Tektonika dan Kaitannya dengan Keberadaan Batuan Metamorf di Pulau Timor

13
Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-4 1 | Page Tektonika dan Kaitannya dengan Keberadaan Batuan Metamorf di Pulau Timor Alva Kurniawan 1. Pendahuluan Batuan metamorf merupakan batuan yang langka ditemukan di Zona Asia Tenggara dalam massa yang besar dan distribusi yang luas. Studi tentang batuan metamorf di Asia Tenggara hingga saat ini masih jarang dilakukan dikarenakan terbatasnya batuan metamorf yang tersingkap. Diantara berbagai zona di Asia Tenggara, Pulau Timor merupakan salah satu zona dimana ditemukan batuan metamorf. Pulau Timor terletak di sebelah timur Pulau Flores, pulau ini dibatasi oleh Selat Wetar di utara, Selat Ombai dan Laut Sawu di sebelah barat, Selat Roti dan Samudra Hindia di sebelah selatan,dan Laut Timor di sebelah timur. Keberadaan batuan metamorf di Pulau Timor merupakan suatu fenomena yang sangat menarik untuk dikaji. Sebaran dari batuan metamorf yang ada di Pulau Timor dapat mencerminkan sebaran proses-proses geologi yang bekerja pada masa lampau di Pulau Timor. Deskripsi dan analisis jenis batuan metamorf yang ada dapat memberikan gambaran kondisi lingkungan pembentukan batuan metamorf. Kondisi lingkungan pembentukan batuan metamorf meliputi kondisi suhu, kondisi tekanan, dan kondisi kimia tertentu yang dapat menghasilkan jenis batuan metamorf tertentu. Kondisi lingkungan tersebut dipengaruhi oleh tektonika yang bekerja di Pulau Timor sehingga Gambar 1. Pulau Timor dikelilingi oleh perairan dan terbagi menjadi 2 zona yaitu West Timor yang merupakan teritori Indonesia dan East Timor yang merupakan teritori Timor Leste, sumber: Google Map

Transcript of Tektonika dan Kaitannya dengan Keberadaan Batuan Metamorf di Pulau Timor

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-4

1 | P a g e

Tektonika dan Kaitannya dengan Keberadaan Batuan Metamorf di Pulau Timor

Alva Kurniawan

1. Pendahuluan

Batuan metamorf merupakan batuan yang langka ditemukan di Zona Asia

Tenggara dalam massa yang besar dan distribusi yang luas. Studi tentang batuan

metamorf di Asia Tenggara hingga saat ini masih jarang dilakukan dikarenakan

terbatasnya batuan metamorf yang tersingkap. Diantara berbagai zona di Asia Tenggara,

Pulau Timor merupakan salah satu zona dimana ditemukan batuan metamorf. Pulau

Timor terletak di sebelah timur Pulau Flores, pulau ini dibatasi oleh Selat Wetar di utara,

Selat Ombai dan Laut Sawu di sebelah barat, Selat Roti dan Samudra Hindia di sebelah

selatan,dan Laut Timor di sebelah timur.

Keberadaan batuan metamorf di Pulau Timor merupakan suatu fenomena yang

sangat menarik untuk dikaji. Sebaran dari batuan metamorf yang ada di Pulau Timor

dapat mencerminkan sebaran proses-proses geologi yang bekerja pada masa lampau di

Pulau Timor. Deskripsi dan analisis jenis batuan metamorf yang ada dapat memberikan

gambaran kondisi lingkungan pembentukan batuan metamorf. Kondisi lingkungan

pembentukan batuan metamorf meliputi kondisi suhu, kondisi tekanan, dan kondisi

kimia tertentu yang dapat menghasilkan jenis batuan metamorf tertentu. Kondisi

lingkungan tersebut dipengaruhi oleh tektonika yang bekerja di Pulau Timor sehingga

Gambar 1. Pulau Timor dikelilingi oleh perairan dan terbagi menjadi 2 zona yaitu West Timor

yang merupakan teritori Indonesia dan East Timor yang merupakan teritori Timor Leste,

sumber: Google Map

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-4

2 | P a g e

dapat dikatakan bahwa batuan metamorf merupakan produk dari tektonika. Karya

ilimiah ini disusun untuk memberikan pemahaman antara kaitan tektonika dengan

keberadaan batuan metamorf di Pulau Timor.

2. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka

terhadap penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terkait

dengan tektonika Pulau Timor dan batuan metamorf yang ditemukan di Pulau

Timor.

3. Geologi Regional Pulau Timor

a. Tektonika Pulau Timor

Pulau Timor memiliki tektonika yang menjadi bagian dari Busur Banda

(Bemmelen, 1949). Pulau Timor merupakan zona dimana Lempeng Kontinen

Australia bagian barat laut berinteraksi dengan zona subduksi yang sudah tidak aktif

lagi (UN, 2003). Zona subduksi tersebut membentang dari sebelah utara Flores-

Wetar dan merupakan bagian dari Great Indonesian Arc (Harris & Long, 2000;

Harris 2006; Milsom, 2000; Prasetyadi & Harris, 1996; Standley & Harris, 2009).

Pada awalnya zona Pulau Timor merupakan zona subduksi, hingga kemudian

mengalami evolusi menjadi zona tumbukan (Harris & Long, 2000; Harris 2006;

Milsom, 2000; Prasetyadi & Harris, 1996; Standley & Harris, 2009; UN, 2003).

Transisi dari zona subduksi menjadi tumbukan terjadi pada masa Sebelum Miosen

Gambar 2. Kondisi topografi Pulau Timor, sumber: Google Map

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-4

3 | P a g e

Tengah (Milsom, 2000) atau pada Miosen Atas (Harris & Long, 2000). Proses

tumbukan menyebabkan prisma akresi pada zona subduksi terlipat dan terdorong

ke permukaan membentuk pulau non vulkanik (Harris, 2000). Dorongan tersebut

terus terjadi sehingga Lempeng Kontinen Australia naik dan menutupi prisma akresi

yang terlipat di bagian tenggara (Milsom, 2000; Harris & Long, 2000; Standley &

Harris, 2009). Pada beberapa zona di Pulau Timor bagian timur laut hingga barat

daya terdapat perbukitan yang merupakan batuan Zona Subduksi Flores-Wetar yang

terlipat, patah, dan menutupi prisma akresi (Standley & Harris, 2009).

Proses tektonik yang dialami Pulau Timor menghasilkan distribusi batuan

yang sangat kompleks secara spasial dan temporal (Bemmelen, 1949). Batuan

lempeng tektonik yang berumur sangat tua tersingkap menutupi batuan prisma

akresi yang umurnya jauh lebih muda (Bemmelen, 1949), batuan Zona Subduksi

Flores-Wetar mengalami kompresi yang sangat intensif sehingga pada beberapa

bagian batuan patah dan terpisah-pisah menutupi batuan prisma akresi dan

membentuk ketidakselarasan (Standley & Harris, 2009). Bagian prisma akresi yang

tidak oleh batuan Zona Subduksi Flores-Wetar dan Lempeng Kontinen Australia

yang bergerak naik, membentuk cekungan dan tertutup oleh sedimen orogenik dari

lempeng tektonik Banda maupun Lempeng Kontinen Australia (Harris & Long, 2000;

Harris, 2006; Standley & Harris, 2009).

Gambar 3. Setting tektonik Pulau Timor yang berkaitan dengan Greater Indonesian Arc (Zona

Subdusi Flores-Wetar) dan zona tumbukan dengan Lempeng Kontinen Australia, sumber:

Harris, 2006.

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-4

4 | P a g e

Struktur-struktur geologi yang mencerminkan gaya kompresif dari tektonika

yang terjadi, terdistribusi secara merata di sepanjang Pulau Timor. Struktur antiklin

terdistribusi pada bagian tengah Pulau Timor dari bagian timur laut hingga barat

daya (Standley & Harris, 2009). Struktur thrust fault pada batuan terdapat di daerah

Dili dan sebelah selatan Soe (Standley & Harris, 2009). Pada sedikit zona utara dan

sebagian besar zona selatan Pulau Timor yang berbatasan dengan perairan, terdapat

cekungan-cekungan Baucau-Soe-Kupang (Standley & Harris, 2009) yang terbentuk

akibat kompresi yang intensif dari tumbukan antara Lempeng Kontinen Australia-

Zona Subduksi Flores-Wetar.

b. Petrologi Regional Pulau Timor

Berdasarkan Milsom (2000) batuan di Pulau Timor dapat dikelompokan

menjadi dua golongan utama yaitu:

Allochthon

Merupakan kelompok batuan yang terpindahkan pada jarak yang sangat jauh

dari tempat terbentuknya (eksitu) oleh proses tektonisme, meliputi:

Gambar 4. Distribusi batuan di Pulau Timor berdasarkan tektofasies dan penampang melintang

batuan di Pulau Timor bagian timur, sumber: Standley & Harris, 2009.

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-4

5 | P a g e

Komplek Mutis-Lolotoi yaitu batuan metamorf derajat rendah dan ofiolit

(Harris & Long, 2000; Pubellier et al., 2004).

Kelompok Palelo, mencakup:

Formasi Noni tersusun dari Batugamping, chert radiolaria,

Batuan gunungapi-volkanoklastika,

Formasi Haulasi terdiri atas batuan gunungapi dan

volkanoklastika,

Formasi Metan tersusun dari agglomerate dan tufan.

Batugamping Cablac yaitu batugamping klastika laut dangkal.

Batuan Gunungapi Ocussi tersusun dari batuan ofiolitik (Harris & Long,

2000; Pubellier et al., 2004), basalt serta tufan.

Parautochthon

Merupakan kelompok massa batuan yang terpindahkan pada jarak yang cukup

jauh dari tempat asal terbentuknya (eksitu) oleh proses tektonisme dan

terdeposisi dekat kelompok massa batuan allochthon. Terdiri dari Sekuen

Kekneno dan Sekuen Kolbano.

Sekuen Kekneno, meliputi:

Formasi Maubisse terdiri atas lava bantal basaltik dan batugamping.

Formasi Atahoc tersusun dari serpih dengan sisipan tufan dan

sandstone, termetamorfosis derajat rendah.

Sedimen Cribas meliputi pasir, debu, serpih, dan batugamping klastik.

Formasi Aileu terdiri atas slate, filit, metakuarsit, skiss, dan marmer.

Formasi Niof meliputi serpih dan batupasir turbidit.

Batugamping Aitutu tersusun dari serpih dan batugamping kaya

Radiolaria.

Formasi Babulu terdiri atas debu, serpih, batupasir.

Sekuen Kolbano, meliputi:

Formasi Oe Baat merupakan batupasir glauconitic.

Formasi Menu dan Nakfunu, tersusun dari perselingan calcilutites,

serpih tipis mengandung Radiolaria dan Foraminifera serta butiran-

butiran chert.

Formasi Ofu, tersusun dari batuan kalkarenit, calcirudites, dan

batugamping kristalin yang massif.

Kelompok Viqueque, merupakan sedimen perairan dangkal dan dalam

yang bervariasi.

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-4

6 | P a g e

Kompleks Bobonaro, merupakan material melange (Standley & Harris,

2009) terdapat lempung dengan struktur sisik ikan (scaly structure).

Secara lebih detail batuan penyusun Pulau Timor dapat dikelompokkan

berdasarkan tektofasiesnya. Batuan Pulau Timor berdasarkan tektofasiesnya terdiri

atas Asian Afanity, Gondwana Squence, Australian Afanity, dan Banda Orogen

Sequence (Harris & Long, 2000; Harris 2006; Prasetyadi & Harris, 1996; Standley &

Harris, 2009). Seluruh batuan allochthon termasuk dalam Asian Afanity. Batuan

parautochthon termasuk dalam Gondwana Squence, Australian Affanity, dan Banda

Orogen Squence. Batuan paraautochthon yang berada dalam Sekuen Kekneno

merupakan batuan Gondwana Squence. Batuan paraautochthon yang berada pada

Sekuen Kobalno merupakan batuan Australian Afanity dan Banda Orogen Squence.

Batuan Asian Afanity merupakan batuan yang mencakup Batuan Gunungapi

Laut Banda dan Banda Terranes. Batuan Gunungapi Laut Banda meliputi batuan

yang terbentuk oleh vulkanisme Gunungapi Occusi dan Gunungapi Manamas

(Standley & Harris, 2009). Batuan Gunungapi Occusi dan Manamas yang tergabung

dalam kelompok Batuan Gunungapi Occusi (Harris, 2006). Banda Terranes terdiri

dari kelompok Mutis-Lolotoi, Kelompok Palelo, dan Batugamping Cablac. Batuan

yangt termasuk dalam kelompok Asian Afanity merupakan batuan yang termasuk

dalam golongan batuan allochthon.

Kelompok Australian Affanity terdiri dari semua kelompok batuan yang

termasuk dalam golongan parautochthon kecuali Gondwana Squence, Kelompok

Viqueque, dan Kompleks Bobonaro (Standley & Harris, 2009). Batuan Gondwana

Squence meliputi Formasi Aileu, Formasi Atahoc, Formasi Maubisse, Formasi Niof,

Batugamping Aitutu, Formasi Babulu, dan Formasi Wailuli. Kelompok Viqueque dan

Kompleks Bobonaro merupakan batuan yang termasuk dalam Banda Orogen

Sequence. Kelompok Viqueque adalah batuan yang terbentuk sebagai synorogenic

sequence sedangkan Kompleks Bobonaro adalah batuan melange (Standley & Harris,

2009) yang mengandung lempung dengan struktur scaly clay (Milsom, 2000).

c. Stratigrafi Regional Pulau Timor

Stratigrafi Pulau Timor secara umum terdiri dari stratigrafi batuan allochthon

dan stratigrafi batuan parautochthon (Milsom, 2000). Batuan allochthon terbentuk

pada masa Jurassic Bawah hingga Pliocene. Golongan batuan parautochthon

terbentuk lebih awal dibandingkan golongan allochthon. Golongan batuan

parautochthon terbentuk pada masa Pre Permian hingga Pliocen.

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-4

7 | P a g e

Stratigrafi batuan golongan allochthon dimulai dengan pembentukan

Kompleks Mutis-Lolotoi pada masa Jurassic Akhir (Milsom, 2000). Formasi Noni

terendapkan diatas Kompleks Mutis-Lolotoi pada pertengahan Cretaceous Bawah,

sehingga Formasi Noni menumpang secara tidak selaras pada Kompleks Mutis-

Lolotoi. Formasi Haulasi menumpang diatas Formasi Noni, pada akhir pembentukan

Formasi Noni. Pembentukan Formasi Noni berakhir pada pertengahan Cretaceous

Gambar 5. Stratigrafi batuan allochthon di Pulau Timor, sumber: Milsom, 2000.

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-4

8 | P a g e

Atas, dan pada masa tersebut Formasi Haulasi mulai terbentuk hingga Eosen Bawah.

Formasi Metan yang terbentuk pada pertengahan Eosen hingga Oligosen Atas

menumpang secara tidak selaras pada Formasi Haulasi. Ketidakselarasan juga

terjadi saat Batugamping Cablac yang terbentuk pada Oligosen Atas hingga

pertengahan Miosen menumpang diatas Formasi Metan. Batuan Gunungapi Occusi

terbentuk pada pertengahan Miosen hingga Pliosen, membentuk ketidakselarasan

dengan Batugamping Cablac.

Stratigrafi batuan parautochthon diawali pembentukan Sekuen Kekneno pada

masa Pre Permian hingga Jurassic Tengah dan Sekuen Kolbano pada masa

Cretaceous Bawah hingga Pliosen (Milsom, 2000). Diantara Sekuen Kekneno dan

Sekuen Kolbano terdapat Kompleks Bobonaro yang menjadi batas antar sekuen

(Standley & Harris, 2009). Kompleks Bobonaro terbentuk pada pertengahan hingga

akhir masa Jurassic Tengah (Standley & Harris, 2009).

Sekuen Kekneno diawali dengan pembentukan Formasi Aileu dan Formasi

Atahoc pada masa Pre Permian (Milsom, 2000). Pada bagian akhir masa Permian

Bawah, pembentukan Formasi Aileu berakhir dan Formasi Maubisse terbentuk.

Formasi Atahoc yang terbentuk hampir bersamaan dengan Formasi Aileu

terendapkan berselingan dengan Formasi Maubisse dan membentuk

ketidakselarasan dengan Formasi Aileu. Pembentukan Formasi Atahoc dan

Gambar 6. Stratigrafi batuan parautochthon di Pulau Timor, sumber: Milsom,

2000.

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-4

9 | P a g e

Maubisse berakhir hampir bersamaan pada masa Permian Atas. Formasi Niof

terbentuk dan mengendap diatas Formasi Maubisse dan Formasi Atahoc pada akhir

masa Permian Atas. Formasi Niof memiliki sedikit perselingan dengan Formasi

Atahoc pada awal pembentukan Formasi Niof hingga masa Triassic Bawah.

Batugamping Aitutu terbentuk pada masa Triassic Tengah diatas Formasi Niof, pada

masa akhir Triassic Tengah, pembentukan Formasi Niof berakhir, Formasi Babulu

terbentuk, sebagian terendapkan diatas Formasi Niof, sebagian lainnya terendapkan

diatas Batugamping Aitutu. Pembentukan Formasi Babulu dan Batugamping Aitutu

berakhir pada bagian akhir Triassic Atas. Formasi Wailuli pada masa Jurassic

Bawah terbentuk dan mengendap secara tidak selaras diatas Formasi Babulu dan

Batugamping Aitutu. Tahap akhir pengendapan Formasi Wailuli merupakan bagian

akhir dari Pembentukan Seuken Kekneno.

Sekuen Kolbano terbentuk pada Cretaceous Bawah diawali dengan

pembentukan Formasi Oe Baat (Milsom, 2000). Pembentukan Formasi Oe Baat

berlangsung relatif singkat, Formasi Nakfunu terbentuk pada Createous Bawah

bagian tengah setelah berakhirnya pengendapan Formasi Oe Baat. Pembentukan

Formasi Nakfunu berakhir pada akhur masa Creataceous Bawah. Formasi Menu

terbentuk pada awal Cretaceous Atas dan menumpang secara tidak selaras diatas

Formasi Nakfunu. Pembentukan Formasi Menu berlangsung hingga akhir masa

Creataceous Atas. Pada awal Eosen hingga Awal Miosen, Formasi Ofu terbentuk dan

mengendap secara tidak selaras diatas Formasi Menu. Sedimen lempung dari

Kompleks Bobonaro terbentuk pada bagian tengah Miosen, diikuti Kelompok

Viqueque pada awal Pliosen. Kelompok Viqueque dan sedimen lempung Bobonaro

membentuk ketidakselarasan dengan Formasi Ofu.

Berdasarkan tektofasies, maka stratigrafi di Pulau Timor terdiri dari susunan

batuan Asian Affanity, Gondwana Squence, Australian Affanity, dan Banda Orogen

Squence (Prasetyadi & Harris, 1996; Standley & Harris, 2009). Batuan Gondwana

Squence yang berumur Pre Permian hingga Jurassic Tengah ditumpangi oleh batuan

Asian Affanity yang berumur Cretaceous Bawah hingga Pliosen pada bagian sisi

baratdaya-barat-utara Pulau Timor. Batuan Gondwana Squence tersebut juga

ditumpangi oleh batuan Australian Affanity yang berumur Cretaceous Bawah hingga

Miosen Tengah pada bagian timurlaut-timur-tenggara-selatan. Banda Orogen

Squence terdapat diantara Batuan Asian Afanity yang menumpang di Gondwana

Squence terdapat pada sisi bagian tengah dan Pesisir Pulau Timor.

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-4

10 | P a g e

4. Kaitan Tektonika dan Keberadaan Batuan Metamorf di Pulau Timor

Batuan Metamorf pada Pulau Timor terdapat pada Formasi Aileu (Milsom, 2000;

Prasetyadi & Harris, 1996) dan Kompleks Mutis-Lolotoi (Milsom, 2000; Harris, 2006;

Standley & Harris, 2009). Batuan Metamorf pada Formasi Aileu terdiri atas batuan

metasedimen dan metaigneous (Prasetyadi & Harris, 1996). Batuan Metasedimen

mencakup slate, filit, skiss, dan marmer, sedangkan batuan metaigneous meliputi

metabasal, metagabbro, batuan ultramafik yang tersepentisasi (Prasetyadi & Harris,

1996). Batuan metamorf pada Kompleks Mutis-Lolotoi, terdiri atas batuan skiss biru,

skiss hijau, amfibolit, filit grafitik, skiss mika-kuarsa, gneiss amfibolit, skiss amfibolit,

gneis pelitik garnet dan skiss pelitik garnet, serpentinit, serta tektonik peridotit (Harris,

2006; Standley & Harris, 2009).

Tektonika berkaitan erat dengan pembentukan batuan metamorfik pada

Formasi Aileu dan Kompleks Mutis-Lolotoi (Harris, 2006; Prasetyadi & Harris, 1996;

Standley & Harris, 2009). Proses metamorfisme yang terjadi pada Formasi Aileu dan

Kompleks Mutis-Lolotoi telah terjadi sebelum masa tumbukan Zona Subduksi Flores-

Wetar dan Lempeng Kontinen Australia terjadi (Ota & Kaneko, 2010). Metamorfisme

yang terjadi pada Formasi Aileu maupun Kompleks Mutis-Lolotoi merupakan

metamorfisme yang terjadi secara multifase dimana batuan yang telah termetamorfisme

kembali mengalami metamorfisme (Prasetyadi & Harris, 1996; Standley & Harris, 2009).

Transisi kondisi tektonisme yang pada awalnya merupakan Zona Subduksi Flores-Wetar

menjadi zona tumbukan antara Zona Subduksi Flores-Wetar dan Lempeng Tektonik

Australia merupakan penyebab terjadinya metamorfisme secara multifase (Prasetyadi &

Harris, 1996; Standley & Harris, 2009). Metamorfisme yang terjadi pada batuan di Pulau

Timor secara umum berada pada kondisi tekanan ± 0.4-1.0 Gpa dan temperatur ± 300-

600 °C (Ota & Kaneko, 2010).

Pembentukan batuan metamorfik Formasi Aileu terdiri atas tiga tahapan

(Prasetyadi & Harris, 1996). Tahapan pertama adalah pembentukan protolit batuan

metamorf pada lingkungan epikontinen-marin yang tenang. Metamorfisme progradasi

yang berkaitan dengan proses rifting terjadi melalui deformasi yang bersifat penetratif

dan metamorfisme terjadi pada fasies skiss hijau. Tahap kedua adalah metamorfisme

pada masa tumbukan. Terjadi deformasi ductile, metamorfisme terjadi pada kondisi P-T

sedang atau pada fasies skiss hijau-amfibolit. Tahap ketiga adalah metamorfisme akibat

dislokasi dan uplift massa batuan yang mengalami tumbukan. Pada tahap ini

berkembang secara lokal lipatan, patahan ekstensional, dan backthrusting. Terjadi

alterasi derajat rendah, rekristalisasi minor, dan pendinginan.

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-4

11 | P a g e

Berdasarkan Prasetyadi & Harris (1996), Lingkungan epikontinen-marin yang

tenang dicerminkan oleh batuan metasedimen berupa perselingan metapelit dan

marmer dalam lapisan yang tebal. Batuan metamorf tersebut terbentuk pada fasies

metamorfik sub-skiss hijau (Prasetyadi & Harris, 1996). Batuan metamorf derajat yang

lebih tinggi pada Formasi Aileu terbentuk secara lokal akibat intrusi batuan mafik

(Prasetyadi & Harris, 1996). Intrusi batuan mafik berkaitan dengan terjadinya rifting

dengan tidak ditemukannya deformasi lipatan pada skistositas. Batuan metamorf

tersebut terbentuk pada fasies skiss hijau hingga amfibolit (Prasetyadi & Harris, 1996).

Batuan metamorf dengan skistositas yang terlipat terbentuk pada batuan metamorfik

derajat yang lebih tinggi (Prasetyadi & Harris, 1996). Skistositas yang terlipat

menunjukkan tektonisme yang bersifat kompresif yang berkaitan dengan proses

tumbukan Zona Subduksi Flores-Wetar dan Lempeng Kontinen Australia.

Pembentukan batuan metamorfik Kompleks Mutis-Lolotoi terjadi dalam

beberapa tahapan (Standley & Harris, 2009). Tahapan pertama adalah metamorfisme

melalui deformasi yang berkaitan dengan tegangan normal. Metamorfisme tersebut

menunjukkan terjadinya dekompresi yang menunjukkan tipe tektonisme ektensional

yang ditunjukkan oleh tegangan maksimum vertikal. Metamorfisme tersebut terjadi

pada fasies skiss hijau hingga amfibolit. Tahapan kedua adalah metamorfisme melalui

deformasi yang berkaitan dengan pure shear deformation. Tahapan selanjutnya adalah

metamorfisme akibat tumbukan Zona Subduksi Flores-Wetar. Gaya kompresif

menyebabkan deformasi yang bersifat pemendekan, terbentuk lipatan pada foliasi.

Naiknya Lempeng Kontinen Australia dan terlipatnya batuan penyusun Zona Subduksi

Flores-Wetar menyebabkan deformasi yang mengakibatkan metamorfisme pada batuan

kembali terjadi.

Standley & Harris (2009) menyatakan bahwa metamorfisme akibat tegangan

normal ditunjukkan oleh skistositas yang tidak terlipat pada batuan metamorf derajat

rendah. Tegangan normal yang dominan menunjukkan gaya vertikal sebagai gaya yang

dominan menyebabkan batuan mengalami deformasi dan metamorfisme sehingga

batuan pada Kompleks Mutis-Lolotoi mengalami burial deformation (Standley & Harris,

2009). Selain batuan metamorfik derajat rendah ditemukan batuan metamorf derajat

sedang dengan protolit yang batuan beku yang bersifat mafik hingga intermedier

(Standley & Harris, 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa batuan di Kompleks Mutis-

Lolotoi mengalami metamorfisme akibat magmatisme dan burial metamorfism

(Standley & Harris, 2009). Analisis unsur mayor dan unsur jejak pada batuan metamorf

menunjukkan bahwa protolit berasal dari magmatisme MORB serta busur gunungapi

kontinental dan kepulauan (Standly & Harris, 2009). Tekstur milonitik berkembang

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-4

12 | P a g e

pada batuan kuarsa-mika skiss yang menunjukkan terjadinya metamorfisme akibat

pergeseran bidang yang berkaitan dengan naiknya Lempeng Kontinen Australia ke atas

Gondwana Squences.

Batuan metamorf dalam massa yang kecil dan distribusi luas bisa ditemukan

sebagai metamorphic halo dari dike diorit dan batuan gunungapi yang mengalami

alterasi (Harris, 2006). Sekelompok mineral yang merupakan alterasi pada fasies zeolit

hingga skiss hijau ditemukan terinjeksi oleh vein dan dike. Sebagian besar batuan

gunungapi disekitar dike diorit mengalami alterasi pada mineralnya menjadi albit, klorit,

dan epidot. Batuan metamorf ini terbentuk pada Kelompok Palelo dan metamorfisme

yang terjadi dikontrol oleh deformasi yang terjadi akibat gaya ekstensional yang intensif

dan sedikit gaya kompresi.

5. Kesimpulan

Metamorfisme di Pulau Timor terjadi melalui serangkaian tahapan yang

dikontrol oleh tektonisme. Evolusi tektonisme dari Zona Subduksi Flores-Wetar menjadi

zona tumbukan antara Zona Subduksi Flores-Wetar dan Lempeng Kontinen Australia,

membentuk lingkungan tekanan dan temperatur metamorfisme pada fasies skiss hijau

hingga amfibolit. Produk batuan hasil metamorfisme pada Formasi Aileu dan Kompleks

Mutis-Lolotai menunjukkan perbedaan protolith. Batuan metamorf juga ditemukan

dalam massa yang kecil pada Kelompok Palelo.

6. Daftar Pustaka

Bemmelen, R. W. V. (1949). The Geology of Indonesia, Vol IA, General Geology of Indonesia

and Adjacent Archipelagoes. The Hague: Martinus Njhoff.

Harris, R., & T. Long. (2000). The Timor Ophiolite, Indonesia: Model or Myth?. Geological

Society of America Special Paper, 349, p. 321-330.

Harris, R. (2006). Rise and Fall of The Eastern Great Indonesian Arc Recorded by The

Assembly, Dispersion, and Accretion of The Banda Terrane, Timor. Gondwana

Research, 10, p. 207-231.

Milsom, J. (2000). Stratigraphic Constraints on Suture Models for Eastern Indonesia.

Journal of Asian Earth Sciences, 18, p. 761-779.

Ota, T., & Y. Kaneko. (2010). Blueschists, Eclogites, and Subduction Zone Tectonics:

Insights from A Review of Late Miocene Blueschist and Eclogites, and Related

Young High Pressure Metamorphic Rocks. Gondwana Research, 18, p. 167-188.

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-4

13 | P a g e

Prasetyadi, C., & R. A. Harris. (1996). Structure and Tectonic Significance of The Aileu

Formation East Timor, Indonesia. Proceeding of the 25th Annual Convention of The

Indonesian Asscociation of Geologist, p. 144-173.

Pubellier, M., & C. Monnier, R. Maury, R. Tamayo. (2004). Plate Kinematics, Origin, and

Tectonic Emplacement of Supra-Subduction Ophiolites in SE Asia. Tectonophysics,

392, p. 9-36.

Standley, C. E., & R. Harris. (2009). Tectonic Evolution of Forearc Nappes of The Active

Banda Arc-Continent Collision: Origin, Age, Metamorphic History, and Structure of

The Lolotoi Complex, East Timor. Tectonophysics, 479, p. 66-94.

UN. (2003). Atlas of Mineral Resources of The ESCAP Region, Volume 17: Geology and

Mineral Resources of Timor-Leste. New York: United Nation-ESCAP.