Problem Interpretasi Tekstual

16
1 PROBLEMATIKA INTERPRETASI TEKSTUAL TERHADAP TEKS A. Latar Belakang Masalah Al-Quran adalah firman Allah yang menjadi rujukan utama dalam mengaplikasikan ajaran Islam, Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia dengan al-Quran. Selain itu, al-Quran juga adalah petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Sebagai petunjuk, al-Quran mengandung berbagai macam makna agar dapat dijadikan pedoman bagi kehidupan manusia. al-Quran diturunkan tidak hanya terbatas pada kelompok tertentu saja, penurunan al-Quran ditujukan bagi seluruh umat manusia. 1 Sejatinya, al-Quran mengandung bahasa-bahasa langit, yakni bahasa Tuhan. Untuk mempermudah komunikasi antara Tuhan dan manusia maka al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa manusia, yaitu bahasa Arab. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang bermukim di jazirah Arab. Harus diakui, al-Quran memiliki gaya bahasa yang sangat indah. Bahkan, sepanjang sejarah belum ada seorang manusia pun yang mampu menciptakan karya tulis yang serupa. Kendati demikian, keindahan dan keunikan al-Quran tersebut justru membuat kandungannya sulit dipahami, hal tersebut dialami bukan hanya dari kalangan non Arab (ajam) bahkan oleh orang Arab itu sendiri. Bahkan, ada berbagai riwayat yang menyebut banyaknya sahabat Rasulullah saw yang terkadang bingung akan makna-makna tertentu dalam al-Quran sehingga tak jarang Rasulullah saw kerap ditanyai mengenai teks- teks dalam al-Quran. 2 Akibat dari saking sulitnya memahami makna dari al-Quran maka terjadilah kekeliruan interpretasi dari teks pada al-Quran. Umumnya, pembaca berupaya memahami al-Quran dengan interpretasi tekstual atau bahkan interpretasi personal yang berujung pada pemahaman materialistik dan positivistik, hal ini kian diperparah dengan dilibatkannya 1 Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an Text, Translation and Commentary, (Brentwood, Maryland, Amana Corporation, 1989), h. 581. 2 Machasin, al-Qadhi Abdur Jabbar , Mutasyabih al-Quran; Dalih Rasionalitas al-Quran, (Yogyakarta LKIS, 2000), h.1.

Transcript of Problem Interpretasi Tekstual

1

PROBLEMATIKA INTERPRETASI TEKSTUAL TERHADAP TEKS

A. Latar Belakang Masalah

Al-Quran adalah firman Allah yang menjadi rujukan utama dalam mengaplikasikan

ajaran Islam, Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia

dengan al-Quran. Selain itu, al-Quran juga adalah petunjuk dan rahmat bagi orang-orang

yang beriman. Sebagai petunjuk, al-Quran mengandung berbagai macam makna agar dapat

dijadikan pedoman bagi kehidupan manusia. al-Quran diturunkan tidak hanya terbatas pada

kelompok tertentu saja, penurunan al-Quran ditujukan bagi seluruh umat manusia.1

Sejatinya, al-Quran mengandung bahasa-bahasa langit, yakni bahasa Tuhan. Untuk

mempermudah komunikasi antara Tuhan dan manusia maka al-Quran diturunkan dengan

menggunakan bahasa manusia, yaitu bahasa Arab. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat

yang bermukim di jazirah Arab. Harus diakui, al-Quran memiliki gaya bahasa yang sangat

indah. Bahkan, sepanjang sejarah belum ada seorang manusia pun yang mampu menciptakan

karya tulis yang serupa. Kendati demikian, keindahan dan keunikan al-Quran tersebut justru

membuat kandungannya sulit dipahami, hal tersebut dialami bukan hanya dari kalangan non

Arab (ajam) bahkan oleh orang Arab itu sendiri. Bahkan, ada berbagai riwayat yang

menyebut banyaknya sahabat Rasulullah saw yang terkadang bingung akan makna-makna

tertentu dalam al-Quran sehingga tak jarang Rasulullah saw kerap ditanyai mengenai teks-

teks dalam al-Quran.2

Akibat dari saking sulitnya memahami makna dari al-Quran maka terjadilah kekeliruan

interpretasi dari teks pada al-Quran. Umumnya, pembaca berupaya memahami al-Quran

dengan interpretasi tekstual atau bahkan interpretasi personal yang berujung pada

pemahaman materialistik dan positivistik, hal ini kian diperparah dengan dilibatkannya

1 Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an Text, Translation and Commentary, (Brentwood, Maryland, Amana

Corporation, 1989), h. 581.

2 Machasin, al-Qadhi Abdur Jabbar , Mutasyabih al-Quran; Dalih Rasionalitas al-Quran, (Yogyakarta LKIS,

2000), h.1.

2

prejudice dalam setiap upaya memahami sebuah teks. Fenomena interpretasi tekstual ini

seakan menjadi pembenaran ketika masyarakat menggunakan jejaring sosial Facebook

sebagai ajang unjuk gigi dalam menginterpretasikan sebuah teks. Bahkan tak jarang

pengguna Facebook membuat grup-grup tertentu guna membahas teks al-Quran secara

eksklusif. Masalahnya, metodologi yang digunakan dalam upaya memahami teks tersebut

bersifat cacat intelektual sehingga pemahaman yang dihasilkan jauh dari apa yang

dikehendaki oleh al-Quran itu sendiri. Terlebih, pemahaman yang merebak di masyarakat

umumnya baru mampu mencapai aspek lahiriah dan belum mampu mengupas makna

batinnya.

Salah satu dampak dari paradigma interpretasi tekstual adalah ketika seorang pengguna

Facebook mengklaim bahwa Islam adalah agama yang gemar berperang. Bagaimana tidak,

dalam surat at-Taubah ayat 123 menyerukan umat Islam untuk memerangi orang kafir yang

paling dekat dengan kamu.

Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan

hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah

bersama orang-orang yang bertaqwa.

Jika kita menggunakan pemahaman tekstual maka “orang kafir” yang disebut dalam teks

tersebut akan kita pahami hanya dalam batasan materialistik.. Nyatanya, teks tersebut

memiliki dua makna, yakni esoterik dan eksoterik. Menurut Ibn Arabi, makna ungkapan

“orang kafir” dalam teks tersebut adalah teman (al-Qarin) dalam diri anda. Yang tidak lain

adalah hawa nafsu anda sendiri. Oleh karena itu perangilah hawa nafsu anda.3 Ia

menjelaskan, hawa nafsu ditenggarai sebagai musuh yang paling dekat dengan anda lantaran

ia berada dalam diri anda. Tidak ada yang lebih kafir dibanding diri anda sendiri. Sebab, pada

3 Ibn Arabi, al-Tadbirat-al-ilahiyyah fi Ishlah al-Mamlakah al-Insaniyyah, dalam H.S. Nyberg, Kleinere Schriften

des Ibn al-Arabi (Leiden: Brill, 1919), h. 150-51.

3

dasarnya setiap orang ada yang kafir terhadap nikmat yang telah Allah berikan. Berangkat

dari permasalahan ini Ibn Arabi kemudian berwasiat, “diwajibkan bagi anda untuk

melakukan jihad terbesar, yaitu jihad melawan hawa nafsu anda, karena ia adalah musuh

terbesar bagi anda.4

Selain makna esoterik, terdapat juga makna eksoterik yang bisa dikupas dari teks

tersebut. Menurut sebagian ulama, “orang kafir” yang dimaksud dalam teks tersebut adalah

orang kafir yang berasal dari Bani Qurayzhah, Nadlir, Fadak, dan Khaybar.5 Dari dua

pendekatan tersebut dapat kita simpulkan bahwa orang kafir yang dijelaskan melalui cara

yang pertama adalah orang yang dekat dengan kamu bahkan ia berada dalam setiap diri orang

yang beriman. Adapun cara yang kedua menyimpukan bahwa orang kafir yang dekat dengan

kamu adalah orang yang berada “di luar diri” orang-orang yang beriman sebagai para

pengikut Muhammad. Dalam cara yang pertama aspek yang dikedepankan adalah aspek

batiniah sementara cara yang kedua lebih mengedepankan aspek lahiriah.

Paradigma intepretasi tekstual kemudian akan mengarahkan kita kepada pemahaman-

pemahaman yang berbau materialistik dan positivistik. Misalnya ketika kita memahami

Tuhan memiliki tangan, kaki, dan telinga. Atau ketika ayat-ayat yang berbicara tentang arsy

dipahami sebagai tempat duduk Tuhan. Artinya, Tuhan yang berbentuk immateri seakan-

akan dideskripsikan membutuhkan sesuatu yang materi untuk membantu eksistensinya.6

Padahal, Tuhan tidak membutuhkan sesuatu apapun untuk menyempurnakan eksistensinya.

Lebih dari itu, Tuhan juga tidak identik dengan manusia sebagaimana diuraikan dengan

penjelasan-penjelasan deksriptif fisik. Celakanya, Fenomena interpretasi materialistik

terhadap makna dari sebuah teks seakan menjadi pilihan bagi sebagian besar pengguna

jejaring sosial Facebook, terutama bagi mereka yang sedang mencari pembenaran terhadap

tindakan-tindakan tertentu. Ironi memang ketika sebuah teks selalu dipahami sebagai refleksi

4 Ibn Arabi, Al-Futuhat 9V, h, 8: 260.

5 Abu Thahir Ibn Ya’kub al-Fayruzabadi, Tanwir al-Miqbaas min Tafsir Ibn Abbas (Beirut: Dar al-Fikr,

2001/1421), h. 207.

6 S. M. Khamenei, The Quranic Hermeneutics of Mulla Sadra (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research

Institute, 2006/1385), h. 37.

4

dari materi, apalagi ketika pemahaman tersebut di ekspose ke publik melalui Facebook oleh

publik figur. Menurut Said Muhammad Khan, paradigma materialistik lahir akibat dari

kegagalan Islam-Islam tradisional dalam menjelaskan makna dari sebuah teks secara

komprehensif,7 oleh karena itu pula lah ia merasa perlu menyempurnakan paham Islam

tradisional dengan jadid ilmu al-kalam (new theology). Uniknya lagi, pemahaman yang

beredar di publik masih jarang sekali yang mengupas makna batin dari sebuah teks,

penyingkapan makna batin dari sebuah teks tentunya tidak bisa dilakukan berdasarkan

penalaran pribadi,8 hanya orang-orang yang telah mengalami penyingkapan intuitif lah yang

mampu melakukan takwil.9

Eksplorasi takwil terhadap makna dari sebuah teks tentulah sangat penting, selain

menawarkan pemahaman yang lebih komprehensif, takwil juga hadir sebagai solusi ketika

pemahaman lahiriah mengalami jalan buntu, atau bahkan tidak rasional lagi. Kendati

demikian, takwil tidak meniscayakan makna lahir dari sebuah teks, justru ia berfungsi

sebagai penyempurna makna lahiriah pada teks10. menurut Mulla Sadra, takwil merupakan

perangkat penting yang dapat digunakan untuk menafsirkan sebuah teks dalam al-Quran.

jauh di luar makna verbal dan lahiriahnya, al-Quran menyimpan banyak rahasia, misteri, dan

makna yang tidak bisa diungkapkan hanya melalui uraian-uraian verbal. disamping itu, untuk

menjelaskan realitas dari al-Quran tidaklah cukup jika hanya mengandalkan pemahaman

lahiriah saja.11 oleh karena itu, seorang penafsir dituntut agar mampu menginterpretasikan

ayat per ayat secara akurat, untuk melakukan hal ini ia harus mampu membaur dengan ayat

7 Muhammad Khalid Maud, Journal al-Hikmat; Iqbal's Approach to Islamic Theology of Modernity (Volume 27,

2007), h. 3.

8 A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism. Kanz Philosophia (Jakarta: Sadra International Institute, 2012),

h. 318.

9 “Takwil bermakna pengembalian (fi al-ashl: al tarji), yaitu menggiring kembali atau membawa kembali sesuatu

kepada asalnya, maka orang yang memprektikkan takwil adalah orang yang membelokkan apa yang dinyatakan

dari penampakan luarnya. (aspek eksoterik atau lainnya) dan mengembalikan kepada kebenaran atau

hakikatnya.” Athif al-Iraqi, Nahwa Mu'jam lil-Falsafah al-Arabiyyah: Mushthalahat wa Syakhsiyyat

(Iskandariah: Dar al-Wafa li-Dunya al-Thabi'ah wa al-Nasyr, 2001), h. 29.

10 S. M. Khamenei, The Quranic Hermeneutics of Mulla Sadra , h. 40.

11 S. M. Khamenei, The Quranic Hermeneutics of Mulla Sadra, h. 41.

5

dan menggali makna terdalam dari ayat tersebut. takwil memang bukanlah perkara mudah,

Mulla Sadra mengatakan, interpretasi Hermeneutik (takwil) adalah kondisi yang sangat mirip

ketika seseorang berupaya menginterpretasikan mimpi. Pasalnya, kehidupan manusia di

dunia saat ini penuh dengan nuansa materi sedangkan kehidupan ukhrowi kental dengan

geliat immateri yang aktivitasnya sulit sekali di imajinasikan seperti halnya mimpi.

Mulla Sadra menjelaskan dua bentuk metode takwil yang lazim digunakan; pertama

melalui metode sufistik; kedua, melalui metode teknik pemahaman. Metode sufistik identik

dengan dzawq (intuisi) dan kasyf (visi spiritual). Kemudian metode teknik pemahaman

adalah metode analisa yang dilakukan melalui petunjuk-petunjuk yang dalam redaksi (matan)

sehingga seseorang dapat berpindah dari lahir menuju batin.12

Metode sufistik dilakukan dengan senantiasa mensucikan diri dan menjaga tingkah laku,

pikiran dan kalbunya agar senantiasa berada dalam wilayah ilahi. Seluruh perhatian mereka

curahkan kepada Tuhan dan mereka selalu berserah diri kepada Tuhan. Upaya semacam ini

akan menghasilkan ilham dan penyaksian terhadap teks-teks syariah dan hal ini

membawanya untuk terlibat langsung dalam menyingkap rahasia kedalaman sebuah teks. Ibn

Arabi dalam Futuhat al-Makkiyyah menjelaskan, satu-satunya jalan untuk memperoleh

makna al-Quran yakni dengan cara belajar. dalam proses belajar tersebut tentu harus ada

seorang pengajar. Namun, kata Ibn Arabi, kita tidak bisa membatasi makna pengajar hanya

dalam batasan fisik, yakni manusia. sebab, bisa jadi Tuhan lah yang membimbing langsung

manusia untuk mengupas makna-makna teks dalam al-Quran.13 Sebagaimana firman Allah

swt dalam surat al-Alaq ayat 3 -5 :

12 A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism. Kanz Philosophia, h. 303.

13 A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism. Kanz Philosophia, h. 304.

6

Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran

kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Maksudnya: Allah

mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.

Selanjutnya Ibn Arabi menuturkan, jika manusia senantiasa berada dalam koridor takwa

dan selalu mensucikan dirinya maka Tuhan akan menganugerahkan ilham ketakwaan.

Tujuannya, agar manusia dapat membedakan mana aktivitas yang fasik dan mana yang dapat

menuntun manusia kepada jalan ketakwaan. Untuk membedakan antara yang benar dan yang

salah tentu dibutuhkan pengetahuan, adapun pengetahuan yang dimaksud yakni berbentuk

ilham yang Tuhan berikan sebagai hadiah atas kesucian dirinya. Sebagaimana para sufi yang

telah mengarungi berbagai macam tingkatan eksistensi dan menyaksikan berbagai macam

fenomena di setiap tingkat kedalamannya setelah melalui proses pensucian kalbu. Hal

tersebut dapat terjadi karena batin-batin al-Quran menjelaskan kondisi realitas eksistensi

dirinnya sehingga ia mampu menelusuri realitaas batin al-Quran. Sayangnya, takwil dengan

metode sufistik dalam penjabaran di atas tidak berlaku bagi semua orang, metode ini hanya

bisa diaplikasikan terhadap kalangan tertentu saja yang benar-benar berjalan dengan suluk

riyadhah-nya dalam melewati tingkatan eksistensi. Tirai-tirai eksistensi mampu disingkap

dengan kesucian batin mereka. Meski metode ini tidak berlaku bagi umum, namun justru

metode ini disebut dengan takwil. Sebab, takwil pada dasarnya bermakna mengembalikan

kepada makna asalnya. Pengembalian makna asalnya bukan lagi melalui nalar melainkan

dengan penyaksian realitas hakikinya. Ada pergerakan tajam dari symbol menuju hakikat

realitasnya.

Selanjutnya ada metode teknik pemahaman lahir-batin untuk menjalani proses takwil

melalui pemahaman dan ini di luar visi spiritual atau kasf untuk mengungkap makna batin

melalui makna teks lahiriahnya. Jika kita menerima konsep ruh makna, ruh makna tersebut

akan menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan antara tingkatan yang satu dengan tingkatan

lainnya. Bahkan, ada harmonisasi antara makna lahiriah yang satu dengan makna lahiriah

yang lainnya. Contohnya saja dalam al-Quran surat al-Insan ayat 30 Allah berfirman :

7

Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.

Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Apakah dengan ayat ini kita dapat menyimpulkan bahwa hukum yang berlaku dalam

setiap tindakan manusia tidak terlepas dari hokum determinisme? Jika ya, artinya secara

tidak langsung tindakan-tindakan tersebut digerakkan oleh Allah swt. Jika benar demikian

bagaimana dengan firman Allah swt lainnya dalam surat al-Kahfi ayat 29 :

Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin

(beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".

Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya

mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum

dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang

paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.

Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada sama sekali campur tangan Tuhan dalam setiap

tindakan kita. Seluruh rangkaian tindakan kita, menurut ayat tersebut, murni muncul dari

gerakan jiwa kita sendiri. Lantas, Apakah dengan memahami ayat ini kita bisa mendapatkan

dua kesimpulan yang kontradiktif? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita simak firman

Allah swt lainnya dalam al-Quran dalam surat al-Nisa ayat 82 :

8

Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari

sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.

Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa antara satu ayat dengan ayat lain dalam al-

Quran tidak akan pernah saling bertentangan. Dari beberapa contoh di atas dapat kita

simpulkan bahwa tindakan manusia tidaklah sepenuhnya determinik dan tidak pula

sepenuhnya bebas, namun diantara keduanya.14 Menariknya, metode seperti ini bersifat

universal dan dapat diaplikasikan oleh semua kalangan di level manapun. Namun ada syarat

yang harus dipenuhi, yaitu untuk menjaga agar ayat yang satu tidak bertentangan dengan ayat

yang lainnya anda harus selalu memperhatikan seluruh petunjuk yang ada. Meski demikian,

tidak semua teks aplikasinya semudah seperti yang kita bayangkan. Sebab, ada beberapa ayat

yang cukup sulit untuk mengupas realitas eksternalnya. Misalnya dalam persoalan eskatologi,

banyak ayat al-Quran maupun hadis yang mengatakan bahwa kebangkitan manusia di hari

akhirat kelak berbentuk fisik. Jika kita menggunakan kacamata syariah tentu kebangkitan

akan kita pahami dalam bentuk fisik, sebab pemaparan tersebut diperkuat dengan beberapa

hadis yang dengan tegas mengatakan bahwa manusia ketika dibangkitkan akan dikembalikan

kepada usia 17 tahun. Namun, jika kita menggunakan akal dalam memahami ayat tersebut

kita akan terlebih dahulu mengidentifikasi bahwa akhirat adalah alam immateri dan yang

immateri tidak mungkin membutuhkan yang materi. Dengan demikian hari kebangkitan

adalah kondisi ketika jiwa kita dibangkitkan dalam bentuk immateri. Dan inilah yang disebut

dengan takwil ketika kita berusaha untuk menyingkirkan makna lahiriahnya dan kemudian

menyingkap makna batinnya. Diantara perdebatan sengit mengenai eskatologi, Mulla Sadra

kemudian menengahi bahwa di hari kebangkitan manusia akan dibangkitkan dalam wujud

fisik, namun fisik tersebut adalah fisik dalam porsi spiritual.15

14 A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism. Kanz Philosophia, h. 305

15 A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism. Kanz Philosophia, h. 306

9

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa tesis ini secara kusus mengkaji

kritik Mulla Sadra terhadap paradigma interpretasi tekstual dan materialistik, agar lebih fokus,

akurat, dan relevan, maka masalah yang akan dibahas dibatasi pada fragmentasi fenomena

interpretasi tekstual dan materialistik di jejaring sosial Facebook. Adapun rumusan masalah yang

dijadikan titik tolak adalah :

1. Bagaimana kritik Mulla Sadra terhadap interpretasi tekstual dan materialistik

2. Mengapa fenomena interpretasi tekstual dan materialistik begitu marak terjadi di

Facebook?

3. Bagaimana aplikasi takwil yang disajikan Mulla Sadra mampu menjadi solusi bagi

paradigma interpretasi lahiriah terhadap teks yang terkadang sulit diterima oleh akal.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

a. Mengetahui penyebab maraknya terjadi interpretasi tekstual di jejaring sosial Facebook

Menggali metodologi Hermeneutika (takwil) Mulla Sadra sebagai parameter untuk

mengkonversi paradigma interpretasi tekstual agar menjadi lebih komprehensif.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian tesis ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

a. Menyadarkan pengguna jejaring sosial, terutama Facebook bahwa interpretasi tekstual

dan materialistik dapat menimbulkan mudharat yang sistemik.

10

b. Menambah khazanah publik tentang seni dalam menginterpretasikan sebuah teks.

D. Metodologi Penelitian

Penelitian tesis ini merupakan kajian kepustakaan melalui studi dokumentasi dan

fenomenologis. Sesuai dengan masalah yang akan dibahas, penelitian ini diawali dengan

menggali dan mengumpulkan berbagai informasi, dokumentasi dan data-data melalui studi

kepustakaan (liblary research), hal ini dilakukan agar memperoleh data teoritis yang relevan

dengan permasalahannya yang sedang diteliti

Selanjutnya, penulis akan mengamati gejala-gejala fenomenologis di jejaring sosial

Facebook. Pengamatan dilakukan guna mengidentifikasi masalah yang selama ini terjadi, yakni

pegumbaran hasil interpretasi tekstual baik oleh kalangan biasa maupun publik figur. Tujuan dari

observasi tersebut yakni untuk mendapatkan data-data yang kemudian akan penulis teliti lebih

lanjut

. Adapun yang menjadi sumber primer adalah buku-buku atau tulisan yang berkaitan

dengan Hermeneutika Mulla Sadra, sebagai pembanding penulis juga akan menyertakan karya-

karya tulis Hermeneutika barat. Tujuannya, agar pembahasan yang penulis sajikan tetap bersifat

objektif dan komprehensif. Sedangkan untuk menganalisa data, dipergunakan teknik analisis

komparatif.

Sedangkan untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang prilaku pengguna Facebook

dan untuk melengkapi data yang lengkap yang tidak didapati dari penelusuran literatur, maka

peneliti mengadakan penelitian lapangan (field research) dengan cara melakukan observasi dan

melakukan wawancara kepada beberapa pengguna Facebook aktif yang kerap mengumbar hasil

interpretasi tekstualnya di jejaring sosial. Jika dibutuhkan, peneliti juga akan melakukan

wawancara dengan beberapa ulama untuk mengetahui persepsi dan sikap mereka terhadap

fenomena interpretasi tekstual yang menjangkit pengguna jejaring sosial. Hal ini penting

dilakukan guna mendapatkan hasil penelitian yang integratif, terpadu dan komprehensif.

11

E. Kajian Pustaka

Dalam rangka upaya menjelaskan kritik Mulla Sadra terhadap fenomena interpretasi

tekstual dan materialistik, penulis menjadikan beberapa referensi kepustakaan sebagai data

primer. Diantaranya, Mulla Sadra dalam buku S. M. Khamenei, The Quranic Hermeneutics of

Mulla Sadra (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2006/1385) menjelaskan

tentang sistematika dan metodologi takwil yang masih jarang disentuh oleh mayarakat umum,

terutama pengguna jejaring sosial Facebook. Menurutnya, Kata Ta'wil disebut beberapa kali

dalam al-Quran. Ta'wil bermakna kembali kepada asal kata. dalam Hermeneutika kontemporer,

terkadang interpretasi sebuah teks berada di luar realita si pembaca. Inilah yang diwanti-wanti

Mulla Sadra agar pembaca tidak menyimpang dari pemahaman asli teks tersebut. menurut Mulla

Sadra, ta'wil adalah perangkat penting untuk memahami sebuah ayat, kata ta'wil tidak akan

pernah terlepas dengan eksistensi dunia ini. jauh di balik makna verbal dan literal al-Quran, ada

banyak rahasia, misteri dan bahkan makna yang tidak mampu dijelaskan oleh bahasa verbal.

seseorang tidak bisa mengulas makna teks al-Quran hanya dengan membaca teks tanpa

menelusuri makna batin di balik teks tersebut. oleh karena itu, jika anda tengah berupaya

mengulas al-Quran anda harus terlebih dahulu mampu menginterpretasi ayat per ayat secara

akurat. al-Quran tidak hanya memiliki makna literal. lebih dari itu, setiap teks memiliki makna

mendalam yang hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang sudah melalui proses penyingkapan

intuitif (mukassafah).16

Hermeneutik adalah perangkat untuk memudahkan interpretasi terhadap ayat-ayat al-

Quran, metodologi dan sistematika penafsiran yang diterapkan Hermeneutk sama sekali tidak

bertentangan dengan makna literal pada al-Quran. sebaliknya, Hermeneutik justru menjadi

suplemen untuk membantu memahami makna terdalam dari al-Quran. pada dasarnya, al-Quran

bukanlah ensiklopedia yang menjelaskan segala macam jenis pengetahuan secara mendetail,

namun al-Quran menjelaskan semuanya secara universal. ketika anda mengulas al-Quran dan

16 S. M. Khamenei, The Quranic Hermeneutics of Mulla Sadra, h. 51.

12

hanya berkutat pada makna verbal dan literal saja, maka "kulli shay-i" dalam al-Quran tidak

dapat dipahami secara utuh. maka dari itu, makna al-Quran yang sesungguhnya hanya dapat

dipahami melalu interpretasi atau Ta'wil. meski demikian ta'wil secara terminologi bermakna

mendekati al-Quran, membaur bersama al-Quran, dan menemukan makna batinya melalui

metodologi ta'wil yang benar, niscaya pembaca akan mampu menyingkap sesuatu di balik makna

literal al-Quran. Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan penetrasi pada makna batinya, dan

ini hanya bisa dilakukan melalui illuminasi. Sedangkan ta'wil hanyalah kendaraan untuk

membantu akal menyingkap makna esoterik

Ada tiga cara yang dapat dilakukan sebagai upaya dalam memahami al-Quran, pertama

dengan mengacu pada kamus dan kaidah-kaidah bahasa Arab (Nahwu, Saraf, Balagoh, dll), yang

kedua melalui intusi dan pengetahuan, dan yang ketiga menemukan makna teks dengan bantuan

akal. maka dari itu, ta'wil dalam perspektif al-Quran dapat dipahami sebagai upaya dalam

mensekunderkan makna verbal dalam al-Quran, dan mengedepankan pemahaman pada teks-teks

yang tidak terlihat pemahamanya secara dzahir. Selain itu, dalam mengulas sebuah teks dengan

metode Hermeneutik, kita harus mulai dari makna literal sebuah teks. penafsiran yang didapat

harus berkorespondensi dengan makna literalnya. ta'wil adalah jenis pengetahuan yang hanya

bisa didapat melalui penyingkapan intuitif, Mulla Sadra sedkit menjelaskan mengenai intuisi,

menurutnya, refleksi dari realitas terletak pada hati manusia, sebuah objek non-materi hanya

dapat dilihat oleh mata batin, karena sesuatu yang non-materi hanya dapat dilihat oleh sesuatu

yang juga bersifat non-materi, dan inilah yang disebut dengan intuisi. Mulla Sadra membagi

intuisi ke dalam dua katagori, yakni simbol intuisi. dia menyebutnya sebagai intuisi formal, yang

dapat menemukan realitas di balik sebuah simbol yang tidak dapat dijangkau oleh panca

indera.17 intuisi semacam ini lahir secara alamai dari dalam diri manusia karena hubungan yang

intens dengan Tuhan, Mulla Sadra mengatakan, bahwa Ta'wil sama halnya dengan menafsirkan

sebuah mimpi, bukan tanpa alasan. pasalnya, materi-materi di dunia ini jika dibandingkan

dengan yang ada pada kehidupan di alam lain bagaikan sebuah mimpi. senada dengan itu Ali ibn

Abi Thalib perna mengatakan, "manusia saat ini sedang tertidur dan akan terbangung saat

mereka mati."

17 Mafatih al-ghayb, h. 49

13

Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah, Volume 9 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,

2006), menerima takwil yang dibimbing langsung oleh Allah swt melalui penyingkapan intuitif

(kasyf). Takwil seperti ini diterima oleh orang-orang yang diberi keberhasilan oleh Allah dalam

memahami apa yang dia maksud dengan kata-kata yang dikandung dalam kitabnya. Orang-orang

seperti ini mendapatkan ilmu yang tidak tercampur atau bisa disebut murni (al-ilm ghayr

masyub). Mereka disebut orang-orang yang berakar kukuh dalam ilmu (ial-rasikuna fi al-ilm).

Ilmu takwil yang mereka miliki seperti ini disebut dengan “pemberian”. Jenis ilmu-ilmu ini

hanya bisa didapat melalui hasil proses takwa. Ibn Arabi juga melancarkan kritik tajam terhadap

takwil yang dikendalikan oleh penalaran, pemikiran, refleksi, dan hawa nafsu karena takwil jenis

ini melenceng dari apa yang dimaksud oleh Allah. Takwil yang Ibn Arabi dukung tetap

memelihara kesesuaian antara arti lahiriah dan arti batiniah. Sangat tidak memungkinkan adanya

pertentangan antara keduanya. Arti lahiriah tidak menghilangkan arti batiniah, begitupun

sebaliknya. Takwil semacam ini sejalan dengan pandangan yang mengatakan bahwa al-Quran

mengandung makna lahir dan batin. Takwil yang Ibn Arabi terima hanyalah takwil yang

bersandar pada al-Quran dan al-Sunnah.

Ibn Arabi mengajak kita untuk tidak hanya membaca al-Quran tapi juga

merenungkannya. Adapaun merenung yang ia maksud adalah mempelajari, mengkaji, dan

menelusuri secara mendalam dengan kalbu, yang bertransormasi pada etos spiritual dalam

perjalanan menuju keridhaan Allah swt. Membaca dan merenungkan al-Quran membawa

seseorang pada pengetahuan dan kesadaran tentang kualitas dan sifat terpuji yang harus dia

miliki dan sifat tercela yang harus dia jauhi. Adapun kualitas terpuji yang dimaksud di sini

adalah manifestasi dari sifat Allah yang identik dengan al-Quran. Karena itu ia mengimbau agar

kita menjadi al-Quran sebagai acuan dalam berakhlak sebagaimana yang dicontohkan oleh nabi

Muhammad saw.18.

Menurut Gadamer dalam buku Richard E. Palmer, Hermeneutic Interpretation Theory in

Schleiermacher Dilthey and Gadamer (USA: Northwestern University Press, 1969), dalam

upaya memahami sebuah teks pembaca harus merkonstruksi sejarah saat teks itu pertama kali

dibuat. Sebab, penulisan sebuah teks tidak pernah lepas dari unsur historisnya. Hal ini senada

18 Ibn Arabi , al-Futuhat 9V, 8: 257

14

dengan apa yang terjadi pada teks al-Quran, teks al-Quran turun berdasarkan respon terhadap

situasi psikologis nabi Muhammad dan umatnya. Artinya, sebuah teks akan selalu lekat dengan

unsur historisnya. Dengan demikian, aplikasi sebuah teks untuk kondisi tertentu haruslah

merujuk kepada sejarah saat teks itu diturunkan. Selain itu menurutnya, pembaca juga harus

melibatkan prejudice dalam memahami sebuah teks. Dengan melibatkan prejudice dalam

memahami sebuah teks, artinya akan terjadi perbedaan ketika seseorang dari Negara berkonflik,

misalnya memahami teks tentang jihad dan orang dari Negara tidak berkonflik memahami teks

tersebut. Yang paling kentara adalah ketika kita mendengarkan ulasan mengenai rezeki,

misalnya, dari ulama yang hidup di tengah gempita kemewahan dan ulama yang hidup di tengah

penderitaan, tentu ulasan keduanya akan sangat berbeda. Di samping itu, aspek grammatikal

bahasa juga menjadi penentu, terlebih, makna sebuah bahasa akan menjadi berbeda ketika

diucapkan dan ditempatkan di tempat yang berbeda, mungkin inilah yang menimbulkan

relatifitas dalam memahami sebuah teks. Meski demikian, sebenarnya sebuah teks tidak akan

pernah luput dari kesalahpahaman, tidak ada jaminan bahwa sebuah teks akan bebas dari kesalah

pahaman. Apalagi, kita berusaha untuk menerima gagasan dan ide dari orang-orang terdahulu

yang perjumpaanya hanya diwakili oleh sebuah teks, tentu kesalahpahaman sangat mungkin

terjadi di sini. Belum lagi terjadinya distorsi makna dari sebuah teks ketika diterjemahkan

kedalam bahasa lain. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah pemahaman kita

terhadap teks dalam al-Quran sudah sesuai dengan apa yang al-Quran itu sendiri inginkan? Jika

seandainya belum namun setidaknya sudah mendekati.

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan tesis dengan tema “Kritik Mulla Sadra Terhadap

Interpretasi Tekstual dan Materialistik (dalam analisa Facebook)” ini tersususn sebagai berikut :

BAB I, PENDAHULUAN, terdiri dari 5 (lima) sub bahasan antara lain ; pertama, latar belakang,

kedua, pembatasan dan rumusan masalah, ketiga, tujuan penelitian, keempat, kajian pustaka,

kelima metode penelitian yang digunakan dan keenam sistematika pembahasan

15

BAB II, KRITIK MULLA SADRA TERHADAP INTERPRETASI TEKSTUAL. Pada bab ini

penulis ingin mengupas dua hal penting yakni seputar problem paradigma interpretasi tekstual

dan materialistik yang dikritisi oleh Mulla Sadra.

BAB III, MENGUPAS MAKNA DARI TEKS SECARA TAJAM DENGAN METODOLOGI

HERMENEUTIKA

Pada bab ini bahasan akan diarahkan pada metodologi Hermeneutika untuk mengupas makna

sebenarnya yang dimaksud dari sebuah teks.

BAB IV, ANALISIS TERHADAP PRILAKU PENGGUNA FACEBOOK DALAM

MENGUMBAR HASIL INTERPETASI TEKSTUAL DAN MATERIALISTIK

Pembahasan dalam bab ini adalah penelusuran terhadap geliat pengguna Facebook yang gemar

mengekspos hasil interpretasi tekstualnya kepada publik sehingga pemikiran publik

tekontaminasi oleh paradigma materialistik.

BAB V, PENUTUP, sebagai bagian akhir, pada bab ini, penulis akan menarik kesimpulan dan

memberikan saran-saran seperlunya.

16

DAFTAR PUSAKA

1. Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur’an Text, Translation and Commentary. Maryland :

Brentwood, 1989.

2. Machasin. Mutasyabih al-Quran, Dalih Rasionalitas al-Quran. Yogyakarta : LKIS, 2000.

3. Arabi, Ibn. al-Tadbirat-al-ilahiyyah fi Ishlah al-Mamlakah al-Insaniyyah. Leiden : Brill,

1919.

4. —. al-Futuhat al-Makkiyah. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006. Volume 9.

5. al-Fayruzabadi, Abu Thahir Ibn Ya’kub. Tanwir al-Miqbaas min Tafsir Ibn Abbas. Beirut :

Dar al-Fikr, 2001.

6. Khamenei, S. M. The Quranic Hermeneutics of Mulla Sadra. Tehran : Sadra Islamic

Philosophy Research Institute, 2006.

7. Iqbal's Approach to Islamic Theology of Modernity. Maud, Muhammad Khalid. New

Theology, London : Journal al-Hikmat, 2007, Vol. 27.

8. Kanz Philosophia. Studies, Islamic College for Advanced. A Journal for Islamic Philosophy

and Mysticism, Jakarta : Sadra International Institute, 2012.

9. Palmer, Richard E. Hermeneutic Interpretation Theory in Schleiermacher Dilthey and

Gadamer. USA : Northwestern University Press, 1969.

For more information please visit :

http://plasticbarrels.org