tinjauan pelaksanaan pengodean diagnosis
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of tinjauan pelaksanaan pengodean diagnosis
TINJAUAN PELAKSANAAN PENGODEAN DIAGNOSIS
KASUS DIABETES MELLITUS PASIEN RAWAT INAP
DI RUMAH SAKIT TK.II 04.05.01DR. SOEDJONO MAGELANG
TAHUN 2017
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Ahli Madya Kesehatan
Program Studi Rekam Medis dan Informasi Kesehatan
Fakultas Kesehatan Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta
Disusun oleh:
RESTU BUSTOMI
1315069
PROGRAM STUDI
REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN (D-3)
FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
YOGYAKARTA
2018
iii
TINJAUAN PELAKSANAAN PENGODEAN DIAGNOSIS
KASUS DIABETES MELLITUS PASIEN RAWAT INAP
DI RUMAH SAKIT TK.II 04.05.01 DR. SOEDJONO MAGELANG
TAHUN 2017
Restu Bustomi1, Sis Wuryanto
2
INTISARI
Latar Belakang: Setiap rumah sakit wajib menyelenggarakan rekam medis untuk
mendukung tertib administrasi. Ketepatan data diagnosis sangat krusial di bidang
manajemen data klinis. Survei peneliti di rumah sakit 17 Mei 2018 untuk
kodefikasi penyakit DM masih ditemukan penulisan kode yang tidak tepat. Dari
30 berkas terdapat kode tidak tepat 18 kode (60%) dan tepat ada 12 kode (40%).
Hal ini berdampak pada keefektifan pengelolaan data dan informasi pelayanan
kesehatan.
Tujuan Penelitian: Mengetahui pelaksanaan pengodean diagnosis kasus diabetes
melitus pada berkas rekam medis pasien rawat inap.
Metode Penelitian: Jenis penelitian kualitatif dengan rancangan case study.
Subjek dokter dan dua coder rawat inap. Objek penelitian ini BRM kasus DM.
Pengumpulan data menggunakan check-list observasi dan pedoman wawancara.
Pengambilan sampel sebanyak 80 BRM.
Hasil: Pengodean dilakukan oleh 2 petugas,salah satu petugas bukan D-3 RM.
Kode diagnosis kasus DM ditinjau dari tiap karakternya sampai dengan karakter
keempat ada 60 kode (75%) tidak tepat dan sejumlah 20 kode (25%) yang
kodenya tepat sampai karakter keempat. Faktor yang mempengaruhi pengodean
yaitu keterbatasan waktu dokter sehingga penulisan diagnosis yang tidak lengkap
dan ada petugas yang belum berlatarbelakang bukan D-3 RM,serta aplikasi
program pengodean yang belum update.
Kesimpulan: Satu coder berlatar belakang bukan D-3 rekam medis, petugas
masih jarang menggunakan ICD-10 volume 3 dan volume 1. Persentase
ketidaktepatan kode diagnosis DM ada 60 kode (75%) dan ketepatan kodenya 20
kode (25%) dari 80 BRM. Faktor yang mempengaruhi pengodean yaitu
keterbatasan waktu dokter, kemampuan dan pengetahuan petugas yang
berbeda,program aplikasi pengodean belum update.
Kata Kunci: Pengodean, Diagnosis, Diabetes Melitus
1Mahasiswa D-3 Rekam Medis dan Informasi Kesehatan Universitas Jenderal
Achmad Yani Yogyakarta 2Dosen Pembimbing Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta
iv
REVIEW OF CODING DIAGNOSIS IMPLEMENTATION
CASE OF DIABETES MELLITUS ON HOSPITAL PATIENTS
IN TK.II HOSPITAL 04.05.01 DR. SOEDJONO MAGELANG
YEAR 2017
Restu Bustomi1, Sis Wuryanto
2
ABSTRACT
Background:Every hospital is obliged to hold a medical record to support
orderly administration. The accuracy of diagnosis data is crucial in the field of
clinical data management. Researchers surveyed at the hospital on May 17, 2018
for the coding of DM still found inappropriate code writing. Of the 30 files there
is an incorrect code 18 codes (60%) and there are exactly 12 codes (40%). This
has an impact on the effectiveness of health service data and information
management.
Objective:Knowing the implementation of the coding for the diagnosis of diabetes
mellitus in the medical records of inpatients.
Method:Type of qualitative research with case study design. Doctor subject and
two inpatient coder. The object of this research is BRM DM case. Data collection
uses the observation check-list and interview guidelines. Sampling is 80 BRM. Result:The coding was carried out by 2 officers,one of the officers was not the D-
3 RM. The diagnosis code for DM cases in terms of each character up to the
fourth character is 60 codes (75%) incorrect and 20 codes (25%) whose code is
right up to the fourth character. Factors that influence coding are the doctor's
time constraints so that the writing of the diagnosis is incomplete and there are
officers who are not background-oriented, not the D-3 RM,as well as the coding
application program that has not been updated.
Conclusion:One coder with a background not a D-3 medical record,officers still
rarely use ICD-10 volume 3 and volume 1. The inaccuracy percentage of DM
diagnosis code is 60 codes (75%) and the accuracy of the code is 20 codes (25%)
of 80 BRM. Factors that affect coding are the limited time of the doctor,the ability
and knowledge of different officers,the coding application program has not been
updated.
Keywords:Encoding, Diagnosis, Diabetes Mellitus
1D-3 Medical Record Student and Health Information General Achmad Yani
University, Yogyakarta
2Lecturers of General Achmad Yani University, Yogyakarta
1
PENDAHULUAN
Rumah sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat. Rumah sakit
dalam menunjang upaya pelayanan
secara paripurna, di antaranya rumah
sakit harus menyelenggarakan
pelayanan rekam medis.(1)
Rekam medis diartikan sebagai
keterangan baik yang tertulis maupun
yang terekam tentang identitas,
anamnese, penentuan fisik
laboratorium, diagnosis, segala
pelayanan dan tindakan medis yang
diberikan kepada pasien, dan
pengobatan baik yang di rawat inap,
rawat jalan, maupun yang didapatkan
di rawat darurat.(2)
Suatu keterangan dan catatan
pribadi tentang pasien digunakan
sebagai sumber data pada bagian
pengolahan rekam medis, bahwa
informasi tersebut harus akurat untuk
menentukan langkah-langkah
strategis dalam pelayanan kesehatan
diantaranya data medis meliputi hasil
pemeriksaan dan diagnosis.
Diagnosis adalah penentuan bentuk
gangguan atau masalah yang
merupakan hasil kesimpulan dan
kumpulan tanda-tanda, gejala-gejala,
riwayat sakit, bila perlu disertai
pemeriksaan laboratorium dan
rongten sesuai standar medis yang
berlaku.(3)
Pengodean adalah
pemberian penetapan kode dengan
menggunakan huruf atau angka atau
kombinasi huruf dalam angka yang
mewakili komponen data. Kegiatan
pengodean dilakukan setelah
perakitan dan analisis berkas.
Pelaksanaan pengodean harus
lengkap dan akurat sesuai dengan
ICD-10.(3)
Berdasarkan pengamatan
sementara peneliti pada tanggal 17
Mei 2018, dalam kodefikasi penyakit
terutama untuk penyakit diabetes
melitus, masih ditemukan penulisan
kode diagnosis kasus diabetes
melitus pada berkas rekam medis
pasien rawat inap yang tidak tepat
sesuai dengan ICD-10, seperti masih
banyak ditemukannya kode E11.9
(Diabetes Mellitus, Without
Complications) dan masih
ditemukannya kode yang seharusnya
adalah E14.9 (Unspecified Diabetes
2
Mellitus) karena tidak diketahui
spesifikasi dari diagnosis diabetes
melitus tesebut, tetapi pada
kenyataanya kode yang dituliskan
adalah E10.9 yang mana kode
tersebut menunjukkan keadaan
(Insulin-Dependent Diabetes
Mellitus) pada formulir ringkasan
masuk dan keluar berkas rekam
medis. Dari hasil kajian sementara di
Rumah Sakit TK.II 04.05.01 dr.
Soedjono Magelang dengan jumlah
sampel sebanyak 30 berkas rekam
medis, dari laporan tersebut terdapat
kode yang tidak tepat sebanyak 18
kode (60%) dan kode yang tepat
sebanyak 12 kode (40%). Hal ini
berdampak pada keefektifan
pengelolaan data dan informasi
pelayanan kesehatan. Selain itu
sistem BPJS yang mulai diterapkan
sejak 2014, pengodean yang tepat
merupakan kunci sukses sistem
tersebut. Apabila kode yang
dicantumkan pada berkas rekam
medis tidak tepat, maka dapat
berdampak terhadap biaya pelayanan
kesehatan.
BAHAN DAN CARA
PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
penelitian deskriptif dengan kualitatif
melalui studi kasus. Lokasi
penelitian di Rumah Sakit TK.II
04.05.01 dr. Soedjono Magelang.
Pengambilan data dilakukan pada
bulan Agustus sampai September.
Subjek dalam penelitian ini adalah
dokter dan dua petugas pengodean
rawat inap. Sedangkan objek
penelitian ini adalah BRM pasien
rawat inap kasus diabetes melitus.
Instrumen penelitian yang digunakan
yaitu, checklist observasi untuk
mengetahui pendukung pengodean,
checklist observasi untuk persentase
ketidaklengkapan, dan pedoman
wawancara, untuk pelaksanaan
pengodean. Data yang telah
terkumpul divalidasi menggunakan
triangulasi sumber, kemudian
dilakukan editing, coding, entry data,
dan cleaning. Analisis yang
digunakan yaitu deskriptif
menggunakan prosen secara induktif
artinya dimulai dari data yang
terkumpul, kemudian diambil
kesimpulan.
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan Pengodean
Pelaksanaan pengodean di
Rumah Sakit TK.II 04.05.01 dr.
Soedjono Magelang telah
menggunakan sistem komputerisasi
dengan 2 petugas pengodean rawat
jalan yang ditempaatkan dibagian
casemix dibagi menjadi 2 dengan
tugas masing-masing 1 petugas
pengodean diagnosis dan 1 petugas
pengodean tindakan, serta 2 petugas
pengodean rawat inap yang
ditempatkan di unit rekam medis.
Penggunaan buku ICD-10 tidak
dilakukan secara maksimal
dikarenakan pengodean telah
dilakukan secara komputerisasi
dengan petugas mengetikan
diagnosis yang ada di formulir
ringkasan masuk dan keluar pada
program aplikasi dan secara otomatis
akan muncul kode penyakit dan
petugas menuliskan kode diagnosis
yang ada di program aplikasi pada
formulir ringkasan masuk dan keluar
di kolom kode penyakit. Menurut
petugas dalam proses pengodean
masih jarang memakai buku ICD-10
volume 3 dan volume 1 dikarenakan
dapat menghemat waktu dalam
pengerjaan dengan memakai
program aplikasi.
Persentase Ketidaklengkapan
Pengodean
Berdasarkan tabel 4.1 diatas
dan observasi coding, ketidaktepatan
pengodean diagnosis kasus Diabetes
Mellitus di Rumah Sakit TK.II
04.05.01 dr. Soedjono Magelang dari
80 berkas rekam medis pada periode
tahun 2017 yaitu masih terdapat kode
yang tidak tepat. Dari hasil analisis
ketidaktepatannya berdasarkan tiap-
tiap karakter, maka dapat diperoleh
hasil pengodean 0 (0%) kode tidak
tepat karakter pertama, 49 (61%)
kode tidak tepat s.d karakter kedua,
62 (78%) kode tidak tepat s.d
karakter ketiga, 65 (81%) kode tidak
tepat s.d karakter keempat, kemudian
No. Kategori Jumlah %
1. Tepat 20 25%
2. Tidak
Tepat
Tepat
karakter 1 0 0%
Tepat
karakter
s.d
Karakter 2
36 45%
Tepat
karakter
s.d
Karakter 3
24 30%
Total 80 100%
4
79 (99%) penggunaan dagger dan
asterisk, serta 1 (1%) kode yang
tidak perlu.
Berdasarkan hasil analisis
terhadap ketidaktepatan kode
diagnosis kasus diabetes mellitus di
Rumah Sakit TK.II 04.05.01 dr.
Soedjono Magelang bulan Januari
sampai dengan Desember periode
tahun 2017 (lihat tabel 4.1), dapat
dilihat bahwa persentase
ketidaktepatan kode diagnosis kasus
diabetes mellitus menunjukkan
tingkat yang cukup tinggi. Persentase
pada hasil analisis ketidaktepatan
kode diagnosis kasus diabetes
mellitus dengan kategori tidak tepat
s.d karakter keempat menunjukkan
angka yang tinggi yaitu (81%)
dengan jumlah kode 65 dari 80
berkas rekam medis. Sedangkan
persentase ketidaktepatan kode
diagnosis kasus diabetes mellitus
dengan kategori tidak tepat s.d
karakter ketiga menunjukkan angka
yang cukup tinggi yaitu (78%)
dengan jumlah kode 62 dari 80
berkas rekam medis. Kemudian
persentase ketidaktepatan kode
diagnosis kasus diabetes mellitus
dengan kategori tidak tepat s.d
karakter kedua yaitu (61%) dengan
jumlah 49 dari 80 berkas rekam
medis. Dengan kata lain dari 80
berkas rekam medis rawat inap yang
digunakan sebagai sampel terdapat
15 berkas rekam medis yang hasil
kodenya tepat s.d karakter keempat.
Sedangkan terdapat 18 berkas rekam
medis yang hasil kodenya tepat s.d
karakter ketiga, dan terdapat 31
berkas rekam medis yang hasil
kodenya tepat s.d karakter kedua.
Faktor yang Mempengaruhi
Ketidaklengkapan Pengodean
Berdasarkan hasil wawancara
dengan Responden A dan Responden
B serta dilakukannya observasi pada
berkas rekam medis ketepatan dan
ketidaktepatan pengodean
dipengaruhi oleh tulisan dokter
terkait diagnosis pasien. Sering
ditemukannya tulisan dokter yang
kurang jelas dan susah dibaca oleh
petugas pengodean sehingga
menghambat pelaksanaan pengodean
dimana petugas kesulitan untuk
menentukan kode dengan tepat.
Pelaksanaan pengodean
diagnosis pasien rawat inap kasus
Diabetes Mellitus di Rumah Sakit
TK.II 04.05.01 dr Soedjono
5
Magelang dilakukan oleh 2 (dua)
petugas pengodean yang berlatar
belakang D-3 rekam medis dan non
D-3 rekam medis. petugas
pengodean belum maksimal dalam
pelaksanaan pengodean terutama
terkait kegiatan untuk melihat catatan
penunjang lain yang dapat di jadikan
landasan bahwa pasien tersebut
masuk dalam kriteria DM dengan
komplikasi terkait penyakit yang
dideritanya, jadi petugas pengodean
masih tergantung pada penulisan.
Pengodean dilakukan dengan
komputerisasi dan petugas
pengodean terkadang juga akan
menggunakan buku ICD-10 karena
dalam sistem aplikasi ICD-10
elektroniknya belum di update.
Berdasarkan hasil wawancara
dengan petugas pengodean dan
triangulasi bahwa petugas pengodean
kesulitan untuk membaca tulisan
dokter dengan alasan penulisan
DM2NO tidak jelas apakah penulisan
itu menunjukkan DM tipe 2 atau
bukan tipe 2, selain itu penulisan
dokter spesialis penyakit dalam
sering menuliskan diagnosa
tambahan yang tidak menunjang
diagnosis tersebut. Hal ini juga
dilandasi oleh pernyataan triangulasi
yang menyebutkan bahwa, jika ada
konfirmasi diagnosis DM yang
kurang jelas ke dokter, dokter sudah
lupa diagnosis DM pada pasien yang
mana, dengan demikian petugas
pengodean akan menuliskan apa
yang ditulis dokter, dimana penulisan
DM yang tidak diketahui akan
langsung ditulis E14.9 dimana
kategori tersebut adalah DM
unspecified.
Berdasarkan hasil wawancara
dengan petugas pengodean di Rumah
Sakit TK.II 04.05.01 dr.Soedjono
Magelang dalam pengodean rekam
medis rawat inap di lakukan oleh 2
coder yang berlatar belakang
pendidikan D3 rekam medis dan non
D3 rekam medis karena keterbatasan
rumah sakit mengenai sumber daya
manusia yang berlatar belakang D3
rekam medis, tetapi di rumah sakit
sudah ada kebijakan bahwa petugas
coder yang berlatar belakang non D3
rekam medis bisa melaksanakan
tugas dengan syarat mengikuti
pelatihan. Hal ini tidak sejalan
dengan Permenkes No. 55 Tahun
2013 tentang penyelenggaraan
Pekerjaan Rekam medis bahwa
6
syarat minimal petugas harus berlatar
belakang D3 rekam medis.
Berdasarkan obesrvasi
peneliti terkait program aplikasi pada
komputer bahwa program
aplikasinya belum ter-update masih
dengan versi yang lama (2004)
bahkan petugas sering mengikuti
kode pada program aplikasi tersebut.
Hal ini senada dengan teori faktor-
faktor yang menyebabkan kesalahan
pengodean menurut (Bowman, 1992)
meliputi; kegagalan peninjauan
seluruh catatan, pemilihan diagnosis
utama yang salah, pemilihan kode
yang salah, mengode diagnosis atau
prosedur yang salah oleh karena isi
catatan, dan kesalahan didalam
memasukkan kode ke dalam
database atau pada tagihan.
Sehingga harus segera dilakukan
update pada program aplikasi baik
ICD elektroniknya maupun SIMRS.
Berdasarkan observasi peneliti
tentang SOP dan dilandasi oleh
pengakuan triangulasi dikethui
bahwa SOP yang ada belum di revisi
akan tetapi setiap ada pergantian di
revisi atau tidak direvisi akan
dilakukan, dengan maksud bahwa
SOP yang ada keluaran yaitu tahun
2015 hanya saja nanti di ganti tahun
keluarnnya. Hal ini mempengaruihi
tata cara yang dilakukan petugas
pengodean. Disisi lain dilihat dari
aspek pelaksanaan bahwa methode
pengodean yang dilakukan petugas
ketika berkas datang petugas
kemudian memberi kode penyakit
untuk diagnosis yang ditulis dokter
menggunakan ICD-10 revisi 2004,
terkadang petugas menggunakan
ICD-10 volume 3 tanpa melihat ICD-
10 volume 1, petugas memberikan
kode tindakan menggunakan buku
ICD-9 CM 2010 kemudian petugas
menuliskan kode pada kolom di
formulir ringkasan masuk dan keluar
pasien, lalu petugas meng-entry kode
dalam database SIMRS. Hal ini
bertentangan dengan
SPO/MKI/IV/2017 tentang
pemberian kode penyakit dan kode
tindakan di Rumah Sakit TK.II
04.05.01 dr.Soedjono Magelang
yakni pengodean penyakit
menggunakan buku ICD-10 revisi ke
10 dan menggunakan ICD-10
Volume 1, 2, dan 3.
7
KESIMPULAN
Dalam pelaksanaan
pengodean diagnosis kasus diabetes
mellitus di Rumah Sakit TK.II
04.05.01 dr. Soedjono Magelang
dilakukan oleh 2 (dua) coder. Salah
satu coder berlatar belakang
pendidikan non D3 rekam medis,
dalam pengodean petugas
menggunakan aplikasi ICD-10
terkadang petugas juga tidak
menggunakan ICD-10 volume 1 dan
pengodeannya sampai di ICD-10
volume 3.
Pengodean diagnosis kasus
diabetes mellitus belum mengacu
dengan kaidah ICD-10 volume 2.
Persentase ketidaktepatan kode
diagnosis diabetes mellitus tertinggi
pada kategori kode tidak tepat s.d
karakter 4 dan pada kategori kode
tidak tepat s.d karakter 3 dengan
jumlah 65 dan 62 berkas rekam
medis dengan persentase 81% dan
78% dari 100%.
Faktor Penyebab
Ketidaktepatan Pengodean di Rumah
Sakit TK.II 04.05.01 dr. Soedjono
Magelang dipengaruhi oleh beberapa
aspek dari Tulisan dokter yang susah
terbaca sehingga sulit untuk
menentukan kode dengan tepat.
Kemampuan dan pengetahuan
petugas yang berbeda serta jarang
adanya pelatihan terkait pengodean
sehingga mempengaruhi hasil kode
diagnosis. Aplikasi SIMRS terkait
program aplikasi pengodean belum
ter-update. SOP terkait pelaksanaan
pengodean yang belum terlaksana
dengan baik yaitu di dalam SOP
memuat tentang pengodean
menggunakan buku ICD-10 revisi 10
volume 1, 2 dan 3, sedangkan dalam
kenyataannya petugas mengode
menggunakan program aplikasi ICD-
10 elektronik tahun 2004 dan
terkadang petugas hanya
menggunakan volume 3 tanpa
melihat volume 1.
Sebaiknya pelaksanaan
pengodean pasien rawat inap
diagnosis kasus diabetes mellitus di
Rumah Sakit TK.II dr. Soedjono
Magelang harus mengikuti kaidah
ICD-10 volume Sebaiknya dilakukan
pengodean sampai pada karakter ke 4
berdasarkan ICD-10. Melakukan
pembuatan kebijakan terkait
penulisan dokter dengan penggunaan
huruf kapital agar lebih jelas dan
melakukan penulisan diagnosis
8
berdasarkan terminologi medis dan
ICD-10 seperti diagnosis DM2NO
dan perlu tersedianya buku daftar
singkatan diagnosis yang telah
disepakati bersama. Melakukan
sosialisasi antar petugas pengodean
untuk menyatukan persepsi terhadap
ketepatan dan kelengkapan kode
diagnosis dan membuat kebijakan
yang mengikutsertakan petugas
untuk pelatihan pengodean
khususnya diabetes mellitus.
Melakukan update program aplikasi
khususnya untuk program pengodean
baik dari ICD-10 elektroniknya
maupun SIMRS agar kode yang ada
di program sama dengan mengikuti
kode yang ada di buku ICD-10.
Melakukan revisi SOP pengodean
dan menjelaskan tata cara rinci
kerjanya agar lebih jelas. Melakukan
konsep reward dan punishment agar
dapat meningkatkan evaluasi kinerja
dari petugas pengodean.
DAFTAR PUSTAKA
1. Menkes, R. I. 2014. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 56 tahun
2014 tentang Klasifikasi dan
Perizinan Rumah Sakit.
Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
2. Hatta, R Gemala. 2013. Pedoman
Manajemen Informasi
Kesehatan di Sarana
Pelayanan Kesehatan Revisi
II. Jakarta: Universitas
Indonesia.
3. WHO. 2010. International
Statistical Classification of
Diseases and Related Health
Problems, tenth Revision,
Volume 1, 2, dan 3. WHO:
Geneva.
4. Bowman, E., & Abdelhak, M.
2001. Coding, Clssification,
and Reimbursement
Systems. Health
Information:Management of a
Strategic Resource. 2nd
Edition. Philadelphia: WB
Saunders Company.
5. Menkes, R. I. 2008. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor
269 tahun 2008 tentang
Rekam Medis. Menteri
Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
6. Menkes, R. I. 2013. Keputusan
Menteri Republik Indonesia
Nomor 55 tahun 2013
pasal 3 tentang
Penyelenggaraan Pekerjaan
Rekam Medis. Menteri
Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
7. Tambunan, R M. 2013. Pedoman
Penyusunan Standard
Operating Procedures (SOP),
Jakarta: Maistas Publishing.
8. Republik Indonesia. Undang-
Undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2014
Tentang Tenaga Kesehatan.