Social Media and Reading-Culture Revolution among Digital Natives
-
Upload
telkomuniversity -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of Social Media and Reading-Culture Revolution among Digital Natives
Media Sosial dan Revolusi Budaya Baca Di
Kalangan Digital Natives 1
Hadi Purnama, Drs., M.Si
AbstrakMembaca adalah salah satu aktivitas intelektual yang hanya
dimiliki manusia yang berkembang seiring dengan sistem tulisan.Budaya membaca tidak tumbuh begitu saja, karena sejarah umatmanusia mencatat pengembangan sistem tulisan melalui prosesperjalanan yang sangat panjang.
Penelitian yang melibatkan 41 responden dengan rentang usia17-21 tahun yang dipilih secara acak menunjukkan terjadinyapergeseran budaya membaca dari media cetak ke media online,terkait dengan pola membaca, aspek gender, frekuensi dan durasimembaca. Dari aspek gender. Pergeseran dalam budaya membaca dikalangan anak muda juga sangat dipengaruhi oleh karakteristikmedia online yang tidak dimiliki oleh media cetak. Kepraktisandan mobilitas media online serta kemudahan mengakses merupakanbeberapa keunggulan yang memikat para pengguna media darikalangan muda. Karakteristik ini jelas tidak dimiliki oleh buku,suratkabar/tabloid, maupun majalah. Diperlukan effort lebih besardan mahal untuk mengakses media cetak yang jelas tidak sesuaidengan karakteristik para digital natives.
Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, media online masihdinilai memiliki sejumlah kelemahan dibandingkan media cetak.Salah satu kelemahan media online adalah kekurangakuratan atauketidakakuratan informasinya, karena dalam penulisannya seringtidak menerapkan prinsip cross-check dan konfirmasi, dan lebihbanyak memuat opini subjektif.
Hasil survey makin menguatkan kecenderungan khalayak mediabaru yang tidak sekadar ditempatkan sebagai objek yang menjadisasaran dari pesan. Kecenderungan perubahan budaya membacasangat terkait dengan khalayak dan perubahan teknologi mediaserta pemaknaan terhadap media telah memperbarui peran khalayakuntuk menjadi lebih interaktif terhadap pesan, dan konsumenmedia baru yang didominasi anak muda bisa menentukan caramengakses sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya.
1 Makalah disampaikan pada The 1st Indonesia Media Research Awards & Summit (IMRAS) 2014: "Tren Pola Konsumsi Media di Indonesia Tahun 2014," Yogyakarta 16 Oktober 2014.
1
Kata kunci: Revolusi budaya baca, media baru, digital native, polakonsumsi media.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangIndonesia saat ini menjadi negara dengan jumlah penduduk
terbesar keempat di dunia, setelah Tiongkok, India dan Amerika
Serikat. Namun, dengan penduduk berjumlah lebih dari 250 juta
jiwa, diperkirakan terdapat 4,53 persen atau 3,6 juta jiwa yang
masih buta aksara. Penduduk yang masih tergolong buta aksara
berasal dari kelompok usia 15-59 tahun
(http://www.republika.co.id).
Di sisi lain Indonesia juga tercatat sebagai salah satu
negara dengan pengguna Internet terbesar di dunia. Mengutip
pernyataan Direktur Pemberdayaan Informatika, Direktorat Jen-
deral Aplikasi Informatika (Aptika) Kementerian Kominfo,
Septriana Tangkary, saat ini Indone-sia menduduki peringkat ke-8
di dunia dengan perkiraan 82 juta orang pengguna Internet.
Menurut Tangkary, 80 persen pengguna Internet adalah remaja
berusia 15-19 tahun (http://kominfo.go.id).
Bertolak dari angka tadi, maka tingkat penetrasi Internet
untuk penduduk Indonesia saat ini berada di kisaran lebih dari
30 persen dari total penduduk Indonesia. Fenomena lain yang
patut dicatat adalah meningkat pesatnya pertumbuhan komunikasi
mobile, khususnya smartphone, terbukti dari sekitar 270 pengguna
telepon seluler (http://ugm.ac.id). Survei yang dilakukan oleh
Nielsen yang melibatkan responden berusia 13 tahun ke atas sejak
Maret 2013 hingga Mei 2013 menunjukkan penetrasi smartphone di
negara-negara berkembang di Asia Pasifik semakin menguat.
2
Thailand Yang terbesar adalah mencapai 49 persen, diikuti oleh
Indonesia 23 persen, India sebesar 18 persen, dan Filipina 15
persen (http://www.tempo. co/read/ news/2013/09/23).
Dengan pengguna Internet di Indonesia yang terus meningkat,
diperkirakan 95 persennya diantaranya digunakan untuk mengakses
jejaring sosial. Lebih lanjut disebutkan, situs jejaring sosial
yang paling banyak diakses adalah Facebook dan Twitter.
Indonesia menempati peringkat 4 pengguna Facebook terbesar
setelah USA, Brazil, dan India. Selain Twitter, jejaring sosial
lain yang dikenal di Indonesia adalah Path dengan jumlah
pengguna 700.000 di Indonesia, Line sebesar 10 juta pengguna,
Google+ 3,4 juta pengguna dan Linkedlin 1 juta pengguna
(http://kominfo.go.id).
Tren pertumbuhan angka pengguna Internet di Indonesia
seiring pula dengan mening-katnya pengguna Internet secara
global yang mendekati angka 2,9 milyar di penghujung 2013 lalu
(http://www.internetworldstats.com). Populasi pengguna Internet
terjadi di seluruh bagi-an di lima benua, namun Asia menjadi
salah satu kawasan yang paling cepat pertumbuhan penggunanya dan
terbesar di seluruh dunia. Persentase pengguna Internet di Asia
– sekitar 45 persen - hampir setengah dari seluruh pengguna
Internet global dengan pertumbuhan menembus angka 1000 persen
selama kurun waktu 14 tahun (lihat Tabel 1).
Tabel 1
3
Perbandingan Pengguna Internet dengan Jumlah Penduduk Dunia (Per 31 Desember 2013)
WorldRegions
Population
( 2014Est.)
InternetUsers
Dec. 31,2000
InternetUsers
Latest Data
Penetration(%
Population)
Growth2000-2014
Users %of
Table
Africa 1,125,721,038 4,514,400 240,146,482 21.3 % 5,219.6 % 8.6 %
Asia 3,996,408,007 114,304,000 1,265,143,70
2 31.7 % 1,006.8 % 45.1 %
Europe 825,802,657 105,096,093 566,261,317 68.6 % 438.8 % 20.2 %
Middle East 231,062,860 3,284,800 103,829,614 44.9 % 3,060.9 % 3.7 %
North America 353,860,227 108,096,800 300,287,577 84.9 % 177.8 % 10.7 %
Latin America / Caribbean
612,279,181 18,068,919 302,006,016 49.3 % 1,571.4 % 10.8 %
Oceania / Australia 36,724,649 7,620,480 24,804,226 67.5 % 225.5 % 0.9 %
WORLD TOTAL 7,181,858,619 360,985,492 2,802,478,9
34 39.0 % 676.3 % 100.0 %
Sumber: http://www.internetworldstats.com/stats.htm
Kehadiran Internet - sebagai media komunikasi baru -
bagaimanapun telah mengubah wajah dunia setidaknya dalam satu
dasawarsa terakhir. Internet dipandang mulai mengambil alih
sebagian aktivitas komunikasi manusia. Kini, lebih dari dua
dekade setelah pengembang-annya, internet hampir menggeser
popularitas media tradisional atau media arus utama (mainstream
media), khususnya media cetak seperti buku, suratkabar/tabloid
dan majalah.
4
Adanya kecenderungan menurunnya penggunaan media arus utama,
dan meningkatnya penggunaan media sosial, lebih terasa di
kalangan generasi muda. Hal itu ditegaskan John Katz, penulis
buku Virtous Reality dan editor tamu majalah The Rolling Stones, dalam
Media Studies Journal edisi 1999, ”Jumlah generasi muda yang
mengonsumsi mainstream journalism-yaitu surat kabar,majalah,dan
broadcast news-semakin terpisah dan kelompok paling kuat
pengaruhnya dalam satu negara ini diabaikan oleh dunia
jurnalisme lama”. Kelompok muda yang tidak terbiasa mengonsumsi
berita secara pasif seperti generasi tua. Mereka ingin lebih
interaktif, karena mereka tidak memiliki tradisi membaca majalah
atau surat kabar. Namun, menurut Katz, mereka sangat peduli
dengan isu dan akan membacanya jika tertarik (Kompas,edisi 3
Oktober 1999, halaman 16).
Di sisi lain data yang dilansir oleh World Association of
Newspaper (WAN, sekarang berganti nama menjadi WAN-IFRA) hampir
sepuluh tahun silam menunjukkan penyusutan jumlah total tiras
surat kabar di seluruh dunia selama kurun 1995-2003. Data WAN
menunjukkan adanya penyusutan tiras surat kabar di Jepang (2%),
Eropa (3%) dan di Amerika (5%) (Pikiran Rakyat,Pers Cetak di
Persimpangan Jalan,9 Februari 2007, Hal.4). Kecenderungan yang
sama terjadi di Asia Tenggara dan Indonesia. Survei AC Nielsen
(periode April-Juni 2006) menunjukkan hampir semua surat kabar
utama mengalami penurunan antara 20 – 44 persen. Menukiknya
tiras surat kabar jelas akan mempengaruhi kesehatan keuangan
industri media cetak ini. Sebagai contoh, suratkabar The New
York Times tahun 2006 mengalami penurunan pendapatan hingga 39
persen dibandingkan tahun 2005.
5
Bandingkan dengan apa yang terjadi pada media online,
khususnya media sosial. Sepuluh tahun lalu kita belum mengenal
media sosial seperti Facebook, Twitter atau YouTube, dan
Google+. Sekarang, lebih dari 300 juta orang log-in di Facebook
setiap hari, Twitter setiap harinya kebanjiran lebih dari 50
juta tweet, dan sekitar 2 milyar video ditonton setiap hari lewat
situs pengunduh video YouTube. Di luar itu luberan informasi
terjadi pada media sosial. Ensiklopedi online terbesar Wikipedia
sedikitnya memiliki 5 juta artikel dalam 229 bahasa. Sekitar 200
ribu video diunduh ke YouTube setiap harinya, sedangkan jumlah
Technocrati mencatat sedikitnya 50 juta blog.
Meningkatnya penggunaan Internet tidak bisa dilepaskan dari
makin berkembangnya teknologi gawai (gadget) menjadi salah satu
faktor penentunya, selain faktor makin terjangkaunya harga
gawai. Di sisi lain tersedianya akses Internet memungkinkan para
pengguna menggunakan dan mengakses informasi melalui perangkat
komunikasi mobile dalam hal ini telepon seluler, khususnya
keberadaan smartphone.
Di kalangan penduduk usia muda, khususnya berusia antara 15-
30 tahun yang kerap disebut digital natives yang dilahirkan dari
periode akhir 80-an dan 90-an, terbiasa menggunakan gawai atau
berbagai perangkat komunikasi dan telekomunikasi berbasis sistem
digital. Kecenderungan penggunaan perangkat digital di kalangan
digital natives tidak terhindarkan di hampir setiap aktivitas
keseharian, khususnya sebagai sarana komunikasi dan informasi.
Meningkatnya aktivitas pencarian informasi melalui gawai dan
Internet di satu sisi memunculkan harapan terciptanya kebiasaan
membaca melalui perangkat teknologi, mengingat kemudahan
6
mengakses informasi melalui Internet. Namun, di sisi lain,
terbit pula kekhawatiran akan kian terdesaknya budaya baca
melalui media cetak tradisional (buku, suratkabar, majalah) di
kalangan digital natives dengan hadirnya gawai dan Internet.
1.2 Rumusan MasalahMelalui paparan pada latar belakang, maka penulis tertarik
untuk membuat sebuah penelitian yang akan fokus mendeskripsikan
fenomena budaya baca di kalangan digital natives dikaitkan dengan
meningkatnya penggunaan media sosial dan merumuskannya sebagai
berikut:“Bagaimana Perubahan Budaya Baca di Kalangan Digital
Natives?”
2. KERANGKA TEORITIS
2.1 Melek Huruf dan Budaya BacaPara sejarawan memerkirakan manusia mulai mengenal budaya
tulis dan baca sekitar 3000 tahun yang lalu, ketika bangsa
Mesoptamia di kawasan Timur Tengah mulai mengem-bangkan system
tulisan (http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_writing). Sejak
saat itu mulai terjadi pergeseran dari tradisi lisan ke tradisi
tulis seiring makin dibutuhkannya kemampuan manusia untuk
mencatat data dan informasi terkait aktivitas perdagangan dan
pertanian.
Kemampuan manusia menciptakan dan memahami lambang dan
simbol tertulis makin berkembang seiring dengan berkembangnya
peradaban. Tradisi tulis makin menggeser tadisi lisan ketika
berbagai penemuan di bidang percetakan makin memudahkan
reproduksi pesan secara tertulis. Dua diantara tonggak penemuan
7
itu ditandai dengan pengembangan mesin cetak manual oleh
Johannes Gutenberg di tahun 1450, yang disebut sebagai periode
“modern awal” (berlangsung dari 1450 hingga 1789). Seiring
dengan berkembangnya teknologi percetakan, terlebih saat mesin
uap pada Era Revolusi Industri, sejak itu masyarakat makin mudah
mengakses informasi karena bahan cetakan seperti buku dapat
diproduksi secara massal.
2.2 Media BaruKomunikasi memerlukan media untuk menyampaikan pesan dari
komunikator kepada komunikan. Seiring perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi menyebabkan munculnya suatu media baru
atau new media. Media baru adalah istilah yang dipakai untuk
semua bentuk media komunikasi massa yang berbasis teknologi
komunikasi dan teknologi informasi. Media baru yang memiliki
ciri tersebut adalah internet (Vivian, 2008: 263).
Media – menurut Stewart dan Kowaltzke (2008:1) merupakan
sebuah terminologi yang meliputi berbagai produk budaya media
dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yakni media tradisional
(traditional media) dan media baru (new media). Media tradisional
yang telah berevolusi dari sejak abad ke sembilan belas hingga
kedua puluh, merujuk pada jenis media yang diprosuksi oleh
segelintir produsen yang berkomunikasi dengan khalayak dalam
jumlah besar. Karenanya, dengan karakteristik yang dimilikinya,
media tradisional kerap disebut one-many-many media.
Berbeda dengan media tradisional, maka media baru mulai
dikembangkan di akhir abad ke dua puluh dan terus disempurnakan
di abad kedua puluh satu. Ciri media baru adalah berbasis pada
komputer dengan pola-pola interaksi yang lebih kompleks antara
8
produsen dan konsumen media, sehingga kerap disebut many-to-many
media.
Terry Flew dalam buku “New Media: An Introduction”(2005:2)
menegaskan media baru sebagai media digital, yakni semua bentuk
media yang menggabungkan dan menintegrasikan data, teks, suara
dan gambar yang tersimpan dalam format digital. Selain itu media
baru didistribusikan secara cepat melalui jaringan berbasis
serat optik, kabel, satelit dan sistem transmisi microwave.
Lebih jauh Martin Lister, dkk dalam buku“New Media: A Critical
Introduction” (Lister dkk, 2009: 12-13) menjelaskan media baru
dapat dilihat dari hal-hal berikut:
1. Bentuk pengalaman baru dalam teks, hiburan, kesenangan, dan
pola dari konsumsi media (permainan komputer, simulasi,
efek khusus film).
2. Cara baru dalam mempresentasikan dunia, penggunaan media
yang menawarkan kemungkinan representasional baru.
3. Bentuk hubungan baru antara pengguna, konsumen, dengan
teknologi media.
4. Bentuk pengalaman baru dari indentitas diri maupun
komunitas dalam berinteraksi.
5. Bentuk konsepsi baru dari hubungan manusia secara biologis
dengan teknologi media.
Sedangkan McQuail (2011: 156-157) menjelaskan lima kategori
utama yang dimiliki media baru yang dibedakan berdasarkan jenis
penggunaan, konten dan konteksnya yaitu:
1. Media Komunikasi Antar Pribadi, meliputi telepon dan surat
elektronik. Secara umum, konten bersifat pribadi dan mudah
9
dihapus dan hubungan yang tercipta dan dikuatkan lebih
penting daripada informasi yang disampaikan.
2. Media Permainan Interaktif, meliputi komputer dan video
game, ditambah peralatan realitas virtual. Inovasi utama
terletak pada interaktivitas dan dominasi dari kepuasan
proses atas penggunaan.
3. Media Pencarian Informasi, yaitu sebuah kategori sangat
luas tetapi internet/WWW merupakan contoh yang penting dan
dianggap sebagai perpustakaan dan sumber daata yang ukuran,
aktualitas, dan aksesabilitasnya belum pernah ada
sebelumnya.
4. Media Partisipasi Kolektif, sebagai sebuah kategori khusus
meliputi penggunaan internet untuk berbagi dan bertukar
informasi, gagasan, dan pengalaman, serta untuk
mengembangkan hubungan pribadi aktif, misalnya situs
jejaring sosial.
5. Substitusi Media Penyiaran, dimana acuan utamanya adalah
penggunaan media untuk menerima atau mengunduh konten yang
di masa lalu biasanya disiarkan atau disebar-kan dengan
metode lain yang serupa, seperti aktivitas menonton film
dan program acara televisi atau mendengarkan radio dan
musik.
Salah satu media baru yang kini berkembang adalah mobile
telephone atau lebih dikenal dengan, dimana terjadi peningkatan
penggunaannya di kalangan remaja. Telepon seluler, mengutip
hasil penelitian Rich Ling, memiliki fungsi spesifik bagi
pengguna dari kalangan remaja. Selain berfungsi sebagai sarana
untuk berkomunikasi, sarana untuk mengoordinasi kehidupan
10
mereka, juga memfasilitasi interaksi social mereka (2004:85).
Lebih jauh Ling menjelaskan, telepon seluler bagi remaja
dimaknai secara khusus sebagai simbol kedewasaan (symbol for
adolescents) dalam konteks interaksi dengan sesama (Ling,
2004:103).
Seperti telah diungkapkan di bagian pendahuluan, salah satu
media baru yang penggunaannya menunjukkan peningkatan adalah
telepon seluler, khususnya smartphone. Meski belum ada
kesepakatan tentang definisi “cerdas” pada smartphone, namun
mengacu pada penjelasan David Wood, smartphone dapat dibedakan
dengan telepon genggam biasa dengan dua cara fundamental:
bagaimana mereka dibuat dan apa yang mereka bisa lakukan.”
Pengertian lainnya memberikan penekanan berbedaan dari dua
faktor ini (http://id.wikipedia. org/wiki/Telepon_cerdas).
2.3Media Sosial
Seiring meningkatnya pengguna Internet secara global yang
mendekati angka 3 milyar (lihat Tabel 1) muncul Web 2.0 yang
ditandai dengan berseminya fenomena blogging di dunia maya, yakni
hadirnya situs-situs pribadi - yang kemudian disebut blog.
Istilah blog meru-pakan kependekan dari weblog, pertama kali
digunakan oleh Jorn Barger di tahun 1997. Era Web 2.0 menandai
lahirnya era interaktifitas, ketika pengguna Internet bukan lagi
pengguna pasif melainkan sebagai pengguna aktif. Pengguna
Internet kini dapat melakukan update data secara kontinyu dan
cepat, juga mampu memberikan komentar-komentar mereka sendiri.
2.3.1 Karakteristik Media Sosial
Secara umum karakteristik yang dimiliki internet sebagai
media online – khususnya di era Web 2.0 adalah adanya
11
Interaktivitas, hipertekstualitas, bersifat multimedia, dan
personalisasi dari digital content. Media baru yang mengaplikasikan
teknologi Web 2.0 yang sangat mendukung perkembangan media
sehingga banyak media lama yang melakukan transformasi menuju
media baru. Teknologi Web 2.0 pertama kali dicetuskan oleh Tim
O’Reilly pada tahun 2003. Teknologi Web 2.0 memiliki konsep
interaksi dan sharing antar pengguna. Ciri-ciri Web 2.0 menurut
O’Reilly yaitu:
1.Web sebagai platform untuk menjalankan setiap aplikasi
2.Web mampu menghimpun pengetahuan menjadi kesatuan yang
sangat luas
3.Semakin lengkap dan kuat suatu data maka situs tersebut
akan semakin berhasil
4.Dapat terus diperbaharui tanpa perlu waktu yang lama
5.Memudahkan pengguna membuat layanan baru dengan layanan
yang sudah ada
6.Aplikasi pada Web 2.0 dapat digunakan melalui berbagai
perangkat
7. Aplikasi Web 2.0 dapat menghubungkan banyak pengguna
Menandai kehadiran era Web 2.0 mendorong kelahiran berbagai
bentuk media sosial (social media) seperti Friendster, MySpace,
Facebook, Linkedin, Twitter, Path, YouTube, Insta-gram dan banyak
lagi. Kehadiran media sosial tidak mucul begiu saja, melainkan
bermula de-ngan lahirnya situs jejaring sosial SixDegrees.com di
tahun 1997. Melalui situs inovatif ini, pengguna internet dapat
online secara bersamaan yang diikuti oleh terbentuknya prinsip-
prinsip umum yang membentuk karakteristik media sosial, yaitu:
12
(1) User profiles, sebuah fitur yang berisi data pengguna yang
disediakan untuk situs pertemanan;
(2) List of Friends, fitur berisikan daftar teman yang terhubung
dengan pengguna;
(3) Share Friends with others, fitur yang memungkinan pengguna
berinteraksi dengan pihak lain yang memiliki kesamaan
minat atau latar belakang. (Vroenhoven dalam
http://www.apollomediablog.com).
Meski pun hanya mampu bertahan kurang dari 3 tahun,
SixDegrees.com – karena sejumlah alasan seperti pengguna merasa
tidak nyaman menyediakan informasi tentang dirinya secara online
dan berinteraksi dengan orang yang tidak dikenalnya. Belum lagi
alasan masyarakat yang belum terbiasa dan membutuhkan situs
jejaring sosial pada saat itu. Namun, harus diakui keberadaan
SixDegrees telah meletakkan fondasi penting bagi media sosial di
kemudian hari.
Terminologi media sosial merujuk pada penggunaan teknologi
berbasis web (web-based) dan mobile, yakni semua perangkat gadget,
yang bercirikan pada bentuk komunikasi interaktif. Andreas
Kaplan and Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai
sekumpulan aplikasi berbasis internet (internet-based applications)
yang dibangun pada fondasi ideologis dan teknologi Web 2.0. yang
memungkinkan penciptaan dan pertukaran content. Pendek kata,
media sosial merupakan media untuk interaksi sosial, sebagai
seperangkat cara memperkaya komunikasi sosial dengan menggunakan
teknik komunikasi yang mudah diakses dan luas
(http://en.wikipedia.org/wiki/Social_media).
13
Begitu pun dengan Damien Van Vroenhoven - dalam artikel
tentang bertajuk The History of Social Media - mendefinisikan media
sosial sebagai terminologi umum untuk menggam-barkan berbagai
aktivitas yang mengintegrasikan teknologi, interaksi sosial,
dan produksi kata, gambar, video serta audio. Lebih jauh
dijelaskan, interaksi social ini serta cara informasi disa-jikan
bergantung pada berbagai perspektif dan “bangunan” yang dimaknai
bersama, seperti halnya manusia berbagi cerita dan pemahamannya.
(Vroenhoven dalam http://www.apo-llomediablog.com).
2.3.2 Bangkitnya Media Sosial vs Media Massa
Media sosial memiliki keragaman bentuk, sesuatu yang tidak
dimiliki oleh media arus utama. Bentuk media sosial terdiri atas
forum di internet, weblog, social blog, microblogging, wiki, podcast,
layanan foto atau gambar, video, hingga social bookmarking. Kaplan
and Haenlein (http://en.wikipedia.org/wiki/Social_media) membagi
media sosial menjadi enam bentuk, yaitu:
(1) Collaborative projects (contoh, Wikipedia);
(2) Blog dan microblog (contoh, Twitter);
(3) Content communities (contoh Youtube);
(4) Social networking sites (contoh, Facebook);
(5) Virtual game worlds (contoh World of Warcraft);
(6) Virtual social worlds (contoh, Second Life).
(http://en.wikipedia.org/wiki/Social_media).
Sedangkan Stephanie Miler dalam artikel berjudul Is Social
Media Synonymous with Social Networking?, mengelompokkan varian media
sosial, menjadi enam bentuk, yaitu:
(1) Blog, berisi kumpulan artikel yang dapat dikomentari
komunitas;
14
(2) Forum, menampilkan topik tertentu yang didiskusikan;
(3) Content communities, berupa media yang memungkinkan
berbagai content, (cerita, gambar, foto, video dan link)
(contoh YouTube);
(4) Wiki , berisikan dokumen dan database yang dibuat dan
disunting oleh komunitas (contoh Wikipedia);
(5) Virtual worlds , penggguna memasuki dan membangun kehidupan
virtual di dunia virtual (contoh Second Life).
(6) News aggregators , menampilkan beragam sumber informasi
dari satu situs (conoh Netvibes).
(7) Microblogging, berisi pesan singkat (contoh Twitter)
(http://en.wikipedia.org/wiki/Social_media)
Berbeda dengan media tradisional (media mainstream), media
sosial memiliki beberapa karakteristik khusus diantaranya:
(1) Jangkauan (Reach) – Daya jangkau media sosial dari
skala kecil hingga khalayak global. Selain itu media
sosial memiliki karakteristik lebih terdesentralisasi,
kurang hirarkis, serta dibedakan oleh berdasarkan
perbedaan sistem produksi dan penggunaannya (multiple points of
production and utility.).
(2)Aksesibilitas (Accessibility) – Media sosial lebih mudah
diakses oleh publik dengan biaya yang terjangkau.
(3) Penggunaan (Usability) - Media sosial relatif mudah
digunakan karena tidak memer-lukan keterampilan dan
pelatihan khusus.
(4) Aktualitas (Immediacy) – Media sosial dapat memancing
respon khalayak lebih cepat.
15
(6) Tetap (Permanence) – Media sosial dapat mengganti
komentar secara instan atau
mudah melakukan proses pengeditan.
Pada Web 2.0, menurut Reilly, memungkinkan pengguna internet
menjadi produsen dalam bentuk gagasan, teks, video, gambar dan
bukan sekadar konsumen (user-generated content). Perbedaanya sangat
kontras dengan teknologi Web 1.0 yang menempatkan pengguna
sebagai konsumen (http://en.wikipedia.org/wiki/Web_2.0).
Lantas, adakah perbedaan paradigma antara media sosial
dengan media massa atau kerap disebut mainstream media? Menurut
Ben Edwards, Direktur Media Komunikasi Baru IBM, terdapat
perbedaan paradigma cukup mendasar antara media sosial dengan
media massa tradisional. Edwards membedakannya berdasarkan 7
indikator sehingga tampak kekhasan paradigma diantara kedua
media (Edwards,2006:10).
Ketujuh indikator yang digunakan terdiri atas: (1) Produsen
(Publisher); (2) Tingkat efisiensi (Economics); (3)
Pengguna/Khalayak (Audience); (4) Keterli-batan (Engagement); (5)
Respon (Voice); (6) Komunikasi (Communications); (7) Pemasaran
(Marketing) seperti tampak pada Tabel 2.
Tabel 2Perbedaan Paradigma Media Sosial dengan Media Massa
Media Massa Media SosialPublisher Profesional publishing Self-publishingEconomics High cost Low costAudience Mass NicheEngagement Passive ActiveVoice Institutional IndividualCommunication Publisher EnablerMarketing Advertising PublishingSumber: Edwards,2006:10.
16
Dengan karakteristik yang dimiliki media online - khususnya
media sosial - secara perlahan mulai menggeser peran media
mainstream. Terlebih bila dikaitkan aspek demografis saat ini,
ketika jumlah digital native (terminologi bagi generasi muda yang
melek digital) kian dominan ketimbang digital migrant yang “dipaksa”
memasuki budaya digital. Penggunaan media online dan media
sosial menunjukkan kecenderungan meningkat.
3. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif
karena bertujuan untuk mendapatkan gambaran lebih akurat tentang
perubahan budaya mengonsumsi media, khususnya budaya membaca di
kalangan remaja atau masuk kedalam kategori digital native. Total
jumlah populasi sebesar 1.613 orang, penelitian melibatkan 41
responden yang berasal dari mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi,
Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Universitas Telkom, Bandung.
Profil responden berdasarkan jenis kelamin sebagai berikut,
yakni 11 orang (27%) laki-laki dan 30 orang (73%) perempuan
(lihat Tabel 3).
Tabel 3 Profil Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
NoJenis
KelaminF %
1 Laki-laki 11 272 Perempuan 30 73
JUMLAH 41 100 Sumber: Hasil Penelitian
4. ANALISIS DAN PEMBAHASANPenelitian yang berlangsung pada bulan September 2014 ini
menghasilkan sejumlah hasil, diantaranya gambaran tentang profil
17
responden berdasarkan kategori usia. Reponden penelitian berasal
dari rentang usia dari 17-21 tahun, dimana responden yang
berusia 21 tahun berjumlah 16 orang (39%), disusul kemudian
masing-masing responden berusia 20 tahun dan 18 tahun masing-
masing sebanyak 8 orang (20%), dan terakhir berusia 17 tahun
(12%).
Ditinjau dari sumber bacaan yang digunakan oleh para
responden, terdapat fenomena menarik ketika 38 responden (93%)
masih membaca buku, disusul 27 responden (66%) masih membaca
suratkabar/tabloid, 27 responden (66%) membaca majalah, dan 41
responden (100%) membaca media online (Tabel 4)
Tabel 4 Profil Responden Berdasarkan Sumber Bacaan
Sumber: Hasil Survey (2014)
Dari jenis buku yang paling sering dibaca, 28 (68%)
responden memilih membaca buku fiksi, 8 responden (20%) membaca
buku pelajaran/teks kuliah, dan 5 responden (12%) memilih buku
nonfiksi.
Responden memiliki beragam cara untuk memperoleh bahan
bacaan tercetak (buku, suratkabar/tabloid, dan majalah). Untuk
kategori buku, sebanyak 21 responden (51%) memilih untuk
meminjam, 17 responden (41%) memilih untuk meminjam, sementara 3
responden (8%) memilih untuk mendapatkan buku secara gratis atau
diberi oleh pihak lain.
18
Dalam mengonsumsi bahan bacaan buku, terdapat perbedaan dari
frekuensi membaca buku (dalam satu hari), durasi membaca buku,
dan lokasi membaca buku. Untuk frekuensi membaca buku terdapat
34 responden (83%) dengan kebiasaan membaca buku sebanyak 1-2
kali setiap harinya, hanya 4 responden (10%) memiliki frekuensi
membaca 3-4 kali/hari, dan sisanya 3 responden (7%) dengan
kebiasaan membaca buku lebih dari 4 kali/hari.
Kebiasaan membaca juga terkait dengan durasi atau lamanya
membaca buku, yakni 25 responden (61%), 11 responden (27%),
dan 5 responden (12%). Faktor lain yang berkaitan de-ngan
kebiasaan membaca buku adalah lokasi, yakni 40 responden (98%)
lebih sering membaca di rumah (atau tempat kos), sementara
sisanya 1 responden (2%) membaca buku di kampus.
Kebiasaan membaca suratkabar atau tabloid meliputi jenis
bacaan, durasi, frekuensi, waktu membaca, dan lokasi membaca
suratkabar/tabloid. Suratkabar/tabloid berkategori Lifestyle
(gaya hidup) dipilih oleh 46 persen responden, menyusul
suratkabar/tabloid umum (21%), suratkabar/tabloid Infotainment
(13%), suratkabar/tabloid Olahraga (8%), suratkabar/tabloid
Politik (8%), dan suratkabar/tabloid otomotif (4%).
Sedangkan lamanya membaca atau durasi membaca
suratkabar/tabloid masing-masing 88 persen responden meluangkan
waktu kurang dari 30 menit, selebihnya (12%) membaca antara 30
hingga 60 menit dalam satu hari. Dari sisi waktu yang digunakan
untuk membaca, 33 persen responden memilih pagi hari untuk
membaca suratkabar/tabloid,29 persen responden pada malam hari,
21 persen pada siang hari, dan 17 persen membaca pada sore hari.
19
Lain halnya dengan kebiasaan membaca majalah dilihat dari
frekuensi, durasi, cara memperoleh, dan jenis majalah yang
dibaca. Terdapat 93 persen responden membaca majalah 1-2 kali
dalam seminggu, sedangkan 7 persen membaca majalah 3-4 kali
seminggu. Durasi yang digunakan untuk membaca majalah dari 66
persen responden adalah kurang dari 30 menit, sementara 31
persen responden meluangkan waktu antara 30-60 menit, dan hanya
3 persen yang meluangkan waktu lebih dari 60 menit untuk membaca
majalah.
Riset ini menunjukkan 100 responden membaca media online
dengan frekuensi dan durasi yang beragam. Terdapat 41 persen
responden telah menggunakan media online kurang dari lima tahun,
sementara 41 persen lagi telah menggunakan media online antara
5-10 tahun. Sisanya, 18 persen, mengaku telah menggunakan media
online lebih dari 15 tahun silam.
Para responden mengaku memiliki durasi membaca media online
jauh lebih lama dibandingkan media cetak buku,
suratkabar/tabloid, dan majalah. Terdapat 51 persen responden
menggunakan media online lebih dari 60 menit setiap hari,
sedangkan 37 persen responden menggunakan media online 30-60
menit, sisanya 12 persen responden meng-gunakan media online
kurang dari 30 menit (lihat Tabel 5).
Tabel 5 Durasi Membaca Berdasarkan Sumber
Bacaan/Media
No Durasi Buku Suratkabar/Tabloid
Majalah MediaOnline
F % F % F % F %
1 >30menit 11 27 21 88 19 66 5 12
20
2 30-60menit 25 61 3 12 9 31 15 37
3 >60menit 5 12 0 0 1 3 21 51
Jumlah 41 100 24 100 29 100 41 100Sumber: Hasil Survey (2014)
Waktu yang digunakan untuk mengonsumsi buku mayoritas malam
hari (61%), se-dangkan suratkabar/tabloid dan majalah lebih
tersebar mulai dari pagi,siang, sore dan malam. Sedangkan media
online lebih banyak digunakan pada malam hari (76%).
Sedangkan durasi rata-rata dalam satu hari yang digunakan
responden untuk mengon-sumsi media online cukup tersebar.
Terdapat 39 persen respoden menggunakan media online antara 3-6
jam sehari, 32 persen responden menggunakan 1-3 jam sehari, 20
persen responden menggunakan antara 6-9 jam sehari, dan 9 persen
yang menggunakan media online lebih dari 9 jam sehari.
Cara yang digunakan untuk mengakses media online dari para
responden pun berbeda, meskipun lebih dari setengahnya atau 68
persen responden menggunakan perangkat telepon pintar atau
smartphone, 17 persen memanfaatkan laptop sebagai gadget untuk
mengakses media online, sedangkan 15 persen diantaranya masih
menggunakan laptop. Dari keempat puluh satu responden yang
disurvey, semuanya menggunakan Google (100%) sebagai mesin
pencari (search engine) saat melakukan pencarian di dunia maya.
Penggunaan media online oleh para responden lebih untuk
memenuhi fungsi hiburan (49%), informasi (44%), 7 persen
responden menggunakan media online untuk fungsi perte-manan,
dan tidak seorang pun menggunakanya untuk fungsi edukatif. Hasil
riset juga berhasil menggali jenis konten yang dicari oleh
21
responden yang mayoritas mencari konten hiburan dan infotainment
(56%), berita (37%), iptek (5%), dan online shopping (2%).
Aktifitas para responden saat menggunakan media online dapat
digambarkan sebagai berikut, yakni sebagian besar (46%)
melakukan pencarian di Internet, selebihnya melakukan chatting
atau percakapan (44%), berikirim surat elektronik (7%), dan
online game (3%). Aktivitas chatting para responden lebih banyak
digunakan melalui aplikasi instant messaging Line (76%), Wechat
(7%), Whatsapp (5%), dan aplikasi lainnya (12%).
Jenis media online yang paling sering diakses oleh para
responden adalah media sosial (66%), disusul kemudian oleh
website (32%), dan terakhir adalah blog (2%). Twitter menjadi
media sosial yang paling banyak digunakan responden (34%),
disusul Facebook (22%), Path (20%), Instagram (12%), dan Youtube
(10%).
Persoalan yang lebih mendasar tentang terjadinya perubahan
budaya membaca dari media cetak, baik melalui buku
suratkabar/tabloid, dan majalah, respoden yang disurvey memiliki
sejumlah alasan. Penulis mengajukan 10 kriteria yang dimiliki
oleh media online yang relatif berbeda dengan karakteristik
media cetak. Dari kesepuluh kriteria lebih dari setengah
responden (58%) yang memilih media online karena lebih praktis
dibandingkan media cetak. Disusul kemudian oleh pertimbangan
mudah diakses (20%), akurasi informasinya, kecepat-annya,
kelengkapan informasinya, serta mudah disesuaikan dengan
kebutuhan (masing-masing 5%). Terakhir, karakteristik media
online lebih murah dibandingkan media cetak menjadi pertimbangan
responden (2%). Tidak ada satupun responden yang menjawab
22
karakteristik kedalaman informasi, daya tarik visual, dan
pesannya mudah dipahami sebagai keunggulan karakteristik media
online dibandingkan media cetak.
Di sisi lain, media online dinilai memiliki sejumlah
kekurangan dibandingkan media cetak. Terdapat 44 persen
responden yang menilai media online tidak akurat. Berikutnya
para responden yang disurvei menganggap informasi yang dimuat di
media online tidak mendalam (15%), mengakses media online lebih
mahal (12%), sulit diakses (10%), lambat (10%), sulit
menyesuaikan dengan kebutuhan pengguna (5%), informasi tidak
lengkap (2%), dan tidak praktis (2%).
5. PENUTUPHasil yang diperoleh dari survey menguatkan asumsi tentang
pergeseran budaya membaca dari media cetak ke media online,
terkait dengan pola membaca, aspek gender, frekuensi dan durasi
membaca. Dari aspek gender, berdasarkan responden yang disurvey,
menunjukkan mayoritas perempuan memiliki kebiasaan membaca
(reading habit) lebih baik (di atas 70%) dibandingkan laki-laki (di
bawah 30%).
Durasi membaca rata-rata untuk setiap kali membaca bahan
bacaan menunjukkan pergeseran, ketika media cetak mulai tergeser
oleh media online. Sebagian besar responden hanya meluangkan
waktu kurang dari 30 menit setiap kali membaca media cetak
suratkabar/tabloid dan majalah. Responden masih membaca buku
dengan durasi antara 30 hingga 60 menit. Sedangkan durasi
membaca melalui media online cenderung lebih lama dibandingkan
dengan tiga media cetak, karena terdapat 51 peren responden
memiliki durasi membaca lebih dari 60 menit.
23
Selain durasi membaca per kegiatan, media online unggul
dilihat dari durasi total membaca per hari yang lebih dari 3 jam
sehari.Kecenderungan lamanya durasi membaca melalui media online
salah satunya dipengaruhi oleh karakteristik media online yang
memungkinkan penggunanya memanfaatkan berbagai bahan bacaan
serta fitur yang tidak dimiliki oleh media cetak. Hyperlink
merupakan salah satu fitur yang dimiliki oleh media online,
memungkinkan penggunanya melakukan penelusuran ke beragam laman
yang sesuai dengan kebutuhannya.
Pergeseran dalam budaya membaca di kalangan anak muda juga
sangat dipengaruhi oleh karakteristik media online yang tidak
dimiliki oleh media cetak. Kepraktisan dan mobilitas media
online serta kemudahan mengakses merupakan beberapa keunggulan
yang memikat para pengguna media dari kalangan muda.
Karakteristik ini jelas tidak dimiliki oleh buku,
suratkabar/tabloid, maupun majalah. Diperlukan effort lebih besar
dan mahal untuk mengakses media cetak yang jelas tidak sesuai
dengan karakteristik para digital natives.
Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, media online masih
dinilai memiliki sejumlah kelemahan dibandingkan media cetak.
Salah satu kelemahan media online adalah kekurangakuratan atau
ketidakakuratan informasinya, karena dalam penulisannya sering
tidak menerapkan prinsip cross-check dan konfirmasi, dan lebih
banyak memuat opini subjektif.
Namun, bercermin dari hasil survey yang penulis lakukan,
pergeseran budaya membaca di kalangan anak muda saat ini makin
menguatkan kecenderungan khalayak media baru yang tidak sekadar
ditempatkan sebagai objek yang menjadi sasaran dari pesan.
24
Mengutip Nasrullah (2013:18) kecenderungan perubahan budaya
membaca sangat terkait dengan khalayak dan perubahan teknologi
media serta pemaknaan terhadap media telah memperbarui peran
khalayak untuk menjadi lebih interaktif terhadap pesan tersebut.
Konsekuensinya, di era sekarang konsumen media baru yang
didominasi anak muda bisa menentukan cara mengakses sesuai
dengan keinginan dan kebutuhannya.
*****
DAFTAR PUSTAKA
Baran, Stanley & Dennis K. Davis. 2009. Teori Komunikasi Massa:Dasar, Pergolakan, dan Masa Depan. Terjemahan Afrianto Dauddan Putri Iva Azzati. Penerbit Salemba Humanika: Jakarta.
Briggs, Asa & Peter Burke. 2006. Sejarah Sosial Media: DariGutenberg Sampai Internet. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Flew, Terry. 2005. New Media: An Introduction. Oxford UniversityPress: South Melbourne.
Ling, Rich. 2004. The Mobile Connection: The Cell Phones Impacton Society. Morgan Kaufmann: San Francisco.
Lister, Martin et.al. 2009. New Media: A Critical Introduction (2nd
Edition). Routledge: New York.Nasrullah, Rulli. 2013. Cyber Media. Idea Press: Yogyakarta. Stewart, Collin & Adam Kowaltzke. 2008. Media: New Ways and
Meanings (3rd Edition). Jacaranda Plus:Brisbane.Vivian, John. 2003. The Media of Mass Communication. Pearson
Edication: Boston.
Website:http://www.internetworldstats.com/stats.htm (diakses 28 Agustus2014, pk.10:07)http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/Kominfo+
%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+63+Juta+Orang/0/berita_satker#.VBPUB5hc8V0(Diakses 1/9/2014, pk.13:07)
http://en.wikipedia.org/wiki/Social_media, diakses 12/8/2011.http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_writing, 5 September2014)
25
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/11/28/mwyw5l-kemendikbud-36-juta-rakyat-indonesia-buta-huruf (12/8/2014,pk13:42)
http://ugm.ac.id/id/berita/8776-menkominfo%3A.270.juta.pengguna.ponsel.di.indonesia (10/9/20
http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3980/Kemkominfo%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+Capai+82+Juta/0/berita_satker#.VBaygJhc8V0 (25/8/2014, pkl.13:45)
http://www.tempo.co/read/news/2013/09/23/072515690/Nielsen-23-Persen-Orang-Indonesia-Punya-Ponsel (10/8/2014, pk.14:45)
http://id.wikipedia. org/wiki/Telepon_cerdas (7/9/2014,pkl.10:25)
http://www.apollomediablog.com/a-brief-history-of-social-media-part-1/ (Diakses 12/8/2011,
pkl. 14:105).
26