Teori Tata Guna Lahan (Land Use)

25
Land Use Planning | 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu wadah aktivitas mega kompleks baik antara manusia dengan manusia maupun dengan lingkungan di sekitarnya. Pertumbuhan kota berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk, kemajuan teknologi, dan peningkatan tuntutan gaya hidup serba praktis dan modern. Akibatnya, kota menjadi tidak ramah dengan penduduknya, terjadi kesenjangan ekonomi dan sosial di setiap sudut kota, timbul kemacetan, polusi menyebar menyelubungi kota, dan lain sebagainya. Perencanaan kota merupakan suatu desain dan pengaturan penggunaan ruang yang berfokus pada bentuk fisik, fungsi ekonomi, dan dampak sosial dari lingkungan perkotaan serta lokasi kegiatan yang berbeda di dalamnya. Sejak ratusan tahun yang lalu, bukti-bukti perencanaan kota telah ditemukan di banyak reruntuhan kota-kota kuno di dunia. Hal ini membuktikan bahwa perencanaan kota merupakan suatu tatanan ilmu yang sudah dipelajari oleh nenek moyang kita, meski dalam taraf yang masih sangat rendah. Salah satu cabang dari perencanaan kota adalah perencanaan tata guna lahan (land use planning). Semakin banyaknya keragaman aktivitas perkotaan menarik banyak masyarakat untuk mengadu nasib di perkotaan sehingga meninggikan arus urbanisasi. Hal ini mengakibatkan banyaknya permintaan akan penyediaan lahan untuk menampung penduduk kota yang jumlahnya terus meningkat. Di sisi lain, lahan merupakan sumberdaya yang sangat terbatas dan tidak dapat diciptakan atau diperbarui, sehingga masalah yang sering muncul adalah menjamurnya slum and squatter area pada kawasan perkotaan. Keitidaksiapan pemerintah kota dalam mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan kota terutama dalam hal kependudukan ini juga turut menjadi factor utama munculnya area permukiman liar dan kumuh di kota. Meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya lahan untuk menunjang pembangunan dan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya lahan di Indonesia. Selain itu, pengembangan sumberdaya lahan juga menghadapi timbulnya konflik kepentingan berbagai sektor yang pada akhirnya masalah ekonomi menjadi kontra produktif satu dengan lainnya.Keadaan ini diperburuk lagi dengan sistem peraturan yang dirasakan sangat kompleks dan seringkali tidak relevan lagi dengan tingkat kesesuaian dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Keadaan ini dapat

Transcript of Teori Tata Guna Lahan (Land Use)

L a n d U s e P l a n n i n g

| 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota merupakan suatu wadah aktivitas mega kompleks baik antara manusia dengan

manusia maupun dengan lingkungan di sekitarnya. Pertumbuhan kota berbanding lurus

dengan pertumbuhan penduduk, kemajuan teknologi, dan peningkatan tuntutan gaya hidup

serba praktis dan modern. Akibatnya, kota menjadi tidak ramah dengan penduduknya,

terjadi kesenjangan ekonomi dan sosial di setiap sudut kota, timbul kemacetan, polusi

menyebar menyelubungi kota, dan lain sebagainya.

Perencanaan kota merupakan suatu desain dan pengaturan penggunaan ruang yang

berfokus pada bentuk fisik, fungsi ekonomi, dan dampak sosial dari lingkungan perkotaan

serta lokasi kegiatan yang berbeda di dalamnya. Sejak ratusan tahun yang lalu, bukti-bukti

perencanaan kota telah ditemukan di banyak reruntuhan kota-kota kuno di dunia. Hal ini

membuktikan bahwa perencanaan kota merupakan suatu tatanan ilmu yang sudah dipelajari

oleh nenek moyang kita, meski dalam taraf yang masih sangat rendah.

Salah satu cabang dari perencanaan kota adalah perencanaan tata guna lahan (land

use planning). Semakin banyaknya keragaman aktivitas perkotaan menarik banyak

masyarakat untuk mengadu nasib di perkotaan sehingga meninggikan arus urbanisasi. Hal

ini mengakibatkan banyaknya permintaan akan penyediaan lahan untuk menampung

penduduk kota yang jumlahnya terus meningkat. Di sisi lain, lahan merupakan sumberdaya

yang sangat terbatas dan tidak dapat diciptakan atau diperbarui, sehingga masalah yang

sering muncul adalah menjamurnya slum and squatter area pada kawasan perkotaan.

Keitidaksiapan pemerintah kota dalam mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan

kota terutama dalam hal kependudukan ini juga turut menjadi factor utama munculnya area

permukiman liar dan kumuh di kota.

Meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya lahan untuk menunjang pembangunan

dan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan tekanan terhadap

pemanfaatan sumberdaya lahan di Indonesia. Selain itu, pengembangan sumberdaya lahan

juga menghadapi timbulnya konflik kepentingan berbagai sektor yang pada akhirnya

masalah ekonomi menjadi kontra produktif satu dengan lainnya.Keadaan ini diperburuk lagi

dengan sistem peraturan yang dirasakan sangat kompleks dan seringkali tidak relevan lagi

dengan tingkat kesesuaian dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Keadaan ini dapat

L a n d U s e P l a n n i n g

| 2

menyebabkan sistem pengelolaan sumberdaya lahan yang tidak berkelanjutan dan

menyebabkan suatu lahan menjadi tidak produktif.

Maka dari itulah diperlukan pemahaman mengenai teori-teori mengenai

perencanaan tata guna lahan wilayah untuk dapat menyusun rencana tata guna lahan bagi

rencana pengembangan kota ke depannya. Dengan demikian diharapkan produk rencana

terkait guna lahan dapat dirumuskan dengan memperhatikan keberlanjutan dan

produktivitas lahan yang akan direncanakan.

1.2 Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari penyusunan dokumen ini adalah untuk dapat memahami teori-teori yang

berhubungan dengan land use planning serta preseden kasus yang terkait sehingga

diharapkan nantinya dapat merencanakan penggunaan lahan sesuai dengan teori yang ada

sehingga rencana dapat tersusun dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat beberapa sasaran yang dapat dilakukan

antara lain sebagai berikut:

a. Mencari dan mengumpulkan berbagai macam teori terkait land use planning dari

berbagai literatur

b. Memahami teori-teori yang telah terkumpul melalui diskusi kelompok

c. Mencari dan memahami preseden kasus terkait fenomena perencanaan tata guna lahan di

Indonesia dan di negara lain

d. Membuat kesimpulan berdasarkan teori dan preseden kasus yang telah dipahami

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Cakupan dari pembahasan land use planning theory ini adalah segala hal yang

terkait dengan perencanaan tata guna lahan yang ada di Indonesia dan di dunia secara

umum. Adapun lingkup pembahasannya adalah sebagai berikut:

a. Pengertian Dasar Land Use

Melingkupi pembahasan mengenai pemahaman awal mengenai definisi-definisi istilah

tentang tata guna lahan sebagai intro untuk dapat memahami pembahasan selanjutnya.

b. Paradigma Penggunaan Lahan

Melingkupi pembahasan mengenai paradigma atau konsep penggunaan lahan, terutama

oleh masyarakat Indonesia.

c. Urgensi Land Use Planning

Melingkupi pembahasan mengenai urgensi atau tingkat kepentingan perencanaan tata

guna lahan sebagai bagian dari perencanaan wilayah dan kota.

L a n d U s e P l a n n i n g

| 3

d. Proses Dasar Land Use Planning

Melingkupi pembahasan mengenai tahapan yang dapat dilakukan dalam merencanakan

penggunaan atau pemanfaatan lahan suatu kawasan.

e. Teori Perencanaan Tata Guna Lahan

Melingkupi pembahasan mengenai teori-teori tentang perencanaan tata guna lahan oleh

berbagai macam ahli sebagai dasar dalam melakukan tindakan perencanaan tata guna

lahan.

f. Model Perencanaan Guna Lahan

Melingkupi pembahasan mengenai model atau jenis-jenis perencanaan tata guna lahan

sebagai aplikasi dan implementasi dari teori perencanaan tata guna lahan dalam tindakan

perencanaan tata guna lahan secara umum.

g. Peran Perencana dalam Perencanaan Guna Lahan

Melingkupi pembahasan mengenai peran seorang perencana (planner) dalam

keikutsertaannya dalam melakukan perencanaan tata guna lahan sebagai salah satu

bagian dari disiplin ilmunya.

h. Land Use Planning Issues

Melingkupi pembahasan mengenai kasus-kasus perencanaan tata guna lahan di Negara

Indonesia dan negara lain sebagai perbandingan sehingga dapat memperkaya wawasan

dan inovasi dalam pembuatan rencana.

L a n d U s e P l a n n i n g

| 4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Dasar

Lahan adalah keseluruhan kemampuan muka daratan beserta segala gejala di bawah

permukaannya yang bersangkut paut dengan pemanfaatannya bagi manusia. Pengertian

tersebut menunjukan bahwa lahan merupakan suatu bentang alam sebagai modal utama

kegiatan, sebagai tempat di mana seluruh makhluk hidup berada dan melangsungkan

kehidupannya dengan memanfaatkan lahan itu sendiri. Sedangkan penggunaan lahan adalah

suatu usaha pemanfaatan lahan dari waktu ke waktu untuk memperoleh hasil. Lahan

merupakan kesatuan berbagai sumberdaya daratan yang saling berinteraksi membentuk

suatu sistem yang struktural dan fungsional. Sifat dan perilaku lahan ditentukan oleh

berbagai macam sumberdaya serta intensitas interaksi yang berlangsung antar sumberdaya.

Faktor-faktor penentu sifat dan perilaku lahan tersebut terbatas ruang dan waktu.

Pengembangan lahan adalah pengubahan guna lahan dari suatu fungsi menjadi fungsi lain

dengan tujuan untuk mendapat keuntungan dari nilai tambah yang terjadi karena perubahan

guna lahan tersebut.

Tata guna lahan (land use) adalah suatu upaya dalam merencanakan penggunaan

lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-

fungsi tertentu,misalnya fungsi pemukiman, perdagangan, industri, dll. Rencana tata guna

lahan merupakankerangka kerja yang menetapkan keputusan-keputusan terkait tentang

lokasi, kapasitas dan jadwalpembuatan jalan, saluran air bersih dan air limbah, gedung

sekolah, pusat kesehatan, taman dan pusat-pusat pelayanan serta fasilitas umum lainnya.

Tata guna lahan merupakan salah satu faktor penentu utama dalam pengelolaan lingkungan.

Keseimbangan antara kawasan budidaya dan kawasan konservasi merupakan kunci dari

pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Tata guna lahan dan

pengembangan lahan dapat meliputi:

a. Kota, menurut definisi universal, adalah sebuah area urban sebagai puast pemukiman

yang berbeda dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk,

kepentingan, kegiatan dan atau status hukum.

b. Perkotaan, merupakan pusat pemukiman yang secara administratif tidak harus berdiri

sendiri sebagai kota, namun telah menunjukkan kegiatan kota secara umum dan

berperan sebagai wilayah pengembangan

L a n d U s e P l a n n i n g

| 5

c. Wilayah, merupakan kesatuan ruang dengan unsur-unsur terkait yang batas dan

sistemnya ditentukan berdasarkan pengamatan administratif pemerintahan ataupun

fungsional

d. Kawasan, merupakan wilayah yang mempunyai fungsi dan atau aspek/pengamatan

fungsional tertentu

e. Perumahan, adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal

atau lingkungan hunian yang dilengkapi sarana dan prasarana lingkungan

f. Permukiman, adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasn lindung ,baik yang

berupa perkotaan maupu pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal

atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yangmendukung kehidupan

Perencanaan tata guna lahan adalah inti praktek perencanaan perkotaan. Sesuai

dengan kedudukannya dalam prencanaan fungsional, perencanaan tata guna lahan

merupakan kunci untuk mengarahkan pembangunan kota. Hal itu ada hubungannya dengan

anggapan lama bahwa seorang perencana perkotaan adalah “seorang yang berpengetahuan

secara umum tetapi memiliki suatu pengetahuan khusus.” Pengetahuan khusus kebanyakan

perencana perkotaan ialah perencana tata guna lahan. Pengembangan tata guna lahan yang

disesuaiakan dengan meningkatkan perekonomian suatu kota atau wilayah.

Catanesse (1988: 281), mengatakan bahwa secara umum ada 4 kategori alat-alat

perencanaan tata guna lahan untuk melaksanakan rencana, yaitu:

a. Penyediaan Fasilitas Umum

Fasilitas umum diselenggarakan terutama melalui program perbaikan modal dengan cara

melestarikan sejak dini menguasai lahan umum dan daerah milik jalan (damija).

b. Peraturan-peraturan Pembangunan

Ordonansi yang mengatur pendaerahan (zoning), peraturan tentang pengaplingan, dan

ketentuan-ketentuan hukum lain mengenai pembangunan, merupakan jaminan agar

kegiatan pembangunan oleh sektor swasta mematuhi standar dan tidak menyimpang dari

rencana tata guna lahan.

c. Himbauan, Kepemimpinan, dan Koordinasi

Sekalipun sedikit lebih informal daripada program perbaikan modal atau peraturan-

peraturan pembangunan, hal ini dapat menjadi lebih efektif untuk menjamin agar

gagasan-gagasan, data-data, informasi dan risat mengenai pertumbuhan dan

perkembangan masyarakat daat masuk dalam pembuatan keputusan kalangan developer

swasta dan juga instansi pemerintah yang melayani kepentingan umum.

L a n d U s e P l a n n i n g

| 6

d. Rencana Tata Guna Lahan

Rencana saja sebenarnya sudah merupakan alat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan

serta saran-saran yang dikandungnya selama itu semua terbuka dan tidak basi sebagai

arahan yang secara terus-menerus untuk acuhan pengambilan keputusan baik bagi

kalangan pemerintah maupun swasta. Suatu cara untuk melaksanakan hal itu adalah

dengan cara meninjau, menyusun dan mensahkan kembali rencana tersebut dari waktu ke

waktu. Cara lain adalah dengan menciptakan rangkaian bekesinambungan antara rencana

tersebut dengan perangkat-perangkat pelaksanaan untuk mewujudkan rencana tersebut.

2.2 Paradigma Penggunaan Lahan

Dalam perencanaan penataan ruang suatu kawasan sangat perlu memperhatikan

perencanaan penggunaan lahannya, karena dalam hakikatnya pada suatu lahan di dalamnya

terjadi interaksi langsung dengan aktivitas manusia (biologis, sosial, budaya) dengan

lingkungannya. Paradigma yang terjadi dalam penggunaan lahan bergeser dari waktu ke

waktu karena adanya beberapa faktor, antara lain:

a. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman

b. Perkembangan kapasitas teknologi

c. Pertumbuhan kesadaran sosial

Begitu pula dalam perencanaan tata guna lahan, paradigma-paradigma yang terjadi

di dalam konteks perencanaan ruang suatu kawasan antara lain:

a. Pemujaan

Suatu penghormatan terhadap fitur-fitur alam (gunung, bukit, hutan, laut) di mana

menganggap hal tersebut sesuatu yang sakral dan dipercaya mempunyai suatu nilai adat

yang dianggap baik dalam kalangan masyarakatnya. Ketika lahan tersebut dianggap

suci/sakral maka akan memunculkan polemik bahwa lahan tersebut tidak dapat diganggu

gugat pemanfaatannya.

b. Eksploitasi

Tingginya permintaan masyarakat akan kebutuhan lahan yang terus meningkat

sedangkan ketersediaan akan lahan yang terbatas sehingga memaksa akan adanya

perubahan alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan peraturan pemerintah yang ada.

c. Apresiasi

Suatu penghargaan atau penilaian terhadap suatu lahan yang ada dengan cara mengenali,

menilai dan membandingkan suatu lahan tersebut akan nilai guna lahan tersebut.

L a n d U s e P l a n n i n g

| 7

d. Konservasi

Upaya untuk mempertahankan, memelihara, memperbaiki atau merehabilitasi, dan

meningkatkan jumlah daya tanah, agar berdayaguna optimum sesuai dengan

pemanfaatan atau fungsinya. Konservasi meliputi masalah-masalah sebagai berikut:

- Benefisiasi, yaitu mempertahankan serta mempertinggi fungsi, manfaat, atau faedah

sumberdaya tertentu.

- Preservasi, yaitu pemeliharaan untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas

sumberdaya tertentu sepanjang waktu.

- Restorasi, yaitu pemeliharaan dan perbaikan untuk meningkatkan manfaat serta

perkembangan sumber-sumber biotik.

- Reklamasi, yaitu mengubah sumber-sumber yang tidak produktif atau tidak berguna

menjadi produktif dan bermanfaat kembali.

- Efisiensi, yaitu pemanfaatan atau pengeluaran sesuatu sumber yang tidak berlebihan

tetapi sesuai dengan keperluan atau kebutuhan.

2.3 Urgensi Land Use Planning

Mengingat pentingnya tanah bagi kelangsungan hidup manusia karena adanya

beberapa nilai yang terkandung di dalamnya, maka penting pula dilakukan penataan atas

segala jenis aktivitas di dalamnya. Berbagai macam aktivitas manusia, yang seringkali

bertentangan satu sama lain, dapat mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam

penggunaan lahan. Pengembangan sebuah kawasan yang mulanya merupakan kawasan

pertanian menjadi kawasan industri tentu saja akan membawa dampak yang tidak ringan.

Selain dari segi lingkungan, dampak yang kemudian muncul adalah adanya perubahan

jumlah bangkitan di kawasan tersebut, perubahan sosial masyarakatnya, hingga

kesenjangan fungsi antara kawasan industri baru dengan kawasan permukiman penduduk di

sekitarnya.

Perencanaan tata guna lahan juga diperlukan agar fungsi-fungsi yang direncakan

dapat saling menunjang keberadaannya. Contohnya adalah lahan yang dimanfaatkan

sebagai kawasan perkantoran berada di dekat kawasan komersil atau pemerintahan yang

relatif lebih mudah dijangkau.

Perencanaan tata guna lahan juga diharapkan mampu meminimalkan besarnya

bangkitan pergerakan dari satu tempat ke tempat lain karena adanya aktivitas-aktivitas yang

tidak bisa dipenuhi dalam satu tempat. Karena itulah perencanaan tata guna lahan tidak

dapat dipisahkan dengan sistem transportasi sebab dari adanya suatu guna lahan tertentu

sering diikuti oleh adanya bangkitan transportasi di sekitarnya.

L a n d U s e P l a n n i n g

| 8

2.4 Proses Dasar Land Use Planning

Survey pendahuluan untuk memperoleh data dasar, yang meliputi studi pustaka,

survey primer di lapangan, dan mengkompilasi data dasar menggunakan paduan peta

tematik. Studi pustaka ini dipergunakan untuk mengetahui tujuan, prinsip, dan standar

minimal terkait penggunaan suatu guna lahan. Misalnya guna lahan perumahan,

perdagangan, industri, perkantoran, dsb yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Melakukan penilaian kapabilitas lahan dari hasil survey dan menganalisis

kesesuaian lahan dengan aktivitas. Hal ini dilakukan melalui analisis SKL (satuan

kemampuan lahan) yang melihat kondisi fisik dasar suatu wilayah, persebaran sarana, dan

tata guna lahan eksisting untuk mengetahui pola aktivitas eksisting.

Identifikasi sifat dan pola perkembangan kota. Apakah terpusat atau bisa jadi

meloncar (leap-frog). Selain itu juga mengidentifikasi kawasan yang belum berkembang

dan pusat-pusat aktivitas untuk membaca pola pertumbuhan kota dan memprediksi

perkembangan di masa mendatang. Menyiapkan rencana lokasi dan tujuan untuk

peruntukkan guna lahan.

Gambar (1) Proses Inventarisasi Eksisting Lahan Perkotaan

Gambar (2) Analisis Arah Perkembangan Penggunaan Lahan

L a n d U s e P l a n n i n g

| 9

2.5 Teori Perencanaan Tata Guna Lahan

2.5.1 Teori Konsentris

Teori konsentris dikemukakan oleh E.W. Burgess dalam analisisnya pada

Kota Chicago pada tahun 1925 dengan analogi dari dunia hewan di mana suatu

daerah akan didominasi oleh suatu spesies tertentu. Seperti halnya pada wilayah

perkotaan akan terjadi pengelompokan tipe penggunaan lahan tertentu. Berikut

merupakan gambaran model zona konsentris oleh Burgess:

Gambar (3) Model Teori Konsentris Burgess

Model Burgess merupakan suatu model yang diperuntukkan bagi kota yang

mengalami migrasi besar-besaran dan pasar perumahan didominasi oleh sektor

privat. Dengan demikian bagi kota yang tingkat migrasinya rendah dan peranan

sektor public sangat besar, maka teori ini menjadi kurang relevan. Teori Konsentris

Burgess memiliki beberapa kelemahan antara lain:

a. Pada kenyataannya gradasi antar zoona tidak terlihat dengan jelas

b. Bentuk CBD kebanyakan memiliki bentuk yang tidak teratur

c. Perkembangan kota cenderung mengikuti rute strategis

d. Homogenitas internal yang tidak sesuai dengan kenyataan

e. Slum area tidak selalu berada di area pusat kota

2.5.2 Teori Ketinggian Bangunan

Teori Ketinggian Bangunan dikemukakan oleh Bergel pada tahun 1955 yang

menyebutkan bahwa penggunaan lahan tidak hanya dipertimbangkan dari jaraknya

dari pusat kota saja (distance decay principle from the center) melainkan juga

jaraknya dari tanah (height decay principle from the ground). Berikut merupakan

Keterangan:

1. Daerah pusat kegiatan

2. Zona peralihan

3. Zona perumahan pekerja

4. Zona permukiman yang lebih baik

5. Zona para penglaju

L a n d U s e P l a n n i n g

| 10

kurva hubungan antara penggunaan lahan dengan ketinggian bangunan menurut

Bergel:

Gambar (4) Kurva Teori Ketinggian Bangunan Bergel

2.5.3 Teori Sektor

Homer Hoyt pada tahun 1939 menyebutkan bahwa pola sektoral yang terjadi

pada suatu wilayah bukanlah suatu hal yang kebetulan tetapi merupakan asosiasi

keruangan dari beberapa variabel yang ditentukan oleh masyarakat. Variabel yang

dimaksud merupakan kecenderungan masyarakat dalam menempati daerah yang

mereka anggap nyaman dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan kota secara sektoral tidak terjadi

secara acak melainkan mengikuti pola atau perkembangan tertentu.

Berikut merupakan gambaran model teori sektor oleh Hoyt:

Gambar (5) Model Teori Sektor Hoyt

Keterangan:

1. Daerah pusat kegiatan (CBD)

2. Wholesale light manufacturing

3. Permukiman kelas rendah

4. Permukiman kelas menengah

5. Permukiman kelas tinggi

L a n d U s e P l a n n i n g

| 11

2.5.4 Teori Poros

Teori Poros dicetuskan oleh Babcock pada tahun 1932 sebagai respon akan

Teori Konsentris Burgess. Teori ini mendasarkan penggunaan lahan pada peranan

sektor transportasi. Keberadaan jalur transportasi akan menyebabkan distorsi pada

pola konsentris, sehingga daerah yang dilalui oleh jalur transportasi akan memiliki

perkembangan fisik yang berbeda dengan daerah yang tidak dilalui oleh jalur

transportasi. Berikut merupakan gambaran model Teori Poros oleh Babcock:

Gambar (6) Model Teori Poros Babcock

2.5.5 Teori Pusat Kegiatan Banyak

Teori Pusat Kegiatan Banyak (Multi Nuclei) dikemukakan oleh Harris and

Ulmann pada tahun 1945 yang menyebutkan bahwa pusat kegiatan tidak selalu

berada pada posisi di tengah-tengah suatu wilayah (center). Lokasi-lokasi keruangan

yang terbentuk tidak ditentukan dan dipengaruhi oleh factor jarak dari CBD sehingga

membentuk persebaran zona-zona yang teratur namun berasosiasi dengan sejumlah

faktor yang akan menghasilkan pola-pola keruangan yang khas. Berikut merupakan

gambaran model Teori Multi Nuclei oleh Harris and Ulmann:

Keterangan:

1. Pusat Kegiatan (CBD)

2. Transistion Zone: Major Roads

3. Low Income Housing: Railways

4. Middle Income Housing

L a n d U s e P l a n n i n g

| 12

Gambar (7) Model Multiple Nuclei

2.5.6 Teori Ukuran Kota

Teori Ukuran Kota menyebutkan bahwa kota memiliki 5 tingkatan

pertumbuhan sebagai berikut:

a. Infantile Towns, ditandai dengan distribusi pertokoan dan perumahan yang belum

tertata rapi dan belum ada pabrik-pabrik maufaktur

b. Juvenile Towns, ditandai dengan adanya gejala difirensiasi zona dan toko-toko

serta perumahan sudah mulai terpisah

c. Adolescent Towns, ditandai dengan kemunculan pabrik-pabrik manufaktur tetapi

belum ada perumahan kelas tinggi

d. Early Mature Towns, ditandai dengan sudah adanya segregasi yang jelas antara

perumahan kelas tinggi dengan zona lainnya

e. Mature Towns, ditandai dengan adanya pemisahan daerah perdagangan, industri,

serta daerah perumahan dengan kelas yang bervariasi.

2.5.7 Teori Historis

Dalam Teori Historis, perkembangan suatu kota dikaitkan dengan ageing

structures, sequent occupancy, population growth, serta available land.

Perkembangan kota terjadi dalam 3 fase, yaitu:

a. Fase 1, perkembangan transportasi dan komunikasi namun perkembangan kota

terjadi kea rah periphery atau pinggiran

b. Fase 2, mulai merasakan dampak negative dari desentralisasi seperti pemborosan

infrastruktur, spekulan tanah, dsb

c. Fase 3, terjadi urban renewal yaitu perpindahan penduduk kembali ke pusat kota

Keterangan:

1. Central business district

2. Wholesale light manufacturing

3. Low class residential

4. Medium class residential

5. High class residential

6. Heavy manufacturing

7. Outlying business district

8. Residential suburb

9. Industrial suburb

L a n d U s e P l a n n i n g

| 13

2.5.8 Teori Lokasi Von Thunen

Von Thunen mencetuskan teori mengenai lahan kota dalam perspektif

ekonomi yaitu dengan pemodelan lokasi pertanian. Dasar dari Teori Von Thunen

adalah konsep sewa ekonomi (economic rent), yang menyebutkan bahwa:

a. Sewa ekonomi berbanding lurus dengan jarak, sehingga sewa ekonomi juga bisa

disebut sebagai sewa lokasi (location rent).

b. Tipe lahan yang berlainan akan menghasilkan hasil bersih (sewa) yang berlainan

pula.

c. Semua petani akan memproduksi jenis tanaman yang memungkinkannya

menghasilkan sewa tertinggi dan memberikan keuntungan maksimal.

Dengan demikian Von Thunen juga menyebutkan bahwa adanya perbedaan

dalam zona lahan dan struktur ruang kota mengindikasikan:

a. Kegiatan tertentu hanya mampu membayar pada tingkat tertentu

b. Harga pada tingkat tertentu dipengaruhi oleh lokasinya dari titik referensi yang

biasanya adalah pusat kota atau CBD.

Gambar (8) Kurva Teori Lokasi Von Thunen

2.5.9 Teori Nilai Lahan

Teori nilai lahan menyebutkan klasifikasi tinggi rendahnya suatu jenis

penggunaan lahan berdasarkan beberapa faktor, sebagai contoh:

a. Lahan Pertanian, tinggi rendahnya nilai lahan bergantung pada:

- Faktor kesuburan;

- Faktor drainase;

- Faktor aksesibilitas, dsb.

L a n d U s e P l a n n i n g

| 14

b. Lahan Perkotaan, tinggi rendahnya nilai lahan bergantung pada:

- Faktor aksesibilitas lokasi (kemudahan pergerakan);

- Faktor potential shopper;

- Faktor kelengkapan infrastruktur, dsb.

2.6 Model-model Perencanaan Guna Lahan

2.6.1 Masa Sebelum Adanya UU tentang Perencanaan Tata Guna Lahan

Sebelum pemerintah mengeluarkan PP Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Penatagunaan Tanah, perencanaan tataguna lahan di Indonesia kebanyakan mengacu

pada UU Pertanahan Agraria yang dimuat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA (UU

No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria). Pasal 14

menentukan agar Pemerintah membuat “rencana umum” penggunaan tanah untuk

berbagai macam kepentingan masyarakat dan negara. Sedang Pasal 15 UUPA

menentukan agar penggunaan tanah tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan

hidup termasuk terpeliharanya tingkat kesuburan tanah.

Dalam undang-undang tersebut belum dijelaskan secara detil tentang teknis

bagaimana pemanfaatan lahan dilakukan. Dalam UU Pokok Agraria hanya

menekankan bahwa penggunaan lahn haruslah mensejahterakan masyarakat serta

tidak merusak kesuburan tanah tersebut. Pernyataan ini menimbulkan berbagai

persepsi di kalangan perencana di Indonesia. Sebagian menganggap bahwa

memanfaatkan tanah untuk mendapatkan hasil sebesar – besarnya demi kepenting

masyarakat adalah hal yang harus dilakukan tanpa memikirkan dampak lingkungan

dari kegiatan yang berlangsung di atas lahan tersebut.

Sebelum adanya PP No. 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, selama

ini Pemerintah Indonesia menggunakan model perencanaan lahan yang diwarisi dari

Pemerintah Hindia Belanda.

2.6.2 Model Tata Guna Lahan Menurut PP No. 16 Tahun 2004 tentang

Penatagunaan Tanah

a. Model Zoning

Menurut model ini, tanah di suatu wilayah atau daerah tertentu dibagi

dalam beberapa zona penggunaan atau kepentingan-kepentingan, kegiatan-

kegiatan, dan atau usaha-usaha yang dilakukan. Sebagai contoh, model zoning

yang dikembangkan oleh Ernest W Borgess untuk kota Chicago antara lain:

L a n d U s e P l a n n i n g

| 15

- Wilayah “the loop” yang merupakan wilayah perdagangan yang sering disebut

“downtown”.

- “The zona in transitions” merupakan wilayah yang disiapkan bagi

perkembangan industri dan perdagangan.

- “The zona of working men’s homes” merupakan wilayah pemukiman bagi

pekerja-pekerja kelas bawah.

- “The residential zona” merupakan wilayah pemukiman bagi orang-orang kaya

- “The commuters zona” merupakan wilayah diluar batas kota.

Model zoning yang dikemukakan oleh Burgess ini memiliki kelebihan dan

kekurangan. Kelebihan model zoning ini antara lain:

- Tugas perencana penggunaan tanah cukup sederhana. Perencana memiliki

tugas yang lebih mudah, melakukan zoning berdasarkan pengelompokan

kegiatan serta bagaimana caranya perencana meletakkan suatu kegiatan di atas

lahan tertentu sehingga mendapat keuntungan ekomis maksimal tetapi juga tetap

meperhatikan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan yang

berlangsung diatasnya (analisis lokasi)

- Adanya jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah warga

masyarakat. Model zoning juga diatur dalam UUTR Nomor 26 Tahun 2007.

Didalmnya tlah di atur hak dan kewajiban masyarakat yang menepati suatu zona

tertentu serta telah diatur bagaimana teknis penggunaan lahan untuk suatu

aktivitas

Sedangkan kekurangan dari perencanaan guna lahan dengan model zoning

antara lain adalah:

- Tidak adanya ruang atas tanah yang dapat menampung kegiatan-kegiatan yang

dipandang merugikan atau mengganggu apabila diletekkan pada zona-zona

tertentu.

- Akan terjadi perkembangan wilayah yang tidak merata. Pada suatu saat, suatu

zona akan mengalami tingkat kepadatan yang tinggi. Contoh umunya adalah

zona ekonomi biasanya terletak di pusat-pusat kota dengan infrastruktur

memadai. Hal ini akan berbeda dengan missal zona pertanian dimana

infrastrukturnya masih belum baik dan akses yang sulit.

b. Model Terbuka

Istilah terbuka mempunyai arti bahwa suatu ruang atas tanah dalam satu

wilayah tertentu tidak terbagi-bagi dalam zona-zona penggunaan sebagaimana

dalam model zoning. Model terbuka menitikberatkan pada usaha-usaha untuk

L a n d U s e P l a n n i n g

| 16

mencari lokasi yang sesuai bagi suatu kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh

pemerintah atau swasta. Dalam menentukan lokasi penggunaan lahan dalam model

ini ada beberapa factor yang menentukan, antara lain:

- Data kemampuan fisik tanah

Data kemampuan fisik tanah dibuatlah pola penggunaan tanah. Pola penggunaan

tanah perkotaan dibuatlah jaringan jalan dengan tetap memperhatikan asas

ATLAS. Sedangkan pola penggunaan tanah untuk pedesaan dibuat atas dasar

tinggi dan tingkat kemiringan tanah. Atas dasar ini maka suatu wilayah pedesaan

dibedakan menjadi beberapa wilayah penggunaan utama yang disebut wilayah

tanah usaha. Wilayah tanah usaha dibedakan menjadi wilayah tanah usaha

terbatas dan tanah dengan ketinggian lebih dari 1.000 m. Perbedaan ketinggian

tanah ini akan membedakan pula perbedaan pola penggunaan tanah.

- Keadaan sosial ekonomi masyarakat

Keadaan social ekonomi meliputi: kepadatan penduduk, kegiatan yang dilakukan

penduduk & mata pencaharian, rata-rata pendapatan perkapita, adat istiadat dll.

Data ini penting untuk mencegah keresahan-keresahan masyarakat sebagai akibat

adanya kegiatan pembangunan.

- Keadaan lingkungan hidup

Untuk mengetahui pengaruh pembangunan terhadap lingkungan hidup dilakukan

dengan ANDAL (analisa dampak lingkungan).

- Data mengenai penguasaan tanah yang ada di wilayah tersebut.

Perlunya mengetahui kepemilikan lahan di wilayah yang diencanakan

memudahkan perencana jika suatu ketika dalam rencana yang dibuat diperlukan

pembelin lahan.

Perencananaan model ini memiliki prinsip yang harus ditaati oleh

perencana. Dimana prinsip ini berperan sebagai penjaga hak – hak masyarakat

yang lahannya menjadi objek perencanaan tata guna lahan. Pinsip – prinsip tersebut

antara lain:

- Bahwa perencanaan penggunaan tanah tidak menggariskan kegiatan yang harus

diletakkan, tetapi meletakkan kegiatan yang telah digariskan. Kebalikan daari

model zoning dimana meletakkan kegiatan sesuai dengan tema apa yang telah di

zona tertentu. Model ini berusaha mencarikan lahan sebagai wadah kegiatan yang

sebelumnya telah ditentukan.

- Tersedianya peta penggunaan tanah bukan merupakan tujuan tetapi berfungsi

sebagai alat atau sarana untuk mecapai tujuan pembangunan. Berbeda dengan

L a n d U s e P l a n n i n g

| 17

model zoning yang produk perencanaannya berupa peta tata guna lahan, model

ini menjadikan peta tata guna lahan untuk memilih lahan yang tepat bagi aktiitas /

kegiatan yang telah ditentukan.

- Bahwa tanah itu sendiri tidak dapat memberikan suatu bagi manusia, tetapi

kegiatan yang ada di atasnyalah yang memberikan manfaat dan kemakmuran.

Prinsip terakhir melihat bahwa tanah menjadi tidak bernilai jika tidak ada

aktivitas di atasnya.

Seperti halnya model perencanaan guna lahan dengan model zoning,

model perencanaan terbuka memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan.

Kelebihan dari model terbuka ini antara lain adalah:

- Semua kegiatan pembangunan baik pemerintah maupun swasta dilaksanakan dan

tertampung, tanpa ada kekawatiran akan terjadi konflik dalam penggunaan tanah.

Karena model ini tidak mengelompokkan aktiitas sesuai zoningnya maka

aktivitas yang bertentangan, missal stasiun dengan seklah tidak akan terjadi

konflik.

- Tanah dapat digunakan sesuai dengan asas-asas penggunaan tanah.

Sedangkan kekurangan dari perencanaan guna lahan model terbuka antara

lain adalah sebagai berikut:

- Kurangnya jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah warga masyarakat.

Hak atas tanah warga masyarakat kurang mendapatkan jaminan hukum. Karena

model ini tidak mepermasalahkan jika ada dua aktiitas yang lahannya berdekatan,

padahal jika dua aktivitas tersebut diletakkan berdekatan berotensi saling

menghancurkan atau salah satu hancur dan yang lain menang. Hal ini sulit

diterapkan di Indonesia mengingat kompleksitas kegiatan yang ada/ oleh karena

itu Pemerintah Indonesia tidak mebuat legalitas huum untuk model perencanaan

huna lahan jenis ini.

- Untuk mengatasi ini maka hendaknya proses pembebasan tanah dilakukan sesuai

dengan peraturan yang berlaku.

c. Konsolidasi Lahan

Teknik penataan kembali lokasi dan batas-batas tanah serta sarana dan

prasarana (pelurusan jalan, sungai, saluran pembagian/pembuangan air)

sedemikian rupa, sehingga pengkaplingan menjadi berbentuk segi empat panjang

dan setiap persil dapat dicapai secara efisien oleh penggarap atau saluran air.

Penatagunaan tanah juga mencakup arti pemeliharaan. Tanah itu harus

dipelihara baik-baik menurut cara yang lazim dikerjakan di daerah yang

L a n d U s e P l a n n i n g

| 18

bersangkutan sesuai dengan petunjuk dari jawatan-jawatan yang bersangkutan

agar bertambah kesuburan serta dicegah kerusakannya.

Tujuan Konsolidasi tanah ialah untuk mencapai pemanfaatan tanah secara

optimal melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah.

Sedangkan sasaran yang akan dicapai ialah terwujudnya suatu tatanan penguasaan

dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur.

Dalam dictum peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4

Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah dinyatakan bahwa tanah sebagai kekayaan

bangsa Indonesia harus dimanfaatnkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat. Elemen-elemen penting yang harus diperhatikan dalam kosolidasi lahan

antara lain:

- Kebijakan pertanahan;

- Penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan usaha pengadaan tanah;

- Bertujuan untuk kepentingan pembangunan, meningkatkan kualitas lingkungan,

pemeliharaan SDA;

- Melibatkan pastisipasi aktif masyarakat.

Konsolidasi lahan dilakukan di daerah perkotaan maupun pedesaan yang

wilayahnya akan menjadi lebih maji jika ada konsolidasi lahan. Ada beberapa

daerah yang lahannya diijikan untuk dilakukan konsolidasi, antara lain:

1) Wilayah perkotaan

- Wilayah pemukiman kumuh;

- Wilayah yang tumbuh pesat secara alami;

- Wilayah pemukiman yang mulai tumbuh;

- Wilayah yang direncanakan menjadi pemukiman yang baru;

- Wilayah yang relative kosong di bagian pinggiran kota yang diperkirakan

akan berkembang sebagai daerah pemukiman

2) Wilayah perdesaan

- Wilayah yang potensial dapat memperoleh pengairan tetapi belum tersedia

jaringan irigasi;

- Wilayah yang jaringan irigasinya telah tersedia tetapi pemanfaatannya belum

merata;

- Wilayah yang berpengairan cukup baik maupun masih perlu ditunjang oleh

pangadaan jaringan jalan yang memadai.

Menurut SE KBPN No. 410-4245/1991, kegiatan konsolidasi tanah

perkotaan harus melalui serangkaian kegiatan berikut, yaitu:

L a n d U s e P l a n n i n g

| 19

a. Pemilihan lokasi;

b. Penyuluhan;

c. Penjajakan kesepakatan;

d. Penetapan lokasi konsolidasi tanah dengan surat Kep. Bupati/walikotamadya;

e. Pengajuan daftar usulan rencana kegiatan konsolidasi tanah;

f. Identifikasi subjek dan objek;

g. Pemetaan dan pengukuran keliling;

h. Pengukuran dan pemetaan rincian;

i. Pengukuran topografi dan pemetaan penggunaan tanah;

j. Pembuatan blok plan/pradisain tata ruang;

k. Pembuatan desain tata ruang;

l. Musyawarah tentang rencana penetapan kapling baru;\

m. Pelepasan hak atas tanah oleh para peserta;

n. Penegasan tanah sebagai objek konsolidasi tanah;

o. Staking out/relokasi;

p. Konstruksi/pembentukan badab jalan dll;

q. Redistribusi tanah/penerbitan sk pemberian hak;

r. Sertifikat;

Menurut SE KBPN No. 410-4245/1991, kegiatan konsolidasi tanah

pedesaan harus melalui serangkaian kegiatan berikut, yaitu:

a. Pemilihan lokasi;

b. Penyuluhan;

c. Penjajakan kesepakatan;

d. Penetapan lokasi konsolidasi tanah dengan surat Kep. Bupati/walikotamadya;

e. Identifikasi subjek dan objek;

f. Pengajuan daftar usulan rencana kegiatan konsolidasi tanah;

g. Seleksi calon penerima hak

h. Pemetaan dan pengukuran kapling;

i. Pengukuran dan pemetaan rincian;

j. Pengukuran topografi dan pemetaan penggunaan tanah;

k. Pembuatan blok plan/pradisain tata ruang;

l. Pembuatan desain tata ruang;

m. Musyawarah tentang rencana penetapan kapling baru;

n. Pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah;

o. Penegasan tanah sebagai objek konsolidasi tanah;

L a n d U s e P l a n n i n g

| 20

p. Staking out/relokasi;

q. Konstruksi/pembentukan prasarana umum dll;

r. Redistribusi tanah/penerbitan sk pemberian hak;

s. Sertifikat;

2.7 Peran Perencana dalam Perencanaan Guna Lahan

2.7.1 Perencana sebagai Teknokrat atau Engineer

Peran ini dimainkan dengan mengambil posisi sebagai advisor bagi para

pengambil kebijakan dengan berporos kepada rasionalitas dan pertimbangan ilmiah.

Informasi dimanfaatkan sebagai sebuah landasan dalam membangun kekuasaan dan

kepentingan. Sedankan fungsinya, antara lain:

a. Rasionalitas yang hendak dibuat sebagai pemenuhan kepentingan publik

b. Mengartikulasikan kepentingan masyarakat umum kepada sebuah rasionalitas

yang acceptable

c. Mengkomunikasikan rasionalitas dan kepentingan yang dibuat kepada aktor lain

2.7.2 Perencana sebagai Birokrat

Perencana sebagai seorang birokrat memiliki peran untuk menjaga stabilisasi

organisasi dan jalannya roda pemerintahan. Informasi dimanfaatkan sebagai sebuah

alat dalam menjaga kepentingan dan keberlangsungan organisasi. Peran ini biasanya

disertai oleh kekuasaan yang datang secara formal dan legal kepada perencana.

Sedangkan fungsi dari peran ini antara lain:

a. Menggunakan rasionalitas sebagai landasan dalam membuat kebijakan

b. Memperlakukan masyarakat sebagai konstituen dan pihak yang terkena kebijakan

c. Mengartikulasikan kepentingan publik dalam kebijakan yang dibuat

d. Memberi informasi kepada masyarakat tentang kebijakan yang akan dibuat.

e. Melakukan komunikasi dengan legislatif

2.7.3 Perencana sebagai Aktivis dan Advokat

Peran ini merupakan sebuah manifestasi dari usaha menjembatani masyarakat

terhadap hal-hal yang bersifat teknis dari sebuah produk rencana. Peran dalam

melakukan mobilisasi kekuatan dan potensi masyarakat untuk melakukan perlawanan

terhadap dominasi Pemerintah. Informasi dan proses komunikasi diperlakukan

sebagai usaha membangun pemahaman masyarakat dan counter-opinion terhadap

kebijakan yang merugikan masyarakat. Peran ini lahir dari sebuah paradigma

L a n d U s e P l a n n i n g

| 21

bahwasanya kelompok tertindas harus membebaskan dirinya sendiri dari dominasi

kelompok penguasa (Freire, 1972). Kekuasaan didapatkan melalui mobilisasi

kekuatan massa atau klaim dukungan masyarakat. Sedangkan untuk fungsi advokat,

adalah:

a. Mengajukan rasionalitas sebagai argumen dalam memobilisasi dan menarik

keberpihakan masyarakat

b. Menjembatani pemahaman rasionalitas masyarakat

c. Menggunakan infrastruktur kelembagaan yang ada sebagai media dalam

melakukan advokasi

d. Menggunakan tindakan-tindakan politik sebagai upaya memberi tekanan publik

dan menarik dukungan dari kelompok lain

e. Melakukan komunikasi dengan pihak lain

2.7.4 Perencana sebagai Politikus

Politikus identik dengan tujuan pragmatis dan komunalis, sehingga perencana

tidak diharapkan untuk bergabung dengan dunia politik. Perencana tidak bisa lepas

dari kepentingan dan dalam memperjuangkan kepentingannya, perencana dituntut

memiliki perspektif seorang politisi. Politikus memiliki insting dalam berkomunikasi

dengan kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda lebih baik. Untuk fungsi

dari politikus antara lain:

a. Menjadikan rasionalitas lebih dari sekedar legitimator kepentingan politik

b. Melaksanakan fungsi perwakilan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat

c. Menjembatani masyarakat dengan para pengambil kebijakan

2.8 Land Use Planning Issues

Pola penggunaan lahan dalam suatu daerah dapat berbeda satu dengan lainnya, hal

ini dipengaruhi oleh banyak hal antara lain kondisi geografis serta kondisi sosial budaya

dari masyarakat setempat. Arahan atau rencana pengembangan suatu wilayah juga turut

mempengaruhi perbedaan-perbedaan pola penggunaan lahan pada wilayah yang berbeda.

Perbedaan pola penggunaan lahan ini tentunya juga memiliki kelebihan dan kekurangannya

masing-masing. Hal inilah yang kemudian mendasari munculnya teori-teori mengenai

penggunaan lahan yang telah dibahas sebelumnya.

Berikut akan dibahas preseden mengenai perbedaan pola penggunaan lahan pada 2

negara yang memiliki letak geografis cukup berdekatan dan memiliki kultur budaya yang

hampir mirip, namun memiliki pola penggunaan lahan yang jauh berbeda:

L a n d U s e P l a n n i n g

| 22

a. Negara Indonesia

Indonesia memiliki ciri khas antara wilayah bagian pusat serta pinggiran wilayah

terjadi kesenjangan pembangunan. Di kabupaten-kabupaten sendiri, untuk pusat

wilayahnya mengalami perkembangan pesat yang ditunjang dengan sarana-prasarana

yang lengkap dan mumpuni sehingga guna lahannya beragam tidak hanya terfokus pada

satu jenis guna lahan. Sedangkan untuk daerah pinggiran yang jauh dari pusat wilayah,

untuk jenis guna lahannya mayoritas ke arah pertanian di mana selaras dengan ciri khas

Negara Indonesia yaitu Negara Agraris.

Kondisi alam yang berpotensi menjadi daerah wisata dan hasil alamnya dapat

memberikan income yang menjanjikan bagi wilayah tersebut, yang dapat menumbuhkan

daerah pinggiran untuk selaras dengan pusat wilayahnya. Kurangnya kualitas dan

kuantitas jaringan jalan yang menjadi penghubung antara pusat dengan pinggiran untuk

keperluan kegiatan-kegiatan pertumbuhan, minimnya sumber dana yang dimana

wilayah-wilayah Indonesia masih belum bisa mandiri, serta belum cukupnya sumber

daya manusia yang mumpuni untuk mampu mengelola keselarasan konteks wilayah

menjadi titik lemah pengembangan wilayah-wilayah di Indonesia sehingga terkesan

antara wilayah dan kota terjadi perbedaan padahal berdasar saluran interaksinya

terhubung satu sama lain dan hasilnya adalah adanya daerah terpencil dan paradoks.

b. Negara Thailand

Berbeda dengan Indonesia, wilayah-wilayah di Thailand sendiri “terhubung”

dengan kota-kota di sekitarnya. Di Thailand sendiri yang menjadi tonggak pertumbuhan

wilayahnya adalah adanya dana yang mencukupi, jaringan jalan yang terhubung dengan

kota besar dengan baik serta pintu masuk dari berbagai jenis moda. Thailand sendiri

adalah negara berbasis dengan pertanian sama dengan Indonesia, namun untuk

wilayahnya sendiri selain sektor pertanian untuk menopang kegiatan kota namun wilayah

di Thailand sendiri berkembang menjadi daerah wisata yang mumpuni selaras dengan

hasil alam dan kearifan lokalnya yang didukung dengan adanya pintu masuk moda

transportasi via udara yang memudahkan untuk pergerakan.

Dengan adanya dukungan yang cukup bahkan lebih menjadikan wilayah-wilayah

di Thailand sendiri berkembang secara optimal dan menjadi perkotaan yang mampu

mandiri. Namun, untuk Thailand sendiri tidak lepas dari adanya paradoks dimana adanya

kesenjangan antara gedung-gedung tinggi dengan permukiman kumuh di sekitarnya.

Berikut merupakan ilustrasi perbedaan pola penggunaan lahan di Indonesia dan

Thailand dari citra satelit:

L a n d U s e P l a n n i n g

| 23

Gambar (9) Peta Struktur Wilayah Kabupaten Boyolali, Indonesia

Gambar (10) Peta Struktur Wilayah Kota Chiang Mai, Thailand

Dari gambar di atas dapat dilihat perbandingan pola penggunaan lahan dari

Kabupaten Boyolali, Indonesia dan Kota Chiang Mai, Thailand. Walaupun sama-sama

berada pada wilayah lereng gunung, namun pola penggunaan lahan di Thailand memiliki

jaringan transportasi yang lebih terjangkau dibandingkan dengan Kabupaten Boyolali.

Kepadatannya pun dapat dilihat bahwa daerah lereng gunung di Kota Chiang Mai lebih

tinggi dibandingkan dengan Boyolali.

L a n d U s e P l a n n i n g

| 24

BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak teori

tentang perencanaan tata guna lahan, baik terkait dari segi geografis, transportasi, maupun

ekonomi yang berfungsi sebagai dasar dalam merumuskan rencana tata guna lahan yang

diharapkan bisa menghasilkan guna lahan yang sustainable dan produktif. Dengan adanya

acuan teori tersebut dapat digunakan sebagai dasar atau acuan dalam melakukan

penyusunan rencana tata guna lahan, sehingga rencana yang dihasilkan dapat berfungsi

dengan baik serta dapat dipertanggungjawabkan.

Pengaplikasian dari teori-teori tata guna lahan tersebut kemudian memunculkan

beberapa pemodelan dalam perencanaan penggunaan lahan, seperti misalnya Model Zoning

yang mengadaptasi Teori Konsentris Burgess. Dengan demikian dapat dilihat bahwa sudah

banyak model perencanaan tata guna lahan yang sudah berdasarkan pada teori-teori tata

guna lahan. Pemodelan berdasar teori ini juga dirasa cukup efektif, efisien, tepat guna, serta

tepat sasaran dalam implementasinya pada kasus pengembangan wilayah dan kota.

Namun demikian meskipun teori yang digunakan adalah sama, bisa saja terdapat

perbedaan pola penggunaan lahan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini

tergantung dari aspek geografis, kondisi sosial budaya masyarakat, serta dokumen arahan

atau kebijakan pengembangan wilayah di daerah tersebut. Seperti misalnya perbedaan pola

penggunaan lahan di Boyolali dan di Chiang Mai meskipun memiliki kemiripan dari segi

geografis. Perbedaan kondisi sosial masyarakat dan perbedaan arahan kebijakan

pengembangan wilayahlah yang memicu adanya perbedaan tersebut.

Sehingga secara keseluruhan dapat ditarik pemahaman bahwa dalam merencanakan

suatu tata guna lahan perlu memperhatikan teori-teori terkait tata guna lahan sebagai dasar

perencanaan. Selain itu perlu juga memperhatikan faktor eksternal seperti kondisi geografis,

kondisi sosial budaya masyarakat, serta arahan kebijakan dari peraturan tata ruang yang

sudah ada sebelumnya.

L a n d U s e P l a n n i n g

| 25

DAFTAR PUSTAKA

Modul Kuliah Tata Guna dan Pengembangan Lahan, PWK FT UNS, Ir. Rizon Pamardhi

Utomo, MURP

Modul Kuliah Analisis Lokasi dan Pola Keruangan, PWK FT UNS, Ratri Werdiningtyas,

S.T., M.T.

Modul Kuliah Perencanaan Kota PWK FT UNS, Ir. Kusumastuti, MURP

PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah

Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria)

Surat Edaran Kepala BPN No. 410-4245/1991

Perencanaan Kota, Anthony J. Catanesse, 1988