RANCANGAN MODEL SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN (SPT) PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING DI DESA...

48
RANCANGAN MODEL SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN (SPT) PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING DI DESA MARGAJAYA, KECAMATAN TANJUNGSARI, KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT DISUSUN OLEH: Shania Al Syamsi 1505100110099 Puspita Argha 1505100110111 Daniel H. Pasaribu 1505100110121 Fatahany Fadhila 1505100110126 Netta Eka Safitri 1505100110130 AGROTEKNOLOGI I PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2014

Transcript of RANCANGAN MODEL SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN (SPT) PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING DI DESA...

RANCANGAN MODEL SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN (SPT) PADA

AGROEKOSISTEM LAHAN KERING DI DESA MARGAJAYA, KECAMATAN

TANJUNGSARI, KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT

DISUSUN OLEH:

Shania Al Syamsi 1505100110099

Puspita Argha 1505100110111

Daniel H. Pasaribu 1505100110121

Fatahany Fadhila 1505100110126

Netta Eka Safitri 1505100110130

AGROTEKNOLOGI I

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2014

Abstrak

Desa Margajaya terletak di Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang,

Jawa Barat berada di dataran rendah dan didominasi oleh pertanian lahan kering.

Pertanian lahan kering merupakan sumber mata pencaharian mayoritas penduduk

Desa Margajaya. Pengolahan lahan yang kurang mempertimbangkan kaidah

pertanian berkelanjutan, olah tanah intensif pada lahan kering, penggunaan pupuk

dan pestisida kimia merupakan praktek budidaya pertanian yang masih ditemui.

Penerapan prinsip – prinsip pertanian berkelanjutan perlu ditingkatkan mengingat

pentingnya untuk menjaga lingkungan. Bagaimanakah upaya yang dapat

direncanakan untuk meningkatkan pertanian berkelanjutan di Desa Margajaya?

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan perencanaan peningkatan penerapan

prinsip – prinsip pertanian berkelanjutan di Desa Margajaya dan menggunakan

prinsip LEISA (Low External Input Suistanable Agriculture).

Dengan masukan sarana produksi rendah atau LEISA ini, tidak menggunakan

bahan kimia tetapi memakai bahan-bahan organik berdasarkan prinsip daur ulang

yang dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat. Usaha tani ini ditujukan untuk

mewujudkan banyak aspek yaitu pertanian yang ekonomis, ekologis, dan

berbudaya adalah semua faktor penting dapat dimasukkan dalam struktur hierarki,

kemudian diatur berdasarkan urutan prioritas yang terpenting dan terbaik. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa masih banyaknya lahan di Desa Margajaya yang

belum menerapkan sistem LEISA, namun sudah terdapat beberapa sistem

agroindustri.

Kata Kunci : Sistem Pertanian Berkelanjutan, LEISA, Desa Margajaya.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha

Esa. Karena, berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu

menyelesaikan laporan akhir yang berjudul “Rancangan Model

Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPT) pada Agroekosistem

Lahan Kering di Desa Margajaya, Kecamatan Tanjungsari,

Kabupaten Sumedang, Jawa Barat”. Laporan ini disusun untuk

memenuhi salah satu tugas akhir mata kuliah Sistem Pertanian

Berkelanjutan.

Tim penulis menyadari, bahwa selama penulisan makalah ini

tim penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab

itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dosen mata kuliah yang telah membimbing dalam menyusun

makalah ini;

2. anggota kelompok yang telah membantu dalam menyusun

makalah ini; dan

3. semua pihak yang tidak bisa tim penulis sebut satu

persatu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan berlipat

ganda.

Makalah ini bukan karya yang sempurna, karena masih

memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal isi maupun

sistematika dan tekhnik penulisannya. Oleh sebab itu,

penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun

demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini

bisa memberikan manfaat bagi penulis dan bagi pembaca. Amin.

Jatinangor, Desember 2014

Tim Penulis

DAFTAR ISI

Abstrak

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

1.2. Identifikasi Masalah

1.3. Tujuan Penelitian (Survei)

1.4. Kegunaan Penelitian (Survei)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pertanian Berkelanjutan (SPT)

2.2. Konsep Agroekosistem

2.3. Konsep LEISA dan Pemanfaatan Sumber Daya Lokal

2.4. Pola Tanam dalam Pertanian Berkelanjutan

BAB III METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian (Survei)

3.2. Diagram Alur Proses Penilaian Kondisi-Eksis

3.3. Proses Pengumpulan Data

3.4. Metode Analisis Data (Deskriptif)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian (Survei)

4.2. Potensi Sumber Daya Alam Lokasi Survei (Kekayaan dan

Sifat Agoekosistem)

4.3. Pelaksanaan Sistem Pertanian/Sistem Usahatani di Lokasi

Survei

BAB V RANCANGAN MODEL SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN (SPT) DI

LOKASI SURVEI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

1.2 Identifikasi Masalah

1. Bagaimana keadaan agroekosistem di Desa Margajaya?

2. Apa saja potensi serta kearifan lokal yang ada di Desa

Margajaya?

3. Apa saja kendala yang dihadapi dalam sistem pertanian

di Desa Margajaya?

4. Bagaimana rekomendasinya terhadap permasalahn yang ada

di Desa Margajaya?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui keadaan agroekosistem di Desa Margajaya

2. Mengetahui potensi serta kearifan lokal yang ada di

Desa Margajaya

3. Mengetahui kendala yang dihadapi dalam sistem pertanian

di Desa Margajaya

4. Menyusun rekomendasi untuk pemecahan masalah.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk memahami dan

memperoleh informasi atau data mengenai Desa Margajaya serta

potensi yang terdapat disana dan memberikan saran

rekomendasi pada permasalahan yang terdapat di sana.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pertanian Berkelanjutan (SPT)

Paradigma pembangunan berkelanjutan menurut Bank Dunia

diterjemahkan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan

berkelanjutan (Environmentally Sustainable Development Triangle) yang

bertumpu pada keberlanjutan ekonomi, ekologi, dan sosial.

Berkelanjutan secara ekonomis mengandung pengertian bahwa

suatu kegiatan pembangunan harus mampu menghasilkan

pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, penggunaan

sumberdaya, serta investasi secara efisien. Berkelanjutan

secara ekologis berarti bahwa kegiatan tersebut mampu

mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung

lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk

keanekaragaman hayati (biodiversity). Keberlanjutan secara

sosial diartikan bahwa pembangunan tersebut dapat menciptakan

pemerataan hasil – hasil pembangunan, mobilitas sosial,

kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan

masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan

(Serageldin, 1996 dalam Dahuri 1998).

Pertanian berkelanjutan mempunyai beberapa prinsip yaitu :

(a) menggunakan sistem input luar yang efektif, produktif,

murah, dan membuang metode produksi yang menggunakan sistem

input dari industri, (b) memahami dan menghargai kearifan

lokal serta lebih banyak melibatkan peran petani dalam

pengelolaan sumberdaya alam dan pertanian, (c) melaksanakan

konservasi sumberdaya alam yang digunakan dalam sistem

produksi (Shepherd, 1998 dalam Budiasa, 2011). Persoalan yang

sering dihadapi dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan

adalah adanya tarik - menarik antara berbagai kepentingan

pembangunan. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan

pertanian berkelanjutan antara lain faktor sosial, ekonomi,

dan kelembagaan (Purwanto dan Cahyono, 2012); faktor pilihan

teknis konservasi yang tepat, sesuai dengan latar belakang

sosial, ekonomi, budaya masyarakat (Sabiham dalam Arsyad, S.

dan E. Rustiadi, 2008); faktor individu, ekonomi, dan

kelembagaan (Illkpitiya dan Gopalakrishnan, 2003); faktor

kelembagaan, kebijakan pemerintah, dan perubahan teknologi

(Ananda dan Herath, 2003). Bagaimanakah upaya untuk

menselaraskan berbagai aspek kepentingan dengan tetap menjaga

kelestarian lingkungan merupakan tantangan dalam mewujudkan

pembangunan pertanian berkelanjutan.

Desa Margajaya terletak di Kecamatan tanjung sari dan

berada di dataran rendah dengan ketinggian 890 dpl yang

terdiri atas 106 Ha sawah, 86,6 Ha lahan bukan sawah dan 3,7

lahan bukan pertanian. Daerah ini didominasi oleh pertanian

lahan kering yang merupakan sumber mata pencaharian mayoritas

penduduk Desa Margajaya. Komoditas utama yang dikembangkan

oleh petani Desa Margajaya adalah berbagai jagung, ubi kayu,

dan singkong. Pola budidaya tanaman semusim pada beberapa

tanaman pangan tersebut ternyata masih ditemukan penggunaan

pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan. Prinsip penggunaan

pestisida kimia yang dilakukan adalah preventif untuk mencegah

berkembangnya hama penyakit agar tidak rugi karena kehilangan

hasil panen. Pengolahan limbah pertanian atau peternakan masih

kurang maksimal dilakukan meskipun pemanfaatan pupuk kandang

sudah umum dilakukan. Berdasarkan kenyataan yang demikian maka

peningkatan penerapan prinsip - prinsip pertanian

berkelanjutan perlu dilakukan.

Menurut Salikin (2003), bahwa sistem pertanian

berkelanjutan dapat dilaksanakan menggunakan berbagai model

antara lain sistem pertanian organik, integrated farming,

pengendalian hama terpadu, dan LEISA (Low External Input Sustainable

Agriculture). Sistem pertanian organik merupakan sistem produksi

pertanian yang menjadikan bahan organik sebagai faktor utama

dalam proses produksi usahatani. LEISA adalah pertanian yang

mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia

setempat/lokal, layak secara ekonomis, mantap secara ekologis,

sesuai dengan budaya, adil secara sosial, dan input luar hanya

sebagai pelengkap (Reijntjes et al. 1999). Integrated pest

management atau pengelolaan hama terpadu merupakan suatu

teknologi pengendalian hama yang bertujuan untuk memaksimalkan

efektivitas pengendalian secara biologi dan budaya.

Pengendalian secara kimia dilakukan dengan meminimalkan

gangguan terhadap lingkungan (Luna dan House, 1990 dalam

Budiasa, 2011).

Mengingat Desa Margajaya memiliki potensi lahan kering dan

hanya ditanami pada musim penghujan saja, maka diperlukannya

suatu sistem yang cocok dengan kondisi lahan di Desa

Margajaya. Sistem pertanian LEISA cocok dikembangkan di desa

ini karena input yang diberikan pada pola tanam beberapa

komoditas pangan ini harus diperhatikan dengan pemanfaatan

bahan organik yang potensinya sudah tersedia seperti limbah

pertanian dan peternakan.

2.2. Konsep Agroekosistem

Dari tinjauan historis menurut sudut pandang

pendayagunaan sumberdaya lahan, pola penggunaan tanah di

Indonesia telah berubah dari pola ekstensif alamiah (hutan,

semak, dan padang penggembalaan) ke pola yang relatif

intensif. Pola penggunaan tanah untuk usaha pertanian

dapat dipilah menjadi dua: (a) usaha pertanian skala besar

yang umumnya berupa perkebunan yang dikelola oleh badan usaha

milik negara maupun perusahaan swasta, (b) usaha pertanian

rakyat. Meskipun usaha pertanian rakyat umumnya menerapkan

pola campuran, tetapi menurut komoditas dominan yang

diusahakannya secara garis besar dapat dipilah lebih lanjut

menjadi dua kategori: (i) usaha pertanian tanaman

pangan/hortikultura dan (ii) perkebunan rakyat.

Terkait dengan orientasi kebijakan pengembangan pertanian

rakyat yang selama ini ditempuh, perkembangan pertanian paling

maju adalah pada agroekosistem pesawahan yakni dalam usahatani

padi. Pada usahatani berbasis lahan kering usahatani yang

paling berkembang adalah pada usahatani tanaman perkebunan,

usahatani komoditas sayuran bernilai ekonomi tinggi dan

peternakan khususnya unggas. Khususnya untuk usahatani sayuran

dan peternakan, kemajuannya cenderung spesifik lokal dalam

arti perkembangan yang cukup nyata adalah di sentra-sentra

produksi sedangkan di wilayah non sentra produksi kurang

berkembang.

Penciri agroekosistem tidak hanya mencakup unsur-unsur

alami (iklim, topografi, altitude, fauna, flora, jenis tanah,

dan sebagainya) tetapi juga unsur-unsur buatan. Bahkan dalam

pendekatan pragmatis yang lazim digunakan mengarah pada unsur-

unsur buatan. Sumaryanto dkk (2008) membedakan agroekosistem

menjadi 3: (1) pesawahan, (2) lahan kering (terdiri dari:

lahan kering berbasis tanaman pangan/hortikultura, dan lahan

kering berbasis tanaman perkebunan), dan (3) agroekosistem

pesisir.

Penggunaan istilah ”lahan kering” di Indonesia belum

tersepakati secara aklamasi. Beberapa pihak menggunakan untuk

padanan istilah Inggris: upland, dryland, atau non irrigated land

(Notohadiprawiro, 1989). Kadekoh (2010) mendefinisikan lahan

kering sebagai lahan dimana pemenuhan kebutuhan air tanaman

tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah

tergenang sepanjang tahun. Istilah yang biasa dipergunakan

untuk pertanian lahan kering adalah pertanian tanah darat,

tegalan, ladang, tadah hujan dan huma.

Sementara menurut Minardi (2009), lahan kering umumnya

selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usahatani

bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu

suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland)

atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air)

yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air. Definisi

lahan kering menurut Direktorat Perluasan areal (2009) adalah

“hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air

pada sebagian kecil waktu dalam setahun, yang terdiri dari

lahan kering datarang rendah dan lahan kering dataran tinggi”.

Prospek agroekosistem lahan kering untuk pengembangan

peternakan cukup baik (Bamualim, 2004). Peluang pasarnya masih

sangat terbuka. Kemampuan pasar domestik untuk menyerap

produksi yang dihasilkan dari usaha peternakan sapi pedaging,

sapi perah, kambing. domba, babi, unggas (ayam, burung puyuh)

masih akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah

penduduk dan pendapatan per kapita. Bahkan dalam rangka

mengurangi ketergantungan impor, perlu ada program dan aksi

nyata yang revolusioner.

Berkembangnya kebutuhan pangan utama membutuhkan

perluasan areal untuk pengembangan tanaman pangan dan

perkebunan. Salah satu akibatnya terjadi kompetisi penggunaan

lahan diantaranya antar subsektor dalam sektor petanian.

Beberapa pihak beranggapan lahan penggembalaan merupakan lahan

tidur sehingga perlu diefektifkan pemanfaatannya. Pola pikir

yang demikian memperkecil sumberdaya alam yang sebenarnya

merupakan basis pengembangan usaha peternakan .

Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pengembangan

pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura, maupun tanaman

tahunan/perkebunan. Pengembangan berbagai komoditas pertanian

di lahan kering merupakan salah satu pilihan strategis untuk

meningkatkan produksi dan mendukung ketahanan pangan nasional

(Mulyani dkk, 2006). Namun demikian, tipe lahan ini umumnya

produktivitasnya rendah, kecuali pada lahan yang dimanfaatkan

untuk tanaman tahunan/perkebunan. Pada usahatani lahan kering

dengan tanaman semusim, produktivitas relatif rendah serta

menghadapi masalah sosial ekonomi seperti tekanan penduduk

yang terus meningkat dan masalah biofisik (Sukmana, dalam

Syam, 2003).

Pada umumnya sistem pertanian lahan kering belum dipahami

secara mendalam, sementara keragaman ekosistemnya cukup

kompleks. Kendala lingkungan, kondisi sosial ekonomi

masyarakat, serta keterbatasan sentuhan teknologi yang adaptif

mengakibatkan kualitas, produktivitas dan stabilitas sistem

usahatani yang ada masih terbatas (Guritno, et al, 1997).

Kerusakan fungsi lahan sebagai media tumbuh, seperti pekanya

tanah terhadap erosi, unsur hara yang minim, terbatasnya

kandungan bahan organik merupakan permasalahan biofisik. Di

lain pihak petani lahan kering merupakan petani yang tergolong

marginal yang ditandai dengan pendapatan dan pendidikan

rendah, ketrampilan terbatas, dan terbatasnya pelaksanaan

kondervasi pada lahan usahataninya (Sholahuddin dan Ladamay,

dalam Kadekoh 2010). Hal ini merupakan masalah-masalah klasik

di kalangan petani lahan kering yang memerlukan penanganan

yang optimal, terencana dan berkelanjutan.

Untuk menciptakan prospek cerah, khususnya bagi lahan kering,

menurut Notohadiprawiro (1989), diperlukan teknologi sepadan

(apprioritas), baik bagi lingkungan biofisik maupun bagi

lingkungan sosial ekonomi. Teknologi yang dipandang tepat

adalah berasaskan LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture).

2.3. Konsep LEISA dan Pemanfaatan Sumber Daya Lokal

Pertanian organik merupakan suatu sistem pertanian yang

berazaskan daur ulang hara secara hayati. Pertanian organik

juga sering dikatakan sebagai pertanian yang menerapkan

masukan teknologi berenergi rendah LEISA (Low External Input

Sustainable Agriculture). Di kalangan petani relatif masih sedikit

yang bersedia menerapkan pertanian organik karena dari segi

produksi memang lebih rendah tetapi dari segi harga jual jauh

lebih mahal. Prospek pengelolaan lingkungan dalam pertanian

ramah lingkungan seharusnya mengacu pada konsep LEISA. LEISA

mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut

(Reijntjes, 1999):

a) Berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang

ada dengan mengkombinasikan berbagai macam komponen sistem

usaha tani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim, dan

manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek

sinergi yang paling besar.

b) Berusaha mencari cara pemanfaatan input luar hanya bila

diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam

ekosistem dan meningkatkan sumberdaya biologi, fisik, dan

manusia. Dalam memanfaatkan input luar, perhatian utama

diberikan pada maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi

kerusakan lingkungan.

LEISA tidak bertujuan untuk memaksimalkan produksi dalam

jangka pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang

stabil dan memadai dalam jangka panjang. LEISA berupaya untuk

mempertahankan dan dimana mungkin, meningkatkan sumberdaya

alam serta memanfaatkan secara maksimal proses-proses alami.

Di mana bagian dari produksi itu dipasarkan, maka dicari

peluang untuk memperoleh kembali unsur hara yang dihilangkan

dari sistem usaha tani ke pasar. Dengan kata lain LEISA dapat

dikatakan sebagai suatu konsep yang terpadu dan lintas

sektoral, menekan penggunaan input dari luar sehingga

mengoptimalkan penggunaan input internal dan akan diperoleh

suatu sistem usaha pertanian yang efisien dan berdaya saing

global.

Keuntungan yang akan diperoleh dari konsep LEISA adalah:

a) Usaha pertanian yang terpadu

b) Usaha pertanian yang berbasis lokal sehingga tahan

terhadap krisis 5

c) Usaha pertanian yang dapat menghasilkan produk organik

yang mempunyai harga lebih baik

d) Usaha pertanian yang mempunyai diversivikasi berbagai

produk sehingga dapat mengurangi resiko kegagalan usaha

Sistem LEISA perlu disosialisasikan kepada para petani di

desa. Pada dasarnya, petani telah memiliki pengetahuan lokal

mengenai ekologi, pertanian dan kehutanan yang terbentuk

secara turun temurun dari nenek moyang mereka dan berkembang

seiring dengan berjalannya waktu. Pengetahuan lokal ini berupa

pengalaman bertani dan berkebun serta berinteraksi dengan

lingkungannya. Pengetahuan lokal yang dimiliki petani bersifat

dinamis, karena dapat dipengaruhi oleh teknologi dan informasi

eksternal antara lain kegiatan penelitian para ilmuwan,

penyuluhan dari berbagai instansi, pengalaman petani dari

wilayah lain, dan berbagai informasi melalui media masa.

Meskipun berbagai teknologi dan informasi masuk ke

lingkungannya, tetapi tidak semua diterima, diadopsi dan

dipraktekkan oleh petani lokal. Sebagai aktor yang paling

mengenal kondisi lingkungan dimana ia tinggal dan bercocok

tanam, petani memiliki kearifan (farmer wisdom) tertentu dalam

mengelola sumber daya alam. Kearifan inilah yang kemudian

menjadi dasar dalam mengadopsi informasi dan teknologi

sehingga menghasilkan pengetahuan lokal yang sesuai dengan

kondisi pertanian setempat (Sinclair dan Walker, 1998).

Pengetahuan lokal merupakan hasil dari proses belajar

berdasarkan persepsi petani sebagai pelaku utama pengelola

sumber daya lokal. Dinamisasi pengetahuan sebagai suatu proses

sangat berpengaruh pada corak pengelolaan sumber daya alam

khususnya dalam sistem pertanian lokal. Seringkali praktek

sistem pertanian lokal dapat memberikan ide yang potensial

dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya yang ada secara

lestari (Sunaryo dan Joshi, 2003). Dengan demikian, upaya

penggalian pengetahuan lokal untuk menambah khasanah dalam

pemanfaatan, pengelolaan dan pengembangan sumber daya alam

perlu dilakukan. Penggalian informasi mengenai pengetahuan

lokal masyarakat dan inovasi yang diadopsi oleh petani dapat

menggambarkan pola pengelolaan sumber daya alam di sekitarnya.

Selain itu, dapat juga dijadikan sebagai input dalam

meningkatkan kehidupan petani, baik dari segi ekonomi, ekologi

dan sosialnya. Pengetahuan lokal dan inovasi yang diadopsi

petani tersebut dikumpulkan, kemudian dirangkai dan dianalisa

menjadi model pengetahuan petani yang lebih terstruktur

sehingga mudah diterapkan oleh masyarakat lain. Model

pemahaman yang dibangun dan dikembangkan petani dapat menjadi

masukan untuk melengkapi dan memperkaya model pengetahuan

ilmiah (scientific models). Dengan demikian, pada saat yang

bersamaan petani dapat menerima dan mengambil manfaat dari

model pengetahuan tersebut untuk mengembangkan pengetahuannya

dan dapat pula diterapkan oleh kelompok petani lain yang belum

mencoba menerapkannya (Joshi et al., 2004).

Pengetahuan lokal suatu masyarakat petani yang hidup di

lingkungan wilayah yang spesifik biasanya diperoleh

berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun.

Adakalanya suatu teknologi yang dikembangkan di tempat lain

dapat diselaraskan dengan kondisi lingkungannya sehingga

menjadi bagian integral sistem bertani mereka. Karenanya

teknologi eksternal ini akan menjadi bagian dari teknologi

lokal mereka sebagaimana layaknya teknologi yang mereka

kembangkan sendiri. Pengetahuan praktis petani tentang

ekosistem lokal, tentang sumber daya alam dan bagaimana mereka

saling berinteraksi, akan tercermin baik di dalam teknik

bertani maupun keterampilan mereka dalam mengelola sumber daya

alam. Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan

sistem kepercayaan, norma dan budaya, dan diekspresikan di

dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu cukup

lama ada kemungkinan akan menjadi suatu ‘kearifan lokal’.

2.4. Pola Tanam dalam Pertanian Berkelanjutan

Peningkatan produktivitas lahan diantaranya dapat dilakukan

melalui penerapan teknologi spesifik lokasi berdasarkan

potensi sumberdaya domestik dengan memperhatikan aspek

lingkungan. Peningkatan produktivitas di lahan kering dapat

dilakukan melalui peningkatan produktivitas per satuan luas

dan peningkatan intensitas pertanaman.

Pengelolaan lahan kering sesungguhnya tidaklah mudah,

karena sangat berkaitan

dengan permasalahan lahan kering yang cukup kompleks baik dari

sumber daya lahannya dan atau sumber daya manusianya. Dari

segi lahannya umumnyasebagai lahan kritis, luas kepemilikan

lahan yang sempit, ketersediaan air tahunanmasih menjadi

kendala terhadap pola pertanaman, tingkat kesuburan yang

rendah,lapisan olah yang rendah dan relatif rentan terhadap

erosi di waktu musim hujan dankesuburan lahan yang rendah.

Lahan kering pada umumnya mempunyai produktivitas tanah dan

tanaman rendah akibat rendahnya tingkat kesuburan tanah dan

curah hujan tidak menentu. Perbaikan sifat fisik, kimia, dan

hayati tanah sawah tadah hujan dapat dilakukan dengan

pemberian pembenah oganik. Salah satu contoh tanaman lokalyang

memliki potensi tumbuh dan berkembang pada lahan kering adalah

kacangtanah ( Arachis hypogeae) dan jagung ( Zea mays). Panen

jagung Indonesia tahun2008 mencapai 4 juta ha dengan rata-rata

pro-duktivitas 4,08 t/ha (Syafruddin et al  .,2010). Aspek

komponen produksi pada kacang tanah pada penanaman

jagungdipengaruhi oleh jarak tanam dan perompesan daun jagung

(Zuchri, 2007).

Penanaman campuran merupakan sistem pertanaman dua atau

lebih jenistanaman yang di tanam pada sebidang tanah dengan

musim tanam yang sama.Penanaman campuran memungkinkan terjadi

persaingan selama periode pertumbuhanmaupun hasil produksi

tanaman.

Pertumbuhan penduduk yang padat dan lahan pertanian yang

subur semakin berkurang karena banyak dimanfaatkan sebagai

industri dan tempat pemukiman baru bagi penduduk, merupakan

masalah dalam memenuhi kebutuhan pangan. Menghadapi

permasalahan tersebut maka

sistem pertanian untuk masa depan yang berwawasan lingkungan m

enuju perkembangan berkelanjutan dengan pola tumpangsari perlu

dikembangkan. Sistem pertanaman tumpangsari bertujuan

memperoleh kombinasi tanamanyang sesuai, kepadatan populasi

tanaman, dan mengetahui cara pemupukan yangoptimal. Pola tanam

tumpangsari umumnya untuk mengetahui pemanfaatan cahaya,air,

dan hara. Produktivitas lahan pada sistem tumpangsari

dihitungberdasarkan Nisbah Kesetaraan Lahan (NKL).

Keuntungan pola tanam tumpangsari diantaranya populasi tana

man dapat diatur,  efisiensi

pemanfaatan lahan, dan dapat menekanserangan hama serta

penyakit. Peluang pengembangan kacang tanah dan jagung masih

terbuka luasdiantaranya masih tersedia lahan yang cukup luas,

meningkatnya kebutuhan danindustri olahan kacang tanah dan

jagung, tersedianya pasar yang cukup besar, sertatersedianya

benih unggul dan penerapan teknologi terkait perkembangan

agribisnisaneka kacang. Budidaya tanaman koro pedang tergolong

mudah karena dapat tumbuh dilingkungan dengan kesuburan kurang

dan lahan kering.

BAB III

METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian (Survei)

Kegiatan survei lapangan dilaksanakan di Dusun Pagaden,

Desa Margajaya, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang.

Kegiatan ini dilakukan dari tanggal… 2014 sampai tanggal ….

2014

a) Waktu Kegiatan

Kunjungan ke-1

Hari/ Tanggal : Sabtu, 14 November 2014

Pukul : 09.00 – 11.30

Kunjungan ke-2

Hari/ Tanggal : Sabtu, 14 November 2014

Pukul : 09.00 – 11.30

Kunjungan ke-3

Hari/ Tanggal : Sabtu, 25 November 2014

Pukul : 10.00 – 16.00

b) Lokasi Kegiatan

Tempat : Desa Margajaya, Kecamatan Tanjungsari,

Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.

3.2. Desain Penelitian

Dalam kegiatan survei lapangan yang kami laksanakan,

kami menggunakan metode pendekatan RRA (Rapid Rural

Appraisal) yang merupakan salah satu teknik alternatif

untuk melakukan suatu survei dengan metode konvensional,

karena metode ini relatif cepat melakukan suatu penilaian

dimasyarakat setempat, mengenai kebutuhan ataupun potensi

masyarakat dengan tujuan menentukan suatu strategi tertentu

untuk memecahkan masalah yang terjadi.

RRA dapat berupa interview, fokus grup, pertemuan,

observasi, penelitian kecil, dan analisis data. Kegunaan

dari teknik ini untuk mengidentifikasi mitra potensial

dalam pengelolaan sumberdaya, dan untuk menggali pendekatan

yang tepat sesuai dengan karakteristik. Prinsip Rapid Rural

Appraisal:

• Data yang dikumpulkan harus sangat relevan.

• Metode yang digunakan mengadaptasi kondisi lingkungan

setempat.

• Anggota dari komunitas dapat memberikan masukan terhadap

pendefinisian kebutuhan dan juga alternatif solusinya.

Kelebihan Rapid Rural Appraisal diantaranya:

Membutuhkan biaya yang relatif rendah, dapat dilaksanakan

dengan cepat, dimiliki oleh masyarakat setempat, fleksibel,

dapat mengidentifikasikan pemahaman dari isu yang kompleks,

multi bidang, dan memberikan dorongan bagi masyarakat

setempat. Dan kekekurangan dari Rapid Rural Appraisal

adalah: terbatas, pengambil keputusan harus menguasai

statistik, persiapannya membutuhkan waktu dan pelatihan skill

yang dibutuhkan misalnya: wawancara, komunikasi, dll

3.3. Proses Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data yang dilakukan kegiatan kuliah

lapangan ini yaitu wawancara dan studi literatur. Wawancara

merupakan teknik untuk mendapatkan informasi dengan

melakukan tanya jawab langsung kepada petani yang berada di

Desa Margajaya sebagai narasumber. Studi lieratur dilakukan

untuk melengkapi hasil dari wawancara dengan melihat

beberapa referensi yang berkaitan dengan hal tersebut.

3.4. Metode Analisis Data (Deskriptif)

Dari hasil wawancara yang kami dapatkan dari petani

sebagai narasumber, di dapatkan hasil bahwa kondisi

pertanian di Dusun Pagaden, Desa Margajaya masih belum

sesuai dengan konsep LEISA. Dapat dilihat dari masih

banyaknya penggunaan bahan-bahan kimia untuk pupuk serta

pestisida walaupun penggunaan pupuk kandang sudah ada

sebagian yang melakukannya.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian (Survei)

Desa Margajaya merupakan bagian dari wilayah Kecamatan

Tanjungsari, memiliki luas wilayah sekitar 230,5 Ha yang

berada di dataran rendah dengan ketinggian 890 dpl yang

terdiri atas 106 Ha sawah, 86,6 Ha lahan bukan sawah dan 3,7

lahan bukan pertanian.

Berdasarkan data tahun 2013 diketahui bahwa jumlah penduduk

Desa Margajaya berjumlah 10.618 orang yang terdiri dari 5.425

orang laki–laki dan 5.193 orang Perempuan.

Gambar 1. Peta Desa Margajaya

Batas – batas administratif pemerintahan Desa Margajaya

Kecamatan Tanjungsari sebagai berikut:

Sebelah utara : Desa Gudang

Sebelah Timur : Gunungmanik

Sebelah Selatan : Desa Raharja, Desa Cinanjung

Sebelah Barat : Desa Tanjungsari

Dilihat dari topografi dan kontur tanah, Desa Margajaya

Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang secara umum berupa

darat dan pesawahan dengan suhu rata – rata 190 s/d 250

Celsius. Desa Margajaya terdiri dari 5 (Lima) Dusun, 19

( sembilan belas ) Rukun Warga ( RW ) dan 50 ( Lima puluh )

Rukun Tetangga ( RT ).

Orbitasi dan waktu tempuh ibukota Kecamatan 2,2 km2 dengan

waktu tempu selama 20 menit dan dari ibukota kabupaten 20.5

dengan waktu tempuh 60 menit

Jarak dan letak Desa dari Ibu kota Pemerintahan :

Jarak ke Ibu Kota Kecamatan : 2,5 Km

Jarak ke Ibu Kota Kabupaten : 20,5 Km

Jarak ke Ibu Kota Propinsi : 42,5 Km

Jarak ke Ibu Kota Negara : 115 Km

4.2. Kedaan Penduduk Desa, Sosial Ekonomi, dan Kelembagaan

a) Mata pencaharian penduduk Desa Margajaya Kecamatan

Tanjungsari terdiri dari :

Petani :491 orang BuruhTani :735 orang Pedagang :495 orang PNS :245 orang TNI/Polri :147 orang KaryawanSwasta :392 orang Wirausahalainnya :694 orang Montir :31 orang Pengarajin Industri Rumah :72 orang

Tangga Peternak :187 orang Pembantu Rumah Tangga :73 orang

b) Tingkat Kesejahteraan

Jumlah Keluarga :

3188 KK

Keluarga prasejahtera :

306 KK

Keluarga prasejahtera I :

591KK

Keluarga prasejahtera II :

765 KK

Keluarga prasejahtera III

: 664 KK

Keluarga prasejahtera III plus

: 89 KK

c) Tingkat Pendidikan

Buta hurup : 6 jiwa

Tidak tamat SD/Sederajat : 61 jiwa

Tamat SD / Sederajat : 5213 jiwa

Tamat SLTP / Sederajat : 1274 jiwa

Tamat SLTA / Sederajat : 593 jiwa

D 1 : 118 jiwa

D 2 : 94 jiwa

D 3 : 83 jiwa

S 1 : 99 jiwa

S 2 : 49 jiwa

S 3 : 42 jiwa

d) Sarana da nPrasarana Ekonomi

Bank : - buah

Koperasi Unit Desa : - buah

Pasar : - buah

BUMDES : 1 buah

Industri Rumah

Tangga

: 15 buah

Perusahaan Kecil : 12 buah

Perusahaan Sedang : 6 buah

Perusahaan Besar : 1Buah

e) Kondisi Kesehatan dan Prasarana Kesehatan

Data kajian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di

Desa Margajaya adalah sebagai berikut :

Jumlah Rumah : 2998 Jumlah KK : 2210 Ibu Bersalin : 178 LINAKES : 163 Bayi< 6 bl : 105 ASI Saja : 78 Bayi 6-12 bl : 95 Lulus ASI Ekslusif : 71

Bayi dan Balita : 607 Ditimbang : 554 Pengguna Air Bersih : 2397 Cuci tangan dengan air

mengalir dan sabun

: 2396 Pengguna Jamban Sehat : 2397 Berantas Jentik nyamuk : 108 Makan sayur dan buah setiap

hari

: 108 Aktivitas fisik setiap hari : 2395 Tidak merokok dalam rumah : 788 Keluarga Sehat : 786 KeluargaTidak Sehat : 1424 Rumah Tangga Sehat : 662 Rumah Tangga Tidak Sehat : 1548 Persentase KK Sehat : 35.6 Persentase Rumah Tangga Sehat : 30

f) Sarana kesehatan yang ada di Desa Margajaya meliputi :

Puskesmas : - buah Puskesmas Pembantu : 1 buah Poskesdes : 1 buah Balai

Pengobatan/Klinik

: 2 buah

Dokter Umum : - orang Posyandu : 11 buah Pos KB Desa : 1 buah Bidan : 2 orang Petugas Gizi

Keliling

: 1 orang

Dukun Bayi terlatih : 3 orang

g) Sumber air bersih yang ada di Desa Margajaya meliputi :

Sumur Gali : 2.459 Buah PAM : 802

Embung : 10

4.3. Potensi Sumber Daya Alam Lokasi Survei (Kekayaan dan

Sifat Agoekosistem)

a) Keadaan Tanah, Penggunaan Tanah dan Kondisi Air

Keadaan tanah di desa margajaya sebagian besar berwarna

kuning, tekstur debuan, dengan kedalamam 0,50 m.  Sebagan

besar tanah digunakan untuk perumahan rumah-rumah warga),

sisanya yaitu pertanian, perkebunan, kehutanan,

peternakan, dan perikanan.

Kondisi Air sangat baik, terdiri dari prasarana air

bersih dengan menggunakan sumur pompa 1140 unit, sumur

galian 855 unit, jumlah mata air 3 unit dan tempat umum

25 unit.  Sedangkan jumlah irgasi terdiri dari 1 pembagi

air dengan kondisi rusak.

b) Peternakan/Perikanan/Pertanian

Jenis populasi ternak di Desa Margajaya terdiri dari

375 ekor ayam, 300 ekor bebek, 1 ekor kuda, dan 60 ekor

Biri-biri.  Dimana produksi peternakan nya terdiri dari

: telur 360 kg/tahun, dan Daging 240 kg/tahun.

Jenis potensi dan produksi ikan terdiri dari ikan mas,

ikan lele, ikan nila dan ikan gurame.  Dimana setiap

tahunnya Desa Margajaya dapat menghasilkan Ikan Mas

6000 kg/tahun, Ikan Lele 300 kg/tahun, Ikan Nila 4000

kg/tahun, dan Ikan Gurame 200 kg/tahun.

Lahan pertanian yang dimiliki oleh Desa Margajaya

sangat minim, sehingga aktivitas pertanian jarang

ditemukan di sana.  Luas lahan pertanian menurut

komoditas pada tahun ini adalah 1 ha, yang digunakan

untuk menanam Ubi Kayu.

4.4.1. Pelaksanaan Sistem Pertanian/Sistem Usahatani di

Lokasi Survei dengan Komoditas Jagung

Teknik budidaya LEISA

Teknik bidaya LEISA yang dikembangkan di Dusun

Pagaden yaitu dengan memanfaatkan sumberdaya lokal

diantaranya yaitu pemakaian pupuk kandang dan pupuk urea

yang berimbang digunakan dalam pertanaman. Pupuk kandang

yang biasa digunakan yaitu berasal dari kotoran ayam dan

sapi. Pupuk kandang kotoran ayam didapat dari ternak yang

dikembangkan oleh petani Dusun Pagaden. Kotoran ini

mengandung unsur hara lengkap yang dibutuhkan tanaman.

Pupuk kandang mengandung unsur hara makro dan mikro.

Pemakaian kotoran sapi di desa ini bukan hanya

digunakan sebagai pupuk kandang saja, namun sebagai

pembuatan biogas. Letaknya berada di Dusun Ciluluk yang

dikembangkan oleh Kelompok Tani Pagaden. Kelompok Tani

Pagaden memiliki sepuluh ekor sapi yang diternakan untuk

dimanfaatkan kotorannya sebagai bahan biogas yang

ditempatkan di rumah-rumah warga. Namun, hasil ampas dari

biogas tersebut belum maksimal dimanfaatkan kembali untuk

pupuk kandang.

Pola tanam (kecocokan)

Curah hujan Kecamatan Jatinangor tahun 2009

Letak Dusun Pagaden yang berada di dataran medium

dengan udara yang tidak terlalu panas menyebabkan daerah

ini cocok untuk ditanam tanaman pangan. Karena daerah ini

didominasi oleh lahan kering yang hanya memanfaatkan air

hujan untuk pengairan, maka dalam satu tahun pola tanam

biasa dilakukan pada musim hujan saja. Ciri khas

pertanian di wilayah Desa Margajaya ini adalah pola tanam

jagung dengan sistem tumpang sari.

Tumpang sari yang biasa dilakukan yaitu :

a) Jagung – singkong

Gambar 4.2 Petani dengan lahan jagung dan singkong.

Jagung dan singkong ditanam di areal seluas 200 m2.

Jarak tanam pada pertanaman ini yaitu 60x60 cm2.

Berikut merupakan pola tanam dan kalender tanam

pertanaman tumpang sari jagung-singkong:

Gambar 4.3 Kalender Tanam Jagung – singkong:

JAN FEB MAR APR MEI JUN JU

L

AGU SE

P

OKT NOV DES

J. 1 J. 2 BERA J. 1S. 1 BERA S. 1

Keterangan :

J. 1 : Masa pertanaman jagung ke-1

J. 2 : Masa pertanaman jagung ke-2

S. 1: Masa pertanaman singkong ke-1

Gambar 4.4. Pola Tanam Jagung – singkong:

Keterangan:

X : Singkong

V : Jagung

Tumpang sari yang dilakukan oleh beberapa petani

diakukan hanya sekedar memanfaatkan lahan yang

berjarak, bukan dijadikan komoditas utama. Tanaman

singkong dijadikan tanaman tumpang sari karena

budidayanya yang mudah dan produktivitas yang banyak.

b) Jagung – singkong – kacang merah

Gambar 4.5 Lahan pertanman jagung-singkong-kacang

merah.

Pertanaman jagung – singkong – kacang merah yang

terdapat di salah satu areal Desa Margajaya biasa

ditanam di luas lahan sebesar 1 ha. Berikut merupakan

pola tanam dan kalender tanam pertanaman tumpang sari

jagung-singkong-kacang merah:

Gambar 4.6 Kalender Tanam Jagung – singkong:

JAN FEB MAR APR MEI JUN JU

L

AGU SE

P

OKT NOV DES

J. 1 J. 2 BERA J. 1KM. 1 KM. 2 BERA KM. 1

S. 1 BERA S. 1

Keterangan :

J. 1 : Masa pertanaman jagung ke-1

J. 2 : Masa pertanaman jagung ke-2

S. 1 : Masa pertanaman singkong ke-1

KM. 1 : Masa pertanaman kacang merah ke-1

KM. 2 : Masa pertanaman kacang merah ke-2

Gambar 4.7 Pola Tanam Jagung – singkong – kcang merah:

Pada penanaman jagung, dibutuhkan 2 benih/lubang tanam

sedangkan untuk kacang merah dibutuhkan 1 lbenih/lubang

tanam. Umur tanaman singkong adalah yang paling lama

yaitu 8 bulan, sedangkan jagung membutuhkan waktu 3,5

bulan, dan kacang merah sekitar 70 hari. Tanaman jagung

mengalami dua kali masa panen selama setahun. Setelah

memasuki musim kemarau, lahan diberakan karena tidak ada

pasokan pengairan.

Produktivitas

Total produksi jagung yang dihasikan di Desa

Margajaya rata-rata 200 kwintal/kg benih per luasan lahan

sebesar 1 ha. Pada kacang merah dihasilkan sebanyak

7,5kg/1 takaran.

Pemasaran

Hasil produksi jagung sebagian besar dijual ke

bandar untuk didistribusikan ke Jakarta dan Bandung.

Sedangkan pada singkong, produksi dikonsumsi oleh warga

sekitar dan langsung dibeli bandar penjual tape keliling

di sekitar Desa Mrgajaya.

Kendala

Masih banyaknya pemakaian bahan kimia pada pertanian di

Desa margajaya.

Kurangnya pengetahuan para petani mengenai pertanian

organik.

Tidak adanya kelompok tani khusus Desa Margajaya

sendiri.

Kurangnya penyuluhan ke petani di pelosok desa.

Adanya korupsi pada sistem di kelompok tani yaitu

mengomersilkan produk bantuan dari pemerintah.

Rangkuman Hasil Analisa

Tanaman jagung merupakan komoditas utama Dusun

Pagaden. Tanaman jagung ini ditanam monokultur dan

tumpang sari dengan singkong atau kacang merah. Karena

lahan di dusun ini merupaka lahan kering, maka petani di

dusun ini menggantungkan hidup dari pertaniannya hanya

pada saat musim penghujan saja karena lahan hanya diairi

selama musim penghujan saja dan pada saat musim kemarau

lahan diberakan. Dalam penanamannya, petani sudah banyak

yang menggunakan pupuk kandang sebagai input namun masih

dikombinasikan dengan pupuk kimia. Kurangnya pengetahuan

petani mengenai pertanian organik menjadi suatu kendala

dalam mencuptakan sistem pertanian berkelanjutan.

Sosialisasi mengenai pertanian berkelanjutan perlu

digalakan melalui berbagai penyuluhan di desa ini.

BAB V

RANCANGAN MODEL SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN (SPT) DI LOKASI

SURVEI

Rancangan Model Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPT) Di Dusun

Pagaden, Desa Margajaya (Netta Eka Safitri) komoditas padi

gogo lahan kering

Pola tanam yang diterapkan di Dusun Pagaden, Desa

Margajaya, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang pada

agroekosistem lahan kering dengan komoditas padi gogo adalah

padi-jagung-padi atau padi-jagung-bera. Luas lahan untuk lahan

kering padi gogo ini sekitar 200 tumbak dengan produktivitas

1,2 ton.

Penanaman padi dilakukan pada musim hujan yaitu sekitar

bulan desember sampai dengan maret lalu dilanjutkan dengan

penanaman jagung pada musim kemarau dan kemudian lahan kembali

diberakan atau ditanam kembali dengan padi. Penanaman sangat

tergantung dengan curah hujan yang tersedia.

Pengaturan pola tanam

Pola tanam yang diterapkan petani di Dusun Pagaden :

Rekomendasi :

Pada musim tanam pertama padi dapat ditanam karena

ketersediaan air pada musim hujan cukup berlimpah. Musim Tanam

kedua menanam jagung yang ditumpangsarikan dengan kacang tanah

untuk meningkatkan indeks pertanaman. Jagung termasuk tanaman

heavy feeders yaitu tanaman yang membutuhkan banyak unsur

nitrogen, sedangkan kacang tanah termasuk tanaman soil builders

yang dapat memasok unsur hara nitrogen untuk jagung. Pada

musim tanam ketiga dapat ditanam kembali dengan padi atau

dilakukan bera.

Penanaman padi dapat dilakukan dengan sistem tanam jajar

legowo. Penerapan sistem tanam jajar legowo karena adanya

keuntungan dan kelebihan yang lebih dibanding dengan sistem

tanam konvensional (tegel) diantaranya yaitu :

a. Adanya efek tanaman pinggir.

b. Sampai batas tertentu semakin tinggi populasi tanaman

semakin banyak jumlah malai persatuan luas sehingga

berpeluang menaikkan hasil panen.

c. Terdapat ruang kosong untuk pengaturan air, saluran

pengumpulan keong atau mina padi.

d. Pengendalian hama, penyakit dan gulma menjadi lebih mudah.

e. Dengan areal pertanaman yang lebih terbuka dapat menekan

hama dan penyakit.

f. Penggunaan pupuk lebih berdaya guna.

Pemanfaatan limbah bekas panen

jagung-kacang tanah

Pemupukan yang dilakukan oleh para petani di Dusun

Pagaden sebagian besar masih bergantung pada pupuk kimia,

walaupun penggunaan kompos sudah dilakukan namun hanya

sebagian kecil petani yang melakukannya. Pupuk kimia yang

sering digunakan adalah pupuk merek Ponska. Jerami bekas panen

biasanya dijual oleh para petani kepada para peternak,

seharusnya jerami bekas panen tersebut dapat digunakan kembali

sebagai bahan organic untuk pembenah tanah. Sekam dari hasil

panen pun bisa dimanfaatkan sebagai biochar.

Penggunaan benih varietas unggul

Para petani di Dusun Pagaden ini biasanya menggunakan

benih padi dari hasil penanaman pada musim sebelumnya, mereka

menggunakannya untuk dua sampai tiga kali penanaman. Padahal

seperti yang kita ketahui bahwa menanam dengan cara seperti

itu dapat menurunkan kualitas maupun kuantitas dari hasil padi

tersebut. Untuk itu, perlu dilakukannya penanaman benih unggul

yang bersertifikat yang sudah terjamin mutu serta kualitasnya

agar para petani dapat meningkatkan hasil produksi.

Penggunaan pestisida nabati dalam mengendalikan hama dan

penyakit

Para petani di Dusun tersebut masih menggunakan pestisida

sintetik dalam mengendalikan hama dan penyakit yang dapat

berdampak terjadinya pencemaran lingkungan dan jenuhnya tanah.

Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai penyuluhan dari

beberapa instansi terkait mengenai penggunaan pestisida

berbahan alami seperti sirsak, bawang putih, daun mimba dan

lain-lain yang juga efektif dalam mengendalikan berbagai hama

serta penyakit pada tanaman padi. Pestisida nabati juga lebih

ramah lingkungan dan pembuatannya cukup sederhana serta harga

yang relatif lebih murah.

Rancangan Model Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPT) Di Dusun

Pagaden, Desa Margajaya (Shania Al Syamsi) komoditas padi gogo

lahan kering

Lahan kering yang ada Dusun Pagaden, Desa Margajaya,

Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang sebagian besar

ditanami dengan tanaman jagung, baik monokultur maupun

tumpangsari. Sebagian lainnya ditanami tanaman tahunan dan

padi gogo atau gogo rancah. Pola pertanaman padi gogo di lahan

yang kami survei adalah padi-jagung-padi atau padi-jagung-

bera, tergantung pada curah hujan. Luas lahan untuk lahan

kering padi gogo ini sekitar 200 tumbak dengan produktivitas

6kg/tumbak atau 1,2 ton.

Penanaman padi dilakukan pada musim hujan atau setelah

hujan turun beberapa kali yaitu sekitar bulan desember sampai

dengan maret. Selanjutnya pada bulan april ditanam jagung

sampai bulan juli. Pada bulan agustus lahan kembali diberakan

atau ditanam kembali dengan padi apabila curah hujannya cukup.

Penanaman yang dilakukan sangat tergantung dengan curah hujan

yang tersedia.

1. Pengaturan Pola TanamPola tanam yang sudah diterapkan :

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov

PADI JAGUNG PADI/BERA

Rekomendasi Pola Tanam :

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov

Padi + JagungKacang

Tanah/Kedelai

Kacang Tunggak/

Kacang Hijau

Pengaturan pola tanam yang dapat menutup tanah sepanjang

tahun merupakan tindakan konservasi tanah secara vegetatif

yang cukup efektif. Penggunaan sisa tanaman sebagai mulsa

sangat dianjurkan karena selain dapat mengurangi penguapan air

dari tanah atau menghambat kontak fisik air hujan ke butiran

tanah, juga dapat menambah kandungan bahan organik tanah yang

merupakan kunci keberhasilan pengelolaan lahan kering untuk

jangka panjang. Bila sisa tanaman digunakan kembali sebagai

mulsa, hasil tanaman tahun berikut dapat meningkat dan dapat

menekan penurunan keseburan tanah. Tanaman kacang-kacangan

juga dapat menambah kandungan hara didalam tanah dan membuat

tanah menjadi gembur.

Pengaturan pola tanam yang dianjurkan adalah : pada awal

musim hujan ditanami padi gogo karena lebih banyak kebutuhan

airnya, kemudian diikuti oleh tanaman palawija yang lebih

tahan kering. Pelaksanaannya setiap musim tanam dapat

dilakukan dengan sistem monukultur maupun tumpang sari. Tujuan

dari pola tanam tumpang sari ini adalah efisiensi penggunaan

sumberdaya seperti hara tanaman, air dan tenaga kerja,

mempertahankan kesuburan tanah serta menurunkan popolasi hama

dan penyakit.

2. Pemanfaatan Benih Varietas Uggul Lokal

Bebih padi gogo yang digunakan di Dusun Pagaden merupakan

benih padi dari hasil penanaman pada musim sebelumnya, benih

digunakan dua sampai tiga musim penanaman. Penggunaan benih

varietas unggul seharusnya sudah tidak dapat dipisahkan dari

sistem produksi pertanian terutama tanaman pangan yang masih

menggunakan benih sebagai satu-satunya sumber perbanyakan

tanaman. Penggunaan varietas unggul memang secara nyata dapat

meningkatkan hasil panen, namun pada dasarnya varietas unggul

merupakan varietas yang memiliki respon tinggi terhadap dosis

pemupukan tinggi sehingga apabila dikembangkan pada daerah

yang menggunakan input luar tingkat yang rendah, maka resiko

kerugian hasil panen akan menjadi lebih tinggi dibandingkan

dengan varietas lokal.

Untuk menunjang pertanian berkelanjutan yang menggunakan

faktor-faktor penunjang produksi (pupuk dan pestisida) dalam

jumlah minimal, maka diperlukan suatu perbaikan sistem

pengadaan benih ditingkat petani menuju pada sistem benih

unggul lokal yang lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang

kurang menguntungkan. Oleh karena itu ditingkat petani perlu

diarahkan untuk dapat mengelola sumberdaya genetik yang

dimiliki (varietas unggul lokal) dengan sebaik-baiknya, baik

dalam hal konservasi varietas, penanganan, maupun penyimpanan

benih hingga benih siap digunakan.

Konservasi semacam ini sangat penting dilakukan sebagai

suatu pendekatan yang berorientasi pada petani dalam memasok

benih. Suatu pendekatan yang dapat diupayakan dalam

pengelolaan sumberdaya genetik adalah pembentukan unit-unit

suplai benih yang dibuat dengan cara membentuk unit-unit

pertanian kecil untuk memproduksi benih unggul yang cukup

memadai untuk kebutuhan lokal. Tentu saja para petani tersebut

memerlukan arahan dari unit-unit inspeksi benih terpusat. Jika

petani telah terbiasa dengan teknik tersebut, mereka dapat

mengambil alih perawatan penangkaran hingga akhirnya menjadi

yayasan benih yang bisa memenuhi kebutuhan sendiri. Pengadaan

benih dapat dilakukan pada tingkat desa dengan teknik-teknik

yang bersifat padat karya sehingga mengurangi biaya

transportasi, yang sekarang menjadi bagian utama yang

menentukan harga benih. Apabila sistem ini telah berjalan

dengan baik maka kebutuhan petani terhadap 4 (empat) tepat

benih ( tepat mutu, jumlah, waktu, dan harga) dapat terpenuhi.

3. Komplementari Hewan Ternak dan Tanaman Pangan

Integrasi sumber-sumber hewan ternak dan tumbuhan untuk

memperoleh output biomassa yang optimal dalam lingkungan

ekologi dan sosio-ekonomi tertentu harus menjadi tujuan dalam

sistem pertanian berkelanjutan. Interaksi yang sesuai diantara

komponen-komponen harus menghasilkan respon komplementari

(saling melengkapi) dan sinergetik sehingga dapat mendorong

peningkatan efisiensi produksi dan memperkuat viabilitas

ekonomi dari sistem pertanian yang terpadu.

Sistem produksi ternak herbivora yang dikombinasi dengan

lahan-lahan pertanian dapat disesuaikan dengan keadaan tanaman

pangan. Ternak tidak berkompetisi pada lahan yang sama.

Tanaman pangan adalah komponen utama dan ternak menjadi

komponen kedua. Ternak dapat digembalakan di pinggir atau pada

lahan yang belum ditanami dan pada lahan setelah pemanenan

hasil sehingga ternak dapat memanfaatkan limbah tanaman pangan

seperti gulma, rumput, semak dan hijauan pakan yang tumbuh

disekitar tempat tersebut. Sebaliknya ternak dapat

mengembalikan unsur hara dan memperbaiki struktur tanah

melalui urin dan fesesnya. Mott (1974) melaporkan bahwa dari

nitrogen tumbuhan dan mineral yang dimakan hewan di areal

penggembalaan, sekitar 75 – 95 persen nitrogen dan 90 – 95

persen mineral dikembalikan ke tanah. Contoh penerapan sistem

ini di Sumatra dilaporkan bahwa sumbangan ternak terhadap

total hasil usahataninya adalah sebanyak 17 persen, sedangkan

di Cina sebanyak 29 persen (Moningka, dkk., 1993).

4. Pengelolaan Hama Penyakit Terpadu

Petani di Dusun Pagaden pada umumnya menggunakan

pestisida sintetik, karena mereka menganggap bahwa dengan

penggunaan pestisida sintetik lebih ampuh untuk menangani

masalah serangan hama dan penyakit di lahan mereka. Tetapi

penggunaan zat kimia harus tepat dan bijaksana. Dalam konsep

pengendalian hama penyakit terpadu (PHT), penggunaan pestisida

ditujukan bukan untuk memberantas atau membunuh hama namun

lebih dititik beratkan untuk mengendalikan hama sehingga

berada di bawah ambang kendali.

Pengendalian hama terpadu adalah upaya mengendalikan

tingkat populasi atau tingkat serangan organisme terhadap

tanaman dengan menggunakan dua atau lebih teknik pengendalian

dalam satu kesatuan untuk mencegah atau mengurangi kerugian

secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup. Perlindungan

tanaman dilakukan melalui kegiatan pencegahan, pengendalian

dan eradikasi.

Konsep pengelolaan hama terpadu ini sangat sesuai dengan

konsep yang diusulkan oleh Peterson pada tahun 1973 yaitu : 1)

Secara terpadu memperhatikan semua hama penting, 2) Tidak

bertujuan untuk mendapatkan suatu keadaan yang bebas hama,

tetapi untuk mengendalikan populasi hama agar kerusakan yang

terjadi selalu di bawah ambang ekonomi, 3) Menggabungkan

berbagai cara yang kompatibel. Sesedikit mungkin memakai cara

buatan (kimia) tetapi lebih mementingkan penekanan hama oleh

faktor-faktor alami, 4) Selalu didasari oleh pertimbangan

ekologi.

Pengelolaan penyakit pada pertanian berkelanjutan harus

didasari dengan kesadaran akan lingkungan, dan kesadaran akan

biaya. Jika kerusakan berat sekali dan semua usaha yang

dilakukan tidak memberikan hasil, maka tanaman tersebut lebih

baik diganti.

DAFTAR PUSTAKA

Desa Margajaya Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang.

2014. BUKU SEJARAH DESA DAN APARATUR DESA MARGAJAYA .

Putra, Sasongko. 2013. PERENCANAAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI

KECAMATAN SELO. Diakses dari: http://eprints.undip.ac.id/,

pada tanggal 15 Desember 2014.

Suhartin. PEMASYARAKATAN PERTANIAN ORGANIK SEBAGAI UPAYA

PENGELOLAAN LINGKUNGAN DALAM PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN.

Diakses dari: http://staff.uny.ac.id/, pada tanggal 15

Desember 2014.

Mayrowani, Henny. 2010. OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA

AGROEKOSISTEM LAHAN KERING. Diakses dari:

http://pse.litbang.pertanian.go.id/, pada tanggal 15

Desember 2014.

Mohammad Toha, Husin. PENGEMBANGAN PADI GOGO MENGATASI RAWAN

PANGAN WILAYAH MARGINAL. Diakses dari

http://www.litbang.pertanian.go.id/ , pada 16 Desember 2014