rAJIN-rAJIN mEMBACA yA ☺ (HUKUM TAKLIFI)

20
MAKALAH USHUL FIQH HUKUM TAKLIFI DI SUSUN OLEH : Dedek Gunawan (Nim: 140205020) Misbahul Jannah (Nim: 140205028) Nurkaton (Nim: 140205026) Dosen Pembimbing : Sri Mulyani Binti Jailani,LC. MA FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITA ISLAM NEGERI AR-RANIRY BANDA ACEH 2014/2015

Transcript of rAJIN-rAJIN mEMBACA yA ☺ (HUKUM TAKLIFI)

MAKALAH USHUL FIQH

HUKUM TAKLIFI

DI SUSUN OLEH :

Dedek Gunawan (Nim: 140205020)

Misbahul Jannah (Nim: 140205028)

Nurkaton (Nim: 140205026)

Dosen Pembimbing :

Sri Mulyani Binti Jailani,LC. MA

FAKULTAS TARBIYAH

UNIVERSITA ISLAM NEGERI

AR-RANIRY

BANDA ACEH 2014/2015

KATA PENGANTAR

ه مسب يمه ٱلرنمح ٱلل ٱلرحه

Untaian Pujian hanya bagi Allah S.W.T. Tuhan sekalian alam. Lantunan

shalawat beriring salam senantiasa tak henti tertuju kepada penghulu nabi dan

rahmat bagi seluruh alam, Muhammad S.A.W. juga kepada keluarga, dan

sahabatnya, serta orang-orang yang selalu setia mengikutinya hingga akhir nanti.

Dalam penulisan makalah ini yang berjudul “HUKUM TAKLIFI”.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dengan segala kemampuan dan

pengetahuan yang penulis miliki. Namun penulis menyadari bahwa hasil penulisan

ini masih jauh dari kesempurnaannya baik di dalam isi, maupun penulisannya. Oleh

karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan adanya kritikan

dan saran dari berbagai pihak demi kesempurnaan penulisan makalah ini.

Selanjutnya pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan

ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Sri Mulyani Binti Jailani,

LC.MA, selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan saran

pada penulisan makalah ini.

Semoga dengan penulisan makalah ini, dapat memberikan manfaat dan

menambah wawasan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin

ya rabbal ‘alamin.

Banda Aceh, 8 November 2014

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang masalah ................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 1

1.3 Tujuan Pembahasan ....................................................................... 2

1.4 Manfaat Pembahasan ..................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................... 3

2.1 Pengertian Hukum Taklifi ............................................................. 3

2.2 Macam-Macam Hukum Taklifi ..................................................... 4

2.3 Problematika Hukum Taklifi ......................................................... 14

BAB III PENUTUP .................................................................................. 15

3.1 Kesimpulan .................................................................................... 15

3.2 Saran .............................................................................................. 16

DAFTAR KEPUSTAKAN ....................................................................... 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sebagai seorang mukmin, sudah seyogyanya kita mematuhi dan

melaksanakan segala yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Untuk melaksanakan perintah Allah tentunya kita harus mengetahui hukum-hukum

Islam terlebih dahulu, yaitu mengenal hukum islam secara garis besar. Sedangkan

lebih rincinya terbagi kepada beberapa bagian.

Namun, di era globalisasi dengan segala kemajuan teknologi dan ilmu

pengetahuan, hukum islam menghadapi problematika yang serius dan tantangan

yang lebih besar.

Dalam islam terdapat berbagai macam hukum, diantaranya adalah hukum

taklifi. Hukum taklifi adalah suatu hukum yang menuntut suatu pegerjaan dari

mukallaf, menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepada mukallaf antara

melakukan atau meninggalkannya. Begitu juga terdapat macam-macam hukum

taklifi. Makalah ini akan menjelaskan pengertian dari macam-macam hukum

tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut:

1. Apakah pengertian hukum taklifi?

2. Jelaskan macam-macam hukum taklifi?

3. Jelaskan problematika dalam hukum taklifi?

1.3 Tujuan Pembahasan

Adapun tujuan dari pembahasan ini adalah:

1. Mengetahui pengertian hukum taklifi.

2. Mengetahui macam-macam hukum taklifi.

3. Mengetahui problematika dalam hukum taklifi.

1.4 Manfaat Pembahasan

Manfaat yang diperoleh dari pembasan ini antara lain adalah:

1. Pembahasan ini diharapkan dapat memperluas wawasan keislaman bagi

penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

2. Dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan memberikan wawasan baru

bagi penulis.

3. Sebagai bukti penyelesaian dari tugas mata kuliah ushul fiqh.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Taklifi

Hukum taklifi adalah hukum yang menetapkan tuntutan terhadap mukallaf

untuk melakukan sesuatu, atau tuntutan terhadap mukallaf untuk meninggalkan

sesuatu atau membolehkan memilih antara melakukan atau meninggalkan sesuatu.

Hukum taklifi merupakan hukum Allah yang menuntut manusia untuk

melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau

meninggalkan.1

Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan

atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan. Hukum

taklifi berbentuk tuntutan atau pilihan.

Dari segi apa yang dituntut, taklifi terbagi dua, yaitu tuntutan untuk

memperbuat dan tuntutan untuk meninggalkan. Sedangkan dari segi bentuk

tuntutan juga terbagi kepada dua, yaitu tuntutan secara pasti dan tuntutan secara

tidak pasti. Adapun pilihan terletak antara memperbuat atau meninggalkan2.

Contoh firman Allah Q.S. al-Nur ayat 56 yang bersifat menuntut untuk melakukan

perbuatan:

وا هيم ق

وا ٱلصلوة وأ يعوا ٱلزكوة وءات طه

ول وأ لرس ون ٱ لكم ترح ٥٦لع“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Rasul, supaya kamu diberi

rahmat”.

1 Rachmat Syafe’i,MA. Ilmu Ushul Fiqih, (Pustaka Setia, Bandung, 2007). hlm.296 2 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana, Cet. I,

1997). hlm.310

Contoh firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat 188 yang bersifat menuntut meningalkan

perbuatan:

ول

أ كلوا

ه تأ نكم ب له مولكم بي ١٨٨ٱلبطه“Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan batil”.

Contoh firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat 187 yang bersifat memilih:

بوا وكوا و لكم ٱش يط حت يتبي ض ٱل بين ٱل يطه مه سوده ٱل

ن ٱل لفجره مه ١٨٧ٱ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,

yaitu fajar”.

2.2 Macam-Macam Hukum Taklifi

Seperti yang telah dijelaskan, istilah hukum dalam kajian Ushul Fiqh pada

dasarnya adalah teks ayat atau hadis hukum. Teks ayat hukum dan hadis hukum

yang berhubungan dengan hukum taklifi terbagi menjadi lima bentuk.

1) Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadis dalam bentuk perintah yang

mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yang

memerintahkan untuk melakukan shalat.

2) Nadb (anjuran untuk melakukan), yaitu ayat atau hadis yang

menganjukrkan untuk melakukan suatu perbuatan.

3) Tahrim (melarang), yaitu ayat atau hadis yang melarang secara pasti untuk

melakukan perbuatan.

4) Karahah (anjuran untuk tidak melakukan), yaitu ayat atau hadis yang

menganjurkan untuk meninggalkan suatu perbuatan atau tuntutan untuk

meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui

redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan

perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman.

Akibat dari tuntutan seperti ini disebut juga karahah. Karahah ini

merupakan kebalikan dari nadb.

5) Ibahah, yaitu ayat atau hadis yang memberi pilihan seseorang untuk

melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.

Ibahah yaitu khithab Allah yang bersifat fakultatif, mengandung pilihan

antara berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat dari khithab Allah

ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu

disebut mubah.

Misalnya, firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2 sebagai berikut:

٢ ٱصطادوا إوذا حللتم ف “Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibada haji, maka bolehlah

kamu berburu”.

Ayat ini juga menggunakan lafadz ‘amr (perintah) yang mengandung

ibahah (boleh), karena ada indikasi yang memalingkannya kepada hukum

boleh. Khithab seperti ini disebut ibahah, dan akibat dari khithab ini juga

disebut ibahah, sedangkan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut

mubah.3

Pembagian hukum taklifi di atas merupakan hukum dilihat sebagai dalil

hukum.4

Selanjutnya, pembagian hukum taklifi, istilah hukum digunakan kepada sifat

perbuatan mukallaf. Abdul Wahab Khallaf mengemukakan dari sisi hukum taklifi,

terbagi menjadi lima macam, yaitu :

A. Wajib (Ijab)

1) Pengertian Wajib

Wajib, yakni apabila tuntutan untuk mengerjakannya berbentuk suatu

keharusan (ilzam).5

3 Andewi Suhartini, Ushul Fiqh, (Jakarta, 2009). hlm. 42 4 Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta, 2005). hlm. 42 5 Muhammad Abu Zahrah, Ilmu Ushul al-Fiqh, hlm. 30-38

Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti. Secara terminologi,

seperti dikemukakan Abd. Al-Karim Zaidan, ahli hukum islam

berkebangsaan Irak, Wajib berarti :

Sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya

untuk dilaksanakan oleh orang mukallaf, dan apabila dilaksanakan akan

mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan

diancam dengan dosa. 6

Menurut istilah syara’, wajib adalah suatu perbuatan mukallaf yang

diperintahkan syari’ dengan perintah wajib, dengan ketentuan perintah itu

harus dilakukan sesuai dengan petunjuk kewajiban melakukannya. Seperti

jika dalam nash (lafas ayat hukum yang jelas) terdapat sighat perintah

sementara perintah itu menunjukkan kepada wajib untuk dilaksanakan

dengan konsekwensi jika di tinggalkan mendatangkan siksa, karena

adanya qariah dari syari’ah.

Karenanya, mengerjakan puasa adalah wajib karena bentuk perintah

puasa menunjukkan wajib.

Firman Allah:

هب عليكم ام كت ي ه لص ١٨٣ ٱ“…diwajibkan atas kamu berpuasa…” (Q.S. Al-Baqarah : 183).

Membayar mahar kepada isteri adalah wajib karena firman Allah :

تعتمفما ه ٱستم هه نهن ف ۦب جورنن اتونن مه

٢٤يضة فره أ“…Maka di antara isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri)

berikanlah maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban…”

(Q.S. An-Nisa :24).

6 Satria Effendi, Ushul Fiqh, hlm. 43

Selain itu, mengerjakan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan

ibadah haji, berbakti kepada kedua orang tua dan masih banyak perintah

lainnya yang diperintahkan dengan sighat perintah yang mutlak,

menunjukkan kewajiban melaksanakannya, juga ada dalil nash yang

menunjukkan adanya siksa bagi yang menolak jika syari’ memerintahkan

perbuatan dengan qarinah yang menunjukkan wajib, baik qarinah itu

berupa sighat perintah atau lainnya maka wajiblah pekerjaan itu.7

Misalanya, shalat fardu lima waktu dalam satu hari satu malam

hukumnya wajib dalam arti semestinya dilaksanakan, berdosa siapa yang

meninggalkannya. Hukum wajib shalat itu diketahui dari adanya perintah

dalam Al-Qur’an, di antaranya adalah surat Al-Ankabut 45 : 8

هنكم ئ

تون أ

هجال لأ تقطعون ٱلر هيل و فه نادهيكم ٱلسب ن تو

نكر وتأ ا ٱلم فم

ه ه ب قومه قالوا ۦ كن جوا ن

هل أ هناإ ذابه ٱئت هع ه ب ن ٱلل هن كنت مه هي إ ق ٢٩ ٱلصده“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al

Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari

(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat

Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang

lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

2) Pembagian Wajib

Wajib dibagi menjadi empat bagian berdasarkan ungkapan yang beraneka

ragam:

a. Dilihat dari segi waktu

Wajib dari segi waktu, melaksanakannya kewajiban itu terkadang

terikat dan juga tidak terikat waktu tertentu. Ada kewajiban dimana

syari’ menentukan waktunya harus dikerjakan pada waktu tertentu

7 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Da’wah Islamiah Syabab Al-Azhar, 1968

M), hlm. 176-177 8 Satria Effendi, Ushul Fiqh, hlm. 44

secara pasti. Misalnya shalat lima waktu. Dalam hal ini maka syari’

memberi batasan waktu pelaksanaannya. Seorang mukallaf yang

dengan sengaja mengakhiri shalat tanpa adanya udzur atau alasan akan

dianggap berdosa. Juga seperti bulan Ramadhan, tidak diwajibkan

berpuasa sebelum dan sesudah bulan Ramadhan. Dan masih banyak

kewajiban yang syari’ telah menentukan waktunya.

- Sedang wajib yang tidak terikat dengan waktu tertentu, yaitu

kewajiban dimana syari’ tidak menentukan waktu mengerjakannya

secara pasti. Misalnya kafarah seorang yang melanggar sumpah, maka

kewajiban menunaikannya tidak terikat oleh waktu. Karenanya, jika

pihak yang melanggar itu akan mengingkari (kufur), hal itu bisa

dilakukan setelah melanggar secara langsung.

- Wajib yang terikat waktu, jiika mukallaf melakukan secara tepat dan

sempurna, maka perbuatan itu disebut ada’. Dan jika mukallaf

mengerjakan secara tidak sempurna, kemudian mengulangi pada

waktu itu juga secara sempurna, maka perbuatan itu disebut sebagai

i’adah. Dan jika mukallaf mengerjakan setelah habis waktu yang

ditentukan, disebut qadha’.

b. Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan.9

Wajib dilihat dari segi ukuran diwajibkan terbagi menjadi dua yaitu :

- wajib al-muhaddad adalah suatu kewajiban yang ditentukan

ukurannya oleh syara' dengan ukuran tertentu. Misalnya, jumlah

harta yang wajib dizakatkan dan jumlah raka'at dalam shalat. Jumlah

dan ukuran ini tidak boleh diubah, ditambah, atau dikurangi.

- Wajib ghairu al-muhaddad adalah kewajiban yang tidak ditentukan

syara' ukuran dan jumlahnya, tetapi diserahkan kepada para ulama

dan pemimpin umat untuk menentukannya. Misalnya, penentuan

9 Satria Effendi, Ushul Fiqh, hlm. 45

hukuman dalam jarimah ta'zir (tindak pidana di luar hudud dan

qishash) yang diserahkan kepada para qadhi (hakim). Dalam

penentuan hukuman ini, para hakim harus berorientasi pada

tercapainya tujuan syara' dalam mensyari'atkan suatu hukuman dan

bersifat adil.

c. Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban.

Wajib dilihat dari segi orang yang dibebankan kewajiban

kepadanya terbagi menjadi dua yaitu :

- Wajib al-'aini adalah kewajiban yang ditujukan kepada setiap pribadi

orang mukallaf. Misalnya, kewajibab melaksanakan shalat bagi

setiap orang mukallaf.

- Wajib al-kifa'i adalah kewajiban yang ditujukan kepada seluruh

orang mukallaf, tetapi apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari

mereka, maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yang tidak

mengerjakannya tidak dituntut untuk melaksanakannya. Misalnya,

pelaksanaan shalat jenazah, melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar,

dan menjawab salam ketika berkumpul bersama orang banyak.

Akan tetapi, wajib al-kifa'i bisa berubah menjadi wajib al-'aini

apabila yang bertanggung jawab dalam kewajiban tersebut hanya satu

orang. Misalnya, menolong orang yang tenggelam di laut atau di sungai

merupakan wajib al-kifa'i, karena semua orang yang menyaksikannya

wajib menolongnya. Akan tetapi, jika dari sejumlah orang yang

menyaksikan peristiwa itu hanya satu orang yang pandai berenang,

maka wajib al-kifa'i yang dikenakan kepada sejumlah orang itu berubah

menjadi wajib al-'aini bagi orang yang pandai berenang tersebut.

d. Dilihat dari segi kandungan perintah.

Wajib al-mu'ayyan adalah kewajiban yang terkait dengan

sesuatu yang diperintahkan, seperti shalat, puasa, dan harga barang

dalam jual beli. Shalat dan puasa dikerjakan yang pada dirinya

adalah wajib, dan harga barang yang dibeli itu juga wajib ada dan

wajib diserahkan.

Wajib al-mukhayyar adalah suatu kewajiban tertentu yang

bisa dipilih orang mukallaf. Misalnya firman Allah dalam surat al-

Maidah: 89, mengemukakan bahwa kafarat sumpah itu terdiri atas,

memberi makan fakir miskin, memberi pakaian kepada mereka, atau

memerdekakan budak.

B. Mandub

1) Pengertian Mandub

Al-Mandub adalah perintah syari’ untuk dikerjakan mukallaf dengan

perintah yang tak pasti. Dengan kata lain, sighat perintah syari’ itu

tidak menunjukkan pengertian wajib, atau bersamaan dengan perintah

itu ada berbagai qorinah yang menunjukkan tidak wajib.10

Para ulama Ushul Fiqh membagi mandub menjadi 3 macam, antara lain:

a. Sunnah al-Mu'akkadah (sunah yang sangat dianjurkan)

Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan

apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa, tetapi yang

meninggalkannya mendapat celaan. Di antaranya adalah shalat-shalat

sunah sebelum dan sesudah mengerjakan shalat lima waktu (shalat

fardu'), seperti shalat sunah dua raka'at sebelum shubuh, dua raka'at

sebelum dan setelah Zhuhur, dan berkumur-kumur waktu berwudhu',

adzan, berjama'ah.

b. Sunnah ghairu al-Mu'akkadah (sunah biasa)

Yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala, apabila

ditinggalkan tidak berdosa dan tidak pula mendapat celaan dari syar'i,

10 Abdul Wahab Khallaf, ilmu ushul fiqh, (Kairo: Maktabah Da’wah Islamiah, 1968).

hlm.184.

seperti bersedekah, shalat sunnah dhuha dan puasa setiap hari Senin

dan Kamis. Pekerjaan seperti ini, menurut para ulama fiqh

disyari'atkan, tetapi tidak senantiasa dikerjakan Rasulullah SAW.

Sunah seperti ini disebut juga dengan istilah mushtahab atau nafilah.

c. Sunnah al-Za'idah (sunah yang bersifat tambahan)

Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan

Rasulullah SAW, sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan

apabila tidak dikerjakan tidak berdosa dan tidak pula dicela.

Pekerjaan-pekerjaan seperti ini adalah berupa sikap dan tindak-tanduk

Rasulullah SAW sebagai manusia biasa, seperti cara tidur, cara

makan, dan cara berpakaian. Apabila hal-hal seperti ini dilakukan

seorang muslim dengan niat mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah

SAW, maka disebut sunah Za'idah.

C. Haram

1) Pengertian Haram11

Al-Muharram atau hukum haram adalah tuntutan tegas syari’ untuk

ditinggalkan secara pasti. Maksudnya, sighat larangan itu sendiri

menunjukkan larang secara pasti.

Misalnya firman Allah:

همت م ٱدلم و ٱلميتة عليكم حر هزنهيره ول ٱل“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi”. (Q.S.

Al-Maidah: 3)

11 Abdul Wahab Khallaf, ilmu ushul fiqh, hlm. 188-189

2) Pembagian Haram

a. Haram Li Dzatihi

Yaitu suatu keharaman langsung dan sejak semula ditentukan Syar'i

tentang keharamannya. Misalnya memakan bangkai, babi, berjudi,

meminum minuman keras, berzina, membunuh dan memakan harta

anak yatim. Keharaman dalam contoh ini adalah keharaman pada zat

(esensi) pekerjaan itu sendiri. Akibatnya, apabila melakukan suat

transaksi dengan sesuatu yang haram li dzathihi ini, hukumnya menjadi

batal, dan tidak ada akibat hukumnya.

b. Haram Li Ghairihi

Yaitu sesuatu yang pada mulanya disyari'atkan, tetapi dibarengi oleh

sesuatu yang bersifat mudarat bagi manusia, maka keharamannya

adalah disebabkan adanya mudarat tersebut. Misalnya, melaksanakan

shalat dengan pakaian hasil ghashab (mengambil barang orang lain

tanpa izin), melakukan transaksi jual beli ketika suara adzan shalat

Jum'at telah berkumandang, pernikahan tahalal, puasa di Hari Raya Idul

Fitri.

D. Makruh

1) Pembagian Makruh

Ulama hanafiyyah membagi makruh dalam dua bentuk, yaitu:

a. Makruh Tanzil

Yaitu sesuatu yang dituntut Syar'i untuk ditinggalkan, tetapi dengan

tuntunan yang tidak pasti. Makruh tanzih dalam istilah ulama

hanafiyyah ini sama dengan pengertian makruh di kalangan Jumhur

Ulama. Misalnya, memakan daging kuda yang dikemukakan di atas.

b. Makruh Tahrim

Yaitu tuntutan Syar'i untuk meninggalkan suatu perbuatan dan

tuntutan itu melalui cara yang pasti, tetapi didasarkan kepada dalil

yang zhanni. Seperti larangan memakai sutera dan perhiasan emas

bagi kaum lelaki, sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah

SAW:

"Keduanya ini (emas dan sutera) haram bagi umatku yang laki=laki

dan halal bagi wanita". (H.R. Abu Daud, An-Nasai', Ibn Majah, dan

Ahmad Ibn Hanbal). 12

E. Mubah

1) Pengertian Mubah

Al-Mubah adalah suatu perbuatan yang syari’ memberikan pilihan

kepada mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan.

Karenanya syari’ tidak memerintah untuk melakukan dan tidak

memerintah untuk meninggalkan.13

2) Pembagian Mubah

Pembagian mubah menurut ulama Ushul Fiqh dilihat dari segi

keterkaitannya dengan mudarat dan manfaat, antara lain:

a. Mubah yang apabila dilakukan atau tidak dilakukan, tidak

mengandung mudarat, seperti makan, minum, berpakaian dan

berburu.

b. Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya,

sedangkan perbuatan ini sendiri pada dasarnya diharamkan. Mubah

seperti ini di antaranya, melakukan sesuatu dalam keadaan darurat

atau terpaksa, seperti makan daging babi, karena tidak ada makanan

lagi yang mesti dimakan dan apabila daging babi itu tidak dimakan,

12 Abdul Wahab Khallaf, ilmu ushul fiqh, (Kairo: Maktabah Da’wah Islamiah, 1968).

hlm.191. 13 Abdul Wahab Khallaf, ilmu ushul fiqh, (Kairo: Maktabah Da’wah Islamiah, 1968).

hlm.192.

maka seseorang akan meninggal dunia. Oleh sebab itu, dalam

kondisi seperti ini makan daging babi untuk sekedar

mempertahankan nyawa termasuk mubah. Atau sesuatu yang pada

dasarnya wajib dilaksanakan, tetapi karena darurat, maka boleh

ditinggalkan, seperti berbuka puasa bagi orang hamil, musafir dan

ibu yang menyusui anaknya.14

2.3 Problematika Hukum Taklifi

Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum islam, sebagian masih

bersifat umum atau global yang memuat prinsip-prinsip dasar dan pesan-pesan

moral.15

Dalam sejarah perkembangan hukum islam, para ulama dalam melakukan

interpretasi terhadap teks-teks nash atau menetapkan hukum dari masalah baru

yang muncul, banyak terjadi perbedaan cara pandang. Perbedaan tersebut bukan

semata-mata berbeda dalam memahami teks nash, tetapi juga karena perbedaan

kondisi dan situasi lingkungan yang mengitari kehidupan mereka.16

Berbagai permasalahan hukum yang muncul dan berkembang saat ini

adalah akibat dari dinamika masyarakat. Bagi masyarakat yang hidup sekarang

dan dimasa yang akan datang sangat mungkin berhadapan dengan masalah baru

yang belum pernah dijumpai pemecahannya dimasa generasi sebelumnya.

Begitu pula kebijakan atau ketetapan hukum yang dianggap tepat pada masanya,

belum tentu relevan untuk kondisi sekarang dan masa yang akan datang. Oleh

karena itu, muncullah problematika dalam pemecahan persoalan tersebut.17

14 Abdul Wahab Khallaf, ilmu ushul fiqh, (Kairo: Maktabah Da’wah Islamiah, 1968).

hlm.193. 15 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Kairo: Maktabah Da’wah Islamiah, 1968).

hlm.22-23. 16 Yusuf Qardawi, Al-Ijtihad Fi Al-Syari’ah Al-Islamiah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987).

hlm.126-127. 17 Mukhsin Nyak Umar, Kaidah Fiqhiyyah dan Permbaruan Hukum Islam, (Banda Aceh:

Yayasan Pena, 2005). Hlm.26.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf,

atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara

melakukan dan meninggalkannya.

Macam-macam hukum taklifi menurut Jumhur ulama Ushul Fiqh: Ijab,

Nadb, Ibahah, Karahah, Tahrim.

2. Pembagian Hukum Taklifi

1) Wajib

a. Dilihat dari segi waktu, yaitu wajib al-muthlaq dan wajib al-mu’aqqat.

b. Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan, yaitu wajib al-muhaddad dan

wajib ghairu al-muhaddad.

c. Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, yaitu wajib al-‘aini dan

wajib al-kifa’i.

d. Dilihat dari segi kandungan perintah, yaitu wajib al-mu’ayyan dan wajib

al-mukhayyar.

2) Mandub

1) Sunah al-Mu’akkadah (sunah yang sangat dianjurkan).

2) Sunah ghairu al-Mu’akkadah (sunah biasa).

3) Haram

1) Haram li dzatihi.

2) Haram li ghairihi.

4) Makruh

1) Makruh tanzih.

2) Makruh tahrim.

5) Mubah.

3. Problematika Hukum Taklifi

Problematika hukum taklifi yaitu, permasalahan yang muncul di lingkungan

kita (manusia) yang berkenaan dengan hukum taklifi. Sehingga dapat

diambil penyelesaiannya dengan hukum taklifi.

3.2 Saran

Sebagai umat beragama islam yang membutuhkan asupan sebagai

penerangan dari apa dan bagaimana seharusnya kita bersikap menurut islam

itu sebenar-benarnya, yang didalamnya terkandung perintah serta peringatan

ALLAH akan hal yang harus kita kerjakan atau kita tinggalkan.

Maka dari itu akan lebih baik bila kita mendalami ilmu-ilmu hukum

dalam islam, seperti hukum taklifi. Sehingga menjadikan kita sebagai umat

bergama yang bersikap dan berkelakuan selaras dengan apa yang kita

harapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Rahmat. 2010. IlmuUshulFiqihcet.IV. Bandung: CV PustakaSetia.

Haroen, Nasrun. 1996. UshulFiqih 1 (Jakarta: Logos)

Rachmat Syafe’i,MA. Ilmu Ushul Fiqih (Pustaka Setia, Bandung, 2007)

Andewi Suhartini, Ushul Fiqh (Jakarta, 2009)

Satria Effendi, M.zein, M.A, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005)

Muhammad Abu Zahrah, Ilmu Ushul al-Fiqh

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Da’wah Islamiah Syabab Al-

Azhar, 1968 M)

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana, Cet. I, 1997).

Yusuf Qardawi, Al-Ijtihad Fi Al-Syari’ah Al-Islamiah, (Jakarta: Bulan Bintang,

1987).

Mukhsin Nyak Umar, Kaidah Fiqhiyyah dan Permbaruan Hukum Islam,

(Banda Aceh: Yayasan Pena, 2005).