UNIVERSITAS INDONESIA PERAN PERBANKAN SYARI'AH ...

187
UNIVERSITAS INDONESIA PERAN PERBANKAN SYARI’AH DALAM PENGELOLAAN WAKAF UANG TESIS MOH. ANIQ KAMALUDDIN NIM:1206183905 F A K U L T A S H U K U M PROGRAM MAGISTER HUKUM HUKUM EKONOMI ISLAM J A K A R T A JULI 2 0 1 4

Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA PERAN PERBANKAN SYARI'AH ...

UNIVERSITAS INDONESIA

PERAN PERBANKAN SYARI’AH DALAM PENGELOLAAN

WAKAF UANG

TESIS

MOH. ANIQ KAMALUDDIN

NIM:1206183905

F A K U L T A S H U K U M

PROGRAM MAGISTER HUKUM

HUKUM EKONOMI ISLAM

J A K A R T A

JULI 2 0 1 4

ii

Universitas Indonesia

UNIVERSITAS INDONESIA

PERAN PERBANKAN SYARI’AH DALAM PENGELOLAAN

WAKAF UANG

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Hukum (M.H.)

MOH. ANIQ KAMALUDDIN

NIM:1206183905

F A K U L T A S H U K U M

PROGRAM MAGISTER HUKUM

HUKUM EKONOMI ISLAM

J A K A R T A

JULI 2 0 1 4

iii

Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Mohammad Aniq Kamaluddin

NPM : 1206183905

Tanda Tangan :

Tanggal : 4 Juli 2014

iv

Universitas Indonesia

HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh:

Nama : Mohammad Aniq Kamaluddin

NPM : 1206183905

Program Studi : Ilmu Hukum (Hukum Ekonomi Islam)

Judul Tesis : Peran Bank Syari’ah Dalam Pengelolaan Wakaf Uang

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima

sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister

Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas

Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Farida Prihatini, S.H., M.H., CN ( )

Penguji : Prof. Dr. Uswatun Hasanah ( )

Penguji : Neng Djubaedah, S.H., M.H, Ph.D. ( )

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 4 Juli 2014

v

Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Swt. yang melimpahkan segala

rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang

menjadi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister di Fakultas Hukum

Universitas Indonesia. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada

baginda nabi Muhammad S.A.W, keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga

hari kiamat.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan tesis ini tidak lepas dari

peran berbagai pihak yang telah banyak memberikan bantuan, nasehat, bimbingan

dan dukungan. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih

yang tak terhingga khususnya kepada:

1. Kedua orangtuaku tercinta Hj. Siti Ma’rufah dan H. Mohammad Mathori

Choliq, kakakku tercinta Mashobihatul Lailiyah.

2. Ibu Farida Prihatini, S.H., M.H., CN. Sebagai pembimbing tesis yang telah

menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam

menyusun tesis ini.

3. Ibu Prof. Dr. Uswatun Hasanah selaku ketua peminatan Hukum Ekonomi

Islam, yang telah memberikan ilmunya bagi kami semua mahasiswa peminatan

Hukum Ekonomi Islam dan selalu mendorong kami semua untuk melanjutkan

perjuangan bliau.

4. Bapak dan Ibu Dosen peminatan Hukum Ekonomi Islam, Ibu Dr. Gemala

Dewi, S.H., LL.M., Ibu Dr. Yenni Salma Barlinti, S.H., M.H., Ibu Neng

Djubaedah, S.H., M.H., Ph.D., bapak Prof. Dr. Ahmad Sukarja, S.H., MA.,

bapak Prof. Dr. Hi. Fathurrahman Djamil, M.A., bapak Prof. Dr. Hi Rifyal

Ka’bah, M.A. (alm.), Bapak Dr. Yunus Husain, S.H., LL.M., ibu

Wirdyaningsih, S.H., M.H., bapak Dr. Miftahul Huda S.H., LL.M., bapak Dr.

Zulkarnaen Sitompul, S.H. LL.M., bapak Rifki Ismal, SE., MA., Ph.D. bapak

Heru Susetyo, S.H., LL.M, M.Si., Ph.D beserta seluruh stsf karyawan Fakultas

Hukum Univessitas Indonesia Program Pasca Sarjana yang telah memberikan

vi

Universitas Indonesia

ilmu pengetahuan dan pembelajaran berharga bagi penulis serta memberikan

kemudahan dan bantuannya selama ini

5. Seluruh kakak, teman-teman dan adik-adik mahasiswa Pasca Sarjana

Peminatan Hukum Ekonomi Islam semoga kalian selalu menjadi yang terbaik

dimanapun berada.

6. Sahabat dan Teman-teman satu perjuangan di kontrakan Utan Kayu -

Matraman, terimakasih atas kebersamaan selama ini, semoga kalian semua

sukses selalu, amiin.

7. Semua pihak yang mungkin belum saya sebutkan dan sahabat-sahabat yang

telah membantu penulis hingga terselesaikanya tesis ini, khususnya kepada

Gilang Cempaka yang selalu mengingatkan untuk makan dan tidur dan jaga

kesehatan setiap saat, semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal

atas jasa dan bantuan yang telah diberikan. Amiin

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini banyak

kekurangannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang

dapat menyempurnakan penulisan ini sehingga dapat bermanfaat dan berguna

untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Amiin.

Jakarta, 4 Juli 2014.

Penulis

(Mohammad Aniq Kamaluddin)

vii

Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS

AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertandatangan di

bawah ini:

Nama : Mohammad Aniq Kamaluddin

NPM : 1206183905

Program Studi : Ilmu Hukum (Hukum Ekonomi Islam)

Fakultas : Hukum

Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalti

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

“Peran Bank Syari’ah Dalam Pengelolaan Wakaf Uang”

Beserta perangkat yang ada (jika diperluka). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media atau

memformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan

mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya

sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada Tanggal : 10 Januari 2014

Yang Menyatakan

(Mohammad Aniq Kamaluddin)

viii

Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Mohammad Aniq Kamaluddin

NPM :1206183905

Program Studi :Ilmu Hukum (Hukum Ekonomi Islam)

Judul :Peran Bank Syari’ah dalam Pengelolaan Wakaf

Uang

Wakaf dikenal umat muslim sebagai bentuk amal jariyah yang

memiliki peran penting dalam kesejahteraan masyarakat. Salah satu

bentuk wakaf yang akhir-akhir ini mulai banyak diperkenalkan adalah

wakaf uang. Praktik wakaf uang yang terjadi di Negara-Negara Islam

menggunakan bank syari’ah sebagai pengelola wakaf uang tersebut.

Begitupun di Indonesia telah lahir undang-undang wakaf yang

memperbolehkan wakaf benda bergerak berupa uang melalui lembaga

keuangan syari’ah yang ditunjuk oleh Menteri Agama. Hal yang menjadi

pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana Peran Bank

Syari’ah Dalam Pengelolaan Wakaf Uang. Dalam penulisan tesis ini

penulis menggunakan pendekatan kepustakaan, dimana hasil dari telaah

kepustakaan diambil dari buku-buku, majalah, karya ilmiah yang ada

kaitannya dengan perbankan syari’ah dan wakaf uang, kemudian penulis

analisis dengan pembahasan wakaf uang, kemudian penulis analisis

menggunakan metode deskriptif analitik dan konten analisis. Dalam

penelitian ini penulis temukan bahwa peran bank syari’ah sangat

diperlukan dalam pengelolaan wakaf uang karena prinsip wakaf yang dana

pokoknya tidak boleh berkurang sedikitpun membutuhkan peran pengelola

yang ahli dalam hal ini bank menjadi alternatif terbaik untuk mengelola

karena jaringan kantornya yang luas, memiliki pengalaman dalam

mengelola dana sosial, memiliki kredibelitas serta telah berhubungan

dengan lembaga penjamin simpanan.

Kata Kunci: Peran Bank Syari’ah, Dalam Pengelolaan Wakaf Uang.

ix

Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Mohammad Aniq Kamaluddin

NPM :1206183905

Major Subject :Law (Islamic Economimic of Law)

Title : The Role Of Sharia Bank In Cash Waqf

Management

Endowments known to Muslims as a form of perpetual charity which has

an important role in the welfare of the community. One form of waqf lately lot of

is introduced is cash waqf. Cash waqf practice that occurs in Islamic Countries

using Shari'ah bank as manager of the cash waqf. Likewise in Indonesia has born

the law of waqf endowments that allow the moving objects in the form of money

through Shari'ah financial institution designated by the Minister of Religious

Affairs. Things that are to be issue in this study is how the role of the Sharia Bank

In management of cash waqf. In this thesis the writer uses literary approach,

where the results of the study of literature is taken from books, magazines,

scientific works related to the shariah banking and cash waqf and then the author

analyzes the discussion of cash waqf, then is analyzed using descriptive analytic

methods and content analysis. In this study the authors found that the role of

Sharia banks in management of cash waqf is very important, because the principle

of waqf that funds should not be reduced at all require skilled managers role. in

this case the bank's Shari'ah be the best alternative for managing because have

extensive office network, experience in managing social funds, credible and has

had good cooperation with the deposit insurance agency.

Keywords: Role of Sharia Bank, In the cash waqf, Management.

x

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 1 1.1. Latar Belakang............................................................................. 1 1.2. Pokok Masalah............................................................................. 5 1.3. Tujuan Penelitian.......................................................................... 5 1.4. Manfaat Penelitian........................................................................ 5 1.5 . Pembatasan Masalah..................................................................... 6 1.6 . Kegunaan Penelitian. ................................................................... 6 1.7 . Kerangka Konseptual.................................................................... 7 1.8. Kerangka Teori............................................................................. 10 1.9. Jenis Penelitian.............................................................................. 21 1.10. Pendekatan Masalah.................................................................... 21 1.11. Metode Penelitian....................................................................... 22 1.12. Tehnik Pengumpulan Data.......................................................... 25 1.13. Sistematika Penulisan................................................................. 25

BAB 2 TINJAUAN UMUM TENTANG WAKAF...................................... 27 2.1.Pengertian Wakaf........................................................................... 27 2.2.Dasar Hukum Wakaf...................................................................... 30 2.3.Fungsi dan Tujuan Wakaf.............................................................. 40 2.4.Rukun dan Syarat Wakaf............................................................... 41 2.5.Syarat Jangka Waktu Wakaf.......................................................... 49 2.6.Macam-macam Wakaf................................................................... 50 2.7.Status Harta Wakaf........................................................................ 52 2.8.Hakikat Harta Benda Wakaf.......................................................... 53 2.9.Wakaf dalam hukum Islam............................................................ 58

BAB 3 TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN SYARI’AH 62 3. 1. Sejarah Kelahiran Bank Islam..................................................... 62 3.1.1. Sejarah kelahiran Bank........................................................ 62 3.1.2. Sejarah Bank Pada Masa Rasulullah SAW.......................... 63 3.1.3. Munculnya Gagasan Bank Islam......................................... 64 3.2. Dasar hukum bank syari’ah........................................................... 68 3.2.1. Dasar hukum bank syari’ah di Indonesia............................ 76 3.2.2. Peraturan Hukum Terkait Dengan Bank Syariah di

Indonesia............................................................................ 76 3.2.3. Peraturan-peratran Terkait Hukum Positif Bank Umum

Syari’ah.............................................................................. 79 3.3. Pengertian Bank Syari’ah.............................................................. 80 3.4. Akad-Akad Yang Dipergunakan Dalam Perbankan

Syari’ah.......................................................................................... 89 1. Akad Mudharabah................................................................. 88 2. Akad Musyarakah.................................................................. 89 3. Akad Wadi’ah (Simpanan Murni) ........................................ 89 4. Akad At-Tijarah (Jual Beli) .................................................. 90 3.5. Rukun dan Syarat Dalam Perbankan Syari’ah.............................. 91 3.6. Prinsip Hukum Perbankan Syari’ah.............................................. 92

xi

Universitas Indonesia

3.7. Tujuan Perbankan syariah............................................................. 93 3.8. Ciri-Ciri bank Syari’ah dan perbedaanya dengan bank

konvensional.................................................................................. 99 3.8.1. Ciri-ciri bank syari’ah....................................................... 100 3.8.2. Perbandingan Antara Bank Syariah Dan Bank

Konvensional..................................................................... 99 3.9. Sistem Operasional Bank Syariah.............................................. 100 3.10. Sumber-Sumber Dana Bank Syariah.......................................... 101 3.11. Fungsi Bank Syari’ah................................................................. 102 3.12. Jenis - jenis Bank Syariah........................................................... 102

BAB 4 PERAN PERBANKAN SYARI’AH DALAM PENGELOLAAN

WAKAF UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NO.41

TAHUN 2004 TENTANG WAKAF................................................. 112 4.1. Dasar Hukum Wakaf Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun

2004 Tentang Wakaf...................................................................... 112 4.2. Peraturan Pengelolaan Wakaf Uang Oleh Bank Syariah

Menurut Undang-Undang Wakaf................................................... 118 4.3. Beberapa Akad Syari’ah Yang Digunakan Dalam Pengelolaan

Wakaf Uang Agar Dana Pokok Wakaf Tersebut Tidak

Berkurang....................................................................................... 123 4.3.1 Al-Mudharabah................................................................. 124 4.3.2 Al-Musyarakah................................................................. 126 4.3.3 Al-Murabahah................................................................... 127 4.3.4 Al-Ijarah ........................................................................... 128 4.4. Alternatif Peran Perbankan Syari’ah Dalam Pengelolaan Wakaf

Uang.............................................................................................. 129 4.4.1 Bank Syari’ah Sebagai Nazhir Penerima, Penyalur dan

Pengelola Dana Wakaf...................................................... 129

4.4.2 Bank Syari’ah Sebagai Nazhir Penerima dan Penyalur

Dana Wakaf...................................................................... 130 4.4.3 Bank Syari’ah Sebagai Pengelola Dana Wakaf............... 132 4.4.4 Bank Syari’ah Sebagai Kustodi........................................ 133 4.4.5 Bank Syari’ah sebagai Pelaksana Administrasi Wakaf

Uang.................................................................................. 135 4.5 Mekanisme Perlindungan Dana Wakaf Oleh Bank

Syariah........................................................................................ 137 4.5.1 Bentuk-Bentuk Perlindungan Nasabah Oleh Bank.......... 140 4.5.1.1 Perlindungan Tidak Langsung..................................... 141 4.5.1.2 Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principles)............. 141 4.5.1.3 Batas Maksimum Pemberian Kredit (“BMPK”).......... 143 4.5.1.4 Kewajiban Mengumumkan Neraca dan Perhitungan

Laba Rugi................................................................... 147 4.5.1.5 Mengadakan Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi

Bank............................................................................ 148 4.5.1.6 Melindungi Nasabah Berdasarkan Undang-Undang

Perlindungan Konsumen............................................... 148 4.6 Perlindungan Hukum Terhadap Dana Wakaf Melalui 149

xii

Universitas Indonesia

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)..................................... 4.6.1 Peranan LPS Dalam Melindungi Nasabah............................ 149 4.6.2 Pihak Yang Terlibat Dalam Lembaga Penjamin Simpanan.. 152 4.6.3 Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Lembaga Penjamin

Simpanan................................................................................ 156 4.7 Simpanan Yang Dijamin Oleh LPS.......................................... 160 4.8 Analisis Terhadap Peraturan-Peraturan Perbankan Syari’ah

Dalam Pengelolaan Wakaf Uang ............................................ 161

BAB 5 PENUTUP........................................................................................... 169 5. 1 Kesimpulan................................................................................... 169 5.2. Saran-saran.................................................................................... 170

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 172

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wakaf sudah dikenal sejak lama oleh semua peradaban manusia dan

biasanya wakaf diwujudkan dalam bentuk tempat peribadatan yang dikelola oleh

para pemuka agama.1 Hal ini diperkuat dengan pernyataan Imam Syafi‟i yang

menyatakan bahwa “wakaf merupakan ajaran umat Islam dan umat sebelumnya”.2

Wakaf mempunyai derajat khusus, karena manfaatnya sangat besar bagi

kemaslahatan umat. Maka suatu hal wajar apabila wakaf disamakan statusnya

dengan ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakan orang tuanya.

Itulah keistimewaan wakaf, yang tidak dimiliki amal ibadah lain, sebagaimana

Rasulullah S.A.W bersabda:

اهلل عه أبى ريرة أن رسول اهلل صلى

إذا مات » قال -علي وسلم

اإلوسان اوقطع عى عمل إال مه

ثالثة إال مه صدقة جارية أو علم

لح يدعو ل يىتفع ب أو ولد صا

)رواي مسلم(«.Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw

bersabda: Apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah semua amalannya

kecuali tiga, yaitu: sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat atau anak

shalih yang mendo‟akan kepadanya.” (HR. Muslim)3

1 Mundir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Jakarta: Khalifa, cet 1, 2000, hlm. 16.

2 Ibid,.

3 Ibid, hlm. 14.

1

Universitas Indonesia

Wakaf telah lama dikenal masyarakat muslim sebagai salah satu bentuk

amal jariyah yang berperan penting bagi pengembangan sosial, ekonomi dan

budaya dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu

bentuk wakaf yang akhir-akhir ini mulai banyak diperkenalkan adalah wakaf

uang. Wakaf uang sebagai salah satu alternatif atas pengentasan kemiskinan telah

diterapkan di beberapa Negara Islam. Terutama di Bangladesh4. Disana wakaf

telah dikelola oleh sebuah bank yang di kenal dengan nama (SIBL) Social

Investment Bank Limited. SIBL berperan sebagai nadzir wakaf uang yang

menerima, mengelola dan menyalurkan hasil dari investasi wakaf uang tersebut.

Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan wakaf uang

tersebut dapat dibelanjakan untuk berbagai tujuan yang berbeda seperti

pemeliharaan harta-harta wakaf itu sendiri, membangun usaha-usaha yang lebih

produktif, memberikan beasiswa, dan lain-lain. Yang paling penting wakaf uang

di Bangladesh difungsikan sebagai penghapuskan kemiskinan serta

menanggulangi keterpurukan di bidang ekonomi, bidang pendidikan, riset dan

kesehatan.5

Adanya pergeseran bentuk harta/benda wakaf menjadi lebih sederhana

seperti uang telah berdampak luas. Pergeseran itu telah mengubah pandangan dan

kebiasaan lama, di mana sebelumnya kesempatan melakukan wakaf hanya dapat

melalui asset tetap berupa tanah dan/atau bangunan. Perubahan lain adalah

pandangan lama bahwa berwakaf harus bernilai besar menjadi sirna. Dengan

bentuk uang, wakaf dapat dilakukan dengan nilai kecil tertentu, yang tentunya

menjadi lebih dapat dilakukan oleh semua golongan. Adanya dukungan

pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

yang juga mengakomodir wakaf uang, telah membuka kesempatan masyarakat di

semua golongan (tidak hanya orang kaya) untuk dapat ikut serta berwakaf.

Salah satu ciri khas wakaf uang setelah disahkannya Undang-Undang

Wakaf No. 41 tahun 2004 adalah dibentuknya Lembaga Keuangan Syariah

4 M.A. Mannan; “Sertifikat Waqf Tunai, Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam”

CIBER bekerjasama dengan PKTTI-UI, hlm: 50-51

5 Ibid.

2

Universitas Indonesia

Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU). Berdasarkan Keputusan Menteri Agama No.

92-96 Tahun 2008 dimana telah ditunjuk lima bank syariah sebagai LKS-PWU,

yaitu Bank Syariah Mandiri, Bank Muamalat Indonesia, Bank Nasional Indonesia

(BNI) Syari‟ah, Bank Mega Syari‟ah dan Bank DKI Syari‟ah dan sekarang telah

ada 11 (sebelas) LKS-PWU yang terakhir hingga penelitian tesis ini adalah Bank

Pembangunan Daerah Riau sebagai LKS-PWU berdasarkan Keputusan Menteri

Agama Rebublik Indonesia No.179 Tahun 2010. Keputusan Menteri Agama ini

sesuai dengan amanat UU No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf terutama pasal 28.6

Di Indonesia hingga saat ini yang bertanggungjawab tentang pengelolaan

wakaf adalah Badan Wakaf Indonesia (BWI), sebagaimana yang tercantum dalam

Peraturan Pemerintah No. 42 Pasal 48 ayat (1) dan ada beberapa Bank Syari‟ah

yang di tunjuk oleh Menteri sebagai Lembaga Keuangan Syari‟ah Penerima

Wakaf Uang (LKS-PWU). Dipilihnya beberapa bank syari‟ah sebagai penerima

wakaf uang tersebut memang telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 42

Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang

Wakaf, karena untk mengelola harta wakaf yang tidak boleh berkurang sedikitpun

itu diperlukan peran pihak-pihak yang ahli mengelola uang tersebut, sehingga

nadzir dalam hal ini BWI (badan Wakaf Indonesia) bekerja sama dengan beberapa

bank syari‟ah yang ditunjuk sebagai LKS-PWU untuk turut mengembangkan

harta wakaf tersebut, namaun perlu digaris bawahi bahwa LKS-PWU tersebut

hanya sebagai penitipan bukan pengelola. hal ini sebagaimana yang dimaksud

oleh Pasal 28 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dimana Wakif dapat

mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui Lembaga Keuangan Syari‟ah

yang di tunjuk oleh Menteri Agama.

Beberapa alasan dipilihnya bank syari‟ah sebagai LKS-PWU tersebut

adalah karena dipandang memiliki beberapa keunggulan, antara lain:7

6 Undang-Undang No.41 Tahun 2004 Pasal 28: Wakif dapat mewakafkan benda bergerak

berupa uang melalui lembaga keuangan syari‟ah yang ditunjuk oleh Menteri.

7 Ahmad Furqon “Praktik Wakaf Uang Di Bank Syari‟ah Mandiri” Jurnal IAIN Walisongo

Semarang, 2010,

3

Universitas Indonesia

1. Jaringan kantor cabang yang tersebar di seluruh Provinsi, Kabupaten

maupun Kota. Dengan relatif luasnya jaringan kantor perbankan

diharapkan akan lebih mengefektifkan sosialisasi wakaf uang kepada

masyarakat, sehingga penggalangan dana wakaf menjadi lebih optimal

dan juga membantu efektifitas dan efisiensi penyampaian dana wakaf

kepada al-mauquf alaih (penerima wakaf).

2. Lembaga perbankan merupakan lembaga yang memiliki pengalaman

dalam mengelola dana masyarakat dan juga berpengalaman sebagai

lembaga perantara. Dengan pengalaman tersebut, apabila bank syariah

diamanatkan untuk membantu memaksimalkan wakaf uang tentunya

hal itu akan bisa terwujud.

3. Pengalaman jaringan informasi dan peta distribusi sebagai pengelola

dana untuk disalurkan kepada pihak tertentu, lembaga perbankan

memiliki akses informasi yang cukup dan peta distribusi yang jelas

kemana dana-dana tersebut akan disalurkan. Dalam praktek

operasional selanjutnya, ketiga hal tersebut menjadi hal yang paling

perlu untuk dipertimbangkan dalam mengoptimalkan penbgelolaan

dana wakaf.8

4. Bank memiliki kredibilitas dimata masyarakat dan dikontrol dengan

perUndang-Undangan yang berlaku. Disamping itu bank Syariah

dipantau langsung oleh Dewan Pengawas Syari‟ah, sehingga dapat

lebih menjamin tentang ke-Syari‟ahan wakaf uang ini.

Tetapi berbagai keunggulan yang di miliki bank Syari‟ah sebagai LKS-

PWU tersebut ternyata belum mampu menjawab keinginan masyarakat dan tujuan

dari wakaf itu sendiri, antara lain penyebabnya adalah:

a. Status Bank Syariah LKS-PWU yang hanya sebagai “Bank Penerima”

bukan sebagai “Bank Pengelola” menjadikannya tidak terlalu aktif

dalam fundrising.dan karena yang paling merasa bertanggungjawab

terhadap fundrising tersebut adalah nadzir wakaf uang.

8 Mustofa Edwin & Uswatun Hasanah (ed), Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, Peluang

dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, (Jakarta: PSTTI-IU, 2001), hlm.105-106

4

Universitas Indonesia

b. Status Bank Syariah LKS-PWU sebagai Unit bisnis yang bekerja

untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, memandang program

wakaf uang bukanlah program yang akan mendatangkan banyak

keuntungan sehingga terkalahkan dengan produk lainnya yang lebih

mendatangkan banyak keuntungan.

c. Belum ada divisi khusus yang mengurus masalah wakaf uang di Bank

Syariah LKS-PWU.9

Oleh karena itu menurut hemat peneliti Indonesia sudah saatnya

memiliki “Bank Syari‟ah sendiri sebagai Nadzir wakaf Uang” seperti

negara Bangladesh yang mampu menjadi alternatif untuk mengentaskan

kemiskinan dan menanggulangi krisis. Karena pengelolaan wakaf uang

seperti didalam Undang-Undang No.41 Tahun 2004 menentukan bahwa

ada tiga pihak yang terkait dengan pengelolaan wakaf uang di Indonesia

yaitu LKS sebagai lembaga penghimpun dana, BWI sebagai pihak yang

melakukan pengelolaan dan pengembangan wakaf, dan nazhir sebagai

pengelola wakaf uang. Ternyata melalui mekanisme pengelolaan seperti

ini, potensi pengelolaan wakaf di Indonesia belum optimal, pengelolaan

dana wakaf yang dilakukan oleh banyak pihak mengakibatkan mekanisme

berwakaf dan pengembangannya menjadi lama dan rumit. LKS-PWU yang

statusnya hanya sebagai bank kustodi (penitipan), membuat keunggulan-

keunggulan yang dimilikinya belum berjalan secara maksimal karena

hanya sebagai tempat penitipan dan bukan sebagai pihak pengelola harta

wakaf.

Untuk mengoptimalkan wakaf uang tersebut, bank wakaf nantinya

diharuskan berhubungan dengan Lembaga Penjamin Syari‟ah agar dana

pokok wakaf tersebut tidak berkurang sedikitpun sebagaimana konsep

wakaf dalam hadis Rasulullah S.A.W. Namun untuk mewujudkan itu

semua tidak mudah, perlu adanya payung hukum dan kemauan keras

9 Ahmad Furqon, Praktik Wakaf Uang Di Bank Syari‟ah Mandiri, Jurnal IAIN Walisongo

Semarang, 2010,

5

Universitas Indonesia

(political will) dari pemerintah. Maka dari itu peneliti ingin merumuskan

pokok masalah dalam tesis ini sebagai berikut:

1.2. Pokok Masalah

Dari dasar pemikiran di atas maka dapat ditarik pokok masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah peran Bank Syari‟ah dalam pengelolaan wakaf di

Indonesia?

2. Bagaimana cara Bank Syari‟ah memilih akad syari‟ah untuk

menghindarkan berkurangnya jumlah dana pokok wakaf uang dan

dana tersebut tetap bermanfaat secara produktif?

3. Bagaimana cara Bank Syari‟ah dan Lembaga Penjamin Simpanan

menjamin keutuhan wakaf uang agar dana pokok wakaf uang tersebut

tidak berkurang sedikitpun?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok masalah diatas maka peneliti dalam tesis ini memiliki

tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahi bagaimana peran Bank Syari‟ah sebagai nadzir wakaf uang

di Indonesia

2. Mengetahui akad apasaja yang dapat digunakan oleh Bank Syariah

dalam mengelola wakaf uang ini, sehingga dana pokok wakaf tidak

berkurang sedikitpun sesuai konsep wakaf dan dana wakaf tetap

berjalan produktif.

3. Mengetahui bagaimana mekanisme bank Syari‟ah dan Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS) menjamin keutuhan wakaf uang agar dana

pokok wakaf uang tersebut tidak berkurang sedikitpun

1.4. Manfaat Penelitian

6

Universitas Indonesia

Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, peneliti berharap

dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Peneliti ingin agar pembaca turut memahami peraturan-peraturan tentang

peran Bank Syariah dalam pengelolaan Wakaf Uang.

2. Dengan mengetahui peraturan tentang boleh atau tidaknya Bank Syariah

menjadi Nadzir Wakaf Uang di Indonesia, maka peneliti ingin turut

mensosialisasikan aturan tersebut kepada masyarakat luas.

3. Dengan mengetahui apa saja akad yang digunakan oleh Bank Syariah

dalam mengelola wakaf uang maka peneliti ingin memberikan sumbangsih

saran dan kritik kepada pelaksanaan wakaf uang tersebut sehingga betul-

betul seperti yang dikehendaki syari‟ah.

4. Ingin mengetahui bagaimana mekanisme perlindungan dana pokok wakaf

uang oleh Bank Syariah dan Lembaga Penjamin Simpanan.

1.5 Pembatasan Masalah

Wakaf mempunyai ruang lingkup yang sangat luas sehingga

penelitian ini perlu dibatasi dalam hal-hal yang berkaitan dengan prinsip

umum wakaf dalam al-Qur‟an, as-Sunnah, pendapat fuqoha, peraturan

perUndang-Undangan yang berlaku di Indonesia. Berhubung peran bank

syari‟ah juga memiliki cakupan yang luas maka berkaitan dengan tesis ini

peneliti membatasi untuk peran bank syari‟ah sebagai pengelola wakaf

uang. Secara lebih rinci peneliti akan membahas mengenai peran

perbankan syariah sebagai pengelola wakaf uang di Indonesia

1.6 Kegunaan Penelitian

1. Dalam penelitian ini peneliti berharap hasil penelitian ini mampu

memberikan masukan bagi hukum Islam di Indonesia khususnya tentang

Hukum yang berkaitan dengan Pengelolaan Wakaf Uang.

2. Peneliti juga berharap agar penelitian ini dapat memberi informasi kepada

pembaca agar lebih memahami tentang peraturan serta praktik pengelolaan

wakaf uang di Indonesia.

7

Universitas Indonesia

1.7 Kerangka Konseptual

Secara bahasa wakaf berasal dari bahasa arab al-waqf bentuk masdar dari

kata waqafa-yaqifu-wakfan10

. Kata al-Waqf semakna dengan kata al-Habs

bentuk masdar dari kata habasa-yahbisu-habsan artinya menahan.11

Berbagai

pengertian wakaf diatas dapat disimpulkan bahwa al-Habs maupun al-Waqf

sama sama mengandung makna menahan, mencegah atau melarang dan diam.

Dikatakan menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan

semua tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. dengan kata yang

lebih sederhana dapat diartikan sebagai “ditahan pokoknya dan dimanfaatkan

hasilnya dijalan Allah S.W.T.12

Definisi lain yang lebih sederhana diberikan oleh Kompilasi Hukum Islam

(KHI), wakaf adalah perbuatan hukum seorang atau sekelompok orang atau

badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan

melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau

kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.13

dalam pasal 1 ayat

(1) Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang wakaf menyebutkan bahwa

wakaf adalah perbuatan hukm wakif untuk memisahkan dan atau

menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya

atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna

keperluan ibadah dan atau kesejahtraan umum menurut syari‟ah.14

10

A.W.Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya:Pustaka

Progressif, Cet.Ke-14, 1997, hlm, 1576.

11 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 3, Beirut: Daar Al-Fikr, t.th,hlm, 515

12 Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, Yogyakarta: Cakrawala, 2006,

hlm.60.

13 Mahkamah Agung, Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (1).

14 Indonesia Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 1 ayat (1)

8

Universitas Indonesia

Substansi yang terkandung dalam ajaran wakaf adalah adanya semangat

penegakan keadilan sosial melalui pendarmaan harta untuk kepentingan umum

walaupun wakaf merupakan amal kebajikan yang bersifat anjuran, tetapi daya

dorong untuk menciptakan pemerataan kesejahtraan sangat tinggi. Prinsip

dasar wakaf yang bertujuan menciptakan keadilan sosial merupakan

implementasi dari sistem ekonomi yang mendorong dan mengakui hak milik

indifidu dan masyarakat secara seimbang.15

Asas kemanfaatan suatu benda menjadi landasan yang paling relevan

dengan keberadaan benda itu sendiri. Lebih-lebih ibadah wakaf menurut para

ulama dikatagorikan sebagai amal ibadah shadaqoh jariah yang memiliki

pahala yang erus mengalir walaaupun yang melakukan telah meninggal dunia.

Sebagai objek wakaf, harta benda yang diwakafkan tersebut dapat dipandang

sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:16

1. Benda harus memiliki nilai guna. Wakaf adalah mengambil manfaat benda

yang diwakafkan serta mengharap pahala atau keridhaan Allah SWT atas

perbuatan tersebut. Tidaksah mewakafkan benda yang tidak boleh diam bil

manfaatnya sepwrti mewakafkan benda-benda memabukkan dan benda-

benda haram lainnya.

2. Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik sempurna (al-mil

at-tam) dari orang yang mewakafkan ketika terjadi akad wakaf. oleh

karenanya jika seorang mewakafkan benda yang bukan ata belum menjadi

miliknya, walaupun nantinya akan menjadi miliknya maka hukumnya

tidak sah., seperti mewakafkan benda atau sejumlah uang yang masih

belum di-undi dalam arisan, mewakafkan tanah yang masih dalam

sengketa atau masih menjadi jaminan dalam akad jual beli.

3. Benda yang diwakafkan harus diketahui ketika terjadi akad wakaf.

penetapan benda tersebut bisa ditetapkan dengan jumlahnya atau

menyebutkan dengan nisbahnya terhadap benda. Wakaf yang tidak

15

Direktorat Pemberdayaan wakaf Dirjen bimas Islam; Paradigma Baru wakaf di

Indonesia, (jakarta: Departemen Agama, 2006), hlm.90.

16 Ibid.,hlm. 40-42

9

Universitas Indonesia

menyebutkan secara jelas terhadap harta yang akan diwakafkan maka tidak

sah hukumnya seperti mewakafkan sebagian tanah.

4. Benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan. Para

fuqoha‟berbeda pendapat tentang bentuk harya yang dapat diwakafkan itu.

Ulama Hanafiah berpendapat bahwa wakaf tidak dapat dilaksanakan

kecuali benda yang akan diwakafkan itu adalah harta tidak bergerak.

Dalam mazhab Hanafi dikenal dengan kaidah: “ pada prinsipnya, yang sah

diwakafkan adalah benda tidak bergerak”. Sumber kaidah ini adalah asas

paling berpengaruh terhadap wakaf , yaitu ta‟bid (tahan lama).17

Menurut Ulama yang mengikuti mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa

barang yang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya, baik

barang tidak bergerak, barang bergerak maupun barang kongsi (milik

bersama).18

Bahkan Ulama Malikiyyah menambahkan bahwa mewakafkan

dari sesuatu yang bermanfaat adalah sah hukumnya.

Hukum wakaf adalah hukum nasional yang berasal dari hukum

Islam dengan dilandasi teori tajdi, yang menyatakan bahwa hukum Islam

bersifat dinamis, terhadapnya selalu diadakan tajdid atau pembaharuan.

Pembaharuan dalam hukum Islam dilakukan dengan melalui metode

ijtihad yaitu berusaha sungguh-sungguh untuk menemukan hukum.19

Salah satu pembaharuan wakaf adalah perubahan ruang lingkup

substansi yang diatur dalam Undang-Undang No. 41/2004 tentang wakaf.

dalam Undang-Undang ini objek wakaf tidak hanya terbatas pada wakaf

tanah milik, akan tetapi wakaf benda bergerak atau uang juga telah

diperbolehkan.

Menurut departemen Agama Rebublik Indonesia (2006) bahwa

Pengelolaan wakaf produktif tidak lepas dari peran Nadzir (pengelola

wakaf). dari segi ekonomi tanah yang sangat luas berpotensi secara

17

Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam, Fiqh Wakaf (jakarta: Departemen

Agama, 2006), hlm.31

18 Ibid., hlm.32

19 Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahtraan Umat, cet-1 (Yogyakarta: PT. Dana Bakti

Prima Yasa, 2002), hlm.75.

10

Universitas Indonesia

produktif sudah sangat banyak. Banyak tanah wakaf dibangun menjadi

masjid atau musholla dan bila bila kita berfikir secara produktif, sisa tanah

itu dapat di bangun untuk apartemen, toko, kiyos, kontrakan dan lain

sebagainya untuk disewakan, kemudian hasil dari penyewaan tersebut

dapat dipergunakan untuk memelihara masjid atau musholla tersebut.

Sehingga tidak perlu sumbangan dari donatur. Atau misalnya ada tanah

yang letaknya sangat setrategis, tanah itu dapat di jadikan ruko atau hotel

yang kemudian hasilnya ditasyarufkan untuk mengentaskan kemiskinan.

Tetapi untuk mewujudkan itu semua tidak mudah, membutuhkan

modal besar, sehingga dengan adanya wakaf uang maka akan menjadi

solusi untuk memprouktifkan tanah-tanah yang masih belum produktif

tersebut.

Undang-unbdang tentang wakaf uang lahir dilatarbelakangi adanya

gagasan wakaf uang tunai oleh Prof. M.A. Manan seorang Ekonom asal

Bangladesh. Bermula dari gagasan tersebut, kemudian Direktorat

pengembangan Zakat dan Wakaf Departemen Agama Rebublik Indonesia

mengirimkan surat permohonan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI)

untuk mengeluarkan fatwa wakaf uang. Sehingga keluarlah fatwa MUI

tentang wakaf uang yang hukumnya jawaz (boleh). Wakaf uang sangat

berperan dalam masyarakat jika nadzir mampu mengelola dengan

maksimal.

Dengan demikian agar uang hasil wakaf dapat berfungsi secara

produktif harus di kelola oleh orang yang betul-betul ahli, dalam hal ini

Bank syari‟ah adalah salah satu alternatif untuk mengelola wakaf uang

tersebut.

1.8. Kerangka Teori

Keadilan sosial adalah realitas sosial dimana setiap anggotanya memiliki

kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh dan belajar hidup pada

kemampuan aslinya.20

Dalam pengertian seperti itu, keadilan sosial sangat

ditekankan oleh al-Qur‟an. Dalam al-Qur‟an, keadilan yang terkait dengan makna

20 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 8

11

Universitas Indonesia

keadilan sosial seperti di atas, paling tidak, ada tiga: dalam pengertian persamaan

sosial seperti persamaan di depan hukum, keseimbangan atau tidak adanya

ketimpangan sebagai asas alam dan sosial dan tidak adanya kezaliman sosial

(proporsional dan memberikan hak kepada pemiliknya). Dalam al-Qur‟an

dijelaskan pula bahwa keadilan, termasuk di dalamnya keadilan sosial, akan

membawa pada ketaqwaan, sementara ketaqwaan akan membawa pada

kemakmuran. Sebaliknya, ketidakadilan, termasuk di dalamnya ketidakadilan

sosial akan membawa pada kesesatan dan akan menjauhkan dari rahmat Tuhan.21

Siring dengan penekanan al-Qur‟an pada keadilan sosial di atas, secara

teoritis, dalam konteks filantropi Islam zakat, infak, sedekah dan wakaf,

kelembagaan ini meskipun bagian dari ibadah ritual kegamaan yang langsung

berhubungan dengan Tuhan, tetapi juga memiliki fungsi sosial atau bertujuan

untuk menciptakan keadilan sosial, minimal keadilan distribusi ekonomi.22

Walaupun demikian cara yang dibenarkan Islam adalah bukan cara yang

ditempuh sosialisme komunisme yang represif yang meniscayakan adanya

diktator proletariat yang totaliter, yaitu kediktatoran atas nama tujuan

menciptakan suasana ekonomi sama rata sama rasa bagi kaum tertindas. Model ini

di dunia Arab ditempuh Jamal Abd an-Nashir di Mesir pada tahun 1950-1960-an,

dengan menasionalisasi seluruh harta kekayaan wakaf.23

Menurut prespektif Islam dalam mewujudkan wakaf untuk keadilan sosial

harus diimbangi dengan prinsip sosial yang lebih sesuai dengan cara-cara

demokratis. Cara ini hampir serupa dengan model sosialisme revisionis Eduard

Bernstein (1850-1932) dan kaum Fabianisme di Inggris (1884) yang percaya pada

upaya mewujudkan keadilan sosial secara rasional dan empiris serta pembaruan

yang perlahan-lahan, tanpa kekerasan yang menyertainya.24

21

M. Quraish Shihab, Wawasan Alquran, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 110-117 dan Majid

Fachry, Etika dalam Islam, Terjemahan oleh Zakiyuddin Baidhawi dari Ethical Theories in

Islam, Yogyakarata: Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 5-9.

22 http://bwi.or.id/index.php/ar/artikel/746-wakaf-untuk-keadilan-sosial-antara-teori-dan-

praktik , Wakaf Untuk Keadilan Sosial Antara Teori dan Praktik, diakses tanggal 6 juli 2014.

23 Ian Adam, Ideologi Politik Mutakhir, Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depanya,

Terjemahan dari Political Ideology Today, Yogyakarta: Qalam, 2004, hlm. 190-192.

24 Ibid

12

Universitas Indonesia

Dalam bahasa politik Islam, keadilan sosial yang dikehendaki adalah

keadilan sosial yang diwujudkan dengan mempertimbangkan

prinsip syûra (melibatkan masyarakat/publik melalui dialog secara damai, bukan

dengan kekerasan), ijmâ‟ (konsensus, paling tidak bersama elite),

amânah (akuntabilitas, tidak adanya penyelewengan jabatan),

musâwah (persamaan antar manusia), al-„Adalah (keadilan, termasuk di dalamnya

keadilan politik (kekuasaan yang tidak terkonsentrasi pada kaum-kaum tertentu

saja), bai‟at (persetujuan dari perwakilan para elit dan/atau rakyat), dan amar

ma‟ruf nahyi munkar (konsep check and balance/kontrol terhadap pemerintah).

Tentu saja, prinsip-prinsip di atas, juga tidak boleh bertentangan dengan prinsip

penegakkan hukum.25

Selain caranya yang tidak represif, yang dikehedaki Islam juga bukan

persamaan absolut seperti sosialisme komunisme, yaitu masyarakat sama rata

sama rasa dengan tidak mengakui kepemilikan individual dan tidak

mengakui human interest untuk memperoleh keuntungan. Sehingga berkaitan

dengan tulisan ini peneliti menggunakan konsep keadilan sosial menurut Sayyed

kutub dan John Rawl yang mana menurut Sayyed Qutub, keadilan sosial dalam

Islam mempunyai karakter khusus, yaitu kesatuan yang harmoni. Islam

memandang manusia sebagai kesatuan harmoni dan sebagai bagian dari harmoni

yang lebih luas dari alam raya di bawah arahan Penciptanya. Keadilan Islam

menyeimbangkan kapasitas dan keterbatasan manusia, individu dan kelompok,

masalah ekonomi dan spiritual dan variasi-variasi dalam kemampuan individu. Ia

berpihak pada kesamaan kesempatan dan mendorong kompetisi. Ia menjamin

kehidupan minimum bagi setiap orang dan menentang kemewahan, tetapi tidak

mengharapkan kesamaan kekayaan. OLeh karena itulah, menurut Islam keadalian

tidak harus sama tanpa ada perbedaan. Keadilan yang mutlak pasti membutuhkan

perbedaan, tetapi memberi kesempatan yang merata dan luas kepada mayarakat

untuk menjalani kehidupan. Tetapi tidak keluar dari prinsip-prinsip keagamaan

(Islam). Islam tidak menginginkan semua orang memilki jumlah kekayaan yang

sama dalam hal ekonomi. Karena hal itu sangat tidak mungkin terjadi. Tetapi

25

http://www.bwi.or.id/index.php/in/profil/divisi/litbang/27?start=28, Sukron Kamil,

“Wakaf Untuk Keadilan Sosial: Antara Teori dan Praktik” Artikel diakses tanggal 6 juli 2014.

13

Universitas Indonesia

Islam tidak menghalakan segala kemewahan yang mendorong manusia hanya

tertuju pada khidupan materi (dunia), tunduk pada nafsu syahwatnya, dan

menciptakan kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat.26

Konsep keadilan Sosial Barat Yang lebih dekat dengan Islam adalah konsep

keadilan sosial yang digagas John Rawls, yaitu keadilan sosial yang

mementingkan distribusi kekuasaan dan kekayaan yang sama, tetapi juga

mentoleransi distribusi yang berbeda bagi yang berbakat.27

Jika wakaf menjadi bagian dari lembaga keadilan sosial, maka lembaga

wakaf harus berfungsi juga sebagai civil society, yaitu masyarakat yang menjadi

prisai dalam berhadapan dengan negara yang cenderung hegomonik, dan jika

tidak hegomonik, mereka sebagai mitra dan berperan melengkapi kebutuhan

sosial.28

Hal ini mengingat sumber ketidakadilan sosial seringkali adalah hal-hal

struktural. Karenanya, ketidakadilan sosial sering disebut sebagai ketidakadilan

struktural.

Guna melahirkan keadilan sosial lewat wakaf, maka dalam fikih, baik klasik

maupun modern, nazhir wakaf dibolehkan melakukan penukaran benda wakaf

seperti dijual lalu hasilnya disatukan dengan harta wakaf lainnya sebagaimana

yang terjadi di Libya dan Mesir.29

Negara Indonesia adalah salah satu dari negara yang struktur ekonominya

terjadi ketimpangan, karena masih dikuasai oleh orang-orang tertentu saja. Seperti

data yang diperlihatkan Tempo, Rabu, 12 Maret 2014 dari survey yang dilakukan

oleh FORBES, bahwa 19 orang Indonesia masuk jajaran orang terkaya di dunia.

26

http://insistnet.com/teori-keadilan-sosial-sayyid-qutb/, Teori Keadilan Sosial Sayyid

Qutb, diakses tanggal 6 juli 2014.

27 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern I, Terjemahan oleh Robert MZL

dari Sosiological Theory Clasical Founder and Contemporery Perspectives (1981), Jakarta:

Gramedia, 1994, hlm. 154-161, Ian Adam, Ideologi Politik Mutakhir,Adam, 2004, hlm. 68, 190-

199, dan Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1995, hlm. 83

28 Hendro Parasetyo, Ali Munhanif, dkk., Islam dan Civil Society Pandangan Muslim

Indonesia, Jakarta: Gramedia dan PPIM, hlm. 8-9 dan lihat juga Adam Kuper dan Jessica

Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Jakarta Rajawali Pers, 2000, hlm. 113-115

29 Abd al-Jalil „Abd ar-Rahman „Asyub, Kitâb al-Waqf, hlm. 19-20, Muhammad Abu

Zahrah, Muhâdarât Fî al-Waqf, Kairo: Dar al-Fikr, 2004, hlm. 159-163, Dirjen Bimas Islam dan

Haji Depag RI, Pedoman. hlm. 77, dan ad-Dimyathi, I‟ânah at-Thâlibin, Jilid III, Bandung: al-

Ma‟arif, Tthlm., hlm. 179

14

Universitas Indonesia

Mereka setara dengan PDB Indonesia. Bersamaan dengan hal tersebut

berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan RI dan

Badan Pusat Statistik pada tahun 2013 indeks Gini Indonesia kurang lebih 0,41 –

0,42. Jumlah penduduk miskin Indonesia pada bulan Maret 2013 adalah 28,07 juta

jiwa dan pada sebtember 2013 meningkat menjadi 28,55 juta jiwa artinya masih

sekitar 11,47% dari jumlah penduduk Indonesia itu adalah golongan orang miskin.

Saat ini ketimpangan tersebut dapat kita lihat di sekeliling kita, masyarakat

dengan modal kecil harus tersingkir dengan adanya pengusaha-pengusaha yang

ber modal besar. Seperti mini market yang bebas berdiri dimana-mana sementara

pedagang kecil dan kaki lima senantiasa di gusur dan tidak mendapat tempat lagi

untuk menggerakkan perekonomiannya itu. Sehingga kantong-kantong finansial

hanya terfokus pada satu titik saja, yaitu mereka yang ber modal besar.

Penderitaan masyarakat miskin tersebut lebih memprihatinkan lagi

manakala harga-harga kebutuhan pokok rumah tangga terus merangkak naik

sedangkan penghasilan yang diterima semakin memprihatinkan. Mereka yang

bekerja sebagai buruh, upah yang mereka terima dari tempat kerjannya tidak

mencukupi untuk menunjang kebutuhan mereka sehari-hari. Itu semua

mengakibtkan tingkat kriminalitas terus naik dari tahun ketahun, yakni sekitar

13.7% per tahun yang sebagian besar disebabkan oleh kebutuhan ekonomi yang

mendesak.30

Untuk meminimalisir kesenjangan masyarakat kita itu dibutuhkan sebuah

gagasan cemerlang, diantaranya memaksimalkan konsep-konsep kesejahteraan

dan keadilan sosial yang telah ditawarkan agama Islam diantaranya pengelolaan

wakaf uang.

Secara teoritik, dalam Islam, tujuan diberlakukannya wakaf bisa dipastikan

adalah untuk merealisasikan keadilan sosial, minimal keadilan ekonomi,

kesehatan, dan pendidikan. Hal ini karena peran wakaf lebih dominan dibanding

zakat dan sedekah lainnya. Selain sebagai tolak ukur keimanan seorang hamba,

wakaf juga merupakan institusi distribusi kekayaan agar terjadi pemerataan

ekonomi dan juga merupakan simbol dari sistem ekonomi yang dikehendaki

30

http://www.intellitrac.co.id/statistik-kriminalitas-Indonesia-2013/, Statistik Kriminalitas

Indonesia 2013, diakses pada 6 Juli 2014.

15

Universitas Indonesia

Islam, yaitu hak-hak Individu diakui tetapi hak-hak sosial tetap diutamakan.

Lewat wakaf dan ZIS (Zakat, Infaq, Sedekah) diharapkan proses konsentrasi

kekayaan tidak terjadi, tetapi justru selalu terurai tercipta sirkulasi atau peredaran

surplus kekayaan di kalangan semua masyarakat sebagai tujuan utama ekonomi

yang sehat.31

Dalam Alqur‟an, tujuan distribusi ekonomi itu antara lain terlihat dalam al-

Qur‟an Surat Adz-Dzariyat: 19

Artinya: Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta

dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.32

yang dimaksud dengan orang miskin yang tidak mendapat bagian diatas

ialah orang miskin yang tidak meminta-minta.

Kemudian didalam al-Qur‟an Surat Al-Ma‟arij 24-25:

Artinya: Orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi

orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang

tidak mau meminta).33

“Dalam kekayaan mereka (orang-orang kaya) terdapat hak bagi para

peminta-minta dan yang terhalang (ekonominya)”. Tujuannya adalah agar terjadi

perputaran kekayaan.

Kemudian didalam al-Qur‟an Surat Al-Hasyr 59:7

31

Ismail Raj‟i Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Menjelajah

Peradaban Gemilang, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 179-181 dan Abdul Manan, Teori dan

Praktek Ejkonomi Islam, Terjemahan dari Islamic Economics, Theory and Practice oleh M.

Nastangin, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,199, hlm. 232

32 Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Mujamma‟ al Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik

Fadhli Thiba‟at al Mushhaf asy Syarif, Madinah al Munawwarah, 1411 H., hlm. 859.

33 Ibid.,973.

16

Universitas Indonesia

Artinya: Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya

(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah,

untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang

yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang

Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah.

dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada

Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.34

Dimana ayat ini diperkuat oleh al-Qur‟an Surat at-Taubah 9:60.

Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-

orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk

(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk

mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan

Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 35

Dalam ayat yang disebut terakhir, filantropi36

Islam, baik yang wajib

maupun yang sunnah seperti wakaf, ditujukan untuk menangulangi kemiskinan,

karena penerima prioritasnya adalah kelompok fakir dan miskin.

Dalam hal ini, Islam memandang:

34 Ibid.,hlm. 974.

35 Ibid, hlm. 288.

36 Filantropi adalah cinta kasih terhadap sesama manusia.

17

Universitas Indonesia

1. Bahwa akumulasi kekayaan seseorang dibangun di atas keringat orang-orang

miskin, karena di dunia ini tidak ada seorangpun yang kaya yang bisa

beraktifitas tanpa orang-orang yang ekonominya lemah. Dalam kenyataannya,

orang-orang miskin memang sudah diberi upah atas kerjanya. Namun, jumlah

keuntungan yang didapat para majikan jauh lebih berlipat ganda dibandingkan

para buruhnya yang hanya didasarkan pada Upah Minimun Povinsi

(UMP) dan sejenisnya. Oleh karena itu, wakaf dan filantropi Islam lainnya

adalah bentuk ucapan terima kasih dan kerjasama kalangan kaya dan miskin.

2. Kesenjangan ekonomi akan mengakibatkan hancurnya sendi-sendi tatanan

sosial dan peradaban. Karena itu, menurut Nurcholish Madjid, berdasarkan

surat al-Humazah, Islam memandang kejahatan terbesar setelah syirik adalah

penumpukan kekayaan yang penggunaannya yang tidak benar.37

Menurut Ismail al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, zakat dan sedekah

lainnya seperti wakaf harus mendorong investasi pendapatan dalam usaha

produktif yang akan menambah kekayaan masyarakat dan menciptakan

pekerjaan.38

Wakaf untuk keadilan sosial juga terdapat dalam Peraturan Perundangan

yang ada di Indonesia yang diambil dari ajaran Islam, yaitu Pasal 5 Undang-

Undang Wakaf No. 41 Tahun 2004 “Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan

manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk

memajukan kesejahteraan umum”.39

Dalam peraturan perundangan sebelumnya,

yaitu Pasal 216 Buku III Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 2 PP. No. 28

/1977, juga disebutkan hal yang hampir sama, meskipun tujuan keadilan sosial,

tetapi tujan ekonominya kurang tampak “Fungsi wakaf adalah untuk mengekalkan

manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf”.

Fungsi wakaf dalam UU wakaf 2004 tersebut dapat dipahami sebagaimana

tercantum dalam penjelasannya, bahwa salah satu yang melatarbelakangi

37

Nurcholish Madjid, “Nilai Identitas Kader” dalam Pedoman LK I, Ciputat: HMI Ciputat,

1993

38 Ismail Raj‟i Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, hlm. 179-181.

39 Departemen Agama RI, UU Wakaf No. 41 2004, Jakarta: Depag RI, 2004, hal. 3, 5.

18

Universitas Indonesia

kemunculan UU tersebut adalah realitas bahwa wakaf bukan yang menjadi pokok

kekuatan ekonomi Ummat Islam.40

Fungsi wakaf untuk keadilan sosial Islam sebagai mauqûf

„alaih (peruntukan wakaf) itu diperjelas lagi peruntukanya dalam dalam Pasal 22

Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dalam pasal tersebut

bahwa mauqûf „alaih (peruntukan) wakaf selain sarana kegiatan ibadah, juga

pendidikan, kesehatan, bantuan untuk fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu,

beasiswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi Ummat, dan kemajuan

kesejahteraan umum lainnya.41

Selain untuk kepentingan keadilan ekonomi, jika wakaf sebagai lembaga

keadilan sosial, maka wakaf pun bisa difungsikan sebagai lembaga keadilan

politik, karena keadilan politik adalah sesuatu yang dianjurkan Islam. Misalnya

untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terabaikan, meningkatkan

partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik, mensosialisasikan

hak-hak warga, melakukan pendampingan masyarakat yang terpinggirkan,

pendidikan untuk keadilan bagi perempuan, dan mengembangkan kerukunan antar

umat beragama. Hal ini karena, menurut Kuntowijoyo, people power menjelang

Revolusi Islam Iran 1979 yang dipimpin para ulama terjadi, antara lain karena

para ulama memiliki sumber-sumber finansial yang independen dan kuat dari

zakat42

dan terutama dari wakaf yang terkait dengan masjid dan lembaga

pendidikan.

Di samping penjelasan di atas, wakaf untuk keadilan sosial Islam bisa dilihat

dari definisi wakaf dalam fikih dan asal usulnya. Wakaf secara ringkas

didefinisikan dengan: “menahan kapital yang mungkin diambil manfaatnya tanpa

menghabiskan atau merusak bendanya („ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.43

40

“PP No. 28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik”, dalam HLM. Abdul Mannan dan M

Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pres, 2002,

hal. 395 “Buku III Kompilasi Hukum Islam Indonesia”, dalam Abdurrahman, Kompilasi Hukum

Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992 hlm. 166.

41 Departemen Agama RI, UU Wakaf. hlm. 14

42 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997, hlm. 130

43 Muhammad Ibn. Isma‟il as-San‟any, Subul as-Salam, (Mesir: Muhammad Ali Sabih, t.t)

Juz III, hlm.114.

19

Universitas Indonesia

Definisi ini berasal dari hadis Nabi Riwayat Bukhari dan Muslim bahwa ketika

Umar bin Khattab bercerita kepada Nabi Muhammad mengenai sebidang tanah

miliknya di Khaibar, lalu Nabi bersabda: “Jika engkau mau, tahan pokok

(kapital)-nya dan sedekahkan hasilnya”.44

Anjuran Nabi ini meskipun lebih

sebagai penjelasan atas pernyataan al-Qur‟an yang mendorong sangat kuat untuk

melakukan sedekah sebagai amal shaleh, tetapi juga terkait dengan lembaga yang

pernah berlaku pada suku pra Islam yang disebut himâ, yaitu sebidang lahan yang

disisihkan oleh suatu suku sebagai harta masyarakat untuk menggembalakan

ternak dan sebagainya, yang tidak bisa diklaim baik oleh individu maupun

keluarga manapun. Dalam hal ini, wakaf berawal dari praktik hima sebagai faktor

produksi bersama yang tujuannya adalah untuk perwujudan keadilan ekonomi.45

Praktik wakaf juga didasarkan pada hadis Riwayat Imam Muslim, dimana

wakaf merupakan sebuah upaya pengabadian amal tentu saja yang bersifat relatif

yang akan terus mengalir meskipun pelakunya telah meninggal dunia, melalui

pemanfaatan benda yang diwakafkan oleh publik untuk kemaslahatannya. Dengan

begitu, diharapkan pahalanya tetap mengalir kepada para pewakaf (wakif). Dalam

hadis tersebut, sebagai tindakan yang tidak teputus pahalanya, yaitu sedekah

jariah (wakaf) yang kedudukannya seimbang dengan ilmu yang bermanfaat dan

anak saleh yang mendo‟akan kedua orang tuanya.46

Mengingat wakaf sebagai institusi keadilan sosial Islam, berarti tidak ada

orang yang dikecualikan dalam pemanfaatannya, termasuk nonmuslim. meskipun

dalam masalah ini ulama Syafi‟iyah dalam permasalahan zakat berpendapat tidak

sahnya zakat jika diserahkan kepada fakir miskin yang non-Muslim, sekalipun

diperintahkan penguasa,47

tetapi berbeda sekali dalam soal wakaf. Fikih

Syafi‟iyah membolehkanya. Imam an-Nawawi dalam kitab ar-Raudhah, sebuah

44

Mundir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Jakarta: Khalifa, cet 1, 2000, hlm. 16

45 Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, jilid III, Kairo: Dâr al-Tsaqafah al-Islâmiyyah, 1365

HLM. hlm. 259-261 dan Ibn Hajar al-„Asqalani, Bulûgh al-Marâm, Bandung: al-Ma‟arif, Tthlm.,

hlm. 191

46 Ibid

47 Syaikh Zainuddin Abd Al-Aziz Al-Malibari, Fath al-Mu‟în bi Syarh Qurrah al-

„Ain, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, Tthlm. hlm. 53.

20

Universitas Indonesia

buku yang terkenal tetapi kurang dijadikan rujukan di pesantren tradisional,

menjelaskan mengenai sahnya wakaf kepada nonmuslim (kafir dzimmî), baik dari

seorang Muslim maupun dari sesama nonmuslim dzimmî. Namun,

menurutnya, syaratnya adalah: (1). Benda yang diwakafkannya tidak

mengandung dan tidak diperuntukkan untuk kemaksiatan seperti tikar untuk

gereja dan lain-lain. (2). Benda wakafnya boleh dimiliki non Muslim tidak boleh

diwakafkan bila berupa al-Qur‟an dan budak Islam. walaupun alasan kedua ini

masih diperdebatkan. Demikian juga dengan buku fikih modern seperti Fiqh as-

Sunnah Sayyid Sabiq yang juga membolehkan pemberian wakaf kepada

nonmuslim dzimmî seperti kepada kaum Kristiani. Alasan yang dikemukan Sabiq

adalah karena telah dipraktikan Shofiyyah, istri Nabi, yang mewakafkan hartanya

kepada saudaranya yang Yahudi.48

Selain boleh digunakan untuk kepentingan ibadah (pembangunan masjid),

lembaga pendidikan dan para gurunya, pembangunan hotel atau pemondokan

untuk para musafir, juga kebutuhan minum, pengurusan mayat seperti pembelian

kain kafan, pembangunan dan rehabilitas jembatan, untuk para penghuni

penjara, rumah sakit, perpustakan, dan lainnya. Bahkan, berbeda dengan sedekah

lainnya, sebagian wakaf atau manfaatnya pun, seperti buku dan al-Qur‟an, boleh

didistribusikan atau dimanfaatkan oleh orang kaya yang tidak berhak menerima

zakat.49

Berdasarkan penjelasan di atas, dasar dari pendistribusian hasil wakaf

adalah istihsân (hal-hal yang dipandang baik) atau alasan

kemaslahatan (istishlah) yang dibenarkan oleh hadis riwayat Abdullah bin

Mas‟ud. Dalam hadis itu dijelaskan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum

muslimin, maka menurut Allah pun baik. Karena itu, dalam pendistribusian hasil

48

An-Nawawi, al-Raudhah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt. Jilid IV,

hlm.381 sebagaimana dikutip Anwar Ibrahim, “Wakaf dalam Syari‟at Islam”, Makalah Workshop

Internasional Pemberdayaan Ekonomi Ummat melalui Pengelalolaan Wakaf Produktif, Batam:

Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002, hlm. 16-17, Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Depag

RI, Fiqh Wakaf, Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Depag RI, 2003, 47-48, dan Sayyid

Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hlm. 263.

49 Abu Bakar Ahmad bin „Umar as-Syaibani, Kitâb Ahkâm al-Auqâf, Kairo: Maktabah as-

Tsaqafah ad-Diniyyah, Tthlm., hlm.294-295, „Abd al-Jalil „Abd ar-Rahman „Asyub, Kitâb al-

Waqf, Kairo: al-Afaq al-Arabiyyah, 2000, hlm. 31.

21

Universitas Indonesia

wakaf, seorang nâzhir wakaf bisa merujuk pada alasan untuk mendatangkan

kemaslahatan dan menolak kerusakan. Kemaslahatan yang disebut oleh as-

Syathibi (730-790 H) sebagai dharuriyyat (mendesak), baik untuk

menjaga agama (hifzh al-dîn), nyawa (hifzh al-nafs), kebebasan berpikir (hifzh al-

„aql), reproduksi (hifzh al-nasl) dan hak-hak ekonomi (hifzh al-mâl). Menurut as-

Syathibi, kemasalahatan merupakan inti syari‟ah Islam, dalil universal. Bahkan,

menurut al-‟Iz bin „Abd as-Salam, seluruh hukum Islam sesungguhnya adalah

untuk kemaslahatan manusia. As-Syathibi pun berpendapat juga bahwa jika

terjadi perbedaan antara dalil naqli (al-Qur‟an dan hadis) dengan kemaslahatan,

maka keduanya harus harus dikompromikan. Jadi, batasan sejauh mana hasil

wakaf khairî boleh didistribusikan adalah sejauh kemaslahatan menghendakinya.

1.9. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang

menjabarkan fakta-fakta yang diperoleh sebagaimana adanya dan dianalisis

dengan teori keadilan sosial.50

Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini

menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum wakaf

uang dan pelaksanaannya di Indonesia serta menganalisis peran perbankan syariah

dalam mengelola wakaf uang.

1.10. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan perUndang-Undangan (statutery approach) dan pendekatan

konseptual (conseptual approach). Pendekatan perUndang-Undangan digunakan

karena peneliti akan melakukan penelitian dengan menelaah semua Undang-

Undang dan regulasi yang terkait dengan peran Bank Syariah dalam pengelolaan

wakaf uang, serta asas-asas keadilan sosial yang mendasari dianjurkannya

perbankan syari‟ah menjadi nadzir wakaf dalam pengelolaan wakaf uang di

Indonesia.

50

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, hlm.10

22

Universitas Indonesia

1.11. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang bersifat hukum

normatif yang dimaksudkan untuk memberikan data mengenai peran bank

syari‟ah dalam pengelolaan wakaf uang. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi

permasalahan yang ada disekitar wakaf uang. Serta melakukan penilaian terhadap

perangkat hukum positif yang mengatur tentang peran perbankan syari‟ah dalam

mengelola wakaf uang.51

Penelitian ini mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum Islam yang

digunakan dalam hukum nasional yang mengatur tentang wakaf uang dan peran

perbankan syari‟ah yang diatur dalam Undang-Undang Nmor 41 Tahun 2004.52

Serta mencakup pula sejarah wakaf Islam. Dilihat dari disiplin ilmu yang

digunakan dalam penelitian ini, menambahkan data primer melalui metode

berupa wawancara. Melalui metode tersebut, data skunder atau penelitian

diperoleh dari sumber-sumber berupa bahan-bahan kepustakaan, yaitu antara

lain:53

1. Bahan Kepustakaan Primer yang terdiri dari

a. Kaedah hukum dasar, yaitu kaedah-kaedah hukum yang termuat dalam al-

Qur‟an dan Sunnah-sunnah Rasulallah SAW yang terkandung dalam

Hadits-hadits mengenai wakaf;

b. Peraturan perUndang-Undangan, yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;

2) UU No.10 Tahun 1998

3) Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang penyebarluasan

Kompilasi Hukum Islam;

51 Disadur dari Soerjono Suekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Satu

Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 10.

52 Ibid., 17

53 Ibid., 13

23

Universitas Indonesia

4) Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia;

5) Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 1 Tahun 2009

6) Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi

Pendaftaran Wakaf Uang;

7) Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang

Pedoman Pengelolaan Dan Pengembangan Harta Benda Wakaf

Bergerak Berupa Uang;

8) Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 2 Tahun 2009 Tentang

Pedoman Penerimaan Wakaf Uang Bagi Nazhir Badan Wakaf

Indonesia;

9) Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Tata

Cara Pendaftaran Nazhir Wakaf Uang;

10) Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 Tentang

Pedoman Pengelolaan Dan Pengembangan Harta Benda Wakaf.

c. Bahan hukum tertulis lainnya, yaitu:

1) Penjelasan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf;

2) Peraturan pemerintah Rebublik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006

Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang

Wakaf

3) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/Kep/Dir Tahun

1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.

4) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/Kep/Dir Tahun

1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.

5) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Fatwa Tentang Wakaf Uang, 11 Mei

2002.

2. Bahan Kepustakaan Skunder: yaitu bahan hukum yang terdiri dari

literatur-literatur yang memuat data yang diperlukan bagi penelitian baik

dalam bentuk:

a. Rancangan perUndang-Undangan, yaitu:

24

Universitas Indonesia

1) Surat Presiden Rebublik Indonesia Nomor R.16/PUVII/2014

tentang RUU tentang Wakaf;

2) Penjelasan Pemerintah Mengenai Rancangan Undang-Undang

Rebublik Indonesia Tentang Wakaf;

3) Revisi Rancangan Undang-Undang Rebublik Indonesia

Tentang Wakaf.

b. Hasil Penelitian, yaitu Laporan Penelitian Hukum Tentang Aspek

Hukum Wakaf Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Tim Badan

Pembinaan Nasional.

c. Karya tulis dalam bentuk buku-buku bidang hukum wakaf, syari‟ah

Islam dan bidang-bidang ilmu lainnya;

3. Bahan Kepustakaan Tersier yang terdiri dari kamus bahasa Arab, kamus

Istilah Islam, Ensiklopedia digital dan bahan-bahan penunjang lainnya

yang memberikan petunjuk yang menjelaskan mengenai bahan-bahan

kepustakaan yang telah disebutkan diatas, seperti indeks situs umum

internet, dan indeks situs agama Islam yang terdapat dijaringan Internet.

Sedangkan untuk data skunder yang dilakukan dalam penelitian

ini diantaranya dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap pihak

terkait dalam hal ini Badan Wakaf Indonesia yang memiliki kewenangan

dalam pengelolaan wakaf di Indonesia.

Pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan yang

yang peneliti lakukan menggunakan dua cara yaitu:

1. Penelitian lapangan, yaitu penelitian langsung dilapangan untuk

mengetahui bagaimana pengaturan perbankan syari‟ah dalam

pengelolaan wakaf uang. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini

adalah melakukan wawancara kepada Direktur Eksekutif Badan Wakaf

Indonesia dan Ketua Divisi Kelembagaan Direktorat Jenderal

Peraturan Pemerintah.

2. Penelitian kepustakaan, adalah penelitian untuk penyusunan kerangka

sebagai landasan analisis. Teknik yang dipakai dalam dalam penelitian

ini dengan cara menelaah badan-badan hukum baik yang berupa

perUndang-Undangan maupun literatur-literatur terkait.

25

Universitas Indonesia

Data yang telah terkumpul kemudian diolah secara sistematis

kemudian dianalisis berdasarkan sifat data. Data kualitatif dianalisis secara

deskriptif, yaitu data yang telah terkumpul diklasifikasikan kemudian

ditafsirkan secara rasional dan objektif kemudian digambarkan secara

logis. Analisis terhadap data penelitian di atas dilakukan secara kualitatif

sehingga dapat diperoleh hasil data yang berguna bagi penilaian terhadap

perangkat hukum yang diteliti.

1.12. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik dan alat pengumpulan data yang digunakan dalam

menyusun penelitian ini diperoleh dengan cara studi dokumen atau setudi

kepustakaan. Studi kepustakaan ini dilakukan peneliti menggunakan berbagai

literatur berupa peraturan perUndang-Undangan, buku-buku karya ilmiah,

makalah kuliah yang terkait langsung dengan wakaf dan perbankan, asas-asas

keadilan, asas-asas keseimbangan, istikhsan, maslahah mursalah dan data

sekunder lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan peneliti.

1.13. Sistematika Penelitian

Untuk menyusun tesis ini, peneliti akan menguraikan masalah yang akan dibagi

dalam dalam 5 bab. Adapun pembagiannya kedalam bab-bab nanti adalah sebagai

berikut:

BAB I PENDAHULUAN, bab ini merupakan bab pendahuluan yang

berisikan antara lain: Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Manfaat

Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka pemikiran, Metode

Penelitian, Jenis penelitian, Pendekatan Masalah, Sumber Data Penelitian, Teknik

dan Alat Pengumpulan Data, Sistematika Penelitian.

BAB II. TINJAUNAN UMUM TENTANG WAKAF, didalam bab ini

berisi tentang Pengertian Wakaf: Dasar Hukum Wakaf: Fungsi dan Tujuan

Wakaf: Rukun dan Syarat Wakaf: Syarat Jangka Waktu Wakaf Macam-macam

Wakaf Status Harta Wakaf Hakikat Harta Benda Wakaf:

26

Universitas Indonesia

BAB III. TINJAUNAN UMUM TENTANG PERBANKAN SYARI‟AH,

didalam bab ini berisi tentang Pengertian Bank Syari‟ah: Dasar Hukum Bank

Syari‟ah: Fungsi dan Tujuan Bank Syari‟ah: Rukun dan Syarat Bank Syari‟ah:

Ruang lingkup Perbankan Syari‟ah: Macam-macam Bank Syari‟ah: Status Harta

didalam Bank Syari‟ah: Konsep perbankan syari‟ah: Fungsi dan Peran perbankan

Syari‟ah: Produk Perbankan Syari‟ah: Aspek Hukum Pembiayaan;

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, yang akan

menguraikan hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan dan

pembahasannya yaitu Peran Bank Syariah Dalam Pengelolaan Wakaf Uang serta

apasaja kendala yag dihadapi Bank Syariah untuk menjadi Nadzir Wakaf.

BAB V PENUTUP, merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan

saran dari hasil penelitian ini.

27

Universitas Indonesia

27 Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN UMUM TENTANG WAKAF

2.1. Pengertian Wakaf

2.1.1 Pengertian menurut bahasa

Secara bahasa wakaf berasal dari bahasa arab al-Waqf bentuk masdar dari

kata waqafa-yaqifu-wakfan1. Kata al-Waqf semakna dengan kata al-Habs bentuk

masdar dari kata habasa-yahbisu-habsan artinya menahan.2 Berbagai pengertian

wakaf diatas dapat disimpulkan bahwa al-Habs maupun al-Waqf sama sama

mengandung makna menahan, mencegah atau melarang dan diam. Dikatakan

menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua tindakan

yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf.

2.1.2 Pengertian Menurut Istilah

Secara istilah para ulama berbeda-beda mengartikan wakaf ini sesuai dengan

mazhab yang mereka anut.3 Secara umum para ulama dalam mendefinisikan

Wakaf merujuk pada Imam Mazahibul Arbaah yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki,

Imam Syafi‟i dan Imam Hambali. Adapun pendapat para Imam Mazahib ini

adalah sebagai berikut:

2.1.2.1. Menurut Golongan Hanafi:

Imam Syarkhasi mendefinisikan wakaf yaitu “menahan harta dari

jangkauan kepemilikan orang lain (habsul mamluk‟an al-tamlik min al-

1 A.W.Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya:Pustaka

Progressif, Cet.Ke-14, 1997, hlm. 1576.

2 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 3, Beirut: Daar Al-Fikr, t.th,hlm. 515

3 Anshori Abdul Ghofur, Hukum Dan Praktek Perwakafan Di Indonesia, Cet. 1

Yogyakarta: Pilar Media, 2005, hal,7.

28

Universitas Indonesia

ghair)”. Kata harta milik maksudnya memberikan batasan bahwa wakaf

terhadap tanah yang tidak bisa dianggap milik akan membatalkan wakaf.

Sedangkan kalimat “dari jangkauan kepemilikan orang lain (an al-tamlik min

al ghair)” maksudnya harta yang akan diwakafkan itu tidak boleh

dimanfaatkan untuk kepantingan wakif, seperti halnya jual beli, hibah atau

jaminan.

2.1.2.2.Menurut Golongan Maliki

Ibnu Arafah mendefinisikan wakaf “memberikan manfaat sesuatu pada

batas waktu keberadaanya bersama tetapnya wakaf dalam kepemilikan si

pemiliknya meski hanya perkiraan (pengandaian)”

Memberikan manfaat sesuatu maksudnya adalah mengecualikan

pemberian barang seperti hibah. Orang yang berhibah berarti memberikan

barang kepada orang yang dihibahkan. Sedangkan pada wakaf yang diberikan

adalah manfaatnya, bukan barangnya. Kalimat “kepemilikannya tetap

dipegang oleh pemberi wakaf” adalah kalimat penjelas yang mengandung

maksud bahwa orang yang diberi wakaf ibarat hamba yang melayani tuannya

hingga meninggal. Maksudnya sipenerima wakaf itu tidak mempunyai hak

atas benda wakaf yang dijaganya itu, tetapi boleh menjualnya jika diizinkan

oleh sipemberi (wakif). Kalimat “walaupun dengan perkiraan” maksudnya

adalah bahwa lafal itumenunjukkan maksud kepemilikan. Dalam hal ini

ulama malkiyah membolehkan wakaf yang bersyarat.

2.1.2.3. Menurut Golongan Syafi’i

Muhammad Khatib Asy-Syarbini dalam kitab al-Mughni al-Muhtaj

mengartikan wakaf adalah:

دجظ بي ميى االزفبع

ث غ ثمبء ػ١ ثمغغ

ازصشف ىف سلجز ػ

صشف جبح جد

29

Universitas Indonesia

“menahan harta yang dapat di ambil manfaatnya dengan tetap utuhnya

barang dan barang itu lepas dari penguasaan wakif serta dimanfaatkan

pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama”4

2.1.2.4. Menurut Golongan Hanabilah, Syi’ah dan Ja’fariyah

Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughny al-Muhtaj menjelaskan bahwa

wakaf adalah:

حتجظ االص رغج١

ادلفؼخ

“menahan yang asal dan memberikan hasilnya”5

2.1.2.5. Menurut Ulama Zaidiyah

Pengarang kitab al-Syifa mendefinisikan wakaf sebagai:

“pemilikan khusus dan niat baik mendekatkan diri kepada Allah SWT”.

Kalimat “pemilikan khusus” artinya bukan pegadaian, penyewaan,

dipaksa, atau terpaksa. Sedangkan kalimat “dengan niat baik

mendekatkan diri kepada Allah SWT” hal itu tidak disyaratkan pada

sesuatu selain pada wakaf.6

2.1.2.6. Menurut Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini

Dalam kitab Kifayatul al-Akhyar mendefinisikan wakaf lebih menekankan

pada tujuannya yaitu:

دجظ بي ميى االزفبع ث

غ ثمبء ػ١ ممع

4 Muhammad Khatib Asy-Syarbini, Mughny al-Muhtaj, Juz II, Beirut: Daar al-Fikr, t.th,

hlm.376.

5 Ibn Qudamah, Al-Mughny, Beirut: Daar al-Kitab al-Ilmiah, t.t, hlm. 185.

6 Anshori Abdul Ghofur, Hukum Dan Praktek Perwakafan Di Indonesia, Cet. 1

Yogyakarta: Pilar Media, 2005, hlm. 10.

30

Universitas Indonesia

ازصشف ىف ػ١ رصشف

بفؼخ ىف ارب رمشثب اىل

اهلل رؼبىل “menahan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekal

dzatnya, dilarang untuk digolongkan dzatnya dan dikelola manfaatnya”7

2.1.2.7. Dalam Ensiklopedi Islam

Waqf adalah memberikan harta kekayaan dengan sukarela atau suatu

pemberian yang berlaku abadi untuk kepentingan pemerintah Islam, untk

kepentingan keagamaan atau untuk kepentingan umum.8

2.1.2.8. Rumusan yang termuat dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang

Wakaf Pasal 1 point 1 dinyatakan, bahwa “wakaf adalah perbuatan

hukum wakif untuk memisahkan dan /atau menyerahkan sebagian

harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk

jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan

ibadah dan /atau kesejahtraan umum menurut syari‟ah9

2.1.2.9. Muhammad Daud Ali menyatakan, wakaf adalah menahan sesuatu

benda untuk diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran Islam.10

Dari berbagai pengertian wakaf diatas, maka wakaf dapat diartikan sebagai

melepaskan sebagian harta miliknya untuk keperluan umum dan peribadatan.

Berarti harta wakaf tersebut tidak diperbolehkan menjadi objek transaksi, hanya

manfaat atau hasilnya yang boleh diambil sesuai dengan peruntukan wakaf

sebagaimana tercantum dalam Akta Ikrar Wakaf dan dengan jangka waktu

tertentu.

7 Abi Bakr Ibn Muhammad Taqiuddin, Kifayatul akhyar, Serikat an-nur Asia, hlm. 319

8 Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 2,

1999, hlm. 432.

9Kementerian Agama Rebublik Indonesia Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2011, hlm.2

10 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Cet. 1 I Press, Jakarta:

2006, hlm. 90.

31

Universitas Indonesia

Berdasarkan definisi wakaf yang telah dikemukakan di atas maka cakupan

wakaf meliputi:

1. Harta benda milik seseorang atau kelompok orang.

2. Harta benda tersebut barsifat kekal dzat-nya tidak habis apabila dipakai.

3. Harta tersebut dilepaskan kepemilikannya oleh sang pemiliknya.

4. Harta yang dilepaskan kepemilikannya tersebut tidak bisa dihibahkan,

diwariskan atau diperjual-belikan.

5. Manfaat dari harta banda tersebut untuk kepentingan umum sesuai syari‟at

Islam.11

2.2 Dasar Hukum Wakaf

Salah satu pranata sosial Islam yang mengandung nilai sosial ekonomi

adalah lembaga wakaf sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid, yang berarti bahwa

segala sesuatu berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah SWT. Lembaga

wakaf adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam, yaitu

didasarkan pada pemahaman bahwa harta yang dimiliki atau diperoleh adalah

rizki dari Allah yang didalamnya terdapat hak orang lain.

Sebagaiman Allah berfirman dalam al Qur‟an surat al-Baqarah ayat 2-3

Artinya :Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka

yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang

mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki12

yang Kami anugerahkan

kepada mereka.13

Di dalam al Qur‟an surat at-Taubah ayat 103 juga disebutkan

11

http://www.wakafcenter.com/baca-optimalisasi-fungsi-perbankan-syariah-sebagai-

nadzir-investasi-wakaf.html, Optimalisasi Fungsi Perbankan Syari‟ah Sebagai Investasi Wakaf,

diakses 7 Mei 2014.

12 Rezki: segala yang dapat diambil manfaatnya. menafkahkan sebagian rezki, ialah

memberikan sebagian dari harta yang telah direzkikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang

disyari'atkan oleh agama memberinya, seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum

kerabat, anak-anak yatim dan lain-lain.

13 Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Mujamma‟ al Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik

Fadhli Thiba‟at al Mushhaf asy Syarif, Madinah al Munawwarah, 1411 H., hlm. 8.

32

Universitas Indonesia

Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu

membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo‟alah untuk mereka.

Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah

Maha mendengar lagi Maha mengetahui.14

Kemudian di jelaskan dalam al-Qr‟an surat Adz-Zariaat ayat 19

Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta

dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.15

Dari ketiga ayat di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa salah satu ciri

daripada orang yang bertakwa adalah mau menafkahkan sebagian hartanya ke

jalan Allah, bahkan terdapat perintah untuk mengambil sedekah bagi orang miskin

dari orang yang mampu karena sebagian dari harta yang kita miliki terdapat hak

orang lain yang membutuhkan.

Prinsip kepemilikan harta dalam ajaran Islam mensyaratkan bahwa harta

tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, karena akan melahirkan

eksploitasi kelompok kaya (minoritas) terhadap kelompok miskin (mayoritas)

yang akan menimbulkan kesenjangan sosial dan akan menimbulkan akibat-akibat

negatif yang beraneka ragam.16

Sebagaimana Allh SWT berfirman dalam al-

Qur‟an surat al-Hasyr ayat 7:

14

Ibid., hlm. 297. Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta

yang berlebih-lebihan kepada harta benda, zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati

mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.

15 Ibid., hlm. 859., Orang miskin yang tidak mendapat bagian Maksudnya ialah orang

miskin yang tidak meminta-minta.

16 Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah Dalam Politik Hukum Agraria Nasional, (jakarta:

Tatanusa, 2003), hlm. 36

33

Universitas Indonesia

Artinya: Apa saja harta rampasan (fai‟) yang diberikan Allah kepada RasulNya

(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah,

untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang

yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya

saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa

yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.

Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.17

Sifat yang demikian itu diancam oleh Allah SWT dengan siksa yang

pedih, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur‟an surat at-Tabah ayat 34-35:

Artinya: Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak

menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa

mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu

dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan

punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang

kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa

yang kamu simpan itu."18

Walaupun didalam al-Qur‟an tidak membahas masalah wakaf dengan

tegas, namun ada beberapa nash al-Qur‟an dan Hadits yang menjadi dasar hukum

wakaf, yaitu ayat-ayat al-Qur‟an dan hadits Nabi yang memerintahkan agar

manusia selalu berbuat kebaikan. Wakaf bukan hanya merupakan bentuk ibadah

(hablum min Allah) semata, melainkan merupakan suatu bentuk amal kebajikan

17

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Mujamma‟ al Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik

Fadhli Thiba‟at al Mushhaf asy Syarif, Madinah al Munawwarah, 1411 H., hlm. 859.

18 Ibid, hlm. 283.

34

Universitas Indonesia

kepada sesama (hablum minan nas) juga. Didalam ilmu fiqih disebut dengan

mu‟amalat dunyawiyyah oleh kerena itu al-Qur‟an maupun al-Hadits tidak pernah

berbicara sepesifik dan tegas mengenai wakaf itu. Dilihat dari kemu‟amalatan

Wakaf juga merupakan salah satu bentuk kebajikan melalui harta benda, maka

para ulama memahami ayat-ayat al-Qur‟an maupun al-Hadits yang

memerintahkan pemanfaatan harta untuk kebajikan juga mencakup kebajikan

melalui wakaf. dimana didalam kitab-kitab fiqih ditemukan pendapat yang

mengatakan bahwa dasar hukum wakaf disimpulkan dari beberapa ayat al-Qur‟an

sebagai berikut:19

Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 92:

Artinya: kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),

sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang

kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.20

Tafsir kalimat

Kalimat diatas terdiri dari empat penggalan kata yang satu samalainnya saling

menguatkan maknanya, yaitu:

Kamu sekali-kali tidak sampai) ربا اجش .1

kepada kebajikan (yang sempurna),

Imam Al-Baydlawi menafsirkan pangkal ayat ini dengan:

رجغا دم١مخ ارب از

وبي اخلري أ ربا ثش اهلل

از اشمحخ اشض اجلخ

19

Helmi Karim, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, hlm 103

20 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur‟an, Al-Qur‟an Al-Karim, Terjemah,

Semarang: PT Tanjung Mas inti, 1992, hlm. 91.

35

Universitas Indonesia

Artinya: Tidak akan meraih nilai kebaikan yang hakiki, kebaikan yang sempurna.

Tidak akan menggapai kebaikan Allah berupa rahmat, rido dan surga).21

Di dalam hadits juga diterangkan pengertian “al-Birr” sebagai berikut:

ػ ااط ث عؼب اأصبس

لبي عأذ سعي ا ص ا

ػ١ ع ػ اجش ائص

فمبي اجش دغ اخك ائص

صذسن وشذ أ ب دبن ف

٠غغ ػ١ ابطDiriwayatkan dari al-Nawas bin Sim‟an al-Anshari mengatakan: Saya bertanya

kepada Rasul SAW tentang pengertian “ al-Bir” dan “al-Itsm”. Beliau bersabda

al-Birr itu adalah akhlaq yang baik. Sedangkan al-Itsm ialah apa yang paling

menarik di hatimu, yang kamu sendiri enggan diketahui orang. (Hr.al-Bukhari,

Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi)22

Dengan demikian pangkal ayat ini mengandung makna bahwa manusia belum

masuk kepada kategori yang berakhlaq mulia sebelum menafkahkan harta yang

paling dicintainya (sebagaimana ayat berikutnya).

sebelum kamu) دز رفما ب رذج .2

menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai).

Menginfakkan harta yang sangat dicintai merupakan syarat meraih

keimanan yang hakiki. Iman perlu dibuktikan dengan pengorbanan.

Menginfakkan harta yang dicintai membuktikan bahwa kecintaan pada Allah dan

agama melebihi kecintaan pada segalanya.

Di dalam al-Hadis dijelaskan peristiwa setelah ayat diatas turun:

21

Tafsir al-Baydlawi, II, hlm.62.

22 Imam Bukhari dan Muslim, Shahih al-Bukhari, V hlm.312

36

Universitas Indonesia

به سض ا ػ ػ أظ ث

٠مي وب أث عذخ أوضش

اأصبس ثبذ٠خ بب وب

أدت أا إ١ ث١شدبء

وبذ غزمجخ اغجذ وب

سعي ا ص ا ػ١

٠ششة بء ع ٠ذخب

ف١ب ع١ت فب ضذ }

ربا اجش دز رفما ب

رذج {لب أث عذخ إ

سعي ا ص ا ػ١

ع فمبي ٠ب سعي ا إ

وزبث} ا رؼب ٠مي ف

ربا اجش دز رفما

ب رذج {إ أدت أا

إ ث١شدبء إب صذلخ

أسج ثشب رخشب ػذ ا

فضؼب ٠ب سعي ا د١ش شئذ

بي سائخ ره فمبي ثخ ره

بي سائخ لذ عؼذ ب لذ

ف١ب أس أ رجؼب ف

األشثني لبي أفؼ ٠ب سعي

ا فمغب أث عذخ ف

ألبسث ث ػ

37

Universitas Indonesia

Anas bin Malik menerangkan: Abu Thalhah adalah orang Anshar kaya yang

paling banyak memiliki kebun kurma di Madinah. Dia sangat mencintai Bairuha

(nama kebun) yang berhadapan dengan Masjid. Rasul juga sering pergi ke kebun

itu dan minum air segar dari mata airnya.

Tatkala turun ayat ربا اجش

دز رفما ب رذجAbu Thalhah berkata: Wahai Rasul, Allah telah menegaskan bahwa tidak akan

mendapatkan kebaikan kecuali menginfakkan apa yang dicintai; harta yang amat

saya cintai adalah kebun Bayruha, maka dengan ini saya sedekahkan karena

Allah. Saya mengharapkan kebaikannya di sisi Allah SWT. Gunakanlah wahai

Rasul sesuai kehendakmu. Rasul SAW bersabda: Bakh (kata-kata kagum), ini

adalah harta yang sangat baik yang sangat bernilai! Saya mendengar apa yang

kamu ucapkan! Saya berpendapat alangkah baiknya engkau berikan ke kerabatmu.

Dia mengatakan aku lakukan wahai Rasul! Kemudian Abu Thalhah

membagikannya ke kaum kerabat dan anak pamannya. (Hr. al-Bukhari dan

Muslim).23

Dan apa saja yang kamu) ب رفما شء .3

nafkahkan)

Hal ini bukan berarti menginfakkan harta yang harganya rendah, tidak bernilai di

sisi Allah. Apapun yang di infakkan di jalan Allah walau sedikit, tetap bernilai

terpuji di sisi Allah SWT. Dengan demikian infaq itu terdiri dari yang berkualitas

terbaik, dan ada pula yang nilainya biasa saja. Keunggulan infaq dapat ditinjau

dari beberapa aspek antara lain (1) dari sudut nilai manfaat harta yang diinfakan,

(2) dari sudut ke mana infaq diperuntukkan, (3) apa yang diharapkan atau apa

yang menjadi tujuan dengan berinfaq.24

maka sesungguhnya Allah mengetahuinya فإن الله به عليم .4

Allah SWT maha mengetahui apa yang diperbuat manusia,

Ayat yang selanjutnya yang berkaitan dengan Wakaf adalah:

23Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja'fai, Shahih al-

Bukhari, V hlm.304

24 http://saifuddinasm.com/2013/01/08/ali-imran-92-meraih-kebajikan-dari-harta-yang-di-

cintai/, Saifuddin, Meraih kebijakan dari harta yang dicintai, diakses 6 Juli 2014.

38

Universitas Indonesia

QS. Al-Baqoroh ayat 267:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian

dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan

dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu

menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya

melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah

Maha Kaya lagi Maha Terpuji.25

Al-Qur‟an Surat al Hajj (22) ayat 77:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,

sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat

kemenangan.26

Jika menelaah berbagai ketentuan Allah diatas, maka dapat dipahami

bahwa penyampaian perintah menjalankan wakaf adalah bersifat umum, yaitu

sebuah perintah untuk berbuat kebaikan. Kebaikan yang dimaksud adalah

mengandung dan mencakup pengertian zakat, infaq, shadaqoh dan juga perintah

wakaf. Wakaf dikakatakan sebagai suatu kebaikan karena wakaf merupakan

penyerahan harta benda untuk kepentingan sosial yang tujuannya semata-mata

untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah dalam rangka mengharapkan

pahala darinya.27

25

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Mujamma‟ al Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik

Fadhli Thiba‟at al Mushhaf asy Syarif, Madinah al Munawwarah, 1411 H., hlm. 67.

26

Ibid., hlm. 528.

27 Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah Dalam Politik Hukum Agraria Nasional, Jakarta: PT

Tatanusa, 2003, hlm. 41-42.

39

Universitas Indonesia

Amalan Wakaf ini bernilai sedekahh jariah artinya kebaikannya akan

mengalir terus menerus secara berkesinambungan selama harta wakaf tersebut

diperuntukkan untuk kepentingan umum.28

Menurut pendapat Imam ar-Rafi‟i,

sedekah jariyah maknanya adalah wakaf, sebab sedekah selain wakaf pahalanya

tidak dapat terus mengalir, bahkan hanya terhenti ditangan penerima sedekah saja.

Sedangkan yang dimaksud dengan sedekah jariah adalah sedekah yang pahalanya

terus mengalir walaupun pelaku sedekah telah meninggal dunia. Sebagaimana

Rasulullah bersabda:

ػ أث ش٠شح أ سعي اهلل ص اهلل

إرا بد » لبي -ػ١ ع

اإلغب امغغ ػ ػ إال

صالصخ إال صذلخ جبس٠خ أ ػ

٠زفغ ث أ ذ صبخ ٠ذػ Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw

bersabda: Apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah semua amalannya

kecuali tiga, yaitu: Sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat atau anak

shalih yang mendo‟akan kepadanya.” (HR. Muslim)29

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam al-

Qur‟an itu dapat dijadikan sebagai dasar umum tentang peritah wakaf.

Dasar disyari‟atkannya wakaf adalah perintah Nabi kepada Umar bin

Khatab untuk mewakafkan tanah di Khaibar seperti yang tertuang dalam

percakapan Nabi dan Umar bin khatab dalam hadits riwayat Imam Muslim berikut

ini:

Al Hadits:

ػ اث ػش لبي أصبة ػش

ص -أسضب ثخ١جش فأر اج

28

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet.6,

2003, hlm. 482.

29 Ibid, 14.

40

Universitas Indonesia

٠غزأش ف١ب -اهلل ػ١ ع

بي ٠ب سعي اهلل إ أصجذ فم

أسضب ثخ١جش أصت بال لظ

أفظ ػذ فب رأش ث

إ شئذ دجغذ أصب » لبي

لبي فزصذق ثب «. رصذلذ ثب

ال ػش أ ال ٠جبع أصب

٠جزبع ال ٠سس ال ٠ت. لبي

فزصذق ػش ف افمشاء ف

امشث ف اشلبة ف عج١

اهلل اث اغج١ اض١ف ال

جبح ػ ١ب أ ٠أو

صذ٠مب ب ثبؼشف أ ٠غؼ

غ١ش زي ف١ Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, dia berkata: Umar telah mendapatkan

sebidang tanah di Khaibar, lalu dia datang kepada Nabi Salallahu Alaihi

Wasallam untuk meminta pertimbangan tentang tanah itu, kemudian dia berkata

wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar,

dimana aku tidak mendapatkan harta yang lebih berharga bagiku selain

daripadanya; maka apakah yang hendak engkau perintahkan kepadaku

sehubungan dengannya? Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam berkata kepada

Umar: jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya. Lalu

Umar pun menyedekahkan manfaat tanah itu dengan syarat tanah itu tidak akan

dijual, tidak akan dihibahkan dan tidak akan diwariskan. Tanah itu diwakafkan

kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan

tamu dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusnya untuk memakan

sebagian darinya dengan cara ma‟ruf dan memakannya tanpa menganggap tanah

itu miliknya sendiri.”30

30

Imam Muslim, Shahih Muslim, II: 13-14.

41

Universitas Indonesia

Selain hadits diatas, ditegaskan pula dalam hadits nabi yang menyinggung

tentang wakaf, yaitu:

ػ أث ش٠شح أ سعي اهلل ص اهلل

إرا بد » لبي -ػ١ ع

اإلغب امغغ ػ ػ إال

خ جبس٠خ أ ػ صالصخ إال صذل

٠زفغ ث أ ذ صبخ ٠ذػ

]سا غ[ «. Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw

bersabda: Apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah semua amalannya

kecuali tiga, yaitu: Sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat atau anak

shalih yang mendo‟akan kepadanya.” (HR. Muslim)31

Menurut Sayyid Abi Bakr dalam kitab I‟anah at-Talibin, menjelaskan bahwa:

اصذلخ اجلبس٠خ حمخ ػذ

اؼبء ػ

الف.............

Artinya: Menurut para Ulama shadaqah jariah ini dikatagorikan dalam wakaf.32

Bahkan dalam lanjutan kalimat diatas, disebutkan:

31

Ibid, hlm.14.

32 Sayyid Abi Bakr bin Sayyid Muhammad, I‟anah at-Talibin, Juz III, Mesir : Musthofa al-

Babi al-Khalbi wa Auladuhu bi Misri, 1342, hlm. 157

42

Universitas Indonesia

فب غري اصذلبد ١غذ

ث مبه ادلزصذق جبس٠خ

ػ١

Artinya: Maka sesungguhnya shadaqah yang lainnya (selain wakaf) bukan

merupakan sedekah jariah(sedekah yang pahalanya mengalir terus), karena hanya

terhenti ditangan penerima sedekah saja.”33

Hal yang sama dikemukakan oleh Imam ar-Rafi‟i, bahwasanya sedekah jariyah

maknanya adalah wakaf, sebab sedekah selain wakaf pahalanya tidak dapat terus

mengalir, bahkan hanya terhenti ditangan penerima sedekah.34

Sehingga jelas

maksud dari shadaqah adalah wakaf. Karena pahala wakaf akan terus menerus

mengalir selama harta benda wakaf masih dimanfaatkan. Sebagaimana ketentuan

sedekah jariah yang manfaat dan pengaruhnya kekal setelah pemberi sedekah

meninggal dunia.35

Al-Qur‟an dan Hadits diatas adalah dalil yang mendasari disyari‟atkannya

wakaf sebagai tindakan hukum, baik kepentingan sosial maupun kepentingan

keagamaan dengan maksud memperoleh pahala dari Allah SWT. Memang sedikit

sekali ayat-ayat al-Qur‟an dan al-Hadits yang menyinggung tentang Wakaf,

sehingga sedikit pula hukum-hukum wakaf yang ditetapkan dengan kedua sumber

hukum itu. Walaupun demikian ternyata tidak menyurutkan para fuqaha untuk

berijtihad membuat pedoman tentang wakaf tersebut berdasarkan sumber hukum

yang ada. Sejak masa khulafa‟ur Rasyiddin sampai para fuqoha‟ terus melakukan

ijtihad tentang hukum wakaf. Oleh karena itu sebagian besar hukum-hukum

33

Ibid

34 http://wakafpro99.org/?page_id=614

35 Yusuf Qordhowi, Fii Fiqh al-Aulawiyyaati Dirasah Jadiidah fii Dhau‟ al-Qur‟ani wa as-

Sunnati, Terj. Muhammad Nurhakim “Urutan Amal Yang Terpentnig Dari Yang Penting”, Jakarta:

Gema Insani Pers, 1996, hlm.123

43

Universitas Indonesia

wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad36

, dengan menggunakan

metode yang bermacam-macam seperti Qias, Maslahah Mursalah dan lain-lain.37

Oleh karena itu, ketika hukum (ajaran) Islam masuk ke ranah ijtihadi,

maka hal tersebut menjadi sangat fleksible, artinya sangat terbuka terhadap

penafsiran-penafsiran baru, dinamis dan futuristik (ber-orientasi pada masa

depan).38

2.3 Fungsi dan Tujuan Wakaf:

Sebagaimana disyari‟atkan dalam dasar-dasar hukum wakaf diatas, baik

yang terdapat dalam al-Qur‟an maupun al-Hasits, terdapat banyak keutamaan

dalam perbuatan wakaf. keutamaan wakaf tersebut adalah sebagai berikut:39

a. Wakaf menanamkan sifat zuhud40

dan melatih menolong kepentingan orang

lain.

b. Menghidupkan lembaga-lembaga sosial maupun keagamaan demi syi‟ar

Islam dan keunggulan kaum muslimin.

c. Menanamkan kesadaran bahwa didalam setiap harta benda, meski telah

menjadi milik sah, mempunyai fungsi sosial.

d. Wakaf menyadarkan seorang bahwa kehidupan diakhirat memerlukan

persiapan yang cukup. Wakaf merupakan tindakan hukum yang menjanjikan

pahala yang berkesinambungan.

Fungsi pokok dari wakaf adalah mewujudkan potensi dan manfaat

ekonomis harta benda wakaf dan harus sesuai dengan fungsinya. Agar manfaat

harta benda wakaf dapat mengalir terus menerus dalam masyarakat maka benda

36

Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah

yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnahlm. Pelakunya disebut Mujtahid

( orang yang berkompeten untuk melakukan ijtihad dengan syarat-syarat khusus)

37 Depag, Fiqih Wakaf, Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005, hlm.

38 Depag, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Jakarta: Proyek Peningkatan

Pemberdayaan Wakaf, Dirjen bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004, hlm. 59.

39 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet.3 PTRaja Grafindo Persada, Jakarta: 1959

hal, 487

40 zuhud secara istilah berarti tidak mementingkan hal - hal yang bersifat keduniawian, atau

meninggalkan gemerlap kehidupan yang bersifat material dalam mengabdikan diri kepada Allah

subhanahu wa ta'ala

44

Universitas Indonesia

wakaf tersebut harus dikelola dengan baik , sesuai dengan fungsi dan tujuan orang

yang berwakaf (wakif). Tujuan utama dari wakaf adalah untuk mencari keridhaan

Allah SWT, oleh karena itu, tidak diperbolehkan menyimpang dari nilai-nilai

ibadah misalnya mewakafkan tanah untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran

Islam.41

2.4 Rukun dan Syarat Wakaf:

Para mujtahid berbeda-beda dalam merumuskan definisi wakaf, namun

mereka sepakat dalam pembentukan wakaf diperlukan berbagai syarat dan rukun.

Syarat menurut etimologi (bahasa) berarti tanda,42

namun menurut

terminologi (istilah) syarat adalah:

جد احلى ػ لفب ٠ز

جد ٠ض ػذ ػذ

احلى

Artinya: “sesuatu yang tergantung pada hukum syar‟i yang keberadaannya diluar

hukum itu sendiri dan ketiadaannya menyebabkan keberadaan hukum-hukum itu

hilang”43

Dengan kata lain, sesuatu yang karenanya baru ada hukum dan karena

ketiadaannya tidak ada hukum.44

Sedangkan rukun adalah sesuatu yang merupakan sendi utama dan unsur

pokok dalam pembentukan suatu hal. Perkataan rukun berasal dari bahasa arab

41

Deby Nuri Herasanti, Eksistensi Wakaf Menurut hukum Islam, Peraturan Pemerintah

Nomor 28 Tahun 1977, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Thesis Program Magister

Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, 2006, hlm.43

42 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Daar Al-Kutub, 1968, hlm. 118.

43 Muhammad Rifa‟i, Ushul Fiqh, Semarang : Wicaksana, 1991, hlm.15

44.Ibid.

45

Universitas Indonesia

“ruknu” yang berarti tiang, penopang atau sandaran.45

Menurut istilah rukun

adalah sifat yang tergantung keberadaan hukum padanya dan sifat itu yang

termasuk kedalam hukum itu sendiri.46

Atau dengan kata lain rukun adalah

sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perbuatan. Dengan demikian

sempurna atau tidaknya wakaf dipengaruhi oleh beberapa rukun yang ada dalalam

perbuatan wakaf tersebut. Masing-masing rukun tersebut harus saling menopang

satu dengan lainnya, karena keberadaan yang satu sangat menentukan keberadan

yang lainnya.

Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya.

Adapaun rukun wakaf ada empat yaitu:47

1. Wakif (orang yang berwakaf)

2. Maukuf bih (harta wakaf)

3. Maukuf alaih (tujuan wakaf)

4. Sighat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk

mewakafkan sebagian harta benda miliknya)

Namun bila kita melihat Undang Undang wakaf yang kita miliki yaitu UU No.41

Tahun 2004 Pasal 6 menambahkan hukum wakaf dengan:48

1. Nadzir (pengelola Wakaf)

2. Jangka waktu wakaf.

Dari tiap rukun wakaf diatas harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Syarat Wakif

Orang yang mewakafkan (wakif) disyaratkanmemiliki kecakapan hukum

atau kamalul ahliyyah (legal competent) dalam membelanjakan hartanya.

Kecakapan bertindak disini meliputi empat kriteria,49

yaitu:

a. Merdeka;

45

Anton M. Mulyono, et al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-2, Jakarta: Balai

Pustaka, 1989, hlm.757.

46 Nasrun Harun, Ushul Fiqh I, Jakarta: 1996, hlm. 246

47 Farida Prihatini, et al., Hukum Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: Papas Sinar Kinanti dan

Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), 2005, hlm. 110-111

48 Hadi Setya Tunggal, Op.Cit., hlm. 10.

49 Depag Fikih Wakaf, Op.Cit., hlm. 21-22.

46

Universitas Indonesia

b. Berakal sehat;

c. Dewasa (baligh); dan

d. Tidak berada dibawah pengampuan (boros/ lalai).50

2. Syarat mauquf bih (harta Wakaf)

Syarat yang harus dpenuhi harta benda wakaf adalah sebagai berikut:

a. Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak habis

sekali pakai;

Mayoritas ulama berpendapat, benda yang diwakafkan itu sifat zatnya

kekal atau tahan lama, tidak cepat habis seperti makanan dan lain-lain.

Jika diperhatikan, barangkali itu sebabnya contoh-contoh yang terjadi

pada masa rasul umumnya benda yang tahan lama dan kekal zatnya.51

.

sehingga dapat disimpulkan bahwa barang yang dapat diperjual

belikan dapat diwakafkan tanpa menghabiskan barangnya, artinya

tidak sah berwakaf suatu benda apabila benda itu tidak dapat diambil

manfaatnyamelainkan dengan merusaknya. Oleh kerena itu barang

yang dilarang diperjual-belikan seperti barang-barang haram dan

barang yang cepat habis kalau dimanfaatkan, atau barang-barang yang

cepat rusak maka tidak sah dijadikan wakaf.52

b. Benda wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum ; dalam

kitab Raad al-Mukhtar, disebutkan:

Artinya: begitu juga sah wakaf Musya‟(badan Hukum) ia memutuskan

kebolehannya”53

c. Benda wakaf merupakan benda milik yang sempurna. Ia terbebas dari

segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa; sebagaimana

dikatakan oleh Wahbah Zuhaili:

Artinya: hendaknya benda wakaf itu milik wakif secara sempurna

(tanpa ada pembebanan pada saat mewakafkannya)

50

Ibrahim al-Bajuri, Loc.Cit.

51 Abdul Hakim, Hukum Perwakafan Di Indonesia, Ciputat: Ciputat press, 2005, hlm. 20.

52 Ibid.

53 Ibid.

47

Universitas Indonesia

d. Benda itu tidak dapat diperjualbelikan, dihibahkan ata dipergunakan

selain untuk wakaf. seperti yang telah dinyatakan oleh Sayyid Sabiq:

Artinya: Apabila wakaf telah tetap (mempunyai kekuatan hukum)

maka, tidak boleh menjualnya, menghibahkannya dan tindakan-

tindakan lain yang menghilangkan sifat wakafnya‟54

.

Benda wakaf sebagaimana dalam fiqih Islam meliputi berbagai benda

tetep dan benda bergerak, meski berbagai riwayat/Hadts yang

menceritakan masalah wakaf adalah mengenai tanah, tetapi berbagai

ulama memahami wakaf selain tanah diperbolehkan saja, asalsaja zat

benda itu an sich tetap atau tahan lama. Maksudnya bukan barang

cepat habis bila dipakai atau diambil manfaatnya.55

hal ini sejalan

dengan fikih Islam yang berkembang dalam Ahlussunnah, dikatakan

“sah kita mewakafkan binatang” demikian juga pendapatnya imam

Ahmad dan Imam Malik.56

Dari sini dapat penulis simpulkan bahwa

benda wakaf adalah benda-benda baik bergerak maupun tidak bergerak

yang tidak cepat habis apabila diambil manfaatnya.

3. Syarat Mauquf Alaih (Tujuan Wakaf)

Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan

diperbolehkan menrut syari‟at Islam. Karena pada dasarnya wakaf

merupakan suatu ibadah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada

Allah. Tujuan wakaf merupakan wewenang Wakif . apakah harta wakaf

tersebut ditujukan untuk menolong keluarganya sendiri sebagai wakaf

keluarga (Wakaf Ahli) atau untuk fakir miskin dan lain-lain, atau untuk

kepentingan Umum (Wakaf Khairi).57

Tentu saja dalam hal ini sama-sama

untuk menghindari penyalahgunaan harta benda wakaf. jelasnya syarat

dari tujuan wakaf adalah untuk:

54

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz III, Beirut: Daar al-Kitab al-Araby, 1971, hlm.552

55 Raihan Rasid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Bulan Bintang, Cet.ke-5, 1978,

hlm. 179.

56 Raihan Rasid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta PT Raja Grafindo Persada, Cet,

ke-10, 2003, hlm. 38.

57 Ahmad Rofiq, Fikih Kontekstual: Dari Normative Ke Pemahaman Sosial, Semarang:

Pustaka Pelajar, 2004, hlm.323.

48

Universitas Indonesia

a. Kebaikan;dan

b. Mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepedaNya.

Sehingga tujuan wakaf tidak di benarkan dengan peruntukan maksiat atau

membantu mendukung dan /atau untuk tujuan maksiat.

4. Syarat Shighat (Ikrar)

Ikrar Wakaf ialah pernyataan kehendak Wakif yang diucapkan secara lisan

dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.58

Terdapat tiga pendapat yang berbeda dari kalangan ulama tentang perlu atau

tidaknya qobul (penerimaan) dalam dalam sighat akad. Pendapat pertama,

mewajibkan adanya qobul (sighat penerimaan) secara mutlak baik wakaf untuk

umum maupun wakaf untuk pihak tertentu. Kedua, tidak mensyaratkan Qobul

secara mutlak dan ketiga membedakan antara wakaf untuk umum (menrut

pendapat ke tiga tidak perlu adanya Qobul ) dan wakaf bagi pihak tertentu perlu

adanya Qobul.59

Menurut Imam Syafi‟i didalam kitab al-Umm disebutkan:

ز اؼغ١خ رز ثأش٠ :

اشبد أػغب ب لجضب

ثأش أػغب بArtinya: dan pemberian wakaf ini akan sempurna dengan memenuhi dua perkara

yait pengakuan yang memberikan dan penerimaan bagi yang menerima dengan

perintah yang memberikan.60

Pernyataan Imam Syafi‟i diatas menunjukkan, bahwa syarat syahnya

wakaf adalah adanya Ijab dan Qobul. Sedangkan ulama yang berpendapat

berlainan dengan Imam Syafi‟i diantaranya Imam Muhammad Jawaad

Mughniyah, beliau mengatakan bahwa Mazhab Hambali dan Mazhab Hanafi

sepakat jika wakafnya itu untuk kepentingan umum tidak membutuhkan adanya

qabul, demikian pula wakaf untuk pihak tertentu (khusus) juga tidak

58

Hadi Setya Tunggal, Loc.Cit.

59 Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur,

Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, “Fiqih Lima Mazhab”, Jakarta, 2001, hlm. 642.

60 Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris as-Syafi‟I, Al-Umm, juz 4, Bairut: Dar al-

Kutub al-Ilmiah, t.thlm., hlm. 53.

49

Universitas Indonesia

membutuhkan qabul.61

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Imam Zakariyya

al-Anshori dalam kitab Fath al Wahab bahwa ikrar wakaf cukup dengan ijab saja

dari wakif tanpa memerlukan qabul dari mauquf „alaih, sebagaimana telah

dikatakan oleh Imam Zakariyya al-Anshori dalam kitab Fath al Wahab:

)اللجي( فال ٠شرتط )

ؼني ( ظش اىل ا لشثخ

Artinya: “Maka tidak disyaratkan adanya Qobul, Walaupun dari sesuatu yang

nyata(jelas), karena sesungguhnya wakaf adalah Ibadah Untuk mendekatkan diri

kepada Allah”62

Pernyataan ini menunjukkan bahwa ikrar wakaf merupakan tindakan

hukum yang bersifat deklaratif (sepihak). Untuk itu tidak diperlukan adanya qobul

dari orang yang menikmati manfaat wakaf. karena fungsi ibadah wakaf adalah

pendekatan diri kepada Allah SWT.

Begitupun Sayid Sabiq, beliau berpandangan bahwa Wakaf itu hanya

membutuhkan Ijab dan tidak membutuhkan Qabul. Sebagaimana yang beliau

tuliskan dalam kitab Fiqh al-Sunnah,

ػ ىت فؼ االف ب ٠ذي

الف ا غك ثبص١غخ ض

ف ثششط ا ٠ى االف ال

ثأ ٠ى وب شفصمم ٠صخ ر

اؼم اجؽ األ١خ

61

Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur,

Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, “Fiqih Lima Mazhab”, Jakarta, 2001, hlm. 642.

62 Abu Yahya Zakariya al-Anshori, Fath al-Wahab, Juz I, Semarang: Toha Putra, t.thlm.,

hlm. 257.

50

Universitas Indonesia

احلش٠خ االخز١بس ال حيزبط ىف

اؼمبد إىل لجي ادللف ػ١

Artinya: bila seorang yang berwakaf berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada

wakaf, maka terjadilah wakaf itu, dengan syarat orang yang berwakaf adalah

orang yang sah tindakannya, misalnya telah sempurna akalnya, dewasa, merdeka,

dan tidak terpaksa.63

Untuk itu menurut Sayyid Sabiq bahwa terjadinya wakaf tidak perlu

adanya qabul dari orang yang menerima wakaf.

Alasan Sayyid Sabiq bahwa wakaf tidak perlu adanya qabul adalah

sebagai berikut:

٠صخ الف ٠ؼمذ ثأدذ

( افؼ : اذاي ػ١ 1أش٠

٠جين غجذا ٠ؤر صالح : وأ

2ف١ ال حيزبط إىل دى دبو.

( امي: ٠مغ إىل صش٠خ

ف : لفذ اال: ض لي

دجغذ عجذ أثذد. اىب٠خ

: وب ٠مي: رصذلذ ب٠ب ث

الف. اب الف ادلؼك

أ ثبدلد ض ا ٠مي: داس

فشع لف ثؼذ ر " فئ

جبئض ره ىف ضبش زت امحذ,

وب روش اخلشل غري,٢ زا

ذ١ئز و اصب٠ب ف

63

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz I Kairo: Maktabah Dar al-Turus, tt, hlm. 309.

51

Universitas Indonesia

ازؼ١ك ثؼذ ادلد ٠م

ص١خ. جبئضا أل

Artinya: wakaf itu sah dan terjadi melalui dua perkara:

a. Perbuatan yang menunjukkan padanya; seperti bila seseorang membangun

masjid, kemudian azan untuk mendirikan shalat berjamaah didalamnya

perilaku orang tersebut tidak memerlukan keputusan hakim untuk

melakukan hal itu.

b. Ucapan: ucapan ini ada dua macam yaitu Sharikh (tegas) dan ada yang

kinayah (tersembunyi). Yang sharikh misalnya ucapan seorang yang

mewakafkan: “aku wakafkan” , “aku hentikan pemanfaatannya”, “ aku

jadikan untuk sabilillah”, “aku abadikan”. Yang kinayah, seperti ucapan

seorang yang mewakafkan: “aku sedekahkan”, akan tetapi dia berniat

mewakafkannya. Adapun wakaf yang dihubungkan dengan kematian,

seperti seseorang berkata: “rumahku atau kudaku menjadi wakaf sesudah

aku mati”, maka hal itu diperbolehkan menurut Imam Zahiri dari mazhab

Ahmad, seperti yang telah disebutkan oleh Al-Khiraqi dan lain-lain. Sebab

ini semuanya termasuk kedalam wasiat; oleh karena itu ta‟liq kematian

untuk wakaf adalah diperbolehkan sebab wakaf adalah wasiat.64

Selain alasan yang telah dikemukakan di atas, alasan lain dari Sayyid Sabiq

bahwa wakaf tidak diperlukan adanya qabul dari penerima wakaf adalah:

1. Karena seseorang yang menunjukkan perilaku perbuatan wakaf atau

mengucapkan kata-kata wakaf, maka wakaf itu dianggap terjadi dengan

syarat orang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya seperti

telah sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa

2. Wakaf adalah perbuatan tabarru‟(mendamakan harta) sehingga tidak

membutuhkan Qabul.65

Walaupun pendapat para ulama tersebut menyatakan bahwa wakaf hanya

butuh ijab dan tidak butuh qabul, namun dalam pelaksanaanya wakaf tetap

membutuhkan bukti-bukti tertulis, agar tindakan hukum wakaf mempunyai

kekuatan hukum dan menciptakan tertib administrasi.

64

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 3, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 1970, hlm. 309.

65 Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 322.

52

Universitas Indonesia

Pernyataan tersebut menunjukkan, bahwa ikrar wakaf merupakan tindakan

hukum yang bersifat deklarasi (sepihak) oleh karena itu tidak diperlukan qobul

dari orang yang menikmati manfaat wakaf. Para fuqoha‟ telah menetapkan syarat-

syarat shighat (ikrar), sebagai berikut:

a. Shighat harus mengandung pernyataan bahwa wakaf itu bersifat kekal

(ta‟bid). Untuk itu wakaf yang dibatasi waktunya tidak sah.hal ini

sesuai dengan pendapat dari mazhab Syafi‟i yang menyatakan bahwa

wakaf diberikan dengan cara memutus hak pengelolaan wakif atas harta

benda wakaf. Lain halnya menurut mazhab Maliki yang tidak

mensyaratkan adanya ta‟bid sebagai sarat sah wakaf66

Berkaitan dengan jangka waktu tersebut dalam Undang-Undang Rebublik

Indonesia nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mengatur ketentuan

wakaf dengan jangka waktu tertentu dalam hal harta benda wakaf

berupa benda bergerak. Dasar pemahaman diaturnya jangka waktu

wakaf dalam peraturan perundang-undangan tersebut adalah pendapat

dari Mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa Wakif masih menjadi

pemilik harta benda wakaf. dan juga pendapat dari Imam Maliki yang

menyatakan bahwa wakaf dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu

sesuai keinginan wakif.

b. Sighat harus mengandung arti yang tegas dan tunai;67

c. Shighat harus mengandung kepastian, maksudnya suatu wakaf tidak

boleh diikuti oleh syarat kebebasan memilih.

d. Sighat tidak boleh dibarengi dengan syarat yang membatalkan, seperti

mensyaratkan barang tersebut untuk keperluan maksiat.

5. Syarat Nadzir

Memang pada ketentuan fikih klasik nadzir wakaf tidak disebutkan

sebagai salah satu rukun wakaf, namun setelah memperhatikan tujuan

wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari hasil harta wakaf maka

keberadaan nadzir sangat diperlukan, bahkan menempati peran yang

66

Wahbah Zuhaili, Op.cit., hlm. 196

67 Ibid

53

Universitas Indonesia

sangat fital, sebab tanggung jawab dan kewajiban memelihara, menjaga

dan mengembangkan serta menyalurkan hasil atau manfaatnya dengan

tepat sasaran adalah kewajiban Nadzir. Maka dari itu UU Wakaf kita

mencantumkan bahwa Nadzir termasuk rukun dalam wakaf baik berupa

perorangan maupun berupa badan hukum.68

Adapun syarat yang harus dipenuhi bagi nadzir oerorangan adalah:

a. WNI

b. Beragama Islam

c. Dewasa

d. Amanah

e. Mampu secara jasmani dan rohani

f. Tidak tarhalang melakukan perbuatan hukum.

Adapun nadzir yang berbentuk organisasi maka syarat yang harus

dipenuhi adalah selain pengurus organisasi yang memenuhi persyaratan

nadzir perseorangan, organisasi tersebut harus bergerak dibidang sosial,

pendidikan, kemasyarakatan dan /atau keagamaan Islam. Tentunya

pengurus badan hukum yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan

nadzir perseorangan pula.69

2.5 Syarat Jangka Waktu Wakaf

Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang syarat keabadian waktu dalam

wakaf. Sebagian ulama mencantumkan jangka waktu sebagai syarat dan sebagian

ulama yang lain tidak mencantumkan. Ulama mazhab selain Maliki berpendapat

wakaf tidak akan terwujd kecuali bila orang yang mewakafkan bermaksud

mewakafkan barangnya itu untuk selama-lamanya dan terus menerus. Maka hal

itulah yang membuat wakaf disebut sebagai shdakah jariyyah.70

Sedangkan pada

sisi lain imam Maliki mengatakan “ wakaf tidak disyaratkan berlaku untuk

68

Hadi Setya Tunggal, Op.Cit., hlm.4.

69 Ibid., hlm. 6.

70 Muhammad Jawad mughniyyah, Al-Fiqh „Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, et

al.,”Fiqih Lima Mazhab”, Jakarta: Lentera, Cet.ke-5, 2000, hlm. 635-636.

54

Universitas Indonesia

selamanya, tetapi sah berlaku untuk jangka waktu satu tahun misalnya sesudah itu

harta wakaf itu kembali lagi kepada wakif” 71

Di dalam Kompilasi Hukum Islam, syarat “selama-lamanya” dicantumkan

pada Pasal 215 (1), bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seorang atau kelompok

orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan

melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan

umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.72

Namun kemudian syarat selama-

lamanya dalam KHI tersebut diubah seiring ditetapknnya UU Nomor 41/2004

pada Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “wakaf adalah perbuatan hukum

Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya

untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan

kepentingannya guna keperluan ibadah dan /atau kesejahteraan umum menurut

syari‟ah.73

2.6 Macam-macam Wakaf

Bila ditinjau dari segi peruntukan wakaf, maka lembaga wakaf menurut

doktrin hukum Islam ada dua bentuk, yaitu:

1. Wakaf Ahli

Wakaf ahli diseubt juga wakaf keluarga atau wakaf khusus, yang

dimaksud dengan wakaf ahli adalah wakaf yang ditujukan kepada orang

tertentu, baik keluarga wakif sendiri maupun orang lain.74

Bentuk wakaf

ahli ini dalam prakteknya mirip dengan lembaga Adat yang berbentuk

pusaka, hanya saja bedanya kalau wakaf Ahli pemberiannya tidak harus

ditujukan untuk keluarga wakaf atau keturunan, tetapi dapat diberikan

kepada siapa saja sesuai dengan keinginan si-Wakif, baik terhadap orang-

71

Ibid, hlm. 636.

72 Depag, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Dirjen Bimbingan Islam, 1999, hlm. 99.

73 Hadi Setya Tunggal, Loc.Cit.

74 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 244.

55

Universitas Indonesia

orang yang masih terkait hubungan kekeluargaan dengan si Wakif maupun

tidak.75

Wakaf seperti ini dipandang sah dan yang berhak menikmati harta

wakaf itu adalah orang-orang yang ditunjuk dalam ikrar wakaf.76

Satu sisi,

wakaf ahli ini baik sekali karena Wakif akan mendapatkan dua kebaikan,

yaitu kebaikan amal ibadah wakafnya, juga kebaikan dari silaturrahminya

dengan orang yang di beri amanah wakaf. akan tetapi disisi lain wakaf ahli

ini sering menimbulkan masalah , sepaerti tatkala kalau anak yang

ditunjuk sudah tidak ada lagi keturunan, siapa yang berhak mengambil

manfaat dari harta tersebut. Lebih-lebih kalau pada saat pelaksanaan akad

wakafnya tersebut tidak disertai bukti tertulis yang dicatatkan kepada

negara.77

Menanggapi kenyataan ini dibeberapa negara melakukan

peninjauan kembali peraturan-peraturan mengenai pelaksanaan wakaf ahli,

seperti di Mesir pada tahun 1946 telah mengeluarkan undang-undang

dimana semua Wakaf Keluarga diubah bersifat sementara. Kemudian

pada tahun 1952 bentuk wakaf ahli ini di hapus sebagaimana yang

tertuang dalam Undang-Undang Mesir Nomor 180 tahun 195278

.

Penghapusan ini sebelumnya telah didahului dengan perdebatan sengit

oleh parlemen Mesir. Alasan penghapusan wakaf ahli adalah karena sering

terjadi penyalahgunaan terhadap wakaf ini seperti:

a. Wakaf ahli dijadikan sebagai alat untuk menghindari pembagian

warisan kepada ahli waris yang berhak manakala si Wakif nantinya

meninggal dunia.

75

Taufiq Hamami, Op.Cit.,hlm.66.

76 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 244.

77 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam, Perkembangan Pengelolaan Wakaf

di Indonesia (Jakarta: Departemen Agama, 2006), hlm. 42.

78 M Ubaid al-Kabisi, Ahkam al Waqf asy-Syar‟iah al Islamiyah, Baghdad : Al-Irsyad 1977

56

Universitas Indonesia

b. Wakaf ahli dijadikan alat untuk menghindari tuntutan-tuntutan

kreditor terhadap hutang-hutang yang dilakukan si Wakif sebelum ia

mewakafkan hartanya.79

Karena banyak praktik-praktik penyalah gunaan harta wakaf tersebut maka

beberapa negara Islam lainnya seperti Syria, Turki, Maroko dan Aljazair

menghapuskan wakaf ahli, sebab praktik penyimpangan ini dipandang

telah tidak sesuai lagi dengan ajaran Islam.80

2. Wakaf Khairi

Praktek wakaf khairi dalam kehidupan masyarakat dikenal dengan istilah

Sosial. Dikatakan demikian karena wakaf ini diberikan oleh si wakif agar

manfaatnya dapat dinikmati kalangan masyarakat secara umum, tidak oleh

orang-orang tertentu saja.81

Seperti mewakafkan tanah untuk mendirikan

masjid, mewakafkan sebagian kebun yang hasilnya dapat dipergunakan

untuk membina jamaah pengajian dan sebagainya82

Berdasarkan pada hadits umar bin khatab tentang tanah di khaibar, bahwa

wakaf tersebut untuk kepentingan umum, meskipun disebutkan juga untuk

sanak kerabatnya. Oleh kerena itu, titik tekan agar sanak keluarga umar

tidak sampai tidak turut serta menikmati hasil harta wakaf itu. Hal ini

dipandang sudah mencakup diwakili dengan kata “ untuk kepentingan

umum” hal ini karena makna kata “untuk kepentingan umum” itu sudah

mencakup siapasaja yang termasuk dalam golongan fakir miskin, baik

untuk keluarga umar maupun bukan.83

Wakaf khairi inilah yang

manfaatnya akan betul-betul dapat dinikmati hasilnya oleh masyarakat

luas, serta dapat dijadikan sebagai salah satu sarana dalam

79

Hj.Tjek Tanti, Jurnal Al-Irsyad, Jurusan BKI – FITK IAIN Sumatera Utara, Wakaf Ahli

dalam Konsep Fikih Tradisional

80 M.A. Mannan, Sertifikasi Wakaf Tunai Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam, alih

bahasa Tjasmijanto dan Rozidayanti (Depok: CIBER dan PKTTI-UI,2001), hlm.34

81 Taufiq Hamami, Op.cit, hlm. 67-68

82 Depag Fikih Wakaf, Op.cit.,hlm 221-222

83 Abdul Ghafur Anshori, Op.cit., hlm.31-32

57

Universitas Indonesia

penyelenggaraan kesejahtraan sosial, baik dalam bidang sosial ekonomi,

kebudayaan maupun keagamaan sendiri.

Para Ulama mazhab Imamiyah sepakat bahwa wakaf pada jenis ini

tidak boleh dijual dan tidak boleh pula diganti sekalipun rusak dan hampir

binasa ataupun ambruk. Sebab bagi ulama imamiyah sebagian besar dari

mereka wakaf tersebut tidak ada pemiliknya. Artinya ia telah keluar dari

pemiliknya yang pertama menuju keadaan tanpa pemilik. Sesudah barang-

barang tersebut diwakafkan, keadaan persis sama dengan keadaan barang

umum barang-barang umum yang mubah lainnya yang boleh

dimanfaatkan siapa saja.

2.7 Status Harta Wakaf

Perbedaan dalam memandang status harta benda wakaf terdapat dikalangan

ulama fikih. Menurut Imam Syafi‟i, wakaf adalah suatu ibadah yang di

syari‟atkan, wakaf berlaku sah bilamana Wakif telah menyatakan dengan

perkataan waqaftu (telah saya wakafkan), sekalipun tanpa diputuskan hakim.

Harta yang telah diwakabfkan menyebabkan waikf tidak memiliki hak

kepemilikan lagi, sebab kepemilikannya telah berpindah kepada Allah, dan juga

tidak menjadi milik dari penerima wakaf (Mauqf Alaih), akan tetapi wakif tetap

diperbolehkan mengambil manfaatnya.84

Menurut Ulama Syafi‟iyah, apabila wakaf telah dilaksanakan syarat dan

rukunnya, orang yang mewakafkan (wakif) tidak diperbolehkan meminjamkan,

memberikan, dan memperjual belikan.85

menurut Imam Hanafi wakaf adalah suatu

sedekah selama hakim belum mengumumkan bahwa harta itu adalah harta benda

wakaf, atau disyaratka denga ta‟lid sesudah meninggalnya orang yang berwakaf,

misalnya dikatakan “ bilamana saya telah meninggal, harta saya yang berupa

tanah ini saya wakafkan untuk kepentingan Madrasah Tsanawiyyah”, dengan

84

Abdul Ghafur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan, hlm. 33.

85 Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahtraan Umat, hlm. 23.

58

Universitas Indonesia

demikian wakaf tanah untuk kepenbtingan Madrasah Tsanawiyyah baru berlaku

setelah Waqif meninggal dunia.86

Mazhab Maliki berpendapat bahwa esensi kepemilikan dari benda wakaf

tersebut tetap bebrada ditangan pemiliknya semula (waqif), akan tetapi wakif

sudah tidak diperkenankan menggunakannya lagi.87

pendapat ini diperkuat dengan

pendapatnya imam Hanafi, menurut Imam Hanafi harta benda wakaf itu tetap

menjadi milik Wakif oleh kerena itu pada suatu waktu harta wakaf tersebut dapat

diambil oleh Wakif atau Ahli Warisnnya Wakif setelah waktu yang ditentukan.88

2.8 Hakikat Harta Benda Wakaf

Salah satu unsur penting dalam wakaf adalah benda yang diwakafkan.

Tanpa benda wakaf maka wakaf tidak mungkin akan terealisasi. Benda wakaf

menurut fuqoha dan hukum positif dalam beberapa hal adalah sama, yaitu benda

wakaf itu bermanfaat dan bernilai ekonomis, salam arti sesuatu yang dapat

diperjual belikan, tahan lama, baik mendanya dan manfaatnya dan manfaat dapat

diambil oleh penerima wakaf.89

Menurut Mazhab Hanafi bahwa salah satu dari syarat benda yang dapat

diwakafkan itu adalah abadi atau kekal. Berdasarkan syarat ini maka segala harta

yang akan diwakafkan harus berupa harta yang kekal, agar dapat diabadikan

wakafnya. Oleh kerena itu ulama hanafiyah menetapkan dasar dari harta wakaf itu

adalah benda yang tidak bergerak, baik secara alami maupun rekayasa. Jika harta

benda wakaf itu berupa benda bergerak, maka wakafnya tidak sah.90

Dalam

Mazhab Hanafi dikenal kaidah: “pada prinsipnya, yang sah diwakafkan adalah

benda tidak bergerak”. Sumber kaidah ini adalah asas yang paling berpengaruh

terhadap wakaf, yaitu ta‟bid (tahan lama).91

86

Op.Cit, hlm. 34.

87 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam, Paradigma Baru Wakaf, hlm. 7

88 Abdul Ghafur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan, hlm.34

89 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, hlm.57.

90 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, hlm.262.

91 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam, Fiqih Wakaf, hlm.31.

59

Universitas Indonesia

Menurut Abu Zahrah, mazhab Hanafi memperbolehkan wakaf benda

bergerak sebagai pengecualian dari prinsip jika memenuhu kondisi. Kondisi

tersebut adalah Pertama, benda bergerak itu selalu menyertai benda tetap. Hal

seperti ini ada dua yaitu karena hubungannya sangat erat dengan benda tetap,

seperti bangunan dan pepohonan dan sesuatu yang khusus disediakan untuk

kepentingan benda tetap, misalnya alat untuk membajak sawah. Kedua, boleh

mewakafkan benda bergerak berdasarkan atsar (perilaku) sahabat yang

memperbolehkan mewakafkan senjata, baju perang yang digunakan untuk

berperang. Ketiga, boleh mendatangkan pengetahuan dan merupakan sesuatu yang

bisa dilakukan berdasarkan Urf (tradisi). Seperti mewakafkan kitab-kitab dan

mushaf Al-Qur‟an. Menurut Mazhab Hanafi untuk mengganti benda wakaf yang

dikhawatirkan tidak kekal adalah memungkinkan kekalnya manfaat.

Para Ulama pengikut Mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa dalam hal

mewakafkan harta dilihat dari kekekalan fungsinya atau manfaat dari harta

tersebut, baik barang bergerak, barang tidak bergerak maupun barang kongsi

(milik bersama). Menurut mazhab Maliki, boleh juga mewakafkan benda

bergerak, baik yang menempel dengan yang lain, baik ada nash yang

memperbolehkan nya atau tidak, karena mazhab ini tidak mensyaratkan

ta‟bid(harus selama-lamanya) pada wakaf. bahkan menurut Imam Maliki wakaf

itu sah meskipun sementara waktu.92

Sedangkan menurut Mazhab Hambali boleh mewakafkan harta, baik

bergerak maupun tidak seperti mewakafkan kendaraan, senjata untuk berperang,

hewan ternak dan kitab-kitab yang bermanfaat maupun mewakafkan benda-benda

yang tidak bergerak seperti tanah, tanaman, banginan dan sebagainya boleh

asalkan bermanfaat.

Kontrofersi tentang harta benda wakaf dikalangan fuqoha tersebut erat

kaitannya dengan konsep masing-masing mengenai harta benda (mal). Walaupun

definisi wakaf dan harta wakaf berbeda di kalangan fuqoha tetapi definisi wakaf

yang mereka kemukakan itu berpegang pada prinsip bahwa benda yang

diwakafkan pada hakikatnya adalah benda yang manfaatnya bersifat kekal.93

92

Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam, Paradigma Baru Wakaf, hlm.41

93 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, hlm.57

60

Universitas Indonesia

Selain ulama Mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi‟i juga

memperbolehkan wakaf tunai (wakaf uang). Sebagaimana Abu Tsaur

meriwayatkan dari Imam Syafi‟I tentang diperbolehkannya wakaf tunai:

س اث صس ػ اشفؼ

جاص لفب ا اذبري

اذسا١“ Abu Tsauri meriwayatkan dari Imam Syafi‟I tentang dibolehkannya wakaf

dinar dan dirham (uang).94

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memperbolehkan

wakaf tunai. Fatwa Komisi fatwa MUI tersebut dikeluarkan pada tanggal 11 Mei

2002. Argumentasi Ulama MUI tersebut dalam memperbolehkan wakaf uang

adalah Hadits Ibnu Umar :

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, dia berkata: Umar r.a telah berkata

kepada Nabi SAW, saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar,

belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah

itu, saya bermaksud menyedekahkannya”. “Nabi SAW berkata “tahanlah

pokoknya dan sedekahkan buahnya pada Sabilillah. (H.R. al-Nasa‟i).

setelah itu Komisi Fatwa MUI merumuskan definisi baru tentang wakaf,

yaitu:

دجظ بي ميى االزفبع ث غ

ثمبء ػ١ ثمغغ ىف سلجز ػ

صشف جبح جد“menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya,

dengan cara tidak melakukan tindakan hokum pada benda tersebut (menjual,

memberikan atau mewariskannya), untuk disalurkan hasilnya pada sesuatu yang

mubah (tidak haram) yang ada”95

94

Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, Tahqiq Dr. Muhammad Mathraji, Beirut: Dar-al Fikr, Jz

IX, 1994) hlm.379.

95 Fatwa Majelis Ulama Indonesia, ditandatangani tanggal 11 Mei 2002.

61

Universitas Indonesia

Momen besar perkembangan Wakaf Uang setelah adanya Fatwa dari MUI

adalah sejak Presiden Republik Indonesia ke-6 Susilo Bambang

Yudoyono, terpilih untuk yang kedua kalinya periode 2009-2014 barulah

mencanangkan Gerakan Nasional Wakaf Uang di Istana Negara, tepatnya tanggal

8 Januari 2010 setelah pelantikannya. Pencanangan ini sudah lama ditunggu

masyarakat ekonomi syariah Indonesia. Pencanangan Gerakan ini menjadi

tonggak sejarah dan momentum penting bagi gerakan wakaf produktif di

Indonesia dalam rangka meningkatan kesejahteraan umat dan bangsa Indonesia.96

Di Indonesia, isu wakaf uang mulai marak didiskusikan sejak awal tahun

2002, yaitu ketika IIIT (international Institute of IslamicThought) dan Departemen

Agama RI menggelar Workshop Internasional tentang Wakaf Produktif di

Batam, tgl 7-8 Januari 2002. Kemudian beberapa bulan pasca workshop itu, IAIN

Sumatra Utara menggelar Seminar Nasional Wakaf Produktif di Medan, pada

tangal 1-2 Mei 2002 dengan menghadirkan 16 pembiacara nasional. Setelah itu,

Seminar International tentang wakaf kembali digelar di Medan oleh Universitas

Islam Sumatera Utara, pada 6-7 Januari 2003 dengan menghadirkan pakar-pakar

wakaf berkaliber dunia, seperti Prof.Dr.Monzer Kahf, Prof.Dr.M/.A Mannan,

Prof.Dr.Sudin Haroun (Malaysia). Forum International Seminar Sumatera Utara

mementuk tim pembahas Rancangan Undang-Undang Waqaf, yang terdiri dari

Prof.Dr.Uswatun Hasanah, Dr.Mustafa Edwin, Nasution, Drs.Agustianto, M.Ag

dan beberapa dosen UISU.

Setelah beberapa momentum tersebut, isu wakaf produktif dan wakaf uang

menjadi marak dan banyak menjadi tema seminar di berbagai kampus dan

lembaga, seperti di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Universitas

Prof.Dr.Hamka, UIN Jakarta, dan sebagainya. Hasil kajian yang panjang tersebut

kemudian membuahkan manfafat yang sangat menggembirakan, karena masalah

wakaf uang dimasukkan dan diatur dalam perundangan-undangan Indonesia

melalui UU No 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Undang – Undang ini selanjutnya

disusul oleh kelahiran PP No No 42/2006. Dengan demikian, wakaf uang telah

96

http://pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1272:waka

f-uang-dan-peningkatan-kesejahteraan-umat&catid=8:kajian-ekonomi&Itemid=60, Wakaf Uang

dan Peningkatan kesejahteraan umat, diakses tanggal 9 Juli 2014.

62

Universitas Indonesia

diakui dalam hukum positif di Indonesia. Lahirnya Undang-Undang Republik

Indonesia No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf diarahkan untuk memberdayakan

wakaf yang merupakan salah satu instrumen dalam membangun kehidupan sosial

ekonomi umat Islam. Kehadiran Undang-undang wakaf ini menjadi momentum

pemberdayaan wakaf secara produktif, sebab di dalamnya terkandung pemahaman

yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara

modern.

Dalam perundang-undangan sebelumnya, PP No.28 tahun 1977 tentang

Perwakafan Tanah Milik, konsep wakaf identik dengan tanah milik, maka dalam

Undang-Undang Wakaf yang baru ini konsep wakaf mengandug dimensi yang

sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak maupun yang bergerak, termasuk

wakaf tunai yang penggunaannya sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian

tempat ibadah dan sosial keagamaan. Formulasi hukum yang demikian, jelas suatu

perubahan yang sangat revolusioner dan jika dapat direalisasikan akan memiliki

akibat yang berlipat ganda atau multiplier effect, terutama dalam kaitannya

dengan pemberdayaan ekonomi umat Islam.

Umat Islam Indonesia selama ratusan tahun sudah terlanjur

mengidentikkan wakaf dalam bentuk tanah, dan benda bergerak yang sifat

bendanya tahan lama. Dengan demikian, UU No. 41 tahun 2004 diproyeksikan

sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), melakukan perubahan-

perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar sesuai dengan semangat

UU tersebut. Salah satu regulasi baru dalam Undang-Undang Wakaf tersebut

adalah Wakaf Tunai.

Di lihat dari tujuan dan kontribusi yang dapat diberikan oleh institusi

wakaf uang , maka keberadaan wakaf uang di Indonesia menjadi sangat krusial.

Setidaknya ada beberapa hal yang mengakibatkan pentingnya pemberdayaan

wakaf di Indonesia:97

1. Angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi, yang perlu mendapat perhatian

dan langkah-langkah yang konkrit.

2. Kesenjangan yang tinggi antara penduduk kaya dengan penduduk miskin

97

Ibid

63

Universitas Indonesia

3. Indonesia memiliki jumlah penduduk muslim yang besar, sehingga wakaf

memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan

4. Sejumlah bencana yang terjadi, mengakibatkan terjadinya defisit APBN,

sehingga diperlukan kemandirian masyarakat dalam pengadaan public goods.

Di Indonesia, lembaga pengelola wakaf nasional adalah Badan Wakaf

Indonesia (BWI). Selain itu lembaga-lembaga wakaf lainnya yang dikelola

masyarakat dan ormas Islam juga sudah banyak yang muncul, Salah satunya

adalah Waqf Fund Management dan Tabung Wakaf Indonesia (TWI). Dengan

adanya lembaga yang concern dalam mengelola wakaf uang , maka diharapkan

kontribusi dalam mengatasi problem kemiskinan dan kebodohan yang mendera

bangsa akan lebih signifikan. Apalagi sebagaimana yang telah dihitung oleh

seorang ekonom, Mustafa E. Nasution, Ph.D, potensi wakaf tunai umat Islam di

Indonesia saat ini bisa mencapai Rp 3 triliun setiap tahunnya. Bahkan bisa jauh

lebih besar dari itu.

61

BAB 3

TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN SYARI’AH

3.1 Sejarah Kelahiran Bank Islam

3.1.1 Sejarah Kelahiran Bank

Lahirnya bank pada mulanya adalah hasil dari perkembangan cara

penyimpanan harta benda. Para saudagar merasa khawatir membawa perhiasan

dan lain sebagainya berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya sedangkan

pencuri dan perampok serta kejahatan yang lainnya senantiasa mengancam. Bank

merupakan tempat yang dipercayai mampu menjaga karena memiliki kekuatan

dalam penjagaan dan birokrasi administrasi yang rapi. Masyarakat umum mulai

tertarik dan menggunakan jasa-jasanya. Sejak saat itulah bank mulai berkembang

dengan cara-caranya yang berbeda-beda.1

Bank memberi jaminan atas penyimpanan dan penyimpanpun dapat

mempergunakan uang para penyimpannya dengan mempergunakan cek, syarat

wesel dan lain sebagainya. Bank yang paling pertama berdiri berada di Venesia

dan Genoa di Italia, sekitar abad ke 14. Kota-kota tersebut dikenal dengan kota-

kota dagang. Manusia dagang ke kota ini dari berbagai tempat untuk tukar

menukar barang dagangannya. Dari dua kota ini kemudian sistem bank tersebut

berpindhah sistem ke Eropa Barat.2

Pada zaman pra Islam sebenarnya telah ada bentuk-bentuk perdagangan

yang sekarang telah dikembangkan di dunia bisnis modern. Bentuk-bentuk itu

misalnya al-musyarakah (joint venture), al-bai’u takjiri (venture capital), al-

Ijarah (leasing), attakaful (insurance), al-bai’u bitsamanil ajil (instalmen

1 Lihat Rahmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syari’ah di Indonesia, Jakarta: sinar

grafika, Cet.1 2012, hlm.1

2 Fuad Mohd Fachruddin, 1983, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi

Bandung: PT: Alma‟arif, hlm. 110-111

62

Universitas Indonesia

sale),murabahah, pinjam dengan tambahan bunga (riba) dan lain-lain. Bentuk

perdagangan tersebut telah berkembang di jazirah arab, yang letaknya sangat

strategis bagi perdagangan saat itu, khususnya di kota mekah, jedah dan madinah

jazirah arab. Perdagangan antara Asia-Afrika-Eropa pada saat itu sangat

dipengaruhi oleh bentuk-bentuk ekonomi mesir purba, yunani kuno dan romawi

sekitar 2500 tahun sebelum masehi telah mengenal sistem perbankan. Demikian

juga Babilonia yang sekarang menjadi wilayah irak juga mengenal sistem

perbankan sekitar 2000 tahun sebelum masehi.3Ini berarti sebelum masehi sistem

perbankan telah berkembang dan telah diperlukan oleh umat manusia dalam

mengatur sistem pembiayaan dan pembayaran. Dan bank-bank itupun telah

dilarang untuk membungakan uang yang dikenal dengan istilah Riba.4

3.1.2 Sejarah Bank Pada Masa Rasulullah SAW

Pada zaman rasulullah dan para sahabat, terdapat individu-individu yang

telah melaksanakan fungsi perbankan, meskipun individu-individu tersebut tidak

melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada para sahabat yang melaksanakan

fungsi menerima titipan harta, ada juga para sahabat yang melaksanakan fungsi

pinjam-meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan

ada pula yang memberikan modal kerja. Oleh karena itu sebenarnya praktik

perbankan telah lazim dilaksanakan pada masa Rasulullah, walaupun fungsinya

itu masih belum menyatu menjadi satu lembaga seperti bank-bank yang ada pada

saat ini.5

Barulah pada masa Bani Abbasiyah ketiga fungsi perbankan di lakukan

oleh satu individu. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak

jenis mata uang pada masa itu, sehingga perlu keahlian khusus untuk

membedakan antara satu mata uang dengan mata uang lainnya. Hal ini diperlukan

karena setiap mata uang memiliki kandungan logam mulia yang berbeda-beda.

Sehingga mempunyai nilai yang berbeda juga. Orang yang mempunyai keahlian

3 Warkum sumitro, 1996, Asas-asas perbankan Islam dan lembaga-lembaga terkait (BMUI

& Takaful) di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, hlm.6

4 Rahmadi Usman, Op.Cit., hlm.2

5 Ibid

63

Universitas Indonesia

khusus untuk membedakan kandungan logam mulia yang terdapat pada mata uang

itu disebuht naqid, sarraf dan jihbiz.6Aktivitas ekonomi ini merupakan cikal bakal

dari praktik penukaran mata uang (Money Changer) yang kita kenal saat ini.7

Istilah jihbiz sendiri mulai dikenal sejak zaman khalifah Mu’awiyah (661-680M)

yang pada saat itu istilah jihbiz diambil dari bahasa persia yaitu Kahbad atau

Kihbud.

Peran bankir pada zaman Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan

khalifah Muqtadir (908-932M), pada saat pemerintahan tersebut setiap wazir

(menteri) memiliki bankir sendiri. Pada masa pemerintahan Muqtadir ini praktik

perbankan ditandai dengan beredarnya saq (cek) yang sudah meluas ke beberapa

daerah sebagai media pembayaran. Bahkan peranan dari bankir telah meliputi tiga

aspek, yaitu pertama, menerima deposit, kedua, menyalurkannya, dan ketiga

mentransfer uang. Pada fungsi yang ketiga ini uang telah dapat ditransfer dari satu

negeri ke negeri yang lain tanpa harus memindahkan fisik uang tersebut.

3.1.3 Munculnya Gagasan Bank Islam:

Kelahiran Bank Islam tidak terlepas dari upaya penggalangan dana

masyarakat yang selaras dengan orientasi nilai yang tumbuh dalam masyarakat

Islam. Islam melarang praktik mu‟amalah yang mengandung unsur riba, sehingga

perlu didirikan bank tanpa bunga yang sesuai dengan prinsip dasar ajaran Islam.

Sebagian besar Ulama beranggapan bahwa bunga bank itu riba,seperti pendapat

dari beberapa ulama berikut ini:

a. Abu zahrah, Abu „ala al-Maududi Abdullah al-„Arabi dan Yusuf Qardhawi

mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang

oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank

yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa.

Bahkan menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau

terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat ini

dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang

6 Adiwarman A. Karim, Bank-bank Islam: Analisis Fiqh dan keuangan, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada,2004 hlm. 20

7 Ibid., hlm. 21

64

Universitas Indonesia

diperoleh seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk jenis riba,

baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu

membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga.

b. Dr. Sayid Thantawi yang berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi yang

dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang secara total masih menggunakan

sistem bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir dalam

buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan mengatakan, “Perkataan yang

benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan

kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang

perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan,

“Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-

amal ribawi yang dilarang Al-Qur‟an yang Mulia. Karena bunga bank adalah

muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti

yang terdapat dalam Al-Qur‟an tentang pengharaman riba

c. Menurut musyawarah nasional alim ulama NU pada 1992 di Lampung, para

ulama NU tidak memutus hukum bunga bank haram mutlak. Memang ada

beberapa ulama yang mengharamkan, tetapi ada juga yang membolehkan

karena alasan darurat dan alasan-alasan lain.

d. Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis)

berpendapat bahwa bunga bank seperti di negara kita ini bukan riba yang

diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam

surat Ali Imran ayat 130.

e. Hasil rapat komisi VI dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan

Tajdid Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

menetapkan, bunga perbankan termasuk riba sehingga diharamkan.

f. Pertemuan 150 Ulama‟ terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan

Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara

aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua

merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank. Berbagai

65

Universitas Indonesia

forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga

bank.8

Oleh karena itu hukumnya bunga bank adalah haram. Sehingga perlu diusahakan

adanya sistim perbankan yang dalam operasinya tidak mengenakan bunga kepada

nasabahnya (interest fee banking system) atau lazim disebut dengan perbankan

syari‟ah.

Perbankan yang bebas dari bunga merupakan konsep gagasan yang relatif

baru. Gagasan untuk mendirikan bank Islam itu lahir sejak belum adanya kesatuan

pendapat dikalangan Islam sendiri mengenai apakah bunga yang dipungut oleh

bank konvensional maupun tradisional merupakan sesuatu yang haram atau halal.

Mereka yang berpendapat bahwa bunga yang dipungut oleh bank konvensional

maupun tradisional merupakan riba yang dilarang oleh agama Islam berkeinginan

membangun suatu lembaga-lembaga yang dapat memberikan jasa-jasa

penyimpanan dana dan pemberian fasilitas pembiayaan yang tidak berdasarkan

bunga dan beroperasi sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari‟at Islam, karena

mereka berpendapat bahwa bank merupakan sesuatu yang telah menjadi

kebutuhan masyarakat saat ini.9

Konsep teoritis tentang bank Islam telah muncul pada tahun 1940-an,

namun belum dapat diwujudkan. Belum dapat terwujudnya bank Islam saat itu

karena kondisinya belum memungkinkan dan juga belum ada pemikiran tentang

konsep bank Islam yang meyakinkan. Penulis yang mula-mula menyampaikan

gagasan tentang konsep bank Islam yang berdasarkan atas Profit Sharing yaitu

Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952).

Kemudian uraian yang lebih terperinci lagi tentang gagasan tersebut ditulis oleh

Mawdudi (1950).10

Barulah pada tahun 1969, secara kolektif di tingkat Internasional muncul

gagasan untuk mendirikan Bank Islam dalam konferensi negara-negara Islam

8 http://hukum-islam.com/2013/03/hukum-bunga-bank-dalam-islam/, Hukum Bunga bank

dalam Islam, diakses pada tanggal 8 juni 2014.

9 Lihat Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Perbankan Islam dan kedudukannya dalam tatahukum

Perbankan Indonesia, Jakarta: Puastama Utama Grafiti, hlm. 4

10 Rahmadi Usman, Op.Cit., hlm.5

66

Universitas Indonesia

sedunia yang diselenggarakan dari tanggal 21-27 april 1969 di Kuala Lumpur

Malaysia yang diikuti 19 negara peserta dan 6 negara sebagai peninjau.

Konferensi tersebut membahas soal riba dan soal bank, yang kemudian

menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut:

1. Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, kalau

tidak ia termasuk riba. Dan untuk Riba baik sedikit maupun banyak

hukumnya adalah sama-sama haram

2. Diusulkan supaya terbentuk suatu bank yang bersih dari sistem riba dalam

waktu secepat mungkin, dan

3. Sementara sambil menunggu berdirinya bank Islam tersebut, bank-bank

yang menerapkan sistem bunga diperbolehkan tetap beroprasi, namun jika

benar-benar dalam keadaan darurat.11

Secara Internasional perkembangan bank Islam pertamakali di prakarsai

oleh Mesir. Pada sidang Menteri Luarnegeri Organisasi Negara-Negara

Konferensi Islam (OKI) di Karachi, Pakistan bulan Desember 1970. Mesir

mengajukan proposal tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk

perdagangan dan pembangunan (International Islamic Bank for Trade and

Development) dan Proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic

Banks). Inti usulan dalam proposal tersebut adalah bahwa suatu sistem keuangan

dengan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi

hasil keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima dan sidang

menyetujui rencana pendirian bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam.

Semula pembentukan bank Islam banyak diragukan karena beberapa

alasan, yaitu pertama,banyak yang beranggapan bahwa sistem perbankan yang

bebas bunga (interest fee) adaah suatu sistem yang tidak mungkin dan tidak lazim,

kedua: banyak yang mempertanyakan bagaimana nanti bank Islam itu akan

membiayai operasinya.12

Seiring dengan perkembangan politik negara-negara

Islam tersebut, pada tahun 1970-an mulai bermunculan lembaga keuangan yang

berdasarkan prinsip syari‟ah, mendekati awal tahun 1980-an bank bank Islam

11

Warkum Sumitro, Op.Cit., hlm 8 dan Fuad Mohd. Fakhruddin, Op.Cit., Hlm.103

12 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994, Enseclopedi Islam jilid 1, Jakarta: PT Ichatiar

Baru Van Hoeve, hlm. 233.

67

Universitas Indonesia

telah bermunculan di Mesir, Sudan, Negara-negara Teluk, Pakistan, Iran,

Malaysia, Bangladesh dan Turki.

Perkembangan Bank Islam untuk selanjutnya menjadi luas lagi, beberapa

bank konvensional di barat justru membuka layanan syari‟ah melalui Islamic

window. setelah melihat keunggulan dari sistem perbankan Islam dan besarnya

prospek pengembangan bank syari‟ah tersebut. Tercatat pada tahun 2005,

Deutsche Bank, HSBC, Citigroup dan BNP Paribas yang mengikuti mendirikan

Unit Layanan Syari‟ah. Sejak saat itu perkembangan perbankan syari‟ah tidak

hanya dijalankan secara murni melainkan pada beberapa bank menerapkan Dual

Banking System.perbankan Konvensional juga membuka ruang bagi

pengembangan Perbankan Syari‟ah dengan mekanisme Islamic Window. Pada

perjalanannya sistem perbankan berbasis syari‟ah semakin hari semakin populer

bukan hanya dikalangan negara-negara Islam saja melainkan negara-negara barat.

Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya bank-bank yang menerapkan konsep

syari‟ah di barat dengan konsep dual banking system.

3.2 Dasar Hukum Bank Syari’ah

Islam mengajak kepada pemilik harta untuk mengembangkan harta milik

mereka dan menginvestasikannya, sebaliknya melarang mereka untuk

membekukan dan tidak memfungsikannya. Demikian juga tidak diperbolehkan

bagi pemilik uang untuk menimbun dan menahannya dari peredaran sedangkan

orang lain (umat) dalam keadaan membutuhkan untuk menggunakan uang itu

untuk mengerjakan proyek-proyek yang bermanfaat dan membawa dampak pada

terbukannya lapangan kerja bagi para pengangguran dan menggairahkan aktivitas

perekonomian. Sehingga al-Qur‟an dalam hal ini memberi peringatan kepada

orang-orang yang menyimpan harta dan yang bersikap egois dengan ancaman

yang berat. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur‟an surat at-Taubah ayat

34-35.

68

Universitas Indonesia

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari

orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta

orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan

Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak

menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa

mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu

dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan

punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang

kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa

yang kamu simpan itu."13

Kemudian al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 130:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan

berlipat ganda[228]14

dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat

keberuntungan.

Kemudian al-Qur‟an surat Ar-Ruum ayat 39

Artinya: Sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar pada harta manusia

bertambah, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu

berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,

13

Departemen Agama Rebublik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta. 2008

14 Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa

Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah

dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan.

Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak

jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas

dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah

yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

69

Universitas Indonesia

Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan

(pahalanya).

Ayat-ayat tentang riba di atas, turun secara bertahap (gradual) yang

disesuaikan dengan situasi dan kondisi umat Islam pada masa itu. Ayat tentang

riba yang pertama turun melalui surat ar-Ruum ayat: 39 pada periode Makkah.

Ayat tersebut tidak secara jelas atau konkrit melarang atau mengharamkan riba,

tetapi ayat tersebut baru menjelaskan bahwa riba(tambahan dari pinjaman atau

jual-beli)itu tidak mendatangkan pahala disisi Allah. Hal ini berbeda dengan

zakat, yang mendatangkan nilai pahala disisi Allah, yakni berlipatgandanya

pahala akan datang dari Allah karena zakat, jika hal itu dilakukan.

Kemudian pada periode Madinah secara tegas Allah S.W.T

mengharamkan atau melarang riba tersebut. Sehingga turunlah surat an-Nisa’ ayat

160-161 yang menjelaskan tentang hukuman yang akan diterima oleh orang yang

selalu memakan harta riba tersebut, yaitu disamakan dengan orang kafir yang

akan mendapatkan siksa yang amat pedih dari Allah. Setelah itu turunlah surat Ali

Imran ayat 130 yang secara jelas mengharamkan atau melarang memakan harta

yang didapat dari riba, kemudian dilanjutkan dengan larangan yang terakhir yaitu

surat al-Baqarah ayat 278-280, yang juga mengharamkan atau melarang umat

Islam untuk mengerjakan segala macam perbuatan riba dalam berbagai bentuk.

Namun dari ayat tersebut juga ditekankan jika orang tersebut telah melakukan

perbuatan riba hendaknya bertaubat dengan tidak melakukannya lagi, maka

hartanya tidak akan diganggu dan tidak akan menganiaya orang lain.

Sebagaimana yang dimaksud dalam surah al-Baqarah ayat 278-279,

pelarangan bunga dalam Islam dimaksudkan untuk menciptakan sebuah sistem

ekonomi dimana segala bentuk eksploitasi atau penganiayaan harus ditiadakan.

Islam menghendaki keadilan antara pihak pemodal dengan pengusaha, dimana

pemodal tidak boleh dijanjikan akan menerima imbalan hasil tanpa melakukan

apa-apa atau menanggung resiko bersama.15

Selanjutnya larangan tentang riba ini juga dipertegas lebih lanjut dalam

beberapa hadis Nabi Muhammad S.A.W . ada hadis yang memperjelas

15

Muhammad Nadratuzzaman hosen dan Sunarwin Kartika Setiati, 2008, Tuntutan Praktis

Menggunakan Jasa Perbankan Syari’ah, Jakarta: Pusat Komunikasi Ekonomi Syari‟ah (pkes

publishing), hlm 17.

70

Universitas Indonesia

pengharaman atau pelarangan riba yang telah di atur didalam Al-Qur‟an, juga ada

hadis yang memperluas atau menambah kegiatan mu’amalah atau perniagaan

yang dikatagorikan sebagai riba dalam berbagai bentuk. Pada dasarnya hadis-

hadis tersebut memepertegas pengharaman atau pelarangan riba dalam berbagai

bentuk dengan disertai ancaman (hukuman) masuk neraka bagi mereka yang

melakukannya. Hadis-hadis yang mengharamkan atau melarang praktik-praktik

riba dalam perniagaan umat Islam yaitu sebagai berikut:

1. Hadis Riwayat Bukhari Nomor 2084 dalam kitab al-Buyu’:

Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “ Ayahku membeli seorang budak

yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala),

ayahku kemudian memusnahkan peralatan si budak tersebut. Aku bertanya

kepada ayah mengapa beliau melakukannya, ayahku menjawab bahwa

Rasulullah SAW melarang untuk menerima uang dari transaksi darh, anjing,

dan kasab budak perempuan, beliau juga melaknat pekerjaan pentato dan yang

minta di tato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat

gambar.16

2. Hadis Riwayat Bukhori Nomor 2145 dalam kitab al-Wakalah:

Diriwayatkan oleh Abu Sa‟id Al-Khudri bahwa suatu ketika bilal membawa

Barni(sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan Nabi dan Nabi bertanya

kepada Sahabat Bilal “Darimana engkau mendapatkannya?” bilal menjawab,

“saya mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan

menukarkannya dua sha‟ untuk satu sha‟ kurma jenis Banrni untuk dimkan

oleh Nabi, slepas itu nabi terus berkata, Hati hati! Hati-hati! Ini sesungguhn6ya

riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli

kurma yang mtunya lebih tinggi juallah kurma yang mutunya rendah untuk

mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebt untuk membeli

kurma yang bermutu tinggi itu.17

3. Hadis Riwayat bukhori Nomor: 2034 dalam kitab al-Buyu’

Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakr bahwa ayahnya berkata: nabi

melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama

beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu pula

sebaliknya.18

4. Hadis riwayat Muslim Nomor 2971 dalam kitab al-Masaqqh:

16

Zainuddin Ali, 2008 Hukum Perbankan Syari’ah Jakarta : CV Sinar Grafika, hlm. 103

17 Ibid, hlm. 104

18 Ibid

71

Universitas Indonesia

Diriwayatkan oleh Ab Sa‟id al Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda “emas

hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,

tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam,

pembayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi

tambahan atau meminta tambahan sesungguhnya ia telah berurusan dengan

riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.19

5. Hadis Riwayat Bukhari Nomor 6525 dalam kitab at-Ta’bir:

Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah bersabda “malam

tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah Suci.

Dalam perjalanan sampailah kami ke Sungai Darah dimana didalamnya berdiri

seorang laki-laki. Dipinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki dengan

batu ditangannya. Laki-laki yang berada di tengah sungai itu berusaha untuk

keluar tetapi laki-laki yang dipinggir tadi melempari mulutnya dengan batu dan

memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya “siapakah itu?” Aku diberi

tahu bahwa laki-laki yang barada ditengah sungai itu adalah orang yang

memakan riba”20

6. Hadis Riwayat Muslim Nomor 2995 dalam Al-Kitab al-Musaqqah:

Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba,

orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya dan dua orang

saksinya, kemudian beliau bersabda “Mereka itu semuanya sama.21

7. Amanat Nabi SAW pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah yang

menekankan sikap ajaran agama Islam tentang larangan riba sebagai berikut:

Ingatlah bahwa kamu akan menghadap tuhanmu, dan Dia pasti akan

menghitung amalmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena

itu utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (Uang Pokok) kamu adalah hak

kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidak adilan.22

Sementara itu dikalangan cendikiawan muslim sendiri sebenarnya terjadi

perbedaan pendapat dalam hal menanggapi pengambilan riba (tambahan dari

pinjaman atau jual beli). Ada yang secara tegas mengharamkan pengambilan riba

19

Ibid

20 Ibid., hlm. 105

21 Ibid.

22 Ibid., hlm. 106

72

Universitas Indonesia

itu, sementara yang lain ada yang menghalalkan asal dalam keadaan darurat dan

tidak menimbulkan kesengsaraan bagi pihak lainnya.23

Abu Zahrah, Abdul A‟la al Mauddi dan Muhammad Abdullah al-Arabi

menyebutkan “bunga” bank itu riba Nasi’ah yang dilarang oleh Islam. Oleh

karena itu umat muslim tidak boleh bermu’amalah dengan bank yang memakai

sistim bunga, kecuali bila dalam keadaan darurat atau terpaksa. Mereka juga

mengharapkan lahirnya bank Islam yang tidak memakai sistem bunga

samasekali.24

Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ menyatakan bahwa al-Mawardi

berkata: sahabat-sahabat kami (Ulama Mazhab Syafi‟i) berbeda tentang

pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur‟an atas dua pandangan yaitu:

1. Pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh

sunnah. Setiap hukum tentang riba yang di jelaskan oleh sunnah adalah

merupakan penjelasan (bayan) terhadap ke-Mujmalan al-Qur‟an, baik riba

naqd (tunai) maupun riba nasi’ah.

2. Bahwa riba yang ada didalam al-Qur‟an sesungguhnya adalah riba nas’ah

yang dikenal oleh masyarakat jahiliyah dan permintaan atas harta

tambahan atas harta (piutang) penambahan masa (pelunasan). Salah

seorang diantara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan

pihak yang berutang tidak membayarnya, ia menambahkan piutangnya dan

menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu akan dilakukan

lagi pada masa jatuh tempo masa berikutnya. Itulah yang dimaksud dalam

firman Allah dalam Al-Qur‟an:

“janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda....” kemudian

sunnah juga menambahkan riba yang dilarang yaitu riba dalam bentuk

pertukaran mata uang (naqad) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam

al-Qur‟an. Bunga Uang atas pinjaman (qardh) yang berlaku diatas lebih

buruk daripada riba yang telah diharamkan leh Allah dalam Al-Qur‟an.

Karena dalam riba, tambahan hanya dikenakan pada saat jatuh tempo,

23

Rahmadi Usman Op.Cit., hlm. 28

24 Masjfuk Zuhdi, 1997, Masa‟il Fiqhiyyah, Jakarta: Toko Gunung Agung hlm.112

73

Universitas Indonesia

sedangkan dalam sistim bunga tambahan sudah dikenakan sejak terjadi

transaksi.

Keputusan majelis tarjih Muhamadiyah tahun 1968 di Sidoarjo

memutuskan bahwa bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank

tanpa riba hukumnya halal. Bunga bank yang diberikan oleh bank-bank

milik negara yang diberikan kepada nasabahnya atau sebaliknya, termasuk

perkara musytabihat atau syubhat, artinya tidak jelas atau masih

meragukan.

Istilah bank memang tidak dikenal dalam khasanah keilmuan Islam, yang

dikenal adalah bahasa Jihbiz. Kata “jihbiz” berasal dari bahasa persia yang berarti

penagih pajak. Istilah jihbiz mulai dikenal pada zaman Mu‟awiyah yang pada saat

itu fungsinya sebagai penagih pajak dan penghitungan barang atas barang dan

tanah. Di zaman Bani Abbasiyah, jihbiz populer sebagai suatu profesi jenis baru

yang disebut fulus yang terbuat dari tembaga. Sebelumnya uang yang di gunakan

adalah dinar (terbuat dari emas) dan dirham (terbuat dari perak). Dengan

munculnya fulus ini timbul kecenderungan dikalangan para gubernur untuk

mencetak fulusnya masing-masing, sehingga beredar banyak sekali fulus dengan

nilai yang berbeda-beda. Keadaan inilah yang kemudian mendorong munculnya

profesi baru yaitu penukaran uang. Pada zaman itu jihbiz tidak hanya melakukan

penukaran uang tetapi menerima titipan dana, meminjamkan uang dan meerima

jasa pengiriman uang. Pada bani abbasiyah tersebut ketiga fungsi utama

perbankan tersebut oleh jihbiz secara individu.25

Di dalam al-Qur‟an dan al-Hadits memang tidak diterangkan dengan jelas

tentang perbankan atau jihbiz, sehingga timbul pertanyaan “apakah hal tersebut

boleh dilaksanakan?”,untuk mengetahui tentang jawaban pertanyaan tersebut kita

kembalikan kepada kaidah fiqhiyyah

25

http://aljurem.wordpress.com/2012/01/31/dasar-hukum-dan-pengertian-perbankan-

syariah. Dasar Hukum dan Pengertian Perbankan Syari‟ah, diakses tanggal 06 juni 2014.

74

Universitas Indonesia

االصل ىف املعامالت االباحة حىت

”مىجىد دليل على حترمها "

Artinya: hukum dari segala sesuatu tentang mu‟amalat pada dasarnya adalah

diperbolehkan kecuali jika ada dalil yng melarangnya.

Sehingga segala transaksi baru muncul dimana belum dikenal sebelumnya

oleh hukum Islam, maka transaksi tersebut dapat diterima kecuali terdapat

implikasi dari dalil al-Qur‟an dan al-Hadits yang melarangnya secara eksplsit

maupun implisit. Begitu pula dalam menyikapi perbankan atau jihbiz, pada

dasarnya ketiga fungsi perbankan boleh dilakukan kecuali bila dalam

melaksanakan fungsinya bank melakukan usahanya yang dilarang oleh syari‟at.

Bila kita lihat saat ini bank-bank konvensional yang dilakukan dengan fungsi

bunga, maka bunga tersebutlah yang dilarang oleh agama.

3.2.1 Dasar hukum bank syari’ah di Indonesia

Bank syari‟ah di Indonesia mendapatkan dasar pendirian yang kokoh

setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. Hal ini karena sejak

saat itu diberikan keleluasaan penentuan tingkat suku bunga, termasuk nol persen

(peniadaan bunga sekaligus). Perbankan syari‟ah di Indonesia diawali dari aspirasi

masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim untuk memiliki sebuah alternatif

sistim perbankan yang Islami. Selain itu masyarakat meyakini bahwa sistem

pebankan syari‟ah yang menerapkan bagi hasil sangat menguntungkan baik untuk

nasabah maupun bank itu sendiri.

Pada awal tahun 1980-an, rintisan pendirian perbankan syari‟ah mulai

dilakukan. Maraknya seminar dan diskusi tentang urgensi bank syari‟ah yang

telah dilakukan masyarakat dan akademisi semakin gencar. Sebagai sebuah uji

cobanya mereka mempraktikkan gagasan ujicobanya yaitu menggagas bank

syari‟ah dalam skala kecil. Pada saat itu berdirilah Bait Al-Tamwil Salman di

Institut Teknologi Bandung dan koperasi Ridho Gusti di Jakarta. Para tokoh yang

75

Universitas Indonesia

terlibat dalam kajian itu adalah Karnen A. Perwaatmaja, M. Dawam Rahardjo,

A.M. Saifuddin, M. Amin aziz dan lain-lain.26

Mencermati aspirasi masyarakat untuk memiliki lembaga keuangan

syari‟ah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) selanjutnya menindaklanjuti aspirasi

tersebut dengan melakukan pendalaman konsep-konsep keuangan syari‟ah,

termasuk sistem perbankan syari‟ah. Pada tanggal 18-20 Agustus 1990 tepatnya di

Cisarua Bogor MUI menyelenggarakan lokakarya Bunga Bank dan Perbankan

yang hasil daripada lokakarya terseut kemudian dibahas lebih mendalam oleh

MUI dalam MUNAS ke -4 pada tanggal 22-25 Agustus 1990 yang menghasilkan

lahirnya amanat untuk mendirikan Bank Islam pertama di Indonesia sehingga

berdirilah PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI).

Dukungan dalam mengembangkan sistem perbankan syari‟ah ini

selanjutnya terlihat dengan dikeluarkannya perangkat hukum yang mendukung

sistem operasional bank syari‟ah yaitu Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang

perbankan dan PP No. 72 tahun 1992 dan ketentuan ini menandai dimulainya era

sistem perbankan ganda (dual banking system) di indonesia yaitu sistem

perbankan konvensional dan sistem perbankan bagi hasil.27

Untuk lebih-jelasnya

peraturan yang mendukung perbankan syari‟ah mulai dari berdirinya hingga saat

ini secara berturut-turut dapat kami rinci sebagai berikut:

3.2.2 Peraturan Hukum Terkait Dengan Bank Syariah di Indonesia

1. UU No.7 Tahun 1992

Sejak diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992, yang memosisikan bank Syariah

sebagai bank umum dan bank perkreditan rakyat, memberikan angin segar

kepada sebagian umat muslim yang anti-riba, yang ditandai dengan mulai

beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 Mei 1992

dengan modal awal Rp.106.126.382.000,00.

26

M. Amin aziz, Mengembangkan Bank Islam Di Indonesia (jakarta: Bankit, 1992).

27 Makalah pelatihan perbankan syari‟ah 18-19 April 2000, di Muamalat Institute,

dilaksanaka oleh Divisi Kajian Akuntansi dan Manajemen Islam (KAMI) FSI SM-FEUI

bekerjasama dengan Muharram in Cares and Retrospection (Macro 1421 H).

76

Universitas Indonesia

Namun bukan hanya itu, Tercatat bahwa bank-bank (pedesaan) Islam pertama di

Indonesia adalah BPR ”Mardatillah” (BPRMD) dan BPR “Berkah Amal

Sejahtera”. Keduanya beroperasi atas dasar hukum Islam (syariah) dan terletak

di Bandung. Keduanya mulai mengoprasikan usahanya pada tanggal 19 Agustus

1991.

Meskipun UU No.7 Tahun 1992 tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan

pendirian bank syariah atau bank bagi hasil dalam pasal pasalnya, kebebasan

yang diberikan oleh pemerintah melalui deregulasi tersebut telah memberikan

pilihan bebas kepada masyarakat untuk merefleksikan pemahaman mereka atas

maksud dan kandungan peraturan tersebut.

2. UU No.10 Tahun 1998

Arah kebijakan regulasi ini dimaksudkan agar ada peningkatan peranan bank

nasional sesuai fungsinya dalam menghimpun dan menyalurkan dana

masyarakat dengan prioritas koperasi, pengusaha kecil, dan menengah serta

seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Karena itu, UU No.10 Tahun

1998 tentang perubahan atas undang-undang No.7 Tahun 1992 hadir untuk

memberikan kesempatan meningkatkan peranan bank syariah untuk menampung

aspirasi dan kebutuhan masyarakat

Dalam Pasal 6 UU No.10 Tahun 1998 ini mempertegas bahwa:

Pertama, Bank Umum adalah bank yang menyelesaikan kegiatan usaha secara

konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatan usahanya

memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Kedua, Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan

usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam

kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Dalam UU No.10 Tahun 1998 ini pun memberi kesempatan bagi masyarakat

untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan

prinsip Syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada BUK untuk membuka

kantor cabangnya yang khusus menyelenggarakan kegiatan berdasarkan Prinsip

Syariah.

Selain itu, pemerintah juga menjabarkan apakah yang dimaksud dengan Prinsip

Syariah dalam Pasal ini, yaitu terdapat dalam Pasal 1 ayat 13 UU No.10 Tahun

77

Universitas Indonesia

1998: Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara

bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan

usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain

pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan

berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang

dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal

berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya

pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh

pihak lain (ijarah wa iqtina).

3. UU No.23 Tahun 2003

UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah menugaskan kepada BI

untuk mempersiapkan perangkat aturan dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya

yang mendukung kelancaran operasional bank berbasis Syariah serta

penerapan dual bank system.

4. UU No.21 Tahun 2008.

Beberapa aspek penting dalam UU No.21 Tahun 2008:

Pertama, adanya kewajiban mencantumkan kata “syariah” bagi bank syariah,

kecuali bagi bank-bank syariah yang telah beroperasi sebelum berlakunya UU

No.21 Tahun 2008 (Pasal 5 no.4).Bagi bank umum konvensional (BUK) yang

memiliki unit usaha syariah (UUS) diwajibkan mencantumkan nama syariah

setelah nama bank(Pasal 5 no.5).

Konsekuensinya, penamaan suatu UUS pada suatu kantor cabang BUK yang

saat ini kebanyakan disingkat, misalnya Bank X Syariah Cabang Kemayoran,

maka harus di ubah menjadi Bank X Unit Usaha Syariah Cabang Kemayoran.

Kedua, adanya sanksi bagi pemegang saham pengendali yang tidak lulus fit

and proper test dari BI (Pasal 27).

Ketiga, satu-satunya pemegang fatwa syariah adalah MUI. Karena fatwa MUI

harus diterjemahkan menjadi produk perundang-undangan (dalam hal ini

Peraturan Bank Indonesia/PBI), dalam rangka penyusunan PBI, BI membentuk

komite perbankan syariah yang beranggotakan unsur-unsur dari BI,

Departemen agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi yang berimbang

dan memiliki keahlian di bidang syariah (Pasal 26).

78

Universitas Indonesia

Keempat, adanya definisi baru mengenai transaksi murabahah. Dalam definisi

lama disebutkan bahwa murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok

barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati. Menurut UU

No.21 Tahun 2008 disebutkan akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu

barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli

membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.

Diubahnya kata “jual beli” dengan kata “pembiayaan”, secara implisit UU

No.21 Tahun 2008 ini ingin mengatakan bahwa transaksi murabahah tidak

termasuk transaksi yang dikenakan pajak sebagaimana yang kini menjadi

masalah bagi bank syariah.

5. Beberapa Peraturan Bank Indonesia mengenai Perbankan syariah

a. PBI No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan

penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah.

b. PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas peraturan bank Indonesia

No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha

berdasarkan prinsip syariah.

c. PBI No.6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksnakan kegiatan

usaha berdasarkan prinsip syariah

Didalam Pasal 1 angka 3 dan 4 UU NO.10 tahun 1998, bahwa bank

syari‟ah adalah bank umum maupun bank perkreditan rakyat didalam

melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari‟ah atau sesuai

aturan dalam hukum Islam yang berdasarkan pada al-Qur‟an, Hadits, Ijma‟

para sahabat dan Qiyas Ulama. Kemudian dalam Pasal 1 angka 13 UU

No.10 tahun 1998 juga dijelaskan pengertian tentang prinsip syari‟ah:

Prinsip syari‟ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam

antara Bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau

pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lain yang dinyatakan sesuai

dengan syari‟ah antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil

(mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan modal (musyarakah),

prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah) atau

pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan

79

Universitas Indonesia

(ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang

yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)28

3.2.3 Peraturan-Peratran Terkait Hukum Positif Bank Umum Syari’ah

Sejak tahun 1992 dengan diundangkannya Undang-undang No.7 tahun 1992

tentang perbankan menjadi tonggak lahirnya bank berdasarkan syari‟ah

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 huruf (m)UU No.7 Tahun 1992 Juncto

Pasal 13 huruf (c)UU No.10 tahun 1998 dengan tegas membuka kemungkinan

bagi bank untuk melakukan kegiatan berdasarkan prinsip bagi hasil dengan

nasabahnya baik untuk bank umum maupun BPR (Bank Perkreditan Rakyat).

Kegiatan bagi hasil tersebut kemudian oleh UU No. 10 tahun 1998 tentang

perubahan UU No.7 tahun 1992 tentang perbankan, diperluas menjadi kegiatan

apapun dari bank berdasarkan prinsip syari‟ah yang ditetapkan oleh Bank

Indonesia. Kemudian dalam UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang

telah dirubah dengan UU No.3 tahun 2004, telah memberikan landasan hukum

kepada bank Indonesia untuk menerapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip

syari‟ah, melakukan pengaturan secara pengawasan terhadap perbankan

berdasarkan prinsip syari‟ah.

Peraturan pemerintah No. 70 tahun 1992 tentang Bank Umum

sebagaimana tertuang didalam Pasal 5 ayat (3) bahwa Bank Umum yang

beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil , dalam rancangan anggaran dan rencana

kerja harus secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata-mata

berdasarkan prinsip bagi hasil. Kemudian didalam peraturan pemerintah No.72

tahun 1992 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil yang diubah dengan

peraturan pemerintah No. 30 tahun 1999, didalam Pasal 6 ayat (1) bahwa: Bank

Umum atau BPR yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi

hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan

prinsip bagi hasil.

3.3 Pengertian Bank Syari’ah:

28

Pasal 1 ayat 13 UU No.10 tahun 1998

80

Universitas Indonesia

Kata “Bank” berasal dari kata banque dari bahasa perancis, dan dari kata

banco atau banca dalam bahasa Italia, yang artinya adalah bangku atau tempat

duduk. Bank disebut demikian karena pada abad pertengahan orang-orang yang

memberikan pinjaman melakukan usahanya diatas bangku-bangku.29

Menurut OP Simorangkir pengertian bank adalah sebagai berikut:30

“ salah

satu badan usaha lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-

jasa. Adapun pemberian kredit itu dilakukan baik dengan modal sendiri atau dana-

dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga atau dengan jalan memperedarkan alat-

alat pembayaran baru berupa uang giral”

Sedangkan Sentosa Sembiring dalam bukunya yang berjudul “ Hukum

Perbankan” memberikan definisi Bank sebagai berikut:31

“ Bank adalah suatau

badan usaha yang berbadan hukum yang bergerak dibidang jasa keuangan, Bank

sebagai badan hukum berarti secara yuridis merupakan subjek hukum yang dapat

mengikatkan diri kepada pihak ketiga. Dengan demikian hukum perbankan dapat

dirumuskan sebagai berikut: serangmkaian kaidah-kaidah yang mengagthur

tentang badan usaha perbankan. Kaidah-kaidah yang dimaksud disini adalah baik

yang terdapat dalam hukum positif maupun dalam praktek perbankan.

Menurut A. Abdurrahman, Bank adalah suatu jenis pranata finansial yang

melaksanakan jasa-jasa keuangan yang beraneka ragam, seperti memberi

pinjaman, mengedarkan mata uang, bertindak sebagai penyimpan benda-benda

berharga, membiayai usaha-usaha perusahaan. Sedangkan menurut Henry

Campbell dalam Black law Dictionary (1968). Bank adalah suatu institusi yang

mempunyai peran besar dalam dunia komersial, yang mempnyai wewenang untuk

menerima deposito, memberikan pinjaman dan memberikan promissory notes

yang sering disebut dengan Bank belles atau Bank Notes. Namun demikian fungsi

29

Lembaga Kajian Hukum Ekonomi, Sejarah Perkembangan Metode Perbankan di

Indonesia (jakarta 1990) hlm.1

30 OP Simorangkir, dalam Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Mandar Madju,

Bandung, 2000 hal 1

31 Ibid.

81

Universitas Indonesia

bank yang orisinil hanya menerima deposito berupa uang logam, plate, mas dan

lain-lain.32

Menurut Kamus Istilah Hukum Pockema Andrea yang dimaksud dengan

bank adalah lembaga atau orang pribadi yang menjalankan perusahaan dalam

menerima dan memberikan uang dari dan kepada pihak ketiga. Berhubung dengan

adanya cek, dan hanya dapat diberikan kepada Bankir, maka bank dalam arti luas

adalah orang atau lembaga yang dalam pekerjaanya secara teratur menyediakan

uang untuk pihak ketiga.33

Sedangkan Definisi Bank dan perbankan sesuai dengan Pasal 1 Undang-

Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun

1992, disebutkan bahwa pengertian bank adalah sebagai berikut: “ Bank adalah

badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup

rakyat banyak”. Sedangkan perbankan didefinisikan sebagai berikut: “segala

sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha

serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”.

Sedangkan “Bank Syari‟ah” adalah istilah yang di pakai di Indonesia

untuk menyatakan suatu jenis bank yang dalam pelaksanaanya berdasarkan

prinsip syari‟ah. Dan “Bank Islam” (Islamic Bank) adalah istilah yang digunakan

secara luas dinegara lain untuk menyebut bank dengan prinsip syari‟ah, walaupun

masih banyak istilah lain yang digunakan untuk menyebut Bank Islam tersebut,

seperti Interest free bank, lariba bank, shari’a bank dan lain-lain.

Secara resmi sebagaimana tersebut dalam peraturan perundang-undangan

Rebublik Indonesia, Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat

dalam bentuk kredit dan /atau dalam bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan

taraf hidup rakyat.34

32

Hukum Perbankan Indonesia, Citra Aditya Bakti Bandung 1999 hlm 13 – 14.

33 Zainal Asikin, Pokok-Pokok Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 1995, hlm. 4.

34 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari‟ah.

82

Universitas Indonesia

Istilah Syari’ah berasal dari bahasa arab yang berarti “ jalan menuju

sumber kehidupan” , yang secara hukum Islam diartikan sebagai hukum atau

peratutan yang ditentukan oleh Allah SWT untuk hamba-Nya sebagaimana yang

terkandung didalam Al-Qur‟an dan dalam al-Hadits.35

Sebagian ulama

berpendapat dengan redaksi yang berbeda bahwa secara harfiah syari‟ah berarti

jalan yang ditempuh atau garis yang semestinya dilalui. Secara terminologi

menurut Adiwarman Karim Syariah adalah peraturan-peraturan dan hukum yang

telah digariskan oleh Allah, atau telah digariskan pokok-pokoknya dan

dibebankan kepada kaum muslimin supaya mematuhinya, agar jalan itu diambil

oleh umat Islam sebagai penghubung diantaranya dengan sesama manusia.36

Istilah Bank Syari‟ah itu sendiri berasal dari dua kata yaitu Bank dan

Syari‟ah, yang didalam istilah internasional dikenal dengan istilah Islamic

Banking atau disebut juga Interest-free Banking.37

Secara etimologis, kata

“banco” dalam bahasa Italia berarti peti, lemari atau bangku. Kata peti atau lemari

mengandung pengertian fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga,

seperti peti emas, peti berlian, peti uang dan sebagainya. Dalam Al-Qur‟ah istilah

bank tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi jika yang dimaksud dengan bank

adalah sesuatu yang memiliki unsur seperti struktur, mamajemen, fungsi hak dan

kewajiban maka semua itu disebutkan dengan jelas seperti : zakat, shadaqah,

ghonimah (rampasan perang) dan yang memiliki fungsi yang dilaksanakan oleh

peran tertentu dalam kegiatan ekonomi.38

Menurut M. Amin Aziz, Bank adalah lembaga yang mendapatkan izin

untuk mengarahkan dana masyarakat berupa simpanan dan menyalurkan pada

masyarakat berupa pinjaman, sehingga berfungsi sebagai sarana perantara bagi

penabung yang mengalami surplus dana dengan pinjaman yang mengalami defisit

35

Wirdyanigsih, dkk, Bank dalam Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada

Media, 2007) hlm.4

36 Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2004) hlm. 7

37 Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, edisi revisi, unit penerbit dan percetakan (UPP)

AMPYKPN, Yogyakarta 2005 hal 13.

38 Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah, Alfabeth (jakarta 2002) hlm 2-3

83

Universitas Indonesia

dana dalam membiayai usaha yang dilakukan.39

Menurut Muhammad dalam

bukunya Lembaga Keuangan Umat Kontemporer bahwa bank adalah lembaga

perantara keuangan atau bisa disebut financial intermediary. Artinya, lembaga

bank adalah lembaga yang dalam aktivitasnya berkaitan dengan masalah uang.

Oleh karena itu usaha bank akan selalu dikaitkan dengan masalah uang yang

merupakan alat pelancar terjadinya perdagangan yang utama.40

Menurut Syafi‟i Antonio dan Karnaen Perwataatmaja bank Islam adalah

bank yang beroprasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari‟ah Islam, yakni bank

yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syari‟ah islam

khususnya yang menyangkut tatacara bermu‟amalah secara Islam. Dalam tatacara

bermu‟amalah itu dijauhi praktik-praktik yang dikhawatirkan mengandung unsur-

unsur riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan

pembiayaan perdagangan.41

Beliau mengatakan pula lebih spesifik bahwa bank islam adalah: bank

yang tatacara beroperasinya mengacu pada ketentuan al-Qur‟an dan al-Hasits,

yakni bank yang tatacara beroperasinya itu mengikuti suruhan dan larangan yang

tercantum dalam a-Qur‟an dan al-Hadits. Sesuai dengan suruhan dan larangan itu

maka yang dijauhi adalah praktik-praktik yang mengandung unsur-unsur riba,

sedangkan praktik-praktik yang diikuti adalah usaha-usaha yang dilakukan di

zaman Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi

tidak dilarang oleh beliau.42

Demikian pula Cholil Uman mendefinisikan bank syari‟ah dengan

memperbandingkan antara Bank Islam dengan Bank Non Islam sebagai berikut:

bank islam adalah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya

menurut hukum Islam. Sudah tentu bank islam tidak memakai sistem bunga,

sebab bunga dilarang oleh islam. Sedangkan bank non islam adalah sebuah

39

M. Anin Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Bank, Jakarta, 1992. hlm.1

40 Muhammad, Lembaga keuangan Umat Kontemporer, UII Tes, (yogyakarta, 2000) hal.

63

41 Karnaen Perwataatmaja dan Syafi‟i Antonio, 1992, Apa dan Bagaimana Bank Islam,

Yogyakarta: Dana Bahakti Wakaf, hlm 1-2.

42 Ibid

84

Universitas Indonesia

lembaga keuangan yang fungsi utamanya adalah menghimpun dana untuk

disalurkan kepada yang memerlukan dana guna investasi dalam usaha-usaha yang

produktif dan lain-lain dengan sistem bunga.43

Dari beberapa pengertian bank islam yang telah dikemukakan oleh para

ahli tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bank syari‟ah adalah suatu

lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang

berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan usaha dan

kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam. Selain itu bank syari‟ah dapat juga

disebut sebagai Islamic Banking atau Interest fee banking. Yaitu suatu system

perbankan yang dalam pelaksanaan operasionalnya tidak menggunakan system

bunga (riba), Spekulasi (maisir) dan ketidak pastian atau ketidak jelasan

(gharar).44

Bank Syari‟ah sebagai sebuah lembaga keuangan mempunyai mekanisme

dasar, yaitu menerima deposito dari pemilik modal (depositor) dan mempunyai

kewajiban (liability) untuk menawarkan pembiayaan kepada investor pada sisi

asetnya dengan pembiayaan yang sesuai syari‟at Islam. Pada sisi kewajiban,

terdapat dua kategori utama yaitu: Infest-fee Current and Saving accounts yang

berdasarkan pada prinsip PLS (Profit and Loss Sharing)antara pihak bank dengan

pimhak depositor, sedangkan pada sisi asset yang termasuk didalamnya segala

bentuk pola pembiayaan yang bebas riba dan sesuai dengan prinsip syari‟ah.

Bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syari‟ah maksudnya adalah

dalam operasinya tersebut mengikuti ketentuan-ketentuan syari‟ah khususnya

yang menyangkut tatacara bermu‟amalah secara Islam. Dalam bermu‟amalah

tersebut menjauhi praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsure-unsur

riba dan menggantinya dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil

dan pembiayaan perdagangan atau praktik-praktik usaha yang dilakukan di zaman

43

Cholil Uman, 1994, Agama Menjawab tentang berbagai masalah abad modern,

Surabaya: Ampel Suci Surabaya, hlm.5-6

44 Ibid., hlm.2

85

Universitas Indonesia

Rasulullah atau bentuk-bentuk lain yang telah ada sebelumnya tetapi tidak

dilarang oleh beliau.45

Bank Islam/ bank syari‟ah adalah sebuah bentuk dari bank modern yang

didasarkan pada hukum Islam yang sah, dikembangkan pada abad pertama Islam

yang menggunakan konsep berbagi resiko sebagai metode utama, dan

mentiadakan keuangan berdasarkan kepastian serta keuntungan yang ditentukan

sebelumnya.46

Terdapat tujuh prinsip ekonomi Islam yang menjiwai bank Syari‟ah, yaitu:

(1). Keadilan, kesamaan dan solidaritas

(2). Larangan terhadap Objek dan makhluk

(3). Pengakuan kekayaan Intelektual

(4). Harta sebaiknya digunakan dengan rasional dan baik (fair way)

(5). Tidak ada pendapatan tanpa usaha dan kewajiban

(6). Kondisi umum dari kredit (meliputi: peminjam yang mengalami kesulitan

keuangan sebaiknya diperlakukan secara baik, diberi tangguh waktu bahkan

akan lebih baik jika diberi keringanan. Kemudian terdapat beberapa

perbedaan pendapat mengenai hukum selisih dan harga spot, ada yang

berpendapat bahwa itu adalah suku bunga implicit dan juga ada yang

berpendapat bahwa hal tersebut dibolehkan untuk mengkomodasi biaya

transaksi bukan biaya dari pembiayaan).

(7). Dualiti risiko, disatu sisi sebagai bagian dari persetujuan kredit (liability)

usaha produktif yang merupakan legitimasi dari bagi hasil, dilain sisi

sebaiknya risiko diambil secara hati-hati, risiko yang tak terkontrol

sebaiknya dihindari.

Kelahiran bank syari‟ah (Bank Islam) dilandasi bahwa segala sesuatu

aktivitas seorang muslim harus didasarkan kepada syari‟at Islam. Islam tidak

hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (ibadah), tetapi juga mengatur

45

A. Karnaen Perwaatmadja, “Bank, Asuransi dan Hukum Islam”, (Bahan Kuliah Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, semester gasal tahun ajaran 2000/2001), hal.1

46 Abdul Manan, Sistem Ekonomi Berdasarkan Syari’ah (Artikel dalam Suara Udilag,

Vol.3,No.IX, September 2006, Jakarta, MA-RI

86

Universitas Indonesia

hubungan antara manusia dengan manusia (muamalat). Allah memberikan

petunjuk melalui para Rasul-Nya yaitu mengenai segala sesuatu yang dibutuhkan

manusia baik akidah, akhlak, maupun syari‟ah. Dengan demikian hubungan dalam

keseharian termasuk dalam bidang keuangan dan perbankan haruslah dilandasi

dengan prinsip-prinsip yang diperbolehkan oleh syari‟at Islam. Al-Qur‟an

melarang adanya riba, sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur‟an surat Ali

Imron ayat 130:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba

dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu

mendapat keberuntungan.47

Didalam Ushul Fiqh terdapat kaidah:

ما ال يتم الىاجب االبه فهى

واجبyakni sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan suatu kewajiban,

maka wajib diadakan. Mencari nafkah itu bagian dari kegiatan perekonomian dan

pada saat ini perekoomian itu tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga

perbankan, sehingga lembaga perbankan itu wajib diadakan agar perekonomian

berjalan sempurna.48

Perbankan syari‟ah merupakan suatu system perbankan yang

dikembangkan berdasarkan hukum Islam. Dimana usaha ini didasari oleh larangan

untuk memungut ataupun memberikan pinjaman dengan perhitungan bunga

(riba) dan larangan berinvestasi didalam usaha-usaha yang berkaitan dengan

barang-barang yang tidak Islami (haram). Dalam Pedoman Akuntansi Perbankan

Syari‟ah Indonesia (PAPSI), Bank Indonesia mendefinisikan Perbankan Syari‟ah

47

Departemen Agama Rebublik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta. 2008

48 Lihat A. Adiwarman Karim, Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan, edisi ke -3

Jakarta: 2008, hlm.14 -15.

87

Universitas Indonesia

sebagai berikut:49

“ Bank Syari‟ah adalah bank yang berdasarkan antara lain asas

kemitraan, keadilan, transportasi dan universal serta melakukan kegiatan usaha

perbankan berdasarkan prinsip syari‟ah.

Falsafah besar beroperasinya bank syari‟ah yang yang menjiwai seluruh

hubungan transaksinya adalah efisiensi, keadilan dan kebersamaan. Efisiensi

mengacu pada prinsip saling membantu secara sinergis untuk memperoleh

keuntungan sebesar-besarnya. Keadilan mengacu pada hubungan yang tidak

dicurangi, ikhlas dengan persetujuan yang matang atas proporsi masukan dan

keluarannya. Sedangkan kebersamaan mengacu pada prinsip saling menawarkan

bantuan dan nasehat untuk saling meningkatkan produktivitas.50

3.4 Akad-Akad Yang Dipergunakan Dalam Perbankan Syari’ah

Dalam perbankan syari‟ah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi

duniawi dan ukhrawi karena akad dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali

nasabah berani melanggar kesepakatan perjanjian yang telah dilakukan bila

hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tetapi tidak demikian bila

perjanjiian tersebut memiliki pertanggungjawabn hingga yaumil qiyamah.51

Secara garis besar hubungan ekonomi berdasarkan Syariah Islam

ditentukan oleh hubungan akad yang terdiri dari lima (5) dasar akad. Bersumber

dari kelima konsep dasar ini maka dapat ditemukan produk-produk lembaga

keuangan Bank Syariah dan lembaga keuangan bukan Bank Syariah untuk

dioperasikan. Lima akad tersebut tersebut adalah:

1. Akad Mudharabah

Merupakan Perjanjian antara dua pihak dimana pihak pertama sebagai

pemilik dana (sahibul maal) dan pihak kedua sebagai pengelola dana (mudharib)

untuk mengelola suatu kegiatan ekonomi dengan menyepakati nisbah bagi hasil

atas keuntungan yang akan diperoleh, sedangkan kerugian yang timbul adalah

49

Bank Indonesia, Pedoman Akuntansi Perbankan Syari’ah Indonesia(PAPSI),

Jakarta:2003.

50 Azia Amin, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Buku 2 (Jakarta: Bangkit, 2003)

hlm. 16

51 Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani

Pers, Cet.1 hlm.29

88

Universitas Indonesia

risiko pemilik dana kecuali mudharib melakukan kesalahan yang disengaja, lalai

atau menyalahi perjanjian.

Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada mudharib, murabahah

dibedakan atas:

a. Mudharabah mutlaqah,

Dimana pengelola yaitu mudharib diberi kesempatan untuk mengelola

modal dengan usaha apasaja yang dapat mendatangkan keuntungan dan

tidak dibatasi pada daerah tertentu namun bidang usaha yang dikelola tetap

tidak boleh bertentangan dengan hokum syari‟ah.

b. Mudharabah muqayyaddah,

Dimana mudharib harus mengikuti syarat-syarat yang ditetapkan oleh

shahibul maal seperti berdagang barang tertentu, di daerah tertentu dan

membeli barang pada orang tertentu. Syarat-syarat yang ditentukan oleh

shahibl maal juga tidak boleh bertentangan dengan syari‟ah.52

2. Akad Musyarakah

Merupakan ikatan kerjasana antara orang-orang yang berserikat dalam hal

modal dan keuntungan.53

Syirkah secara umum terbagi dalam tiga bentuk, yaitu syirkah ibahah, syirkah

amlak, dan syirkah uqud54

.

1) Syirkah ibahah yaitu: persekutuan hak semua orang untuk dibolehkan

menikmati manfaat sesuatu yang belum ada dibawah kekuasaan

seseorang.

2) Syirkah amlak (milik), yaitu: persekutuan antara dua orang atau lebih

untuk memiliki suatu benda.

3) Syirkah Akad, yaitu: persekutuan antara dua orang atau leih yang timbul

dengan adanya perjanjian.

52

Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana. 2005., 135-

136.

53 Ibid., hlm. 127.

54 Wirdyaningsih, Perjanjian Kerjasama Modal Dan Jasa (Al-Mudharabah) Menurut

Hukum Islam Pada Koperasi Ridho Gusti Skripsi Sarjana FHUI tahun 1992.

89

Universitas Indonesia

3. Akad Wadi’ah (Simpanan Murni)

Al-Wadi’ah merupakan fasilitas yang diberikan oleh Bank Syariah untuk

memberikan kesempatan kepada pihak yang mempunyai dana lebih untuk

menyimpan dananya dalam bentuk al-wadi’ah. Fasillitas ini biasanya diberikan

untuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan dan

deposito. Dalam dunia perbankan konvensional konsep al-wadi’ah identik dengan

Giro.55

Adapun beberapa istiah yaitu:56

a. Penerima simpanan disebut yad al-amanah yang artinya tangan amanah. Si

penyimpan tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan dan kerusakan

yang terjadi pada titipan selama hal itu bukan akibat dari kelalaian atau

kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan.

b. Penggunaan uang titipan harus terlebih dulu meminta izin kepada si pemilik

uang dan dengan catatan si pengguna uang menjamin akan mengembalikan

uang tersebut secara utuh. Dengan demikian prinsip yad al-amanah (tangan

amanah) menjadi yad adh-dhamanah (tangan penanggung).

c. Konsekuensi dari diterapkannya prinsip yad adh-dhamanah pihak bank akan

menerima seluruh keuntungan dari penggunaan uang, namun sebaliknya bila

mengalami kerugian, pihak bank harus menanggung sendiri kerugian tersebut.

d. Sebagai imbalan kepada pemilik dana disamping jaminan keamanan uangnya

juga akan memperoleh fasilitas lainnya seperti insentif atau bonus untuk giro

wadiah. Artinya bank tidak dilarang untuk memberikan jasa atas pemakaian

uangnya berupa insentif atau bonus, dengan catatan tanpa perjanjian terlebih

dulu baik nominal maupun persentase dan ini murni merupakan kebijakan

bank sebagai pengguna uang. Pemberian jasa berupa insentif atau bonus

biasanya digunakan istilah nisbah atau bagi hasil antara bank dengan nasabah.

55

http://indridwipertiwi.blogspot.com/2014/03/manajemen-perbankan-syariah.html, Indri

Dwi Pertiwi: “Manajemen Perbankan Syari‟ah”. Diakses tanggal 07 juli 2014.

56 http://killer-killermaniac2.blogspot.com/2012/04/simpanan-giro-wadiah.html, Simpanan

Giro Wadi‟ah, diakses tanggal 07 juli 2014.

90

Universitas Indonesia

Bonus biasanya diberikan kepada nasabah yang memiliki dana rata-rata

minimal yang telah ditetapkan.

e. Dalam praktiknya nisbah antara bank (shahibul maal) dengan

deposan (mudharib) biasanya bonus untuk giro wadiah sebesar 30%, nisbah

40%:60% untuk simpanan tabungan dan nisbah 45%:55% untuk simpanan

deposito.

4. Akad At-Tijarah (Jual Beli)

At-Tijarah merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli dimana

bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat

nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank,

kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah

beli ditambah keuntungan (margin).57

Prinsip At-Tijarah terdiri dari:58

a. Bai‟al Murabahah

Akad jual beli antara dua belah pihak dimana pembeli dan penjual

menyepakati harga jual yang terdiri dari harga beli ditambah ongkos

pembelian dan keuntungan bagi penjual. Nasabah membayar harga barang

pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.59

b. Bai‟ as-Salam

Pembelian barang dengan pembayaran dimuka dan barang diserahkan

kemudian.

c. Bai‟ al-Ishtisna

Merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam

kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat

barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli

57

http://najae9.blogspot.com/2014/02/bank-konvensional-dan-bank-syariah.html, Bank

Konvensional dan Bank Syari‟ah, diakses 7 juli 2014.

58 Ibid

59 Ibid

91

Universitas Indonesia

barang menurut spesifikasi yang telah disepaati dan menjualnya kepada

pembeli akhir.60

3.5 Rukun dan Syarat Dalam Perbankan Syari’ah

Ketentuan rukun dan akad transaksi dalam perbankan syari‟ah berbeda

dengan bank konvensional. Rukun dan akad dalam perbankan syari‟ah adalah:61

1. Penjual

2. Pembeli

3. Barang

4. Harga

5. Akad/ijab dan qabul

Syarat pelaksanaan transaksi dalam perbankan syari‟ah yaitu:

1. Barang dan jasa harus halal menurut syari‟at, sehingga transaksi atas barang

dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syari‟ah.

2. Harga barang dan jasa harus jelas (telah ditetapkan)

3. Tempat penyerahan (delivery) harus jelas, karena berdampak pada biaya

transportasi.

4. Barang objek transaksi harus sepenuhnya berada dalam objek kepemilikan,

artinya tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti

yang terjadi pada transaksi short sale yang terjadi dalam pasar modal.62

3.6 Prinsip Hukum Perbankan Syari’ah

Prinsip dasar perbankan syari‟ah adalah aturan perjanjian berdasarkan

hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana pembiayaan

kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syari‟ah. Beberapa

prinsip hukum yang di anut oleh perbankan syari‟ah antara lain:

60

Ibid

61 Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani

Pers, Cet.1 hlm.31

62 Ibid

92

Universitas Indonesia

1. Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman

dengan nilai yang ditentukan sebelumnya maka dilarang.

2. Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil

usaha institusi yang meminjam dana.

3. Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”

4. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak

memiliki nilai instrinsik.

5. Unsur gharar (ketidak pastian, spekulasi) tidak diperkenankan

6. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka

peroleh dari sebuah transaksi.

7. Investasi hanya dapat diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan

dalam Islam

8. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syari‟ah63

3.7 Tujuan Perbankan syariah:

Perbankan syariah memiliki tujuan yang sama seperti perbankan

konvensional, yaitu agar lembaga perbankan dapat menghasilkan keuntungan

dengan cara meminjamkan modal, menyimpan dana, membiayai kegiatan usaha,

atau kegiatan lainnya yang sesuai. Prinsip hukum Islam melarang unsur-unsur di

bawah ini dalam transaksi-transaksi perbankan tersebut:64

1. Perniagaan atas barang-barang yang haram.

2. Bunga (ربا riba).

3. Perjudian dan spekulasi yang disengaja (ميسر maisir) serta

4. Ketidakjelasan dan manipulatif (غرر gharar).

Bank syari‟ah didasarkan pada al-Qur‟an dan al-Hadist sebagai pedoman

hidup umat Islam. Filosofi dan dasar perbankan syari‟ah meliputi 3 aspek, yaitu

produktif, adil dan memiliki akhlaq atau moralitas usaha. Produktif berarti harta

yang dipergunakan untuk kemaslahatan dan kesejahtraan. Oleh karenanya harta

juga tidak boleh menganggur dan diperkenankan memperoleh laba. Sedangkan

adil berarti dilarangnya riba dan diharuskan dilakukan pembagian hasil risiko.

63

Shariahbank.blogspot.com/2008_07_01_archive.htmw(UUBS), 13 Juli 2011.

64 Muhammad, Syafi'i Antonio, Bank Syariah, Dari Teori ke Praktik, penyunting Dadi

M.H. Basri, Farida R. Dewi, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press. ISBN 979-561-688-9, 2001.

93

Universitas Indonesia

Akhlak dan moralitas usaha meliputi larangan investasi pada usaha maksiat dan

merusak lingkungan serta larangan bersepekulasi.65

Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur‟an tidak diturunkan sekaligus,

melainkan diturunkan dalam beberapa tahap, anta lain:

a. Tahap pertama terdapat dalam surat ar-Ruum ayat 39

Artinya: Dan apa yang kamu berikan sebagai tambahan (riba) untuk menambah

harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan zakat yang

kamu berikan karena megharap ridha Allah, maka mereka (yang memberikan

zakat itu) melipat gandakan pahalanya.66

b. Tahap ke dua terdapat dalam Surat an-Nisa ayat 161:

Artinya: Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya

mereka telah dilarang melakukannya, dan karena mereka memakan harta

benda orang lain dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk

orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.

c. Tahap yang ke tiga terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 275:67

65

Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Perbankan, Peluang Bank Syari’ah. Media

Indonesia” 28 Mei 2001

66 Departemen Agama Rebublik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta. 2008, al-

Qur‟ah surat ar-Ruum ayat 39.

67 Departemen Agama Rebublik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta. 2008

94

Universitas Indonesia

Artinya: orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri

melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)

penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka

berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang

telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari

mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum

datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali

(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka

kekal di dalamnya.68

Berdirinya bank syari‟ah memiliki tujuan sebagai berikut:69

1. Menyediakan lembaga keuangan perbankan sebagai sarana meningkatkan

kualitas kehidupan sosial masyarakat banyak.

2. Meningkatkan partisipasi masyarakat banyak dalam proses pembangunan

terutama dibidang ekonomi keuangan.

3. Berkembangnya lembaga bank dan sistem perbankan yang sehat

berdasarkan efisiensi dan keadilan akan mampu meningkatkan partisipasi

masyarakat sehingga menggalakkan usaha-usaha ekonomi masyarakat

banyak dengan antara lain memperluas jaringan lembaga-lembaga

keuangan perbankan ke daerah-daerah terpencil.

4. Mendidik dan membimbing masyarakat untuk berpikir secara ekonomis

berprilaku bisnis dalam meningkatkan kualitas hidup mereka.

5. Berusaha membuktikan bahwa konsep perbankan Islam menurut syari‟ah

Islam dapat beroperasi, tumbuh dan berkembang melebihi bank-bank

dengan sistem lain.

68

Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang

disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan

barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan

demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang

dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat

Arab zaman jahiliyah.

69 M. Amin Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Bangkit, Jakarta: 1996, hlm.

9-11

95

Universitas Indonesia

Tujuan ditetapkannya syari‟at tidak lain adalah untuk kemaslahatan manusia.

Hal ini dapat dilakukan dengan menghilangkan riba dalam aktivitas ekonomi.

Tujuan didirikannya bank syari‟ah itu sendiri mengarahkan kegiatan ekonomi

umat untuk bermu‟amalah secara Islam, khususnya mu‟amalah yang berhubungan

dengan perbankan agar terhindar dari praktek-praktek riba ajau jenis-jenis

usaha/perdagangan lain yang mengandung unsur penipuan.

Bank syari‟ah ini didirikan dengan memiliki beberaa tujuan diantaranya adalah

pertama untuk menciptakan suatu keadilan dibidang ekonomi, dengan jalan

meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi sehingga tidak terjadi

kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang

membutuhkan dana. Kemudian yang kedua untuk meningkatkan kualitas hidup

umat dengan jalan membuka peluang beruaha yang lebar untuk menjaga stabilitas

ekonomi dan moneter. Dengan aktivitas-aktivitas bank Islam diharapkan mampu

menghindari inflasi dan negative spread akibat penerapan suku bunga. Dan yang

ke-tiga menghindari persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan,

khususnya bank serta menanggulangi kemandirian lembaga keuangan dari

pengaruh gejolak moneter baik dalam maupun luar negeri.

Abdul Gani Abdullah mengemukakan dalam analisis dan evaluasi hukum yang

dilakukannya terhadap perbankan syari‟ah, menemukan setidaknya empat hal

yang menjadi tujuan pembangunan berdasarkan prinsip syari‟ah yaitu:70

a. Untuk memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak

dapat menerima konsep bunga

b. Terciptanya dual banking sistem di Indonesia yang mengakomodasi

terlaksananya sistem perbankan konvensional dan perbankan syari‟ah

dengan baik dalam proses kompetisi yang sehat, dimana didukung oleh

pola prilaku bisnis yang bernilai dan bermoral.

c. Mengurangi risiko kegagalan sistem keuangan Indonesia.

d. Mendorong peran perbankan dalam menggerakkan sektor riil dan

membatasi segala bentuk eksploitasi yang tidak produktif, serta

mengabaikan nilai-nilai moral.

70

Arifin Hamid, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syari’ah) di Indonesia Aplikasi dan

Prospektifnya, (Bogor: Ghalia Indonesia,2007) hal.129

96

Universitas Indonesia

Fungsi dan peran perbankan syari‟ah diantaranya tercantum dalam pembukaan

standar akuntansi yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing

Organization for Islamic Financial Institution), sebagai berikut:

1. Manajeer investasi, bank syari‟ah dapat mengelola dana nasabah

2. Investor, Bank Syari‟ah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya

maupun dana nasabah yang dipercayakan padanya

3. Penyediaan jasa keuangan dan lalulintas pembayarann.

4. Pelaksanaan kegiatan sosial, contoh: kewajiban mengeluarkan dana dan

mengelola (menghimpun, mengadministrasikan, mendistribusikan) zakat

serta dana sosial lainnya.71

Bank syari‟ah memiliki fungsi yang berbeda dengan bank konvensional

Bank Islam diperkenankan untuk mengeluarkan produk, jasa dan kegiatan usaha

perbankan yang baru, dimana sebelumnya tidak ada dan belum dikenal pada

zaman Rasulullah asal hal itu tidak bertentangan dengan al-Qur‟an maupun al-

Hadits. Pada bank Islam umumnya dibentuk suatu lembaga pengawas yang

bertugas dan memiliki kewenangan untuk memastikan atas produk, jasa dan

kegiatan usaha bank islam tersebut agar tidak berlawanan dengan ketentuan serta

prinsip-prinsip syari‟ah sebagaimana dalam al-Qur‟an dan al-Hadits. Lembaga

pengawas inilah yang akan memberikan fatwa kepada bank yang bersangkutan.

Sepanjang bank konvensional tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip

islam maka bank-bank Islam telah mengadopsi sistem dan prosedur perbankan

yang ada, namun bila bertentangan dengan prinsip syari‟ah maka bank islam harus

merencanakan dan menerapkan sistem sendiri guna menyesuaikan aktivitas

perbankan mereka dengan prinsip-prinsip syari‟at Islam. Untuk itu maka

pengawas perbankan syari‟ah yang lebih kita kenal dengan istilah DPS (Dewan

pengawas Syari‟ah) berfungsi memberikan masukan kepada bank Syar‟ah guna

memastikan bank islam tidak terlibat dengan unsur-unsur yang tidak disetujui oleh

Islam.72

71

M. Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, Surakarta: UMS Pers. 2006,

hlm. 19

72 Wirdyaningsih, et,al.,2005, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana

Prenada dan Badan Penerbit Fakultas hukum Universitas indonesia, hlm 39.

97

Universitas Indonesia

Adapun tujuan didirikannya bank syari‟ah adalah sebagai berikut:

1. Menyediakan lembaga keuangan perbankan sebagai sarana meningkatkan

kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dengan adanya lembaga keuangan

diharapkan akan tersedianya kesempatan yang lebih baik untuk

mengumpulkan modal dan pemanfaatan dana sehingga akan mengurangi

kesenjangan sosial ekonomi dan dengan demikian akan memberikan

sumbangan peninigkatan pembangunan nasional yang semakin mantap,

antara lain dengan cara meningkatkan kualitas usaha dan kegiatan usaha.73

a. Sistem bagi hasil yang berdasarkan atas keadilan dan peningkatan

euntungan bagi kedua belah pihak akan merangsang orang-orang dan

pengusaha-pengusaha kecil yang lemah permodalannya untuk bekerja

sama dengan bank islam dalam permodalannya guna mendirikan usaha

baru dan mengembangkan usaha yang tengah dijalankan. Hal seperti ini

diharapkan akan mengakibatkan munculnya kegiatan-kegiatan usaha

baru didalam masyarakat sehingga kuantitas usaha dan kualitas usaha

akan mengalami peningkatan.

b. Dengan munculnya kegiatan-kegiatan usaha baru dan pengembangan

usaaha yang telah ada maka akan terbuka luas lapangan kerja baru yang

akan mengurangi angka pengangguran dan akan meningkatkan

pendapatan masyarakat.

2. Meningkatkan partisipasi masyarakat banyak dalam proses pembangunan,

terutama dalam bidang ekonomi karena:

a. Masih banyak masyarakat yang enggan berhubungan dengan bank, hal ini

terjadi karena masih banyak masyarakat islam beranggapan bunga bank itu

riba dan diharamkan dalam islam selain itu banyak masyarakat kecil yang

masih belum terbiasa pinjam ataupun menabung di bank.

b. Dengan adanya bank syari‟ah masyarakat Islam yang semula enggan

berhubungan dengan bank akan terasa terpanggil berhubungan dengan bank

Syari‟ah, ini merupakan sumbangan bagi pembangunan nasional.

73

Rachmadu Usman, Aspek hukum perbankan syari’ah,Jakarta: Sinar Grafika, cet. I, 2012,

hlm.37

98

Universitas Indonesia

3. Berkembangnya lembaga bank dan sistim perbankan yang sehat berdasar

efisiensi dan keadilan yang akan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat

kemudian menggalakkan usaha-usaha ekonomi masyarakat banyak sehingga

memperluas jaringan lembaga-lembaga keuangan perbankan ke daerah-daerah

terpencil.

4. Ikhtiar ini akan sekaligus mendidik dan membimbing masyarakat untuk

berpikir secara ekonomis, berperilaku bisnis dalam meningkatkan kualitas

hidup mereka.

5. Berusaha membuktikan bahwa konsep perbankan menurut syari‟ah dapat

beroperasi, tumbuh dan berkembang melebihi bank-bank dengan sistem lain.74

3.8 Ciri-Ciri Bank Syari’ah dan Perbedaanya dengan Bank Konvensional

3.8.1 Ciri-ciri bank syari’ah

a. Keuntungan dan beban biaya yang disepakati tidak kaku dan ditentukan

berdasarkan kelayakan tanggungan risiko dan pengorbanan masing-masing

b. Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu kontrak. Sisa

utang selepas kontrak dilakukan kontrak baru

c. Penggunaan persentase untuk perhitungan keuntungan dan biaya

administrasi selalu dihindarkan.

d. Pada bank Islam (bank syari‟ah) tidak mengenal keuntungan pasti (fixed

return), ditentukan kepastian setelah mendapat keuntungan, bukan

sebelumnya.

e. Uang dari jenis yang sama tidak dapat diperjualbelikan atau disewakan

atau di anggap barang-barang dagangan, oleh karena itu seharusnya bank

syari‟ah tidak memberikan pinjaman berupa uang tunai tetapi berupa

pembiayaan atau talangan dana untuk pengadaan barang dan jasa.75

74

M.Amin Aziz (2), Op.Cit., hlm 10-11.

75 M. Amin Aziz (1) Op.Cit., hlm.5-6

99

Universitas Indonesia

8.2. Perbandingan Antara Bank Syariah Dan Bank Konvensional Adalah

Sebagai Berikut76

No Karakter Bank Islam Bank Konvensional

1 Eksistensi Dan

Legalitas

Hukum Islam dan Hukum

Positif

Hukum Positif

2 Dasar Hukum Produk

Dan Akad

Hukum Islam Dan Hukum

Positif

Hukum Positif

3 Fungsi Ekonomi dan Sosial

(keagamaan)

Ekonomi

4 Orientasi Usaha Profit dan falah oriented Profit Oriented

5 Prinsip Operasional Berdasarkan asas prinsip

syari‟ah (bagi hasil, jual

beli, sewamenyewa, pinjam

meminjam)

Berdasarkan Asas Prinsip

Konvensional berdasarkan

bunga

6 Investasi Halal Halal dan Haram

7 Hubngan Bank dengan

Nasabah

Kemitraan Dan Sejajar Debitur dan Kreditur

8 Penentuan

Keuntungan atau

Imbalan

Kesepakatan Bersama Sepihak Oleh Bank

9 Penggunaan Dana Riil (User Of Real Funds) Creator of Money Supply

10 Penghimpunan dan

penyaluran dana

sesuai fatwa Dewan

Pengawas Syariah

tidak diatur oleh dewan

Pengawas

11 Pengawasan Bank Indonesia, Dewan Bank Indonesa

76

Rahmadi Usman, Aspek hokum Perbankan Syari’ah di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,

2012., hlm. 41.

100

Universitas Indonesia

Syari‟ah Nasional dan

dewan pengawas Syari‟ah

3.9 Sistem Operasional Bank Syariah.

Prinsip utama operasional bank berdasarkan Prinsip Syariah adalah hukum

Islam yang bersumber dari Al Qur‟an dan Al Hadist. Kegiatn operasional bank

harus memperhatikan perintah dan larangan kedua sumber tersebut. Larangan

terutama berkaitan dengan kegiatan bank yang dapat diklasifikasikan sebagai riba.

Perbedaan utama antara kegiatan bank berdasarkan prinsip syariah dengan bank

konvensional pada dasarnya terletak pada sistem pemberian imbalan atau jasa atas

dana.

Dalam menjalankan operasionalnya, bank berdasarkan Prinsip Syariah

tidak menggunakan sistem bunga dalam menentukan sitem imbalan atas dana

yang digunakan atau ditipkan oleh suatu pihak. Penentuan imbalan terhadap dana

yang dipinjamkan maupun dana yang disimpan di bank didasarkan pada prinsip

bagi hasil sesuai dengan hukum Islam. Perlu diakui bahwa dalam hukum Islam,

bunga bank adalah riba dan diharamkan. Ditinjau dari sisi pelayanan terhadap

masyarakat dan pemasaran, adanya bank atas dasar prinsip Syariah merupakan

usaha untuk melayani dan mendayagunakan segmen pasar perbankan yang tidak

setuju atau tidak menyukai sistem bunga.

3.10 Sumber-Sumber Dana Bank Syariah

Perbankan syari‟ah merupakan lembaga yang menghimpun, mengelola

dan menyalurkan dana. Oleh sebab itu, bank syari‟ah membutuhkan sumber-

sumber dana yang akan dikelola.

Metode penghimpunan dana yang ada pada bank konvensional didasari

teori yang diungkapkan Keynes yang mengemukakan bahwa orang membutuhkan

uang untuk tiga Kegunaan, yaitu fungsi transaksi, cadangan, dan investasi. Oleh

karena itu, produk penghimpunan dana pun disesuaikan dengan tiga fungsi

tersebut, yaitu berupa giro, tabungan, dan deposito.

101

Universitas Indonesia

Berbeda dengan hal berikut, bank syariah tidak melakukan pendekatan

tunggal dalam menyediakan produk penghimpunan dana bagi nasabahnya. Pada

dasarnya, dilihat dari sumbernya, dana bank syariah terdiri atas:

3.10.1 Sumber Dana

Sebagai salah satu lembaga yang berfungsi untuk menghimpun dana

masyarakat, bank syariah harus memiliki sumber dana optimal sebelum disalurkan

kembali ke masyarakat. Disamping itu, sebagai bank syariah yang di tuntut untuk

mempraktikan kaidah Islam, maka perlu dipahami terlebih dahulu dana

masyarakat dan transaksi-transaksinya yang tidak bertentangan dengan syariat

Islam.

Sumber dana yang dapat dihimpun dari masyarakat terdiri dari (3) tiga jenis

dana, yaitu:

a. Dana Modal yaitu dana dari pendiri bank dan dari para pemegang saham

tersebut. Modal merupakan dana (dalam bentuk pembeliaan saham) yang

disediakan oleh pemilik yang mempunyai hak untuk memperoleh dividen dan

penggunaan modal yang disertakan tersebut. Dalam perbankan syariah,

mekanisme penyertaan modal pemegang saham dapat dilakukan melalui

musyawarah fi sahm asy-syariqah atau equity participation pada saham

perseroan bank.

b. Dana Titipan Masyarakat baik yang dikelola oleh bank dalam sistem

Wadi‟ah, maupun yang diinvestasikan melelui bank dalam bentuk dana

investasi khusus (Mudhrabah Muqayyadah) atau investasi terbatas

(Mudhrabah Muqayyadah)

3.11 Fungsi Bank Syari’ah

Seperti halnya pada umumnya, bank syari‟ah jiga mempunyai fungsi (kegunaan)

yang sangat penting. Diantara fungsi-fungsi itu antara lain:

1. Memobilisasi tabungan masyarakat, baik domestik maupun asing;

2. Menyalurkan dana tersebut secara efektif ke kegiatan-kegiatan usaha yang

produktif dan menguntungkan secara finansial dengan memperhatikan

keinginan usaha tersebut idak termasuk yang dilarang oleh syari‟ah

102

Universitas Indonesia

3. Melakukan fungsi regulator turut mengatur mekanisme penyaluran dana

kepada masyarakat sesuai dengan kebijakan bank Indonesia, sehingga

dapat mengendalikan aktivitas moneter yang sehat dan terhindar dari

inflasi;

4. Menjembatani keperluan pemanfaatan dana dari pemilik modal dan pihak

yang memerlukan sehingga uang dapat berfungsi untuk melancarkan

perekonomian khususnya dan pembangunan umumnya.

5. Menjaga amanah yang dipercayakan kepadanya sebagai lembaga

keuangan yang berdasarkan prinsip syari‟ah.77

.

3.12 Jenis - jenis Bank Syariah

1. Bank Umum Syariah

2. Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR Syariah)

3. Bank Konvensional yang membuka Usaha Syariah ( Cabang Syariah )

77

M ma‟ruf Abdullah, 2006, Hukum Perbankan dan Perkembangan Bank Syari’ah di

Indonesia, Banjarmasin: Antasari press, hlm. 104.

103

Universitas Indonesia

102

BAB 4

PERAN PERBANKAN SYARI’AH DALAM PENGELOLAAN WAKAF

UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NO.41 TAHUN 2004 TENTANG

WAKAF

4.1 Dasar Hukum Wakaf Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

Tentang Wakaf

Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang

sebagai sebegai anggota masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib diantara

anggota masyarakat tersebut.1 Hukum tidak sekedar meneguhkan pola-pola yang

ada dalam masyarakat, melainkan ia berusaha untuk menciptakan hal-hal atau

hubungan-hubungan yang baru.2

Peraturan perundang-undangan yang selama ini mengatur masalah

perwakafan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan antara

lain Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria,

Peraturan Pemerintah (PP) No. 28. Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik,

Peraturan Menteri Agama RI No.1 tahun 1978 tentang Pelaksanaan PP No. 28

Tahun 1977, peraturan Dirjen Bimas Islam Depag RI No. Kep/D/75/1978 dan

Inpres (Intruksi Presiden) RI No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

(KHI), dianggap belum memadai dan masih dianggap menjadi persoalan yang

belum terselesaikan dengan baik, sehingga keinginan kuat dari umat Islam untuk

memaksimalkan peran kelembagaan dalam bidang perwakafan masih mengalami

kendala-kendala formil.

1 Asbar, dkk, Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, (Jakarta Departemen Agama RI, 2002),

hlm.203

2 Sutjipto Raharjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan Studi Hukum,

Bandung: Alumni, 1977, hlm. 134-145

103

Universitas Indonesia

Pada tanggal 7 Oktober 2004, pemerintah mengeluarkan peraturan baru

tentang wakaf yaitu Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Dengan

berlakunya undang-undang ini, semua peraturan mengenai perwakafan masih

terus berlaku sepenjang tidak bertentangan dengan dan /atau belum diganti dengan

peraturan yang baru berdasarkan undang-undang ini.3 Lahirnya undang-undang

Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf diarahkan untuk memberdayakan wakaf

yang merupakan salah satu instrument dalam membangun kehidupan sosial

ekonomi umat Islam. Undang-undang ini memiliki urgensi, yaitu selain untuk

kepentingan ibadah kehadiran undang-undang wakaf ini juga menjadi momentum

pemberdayaan wakaf secara produktif untuk kepentingan sosial. Sebab

didalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola menejemen

pemberdayaan potensi wakaf secara modern.

Salah satu ketentuan mendasar tentang wakaf yang berhubungan dengan

Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf adalah kelanggengan wakaf.

Dalam peraturan pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik

ditetapkan bahwa wakaf bersifat selamanya. Ketentuan yang sama juga terdapat

dalam Kompilasi Hukum Islam. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 41

Tahun 2004 ditetapkan bahwa benda wakaf dimanfaatkan untuk selamanya atau

jangka waktu tertentu. Hal ini disebutkan dalam pasal 1 bahwa Wakaf adalah

perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta

benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu

sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan

umum menurut syari‟ah.

Ketentuan didalam undang-undang menyebutkan bahwa wakaf

dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut yaitu: wakif,

nazir,harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf dan jangka

waktu wakaf. Unsur yang pertama adalah wakif, yaitu pihak yang mewakafkan

harta benda miliknya. Disebutkan didalam bab 2 (dua) dasar-dasar wakaf bagian

keempat Pasal 7 dan 8 mengenai ketentuan wakif, yang menjelaskan bahwa wakif

3 Abdul Ghafur Anshori, Hukum Dan Praktik Perwakafan Di Indonesia, Yogyakarta:

Nuansa Aksara, 2006, hlm. 52.

104

Universitas Indonesia

meliputi baik wakif perseorangan, organisasi dan/atau badan hukum dalam hal ini

merupakan perseorangan warga Negara Indonesia atau warga Negara asing,

organisasi Indonesia atau organisasi asing dan/atau badan hukum Indonesia atau

badan hukum asing.4

Unsur wakaf yang kedua adalah nazhir, yaitu pihak yang menerima harta

benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan

peruntukannya. Dalam PP No.28 maupun KHI hanya mengenal dua macam

nazhir yaitu nazhir perorangan dan nazhir badan hukum, sementara dalam

undang-undang wakaf ditambah lagi nazhir organisasi. Disebutkan dalam pasal 9,

10 dan 11 mengenai ketentuan nazhir, dijelaskan bahwa nazhir meliputi baik

individu, organisasi dan/atau badan hukum dalam hal ini merupakan perseorangan

warga Negara Indonesia, organisasi Indonesia dan atau badan hukum Indonesia.5

Kemudian dijelaskan pula bahwa nazhir perseorangan hanya dapat

menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan sebagai warga Negara Indonesia,

beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, dan yang

terakhir tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.6 Kemudian untuk nazhir

organisasi hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan sebagai

pengurus organisasi yang bersangkutan dan memenuhi persyaratan nazhir

perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan organisasi yang bergerak

dibidang sosial, pendidikan kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam.7

Dalam menjalankan tugasnya zazhir badan hukum hanya dapat menjadi

zazhir apabila memenuhi persyaratan sebagai pengurus badan hukum yang

bersangkutan dan memenuhi persyaratan zazhir perseorangan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), dan badan hukum indonesia yang dibentuk sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan badan hukum yang

4 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, pasal 7.

5 Ibid., Pasal 9.

6 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, pasal 10 ayat 1.

7 Ibid., Pasal 10 ayat (2)

105

Universitas Indonesia

bersangkutan bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau

keagamaan Islam.8

Dalam menjalankan tugasnya nazhir mempunyai tugas melakukan

pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta

wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya, kemudian mengawasi dan

melindungi harta benda wakaf, sekaligus melaporkan pelaksanaan tugas kepada

Badan Wakaf Indonesia.9 Hal lain yang semakin dilengkapi oleh Undang-Undang

No. 41 Tahun 2004 mengenai imbalan nazhir. Imbalan zazhir yang selama ini

belum secara tegas dibatasi, kini didalam undang-undang dibatasi secara tegas

jumlahnya tidak bolleh lebih dari 10% dari hasil bersih atas pengelolaan dan

pengembangan harta wakaf.

Di dalam ketentuan undang-undang wakaf disebutkan bahwa unsur wakaf

yang ke tiga adalah mengenai harta benda wakaf, dimana harta benda tersebut

yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta

mempunyai nilai ekonomi menurut syari‟ah yang diwakafkan oleh wakif. Adapun

ketentuan baru didalamnya yang berbeda dari beberapa peraturan perundangan

wakaf yang sudah ada adalah sebagai upaya pemberdayaan wakaf secara

produktif dan profesional. Setidaknya undang-undang wakaf sekarang memiliki

substansi penekanan atas benda yang diwakafkan (mauquf bih). Dalam peraturan

perundangan wakaf sebelumnya hanya menyangkut perwakafan benda tidak

bergerak hanya pada wakaf tanah milik, peruntukannya dipergunakan untuk

kepentingan yang tidak produktif, seperti masjid, madrasah, yayasan, tempat

pemakaman dan sebagainya. Sedangkan undang-undang wakaf sekarang ini telah

mengakomodir harta benda wakaf bergerak, seperti uang (cash waqf), saham,

surat-surat berharga dan hak kekayaan intelektual.

Selanjutnya mengenai ikrar wakaf (sebagai unsur wakaf yang ke empat),

yang dimaksud dengan ikrar wakaf (shighat) adalah pernyataan kehendak wakif

yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan

harta benda miliknya. Disebutkan dalam pasal 17 mengenai ikrar wakaf ini bahwa

8 Ibid., Pasal 10 ayat (3)

9 Ibid., Pasal 11

106

Universitas Indonesia

ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir dihadapan Pejabat Pembuat

Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan oleh dua orang saksi.

Unsur wakaf yang kelima dalam undang-undang wakaf adalah mengenai

peruntukan harta benda wakaf. ketentuan tersebut tertuang dalam pasal 22 yang

menyebutkan bahwa dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda

wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi sarana dan kegiatan ibadah; sarana dan

kegiatan pendidikan; bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar yatim piatu,

beasiswa; kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau kemajuan

kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan sysri‟ah dan

peraturan perundang-undangan.10

Selain itu pembahasan mengenai ketentuan pentingnya pendaftaran benda-

benda wakaf oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) kepada instansi

yang berwenang. Urgensi pendaftaran benda-benda wakaf itu dimaksudkan agar

seluruh praktik perwakafan dapat dikontrol dengan baik, sehingga bisa dihindari

tindakan penyelewengan yang tidak perlu. Undang-undang ini juga menekankan

pentingnya pemberdayaan benda-benda wakaf. aspek pemberdayaan dan

pengembangan benda wakaf selama ini memang terlihat belum optimal, sehingga

undang-undang wakaf ini menekankan pentingnya pemberdayaan dan

pengembangan benda-benda wakaf yang mempunyai potensi ekonomi tinggi

untuk kesejahtraan masyarakat banyak.11

Sedangkan hal baru yang juga terdapat dalam undang-undang wakaf ini

dan tidak terdapat dalam peraturan sebelumnya adalah menyengkut dibentuknya

badan baru yaitu Badan Wakaf Indonesia (BWI). BWI adalah lembaga

independen yang dibentuk oleh pemerintah untuk memajukan dan

mengembangkan perwakafan nasional. BWI berkedudukan di Ibukota Negara dan

dapat membentuk perwakilan di provinsi dan/atau kabupaten atau kota sesuai

dengan kebutuhan. BWI beranggotakan paling sedikit 20 orang dan paling banyak

30 orang yang berasal dari anggota masyarakat. Keanggotaan BWI tersebut

10

Ibid.,Pasal 22.

11 Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif Sebuah Upaya

Progresif Untuk Kesejahtraan Umat, Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006., hlm.93.

107

Universitas Indonesia

diangkat dan diberhentikan oleh Presiden untuk masa jabatan 3tahun. Adapun

tugas dan wewenang BWI adalah sebagai berikut:

1. Melakukan pembinaan terhadap zazhir dalam mengelola dan

mengembangkan harta benda wakaf.

2. Melakukan pengelolaan da n pengembangan harta benda wakaf bersekala

nasional dan internasional.

3. Memberikan persetujuan dan/atau perizinan atas perubahan dan peruntukan

serta status harta benda wakaf.

4. Memberhentikan dan mengganti nahzir.

5. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.

6. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam menyusun

kebijakan dibidang perwakafan.

Dilihat dari tugas dan wewenang BWI dalam undang-undang ini nampak

bahwa BWI selain mempunyai tanggungjawab untuk mengembangkan

perwakafan di Indonesia, juga mempunyai tugas untuk membina para nazhir,

sehingga nantinya wakaf dapat berfungsi sebagaimana disyari‟atkannya wakaf

tersebut. Adapun pengawasan terhadap perwakafan pada umumnya dan nazhir

pada umumnya dilakukan oleh pemerintah dibantu badan wakaf atau lembaga

wakaf dari Negara yang bersangkutan.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 56 ayat (1)

menyebutkan bahwa pengawasan terhadap perwakafan dilakukan oleh pemerintah

dan masyarakat, baik aktif maupun pasif. (2) pengawasan aktif dilakukan dengan

melakukan pemeriksaan langsung terhadap nazhir atas pengelolaan wakaf,

sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. (3) pengawasan pasif dilakukan

dengan melakukan pengamatan atas berbagai laporan yang disampaikan nazhir

berkaitan dengan pengelolaan wakaf. (4). Dalam melakukan pengawasan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah dan masyarakat dapat meminta

bantuan jasa akuntan public independen. Dengan ketentuan di atas maka

108

Universitas Indonesia

diharapkan harta wakaf dapat terlindungi serta pengembangannya tetap terjaga

sehingga dapat berfungsi sesuai kehendak wakif.12

Hal berbeda berikutnya yang terdapat dalam undang-undang ini adalah

mengenai cara penyelesaian sengketa. Dalam undang-undang ini penyelesaian

sengketa dapat diselesaikan melalui musyawarah mufakat maupun bantuan pihak

ketiga melalui mediasi, arbitrase dan jalan terakhir adalah pengadilan. Hal ini

berbeda dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya yang menjadikan

pengadilan sebagai jalan utama dalam menyelesaikan sengketa wakaf.

4.2 Peraturan Pengelolaan Wakaf Uang Oleh Bank Syariah Menurut

Undang-Undang Wakaf.

Perbankan merupakan sebuah lembaga yang berfungsi sebagai

penghimpun, pengelola dan penyalur dana masyarakat. Begitu pula yang

dilakukan oleh Perbankan Syari‟ah di Indonesia. Penghimpunan dana yang

diperoleh dari masyarakat dilaksanakan sesuai prinsip syari‟at Islam dan hasilnya

disalurkan untuk kebutuhan umat Islam pada khususnya dan untuk bangsa

Inonesia pada umumnya. Wakaf uang merupakan sebuah lembaga yang relatif

baru dalam dunia Islam di Indonesia yang bertujuan untuk memajukan

kesejahteraan umat. Oleh karena itu diperlukan suatu lembaga profesional yang

dapat mengelola dan mengembangkan wakaf uang agar menjadi suatu hal yang

berguna bagi umat Islam di Indonesia.

Perbankan syari‟ah sebagai suatu lembaga profesional dalam mengelola

dana masyarakat dan dana sosial lainnya seperti dana zakat wakaf dan shadaqah,

perlu juga memperluas usahanya dengan mengembangkan wakaf uang. Oleh

karena itu perbankan harus ambil bagian dalam upaya pengelolaan dan

pengembangan wakaf uang di Indonesia. Dengan dikeluarkannya UU Nomor 41

Tahun 2004, pada tahun 2004 maka sejak saat itu perbankan syari‟ah berperan

besar dalam perkembangan wakaf uang di Indonesia.

12

Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006, pasal 56, ayat (1).

109

Universitas Indonesia

Menurut Pasal 28 UU No. 41 Tahun 2004 dinyatakan bahwa wakif dapat

mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syari‟ah

yang ditunjuk oleh Menteri. Jika memperhatikan isi Pasal tersebut, maka lembaga

keuangan syari‟ah memiliki peran terhadap wakaf uang di Indonesia. Yang

dimaksud dengan lembaga keuangan Syari‟ah adalah badan hukum Indonesia

yang bergerak dibidang keuangan syari‟ah.13

Perbankan syari‟ah merupakan

salah satu contoh bentuk lembaga keuangan syari‟ah disamping ada juga asuransi

syari‟ah maupun reksadana syari‟ah. Jika melihat Pasal 28 UU No.41 Tahun 2004

tersebut maka dapat dikatakan bahwa wakif juga dapat mewakafkan benda

bergerak berupa uang melalui perbankan syari‟ah yang ditunjuk oleh menteri.

Sperti yang telah dijelaskan pada Pasal 28 Undang-Undang No. 41 Tahun

2004 bahwa dalam hal ini perbankan syari‟ah memiliki peran terhadap wakaf

uang di Indonesia. Peran seperti apa sebenarnya yang telah dijalankan oleh

perbankan syari‟ah dalam mengembangkan wakaf uang tersebut? Dalam

redaksional Pasal 28 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tersebut,

permasalahan peran perbankan syari‟ah terhadap wakaf uang adalah pada kata

“melalui”. Kata “melalui” ini memiliki banyak penafsiran dan menggambarkan

peran yang sebenarnya dijalankan oleh perbankan syari‟ah terhadap wakaf uang.

Dimana pasal tersebut menyebutkan “ Wakif dapat mewakafkan benda bergerak

berupa uang melalui lembaga keuangan syari‟ah yang di tunjuk oleh Menteri”.

Untuk para wakif sendiri dalam rangka menyetorkan wakaf uang kepada

bank syari‟ah (LKS-PWU) wakif harus mengikuti beberapa prosedur antara lain:14

a. Wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah.

b. Dalam hal uang yang akan diwakafkan masih berupa mata uang asing maka

harus dikonversi terlebih dahulu kedalam rupiah.

c. Wakif harus menyatakan kehendaknya untuk berwakaf uang di LKS-PWU.

d. Wakif menjelaskan asal-usul kepemilikan uang yang akan diwakafkan.

e. Wakif menyetorkan secara tunai dana wakaf ke LKS PWU.

13

Penjelasan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

14 Lihat Peraturan Pemerintah Rebublik Indonesia Nomor 42 tahun 2006 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 22.

110

Universitas Indonesia

f. Wakif mengisi formulir pernyataan kehendak wakif yang nantinya akan

dituangkan dalam sertifikat wakaf uang.

g. Apabila wakif tidak dapat hadir ketika menyetorkan dana di LKSPWU,

maka wakif dapat menunjuk wakil atau kuasanya untuk menggantikan

kehadirannya, dalam hal ini Nazhr tidak perlu hadir pada saat wakif

mewakafkan uangnya, dan

h. LKSPWU akan menanyakan kepada wakif mengenai nazhir mana yang

akan ia pilih untuk mengelola wakaf uangnya.

Secara teknis pelaksanaan tersebut adalah sebagai berikut, setelah wakif

mewakafkan uangnya kepada bank syari‟ah, maka bank syari‟ah akan

menerbitkan dan menyampaikan sertifikat wakaf uang (SWU) kepada wakif dan

nazhir sebagai bukti bahwa penyerahan harta benda wakaf telah

dilakukan.15

Setelah wakif menunjuk nazhir mana yang ia pilih maka nazhir yang

terpilih dapat menempatkan wakaf uang yang ia kelola pada instrumen-instrumen

syari‟ah yang dirasakan menguntungkan, seperti pada tabungan atau deposito.

Namun sebelumnya nazhir harus berkonsultasi dengan bank syari‟ah mengenai

instrumen-instrumen apasaja yang dinilai dapat menguntungkan dari wakaf uang

yang ia kelola mengingat bank syari‟ah saat ini hanya sebagai penitipan wakaf.16

Aturan teknis yang lain menyangkut wakaf uang diatur dalam Pasal 22

Peraturan Pemerintah Tentang Wakaf, dimana wakif wajib:

1. Hadir di LKS-PWU untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya dan

dalam hal wakif tidak hadir maka dapat menunjuk wakil atau kuasanya.

2. Menjelaskan asal-usul kepemilikan uang yang akan diwakafkan.

3. Menyetorkan secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU.

4. Mengisi formulir pernyataan kehendaknya yang berfungsi sebagai Akta

Ikrar Wakaf (AIW).

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Agama No.4 Tahun 2009 Tentang

Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang (PMA 4/2009) mengatur tentang ikrar

15

Undang-Undang No.30 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Zakat. Pasal 29 ayat (3).

16 Wawancara Mulya E. Siregar, Op.Cit

111

Universitas Indonesia

wakaf yang dlaksanakan oleh wakif kepada nazhir yang dilakukan dihadapan

LKS-PWU atau notaris yang ditunjuk sebagai PPAIW dengan disaksikan oleh dua

orang saksi. Ikrar wakaf tersebut dilakukan setelah wakif menyetorkan wakaf

uang kepada LKS-PWU. Lebih lanjut PMA No.4 Tahun 2009 Pasal 2 ayat (3),

Pejabat LKS-PWU atau Notaris setelah menerima wakaf uang dari wakif akan

menerbitkan AIW yang memuat sekurang-kurangnya data: (a) nama dan identitas

wakif, (b) nama dan idenbtitas nadzir, (c) nama dan identitas saksi, (d) jumlah

nominal dan asal-usul uang; dan (e) peruntukan dan jangka waktu wakaf. Untuk

itu berdasarkan Pasal 3 PMA No. 4 Tahun 2009 tersebut LKS-PWU wajib

menerbitkan SWU setelah nadzir menyerahkan AIW dan SWU diberikan kepada

wakif dan tembusannya diberikan kepada nadzir.

Adapun beberapa syarat bagi nazhir wakaf uang untuk membuka rekening

dan memperoleh dana wakaf uang dari LKS-PWU adalah:17

a. Menyampaikan permohonan secara tertulis kepada menteri;

b. Melampirkan anggaran dasar dan pengesahan sebagai badan hukum;

c. Memiliki kantor operasional di wilayah Rebublik Indonesia;

d. Bergerak dibidang keuangan syari‟ah;

e. Memiliki fungsi menerima titipan (wadi‟ah).

Sementara itu dari segi peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang wakaf yang berkaitan dengan Perbankan Syari‟ah, sampai saat ini

ketentuan yang ada masih terbatas pada peran bank syariah hanya berperan

sebagai lembaga penerima dan penyalur dana wakaf saja yang didasarkan pada

ketentuan perbankan yang berlaku di Indonesia. Ketentuan perbankan dan

kegiatan perbankan yang terkait dengan masalah wakaf antara lain:

1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Tentang Bank Umum

Berdasarkan Prinsip Syari‟ah, yang menentukan:

“bank dapat bertindak sebagai baitul maal yaitu menerima dana yang

berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah atau dana sosial lainnya

17

Kementerian Agama Rebublik Indonesia, Op.,Cit, hlm.53

112

Universitas Indonesia

dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan/atau

pinjaman kebajikan (qardhul hasan).18

2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Bank Perkreditan Rakyat

berdasarkan Prinsip Syari‟ah yang menentukan :

“ BPRS dapat bertindak sebagai baitul maal yaitu menerima dana yang

berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf hibah atau dana sosial lainnya

dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan/atau

pinjaman kebajikan (qardhul hasan).19

Sedangkan peraturan Bank Indonesia No. 2/27/PBI/2000 tentang Bank

Umum tidak menyatakan secara eksplisit kegiatan Kantor Cabang Syari‟ah (KCS)

yang berada dibawah Unit Usaha Syari‟ah (UUS) dari Bank Umum Konvensional

yang berkaitan dengan wakaf. namun demikian dengan disebutkannya KCS dapat

melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari‟ah dimaksud sesuai Pasal 1

angka 13 UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah

dengan UU No. 10 Tahun 1998, maka secara implisit KCS dapat pula melakukan

kegiatan yang berhubungan dengan wakaf uang.20

Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia dinyatakan bahwa “ bank

syari‟ah dalam melakukan kegiatan usahanya dapat melakukan kegiatan lain yang

lazim dilakukan bank sepanjang disetujui oleh Dewan Syari‟ah Nasional.”21

Disebutkan juga bahwa “BPRS dalam mlakukan kegiatan usahanya dapat

melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan BPRS sepanjang disetujui oleh

Dewan Syari‟ah Nasional.”22

Undang-Undang Perbankan Syari‟ah juga telah mengatur secara tegas

bahwa perbankan syariah sebagai badan sosial diperkenankan menjalankan fungsi

18

Bank Indonesia, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang bank umum

berdasarkan prinsip syari‟ah, SK Dir. BI No. 32/34/KEP/DIR Tahun 1999, Pasal. 29 ayat. 2.

19 Bank Indonesia Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Tentang Bank Perkreditan

Rakyat Berdasarkan Prinsip syari‟ah SK Dir. BI No. 32/36/KEP/DIR tahun 1999, Pasal. 28.

20 Siregar et. al, Op.Cit., hlm. 11

21 Bank Indonesia, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Tentang Bank Umum

Berdasarkan Prinsip Syari‟ah, Pasal 28 huruf m

22 Bank Indonesia, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Bank Perkreditan

Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari‟ah, Pasal 27 huruf c.

113

Universitas Indonesia

sosial sebagai lembaga baitul mal yaitu menerima zakat, infaq, shadaqah, hibah

atau dana sosial yang lainnya dan menyalurkan kepada organisasi pengelola zakat,

serta saat ini beberapa bank syari‟ah yang telah ditunjuk sebagai LKS-PWU oleh

Kementerian Agama juga berperan menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan

menyalurkannya kepada nadzir sebagai kehendak dari wakif.23

Setidaknya ada 4 tujuan bank sebagai pengelola dana wakaf tunai, yaitu:24

a. Menyediakan jasa layanan perbankan dengan menerbitkan sertifikat

wakaf tunai dan melakukan menejemen terhadap wakaf uang tersebut

b. Membantu melakukan mobilisasi tabungan sosial dan melakukan

transformasi dari tabungan sosial ke modal;

c. Memberikan benefit kepada masyarakat khususnya, masyarakat miskin

melalui optimalisasi sumberdaya masyarakat kaya;

d. Membantu perkembangan pasar modal sosial (sosial capital market).

4.3 Beberapa Akad Syari’ah Yang Digunakan Dalam Pengelolaan Wakaf

Uang Agar Dana Pokok Wakaf Tersebut Tidak Berkurang

Dalam rangka mengelola wakaf uang, bank syari‟ah dapat melakukan

berbagai kegiatan pembiayaan yang sesuai dengan prinsip syari‟ah. Menurut

Undang-Undang perbankan yang dimaksud dengan prinsip syari‟ah adalah

“aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk

menyimpan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang

dinyatakan sesuai syari‟ah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil

(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah),

prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau

pembiayaan berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan

23

Ibid, hlm. 15

24 Kementerian Agama Rebublik Indonesia, Direktorat Jenderal bimbingan Masyarakat

Islam, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai Di Indonesia, tahun

2013, hlm. 47

114

Universitas Indonesia

adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank

oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).25

Dengan demikian berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangan

Perbankan yang telah disebutkan diatas, kegiatan pembiayaan bank syari‟ah

sebagai lembaga keuangan dengan memanfaatkan dana yang berasal dari wakaf

uang bisa berupa pembiayaan dengan prinsip mudharabah musyarakah,

murabahah, ijarah atau ijarah wa iqtina. Berikut ini akan kami terangkan satu

parsatu akad syari‟ah dalam pemanfaatan dana wakaf uang di lembaga perbankan

Syari‟ah.

4.3.1 Al-Mudharabah

Mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama

(shahibul maal) menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lainnya

menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut

kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila terjadi rugi maka

ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si

pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian

si pengelola, si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.26

Pada sisi mudharabah ini dapat diterapkan untuk:

a. Pembiayaan modal kerja seperti modal kerja perdagangan dan jasa;

b. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber

dana dikelola dengan persayaratan khusus sebagaimana yang telah

ditentukan oleh shahibul maal.27

Dengan demikian melalui pembiayaan dengan prinsip mudharabah bank

syari‟ah dapat memanfaatkan dana yang berasal dari wakaf uang dengan harapan

mendapatkan keuntungan melalui prinsip bagi hasil dimana dana dari keuntungan

bagi hasil itulah yang nantinya akan dibagikan kepada mauquf alaih. Secara teknis

25

Undang-Undang Perbankan, Loc.Cit., Pasal 1 angka 13.

26 Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah dari Teori Ke Praktik, Cet.1, Jakarta: Gema

Insani Press, 2001, hlm.95.

27 Ibid., hlm.97

115

Universitas Indonesia

operasional, berhubung saat ini praktik pengelolaan wakaf di Indonesia

menempatkan bank syari‟ah sebagai bank kustodi maka dapat kami simulasikan

sebagai berikut:

Setelah wakif mewakafkan uangnya kepada bank syari‟ah, maka bank

syari‟ah akan menerbitkan dan menyampaikan sertifikat wakaf uang (SWU)

kepada wakif dan nazhir sebagai bukti bahwa penyerahan harta benda wakaf telah

dilakukan.28

Setelah wakif menunjuk nazhir mana yang ia pilih maka nazhir yang

terpilih dapat menempatkan wakaf uang yang ia kelola pada instrumen-instrumen

syari‟ah yakni dalam hal ini dengan menggunakan akad mudharabah antara

nazhir dengan mitra kerja bank syariah yang dirasakan menguntungkan, namun

sebelumnya nazhir harus berkonsultasi dengan bank syari‟ah mengenai nasabah

bank syari‟ah yang manakah yang mampu mengelola dana tersebut dan apabila

terjadi keuntungan maka mitra bank syari‟ah tersebut akan menyerahkan

keuntungannya kepada nazhir sesuai akad mudharabah kemudian keuntungan

tersebut oleh nazhir diserahkan kepada mauquf alaih. Namun jika terjadi kerugian

atas pengelolaan dana itu maka akan di tanggung oleh lembaga penjamin

simpanan.

Oleh karena itu prinsip kehati-hatian harus diterapkan dengan cermat oleh

bank syari‟ah sebelum meminjamkan dana yang berasal dari wakaf uang tersebut.

Tentunya lembaga penjamin dalam kegiatan pemanfaatan dana wakaf uang ini

mutlak diperlukan untuk menjaga segala resiko yang terjadi demi memelihara

dana pokok wakaf uang tersebut. Untuk lebih mudah memahaminya lihat skema

berikut ini:

28

Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Zakat., Pasal 29 ayat (3).

116

Universitas Indonesia

4.3.2 Al-Musyarakah

Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha

tertentu dimana masing-masing pihak memberi kontribusi dana atau

(amal/expertise) dengan kesepekatan bahwa keuntungan dan risiko akan

ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.29

Dengan pembiayaan msyarakah ini bank syari‟ah sebagai bank kustodi

akan membantu mengarahkan kepada nazhir untuk menyalurkan dana wakaf yang

tersedia dalam bentuk penyertaan modal kepada mitra perbankan syari‟ah untuk

sebuah proyek investasi. Keuntungan yang diperoleh inilah yang nantinya akan

disalurkan kepada mauquf alaih yang berhak menerima dana dari hasil

pengembangan wakaf uang. Adapun praktiknya sama dengan akad mudharabah

di atas, hanya akad yang dignakan antara nazhir dan nasabah bank syari‟ah yang

berbeda kalau yang sebelumnya menggunakan akad mudharabah maka sekarang

kita menggunakan akad musyarakah yangmana manti antara nasabah bank

syari‟ah dan nazhir wakaf sama-sama mengeluarkan dana untuk bekerjasama

dengan prinsip musyarakah.

29

Ibid., hlm.90.

Terjadi akad mudharabah

Dijamin oleh

Premi

SWU

Ganti Rugi

Wakif Bank Syari’ah Mauquf Alaih

NAZHIR - X

Lembaga Penjamin

Jika Rugi Jika Untung

Dana Wakaf

SWU

Hasil pengelolaan

Nasabah Bank Syari’ah

Wakif m

enu

nju

k

nazh

ir X sam

bil

men

yerahkan

dan

a

wakaf

117

Universitas Indonesia

4.3.3 Al-Murabahah

Al-Murabahah berasal dari kata bahasa Arab Al-ribh (keuntungan), yaitu

akad jual beli antara dua belah pihak dimana pembeli dan penjual menyepakati

harga jual yang terdiri dari harga beli ditambah ongkos pembelian dan keuntungan

bagi penjual. Nasabah membayar harga barang pada jangka waktu tertentu yang

telah disepakati.30

Adapun arti murabahah secara umum adalah akad jual beli atas barang

tertentu, penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli kemudian

menjual kepada pihak pembeli dengan mensyaratkan keuntungan yang diharapkan

sesuai jumlah tertentu. Dalam akad Murabahah, penjual menjual barangnya

dengan meminta kelebihan atas harga beli dengan harga jual. Perbedaan antara

harga jual dengan harga beli barang disebut margin keuntungan.31

Menurut Habib Nazhir dan Hassanuddin didalam Ensiklopedi Ekonomi

dan Perbankan Syariah, murabahah adalah akad jual beli antara bank selaku

penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Dari

transaksi tersebut bank mendapatkan keuntungan jual beli yang disepakati

bersama. Atau Murabahah adalah jasa pembiayaan oleh bank melalui transaksi

jual beli dengan nasabah dengan cara cicilan. Dalam hal ini bank membiayai

pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan membeli barang tersebut

dari pemasok kemudian menjualnya kepada nasabah dengan menambahkan biaya

keuntungan (Cost-Plus Profit) Dan ini dilakukan melalui perundingan terlebih

dahulu antara bank dengan nasabah yang bersangkutan.32

Tidak jauh berbeda dengan pembiayaan-pembiayaan yang telah

diterangkan sebelumnya, dengan dana yang berasal dari wakaf uang, nazhir akan

menyediakan dana dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi yang diminta

nasabah. Jika bank syari‟ah sebagai kustodi maka keuntungan dana wakaf akan

30

http://najae9.blogspot.com/2014/02/bank-konvensional-dan-bank-syariah.html, Bank

Konvensional dan Bank Syari‟ah, diakses 7 juli 2014.

31 Isma‟il, Perbankan Syari‟ah, Jakarta: Prenada Media Group, hlm. 138

32 Menurut Habib Nazhir dan Hassanuddin, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah,

2004, hlm. 403.

118

Universitas Indonesia

diperoleh nazhir dari tambahan harga yang disepakati oleh kedua belah pihak atas

pembelian sesuatu barang oleh nazhir yang di sarankan oleh bank syari‟ah.

Keuntungan inilah yang nantinya akan diserahkan kepada mauquf alaih yang

diusahakan akan terus mengalir tanpa mengurangi dana pokok wakaf uang

4.3.4 Al-Ijarah

Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak atas barang atau jasa, melalui

pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan

(ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.33

Ijarah yakni pemberian

kesempatan kepada penyewa untuk mengambil manfaat dari barang sewaan dalam

jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya sesuai dengan

kesepakatan.34

Akad pembiayaan ijarah dalam rangka pengelolaan wakaf uang ini mirip

dengan pembiayaan leasing dalam bentuk operating lease. Dalam hal ini di akhir

masa al-Ijarah, barang tersebut kembali kepada nazhir (jika peran bank syari‟ah

disini adalah bank kustodi). Jika akad ijarah tersebut dilakukan antara nazhir

dengan nasabah bank syari‟ah dengan hak opsi untuk membeli barang tersebut

maka dipenghujung kerjasama itu barang yang telah disewakan oleh nazhir

menjadi milik nasabah bank syari‟ah. Hal ini dalam akad syari‟ah sering disebut

dengan ijarah mumtahiyyah bittamilik (sewa menyewa yang berakhir menjadi

kepemilikan si penyewa).

Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa potensi dana yang

berasal dari wakaf uang dapat dikelola melalui berbagai produk pembiayaan

sepanjang tidak bertentangan dengan syari‟ah Islam, menurut peneliti dari akad-

akad syari‟ah diatas yang paling produktif untuk digunakan adalah akad al-

murabahah, karena al-murabahah lebih mampu menjamin bahwa dana wakaf

tidak akan berkurang sedikitpun, karena perjanjian keuntungan telah disebutkan

diawal sebagai keuntungan dari pembelian barang.

33

Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah dari Teori Ke Praktik, Cet.1, Jakarta: Gema

Insani Press, 2001, hlm. 117

34 Perwataatmaja, Op.Cit., hlm. 29

119

Universitas Indonesia

4.4 Alternatif Peran Perbankan Syari’ah Dalam Pengelolaan Wakaf Uang

Mengenai peran bank syari‟ah dalam pengelolaan wakaf uang, tentu tidak

jauh berbeda dengan yayasan, peran tersebut berhubungan erat dengan posisi

nazhir (pengelola) dengan berbagai variasinya. Menurut E. Mulya Siregar Bank

Syari‟ah mempunyai empat alternatif peran dalam pengelolaan wakaf uang,

yaitu:35

1. Bank syari‟ah sebagai nazhir penerima, penyalur dan pengelola dana

wakaf;

2. Bank Syari‟ah sebagai nazhir penerima dan penyalur dana wakaf;

3. Bank Syari‟ah sebagai pengelola (Fund Manager) dana wakaf;

4. Bank Syari‟ah sebagai kustodi

Untuk lebih jelasnya akan peneliti uraikan sebagai berikut:36

4.4.1 Bank Syari’ah Sebagai Nazhir Penerima, Penyalur dan Pengelola Dana

Wakaf.

Dalam hal ini bank syariah akan mendapat kewenangan penuh untuk

menjadi nazhir wakaf uang. Mulai dari penerima, pengelola dan penyalur dana

wakaf. fungsi bank syari‟ah dalam alternatif pertama ini dapat dikatan sama

dengan yang telah dilakukan oleh SIBL di Bangladesh.

Tanggungjawab penggalangan serta pengelolaan hasil penyaluran dana

wakaf tersebut sepenuhnya ada pada bank syari‟ah. Optimalisasi penggalangan

dana wakaf akan dilakukan dengan memanfaatkan seefektif mungkin kantor dan

divisi pemasaran yang dimiliki oleh bank syari‟ah tersebut. Pengelolaan dana

wakaf akan disertai kerjasama dengan lembaga penjamin untuk memastikan tidak

berkurangnya dana wakaf yang ada pada bank syari‟ah. Sedangkan penyaluran

dana wakaf akan dilakukan dengan mengefektifkan keberadaan jaringan informasi

serta peta distribusi yang dimiliki oleh bank syari‟ah tersebut.

35

Mulya Siregar E, “Peran Perbankan Syari‟ah dalam Wakaf Tunai.” Makalah

disampaikan pada Seminar Sehari Wakaf Tunai Inovasi finansial Islam: peluang dan tantangan

dalam mewujudkan kesejahtraan sosial, jakarta, 10 November 2001.

36 Ibid

120

Universitas Indonesia

Secara tehnis, operasional alternatif pertama ini dimulai dengan adanya

setoran wakif ke bank syari‟ah sebagai dana wakaf. Bank syari‟ah akan

menempatkan dana wakaf tersebut dalam suatu rekening atas nama wakif. Bank

syari‟ah kemudian akan menerbitkan sertifikat wakaf uang sebagai surat

pernyataan penerimaan dana wakaf yang berisikan antara lain nama wakif, alamat,

jumlah dana yang diwakafkan dan sasaran yang telah dipilih oleh wakif (mauquf

alaih) bila ada.

Bank syari‟ah kemudian akan mengelola dana wakaf secara terpisah dengan

dana pihak ketiga lainnya agar bank mudah untuk memantau bahwa dana tersebut

tidak berkurang jumlahnya. Selain itu untuk lebih menjamin bahwa dana wakaf

tidak akan berkurang jumlahnya maka bank syari‟ah wajib berhubungan dengan

lembaga penjamin. Adapun hasil dari wakaf uang tersebut akan dibagikan kepada

sasaran (mauquf alaih) yang telah dipilih wakif atau ditentukan sendiri oleh bank

syari‟ah.37

Untuk lebih jelasnya mari lihat skema berikut ini:

4.4.2 Bank Syari’ah Sebagai Nazhir Penerima dan Penyalur Dana Wakaf

Dalam alternatif yang kedua ini, bank syari‟ah hanya berperan menjadi

nazhir penerima dan penyalur. Sedangkan fungsi pengelolaan dana wakaf akan

dilakukan oleh lembaga lain, misalnya BWN (Badan Wakaf Nasional). Kalau saat

37 Siregar, et al., Op. Cit., hlm 14-15

Dijamin oleh

Ganti Rugi

Wakif Bank syari’ah Mauquf Alaih

Pengelolaan Dana

Lembaga Penjamin

Jika Rugi Jika Untung

Dana Wakaf

SWU

Hasil

Ban

k mem

bayar p

remi

121

Universitas Indonesia

ini dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 sudah dicantumkan mengenai

lembaga Independen yang mengrusi perwakafan di Indonesia, yaitu BWI (Badan

Wakaf Indonesia).38

Dengan demikian tanggungjawab pengelolaan dana wakaf

termasuk hubungan kerjasama dengan lembaga penjamin berada pada BWI.

Dalam alternatif kedua ini, keunggulan Perbankan Syari‟ah berupa adanya

jaringan kantor, jaringan informasi serta peta distribusi digunakan untuk

menggalang dana wakaf maupun untuk menyalurkan hasil pengelolaan dana

wakaf kepada yang berhak. Sedangkan kemampuan profesional perbankan

syari‟ah dalam pengelolaan dana tidak digunakan.

Bila kita lihat prakteknya antara alternatif pertama dengan alternatif kedua

ini hampir sama. Perbedaannya antara keduanya adalah fungsi pengelolaan dana

wakaf tidak dilakukan oleh perbankan syari‟ah. Bank syari‟ah akan menyerahkan

dana wakaf tersebut untuk dikelola oleh lembaga lain, misalnya BWI. Hubungan

atau akad antara bank syari‟ah dengan BWI dapat berdasarkan prinsip ujrah,

dimana bank syari‟ah akan memberikan imbalan kepada BWI atas pengelolaan

dana wakaf yang dilakukan BWI. Untuk menjamin bahwa dana wakaf tidak akan

berkurang jumlahnya maka BWI harus berhubungan dengan suatu lembaga

penjamin. Untuk lebih jelasnya kami gambarkan dengan skema berikut ini:

38

Indonesia (a), Undang-undang tentang pengelolaan zakat, UU No 38,LN. No.164 tahun

1999, LTN. No. 3885, Pasal 1 angka 7.

122

Universitas Indonesia

4.4.3 Bank Syari’ah Sebagai Pengelola Dana Wakaf

Dalam alternatif yang ketiga ini, keunggulan bank syari‟ah berupa

kemampuan secara profesional dalam pengelolaan dana digunakan secara efektif.

Tanggungjawab pengelolaan dana wakaf serta hubungan kerjasama dengan

lembaga penjamin berada pada lembaga Perbankan Syari‟ah. Sedangkan

keunggulan perbankan syari‟ah berupa jaringan kantor dan jaringan informasi

serta peta distribusi, tidak dipergunakan untuk mengoptimalkan penggalangan

dana wakaf dan penyaluran hasil pengelolaan dana wakaf.

Secara tehnis hampir sama dengan alternatif kedua di atas, namun

dalam alternatif ketiga ini posisi bank syari‟ah sebagai penerima dan penyalur

dana wakaf digantikan oleh BWI. Sebaliknya posisi BWI sebagai Pengelola dana

wakaf digantikan oleh bank Syari‟ah. Akad Syari‟ah yang dilakukan antara BWI

dan Bank syari‟ah dapat menggunakan sistim Ujrah, dimana BWI akan

memberikan imbalan kepada Bank Syariah atas pengelolaan dana wakaf tersebut.

Untuk menjamin bahwa dana wakaf tidak berkurang jumlahnya maka bank

Premi

Has

il

Ganti Rugi

Wakif Bank Syari’ah Mauquf Alaih

Pengelolaan Wakaf

Lembaga Penjamin

Jika Rugi Jika Untung

Dana Wakaf

SWU

Hasil

Dan

a Wakaf

Pengelolaan Dana

Dija

min

ole

h

123

Universitas Indonesia

Syari‟ah harus berhubungan dengan suatu lembaga penjamin. Untuk lebih

jelasnya mari kita lihat skema berikut ini:

4.3.4 Bank Syari’ah Sebagai Kustodi.

Berdasarkan Kamus perbankan terbitan Bank Indonesia Tahun 1999,

Kustodian adalah kegiatan penitipan harta untuk kepentingan pihak lain

berdasarkan suatu kontrak; dalam melakukan kegiatan penitipan, baik menerima

titipan harta penitip dengan mengadministrasikannya secara terpisah dari

kekayaan bank; mutasi dari barang titipan yang dilaksanakan oleh bank atas

perintah penitip.39

Dalam UU RI No. 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana

telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 Pasal 6 huruf I disebutkan bahwa

Bank Umum dapat melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain

berdasarkan suatu kontrak. Lebih jauh sesuai dengan SK Dir. BI No.

32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syari‟ah Pasal 28 ada

beberapa aktifitas kustodi yang bisa dilakukan, yaitu:40

39

Kementerian Agama Rebublik Indonesia, Direktorat Jenderal bimbingan Masyarakat

Islam, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai Di Indonesia, tahun

2013, hlm. 51

40 Ibid.,

Dijamin olh

Premi

Has

il

Ganti Rugi

Wakif

Penerima dan

penyalur dana

wakaf Mauquf Alaih

Bank Syari’ah

Lembaga Penjamin

Jika Rugi Jika Untung

Dana Wakaf

SWU

Hasil

Dan

a Wakaf

Pengelolaan Dana

124

Universitas Indonesia

a. Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah

berdasarkan prinsip wakalah (huruf e);

b. Melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahanya untuk

kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip

wakalah (huruf e).

Wakif selaku orang yang berwakaf dapat menyetorkan dananya ke bank

syari‟ah atas nama rekening BWI yang ada di bank syari‟ah tersebut dan akan

mendapatkan sertifikat wakaf tunai. Sertifikat Wakaf Tunai tersebut diterbitkan

oleh BWI dan di titipkan di bank syari‟ah. Sertifikat wakaf tunai tersebut akan

diadministrasikan secara terpisah dari kekayaan bank. Karena bank syari‟ah hanya

berfungsi sebagai kustodi maka tanggungjawab terhadap wakaf terletak pada

BWI. Dana wakaf yang ada di rekening BWI kemudian akan dikelola oleh badan

itu sendiri dan hasil pengelolaan dana diberikan kepada mauquf alaih.

Menurut Mulya E. Siregar Alternatif Peran Perbankan Syari‟ah sebagai

kustodi seperti yang terjadi pada saat ini, karena sebelum berdirinya BWI

alternatif ini diwacanakan untuk mengantisipasi agar Bank Syari‟ah tetap

mendapatkan kesempatan berperan secara optimal dalam wakaf uang. Hal ini

terjadi karena pada saat itu terdapat rencana pemerintah untuk mendirikan BWI

yang bertugas sebagai Nazhir di Indonesia. Jika pemerintah menunjuk Badan

Wakaf untuk berwenang penuh sebagai Nazhir penerima, pengelola sekaligus

penyalur dana wakaf uang, maka perbankan syari‟ah tetap bisa turut serta

berperan dalam hal menjadi kustodi (penitipan) dana wakaf dan menyampaikan

sertifikat Wakaf Uang yang diterbitkan oleh BWI.

Secara tehnis operasional, wakif selaku orang yang berwakaf dapat

menyetorkan dana wakafnya ke bank Syari‟ah atas nama rekening BWI yang ada

di bank syari‟ah tersebut dan sebagai gantinya wakif akan mendapatkan sertifikat

wakaf Uang. Sertifikat wakaf uang tersebut diterbitkan oleh BWI dan dititipkan di

bank Syari‟ah. Sertifikat wakaf uang tersebut akan diadministrasikan secara

terpisah dari kekayaan bank. Karena bank syari‟ah hanya berfungsi sebagai

kustodi, maka tanggungjawab terhadap wakif terletak pada BWI. Dana wakaf

yang ada di rekening BWI kemudian akan dikelola oleh badan itu sendiri dan

hasil pengelolaan dana untuk Mauquf Alaih juga akan disalurkan oleh BWI.

125

Universitas Indonesia

Dalam alternatif ini, keunggulan perbankan syari‟ah berupa kemampuan

mengelola dana, jaringan informasi, dan peta distribusi tidak dimanfaatkan secara

efektif dalam pengelolaan wakaf uang maupun penyalurannya. Sedangkan

keunggulan berupa jaringan kantor masih dapat dimanfaatkan. Untuk lebih

memahami bagaimana praktiknya maka dapat kita lihat skema berikut ini:

Selain ada 4 hal yang telah di jelaskan oleh Mulya E. Siregar masih ada

alternatif lain yang dikenal dengan “Bank Syari‟ah Sebagai Pelaksana

Administrasi Wakaf Uang”. Untuk lebih jelasnya akan kami jabarkan sebagai

berikut:

4.3.5 Bank Syari’ah Sebagai Pelaksana Administrasi Wakaf Uang

Dalam literatur lain ada yang menyebut model ini dengan sebutan Bank

Syari‟ah sebagai kasir Badan Wakaf Indonesia. Intinya dalam alternatif ini peran

bank syari‟ah dalam sangat terbatas. Alternatif ini hampir sama denga alternatif

bank kustodi dalam hal wakif menyetorkan dana wakaf ke bank untuk

dimasukkan ke rekening Badan Wakaf Indonesia. Perbedaanya adalah bank

syari‟ah tidak mengadministrasikan Sertifikat Wakaf Tunai yang diterbitkan oleh

Badan Wakaf Indonesia. Rekening Badan Wakaf Indonesia akan dipelihara oleh

bank syari‟ah sebagaimana layaknya rekening-rekening lainnya yang akan

mendapatkan bonus atau bagi hasil sesuai dengan jenis dan prinsip syari‟ah yang

Dijamin oleh

Premi

SWU

Ganti Rugi

Wakif Bank Syari’ah Mauquf Alaih

Pengelola Wakaf

Lembaga Penjamin

Jika Rugi Jika Untung

Dana Wakaf

SWU

Hasil pengelolaan D

ana W

akaf

Pengelolaan Dana

126

Universitas Indonesia

digunakan (Giro, Wadi‟ah, Tabungan Wadi‟ah atau Tabungan Mudharabah).41

Tanggung jawab terhadap wakif, pengelola dana dan penyaluran dana menjadi

tanggungjawab Badan Wakaf Indonesia. Oleh karena itu badan Wakaflah yang

akan berhubungan dengan lembaga Penjamin untuk menjamin dana wakaf agar

tidak berkurang pokoknya.

Beberapa bank syari‟ah yang menjalankan prinsip ini diantaranya adalah

Bank Mu'amalat Indonesia yang bekerjasama dengan Baitul Maal Muamalat

dalam pengelolaan wakaf uang tersebut. Dalam tehnis operasionalnya bank Bank

Muamalat Indonesia (BMI) melakukan usaha dengan pihak lain sebagai manager

pendayagunaan wakaf (pengelola wakaf) dalam hal ini adalah yayasan Baitul

Maal Mu‟amalat (BMM). Tugas Bank Syari‟ah disini hanya sebatas pihak yang

melakukan administrasi dalam pengumpulan dan penyaluran dana wakaf,

sedangkan untuk kegiatan pengelolaanya menjadi tanggungjawab manager

pendayagunaan dana wakaf (pengelola wakaf).

Dengan demikian secara prinsip peran bank syari‟ah sebagai pelaksana

administrasi atau bank syari‟ah sebagai kasir dana wakaf tidak jauh berbeda

dengan peran bank syari‟ah sebagai penerima dan penyalur dana wakaf. hal ini

mengingat tugas utama bank syari‟ah sebagai pelaksana administrasi/kasir dana

wakaf adalah dalam hal penerimaan dan penyaluran dana wakaf.

Tugas utama dari bank syari‟ah sebagai pelaksana administrasi/kasir dana

wakaf adalah sebagai berikut:42

1. Menerima dana wakaf dan menerbitkan bukti wakaf atas nama pengelola

dana wakaf

2. Mengadministrasikan identitas wakif, jumlah dana yang diwakafkan dan

tujuan penggunaan dana wakaf

3. Mengadministrasikan penyaluran dana wakaf baik infestasi pokok

maupun “keuntungannya”.

4. Menyimpan dana wakaf yang belum tersalurkan

5. Melakukan efaluasi nilai wakaf bersih

41

Ibid.,hlm 52.

42 Pedoman Wakaf Tunai Mu‟amalat “petunjuk pelaksanaan bitul maal mu‟amalat”, hlm.

13-14.

127

Universitas Indonesia

6. Melaporkan hasil aktifitas pengelolaan investasi wakaf kepada wakif.

Sehingga untuk alternatif yang ke-5 ini dapat digambarkan dengan skema

sebagai berikut:

Dari lima alternatif diatas menurut penulis yang paling efektif untuk

diterapkan adalah alternatif pertama yaitu bank syari‟ah sebagai nazir penerima,

penyalur dan pengelola dana wakaf sebagaimana yang telah di praktikkan di

bangladesh, sehingga potensi yang ada di perbankan dapat diterapkan dengan

maksimal dan dana hasil pengelolaan tersebut dapat segera di salurkan kepada

mauquf alaih tanpa melalui banyak perantara.

4.5 Mekanisme Perlindungan Dana Wakaf Oleh Bank Syariah

Perlindungan bagi nasabah/konsumen dalam peraturan bisnis dewasa ini

adalah hal-hal yang sangat penting, dengan adanya perlindungan secara legal akan

menciptakan kenyamanan bagi para pihak yang terkait. Di dalam Undang-Undang

perbankan Nomor 10 tahun 1998, sebagaian besar pasal-pasal yang ada hanya

berkonsentrasi pada aspek-aspak kepentingan perlindungan bank, sehingga

kedudukan nasabah sangat lemah. Baik ditinjau dari kontraktual maupun dalam

bank perjanjian kredit. Dalam hal ini kedudukan nasabah sangat lemah,

Dijamin oleh

Premi

SWU

Ganti Rugi

Wakif BMI Mauquf Alaih

BMM

Lembaga Penjamin

Jika Rugi Jika Untung

Dana Wakaf

SWU

Hasil pengelolaan D

ana W

akaf

Pengelolaan Dana

128

Universitas Indonesia

perjanjian kredit yang biasanya berupa kontrak baku, senantiasa membebani

nasabah debitur dengan berbagai macam kewajiban dan tanggungjawab atas

resiko yang ditimbulkan selama perjanjian berlangsung, sedangkan bank tidak

terkecuali perbankan syariah yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 yang selanjutnya diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998. Dalam Pasal 6, Pasal 7 da Pasal 13 juga

melakukan hal-hal demikian, padahal kegiatan yang dilaksanakan adalah kegiatan

yang sesuai dengan prinsip syari‟ah, sehingga hal-hal seperti ini kiranya harus

mendapat perhatian khusus bagi pemerintah dengan berkoordinasi dengan Dewan

Pengawas Syari‟ah tentunya.

Aturan-aturan dan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Uandang No.

21 tahun 2008 tersebut sangat memberi harapan bagi nasabah, namun dalam

prakteknya sering tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang seharusnya menjadi

dasar dalam operasinya. Banyak kendala yang muncul dalam berlangsungnya

operasional bank syariah seiring dengan perjanjian yang terjadi pada perbankan

secara umum. Seperti klausula eksonerasi43

dalam perjanjian kredit sering

dimanfaatkan bank padahal beban bunga yang tinggi sudah sangat membebani

nasabah . jika diperhatikan dengan seksama beban bank yang tinggi sebenarnya

akan berpengaruh dengan faktor psikologis nasabah, karena bunga menimbulkan

ketidak tenangan dalam usahanya sehingga akan berimbas pada kegagalan usaha

nasabah yang bersangkutan.44

Klausula ekonerasi ini juga terjadi pada aturan dan perUndang-Undangan

pada Bank Syariah, begitu sedikitnya perbedaan praktek yang terjadi dilapangan

dengan bank konvensional, sehingga yang terjadi adalah kerugian besar bagi

nasabah bank syari‟ah, karena hak-hak nasabah bank syari‟ah tersebut kurang

mendapat perhatian dan nilai-nilai perekonomian yang diyakini secara Islam juga

tidak mendapatkan tempat karena sistim etika bisnis secara Islam berbeda dengan

43

Klausula Eksonerasi adalah membebaskan seseorang atau badan usaha dari sebuah

tuntutan atau tanggungjawab. Atau secara sederhana klausula eksonerasi diartikan sebagai klausula

pengecualian kewajiban / tanggungjawab dalam perjanjian.

44 M. Syafi‟i Antonio dan Karen Perwataatmaja, Apa Dan Bagaimana Bank Islam, (jakarta:

Daha Bhakti Wakaf, 1992), hlm. 47

129

Universitas Indonesia

bisnis sekuler atau sistem etika yang telah diusung oleh agama lainnya. Melalui

perkembangan peradaban sistem sekuler mengasumsikan sejumlah kode moralis

yang sangat entropis.45

Karena konsep moral dari sistem etika tersebut berdiri

diatas nilai-nilai temuan manusia seperti halnya epicurianisme atau kebahagiaan

hanya untuk kebahagiaan itu sendiri. Sistem tersebut mengusulkan sistem

perceraian antara etika dengan agama, sedangkan kode moralitas yang diadopsi

selain agama Islam lebih sering menekankan kepada pengkuburan eksistensi

kehidupan manusia dimuka bumi. Dan moralitas etika Islam menanamkan anjuran

akan hubungan manusia dengan tuhannya.46

Dalam melaksanakan bisnis, Umat Islam dituntut untuk melaksanakan

bisnisnya sesuai dengan ketentuan syari‟at. Hal ini didasarkan pada satu kaidah

ushul “ al-aslu fi al afal attaqayyud bihukmi assyar‟i” bahwa hukum asal dari

suatu perbuatan adalah terikat dengan hukum syara‟, maka dalam melaksanakan

suatu bisnis harus senantiasa mematuhi dan tetap berpegang erat pada ketentuan

syari‟ah.47

Dengan kata lain syariah merupakan nilai utama yang menjadi payung

stertegis maupun taktis bagi organisasi bisnis.48

Begitu kokohnya prinsip Islam dalam mengatur bisnis tidak terkecuali

dalam perbankan syari‟ah, maka dari itu terdapat asas-asas dalam al-Qur‟an dan

al-hadits yang dikategorikan sebagai asas perlindungan bagi nasabah di antaranya:

1. Asas pelarangan riba.

2. Asas iktikad baik.

3. Asas kesepakatan.

4. Asas keseimbangan atau keadilan.

5. Asas kebersamaan atau kemitraan.

45

Hukum Entropia: hukum fisika yang menyatakan bahwa setiap materi selalu terkait

dengan ruang dan waktu akan mengalami self destruction (rusak dengan sendirinya), Tarek Al-

diwany, Tarek Al-Diwany, The Problem with Interest, (Jakarta: Akbar Media Aksara, 2005)

dikutip dari Drs. Faisal Badroen dkk, Etika Bisnis Dalam Islam(Jakarta: Prenada Media Group,

2006) cet.I, hlm.67.

46 Ibid, hlm. 68

47 Hukum Syara terdiri atas wajib, sunnah, mubah,makruh dan haram

48 Johan Arifin, Fiqih Perlindungan Konsumen, Semarang: Rasali Semarang, 2007, hlm.37

130

Universitas Indonesia

6. Asas tolong menolong atau persaudaraan.

Maka dari itu kemudian kita temukan beberapa asas yang digunakan dalam

perbankan saat ini, asas-asas tersebut adalah:

1. Asas kesepakatan

2. Asas kehati-hatian

3. Asas non diskriminatif

4. Asas keterbukaan

Dengan demikian asas pelarangan tentang bunga, sistem bagi hasil,

keseimbangan/keadilan, kemitraan/kebersamaan serta asas tolong-menolong

merupakan asas khusus yang dimiliki perbankan berdasarkan prinsip syari‟ah

yang tidak ditemukan pada bank sistem bunga.

4.5.1 Bentuk-Bentuk Perlindungan Nasabah Oleh Bank Syari’ah

Perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana di bank, sangat

terkait dengan masalah kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan.

Lembaga perbankan sangat tergantung pada kepercayaan masyarakat. Tanpa

kepercayaan dari masyarakat, bank tidak akan mampu menjalankan kegiatan

usahanya dengan baik. Sehingga tidaklah berlebihan bila dunia perbankan

harus sedemikian rupa menjaga kepercayaan dari masyarakat dengan

memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama

kepentingan nasabah.

Dengan demikian, perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan terhadap

kemungkinan terjadinya kerugian akibat merosotnya kepercayaan

masyarakat, sangat diperlukan.

Hubungan hukum antara nasabah penyimpan dan bank didasarkan atas

suatu perjanjian. Untuk itu, tentu suatu hal yang wajar apabila kepentingan

dari nasabah yang bersangkutan memperoleh perlindungan hukum, sebagaimana

perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada bank. Tidak dapat disangkal

bahwa memang telah ada political will dari pemerintah untuk melindungi

kepentingan nasabah bank, terutama nasabah penyimpan dana. Ini dibuktikan

131

Universitas Indonesia

dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-

Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.

4.5.1.1 Perlindungan Tidak Langsung

Perlindungan atau jaminan secara tidak langsung oleh dunia

perbankan terhadap kepentingan nasabah penyimpan dana adalah suatu

perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana terhadap

segala resiko kerugian yang timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh

bank. Hal ini adalah suatu upaya dan tindakan pencegahan yang bersifat internal

oleh bank yang bersangkutan dengan melalui hal-hal yang dikemukakan berikut

ini:

4.5.1.2 Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principles)

Ketentuan kehati-hatian pada dasarnya merupakan system pengamanan

umum atas system perbankan secara menyeluruh melalui upaya peningkatan

pengamanan terhadap bank secara individual. Sebagai suatu system pengamanan

umum, diakui bahwa ketentuan kehati-hatian mengandung berbagai pembatasan

terhadap bank secara individual, terutama yang menonjol adalah:

(a) pembatasan terhadap kepentingan individual, dan

(b) Pembatasan keleluasaan.

Karena adanya suatu pembatasan-pembatasan sebagaimana tersebut diatas,

sehingga secara individual menimbulkan suasana yang kurang nyaman. Apabila

pengendalian terhadap pembatasan kepentingan dan atau pembatasan keleluasaan

kurang dapat dikontrol, maka akan terwujud dalam bentuk kecenderungan untuk

menyimpang atau melangar ketentuan yang membatasi tersebut. Demikian pula

yang terjadi dengan ketentuan kehati-hatian di bidang perbankan.

Pasal 2 UU No 10 Tahun 1998 menentukan bahwa Perbankan Indonesia

dalam melakukan usahanya berasaskan Demokrasi Ekonomi dengan

menggunakan prinsip kehati-hatian. Dari ketentuan ini, menunjukkan bahwa

prinsip kehati-hatian adalah salah satu asas terpenting yang wajib diterapkan atau

dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. Prinsip kehati-

hatian tersebut mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam

132

Universitas Indonesia

menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti selalu harus konsisten dalam

melaksanakan peraturan perUndang-Undangan di bidang perbankan berdasarkan

profesionalisme dan itikad baik.

Berkaitan dengan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam

ketentuan Pasal 2 di atas, kita dapat menemukan pasal lain di dalam Undang-

Undang No. 10 Tahun 1998 yang mempertegas kembali mengenai pentingnya

prinsip kehati-hatian itu diterapkan dalam setiap kegiatan usaha bank, yakni

dalam Pasal 29 ayat (2).

Pasal 29 ayat (2) mengemukakan bahwa: Bank wajib memelihara tingkat

kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset,

kualitas manaemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang

berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai

dengan prinsip kehati-hatian.

Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (2) di atas, maka tidak ada alsan bagi

pihak bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan

kegiatan usahanya dan wajib menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian. Ini berarti

bahwa segala perbuatan dan kebijaksanaan yang dibuat dalam rangka melakukan

kegiatan usahanya harus senantiasa berdasarkan kepada peraturan perUndang-

Undangan yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) terkandung arti perlunya

diterapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka penyaluran kredit atau pembiayaan

berdasarkan Prinsip Syariah kepada nasabah debitur. Selengkapnya ketentuan

tersebut mengemukakan bahwa:

Pasal 29 ayat (3): Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan

Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh

cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang

memercayakan dananya kepada bank.

Ketentuan Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) di atas tentu berhubungan erat

dengan ketentuan Pasal 29 ayat (4), karena bertujuan untuk melindungi

kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya. Adapun ketentuan tersebut

menyatakan bahwa:

133

Universitas Indonesia

Pasal 29 ayat (4): Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan

informasi mengenai kemungkinan terjadinya risiko kerugian sehubungan dengan

transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.

4.5.1.3 Batas Maksimum Pemberian Kredit (“BMPK”)

Latar belakang ditetapkannya ketentuan BMPK adalah agar bank

melakukan penyebaran risiko dalam penanaman dananya sedemikian rupa agar

tidak terpusat pada peminjam, kelompok peminjam atau bank sector

tertentu. Konsentrasi pemberian kredit dapat mengakibatkan risiko yang sangat

besar bagi bank. Itulah sebabnya Undang-Undang Perbankan mengatur secara

eksplisit ketentuan BMPK.

Ketentuan BMPK merupakan salah satu ketentuan prudentian banking

yang sangat menentukan kinerja bank, oleh karenanya pengaturan dan ketaatan

terhadap ketentuan BMPK harus menjadi proritas Otoritas Perbankan.

Sebagai salah satu ketentuan prudential banking, ketentuan BMPK

merupakan konsep yang dinamis dalam arti rumusannya dapat disesuaikan dengan

kebutuhan operasional bank dan kepentingan ekonomi nasional. Walaupun

demikian perubahan konsep BMPK jangan sampai dilakukan untuk melakukan

kompromi dengan kondisi pelanggaran yang terjadi maupun digunakan untuk

tujuan non-prudential.

Mengenai Batasan Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)/Legal Lending

Limit) telah diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dan

Peraturan Pelaksanaannya.

Pasal 11 ayat (1): Bank Indonesia menetapkan mengenai batas maksimum

pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,pemberian

jaminan,penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa,yang dapat

dilakukan oleh bank kepada peminjam yang terkait,termasuk kepada perusahaan-

persahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.

Dalam bagian penjelasannya dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan

kelompok (grup) di atas merupakan kumpulan orang atau badan yang satu sama

134

Universitas Indonesia

lain mempunyai kaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan, dan atau hubungan

keuangan.

Pasal 11 ayat (2): Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

tidak boleh melebihi 30% (tiga perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan

ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Menurut penjelasan Pasal 11 ayat (2) di atas, Bank Indonesia dapat

menetapkan batas yang maksimum yang lebih rendah dari 30% (tiga perseratus)

dari modal bank. Pengertian modal bank ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai

dengan pengertian yang digunakan dalam penilaian kesehatan bank. Batas

maksimum yang dimaksud adalah untuk masing-masing peminjam termasuk

perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama.

Pasal 11 ayat (3): Bank Indonesia menetapkan mengenai batas maksimum

pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,pemberian

jaminan,penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa,yang dapat

dilakukan oleh bank kepada:

a. Pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari

modal disetor bank.

b. Anggota Dewan Komisaris.

c. Anggota Direksi.

d. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan

huruf c.

e. Pejabat bank lainnya, dan

f. Perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan-

kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hurf

b, huruf c, huruf d, dan huruf e.

Yang dimaksud dengan keluarga dalam ketentuan Pasal11 ayat (3) adalah

hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik menurut garis keturunan

lurus maupun ke samping termasuk mertua, menantu, dan ipar.

135

Universitas Indonesia

Pasal 11 ayat (4 A): Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)

tidak boleh melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai

dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bang Indonesia.

Dalam hal ini, Bank Indonesia dapat menetapkan batas maksimum yang

lebih rendah dari 10% (sepuluh perseratus) dri modal bank. Pengertian modal

bank ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan pengertian yang dipergunakan

dalam penilaian kesehatan bank.

Pasal 11 ayat (4A): Dalam memberikan kredit atau pembiayaan

berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum

pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana

diatur dalam ayat (1), ayat(2), ayat(3), dan ayat(4).

Penjelasan ketentuan Pasal 11 ayat (4A) mengemukakan bahwa larangan

ini dimaksudkan agar dalam memberikan kredit atau pembiayaaan berdasarkan

Prinsip Syariah, bank menerapkan asas-asas perkreditan yang sehat.

Bank dinyatakan melakukan pelanggaran atas ayat ini apabila pada saat

pemberiannya, saldo kredit atau pembiayaan tersebut melampaui batas

maksimum yang ditetapkan Bank Indonesia.

Pasal 11 ayat (5): Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) dan ayat (3) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia.

Dalam bagian penjelasan ketentuan Pasal 11 tersebut dikemukakan, bahwa

pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah oleh bank

mengandung resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, sehingga

dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Mengingat, bahwa kredit atau

pembiayaan dimaksud bersumber dari dana masyarakat yang disimpan pada bank,

resiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana

masyarakat tersebut.

Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya

tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran kredit

atau pemberian pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan

136

Universitas Indonesia

ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada nasabah

debitur atau kelompok nasabah debitur tertentu.

Berkaitan dengan itu, menurut SK Bank Indonesia No. 31/177/KEP/DIR,

yang dimaksud Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK/Legal Lending Limit)

adalah persentase perbandingan batas maksimum penyediaan dana yang

diperkenankan terhadap modal bank.

Mengenai batas maksimum pemberian kredit tersebut, oleh Bank Indonesia

telah ditetapkan bahwa untuk peminjam atau kelompok peminjam yang

merupakan pihak tidak terkait adalah sebesar 20% dari modal, sedangkan untuk

peminjam atau kelompok peminjam yang terkait adalah 10% dari modal.

Ditetapkannya ketentuan batas maksimum pemberian kredit, baik dalam

UU No. 10 Tahun 1998 maupun peraturan pelaksanaanya semata-mata

bertujuan untuk memelihara kesehatan bank dan meningkatkan daya tahan bank

melalui penebaran risiko dalam bentuk penanaman kredit kepada berbagai

nasabah peminjam. Lebih dari itu, adanya ketentuan batas maksimum pemberian

kredit tersebut untuk mencegah pemberian kredit kepada peminjam atau

kelompok peminjam tertentu saja.

Ketaatan bank dalam melaksanakan ketentuan batas maksimum pemberian

kredit juga merupakan wujud dari kehendak untuk memelihara kesehatan bank

dan wujud perlindungan terhadap kepentingan masyarakat, tertuama kepentingan

nasabah penyimpan dana pada bank yang bersangkutan.

Ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit sebagaimana

dikemukakan di atas mempunyai kaitan yang erat dengan upaya melindungi

kepentingan nasabah penyimpan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29

ayat (3) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menentukan

bahwa:

Pasal 29 ayat (3): Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan

Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh

cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang

memercayakan dananya kepada bank.

137

Universitas Indonesia

Ketentuan Pasal 29 ayat (3) di atas menentukan secara tegas, bahwa bank

dalam melaksanakan fungsinya sebagai penyalur dana dalam bentuk kredit

haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah diatur dalam peraturan

perUndang-Undangan yang berlaku. Hal ini harus dilakukan untuk mencegah

timbulnya kerugian dari nasabah penyimpan dan simpanannya yang ada di bank.

Mengingat, bahwa bank terutama yang bekerja dengan dana dari masyarakat yang

disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, tentu setiap bank perlu terus menjaga

kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.

4.5.1.4 Kewajiban Mengumumkan Neraca dan Perhitungan Laba Rugi

Kewajiban dari bank untuk mengumumkan neraca dan perhitungan laba

rugi diatur dalam Pasal 35 UU No. 10 Tahun 1998. Pasal 35 ini menentukan

bahwa:

Bank wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi dalam waktu

dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Ketentuan tersebut berhubungan erat dengan kewajiban bank untuk

menyampaikan neraca dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya

kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur oleh Pasal 34 UU no. 10 Tahun 1998.

Secara lengkap ketentuan Pasal 34 menentukan bahwa:

Pasal 34 ayat (1): Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia

neraca dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya serta laporan

berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Pasal 34 ayat (2): Neraca serta perhitungan laba

rugi tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu diaudit oleh

akuntan publik.

Pasal 34 ayat (3): Tahun buku bank adalah tahun takwim.

Bahwa adanya ketentuan yang mewajibkan bank untuk menyampaikan

dan mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi sebagaimana diatur dalam

Pasal 34 dan 35 di atas, dapat memberikan informasi kepada masyarakat, terutama

138

Universitas Indonesia

nasabah penyimpan mengenai tingkat kesehatan bank dan hal-hal lain yang terkait

dengan bank tersebut.

4.5.1.5 Mengadakan Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank

Banyak alasan dan tujuan dilakukannya merger, akuisisi, dan konsolidasi

oleh pelaku usaha terhadap badan usaha bank yang dimilikinya. Salah satu yang

terpenting adalah untuk meningkatkan efisiensi dan mempertinggi daya saing

perusahaan. Namun demikian, dalam melakukan merger, konsolidasi, dan akuisisi

di bidang perbankan tidaklah dapat dilakukan dengan sebebas-bebasnya, tetapi

dibatasi oleh peraturan perUndang-Undangan yang terkait.

Berkaitan dengan itu, menurut ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah No.

28 Tahun 1998 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi bahwa dalam

pelaksanaan merger, konsolidasi, dan akuisisi harus memerhatikan kepentingan

dari semua pihak, yaitu kepentingan bank, kepentingan kreditor, kepentingan

pemegang saham minoritas dan karyawan bank, juga kepentingan rakyat banyak,

dan persaingan yang sehat dalam melakukan usaha bank.

Berdasarkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa dalam rangka pelaksanaan

merger, konsolidasi, dan akuisisi bank kepentingan dari nasabah penyimpan

sebagai kreditor telah memperoleh perlindungan hukum.

4.5.1.6 Melindungi Nasabah Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen

Dalam kegiatan perbankan, nasabah bank dapat dikatakan sebagai

konsumen. Menurut Undang-Undang No. 8/1999, konsumen didefinisikan

sebagai “setiap orang pemakai dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat,..” Sementara konsumen sebagai nasabah bank dapat dibedakan

sebagai kreditur (dalam hal penyimpanan uang melalui tabungan atau deposito)

dan sebagai debitur (dalam hal nasabah melakukan pinjaman uang kepada bank).

139

Universitas Indonesia

4.6 Perlindungan Hukum Terhadap Dana Wakaf Melalui Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS)

4.6.1 Peranan LPS Dalam Melindungi Nasabah

Perbankan mempunyai peran yang penting dalam sistim perekonomian.

Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan perlu diperkuat. Untuk itu perlu

diberikan jaminan atas dana yang disimpannya. Keberadaan sistem penjamin

simpanan yang diatur secara tegas dan disusun secara lengkap dapat

meningkatkan kepercayaan dan pada akhirnya memperkuat sistem perbankan.

Untuk menigkatkan kepercayaan tersebut, banyak negara memberikan

perlindungan kepada nasabahnya dengan menerapkan suatu sistem pejamin

simpanan (deposit protection system) dalam bentuksisitem penjaminan nasabah

yang ditentukan secara eksplisit49

Lembaga Penjamin Simpanan adalah lembaga yang independen,

transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.50

Penjaminan simpanan nasabah bank yang diharapkan dapat memelihara

kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dan dapat meminimumkan

risiko yang membebani anggaran negara atau risiko yang menimbulkan moral

hazard.51

Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan tidak terlepas dari fungsinya yang

sangat penting. Fungsi Lembaga Penjamin Simpanan adalah : 52

a. Menjamin simpanan nasabah penyimpan; dan

b. Turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan

kewenangannya

Dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan

kewenangannya, Lembaga Penjamin Simpanan akan melakukan penyelesaian atau

49

Gillian GH Garcia (1), “Deposit Insurance: Obtaining the Benafit and Avoiding the

Pitfalls”, IMF, (Wasinton DC, 1996),hal.2

50 Undang-Undang LPS, Tahun 2004, Pasal 2.

51 Penjelasan Undang-Undang No. 24 tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan

52 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan

140

Universitas Indonesia

penanganan bank gagal. Bank gagal (failing bank) adalah bank yang mengalami

kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan

tidak dapat lagi disehatkan oleh Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) sesuai

dengan kewenangan yang dimilikinya. Lembaga Pengawas Perbankan adalah

Bank Indonesia atau Lembaga Pengawas sektor jasa keuangan sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang tentang Bank Indonesia. Apabila kondisi bank

yang mengalami kesulitan keuangan tersebut semakin memburuk, antara lain

ditandai dengan menurunnya tingkat solvabilitas bank, tindakan penyesaian dan

penanganan lain harus segera dilakukan.53

Dalam menghadapi menurunnya tingkat solvabilitas bank, penyelesaian

dan penanganan Bank yang gagal diserahkan kepada Lembaga Penjamin

Simpanan yang akan bekerja setelah terlebih dahulu dipertimbangkan perkiraan

dampak pencabutan izin usaha bank tehadap perekonomian nasional.54

Apabila pencabutan izin usaha bank diperkirakan memiliki dampak

terhadap perekonomian nasional, tindakan penanganan yang dilakukan oleh

Lembaga Penjamin Simpanan didasarkan pada keputusan komite koordinasi.

Mengingat fungsinya yang penting tersebut maka Lembaga Penjamin Simpanan

harus independen, transparan dan akuntabel dalam menjalankan tugas dan

wewenangnya. Oleh karena itu status hukum “governance” pengelolaan

kekayaan, kewajiban dan akuntabilitas Lembaga Penjamin Simpanan serta

hubungannya dengan organisasi lain perlu diatur secara tegas dalam peraturan

perUndang-Undangan. Dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

Pengertian tentang independensi bagi Lembaga Penjamin Simpanan

mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Lembaga

Penjamin Simpanan tidak bisa dicampurtangani oleh pihak manapun termasuk

53

Penjelasan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan

54 Ibid

141

Universitas Indonesia

oleh pemerintah kecuali atas hal-hal yang ditanyakan secara jelas di dalam

Undang-Undang ini.55

Dalam menjalankan fingsinya, Lembaga Penjamin Simpanan mempunyai

tugas-tugas yang meliputi :

a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaanpenjamin simpanan.

b. Melaksanakan penjamin simpanan.

Untuk lebih terperinci tugas yang dapat dilakukan Lembaga Penjamin

Simpanan sehubungan dengan menjalankan fungsinya adalah sebagai berikut :56

a. Merumuskan dan menetepkan kebijakakn dalam rangka turut aktif memelihara

stabilitas sistem perbankan;

b. Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank

Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan

c. Melaksakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.

Dalam rangka melaksanakan tugas Lembaga Penjamin Simpanan mempunyai

wewenang sebagai berikut :57

a. Menetapkan dan memungut premi penjaminan;

b. Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali

menjadi peserta;

c. Melakukan pengeloaan kekayaan dan kewajiban Lembaga Penjamin

Simpanan

d. Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan

keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak

melanggar kerahasiaan bank;

e. Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data

sebagaimana dimaksud pada huruf d;

f. Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim;

55

Penjelasan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Pemjamin Simpanan

Pasal 2 ayat 3

56 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 5

57 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 6

142

Universitas Indonesia

g. Menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak

bagi kepentingan dan/atau atas nama Lembaga Penjamin Simpanan, guna

melaksanakan sebagian tugas tertentu;

h. Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan

simpanan; dan

i. Menjatuhkan sanksi administratif.

Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan penyelesaian dan

penanganan Bank Gagal dengan kewenangan:

a. Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang

saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;

b. Menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang di

selamatkan;

c. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap

kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan dengan pihak

ketigayangg merugikan bank; dan

d. Menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur

dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Lembaga Penjamin Sipanan

Dapat meminta data, informasi, dan/atau dokumen kepada pihak lain. Setiap pihak

yang dimintai data, informasi, dan/atau dokumen wajib memberikannya kepada

Lembaga Penjamin Simpanan.

4.6.2 Pihak Yang Terlibat Dalam Lembaga Penjamin Simpanan

Seluruh Bank umum yang berbadan hukum Indonesia diwajibkan untuk

menjadi anggota LPS begitu juga dengan cabang bank asing yang melakukan

kegiatan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menjadi peserta

Penjaminan. Bank peserta penjaminan meliputi seluruh Bank Umum (termasuk

kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang melakukan

kegiatan perbankan dalam wilayah Republik Indonesia) dan Bank Perkreditan

Rakyat, baik bank konvensional maupun bank berdasarkan prinsip syariah.

Sedangkan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di Indonesia yang

143

Universitas Indonesia

melakukan kegiatan perbankan di luar wilayah Republik Indonesia tidak termasuk

dalam Penjaminan.58

Organ Lembaga Penjamin Simpanan terdiri dari Kepala

Eksekutif dan dewan Komisioner. Kepala Eksekutif dibantu oleh sebanyak-

banyaknya 5 (lima) orang direktur. Direktur diangkat dan diberhentikan oleh

dewan Komisioner.59

Dewan Komisioner adalah organ tertinggi dalam Lembaga

Penjamin Simpanan.60

Keputusan dewan komisioner adalah keputusan yang

ditetapkan oleh dewan komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang memuat

aturan intern.

Selain Lembaga Penjamin Simpanan itu sendiri, para pihak dalam

Lembaga Penjamin Simpanan tidak terlepas dari masalah kepesertaan didalam

Lembaga Penjamin Simpanan. Setiap Bank yang melakukan kegiatan usaha

diwilayah Negara Republik Indonesia wajib menjadi pesrta Penjamin. Kewajiban

bank menjadi peserta Penjamin tidak termasuk Badan kredit Desa.

Seluruh bank umum yang berbadan hukum Indonesia sebaiknya memang

menjadi anggota Lembaga Penjamin Simpanan. Hal ini dimaksudkan untuk

mengurangi adverse selection, yang dalam hal ini hanya bank yang lemah yang

mau menjadi anggota. Kewajiban menjadi anggota LPS ini tidak lain adalah untuk

penjaminan simpanan. Terutama bagi bank yang lemah.

Secara khusus penjamin tidak membolehkan anggotanya untuk keluar dari

keanggotaan. Meskipun sistem keanggotaan wajib menimbulkan subsidi silang

dari bank yang kuat kepada bank yang lemah, namun seluruh bank menikmati

keuntungan dengan adanya stabilitas industri perbankan. Untuk bank yang kuat

harus diwajibkan membayar stabilitas yang dinikmati tersebut.

Selain bank nasional, cabang bank asing juga harus diwajibkan menjadi

anggota. Kantor cabang bank asing tersebut diwajibkan membayar premi asuransi

sebagai biaya dalam melakukan bisnis di Indonesia. Bagaimanapun simpanan

58

Zulkarnaen Sitompul, Lembaga Penjamin Simpanan Substansi dan

Permasalahan,(Jakarta: Books Terrace & Library, 2007), hal.227

59 Undang-Undang LPS Tahun 2004 Pasal 62.

60 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 1

144

Universitas Indonesia

yang dijamin pada kantor cabang bank asing tersebut adalah simpanan milik

warga negara dan atau penduduk Indonesia.

Cabang bank nasional yang beroperasi di luar negeri seharusnya tidak

dicakup oleh penjamin simpanan. Hal ini didasarkan pada tujuan dari dibentuknya

Lembaga Penjamin Simpanan, yaitu untuk melindungi penduduk domestik, bukan

asing.

Bagi bank perkreditan rakyat sebaiknya dibuat skim penjamin tersendiri.

Hal ini mengingat karakteristik khusus yang dimiliki oleh Bank Perkreditan

Rakayat (BPR). Selama ini program penjaminan pemerintah untuk BPR

ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang

jaminan terhadap kewajiban pembayaran BPR. Keputusan Presiden tersebut

dijabarkan lebih lanjut melalui Surat Keputusan Direksi BI noor 31/166/KEP/Dir

tanggal 1 Desember 1998 tentang persyaratan dan tata cara Penjaminan

Pemerintah terhadap kewajiban Pembayaran BPR dan SK Dir BI No.

31/167/KEP/DIR tanggal 1 Desember 1998 tentang persyaratan dan tata cara

Penjaminan Pemerintah terhadap kewajiban Pembayaran BPR Syariah.61

Dalam ketentuan untuk BPR secara tegas menyebutkan jenis-jenis

simpanan yang dijamin Pemerintah. Pembayaran jaminan Pemerintah terhadap

simpanan pihak ketiga dilakukan setelah Bank Indonesia membekukan kegiatan

usaha BPR dan pelaksanaan pembayarannya dilakukan oleh bank pembayar.

Bekerjanya Lembaga Penjamin Simpanan tidak terlepas dari lembaga-

lembaga lain seperti Lembaga Pengawas Perbankan, Bank Indonesia dan Komite

Koordinasi.62

Lembaga Penjamin Simpanan melakukan tindakan penyelesaian atau

penanganan bank yang mengalami kesulitan keuangan dalam kerangka

mekanisme kerja yang terpadu, efisien dan efektif untuk menciptakan ketahanan

sektor keuangan Indonesia. Lembaga Penjamin Simpanan bersama dengan

61

Marulak Perdede, “Perspektif Perlindungan Hukum Simpanan Dana Nasabah pada

Bank”, Jurnal Hukumj Bisnis Volume 11, 2000, hal 53.

62 Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga

Penjamin Simpnan

145

Universitas Indonesia

Menteri Keungan, Bank Indonesia dan Lembaga Pengawas Perbankan menjadi

anggota Komite Koordinasi.63

Lembaga pengawas Perbankan adalah Bank Indonesia atau lembaga

pengawasan sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksuk dalam Undang-Undang

tentang Bank Indonesia.

Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana

dimaksuk dalam Undang-Undang tentang bank Indonesia. Kewenangan bank

Sentral dalam melakukan pegaturan dan pengawasan bank adalah sebagi alat atau

sarana untuk mewujudkan system perbankan yang sehat, yang menjamin dan

memastikan dilaksanakan segala peraturan perUndang-Undangan yang terkait

dalam penyelenggaraan usaha bank oleh bank yang bersangkutan.

Pengawasan tehadap bank oleh Bank Indonesia sebagai bank Sentral dapat

bersifat pengawasan langsung atau pengawasan tidak langsung. Menurut

penjelasan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang

Bank Indonesia, bahwa yang dimaksud dengan pengawasan langsung adalah

dalam bentuk pemeriksaan yang disertai dengan tindakan-tindakan perbaikan.

Sedangkan yang dimaksud dengan pengawasan tidak langsung terutama dalam

bentuk pengawasan dini melului penelitian, analisis dan evaluasi laporan bank.

Berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan bank, pada dasarnya hal-hal

yang dapat dilakukan oleh otoritas pengasasan meliputi 4 kewenangan yaitu

kewenangan membrikan izin (power to license), kewenangan untuk

mengatur (power to regulate), kewenangan untuk mengendalikan atau

mengawasi (power of control), dan kewenangan untuk menegakkan sanksi (power

to impose senction).

Komite koordinasi adalah komite yang beranggotakan Menteri Keuangan,

LPP, bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan yang memutuskan

kebijakan penyelesaian dan penanganan suatu Bank Gagal yang ditengarai

berdampak sistematik.

63

Ibid

146

Universitas Indonesia

Dalam menjalankan tugasnya, Lembaga Penjamin Simpanan dapat bekerja

sama dengan organisasi atau lembag dalam negri. Lembaga Penjamin Simpanan

dapat bertindak sebagai anggota dari organisasi atau lembaga internasional

mewakili Negara republik Indonesia apabila terdapat ketentuan bahwa anggota

dan organisasi atau lembaga internasional tersebut mengharuskan atas nama

negara.

4.6.3 Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Lembaga Penjamin Simpanan.

LPS berfungsi untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut

aktif dalam memelihara system perbankan sesuai dengan kewenangannya.

LPS bertugas untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan

penjaminan simpanan, melaksanankan penjaminan simpanan, Merumuskan dan

menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem

perbankan, merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian

Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik, dan melaksanakan penanganan Bank

Gagal yang berdampak sistemik.

LPS berwenang untuk menetapkan dan memungut premi penjaminan,

menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi

peserta, melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS, mendapatkan data

simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil

pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank, melakukan

rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data tersebut pada angka 4,

menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim, menunjuk,

menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan

dan/atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu, melakukan

penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan, dan

menjatuhkan sanksi administratif. Simpanan yang dijamin meliputi giro, deposito,

sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu,

yang berasal dari masyarakat, termasuk yang berasal dari bank lain, Nilai

simpanan yang dijamin LPS mencakup saldo pada tanggal pencabutan izin usaha

147

Universitas Indonesia

bank.64

Defenisi simpanan dalam Undang-Undang Perbankan tahun 1998 Pasal 1

angka 7 menetapkan bahwa:

Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank

berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat

deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan untuk itu.

Selanjutnya dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10m Tahun 1998

dijelaskan pula bahwa : Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan

setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran

lainnya, atau dengan pemindahbukuan.

Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada

waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank. Sertifikat

deposito adalah simpanan dalam bentuk depositoyang sertifikat bukti

penyimpanannya dapat dipindahtangankan. Sedang Tabungan adalah simpanan

yang penarikannya hany dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati,

tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang

dipersamakan dengan itu.

Bank yang manjadi anggota Lembaga Penjamin Simpnan maupun lembaga

itu sendiri bersama-sama bertanggung jawab mempublikasikan simpanan yang

dijamin dan yang tidak dijamin. Masyarakat berhak mengetahui hal tersebut untuk

melindungi kepentingan mereka. Cakupan penjaminan harus diberitahukan

terlebih dahulu dan tidak dapat diinterpretasikan setelah terjadi kebangkrutan.

Dalam setiap dokumen simpanan harus dicantumkan apakah simpanan

tersebut dijamin oleh penjamin sipanan atau tidak. Mewajbkan lembaga keuangan

non bank memberitahukan bahwa simpanan atau instrumen lain yang mereka

tawarkan tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan merupakan suatu

kebijaksanaan yang perlu dipertimbangkan.

64

Krisna Wijaya, PenjaminaSimpanan dan Stabilitas Perbankan,

http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=publikasi&pub_id=30, dikutip dari Maclachan, Fiona

C, Market Discipline in Bank Regulation; Panecea or Paradox, The Independent Review VI, n Fall

2001

148

Universitas Indonesia

Bank yang menjadi Lembaga Penjamin Simpanan maupun lembaga itu

sendiri bersama-sama bertanggung jawab mempublikasikan simpanan yang

dijamin dan tidak dijamin. Masyarakat berhak mengetahui hal tersebut untuk

melindungi kepentingan mereka. Cakupan penjaminan harus diberitahukan

terlebih dahulu dan tidak dapat diintegrasikan setelah terjadi kebangkrutan.

Dalam setiap dokumen simpanan hasus dicantumkan apakah simpanan

tersebut dijamin oleh penjamin simpanan dicantumkan apakah simpanan tersebut

dijamin oleh penjamin simpanan atau tidak. Mewajibkan lembaga keuangan non

bank memberitahukan bahwa simpanan atau instrumen lain yang mereka

tawarkan tidak dijamin oleh lembaga penjamin simpanan merupakan suatu

kebijaksanaan yang perlu dipertimbangkan.

Dalam kaitannya dengan kebangkrutan bank, penjamin simpanan akan

berperan sebagai kreditur terbesar dari bank tersebut. Dengan demikian penjamin

simpanan memiliki kepentingan sangat besar terhadap penyelamatan kekayaan

bank yang bangkrut tersebut. Begitu suatu bank dicabut ijin usahanya harus

dengan segera menempatkan penjamin simpanan sebagai kurator. Di Indonesia

Pasal 37 ayat (2) (b) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999 meneptakan :

Apabila menurut penelitian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat

membahayakan system perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin

usaha dan memerintahkan direksi Bank untuk segera menyelenggarakan Rapat

Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk

tim likuidasi.

Selanjutnya ayat (3) Pasal tersebut menetapkan :

Dalam hal Direksi Bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada

pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum

bank, penunjukkan tim likuidasi dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan

peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

Dengan didirikannya Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia ketentuan

tersebut di atas harus siubah dengan mewajibkan bank Indonesia atau lembaga

149

Universitas Indonesia

yang berwenang mencabut izin usaha bank, agar segera menunjuk Lembaga

Penjamin Simpanan sebagai kurator.

Sebagai kurator bank yang di likuidasi, lembaga penjamin simpanan perlu

diberikan kedudukan utama dalam memperoleh asset bank. Undang-Undang

perbankan yang berlaku tidak mengatur kedudukan hukum dari nasabah

penyimpan terhadap asset bank yang dilikuidasi. Kedudukan hukum nasabah

penyimpan tersebut hanya diatur dalam tingkat peraturan pemerintah dimana

kedudukan nasabah berada pada urutan setelah gaji pegawai yang terutang, biaya

perkara dipengadilan, biaya lelang yang terutang, pajak yang terutang yang berupa

pajak bank dan pajak yang dipungut oleh bank selaku pemotong pemungut pajak

dan biaya kurator.65

Untuk memberikan kedudukan yang kuat bagi lembaga penjamin

simpanan perlu ditegaskan dalam Undang-Undang bahwa nasabah penyimpan

memiliki kedudukan utama terhadap aset bank yang dilikuidasi. Dengan demikian

Penjamin Simpanan telah melakukan pembayaran, maka penjamin simpanan akan

memperoleh kedudukan sebagai pemegang hak utama. Pergantian ini adalah apa

yang dalam hukum perjanjian dinamakan subrogasi.

Jaminan hukum yang diberikan oleh bank terhadap nasabah penyimpan dana

dapat dilihat dari aspek kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan serta hak-hak

yang ditetapkan oleh hukum bagi bank terhadap para nasabah, serta mengenai

sanksi-sanksi huku yang dapat dijatuhkan kepada bank yang tidak mematuhi

kewajiban-kewajibannya dan melanggar larangan-larangan itu, baik karena

ketidak patuhan dan pelanggaran itu , telah menimbulkan kerugian bagi para

nasabah penyimpan dana. Sanksi hukum yang dapat dikenakan dapat berupa

sanksi administratip terhadap bank itu dan terhadap pengelolaannya (anggota

dewan komisaris, dereksi dan pegawai bank). Sanksi perdata dan sanksi pidana

yang dapat diputuskan oleh pengadilan terhadap pengelola bank itu.

65

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Pencabutan izin usaha,

Pembubaran dan Likuidasi Bank Pasal 17 ayat (1)

150

Universitas Indonesia

4.7 Simpanan Yang Dijamin Oleh LPS66

1. Simpanan yang dijamin meliputi giro, deposito, sertifikat deposito

tabungan dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.

2. Simpanan nasaban Bank Berdasarkan Prinsip Syari‟ah yang dijamin

melipti:

a. Giro berdasarkan Prinsip Wadi‟ah;

b. Giro berdasarkan Prinsip Mudharabah;

c. Tabungan berdasarkan Prinsip Wadi‟ah;

d. Tabungan berdasarkan prinsip mudharabah muthlaqah atau

berdasarkan prinsip mudharabah muqayyadah yang risikonya

ditanggung oleh bank

e. Deposito berdasarkan Prinsip Mudharabah muthlaqah atau berdasarkan

prinsip mudharabah muqayyadah yang risikonya ditanggung oleh

bank; dan/atau

f. Simpanan berdasarkan Prinsip Syari‟ah lainnya yang ditetapkan oleh

LPS setelah mendapat pertimbangan LPP

3. Simpanan yang dijamin mencakup pula simpanan yang berasal dari bank

lain.

4. Nilai simpanan yang dijamin LPS merupakan saldo pada tanggal

pencabutan izin usaha Bank

5. Saldo tersebut berupa:

a. Pokok ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah, untuk

simpanan yang memiliki komponen bagi hasil yang timbul dari

transaksi dengan prinsip syari‟ah;

b. Pokok ditambah bunga yang telah menjadi hak nasabah, untuk

simpanan yang memiliki komponen bunga;

c. Nilai sekarang per tanggal pencabutan izin usaha dengan

menggunakan tingkat diskonto yang tercatat pada bilyet, untuk

simpanan yang memiliki komponen diskonto.

66

http://www1.lps.go.id/in/web/guest/simpanan-yang-dijamin;jsessionid, Simpanan Yang

Dijamin Oleh Lemnaga Penjamin Simpanan (LPS), diakses 27 Juni 2014.

151

Universitas Indonesia

6. Saldo yang dijamin untuk setiap nasabah pada bank adalah hasil

penjumlahan saldo seluruh rekening simpanan pada bank tersebut, baik

rekening tunggal maupun rekening gabungan (joint account);

7. Untuk rekening gabungan (joint account), saldo rekening yang

diperhitungkan bagi satu nasabah adalah saldo rekening gabungan tersebut

yang dibagi secara prorata dengan jumlah pemilik rekening.

8. Dalam hal nasabah memiliki rekening tunggal dan rekening gabungan

(joint account), saldo rekening yang terlebih dahulu diperhitungkan adalah

saldo rekening tunggal.

9. Dalam hal nasabah memiliki rekening yang dinyatakan secara tertulis

diperuntukkan bagi kepentingan pihak lain (beneficiary), maka saldo

rekening tersebut diperhitungkan sebagai saldo rekening pihak lain

(beneficiary) yang bersangkutan

10. Sejak 13 Oktober 2008, saldo yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu

bank adalah paling banyak sebesar Rp 2 Milyar

Berdasarkan ketentuan di atas, maka konsep wakaf uang yang dana pokoknya

tidak boleh berkurang sedikitpun hanya dapat dilindungi oleh LPS maksimal

sebesar 2 Miliar, sehingga jika dana wakaf yang dikelola oleh nazhir wakaf uang

lebih dari 2 Miliar maka selebihnya dari 2 Miliar tersebut tidak akan dilindungi

oleh LPS jika terjadi suatu risiko. Untuk mengantisipasi hal ini tentunya

pemerintah harus membuat peraturan perUndang-Undangan khusus menyangkut

perlindungan dana wakaf uang, sehingga konsep wakaf uang yang saat ini telah

diataur didalam Undang-Undang No. 41/2004 dapat diterapkan dengan baik.

4.8 Analisis Terhadap Peraturan-Peraturan Perbankan Syari’ah Dalam

Pengelolaan Wakaf Uang

Dari beberapa ketentuan diatas, peran bank syari‟ah sebagai pengelola

dana wakaf tidak disebutkan secara eksplisit dalam peraturan perundang-

undangan, namun pada kenyataanya bank syari‟ah dapat mengambil peran sebagai

penerima dan penyalur dana wakaf sejak sebelum diundangkannya Undang-

Undang Wakaf. seperti yang dilakukan oleh Bank Muamalat Indonesia (BMI)

152

Universitas Indonesia

yang menjalin kerjasama dengan Yayasan Baitul Maal Muamalat dalam

mengelola wakaf uang. Wewenang pengelolaan ini dipandang penting karena

berbeda dengan dana sosial lainnya seperti zakat, infaq dan shadaqah, dana wakaf

tidak dapat dibagikan langsung kepada orang yang berhak, melainkan harus

dikelola terlebih dahulu baru kemudian hasilnya dapat dibagikan kepada yang

berhak.67

Dalam surat keputusan direksi Bank Indonesia dinyatakan bahwa “ bank

syari‟ah dalam melakukan kegiatan usahanya dapat melakukan kegiatan lain yang

lazim dilakukan bank sepanjang disetujui oleh Dewan Syari‟ah Nasional.”68

Disebutkan juga bahwa “BPRS dalam mlakukan kegiatan usahanya dapat

melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan BPRS sepanjang disetujui oleh

Dewan Syari‟ah Nasional.”69

Apabila kata “kegiatan lain” dalam dua pasal di atas diartikan sebagai

kegiatan pengelolaan wakaf, maka sebenarnya secara implisit bank syari‟ah dapat

bertindak menjadi pengelola wakaf, tinggal sekarang yang masih menjadi masalah

adalah bagaimana agar Dewan Syari‟ah Nasional mengeluarkan fatwa yang

membolehkan Bank Syari‟ah bertindak sebagai pengelola dana wakaf. terlebih

karena sebelumnya majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa yang

membolehkan praktik wakaf uang di Indonesia.

Walaupun demikian, apabila ketentuan tersebut tetap dianggap belum bisa

menjadi dasar hukum yang cukup bagi perbankan syari‟ah untuk menjadi Nazhir

wakaf, maka penyempurnaan ketentuan yang menyatakan secara eksplisit harus

dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk bersama-sama membuat peraturan

perundang-undangan agar bank syari‟ah diberi kepercayaan sebagai nazhir wakaf

uang yaitu dengan mewujudkan Undang-Undang.

Unsur wakaf yang berkaitan dengan bank syari‟ah adalah nazhir, yaitu

pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan

67

Ibid., hlm. 11

68 Bank Indonesia, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR/1999

Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari‟ah, Pasal 28 huruf m

69Bank Indonesia, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/1999

Tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari‟ah, Pasal 27 huruf c.

153

Universitas Indonesia

dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Dalam PP No.28 maupun KHI

hanya mengenal dua macam nazhir yaitu nazhir perorangan dan nazhir badan

hukum, sementara dalam undang-undang wakaf ditambah lagi nazhir organisasi.

Disebutkan dalam pasal 9, 10 dan 11 mengenai ketentuan nazhir, dijelaskan

bahwa nazhir meliputi baik individu, organisasi dan/atau badan hukum dalam hal

ini merupakan perseorangan warga Negara Indonesia, organisasi Indonesia dan

atau badan hukum Indonesia.70

Kemudian dijelaskan pula bahwa nazhir perseorangan hanya dapat

menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan sebagai warga Negara Indonesia,

beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, dan yang

terakhir tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.71

Kemudian untuk nazhir

organisasi hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan sebagai

pengurus organisasi yang bersangkutan dan memenuhi persyaratan nazhir

perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan organisasi yang bergerak

dibidang sosial, pendidikan kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam.72

Dalam menjalankan tugasnya zazhir badan hukum hanya dapat menjadi

zazhir apabila memenuhi persyaratan sebagai pengurus badan hukum yang

bersangkutan dan memenuhi persyaratan zazhir perseorangan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), dan badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan badan hukum yang

bersangkutan bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau

keagamaan Islam.73

Dalam menjalankan tugasnya nazhir mempunyai tugas melakukan

pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta

wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya, kemudian mengawasi dan

melindungi harta benda wakaf, sekaligus melaporkan pelaksanaan tugas kepada

70

Ibid., Pasal 9.

71 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, pasal 10 ayat 1.

72 Ibid., Pasal 10 ayat (2)

73 Ibid., Pasal 10 ayat (3)

154

Universitas Indonesia

Badan Wakaf Indonesia.74

Dari unsur-unsur yang ada tersebut tidak ada satu

unsurpun yang menghalangi bank syari‟ah menjadi nazir wakaf uang. Namun

untuk ditunjuk menjadi LKS PWU bank syari‟ah harus memenuhi persyaratan

khusus. Beberapa syarat bagi nazhir wakaf uang untuk membuka rekening dan

memperoleh dana wakaf uang dari LKS-PWU adalah:75

a. Menyampaikan permohonan secara tertulis kepada menteri;

b. Melampirkan anggaran dasar dan pengesahan sebagai badan hukum;

c. Memiliki kantor operasional di wilayah Rebublik Indonesia;

d. Bergerak dibidang keuangan syari‟ah;

e. Memiliki fungsi menerima titipan (wadi‟ah).

Ada beberapa alasan mengapa bank syari‟ah dipilih sebagai LKS-PWU,

yaitu karena dipandang memiliki beberapa keunggulan, antara lain:76

Jaringan

kantor cabang yang tersebar di seluruh Provinsi, Kabupaten maupun Kota.

Dengan relatif luasnya jaringan kantor perbankan diharapkan akan lebih

mengefektifkan sosialisasi wakaf uang kepada masyarakat, sehingga

penggalangan dana wakaf menjadi lebih optimal dan juga membantu efektifitas

dan efisiensi penyampaian dana wakaf kepada al-mauquf alaih (penerima wakaf).

Lembaga perbankan merupakan lembaga yang memiliki pengalaman dalam

mengelola dana masyarakat dan juga berpengalaman sebagai lembaga perantara.

Dengan pengalaman tersebut, apabila bank syariah diamanatkan untuk membantu

memaksimalkan wakaf uang tentunya hal itu akan bisa terwujud. Pengalaman

jaringan informasi dan peta distribusi sebagai pengelola dana untuk disalurkan

kepada pihak tertentu, lembaga perbankan memiliki akses informasi yang cukup

dan peta distribusi yang jelas kemana dana-dana tersebut akan disalurkan. Dalam

praktek operasional selanjutnya, ketiga hal tersebut menjadi hal yang paling perlu

untuk dipertimbangkan dalam mengoptimalkan penbgelolaan dana wakaf.77

Bank

74

Ibid., Pasal 11

75 Kementerian Agama Rebublik Indonesia, Op.,Cit, hlm.53

76 Ahmad Furqon “Praktik Wakaf Uang Di Bank Syari‟ah Mandiri” Jurnal IAIN

Walisongo Semarang, 2010,

77 Mustofa Edwin & Uswatun Hasanah (ed), Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, Peluang

dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, (Jakarta: PSTTI-IU, 2001), hlm.105-106

155

Universitas Indonesia

memiliki kredibilitas dimata masyarakat dan dikontrol dengan Undang-Undang

yang berlaku. Disamping itu bank Syariah dipantau langsung oleh Dewan

Pengawas Syari‟ah, sehingga dapat lebih menjamin tentang ke-Syari‟ahan wakaf

uang ini.

Berkaitan dengan teori yang peneliti gunakan dalam penulisan ini yaitu teori

keadilan sosial yang digagas oleh Sayed Qutub dan John Raw keadalian tidak

harus sama tanpa ada perbedaan. Keadilan yang mutlak pasti membutuhkan

perbedaan, tetapi memberi kesempatan yang merata dan luas kepada mayarakat

untuk menjalani kehidupan dan tidak keluar dari prinsip-prinsip keagamaan

(Sayed Qutub). Islam tidak menginginkan semua orang memilki jumlah kekayaan

yang sama dalam hal ekonomi. Karena hal itu sangat tidak mungkin terjadi. Tetapi

islam tidak menghalalkan segala kemewahan yang mendorong manusia hanya

tertuju pada khidupan materi (dunia), tunduk pada nafsu syahwatnya, dan

menciptakan kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat.78

kemudian senada

dengan konsep keadilan sosial yang digagas John Rawls, yaitu keadilan sosial

yang mementingkan distribusi kekuasaan dan kekayaan yang sama, tetapi juga

mentoleransi distribusi yang berbeda bagi yang berbakat.79

Secara teoritik, dalam Islam, tujuan diberlakukannya wakaf bisa dipastikan

adalah untuk merealisasikan keadilan sosial, minimal keadilan ekonomi,

kesehatan, dan pendidikan. Hal ini karena peran wakaf lebih dominan dibanding

zakat dan sedekah lainnya. Selain sebagai tolak ukur keimanan seorang hamba,

wakaf juga merupakan institusi distribusi kekayaan agar terjadi pemerataan

ekonomi dan juga merupakan simbol dari sistem ekonomi yang dikehendaki

Islam, yaitu hak-hak Individu diakui tetapi hak-hak sosial tetap diutamakan.

Melalui wakaf dan ZIS (Zakat, Infaq, Sedekah) diharapkan proses

konsentrasi kekayaan tidak terjadi, tetapi justru selalu terurai tercipta

78

http://insistnet.com/teori-keadilan-sosial-sayyid-qutb/, Teori Keadilan Sosial Sayyid

Qutb, diakses tanggal 6 juli 2014.

79 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern I, Terjemahan oleh Robert MZL

dari Sosiological Theory Clasical Founder and Contemporery Perspectives (1981), Jakarta:

Gramedia, 1994, hlm. 154-161, Ian Adam, Ideologi Politik Mutakhir,Adam, 2004, hlm. 68, 190-

199, dan Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1995, hlm. 83

156

Universitas Indonesia

sirkulasi atau peredaran surplus kekayaan di kalangan semua masyarakat sebagai

tujuan utama ekonomi yang sehat.80

Dalam al-Qur‟an, disebutkan tujuan distribusi ekonomi itu antara lain

terlihat dalam al-Qur‟an Surat Adz-Dzariyat: 19

Artinya: Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta

dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.81

Pada ayat diatas menunjukkan, filantropi82

Islam, baik yang wajib maupun

yang sunnah seperti wakaf, ditujukan untuk menangulangi kemiskinan, karena

penerima prioritasnya adalah kelompok fakir dan miskin.

Islam memandang bahwa akumulasi kekayaan seseorang dibangun di atas

keringat orang-orang miskin, karena di dunia ini tidak ada seorangpun yang kaya

yang bisa beraktifitas tanpa orang-orang yang ekonominya lemah. Dalam

kenyataannya, orang-orang miskin memang sudah diberi upah atas kerjanya,

namun, jumlah keuntungan yang didapat para majikan jauh lebih berlipat ganda

dibandingkan para buruhnya yang hanya didasarkan pada Upah Minimun Povinsi

(UMP) dan sejenisnya. Oleh karena itu, wakaf dan filantropi Islam lainnya adalah

bentuk ucapan terima kasih dan kerja sama kalangan kaya dan miskin.

Wakaf untuk keadilan sosial juga terdapat dalam Peraturan Perundangan

yang ada di Indonesia yang diambil dari ajaran Islam, yaitu Pasal 5 Undang-

Undang Wakaf No. 41 Tahun 2004 “Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan

manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk

memajukan kesejahteraan umum”.83

Dalam peraturan perundangan sebelumnya,

80

Ismail Raj‟i Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Menjelajah

Peradaban Gemilang, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 179-181 dan Abdul Manan, Teori dan

Praktek Ejkonomi Islam, Terjemahan dari Islamic Economics, Theory and Practice oleh M.

Nastangin, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,199, hlm. 232

81 Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Mjamma‟ al Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik

Fadhli Thiba‟at al Mushhaf asy Syarif, Madinah al Munawwarah, 1411 H., hlm. 859.

82 Filantropi adalah cinta kasih terhadap sesama manusia.

83 Departemen Agama RI, UU Wakaf No. 41 2004, Jakarta: Depag RI, 2004, hal. 3, 5.

157

Universitas Indonesia

yaitu Pasal 216 Buku III Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 2 PP. No. 28

/1977, juga disebutkan hal yang hampir sama.

Fungsi wakaf dalam UU No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf tersebut dapat

dipahami sebagaimana tercantum dalam penjelasannya, bahwa salah satu yang

melatarbelakangi kemunculan UU tersebut adalah realitas bahwa wakaf menjadi

pokok kekuatan ekonomi Ummat Islam.84

Fungsi wakaf untuk keadilan sosial Islam sebagai mauqûf

„alaih (peruntukan wakaf) itu diperjelas lagi peruntukanya dalam dalam Pasal 22

Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dalam pasal tersebut

bahwa mauqûf „alaih (peruntukan) wakaf selain sarana kegiatan ibadah, juga

pendidikan, kesehatan, bantuan untuk fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu,

beasiswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi Ummat, dan kemajuan

kesejahteraan umum lainnya.85

Selain boleh digunakan untuk kepentingan ibadah (pembangunan masjid),

lembaga pendidikan dan para gurunya, pembangunan hotel atau pemondokan

untuk para musafir, juga kebutuhan minum, pengurusan mayat seperti pembelian

kain kafan, pembangunan dan rehabilitas jembatan, untuk para penghuni

penjara, rumah sakit, perpustakan, dan lainnya. Bahkan, berbeda dengan sedekah

lainnya, sebagian wakaf atau manfaatnya pun, seperti buku dan al-Qur‟an, boleh

didistribusikan atau dimanfaatkan oleh orang kaya yang tidak berhak menerima

zakat.86

Di Indonesia sendiri telah diuntungkan dengan banyaknya perbnkan

syari‟ah, yang tidak lain telah mengembangkan dana sosial masyarakat seperti

zakat infaq dan shadaqah, namun untuk menjadi LKS PWU memerlukan syarat-

syarat khusus. Sehingga tidak semua bank syari‟ah di indonesia menjadi LKS

84

“PP No. 28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik”, dalam HLM. Abdul Mannan dan M

Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pres, 2002,

hal. 395 “Buku III Kompilasi Hukum Islam Indonesia”, dalam Abdurrahman, Kompilasi Hukum

Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992 hlm. 166.

85 Departemen Agama RI, Undang-Undang Wakaf.

86 Abu Bakar Ahmad bin „Umar as-Syaibani, Kitâb Ahkâm al-Auqâf, Kairo: Maktabah as-

Tsaqafah ad-Diniyyah, Tthlm., hlm.294-295, „Abd al-Jalil „Abd ar-Rahman „Asyub, Kitâb al-

Waqf, Kairo: al-Afaq al-Arabiyyah, 2000, hlm. 31.

158

Universitas Indonesia

PWU yang dapat menerima wakaf uang. Bank syari‟ah juga merupakan lembaga

yang telah berhasil menerapkan asas legalitas, yaitu dengan adanya dasar hukum

Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari‟ah. Selain itu

perbankan syari‟ah juga telah mampunyai dasar hukum untuk menjamin dana

nasabah yaitu Peraturan Pemerintah RI No. 39 tahun 2005 tentang Penjaminan

Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syari‟ah. Adanya asas legalitas

tersebut adalah bentuk perlindungan hak asasi dari nasabah perbankan syari‟ah

dalam hal ini adalah dana wakaf uang untuk kesejahteraan sosial.

Keadilan tersebut tentunya berupa pemerataan bagi semua pihak, bagi bank

pengelola mendapatkan keuntungan maksimal 10 % dari keuntungan dana wakaf

tersebut, selain itu dengan banyaknya dana yang dikelola bank, maka bank bisa

menambah karyawan baru sebagai solusi untuk mengurangi pengangguran,

kemudian bagi fakir miskin dapat menikmati fasilitas pendidikan dan kesehatan

yang di hasilkan dari pengelolaan wakaf tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, dasar distribusi hasil wakaf

adalah istihsân atau alasan kemaslahatan (istishlah) yang dibenarkan oleh hadis

riwayat Abdullah bin Mas‟ud. Dalam hadis itu dijelaskan bahwa apa yang

dipandang baik oleh kaum muslimin, maka menurut Allah pun baik. Karena itu,

dalam pendistribusian hasil wakaf, seorang nâzhir wakaf bisa merujuk pada

alasan untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan. Kemaslahatan

yang disebut oleh as-Syathibi adalah dharuriyyat (alasan mendesak), baik untuk

menjaga agama (hifzh al-dîn), nyawa (hifzh al-nafs), kebebasan berpikir (hifzh al-

„aql), reproduksi (hifzh al-nasl) dan hak-hak ekonomi (hifzh al-mâl). Menurut as-

Syathibi, kemasalahatan merupakan inti syari‟ah Islam, dalil universal. Bahkan,

menurut al-‟Iz bin „Abd as-Salam, seluruh hukum Islam sesungguhnya adalah

untuk kemaslahatan manusia. As-Syathibi pun berpendapat juga bahwa jika

terjadi perbedaan antara dalil naqli (al-Qur‟an dan hadis) dengan kemaslahatan,

maka keduanya harus dikompromikan. Jadi, batasan sejauh mana hasil

wakaf khairî boleh didistribusikan adalah sejauh kemaslahatan menghendakinya.

159

Universitas Indonesia

159 Universitas Indonesia

BAB 5

PENUTUP

5. 1 Kesimpulan

1. Peran bank syari‟ah di Indonesia adalah sebagai bank kustodi atau sebagai

bank penitipan dana wakaf. Secara teknis operasional, wakif menyetorkan

dana wakafnya ke bank Syari‟ah atas nama rekening BWI yang ada di bank

syari‟ah tersebut dan sebagai gantinya wakif akan mendapatkan sertifikat

wakaf Uang. Sertifikat wakaf uang tersebut diterbitkan oleh BWI dan

dititipkan di bank Syari‟ah. Sertifikat wakaf uang tersebut akan diberikan

kepada wakif dan diadministrasikan secara terpisah dari kekayaan bank agar

konsep wakaf

2. Akad Syari‟ah yang dapat dipergunakan Bank syari‟ah dalam mengelola dana

wakaf banyak sekali diantaranya adalah:

1. Al-Mudharabah

2. Al-Musyarakah

3. Al-Murabahah.

4. Al-Ijarah

Diantara akad-akad tersebut, akad syari‟ah yang paling baik untuk

digunakan adalah akad murabahah, karena akad ini lebih dapat menjamin

bahwa dana pokok wakaf tidak akan berkurang sedikitpun.

3. Cara Bank Syari‟ah dan LPS dalam Menjamin dana wakaf adalah sebagai

berikut:

a. Bank syari‟ah menerapkan langkah-langkah berikut ini:

1. Perlindungan Tidak Langsung

2. Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principles)

160

Universitas Indonesia

3. Batas Maksimum Pemberian Kredit (“BMPK”)

4. Kewajiban Mengumumkan Neraca dan Perhitungan Laba Rugi

5. Mengadakan Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank

6. Melindungi Nasabah Berdasarkan Undang-Undang

Perlindungan Konsumen

b. Cara LPS dalam Menjamin dana wakaf yang ada di bank syari‟ah adalah

sebagai berikut:

1. Merumuskan dan menetepkan kebijakakn dalam rangka turut aktif

memelihara stabilitas sistem perbankan;

2. Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan

penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak

sistemik; dan

3. Melaksakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.

Selain itu Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan penyelesaian

dan penanganan Bank Gagal dengan kewenangan sebagai berikut:

a. Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang

saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;

b. Menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang di

selamatkan;

c. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap

kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan dengan pihak

ketigayangg merugikan bank; dan

d. Menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur

dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.

5.2. Saran-saran:

1. Pemerintah bersama DPR RI diharapkan dapat segera mewujudkan suatu

peraturan yang menyeluruh berupa sebuah undang-undang mengenai

praktik wakaf uang di Indonesia agar ada kepastian hukum bagi

masyarakat dan perbankan syari‟ah yang hendak mengoptimalkan adanya

wakaf uang di Indonesia.

161

Universitas Indonesia

2. Bank syari‟ah seharusnya meningkatkan sumber daya manusianya (SDM)

dalam hal memahami dan menangani wakaf uang sehingga peran bank

syari‟ah dalam mengelola wakaf uang pelaksanaanya lebih baik dan betul-

betul sesuai dengan syari‟ah.

3. Pemerintah seharusnya segera membentuk Lembaga penjamin Syari‟ah

untuk mengamankan dana wakaf, agar berapapun jumlahnya dana wakaf

yang ada dapat di jamin oleh pemerintah sehingga konsep wakaf yang

dana pokoknya tidak boleh berkurang sedikitpun itu tetap terjaga.

162

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

„Abd al-Jalil „Abd ar-Rahman „Asyub. Kitâb al-Waqf. Kairo: al-Afaq al-

Arabiyyah, 2000.

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika

Pressindo, 1992.

Abdullah, M Ma‟ruf. Hukum Perbankan dan Perkembangan Bank Syari‟ah di

Indonesia. Banjarmasin: Antasari press. 2006.

Abu al-Walid Ibn Rusyd. Fashl al-Maqâl fimâ Baina al- Hikmah wa as-Syarî‟ah

min al-Ittishâl. Kairo: Dar al-Ma‟arif, 1999.

Abu Bakar Ahmad bin „Umar as- Syaibani. Kitâb Ahkâm al-Auqâf. Kairo:

Maktabah as-Tsaqafah ad-Diniyyah, Tth.

Abu Zahrah, Muhammad. Muhâdarât Fî al-Waqf. Kairo: Dar al-Fikr,Tth.

Adam, Ian. Ideologi Politik Mutakhir, Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa

Depanya. Terjemahan dari Political Ideology Today. Yogyakarta:

Qalam, 2004

Ad-Dimyathi. I‟ânah at-Thâlibin. Jilid III. Bandung: al-Ma‟arif, Tth.

Adham, Fauzi Kamal. al-Idârah a-Islâmiyyah, Dirâsah Muqâranah Baina an-

Nizhâm al-Islâmiyyah wa al-Wadh‟iyyah al-Hadîtsah. Beirut: Dar an-

Nafa‟is, 2001.

Ahmad Muhammad as-Sa‟ad dan Muhammad Ali al-‟Umri. Al-Ittijâhât Al-

Mu‟âshirah Fi Tathwîr Al-Istitsmâr Al-Waqfi. Kuwait: Al-Amanah Al‟amah

Li Al-Auqaf, 2000

Ahmad, Abu Bakar bin „Umar as-Syaibani. Kitâb Ahkâm al-Auqâf. Kairo:

Maktabah as-Tsaqafah ad-Diniyyah, Tth.

Amin, Muhammad. Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Bidang Fiqh. Jakarta:

INIS, 1991.

Antonio, Syafi'i Muhammad. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. penyunting

Dadi M.H. Basri, Farida R. Dewi, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press. 2001.

Anwar, Syamsul. Studi Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Cakrawala,

2006.

Arifin, Johan. Fiqih Perlindungan Konsumen. Semarang: Rasali Semarang, 2007.

Arifin, Zainul. Dasar-dasar Manajemen Bank Syari‟ah, Alfabeth. Jakarta: 2002.

Asikin, Zainal. Pokok-Pokok Hukum Perbankan di Indonesia. PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta: 1995.

Al-„Asqalani, Ibn Hajar. Bulûgh al-Marâm. Bandung: al-Ma‟arif, Tth.

Aziz, M. Amin. Mengembangkan Bank Islam Di Indonesia. Jakarta: Bankit, 1992.

163

Universitas Indonesia

Al-Faruqi, Ismail Raj‟i dan Lois Lamya Al-Faruqi. Atlas Budaya Islam,

Menjelajah Peradaban Gemilang. Bandung: Mizan, 1998.

Al-Hanafi, Syeikh Burhanuddin Ibrahim. Kitâb al-As‟ âf Fî Ahkâm al-

Auqâf. Kairo: Hindiyah, 1902.

Ali, Fachry, Islam Keprihatinan Universal dan Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka

Antar Kota, 1984.

Ali, Zainuddin, Hukum Perbankan Syari‟ah. Jakarta : CV Sinar Grafika, 2008

Ali, Mukti, Islam dan Sekulerisme di Turki Modern. Jakarta: Djambatan, 1994.

Departemen Agama Rebublik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Jakarta.

2008.

Direktorat Pemberdayaan wakaf Dirjen bimas Islam; Paradigma Baru wakaf di

Indonesia. Jakarta: Departemen Agama. 2006.

Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam, Fiqh Wakaf. Jakarta:

Departemen Agama. 2006.

Fuadi, Munir. Hukum Perbankan Indonesia Bandung: 1999

Furqon, Ahmad. Praktik Wakaf Uang Di Bank Syari‟ah Mandiri. Jurnal IAIN

Walisongo Semarang, 2010.

GH Garcia, Gillian (1). “Deposit Insurance: Obtaining the Benafit and Avoiding

the Pitfalls”. IMF, Wasinton DC: 1996

Hamid, Arifin. Hukum Ekonomi Islam. (Ekonomi Syari‟ah) di Indonesia Aplikasi

dan Prospektifnya, Bogor: Ghalia Indonesia. 2007.

Al-jalil „Abd „asyub ar-rahman „Abd Kitâb al-Waqf. Kairo: al-Afaq al-

Arabiyyah, 2000.

Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I, Terjemahan oleh

Robert MZL dari Sosiological Theory Clasical Founder and Contemporery

Perspectives (1981). Jakarta: Gramedia, 1994.

Kamil, Sukron. Islam dan Demokrasi, Telaah Konseptual dan Historis. Jakarta

Gaya Media Pratama. 2002.

Karim, Adiwarman A. Bank-bank Islam: Analisis Fiqh dan keuangan. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada. 2004.

Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997

Mannan, M. Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Terjemahan dari Islamic

Economics. Theory and Practice oleh M. Nastangin, Yogyakarta: Dana

Bhakti Wakaf,1997.

_________________. dan M. Fauzan. Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang

Peradilan Agama. Jakarta: Rajawali Pres, 2002.

_________________. Sertifikat Waqf Tunai, sebuah Inovasi Instrumen Keuangan

Islam”. Depok: CIBER bekerjasama dengan PKTTI-UI, 2001.

164

Universitas Indonesia

_________________. Teori dan Praktek Ejkonomi Islam, Terjemahan

dari Islamic Economics, Theory and Practice oleh M.

Nastangin, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,1997.

Kementerian Agama. Direktorat Jenderal bimbingan Masyarakat Islam,

Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai Di

Indonesia, tahun 2013

Lembaga Kajian Hukum Ekonomi, Sejarah Perkembangan Metode Perbankan di

Indonesia Jakarta: 1990

Muhammad. Lembaga keuangan Umat Kontemporer. UII, Yogyakarta: 2000.

__________. Manajemen Bank Syari‟ah. edisi revisi, unit penerbit dan percetakan

(UPP) AMPYKPN, Yogyakarta: 2005

Muhammad Nadratuzzaman Hosen dan Sunarwin Kartika Setiati, Tuntutan

Praktis Menggunakan Jasa Perbankan Syari‟ah. Jakarta: 2008.

An-Nawawi, al-Raudhah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Tth

Al-Malibari, Syaikh Zainuddin Abd Al-Aziz. Fath al-Mu‟în bi Syarh Qurrah al-

„Ain. Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, Tth.

Al-Mughni, Syafiq. Sejarah Kebudayaan Islam di Turki. Jakarta: Logos, 1997.

Al-Nawawi, al-Raudhah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Jilid IV. Tth.

Parasetyo, Hendro Ali Munhanif. dkk., Islam dan Civil Society Pandangan

Muslim Indonesia. Jakarta: Gramedia dan PPIM, 2000.

Perwataamadja A. Karnaen. Karnaen dan Antonio, Syafi‟i, Apa dan Bagaimana

Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bahakti Wakaf, 1992.

Qahaf, Mundir. Manajemen Wakaf Produktif, cet 1, jakarta. Khalifa. 2000.

Al-Qardhawi , Yusuf. Daur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishad al-

Islami. Kairo: Maktabah Wahbah, 2001.

Raj‟i Ismail Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi. Atlas Budaya Islam,

Menjelajah Peradaban Gemilang. Bandung: Mizan, 1998, h. 179-181 dan

Sâbiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. jilid III. Kairo: Dâr al-Tsaqafah al-Islâmiyyah,

dan Ibn Hajar al-„Asqalani, Bulûgh al-Marâm. Bandung: al-Ma‟arif, Tth.

As-Sa‟ad Ahmad Muhammad dan al-‟Umri, Muhammad Ali, Al-Ittijâhât Al-

Mu‟âshirah Fi Tathwîr Al-Istitsmâr Al-Waqfi. Kuwait: Al-Amanah Al‟amah

Li Al-Auqaf, 2000.

Sholahuddin M. Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam. Surakarta: UMS Pers.

2006,

Simorangkir, OP dalam Sentosa Sembiring. Hukum Perbankan. Mandar Madju,

Bandung: 2000.

Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam dan kedudukannya dalam tatahukum

Perbankan Indonesia. Jakarta: Puastama Utama Grafiti, 1999

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986

165

Universitas Indonesia

_________________. dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Satu

Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Suhadi, Imam. Wakaf Untuk Kesejahtraan Umat. cet-1 Yogyakarta: PT. Dana

Bakti Prima Yasa. 2002

Sulaiman, Rasyid. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995.

Sumitro, Warkum. Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait

(Bmui & Takaful) di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. 1996.

Suratmaputra, Ahmad Munif. Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-

Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2002.

Al-Syatibi, Abu Ishaq Al-Syatibi. al-Muwâfaqât fî ushûl al-Syarî„ah. Beirut, Dâr

al-Hadîts al-Kutub al-„Ilmiyyah, vol. I, bagian 2, Tth.

Syaikh Zainuddin Abd Al-Aziz Al-Malibari. Fath al-Mu‟în bi Syarh Qurrah al-

„Ain. Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, Tth.

Uman, Cholil. Agama Menjawab tentang berbagai masalah abad modern.

Surabaya: Ampel Suci Surabaya.1994.

Usman, Rachmadu. Aspek hukum perbankan syari‟ah.Jakarta: Sinar Grafika, cet.

I, 2012.

Al-Walid, Abu Ibn Rusyd. Fashl al-Maqâl fimâ Baina al- Hikmah wa as-

Syarî‟ah min al-Ittishâl. Kairo: Dar al-Ma‟arif, 1999.

Wirdyanigsih, dkk. Bank dalam Asuransi Islam di Indonesia. (Jakarta, Kencana

Prenada Media, 2007

_________________. et,al.,2005, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta:

Kencana Prenada dan Badan Penerbit Fakultas hukum Universitas Indonesia

Zuhdi, Masjfuk. Masa‟il Fiqhiyyah. Jakarta: Toko Gunung Agung 1997.

B. Makalah/ Artikel

Perwataamadja A. Karnaen. “Bank, Asuransi dan Hukum Islam”, (Bahan Kuliah

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, semester gasal tahun ajaran

2000/2001)

Aula, Muhammad Abbas. “Pemberdayaan Umat Melalui Lembaga Wakaf”.

Anggota Dewan Pertimbangan BWI, dan Dosen Fiqh di Universitas Ibn

Khaldun Bogor.

E, Mulya Siregar. “Peran Perbankan Syari‟ah dalam Wakaf Tunai”. Makalah

disampaikan pada Seminar Sehari Wakaf Tunai Inovasi finansial Islam:

peluang dan tantangan dalam dalam mewujudkan kesejahtraan sosial,

jakarta, 10 November 2001.

ISBN 979-561-688-9. “Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Perbankan,

Peluang Bank Syari‟ah”. Media Indonesia 28 Mei 2001

166

Universitas Indonesia

Manan, Abdul. “Sistem Ekonomi Berdasarkan Syari‟ah” (Artikel dalam Suara

Udilag, Vol.3,No.IX, September 2006, Jakarta, MA-RI, 2006.

Nasution E, Musthafa, “Wakaf Tunai: Strategi untuk Mensejahterahkan dan

Melepasakan Ketergantungan Ekonomi”, Makalah Workshop Internasional

Pemberdayaan Ekonomi Ummat melalui Pengelalolaan Wakaf Produktif,

Batam: Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002

Sitompul, Zulkarnaen. “Lembaga Penjamin Simpanan Substansi dan

Permasalahan” Jakarta: Books Terrace & Marulak Perdede. “Perspektif

Perlindungan Hukum Simpanan Dana Nasabah pada Bank”, Jurnal

Hukumj Bisnis Volume 11, 2000.

C. Kamus

Munawwir, A.W. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,

Surabaya:Pustaka Progressif, Cet.Ke-14, 1997

Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Jakarta

Rajawali Pers, 2000.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Enseclopedi Islam jilid 1, Jakarta: PT Ichatiar

Baru Van Hoeve. 1994.

D. Peraturan-Peraturan

Indonesia.Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari‟ah.

________.Undang-Undang Nomor 41 tahn 2004 tentang Wakaf.

________.Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 41 tahn 2004 tentang Wakaf

Umum.

________.Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004.

________.Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Pencabutan izin

usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank

________.Undang-undang No 38, LN. No.164 tahun 1999 tentang Pengelolaan

Zakat.

________.Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang bank umum

berdasarkan prinsip syari‟ah, SK Dir. BI No. 32/34/KEP/DIR Tahun 1999,

________. Surat keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Bank Perkreditan

Rakyat Berdasarkan Prinsip syari‟ah SK Dir. BI No. 32/36/KEP/DIR tahun

1999.

________. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Bank Perkreditan

Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari‟ah, Pasal 27 huruf c.

167

Universitas Indonesia

________. Direktorat Perbankan Syari‟ah. Outlock perbankan Syari‟ah

Indonesia 2009. Direktorat Perbankan Syari‟ah, 2008.

________. Akta Pernyataan keputusan Para Pendiri BMM Nomor 121 tanggal 18

juni 2007 yang dibuat oleh Arry Supratno, SH, Notaris di Jakarta: 2007.

________. Pedoman Akuntansi Perbankan Syari‟ah Indonesia, Jakarta

Kementerian Agama. Peraturan Menteri Agama Rebublik Indonesia, Direktorat

Jenderal bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Pemberdayaan Wakaf,

Strategi Pengembangan Wakaf Tunai Di Indonesia, tahun 2013

Mahkamah agung. Kompilasi Hukum Islam Indonesia, Intruksi Presiden Nomor 1

tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Pedoman Wakaf Tunai Mu‟amalat “Petunjuk Pelaksanaan Bitul Maal Mu‟amalat

PP No. 28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik”,

E. SUMBER INTERNET:

http://hukum-islam.com/2013/03/hukum-bunga-bank-dalam-islam/. Hukum

Bunga Bank dalam Islam. diakses pada tanggal 8 juni 2014. http://aljurem.wordpress.com/2012/01/31/dasar-hukum-dan-pengertian-

perbankan-syariah. Dasar Hukum dan Pengertian Perbankan Syari‟ah.

diakses pada tanggal 2 juni 2014.

http://suhairistain.blogspot.com/2011/12/pengelolaan-wakaf-uang-di-

baitulmaal.html. Pengelolaan Wakaf Uang di Baitul maal. diakses pada tanggal 21 maret 2014.

http://bimasIslamkulonprogo.blogspot.com/2013/08/pemberdayaan-umat-melalui-

lembaga-wakaf.html. Pemberdayaan Umat melalui Lembaga Wakaf.

diakses pada 15 juni 2014.

http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=publikasi&pub_id=30, dikutip dari

Maclachan, Fiona C, Market Discipline in Bank Regulation; Panecea or

Paradox, The Independent Review VI, n Fall 2001

http://www1.lps.go.id/in/web/guest/simpanan-yang

dijamin;jsessionid=5E2FDF5C082313169E389A98FB071DAC. Simpanan

Yang dijamin Oleh Lembaga Penjamin Simpanan. diakses pada 15 juni

2014.