Satira perempuan dan pena takdir
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
6 -
download
0
Transcript of Satira perempuan dan pena takdir
2
Satira, Perempuan dan Pena Takdir, kumpulan cerpen
Ditulis oleh: Rezz
Copyright © 2012 by Rezz
Penerbit
NokturnaBooks
Nokturnabooks.blogspot.com
Desain Sampul:
Editor: Herianto
Sketsa: Rezz
Layout: Asnur Nasaruddin
Diterbitkan melalui:
www.nulisbuku.com
...terima kasih kepada...
Sembari menyebut nama tuhanku dalam hati,
Ada perasaan tak biasa yang mencuat dari
dasar dada pas saya menyelesaikan satu cerita. Agak
mirip dengan klimaks atas konser-konser band
kesukaan. Perasaan itu jauh berbeda dengan euforia
pasca selesainya tugas kejar tenggat waktu. Klimaks
yang saya rasakan berbeda-beda dari setiap cerita.
Ada delapan jenis klimaks dalam buku berisi cerita-
cerita pendek yang saya tulis sejak tahun 2008 ini.
Cerita-cerita tersebut saya pungut dari teras-
teras yang saya singgahi di sekosmis Sulawesi.
Cerita-cerita itu berasal dari rekaman hidup kawan-
kawan sepermainan, cerita-cerita yang enggan
disampaikan pemiliknya, dan adaptasi catatan
6
perjalanan saya dari cangkir kopi ke wadah
minuman lain.
Setiap kali menulis, saya percaya bahwa apa
yang saya tuliskan tidak murni datang dari duet
kepala dan hati saya. Semua cerita sejatinya
merupakan revolusi pengalaman seseorang dari
paling remeh, hingga ledakan. Bagi saya, karya
sastra adalah kenyataan.
Buku ini saya persembahkan untuk ayah dan
ibu saya. Kepada semua sahabat, kawan, dan orang-
orang demokratis di Kolong sastra Unhas. Buku ini
saya peruntukkan pula kepada teman-teman pecinta
film di Makassar, kalian semua filmis!
Terima kasih kepada tuhan tak perlu saya
tuliskan. Nilai tuhan takkan berkurang, apapun
yang kita perbuat padanya. Ucapan terima kasihnya
saya alihkan kepada kakak-kakak di komunitas
Tanahindie dan Ininnawa, kak Khrisna Pabichara,
kak m aan mansyur, kak Esha Tegar Putra, dan
semua tamu baik hati di blog saya, ‘salam miaw’...
Sebagai pengantar baca, saya cuma ingin
memberitahu anda satu jawaban, kalau-kalau kamu
diberi pertanyaan seperti ini,
“Siapakah aku?” jawablah, “Kamu menjelang
manusia,”
Read more, wise more
Rezz
...sedaftar cerita tentang takdir...
Satira........ 11
Senyum Saman........ 21
Rapsodi Masoka........ 45
Resolusi........ 61
Sedaftar Lagu yang Menyerupai Bibirmu....... 79
Ibuaku........ 95
Dingin yang Membungkus....... 111
Perempuan Kami....... 123
Satira1
Seekor burung melintas tepat di atas ubun-
ubunnya. Satira menengadah. Setetes darah jatuh di
puncak hidungnya. Tidak jauh dari tempatnya
berpijak, seorang pemburu mengokang senapan
sekali lagi untuk buruannya yang terbang menjauh.
Satira menyentuh darah itu dengan telunjuk
lentiknya, lalu..., aku paling suka bagian ini, Satira
menjilatinya. Seutas senyum lahir dengan bibir
mungilnya yang berserat-serat. Aku lahir pada saat
itu, Maria. Tidakkah kau tahu betapa bahagianya Ia
melihat setetes gumpal merah itu? Mana pernah kau
membuat dia merasa senang begitu. Kau memang
sudah ada dua tahun lebih awal, tapi Satira
mencintaiku seolah kami berdua telah saling kenal
selama satu dasawarsa.
1 Cerpen pemenang pertama Sinovia 2009
14
Ketika itu, Bumi berusaha mengabukan
rumah mereka dengan sebatang obor. Satira butuh
seseorang untuk menghentikan tindakan itu, namun
kau tidak muncul. Payah. Aku datang untuknya,
Maria. Aku menghapus semua beban di pikirannya.
Aku membungkus Bumi bergabung bersama abu
rumahnya.
“...terdiam,”
Begitulah reaksi lain orang yang bersalah kalau
bukan melempar cerita-cerita palsu, menjalin
kalimat-kalimat eskapisme. Kau tidak bisa muncul,
karena kau lahir di satu malam hina. Saat Satira
dikelilingi sepi kamarnya. Ia yang lelah menanti
penghuni rumah yang lain pulang tanpa sengaja
singgah di situs tentang orang-orang sepertimu.
Yang memuja bibir sesamanya. Yang menikmati
payudara sesamanya.
“...yang dipanggil...ehm, butchie2,”
2Butchie: lesbian yang berperan sebagai laki-laki dalam hubungannya.
“Cukup, Dewara!”
Aku memang lahir dalam suasana hina, tapi Satira
menikmati lesapan diriku ke dalam jiwanya. Kau
tahu, ia bilang ternyata perempuan lebih
menyenangkan daripada laki-laki. Satira terus
menjelajahi situs itu dengan aku di sisinya. Ia
mendesis bahagia. Bukan terbahak-bahak dengan
kalewang seperti yang kau ajarkan.
“Membuat Satira melanggar kodratnya
bukanlah sebuah jasa, Maria!”
Menjerumuskan seseorang dalam liang lesbian itu
bukan hal yang patut dibanggakan. Satu-satunya
yang berjasa untuk Satira adalah aku. Karena itu
tidak ada satupun yang layak berada di dalam tubuh
dan pikirannya selain aku, Dewara. Cuma aku. Aku
saja.
“Tidak bisa! Kau tidak punya kartu yang
kuat untuk mengusirku,”
16
Tidakkah kau lihat aku ini seorang Royal Flush. Aku
empat tingkat di atasmu, Flush bajingan. Aku master
permainan ini. Tengok, lebih dari setengah sifat
Satira ada padaku. Sedangkan kau, kau hanya
memiliki rasa dendam Satira. Dengan rasa itu kau
membuat Satira terkurung di tengah kotak besi ini.
Ia tidak bebas kini. Ia tak lagi bisa menikmati rasa
geli oleh gerak lincah kucing yang menelusup
masuk ke dalam gaunnya. Karena kau membujuk
Satira membunuh makhluk lucu itu. Dan
membuatnya kehilangan semua orang yang ia
sayangi...
“...dalam malam kesepiannya yang
pertama, aku ada. Aku penduduk pertama di sini,
maka sepantasnya menjadi pemilik Satira,”
“DIAM, KALIAN BERDUA!”
Perempuan itu menjerit. suaranya memencar dalam
echo berantai. Menggetar-getarkan tembok sel.
Getaran sehebat saat dua tank perang Israel melintas
tepat di atas lorong-lorong bawah tanah gerilyawan.
Dua perawat yang ditugaskan khusus menjaga
perempuan itu kalut. Mereka menatap cemas beradu
takut di ambang sel.
Perempuan itu menjerit lagi. Namun kini
bukan ketakutan yang ditimbulkan oleh jeritannya,
melainkan haru ungu. Rasa yang berasal dari biru
harapan merembesi merah tembok amarah.
Kau sama dengan Satira? Tidak seselpun.
Satira tidak punya hati seliar milikmu. Tujuan
hidupnya, jalan pikirannya, prinsipnya, bahkan
penampilannya berlawanan denganmu. Lagipula
Satira lebih baik melegam bersamaku daripada
mengabu-abu di duniamu. Kau tidak jelas. Berfisik
perempuan tapi nafsumu sama persis dengan laki-
laki yang kumutilasi bersama Satira terakhir kali.
Mata Maria memerah di hadapannya.
Perempuan abu-abu itu meraih gelas di sampingnya.
Gelas yang tadinya jadi wadah air putih Satira.
Maria memecah-mecahkan gelas itu, sampai yang
tersisa hanyalah sekeping bening tajam.
18
“Kita lihat apa kau bisa melawanku,” Maria
menodongkan beling itu. Dewara tak bergeming.
Untuk apa takut pada perempuan yang lemah
seperti remah bolu kue ulang tahun.
***
“Panggil Pak Dokter, Na! Satira mau bunuh
diri!” seru salah satu perawat itu. Yang dipinta
tergopoh-gopoh menuju ruangan sang Dokter.
Tanpa sadar, ia melewati koridor yang tidak pernah
mau Ia lintasi. Lorong panjang di mana puluhan
pasien rumah sakit ini menghabiskan hari-harinya.
Hari berpuluh jam yang hampa, kosong tanpa
sesekon harapan, apalagi penyesalan.
***
“Ketika aku berkata aku adalah aku. Itu
berarti bukan tentang kau dengan pisaumu, Dewara.
Atau menyangkut bujukan-bujukan nafsumu, Maria!
Aku adalah aku yang tidak lagi membutuhkan
kalian. Terima kasih sudah menemaniku lima tahun
ini,” ringis Satira. Ia merampas beling di tangan
Maria.
“Bagus, Satira. Kau masih ingat pelajaran
dariku. Hapus Maria, kita berdua saja!” seru
Dewara. Namun beling di tangan Satira berbalik
arah padanya.
“Ha...tentu saja. Tentu saja yang yang ingin
ia hapus itu kau! Bukan aku. Kami punya cinta
bersama. Walau melanggar, tapi cinta tidak punya
aturan,” Maria merasa akan menang. Ia tahu Satira
tidak mungkin melanggar sumpah malam itu pada
dirinya. Sumpah di atas Al-Qur’an oleh Satira. Dan
ikrar di atas Injil Maria.
Beling itu berubah arah lagi, ke permukaan
dadanya sendiri. Di luar sana, Dokter yang
menanganinya tiba. Wajah Satira sepucat seragam
suster di sisinya.
****
Sudah pahamkah kau kenapa aku di sini,
sementara kau masih di pertengahan? Mengertikah
20
kau kenapa aku tidak bersamamu di seputar lapisan
ozon atau di antara cincin Saturnus? Aku meraih
semua ini karena aku berusaha menemukan
pilihanku sendiri. Kebanyakan pilihan memang
hanya dua, tapi jika kau kreatif dengan
keyakinanmu, maka kau bisa memunculkan baris
ketiga. Aku tidak mau hidup bersama dua karakter
itu, sahabat. Kubunuh dua karakter yang hendak
mengkekalkanku sebagai pembunuh atau femme3. Itu
pilihan baris ketiga, kupilih dengan basmalah.4
3Lesbian yang berperan sebagai perempuan, kebalikan butchie.
Senyum Saman
Bagaimanakah rupa permukaan di luar gedung
besar ini? Benarkah gedung ini besar? Untuk
sementara, jawabannya iya. Tapi untuk selamanya,
mungkin aku tidak akan pernah membuktikannya.
Luas jangkauku hanya sepanjang telinga bisa
mendengar suara-suara sekitar tanpa tahu apa
sumbernya. Aku familiar dengan berbagai macam
rupa tangis, keluh-kesah, teriakan, dan senandung
tidak harmonis. Ruang langkahku bergantung pada
kecerdasan kulitku. Apakah ia bisa meraba
permukaan dengan baik lalu benarkah tebakanku
tentang reliefnya. Sejauh ini aku hapal kerasnya
tembok dan lembutnya bulu kucing yang selalu
menggelayut minta makan di kakiku. Kadang aku
sangat bahagia melintas di depan dapur panti oleh
24
bau-bau nikmat dari dalam. Berbeda setiap hari,
siapapun koki di dalam sana aku ingin menciumnya.
Dan setelah itu mungkin aku akan mencintainya.
“Aku membutuhkan aliran bergetar hebat itu,
Man! Yang tidak akan pernah aku lupakan,” baru
kali ini Saman terdiam mendengar ceritaku.
Biasanya ia akan balik bercerita dengan mulut yang
lebih besar.
“Percayalah, kawan. Cinta tidak sebaik
kedengarannya. Ia benar-benar parah untuk mata,”
“Heh, jangan jatuhkan semangat begitulah. Kau
kan sahabatku,”
Penyebab orang-orang masuk ke panti ini
beragam, mungkin seperti rupa warna dalam
program editing foto kegemaran Saman. Ada yang
karena kecelakaan, bawaan lahir, penyakit, atau
disengaja. Saman termasuk dalam golongan orang
yang cacat karena kecelakaan. Ia lumpuh saat
menyelamatkan seorang wanita dari lindasan truk
sampah. Wanita itu memiliki sebagian hatinya,
mungkin. Tapi ia tidak pernah tahu sampai detik ini.
Saman bangga atas keberaniannya itu. Aku tahu dari
nada bicaranya yang selalu sombong padaku, setiap
kali kami bercerita tentang kekurangan kami. Dan
dari sedetik setelah rasa sombongnya habis,
kutemukan nada raksasa kecewa mengekori.
----
Pada ujungnya di sinilah aku berakhir, dari
yang memiliki segalanya sampai hanya punya angka
nol dan pita suara yang tidak berfungsi. Mungkin
aku kebanyakan menggombal, keseringan menipu,
dan memfitnah orang sampai tiba-tiba aku
terbangun di suatu pagi tanpa biasa bersuara
sedikitpun. Menjadi bisu setelah dua puluh tahun
sebagai perempuan bersuara merdu. Ujung-
ujungnya aku di panti ini untuk melihat,
mendengar, meraba, dan mencium sesuatu tanpa
bisa berkomentar. Dan bagaimanapun aku harus
26
mencintai tempat ini. Karena kadang kala di rumah
orang lain, kita bisa merasa lebih baik.
Menyedihkan. Penghuni panti ini layaknya
siswa-siswi pecundang di sekolah menengah atas
yang tidak sanggup menghadapi kejamnya proses
inisiasi macam ospek. Mereka orang yang dikutuk
masyarakat yang tidak sanggup percayai masa
depan. Mereka adalah mahasiswa teknik yang
penemuannya dianggap gagal maka harus
meninggalkan kampus dengan rentetan air mata
yang tumpah sampai ke mata kaki. Mereka merasa
sampah. Kini aku bagian dari mereka. Aku sampah.
Lebih busuk baunya.
Bukk!
seseorang menabrakku dari belakang, “Maaf,”
katanya kemudian. Aku mau marah, tapi bagaimana
caranya. Kupelototi dia, agaknya sia-sia. Ia tidak bisa
melihatku.
“Maafkan temanku. Ia tidak sengaja,” suara ini
muncul dari laki-laki berkursi roda yang datang dari
arah berlawanan.
“Dua orang dungu,” batinku. Kupelototi juga
orang kedua ini lalu berlenggok meninggalkan
mereka.
---
“Apa ia marah, Sam?” aku kuatir. Semestinya
tadi kuturuti kata Saman untuk tidak meninggalkan
taman.
“Sangat. Ia tidak bicara tapi memelototiku
sampai hilang di koridor depan,” jawab Saman.
“Lain kali, kalau ketemu dengannya sampaikan
maafku,” tambahku sambil menatap ke arah koridor.
Kosong tapi kurasakan aura yang masih hangat.
---
Kolaborasi apik ciamik antar dua anak yang aku
yakin orang tuanya pun tidak jelas. Satunya buta,
satunya lumpuh. Si buta jadi supir mengarahkan
28
kursi roda bagi si lumpuh. Mereka berkeliaran di
panti ini seperti anak yang punya yayasan. Aku
berharap tidak ketemu mereka lagi hari ini.
Aku berjalan dalam langkah pelan. Meniti kotak
demi kotak tegel koridor yang di ujungnya ada
taman melati putih. Kalau belok kiri di depan sana,
anda akan menemukan jenis bunga lain. Asoka,
kembang kertas, sampai ke kolam berteratai putih
yang di sisinya ditumbuhi mawar hitam dalam
kotak kaca berlumut. Kotak kaca itu tidak pernah
terbuka. Sudah beberapa kali aku datang ke sana,
sampai hari ini tidak ada tanda-tanda usaha
seseorang membuka gemboknya.
Lama kutatap mawar hitam di dalamnya.
Mereka cantik sesungguhnya, tapi aura kepedihan
dan kegelisahan yang dipancarkannya membuatku
membuang pandangan. Duri-durinya lebih banyak
dari jenis mawar lainnya.
“Dia lambang orang yang tidak bisa berbuat
apapun untuk perbaiki hidupnya,” kalimat ini
terdengar dari seberang kolam. Si sopir namun
tanpa penumpang. Bagaimana dia bisa tahu ada
orang lain selain dirinya di sini. Dan bagaimana dia
bisa tahu aku tengah menatap isi kotak kaca di
depanku?
Kulempar kerikil ke kolam, supaya ia tahu aku
hendak berkomunikasi dengannya.
“Kau tidak bicara?” serangnya pelan. Ia berjalan
ke arahku dengan batang payungnya. Kulempar
kerikil sekali lagi.
“Siapapun yang ke sini pasti tertarik dengan
mawar itu. Hmm.. banyak yang mau kutanyakan
padamu. Tapi bagaimana caramu menjawab dan
bagaimana aku bisa memahaminya,” Dia
mendekatiku. Berkali-kali ia hampir terpeleset ke
kolam. Dia terus mendekat sampai jarak kami tidak
lebih jauh antara pengemudi dan stir mobil.
Kulempar kerikil tiga kali. Kerikil pertama
membenarkan ucapannya. Kerikil kedua sebagai
30
tanda aku kaget. Dan ketiga artinya jantungku mulai
berdetak lebih cepat.
Kuraih tangannya, menuliskan beberapa huruf
untuk ia pahami. Santikah, tulisku. Ia mulai menarik
senyum. Aku suka senyum itu. Seperti senyum ayah
saat memberiku boneka si komo yang ia beli dengan
laba pertama usaha keluarga kami. Dan mirip
senyum ibu tiap-tiap malam sebelum aku tidur,
ketika ibu masih saja tersenyum di balik pintu kamar
setelah mematikan lampu. Senyumnya itu panjang,
lama, sampai ia yakin aku betulan telah terlelap.
---
Di mana laki-laki bersuara perempuan itu? Di
saat gelisah begini ia menghilang.
“Saman! Man!”
Di taman, di toilet, di teras, di bawah ranjang,
Saman tidak ada di mana-mana. Bisa drop mentalku
kalau begini. Saman adalah gelas bening untuk
menampung setiap tetes perasaanku. Apapun itu.
Detik ini aku butuh dia untuk menampung resahku
tentang cinta yang mulai kukenali. Sebuah
keresahan yang akan lebih dipahami oleh Saman
seorang.
“Hei, yang dari gua hantu! Sendirian, heuh?”
suara Saman terdengar dari pintu belakang.
Kuserang ia dengan berjalan cepat ke arahnya,
seolah hendak melayangkan tinju di pelipisnya.
“Dari mana kau? Hampir tumpah ini....”
“Sabar, sobat. Pasti tentang Santikah. Kami
barusan bercerita... tanganku ini sampai merah
dibikin kertas ajaibnya. Oh, iya, dia juga sampaikan
maafmu. Katanya tidak apa-apa.”
“Benarkah? Ada tentangku?”
“Seluruh alurnya hanya kau, Addin. Ia
tersenyum setiap akhir kalimat. Sob, andai kau bisa
melihat senyum itu, pasti kau mau menciduk mata
orang sepanti biar bisa kau monopoli indahnya...,”
32
“Santikah,” desisku panjang. Berharap angin
dari jendela kamar membawanya sampai ke telinga
perempuan itu.
---
Ada yang tahu di mana kuburan Shakespeare
yang termahsyur itu kawan? Mau kuketuk peti
matinya, bawakan ia kertas dan pena untuk
tulisakan Romeo dan Juliet jilid dua. Addin dan
Santikah tertulis besar di sampulnya. Aku dimabuk
cinta pada perempuan yang tidak berani kusentuh
wajahnya. Sayang pedih menusuk pula di dada ini.
Aku mencintai angin, sesuatu yang tidak dapat
kunikmati wujudnya. Aku butuh mata. Hai, tukang
cipta, beri aku satu saja. Berikan aku mata yang jatuh
dari langit atau mata bekas perampok paling bengal.
Mata kucing pun akan kuterima. Aku ingin
mencicipi enaknya menatap Santikah itu.
---
Belakangan ini Saman sering menghilang.
Rutinitas keliling panti setiap dua hari sekali kami
jadi kacau. Kalau sudah pukul tiga, Saman
meninggalkan kamar tanpa pamit padaku. Aku bisa
saja pergi sendiri, tapi aku butuh ia untuk
mencritakan poin penting tentang apa saja yang
terjadi di sekitar.
Kuputuskan mencarinya. Dua soreku sudah
sepi gara-gara dia selalu menghilang di pukul tiga.
“Hahahah....hahahha...bukan begitu...” tawa ini
menghentikan langkahku. Tawa Saman. Renyah
sekali. “Sentuhkan telapak tangan di bibir lalu
rentangkan ke depan, terima kasih,” sambung
Saman.
“Hmm...kedengarannya seru sekali, Man...”
celutukku. Mereka berdua terdiam sejenak.
“Heii...sejak kapan kau di situ, fulan? Sini,
gabung dengan kami!”
34
“Aku ada urusan sama kepala panti,” jawabku
agak ketus. “Ada yang aneh dengan mereka
berdua,” batinku lantas cepat meninggalkan mereka.
---
“Dia lambang orang yang tidak bisa berbuat
apapun untuk perbaiki hidupnya,” definisi mawar
hitam menurut Addin. Dia pandai menyindirku.
Seumur hidup yang aku tahu memang hanya
menerima kasih-sayang orang lain tanpa tahu
memberi. Aku menadah seumur hidup dan belum
pernah membuat telapak tanganku menghadap ke
bawah. Daguku pun selalu ke atas. Hanya
menunduk karena tersipu malu oleh puji-puji orang
tentang paras dan suaraku.
---
Kata Saman, yang di tangan kananku warna
biru. Di tangan kiriku warna merah muda. Kedua
buku catatan ini sama besar dan modelnya. Aku
bingung pilih yang mana.
“Menurut pengamatanmu, Santikah paling
sering pakai baju warna apa, Man?”
“Hijau....”
“Artinya bukan salah satu dari ini dong. Apa
ada buku yang berwarna hijau di sini?”
“Sepertinya tidak ada. Menurutku salah satu
dari itu saja, tarik nafas dalam-dalam dan putuskan.
Santikah akan menerima apapun,”
“Biru. Seperti langit kan, Man?”
----
Kupikir lebih baik menuliskan semua yang
ingin ia katakan di buku itu. Daripada Santikah
harus memegang tangan setiap orang untuk
berkomunikasi. Paling tidak untuk sementara
sampai ia sudah mahir berkomunikasi dengan
bahasa isyarat. Penghuni panti yang tunawicara di
sini hanya dia.
“Terima kasih banyak banyak banyak, katanya,
Din!” bisik Saman di telingaku. Susah benar
36
membayangkan wajah manisnya berbinar menerima
hadiahku.
---
Mungkin inilah saatnya aku menghadapkan
tanganku ke bawah. Untuk memberikan apa yang
aku punya, walaupun nyatanya sekarang tinggal
tubuh ini harta bendaku. Ayah dipenjara, ibu
tertembak rival bisnis ayah di acara arisan. Seluruh
hartaku dijarah rival itu dan suaraku hilang saat
kucoba menahan polisi membawa ayah pergi. Aku
berteriak kencang. Sekencang-kencangnya. Sekeras-
kerasnya sampai bunyi terakhir yang bisa
kuhasilkan.
Ya...aku akan memberikan ini padanya. Kutulis di
lembar pertama buku biru Addin.
“Jangan bodoh, Tikah!” seru Saman.
Ini keputusanku.
“Itu satu-satunya alat komunikasimu,”
Masih ada dua telinga, indra peraba, dan hidung ini
kan?
---
Menghilang lagi. Pasti ia ketemu Santikah.
Sudah kuduga ternyata ia bersembunyi di balik
sikap baiknya padaku selama ini. Sahabat macam
apa dia. Arrghhhhhh....................!!!
“Katakan kalau kau juga suka sama Tikah biar
kita bisa bersaing dengan adil. Tidak begini caranya
cari cinta........”
“Omong kosong apa ini, Din. Aku dan Tikah
cuma teman biasa. Kami tidak ada apa-apa,”
“Belakangan ini kau sering menghilang, tau-tau
kedapati sama Tikah,”
“Aku diminta kepala panti untuk
mengajarinya,”
Darahku mendingin, “Kenapa kau tidak
bilang?”
“Tikah yang larang,”
38
“Hahahah....dimana kau pungut alasan macam
itu? Bcegini saja deh, aku yang keluar kamar ini atau
kau?”
---
Tidak ada alasan untuk membenci diri sendiri.
Aku terlahir begini, bercitacita demikian besar, dan
bercinta berakar-akar. Aku sukar tertawa meski
disebab puluhan pelawak yang berjuang di
hadapanku. Hanya bisa kalau yang kucintai bahagia
dengan apa yang mereka mau.
Aku sudah terbiasa menyerap sakit banyak
orang untuk membuat mereka sekedar tarik urat
senyum yang kecut. Kehilangan sudah jadi bahan
olok-olokku. Diusir Addin tidak sanggup gelitik urat
perihku. Aku terbiasa dimakan derita. Ibarat besi
yang ditempa, pada akhirnya aku akan mengeras
kembali. Percayalah....
---
Suara petikan gitar dari lagu details in the fabric
merambat masuk ke telingaku. Ternyata earphones
kuno ini masih berfungsi. Tadi pagi kutemukan di
dalam toples kaca, tempat dulu ayah sering
menaruh biji damnya. Lumayan, sedikit suara James
Morrison bisa mengalihkan pikiranku sedikit, dari
ruang operasi ke masa depan di mana hanya ada
satu kata: damai.
Masih ada dua telinga, hidung, dan indera
peraba. Berikan mataku pada Addin bukan berarti
kehilangan kesempatan hidup. Biarkan aku memberi
dan berbagi sekali ini saja. Sudah dua puluh satu
tahun kugunakan sepasang mata bola ini. Kini tiba
giliran Addin. Aku rasa wajah arabik itu pantas
menggunakannya. Semoga nanti aku tidak lupa
dengan warna biru.
“Mba, Tikah. Maaf, kami tidak bisa menerima
penawaran donor anda....” kata seorang perawat.
---
40
Tukang cipta mendengar doa yang tidak pernah
kuucapkan besar-besar. Aku akan melihat dengan
dua mata seseorang. Ah, bagaimana nanti
menggunakannya. Apakah mudah kuhapal
demikian banyak jenis warna? Taman panti,
betulkan seperti cerita Saman? Tukang masak itu,
aku mau melihat caranya memasak. Sekali waktu
mungkin ia bisa mengajariku. Dan ibu, dimana bisa
kutemukan fotonya? Aku mau menatapnya lekat
sampai tercekat.
Pelan-pelan suster membuka perban yang
membalut kedua mataku selama satu bulan ini.
Kukedip-kedipkan. Pelan. Agak perih.
“Untuk beberapa hari ke depan, mungkin
penglihatanmu akan sedikit kabur. Itu cuma proses
penyesuaian, jangan sering dikucek....” saran dokter
yang berdiri tepat di hadapanku.
“Dan selamat! Kamu akan segera keluar dari
panti setelah diajari beberapa keterampilan,” kalimat
ini membawa angin barat masuk ke tengah-tengah
dadaku.
Luas. Satu kata yang benar ingin kutahu
maknanya. Kakiku bisa kuarahkan ke manapun
nantinya. Bebas. Seorang diri yang seorang diri.
Bukan sepi. Karena ada mata yang menuntunku ke
dua belas mata angin.
“Percayalah, kawan. Cinta tidak sebaik
kedengarannya. Ia benar-benar parah untuk mata,”
Ah, di mana laki-laki besar mulut yang lima
tahun belakangan ini menemaniku. Rasanya ada
bangunan enam belas lantai yang diletakkan raksasa
di atas pundakku. Namanya rasa bersalah.
Omongan itu terdengar seperti biji kapok yang
dijatuhkan tukang kasur, tidak penting. Dan kurasa
memang benar. Sebab kutahu Santikah baik untuk
semua inderaku.
“Addin....” Santikah muncul di pintu kamar. Ia
tersenyum. Benar sekali omongan Saman tempo
hari. Santikah akan membuatku ingin membunuh
42
semua orang. Hingga bisa kumonopoli semua yang
ia miliki. Ia seperti desiran anging mammiri yang
merindukan turis Belanda untuk kembali menekuri
Rotterdam. Ia ibarat mantra-mantra kuno dari
pesisir pantai selatan, seperti rempah-rempah dari
Maluku. Dan aku adalah kompeni berambut
gulungan.
“Tikah....” balasku. Lalu perempuan itu
mendekatiku. Paras senangnya mengerut dalam
hitungan detik. Ia amat ingin bicara. Tangannya
gemetaran.
“Saman mana?” tanyaku pada Santikah.
“Semoga aku tidak baru saja menyerangnya,”
batinku. Tikah terdiam, menyimpan tanyaku
beberapa saat sebelum mengeluarkan cermin dari
dalam tasnya. Kutatap cermin itu lekat.
Warna cokelat. Pekat. Tulis Tikah di tanganku,
memberitahu warna apa sepasang mata di batok
kepalaku.
“Bagus sekali, Tikah! Sangat...” seruku. Tapi
Tikah tidak urung merubah raut wajahnya.
Selanjutnya ia mengeluarkan sebuah buku. Ada foto
di halaman tengah. Di foto itu, tampak dua laki-laki.
Seorang laki-laki berkaus oblong, berdiri di belakang
seseorang yang duduk di atas kursi roda. Laki-laki
itu tersenyum, tapi matanya tertutup. Itu pasti aku.
Dan yang duduk di kursi roda itu, menarik garis
senyum yang sama, namun lebih kuat, dengan mata
cokelat pekatnya yang berbinar-binar.
“Saman?”
Iya.
Di balik foto itu, ada huruf braille. Aku
membacanya, “Pakai itu untuk lihat yang benar ya...
Kasih tahu Tikah, warna kulitmu nggak matching
sama warna matanya, jadi ambil mataku saja...! Tapi
ia, kau benar aku juga mencintainya...”
-
Rapsodi Masoka
Sebuah meja kayu dalam ruangan penuh
lampu kerlap-kerlip. Balon-balon digantung di
setIap sudut ruangan. Butiran bening mengilap
ditabur di atas kado-kado. Kue tart persis miniatur
kastil kuno tepat di samping tumpukan kado, di atas
meja. Lilin berbentuk angka satu menyala persis di
tengahnya. Selamat ulang tahun, Masoka. DemikIan
tulisan di atas kue itu, dibuat dari campuran
mentega warna merah muda. Hari ini ulang tahun
anakku, Masoka.
Anakku cantik dan bukan luka. Anakku
kurawat dengan penuh kasih sayang dan bebisik
lembut. Aku belajar dari buku-buku cara merawat
anak. Sebab aku tidak ada tempat bertanya. Semua
48
pakaian Masoka kurajut sendiri. Aku tak percaya
dengan hangat kain dari toko-toko pakaIan anak.
Ayahnya ada di mana saja. Maksudku,
mungkin Ia sedang berada di satu tempat yang tidak
kuketahui. Dia memang tak terbIasa memberitahu
ke mana ia pergi. Ia juga seringkali pulang kapan
saja, kapan saja ia mau.
‘ma…ma…’ kata pertama yang keluar dari
mulut Masoka. Betapa bahagianya aku saat itu. Aku
sedang merajut jaket kecil untuknya. Ia tidur siang
waktu itu. Aku tak sadar ia terbangun dan tak
menangis seperti biasa. Tiba-tiba kudengar suara
mungil malaikat kecilku, menyahut kepadaku dari
kamarnya. ‘ma…ma..’ ucapnya terbata-bata. Aku
melihatnya berjuang keras memanggil mamaku. Ah,
bahagianya jadi ibu.
Suara bel rumah. Itu Sahana, sahabatku. Dia
membawa kotak musik sebagai kado Masoka. Kami
membunyikannya sebelum meniup lilin ulang
tahun.
“…..putar musiknya lebih lama. Sahana. Aku
ambil Masoka dulu,” aku menuju kamar Masoka,
sebuah kamar kecil berwarna merah muda dengan
puluhan boneka masa kecilku.
“Ininda, tak perlu Masoka untuk meniup lilin
ini. Jangan kau bangunkan dia, kasihan,” cegah
Sahana.
“Tapi buat apa kita membuat pesta ini jika
Masoka tidak ada. Ini ulang tahunnya, ini pestanya,”
“Masoka harus istirahat, sudah pukul dua
belas malam. Dia masih kecil, Ninda!” nada bicara
Sahana sedikit menggertak.
“Kenapa kau melarangku melewatkan malam
bahagia bersama anakku? Oh, aku tahu sekarang.
Kamu pasti diminta Garin datang untuk
mengambilnya. Aku kira kamu sahabat yang bisa
dipercaya, Sahara!”
“Anak sekecil dia tidak baik terjaga jam segini.
Kamu seorang ibu, Ininda. Jangan memaksakan
50
inginmu padanya,” Sahara membujukku. Aku tak
jadi membuka pintu kamar Masoka.
“Kamu bersamaku, kan?”
“Tentu, Ininda….”
Sahana menuntunku duduk di depan meja,
tepat di hadapan kue ulang tahun Masoka. Ia
memutar kotak musik itu lagi. Suaranya lembut,
bunyi rapsodi piano klasik. Aku dan Sahana
menyanyikan lagu selamat ulang tahun, kami
bertepuk tangan bersama-sama. Aku meniup lilin
untuk Masoka dan menikmati potongan kue
pertama.
“Selamat ulang tahun, anakku sayang…”
ujarku.
“Selamat ulang tahun, Masoka,” ujar Sahana
seraya merangkulku. Kami bahagIa. Lalu aku
menangis, tiba-tiba saja.
“Kamu kenapa?”
“Sahana, aku harap Masoka bisa bangun dan
menghadiri pesta ulang tahunnya ini,”
“Kutemani kamu sampai Masoka bangun. Saat
Masoka bangun, kita nyalakan kembali lilinnya
bersama anakmu,”
Perlahan aku tak sedih lagi, “Kamu benar,
Sahana. Masih ada hari esok. Kenapa aku bisa
demikIan bodoh?”
“Semua ibu bodoh karena sangat menyayangi
anaknya,”
Aku dan Sahana tidur di ruang keluarga kami.
Semua pintu dan jendela aku kunci rapat. Aku tak
ingin Garin datang dan mengambilnya tanpa
sepengetahuanku.
***
Anakku sungguh cantik. Kata Sahana,
wajahnya persis aku. Matanya bulat, hidungnya pas,
bibirnya mungil. Bibir Masoka, sepaket bibir paling
cerdas di dunia. Sepasang bibir itu membuka,
52
membentuk tawa, menyungging senyum, dan
menangis dalam bentuk paling pas dan paling
perempuan.
Jemari Masoka mungil dan lentik-lentik.
Rambutnya hitam malam. Pantulan cahaya di
rambutnya menyerupai bintang-bintang. Binar mata
Masoka seperti matahari cerah. Dan tak palsu seperti
cahaya bulan. Tawa Masoka adalah candu. Aku
membutuhkannya setiap hari. Bahkan tangisnya
bagiku adalah rindu yang merdu.
Masoka bangun pagi-pagi sekali. Bulan belum
pulang. Matahari belum datang. Tangis Masoka
memecah pagiku dan pagi Sahana. Kami terbangun
lekas. Balon-balon ulang tahun Masoka mengecil.
“Sahana, kita harus meniup balon-balon itu
lagi,”
“Tentu. Kita akan meniupnya, tapi setelah
kamu sarapan,”
“Masoka terbangun dan menangis di
kamarnya, pasti dia lapar,”
“Biar aku yang membuatkannya susu. Kamu
pergilah sarapan,”
“Sahana,”
“Ininda, izinkan aku merasakan jadi ibu sekali
saja….,”
Sahana membuat susu untuk Masoka
sementara aku sarapan di ruang makan. Ia segera
membawa botol susu itu untuk Masoka. Sahana
telah menikah, dua tahun lebih dulu dariku. Ah,
tidak. Aku belum pernah menikah. Tapi aku
memiliki anak yang tak bisa Sahana punyai sampai
kapanpun. Aku rasa itu alasannya mengapa Ia ingin
menjadi ibu pagi ini.
Dari ruang makan kudengar tangis Masoka
berhenti. Ia pasti sedang menikmati susunya.
“Kamu tidak sarapan. Sahana? Aku buatkan
omlet, ya!”
54
Tak ada sahutan dari Sahana. Tiba-tiba saja ada
suara benda terjatuh dari pintu belakang. Kubuka
pintu itu dan menemukan Garin berdiri menatapku
dalam.
“Sahana! Sahana!” aku panik. Aku lari menuju
kamar Masoka. Garin mengikutiku.
“Buat apa kamu datang lagi?”
“Tenang, sayang. Aku kemari hanya ingin
menjengukmu,” kata Garin, masih dalam tatap
dalam matanya.
“Aku sehat-sehat saja. Kamu ke mari ingin
mengambil Masoka, kan?”
“Masoka! Sejak kapan ada Masoka?!”
“Aku tak percaya kau tidak mengakui anak
kita lagi. Kamu pergi tiba-tiba, tiba-tiba bilang tak
pernah ada Masoka,”
Sahana keluar kamar Masoka. Tangis
menyeruak dari kamar itu. Tangis yang mengiris-
iris. Mungkin pula tembok kamar itu tercabik-cabik
olehnya.
“Ada apa dengan Masoka, Sahana?”
“Masoka sakit, Ninda. Suhu tubuhnya tinggi
sekali. Aku takut dia meninggal pagi ini,”
Aku melihat Sahana tiba-tiba saja mengenakan
pakaIan putih-putih. Rok putih, baju putih, sepatu
putih. Kedua orang tua Garin juga datang, masuk
dari pintu belakang. Garin dan kedua orang tuanya
menatapku tajam. Lekas kutengok Masoka di
kamarnya, dia tidak ada.
“Sahana, apa kau menggendong Masoka?”
sahutku dari dalam kamar merah muda Masoka.
“Tidak, Ininda. Masoka di dalam bersamamu,”
jawab Sahana.
“Tapi Masoka tidak ada di tempat tidurnya. Ia
tidak ada di kamarnya. Sahana, jangan
menghianatiku!”
56
Sahana, Garin dan kedua orang tuanya masuk ke
kamar anakku. Sahana memelukku.
“Jangan sentuh aku! Pasti kalian berempat
telah menyembunyikan Masoka dariku!”
“Bukan kami, Ininda. Tuhan yang
menyembunyikan Masoka darimu,”
“Tuhan tega sekali padaku. Aku menyayangi
anakku sepenuhnya. Kamu lihat sendiri cantiknya
kamar ini. Semalam kita merayakan ulang tahunnya
yang pertama,”
“Ada satu hal yang membuat Tuhan
melakukannya. Dia harus menyembunyikan Masoka
darimu, karena kamu belum sempurna sebagai
seorang ibu,”
“Aku ibu yang sempurna. Aku melahirkannya
dengan normal, kususui dia selama masa sapih.
Kurajutkan pakaIan untuknya setiap hari. Kuberikan
semua waktuku untuknya. Aku tak kurang satupun
bagi anakku,”
“Bagi Tuhan kamu memiliki satu kekurangan
yang memaksanya harus memisahkanmu dengan
Masoka untuk sementara,”
“Apa itu? Sahana, katakan apa
kekuranganku?”
“Kamu belum memaafkan Garin,”
Garin dan ayah-ibunya menatapku dalam. Keluarga
itu memiliki tatapan yang dalam, hanya kepadaku.
Kedalaman tatap mereka seperti liang kubur. Dalam
dan gelap. Dalam yang duka.
“Aku tak bisa memaafkan pembunuh. Mereka,
mereka dan seorang perawat pernah ingin
membunuh anakku. Perawat itu, perawat itu mirip
kamu,”
Sahana berdiri di hadapanku dalam pakaian serba
putih., bercakap denganku tentang Masoka dan
Tuhan yang menyembunyikannya
58
“Kalian, ya… kalianlah pembunuhnya! Oh,
Masoka tidak disembunyikan Tuhan. Kalian
membunuhnya!”
Aku melangkah mundur, mencari jarak paling aman
dari keempat orang itu. Mereka telah membunuh
Masoka. Darah menggenang seketika di mana-mana.
Darah-darah juga mengucur dari dari daun jendela,
dari tembok-tembok. Dan dari selangkanganku.
“Ininda, kamu baik-baik saja, kan?” Garin
mendekatiku membawa sebuah pelukan. Kulihat ibu
Garin menangis di pelukan suaminya. Sahana
terlihat telah mengganti baju. Pakaiannya kini persis
sama dengan yang ia kenakan di pesta ulang tahun
Masoka tadi malam. Darah-darah tadi menghilang.
Entah ditelan cahaya pagi atau kedipan mata. Kamar
merah muda milik anakku bersih kembali. Aku
mendengar isak kecil dari bibir Sahana. Garin
kubiarkan memelukku. Akupun cukup merindukan
hangat tubuhnya.
“Maafkan aku, Ininda,” lirih Garin saat aku
merapat pas di tubuhnya lalu ia mengecup keningku
lama sekali.
Resolusi
Aku akan menikah pada tanggal 12
Desember 2012. Bisa dengan Syekh Puji, dengan
Araz, atau dengan laki-laki impoten dari Rusia.
Kupastikan, bukan denganmu. Tempatnya, di
halaman belakang rumahku supaya hemat biaya
walimah. Aku mau uang itu kami tabung untuk
pendidikan anak kami kelak. Plus persiapan untuk
tanah pekuburan.
Aku lebih suka diadakan pagi-pagi sekali.
Buktikan kalau aku bisa bangun lebih cepat dari
ayam jantan yang itu, yang bulunya mengilap setiap
kali diterpa sinar apapun. Hidangannya sederhana,
cukup pesan nasi kotak di warung Mba’ Sum.
Teknik memasak nasinya unik, rasa yang dihasilkan
benar-benar bikin lidah berdansa dengan sendok.
Pasti para undangan akan suka.
64
Tidak akan ada gaun pengantin putih. Aku
mengenakan kebaya warisan nenek Ria dan selop
kesayangan ibu. Kuusahakan pakai jilbab. Aku ingin
mengenakannya meski sekali seumur hidup..
“Laki-laki yang akan kau temani itu aku.”
tuturmu belagu. Yakin aku akan jatuh cinta padamu
kedua kalinya. Padahal kau sudah merobek-robek
hatiku dan membuangnya di kloset. Kejam bukan.
Untung sekarang aku bisa hidup tanpa hati. Jadi
kulihat kau mengiba begitu aku mana peka.
Masih saja tidak bisa kulupa kejadian gahar
sore itu. Kau memintaku untuk tetap tinggal
sementara aku bersikeras meninggalkanmu. Kau
menahan sepeda motorku maka kutendang sepeda
motormu. Bedebam keras yang dihasilkan
bangunkan orang-orang sekitar. Juga kagetkan
kucing kawin di samping pos polisi.
Motormu pecah kapnya. Mungkin kau
mulai panas, kau jatuhkan pula sepeda motorku.
Vega sudah penyakitan, kau siksa Ia pula. Aku
berusaha membantunya berdiri, kau mencegatku
kembali. Menahan Vega sekali lagi. Panas sekali
ubun-ubunku waktu itu. Kutendang kau supaya
malu, kutinju pelipismu, meski orang sekitar
mengutukiku perempuan kurang ajar. Mereka, kan
tidak tahu siapa yang kupukuli. Kau orang terkejam
yang pernah kuciumi.
Dulu kau paksa aku mojok di trotoar sepi.
Kau ajak aku bermain-main lidah. Kalau kutolak,
kau tuduh aku punya pacar lagi. Lama-lama kau
ajak aku masuk ke kamar Ijal. Katamu asyik main
umpet-umpetan. Jelas benar apa yang kau pikirkan.
Kau mau menswadayakan aku sebagai orang yang
mencintaimu penuh.
Malam-malam setelahnya, kau mau
membuatku mati dirajam orang sekampung. Kau
bilang hanya iseng. kemudian minta maaf. Berulang
kali kau iseng, berulang kali kau berlutut di kakiku
dengan ujaran panjang, “Maaf...maaf...maaf...” Dan
66
aku, saat hatiku masih seksi di tempatnya, aku
memaafkanmu berulang-ulang dengan mudahnya.
Pernah itu, aku memang salah. Mestinya
aku di sampingmu, menyuapimu masakan buatanku
sendiri atau paling tidak di boncenganmu
semalaman untuk bermain dengan angin jalanan,
karena kita harus merayakan sepuluh bulan
bersama. Akan tetapi aku bersenang-senang di
tempat lain bersama seorang sahabat.
Sekalinya kita bertemu esok hari. Kau
memperdayaku. Pura-pura sakit biar kuletakkan
kepalamu di pahaku agar dapat kubelai sampai kau
tertidur. Ternyata aku tidur lebih dulu darimu. Kau
menggerayangi tubuhku pelan-pelan, sarat
harmonisasi. Saat terbangun, kutemukan tanganmu
di selangkanganku.
“Kenapa kau lakukan ini?” Aku marah
besar. Lama sekali aku tenggelam di dalamnya kala
itu. Dan kau dengan entengnya menjawab,
“Siapa suruh kau malah memilih temanmu
kemarin,” jawabanmu benar menusukku. Saat itulah
hatiku kau ambil, kau tenggelamkan di kloset. Aku
tidak tahu lagi bagaimana merasa sampai sekarang.
Jadi jangan salahkan aku yang malas melihat
wajahmu.
“Aku akan bertanggung jawab terhadap
semua yang telah kulakukan terhadapmu. Aku
minta maaf,” maafmu ini disertai sujud dan wajah
yang menyentuh kakiku.
Kekasih, kalau kata maaf itu cukup, maka
riwayat Adolf Hitler tidak jadi legenda kelam anak
cucu Jerman. Atau dekatnya, ayahmu berhenti
dikutuki orang-orang Batua. Tapi maaf hanya kata
empat huruf, dibalik jadi faam. Apa artinya itu?
Tidak ada. Pertanda kamu memang tidak layak
kuterima kembali. Hukuman dariku, cukup tidak
usah menjadi pengantinku.
----
68
Bumi atau langit. Aku suka langit.
Meskipun sekarang aku hanya bisa bermimpi
menyentuhnya. Tapi langit memiliki semua warna.
Milyaran distorsi. Kadang langit pandai benar
membaca isi hatiku. Kalau aku sedang ceria, birunya
membuncah dan awan-awan amat lincah berpose.
Kalau aku sedang sedih, langit menjadi hitam, pekat.
Disusul awan berubah amburadul. Pose-posenya
seperti perawagati Paris dikagetkan oleh bom
molotov yang dilempar psikopat ke atas catwalk.
Sedangkan bumi. Tidak ubahnya seperti tempat
sampah yang menampung jutaan manusia hina.
Sepertiku. Utamanya menampung laki-laki bernama
dirimu.
Rivai, hatiku memang sudah kau buang.
Namun sekarang aku membentuknya kembali, jadi
berterima kasihlah pada Tuhanmu karena aku tidak
turut membuangmu. Nikmati saja proses ini, proses
memutar balik hubungan dari pacaran menjadi
teman biasa. Lumayan, tidak akan ada tuntutanku
ini-itu lagi padamu. Dan kau bisa lebih leluasa,
keluar masuk kamar kos perempuan lain tanpa
takutiku.
Jadi pulanglah. Aku tidak mungkin
membiarkanmu melewati pintu hatiku sekali lagi.
Kita sudah selesai. Lihat, langit malam ini kaya
bintang. Artinya aku bahagia dengan keputusanku.
“Satira, aku tidak akan pergi dari sini.
Apapun yang terjadi. Aku mencintaimu!” teriakmu
di depan rumah kontrakanku. Aku mengintip dari
jendela ruang tamu. Menertawai usaha kecilmu
meniru adegan film Korea yang pernah membuat
kita terenyuh bersama.
“Ya...ya...ya.. aku tahu. Selamat menikmati
dingin di luar sana!” kubalas teriakanmu.
Kumatikan lampu dan aku terkapar nyaman di
kasurku sendiri. Akhirnya, tanpa diri dan nafsumu.
----
Sudah berulangkali kukatakan, “Aku tidak
suka hubungan ini!” Kau bilang kau sayang padaku.
70
Tapi kau mau memakaiku. Menggagahiku tepatnya.
Alasan konyolmu, “Biar kamu nggak pergi dari
aku.” Kau mau mengikatku dengan embel-embel
rongsokan itu. Kenapa tidak kau tunangi saja aku,
atau lamar aku sekalian kalau memang kau mau
hidup denganku?
“Karena kita masih kuliah. Aku belum
bekerja. Apa kau mau makan teori saja?” jawabmu.
Memang amat masuk akal.
“Kalau begitu urungkan niatmu. Belum
saatnya. Semua bukti kita mengarah ke situ. Apa
salahnya kau berhenti mengkonsumsi video liar,
berbalik tekuni ulasan sastra, dan mencari pekerjaan
sampingan? Semua kesibukan itu bisa menjaga kita
tetap dalam kontrol hubungan yang sehat!”
“Aku mencintaimu pun butuh hangatmu!”
Alasan kedua kenapa aku membenci bumi: cinta.
Ada cinta ugal-ugalan yang bersemayam di selimut
bumi. Pemiliknya adalah laki-laki bernama Rivai.
Sial, aku mengenalnya dengan hatiku. Aku
memberinya cinta.
“Satira, kalau memang tidak bisa ada
kehangatan, mohon terima aku sekali lagi dalam
ceritamu...”
----
Pulang dan berpikir. Masihkah ada setitik
kecil pun perasaanku pada Rivai? Ada. Bukan kecil.
Ia besar, masih lebih besar dari hati yang barusan
kuperbaiki. Bisakah kulupakan kenangan
bersamanya, kenangan setahun itu? Tidak munafik,
kenangan itu selalu muncul di sela-sela nafasku.
Kadang tenang, kadang memburu. Apakah bisa
dijamin kami akan menemukan hubungan yang
sehat jika kembali bersama? Ini yang tidak bisa
kuambil konsekuensinya.
Aku kini menoleh ke persimpangan kanan,
tempat semua petuah-petuah ayahku dipancangkan.
Di jalan itu nantinya aku akan bersujud setelah tiap
satu langkah. Di sana aku akan menggerakkan
72
jemariku untuk berdzikir, setelah capai menekan
tuts-tuts piano. Di pelataran rumah-rumah terang itu
aku akan tepekur, diam, menatap sekeliling sehabis
puji-puji langit dalam hati.
Aku manusia dan termasuk perempuan
yang merajakan perasaan. Namun pula tidak akan
kulanggar lagi perintahmu. Dari ujung rambut
hingga ujung kaki, kini kuserahkan pada langit. Apa
yang langit perintahkan untuk kupikir esok hari, itu
yang akan aku lakukan.
----
Bayangan Rivai dari jidat sampai jempol
terbias tepat saat kubuka mata. Langit ingin aku
kembali padanya setelah perbuatan nista yang ia
tawarkan padaku nyaris terjadi? Sebenarnya apa
yang ingin langit ajarkan?
Kubuka pintu, biasanya memang aku
langsung duduk di teras bersama secangkir teh.
Cemilanku, Rivai! Ia sudah menungguku keluar
sejak subuh. Mungkin ia sempat tertidur di kursi
teras, matanya masih bengkak.
“...aku mencintaimu!” sambutnya dengan
mata itu.
“Baiklah, selamat datang kembali. Ingat,
kali ini harus sehat.”
----
Kadang, ada masa-masa yang membiarkan
kita terjebak dalam suasana romantis. Ia dengan
rangkulannya. Aku dengan bibir yang menggoda.
Kesengajaan atau bukan, ini terjadi tiba-tiba disertai
respon dari dalam lubuk hati masing-masing. Jelas,
lubuk hatinya bilang “Silakan bekerja sama dengan
libido,” dan lubuk hatiku teriak, “Libido kini masih
sampah jati dirimu!”
Rivai belum tua, baru dua puluh tahun dan
Ia sudah selalu lupa akan janjinya sendiri.
Kukembalikan ketampakan bibirku seperti biasa,
menarik libido masuk ke kandangnya, dan
mengingat-ngingat hapalan surat pendekku tadi
74
malam. Aku berhasil memutar pikiran dari berusaha
memenuhi kebutuhan biologis ke posisi
mempertahankan prinsip dan keyakinan. Dan Rivai,
seperti biasa ia selalu gagal total.
Menggila! Kali ini ia berubah jadi binatang.
Aku ditariknya masuk ke kamar. Rumah tempat
kami rapat tentang ekspedisi hutan hijau seketika
menjadi hutan betulan. Teman-teman yang tadinya
kupercaya itu, satu-persatu meninggalkan rumah.
Seolah mahfum dengan isi otak Rivai, mereka
menginjak pedal gas dan pergi. Kini tinggal kami
berdua. Aku dan Rivai. Datanglah makhluk ketiga
yang melesapi pikiran Rivai. Menyagakan warna
matanya.
Kamar dikunci. Rivai membuang kuncinya
ke dalam kloset. Praktis dan licik. Aku terkurung
dalam ruangan tiga kali dua bersama seekor
harimau kelaparan. Sesaat lagi aku akan diterkam.
Jika harus memilih akan jadi binatang apa aku di
sini, maka aku akan jadi Serigala. Kucari cara
mempertahankan diri dan keperawanan. Botol
minuman yang ditaruh pemilik rumah di bawah
ranjang kutemukan tanpa sengaja, saat Ia berhasil
membuatku terlentang. Serigala lawan harimau.
Kami berdua calon raja hutan yang baru. Hukum
rimba! Siapa yang kuat, dialah penguasa. Yang kuat
adalah aku. Aku memang mencintaimu Rivai, tapi
bagaimanapun perbuatanmu ini telah menghapus
semuanya seketika.
Badanku dikunci badannya. Tenang saja,
tanganku masih cukup kuat untuk memecahkan
botol itu di kepalanya. Ada botol sisa pesta minum
semalam di samping ranjang. Praaangg!
“Bagaimana rasanya, Rivai? Nikmat?” Aku
tertawa saja setelah ini. Menyakiti dibalas menyakiti.
Tapi ini bukan balas dendam, ini mempertahankan
diri. Pukulanku agaknya membuat laki-laki pikun
ini semakin dikuasai kegilaan. Terhuyung-huyung ia
menerjangku lagi.
76
“Selamat datang,” sambut pecahan botolku
yang mengilat, seperti stalagmit habis diasah.
Menembus perutnya sampai merembes cairan yang
disebut dunia, darah. Rivai rebah. Kubiarkan
pecahan itu terus menusuk perutnya. Dua kali. Tiga
kali. Empat kali. Tak terbilang kali.
----
Setelah tiga hari di dalam ruangan dua kali
tiga meter. Tidak bisa kemana-mana. Makananku
menu monoton setiap hari. Aku pun harus tidur dan
berak di ruangan ini. Akhirnya aku bisa menghidup
udara segar alam luar, alam pekuburan, diselumuti
aroma kehilangan. Di lubang satu kali setengah
meter itu Rivai berbaring. Entah Israfil menyiapkan
pertanyaan mengejutkan apa buatnya. Mungkin
yang ada sangkut pautnya denganku. Dan jika aku
mati pula kelak, pertanyaan untukku ada sangkut
pautnya pula dengan dia.
Dan di sini, di samping polisi-polisi yang
mengawasiku, kulihat persimpangan kanan mencuat
tepat di depanku. Gapuranya mewah, ada gambar
bulan dan bintang di puncaknya. Beberapa merpati
terbang dan hinggap di sampingnya. Langit di atas
biru sempurna. Awan-awan agresif menyambutku.
Walau tampaknya resolusiku di tahun 2012 tidak
akan terwujud, setidaknya satu poinnya jelas akan
dicatat zaman: aku tidak akan menikah dengan
Rivai.
Sedaftar Lagu yang Menyerupai Bibirmu
Irona siap. Ia siap menyelia satu demi satu
lagu-lagu dalam daftar lagu di alat pemutar
musiknya. Irona sangat menginginkan lagu yang
persis bibirmu. Sama seperti kamu, yang
menginginkan rokok seperti bibir Irona. Bibir merah
pemerah, bibir merdu pemerdu. Kamu gemar nian
bernyanyi tentang mata dan air mata Irona. Irona
gemar mencari-cari suaramu di mana saja. Ia
menyukai suara pemecah sepi milikmu. Candu
kalian terhadap bibir satu sama lain.
Sebatang pohon payung besar di tengah
taman. Daun-daunnya merah siap gugur. Yang tak
berguguran ditinggali sekawanan ulat bulu merah.
Di salah satu dahan diletakkan satu sarang oleh
induk burung gereja. Angin menyela-nyela
percakapan antar daun. Cahaya matahari menerobos
82
semampunya. Irona berada di bawah sana, duduk
mencari bibirmu.
Kamu dan Irona merapal mantra sekarang dan
selamanya di bawah pohon itu. Mantra yang
panjang dan bersengal-sengal. Di penghabisan
mantra, kedua bibir kalian berpegangan tangan,
berdansa. Hujan mengguyur. Pelangi siap di balik
awan. Yang di langit tersenyum saja. Dalam tarian
itu kalian bertukar janji. Pinjam-meminjam diksi.
Dan saling memberi keremehan kasih sayang yang
puas buas.
Irona mencari bibirmu dalam lagu dari
earphones merambati telinganya. Ia mencarimu
sembari menunggu. Kamu akan menemuinya tepat
ketika kepompong di dahan kanan pohon
mengeluarkan seekor kupu-kupu kuning. Jam
biologis kepompong itu hitung mundur enam puluh
menit. Daftar lagu Irona ada dua jam.
Barangkali rindu kalian adalah teka-teki yang
tak terpecahkan. Rindu kalian berbeda jam biologis.
Ketika ayam terbangun, itulah saatnya rindu
melesapi tubuh Irona tak kenal ampun hingga ia
menggeliat-geliat sendiri di kasurnya. Meringkih
ringkuh walau sesekali tertawa disebab bibirmu
mengecup-ngecup daun telinganya. Lagu
menyerupai bibirmu tak bosan ia dengarkan.
Kamu akhirnya datang di reff lagu ke ke tiga
puluh dua. Kamu merengkuh tubuh Irona diam-
diam dari samping. Pelangi lamat-lamat keluar.
Kupu-kupu menyeruak dari kepompong, lalu
terbang mengelilingi kalian. Pelan-pelan
membiasakan diri, Irona membiasakan
rengkuhanmu atas hidupnya.
“Kamu selalu saja mengangguku,” lirih Irona.
Ia mematikan pemutar musik dan membalas
rengkuhanmu.
“Aku selalu saja menganggumu,” katamu.
Irona gemas padamu. Lalu merenggut lagu dari
bibirmu. Sebuah lagu tentang kehidupan yang tak
kenal lelah.
84
“Ketemu jam delapan malam di tempat biasa,
ya!” katamu lalu pergi, melepas lagu kehidupan dari
bibir Irona dan hilang dalam tujuh puluh lima
langkah kaki ke utara, di atas sepatu gunung tua,
dan hati yang mekar. Kupu-kupu kuning
mengikutimu. Irona menatap bekas tapak kakimu
yang memahat jalan setapak menjauhi pohon
payung. Irona mengangguk setuju. Irona tersenyum
lantas menyelesaikan lagu dari pemutar musik. Satu
lagu yang persis bibirmu.
Itulah kamu, sebuah lagu. Bibirmu berada
dalam beberapa lagu. Dan lagu-lagu itu menjadi
kegemaran Irona. Itulah Irona, selalu menantimu di
bawah pohon payung. Ia siap menemuimu walau
selalu saja kau datang tiba-tiba, lebih awal dari
waktu pertemuan. Tak jarang kamu hanya berwujud
janji buatnya. Ia menunggu dari pagi hingga petang,
dari petang hingga pagi dan kamu hanyalah janji
baginya.
Itulah kalian. Saling berjanji, saling bertemu.
Semua berlangsung sekejap. Kamu datang sekejap,
Irona menunggu sekejap. Baginya menunggumu
selalu nikmat dengan lagu-lagu yang menyerupai
bibirmu. Ia menyimpan banyak lagu jenis itu dalam
pemutar musiknya. Mendengar lagu-lagu itu dalam
lamat yang panjang membuatnya merasa kamu
datang tak sekejap. Sebab lagu yang masuk ke
telinga butuh waktu lama merambati sekujur
tubuhnya.
“Sedang apa kau?” ucapan pohon Kamboja
melamurkan konsentrasi Kembang Kertas,
“Tak bisa lihat tanaman lain senang. Tabiatmu
memang buruk,” cibir Kembang Kertas.
“Heh, aku tidak senang melihatmu selalu
mengintip mereka. Biarkan saja mereka menikmati
taman ini, sama seperti pengunjung lainnya. Tak
perlu kau tonton sefokus itu,”
86
Kembang kertas berbunga putih dan ungu itu
memandangnya dengan wajah terlipat, “Aku peduli
pada mereka. Apalagi Irona,”
“Peduli kita tak ada artinya, kita ingin
meneduhkan mereka, tapi Irona dan laki-laki itu
selalu memilih bersama di bawah pohon payung,”
“Bukan itu maksudku. Irona selalu menanti
laki-laki itu di bawah pohon payung, nyaris setiap
hari. Dan si laki-laki hanya muncul beberapa detik
sebelum menghilang lagi. Sudah puluhan kupu-
kupu yang lahir. Apa kamu tidak sadar?”
“Kamu kasihan pada Irona saja. Kepada laki-
laki itu, mungkin kamu kesal,”
“Bisa jadi. Sikap irona membuatku ingin
pindah segera ke sampingnya. Menunggu selama itu
pasti menyebalkan,”
“Seperti kita maksudmu?”
“Kita pohon, kita tanaman, tidak berpindah-
pindah seperti manusia. Hati kita juga tak
berpindah-pindah seperti hati manusia,”
“Aku paham maksudmu, kita ini tanaman hias
yang ditakdirkan memperindah taman ini
selamanya. Cuma angin kencang dan manusia yang
bisa memindahkan kita,”
Kupu-kupu kuning yang masih belia itu terus
terbang mengelilingi taman. Kini Ia hinggap di salah
satu pucuk kembang kertas,
“Kamboja, apa menurutmu laki-laki itu telah
berpindah hati?” kembang kertas menggoyang-
goyangkan dahan mengayun kupu-kupu. Kupu-
kupu itu terbang lagi dan hinggap di dahan
sebelahnya.
“Kepada Irona maksudmu? Pindah dari
mana?”
“Dasar pemalas. Dulu sekali laki-laki selalu
berada di bawah kita, bertahun-tahun lalu. Ia sering
duduk di bangku di bawah kita ini, bersama
88
perempuan yang berbeda-beda setiap tahunnya.
Kamu keseringan tidur, makanya melewatkan
banyak sejarah taman ini,”
“Hmm....ceritamu tentang lelaki itu sangat
menarik, coba lanjutkan!”
“Laki-laki itu tidak pernah kesepian. Kadang
selama beberapa bulan, Ia datang ke taman ini
dengan perempuan yang sama setiap pekan. Tak
lama kemudian, Ia datang lagi bersama perempuan
berbeda. Karakter dan perawakan perempuan itu
selalu mirip, tapi berbeda dengan Irona,”
“Lalu?”
“Kira-kira laki-laki itu tak pernah datang lagi
selama satu tahun. Di satu musim angin kencang,
ketika saudara kembarku di seberang sana...,”
kembang kertas menunjuk satu bangku tak
berpohon, nada bicaranya menurun, memelan
“...tumbang, laki-laki itu datang lagi bersama
seorang perempuan kulit kuning,”
“Oh, ya aku ingat. Saudara kembarmu,
sebatang kembang kertas putih yang tak pernah
sepi, tapi sayang dia keburu mati,”
“Aku tidak sedang menceritakan saudaraku,
fokuslah!”
“Haha.... maaf, lanjutkan! Tadi sampai dia
datang dengan perempuan kuning,”
“....hmm... mereka datang bertiga, ada anak
laki-laki yang digendong perempuan kuning. Laki-
laki itu menggendong si anak dengan bangga dan
bahagia,”
“Aku yakin itu anaknya. Perempuan kuning
adalah istrinya. Jelas sekali. Kehadiran seorang anak
dapat menyatukan kata bangga dan bahagia dalam
satu kalimat,”
“Aku pun berpikiran demikian. Lalu aku yakin
dengan pendapat itu ketika beberapa bulan
kemudian, mereka bertiga datang dan anak itu
memanggilnya ayah. Selang....”
90
“Tunggu! Kamu ingin bercerita bahwa Irona
selalu bertemu dengan laki-laki yang telah
berkeluarga? Si laki-laki berselingkuh?”
“Sepertinya. Kita tak bisa menuduh begitu
saja. Kita tak pernah melihat Irona dan laki-laki itu
melakukan hal tampak cinta,”
“Kertas bodoh.... jangan bilang kamu tidak
lihat tadi. Irona dan laki-laki itu bertukar nafas lewat
bibir mereka,”
“Aku lihat, sangat jelas. Tapi aku tidak ingin
serta merta menuduh mereka,”
“Sudah jelaslah kejadian di taman ini.
Bagaimana menjelaskan hubungan yang terjadi
antara sepasang manusia yang bermain bibir?”
Irona mengancing jaketnya. Satu kancingnya
hilangsaat pertama kalian bertemu. Kancing itu
jatuh saat ia tersandung batu, Irona jatuh dan kamu
menertawainya, lalu memeluknya. Irona sedang
bercakap dengan seseorang di telepon sambil
berjalan menuju bangku di bawah Kamboja.
“Hei, hei jangan duduk di sini! Kami tidak
senang bercerita tentang seseorang yang berada tak
jauh dari kami!” usir Kamboja.
“Biar saja. Kamu seperti nenek tua yang tak
ingin berbagi tempat duduk,”
Irona duduk di bawah pohon Kamboja. Ponsel
masih menempel di telinga Irona, namun gadis itu
diam. Percakapannya dengan seseorang di telpon
tampaknya sedang berjeda. Panjang.
“Kenapa?” isak Irona serta merta. “....iya, aku
masih bisa menunggu,”
“Malang sekali dia,” ujar Kembang Kertas.
“Aku yakin laki-laki itu mengundur janji mereka,”
“Apa mungkin permainan sembunyi-
sembunyi mereka ketahuan?” selidik Kamboja.
“Barangkali iya. Barangkali si laki-laki
terpaksa menemani istrinya lebih cepat,”
92
Irona menangis sampai tertidur. Tidur
membantu mata Irona berdamai dengan sepi.
Sesungguhnya, ia ingin kamu berhenti mencarinya
dengan alasan kesepian. Mungkin saja kesepian
kamu seperti punya Irona. Akan tetapi kesepian
kamu tidak pantas berlama-lama. Kesepian kalian
berbeda. Punya Irona selalu menghidupkan kamu,
punya kamu pandai menenggelamkan Irona.
“Dia tertidur, Kertas,”
“Terang saja. Menunggu itu melelahkan,”
Irona tidur lama. Pohon Kertas berbunga lagi,
Kamboja berbunga lagi. Pohon payung di tengah
taman semakin ramai oleh kupu-kupu kuning yang
kadang kala bergerombol, kadang pula menyebar
dari satu tanaman ke tanaman lain. Bangku kayu
taman berganti bangku semen. Lentera-lentera
dipasang di kedua sisi bangku. Orang-orang
membuat pedestrian dan setapak-setapak berkerikil
putih paten tempat para lansia berjalan santai dan
sesekali kesakitan. Sedaftar lagu yang menyerupai
bibirmu mengiringi tidur Irona, tepat di bawah
Kamboja yang wangi itu.
“Kertas! Kertas!” teriakan Kamboja
mengangetkan sekali.
“Ada apa? Aku sedang mendengarkan sayup
lagu dari pemutar musik Irona!”
“Lihat di sebelah sana, laki-laki itu datang!”
“Mana?”
Kamu berjalan memasuki area setapak berkerikil.
Langkah-langkahmu berat. Nafasmu memburu.
Namun kamu terlihat sangat gigih mencapai pohon
payung di tengah taman. Sebatang pohon yang telah
ditelan tanah. Ia hanya menyisakan sepotong batang
luka yang bergaris-garis banyak sekali di tengahnya.
Tubuh pohon itu melekati rangka sebuah perahu
yang kini tengah berlayar menuju tanjung di
Semenanjung Afrika.
“Laki-laki itu datang, bangunkan Irona cepat!”
ibuaku
Enam puluh hari tiga belas jam empat puluh
tiga menit aku habiskan bercengkerama bersama
guling, selimut, asbak, dan ratusan batang rokok di
dalam kamar bekas ibu. Aku tidak menghirup wangi
perngharum ruangan, parfum yang puluhan tahun
ibu semprotkan ke selimut, dan aroma hari. Aku
tidur dalam kelam. Lalu bangun dalam kelam yang
sama.
Malam itu, kerikil dan tiang listrik beradu tiga
kali. Pemenangnya tidak ada. Penjaga malam hilang
ditelan cahaya, menjauh ke dalam gang kecil,
mencari tiang listrik lain. Seorang lelaki mengetuk
pintu rumah kami. Ibu dan suaminya pura-pura tuli.
Di lantai bawah, tepat di bawah kakiku, ibu dan
suaminya bermain tanam seribu pohon, berisik. Tiap
98
saat kutanyai mengapa ibu selalu berisik, ia hanya
berkata,
“Bumi ibu semakin gerah dan tua. Pohon mesti
sering-sering ditanam, supaya kembali segar,”
Ibu seorang ibu rumah tangga biasa. Punya
dua anak. Kakak berkerja di luar bumi, memberi
makan alien-alien dan mengunjungi banyak planet
dalam sehari. Dan aku. Aku berkerja menonton
segala isi kamar, ditemani kesaksian dinding-
dinding, terkadang masuk menyelami buku-buku,
keluar tanpa hadiah untuk ibu. Aku tahu ibu tidak
pernah membutuhkan pohon yang kubawa dari
dalam buku. Ibu hanya mengenal satu jenis pohon
selama hidupnya. Itupun sudah punah sesaat setelah
aku dilahirkan.
Pada pukul tujuh pagi dan tujuh malam,
pekerjaanku bertambah. Menjawab panggilan ibu
dengan satu kata dalam teriakan lantang, ‘iya’. Tapi
aku tidak pernah turun. Aku tidak suka buah dari
pohon suami ibu. Jika teriakanku tidak sampai, ibu
menggedor pintu. Aku belajar pura-pura tuli
sepertinya. Ayah meninggalkannya karena ia sering
berpura-pura tuli. Ibu meletakkan buah itu di depan
pintu kamarku. Tamu malam itu berada di samping
aku. Begitu pula malam-malam setelahnya.
Tamu laki-laki itu sangat baik. Dia
mengajariku cara bernyanyi tanpa mengeluarkan
suara. Bernafas diam-diam namun tersengal. Setiap
malam, dia memanjat ke kamarku seperti ninja. Dia
membawa belati. Mengilat ujungnya. Sebelum pagi
datang, pagi yang selalu aku abaikan, laki-laki itu
hilang. Penjaga malam pun pulang ke rumahnya.
Kalau laki-laki itu tidak datang. Aku
merambat kamar seorang diri. Bersama selimut,
guling, dan aroma peninggalannya. Dia datang dari
galaksi lain. Kata awan-awan, dia berbeda dengan
keluargaku. Dia tinggal di sebuah rumah yang
dikeliling pekarangan dan kebun mini. Mirip
pondok tua di tengah hutan. Dia melarangku
berkunjung ke sana. Suatu hari nanti mungkin saja,
100
kalau ilmu kanuragan dan jurus ninja berhasil aku
pelajari. Katanya, aku bisa menguasainya dari
malam. Malam yang punya satu bulan. Seribu
bintang. Lalu tiba-tiba diguyur deras hujan.
Waktu kakak pulang, membawa batu dan
kitab-kitab peninggalan planet lain, aku minta baca.
Kakak marah. Katanya buku-buku itu berbahasa
rumit. Aku hanya mengenal bahasa kamar sejak
lahir, tidak akan sanggup memahaminya.
“Ada ilmu yang aku butuhkan di sana,”
bujukku.
“Tanyalah ibu, dia tahu banyak ilmu!” kata
kakak, “Atau ayah,”
Sejak ibu menanam pohon bersama lelaki itu,
ibu kehilangan kemampuannya. Sekarang ibu hanya
pandai memainkan dua hal, bercocok-tanam dan
bermain musik dapur. Konon dari cerita nenek, ibu
dahulu dapat mengunjungi banyak tempat sekali
melangkah dalam sehari. Ibu mengenal wajah-wajah
yang tertera dalam baliho. Suara ibu hebat juga.
Selalu terdengar saat bendera setengah tiang
dikibarkan atau ketika satu teater akbar dibuka dan
cahaya lampu panggung tidak menerpa wajahnya.
Ada cicak abu-abu menempeli kisi-kisi plafon.
Cicak pendiam. Kucingku masuk lewat fentilasi
kamar, menerkam cicak. Cicak sampai di lantai lebih
dulu. Kucingku menjabatnya dengan kuku jari
telunjuk sebelum menggumulinya. Lelaki itu berjanji
akan datang malam ini. Aku menyemprot ruangan
dengan pengharum wangi hutan pinus.
Jarum jam menginjak kepala angka dua. Cicak
itu memotong ekornya. Kucingku menikmati ekor
pengalihan isu. Lalu suara pecahan kaca dari kamar
tetangga menggaung. Cicak itu hilang. Kucingku
makan. Ia tidur kekenyangan ketika raungan perih
terdengar dari kamar tetangga. Kata Ibu, tetangga
itu memiliki bumi yang lebih sepi dari miliknya
dulu. Beberapa waktu lalu ada seorang pengelana
yang membawakannya bibit pohon jati. Pengelana
102
itu berkerja mengais makanan dari kota ke kota.
Malam ini mungkin si pengelana pulang dan tanpa
hasil kaisan apa-apa.
“Bumi tetangga kita tak hanya sepi, miliknya
kerontang juga. Si pengelana tidak pandai
mengumpulkan air untuk membasahinya,”
“Jadi bagi bumi, suara penghancur sepi tak
cukup, ya?”
“Tentu saja, nak. Setiap bumi membutuhkan
basah,”
“Mengapa basah?”
“Basah menambah kemampuan ramai di atas
bumi,”
Suami ibu datang dengan basah. Hujan
menyergapnya saat mengumpulkan bebuahan di
luar sana. Ibu beranjak dari kamarku, mencari
handuk untuk suaminya. Laki-laki itu menatapku.
Aku rasa dia tak ingin basah sendiri.
“Sayang, ini handuknya!” teriak ibu.
Suaminya segera pergi. Aku tidak suka tatapan itu.
Serasa tatapan seekor serigala di tengah rimbun
hutan melihat seekor serigala betina liar. Pintu
kamar kukunci. Laki-lakiku datang, dari jendela ia
loncat memelukku.
Kala senggang, aku dan ibu selalu
menghabiskan waktu bersama di depan kipas angin
duduk dan cermin besar di kamar bekas ruang kerja
ayah. Kamar itu kami biarkan kosong. Kakak
memilih kamar di rumah lain daripada harus tidur
di dalamnya. Dia tahu rasa sakit dari barang
kesukaan yang dipindahkan barang satu senti saja
dari tempatnya.
Di depan cermin itu, mata ibu dan mataku
menari-nari. Persis empat kunang-kunang dengan
ekor bercahaya yang acuh, pada desir angin dan
cahaya bulan yang lebih terang.
“Setiap ekor pasti bercahaya, nak,” begitu
selalu kata ibu. Selalu pula setelah itu, kutatap
104
ekorku dengan bantuan cermin dan menemukannya
gelap gulita.
“Ekormu belum saatnya bercahaya,”
“Bukankah semua ekor memiliki cahaya
seperti kunang-kunang?”
“Akan tiba saatnya ekormu bercahaya,
namun bukan sekarang. Waktu seusiamu, ekor ibu
juga tidak bercahaya,”
“Apa cahaya ekor suami ibu terang?” ibu
terkekeh. “Cahaya ekor itu sesuatu yang harus
dirahasiakan,” jawabnya. Ibu memelukku. “Tapi,
cahaya ekor ayahmu boleh kamu tahu,”
“Benarkah? Bagaimana cahayanya? Ibu....
cepat katakan!”
“Seperti lampion tahun baru, kemerahan dan
menghangatkan,”
“Wah... ayah hebat. Aku ingin memiliki
suami bercahaya ekor seperti itu, pasti
menyenangkan,”
“Kamu pasti akan mendapatkannya. Pandai-
pandailah merawat ekormu, jangan sampai terlihat
orang lain yang bukan suamimu, nak,”
“Begitukan, Bu....”
“Ibu telah melihat banyak ekor bercahaya
dan hanya milik ayahmu yang paling pantas untuk
ekor ibu. Semua karena ibu pandai memelihara ekor.
Setiap ekor akan memiliki pasangan ekor yang
pantas. Seperti kunang-kunang,”
Kupeluk ibu di depan cermin. Kami duduk di
depan cermin sampai dini hari. Kipas angin menerpa
wajahku dan wajah ibu yang damai. Malam itu,
suami ibu tidak pulang. Laki-lakiku tak memberi
kabar. Rumah tetangga sunyi, pintu jendelanya
terbuka dan berderik–derik oleh angin malam.
_ _ _
Saat ibu dan suaminya berubah kunang-
kunang di bawah sana, ada yang melompat
kekanak-kanakan dari jendela dan membekap
mulutku lembut.
106
“Jangan ribut! Kubawakan kau sesuatu,” kata
lelaki ninja. Kupeluk ia. Rumah tetangga masih
sunyi. Penjaga malam baru saja selesai memukul
tiang listrik tiga kali. Laki-lakiku mengeluarkan
sebuah kotak kecil berwana merah darah
“Benda apa ini?”
“Kamu tidur nyenyak sehabis bernyanyi
malam itu, kamu pulas sekali. Kuambil sedikit darah
dari lenganmu, tepat di samping luka bekas cacarmu
untuk kalung-kalung ini. Darahku bercampur di
dalamnya,”
“Aku ingin menjadi kunang-kunang
bersamamu,” katanya.
Planet Pluto menabrak cincin Saturnus di atas sana.
Alien-alien langganan kakak terpelanting di
angkasa. Laki-laki milik orang ini mengajakku
keluar kamar. Ia ingin aku ikut bersamanya,
menumpangi pesawat luar angkasa menuju ruang
luas tempat sepasang kunang-kunang bebas
bergembira.
“Kita terlalu banyak bermimpi dalam
nyanyian sunyi kita, sayang. Ibu takkan suka aku
menjadi kunang-kunang secepat ini dan terbang
bersama kunang-kunang sepertimu,” kutahan diri di
daun jendela. Lampu kamar tetangga menyala. Dua
ekor cicak abu-abu muncul dari lubang di plafon,
tepat di atas seorang lelaki yang mengintip dari
lubang kunci kamarku.
Aku teringat ayah, ibu, cermin dan kipas
angin pengganti ayah. Jika aku pergi dini hari ini,
dini hari besok ibu sendirian di kamar ayah.
Suaminya di tempat lain. Kakakku berada di planet
kesekian dalam daftar perjalannya. Tapi ayah ada di
bawah sana, di samping tiang listrik dan penjaga
malam.
“Ayahmu tahu kamu dalam bahaya,” kata
laki-lakiku.
“Bahaya oleh siapa?”
108
“Seseorang yang mengintip dari lubang
kunci kamarmu, laki-laki kepercayaan ibumu itu
persis serigala lapar,”
“Maksudmu suami ibu? Bukankah mereka
menjelma kunang-kunang sekarang?"
“Ekornya beracun. Ibumu sekarat sebentar
lagi. Aku, ayahmu, dan tetanggamu tahu siapa dia?”
“Mengapa kalian terdengar membingungkan
dan menakutkan?” ketakutan merembesiku lekas.
Ibu sekarat, aku diintipi. Ayah menungguku di
bawah sana. Di seberang jalan yang lengang dan
lampu jalan padam. Pelan-pelan, ketakutan
meranggas, aku loncat keluar jendela, menumpangi
punggung laki-lakiku menuju ayah. Penjaga malam
segera hilang ke balik gang sempit.
Demikianlah konon cerita yang kusampaikan
padamu, nak. Ibu membawa luka rasa bersalah yang
memerah dan tidak membahagiakan tentang ekor
kunang-kunang dan bumi nenekmu yang mati.
“Ibu, apakah ninja itu mengajak ibu tinggal
di rumah berpekarangan luas itu?”
“Tidak, nak. Kami membangun rumah ini
segera,”
“Lalu ibu dan laki-laki itu menjadi sepasang
kunang-kunang bercahaya apa?”
“Cahaya megah,”
“Seperti apa cahaya kunang-kunang ayah?”
“Jangan katakan ini pada teman-temanmu,
setiap ekor harus dirahasiakan. Tapi, karena dia
ayahmu, ibu akan menceritakannya,”
“Ekor kunang-kunang seperti ayah pasti
bagus!”
“Yah! Cahayanya berubah-ubah. Seperti
pelangi setelah hujan,”
“Ibu...... apa ayah pulang malam ini?”
“Mungkin besok, sayang. Ayahmu harus
menanam di kebun belakang itu,”
Dingin yang Membungkus
Bulan maret nyaris tamat, tidak ada tanda-
tanda musim hujan akan berhenti. Odrega merasa
cuaca yang tak beraturan ini akan berdampak bengis
pada kelangsungan hidup manusia.
Hari ini, sampai siang ibu Odrega masih
menjemur pakaian di dalam ruang yang sengaja
disulap jadi jemuran instan teduh. Dilatari suasana
awan kelabu yang perlahan mendekat, menutupi
kompleks perumahan Odrega tanpa permisi.
“Bergegaslah, sepuluh menit lagi hujan
jatuh!” ujar ibu Odrega.
Sepeda motor dinyalakan. Sama seperti
ibunya, Odrega was-was pula, lebih akut. Apalagi
belakangan guntur sering menggertak-gertak tak
terduga. Odrega seringkali merasa seperti ayam
114
putus asa yang berniat memanggang diri sendiri
dengan listrik bertengangan sangat tinggi dari langit,
dibuat guntur macam itu.
Odrega pergi menjenguk kawan kecilnya,
Purna yang sedang dikuatkan peralatan medis di
rumah sakit. Kurang dua ratus meter dari tempat
tujuan, titik-titik hujan sebesar biji jagung
menyerang dari langit. Dalam waktu singkat tubuh
Odrega basah setengah. Jaketnya berubah warna
semakin gelap di bagian depan. Sepeda motor Ia
tepikan di depan sebuah halte tua.
Dingin membungkus. Angin berhembus
kencang bersama awan hitam yang semakin eksis.
Seperti para nelayan kampung dan kapal kecilnya
menghindari badai, beberapa pengemudi sepeda
motor menghentikan kendaraannya, ikut berteduh
bersama Odrega. Tak ada tegur sapa. Halte mereka
anggap tempat transit para musafir jika badai pasir
menyerbu. Mereka saling merapat di bawah atap
yang berlubang paling kecil. Odrega teringat jas
hujan putih yang tertinggal di samping lemari bekas,
yang oleh keluarga Odrega disebut rak sepatu.
Hujan turun semakin deras, seolah-olah
langit hanya berisi air. Seakan-akan awan adalah
partner in crime-nya. Ataukah awan dan bumi adalah
sepasang kekasih jarak jauh. Jarang sekali mereka
bertemu. Hujan satu-satunya cara melepas rindu. Di
musim penghujan, mereka memuaskan hasrat, lewat
tetitik air yang bermilyar-milyar itu, setiap saat.
Air jatuh semena-mena menimpa apa saja
yang berada di atas permukaan. Odrega terdiam,
menatap bulat potongan-potongan tubuh hujan
yang berhambur lalu menjadi satu lagi begitu tiba di
permukaan yang lebih rendah. Beberapa tatapan
sayu terhadapnya, Odrega temukan dari seorang
perempuan berambut cepak. Ia sejak tadi menggigiti
ujung kukunya sendiri. Tidak kenyang-kenyang.
Perempuan itu terlihat maskulin, tapi cantik.
Atap halte tua yang bocor meloloskan setetes air
hujan hingga terjatuh di pipinya, turun ke dagu
116
bersama air asin dari kedua bola matanya yang
memerah. Hujan menyembunyikan tangis. Ternyata
serangan air yang selalu dikira bencana besar bagi
pelajar, tukang becak, dan para sales itu sangat
berguna bagi seorang gadis yang tengah bersedih.
Odrega berkelana jauh ke dalam matanya,
seperti pramuka penggalang mengais-ngais
petunjuk arah dari sisa tatapannya. Odrega
menyusuri gelombang garis lurus tatapan itu. Ia
menyelinap masuk dari kelopak matanya yang
sembab, sungguh licin. Pengelanaan Odrega tidak
jelas. Berkali-kali si perempuan menampilkan siluet
tentang gubuk kumuh yang tiba-tiba digantikan oleh
rumah -mewah makmur hingga mati- yang banyak
berbaris rapi di kecamatan Panakukkang. Lalu
potongan film tentang ronrongan seorang lelaki
muda, sebaya Odrega. Tampan tapi picik bukan
main. Laki-laki itu melempar satu setel pakaian
kurang bahan dan berkata, “Pakai ini kalau kau
cinta!” Pikiran Odrega sekejap melayang pada
sebagian besar cerita sinetron yang mengharu-biru,
hiperbolis, dan ikut-ikutan ular naga panjang bukan
kepalang.
Tiba-tiba Odrega terjungkal. Banjir bandang
menyerang. Perempuan itu mengeluarkan air mata
lebih banyak tanpa suara, padahal potongan film
ketiga masih samar. Odrega tak tahan, Ia
mengalihkan pandangan ke langit sembab, terus-
menerus memperhatikan guyuran hujan. Dalam hati
ia berdoa pelan agar awan cepat kehabisan muatan.
Ponsel laki-laki di sebelahnya berdering, tawa lucu
bayi mungil menghangatkan halte.
‘Cepatlah kau, sengaja kutahan jagoanmu
lebih lama supaya kau bisa melihatnya keluar!
Hrggh…hmmff…’ kalimat istrinya terdengar payah,
namun seperti mantra yang menjelma menjadi
selaput, melingkari sekeliling tubuhnya agar
serangan bertubi-tubi air langit tak terasa. Ia
melompat naik ke atas motornya, memutar gas
dalam-dalam. Tujuannya rumah sakit di depan sana
118
–tujuan Odrega pula- yang administrasinya cerewet
banyak mau. Baru beberapa meter di depan, Odrega
melihat hujan sudah memangsanya hingga ke kulit.
Satu-persatu sahabat sekejap Odrega, sesama
tukang teduh meninggalkan halte, padahal hujan
belum mengurangi jumlah peluru. Urusan mereka
pasti sepenting yang diemban pasukan anti teror.
Hingga akhirnya tinggallah Odrega bersama gadis
sendu di sudut halte tadi. Dari jauh mereka tampak
seperti suami istri yang sedang mempersoalkan
tatanan rumah baru. Berantem di tengah jalan, saling
membelakangi, enggan berbahasa. Tidak ada bujuk
rayu. Sungguh kelu melihat air mata gadis itu terus
jatuh tanpa penghalang, semakin deras. Bibirnya
bergetar hebat. Ia membekap dada, terus menatap
jalanan tanpa peduli yang berlalu-lalang.
Langkah Odrega ingin berayun ke arahnya,
tapi…kumat! Penyakitnya kumat. Bukan sakit yang
diderita pengusaha muda tampan kaya raya,
terdidik, keturunan keluarga titisan dewa, yaitu
tenggorokan tercekat dan tubuh mematung saat
berhadapan dengan perempuan. Bukan pula phobia
rendahan yang diderita remaja puber saat kencan
pertamanya dengan teman sekelas. Tapi kumat ini
bermakna murni, sangat dipahami orang-orang
medis. Reumatik stadium tinggi mungkin. Dimana
setiap kali kaki Odrega terendam air atau berada di
tengah suhu rendah, akan berubah cepat menjadi
patung tanah liat.
Jangan tanyakan itu! Odrega pun tak tahu
jenis tanaman apa yang bunganya tiba-tiba
bermekaran di tengah paku-paku air agresif, angin
berhembus kencang, dan suhu secara pasti terus
menurun meskipun tidak sampai ke taraf mines
sekian. Tanaman itu kini memenuhi hati Odrega.
Perlahan bunga warna-warni cerianya bermekaran
gemulai. Semua properti tanaman itu menunjuk ke
satu sosok yang setia bertengger di sudut halte,
meski tubuhnya didera-dera tetesan air dari atap
yang bocor. Gadis sendu, gelar dari Odrega tercuri.
120
Dibawanya pergi dan dibuang ke ujung dunia. Gelar
baru tersemat, Gadis ceria!
Ia berlari kencang di tengah-tengah hujan.
Menari-nari dengan senyum cemerlang, karena
ternyata Ia memiliki gigi putih bersih yang tersusun
rapi. Odrega melirik ke kanan, kiri, belakang,
mencari-cari para kru film yang sedang sibuk
semaput. Mungkin saja Gadis ceria adalah bintang
film baru yang mereka temukan dengan cara
menunjuk langsung satu di antara sekian banyak
foto di majalah remaja. Di dalam jarak lima puluh
meter ini hanya ada empat sosok: Odrega, gadis
ceria, dan dua sepeda motor.
Gadis ceria menari semakin indah dan lincah.
Jenis tariannnya terus berganti. Mata Odrega
dihadapkan pada tontonan luar biasa indahnya.
Dekat, langsung, dan gratis. Gadis sendu
melebarkan panggungnya sendiri. Berlari-lari kecil
ke tengah jalan yang memang semakin sepi, karena
kebanyakan pengguna jalan adalah pengendara
motor. Dan mereka, jauh dari halte juga sedang
berteduh
Kini tak lagi bisa Odrega berkelana ke dalam
sepasang mata itu. Si gadis memejamkan matanya
dalam-dalam. Odrega hanya membaca gerakan,
perubahan mimik wajah, dan lingkaran suasana di
sekeliling. Gadis bahagia. Bahagianya lahir lekas
dari titik terdalam tempat ia menjatuhkan air mata
tadi.
Di tengah kumat yang menyiksa, Odrega
menikmati tarian itu. Laki-laki bujang tanpa mantel,
yang lapuk bertahun-tahun tanpa gairah gincu
wanita merasa niat menjenguk teman sakit boleh
dilupakan sejenak. Namun perlahan-lahan racun
batu merayap naik hingga ke lututnya. Odrega
masih bisa tersenyum. Gadis ceria terus menari.
Racun itu menjalar lagi -berlomba dengan waktu,
suhu, angin, hujan, tarian, musik alam, dan laju
kencang mobil kijang- memanjat ke setengah bagian
122
paha Odrega. Mobil itu melesat buta, menabrak
Gadis ceria.
Jalan yang tadinya sepi, serta-merta ramai
oleh orang-orang, datang satu-persatu dengan lafadz
berkabung. Sekelebat bayangan pria tua ber-tuxedo
muncul di tengah kerumunan, memainkan biola
dengan irama paling miris yang pernah terdengar.
Pria tua itu menatap lekat wajah gadis ceria yang
masih tersenyum.
___
Perempuan Kami
Sebelum aku benar-benar dibunuh lupa,
harus kubenamkan tanda tangan di hidup dan
diri mereka: orang-orang yang kucintai karena
apa adanya.
***
“Ayah bilang juga apa, kamu dulu
ambil jurusan keperawatan. Begitu lulus, kan
gampang, tinggal masuk di rumah sakit punya
Om Kim. Kau malah ambil jurusan bahasa
Inggris yang lapangan pekerjaannya hampir
tidak ada,” mata ayah Wanda meliari sekeliling
ruang tamu. Di depannya duduk Wanda,
menunduk, diam tidak niat membela diri.
126
“Waktumu habis untuk temani bule!
Cas..cis...cus... tidak jelas, mau jadi apa kau?”
“Kau juga sering pulang malam.
Kerjaan kamu mungkin halal, tapi belum tentu
menurut orang lain. Apa kata tetangga kita?”
“Semestinya atmosfer ruang keluargaku
makin panas. Namun karena ia sudah terlalu
sering menggembor kalimat-kalimat itu,
segalanya terasa hampir tidak ada bedanya,”
Wanda membatin. Ia bangkit dan berujar pelan
pada ayahnya.
“Yah, jangan lupa. Setengah jam lagi
harus ke dokter,”
***
“Kamu pintar, cantik, tapi ditelan
malam. Ini menurut sebagian besar orang yang
kenal sama kamu. Benar, sih potensi dalam diri
kamu itu banyak untuk seorang cewek. Orang
tua kamu kaya, riwayat pendidikan kamu
lumayan, dan cantikmu itu bukan buatan,”
“Masih banyak hari esok, Wanda.
Selesaikan kuliahmu secepatnya, nanti kita
sama-sama cari kerja. Mumpung tubuhku
belum habis digerogoti leukemia ini...”
Nayla menatap sepasang mata bulat Wanda
lekat-lekat. Katanya, menatap mata lawan bicara
lebih lama, dua kali lebih meyakinkan
ketimbang hanya sekilas. Bagi Nayla, Wanda itu
pemilik salah satu bilik di hatinya. Bukan
penyewa.
***
“Sebenarnya kau kerja apa? Kok bisa
ada waktu urusi anak-anak panti di sini?” tanya
Pak Rokhmat. Aku tahu dia mulai merasa aneh
akan caraku memberi bantuan pada panti
asuhan ini.
128
“Kuliah, Pak. Eh, katanya ada anak baru
ya? Bisa ketemu?”
Pak Rokhmat melengos. Dia tentu
menginginkan jawaban lebih detail dan panjang.
“Dia ada di ruang Melati. Namanya
Sima,” jawabnya lalu pergi lekas. Bujang panti
itu kadang muak juga bertingkah laku selalu
baik padaku.
Teddy bear, gulali, dan buku cerita
rakyat sengaja kubeli untuk anak malang itu.
Sima gadis kecil yang manis. Wajahnya bulat,
pipinya tembem. Umurnya kira-kira empat
tahun. Rambut keritingnya mengingatkanku
pada salah satu serial televisi yang dibenci ayah.
Anak ini ditemukan menangis di terminal
Sungguminasa, pukul dua pagi. Sendirian. Ia
menangis dengan mata yang tidak bisa melihat.
Membuat pemberianku yang ketiga hampir
tidak ada gunanya.
“Gimana, enak kan?” kuarahkan tangan
Sima mencubit tubuh permen kapas merah
muda.
“Iye’...” jawab Sima. Wajahnya
menghadap pintu. Aku duduk di sisi kanan
Sima. Menjadikan diri sebagai kakaknya.
***
“Is the sky so great today?” yang kutanyai
menengok ke atas. Ia mengeluarkan kamera
poket pemberianku. Klik.
“Yes. But it’s gonna be perfect with some
birds and more white clouds...” timpalnya setelah
bunyi ‘klik’ kedua. “...then we go to that beach for
accompaning the sunset...”
“Hahaha... what a tricky gal! Ok, the sunset
won’t wait us....”
130
Kami tertawa-tawa renyah, seperti
biskuit harga lima ratus perak kegemaran Ayu.
Dia memang pandai membuatku kasihan
padanya. Kalau kulihat bentuk fisik dan
wajahnya, bisa kuhitung kira-kira ia sebaya
denganku. Tidak ada yang tahu kapan ia lahir.
Ibunya hanya bilang, “Di depan lorong kecil
dekat lapangan, ada pohon beringin besar. Nah,
Ayu lahir tepat ketika pohon itu ditanam Dg.
Gollo. Jadi kira-kira dia setua pohon itu,”
“Ada kejadian penting nggak saat itu?
Misalnya pemilihan umum, konflik, atau
semacamnya,” berkali kucoba membongkar
ingatan ibu Ayu biar aku yakin dengan usianya.
“Wah...ibu sudah lupa. Mungkin ada.
Mungkin juga tidak. Soalnya pada saat itu, di
daerah sini masih setengah hutan. Tidak ada
televisi,”
Teka-teki tentang usia Ayu tamat sudah.
Melihat fisiknya, dia tidak lebih tua dariku,
namun jelas lebih cerdas dari siapapun yang
pernah menerka-nerka isi otaknya. Dengan
lancar ia menyelesaikan beragam rumus
persamaan. Dia hapal dan pandai menggunakan
keenam belas tenses bahasa Inggris. Soal dunia
maya, aku banyak belajar darinya. Dan
pengetahuan agamanya, pernah kusarankan ia
untuk jadi guru agama.
Dia tahu banyak melebihi yang aku
tahu. Bahkan terlalu banyak untuk orang yang
tidak pernah bersekolah.
***
“Belilah sepeda motor biar kerjaan
kamu lebih lancar. Biar kamu juga nggak
keseringan aku pijitin kayak gini, haha...”
132
kataku sambil mengoles minyak gosok di kaki
Yuli.
“Nggak usah banyak bacot deh, pijit
saja. Nah, benar tuh, bagian situh. Uh...lama-
lama betisku bisa pecah kalau begini terus.....”
keluh Yuli.
Enam bulan lalu dia diterima bekerja di
restoran fast food di pagi hari, malamnya ia
harus memanggang ratusan roti di pabrik. Yuli
pekerja yang ulet dan gila. Ia nekat bekerja di
dua tempat berjarak empat kilometer demi
membiayai sekolah ketiga adik kembarnya dan
mengobati kakak perempuannya yang lumpuh.
Untuk menghemat biaya, ia memilih jalan kaki
daripada menumpang angkutan umum untuk
pulang-pergi kerja. Gila bukan.
“Sisihkan sedikit saja gaji kamu di
pabrik untuk nyicil motor murah. Nanti aku
yang bantu,”
“Nggak usah, Wan. Aku udah terlalu
nyusahin kamu belakangan ini,”
“Kalo gitu, pake mobil aku,”
“Hahahah...eh, jangan kibulin pengibul!
Mana ada yang mau ngasih mobil mahal begitu
dengan cuma-cuma?”
***
Ada aku dan Firman. Bangku taman
panjang. Ratusan pepohonan. Lapangan luas
dengan langit terbuka. Ada aku dan Firman,
disekap kebungkaman. Biar aku pecahkan,
“Masih ingat jalan ke waduk Borong?”
tanyaku. Firman mengangguk. “Sebelum
sampai, ada dua tikungan, kanan dan kiri.
Bagaimana kalau kita sama-sama memilih arah
134
masing-masing, ya mumpung hubungan ini
belum lama dari,”
“Bagaimana aku bisa pergi, Wanda?
Sekarang kau bagian dari aku. Kita udah sama-
sama dua bulan dua belas hari lalu. Aku tidak
akan pergi,” timpal Firman mantap. Berusaha
mengingatkan, berharap jika ia ulang sampai
yang ketujuh puluh dua kali ini bisa
membuatku tidak lupa tanggal jadian kami
selamanya. Geli juga, karena kutahu itu
mustahil.
“Banyak hal yang tidak bisa
kuceritakan, pun sebaiknya kamu nggak usah
tahu,...” melesat, kurasakan ada pemanah baru
belajar yang salah tembak. Anak panahnya
menusuk dadanya. Maafkan aku, Firman kalau
kalimat-kalimatku selanjutnya akan lebih sakit,
“Lagipula, kalau kita tetap bersama,
kamu atau aku akan mati lebih cepat. Hal itu
akan jadi sangat menusuk,”
“Nggak usah pedulikan masa depan.
Kita hidup sekarang, jalani saja,”
“Susah. Jantungmu besok pagi mungkin
sudah berhenti berdetak dan aku jiwaku akan
segera terhapus. Minimal, besok pagi mungkin
aku sudah lupa semua tentang kita!”
“Tidak, aku tetap di sini.”
***
Sepatu gunung cokelat tua. Sendal flat
berhias pita merah putih polkadot diekori
sepatu karet warna kuning. Sepatu kets dengan
tali beda warna, berjalan beriringan dengan
sepatu putih bersol tujuh sentimeter. Terakhir,
sepasang sandal jepit yang diseret payah oleh
pemiliknya. Enam orang beralas kaki berbeda
136
itu berjalan menuju satu satu pusara di ujung
pemakaman.
Rasanya baru kemarin mereka
mengenal siapa yang terbaring kaku di dasar
pusara itu. Perempuan yang bertopeng banyak.
Perempuan yang memilih sakit untuk dirinya
sendiri dibanding melihat orang-orang di
sekitarnya menitikkan air mata setetes saja.
Seseorang yang tidak mereka sadari, sering
mengingatkan mereka untuk makan tepat
waktu atau membangunkan mereka lebih awal
di hari ulang tahun. Yang membawakan obat-
obatan dan dengan sabar menunggu mereka
mau menyentuhnya. Perempuan yang mereka
tuduh pengacau tapi sering memerhatikan
mereka lembut tanpa disadari. Sekarang mereka
baru sadar setelah orang tersebut pergi dan
benar-benar sudah lupa jalan pulang.
“Pulanglah, nak. Ayah tidak butuh
ginjal kamu, ayah butuh kamu,” ratap laki-laki
bersepatu gunung.
“Hahahah...jahat kau, memberiku
bantuan untuk tetap hidup tapi kau sendiri
mati! Aku kena leukemia5 dan kau penderita
alzheimer6... benar-benar sahabat sejati...” si
pemakai sendal flat tidak sanggup
membendung tangisnya.
Dan Sima, ia hanya bisa berdiri di atas
sepatu karet kuning. Menatap pusara di
depannya sambil mengamati. Masih perlu
pembiasaan untuk mata barunya. Sepasang
mata bulat yang dulunya milik Wanda, ternyata
cocok juga dipakai Sima.
5 Kanker darah
6 Alzheimer digolongkan ke dalam salah satu dari jenis dementio yang dicirikan dengan melemahnya percakapan, kewarasan, ingatan, pertimbangan, perubahan kepribadian dan tingkah laku yang tidak terkendali. (dari Wikipedia).
138
“What can i do for my thanks, Wanda? You
gave me everything I wanted. Aku nggak habis
pikir, bagaimana caranya kamu bisa mengubah
semua nama diijazahmu menjadi namaku dan
mengirimnya di saat kamu mulai
melupakanku? Kamu gila...” Ayu terisak di
samping Yuli. Teman menangisnya itu, seperti
biasa, ia punya mata yang terlalu kering.
“Maaf ya.... mobil yang kau kasih sudah
kujual untuk operasi kakakku dan biaya sekolah
Faza, Fauzi, dan Faiz... Tapi masih ada sisa kok
untuk beli sepeda motor...”
***
Tinggal aku dan Firman. Kami disekat
lima orang. Tidak apalah, toh hanya aku yang
bisa mendengar apa yang ia katakan. Karena
hanya aku, maka kuberitahu kalian. Dia bilang,
“Akan kujaga baik-baik jantung
kita......”7
7 Cerpen ini memenangkan Lomba Penulisan Cerpen Woman Day Kohati Fisip-UH 2009 dan telah difilmkan dengan judul yang sama pada tahun 2010
Tentang Penulis
Rezz pernah dikenal sebagai Reysha Rezky, tapi di ijazah resmi namanya Rezky Saleh. Senang menulis sejak tahu tulisan. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di media cetak, dan memenangkan beberapa
lomba. Salah satunya pemenang pertama lomba menulis puisi untuk Palestina, (Harian Fajar, 2009). Sajak ini kemudian hari masuk dalam antologi cerpen dan puisi ‘Kupu-Kupu Palestina’ (Sofia, 2011).
Sembari mengurusi komunitas Tanahindie, ia aktif berteater di Kosaster, bergabung di komunitas film Rumah Ide dan Findie Makassar. Rezz pun ikut teman-teman filmmaker membuat beberapa film pendek, antara lain ‘Between Two Numbers’ (Daun Sirih Cinema, 2008), ‘Perempuan Kami’ (Daun Sirih Cinema, 2010)
Rezz menanti kedatangan kamu di www.nokturnalinea.blogspot.com dan kalau mau curhat bisa via email: [email protected] atau sebut saja @Rezzurrection