PENANGGULANGAN GIZI BURUK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SALIDO KABUPATEN PESISIR SELATAN
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of PENANGGULANGAN GIZI BURUK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SALIDO KABUPATEN PESISIR SELATAN
PENANGGULANGAN GIZI BURUK DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS SALIDO
KABUPATEN PESISIR SELATAN
Disusun oleh :
dr. Deno Saputra
dr. Reniyusti Rosman
dr. Rozi Yuliandi
dr. Yuliza Putri
Pendamping :
dr. Ricky Awal
PUSKESMAS SALIDO
KEC. IV JURAI KAB. PESISIR SELATAN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Masalah gizi memiliki dimensi luas, tidak hanya masalah
kesehatan tetapi juga masalah sosial, ekonomi, budaya, pola
asuh, pendidikan, dan lingkungan. Faktor pencetus munculnya
masalah gizi dapat berbeda antar wilayah ataupun antar
kelompok masyarakat, bahkan akar masalahnya dapat berbeda
antar kelompok usia balita.
Hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007, menunjukkan bahwa persentase anak balita gizi buruk di
Indonesia sebesar 5,4%.1 Walaupun angka ini menurun
dibandingkan hasil Susenas tahun 2005 (8,8%), tetapi
menunjukkan bahwa anak balita gizi buruk masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat utama; jika di suatu daerah ditemukan
gizi buruk > 1% maka termasuk masalah berat.
Keadaan gizi kurang, lebih-lebih gizi buruk menurunkan
daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit, terutama infeksi.
Juga akan mangganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental dan jaringan otak yang akan mengurangi kualitas sumber
daya manusia Indonesia.Salah satu cara paling mudah untuk
mengetahui keadaan gizi anak adalah berat badan dibandingkan
dengan umurnya (BB/U), kemudian dibandingkan dengan standar
baku; gizi buruk bila Z_Score < - 3 SD. Pada anak gizi kurang
tanda khas belum kelihatan kecuali relatif lebih kurus. Pada
gizi buruk tanda klinis sudah jelas; dikenal tiga macam gizi
buruk, yaitu marasmus, kwashiorkor, dan marasmik-kwashiorkor.
Berdasarkan data yang ada, di wilayah kerja Puskesmas
Salido terdapat 3 kasus gizi buruk, yaitu 1 kasus di wilayah
Painan Selatan dan 2 kasus di wilayah Painan Utara. Berbagai
upaya telah dilakukan untuk menanggulangi angka kejadian gizi
buruk tersebut, melalui penyuluhan maupun Pemberian Makanan
Tambahan, tetapi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
1.2.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk menemukan
penyebab dasar sehingga balita mengalami gizi buruk; dan
untuk mengetahui penanggulangan gizi buruk yang dilakukan oleh
keluarga balita dan pemerintah.
1.3. Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan evaluasi keberhasilan program
penanggulangan gizi buruk di Puskesmas Salido khususnya
dan Dinas Kesehatan Kabupaten Pesisir Selatan umumnya.
2. Bahan pertimbangan bagi petugas gizi dan petugas
kesehatan lainnya, berkaitan dengan metode
promosi yang tepat sebagai upaya penanggulangan
gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas Salido
3. Bagian perencanaan program kesehatan mendapat masukan
dalam melakukan tindakan penanggulangan gizi buruk, yang
tidak hanya tepat sasaran tetapi juga tepat tujuannya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gizi Buruk
Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses
terjadinya kekurangan energi dan protein menahun pada balita.
Penyakit Kurang Energi Protein (KEP) atau Protein Energy
Malnutrition (PEM) merupakan salah satu penyakit gangguan gizi
yang banyak mengenai anak-anak di bawah lima tahun (balita).
Penyakit ini banyak diselidiki di Afrika karena di
negara tersebut ditemukan anak dengan rambut merah. Nama
lokal yang diberikan yaitu kwashiorkor yang berarti penyakit
rambut merah. Di tempat tersebut masyarakat menganggap
kwashiorkor sebagai kondisi yang biasa terdapat pada anak
kecil yang sudah mendapat adik lagi, karena perhatian orang
tua telah beralih ke adik baru.
KEP menyebabkan berbagai macam keadaan patologis
pada derajat yang sangat ringan sampai berat. Pada keadaan
yang sangat ringan tidak ditemukan kelainan biokimiawi maupun
gejala klinisnya, hanya terdapat pertumbuhan yang kurang.
Pada keadaan yang berat ditemukan 3 tipe yaitu kwashiorkor,
marasmus, dan kwashiorkor-marasmik, masing-masing dengan gejala
yang khas. Pada semua derajat maupun tipe KEP ini terdapat
gangguan pertumbuhan di samping gejala-gejala klinis maupun
biokimiawi yang khas bagi tipe penyakitnya.
Gejala klinis untuk KEP pada tingkat kwashiorkor
adalah anak terlihat gemuk, ditemukan edema pada
beberapa bagian tubuh yang diiringi asites, anak apatis,
adanya atrofi otot sehingga anak tampak lemah dan berbaring
terus-menerus, rambut mudah dicabut dan mengalami pembesaran
hati. Gejala klinis pada KEP tingkat marasmus yaitu wajah
anak tampak seperti wajah orang tua, anak terlihat sangat
kurus, kulit biasanya mengering, dingin dan mengendor serta
turgor kulit mengurang. Penderita marasmus lebih sering
menderita diare atau konstipasi. Pada kwashiorkor marasmik
kondisi penderita memperlihatkan gejala campuran yaitu
adanya edema, kelainan rambut, kelainan kulit dan kelainan
biokimiawi.
Untuk menentukan status gizi balita, maka diperlukan
klasifikasi menurut derajat beratnya KEP. Klasifikasi yang
dibuat oleh Dep.Kes.RI (disahkan dengan SK Menkes RI No.
920/Menkes/SK/VIII/2002) tentang baku rujukan penilaian status
gizi anak perempuan dan anak laki-laki usia 0-59 bulan
menurut Berat Badan dan Umur (BB/U), adalah seperti terlihat
pada Tabel 2.1:
Tabel 2.1. Klasifikasi Status Gizi (BB/U) Menurut
Dep.Kes.RI (2002)
Status Gizi Berat
Badan Menurut Umur (BB/U)*) Gizi Lebih
Z-Score : >+2 SD
Gizi Baik
Z-Score : ≥-2 SD s/d +2 SD Gizi Kurang
Z-Score : <-2 SD s/d ≥ - 3 SD
Gizi Buruk Z-Score : <-
3 SD
*) Daftar Baku Rujukan Penilaian Status Gizi (BB/U) dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Sehubungan dengan semakin maraknya pemberitaan
kasus gizi buruk di media massa, serta untuk menyamakan
persepsi dan upaya penanggulangannya, maka Menteri
Kesehatan Republik Indonesia menerbitkan kembali SK
No.
347/Menkes/IV/2008 tentang Penanggulangan Gizi Buruk dengan
menetapkan Baku Rujukan Penilaian Status Gizi menurut Berat
Badan dan Tinggi Badan (BB/TB). Penetapan indeks BB/TB
menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas dan
sensitif/peka jika dibandingkan penilaian prevalensi
berdasarkan BB/U, BB/TB dapat membedakan proporsi badan
apakah gemuk, normal, dan kurus (Atmarita, 2004: 9). Adapun
penentuan status gizi berdasarkan BB/TB dapat dilihat pada
Tabel 2.2:
Tabel 2.2. Klasifikasi Status Gizi (BB/TB) Menurut
Dep.Kes.RI (2002)
Status Gizi Berat Badan
Menurut Tinggi Badan BB/TB*) Gemuk (Gizi Lebih)
Z-Score : >2 SD
Normal (Gizi Baik) Z-Score : -2
SD s/d 2 SD
Kurus (Gizi Kurang)
Z-Score : <-2 SD s/d - 3 SD Kurus Sekali
(Gizi Buruk) Z-Score : <-3 SD
Status gizi buruk memberikan dampak yang dapat mengganggu
proses tubuh secara keseluruhan, seperti:
a. Mengganggu proses pertumbuhan, anak tidak tumbuh
menurut potensialnya sehingga terlihat lebih pendek
dari seharusnya.
b. Kekurangan tenaga untuk bergerak dan melakukan
aktivitas sehari-hari.
c. Pembentukan sistem kekebalan tubuh yang tidak
optimal.
d. Penurunan sistem imunitas dan antibodi, menyebabkan
anak mudah terserang infeksi seperti pilek, batuk dan
diare yang dapat menyebabkan kematian.
e. Perkembangan otak yang terhambat. Otak mencapai bentuk
maksimal pada usia dua tahun, terganggunya perkembangan
otak mempengaruhi tingkat kecerdasan dan perkembangan
mental anak .
2.2. Faktor-Faktor Penyebab Gizi Buruk pada Balita
Gizi buruk dipengaruhi banyak faktor yang saling
terkait. Secara langsung gizi buruk dipengaruhi oleh 2 hal,
yaitu anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang; dan
anak mungkin menderita infeksi. Kedua penyebab langsung
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
2.2.1. Anak Tidak Cukup Mendapat Makanan Bergizi Seimbang
Bayi dan balita tidak mendapat makanan yang bergizi,
dalam hal ini makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu ASI,
dan sesudah usia 6 bulan anak tidak mendapat Makanan
Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan mutunya.
MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung
energi dan protein, tetapi juga mengandung berbagai
vitamin dan mineral yang dibutuhkan balita dalam proses
tumbuh kembang.
MP-ASI yang tepat dan baik seharusnya dapat disiapkan
sendiri di rumah. Namun, dalam penyediaan MP-ASI yang sesuai
dengan kebutuhan balita, banyak hal yang mempengaruhinya.
Tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi yang rendah pada ibu
balita seringkali menjadi penyebab balita mendapat
makanan yang tidak seimbang.
Makanan bergizi seimbang adalah makanan yang terdiri
dari beraneka ragam makanan dalam jumlah dan proporsi yang
sesuai, sehingga memenuhi kebutuhan gizi seseorang guna
pemeliharaan, perbaikan sel-sel tubuh, pertumbuhan dan
perkembangan. Makan makanan yang beranekaragam akan menjamin
terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan
zat pengatur.
2.2.2. Infeksi pada Balita
Gizi buruk merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena
itu ada beberapa faktor yang bersama-sama menjadi penyebab
timbulnya penyakit tersebut, antara lain faktor diet, faktor
sosial, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan, dan lain-
lain. Infeksi memperburuk status gizi dan sebaliknya gangguan
gizi memperburuk kemampuan anak untuk mengatasi penyakit
infeksi, karena gizi kurang menghambat reaksi pembentukan
kekebalan tubuh, sehingga anak yang status gizinya buruk akan
lebih mudah terkena infeksi. Hubungan timbal balik antara
infeksi dan gizi buruk atau gizi buruk dengan infeksi
pada balita seperti ‘lingkaran setan’ yang sulit untuk
diputuskan.
Penyebab balita gizi buruk tidak hanya karena kedua
faktor langsung tersebut, tetapi ada juga faktor tidak
langsung yang berkaitan dan mempengaruhi status gizi balita,
yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak,
serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.
Asuhan gizi adalah praktek yang dilakukan di rumah
tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan
perawatan kesehatan serta sumber lainnya, untuk kelangsungan
hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak.
Anak tidak hanya mendapat makanan yang bergizi seimbang,
tetapi anak juga harus mendapat perhatian dan kasih sayang.
Dalam hal ini, peranan ibu sangat kuat. Anak yang diasuh
ibunya sendiri dengan sabar dan penuh kasih sayang,
apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI,
manfaat Posyandu dan kebersihan, meskipun miskin akan dapat
mengasuh dan memberi makan anak dengan baik sehingga anaknya
tetap sehat. Lagi-lagi unsur pendidikan dan pengetahuan gizi
serta kesehatan pada perempuan mempengaruhi kualitas
pengasuhan anak.
Faktor kemiskinan dan pendidikan orangtua yang rendah
serta kurangnya pengetahuan soal gizi dan kesehatan,
merupakan penyebab utama tingginya angka penderita gizi
buruk. Kemiskinan menyebabkan rendahnya kualitas intake zat
gizi, penyakit infeksi, buruknya pengetahuan dan praktek
keluarga berencana, yang pada akhirnya berpengaruh pada
rendahnya status gizi balita dan ibu hamil. Namun, selain
disebabkan ketidakmampuan ekonomi, kasus gizi buruk juga
dapat disebabkan pola asuh ibu atau keluarga yang salah.
Dengan kata lain pengasuhan merupakan faktor yang sangat erat
kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan balita.
Kemiskinan selalu didengung-dengungkan menjadi
penyebab gizi buruk, tetapi tidak semua keluarga miskin
memiliki balita gizi buruk. Hal ini dikuatkan oleh penelitian
mengenai penyimpangan positif (positive deviance), yang dilakukan
oleh Jus’at, dkk (2000: 145-156) di DKI Jakarta dan Kabupaten
Bogor. Penelitian ini memberikan hasil bahwa status ekonomi
keluarga-keluarga yang relatif sama, belum tentu memiliki
balita dengan status gizi yang sama juga.
Mengapa keluarga dengan status ekonomi yang rendah
tetapi memiliki balita dengan status gizi baik. Hal ini
ditentukan oleh pola pengasuhan ibu, usaha ibu untuk
‘mengusahakan’ anak mau makan, berdampak memiliki gizi lebih
baik dibandingkan jika anak dibiarkan mengikuti kemauannya
saja yaitu tidak mau makan. Pengasuhan anak yang berpindah ke
tangan ‘kedua’ misalnya pembantu atau nenek, juga mempunyai
dampak pada keadaan gizi anak
2.3. Penanggulangan Gizi Buruk
Masalah gizi kurang dan buruk makin lama makin disadari
sebagai salah satu faktor penghambat proses pembangunan
nasional. Angka kematian yang tinggi pada bayi dan anak,
terganggunya pertumbuhan badan, menurunnya daya kerja,
gangguan pada perkembangan mental dan kecerdasan serta
terdapatnya berbagai jenis penyakit tertentu, merupakan
akibat langsung maupun tidak langsung dari gizi buruk.
Prediksi oleh Kepala Subdit Bina Kewaspadaan Gizi
Direktorat Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan Tatang S.
Falah, bahwa dalam 15 tahun mendatang sebanyak lima juta
anak Indonesia terancam kehilangan daya saingnya bila kasus
gizi buruk tidak segera ditanggulangi. Masih menurut beliau:
“masalah gizi buruk yang ada sekarang kalau tidak segera
ditanggulangi akan menyebabkan balita di masa mendatang akan
kehilangan kesempatan untuk menjadi sumber daya manusia yang
berkualitas”.
Ironisnya, kasus gizi buruk masih terjadi setelah
hampir 20 tahun Konvensi Hak Anak (KHA) yang disetujui oleh
PBB pada tanggal 20 November 1989. Dalam konvensi tersebut
disebutkan anak-anak berhak untuk mendapatkan dan menikmati
status kesehatan tertinggi.
Pemerintah Indonesia memang telah lama berupaya untuk
menanggulangi masalah gizi buruk. Salah satunya ketika
pemerintah orde baru pada tahun 1979 menetapkan Trilogi
Pembangunan pada Repelita III, yang menonjolkan pemerataan
pembangunan dan hasil-hasil yang mengarah pada terwujudnya
keadilan sosial. Segi pemerataan pembangunan tersebut
dituangkan dalam bentuk konsep 8 jalur pemerataan, antara
lain adalah pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat
banyak, khususnya pangan, sandang, dan perumahan serta
pemerataan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Beberapa program penanggulangan gizi buruk yang telah
dilaksanakan, yaitu:
2.3.1. Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)
Salah satu usaha untuk mencapai tujuan program pangan
dan perbaikan gizi Repelita III ialah meningkatkan dan
memperluas UPGK. UPGK adalah suatu paket kegiatan yang
terpadu guna menanggulangi masalah gizi, terutama KEP dengan
kegiatan-kegiatan penimbangan secara berkala pada anak-anak
di bawah usia lima tahun di Posyandu. Usaha-usaha tersebut
tidak akan berdaya guna dan berhasil guna tanpa ditunjang
oleh usaha-usaha di bidang lain secara terpadu. Oleh
karena itu, usaha-usaha penanggulangan masalah gizi
memerlukan kerjasama dan koordinasi yang mantap antar
berbagai sektor pembangunan. Lebih dari itu, keberhasilan
penanggulangan masalah gizi sangat tergantung pada
partisipasi aktif dari masyarakat.
Situasi krisis ekonomi, politik dan sosial yang terjadi
di masyarakat sejak tahun 1997, menyebabkan pelaksanaan
program pembangunan pangan dan perbaikan gizi semakin
melemah. Oleh karena itu dikeluarkan Instruksi Presiden
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Gerakan Nasional Penanggulangan
Masalah Pangan dan Gizi. Dalam Gerakan Nasional
Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi ini, berbagai
kegiatan masyarakat bersama sektor terkait diarahkan untuk
memenuhi kecukupan pangan di tingkat keluarga dan
mencegah serta menanggulangi masalah gizi di masyarakat.
Gerakan ini dilaksanakan dengan cara memanfaatkan dan
mengembangkan pekarangan dan lahan tidur untuk menambah
sumber pangan keluarga; memacu kegiatan industri pangan
rumah tangga dan kegiatan lain untuk meningkatkan
pendapatan keluarga; memberikan perhatian pada pemenuhan
kecukupan gizi anak balita, ibu hamil dan ibu menyusui,
memberikan ASI, MP-ASI dan makanan secara benar, serta
menimbang semua balita setiap bulan di Posyandu (Depkes,
1999: 4).
Menurut pemerintah, Posyandu merupakan salah
satu bentuk Upaya kesehatan Bersumber Daya Masyarakat
(UBKM), yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk
dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan
kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan
kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan
kesehatan dasar (Depkes RI, 2006: 1). Namun, kegiatan
Posyandu mengalami kemunduran, terutama sejak krisis ekonomi
pada tahun 1997. Kegiatan penimbangan di Posyandu tidak
lagi berfungsi seperti pada tahun 1970 dan 1980-an.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Universitas Andalas
Padang, Universitas Hasanuddin Sulawesi Selatan dan Sekolah
Tinggi Ilmu Gizi Jawa Timur pada tahun 1999, diperoleh
beberapa hal sebagai berikut:
1. Hanya sekitar 40% dari jumlah Posyandu yang
ada, dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
2. Lebih dari separuh Posyandu, tidak memiliki
peralatan yang memadai.
3. Sebagian besar Posyandu tidak memiliki tempat
pelayanan yang layak, karena
menyelenggarakan kegiatan di gudang, garasi, atau
rumah penduduk.
4. Pembinaan terhadap Posyandu masih belum merata.
5. Sebagian besar Posyandu, belum memiliki
jumlah kader yang cukup bila dibandingkan dengan
jumlah sasaran dan hanya 30% kader yang telah
terlatih.
6. Sebagian besar kader belum mampu mandiri,
karena sangat tergantung dengan petugas Puskesmas
sebagai Pembina, dan sementara itu penghargaan
terhadap kader masih rendah.
7. Cakupan Posyandu masih rendah, untuk balita yang
sebagian besar adalah
anak usia di bawah 2 (dua) tahun, cakupannya
masih di bawah 50%, sedangkan untuk ibu hamil
cakupannya hanya sekitar 20%.
8. Hampir 100% ibu menyatakan pernah mendengar
Posyandu, namun yang hadir pada saat kegiatan
Posyandu kurang dari separuhnya.
Salah satu indikator keberhasilan Posyandu adalah
kemampuan dari kader tersebut. Hasil survey yang dilakukan
Rienks dalam Dove (1985: 45-47) memberikan hasil yang menarik.
Sebanyak 37% kader sama sekali tidak mempunyai aktivitas apa-
apa, 57% hanya aktif sekali-kali dan bergantung pada
petunjuk dari petugas kesehatan, dan hanya 5% yang memiliki
“self motivated” serta memiliki standar pelaksanaan tugas
sesuai dengan pedoman latihan kader. Survei ini juga
memberikan hasil bahwa hanya 7% kader yang mengakui
benar-benar mengerti latihan yang diberikan.
Oleh karena itu pemerintahan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 bidang
kesehatan, mengutamakan upaya preventif, promotif dan
pemberdayaan masyarakat. Salah satu bentuk
pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan adalah menumbuh-
kembangkan Posyandu kembali (Revitalisasi Posyandu).
Pemberdayaan masyarakat dalam menumbuhkembangkan Posyandu
merupakan upaya fasilitas agar masyarakat mengenali
masalah yang dihadapi, merencanakan dan melakukan upaya
pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat sesuai
situasi, kondisi dan kebutuhan setempat (Dinkes Prop. Sumut,
2007: 1).
2.3.2. Program Pemberian Makanan
Program suplementasi makanan merupakan cara efektif untuk
meningkatkan status gizi anak yang kurang gizi. Tujuan utama
program suplementasi makanan adalah: 1) untuk meningkatkan
status gizi anak, 2) untuk mencegah memburuknya status gizi,
3) untuk membantu pengobatan penyakit infeksi, dan 4) untuk
memfasilitasi program KIE untuk orang tua dan anak .
Penanggulangan kasus gizi buruk pada balita diwujudkan
dalam bentuk PMT. PMT diberikan untuk anak usia 6-11 bulan
dalam bentuk MP-ASI atau blended food. Bagi anak usia 12 – 59
bulan diberikan biskuit sebanyak 75 gram/hari dan susu bubuk
sebanyak 80 gram/hari. PMT ini diberikan selama 90 hari dengan
sasaran balita dari keluarga miskin.
Penelitian di NTT yang berkaitan dengan PMT,
memberikan hasil hanya sekitar 34,7% balita gizi buruk yang
mengalami kenaikan berat badan, 60,3% balita gizi buruk
tidak mengalami kenaikan berat badan sama sekali, bahkan
terdapat 5% balita mengalami penurunan berat badan.
Dengan kata lain, jangka waktu pemberian makanan
tambahan harus diperhatikan, PMT sebaiknya diberikan terus-
menerus dengan mempertimbangkan masa pertumbuhan kritis anak.
Berdasarkan pengalaman di klinik gizi Bogor, untuk
meningkatkan status gizi dari gizi buruk ke gizi kurang
diperlukan jangka waktu pelaksanaan PMT selama sekitar 6
bulan. Dalam program PMT skala besar yang dilakukan oleh
petugas/kader setempat, direkomendasikan untuk
memperpanjang waktu PMT menjadi 10-12 bulan.
2.3.3. Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)
Selain Posyandu, maka dikembangkan juga Kadarzi sebagai
upaya agar keluarga mampu mengatasi masalah gizi yang
dialaminya. Keluarga dikatakan sadar gizi apabila telah
mempraktekkan perilaku gizi yang baik, seperti menimbang
berat badan secara teratur, memberikan Air Susu Ibu (ASI)
saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI
eksklusif), makan beraneka ragam, menggunakan garam
beryodium, dan minum suplemen gizi sesuai anjuran.
Sasaran dari Kadarzi adalah keluarga, karena
pengambilan keputusan dalam bidang pangan, gizi dan kesehatan
dilaksanakan terutama di tingkat keluarga. Selain itu, masalah
gizi yang terjadi di tingkat keluarga, erat kaitannya dengan
perilaku keluarga, tidak semata-mata disebabkan oleh
kemiskinan dan ketidaktersediaan pangan.
Sudah begitu banyak program penanggulangan gizi buruk
yang dilaksanakan, namun mengapa masih ada kasus gizi buruk.
Bahkan kasus gizi kurang tetap tinggi, jika tidak ditangani
segera dapat menimbulkan “booming” gizi buruk.
Apakah hal-hal yang terlewatkan, sehingga masalah
tersebut belum dapat diatasi. Analisis sepintas menunjukkan
banyak program yang bersifat “top down dan instruktif”. Hal ini
menyebabkan program-program tersebut tidak mempunyai pengaruh
yang berkelanjutan. Indikator-indikator pencapaian program
banyak yang masih berorientasi jangka pendek, lebih fokus ke
indikator-indikator fisik, bukan mendorong terjadinya
perubahan perilaku.
Berbagai program penanggulangan gizi buruk yang
dilakukan Pemerintah,kerapkali mengalami ketidakberhasilan
ataupun program akan berhenti dengan terhentinya aliran dana
yang ada. Hal ini terjadi karena proses perencanaan dan
pengambilan keputusan dalam program pembangunan kerapkali
dilakukan dari atas ke bawah (top-down). Rencana program
pengembangan masyarakat biasanya dibuat di tingkat pusat
(atas) dan dilaksanakan oleh instansi propinsi dan kabupaten.
Masyarakat seringkali diikutkan tanpa diberikan pilihan dan
kesempatan untuk memberi masukan. Dalam visi ini masyarakat
ditempatkan pada posisi yang membutuhkan bantuan dari luar.
Kebijakan pemberdayaan masyarakat merupakan suatu usaha
untuk mengurangi upaya promosi kesehatan dengan pendekatan
dari atas ke bawah (top- down), yang telah terjadi selama ini.
Pendekatan dari atas ke bawah ternyata tidak memandirikan
masyarakat dan memampukan untuk menjaga kesinambungan suatu
program penanggulangan gizi buruk. Pendekatan dari
atas ke bawah ini pada akhirnya menimbulkan paradigma
ketergantungan pada masyarakat.
2.4. Pemberdayaan Keluarga dan Masyarakat
Kesehatan merupakan suatu hal yang sangat penting
dalam kehidupan. Perkembangan zaman dan perubahan lingkungan
yang begitu cepat, mempengaruhi kesehatan individu dan
masyarakat, namun individu ataupun masyarakat tidak dapat
dengan cepat melakukan penyesuaian untuk tetap dapat
menjaga kesehatannya, seperti kata “kesehatan” merupakan
konsep yang kompleks, yang mempunyai arti yang berbeda bagi
orang yang berbeda.
Untuk mengantisipasi hal tersebut maka dilakukan
pendidikan kesehatan, yang dengan semakin berkembangnya
zaman maka terjadi perubahan-perubahan menjadi promosi
kesehatan. Istilah promosi kesehatan sebenarnya sudah lama
dikenal sebagai satu kesatuan pengertian tentang upaya
kesehatan secara menyeluruh yaitu promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif. Promosi kesehatan adalah proses
memberdayakan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan
dan melindungi kesehatannya melalui peningkatan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan serta pengembangan
lingkungan yang sehat.
Pemberdayaan adalah upaya meningkatkan kemampuan
kelompok sasaran sehingga kelompok sasaran mampu mengambil
tindakan tepat atas berbagai permasalahan yang dialami.
Sasaran utama pemberdayaan adalah masyarakat yang
terpinggirkan, termasuk kaum perempuan, karena kaum perempuan
adalah orang yang paling menentukan dalam pola asuh
dan pola pemberian makanan pada anak. Pemberdayaan adalah
strategi promosi kesehatan yang ditujukan kepada
masyarakat langsung. Tujuan pemberdayaan adalah membantu
masyarakat memperoleh kemampuan untuk mengambil keputusan dan
menentukan tindakan yang akan dilakukan yang terkait dengan
diri mereka. Pemberdayaan dilakukan melalui peningkatan
kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan
kemampuannya. Bentuk pemberdayaan ini dapat diwujudkan
dengan berbagai kegiatan, antara lain: penyuluhan
kesehatan, pengorganisasian dan pengembangan
masyarakat.
Penggerakan dan pemberdayaan masyarakat merupakan proses
pengorganisasian masyarakat yang dimulai dari
mengidentifikasi masalah yang dihadapi di masyarakat,
kemudian menyusun urutan prioritas masalah. Setelah prioritas
masalah diperoleh, lalu masyarakat mengupayakan untuk
mencari sumber daya, baik yang ada di masyarakat itu sendiri
maupun di luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
Sumberdaya tersebut diharapkan dapat
dimanfaatkan untuk mengatasi masalah yang ada melalui
tindakan-tindakan yang diperlukan dengan cara kerjasama
dengan anggota masyarakat lainnya. Jadi pada
dasarnya penggerakan dan pemberdayaan masyarakat adalah
suatu proses kegiatan masyarakat yang bersifat setempat
yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui pemberian pengalaman belajar dan secara
bertahap dikembangkan pendekatan yang bersifat partisipatif
dalam bentuk pendelegasian wewenang dan pemberian peran
yang semakin besar kepada masyarakat.
Proses pemberdayaan masyarakat
merupakan upaya untuk mengaktualisasikan potensi
yang sudah dimiliki sendiri oleh masyarakat. Pendekatan
pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah
penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri
sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri.
Masyarakat mampu untuk meningkatkan harkat dan martabat
serta mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan
keterbelakangan.
Penanggulangan gizi buruk yang menggunakan strategi
pemberdayaan akan lebih memampukan masyarakat untuk dapat
berupaya mengatasi masalah yang ada, dengan pemberdayaan akan
meningkatkan kemandirian keluarga dan masyarakat dalam
bidang kesehatan dan gizi, sehingga masyarakat dapat
memberikan andil dalam meningkatkan derajat kesehatannya.
Semua ini dapat terwujud dengan meningkatnya pengetahuan
masyarakat dalam bidang kesehatan dan
gizi,meningkatnya kemampuan masyarakat dalam pemeliharaan dan
peningkatan derajat kesehatannya sendiri, meningkatnya
pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat,
dan terwujudnya pelembagaan upaya kesehatan masyarakat di
tingkat lapangan.