TUGAS PSIKOLOGI INTELEGENSI ALAT TES INTELEGENSI

22
TUGAS PSIKOLOGI INTELEGENSI ALAT TES INTELEGENSI DOSEN : FEBI HERDAJANI, S.Psi., M.Si., Psi Disusun Oleh : Ratih Budi Lestari (1924070009) FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PERSADA INDONESIA Y.A.I TAHUN 2020

Transcript of TUGAS PSIKOLOGI INTELEGENSI ALAT TES INTELEGENSI

TUGAS PSIKOLOGI INTELEGENSI

ALAT TES INTELEGENSI

DOSEN : FEBI HERDAJANI, S.Psi., M.Si., Psi

Disusun Oleh :

Ratih Budi Lestari (1924070009)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PERSADA INDONESIA Y.A.I

TAHUN 2020

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Istilah inteligensi sangat akrab dalam dunia pendidikan dan pembelajaran. Hal ini

disebabkan karena pendidikan dihadapkan pada anak-anak dengan berbagai kemampuan

inteligensi. Pendidik harus memahami keragaman inteligensi anak didik. Pemahaman keragaman

diperlukan untuk dapat memberikan layanan yang tepat untuk mencapai tujuan pendidikan.

Manusia dapat mempertahakan kelangsungan hidup dan mengembangkan diri karena

mempunyai sejumlah kemampuan. Menurut Sukmadinata (2003 : 92), kemampuan atau

kecakapan dapat dibagi menjadi dua. Pertama, kecakapan potensial (potential ability) atau

kapasitas (capacity). Kecakapan potensial merupakan kecakapan yang masih tersembunyi, belum

termanifestasikan dan dibawa darikelahirannya. Kecakapan ini dapat dibagi menjadi dua yaitu

inteligensi (intelligence) dan bakat (aptitude).

Inteligensi merupakan kapasitas umum, sedang bakat merupakan kapasitas khusus. prestasi

(achievement). Kecakapan nyata merupakan kecakapan yang sudah terbuka, termanifestasikan

dalam berbagai aspek kehidupan dan perilaku. Kecakapan ini berpangkal pada kecakapan

potensial. Kecakapan terbentuk karena pengaruh lingkungan.

Inteligensi merupakan salah satu kemampuan manusia. Kemampuan inteligensi bersifat

potensial dan merupakan kecakapan umum. Kecakapan ini dapat terwujud menjadi kecakapan

nyata karena bantuan lingkungan. Karena keunikannya Meski inteligensi sangat penting dalam

pendidikan, rentang pemahaman mengenai konsep ini sangat bervariasi. Akibatnya timbul

perdebatan konsep inteligensi dalam pelaksanaan pendidikan.

Intelegensi adalah ukuran bagaimana individu berperilaku. Kecerdasan diukur melalui

perilaku individu, interaksi dan hasil antarpribadi. Kecerdasan dapat didefinisikan sebagai

kemampuan untuk berpikir secara abstrak, kemampuan untuk berpikir, memahami dan berpikir,

kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan keseluruhan kemampuan individu untuk

bertindak secara sengaja dan rasional dalam suatu lingkungan. Tulisan ini membuat kajian

teoritik mengenai inteligensi, khususnya inteligensi sebagai kemampuan intelektual.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Permasalahan yang dibahas dalam Penelitian ini adalah :

1. Bagaimana konsep inteligensi?

2. Bagaimana perkembangan teori inteligensi?

3. Bagaimana melakukan pengukuran inteligensi & jenis alat tesnya?

1. TUJUAN PENELITIAN

Laporan ini disusun dengan tujuan :

1. Dapat memberikan gambaran tentang konsep Intelegensi

2. Dapat memberikan masukan yang tepat tentang alat ukur intelegensi secara tepat.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

Laporan ini diharapkan mampu memberikan manfaat dapat menambah wawasan dan menjadi

pertimbangan bagi seluruh pihak dalam mempelajari intelegensi dan alat testnya di masa yang

akan datang

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Intelegensi

Pengertian tentang inteligensi belum disepakati oleh para ahli. Konsensus mengenai

arti inteligensi hampir tidak mungkin. Tahun 1921 diadakan simposium tentang inteligensi

yang dilaporkan dalam Journal of Educational Psychology. Dari 12 orang psikolog yang

diminta pandangannya, terdapat 12 pandangan yang berbeda (Woolfolk dan Nicolich, 1984).

Dalam hal definisi, terdapat banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli dengan

beberapa variasi perbedaan.

Definisi Thornburg, Freeman dan Robinson & Robinson mempunyai banyak

kesamaan. Menurut Thornburg (1984), inteligensi adalah ukuran bagaimana individu

berperilaku. Inteligensi diukur dengan perilaku individu, interaksi interpersonal dan prestasi.

Inteligensi dapat didefinisikan dengan beragam cara yaitu :

1. kemampuan berpikir abstrak

2. kemampuan mempertimbangkan, memahami dan menalar

3. kemampuan beradaptasi dengan lingkungan

4. kemampuan total individu untuk bertindak dengan sengaja dan secara rasional dalam

lingkungan.

Menurut Freeman (Abror, 1993), inteligensi mempunyai pengertian: 1) inteligensi adalah

adaptasi atau penyesuaian individu dengan keseluruhan lingkungan, 2) inteligensi adalah

kemampuan untuk belajar, dan 3) inteligensi adalah kemampuan berpikir abstrak.

Robinson dan Robinson (Woolfolk dan Nicolich,1984), mendefinisikan inteligensi

didefinisikan sebagai: 1)kapasitas untuk belajar; 2) total pengetahuan yang dicapai seseorang;

dan 3) kemampuan beradaptasi secara sukses dengan situasi baru dan lingkungan pada

umumnya.

Winkel dan Suryabrata membuat pengelompokkan definisi dengan cara yang berbeda.

Menurut Winkel (1996), inteligensi dapat diberikan pengertian luas dan sempit. Dalam arti

luas, inteligensi adalah kemampuan mencapai prestasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Sedang dalam arti sempit, inteligensi adalah kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah.

Inteligensi dalam pengertian sempit mempunyai pengertian yang sama dengan kemampuan

intelektual atau kemampuan akademik.

Suryabrata (2002) mengelompokkan beragam definisi menjadi 5 (lima) kelompok,

yaitu: 1) Konsepsi yang bersifat spekulatif. Konsepsi ini memandang inteligensi sebagai taraf

umum dari sejumlah besar daya khusus; 2) Konsepsi yang bersifat pragmatis. Menurut

konsepsi ini, inteligensi adalah apa yang dites oleh tes inteligensi (intelligence is what the

tests test); 3) Konsepsi yang didasarkan pada analisis faktor.

Menurut konsepsi ini, penyelidikan dan pencarian sifat hakikat inteligensi harus

mempergunakan teknik analisis faktor; 4) Konsepsi yang bersifat operasional. Menurut

konsepsi ini, faktor-faktor yang mendukung sifat dan hakikat inteligensi sudah diketahui.

Pengujian dimaksudkan untuk mencari letak faktor; 5) Konsepsi yang didasarkan pada

analisis fungsional. Menurut konsepsi ini, sifat dan hakikat inteligensi disusun berdasarkan

bagaimana berfungsinya inteligensi.

2.2 Inteligensi : Hubungannya Dengan Bakat, Kreativitas, Dan Prestasi

Dalam diri manusia terdapat tiga kemampuan yang berhubungan yaitu inteligensi,

bakat dan kreativitas. Inteligensi merupakan kemampuan potensial umum (general potential

ability). Bakat merupakan kemampuan potensial khusus (specific potential ability). Sedang

kreativitas berhubungan dengan kemampuan dan pola mendekati masalah dengan cara yang

berbeda.

Inteligensi berhubungan dengan bakat. Anak yang berbakat adalah anak yang sangat

cerdas atau mempunyai inteligensi yang sangat tinggi. Kemampuan intelektual menjadi salah

satu ukuran keberbakatan. Menurut Semiawan (1997), satu persen dari populasi total

penduduk Indonesia yang rentangan IQ 137 ke atas merupakan manusia berbakat tinggi

(highly gifted), sedang mereka yang rentang IQ berkisar antara 120 –137 merupakan berbakat

sedang (moderately gifted). Mereka mempunyai keberbakatan intelektual (academic talented).

Bakat berhubungan dengan kreativitas. Kreativitas telah menjadi dimensi baru untuk

mengidentifikasi keberbakatan. Keberbakatan selain mencakup kemampuan intelektual tinggi

juga menunjuk pada kemampuan kreatif. Bakat dalam pengertian baru mengandung

dimensikreatif. Menurut Clark, kreativitas merupakan ekspresi tertinggi dari keberbakatan

(Semiawan,1997).

Inteligensi sering dihubungkan kreativitas. Orang yang mempunyai IQ tinggi belum

tentu kreatif, tapi orang kreatif pasti mempunyai IQ tinggi. Oleh karenanya apabila tes

inteligensi digunakan untuk mengidentifikasi anak berbakat, sekitar 70% anak yang

kreativitasnya tinggi ditinggalkan (Morse dan Wingo, 1970:262). Hal itu disebabkan karena

kreativitas berhubungan dengan IQ tapi tes IQ tidak secara langsung mengukur kreativitas

(Good dan Brophy, 1990).

Terman (Guilford, 1971) menunjukkan bukti bahwa tes inteligensi tidak mampu

mendiskriminasikan kreativitas. Dia melakukan penelitian atas tujuh orang anak yang pandai

dan tujuh orang anak yang bodoh. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa anak yang

mempunyai IQ tinggi dapat memperoleh hasil yang tinggi atau rendah dalam tes produksi

divergen. Dengan dasar ini maka kemampuan produksi divergen telah keluar dari domain tes

dan konsep inteligensi. Oleh karenanya, kreativitas sebagai salah satu dimensi keberbakatan

harus dicari di luar batasan IQ. Banyak ahli sepakat bahwa inteligensi berhubungan dengan

prestasi. Oleh karenanya variasi dalam prestasi dapat diramalkan berdasarkan variasi dalam

inteligensi.

Menurut Barrett dan Depinet (Atkinson, Atkinson, Smith dan Bem, t.th: 167), nilai tes

inteligensi sangat berkorelasi dengan berbagai parameter prestasi akademik (nilai,

kelangsungan di sekolah, kemungkinan lulus, dan sebagainya). Anak yang mencapai nilai

lebih tinggi pada tes seperti Stanford-Binet dan Wechler Intelligence Scale mendapatkan nilai

yang lebih baik, lebih menikmati sekolah, lebih mampu mengikuti pelajaran di sekolah, dan

dalam kehidupan selanjutnya cenderung mendapatkan keberhasilan kerja yang lebih besar.

Walaupun inteligensi berhubungan dengan prestasi, inteligensi hanya salah satu faktor

yang menentukan prestasi. Faktor inteligensi akan dapat meramalkan lebih baik prestasi

apabila dilakukan bersama faktor lain. Menurut Purwanto (2003:59), inteligensi memberi

kemungkinan untuk berkembang. Kemungkinan dapat direalisasikan tergantung pula kepada

pribadi dan kesempatan yang ada.

2.3 Perkembangan Teori Inteligensi

Beberapa ahli mencoba memberikan penjelasan teoritik mengenai inteligensi.

Beberapa di antara mereka adalah Lewis Terman, Charles Spearman, Sternberg, Louis L

Thurstone, JP Guilford dan Howard Gardner. Teori-teori mereka dapat dijelaskan sebagai

berikut.

1) Lewis Terman (1900)

Terman melanjutkan kerja yang dilakukan oleh Binet dalam melakukan pengukuran

inteligensi dengan mempertahankan konsep Binet mengenai usia mental. Menurut Terman,

inteligensi merupakan satu kemampuan tunggal yang disebut usia mental (mental age). Usia

mental adalah kemampuan yang seharusnya dimiliki rata-rata anak pada usia tertentu. Dia

mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk berpikir abstrak (Winkel, 1996:139).

Dia yakin bahwa inteligensi merupakan faktor tunggal yang merupakan kemampuan individu

dalam verbalisasi dan berpikir abstrak.

Menurut Thornburg (1984:179), inteligensi merupakan monogenetik karena didasarkan pada

faktor umum tunggal (general, disingkat g) yang diwarisi. Di samping usia mental, dikenal

pula konsep usia kronologis (chronological age). Usia kronologis adalah usia anak menurut

perhitungan kalender. Ukuran inteligensi (intelligence quotient) merupakan rasio

perbandingan antara usia mental dengan usia kronologis.

2) Charles Spearman (1927)

Menurut Spearman, inteligensi bukanlah kemampuan tunggal, melainkan terdiri dari dua

faktor, sehingga teorinya dikenal sebagai teori inteligensi dwifaktor atau bifaktor.

Kecerdasan dapat dibagi menjadi dua yaitu kecerdasan umum (general ability) dan

kecerdasan khusus (specific ability), sehingga inteligensi mempunyai dua faktor. Dua faktor

itu adalah faktor yang bersifat umum (general factor, disingkat g) dan yang bersifat khusus

(specific factor, disingkat s). Faktor umum mendasari semua tingkah laku, sedang factor

khusus hanya mendasari tingkah laku tertentu.

Menurut Suryabrata (2002:128), faktor umum bergantung kepada keturunan dan faktor

khusus bergantung kepada pengalaman (lingkungan, pendidikan). Setiap masalah dipecahkan

menggunakan kombinasi antara inteligensi umum dan spesifik. Menurut Winkel (1996:139),

inteligensi adalah hasil perpaduan antara faktor umum dan sejumlah faktor khusus.

Perpaduan faktor g dan s bersifat unik untuk setiap orang, sehingga ada perbedaan individu

satu sama lain. Menurut Spearman (Atkinson, Atkinson, Smith dan Bem, 1974), semua

individu memiliki faktor inteligensi umum (g) dalam jumlah yang bervariasi. Seseorang

dapat dikatakan secara umum cerdas atau bodoh tergantung pada jumlah g yang ia miliki.

Faktor g merupakan determinan utama kemampuan mengerjakan soal tes inteligensi.

3) Sternberg (1931)

Menurut Sternberg inteligensi mempunyai tiga bagian sehingga teorinya dikenal dengan teori

inteligensi triarkhis. Tiga bagian inteligensi itu adalah konseptual, kreatif dan kontekstual

(Good dan Brophy, 1990: 597). Pertama, konseptual adalah komponen pemrosesan informasi

yang digunakan dalam inteligensi. Menurut Winkel (1996), bagian konseptual mempunyai

tiga fungsi yaitu komponen pengatur dan pengontrol (metacomponent atau metacognition),

komponen pelaksanaan (performance) dan komponen untuk memperoleh informasi baru

(knowledge acquisition). Kedua, kreatif merupakan kemampuan seseorang untuk

menghadapi tantangan baru secara efektif dan mencapai taraf kemahiran dalam berpikir

sehingga mudah berhasil mengatasi segala permasalahan yang muncul. Ketiga, kontekstual

adalah kemampuan untuk menempatkan diri dalam lingkungan yang memungkinkan akan

berhasil, menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengadakan perubahan terhadap

lingkungan bila perlu, misalnya memilih kasus, menyesuaikan dengan lingkungan kerja baru

dan kelincahan pergaulan sosial.

4) Louis L Thurstone (1938)

Thurstone memandang inteligensi bersifat multifaktor. Faktor-faktor yang membentuk

inteligensi adalah faktor umum (common factors, disingkat c) dan faktor khusus (specific

factors). Faktor umum terdiri dari tujuh faktor yang membentuk perilaku tertentu yang

bersifat umum. Faktor khusus adalah faktor-faktor yang mendasari perilaku yang bersifat

khusus. Menurut Suryabrata (2002:129), tingkah laku dibentuk oleh dua faktor yaitu faktor

umum (c) dan faktor khusus (s). Faktor c sebanyak tujuh macam, sedang factor s sebanyak

tingkah laku khusus yang dilakukan oleh manusia yang bersangkutan. Menurut Thurstone,

tidak ada faktor g seperti dalam teori Spearman. Kemampuan umum bukanlah faktor g

melainkan kombinasi factor-faktor c. Faktor c adalah kemampuan mental utama (primary

mental abilities) yang merupakan kombinasi dari tujuh faktor umum. Oleh karenanya teori

Thurstone kadang dikenal sebagai teori kemampuan mental utama (primary mental abilities

theory). Menurut Anastasi dan Urbina (1997) faktor meliputi: (1) penalaran verbal (verbal

comphrehension, disingkat V), kelancaran kata (word fluency, disingkat W), angka (number,

disingkat N), ruang (space, disingkat S), memori asosiatif (associative memory, disingkat M),

kecepatan perseptual (perceptual speed, disingkat P), dan induksi atau penalaran umum

(general reasoning, disingkat R).

5) JP Guilford (1967)

Menurut Guilford, faktor yang membentuk inteligensi bukan hanya satu faktor (Terman), dua

faktor (Spearman), tiga faktor (Sternberg) atau tujuh faktor (Thurstone), melainkan 120

faktor. Berdasarkan analisis faktor, Guilford mengusulkan model berbentuk kubus yang

disebut model struktur intelektual dengan 120 faktor.

Sejumlah 120 faktor itu merupakan kombinasi dari tiga dimensi. Ketiga dimensi inteligensi

itu adalah dimensi operasi/proses, dimensi isi/materi/ konten, dan dimensi hasil/produk

(Guilford, 1971).

Operasi mempunyai lima faktor yaitu kognisi, memori, berpikir konvergen, berpikir divergen

dan evaluasi. Konten mempunyai empat faktor yaitu figural, simbolik, semantik dan perilaku.

Sedang produk mempunyai enam factor yaitu unit, kelas, hubungan, sistem, transformasi dan

implikasi. Secara keseluruhan inteligensi mempunyai 5 x 4 x 6 = 120 faktor.

6) Howard Gardner (1983)

Menurut Gardner, inteligensi bukanlah satu kemampuan sebagaimana disampaikan oleh

Terman, Spearman, Sternberg, Thurstone, dan Guilford. Inteligensi merupakan kemampuan

ganda (multiple intelligence). Kemampuan ganda dalam konsep inteligensi menurut Gardner,

terdiri dari sembilan kemampuan (Suparno, 2004: 19). Kesembilan kemampuan itu adalah (1)

linguistik, (2) matematis – logis, (3) ruang, (4) kinestetik – badani, (5) musikal, (6)

interpersonal, (7) intrapersonal, (8) lingkungan / naturalis, dan (9) eksistensial.

Masing-masing kemampuan dalam inteligensi menurut Gardner bersifat independen. Gardner

(Good dan Brophy, 1990) menyatakan bahwa inteligensi bukanlah tunggal tetapi jamak, yang

masing-masing penting untuk bidangnya dan independen satu sama lain. Tiap-tiap

kemampuan bersifat independen. Menurut Atkinson, Atkinson, Smith dan Bem (2003), tiap

inteligensi merupakan “modul terbungkus” di dalam otak yang bekerja menurut aturan dan

prosedurnya sendiri. Cedera otak tertentu dapat mengganggu salah satu jenis inteligensi dan

tidak memiliki pengaruh pada inteligensi lain. Independensi kemampuan-kemampuan juga

dijelaskan oleh Winkel (1996:140). Menurutnya, independensi kemampuan didasarkan

adanya bukti: (1) kerusakan otak pada bagian tertentu tidak mengakibatkan gangguan pada

bagian lain, (2) orang sering menyolok pada suatu inteligensi tapi tidak pada inteligensi yang

lain.

2.4 Pengukuran Inteligensi

Pengukuran inteligensi adalah prosedur pengukuran yang meminta peserta untuk

menunjukkan penampilan maksimum, sehingga pengukuran inteligensi dilakukan

menggunakan tes yang dikenal dengan tes inteligensi. Tes inteligensi awalnya dikembangkan

oleh Sir Francis Galton. Dia tertarik dengan perbedaan individu dari teori evolusi Charles

Darwin.

Dilihat dari segi pelaksanaannya tes inteligensi dapat dibedakan menjadi dua macam

yaitu tes individual dan kelompok. Termasuk dalam tes individual adalah skala Stanford-Binet

dan Wechler. Tes kelompok diberikan kepada sejumlah siswa dengan jawaban tertulis. Tes ini

pertama kali digunakan di Amerika Serikat selama Perang Dunia I berupa Army Alpha Test

dan Army Beta Test.

Army Alpha Test & Army Beta Test

Army Alpha Test digunakan untuk menyeleksi calon prajurit yang dapat membaca,

menulis dan berbahasa Inggris. Army Beta Test digunakan untuk menyeleksi calon

prajurit yang buta hurufdan tidak bisa berbahasa Inggris (Abror, 1993).

Inteligensi diramalkan berhubungan dengan prestasi, baik dalam kehidupan maupun di

sekolah. Oleh karenanya prestasi yang hendak diramalkan oleh tes inteligensi dapat bersifat

umum dan khusus. Prestasi umum adalah keberhasilan hidup secara umum. Secara khusus

prestasi adalah prestasi dalam bidang tertentu di sekolah, misalnya matematika, bahasa, dan

sebagainya. Oleh karenanya Winkel (1996) membagi tes inteligensi menjadi tes inteligensi

umum (general ability test) dan tes inteligensi khusus (specific ability test).

Tes inteligensi umum terdiri dari butir soal dalam berbagai bidang penggunaan seperti

bahasa, bilangan, ruang, dan sebagainya. Tes inteligensi khusus mengarah untuk menyelidiki

siswa yang mempunyai bakat khusus dalam bidang studi tertentu seperti bahasa, matematika,

dan sebagainya. Tes-tes inteligensi biasanya mengacu pada konsep inteligensi sebagai

inteligensi umum. Terdapat bermacam-macam tes inteligensi yang dapat digunakan, di

antaranya tes Stanford-Binet dan Wechler.

Tes Stanford-Binet & Wechler

Tes pertama yang merupakan tes inteligensi moderen dikembangkan oleh ahli psikologi

Perancis Alfred Binet pada tahun 1881. Pada saat itu pemerintah Perancis mengeluarkan

Undang-undang yang mewajibkan semua anak masuk sekolah. Pemerintah meminta Binet

untuk membuat tes guna mendeteksi anak-anak yang terlambat intelektualnya (Atkinson,

Atkinson, Smith dan Bem, t.th: 152). Tes-tes inteligensi kemudian banyak mengacu pada tes

yang telah dikembangkan oleh Binet.

Tes inteligensi Binet mengalami beberapa kali revisi. Revisi terakhir adalah revisi yang

dikerjakan bersama Terman dari Universitas Stanford yang dikenal dengan tes inteligensi

Stanford-Binet. Tes terdiri dari 17 subtes yang dikelompokkan dalam empat area teoritik yaitu

penalaran verbal, penalaran kuantitatif, penalaran abstrak-visual, dan ingatan jangka pendek

(Good dan Brophy, 1990: 588). Wechler menyusun tes inteligensi karena beberapa kelemahan

yang terdapat pada tes intelegensi Stanford-Binet. Kelemahan itu: 1) Tes Stanford-Binet tidak

dapat digunakan untuk mengukur inteligensi orang dewasa; 2) Tes Stanford-Binet terlalu

tergantung pada kemampuan bahasa (Atkinson, Atkinson, Smith dan Bem, t.th: 157).

Tes Wechler

Wechler menyusun tiga tes inteligensi yaitu 1) the Wechler Preschool and Primary Scale

of Intelligence (WPPI). Tes ini digunakan untuk mengukur inteligensi anak prasekolah atau

pada umur 4 – 5 tahun, 2) the Wechler Intelligence Scale for Children (WISC). Tes ini

digunakan untuk mengukur inteligensi anak-anak umur 5 – 15 tahun, dan 3) the Wechler

Adult Intelligence Scale (WAIS). Tes ini digunakan untuk orang dewasa di atas umur 15

tahun. Menurut Abror (1993: 56), skala Wechler dibagi menjadi dua kelompok subtes yaitu

tes verbal dan tes perbuatan (performance). Tes verbal terdiri dari enam macam yaitu tes

informasi, tes pemahaman umum, tes penalaran berhitung, tes analogi, tes lamanya mengingat

angka, dan tes perbendaharaan kata sebanyak 40 buah kata yang disusun menurut urutan

kesulitan. Tes perbuatan terdiri dari lima macam yaitu tes simbol-angka yang meminta subjek

untuk menjodohkan simbol dengan angka, tes menyempurnakan gambar, tes potongan balok,

tes menyusun gambar, dan tes pemasangan objek.

Inteligensi ditetapkan dalam ukuran yang disebut intelligence quotient (IQ). Ukuran IQ

adalah nisbah atau rasio antara umur kecerdasan (mental age, disingkat MA) dengan umur

kalender (chronological age, disingkat CA) (Suryabrata, 2002). MA diperoleh dari tes

psikologi dan CA dihitung dari tanggal kelahiran peserta tes. IQ dapat dihitung dengan

langkah-langkah:

1) Menghitung CA. CA dihitung atas dasar kartu kelahirannya

2) Menghitung MA. MA dihitung dengan memberikan terlebih dulu tes inteligensi.

Awalnya tes diberikan dengan tes untuk umur yang paling rendah (paling mudah),

bertahap makin sukar sampai testi tidak dapat menyelesaikan sama sekali.

3) Menghitung IQ menggunakan rumus : IQ = (MA/CA) x 100.

IQ dapat diinterpretasikan dengan membandingkan antara CA dengan MA. Individu

dengan inteligensi normal mempunyai MA yang sama dengan CA. Mereka yang mempunyai

MA di atas CA mempunyai inteligensi di atas rata-rata, sedang yang mempunyai MA di

bawah CA mempunyai inteligensi di bawah rata-rata.

IQ juga dapat diinterpretasikan dengan membandingkan dengan skor kelompok norma.

Asumsinya, pada populasi, inteligensi mempunyai distribusi normal. Pada sampel yang

representatif, inteligensi mempunyai distribusi normal sebagaimana populasinya. Sebagai

sebuah distribusi normal, inteligensi dapat dibagi-bagi dalam daerah-daerah kurva normal.

Skor seseorang dalam tes inteligensi dapat diinterpretasikan mengacu kepada daerah-daerah

dalam kurva normal. Penggolongan daerah-daerah dapat mengikuti klasifikasi IQ yang dibuat

oleh Woodworth dan Marquis (Suryabrata, 2002)

2.5 Alat Tes Intelegensi

Tes inteligensi sendiri memiliki berbagai macam jenis. Berikut ini merupakan macam-

macam tes inteligensi yang turut serta digunakan di Indonesia, antara lain:

1. Tes Binet

Tes Binet Simon dipublikasikan pertama kali pada tahun 1905 di Paris-Prancis.

Tes ini digunakan untuk mengukur kemampuan mental seseorang. Inteligensi

digambarkan oleh Alfred Binet sebagai sesuatu yang fungsional. Komponen dalam

inteligensi sendiri terdiri dari tiga hal, yaitu kemampuan untuk mengarahkan pikiran

atau tindakan, kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah

dilaksanakan dan kemampuan untuk mengkritik diri sendiri. Tes Binet yang

digunakan di Indonesia saat ini adalah Stanford Binet Intelligence Scale Form L-M,

dimana tes tersebut merupakan hasil revisi ketiga dari Terman dan Merril pada tahun

1960 (Nuraeni, 2012).

Tes Binet dengan skala Stanford–Binet berisi materi berupa sebuah kotak yang

berisi berbagai macam mainan yang akan diperlihatkan pada anak-anak, dua buah

buku kecil yang berisi cetakan kartu-kartu, sebuah buku catatan yang berfungsi untuk

mencatat jawaban beserta skornya, dan sebuah petunjuk pelaksanaan dalam

pemberian tes. Pengelommpokkan tes-tes dalam skala Stanford–Binet dilakukan

menurut berbagai level usia, dimulai dari usia 2 tahun sampai dengan usia dewasa.

Meski begitu, dari masing-masing tes yang berisi soal soal tersebut memiliki taraf

kesukaran yang tidak jauh berbeda untuk setiap level usianya. Skala Stanford–Binet

dikenakan secara individual dan pemberi tes memberikan soal-soalnya secara lisan.

Meski begitu, skala ini tidak cocok untuk dikenakan pada orang dewasa, sekalipun

terdapat level usia dewasa dalam tesnya. Hal ini karena level tersebut merupakan

level intelektual dan hanya dimaksudkan sebagai batas-batas dalam usia mental yang

mungkin dicapai oleh anak-anak. Skala Stanford-Binet versi terbaru diterbitkan pada

tahun 1986. Konsep inteligensi dikelompokkan menjadi empat tipe penalaran dalam

revisi terakhir ini dan masing-masing diwakili oleh beberapa tes (Rohmah, 2011).

2. WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children)

Tes inteligensi Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC) adalah salah

satu tes yang sering dan umum digunakan di dunia psikologi serta sering digunakan

oleh para psikolog. Wechsler Intelligence Scale for Children dikembangkan oleh

David Wechsler yang mempublikasikannya pada tahun 1939, dimana tes ini

mengukur fungsi intelektual yang lebih global. Tes inteligensi WISC digunakan

untuk tes inteligensi pada anak usia 8-15 tahun. Tes WISC terdiri atas tes verbal dan

tes performance. Tes verbal terdiri atas materi perbendaharaan kata, pengertian,

informasi, hitungan, persamaan, rentang anangka. Sedangkan tes performance terdiri

atas mengatur gambar, melengkapi gambar, rancangan balok, merakit objek, mazes

dan simbol. (Mudhar & Rafikayati, 2017).

Melalui Tes WISC dapat mendeskripsikan berbagai aspek kecerdasan anak

dan dapat mengukur kemampuan kognitif seseorang dengan melihat pola-pola respon

pada tiap-tiap subtes. Andayani (2001) mengungkapkan bahwa kemampuan yang

diukur oleh masing-masing subtes antara lain:

Operasi ingatan jangka-panjang, kemampuan untuk memahami, kapasitas

berpikir asosiatif dan juga minat dan bacaan anak.

Kemampuan anak untuk menggunakan pemikiran praktis didalam kegiatan

sosial sehari-hari, seberapa jauh akulturasi sosial terjadi, dan perkembangan

conscience atau moralitasnya.

Kemampuan anak untuk menggunakan konsep abstrak dari angka dan operasi

angka, yang merupakan pengukuran perkembangan kognitif, fungsi non-

kognitif yaitu konsentrasi dan perhatian, kemampuan menghubungkan faktor

kognitif dan nonkognitif dalam bentuk berpikir dan bertindak.

Kemampuan untuk menerjemahkan masalah dalam bentuk kata-kata ke dalam

operasi aritmatika.

Penyerapan fakta dan gagasan dari lingkungan dan kemampuan melihat

hubungan penting yang mendasar dari hal-hal tersebut.

Kemampuan belajar anak, banyaknya informasi, kekayaan ide, jenis dan

kualitas bahasa, tingkat berpikir abstrak, dan ciri proses berpikirnya.

Identifikasi visual dari objek-objek yang dikenal, bentuk-bentuk, dan makhluk

hidup, dan lebih jauh lagi kemampuan untuk menemukan dan memisahkan

ciri-ciri yang esensial dari yang tidak esensial.

Setelah itu, akan dibuat profil berdasarkan skala Bannatyne dari skor masing-

masing subtes. Profil ini menunjuk pada empat kelompok kemampuan yaitu (1)

Kemampuan spatial yang mencakup skor pada subtes-subtes yaitu melengkapi

gambar, rancangan balok, dan merakit objek; (2) Kemampuan konsep yang meliputi

skor pada subtes-subtes pengertian, persamaan, dan perbendaharaan kata; (3)

Pengetahuan serapan yang meliputi skor pada subtes subtes informasi, hitungan, dan

perbendaharaan kata; dan (4) Kemampuan mengurutkan yang mencakup skor pada

subtes-subtes rentang angka, mengatur gambar, dan coding (Andayani, 2001).

Melalui profil tersebut dapat memberikan gambaran secara umum bagaimana

kemampuan seorang anak serta dapat digunakan untuk mendeteksi kesulitan belajar

anak (Andayani, 2001). Beberapa penelitian juga telah menggunakan WISC untuk

mengungkap gejala-gejala gangguan klinis pada anak, diantaranya seperti main brain

disfunction/brain damage, emotional disturbance, learning disabilities, anxiety,

delinquency, dan lain-lain (Mudhar & Rafikayati, 2017).

3. WPPSI (Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence)

Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence (WPPSI)

dikembangkan oleh Weschler. Sesuai dengan namanya, alat tes ini dirancang dan

ditujukan untuk anak-anak pada usia sebelum masuk sekolah atau anak-anak yang

ada pada tingkat taman kanak-kanak, perkiraan usia dimulai dari 2 tahun atau saat

anak mulai masuk ke taman kanak-kanak hingga umur 6 tahun saat anak mulai masuk

ke sekolah dasar. Alat tes ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecerdasan anak

secara keseluruhan serta dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik

keterlambatan atau kesulitan anak tersebut (Cloudida, 2018).

Atribut psikologis dan kemampuan-kemampuan yang diukur oleh alat tes ini

terdiri dari 2 penilaian besar, yaitu tes verbal yang mencangkup atas tes kemampuan

menerima informasi, kemampuan pemahaman, kemampuan berhitung, kemampuan

melihat persamaan dan pengertian; serta tes prestasi yang terdiri atas rumah binatang

dengan mencocokan nama binatang dan tempat tinggalnya, penyelesaian gambar

dengan melengkapi gambar yang kosong, mencari jejak, bentuk geomteris, labirin

dan puzzle balok (Siswina et al., 2016).

Alat tes WPPSI juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan dan

mengklasifikasikan anak-anak dengan keterlambatan kemampuan kognitif,

mengevaluasi keterlambatan kemampuan kognitif, gangguan intelektual dan autisme.

WPPSI juga dapat digunakan untuk menentukan jenis sekolah yang tepat bagi anak

hingga melihat apakah anak mengalami kerusakan pada otak (Wechsler, 2012).

4. IST (Intellligenz Struktur Test)

Intelligenz Struktur Test (IST) merupakan alat tes inteligensi yang telah

diadaptasi di Indonesia. Tes ini dikembangkan oleh Rudolf Amthaeur di Frankfrurt

Main Jerman pada tahun 1953. Intelligenz Struktur Test (IST) terdiri dari 9 subtes

antara lain Satzerganzung (SE) yaitu melengkapi kalimat, Wortauswahl (WA) yaitu

melengkapi kata-kata, Analogien (AN) yaitu persamaan kata, Gemeinsamkeiten (GE)

yaitu sifat yang dimiliki bersama, Rechhenaufgaben (RA) yaitu kemampuan

berhitung, Zahlenreihen (SR) yaitu deret angka, Figurenauswahl (FA) yaitu memilih

bentuk, Wurfelaufgaben (WU) yaitu latihan balok, dan Merkaufgaben (ME) yaitu

latihan simbol. Tes IST terdiri dari 9 sub tes terdiri dari 176 aitem soal. Waktu

pengerjaan yang dibutuhkan dalam penyajian tes IST ini kurang lebih selama 90

menit dengan instruksi yang berbeda-beda pada setiap sub tesnya. Tes IST ini

membutuhkan seorang tester yang memiliki keterampilan dalam menyajikan tes dan

proses skoring serta interpretasi yang memakan waktu. Tes ini dapat dilakukan secara

individual maupun klasikal (Kumolohadi & Suseno, 2012).

Kumolohadi & Suseno (2012) menjelaskan bahwa melalui tes IST, dapat

diperoleh skor inteligensi umum dan skor kemampuan khusus secara mendetail yang

diungkap dengan sembilan sub tes dalam IST, diantaranya yaitu:

Sub tes Satzerganzung (SE) mengungkap kemampuan berpikir kongkrit praktis,

mengukur keinginan berprestasi, pengambilan keputusan, kemampuan

memahami realitas, common sense, pembentukan pendapat/penilaian, dan

kemandirian dalam berpikir.

Sub tes Wortauswahl (WA) mengungkap kemampuan bahasa dengan menangkap

inti kandungan makna dari sesuatu yang disampaikan, kemampuan empati serta

kemampuan berpikir induktif dengan menggunakan bahasa.

Sub tes Analogien (AN) mengungkap kemampuan berpikir secara fleksibilitas,

kemampuan menghubung-hubungkan atau mengkombinasikan, resistensi, serta

kemampuan untuk berubah dan berganti dalam berpikir.

Sub tes Gemeinsamkeiten (GE) mengukur kemampuan memahami esensi

pengertian suatu kata untuk kemudian dapat menemukan kesamaan esensial dari

beberapa kata, serta mengukur kemampuan menemukan ciri-ciri khas yang

terkandung pada dua objek dalam upaya menyusun suatu pengertian yang

mencakup kekhasan dari dua objek tersebut.

Sub tes Rechhenaufgaben (RA) mengukur kemampuan berpikir logis,

kemampuan bernalar, memecahkan masalah praktis dengan berhitung,

matematis, dan kemampuan berpikir runtut dalam mengambil keputusan.

Sub tes Zahlenreihen (ZR) mengukur kemampuan berhitung dengan didasari

pada pendekatan analisis atas informasi faktual yang berbentuk angka sehingga

ditemukan suatu kesimpulan.

Adanya kemampuan mengikuti komponen irama dalam berpikir. Sub tes

Figurenauswahl (FA) mengungkap kemampuan membayangkan secara

menyeluruh dengan cara dengan menggabung-gabungkan potongan suatu objek

visual secara konstruktif sehingga menghasilkan suatu bentuk tertentu.

Sub tes Wurfelaufgaben (WU) mengukur kemampuan analisis yang turut disertai

dengan kemampuan membayangkan perubahan keadaan ruang secara antisipasif.

Dalam kemampuan ini terdapat peran imajinasi, kreativitas, fleksibilitas berpikir

dan kemampuan menyusun atau mengkonstruksi perubahan.

Sub tes Merkaufgaben (ME) mengukur daya ingat seseorang yang didalamnya

terdiri dari kemampuan memperhatikan, kemampuan menyimpan atau mengingat

dalam waktu lama.

IST adalah alat tes yang kompleks dan memiliki tingkat kesulitan pada tugas-

tugas di setiap bagian yang tinggi. Meski begitu, melalui tes IST individu dapat

mengetahui IQ total dan per bagian (Kumolohadi & Suseno, 2012).

5. SPM (Standard Progressive Matrices)

Standard Proggressive Matrices (SPM) adalah tes inteligensi yang dirancang

oleh J.C Raven pada tahun 1936 serta diterbitkan pertama kali di tahun 1938. SPM

yang dijumpai di Indonesia yaitu hasil revisi pada tahun 1960. Tes SPM mengukur

kecerdasan orang dewasa. Tes ini mengungkapkan faktor general (G faktor) atau

kemampuan umum seseorang. Tes SPM digunakan secara individual atau klasikal dan

waktu penyajian yang dibutuhkan 30 menit (Kumolohadi & Suseno, 2012).

Tes SPM memuat 60 soal yang didalamnya terbagi menjadi lima seri yaitu seri

A, B, C, D dan E. Setiap seri terdiri dari 12 soal yang berbentuk gambar-gambar. Setiap

soal terdiri dari satu gambar besar yang tidak lengkap dan terdapat pilihan jawaban

untuk melengkapi gambar tersebut. Dalam penyajian tesnya, set Adan B menyediakan

enam gambar kecil sebagai pilihan, sedangkan untuk set C, D, dan E, disediakan

delapan pilihan. Penyusunan soal bertingkat dari soal yang mudah ke soal yang sukar

(Rahmadani, 2019).

Secara operasional, subjek diberi soal dan diminta memilih jawaban yang paling

tepat serta ia dapat menuliskan jawabannya di lembar jawaban khusus yang telah

disediakan. Didalam tes SPM terdapat soal seri A nomor 1 dan 2 sebagai contoh soal

sehingga dalam pengerjaannya soal seri A nomor 1 dan 2 dikerjakan oleh subjek

bersamaan dengan tester saat memberikan instruksi pengerjaan tes SPM. Subjek harus

bekerja dengan cepat dan teliti pada saat tes dimulai sampai akhir tes (Kumolohadi &

Suseno, 2012).

Pemberian skor dengan memperoleh nilai 1 untuk aitem soal yang dijawab benar

dan memberi nilai 0 untuk jawaban yang tidak benar. Soal seri A nomor 1 dan 2 hanya

digunakan sebagai contoh dan harus dipastikan benar sehingga secara teoritis range

nilai akan bergerak dari 2 sampai dengan 60. Skor total adalah jumlah jawaban benar

yang dapat dikerjakan oleh subjek yang kemudian akan diinterpretasikan secara

normatif menurut norma penilaian tes SPM (Kumolohadi & Suseno, 2012).

Raven (dalam Kumolohadi & Suseno, 2012) menjelaskan bahwa tes SPM tidak

memberikan skor berupa suatu angka IQ seseorang, melainkan dengan tingkatan

(grade) inteligensi menurut besarnya skor total dan usia subjek. Tingkat inteligensi

subjek dikelompokkan berdasarkan atas nilai persentil sebagai berikut:

1) Grade I yaitu Intellectually Superior, ditujukan bagi subjek yang memiliki nilai

persentil 95 ke atas.

2) Grade II yaitu Difenitelly Above The Average In Intellectual Capacity, ditujukan

bagi subjek yang memiliki nilai terletak diantara persentil 75 sampai dengan

persentil 95.

3) Grade III yaitu Intellectually Average ditujukan bagi subjek yang memiliki nilai

terletak diantara persentil 25 sampai dengan 75.

4) Grade IV yaitu Difenitelly Below The Average In Intellectual Capacity ditujukan

bagi subjek yang memiliki nilai terletak diantara persentil 5 sampai dengan

persentil 25.

5) Grade V yaitu Intellectually Defective ditujukan bagi subjek yang memiliki nilai

yang terletak pada dan di bawah persentil 5.

SPM adalah alat tes yang lebih sederhana dan tugas yang diberikan juga lebih

mudah. Namun melalui SPM, seseorang hanya dapat mengetahui kategorisasi atau

tingkatan (grade) rata-rata dari inteligensinya (Kumolohadi & Suseno, 2012).

6. APM (Advanced Progressive Matrices)

Tes Advanced Progressive Matrices (APM) dikembangkan oleh Raven yang

merupakan tipe tes kedua dari tes yang ia kembangkan. Tes Advanced Progressive

Matrices mengukur kinerja intelektual dari mereka yang memiliki inteligensi di atas rata-

rata. Selain itu, tes ini juga mampu membedakan secara tajam antara mereka yang

tergolong memiliki inteligensi unggul dari yang lainnya.

Tes ini terdiri dua set yaitu set I mencangkup 12 soal dengan waktu pengerjaan 5

menit dan tes II mencangkup 36 soal dengan waktu pengerjaan 40 menit. Pemberian soal

set I kepada testi ditunjukkan dengan maksud untuk menjelaskan prinsip-prinsip

kerjanya, dan kemudian dilanjutkan ke set II dimana pengukuran sebenarnya dilakukan.

Soal-soal pada set II meliputi persoalan-persoalan yang mampu menjadi alat pengukur

pada proses berpikir tinggi secara analitis sehingga APM berguna untuk mendapatkan

gambaran tentang laju kecepatan dan keberhasilan belajar yang mungkin dicapai

seseorang didalam suatu bidang studi (Sunarya, 2017).

7. CFIT (Culture Fair Intelligence Test)

Culture Fair Intelligence Test (CFIT) merupakan salah satu tes inteligensi yang

sering digunakan oleh psikolog dan lembaga psikologi di Indonesia. Pertama kali Tes

inteligensi CFIT ini dikembangkan oleh Raymond B. Cattell pada tahun 1940. Dalam

proses administrasinya, Tes CFIT relatif tidak memakan waktu yaitu hanya sekitar 30

menit sehingga tes CFIT populer digunakan di kalangan praktisi (Suwandi, 2015).

Menurut Cattell (dalam Suwandi, 2015) inteligensi terbagi menjadi 2 komponen,

yaitu fluid dan crystallized intelligence. Fluid intelligence merupakan kecerdasan yang

berasal dari sifat bawaan lahir atau hereditas. Sedangkan crystallized intelligence adalah

kecerdasan yang sudah dipengaruhi oleh lingkungan, misalnya kecerdasan yang didapat

melalui proses pembelajaran di sekolah. Tes ini dikembangkan sebagai tes non verbal

untuk mengukur fluid intelligence (Gf).

Tes CFIT memiliki tiga jenis skala, yaitu: skala 1 ditujukan untuk usia 4 sampai 8

tahun, skala 2 ditujukan untuk usia 8 sampai 13 tahun, dan skala 3 ditujukan untuk

individu dengan kecerdasan di atas rata-rata. Skala 2 dan 3 berbentuk paralel (A dan B)

sehingga tes ini yang dapat digunakan untuk pengetesan kembali. Umumnya tes-tes ini

dapat diberikan pada sekelompok individu secara kolektif, namun terkecuali beberapa

subtes dari skala 1. Skala 1 memiliki delapan subtes, namun yang benar-benar adil secara

budaya hanya separuhnya (Suwandi, 2015). Terdapat kemiripan antara skala 2 dan 3 tes

CFIT, yang membedakan hanya tingkat kesukarannya. Suwandi (2015) menjelaskan

bahwa skala ini terdiri dari 4 subtes, yaitu:

Series terdiri dari 13 item, peserta diinstruksikan untuk melanjutkan gambar secara

logis dari 3 gambar yang telah disajikan sebelumnya.

Classification terdiri dari 14 item, peserta diinstruksikan untuk mencocokan 2

gambar dari setiap seri. Kemudian pada gambar yang cocok dipasangkan bersama.

Matrice terdiri dari 13 item, peserta diinstruksikan untuk menentukan mana dari 5

alternatif yang paling logis untuk melengkapi pola matriks yang telah disajikan.

Topology terdiri dari 10 item, peserta diinstruksikan untuk mencari aturan umum

dimana titik ditempatkan dengan menyimpulkan aturan dan memilih gambar yang

berlaku.

8. Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS)

Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS) dikembangkan oleh David Wechsler.

Akibat rasa ketidakpuasan dengan batasan dari teori Stanford-Binet dalam

penggunaannya, khususnya dalam pengukuran kecerdasan untuk orang dewasa sehingga

dikembangkanlah tes ini. David Wechsler kemudian meluncurkan tes kecerdasan baru

yang dikenal sebagai Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS) pada 1955.

Tes ini digunakan oleh orang dewasa usia 16-75 tahun atau lebih. Pelaksanaan tes

ini dilakukan secara individu (Maarif et al., 2017). WAIS menjadi alat tes yang paling

populer karena paling banyak digunakan di dunia saat ini. Tes ini semula bernama

Wechsler Bellevue Intellegence Scale (WBIS). Tes intellegensi ini memiliki enam subtes

yang terkombinasikan dalam bentuk skala pengukuran ketrampilan verbal dan lima

subtes membentuk suatu skala pengukuran ketrampilan tindakan (Rohmah, 2011).

9. CPM (Coloured Progressive Matrices )

CPM atau Coloured Progressive Matrices merupakan salah satu alat tes yang

dibuat oleh Raven. CPM sendiri merupakan alat tes yang dibuat dikarenakan adanya

keperluan pengetesan intelegensi pada anak-anak yang tidak dapat menggunakan alat tes

Raven sebelumnya yaitu SPM atau Standart Progressive Matrices. Hal tersebut

menjadikan CPM dapat digunakan pada anak-anak dengan rentang usia lima sampai

sebelas tahun dan orang dewasa namun dengan syarat memiliki tingkat pendidikan yang

rendah. Perbedaan yang mendasar antara SPM dan CPM adalah adanya warna pada alat

tes CPM (Nuraeni, 2012).

10. SON

SON merupakan akronim dari Snijders Oomen Non Verbal Scale. SON merupakan

salah satu tes inteligensi non verbal digunakan untuk individu dengan rentan usia 3 – 16

tahun. Alat tes ini juga tidak hanya sebatas untuk individu dalam kondisi normal namun

juga dapat digunakan untuk individu dengan disabilitas seperti tunarungu. Alat tes ini

dapat digunakan oleh individu dengan tunarungu dikarenakan tes SON berbentuk puzzle

dan rangkaian gambar yang perlu dicocokan dan peserta tidak dituntut untuk menjawab

perintah yang diberikan. SON sendiri dirancang mulai pada tahun 1939 – 1942, di

Amsterdam dan kemudian dalam perkembangannya banyak dilakukan revisi-revisi pada

aitem alat tes ini (Nuraeni, 2012).

11. TIKI (Tes Inteligensi Kolektif Indonesia)

TIKI merupakan akronim dari Tes Intelegensi Kolektif Indonesia. Tes ini

diciptakan berdasarkan kerjasama antara Indonesia dan Belanda. Tujuan dari dibuatnya

tes ini adalah untuk melihat standar intelegensi di Indonesia serta membuat alat tes

intelegensi yang berdasarkan norma Indonesia (Nuraeni, 2012).Tes ini secara

keseluruhan dibagi menjadi tiga tes, TIKI Dasar, TIKI Menengah dan TIKI Tinggi.

TIKI Dasar

TIKI Dasar merupakan tes intelegensi yang paling awal dari ketiga tes yang ada. Tes

intelegensi ini diperuntukan untuk anak-anak yang ada pada tingkat sekolah dasar

hingga sekolah menengah pertama kelas dua. TIKI Dasar mengukur intelegensi

dengan berhitung angka, penggabungan bagian, eksklusi gambar, hubungan kata,

membandingkan beberapa gambar, labirin/maze, berhitung huruf, mencari pola,

eksklusi kata dan terakhir mencari segitiga (Nuraeni, 2012).

TIKI Menengah

TIKI Menengah merupakan alat tes intelegensi kedua dalam rangkai TIKI yang

diperuntukkan untuk anak yang berada pada tingkat sekolah menengah pertama kelas

tiga hingga sekolah menengah atas. Pada TIKI Menengah, peserta tes akan diminta

untuk berhitung angka, penggabungan bagian, menghubungkan kata, eksklusi

gambar, berhitung soal, meneliti, membentuk benda, eksklusi kata, bayangan cermin,

berhitung huruf, membandingkan beberapa benda dan terakhir adalah pembentukan

kata (Nuraeni, 2012).

TIKI Tinggi

TIKI Tinggi menjadi ala tes intelegensi yang termasuk ke dalam rangkaian TIKI yang

berada paling akhir dan memiliki tingkat kesusahan yang paling kompleks dalam

TIKI. TIKI Tinggi sendiri diperuntukan bagi individu yang ada pada tingkat

perguruan tinggi serta orang dewasa. Pada TIKI Tinggi, peserta tes akan diminta

untuk berhitung angka, penggabungan bagian, menghubungkan kata, abstraksi non

verbal, deret angka, meneliti, membentuk benda, eksklusi kata, bayangan cermin,

menganalogi kata, bentuk tersembunyi dan terakhir adalah pembentukan kata

(Nuraeni, 2012).

BAB III

KESIMPULAN & SARAN

Kesimpulan

Belum ada kesepakatan tentang definisi inteligensi. Inteligensi dapat diberikan arti

sempit dan luas. Dalam arti sempit, inteligensi adalah prestasi di sekolah. Dalam arti luas,

inteligensi adalah Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensi diperoleh secara

heriditas, namun beberapa hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa inteligensi dapat

dimodifikasi. Banyak yang sepakat bahwa inteligensi merupakan kombinasi antara heriditas dan

modifikasi.

Inteligensi berhubungan dengan bakat, kreativitas dan prestasi. Inteligensi berhubungan

dengan bakat karena anak yang berbakat adalah anak dengan inteligensi sangat tinggi. Inteligensi

berhubungan dengan kreativitas walaupun kreativitas tidak dapat diidentifikasi menggunakan tes

inteligensi. Inteligensi juga berhubungan dengan prestasi. Variasi dalam prestasi dapat

diramalkan dari variasi dalam inteligensi.

Teori inteligensi terus mengalami perkembangan. Perkembangan teori dimulai dari

Lewis Terman, Charles Spearman, Sternberg, Lewis L Thurstone, James P Guilford hingga

Howard Gardner. Inteligensi diukur menggunakan tes inteligensi. Ukuran yang biasa digunakan

adalah IQ sehingga tes inteligensi biasa dikenal sebagai tes IQ. Ukuran IQ adalah rasio antara

umur kecerdasan dengan umur kalender.

Saran

Meski para ahli tidak sepakat mengenai konsep inteligensi, namun mereka

sepenuhnya sepakat bahwa inteligensi merupakan konsep yang penting untuk dipahami,

khususnya dalam dunia pendidikan. Pemahaman yang baik mengenai inteligensi akan

membantu memberikan pelayanan yang optimal dalam pendidikan. Oleh karenanya kajian

mengenai inteligensi sangat penting untuk terus dikembangkan.

Kepentingan untuk melakukan kajian mengenai inteligensi berhubungan dengan

usaha memahami konsep dan cara pengukurannya. Pengukuran inteligensi yang memadai

memang masih menyisakan kontroversi karena sulitnya diperoleh kesepahaman dalam

konsep. Konsep yang berbeda akan menghasilkan perbedaan dalam cara melakukan

pengukurannya. Cara pengukuran inteligensi akan terus berkembang sejalan perkembangan

konsepnya. Meski belum diperoleh kesekatan dalam cara mengukur inteligensi, mengingat

pentingnya peranan inteligensi dalam pendidikan, maka usaha-usaha untuk mengidentifikasi

inteligensi harus dilakukan melalui proses pengukuran. Hal itu diperlukan agar data

inteligensi mempunyai landasan yang kuat. Mengingat pentingnya hal ini hendaknya para

penguji juga dapat memahami kelebihan dan kekurangan dari alat tes sebelum dapat

mengaplikasikannya.

Penutup

Demikian makalah ini dibuat dengan sebenar-benarnya. Semoga makalah ini dapat

memberikan masukan dan pertimbangan bagi pembelajaran selanjutnya. Terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, Rita L; Atkinson, Richard C; Smith, Edward E dan Bem, Daryl J. 2003. Pengantar

psikologi. Terjemahan oleh Widjaja Kusuma. Batam Centre: Interaksara

Good, Thomas L dan Brophy, Jere E. 1990. Educational psychology a realistic approach. New York:

Longman

Purwanto, M Ngalim. 2003. Psikologi pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2003. Landasan psikologi proses pendidikan. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/dr-rita-eka-izzaty-spsi-msi/htes-inteligensi-bakat-

minat-4.pdf

https://digilib.ump.ac.id/files/disk1/21/jhptump-ump-gdl-nuraenisps-1031-1-fulltek-u.pdf

http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ah

UKEwj29qPXuZLsAhW863MBHbXVAbwQFjAAegQIAxAB&url=http%3A%2F%2Fjurnaldikbud

.kemdikbud.go.id%2Findex.php%2Fjpnk%2Farticle%2Fdownload%2F479%2F322%2F&usg=AOv

Vaw21aU2drnZYOjXTno3qksCh