Relasi  Evolusioner   Struktur  Birokrasi    Kerajaan ‐Kerajaan  Klasik  Nusantara

13
Relasi Evolusioner Struktur Birokrasi KerajaanKerajaan Klasik Nusantara Abstrak Keragaman model sistem kenegaraan yang dimiliki oleh kerajaankerajaan klasik di Nusantara menunjukan keragaman konsepsi masyarakat Indonesia terkait konsep keteraturan dan kekuasaan. Dalam makalah ini kita menganalisa struktur pemerintahan kerajaan di Nusantara yang dimodelkan sebagai weighted undirected network antar posisi dalam struktur birokrasinya. Karakteristik network terkait properti topologi dan dinamika yang melandasi proses pembentukannya dapat ditunjukan secara kualitatif dalam bentuk distribusi spektrum normalized laplacian graph dari network. Lebih jauh, dengan menggunakan JensenShannon Divergence, kita mengukur jarak struktural antar struktur birokrasi berdasarkan jarak antar distribusi spektrumnya. Dengan pendekatan ini, kita dapat mengkonstruksi taksonomi hirarki dari sejumlah kerajaan klasik di Nusantara yang sekaligus menunjukan adanya pengelompokan evolusioner dari struktur birokrasinya. Sangat menarik ketika taksonomi kerajaan yang ditunjukan dalam makalah ini cukup sesuai dan mampu menjelaskan dengan sejumlah aspek historis dari kerajaankerajaan tersebut. Lebih jauh, dari pohon relasi evolusioner yang terbentuk juga menunjukan bahwa kerajaankerajaan tersebut tidak hanya memiliki model struktur birokrasi yang beragam tetapi juga berkembang dalam jalur evolusi yang beragam. Ini mengindikasikan ragam model pemerintahan yang dianut oleh kerajaankerajaan yang pernah berdiri di Nusantara. Kedepannya, dengan penambahan jumlah data yang dianalisa, hal ini ini dapat diarahkan pada upaya pengklasifikasian model pemerintahan berdasarkan kategorisasi yang muncul secara bottom up dari sistem itu sendiri. Ardian Maulana [[email protected]] Dept. Computational Sociology Bandung Fe Institute

Transcript of Relasi  Evolusioner   Struktur  Birokrasi    Kerajaan ‐Kerajaan  Klasik  Nusantara

Relasi Evolusioner Struktur Birokrasi  Kerajaan‐Kerajaan Klasik Nusantara  

          

Abstrak  

Keragaman  model  sistem  kenegaraan  yang  dimiliki  oleh  kerajaan‐kerajaan  klasik  di  Nusantara menunjukan  keragaman  konsepsi  masyarakat  Indonesia  terkait  konsep  keteraturan  dan  kekuasaan. Dalam makalah  ini  kita menganalisa  struktur  pemerintahan  kerajaan  di  Nusantara  yang  dimodelkan sebagai weighted  undirected  network  antar  posisi  dalam  struktur  birokrasinya.  Karakteristik  network terkait properti topologi dan dinamika yang melandasi proses pembentukannya dapat ditunjukan secara kualitatif  dalam  bentuk    distribusi  spektrum  normalized  laplacian  graph  dari  network.  Lebih  jauh, dengan  menggunakan  Jensen‐Shannon  Divergence,  kita  mengukur  jarak  struktural  antar  struktur birokrasi  berdasarkan  jarak  antar  distribusi  spektrumnya.  Dengan  pendekatan  ini,  kita  dapat mengkonstruksi taksonomi hirarki dari sejumlah kerajaan klasik di Nusantara yang sekaligus menunjukan adanya  pengelompokan  evolusioner  dari  struktur  birokrasinya.  Sangat  menarik  ketika  taksonomi kerajaan  yang ditunjukan dalam makalah  ini  cukup  sesuai dan mampu menjelaskan dengan  sejumlah aspek historis dari kerajaan‐kerajaan tersebut. Lebih jauh, dari pohon relasi evolusioner yang terbentuk juga menunjukan bahwa kerajaan‐kerajaan tersebut tidak hanya memiliki model struktur birokrasi yang beragam tetapi  juga berkembang dalam  jalur evolusi yang beragam.  Ini mengindikasikan ragam model pemerintahan  yang  dianut  oleh  kerajaan‐kerajaan  yang  pernah  berdiri  di  Nusantara.  Kedepannya, dengan  penambahan  jumlah  data  yang  dianalisa,  hal  ini  ini  dapat  diarahkan  pada  upaya pengklasifikasian model  pemerintahan  berdasarkan  kategorisasi  yang muncul  secara  bottom  up  dari sistem itu sendiri.  

 

            

Ardian Maulana [[email protected]] Dept. Computational Sociology 

Bandung Fe Institute  

Kalau kau sebut negeri seribu raja, memang benar adanya Sebab semangat juang yang terpahat dalam jiwa bangsa adalah warisan mereka 

Sebab keramahtamahan dan keluhuran budi adalah ajaran mereka Yang terlahir dan terpelihara dari beribu kerajaan sebagai pusat pemelihara budaya [1] 

 

 

I. Pendahuluan 

Indonesia di masa  lampau adalah  ratusan atau bahkan  ribuan negara yang berdaulat atas wilayahnya masing‐masing  [1].  Kompleksitas  alamiah  dari  wilayah  yang  didiami  oleh  beragam  suku  bangsa  ini merupakan  lahan  subur  bagi  tumbuhnya  ragam  tata  aturan  bermasyarakat  dan  institusi kemasyarakatan.  Sebagai  bentuk  formal  dari  perilaku  kolektif  masyarakat,  institusi  dan  sistem pemerintahan membrojol dari interaksi kompleks berbagai faktor yang merefleksikan kapasitas kognitif individu  dan  interaksinya  dalam merespon    kompleksitas  lingkungannya  [2].  Keragaman model  tata negara  yang  dimiliki  oleh  kerajaan‐kerajaan  klasik  yang  pernah  berdiri  di  kepulauan  nusantara menunjukan keragaman konsepsi masyarakat Indonesia terkait konsep keteraturan dan kekuasaan [3].  

Sejak  awal  sejarah  nusantara,  interaksi  antar  wilayah  sudah  terjadi  secara  intensif  tanpa  dibatasi kenyataan  geografisnya  yang  berbentuk  kepulauan. Hubungan  antar  dinasti  kerajaan  yang  terbentuk melalui  perkawinan  dan  penguasaan  wilayah,  maupun  akulturasi  kebudayaan  melalui  interaksi perdagangan  dan migrasi  penduduk  adalah  kisah  yang  tercatat  dalam  berbagai  prasasti  dan  catatan sejarah [4] sekaligus hidup dalam sistem kognitif masyarakat. Jejaring memori kolektif yang mengatasi batasan  geografis  ini  terefleksi  melalui  kemiripan‐kemiripan  dari  berbagai  artefak  kebudayaan masyarakat  lokal  [5,6].  Hal  ini  melahirkan  dugaan  bahwa  sistem  pemerintahan  sebagai  artefak kehidupan politik masyarakat Nusantara  tidak  semata‐mata mencerminkan  lokalitas dimana kerajaan‐kerajaan tersebut berdiri namun juga menyimpan jejak kolektivitas dari kognisi politik masyarakat yang hidup di kepulauan ini. 

Untuk  mengidentifikasi  adanya  kolektivitas  terkait  konsepsi  ketatanegaraan  tiap  kerajaan,  perlu dilakukan  elaborasi  lebih  jauh  terkait  kedekatan  struktural  antar  struktur  birokrasi pemerintahannya. Pada penelitian sebelumnya, kita telah menunjukan sejumlah property topologi network birokrasi dari beberapa kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Nusantara [3]. Dalam makalah ini, kita mengadaptasi pendekatan  yang  diajukan  oleh  Banerjee  [7]  untuk mengkuantifikasi  jarak  struktural  antar  network. Makalah  ini  diawali  dengan  review  singkat  mengenai  spektrum  network  yang  dimodelkan  sebagai normalized  laplacian  graph  serta metode  pengukuran  jarak  antar  distribusi  spektrum menggunakan Jensen‐Shanon  Divergence.  Pada  bagian  selanjutnya,  jarak  struktural  antar  network  dihitung  dan divisualisasikan  untuk  mendapat  gambaran  adanya  pengelompokan  kerajaan  berdasarkan  struktur pemerintahannya.  

II. Review Metode: Spektrum Normalized Laplacian Graph dan Jensen‐Shanon Divergence  

Pendekatan network berperan penting dalam representasi dan analisa data di berbagai disiplin keilmuan [8‐11].  Pengukuran  properti  centrality,  path  length,  diameter,  clustering  coefficient  dari  graf  telah menjadi  parameter  standar  untuk  mengakarakterisasi  topologi  network.  Dalam  perkembangannya, kemudahan akses data empirik dan perkembangan  teknologi komputasi untuk analisa data kemudian 

mendorong  eksplorasi  lebih  jauh  mengenai  properti  struktural  maupun  dinamika  network  dengan jumlah  node  yang  banyak.  Sejumlah  parameter  statistik  network  seperti  distribusi  derajat  node, characteristic path  length dan  clustering  coeficient digunakan menunjukan adanya   properti universal dari network, yang sekaligus menjadi karakteristik topologi dari complex network.  

Struktur network terkait erat dengan dinamika proses pembentukannya yang lebih jauh mencerminkan karakteristik dari sistem dimana network tersebut tumbuh. Upaya investigasi kedekatan struktural antar network merupakan  salah  satu  problem  utama  dalam  analisa  network.  Hal  ini  karena metode  yang umum  digunakan  untuk  mengkarakterisasi  properti  topologi  maupun  statistik  dari  network  sangat dipengaruhi  oleh ukuran dari network  yang dianalisa  sekaligus  tidak  sensitif  terhadap  sistem dimana network tersebut tumbuh.  

Teori spektral merupakan salah satu metode yang berkembang di teori graf. Pendekatan  ini digunakan untuk  mengekstrak  informasi  struktural  dari  graf  karena  spektrum  graf  mampu  merefleksikan karakteristik topologi graf secara global seperti jumlah komponen di dalam network, tipe graf, maupun kemudahan   partisi graf. Lebih  jauh, spektrum network yang dimodelkan sebagai normalized  laplacian graph juga mampu mengidentifikasi properti lokal graf terkait dinamika pembentukannya (motif) seperti vertex doubling dan edge doubling (motif duplication) atau melalui motif joining (untuk lebih detail, lihat [12‐15]). Namun adanya problem isospectral, yakni dua graf yang berbeda dengan spektrum yang sama, membuat  struktur  graf  tidak  selamanya  secara  unik  direpresentasikan  oleh  spektrumnya. Walaupun demikian, secara umum problem ini dapat diabaikan ketika ukuran graf semakin besar, khususnya untuk graf yang dimodelkan sebagai normalized laplacian graph [16]. Di [17,18], Banerjee menunjukan bahwa karakteristik kualitatif network dapat terefleksikan melalui distribusi spektrum laplacian grafnya. Dengan demikian spektrum graf dapat digunakan untuk menginvestigasi kedekatan struktural antar network.  

Dalam  makalah  ini,  kita  mengadaptasi  pendekatan  yang  diajukan  oleh  Banerjee  [17,18]  untuk menganalisa struktur birokrasi kerajaan klasik di Nusantara. Namun berbeda dengan Banerjee, struktur birokrasi  kerajaan di  sini  kita modelkan  sebagai weighted undirected graph G  (V,E), dimana V adalah 

himpunan vertex  dan E adalah himpunan relasi antar node dengan fungsi bobot  :w V V× → . Model graf dan fungsi bobot  ini akan didiskusikan  lebih  jauh pada bagian selanjutnya. Graf Laplacian untuk G dapat direpresentasikan dalam normalized Laplacian matrix (A) sebagai berikut [16]: 

A u, v

1 , jika u v, dan d 0

, jika u, v E

0 lainnya

          (1) 

dimana du adalah derajat dari vertex u, sebagai berikut: 

d ∑ w u, v                      (2) 

Spektrum normalized  laplacian graf   G adalah himpunan nilai eigen  (λ) matriks A. Nilai eigen matriks laplacian yang berada pada  interval 0≤λ≤2 membuat perbandingan antar network tidak  lagi terhambat oleh problem perbedaan ukuran network. Namun demikian, ukuran network yang bervariasi dan nilai eigen yang mengumpul pada sejumlah nilai tertentu dengan frekuensi yang berbeda‐beda menyebabkan 

perbandingan  distribusi  spektrum  secara  visual  sulit  dilakukan.  Untuk  itu,  dalam  makalah  ini  kita melakukan proses konvolusi  terhadap data  spektrum network menggunakan gaussian  kernel,  sebagai berikut: 

∑√

                  (3) 

dimana λj adalah nilai eigen. Distribusi spektrum diperoleh dengan menormalisasi data hasil konvolusi tersebut. Kehalusan kurva yang diperoleh sangat ditentukan oleh nilai σ yang digunakan. Dalam makalah ini,  konvolusi dilakukan menggunakan nilai  σ=0.05. Prinsipnya,  kita menggunakan nilai  σ  yang  sekecil mungkin untuk mendapat kurva distribusi yang detil dan  tidak menyimpang  jauh dari data  spektrum, sambil berupaya meminimasi adanya frekuensi spektrum yang bernilai nol.  

Perbedaan  pola  distribusi  spektrum  dapat  dielaborasi  lebih  jauh  untuk menunjukan  jarak  struktural antar network. Dalam konteks  ini,  jarak distribusi  spektrum dari dua network dapat dianggap  sebagai ukuran perbedaan strukturalnya. Kita menggunakan Jensen‐Shannon Divergence untuk mengukur jarak distribusi spektrum p1 dan p2 dari network G1 dan G2, yang didefenisikan sebagai berikut: 

JS p1, p2 KL p1||p KL p2||p                       (4) 

dimana,  

p p1 p2                     (5) 

KL p1||p ∑ p1 x Log                 (6) 

KL(p1||p)  adalah  Kullback‐Leibler  divergence.  KL  divergence  tidak memenuhi  kriteria  sebagai metrik karena tidak simetris (KL(p1||p)≠KL(p||p1)), tidak terdefenisikan ketika p1≠0 dan p=0 untuk setiap xЄX, dan  tidak  memenuhi  persyaratan  triangle  inequality.  Namun  tidak  demikian  halnya  dengan  JS divergence. JS divergence bersifat simetris, terdefinisikan pada distribusi yang tidak kontinu seperti saat p1=0 dan atau p2 =0, dan JS≥0 dimana JS= 0 jika p1=p2 (untuk lebih detail lihat [19,20,21]). Lebih jauh, akar  kuadrat  dari  JS memenuhi  persyaratan  triangle  inequality  sehingga  dapat  didefenisikan  sebagai metrik [22]. 

Entropi adalah jumlah informasi rata‐rata dibutuhkan untuk menggambarkan suatu random variabel. KL divergence atau  relative entropy adalah metode yang berkembang di  teori  informasi untuk mengukur jarak  antara  dua  distribusi  [21].  Dalam  kasus  struktur  kerajaan,  nilai  KL(p1||p)  merefleksikan ketidakefisienan  mengasumsikan  p  sebagai  distribusi  informasi  dari  struktur  x  jika  struktur  yang sebenarnya  adalah  G1  dengan  distribusi  informasi  p1.  JS  divergence,  sebagai  bentuk  simetrik  KL divergence, merupakan ukuran  jumlah  informasi yang dimiliki bersama oleh struktur G1 dan G2 relatif terhadap p.  Dalam makalah ini, kita mendefenisikan jarak struktural D(G1,G2) sebagai berikut [6], 

D G1, G2 JS p1, p2                   (7) 

           

III. Sp

Dalam makepulauan

Seperti didimana Vadalah  hiantar vertDengan kundirecte

dimana  c

di [3].  Serelasinya vertex pevector datertutup dAkibatnya

pektrum netw

akalah  ini  kitn Indonesia (g

tunjukan di [V (vi   V; i=1,2mpunan  relatex posisi birata  lain, kita d graph, deng

ci adalah nilai 

eperti diketahdengan  vertnting  lainnyari pasangan dimana posisa,  bobot  dar

work birokra

ta menganaligambar 1). Da

Netw

[3], kita mem2,…N) adalah asi  antar  posrokrasi eij mememodelkangan fungsi re

sentralitas e

hui bahwa sentex  penting  la. Bobot relasnode tersebui‐posisi pentii  posisi‐posis

si kerajaan‐k

isa  data  struata detail stru

Gork birokasi ke

odelkan struhimpunan Nisi  birokrasi.empunyai bon struktur birlasi yang dide

igen vector  c

ntralitas eigelainnya.  Sebusi antar nodeut.  Ini menginng dalam birosi  tersebut  a

kerajaan di Nu

ktur  birokrasuktur birokra

Gambar 1: erajaan‐kerajaa

ktur birokras posisi dalamNamun  berbbot  relasi yarokrasi kerajaefenisikan seb

c  dari vertex 

n vector menuah  vertex me posisi birokrngat nature dokrasi cenderkan  saling  b

usantara  

si  kerajaan‐kesi kerajaan di

an di Nusantar

i kerajaan sem struktur birbeda  dengan ng ditentukaaan‐kerajaan bagai berikut,

I  ( )ic c∈  ya

nunjukan nilamenjadi  pentrasi mengacudari struktur rung untuk saergantung  sa

erajaan  yang i Nusantara d

ra 

bagai undirecokrasi, dan E[3],  dalam mn berdasarkadi Nusantara, 

 

ng telah dipe

i penting sebting  karena  tu kepada nilaibirokrasi sebaling terhubuatu  sama  lain

pernah  berddapat dilihat d

 

cted graph G ={eij; {i,j}=1,2makalah  ini, an  fungsi eij= sebagai weig

eroleh sebelu

buah vertex tterhubung  dei   sentralitas agai strukturung satu saman  ketika  dim

diri  di di [3].   

(V,E), 2,…N } relasi w(i,j). ghted 

mnya 

erkait engan eigen r yang a lain. 

maknai 

dalam ukuran  sentralitas eigennya. Dengan demikian, dua vertex posisi yang memiliki nilai  sentralitas yang tinggi dalam struktur birokrasi dan terhubung satu sama lain akan memiliki bobot relasi yang tinggi. Pada kondisi lain, vertex posisi dengan sentralitas yang rendah akan mempunyai bobot relasi yang tinggi dalam hubungannya vertex posisi yang penting.    

Dengan metode normalized  laplacian graph yang  telah dijelaskan sebelumnya, kita dapat menghitung distribusi  spektrum dari  struktur birokrasi yang dianalisa. Pada gambar 2 ditunjukan  contoh distribusi spektrum dari 6 struktur birokrasi kerajaan yang pernah berdiri di Nusantara.  

 

Gambar 2: Distribusi spektrum Laplacian dari struktur birokrasi kerajaan di nusantara (a‐f): a. Majapahit (n=114), b.Mataram islam  (n=96),  c.Ternate  (n=83),  d.  Yogyakarta  (early  times,  n=62),  e.  Yogyakarta  (Japan  colonialism,  n=140),  f. Yogyakarta (pre 1942, n=140).  

Sebagai  pembanding,  kita  juga  menunjukan  distribusi  spektrum  dari  network  Amazon  online copurchasing books about US politic  (n=105, gambar 3a), Network American football games season fall 2000  (n=115,  gambar  3b),  network  hyperlink  between  blog  on  US  politic  (n=1222,    gambar  3c),  34 random network Erdos Renyi  [23]  (jumlah node dipilih  secara  random dengan distribusi yang uniform pada interval 20‐300) dengan probabilitas keterhubungan antar node=0.5 (gambar 3d).  

Distribusi spektrum yang ditunjukan pada gambar 2 memperlihatkan adanya perbedaan antar struktur network.  Karakter  topologis,  lokal  maupun  global,  dari  setiap  struktur  terepresentasi  melalui  pola sebaran  frekuensi nilai eigennya.  Seperti  yang  telah diduga  sebelumnya, distribusi  spektrum network birokrasi kerajaan menunjukan pola distribusi yang mirip, yang dengan mudah dapat dibedakan dengan spektrum  network  pembandingnya  (gambar  3)  yang  berasal  dari  sistem  yang  berbeda.  Hal  ini memperkuat apa yang  telah ditunjukan di  [11,12] bahwa  terdapat perbedaan visual yang cukup  tegas antar  distribusi  spektrum  network  dari  domain  yang  berbeda.  Dengan  kata  lain,  klasifikasi  network dapat didekati secara kualitatif berdasarkan pola distribusi spektrum dari network tersebut.    

Lebih  jauh,  distribusi  spektrum  dari  34  random  network  (gambar  3d)  menunjukan  tidak  adanya perbedaan  yang  signifikan  satu  sama  lain. Hal  ini  karena mekanisme  pembentukan  random  network 

pada dasarnya sama walaupun secara struktur berbeda akibat proses random dalam pembentukannya. Dengan kata  lain, distribusi spektrum network yang dikonstruksi menggunakan pendekatan normalized laplacian graph mampu merepresentasikan  properti lokal network terkait proses pembentukannya.  

 

Gambar 3: Distribusi spektrum normalized Laplacian dari: a. Network Amazon online copurchasing books about US politic [29], b.Network of American football games season fall 2000 [28], c.Network hyperlink between blog on US politic [30]  d.Random network (p=0.5). 

IV. Taksonomi hirarki struktur birokrasi kerajaan di Nusantara 

Konfigurasi hirarki kekuasaan dalam organisasi kerajaan merupakan bentuk formal dari perilaku kolektif suatu  masyarakat.  Perilaku  kolektif  ini  terkait  erat  dengan  interaksi  dan  respon  individu  dalam masyarakat ketika dihadapkan dengan kompleksitas sistem dimana  ia berada.  Interpretasi masyarakat terhadap kompleksitas dari sistem hidupnya membentuk persepsi masyarakat dalam memaknai konsep keteraturan  dan  kekuasaan.  Konsekuensinya,  setiap  kebudayaan  akan  menumbuhkan  bentuk organisasinya  yang  unik  dan  terus  berkembang  semakin  kompleks  sebagai  bentuk  adaptasi  terhadap perubahan lingkungannya. Lebih jauh, sebagai artefak kebudayaan manusia, struktur birokrasi kerajaan hidup di dalam sistem yang terbuka terhadap proses interaksi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini memicu munculnya variasi dan kemiripan antar struktur birokrasi kerajaan.  

Kedekatan  struktural  antar  kerajaan  dapat  dikuantifikasi  berdasarkan  jarak  spektrum  network birokrasinya.  Jarak  ini  merepresentasikan  kuantitas  informasi  yang  dimiliki  bersama  oleh  kerajaan‐kerajaan  tersebut.  Informasi  ini  tidak  hanya  terkait  topologi  relasi  dari  komponen  birokrasi  semata, tetapi juga menyangkut proses pembentukan relasi dan bagaimana otoritas kekuasaan didistribusikan di dalam relasi tersebut. Dalam konteks  ini, kemiripan struktur birokrasi dapat dimaknai dalam perspektif hubungan  evolusioner  antar  kerajaan.  Dengan  menggunakan  persamaan  7,  kita  kemudian mengkonstruksi matriks jarak dari 13 kerajaan yang dianalisa dalam makalah ini. 

Relasi evolusioner antar struktur birokrasi kerajaan terepresentasikan oleh adanya karakter hirarkis dari hubungan  yang  terbangun.  Untuk  mengekstraksi  karakter  hirarki  ini,  kita  terlebih  dahulu  harus 

memetakan matriks  jarak antar kerajaan ke dalam  ruang ultrametrik  sedemikian  sehingga  jarak antar elemen dalam sistem memenuhi kaidah sebagai berikut [31], 

      D , Max D , , D ,                  (9) 

Proses  ini  dilakukan  dengan mengkonstruksi Minimum  Spanning  Tree  (MST)  dari  n  x  n matriks  jarak menggunakan algoritma Kruskal  [32] sehingga kemudian dapat diperoleh pohon taksonomi n kerajaan dengan total jarak antar node kerajaan di dalam ruang ultrametrik tersebut paling minimum.  

 

Gambar 4 Struktur MST dari relasi antar struktur birokrasi kerajaan klasik di Nusantara  

Gambar 4 merupakan  struktur MST  kerajaan‐kerajaan  klasik di Nusantara. Gambar  tersebut menunjukan posisi setiap kerajaan terkait kedekatan struktur birokrasinya. Struktur birokrasi kerajaan klasik sebagai institusi  organik  tidak  hanya  sekedar  merepresentasikan  sebuah  bentuk  formal  tata  pemerintahan, tetapi  juga  terkait  erat  dengan  kenyamanan  psikologis  masyarakat  kerajaan  dalam  memandang formalisasi kekuasaan tersebut. Dalam konteks ini, posisi kerajaan majapahit sebagai node sentral dalam struktur MST  kerajaan‐kerajaan  tersebut  dapat  dibaca  sebagai  kedekatan  jarak Majapahit  terhadap seluruh  kerajaan  lainnya  terkait  kemiripan  struktur birokrasinya. Artinya,  struktur birokrasi Majapahit mampu  merepresentasikan  ragam  struktur  birokrasi  yang  ada.  Hal  ini  sangat  menarik  mengingat Majapahit merupakan kerajaan dengan wilayah kekuasaan meliputi  seluruh kepulauan  Indonesia  saat ini.  Dengan  kata  lain,  dalam  makalah  ini  kita  berhasil  menunjukan  kebesaran  kerajaan  ini  melalui eksplorasi saintifik terhadap kompleksitas struktur birokrasinya.       

Keunikan  spasial  kepulauan  Nusantara  dan  interaksi  antar  wilayah  yang  intensif  melahirkan  ragam bentuk  sistem  pemerintahan  yang  unik  sekaligus memiliki  kemiripan  satu  sama  lain.  Secara  umum, gambar 4  juga menunjukan adanya empat  cluster kerajaan  relatif  terhadap posisi kerajaan Majapahit 

yakni; pertama, Gowa, Bima, Ondoafi;  kedua, Mataram  Islam,  Yogyakarta pada masa  awal dan masa kolonialisasi Jepang; ketiga, Gianyar, Balanipa Mandar, Sailolof, Pagaruyung dan Yogyakarta pada masa kolonialisasi  Inggris  dan  Belanda  (sebelum  1942);  dan  keempat:  kesultanan  Ternate.  Menariknya, beberapa pengelompokan yang terjadi terlepas dari batasan geografis dimana kerajaan tersebut berada. Hal  ini  tentu  terkait  dengan  berbagai  bentuk  modifikasi  internal  dari  struktur  pemerintahan  yang didorong  oleh  adanya  perkawinan  antar  dinasti,  invasi,  migrasi  penduduk,  perdagangan,  maupun penyebaran agama.  

Dinasti Mataraman di  Jawa memiliki empat model struktur birokrasi yang berbeda sebagai akibat dari pengaruh Islam maupun  interaksinya dengan kekuasaan Belanda dan Inggris yang membawa pengaruh model administrasi moderen. Proses  interaksi  ini terjadi secara kreatif dalam arti tidak menghilangkan karakter unik dari kerajaan ini. Hal ini ditunjukan oleh kemunculan Mataram Islam dan Yogyakarta (masa awal  dan  masa  pendudukan  Belanda  dalam  cluster  yang  sama.  Hal  yang  berbeda  ditunjukan  oleh struktur birokrasi Yogyakarta pada masa kolonialisasi Jepang. Hal ini karena pada masa ini (1942‐1945), Sultan  Yogyakarta  memiliki  keleluasaan  untuk  membentuk  dan  menjalankan  tata  pemerintahannya sendiri  [26].  Namun  demikian,  secara  umum,  keempat model  birokrasi  dinasti mataraman  ini  tetap menempati posisi yang dekat dengan struktur birokrasi Majapahit. Hal  ini dapat dibaca sebagai upaya dinasti  Mataraman  untuk  menjaga  akar  historisnya  terhadap  kerajaan  Majapahit  pada  saat bertransformasi menjadi kesultanan Islam dan mengadopsi model administrasi modern. Sangat menarik ketika dinamika kesejarahan ini dapat dijelaskan oleh kedekatan struktur birokrasi kerajaan tersebut.  

Gambar  4  juga  menunjukan  kedekatan  posisi  kerajaan  Majapahit  dan  kesultanan  Ternate.  Hal  ini menarik mengingat  keduanya merupakan  kerajaan  besar  yang mewakili  peradaban Hindu  dan  Islam serta menempati dua wilayah yang berbeda di kepulauan Nusantara. Kedekatan keduanya terkait erat dengan  konstruksi  birokrasinya  yang memberikan  keseimbangan  antara  otoritas  pemerintahan  pusat dengan  otonomi  dari  setiap  wilayah  kerajaan.  Perbedaan  keduanya  terletak  pada  model  sistem representasi  yang dianut. Model  satu  level  representasi di Majapahit memunculkan Perdana Menteri sebagai sosok sentral dalam birokrasi, sementara model dua  level representasi dalam sistem birokrasi Ternate menempatkan Sultan sebagai  tokoh sentral  [3]. Lebih  jauh, posisi Ternate yang berada dalam cluster  tersendiri menunjukan  bahwa model  birokrasi  pemerintahan  Islam  Ternate  berbeda  dengan kesultanan  Islam  lainnya  seperti Gowa maupun Mataram  Islam  dan  Yogyakarta. Hal  yang  sama  juga terlihat dari  struktur birokrasi Majapahit  yang mempunyai  jarak  struktural  yang  cukup  jauh  terhadap kerajaan  Hindu  Gianyar.  Dalam  perspektif  Indianisasi  [27],  Majapahit  dan  Gianyar  seharusnya mempunyai  kemiripan  karakteristik  terkait  konsepsi  tentang  negara  dan  kekuasaan  (indianized kingdom).  Kenyataan  bahwa  kedua  kerajaan  Hindu  tersebut  berbeda  secara  struktural menunjukan bahwa proses modifikasi struktur internal birokrasi kerajaan terkait interaksinya dengan berbagai faktor eksternal  selalu  terjadi  secara  selektif dan  kreatif. Dalam  konteks  ini,  sistem pemerintahan  kerajaan‐kerajaan  klasik  Nusantara  harus  dipandang  sebagai  sistem  komplek  yang  adaptif,  yakni  sistem  yang tumbuh secara bottom up, membrojol dari interaksi kompleks dari berbagai aspek terkait kreativitas dan aspek kognitif individu maupun interaksi dan kolektivitas sosial masyarakatnya.  

Gambar  5 merupakan  visualisasi matrik  jarak  ke  dalam  bentuk  pohon  evolusioner  struktur  birokrasi kerajaan  klasik  di  Nusantara.  Gambar  5  dapat  dipahami  dalam  konteks  proses  evolusi  organisasi 

pemerintahan kerajaan dari struktur yang simpel ke struktur birokrasi yang kompleks. Hal ini tentu saja berkaitan  dengan mode  distribusi  kekuasaan  dan  koordinasi  antar  posisi  dalam  pemerintahan  yang efektif.  Dalam  perspektif  ini,  terlepas  dari  terbatasnya  jumlah  data  yang  dianalisa,  Majapahit  dan Ternate muncul sebagai puncak evolusi dari struktur birokrasi kerajaan klasik Nusantara. Demikian pula halnya  dengan  Mataram  Islam  dan  kesultanan  Yogyakarta  awal,  namun  dengan  jalur  evolusi  yang berbeda  dengan  dua  kerajaan  sebelumnya.  Ini menunjukan  bahwa  kerajaan‐kerajaan  tersebut  tidak hanya  memiliki  model  struktur  birokrasi  yang  beragam  tetapi  juga  mengembangkan  model pemerintahan yang berbeda‐beda.  

 

Gambar 5 Pohon jarak network birokrasi kerajaan di Nusantara  

V. Penutup 

Dalam  makalah  ini  kita  menganalisa  struktur  birokrasi  kerajaan  klasik  Nusantara  yang  dimodelkan sebagai weighted undirected network antar posisi dalam birokrasi pemerintahan. Karakteristik network terkait properti topologi dan dinamika yang melandasi proses pembentukannya dapat ditunjukan secara kualitatif melalui distribusi spektrum normalized laplacian graph nya. Dengan pendekatan ini kita dapat melakukan perbandingan antar network dengan ukuran yang berbeda‐beda mengingat nilai  spektrum yang terbatas pada  interval tertentu. Lebih  jauh, kita dapat mengidentifikasi perbedaan antar struktur 

berdasarkan  jarak antar distribusi spektrumnya sekaligus menunjukan relasi evolusioner antar struktur birokrasi kerajaan  tersebut. Hal  ini memberikan perspektif baru dalam memandang  struktur birokrasi kerajaan klasik tidak sebagai artefak kebudayaan sebuah masyarakat semata melainkan sebuah model organisasi yang tumbuh secara organik dan berevolusi sepanjang peradaban masyarakat tersebut. Lebih jauh,  hal  ini mengantarkan  kita memahami  sistem  politik  secara  empirik  dan  terlepas  dari  berbagai kategorisasi sistem politik modern.  

Dalam makalah  ini kita berhasil merekonstruksi   pohon relasi evolusioner struktur birokrasi kerajaan di Nusantara. Taksonomi hirarki  struktur birokrasi yang dibangun cukup  sesuai dan mampu menjelaskan dengan  sejumlah  aspek  historis  dari  kerajaan‐kerajaan  tersebut.  Lebih  jauh,  dari  pohon  relasi evolusioner yang  terbentuk  juga menunjukan bahwa kerajaan‐kerajaan  tersebut  tidak hanya memiliki model  struktur birokrasi yang beragam  tetapi  juga berkembang dalam  jalur evolusi yang beragam.  Ini mengindikasikan ragam model pemerintahan yang dianut oleh kerajaan‐kerajaan yang pernah berdiri di Nusantara.  Hal  ini  dapat  diarahkan  pada  upaya  pengklasifikasian model  pemerintahan  berdasarkan kategorisasi  yang  muncul  secara  bottom  up  dari  sistem  itu  sendiri.  Lebih  jauh,  kita  juga  dapat memetakan model tata pemerintahan modern yang ada saat ini ke model tata birokrasi klasik ini untuk melihat kedekatan evolusionernya satu sama lain, guna mencari insight baru terkait upaya inovasi dalam tata  organisasi  pemerintahan  modern.  Hal  ini  menjadi  bagian  dari  kerja  penelitian  selanjutnya mengingat jumlah data yang dianalisa dalam makalah ini sangat sedikit relatif terhadap jumlah kerajaan yang pernah berdiri di Indonesia.  

 

VI. Pengakuan 

Penulis mengucapkan  terimakasih kepada Usman Apriadi atas bantuannya dalam pembuatan  ilustrasi gambar, Deni Khanafiah dan Hokky Situngkir atas arahan dan diskusinya,  seluruh peneliti Bandung Fe Institute atas motivasi yang diberikan, serta Surya Research  Int.   atas   bantuan dana selama penelitian ini dilakukan. Seluruh kesalahan adalah tanggung jawab penulis.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

VII. Referensi 

1. Hariyono, Lies & Johnston, Christopher, eds., (2004)., “Indonesia: The land of a thousand kings,. Jakarta: Foresight. 

2. Bar‐Yam,  Yaneer.,(2003).,  ”Complexity  Rising,  Form  Human  Beings  to  Human  Civilization,  A Complexity Profile., New England Complex Systems Institute, Cambridge, MA, USA 

3. Situngkir,  H  &  Maulana,  A.,(2009).,”Study  to  Ancient  Royal  Bureaucracies  in  Indonesian Archipelago, wp 2009 Bandung Fe Insititute.  

4. Lombard, D.,(2005).,”Nusa Jawa Silang Budaya I,II,III”.,Gramedia Pustaka Utama. 5. Situngkir, H.,(2008).,”Constructing the Phylomemetic Tree. Case of Study: Indonesian Tradition‐

Inspired Buildings, wp 2008 Bandung Fe Institute 6. Situngkir,  H.,(2008).,”  Evolutionary  Clustering  in  Indonesian  Ethnic  Textile  Motifs,  wp  2008 

Bandung Fe Institute. 7. Banerjee, A.,(2008).,” Structural distance and evolutionary relationship of networks, 2008 8. Albert,R.,  Barabasi,A.,(2002).,”The  statistical  mechanics  of  complex  networks”.,Reviews  of 

Modern Physics, 74:47. 9. Albert,R., Jeong,H., Barabasi.A.,(1999).,”Diameter of the world‐wide web”., Nature. 10. Dorogovtsev,S., Mendes,J.,(2002).,”Evolution of networks”., Advances in Physics, 51:1079. 11. Newman,M.,(2003).,”The structure and function of complex networks”.,SIAM Review. 12. Banerjee,A &  Jost,J.,(2007).,”Graph  spectra  as  a  systematic  tool  in  computational  biology”  e‐

print :arXiv:0706.0113v1  13. Banerjee,A  &  Jost,J.,(2007).,”Spectral  plots  and  the  representation  and  interpretation  of 

biological data”., Theory in Biosciences, 126(1), 15‐21, 2007. 14.  Chung.F.,(1997).,”Spectral graph theory, AMS. 15. Jost,J.,  Joy.M.P.,(2002).,”Spectral  properties  and  synchronization  in  coupled  map  lattices”, 

Phys.Rev.E 65(1). 16. Zhu,P.,Wilson,R.C.,(2009).,”A Study of Graph Spectra for Comparing Graphs., Computer Science 

Department, University of York, UK 17. Banerjee,A &  Jost,J.,(2007).,”Laplacian  spectrum and protein‐protein  interaction networks”, e‐

print: arXiv. 18. Banerjee,A  &  Jost,J.,().,”On  the  spectrum  of  the  normalized  graph  Laplacian”,  e‐print: 

arXiv:0705.3772v1 19. Jianhua Lin.,(1991).,”Divergence Measures Based on the Shannon Entropy”.,IEEE Transaction On 

Information Theory, Vol. 37, No. I, January 1991 20. Grosse,et.al.,(2002).,”Analysis  of  symbolic  sequences  using  the  Jensen‐Shannon 

divergence”.,Physical Review E, Vol 65 21. Cover,T.M.,(1991).,”Elements of Information Theory” John Wiley & Sons, Inc. 22. Osterreicher,F., Vajda,I.,(2003).,” A new class of metric divergences on probability  spaces and 

and its statistical applications”., Ann. Inst. Statist. Math. 23. Erd˝os,P., R´enyi,A.,(1959).,” On random graphs”., Publ. Math. Debrecen, 6:290‐297. 24. Bryant, D., Moulton, V.,(2004).,” Neighbor‐Net: an agglomerative method for the construction 

of phylogenetic networks”., Mol. Biol. Evol. 21, 255–265. 

25. Saitou  N,  Nei  M  (1987).  "The  neighbor‐joining  method:  a  new  method  for  reconstructing phylogenetic trees". Mol Biol Evol 4 (4): 406–425.  

26. Suwarno,  P.j.,  (1994)., Hamengku  Buwono  IX  dan  sistem  birokrasi  pemerintahan  Yogyakarta, 1942‐1974., Kanisius. 

27. Lukas,H.,(2003).,” Theory of  Indianization:Exemplified by Selected Case Studies  from  Indonesia (Insular  Southeast  Asia).,  Sanskrit  Studies  Centre  and  Department  of  Oriental  Languages, Silpakorn University (Mahachulalongkornrajavidyalaya Press): Bangkok 2003: 82‐107 

28. Girvan,M.,Newman,M.E.J.,(2002).,”Community structure in social and biological networks”,Proc. Natl. Acad. Sci. USA 99, 7821‐7826  

29. Krebs,V.,” Books about US politics”.,unpublished,http://www.orgnet.com/ 30. Adamic,L.A.,Glance,N.,(2005).,”The  political  blogosphere  and  the  2004  US  Election",  in 

Proceedings of theWWW‐2005 Workshop on the Weblogging Ecosystem. 31. Rammal, R., Toulouse, G., & Virasoro, M. A.  (1986).  “Ultrametricity  for Physicists”. Rev. Mod. 

Phys.  58:765‐88. 32. Situngkir,  Hokky.,  Surya,Y.,  (2004),  “The  Political  Robustness  in  Indonesia:  Evaluation  on 

hierarchical taxonomy of legislative election results 1999 & 2004”, BFI Working Paper Series