ulumul hadist

26
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kita ketahui bahwasanya hadist merupakan sumber sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Keberadaan hadist disamping telah mewarnai masyarakat dalam kehidupan juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik. Hadist mengandung makna dan ajaran serta memperjelas kandungan al-Qur’an dan lain sebagainya. Para peneliti dan ahli hadist telah berhasil mendokumentasikan hadist baik kepada kalangan masyarakat, akademis, penelitian hadist tersebut telah membuka peluang untuk mewujudkannya suatu kajian disiplin Islam, yaitu bidang studi Ulumul Hadist.

Transcript of ulumul hadist

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kita ketahui bahwasanya hadist merupakan sumber

sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an.

Keberadaan hadist disamping telah mewarnai masyarakat

dalam kehidupan juga telah menjadi bahasan kajian yang

menarik. Hadist mengandung makna dan ajaran serta

memperjelas kandungan al-Qur’an dan lain sebagainya.

Para peneliti dan ahli hadist telah berhasil

mendokumentasikan hadist baik kepada kalangan

masyarakat, akademis, penelitian hadist tersebut telah

membuka peluang untuk mewujudkannya suatu kajian

disiplin Islam, yaitu bidang studi Ulumul Hadist.

Maka dalam makalah ini, penulis menyajikan tentang

“Pengertian  Ulumul Hadist, Sejarah Perkembangan dan

Cabang-cabang Ilmu Hadist”, semoga makalah sederhana

ini dapat bermanfaat bagi semuanya, terutama bagi

penulis. Amin.

1.2 Rumusan Masalah

1.     Apa pengertian ulumul hadist ?

2. Bagaimana sejarah perkembangan ulumul hadist ?

3. Cabang-cabang ilmu hadist

1.3 Tujuan Penulisan

1.   Mengetahui pengertian ulumul hadist.

2. Mengetahui sejarah perkembangan ulumul hadist.

3. Mengetahui cabang-cabang ilmu hadist.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ulumul Hadist

Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits didalam

tradisi hadits. ( ‘ulum al-hadits) ‘ulum al-hadits

terdiri atas dua kata yaitu ‘ulum dan al-hadits. Kata

‘ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm

yang berarti “ilmu”, sedangkan hadits berarti: “segala

sesuatu yang taqrir atau sifat”. Dengan demikian

gabungan antara ‘ulum dan al-hadits mengandung

pengertian “Ilmu yang membahas atau yang berkaitan

dengan hadits Nabi Saw”.

Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam

tradisi ulama hadits. (Arabnya: ‘ulumul al-hadist).

‘ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum

dan Al-hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah

bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”;

sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti

“segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari

perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.” Dengan

demikian, gabungan kata ‘ulumul-hadist mengandung

pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan

Hadis nabi SAW”.

Pada mulanya, Ilmu hadist memang merupakan beberapa

ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara

tentang Hadist Nabi Saw dan para perawinya, seperti

Ilmu al-Hadist al-Shahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma

wa al-kuna, dan lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu hadist

secara parsial dilakukan, khususnya, oleh para ulama

abad ke-3 H.

Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat persial

tersebut disebut dengan Ulumul Hadist, karena masing-

masing membicarakan tentang Hadist dan para perawinya.

Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang

terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu,

serta selanjutnya, dipandang sebagai satu disiplin ilmu

yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah

digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap

dipergunakan nama Ulumul Hadist, sebagaimana halnya

sebelum disatukan. Jadi, penggunaan lafaz jamak Ulumul

Hadist, setelah mengandung makna mufrad atau tunggal,

yaitu ilmu hadist, karena telah terjadi perubahan makna

lafaz tersebut dari maknanya yang pertama – beberapa

ilmu yang terpisah – menjadi nama dari suatu disiplin

ilmu yang khusus, yang nama lainnya adalah Mushthalah

al-Hadist.

2.2 Sejarah Perkembangan Ulumul Hadist

Hadist sebagai suatu informasi, memiliki

metodoliogi untuk menentukan keotentikan periwayatannya

yang dikenal dengan Ulum al- Hadist, yang merupakan

bentuk manajemen infomasi. Hanya saja, pada masa

Rasulullah SAW sampai sebelum pembukuan Ulumul Al-

hadist istilah Ulum al-hadist, jelas belum ada. Akan

tetapi prinsip-prinsip yang telah berlaku pada masa itu

sebagai acuan untuk menyikapi suatu informasi yang

telah ada.

Pada dasarnya ulumul hadist telah lahir sejak

dimulainya periwayatan hadist di dalam Islam, terutama

setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan perlunya

menghimpun hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya

kekhawatiran hadist-hadist tersebut akan hilang atau

lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan

dan periwayatan hadist.mereka telah mulai mempergunakan

kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu ddalam

menerima hadist, namun mereka belumlah menuliskan

kaidah-kaidah tersebut.

Dasar dan landasan periwayatan hadist di dalam

Islam dijumpai di dalam Al-Qur’an dan hadist Rasul SAW.

Di dalam surah al-Hujurat ayat 6, Allah SWT

memerintahkan orang-orang yang beriman untuk meneliti

dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari

orang-orang yang fasik yang artinya :

“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang

fasik membawa suatu berita maka periksalah berita

tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan

musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan

( yang sebenarnya) yang menyebabkan kamu menyesal atas

perbuatanmu” (QS. Al-Hujurat [49] : 6)

          Di samping itu, Rasul Saw juga mendorong

serta menganjurkan para sahabat ddan yang lainnya yang

mendengar atau menerima hadist-hadist beliau untuk

menyampaikan atau meriwayatkannya kepada mereka yang

tidak mendengar atau mengetahuinya. Di dalam sebuah

hadistnya Rasul Saw bersabda yang artinya :

“(Semoga) Allah membaguskan rupa seseorang yang

mendengar dari kami sesuatu (hadist), lantas dia

menyampaikannya (hadist tersebut) sebagaimana dia

dengar, kadang-kadang orang yang menyampaikan lebih

hafal daripada orang yang mendengar”. (HR. Al-Tirmidzi)

          Apabila dicermati sikap dan aktifitas para

sahabat terhadap hadist Nabi Saw dan periwayatannya,

maka dapat disimpulkan beberapa ketentuan umum yang

diberlakukan dan dipatuhi oleh para sahabat, yaitu :

1.      Penyelidikan periwayatan hadist (taqlil al-

riwayat) dan pembatasannya untuk hal-hal yang

diperlukan saja. Sikap ini dilaksanakan terutama dalam

rangka memelihara kemurnian hadist dari kekeliruan dan

kesalahan. Sebagaimana sabda Rasul SAW yang artinya:

“Siapa yang berbohong atas namaku dengan sengaja, maka

ia telah menyediakan tempatnya di dalam neraka”.

          Selain itu, alasan lain dan bahkan lebih

penting adalah pemeliharaan agar jangan terjadi

pencampurbauran antara hadist dengan Al-Qur’an, karena

Al-Qur’an pada masa itu, terutama pada masa Abu Bakar

dan ‘Umar, belum dikodifikasi secara resmi.

2.      Ketelitian dalam periwayatan, baik ketika

menerima atau menyampaikan riwayat.

3.      Kritik terhadap matan hadist (naqd al-riwayat).

Kritik terhadap matan hadist ini dilakukan oleh para

sahabat dengan cara membandingkannya dengan nash Al-

Qur’an atau kaidah-kaidah dasar agama. Apabila terdapat

pertentangan dengan nash Al-Qur’an, maka sahabat

menolak dan meninggalkan riwayat tersebut.[5]

Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat diikuti

pula oleh para ulama hadist yang datang sesudah mereka,

dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama

setelah munculnya hadist-hadist palsu, yaitu sekitar

tahun 41 H, setelah masa pemerintahan Khalifah Ali ra.

Semenjak saat itu mulailah dilakukan penelitian

terhadap sanad hadist dengan mempraktikan ilmu al-

Jarrah wa al-Ta’dil, dan sekaligus mulai pulalah al-

Jarrah wa al-Ta’dil ini tumbuh dan berkembang.

          Setelah munculnya kegiatan pemalsuaan hadist

dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, maka

beberapa akktifitas tertentu dilakukan oleh para ulama

hadist dalam rangka memelihara kemurnian hadist, yaitu

seperti :

1.      Melakukan pembahasan terhadap sanad hadist

serta penelitian terhadap keadaan setiap para perawi

hadist, hal yang sebelumnya belum pernah mereka

lakukan.

2.      Melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari

sumber hadist agar dapat mendengar langsung dari perawi

asalnya dan meneliti kebenaran riwayat tersebut.

3.      Melakukan perbandingan antara riwayat seorang

perawi dengan riwayat perawi lain yang lebih tsiqat dan

terpercaya dalam rangka untuk mengetahui ke-dha’if-an

atau kepalsuan suatu hadist. Hal tersebut dilakukan

apabila ditemukan suatu hadist yang kandungan maknanya

ganjil dan bertentangan dengan akal atau dengan

ketentuan dasar agama secara umum. Apabila telah

dilakukan perbandingan dan terjadi pertentangan antara

riwayat perawi itu dengan riwayat perawi yang lebih

tsiqat dan terpercaya, maka para ulama hadist umumnya

bersikap meninggalkan dan menolak riwayat tersebut,

yaitu riwayat dari perawi yang lebih lemah itu.

Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan

secara resmi atas prakarsa Khalifah ‘Umar bin Abdul

Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab

al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan

membukukan hadist tersebut menerapkan ketentuan-

ketentuan ilmu hadist yang sudah ada dan berkembang

sampai pada masa mereka. Mereka memperhatikan

ketentuan-ketentuan hadist Shahih, demikian juga

keadaan para perawinya. Hal ini terutama karena telah

menjadi perubahan yang besar didalam kehidupan umat

Islam, yaitu para penghapal hadist sudah mulai

berkurang dan kualitas serta tingkat kekuatan hapalan

terhadap hadist pun sudah semakin menurun karena telah

menjadi percampuran dan akulturasi antara masyarakat

Arab dengan non-Arab menyusul perkembangan dan

perluasan daerah kekuasaan Islam. Kondisi yang demikian

memaksa para ulama hadist untuk semakin berhati-hati

dalam menerima dan menyampaikan riwayat, dan mereka pun

telah merumuskan kaidah-kaidah dalam menentukan

kualitas dan macam-macam hadist. Hanya saja pada masa

ini kaidah-kaidah tersebut masih bersifat rumusan yang

tidak tertulis dan hanya disepakati dan diingat oleh

para ulama hadist di dalam hati mereka masing-masing,

namun mereka telah menerapkannya ketika melakukan

kegiatan perhimpunan dan pembukuan hadist.

Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan

dalam sejarah perkembangan hadist, mulailah ketentuan-

ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah hadist ditulis dan

dibukukan, namun masih bersifat parsial. Yahya bin

Ma’in (w. 234 H/848 M) menulis tentang tarikh al-Rijal,

(sejarah dan riwayat para perawi hadist), Muhammad bin

Sa’ad (w. 230 H/844 M) menulis al-Thabaqat (tingkatan

para perawi hadist ), Ahmad bin Hanbal (241 H/855 M)

menulis al-An’Ilal (beberapa ketentuan tentang cacat

atau kelemahan suatu hadist atau perawinya), dan lain-

lain.

Pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah mulailah ditulis secara

khusus kitab-kitab yang membahas tentang ilmu hadist

yang bersifat komprehensif, seperti kitab al-Muhaddits

al Fashil byn al-Rawi wa al-Wa’i oleh al-Qadhi Abu

Muhammad al-Hasan ibn ‘Abd al-Rahman ibn al-Khallad al-

Ramuharmuzi (w.360 H/971 M), Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist

oleh Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Hakim

al-Naisaburi (w.405 H/1014 M), al-Mustakhraj ‘ala

Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist oleh Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd

Allah al-Ashbahani (w.430 H/1038 M), al-Kifayah fi

‘Ulum al-Riwayah oleh Abu Bakar Muhammad ibn ‘Ali ibn

Tsabit al-Khathib al-Baghdadi (w.463 H/1071 M), al-

Jami’ li Akhlaq wa adab al-Sami’ oleh al-Baghdadi (463

H/1071 M). dan lain-lain.

Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-

karya di bidang ilmu hadist ini, yang sampai saat

sekarang masih menjadi referensi utama dalam

membicarakan ilmu hadist, yang di antaranya adalah:

‘Ulum al-Hadist oleh Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-

Rahman yang lebih dikenal dengan Ibn al-Shalah (w.643

H/ 1245 M), Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawaei

oleh Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-

Suyuthi (w.911 H/ 1505 M).

2.3 Cabang-cabang Ilmu Hadist

Adapun cabang-cabang dari ilmu hadist yaitu:

a.      Ilmu Rijal al-Hadits

م عدا ه� ن ب�� ا وم� ن� عي� ا ب�� وال�ت� ة� ا ب�� ح ن ال�ص م� ي#�ث! د ح ن رواة� ال� ة ع� ي� ث! ف�� ح ب� لم ي�1 ع�

“Ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari

sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan-angkatan

sesudahnya.”

b.      Ilmu Jarh wa at-ta’dil

اظ5 ف� ل� ك> الأ9 ل ن مرا ي��ث� ت�� وع� وصة� ص خ� م� اظ5 ف� ا ل� لهم ت�� عدت�1 واة� وب�� رح ال�ر ن ج�� ة ع� ي� ث! ف�� ح ب� لم ي�1 ع�

“ Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang

dihadapkan para perawi dan tentang penta’dilannya

(memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata

yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata

itu.”

c.       Ilmu Fann al-Mubhamat

د ت� ى ال�س اوف� ن مت� ى ال� ع ف� ى وق�� د� هم ال� مب� ة ال� عرف� ب�� لم ب�� ع�

“Ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak

disebut di dalam matan atau di dalam sanad.”

d.      Ilmu Tashhif wa at-Tahrif

ها ب� ف� م� ر ا ج� وم� ي#�ث! اد ن الأح� ف� م� ح ا ص� ة م� عرف� ب�� لم ب�� ع�

”Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah diubah

titiknya (yang dinamai Mushahaf) dan bentuknya yang

dinamai Muharraf.”

e.      Ilmu ‘Ilal al-Hadits

ي#�ث! د ح ال� ة� ح ى ص� ف� ة� ادج� ح�� ة� ي� ف� خ�� ة� ض� ا م� ا ب� ع�� ت� ن اس� ة ع� ي� ث! ف�� ح ب� لم ي�1 ع�

“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi,

tidak nyata, yang dapat merusak hadits.”

f.       Ilmu Gharib al-Hadits

ة� ض ا ل� ح� ال� ة� ي� �nي عر ا ل� م ت�� هده� عد ع� ن ب�� ي�� د� ال� ا ن ن اد� ه� ع� ة� ي� �nي ال�عر اظ5 ف� ن الأ ل� م� ي#�ث! اد الأح� ون ت� ى م� ع ف� ا وق�� ى م� عن� ة م� عرف� ب�� لم ب�� ع�

”Ilmu yang menerangkan makna kalimat-kalimat yang

terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui

maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum.”

g.      Ilmu Nasikh wa al-Mansukh

ي#�ث! ا د ن الأ ح� م� سوح� من� خ� وال� ا س� ال�ت� ن ة ع� ي� ث! ف�� ح ب� لم ي�1 ع�

“ Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah di

mansuhkan dan yang menashihkannya.”

h.      Ilmu Asbab Wurud al-Hadits

ة ي� اء ف�� ى ح�� د� ا ن ال� م� ي#�ث! وال�ر� د ح لة ال� ى ورد لأح�� د� ث� ال� ب� ة ال�س عرف� ب�� لم ب�� ع�

“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi menuturkan

sabdanya dan masa-masanya nabi menuturkan itu.”

i.        Ilmu Talfiq al-Hadits

را ا ه� ظ�5 ة� ض� ا ق�� ن� مت� ال� ي#�ث! اد ن الأح� ت1 ب�� ق� ت� وف�� ال�ت� ن ة ع� ي� ث! ف�� ح ب� لم ي�1 ع�

“Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antara

hadits-hadits yang berlawanan zhahirnya.”

j.        Ilmu Musthalah Ahli Hadits

هم ب� ت1 ما ب�� ي� وة ف�� عارف� ون وب�� دث�! مح ة ال� لي� لخ ع� ط ا اص� م ة ع� ي� ث! ف�� ح ب� لم ي�1 ع�

“Ilmu yang menerangkan pengertian-pengertian (istilah-

istilah yang dipakai oleh ahli-ahli hadits)”

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits didalam

tradisi hadits. (‘ulum al-hadits) ‘ulum al-hadits

terdiri atas dua kata yaitu ‘ulum dan al-hadits. Kata

‘ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm

yang berarti “ilmu”, sedangkan hadits berarti: “segala

sesuatu yang taqrir atau sifat”. Dengan demikian

gabungan antara ‘ulum dan al-hadits mengandung

pengertian “Ilmu yang membahas atau yang berkaitan

dengan hadits Nabi Saw”.

Pada dasarnya ulumul hadist telah lahir sejak

dimulainya periwayatan hadist di dalam Islam, terutama

setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan perlunya

menghimpun hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya

kekhawatiran hadist-hadist tersebut akan hilang atau

lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan

dan periwayatan hadist.mereka telah mulai mempergunakan

kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu ddalam

menerima hadist, namun mereka belumlah menuliskan

kaidah-kaidah tersebut.

Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan

secara resmi atas prakarsa Khalifah ‘Umar bin Abdul

Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab

al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan

membukukan hadist tersebut menerapkan ketentuan-

ketentuan ilmu hadist yang sudah ada dan berkembang

sampai pada masa mereka.

Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan

dalam sejarah perkembangan hadist, mulailah ketentuan-

ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah hadist ditulis dan

dibukukan, namun masih bersifat parsial. Pada abad ke-4

dan ke-5 Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-

kitab yang membahas tentang ilmu hadist yang bersifat

komprehensif.

Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-

karya di bidang ilmu hadist ini, yang sampai saat

sekarang masih menjadi referensi utama dalam

membicarakan ilmu hadist.

.

3.2  Saran

Semoga sebagai muslim kita dapat terus mengamalkan

Al-Qur’an dan Hadist. Sehingga Rahmat Allah selalu

menyertai kita semua. Sekian makalah dari kami, kami

menyadari banyaknya kekurangan pada  makalah ini. Oleh

karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi

perbaikan makalah ini. Semoga isi dari makalah ini

dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya untuk

penulis. Amiinn.