Peranan Lisensi Creative Commons pada Pemasaran Karya Musik Di Indonesia - Fadly Pratama

120
51 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Dunia pada hari ini telah menginjak jaman dengan tingkat perkembangan teknologi yang sangat maju. Hal ini dapat dibuktikan dengan telah merebaknya teknologi yang bernama internet. Menurut Pew Internet and American Life Project (Lessig 2004: 8) “58% orang Amerika punya akses Internet pada tahun 2002, atau naik 49% dari dua tahun sebelumnya dan akan meningkat melebihi dua pertiga bangsa ini pada akhir tahun 2004”. Internet memang sangat memudahkan masyarakat dunia yang termasuk didalamnya masyarakat Indonesia, dalam mengakses berbagai kebutuhan dari kebutuhan primer sampai kebutuhan tersier, seperti makanan hingga barang-barang mewah yang nantinya akan segera dapat dikonsumsi. Sama dengan yang terjadi pada bentuk distribusi dan konsumsi karya musik. Konsumen musik di Indonesia saat ini, telah mengonsumsi karya musik dalam bentuk digital yang sudah sangatlah mudah diakses lewat internet. Dibuktikan dengan telah banyaknya penjual-penjual musik online berbasis internet, sampai dengan festival-festival musik yang disiarkan secara langsung (live) dan dapat diakses melalui internet (streaming). Sehingga perlindungan karya musik dalam pemasarannya didalam dunia internet akan dibutuhkan oleh pihak artis sebagai pelaku/pencipta dan perusahaan rekaman sebagai manajemen/publisher dari artis tersebut. Pada aspek ketatanegaraan, pemerintah Republik Indonesia telah membuat undang-undang yang berkenaan dengan hal tersebut yang tertuang dalam: Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 dan terakhir diamandemen dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

Transcript of Peranan Lisensi Creative Commons pada Pemasaran Karya Musik Di Indonesia - Fadly Pratama

51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Dunia pada hari ini telah menginjak jaman dengan tingkat perkembangan

teknologi yang sangat maju. Hal ini dapat dibuktikan dengan telah merebaknya

teknologi yang bernama internet. Menurut Pew Internet and American Life

Project (Lessig 2004: 8) “58% orang Amerika punya akses Internet pada tahun

2002, atau naik 49% dari dua tahun sebelumnya dan akan meningkat melebihi

dua pertiga bangsa ini pada akhir tahun 2004”. Internet memang sangat

memudahkan masyarakat dunia yang termasuk didalamnya masyarakat

Indonesia, dalam mengakses berbagai kebutuhan dari kebutuhan primer sampai

kebutuhan tersier, seperti makanan hingga barang-barang mewah yang

nantinya akan segera dapat dikonsumsi. Sama dengan yang terjadi pada bentuk

distribusi dan konsumsi karya musik.

Konsumen musik di Indonesia saat ini, telah mengonsumsi karya musik

dalam bentuk digital yang sudah sangatlah mudah diakses lewat internet.

Dibuktikan dengan telah banyaknya penjual-penjual musik online berbasis

internet, sampai dengan festival-festival musik yang disiarkan secara langsung

(live) dan dapat diakses melalui internet (streaming). Sehingga perlindungan

karya musik dalam pemasarannya didalam dunia internet akan dibutuhkan oleh

pihak artis sebagai pelaku/pencipta dan perusahaan rekaman sebagai

manajemen/publisher dari artis tersebut.

Pada aspek ketatanegaraan, pemerintah Republik Indonesia telah

membuat undang-undang yang berkenaan dengan hal tersebut yang tertuang

dalam:

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta,

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987,

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 dan

terakhir diamandemen dengan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

52

Tetapi dengan disahkannya undang-undang regional Indonesia tersebut

menimbulkan dampak tidak bebasnya pemakaian dan penyebaran karya,

khususnya karya musik dalam peredarannya di ranah internet. Terkesan lebih

mengedepankan “Budaya Komersial” yang merupakan “bagian dari

kebudayaan kita yang diproduksi dan dijual, atau diproduksi untuk dijual”

(Lessig 2004: 9).

Hal tersebut diatas agak bersebrangan dengan asumsi dan perilaku

pengonsumsi karya musik kontemporer yang melakukan penyebaran karya

musik di internet dalam konteks “Budaya Bebas” atau “Free Culture”.

Berdasar pada fenomena tersebut sebuah lembaga di Amerika Serikat

melakukan tindakan dengan membentuk sebuah lembaga dengan nama

Creative Commons. Diikuti oleh Indonesia sebagai anggota dengan nama

Creative Commons Indonesia pada tahun 2009. Lembaga tersebut telah

digagaskan oleh Ari Juliano dan Ivan Lanin sebagai Direktur dan Wakil

Direktur dari Creative Commons Indonesia. Creative Commons mengeluarkan

lisensi berbentuk peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan khusus dalam

mengaplikasikan perlindungan karya musik ala Creative Commons.

Lembaga yang menanungi dan bergerak dalam mendukung

pengaplikasian Creative Commons di Indonesia bernama Wikimedia Indonesia

(surat elektronik dari Ari Juliano, diakses 24 Maret 2014). Tujuan lembaga

tersebut berdiri adalah untuk mengenalkan pada publik Indonesia tentang

Lisensi Creative Commons dan Netlabel (Perusahaan Rekaman/Label Berbasis

Internet; pen) yang pada hari ini telah ikut mendorong tumbuhkembangnya

industri musik pada umumnya dan ranah musik independen khususnya.

Netlabel sendiri adalah sebuah perusahaan rekaman yang merilis karya musik

dari artis dibawah naungannya dalam bentuk digital yang selanjutnya

didistribusikan melalui internet secara “bebas”. Creative Commons Indonesia

bersama Wikimedia Indonesia mengusung dan menerapkan konsep lisensi ala

Creative Commons dalam perkembangan industri musik di Indonesia,

khususnya karya-karya musik yang dirilis secara independen.

53

Di Indonesia khususnya di Bandung, dimana penulis memusatkan

penelitian, penulis telah bertemu dengan salah seorang narasumber yang telah

merilis albumnya melalui internet secara “bebas” sekitar tahun 2006.

Pengertian “bebas” disini bukan bebas secara finansial atau “gratis”.

Melainkan “bebas” disini adalah suatu bentuk sub-kultur yang membebaskan

pencipta dan pemakai karya untuk memakai dan mendistribusikan karya

(khususnya karya musik) secara bebas, tidak terbatas, tetapi dengan

menggunakan lisensi dari pihak pemberi lisensi – lisensi berisi syarat dan

ketentuan yang dikeluarkan oleh Creative Commons.

Oleh karena beberapa hal diatas, penulis tertarik dengan permasalahan

tersebut dan ingin meneliti lebih jauh tentang apa dan bagaimana yang terjadi

pada Creative Commons dan akan memusatkan subyek penelitian pada

lembaga terkait seperti Creative Commons Indonesia, Wikimedia Indonesia,

Indonesian Netlabel Union berikut netlabel-netlabel dibawah naungannya.

Maka dari itu penulis mengangkat tema permasalahan penelitian ini dengan

judul Peranan Lisensi Creative Commons dalam Pemasaran Karya Musik

di Indonesia.

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, permasalahan penelitian

ini dapat dikristalisasikan dalam bentuk pertanyaan:

1. Bagaimana cara Creative Commons Indonesia bersama komunitas

dan individu terkait dalam menerapkan bentuk perlindungan karya

menurut syarat dan ketentuan berbentuk lisensi yang dibuat oleh

Creative Commons pada industri musik di Indonesia?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pergerakan Creative

Commons Indonesia dalam penerapan lisensi, serta syarat dan

ketentuan yang dikeluarkan oleh Creative Commons pada industri

musik Indonesia?

54

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini yaitu ingin mendapatkan jawaban dari

permasalahan yang ada dalam penelitian, seperti:

1. Mengetahui cara yang ditempuh oleh Creative Commons Indonesia

dan Wikimedia Indonesia bersama Indonesian Netlabel Union dalam

pembuatan, penerjemahan, penyelarasan dan penerapan bentuk lisensi

dan perlindungan menurut lisensi-lisensi, syarat-syarat dan ketentuan-

ketentuan yang telah dikeluarkan oleh Creative Commons.

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan Creative

Commons Indonesia dalam penerapan lisensi-lisensinya pada industri

musik Indonesia.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Setelah penelitian ini selesai dilakukan, diharapkan dapat berguna dan

menjadi bahan masukan bagi:

1. Penulis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman meneliti

tentang pengaruh dan hasil pergerakan yang dilakukan oleh Creative

Commons Indonesia dan Wikimedia Indonesia bersama Indonesian

Netlabel Union terhadap industri musik Indonesia khususnya pada ranah

musik independen.

2. Mahasiswa

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan

wawasan, serta bahan masukan tentang pengaruh dan hasil pergerakan

yang dilakukan oleh Creative Commons Indonesia dan Wikimedia

Indonesia bersama Indonesian Netlabel Union serta beberapa netlabel

dibawah naungan lembaga tersebut terhadap perkembangan industri

musik Indonesia khususnya dalam ranah musik independen terkait lisensi

yang telah dikeluarkan oleh Creative Commons.

55

3. Universitas Pasundan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif pada

Pendidikan Seni Musik di Universitas Pasundan.

1.5. METODELOGI PENELITIAN

1.5.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian adalah cara-cara bekerja untuk dapat

memahami objek penelitian dan merupakan bagian yang penting untuk

diketahui oleh seorang peneliti. Metode penelitian memberikan

ketentuan-ketentuan dasar untuk mendekati suatu masalah dengan tujuan

menentukan atau proses hasil yang benar-benar akurat.

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, penelitian ini

menggunakan pendekatan naratif deskriptif. Yang nantinya akan

dilanjutkan dengan Teknik Analisis Data dalam Focused Group

Discussion (FGD).

Adapun yang dimaksud dengan Focused Group Discussion yakni

teknik analisis data dengan cara mengumpulkan beberapa orang yang

bersangkutan dengan pokok permasalahan yang sedang diteliti untuk

menarasikan hingga menyimpulkan beberapa keterangan.

1.5.2. Objek Penelitian

a. Narasumber

Narasumber yang akan dijadikan subjek penelitian adalah

Creative Commons Indonesia sebagai penerjemah, penyelaras dan

penerap sistem lisensi Creative Commons. Wikimedia Indonesia

sebagai yang berperan sebagai penaung Creative Commons

Indonesia beserta netlabel-netlabel dibawahnya yang tersebar di

seluruh wilayah Indonesia. Beberapa narasumber lainnya yang

termasuk didalamnya penggagas lembaga Creative Commons

Indonesia dan artis pengguna lisensi Creative Commons.

b. Waktu

56

Penelitian dilakukan tepat setelah Sidang Proposal Penelitian

Skripsi, yakni mulai petengahan bulan Februari 2014, hingga

sebelum Sidang Skirpsi pada pertengahan Mei 2014.

c. Lokasi

Penelitian dilakukan di beberapa tempat/kediaman/kantor dari

narasumber terkait Creative Commons Indonesia, dan jika

memungkinkan peneliti akan mengikuti Indonesian Netaudio

Festival yang diselenggarakan oleh Indonesian Netlabel Union

dalam kampanyenya tentang Creative Commons pada komunitas-

komunitas juga lembaga pemerintahan.

d. Sumber Data

Sumber data yang didapatkan untuk penelitian ini merupakan

hasil dari proses pengambilan data dari narasumber. Sumber data

ini terdiri dari dua data, yang berasal dari narasumber dan data

dokumen yang relevan dengan penelitian.

1.5.3. Teknik Pengumpulan Data

a. Melakukan observasi ke tempat/kediaman/kantor dari Creative

Commons Indonesia, Indonesian Netlabel Union (tentatif) juga

beberapa kantor dari netlabel dibawah naungan Indonesian

Netlabel Union.

b. Melakukan wawancara dengan pihak narasumber diatas yang

berkaitan dengan perkembangan industri musik Indonesia yang

sesuai dengan masalah yang diteliti.

c. Menganalisis dan mengkaji dokumen yang didapat secara

langsung ataupun dokumen yang diberikan dari pihak

narasumber.

1.5.4. Teknik Analisis Data

57

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

Focus Group Discussion (FGD). Adapun yang dimaksud dengan Focus

Group Discussion adalah teknik analisis data dengan cara mengumpulkan

beberapa orang yang bersangkutan dengan pokok permasalahan yang

sedang diteliti untuk menarasikan hingga menyimpulkan beberapa

keterangan menyangkut pokok permasalahan yang sedang diteliti.

1.6. BATASAN ISTILAH

Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan suatu istilah,

maka penulis memberikan definisi beberapa istilah yang digunakan

pada penulisan ini sebagai berikut:

A. Peranan

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, peranan adalah orang

atau sesuatu yang menjadi bagian dari suatu masalah atau peristiwa

(W.J.S. Poerwadarminta 2005, 854). Selain itu peranan juga diartikan

sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sesuatu di suatu

peristiwa (W.J.S. Poerwadarminta 2005, 854). Secara umum peranan

diartikan sebagai menjadi bagian atau keikutsertaan.

B. Pemasaran dan Manajemen Pemasaran

Teori pemasaran yang dikemukakan oleh beberapa ahli;

Pemasaran menurut Kotler yang dialihbahasakan oleh

Benyamin Molan (2007, 6) adalah “Suatu proses sosial yang

didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang

mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan,

menawarkan dan secara bebas mempertukarkan produk yang

bernilai dengan pihak lain”

Pemasaran menurut Djaslim Saladin (2007, 1) mendefinisikan

“Pemasaran adalah suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang

dirancang untuk merencanakan harga, promosi dan

mendistribusikan barang-barang yang dapat memuaskan

58

keinginan dan mencapai pasar sasaran serta tujuan

perusahaan.”

Pengertian Manajemen Pemasaran menurut Kotler yang

dialihbahasakan Benyamin Molan (2007, 6) yaitu “Manajemen

pemasaran adalah seni dan ilmu memilih pasar sasaran dan

mendapatkan, menjaga dan menumbuhkan pelanggan dengan

menciptakan, menyerahkan dan mengkomunikasikan nilai

pelanggan yang unggul”.

Sedangkan menurut Djaslim Saladin (2007, 3) mengemukakan

bahwa manajemen pemasaran sebagai berikut. “Manajemen

Pemasaran adalah analisis, perencanaan, penerapan dan

pengendalian program yang dirancang untuk menciptakan,

membangun dan mempertahankan pertukaran yang

menguntungkan dengan pasar sasaran dengan maksud untuk

mencapai tujuan – tujuan organisasi”.

Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa manajemen pemasaran

sebagai proses yang mencakup analisis perencanaan, pelaksanaan dan

pengendalian, juga produk atau jasa yang berdasarkan pertukaran dan

bertujuan untuk menghasilkan kepuasan kepada pihak–pihak yang

terlibat di dalamnya.

C. Industri dan Industri Musik

Menurut UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, industri

adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku,

barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai

yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang

bangun dan perekayasaan industri.

Menurut para pakar yang lain;

Tim Grasindo

59

Industri adalah segala macam pekerjaan yang menghasilkan

uang

Badan Pusat Statistik

Industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang melakukan

kegiatan ekonomi, bertujuan menghasilkan barang atau jasa,

terletak pada suatu bangunan atau lokasi tertentu dan

mempunyai catatan administrasi sendiri.

Sedangkan jika kita merujuk lagi ke hal yang lebih spesifik yakni

industri musik,

Menurut Wikipedia, industri musik adalah bentuk bisnis dalam

bidang permusikan yang menjual komposisi, rekaman dan

penampilan dari artis atau musisi. Menurut ensiklopedia, industri

musik adalah industri yang melibatkan produksi, distribusi dan

penjualan dari musik dalam bermacam bentuk termasuk promosi

dengan cara pertunjukan langsung. Sedangkan menurut

recordlabelresource.com, industri musik adalah proses produksi

dan komersialisasi musik yang mempunyai suatu yang menarik bagi

khalayak ramai (Widi Asmoro dalam

http://www.widiasmoro.com/2012/06/28/apakah-ada-industri-

musik-di-indonesia/ diakses 17 Maret 2014).

D. Creative Commons dan Lisensi Creative Commons

Creative Commons adalah sebuah organisasi non-profit asal

Mountain View, California, Amerika Serikat yang dimotori oleh Prof.

Lawrence Lessig, dibawah naungan Wikimedia Commons yang

mengeluarkan lisensi bernama sama, yakni Creative Commons.

Organisasi ini bergerak dalam bidang perlindungan karya musik di

ranah internet. Perlindungan tersebut berbentuk lisensi dengan terms &

conditions (syarat dan ketentuan) yang berlaku jika ada karya yang akan

dibagikan secara “bebas” di internet. Lisensi tersebut mengijinkan

penggunaan karya kembali selama mengedepankan sifat-sifat seperti

60

yang tertera pada simbol-simbol yang terdapat pada “lisensi terbuka”

yang dikeluarkan oleh Creative Commons.

Penerapan lisensi dilakukan jika ada karya yang akan dirilis di

internet baik karya tersebut telah didaftarkan pada lembaga hukum

hingga mendapatkan Hak Cipta (Copyright) secara tertulis dan terdaftar

di Direktorat Jendral Hukum Kekayaan Intelektual – di Indonesia,

maupun karya yang tidak pernah didaftarkan ke lembaga hukum

tersebut tetapi tetap ingin menggunakan lisensi dari Creative Commons

sebagai pemberi lisensi dalam ranah internet.

Lisensi tersebut memungkinkan pencipta sebuah karya (seni, sastra

dan ilmu pengetahuan) mendistribusikan karyanya secara “bebas”

kepada para pengguna karyanya. Dengan syarat pengguna/konsumen

tersebut tetap menaati dan menjunjung tinggi bentuk-bentuk lisensi

yang telah dikeluarkan oleh Creative Commons. Adapun bentuk-bentuk

lisensi yang dimaksud adalah sebagai berikut;

61

Gambar 1.1. Bentuk Lisensi yang dikeluarkan oleh Creative Commons dan telah

dialihbahasakan oleh Creative Commons Indonesia (Sumber:

http://creativecommons.org/licenses/?lang=id – diakses pada 18 Maret 2014)

62

1.7. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan ini ditulis bertujuan untuk menjelaskan Bab yang

akan dibuat dalam kerja praktek ini secara jelas dan terarah yaitu sebagai

berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,

batasan istilah, dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

Bab ini menguraikan mengenai hal yang melandasi atau yang

menjadi dasar perbandingan tentang peranan lisensi Creative Commons

dalam perkembangan industri musik di Indonesia.

BAB III METODELOGI PENELITIAN

Bab ini menguraikan secara detil mengenai metodologi

penelitian yang terdapat didalamnya; jenis penelitian, objek penelitian,

teknik pengumpulan data serta teknik analisis data yang digunakan

dalam membahas dan mengolah data.

BAB IV ANALISIS dan PEMBAHASAN

Bab ini membahas semua hasil penelitian, dari pengumpulan

data, proses di lapangan hingga mendapatkan data dari perkembangan

industri musik yang telah dilakukan oleh Creative Commons Indonesia

beserta lisensinya, bersama dengan Indonesian Netlabel Union dan

beberapa Netlabel dibawah naungannya.

BAB V PENUTUP

Bab ini menyimpulkan keseluruhan isi dari penelitian yang

telah dilakukan juga saran bagi para pihak-pihak dan lembaga-lembaga

terkait seperti Creative Commons Indonesia, Indonesian Netlabel

Union dan Netlabel dibawah naungan Indonesian Netlabel Union.

63

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. DEFINISI LISENSI

Telah tertulis pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun

2002 Tentang Hak Cipta, Bab I Pasal 1, poin 14 yang berbunyi:

Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Hak Cipta atau pemegang

Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak

Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.

Adapun pada Bab V – Lisensi;

Pasal 45

(1) Pemegang Hak Cipta berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain

berdasarkan surat perjanjian Lisensi untuk melaksanakan perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

(2) Kecuali diperjanjikan lain, lingkup Lisensi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 berlangsung selama jangka waktu Lisensi diberikan dan

berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

(3) Kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan kewajiban

pemberian royalty kepada Pemegang Hak CIpta oleh penerima Lisensi.

(4) Jumlah royalty yang wajib dibayarkan kepada Pemegang Hak Cipta

oleh penerima Lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah

pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi.

Pasal 46

Kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Hak CIpta tetap boleh

melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga

untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

64

Pasal 47

(1) Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat

menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau

memuat ketentuan yang menakibatkan persaingan usaha tidak sehat

sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

(2) Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga,

perjanjian Lisensi wajib dicatatkan di Direktorat Jenderal.

(3) Direktorat Jenderal wajib menolak pencatatan perjanjian Lisensi

yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan perjanjian Lisensi diatur

dengan Keputusan Presiden.

Kemudian Hotma (2011) menyatakan,

Beberapa pengertian lisensi yang dikemukakan di atas, maka dapat

dimaknai bahwa yang dimaksud dengan lisensi adalah suatu bentuk

pemberian izin untuk memanfaatkan atau menggunakan suatu Hak Atas

Kekayaan Intelektual, yang dapat diberikan oleh pemberi lisensi kepada

penerima lisensi agar penerima lisensi dapat melakukan suatu bentuk

kegiatan usaha, baik dalam bentuk teknologi atau pengetahuan (knowhow)

yang dapat dipergunakan untuk memproduksi, menghasilkan, menjual, atau

memasarkan barang (berwujud) tertentu, maupun yang akan dipergunakan

untuk melaksanakan kegiatan jasa tertentu, dengan mmpergunakan Hak Atas

Kekayaan Intelektual yang dilisensikan tersebut. Untuk keperluan tersebut

penerima Lisensi diwajibkan untuk memberikan kontraprestasi dalam bentuk

pembayaran royalti yang dikenal juga dengan License fee.

Dalam ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-

33/Pj/2009 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa

Royalti dari Hasil Karya Sinematografi, lisensi dikatakan sebagai izin yang

diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak

lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk

65

hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu. Di dalam ketentuan ini tujuan

lisensi adalah sebagai salah satu sumber pendapatan Negara, di mana

terhadap royalti yang dibayarkan kepada pencipta atau pemegang hak cipta

dikenakan pajak penghasilan sebagai pendapatan Negara.

Kemudian Wikipedia pada http://id.wikipedia.org/wiki/Lisensi (diakses 28

April 2014),

Lisensi dalam pengertian umum dapat diartikan memberi izin. Pemberian

lisensi dapat dilakukan jika ada pihak yang memberi lisensi dan pihak yang

menerima lisensi, hal ini termasuk dalam sebuah perjanjian. Definisi lain,

pemberian izin dari pemilik barang/jasa kepada pihak yang menerima lisensi

untuk menggunakan barang atau jasa yang dilisensikan.

Macam Lisensi:

(a) Lisensi atas Hak Kekayaan Intelektual

Salah satu jenis lisensi adalah lisensi atas hak intelektual, misalnya

perangkat lunak komputer. Pemilik lisensi memberikan hak kepada pengguna

untuk memakai dan menyalin sebuah perangkat lunak yang memiliki hak

paten kedalam sebuah lisensi.

Lisensi atas hak intelektual biasanya memiliki beberapa pasal/bagian

didalamnya, antara lain syarat dan ketentuan (term and condition), wilayah

(territory), pembaruan (renewal) dan syarat-syarat lain yang ditentukan oleh

pemilik lisensi.

Syarat dan ketentuan (term and condition): Kebanyak lisensi dibatasi

oleh jangka waktu pemakaian. Hal ini untuk melindungi kekayaan

intelektual dari pemilik lisensi, karena sering atau adanya perubahan

kondisi peraturan pemberian lisensi / pasar. Hal ini juga melindungi

pemilik lisensi dari pemakaian lisensi dengan beberapa alamat IP

66

(Internet Protocol) dalam satu (nomer seri) untuk satu jenis perangkat

lunak.

Wilayah: Pembatasan wilayah adalah batasan pemakaian produk untuk

digunakan dalam satu wilayah atau regional terbatas (tertentu). Sebagai

contoh, sebuah lisensi produk atau jasa untuk daerah atau regional

"Amerika Utara" (Amerika Serikat dan Kanada) tidak dapat dipakai di

Indonesia (regional Asia Tenggara), begitu juga sebaliknya.

(b) Lisensi Massal

Lisensi massal adalah lisensi dari pemilik ke perorangan untuk

menggunakan sesuatu. Contoh; Perangkat Lunak. Rincian lisensi perangkat

lunak biasanya tertuang dalam "Kesepakatan Lisensi Pengguna tingkat

Akhir" (End User License Agreement (EULA).

Dibawah perjanjian "EULA" ini pengguna komputer dapat melakukan

instalasi perangkat lunak dalam satu atau lebih komputer (tergantung

perjanjian lisensi).

(c) Lisensi Merek Barang/Jasa

Pemilik barang atau jasa dapat memberikan izin (lisensi) kepada individu

atau perseroan agar individu atau perseroan tersebut dapat

mendistribusikan (menjual) sebuah produk atau jasa dari pemilik barang

atau jasa dibawah sebuah merek dagang.

Dengan pemakaian lisensi tipe ini, pemakai lisensi dapat menggunakan

(menjual atau mendistribusikan) merek barang atau jasa di bawah sebuah

merek dagang tanpa khawatir dituntut secara hukum oleh pemilik lisensi.

Sebagai contoh, sebuah perusahaan dapat memakai desain dan teknologi

sebuah produk atau jasa yang berasal dari suatu negara dan dipasarkan

dengan memakai nama lain di negaranya sendiri.

67

(d) Lisensi Hasil Seni dan Karakter

Pemilik lisensi dapat memberikan izin atas penyalinan dan

pendistribusian hak cipta material seni dan karakter (misalnya, Mickey

Mouse menjadi Miki Tikus).

(e) Lisensi Bidang Pendidikan

Gelar akademis termasuk sebuah lisensi. Sebuah Universitas

memberikan izin kepada perorangan untuk memakai gelar akademis.

Misalnya (Diploma I (D1), Ahli Madya (Diploma III, (D3)), Sarjana (S1),

Magister (S2), Doktor (S3)).

2.2. DEFINISI CREATIVE COMMONS

Creative Commons, didirikan oleh profesor hukum dari Universitas Stanford,

Lawrence Lessig, bersama dengan rekan-rekannya dari Institut Teknologi

Massachusetts, Universitas Harvard, Universitas Duke dan Universitas Villanova

pada tahun 2001. Dengan Creative Commons, Lessig menyediakan set lisensi hak

cipta gratis untuk digunakan oleh publik. Seorang pencipta yang bersedia untuk

melepaskan karyanya di bawah lisensi Creative Commons (CC) dapat

mengunjungi situs web Creative Commons dan memilih lisensi yang diinginka.

Pemilihan lisensi CC atribusi, misalnya, ia mempertahankan hak cipta, tapi

memungkinkan orang lain untuk menggunakan karya tanpa izin dan tanpa

pembayaran, selama mereka mencantumkan “kredit”nya kepada pencipta yang

asli. Kemudian situs web tersebut menyediakan dengan sendirinya beberapa baris

kode komputer yang nantinya dapat disalin dan ditempelkan di situs web (website)

pencipta, yang ciptaannya ingin dilisensikan oleh CC. Setelah itu, pengunjung situs

web dari pencipta akan melihat logo Creative Commons dan kalimat di bawah logo

yang menunjukkan kondisi dan yurisdiksi yang telah disepakati sebelum

penempelan logo tersebut.

68

2.2.1. Lisensi Creative Commons

Adapun lisensi-lisensi yang dimaksud adalah:

1. CC-BY (Creative Commons - Attribution)

Creative Commons attribution

adalah lisensi yang mengizinkan

orang lain untuk menyalin,

mendistribusikan, menampilkan,

serta membuat karya turunan

berdasarkan suatu karya hanya

jika orang tersebut memberikan

penghargaan pada pencipta atau pemberi lisensi dengan cara yang

disebutkan dalam lisensi. Sebagai contoh anda menemukan video

yang berada dalam domain publik tapi dalam keterangannya video

tersebut lisensinya adalah CC-BY, anda diharuskan memberi

kredit kepada sang pemilik video, biasanya kredit dalam bentuk

Title, Kredit scroll baik di akhir video maupun di awal video.

2. CC-ND (Creative Commons - Non-Derivative)

Creative Commons non-

derivative mengizinkan orang

lain menyalin

mendistribusikan dan

menampilkan hanya salinan

yang sama persis dengan karya

yang akan anda gunakan,

bukan karya turunan dari karya tersebut. Dengan maksud anda

tidak diperbolehkan untuk memodifikasi, mengedit atau meremik

produk file yang anda beli lisensinya.

69

3. CC-NC (Creative Commons - Non-Commercial)

Creative Commons non-

commercial mengizinkan

pengguna lisensi dan

pengguna karya menyalin,

mendistribusikan,

menampilkan, serta

membuat karya turunan

berdasarkan suatu karya hanya untuk tujuan nonkomersial.

Artinya jika anda mengunduh sebuah file video yang lisensinya

CC-NC lalu ingin mereupload ke Youtube anda tidak bisa

menghasilkan uang dari video tersebut.

4. CC-SA (Creative Commons - Share-Alike)

Creative Commons share-

alike mengizinkan orang lain

untuk mendistribusikan

suatu karya turunan hanya di

bawah suatu lisensi yang

identik dengan lisensi yang

diberikan pada karya aslinya.

Sebagai contoh anda ingin

mengabungkan sebuah file video tentang gol-gol dari

pertandingan sepakbola, misalnya gol-gol Cristiano Ronaldo.

Maka di dalam video gol tersebut, anda hanya boleh menggabung

video dari perusahaan televisi yang memberi izin tertulis kepada

anda. Misalnya yang memberi lisensi adalah stasiun televisi “A”,

maka seluruh video golnya semua hanya & harus bersumber dari

stasiun televisi “A”.

70

Perlu diketahui satu orang saja pemegang lisensi melaporkan

video anda mirip dan tidak dapat anda buktikan sudah memiliki

izin lisensi yang sah, fasilitas monetisasi di akun anda bisa

langsung di nonaktifkan oleh pihak penyiar. Kasus ini sering

menimpa kepada pemain adsense salah satu situs siar, Youtube

yang tidak memiliki izin tertulis saat ingin menguangkan video

jenis CC-SA ini. Akibatnya jika sudah terlalu sering melanggar

copyright content, status akun anda langsung bereputasi buruk.

Akun adsense anda pun akan segera terkena banned.

2.2.2. Kombinasi Lisensi Creative Commons

Selanjutnya adalah tampilan dari logo dan lisensi yuridis keluaran

Creative Commons yang telah dikombinasikan dan akan segera dapat

digunakan. Tertuang dalam keterangan berikut ini:

1. Atribusi

CC BY

Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk

menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan, bahkan

untuk kepentingan komersial, selama mereka mencantumkan kredit

kepada Pemilik Ciptaan atas ciptaan asli. Lisensi ini adalah lisensi

yang paling bebas. Direkomendasikan untuk penyebarluasan secara

maksimal dan penggunaan materi berlisensi.

2. Atribusi-BerbagiSerupa (Share-Alike)

CC BY-SA

Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk

menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bahkan

untuk kepentingan komersial, selama mereka mencantumkan kredit

kepada Pemilik Ciptaan dan melisensikan ciptaan turunan di bawah

syarat yang serupa. Lisensi ini seringkali disamakan dengan lisensi

"copyleft" pada perangkat lunak bebas dan terbuka. Seluruh ciptaan

71

turunan dari ciptaan si Pemilik Ciptaan akan memiliki lisensi yang

sama, sehingga setiap ciptaan turunan dapat digunakan untuk

kepentingan komersial. Lisensi ini digunakan oleh Wikipedia, dan

direkomendasikan untuk materi-materi yang berasal dari

penghimpunan materi Wikipedia dan proyek dengan lisensi serupa.

3. Atribusi-TanpaTurunan (Non-Derivative)

CC BY-ND

Lisensi ini mengizinkan penyebarluasan

ulang, baik untuk kepentingan komersial maupun nonkomersial,

selama bentuk ciptaan tidak diubah dan utuh, dengan pemberian

kredit kepada Pemilik Ciptaan.

4. Attribusi-NonKomersial (Non-Commercial)

CC BY-NC

Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk

menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan yang bukan

untuk kepentingan komersial, dan walau mereka harus

mencantumkan kredit kepada Pemilik Ciptaan dan tidak dapat

memperoleh keuntungan komersial, Pengguna Ciptaan tidak harus

melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang sama dengan

ciptaan asli.

5. Atribusi-NonKomersial-BerbagiSerupa

CC BY-NC-SA

Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk

menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk

kepentingan komersial, selama Pengguna Ciptaan mencantumkan

72

kredit kepada Pemilik Ciptaan dan melisensikan ciptaan turunan

dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.

6. Atribusi-NonKomersial-TanpaTurunan

CC BY-NC-ND

Lisensi ini adalah lisensi yang paling ketat

dari enam lisensi utama, hanya mengizinkan orang lain untuk

mengunduh ciptaan Pemilik Ciptaan dan membaginya dengan orang

lain selama Pengguna Ciptaan mencantumkan kredit kepada Pemilik

Ciptaan, tetapi Pengguna Ciptaan tidak dapat mengubahnya dengan

cara apapun atau menggunakannya untuk kepentingan komersial.

2.3. DEFINISI NETLABEL

Netlabel adalah label rekaman yang mendistribusikan rilisannya dalam

format digital audio melalui jaringan Internet, rilisan dapat diunduh secara legal

baik gratis maupun berbayar. Idenya adalah menyebarkan musik secara bebas dan

tanpa batas geografis. Netlabel menjadi alternatif dalam wahana musik mandiri di

Indonesia yang saat ini stagnan, dimana jaringan internet belum diantisipasi dengan

baik oleh industri musik arus utama. Yes No Wave Music menyebut netlabel sebagai

aksi “gift economy”, sebuah eksperimentasi dalam menerapkan model musik gratis

kepada pecinta musik di dunia yang kapitalistik ini. Aksi ini bukanlah gagasan

menghancurkan industri musik yang sudah mapan puluhan tahun, tetapi lebih pada

tawaran alternatif dalam mendistribusikan karya musik secara bebas. Bebas untuk

diedarkan, diperdengarkan dan digubah oleh siapa saja. Sebuah pembebasan

kreativitas. Internet telah memberi kita peluang untuk melakukan demokratisasi

‘pasar’. Perubahan teknologi yang begitu cepat tentu saja menimbulkan

overlapping informasi dan menggeser tatanan budaya, sosial dan ekonomi.

Gerakan netaudio mencoba untuk mengkaji wacana tersebut sambil merumuskan

gagasan dan siasat yang tepat.

Adapun lembaga tempat bernaungnya beberapa netlabel di Indonesia adalah

Indonesian Netlabel Union (Serikat Netlabel Indonesia).

73

2.3.1. Indonesian Netlabel Union

Indonesian Netlabel Union (Serikat Netlabel Indonesia) merupakan

satu gerakan kolektif netlabel Indonesia yang ditujukan untuk memulai

jaringan antar-netlabel dan juga untuk mengenalkan kepada publik tentang

eksistensi netlabel lokal serta menjadi sebuah wadah dalam mengkaji wacana

musik di era teknologi informasi. Langkah awal dimulai dengan merilis seri

album kompilasi secara serentak pada tanggal 1 Januari 2011. 5 netlabel aktif

yang turut serta dalam kompilasi tersebut adalah Hujan! Rekords, Inmyroom

Records, Mindblasting, Stone Age Records, dan Yes No Wave Music.

Indonesian Netlabel Union juga menggelar sebuah booth offline sharing dan

merchandise di RRREC Fest #2 di Jakarta, 3-5 Desember 2011. Langkah

kami selanjutnya adalah menyelenggarakan Indonesian Netaudio Festival.

Anitha Silvia (aktifis Indonesian Netlabel Union) dalam blognya

(http://makantinta.blogspot.com/2013/09/tentang-indonesian-netlabel-

union.html) telah menjabarkan beberapa poin mengenai Netlabel.

Kami terbiasa menyebutkan “Indonesian Netlabel Union” daripada

Serikat Netlabel Indonesia. Pada tahun 2007 Netlabel pertama di

Indonesia terbentuk, Yes No Wave Music (meskipun

Tsefula/Tsefuelha Records telah melakukannya di tahun 2006, akan

tetapi Yes No Wave Music mempopulerkannya di Indonesia.

Tsefula/Tsefuelha kemudian menjadi sub-label dari Yes No Wave

Music) yang kemudian disusul oleh beberapa Netlabel lain pada

tahun-tahun berikutnya.

Indonesian Netlabel Union dicetuskan oleh Wok The Rock (juga

sebagai pencetus dari Yes No Wave Music), beliau mengajak 4

Netlabel lainnya (Stone Age Records, Hujan Rekords, Mindblasting,

Inmyroom Records) untuk membuat suatu jaringan antar-netlabel

yang berfungsi menyebarkan ide mengenai Netlabel di Indonesia.

Indonesian Netlabel Union diproklamirkan pada 1 Januari 2011,

ditandai dengan membuat rilisan pada tanggal yang bersamaan.

74

Konsep “Netlabel” di ranah industri musik Indonesia masih asing.

Indonesian Netlabel Union percaya bahwa konsep Netlabel akan

menjadi suatu alternatif yang signifikan dalam model distribusi

musik. Melalui Indonesian Netlabel Union para aktifis melakukan

sosialisasi mengenai Free Culture, dimana musik adalah salah satu

produk budaya yang dimiliki bersama.

Adapun proses penyatuan dari beberapa Netlabel di Pulau Jawa

menurut Silvia dalam makantinta (2013), ialah:

Pada sesi pertama (1 Januari 2011), 5 Netlabel pastinya cukup

mudah dikoordinasikan karena mereka sudah saling mengenal dan

punya visi yang sama. Saya sebagai penikmat rilisan Netlabel, sangat

tertarik dengan Indonesian Netlabel Union, yang kemudian pada saat

yang bersamaan saya dan 5 Netlabel tersebut membuat rilisan

bersama.

Pada sesi kedua, saya baru menemukan tantangan. Pada

pertengahan tahun 2011 saya mengusulkan offline gathering untuk

pegiat/penikmat Netlabel kepada Indonesian Netlabel Union, ide ini

disambut dengan hangat. Saya dengan cukup mudah mengumpulkan

semua aktivitis Netlabel, karena mereka aktif di dunia maya,

berkorespondensi via surat elektronik dan berbagi ide mengenai

offline gathering. Salah satu tantangan adalah saya harus rajin

berbagi pengetahuan mengenai Netlabel (dan Free Culture secara

garis besar) kepada banyak orang yang penasaran dengan ide offline

gathering dan Netlabel. Tantangan lain adalah mengumpulkan

mereka untuk bertemu tatap muka membahas proyek ini karena kami

tersebar di berbagai kota di Pulau Jawa.

Kemudian setelah sejumlah korespondensi via surat elektronik dan

tatap muka dengan Wok The Rock, acara offline gathering diberi

tajuk Indonesian Netlabel Festival. Kemudian seiring dengan

75

berkembangnya ide, Silvia (Indonesian Netlabel Union) bersama

Wok (The Rock) merubah nama acara menjadi Indonesian Netaudio

Festival (INF). Karena konten acara yang dimaksud adalah tidak

hanya berbentuk perayaan untuk merayakan terbentuknya Netlabel,

tapi semua aktivitas berbagi musik via Internet. Praktik Netlabel

(mengunggah musik kemudian menyebarkannya secara gratis) sudah

banyak dilakukan meskipun tanpa Netlabel, maka Indonesian

Netlabel Union dengan Yes Nowave Music memilih konsep Netaudio.

Selanjutnya Anitha Silvia menjadi ketua panitia Indonesian Netaudio

Festival 2012. Kami mengaktifkan Indonesian Netlabel Union

sebagai sebuah HUB, menjadi wadah para penggiat dan penikmat

free-music, berbagi berbagai ilmu pengetahuan dan ilmu industri

musik, hingga membuat logo Indonesian Netlabel Union.

Kemudian untuk Visi dan Misi yang digunakan oleh Indonesian

Netlabel Union, ialah:

Visi: Menjadi HUB antar-Netlabel di Indonesia

Misi: Mensosialisasikan maksud dan tujuan dari Netlabel di

Indonesia

Adapun tujuan dari Indonesian Netlabel Union, adalah:

Indonesian Netlabel Union berbagi pengetahuan dan pengalaman

mengenai Netlabel dan aktivitas yang terkait dengannya kepada

penggiat/penikmat musik di industri musik Indonesia. Netlabel

adalah alternatif dari model distribusi karya bukan saingan dari

beberapa model label rekaman lain. Netlabel mendistribusikan musik

bagus (menurut kurator masing-masing Netlabel) dengan lebih efektif

dan tepat sasaran.

76

2.4. DEFINISI PEMASARAN

2.4.1. Definisi Manajemen Pemasaran

Pemasaran merupakan studi kasus tentang proses pertukaran

bagaimana transaksi dimulai, dimotivasikan, dimungkinkan dan diselesaikan.

Pemasaran membicarakan tentang bagaimana manusia dan organisasi dapat

mengelola lebih baik kegiatan mereka untuk menghasilkan laba. Kegiatan

pemasaran dalam suatu perusahaan merupakan fungsi bisnis yang langsung

berhadapan dengan aktifitas konsumen untuk bertransaksi dengan

perusahaan. Kegiatan pemasaran merupakan suatu aktifitas sosial yang luas

dan semua jenis pemasaran menggunakannya dalam berbagai cara yang

berbeda-beda.

Adapun fungsi pemasaran adalah untuk menarik dan

mempertahankan pelanggan, serta mengungguli pesaing dengan memenuhi

dan memuaskan kebutuhan pelanggan. Pemasaran dapat didefinisikan

sebagai kegiatan pemasar untuk menjalankan bisnis (profit dan non profit)

guna memenuhi kebutuhan pasar dengan barang ataupun jasa, menetapkan

harga, mendistribusikan, serta mempromosikannya melalui proses

pertukaran, agar memuaskan konsumen dan mencapai tujuan perusahaan

(Budiarto: 1993).

Menurut Kotler (2000), pemasaran merupakan suatu proses sosial dan

manajerial yang didalamnya terdapat individu dan kelompok yang

mendapatkan apa saja yang dibutuhkan dan diinginkan dengan menciptakan,

menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.

Pemasaran merupakan proses perencanaan dan pelaksanaan rencana,

77

penerapan harga, promosi dan distribusi dari ide, barang dan jasa untuk

menciptakan pertukaran yang memuaskan tujuan individu dan tujuan

organisasi (The American Marketing Association).

Berhasil tidaknya dalam pencapaian tujuan bisnis tergantung pada

keahlian di bidang pemasaran, produksi, keuangan, maupun bidang lain.

Selain itu juga tergantung pada kemampuan untuk mengkombinasikan

fungsi-fungsi tersebut, agar organisasi dapat berjalan lancar. Menurut Umar

(2003) pengertian pemasaran adalah kegiatan yang meliputi keseluruhan

sistem yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan usaha yang bertujuan

merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan

barang-barang atau jasa yang akan memuaskan kebutuhan pembeli, baik yang

aktual maupun potensial.

Selain itu, ada beberapa teori pemasaran lain yang dikemukakan oleh

ahli;

Pemasaran menurut Kotler yang dialihbahasakan oleh Benyamin

Molan (2007: 6) adalah “Suatu proses sosial yang didalamnya

individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan

dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan secara

bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain”

Pemasaran menurut Djaslim Saladin (2007: 1) mendefinisikan

“Pemasaran adalah suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang

dirancang untuk merencanakan harga, promosi dan

mendistribusikan barang-barang yang dapat memuaskan

keinginan dan mencapai pasar sasaran serta tujuan perusahaan.”

Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa manajemen pemasaran

sebagai proses yang mencakup analisis perencanaan, pelaksanaan dan

pengendalian, juga produk atau jasa yang berdasarkan pertukaran dan

bertujuan untuk menghasilkan kepuasan kepada pihak–pihak yang terlibat di

dalamnya.

Konsep dan teori pemasaran pada saat ini mengalami perkembangan

yang sangat pesat seiring dengan bertambah majunya peradaban umat

78

manusia yang ditandai oleh era globalisasi yang sedang berjalan, dengan

indikator-indikatornya seperti perkembangan teknologi, pasar bebas,

pendewasaan regulasi dalam bidang ekonomi, dan lain-lain. Hal ini

dikarenakan pemasaran merupakan sebuah konsep teori praktis yang

menuntut keselarasan teori yang harus terus berubah sehingga sesuai dengan

praktek di dunia nyata yang juga sangat berkembang pesat.

Adapun beberapa teori pemasaran yang dikemukakan oleh beberapa

ahli. Pemasaran menurut Kotler yang dialihbahasakan oleh Benyamin Molan

(2007: 6) adalah:

Suatu proses sosial yang didalamnya terdapat individu dan kelompok

sedang berproses dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan

dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan secara bebas

mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain

Kemudian pemasaran menurut Djaslim Saladin (2007: 1),

mendefinisikan:

Pemasaran adalah suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang

dirancang untuk meremcanakan harga, promosi, dan

mendistribusikan barang – barang yang dapat memuaskan keinginan

dan mencapai pasar sasaran serta tujuan perusahaan.

Pengertian Manajemen Pemasaran menurut Kotler yang

dialihbahasakan Benyamin Molan (2007: 6) yaitu:

Manajemen pemasaran adalah seni dan ilmu memilih pasar sasaran

dan mendapatkan, menjaga dan menumbuhkan pelanggan dengan

menciptakan, menyerahkan dan mengkomunikasikan nilai pelanggan

yang unggul.

Sedangkan Djaslim Saladin (2007: 3), mengemukakan bahwa

manajemen pemasaran sebagai berikut:

79

Manajemen Pemasaran adalah analisis, perencanaan, penerapan

dan pengendalian program yang dirancang untuk menciptakan,

membangun dan mempertahankan pertukaran yang menguntungkan

dengan pasar sasaran dengan maksud untuk mencapai tujuan –

tujuan organisasi.

Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa manajemen pemasaran

sebagai proses yang mencakup analisis perencanaan, pelaksanaan dan

pengendalian, juga produk atau jasa yang berdasarkan pertukaran dan

bertujuan untuk menghasilkan kepuasan kepada pihak–pihak yang terlibat di

dalamnya.

2.4.2. Bauran Pemasaran

Menurut Djaslim Saladin (2007: 3) bauran pemasaran adalah

“serangkaian dari variabel pemasaran yang dapat dikuasai oleh perusahaan

dan digunakan untuk mencapai tujuan dalam pasar sasaran”.

Sedangkan menurut Kotler yang dialihbahasakan oleh Benyamin

Molan (2007: 23), Bauran Pemasaran adalah “seperangkat alat pemasaran

yang digunakan perusahaan untuk mencapai tujuan pemasarannya”.

Kotler yang dialihbahasakan oleh Benyamin Molan (2007: 17)

mengklasifikasikan empat unsur dari alat–alat bauran pemasaran yang terdiri

atas 4P dalam pemasaran barang, diantaranya adalah: produk (product), harga

(price), tempat (place), promosi (promotion),

Adapun pengertian dari masing-masing variabel bauran pemasaran

tersebut akan dijelaskan dibawah ini:

1. Produk (product)

80

Produk merupakan unsur terpenting dalam bauran pemasaran

yang memiliki berbagai macam arti dan makna, namun secara umum

produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk

diperhatikan, dibeli, digunakan dan dikonsumsi. Istilah produk

mencakup benda fisik, jasa, kepribadian, tempat, organisasi, atau ide.

Keputusan-keputusan mengenai produk mencakup kualitas,

kestimewaan, jenis merk, kemasan, pengembangan, bersarkan

penelitian pasar, pengujian dan pelayanan pra dan purna jual.

Produk menurut Stanton yang dikutip oleh Buchari Alma

(2007:139), merupakan seperangkat atribut baik berwujud maupun

tidak berwujud, termasuk di dalamnya masalah warna, harga, nama

baik pabrik, nama baik toko yang menjual (pengecer), dan pelayanan

pabrik serta pelayanan pengecer yang diterima oleh pembeli guna

memuaskan keinginannya.

2. Harga (Price)

Merupakan unsur terpenting kedua dalam bauran pemasaran

setelah produk dan merupakan satu-satunya unsur dalam bauran

pemasaran yang menghasilkan pendapatan penjualan, sedangkan

unsur-unsur lainnya merupakan pengeluaran biaya saja. Keputusan-

keputusan mengenai harga mencakup tingkat harga, potongan harga,

keringanan periode pemasaran, dan rencana iklan yang dibuat oleh

produsen.

Harga menurut Oka A. Yoeti dalam Ratih Hurriyati (2008: 51)

harga dapat diartikan sebagai suatu jumlah uang yang harus

dipersiapkan seseorang untuk membeli atau memesan suatu produk

yang diperlukan atau diinginkannuya.

Penentuan harga merupakan titik kritis dalam bauran pemasaran

karena hargamenentukan pendapatdari suatu usaha. Disamping itu

81

juga hargamerupakan satu-satunya unsur bauran pemasaran yang

merupakan penerimaan penjualan, sedangkan unsur lainnya

merupakan unsur biaya apa saja. Keputusan penentuan harga juga

sangat signifikan dalam penentuan nilai atau manfaat yang dapat

diberikan kepada pelanggan dan memainkan peranan penting dalam

gambaran kualitas produk.

3. Tempat (Place)

Menunjukkan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh produsen

untuk menjadikan suatu produk yang dihasilkan dapat diperoleh dan

tersedia bagi konsumen pada waktu dan tempat yang tepat dimanapun

konsumen berada.

Di dalam industri manufaktur tempat (place) diartikan sebagai

saluran distribusi, two level channesl zero channel, dan multilevel

channel, sedangkan produk untuk industri jasa menurut Ratih

Hurriyati (2008: 55) tempat diartikan sebagai tempat pelayanan yang

digunakan dalam pemasok kepada pelanggan yang dituju merupakan

keputusan kunci, keputusan mengenai lokasi pelayanan yang akan

digunakan melibatkan pertimbangan dimana penyerahan jasa kepada

pelanggan dan dimana itu akan berlangsung. Tempat juga penting

sebagai lingkungan dimana dan bagaimana suatu produk akan

diserahkan sebagai bagian dari nilai dan manfaat.

4. Promosi (Promotion)

Merupakan berbagai kegiatan yang dilakukan perusahaan dengan

tujuan utama untuk menginformasikan, membujuk, mempengaruhi

dan mengingatkan konsumen agar membeli produk dari perusahaan.

82

Dalam hal ini keputusan-keputusan yang diambil mencakup iklan,

penjualan personal, promosi penjualan, dan publikasi.

Pemasaran memerlukan alat komunikasi yang berguna untuk

memperkenalkan produknya kepada pasar sasaran. Promosi

merupakan alat komunikasi antara produsen dan konsumen. Menurut

Buchari Alma (2007: 179) “promosi merupakan sejenis komunikasi

yang memberikan penjelasan yang meyakinkan calon konsumen

tentang barang dan jasa. Tujuan promosi adalah memperoleh

perhatian, mendidik, mengingatkan, dan meyakinkan calon

konsumen”.

Adapun empat komponen bauran pemasaran yang telah dijelaskan

dapat digambarkan seperti di bawah ini.

Gambar 2.1. Konsep 4 P dalam Bauran Pemasaran

(Sumber: Kotler Dialihbahasakan Benyamin Molan, 2005: 18)

Bauran Pemasaran

Pasar Sasaran

Keragaman Produk Kualitas

Design Ciri

Nama Merk Kemasan

Ukuran Pelayanan

Garansi Imbalan

Saluran Pemasaran Cakupan Pasar Pengelompokkan Lokasi Persediaan Transportasi

Daftar Harga Rabat/Diskon

Potongan Harga khusus

Periode Pembayaran Syarat kredit

Promosi Penjualan Periklanan Tenaga Penjualan Public Relation Pemasaran Langsung

Product Place

Promotion Price

83

Pemasaran terdiri dari strategi bauran pemasaran (marketing mix)

dimana organisasi atau perusahaan mengembangkan untuk

mentransfer nilai melalui pertukaran untuk pelanggannya. Kotler dan

Armstrong (2008: 62) berpendapat bahwa, “bauran pemasaran

(marketing mix) adalah kumpulan alat pemasaran taktis terkendali

yang dipadukan perusahaan untuk menghasilkan respons yang

diinginkannya di pasar sasaran”. Marketing mix terdiri dari empat

komponen yang sering disebut dengan ”empat P (4P)”, yaitu Product

(Produk), Price (Harga), Place (Tempat), dan Promotion (Promosi).

Dari penjelasan tersebut dapat digambarkan ke dalam bentuk

(Gambar 2.2.) yang memperlihatkan alat pemasaran masing-masing

P.

Gambar 2.2. Empat P Bauran Pemasaran

(Sumber: Philip Kotler dan Gary Armstrong. (2008). Prinsip-prinsip Pemasaran. Edisi

Ke-12 Jilid 1. Jakarta: Erlangga)

2.4.3. Komunikasi Pemasaran

Jika digabungkan, komunikasi pemasaran merepresentasikan

gabungan semua elemen dalam bauran pemasaran, yang memfasilitasi

pertukaran dengan menargetkan merek untuk sekelompok pelanggan, posisi

Place

Product

Price Promotion Target Market

84

merek yang membedakan dengan merek pesaing, dengan menciptakan suatu

arti yang disebarluaskan kepada pelanggannya (Chitty, 2011: 3). Kotler dan

Keller (2012: 498) menyatakan bahwa, “Marketing communications are

means by which firms attempt to inform, persuade, and remind comsumers –

directly or indirectly – about the products and brands they sell”. Artinya,

Komunikasi pemasaran adalah sarana yang digunakan perusahaan dalam

upaya untuk menginformasikan, membujuk, dan mengingatkan konsumen

baik secara langsung maupun tidak langsung tentang produk dan merek yang

mereka jual.

Marketing communication dapat didefinisikan sebagai kegiatan

pemasaran dengan menggunakan teknik-teknik komunikasi yang bertujuan

untuk memberikan informasi kepada khalayak agar tujuan perusahaan

tercapai, yaitu terjadinya peningkatan pendapatan atas penggunaan jasa atau

pembelian produk yang ditawarkan (Kennedy dan Soemanagara, 2006: 5).

Penggabungan kajian pemasaran dan komunikasi akan menghasilkan

kajian baru yang disebut marketing communication (komunikasi pemasaran).

Marketing communications merupakan bentuk komunikasi yang bertujuan

untuk memperkuat strategi pemasaran, guna meraih segmen pasar yang lebih

luas.

Perusahaan menggunakan berbagai bentuk komunikasi pemasaran

untuk mempromosikan apa yang mereka tawarkan dan mencapai tujuan

finansial. Kegiatan pemasaran yang melibatkan aktivitas komunikasi meliputi

iklan, tenaga penjualan, papan nama toko, display ditempat pembelian,

kemasan produk, direct-mail, sampel produk gratis, kupon, publisitas, dan

alat-alat komunikasi lainnya. Secara keseluruhan, aktivitas-aktivitas yang

disebutkan di atas merupakan komponen promosi dalam bauran pemasaran

(marketing mix) (Shimp, 2003: 4).

2.4.4. Direct Marketing

85

Direct Marketing (pemasaran langsung) adalah hubungan secara

langsung dan membangun hubungan dengan pelanggan yang langgeng –

penggunaan surat langsung, telepon, televisi, respons langsung, e-mail,

Internet, dan sarana lain untuk berkomunikasi secara langsung dengan

konsumen tertentu. (Kotler dan Armstrong, 2008: 117). Definisi direct

maketing menurut Belch dan Belch yang dikutip oleh Kennedy dan

Soemanagara (2006: 26), ”direct marketing is a system of marketing by which

organizations communicate directly with the target consumer to generate a

response or transaction.” Belch dan Belch menggambarkan adanya suatu

hubungan yang sangat dekat dengan pasar sasaran dan memungkinkan

terjadinya proses komunikasi dua arah. Dipahami bahwa komunikasi

langsung bertujuan untuk memperoleh respons atau transaksi yang terjadi

secara langsung dalam waktu singkat. Direct marketing dapat mencapai

tujuan itu dengan dukungan faktor-faktor lain yaitu:

1) Bahwa pasar sasaran telah mengenal produk dan layanan

sebelumnya melalui saluran media massa atau media promosi

lainnya.

2) Bahwa pasar sasaran yang dituju merupakan hasil penyaringan

dari proses segmentasi yang selektif, sehingga pasar sasaran yang

dipilih adalah mereka yang mewakili kedekatan dengan produk

dan layanan yang ditawarkan.

3) Bahwa pemasar atau komunikator telah menyiapkan informasi

yang lengkap sesuai dengan apa yang dibutuhkan, dan

kemungkinan jawaban atas serangkaian informasi mengenai

produk dan layanan yang ditawarkan (solusi).

4) Bahwa direct marketing juga merupakan sebuah proses yang

memberikan kesempatan pada pasar sasaran untuk menilai dan

menimbang suatu informasi atau produk dalam suatu proses

86

pengambilan keputusan, memungkinkan proses komunikasi

dilakukan berulang-ulang. Proses ini biasa disebut proses follow

up (follow up process).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa direct marketing

dilaksanakan sebagai cara untuk bertemu dengan konsumen setelah muncul

respons dari pasar atas informasi produk yang telah disebarkan pada

konsumen. Informasi disebarkan melalui beberapa cara, yaitu melalui iklan

di surat kabar, televisi, majalah, internet atau media massa lainnya. Tetapi

penyebaran informasi juga dapat dilakukan melalui pengiriman brosur atau

leaflet lewat pos (direct mail).

Follow up process merupakan bentuk pendekatan direct marketing,

melalui direct mail atau melalui telemarketing. Yang dimaksud telemarketing

dan direct marketing adalah dengan penggunaan fasilitas teknologi tinggi

dengan dua jenis pasar sasaran, yaitu personal target dan group target.

Personal target biasanya berbentuk layanan informasi langsung pada pemilik

situs jejaring atau e-mail yang tertuju pada personal. Disampaikan dengan

pemberian informasi singkat tentang alat pemuas kebutuhan dan ajakan untuk

lebih rinci mempelajari kualitas produk dan layanan, manfaat, harga yang

dapat dinegosiasikan, dan bagaimana memperoleh produk itu. Group target,

merupakan follow up yang terjadi melalui fasilitas teknologi, dimana tersedia

media yang dapat mendukung komunikasi personal to group (PTG), dan

bentuk teknologi yang memungkinkan hal ini terjadi adalah melalui

konferensi. (Kennedy dan Soemanagara, 2006: 27).

Follow up dapat terjadi didasarkan pada dua kondisi, yaitu

1) follow up dilakukan setelah proses direct mailing, dengan

berhubungan langsung pada contact person. Hubungan ini dapat

berlangsung melalui proses tatap muka dan telepon. Follow up

dilakukan setelah kunjungan langsung ke pasar sasaran potensial,

yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan di antara

keduanya.

87

2) follow up dilakukan setelah respons atas informasi yang disebar

melalui media massa ata media lainnya. Proses ini lebih mudah

dan lebih efektif karena respons muncul disebabkan adanya

ketertarikan akan produk dan layanan dalam memenuhi

kebutuhan mereka, sehingga terdapat penghematan biaya telepon

secara langsung.

2.5. DEFINISI MUSIK

Musik adalah bunyi yang diatur menjadi pola yang dapat menyenangkan

telinga kita atau mengkomunikasikan perasaan atau suasana hati. Musik

mempunyai ritme, melodi, dan harmoni yang memberikan kedalaman dan

memungkinkan penggunaan beberapa instrumen atau bunyi-bunyian. Seperti yang

diungkapkan Bernstein & Picker (1972) bahwa:

musik adalah suara-suara yang diorganisasikan dalam waktu dan memiliki

nilai seni dan dapat digunakan sebagai alat untuk mengekspresikan ide dan

emosi dari komposer kepada pendengarnya.

Musik adalah seni penataan bunyi secara cermat yang membentuk pola

teratur dan merdu yang tercipta dari alat musik atau suara manusia. Musik biasanya

mengandung unsur ritme, melodi, harmoni, dan warna bunyi (Syukur: 2005).

Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa musik adalah bunyi yang diatur

menjadi sebuah pola yang tersusun dari bunyi atau suara dan keadaan diam (sounds

and silences) dalam alur waktu dan ruang tertentu dalam urutan, kombinasi dan

hubungan temporal yang berkesinambungan sehingga mengandung ritme, melodi,

warna bunyi, dan keharmonisan yang biasanya dihasilkan oleh alat musik atau

88

suara manusia yang dapat menyenangkan telinga dan mengekspresikan ide,

perasaan, emosi atau suasana hati.

2.5.1. Karya

a) Karya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

pekerjaan; hasil perbuatan; buatan; ciptaan (terutama hasil

karangan).

b) Sebuah perbuatan seseorang atau beberapa orang atau

organisasi/lembaga yang menghasilkan sesuatu produk atau jasa.

Karya merupakan bentuk tindakan nyata setelah proses oleh cipta

dan rasa serta diniati "berbuat sesuatu untuk membuahkan hasil".

Sedangkan jika kita merujuk lagi ke hal yang lebih spesifik yakni

industri musik,

Menurut Wikipedia, industri musik adalah bentuk bisnis dalam

bidang permusikan yang menjual komposisi, rekaman dan

penampilan dari artis atau musisi. Menurut ensiklopedia, industri

musik adalah industri yang melibatkan produksi, distribusi dan

penjualan dari musik dalam bermacam bentuk termasuk promosi

dengan cara pertunjukan langsung. Sedangkan menurut

recordlabelresource.com, industri musik adalah proses produksi dan

komersialisasi musik yang mempunyai suatu yang menarik bagi

khalayak ramai (Widi Asmoro dalam

http://www.widiasmoro.com/2012/06/28/apakah-ada-industri-musik-

di-indonesia/ diakses 17 Maret 2014).

89

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. DEFINISI DAN JENIS PENELITIAN

Penelitian adalah suatu proses dari langkah-langkah yang digunakan untuk

mengumpulkan dan menganalisis informasi untuk meningkatkan pemahaman

tentang suatu topik atau masalah (Creswell 2012: 3). Penelitian ilmiah

didefinisikan sebagai aplikasi dari metode dan teknik yang sistematik yang

membantu peneliti dan praktisi untuk memahami dan meningkatkan suatu proses

(pembelajaran/pengajaran). Menurut Emzir (2011: 6), peneliti kualitatif sering

dikatakan mengambil pendekatan induktif untuk mengumpulkan data karena

mereka merumuskan hipotesis hanya setelah mereka mulai melakukan observasi,

wawancara, dan analisis dokumen.

Adapun jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah dengan

menggunakan jalur pendekatan induktif yang sangat dekat diasosiasikan dengan

pendekatan penelitian kualitatif, yang dalam pengaplikasiannya, penulis

mengumpulkan lalu merangkum data dengan menggunakan metode naratif atau

verbal: observasi, wawancara, dan analisis dokumen.

90

Denzin & Lincoln (1994: 2) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai

berikut; Penelitian kualitatif adalah multi metode dalam fokus, melibatkan

pendekatan interpratif, dan naturalistik pada materi subjeknya. Ini berarti peneliti

kualitatif melakukan penelitian dalam latar alamiah, berusaha memahami atau

menafsirkan fenomena dalam istilah-istilah makna yang diberikan orang

terhadapnya.

Penelitian kualitatif melibatkan studi menggunakan dan mengumpulkan

variasi materi empiris – studi kasus, pengalaman pribadi, introspektif, cerita

kehidupan, teks wawancara, observasi, sejarah, interaksional, dan teks visual –

yang mendeskripsikan momen rutin dan problematik serta makna dalam kehidupan

individual.

Adapun pendekatan lain yang penulis gunakan untuk melengkapi data dari

penelitian kualitatif yang telah dibahas diatas, yakni penelitian naratif. Penelitian

Naratif adalah;

3.1.1. Definisi dan Latar Belakang Penelitian Naratif

Terma naratif (narrative) muncul dari verba “to narrate” yang

artinya menceritakan atau mengatakan (to tell) suatu cerita secara detil.

Dalam disain penelitian naratif, peneliti mendeskripsikan kehidupan

individu, mengumpulkan, mengatakan cerita tentang kehidupan individu, dan

menuliskan cerita atau riwayat pengalaman individu tertentu. Lebih jelasnya,

penelitian naratif berfokus pada kajian seorang individu.

Dalam Cresswell (2004: 53) menyatakan, penelitian naratif

mempunyai banyak bentuk dan berakar dari disiplin ilmu kemanusiaan dan

sosial yang berbeda. Naratif bisa berarti terma yang diberikan pada teks atau

wacana tertentu atas bentuk penyelidikan dalam penelitian kualitatif. Naratif

dipahami sebagai sebuah teks tertulis atau lisan yang memberikan sebuah

catatan tentang suatu kejadian, peristiwa atau rangkaian kejadian, dan

rangkaian peristiwa yang dihubungkan secara kronologis.

3.1.2. Tipe-tipe Kajian Naratif

91

Jika seorang peneliti berencana melaksanakan kajian naratif maka ia

perlu mempertimbangkan tipe kajian naratif yang akan dilaksanakannya.

Pendekatan pertama yang digunakan dalam penelitian naratif adalah

membedakan tipe penelitian naratif melalui strategi analisis yang digunakan

oleh pengarang (Cresswell 2007: 54). Polkinghorne dalam Cresswell (2007:

54) menyebutkan strategi tersebut menggunakan paradigma berpikir untuk

menghasilkan deskripsi tema yang menggenggam sekaligus melintasi cerita

atau sistem klasifikasi tipe cerita. Analisis naratif ini menekankan peneliti

untuk mengumpulkan deskripsi peristiwa atau kejadian dan kemudian

mengkonfigurasikannya ke dalam cerita menggunakan sebuah alur cerita

(plot).

Chase dalam Cresswell (2007: 55) menyajikan pendekatan yang tidak

jauh berbeda dengan definisi analisis naratif milik Polkinghorne. Chase

menyarankan bahwa peneliti boleh menggunakan alasan paradigmatik untuk

kajian naratif, seperti bagaimana individu dimampukan dan dipaksa oleh

sumberdaya sosial, disituasikan secara sosial dalam penampilan interaktif dan

bagaimana pencerita membangun interpretasi.

Pendekatan kedua, menekankan pada ragam bentuk yang ditemukan

dalam praktik-praktik penelitian naratif. Dibawah ini akan disajikan ragam

contoh bentuk penelitian naratif.

FIGURE 15.1 Tabel 3.1.Contoh Bentuk Penelitian Naratif. Sumber; Educational Research: Planning,

Conducting and Evaluating Quantitative and Qualitative Research (2004) oleh John W.

Cresswell

Examples of Types of Narrative Research Forms

•Autobiographies

• Biographies

• Life Writing

• Personal Accounts

• Personal Narratives

• Narrative Interviews

• Personal Documents

• Documents of Life

• Life Stories and Life Histories

• Oral Histories

• Ethnohistories

• Ethnobiographies

• Autoethnographies

• Ethnopsychologies

• Person-centered Ethnographies

• Popular Memories

• Latin American Testimonies

• Polish Memoirs

92

3.1.3. Prosedur Melaksanakan Penelitian Naratif

Langkah-langkah melaksanakan penelitian naratif menurut Cresswell

(2007: 55) adalah sebagai berikut:

1. Menentukan problem penelitian atau pertanyaan terbaik yang

tepat untuk penelitian naratif. Penelitian naratif adalah penelitian

terbaik untuk menangkap cerita secara detil atau pengalaman

kehidupan terhadap kehidupan tunggal atau kehidupan sejumlah

individu.

2. Menyeleksi satu atau lebih individu yang memiliki cerita atau

pengalaman kehidupan untuk diceritakan dan menghabiskan

waktu (sesuai pertimbangan) bersama mereka untuk

mengumpulkan cerita mereka melalui tipe majemuk informasi.

3. Mengumpulkan cerita tentang konteks cerita tersebut.

4. Menganalisa cerita partisipan dan kemudian menceritakan ulang

(restory) cerita mereka ke dalam kerangka kerja yang masuk akal.

Restorying adalah proses organisasi ulang cerita ke dalam

beberapa tipe umum kerangka kerja. Kerangka kerja ini meliputi

pengumpulan informasi, penganalisaan informasi untuk elemen

kunci cerita (misalnya: waktu, tempat, alur, dan scene/adegan)

dan menulis ulang cerita guna menempatkan mereka dalam

rangkaian secara kronologis.

5. Berkolaborasi dengan partisipan melalui pelibatan aktif mereka

dalam penelitian. Mengingat para peneliti mengumpulkan cerita,

maka mereka menegosiasikan hubungan, transisi yang halus dan

menyediakan cara yang berguna bagi partisipan.

93

3.1.4. Tantangan

Karakteristik dan prosedur penelitian naratif yang dipaparkan di atas

memunculkan tantangan. Peneliti perlu mengumpulkan informasi yang luas

tentang partisipan. Peneliti juga perlu mempunyai pemahaman yang jelas

terhadap konteks kehidupan seorang individu. Dibutuhkan mata yang tajam

untuk mengidentifikasi sumber materi yang dikumpulkan tentang cerita

tertentu yang mampu menangkap pengalaman seorang individu.

3.2. TEKNIK PENELITIAN

Adapun teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni teknik

observasi, studi literature, wawancara dan Focus Group Discussion dengan

penjelasan sebagai berikut:

1. Observasi

Pengumpulan data dengan observasi langsung atau dengan pengamatan

langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata, tanpa

ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut (Nazir 1983:

212). Penulis melakukan observasi secara langsung untuk mendapatkan data

atau informasi mengenai objek yang akan diteliti baik pengamatan langsung

atau tidak langsung. Adapun hal-hal yang akan diobservasi oleh peneliti

adalah dengan menganalisis kegiatan promosi dan sosialisasi lain yang

dilakukan oleh Creative Commons Indonesia, faktor-faktor apa saja yang

mempengaruhi promosi dan sosialisasi Creative Commons Indonesia dalam

menerapkan lisensi Creative Commons pada industri musik Indonesia, serta

pengaruh positif dan negatif dari publik terhadap gagasan dan lisensi yang

94

telah dikeluarkan dan disosialisasikan oleh Creative Commons Indonesia

sebagai tambahan.

2. Studi Literatur

Studi literatur adalah salah satu teknik yang dilakukan untuk

mendapatkan data atau informasi melalui buku-buku bacaan, artikel, koran,

jurnal, skripsi, tesis dan pemaparan lainnya dalam bentuk tulisan yang

memiliki korelasi dengan topik penelitian yang akan dibahas. Sumber bacaan

yang akan dipakai oleh penulis dalam penelitian ini adalah mengenai

manajemen pemasaran pada sebuah lembaga dan bentuk tulisan lain terkait

dengan bentuk-bentuk promosi dan sosialisasi yang telah dilakukan oleh

lembaga yang sedang penulis teliti.

3. Wawancara

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan

penelitian dengan teknik tanyajawab pada narasumber, baik secara langsung

maupun tidak langsung” (Soeharto 1993: 114). Adapun responden atau

narasumber yang di wawancarai adalah tokoh-tokoh yang dianggap memiliki

kompetensi di dalam memberikan informasi mengenai objek penelitian.

Seperti direktur dan wakil direktur Creative Commons Indonesia, pengurus

dan anggota tetap dari Wikimedia Indonesia, Indonesian Netlabel Union,

netlabel serta artis-arits/pencipta-pencipta dibawahnya. Proses wawancara ini

di pergunakan untuk mengetahui latar belakang perusahaan dan untuk

mengetahui strategi manajemen pemasaran lembaga-lembaga tersebut diatas.

95

4. Focus Group Discussion

Focus Group Discussion (FGD) adalah diskusi berbentuk forum terfokus

pada sebuah masalah. FGD disebut juga group interview. Tergolong dalam

jenis wawancara terfokus atau terstruktur. FGD secara sederhana dapat

didefinisikan sebagai suatu diskusi yang dilakukan secara sistematis dan

terarah atas suatu isu atau masalah tertentu. Minichiello (1990: 90)

mengemukakan, wawancara jenis ini menggunakan panduan diskusi

tersusun tetapi urutan pertanyaannya tidak disusun secara kaku. FGD

menurut Hoed (1995, 1), dirancang dengan tujuan mengungkapkan persepsi

kelompok mengenai suatu masalah.

Menurut Krueger (1988, 93), ada beberapa teori agar FGD dapat berjalan

dengan baik. Teori tersebut adalah;

A = Attention (perhatian)

I = Interest (minat)

D = Desire (hasrat)

D = Decision (keputusan)

A = Action (aksi, kegiatan)

Peserta FGD pada kesempatan ini adalah penulis, beberapa pimpinan

lembaga hingga pemakai lisensi dari lembaga terkait, yakni Creative

Commons, Indonesian Netlabel Union serta beberapa netlabel-nya. Diskusi

ini bertujuan memusatkan satu pokok permasalahan kemudian masing-

masing pihak diatas menarasikan apa-apa saja yang telah dilakukan selama

perjalanan dan masa perkembangan pada lembaganya masing-masing dalam

mengembangkan dan mensosialisasikan pokok masalah yang diangkat oleh

penulis yakni lisensi yang dikeluarkan oleh Creative Commons. Hingga pada

akhirnya forum tersebut bisa memberikan data-data dan keterangan terkait

masalah yang sedang penulis teliti.

96

3.3. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN

Untuk menguji kebenaran informasi, penulis melaksanakan beberapa langkah

sebagai berikut:

Pra Pelaksaan Penelitian

1. Survey

Langkah pertama yang penulis lakukan dalam proses penyelesaian

laporan skripsi ini adalah mengobservasi data melalui internet, dimana

semua lalu lintas data dalam hal pensosialisasian, pemromosian dan

pemasaran, beserta data-data penting lain mengenai Creative Commons

Indonesia berada di internet. Terbukti bahwa dengan melalui surat

elektronik (bertukar email dengan Ari Juliano – Direktur Creative

Commons Indonesia dan Anitha Silvia – Perwakilan Indonesian Netlabel

Union, lalu mengunjungi situs-situs yang berkenaan dengan Creative

Commons Indonesia, penulis sudah mendapatkan banyak informasi,

dikarenakan semua pergerakan Creative Commons dan Indonesian Netlabel

Union memang selalu dilaporkan dan dibagikan (share) via internet

(Twitter, Blog, dll). Informasi tersebut termasuk didalamnya adalah alamat

kantor dari sdr. Ari Juliano (Bang Ajo) sebagai direktur utama Creative

Commons Indonesia yakni di Assegaf Hamzah & Partners, Menara

Rajawali Lantai 16, Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Pusat dan alamat

kantor dari sdri. Anitha Silvia sebagai perwakilan Indonesian Netlabel

Union yang berbasis di Surabaya.

Selama proses penulisan dan perumusan judul skripsi, penulis juga telah

melakukan observasi terdahulu ke salah satu pemakai lisensi Creative

Commons Indonesia yakni sdr. Angkuy (Anggung “Kuy Kay” Suherman)

dari duo elektronik Bottlesmoker bertempat di DAGO500 Jalan Ir. H.

Juanda nomor 500, Bandung, Jawa Barat.

97

2. Menentukan Judul dan Topik Penelitian

Setelah bertemu dan melakukan diskusi dan observasi dengan sdr.

Angkuy dari Bottlesmoker, langkah penulis selanjutnya yakni menentukan

judul penelitian yang sesuai dengan topik dan rumusan masalah penelitian

yang telah ditentukan. Penulis juga terlebih dahulu melakukan konseling

dengan Dosen Pembimbing Dua tentang hasil diskusi dan observasi yang

telah penulis lakukan dengan sdr. Angkuy dari Bottlesmoker. Dari beberapa

judul penelitian yang penulis ajukan, maka judul yang disetujui oleh Dosen

Pembimbing Dua tersebut ialah “Peranan Lisensi Creative Commons

dalam Pemasaran Karya Musik di Indonesia”.

3. Pembuatan Proposal

Setelah judul topik disetujui, langkah selanjutnya adalah menyusun

proposal untuk mempersiapkan sidang proposal. Kegiatan ini dilakukan

melaui bimbingan langsung dengan pembimbing I dan II dengan judul dan

topik penelitian yang telah disetujui oleh dewan skripsi.

Persiapan Penelitian

Dalam tahap pelaksanaan penelitian ini penulis mengikuti prosedur sebagai

berikut;

1. Pengumpulan Data

Tahap selanjutnya yaitu pengumpulan data, baik dari sumber tertulis

maupun dari narasumber yang telah di tentukan sebelumnya. Pengumpulan

data di lakukan selama 6 bulan mulai dari bulan mei 2013 sampai bulan

oktober 2013.

2. Konsultasi dengan Dosen Pembimbing

98

Proses bimbingan dengan pembimbing I dan pembimbing II dilakukan

mulai dari pembuatan proposal penelitian, sampai menjelang ujian sidang.

3. Pengolahan Data

Untuk menguji kebenaran informasi data dilakukan pengolahan data

yang di peroleh dari hasil observasi dan wawancara dikumpulkan untuk

dianalisis dan di sesuaikan dengan kepentingan penelitian. Uraian yang

diperoleh kemudian di susun secara sistematis untuk dijadikan bahan

laporan.

Adapun langkah – langkah dalam megolah data, yakni;

1. Menyusun Data

Data dan informasi yang telah diperoleh, disusun menurut tata

urutan langkah-langkah menganalisis data penelitian. Dalam

menyusun data, masalah-masalah yang perlu diperhatikan adalah

menyeleksi dan menyaring informasi sesuai dengan kebutuhan dari

sub-bahasan yang telah dirumuskan.

2. Menyingkronisasikan antara data di lapangan dengan literatur

tertulis dari para ahli.

3. Menarik Kesimpulan

Menarik kesimpulan adalah kegiatan akhir dari penulisan laporan,

data yang telah disusun dari pengolahan data, hasilnya kemudian

disusun bab-per-bab yang dituangkan dalam kerangka tulisan

sebagai laopran penelitian. Kegiatan selanjutnya adalah membuat

kesimpulan berdasarkan keseluruhan pengelolaan data dari tulisan

pada bab I sampai bab V.

4. Penyusunan Laporan Penelitian

Dalam penyusunan laporan penelitian disusun secara lengkap dan

benar dari halaman judul, bab I sampai bab V tetapi sebelum

99

penyusunan laporan berbentuk tulisan, terlebih dahulu diadakan

proses kegiatan bimbingan dengan pembimbing I dan pembimbing

II. Beranjak dari penyusunan laporan, proses selanjutnya yakni

melakukan proses penggandaan laporan penulisan yang telah

disetujui oleh pembimbing I dan pembimbing II.

3.4. INSTRUMEN PENELITIAN

Alat-alat yang digunakan oleh penulis selama masa observasi, penulisan dan

penganalisaan data yang telah penulis dapatkan dari narasumber terkait karya tulis

ini ialah;

1. Komputer (Personal Computer dan Laptop). Penulis menggunakan

media tersebut dalam menulis dan mengumpulkan data berkaitan dengan

karya tulis ini. Media ini telah digunakan oleh penulis sejak pertama ide

menulis karya tulis ilmiah ini tercetus hingga pada saat terakhir sidang

skripsi.

2. Alat Dokumentasi (untuk foto, video dan merekam suara). Media ini

digunakan secara berkala dan berkesinambungan, berkaitan dengan

metodologi penelitian yang diambil oleh penulis yakni Naratif Deskriptif.

Penelitian naratif deskriptif membutuhkan data yang bisa dibuktikan

validasi dan keabsahnnya secara tangibel dan intangible. Baik secara

visual maupun verbal. Yang selanjutnya harus penulis representasikan

dihadapan penguji.

3. Koneksi Internet. Media ini sangat dibutuhkan oleh penulis dalam

mencari data yang berkaitan dengan subyek penulisan karya ilmiah ini,

dikarenakan media ini menyimpan banyak sekali data dan sudah

100

dijadikan media distribusi dan dokumentasi dari tiap-tiap kegiatan yang

dilakukan oleh subyek penelitian.

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL DATA

4.1.1. Creative Commons Internasional

Sejarah Singkat

Creative Commons, didirikan oleh profesor hukum dari Universitas

Stanford, Lawrence Lessig, bersama dengan rekan-rekannya dari

Institut Teknologi Massachusetts, Universitas Harvard, Universitas

Duke dan Universitas Villanova pada tahun 2001. Dengan Creative

Commons, Lessig menyediakan set lisensi hak cipta gratis untuk

digunakan oleh publik. Seorang pencipta yang bersedia untuk

melepaskan karyanya di bawah lisensi Creative Commons (CC) dapat

mengunjungi situs web Creative Commons dan memilih lisensi yang

diinginkan dalam satu kali klik.

101

Dengan mengunjungi laman web resmi Creative Commons di

http://creativecommons.org/choose/?lang=id, anda akan diberitahu

bagaimana cara anda sebagai pencipta, jika ingin mendapatkan Lisensi

Creative Commons untuk karya anda. Adapun pengetahuan singkat

mengenai Lisensi terdapat pada situs yang sama, pada laman

http://creativecommons.org/licenses/?lang=id.

Pemilihan lisensi CC atribusi, misalnya, ia mempertahankan hak

cipta, tapi memungkinkan orang lain untuk menggunakan karya tanpa

izin dan tanpa pembayaran, selama mereka mencantumkan “kredit”nya

kepada penciptaan yang asli. Kemudian situs web tersebut menyediakan

dengan sendirinya beberapa baris kode komputer yang nantinya dapat

disalin dan ditempelkan di website pencipta, yang ciptaannya ingin

dilisensikan oleh CC. Setelah itu, pengunjung situs web dari pencipta

akan melihat logo Creative Commons dan kalimat di bawah logo yang

menunjukkan kondisi dan yurisdiksi yang telah disepakati sebelum

penempelan logo tersebut.

Berikut ini adalah tampilan dari logo dan lisensi yuridis keluaran

Creative Commons yang dimaksud:

102

Gambar 4.1. Lisensi dan Lambang keluaran Creative Commons Internasional dalam

bahasa Inggris (sumber: http://creativecommons.org, diakses tanggal 08 April 2014)

Creative Commons telah menarik beberapa respon positif dan

semakin populer. Diperkirakan bahwa 5 juta item telah tersedia di

bawah lisensi CC per Oktober 2004 (“Movement Seek”, 2004), dan

terdapat 145 juta kreasi telah terdaftar sampai Juni 2006 (Rohter, 2006).

Banyak berita telah ditulis tentang penggunaan dan keberhasilan lisensi

CC (misalnya, Chmielewski, 2004; "Movement Seek" 2004; Rohter,

2006). Sejumlah akademisi juga telah mencatat potensi Creative

Commons untuk melayani kepentingan publik (Gasaway, 2003; Jones,

2004; Merges, 2004, O'Hara, 2003; Reichman & Uhlir, 2003; Stoeltje,

2004, Wagner, 2003).

Penelitian ini mengadaptasi kerangka berpikir Kim (2005). Secara

singkat, kerangka teoritis tersebut berpendapat bahwa ada dua visi

bersaing dari dasar-dasar hukum hak cipta: yakni "visi milik pribadi –

private property” dan "visi kebijakan publik – public policy vision”.

Visi milik pribadi tercetus karena adanya kelompok yang mendukung

103

dan percaya bahwa hak cipta berasal dari alam sebagai hak milik penulis

(pencipta), dan bahwa penulis yang membuat karya asli berhak untuk

memiliki hak milik atas pekerjaan mereka. Penekanan visi milik pribadi

adalah pada kepentingan pribadi si penulis (pencipta) dalam

mengendalikan penggunaan karya cipta sebagai milik si penulis

(pencipta). Visi kebijakan publik, sebaliknya, diadakan oleh mereka

yang mencatat hak cipta yang secara historis berkembang sebagai hibah

didalam masyarakat dari monopoli terbatas, dan yang berpikir bahwa

hak-hak pencipta harus mempertimbangkan kebebasan orang lain untuk

menggunakan karya berhak cipta. Visi ini disebut visi kebijakan publik,

karena menggarisbawahi pentingnya kepentingan publik dalam

mengakses dan menggunakan karya berhak cipta. Hal ini juga

menggarisbawahi peran hak cipta sebagai suatu kebijakan publik yang

bertujuan untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara kepentingan

pribadi dan kepentingan umum.

Kedua visi bersaing tersebut diatas telah bentrok dalam

perkembangan hukum hak cipta selama 300 tahun, tetapi konflik antara

mereka telah meningkat di era digital ini. Advokat dari visi milik pribadi

berharap bahwa teknologi digital akan memungkinkan pemegang hak

cipta untuk mengumpulkan biaya untuk setiap penggunaan hak cipta

karya-karya mereka (Goldstein, 2003). Sebaliknya, mereka mengamati

pelanggaran hak cipta besar-besaran. Penyedia konten, termasuk

industri musik, telah putus asa untuk melembagakan mekanisme

penegakan yang kuat terhadap “penyalinan” untuk melindungi

kepemilikan mereka.

Pendukung visi kebijakan publik berharap bahwa teknologi digital

akan meningkatkan produksi dan pembagian dalam produk budaya

(Benkler, 2000; Kranich, 2004). Sebaliknya, mereka mengamati bahwa

hukum hak cipta kontemporer telah menjadi begitu ketat, sehingga

104

beresiko menghambat kreativitas dan inovasi masa depan. Sebagai

contoh, Samuelson (n.d.) menyatakan bahwa

pada industri besar hak cipta hari ini, substansi hukum

dikhawatirkan mengalami kehilangan kontrol atas materi berhak

cipta karena perkembangan teknologi, karena sebelumnya para

pemegang hak cipta mendapatkan lebih banyak kontrol konsumen

dibandingkan dengan sebelumnya.”

Demikian pula, Boyle (2004) menulis bahwa

kebijakan properti kekayaan intelektual kontemporer ada "didalam

goncangan hebat dari 'hak budaya (rights-culture)' yang mengarah

kepada debat sesat (Kim 2007: 187).

Kelahiran Creative Commons erat kaitannya dengan kekhawatiran

bahwa upaya pemegang hak cipta untuk melindungi kepemilikan hak

cipta material mereka, secara tidak langsung mengancam kebebasan

pengguna. Salah satu pemimpin Creative Commons Internasional,

Lessig, telah mencatat bahwa

hukum hak cipta telah banyak mengalami perubahan (2004b), juga

berpendapat bahwa telah terjadi pergeseran dari "budaya bebas”

- “free culture” menjadi budaya “membatasi dan memberikan izin”

- “a restrictive, permission culture” (2004a). Budaya bebas

maksudnya bebas dalam arti "kebebasan", “freedom”, bukan

dalam arti "tidak ada pembayaran". Digunakan orang untuk

memiliki kebebasan untuk membuat, menggunakan sumber daya

budaya (cultural resources), untuk mengkritik orang lain dengan

menggunakan kultur di sekitar mereka. Namun, Lessig menyatakan

bahwa "kebebasan mereka semakin menaikan tingkat pembatasan.

105

Dan pertanyaannya menjadi, Bagaimana kita menanggapinya?"

(2004b, hal 10).

Kemudian secara berkesinambungan membuat Lessig dan beberapa

individu yang memiliki “visi kebijakan publik” menyarankan Creative

Commons, yang memiliki visi "untuk membangun sebuah lapisan yang

wajar, hak cipta fleksibel dalam menghadapi aturan baku yang semakin

ketat" (Some Rights Reserved, n.d.).

4.1.2. Jajaran Direksi dan Dewan Penasihat

Penggagas Creative Commons Internasional sendiri adalah Lawrence

Lessig, James Boyle dan Hal Abelson. Dibentuk pada Desember 2002 (Kim,

2007: 187). Agar lembaga ini lebih kuat dan mapan, maka Creative Commons

yang sebelumnya hanya sebuah proyek kecil dari Wikimedia Foundation,

kemudian mulai pada tahun terciptanya Creative Commons, 2002 hingga

sekarang, Creative Commons Internasional (CC HQ) tengah merekrut beberapa

orang, yakni;

4.1.2.1. Jajaran Direksi

Hal Abelson, seorang professor lulusan

Computer Science and Engineering. Beliau

adalah seorang pemenang Several Teaching

Award di Institut Teknologi Massachusetts

(MIT) – Cambridge. Beliau juga adalah salah

satu anggota dari Institute of Electrical and Electronics Engineers

(IEEE).

106

Paul Brest, adalah profesor emeritus dan mantan

dekan dari Stanford Law School yang baru saja

kembali setelah bertugas selama 12 tahun sebagai

Presiden di William and Flora Hewlett

Foundation. Bersama dengan Profesor Deborah

Hensler, beliau sedang mengembangkan hukum dan kebijakan

laboratorium publik di Sekolah Hukum. Beliau juga merupakan Wakil

Dekan di Fakultas Stanford Center on Philanthropy and Civil Society.

Menerima gelar Artium Baccalaureus (B.A.) di Swarthmore College

pada tahun 1962 dan Legum Baccalaureus (LL.B) di Harvard Law

School pada tahun 1965. Beliau menjabat sebagai petugas hukum untuk

Hakim Bailey Aldrich dan Hakim Agung John M. Harlan. Beliau juga

membuka kantor praktek bersama dengan NAACP Legal Defense and

Educational Fund, Inc. di Jackson, Mississippi yang mengurusi litigasi

hak-hak sipil. Pada tahun 1969, beliau bergabung dengan fakultas

Stanford Law School, dimana beliau mendapatkan gelar Kenneth and

Harle Montgomery Professor of Public Interest Law. Penelitian dan

pengajaran beliau terfokus pada hukum konstitusi yang kemudian

membuat beliau menuliskan beberapa artikel tentang penafsiran

konstitusi, diskriminasi ras dan tindakan afirmatif. Dari tahun 1987

hingga 1999, beliau menjabat sebagai dekan di Stanford Law School

dan mempelopori perluasan kurikulum Bisnis, Hukum Lingkungan,

Teknologi Tinggi, Negosiasi, dan memimpin kampanye dengan modal

sebesar 115,000,000 US$. Beliau juga menjadi penulis dari Money Well

Spent: A Strategic Guide to Smart Philanthropy (Bloomberg Press,

2008); Problem Solving, Decision Making and Professional Judgement

(Oxford University Press, 2010) dan Processes of Constitutional

Decision Making: Cases And Materials (Aspen Publishers , 2006).

107

Ben Adida, adalah direktur teknik di Square, Inc.

Memiliki keinginan sangat besar dalam

menggunakan teknologi untuk memberdayakan

masyarakat. Ben Adida telah lama bekerja dalam

bidang online payments & identity, secure voting,

catatan kesehatan pribadi (personal health records), pekerja Web. Dia

telah mengembangkan perangkat lunak bebas (Free Software) selama

15 tahun dan perangkat lunak Web selama 18 tahun. Sebelumnya, Ben

Adida adalah direktur teknik di Mozilla dan Fakultas Penelitian di

Harvard Medical School. Dia adalah Chief Technology Officer Creative

Commons pada saat peluncuran Creative Commons pada tahun 2002.

Ben menerima gelar Ph.D. di Institut Teknologi Massachusetts (MIT)

jurusan Cryptography and Information Security.

Renata Avila, adalah pejuang Hak Asasi Manusia

dan Pengacara Kekayaan Intelektual di

Guatemala, ia juga pengacara untuk kebebasan

berekspresi (freedom of expression), privasi

(privacy), akses informasi (access to information)

dan hak-hak adat (indigenous rights). Renata Avila memimpin Creative

Commons afiliasi Guatemala dan anggota dari Web Index Science

Council. Saat ini beliau juga telah memimpin kampanye "Web We

Want”, yang bertujuan untuk mengagendakan hak asasi manusia yang

positif bagi pengguna internet.

Diane Cabell, Sekretaris Perusahaan untuk

Creative Commons. Pendiri Clinical Program in

Cyberlaw di Berkman Center for Internet &

Society dimana beliau menjabat sebagai Asisten

Direktur. Praktek hukumnya berfokus pada

perusahaan nirlaba berbasis web yang sekaligus menjabat sebagai

panelis sengketa ranah nama (domain name dispute panelist) untuk

108

World Intellectual Property Organization (WIPO). Berbasis di

Portsmouth, New Hampshire, beliau saat ini menjabat sebagai direktur

di iCommons Ltd, sebuah badan amal Inggris yang didirikan oleh

Creative Commons pada tahun 2005.

Michael W. Carroll, adalah Visiting Professor

of Law di Washington College of Law di

Washington, Washington DC. Dimulai pada

September 2009, beliau bergabung di Fakultas

dan menjadi Direktur Program Keadilan

Informasi dan Kekayaan Intelektual (Director of the Program On

Information Justice and Intellectual Property. Ajaran dan ketertarikan

ilmiahya terfokus pada kekayaan intelektual dan hukum internet. Beliau

telah menjadi anggota dari Dewan Creative Commons sejak tahun 2001

dan telah menjadi anggota dari subset Direksi yang mengkampanyekan

Sains Commons dan ccLearn. Sebelum memasuki pengajaran hukum,

beliau adalah seorang pengacara yang memfokuskan diri pada properti

intelektual dan isu seputar internet di Washington D.C. office of Wilmer,

Cutler & Pickering. Beliau juga menjabat sebagai petugas hukum untuk

Hakim Judith W. Rogers dari United States Court of Appeals for the

District of Columbia Circuit dan Hakim Joyce Hens Green dari United

States District Court for the District of Columbia. Beliau menerima

gelar Sarjananya (A.B.) dengan general honors dari University of

Chicago dan J.D. magna cum laude dari Georgetown University Law

Center. Sebelum memasuki sekolah hukum, beliau bekerja sebagai

jurnalis, guru sekolah menengah atas di Zimbabwe dan Program

Officer for Democracy and Governance Projects di Afrika.

109

Eric Saltzman, Lulus pada tahun 1972 dari

Harvard Law School, Eric F. Saltzman memulai

karirnya sebagai pengacara pertahanan kriminal

(criminal defense attorney) di kantor pertahanan

sipil Seattle dan Boston. Sembari mengajar di

Harvard Law School jurusan Criminal Trial Advocacy, beliau

mengambil kelas pembuatan film di MIT. Beliau juga yang

mengenalkan kamera ke ranah pengadilan dengan membuat film

berjudul The Shooting of Big Man: Anantomy of a Criminal Case.

Kepada CBS News, beliau memproduseri dan mendireksi investigasi

kasus Miami: The Trial That Sparked the Riots. Sebuah investigasi yang

tentang seorang petugas kepolisian yang melakukan bunuh diri. Pada

pertengahan tahun 1980, beliau berpindah ke bisnis film dan mulai

mengumpulkan dan melisensikan perpustakaan gambar bergerak klasik

dan hak pertelevisian untuk mulai menggunakan media seperti kabel,

microwave dan transmisi satelit. Pada tahun 2000-2002, beliau

menjabat sebagai Direktur Eksekutif di Harvard’s Berkman Center for

Internet & Society.

Molly Van Houweling, mengawali karir sebagai

Direktur Eksekutif Creative Commons dan

anggota dari Center for Internet & Society di

Standford Law School. Beliau juga bekerja

sebagai asisten professor di Unversity of Michigan

Law School. Setelah lulus pada bulan Juni 1998 dari Harvard Law

School, beliau bekerja sebagai editor artikel di Harvard Journal of Law

& Technology. Salah seorang anggota dari Berkman Center for Internet

& Society at Harvard Law School dan menjadi anggota staff pertama di

Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN).

Kemudian beliau menjabat sebagai petugas hukum untuk Hakim

110

Michael Boudin dari United States of Appeals for the First Circuit dan

Justice David Souter of the United States Supreme Court.

4.1.2.2. Dewan Penasehat

Jimmy Wales, salah satu penggagas Wikimedia

Foundation, sebuah koperasi non-profit yang

mengoperasikan Wikipedia dan beberapa proyek

wiki lainnya. Beliau juga penggagas dari lembaga

for-profit, Wikia, Inc.

Brian Fitzgerald, adalah seorang Professor of

Intellectual Property and Innovation dari

Queensland University of Technology (QUT) di

Brisbane, Australia. Beliau memegang kelas di

pascasarjana hukum di Oxford University dan

Harvard University. Pada tahun 1998-2002 beliau menjadi pimpinan

dari School of Law and Justice at Southern Cross University di New

South Wales, Australia. Pada Januari 2002 sampai Januari 2007 beliau

ditunjuk sebagai pimpinan dari School of Law at QUT di Brisbane,

Australia. Semenjak 2004 beliau telah menjadi pimpinan proyek dari

Creative Commons Australia. Beliau memiliki komitmen kuat kepada

para kreator dan komunitas teknologi sehingga pada tahun 2010 beliau

telah mendirikan klinik hukum yang menyediakan saran hukum bagi

artis setempat dan permulaan bagi yang tidak dapat membayar untuk

perlakuan hukum.

111

Lawrence Lessig, Roy L. Furman Professor of

Law di Harvard Law School dan sebagai

pengarah (director) di Edmond J. Safra Center for

Ethics di Harvard University. Sebelum bergabung

kembali di Stanford Law School, beliau terlebih

dahulu menjadi penggagas dari School’s Center for Internet and Society

di University of Chicago. Beliau adalah anggota dari Member of the

American Academy of Arts and Sciences, the American Philosophical

Association dan penerima beberapa penghargaan, termasuk

penghargaan Free Software Foundation’s Freedom Award, Fastcase 50

Award dan menjadi salah satu dari Scientific American’s Top 50

Visionaries. Beliau mendapatkan B.A. di jurusan ekonomi dan B.S. di

jurusan manajemen dari University of Pennsylvania dan M.A. di jurusan

philosophy dari Cambridge dan J.D. dari Yale.

Pada hari ini Creative Commons bersama lisensinya telah tersebar

dan diterapkan di lebih dari 100 negara dan 70 wilayah yuridiksi,

termasuk Indonesia. Negara-negara pengguna lisensi keluaran Creative

Commons disebut dengan negara afiliasi Creative Commons. Dari data

yang penulis dapatkan dari hasil observasi dengan salah seorang aktifis

Creative Commons afiliasi Indonesia bahwa, afiliasi-afiliasi tersebut

sebelumnya harus memiliki lembaga yang sudah mapan, yang nantinya

bisa menaungi Creative Commons dalam ranah hukum dan ranah

pendistribusian karya.

Lisensi Creative Commons berkemungkinan memiliki beberapa

perbedaan dalam penerapannya pada masing-masing negara dan

wilayah yuridis. Hal tersebut dikarenakan setiap negara dan wilayah

yuridis masing-masing memiliki poin-poin yang berbeda baik dalam hal

“karya-karya yang dilindungi” maupun bentuk dan bunyi hak cipta

masing-masing negara dan wilayah yuridis itu sendiri.

Adapun karya-karya yang dapat dilisensikan oleh Creative

Commons adalah;

112

1. Teks,

2. Gambar (foto, ilustrasi, dan desain),

3. Audio (musik dan pidato),

4. Video (film dan cuplikan),

5. Lain-lain (software, alat komputer, dll).

Secara lebih mendalam, Creative Commons juga menyertakan

beberapa detil untuk karya-karya didalam internet yang bermuatan teks.

Seperti contohnya, Blog yang bermuatan teks saja, atau blog dengan

beberapa foto terkait dengan teks didalamnya. Adapun jenis dari karya

tersebut yakni;

1. Blog (teks saja): sebuah blog dengan entri teks;

2. Blog (teks dengan foto): sebuah blog yang terdiri dari entri teks

tetapi juga memiliki beberapa foto yang cocok dengan entri teks;

3. Situs Web: baik situs Web yang hanya terdiri dari teks atau

website yang terdiri baik teks dan gambar yang cocok beberapa;

4. Teks lain: buku (e-book), artikel, esai, novel, dan dokumentasi

perangkat lunak, dan

5. Pendidikan Bahan: sebuah website dengan rencana pelajaran

atau paket saja. (Wikipedia dalam Creative_Commons, diakses

pada 09 April 2014)

Adapun menurut pandangan para pakar terhadap Creative

Commons, meskipun Creative Commons disarankan oleh pendukung

visi kebijakan publik, tampaknya memiliki potensi untuk menyelesaikan

konflik mendidih antara dua visi hukum hak cipta (Boyle 2004: 0009).

Untuk menjadi solusi, sesuatu harus memenuhi tiga kondisi:

Pertama, harus secara akurat mencerminkan cara orang

menghasilkan karya kreatif, kedua, harus melayani kepentingan

pribadi pencipta, dan ketiga, harus melayani kepentingan umum

pengguna. (Kim 2007: 13(1)).

113

Kemudian cara melisensikan suatu karya dengan lisensi Creative

Commons adalah sebagai berikut:

a. Web Resmi Creative Commons

Calon pengguna lisesnsi Creative Commons dapat mengunjungi

web resmi Creative Commons di http://creativecommons.org/,

kemudian memilih opsi Licenses – Choose a Licenses. Kemudian

calon pengguna akan diarahkan ke laman web dengan tampilan

sebagai berikut (http://creativecommons.org/choose/?lang=id):

Gambar 4.2. Kolom pertanyaan dan pemilihan lisensi Creative Commons (sumber:

http://creativecommons.org/choose/?lang=id, diakses tanggal 30 Mei 2014)

114

1. Kolom pertama (kiri atas) menunjukkan dua buah pertanyaan

dasar kepada calon pengguna lisensi.

2. Kolom kedua (kanan atas) menunjukkan bentuk lisensi yang

telah dipilih dan disesuaikan dengan pertanyaan dasar pada

kolom pertama.

3. Kolom ketiga (kiri bawah) menunjukkan keterangan lengkap

dan kolom pengisian keterangan lebih lanjut, atas karya dari

calon pengguna. Kolom ini membantu membuat metadata yang

terbaca oleh komputer dilengkapi dengan keterangan lebih

lanjut seperti:

judul ciptaan,

nama pencipta,

jaringan atau tautan yang berhubungan dengan pencipta,

tautan terkait pencipta,

bentuk ciptaan (terdapat opsi: Bentuk Lainnya/Berbagai

Bentuk, Suara, Video, Gambar, Teks, Data Set,

Interaktif), dan

tanda lisensi (calon pengguna dapat membiarkannya

seperti asal (default) untuk web kontemporer)

4. Kolom keempat (kanan bawah) menunjukkan tautan yang dapat

disalin pada web calon pengguna lisensi Creative Commons,

berbentuk kode HTML (HyperText Markup Language), bahasa

markah yang digunakan untuk membuat sebuah halaman web

(Wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/HTML, diakses 30 Mei

2014)

b. Situs Soundcloud

Calon pengguna lisensi Creative Commons yang telah

menggunakkan situs berbagi Soundcloud, dapat dengan mudah

menjumpai kolom persetujuan penggunaan lisensi Creative

115

Commons setelah pengunggahan karya musik dalam kolom

Upload.

Gambar 4.3. Tampilan beranda dari situs Soundcloud (sumber: https://soundcloud.com/,

diakses tanggal 30 Mei 2014)

Kemudian calon pengguna lisensi Creative Commons akan

diarahkan ke laman https://soundcloud.com/upload-beta. Setelah

karya yang sudah berbentuk data digital terunggah, kemudian calon

pengguna lisensi Creative Commons akan diarahkan ke laman

keterangan lisensi karya, dengan tampilan:

116

Gambar 4.4. Kolom pemilihan lisensi Creative Commons pada situs Soundcloud

(sumber: http://soundcloud.com/fadlypratama/5-billion-project-tentangmu/edit,

diakses tanggal 30 Mei 2014)

Pemilihan lisensi Creative Commons akan menerapkan kesimpulan

lisensi yang dipilih oleh calon pengguna pada keterangan “You’ve

selected the following license: Some Rights Reserved”.

117

4.1.3. Creative Commons Indonesia (CCID)

Creative Commons Internasional (CC HQ) telah memberikan mandat

kepada Ivan Lanin (Wikimedia Indonesia) dan Ari Juliano untuk membentuk,

menerjemahkan, mengharmonisasikan lisensi Creative Commons (CC) dengan

UU Tentang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002. Mulai mengkampanyekan

Lisensi Creative Commons pada tahun 2009, dan telah menerjemahkan Lisensi

Creative Commons kedalam Bahasa Indonesia pada tahun 2011.

Adapun profil singkat dari Diretur dan Wakil Direktur Creative

Commons Indonesia adalah sebagai berikut:

Ari Juliano Gema adalah pimpinan proyek bidang

hukum untuk Karya Cipta Bersama (Creative

Commons) Indonesia. Lahir di Jakarta pada tahun

1976. Merupakan Sarjana Hukum Internasional dari

Universitas Indonesia. Ari memiliki ketertarikan pada

praktek hukum komersial, terutama dalam Hukum

Investasi dan Korporasi, Undang-Undang Telekomunikasi, Teknologi

Informasi, dan Hukum Kekayaan Intelektual. Di luar praktik hukumnya, Ari

memiliki kepedulian dalam subjek Hukum dan Teknologi yang terlihat dari

beberapa tulisannya untuk jurnal dan penyedia media di Jakarta.

Ivan Razela Lanin adalah Pemimpin Proyek

adaptasi lisensi Karya Cipta Bersama atau Creative

Commons Indonesia di tahun 2011. Ivan juga

merupakan salah satu pendiri Perkumpulan

Wikimedia Indonesia di tahun 2008 dan menjabat

Direktur Eksekutif periode 2008-2009 berdasarkan

Resolusi Dewan Pengawas (kini dinamakan Ketua Umum). Ivan aktif sebagai

pembicara dan pelatih dalam seminar dan lokakarya di berbagai daerah tentang

Wikipedia dan lisensi Karya Cipta Bersama (Creative Commons).

118

Creative Commons Indonesia (CCID) diluncurkan bersamaan dengan

Konferensi CC Asia Pasifik pada tahun 2012, bertempat di Grand Sahid Jaya

Hotel, Jakarta pada tangggal 10-11 November 2012.

Gambar 4.5. Logo Creative Commons Indonesia (sumber: http://creativecommons.or.id/, diakses

08 April 2014)

4.1.3.1. Konferensi Creative Commons Asia Pasifik 2012 dan

Peluncuran Creative Commons Indonesia (CCIDAP)

Konferensi Creative Commons Asia Pasifik 2012 dan

Peluncuran Creative Commons Indonesia adalah gabungan acara

pertemuan regional afiliasi Creative Commons di wilayah Asia

Pasifik dan acara peluncuran teks terjemahan lisensi Creative

Commons dalam Bahasa Indonesia. Pertemuan regional ini akan

menjadi media pertemuan afiliasi Creative Commons dari sekitar 15

negara di wilayah Asia Pasifik dan Creative Commons pusat untuk

membahas perkembangan penggunaan lisensi Creative Commons

pada setiap afiliasi. Acara ini juga akan menjadi pertemuan antara

pencipta dan pengguna lisensi Creative Commons di seluruh

Indonesia. Selain itu, salah satu titik berat dari acara ini adalah

sebagai suatu ajang sosialisasi penggunaan lisensi Creative

Commons, dalam bidang pemerintahan, seni dan budaya,

pendidikan, serta ilmu pengetahuan.

Adapun tujuan diadakannya acara ini adalah:

A. Menyebarluaskan teks terjemahan lisensi Creative

Commons versi 3.0 kedalam Bahasa Indonesia;

119

B. Menyosialisasikan penggunaan lisensi Creative

Commons di Indonesia oleh pemerintah, musisi, serta

pada bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan;

C. Memperkenalkan Creative Commons Indonesia kepada

afiliasi Creative Commons dengan secara aktif menjadi

tuan rumah pelaksanaan pertemuan regional Asia Pasifik

yang diadakan setiap dua tahun sekali;

D. Memperkenalkan Indonesia, khususnya Jakarta, kepada

afiliasi Creative Commons.

Gambar 4.6. e-Flyer untuk Konferensi Creative Commons Asia Pasifik 2012 dan Peluncuran

Creative Commons Indonesia (sumber: indonesiannetlabelunion.net, diakses 08 April 2014)

120

Gambar 4.7. Tampilan beranda dari Wikimedia Indonesia tentang Konferensi Creative Commons

Asia Pasifik dan Peluncuran Creative Commons Indonesia (sumber:

http://wikimedia.or.id/wiki/Konferensi_Creative_Commons_Asia_Pasifik_2012_dan_Peluncuran_Creative_Co

mmons_Indonesia/Notulensi_Diskusi_Publik, diakses 08 April 2014)

Pada konferensi tersebut, narasumber yang telah penulis

wawancarai pada kesempatan observasi, Ari Juliano, menjadi

panelis dan berbicara tentang Translating Licenses Into Bahasa

Indonesia (Mengalihbahasakan Lisensi (Creative Commons)

kedalam Bahasa Indonesia). Diskusi tersebut berbentuk forum

terbuka yang berisi Tanya (T) dan Jawab (J) sebagai berikut:

T: Prinsip komersialisasi. Dari sudut pandang media.

Informasi bersifat bebas. Bagaimana pendapatnya dari

sudut pandang media?

J: foto: Foto berbeda dengan informasi lain, kalau tulisan

dengan mudah di quote. Kalau foto ada effort untuk

membuatnya, dia merasa berhak dapat benefit kalau

seandainya foto itu di komersilkan.

T: Freedom of Panorama: kebebasan untuk mengakses karya

yang bernuansa bangunan atau bersifat arsitektur. >>

121

Apakah foto berlatarbelakang arsitektur boleh

diperjualbelikan?

J: Undang-undang hak cipta tidak menyebutkan hal

tersebut, namun ada hak eklsusif. Dengan demikian

kalau mengkomersilkan foto berlatar arsitektur harus

seizin dengan pencipta karya arsitekturnya.

J: Di Indonesia hal ini masih belum jelas. Kembali ke

prinsip awal bahwa tiap individu punya hak ekslusif

untuk memakai foto tersebut. Wikimedia common

menyebutkan foto yang berlatar arsitektur harus seizin

dari pembuatnya.

J: Undang-undang menyebutkan bahwa bangunan yang

tidak diketahui penciptanya maka dinyatakan milik

negara, jika ingin mengkomersilkan arsitektur tersebut

harus izin ke negara. Masalahnya siapa negaranya?

Tidak ada instansi yang jelas atau memiiki hak untuk

menyatakan boleh atau tidak. Sampai sekarang belum

terbentuk instansi yang jelas untuk memberikan

wewenang pemakaian karya-karaya tak bertuan. Oleh

karena itu selalu jadi masalah seandainya ada karya

Indonesia yang tak bertuan dikomersilkan di luar

negeri.

T: Saya (penanya) dapat gambar dari user untuk digunakan

sebagai media komersil, tetapi gambar tersebut dilindungi

oleh salah satu lisensi, sedangkan gambar tersebut akan

dipakai hanya sebatas sebagai souvenir, kalau kasus

seperti ini bagaimana solusinya. Pertanyaan kedua sebatas

apa sih komersil itu?

J: Solusi: Sebagai orang legal, tetap harus berhati-hati

memakai karya orang karena hal tersebut sudah

dikatakan sebagai komersialisasi. Harus ada surat

resmi dari perusahaan yang terkait dengan lisensi

122

gambar tersebut, apabila tidak ada jawaban, sampaikan

pada perusahaan terkait 'apabila dalam 14 hari tidak

ada jawaban maka gambar itu saya pakai', tetapi harus

tetap dicantumkan lisensinya. Katakan kepada

perusahaan tersebut kalau kita sudah melakukan upaya

yang maksimal tapi tidak ada jawaban.

T: Untuk di radio, ada promo program yang menggunakan

musik yang tidak dapat dilihat secara visual

siapa/darimana sumbernya, bagaimana hukumnya?

Kalau sumber Youtube bagaimana? Bagaimana dengan

Soundcloud yang bebas dipakai, apakah boleh diputar di

radio?

J: Radio sudah bekerjasama dengan Yayasan KCI, jadi

masalah tersebut sudah dibayarkan entah di awal

tahun atau di akhir tahun. Youtube bukan pembuat

video, dia hanya memiliki hak siar video. Kalau mau

dikomersilkan harus dengan embed player, jika tidak,

itu akan dikatakan melanggar lisensi Youtube dan hak

cipta si pembuat video. Kalau tidak, cantumkan nama

uploader-nya dan juga link-nya. Tergantung

penciptanya apakah dia membutuhkan benefit kalau

lagunya diputarkan? Kalau radionya online harus

disebutkan dengan jelas link dan sumbernya.

T: Bagaimana dengan foto pahlawan di uang?

J: Seharusnya pihak Bank Indonesia sudah meng-clear-

kan masalah hak cipta foto pahlawan di uang kertas.

T: Bagaimana dengan foto candid jika dikomersilkan?

J: Apakah foto tersebut merugikan orang yang menjadi

objek tersebut? Kalau tidak merugikan tidak apa-apa.

T: Foto Public Element dimodifikasi, jika dipublikasi

bagaimana?

123

J: Prinsipnya apakah orang tersebut niat di foto? Jika ya,

harus izin. Jika candid atau mengalami perubahan,

kembali ke apakah foto tersebut merugikan orang yang

bersangkutan.

T: Dengan diluncurkannya Creative Commons (CC),

bagaimana prosedur penuntutan pelanggaran

hukumnya?

J: Semua kembali ke Undang-Undang Hak Cipta, cukup

datang ke pihak yang berwajib (kepolisian) apabila

menemukan atau menjadi korban pelanggaran hak

cipta. CC hanya sebatas status karya, apa yang boleh

dan tidak boleh dilakukan oleh orang lain (diluar

pencipta), tetapi segala sesuatunya akan dikembalikan

ke undang-undang dan pengadilan.

T: Istilah-istilah di web agak sedikit membingungkan,

karena penyerapan dari Bahasa Inggris ke Bahasa

Indonesia sulit untuk dipahami

J: Masalah bahasa tidak ada masalah, karena di dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa tersebut baik

dan benar serta tepat untuk menjelaskan arti dari

Bahasa Inggris, masalahnya istilah-sitilah tersebut

masih belum disosialisasikan, jadi masih sulit atau

kebingungan ketika berhadapan dengan istilah-istilah

tersebut. Mungkin solusinya akan dibuatkan glossary

(perbendaharaan kata) mengenai istilah-istilah

tersebut.

T: Apakah CC satu-satunya organisasi?

J: CC itu organisasi terbuka, CC sendiri dikhususkan

karya-karya digital yang non software (seni, sastra dan

ilmu pengetahuan). CC sudah direkomenadasikan oleh

UNESCO karena dianggap paling mudah untuk

dipahami.

124

T: Di kampus ada seni musik dan seni tari, pada setiap

semesternya ada pentas seni yang di aransemen, dan

pentas tersebut ingin di publikasikan ke media, bagaimana

lisensinya?

J: Jika publikasi video dan di Youtube, masalah hukum

di Youtube sudah jelas, jika memang akan

menggunakan lisensi CC juga bisa.

Ari Juliano: Masih banyak PR (pekerjaan rumah) mengenai undang-

undang hak cipta, terutama di Indonesia, hukumnya masih

belum jelas, institusi yang berwenang pun tidak ada, hal-

hal yang dibahas masih hal-hal yang umum, belum ada

pembatasan-pembatasan yang pasti, seperti halnya di

Amerika pada contoh kasus fotocopy buku pelajaran.

Disana ada lembaga yang mengatur jika fotocopy buku

hanya boleh 5 lembar, jika lebih harus bayar royalti, di

Indonesia belum bisa berfikir sejauh itu.

Dalam Konferensi CC Asia Pasifik 2012 dan Peluncuran

CCID tersebut, Ivan Lanin (Wikimedia Indonesia) juga

berkesempatan menjadi panelis dalam sebuah dialog dengan para

peserta konferensi dalam diskusi publik, dan menghasilkan

notulensi yang menjelaskan beberapa poin penjelasan mengenai CC

untuk pemula. Antara lain sebagai berikut:

1. Summary of presentation

Lisensi CC adalah lisensi hak cipta yang

menjembatani kepentingan pencipta dan kebebasan

pengguna terhadap ciptaan/karya.

Hak cipta adalah hak eksklusif untuk mengumumkan

atau memperbanyak suatu ciptaan yang timbul secara

otomatis tanpa mengurangi pembatasan.

125

Hak cipta terdiri dari hak moral (hak yang menyatakan

bahwa suatu karya adalah ciptaan pencipta itu sendiri,

(contoh: tulisan di blog, hak moralnya ada di

penulisnya) dan hak ekonomi (berkaitan dengan unsur

“memperbanyak” didalam pengertian hak cipta).

Pengertian “otomatis” dalam hak cipta, adalah ketika

suatu karya diciptakan, hak cipta sudah lahir, tanpa

harus didaftarkan. Namun, permasalahan mengapa

harus didaftarkan adalah untuk kepentingan

pembuktian.

CC bukan membentuk Undang-undang baru, tapi

hanya memberikan sebuah sarana eksplisit bagi hak

cipta untuk membantu pembuktian.

2. Mengapa harus dilindungi?

Pencipta: mempertahankan hak moral dan ekonomi

terhadap ciptaan sambil mendorong penyebaran dan

penggunaan ciptaan.

Pengguna: mengetahui secara persis apa yang dapat

dilakukan terhadap suatu ciptaan.

Umum: meningkatkan penghargaan terhadap hak

cipta dan mendorong penciptaan baru. Karya di

Indonesia, hak cipta belum terlalu diperhatikan.

(Contoh: pengambilan gambar dari internet secara

bebas, tanpa mencantumkan nama penciptanya).

3. Komponen Penting Creative Commons

126

Syarat: bagian dimana kita menentukan hak mana

yang kita lepas, atribusi, non komersial (harus

meminta izin), tanpa turunan (hanya karya asli yang

digunakan dan tidak diturunkan ke karya lain) atau

berbagi serupa.

Lisensi, yang disediakan oleh CC sendiri, yakni BY;

BY-SA; BY-NC; BY-ND ; BY-NC-SA; dan BY-BC-

ND. Lisensi-lisensi ini dilambangkan oleh CC dengan

penggunaan logo-logo, yang ditujukan agar mudah

dipahami oleh masyarakat luas.

Format, yakni ringkas (deed) untuk kaum awam,

lengkap (legal) untuk pihak konsultan hukum, dan

digital (digital) untuk metadata yang dipahami mesin

pencari, seperti di dalam advanced search pada mesin

pencari Google.

4. Dimana CC dapat digunakan?

Media yang dapat menggunakan lisensi CC (tulisan,

audio/musik, foto/gambar, video)

Bidang yang dapat menggunakan lisensi CC

(kebudayaan pendidikan, pengetahuan seperti akses

terhadap jurnal-jurnal penelitian, pemerintahan

(contoh: di pemerintahan Australia, dimana semua

produk pemerintahannya telah berlisensi CC).

45

5. Contoh-contoh pihak yang telah menggunakan CC

Wikipedia

Al-Jazeera

Deviantart

Bottlesmoker

Indonesian

Netlabel Union

Beberapa video di

YouTube

PloS (sumber jurnal)

MIT Opencourseware

White House, dan

Pemerintah Australia.

6. Komunitas Webseries Indonesia

Medium online video yang tayang perdana di internet

secara berseri atau rutin, karya-karya yang ada disini

adalah sepenuhnya karya asli Indonesia, media

semacam ini dimulai sekitar tahun 2007-2008, namun

komunitas ini sendiri mulai aktif di awal 2012.

Lahirnya komunitas ini adalah atas kecintaan para

pendiri komunitas ini dengan film dan TV. Karya-

karya disini meliputi berbagai macam karya, baik

karya video fiksi, non-fiksi, musik, dan lain-lain.

Di Indonesia, antusias atas video online ini tinggi,

namun permasalahan yang timbul disini adalah

komunitas indie yang merasa media ini sangat efektif,

namun mereka merasa karyanya tidak terlindungi,

khususnya atas pembajakan karya. Karena itulah

komunitas ini merasa perlu lisensi CC digunakan di

web mereka, agar perlindungan atas karya mereka

lebih pasti.

79

7. Forum terbuka (Tanya (T) & Jawab (J))

T: Bagaimana penggunaan CC pada foto dalam blog?

Apakah butuh setiap foto di watermark dengan logo

CC?

J: Dapat diberikan watermark, tapi hal itu tidak perlu,

karena sejatinya apabila di dalam blog itu telah

dilindungi dengan lisensi CC, maka perlindungan

terhadap seluruh blog itu telah terjamin oleh CC.

T: Bagaimana dengan perlindungan atas CC karya fisik

seperti buku/CD?

J: Dimasukkan logo CC di karya fisik tersebut.

T: Bagaimana dengan perlindungan atas CC karya

video?

J: Biasanya dimasukkan logo CC ke credits.

T: Bagaimana perlindungan lisensi CC atas lagu?

J: Dalam pelekatan pada karya audio, lisensi CC

dengan media audio (yang berbentuk gelombang

suara) mempunyai banyak kendala. Jadi yang

dapat dilakukan adalah mencantumkan lisensi CC

itu pada bungkus CDnya, atau dicantumkan

lisensinya di web dimana lagu itu dibagikan. Perlu

diingat lagi bahwa CC ini ada untuk perlindungan

awal. Perlindungan CC ini sendiri juga dibutuhkan

oleh pencipta dan pengguna, untuk menyatakan

bahwa mereka “satu pihak” dalam hal ini, yakni

mendukung penegakan hak cipta.

80

Dalam acara Konferensi Creative Commons Asia Pasifik 2012

dan Peluncuran Creative Commons Indonesia ini juga, CCID

mengeluarkan desain poster yang berisikan informasi penting dan

umum mengenai Creative Commons, Creative Commons Indonesia

dan bentuk-bentuk lisensi yang dikeluarkan Creative Commons

Internasional (CCHQ) kemudian diterjemahkan kedalam Bahasa

Indonesia. Berikut ini adalah tampilan dari poster keluaran Creative

Commons Indonesia yang dimaksud:

81

Gambar 4.8. Poster kampanye CCID berisikan lisensi Creative Commons (sumber:

http://creativecommons.or.id/hubungi-kami/) (diakses 09 April 2014)

82

4.1.3.2. Indonesian Netaudio Festival 1

Dalam masa kampanyenya, CCID juga tengah bekerja sama

dengan Indonesian Netlabel Union (INU), membuat festival audio

pertama dengan konten acara mempertemukan beberapa pengguna

lisensi CC, artis dan pengguna internet yang mengkonsumsi karya-

karya yang berlisensikan CC. Pada kesehariannya individu-individu

tersebut hanya berkomunikasi dan bercengkrama melalui media internet

(tidak bertemu langsung di lapangan). Festival audio ini bertemakan

Indonesian Netaudio Festival 1 (INF#1), yang diselenggarakan pada

tanggal 16-17 November 2012 di Yogyakarta.

Gambar 4.9. Pamflet dan e-Flyer dari INF 1 (sumber:

http://indonesiannetlabelunion.net/indonesian-netaudio-festival-1/, diakses 09 April 2014)

Tidak haya dihadiri oleh konsumen audio yang didistribusikan

melalui media internet saja, INF#1 juga dihadiri beberapa perwakilan

netlabel-netlabel seluruh Indonesia. Beberapa perwakilan tersebut

yakni:

Yes No Wave Music,

Inmyroom Records,

Hujan! Rekords,

StoneAge Records,

MindBlasting,

Pati Rasa Records,

Tsefula/Tsefuelha

Records,

KANAL 30,

EarAlert Records,

Lemari Kota,

Experia,

83

Death Tiwikrama,

Megavoid,

SoundRespect, dan

Flynt Records

84

4.1.3.3. Interview dengan Anggung Kuy Kay

Pada kesempatan observasi yang dilakukan penulis dengan

salah satu peserta INF#1 dan juga artis yang aktif dalam pergerakan dan

pendistribusian karya melalui media internet yakni sdr. Anggung Kuy

Kay (Angkuy) dari Bottlesmoker, penulis mendapatkan data dalam

wawancara singkat yang dilakukan secara privat pada kantor dari band

Bottlesmoker di Jalan Ir. H. Juanda nomor 500 (Dago500), Bandung,

Jawa Barat.

Berikut hasil dari wawancara tersebut. Penulis tuangkan dalam

bentuk Tanya (T) dan Jawab (J).

T: Sejauh mana Bottlesmoker terkait dengan pemasaran karya musik di

Internet?

J: Bentuk pendistribusian karya-karya musik Bottlesmoker dalam

pemasarannya memang sangat menggunakan media internet

sebagai media distribusi karya itu sendiri. Dikarenakan memang

semenjak awal, Bottlesmoker menggunakan media komputer

sebagai penyebar karya. Dalam hal ini, Bottlesmoker pernah

“menitipkan” karya musik dari Bottlesmoker kepada komputer

server pada beberapa Warung Internet (warnet), dengan maksud

agar dapat diakses (dikopi, didengar: dikonsumsi, pen) oleh

pengguna warnet yang kebetulan membutuhkan musik pada saat

mengakses internet di warnet tersebut.

T: Bagaimana keikutsertaan Bottlesmoker dalam penerapan dan

kampanye lisensi Creative Commons di Indonesia?

J: Bottlesmoker menggunakan lisensi Creative Commons sejak

tahun 2008, dan telah merilis karya musik secara “bebas”

melalui internet sejak 2006. Dalam lisensi di internet itu sendiri,

Bottlesmoker memilih menggunakan lisensi dengan bentuk

85

“Copyleft” (pada freeware – perangkat lunak bebas) atau CC

BY-SA (Atribusi-BerbagiSerupa) pada lisensi Creative

Commons.

T: Mengapa Bottlesmoker memilih membagikan karya musik

Bottlesmoker secara “bebas” di internet?

J: Pertama: Bottlesmoker memang salah satu penggiat, pengguna

sekaligus penikmat piranti lunak “bebas” yang pada hari ini

sudah sangat banyak dibagikan dan dengan mudah diakses lewat

internet. Baik penggunaannya pada telepon genggam pintar

(Smartphone), maupun pada personal computer (PC). Jadi

Bottlesmoker memang menginginkan penikmat musik

Bottlesmoker mengonsumsi karya Bottlesmoker secara bebas,

sama halnya dengan penggunaan piranti lunak bebas (freeware)

tersebut.

Kedua: Bottlesmoker tidak mengharapkan materi berbentuk

pembelian dengan uang dari masing-masing karya yang telah

Bottlesmoker ciptakan dan distribusikan diinternet secara bebas.

Akan tetapi Bottlesmoker lebih menekankan aspek pemasaran

karya musik Bottlesmoker pada Merchandise dan Live

Performance. Disisi lain Bottlesmoker juga “menjual” karya

musik dalam bentuk fisik (Audio-CD) dengan kemasan

(packaging) yang menarik, untuk keperluan pengguna yang

ingin mengoleksi karya musik Bottlesmoker dalam bentuk fisik.

CCID juga telah membuat sebuah diskusi sosial tentang

pemahaman hak cipta di beberapa kota besar Indonesia, bekerja sama

dengan sebuah lembaga belajar yang bernama Akademi Berbagi

(Akber). Akber tersebut telah tersebar di seluruh Indonesia dan telah

memiliki tenaga pengajar sebanyak orang. Berikut data berbentuk

pamflet/e-flyer dari acara yang telah dilaksanakan oleh Creative

Commons dan Akber:

86

Gambar 4.10. Pamflet/e-Flyer dari acara diskusi oleh Creative Commons bekerja sama

dengan Akademi Berbagi (sumber: https://www.facebook.com/CreativeCommonsIndonesia,

diakses 17 April 2014)

87

4.2. PEMBAHASAN

Pada sub-bab ini, penulis akan memaparkan dan mulai mengsinkronisasikan

data yang penulis dapatkan selama observasi yang telah penulis lakukan

sebelumnya, dengan pendapat para pakar yang telah penulis kaji dari studi literatur.

Seperti yang dikatakan oleh Cresswell (2007: 55 (4)) dalam langkah-langkah

melaksanakan penelitian naratif, salah satunya ialah

menganalisa cerita partisipan dan kemudian menceritakan ulang (restory)

cerita mereka ke dalam kerangka kerja yang masuk akal. Restorying adalah

proses organisasi ulang cerita ke dalam beberapa tipe umum kerangka kerja.

Kerangka kerja ini meliputi pengumpulan informasi, penganalisaan

informasi untuk elemen kunci cerita (misalnya: waktu, tempat, alur, dan

scene/adegan) dan menulis ulang cerita guna menempatkan mereka dalam

rangkaian secara kronologis.

Dari keterangan diatas, penulis telah menganalisa beberapa fenomena selama

masa observasi dan mendapatkan beberapa pokok permasalahan yang dapat penulis

uraikan sebagai berikut:

4.2.1. Pelaku Berbagi-File

Dalam Lessig (2004), terdapat tipe-tipe pelaku berbagi-file.

A. Sebagian orang menggunakan jejaring berbagi ini sebagai

pengganti dari membeli konten. Jadi, ketika CD terbaru Madonna

diluncurkan; dari pada membeli, pengguna dengan mudah dapat

mengambilnya. Kita mungkin bisa berangan-angan apakah setiap

orang yang mengambil konten, benar-benar akan membelinya jika

jaringan ini tidak menyediakannya secara gratis. Sebagian besar

mungkin tidak akan melakukannya, tapi jelas, ada beberapa yang

bersedia membeli. Yang belakangan ini adalah sasaran dari

kategori A: yaitu pengguna yang mengunduh ketimbang membeli.

B. Sebagian pengguna menggunakan jejaring berbagi ini untuk

menyicipi karya musik tertentu sebelum membelinya. Jadi

misalnya, seorang teman mengirimkan teman yang lain sebuah

file MP3 dari seorang artis yang belum pernah ia dengar

88

sebelumnya. Kemudian teman yang lain itu membeli CD artis

tersebut. Ini merupakan salah satu jenis iklan yang punya sasaran

khusus, dan biasanya cukup berhasil. Jika seorang teman tidak

mendapatkan apa pun karena rekomendasinya yang buruk, ia bisa

saja berharap bahwa rekomendasi tersebut sebenarnya cukup

baik. Efek jejaring dari kegiatan berbagi dapat meningkatkan

jumlah musik yang diperjualbelikan.

C. Ada banyak pengguna yang menggunakan jaringan berbagi ini

untuk mendapatkan akses konten berhak cipta yang sudah tidak

lagi dijual atau bahwa mereka tidak dapat membelinya karena

biaya transaksi di luar Internet sangatlah tinggi. Penggunaan

jaringan berbagi seperti merupakan salah satu bentuk yang paling

menguntungkan bagi banyak orang. Lagu-lagu yang pernah

menjadi bagian dari masa kecil anda dan sudah lama menghilang

dari pasar, secara ajaib muncul lagi di dalam jejaring ini.

(Seorang teman mengatakan kepada saya bahwa ketika ia

menemukan Napster, ia menghabiskan sepanjang akhir pekannya

untuk “bernostalgia” dengan lagu-lagu lama itu. Ia dikejutkan

dengan ragam dan bauran konten yang tersedia di sana). Untuk

konten yang tidak dijual, secara teknis aktivitas ini jelas

merupakan pelanggaran hak cipta, meskipun nilai kerugian

ekonomisnya hanya nol karena pemilik hak cipta tidak lagi

menjual kontennya. Kerugian yang sama juga terjadi ketika saya

menjual koleksi piringan hitam 45-rpm tahun 1960an saya kepada

kolektor lokal.

D. Terakhir, ada banyak orang yang menggunakan jaringan berbagi

untuk mendapatkan akses ke materi yang tidak berhak cipta atau

pemilik hak ciptanya ingin memberikannya secara gratis.

89

Lessig (2004) menyebutnya sebagai “para pelaku berbagi-file

membagi-bagikan berbagai macam konten. Kita dapat membedakannya ke

dalam empat tipe”. Kemudian pada point “D” dapat dilihat bahwa ada

pengguna internet yang menggunakan jaringan berbagi untuk mendapatkan

akses ke materi yang tidak berhak cipta atau “pemilik hak ciptanya ingin

memberikannya secara gratis”.

Pernyataan Lessig (2004) tersebut bisa dihubungkan dengan beberapa

perlakuan lisensi keluaran Creative Commons yang “membebaskan” pemilik

hak cipta serta pengguna karya dalam pola konsumsi karya musik digital yang

diciptakan oleh si pencipta/artis. Hal tersebut dikarenakan dalam poin-poin

Lisensi Creative Commons (Bab II, sub-bab 2.2.), terdapat bentuk lisensi yang

berbunyi:

lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki

dan membuat ciptaan turunan, bahkan untuk kepentingan

komersial, selama mereka (pengguna karya) mencantumkan kredit

kepada Pemilik Ciptaan atas ciptaan asli. Seluruh ciptaan turunan

dari ciptaan si Pemilik Ciptaan akan memiliki lisensi yang sama,

sehingga setiap ciptaan turunan dapat digunakan untuk kepentingan

komersial. Lisensi ini digunakan oleh Wikipedia dan

direkomendasikan untuk materi-materi yang berasal dari

penghimpunan materi Wikipedia dan proyek dengan lisensi serupa

(Lisensi Atribusi CC BY-SA).

Pada penerapannya di industri perangkat lunak bebas (freeware),

terdapat juga lisensi yang dikenal sebagai “copyleft” (akan penulis bahas pada

sub-bab selanjutnya). Lisensi tersebut membebaskan pencipta dalam

menyebarkan karyanya pada media apapun, baik pada media situs web

maupun pada media CD fisik kepada pengguna karyanya, yang selanjutnya si

pengguna karya dapat dengan bebas menggubah, mengadaptasi, me-remix,

bahkan menggunakannya untuk kepentingan komersial, selama konsumen

yang akan mengadaptasi menyebutkan bahwa karya yang diciptakan tersebut

90

mempunyai Pemilik yang memegang Hak Ciptanya secara penuh. Jadi

konsumen tersebut harus selalu menyebutkan pencipta asli dari karya tersebut

dalam credit title pada setiap pengaplikasian karya yang dibuat oleh

konsumen tersebut. Hal tersebut dikarenakan memang pada dasarnya bentuk

freeware itu sendiri memang sangat dinikmati oleh para pemakai telepon

pintar (smartphone) yang pada saat ini sedang marak-maraknya.

Para pengguna freeware tersebut terkadang kurang menyadari bahwa

yang sedang mereka konsumsi saat itu adalah bentuk dari freeware yang

memang dibuat khusus oleh para penciptanya, agar konsumen terinspirasi,

terhibur dan bahkan termudahkan oleh freeware yang telah si pencipta buat.

Seperti contohnya salah satu freeware Soundcloud. Freeware tersebut

memudahkan para pencipta karya dalam mempromosikan karya-karya

musiknya di internet. Soundcloud dalam beberapa syarat dan ketentuannya,

memudahkan pengguna internet dalam mengakses karya-karya musik

unggahan para pencipta musik. Tetapi Soundcloud pun menyadari dan

memberikan perhatian terhadap pembajakan yang memang sudah sangat biasa

pada era informasi seperti sekarang ini. Jadi, Soundcloud menyertakan

pertanyaan, sebelum pengunggah mengunggah karyanya ke internet.

Pertanyaan tersebut berbentuk kolom yang harus dipilih oleh para

pengunggah karya musik, apakah pengunggah tersebut memilih karya

musiknya dilindungi oleh hak cipta biasa atau oleh lisensi Creative Commons.

Berikut tampilan kolom pilihan tersebut:

91

Gambar 4.11. Pemilihan Lisensi pada Pengunggahan karya di Soundcloud (sumber:

http://soundcloud.com/(pengguna/pengunggah)/(judul-karya)/edit, diakses 09 Mei 2014)

Pola penyebaran berasaskan lisensi seperti diatas telah dibenarkan

pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

Hak Cipta, dalam pasal 1 poin 14, yang berbunyi:

Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau

Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan

dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya

dengan persyaratan tertentu.

Kemudian tentang bagaimana dengan proses penindakan yang

dilakukan oleh pihak berwajib, jika terdapat pelanggaran-pelanggaran pada

praktek setelah diterapkannya lisensi tersebut pada sebuah karya? Pertanyaan

tersebut dapat dilihat pada pendapat Ari Juliano (CCID) yang menjadi panelis

di Konferensi Creative Commons Asia Pasifik 2012 dan Peluncuran Creative

Commons Indonesia, yang telah dibahas pada sub-bab sebelumnya.

Pernyataan tersebut berbunyi:

92

Semua kembali ke Undang-Undang Hak Cipta. Pencipta cukup

mendatangi pihak yang berwajib seperti kepolisian apabila

menemukan atau menjadi korban pelanggaran Hak Cipta. Creative

Commons hanya sebatas status karya tentang “apa yang boleh dan

tidak boleh dilakukan orang lain (konsumen, pengguna karya – diluar

pencipta asli)”. Tetapi segala sesuatunya akan dikembalikan lagi ke

undang-undang dan pengadilan.

Ari Juliano juga berpendapat pada kesempatan observasi langusng

yang dilakukan oleh penulis.

Lisensi Creative Commons seperti status pada media sosial Facebook.

Pada Facebook, kita bisa melihat beberapa status; Single, In

Relationship (dalam hubungan), Engaged (bertunangan), Married

(menikah), It’s Complicated (bermasalah), dan sebagainya.

Lisensi ini pun sama. Jadi secara sosial, publik lain (diluar pemilik

akun Facebook) akan merasa terbatasi oleh status tertentu yang

dipajang oleh si pemilik akun tersebut. Apa yang bisa dan tidak bisa

dilakukan oleh Pengguna Facebook lain terhadap si pemilik akun

tersebut. Relasi semacam apa yang memungkinkan untuk dilakukan

pengguna Facebook lain kepada si pemilik akun, jika si pemilik akun

telah memasang status Married (Menikah). Ada hukum sosial yang

berbicara jika terdapat pelanggaran oleh si pengguna facebook lain

kepada si pemilik akun, atau sebaliknya.

4.2.2. Visi Publik

Terciptanya Creative Commons ternyata tidak menghentikan

persaingan diantara dua kubu publik yang memiliki visi bertentangan. Kim

(2005: 188), ada dua visi bersaing dari dasar-dasar hukum hak cipta: yakni “visi

milik pribadi – private property” dan “visi kebijakan publik – public policy

vision”.

93

A. Visi milik pribadi tercetus karena adanya kelompok yang

mendukung dan percaya bahwa hak cipta berasal dari alam sebagai

hak milik penulis (pencipta), dan bahwa penulis yang membuat

karya asli berhak untuk memiliki hak milik atas pekerjaan mereka.

Penekanan visi milik pribadi adalah pada kepentingan pribadi si

penulis (pencipta) dalam mengendalikan penggunaan karya cipta

sebagai milik si penulis (pencipta). Bertentangan dengan,

B. Visi kebijakan publik. Diadakan oleh mereka yang mencatat hak

cipta yang secara historis berkembang sebagai hibah didalam

masyarakat dari monopoli terbatas, dan yang berpikir bahwa hak-

hak pencipta harus mempertimbangkan kebebasan orang lain untuk

menggunakan karya berhak cipta. Visi ini disebut visi kebijakan

publik karena menggarisbawahi pentingnya kepentingan publik

dalam mengakses dan menggunakan karya berhak cipta. Hal ini

juga menggarisbawahi peran hak cipta sebagai suatu kebijakan

publik yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan yang tepat

antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.

Menurut Kim (2005), kedua visi tersebut telah bentrok dalam

perkembangan hukum hak cipta selama 300 tahun. Akan tetapi konflik yang

terjadi diantara kedua kubu tersebut lebih meningkat di era digital ini. Secara

otomatis pihak advokasi dari kedua visi tersebut mempunyai cara pandang yang

berbeda terhadap peningkatan teknologi digital. Bagi advokat dari visi milik

pribadi berharap, dengan lebih berkembangnya teknologi digital akan

meningkatkan pengumpulan “biaya” pada setiap penggunaan hak cipta karya-

karya mereka (Goldstein: 2003). Tetapi yang terjadi pada pengamatan mereka

adalah pelanggaran hak cipta besar-besaran, yang membuat pelembagaan

mekanisme pada industri musik putus asa dalam melakukan penegakan yang

kuat terhadap “penyalinan”, dalam rangka melindungi kepemilikan mereka.

Dari sudut pandang penulis, visi milik pribadi tersebut seperti selalu

ingin mendahulukan kepuasan dari segi hak ekonomi yang mereka tuntut dari

94

setiap karya yang mereka ciptakan. Hal tersebut sesungguhnya bertentangan

dengan fenomena yang terjadi pada masyarakat dengan tingkat perkembangan

teknologi seperti sekarang ini. Jadi menurut sudut pandang penulis, para

penganut faham visi milik pribadi tersebut seharusnya agak membuka diri

terhadap perkembangan teknologi, bahwa pola penyebaran dan pendistribusian

di industri musik hari ini tidak selalu berbicara soal “membayar” karya dengan

materi atau uang.

Pada pertemuan keempat antara penulis dengan dosen pembimbing

dalam masa bimbingan, penulis mendapatkan fenomena yang dikemukakan

oleh dosen pembimbing penulis yakni Ahmad Hidayat, beliau menyatakan;

“industri musik pada saat ini telah menginjak kepada masa dimana publik lebih

memilih untuk menjadi sosialis dibanding menjadi kapitalis”. Dengan maksud

bahwa publik didalam industri musik pada hari ini telah sadar, bahwa

pemasaran sebuah karya musik dapat dimulai dengan memberikan secara cuma-

cuma karya yang diciptakan oleh pencipta musik kepada konsumen karya

musik, tetapi dengan catatan bahwa pencipta tersebut harus sadar akan hak

moral dan hak ekonomi dari pemasaran karya musik jenis ini.

4.2.2.1. Hak Moral dan Hak Ekonomi

Menurut data yang penulis dapatkan pada saat observasi,

Angkuy Bottlesmoker mengemukakan, pernah pada satu kesempatan,

beliau yang berada dipihak visi kebijakan publik, bertemu dan

berdiskusi di sebuah forum dengan Mas Piyu yang pada kesempatan

tersebut berada dipihak visi milik pribadi. Mas Piyu bertanya kepada

Angkuy, mengapa pada setiap karya yang Angkuy buat, Angkuy lebih

memilih untuk menyebarkannya secara “gratis”? Sedangkan yang

dirasakan oleh Mas Piyu pada saat itu adalah merosotnya angka

penjualan CD Audio yang dihasilkan oleh bandnya. Angkuy menjawab

dengan pengetahuannya tentang Lisensi Bebas ala Creative Commons.

Yang kita lihat disini adalah bukan semata-mata melihat nilai

nyata pada hasil penjualan karya yang berbentuk fisik,

melainkan adanya perasaan “menyenangkan” ketika publik

95

(common) membuat status pada sosial media miliknya yang

menyebutkan, bahwa dirinya sedang memainkan

(mendengarkan) karya dari Bottlesmoker. Fenomena tersebut

dikenal sebagai Now Playing.

Kemudian timbulnya semangat baru ketika ada negara afiliasi

Creative Commons (negara yang telah mempunyai lembaga

mapan yang sudah menggunakan lisensi Creative Commons)

lain yang mengundang Bottlesmoker untuk bermain (perform)

di salah satu acara pameran seni di negara mereka. Seperti

Thailand, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Now Playing tersebut terjadi ketika seseorang memainkan

sebuah karya milik orang lain, kemudian orang tersebut memasangnnya

(posting) pada status di sosial media milik orang tersebut. Hal ini

menimbulkan dua pemikiran, yakni; bahwa orang tersebut memiliki

“salinan asli” dari karya yang ia “beli dengan uang” kemudian ia

posting, sementara ia memainkannya pada sebuah pemutar musik

miliknya, atau orang tersebut memiliki “salinan digital asli” yang ia

dapatkan dari pengunduhan (downloading) yang ia lakukan pada salah

satu situs web resmi dari sebuah pencipta karya musik (band, pen), lalu

mem-posting-nya sebagai status.

Ada pula perlakuan menyenangkan lain dari pihak konsumen

Bottlesmoker, yang pernah pada suatu saat dibelakang sebuah

panggung Bottlesmoker di Indonesia. Bottlesmoker dihadiahi

instrumen musik berbentuk keyboard dari pendengar setia

Bottlesmoker yang merasa puas dan terhibur oleh musik

Bottlesmoker yang memang pada saat itu, konsumen tersebut

mengaku telah mengunduh secara “bebas” melalui situs resmi

Bottlesmoker.

Berdasarkan data diatas, bahwa hak moral yang didapatkan

oleh Bottlesmoker adalah perasaan menyenangkan ketika ada konsumen

karyanya yang kedapatan memainkan atau mendengarkan karya dari

Bottlesmoker lalu di-posting oleh konsumen tersebut sebagai status

96

pada media sosial milik si konsumen (Now Playing). Sedangkan hak

ekonomi yang Bottlesmoker dapatkan adalah dengan diundangnya

Bottlesmoker ke festival-festival yang diselenggarakan oleh negara

afiliasi CC lain yang telah merilis karya Bottlesmoker dibawah naungan

Netlabel di negara mereka, kemudian Bottlesmoker mendapatkan

bayaran yang setimpal bahkan berlebih dalam biaya administratif. Hak

ekonomi lain yang dirasakan Bottlesomker yakni dari instrumen musik

yang didapatkan secara cuma-cuma dari konsumen, yang ingin

berterimakasih kepada Bottlesmoker, karena telah membuat karya yang

indah, serta menyebarkannya secara cuma-cuma, tanpa harus membayar

sepeser pun.

Akan tetapi, setelah penulis melakukan konseling lebih lanjut

mengenai hak moral dan hak ekonomi ini, penulis menemukan bahwa

teori hak moral belum terpenuhi, ketika sebuah karya musik diakui oleh

publik hanya dengan fenomena Now Playing. Hal ini terdapat pada

Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 yang bebunyi:

Bagian Ketujuh

Hak Moral

Pasal 24

(1) Pencipta atau ahli warisnya berhak menuntut Pemegang

Hak Cipta supaya nama pencipta tetap dicantumkan

dalam Ciptaannya.

(2) Suatu Ciptaan tidak boleh diubah walaupun Hak Ciptanya

telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan

persetujuan Pencipta atau dengan persetujuan ahli

warisnya dalam hal Pencipta telah meninggal dunia.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku

juga terhadap perubahan judul dan anak judul Ciptaan,

pencantuman dan perubahan nama atau nama samara

Pencipta.

97

Adapun keterangan lebih lanjut mengenai informasi

elektronik, terdapat juga pada bagian pasal Hak Moral yang sama,

berbunyi:

Pasal 25

(1) Informasi elektronik tentang informasi manajemen hak

Pencipta tidak boleh ditiadakan atau diubah.

Selanjutnya pada Pasal 5 Ayat (1), disebutkan tentang

Pencipta, bahwa:

Bagian Kedua

Pencipta

Pasal 5

(1) Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai

Pencipta adalah:

a. orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum

Ciptaan pada Direktorat Jenderal; atau

b. orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau

diumumkan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan.

Kemudian pada Pasal 6, disebutkan:

Pasal 6

Jika suatu ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri

yang diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang dianggap

sebagai Pencipta ialah orang yang memimpin serta

mengawasi penyelesaian seluruh Ciptaan itu, atau dalam hal

tidak ada orang tersebut, yang dianggap sebagai Pencipta

adalah orang yang menghimpunnya dangen tidak mengurangi

Hak Cipta masing-masing atas bagian Ciptaannya itu.

98

Dengan demikian, hak moral baru bisa dikatakan terpenuhi

jika karya musik yang telah dirilis ke publik oleh si pencipta dalam

kondisi telah terdaftarkan di Ditjen HKI dan karya musik tersebut sudah

jelas pengarangnya, kemudian publik dan/atau media lain diluar si

pencipta, merespon karya tersebut dengan perlakuan “selalu

mengatribusi” atau “selalu menyertakan nama si pencipta” jika karya

musik tersebut telah berubah bentuk, atau berpindah tempat dan media,

atau digunakan oleh pihak lain dalam bentuk adaptasi karya.

Contohnya, jika karya musik Bottlesmoker akan digunakan

sebagai soundtrack sebuah iklan layanan masyarakat, maka si pembuat

iklan layanan masyarakat tersebut haruslah menyertakan nama pencipta

didalam kredit iklan layanan masyarakat tersebut. Contoh lainnya, jika

karya musik Bottlesmoker telah dijadikan video clip, kemudian video

clip tersebut akan ditayangkan pada salah satu stasiun televisi, maka

stasiun televisi tersebut harus menuliskan nama pencipta karya musik

tersebut, disela-sela penayangan video clip tersebut. Barulah hak moral

yang dimaksudkan undang-undang hak cipta tersebut terpenuhi.

Kemudian sesungguhnya Bottlesmoker belum termasuk

kategori yang terpenuhi hak ekonominya, jika hanya diundang oleh

negara afiliasi CC lain dan mendapatkan instrumen musik dari publik

yang berterimakasih atas karya yang telah Bottlesmoker ciptakan.

Fenomena tersebut hanya merupakan “dampak ekonomi” dan belum

termasuk kedalam kategori “hak ekonomi”.

Akan tetapi penulis menemukan fenomena tentang “hak

ekonomi” lain yakni, berhasil dijualnya beberapa rilisan fisik dari karya

musik Bottlesmoker kepada konsumen yang sebelumnya telah

mengenal Bottlesmoker dan telah mendengar karya Bottlesmoker

melalui hasil unduhan karya musik Bottlesmoker yang telah disebarkan

di situs resmi Bottlesmoker. Menurut pengakuan konsumen tersebut

kepada Bottlesmoker, bahwa karya Bottlesmoker tersebut dianggap

baik. Maka mereka ingin memiliki rilisan fisik dengan packaging

(kemasan CD, pen) ala Bottlesmoker, serta beberapa informasi lain yang

99

tidak didapatkan pada rilisan digital di situs resmi Bottlesmoker.

Konsumen seperti ini dapat dimasukkan ke dalam kategori B pada

pelaku berbagi-file menurut Lessig (2004) yang “menggunakan

jaringan berbagi tersebut untuk “menyicipi” karya musik tertentu

sebelum membelinya.”

Memasuki pembahasan sisi negatif dari penyebaran karya

melalui media internet secara bebas. Dalam hal ini, penulis juga

mendapatkan data dari Angkuy yang telah menyebarkan karya musik

Bottlesmoker secara bebas di internet. Angkuy meyatakan bahwa

pernah suatu ketika ada konsumen karya Bottlesmoker yang

menggunakan karya Bottlesmoker sebagai musik pengiring

sebuah iklan komersial di televisi. Konsumen tersebut

sepertinya asal pakai dan tidak tahu bahwa karya tersebut

sebetulnya telah di lisensikan dengan Lisensi CC BY-NC-SA

atau Lisensi yang mengizinkan setiap orang untuk

menggubah, memperbaiki dan membuat ciptaan turunan

bukan untuk kepentingan komersial, selama mereka

mencantumkan kredit kepada pencipta dan melisensikan

ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan

asli. Tetapi pada saat itu Saya tidak mengusutnya secara

hukum yang berlaku. Jadi sampai saat ini belum ada

penyelesaian.

Padahal, jika dibandingkan dengan kasus yang terjadi pada

Else dan Fox pada Lessig (2004: 113):

Jon Else sedang membuat film dokumenter berjudul Ring

Cycle (The Ring) karya Wagner. Fokus dari film ini ialah para

kru panggung di gedung opera San Francisco. Kru panggung

adalah elemen khusus yang lucu dan berwarna dalam sebuah

opera. Ketika opera berlangsung, mereka biasa duduk-duduk

di bawah panggung atau di ruang operator lampu.

Suatu ketika, dalam sebuah pertunjukan, Else merekam

beberapa kru panggung sedang bermain dam-daman. Di

100

pojok ruangan terdapat satu televisi. Kala itu, ketika para kru

panggung bermain dam dan opera sedang memainkan

Wagner, televisi sedang menyiarkan acara The Simpsons

karya Matt Groening. Bagi Else, latar belakang tayangan

kartun tersebut membantunya mendapatkan atmosfer khusus

dari adegan tersebut.

Beberapa tahun kemudian, ketika ia akhirnya mendapat

sponsor untuk menyelesaikan filmnya, Else berniat untuk

mengurus ijin agar dapat menggunakan cuplikan The

Simpsons tersebut.

Else kemudian menghubungi Matt Groening untuk meminta

ijin dan Groening pun menyetujuinya. Namun beliau meminta

Else untuk menghubungi terlebih dahulu perusahaan yang

memproduksi program The Simpson yakni Gracie Films.

Gracie juga ternyata tidak melihat ada masalah, namun

seperti juga Groening, mereka ingin berhati-hati dalam hal

ini. Maka kemudian mereka meminta Else untuk menghubungi

Fox Entertainment.

Kemudian Fox mengatakan, “Ada dua hal yang terjadi.

Pertama, kami baru tahu bahwa Matt Groening tidak memiliki

karya ciptaannya sendiri atau paling tidak seseorang (di Fox)

percaya bahwa Groening tidak berhak atas ciptaannya

sendiri.” Dan yang kedua, “Fox meminta 10.000 dolar

sebagai biaya lisensi karena Else menggunakan klip empat

setengah detik dari tayangan The Simpsons… yang muncul

tidak sengaja, yang kebetulan terekam di sudut kamera.”

Rebecca Herrera yang menurut Else adalah direktur utama

untuk urusan lisensi mengatakan “Dibutuhkan 10.000 dollar

untuk menggunakan sebuah klip pendek dari The simpsons

yang terekam di sudut pengambilan gambar film dokumenter

tentang karya Wagner yang berjudul Ring Cycle (The Ring).”

Yang lebih mengherankan Herrera berkata pada Else, “Dan

101

jika anda mengutip perkataan saya, anda akan berurusan

dengan pengacara saya.”

Pada saat-saat terakhir sebelum film itu akan diluncurkan,

Else akhirnya mengganti tayangan di TV tersebut secara

digital dengan klip dari film lain yang pernah dibuatnya 10

tahun sebelumnya, The Day After Trinity.

Namun ketika para pengacara mendengar cerita tentang Else

dan Fox, yang pertama kali ada dipikiran mereka adalah

“penggunaan wajar” (fair use).

Kasus antara Bottlesmoker dengan konsumen yang

menggunakan karya musik Bottlesmoker untuk proyek komersial

tersebut bisa diajukan dan dibawa ke ranah hukum, sama seperti pada

kasus Else dengan Fox. Tetapi yang terjadi disini ialah ketidakmauan

dan kurangnya inisiatif dari Bottlesmoker untuk mengajukan kasus ini

ke ranah hukum. Padahal dengan jelas, karya musik Bottlesmoker

tersebut telah dilisensikan oleh Lisensi Creative Commons, yang

lembaga dan ide dari Creative Commons itu sendiri telah tercatat di

Ditjen HKI.

Dalam tatanan masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum

yang tinggi dan insiatif untuk menempuh jalur hukum, sebaiknya

Bottlesmoker berani melakukan hal-hal yang membuat Bottlesmoker

kehilangan kesempatan untuk memberikan status yang jelas kepada

karya yang telah digunakan oleh pihak pembuat iklan komersial

tersebut. Bottlesmoker juga memiliki kesempatan untuk membuat

pergerakan baru yang mungkin belum pernah dilakukan oleh pencipta

(musisi) lain.

Karena menurut salah satu narasumber, yakni sarjana hukum

lulusan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Asri Hening,

jalur hukum sebetulnya dapat dengan mudah diakses jika

pencipta menemukan kasus pelanggaran seperti diatas serta

dapat membuktikannya secara hukum. Sebetulnya masyarakat

Indonesia saat ini membutuhkan suatu terobosan hukum yang

102

berdampak pada meningkatnya kesadaran hukum dalam

masyarakat umum lain “apa yang harus dilakukan jika hal

tersebut diatas terjadi”. Karena undang-undang telah jelas

mengatur peredaran dan penggunaan karya dalam Undang-

Undang tentang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002. Lembaga

dan perangkat lain yang bisa mendukung terpecahkannya

masalah serupa pun sudah tersedia. Akan tetapi yang terjadi

dilapangan adalah kurang pedulinya masyarakat, pencipta

dan para penegak hukum yang berwenang, untuk bertindak

melakukan sesuatu jika hal tersebut berhubungan dengan

Musik. Padahal pada sektor lain, katakanlah Logo sebuah

Perusahaan. Kasus untuk logo perusahaan ini sudah cukup

terkenal dimasyarakat. Seperti misalnya, logo Coca-Cola

yang diselewengkan menjadi Coca-Cora yang kemudian

menjadi sebuah logo dari perusahaan minuman lain. Barulah

masyarakat industri mau mengajukannya ke ranah hukum.

Hal tersebut membuat penulis berpikir, bahwa harus ada

keuntungan materi tersendiri yang didapatkan, baik kepada pihak yang

dirugikan maupun pihak yang berwenang dalam mengungkap

kebenaran. Semua kembali kepada Hak Moral dan Hak Ekonomi. Disini

terlihat seperti dari pihak manapun, di publik Indonesia, masing-masing

masih merasa kurang terpenuhi dari kedua hak yang berhubungan

dengan Karya Cipta tersebut.

Fenomena ini sama seperti yang terjadi pada penyalinan besar-

besaran di pasar Louis Vuitton. Boon (2010: 30) menyatakan

Demikian halnya dengan logo monogram terkenal Louis

Vuitton (LV) yang meskipun mengatakan “Louis Vuitton”,

sebenarnya itu adalah hasil perkembangan Georges, anak

Vuitton, empat tahun setelah wafatnya sang ayah. Maka ini

menandakan ketidakhadiran ketimbang kehadiran “Louis

Vuitton”. Ketika Georges mengajukan “pemalsu” desain

ayahnya ke pengadilan (mengenai “pemalsuan” logo LV), si

103

“pemalsu” memperlihatkan sebuah buku tua pembuat kain

untuk membuktikan bahwa nyatanya sang ayahlah yang telah

mengkopi desain-“nya” dari orang lain; maka “keaslian”

yang Georges perjuangkan ternyata juga sebuah kopi yang

lain juga. Selanjutnya ada klaim yang menyatakan bahwa logo

monogram itu sendiri merupakan kopi dari berbagai macam

sumber, termasuk desain-desain Jepang (jelas bahwa hasrat

di belakang pengindeksan logo ini terkait dengan

pertumbuhan pasar Jepang) dan kertas dinding di dapur

keluarga Vuitton.

Jadi, yang dapat penulis kemukakan dari fenomena diatas

adalah bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan karya cipta

sebaiknya diagendakan, setiap detil-detil perjalanan dari karya cipta

tersebut. Seperti misalnya, terlebih dahulu mendaftarkan karya cipta

kepada pihak berwenang, sebelum karya cipta tersebut diklaim menjadi

hak milik atau hak cipta orang lain. Badan atau lembaga yang

berwenang itu pun harus sigap dan tidak menyepelekan urusan karya

cipta, karena dampak yang terjadi setelah ada sengketa akan lebih buruk

daripada mencegahnya terlebih dahulu dengan pengarsipan karya cipta

dengan baik.

Kemudian menurut data observasi penulis pada saat

wawancara dengan Ari Juliano, menyimpulkan:

Lessig pada dasarnya menginginkan sebuah budaya dimana

ketika ada seseorang membuat karya dan berkreasi dengan

bebas, kemudian membagikan karyanya ke publik untuk

kepentingan pembuatan karya baru yang lebih baik lagi,

secara berkesinambungan hal tersebut akan bermanfaat

dalam perkembangan budaya dan peradaban.

Creative Commons mencoba merubah pola pikir dan

perlakuan Hak Cipta yang “ketat” juga terbatas (restricted,

pen) serta mengatur terlalu banyak larangan. Sedangkan yang

dimaksud dengan Hak Cipta Ketat adalah ketika semua

104

pencipta menyembunyikan dan membatasi pemakaian kepada

karya yang ia telah buat. Hal tersebut akan menyebabkan

tidak berkembangnya peradaban kearah yang lebih baik lagi.

Lessig menginginkan karya-karya yang telah dibuat,

disebarkan dan dibagikan secara “bebas”. Tetapi hal tersebut

berlaku, tentu saja dengan syarat dan ketentuan yang

didapatkan dari Lisensi Creative Commons.

Pemikiran tersebut baik, hanya tinggal cara penyampaian dan

pendedikasian terhadap publik pengguna karya yang harus sedikit

diperhatikan kembali. Sepertinya fenomena seperti diatas bisa dikaitkan

dengan masalah pendidikan dan pensosialisasian tentang “karya cipta

dan hak cipta” yang harus lebih diperhatikan dan dikembangkan lagi

oleh lembaga berwenang.

4.2.3. Akses Pencipta dan Pengguna Karya

Lisensi Creative Commons telah memudahkan pencipta dan pengguna

karya dalam ranah internet dengan memberikan akses secara bebas kepada

karya, yang telah diunggah di Netlabel masing-masing pencipta, sesudah karya

tersebut dilisensikan dengan lisensi Creative Commons.

Pencipta dan pengguna karya dapat mengakses karya yang telah

dilisensikan dengan lisensi Creative Commons salah satunya dengan

mengunjungi situs jaringan resmi Creative Commons dengan alamat laman

http://creativecommons.org/about (diakses 28 Mei 2014) serta karya-karya

lainyang telah diunggah di ranah internet terdapat pada laman

http://search.creativecommons.org/ (diakses 28 Mei 2014). Pada laman

tersebut, Creative Commons menyertakan pula sebuah mesin pencari untuk

mempermudah pengguna dalam menemukan karya-karya yang telah diunggah

di internet.

Ada beberapa situs lain yang telah menyertakan Creative Commons

sebagai lisensinya dalam penggunaan dan penyebaran karya, khususnya karya

musik. Pada ranah karya musik di Indonesia, biasanya karya musik yang telah

105

diciptakan akan dipublikasikan oleh pencipta/artis pada situs web kepunyaan

sebuah netlabel. Sebagai contoh, Bottlesmoker merilis albumnya pada tahun

2012 yang berjudul Let’s Die Together in 2012 (B-Sides & Rarities Album) pada

dua netlabel sekaligus, yakni Misspelled Records dan Hujan Rekords.

Gambar 4.12. Tautan Unduh album dari Bottlesmoker - Let’s Die Together In 2012 (B-Sides

& Rarities Album) (sumber: http://bottlesmoker.asia/download/lets-die-together-in-2012-b-

sides-rarities-album/, diakses 12 Mei 2014)

Adapun tampilan pada kedua situs resmi dari netlabel perilis album

Bottlesmoker tersebut yakni;

106

Gambar 4.13. Tampilan situs resmi dari Misspelled Records dalam tautan unduh dari album

Bottlesmoker - Let’s Die Together In 2012 (B-Sides & Rarities Album) (sumber:

http://misspelledrecords.bandcamp.com/album/bottlesmoker-lets-die-together-in-2012, diakses

12 Mei 2014)

Gambar 4.14. Tampilan situs resmi dari Hujan Rekords dalam tautan unduh dari album

Bottlesmoker - Let’s Die Together In 2012 (B-Sides & Rarities Album) (sumber:

https://archive.org/details/hujan018, diakses 12 Mei 2014)

Cara yang dilakukan oleh Bottlesmoker, yang membawa serta lisensi

Creative Commons, dengan karyanya yang telah diunggah di netlabel terkait ini

107

dapat dikaitkan kepada teori Direct Marketing oleh Kottler dan Armstorng

(2008), serta definisi direct marketing oleh Belch dan Belch yang dikutip oleh

Kennedy dan Soemanagara (2006) yang menyatakan,

Bahwa pasar sasaran yang dituju merupakan hasil penyaringan dari

proses segmentasi yang selektif, sehingga pasar sasaran yang dipilih

adalah mereka yang mewakili kedekatan dengan produk dan layanan

yang ditawarkan.

Bahwa pemasar atau komunikator telah menyiapkan informasi yang

lengkap sesuai dengan apa yang dibutuhkan, dan kemungkinan

jawaban atas serangkaian informasi mengenai produk dan layanan

yang ditawarkan (solusi).

Akan tetapi yang akan terjadi pada hasil pemasaran yang dilakukan oleh

Bottlesmoker tersebut, hanya akan mendapatkan pasar yang statis dikarenakan

hasil penyaringan dari proses segmentasi yang selektif tersebut. Tetapi

Bottlesmoker akan memberikan kesempatan kepada pasar sasaran untuk

menilai dan menimbang suatu informasi yang memungkinkan proses

komunikasi yang berulang-ulang.

4.2.3.1. Penggunaa Lisensi Creative Commons

Apa saja yang sebenarnya dilakukan oleh para pengguna

lisensi Creative Commons? Apa perkerjaan tetap meraka? Serta apa

yang bisa mereka lakukan dengan lisensi Creative Commons? Kim

(2008: 192) telah membuat penelitian untuk menginvestigasi siapa saja

yang melisensikan karya mereka dibawah Lisensi Creative Commons,

yang memang tidak memiliki ketertarikan tinggi terhadap penghasilan

finansial pada karya mereka yang berhak cipta. Survey berbasis web

mengungkap pada 280 pengguna lisensi, dan sebanyak 246 (hampir

90%) mengatakan bahwa mereka melisensikan karya mereka dengan

Lisensi Creative Commons secara indivual, sementara 17 dari mereka

sebagai organisasi non-profit dan 17 lainnya sebagai koperasi untuk

penghasilan (as a corporation profit). Dari data bahwa 90% pengguna

Lisensi Creative Commons memiliki hak kepemilikannya terhadap

karya ciptanya msing-masing, memberikan saran bahwa Lisensi

108

Creative Commons ini adalah cara yang paling mudah dibandingkan

dengan lisensi lain yang mempunyai proses rumit, terutama bagi para

pencipta mandiri dengan penghasilan terbatas.

Kemudian Kim (2008) juga menyertakan data bahwa ada 4

karakter pengguna lisensi Creative Commons secara umum, yakni;

1. Profesional Komputer (28.6 %)

2. Pelajar (18.2 %)

3. Seniman (13.6 %), dan

4. Tenaga Pengajar (9.3 %)

Profesional komputer disini adalah pekerjaan yang paling

banyak mendapatkan presentase karena ketertarikannya terhadap

perangkat-perangkat yang berhubungan dengan komputer serta

pengertian yang luas terhadap dunia perkomputeran. Profesional

komputer berperan serta dalam memberikan inspirasinya untuk Creative

Commons dengan terlebih dulu membentuk Lembaga Perangkat Lunak

Bebas (Free Software Foundation) Lisensi GNU. Profesional komputer

dapat dengan mudah mengaplikasikan fungsi teknis dari lisensi CC

karena mereka memang akrab dengan teknologi komputer.

Peringkat kedua paling banyak menggunakan lisensi Creative

Commons yakni pelajar yang telah menjadikan Lisensi Creative

Commons popular dikalangan pemuda-pemudi. Hal ini dikarenakan

banyak dari mereka telah membuat kemudian mempublikasikan karya-

karyanya melaui internet. Banyak juga dari kalangan mahasiswa telah

terlibat langsung dalam pergerakan berbagi-file berbentuk karya musik

di internet (Kim: 2008), dimana dapat membuat para mahasiswa

tersebut sedikit banyak peduli terhadap konflik pada perlindungan hak

cipta di internet yang secara berkala menyegerakan mereka

menggunakan lisensi Creative Commons untuk mensupport “visi

kebijakan publik”.

Kemudian 14% dari jawaban responden mengatakan, bahwa

mereka seniman, dalam hal ini mereka sebagai kumpulan yang memiliki

109

sudut pandang “visi milik pribadi”, yang berpikir bahwa lisensi Creative

Commons bukan pilihan terbaik untuk para seniman (J.M. Saffer,

personal communication, 16 Maret 2005).

Kemudian Kim (2008: 193) membuat pertanyaan lanjutan

(follow-up question) dari data tersebut dan menghasilkan data, 71

pengguna lisensi Creative Commons (25.4 %) mengatakan meraka

adalah seniman professional (musisi, penulis, fotografer, pelukis,

pembuat disain, dan lain-lain). Dari 71 seniman professional tersebut,

hanya 38 orang yang menggunakan lisensi Creative Commons memilih

opsi “seniman” untuk mendiskripsikan perkerjaan terdekat meraka pada

saat itu. Karena pada saat yang bersamaan, mereka juga bekerja sebagai

professional komputer, tenaga pengajar, pelajar dan media professional.

Dari data diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa masih

banyak pencipta karya (termasuk seniman) yang tidak termasuk

kedalam profesional komputer. Adapun pencipta karya yang mengklaim

dirinya sebagai seniman, cenderung berada di visi milik pribadi, dengan

mempunyai pemikiran bahwa lisensi Creative Commons bukan sebuah

jalan yang dapat melindungi karya ciptanya untuk disebarkan ke media

internet.

4.2.4. Direct Marketing dalam Freeware

Seperti yang dilakukan oleh para penggagas dan pemasar perangkat

lunak bebas (freeware), yang menyertakan Lisensi Creative Commons CC BY-

SA atau akrab disebut dengan lisensi “Copyleft”, Bottlesmoker juga melakukan

hal yang sama, seperti pernyataan Angkuy pada kesempatan observasi

saya memang menyukai software-software yang dibagikan secara bebas

oleh para penciptanya. Bayangkan mereka (profesional komputer) yang

telah meluangkan pikiran, tenaga serta uang yang mereka punya untuk

110

membuat sebuah perangkat lunak, yang pada akhirnya hanya akan

dimasukan kedalam sebuah toko perangkat lunak digital di internet,

kemudian dibagikan ke publik dengan tidak memungut biaya sepeser

pun (free). Padahal software yang mereka buat (game, prosesor efek

digital untuk musik, peta, media sosial dan lain-lain) bukan software

yang murahan. Saya tidak jarang merasa terhibur dengan game yang

telah saya unduh dari internet. Maka dari itu saya pun tergugah untuk

membuat musik, kemudian membagikannya secara bebas, sama seperti

perangkat-perangkat lunak ciptaan profesional komputer tersebut.

Gambar 4.15. Tampilan beberapa Perangkat Lunak Bebas (freeware) pada salah satu Toko

Perangkat Lunak Digital (sumber: iTunes App Store, diakses 13 Mei 2014)

Dalam teori pemasaran oleh Soemanagara (2006: 26), terdapat teori

Direct Marketing yang berbunyi “direct marketing (pemasaran langsung)

adalah sistem dari pemasaran, oleh sebuah organisasi yang

mengkomunikasikan secara langsung dengan konsumen sebagai target, untuk

menumbuhkan respon atau transaksi tertentu”. Dasar pemikiran tersebut yang

membuat penulis berpikir bahwa, Angkuy bersama Bottlesmoker melakukan

salah satu kegiatan direct marketing tersebut, melalui penyebaran karya musik

Bottlesmoker ke internet, dimana karya musik tersebut dapat langsung diakses

oleh pengguna (konsumen) yang ingin mendengarkan karya musik

Bottlesmoker.

111

Pada kesempatan observasi, penulis juga mendapatkan data bahwa,

pernah pada suatu saat, ketika Bottlesmoker baru memulai karirnya didunia

musik, Bottlesmoker melakukan direct marketing yang sangat gamblang.

Maksudnya, Bottlesmoker membuat CD (dengan cara burning audio yang

sudah berbentuk mp3 dengan piranti lunak) untuk dibawa ke venue tempat

Bottlesmoker akan mementaskan karyanya, sementara pada kesempatan yang

sama Bottlesmoker juga membagi-bagikan CD hasil burning tersebut.

Fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai fenomena D.I.Y. (Do It Yourself).

Cara tersebut ternyata masih kurang efektif mengingat keterbatasan

Bottlesmoker dalam mengenal khalayak yang lebih luas, yang menyebabkan

Bottlesmoker masih kurang dikenal. Jadi Bottlesmoker mulai berpikir lebih

keras, kemudian mendapatkan ide untuk membagikan karya musik

Bottlesmoker “langsung” ke komputer operator dibeberapa warung internet

yang terdapat di sekitar tempat tinggal Bottlesmoker.

Cara terakhir yang Bottlesmoker lakukan ternyata berhasil. Baru pada

tahun 2008, pada album Before Circus Over, Bottlesmoker mulai cukup

terkenal, terlihat dari jadwal pentas Bottlesmoker yang mulai memasuki

kategori padat.

112

Gambar 4.16. Gambar Cover Album (Album Artwork) dari album Bottlesmoker – Before

Circus Over (sumber: http://bottlesmoker.asia/download/before-circus-over-neovinyl-records-

2006-2/, diakses 13 Mei 2014)

Dapat penulis kaji disini, bahwa direct marketing seperti yang dilakukan

oleh Bottlesmoker, merupakan kegiatan yang menguras banyak tenaga dan

pikiran. Jadi tentu saja melakukan direct marketing di internet merupakan

sebuah efektifitas yang dapat memangkas biaya, dibandingkan dengan

melakukan direct marketing, seperti pada cerita Bottlesmoker yang telah

penulis kemukakan diatas.

Kejadian seperti diatas mengingatkan pada Belch dan Belch:

Bahwa pasar sasaran telah mengenal produk dan layanan sebelumnya

melalui saluran media massa atau media promosi lainnya.

113

Dalam artian, Bottlesmoker telah mengijinkan pasar sasaran untuk

“menyicipi” karya musik Bottlesmoker sebelum pasar sasaran tersebut

membelinya, dalam kaitan untuk memenuhi hak ekonomi dari karya musik yang

telah Bottlemsoker ciptakan. Kemudian:

Bahwa pasar sasaran yang dituju merupakan hasil penyaringan dari

proses segmentasi yang selektif, sehingga pasar sasaran yang dipilih

adalah mereka yang mewakili kedekatan dengan produk dan layanan

yang ditawarkan.

Erat kaitannya dengan fenomena Bottlesmoker yang terlebih dahulu

membidik pasar sasaran dengan tepat dengan cara segmentasi yang selektif,

sehingga Bottlesmoker mengetahui betul siapa-siapa saja dari pasar sasaran

tersebut yang mewakili kedekatan dengan karya musik ciptaan Bottlesmoker.

Serta:

Bahwa direct marketing juga merupakan sebuah proses yang

memberikan kesempatan pada pasar sasaran untuk menilai dan

menimbang suatu informasi atau produk dalam suatu proses

pengambilan keputusan, memungkinkan proses komunikasi dilakukan

berulang-ulang (follow-up process).

Bottlesmoker mengembalikan pendapat dan prakiraan publik dalam hal

ini pasar sasaran, untuk menilai dan menimbang karya musik dan penampilan

Bottlesmoker di panggung, yang kemudian Bottlesmoker dan pasar sasarannya

akan diikuti dengan proses berkelanjutan dan berulang-ulang, selama pasar

sasaran tersebut terus mengikuti perkembangan Bottlesmoker.

114

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil observasi dan pembahasan yang telah dilakukan

oleh penulis, tentang “Peranan Lisensi Creative Commons pada Pemasaran

Karya Musik di Indonesia”, maka dalam sub-bab ini peneliti akan

mengutarakan kesimpulan dari hasil penelitian sebagai berikut:

1. Dari segi perkembangan ilmu pengetahuan, Lisensi Creative

Commons dapat membantu peran distribusi karya musik, agar

penyaluran dan penyebaran karya, khususnya dalam ranah

internet, lebih terkoordinir dan berkembang lebih luas lagi. Lebih

berkembang lebih luas lagi, artinya jika beberapa karya (musik,

fotografi, film, gambar, tulisan, dll) saja dilisensikan dibawah

lisensi Creative Commons sudah dapat membuat perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perspektif sempit, seperti

mudahnya akses terhadap karya cipta oleh khalayak yang

membuat khalayak lebih kreatif mengembangkan ide-idenya,

bayangkan jika semua karya diranah internet tersebut telah

dilisensikan dibawah lisensi Creative Commons. Hal demikian

akan dapat membuat peradaban manusia umumnya, peradaban di

ranah internet khususnya, lebih kreatif dan berkembang lagi.

Kemudian lebih terkoordinir lagi, artinya jika karya-karya yang

sudah dilisensikan tersebut dijadikan sebuah bank penyimpanan

data, publik yang mencari data untuk kebutuhannya berkarya

dapat dengan mudah mengunjungi situs jaringan resmi Creative

Commons untuk mengakses data yang diperlukan.

115

Kegiatan Creative Commons Indonesia pada saat ini sudah sampai

kepada proses sosialisasi kepada pihak-pihak komunitas dan

belum tersosialisasikan sampai ke pihak pemerintahan Indonesia.

Menurut Ari Juliano misi Creative Commons selanjutnya adalah

berusaha untuk meneruskan penyuluhan tentang lisensi Creative

Commons ke ranah pemerintahan. Cita-cita Creative Commons

Indonesia adalah mewujudkan penyebarluasan informasi dan

transparansi data pemerintahan kepada khalayak, sama seperti

yang telah dilakukan oleh White House, Amerika Serikat. White

House memiliki sistem Open Government. Menurut Ari Juliano

Open Government adalah sebuah keadaan dimana semua data

tentang pemerintahan yang menyangkut kesejahteraan publik,

telah mudah diakses hanya melalui internet. Jika semua data

pemerintahan sudah tertransparansikan ke publik, maka tidak akan

ada lagi kesalahpahaman yang terjadi antara hubungan pemerintah

dengan rakyatnya.

2. Creative Commons Indonesia dengan Lisensi Creative Commons-

nya adalah sebuah fenomena penolakan publik terhadap sistem

kapitalisme kontemporer yang berujung pada pemikiran sosialis

serta mengedepankan sistem berbagi terhadap sesama. Hal

tersebut membuat Creative Commons bersama lisensinya

direkomendasikan oleh UNESCO (United Nations Educational,

Scientific and Cultural Organization) atau Organisasi Pendidikan,

Keilmuan, dan Kebudayaan PBB.

Lisensi Creative Commons tidak membantu Bottlesmoker

sepenuhnya dalam penyebaran dan pendistribusian karya. Karena

Bottlesmoker telah melakukan sistem berbagi-file secara “bebas”

beberapa tahun sebelum Creative Commons Indonesia

diresmikan. Akan tetapi dengan adanya Lisensi Creative

116

Commons, Bottlesmoker seperti diberikan sebuah alternatif yang

baru dan baik dalam pendistribusian karya-karyanya di ranah

internet. Hal tersebut dapat penulis kemukakan karena,

berdasarkan data yang shahih, yang penulis dapatkan dari

Bottlesmoker, adalah bahwa Bottlesmoker telah melakukan

kegiatan berbagi-file pada saat-saat pertama Bottlesmoker lahir ke

publik, yakni sekitar tahun 2006. Sedangkan Creative Commons

Indonesia baru diresmikan dalam Konferensi Creative Commons

Asia Pasifik 2012 dan Peluncuran Creative Commons Indonesia

di Grand Sahid Jaya Hotel Jakarta, tanggal 10-11 November, tahun

2012.

Setelah Creative Commons Indonesia diresmikan, kemudian

Lisensi Creative Commons disosialisasikan ke publik, hal tersebut

sangat membantu Bottlesmoker dalam “penyadaran publik”

bahwa karya-karya Bottlesmoker mempunyai pemilik yang pada

saat itu pemilik atau pencipta tersebut memiliki sebuah “Hak

Cipta” yang harus diperjuangkan dan dihormati. Walaupun dalam

kenyataannya Bottlesmoker belum pernah mendaftarkan karya-

karya yang dibagikan di internet tersebut ke Direktorat Jenderal

HKI.

117

5.2. SARAN

Pada sub-bab ini, penulis akan menjabarkan beberapa saran, ide dan

gagasan pribadi penulis kepada pihak-pihak yang terkait dan terlibat dalam

penulisan karya tulis ilmiah ini. Pihak yang terkait tersebut antara lain

Bottlesmoker, Dewan Direktur dan Wakil Direktur serta pengelola Creative

Commons Indonesia secara umum, Pemerintahan, serta masyarakat luas

dalam lingkup masyarakat umum maupun masyarakat lingkup khusus

sebagai pengkonsumsi karya musik di ranah internet.

1. Pergerakan mandiri yang dilakukan oleh Bottlesmoker bisa

dikategorikan sebagai pergerakan independen yang teratur dan

berkembang. Bottlesmoker mempunyai visi yang baik dalam cara

Bottlesmoker mempresentasikan karya musik ciptaan

Bottlesmoker kepada khalayak. Hal tersebut dapat ditinjau dari

pergerakan Bottlesmoker yang langsung terjun ke lapangan

kemudian bersentuhan langsung dengan konsumen untuk

mempresentasikan karya musiknya. Tetapi di sisi lain,

Bottlesmoker kurang peduli terhadap hak ekonomi dan hak moral

yang bisa didaptkan dari karya musik yang telah Bottlesmoker

ciptakan. Hal tersebut telah dengan jelas disebutkan di undang-

undang kenegaraan yang sudah berusaha memperjuangkan kedua

hak tersebut. Alangkah lebih baiknya jika Bottlesmoker sedikit

lebih peduli lagi terhadap perihal hukum tersebut, seperti mulai

mendaftarkan karya-karya ciptaan Bottlesmoker ke lembaga yang

berwenang menangani masalah ciptaan ini. Karena seperti yang

telah penulis ketahui beberapa waktu yang lalu, bahwa

pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual ke Direktorat Jenderal HKI

adalah sebuah bentuk kepedulian yang besar terhadap sebuah

karya cipta. Sebuah karya cipta yang sudah terdaftarkan di Ditjen

HKI berpotensi menghasilkan pemasukan. Ari Juliano menulis

dalam Blognya:

118

“biaya yang dikeluarkan untuk pendaftaran HKI tersebut

pada dasarnya bukanlah pengeluaran semata, namun

merupakan investasi bagi pelaku usaha. Hal ini karena selain

menambah jumlah aktiva dalam laporan keuangan, juga

berpotensi menghasilkan pemasukan jika dikemudian hari

mendapatkan royalti dari hasil melisensikan atau

mewaralabakan HKI tersebut kepada pihak lain, atau ketika

HKI dialihkan kepada pihak lain dengan nilai yang lebih besar

dari nilai perolehannya.”

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendaftaran atas karya-

karya ciptaan Bottlesmoker ke lembaga berwenang bukan semata-

mata pemborosan yang harus dihindari. Melainkan bisa menjadi

salah satu sumber pendapatan dan investasi untuk masa yang akan

datang.

2. Pengesahan yang telah dilakukan oleh dewan pengurus serta

pengelola Creative Commons Indonesia dalam meresmikan

Lisensi Creative Commons sebagai lisensi yang syah secara

kenegaraan adalah sebuah langkah awal yang sangat baik dalam

mensosialisasikan lisensi ala penduduk Amerika Serikat ini.

Langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh dewan pengurus

dan pengelola Creative Commons Indonesia adalah

mensosialisasikan lebih luas kepada publik, sampai pada suatu

keadaan dimana sebagian besar publik telah mengenal Lisensi

Creative Commons dengan baik. Kemudian disela-sela

pensosialisasian tersebut, Creative Commons Indonesia

seharusnya sudah bisa mempresentasikan karya-karya yang telah

dilisensikan oleh Lisensi Creative Commons dengan klasifikasi

data yang terorganisir dengan baik. Hal tersebut bertujuan agar

khalayak yang ingin mengetahui contoh karya yang telah

119

menggunakan Lisensi Creative Commons dapat diakses dengan

mudah.

3. Karena Creative Commons Indonesia telah susah payah

membangun sebuah lembaga yang mapan dan baik, tugas kita

sebagai masyarakat yang berbudaya luhur, salah satunya adalah

dengan mulai menyadari bahwa Undang-undang Hak Cipta dan

Lisensi yang diperjuangkan oleh Pemerintahan dan Creative

Commons Indonesia merupakan sebuah bentuk kepedulian juga

keprihatinan terhadap masyarakat kita yang belum memiliki sudut

pandang yang baik untuk hal semacam ini. Agar lebih mengerti

dan peduli terhadap fenomena budaya yang sedang panas terjadi

dipermukaan, kita sebagai masyarakat sadar hukum seharusnya

lebih mengkaji kemudian ikut mengembangkan dengan belajar

lebih banyak mengenai masalah ini.

4. Creative Commons Indonesia seharusnya lebih bisa

mengalokasikan dana pensosialisasian dari Ford Foundation yang

telah dibicarakan dengan penulis, terhadap perkembangan serta

penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi dengan lebih baik

lagi. Dikarenakan jika pergerakan Creative Commons Indonesia

untuk saat ini hanya pada titik dimana Creative Commons

Indonesia dikenali dan disadari keberadaannya oleh sebagian kecil

masyarakat saja, kemungkinan besar Creative Commons

Indonesia hanya akan menjadi sebuah lembaga yang tidak

berperan besar dalam perkembangan budaya yang lebih beragam

dan bermartabat, seperti tujuan awal didirikannya Creative

Commons Indonesia yang tertera dalam visi dan misi Creative

Commons Indonesia, yakni:

Visi: mewujudkan sepenuhnya potensi internet — akses

universal terhadap penelitian dan pendidikan, partisipasi

120

penuh dalam kebudayaan — untuk menuju era baru

perkembangan, pertumbuhan, dan produktivitas

Misi: mengembangkan, mendukung, dan menyediakan sarana

infrastruktur hukum dan teknis yang memaksimalkan

kreativitas, keinginan untuk berbagi karya, dan inovasi digital.

5. Creative Commons Indonesia mempunyai cita-cita yang baik

untuk mulai mensosialisasikan dan menerapkan sistem Lisensi

Creative Commons terhadap sistem pemerintahan Indonesia yang

sedang mengelola masyarakat luas. Cita-cita tersebut akan lebih

berjalan serta teraplikasikan dengan baik jika pemerintahan

Indonesia ikut mendukung dan mulai melakukan riset-riset

berkaitan dengan penerapan Lisensi Creative Commons dalam

sistem pemerintahannya. Sebuah contoh dapat penulis kemukakan

dari hasil wawancara dengan Ari Juliano.

Pemerintah Indonesia pada tahun 2009-2010 telah memulai

sebuah gerakan pembaharuan dengan membuat sebuah buku

pelajaran untuk siswa sekolah dalam bentuk elektronik dengan

nama Buku Sekolah Elektronik (BSE). BSE ini mempunyai

sebuah nilai yang lebih efisien dan praktis jika dibandingkan

dengan buku biasa. Pemerintah membeli buku-buku dari

penerbit, kemudian membeli hak cipta dari masing-masing

pemilik ciptaan buku tersebut, kemudian merubah bentuk buku

konfensional menjadi BSE berbentuk data. Kemudian BSE

disebar ke daerah-daerah dalam bentuk digital.

Namun masalahnya terdapat dalam hal Lisensi. Lisensi yang

digunakan untuk penyebaran BSE ini tidak jelas. Pemerintah

membagi-bagikan BSE secara gratis tetapi konten-konten

yang terdapat pada BSE tidak boleh diubah-ubah. Sedangkan

konten dari BSE sendiri adalah pengetahuan-pengetahuan

121

yang tidak statis dan dapat berkembang seiring dengan

perkembangan jaman.

Ada sebuah proyek dari pemerintah Amerika Serikat yang

bernama Open Educational Resources (OER). OER

menyediakan beberapa sumber pengetahuan yang sudah

dapat diakses oleh siapa pun, dimana pun, tetapi sudah

terlisensi dengan jelas. Lisensi Creative Commons.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerintah seharusnya lebih

lugas dan tajam dalam menilik segala fenomena budaya seperti ini,

agar tidak terkesan hanya sekedar “mengaplikasikan” saja.

Kemudian secara berkesinambungan gerakan seperti ini dapat

berperan serta dalam menciptakan sebuah kondisi dimana

masyarakat umum juga turut andil dalam perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi.