Portofolio Demam Tifoid pada Anak - Fariz Maulana

26
KASUS MEDIS Demam Tifoid pada Anak Disusun oleh: Nama : dr. Fariz Maulana Pendamping : dr. Judy Dermawan, M.MKes NRP : 71060495 (Komisaris Polisi)

Transcript of Portofolio Demam Tifoid pada Anak - Fariz Maulana

KASUS MEDIS

Demam Tifoid pada Anak

Disusun oleh:

Nama : dr. Fariz Maulana

Pendamping : dr. Judy Dermawan,

M.MKes

NRP : 71060495 (Komisaris

Polisi)

RS Polri Bhayangkara Tk. III

Palu, Sulawesi Tengah

2013LEMBAR PENGESAHAN

Portofolio yang berjudul “Demam Tifoid pada Anak” telah

diterima dan disetujui

pada tanggal November 2013

oleh pembimbing sebagai salah satu syarat menyelesaikan

Program Internsip Dokter Indonesia

Rumah Sakit Polri Bhayangkara Palu

Palu, November 2013

dr. Judy Dermawan M.MKes

NRP 71060495

KASUS 4

Nama Peserta : dr. Fariz Maulana

Nama Wahana : RS Polri Bhayangkara Tk. III Palu, Sulawesi

Tengah

Topik : Demam Tifoid pada Anak

Tanggal (kasus) : 13 September 2013

Nama Pasien : An. R

Usia : 10 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Gusti Ngurah Rai, kota Palu

No. RM : 006453

Pendamping : dr. Judy Dermawan, M.MKes (Komisaris Polisi

NRP 71060495)

Obyek presentasi : □ Keilmuan □ Keterampilan

□Penyegaran □Tinjauan pustaka

□ Diagnostik □ Manajemen □Masalah □

Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □

Remaja

□ Dewasa □ Lansia □ Ibu Hamil

Deskripsi : Perempuan, 10 tahun datang dengan keluhan

panas

Tujuan : Diagnostik dan Manajemen

Bahan bahasan : □ Tinjauan pustaka □ Riset □

Kasus □ Audit

Cara Membahas : □ Diskusi □ Presentasi&diskusi

□Email □Pos

Diagnosis kerja : Demam Tifoid

Riwayat pengobatan : (-)

Riwayat kesehatan/penyakit : Riwayat keluhan serupa (-)

Riwayat keluarga : Keluhan serupa pada keluarga (-)

Riwayat pekerjaan : Siswa SD

Lain-lain : Riwayat alergi (-)

Hasil Pembelajaran :

13 September 2013

1. Subyektif

Pasien datang ke IGD dengan keluhan badan demam. Demam

timbul sejak 1 minggu yang lalu. Demam terjadi paling

parah terutama pada malam hari. Sedangkan kalau pagi

hari, penderita hanya merasa panas nglemeng saja. Demam

turun apabila minum obat turun panas, namun akan naik

lagi apabila “efek” obatnya sudah habis. Demam akan

bertambah berat apabila habis pulang sekolah berjalan

kaki. Pasien juga mengeluh sakit kepala, mual, akan

tetapi tidak mutah, perut terasa sakit dan nafsu makan

menurun. Buang air kecil lancar, belum buang air besar

selama 2 hari. Pasien sudah berobat, akan tetapi

keluhannya belum membaik sehingga keluarga memutuskan

untuk dibawa ke RS.2. Obyektif

Keadaan umum : Lemah, Kesadaran : compos mentis

Tanda Vital : Tekanan darah : 100/70 mmHg, Nadi: 88

x/menit isi dan tekanan cukup, RR : 20 x/menit, Suhu: 39

°C, BB : 25 kg.

Kepala : CA(-/-), SI (-/-), Mata cekung (-/-)

Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-),

lidah kotor (+)

Leher : Otot bantu pernafasan (-/-), limfonodi

tidak teraba

Thorax :

Pulmo : Simetris, retraksi supracalivular (-),

retraksi intercosta (-), ketinggalan gerak (-),

sonor (+/+), vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK

(+/+), wheezing (-/-)

Cor : Kuat angkat (-), S1>S2, regular, Murmur

(-), Gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : datar, massa (-)

Auskultasi : BU (+) normal

Perkusi : Timpani

Palpasi : Supel

Ekstremitas : Akral dingin (-)3. Assessment :

Febris 7 hari DD Demam Tifoid, Demam Berdarah Dengue4. Plan

Penunjang : Darah rutin, Widal

Penanganan :

Terapi:

IVFD RL 20 tpm makro

Inj. Ranitidin 2x1/2 amp iv

Inj Kloramfenikol 4x250 mg iv

Myrasic 3x1/2 tab po

Bufantasid syr 3x1 cth po

Hasil Laboratorium

Widal : Salmonella typhi O dan H : + 1/320

Parameter Hasil Nilai NormalHb 12 g/dl P: 12-14 g/dlLeukosit 2.600 /mm3 4.000-11.000

/mm3

Trombosit 282.000 /mm3 150.000-450.000

/mm3

Hitung Jenis Leukosit: MXD (Eosinofil/ Basofil/

Monosit)

6,0 % 3-4 %

Netrofil (Stab/ Segmen) 78,6 % 37-74 % Limfosit 15,4 % 20-40 %LED 6 mm/jam P: 0-10 mm/jamEritrosit 4.050.000/mm3 4-5 juta/mm3

Ht 38,1 % P: 37-43%MCV 82 76-96 flMCH 29 27-32 pgMCHC 31 32-36 g/dl

PEMBAHASAN

A. Definisi dan Epidemiologi

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi

sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih

dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang

terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.

Penyakit ini hanya didapatkan pada manusia. Penyakit

ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang

penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan

urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan,

sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar

higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.1,2

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia

sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal

mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat

luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003

memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam

tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus

kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam

tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%

merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang

sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan

rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini

tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan

insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun

dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun

atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur

penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara

3-19 tahun pada 91% kasus. 3

B. Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella

tertentu yaitu S. typhi, s. paratyphi A, dan S. paratyphi B dan

kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang

disebabkan oleh S. typhi cenderung untuk menjadi lebih

berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain. (5) .

Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang

bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak

berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa

dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi

tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme

salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara

anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent

terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan

pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60

º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat

hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama

beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama

berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering,

dan bahan tinja. (5)

Gambar 2.1. Strukur Salmonella typhi (5)

Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen

flagella H. Antigen O adalah komponen lipopolisakarida

dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen

H adalah protein labil panas. (5)

1. Antigen O

Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan

luar tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari

lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan

100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer. (6)

2. Antigen H

Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela,

fimbriae atau fili S. typhi dan berstruktur kimia

protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal

yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini

tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada

pemberian alkohol atau asam. (6)

3. Antigen Vi

Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. Typhi (kapsul)

yang melindungi kuman dari fagositosis dengan struktur

kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1

jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol.

Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier.(6)

4. Outer Membrane Protein (OMP)

Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang

terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan

peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan

sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu

protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan

komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D,

OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi

untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten

terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–

100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A,

protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap

protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui

dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP

S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50

kDa/52 kDa. (6)

C. Patofisiologi

HCL (asam lambung) dalam lambung berperan sebagai

penghambat masuknya Salmonella spp dan lain-lain

bakteri usus. Jika Salmonella spp masuk bersama-sama

cairan, maka terjadi pengenceran HCL yang mengurangi

daya hambat terhadap mikroorganisme penyebab penyakit

yang masuk. Daya hambat HCL ini akan menurun pada waktu

terjadi pengosongan lambung, sehingga Salmonella spp

lebih mudah masuk ke dalam usus penderita. Salmonella

spp kemudian memasuki folikel-folikel limfe yang

terdapat di dalam lapisan mukosa atau submukosa usus,

bereplikasi dengan cepat untuk menghasilkan lebih

banyak Salmonella spp. (5)

Setelah itu, Salmonella spp memasuki saluran limfe

dan akhirnya mencapai aliran darah. Dengan demikian

terjadilah bakteremia pada penderita. Dengan melewati

kapiler-kapiler yang terdapat dalam dinding empedu atau

secara tidak langsung melalui kapiler-kapiler hati dan

kanalikuli empedu, maka bakteria dapat mencapai empedu

yang larut disana. Melalui empedu yang infektif

terjadilah invasi ke dalam usus untuk kedua kalinya

yang lebih berat daripada invasi tahap pertama. Invasi

tahap kedua ini menimbulkan lesi yang luas pada

jaringan limfe usus kecil sehingga gejala-gejala klinik

menjadi jelas. Demam tifoid merupakan salah satu

bekteremia yang disertai oleh infeksi menyeluruh dan

toksemia yang dalam. Berbagai macam organ mengalami

kelainan, contohnya sistem hematopoietik yang membentuk

darah, terutama jaringan limfoid usus kecil, kelenjar

limfe abdomen, limpa dan sumsum tulang. (5)

Pada awal minggu kedua dari penyakit demam tifoid

terjadi nekrosis superfisial yang disebabkan oleh

toksin bakteri atau yang lebih utama disebabkan oleh

sumbatan pembuluh-pembuluh darah kecil oleh hiperplasia

sel limfoid (disebut sel tifoid). Mukosa yang nekrotik

kemudian membentuk kerak, yang dalam minggu ketiga akan

lepas sehingga terbentuk ulkus yang berbentuk bulat

atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang ulkus

sejajar dengan sumbu usus. Pada umumnya ulkus tidak

dalam meskipun tidak jarang jika submukosa terkena,

dasar ulkus dapat mencapai dinding otot dari usus

bahkan dapat mencapai membran serosa. (5)

Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik

dan terbentuk ulkus, maka perdarahan yang hebat dapat

terjadi atau juga perforasi dari usus. Kedua komplikasi

tersebut yaitu perdarahan hebat dan perforasi merupakan

penyebab yang paling sering menimbulkan kematian pada

penderita demam tifoid. Meskipun demikian, beratnya

penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai dengan

beratnya ulserasi. Toksemia yang hebat akan menimbulkan

demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan

usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi

ulserasi yang berat. Sedangkan perdarahan usus dan

perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang

berat. Pada serangan demam tifoid yang ringan dapat

terjadi baik perdarahan maupun perforasi. (5)

Pada stadium akhir dari demam tifoid, ginjal

kadang-kadang masih tetap mengandung kuman Salmonella

spp sehingga terjadi bakteriuria. Maka penderita

merupakan urinary karier penyakit tersebut. (5)

Akibatnya terjadi miokarditis toksik, otot jantung

membesar dan melunak. Anak-anak dapat mengalami

perikarditis tetapi jarang terjadi endokaritis.

Tromboflebitis, periostitis dan nekrosis tulang dan

juga bronkhitis serta meningitis kadang-kadang dapat

terjadi pada demam tifoid. (5)

Kuman masuk bersama makanan & minuman yang

terkontaminasi

Lolos dan masuk ke ususBila respon imunitas humukral

Dimusnahkan dilambungoleh HCL

Berkembang Biak

Nembus sel, epitel terutamasel M

Menembus sampai laminapropira

Berkembang biak & difagosit olehsel’fagosit terutama makrofag

Kuman hidup dan berkembangbiak

Dibawah ke plaque peyeriileum distal

Masuk ke sirkulasidarah

Tejadi bakterima I(asymptomatik)

Menyebar keseluruh organ Relikuloendotelial

Diogran RE S.Typhi akan meninggalkan sel”

Berkembang biak diluar sel

Diorgan RE S.Typhi akanmeninggalkan sel”

Masuk lagi kesirkulasi darah

Bakterima kedua tanda” dangejala penyakit infeksi

Makrofag yang telah teraktivasi &hiperaktif saat fagosit, terjadi

Gejala reaksi inflamasi sistemikdeman, malaise, mialgya, sakit

kepala, sakit perut, instabilita,

Masuk kekantungempedu

Berkembang biak

Ekskresi B’sama cairannyaempedu secara intermitten

Sirkulasidarah

Prosesberulang

Sebagianmenembus lumrn

Sebagiandikeluarkan

Perforasi peritonitisnyeri tekan

D. Gejala Klinis

Perbedaan antara demam tifoid pada anak dan dewasa

adalah mortalitas (kematian) demam tifoid pada anak

lebih rendah bila dibandingkan dengan dewasa. Risiko

terjadinya komplikasi fatal terutama dijumpai pada anak

besar dengan gejala klinis berat, yang menyerupai kasus

dewasa. Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai gejala klinis

ringan ataupun tanpa gejala (asimptomatik) (7).

Masa inkubasi rata-rata bervariasi 7-20 hari.

Inkubasi terpendek 3 hari dan terlama 60 hari. Lamanya

masa inkubasi berkorelasi dengan jumlah kuman yang

ditelan, keadaan umum atau status gizi serta status

imunologis pasien. Walaupun gejala demam tifoid ini

bervariasi namun secara garis besar dapat dikelompokan,

antara lain :

- Demam satu minggu atau lebih;

- Gangguan pencernaan; dan

- Gangguan kesadaran.

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai

infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala,

anoreksia, mual, muntah, diare, dan konstipasi. Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang

meningkat. Setelah minggu kedua maka gejala dan tanda

klinis makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid,

pembesaran hati dan limpa, perut kembung, mungkin

disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai

dengan yang berat 7,8.

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu

tipikal seperti orang dewasa, kadang-kadang mempunyai

gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula

mendadak tinggi dan remiten (39-41◦C) serta dapat juga

bersifat ireguler terutama pada bayi dan tifoid

kongenital (7).

Lidah tifoid terjadi beberapa hari setelah panas

meninggi dengan tanda-tanda antara lain lidah tampak

kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang

tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih

kemerahan. Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominem (7).

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu

pertama dan awal minggu kedua. Merupakan nodul kecil

menonjol dengan diameter 2-4cm, berwarna merah pucat,

serta hilang pada penekanan. Rosola ini merupakan emboli

kuman dimana di dalamnya mengandug kuman salmonella dan

terutama didapatkan di daerah perut, dada, dan kadang-

kadang daerah pantat maupun bagian flexor lengan atas(8).

Limpa pada umumnya sering membesar dan sering

ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus dibedakan

dengan pembesaran oleh karena malaria. Pembesaran limpa

pada tifoid tidak progresif dengan kosistensi lebih

lunak (8).

Tofoid kongenital didapatkan dari ibu hamil yang

menderita demam tifoid dan menularkan pada janin melalui

darah. Pada umumnya besifat fatal namun pernah

dilaporkan tifoid kongenital dapat hidup dengan gejala

tidak khas dan menyerupai sepsis neonatorum. Pada tipe

kongenital kuman dapat ditemukan dalam darah, hati,

limpa, serta kelainan patologis pada usus tidak

didapatkan. Hal ini menjelaskan bahwa pada tifoid

kongenital penularannya lewat darah dan secara cepat

menimbulkan gejala-gejala tifoid sepsis pada janin.

Demam tifoid pada anak usia < 2 tahun jarang dilaporkan,

bila terjadi biasanya gambaran klinisnya berbeda dengan

anak yang lebih besar. Kejadiannya sering mendadak

disertai panas yang tinggi, muntah-muntah, kejang, dan

tanda-tanda perangsangan meningeal. Pada pemeriksaan

darah ditemukan leukositosis (20.000-25.000/mm3), limpa

sering teraba pada pemeriksaan fisik. Perjalanan

fisiknya lebih pendek, lebih variasi, sering tidak

melebihi minggu, angka kematian yang tinggi ( 12,5%) (7).

E. Penegakan Diagnosis

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada

manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan

laboratorium penunjang. Pemeriksaan ini ditujukan untuk

membantu menegakkan diagnosis, menetapkan prognosis,

memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta

timbulnya penyulit (8).

1. Hematologi

Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila

terjadi penyulit perdarahan usus atau perforasi.

Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi

dapat pula normal atau tinggi. Hitung jenis leukosit:

sering neutropenia dengan limfositosis relatif. LED

(Laju Endap Darah) : meningkat. Jumlah trombosit

normal atau menurun (trombositopenia).

2. Kimia Klinik

Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan

gambaran peradangan sampai hepatitis Akut.

4. Imunologi

Tes Widal

Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk

mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap

antigen kuman Samonella typhi atau paratyphi (reagen).

Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular

dan paling sering diminta terutama di negara dimana

penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji

cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera diketahui.

Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi.

Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile

agglutinin.

Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor

sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau

negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan

oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan

vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain

(Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah

sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil

negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain

penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu

pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan

umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik

lain.

Diagnosis Demam Tifoid atau Paratifoid dinyatakan

bila titer O = 1/160, bahkan mungkin sekali nilai

batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit

demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O

meningkat setelah akhir minggu 1. Melihat hal-hal di

atas maka permintaan tes widal ini pada penderita yang

baru menderita demam beberapa hari kurang tepat. Bila

hasil reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan

disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontak

sebelumnya.

5. Mikrobiologi

Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)

Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk

pemeriksaan Demam Typhoid atau paratyphoid.

Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis

pasti untuk Demam Tifoid atau Paratifoid. Sebalikanya

jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid

atau Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu

dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara

lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL),

darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall

(darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman

terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah

masih dalam minggu pertama sakit, sudah mendapatkan

terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi (5,6).

Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat

segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan

kuman (biasanya positif antara 2 - 7 hari, bila belum

ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari).

Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit

adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut atau

carrier digunakan urin dan tinja.

F. Komplikasi

Pada minggu ke-2 atau lebih, sering timbul

komplikasi demam tifoid mulai dari yang ringan sampai

berat bahkan kematian. Komplikasi yang sering terjadi

pada demam tifoid adalah perdarahan usus dan perforasi

merupakan komplikasi serius dan perlu diwaspadai dari

demam tifoid yang muncul pada minggu ke-3. Sekitar 5

persen penderita demam tifoid mengalami komplikasi ini(8).

Perdarahan usus umumnya ditandai keluhan nyeri

perut, perut membesar, nyeri pada perabaan, seringkali

disertai dengan penurunan tekanan darah dan terjadinya

syok, diikuti dengan perdarahan saluran cerna sehingga

tampak darah kehitaman yang keluar bersama tinja.

Perdarahan usus muncul ketika ada luka di usus halus,

sehingga membuat gejala seperti sakit perut, mual,

muntah, dan terjadi infeksi pada selaput perut

(peritonitis). Jika hal ini terjadi, diperlukan

perawatan medis yang segera (8).

Komplikasi lain yang lebih jarang, antara lain :

1. Anak dengan panas tinggi umumnya tidak mau makan

karena ada diare. Sehingga dapat terjadi kekurangan

cairan (dehidrasi) dan elektrolit.

2. Kejang Demam

3. Gangguan Kesadaran

4. Pembengkakan dan peradangan pada otot jantung

(miokarditis).

5. Pneumonia.

6. Peradangan pankreas (pankreatitis).

7. Infeksi ginjal atau kandung kemih.

8. Infeksi dan pembengkakan selaput otak (meningitis).

9. Masalah psikiatri seperti mengigau, halusinasi, dan

paranoid psikosis.

G. Managemen Penatalaksanaan

1. Pengobatan kausal

a. Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgBB/hari

oral atau iv dibagi dalam 4 dosis selama 10-14

hari.

b. kotrimoksasol dengan dasar trimetropin 8-10

mg/kgBB/ hari atau sulfameoksasol 40-50

mg/kgBB/hari selama 7 hari

c. amoksisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 3 dosis

selama 10 hari

d. sefriakson 80 mg/kgBB/hari selama 7 hari

e. sefiksim 15-20 mg/kgBB/hari iv atau im selama 5

hari

2. Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan

gangguan kesadaran. Deksametason 1-3 mg/kgBB/hari iv

dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik.

3. Memperbaiki keadaan umum : koreksi elektrolit atasi

dehidrasi, hipoglikemi

4. Pengobatan suportif : roboransia

5. Pengobatan dietetik tergantung kondisi penderita bila

perlu makanan lunak/ cair mudah dicerna tinggi kalori

dan protein

6. Tirah baring bila perlu isolasi penderita

7. Transfusi darah sesuai keperluan

8. Tindakan diperlukan pada penyulit perforasi usus

9. Diet : makanan tidak berserat dan mudah dicerna,

setelah demam reda dapat diberikan makanan yang lebih

padat dengan kalori cukup. (4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Cleary TG. Salmonella. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson

HB, Eds. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 16. Philadelphia :

WB Saunders, 2000:842-8.

2. Rampengan T.H., Laurent I. R. Demam Tifoid. Dalam :

Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC, 1993 : 53; 59.

3. Risky V. P., Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam

Tifoid pada Anak. Available at

http://www.pediatrik.com/buletin/06224114418-f53zji.pdf.

Accessed at 13 September 2013.

4. Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus A., Marcellus S., Siti

S. Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi

IV. Jilid II. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006 : 1774.

5. Tirta Swarga. Demam Tifoid. Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia. 2008

6. Puspa Wardani, Prihartini, Probohusodo. Kemampuan Uji

Tabung Widal Menggunakan Antigen Import dan Antigen

Lokal. Indonesian Journal of Clinical and Medical

Labolatory. 12. 1. 2005 : 31-7

7. Rampengan, T.H., Laurentz, I.R : Penyakit Infeksi Tropik

Pada Anak. EGC. 1997: 53-72.

8. Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna

H, Hadinegoro SR, Eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak :

Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI,

2002:367-75.