Social Media and Reading-Culture Revolution among Digital Natives

26
Media Sosial dan Revolusi Budaya Baca Di Kalangan Digital Natives 1 Hadi Purnama, Drs., M.Si Abstrak Membaca adalah salah satu aktivitas intelektual yang hanya dimiliki manusia yang berkembang seiring dengan sistem tulisan. Budaya membaca tidak tumbuh begitu saja, karena sejarah umat manusia mencatat pengembangan sistem tulisan melalui proses perjalanan yang sangat panjang. Penelitian yang melibatkan 41 responden dengan rentang usia 17-21 tahun yang dipilih secara acak menunjukkan terjadinya pergeseran budaya membaca dari media cetak ke media online, terkait dengan pola membaca, aspek gender, frekuensi dan durasi membaca. Dari aspek gender. Pergeseran dalam budaya membaca di kalangan anak muda juga sangat dipengaruhi oleh karakteristik media online yang tidak dimiliki oleh media cetak. Kepraktisan dan mobilitas media online serta kemudahan mengakses merupakan beberapa keunggulan yang memikat para pengguna media dari kalangan muda. Karakteristik ini jelas tidak dimiliki oleh buku, suratkabar/tabloid, maupun majalah. Diperlukan effort lebih besar dan mahal untuk mengakses media cetak yang jelas tidak sesuai dengan karakteristik para digital natives. Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, media online masih dinilai memiliki sejumlah kelemahan dibandingkan media cetak. Salah satu kelemahan media online adalah kekurangakuratan atau ketidakakuratan informasinya, karena dalam penulisannya sering tidak menerapkan prinsip cross-check dan konfirmasi, dan lebih banyak memuat opini subjektif. Hasil survey makin menguatkan kecenderungan khalayak media baru yang tidak sekadar ditempatkan sebagai objek yang menjadi sasaran dari pesan. Kecenderungan perubahan budaya membaca sangat terkait dengan khalayak dan perubahan teknologi media serta pemaknaan terhadap media telah memperbarui peran khalayak untuk menjadi lebih interaktif terhadap pesan, dan konsumen media baru yang didominasi anak muda bisa menentukan cara mengakses sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. 1 Makalah disampaikan pada The 1st Indonesia Media Research Awards & Summit (IMRAS) 2014: "Tren Pola Konsumsi Media di Indonesia Tahun 2014," Yogyakarta 16 Oktober 2014. 1

Transcript of Social Media and Reading-Culture Revolution among Digital Natives

Media Sosial dan Revolusi Budaya Baca Di

Kalangan Digital Natives 1

Hadi Purnama, Drs., M.Si

AbstrakMembaca adalah salah satu aktivitas intelektual yang hanya

dimiliki manusia yang berkembang seiring dengan sistem tulisan.Budaya membaca tidak tumbuh begitu saja, karena sejarah umatmanusia mencatat pengembangan sistem tulisan melalui prosesperjalanan yang sangat panjang.

Penelitian yang melibatkan 41 responden dengan rentang usia17-21 tahun yang dipilih secara acak menunjukkan terjadinyapergeseran budaya membaca dari media cetak ke media online,terkait dengan pola membaca, aspek gender, frekuensi dan durasimembaca. Dari aspek gender. Pergeseran dalam budaya membaca dikalangan anak muda juga sangat dipengaruhi oleh karakteristikmedia online yang tidak dimiliki oleh media cetak. Kepraktisandan mobilitas media online serta kemudahan mengakses merupakanbeberapa keunggulan yang memikat para pengguna media darikalangan muda. Karakteristik ini jelas tidak dimiliki oleh buku,suratkabar/tabloid, maupun majalah. Diperlukan effort lebih besardan mahal untuk mengakses media cetak yang jelas tidak sesuaidengan karakteristik para digital natives.

Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, media online masihdinilai memiliki sejumlah kelemahan dibandingkan media cetak.Salah satu kelemahan media online adalah kekurangakuratan atauketidakakuratan informasinya, karena dalam penulisannya seringtidak menerapkan prinsip cross-check dan konfirmasi, dan lebihbanyak memuat opini subjektif.

Hasil survey makin menguatkan kecenderungan khalayak mediabaru yang tidak sekadar ditempatkan sebagai objek yang menjadisasaran dari pesan. Kecenderungan perubahan budaya membacasangat terkait dengan khalayak dan perubahan teknologi mediaserta pemaknaan terhadap media telah memperbarui peran khalayakuntuk menjadi lebih interaktif terhadap pesan, dan konsumenmedia baru yang didominasi anak muda bisa menentukan caramengakses sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya.

1 Makalah disampaikan pada The 1st Indonesia Media Research Awards & Summit (IMRAS) 2014: "Tren Pola Konsumsi Media di Indonesia Tahun 2014," Yogyakarta 16 Oktober 2014.

1

Kata kunci: Revolusi budaya baca, media baru, digital native, polakonsumsi media.

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangIndonesia saat ini menjadi negara dengan jumlah penduduk

terbesar keempat di dunia, setelah Tiongkok, India dan Amerika

Serikat. Namun, dengan penduduk berjumlah lebih dari 250 juta

jiwa, diperkirakan terdapat 4,53 persen atau 3,6 juta jiwa yang

masih buta aksara. Penduduk yang masih tergolong buta aksara

berasal dari kelompok usia 15-59 tahun

(http://www.republika.co.id).

Di sisi lain Indonesia juga tercatat sebagai salah satu

negara dengan pengguna Internet terbesar di dunia. Mengutip

pernyataan Direktur Pemberdayaan Informatika, Direktorat Jen-

deral Aplikasi Informatika (Aptika) Kementerian Kominfo,

Septriana Tangkary, saat ini Indone-sia menduduki peringkat ke-8

di dunia dengan perkiraan 82 juta orang pengguna Internet.

Menurut Tangkary, 80 persen pengguna Internet adalah remaja

berusia 15-19 tahun (http://kominfo.go.id).

Bertolak dari angka tadi, maka tingkat penetrasi Internet

untuk penduduk Indonesia saat ini berada di kisaran lebih dari

30 persen dari total penduduk Indonesia. Fenomena lain yang

patut dicatat adalah meningkat pesatnya pertumbuhan komunikasi

mobile, khususnya smartphone, terbukti dari sekitar 270 pengguna

telepon seluler (http://ugm.ac.id). Survei yang dilakukan oleh

Nielsen yang melibatkan responden berusia 13 tahun ke atas sejak

Maret 2013 hingga Mei 2013 menunjukkan penetrasi smartphone di

negara-negara berkembang di Asia Pasifik semakin menguat.

2

Thailand Yang terbesar adalah mencapai 49 persen, diikuti oleh

Indonesia 23 persen, India sebesar 18 persen, dan Filipina 15

persen (http://www.tempo. co/read/ news/2013/09/23).

Dengan pengguna Internet di Indonesia yang terus meningkat,

diperkirakan 95 persennya diantaranya digunakan untuk mengakses

jejaring sosial. Lebih lanjut disebutkan, situs jejaring sosial

yang paling banyak diakses adalah Facebook dan Twitter.

Indonesia menempati peringkat 4 pengguna Facebook terbesar

setelah USA, Brazil, dan India. Selain Twitter, jejaring sosial

lain yang dikenal di Indonesia adalah Path dengan jumlah

pengguna 700.000 di Indonesia, Line sebesar 10 juta pengguna,

Google+ 3,4 juta pengguna dan Linkedlin 1 juta pengguna

(http://kominfo.go.id).

Tren pertumbuhan angka pengguna Internet di Indonesia

seiring pula dengan mening-katnya pengguna Internet secara

global yang mendekati angka 2,9 milyar di penghujung 2013 lalu

(http://www.internetworldstats.com). Populasi pengguna Internet

terjadi di seluruh bagi-an di lima benua, namun Asia menjadi

salah satu kawasan yang paling cepat pertumbuhan penggunanya dan

terbesar di seluruh dunia. Persentase pengguna Internet di Asia

– sekitar 45 persen - hampir setengah dari seluruh pengguna

Internet global dengan pertumbuhan menembus angka 1000 persen

selama kurun waktu 14 tahun (lihat Tabel 1).

Tabel 1

3

Perbandingan Pengguna Internet dengan Jumlah Penduduk Dunia (Per 31 Desember 2013)

WorldRegions

Population

( 2014Est.)

InternetUsers

Dec. 31,2000

InternetUsers

Latest Data

Penetration(%

Population)

Growth2000-2014

Users %of

Table

Africa 1,125,721,038 4,514,400 240,146,482 21.3 % 5,219.6 % 8.6 %

Asia 3,996,408,007 114,304,000 1,265,143,70

2 31.7 % 1,006.8 % 45.1 %

Europe 825,802,657 105,096,093 566,261,317 68.6 % 438.8 % 20.2 %

Middle East 231,062,860 3,284,800 103,829,614 44.9 % 3,060.9 % 3.7 %

North America 353,860,227 108,096,800 300,287,577 84.9 % 177.8 % 10.7 %

Latin America / Caribbean

612,279,181 18,068,919 302,006,016 49.3 % 1,571.4 % 10.8 %

Oceania / Australia 36,724,649 7,620,480 24,804,226 67.5 % 225.5 % 0.9 %

WORLD TOTAL 7,181,858,619 360,985,492 2,802,478,9

34 39.0 % 676.3 % 100.0 %

Sumber: http://www.internetworldstats.com/stats.htm

Kehadiran Internet - sebagai media komunikasi baru -

bagaimanapun telah mengubah wajah dunia setidaknya dalam satu

dasawarsa terakhir. Internet dipandang mulai mengambil alih

sebagian aktivitas komunikasi manusia. Kini, lebih dari dua

dekade setelah pengembang-annya, internet hampir menggeser

popularitas media tradisional atau media arus utama (mainstream

media), khususnya media cetak seperti buku, suratkabar/tabloid

dan majalah.

4

Adanya kecenderungan menurunnya penggunaan media arus utama,

dan meningkatnya penggunaan media sosial, lebih terasa di

kalangan generasi muda. Hal itu ditegaskan John Katz, penulis

buku Virtous Reality dan editor tamu majalah The Rolling Stones, dalam

Media Studies Journal edisi 1999, ”Jumlah generasi muda yang

mengonsumsi mainstream journalism-yaitu surat kabar,majalah,dan

broadcast news-semakin terpisah dan kelompok paling kuat

pengaruhnya dalam satu negara ini diabaikan oleh dunia

jurnalisme lama”. Kelompok muda yang tidak terbiasa mengonsumsi

berita secara pasif seperti generasi tua. Mereka ingin lebih

interaktif, karena mereka tidak memiliki tradisi membaca majalah

atau surat kabar. Namun, menurut Katz, mereka sangat peduli

dengan isu dan akan membacanya jika tertarik (Kompas,edisi 3

Oktober 1999, halaman 16).

Di sisi lain data yang dilansir oleh World Association of

Newspaper (WAN, sekarang berganti nama menjadi WAN-IFRA) hampir

sepuluh tahun silam menunjukkan penyusutan jumlah total tiras

surat kabar di seluruh dunia selama kurun 1995-2003. Data WAN

menunjukkan adanya penyusutan tiras surat kabar di Jepang (2%),

Eropa (3%) dan di Amerika (5%) (Pikiran Rakyat,Pers Cetak di

Persimpangan Jalan,9 Februari 2007, Hal.4). Kecenderungan yang

sama terjadi di Asia Tenggara dan Indonesia. Survei AC Nielsen

(periode April-Juni 2006) menunjukkan hampir semua surat kabar

utama mengalami penurunan antara 20 – 44 persen. Menukiknya

tiras surat kabar jelas akan mempengaruhi kesehatan keuangan

industri media cetak ini. Sebagai contoh, suratkabar The New

York Times tahun 2006 mengalami penurunan pendapatan hingga 39

persen dibandingkan tahun 2005.

5

Bandingkan dengan apa yang terjadi pada media online,

khususnya media sosial. Sepuluh tahun lalu kita belum mengenal

media sosial seperti Facebook, Twitter atau YouTube, dan

Google+. Sekarang, lebih dari 300 juta orang log-in di Facebook

setiap hari, Twitter setiap harinya kebanjiran lebih dari 50

juta tweet, dan sekitar 2 milyar video ditonton setiap hari lewat

situs pengunduh video YouTube. Di luar itu luberan informasi

terjadi pada media sosial. Ensiklopedi online terbesar Wikipedia

sedikitnya memiliki 5 juta artikel dalam 229 bahasa. Sekitar 200

ribu video diunduh ke YouTube setiap harinya, sedangkan jumlah

Technocrati mencatat sedikitnya 50 juta blog.

Meningkatnya penggunaan Internet tidak bisa dilepaskan dari

makin berkembangnya teknologi gawai (gadget) menjadi salah satu

faktor penentunya, selain faktor makin terjangkaunya harga

gawai. Di sisi lain tersedianya akses Internet memungkinkan para

pengguna menggunakan dan mengakses informasi melalui perangkat

komunikasi mobile dalam hal ini telepon seluler, khususnya

keberadaan smartphone.

Di kalangan penduduk usia muda, khususnya berusia antara 15-

30 tahun yang kerap disebut digital natives yang dilahirkan dari

periode akhir 80-an dan 90-an, terbiasa menggunakan gawai atau

berbagai perangkat komunikasi dan telekomunikasi berbasis sistem

digital. Kecenderungan penggunaan perangkat digital di kalangan

digital natives tidak terhindarkan di hampir setiap aktivitas

keseharian, khususnya sebagai sarana komunikasi dan informasi.

Meningkatnya aktivitas pencarian informasi melalui gawai dan

Internet di satu sisi memunculkan harapan terciptanya kebiasaan

membaca melalui perangkat teknologi, mengingat kemudahan

6

mengakses informasi melalui Internet. Namun, di sisi lain,

terbit pula kekhawatiran akan kian terdesaknya budaya baca

melalui media cetak tradisional (buku, suratkabar, majalah) di

kalangan digital natives dengan hadirnya gawai dan Internet.

1.2 Rumusan MasalahMelalui paparan pada latar belakang, maka penulis tertarik

untuk membuat sebuah penelitian yang akan fokus mendeskripsikan

fenomena budaya baca di kalangan digital natives dikaitkan dengan

meningkatnya penggunaan media sosial dan merumuskannya sebagai

berikut:“Bagaimana Perubahan Budaya Baca di Kalangan Digital

Natives?”

2. KERANGKA TEORITIS

2.1 Melek Huruf dan Budaya BacaPara sejarawan memerkirakan manusia mulai mengenal budaya

tulis dan baca sekitar 3000 tahun yang lalu, ketika bangsa

Mesoptamia di kawasan Timur Tengah mulai mengem-bangkan system

tulisan (http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_writing). Sejak

saat itu mulai terjadi pergeseran dari tradisi lisan ke tradisi

tulis seiring makin dibutuhkannya kemampuan manusia untuk

mencatat data dan informasi terkait aktivitas perdagangan dan

pertanian.

Kemampuan manusia menciptakan dan memahami lambang dan

simbol tertulis makin berkembang seiring dengan berkembangnya

peradaban. Tradisi tulis makin menggeser tadisi lisan ketika

berbagai penemuan di bidang percetakan makin memudahkan

reproduksi pesan secara tertulis. Dua diantara tonggak penemuan

7

itu ditandai dengan pengembangan mesin cetak manual oleh

Johannes Gutenberg di tahun 1450, yang disebut sebagai periode

“modern awal” (berlangsung dari 1450 hingga 1789). Seiring

dengan berkembangnya teknologi percetakan, terlebih saat mesin

uap pada Era Revolusi Industri, sejak itu masyarakat makin mudah

mengakses informasi karena bahan cetakan seperti buku dapat

diproduksi secara massal.

2.2 Media BaruKomunikasi memerlukan media untuk menyampaikan pesan dari

komunikator kepada komunikan. Seiring perkembangan teknologi

informasi dan komunikasi menyebabkan munculnya suatu media baru

atau new media. Media baru adalah istilah yang dipakai untuk

semua bentuk media komunikasi massa yang berbasis teknologi

komunikasi dan teknologi informasi. Media baru yang memiliki

ciri tersebut adalah internet (Vivian, 2008: 263).

Media – menurut Stewart dan Kowaltzke (2008:1) merupakan

sebuah terminologi yang meliputi berbagai produk budaya media

dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yakni media tradisional

(traditional media) dan media baru (new media). Media tradisional

yang telah berevolusi dari sejak abad ke sembilan belas hingga

kedua puluh, merujuk pada jenis media yang diprosuksi oleh

segelintir produsen yang berkomunikasi dengan khalayak dalam

jumlah besar. Karenanya, dengan karakteristik yang dimilikinya,

media tradisional kerap disebut one-many-many media.

Berbeda dengan media tradisional, maka media baru mulai

dikembangkan di akhir abad ke dua puluh dan terus disempurnakan

di abad kedua puluh satu. Ciri media baru adalah berbasis pada

komputer dengan pola-pola interaksi yang lebih kompleks antara

8

produsen dan konsumen media, sehingga kerap disebut many-to-many

media.

Terry Flew dalam buku “New Media: An Introduction”(2005:2)

menegaskan media baru sebagai media digital, yakni semua bentuk

media yang menggabungkan dan menintegrasikan data, teks, suara

dan gambar yang tersimpan dalam format digital. Selain itu media

baru didistribusikan secara cepat melalui jaringan berbasis

serat optik, kabel, satelit dan sistem transmisi microwave.

Lebih jauh Martin Lister, dkk dalam buku“New Media: A Critical

Introduction” (Lister dkk, 2009: 12-13) menjelaskan media baru

dapat dilihat dari hal-hal berikut:

1. Bentuk pengalaman baru dalam teks, hiburan, kesenangan, dan

pola dari konsumsi media (permainan komputer, simulasi,

efek khusus film).

2. Cara baru dalam mempresentasikan dunia, penggunaan media

yang menawarkan kemungkinan representasional baru.

3. Bentuk hubungan baru antara pengguna, konsumen, dengan

teknologi media.

4. Bentuk pengalaman baru dari indentitas diri maupun

komunitas dalam berinteraksi.

5. Bentuk konsepsi baru dari hubungan manusia secara biologis

dengan teknologi media.

Sedangkan McQuail (2011: 156-157) menjelaskan lima kategori

utama yang dimiliki media baru yang dibedakan berdasarkan jenis

penggunaan, konten dan konteksnya yaitu:

1. Media Komunikasi Antar Pribadi, meliputi telepon dan surat

elektronik. Secara umum, konten bersifat pribadi dan mudah

9

dihapus dan hubungan yang tercipta dan dikuatkan lebih

penting daripada informasi yang disampaikan.

2. Media Permainan Interaktif, meliputi komputer dan video

game, ditambah peralatan realitas virtual. Inovasi utama

terletak pada interaktivitas dan dominasi dari kepuasan

proses atas penggunaan.

3. Media Pencarian Informasi, yaitu sebuah kategori sangat

luas tetapi internet/WWW merupakan contoh yang penting dan

dianggap sebagai perpustakaan dan sumber daata yang ukuran,

aktualitas, dan aksesabilitasnya belum pernah ada

sebelumnya.

4. Media Partisipasi Kolektif, sebagai sebuah kategori khusus

meliputi penggunaan internet untuk berbagi dan bertukar

informasi, gagasan, dan pengalaman, serta untuk

mengembangkan hubungan pribadi aktif, misalnya situs

jejaring sosial.

5. Substitusi Media Penyiaran, dimana acuan utamanya adalah

penggunaan media untuk menerima atau mengunduh konten yang

di masa lalu biasanya disiarkan atau disebar-kan dengan

metode lain yang serupa, seperti aktivitas menonton film

dan program acara televisi atau mendengarkan radio dan

musik.

Salah satu media baru yang kini berkembang adalah mobile

telephone atau lebih dikenal dengan, dimana terjadi peningkatan

penggunaannya di kalangan remaja. Telepon seluler, mengutip

hasil penelitian Rich Ling, memiliki fungsi spesifik bagi

pengguna dari kalangan remaja. Selain berfungsi sebagai sarana

untuk berkomunikasi, sarana untuk mengoordinasi kehidupan

10

mereka, juga memfasilitasi interaksi social mereka (2004:85).

Lebih jauh Ling menjelaskan, telepon seluler bagi remaja

dimaknai secara khusus sebagai simbol kedewasaan (symbol for

adolescents) dalam konteks interaksi dengan sesama (Ling,

2004:103).

Seperti telah diungkapkan di bagian pendahuluan, salah satu

media baru yang penggunaannya menunjukkan peningkatan adalah

telepon seluler, khususnya smartphone. Meski belum ada

kesepakatan tentang definisi “cerdas” pada smartphone, namun

mengacu pada penjelasan David Wood, smartphone dapat dibedakan

dengan telepon genggam biasa dengan dua cara fundamental:

bagaimana mereka dibuat dan apa yang mereka bisa lakukan.”

Pengertian lainnya memberikan penekanan berbedaan dari dua

faktor ini (http://id.wikipedia. org/wiki/Telepon_cerdas).

2.3Media Sosial

Seiring meningkatnya pengguna Internet secara global yang

mendekati angka 3 milyar (lihat Tabel 1) muncul Web 2.0 yang

ditandai dengan berseminya fenomena blogging di dunia maya, yakni

hadirnya situs-situs pribadi - yang kemudian disebut blog.

Istilah blog meru-pakan kependekan dari weblog, pertama kali

digunakan oleh Jorn Barger di tahun 1997. Era Web 2.0 menandai

lahirnya era interaktifitas, ketika pengguna Internet bukan lagi

pengguna pasif melainkan sebagai pengguna aktif. Pengguna

Internet kini dapat melakukan update data secara kontinyu dan

cepat, juga mampu memberikan komentar-komentar mereka sendiri.

2.3.1 Karakteristik Media Sosial

Secara umum karakteristik yang dimiliki internet sebagai

media online – khususnya di era Web 2.0 adalah adanya

11

Interaktivitas, hipertekstualitas, bersifat multimedia, dan

personalisasi dari digital content. Media baru yang mengaplikasikan

teknologi Web 2.0 yang sangat mendukung perkembangan media

sehingga banyak media lama yang melakukan transformasi menuju

media baru. Teknologi Web 2.0 pertama kali dicetuskan oleh Tim

O’Reilly pada tahun 2003. Teknologi Web 2.0 memiliki konsep

interaksi dan sharing antar pengguna. Ciri-ciri Web 2.0 menurut

O’Reilly yaitu:

1.Web sebagai platform untuk menjalankan setiap aplikasi

2.Web mampu menghimpun pengetahuan menjadi kesatuan yang

sangat luas

3.Semakin lengkap dan kuat suatu data maka situs tersebut

akan semakin berhasil

4.Dapat terus diperbaharui tanpa perlu waktu yang lama

5.Memudahkan pengguna membuat layanan baru dengan layanan

yang sudah ada

6.Aplikasi pada Web 2.0 dapat digunakan melalui berbagai

perangkat

7. Aplikasi Web 2.0 dapat menghubungkan banyak pengguna

Menandai kehadiran era Web 2.0 mendorong kelahiran berbagai

bentuk media sosial (social media) seperti Friendster, MySpace,

Facebook, Linkedin, Twitter, Path, YouTube, Insta-gram dan banyak

lagi. Kehadiran media sosial tidak mucul begiu saja, melainkan

bermula de-ngan lahirnya situs jejaring sosial SixDegrees.com di

tahun 1997. Melalui situs inovatif ini, pengguna internet dapat

online secara bersamaan yang diikuti oleh terbentuknya prinsip-

prinsip umum yang membentuk karakteristik media sosial, yaitu:

12

(1) User profiles, sebuah fitur yang berisi data pengguna yang

disediakan untuk situs pertemanan;

(2) List of Friends, fitur berisikan daftar teman yang terhubung

dengan pengguna;

(3) Share Friends with others, fitur yang memungkinan pengguna

berinteraksi dengan pihak lain yang memiliki kesamaan

minat atau latar belakang. (Vroenhoven dalam

http://www.apollomediablog.com).

Meski pun hanya mampu bertahan kurang dari 3 tahun,

SixDegrees.com – karena sejumlah alasan seperti pengguna merasa

tidak nyaman menyediakan informasi tentang dirinya secara online

dan berinteraksi dengan orang yang tidak dikenalnya. Belum lagi

alasan masyarakat yang belum terbiasa dan membutuhkan situs

jejaring sosial pada saat itu. Namun, harus diakui keberadaan

SixDegrees telah meletakkan fondasi penting bagi media sosial di

kemudian hari.

Terminologi media sosial merujuk pada penggunaan teknologi

berbasis web (web-based) dan mobile, yakni semua perangkat gadget,

yang bercirikan pada bentuk komunikasi interaktif. Andreas

Kaplan and Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai

sekumpulan aplikasi berbasis internet (internet-based applications)

yang dibangun pada fondasi ideologis dan teknologi Web 2.0. yang

memungkinkan penciptaan dan pertukaran content. Pendek kata,

media sosial merupakan media untuk interaksi sosial, sebagai

seperangkat cara memperkaya komunikasi sosial dengan menggunakan

teknik komunikasi yang mudah diakses dan luas

(http://en.wikipedia.org/wiki/Social_media).

13

Begitu pun dengan Damien Van Vroenhoven - dalam artikel

tentang bertajuk The History of Social Media - mendefinisikan media

sosial sebagai terminologi umum untuk menggam-barkan berbagai

aktivitas yang mengintegrasikan teknologi, interaksi sosial,

dan produksi kata, gambar, video serta audio. Lebih jauh

dijelaskan, interaksi social ini serta cara informasi disa-jikan

bergantung pada berbagai perspektif dan “bangunan” yang dimaknai

bersama, seperti halnya manusia berbagi cerita dan pemahamannya.

(Vroenhoven dalam http://www.apo-llomediablog.com).

2.3.2 Bangkitnya Media Sosial vs Media Massa

Media sosial memiliki keragaman bentuk, sesuatu yang tidak

dimiliki oleh media arus utama. Bentuk media sosial terdiri atas

forum di internet, weblog, social blog, microblogging, wiki, podcast,

layanan foto atau gambar, video, hingga social bookmarking. Kaplan

and Haenlein (http://en.wikipedia.org/wiki/Social_media) membagi

media sosial menjadi enam bentuk, yaitu:

(1) Collaborative projects (contoh, Wikipedia);

(2) Blog dan microblog (contoh, Twitter);

(3) Content communities (contoh Youtube);

(4) Social networking sites (contoh, Facebook);

(5) Virtual game worlds (contoh World of Warcraft);

(6) Virtual social worlds (contoh, Second Life).

(http://en.wikipedia.org/wiki/Social_media).

Sedangkan Stephanie Miler dalam artikel berjudul Is Social

Media Synonymous with Social Networking?, mengelompokkan varian media

sosial, menjadi enam bentuk, yaitu:

(1) Blog, berisi kumpulan artikel yang dapat dikomentari

komunitas;

14

(2) Forum, menampilkan topik tertentu yang didiskusikan;

(3) Content communities, berupa media yang memungkinkan

berbagai content, (cerita, gambar, foto, video dan link)

(contoh YouTube);

(4) Wiki , berisikan dokumen dan database yang dibuat dan

disunting oleh komunitas (contoh Wikipedia);

(5) Virtual worlds , penggguna memasuki dan membangun kehidupan

virtual di dunia virtual (contoh Second Life).

(6) News aggregators , menampilkan beragam sumber informasi

dari satu situs (conoh Netvibes).

(7) Microblogging, berisi pesan singkat (contoh Twitter)

(http://en.wikipedia.org/wiki/Social_media)

Berbeda dengan media tradisional (media mainstream), media

sosial memiliki beberapa karakteristik khusus diantaranya:

(1) Jangkauan (Reach) – Daya jangkau media sosial dari

skala kecil hingga khalayak global. Selain itu media

sosial memiliki karakteristik lebih terdesentralisasi,

kurang hirarkis, serta dibedakan oleh berdasarkan

perbedaan sistem produksi dan penggunaannya (multiple points of

production and utility.).

(2)Aksesibilitas (Accessibility) – Media sosial lebih mudah

diakses oleh publik dengan biaya yang terjangkau.

(3) Penggunaan (Usability) - Media sosial relatif mudah

digunakan karena tidak memer-lukan keterampilan dan

pelatihan khusus.

(4) Aktualitas (Immediacy) – Media sosial dapat memancing

respon khalayak lebih cepat.

15

(6) Tetap (Permanence) – Media sosial dapat mengganti

komentar secara instan atau

mudah melakukan proses pengeditan.

Pada Web 2.0, menurut Reilly, memungkinkan pengguna internet

menjadi produsen dalam bentuk gagasan, teks, video, gambar dan

bukan sekadar konsumen (user-generated content). Perbedaanya sangat

kontras dengan teknologi Web 1.0 yang menempatkan pengguna

sebagai konsumen (http://en.wikipedia.org/wiki/Web_2.0).

Lantas, adakah perbedaan paradigma antara media sosial

dengan media massa atau kerap disebut mainstream media? Menurut

Ben Edwards, Direktur Media Komunikasi Baru IBM, terdapat

perbedaan paradigma cukup mendasar antara media sosial dengan

media massa tradisional. Edwards membedakannya berdasarkan 7

indikator sehingga tampak kekhasan paradigma diantara kedua

media (Edwards,2006:10).

Ketujuh indikator yang digunakan terdiri atas: (1) Produsen

(Publisher); (2) Tingkat efisiensi (Economics); (3)

Pengguna/Khalayak (Audience); (4) Keterli-batan (Engagement); (5)

Respon (Voice); (6) Komunikasi (Communications); (7) Pemasaran

(Marketing) seperti tampak pada Tabel 2.

Tabel 2Perbedaan Paradigma Media Sosial dengan Media Massa

Media Massa Media SosialPublisher Profesional publishing Self-publishingEconomics High cost Low costAudience Mass NicheEngagement Passive ActiveVoice Institutional IndividualCommunication Publisher EnablerMarketing Advertising PublishingSumber: Edwards,2006:10.

16

Dengan karakteristik yang dimiliki media online - khususnya

media sosial - secara perlahan mulai menggeser peran media

mainstream. Terlebih bila dikaitkan aspek demografis saat ini,

ketika jumlah digital native (terminologi bagi generasi muda yang

melek digital) kian dominan ketimbang digital migrant yang “dipaksa”

memasuki budaya digital. Penggunaan media online dan media

sosial menunjukkan kecenderungan meningkat.

3. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif

karena bertujuan untuk mendapatkan gambaran lebih akurat tentang

perubahan budaya mengonsumsi media, khususnya budaya membaca di

kalangan remaja atau masuk kedalam kategori digital native. Total

jumlah populasi sebesar 1.613 orang, penelitian melibatkan 41

responden yang berasal dari mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi,

Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Universitas Telkom, Bandung.

Profil responden berdasarkan jenis kelamin sebagai berikut,

yakni 11 orang (27%) laki-laki dan 30 orang (73%) perempuan

(lihat Tabel 3).

Tabel 3 Profil Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

NoJenis

KelaminF %

1 Laki-laki 11 272 Perempuan 30 73

JUMLAH 41 100 Sumber: Hasil Penelitian

4. ANALISIS DAN PEMBAHASANPenelitian yang berlangsung pada bulan September 2014 ini

menghasilkan sejumlah hasil, diantaranya gambaran tentang profil

17

responden berdasarkan kategori usia. Reponden penelitian berasal

dari rentang usia dari 17-21 tahun, dimana responden yang

berusia 21 tahun berjumlah 16 orang (39%), disusul kemudian

masing-masing responden berusia 20 tahun dan 18 tahun masing-

masing sebanyak 8 orang (20%), dan terakhir berusia 17 tahun

(12%).

Ditinjau dari sumber bacaan yang digunakan oleh para

responden, terdapat fenomena menarik ketika 38 responden (93%)

masih membaca buku, disusul 27 responden (66%) masih membaca

suratkabar/tabloid, 27 responden (66%) membaca majalah, dan 41

responden (100%) membaca media online (Tabel 4)

Tabel 4 Profil Responden Berdasarkan Sumber Bacaan

Sumber: Hasil Survey (2014)

Dari jenis buku yang paling sering dibaca, 28 (68%)

responden memilih membaca buku fiksi, 8 responden (20%) membaca

buku pelajaran/teks kuliah, dan 5 responden (12%) memilih buku

nonfiksi.

Responden memiliki beragam cara untuk memperoleh bahan

bacaan tercetak (buku, suratkabar/tabloid, dan majalah). Untuk

kategori buku, sebanyak 21 responden (51%) memilih untuk

meminjam, 17 responden (41%) memilih untuk meminjam, sementara 3

responden (8%) memilih untuk mendapatkan buku secara gratis atau

diberi oleh pihak lain.

18

Dalam mengonsumsi bahan bacaan buku, terdapat perbedaan dari

frekuensi membaca buku (dalam satu hari), durasi membaca buku,

dan lokasi membaca buku. Untuk frekuensi membaca buku terdapat

34 responden (83%) dengan kebiasaan membaca buku sebanyak 1-2

kali setiap harinya, hanya 4 responden (10%) memiliki frekuensi

membaca 3-4 kali/hari, dan sisanya 3 responden (7%) dengan

kebiasaan membaca buku lebih dari 4 kali/hari.

Kebiasaan membaca juga terkait dengan durasi atau lamanya

membaca buku, yakni 25 responden (61%), 11 responden (27%),

dan 5 responden (12%). Faktor lain yang berkaitan de-ngan

kebiasaan membaca buku adalah lokasi, yakni 40 responden (98%)

lebih sering membaca di rumah (atau tempat kos), sementara

sisanya 1 responden (2%) membaca buku di kampus.

Kebiasaan membaca suratkabar atau tabloid meliputi jenis

bacaan, durasi, frekuensi, waktu membaca, dan lokasi membaca

suratkabar/tabloid. Suratkabar/tabloid berkategori Lifestyle

(gaya hidup) dipilih oleh 46 persen responden, menyusul

suratkabar/tabloid umum (21%), suratkabar/tabloid Infotainment

(13%), suratkabar/tabloid Olahraga (8%), suratkabar/tabloid

Politik (8%), dan suratkabar/tabloid otomotif (4%).

Sedangkan lamanya membaca atau durasi membaca

suratkabar/tabloid masing-masing 88 persen responden meluangkan

waktu kurang dari 30 menit, selebihnya (12%) membaca antara 30

hingga 60 menit dalam satu hari. Dari sisi waktu yang digunakan

untuk membaca, 33 persen responden memilih pagi hari untuk

membaca suratkabar/tabloid,29 persen responden pada malam hari,

21 persen pada siang hari, dan 17 persen membaca pada sore hari.

19

Lain halnya dengan kebiasaan membaca majalah dilihat dari

frekuensi, durasi, cara memperoleh, dan jenis majalah yang

dibaca. Terdapat 93 persen responden membaca majalah 1-2 kali

dalam seminggu, sedangkan 7 persen membaca majalah 3-4 kali

seminggu. Durasi yang digunakan untuk membaca majalah dari 66

persen responden adalah kurang dari 30 menit, sementara 31

persen responden meluangkan waktu antara 30-60 menit, dan hanya

3 persen yang meluangkan waktu lebih dari 60 menit untuk membaca

majalah.

Riset ini menunjukkan 100 responden membaca media online

dengan frekuensi dan durasi yang beragam. Terdapat 41 persen

responden telah menggunakan media online kurang dari lima tahun,

sementara 41 persen lagi telah menggunakan media online antara

5-10 tahun. Sisanya, 18 persen, mengaku telah menggunakan media

online lebih dari 15 tahun silam.

Para responden mengaku memiliki durasi membaca media online

jauh lebih lama dibandingkan media cetak buku,

suratkabar/tabloid, dan majalah. Terdapat 51 persen responden

menggunakan media online lebih dari 60 menit setiap hari,

sedangkan 37 persen responden menggunakan media online 30-60

menit, sisanya 12 persen responden meng-gunakan media online

kurang dari 30 menit (lihat Tabel 5).

Tabel 5 Durasi Membaca Berdasarkan Sumber

Bacaan/Media

No Durasi Buku Suratkabar/Tabloid

Majalah MediaOnline

F % F % F % F %

1 >30menit 11 27 21 88 19 66 5 12

20

2 30-60menit 25 61 3 12 9 31 15 37

3 >60menit 5 12 0 0 1 3 21 51

Jumlah 41 100 24 100 29 100 41 100Sumber: Hasil Survey (2014)

Waktu yang digunakan untuk mengonsumsi buku mayoritas malam

hari (61%), se-dangkan suratkabar/tabloid dan majalah lebih

tersebar mulai dari pagi,siang, sore dan malam. Sedangkan media

online lebih banyak digunakan pada malam hari (76%).

Sedangkan durasi rata-rata dalam satu hari yang digunakan

responden untuk mengon-sumsi media online cukup tersebar.

Terdapat 39 persen respoden menggunakan media online antara 3-6

jam sehari, 32 persen responden menggunakan 1-3 jam sehari, 20

persen responden menggunakan antara 6-9 jam sehari, dan 9 persen

yang menggunakan media online lebih dari 9 jam sehari.

Cara yang digunakan untuk mengakses media online dari para

responden pun berbeda, meskipun lebih dari setengahnya atau 68

persen responden menggunakan perangkat telepon pintar atau

smartphone, 17 persen memanfaatkan laptop sebagai gadget untuk

mengakses media online, sedangkan 15 persen diantaranya masih

menggunakan laptop. Dari keempat puluh satu responden yang

disurvey, semuanya menggunakan Google (100%) sebagai mesin

pencari (search engine) saat melakukan pencarian di dunia maya.

Penggunaan media online oleh para responden lebih untuk

memenuhi fungsi hiburan (49%), informasi (44%), 7 persen

responden menggunakan media online untuk fungsi perte-manan,

dan tidak seorang pun menggunakanya untuk fungsi edukatif. Hasil

riset juga berhasil menggali jenis konten yang dicari oleh

21

responden yang mayoritas mencari konten hiburan dan infotainment

(56%), berita (37%), iptek (5%), dan online shopping (2%).

Aktifitas para responden saat menggunakan media online dapat

digambarkan sebagai berikut, yakni sebagian besar (46%)

melakukan pencarian di Internet, selebihnya melakukan chatting

atau percakapan (44%), berikirim surat elektronik (7%), dan

online game (3%). Aktivitas chatting para responden lebih banyak

digunakan melalui aplikasi instant messaging Line (76%), Wechat

(7%), Whatsapp (5%), dan aplikasi lainnya (12%).

Jenis media online yang paling sering diakses oleh para

responden adalah media sosial (66%), disusul kemudian oleh

website (32%), dan terakhir adalah blog (2%). Twitter menjadi

media sosial yang paling banyak digunakan responden (34%),

disusul Facebook (22%), Path (20%), Instagram (12%), dan Youtube

(10%).

Persoalan yang lebih mendasar tentang terjadinya perubahan

budaya membaca dari media cetak, baik melalui buku

suratkabar/tabloid, dan majalah, respoden yang disurvey memiliki

sejumlah alasan. Penulis mengajukan 10 kriteria yang dimiliki

oleh media online yang relatif berbeda dengan karakteristik

media cetak. Dari kesepuluh kriteria lebih dari setengah

responden (58%) yang memilih media online karena lebih praktis

dibandingkan media cetak. Disusul kemudian oleh pertimbangan

mudah diakses (20%), akurasi informasinya, kecepat-annya,

kelengkapan informasinya, serta mudah disesuaikan dengan

kebutuhan (masing-masing 5%). Terakhir, karakteristik media

online lebih murah dibandingkan media cetak menjadi pertimbangan

responden (2%). Tidak ada satupun responden yang menjawab

22

karakteristik kedalaman informasi, daya tarik visual, dan

pesannya mudah dipahami sebagai keunggulan karakteristik media

online dibandingkan media cetak.

Di sisi lain, media online dinilai memiliki sejumlah

kekurangan dibandingkan media cetak. Terdapat 44 persen

responden yang menilai media online tidak akurat. Berikutnya

para responden yang disurvei menganggap informasi yang dimuat di

media online tidak mendalam (15%), mengakses media online lebih

mahal (12%), sulit diakses (10%), lambat (10%), sulit

menyesuaikan dengan kebutuhan pengguna (5%), informasi tidak

lengkap (2%), dan tidak praktis (2%).

5. PENUTUPHasil yang diperoleh dari survey menguatkan asumsi tentang

pergeseran budaya membaca dari media cetak ke media online,

terkait dengan pola membaca, aspek gender, frekuensi dan durasi

membaca. Dari aspek gender, berdasarkan responden yang disurvey,

menunjukkan mayoritas perempuan memiliki kebiasaan membaca

(reading habit) lebih baik (di atas 70%) dibandingkan laki-laki (di

bawah 30%).

Durasi membaca rata-rata untuk setiap kali membaca bahan

bacaan menunjukkan pergeseran, ketika media cetak mulai tergeser

oleh media online. Sebagian besar responden hanya meluangkan

waktu kurang dari 30 menit setiap kali membaca media cetak

suratkabar/tabloid dan majalah. Responden masih membaca buku

dengan durasi antara 30 hingga 60 menit. Sedangkan durasi

membaca melalui media online cenderung lebih lama dibandingkan

dengan tiga media cetak, karena terdapat 51 peren responden

memiliki durasi membaca lebih dari 60 menit.

23

Selain durasi membaca per kegiatan, media online unggul

dilihat dari durasi total membaca per hari yang lebih dari 3 jam

sehari.Kecenderungan lamanya durasi membaca melalui media online

salah satunya dipengaruhi oleh karakteristik media online yang

memungkinkan penggunanya memanfaatkan berbagai bahan bacaan

serta fitur yang tidak dimiliki oleh media cetak. Hyperlink

merupakan salah satu fitur yang dimiliki oleh media online,

memungkinkan penggunanya melakukan penelusuran ke beragam laman

yang sesuai dengan kebutuhannya.

Pergeseran dalam budaya membaca di kalangan anak muda juga

sangat dipengaruhi oleh karakteristik media online yang tidak

dimiliki oleh media cetak. Kepraktisan dan mobilitas media

online serta kemudahan mengakses merupakan beberapa keunggulan

yang memikat para pengguna media dari kalangan muda.

Karakteristik ini jelas tidak dimiliki oleh buku,

suratkabar/tabloid, maupun majalah. Diperlukan effort lebih besar

dan mahal untuk mengakses media cetak yang jelas tidak sesuai

dengan karakteristik para digital natives.

Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, media online masih

dinilai memiliki sejumlah kelemahan dibandingkan media cetak.

Salah satu kelemahan media online adalah kekurangakuratan atau

ketidakakuratan informasinya, karena dalam penulisannya sering

tidak menerapkan prinsip cross-check dan konfirmasi, dan lebih

banyak memuat opini subjektif.

Namun, bercermin dari hasil survey yang penulis lakukan,

pergeseran budaya membaca di kalangan anak muda saat ini makin

menguatkan kecenderungan khalayak media baru yang tidak sekadar

ditempatkan sebagai objek yang menjadi sasaran dari pesan.

24

Mengutip Nasrullah (2013:18) kecenderungan perubahan budaya

membaca sangat terkait dengan khalayak dan perubahan teknologi

media serta pemaknaan terhadap media telah memperbarui peran

khalayak untuk menjadi lebih interaktif terhadap pesan tersebut.

Konsekuensinya, di era sekarang konsumen media baru yang

didominasi anak muda bisa menentukan cara mengakses sesuai

dengan keinginan dan kebutuhannya.

*****

DAFTAR PUSTAKA

Baran, Stanley & Dennis K. Davis. 2009. Teori Komunikasi Massa:Dasar, Pergolakan, dan Masa Depan. Terjemahan Afrianto Dauddan Putri Iva Azzati. Penerbit Salemba Humanika: Jakarta.

Briggs, Asa & Peter Burke. 2006. Sejarah Sosial Media: DariGutenberg Sampai Internet. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.

Flew, Terry. 2005. New Media: An Introduction. Oxford UniversityPress: South Melbourne.

Ling, Rich. 2004. The Mobile Connection: The Cell Phones Impacton Society. Morgan Kaufmann: San Francisco.

Lister, Martin et.al. 2009. New Media: A Critical Introduction (2nd

Edition). Routledge: New York.Nasrullah, Rulli. 2013. Cyber Media. Idea Press: Yogyakarta. Stewart, Collin & Adam Kowaltzke. 2008. Media: New Ways and

Meanings (3rd Edition). Jacaranda Plus:Brisbane.Vivian, John. 2003. The Media of Mass Communication. Pearson

Edication: Boston.

Website:http://www.internetworldstats.com/stats.htm (diakses 28 Agustus2014, pk.10:07)http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/Kominfo+

%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+63+Juta+Orang/0/berita_satker#.VBPUB5hc8V0(Diakses 1/9/2014, pk.13:07)

http://en.wikipedia.org/wiki/Social_media, diakses 12/8/2011.http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_writing, 5 September2014)

25

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/11/28/mwyw5l-kemendikbud-36-juta-rakyat-indonesia-buta-huruf (12/8/2014,pk13:42)

http://ugm.ac.id/id/berita/8776-menkominfo%3A.270.juta.pengguna.ponsel.di.indonesia (10/9/20

http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3980/Kemkominfo%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+Capai+82+Juta/0/berita_satker#.VBaygJhc8V0 (25/8/2014, pkl.13:45)

http://www.tempo.co/read/news/2013/09/23/072515690/Nielsen-23-Persen-Orang-Indonesia-Punya-Ponsel (10/8/2014, pk.14:45)

http://id.wikipedia. org/wiki/Telepon_cerdas (7/9/2014,pkl.10:25)

http://www.apollomediablog.com/a-brief-history-of-social-media-part-1/ (Diakses 12/8/2011,

pkl. 14:105).

26