PENANGGULANGAN GIZI BURUK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SALIDO KABUPATEN PESISIR SELATAN

23
PENANGGULANGAN GIZI BURUK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SALIDO KABUPATEN PESISIR SELATAN Disusun oleh : dr. Deno Saputra dr. Reniyusti Rosman dr. Rozi Yuliandi dr. Yuliza Putri Pendamping : dr. Ricky Awal

Transcript of PENANGGULANGAN GIZI BURUK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SALIDO KABUPATEN PESISIR SELATAN

PENANGGULANGAN GIZI BURUK DI

WILAYAH KERJA PUSKESMAS SALIDO

KABUPATEN PESISIR SELATAN

Disusun oleh :

dr. Deno Saputra

dr. Reniyusti Rosman

dr. Rozi Yuliandi

dr. Yuliza Putri

Pendamping :

dr. Ricky Awal

PUSKESMAS SALIDO

KEC. IV JURAI KAB. PESISIR SELATAN

2012

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar

Belakang

Masalah gizi memiliki dimensi luas, tidak hanya masalah

kesehatan tetapi juga masalah sosial, ekonomi, budaya, pola

asuh, pendidikan, dan lingkungan. Faktor pencetus munculnya

masalah gizi dapat berbeda antar wilayah ataupun antar

kelompok masyarakat, bahkan akar masalahnya dapat berbeda

antar kelompok usia balita.

Hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun

2007, menunjukkan bahwa persentase anak balita gizi buruk di

Indonesia sebesar 5,4%.1 Walaupun angka ini menurun

dibandingkan hasil Susenas tahun 2005 (8,8%), tetapi

menunjukkan bahwa anak balita gizi buruk masih menjadi masalah

kesehatan masyarakat utama; jika di suatu daerah ditemukan

gizi buruk > 1% maka termasuk masalah berat.

Keadaan gizi kurang, lebih-lebih gizi buruk menurunkan

daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit, terutama infeksi.

Juga akan mangganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik,

mental dan jaringan otak yang akan mengurangi kualitas sumber

daya manusia Indonesia.Salah satu cara paling mudah untuk

mengetahui keadaan gizi anak adalah berat badan dibandingkan

dengan umurnya (BB/U), kemudian dibandingkan dengan standar

baku; gizi buruk bila Z_Score < - 3 SD. Pada anak gizi kurang

tanda khas belum kelihatan kecuali relatif lebih kurus. Pada

gizi buruk tanda klinis sudah jelas; dikenal tiga macam gizi

buruk, yaitu marasmus, kwashiorkor, dan marasmik-kwashiorkor.

Berdasarkan data yang ada, di wilayah kerja Puskesmas

Salido terdapat 3 kasus gizi buruk, yaitu 1 kasus di wilayah

Painan Selatan dan 2 kasus di wilayah Painan Utara. Berbagai

upaya telah dilakukan untuk menanggulangi angka kejadian gizi

buruk tersebut, melalui penyuluhan maupun Pemberian Makanan

Tambahan, tetapi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

1.2.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk menemukan

penyebab dasar sehingga balita mengalami gizi buruk; dan

untuk mengetahui penanggulangan gizi buruk yang dilakukan oleh

keluarga balita dan pemerintah.

1.3. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan evaluasi keberhasilan program

penanggulangan gizi buruk di Puskesmas Salido khususnya

dan Dinas Kesehatan Kabupaten Pesisir Selatan umumnya.

2. Bahan pertimbangan bagi petugas gizi dan petugas

kesehatan lainnya, berkaitan dengan metode

promosi yang tepat sebagai upaya penanggulangan

gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas Salido

3. Bagian perencanaan program kesehatan mendapat masukan

dalam melakukan tindakan penanggulangan gizi buruk, yang

tidak hanya tepat sasaran tetapi juga tepat tujuannya

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gizi Buruk

Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses

terjadinya kekurangan energi dan protein menahun pada balita.

Penyakit Kurang Energi Protein (KEP) atau Protein Energy

Malnutrition (PEM) merupakan salah satu penyakit gangguan gizi

yang banyak mengenai anak-anak di bawah lima tahun (balita).

Penyakit ini banyak diselidiki di Afrika karena di

negara tersebut ditemukan anak dengan rambut merah. Nama

lokal yang diberikan yaitu kwashiorkor yang berarti penyakit

rambut merah. Di tempat tersebut masyarakat menganggap

kwashiorkor sebagai kondisi yang biasa terdapat pada anak

kecil yang sudah mendapat adik lagi, karena perhatian orang

tua telah beralih ke adik baru.

KEP menyebabkan berbagai macam keadaan patologis

pada derajat yang sangat ringan sampai berat. Pada keadaan

yang sangat ringan tidak ditemukan kelainan biokimiawi maupun

gejala klinisnya, hanya terdapat pertumbuhan yang kurang.

Pada keadaan yang berat ditemukan 3 tipe yaitu kwashiorkor,

marasmus, dan kwashiorkor-marasmik, masing-masing dengan gejala

yang khas. Pada semua derajat maupun tipe KEP ini terdapat

gangguan pertumbuhan di samping gejala-gejala klinis maupun

biokimiawi yang khas bagi tipe penyakitnya.

Gejala klinis untuk KEP pada tingkat kwashiorkor

adalah anak terlihat gemuk, ditemukan edema pada

beberapa bagian tubuh yang diiringi asites, anak apatis,

adanya atrofi otot sehingga anak tampak lemah dan berbaring

terus-menerus, rambut mudah dicabut dan mengalami pembesaran

hati. Gejala klinis pada KEP tingkat marasmus yaitu wajah

anak tampak seperti wajah orang tua, anak terlihat sangat

kurus, kulit biasanya mengering, dingin dan mengendor serta

turgor kulit mengurang. Penderita marasmus lebih sering

menderita diare atau konstipasi. Pada kwashiorkor marasmik

kondisi penderita memperlihatkan gejala campuran yaitu

adanya edema, kelainan rambut, kelainan kulit dan kelainan

biokimiawi.

Untuk menentukan status gizi balita, maka diperlukan

klasifikasi menurut derajat beratnya KEP. Klasifikasi yang

dibuat oleh Dep.Kes.RI (disahkan dengan SK Menkes RI No.

920/Menkes/SK/VIII/2002) tentang baku rujukan penilaian status

gizi anak perempuan dan anak laki-laki usia 0-59 bulan

menurut Berat Badan dan Umur (BB/U), adalah seperti terlihat

pada Tabel 2.1:

Tabel 2.1. Klasifikasi Status Gizi (BB/U) Menurut

Dep.Kes.RI (2002)

Status Gizi Berat

Badan Menurut Umur (BB/U)*) Gizi Lebih

Z-Score : >+2 SD

Gizi Baik

Z-Score : ≥-2 SD s/d +2 SD Gizi Kurang

Z-Score : <-2 SD s/d ≥ - 3 SD

Gizi Buruk Z-Score : <-

3 SD

*) Daftar Baku Rujukan Penilaian Status Gizi (BB/U) dapat

dilihat pada Lampiran 1.

Sehubungan dengan semakin maraknya pemberitaan

kasus gizi buruk di media massa, serta untuk menyamakan

persepsi dan upaya penanggulangannya, maka Menteri

Kesehatan Republik Indonesia menerbitkan kembali SK

No.

347/Menkes/IV/2008 tentang Penanggulangan Gizi Buruk dengan

menetapkan Baku Rujukan Penilaian Status Gizi menurut Berat

Badan dan Tinggi Badan (BB/TB). Penetapan indeks BB/TB

menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas dan

sensitif/peka jika dibandingkan penilaian prevalensi

berdasarkan BB/U, BB/TB dapat membedakan proporsi badan

apakah gemuk, normal, dan kurus (Atmarita, 2004: 9). Adapun

penentuan status gizi berdasarkan BB/TB dapat dilihat pada

Tabel 2.2:

Tabel 2.2. Klasifikasi Status Gizi (BB/TB) Menurut

Dep.Kes.RI (2002)

Status Gizi Berat Badan

Menurut Tinggi Badan BB/TB*) Gemuk (Gizi Lebih)

Z-Score : >2 SD

Normal (Gizi Baik) Z-Score : -2

SD s/d 2 SD

Kurus (Gizi Kurang)

Z-Score : <-2 SD s/d - 3 SD Kurus Sekali

(Gizi Buruk) Z-Score : <-3 SD

Status gizi buruk memberikan dampak yang dapat mengganggu

proses tubuh secara keseluruhan, seperti:

a. Mengganggu proses pertumbuhan, anak tidak tumbuh

menurut potensialnya sehingga terlihat lebih pendek

dari seharusnya.

b. Kekurangan tenaga untuk bergerak dan melakukan

aktivitas sehari-hari.

c. Pembentukan sistem kekebalan tubuh yang tidak

optimal.

d. Penurunan sistem imunitas dan antibodi, menyebabkan

anak mudah terserang infeksi seperti pilek, batuk dan

diare yang dapat menyebabkan kematian.

e. Perkembangan otak yang terhambat. Otak mencapai bentuk

maksimal pada usia dua tahun, terganggunya perkembangan

otak mempengaruhi tingkat kecerdasan dan perkembangan

mental anak .

2.2. Faktor-Faktor Penyebab Gizi Buruk pada Balita

Gizi buruk dipengaruhi banyak faktor yang saling

terkait. Secara langsung gizi buruk dipengaruhi oleh 2 hal,

yaitu anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang; dan

anak mungkin menderita infeksi. Kedua penyebab langsung

tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

2.2.1. Anak Tidak Cukup Mendapat Makanan Bergizi Seimbang

Bayi dan balita tidak mendapat makanan yang bergizi,

dalam hal ini makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu ASI,

dan sesudah usia 6 bulan anak tidak mendapat Makanan

Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan mutunya.

MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung

energi dan protein, tetapi juga mengandung berbagai

vitamin dan mineral yang dibutuhkan balita dalam proses

tumbuh kembang.

MP-ASI yang tepat dan baik seharusnya dapat disiapkan

sendiri di rumah. Namun, dalam penyediaan MP-ASI yang sesuai

dengan kebutuhan balita, banyak hal yang mempengaruhinya.

Tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi yang rendah pada ibu

balita seringkali menjadi penyebab balita mendapat

makanan yang tidak seimbang.

Makanan bergizi seimbang adalah makanan yang terdiri

dari beraneka ragam makanan dalam jumlah dan proporsi yang

sesuai, sehingga memenuhi kebutuhan gizi seseorang guna

pemeliharaan, perbaikan sel-sel tubuh, pertumbuhan dan

perkembangan. Makan makanan yang beranekaragam akan menjamin

terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan

zat pengatur.

2.2.2. Infeksi pada Balita

Gizi buruk merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena

itu ada beberapa faktor yang bersama-sama menjadi penyebab

timbulnya penyakit tersebut, antara lain faktor diet, faktor

sosial, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan, dan lain-

lain. Infeksi memperburuk status gizi dan sebaliknya gangguan

gizi memperburuk kemampuan anak untuk mengatasi penyakit

infeksi, karena gizi kurang menghambat reaksi pembentukan

kekebalan tubuh, sehingga anak yang status gizinya buruk akan

lebih mudah terkena infeksi. Hubungan timbal balik antara

infeksi dan gizi buruk atau gizi buruk dengan infeksi

pada balita seperti ‘lingkaran setan’ yang sulit untuk

diputuskan.

Penyebab balita gizi buruk tidak hanya karena kedua

faktor langsung tersebut, tetapi ada juga faktor tidak

langsung yang berkaitan dan mempengaruhi status gizi balita,

yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak,

serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.

Asuhan gizi adalah praktek yang dilakukan di rumah

tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan

perawatan kesehatan serta sumber lainnya, untuk kelangsungan

hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak.

Anak tidak hanya mendapat makanan yang bergizi seimbang,

tetapi anak juga harus mendapat perhatian dan kasih sayang.

Dalam hal ini, peranan ibu sangat kuat. Anak yang diasuh

ibunya sendiri dengan sabar dan penuh kasih sayang,

apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI,

manfaat Posyandu dan kebersihan, meskipun miskin akan dapat

mengasuh dan memberi makan anak dengan baik sehingga anaknya

tetap sehat. Lagi-lagi unsur pendidikan dan pengetahuan gizi

serta kesehatan pada perempuan mempengaruhi kualitas

pengasuhan anak.

Faktor kemiskinan dan pendidikan orangtua yang rendah

serta kurangnya pengetahuan soal gizi dan kesehatan,

merupakan penyebab utama tingginya angka penderita gizi

buruk. Kemiskinan menyebabkan rendahnya kualitas intake zat

gizi, penyakit infeksi, buruknya pengetahuan dan praktek

keluarga berencana, yang pada akhirnya berpengaruh pada

rendahnya status gizi balita dan ibu hamil. Namun, selain

disebabkan ketidakmampuan ekonomi, kasus gizi buruk juga

dapat disebabkan pola asuh ibu atau keluarga yang salah.

Dengan kata lain pengasuhan merupakan faktor yang sangat erat

kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan balita.

Kemiskinan selalu didengung-dengungkan menjadi

penyebab gizi buruk, tetapi tidak semua keluarga miskin

memiliki balita gizi buruk. Hal ini dikuatkan oleh penelitian

mengenai penyimpangan positif (positive deviance), yang dilakukan

oleh Jus’at, dkk (2000: 145-156) di DKI Jakarta dan Kabupaten

Bogor. Penelitian ini memberikan hasil bahwa status ekonomi

keluarga-keluarga yang relatif sama, belum tentu memiliki

balita dengan status gizi yang sama juga.

Mengapa keluarga dengan status ekonomi yang rendah

tetapi memiliki balita dengan status gizi baik. Hal ini

ditentukan oleh pola pengasuhan ibu, usaha ibu untuk

‘mengusahakan’ anak mau makan, berdampak memiliki gizi lebih

baik dibandingkan jika anak dibiarkan mengikuti kemauannya

saja yaitu tidak mau makan. Pengasuhan anak yang berpindah ke

tangan ‘kedua’ misalnya pembantu atau nenek, juga mempunyai

dampak pada keadaan gizi anak

2.3. Penanggulangan Gizi Buruk

Masalah gizi kurang dan buruk makin lama makin disadari

sebagai salah satu faktor penghambat proses pembangunan

nasional. Angka kematian yang tinggi pada bayi dan anak,

terganggunya pertumbuhan badan, menurunnya daya kerja,

gangguan pada perkembangan mental dan kecerdasan serta

terdapatnya berbagai jenis penyakit tertentu, merupakan

akibat langsung maupun tidak langsung dari gizi buruk.

Prediksi oleh Kepala Subdit Bina Kewaspadaan Gizi

Direktorat Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan Tatang S.

Falah, bahwa dalam 15 tahun mendatang sebanyak lima juta

anak Indonesia terancam kehilangan daya saingnya bila kasus

gizi buruk tidak segera ditanggulangi. Masih menurut beliau:

“masalah gizi buruk yang ada sekarang kalau tidak segera

ditanggulangi akan menyebabkan balita di masa mendatang akan

kehilangan kesempatan untuk menjadi sumber daya manusia yang

berkualitas”.

Ironisnya, kasus gizi buruk masih terjadi setelah

hampir 20 tahun Konvensi Hak Anak (KHA) yang disetujui oleh

PBB pada tanggal 20 November 1989. Dalam konvensi tersebut

disebutkan anak-anak berhak untuk mendapatkan dan menikmati

status kesehatan tertinggi.

Pemerintah Indonesia memang telah lama berupaya untuk

menanggulangi masalah gizi buruk. Salah satunya ketika

pemerintah orde baru pada tahun 1979 menetapkan Trilogi

Pembangunan pada Repelita III, yang menonjolkan pemerataan

pembangunan dan hasil-hasil yang mengarah pada terwujudnya

keadilan sosial. Segi pemerataan pembangunan tersebut

dituangkan dalam bentuk konsep 8 jalur pemerataan, antara

lain adalah pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat

banyak, khususnya pangan, sandang, dan perumahan serta

pemerataan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.

Beberapa program penanggulangan gizi buruk yang telah

dilaksanakan, yaitu:

2.3.1. Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)

Salah satu usaha untuk mencapai tujuan program pangan

dan perbaikan gizi Repelita III ialah meningkatkan dan

memperluas UPGK. UPGK adalah suatu paket kegiatan yang

terpadu guna menanggulangi masalah gizi, terutama KEP dengan

kegiatan-kegiatan penimbangan secara berkala pada anak-anak

di bawah usia lima tahun di Posyandu. Usaha-usaha tersebut

tidak akan berdaya guna dan berhasil guna tanpa ditunjang

oleh usaha-usaha di bidang lain secara terpadu. Oleh

karena itu, usaha-usaha penanggulangan masalah gizi

memerlukan kerjasama dan koordinasi yang mantap antar

berbagai sektor pembangunan. Lebih dari itu, keberhasilan

penanggulangan masalah gizi sangat tergantung pada

partisipasi aktif dari masyarakat.

Situasi krisis ekonomi, politik dan sosial yang terjadi

di masyarakat sejak tahun 1997, menyebabkan pelaksanaan

program pembangunan pangan dan perbaikan gizi semakin

melemah. Oleh karena itu dikeluarkan Instruksi Presiden

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Gerakan Nasional Penanggulangan

Masalah Pangan dan Gizi. Dalam Gerakan Nasional

Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi ini, berbagai

kegiatan masyarakat bersama sektor terkait diarahkan untuk

memenuhi kecukupan pangan di tingkat keluarga dan

mencegah serta menanggulangi masalah gizi di masyarakat.

Gerakan ini dilaksanakan dengan cara memanfaatkan dan

mengembangkan pekarangan dan lahan tidur untuk menambah

sumber pangan keluarga; memacu kegiatan industri pangan

rumah tangga dan kegiatan lain untuk meningkatkan

pendapatan keluarga; memberikan perhatian pada pemenuhan

kecukupan gizi anak balita, ibu hamil dan ibu menyusui,

memberikan ASI, MP-ASI dan makanan secara benar, serta

menimbang semua balita setiap bulan di Posyandu (Depkes,

1999: 4).

Menurut pemerintah, Posyandu merupakan salah

satu bentuk Upaya kesehatan Bersumber Daya Masyarakat

(UBKM), yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk

dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan

kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan

kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan

kesehatan dasar (Depkes RI, 2006: 1). Namun, kegiatan

Posyandu mengalami kemunduran, terutama sejak krisis ekonomi

pada tahun 1997. Kegiatan penimbangan di Posyandu tidak

lagi berfungsi seperti pada tahun 1970 dan 1980-an.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Universitas Andalas

Padang, Universitas Hasanuddin Sulawesi Selatan dan Sekolah

Tinggi Ilmu Gizi Jawa Timur pada tahun 1999, diperoleh

beberapa hal sebagai berikut:

1. Hanya sekitar 40% dari jumlah Posyandu yang

ada, dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

2. Lebih dari separuh Posyandu, tidak memiliki

peralatan yang memadai.

3. Sebagian besar Posyandu tidak memiliki tempat

pelayanan yang layak, karena

menyelenggarakan kegiatan di gudang, garasi, atau

rumah penduduk.

4. Pembinaan terhadap Posyandu masih belum merata.

5. Sebagian besar Posyandu, belum memiliki

jumlah kader yang cukup bila dibandingkan dengan

jumlah sasaran dan hanya 30% kader yang telah

terlatih.

6. Sebagian besar kader belum mampu mandiri,

karena sangat tergantung dengan petugas Puskesmas

sebagai Pembina, dan sementara itu penghargaan

terhadap kader masih rendah.

7. Cakupan Posyandu masih rendah, untuk balita yang

sebagian besar adalah

anak usia di bawah 2 (dua) tahun, cakupannya

masih di bawah 50%, sedangkan untuk ibu hamil

cakupannya hanya sekitar 20%.

8. Hampir 100% ibu menyatakan pernah mendengar

Posyandu, namun yang hadir pada saat kegiatan

Posyandu kurang dari separuhnya.

Salah satu indikator keberhasilan Posyandu adalah

kemampuan dari kader tersebut. Hasil survey yang dilakukan

Rienks dalam Dove (1985: 45-47) memberikan hasil yang menarik.

Sebanyak 37% kader sama sekali tidak mempunyai aktivitas apa-

apa, 57% hanya aktif sekali-kali dan bergantung pada

petunjuk dari petugas kesehatan, dan hanya 5% yang memiliki

“self motivated” serta memiliki standar pelaksanaan tugas

sesuai dengan pedoman latihan kader. Survei ini juga

memberikan hasil bahwa hanya 7% kader yang mengakui

benar-benar mengerti latihan yang diberikan.

Oleh karena itu pemerintahan dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 bidang

kesehatan, mengutamakan upaya preventif, promotif dan

pemberdayaan masyarakat. Salah satu bentuk

pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan adalah menumbuh-

kembangkan Posyandu kembali (Revitalisasi Posyandu).

Pemberdayaan masyarakat dalam menumbuhkembangkan Posyandu

merupakan upaya fasilitas agar masyarakat mengenali

masalah yang dihadapi, merencanakan dan melakukan upaya

pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat sesuai

situasi, kondisi dan kebutuhan setempat (Dinkes Prop. Sumut,

2007: 1).

2.3.2. Program Pemberian Makanan

Program suplementasi makanan merupakan cara efektif untuk

meningkatkan status gizi anak yang kurang gizi. Tujuan utama

program suplementasi makanan adalah: 1) untuk meningkatkan

status gizi anak, 2) untuk mencegah memburuknya status gizi,

3) untuk membantu pengobatan penyakit infeksi, dan 4) untuk

memfasilitasi program KIE untuk orang tua dan anak .

Penanggulangan kasus gizi buruk pada balita diwujudkan

dalam bentuk PMT. PMT diberikan untuk anak usia 6-11 bulan

dalam bentuk MP-ASI atau blended food. Bagi anak usia 12 – 59

bulan diberikan biskuit sebanyak 75 gram/hari dan susu bubuk

sebanyak 80 gram/hari. PMT ini diberikan selama 90 hari dengan

sasaran balita dari keluarga miskin.

Penelitian di NTT yang berkaitan dengan PMT,

memberikan hasil hanya sekitar 34,7% balita gizi buruk yang

mengalami kenaikan berat badan, 60,3% balita gizi buruk

tidak mengalami kenaikan berat badan sama sekali, bahkan

terdapat 5% balita mengalami penurunan berat badan.

Dengan kata lain, jangka waktu pemberian makanan

tambahan harus diperhatikan, PMT sebaiknya diberikan terus-

menerus dengan mempertimbangkan masa pertumbuhan kritis anak.

Berdasarkan pengalaman di klinik gizi Bogor, untuk

meningkatkan status gizi dari gizi buruk ke gizi kurang

diperlukan jangka waktu pelaksanaan PMT selama sekitar 6

bulan. Dalam program PMT skala besar yang dilakukan oleh

petugas/kader setempat, direkomendasikan untuk

memperpanjang waktu PMT menjadi 10-12 bulan.

2.3.3. Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)

Selain Posyandu, maka dikembangkan juga Kadarzi sebagai

upaya agar keluarga mampu mengatasi masalah gizi yang

dialaminya. Keluarga dikatakan sadar gizi apabila telah

mempraktekkan perilaku gizi yang baik, seperti menimbang

berat badan secara teratur, memberikan Air Susu Ibu (ASI)

saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI

eksklusif), makan beraneka ragam, menggunakan garam

beryodium, dan minum suplemen gizi sesuai anjuran.

Sasaran dari Kadarzi adalah keluarga, karena

pengambilan keputusan dalam bidang pangan, gizi dan kesehatan

dilaksanakan terutama di tingkat keluarga. Selain itu, masalah

gizi yang terjadi di tingkat keluarga, erat kaitannya dengan

perilaku keluarga, tidak semata-mata disebabkan oleh

kemiskinan dan ketidaktersediaan pangan.

Sudah begitu banyak program penanggulangan gizi buruk

yang dilaksanakan, namun mengapa masih ada kasus gizi buruk.

Bahkan kasus gizi kurang tetap tinggi, jika tidak ditangani

segera dapat menimbulkan “booming” gizi buruk.

Apakah hal-hal yang terlewatkan, sehingga masalah

tersebut belum dapat diatasi. Analisis sepintas menunjukkan

banyak program yang bersifat “top down dan instruktif”. Hal ini

menyebabkan program-program tersebut tidak mempunyai pengaruh

yang berkelanjutan. Indikator-indikator pencapaian program

banyak yang masih berorientasi jangka pendek, lebih fokus ke

indikator-indikator fisik, bukan mendorong terjadinya

perubahan perilaku.

Berbagai program penanggulangan gizi buruk yang

dilakukan Pemerintah,kerapkali mengalami ketidakberhasilan

ataupun program akan berhenti dengan terhentinya aliran dana

yang ada. Hal ini terjadi karena proses perencanaan dan

pengambilan keputusan dalam program pembangunan kerapkali

dilakukan dari atas ke bawah (top-down). Rencana program

pengembangan masyarakat biasanya dibuat di tingkat pusat

(atas) dan dilaksanakan oleh instansi propinsi dan kabupaten.

Masyarakat seringkali diikutkan tanpa diberikan pilihan dan

kesempatan untuk memberi masukan. Dalam visi ini masyarakat

ditempatkan pada posisi yang membutuhkan bantuan dari luar.

Kebijakan pemberdayaan masyarakat merupakan suatu usaha

untuk mengurangi upaya promosi kesehatan dengan pendekatan

dari atas ke bawah (top- down), yang telah terjadi selama ini.

Pendekatan dari atas ke bawah ternyata tidak memandirikan

masyarakat dan memampukan untuk menjaga kesinambungan suatu

program penanggulangan gizi buruk. Pendekatan dari

atas ke bawah ini pada akhirnya menimbulkan paradigma

ketergantungan pada masyarakat.

2.4. Pemberdayaan Keluarga dan Masyarakat

Kesehatan merupakan suatu hal yang sangat penting

dalam kehidupan. Perkembangan zaman dan perubahan lingkungan

yang begitu cepat, mempengaruhi kesehatan individu dan

masyarakat, namun individu ataupun masyarakat tidak dapat

dengan cepat melakukan penyesuaian untuk tetap dapat

menjaga kesehatannya, seperti kata “kesehatan” merupakan

konsep yang kompleks, yang mempunyai arti yang berbeda bagi

orang yang berbeda.

Untuk mengantisipasi hal tersebut maka dilakukan

pendidikan kesehatan, yang dengan semakin berkembangnya

zaman maka terjadi perubahan-perubahan menjadi promosi

kesehatan. Istilah promosi kesehatan sebenarnya sudah lama

dikenal sebagai satu kesatuan pengertian tentang upaya

kesehatan secara menyeluruh yaitu promotif, preventif,

kuratif, dan rehabilitatif. Promosi kesehatan adalah proses

memberdayakan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan

dan melindungi kesehatannya melalui peningkatan

kesadaran, kemauan, dan kemampuan serta pengembangan

lingkungan yang sehat.

Pemberdayaan adalah upaya meningkatkan kemampuan

kelompok sasaran sehingga kelompok sasaran mampu mengambil

tindakan tepat atas berbagai permasalahan yang dialami.

Sasaran utama pemberdayaan adalah masyarakat yang

terpinggirkan, termasuk kaum perempuan, karena kaum perempuan

adalah orang yang paling menentukan dalam pola asuh

dan pola pemberian makanan pada anak. Pemberdayaan adalah

strategi promosi kesehatan yang ditujukan kepada

masyarakat langsung. Tujuan pemberdayaan adalah membantu

masyarakat memperoleh kemampuan untuk mengambil keputusan dan

menentukan tindakan yang akan dilakukan yang terkait dengan

diri mereka. Pemberdayaan dilakukan melalui peningkatan

kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan

kemampuannya. Bentuk pemberdayaan ini dapat diwujudkan

dengan berbagai kegiatan, antara lain: penyuluhan

kesehatan, pengorganisasian dan pengembangan

masyarakat.

Penggerakan dan pemberdayaan masyarakat merupakan proses

pengorganisasian masyarakat yang dimulai dari

mengidentifikasi masalah yang dihadapi di masyarakat,

kemudian menyusun urutan prioritas masalah. Setelah prioritas

masalah diperoleh, lalu masyarakat mengupayakan untuk

mencari sumber daya, baik yang ada di masyarakat itu sendiri

maupun di luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan.

Sumberdaya tersebut diharapkan dapat

dimanfaatkan untuk mengatasi masalah yang ada melalui

tindakan-tindakan yang diperlukan dengan cara kerjasama

dengan anggota masyarakat lainnya. Jadi pada

dasarnya penggerakan dan pemberdayaan masyarakat adalah

suatu proses kegiatan masyarakat yang bersifat setempat

yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat melalui pemberian pengalaman belajar dan secara

bertahap dikembangkan pendekatan yang bersifat partisipatif

dalam bentuk pendelegasian wewenang dan pemberian peran

yang semakin besar kepada masyarakat.

Proses pemberdayaan masyarakat

merupakan upaya untuk mengaktualisasikan potensi

yang sudah dimiliki sendiri oleh masyarakat. Pendekatan

pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah

penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri

sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri.

Masyarakat mampu untuk meningkatkan harkat dan martabat

serta mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan

keterbelakangan.

Penanggulangan gizi buruk yang menggunakan strategi

pemberdayaan akan lebih memampukan masyarakat untuk dapat

berupaya mengatasi masalah yang ada, dengan pemberdayaan akan

meningkatkan kemandirian keluarga dan masyarakat dalam

bidang kesehatan dan gizi, sehingga masyarakat dapat

memberikan andil dalam meningkatkan derajat kesehatannya.

Semua ini dapat terwujud dengan meningkatnya pengetahuan

masyarakat dalam bidang kesehatan dan

gizi,meningkatnya kemampuan masyarakat dalam pemeliharaan dan

peningkatan derajat kesehatannya sendiri, meningkatnya

pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat,

dan terwujudnya pelembagaan upaya kesehatan masyarakat di

tingkat lapangan.