Pemerintah

Pasal 4

Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertanggung jawab secara nasional untuk:

a. merumuskan dan menetapkan kebijakan, strategi, dan program konservasi energi;

b. mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas di bidang konservasi energi;

c. melakukan komprehensif sosialisasi secara menyeluruh untuk penggunaan teknologi dan yang menerapkan konservasi energi;

d. mengkaji, menyusun, dan menetapkan kebijakan, serta mengalokasikan dana dalam rangka pelaksanaan program konservasi energi;

e. memberikan kemudahan dan/atau insentif dalam rangka pelaksanaan program konservasi energi;

f. melakukan bimbingan teknis konservasi energi kepada pengusaha, pengguna sumber energi, dan pengguna energi;

g. melaksanakan program dan kegiatan konservasi energi yang telah ditetapkan; dan

h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program konservasi energi.

Bagian Ketiga

Tanggung Jawab Pemerintah Daerah

Pasal 5

Pemerintah daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertanggung jawab sesuai dengan kewenangannya di wilayah provinsi yang bersangkutan untuk:

a. merumuskan dan menetapkan kebijakan, strategi, dan program konservasi energi;

b. mengembangkan sumber daya manusia berkualitas di bidang konservasi energi;

24

c. melakukan sosialisasi secara menyeluruh dan komprehensif untuk penggunaan teknologi yang menerapkan konservasi energi;

d. mengalokasikan dana dalam rangka pelaksanaan program konservasi energi;

e. memberikan kemudahan dan/atau insentif dalam rangka pelaksanaan program konservasi energi;

f. melakukan bimbingan teknis konservasi energi kepada pengusaha, pengguna sumber energi, dan pengguna energi;

g. melaksanakan program dan kegiatan konservasi energi; dan

h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program konservasi energi.

Pasal 6

Pemerintah daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertanggung jawab sesuai dengan kewenangannya di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan untuk:

a. merumuskan dan menetapkan kebijakan, strategi dan program konservasi energi;

b. mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas di bidang konservasi energi;

c. melakukan sosialisasi secara menyeluruh dan komprehensif untuk penggunaan teknologi yang menerapkan konservasi energi;

d. mengalokasikan dana dalam rangka pelaksanaan program konservasi energi;

e. memberikan kemudahan dan/atau insentif dalam rangka pelaksanaan program konservasi energi;

f. melakukan bimbingan teknis konservasi energi kepada pengusaha, pengguna sumber energi, dan pengguna energi;

g. melaksanakan program dan kegiatan konservasi energi; dan

h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program konservasi energi.

Bagian Keempat Tanggung Jawab Pengusaha

Pasal 7

(1) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertanggung jawab:

a. melaksanakan konservasi energi dalam setiap tahap pelaksanaan usaha; dan

b. menggunakan teknologi yang efisien energi; dan/atau

c. menghasilkan produk dan/atau jasa yang hemat energi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai teknologi yang efisien energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri.

25

Bagian Kelima Tanggung Jawab Masyarakat

Pasal 8

Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertanggung jawab mendukung dan melaksanakan program konservasi energi.

BAB III PELAKSANAAN KONSERVASI ENERGI

Bagian Kesatu Umum

Pasal 9

(1) Pelaksanaan konservasi energi mencakup seluruh tahap pengelolaan energi.

(2) Pengelolaan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:

a. penyediaan energi;

b. pengusahaan energi;

c. pemanfaatan energi; dan

d. konservasi sumber daya energi.

Bagian Kedua

Konservasi Dalam Penyediaan Energi Pasal 10

(1) Perseorangan, badan usaha, dan bentuk usaha tetap dalam kegiatan penyediaan energi wajib melaksanakan konservasi energi.

(2) Pelaksanaan konservasi energi dalam kegiatan penyediaan energi meliputi:

a. perencanaan yang berorientasi pada penggunaan teknologi yang efisien energi;

b. pemilihan prasarana, sarana, peralatan, bahan, dan proses yang secara langsung ataupun tidak langsung menggunakan energi yang efisien; dan

c. pengoperasian sistem yang efisien energi.

Bagian Ketiga

Konservasi Dalam Pengusahaan Energi Pasal 11

(1) Perseorangan, badan usaha, dan bentuk usaha tetap dalam melakukan pengusahaan energi wajib melakukan konservasi energi.

(2) Pengusahaan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengusahaan sumber daya energi, sumber energi, dan energi.

26

(3) Pelaksanaan konservasi energi dalam pengusahaan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerapan teknologi yang efisien energi yang memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat

Konservasi Dalam Pemanfaatan Energi

Pasal 12

(1) Pemanfaatan energi oleh pengguna sumber energi dan pengguna energi wajib dilakukan secara hemat dan efisien.

(2) Pengguna sumber energi dan pengguna energi yang menggunakan sumber energi dan/atau energi lebih besar atau sama dengan 6.000 (enam ribu) setara ton minyak per tahun wajib melakukan konservasi energi melalui manajemen energi.

(3) Manajemen energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan:

a. menunjuk manajer energi;

b. menyusun program konservasi energi;

c. melaksanakan audit energi secara berkala;

d. melaksanakan rekomendasi hasil audit energi; dan

e. melaporkan pelaksanaan konservasi energi setiap tahun kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

Pasal 13

(1) Audit energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf c dilakukan oleh auditor energi internal dan/atau lembaga yang telah terakreditasi.

(2) Manajer energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf a dan auditor energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Program konservasi energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf b disusun oleh pengguna sumber energi dan pengguna energi, paling sedikit memuat informasi mengenai:

a. rencana yang akan dilakukan;

b. jenis dan konsumsi energi;

c. penggunaan peralatan hemat energi;

d. langkah-langkah konservasi energi; dan

e. jumlah produk yang dihasilkan atau jasa yang diberikan.

(4) Laporan pelaksanaan konservasi energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf e disusun berdasarkan program konservasi energi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

27

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan program dan pelaporan hasil pelaksanaan konservasi energi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima

Konservasi Sumber Daya Energi

Pasal 14

(1) Menteri menetapkan kebijakan konservasi sumber daya energi.

(2) Kebijakan konservasi sumber daya energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tetapi tidak terbatas pada:

a. sumber daya energi yang diprioritaskan untuk diusahakan dan/atau disediakan;

b. jumlah sumber daya energi yang dapat diproduksi; dan

c. pembatasan sumber daya energi yang dalam batas waktu tertentu tidak dapat diusahakan.

BAB IV STANDAR DAN LABEL

Pasal 15

(1) Penerapan teknologi yang efisien energi dilakukan melalui penetapan dan pemberlakuan standar kinerja energi pada peralatan pemanfaat energi.

(2) Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 16

(1) Penerapan standar kinerja energi pada peralatan pemanfaat energi sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (1) dilakukan dengan pencantuman label tingkat efisiensi energi.

(2) Pencantuman label tingkat efisiensi energi dilakukan oleh produsen dan importir peralatan pemanfaat energi pada peralatan pemanfaat energi secara bertahap sesuai tata cara labelisasi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pentahapan, tata cara labelisasi, dan jenis-jenis peralatan pemanfaat energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB V KEMUDAHAN, INSENTIF, DAN DISINSENTIF

Bagian Kesatu Kemudahan dan Insentif

Pasal 17

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi kemudahan kepada pengguna energi dan produsen peralatan hemat energi di dalam negeri yang melaksanakan konservasi energi untuk memperoleh:

28

a. Akses informasi mengenai teknologi hemat energi dan spesifikasinya, dan cara/langkah penghematan energi; dan

b. layanan konsultansi mengenai cara/langkah penghematan energi.

Pasal 18

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi insentif kepada:

a. pengguna energi yang menggunakan energi lebih besar atau sama dengan 6.000 (enam ribu) setara ton minyak per tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); dan

b. produsen peralatan hemat energi di dalam negeri, yang berhasil melaksanakan konservasi energi pada periode tertentu.

Pasal 19

(1) Kriteria keberhasilan pelaksanaan konservasi energi bagi pengguna energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a apabila dalam periode tertentu terjadi penurunan:

a. konsumsi energi spesifik; dan/atau

b. elastisitas konsumsi energi.

(2) Kriteria keberhasilan pelaksanaan konservasi energi bagi produsen peralatan hemat energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b apabila dalam periode tertentu dapat:

a. memproduksi peralatan hemat energi yang efisiensi energinya lebih tinggi dari benchmark yang ditentukan; dan

b. mencantumkan label tingkat efisiensi energi sesuai dengan standar yang berlaku.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria keberhasilan pelaksanaan konservasi energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 20

(1) Insentif yang diberikan kepada pengguna energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a dapat berupa:

a. fasilitas perpajakan untuk peralatan hemat energi;

b. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak daerah untuk peralatan hemat energi;

c. fasilitas bea masuk untuk peralatan hemat energi;

d. dana suku bunga rendah untuk investasi konservasi energi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau

e. audit energi dalam pola kemitraan yang dibiayai oleh Pemerintah.

(2) Insentif yang diberikan kepada produsen peralatan hemat energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b dapat berupa:

a. fasilitas perpajakan untuk komponen/suku cadang dan bahan baku yang digunakan untuk memproduksi peralatan hemat energi;

29

b. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak daerah untuk komponen/suku cadang dan bahan baku yang digunakan untuk memproduksi peralatan hemat energi;

c. fasilitas bea masuk untuk komponen/suku cadang dan bahan baku yang akan digunakan untuk memproduksi peralatan hemat energi; dan/atau

d. dana suku bunga rendah untuk investasi dalam rangka memproduksi peralatan hemat energi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Permohonan insentif dapat diajukan oleh pengguna energi dalam hal hasil evaluasi atas laporan pelaksanaan konservasi energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf e sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), menunjukkan keberhasilan pelaksanaan konservasi energi.

(4) Permohonan insentif dapat diajukan oleh produsen peralatan hemat energi di dalam negeri dalam hal verifikasi terhadap kriteria keberhasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) menunjukkan keberhasilan pelaksanaan konservasi energi.

(5) Fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

(6) Pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (1) huruf b diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah.

(7) Fasilitas bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c, diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

Pasal 21

(1) Insentif berupa audit energi dalam pola kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf e selain diberikan kepada pengguna energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a, dapat juga diberikan kepada pengguna energi yang menggunakan energi kurang dari 6.000 (enam ribu) setara ton minyak per tahun yang berhasil melaksanakan konservasi energi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kriteria pengguna energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua Disinsentif

Pasal 22

(1) Pengguna sumber energi dan pengguna energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) yang tidak melaksanakan konservasi energi melalui manajemen energi dikenakan disinsentif oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing.

(2) Disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. peringatan tertulis;

b. pengumuman di media massa;

c. denda; dan/atau

d. pengurangan pasokan energi.

30

Pasal 23

Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dalam tenggat waktu masing-masing 1 (satu) bulan.

Pasal 24

Dalam hal pengguna sumber energi dan pengguna energi yang telah diberi peringatan sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tidak melaksanakan konservasi energi, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengumumkan nama pengguna sumber energi dan pengguna energi yang bersangkutan di media massa.

Pasal 25

(1) Dalam hal 1 (satu) bulan setelah nama pengguna sumber energi dan pengguna energi diumumkan di media massa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 tetap tidak melaksanakan konservasi energi, yang bersangkutan dikenai denda.

(2) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sebanyak 2 (dua) kali dari nilai pemborosan energi yang ditimbulkan.

(3) Hasil denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetorkan ke kas negara/kas daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 26

(1) Dalam hal 1 (satu) bulan setelah pengenaan denda pengguna sumber energi dan pengguna energi tidak membayar denda, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan pengurangan pasokan energi kepada yang bersangkutan.

(2) Gubernur atau bupati/walikota dalam menetapkan pengurangan pasokan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan Menteri.

(3) Pengurangan pasokan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban pembayaran denda oleh pengguna sumber energi dan pengguna energi.

Pasal 27

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 26 diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 28

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan konservasi energi sesuai dengan kewenangannya.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui:

31

a. pendidikan dan pelatihan;

b. bimbingan teknis;

c. penyuluhan;

d. penyebarluasan informasi baik melalui media cetak, media elektronik, forum, atau pameran-pameran; dan

e. dorongan dan/atau fasilitasi kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi konservasi energi.

(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan terhadap:

a. penunjukan manajer energi;

b. penyusunan program konservasi energi;

c. pelaksanaan audit energi secara berkala; dan

d. pelaksanaan rekomendasi hasil audit energi.

(4) Pendanaan yang diperlukan untuk pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(5) Pendanaan yang diperlukan untuk pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29

Dalam hal rencana umum energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a belum ditetapkan, rencana induk konservasi energi nasional dapat disusun dengan memperhatikan masukan dari instansi terkait, pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat.

BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 30

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1991 tentang Konservasi Energi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 31

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 16 November 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

32

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 16 November 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 171

33

PENJELASAN ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009

TENTANG

KONSERVASI ENERGI

I. UMUM

Energi mempunyai peranan yang sangat penting dan menjadi kebutuhan dasar dalam pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Oleh karena itu, energi harus digunakan secara hemat, rasional, dan bijaksana agar kebutuhan energi pada masa sekarang dan masa yang akan datang dapat terpenuhi. Mengingat pentingnya penggunaan energi secara hemat, rasional, dan bijaksana, Pemerintah perlu menyusun Peraturan Pemerintah dalam rangka pengaturan pemanfaatan sumber daya energi, sumber energi dan energi, melalui penerapan teknologi yang efisien energi, pemanfaatan energi secara efisien dan rasional, dan penerapan budaya hemat energi guna menjamin ketersediaan energi nasional yang berwawasan lingkungan.

Peraturan Pemerintah ini mengatur:

1. tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, pengusaha dan masyarakat;

2. pelaksanaan konservasi energi yang mencakup seluruh tahap pengelolaan energi yang meliputi kegiatan penyediaan energi, pengusahaan energi, pemanfaatan energi, dan konservasi sumber daya energi;

3. standar dan label;

4. kemudahan, insentif dan disinsentif; dan

5. pembinaan dan pengawasan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

34

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Peraturan Menteri dalam ketentuan ini antara lain mengatur penggunaan teknologi yang efisien energi, mulai dari hulu sampai hilir, yaitu mulai dari proses penyediaan, transmisi, distribusi sampai dengan pemanfaatan.

Pasal 8

Tanggung jawab masyarakat dalam ketentuan ini dimaksudkan agar tercipta budaya hemat energi.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “hemat” dalam ketentuan ini berkaitan dengan perilaku penggunaan energi secara efektif dan efisien.

Yang dimaksud dengan “efisien” dalam ketentuan ini adalah nilai maksimal yang dihasilkan dari perbandingan antara keluaran dan masukan energi pada peralatan pemanfaat energi.

Ayat (2)

Penetapan batasan angka 6.000 (enam ribu) dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa pengguna energi dengan konsumsi lebih besar atau sama dengan 6.000 (enam ribu) setara ton minyak per tahuntidak terlalu banyak, tetapi total konsumsi energinya mencapai sekitar 60% (enam puluh persen) dari penggunaan energi nasional.

Dengan kata lain, apabila langkah-langkah konservasi energi berhasil dilakukan pada kelompok tersebut, maka dampak penghematan secara nasional akan signifikan.

Setara 1 (satu) ton minyak sama dengan:

41,9 giga joule (GJ);

1,15 kilo liter minyak bumi (kl minyak bumi);

39,68 million British Thermal Unit (MMBTU); atau

11,63 mega watt hour (MWh).

35

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "manajemen energi” adalah kegiatan terpadu untuk mengendalikan konsumsi energi agar tercapai pemanfaatan energi yang efektif dan efisien untuk menghasilkan keluaran yang maksimal melalui tindakan teknis secara terstruktur dan ekonomis untuk meminimalisasi pemanfaatan energi termasuk energi untuk proses produksi dan meminimalisasi konsumsi bahan baku dan bahan pendukung.

Pasal 13

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "auditor energi internal" adalah auditor yang bekerja pada pengguna sumber energi dan pengguna energi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 14

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Pembatasan sumber daya energi dalam ketentuan ini dilakukan terhadap sumber daya energi yang tidak terbarukan.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Ayat (1)

Label tingkat efisiensi energi berisi informasi mengenai tingkat penggunaan energi suatu peralatan pemanfaat energi.

36

Dengan adanya label tersebut, masyarakat mendapat informasi mengenai tingkat penggunaan energi dari suatu peralatan pemanfaat energi tersebut.

Ayat (2)

Peralatan pemanfaat energi yang dimaksud terutama yang menggunakan energi listrik seperti kulkas, lampu, setrika, air conditioner, rice cooker, motor listrik dan lain lain.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "konsumsi energi spesifik” adalah jumlah energi yang digunakan untuk menghasilkan 1 (satu) satuan produk atau keluaran.

Penurunan konsumsi energi spesifik ini harus dibandingkan dalam tingkat keluaran yang sama, seperti kWh/ton, kWh/m2, liter/kWh.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "elastisitas konsumsi energi" adalah perbandingan pertumbuhan konsumsi energi terhadap pertumbuhan produk atau keluaran (konsumsi energi terhadap produk atau keluaran).

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Pengaturan keberhasilan pelaksanaan konservasi energi meliputi antara lain:

a. kriteria keberhasilan (benchmark hemat energi, persentase penurunan intensitas, elastisitas, periode, dan kecenderungan penurunan); dan

b. prosedur penilaian keberhasilan.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

37

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Pengumuman di media massa dalam ketentuan ini dilakukan paling sedikit dalam 1 (satu) media cetak atau elektronik.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5083

38

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1974

TENTANG

PENGAIRAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai manfaat serba guna dan dibutuhkan manusia sepanjang masa, baik di bidang ekonomi sosial maupun budaya;

b. bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran Rakyat secara adil dan merata.

c. bahwa pemanfaatannya haruslah diabdikan kepada kepentingan dan kesejahteraan rakyat yang sekaligus menciptakan pertumbuhan, keadilan sosial dan kemampuan untuk berdiri atas kekuatan sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila;

d. bahwa Algemeen Waterreglement Tahun 1936 belum berlaku untuk seluruh Indonesia dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan dengan pengairan dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan keadaan pada dewasa ini;

e. bahwa untuk terlaksananya maksud tersebut di atas, perlu adanya Undang-undang mengenai pengairan yang bersifat nasional dan disesuaikan dengan perkembangan keadaan di Indonesia, baik ditinjau dari segi ekonomi, sosial dan teknologi, guna dijadikan landasan bagi penyusunan peraturan perundang-undangan selanjutnya.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara;,

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);

39

4. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960, Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2068);

5. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene Untuk Usaha-usaha Bagi - Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2475);

6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2823);

7. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2824);

8. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831);

9. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037);

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAIRAN

BAB I

PENGERTIAN

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. "Negara" adalah Negara Republik Indonesia;

2. "Pemerintah" adalah Pemerintah Republik Indonesia;

3. "Air" adalah semua air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah, tidak termasuk dalam pengertian ini air yang terdapat di laut;

4. "Sumber-sumber Air" adalah tempat-tempat dan wadah-wadah air, baik yang terdapat di atas, maupun di bawah permukaan tanah;

40

5. "Pegairan" adalah suatu bidang pembinaan atas air, sumber-sumber air, termasuk kekayaan alam bukan hewani yang terkandung di dalamnya baik yang alamiah maupun yang telah diusahakan oleh manusia;

6. "Tata Pengaturan Air" adalah segala usaha untuk mengatur pembinaan seperti pemilikan, penguasaan, pengelolaan, penggunaan, pengusahaan, dan pengawasan atas air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam bukan hewani yang terkandung didalamnya, guna mencapai manfaat yang sebesar-besarnya dalam memenuhi hajat hidup dan peri kehidupan Rakyat;

7. "Tata Pengairan" adalah susunan dan letak sumber-sumber air dan atau bangunan-bangunan pengairan menurut ketentuan-ketentuan teknik pembinaanya disuatu wilayah pengairan;

8. "Tata Air" adalah susunan dan letak air seperti dimaksud dalam angka 3 pasal ini;

9. "Pembangunan Pengairan", adalah segala usaha mengembangkan pemanfaatan air beserta sumber-sumbernya dengan perencanaan dan perencanaan teknis yang teratur an serasi guna mencapai manfaat sebesar-besarnya dalam memenuhi hajat hidup dan peri kehidupan Rakyat;

10. "Perencanaan" adalah kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha untuk merumuskan sesuatu dasar tuntunan guna sesuatu tindakan dalam ruang lingkup yang luas dan berskala makro, sebagai hasil dari penghubungan dan pengolahan dari tugas pokok, tugas utama, cetusan, gagasan, pengetahuan, pengalaman dan keadaan;

11. "Rencana" adalah hasil perencanaan;

12. "Perencanaan Teknis" adalah kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha untuk merumuskan perincian rencana sebagai dasar dan tuntunan guna sesuatu tindakan dalam ruang lingkup yang tertentu dan berskala rmikro serta bersifat teknis;

13. "Rencana Teknis" adalah hasil perencanaan teknis.

BAB II FUNGSI

Pasal 2

Air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkan dung didalamnya, seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, 4 dan 5 Undang-undang ini mempunyai fungsi sosial serta digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat.

BAB III HAK PENGUASAAN DAN WEWENANG

Pasal 3

(1) Air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalanmya seperti dimaksud dalm Pasal 1 angka 3, 4 dan 5 Undang-undang ini dikuasai oleh Negara.

(2) Hak menguasai oleh Negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk :

a. Mengelola serta mengembangkan kemanfaatan air dan atau sumber-sumber air;

b. Menyusun mengesahkan, dan atau memberi izin berdasarkan perencanaan dan perencanaan teknis tata pengaturan air dan tata pengairan;

41

c. Mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin peruntukan, penggunaan, penyediaan air, dan atau sumber-sumber air;

d. Mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin pengusahaan air, dan atau sumber-sumber air;

e. Menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum dan hubungan-hubungan hukum antara orang dan atau badan hukum dalam persoalan air dan atau sumber-sumber air;

(3) Pelaksanaan atas ketentuan ayat (2) pasal ini tetap menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional.

Pasal 4

Wewenang Pemerintah sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 Undang- undang ini, dapat dilimpahkan kepada instansi-instansi Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah dan atau badan-badan hukum tertentu yang syarat- syarat dan cara-caranya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 5

(1) Menteri yang diserahi tugas urusan pengairan, diberi wewenang dan tanggungjawab untuk mengkordinasikan segata pengaturan usaha-usaha perencanaan, perencanaan teknis, pengawasan, pengusahaan, pemeliharaan, serta perlindungan dan penggunaan air dan atau sumber-sumber air, dengan memperhatikan kepentingan Departemen dan atau Lembaga yang bersangkutan.

(2) Pengurusan administratip atas sumber air bawah tanah dan mata air panas sebagai sumber mineral dan tenaga adalah diluar wewenang dan tanggung-jawab Menteri yang disebut dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 6

Dalam hal terjadi atau diperhitungkan akan terjadi bencana yang mempunyai akibat kerugian harta benda maupun jiwa, Pemerintah berwenang mengambil tindakan-tindakan penyelematan dengan mengatur kegiatan-kegiatan pengamanan yang dapat menyimpang dari ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

Pasal 7

Pengaturan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, 5 dan 6 Undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV PERENCANAAN DAN PERENCANAAN TEKNIS

Pasal 8

(1) Tata Pengaturan Air dan Tata Pengairan serta Pembangunan Pengairan disusun atas dasar perencanaan dan perencanaan teknis yang ditujukan untuk kepentingan umum.

42

(2) Hasil perencanaan dan perencanaan teknis yang berupa rencana- rencana dan rencana-rencana teknis tata, pengaturan air dan tata pengairan serta pembangunan pengairan tersebut dalam ayat (1) pasal ini, disusun untuk keperluan rakyat disegala bidang dengan memperhatikan urutan prioritas.

(3) Rencana-rencana dan rencana-rencana teknis dimaksud dalam ayat (2 pasal ini, disusun guna memperoleh tata air yang baik berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Nasional dan dilaksanakan untuk kepentingan yang bersifat nasional, regional dan lokal.

Pasal 9

Sebagai dasar perencanaan, pengembangan dan pemanfaatannya, di selenggarakan penelitian dan inventarisasi untuk mengetahui modal kekayaan alam yang berupa air beserta sumber-sumbernya diseluruh wilayah Indonesia.

BAB V PEMBINAAN

Pasal 10

(1) Pemerintah menetapkan tata cara pembinaan dalam rangka kegiatan pengairan menurut bidangnya masing-masing sesuai dengan fungsi- fungsi dan peranannya, meliputi:

a. Menetapkan syarat-syarat dan mengatur perencanaan, perencanaan teknis, penggunaan, pengusahaan, pengawasan dan perizinan pemanfaatan air dan atau sumber-sumber air;

b. Mengatur dan melaksanakan pengelolaan serta pengembangan sumber-sumber air dan jaringan-jaringan pengairan (saluran- saluran beserta bangunan-bangunannya) secara lestari dan untuk mencapai daya guna sebesar-besarnya;

c. Melakukan pencegahan terhadap terjadinya pengotoran air yang dapat merugikan penggunaannya serta lingkungannya;

d. Melakukan pengamanan dan atau pengendalian daya rusak air terhadap daerah-daerah sekitarnya;

e. Menyelenggarakan penelitian dan penyelidikan sumber-sumber air;

f. Mengatur serta menyelenggarakan penyuluhan dan pendidikan khusus dalam bidang pengairan.

(2) Tata cara pembinaan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI PENGUSAHAAN

Pasal 11

(1) Pengusahaan air dan atau sumber-sumber air yang ditujukan untuk meningkatkan kemanfaatannya bagi kesejahteraan Rakyat pada dasarnya dilakukan oleh Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah.

(2) Badan Hukum, Badan Sosial dan atau perorangan yang. Melakukan pengusahaan air dan atau sumber-sumber air, harus memperoleh izin dari Pemerintah, dengan berpedoman kepada azas usaha bersama dan kekeluargaan.

43

(3) Pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII EKSPLOITASI DAN PEMELIHARAAN

Pasal 12

Guna menjamin kelestarian fungsi dari bangunan-bangunan pengairan untuk menjaga tata pengairan dan tata air yang baik, perlu dilakukan kegiatan-kegiatan eksploitasi dan pemeliharaan serta perbaikan- perbaikan bangunan- bangunan pengairan tersebut dengan ketentuan :

a. Bagi bangunan-bangunan pengairan yang ditujukan untuk memberikan manfaat langsung kepada sesuatu kelompok masyarakat dilakukan dengan mengikut sertakan masyarakat, baik yang berbentuk Badan Hukum, Badan Sosial maupun perorangan, yang memperoleh manfaat langsung dari adanya bangunan-bangunan tersebut, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

b. Bagi bangunan-bangunan pengairan yang ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan umum pada dasarnya dilakukan oleh Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah.

BAB VIII PERLINDUNGAN

Pasal 13

(1) Air, sumber-sumber air beserta bangunan-bangunan pengairan harus dilindungi serta diamankan, dipertahankan dan dijaga kelestariannya, supaya dapat memenuhi fungsinya sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 Undang-undang ini, dengan jalan:

a. Melakukan usaha-usaha penyelamatan tanah dan air;

b. Melakukan pengamanan dan pengendalian daya rusak air terhadap sumber-sumbernya dan daerah sekitarnya;

c. Melakukan pencegahan terhadap terjadinya pengotoran air, yang dapat merugikan penggunaan serta lingkungannya;

d. Melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap bangunan- bangunan pengairan, sehingga tetap berfungsi sebagaimana mestinya.

(2) Pelaksanaan ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX PEMBIAYAAN

Pasal 14

(1) Segala pembiayaan untuk melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka Tata Pengaturan Air dan Pembangunan Pengairan diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.

(2) Masyarakat yang mendapat manfaat langsung dari adanya bangunan- bangunan pengairan, baik untuk diusahakan lebih lanjut maupun untuk keperluan sendiri dapat diikut sertakan menanggung pembiayaan sebagai pengganti jasa pengelolaan.

44

(3) Badan Hukum, Badan Sosial dan atau perorangan yang mendapat manfaat dari adanya bangunan-bangunan pengairan, baik untuk diusahakan lebih lanjut maupun untuk keperluan sendiri, wajib ikut menanggung pembiayaan dalam bentuk iuran yang diberikan kepada Pemerintah.

(4) Pelaksanaan dari ayat (2) dan (3) Pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X KETENTUAN PIDANA

Pasal 15

(1) Diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) :

a. barang siapa dengan sengaja melakukan pengusahaan air dan atau sumber-sumber air yang tidak berdasarkan perencanaan dan perencanaan teknis tata pengaturan air dan tata pengairan serta pembangunan pengairan sebagaimana tersebut dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang ini;

b. barang siapa dengan sengaja melakukan pengusahaan air dan atau sumber-sumber air tanpa izin dari Pemerintah sebagaimana tersebut dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ini ;

c. barang siapa yang sudah memperoleh izin dari Pemerintah untuk pengusahaan air dan atau sumber-sumber air sebagaimana tersebut dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ini, tetapi dengan sengaja tidak melakukan dan atau sengaja tidak ikut membantu dalam usaha-usaha menyelamatkan tanah, air, sumber- sumber air dan bangunan-bangunan pengairan sebagaimana tersebut dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, b, c, dan d Undang- undang ini.

(2) Perbuatan pidana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini adalah kejahatan.

(3) Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan terjadinya pelanggaran atas ketentuan tersebut dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (1) huruf a, b, c dan d Undang-undang ini, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000,- (Limapuluh ribu rupiah).

(4) Perbuatan pidana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini adalah pelanggaran.

BAB XI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 16

Segala peraturan perundang-undangan dalam bidang pengairan yang elah ada yang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku, selama belum diadakan yang baru berdasarkan Undang- undang ini.

BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 17

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

45

Disahkan di Jakarta,

pada tanggal 26 Desember 1974 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SOEHARTO JENDERAL TNI.

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 Desember 1974

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SUDHARMONO, S H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 65

46

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1974

TENTANG PENGAIRAN

A. PENJELASAN UMUM

1. Telah dimaklumi bahwa Bangsa kita dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai kekayaan alam yang tersedia dalam bumi Negara Indonesia ini. Salah satu diantaranya ialah air beserta sumber-sumber misalnya sungai, danau, waduk, rawa, mata air, lapisan-lapisan air di dalam tanah yang mutlak dibutuhkan oleh manusia sepanjang masa baik langsung maupun tidak langsung. Karenanya, bumi dan air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat secara adil dan merata.

Untuk itu, pemanfaatan air beserta sumber-sumbernya haruslah diabdikan kepada kepentingan dan kesejahteraan Rakyat disegala bidang, baik bidang ekonomi, sosial, budaya maupun pertahanan keamanan nasional, yang sekaligus menciptakan pertumbuhan, keadilan sosial dan kemampuan untuk berdiri atas kekuatan sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Oleh karena itu, air beserta sumber-sumbernya tersebut haruslah dilindungi dan dijaga kelestariannya. Agar maksud tersebut dapat dicapai dengan sebaik-baiknya, Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah serta tindakan-tindakan seperlunya.

Dengan demikian sesuai dengan hakekat Negara Republik Indonesia sebagai Negara Hukum, haruslah kepada usaha-usaha serta tindakan-tindakan tersebut diberikan landasan hukum yang tegas, jelas, lengkap serta menyeluruh guna menjamin adanya kepastian hukum bagi kepentingan Rakyat dan Negara serta merupakan salah satu langkah maju kearah terciptanya unifikasi hukum dibidang pengairan.

2. Peraturan-peraturan hukum yang ada mengenai masalah air dan atau sumber- sumber air dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini dan tidak memenuhi cita-cita yang kita harapkan sesuai dengan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.

Algemeen Waterreglement tahun 1936 yang merupakan dasar daripada peraturan perundang-undangan tentang pengaturan masalah air lebih menitik beratkan pada kegiatan-kegiatan untuk mengatur dan mengurus salah satu bidang penggunaan air saja tetapi tidak memberikan dasar yang kuat untuk usaha-usaha pengembangan penggunaan/pemanfaatan air dan atau sumber-sumber air guna meningkatkan taraf hidup Rakyat dan hanya berlaku disebagian wilayah Indonesia, khususnya di Jawa dan Madura.

3. Pengairan merupakan bidang pembinaan atas air dan sumber-sumber air, termasuk kekayaan alam bukan hewani yang terkandung didalamnya, baik yang alamiah maupun yang telah diusahakan oleh manusia.

Pengairan yang dimaksud didalam Undang-undang ini bukanlah hanya sekedar suatu usaha untuk menyediakan air guna keperluan pertanian saja (irigasi), namun lebih luas dari pada itu ialah pemanfaatan serta pengaturan air dan sumber-sumber air yang meliputi antara lain :

a. irigasi, yakni usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian, baik air permukaan maupun air tanah;

b. pengembangan daerah rawa, yakni pematangan tanah daerah-daerah rawa antara lain untuk pertanian;

47

c. pengendalian dan pengaturan banjir serta usaha untuk perbaikan sungai, waduk dan sebagainya;

d. pengaturan penyediaan air minum, air perkotaan, air industri, dan pencegahan terhadap pencemaran atau pengotoran air dan sebagainya.

4. Undang-undang tentang Pengairan ini harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Sederhana, tetapi cukup dapat mencakup prospek masa depan yang jauh, sesuai dengan keadaan menurut waktu maupun tempat.

b. Mengandung kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk menjadi dasar bagi peraturan-peraturan pelaksanaannya lebih lanjut;

c. Mencakup semua segi di bidang pengairan, agar betul-betul dapat dijadikan dasar bagi peraturan-peraturan untuk masing-masing segi, yang pengaturannya lebih lanjut akan diatur tersendiri.

5. Undang-undang ini dalam Bab pertama memuat beberapa pengertian dari istilah- istilah yang lazim dipergunakan dibidang pengairan yang diatur dalam Undang- undang ini dengan maksud menghindari perbedaan penafsiran, karena sampai pada waktu ini dibidang tersebut masih banyak dipakai istilah yang belum mendapatkan kesatuan pengertian.

6. Seperti telah disebutkan diatas bahwa mengingat air beserta sumber-sumbernya merupakan kekayaan alam yang mutlak dibutuhkan untuk hajat hidup manusia, maka dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa air beserta sumber-sumbernya dikuasai oleh negara dan pelaksanaan wewenang penguasaannya dilimpahkan kepada Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah.

Disamping itu Undang-undang ini dapat melimpahkan wewenang tertentu dari pada Pemerintah tersebut kepada Badan-bandan Hukum tertentu, yang syarat- syaratnya diatur oleh Pemerintah, dengan menghormati hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat setempat, ialah masyarakat yang tata kehidupannya berdasarkan adat, kebiasaan dan keagamaan, termasuk Lembaga-lembaga masyarakat yang bersifat sosial religius sepanjang hak-hak itu menurut kenyataan betul-betul masih ada dan pelaksanaannya harus sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dicantumkan dalam Undang-undang ini dan peraturan-peraturan pelaksanaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional.

B. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1

Istilah-istilah yang dirumuskan dalam pasal ini dimaksudkan agar supaya terdapat keseragaman pengertian atas isi Undang-undang ini serta peraturan- peraturan pelaksanaannya.

Angka 1 : Cukup jelas.

Angka 2 : Cukup jelas.

Angka 3 : Dalam pengertian "Air" disini, dikecualikan air yang terdapat di laut maupun lautnya sendiri sebagai sumber air. Dengan demikian maka air laut, selama berada di laut tidak diatur oleh Undang-undang ini, namun apabila air laut tersebut telah dimanfaatkan di darat untuk dipergunakan sebagai sarana berbagai keperluan, maka Undang-undang ini berlaku atas air tersebut.

Angka 4 : Termasuk sumber air ialah antara lain sungai, danau, waduk, rawa, mata air dan lapisan-lapisan air tanah.

Angka 5 : Pengertian "Pengairan" adalah merupakan suatu bidang pembinaan yang harus terus dilakukan serta dikembangkan dengan sebaik-baiknya Pembinaan dan

48

pengembangan bidang ini dilakukan melalui tata pengaturan air ditujukan untuk mencapai tata pengairan atas tata air seperti dirumuskan pada angka 6, 7 dan 8. Kekayaan alam bukan hewani yang dimaksud di sini ialah misalnya pasir, kerikil, batu dan sebagainya yang terdapat dalam sumber air tersebut; tidak termasuk di dalamnya bahan mineral dan bahan galian.

Angka 6 : Cukup jelas.

Angka 7 : Yang dimaksud dengan wilayah pengairan dalam angka ini ialah suatu wilayah yang mendapatkan pengaruh atas penyelenggaraan usaha-usaha di bidang pengairan dan dapat mencakup beberapa wilayah administratip.

Angka 8 : Cukup jelas.

Angka 9 : Cukup jelas.

Angka 10 : Cukup jelas.

Angka 11 : Cukup jelas.

Angka 12 : Cukup jelas.

Angka 13 : Cukup jelas.

Pasal 2

Untuk mencapai fungsi sosial tersebut bagi kepentingan Rakyat, air beserta sumber-sumbernya diperuntukkan memenuhi kebutuhan hidup dan perikehidupan manusia dalam segala bidang, baik, keduniawian maupun kerohanian.

Pasal 3

Ayat (1) : Cukup jelas.

Ayat (2) : Adanya hak menguasai oleh Negara tersebut menimbulkan wewenang untuk melakukan kepentingan yang garis-garis besarnya seperti tercantum pada huruf a sampai dengan huruf e. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup keharusan untuk melindungi serta mengamankan air dan atau sumber-sumber air untuk menjaga kelestarian fungsinya.

Ayat (3) : Yang dimaksud dengan masyarakat adat setempat adalah masyarakat yang tata kehidupannya berdasarkan atas kebiasaan dan keagamaan, termasuk juga lembaga-lembaga masyarakat yang bersifat sosial religius. Pelimpahan pelaksanaan wewenang dari pada Negara kepada badan-badan hukum tertentu seperti diatur di dalam pasal ini, dimaksudkan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk ikut mengembangkan pemanfaatan serta pengusahaan air dan atau sumber-sumber air.

Pasal 5

Ayat(1) : Penunjukan kepada Menteri yang diserahi tugas urusan Pengairan dalam mengkordinasikan masalah pengembangan, pemanfaatan air dan atau sumber-sumber air adalah perlu dan penting untuk mendapatkan kesatuan tindak antara Menteri-menteri atau Kepala- kepala Lembaga yang dalam melaksanakan wewenangnya bersangkut paut dengan bidang pengairan.

Ayat (2) : Cukup jelas.

Pasal 6

Dalam hal terjadi atau dipertimbangkan akan terjadi bencana yang mempunyai akibat kerugian harta benda maupun jiwa, Pemerintah diberi wewenang selain menyimpang dari ketentuan Undang-undang

49

ini, dalam pelaksanaannya juga dapat mengadakan penyimpangan atas hak-hak yang telah ada atas air dan sumber-sumber air yang dimiliki oleh fihak lain.

Pasal 7

Pasal ini memberikan landasan kepada Pemerintah di dalam melaksanakan wewenangnya dalam hubungannya dengan pasal 4, 5 dan 6 yang akan diatur didalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 8

Ayat (1) : Cukup jelas.

Ayat (2) : Yang dimaksud dengan keperluan Rakyat di segala bidang berdasarkan perioritasnya ialah antara lain meliputi :

A. : a. Air minum;

b. Rumah tangga;

c. Pertahanan dan Keamanan Nasional;

d. Peribadatan;

e. Usaha perkotaan, misalnya: pencegahan kebakaran, penggelontoran, menyiram tanaman dan lain sebagainya.

B. : a. Pertanian, pertanian Rakyat dan Usaha Pertanian lainnya;

b. Peternakan;

c. Perkebunan;

d. Perikanan.

C. : a. Ketenagaan;

b. Industri;

c. Pertambangan;

d. Lalu-lintas air;

e. Rekreasi.

Ayat(3) : Cukup jelas.

Pasal 9

Penelitian dan inventarisasi sangat diperlukan guna menentukan arah serta dasar perencanaan dan perencanaan teknis dari pada pengembangan dan pemanfaatan air dan atau sumber-sumber air. Usaha ini dapat tidak dilakukan dalam keadaan seperti yang disebut oleh Pasal 6 Undang-undang ini.

Pasal 10

Ayat(1) : Yang dimaksud dengan bidangnya masing-masing sesuai dengan fungsi dan peranannya ialah seperti pembinaan sungai, irigasi, air untuk industri, air untuk usaha perkotaan, air bersih untuk minum dan keperluan rumah tangga lainnya dan sebagainya. Penyuluhan seperti tersebut pada huruf f ditujukan untuk memberikan pengertian tentang hal-hal yang bersangkutan dengan kegiatan pengairan, agar

50

supaya masyarakat ikut menjaga kelestarian fungsi dari pada jaringan-jaringan pengairan dan sekaligus untuk meningkatkan kemampuan Rakyat. Pendidikan khusus lebih banyak ditujukan kepada para petugas pengairan sendiri.

Ayat (2) : Cukup jelas.

Pasal 11

Pengusahaan air dan atau sumber-sumber air di sini diartikan, bahwa usaha peningkatan kemanfaatan air dan atau sumber-sumber air itu ditujukan untuk mencari penghasilan yang langsung berupa uang oleh kelompok masyarakat pengusaha, baik yang berbentuk Badan Hukum, Badan Sosial maupun perorangan, dengan selalu berpedoman kepada azas usaha bersama dan kekeluargaan. Yang dimaksud dengan usaha bersama dan kekeluargaan adalah antara lain usaha mengembangkan koperasi.

Pasal 12

Kegiatan-kegiatan eksploitasi dan pemeliharaan serta perbaikan-perbaikan sangat diperlukan, selain untuk menjaga keutuhan dari bangunan-bangunan pengairan itu sendiri juga menanamkan rasa ikut memiliki dan dengan demikian mempunyai rasa tanggungjawab dari sesuatu kelompok masyarakat, terutama yang langsung mendapat manfaat atas air dan atau sumber-sumber air. Kelompok masyarakat di sini dimaksudkan kelompok usaha perekonomian yang terdapat di dalam masyarakat, misalnya kelompok masyarakat tani, kelompok masyarakat pengusaha, baik pengusahaan produksi agraris, dan bukan agraris maupun jasa.

Pasal 13

Ayat (1) : Melakukan usaha-usaha penyelamatan tanah dan air tersebut pada huruf a dilaksanakan antara lain dengan melakukan pembinaan hutan lindung dan atau jenis tumbuh-tumbuhan lainnya, pengendalian erosi dan sebagainya.

Ayat (2) : Cukup jelas.

Pasal 14

Ayat (1) : Cukup jelas.

Ayat (2) : Ketentuan ini terutama ditujukan kepada masyarakat (termasuk Badan Hukum, Badan Sosial, dan perorangan) yang melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak bertujuan atau tidak bersifat mencari keuntungan. Kepada masyarakat tersebut yang memperoleh manfaat secara langsung dari adanya bangunan-bangunan pengairan dapat diikut-sertakan dalam menanggung pembiayaan untuk eksploitasi dan pemeliharaan sebagaimana disebut pada Pasal 12 huruf a Undang-undang ini, yang penyertaannya tidak memberatkan beban masyarakat.

Ayat (3) : Yang dimaksud dengan Badan Hukum, Badan Sosial dan atau perorangan pada ayat ini adalah pihak-pihak yang berusaha mencari keuntungan dari pemanfaatan air dan atau sumber-sumber air, antara lain seperti usaha-usaha perkebunan, perindustrian, pertambangan.

Ayat (4) : Cukup jelas.

Pasal 15

Ayat (1) dan (2) : Ketentuan pasal ini dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi penuntutan atas kejahatan yang tidak diatur di dalam KUHP, khususnya Bab VII pasal 187, 188, 190, 191, 202, 203, yang mengatur kejahatan-kejahatan, yang langsung mendatangkan bahaya bagi keamanan umum, orang dan barang, tetapi yang secara khusus dan langsung berhubungan dengan Undang-undang ini. Oleh karena akibat dari perbuatan hukum yang dengan sengaja dilakukan

51

bertentangan dengan Undang-undang ini dapat juga menimbulkan bahaya bagi keamanan umum, orang maupun barang, maka perbuatan hukum tersebut dinilai sebagai kejahatan.

Ayat (3) dan (4) : Perbuatan yang dilakukan atas kelalaian atau karena kurang pengetahuan, sehingga terjadi pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut dalam ayat ini, dinilai sebagai pelanggaran.

Pasal 16

Maksud ketentuan ini adalah agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) dalam pengairan.

Pasal 17

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3046

52

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015

TENTANG

PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengusahaan Sumber Daya Air;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3046);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Sumber Daya Air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya.

2. Air adalah semua Air yang terdapat pada, di atas atau di bawah permukaan tanah, termasuk air laut yang berada di darat.

3. Sumber Air adalah tempat atau wadah Air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, atau di bawah permukaan tanah.

4. Daya Air adalah potensi yang terkandung dalam Air dan/atau pada Sumber Air yang dapat memberikan manfaat atau kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta lingkungannya.

5. Air Permukaan adalah semua Air yang terdapat pada permukaan tanah.

6. Air Tanah adalah Air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.

7. Air Minum adalah Air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kualitas baku mutu Air Minum dan dapat langsung diminum.

53

8. Pengairan yang selanjutnya disebut Pengelolaan Sumber Daya Air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.

9. Pengusahaan Sumber Daya Air adalah upaya pemanfaatan Sumber Daya Air untuk memenuhi kebutuhan usaha.

10. Izin Pengusahaan Sumber Daya Air adalah izin untuk memperoleh dan/atau mengambil Sumber Daya Air Permukaan untuk melakukan kegiatan usaha.

11. Izin Pengusahaan Air Tanah adalah izin untuk memperoleh dan/atau mengambil Air Tanah untuk melakukan kegiatan usaha.

12. Rekomendasi Teknis adalah persyaratan teknis yang harus dipenuhi dalam pemberian izin.

13. Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan Air yang be , yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

14. Wilayah Sungai adalah kesatuan wilayah Pengelolaan Sumber Daya Air dalam satu atau lebih Daerah Aliran Sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilo meter persegi).

15. Cekungan Air Tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung.

16. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

17. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

18. Pengelola Sumber Daya Air adalah institusi yang diberi wewenang untuk melaksanakan pengelolaan Sumber Daya Air.

Pasal 2

(1) Pengusahaan Sumber Daya Air diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip:

a. tidak mengganggu, mengesampingkan, dan meniadakan hak rakyat atas Air;

b. perlindungan negara terhadap hak rakyat atas Air;

c. kelestarian lingkungan hidup sebagai salah satu hak asasi manusia;

d. pengawasan dan pengendalian oleh negara atas Air bersifat mutlak;

e. prioritas utama pengusahaan atas Air diberikan kepada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah; dan

f. pemberian Izin Pengusahaan Sumber Daya Air dan Izin Pengusahaan Air Tanah kepada usaha swasta dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat setelah prinsip sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e dipenuhi dan masih terdapat ketersediaan Air.

(2) Pengusahaan Sumber Daya Air ditujukan untuk meningkatkan kemanfaatan Sumber Daya Air bagi kesejahteraan rakyat.

(3) Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan berpedoman kepada asas usaha bersama dan kekeluargaan.

Pasal 3

Lingkup pengaturan Peraturan Pemerintah ini mencakup penyelenggaraan Pengusahaan Sumber Daya Air yang meliputi Sumber Daya Air Permukaan dan Air Tanah.

54

BAB II DASAR PENYELENGGARAAN PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR

Pasal 4

(1) Pengusahaan Sumber Daya Air dilakukan pada Sumber Daya Air Permukaan dan Air Tanah.

(2) Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengutamakan Sumber Daya Air Permukaan.

(3) Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan apabila Air untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat telah terpenuhi, serta sepanjang ketersediaan Air masih mencukupi.

(4) Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan fungsi sosial dan lingkungan hidup, serta terjaminnya keselamatan kekayaan negara dan kelestarian lingkungan.

Pasal 5

(1) Pengusahaan Sumber Daya Air diselenggarakan berdasarkan rencana penyediaan Air dan/atau zona pemanfaatan ruang pada Sumber Air untuk Pengusahaan Sumber Daya Air yang terdapat dalam rencana Pengelolaan Sumber Daya Air.

(2) Pengusahaan Sumber Daya Air dapat dilakukan oleh perseorangan atau badan usaha berdasarkan Izin Pengusahaan Sumber Daya Air atau Izin Pengusahaan Air Tanah dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

(3) Pemberian izin dilakukan secara ketat dengan urutan prioritas:

a. pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari bagi kelompok yang memerlukan Air dalam jumlah besar;

b. pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari yang mengubah kondisi alami Sumber Air;

c. pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada;

d. Pengusahaan Sumber Daya Air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari melalui sistem penyediaan Air Minum;

e. kegiatan bukan usaha untuk kepentingan publik;

f. Pengusahaan Sumber Daya Air oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah; dan

g. Pengusahaan Sumber Daya Air oleh badan usaha swasta atau perseorangan.

(4) Dalam hal rencana Pengelolaan Sumber Daya Air belum ditetapkan, Pengusahaan Sumber Daya Air yang menggunakan Air sebagai media dan/atau materi dapat dilakukan sesuai Izin Pengusahaan Sumber Daya Air atau Izin Pengusahaan Air Tanah yang ditetapkan berdasarkan jumlah Air tersedia sementara.

(5) Izin Pengusahaan Sumber Daya Air atau Izin Pengusahaan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat

(6) memuat kuota Air sementara yang akan ditinjau kembali setelah Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air ditetapkan.

Pasal 6

Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) berupa:

a. kegiatan usaha yang memerlukan Air sebagai bahan baku utama untuk menghasilkan produk berupa Air Minum; atau

b. kegiatan usaha yang memerlukan Air sebagai bahan pembantu proses produksi untuk menghasilkan produk selain Air Minum.

55

Pasal 7

(1) Zona pemanfaatan ruang pada Sumber Air untuk Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) diperhitungkan dengan mengutamakan zona pemanfaatan ruang pada Sumber Air untuk kelestarian Sumber Daya Air serta kepentingan sosial, budaya, dan hak ulayat masyarakat hukum adat yang berkaitan dengan Sumber Daya Air.

(2) Dalam hal rencana Pengelolaan Sumber Daya Air belum ditetapkan, Pengusahaan Sumber Daya Air terkait pemanfaatan ruang pada Sumber Air dapat dilakukan sesuai dengan Izin Pengusahaan Sumber Daya Air dan Izin Pengusahaan Air Tanah yang ditetapkan berdasarkan zona pemanfaatan ruang sementara.

(3) Hak ulayat masyarakat hukum adat atas Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 8

(1) Pemenuhan Air untuk berbagai kebutuhan Sumber Daya Air dilakukan melalui alokasi Air.

(2) Alokasi Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prioritas alokasi Air.

(3) Alokasi Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan Air untuk irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama alokasi Air di atas semua kebutuhan.

(4) Dalam hal jumlah Air tersedia tidak mencukupi untuk pemenuhan prioritas utama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), alokasi Air untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari lebih diprioritaskan daripada Air untuk irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada.

(5) Prioritas alokasi Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan urutan prioritas:

a. Air baku untuk pemenuhan kebutuhan pokok minimal sehari-hari;

b. Air baku untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari- hari yang diperoleh tanpa memerlukan izin;

c. Air baku untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari- hari yang telah ditetapkan izinnya;

d. Air untuk irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada;

e. Air untuk irigasi bagi pertanian rakyat yang telah ditetapkan izinnya;

f. Air bagi pengusahaan air baku untuk sistem penyediaan Air Minum yang telah ditetapkan izinnya;

g. Air untuk kegiatan bukan usaha yang telah ditetapkan izinnya;

h. Air bagi pemenuhan kebutuhan usaha Air Minum oleh badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah yang telah ditetapkan izinnya;

i. Air bagi pemenuhan kebutuhan usaha selain Air Minum oleh badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah yang telah ditetapkan izinnya;

j. Air bagi pemenuhan kebutuhan usaha Air Minum oleh badan usaha swasta yang telah ditetapkan izinnya; dan

k. Air bagi pemenuhan kebutuhan usaha selain Air Minum oleh badan usaha swasta yang telah ditetapkan izinnya.

(6) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan urutan prioritas alokasi Air pada Wilayah Sungai berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) sesuai dengan kewenangannya.

(7) Dalam menetapkan prioritas alokasi Air sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah terlebih dahulu memperhitungkan keperluan Air untuk pemeliharaan Sumber Air dan lingkungan hidup.

Pasal 9

56

(1) Urutan prioritas alokasi Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) dapat diubah oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam hal Sumber Daya Air diperlukan untuk:

a. memenuhi kepentingan yang mendesak; dan

b. kepentingan pertahanan negara.

(2) Perubahan urutan prioritas alokasi Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perkembangan kondisi Air, Sumber Air, dan keadaan setempat dengan tetap mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok minimal sehari-hari.

(3) Dalam hal pemenuhan kepentingan yang mendesak dan kepentingan pertahanan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan bencana alam yang mengakibatkan tidak terpenuhinya Air bagi kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah tidak memberikan kompensasi dan dibebaskan dari tuntutan.

(4) Terjadinya bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dinyatakan secara resmi oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Pasal 10

(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah wajib melakukan pengawasan mutu pelayanan atas:

a. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sebagai Pengelola Sumber Daya Air; dan

b. badan usaha lain dan perseorangan sebagai pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Air dan Izin Pengusahaan Air Tanah.

(2) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi pengaduan masyarakat atas pelayanan dari badan usaha dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Badan usaha dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ikut serta melakukan kegiatan konservasi Sumber Daya Air dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

(4) Pengusahaan Sumber Daya Air diselenggarakan dengan mendorong keikutsertaan usaha kecil dan menengah.

(5) Pengusahaan Sumber Daya Air dilakukan berdasarkan rencana Pengusahaan Sumber Daya Air yang disusun oleh pelaku Pengusahaan Sumber Daya Air.

(6) Rencana Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disusun melalui konsultasi publik.

(7) Konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (6), untuk Pengusahaan Air Tanah hanya dilakukan apabila menggunakan Air Tanah dalam jumlah besar.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (6), untuk Sumber Daya Air Permukaan, diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Sumber Daya Air.

(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Air Tanah.

Pasal 11

(1) Pengusahaan Sumber Daya Air dalam suatu Wilayah Sungai yang dilakukan dengan membangun dan/atau menggunakan saluran distribusi hanya dapat digunakan untuk Wilayah Sungai lainnya apabila masih terdapat ketersediaan Air yang melebihi keperluan penduduk pada Wilayah Sungai yang bersangkutan.

(2) Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada rencana Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai bersangkutan.

Pasal 12

57

(1) Pengusahaan Air untuk negara lain tidak diizinkan, kecuali apabila penyediaan Air untuk berbagai kebutuhan telah terpenuhi.

(2) Pengusahaan Air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada rencana Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai yang bersangkutan, serta memperhatikan kepentingan daerah di sekitarnya.

(3) Rencana pengusahaan Air untuk negara lain dilakukan melalui proses konsultasi publik oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya.

(4) Pengusahaan Air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib mendapat izin dari Pemerintah Pusat.

(5) Pemerintah Pusat dapat memberikan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berdasarkan rekomendasi dari Pemerintah Daerah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB III JENIS PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR

Pasal 13

(1) Pengusahaan Sumber Daya Air dapat dilakukan pada:

a. titik atau lokasi tertentu pada Sumber Air;

b. ruas tertentu pada Sumber Air;

c. bagian tertentu dari Sumber Air; atau

d. satu Wilayah Sungai secara menyeluruh.

(2) Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dilakukan oleh:

a. badan usaha milik negara;

b. badan usaha milik daerah;

c. badan usaha milik desa;

d. badan usaha swasta;

e. koperasi;

f. perseorangan; atau

g. kerja sama antar badan usaha.

(3) Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk:

a. Pengusahaan Sumber Daya Air sebagai media;

b. pengusahaan Air dan daya Air sebagai materi baik berupa produk Air maupun berupa produk bukan Air;

c. Pengusahaan Sumber Air sebagai media; dan/atau

d. pengusahaan Air, Sumber Air, dan/atau daya Air sebagai media dan materi.

(4) Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Pengusahaan Sumber Daya Air yang meliputi satu Wilayah Sungai secara menyeluruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan oleh:

a. badan usaha milik negara di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air;

b. badan usaha milik daerah di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air; atau

58

c. kerjasama antara badan usaha milik negara di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air dengan badan usaha milik daerah di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air.

BAB IV PERIZINAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 14

Perizinan dalam Pengusahaan Sumber Daya Air meliputi:

a. Izin Pengusahaan Sumber Daya Air; dan

b. Izin Pengusahaan Air Tanah.

Pasal 15

(1) Pengusahaan Sumber Daya Air yang dilakukan pada titik atau lokasi tertentu pada Sumber Air, ruas tertentu pada Sumber Air, atau bagian tertentu dari Sumber Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dilaksanakan berdasarkan Izin Pengusahaan Sumber Daya Air dan Izin Pengusahaan Air Tanah.

(2) Izin Pengusahaan Sumber Daya Air dan Izin Pengusahaan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

(3) Izin Pengusahaan Sumber Daya Air merupakan dasar pelaksanaan kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air bagi para pemegang izin yang melaksanakan kegiatan usaha yang menggunakan Sumber Daya Air Permukaan.

(4) Izin Pengusahaan Air Tanah merupakan dasar pelaksanaan kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air bagi para pemegang izin yang melaksanakan kegiatan usaha yang menggunakan Sumber Daya Air Tanah.

(5) Izin Pengusahaan Sumber Daya Air dan Izin Pengusahaan Air Tanah bukan merupakan pemberian wewenang atau pengalihan penguasaan Sumber Air dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah kepada pemegang izin.

(6) Izin Pengusahaan Sumber Daya Air dan Izin Pengusahaan Air Tanah ditetapkan dengan memperhatikan prinsip keterpaduan penggunaan Air Permukaan dan Air Tanah.

Pasal 16

Izin Pengusahaan Air Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b tidak diperlukan terhadap Air ikutan dan/atau

pengeringan (dewatering) untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di bidang energi dan sumber daya mineral.

Bagian Kedua

Izin Pengusahaan Sumber Daya Air Paragraf 1

Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Air

Pasal 17

(1) Izin Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a diberikan kepada:

a. badan usaha milik negara;

b. badan usaha milik daerah;

c. badan usaha milik desa;

59

d. badan usaha swasta;

e. koperasi; atau

f. perseorangan.

(2) Izin Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan, sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain.

Pasal 18

(1) Permohonan Izin Pengusahaan Sumber Daya Air diajukan secara tertulis kepada:

a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Sumber Daya Air untuk kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air yang menggunakan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai lintas provinsi, Wilayah Sungai lintas negara, dan Wilayah Sungai strategis nasional;

b. gubernur untuk kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air yang menggunakan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai lintas kabupaten/kota; atau

c. bupati/walikota untuk kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air yang menggunakan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai dalam 1 (satu) kabupaten/kota.

(2) Permohonan Izin Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat data:

a. nama, pekerjaan, dan alamat pemohon;

b. maksud dan tujuan Pengusahaan Sumber Daya Air;

c. rencana lokasi penggunaan/pengambilan Air;

d. bentuk pengusahaan atau jumlah Air yang diperlukan untuk diusahakan;

e. jangka waktu yang diperlukan untuk Pengusahaan Sumber Daya Air;

f. jenis prasarana dan teknologi yang akan digunakan;

g. rencana desain bangunan dan/atau prasarana yang diperlukan;

h. rencana pelaksanaan pembangunan bangunan dan/atau prasarana; dan

i. hasil konsultasi publik atas rencana Pengusahaan Sumber Daya Air.

(3) Permohonan Izin Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh pemohon kepada pemberi Izin Pengusahaan Sumber Daya Air untuk diteruskan kepada Pengelola Sumber Daya Air guna mendapatkan rekomendasi teknis.

Pasal 19

(1) Izin Pengusahaan Sumber Daya Air diberikan dengan mempertimbangkan rekomendasi teknis dari Pengelola Sumber Daya Air.

(2) Rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat pertimbangan teknis dan saran kepada pemberi Izin Pengusahaan Sumber Daya Air.

(3) Pertimbangan teknis dan saran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat berdasarkan prasyarat dan prakondisi Sumber Daya Air secara khusus untuk masing-masing bentuk Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).

(4) Pertimbangan teknis dan saran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat informasi mengenai:

a. jenis pengusahaan yang diperbolehkan;

b. lokasi pengusahaan atau pengambilan Air;

60

c. jumlah pengusahaan atau pengambilan Air;

d. cara pengusahaan atau pengambilan Air;

e. rencana desain bangunan dan/atau prasarana;

f. neraca Air pada Wilayah Sungai; dan

g. kondisi Sumber Air.

(5) Dengan mempertimbangkan rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemberi Izin Pengusahaan Sumber Daya Air dapat memutuskan:

a. mengembalikan permohonan izin dengan permintaan kelengkapan persyaratan;

b. menetapkan izin; atau

c. menolak permohonan izin.

(6) Ketentuan mengenai tata cara penyusunan rekomendasi teknis serta kriteria prasyarat dan prakondisi Sumber Daya Air diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Sumber Daya Air.

Pasal 20

Keputusan pemberi Izin Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (5) dikeluarkan paling lambat 4 (empat) bulan terhitung sejak permohonan izin beserta persyaratannya diterima secara lengkap.

Pasal 21

(1) Dalam hal permohonan izin ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (5) huruf c, pemberi Izin Pengusahaan Sumber Daya Air wajib memberitahukan alasan penolakan permohonan izin secara tertulis kepada Pemohon.

(2) Pemohon Izin Pengusahaan Sumber Daya Air yang permohonannya ditolak, tidak dapat mengajukan kembali permohonannya dengan menggunakan data yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2).

Pasal 22

(1) Izin Pengusahaan Sumber Daya Air diberikan oleh:

a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Sumber Daya Air, untuk kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air yang menggunakan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai lintas provinsi, Wilayah Sungai lintas negara, dan Wilayah Sungai strategis nasional;

b. gubernur, untuk kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air yang menggunakan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai lintas kabupaten/kota; atau

c. bupati/walikota, untuk kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air yang menggunakan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai dalam 1 (satu) kabupaten/kota.

(2) Izin Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

a. nama, pekerjaan, dan alamat pemegang izin;

b. tempat atau lokasi penggunaan;

c. maksud dan tujuan;

d. cara pengambilan;

e. spesifikasi teknis bangunan atau sarana yang digunakan;

f. kuota Air dan/atau dimensi ruang pada Sumber Air;

61

g. jadwal pengambilan Air dan kewajiban untuk melapor;

h. jangka waktu berlakunya izin;

i. persyaratan pengubahan izin dan perpanjangan izin;

j. ketentuan hak dan kewajiban; dan

k. sanksi administratif.

Pasal 23

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh Izin Pengusahaan Sumber Daya Air diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Sumber Daya Air, peraturan daerah provinsi, atau peraturan daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.

Paragraf 2

Masa Berlaku Izin Pengusahaan Sumber Daya Air

Pasal 24

(1) Izin Pengusahaan Sumber Daya Air diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun.

(2) Masa berlaku Izin Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Sumber Daya Air, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(3) Penetapan masa berlaku Izin Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:

a. ketersediaan Air;

b. kondisi dan lingkungan Sumber Air; dan/atau

c. tujuan pengusahaan.

(4) Dalam hal Pengusahaan Sumber Daya Air memerlukan prasarana dan sarana dengan investasi besar, izin pengusahaan diberikan untuk jangka waktu sesuai dengan perhitungan rencana keuangan investasi.

Pasal 25

(1) Dalam hal Izin Pengusahaan Sumber Daya Air diberikan kepada perseorangan atau badan usaha bukan berbentuk badan hukum yang pemilik usahanya berubah, izin batal dengan sendirinya.

(2) Dalam hal Izin Pengusahaan Sumber Daya Air diberikan kepada badan usaha yang berbentuk badan hukum yang nama badan usahanya berubah, izin batal dengan sendirinya.

(3) Dalam hal terjadi perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemilik usaha yang baru atau badan usaha berbentuk badan hukum yang baru tetap memperoleh Izin Pengusahaan Sumber Daya Air yang sedang berjalan setelah mengajukan pembaruan izin.

(4) Pembaruan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah terjadi perubahan pemilik usaha atau perubahan nama badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(5) Selama proses pembaruan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemilik usaha yang baru atau badan usaha berbentuk badan hukum yang baru tetap mendapatkan alokasi Air.

62

Pasal 26

Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu berlakunya Izin Pengusahaan Sumber Daya Air diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Sumber Daya Air, peraturan daerah provinsi, atau peraturan daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.

Paragraf 3

Perubahan Izin Pengusahaan Sumber Daya Air

Pasal 27

(1) Ketentuan dalam Izin Pengusahaan Sumber Daya Air dapat diubah oleh pemberi Izin Pengusahaan Sumber Daya Air dalam hal:

a. keadaan yang dipakai sebagai dasar rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 mengalami perubahan;

b. perubahan kondisi lingkungan Sumber Daya Air yang sangat berarti;

c. perubahan kebijakan pemerintah; dan/atau

d. pemegang izin mengajukan permohonan perubahan izin.

(2) Perubahan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa perubahan:

a. kuota Air;

b. lokasi pengambilan;

c. cara pengambilan; dan/atau

d. bangunan pengambilan Air.

(3) Perubahan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c diberitahukan terlebih dahulu oleh pemberi Izin Pengusahaan Sumber Daya Air kepada pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Air.

(4) Dalam jangka waktu paling cepat 14 (empat belas) hari kerja sejak pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima oleh pemegang izin, pemberi Izin Pengusahaan Sumber Daya Air menetapkan perubahan izin.

(5) Perubahan izin yang didasarkan pada permohonan pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditetapkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima dengan persyaratan lengkap.

(6) Tindak lanjut perubahan izin berupa perubahan kuota Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh Pengelola Sumber Daya Air dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak tanggal penetapan perubahan izin.

(7) Tindak lanjut perubahan izin berupa perubahan lokasi pengambilan, perubahan cara pengambilan, dan/atau perubahan bangunan pengambilan Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d dilakukan oleh pemegang izin.

Pasal 28

Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan Izin Pengusahaan Sumber Daya Air diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Sumber Daya Air, peraturan daerah provinsi, atau peraturan daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.

63

Paragraf 4

Perpanjangan Izin Pengusahaan Sumber Daya Air

Pasal 29

(1) Izin Pengusahaan Sumber Daya Air yang akan habis masa berlakunya dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan perpanjangan izin secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Sumber Daya Air, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum jangka waktu izin berakhir.

(2) Dalam hal permohonan perpanjangan izin belum diajukan dalam jangka waktu 4 (empat) bulan sebelum jangka waktu izin berakhir, pemberi Izin Pengusahaan Sumber Daya Air memberitahukan mengenai masa berakhirnya izin.

(3) Penetapan keputusan perpanjangan izin diberikan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diterimanya permohonan perpanjangan izin beserta persyaratan lengkap.

(4) Dalam hal permohonan perpanjangan Izin Pengusahaan Sumber Daya Air sudah diajukan 3 (tiga) bulan sebelum jangka waktu berakhirnya izin, perpanjangan izin paling lambat ditetapkan sebelum berakhirnya izin.

(5) Dalam hal 3 (tiga) bulan sebelum jangka waktu Izin Pengusahaan Sumber Daya Air berakhir, permohonan perpanjangan izin belum diajukan, Izin Pengusahaan Sumber Daya Air tidak dapat diperpanjang dan pengguna Sumber Daya Air untuk kegiatan usaha dapat mengajukan permohonan izin baru.

(6) Dalam hal permohonan perpanjangan izin sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum ditetapkan, permohonan perpanjangan izin dianggap disetujui.

Paragraf 5

Hak dan Kewajiban Pemegang Izin

Pasal 30

(1) Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Air berhak untuk:

a. memperoleh dan mengusahakan Air Permukaan, Sumber Air Permukaan, dan/atau Daya Air Permukaan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin; dan

b. membangun prasarana dan sarana Sumber Daya Air dan bangunan lain sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin.

(2) Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib untuk:

a. mematuhi ketentuan dalam izin;

b. membayar biaya jasa Pengelolaan Sumber Daya Air dan membayar kewajiban keuangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. melindungi dan memelihara kelangsungan fungsi Sumber Daya Air;

d. melindungi dan mengamankan prasarana Sumber Daya Air;

e. melakukan usaha pengendalian terjadinya pencemaran Air;

f. melakukan perbaikan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan yang ditimbulkan; dan

g. memberikan akses untuk penggunaan Air bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat di sekitar lokasi kegiatan.

(3) Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Air yang memerlukan kegiatan konstruksi, disamping mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga berkewajiban untuk:

64

a. mencegah terjadinya pencemaran Air akibat pelaksanaan konstruksi;

b. memulihkan kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh kegiatan konstruksi;

c. menjamin kelangsungan pemenuhan Air bagi kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat di sekitar lokasi kegiatan yang terganggu akibat pelaksanaan konstruksi;

d. memberikan tanggapan yang positif dalam hal timbul gejolak sosial masyarakat di sekitar lokasi kegiatannya; dan

e. melaksanakan operasi dan/atau pemeliharaan terhadap prasarana dan/atau sarana yang dibangun.

(4) Dalam hal pelaksanaan Izin Pengusahaan Sumber Daya Air menimbulkan kerugian pada masyarakat, pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Air wajib memberikan ganti kerugian yang ditimbulkan.

Paragraf 6

Wewenang dan Tanggung Jawab Pemberi Izin Pengusahaan Sumber Daya Air

Pasal 31

(1) Pemberi Izin Pengusahaan Sumber Daya Air mempunyai wewenang:

a. menetapkan izin;

b. mengubah izin;

c. memperpanjang izin; dan

d. memberikan sanksi administratif.

(2) Dalam rangka pelaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Air yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya, pemberi Izin Pengusahaan Sumber Daya Air berwenang setiap saat memasuki Sumber Air dan lingkungan Sumber Air.

(3) Wewenang pemberi Izin Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Pengelola Sumber Daya Air.

(4) Pemberi Izin Pengusahaan Sumber Daya Air mempunyai tanggung jawab untuk:

a. memenuhi kuota Air sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin dan sesuai dengan ketersediaan Air;

b. memfasilitasi penyelesaian sengketa yang timbul akibat pelaksanaan Izin Pengusahaan Sumber Daya Air; dan

c. mengatur pemberian ganti rugi atau kompensasi.

Bagian Ketiga

Izin Pengusahaan Air Tanah Paragraf 1

Pemegang Izin Pengusahaan Air Tanah

Pasal 32

(1) Izin Pengusahaan Air Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b diberikan kepada:

a. badan usaha milik negara;

b. badan usaha milik daerah;

65

c. badan usaha milik desa;

d. badan usaha swasta;

e. koperasi; atau

f. perseorangan.

(2) Izin Pengusahaan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan, sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain.

Pasal 33

(1) Untuk memperoleh Izin Pengusahaan Air Tanah, pemohon wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada gubernur.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

a. administratif; dan

b. teknis.

(3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk:

a. perseorangan, paling sedikit memuat:

1) surat permohonan;

2) Kartu Tanda Penduduk;

3) Nomor Pokok Wajib Pajak; dan

4) surat keterangan domisili.

b. badan usaha, paling sedikit memuat:

1) surat permohonan;

2) profil badan usaha atau badan sosial;

3) akta pendirian badan usaha atau badan sosial;

4) susunan direksi dan daftar pemegang saham bagi badan usaha atau susunan pengurus bagi badan sosial;

5) Nomor Pokok Wajib Pajak;

6) surat keterangan domisili;

7) Surat Izin Usaha; dan

8) pernyataan tertulis kesanggupan untuk membayar pajak Air Tanah.

(4) Syarat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, paling sedikit memuat:

a. laporan hasil pengeboran atau penggalian Air Tanah;

b. titik lokasi rencana pengeboran atau penggalian pada peta situasi (denah) skala 1:10.000 atau lebih besar dan peta topografi skala 1:50.000;

c. informasi mengenai peruntukan dan debit kebutuhan Air Tanah; dan

d. persyaratan kesanggupan untuk membuat sumur resapan sesuai ketentuan yang berlaku.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pengajuan permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Air Tanah.

66

Pasal 34

(1) Izin Pengusahaan Air Tanah diterbitkan oleh gubernur dengan ketentuan:

a. pada setiap Cekungan Air Tanah lintas provinsi dan lintas negara setelah memperoleh rekomendasi teknis yang berisi persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Air Tanah; atau

b. dalam wilayah provinsi selain pada Cekungan Air Tanah lintas provinsi dan lintas negara setelah memperoleh rekomendasi teknis yang berisi persetujuan dari dinas provinsi yang membidangi Air Tanah.

(2) Rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan zona konservasi Air Tanah.

(3) Rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah diterima oleh gubernur paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak dikeluarkannya surat permohonan rekomendasi dari gubernur.

(4) Setelah gubernur menerima rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari, gubernur menerbitkan izin pengeboran/penggalian.

(5) Pemohon setelah menerima izin pengeboran/penggalian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak izin pengeboran diterima wajib melakukan pengeboran/penggalian.

(6) Dalam hal pemohon tidak melakukan pengeboran/penggalian setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari, permohonan Izin Pengusahaan Air Tanah menjadi batal dengan sendirinya.

(7) Keputusan Pemberi Izin pengusahaan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya laporan hasil pengeboran atau penggalian Air Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) huruf a.

(8) Izin Pengusahaan Air Tanah yang diterbitkan oleh gubernur ditembuskan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Air Tanah.

Pasal 35

(1) Rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 memuat informasi mengenai:

a. nama pemohon;

b. lokasi pengambilan Air Tanah;

c. jenis dan kedalaman akuifer yang disadap;

d. kualitas Air Tanah;

e. peruntukan penggunaan Air Tanah;

f. kedalaman pengeboran/penggalian Air Tanah;

g. kedalaman pompa; dan

h. debit pemompaan dan lamanya operasional pemompaan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rekomendasi teknis diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Air Tanah.

Pasal 36

Dengan mempertimbangkan rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, pemberi Izin Pengusahaan Air Tanah dapat:

a. mengembalikan permohonan izin dengan permintaan kelengkapan persyaratan;

b. menetapkan izin; atau

c. menolak permohonan izin.

67

Pasal 37

Dalam hal permohonan izin ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf c, pemberi izin wajib memberitahukan alasan penolakan permohonan izin secara tertulis kepada pemohon.

Pasal 38

Izin Pengusahaan Air Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) paling sedikit memuat:

a. nama pemohon;

b. lokasi pengambilan Air Tanah;

c. jenis dan kedalaman akuifer yang disadap;

d. kualitas Air Tanah;

e. peruntukan penggunaan Air Tanah;

f. kedalaman pengeboran/penggalian Air Tanah;

g. kedalaman pompa; dan

h. debit pemompaan dan lamanya operasional pemompaan.

i. jangka waktu berlakunya izin; dan

j. ketentuan hak dan kewajiban.

Paragraf 2

Masa Berlaku Izin Pengusahaan Air Tanah

Pasal 39

(1) Izin Pengusahaan Air Tanah diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.

(2) Masa berlaku Izin Pengusahaan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh gubernur.

(3) Penetapan masa berlaku Izin Pengusahaan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:

a. ketersediaan Air;

b. kondisi dan lingkungan Sumber Air; dan/atau

c. tujuan pengusahaan.

Pasal 40

(1) Dalam hal Izin Pengusahaan Air Tanah diberikan kepada perseorangan atau badan usaha bukan berbentuk badan hukum yang pemilik usahanya berubah, izin batal dengan sendirinya.

(2) Dalam hal Izin Pengusahaan Air Tanah diberikan kepada badan usaha yang berbentuk badan hukum yang nama badan usahanya berubah, izin batal dengan sendirinya.

(3) Dalam hal terjadi perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemilik usaha yang baru atau badan usaha berbentuk badan hukum yang baru tetap memperoleh Izin Pengusahaan Air Tanah yang sedang berjalan setelah mengajukan pembaruan izin.

(4) Pembaruan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan paling lama 7 (tujuh) hari setelah terjadi perubahan pemilik usaha atau perubahan nama badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

68

(5) Selama proses pembaruan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemilik usaha yang baru atau badan usaha berbentuk badan hukum yang baru tetap mendapatkan alokasi Air.

Paragraf 3

Perubahan Izin Pengusahaan Air Tanah

Pasal 41

(1) Ketentuan dalam Izin Pengusahaan Air Tanah dapat diubah oleh pemberi Izin Pengusahaan Air Tanah dalam hal:

a. keadaan yang dipakai sebagai dasar rekomendasi teknis mengalami perubahan;

b. perubahan kondisi lingkungan Air Tanah yang sangat berarti; dan/atau

c. pemegang izin mengajukan permohonan perubahan izin.

(2) Perubahan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa perubahan jumlah pengambilan Air Tanah.

(3) Perubahan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, diberitahukan terlebih dahulu oleh pemberi Izin Pengusahaan Air Tanah kepada pemegang Izin Pengusahaan Air Tanah.

(4) Dalam jangka waktu paling cepat 14 (empat belas) hari kerja sejak pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima oleh pemegang izin, pemberi Izin Pengusahaan Air Tanah menetapkan perubahan izin.

(5) Perubahan izin yang didasarkan pada permohonan pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan pada saat perpanjangan Izin Pengusahaan Air Tanah.

Paragraf 4

Perpanjangan Izin Pengusahaan Air Tanah

Pasal 42

(1) Izin Pengusahaan Air Tanah yang akan habis masa berlakunya dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan perpanjangan izin secara tertulis kepada gubernur paling cepat 3 (tiga) bulan dan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum jangka waktu izin berakhir.

(2) Penetapan perpanjangan Izin Pengusahaan Air Tanah diberikan paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya permohonan perpanjangan izin beserta persyaratan lengkap.

(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a. rekomendasi teknis;

b. persyaratan administratif;

c. persyaratan teknis, kecuali laporan hasil pengeboran/penggalian; dan

d. laporan pengambilan Air Tanah.

(4) Dalam hal permohonan perpanjangan Izin Pengusahaan Air Tanah sudah diajukan 3 (tiga) bulan sebelum jangka waktu berakhirnya izin, perpanjangan izin paling lambat ditetapkan sebelum berakhirnya izin.

(5) Dalam hal 1 (satu) bulan sebelum jangka waktu Izin Pengusahaan Air Tanah berakhir, permohonan perpanjangan izin belum diajukan, Izin Pengusahaan Air Tanah tidak dapat diperpanjang dan pengguna Air Tanah untuk kegiatan usaha dapat mengajukan permohonan izin baru.

(6) Dalam hal permohonan perpanjangan izin sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum ditetapkan, permohonan perpanjangan izin dianggap disetujui.

69

Paragraf 5

Hak dan Kewajiban Pemegang Izin Pengusahaan Air Tanah

Pasal 43

(1) Pemegang Izin Pengusahaan Air Tanah berhak untuk:

a. memperoleh dan mengusahakan Air Tanah, Sumber Air Tanah, dan/atau Daya Air Tanah sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin; dan

b. membangun prasarana dan sarana Air Tanah sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin.

(2) Pemegang Izin Pengusahaan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib untuk:

a. mematuhi ketentuan dalam izin;

b. menyampaikan laporan debit pengusahaan Air Tanah setiap bulan kepada gubernur;

c. memasang meteran Air pada setiap sumur produksi untuk pengusahaan Air Tanah;

d. membangun sumur resapan di lokasi yang ditetapkan oleh Gubernur;

e. berperan serta dalam penyediaan sumur pantau Air Tanah;

f. melakukan usaha pengendalian terjadinya pencemaran Air;

g. melaporkan kepada Gubernur apabila dalam pelaksanaan pengeboran atau penggalian, serta pengusahaan Air Tanah ditemukan hal-hal yang dapat membahayakan lingkungan;

h. melakukan perbaikan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan yang ditimbulkan; dan

i. memberikan 15% (lima belas persen) dari batasan debit pengusahaan Air Tanah yang ditetapkan dalam izin bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat setempat.

(3) Pemegang Izin Pengusahaan Air Tanah yang memerlukan kegiatan konstruksi, selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), juga berkewajiban untuk:

a. mencegah terjadinya pencemaran Air akibat pelaksanaan konstruksi;

b. memulihkan kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh kegiatan konstruksi;

c. menjamin kelangsungan pemenuhan Air bagi kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat di sekitar lokasi kegiatan yang terganggu akibat pelaksanaan konstruksi;

d. memberikan tanggapan yang positif dalam hal timbul gejolak sosial masyarakat di sekitar lokasi kegiatannya; dan

e. melaksanakan operasi dan/atau pemeliharaan terhadap prasarana dan/atau sarana yang dibangun.

(4) Dalam hal pelaksanaan Izin Pengusahaan Air Tanah menimbulkan kerugian pada masyarakat, pemegang Izin Pengusahaan Air Tanah wajib memberikan ganti kerugian yang ditimbulkan.

Paragraf 6

Wewenang dan Tanggung Jawab Pemberi Izin Pengusahaan Air Tanah

Pasal 44

(1) Pemberi Izin Pengusahaan Air Tanah mempunyai wewenang:

a. menetapkan izin;

b. mengubah izin;

70

c. memperpanjang izin; dan

d. memberikan sanksi administratif.

(2) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan Air Tanah yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya, pemberi izin berwenang setiap saat memasuki Sumber Air dan lingkungan Sumber Air.

(3) Wewenang pemberi izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh pemerintah provinsi.

(4) Pemberi Izin Pengusahaan Air Tanah mempunyai tanggung jawab untuk:

a. memenuhi kuota Air sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin;

b. memfasilitasi penyelesaian sengketa yang timbul akibat pelaksanaan Izin Pengusahaan Air Tanah; dan

c. mengatur pemberian ganti rugi atau kompensasi.

BAB V PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR YANG MELIPUTI SATU WILAYAH SUNGAI

Pasal 45

(1) Pengusahaan Sumber Daya Air yang meliputi satu Wilayah Sungai secara menyeluruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air berdasarkan penugasan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

(2) Penugasan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha yang dibentuk secara khusus oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam rangka Pengelolaan Sumber Daya Air untuk menyelenggarakan pelayanan di bidang Sumber Daya Air kepada masyarakat dan kegiatan usaha bidang Sumber Daya Air berdasarkan prinsip efisiensi dan produktivitas.

(4) Dalam rangka Pengelolaan Sumber Daya Air, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah mempunyai tugas dan tanggung jawab meliputi:

a. penyediaan data dan informasi dalam penyusunan rancangan pola Pengelolaan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai yang menjadi wilayah kerjanya;

b. penyediaan data dan informasi dalam penyusunan rancangan rencana Pengelolaan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai yang menjadi wilayah kerjanya;

c. membantu pemerintah dalam melakukan pengendalian pemanfaatan dan pemeliharaan sempadan Sumber Air pada Wilayah Sungai yang menjadi wilayah kerjanya;

d. pengembangan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai yang menjadi wilayah kerjanya;

e. operasi dan pemeliharaan Sumber Daya Air dan prasarananya pada Wilayah Sungai yang menjadi wilayah kerjanya;

f. Pengusahaan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai yang menjadi wilayah kerjanya;

g. pemberian pertimbangan teknis dan saran dalam perizinan penggunaan, dan Pengusahaan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai yang menjadi wilayah kerjanya; dan

h. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai yang menjadi wilayah kerjanya.

(5) Tugas dan tanggung jawab badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) secara rinci diatur dalam peraturan perundang- undangan pembentukannya.

71

(6) Kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f berupa usaha-usaha penyediaan dan peningkatan potensi Sumber Daya Air antara lain:

a. penyediaan Air baku guna memenuhi kebutuhan usaha Air Minum atau air bersih;

b. penyediaan Air guna memenuhi kebutuhan usaha;

c. penyediaan prasarana Sumber Daya Air untuk meningkatkan kemanfaatan Sumber Daya Air guna mendukung berbagai jenis kegiatan usaha;

d. operasi dan pemeliharaan Sumber Air beserta prasarananya;

e. penyediaan fasilitas pendukung untuk usaha penambangan komoditas tambang batuan pada Sumber Air;

f. pemanfaatan lahan di sekitar Sumber Air termasuk sempadan danau, sempadan waduk, bekas Sumber Air; dan

g. penyediaan Sumber Air sebagai media pembuangan air limbah dari kegiatan industri yang telah diolah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

Pasal 46

(1) Kerjasama antara badan usaha milik negara di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air dengan badan usaha milik daerah di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air dapat berupa pola kerja sama berdasarkan pembagian menurut:

a. lokasi atau jenis Sumber Air;

b. sistem penyediaan dan sistem penggunaan Sumber Daya Air; dan/atau

c. kegiatan pengelolaan.

(2) Selain Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kerjasama antara badan usaha milik negara di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air dengan badan usaha milik daerah di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air dapat juga dilaksanakan dalam bentuk melakukan Pengusahaan Sumber Daya Air dalam satu Wilayah Sungai secara bersama-sama antara badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah.

BAB VI PENGAWASAN

Bagian Kesatu

Pengawasan atas Pengusahaan Sumber Daya Air Permukaan

Pasal 47

(1) Pengawasan atas Pengusahaan Sumber Daya Air Permukaan bertujuan untuk menjamin ditaatinya ketentuan yang tercantum dalam izin.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Sumber Daya Air, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan dapat melibatkan peran masyarakat.

(3) Peran masyarakat dalam pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diwujudkan dalam bentuk laporan atau pengaduan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Sumber Daya Air, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(4) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bahan atau masukan bagi perbaikan, penertiban, dan/atau peningkatan penyelenggaraan penggunaan Sumber Daya Air.

(5) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Sumber Daya Air, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, wajib menindaklanjuti laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam bentuk peringatan, pemberian sanksi, dan bentuk tindakan lain.

72

(6) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan Pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Sumber Daya Air, peraturan daerah provinsi, atau peraturan daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.

Bagian Kedua

Pengawasan atas Pengusahaan Air Tanah

Pasal 48

(1) Pengawasan atas Pengusahaan Air Tanah bertujuan untuk menjamin ditaatinya ketentuan yang tercantum dalam izin.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Air Tanah dan gubernur, serta dapat melibatkan peran masyarakat.

(3) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Air Tanah melakukan pengawasan Pengusahaan Air Tanah di tingkat nasional.

(4) Gubernur melakukan pengawasan Pengusahaan Air Tanah di tingkat provinsi.

(5) Peran masyarakat dalam pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diwujudkan dalam bentuk laporan atau pengaduan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Air Tanah atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

(6) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bahan atau masukan bagi perbaikan, penertiban, dan/atau peningkatan penyelenggaraan Pengusahaan Air Tanah.

(7) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan Pengusahaan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Air Tanah.

BAB VII SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 49

Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Air yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), Pasal 30 ayat (3), dan/atau Pasal 30 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara pelaksanaan seluruh kegiatan; dan/atau

c. pencabutan izin.

Pasal 50

Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Sumber Daya Air, gubernur, dan/atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 kepada pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Air yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), Pasal 30 ayat (3), dan/atau Pasal 30 ayat (4).

Pasal 51

(1) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a dapat dikenakan sebanyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut masing-masing untuk jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja.

74

Pasal 55

(1) Gubernur sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 kepada pemegang Izin Pengusahaan Air Tanah.

(2) Pengenaan sanski adminstratif sebagaimana pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan atas laporan yang berasal dari:

a. pengaduan; dan/atau

b. tindak lanjut hasil pengawasan.

Pasal 56

(1) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a dapat dikenakan sebanyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut masing-masing untuk jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja.

(2) Selama pemegang izin dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis kesatu sampai dengan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Izin Pengusahaan Air Tanah tetap berlaku dan alokasi Air tetap diberikan.

Pasal 57

(1) Dalam hal pemegang Izin Pengusahaan Air Tanah tidak melaksanakan kewajibannya sampai dengan 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima surat peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, pemegang Izin Pengusahaan Air Tanah dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara pelaksanaan seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b.

(2) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak berakhirnya peringatan tertulis ketiga.

Pasal 58

(1) Pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf c.

(2) Selain dikenakan sanksi pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila pelaksanaan konstruksi dan/atau Pengusahaan Air Tanah yang dilakukan oleh pemegang izin menimbulkan:

a. kerusakan pada Sumber Air dan/atau lingkungan sekitarnya, pemegang izin wajib melakukan pemulihan dan/atau perbaikan atas akibat kerusakan yang ditimbulkannya; dan/atau

b. kerugian pada masyarakat, pemegang izin wajib mengganti biaya kerugian yang ditimbulkan kepada masyarakat yang menderita kerugian.

BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 59

Izin Pengusahaan Sumber Daya Air atau izin yang diterbitkan untuk tujuan pelaksanaan kegiatan usaha di bidang Sumber Daya Air permukaan dan Izin Pengusahaan Air Tanah yang telah diberikan sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan

75

Pasal 60

Pada saat peraturan pemerintah ini mulai berlaku ketentuan yang mengatur mengenai Izin Penggunaan Air dan/atau Sumber Air untuk keperluan usaha yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 37 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3225), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 61

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2015

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2015

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 344

Salinan sesuai dengan aslinya

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

76

PENJELASAN ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015

TENTANG

PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR

I. UMUM

Sumber Daya Air dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Penguasaan negara atas Sumber Daya Air dilakukan dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat atas Air sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penguasaan oleh negara atas Air dilakukan dengan melakukan pengaturan dan pengurusan perizinan dan alokasi Air untuk menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan Air bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.

Terkait dengan pengaturan dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, pada tanggal 18 Februari 2015 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 atas gugatan pengujian materi yang kedua terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Putusan tersebut antara lain menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tidak mempunyai kekuatan hukum dan memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan pengaturan mengenai Pengusahaan Sumber Daya Air yang sesuai dengan kondisi pada saat ini. Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa salah satu makna penguasaan Air oleh Negara adalah melakukan pengaturan

(regelendaad).

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terkandung 6 (enam) prinsip dasar pembatasan Pengelolaan Sumber Daya Air yang antara lain menyatakan “... pemberian izin Pengusahaan Sumber Daya Air kepada usaha swasta dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu dan ketat ...”. Prinsip tersebut mengandung arti bahwa di dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air oleh badan usaha swasta merupakan prioritas terakhir, sehingga persyaratan tertentu dan ketat dapat dilaksanakan Pengusahaan Sumber Daya Air tidak sekedar merupakan syarat dalam permohonan izin tetapi merupakan bagian dari seluruh aspek dalam penyelenggaraan Pengelolaan Sumber Daya Air. Dengan demikian pengaturan mengenai persyaratan tertentu dan ketat harus diatur mulai dari pengaturan penyusunan rencana penyediaan Sumber Daya Air yang merupakan bagian dari rencana Pengelolaan Sumber Daya Air, prioritas pemberian izin, prioritas alokasi Air, dan pengawasan pelaksanaan kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air serta pemberian sanksi dalam rangka penegakan hukum.

Pengaturan terhadap perizinan dan alokasi Air diperlukan karena ketersediaan Air secara alamiah tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang semakin berkembang. Sehubungan dengan hal tersebut, persaingan antara kebutuhan Air bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dengan kebutuhan Air untuk penggunaan lainnya, termasuk kegiatan pengusahaan yang memerlukan sumber daya Air, di masa yang akan datang akan semakin meningkat. Untuk menjamin pemanfaatan dan pemakaian Air yang adil dan merata diperlukan pengaturan perizinan dan alokasi Air, baik untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat serta Pengusahaan Sumber Daya Air. Perizinan dalam Pengelolaan Sumber Daya Air diselenggarakan dengan maksud untuk memberikan perlindungan terhadap hak rakyat atas Air, pemenuhan kebutuhan para pengguna Sumber Daya Air dan perlindungan terhadap Sumber Daya Air.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemenuhan kebutuhan manusia pada saat ini dan terutama pada masa-masa mendatang tidak terbatas pada pemenuhan kebutuhan primer, yaitu pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat, tetapi juga mencakup keperluan untuk memenuhi kebutuhan sekunder, misalnya energi, transportasi, olah raga,

77

pariwisata, dan lain-lain. Upaya untuk memenuhi kebutuhan sekunder tersebut seringkali memerlukan dukungan Sumber Daya Air melalui kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air. Untuk melindungi hak rakyat atas Air dan prioritas pemenuhan kebutuhan Air bagi kegiatan usaha maka kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air harus dilakukan berdasarkan Izin Pengusahaan Sumber Daya Air atau Izin Pengusahaan Air Tanah.

Dalam rangka memprioritaskan hak-hak masyarakat atas Air, mengatur penggunaan Sumber Daya Air dan mencegah terjadinya konflik antar pengguna Sumber Daya Air maka perlu diatur prioritas pemberian izin dan alokasi Air. Air merupakan kebutuhan mendasar yang tidak tergantikan bagi kehidupan manusia, oleh karena itu pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari merupakan prioritas yang utama di atas semua kebutuhan. Pemerintah wajib menjamin kebutuhan pokok minimal sehari-hari masyarakat. Hal ini tidak lain untuk menjamin hak setiap orang untuk memperoleh Air bagi kehidupan yang bersih, sehat, dan produktif.

Izin Pengusahaan Sumber Daya Air yang ditetapkan bukan merupakan izin untuk memiliki atau menguasai Air dan/atau Sumber Air, tetapi hanya terbatas pada pemberian izin oleh pemerintah kepada pemegang izin untuk memperoleh dan mengusahakan sejumlah (kuota) Air, daya Air dan/atau Sumber Air sesuai dengan alokasi yang ditetapkan Pemerintah atau Pemerintah Daerah kepada pengguna Air. Izin Pengusahaan Sumber Daya Air tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan baik sebagian atau seluruhnya.

Izin Pengusahaan Sumber Daya Air diberikan apabila Air untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat telah terpenuhi, serta sepanjang ketersediaan Air masih mencukupi. Izin Pengusahaan Sumber Daya Air atau Izin Pengusahaan Air Tanah diberikan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Jumlah kuota Air yang ditetapkan dalam Izin Pengusahaan Sumber Daya Air tidak bersifat mutlak dan tidak harus dipenuhi sebagaimana tercantum dalam izin. Alokasi Air diberikan berdasarkan ketersediaan Air serta prioritas alokasi Air. Di samping itu, kuota Air yang ditetapkan dalam izin dapat ditinjau kembali apabila persyaratan atau keadaan yang dijadikan dasar pemberian izin dan kondisi ketersediaan Air pada Sumber Air yang bersangkutan mengalami perubahan yang sangat berarti.

Perizinan merupakan instrumen pengendali untuk mewujudkan ketertiban dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, melindungi hak masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang telah ada serta menjamin hak ulayat masyarakat hukum adat setempat atas Air dan hak yang serupa dengan itu.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “usaha bersama dan kekeluargaan”, antara lain usaha mengembangkan koperasi.

Pasal 3

78

Yang dimaksud dengan “Sumber Daya Air Permukaan”, antara lain, sungai, situ, embung, ranu, waduk, telaga,

danau, dan mata Air (spring water).

Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “kebutuhan pokok sehari-hari” adalah Air untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang digunakan pada atau diambil dari Sumber Air untuk keperluan sendiri guna mencapai kehidupan yang sehat, bersih dan produktif, misalnya untuk keperluan ibadah, minum, masak, mandi, cuci dan, peturasan.

Yang dimaksud dengan “pertanian rakyat” adalah budi daya pertanian yang meliputi berbagai komoditi yaitu pertanian tanaman pangan, perikanan, tambak garam, peternakan, perkebunan, dan kehutanan yang dikelola oleh rakyat dengan luas tertentu yang kebutuhan Airnya tidak lebih dari 2 liter per detik per kepala keluarga.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan ’’terjaminnya keselamatan kekayaan negara” adalah mencegah hilangnya atau dikuasainya Sumber Daya Air oleh pihak tertentu akibat kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air.

Pasal 5

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “rencana penyediaan Air” adalah rangkaian kegiatan Pengelolaan Sumber Daya Air yang akan dilakukan untuk menyediakan Air dengan jumlah tertentu untuk berbagai jenis kebutuhan penggunaan sumber daya Air. Misalnya melalui pembangunan bendungan, saluran Air baku, sumur/pengeboran Air tanah, dan lain-lain.

Penyediaan Sumber Daya Air untuk Pengusahaan Sumber Daya Air misalnya penyediaan Air untuk perusahaan daerah Air Minum, perusahaan minuman dalam kemasan, pembangkit listrik tenaga Air, olahraga arung jeram, dan sebagai bahan pembantu proses produksi, seperti Air untuk sistem pendingin

mesin (water cooling system) atau Air untuk pencucian hasil eksplorasi bahan tambang.

Yang dimaksud dengan “zona pemanfaatan ruang pada Sumber Air” adalah ruang pada Sumber Air (waduk, danau, rawa, sungai, atau cekungan Air tanah) yang dialokasikan, baik sebagai fungsi lindung maupun fungsi budi daya. Misalnya, membagi permukaan suatu waduk, danau, rawa, atau sungai ke dalam berbagai zona pemanfaatan, antara lain, ruang yang dialokasikan untuk budi daya perikanan, penambangan bahan galian golongan C, transportasi Air, olahraga Air dan pariwisata, pelestarian unsur lingkungan yang unik atau dilindungi, dan/atau pelestarian cagar budaya.

Penentuan zona pemanfaatan ruang pada Sumber Air bertujuan untuk mendayagunakan fungsi/potensi yang terdapat pada Sumber Air yang bersangkutan secara berkelanjutan, baik untuk kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang.

79

Dalam penetapan zona pemanfaatan Sumber Air, selain untuk menentukan dan memperjelas batas masing-masing zona pemanfaatan, termasuk juga ketentuan, persyaratan, atau kriteria pemanfaatan dan pengendaliannya.

Ayat (2)

Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban pelaksanaan rencana penyediaan sumber daya Air.

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “Air dalam jumlah besar” adalah kuota Air yang jumlahnya melebihi kebutuhan pokok sehari-hari untuk 150 (seratus lima puluh) orang dari 1 (satu) titik pengambilan atau lebih dari 60 (enam puluh) liter per orang per hari.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “mengubah kondisi alami Sumber Air” adalah mempertinggi, memperendah, dan membelokkan Sumber Air.

Mempertinggi adalah perbuatan yang dapat mengakibatkan Air pada Sumber Air menjadi lebih tinggi, misalnya membangun bendung atau bendungan. Termasuk dalam pengertian mempertinggi adalah memompa Air dari Sumber Air untuk pertanian rakyat.

Memperendah adalah perbuatan yang dapat mengakibatkan Air pada Sumber Air menjadi lebih rendah atau turun dari semestinya, misalnya menggali atau mengeruk sungai. Membelokkan adalah perbuatan yang dapat mengakibatkan aliran Air dan alur Sumber Air menjadi berbelok dari alur yang sebenarnya.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “sistem irigasi” meliputi prasarana irigasi, Air irigasi, manajemen irigasi, institusi pengelola irigasi, dan sumber daya manusia.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “kegiatan bukan usaha” antara lain taman kota yang tidak dipungut biaya, rumah ibadah, dan fasilitas umum atau fasilitas sosial lainnya.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 6

Huruf a

Yang dimaksud dengan “produk berupa Air Minum” meliputi antara lain Air Minum yang diselenggarakan melalui Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), Air Minum dalam kemasan (AMDK).

80

Huruf b

Yang dimaksud dengan “produk selain Air Minum” meliputi antara lain industri makanan atau minuman olahan, pembangkit listrik tenaga Air, industri mobil, industri baja, industri tekstil.

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “zona pemanfaatan ruang sementara” adalah pengaturan zona pemanfaatan ruang yang dilakukan berdasarkan perkiraan luas ruang yang diperlukan untuk keperluan Sumber Daya Air dan lingkungan Sumber Daya Air dengan memperhitungkan kebutuhan pengguna ruang Sumber Air lain yang sudah ada.

Ayat (3)

Pengakuan adanya hak ulayat masyarakat hukum adat termasuk hak yang serupa dengan itu hendaknya dipahami bahwa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan. Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila memenuhi tiga unsur, yaitu:

a. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari;

b. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan

c. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

81

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “Air untuk irigasi bagi pertanian rakyat yang telah ditetapkan izinnya” adalah:

1) Air irigasi untuk pertanian rakyat di dalam sistem irigasi yang cara menggunakannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami Sumber Air yang telah mempunyai izin; atau

2) Air irigasi untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang telah dibangun ataupun yang telah direncanakan untuk dibangun dan telah mempunyai izin.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Yang dimaksud dengan kegiatan bukan usaha adalah kegiatan bukan usaha selain kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat. Misalnya rumah ibadah, fasilitas umum, taman kota sebagai fasilitas umum, dan lain-lain.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Pemeliharaan Sumber Air dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan daya dukung dan fungsi Sumber Daya Air. Pemeliharaan lingkungan hidup dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan.

Pasal 9

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “kepentingan yang mendesak” adalah suatu keadaan tertentu yang mengharuskan pengambilan keputusan dengan cepat untuk mengubah rencana penyediaan Air, karena keterlambatan mengambil keputusan akan menimbulkan kerugian harta, benda, jiwa, dan lingkungan yang lebih besar, misalnya: perubahan rencana penyediaan Air untuk mengatasi kekeringan dan pemadaman kebakaran hutan.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “kepentingan pertahanan negara” adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

82

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “memfasilitasi” adalah menyerap, mempelajari dan mendalami objek pengaduan, dan merespon secara proporsional/wajar.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Bentuk konsultasi publik yang digunakan dapat melalui tatap muka langsung dengan para pemilik

kepentingan (stakeholders) dan/atau dengan cara-cara lain yang lebih efisien dan efektif dalam

menjaring masukan/tanggapan para pemilik kepentingan dan masyarakat.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Ayat (9)

Cukup jelas.

Pasal 11

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “saluran distribusi” adalah saluran pembawa Air baku, baik yang berupa saluran terbuka maupun yang berbentuk saluran tertutup misalnya pipa.

Ayat (2)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya upaya pengusahaan yang melampaui batas-batas daya dukung lingkungan Sumber Daya Air sehingga mengancam kelestariannya.

Pasal 12

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pengusahaan Air untuk negara lain” adalah kegiatan usaha yang dilakukan dengan mengambil dan membawa atau mengalirkan Air dari Sumber Air ke negara lain.

83

Yang dimaksud dengan “berbagai kebutuhan” adalah kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olahraga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika, serta kebutuhan lain yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 13

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “titik atau lokasi tertentu pada Sumber Air” adalah tempat pada Sumber Air dengan satu titik koordinat tertentu. Pengusahaan Sumber Daya Air pada titik atau lokasi tertentu pada Sumber Air antara lain berupa Pengusahaan Sumber Daya Air yang dilakukan dengan mengambil atau mengalirkan Air dari suatu titik atau lokasi tertentu di sungai, anak sungai, mata Air, atau lapisan akuifer misalnya untuk Air baku perusahaan Air Minum, Air baku perusahaan minuman dalam kemasan, Air untuk usaha perikanan budidaya, Air untuk usaha pertanian, Air untuk usaha pertambangan, dan Air untuk usaha industri lainnya.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “ruas tertentu pada Sumber Air” adalah bagian dari Sumber Air yang terletak di antara titik koordinat tertentu dengan titik koordinat yang lain. Pengusahaan Sumber Daya Air pada ruas tertentu pada Sumber Air antara lain berupa pengusahaan Sumber Daya Air yang dilakukan di antara titik koordinat tertentu dengan titik koordinat yang lain pada Sumber Air, misalnya Pengusahaan Sumber Daya Air untuk transportasi Air, olahraga arung jeram, dan lalu lintas Air.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “bagian tertentu dari Sumber Air” adalah ruang tertentu yang berada pada dan/atau di dalam Sumber Air. Pengusahaan Sumber Daya Air pada “bagian tertentu dari Sumber Air” antara lain berupa pengusahaan Sumber Daya Air yang dilakukan dalam ruang tertentu pada atau di dalam Sumber Air. Misalnya Pengusahaan Sumber Daya Air pada situ, danau atau waduk untuk pembangkit listrik tenaga Air, jaring apung/keramba, transportasi Air, dan pariwisata Air.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “Pengusahaan Sumber Daya Air pada satu Wilayah Sungai secara menyeluruh” adalah pengusahaan pada seluruh sistem Sumber Daya Air yang ada dalam Wilayah Sungai yang bersangkutan mulai dari hulu sampai hilir sungai atau Sumber Air yang bersangkutan.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

84

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Yang dimaksud dengan “badan usaha” dapat berupa badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah (yang bukan badan usaha pengelola Sumber Daya Air Wilayah Sungai), badan usaha swasta, dan koperasi. Kerja sama dapat dilakukan, baik dalam pembiayaan investasi pembangunan prasarana Sumber Daya Air maupun dalam penyediaan jasa pelayanan dan/atau pengoperasian prasarana sumber daya Air.

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “Pengusahaan Sumber Daya Air sebagai media”, misalnya Pengusahaan Sumber Daya Air untuk transportasi dan arung jeram, pembangkit tenaga listrik, transportasi, olahraga, pariwisata, dan perikanan budi daya pada Sumber Air.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “pengusahaan Air dan daya Air sebagai materi baik berupa produk Air maupun berupa produk bukan Air” meliputi antara lain pengusahaan Air baku sebagai bahan baku produksi, sebagai salah satu unsur atau unsur utama dari kegiatan suatu usaha, misalnya perusahaan daerah Air Minum, perusahaan Air Minum dalam kemasan, perusahaan minuman dalam kemasan lainnya, usaha makanan, usaha perhotelan, usaha industri misalnya untuk

membantu proses produksi, seperti Air untuk sistem pendingin mesin (water cooling system), atau kegiatan usaha lain.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “pengusahaan Sumber Air sebagai media” misalnya, pengusahaan Sumber Air untuk:

i. konstruksi pada Sumber Air yang dapat berupa konstruksi jembatan, jaringan perpipaan, dan jaringan kabel listrik/telepon;

ii. tempat budi daya pertanian semusim atau budi daya ikan pada bantaran sungai; dan

iii. tempat budi daya tanaman tahunan pada sabuk hijau danau, embung, dan waduk.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “pengusahaan Air, Sumber Air, dan/atau daya Air sebagai media dan materi” dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, dan pemurnian bahan tambang dari Sumber Air.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

85

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Pemberian izin Pengusahaan Sumber Daya Air tidak dimaksudkan untuk memberi izin menguasai Sumber Air, tetapi hanya terbatas untuk menggunakan Air sesuai dengan alokasi yang ditetapkan dan/atau menggunakan sebagian Sumber Air untuk keperluan bangunan sarana prasarana yang diperlukan misalnya pengusahaan bangunan sarana prasarana pada situ. Yang dimaksud “prinsip keterpaduan penggunaan Air permukaan dan Air Tanah” yaitu kondisi Sumber Daya Air Permukaan dan Air Tanah dan dampaknya terhadap lingkungan hidup harus dipertimbangkan secara terpadu dalam pengambilan keputusan. Kondisi Sumber Daya Air antara lain meliputi letak atau lokasi Sumber Air yang akan digunakan, ketersediaan, dan kualitas Air pada Sumber Air. Dampak terhadap lingkungan hidup, misalnya intrusi Air laut, penurunan muka tanah, kerusakan bangunan, pencemaran Air, kerusakan ekosistem, dan lain-lain.

Pasal 16

Yang dimaksud dengan “Air ikutan” adalah air yang ikut terbawa bersama-sama dengan minyak dan gas pada proses pemompaan minyak bumi.

Yang dimaksud dengan “pengeringan (dewatering)” adalah proses penurunan muka Air tanah untuk kegiatan

tertentu, seperti pengusahaan gas metana batu bara (Coalbed Methane). Pengusahaan gas metana batu bara

pada tahap awal perlu dilakukan kegiatan pengeringan (dewatering) terhadap lapisan batu bara di bawah

permukaan tanah yang tujuannya adalah agar lapisan batubara tersebut dapat merekah (permeable) sehingga

gas metana dapat mengalir. Lapisan batubara dimaksud tidak dapat dilepaskan dari kegiatan pengeringan

(dewatering) yang akan sangat menentukan terhadap volume gas metana batu bara yang dapat diproduksi.

Penggunaan dan pemanfaatan Air ikutan dan/atau pengeringan (dewatering) untuk kegiatan yang terkait

langsung dengan ekplorasi dan eksploitasi pertambangan, minyak dan gas bumi, serta panas bumi tidak memerlukan izin.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

86

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “bentuk pengusahaan” misalnya kegiatan usaha yang menggunakan atau memanfaatkan:

a. Air pada suatu lokasi tertentu;

b. wadah Air pada suatu lokasi tertentu; dan/atau

c. Daya Air pada suatu lokasi tertentu.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)

Cukup jelas.

87

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “kewenangannya” adalah wewenang dalam Pengelolaan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “Pengusahaan Sumber Daya Air memerlukan prasarana dan sarana dengan investasi besar” adalah pemakaian Air yang memerlukan investasi paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah), misalnya investasi untuk membangun embung, bangunan pengambilan, atau instalasi pompa.

Pasal 25

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan ”badan usaha bukan berbentuk badan hukum”, misalnya, persekutuan perdata atau persekutuan komanditer.

Yang dimaksud dengan “pemilik usahanya berubah” adalah pemindahtanganan kepemilikan yang terjadi akibat jual beli, warisan, hibah, ataupun dengan cara lain.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “badan usaha yang berbentuk badan hukum”, misalnya, Perseroan Terbatas, Koperasi, atau Yayasan.

Ayat (3)

Pembaruan izin dimaksudkan untuk mengubah nama pemegang izin dan tidak diartikan sebagai permohonan izin Pengusahaan Sumber Daya Air baru.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan ’’perubahan kondisi lingkungan Sumber Daya Air” antara lain:

a. berkurangnya ketersediaan Air dalam jangka waktu lama atau permanen akibat perubahan iklim, bencana alam.

b. kerusakan Sumber Air akibat bencana alam.

Huruf c

88

Yang dimaksud dengan ’perubahan kebijakan pemerintah” antara lain perubahan urutan prioritas penyediaan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Yang dimaksud dengan “perubahan kuota Air” adalah perubahan yang mencakup kuota dan/atau waktu dalam kuota Air.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Ayat (1)

Pembatasan jangka waktu dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pihak lain yang membutuhkan Sumber Daya Air untuk mengajukan permohonan izin.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 30

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

89

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “kewajiban keuangan lain” antara lain pajak Air permukaan dan/atau pajak Air Tanah.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Yang dimaksud dengan “memberikan akses” yaitu tidak menutup secara fisik dan non fisik Sumber Air yang mengakibatkan masyarakat di sekitar Sumber Air tidak dapat mencapai Sumber Air secara langsung dan bebas untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

Menutup secara fisik, misalnya dengan membangun pagar disekitar Sumber Air. Menutup secara non fisik, misalnya membuat larangan pengambilan Air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 31

Ayat (1)

Kewenangan dalam mengubah izin, memperpanjang izin, dan memberikan sanksi administratif dilakukan melalui pemantauan, pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan izin.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

90

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

91

Yang dimaksud dengan “pengembangan Sumber Daya Air” adalah kegiatan yang ditujukan untuk peningkatan kemanfaatan fungsi Sumber Daya Air guna pemenuhan berbagai keperluan, misalnya Air baku untuk Air Minum, pertanian, industri, pariwisata, pertahanan, pertambangan, ketenagaan, perhubungan, dan untuk berbagai keperluan lainnya.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Pasal 45

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan ”secara rinci” adalah meliputi rincian kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab serta proses pelaksanaannya, misalnya penyusunan rencana alokasi Air tahunan.

Ayat (6)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “kebutuhan usaha Air Minum atau Air bersih” antara lain untuk rumah tangga, pariwisata, perkotaan, industri, dan pelabuhan.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “kebutuhan usaha” antara lain pariwisata, industri, perikanan/tambak,

perkebunan, pengapungan (docking/galangan kapal), pertanian/perkebunan, ketenagaan,

pertambangan, dan pemadam kebakaran.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “prasarana Sumber Daya Air” adalah bangunan Air beserta bangunan lain yang menunjang kegiatan Pengelolaan Sumber Daya Air, baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya saluran Air, kanal, pintu Air, tanggul, bendung, dan bendungan.

Yang dimaksud dengan “berbagai jenis kegiatan usaha”, antara lain pariwisata dan/atau rekreasi, olah raga, kawasan, industri (kawasan dan non kawasan), perikanan/tambak, perkebunan pelabuhan, perdagangan, irigasi pertanian, ketenagaan, dan pertambangan.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “pemanfaatan lahan” dapat berupa penyewaan kepada pihak lain untuk jenis usaha yang berhubungan dengan pengusahan Sumber Daya Air. Misalnya usaha pemancingan, SPBU untuk transportasi Air, dermaga.

Huruf g

92

Cukup jelas.

Pasal 46

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “pembagian menurut lokasi atau jenis Sumber Air” antara lain meliputi kerja sama dengan membagi pengelolaan menurut sungai utama dan anak sungai, kerja sama dengan membagi pengelolaan menurut DAS utama dan DAS lainnya, kerja sama dengan membagi pengelolaan menurut sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan Sumber Air lainnya.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “pembagian menurut sistem penyediaan dan sistem penggunaan Sumber Daya Air” adalah antara lain meliputi kerja sama dalam mengelola sungai dan jaringan irigasi.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “pembagian menurut kegiatan pengelolaan” adalah antara lain meliputi kerja sama dalam mengelola operasi dan pemeliharaan prasarana Sumber Daya Air dan pengelolaan sistem informasi Sumber Daya Air.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “melakukan Pengusahaan Sumber Daya Air dalam satu Wilayah Sungai secara bersama-sama antara badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah di bidang pengelolaan Sumber Daya Air” adalah kerjasama badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah pengelola Sumber Daya Air dengan membentuk badan usaha khusus untuk melakukan Pengusahaan Sumber Daya Air dalam satu Wilayah Sungai secara bersama-sama.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

93

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5801

94

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 30 TAHUN 2009

TENTANG

KETENAGALISTRIKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa tenaga listrik mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional maka usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara dan penyediaannya perlu terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan pembangunan agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, merata, dan bermutu;

c. bahwa penyediaan tenaga listrik bersifat padat modal dan teknologi dan sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan demokratisasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyediaan tenaga listrik perlu ditingkatkan;

d. bahwa di samping bermanfaat, tenaga listrik juga dapat membahayakan sehingga penyediaan dan pemanfaatannya harus memperhatikan ketentuan keselamatan ketenagalistrikan;

e. bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan keadaan dan perubahan dalam kehidupan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undangundang yang baru;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan;

Mengingat :Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

95

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGALISTRIKAN.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik.

2. Tenaga listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika, atau isyarat.

3. Usaha penyediaan tenaga listrik adalah pengadaan tenaga listrik meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik kepada konsumen.

4. Pembangkitan tenaga listrik adalah kegiatan memproduksi tenaga listrik.

5. Transmisi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari pembangkitan ke sistem distribusi atau ke konsumen, atau penyaluran tenaga listrik antarsistem.

6. Distribusi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari sistem transmisi atau dari pembangkitan ke konsumen.

7. Konsumen adalah setiap orang atau badan yang membeli tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik.

8. Usaha penjualan tenaga listrik adalah kegiatan usaha penjualan tenaga listrik kepada konsumen.

9. Rencana umum ketenagalistrikan adalah rencana pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik yang meliputi bidang pembangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga listrik yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik.

10. Izin usaha penyediaan tenaga listrik adalah izin untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.

11. Izin operasi adalah izin untuk melakukan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.

12. Wilayah usaha adalah wilayah yang ditetapkan Pemerintah sebagai tempat badan usaha distribusi dan/atau penjualan tenaga listrik melakukan usaha penyediaan tenaga listrik.

13. Ganti rugi hak atas tanah adalah penggantian atas pelepasan atau penyerahan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut.

14. Kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada pemegang hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut karena tanah tersebut digunakan secara tidak langsung untuk pembangunan ketenagalistrikan tanpa dilakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

96

15. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

16. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

17. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan ketenagalistrikan.

18. Setiap orang adalah orang perorangan atau badan baik yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum.

BAB II ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

(1) Pembangunan ketenagalistrikan menganut asas:

a. manfaat;

b. efisiensi berkeadilan;

c. berkelanjutan;

d. optimalisasi ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya energi;

e. mengandalkan pada kemampuan sendiri;

f. kaidah usaha yang sehat;

g. keamanan dan keselamatan;

h. kelestarian fungsi lingkungan; dan

i. otonomi daerah.

(2) Pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

BAB III PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN

Bagian Kesatu

Penguasaan

Pasal 3

(1) Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah berlandaskan prinsip otonomi daerah.

(2) Untuk penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.

Bagian Kedua

97

Pengusahaan

Pasal 4

(1) Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dilakukan oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah.

(2) Badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik.

(3) Untuk penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana untuk:

a. kelompok masyarakat tidak mampu;

b. pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah yang belum berkembang;

c. pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil dan perbatasan; dan

d. pembangunan listrik perdesaan.

BAB IV KEWENANGAN PENGELOLAAN

Pasal 5

(1) Kewenangan Pemerintah di bidang ketenagalistrikan meliputi:

a. penetapan kebijakan ketenagalistrikan nasional;

b. penetapan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan;

c. penetapan pedoman, standar, dan kriteria di bidang ketenagalistrikan;

d. penetapan pedoman penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen;

e. penetapan rencana umum ketenagalistrikan nasional;

f. penetapan wilayah usaha;

g. penetapan izin jual beli tenaga listrik lintas negara;

h. penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk badan usaha yang:

1. wilayah usahanya lintas provinsi;

2. dilakukan oleh badan usaha milik negara; dan

3. menjual tenaga listrik dan/atau menyewakan jaringan tenaga listrik kepada pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh Pemerintah;

i. penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya mencakup lintas provinsi;

j. penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh Pemerintah;

k. penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh Pemerintah;

l. penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegang izin operasi yang ditetapkan oleh Pemerintah;

98

m. penetapan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik yang dilakukan oleh badan usaha milik negara atau penanam modal asing/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal asing;

n. penetapan izin pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika pada jaringan milik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi yang ditetapkan oleh Pemerintah;

o. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di bidang ketenagalistrikan yang izinnya ditetapkan oleh Pemerintah;

p. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan;

q. pembinaan jabatan fungsional inspektur ketenagalistrikan untuk seluruh tingkat pemerintahan; dan

r. penetapan sanksi administratif kepada badan usaha yang izinnya ditetapkan oleh Pemerintah.

(2) Kewenangan pemerintah provinsi di bidang ketenagalistrikan meliputi:

a. penetapan peraturan daerah provinsi di bidang ketenagalistrikan;

b. penetapan rencana umum ketenagalistrikan daerah provinsi;

c. penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk badan usaha yang wilayah usahanya lintas kabupaten/kota;

d. penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya mencakup lintas kabupaten/kota;

e. penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi;

f. penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik untuk badan usaha yang menjual tenaga listrik dan/atau menyewakan jaringan tenaga listrik kepada badan usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah provinsi;

g. penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegang izin operasi yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah provinsi;

h. penetapan izin pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika pada jaringan milik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi;

i. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di bidang ketenagalistrikan yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah provinsi;

j. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan untuk provinsi; dan

k. penetapan sanksi administratif kepada badan usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah provinsi.

(3) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota di bidang ketenagalistrikan meliputi:

a. penetapan peraturan daerah kabupaten/kota di bidang ketenagalistrikan;

b. penetapan rencana umum ketenagalistrikan daerah kabupaten/kota;

c. penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk badan usaha yang wilayah usahanya dalam kabupaten/kota;

d. penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya dalam kabupaten/kota;

e. penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;

99

f. penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik untuk badan usaha yang menjual tenaga listrik dan/atau menyewakan jaringan tenaga listrik kepada badan usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;

g. penetapan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal dalam negeri;

h. penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegang izin operasi yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;

i. penetapan izin pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika pada jaringan milik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;

j. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di bidang ketenagalistrikan yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;

k. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan untuk kabupaten/kota; dan

l. penetapan sanksi administratif kepada badan usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota.

BAB V PEMANFAATAN SUMBER ENERGI PRIMER

Pasal 6

(1) Sumber energi primer yang terdapat di dalam negeri dan/atau berasal dari luar negeri harus dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan kebijakan energi nasional untuk menjamin penyediaan tenaga listrik yang berkelanjutan.

(2) Pemanfaatan sumber energi primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dengan mengutamakan sumber energi baru dan energi terbarukan.

(3) Pemanfaatan sumber energi primer yang terdapat di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan untuk kepentingan ketenagalistrikan nasional.

BAB VI RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN

Pasal 7

(1) Rencana umum ketenagalistrikan nasional disusun berdasarkan pada kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(2) Rencana umum ketenagalistrikan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mengikutsertakan pemerintah daerah.

(3) Rencana umum ketenagalistrikan daerah disusun berdasarkan pada rencana umum ketenagalistrikan nasional dan ditetapkan oleh pemerintah daerah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(4) Pedoman penyusunan rencana umum ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.

100

BAB VII USAHA KETENAGALISTRIKAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 8

Usaha ketenagalistrikan terdiri atas:

a. usaha penyediaan tenaga listrik; dan

b. usaha penunjang tenaga listrik.

Bagian Kedua

Usaha Penyediaan Tenaga Listrik

Pasal 9

Usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a terdiri atas:

a. usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum; dan

b. usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.

Pasal 10

(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a meliputi jenis usaha:

a. pembangkitan tenaga listrik;

b. transmisi tenaga listrik;

c. distribusi tenaga listrik; dan/atau

d. penjualan tenaga listrik.

(2) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.

(3) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh 1 (satu) badan usaha dalam 1 (satu) wilayah usaha.

(4) Pembatasan wilayah usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga berlaku untuk usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang hanya meliputi distribusi tenaga listrik dan/atau penjualan tenaga listrik.

(5) Wilayah usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 11

(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik.

101

(2) Badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi prioritas pertama melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.

(3) Untuk wilayah yang belum mendapatkan pelayanan tenaga listrik, Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya memberi kesempatan kepada badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau koperasi sebagai penyelenggara usaha penyediaan tenaga listrik terintegrasi.

(4) Dalam hal tidak ada badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau koperasi yang dapat menyediakan tenaga listrik di wilayah tersebut, Pemerintah wajib menugasi badan usaha milik negara untuk menyediakan tenaga listrik.

Pasal 12

Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b meliputi:

a. pembangkitan tenaga listrik;

b. pembangkitan tenaga listrik dan distribusi tenaga listrik; atau

c. pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, dan distribusi tenaga listrik.

Pasal 13

Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dapat dilaksanakan oleh instansi pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, perseorangan, dan lembaga/badan usaha lainnya.

Pasal 14

Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga

Usaha Penunjang Tenaga Listrik

Pasal 15

Usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b terdiri atas:

a. usaha jasa penunjang tenaga listrik; dan

b. usaha industri penunjang tenaga listrik.

Pasal 16

(1) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a meliputi:

a. konsultansi dalam bidang instalasi penyediaan tenaga listrik;

b. pembangunan dan pemasangan instalasi penyediaan tenaga listrik;

c. pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik;

102

d. pengoperasian instalasi tenaga listrik;

e. pemeliharaan instalasi tenaga listrik;

f. penelitian dan pengembangan;

g. pendidikan dan pelatihan;

h. h .laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;

i. sertifikasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;

j. sertifikasi kompetensi tenaga teknik ketenagalistrikan; atau

k. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan penyediaan tenaga listrik.

(2) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, dan koperasi yang memiliki sertifikasi, klasifikasi, dan kualifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, dan koperasi dalam melakukan usaha jasa penunjang tenaga listrik wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi, klasifikasi, dan kualifikasi usaha jasa penunjang tenaga listrik diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

(1) Usaha industri penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b meliputi:

a. usaha industri peralatan tenaga listrik; dan/atau

b. usaha industri pemanfaat tenaga listrik.

(2) Usaha industri penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, dan koperasi.

(3) Badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, dan koperasi dalam melakukan usaha industri penunjang tenaga listrik wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

(4) Kegiatan usaha industri penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

BAB VIII PERIZINAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 18

Usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilaksanakan setelah mendapatkan izin usaha.

Bagian Kedua

Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dan Izin Operasi

103

Pasal 19

(1) Izin usaha untuk menyediakan tenaga listrik terdiri atas:

a. Izin usaha penyediaan tenaga listrik; dan

b. Izin operasi.

(2) Setiap orang yang menyelenggarakan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum wajib memiliki izin usaha penyediaan tenaga listrik.

Pasal 20

Izin usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a ditetapkan sesuai dengan jenis usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).

Pasal 21

Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan izin usaha penyediaan tenaga listrik.

Pasal 22

Izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b diwajibkan untuk pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas tertentu yang diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 23

(1) Izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ditetapkan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

(2) Izin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setelah memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan lingkungan.

(3) Pemegang izin operasi dapat menjual kelebihan tenaga listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 24

Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha penyediaan tenaga listrik dan izin operasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga

Izin Usaha Penunjang Tenaga Listrik

Pasal 25

104

(1) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a dan Pasal 16 ayat (2) dilaksanakan setelah mendapatkan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

(2) Penetapan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik dan izin usaha industri penunjang tenaga listrik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 26

Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha jasa penunjang tenaga listrik diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat

Hak dan Kewajiban Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik

Pasal 27

(1) Untuk kepentingan umum, pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) berhak untuk:

a. melintasi sungai atau danau baik di atas maupun di bawah permukaan;

b. melintasi laut baik di atas maupun di bawah permukaan;

c. melintasi jalan umum dan jalan kereta api;

d. masuk ke tempat umum atau perorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu;

e. menggunakan tanah dan melintas di atas atau di bawah tanah;

f. melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun di atas atau di bawah tanah; dan

g. memotong dan/atau menebang tanaman yang menghalanginya.

(2) Dalam pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik harus melaksanakannya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 28

Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik wajib:

a. menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan keandalan yang berlaku;

b. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada konsumen dan masyarakat;

c. memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan; dan

d. mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

Bagian Kelima

Hak dan Kewajiban Konsumen

Pasal 29

105

(1) Konsumen berhak untuk:

a. mendapat pelayanan yang baik;

b. mendapat tenaga listrik secara terus-menerus dengan mutu dan keandalan yang baik;

c. memperoleh tenaga listrik yang menjadi haknya dengan harga yang wajar;

d. mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik; dan

e. mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaantenaga listrik sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.

(2) Konsumen wajib:

a.melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik;

b.menjaga keamanan instalasi tenaga listrik milik konsumen;

c.memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya;

d. membayar tagihan pemakaian tenaga listrik; dan

e. menaati persyaratan teknis di bidang ketenagalistrikan.

(3) Konsumen bertanggung jawab apabila karena kelalaiannya mengakibatkan kerugian pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB IX PENGGUNAAN TANAH

Pasal 30

(1) Penggunaan tanah oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dilakukan dengan memberikan ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, dan tanaman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Ganti rugi hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk tanah yang dipergunakan secara langsung oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dan bangunan serta tanaman di atas tanah.

(3) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk penggunaan tanah secara tidak langsung oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang mengakibatkan berkurangnya nilai ekonomis atas tanah, bangunan, dan tanaman yang dilintasi transmisi tenaga listrik.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(5) Dalam hal tanah yang digunakan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik terdapat bagian-bagian tanah yang dikuasai oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah negara, sebelum memulai kegiatan, pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik wajib menyelesaikan masalah tanah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

106

(6) Dalam hal tanah yang digunakan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik terdapat tanah ulayat, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dengan memperhatikan ketentuan hukum adat setempat.

Pasal 31

Kewajiban untuk memberi ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) tidak berlaku terhadap setiap orang yang sengaja mendirikan bangunan, menanam tanaman, dan lain-lain di atas tanah yang sudah memiliki izin lokasi untuk usaha penyediaan tenaga listrik dan sudah diberikan ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi.

Pasal 32

(1) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dibebankan kepada pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik.

BAB X HARGA JUAL, SEWA JARINGAN, DAN TARIF TENAGA LISTRIK

Bagian Kesatu

Harga Jual Tenaga Listrik dan Sewa Jaringan Tenaga Listrik

Pasal 33

(1) Harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang sehat.

(2) Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik.

(3) Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dilarang menerapkan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik tanpa persetujuan Pemerintah atau pemerintah daerah.

Bagian Kedua

Tarif Tenaga Listrik

Pasal 34

(1) Pemerintah sesuai dengan kewenangannya menetapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(2) Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(3) Dalam hal pemerintah daerah tidak dapat menetapkan tarif tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah menetapkan tarif tenaga listrik untuk daerah tersebut dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

107

(4) Tarif tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan nasional, daerah, konsumen, dan pelaku usaha penyediaan tenaga listrik.

(5) Tarif tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditetapkan secara berbeda di setiap daerah dalam suatu wilayah usaha.

Pasal 35

Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dilarang menerapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen yang tidak sesuai dengan penetapan Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.

Pasal 36

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan harga jual, sewa jaringan, dan tarif tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga

Jual Beli Tenaga Listrik Lintas Negara

Pasal 37

Jual beli tenaga listrik lintas negara dilakukan oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik berdasarkan izin Pemerintah.

Pasal 38

Jual beli tenaga listrik lintas negara dapat dilakukan melalui pembelian atau penjualan tenaga listrik.

Pasal 39

Pembelian tenaga listrik lintas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dapat dilakukan dengan syarat:

a. belum terpenuhinya kebutuhan tenaga listrik setempat;

b. hanya sebagai penunjang pemenuhan kebutuhan tenaga listrik setempat;

c. tidak merugikan kepentingan negara dan bangsa yang terkait dengan kedaulatan, keamanan, dan pembangunan ekonomi;

d. untuk meningkatkan mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik setempat;

e. tidak mengabaikan pengembangan kemampuan penyediaan tenaga listrik dalam negeri; dan

f. tidak menimbulkan ketergantungan pengadaan tenaga listrik dari luar negeri.

Pasal 40

Penjualan tenaga listrik lintas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dapat dilakukan apabila:

a. kebutuhan tenaga listrik setempat dan wilayah sekitarnya telah terpenuhi;

108

b. harga jual tenaga listrik tidak mengandung subsidi; dan

c. tidak mengganggu mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik setempat.

Pasal 41

Ketentuan lebih lanjut mengenai jual beli tenaga listrik lintas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI LINGKUNGAN HIDUP DAN KETEKNIKAN

Bagian Kesatu

Lingkungan Hidup

Pasal 42

Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan yang disyaratkan dalam peraturan perundangundangan di bidang lingkungan hidup.

Bagian Kedua

Keteknikan

Pasal 43

Keteknikan ketenagalistrikan terdiri atas:

a. keselamatan ketenagalistrikan; dan

b. pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika.

Pasal 44

(1) Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan.

(2) Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan kondisi:

a. andal dan aman bagi instalasi;

b. aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya; dan

c. ramah lingkungan.

(3) Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pemenuhan standardisasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;

b. pengamanan instalasi tenaga listrik; dan

c. pengamanan pemanfaat tenaga listrik.

(4) Setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi.

(5) Setiap peralatan dan pemanfaat tenaga listrik wajib memenuhi ketentuan standar nasional Indonesia.

109

(6) Setiap tenaga teknik dalam usaha ketenagalistrikan wajib memiliki sertifikat kompetensi.

(7) Ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan, sertifikat laik operasi, standar nasional Indonesia, dan sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 45

(1) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu kelangsungan penyediaan tenaga listrik.

(2) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan persetujuan pemilik jaringan.

(3) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan izin pemanfaatan jaringan yang diberikan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 46

(1) Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap usaha penyediaan tenaga listrik dalam hal:

a. penyediaan dan pemanfaatan sumber energi untuk pembangkit tenaga listrik;

b. pemenuhan kecukupan pasokan tenaga listrik;

c. pemenuhan persyaratan keteknikan;

d. pemenuhan aspek perlindungan lingkungan hidup;

e. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;

f. penggunaan tenaga kerja asing;

g. pemenuhan tingkat mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik;

h. pemenuhan persyaratan perizinan;

i. penerapan tarif tenaga listrik; dan

j. pemenuhan mutu jasa yang diberikan oleh usaha penunjang tenaga listrik.

(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah dapat:

a. melakukan inspeksi pengawasan di lapangan;

b. meminta laporan pelaksanaan usaha di bidang ketenagalistrikan;

c. melakukan penelitian dan evaluasi atas laporan pelaksanaan usaha di bidang ketenagalistrikan; dan

d. memberikan sanksi administratif terhadap pelanggaran ketentuan perizinan.

110

(3) Dalam melaksanakan pengawasan keteknikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah dibantu oleh inspektur ketenagalistrikan dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIII PENYIDIKAN

Pasal 47

(1) Selain Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagalistrikan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang ketenagalistrikan.

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;

b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;

c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;

d. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;

e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha ketenagalistrikan dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;

f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha ketenagalistrikan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;

g. mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan; dan

h. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana di bidang ketenagalistrikan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan perkara pidana kepada Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XIV SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 48

111

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 33 ayat (3), Pasal 35, Pasal 37, Pasal 42, atau Pasal 45 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:

a. teguran tertulis;

b. pembekuan kegiatan sementara; dan/atau

c. pencabutan izin usaha.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XV KETENTUAN PIDANA

Pasal 49

(1) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik tanpa izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(3) Setiap orang yang menjual kelebihan tenaga listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum tanpa persetujuan dari Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 50

(1) Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) yang mengakibatkan matinya seseorang karena tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau pemegang izin operasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau pemegang izin operasi juga diwajibkan untuk memberi ganti rugi kepada korban.

(4) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 51

112

(1) Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) sehingga mempengaruhi kelangsungan penyediaan tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terputusnya aliran listrik sehingga merugikan masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 52

(1) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik yang tidak memenuhi kewajiban terhadap yang berhak atas tanah, bangunan, dan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi tambahan berupa pencabutan izin usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi.

Pasal 53

Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha jasa penunjang tenaga listrik tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 54

(1) Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang memproduksi, mengedarkan, atau memperjualbelikan peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang tidak sesuai dengan standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 55

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 54 dilakukan oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha dan/atau pengurusnya.

(2) Dalam hal pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan terhadap badan usaha, pidana yang dikenakan berupa denda maksimal ditambah sepertiganya.

BAB XVI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 56

113

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

1. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebagai badan usaha milik negara yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dianggap telah memiliki izin usaha penyediaan tenaga listrik.

2. Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, Pemerintah telah melakukan penataan dan penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik kepada badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada angka 1 sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

3. Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum, Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Sendiri, dan Izin Usaha Penunjang Tenaga Listrik yang telah dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan tetap berlaku sampai habis masa berlakunya.

4. Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, pelaksanaan Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum, Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Sendiri, dan Izin Usaha Penunjang Tenaga Listrik yang telah dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada angka 3 disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini.

BAB XVII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 57

(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3317) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

(2) Peraturan pelaksanaan di bidang ketenagalistrikan yang telah ada berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.

(3) Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 58

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 23 September 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

114

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 23 September 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 133

115

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 30 TAHUN 2009

TENTANG

KETENAGALISTRIKAN

I. UMUM

Pembangunan sektor ketenagalistrikan bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional, yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tenaga listrik, sebagai salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam, mempunyai peranan penting bagi negara dalam mewujudkan pencapaian tujuan pembangunan nasional. Mengingat arti penting tenaga listrik bagi negara dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam segala bidang dan sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang ini menyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik. Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan usaha penyediaan tenaga listrik yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. Untuk lebih meningkatkan kemampuan negara dalam penyediaan tenaga listrik, Undang-Undang ini memberi kesempatan kepada badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Sesuai dengan prinsip otonomi daerah, Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan izin usaha penyediaan tenaga listrik. Berbagai permasalahan ketenagalistrikan yang saat ini dihadapi oleh bangsa dan negara telah diantisipasi dalam Undang-Undang ini yang mengatur, antara lain, mengenai pembagian wilayah usaha penyediaan tenaga listrik yang terintegrasi, penerapan tarif regional yang berlaku terbatas untuk suatu wilayah usaha tertentu, pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika, serta mengatur tentang jual beli tenaga listrik lintas negara yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan. Dalam rangka peningkatan penyediaan tenaga listrik kepada masyarakat diperlukan pula upaya penegakan hukum di bidang ketenagalistrikan. Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan, termasuk pelaksanaan pengawasan di bidang keteknikan. Selain bermanfaat, tenaga listrik juga dapat membahayakan. Oleh karena itu, untuk lebih menjamin keselamatan umum, keselamatan kerja, keamanan instalasi, dan kelestarian fungsi lingkungan dalam penyediaan tenaga listrik dan pemanfaatan tenaga listrik, instalasi tenaga listrik harus menggunakan peralatan dan perlengkapan listrik yang memenuhi standar peralatan di bidang ketenagalistrikan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Huruf a

116

Yang dimaksud dengan "asas manfaat" adalah bahwa hasil pembangunan ketenagalistrikan harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "asas efisiensi berkeadilan" adalah bahwa pembangunan ketenagalistrikan harus dapat dilaksanakan dengan biaya seminimal mungkin, tetapi dengan hasil yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat.

Huruf c

Yang dimaksud dengan "asas berkelanjutan" adalah bahwa usaha penyediaan tenaga listrik harus dikelola dengan baik agar dapat terus berlangsung secara berkelanjutan.

Huruf d

Yang dimaksud dengan "asas optimalisasi ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya energi" adalah bahwa penggunaan sumber energi untuk pembangkitan tenaga listrik harus dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan sumber energi.

Huruf e

Yang dimaksud dengan "asas mengandalkan pada kemampuan sendiri" adalah bahwa pembangunan ketenagalistrikan dilakukan dengan mengutamakan kemampuan dalam negeri.

Huruf f

Yang dimaksud dengan "asas kaidah usaha yang sehat" adalah bahwa usaha ketenagalistrikan dilaksanakan dengan menerapkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.

Huruf g

Yang dimaksud dengan "asas keamanan dan keselamatan" adalah bahwa penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik harus memperhatikan keamanan instalasi, keselamatan manusia, dan lingkungan hidup di sekitar instalasi.

Huruf h

Yang dimaksud dengan "asas kelestarian fungsi lingkungan" adalah bahwa penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik harus memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan lingkungan sekitar.

Huruf i

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1)

Mengingat tenaga listrik merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang dalam penyelenggaraannya ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat.

Ayat (2)

117

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dalam ketentuan ini adalah yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik.

Ayat (2)

Partisipasi badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dilakukan dalam rangka memperkuat pemenuhan kebutuhan tenaga listrik. Swadaya masyarakat dapat berbentuk badan hukum.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Sumber energi baru dan energi terbarukan dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan keekonomiannya.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "kebijakan energi nasional" adalah kebijakan energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Energi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

118

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Wilayah usaha bukan merupakan wilayah administrasi pemerintahan.

Pasal 11

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pemberian prioritas kepada badan usaha milik negara merupakan perwujudan penguasaan negara terhadap penyediaan tenaga listrik. Badan usaha milik negara adalah badan usaha yang semata-mata berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Yang dimaksud dengan "kepentingan sendiri" adalah penyediaan tenaga listrik untuk digunakan sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan. Yang dimaksud dengan "lembaga/badan usaha lainnya" adalah perwakilan lembaga asing atau badan usaha asing.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

119

Ayat (3)

Penggunaan produk dan potensi luar negeri dapat digunakan apabila produk dan potensi dalam negeri tidak tersedia.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Penggunaan produk dan potensi luar negeri dapat digunakan apabila produk dan potensi dalam negeri tidak tersedia.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Dalam penetapan izin, Pemerintah atau pemerintah daerah memperhatikan kemampuan dalam penyediaan tenaga listrik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang memiliki wilayah usaha setempat. Izin usaha penyediaan tenaga listrik memuat, antara lain, nama dan alamat badan usaha, jenis usaha yang diberikan, kewajiban dalam penyelenggaraan usaha, syarat teknis, dan ketentuan sanksi.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

120

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Penggunaan produk dan potensi luar negeri dapat digunakan apabila produk dan potensi dalam negeri tidak tersedia.

Pasal 29

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "instalasi tenaga listrik milik konsumen" adalah instalasi tenaga listrik setelah alat pengukur atau alat pembatas penggunaan tenaga listrik.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 30

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

121

Ganti rugi hak atas tanah termasuk untuk sisa tanah yang tidak dapat digunakan oleh pemegang hak sebagai akibat dari penggunaan sebagian tanahnya oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik. Yang dimaksud dengan "secara langsung" adalah penggunaan tanah untuk pembangunan instalasi tenaga listrik, antara lain, pembangkitan, gardu induk, dan tapak menara transmisi.

Ayat (3)

Secara tidak langsung dalam ketentuan ini antara lain penggunaan tanah untuk lintasan jalur transmisi.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Ayat (1)

Pengertian harga jual tenaga listrik meliputi semua biaya yang berkaitan dengan penjualan tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik. Pengertian harga sewa jaringan tenaga listrik meliputi semua biaya yang berkaitan dengan penyewaan jaringan transmisi dan/atau distribusi tenaga listrik.

Ayat (2)

Dalam menetapkan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik, Pemerintah atau pemerintah daerah memperhatikan kesepakatan di antara badan usaha.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 34

Ayat (1)

Tarif tenaga listrik untuk konsumen meliputi semua biaya yang berkaitan dengan pemakaian tenaga listrik oleh konsumen, antara lain, biaya beban (Rp/kVA) dan biaya pemakaian (Rp/kWh), biaya pemakaian daya reaktif (Rp/kVArh), dan/atau biaya kVA maksimum yang dibayar berdasarkan harga langganan (Rp/bulan) sesuai dengan batasan daya yang dipakai atau bentuk lainnya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

122

Ayat (4)

Kepentingan daerah mencakup, antara lain, pembangunan ekonomi dan industri di daerah.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan "pengembangan kemampuan penyediaan tenaga listrik dalam negeri" adalah pengembangan sumber energi, sumber daya manusia, dan teknologi.

Huruf f

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

123

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Angka 1

Cukup jelas.

Angka 2

Penataan dimaksudkan agar badan usaha milik negara menjadi lebih efisien dan efektif dalam melakukan pelayanan penyediaan tenaga listrik kepada masyarakat.

Angka 3

Cukup jelas.

Angka 4

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

124

Pasal 58

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5052

125

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2018

TENTANG

PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK BIDANG KETENAGALISTRIKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 88 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Bidang Ketenagalistrikan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052);

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5281) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5530);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2012 tentang Jual Beli Listrik Lintas Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5326);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2012 tentang Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5326);

126

6. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6215);

7. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2015 tentang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 132) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 105 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2015 tentang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 289);

8. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2012 tentang Tata Cara Permohonan Izin Penjualan, Izin Pembelian dan Interkoneksi Jaringan Tenaga Listrik Lintas Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1064);

9. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2012 tentang Tata Cara Permohonan Wilayah Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1186) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahún 2012 tentang Tata Cara Permohonan Wilayah Usaha penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 385);

10. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 35 Tahun 2013 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Ketenagalistrikan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1524) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 35 Tahun 2013 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Ketenagalistrikan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 706);

11. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 36 Tahun 2013 tentang Tata Cara Permohonan Izin Pemanfaatan Jaringan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Telekomunikasi, Multimedia, dan Informatika (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1539);

12. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 35 Tahun 2014 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Usaha Ketenagalistrikan dalam rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1970) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Energi dan sumber Daya Mineral Nomor 30 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 35 Tahun 2014 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Usaha Ketenagalistrikan dalam rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 732);

13. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 782);

14. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 38 Tahun 2018 tentang Tata Cara Akreditasi dan Sertifikasi Ketenagalistrikan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 853);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK BIDANG KETENAGALISTRIKAN.

127

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Perizinan Berusaha adalah pendaftaran yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatan dan diberikan dalam bentuk persetujuan yang dituangkan dalam bentuk surat/keputusan atau pemenuhan persyaratan dan/atau Komitmen.

2. Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Ketenagalistrikan atau Online Single Submission yang

selanjutnya disingkat OSS adalah Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh lembaga OSS untuk dan atas nama Menteri atau gubernur, kepada pelaku usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi.

3. Izin Usaha adalah izin yang diterbitkan oleh lembaga OSS untuk dan atas nama Menteri atau gubernur setelah pelaku usaha melakukan pendaftaran dan untuk memulai usaha dan/atau kegiatan sampai sebelum pelaksanaan komersial atau operasional dengan memenuhi persyaratan dan/atau Komitmen.

4. Izin Komersial atau Operasional adalah izin yang diterbitkan oleh lembaga OSS untuk dan atas nama Menteri atau gubernur setelah pelaku usaha mendapatkan Izin Usaha dan untuk melakukan kegiatan komersial atau operasional dengan memenuhi persyaratan dan/atau Komitmen.

5. Komitmen adalah pernyataan pelaku usaha untuk memenuhi persyaratan Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional.

6. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah identitas pelaku usaha yang diterbitkan oleh lembaga OSS setelah pelaku usaha melakukan pendaftaran.

7. Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

8. Pembangkitan Tenaga Listrik adalah kegiatan memproduksi tenaga listrik.

9. Transmisi Tenaga Listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari pembangkitan ke sistem distribusi atau ke konsumen, atau penyaluran tenaga listrik antarsistem.

10. Distribusi Tenaga Listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari sistem transmisi atau dari pembangkitan ke konsumen.

11. Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik adalah izin untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.

12. Izin Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik adalah izin untuk melakukan usaha jasa penunjang tenaga listrik.

13. Izin Operasi adalah izin untuk melakukan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.

14. Wilayah Usaha adalah wilayah yang ditetapkan oleh Menteri sebagai tempat badan usaha distribusi dan/atau penjualan tenaga listrik untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik.

15. Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik adalah instalasi tenaga listrik yang digunakan untuk pengadaan tenaga listrik meliputi instalasi pembangkitan, instalasi transmisi, dan instalasi Distribusi Tenaga Listrik.

16. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik adalah instalasi tenaga listrik yang digunakan untuk pemanfaatan tenaga listrik oleh konsumen akhir.

17. Sertifikat Laik Operasi adalah bukti pengakuan formal suatu instalasi tenaga listrik telah berfungsi sebagaimana kesesuaian persyaratan yang ditentukan dan dinyatakan siap dioperasikan.

18. Sertifikat Badan Usaha adalah bukti pengakuan formal terhadap kesesuaian klasifikasi dan kualifikasi atas kemampuan usaha di bidang usaha jasa penunjang tenaga listrik.

19. Sertifikat Kompetensi adalah bukti pengakuan formal terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kompetensi Tenaga Teknik dan Asesor di bidang ketenagalistrikan.

128

20. Tenaga Teknik Ketenagalistrikan adalah perorangan yang berpendidikan di bidang tenik dan/atau memiliki pengalaman kerja di bidang ketenagalistrikan.

21. Izin Pemanfaatan Jaringan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Telekomunikasi, Multimedia, dan/atau Informatika yang selanjutnya disebut IPJ Telematika adalah izin yang diberikan kepada pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenagap Listrik atau Izin Operasi sebagai pemilik j aringan.

22. Hari adalah hari kerja sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

23. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagalistrikan.

BAB II JENIS, PEMOHON, PROSES, PENERBIT, DAN MASA BERLAKU PERIZINAN BERUSAHA BIDANG KETENAGALISTRIKAN

Bagian Kesatu

Jenis dan Subbidang Perizinan Berusaha

Pasal 2

Jenis Perizinan Berusaha terdiri atas:

a. Izin Usaha; dan

b. Izin Komersial atau Operasional.

Pasal 3

Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, terdiri atas:

a. Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik;

b. Izin Operasi;

c. Penetapan Wilayah Usaha;

d. Izin Usaha Jual Beli Listrik Lintas Negara;

e. Izin Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik; dan

f. IPJ Telematika.

Pasal 4

Izin Komersial atau Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, terdiri atas:

a. Sertifikat Laik Operasi;

b. Sertifikat Badan Usaha; dan

c. Sertifikat Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan.

Pasal 5

Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, terdiri atas:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik;

b. Transmisi Tenaga Listrik;

c. Distribusi Tenaga Listrik;

129

d. penjualan tenaga listrik; atau

e. terintegrasi.

Pasal 6

Izin Operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, terdiri atas:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik;

b. Pembangkitan Tenaga Listrik dan Distribusi Tenaga Listrik; atau

c. Pembangkitan Tenaga Listrik, Transmisi Tenaga Listrik, dan Distribusi Tenaga Listrik.

Pasal 7

Penetapan Wilayah Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, diwajibkan apabila melakukan:

a. usaha penyediaan tenaga listrik secara terintegrasi;

b. usaha Distribusi Tenaga Listrik; dan/atau

c. usaha penjualan tenaga listrik.

Pasal 8

Izin Usaha Jual Beli Listrik Lintas Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, terdiri atas:

a. penjualan tenaga listrik lintas negara; dan/atau

b. pembelian tenaga listrik lintas negara.

Pasal 9

Izin Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e, terdiri atas:

a. konsultansi dalam bidang Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik;

b. pembangunan dan pemasangan Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik;

c. pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik;

d. pengoperasian instalasi tenaga listrik;

e. pemeliharaan instalasi tenaga listrik;

f. penelitian dan pengembangan;

g. pendidikan dan pelatihan;

h. laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;

i. sertifikasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;

j. sertifikasi kompetensi tenaga teknik ketenagalistrikan; atau

k. sertifikasi badan usaha.

Pasal 10

(1) Usaha jasa konsultansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, meliputi konsultansi usaha jasa perencanaan dan/atau pengawasan dalam bidang:

130

a. Pembangkitan Tenaga Listrik;

b. Transmisi Tenaga Listrik;

c. Distribusi Tenaga Listrik; dan

d. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik.

(2) Usaha jasa konsultansi di bidang Pembangkitan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. pembangkit listrik tenaga uap;

b. pembangkit listrik tenaga gas;

c. pembangkit listrik tenaga gas-uap;

d. pembangkit listrik tenaga panas bumi;

e. pembangkit listrik tenaga air;

f. pembangkit listrik tenaga air skala kecil dan menengah;

g. pembangkit listrik tenaga diesel;

h. pembangkit listrik tenaga nuklir; dan

i. pembangkit listrik tenaga energi baru lainnya dan tenaga energi terbarukan lainnya.

(3) Usaha jasa konsultansi di bidang Transmisi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Transmisi Tenaga Listrik tegangan tinggi dan/atau tegangan ekstra tinggi; dan

b. gardu induk.

(4) Usaha jasa konsultansi di bidang Distribusi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan menengah; dan

b. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan rendah.

(5) Usaha jasa konsultansi di bidang Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan tinggi;

b. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan menegah; dan

c. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan rendah.

Pasal 11

(1) Usaha jasa pembangunan dan pemasangan Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, diklasifikasikan dalam bidang:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik;

b. Transmisi Tenaga Listrik;

c. Distribusi Tenaga Listrik; dan

d. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik.

(2) Usaha jasa Pembangunan dan pemasangan di bidang pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. pembangkit listrik tenaga uap;

131

b. pembangkit listrik tenaga gas;

c. pembangkit listrik tenaga gas-uap;

d. pembangkit listrik tenaga panas bumi;

e. pembangkit listrik tenaga air;

f. pembangkit listrik tenaga air skala kecil dan menengah;

g. pembangkit listrik tenaga diesel;

h. pembangkit listrik tenaga nuklir; dan

i. pembangkit listrik tenaga energi baru lainnya dan tenaga energi terbarukan lainnya.

(3) Usaha jasa pembangunan dan pemasangan di bidang transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Transmisi Tenaga Listrik tegangan tinggi dan/ atau tegangan ekstra tinggi; dan

b. gardu induk.

(4) Usaha jasa pembangunan dan pemasangan di bidang distribusi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan menengah; dan

b. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan rendah.

(5) Usaha jasa pembangunan dan pemasangan di bidang Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan tinggi;

b. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan menegah; dan

c. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan rendah.

(6) Klasifikasi, kualifikasi, dan sertifikasi perencana, pelaksana, dan pengawas bangunan sipil dan gedung untuk Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi.

Pasal 12

(1) Usaha jasa pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, diklasifikasikan dalam bidang:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik;

b. Transmisi Tenaga Listrik;

c. Distribusi Tenaga Listrik; dan

d. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik.

(2) Usaha jasa pemeriksaan dan pengujian di bidang pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. pembangkit listrik tenaga uap;

b. pembangkit listrik tenaga gas;

c. pembangkit listrik tenaga gas-uap;

d. pembangkit listrik tenaga panas bumi;

e. pembangkit listrik tenaga air;

132

f. pembangkit listrik tenaga air skala kecil dan menengah;

g. pembangkit listrik tenaga diesel;

h. pembangkit listrik tenaga nuklir; dan

i. pembangkit listrik tenaga energi baru lainnya dan tenaga energi terbarukan lainnya.

(3) Usaha jasa pemeriksaan dan pengujian di bidang Transmisi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Transmisi Tenaga Listrik tegangan tinggi dan/atau tegangan ekstra tinggi; dan

b. gardu induk.

(4) Pemeriksaan dan pengujian di bidang distribusi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan menengah; dan

b. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan rendah.

(5) Usaha jasa pemeriksaan dan pengujian di bidang instalasi pemanfaatan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan tinggi;

b. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan menengah; dan

c. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan rendah.

Pasal 13

(1) Usaha jasa pengoperasian instalasi tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d, diklasifikasikan dalam bidang:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik;

b. Transmisi Tenaga Listrik; dan

c. Distribusi Tenaga Listrik.

(2) Usaha jasa pengoperasian di bidang Pembangkitan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. pembangkit listrik tenaga uap;

b. pembangkit listrik tenaga gas;

c. pembangkit listrik tenaga gas-uap;

d. pembangkit listrik tenaga panas bumi;

e. pembangkit listrik tenaga air;

f. pembangkit listrik tenaga air skala kecil dan menengah;

g. pembangkit listrik tenaga diesel;

h. pembangkit listrik tenaga nuklir; dan

i. pembangkit listrik tenaga energi baru lainnya dan tenaga energi terbarukan lainnya.

(3) Usaha jasa pengoperasian di bidang Transmisi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Transmisi Tenaga Listrik tegangan tinggi dan/atau tegangan ekstra tinggi; dan

b. gardu induk.

133

(4) Usaha jasa pengoperasian di bidang Distribusi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan menengah; dan

b. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan rendah.

Pasal 14

(1) Usaha jasa pemeliharaan instalasi tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf e, diklasifikasikan dalam bidang:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik;

b. Transmisi Tenaga Listrik; dan

c. Distribusi Tenaga Listrik.

(2) Usaha jasa pemeliharaan di bidang pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. pembangkit listrik tenaga uap;

b. pembangkit listrik tenaga gas;

c. pembangkit listrik tenaga gas-uap;

d. pembangkit listrik tenaga panas bumi;

e. pembangkit listrik tenaga air;

f. pembangkit listrik tenaga air skala kecil dan menengah;

g. pembangkit listrik tenaga diesel;

h. pembangkit listrik tenaga nuklir; dan

i. pembangkit listrik tenaga energi baru lainnya dan tenaga energi terbarukan lainnya.

(3) Usaha jasa pemeliharaan di bidang Transmisi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Transmisi Tenaga Listrik tegangan tinggi dan/atau tegangan ekstra tinggi; dan

b. gardu induk.

(4) Usaha jasa pemeliharaan di bidang Distribusi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan menengah; dan

b. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan rendah.

Pasal 15

(1) Usaha jasa pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, diklasifikasikan dalam bidang:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik;

b. Transmisi Tenaga Listrik;

c. Distribusi Tenaga Listrik;

d. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik;

e. asesor ketenagalistrikan; dan

134

f. industri penunjang tenaga listrik.

(2) Usaha jasa pendidikan dan pelatihan di bidang Pembangkitan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. pembangkit listrik tenaga uap;

b. pembangkit listrik tenaga gas;

c. pembangkit listrik tenaga gas-uap;

d. pembangkit listrik tenaga panas bumi;

e. pembangkit listrik tenaga air;

f. pembangkit listrik tenaga air skala kecil dan menengah;

g. pembangkit listrik tenaga diesel;

h. pembangkit listrik tenaga nuklir; dan

i. pembangkit listrik tenaga energi baru lainnya dan tenaga energi terbarukan lainnya.

(3) Usaha jasa pendidikan dan pelatihan di bidang transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Transmisi Tenaga Listrik tegangan tinggi dan/atau tegangan ekstra tinggi; dan

b. gardu induk.

(4) Usaha jasa pendidikan dan pelatihan di bidang Distribusi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan menengah; dan

b. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan rendah.

(5) Usaha jasa pendidikan dan pelatihan di bidang Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan tinggi;

b. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan menegah; dan

c. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan rendah.

(6) Usaha jasa pendidikan dan pelatihan di bidang asesor ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik;

b. Transmisi Tenaga Listrik;

c. Distribusi Tenaga Listrik; dan

d. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik.

(7) Usaha jasa pendidikan dan pelatihan di bidang industri penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. peralatan tenaga listrik; dan

b. pemanfaat tenaga listrik.

Pasal 16

Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, huruf h, dan huruf i, diklasifikasikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

135

Pasal 17

(1) Usaha jasa sertifikasi kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf j, diklasifikasikan dalam bidang:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik;

b. Transmisi Tenaga Listrik;

c. Distribusi Tenaga Listrik; dan

d. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik.

(2) Usaha jasa sertifikasi kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan di bidang Pembangkitan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. konsultansi;

b. pembangunan dan pemasangan;

c. pemeriksaan dan pengujian;

d. pengoperasian;

e. pemeliharaan;

f. penelitian dan pengembangan;

g. pendidikan dan pelatihan;

h. laboratorium penguji;

i. asesor ketenagalistrikan; dan

j. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan Pembangkitan Tenaga Listrik.

(3) Usaha jasa sertifikasi kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan di bidang Transmisi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. konsultansi;

b. pembangunan dan pemasangan;

c. pemeriksaan dan pengujian;

d. pengoperasian;

e. pemeliharaan;

f. penelitian dan pengembangan;

g. pendidikan dan pelatihan;

h. laboratorium penguji;

i. asesor ketenagalistrikan; dan

j. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan transmisi tenaga listrik.

(4) Usaha jasa sertifikasi kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan di bidang Distribusi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. konsultansi;

b. pembangunan dan pemasangan;

c. pemeriksaan dan pengujian;

d. pengoperasian;

136

e. pemeliharaan;

f. penelitian dan pengembangan;

g. pendidikan dan pelatihan;

h. laboratorium penguji;

i. asesor ketenagalistrikan; dan

j. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan Distribusi Tenaga Listrik,

(5) Usaha jasa sertifikasi kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan di bidang Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, diklasifikasikan dalam subbidang:

a. konsultansi;

b. pembangunan dan pemasangan;

c. pemeriksaan dan pengujian;

d. pemeliharaan;

e. penelitian dan pengembangan;

f. pendidikan dan pelatihan;

g. laboratorium penguji; dan

h. asesor ketenagalistrikan.

Pasal 18

Usaha jasa sertifikasi badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf k, diklasifikasikan dalam ruang lingkup jenis usaha:

a. konsultansi dalam bidang Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik;

b. pembangunan dan pemasangan Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik;

c. pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik;

d. pengoperasian instalasi tenaga listrik;

e. pemeliharaan instalasi tenaga listrik; dan

f. sertifikasi kompetensi tenaga teknik ketenagalistrikan.

Pasal 19

IPJ Telematika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f, terdiri atas:

a. penyangga dan/atau jalur sepanjang jaringan;

b. serat optik pada jaringan;

c. konduktor pada jaringan; dan

d. kabel pilot pada jaringan.

Bagian Kedua

Pemohon Perizinan Berusaha

Pasal 20

137

(1) Pemohon Perizinan Berusaha terdiri atas:

a. pelaku usaha perseorangan; dan

b. pelaku usaha non-perseorangan.

(2) Pelaku usaha perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan orang perorangan penduduk Indonesia yang cakap untuk bertindak dan melakukan perbuatan hukum.

(3) Pelaku usaha non-perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas:

a. perseroan terbatas;

b. perusahaan umum;

c. perusahaan umum daerah;

d. badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara;

e. badan layanan umum; '

f. badan usaha yang didirikan oleh yayasan;

g. koperasi;

h. persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap);

i. persekutuan firma (venootschap onderfirma); dan

j. persekutuan perdata.

Bagian Ketiga

Proses Perizinan Berusaha

Pasal 21

(1) Pelaku usaha bidang ketenagalistrikan wajib memiliki Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional.

(2) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku usaha mengajukan permohonan melalui OSS.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dilengkapi dengan persyaratan administratif dan teknis.

(4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipenuhi berdasarkan NIB sesuai dengan bidang usaha ketenagalistrikan yang ditetapkan dalam klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia.

(5) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berupa pemenuhan atas Komitmen Izin Usaha dan/atau Komitmen Izin Komersial atau Operasional.

Pasal 22

(1) Komitmen Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(2) Komitmen Izin Komersial atau Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(3) Pemenuhan atas Komitmen Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan syarat untuk dapat diterbitkan Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional.

(4) Dalam hal Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan/atau izin terkait lainnya tidak dapat dipenuhi, Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional yang telah terbit dinyatakan batal dan tidak berlaku.

138

Bagian Keempat

Penerbit Perizinan Berusaha

Pasal 23

(1) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diterbitkan oleh Menteri dan/atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

(2) Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk Perizinan Berusaha yang kewenangan penerbitannya telah dilimpahkan atau didelegasikan kepada pejabat lainnya.

(3) Pelaksanaan kewenangan penerbitan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan melalui OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 24

Izin Komersial atau Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diterbitkan oleh lembaga OSS setelah Lembaga Sertifikasi yang mendapatkan akreditasi dan/atau penunjukan dari Menteri menerbitkan sertifikat.

Pasal 25

Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dalam bentuk Dokumen Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik.

Bagian Kelima

Masa Berlaku Perizinan Berusaha

Pasal 26

Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, diberikan untuk jangka waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang ketenagalistrikan.

BAB III PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PELAKSANAAN PERIZINAN BERUSAHA BIDANG KETENAGALISTRIKAN

Pasal 27

(1) Menteri dan/atau gubernur sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan atas pemenuhan Komitmen sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.

(2) Dalam hal hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan ketidaksesuaian atau penyimpangan, Menteri dan/atau gubernur sesuai dengan kewenangannya mengambil tindakan.

(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa pencabutan Perizinan Berusaha.

(4) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui sistem OSS oleh Menteri dan/atau gubernur kepada ketua lembaga OSS.

(5) Berdasarkan penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ketua lembaga OSS melakukan pencabutan Perizinan Berusaha.

Pasal 28

139

Menteri dan/atau gubernur sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan Perizinan Berusaha bidang ketenagalistrikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan.

Pasal 29

(1) Menteri dan/atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 dapat menugaskan Inspektur Ketenagalistrikan.

(2) Selain dapat menugaskan Inspektur Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28, Menteri dan/atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat bekerja sama dengan profesi sesuai dengan bidang pengawasan.

(3) Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki Sertifikat Kompetensi sesuai dengan bidang yang diperlukan.

Pasal 30

Menteri dan/atau gubernur sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap aparatur sipil negara dalam pelaksanaan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 31

Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) wajib menetapkan standar Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik bidang ketenagalistrikan.

BAB IV KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 32

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, semua ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelayanan perizinan berusaha di bidang ketenagalistrikan, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini atau tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Menteri ini.

Pasal 33

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

a. Perizinan Berusaha yang telah dikeluarkan sebelum Peraturan Menteri ini mulai berlaku, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir; dan

b. dalam hal terdapat perpanjangan atau perubahan Perizinan Berusaha, pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan dalam peraturan menteri ini.

BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 34

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 13 Agustus 2 018

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

140

IGNASIUS JONAN

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 15 Agustus 2018

DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 1092

Salinan sesuai dengan aslinya

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

141

LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2018 TENTANG PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK BIDANG KETENAGALISTRIKAN

KOMITMEN IZIN USAHA DALAM OSS

A. Dokumen Permohonan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Pembangkitan Tenaga Listrik

No. Persyaratan Komitmen Keterangan

1. Profil Pemohon Dokumen berupa:

1. Profil Perusahaan

2. Susunan Direksi

3. Susunan Komisaris

4. Komposisi Saham

30

(tiga puluh) Hari*

2. Kemampuan Pendanaan Dokumen Financial Close/ Financial Date dari PT Perushaan Listrik Negara (Persero) selaku pembeli tenaga listrik

3. Studi Kelayakan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Dokumen Berbahasa Indonesia berisi:

1. Kajian Kelayakan Financial

2. Kajian Kelayakan Operasional

3. Studi Interkoneksi Jaringan

4. Disusun oleh badan usaha yang tersertifikasi

4. Lokasi Instalasi Dokumen

5. Diagram Satu Garis Dokumen

6. Jenis dan Kapasitas Usaha yang akan Dilakukan Dokumen

7. Jadwal Pembangunan Dokumen

8. Jadwal Pengoperasian Dokumen

9. Persetujuan Harga Jual Tenaga Listrik / Sewa Jaringan dari Menteri ESDM

Dokumen

10. Kesepakatan Jual Beli Tenaga Listrik antara Pemohon dengan Calon Pembeli Tenaga Listrik

Dokumen

* Keterangan:

- Penyampaian kelengkapan dokumen Komitmen dengan jangka waktu 25 (dua puluh lima) Hari.

- Evaluasi dan per setujuan/penolakan dengan jangka waktu 5 (lima) Hari.

B. Dokumen Permohonan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Transmisi Tenaga Listrik

No. Persyaratan Komitmen Keterangan

1. Profil Pemohon Dokumen berupa:

1. Profil Perusahaan

2. Susunan Direksi

3. Susunan Komisaris

4. Komposisi Saham

30

(tiga puluh) Hari*

142

No. Persyaratan Komitmen Keterangan

2. Kemampuan Pendanaan Dokumen Financial Close/ Financial Date dari PT Perushaan Listrik Negara (Persero) selaku pembeli tenaga listrik

3. Studi Kelayakan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Dokumen Berbahasa Indonesia berisi:

1. Kajian Kelayakan Financial

2. Kajian Kelayakan Operasional

3. Studi Interkoneksi Jaringan

4. Disusun oleh Badan Usaha yang tersertifikasi

4. Lokasi Instalasi Dokumen

5. Diagram Satu Garis Dokumen

6. Jenis dan Kapasitas Usaha Yang Akan Dilakukan Dokumen

7. Jadwal Pembangunan Dokumen

8. Jadwal Pengoperasian Dokumen

9. Persetujuan Sewa Jaringan Dari Menteri ESDM Dokumen

10. Kesepakatan Sewa Jaringan Tenaga Listrik Antara Pemohon Dengan Calon Pemanfaat Jaringan Transmisi Tenaga Listrik

Dokumen

* Keterangan:

- Penyampaian kelengkapan dokumen Komitmen dengan jangka waktu 25 (dua puluh lima) Hari,

- Evaluasi dan per setujuan/penolakan dengan jangka waktu 5 (lima) Hari.

C. Dokumen Permohonan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Distribusi Tenaga Listrik

No. Persyaratan Komitmen Keterangan

1. Profil Pemohon Dokumen berupa:

1. Profil Perusahaan

2. Susunan Direksi

3. Susunan Komisaris

4. Komposisi Saham

30

(tiga puluh) Hari*

-

2. Kemampuan Pendanaan Dokumen Financial Close/ Financial Date dari PT Perushaan Listrik Negara (Persero) selaku pembeli tenaga listrik

3. Studi Kelayakan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Dokumen Berbahasa Indonesia berisi:

1. Kajian Kelayakan Financial

2. Kajian Kelayakan Operasional

3. Studi Interkoneksi Jaringan

4. Disusun oleh Badan Usaha yang tersertifikasi

4. Lokasi Instalasi Dokumen

5. Diagram Satu Garis Dokumen

6. Jenis dan Kapasitas Usaha Yang Akan Dilakukan Dokumen

7. Jadwal Pembangunan Dokumen

8. Jadwal Pengoperasian Dokumen

9. Persetujuan Sewa Jaringan Dari Menteri ESDM Dokumen

143

No. Persyaratan Komitmen Keterangan

10. Kesepakatan Sewa Jaringan Tenaga Listrik Antara Pemohon Dengan Calon Pemanfaat Jaringan Distribusi Tenaga Listrik

Dokumen

* Keterangan:

- Penyampaian kelengkapan dokumen Komitmen dengan jangka waktu 25 (dua puluh lima) Hari.

- Evaluasi dan persetujuan/penolakan dengan jangka waktu 5 (lima) Hari.

144

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009

TENTANG

PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan;

b. bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan;

c. bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

145

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

2. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.

3. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan.

4. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.

5. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.

6. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.

7. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.

8. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.

9. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.

10. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.

11. Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut dengan IUPK, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.

12. IUPK Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.

13. IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus.

14. Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.

15. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.

16. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pascatambang.

146

17. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.

18. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.

19. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya.

20. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.

21. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan.

22. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara.

23. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

24. Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan.

25. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya disebut amdal, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

26. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.

27. Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.

28. Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya.

29. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.

30. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.

31. Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WIUP, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP.

32. Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat.

33. Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional.

34. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut WUPK, adalah bagian dari WPN yang dapat diusahakan.

35. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK, yang selanjutnya disebut WIUPK, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUPK.

36. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

37. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.

147

38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara.

BAB II ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan:

a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan;

b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa;

c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;

d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Pasal 3

Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah:

a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;

b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;

c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;

d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;

e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar- besar kesejahteraan rakyat; dan

f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.

BAB III PENGUASAAN MINERAL DAN BATUBARA

Pasal 4

(1) Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.

(2) Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Pasal 5

(1) Untuk kepentingan nasional, Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri.

(2) Kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan pengendalian produksi dan ekspor.

148

(3) Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi.

(4) Pemerintah daerah wajib mematuhi ketentuan jumlah yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengendalian produksi dan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB IV KEWENANGAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Pasal 6

(1) Kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:

a. penetapan kebijakan nasional;

b. pembuatan peraturan perundang-undangan;

c. penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria;

d. penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional;

e. penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

f. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;

g. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang lokasi penambangannya berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;

h. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;

i. pemberian IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi;

j. pengevaluasian IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta yang tidak menerapkan kaidah pertambangan yang baik;

k. penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi;

l. penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat;

m. perumusan dan penetapan penerimaan negara bukan pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan batubara;

n. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah;

o. pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di bidang pertambangan;

p. penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sebagai bahan penyusunan WUP dan WPN;

q. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada tingkat nasional;

r. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang;

s. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat nasional;

149

t. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan; dan

u. peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.

(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 7

(1) Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:

a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;

b. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;

c. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;

d. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;

e. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sesuai dengan kewenangannya;

f. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada daerah/wilayah provinsi;

g. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada daerah/wilayah provinsi;

h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan di provinsi;

i. pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;

j. pengoordinasian perizinan dan pengawasan penggunaan bahan peledak di wilayah tambang sesuai dengan kewenangannya;

k. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian serta eksplorasi kepada Menteri dan bupati/walikota;

l. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan bupati/walikota;

m. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan

n. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.

(2) Kewenangan pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 8

(1) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:

a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;

b. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;

150

c. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;

d. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara;

e. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota;

f. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah kabupaten/kota;

g. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;

h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal;

i. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan gubernur;

j. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan gubernur;

k. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan

l. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.

(2) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V WILAYAH PERTAMBANGAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 9

(1) WP sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan.

(2) WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Pasal 10

Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan:

a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab;

b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan

c. dengan memperhatikan aspirasi daerah.

Pasal 11

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka penyiapan WP.

Pasal 12

151

Ketentuan lebih lanjut mengenai batas, luas, dan mekanisme penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 13

WP terdiri atas:

a. WUP;

b. WPR; dan

c. WPN.

Bagian Kedua

Wilayah Usaha Pertambangan

Pasal 14

(1) Penetapan WUP dilakukan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemerintah daerah yang bersangkutan berdasarkan data dan informasi yang dimiliki Pemerintah dan pemerintah daerah.

Pasal 15

Pemerintah dapat melimpahkan sebagian kewenangannya dalam penetapan WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kepada pemerintah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 16

Satu WUP terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP yang berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.

Pasal 17

Luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh Pemerintah.

Pasal 18

Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUP dalam 1 (satu) WUP adalah sebagai berikut:

a. letak geografis;

b. kaidah konservasi;

c. daya dukung lindungan lingkungan;

d. optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan

e. tingkat kepadatan penduduk.

Pasal 19

152

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan batas dan luas WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Ketiga

Wilayah Pertambangan Rakyat

Pasal 20

Kegiatan pertambangan rakyat dilaksanakan dalam suatu WPR.

Pasal 21

WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota.

Pasal 22

Kriteria untuk menetapkan WPR adalah sebagai berikut:

a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai;

b. mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter;

c. endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba;

d. luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 (dua puluh lima) hektare;

e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau

f. merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun.

Pasal 23

Dalam menetapkan WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, bupati/walikota berkewajiban melakukan pengumuman mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara terbuka.

Pasal 24

Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR.

Pasal 25

Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman, prosedur, dan penetapan WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 26

Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan mekanisme penetapan WPR, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.

153

Bagian Keempat Wilayah Pencadangan Negara

Pasal 27

(1) Untuk kepentingan strategis nasional, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan dengan memperhatikan aspirasi daerah menetapkan WPN sebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas tertentu dan daerah konservasi dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan.

(2) WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan sebagian luas wilayahnya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(3) WPN yang ditetapkan untuk konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan batasan waktu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(4) Wilayah yang akan diusahakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berubah statusnya menjadi WUPK.

Pasal 28

Perubahan status WPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) menjadi WUPK dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:

a. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri;

b. sumber devisa negara;

c. kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana;

d. berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi;

e. daya dukung lingkungan; dan/atau

f. penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar.

Pasal 29

a. WUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) yang akan diusahakan ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.

b. Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan di WUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk IUPK.

Pasal 30

Satu WUPK terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUPK yang berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.

Pasal 31

Luas dan batas WIUPK mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria dan informasi yang dimiliki oleh Pemerintah.

Pasal 32

Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUPK dalam 1 (satu) WUPK adalah sebagai berikut:

a. letak geografis;

154

b. kaidah konservasi;

c. daya dukung lindungan lingkungan;

d. optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan

e. tingkat kepadatan penduduk.

Pasal 33

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan luas dan batas WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB VI USAHA PERTAMBANGAN

Pasal 34

(1) Usaha pertambangan dikelompokkan atas:

a. pertambangan mineral; dan

b. pertambangan batubara.

(2) Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan atas:

a. pertambangan mineral radioaktif;

b. pertambangan mineral logam;

c. pertambangan mineral bukan logam; dan

d. pertambangan batuan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu komoditas tambang ke dalam suatu golongan pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 35

Usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dilaksanakan dalam bentuk:

a. IUP;

b. IPR; dan

c. IUPK.

BAB VII IZIN USAHA PERTAMBANGAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 36

(1) IUP terdiri atas dua tahap:

a. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;

b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

155

(2) Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 37

IUP diberikan oleh:

a. bupati/walikota apabila WIUP berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota;

b. gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan

c. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 38

IUP diberikan kepada:

a. badan usaha;

b. koperasi; dan

c. perseorangan.

Pasal 39

(1) IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a wajib memuat ketentuan sekurang- kurangnya:

a. nama perusahaan;

b. lokasi dan luas wilayah;

c. rencana umum tata ruang;

d. jaminan kesungguhan;

e. modal investasi;

f. perpanjangan waktu tahap kegiatan;

g. hak dan kewajiban pemegang IUP;

h. jangka waktu berlakunya tahap kegiatan;

i. jenis usaha yang diberikan;

j. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;

k. perpajakan;

l. penyelesaian perselisihan;

m. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan

n. amdal.

(2) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya:

a. nama perusahaan;

b. luas wilayah;

156

c. lokasi penambangan;

d. lokasi pengolahan dan pemurnian;

e. pengangkutan dan penjualan;

f. modal investasi;

g. jangka waktu berlakunya IUP;

h. jangka waktu tahap kegiatan;

i. penyelesaian masalah pertanahan;

j. lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pascatambang;

k. dana jaminan reklamasi dan pascatambang;

l. perpanjangan IUP;

m. hak dan kewajiban pemegang IUP;

n. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;

o. perpajakan;

p. penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan iuran produksi;

q. penyelesaian perselisihan;

r. keselamatan dan kesehatan kerja;

s. konservasi mineral atau batubara;

t. pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri;

u. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik;

v. pengembangan tenaga kerja Indonesia;

w. pengelolaan data mineral atau batubara; dan

x. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan mineral atau batubara.

Pasal 40

(1) IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral atau batubara.

(2) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menemukan mineral lain di dalam WIUP yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya.

(3) Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(4) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut.

(5) Pemegang IUP yang tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menjaga mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain.

(6) IUP untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak lain oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 41

IUP tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian IUP.

157

Pasal 42

(1) IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun.

(2) IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun.

(3) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.

(4) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun.

Pasal 43

(1) Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP Eksplorasi yang mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada pemberi IUP.

(2) Pemegang IUP Eksplorasi yang ingin menjual mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan.

Pasal 44

Izin sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 45

Mineral atau batubara yang tergali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dikenai iuran produksi.

Pasal 46

(1) Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya.

(2) IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan atas hasil pelelangan WIUP mineral logam atau batubara yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.

Pasal 47

(1) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing- masing 10 (sepuluh) tahun.

(2) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun.

(3) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.

(4) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun.

(5) IUP Operasi Produksi untuk Pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing- masing 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 48

158

IUP Operasi Produksi diberikan oleh:

a. bupati/walikota apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota;

b. gubernur apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan

c. Menteri apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah provinsi yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 49

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Keempat Pertambangan Mineral

Paragraf 1

Pertambangan Mineral Radioaktif

Pasal 50

WUP mineral radioaktif ditetapkan oleh Pemerintah dan pengusahaannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2

Pertambangan Mineral Logam

Pasal 51

WIUP mineral logam diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara lelang.

Pasal 52

(1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.

(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.

(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.

Pasal 53

Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.

159

Paragraf 3

Pertambangan Mineral Bukan Logam

Pasal 54

WIUP mineral bukan logam diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara permohonan wilayah kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.

Pasal 55

(1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.

(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral bukan logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.

(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.

Pasal 56

Pemegang IUP Operasi Produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare.

Paragraf 4

Pertambangan Batuan

Pasal 57

WIUP batuan diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara permohonan wilayah kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.

Pasal 58

(1) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare.

(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batuan dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.

(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.

Pasal 59

Pemegang IUP Operasi Produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare.

Bagian Kelima Pertambangan Batubara

Pasal 60

160

WIUP batubara diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara lelang.

Pasal 61

(1) Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare.

161

(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batubara dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.

(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.

Pasal 62

Pemegang IUP Operasi Produksi batubara diberi WIUP dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.

Pasal 63

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal 60 diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB VIII PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN

Pasal 64

Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 serta memberikan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 kepada masyarakat secara terbuka.

Pasal 65

(1) Badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal 60 yang melakukan usaha pertambangan wajib memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB IX IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT

Pasal 66

Kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikelompokkan sebagai berikut:

a. pertambangan mineral logam;

b. pertambangan mineral bukan logam;

c. pertambangan batuan; dan/atau

d. pertambangan batubara.

Pasal 67

(1) Bupati/walikota memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi.

(2) Bupati/walikota dapat melimpahkan kewenangan pelaksanaan pemberian IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada camat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

162

(3) Untuk memperoleh IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon wajib menyampaikan surat permohonan kepada bupati/walikota.

Pasal 68

(1) Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada:

a. perseorangan paling banyak 1 (satu) hektare;

b. kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) hektare; dan/atau

c. koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektare.

(2) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.

Pasal 69

Pemegang IPR berhak:

a. mendapat pembinaan dan pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis pertambangan, dan manajemen dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah; dan

b. mendapat bantuan modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 70

Pemegang IPR wajib:

a. melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR diterbitkan;

b. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang berlaku;

c. mengelola lingkungan hidup bersama pemerintah daerah;

d. membayar iuran tetap dan iuran produksi; dan

e. menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan rakyat secara berkala kepada pemberi IPR.

Pasal 71

(1) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, pemegang IPR dalam melakukan kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 wajib menaati ketentuan persyaratan teknis pertambangan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 72

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IPR diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.

Pasal 73

(1) Pemerintah kabupaten/kota melaksanakan pembinaan di bidang pengusahaan, teknologi pertambangan, serta permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan kemampuan usaha pertambangan rakyat.

(2) Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap pengamanan teknis pada usaha pertambangan rakyat yang meliputi:

163

a. keselamatan dan kesehatan kerja;

b. pengelolaan lingkungan hidup; dan

c. pascatambang.

(3) Untuk melaksanakan pengamanan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah kabupaten/kota wajib mengangkat pejabat fungsional inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(4) Pemerintah kabupaten/kota wajib mencatat hasil produksi dari seluruh kegiatan usaha pertambangan rakyat yang berada dalam wilayahnya dan melaporkannya secara berkala kepada Menteri dan gubernur setempat.

BAB X IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS

Pasal 74

(1) IUPK diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan kepentingan daerah.

(2) IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral logam atau batubara dalam 1 (satu) WIUPK.

(3) Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menemukan mineral lain di dalam WIUPK yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya.

(4) Pemegang IUPK yang bermaksud mengusahakan mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUPK baru kepada Menteri.

(5) Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut.

(6) Pemegang IUPK yang tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menjaga mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain.

(7) IUPK untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak lain oleh Menteri.

Pasal 75

(1) Pemberian IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.

(2) IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, baik berupa badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, maupun badan usaha swasta.

(3) Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK.

(4) Badan usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK.

Pasal 76

(1) IUPK terdiri atas dua tahap:

a. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;

b. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

(2) Pemegang IUPK Eksplorasi dan pemegang IUPK Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

164

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 77

(1) Setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya.

(2) IUPK Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.

Pasal 78

IUPK Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya wajib memuat:

a. nama perusahaan;

b. luas dan lokasi wilayah;

c. rencana umum tata ruang;

d. jaminan kesungguhan;

e. modal investasi;

f. perpanjangan waktu tahap kegiatan;

g. hak dan kewajiban pemegang IUPK;

h. jangka waktu tahap kegiatan;

i. jenis usaha yang diberikan;

j. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;

k. perpajakan;

l. penyelesaian perselisihan masalah pertanahan;

m. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan

n. amdal.

Pasal 79

IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya wajib memuat:

a. nama perusahaan;

b. luas wilayah;

c. lokasi penambangan;

d. lokasi pengolahan dan pemurnian;

e. pengangkutan dan penjualan;

f. modal investasi;

g. jangka waktu tahap kegiatan;

h. penyelesaian masalah pertanahan;

i. lingkungan hidup, termasuk reklamasi dan pascatambang;

165

j. dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang;

k. jangka waktu berlakunya IUPK;

l. perpanjangan IUPK;

m. hak dan kewajiban;

n. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;

o. perpajakan;

p. iuran tetap dan iuran produksi serta bagian pendapatan negara/daerah, yang terdiri atas bagi hasil dari keuntungan bersih sejak berproduksi;

q. penyelesaian perselisihan;

r. keselamatan dan kesehatan kerja;

s. konservasi mineral atau batubara;pemanfaatan barang, jasa, teknologi serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;

t. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik;

u. pengembangan tenaga kerja Indonesia;

v. pengelolaan data mineral atau batubara;

w. penguasaan, pengembangan dan penerapan teknologi pertambangan mineral atau batubara; dan

x. divestasi saham.

Pasal 80

IUPK tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian IUPK.

Pasal 81

(1) Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUPK Eksplorasi yang mendapatkan mineral logam atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada Menteri.

(2) Pemegang IUPK Eksplorasi yang ingin menjual mineral logam atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan.

(3) Izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri.

Pasal 82

Mineral atau batubara yang tergali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dikenai iuran produksi.

Pasal 83

Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan kelompok usaha pertambangan yang berlaku bagi pemegang IUPK meliputi:

a. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.

b. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.

166

c. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare.

d. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.

e. jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan mineral logam dapat diberikan paling lama 8 (delapan) tahun.

f. jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan batubara dapat diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun.

g. jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam atau batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 84

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 75 ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB XI PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS

Pasal 85

Pemerintah berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 serta memberikan IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 kepada masyarakat secara terbuka.

Pasal 86

(1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) yang melakukan kegiatan dalam WIUPK wajib memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan dan persyaratan finansial.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB XII DATA PERTAMBANGAN

Pasal 87

Untuk menunjang penyiapan WP dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertambangan, Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat menugasi lembaga riset negara dan/atau daerah untuk melakukan penyelidikan dan penelitian tentang pertambangan.

Pasal 88

(1) Data yang diperoleh dari kegiatan usaha pertambangan merupakan data milik Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

(2) Data usaha pertambangan yang dimiliki pemerintah daerah wajib disampaikan kepada Pemerintah untuk pengelolaan data pertambangan tingkat nasional.

(3) Pengelolaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

167

Pasal 89

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan penyelidikan dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan pengelolaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB XIII HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Kesatu Hak

Pasal 90

Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi.

Pasal 91

Pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 92

Pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi, kecuali mineral ikutan radioaktif.

Pasal 93

(1) Pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain.

(2) Untuk pengalihan kepemilikan dan/atau saham di bursa saham Indonesia hanya dapat dilakukan setelah melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu.

(3) Pengalihan kepemilikan dan/atau saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:

a. harus memberitahu kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; dan

b. sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 94

Pemegang IUP dan IUPK dijamin haknya untuk melakukan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua Kewajiban

Pasal 95

Pemegang IUP dan IUPK wajib:

a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik;

b. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia;

168

c. meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara;

d. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; dan

e. mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan.

Pasal 96

Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan:

a. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;

b. keselamatan operasi pertambangan;

c. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang;

d. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara;

e. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan.

Pasal 97

Pemegang IUP dan IUPK wajib menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu daerah.

Pasal 98

Pemegang IUP dan IUPK wajib menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 99

(1) Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi.

(2) Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang.

(3) Peruntukan lahan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan dalam perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP atau IUPK dan pemegang hak atas tanah.

Pasal 100

(1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang.

(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui.

Pasal 101

Ketentuan lebih lanjut mengenai reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 serta dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 diatur dengan peraturan pemerintah.

169

Pasal 102

Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.

Pasal 103

(1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

(2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 104

(1) Untuk pengolahan dan pemurnian, pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan kerja sama dengan badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan IUP atau IUPK.

(2) IUP yang didapat badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan pemurnian yang dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(3) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan pengolahan dan pemurnian dari hasil penambangan yang tidak memiliki IUP, IPR, atau IUPK.

Pasal 105

(1) Badan usaha yang tidak bergerak pada usaha pertambangan yang bermaksud menjual mineral dan/atau batubara yang tergali wajib terlebih dahulu memiliki IUP Operasi Produksi untuk penjualan.

(2) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan untuk 1 (satu) kali penjualan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(3) Mineral atau batubara yang tergali dan akan dijual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai iuran produksi.

(4) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan laporan hasil penjualan mineral dan/atau batubara yang tergali kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 106

Pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, dan jasa dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 107

Dalam melakukan kegiatan operasi produksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK wajib mengikutsertakan pengusaha lokal yang ada di daerah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 108

(1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.

170

(2) Penyusunan program dan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikonsultasikan kepada Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Pasal 109

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 110

Pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 111

(1) Pemegang IUP dan IUPK wajib memberikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis, waktu, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 112

(1) Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB XIV PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS

Pasal 113

(1) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK apabila terjadi:

a. keadaan kahar;

b. keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan;

c. apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batubara yang dilakukan di wilayahnya.

(2) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi masa berlaku IUP atau IUPK.

(3) Permohonan penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

171

(4) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh inspektur tambang atau dilakukan berdasarkan permohonan masyarakat kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengeluarkan keputusan tertulis diterima atau ditolak disertai alasannya atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan tersebut.

Pasal 114

(1) Jangka waktu penghentian sementara karena keadaan kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali untuk 1 (satu) tahun.

(2) Apabila dalam kurun waktu sebelum habis masa penghentian sementara berakhir pemegang IUP dan IUPK sudah siap melakukan kegiatan operasinya, kegiatan dimaksud wajib dilaporkan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mencabut keputusan penghentian sementara setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 115

(1) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf a, kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tidak berlaku.

(2) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan yang menghalangi kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf b, kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tetap berlaku.

(3) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena kondisi daya dukung lingkungan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf c, kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tetap berlaku.

Pasal 116

Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113, Pasal 114, dan Pasal 115 diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB XV BERAKHIRNYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS

Pasal 117

IUP dan IUPK berakhir karena:

a. dikembalikan;

b. dicabut; atau

c. habis masa berlakunya.

Pasal 118

172

(1) Pemegang IUP atau IUPK dapat menyerahkan kembali IUP atau IUPK-nya dengan pernyataan tertulis kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan disertai dengan alasan yang jelas.

(2) Pengembalian IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah disetujui oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan setelah memenuhi kewajibannya.

Pasal 119

IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila:

a. pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan;

b. pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; atau

c. pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.

Pasal 120

Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP dan IUPK telah habis dan tidak diajukan permohonan peningkatan atau perpanjangan tahap kegiatan atau pengajuan permohonan tetapi tidak memenuhi persyaratan, IUP dan IUPK tersebut berakhir.

Pasal 121

(1) Pemegang IUP atau IUPK yang IUP-nya atau IUPK-nya berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120 wajib memenuhi dan menyelesaikan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kewajiban pemegang IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap telah dipenuhi setelah mendapat persetujuan dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 122

(1) IUP atau IUPK yang telah dikembalikan, dicabut, atau habis masa berlakunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dikembalikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(2) WIUP atau WIUPK yang IUP-nya atau IUPK-nya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditawarkan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan melalui mekanisme sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini.

Pasal 123

Apabila IUP atau IUPK berakhir, pemegang IUP atau IUPK wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

BAB XVI USAHA JASA PERTAMBANGAN

Pasal 124

(1) Pemegang IUP atau IUPK wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional.

(2) Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang berbadan hukum Indonesia.

173

(3) Jenis usaha jasa pertambangan meliputi:

a. konsultasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian peralatan di bidang:

1) penyelidikan umum;

2) eksplorasi;

3) studi kelayakan;

4) konstruksi pertambangan;

5) pengangkutan;

6) lingkungan pertambangan;

7) pascatambang dan reklamasi; dan/atau

8) keselamatan dan kesehatan kerja.

b. konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan di bidang:

1) penambangan; atau

2) pengolahan dan pemurnian.

Pasal 125

(1) Dalam hal pemegang IUP atau IUPK menggunakan jasa pertambangan, tanggung jawab kegiatan usaha pertambangan tetap dibebankan kepada pemegang IUP atau IUPK.

(2) Pelaksana usaha jasa pertambangan dapat berupa badan usaha, koperasi, atau perseorangan sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh Menteri.

(3) Pelaku usaha jasa pertambangan wajib mengutamakan kontraktor dan tenaga kerja lokal.

Pasal 126

(1) Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak perusahaan dan/atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan di wilayah usaha pertambangan yang diusahakannya, kecuali dengan izin Menteri.

(2) Pemberian izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila:

a. tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sejenis di wilayah tersebut; atau

b. tidak ada perusahaan jasa pertambangan yang berminat/mampu.

Pasal 127

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, Pasal 125, dan Pasal 126 diatur dengan peraturan menteri.

BAB XVII PENDAPATAN NEGARA DAN DAERAH

Pasal 128

(1) Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah.

(2) Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak.

174

(3) Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a. pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan; dan

b. bea masuk dan cukai.

(4) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a. iuran tetap;

b. iuran eksplorasi;

c. iuran produksi; dan

d. kompensasi data informasi.

(5) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. pajak daerah;

b. retribusi daerah; dan

c. pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 129

(1) Pemegang IUPK Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dan batubara wajib membayar sebesar 4% (empat persen) kepada Pemerintah dan 6% (enam persen) kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak berproduksi.

(2) Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:

a. pemerintah provinsi mendapat bagian sebesar 1% (satu persen);

b. pemerintah kabupaten/kota penghasil mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen); dan

c. pemerintah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen).

Pasal 130

(1) Pemegang IUP atau IUPK tidak dikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) huruf c dan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (5) atas tanah/batuan yang ikut tergali pada saat penambangan.

(2) Pemegang IUP atau IUPK dikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) huruf c atas pemanfaatan tanah/batuan yang ikut tergali pada saat penambangan.

Pasal 131

Besarnya pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang dipungut dari pemegang IUP, IPR, atau IUPK ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 132

(1) Besaran tarif iuran produksi ditetapkan berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi, dan harga komoditas tambang.

(2) Besaran tarif iuran produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

175

Pasal 133

(1) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) merupakan pendapatan negara dan daerah yang pembagiannya ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Penerimaan negara bukan pajak yang merupakan bagian daerah dibayar langsung ke kas daerah setiap 3 (tiga) bulan setelah disetor ke kas negara.

BAB XVIII PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN

Pasal 134

(1) Hak atas WIUP, WPR, atau WIUPK tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.

(2) Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 135

Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah.

Pasal 136

(1) Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK.

Pasal 137

Pemegang IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 dan Pasal 136 yang telah melaksanakan penyelesaian terhadap bidang-bidang tanah dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 138

Hak atas IUP, IPR, atau IUPK bukan merupakan pemilikan hak atas tanah.

BAB XIX PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT

Bagian Kesatu Pembinaan dan Pengawasan

Pasal 139

(1) Menteri melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

176

a. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan;

b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi;

c. pendidikan dan pelatihan; dan

d. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral dan batubara.

(3) Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.

(4) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK.

Pasal 140

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.

(2) Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.

(3) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK.

Pasal 141

(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, antara lain, berupa:

a. teknis pertambangan;

b. pemasaran;

c. keuangan;

d. pengolahan data mineral dan batubara;

e. konservasi sumber daya mineral dan batubara;

f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;

g. keselamatan operasi pertambangan;

h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang;

i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;

j. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan;

k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;

l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan;

m. kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut kepentingan umum;

n. pengelolaan IUP atau IUPK; dan

o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf l dilakukan oleh inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

177

(3) Dalam hal pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota belum mempunyai inspektur tambang, Menteri menugaskan inspektur tambang yang sudah diangkat untuk melaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 142

(1) Gubernur dan bupati/walikota wajib melaporkan pelaksanaan usaha pertambangan di wilayahnya masing- masing sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan kepada Menteri.

(2) Pemerintah dapat memberi teguran kepada pemerintah daerah apabila dalam pelaksanaan kewenangannya tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 143

(1) Bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap usaha pertambangan rakyat.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan pertambangan rakyat diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.

Pasal 144

Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan prosedur pembinaan serta pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, dan Pasal 143 diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedua Perlindungan Masyarakat

Pasal 145

(1) Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak:

a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan.

(2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XX PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SERTA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

Bagian Kesatu

Penelitian dan Pengembangan

Pasal 146

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan penelitian dan pengembangan mineral dan batubara.

Bagian Kedua Pendidikan dan Pelatihan

178

Pasal 147

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan di bidang pengusahaan mineral dan batubara.

Pasal 148

Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.

BAB XXI PENYIDIKAN

Pasal 149

(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertambangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;

c. memanggil dan/atau mendatangkan secara paksa orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana kegiatan usaha pertambangan;

d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;

e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha pertambangan dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;

f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha pertambangan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;

g. mendatangkan dan/atau meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; dan/atau

h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan.

Pasal 150

(1) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dapat menangkap pelaku tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan.

(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulai penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghentikan penyidikannya dalam hal tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana.

(4) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

179

BAB XXII SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 151

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP, IPR atau IUPK atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), Pasal 40 ayat (5), Pasal 41, Pasal 43, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal 81 ayat (1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3), Pasal 105 ayat (4), Pasal 107, Pasal 108 ayat (1), Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal 126 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 ayat (1), atau Pasal 130 ayat (2).

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi; dan/atau

c. pencabutan IUP, IPR, atau IUPK.

Pasal 152

Dalam hal pemerintah daerah tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf j, Menteri dapat menghentikan sementara dan/atau mencabut IUP atau IPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 153

Dalam hal pemerintah daerah berkeberatan terhadap penghentian sementara dan/atau pencabutan IUP dan IPR oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152, pemerintah daerah dapat mengajukan keberatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 154

Setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 155

Segala akibat hukum yang timbul karena penghentian sementara dan/atau pencabutan IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) huruf b dan huruf c diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 156

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan Pasal 152 diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 157

Pemerintah daerah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa penarikan sementara kewenangan atas hak pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara.

180

BAB XXIII KETENTUAN PIDANA

Pasal 158

Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.0o0.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 159

Pemegang IUP, IPR, atau IUPK yang dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), Pasal 70 huruf e, Pasal 81 ayat (1), Pasal 105 ayat (3), Pasal 110, atau Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 160

(1) Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 atau Pasal 74 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 161

Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK, atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 104 ayat (3), atau Pasal 105 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 162

Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 163

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh suatu badan hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan.

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

a. pencabutan izin usaha; dan/atau

b. pencabutan status badan hukum.

Pasal 164

181

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160, Pasal 161, dan Pasal 162 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa:

a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana;

b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau

c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.

Pasal 165

Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

BAB XXIV KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 166

Setiap masalah yang timbul terhadap pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK yang berkaitan dengan dampak lingkungan diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 167

WP dikelola oleh Menteri dalam suatu sistem informasi WP yang terintegrasi secara nasional untuk melakukan penyeragaman mengenai sistem koordinat dan peta dasar dalam penerbitan WUP, WIUP, WPR, WPN, WUPK, dan WIUPK.

Pasal 168

Untuk meningkatkan investasi di bidang pertambangan, Pemerintah dapat memberikan keringanan dan fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan kecuali ditentukan lain dalam IUP atau IUPK.

BAB XXV KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 169

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

a. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.

b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.

c. Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah upaya peningkatan penerimaan negara.

Pasal 170

Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat- lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

182

Pasal 171

(1) Pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang telah melakukan tahapan kegiatan eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, atau operasi produksi paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini harus menyampaikan rencana kegiatan pada seluruh wilayah kontrak/perjanjian sampai dengan jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian untuk mendapatkan persetujuan pemerintah.

(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, luas wilayah pertambangan yang telah diberikan kepada pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara disesuaikan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 172

Permohonan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah diajukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berlakunya Undang- Undang ini dan sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan tetap dihormati dan dapat diproses perizinannya tanpa melalui lelang berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB XXVI KETENTUAN PENUTUP

Pasal 173

(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

(2) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 174

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan dalam waktu 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 175

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 12 Januari 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

183

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 12 Januari 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 4

Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT NEGARA RI

Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan

Bidang Perekonomian dan Industri,

ttd.

Setio Sapto Nugroho

184

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009

TENTANG

PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

I. UMUM

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

Guna memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-undang tersebut selama lebih kurang empat dasawarsa sejak diberlakukannya telah dapat memberikan sumbangan yang penting bagi pembangunan nasional.

Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut yang materi muatannya bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan di masa depan. Di samping itu, pembangunan pertambangan harus menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional maupun internasional. Tantangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral dan batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat.

Untuk menghadapi tantangan lingkungan strategis dan menjawab sejumlah permasalahan tersebut, perlu disusun peraturan perundang- undangan baru di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara.

Undang-Undang ini mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha.

2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah.

4. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan.

6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

185

Cukup jelas.

Pasal 2

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah asas yang secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Standar nasional di bidang pertambangan mineral dan batubara adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

186

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Cukup jelas.

Huruf l

Cukup jelas.

Huruf m

Cukup jelas.

Huruf n

Cukup jelas.

Huruf o

Cukup jelas.

Huruf p

Cukup jelas.

Huruf q

Cukup jelas.

Huruf r

Cukup jelas.

Huruf s

Yang dimaksud dengan neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat nasional adalah neraca yang menggambarkan jumlah sumber daya, cadangan, dan produksi mineral dan batubara secara nasional.

Huruf t

Cukup jelas.

Huruf u

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

187

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Kewenangan yang dilimpahkan adalah kewenangan dalam menetapkan WUP untuk mineral bukan logam dan batuan dalam satu kabupaten/kota atau lintas kabupaten/kota.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Yang dimaksud dengan luas adalah luas maksimum dan luas minimum. Penentuan batas dilakukan berdasarkan keahlian yang diterima oleh semua pihak.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Penetapan WPR didasarkan pada perencanaan dengan melakukan sinkronisasi data dan informasi melalui sistem informasi WP.

Pasal 22

Huruf a

Yang dimaksud dengan tepi dan tepi sungai adalah daerah akumulasi pengayaan mineral sekunder pay streak) dalam suatu meander sungai.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

188

Huruf f

Cukup jelas.

Pasal 23

Pengumuman rencana WPR dilakukan di kantor desa/kelurahan dan kantor/instansi terkait; dilengkapi dengan peta situasi yang menggambarkan lokasi, luas, dan batas serta daftar koordinat; dan dilengkapi daftar pemegang hak atas tanah yang berada dalam WPR.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat (1)

Penetapan WPN untuk kepentingan nasional dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, ketahanan energi dan industri strategis nasional, serta meningkatkan daya saing nasional dalam menghadapi tantangan global. Yang dimaksud dengan komoditas tertentu antara lain tembaga, timah, emas, besi, nikel, dan bauksit serta batubara. Konservasi yang dimaksud juga mencakup upaya pengelolaan mineral dan/atau batubara yang keberadaannya terbatas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan sebagian luas wilayahnya adalah untuk menentukan persentase besaran luas wilayah yang akan diusahakan.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan batasan waktu adalah WPN yang ditetapkan untuk konservasi dapat diusahakan setelah melewati jangka waktu tertentu.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan koordinasi adalah mengakomodasi semua kepentingan daerah yang terkait dengan WUPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Yang dimaksud dengan luas adalah luas maksimum dan luas minimum. Penentuan batas dilakukan berdasarkan keahlian yang diterima oleh semua pihak.

189

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan pertambangan mineral radioaktif adalah pertambangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran.

Huruf b

Pertambangan mineral logam dalam ketentuan ini termasuk mineral ikutannya.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Huruf a

Badan usaha dalam ketentuan ini meliputi juga badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah.

Huruf b

Cukup jelas.

Pasal 39

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

190

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Jaminan kesungguhan dalam ketentuan ini termasuk biaya pengelolaan lingkungan akibat kegiatan eksplorasi.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Cukup jelas.

Huruf l

Cukup jelas.

Huruf m

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Ayat (1)

Jangka waktu 8 (delapan) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun.

Ayat (2)

191

Jangka waktu 3 (tiga) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun, eksplorasi 1 (satu) tahun, dan studi kelayakan 1 (satu) tahun.

Yang dimaksud dengan mineral bukan logam jenis tertentu adalah antara lain batu gamping untuk industri semen, intan, dan batu mulia.

Jangka waktu 7 (tujuh) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun.

Ayat (3)

Jangka waktu 3 (tiga) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun, eksplorasi 1 (satu) tahun, dan studi kelayakan 1 (satu) tahun.

Ayat (4)

Jangka waktu 7 (tujuh) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 2(dua) tahun.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan data hasil kajian studi kelayakan merupakan sinkronisasi data milik Pemerintah dan pemerintah daerah.

Pasal 47

Ayat (1)

Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun.

Ayat (2)

Cukup Jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan mineral bukan logam jenis tertentu adalah antara lain batu gamping untuk industri semen, intan, dan batu mulia.

Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun.

192

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Pertambangan mineral logam dalam ketentuan ini termasuk mineral ikutannya.

Pasal 52

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Apabila dalam WIUP terdapat mineral lain yang berbeda keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain dapat mengusahakan mineral tersebut.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Apabila dalam WIUP terdapat mineral lain yang berbeda keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain dapat mengusahakan mineral tersebut.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 58

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Apabila dalam WIUP terdapat mineral lain yang berbeda keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain dapat mengusahakan mineral tersebut.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

193

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Apabila dalam WIUP terdapat mineral lain yang berbeda keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain dapat mengusahakan mineral tersebut.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 67

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini disertai dengan meterai cukup dan dilampiri rekomendasi dari kepala desa/lurah/kepala adat mengenai kebenaran riwayat pemohon untuk memperoleh prioritas dalam mendapatkan IPR.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Kegiatan pengelolaan lingkungan hidup meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan fungsi lingkungan hidup, termasuk reklamasi lahan bekas tambang.

Huruf d

194

Cukup jelas.

Huruf e

Laporan disampaikan setiap 4 (empat) bulan.

Pasal 71

Cukup jelas.

Pasal 74

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan memperhatikan kepentingan daerah adalah dalam rangka pemberdayaan daerah.

Ayat (2)

Pertambangan mineral logam dalam ketentuan ini termasuk mineral ikutannya.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas.

Pasal 77

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan data hasil kajian studi kelayakan merupakan sinkronisasi data milik Pemerintah dan pemerintah daerah.

Pasal 78

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

195

Cukup jelas.

Huruf d

Jaminan kesungguhan termasuk di dalamnya biaya pengelolaan lingkungan akibat kegiatan eksplorasi.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Cukup jelas.

Huruf l

Cukup jelas.

Huruf m

Cukup jelas.

Huruf n

Cukup jelas.

Pasal 79

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

196

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Cukup jelas.

Huruf l

Cukup jelas.

Huruf m

Cukup jelas.

Huruf n

Cukup jelas.

Huruf o

Cukup jelas.

Huruf p

Cukup jelas.

Huruf r

Cukup jelas.

Huruf s

Cukup jelas.

Huruf t

Cukup jelas.

Huruf u

Cukup jelas.

Huruf v

Cukup jelas.

Huruf w

Cukup jelas.

Huruf x

Cukup jelas.

Huruf y

Pencantuman divestasi saham hanya berlaku apabila sahamnya dimiliki oleh asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 80

197

Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas.

Pasal 82

Cukup jelas.

Pasal 83

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Jangka waktu 8 (delapan) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun.

Huruf f

Jangka waktu 7 (tujuh) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 2 (dua) tahun.

Huruf g

Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun.

Pasal 84

Cukup jelas.

Pasal 85

Cukup jelas.

Pasal 86

Cukup jelas.

Pasal 87

Cukup jelas.

Pasal 88

Cukup jelas.

Pasal 89

Cukup jelas.

Pasal 90

Cukup jelas.

198

Pasal 91

Cukup jelas.

Pasal 92

Cukup jelas.

Pasal 93

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud eksplorasi tahapan tertentu dalam ketentuan ini yaitu telah ditemukan 2 (dua) wilayah prospek dalam kegiatan eksplorasi.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 94

Cukup jelas.

Pasal 95

Cukup jelas.

Pasal 96

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan sisa tambang meliputi antara lain tailing dan limbah batubara.

Pasal 97

Cukup jelas.

Pasal 98

Ketentuan ini dimaksudkan mengingat usaha pertambangan pada sumber air dapat mengakibatkan perubahan morfologi sumber air, baik pada kawasan hulu maupun hilir.

Pasal 99

Cukup jelas.

Pasal 100

Cukup jelas.

Pasal 101

199

Ketentuan mengenai dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang berisi, antara lain, besaran, tata cara penyetoran dan pencairan, serta pelaporan penggunaan dana jaminan.

Pasal 102

Nilai tambah dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produk akhir dari usaha pertambangan atau pemanfaatan terhadap mineral ikutan.

Pasal 103

ayat (1)

Kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dimaksudkan, antara lain, untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara.

ayat (2)

Cukup jelas.

ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 104

Cukup jelas.

Pasal 105

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan terlebih dahulu memiliki IUP Operasi Produksi untuk penjualan dalam ketentuan ini adalah pengurusan izin pengangkutan dan penjualan atas mineral dan/atau batubara yang tergali.

Ayat (2)

Izin diberikan setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi atas mineral dan/atau batubara yang tergali oleh instansi teknis terkait.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 106

Pemanfaatan tenaga kerja setempat tetap mempertimbangkan kompetensi tenaga kerja dan keahlian tenaga kerja yang tersedia.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing.

Pasal 107

Cukup jelas.

Pasal 108

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan masyarakat adalah masyarakat yang berdomisili di sekitar operasi pertambangan.

200

Pasal 109

Cukup jelas.

Pasal 110

Cukup jelas.

Pasal 111

Cukup jelas.

Pasal 112

Cukup jelas.

Pasal 113

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud keadaan kahar (force majeur) dalam ayat ini, antara lain, perang, kerusuhan

sipil, pemberontakan, epidemi, gempa bumi, banjir, kebakaran, dan bencana alam di luar kemampuan manusia.

Huruf b

Yang dimaksud keadaan yang menghalangi dalam ayat ini, antara lain, blokade, pemogokan, dan perselisihan perburuhan di luar kesalahan pemegang IUP atau IUPK dan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Pemerintah yang menghambat kegiatan usaha pertambangan yang sedang berjalan.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Permohonan menjelaskan kondisi keadaan kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sehingga mengakibatkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan.

Ayat (4)

Permohonan masyarakat memuat penjelasan keadaan kondisi daya dukung lingkungan wilayah yang dikaitkan dengan aktivitas kegiatan penambangan.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 114

Cukup jelas.

Pasal 115

Cukup jelas.

Pasal 116

Cukup jelas.

Pasal 117

Cukup jelas.

201

Pasal 118

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan alasan yang jelas dalam ketentuan ini antara lain tidak ditemukannya prospek secara teknis, ekonomis, atau lingkungan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 119

Cukup jelas.

Pasal 120

Yang dimaksud dengan peningkatan adalah peningkatan dari tahap ekplorasi ke tahap operasi produksi.

Pasal 121

Cukup jelas.

Pasal 122

Cukup jelas.

Pasal 123

Cukup jelas.

Pasal 124

Ayat (1)

Perusahaan nasional dapat mendirikan perusahaan cabang di daerah.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 125

Cukup jelas.

Pasal 126

Cukup jelas.

Pasal 127

Cukup jelas.

Pasal 128

Cukup jelas.

Pasal 129

Cukup jelas.

Pasal 130

Cukup jelas.

Pasal 131

Cukup jelas.

202

Pasal 132

Cukup jelas.

Pasal 133

Cukup jelas.

Pasal 134

Cukup jelas.

Pasal 135

Persetujuan dari pemegang hak atas tanah dimaksudkan untuk menyelesaikan lahan-lahan yang terganggu oleh kegiatan eksplorasi seperti pengeboran, parit uji, dan pengambilan contoh.

Pasal 136

Cukup jelas.

Pasal 137

Cukup jelas.

Pasal 138

Cukup jelas.

Pasal 139

Cukup jelas.

Pasal 140

Cukup jelas.

Pasal 144

Cukup jelas.

Pasal 145

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan masyarakat adalah mereka yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 146

Cukup jelas.

Pasal 147

Cukup jelas.

Pasal 148

Cukup jelas.

Pasal 149

Cukup jelas.

Pasal 150

Cukup jelas.

203

Pasal 151

Cukup jelas.

Pasal 152

Cukup jelas.

Pasal 153

Cukup jelas.

Pasal 154

Cukup jelas.

Pasal 155

Cukup jelas.

Pasal 156

Cukup jelas.

Pasal 157

Cukup jelas.

Pasal 158

Cukup jelas.

Pasal 159

Cukup jelas.

Pasal 160

Cukup jelas.

Pasal 161

Cukup jelas.

Pasal 162

Cukup jelas.

Pasal 163

Cukup jelas.

Pasal 164

Cukup jelas.

Pasal 165

Yang dimaksud dengan setiap orang adalah pejabat yang menerbitkan IUP, IPR, atau IUPK.

Pasal 166

Cukup jelas.

Pasal 167

Cukup jelas.

Pasal 168

Cukup jelas.

Pasal 169

204

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Semua pasal yang terkandung dalam kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara harus disesuaikan dengan Undang-Undang.

Huruf c

Cukup jelas.

Pasal 170

Cukup jelas.

Pasal 171

Cukup jelas.

Pasal 172

Cukup jelas.

Pasal 173

Cukup jelas.

Pasal 174

Cukup jelas.

Pasal 175

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4959

205

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2018

TENTANG

PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian berusaha, serta meningkatkan efektivitas, efisiensi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan serta mendorong pengembangan pengusahaan mineral dan batubara, perlu mengatur ketentuan mengenai pengusahaan pertambangan mineral dan batubara;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, ketentuan Pasal 43, Pasal 84 ayat (4), Pasal 85 ayat (4), Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92 ayat (3), Pasal 96, Pasal 99, dan Pasal 109, Pasal 112C angka 5, Pasal 112F Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2018 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

206

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2018 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6186);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5142);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5276);

9. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2015 tentang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 132) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 105 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2015 tentang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 289);

10. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 782);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disingkat IUP, Mineral, Batubara, Penyelidikan Umum, Eksplorasi, Studi Kelayakan, Konstruksi, Penambangan, Pengangkutan, Penjualan, dan Badan Usaha, adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

2. Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi yang selanjutnya disebut IUP Eksplorasi, adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi, dan Studi Kelayakan.

3. Izin Usaha Pertambangan Khusus Eksplorasi yang selanjutnya disebut IUPK Eksplorasi, adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan Studi Kelayakan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.

4. Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi yang selanjutnya disebut IUP Operasi Produksi, adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.

207

5. Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi yang selanjutnya disebut IUPK Operasi Produksi, adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.

6. Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi khusus pengolahan dan/atau pemurnian yang selanjutnya disebut IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, adalah izin usaha yang diberikan untuk membeli, mengangkut, mengolah, dan memurnikan termasuk menjual komoditas tambang Mineral atau Batubara hasil olahannya.

7. Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, yang selanjutnya disebut IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, adalah izin usaha yang diberikan kepada perusahaan untuk membeli, mengangkut, dan menjual komoditas tambang Mineral atau Batubara.

8. Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Tahunan yang selanjutnya disebut RKAB Tahunan adalah rencana kerja dan anggaran biaya tahun berjalan pada kegiatan usaha pertambangan Mineral dan Batubara yang meliputi aspek pengusahaan, aspek teknik, dan aspek lingkungan.

9. Tanda Batas WIUP dan WIUPK yang selanjutnya disebut Tanda Batas adalah patok yang dipasang pada Titik Batas WIUP dan WIUPK di lapangan dan mempunyai ukuran, konstruksi, warna serta penamaan tertentu.

10. Divestasi saham adalah jumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia.

11. Konsentrat adalah produk konsentrasi yang kaya akan Mineral berharga sebagai hasil pemisahan dari pengolahan Mineral Bijih.

12. Bijih adalah kumpulan mineral yang mengandung 1 (satu) logam atau lebih yang dapat diolah secara menguntungkan.

13. Produk Samping adalah produk pertambangan selain produk utama pertambangan yang merupakan sampingan dari proses Pengolahan dan Pemurnian yang memiliki nilai ekonomis.

14. Peningkatan Nilai Tambah adalah upaya untuk meningkatkan nilai Mineral melalui kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian.

15. Harga Patokan Mineral Logam yang selanjutnya disebut HPM Logam adalah harga Mineral logam yang ditentukan pada suatu titik serah Penjualan (at sale point) secara Free on Board untuk masing-masing komoditas tambang Mineral logam.

16. Harga Patokan Batubara yang selanjutnya disingkat HPB adalah harga Batubara yang ditentukan pada suatu titik serah Penjualan (at sale point) secara Free on Board.

17. Kontrak Karya yang selanjutnya disingkat KK adalah perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan Mineral.

18. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut PKP2B adalah perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan Batubara.

19. Pengolahan dan/atau Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu Mineral dan/atau Batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh Mineral ikutan.

20. Pengolahan Mineral adalah upaya untuk meningkatkan mutu Mineral yang menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak berubah dari Mineral asal.

21. Pemurnian Mineral adalah upaya untuk meningkatkan mutu Mineral logam melalui proses ekstraksi serta proses peningkatan kemurnian lebih lanjut untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari Mineral asal.

22. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah BUMN yang bergerak di bidang pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

23. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah BUMD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

208

24. Verifikator Independen adalah Badan Usaha Milik Negara, termasuk anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara, yang memiliki kemampuan dalam jasa konsultan manajemen proyek dan/atau perekayasaan industri untuk melakukan verifikasi rencana serta kemajuan fisik pembangunan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian.

25. Dana Hasil Produksi Batubara yang selanjutnya disingkat DHPB adalah bagian pemerintah dari hasil produksi Batubara pemegang PKP2B yang di dalamnya termasuk iuran produksi atau royalti dan penjualan hasil tambang.

26. Masyarakat adalah masyarakat yang berdomisili di sekitar operasi pertambangan.

27. Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan Mineral dan Batubara.

28. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang energi dan sumber daya mineral.

BAB II USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Pasal 2

(1) Usaha pertambangan dikelompokkan atas:

a. pertambangan Mineral; dan

b. pertambangan Batubara.

(2) Pertambangan Mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan atas:

a. pertambangan Mineral radioaktif;

b. pertambangan Mineral logam;

c. pertambangan Mineral bukan logam; dan

d. pertambangan batuan.

Pasal 3

(1) Usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk:

a. IUP;

b. IUPK; dan

c. IPR.

(2) IUP, IUPK, dan IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 4

(1) IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a terdiri atas dua tahap:

a. IUP Eksplorasi; dan

b. IUP Operasi Produksi.

(2) IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas kegiatan:

a. Penyelidikan Umum;

b. Eksplorasi; dan

c. Studi Kelayakan.

209

(3) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas kegiatan:

a. Konstruksi;

b. Penambangan;

c. Pengolahan dan/atau Pemurnian; dan

d. Pengangkutan dan Penjualan.

Pasal 5

(1) IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b terdiri atas dua tahap:

a. IUPK Eksplorasi; dan

b. IUPK Operasi Produksi.

(2) IUPK Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas kegiatan:

a. Penyelidikan Umum;

b. Eksplorasi; dan

c. Studi Kelayakan.

(3) IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas kegiatan:

a. Konstruksi;

b. Penambangan;

c. Pengolahan dan/atau Pemurnian; dan

d. Pengangkutan dan Penjualan.

Pasal 6

IPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c terdiri atas kegiatan penyusunan dokumen lingkungan, Penambangan, Pengolahan dan/atau Pemurnian, dan/atau Pengangkutan dan Penjualan.

BAB III PELAKSANAAN KEGIATAN IUP EKSPLORASI ATAU IUPK EKSPLORASI

Bagian Kesatu Penyelidikan Umum

Pasal 7

(1) Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi sebelum memulai kegiatan Eksplorasi dapat melakukan kegiatan Penyelidikan Umum.

(2) Kegiatan Penyelidikan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk:

a. mengetahui kondisi geologi regional; dan

b. mengetahui adanya indikasi mineralisasi atau endapan Batubara.

Bagian Kedua Eksplorasi

210

Pasal 8

(1) Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi wajib menyusun rencana kegiatan Eksplorasi yang paling sedikit terdiri atas:

a. tujuan;

b. tahapan;

c. lokasi;

d. metode;

e. pelaksana;

f. waktu; dan

g. biaya.

(2) Rencana kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam RKAB Tahunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi wajib melaksanakan kegiatan Eksplorasi sesuai dengan rencana kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti pada seluruh WIUP atau WIUPK tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas, sumber daya tertunjuk dan/atau terukur dari bahan galian.

Pasal 9

(1) Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi setelah selesai pelaksanaan kegiatan Eksplorasi wajib menyusun laporan lengkap Eksplorasi.

(2) Penyusunan laporan lengkap Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga Studi Kelayakan

Pasal 10

(1) Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi wajib melaksanakan kegiatan Studi Kelayakan berdasarkan hasil kegiatan Eksplorasi.

(2) Studi Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memperoleh informasi seluruh aspek yang berkaitan dengan kelayakan teknis, ekonomis, dan lingkungan secara terperinci.

(3) Studi Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas kegiatan:

a. kajian kelayakan teknis;

b. kajian kelayakan ekonomis; dan

c. penyusunan dokumen lingkungan hidup.

Pasal 11

(1) Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi setelah selesai melakukan kegiatan Studi Kelayakan wajib menyusun dan menyampaikan laporan Studi Kelayakan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal atau gubernur sesuai dengan kewenangannya untuk mendapatkan persetujuan.

211

(2) Tata cara penyusunan, penyampaian, dan persetujuan laporan Studi Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV PELAKSANAAN KEGIATAN IUP OPERASI PRODUKSI DAN IUPK OPERASI PRODUKSI

Bagian Kesatu Konstruksi

Pasal 12

(1) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib melaksanakan kegiatan Konstruksi dengan mengacu pada laporan Studi Kelayakan yang telah disetujui oleh Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

(2) Kegiatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. penyediaan peralatan pertambangan;

b. pembangunan sarana/prasarana; dan

c. pengujian peralatan (commissioning).

Pasal 13

Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib memulai kegiatan Konstruksi paling lambat 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi.

Pasal 14

(1) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib melaksanakan pemasangan Tanda Batas WIUP Operasi Produksi atau WIUPK Operasi Produksi, paling lambat 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi.

(2) Kewajiban pemasangan Tanda Batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku bagi IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi dengan luas WIUP Operasi Produksi atau WIUPK Operasi Produksi lebih dari 10 (sepuluh) hektar yang:

a. WIUP Operasi Produksi atau WIUPK Operasi Produksinya berhimpit/berbatasan langsung dengan WIUP, WIUPK, wilayah KK, atau wilayah PKP2B lainnya; atau

b. lokasi kegiatan Penambangan dan penimbunannya berdekatan dengan batas WIUP Operasi Produksi atau WIUPK Operasi Produksinya.

(3) Pelaksanaan kegiatan pengukuran dan pemasangan Tanda Batas wajib terintegrasi ke dalam Sistem Referensi Geospasial yang ditetapkan oleh instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang survey dan pemetaan.

(4) Menteri menetapkan pedoman pelaksanaan pemasangan Tanda Batas WIUP Operasi Produksi atau WIUPK Operasi Produksi.

Bagian Kedua Penambangan

Pasal 15

(1) Kegiatan Penambangan terdiri atas:

a. pengupasan lapisan (stripping) tanah penutup dan/atau batuan penutup;

212

b. penggalian atau pengambilan Mineral atau Batubara; dan

c. Pengangkutan Mineral atau Batubara.

(2) Pemegang IUP Operasi Prorduksi dan IUPK Operasi Produksi dalam melakukan kegiatan pengupasan lapisan (stripping) tanah penutup dan/atau batuan penutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan kegiatan Pengangkutan Mineral atau Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat bekerja sama dengan pemegang Izin Usaha Jasa Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga

Pengolahan dan/atau Pemurnian

Paragraf 1 Umum

Pasal 16

(1) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan Peningkatan Nilai Tambah Mineral dan Batubara.

(2) Peningkatan Nilai Tambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan:

a. Pengolahan dan/atau Pemurnian untuk komoditas tambang Mineral logam;

b. pengolahan untuk komoditas tambang Batubara;

c. pengolahan untuk komoditas tambang Mineral bukan logam; atau

d. pengolahan untuk komoditas tambang batuan.

(3) Kegiatan pengolahan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, meliputi antara lain:

a. peningkatan mutu Batubara (coal upgrading);

b. pembuatan briket Batubara (coal briquetting);

c. pembuatan kokas (cokes making);

d. pencairan Batubara (coal liquefaction);

e. gasifikasi Batubara (coal gasification) termasuk underground coal gasification; dan

f. coal slurry/coal water mixture.

(4) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi dalam melakukan kegiatan Peningkatan Nilai Tambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama dengan pemegang:

a. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian; atau

b. IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi lainnya yang membangun fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian.

(5) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi Mineral dalam melakukan Peningkatan Nilai Tambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama berupa:

a. mengolah dan/atau memurnikan pada fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian yang dibangun bersama; atau

b. mengolah dan/atau memurnikan pada fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian yang dibangun oleh pemegang IUP Operasi Produksi lainnya, IUPK Operasi Produksi lainnya, dan/atau pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian melalui kegiatan:

1. jual beli Bijih (ore), Konsentrat, atau Produk Samping, atau sisa hasil Pengolahan dan/atau Pemurnian; atau

2. jasa Pengolahan dan/atau Pemurnian Bijih (ore), Konsentrat, Produk Samping, atau sisa hasil Pengolahan dan/atau Pemurnian.

213

(6) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi batubara wajib melakukan Peningkatan Nilai Tambah melalui kegiatan pengolahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang telah tersedia teknologi dan layak secara ekonomis.

Paragraf 2

Penjualan Mineral Hasil Pengolahan dan/atau Pemurnian ke Luar Negeri

Pasal 17

(1) Pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian Mineral logam, Mineral bukan logam, atau batuan sebelum melakukan kegiatan penjualan ke luar negeri wajib terlebih dahulu melakukan Peningkatan Nilai Tambah melalui kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian sesuai batasan minimum Pengolahan dan/atau Pemurnian tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, dan Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(2) Jenis komoditas tambang Mineral logam, Mineral bukan logam, atau batuan yang belum tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, dan Lampiran III hanya dapat dijual ke luar negeri setelah batasan minimum Pengolahan dan/atau Pemurniannya ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 18

(1) Produk Samping atau sisa hasil Pemurnian komoditas tambang Mineral logam tembaga berupa lumpur anoda wajib dilakukan peningkatan kemurnian lebih lanjut di dalam negeri sesuai dengan batasan minimum Pemurnian lanjut Produk Samping atau sisa hasil Pemurnian komoditas tambang Mineral logam tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(2) Produk Samping atau sisa hasil Pemurnian komoditas tambang Mineral logam tembaga berupa logam tanah jarang wajib dilakukan Pemurnian di dalam negeri sesuai dengan batasan minimum Pemurnian komoditas tambang Mineral logam tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(3) Produk Samping atau sisa hasil Pemurnian komoditas

(4) tambang Mineral logam timbal dan seng berupa emas dan perak wajib dilakukan Pemurnian di dalam negeri sesuai dengan batasan minimum Pemurnian komoditas tambang Mineral logam tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(5) Produk Samping atau sisa hasil Pengolahan komoditas tambang Mineral logam timah berupa Konsentrat zirkon, ilmenit, rutil, monasit, dan senotim wajib dilakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian di dalam negeri sesuai dengan batasan minimum Pengolahan dan/atau Pemurnian komoditas tambang Mineral logam dan Mineral bukan logam tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(6) Produk Samping atau sisa hasil Pemurnian Konsentrat timah berupa Terak wajib dilakukan peningkatan kemurnian lebih lanjut di dalam negeri sesuai dengan batasan minimum Pemurnian lanjut Produk Samping atau sisa hasil Pemurnian komoditas tambang Mineral logam tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(7) Produk Samping sisa hasil Pengolahan komoditas tambang Mineral logam timah antara lain Konsentrat zirkon, ilmenit, rutil, monasit, dan senotim serta Produk Samping atau sisa hasil Pemurnian Konsentrat timah berupa Terak yang belum memenuhi batasan minimum Pengolahan dan/atau Pemurnian komoditas tambang Mineral logam dan batasan minimum Pemurnian lanjut Produk Samping atau sisa hasil Pemurnian komoditas tambang Mineral logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (5) wajib diamankan dan dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 19

214

(1) Pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri:

a. Mineral logam yang telah memenuhi batasan minimum pemurnian; dan/atau

b. Mineral bukan logam atau Batuan yang telah memenuhi batasan minimum Pengolahan, dengan menggunakan Pos Tarif/HS (Harmonized System) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pihak lain yang melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian Mineral dapat melakukan Penjualan ke luar negeri:

a. Mineral logam yang telah memenuhi batasan minimum pemurnian; dan/atau

b. Mineral bukan logam atau batuan yang telah memenuhi batasan minimum pengolahan, dengan menggunakan Pos Tarif/HS (Harmonized System) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Kewajiban pemenuhan batasan minimum Pengolahan dan/atau Pemurnian tidak berlaku bagi Mineral yang digunakan untuk:

a. kepentingan dalam negeri; atau

b. penelitian dan pengembangan Mineral melalui pengiriman conto Mineral ke luar negeri.

Bagian Keempat Penelitian dan Pengembangan

Pasal 20

(1) Pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dapat melakukan penelitian dan pengembangan Mineral untuk menunjang kegiatan usaha pertambangannya.

(2) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kerja sama dengan:

a. lembaga penelitian dan pengembangan yang terakreditasi;

b. perguruan tinggi;

c. Badan Usaha yang memiliki teknologi untuk penelitian dan pengembangan Mineral; dan/atau

d. pihak lain yang melakukan penelitian dan pengembangan di luar negeri.

(3) Dalam melakukan kerja sama penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian dapat mengirim conto Mineral ke luar negeri setelah mendapatkan rekomendasi dari Direktur Jenderal.

(4) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan persetujuan ekspor dari Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan.

Pasal 21

(1) Untuk mendapatkan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, atau IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian harus mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal dengan mencantumkan:

a. maksud dan tujuan pengiriman conto Mineral ke luar negeri;

b. jenis dan jumlah conto Mineral; dan

c. negara tujuan.

215

(2) Direktur Jenderal atas nama Menteri melakukan evaluasi terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);.

(3) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal atas nama Menteri memberikan persetujuan atau penolakan permohonan rekomendasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar.

(4) Dalam hal permohonan rekomendasi ditolak, penolakan disampaikan secara tertulis kepada pemohon disertai dengan alasan penolakan.

Pasal 22

Pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, atau IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian wajib menyampaikan laporan hasil penelitian dan pengembangan Mineral kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.

Bagian Kelima

Pengangkutan dan Penjualan

Pasal 23

(1) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi dapat melakukan kegiatan Pengangkutan dan Penjualan Mineral atau Batubara.

(2) Dalam melakukan kegiatan Pengangkutan dan Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi dapat melakukan kerja sama dengan pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan.

(3) Pengangkutan dan Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kegiatan:

a. pemuatan;

b. Pengangkutan;

c. pembongkaran; dan

d. Penjualan.

BAB V KEUANGAN

Pasal 24

(1) Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian wajib mengelola keuangan dengan sistem akuntansi yang berlaku di Indonesia.

(2) Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian dalam mengeluarkan biaya didasarkan pada asas kewajaran dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian wajib menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VI PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

216

Pasal 25

(1) Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian wajib membayar jenis penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas:

a. jasa penyediaan sistem informasi data Mineral dan Batubara;

b. iuran tetap;

c. iuran produksi/royalti;

d. DHPB;

e. kompensasi data informasi;

f. bagian Pemerintah Pusat dari keuntungan bersih pemegang IUPK Operasi Produksi;

g. jaminan kesungguhan lelang WIUP atau WIUPK Mineral logam atau Batubara yang ditetapkan menjadi milik Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

h. jaminan kesungguhan pelaksanaan kegiatan Eksplorasi yang ditetapkan menjadi milik Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau

i. jenis penerimaan negara lain yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Menteri menetapkan pedoman pelaksanaan pengenaan, pemungutan, pembayaran/penyetoran penerimaan negara bukan pajak.

BAB VII PENGELOLAAN DATA MINERAL DAN BATUBARA

Pasal 26

(1) Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, dan IUPK Operasi Produksi, wajib mengelola data hasil kegiatan Eksplorasi dan Operasi Produksi dengan sistem pengelolaan data yang baik.

(2) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya secara periodik dan pada akhir kegiatan.

BAB VIII DIVESTASI SAHAM

Pasal 27

(1) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi dalam rangka penanaman modal asing, sejak 5 (lima) tahun setelah berproduksi wajib melakukan Divestasi Saham secara bertahap, sehingga pada tahun ke sepuluh sahamnya paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dimiliki oleh peserta Indonesia.

(2) Setelah berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak ditetapkannya waktu pertama kali memulai kegiatan Penambangan dalam persetujuan RKAB Tahunan oleh Menteri.

(3) Peserta Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. pemerintah;

b. pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota;

c. BUMN;

d. BUMD; dan

e. Badan Usaha swasta nasional.

217

Pasal 28

Tata cara pelaksanaan Divestasi Saham diatur dalam Peraturan Menteri tersendiri.

BAB IX PENGADAAN TENAGA KERJA, TATA CARA PEMBELIAN BARANG MODAL, PERALATAN, BAHAN BAKU DAN BAHAN PENDUKUNG LAIN

Bagian Kesatu Tenaga Kerja

Pasal 29

(1) Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan Izin Usaha Jasa Pertambangan wajib mengutamakan tenaga kerja setempat dan/atau nasional.

(2) Dalam hal tidak terdapat tenaga kerja setempat dan/atau nasional yang memiliki kompetensi dan/atau kualifikasi yang dibutuhkan, pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan Izin Usaha Jasa Pertambangan dapat menggunakan tenaga kerja asing dalam rangka alih teknologi dan/atau alih keahlian.

(3) Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan Izin Usaha Jasa Pertambangan wajib menyusun dan membiayai program pendidikan dan pelatihan tenaga kerja setempat dan/atau nasional.

Bagian Kedua

Pembelian Barang Modal, Peralatan, Bahan Baku dan Bahan

Pendukung

Pasal 30

(1) Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan Izin Usaha Jasa Pertambangan dalam melaksanakan kegiatan usaha pertambangan wajib mengutamakan barang modal, peralatan, bahan baku, dan bahan pendukung lainnya produk dalam negeri.

(2) Dalam hal produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan Izin Usaha Jasa Pertambangan dapat membeli produk impor yang dijual di Indonesia dengan ketentuan:

a. memenuhi standar kualitas dan layanan purna jual; dan

b. dapat menjamin kontinuitas pasokan dan ketepatan waktu pengiriman.

(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan Izin Usaha Jasa Pertambangan dapat mengimpor barang modal, peralatan, bahan baku, dan bahan pendukung lainnya ke Indonesia.

(4) Untuk memenuhi kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan Izin Usaha Jasa Pertambangan wajib menyampaikan pemberitahuan:

a. daftar pembelian barang;

b. impor sementara; dan

218

c. rekondisi barang (remanufactured).

(5) Rencana pembelian barang modal, peralatan, bahan baku, dan bahan pendukung lainnya untuk Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian harus disampaikan dalam RKAB Tahunan.

(6) Pembelian impor barang modal, peralatan, bahan baku dan bahan pendukung lainnya dapat memperoleh fasilitas impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X PENGENDALIAN PRODUKSI DAN PENJUALAN

Bagian Kesatu Pengendalian Produksi

Pasal 31

(1) Menteri melakukan pengendalian produksi Mineral dan Batubara yang bertujuan untuk:

a. memenuhi ketentuan aspek lingkungan; dan

b. melakukan konservasi sumber daya Mineral dan Batubara.

(2) Menteri dapat menetapkan besaran produksi nasional Mineral dan Batubara untuk kepentingan nasional.

(3) Dalam menetapkan besaran produksi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait dan/atau pemerintah daerah provinsi.

Bagian Kedua Pengendalian Penjualan

Pasal 32

(1) Menteri melakukan pengendalian Penjualan Mineral dan Batubara yang bertujuan untuk:

a. menjamin pasokan kebutuhan Mineral dan Batubara dalam negeri;

b. menjaga ketahanan ekonomi;

c. menjaga stabilitas pertahanan dan keamanan; dan

d. mengendalikan harga Mineral dan Batubara.

(2) Dalam melaksanakan pengendalian Penjualan Mineral dan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan:

a. jumlah dan jenis kebutuhan Mineral dan Batubara untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation); dan

b. jumlah dan jenis Mineral dan Batubara yang dapat dijual ke luar negeri.

(3) Dalam menetapkan jumlah dan jenis Mineral dan Batubara yang dapat dijual ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Menteri berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait dan /atau pemerintah daerah provinsi.

HARGA MINERAL DAN BATUBARA

Bagian Kesatu Harga Patokan

Pasal 33

219

(1) Pemegang IUP Operasi Produksi Mineral logam, IUP Operasi Produksi Batubara, IUPK Operasi Produksi Mineral logam, dan IUPK Operasi Produksi Batubara dalam menjual Mineral logam atau Batubara yang diproduksi wajib berpedoman pada HPM logam atau HPB.

(2) HPM logam dan HPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan harga batas bawah dalam penghitungan pembayaran iuran produksi.

(3) HPM logam dan HPB ditetapkan oleh Menteri untuk masing-masing jenis komoditas Mineral logam atau Batubara.

Bagian Kedua

Harga Mineral dan Batubara Jenis Tertentu dan Untuk Keperluan Tertentu

Pasal 34

(1) Menteri dapat menetapkan formula harga jual Mineral logam untuk kepentingan nasional.

(2) Kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pertimbangan:

a. keberlanjutan kegiatan usaha pertambangan; dan

b. Peningkatan Nilai Tambah Mineral di dalam negeri.

Pasal 35

(1) Menteri menetapkan formula harga Penjualan:

a. Batubara jenis tertentu; dan

b. Batubara untuk keperluan tertentu.

(2) Batubara jenis tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. fine coal;

b. reject coal; dan

c. Batubara dengan impurities tertentu.

(3) Batubara untuk keperluan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. Batubara yang dimanfaatkan untuk pembangkit listrik mulut tambang;

b. Batubara yang dimanfaatkan oleh perusahaan untuk keperluan sendiri dalam proses Penambangan Batubara;

c. Batubara yang dimanfaatkan oleh Perusahaan dalam rangka Peningkatan Nilai Tambah Batubara yang dilakukan di mulut tambang; dan

d. Batubara untuk pengembangan daerah tertinggal di sekitar tambang.

(4) Pemegang IUP Operasi Produksi Batubara dan IUPK Operasi Produksi Batubara dapat menjual Batubara kepada perusahaan pembangkit listrik mulut tambang dengan harga sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara penyediaan dan penetapan harga Batubara untuk pembangkit listrik mulut tambang.

Bagian Ketiga

Penetapan Harga Jual Batubara

Pasal 36

(1) Dalam rangka pemenuhan kebutuhan Batubara untuk kepentingan dalam negeri, Menteri menetapkan harga jual Batubara untuk kepentingan dalam negeri sesuai dengan kualitas Batubara.

220

(2) Penetapan harga jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kepentingan nasional.

Pasal 37

Tata cara penetapan harga patokan dan harga jual Mineral logam dan Batubara diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.

BAB XII PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Pasal 38

(1) Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, dan IUPK Operasi Produksi wajib menyusun rencana induk program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dengan berpedoman pada cetak biru (blue print) yang ditetapkan oleh gubernur.

(2) Penyusunan rencana induk program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan penyusunan Studi Kelayakan dan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Rencana induk pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat rencana program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat selama masa Operasi Produksi sampai dengan program pasca tambang.

(4) Pembiayaan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat tahunan berasal dari biaya operasional pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi.

(5) Pembiayaan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dikelola langsung oleh pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi.

(6) Dalam hal terjadi peningkatan kapasitas produksi, pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib meningkatkan biaya program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.

(7) Dalam hal realisasi biaya program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat tidak tercapai wajib ditambahkan pada tahun berikutnya.

(8) Menteri menetapkan pedoman pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.

BAB XIII PENGAKHIRAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Pasal 39

(1) Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, dan Izin Usaha Jasa Pertambangan, yang berakhir karena:

a. dikembalikan;

b. dicabut; atau

c. habis masa berlakunya, wajib memenuhi dan menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kewajiban pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, dan Izin Usaha Jasa Pertambangan dianggap telah terpenuhi setelah mendapat persetujuan dari Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

221

SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 40

(1) Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, dan Izin Usaha Jasa Pertambangan yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) atau sampai dengan ayat (3), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13, Pasal 14 ayat (1) atau ayat (3), Pasal 16 ayat (1) atau ayat (6), Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) atau sampai dengan ayat (6), Pasal 22, Pasal 24 ayat (1) atau ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 29 ayat (1) atau ayat (3), Pasal 30 ayat (1) atau ayat (4), Pasal 33 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), ayat (4), ayat (6), atau ayat (7), atau Pasal 39 ayat (1) dikenakan sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha; dan/atau

c. pencabutan izin.

(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 41

Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu peringatan masing-masing paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender.

Pasal 42

(1) Dalam hal pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, atau Izin Usaha Jasa Pertambangan yang mendapat sanksi peringatan tertulis setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf a belum melaksanakan kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf b.

(2) Sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan paling lama 60 (enam puluh) hari kalender.

Pasal 43

Sanksi administratif berupa pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf c dikenakan kepada pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, atau Izin Usaha Jasa Pertambangan yang tidak melaksanakan kewajiban sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b.

BAB XV KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 44

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

222

a. Pemegang KK Mineral logam dapat melakukan Penjualan hasil pengolahan ke luar negeri dalam jumlah tertentu paling lama sampai dengan tanggal 11 Januari 2022 setelah melakukan perubahan bentuk pengusahaan pertambangannya menjadi IUPK Operasi Produksi dan membayar bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta memenuhi batasan minimum pengolahan tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;

b. Pemegang IUP Operasi Produksi Mineral logam dapat melakukan Penjualan hasil pengolahan ke luar negeri dalam jumlah tertentu paling lama sampai dengan tanggal 11 Januari 2022 setelah membayar bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memenuhi batasan minimum pengolahan tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;

c. Pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian Mineral logam yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 dan telah menghasilkan produk hasil pengolahan dapat melakukan Penjualan hasil pengolahannya ke luar negeri dalam jumlah tertentu paling lama sampai dengan tanggal 11 Januari 2022 setelah membayar bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memenuhi batasan minimum pengolahan tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;

d. Pihak lain yang menghasilkan lumpur anoda dapat melakukan Penjualan lumpur anoda sebagai Produk Samping atau sisa hasil pemurnian komoditas tambang Mineral logam tembaga ke luar negeri dalam jumlah tertentu paling lama sampai dengan tanggal 11 Januari 2022;

e. Penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan Persetujuan Ekspor dari Direktur Jenderal yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan luar negeri; dan

f. Sebelum mendapatkan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam huruf e, pemegang IUPK Operasi Produksi Mineral logam, IUP Operasi Produksi Mineral logam, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan pihak lain yang menghasilkan lumpur anoda wajib mendapatkan Rekomendasi dari Direktur Jenderal.

Pasal 45

(1) Pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus pengolahan dan/atau pemurnian, atau pihak lain yang melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian Mineral logam wajib memanfaatkan Mineral logam dengan kriteria tertentu hasil Penambangan di dalam negeri.

(2) Mineral logam dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. nikel dengan kadar <1,7% (kurang dari satu koma tujuh persen); atau

b. bauksit yang telah dilakukan pencucian (washed bauxite) dengan kadar Al2O3 > 42% (lebih dari atau sama dengan empat puluh dua persen).

(3) Pemanfaatan Mineral logam dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memenuhi pemanfaatan dalam negeri melalui:

a. mengolah dan memurnikan Mineral logam dengan kriteria tertentu pada fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian bagi pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang membangun fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian sendiri;

b. memasok Mineral logam dengan kriteria tertentu yang dibangun pemegang IUP Operasi Produksi lainnya, IUPK Operasi Produksi lainnya, IUP Operasi Produksi khusus pengolahan dan/atau pemurnian, atau pihak lain yang melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian bagi pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang bekerja sama untuk melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian; atau

c. menerima pasokan Mineral logam dengan kriteria tertentu bagi pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian serta pihak lain yang melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian.

Pasal 46

223

(1) Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi dapat melakukan Penjualan nikel dengan kadar <1,7% (kurang dari satu koma tujuh persen) atau bauksit yang telah dilakukan pencucian (washed bauxite) dengan kadar Al2O3 > 42% (lebih dari atau sama dengan empat puluh dua persen) ke luar negeri dalam jumlah tertentu dengan menggunakan Pos Tarif/HS (Harmonized System) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama sampai dengan tanggal 11 Januari 2022.

(2) Penjualan nikel dengan kadar <1,7% (kurang dari satu koma tujuh persen) atau bauksit yang telah dilakukan pencucian (washed bauxite) dengan kadar Al2O3 > 42% (lebih dari atau sama dengan empat puluh dua persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:

a. telah atau sedang membangun fasilitas Pemurnian; dan

b. membayar bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Telah atau sedang membangun fasilitas Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat berupa:

a. membangun fasilitas Pemurnian sendiri; atau

b. kerja sama untuk membangun fasilitas Pemurnian dalam bentuk:

1) kepemilikan saham secara langsung pada Badan Usaha pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian; atau

2) kepemilikan saham secara langsung pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian pada Badan Usaha pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi.

Pasal 47

(1) Pemegang IUP Operasi Produksi Mineral logam dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian Mineral logam dapat melakukan Penjualan hasil Pengolahan ke luar negeri dalam jumlah tertentu dengan menggunakan Pos Tarif/HS (Harmonized System) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama sampai dengan tanggal 11 Januari 2022.

(2) Penjualan hasil Pengolahan ke luar negeri oleh pemegang IUP Operasi Produksi Mineral logam atau IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian Mineral logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:

a. telah menghasilkan produk hasil Pengolahan;

b. membayar bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

c. sedang membangun fasilitas Pemurnian sendiri atau bekerja sama untuk melakukan Pemurnian.

(3) Kerja sama untuk melakukan Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat berupa:

a. membangun fasilitas Pemurnian bersama dengan pemegang IUP Operasi Produksi lainnya, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, atau pihak lain dengan membentuk Badan Usaha pemegang IUP Operasi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian; atau

b. memurnikan pada fasilitas Pemurnian yang dibangun pemegang IUP Operasi Produksi lainnya, IUPK Operasi Produksi, dan/atau pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian melalui kegiatan:

1) jual beli Konsentrat atau Produk Samping atau sisa hasil Pengolahan; atau

2) jasa Pemurnian Konsentrat atau Produk Samping atau sisa hasil Pengolahan.

Pasal 48

(1) Pemegang KK yang telah melakukan perubahan bentuk pengusahaan pertambangannya menjadi IUPK Operasi Produksi dapat melakukan Penjualan hasil Pengolahan ke luar negeri dalam jumlah tertentu dengan menggunakan Pos Tarif/HS (Harmonized System) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama sampai dengan tanggal 11 Januari 2022.

224

(2) Penjualan hasil Pengolahan ke luar negeri oleh pemegang IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:

a. telah menghasilkan produk hasil Pengolahan;

b. membayar bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

c. sedang membangun fasilitas Pemurnian sendiri atau bekerja sama untuk melakukan Pemurnian.

(3) Kerja sama untuk melakukan Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat berupa:

a. membangun fasilitas Pemurnian bersama dengan pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi lainnya, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, atau pihak lain dengan membentuk Badan Usaha pemegang IUP Operasi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian; atau

b. memurnikan pada fasilitas Pemurnian yang dibangun pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi lainnya, dan/atau pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian melalui kegiatan:

1) jual beli Konsentrat atau Produk Samping atau sisa hasil Pengolahan; atau

2) jasa Pemurnian Konsentrat atau Produk Samping atau sisa hasil Pengolahan.

Pasal 49

(1) Pihak lain yang telah menghasilkan Produk Samping atau sisa hasil Pemurnian komoditas tambang Mineral logam tembaga berupa lumpur anoda dapat melakukan Penjualan lumpur anoda ke luar negeri dalam jumlah tertentu dengan menggunakan Pos Tarif/HS (Harmonized System) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan paling lama sampai dengan tanggal 11 Januari 2022.

(2) Penjualan lumpur anoda ke luar negeri oleh pihak lain yang telah menghasilkan Produk Samping atau sisa hasil Pemurnian komoditas tambang Mineral logam tembaga berupa lumpur anoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:

a. telah atau sedang membangun fasilitas pemurnian lanjut sendiri; atau

b. bekerja sama untuk melakukan Pemurnian dengan pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan/atau pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian.

(3) Kerja sama untuk melakukan Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat berupa:

a. membangun fasilitas Pemurnian bersama dengan pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi, atau pihak lain, dengan membentuk Badan Usaha pemegang IUP Operasi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian; atau

b. memurnikan pada fasilitas Pemurnian yang dibangun pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan/atau pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, melalui kegiatan:

1) jual beli lumpur anoda; atau

2) jasa Pemurnian lumpur anoda.

Pasal 50

(1) Penjualan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49 dilakukan setelah mendapatkan Persetujuan Ekspor dari Direktur Jenderal yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan luar negeri.

(2) Sebelum mendapatkan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUPK Operasi Produksi Mineral logam, IUP Operasi Produksi Mineral logam, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan pihak lain yang menghasilkan Produk Samping atau sisa hasil Pemurnian wajib mendapatkan Rekomendasi dari Direktur Jenderal.

225

Pasal 51

Pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 hanya dapat diberikan dengan ketentuan:

a. kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian paling sedikit telah menyelesaikan seluruh tahapan kegiatan persiapan awal proyek meliputi Studi Kelayakan, izin lingkungan, dan penguasaan lahan serta tahapan kegiatan persiapan proyek meliputi desain awal (basic design), gambar kerja detil (detail engineering design), dan persiapan tapak (site preparation) pada tahun 2018;

b. kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian paling sedikit telah menyelesaikan tahapan kegiatan persiapan awal proyek dan tahapan kegiatan persiapan proyek serta telah memasuki tahapan kegiatan pelaksanaan proyek meliputi pengadaan dan konstruksi pada tahun 2019;

c. kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian paling sedikit telah menyelesaikan tahapan kegiatan persiapan awal proyek, tahapan kegiatan persiapan proyek, dan seluruh tahapan kegiatan pelaksanaan proyek meliputi pengadaan dan konstruksi pada tahun 2020; dan

d. kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian paling sedikit telah menyelesaikan tahapan kegiatan persiapan awal proyek, tahapan kegiatan persiapan proyek, dan seluruh tahapan kegiatan pelaksanaan proyek, serta telah memasuki tahapan kegiatan commissioning and start up pada tahun 2021.

Pasal 52

(1) Untuk mendapatkan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, pemegang IUP Operasi Produksi Mineral logam, IUPK Operasi Produksi Mineral logam, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, atau Pihak Lain harus mengajukan permohonan rekomendasi kepada Menteri melalui Direktur Jenderal dengan dilengkapi persyaratan:

a. rencana pembangunan fasilitas Pemurnian di dalam negeri yang telah dilakukan verifikasi oleh Verifikator Independen; dan

b. verifikasi kemajuan fisik fasilitas pemurnian oleh Verifikator Independen.

(2) Direktur Jenderal melakukan evaluasi terhadap permohonan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal atas nama Menteri memberikan persetujuan atau penolakan permohonan rekomendasi dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar.

(4) Dalam hal permohonan rekomendasi ditolak, penolakan disampaikan secara tertulis kepada pemohon disertai dengan alasan penolakan.

Pasal 53

(1) Jumlah tertentu Penjualan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d ditentukan berdasarkan pertimbangan:

a. estimasi cadangan atau jaminan pasokan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan fasilitas Pemurnian;

b. jumlah Penjualan ke luar negeri dalam persetujuan RKAB Tahunan tahun berjalan; dan

c. kapasitas input fasilitas Pemurnian.

(2) Menteri menetapkan pedoman pelaksanaan permohonan, evaluasi, dan persetujuan pemberian rekomendasi ekspor.

Pasal 54

(1) Pemegang KK dapat melakukan Penjualan Bijih ke dalam negeri setelah mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal atas nama Menteri.

226

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mempertimbangkan pemenuhan aspek konservasi serta dalam rangka peningkatan penerimaan negara.

Pasal 55

(1) Direktur Jenderal atas nama Menteri melakukan pengawasan terhadap:

a. pelaksanaan Penjualan Mineral ke luar negeri;

b. kemajuan fasilitas pemurnian di dalam negeri yang terdiri atas:

1) kemajuan fisik fasilitas pemurnian; dan

2) besaran serapan biaya pembangunan fasilitas pemurnian.

(2) Pengawasan Penjualan Mineral ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

a. penelitian dan pemeriksaan terhadap data atau keterangan mengenai keabsahan administrasi dan asal produk pertambangan yang akan diekspor; dan

b. jenis, jumlah, dan kualitas produk berdasarkan hasil pengujian oleh surveyor yang ditunjuk oleh pemerintah.

(3) Pengawasan Penjualan Mineral ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sewaktu-waktu apabila diperlukan.

(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan secara berkala setiap 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.

(5) Kemajuan fisik pembangunan fasilitas Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1 harus mencapai paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari rencana kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian yang dihitung secara kumulatif sampai 1 (satu) bulan terakhir oleh Verifikator Independen.

(6) Direktur Jenderal dapat memberikan persetujuan keadaan kahar di luar kemampuan manusia yang berakibat langsung terhambatnya pencapaian paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari rencana kemajuan fisik pembangunan fasilitas Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berdasarkan laporan tertulis pemegang IUPK Operasi Produksi Mineral logam, IUP Operasi Produksi Mineral logam, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan pihak lain sebagai dasar untuk melakukan evaluasi permohonan rekomendasi perpanjangan.

(7) Dalam hal setiap 6 (enam) bulan persentase kemajuan fisik pembangunan fasilitas Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mencapai 90% (sembilan puluh persen), Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan rekomendasi kepada Direktur Jenderal yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan luar negeri untuk mencabut persetujuan ekspor yang telah diberikan.

(8) Selain pencabutan rekomendasi persetujuan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pemegang IUPK Operasi Produksi Mineral logam, IUP Operasi Produksi Mineral logam, dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian dapat dikenakan denda administratif sebesar 20% (dua puluh persen) dari nilai kumulatif penjualan mineral ke luar negeri.

(9) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (8) disetorkan ke kas negara melalui bank persepsi.

(10) Dalam hal pemegang IUPK Operasi Produksi Mineral logam, IUP Operasi Produksi Mineral logam, dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian tidak memenuhi kewajiban pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak dikenakannya denda administratif, pemegang IUPK Operasi Produksi Mineral logam, IUP Operasi Produksi Mineral logam, dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian dapat dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

(11) Sanksi administratif berupa pencabutan izin dikenakan kepada pemegang IUPK Operasi Produksi Mineral logam, IUP Operasi Produksi Mineral logam, dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran denda administratif sampai dengan berakhirnya jangka waktu penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (10) oleh Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

227

(12) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dan ayat (11) diberikan oleh gubernur, Menteri melalui Direktur Jenderal menyampaikan pemberitahuan terkait pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang IUPK Operasi Produksi Mineral logam, IUP Operasi Produksi Mineral logam, dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian kepada gubernur.

Pasal 56

(1) Verifikator Independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.

(2) Untuk dapat ditetapkan sebagai Verifikator Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Verifikator Independen harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri melalui Direktur Jenderal dengan memenuhi persyaratan adminsitratif dan teknis.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk Badan Layanan Umum yang ditetapkan sebagai Verifikator Independen.

(4) Permohonan, evaluasi, dan penetapan Verifikator Independen diproses sesuai dengan tata cara tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 57

(1) Untuk dapat dilakukan verifikasi rencana pembangunan fasilitas Pemurnian di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a atau verifikasi kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b, pemegang IUPK Operasi Produksi Mineral logam, IUP Operasi Produksi Mineral logam, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, atau pihak lain harus mengajukan permohonan verifikasi kepada Verifikator Independen.

(2) Pelaksanaan verifikasi kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala setiap 6 (enam) bulan.

(3) Dalam hal diperlukan pemantauan kemajuan fisik pembangunan fasilitas Pemurnian yang lebih ketat, Direktur Jenderal atas nama Menteri sewaktu-waktu dapat meminta Verifikator Independen untuk melakukan verifikasi terhadap kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri.

(4) Verifikasi dan hasil verifikasi rencana pembangunan fasilitas pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan kriteria dan disusun sesuai dengan laporan tercantum dalam Lampiran VI dan Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(5) Verifikasi dan hasil verifikasi kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan kriteria dan disusun sesuai dengan laporan tercantum dalam Lampiran VIII dan Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(6) Verifikasi kemajuan fisik dilakukan oleh Verifikator Independen yang berbeda dengan Verifikator Independen yang melakukan verifikasi rencana pembangunan.

(7) Verifikator Independen dilarang terlibat secara langsung dalam perencanaan dan pembangunan fasilitas Pemurnian yang diverifikasi.

(8) Dalam hal Verifikator Independen melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dan/atau menyampaikan laporan hasil verifikasi secara tidak benar, penetapan sebagai Verifikator Independen dicabut.

(9) Biaya yang dikeluarkan atas pelaksanaan verifikasi rencana pembangunan fasilitas Pemurnian di dalam negeri dan verifikasi terhadap kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri dibebankan kepada pemegang IUPK Operasi Produksi Mineral logam, IUP Operasi Produksi Mineral logam, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, atau pihak lain yang mengajukan permohonan verifikasi.

Pasal 58

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

228

a. IUPK Operasi Produksi yang diberikan sebagai perubahan bentuk pengusahaan pertambangan dari KK sebelum diundangkannya Peraturan Menteri ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan jangka waktunya berakhir;

b. Jaminan kesungguhan yang telah ditempatkan oleh pemegang IUP Operasi Produksi Mineral logam, KK, dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dapat dicairkan seluruhnya beserta bunga pada saat kemajuan fisik pembangunan fasilitas Pemurnian dalam negeri telah mencapai 35% (tiga puluh lima persen) paling lama 12 Januari 2022;

c. Kemajuan fisik pembangunan fasilitas Pemurnian dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam huruf b ditentukan berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan oleh Verifikator Independen; atau

d. Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf b kemajuan fisik pembangunan fasilitas Pemurnian dalam negeri belum mencapai 35% (tiga puluh lima persen), jaminan kesungguhan disetorkan ke kas negara melalui bank persepsi paling lambat 3 (tiga) bulan setelah 12 Januari 2022.

Pasal 59

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, pemegang KK dan PKP2B dapat mengikuti ketentuan Divestasi Saham sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini atau melakukan Divestasi Saham secara langsung sebesar 51% (lima puluh satu persen) pada tahun ke sepuluh setelah berproduksi.

Pasal 60

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, pemegang IUPK Operasi Produksi hasil perubahan bentuk pengusahaan pertambangan dari KK yang telah berproduksi paling sedikit 5 (lima) tahun pada saat diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara wajib melaksanakan ketentuan Divestasi Saham sebesar 51% (lima puluh satu persen) dalam jangka waktu paling lambat pada tahun 2019 sesuai dengan IUPK Operasi Produksi.

Pasal 61

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

a. pemegang KK dan PKP2B wajib melakukan pemasangan tanda batas sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini;

b. pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, KK, dan PKP2B yang wajib melakukan pemasangan tanda batas sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini dan telah melakukan pemasangan tanda batas serta belum mendapatkan penetapan tanda batas, wajib mengajukan permohonan penetapan tanda batas kepada Menteri melalui Direktur Jenderal atau gubernur sesuai dengan kewenangannya; atau

c. pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, KK, dan PKP2B yang wajib melakukan pemasangan tanda batas sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini dan telah melakukan pemasangan tanda batas serta telah mendapatkan penetapan tanda batas wajib melakukan pemeliharaan dan perawatan tanda batas sesuai dengan lampiran daftar koordinat keputusan penetapan tanda batas.

Pasal 62

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, pemegang KK dan PKP2B wajib melaksanakan ketentuan mengenai pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang diatur dalam Peraturan Menteri ini, termasuk penyusunan rencana induk program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XVI KETENTUAN PENUTUP

Pasal 63

229

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

a. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penetapan Kebijakan Pembatasan Produksi Pertambangan Mineral Nasional;

b. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 546);

c. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral dan Batubara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 463);

d. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 33 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pemasangan Tanda Batas Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus Mineral dan Batubara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1585);

e. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 41 Tahun 2016 tentang Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1879);

f. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 05 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 98);

g. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 06 Tahun 2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral Ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 99);

h. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 515);

i. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 35 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral Ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 687), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 64

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 30 April 2018

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

IGNASIUS JONAN

Diundangkan di Jakarta

230

pada tanggal 3 Mei 2 018

DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 595

Salinan sesuai dengan aslinya

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

231

LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2018 TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

BATASAN MINIMUM PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN KOMODITAS TAMBANG MINERAL LOGAM DI DALAM NEGERI

No.

Komoditas Batasan Minimum

Bijih/ore Mineral Pengolahan Pemurnian

Produk Kualitas Produk Kualitas

1. Tembaga (proses peleburan)

Kalkopirit Digenit Bornit Kuprit Kovelit

Konsentrat tembaga Cu > 15% a. Katoda tembaga Logam Tembaga, Cu > 99,9%

b. Tembaga telurid a. Logam Tembaga, Cu > 99,9%; b. Logam Telurium, Te > 99%; c. Telurium Dioksida, TeO2 > 98%; d. Telurium Hidroksida, Te(OH)4 > 98%; dan/atau e. Logam paduan tembaga telurid, Te > 20%.

Tembaga (proses pelindian)

Kalkopirit Digenit Bornit Kuprit Kovelit

Logam a. Logam Tembaga, Cu > 99,9%; b. Logam Emas, Au > 99%; c. Logam Perak, Ag > 99%; d. Logam Paladium, Pd > 99%; e. Logam Platinum, Pt > 99%; f. Logam Selenium, Se > 99%; g. Logam Telurium, Te > 99%; h. Telurium Dioksida, TeO2 > 98%; i. Telurium Hidroksida, Te(OH)4 > 98%; dan/atau j. Logam jarang dan tanah jarang (merujuk pada persyaratan logam tanah jarang di timah).

2. Nikel dan/atau kobalt (proses peleburan) a. Saprolit; b. Limonit.

Pentlandit Garnerit Serpentinit Karolit

Nikel mate, logam paduan, logam nikel, dan logam oksida

a. Ni Mate, Ni > 70%; b. Logam FeNi, Ni > 8%; c. Nickel Pig Iron (NPI), 2%<Ni<4%, dan Fe > 75%; d. Nickel Pig Iron (NPI), Ni > 4%; e. Logam Nikel, Ni > 93%; dan/atau f. Nikel Oksida (NiO), Ni > 65%.

Nikel dan/atau kobalt (proses pelindian) Limonit

Logam, logam oksida, logam sulfida, mix hydroxide/ sulfide precipitate, dan hydroxide nickel carbonate

a. Logam Nikel, Ni > 93%; b. Mix Hydroxide Precipitate (MHP), Ni > 25%; c. Mix Sulfid,e Precipitate (MSP), Ni > 45%; d. Hydroxid,e Nickel Carbonate (HNC), Ni > 40%; e. Nikel Sulfat dan Nikel Sulfat Hidrat (NiSO4 dan NiSO4.xH2O), Ni > 20%; f. Kobalt Sulfat dan Kobalt Sulfat Hidrat (CoSO4 dan CoSO4.xH2O), Co > 19%; g. Nikel Klorida dan Nikel Klorida Hidrat (NiCl2 dan NiCl2.xH2O), Ni > 20%; h. Kobalt Klorida dan Kobalt Klorida Hidrat (CoCl2 dan dan CoCl2.xH2O), Co > 19%; i. Nikel Karbonat (MCO3), Ni > 40%; j. Kobalt Karbonat (CoCO3), Co > 40% Co; k. Nikel Oksida (NiO), Ni > 65%; l. Kobalt Oksida (CoO), Co > 65%; m. Nikel Hidroksida (Ni(OH)2), Ni > 50%;

232

No.

Komoditas Batasan Minimum

Bijih/ore Mineral Pengolahan Pemurnian

Produk Kualitas Produk Kualitas

n. Kobalt Hidroksida (Co(OH)2), Co > 50%; o. Nikel Sulfida (NiS), Ni > 40%; p. Logam Kobalt, Co > 93%; q. Kobalt Sulfida (CoS), Co > 40%; dan /atau r. Logam Kromium, Cr > 99%.

Nikel dan/atau kobalt (proses reduksi) a. Saprolit; b. Limonit.

Logam paduan a. FeNi spon (Sponge FeNi), 2%<Ni<4%, dan Fe > 75%; b. FeNi spon (Sponge FeNi), Ni > 4%; c. Luppen FeNi, 2% < Ni < 4% dan Fe > 75%; dan/atau d. Luppen FeNi, Ni > 4%; e. Nugget FeNi, 2% < Ni < 4%, dan Fe > 75%; dan/atau f. Nugget FeNi, Ni > 4%.

3. Bauksit Gibsit Diaspor Buhmit

Logam oksida/ hidroksida dan logam

a. Smelter Grade Alumina, Al2O3 > 98%; b. Chemical Grade Alumina, Al2O3 > 90%; c. Alumina Hidroksida, Al(OH)3 > 90%; d. Proppant:

1) Al2O3 > 72% (Granulated); 2) mampu pecah pada tekanan 7.500 psi, fraksi ukuran:

-20+40 mesh < 5,2% -30+50 mesh < 2,5%; atau -40+70 mesh < 2,0%.

3) Apparent Specific Gravity (ASG) 3,27, dan /atau e. Logam Aluminium, Al > 99%.

4. Besi Hematit Magnetit

Konsentrat besi *) Fe > 62% dan TiO2 <1% Spon, logam, dan logam paduan a. Besi spon (sponge iron), Fe > 72%; b. Besi spon paduan besi (spongeferro alloy), Fe > 72%; c. Besi wantah (pig iron), Fe > 75%; dan /atau d. Logam paduan besi (ferro alloy), Fe > 75%

Gutit, Hematit, Magnetit (Besi laterit)

Konsentrat besi laterit **) Fe > 50% dan Kadar (Al2O3 + SiO2) > 10%

Lamela magnetit-ilmenit (pasir besi)

Konsentrat pasir besi ***) Fe > 56% dan 1% < TiO2 < 25% Logam a. Besi spon (sponge iron), Fe > 72%; dan /atau b. Besi wantah (pig iron), Fe > 75%.

Pellet konsentrat pasir besi ****)

Fe > 54% dan 1% <TiO2 < 25%

Konsentrat ilmenit *****) TiO2> 45% Logam oksida, logam klorida, dan logam paduan

a. Titanium Dioksida sintetik, TiO2 > 85%; b. Titanium Tetraklorida, TiCU > 87%; dan /atau c. Logam paduan titanium, Ti > 65%.

5. Timah Kasiterit - - Logam Logam Timah, Sn > 99,90%

Konsentrat zirkon Merujuk pada persyaratan zirkonium dan zirkon

Merujuk pada persyaratan Zirkonium dan Zirkon

Konsentrat ilmenit TiO2> 45% Logam oksida, logam klorida, dan logam paduan

a. Titanium Diosida Olahan, TiO2 > 85%; b. Titanium Tetraklorida, TiCl4 > 87%; dan/atau c. Logam paduan titanium, Ti > 65%.

Konsentrat rutil TiO2 > 90% logam klorida dan logam paduan a. Titanium Tetraklorida, TiCl4 > 98%; dan /atau b. Logam paduan titanium, Ti > 65%.

233

No.

Komoditas Batasan Minimum

Bijih/ore Mineral Pengolahan Pemurnian

Produk Kualitas Produk Kualitas

Konsentrat monasit dan senotim

Logam oksida, logam hidroksid, dan logam tanah jarang

a. Logam oksida tanah jarang (REO), REO > 99%; b. Logam hidroksida tanah jarang (REOH), REOH > 99%; dan/atau c. Logam tanah jarang, logam tanah jarang > 99%.

6. Mangan Pirolusit Psilomelan Braunit Manganit

Konsentrat mangan Mn > 49% Logam, logam paduan, dan senyawa kimia mangan

a. Fero Mangan (FeMn), Mn > 60%; b. Silika Mangan (SiMn), Mn > 60%; c. Mangan Monoksida (MnO), Mn > 42%, MnO2 < 4%; d. Mangan Sulfat (MnSO4), MnSO4 > 90%; e. Mangan Klorida (MnCl2), MnCl2 > 90%; f. Mangan Karbonat Olahan (MnCO3), MnCO3 > 90%; g. Kalium Permanganat (KMnO4), KMnO4 > 90%; h. Mangani Oksida (MmO4), Mn3O4 > 90%; i. Mangan Dioksida Olahan (MnO2), MnO2 > 98%; j. Mangan Spon (Direct Reduced Manganese), Mn > 49%, MnO2 < 4%; dan/atau k. Electrolytic Manganese Doxide, MnO2 > 90% dan K < 250 ppm

7. Timbal dan Seng Galena Spalerit Smitsonit Hemimorfit (kalamid)

Konsentrat seng Zn > 51% Logam, logam oksida/ hidroksida

a. Bullion Seng, Zn > 90%; b. Seng Oksida, ZnO > 98%; c. Seng Peroksida, ZnO2 > 98%; dan/atau d. Seng Hidroksida, Zn(OH)2 > 98%.

Logam emas dan /atau perak a. Logam Emas, Au > 99%; dan/atau b. Logam Perak, Ag > 99%.

Konsentrat timbal Pb > 56% Logam, logam oksida / hidroksida

a. Bullion Timbal, Pb > 90%; b. Timbal Oksida, PbO > 98%; c. Timbal Hidroksida, Pb(OH)2 > 98%; dan /atau d. Timbal Dioksida, PbO2 > 98%.

Logam emas dan /atau perak a. Logam Emas, Au > 99%; dan/atau b. Logam Perak, Ag > 99%.

8. Emas Native Associated minerals Logam emas Logam Emas, Au > 99%

9. Perak Native Associated minerals Logam perak Logam Perak, Ag > 99%

10. Kromium Kromit Konsentrat kromit

Cr2O3> 40% dan Fe> 13% Logam,logam paduandan senyawa kimia kromium

a. Kromium Karbonat (Cr2(CO3)3), Cr > 16%; b. Kromium Sulfat (Cr2(SO4)3), Cr > 14%; c. Kromium Sulfit (Cr2(SO3)3), Cr > 28%; d. Kromium Fosfat (CrPO4), Cr > 20%; e. Kromium Nitrat dan Kromium Nitrat Hidrat (Cr(NO3)3 dan Cr(NO3)3.xH2O), Cr > 12%; f. Kromium Nitrit (Cr(NO2)3), Cr > 25%; g. Kromium Hidroksida (Cr(OH)3), Cr > 47%; h. Kromium Klorat (Cr(ClO3)2), Cr > 16%; i. Kromium Permanganat (Cr(MnO4)), Cr > 12%; j. Logam Kromium, Cr > 99%; dan/atau k. Logam paduan kromium, Cr > 60%.

234

No.

Komoditas Batasan Minimum

Bijih/ore Mineral Pengolahan Pemurnian

Produk Kualitas Produk Kualitas

11. Zirkonium Bahan kimia zirkon, spon zirkon, zirkonia, logam zirkon, dan hafmium

a. Zirkonium Oksiklorida (ZOC), ZrOCl2.8H2O > 90%; b. Zirkonium Sulfat (ZOS), Zr(SO4)2.4H2O > 90%; c. Zirkonium Berbasis Sulfat (ZBS), ZrsOs(SO4)2.xH2O > 90%; d. Zirkonium Berbasis Karbonat (ZBC), ZrOCOa.xH2O > 90%; e. Amonium Zirkonium Karbonat (AZC), (NH4)3ZrOH(COa)3. 2H2O > 90%; f. Zirkonium Asetat (ZAC), H2ZrO2(C2H3O2)2 > 90%; g. Kalium Heksafloro Zirkonat (KFZ), K2ZrF6 > 90%; h. Zirkonium Spon, Zr > 85%; i. Zirkonia, (ZrO2+HfO2) > 99%; j. Logam Zirkonium, Zr > 95%; dan /atau k. Logam Hafnium, Hf > 95%.

Ilmenit Kadar TiO2> 45% Logam oksida, logam klorida, dan logam paduan

a. Titanium Dioksida sintetik, TiO2 > 85%; b. Titanium Tetraklorida, TiCU > 87%; dan/atau c. Logam paduan titanium, Ti > 65%.

Rutil TiO2 > 90% logam klorida dan logam paduan a. Titanium Tetraklorida, TiCU > 98%; dan /atau b. Logam paduan titanium, Ti > 65%.

12. Antimon Stibnit Logam antimon a. Logam Antimon, Sb > 99%; dan/atau b. Diantimon Pentaoksida, Sb2O5 > 95%.

Keterangan: *) Yang dimaksud konsentrat besi adalah konsentrat besi yang mengandung mineral hematit/ magnetit dengan kandungan unsur besi total Fe > 62% dan kandungan senyawa titanium oksida TiO 2 < 1%. **) Yang dimaksud konsentrat besi laterit adalah konsentrat besi yang mengandung mineral gutit/hematit/magnetit dengan kan dungan unsur besi total Fe > 50% dan jumlah kandungan alumina (AI2O3)

dan silika (SiO2) > 10%. ***) Yang dimaksud konsentrat pasir besi adalah konsentrat besi yang mengandung mineral lamela magnetit -ilmenit dengan kandungan unsur besi total Fe > 56% dan kandungan senyawa titanium

oksida 1%<TiO2< 25%. ****) Yang dimaksud pellet konsentrat pasir besi adalah konsentrat besi dalam bentuk pellet yang mengandung mineral lamela ma gnetit-ilmenit dengan kandungan unsur besi total Fe > 54% dan

kandungan senyawa titanium oksida 1%<TiO2< 25%. *****) Yang dimaksud konsentrat ilmenit adalah konsentrat besi yang mengandung mineral lamela magnetit -ilmenit dengan kandungan senyawa titanium oksida TiO 2> 45%.

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

IGNASIUS JONAN

235

LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2018 TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

BATASAN MINIMUM PENGOLAHAN KOMODITAS TAMBANG MINERAL BUKAN LOGAM DI DALAM NEGERI

No. Komoditas Produk Batasan Minimum

1. Zirkon Zirkon silikat a. Pasir Zirkon (ZrSiO4), (ZrO2+HfO2) > 65,5%, lolos saringan 60 mesh > 95%; b. Zirkonium Silikat (ZrSiO4), (ZrO2+HfO2) > 64%, lolos saringan 325 mesh > 95%; c. Zirkonium Silikat (ZrSiO4), (ZrO2+HfO2) > 63%, d50 =1,43 + 0,16 gm; dan /atau d. Zirkonium Silikat (ZrSiO4), (ZrO2+HfO2) > 62%, d50 =1,1 + 0,2 gm;

Ilmenit Merujuk pada persyaratan konsentrat ilmenit di pasir besi

Rutil Merujuk pada persyaratan konsentrat rutil di timah

Monasit dan Senotim Merujuk pada persyaratan konsentrat monasit dan senotim di timah

2. Kaolin Kaolin olahan 1. Bentuk Noodle: a. Brightness > 79%; b. SiO2 < 47% ; c. AI2O3 > 36% ;

2. Bentuk Tepung: a. Brightness > 79%; b. SiO2 < 47% ; c. AI2O3 > 36% ; d. ukuran butir lolos saringan 325 mesh > 99%;

3. Lempung (Clay) Ball Clay a. Alumunium Oksida, AI2O3 > 20 % b. Besi Oksida, Fe2O3 < 1,5 % c. Silikon Oksida, SiO2 < 60% d. Whiteness-spectrofotometer (dibakar 1220 0 C) L > 79; dan e. Bentuk Noodle atau Tepung

4. Zeolit Zeolit olahan KTK > 80 meq/100 g

5. Bentonit Bentonit olahan a. Bleaching power > 70% ; atau b. Specific Surface Area > 150 m2/g; atau c. Konduktivitas > 300 µS/cm.

6. Silika (Pasir Kuarsa) Outlet, gravel pack sand, molding sand, resin coated sand, low iron silica sand, white silica

a. SiO2 > 80% dalam bentuk cullet; b. Gravel Pack Sand:

1) Silikon Oksida, SiO2 > 98,5%; 2) Roundness > 60%; 3) Spherecity > 70%; 4) kelarutan dalam asam khlorida < 1,3%; dan 5) mampu pecah pada tekanan 5.000 psi, fraksi ukuran:

- 30+50 mesh < 12,8%; atau

- 30+70 mesh < 5,2%; atau

- 40+70 mesh < 8,7%. c. Molding Sand

1) Silikon Oksida, SiO2 > 90 %; 2) lolos saringan 30 mesh > 90%; 3) Clay Content < 0,20 %; 4) Kadar air < 1 %; dan 5) Roundness > 50 %

d. Resin Coated Sand 1) Bending Strength > 45 Kg/m2; 2) lolos saringan 30 mesh > 90%; 3) Kadar air < 0,20 %; 4) Loss On Ignition (LOI) < 2 %; dan 5) Resin Content > 1,20 %

e. low iron silica sand 1) Silikon Oksida, SiO2 > 99,5%; dan 2) Besi Oksida, Fe2O3 < 120 ppm

f. White Silica 1) Silikon Oksida, SiO2 > 95%; 2) Natural Whiteness > 85% atau melalui uji Calcination ( 700°C ) Whiteness > 90%; dan 3) Lolos saringan 16 mesh.

7. Kalsit (Batu Kapur/ Gamping)

a. Kapur tohor Kalsium Oksida, CaO > 96%

b. kapur padam Kalsium Hidroksida, Ca(OH)2 > 70%

236

No. Komoditas Produk Batasan Minimum

c. batu kapur giling Ukuran butir lolos saringan 1000 mesh > 80%

d. kalsium karbonat presipitat Kalsium Karbonat, CaCO3 > 98% dan berat jenis < 0,7 g/cc.

8. Felspar Felspar olahan a. Kalium Oksida dan Natrium Oksida (K2O + Na2O) > 10%; dan b. Besi Oksida, Fe2O3 < 1%.

9. Intan Permata, logam Au, logam Ag a. Intan; b. Logam Emas, Au > 99%; dan c. Logam Platinum, Pt > 99%.

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

IGNASIUS JONAN

237

LAMPIRAN 237 PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2018 TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

BATASAN MINIMUM PENGOLAHAN KOMODITAS TAMBANG BATUAN DI DALAM NEGERI

No. Komoditas Batasan Minimum Keterangan

1. Marmer Pemotongan dan /atau pemolesan Ubin, blok, slab

2. Granit Pemilahan ukuran atau pemotongan Batu hias, ubin, slab, balok

3. Onik

4. Opal Pemolesan Batu permata

5. Giok

6. Agat

7. Topas

8. Perlit Pemanasan Perlit dengan kandungan air < 1 %

9. Obsidian Pemanasan Obsidian dengan kandungan air < 1 %

10. Toseki Pengolahan

11. Slate (Batu Sabak) Pemotongan

12. Granodiorit Pemilahan ukuran atau pemotongan

13. Gabro

14. Peridotit

15. Basalt

16. Kalsedon Pemolesan

17. Chert (Rijang)

18. Jasper

19. Krisopras

20 Garnet

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

IGNASIUS JONAN

238

LAMPIRAN IV PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2018 TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

BATASAN MINIMUM PEMURNIAN LANJUT PRODUK SAMPING ATAU SISA HASIL PEMURNIAN KOMODITAS TAMBANG MINERAL LOGAM

No. Komoditas Batasan Minimum Pemurnian Lanjut Keterangan

1. Lumpur Anoda a. Logam Emas, Au > 99%; b. Logam Perak, Ag > 99%; c. Logam Selenium, Se > 90%; d. Bullion, Pb > 90%; dan/atau e. Sisa hasil pemurnian Au, Ag, Se, dan Bullion Pb.

2. Terak dari hasil pemurnian konsentrat timah

a. Logam Timah, Sn > 99,90% b. Logam Wolfram, W > 90%; c. Talium Oksida, Ta2O5 > 90%; d. Niobium Oksida, Nb2O5 > 90%; dan/atau e. Diantimon Trioksida, Sb2O3 > 90%.

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

IGNASIUS JONAN

239

LAMPIRAN V PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2018 TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PERMOHONAN, EVALUASI, DAN PENETAPAN VERIFIKATOR INDEPENDEN

No. Kegiatan BUMN atau anak perusahaan

BUMN Direktur Jenderal a.n. Menteri

Mutu baku

Keterangan Kelengkapan/ Persyaratan

Waktu Output

1. Pengajuan Permohonan Checklist dan Dokumen Kelengkapan Persyaratan: a. Administratif; dan b. Teknis;

1 Hari Surat permohonan diajukan melalui Ruang Pelayanan Informasi dan Investasi Terpadu (RPIIT) Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara

2. Verifikasi dan Konsep Penetapan

Evaluasi Dokumen kelengkapan: a. Administratif; dan b. Teknis;

7 Hari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara

3. Penetapan Verifikator Independen

Surat Keputusan 2 Hari Surat Keputusan ditandatangani Direktur Jenderal Mineral dan Batubara a.n. Menteri

Jumlah 10 Hari

240

Keterangan:

1. Pengajuan Permohonan a. BUMN atau anak perusahaan BUMN mengajukan permohonan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Mineral

dan Batubara melalui Ruang Pelayanan Informasi dan Investasi Terpadu (RPIIT). b. Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a, petugas penerima permohonan melakukan verifikasi

terhadap dokumen kelengkapan persyaratan administratif dan teknis: 1) dalam hal terdapat kekurangan persyaratan, maka permohonan dikembalikan kepada pemohon dengan

catatan hasil verifikasi untuk dilengkapi. 2) untuk permohonan yang dikembalikan, BUMN atau anak perusahaan BUMN harus mengajukan kembali

permohonan setelah melengkapi persyaratan sesuai hasil verifikasi dengan nomor dan tanggal surat permohonan yang baru.

3) untuk permohonan yang telah memenuhi persyaratan administratif dan teknis akan diberikan tanda terima permohonan kepada BUMN atau anak perusahaan BUMN.

4) dokumen permohonan yang diterima diserahkan kepada Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral.

2. Verifikasi dan Konsep Penetapan Berdasarkan dokumen permohonan yang diterima, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral menyiapkan konsep Surat Keputusan, Nota Dinas pengantar penandatanganan Surat Keputusan oleh Direktur Jenderal a.n. Menteri.

3. Penetapan Verifikator Independen a. Surat Keputusan Penetapan Verifikator Independen ditandatangani oleh Direktur Jenderal a.n. Menteri. Surat

Keputusan yang telah ditandatangani dilakukan penomoran dan penanggalan sesuai dengan tata naskah dinas, asli untuk pemohon dan salinan untuk arsip dan tembusan.

b. Surat Keputusan disampaikan kepada pemohon. Persyaratan Administratif dan Teknis:

1. Persyaratan Administratif

a. akta pendirian perusahaan dan perubahannya yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang;

b. fotokopi tanda daftar perusahaan; dan

c. fotokopi nomor pokok wajib pajak.

2. Persyaratan Teknis

a. Melampirkan:

1) sertifikat badan usaha jasa konstruksi terintegrasi untuk konstruksi manufaktur dan sertifikat badan usaha jasa pelaksana untuk konstruksi bangunan industri; atau

2) sertifikat badan usaha jasa perencanaan dan pengawas konstruksi bangunan gedung dan sertifikat badan usaha jasa pengawas pekerjaan konstruksi dan instalasi proses dan fasilitas industri, dari lembaga pengembangan jasa konstruksi.

b. berpengalaman dalam pelaksanaan manajemen proyek atau konsultan pengawasan pelaksanaan engineering, procurement, and construction paling sedikit 5 (lima) tahun, dibuktikan dengan daftar proyek yang pernah ditangani;

c. memiliki petugas verifikator dengan kualifikasi tenaga ahli sebagai berikut:

1) paling sedikit 10 (sepuluh) orang ahli manajemen proyek dengan pengalaman sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dalam bidang proyek engineering, procurement, and construction, serta mampu mengoperasikan tools project control (microsoft project/primavera) dan memiliki sertifikat manajemen proyek;

2) paling sedikit 2 (dua) orang ahli pirometalurgi dengan pengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dalam proyek metalurgi pada reaksi kimia suhu tinggi; dan

3) paling sedikit 2 (dua) orang ahli hidrometalurgi dengan pengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dalam proyek metalurgi dengan menggunakan larutan kimia di dalam air, yang dibuktikan dengan daftar tenaga ahli yang dilengkapi dengan daftar riwayat hidup.

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

IGNASIUS JONAN

241

LAMPIRAN VI PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2018 TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

KRITERIA PELAKSANAAN VERIFIKASI RENCANA PEMBANGUNAN FASILITAS PEMURNIAN A. Kriteria Pelaksanaan Verifikasi

1. Nama Perusahaan : ... 2. Jenis Perizinan : ... 3. Nomor SK : ... 4. Tanggak SK : ... 5. Komoditas : ... 6. Lokasi : ...

No. ASPEK YANG DIEVALUASI KRITERIA KELENGKAPAN

1. Entitas Pembangun Cukup Jelas Cukup Jelas

2. Lokasi Terdapat informasi lokasi yang dibuktikan dengan bukti penguasaan wilayah yang akan digunakan untuk membangun fasilitas pemurnian (SK IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, atau IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian) atau perjanjian sewa lahan antara pemilik lahan dengan pemohon apabila bukan milik sendiri.

3. Pemilihan Teknologi Mencantumkan informasi mengenai teknologi proses yang digunakan, serta bagi yang sedang membangun fasilitas pemurnian paling sedikit dilengkapi informasi mengenai penawaran dari

teknologi provider, EPC contractor, dan supplier peralatan.

4. Kriteria Desain Pabrik Menampilkan informasi kriteria desain pabrik paling sedikit: 1) Kapasitas input pabrik harus sesuai dengan penawaran dari

teknologi provider, EPC contractor, dan supplier peralatan;

2) Karakteristik umpan proses yang dinyatakan dalam sertifikat analisis oleh laboratorium yang terakreditasi;

3) Karakteristik produk harus memenuhi batas minimum pengolahan dan pemurnian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;

4) Deskripsi dan tahapan proses dalam bentuk bagan alir; 5) neraca massa dalam bentuk bagan alir; 6) neraca panas dalam bentuk bagan alir; 7) daftar peralatan utama dan peralatan pendukung yang dilengkapi

dengan spesifikasi serta kapasitas; dan

8) plant lay out yang memuat informasi batas-batas (boundary) fasilitas utama dan fasilitas pendukung pabrik.

5. Utilitas Menampilkan informasi utilitas yang terkait langsung dengan proses utama dalam bentuk bagan alir dan daftar peralatan pendukung yang dilengkapi dengan spesifikasi serta kapasitas utilitas pabrik yang meliputi:

1) Air Industri (water balance atau water treatment plant); 2) Gas Industri (oksigen, nitrogen, argon, atau hidrogen);

3) Waste treatment; dan

4) Power generating;

6. Infrastruktur Pendukung (Offsite battery limit)

Menampilkan informasi infrastruktur pendukung yang berhubungan langsung dengan proses utama yang meliputi: 1) Pelabuhan; dan 2) Jalan.

7. Nilai Investasi (CAPEX) Menampilkan informasi biaya-biaya pembangunan fasilitas pemurnian dalam bentuk penawaran, kontrak, dan estimasi biaya yang wajar yang meliputi:

1) Persiapan Awal (Preliminary);

2) Persiapan Proyek (Project preparation); 3) Pelaksanaan Proyek (Insite battery limit project

execution); 4) Utilitas;

242

No. ASPEK YANG DIEVALUASI KRITERIA KELENGKAPAN

5) Infrastruktur Pendukung (Offsite battery limit); dan

6) Commissioning and start up. 8. Jadwal Pembangunan Menampilkan informasi Jadwal pembangunan paling sedikit:

1) Deskripsi kegiatan dan subkegiatan yang akan dilaksanakan; 2) Bobot kegiatan yang ditentukan berdasarkan biaya tiap kegiatan

dan subkegiatan;

3) Timeline kegiatan berisikan informasi jangka waktu dan target

yang akan dicapai sesuai dengan kewajaran serta ditampilkan dalam bentuk kurva S;

4) Pencapaian kegiatan dipersentasikan dengan akumulasi tiap kegiatan setiap bulannya berdasarkan pekerjaan yang sudah

selesai (milestone); dan

5) Pembobotan untuk fasilitas pendukung maksimal 20% (dua puluh persen) dari total kegiatan.

B. Format Jadwal Pembangunan Fasilitas Pemurnian di dalam Negeri

No. Uraian Kegiatan Biaya* %Weight

Factor Status Kemajuan Fisik (Milestone)

Bulan ke-1

Bulan ke-2

Bulan ke-3

Bulan ke-n

1. Kegiatan X

- sub kegiatan X1

A1 A1/total plan % D1 D2 D3

actual %

- Sub Kegiatan X2 - Sub Kegiatan X3

A2

A2/total

plan % E1 E2 E3

actual %

A3 A3/total plan % F1 F2 F3

actual %

2. Kegiatan Y

- Sub Kegiatan Y1

B1 B1/total plan % G1 G2 G3

actual %

- Sub Kegiatan Y2

B2 B2/total plan % H1 H2 H3

actual %

- Sub Kegiatan Y3

B3 B3/total plan % I1 I2 I3

actual %

n dst

TOTAL

plan %

actual

Keterangan: A1, A2, A3, dst Biaya sub kegiatan X1, X2, X3, dst B1, B2, B3, dst Biaya sub kegiatan Y1, Y2, Y3, dst D1, D2, D3, dst Rencana kemajuan fisik untuk sub kegiatan X1, X3, dst pada suatu bulan E1, E2, E3, dst Rencana kemajuan fisik untuk sub kegiatan Y1, Y2, Y3, dst pada suatu bulan

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

IGNASIUS JONAN

243

LAMPIRAN VII PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2018 TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

LAPORAN HASIL VERIFIKASI RENCANA PEMBANGUNAN FASILITAS PEMURNIAN Laporan Hasil Verifikasi Rencana Pembangunan Fasilitas Pemurnian disusun sesuai dengan sistematika: Surat Pernyataan Kebenaran dan Bertanggung Jawab Penuh atas Hasil Verifikasi yang ditandatangani oleh Ketua Tim Verifikasi Profil Anggota Tim Verifikasi Laporan Hasil Verifikasi: BAB I Summary Rencana Pembangunan BAB II Entitas Pembangun BAB III Lokasi BAB IV Pemilihan Teknologi BAB V Kriteria Desain Pabrik, Utilitas, dan Infrastruktur Pendukung (Offsite battery limit)

5.1. Kriteria Desain Pabrik a. Kapasitas input Pabrik b. Karakteristik Umpan Proses c. Karakteristik Produk d. Deskripsi dan Tahapan Proses e. Neraca massa f. Neraca panas g. Daftar peralatan utama dan peralatan pendukung h. Plant lay out

5.2. Utilitas : a. Air Industri (water balance atau water treatment plant) b. Gas Industri (oksigen, nitrogen, argon, atau hidrogen) c. Waste treatment d. Power generating

5.3. Infrastruktur Pendukung (offsite battery limit) a. Pelabuhan b. Jalan

BAB VI Nilai Investasi (CAPEX) dan Jadwal Pembangunan 6.1. Biaya Investasi

a. Persiapan Awal (Preliminary); b. Persiapan Proyek (Project preparation); c. Pelaksanaan Proyek (Insite battery limit project execution); d. Utilitas; e. Infrastruktur Pendukung (Offsite battery limit); dan f. Commissioning and start up.

6.2. Jadwal Pembangunan a. Deskripsi Kegiatan dan Subkegiatan b. Bobot Kegiatan c. Timeline Kegiatan d. Pencapaian kegiatan e. Pembobotan untuk fasilitas pendukung

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

IGNASIUS JONAN

244

LAMPIRAN VIII PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2018 TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

VERIFIKASI KEMAJUAN FISIK PEMBANGUNAN FASILITAS PEMURNIAN A. Kriteria Pelaksanaan Verifikasi

1. Nama Perusahaan : ... 2. Jenis Perizinan : ... 3. Nomor SK : ... 4. Tanggal SK : ... 5. Komoditas : ... 6. Lokasi : ...

No. ASPEK YANG DIEVALUASI KRITERIA KELENGKAPAN

1. Summary Mencantumkan summary kemajuan fisik pembangunan

fasilitas pemurnian

Ada/Tidak Ada, (jelaskan)

2. Realisasi Kemajuan Pembangunan Fasilitas Pemurnian

Mencantumkan realisasi biaya dan kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian dalam bentuk tabel yang mencantumkan plan dan actual dari uraian kegiatan- kegiatan beserta grafik realisasi kemajuan fisik pembangunan

3. Hasil Verifikasi Mencantumkan hasil dari verifikasi terhadap kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian yang meliputi antara lain:

a. Persiapan Awal (Preliminary) b. Persiapan Proyek (Project preparation) c. Pelaksanaan Proyek (Insite battery limit project

execution)

d. Utilitas

e. Infrastruktur Pendukung (Offsite battery limit) f. Commissioning and start up

g. Serah terima

B. Perhitungan Realisasi Fisik Pembangunan Fasilitas Pemurnian

Verifikasi kemajuan fisik didasarkan pada kemajuan fisik fasilitas pemurnian yang divalidasi dengan pencapaian kegiatan baik berupa dokumen atau bukti fisik kegiatan pembangunan fasilitas pemurnian, dengan ketentuan sebagai berikut:

No. Capaian Kegiatan Nilai (Score)

1. In-progress 0

2. Selesai 100

Contoh Perhitungan Perbandingan Progress Rencana dengan Realisasi Fisik Pembangunan Fasilitas Pemurnian: Contoh 1: PT. ABC memiliki rencana awal (preliminary), sejak awal project sudah memiliki Feasibility Study agar progress dan perencanaan pembangunan fasilitas permurnian berjalan sesuai rencana (plan).

Pada saat dilakukan verifikasi dokumen pada bulan ke 6, status dan hasil penilaian progressnya sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut:

245

Dari tabel diatas, berdasarkan hasil verifikasi untuk subkegiatan rencana awal (preliminary) menunjukkan statusnya telah selesai dan progress dinyatakan 100%. Contoh 2: PT. ABC memiliki rencana membangun fasilitas sintering pada salah satu proses di fasilitas pemurniannya.

Pada saat dilakukan verifikasi dokumen dan verifikasi kemajuan fisik pada bulan ke 6, status dan hasil penilaian progressnya sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut:

Dari tabel diatas, berdasarkan hasil verifikasi, progress pekerjaan pondasi Sintering lebih cepat daripada rencana perusahaan, stasus selesai dan progress dinyatakan 100% untuk sub-kegiatan tersebut. Sedangkan untuk peralatan/equipment sinteringnya sendiri belum selesai, sehingga progress dinyatakan 0%. Perlu diperhatikan bahwa untuk kegiatan/fasilitas sintering machine, kegiatan tersebut dipecah menjadi pondasi dan peralatan sintering itu sendiri, begitu juga peralatan sintering dipecah lagi ke sub-sub kegiatan agar dapat mencerminkan progress fisik sebenarnya. Contoh 3: PT. ABC memiliki rencana membangun fasilitas sintering pada salah satu proses di fasilitas pemurniannya, rencananya pada bulan ke 12 sebagaimana di bawah.

Pada saat dilakukan verifikasi dokumen dan verifikasi kemajuan fisik pada bulan ke 12, status dan hasil penilaian progressnya sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut:

246

Dari tabel diatas, berdasarkan hasil verifikasi, peralatan/ equipment sintering-nya belum selesai, sehingga progress dinyatakan 0%. Untuk menggambarkan progress lebih akurat, dilakukan pula verifikasi pada sub-kegiatan lebih detailnya, meliputi: a. Fabrication

Untuk fabrikasi sudah selesai, sehingga progress dinyatakan 100% untuk sub-kegiatan tersebut.Nilai ini menyumbang 4.65 atau 55% dari total peralatan sintering itu sendiri.

b. Delivery Untuk delivery juga sudah berada di lokasi fasilitas pemurnian sehingga status sudah selesai, progress dinyatakan 100% untuk sub-kegiatan tersebut. Nilai ini menyumbang 0.85 atau 10% dari total peralatan sintering itu sendiri.

c. Erection Untuk Erection masih belum selesai, sehingga progress dinyatakan 0%. Berdasarkan bobot hasil penilaian untuk kegiatan sintering machine secara kumulatif mencapai sebesar 65% (bobot hasil penilaian 5,5 dibagi dengan bobot rencana 8,45).

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

IGNASIUS JONAN

247

LAMPIRAN IX PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2018 TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

LAPORAN HASIL VERIFIKASI KEMAJUAN FISIK PEMBANGUNAN FASILITAS PEMURNIAN Laporan Hasil Verifikasi Kemajuan Fisik Pembangunan Fasilitas Pemurnian disusun sesuai dengan sistematika: Surat Pernyataan Kebenaran dan Bertanggung Jawab Penuh atas Hasil Verifikasi yang ditandatangani oleh Ketua Tim Verifikasi Tanggal Pelaksanaan Verifikasi Profil Anggota Tim Verifikasi Laporan Hasil Verifikasi: BAB I Gambaran Singkat Kemajuan Pembangunan BAB II Realisasi Serapan Biaya dan Kemajuan Fisik Pembangunan

a. Persiapan Awal (Preliminary) b. Persiapan Proyek (Project preparation) c. Pelaksanaan Proyek (Insite battery limit project execution) d. Utilitas e. Infrastruktur Pendukung (Offsite battery limit) f. Commissioning and start up g. Serah terima

BAB III Hasil Verifikasi Kemajuan Pembangunan Lampiran Dokumentasi Lapangan

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

IGNASIUS JONAN

248

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2018

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 25 TAHUN 2018 TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN

BATUBARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha serta menjamin iklim usaha yang kondusif, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2018 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara

249

Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6186);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5142);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5276);

9. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2015 tentang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 132) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 105 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2015 tentang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 289);

10. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 782);

11. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 595);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 25 TAHUN 2018 TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.

Pasal I

Beberapa Ketentuan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 595) diubah sebagai berikut:

1. Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 43A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43A

Dalam rangka menjamin efektivitas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan Mineral dan Batubara serta menjamin iklim usaha yang kondusif, Menteri dapat menetapkan ketentuan lain bagi pemegang IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan operasi dari KK atau PKP2B, dengan mempertimbangkan:

a. skala investasi;

250

b. karakteristik operasi;

c. jumlah produksi; dan/atau

d. daya dukung lingkungan.

2. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 51

(1) Pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 kepada pemegang IUP Operasi Produksi dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, hanya dapat diberikan dengan ketentuan:

a. kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian paling sedikit telah menyelesaikan seluruh tahapan kegiatan persiapan awal proyek meliputi Studi Kelayakan, izin lingkungan, dan penguasaan lahan serta tahapan kegiatan persiapan proyek meliputi desain awal (basic design), gambar kerja detil (detail engineering design), dan persiapan tapak (site preparation) pada tahun 2018;

b. kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian paling sedikit telah menyelesaikan tahapan kegiatan persiapan awal proyek dan tahapan kegiatan persiapan proyek serta telah memasuki tahapan kegiatan pelaksanaan proyek meliputi pengadaan dan konstruksi pada tahun 2019;

c. kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian paling sedikit telah menyelesaikan tahapan kegiatan persiapan awal proyek, tahapan kegiatan persiapan proyek, dan seluruh tahapan kegiatan pelaksanaan proyek meliputi pengadaan dan konstruksi pada tahun 2020; dan

d. kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian paling sedikit telah menyelesaikan tahapan kegiatan persiapan awal proyek, tahapan kegiatan persiapan proyek, dan seluruh tahapan kegiatan pelaksanaan proyek, serta telah memasuki tahapan kegiatan commissioning and start up pada tahun 2021.

(2) Pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 kepada pemegang IUPK Operasi Produksi mineral logam dan pihak lain hanya dapat diberikan apabila kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian telah memenuhi tingkat kemajuan sesuai dengan rencana pembangunan fasilitas pemurnian yang telah diverifikasi oleh verifikator independen.

Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 5 Desember 2018

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

IGNASIUS JONAN

251

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 6 Desember 2018

DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 1591

Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL