Proposal Penelitian Wahyu Puji Astuti

52
PROPOSAL PENELITIAN PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI PADA REMAJA DITINJAU BERDASARKAN POLA KELEKATAN Diajukan sebagai Ujian Akhir Semester (UAS) pada mata kuliah Seminar Usulan Penelitian Oleh: Wahyu Puji Astuti 1602010059 FAKULTAS PSIKOLOGI

Transcript of Proposal Penelitian Wahyu Puji Astuti

PROPOSAL PENELITIAN

PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI PADA REMAJA DITINJAU

BERDASARKAN POLA KELEKATAN

Diajukan sebagai

Ujian Akhir Semester (UAS) pada mata kuliah

Seminar Usulan Penelitian

Oleh:

Wahyu Puji Astuti

1602010059

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS YARSI

JAKARTA

2014

KATA PENGANTAR

Salam,

Puji syukur ataskehadirat Allah swt atas rahmat-Nya

penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal penelitian

yang berjudul “PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI REMAJA DITINJAU DARI

POLA KELEKATAN”.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

2. Orang tua yang telah membantu dan memberikan motivasi

sehingga tugas ini selesai.

3. Ibu Ratih Arrum Listiyadini selaku dosen pembimbing yang

telah membimbing dan memberikan petunjuk serta mengatasai

berbagai kesulitan sehingga penulis dapat meyelesaikan

makalah ini dengan baik.

4. Teman-teman yang telah membantu serta memberikan semangat

dalam pengerjaan makalah ini.

Dalam penyusunanproposal penelitian ini penulis merasa masih

banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,

mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu

kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi

penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Semoga proposal penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi

sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya

bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai,

Amiin.

Salam,

Jakarta, Januari 2014

PenulisWahyu Puji Astuti

DAFTAR ISI

KATA PENGANTARDAFTAR ISIBab 1 PENDAHULUAN............................................1 1.1 Latar Belakang.......................................11.2 Pertanyaan Penelitian..................................41.3Tujuan Penelitian........................................41.4 Manfaat Penelitian.....................................41.5 Sistematika Penulisan.................................51.6 Kerangka Berpikir......................................6

Bab 2 Tinjauan Pustaka.......................................7 2.1 Remaja...............................................7 2.1.1 Pengertian Remaja.............................7

2.1.2 Tugas Perkembangan Remaja ....................8 2.2 Kecerdasan Emosi.....................................9 2.2.1 Pengertian Kecerdasan Emosi..................9 2.2.2 Aspek Kecerdasan Emosi......................10 2.2.3 Faktor-faktor Kecerdasan Emosi..............11 2.2.4 Manfaat Kecerdasan Emosi....................13 2.2.5 Pengukuran Kecerdasan Emosi.................14 2.3 Pola Kelekatan......................................15 2.3.1 Pengertian Pola Kelekatan...................15 2.3.2. Aspek Pola Kelekatan.......................15 2.3.3 Jenis Pola Kelekatan........................16Bab 3 Metode Penelitian.....................................19 3.1 Pendekatan Penelitian................................193.2 Rancangan Penelitian....................................193.3 Identifikasi Variabel Penelitian........................19 3.4 Definisi Variabel Penelitian.........................19 3.5 Partisipan Penelitian................................20 3.6 Teknik Pengambilan Sampel........................21 3.7 Lokasi Penelitian................................21 3.8 Instrumen Penelitian.............................21 3.9 Metode Analisis Data.............................27 3.10 Hipotesis Penelitian............................28 3.11 Prosedur Penelitian.............................29DAFTAR PUSTAKA..............................................30

Perbedaan Kecerdasan Emosipada Remaja Ditinjau dari Pola

KelekatanBAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangMasa remaja merupakan masa yang sangat penting dalam

rentang kehidupan manusia (Alhamhari & Fakhrurrozi,

2009). Pada masa ini remaja mengalami masa perkembangan

transisisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang

melibatkan pada perubahan besar meliputi aspek fisik,

kognitif maupun psikis (Papalia, Olds dan Feldman, 2009).

Sejalan dengan perubahan yang terjadi pada remaja,

mereka juga dihadapkan pada tugas-tugas perkembangan yang

berbeda dari tugas pada masa kanak-kanak (Retnowati,

2001). Bagi remaja, berinteraksi dengan lingkungan

sosialnya adalah salah satu tugas perkembangan yang harus

dipenuhi (Khodijah, 2013). Selain itu, menurut William

Kay (dalam Jahja, 2011) memaparkan beberapa tugas

perkembangan remaja diantaranya yaitu mengembangkan

keterampilan komunikasi interpersonal dan bergaul dengan

teman sebaya atau orang lain baik secara individual

maupun kelompok, mencapai kemandirian emosional dari

orangtua serta figur otoritas serta mampu meninggalkan

reaksi dan penyesuaian diri dari sikap maupun perilaku

pada masa kanak-kanak.

Pada saat menjalani proses perkembangan, tidak semua

remaja dapat memenuhi tugas perkembangannya (Khodijah,

2013). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sulistiana

tahun 2010 pada siswa SMP Negeri Juwana menunjukkan bahwa

siswa kurang terampil dalam menjalin hubungan pertemanan,

kurang dapat menunjukkan komunikasi yang baik antar

pribadi serta masalah perilaku dalam membina hubungan

yang baik dengan orang lain. Selain itu hasil survei yang

pernah dilakukan terhadap orangtua dan guru

memperlihatkan kecenderungan yang sama yaitu generasi

saat ini menunjukkan lebih banyak mengalami kesulitan

emosi dibandingkan generasi sebelumnya seperti merasa

kesepian, mudah cemas, kurang menghargai sopan santun,

pemurung, lebih gugup, lebih impulsif dan agresif

(Goleman, 2000 dalam Hermasanti, 2009). Selain itu

dilaporkan bahwa 1 dari 12 remaja memiliki kecenderungan

untuk melakukan tindakan menyakiti diri sendiri

(okezone.com tahun 2011). Kasus lain mengenai tindakan

yang dilakukan remaja berdasarkan laporan yang diperoleh

dari (detiknews.com tahun 2012) yaitu dalam tiga bulan

terakhir di tahun 2012 terdapat 5 orang remaja terlibat

dalam kasus pembunuhan sadis. Berdasarkan pada fenomena

yang dipaparkan menunjukkan bahwa remaja saat ini gagal

mengelola hubungan dan interaksinya dengan lingkungan

sekitar serta gagal dalam mengelola dan mengendalikan

emosi pribadi yang dimiliki oleh dirinya.

Hal ini diperparah dengan kondisi kehidupan masa

kini yang sangat kompleks dan masalah-masalah yang

menyebabkan ketidakstabilan emosi (Nuraini, 2011).

Pendapat serupa diajukan oleh Sears, dkk. (dalam

Dayaksini, 2003 dalam Hermasanti 2009) bahwa kondisi

lingkungan selalu berubah setiap saat, oleh karenanya

remaja dituntut untuk dapat membina dan menyesuaikan diri

dengan bentuk hubungan yang baru dalam berbagai situasi,

sesuai dengan peran yang dibawakannya.

Hermasanti (2009) mengatakan bahwa agar remaja dapat

melewati masa storm and stress dengan baik, dapat bertahan

dalam kehidupan bermasyarakat dengan menjadi anggota

masyarakat yang memiliki kemampuan bersosialisasi,

mengembangkan diri, serta dapat memenuhi tuntutan

masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang

baru, remaja hendaknya memiliki kecerdasan emosi.

Beberapa penelitian telah menunjukkan pentingnya

seseorang memiliki kecerdasan emosional. Hasil penelitian

Gottman (1997) menunjukkan fakta bahwa pentingnya

kecerdasan emosional dalam berbagai aspek kehidupan.

Penelitian yang dilakukan oleh Reni (2008) menunjukkan

hasil bahwa remaja yang memiliki kecerdasan emosi rendah

akan cenderung mengalami depresi.

Goleman (2009) mengatakan bahwa kecerdasan emosi

adalah suatu kemampuan dalam diri yang mengarah pada

upaya untuk mengenali, memahami dan mewujudkan emosi

dalam porsi yang tepat dan upaya untuk mengelola emosi

agar terkendali dan dapat memanfaatkan untuk memecahkan

masalah kehidupan terutama terkait dengan hubungan antar

manusia. Kecerdasan emosi pada remaja tidak muncul dengan

sendirinya. Kemampuan tersebut diperoleh remaja dari

proses interaksi sosial antara diri dan lingkungannya

(Hermasanti, 2009).

Goleman (2009) mengatakan bahwa salah satu faktor

yang mempengaruhi kecerdasan emosi adalah lingkungan

keluarga. Keluarga merupakan sekolah pertama dalam

mempelajari emosi dan hal ini dapat berkembang hingga

individu beranjak dewasa. Pendapat serupa dinyatakan oleh

Hamarta, Deniz, dan Saltali (2009) bahwa pengalaman pada

masa kanak-kanak memiliki dampak yang kuat pada

kecerdasan emosi seseorang.

Lestari (1997) menyatakan bahwa keluarga terutama

orang tua yang merupakan figur sentral mempunyai peranan

penting dalam perkembangan remaja, karena dasar hubungan

pribadi remaja diperoleh pertama kali dalam hubungannya

dengan orang tua. Lestari (1997) juga menyebutkan bahwa

kelekatan pada orang tua menjadi suatu langkah awal dalam

proses perkembangan kecerdasan emosi remaja, karena orang

tua menjadi orang terdekat remaja untukberinteraksi dan

memiliki jalinan emosi sebelum remaja menjalin interaksi

dengan orang lain. Selama dekade terakhir dinyatakan

bahwa pola kelekatan antara anak dan orangtua memiliki

hubungan dengan kemampuan individu dalam kecerdasan

emosinya (Collins, 1996, Kobak dan Sceery, 1988,

Mikulincer dan Florian 2001, Rholes, Simpson dan Stevens,

1998 dalam Hamarta et al, 2009).

Menurut Bowlby (dalam Hermasanti, 2009) terdapat

tiga pola kelekatan yang terdapat antara orangtua dan

anak yaitu: pola kelekatan aman (secure), pola kelekatan

cemas (anxious) serta pola kelekatan ambivalen. Kelekatan

aman (secure attachment) adalah bentuk kelekatan dimana ibu

bersikap hangat & responsif terhadap stimulus yang

diberikan oleh anak. Kelekatan cemas (Anxious Attachment)

adalah kelekatan dimana orangtua cenderung menolak dan

menghindar dalam merespon stimulus yang diberikan oleh

anak. Kelekatan ambivalen adalah bentuk kelekatan yang

terjadi ketika orangtua merespon secara tidak pasti

stimulus yang diberikan oleh anak. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Yessy (dalam Hermasanti, 2009)

ditemukan terdapat perbedaan yang bermakna dalam

kemampuan menjalin relasi pertemanan antara remaja yang

memiliki pola secure attachment dengan pola attachment yang

lain. Remaja yang memilikipola secure attachment memiliki

kemampuan menjalin relasi, memperhatikan kepentingan

orang lain, dan mengembangkan hubungan pertemanan yang

positif, mengutarakan pikiran yang jujur dan jelas tanpa

merugikan orang lain, sehingga membuat remaja menjadi

teman yang diinginkan.

Penelitian lain menunjukkan bahwa individu yang

memiliki pola avoidant attachment cenderung menerima dan

terlibat dalam pergaulan bebas (Feeney, J., Noller, dan

Patty 1993 dalam Asyava, 2011). Selain itu, mereka

cenderung memiliki kesulitan untuk membina hubungan dekat

(Asyava, 2011).

Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Hermasanti

(2009) mengenai pengaruh pola kelekatan dengan kecerdasan

emosi remaja menunjukkan hasil bahwa pola kelekatan

menyumbang pengaruh pada kecerdasan emosi remaja sebanyak

1,3%. Pada penelitian tersebut Hermasanti memaparkan

secara umum pengaruh pola kelekatan terhadap kecerdasan

emosi. Adapun keterbatasan yang ditemukan dalam

penelitian Hermasanti yaitu pada penelitian tersebut

tidak mengungkapkan secara spesifik hubungan dari tiap

pola kelekatan dengan kecerdasan emosi pada remaja. Hal

ini merupakan kesempatan bagi peneliti untuk dapat

mengembangkan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya

dengan menemukan lebih dalam perbedaan kecerdasan emosi

dari tiap-tiap pola kelekatan antara anak dengan

orangtua.

Berdasarkan pada pemaparan di atas, dapat diambil

kesimpulan bahwa kelekatan dengan orangtua dapat

memberikan pelajaran pada remaja mengenai interaksi

sosial antara diri dengan lingkungannya serta dapat

mengembangkan kemampuan remaja dalam hal kecerdasan emosi

maka penulis tertarik untuk meneliti”Perbedaan Kecerdasan

Emosi pada Remaja ditinjau dari Pola Kelekatan”.

1.2 Pertanyaan PenelitianPertanyaan penelitian dari penelitian ini adalah

“Apakah ada perbedaan kecerdasan emosi pada remaja

ditinjau berdasarkan pola kelekatan?”

1.3 Tujuan PenelitianTujuan dari penelitian ini adalah melihat perbedaan

kecerdasan emosi pada remaja yang dilihat berdasarkan

pola kelekatan yang dialami oleh remaja.

1.4 Manfaat Penelitian1.4.1Manfaat Teoritis

a) Dapat menjadi sumbangan pemikiran untuk

melakukan kajian serta diskusi mengenai tema

pola kelekatan dalam kaitannya dengan

kecerdasan emosi remaja.

b) Penelitian ini diharapkan dapat membantu

memberikan kontribusi pemikiran serta bahan

rujukan untuk penelitian selanjutnya terkait

tema serupa.

c) Dapat menjadi salah satu sumbangan pengetahuan

dalam ilmu psikologi khususnya dalam ranah

psikologi perkembangan serta psikologi

kepribadian.

1.4.2Manfaat Praktis

a) Dapat memberikan informasi kepada orangtua

mengenai jenis pola kelekatan yang dapat

membantu mengembangkan kecerdasan emosi pada

remaja.

b) Dapat menjadi bahan masukan dan rujukan untuk

pembuatan program yang dapat meningkatkan

kecerdasan emosi remaja terkait pola kelekatan

remaja dengan orangtua.

1.5 Sistematika PenulisanAdapun sistematika penulisan proposal penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan

Pada bab ini penulis akan menyampaikan mengenai

latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian yang akan

dilaksanakan, sistematika penulisan serta kerangka

berpikir dari penelitian yang akan dilakukan.

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Pada bab ini berisi mengenai landasan teori yang

akan digunakan berkaitan dengan masalah penelitian

yang akan diteliti, meliputi teori kelekatan, jenis-

jenis pola kelekatan, kecerdasan emosi, serta teori

tentang remaja.

Bab 3 Metodologi Penelitian

Pada bab ini penulis menjelaskan tentang metode

penelitian yang digunakan, hipotesa penelitian,

karakteristik sampel, instrumen penelitian, teknik

uji analisis data serta prosedur penelitian.

1.6 Kerangka Berpikir

KecerdasanEmosi

REMAJA

Pola Kelekatan(Secure,Avoidant,

Tugas PerkembanganRemaja

Deskripsi:

Masa remaja merupakan salah satu masa

terpenting dalam rentang kehidupan manusia. Pada masa

remaja individu dihadapkan pada beberapa tugas

perkembangan remaja. Pemenuhan tugas perkembangan pada

remaja didukung pada kompetensi yang dimiliki oleh

remaja itu sendiri, salah satunya yaitu kecerdasan emosi.

Kecerdasan emosi merupakan serangkaian kemampuan individu

untuk dapat mengelola emosi, melakukan empati, serta

melakukan interaksi dengan lingkungan secara tepat. Salah

satu faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi adalah

lingkungan keluarga. Keluarga terutama orangtua merupakan

sekolah pertama bagi individu untuk mempelajari emosi.

Peneliti menduga bahwa kelekatan dengan orangtua dapat

menjadi salah satu faktor yang membantu mengembangkan

kecerdasan emosi pada remaja.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Remaja2.1.1 Pengertian Remaja

Kata remaja berasal dari bahasa latin yaitu

adolesence yang berarti to grow atau togo maturity

(Golinko, 1984 dalam Jahja, 2011). Beberapa ahli

mencoba mendefinisikan remaja. Masa remaja merupakan

masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa

dewasa yang didalamnya terjadi banyak perubahan

besar (Kartono, 1995 dalam Nur & Ekasari, 2008).

Menurut WHO seseorang dikatakan remaja apabila telah

mencapai usia 10 tahun dan masa ini berakhir pada

usia 18 tahun. Pendapat lain diajukan oleh Pappalia,

Olds & Feldman (2009) yaitu masa remaja berlangsung

sejak usia 10 atau 11 tahun hingga usia dua puluhan

awal. Sementara Jahja (2011) mengungkapkan bahwa

masa remaja dimulai saat datangnya pubertas pada

usia 11 hingga 14 tahun dan berakhir pada usia 18

tahun.

Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (2001) dalam

bukunya yang berjudul Psikologi Remaja menjelaskan

bahwa batasan usia remaja yaitu usia 11 sampai 24

tahun dan belum menikah untuk remaja di Indonesia.

Hal ini karena pada usia 11 tahun merupakan usia

dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder

sudah mulai nampak. Selain itu menurut masyarakat

Indonesia usia 11 tahun sudah dianggap akil baligh

baik secara adat maupun agama. Secara psikologis

pada usia tersebut individu mulai pada tahap

penyempurnaan jiwa seperti tercapainya identitas

diri menurut Erik Erikson, tercapainya fase genital

perkembangan psikoseksual Freud dan puncak

perkembangan kognitif menurut Piaget serta

perkembangan moral menurut Kohlberg. Batas usia 24

tahun merupakan batas usia maksimal yaitu untuk

memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia

tersebut masih menggantungkan diri pada orangtua

serta belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang

dewasa. Individu yang berada pada batas usia 24

tahun yang belum dapat memenuhi persyaratan

kedewasaan secara sosial & psikologis masih dapat

digolongkan sebagai remaja. Status pernikahan juga

dianggap penting untuk membatasi usia remaja karena

seseorang yang sudah menikah dianggap dan di

perlakukan sebagai seorang dewasa penuh secara hukum

maupun sosial. Oleh karena itu definisi remaja

dibatasi khusus bagi yang belum menikah.

Batasan usia remaja yang akan digunakan pada

penelitian ini yaitu usia 11 hingga 18 tahun sesuai

dengan batasan usia remaja yang diungkapkan oleh

Jahja. Hal ini karena pada usia 11 tahun individu

sudah menunjukkan pubertas yaitu munculnya tanda-

tanda kelamin sekunder dan mulai berfungsinya

kelamin primer baik pada wanita maupun pria. Sejalan

dengan batasan tersebut usia 18 tahun dianggap

sebagai usia yang matang secara hukum (Jahja, 2011).

2.1.2 Tugas Perkembangan Remaja

Salah satu periode penting dalam rentang

kehidupan individu adalah masa remaja (Alhamhari &

Fakhrurrozi, 2009). Pada masa ini individu dapat

diarahkan kepada perkembangan masa dewasa yang sehat

(Jahja, 2011). William Kay (dalam Jahja, 2011)

mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja sebagai

berikut:

1. Menerima fisiknya sendiri serta keragaman

kualitasnya

2. Mencapai kemandirian emosional dari figur

otoritas

3. Mengembangkan ketrampilan komunikasi

interpersonal

4. Menemukan manusia model yang dijadikan

identitasnya

5. Menerima dirinya sendiri dan memiliki

kepercayaan terhadap kemampuan dirinya

6. Memperkuat self control (kemampuan mengendalikan

diri) atas dasar nilai-nilai, prinsip-prinsip

dan falsafah hidup.

7. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian

diri kekanak-kanakan.

Sementara itu menurut Hurlock (1991) terdapat

beberapa tugas perkembangan remaja diantaranya yaitu

mampu menerima keadaan fisiknya, mampu menerima dan

memahami peran seks usia dewasa, mampu membina

hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan

jenis, mencapai kemandirian emosional, mencapai

kemandirian ekonomi, mengembangkan konsep dan

keterampilan intelektual yang sangat diperlukan

untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat,

memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang

dewasa dan orang tua, mengembangkan perilaku

tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki

dunia dewasa, mempersiapkan diri untuk memasuki

perkawinan, memahami dan mempersiapkan berbagai

tanggung jawab kehidupan keluarga.

Berdasarkan pada tugas perkembangan remaja yang

telah dipaparkan oleh para ahli maka dapat di

kelompokkan menjadi tiga wilayah tugas perkembangan

remaja yaitu tugas perkembangan fisik, tugas

perkembangan kognitif, dan tugas perkembangan

psikososial. Pada penelitian ini peneliti akan

memfokuskan pada tugas perkembangan remaja secara

psikososial khususnya yang berkaitan dengan

kemampuan diri dalam mencapai kemandirian emosi,

menjalin hubungan sosial yang baik pada lingkungan

sekitarnya yang membutuhkan suatu ketrampilan dalam

hal kecerdasan emosi.

2.2 Kecerdasan Emosi 2.2.1 Pengertian Kecerdasan Emosi

Istilah kecerdasan emosi pertama kali

dikenalkan oleh Peter Salovey & John Mayer tahun

1990 (Hermasanti, 2009). Salovey & Mayer (dalam

Hermasanti, 2009) mengatakan bahwa kecerdasan emosi

diartikan sebagai kemampuan untuk mengenali

perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk

membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya,

serta mengendalikan perasaan secara mendalam

sehingga membantu perkembangan emosi dan

intelektual.

Kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan,

memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan

kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi,

koneksi, dan pengaruh yang manusiawi (Ervika, 2008).

Selanjutnya pendapat serupa diajukan oleh Goleman

(1998) bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan yang

dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan

dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi, dan

menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa

sehingga dapat menempatkan emosinya pada porsi yang

tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

Selanjutnya Howes dan Herald (dalam Mu’tadin, 2002)

mengemukakan kecerdasan emosi sebagai komponen yang

membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi.

Berdasarkan pengertian diatas mengenai

kecerdasan emosi maka dapat disimpulkan bahwa

kecerdasan emosi merupakan serangkaian kemampuan

yang dimiliki oleh individu untuk dapat mengenali,

memahami dan menggunakan emosi dalam porsi yang

tepat agar dapat berfungsi secara efektif dalam

kehidupan serta hubungannya dengan lingkungan.

2.2.2 Aspek Kecerdasan Emosi

Goleman (2000) mengungkapkan beberapa komponen

dalam kecerdasan emosi yaitu:

1. Mengenali emosi diri (Self Awareness)

Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu

perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan

emosional. Ketidakmampuan untuk mencermati

perasaan yang sesungguhnya membuat individu berada

dalam kekuasaan perasaan.Orang-orang yang memiliki

keyakinan lebih tentang perasaannya dapat

mengarahkan kehidupannya dengan lebih baik.

Individu tersebut memiliki pengertian dan merasa

mantap dalam mengambil keputusan terhadap

kehidupan pribadinya.

2. Mengelola Emosi atau pengendalian diri (Self

Regulation)

Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar

perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini

merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada

kesadaran diri. Mengelola perasaan secara tepat

merupakan kemampuan yang diperlukan untuk

mengendalikan diri. Orang-orang yang kurang dalam

kemampuan ini terus menerus berada dalam perasaan

menderita,sedangkan mereka yang dapat mengatasinya

dapat merasa segar kembali jauh dari kemunduran

dan ganggguan dalam kehidupan.

3. Memotivasi Diri (Motivating Ownself)

Mengatur emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan

adalah hal yang mendasar untuk dapat memberikan

perhatian, memotivasi diri dan menguasai diri,

serta mengembangkan kreativitas. Orang-orang

yangmemiliki ketrampilan ini cenderung lebih

produktif dan efektif dalammelakukan berbagai

aktivitas. Kemampuan memotivasi diri yang dimiliki

individu akan mendorongnya untuk cenderung

memiliki pandangan yang positif dalam menilai

segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.

4. Mengenali Emosi Orang Lain (Emphaty)

Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun

berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang

terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan

bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang

lain.

5. Membina Hubungan atau Keterampilan Sosial (Social

Skills)

Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan

ketrampilan mengelola emosi orang lain. Orang-

orang yang unggul dalam ketrampilan ini dapat

melakukan segala sesuatu dengan baik. Mereka dapat

melakukan interaksi dengan orang lain dengan

lancar dalam pergaulan sosial. Maka dapat

dikatakan bahwa seni dalam membina hubungan dengan

orang lain merupakan keterampilan sosial yang

mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan

orang lain.

2.2.3 Faktor-faktor Kecerdasan Emosi

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan

kecerdasan emosi menurut Goleman (2000) adalah:

a. Lingkungan keluarga

Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama

dalam mempelajari emosi bagi anak. Orang tua

berperan penting dalam membentuk hal

tersebut. Anak mengidentifikasi perilaku

orang tua kemudian diinternalisasikan

akhirnya menjadi bagian dalam kepribadian

anak. Kehidupan emosi yang dibangun di dalam

keluarga sangat berguna bagi anak kelak,

bagaimana anak dapat cerdas secara emosional.

b. Lingkungan non keluarga

Lingkungan yang dimaksud dalam hal ini adalah

lingkungan masyarakat dan lingkungan

pendidikan yang dianggap bertanggung jawab

terhadap perkembangan kecerdasan emosi.

Pergaulan dengan teman sebaya, guru, dan

masyarakat luas.

c. Otak

Otak adalah organ yang penting dalam tubuh

manusia. Otak yang mempengaruhi dan

mengontrol seluruh kerja tubuh, struktur otak

manusia yang berperan dalam kecerdasan emosi

seseorang diantaranya korteks dan sistem

limbik. Korteks berfungsi membuat seseorang

berada di puncak tanggaevalusi. Korteks

berperan penting dalam memahami kecerdasan

emosi serta dalam memahami sesuatu secara

mendalam, menganalisis mengapa kita mengalami

perasaan tertentu, selanjutnya berbuat

sesuatu untuk mengatasinya. Korteks khususnya

lobus frontalis dapat bertindak sebagai

saklar peredam yang memberi arti terhadap

situasi emosi sebelum berbuat sesuatu.

Sedangkan sistem limbik yang sering disebut

sebagai bagian emosi yang letaknya jauh dalam

hemisfer otak besar terutama bertanggung

jawab atas pengaturan emosi dan impuls.

Sistem limbik meliputi hippocampus, tempat

berlangsungnya proses pembelajaran emosi.

Selain itu ada amigdala yang dipandang sebagai

pusat pengendalian emosi pada otak.

Sementara itu, Walgito (1993) membagi faktor

yang mempengaruhi kecerdasan emosi menjadi dua yaitu

:

a. Faktor Internal

Faktor internal adalah apa yang ada dalam

diri individu yang mempengaruhi kecerdasan

emosinya. Faktor internal ini memiliki dua

sumber yaitu segi jasmani dan segi

psikologis. Segi jasmani adalah faktor fisik

dan kesehatan individu, apabila fisik dan

kesehatan seseorang terganggu dapat

dimungkinkan mempengaruhi kecerdasan

emosinya. Segi psikologis mencakup didalamnya

pengalaman, perasaan, kemampuan berpikir dan

motivasi.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah stimulus dan

lingkungan dimana kecerdasan emosi

berlangsung. Faktor eksternal meliputi:

stimulus dan lingkungan atau situasi

khususnya yang melatarbelakangi proses

terbentuknya kecerdasan emosi.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Malik

(2003) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

kecerdasan emosi individu antara lain:

a. Lingkungan keluarga

Hubungan orang tua dengan anak menjadi faktor

yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap

perkembangan anak pada umumnya demikian juga

perkembangan kecerdasan emosi pada khususnya.

b. Konsep diri (self concept)

Konsep diri juga dipengaruhi oleh situasi

lingkungan keluarga,

khususnya suasana hubungan antara orang tua

dengan remaja. Remaja yang memiliki konsep

diri yang baik (sesuai dengan kenyataan

dirinya) akan dapat memahami dan menerima

perasaan-perasaan atau emosi yang dialami

remaja ketika berinteraksi dengan

lingkungannya. Apabila konsep diri individu

tidak sesuai dengan yang diharapkannya akan

menimbulkan perasaan negatif baik terhadap

dirinya maupun terhadap lingkungan

sekitarnya. Perasaan negatif tersebut dapat

menyebabkan individu mengalami hambatan dalam

mengelola perasaan atau emosi yang

dialaminya.

Berdasarkan pada uraian di atas dapat

disimpulkan bahwa faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi dapat

terbagi menjadi dua yaitu faktor internal serta

faktor eksternal. Faktor internal diantaranya yaitu

otak dan konsep diri. Faktor eksternal yang dimaksud

yaitu faktor lingkungan keluarga dan faktor

lingkungan non keluarga. Pada penelitian ini

peneliti akan berfokus pada faktor eksternal yaitu

faktor lingkungan keluarga khususnya yang berkaitan

dengan pola kelekatan.

2.2.4 Manfaat Kecerdasan Emosi

Berdasarkan pada beberapa penelitian yang telah

dilakukan oleh para ahli ditemukan beberapa manfaat

dari kecerdasan emosi yaitu (Salami, 2001 ; Goleman,

1997 ; Patton, 1998):

a. Memiliki kepuasaan terhadap dirinya dan

bahagia atas dirinya

b. Jauh dari perasaan depresi

c. Memiliki ketahanan terhadap pengendalian

kepuasan hati

d. Memiliki perasaan dan motivasi yang positif

pada diri

e. Mampu menghadapi tantangan

f. Memiliki jiwa tanggung jawab, produktif serta

optimis dalam menghadapi dan menyelesaikan

masalah.

2.2.5 Pengukuran Kecerdasan Emosi

Menurut Ciarrochi, Forgas & Mayer, (2001)

terdapat dua tipe pengukuran kecerdasan emosi yaitu:

tes performa dan tes lapor diri atau self reports.

Berikut merupakan beberapa pengukuran kecerdasan

emosi:

a) The Mayer-Salovey-Caruso Emotional

IntelligenceTest (MSCEIT) adalah tes kemampuan

yang dirancang untuk mengukur empat cabang dari

model kecerdasan emosi dari Mayer dan Salovey.

MSCEIT dikembangkan dari tradisi intelijen-

pengujian yang dibentuk oleh pemahaman ilmiah

yang muncul emosi dan fungsi mereka dan dari

pertama kali diterbitkan mengukur kemampuan

khusus ditujukanuntuk menilai kecerdasan

emosional, yaitu multifaktor Skala Kecerdasan

Emosional (MEIS). MSCEIT terdiri dari 141 item

dan memakan waktu 30-45 menit untuk

menyelesaikan. MSCEIT menyediakan 15 nilai

utama: Jumlah skor EI, dua nilai Area, empat

skor Cabang, dan delapan skor Task.

b) Bar-On Emotional Quotient Inventory (EQ-i)

Tes yang dikembangkan untuk menilai model

kecerdasan emosi-sosialBar-On. Tes ini

dinyatakan sebagai pengukuran lapor diri yang

paling komprehensif dalam mengukur EQ. EQ-i

adalah ukuran lapor diri atau self report yang

dirancang untuk mengukur sejumlah konstruksi

yang berkaitan dengan EI. Tes EQ-i terdiri dari

133 item dan memakan waktu sekitar 30 menit

untuk menyelesaikan. Hasil dari tes ini

memberikan skor EQ secara keseluruhan serta

skor untuk lima skala komposit berikut dan 15

sub-skala (Ciarrochi, Forgas & Mayer,

2001 ;Bar-On, 2006).

c) Schutte Self-Report Inventory (SSRI)

Tes SSRI didasarkan pada teori dari John Mayer

dan rekannya. Skala SSRI mengasses kecerdasan

emosi secara keseluruhan yang mengacu pada

empat subfaktor kecerdasan emosi yaitu:

persepsi emosi, memahami dan mengatur emosi

diri yang relevan, memahami emosi orang lain

serta memanfaatkan emosi yang di

miliki(Ciarrochi, Forgas & Mayer, 2001).

2.3 Pola Kelekatan 2.3.1 Definisi Kelekatan

Istilah kelekatan pertama kali diperkenalkan

oleh seorang psikolog dari Inggris tahun 1958

bernama John Bowlby kemudian diformulasi lebih

lengkap oleh Mary Ainsworth tahun 1969 (Mc Cartney &

Dearing, 2002 dalam Yulianti, 2009). Kelekatan

adalah suatu hubungan emosional yang dikembangkan

oleh anak dengan orang yang memiliki arti khusus

dalam kehidupannya (Ervika, 2005). Kelekatan

didefinisikan oleh Kartono (2003) sebagai perkaitan,

relasi, ikatan, tersangkut satu dengan yang lain,

hubungan pelekatan yaitu satu daya tarik atau

ketergantungan emosional antar dua orang.

Menurut pendapat Bowlby (dalam Yessy, 2003),

kelekatan adalah ikatan emosional sebagai bentuk

perilaku yang ditujukan oleh individu dalam mencapai

atau menjaga kedekatan dengan individu lain yang

diidentifikasikan sebagai seseorang yang mempunyai

kemampuan lebih baik dalam menghadapi hidup.

Sedangkan menurut Santrock (2002), kelekatan mengacu

kepada suatu relasi antara dua orang yang memiliki

perasaan yang kuat satu dengan yang lain dan

melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan

relasi tersebut. Bidang psikologi perkembangan

mengartikan kelekatan sebagai adanya daya suatu

relasi antara figur sosial tertentu dengan suatu

fenomena tertentu yang dianggap mencerminkan

karakteristik relasi yang unik.

Berdasarkan pada uraian diatas dapat

disimpulkan bahwa kelekatan adalah suatu hubungan

emosional yang terjadi antara dua orang atau lebih

yang menghasilkan suatu ikatan emosi tertentu.

Hubungan antara dua orang atau lebih yang akan

diteliti dalam penelitian ini adalah hubungan antara

orang tua dengan anaknya yaitu remaja.

2.3.3 Aspek-aspek Pola Kelekatan

Kelekatan dibentuk dari aspek-aspek yang

mendasarinya. Menurut Papalia dkk. (2008) aspek

kelekatan antara lain:

a. Sensitivitas figur

Sensitivitas figur dapat berupa seberapa

besar kepekaan figur terhadap kebutuhan

individu atau sejauh mana figur lekat dapat

mengetahui kebutuhan-kebutuhuan individu.

b. Responsivitas figur

Responsivitas adalah bagaimana figur lekat

menanggapi kebutuhan individu.

Menurut Erwin (1998) aspek utama pembentukan

dan pengembangan kelekatan adalah penerimaan figur

lekat, sensitivitas atau kepekaan figur lekat

terhadap kebutuhan individu dan responsivitas kedua

belah pihak baik figur lekat maupun individu dalam

menanggapi stimulus-stimulus yang diberikan untuk

memperkuat kelekatan antara keduanya.

2.3.2 Jenis-jenis Pola Kelekatan

Menurut Bowlby (dalam Yessy, 2003) terdapat

tiga pola kelekatan, yaitu pola secure attachment

(aman), anxious resistant attachment (cemas ambivalen),

dan anxious avoidant attachment (cemas menghindar)

a. Pola secure attachment

Pola secure attachment adalah pola yang terbentuk dari

interaksi orang tua dengan remaja, remaja merasa

percaya terhadap orang tua sebagai figur yang

selalu mendampingi, sensitif, dan responsif, penuh

cinta serta kasih sayang saat mereka mencari

perlindungan dan kenyamanan, dan selalu membantu

atau menolongnya dalam menghadapi situasi yang

menakutkan dan mengancam. Remaja yang mempunyai

pola ini percaya adanya responsivitas dan kesediaan

orang tua bagi dirinya.

b. Pola anxious resistant attachment (cemas ambivalen)

Pola anxious resistant attachment adalah pola yang

terbentuk dari interaksi orang tua dengan remaja,

remaja merasa tidak pasti bahwa orang tuanya

selalu ada dan responsif atau cepat membantu serta

datang kepadanya pada saat remaja membutuhkan

mereka. Akibatnya, remaja mudah mengalami

kecemasan untuk berpisah, cenderung bergantung,

menuntut perhatian, dan cemas ketika bereksplorasi

dalam lingkungan. Pada pola ini, remaja mengalami

ketidakpastian sebagai akibat dari orang tua yang

tidak selalu membantu pada setiap kesempatan dan

juga adanya keterpisahan.

c. Pola anxious avoidant attachment (cemas menghindar)

Pola anxious avoidant attachment adalah pola yang

terbentuk dari orang tua dengan remaja, remaja

tidak memiliki kepercayaan diri karena saat

mencari kasih sayang, remaja tidak direspons atau

bahkan ditolak. Pada pola ini, konflik lebih

tersembunyi sebagai hasil dari perilaku orang tua

yang secara konstan menolaknya ketika remaja

mendekat untuk mencari kenyamanan atau

perlindungan.

2.4 Kaitan Kecerdasan Emosi dengan Pola

KelekatanKecerdasan emosi merupakan serangkaian kemampuan

yang dimiliki oleh individu dalam hal mengenali, memahami

serta menggunakan emosinya secara tepat dan dapat

berfungsi efektif di masyarakat. Pembentukan kecerdasan

emosi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu

faktor lingkungan keluarga dan faktor lingkungan non

keluarga. Faktor lingkungan keluarga khususnya pola

kelekatan yang terjadi antara anak dan figur lekatnya

yaitu orangtua ikut berkontribusi dalam membentuk

kecerdasan emosi anak. Keluarga merupakan lingkungan

pertama bagi anak untuk mempelajari emosi. Perkembangan

emosi dimulai dari interaksi yang anak lakukan di lingkup

keluarga. Kelekatan antara orangtua & anak merupakan

salah satu aktifitas yang terdapat di lingkungan

keluarga. Kelekatan yang terjadi antara anak & orangtua

ikut berkontribusi pada proses perkembangan emosi anak.

Selama dekade terakhir dinyatakan bahwa pola kelekatan

antara anak dan orangtua memiliki hubungan dengan

kemampuan individu dalam kecerdasan emosinya (Collins,

1996, KobakdanSceery, 1988, Mikulincer dan Florian

2001,Rholes, SimpsondanStevens, 1998 dalam Hamarta et al,

2009).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pola kelekatan

memiliki hubungan dengan kemampuan individu dalam

mengelola hubungan emosi secara pribadi maupun dengan

orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Yessy (dalam

Hermasanti, 2009) ditemukan terdapat perbedaan yang

bermakna dalam kemampuan menjalin relasi pertemanan

antara remaja yang memiliki pola secure attachment dengan

pola attachment yang lain. Remaja yang memiliki pola secure

attachment memiliki kemampuan menjalin relasi,

memperhatikan kepentingan orang lain, dan mengembangkan

hubungan pertemanan yang positif, mengutarakan pikiran

yang jujur dan jelas tanpa merugikan orang lain, sehingga

membuat remaja menjadi teman yang diinginkan.

Penelitian lain menunjukkan bahwa individu yang

memiliki pola avoidant attachment cenderung menerima dan

terlibat dalam pergaulan bebas (Feeney, J., Noller, dan

Patty 1993 dalam Asyava, 2011). Selain itu, mereka

cenderung memiliki kesulitan untuk membina hubungan dekat

(Asyava, 2011).

Berdasarkan pada penelitian yang telah ada terlihat

bahwa terdapat kontribusi yang bermakna pada pola

kelekatan tertentu terhadap kecerdasan emosi individu

khususnya pada kecerdasan emosi remaja.

BAB 3

METODE PENELITIAN

Penulis dalam bab ini akan membahas mengenai metode

penelitian yang meliputi pendekatan penelitian, rancangan

penelitian, identifikasi variable penelitian, definisi

operasional variable penelitian, partisipan penelitian,

teknik pengambilan sampel, alat ukur dan istrumen,

validitas dan reliabilitas, metode analisis data dan

prosedur penelitian.

3.1 Pendekatan PenelitianPenelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif.

Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang

bermaksud memperoleh data dalam bentuk kuantifikasi yaitu

dalam bentuk angka (Sugiyono, 2011).

3.2 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian

komparatif atau perbandingan. Menurut Sugiyono (2011)

penelitian perbandingan merupakan penelitian yang menguji

variabel dengan sampel yang berbeda dimana dalam hal ini

variabel diujikan pada sampel remaja yang memiliki pola

kelekatan yang berbeda.

3.3 Identifikasi Variabel PenelitianVariabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel Bebas : Pola Kelekatan

2. Variabel Tergantung : Kecerdasan Emosi

3.4 Definisi Variabel Penelitian3.2.1 Definisi Konseptual

1. Pola Kelekatan :Ikatan emosional sebagai

bentuk perilaku yang ditujukan oleh individu dalam

mencapai atau menjaga kedekatan dengan individu lain

yang diidentifikasikan sebagai seseorang yang

mempunyai kemampuan lebih baik dalam menghadapi

hidup.

2. Kecerdasan Emosi :Kemampuan yang dimiliki

seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam

menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi, dan

menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa

sehingga dapat menempatkan emosinya pada porsi yang

tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

3.2.2 Definisi Operasional

1. Pola Kelekatan :Pola kelekatan yang

dimiliki oleh subjek penelitian dapat diketahui dari

hasil skor skala pola kelekatan yang mengacu pada

jenis-jenis pola kelekatan yang dikemukakan oleh

Bowlby (dalam Yessy, 2003) yaitu secure attachment

(aman), anxious resistant attachment (cemas ambivalen) dan

anxious avoidant attachment (cemas menghindar) .

2. Kecerdasan Emosi :Kecerdasan emosi

yang dimiliki oleh subjek penelitian dapat diketahui

dari total skor skala kecerdasan emosi berdasarkan

pada dimensi dari Goleman (2000). Kecerdasan emosi

tinggi didapat dari hasil skor yang tinggi pada tiap

dimensinya yaitu: kesadaran diri, mengelola emosi

diri, memotivasi diri, memahami emosi orang lain

serta menjalin hubungan yang baik dengan orang lain.

3.5 Partisipan Penelitian3.5.1Populasi

Populasi merupakan wilayah generalisasi

obyek/subyek yang memiliki kualitas dan

karakteristik sesuai yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan (Sugiyono,

2011). Populasi pada penelitian ini adalah remaja

yang ada di wilayah Jakarta & Bekasi.

3.5.2Sampel

Sampel merupakan bagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono,

2011). Sampel penelitian ini adalah remaja yang

bertempat tinggal di Jakarta dan Bekasi. Adapun

karakteristik sampel penelitian ini yaitu: remaja

yang berada pada rentang usia 11-18 tahun

berdasarkan usia batasan remaja menurut Jahja serta

bertempat tinggal di Jakarta & Bekasi

3.6 Teknik Pengambilan SampelMetode pengambilan sampel yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah teknik sampling insidental.

Sampling insidental merupakan teknik penentuan sampel

berdasarkan kebetulan yaitu siapa saja yang secara

kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai

sampel apabila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu

cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2011).

3.7 Lokasi PenelitianLokasi penelitian yang digunakan adalah wilayah Jakarta &

Bekasi.

3.8 Instrumen Penelitian3.8.1 Alat Ukur Kecerdasan Emosi

Alat ukur yang digunakan adalah skala

kecerdasan emosi yang akan dibuat oleh peneliti

berdasarkan pada dimensi-dimensi kecerdasan emosi

dari Daniel Goleman (2000). Dimensi tersebut terdiri

atas mengenali emosi diri, mengelola emosi diri,

memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, membina

hubungan dengan orang lain atau ketrampilan sosial.

Skala kecerdasan emosi akan disusun menggunakan

model skala likert dimana telah di modifikasi

menjadi empat pilihan jawaban di dalam alat ukur

kecerdasan emosi yaitu sangat sesuai (ss), sesuai

(s), tidak sesuai (ts), sangat tidak sesuai (sts).

Aitem-aitem yang ada di dalam skala kecerdasan

emosi akan dibuat menjadi dua jenis aitem yaitu

aitem favorable (aitem yang sesuai dengan sikap

berdasarkan dimensi teori yang digunakan) dan aitem

unfavorable (aitem yang tidak sesuai dengan sikap

berdasarkan dimensi teori yang digunakan). Aitem

favorable akan di skor dengan ketentuan sebagai

berikut:

Sangat Sesuai (SS) : Skor 4

Sesuai (S) : Skor 3

Tidak Sesuai (TS) : Skor 2

Sangat Tidak Sesuai : Skor 1

Sedangkan untuk ketentuan skor pada aitem

unfavorable akan dibalik sistem penilaiannya dari

penilaian aitem unfavorable.

Selanjutnya untuk mengetahui besarnya nilai

kecerdasan emosi subjek dari skala kecerdasan emosi

dilihat dari total skor subjek pada skala kecerdasan

emosi.

Skala kecerdasan emosi akan digambarkan melalui

blue print skala kecerdasan emosi yang ada di bawah

ini:

DimensiIndikator dan contoh

aitem kuesioner

Jumlah Jumla

hFavorab

le

Unfavora

bleMengenali

emosi

diri

(Self

Awareness)

1. Mampu mengenali dan

memahami apa yang

sedang dirasakan:

- Saya tidak tahu

apakah hari ini

saya merasa

senang atau sedih

(UF)

- Ketika semangat

belajar meningkat

saat itulah saya

sedang merasa

senang (F)

2. Mengetahui penyebab

emosi yang sedang

dirasakan:

- Saya seringkali

menangis tanpa

alasan (UF)

- Saya merasa

senang saat

mendapatkan nilai

terbaik di kelas

(F)

2

2

2

2

4

4

Mengelola

emosi

diri

(Self

Regulation)

1. Mampu menemukan

cara yang tepat

untuk

menstabilkan

emosi:

- Saya melakukan

hal yang

2

2

4

Skala kece

Tabel 3.1 Blue Prin

Tabel 3.1 Blue Print Skala Kecerdasan Emosi

3.8.2 Alat Ukur Pola Kelekatan

Alat ukur yang digunakan adalah skala pola

kelekatan yang akan dibuat oleh peneliti mengacu

pada jenis-jenis pola kelekatan yang dikemukakan

oleh Bowlby (dalam Yessy, 2003). Skala pola

kelekatan akan disusun menggunakan model skala

likert dimana telah di modifikasi menjadi empat

pilihan jawaban di dalam skala pola kelekatan yaitu

sangat sesuai (ss), sesuai (s), tidak sesuai (ts),

sangat tidak sesuai (sts).

Aitem-aitem yang ada di dalam skala pola

kelekatan akan dibuat menjadi dua jenis aitem yaitu

aitem favorable (aitem yang sesuai dengan sikap

berdasarkan dimensi teori yang digunakan) dan aitem

unfavorable (aitem yang tidak sesuai dengan sikap

berdasarkan dimensi teori yang digunakan). Aitem

favorable akan di skor dengan ketentuan sebagai

berikut:

Sangat Sesuai (SS) : Skor 4

Sesuai (S) : Skor 3

Tidak Sesuai (TS) : Skor 2

Sangat Tidak Sesuai : Skor 1

Sedangkan untuk ketentuan skor pada aitem

unfavorable akan dibalik sistem penilaiannya dari

penilaian aitem unfavorable.

Selanjutnya untuk mengetahui pengkategorian

pola kelekatan subyek dari skala pola kelekatan

dilihat dari skor mean subyek pada skala pola

kelekatan. Mean terbesar merupakan penentu kategori

pola kelekatan subyek.

Skala pola kelekatan akan digambarkan melalui

blue print skala kecerdasan emosi yang ada di bawah

ini:

Jenis

Pola

Kelekata

n

Indikator dan contoh

aitem kuesioner

JumlahJumla

hFavorab

le

Unfavora

ble

Secure

Attachment

1. Remaja percaya

bahwa orangtua

figur yang selalu

mendampingi,

sensitif,

responsif, penuh

cinta:

- Saya percaya

bahwa orang tua

saya akan

mendukung cita-

cita yang saya

ingin capai (F)

- Saya merasa orang

tua saya

memaksakan

kehendaknya pada

saya (UF)

2. Remaja percaya

bahwa orangtua

sosok yang dapat

membantu dan

menolong saat

situasi menakutkan

dan mengancam:

- Saat menghadapi

masalah orang tua

saya selalu

bersedia

mendengarkan

2

2

2

2

4

4

3.9 Metode Analisis Data3.9.1 Uji Validitas

Validi

3.9 Metode Analisis Data3.9.1 Uji Validitas

Validitas merupakan tingkat

keakuratan suatu alat ukur dalam mengukur hal yang

ingin diukur (Azwar, 2012). Suatu alat ukur

dikatakan valid jika alat ukur tersebut mampu

mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan

tepat (Azwar, 2012). Validitas isi terbagi menjadi

dua yaitu validitas muka atau face validity dan validitas

logis. Validitas isi merupakan validitas alat ukur

yang diujikan melalui tingkat kelayakan alat ukur

berdasarkan pada analisis rasional seorang ahli

kompeten atau yang sering disebut dengan expert

judgement (Azwar, 2012).

Validitas yang akan digunakan adalah validitas

logis yaitu dimana suatu alat ukur diujikan

berdasarkan pada sejauhmana aitem tes merupakan

representasi dari ciri atribut yang hendak diukur

(Azwar, 2012). Pada penelitian ini alat ukur akan

diuji dengan validitas isi yang memfokuskan pada

validitas logis yaitu dengan cara melihat relevansi

isi alat ukur yang dibuat dengan indikator perilaku

dari atribut yang ingin diukur.

3.9.2Uji Reliabilitas

Reliabilitas merupakan ukuran sejauhmana hasil

suatu proses pengukuran dapat dipercaya (Azwar,

2012). Kepercayaan alat ukur didapat apabila dalam

beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap

kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang

relatif sama (Azwar, 2012).

Pada penelitian ini akan menggunakan

reliabilitas melalui pendekatan konsistensi

internal. Pendekatan konsistensi internal data skor

diperoleh melalui prosedur satu kali tes kepada

kelompok subjek. Analisa dilakukan terhadap

distribusi skor aitem-aitem dalam tes. Analisa yang

dilakukan untuk melihat konsistensi antara aitem-

aitem dalam tes sebagai indikasi bahwa tes yang

bersangkutan memiliki fungsi pengukuran yang

reliabel.

Reliabilitas suatu alat ukur dapat tercermin

melalui nilai koefisien reliabilitas alfa

cronbachnya. Nilai alfa cronbach tersebut bergantung

pada tujuan dari alat ukur yang dibuat (Azwar,

2012). Pada penelitian ini akan digunakan nilai

koefisien reliabilitas yaitu 0,8.

3.10 Hipotesis Penelitian

Ho : Tidak terdapat perbedaan kecerdasan emosi padaremaja yang ditinjau berdasarkan pola kelekatan

Ha : Terdapat perbedaan kecerdasan emosi pada remajayang ditinjau berdasarkan pola kelekatan

3.11 Prosedur Penelitian

TahapPersiapan

Persiapan penelitian ini dilakukan dengan tahapan:

1. Menentukan masalah yang akan diteliti

2. Melakukan studi kepustakan untuk mendapatkan

fenomena serta landasan teori yang berkaitan dengan

masalah yang akan diteliti

3. Menentukan populasi dan sampel penelitian

4. Menentukan teknik pengambilan data

5. Mempersiapkan alat ukur penelitian

6. Melakukan uji coba terhadap alat ukur

7. Menganalisa data hasil uji coba alat ukur

8. Menetapkan jadwal penelitian

Saat ini peneliti berada dalam tahap persiapan yaitu

sedang mempersiapkan alat ukur penelitian yang akan

digunakan oleh peneliti.Selanjutnya melakukan uji coba

alat ukur, analisa hasil uji coba serta menetapkan jadwal

penelitian untuk melanjutkan tahap berikutnya yaitu

pengambilan data penelitian hingga tahap akhir.

DAFTAR PUSTAKA

Alhamhari, Adek & M. Fakhrurrozi. (2009). Kecerdasan Emosi pada Remaja Pelaku

Tawuran. Jakarta: Universitas Gunadarma

Asyava, Tengku Shella. (2011). Hubungan attachment terhadap

Ayah dengan

kecerdasan Emosi pada Remaja Laki-Laki. Medan: Universitas

Sumatera

Utara

Azwar, Saifuddin. (2012). Reliabilitas dan Validitas Edisi 4.

Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

Ciarrochi, Joseph., Joseph P. Forgas., John D. Mayer.

(2001). Emotional Intelligence

in Everyday Life. Psychology Press

Elizabeth, B. Hurlock. (2001). Psikologi Perkembangan: Suatu

pendekatan sepanjang

rentang kehidupan (Edisi 5). Jakarta : Erlangga.

Ervika, Eka. (2008). Kelekatan (Attachment) Pada Anak.

Sumatera Utara: Universitas

Sumatera Utara. Jurnal Psikologi

Erwin, P. (1998). Friendship in Childhood and Adolescene. London:

Routledge

Goleman, D. (2000). Emotional Intelligence: Mengapa EI lebih penting

daripada

IQ (Alih Bahasa : T. Hermaya). Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Gottman, J. & DeClaire, J. (1997). Kiat-kiat Membesarkan Anak

yang Memiliki

Kecerdasan Emosional. Alih Bahasa: T. Hermaya. Jakarta:

PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Gusnira, Chazizah. (2012). 5 Kasus Pembunuhan Sadis yang

dilakukan Remaja.

Diunduh dari news.detik.com pada Oktober 2013

Hamarta, Erdal, M. Engin Deniz,Neslihan Saltali.

(2009).Attachment Styles as a

Predictor of Emotional Intelligence. Turki: Selcuk University

Hermasanti, Winahyu Kaula. (2009). Pengaruh Pola Kelekatan

dengan Kecerdasan

Emosi Remaja. Surakarta: Universitas Sebelas Maret

Jahja, Yudrik. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta:

Kencana

Kartono, K. & Dali Gulo. 2003. Kamus Psikologi. Bandung :

Pionir Jaya.

Khodijah, Nida (2013). Program Hipotetik Bimbingan dan Konseling

untuk

Meningkatkan Perilaku Sosial Peserta Didik. Bandung:

Universitas

Pendidikan Indonesia

Lestari, Rini. 1997. Pengaruh Peran Ibu terhadap

Perkembangan Remaja. Jurnal

Kognisi, Vol 1. No 2 Nopember 1997

Malik, Muhammad Anas, 2003. Pengaruh Kualitas Interaksi

Orang Tua dan Anak

dengan Konsep Diri terhadap Kecerdasan Emosi pada

Siswa SMU di

Makasar. Journal Intelectual, Volume 1 no 1, 33 – 50.

Mu’tadin, Zainun. (2002).

Mengenal Kecerdasan Emosional Remaja. Artikel

Kesehatan dari situs http://www.kesehatan.wonogiri.go.id

diakses pada

November 2013

Papalia, Olds & Feldman. (2009). Perkembangan Manusia Buku 2

Edisi 10. Jakarta:

Salemba Humanika

Patton, P. 1998. Emotional Intelligence. Alih Bahasa: Zaini

Dahlan. Jakarta: Pustaka

Delapratasa

Retnowati, Sofia. (2001). Remaja dan Permasalahannya.

Yogyakarta: Universitas

Gajah Mada

Santrock, John W. 2002. Life Span Development. Jilid 2. Alih

Bahasa: Juda

Damanik. Jakarta: Erlangga

Sarwono, Sarlito Wirawan. (2001). Psikologi Remaja. Jakarta:

PT. Raja Grafindo

Pustaka

Sugiyono. (2011). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Sulistiana. (2010) Meningkatkan Keterampilan Sosial Siswa Melalui

Layanan

Bimbingan Kelompok Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 3 Juwana

Tahun

Pelajaran 2009/2010. Semarang: Universitas Negeri Semarang

Walgito, Drs. Bimo. (1993). Kenakalan Anak. Yogyakarta:

Yayasan Penerbit

Fakultas Psikologi UGM

Widiartanto, Yoga Harstanto. (2011). 1 dari 12 Remaja Punya

Kecenderungan Sakiti

Diri Sendiri. Okezone.com diakses pada 23 Oktober 2013

Yessy. (2003). Hubungan Pola Attachment Dengan Kemampuan

Menjalin Relasi

Pertemanan Pada Remaja. Jurnal Psikologi. Vol.12 No.2: 1-12