PENGARUH HORMON TIROKSIN TERHADAP KECEPATAN METAMORFOSIS KATAK (Bufo sp)
Transcript of PENGARUH HORMON TIROKSIN TERHADAP KECEPATAN METAMORFOSIS KATAK (Bufo sp)
PENGARUH HORMON TIROKSIN TERHADAP KECEPATAN METAMORFOSIS KATAK
(Bufo sp)
Propsal Penelitian
Diajukan guna memenuhi Tugas Akhir Kuliah Fisiologi Hewan
Oleh:
Ikhsana Nuri Astiti 4411412002
Lili Andriani 4411412004
Arif Bayu Satria 4411412017
Risma Romaulina S. 4411412030
Rombel 1 Biologi Murni
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
3
LEMBAR PENGESAHAN PROPOSAL PENELITIAN
FISIOLOGI HEWAN
Proposal ini telah disetujui oleh Dosen Pengampu Mata Kuliah
Fisiologi Hewan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Unniversitas Negeri Semarang.
Hari : Jumat
Tanggal : 24 Oktober 2014
Mengetahui,
4
Dosen Pembimbing
Dra. Aditya Marianti,
M.Si
NIP 19671217 199303 2
001
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, populasi katak semakin berkurang. Hal ini
disebabkan karena banyaknya orang yang memanfaatkan katak
tersebut. Daging katak merupakan sumber protein hewani yang
kandungan gizinya sangat tinggi, sehingga sering dimanfaatkan
sebagai sumber makanan, bahkan digemari oleh masyarakat.
Selain itu kulit katak yang telah terlepas dari badannya dapat
dimanfaatkan menjadi pakan binatang peliharaan seperti ayam
dan itik, kepala katak yang sudah terpisah dapat diambil
kelenjar hipofisisnya dan dimanfaatkan untuk merangsang katak
dalam pembuahan buatan.
Selain itu, katak biasanya juga dimanfaatkan oleh para
peneliti ataupun mahasiswa sebagai bahan percobaan dalam
melakukan riset, misalnya dalam percobaan termoregulasi yang
5
bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan suhu lingkungan
terhadap suhu katak.
Selain tingginya tingkat pemanfaatan katak, faktor lain
yang menyebabkan berkurangnya populasi katak adalah hilangnya
habitat alami katak akibat penggundulan hutan hujan tropis,
pencemaran air sungai, dan konversi lahan basah menjadi areal
perkebunan. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam
ekosistem, seperti: gagal panen akibat serangga yang semakin
meningkat, karena katak merupakan musuh alami dari serangga,
selain itu berkurangnya jumlah katak akan menyebabkan
ketidakseimbangan jaring-jaring makanan di dalam ekosistem.
Jika jumlah katak yang dimanfaatkan oleh manusia setiap
harinya tidak terkendali, maka dikhawatirkan dapat menyebabkan
menurunnya populasi katak. Sedangkan permintaan akan katak
selalu meningkat. Permasalahannya adalah metamorphosis katak
yang terjadi di alam memerlukan waktu yang cukup lama untuk
menjadi katak dewasa yaitu sekitar tiga bulan, selain itu
diperkirakan amfibi mempunyai laju kecacatan normal pada angka
sekitar 5%. Frekuensi kecacatan tertinggi biasanya terdapat
pada katak-katak yang baru saja mengalami metamorphosis dari
berudu. Penyebab dari kecacatan ini sangat beragam antara lain
karena bahan pencemar, parasit, genetik, maupun sinergi
diantara faktor-faktor tersebut..
Oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk
membudidayakan katak dengan teknik yang tepat dan cepat. Salah
6
satu upaya untuk mempercepat metamorphosis katak yaitu dengan
menggunakan hormon tiroksin yang merupakan hormon yang dapat
mempercepat tumbuhnya kaki belakang diikuti dengan tumbuhnya
tungkai depan dan degenerasi ekor.
Berdasarkan fenomena diatas, maka penulis tertarik untuk
melakukan suatu penelitian yang berjudul Pengaruh Hormon
Tiroksin Terhadap Kecepatan Metamorfosis Katak (Bufo Sp).
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas dapat
dirumusakan beberapa masalah sebagai berikut:
1.Apakah hormon tiroksin berpengaruh terhadap kecepatan
metamorphosis katak?
2.Bagaimanakah pengaruh hormon tiroksin terhadap kecepatan
metamorphosis katak?
1.3 Tujuan Penelitan
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui apakah hormone tiroksin berpengaruh
terhadap laju metamorphosis katak
2. Untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh hormone tiroksin
terhadap laju metamorphosis katak
1.4 Manfaaat peneltian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis
7
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
referensi dan masukan terhadap disiplin ilmu dibidang
Biologi, khususnya Fisiologi Hewan. Selain itu juga
diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain yang akan
meneliti dengan tema yang sama.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi peternak
katak agar dapat membiakkan katak dalam waktu yang lebih
cepat dengan menggunakan hormone tiroksin.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hormon Tiroksin
Hormon Tiroksin (T4 = levothyroxine) adalah hormon utama
yang dihasilkan oleh kelenjar gondok (kelenjar Tiroid) yang
mempengaruhi metabolisme sel tubuh dan pengaturan suhu tubuh,
mengatur metabolisme karbohidrat, mengatur penggunaan oksigen
dan karbondioksida serta mempengaruhi perkembangan tubuh dan
mental. Kepekatannya minimal 25 kali daripada triiodotironin
(T3).Kadar tiroksin serum umumnya digunakan untuk mengukur
konsentrasi hormon tiroid dan fungsi kelenjar tiroid.
Tiroksin diketahui sebagai hormon yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dengan jalan meningkatkan laju metabolisme tubuh,
9
efisiensi makanan dan retensi protein (M. Zirin). Faktor-
faktor yang mempengaruhi aktivitas hormone tiroksin adalah
dosis, cara pemberian hormone, lama pencahayaan, kualitas
makanan, waktu pemberian makanan, stress, spesies dan
ukurankatak (Weatherlay & Gill, 1987). Menurut Djojosoebagio
(1990) hormone tiroksin dapat merangsang laju oksidasi bahan
makanan, meningkatkan laju konsumsi oksigen, meningkatkan
pertumbuhan dan mempercepat proses metamorphosis. (dalam Agus
Oman dkk)
Untuk meningkatkan produksi benih, maka diperlukan usaha
perbaikan berbagai faktor yang mempengaruhi kelangsungan
hidup, perkembangan dan pertumbuhan larva.Salah satu faktor
tersebut adalah hormon tiroksin (T4) yang berperan penting
dalam metabolisme tubuh sehingga dapat mempercepat
perkembangan dan pertumbuhan larva katak. Hormon tiroksin
diturunkan dari induk ke dalam sel telur (Ayson dan Lam 1993),
dan selanjutnya akan mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan
larva. Namun demikian, pada telur katak yang berfekunditas
tinggi, jumlah hormon T4 diduga kurang mencukupi. Berdasarkan
hal tersebut diatas, maka apabila katak diberi tambahan hormon
T4, diharapkan jumlah hormon T4 yang diturunkan ke dalam sel
telur dan larva akan lebih besar sehingga dapat membantu
perkembangan, pertumbuhan, dan akhirnya dapat meningkatkan
kelangsungan hidup larva katak.(Hermawan, M. Zairin Jr. & M.M.
Raswin)
10
Produksi tiroksin yang berlebihan menyebabkan penyakit
eksoftalmik tiroid (Morbus Basedowi) dengan gejala sebagai
berikut; kecepatan metabolisme meningkat, denyut nadi
bertambah, gelisah, gugup, dan merasa demam. Gejala lain yang
nampak adalah bola mata menonjol keluar (eksoftalmus) dan
kelenjar tiroid membesar.
Faktor-Faktor yang Meningkatkan dan Menurunkan kadar
Tiroksin antara lain:
1. TSH tiroid stimulating hormone yang di hasilkan di
hipotalamus.
2. Kadar Iodium dimana iodium berikatan dengan
monoiodotirosin dan berubah menjadi diioditirosin, dan
dari perubahan DIT ini tiroksin dihasilkan.
3. Perubahan suhu
4. Stress psikis maupun fisik
5. Penyakit penyakit kelenjar tiroid
Hormon yang berperan dalam metamorfosis katak
Metamorfosis ini dikontrol hormon thyroid.Perubahan
metamorfosis dari perkembangan katak dengan mensekresikan
hormon thyroxin (T4) dan triiodothronine (T3) dari thyroid
selama metamorfosis. Peranan hormon T3 lebih penting, hal ini
disebabkan perubahan metamorfosis pada thyroidectomized berudu
11
memiliki konsentrasi yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan hormon T4.
Koordinasi dari perubahan perkembangan dan respon molekul
hormon thyroid.Salah satu masalah utama dari metamorfosis
adalah koordinasi saat perkembangan.Pada dasarnya, ekor tidak
mengalami degenerasi sampai terbentuk dan berkembangnya organ-
organ lokomosi. Seperti berkembangnya kaki dan tangan untuk
pergerakan dan insang tidak akan mengalami perubahan fungsi
sampai berkembang otot paru-paru. Halini menunjukkan bahwa
koordinasi metamorfosis yang berbeda pada jaringan dan organ
akan memberikan respon yang berbeda pada hormon. Untuk
menjamin sistem kerja ini, 2 organ yang sensitif terhadap
thyroksin yaitu thyroid dan kelenjar pituitary, akan
meregulasi produksi hormon thyroid. Hormon thyroid berfungsi
untuk membentuk hubungan timbal balik dengan kelenjar
pituitary yang menyebabkan interior pituitary menginduksi
thyroid untuk menghasilkan T3 dan T4 lebih banyak. Selain itu,
hormon thyroid juga berfungsi untuk transkripsi dan
mengaktivasi transkripsi pada beberapa gen. Seperti
transkripsi gen untuk albumin, globin dewasa, keratin kulit
dewasa diaktivasi oleh hormon thyroid. Respon T3 adalah
aktivasi transkripsi gen reseptor hormon thyroid (TR). TR
berikatan dengan sisi yang spesifik pada kromatin sebelum
hormon thyroid dibentuk.Ketika T3 dan T4 masuk kedalam sel,
dan berikatan dengan ikatan reseptor kromatin, hormon reseptor
kompleks dirubah dari aktivator transkripsi.Belum diketahui
12
mekanisme dari hormon thyroid dengan respon yang berbeda pada
jaringan yang berbeda (proliferasi, diferensiasi, kematian
sel).Pembentukan anggota tubuh tidak tergantung hormon
thyroid, hal ini terjadi pada pembelahan holoblastic dimana
gastrulasi diawali pada posisi subequatorial, pembentukan
neural dibagian permukaan dan kuncup anggota tubuh juga
terbentuk dibagian permukaan.Pembentukan anggota tubuh tidak
tergantung pada hormon thyroid.
Pada metamorfosis amphibi banyak sekali mengalami
perubahan baik secara morfologi maupun fisiologi.
a. Proses Morfologi
Pada amphibi, metamorfosis umumnya digabungkan dengan
perubahan persiapan yang mana dari organisme aquatik untuk
menjadi organisme daratan.Pada urodela (salamander), perubahan
ini meliputi berkurangnya ekor dan rusaknya insang bagian
dalam dan berubahnya struktur kulit. Pada anura, perubahan
metamorfosis berlangsung secara dramatis dan kebanyakan organ-
organnya telah termodifikasi. Perubaan ini meliputi hilangnya
gigi dan insang internal pada anak katak, seperti hilangnya
ekor, kemudian akan terjadi proses pembentukan seperti
berkembangnya anggota tubuh dan morfogenesis kelenjar dermoid.
Perubahan lokomosi terjadi dari pergerakan ekor menjadi
terbentuknya lengan depan dan lengan belakang. Gigi yang
digunakan untuk mencabik tanaman hilang dan digantikan dengan
perubahan bentuk baru dari mulut dan rahangnya, otot dari
13
lidah juga berkembang, insang mengalami degenerasi, paru-paru
membesar, otot dan tulang rawan berkembang untuk memompa udara
masuk dan keluar pada paru-paru. Mata dan telinga
berdiferensiasi. Telinga bangian tengah berkembang dan membran
timfani terletak pada bagian telinga luar.
b. Proses Biokimia
Penambahan secara nyata pada perubahan morfologi, yang
terpenting adalah terjadinya transformasi biokimia selama
metamorfosis. Pada berudu, fotopigmen ratina yang utama adalah
porphyropsin. Selama metamorfosis, pigmen ini merubah
karakterisik fotopigmen dari darat dan vertebrata perairan.
Pengikatan hemoglobin (Hb) dengan O2 juga mengalami perubahan.
Enzim yang terdapat pada hati juga mengalami perubahan, hal
ini disebabkan adanya perubahan habitat. Kecebong bersifat
ammonotelik yaitu mensekresikan amonia, sedangkan katak dewasa
bersifat ureotelik yaitu mensekresikan urea. Selama
metamorfosis, hati mensintesis enzim untuk siklus urea agar
dapat membentuk atau menghasilkan urea dari CO2 dan amonia.
c. Perubahan Spesifik
Organ tubuh yang berbeda juga akan merespon beda pada
stimulasi hormon. Stimulus yang sama menyebabkan beberapa
jaringan degenerasi dan menyebabkan diferensiasi dan
perkembangan yang berbeda. Respon hormon thyroid lebih
spesifik pada bagian-bagian tubuh tertentu. Pada ekor, T3
menyebabkan kematian dari sel-sel epidermal. Meskipun terjadi
14
kematian dari sel-sel epidermal pada ekor, kepala dan
epidermis tubuh tetap melanjutkan fungsinya.
2.2 Proses Metamorfosis Katak
Metamorfosis pada amphibi sebagai perkembangan yang
merubah secara keseluruhan bentuk, fisiologis maupun biokimia
individu, sementara pada beberapa insekta, metamorfosis hanya
bersifat melengkapi bentuk larva dengan perlengkapan-
perlengkapan untuk menjadi bentuk dewasanya.Perubahan-
perubahan metamorfik benar-benar merubah seluruh jaringan dan
organ.
Metamorfosis merupakan suatu tingkat transisi ketika
suatu hewan mengalami perubahan morfologik, fisiologi dan
biokimiawi penting dan pada saat yang sama hewan berhadapan
perubahan habitat. Perubahan-perubahan metamorfik benar-benar
merubah seluruh jaringan dan organ.Dua perkembangan ini
kemungkinan menguntungkan. Perubahan tersebut memungkinkan
larva muda makan lebih banyak dan tumbuh cepat dalam
lingkungan akuatik yang disenangi dan sesudah metamorfosis ke
dalam bentuk kehidupan darat yang memungkinkan hewan
dewasanya berkoloni pada habitat sekunder berbasis tanah
selama metamorfosis, proses-proses perkembangan diaktifkan
kembali oleh hormon-hormon spesifik dan keseluruhan organisme
berubah untuk mempersaipkan dirinya pada model baru.
Metamorfosis pada berudu menyebabkan perkembangan pemasakan
15
enzim-enzim, hati, hemoglobin, dan pigmen mata termasuk juga
remodelling enzim syaraf, digesti, dan reproduksi.
Perkembangan merupakan suatu proses perubahan dari telur
terbuahi menuju ke bentuk dewasanya, tetapi sebenarnya ada
dua proses perkembangan diluar perkembangan secara umum yaitu
: proses perkembangan dari bentuk larva ke bentuk dewasanya,
dan perkembangan sebagai pembentukan organ baru setelah salah
satu organ aslinya rusak atau diambil pada individu yang
sudah dewasa. Hewan yang perkembangan embrionalnya di luar
tubuh induknya, biasanya di dalam sitoplasma telurnya telah
di lengkapi dengan sediaan makanan yang mencukupi untuk
perkembangan tingkat embrional sampai menjadi individu secara
fisiologis masak, artinya menjadi individu yang relative
mampu hidup mandiri.Relatif disini karena beberapa individu
masih membutuhkan bantuan dan perlindungan dari
induknya.Beberapa hewan yang sediaan makanan di dalam telur
tidak mencukupi untuk mencapai hal tersebut, sehingga hewan
tersebut harus melewati stadium untuk makan dan untuk
menghimpun energi untuk menyelesaikan perkembangannya.
Stadium ini sungguh berbeda dengan bentuk dewasanya, atau
masih belum lengkap sehingga ia harus melengkapinya kemudian.
Proses perkembangan ini disebut metamorfosis. Amphibi terutama
katak merupakan contoh hewan yang mengalami metamorfosis.
Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan metamorfosis atau
lamanya periode larva adalah komponen penting untuk kemampuan
perkembangan Amphibi saat masih hidup di perairan. Berudu
16
hidup pada kesatuan kecil di air yang terisolasi dan
mengalir. Mereka bertahan hidup di air selama beberapa
minggu. Dalam penelitian Ardyah dkk. Mengatakan bahwa Awal
metamorfosis berudu katak nampak oleh munculnya kaki belakang
(hind limb) pada minggu kedua yaitu antara hari ke 14 sampai
hari ke 16. Hasil Hip-P1 dan Hip-P2 menunjukkan perbandingan
persentase sebesar 19,69% dan 19,22% dengan jumlah individu
Hip-P1 sebanyak 171 ekor dan Hip-P2 sebanyak 162 ekor.
Perkembangan selanjutnya sampai tahap munculnya kaki depan
(fore limb) perbandingan persentase P1 sebesar 17,04% dan P2
sebesar 16% dengan jumlah individu Hip-P1 sebanyak 120 dan
individu Hip-P2 sebanyak 100 ekor. Fase berudu (feeding
tadpole) menunjukkan persentase berudu katak sebanyak 37,96%
pada masing-masing perlakuan Ova-P1 dan Ova-P2. Fase
pertumbuhan kaki belakang (hind limb) pada perlakuan Ova-P1
sebanyak 26,7% berudu katak dan Ova-P2 sebanyak 23,9% berudu
katak. Memasuki fase pertumbuhan kaki depan (fore limb)
sebanyak 24,25% berudu katak pada perlakuan Ova-P1 dan 19,33%
berudu katak pada perlakuan Ova-P2.
Jenis-jenis metamorfosis ada dua, antara lain sebagai
berikut:
1. Metamorfosis tidak
sempurna
Metamorfosis tidak sempurna umumnya terjadi pada hewan
jenis serangga seperti capung, belalang, jangkrik dan
lainnya.Dikatakan tidak sempurna karena hewan tersebut
17
hanya melewati 2 tahapan, yaitu dari telur menjadi nimfa
kemudian menjadi hewan dewasa.
2. Metamorfosis sempurna
Metamorfosis sempurna adalah kebalikan dari metamorfosis
sempurna. Contoh proses metamorfosis sempurna terjadi
pada katak dan kupu-kupu.
Metamorfosis pada katak umumnya berhubungan dengan
perubahan yang mempersiapkan suatu organisme akuatik untuk
kehidupan darat.Perubahan tersebut memungkinkan larva muda
makan lebih banyak dan tumbuh lebih cepat dalam lingkungan
akuatik yang disenangi dan sesudah metamorfosis ke dalam
bentuk kehidupan darat yang memungkinkan hewan dewasanya
berkoloni pada habitat sekunder berbasis tanah (Turner dan
Bagnara, 1976).
Selama metamorfosis, proses-proses perkembangan
diaktifkan kembali oleh hormon-hormon spesifik dan
keseluruhan organisme berubah untuk mempersiapkan dirinya
pada model baru. Metamorfosis pada berudu menyebabkan
perkembangan pemasakan enzim-enzim, hati, hemoglobin dan
pigmen mata termasuk juga remodelling enzim syaraf, digesti
dan reproduksi (Gilbert & Susan, 2000).
18
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup
Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah Hormon Tiroksin
dan laju Metamorfosis ekor katak.
3.2 Tempat dan Waktu
Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan oktober 2014. Penilitian
ini dilakukan di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Semarang.
3.3 Populasi dan sampel
3.3.1 Populasi
populasi merupakan keseluruhan dari sekumpulan objek
yang akan diteliti. Populasi hewan yang akan diuji dalam
penelitian ini adalah kecebong katak disekitar lingkungan
Universitas Negeri Semarang.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah atau karakteristik
tertentu yang diambil dari suatu populasi yang akan
diteliti. sampel dalam penelitian ini adalah kecebong
(Bufo sp) sebanyak 60 ekor. Kecebong yang dipakai sudah
muncul kaki pertama, sehat, tidak cacat, dan diperoleh
dari lingkungan sekitar Universitas Negeri Semarang.
19
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kadar hormon
tiroksin yang diberikan.
3.4.2 Variabel terikat
Varibel terikat pada penelitian ini adalah laju
pertumbuhan munculnya kaki pada berudu katak (Bufo sp.).
3.5 Jenis dan rancangan
penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian experimental,
yang bertujuan untuk mempelajari fenomena sebab akibat dengan
memberikan perlakuan atau melakukan manipulasi yang akhirnya
nanti hasil di uji secara empirik. Penelitian menggunakan
rancangan Post Test Only Control Group Design yaitu suatu
rancangan yang digunakan untuk mengukur efek setelah
diberikan perlakuan pada beberapa kelompok yaitu kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan yang dikondisikan secara
identik dan telah dikendalikan sebagai variabel yang tidak
dikehendaki. Pada kelompok perlakuan diberikan intervensi
sebagai cause (penyebab) dan kelompok kontrol tidak
diberikan intervensi, kemudian dibandingkan efek yang terjadi
antara kelompok-kelompok tersebut (Yanwirasti, 2008).
3.6 Alat dan bahan
20
3.6.1 Alat
a) Gelas objek
b) Baker Glass (tempat perlakuan)
c) Pipet
d) Aeresis
e) Timbangan Elektrik
f) Pengaduk
g) Gelas penutup
h) Kamera digital
i) Penggaris
j) alat tulis
3.6.2 Bahan
a) 60 ekor berudu (Bufo sp.)
b) Hormon Tiroksin
c) Air
d) Pakan berudu ( tanaman air)
3.7 Cara kerja
a. Tahap Persiapan
Menyiapkan berudu sebanyak 60 ekor
Menempatkan berudu dalam 4 bak, setiap bak berisi
15 ekor berudu
Bak 1 : Kelompok kontrol : 15 ekor
Bak 2 : Perlakuan pertama : 15 ekor
Bak 3 : Perlakuan kedua : 15 ekor
Bak 4 : Perlakuan ketiga : 15 ekor
Membuat larutan hormon tiroksin
21
b. Tahap Pelaksanaan
Memelihara berudu dalam 4 bak plastik masing -
masing 15 berudu tiap bak
Memberikan perlakuan dengan cara memberikan larutan
hormon tiroksin pada masing-masing kelompok
perlakuan secara berkala dengan dosis yang
disesuaikan.
Pada bak 2, 3, dan 4 diberikan dosis sebesar 0,05
mg/liter, 0,075 mg/liter, dan 0,1 mg/liter.
Sedangkan bak 1 sebagai tempat medium kelompok
rerkontrol (Ning Setiati, 1998).
Memelihara berudu hingga munculnya kaki belakang
dan kaki depan
mengamati perbedaan kecepatan laju munculnya kaki
berudu pada masing-masing bak .
melakukan pengamatan setiap hari pada masing-masing
bak.
mencatat hasil pengamatan.
3.8 Data dan metode
pengumpulan data
3.8.1 Data
Dalam melakukan sebuah penelitian sangat memerlukan
adanya data untuk memperkuat hasil penelitian
tersebut .Data yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan data primer berupa data yang dikumpulkan dari
hasil penelitian dan pengamatan laju metamorfosis pada
22
katak dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dan
juga data pengamatan preparat katak dengan melihat ciri
morfologisnya.
3.8.2 Metode pengumpulan data
Studi kepustakaan
Teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi
penelaahan terhadap beberapa jurnal yang berhubungan
dengan obyek penelitian kemudian dianalisis.
3.9 Alur Penelitian
2 Kelompok
KelompokKontrol
Kelompok P1larutanhormonetiroksin
Kelompok P2larutanhormonetiroksin
Kelompok P3larutanhormonetiroksin
Pengamatan awal padasetiap kelompok sebelum
perlakuan
Pemberian perlakuansecara intensif setiaphari selama 2 minggu
Pemberian perlakuanuntuk kelompok P1, P2
dan P3
23
3.10 Analisis data
Data yang dianalisis adalah data primer yang diperoleh
dari penelitian. Dalam penelitian ini akan dilihat dan diamati
pengaruh hormon tiroksin terhadap laju metamorfosis katak.
Data yang diperoleh akan dideskripsikan mengenai munculnya
kaki belakang dan kaki depan pada berudu, dari hasil
perlakuan pemberian dosis hormon tiroksin, kemudian data yang
diperoleh akan di analisis dengan menggunakan ANAVA.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
Hari ke- Kontrol 0,05 0,075 0,11 - - - -2 - - - -3 - - - 1
Mengamati perkembanganmetamorphosis berudusetiap hari selama 2
24
4 - 1 2 -5 - 4 4 36 - 4 3 37 - - - -8 - 1 1 39 - - - -10 1 2 - -11 1 1 - -12 - 1 - -13 - - - -14 2 1 2 215 2 2 2 316 - - 1 -∑ 6 15 15 15X 0,375 0,9375 0,9375 0,9375
25
B. Analisis Data
Tabel Pengaruh Hormon Tiroksin Terhadap Munculnya kaki Belakang Kecebong Menggunakan
Uji Anava
No
Hari ke
Kontrol Konsentrasitiroksin 0,05
(mg/L)
Konsentrasitiroksin 0,075
(mg/L)
Konsentrasitiroksin 0,1 (mg/L)
Xi(jumlah
muncul
kaki)
Xi-X ( Xi-X)2 Xi(jumlah
muncul
kaki)
Xi-X ( Xi-X)2
Xi(jumlah
muncul
kaki)
Xi-X ( Xi-X)2
Xi(jumlah
muncul
kaki)
Xi-X ( Xi-X)2
1 0 -0,375 0,1406 0 -0,937
5
0,8789
0 -0,9375
0,8789
0 -0,937
5
0,8789
2 0 -0,375 0,1406 0 -0,937
5
0,8789
0 -0,9375
0,8789
0 -0,937
5
0,8789
3 0 -0,375 0,1406 0 -0,937
5
0,8789
0 -0,9375
0,8789
1 0,0625
0,0039
4 0 -0,375 0,1406 1 0,0625
0,0039
2 1,0625
1,1289
0 -0,937
5
0,8789
5 0 -0,375 0,1406 4 3,0625
9,3789
4 3,0625
9,3789
3 2,0625
4,2539
26
6 0 -0,375 0,1406 4 3,0625
9,3789
3 2,0625
4,2539
3 2,0625
4,2539
7 0 -0,375 0,1406 0 -0,937
5
0,8789
0 -0,9375
0,8789
0 -0,937
5
0,8789
8 0 -0,375 0,1406 1 0,0625
0,0039
1 0,0625
0,0039
3 2,0625
4,2539
9 0 -0,375 0,1406 0 -0,937
5
0,8789
0 -0,9375
0,8789
0 -0,937
5
0,8789
10 1 0,625 0,3906 2 1,0625
1,1289
0 -0,9375
0,8789
0 -0,937
5
0,8789
11 1 0,625 0,3906 0 -0,937
5
0,8789
0 -0,9375
0,8789
0 -0,937
5
0,8789
12 0 -0,375 0,1406 1 0,0625
0,0039
0 -0,9375
0,8789
0 -0,937
5
0,8789
13 0 -0,375 0,1406 0 -0,937
5
0,8789
0 -0,9375
0,8789
0 -0,937
5
0,8789
14 2 1,625 2,6406 0 -0,937
5
0,8789
2 1,0625
1,1289
2 1,0625
1,1289
15 2 1,625 2,6406 2 1,0625
1,1289
2 1,0625
1,1289
3 2,0625
4,2539
16 0 -0,375 0,1406 0 - 0,878 1 0,062 0,003 0 - 0,878
28
Kontrol
S2= ∑ (xi−x)2n−1 = 7,749616−1 = 0,516
Perlakuan 0,05
S2= ∑ (xi−x)2n−1 = 27,187416−1 = 1,812
Perlakuan 0,075
S2= ∑ (xi−x)2n−1 = 24,937416−1 = 1,662
Perlakuan 0,1
S2= ∑ (xi−x)2n−1 = 26,937416−1 = 1,795
a. Menentukan hipotesis
Ho : Ada perbedaan pengaruh laju pertumbuhan kaki
belakang katak pada tiap perlakuan
Ha : Tidak ada perbedaan pengaruh laju pertumbuhan
kaki belakang katak pada tiap perlakuan
b. Kriteria pengujian
Jika Fhitung ≥ F1/2 α (V1, V2), maka Ho ditolak
c. Menetukan taraf nyata
α= 0,05
F = variansiterbesarVariansiterkecil = 1,812o,516 = 3,511
F 0,025 (15,15) = 6,203
Fhitung = 3,511
29
Ftabel ≥ Fhitung
Kesimpulan :
Ho diterima
Ha ditolak
Jadi, adanya variasi pemberian hormon tiroksin
terhadap laju pertumbuhan kaki katak pada setiap
konsentrasi memiliki laju yang berbeda.
C. Grafik
Kontrol kons. 0,05
kons. 0,075
kons. 0,1
0
0.5
1
1.5
2
Grafik Hubungan Antara Perlakuan dengan Nilai
Variansi
Nilai Variansi
D. Pembahasan
Dari hasil perhitungan menggunakan analisis
varian didapatkan, bahwa pada perlakuan kontrol
atau perlakuan yang tidak diberi hormon tiroksin
memiliki nilai variansi 0,516. Perlakuan ke-2
dengan Konsentrasi hormon tiroksin 0,05 memiliki
nilai variansi 1,812. Perlakuan ke-3 dengan
30
Konsentrasi hormon tiroksin 0,075 memiliki nilai
variansi 1,662. Perlakuan ke-4 dengan Konsentrasi
hormon tiroksin 0,1 memiliki nilai variansi 1,795.
Berdasarkan hasil variansi tersebut dapat
diketahui bahwa perlakuan yang memiliki nilai
Variansi terbesar menunjukan konsentrasi yang
paling optimum untuk laju pertumbuhan katak yaitu
pada perlakuan ke-2 dengan Konsentrasi hormon
tiroksin 0,05 gram/L . dari nilai variansi
terbesar dan terkecil dapat diperoleh nilai F
hitung hasil 3,511 dan F tabel pada taraf nyata
α= 0,05 diperoleh F tabel 6,203 sehingga F tabel
lebih besar dari F hitung. Jadi Kesimpulan dari
nilai F tabel dan F hitung dapat disimpulkan bahwa
H0 diterima dan Ha ditolak, hal ini menunjukan
bahwa ada pengaruh yang berbeda pada laju
pertumbuhan kaki belakang katak pada perlakuan
kontrol dan perlakuan pemberian hormon tiroksin
dengan konsentrasi 0,05 ; 0,075 ; 0,1.
Penelitian yang kami lakukan bertujuan untuk
mengetahui pengaruh hormon tiroksin terhadap
kecepatan metamorfosis katak. Untuk membuktikan
adanya pengaruh hormon tiroksin terhadap kecepatan
metamorfosis katak. Kelompok kami memberi
perlakuan konsentrasi yang berbeda pada setiap
bak. Pada bak I kami menambahkan hormon tiroksin
dengan konsentrasi 0,05%, bak II 0,075%, bak III
31
0,1% dan bak IV hanya berisi air tanpa perlakuan
sebagai kontrol. Air yang kami gunakan sebagai
habitat kecebong saat dilakukannya perlakuan
adalah air dari habitat asalnya, dimana dalam
setiap bak kami isi air sebanyak 3 liter. Kami
juga menambahkan lumut ke dalam bak sebagai pakan
kecebong.
Suatu bentuk kontrol hormon tiroksin pada
perkembangan katak dan proses metamorfosis menurut
Etkin (1968) yang telah disempurnakan oleh M. Dodd
dan J. Dodd (1976) dan A. White dan Nicoll (1981)
adalah sebagai berikut :
1. Selama Premetamorfosis
Medula otak dan hipotalamus belum berkembang
dan otak hanya sedikit atau sama sekali tidak
berpengaruh terhadap kontrol fungsi
adenohipofisis. Akibatnya, sekresi prolaktin
tinggi dan sekresi TSH turun sehingga prolaktin
dapat meningkatkan pertumbuhan larva tanpa
pengaruh dari hormon tiroksin. Hormon tiroksin
memberi umpan balik negatif pada sekresi TSH.
2. Selama Prometamorfosis Awal
Sekresi hormon tiroksin meningkat, tetapi hal
ini tidak berpengaruh terhadap peningkatan protein
plasma yang membentuk iodine. Hal ini dimungkinkan
karena kecepatan kerja hormon tiroksin.
32
Peningkatan sekresi hormon tiroksin dimungkinkan
hasil dari pengingkatan TSH. Peningkatan ini
menggambarkan perkembangan yang bertahap dari
pengaruh hipotalamus yang terdapat pada
adenohipofisis. Tingkat sekresi hormon tiroksin
bertambah secara kontinyu sehingga pada akhir
prometamorfosis kemampuan jaringan untuk meningkat
dan memanfaatkan hormon tiroksin terpenuhi.
Akibatnya peningkatan pengeluaran hormon tiroksin
yang berkelanjutan menghasilkan gelombang plasma
hormon.
Peningkatan hormon tiroksin juga meningkatkan
perkembangan medula otak dan pembentukan pintu
penghubung antara adenohipofisis dan hipotalamus.
Pada peningkatan proses ini, sekresi TRH yang
tinggi dapat mencapai pituitari untuk menstimulasi
peningkatan hormon tiroksin. Peningakatan sekresi
hormon tiroksin dapat meningkatkan perkembangan
lebih lanjut pada medula otak, sehingga terjadi
umpan balik positif.
Selama kontrol hipotalamus pada fungsi
pituitari berkembang, sekresi prolaktin berada
pada pengaruh kontrol inhibitor dan tingkat
sirkulasi prolaktin makin menurun. Hal ini
menyebabkan kerja prolaktin antagonis terhadap
hormon tiroksin menurun sehingga proses
perkembangan lebih cepat.
33
3. Prometamorfosis Akhir
Selama prometamorfosis akhir medulla otak dan
jaringan penghubungnya dengan hipofisis terbantuk.
Terpenuhinya suatu jaringan dengan hormon tiroid
secara cepat dan melengkapi transformasi
(klimaks). Kadar prolaktin dalam darah berkurang
secara drastis pada periode ini, sehingga
menyebabkan penghambatan hipotalamus secara
maksimal. Jadi, perkembangan dari prolaktin
penghambat (prolactin-mediated-inhibitor) dari
kerja hormon tiroid diperkecil.
4. Selama Metamorfosis Klimaks
Selama metamorfosis klimaks, interaksi umpan
balik positif dari hipotalamus-hipofisis-tiroid
hilang. Hal ini mungkin dapat terjadi karena
Aminergic fiber yang berada pada adenohipofisis
larva berpengaruh pada umpan balik positif maupun
umpan balik negatif. Serabut ini hilang selama
berlangsungnya metamorfosis klimaks. Peningkatan
hormon tiroid selama prometamorfosis akhir bekerja
pada hipotalamus sehingga menyebabkan serabut ini
dapat meningkatkan sekresi TSH. Peningkatan hormon
tiroid juga menyebabkan terjadinya degenerasi yang
berlangsung secara bertahap pada serabut ini.
Jadi, dengan hilangnya setimulus untuk sekresi TSH
dan penghambatan aktivitasnya, hormon tiroid
dapat bekerja tanpa adanya hambatan.
34
Dari hasil pengamatan kelompok kami yang
dilakukan selama 16 hari, diketahui bahwa
kecebong banyak mengalami kematian pada setiap
kelompok yang diberi konsentrasi hormon tiroksin
maupun kelompok kontrol, dimana pada konsentrasi
0,05% kecebong yang mati sebanyak 10 ekor,
konsentrasi 0,075% sebanyak 8 ekor, konsentrasi
0,1% sebanyak 4 ekor, sedangkan pada kontrol
kecebong yang mati sebanyak 12 ekor. Kematian
kecebong terjadi kemungkinan diindikasikan karena
makanan kecebong berupa lumut bereaksi negatif
dengan hormon tiroksin yang kami tambahkan pada
air sebagai habitat kecebong. Selain itu, dapat
juga disebabkan oleh penempatan kecebong pada
tempat yang kurang cahaya matahari sehingga lumut
yang terdapat dalam bak tidak dapat melakukan
fotosintesis. Kematian kecebong juga dapat
disebabkan karena sifat dari kecebong itu sendiri
yang bersifat kanibal sehingga kematian dapat
meningkatkan terjadinya kematian antar perlakuan.
Selama percobaan berlangsung, kelompok kami tidak
mengganti air yang ada pada bak sebagai habitat
kecebong.
Berdasarkan analisis data, dapat diketahui
bahwa kadar hormon tiroksin yang mampu ditolerir
oleh kecebong adalah pada konsentrasi hormon 0,05
mg/L. Beberapa kecebong tetap dapat bertahan hidup
35
dan mengalami perkembangan yang lebih cepat dari
kelompok kontrol, tetapi perkembangan kecebong
pada kadar hormon tiroksin ini tidak secepat pada
kadar hormon tiroksin 0,1 mg/L. Hal ini terbukti
dari hasil pengamatan yang kami lakukan pada hari
terakhir yaitu pada hari yang ke 16, diketahui
bahwa kecebong yang mempunyai kaki lengkap adalah
kecebong yang ada dalam konsentrasi 0,075% dan
0,1%. Tetapi jumlah kecebong yang tetap hidup,
lebih banyak terdapat dalam konsentrasi 0,1%.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari tinjauan teoritis dan uraian pembahasan dapat
diambil kesimpulan bhawa hormone tiroksin yang
disekresi oleh kelenjar tiroid berpengaruh dalam proses
metamorphosis Bufo sp yaitu dapat mempercepat
metamorphosis. Hormone tiroksin dalam metamorphosis
Bufo sp berpengaruh dalam pembentukan tungkai belakang
dan tungkai depan disertai dengan resorbsi ekor.
36
DAFTAR PUSTAKA
Badawy G. M. 2011. Effect Thiroid Stimulating Hormone
On The Ultrastructure of the Thyroid and in the
Mexican Axolotl during Metamorphic Climax. Journal
of Applied Pharmaceutical Science. Vol. 01 (04): 60-66
Blakery, J. 1985. The Sience of Animal Husbandry. Reston
Publishing Company Inc.
37
Hermawan, dkk. 2004. Pengaruh pemberian hormone
tiroksin pada induk terhadap metemorfosa dan
kelangsungan hidup larva ikan betutu Oxyeleotris
marmorata (BLKR). Jurnal Akuakultur Indonesia. 3(3): 5-
8 (2004)
Kimball, T.W. 1992. Biology Jilid II. Jakarta : Erlangga
M. Zairin Jr dkk. 2005. Pengaruh Pemberian Hormon
Tiroksin Secara Oral terhadap Pertumbuhan dan
Kelangsungan Hidup Ikan Plati Koral Xiphophorus
maculatus. Jurnal Akuakultur Indonesia. 4 (1): 31–35
(2005)
Prasetijo, Budi. 2011. Hormon Tiroksin. Jakarta :
Erlangga
Sudrajat, Agus Oman dkk. 2013. Efektivitas Perendaman
didalam Hormon Tiroksin dan Hormon Pertumbuhan
Terhadap Perkembangan Awal Serta Pertumbuhan Larva
Ikan Patin Siam. Jurnal Akuakultur Indonesia. Vol 12
(1). Hal. 33-42 (2013)
Snell, R. S. 1983. Clinical Embriology. Little Brown and
Co, Buston
Sugiono. 1996. Perkembangan Hewan. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Turner and Bagnara. 1976. Endokrinologi Umum. Surabaya :
Universitas Airlangga Press