Pembelajaran Kitab Kuning dengan Arab Pegon-99424172-Tafsiyatun Rohanah
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of Pembelajaran Kitab Kuning dengan Arab Pegon-99424172-Tafsiyatun Rohanah
PEMBELAJARAN KITAB KUNING DENGAN ARAB PEGON
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri YogyakartaUntuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd.I )
Oleh:
TAFSIYATUN ROHANAH NIM: 99424272
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARABFAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERIYOGYAKARTA
2005
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………….i
HALAMAN NOTA DINAS ……………………………………………ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….iii
HALAMAN MOTTO…………………………………………………..iv
HALAMAN PERSEMBAH…………………………………………….v
KATA PENGANTAR…………………………………………………..vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………...vii
DAFTAR TABEL……………………………………………………….x
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Penegasan Istilah………………………………………………1
B. Latar Belakang Masalah……………………………….………1
C. Rumusan Masalah……………………………………………...9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………...9
E. Kerangka Teoritik…………………………………………….10
F. Metode Penelitian…………………………………………….17
G. Sistematika Pembahasan……………………………………...21
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ARAB PEGON
A. Proses Akulturasi Budaya…………………………………….23
B. Hubungan Kesusasteraan dengan Arab pegon………………….29
C. Hubungan antara Kitab kuning dalam
Pesantren dengan Penggunaan Arab Pegon……………………..32
BAB III Tradisi Arab Pegon di Pondok Pesantren
A. Gambaran Umum Tentang Madrasah Salafiyah III,
Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta.
1. Letak Geografis…………………………………………....37
2. Sejarah Berdiri dan Berkembangnya………………………37
3. Struktur Organisasi………………………………………...39
4. Fasilitas Pendidikan………………………………………..41
5. Keadaan Kyai, Ustadz dan Santri………………………….43
B. Penggunaan Arab Pegon di Madrasah Salafiyah III
1. Kurikulum………………………………………………….47
2. Materi Pelajaran……………………………………………50
3. Metode dan Sistem Pengajaran…………………………….52
4. Proses Belajar Mengajar……………………………………56
C. Problem Pembelajaran Kitab Kuning dengan Arab pegon
1. Problem Penerjemahan dengan Arab pegon…………………69
2. Problem Pemahaman Isi Teks Secara Utuh………………..77
3. Problem Mengkomunikasikan Pemahaman
Kepada Orang lain atas Pembacaan
kitab kuning yang Menggunakan Arab pegon……………..84
D. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan
Arab Pegon bagi Pemahaman Terhadap
Isi Teks pada Siswa……………………………………………90
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………….92
B. Kritik dan Saran………………………………………………..94
C. Kata Penutup…………………………………………………...95
Daftar Pustaka…………………………………………………………...96
Lampiran-lampiran…………………………………………………….100
Daftar Riwayat Hidup………………………………………………….116
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Istilah
1. Tradisi
Tradisi merupakan suatu kebiasaaan turun temurun1.
2. Arab Pegon
Arab pegon, yaitu sebuah tulisan, aksara atau huruf arab tanpa lambang
atau tanda baca atau bunyi2. Dalam kamus Jawa-Indonesia, pegon berarti tidak
biasa mengucapkan.3 Kata lain dari “pegon” yaitu gundhil berarti gundhul atau
polos4. Sedangkan “huruf Arab pegon” digunakan untuk menuliskan terjemahan
maupun makna yang tersurat didalam kitab kuning5 dengan menggunakan bahasa
tertentu.
1 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al barry,Kamus Ilmiah populer, Surabaya, Penerbit Arkola, 1994, h..7562 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al barry, Op. Cit, h.5793 Purwadi, Kamus Jawa-Indonesia, Jakarta, Pustaka Widyatama, 2003, h. 2784 Purwadi, Op. Cit, h. 885 Kitab kuning, merupakan buku tentang ilmu-ilmu keislaman yang dipelajari di pesantren yang ditulis dalam tulisan dan Bahasa Arab dengan sistemtik klasik.
3. Pondok Pesantren
Merupakan sebuah institusi agama Islam,yang masih bercorak tradisional
selain menyelenggarakan pengajaran agama juga menyediakan asrama sebagai
usaha untuk lebih memperdalam pelajaran agama.
B. Latar Belakang Masalah
Arab pegon, sebenarnya hanya merupakan ungkapan yang digunakan oleh
orang Jawa, sedangkan untuk daerah Sumatera disebut dengan aksara Arab-
Melayu6. Jadi, huruf Arab pegon atau disebut dengan aksara Arab-Melayu ini
merupakan tulisan dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa lokal. Dikatakan
bahasa lokal karena ternyata tulisan Arab pegon itu tidak hanya menggunakan
Bahasa Jawa saja tapi juga dipakai di daerah Jawa barat dengan menggunakan
Bahasa Sunda, di Sulawesi menggunakan Bahasa Bugis, dan di wilayah Sumatera
menggunakan Bahasa Melayu.
Keberadaan Arab pegon di Nusantara sangat erat kaitannya dengan syi’ar
Agama Islam, diduga merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh para ulama
sebagai upaya menyebarkan Agama Islam7. Selain itu aksara Arab ini juga
digunakan dalam kesusasteraan Indonesia. Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat,
dalam kesusasteraan Jawa ada juga yang ditulis dengan tulisan pegon atau
gundhil, penggunaan huruf ini terutama untuk kesusasteraan Jawa yang bersifat
agama Islam,8 aksara Arab yang dipakai dalam Bahasa Jawa disebut dengan
aksara Pegon.9Bukan hanya kesusasteraan Jawa saja tapi ternyata mencakup
Nusantara karena menurut Drs. Juwairiyah Dahlan, bagi mereka yang
6 Kompas, Melihat palembang dari naskah kuno, Senin 29 september 20037Wawancara dengan Jadul Maula, ketua yayasan Lembaga kajian Islam dan Sosial Yogyakarta, 20 september 2003. 8 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta, Balai Pustaka, 1994, h. 20.9 Abdul chaer, Linguistik umum, , Jakarta Rineka Cipta, 1994, h. 89.
mempelajari kesusasteraan Indonesia seringkali menggunakan aksara Arab ini,
bahkan di Malaysia disebut dengan aksara Jawi.
Dengan aksara Arab ini, telah ditulis dan dikarang ratusan buku mengenai
ibadah, hikayat, tasawuf, sejarah nabi-nabi dan rosul serta buku-buku roman
sejarah. Pada zaman penjajahan Belanda, sebelum tulisan latin diajarkan di
sekolah-sekolah, seringkali aksara Arab dipergunakan dalam surat menyurat,
bahkan dikampung-kampung pada umumnya sampai zaman permulaan
kemerdekaan, banyak sekali orang yang masih buta aksara latin tetapi tidak buta
aksara Arab, karena mereka sekurang-kurangnya dapat membaca aksara Arab,
baik untuk membaca Al-Qur’an maupun menulis surat dalam bahasa daerah
dengan aksara Arab.10Menurut Prof. Dr. Denys Lombard, menjelang tahun 1880
aksara Arab masih digunakan luas untuk menuliskan Bahasa Melayu dan beberapa
bahasa setempat (seperti Bahasa Aceh atau Minangkabau) 11
Beragam usaha untuk mempertahankan penggunaan aksara Arab ini, salah
satunya di daerah Sulawesi Selatan tepatnya di daerah Buton. Menurut Laode
Zaedi,12 aksara Arab dengan Bahasa Bugis/Walio dianggap sebagai salah satu
khasanah kebudayaan daerah dan kini sedang digalakkan pelestariannya, salah
satu caranya yaitu dengan mengajarkan kepada murid-murid sekolah dasar (SD),
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga
perguruan tinggi sebagai salah satu pilihan dalam kurikulum muatan lokal.
Selain itu, keberadaan penggunaan Arab pegon di pondok pesantren terutama
yang masih kuat kultur masyarakatnya13sampai saat ini masih tetap 10Juwairiyah Dahlan, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab, Surabaya, Penerbit Al-ikhlas, 1992,h. 2911 Denys Lombard, Nusa jawa:Silang Budaya Jilid I, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, h.164 12 Wawancara dengan Laode Zaedi, Mantan Pegawai Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sulawesi Selatan untuk kesultanan Buton, 27September 2004. 13 Maksudnya yang termasuk golongan Nahdlotul Ulama terutama untuk kawasan pulau jawa, diantaranya Pesantren Krapyak di Yogyakarta, Pesantren Tebu Ireng
dipertahankan. Karena selama ini pesantren masih dianggap banyak membawa
keberhasilan dalam pencapaian berhasilnya pelajaran dan pengajaran Bahasa
Arab. Penerapan penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon
dalam pengajarannya biasa disebut dengan Ngabsahi14atau Ngalogat15 dalam
menerjemahkan dan memberi makna pada Kitab Kuning.
Pengertian umum yang beredar di kalangan pemerhati masalah pesantren
adalah bahwa kitab kuning selalu dipandang sebagai kitab-kitab keagamaan
berbahasa arab, atau berhuruf arab, sebagai produk pemikiran ulama masa lampau
(as-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M.
Dalam rumusan yang lebih rinci, definisi kitab kuning adalah kitab-kitab yang, ( a)
ditulis oleh ulama-ulama “asing”, tetapi secara turun-temurun menjadi reference
yang dipedomani oleh para ulama indonesia, (b) ditulis oleh ulama Indonesia
sebagai karya tulis yang “independen”, dan c) ditulis oleh ulama Indonesia
sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama “asing”.
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di timur tengah, dikenal dua istilah
yang menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format
penulisannya. Katagori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qodimah),
sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab modern (al-kutub al-ashriyyah).
Perbedaan pertama dari yang kedua dicirikan, antaara lain, cara penulisannya
yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan
bahasanya yang berat, klasik, dan tanpa syakl (baca: sandangan- fatkhah,
dhommah, kasroh). Dan sebutan kitab kuning pada dasarnya mengacu pada
katagori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qodimah).
dan Tambak Beras di Jombang jawa Timur juga dibanyak tempat lainnya.14 Sebutan untuk wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur15 Sebutan untuk wilayah Jawa Barat
Spesifikasi kitab kuning secara umum terletak pada formatnya (lay-out), yang
terdiri dari dua bagian: matn, teks asal (inti), dan syarh (komentar, teks penjelas
atas matn). Dalam pembagian semacam ini, matn selalu di letakkan di bagian
pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarh-karena
penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matn-diletakkan di
bagian tengah setiap halaman kitab kuning. Ukuran panjang-lebar kertas yang
digunakan kitab kuning pada umumnya kira-kira 26 cm (quarto). Ciri khas lainnya
terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti buku. Ia
hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 2 halaman) yang
secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuning terdiri
dari beberapa korasan yang memungkinkn salah satu atau beberapa korasan itu
dibawa secara terpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengajian, santri
hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai-
ulama.
Hal yang membedakan kitab kuning dari yang lainnya adalah metode
mempelajarinya. Sudah dikenal bahwa ada dua metode yang berkembang di
lingkungan pesantren untuk mempelajari kitab kuning: adalah metode sorogan
dan metode bandongan. Pada cara pertama, santri membacakan kitab kuning
dihadapan kiai-ulama yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik
dalam konteks makna maupun bahasa (nahw dan sharf). Sementara itu, pada cara
kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang kiai-
ulama sambil masing-masing memberikan catatan pada kitabnya. Catatan itu bisa
berupa syakl atau makna mufrodhat atau penjelasan (keterangan tambahan).
Penting ditegaskan bahwa di kalangan pesantren, terutama yang klasik (salafi),
memiliki cara membaca tersendiri yang dikenal dengan cara utawi-iki-iku, sebuah
cara membaca dengan pendekatan tata bahasa (nahw dan sharf) yang ketat.
Selain kedua metode diatas, sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian kitab
kuning, di lingkungan pesantren, dewasa ini telah berkembang metode jalsah
(diskusi kelompok) dan halaqoh (seminar). Kedua metode ini lebih sering
digunakan ditingkat kiai-ulama atau pengasuh pesantren, namun sekarang pun
sudah sering dilakukan oleh santri. Guna membahas isu-isu kontemporer dengan
bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari kitab kuning.16
Ilustrasi berikut ini dapat memberikan suatu gambaran yang jelas bagaimana
metode ini dilaksanakan dalam praktik:
العالم جميع على والعمل بالعلم ادم بني فضل الدي لله الحمدTeks tersebut diatas diambil dari kitab Ta’lim al Muta’lim. Huruf-huruf besar
syang horisontal adalah teks asli Bahasa Arab, sedangkan huruf-huruf kecil di
antara tulisan horisontal yang ditulis miring kebawah adalah terjemahannya dalam
bahasa Jawa. Teks asli dalam Bahasa Arab ditulis dengan vowels (dalam bahasa
Jawa disebut nganggo sandangan) atau Arab Pegon. Murid-murid harus belajar
dari kitab-kitab gundul yang ditulis tanpa huruf hidup atau tanpa syakal. Ilustrasi
tersebut menunjukkan bagaimana cara penerjemahan teks Arab ke dalam Bahasa
Jawa. Perkataan Arab Al-Hamdu lillahi diterjemahkan utawi sekabehane puji iku
keduwe Alloh, yang berarti ”Segala puji adalah kepunyaan Alloh”. Perkataan Al
hamdu yang didahului oleh al dan diakhiri dengan huruf hidup U (dzamah U) dan
dalam Bahasa Jawa didahului dengan kata utawi dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa perkataan tersebut adalah mubtda’ atau pokok kalimat. Hal 16 Affandi Mochtar, Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi; Pesantren Tradisi kitab kuning sebuah observasi umum, Bandung, Pustaka Hidayah, 1999, h. 221-224
ini sangat penting untuk diketahui oleh murid-murid, sebab kitab-kitab yang
diajarkan dalam metode sorogan dan bandongan ditulis tanpa syakal, sehingga
untuk dapat membacanya dengan benar dan cocok para murid harus menguasai
tatabahasa Arab.17
Tulisan sebagai lambang tertulis dari suatu bahasa berfungsi sebagai alat untuk
dibaca agar dipahami maksud yang terkandung didalamnya. Kemampuan
membaca dipakai untuk memahami maksud tulisan sehingga membaca untuk
menjadi paham. Pemakaian Bahasa Jawa dalam penulisan Arab Pegon sebagai
sistem yang diterapkan di Pondok Pesantren merupakan salah satu simbol masuk
dan bercampurnya Budaya Jawa sebagai usaha untuk lebih dapat memahami isi
kitab kuning yang didalamnya menggunakan Bahasa Arab.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu upaya dalam pengembangan keilmuan
yang mengkaji tentang permasalahan tradisi Arab pegon di pondok pesantren,
dengan harapan dapat membantu mendudukkan pada proporsinya. Mengingat
keterbatasan waktu dan pengetahuan, skripsi ini sengaja membatasi kajiannya
pada proses penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon saja.
Pada kesempatan ini penulis mengambil studi kasus di Madrasah Salafiyah III,
Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta. Alasan pemilihan tempat merupakan salah
satu hal yang sangat diperhatikan, selain karena secara geografis dekat dengan
kampus Universitas Islam Negeri Yogyakarta, segala macam informasi mudah
didapat, dan satu hal yang sangat penting yaitu karena Madrasah Salafiyah III ini
masuk dalam lingkup salah satu pesantren tradisional yang dari awal pendiriannya
hingga saat ini masih konsisten menggunakan Arab pegon.
17 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES, 1994, Cet.,ke-4, h.10-11.
C. Rumusan Masalah
Dengan berlandaskan pada latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka ada
persoalan pokok yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana
Proses Penerjemahan Kitab Kuning Dengan Menggunakan Arab Pegon Pada
Santri Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Pondok Pesantren Krapyak,
Yogyakarta?
Untuk memperjelas pembahasan tersebut, akan dibahas juga hal-hal sebagai
berikut:
1. Problem pembelajaran kitab kuning dengan Arab pegon. Mencakup;
a. Problem apa saja yang muncul pada penerjemahan dengan Arab pegon?.
b. Apakah penerjemahan dengan Arab pegon dapat memberikan pemahaman
yang utuh terhadap isi teks?
c. Problem apa saja yang muncul ketika santri mengkomunikasikan
pemahaman kepada orang lain atas pembacaan kitab kuning yang
menggunakan Arab pegon?.
2. Apa kelebihan dan kekurangan penggunaan Arab pegon bagi pemahaman
terhadap isi teks pada santri.
D.Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Mendeskripsikan penggunaan Arab pegon yang selama ini berkembang
dalam pondok pesantren.
b. Mendeskripsikan problem-problem pembelajaran kitab kuning dengan
Arab pegon
c. Mengetahui kelebihan dan kekurangan penggunaan Arab pegon bagi
pemahaman terhadap isi teks pada siswa.
2. Kegunaan Penelitian
Sebagai sumbangan penulis terhadap dunia pendidikan berkenaan dengan
penggunaan Arab pegon, serta untuk mengetahui latar belakang penggunaan
tulisan huruf arab pegon dan hubungannya bagi perkembangan agama Islam di
Nusantara.
E. Kerangka Teoritik
1. Metode Pengajaran Kitab Kuning di Pesantren
Metode dapat dipahami sebagai cara yang teratur dan
sistematis untuk melaksanakan sesuatu,18 atau cara yang
digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran. Ada beberapa
faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih metode yang akan
digunakan dalam praktek pengajaran, antara lain:
a. Tujuan yang berbeda pada setiap mata pelajaran sesuai dengan jenis,
fungsi dan sifat maupun isi pelajaran masing-masing.
b. Perbedaan latar belakang individual peserta didik, baik keturunan, usia
perkembangan (kematangan), maupun tingkat berfikirnya.
c. Perbedaan dimana kondisi pendidikan itu berlangsung.
18 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry,Op.cit, h.175.
d. Perbedaan pribadi dan kemampuan guru masing-masing.
e. Fasilitas yang berbeda, baik kualitas maupun kuantitas.19
Dalam pesantren, ada beberapa metode yang biasa digunakan oleh kyai atau
ustadz dalam melakukan pengajaran kitab kuning dengan Arab pegon. Terbagi
dalam dua jenis, yaitu; pertama, secara individual atau biasa disebut dengan
sistem sorogan. Kedua, secara berkelompok atau disebut dengan bandongan..
Selain kedua metode tersebut, sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian kitab
kuning, di lingkungan pesantren dewasa ini telah berkembang metode jalsah
(diskusi kelompok) dan halaqoh (seminar). Pada awalnya metode ini lebih sering
digunakan pada tingkat kiai-ulama atau pengasuh pesantren, namun pada masa
sekarang sudah biasa dilakukan oleh santri. Biasanya untuk membahas isu-isu
kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari kitab kuning.20
1. Metode Sorogan
Sistem Individual dalam sistem pendidikan Islam tradisional disebut dengan
sistem sorogan yang diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang
telah menguasai pembacaan Qur’an. Santri membacakan kitab kuning
dihadapan kiai-ulama yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri,
baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahw dan sharf).
Sorogan artinya belajar secara individu dimana seorang santri berhadapan
dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya.21
Sedangkan menurut Wahyu Utomo, metode sorogan merupakan sebuah
sistem belajar dimana para santri maju satu persatu untuk membaca dan
19 Imansyah Alpandie, Didaktik Metodik Pendidikan Umum, Usaha Nasional, Surabaya, 1984, h. 71.20 Affandi Mochtar, Op.cit, h. 200. 21 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, 1994, Cet.I,h. 6.
menguraikan isi kitab dihadapan seorang guru atau kiai.22 Dalam Pesantren,
sistem sorogan terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang
murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Metode ini memungkinkan
seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing Bahasa Arab.
Ciri utama penggunaan sistem individual ini adalah; (1) lebih mengutamakan
proses belajar daripada mengajar, (2) merumuskan tujuan yang jelas, (3)
mengusahakan partisipasi aktif dari pihak murid, (4) menggunakan banyak
feedback atau balikan dan evaluasi, (5) memberi kesempatan kepada murid
untuk maju dengan kecepatan masing-masing.23
2. Metode Bandongan
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren yaitu sistem
bandongan atau seringkali disebut sistem weton. Secara etimologi, dalam
kamus besar Bahasa Indonesia, bandongan diartikan dengan pengajaran dalam
bentuk kelas (pada seklek agama).24Dalam sistem ini sekelompok murid
(antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru yang membaca,
menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam
dalam Bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan
membuat catatan tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit, berupa syakl
atau makna mufrodhat atau penjelasan (keterangan tambahan). Kelompok
kelas dari sistem bandongan ini disebut dengan halaqoh yang arti bahasanya
lingkaran murid atau sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan
seorang guru.
22 Wahyu Utomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternative Masa Depan, Jakarta,Gema Insan Press, 1997, Cet. Ke-4, h. 2823 S. Nasution, Berbagai pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Jakarta, Bumi Aksara, 2000, Cet ke-7, h.58.24 Winarno Surakhmad, Metodologi Pengajaran Nasional, Jemmars, Jakarta, 1979, h. 85
2. Proses Penerjemahan K itab Kuning : Teori dan Praktek
A. Proses Terjemahan
Menerjemahkan merupakan suatu usaha penyampaian berita yang terkandung
dalam bahasa sumber ke dalam bahasa penerima atau bahasa sasaran agar isinya
benar-benar mendekati aslinya. Sedangkan tujuan penerjemahan yaitu
menyampaikan berita ke dalam bahasa penerima (bahasa sasaran), yang berarti apa
yang diterjemahkan harus dapat dimengerti dan tidak di salah fahami oleh orang-
orang yang akan mendengarkan atau membaca hasil terjemahan tersebut.25
Meskipun teori dan praktek penerjemahan dari suatu Bahasa ke dalam bahasa
lain pada umumnya hampir sama, namun dalam penerjemahan dari bahasa Arab
ke latin Indonesia atau bahkan menggunakan bahasa daerah dengan cara penulisan
Arab pegon ini jelas memiliki keunikan serta tingkat kesulitan tersendiri,
diantaranya yaitu;
a. Harus bisa dan paham tulisan dengan huruf-huruf Arab
b. Mengerti dengan bahasa yang digunakan untuk menerjemahkan dari bahasa
Arab ke bahasa yang dituju
c. Mengetahui arti serta makna apa yang sedang ditulis.26
Kerangka Teori
Terjemahan tradisional dengan Arab pegon ini merupakan terjemahan pesan
bahasa Arab sebagai bahasa sumber ke dalam bahasa Jawa, dengan
memperhatikan unsur-unsur pembentuk teks, baik berupa unsur linguistik yaitu
kosa kata, sintaksis, morfologi, retorik dan sejenis, dan unsur ekstralinguistik,
berupa isi kandungan dari teks kitab kuning yang akan diterjemahkan.
25 E. Sadtono, Pedoman Penerjemahan, Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, 1985, h. 926 Ali Saudah, Makalah Penerjemahan Arab-Indonesia dan Masalahnya, Panitia pertemuan Ilmiah Nasional Bahasa Arab I, Malang, 1999, h. 5.
Dalam terjemahan ini pesan dan unsur-unsur teks bahasa sumber mendapat
perhatian seimbang untuk diterjemahkan. Kedua hal tersebut harus ditampakkan
dalam bahasa sasaran dengan jelas. Menurut Aly Abubakar Basalamah, dalam
artikelnya berjudul Memahami kitab kuning melalui terjemahan tradisional (suatu
pendekatan tradisional terjemahan pondok pesantren), dalam terjemahan
tradisional ini ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam usaha penerjemahannya,
yaitu27 (1) isi atau pesan ,(2) unsur linguistik teks, dan (3) unsur ekstralinguistik
teks.
Kemampuan menerjemahkan teks berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa,
menuntut berbagai pengetahuan prasyarat yang harus dimiliki oleh para santri.
Menurut ahli tata bahasa tradisional tentang belajar bahasa,28 menerjemahkan
dianggap metode yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan penguasaan
terhadap bahasa yang dipelajari. Prinsip lain yang terpenuhi dalam melaksanakan
terjemahan ialah bahwa ragam bahasa yang diutamakan dan perlu dipelajari adalah
bahasa tulis. Dengan tulisan, seorang pelajar bahasa dapat terhindar dari
pencemaran, sehingga apa yang dipelajari masih merupakan bahasa yang murni..
Menurut Henry Guntur Tarigan29, metode tarjamah tata bahasa pada
hakikatnya mencakup; telaah eksplisit, kaidah tata bahasa dan kosakata serta
penggunaan terjemahan. Dengan demikian terjemahan tata bahasa adalah suatu
cara menelaah bahasa yang mendekati bahasa tersebut, pertama-tama melalui
analisis kaidah bahasa secara terperinci diikuti oleh penerapan pengetahuan ini
pada tugas penerjemahan kalimat-kalimat dan teks-teks kedalam dan dari bahasa
27 Aly Abubkar Baslamah, “Memahami Kitab Kuning Melalui Terjemahan Tradisional (Suatu Pendekatan Tradisional terjemahan Pondok Pesantren)”, Pesantren, Nomor Perdana, 1984, h. 61-69. 28 Syahruddin Keseng, Linguistik Terapan: Pengantar Menuju Pengajaran Bahasa yang Sukses, Jakarta, Depdikbud, 1989, h. 84 29 Henry Guntur Tarigan, Metodologi Pengajaran Bahasa, Jakarta, Depdikbud, 1989, h.105-106.
sasaran. Oleh karena itu, membaca dan menulis merupakan fokus utama atau
sasaran pokok.
Disamping bentuk pengajaran sorogan, menurut Drs. Roestiyah N.K, ada
beberapa penyajian pengajaran individual lain yang mungkin dapat diterapkan
pada santri.30
1. Perencanaan belajar bebas (Individu Study Plan)
Dalam hal ini ada persetujuan antara seorang santri dengan seorang ustadz dalam
penentuan persetujuan secara garis besar, siswa menyiapkan sendiri bentuk ujian
akhir, tidak ada peraturan yang mengikat tentang bagaimana menyiapkan ujian
tersebut, ada ujian atau tidak terserah santri.
1. Belajar sendiri yang terarah (Self Directif Study)
Tujuan khusus disetujui bersama antara santri dan ustadz, tetapi tidak ada
ketentuan bagaimana santri belajar, ustadz mungkin memberikan daftar tujuan
instruksional khusus, mungkin juga memberikan daftar bacaan yang perlu atau
sumber-sumber lain tetapi siswa tidak harus mempergunakannya apabila dia lulus,
dan dia memperoleh kredit untuk itu.
2. Program pemusatan belajar (Learner-Centered Program)
Dalam penyajian ini santri yang menentukan untuk kepentingan dirinya, apa
tujuannya, bagaimana dia akan belajar dan sesudah itu tugas apa yang akan
dilakukannya kemudian.
3. Melangkah sendiri (Self Pacing)
Siswa menentukan sendiri langkah-langkah belajarnya, ustadz menentukan tujuan
instruksional dan semua siswa harus memenuhi tuntutan rumusan tujuan
instruksional itu, mungkin santri memakai materi yang sama untuk mencapai
30 Roestiyah N.K, Masalah Pengajaran sebagai Suatu Sistem, Jakarta, Rineka Cipta,1994, h. 54.
tujuan pelajaran, hanya saja kecepatan perkembangan masing-masing yang
berbeda.
4. Siswa menentukan pengajaran (Student Determinded Instruction)
Dalam hal ini santri menentukan instruksi sistem sendiri, memungkinkan santri
untuk memilih tujuan instruksional, memilih materi pelajaran, struktur, sumber
atau latihan-latihan yang digunakan, memilih dan menentukan jadwal mata
pelajaran apa yang akan diambil, menentukan sendiri langkah-langkah dalam
memenuhi setiap tujuan instruksional, mengevaluasi sendiri apakah tujuan-tujuan
instruksional tersebut dianggap tepat untuknya, juga pengajaran yang lebih tepat
baginya.
Pembelajaran bahasa Arab di Indonesia, dilihat dari tujuannya
nampaknya bisa dibedakan ke dalam dua katagori, yaitu belajar bahasa Arab
sebagai tujuan dan belajar bahasa Arab sebagai alat.31 Bahasa Arab sebagai
tujuan berarti siswa yang memepelajari bahasa Arab diharapkan mampu
menguasai bahasa Arab secara aktif, baik dalam kemampuan muhadastah,
istima’, qiro’ah maupun kitabah. Dengan dimilikinya empat kemampuan
berbahasa tersebut, maka siswa diharapkan mampu berkomunikasi secara
lisan maupun tertulis dalam bahasa Arab yang berarti mampu berbahasa
Arab secara aktif maupun pasif.
Bahasa merupakan bagian integral dari pendidikan, bahasa membawa budaya
secara psikologis, membentuk suatu masyarakat bahasa. Bahasa bukan hanya suatu
alat pembentuk pola-pola perilaku individu untuk mencapai suatu basis
konformitas sosial, namun merupakan suatu alat pengembangan sumber daya fisik
dengan meningkatkan kapasitas produktif manusia. Fungsi utama suatu bahasa,
31 Abdul Munif, Problem Penerjemahan bahasa Arab ke Bahasa Indonesia; Suatu Pendekatan Error Analysis, Makalah Program Diskusi Ilmiah dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, 2000, h. 5
termasuk bahasa Arab, adalah alat untuk mengungkapkan makna-makna (pikiran,
perasaan, ide, gagasan dan sebagainya).
F. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan. Menggunakan studi kasus dalam
penelitian lapangan guna mempelajari secara intensif latar belakang, status
terakhir, dan interaksi lingkungan yang terjadi pada suatu satuan sosial seperti
individu, kelompok, lembaga, atau komunitas. Bertujuan melakukan studi yang
mendalam mengenai suatu unit sosial sedemikian rupa, sehinggga menghasilkan
gambaran yang terorganisir dengan baik dan lengkap mengenai unit sosial
tersebut.32
1. Sumber data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif. Sumber utama
dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan. Selebihnya adalah
data tambahan seperti dokumen, dan yang lainnya.33 Data kata-kata diperoleh
dari hasil wawancara dengan berbagai sumber yang terlibat, mulai dari kyai,
ustadz, santri, sampai pengurus pondok. Selain itu data juga diperoleh dari
membaca dokumen atau berkas-berkas yang dimiliki oleh pengurus pondok
maupun membaca kitab kuning milik santri yang terlibat.
2. Metode Pengumpulan Data
Ada beberapa metode yang di sesuaikan dengan bermacam-macam data
yang akan dikumpulkan. Adapun metode-metode tersebut adalah:
a. Metode Observasi
32 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, h.833 Lexy, J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2000, cet ke-11, h. 112.
Metode observasi ini dapat dilakukan dengan dua cara; pertama observasi
partisipan, dimana seorang peneliti terlibat langsung atau terjun langsung ke
lapangan.34 Dalam hal ini penulis secara langsung terlibat dalam proses belajar
mengajar yang diberikan oleh kyai atau ustadz kepada santri di Pondok
Pesantren Krapyak, tepatnya pada Madrasah Salafiah III, komplek
Q,Yogyakarta. Kedua non-partisipan, yaitu peneliti tidak terlibat atau terjun
langsung melainkan penulis hanya mengamati proses belajar mengajar dan
mengamati bagaimana proses penerjemahan kitab kuning dengan
menggunakan Arab pegon yang dilakukan oleh santri.35
b. Metode Wawancara
Wawancara dilakukan dengan interview bebas, yaitu dilakukan tanpa
adanya aturan-aturan tertentu atau kerangka-kerangka yang telah disiapkan
terlebih dahulu.36
Wawancara akan ditujukan kepada semua pihak yang terkait, termasuk
kyai, ustadz, santri, dan pengurus pondok. Hal-hal yang akan ditanyakan
terutama mengenai proses belajar mengajar, berkaitan dengan penerjemahan
kitab kuning yang menggunakan Arab pegon. Termasuk didalamnya
pertanyaan mengenai kesulitan yang mereka dapatkan saat menerjemah,
apakah itu berkaitan dengan aksara Arab yang dipakai atau bahasa Jawa-nya
sendiri, serta pemahaman yang mereka dapatkan mengenai isi teks bacaan
setelah mereka melakukan penerjemahan kitab kuning yang menggunakan
Arab pegon.
34 Sutrisno Hadi, Metodologi research I, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, h.156.35 S. Nasution, Metode Reseach: Penelitian Ilmiah, Jakarta, Bumi Aksara, 2002, h.10736 Dudung Abdurrahman, Pengantar Metodologi Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah, Yogyakarta, IKFA Prees, 1998, h.7.
c. Metode Dokumentasi
Data dalam bentuk tulisan,37 mengenai sejarah berdiri dan berkembangnya
Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta, letak
geografisnya, struktur organisasi, fasilitas pendidikan apa saja yang
digunakan, juga data mengenai kyai, ustadz, santri, juga pengurus pondok
pesantren.
Untuk mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan proses belajar
mengajar yang ada dalam bentuk dokumentasi tulisan, terutama cara
menerjemahkan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon,. Termasuk
kurikulum yang digunakan, materi pelajaran yang diberikan, metode yang
dipakai, juga kitab-kitab apa sajakah yang dipelajari selama berada di
madrasah tersebut.
3. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul, penulis akan menggunakan analisa deskriptif
untuk menganalisis data. Data yang telah terkumpul kemudian dirumuskan,
dijelaskan dan dianalisis.
Dalam menganalisa data yang ada, penulis menggunakan metode sebagai
berikut:
a. Deduktif, yaitu analisa yang dilakukan oleh seseorang dengan cara
berangkat dari fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian fakta-fakta
tersebut diambil kesimpulan dengan menggunakan kaidah-kaidah logika.38
37 Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta, Gramedia, 1976, h.338 Sutrisno Hadi, Op.cit, h. 42.
b. Induktif, yaitu suatu cara analisa data yang dimulai dengan hal-hal yang
bersifat khusus, kemudian dijabarkan dan ditarik suatu generalisasi yang
bersifat umum.
c. Selain kedua metode tersebut, penulis juga menggunakan metode analisa
komparatif, yaitu membandingkan dua atau lebih pernyataan, peristiwa,
ide-ide, gagasan dengan maksud untuk menemukan persamaan-persamaan
dan perbedaan di dalamnya.39
G . Sistematika Pembahasan
Untuk menjadikan penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terfokus, maka
penulis menyajikan sistematika pembahasan sebagai gambaran umum penulisan
skripsi. Adapun sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab I, Pendahuluan. Terdiri dari; penegasan istilah, latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritik, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II. Tinjauan umum tentang Arab pegon . Meliputi; proses
akulturasi budaya, hubungan antara kesusasteraan dengan Arab pegon ,
hubungan antara kitab kuning dalam pesantren dengan penggunaan Arab
pegon.
Bab III. Tradisi Arab pegon di pondok pesantren. Meliputi; A) Gambaran
umum tentang Madrasah Salafiyah III komplek Q, krapyak, Yogjakarta,
mencakup; letak geografis, sejarah berdiri dan berkembangnya, struktur
organisasi, fasilitas pendidikan, keadaan kyai, ustadz dan santri. B) Penggunaan
Arab pegon dalam Madrasah Salafiyah III. Mencakup; Kurikulum yang
39 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Bina Aksara, Jakarta, 1989, h. 198.
digunakan, materi pelajaran yang diberikan, metode yang dipakai, serta proses
belajar mengajar yang berlangsung. C). Problem pembelajaran kitab kuning
dengan Arab pegon. Mencakup; (1) Problem penerjemahan dengan Arab pegon,
(2) Problem pemahaman isi teks secara utuh, (3) Problem mengkomunikasikan
pemahaman kepada orang lain atas pembacaan kitab kuning yang menggunakan
Arab pegon. D) Kelebihan dan kekurangan penggunaan Arab pegon bagi
pemahaman terhadap isi teks pada siswa.
Bab IV. Penutup. Mencakup; kesimpulan, Saran-saran, dan kata penutup.
BAB IITINJAUAN UMUM TENTANG ARAB PEGON
A. Proses Akulturasi Budaya
Menurut Koentjaraningrat,40 akulturasi merupakan suatu proses sosial yang
timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan
pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur tersebut
lambat-laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri, tanpa
menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu.
40 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1996, h.155
Akulturasi terjadi apabila kelompok-kelompok individu yang memiliki
kebudayaan yang berbeda saling berhubungan secara langsung dengan intensif,
kemudian menimbulkan perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari
salah satu atau kedua kebudayaan yang bersangkutan. Di antara variabel-variabel
yang banyak itu termasuk tingkat perbedaan kebudayaan; keadaan, intensitas,
frekuensi dan semangat persaudaraan dalam hubungannya. Siapa yang dominan
dan siapa yang tunduk, dan apakah datangnya pengaruh itu timbal balik atau
tidak.41
Terjadinya akulturasi dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya;42 (1)
Apabila ditemukan unsur-unsur baru, (2) Apabila unsur baru dipinjam dari
kebudayaan lain, (3) Apabila unsur-unsur kebudayaan yang ada tidak lagi cocok
dengan lingkungan, lalu ditinggalkan atau diganti dengan yang lebih baik, (4)
Apabila ada unsur-unsur yang hilang karena gagal dalam perwujudan dari suatu
angkatan ke angkatan berikutnya.
Dalam hal ini peristiwa akulturasi yang terjadi di Nusantara telah melahirkan
produk kebudaayaan sehingga memunculkan terjadinya proses Islamisasi melalui
Arab pegon.
Mengenai sejarah persebaran agama Islam di pulau Jawa dan beralihnya
keyakinan penduduk Jawa ke agama Islam, pada umumnya para ahli sejarah
belum banyak mengetahuinya. Masih perlu diadakan pengumpulan data dan
penelitian untuk membuat suatu dokumentasi mengenai berbagai spekulasi serta
hipotesa yang penting dari proses tersebut., juga ditunjang oleh fakta-fakta sejarah
yang kuat. Sampai sekarang kita hanya dapat merasa puas dengan ikhtisar-ikhtisar
41 William. A. Haviland (terj), Antropologi Jilid 2, Erlangga, Jakarta, 1993, edisi ke-4, H. 26342 Taufiq dan Idris BA, Mengenal Kebudayaan Islam, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1983,H. 20
yang bersifat sementara, seperti yang tercantum dalam karangan B.J.O. Schrieke,
H.J. de Graaf, dan banyak yang lainnya.
Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Jawa,
menyebutkan, bahwa Islam masuk ke Jawa melalui suatu negara yang baru
muncul di pantai barat Jazirah Melayu, yaitu Malaka. Dalam abad ke-14, ketika
kekuasaan Majapahit sebagai suatu kerajaan yang berdasarkan perdagangan mulai
berkurang, maka bagian barat dari rute perdagangan yang melalui kepulauan
Nusantara berhasil dikuasai oleh negara itu. Pelabuhannya sering dikunjungi oleh
pedagang-pedagang muslim dari Gujarat dan Persia. Namun, dalam abad ke-13
mereka membawa Islam, mula-mula ke pantai Timur Aceh.kemudian ke Malaka,
dan selanjutnya sepanjang rute dagang ke pulau-pulau rempah di Indonesia Timur,
juga ke kota-kota pelabuhan di pantai utara pulau Jawa. Dengan demikian agama
Islam tiba dari Malaka dalam abad ke-14, bahkan mungkin sudah lebih awal.
Pedagang-pedagang Jawa dari pelabuhan dagang Gresik, Demak dan Tuban pergi
berdagang ke Malaka, dan sebaliknya pedagang-pedagang beragama Islam dari
Malaka juga mengunjungi pulau Jawa. Kecuali itu banyak orang asing lain datang
ke kota-kota pelabuhan di Jawa utara, seperti orang Persia, India Selatan, Cina dan
Vietnam. Oleh karena itu, para ahli sejarah belum tahu pasti mengenai identitas
para pedagang yang paling dahulu tiba di pantai utara pulau Jawa, tetapi mereka
menduga bahwa pedagang-pedagang itu berpindah-pindah dari satu kota
pelabuhan ke yang lain. Mulai dari Gujarat di sebelah barat, melalui jazirah
Melayu, kemudian tiba di kota-kota pelabuhan di pantai utara pulau Jawa di
sebelah timur.43
Kedatangan agama Islam yang mulai menyebar di Nusantara semenjak abad
ke-13 M, ternyata juga tidak mengganggu budaya asli animisme-dinamisme di 43 Koentjaraningrat, Op.cit, h, 47-49
Jawa. Ini karena budaya asli tersebut mempunyai watak yang elastis44, sehingga
ajaran Islam yang datang dapat menyebar ke Nusantara.
Masuknya Islam di pulau Jawa sejak awal hingga sekarang secara terus
menerus masih merupakan suatu proses akulturasi. Tradisi Islam yang datang ke
pulau Jawa sangat akomodatif terhadap tradisi Jawa, begitu juga sebaliknya,
tradisi Jawa sangat apresiatif menerjemahkan tradisi Islam-Arab ke dalam sistem
budaya Jawa. Agama sebagai salah satu unsur dari kebudayaan memiliki peran
dalam perubahan kebudayaan itu sendiri.45
Proses interaksi antara Islam dan budaya lokal itu berlangsung terus-menerus
tanpa henti, mengalami pertumbuhan ke arah yang lebih kompleks. Proses
pertumbuhan yang berjalan rapi dikarenakan penyampaian pesan-pesan Islam
yang ditempuh melalui pendekatan kultural. Dengan masuknya agama Islam di
pulau Jawa, kemudian munculah pondok-pondok pesantren sebagai pusat
pendidikan agama Islam.46 Dari pondok-pondok pesantren inilah kemudian lahir
teks-teks keagamaan. Selain lahir di pondok pesantren , juga muncul dari
lingkungan keraton.
Keberhasilan para wali yang mula-mula menyebarkan Islam dan mendirikan
pondok pesantren, merupakan salah satu bukti bahwa mereka telah berhasil
menyerap, kemudian menerjemahkan ke dalam bahasa kebudayaan
masyarakatnya. Sehingga masyarakat melihat hasil “babaran” kebudayaan itu
sebagai miliknya, sebagai sesuatu yang memancar dari cipta rasa mereka.47
44 Muh. Fatkhan, Sinkretisme Jawa-Islam, Jurnal Religi. Vol. I/ No 2, Juli 2002, h. 19445 Irfatul Hidayah, Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama dalam Proses Marginalisasi Budaya Lokal, Jurnal Religi, Vol. II, No. 2 Juli-Desember 2003, h.13746 Marsono, Pergumulan Islam dalam Sistem Nilai Budaya Jawa, Religi, Vol II, NO. 2, Juli-Desember 2003, h. 16347 M. Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Yogyakarta, 1995, Cet ke-5, h.19
Terutama pada masa Mataram Islam, Islam tidak mengalami perbenturan yang
berarti dengan budaya Jawa.48 Bagi masyarakat pesantren, agama adalah nomor
satu dan segalanya, sebaliknya para penguasa dan pendukung sastra budaya Jawa,
kedudukan dan kekuasaan politik adalah yang nomor satu dan segalanya. Maka,
sesudah Sultan Agung berhasil mematahkan kesultanan pesisiran yang didukung
masyarakat pesantren, ia segera menyadari perlunya menetapkan strategi budaya
untuk menghubungkan dua lingkungan budaya. Yaitu lingkungan budaya
pesantren dengan sastra budaya agama yang berbahasa Arab dengan lingkungan
budaya kejawen dengan sastra budaya Jawa yang berpusat di lingkungan istana
kerajaan-kerajaan Jawa. Adapun strategi untuk membaurkan unsur-unsur Islam
dalam budaya Jawa, dimulai dengan mengganti perhitungan tahun saka yang
berdasarkan perjalanan matahari, menjadi perhitungan tahun hijriyah, yang
berdasar pada perjalanan bulan.
Strategi yang dicanangkan Sultan Agung tersebut diatas ternyata
menggairahkan para sastrawan kejawen untuk menekuni pokok-pokok ajaran
Islam, untuk menyusun karya-karya baru dengan menyadap dan mengolah unsur-
unsur ajaran Islam sebagai upaya untuk memperkaya pengembangan sastra
budaya Jawa. Terutama aspek filsafat mistik sufisme yang sangat menarik untuk
memperkaya sastra budaya Jawa.
Dalam sejarah masyarakat, bahasa memungkinkan manusia membentuk
hubungan ruhaniyah. Secara jasmaniyah warga masyarakat terpisah antara satu
dengan lainnya, tapi secara ruhaniyah mereka berhubungan. Tanpa hubungan
ruhaniyah masyarakat tidak terbentuk. Dengan bahasa, si A menyampaikan apa
yang ada dalam dirinya (pikiran, perasaan, keinginan, dan pengalaman) kepada si
48 Muh. Fatkhan,Op.Cit, h.202
B, tanpa saluran tersebut si B tidak akan mengetahui apa yang dipikirkan,
dirasakan, diinginkan dan dialami si A. Kemudian si B timbul reaksi., reaksi
menimbulkan aksi lagi, melalui bahasa itu pula reaksi si B kemudian
menimbulkan reaksi pula pada si A. sehingga terjadilah interaksi antara dua orang
bahkan sekelompok orang. Dengan interaksi terwujudlah kerjasama dan
kehidupan bersama antara kelompok pribadi itu, sehingga terbentuklah
masyarakat. Sampai sekarang bahasa memainkan peranan utama dalam
masyarakat.49
Dalam hal ini, bahasa yang digunakan sebagai penghubung dalam proses
interaksi khususnya daerah Jawa tentu saja menggunakan bahasa Jawa. Bahasa
Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa kemudian mengalami proses
akulturasi, salah satunya yaitu dengan timbulnya penggunaan aksara atau tulisan
huruf Arab yang menggunakan bahasa Jawa, kemudian dikenal dengan tulisan
Arab pegon. Belum diketahui siapakah yang pertama kali menggunakan cara ini.
ada yang menyebutkan bahwa yang pertama kali menggunakan adalah para wali,
sebagai upaya untuk memperlancar penyebaran agama Islam.
Sebuah agama akan tersebar dan berkembang dengan baik apabila para
penyiar agama yang bersangkutan memiliki kesanggupan dan pengetahuan yang
luas tentang kebudayaan dan segala seluk beluk kehidupan masyarakat, termasuk
bahasa, adat istiadat, kesusasteraan, seni, pandangan hidup, dan gambaran dunia
yang ada. Dalam hal ini, para wali di Jawa berhasil menjadi penyebar Islam
karena mereka mengenal dengan baik, bukan saja ilmu-ilmu agama, tetapi juga
kebudayaan Jawa.
49 Siti Gazalba, Masyarakat Islam (Pengantar Sosiologi dan Sosiografi), Bulan Bintang, Jakarta, 1976, h.61
B. Hubungan antara Kesusasteraan dengan Arab Pegon
Datangnya agama Islam di Indonesia menyebabkan tersebarnya pula aksara
Arab.50 Aksara Arab ini dengan berbagai modifikasi digunakan dalam bahasa
Melayu, bahasa Jawa dan beberapa bahasa daerah lainnya. Aksara Arab yang kini
di Malaysia disebut aksara Jawi, yang dipakai untuk bahasa Indonesia (waktu
dulu) disebut aksara Arab Melayu atau Arab Indonesia, dan yang dipakai dalam
bahasa Jawa disebut aksara pegon.
Indonesia sudah lama mengenal tulisan Arab. Setidak-tidaknya digunakan
dalam pertengahan abad ke-13 M, tulisan Arab ketika itu sudah digunakan oleh
golongan yang terbatas di Indonesia.51 Kesusasteraan Melayu yang tertua, sebagian
ditulis dengan tulisan Arab bahasa Melayu, bahkan sampai waktu yang terakhir ini
masih ada hasil-hasil kesusasteraan Indonesia yang ditulis dengan huruf Arab
tersebut
Kesusasteraan Nusantara yang bercorak tulisan mulai berkembang dengan
pesat setelah kedatangan agama Islam. Karya-karya kesusasteraan Nusantara juga
dipengaruhi Islam yang dituliskan oleh penulis Islam Nusantara dengan tujuan
menjadikanya sebagai media penyampaian pengajaran Islam kepada pembacanya.
Para penyiar Islam juga mengambil kesempatan yang sama untuk menyalurkan
unsur-unsur pemikiran Islam dalam masyarakat Nusantara. Penulis-penulis Islam
menyalurkan karya-karya dari sumber peradaban Islam yang diterapkan dalam ide-
ide keislaman yang ada di Nusantara kemudian karya-karya tersebut dijadikan
media untuk berdakwah.52
50 Abdul Chaer, Op.Cit, h. 89. 51 C. Israr, Sejarah Kesenian Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, h. 27.52 Ismail Hamid, Kesusasteraan Indonesia Lama Bercorak Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1989, h.1-3.
Banyak teks sastra yang tadinya bernafaskan Hindu Budha digubah oleh
pujangga keraton menjadi bernafaskan Islam.53 Penggubahan dan penciptaan
secara besar-besaran dalam suasana religius Islam di lingkungan keraton Jawa
terjadi pada abad ke-18 dan 19 sewaktu kekuasaan keraton semakin terjepit secara
politik oleh pemerintah kolonial Belanda. Jumlah naskah dari lingkungan non
kraton (diantaranya lingkungan pondok pesantren) dan keraton belum bisa dihitung
karena banyaknya, sebagian sudah rusak karena dimakan usia.
Diantara 1196 naskah koleksi Widya Budaya (perpustakaan keraton
Yogyakarta) yang dapat diidentifikasikan sebagai karya Produksi Hamengku
Buwono II sampai dengan Hamengku Buwono IX, berupa karya baru, saduran dan
setengah saduran dan salinan. Naskah-naskah tersebut dikelompokkan atas naskah
babad, silsilah, sastra, pewayangan, suluk, piwulang, primbon, jawuko,
penanggalan, bahasa, dan tari54.
Di samping menulis naskah dengan huruf Jawa, para pekerja sastra tersebut
(umumnya abdi dhalem) juga menulis naskah dengan huruf Arab pegon, yaitu
huruf Arab tanpa memakai sandangan (fatkhah, dhomah dan kasroh). Naskah
yang ditulis dengan huruf Arab pegon antara lain serat Menak, serat Ambiya,
produksi zaman Hamengku Buwono V dan hikayat Bayan Budiman yang tidak
mencantumkan waktu penyalinan dan diperkirakan ditulis sesudah masa
Hamengku Buwono V.
Serat Ambiya ini tidak terdapat nama penulisnya, namun disebutkan bahwa
serat ini ditulis atas prakarsa Hamengku Buwono V. penanda waktu dalam Serat
Ambiya meliputi hari, tanggal dan tahun Jawa, nama tahun Jawa, jam, tarikh Islam,
53 Marsono, Pergumulan Islam dalam Sistem Nilai Budaya Jawa, Religi, Vol II, No. 2, Juli-Desember 2003, h. 163.54 Slamet Riyadi, Tradisi Kehidupan Sastra di Kesultanan Yogyakarta, Gama Media, Yogyakarta, 2002, h. 74-79.
bulan dan tahun Hijriyah, nama musim, nama lambang, bulan dan tahun Masehi,
angka merta, nama wuku, sengkalan tahun Jawa.
Pembacaan serat Ambiya dengan cara bergantian dengan serat yang lainnya,
berlangsung pada setiap hari jum’at dalam acara mocopatan di Bangsal Sri
Manganti keraton Yogyakarta.55
Ragam bahasa digunakan, bukan saja bahasa Jawa, namun juga menggunakan
bahasa daerah lainnya. Berikut beberapa kitab yang memakai aksara Arab dan
berbahasa daerah, koleksi perpustakaan Nasional Republik Nusantara; (1) Hikayat
Sang Boma; beraksara Arab dengan bahasa Melayu, (2) Hikayat Sultan Taburat;
beraksara Arab dengan bahasa Melayu, (3) Kutika; beraksara Bugis dan Arab
dengan bahasa Bugis, (4) Undang-undang Johor; beraksara Arab dengan bahasa
Melayu.56
C. Hubungan antara Kitab Kuning dalam Pesantren dengan Penggunaan Arab
Pegon
Pesantren merupakan salah satu tradisi pengajaran agama Islam yang juga
berlangsung di pulau Jawa. Alasan pokok dari munculnya pesantren ini adalah
untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-
kitab klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu. Kitab-kitab ini dikenal di
Nusantara sebagai kitab kuning.
Pengetahuan kita mengenai asal usul pesantren sangat sedikit. Kita bahkan
tidak mengetahui kapan lembaga tersebut muncul untuk pertama kalinya. Namun
menurut Martin Van Bruinessen,57 lembaga pesantren belum ada sebelum abad ke-
55 Wawancara dengan salah satu abdi dhalem keraton Yogyakarta, pada tanggal 10 November 2004.56 Katalog Pameran Manuskrip Nusantara, Yogyakarta, September 2004, h.24-45.57 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat:Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995, h. 27
18, namun hal itu tidak berarti bahwa kitab kuning tidak dipelajari sebelumnya.
Kitab-kitab klasik berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-
16. Beberapa kitab pada zaman itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan
Melayu, sementara beberapa pengarang Nusantara juga telah menulis kitab-kitab
sastra dalam bahasa tersebut dengan gaya dan isi yang serupa.
Seiring dengan masuknya Islam, aksara Arab juga ikut serta didalamnya.
aksara atau tulisan arab yang dipadukan dengan bahasa Jawa atau disebut dengan
Arab pegon ini dijadikan sebagai sarana penyampai pesan yang terkandung, baik
itu melalui karangan para sastrawan maupun digunakan untuk menerjemahkan
(mema’nai) kitab kuning yang dipelajari di pesantren tradisional.
Mempelajari kitab kuning di pesantren dengan pendekatan tradisional
menggunakan sistem terjemahan menggantung, karena bahasa sasaran (dalam hal
ini menggunakan bahasa Jawa) yang digunakan diletakkan menggantung pada
bahasa sumber (bahasa Arab) dan proses penerjemahnnya berlangsung terhadap
setiap kata, frase dan berbagai unsur gramatikal yang ada. Biasanya terjemahan ini
dilakukan ke dalam bahasa Jawa khas pesantren, yang umumnya sangat terkait
dengan urutan dan struktur bahasa Arab. Tahap berikutnya adalah
penerjemahannya kembali ke dalam bahasa sasaran, yang biasanya merupakan
bahasa Jawa yang wajar.
Kebanyakan kitab Arab klasik yang dipelajari di pesantren adalah kitab
komentar (syarah) atau komentar atas komentar (hasyiyah) atas teks yang lebih tua
(matn). Format kitab kuning yang paling umum dipakai di pesantren, kertasnya
sedikit lebih kecil dari kertas kuarto (26 cm) dan tidak dijilid.
Secara garis besar, lembaga-lembaga pesantren pada dewasa ini
dikelompokkan dalam 2 kelompok besar, yaitu;58 (1) Pesantren Salafi, yaitu 58 Zamakhsyari Dhofier, Op. Cit, h. 42
pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti
pendidikan di pesantren. Sistem madrasah diterapkan untuk mempermudah sistem
sorogan yang dipakai dalam pengajian-pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan
pengetahuan umum. Termasuk Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak,
Yogyakarta. (2) Pesantren Khalafi. Pesantren jenis ini telah memasukkan
pelajaran-pelajaran umum, namun juga tetap mempertahankan sebagian kitab-kitab
klasik..
Mengenai isi kitab kuning, terbagi menjadi dua kelompok;59 (1) Kelompok
ajaran, mencakup (i) Ajaran dasar, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-
Hadist, (ii) Ajaran yang timbul sebagai penafsiran dan interpretasi ulama-ulama
Islam terhadap ajaran dasar tersebut. (2) Kelompok bukan ajaran. Maksudnya,
sesuatu yang datang ke dalam Islam sebagai hasil perkembangan Islam dalam
sejarah seperti lembaga-lembaga kemasyarakatan, kebudayaan, metode keilmuan,
termasuk ijtihad dan pemikiran para ahli.
Metode penalaran yang dipakai dalam pembahasan kitab kuning, diantaranya;
1. Metode Deduktif (istinbath). Model ini banyak dipakai untuk menjabarkan
dalil-dalil keagamaan (Al-Qur’an dan Al-Hadis), masalah-masalah fiqhiyah,
termasuk masalah yang di produk melalui ushul fiqh aliran mutakalimin.
2. Metode Induktif (istiqro’I). Merupakan pengambilan kesimpulan umum dari
soal-soal khusus. Metode ini juga dipergunakan oleh ahli-ahli fiqh untuk
menetapkan suatu hukum.
3. Metode Genetika (takwini). Yaitu cara berfikir mencari kejelasan suatu
masalah dengan melihat sebab-sebab terjadinya, atau melihat sejarah
59 A. Chozin Nasuha, Epistemologi Kitab Kuning, Jurnal Pesantren. No.1/Vol. VI/1989, h. 10-18
kemunculan masalah itu. Biasanya digunakan oleh ulama ahli hadis dalam
meneliti status hadis dari segi riwayah dan diroyah.
4. Metode dialektika (Jadali). Adalah cara berfikir yang uraiannya jelas diangkat
dari pertanyaan atau dari pernyataan seseorang yang dipertanyakan.
Penyajian kitab kuning dilihat dari kandungan makna terbagi menjadi dua: (1)
Kitab kuning yang berbentuk penawaran atau penyajian ilmu secara polos. (2)
Kitab kuning meyajikan materi yang terbentuk kaidah-kaidah keilmuan seperti
nahwu, ushul fiqh, mustholah hadis dan semacamnya.
Kitab kuning dilihat dari kadar penyajiannya, terbagi menjadi tiga: (a) Kitab
yang tersusun secara ringkas (mukhtasar), yang hanya menyajikan pokok-pokok
masalah, baik muncul dalam bentuk nazhom (syi’ir), atau berbentuk ulasan biasa
(natsar). (b) Kitab yang membawakan uraian panjang lebar, menyajikan
argumentasi ilmiah secara komperatif dan banyak mengutip ulasan para ulama
dengan hujjahnya masing-masing. (c) Kitab yang menyajikan materi yang tidak
terlalu panjang dan luas (mutawassithoh).
Dilihat dari penampilan uraiannya, kitab kuning memiliki lima dasar, yaitu (a)
Mengulas pembagian sesuatu yang umum menjadi sesuatu yang khusus, yang
global menjadi terinci. (b) Menyajikan redaksi yang teratur dengan menampilkan
beberapa pernyataan untuk menuju suatu kesimpulan yang benar-benar dituju. (c)
Membuat ulasan-ulasan tertentu dalam mengurai uraian-uraian yang dianggap
perlu. (d) Memberikan batasan-batasan jelas. (e) Menampilkan beberapa alasan
pernyataan yang dianggap perlu.
Suatu tulisan kitab kuning diarahkan untuk menjelaskan suatu topik tertentu,
tetapi beberapa tulisan kitab kuning ada yang memerlukan penjelasan lebih luas
lagi, yang oleh para ahli disebut syarah atau khasyiyah. Kebutuhan akan syarah
ini antara lain karena (1) Kemahiran seorang pengarang dalam menampilkan
redaksi, sehingga ia mampu memaparkan pengertian yang mendalam dengan
bahasa yang sangat singkat. (2) Pengarang membuang suatu alasan karena dinilai
telah jelas dengan sendirinya, maka penulis syarah merasa perlu memunculkan
kembali ulasan yang dibuang itu. (3) Suatu pernyataan terkadang memerlukan
ulasan tegas karena pernyataan itu muncul dalam bahasa sindiran (majas dan
kinayah).
Adapun bahasa kitab kuning yang baik yaitu yang berbentuk matn atau syarh
atau hasyiyah, maka semuanya tetap memelihara ketata bahasaan Arab (nahwu
dan shorof). Kitab kuning dilihat dari segi bahasa tampak berbeda satu sama lain.
Kitab-kitab yang disusun oleh ulama kuno (salaf) memilki bahasa yang lebih
klasik daripada kitab-kitab yang disusun oleh ulama belakangan (khalaf). Begitu
pula penyajian materi memiliki gaya yang berbeda pula, misalnya kitab-kitab fiqih
yang ditulis oleh imam-imam mujtahid sangat berbeda dengan fiqih yang ditulis
oleh ulama-ulama pengikutnya. Perbedaan bahasa ini terkadang membawa
perbedaan penafsiran, perbedaan asumsi bahkan perbedaan konsep tentang suatu
masalah. Karena itu wajar jika pengikut satu madzhab saling berbeda interpretasi
terhadap pendapat mazhabnya.
BAB III
TRADISI ARAB PEGON DI PONDOK PESANTREN
A. Gambaran Umum Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak,
Yogyakarta
1. Letak Geografis
Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta ini terletak di
dusun Krapyak, desa Panggungharjo, kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul,
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Alamat Madrasah Salafiyah III yang
berada di jalan KH. Ali Maksum ini adalah; Po Box 1286,Krapyak, Yogyakarta.
Telp (0274) 377374.
Secara Geografis, jarak tempuh dusun Krapyak adalah kurang lebih 1,5 KM
dari kantor desa Panggungharjo, 2,5 KM dari kecamatan, 8 Km dari kabupaten,
dan 2 KM dari kota propinsi.
2. Sejarah Berdiri dan Perkembangannya
Sejarah berdirinya Madrasah Salafiyah III ini tidak terlepas dari sejarah
pondok pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, yang didirikan oleh
KH..M.Munawwir pada tanggal 15 November 1910M. Kemudian, pada tanggal
22 September 1989 didirikanlah pondok pesantren putri (PPP) Al-Munawwir,
Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta yang pendiriannya dipelopori oleh KH. Ahmad
Warson Munawwir.60
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Putri Al-Munawwir, yang selanjutnya
untuk sistem kepesantrenannya disebut dengan Madrasah Salafiyah III ini,
bermula dari usul dan saran KH. Ali Ma’sum (Guru, kakak ipar dan pengasuh
periode ke-3) kepada KH. Ahmad Warson Munawwir untuk menampung dan
mendirikan asrama bagi para santri-santri putri yang ingin mendalami ilmu-ilmu
kepesantrenan sambil menimba ilmu pegetahuan umum di lembaga-lembaga
60 Djunaidi A.Syakur, Pondok Pesantren Putri Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, Madrasah Salafiyah III, Lana Usaha Press, Yogyakarta, 2002.h. 1-25
pendidikan umum seperti SMP. SMU, dan perguruan tinggi yang tersebar di
daerah Yogyakarta.
Dalam perjalanan sejarahnya, mula-mula KH.Ahmad Warson Munawwir
menyediakan sebuah ruangan (kamar) yang tidak terpakai untuk tempat beberapa
santri yang sudah mendaftar. Tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama,
informasi keberadaan pesantren ini kemudian tersebar luas kepada para alumni,
dan kaum muslimin yang sejak lama ingin memondokkan putri-putrinya di
pesantren ini sambil belajar di sekolah umum.
Pada awal berdirinya, pendidikan santri langsung ditangani oleh KH. Ahmad
Warson Munawwir karena saat itu santrinya baru beberapa orang dan
memungkinkan untuk ditangani sendiri. Namun setelah jumlah santrinya semakin
banyak dan tidak mungkin ditangani sendiri, maka untuk menjalankan sistem
pengajaran santri selain ditangani langsung oleh Kyai Warson (panggilan untuk
KH. Ahmad Warson), juga dibantu oleh beberapa santri senior, dan untuk
pelaksana harian ditangani oleh kepengurusan yang merupakan bagian dari
kepengurusan pondok pesantren ini.
Setelah enam hingga tujuh tahun kependidikan berjalan, dan perkembangan
santri yang semakin bertambah, dirasa perlu adanya penanganan tersendiri agar
lebih terarah tercapainya tujuan pendidikan. Maka pada tahun 1996 dibentuklah
kepengurusan tersendiri untuk menangani masalah kependidikan yang terlepas
dari kepengurusan pondok pesantren.
Pada awalnya, perkembangan kepengurusan tersebut tidak dapat berfungsi
dengan baik, namun pada tahun 1998 pendidikan santri ditangani oleh sebuah
kepengurusan tersendiri yang mulai terorganisir, yaitu pengurus Madrasah
Salafiyah III, Pondok Pesantren AL-Munawwir Komplek Q, Krapyak
Yogyakarta. Sejak itu [1998-sekarang], perangkat kemadrasahan dilengkapi
dengan susunan personalia yang lengkap dengan pedoman umum serta tata tertib
santrinya.
Pada tahun pelajaran 1424H-1425H /2004-2005 M, jumlah santri Madrasah
Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta ini berjumlah 325 santri dengan
tenaga pengajar/ustadz 22 orang.
3. Struktur Organisasi
Madrasah Salafiyah III dalam menyelenggarakan pendidikan dan
pengajarannya telah ditangani oleh suatu kepengurusan yang dilengkapi dengan
struktur dan personalianya. Kepengurusan ini dimaksudkan agar kelangsungan
dan ketertiban bisa terjaga dengan baik,serta untuk mempermudah dan
memperlancar para santri dalam menekuni dan mendalami ilmu-ilmu
kepesantrenan. Selain itu, kepengurusan ini dimaksudkan untuk membantu Kyai
Warson dalam mengemban amanat para wali santri yang telah jauh datang dari
berbagai wilayah di Nusantara demi tercapai cita-citanya yaitu agar putra putrinya
memperoleh ilmu-ilmu keagamaan yang memadai.
Adapun susunan kepengurusan Madrasah Salafiyah III pada tahun 2004/2005
adalah sebagai berikut:
Pengasuh : KH. A Warson MunawwirLitbang : Drs. H.Habib Abdus Syakur
Drs.Muslih Ilyas Drs. A Thoifur, M.Si Taufiq Ahmad Abdullah Mustaqim M.A g Drs.Junaidi Abd. Syakur Dindin Wahyudin, S Ag
Kepala Madrasah : Agus Najib,S A gWaka Ur. Kurikulum dan Pengajaran : Lu’luatul NafsiahWaka II Ur. Kesantrian : H.M. Kholid AR, S. Hut :Waka III Ur.Sarana dan Humas : Drs H.Suhadi Khozin
Kepala Tata Usaha : Muhammad MawardiBagian-bagian: Bag. Jadwal dan piket : YantiBag. Kurikulum : Maryam
Eli Kamaliyah Bag. Perpus/Kitab : Nur Rofi’ah Bag. Bp : Muflihah
Khotimah Lutfiyah Baiti
Bag.Sarana dan Prasarana : Rahmawati Hamzah Aam Siti Masyrifah
Bag.Humas : Laela Fitriana Amanah
Biro-Biro: Adm. Keuangan : Nur Hasanah
Hana Kurniaawati FN Adm.Kesantrian : Iim Fatimah Adm.Pengajaran/Guru : Astuti Maharani
Hestining Rahayu Adm. Surat-menyurat : Millatul Aisyah Ardhani
4. Fasilitas Pengajaran
Agar penyelenggaraaan pendidikan dapat tercapai dengan baik, Madrasah
Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta selama ini telah memiliki beragam
sarana yang menunjang tercapainya keberhasilan belajar mengajar. Baik itu sarana
fisik maupun non fisik. Di samping fasilitas pokok tersebut, terdapat pula fasilitas
menunjang lainnya berupa buku-buku/kitab-kitab tambahan.
(1). Fasilitas Gedung
Secara umum kondisi gedung di Madrasah Salafiyah III ini cukup memadai,
karena gedung tersebut adalah milik sendiri. Gedung yang dimiliki adalah gedung
berlantai I, II dan III, dan semuanya diperuntukkan untuk kegiatan belajar-
mengajar dan sarana perkantoran.
Gedung Madrasah Salafiyah III yang dipakai untuk belajar-mengajar ada dua
lokasi, yaitu gedung utama yang terdiri dari lima ruangan dan gedung perintis satu
ruangan. Sedangkan gedung untuk perkantoran dan ruang ketrampialn komputer
menjadi satu ruang.
(2) Perangkat Moubelar
Perlengkapan moubelar yang dimiliki oleh Madrasah salafiyah III ini terdiri
dari perlengkapan alat-alat kantor seperti meja, kursi, mesin ketik, komputer dan
sebagainya.
Tabel 1
Peralatan Moubelar Madrasah Salafiyah III
No
Keperluan Jenis Barang Jumlah
1. Ruang guru dan ruang tamu
1. Meja dan kursi2. Almari
1 Set
1 Buah
2. Ruang kepala 1. Meja dan kursi2. Almari
1 Set
1Buah
3. Ruang TU 1. Meja dan Kursi2. Almari
1 Set
1 Buah
4. Ruang perpustakan
1. Meja2. Almari
6 Buah
4 Buah
5. Ruang Kelas 1. Meja Ganda2. Kursi Tunggal3. Papan Tulis4. Meja Tunggal
50 Buah
100 Buah
7 Buah
10 Buah
6. Ruang Komputer 1. Meja dan Kursi2. Komputer3. Printer4. Almari
10 Set
8 Set
5 Buah
1 Buah
(3). Perpustakaan
Madrasah Salafiyah III ini telah memiliki perpustkaan sendiri. Didalamnya
telah tersedia beragam buku-buku serta kitab-kitab yang berisi pengetahuan
Umum dan keagamaan.
Sedangkan Fasilitas pendukung yang berupa non fisik, mencakup; (1)
Penghargaan yang diberikan kepada santri yang berprestasi, (2) Kajian kitab-kitab
salaf, baik berupa pengajian bandongan maupun sorogan. (3) Pengadaan beragam
workshop yang dapat menunjang kehlian tenaga pengajar dan para santri.
5. Keadaan Kyai, Ustadz dan Santri
a. Keadaan Kyai
Pengasuh dalam hal ini merupakan pimpinan tertinggi dalam sebuah pondok
pesantren, yang juga berpeeran sebagai pengelola, pengendali, pengawas, dan
penentu kebijakan terhadap segala keputusan yang diambil. Sebab pengasuh
merupakan pendiri sekaligus pemilik pondok pesantren ini. Meskipun demikian,
pengasuh akan meminta pertimbangan kepada pengurus juga santrinya sebelum
mengambil keputusan bagi keberlangsungan pesantren.
Madrasah Salafiyah III yang masuk dalam Pondok Pesantren Putri Al-
Munawwir, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta ini, diasuh oleh seorang kyai yang
bernama KH. Ahmad Warson Munawwir. Beliau adalah putra KH. Munawwir,
yang juga pendiri pesantren Al-Munawwir, Krapyak. Ibunya bernama Hj. Sukis,
Kyai Warson dilahirkan pada tanggal 30 November 1094, bertepatan dengan
tanggal 20 Sya’ban 1354 H, di bantul, Yogyakarta. Sejak kecil beliau sudah
ditinggal wafat oleh ayahnya, kemudian beliau memperoleh pendidikan dari kakak
iparnya, yaitu KH. Ali Maksum.
Disamping sebagai pengasuh dan pengajar di dalam pesantrennya, Kyai
Warson juga aktif dalam beragam organisasi. Meskipun Kyai Warson sibuk dalam
berorganisasi, namun beliau tidak pernah melupakan tugas dan tanggung
jawabnya sebagai pengasuh. Beliau masih tetap mengajar kitab kepada santrinya,
hal ini dilakukan setiap habis melaksanakan jama’ah sholat subuh dengan para
santrinya yang di imami oleh beliau sendiri. Disamping itu, beliau selalu
meluangkan waktu seminggu sekali pada hari ahad pagi untuk mengajarkan kitab
tentang akhlak dan tasawuf, dengan pertimbangan pada hari itu para santrinya
libur dari kegiatan sekolah juga kegiatan perkuliahan.
Keberadaan rumah kyai yang masih satu komplek dengan asrama santri juga
semakin mempermudah pengasuh untuk mengontrol dan mengawasi aktivitas
santrinya. Beliau sangat memperhatikan santri-santrinya, terutama jika ada
diantara santrinya yang tidak mengikuti pengajaran, maka beliau akan
memanggilnya. Oleh karena itu beliau sangat disegani dan dihormati oleh santri-
santrinya. Adapun interaksi positif antara kyai dan santri dalam pesantren lebih
menyerupai sebuah keluarga besar yang penuh tata krama kehidupan islami
sebagai sarana untuk mengarahkan santri kepada tujuan pendidikan pesantren
yang diharapkan.
b. Keadaan Ustadz
Ustadz yang mengajar di Madrasah Salafiyah III ini, semuanya adalah alumni
pesantren krapyak dan merupakan santri senior. Di antara para ustadz ada yang
juga menempuh pendidikan di luar pesntren di samping belajar di pesantren.
Ada beberapa kriteria yang diperuntukkan bagi para ustadz yang diterima
mengajar di Madrasah Salafiyah III ini;
(1) Mempunyai kemampuan materi yang diajarkan
(2) Berkepribadian baik, sehingga dapat dijadikan sebagi suri tauladan yang baik
(3)Mempunyai keyakinan dan sifat kemandirian sesuai dengan lingkungan di
Madrasah Salafiyah III ini
(4)Ikhlas mengbdikan diri dan bersemangat tinggi sebagai tenaga pengajar di
Madrasah Salafiyah III.
Berikut ini adalah daftar tabel ustadz dan tingkat pendidikannya;
Tabel 2Daftar Ustadz/ah dan Tingkat Pendidikan Terakhir
No Nama Pendidikan Bidang1. K.H. A. Warson Munawwir Pesantren Tafsir, Fiqh2. Ny. Hj Khusnul Khotimah Pesantren Al-Qur’an3. H. M. Fairuz Warson Peesantren Al-Qur’an4. H. M. Kholid Abd. Razzaq SI/IPB Tajwid5. KH. Hafidz Abd. Qodir Pesantren Al-Qur’an6. Taufiq Ahmad Pesantren Fiqh7. Muslih Ilyas SI/IAIN Fiqh8. Thoifur S2/UGM Akhlaq9. Habib Abd. Syakur S2/IAIN Bhs. Arab10. Suhadi Khozin SI/IAIN Tauhid11. Djunaidi Abd. Syakur SI/IAIN Nahwu12. Muhtarom Busyro SI/IAIN Fiqh13. Dindin Wahyudin SI/IAIN Bhs. Arab14. Zainal Abidin Pesantren Fiqh15. Masykur Al-Karim Pesantren Fiqh16. M. Yusuf Thoha Pesantren Nahwu17. Abdul Mustaqim S2/IAIN Bhs. Arab18. Agus najib SI/IAIN Nahwu19. Thoha Maksum SI/IAIN Nahwu20. Abdul latief SI/IAIN Akhlaq21. Alfiatuz Zuhriyah SI/IAIN Akhlaq22. Yunan SI/UGM Bhs. Arab
23. Muhammad Mawardi SI/UGM Fiqh24. Siti Muhanik SI/UNY Tajwid25. Siti Halimah SI/IAIN Lughoh26. LU’luatun Nafisah SI/UII Tauhid27. Nuriyati Si/IAIN Amaliyah28. Alawiyah Razzaq SI/IAIN Lughoh29. Laila Fitriana SI/UII Tarikh
c. Keadaan Santri
Jumlah santri Madrasah Salafiyah III pada tahun ajaran 2004-2005 ini
berjumlah 325 orang, dengan latar belakang pendidikan yang sangat beragam.
Diantara mereka ada yang lulusan SD/Madrasah Ibtida’iyah, SMP/Madrasah
Tsanawiyah, SMU/ Madrasah Aliyah. Di pesantren ini, selain mereka belajar
tentang agama juga belajar pengetahuan umum di lembaga pendidikan non
pesantren. Disamping mereka berstatus sebagai santri, kebanyakan dari mereka
juga berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa.
Meskipun berasal dari latar belakang pendidikan dan daerah yang berbeda-
beda, namun secara garis besar, santri yang berasrama di pesantren ini
dikelompokkan menjadi dua katagori, yaitu;
(1)Santri yang belajar di lembaga pendidikan umum (SMP/Tsanawiyah,
SMU/Aliyah, dan perguruan tinggi), serta aktif mengikuti program
kepesantrenan dan kemadrasahan serta tinggal di pondok pesantren.
(2)Santri Takhassus, yaitu santri yang khusus menghafal Al-Qur’an dan pengajian
kitab serta program Madrasah Salafiyah III.
Setiap santri yang mengikuti pendidikan di Madrasah Salafiyah III ini,
diwajibkan untuk tinggal di asrama yaitu didalam pondok pesantren. Adanya
asrama pesantren ini untuk memberikan kesempatan kepada santri agar dapat
melakukan interaksi belajar setiap saat, baik sesama santri maupun dengan para
ustadz pengajar yang ada.
Kondisi lingkungan seperti ini sangat baik bagi proses pengajaran kitab kuning
terutama dengan metode sorogan yang membutuhkan waktu dan tenaga yang
tidak sedikit. Sehingga kesulitan belajar yang sering dihadapi santri akan dapat
teratasi karena mereka mudah untuk bertukar pikiran antar sesama santri bahkan
berkonsultasi dengan para ustadzah atau santri senior dalam belajar kitab kuning
tanpa dibatasi waktu yang mengikat.
B. Penggunaan Arab pegon di Madrasah Salafiyah III
1. Kurikulum
Dalam pesantren, yang disebut dengan kurikulum pesantren sebenarnya
meliputi seluruh kegiatan yang dilakukan di pesantren selama sehari semalam.
Sama halnya dengan Madrasah Salafiyah III, madrasah ini dikembangkan dengan
muatan kurikulum kepesantrenan atau tahassus, ditambah dengan beberapa
keterampilan yang dapat menunjang keberhasilan tujuan pendidikan yang hendak
dicapai.
Tujuan kurikulum pengajaran kitab kuning di Madrasah Salafiyah III ini
mengacu pada tujuan institusional pondok pesantren Al-Munawwir, yaitu:
a. Menghasilkan pribadi muslim yang beriman, berakhlak karimah (akhlak
Qur’ani), beramal sholeh, cakap serta memiliki kesadaran dan tanggung jawab
atas kesejahteraan umat dan masa depan negara Republik Nusantara.
b. Menghasilkan pribadi muslim yang beriman, pandai membaca Al-Qur’an
beserta tafsirnya dan hadis-hadisnya.
c. Menghasilkan pribadi muslim yang memahami ajaran Islam serta berilmu
pengetahuan yang luas dan mendalam sesuai dengan tradisi pesantren, juga
mengerti isi kitab kuning (kitab salaf ash-shohih).
d. Menghasilkan pribadi muslim yang memiliki keahlian, kecakapan dan
ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bangsa dan agama.
Tujuan pengajaran yang masih bersifat umum di atas dapat diperinci lagi
menjadi tujuan pengajaran khusus sebagai berikut;
(a)Melatih santri agar mampu melafalkan teks kalimat berbahasa Arab tanpa
harokat (teks gundul) dengan fasih.
(b)Melatih santri agar mampu menerjemahkan teks kalimat berbahasa Arab
dengan benar.
(c) Melatih santri agar mampu menjelaskan maksud teks kalimat berbahasa Arab
dengan baik.
(d)Melatih santri agar mampu menerangkan kedudukan kata dalam teks kalimat
berbahasa Arab dengan tepat.
Di dalam pesantren sendiri, terdapat dua bentuk pengajaran
yang digunakan, yaitu pengajaran klasikal/semester dan
pengajaran ekstra kurikuler yang meliputi pengajian bandongan
dan sorogan. Dalam setiap diadakan pengajaran kitab kuning, baik
itu masuk dalam kelas klasikal maupun pengajian bandongan dan
sorogan maka setiap santri diwajibkan untuk selalu menggunakan
Arab pegon guna mema’nai atau dalam rangka menerjemahkan
bahasa Arab yang tercantum dalam kitab dengan menggunakan
aksara Arab berbahasa Jawa yang telah diajarkan. Adapun
pelaksanaan pengajaran dilakukan pada waktu-waktu yang telah
ditetapkan;
1. Pagi hari. (ba’da subuh), yaitu pengajaran kitab fiqih Muhadzab dan
tafsir Al-Muraghi. Adapun pesertanya adalah seluruh santri mahasiswi,
selain itu juga di adakan pengajian sorogan untuk santri pelajar sebelum
berangkat sekolah. Setelah itu bagi santri mahasiswa dilanjutkan dengan
pengajian bandongan dengan kitab At-Taqrib sebagai pegangan wajib
disamping kitab-kitab pilihan lainnya. Khusus pada hari minggu pagi
setelah pengajian sorogan diadakan pengajian tentang pelajaran Akhlak
dengan kitab Mau’idlotul Mukminin dan Ta’limul Muta’lim untuk santri
pelajar.
2. Sore Hari, yaitu pengajaran kitab Riyadus sholihin yang diikuti oleh
seluruh santri, baik mahasiswi maupun pelajar.
3. Malam hari, yaitu pelajaran klasikal dan pengajaran Al-Qur’an.
Tabel III
Susunan program kurikulum yang digunakan pada sistem pengajaran klasikal
didalam kelas
NO Mata pelajaran Jumlah Jam Pada Kelas
I’dad I II III IV V1. Al-
Qur’an2 2 2 2 2 2
2. Ilmu Tafsir - - - - 1 13. Ilmu Tajwid 1 1 - - - -4. Ilmu Tauhid - 1 - 1 - -5. Ulumus Syari’ah
a. Fiqhb. Q. Fiqhiyah
1 1 1 1 1 1
6. Akhlak/Tasawuf 1 - 1 - - 17. Ulumul Lughoh
a. Bhs Arabb. Nahwuc. Shorof
2--
1-1
121
111
12-
1--
8. Tarikh - 1 - - - -
9. Praktek Ibadah 1 - - - - -10. Qirtub - - - - - 111. Bahsul masail - - - - - 112. Munaqosah - - - - - 2
Jumlah 8 8 8 8 8 10
Adapun aspek-aspek yang diukur dalam pengajaran kitab kuning meliputi:
a). Qiro’ah, yaitu untuk mengukur kemampuan santri dalam melafalkan teks
kalimat berbahasa Arab tanpa harokat (teks gundul) dengan fasih
b). Tarjamah, yaitu untuk mengukur kemampuan santri dalam menerjemahkan
teks kalimat berbahasa Arab dengan benar
c). Tafhim, yaitu untuk mengukur kemampuan santri dalam menjelaskan maksud
teks kalimat berbahsa Arab dengan baik
d). Nahwu/shorof, yaitu untuk mengukur kmampuan santri dalam menerangkan
kedudukan kata dalam teks kalimat berbahasa Arab dengan tepat.
Kurikulum yang dilaksanakan oleh pondok pesantren ini pada saat bulan
ramadhan biasanya sedikit berbeda dari hari biasanya. Misalnya saja, pada saat
bulan ramadhan pelajaran klasikal sengaja ditiadakan dan sebagai gantinya
biasanya diganti dengan pengajian bandongan dengan ustadz tertentu juga kitab-
kitab tertentu pula.
2. Materi Pelajaran
Agar dapat memenuhi target dalam pencapaian tujuan penguasaan materi yang
telah direncanakan, maka perlu adanya pemilihan terhadap kitab-kitab yang
dianggap representatif untuk digunakan selama proses pengajaran di Madrasah
Salafiyah III in, diantaranya;
(1). Pengajian Al-Qur’an, yang digunakan adalah kitab al-Qur’an Al-Karim
(2) Ilmu Tafsir, menggunakan kitab Rawa’iul Bayan dan Tafsir Ahkam
(3).Ilmu Tajwid, menggunakan kitab Tuhfatul Athfal, Hidayatul Mustafidz, dan Al-
Muqtathofat.
(4). Hadis, menggunakan kitab Ibanatul Ahkam
(5). Ilmu Tauhid, menggunakan kitab Jawahirul Kalamiyah,Al-qo’id Hasan Al-
Bana, dan kitab Minhajul Muslim
(6).Ulum As-syari’ah, kitab yang digunakan
a. Fiqh: Al-Mabadi’ al-Fiqhyyahi
b. Ushul Fiqh: Ghoyatul Wushul fi ‘ilmil Wushul, Al-Waroqot
c. Qowa’idul Fiqh: Idhlohu Qowaidul Fiqhiyah
(7). Akhlak, kitab yang digunakan Taisirul Kholaq, Minhajul Muslim, Mau’idlotul
Mukminin, Ta ‘limul Muta’alim.
(8). Ulumul Lughoh Al-Arobiyah;
a. Bahasa Arab : Al-Arobiyah Bin Namadzij
b. Nahwu: Alfiyah, Jurumiyah, Mulakhosh Qowaidul Lughoh.
c. Shorof: Qowaidul I’lal, At-Tasrif Al-Isytiqoqi, At-Tasyrif Ma’ad
Dhoma’ir, Qowaiddul Asasiyah.
d. Al-Qiro’ah/Mahfudhot: Alala
(9). Tarikh: Khulashoh Nurul Yaqin, Tarikh Daulah Umayah Wa Abasiyah.
(10) Kitab yang diperkenankan untuk sorogan:
- Kelas I’dad dan I : Safinatun Najah
- Kelas II dan III : Fathul Mu'in
- Kelas IV : Ahkamun Nisa'
- Kelas V : Bebas ( Bidang Fiqh/ Akhlaq/ Nahwu /Shorof)
(11).Kitab-kitab yang digunakan pada pengajian Bandongan : Fiqih Muhadzab,
Tafsir Al-Muraghi, At-Taqrib, Mau’idlotul Mukminin, Ta’limul Muta’lim dan
Riyadus sholihin.
Untuk pengajian sorogan yang diperbolehkan memilih kitab sendiri secara
bebas, maka sebagian besar santri lebih banyak memilih kitab Taqrib sebagai
bahan kajiannya meskipun ada juga yang menggunakan kitab kuning lainnya. Hal
ini disebabkan kitab Taqrib sebagai kitab fiqih dasar sangat berguna bagi santri
dalam melaksanakan ibadah sehari-hari. Dalam pengajaran sorogan, santri
disamping memperoleh latihan keterampilan membaca kitab juga dapat mengambil
pelajaran dari materi kitab kuning yang dibacanya.
Hal ini sesuai dengan prinsip korelasi dan konsentrasi dalam pengajaran yang menghendaki, bahwa adanya hubungan di antara obyek pelajaran secara utuh dan bulat.61
3. Metode dan Sistem Pengajaran
Metode pengajaran sebagai suatu strategi atau tehnik belajar mengajar
merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan proses
pengajaran. Pemilihan metode pengajaran yang tepat akan menjadikan proses
belajar mengajar dapat berjalan menarik dan memudahkan tercapainya tujuan
pengajaran.
Berikut adalah beberapa tehnik belajar mengajar yang selalu digunakan dalam
setiap kegiatan proses belajar mengajar di Madrasah Salafiyah III, meliputi:
a. Tehnik drill/latihan siap
b. Tehnik ceramah
c. Tehik tanya jawab
d. Tehnik pembagian tugas
Disini penulis akan menjelaskan tentang berbagai macam penggunaan tehnik
diatas;
a. Tehnik drill/latihan siap
61 Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, Jakarta, Rajawali Press, 1994, h. 111
Tehnik drill merupakan tehnik pengajaran pokok dalam setiap pengajaran di
Madrasah Salafiyah III.. Karenanya tehnik ini selalu digunakan dalam setiap
proses pengajaran. Penggunaaan tehnik drill ini berfungsi untuk melatih santri
dalam belajar kitab kuning secara mandiri melalui bimbingan ustadz.
Melalui tehnik drill ini, santri dapat belajar kitab kuning dengan menggunakan
beberapa metode sebagai berikut:
- Latihan membaca
- Latihan tarjamah
- Latihan tata bahasa/ gramatika
Agar lebih jelas, maka penulis akan memberikan sedikit uraian tentang tehnik
latihan diatas;
(1). Latihan membaca
Kitab Kuning merupakan referensi pokok dan sumber literatur bagi bahan
pengajaran keagamaan di pondok pesantren salaf pada umumnya. Dalam
mempelajari Kitab Kuning tersebut berarti juga belajar bagaimana cara membaca
kitab dengan baik. Oleh karena itu, penggunaan tehnik latihan membaca menjadi
mutlak diperlukan.
(2). Latihan tarjamah
Kitab kuning adalah kitab atau buku berbahasa asing yaitu bahasa Arab.
Kegiatan membaca buku-buku berbahasa Arab tersebut tidak bisa dilepaskan dari
kegiatan menerjemah. Dengan demikian latihan menerjemah sangat penting untuk
membantu pemahaman dalam belajar baca kitab kuning.
Dalam hal ini tentu saja juga berkaitan dengan penggunaan Arab pegon untuk
melakukan pemaknaan terhadap kitab kuning yang sedang dibaca dan kemudian
diterjemahkan. Agar dapat menunjang kegiatan ini, maka santri Madrasah
Salafiyah III ini juga diharapkan sedikit banyak dapat mengerti, memahami dan
menguasai bahasa Jawa. Karena memang dengan bahasa Jawa itulah dilakukannya
proses penerjemahan pada kitab yang sedang dibaca atau di ajarkan oleh ustadz.
(3). Latihan tata bahasa /gramatika
Agar diperoleh hasil penerjemahan dan pemahaman yang baik dalam
membaca kitab kuning, maka latihan gramatikal juga digunakan sebagai kegiatan
untuk mempraktekkan penerapan kaidah-kaidah tata bahasa Arab dalam bacaan
teks kitab kuning.
Ketiga latihan ini biasa dipakai secara bersamaan dan saling melengkapi.
b. Tehnik ceramah.
Tehnik cermah merupakan cara mengajar yang digunakan untuk
menyampaikan keterangan atau uraian tentang suatu pokok masalah secara lisan.
Tehnik ini digunakan jika santri belum memahami tentang materi yang dikaji
secara jelas, maka ustadz akan menggunakan tehnik pengajaran ceramah untuk
menjelaskan materi secara lebih mendalam.
Dengan tehnik ceramah ini, biasanya seorang ustadz juga menggunakannya
dalam pengajian klasikal, sorogan maupun bandongan.
c. Tehnik Tanya Jawab (Dialog)
Untuk menciptakan kehidupan interaksi belajar mengajar yang baik, maka dalam metode pembelajarannya Madrasah Salafiyah III salah satunya juga menggunakan tehnik tanya jawab atau dialog. Tujuannya yaitu agar dapat memberikan motivasi dan menumbuhkan minat serta perhatian sehingga dapat membangkitkan pemikiran santri untuk bertanya atau menjawab pertanyaan setiap materi yang diajarkan sehingga santri dapat memahaminya secara lebih mendalam dan luas serta mampu menjelaskan langkah berfikir dalam memecahkan masalah tentang fakta yang sedang dipelajari.
d. Tehnik pemberian tugas (resitasi)
Tehnik ini digunakan sebagai pelengkap dari tehnik-tehnik yang sudah ada.
Bentuk pemberian tugas ini berupa pertanyaan atau tugas mencari keterangan
tambahan yang diperlukan berkaitan dengan materi yang sedang dikaji. Tehnik ini
bertujuan agar santri mendapatkan hasil belajar yang lebih mantap serta mampu
berfikir aktif. Di samping itu juga dapat mengembangkan daya insiatif dan kreatif
yang dimilikinya.
Dapat disimpulkan bahwa pemberian tugas dalam pengajaran sorogan
khususnya hanya dilakukan kadang-kadang. Hal ini dikarenakan meskipun
pemberian tugas sangat penting dan bermanfaat bagi proses belajar mengajar
namun sebaiknya dilakukan secara berkala atau tidak terlalu sering.22 Agar
pemberian tugas ini tidak mengganggu pertumbuhan dan perkembangan santri
secara wajar, mengingat sebagaian besar santri memiliki kegiatan baik didalam
maupun diluar pesamtren yang akan sangat menyita waktunya.
4. Proses Belajar Mengajar
a. Proses pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan
Dalam proses pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan ini, tahapan
tersebut terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahapan sebelum pengajaran, tahapan
pengajaran dan tahapan sesudah pengajaran.
Dari hasil observasi terhadap proses pengajaran kitab kuning dengan metode
sorogan di Madrasah Salafiyah III ini, penulis dapat menguraikan sebagai
berikut:
(1). Tahapan Sebelum Pengajaran
Tahap ini disebut juga tahap perencanaan. Dalam pengajaran sorogan tahap
perencanaan dilakukan oleh santri dengan mempersiapkan materi sebelum
pengajaran dimulai. Santri menyalin materi kitab kuning yang akan dikajinya
terlebih dahulu ke dalam buku tulis yang telah disediakan khusus untuk
pengajian sorogan. Materi kitab kuning tersebut ditulis tanpa disertai harokat/
22Pressiyah, N.K. Strategi Belajar Mengajar, Jakarta, Rineka Cipta, 1991, h. 20
syakal serta terjemahannya, sehingga santri harus mempersiapkan juga cara
membacanya.
(2). Tahap Pengajaran
Dalam tahapan ini, santri melakukan interaksi dengan ustadz pengajar sorogan
untuk memperoleh bimbingan dalam belajar kitab kuning sesuai dengan yang
telah direncanakannya. Adapun langkah-langkah tahapan pengajaran dalam
pengajian sorogan adalah:
(a).Santri membaca materi kitab kuning yang sudah dipersiapkannya secara
persorangan di hadapan ustadz pengajar sorogannya.
(b).Ustadz sorogan mendengarkan bacaan kitab kuning tersebut dan akan
menegur serta membenarkannya secara langsung jika terjadi kesalahan
bacaan.
(c).Setelah selesai membaca, santri diberi kesempatan bertanya tentang
beberapa hal yang belum jelas mengenai materi bacaan dan masalah-masalah
yang berkaitan dengannya.
(d).Ustadz sorogan menjawab pertanyaan yang diajukan santri dan
menjelaskannya.
(e).Kemudian ustadz pengajar sorogan akan memberikan beberapa pertanyaan
atau tugas kepada santri tentang materi kitab kuning yang telah dipahaminya.
(6). Sebagai akhir untuk menutup proses pengajaran kitab kuning dengan
metode sorogan, yaitu ustadz akan menantandatangani materi kitab kuning
yang telah dibaca tersebut.
(7). Setelah materi kitab kuning yang telah ditandatangani tersebut genap
berjumlah 8x dalam sebulan dengan hitungan 2x dalam seminggu, maka untuk
menandakan santri tersebut telah melaksanakan kewajibannya mengikuti
pengajian, kemudian buku tersebut di cap/ stempel yang dilakukan oleh
pengurus bagian kurikulum Madrasah Salafiyah III. Namun apabila santri
tersebut dalam satu bulan tidak bisa mencukupi ketentuan 8x yang telah
ditetapkan oleh pengurus, maka santri tersebut akan dikenakan sangsi. Sangsi
tersebut diatur sesuai dengan kebijakan pengurus yang berlaku, yaitu santri
tidak boleh mengikuti ujian kenaikan tingkat apabila keikutsertaannya dalam
pengaajian sorogan kurang dari 80% dari yang waktu yang yang telah
ditetapkan.
(3). Tahapan Sesudah Pengajaran
Tahap ini digunakan untuk melakukan penilaian terhadap proses belajar
mengajar yang berlangsung, sehingga dari hasil penilaian tersebut dapat
diketahui keberhasilan pelaksanaan pengajaran kitab kuning dengan metode
sorogan yang telah dilakukan, baik oleh santri maupun ustadz pengajar
sorogannya. Penilaian tersebut dilakukan oleh ustadz pengajar sorogan
kepada santrinya setiap saat santri setelah selesai melakukan setoran sorogan.
b. Proses pengajaran kitab kuning dengan metode bandongan
Dari hasil observasi terhadap proses pengajaran kitab kuning dengan metode
bandongan di Madrasah Salafiyah III ini, proses belajar mengajar yang
berlangsung tampak lebih mudah karena untuk dapat mengikuti pengajian ini,
santri tidak dikenakan ketentuan khusus seperti yang di terapkan sesuai aturan
yang dibuat oleh pengurus dari pihak madrasah.
Santri memang diharapkan untuk dapat menghadiri pengajian bandongan ini
(biasanya dilaksanakan di mushola pondok), pengajian ini bersifat umum.
Pengajian yang diperuntukkan oleh seluruh santri mahasiswi atau untuk santri
pelajar, atau bahkan keduanya ini, tidak dituntut prosentase kehadirannya. Untuk
kesiapan mengikuti pengajian, meskipun para santri yang mengikuti pengajian
tersebut diwajibkan untuk memiliki dan membawa kitab dari pengajian yang
sedang dilaksanakan, namun masih saja ada beberapa santri yang sengaja datang
untuk menghadiri pengajian tersebut meskipun tidak dengan membawa kitab yang
ditentukan.
Malahan, dalam mengikuti pengajian bandongan tersebut, tidak seluruh santri
yang menghadirinya secara khusuk mendengarkan pembacaan serta penjelasan
yang dilakukan oleh ustadz pengajar bandongan, selalu tampak satu-dua yang
malahan asyik ngobrol dengan santri disebelahnya. Kekhusukan santri biasanya
tampak jika yang menjadi ustadz pengajar bandongan adalah Kyai Warson,
sedangkan untuk ustadz yang lain santri tampak lebih santai menanggapinya.
Proses pengajian bandongan yang berlangsung adalah sebagai berikut;
(a). Para santri datang dan menghadiri mushola yang ditetapkan sebagai tempat
pengajian bandongan, masing-masing santri sambil membawa kitabnya masing
masing. Mereka kemudian duduk dengan cara mengelilingi atau menghadap ke
arah meja ustadz yang terletak didepannya, seperti halnya saat orang menghadiri
ceramah agama.
(b). Kemudian ustadz hadir dan memulai pengajian dengan cara membacakan
materi kelanjutan dari hari sebelumnya. Setelah membaca, kemudian
diterjemahkan dengan Arab pegon sambil sesekali menerangkan susunan
gramatikal bahasanya juga menjelaskan artinya
(c). Santri mendengarkan dan menyimak kitab masing-masing serta membuat
beberapa catatan mengenai hal-hal yang dianggapnya penting.
Adakalanya ustadz pengajar memberikan kesempatan untuk bertanya kepada
para santrinya, namun untuk pengajian bandongan hal tersebut jarang sekali
terjadi. Dalam pengajian jenis ini pula tidak dapat diketahui secara pasti para
santri menjadi paham pada kitab yang sedang diajarkan ataukah tidak, selain
karena jumlah santri yang mengikuti pengajian ini dalam jumlah yang banyak,
ditambah tidak adanya kontrol juga tidak adanya evaluasi dalam pengajian ini.
Sehingga tidak dapat terdeteksi lebih banyak prosentase kehadiran ataukah
ketidak hadiran karena sedikit banyak hal itu juga berpengaruh terhadap
pemahaman santri terhadap kitab yang sedang diajarkan.
c. Proses Penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon pada santri Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Pondok
Pesantren Krapyak, Yogyakarta Mempelajari kitab kuning dengan pendekatan tradisional menggunakan Arab
pegon sebagai bahasa sasaran yang ditulis secara menggantung ini, diletakkan
pada bahasa sumber (bahasa Arab). Proses penerjemahannya berlangsung setiap
kata, frase dan berbagai unsur gramatikal yang ada.
Terjemahan tradisional dengan Arab pegon ini merupakan terjemahan pesan
bahasa Arab sebagai bahasa sumber ke dalam bahasa Jawa, dengan
memperhatikan unsur-unsur pembentuk teks, baik berupa unsur linguistik yaitu
kosa kata, sintaksis, morfologi, retorik dan sejenis, dan unsur ekstralinguistik,
berupa isi kandungan dari teks kitab kuning yang akan diterjemahkan. Dalam
terjemahan ini pesan dan unsur-unsur teks bahasa sumber mendapat perhatian
seimbang untuk diterjemahkan. Kedua hal tersebut harus ditampakkan dalam
bahasa sasaran dengan jelas. Jadi yang diterjemahkan dalam terjemahan
tradisional ini adalah62 (1) isi atau pesan ,(2) unsur linguistik teks, dan (3) unsur
ekstralinguistik teks.
62 Aly Abubakar Basalamah, Op.Cit, h. 61-69.
Contoh proses penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon yang dilakukan
oleh santri;
ه رب العا لمينالحمد لل
“Al-Hamdu utawi sekabehane jenise puji iku lilahi tetep kagungane Allah”
(segala puji bagi Allah).
Kata utawi dalam terjemahan tersebut digunakan untuk menunjukkan status
mubtada (subjek isim, kata benda), dan dilambangkan dengan huruf م (mim)
serta ditulis diatas kata al-hamdu. Kata sekabehane jenise, untuk menunjukkan
listigraraqil jins, yaitu (al) yang digunakan untuk makna cakupan, segala (al) ال
(istigraqiyah), sedang kata puji untuk menunjuk leksikal hamdu.
Kata iku yang dilambangkan dengan huruf ,menunjukkan status khobar خ
(lillahi, “bagi Allah), tetep untuk menunjukkan ta’alluq jar wa majrur (keterkaitan
fungsi jar dan majrur yang wajib dibuang, yaitu kata mustaqorrun, yang berarti
tetep (tetap) atau kata istaqarra (tetap dengan dibatasi waktu lampau), kaduwe
menunjukkan arti leksikal kata li (al-jar) yang men-jarkan kata “Allah’, sedangkan
“Allah” adalah terjemahan dari Allah.
Yang diterjemahkan dalam kalimat tersebut mencakup unsur pembentuk
teks linguistik, ektralinguistik dan isi atau pesan teks. Unsur linguistik yang
diterjemahkan adalah mubtada, “utawi”, khabar, “iku”, istigraqul jins,
“sekabehe”, “jenise”, ta’aluq, “tetep” (semuanya sebagai unsur tata bahasa);
alhamdu, “puji”, dan llahi, kagungane Allah (sebagai unsur leksikal), dan
jinsul hamdi al-arba’i, “jenis puji yang empat” (sebagai yang dimaksudkan
kata jenis puji) sebagai terjemahan unsur ekstralinguistik yang berupa
pengetahuan yang berhubungan dengan tauhid. Adapun pesan yang
dihasilkan dari terjemahan adalah segala puji milik Allah. Salah satu
kelebihan dari penggunaan terjamahan ini adalah ditampakkannya semua
unsur teks dalam bahasa sasaran, sehingga kalimat yang diterjemah dapat
membuat santri paham pada struktur tata bahasanya secara lebih detail.
Dalam kalimat tersebut diatas, bahasa sasaran yaitu bahasa Jawa yang
dipakaipun susunan dan urutannya mengikuti urutan kata atau frase dalam kalimat
bahasa Arab. Dalam tata bahasa Arab, kalimat diatas disebut jumlah ismiyah
(kalimat nominal).
Contoh kedua;
نويت الوضوء
“Nawitu wus niat sapa ingsun al-wudhu’a ing wudu”
(saya berniat wudhu).
Kata wus dalam kalimat tersebut menunjukkan kala (zaman, waktu), fi’il
(kata kerja) madi (bentuk lampau), niat menunjukkan arti leksikal kata nawa,
sapa menunjukkan fail (subjek verbal ), ingsun menunjukkan arti leksikal kata tu,
ing menunjukkan maf’ul-bih (objek langsung) yang dilambangkan denganمف
yang ditulis di atas kata al-wudu’a , sedangkan kata wudhu menunjukkan arti
leksikal kata alwudu’a.
Unsur linguistik yang diterjamahkan dalam kalimat tersebut adalah zaman
(waktu) “wus”, fail “sapa”, maf’ul-bih “ing” (sebagai unsur tata bahasa), nawa
“niat”, tu “ingsun”, dan al-wudhu’a “wudu” (sebagai unsur leksikal). Unsur
ekstralinguistiknya adalah al-whudu’a dalam arti fiqh, sedangkan pesan atau isi
yang diterjemahkan adalah saya berniat wudhu.
Contoh ketiga;ن تعملو كنتم ان لكم خير تصوم ان و
(Wa antasuumu khairul lakum inkuntum ta’lamuuna) 1 2 3 4 5 6
1= lan “dan “ (leksikal)
2= utawi “atau” (sintaksis)
arep ”akan” (morfologis)
yenta “bahkan” , jika (morfologis)
pasa “puasa” (leksikal
sapa ”siapa” (sintaksis)
sira kabeh “kamu semua” (Leksikal)
3= iku “itu” (leksikal)
kang “yang”(morfologis)
luwih ” lebih”(morfologis)
becik “baik” (leksikal)
4= luwih becik “lebih baik” (sintaksis)
keduwe sira kabeh “bagi kamu semua” (leksikal)
5= lamun “jika” (leksikal)
wus “telah” (morfologi)
ana ”ada” (sintaksis)
sapa ”siapa” (sintaksis)
sira kabeh ”kamu semua” (leksikal)
6= Iku ”itu” (leksikal)
weruh “tahu” (leksikal)
sapa ” siapa” (leksikal)
sira kabeh ”kamu semua” (leksikal)
ing “di” dalam” (retorik)
haqiqota-shaumi “ hahikate puasa” (retorik, sintaksis)
Adapun isi atau pesan dari kalimat tersebut adalah pasa sira kabeh iku luwih
becik yen sira kabeh weruh (hakikate pasa), yaitu puasa kamu akan lebih baik
apabila kamu semua mengerti (hakikat puasa). Keseluruhan teks tersebut berbunyi:
wa antasuumu lan utawi arep yento pasa sapa sira kabeh iku khairun kang luwih
becik lakum keduwe sira kabeh inkuntum lamun ana sapa sira kabeh iku ta’lamuna
weruh sapa sira kabeh haqiqotash shaum hakikate pasa.
Untuk dapat mengontrol kebenaran pesan dan penyampaian terjemahan ini
dalam mengungkapkan bahasa sasaran, yaitu menggunakan beberapa cara; (1)
tetap mencantumkan teks aslinya (2) memperlihatkan semua piranti yang dipakai
untuk menggali pesan yang dimaksud, yaitu berupa ilmu tentang bahasa teks atau
linguistik dan ilmu-ilmu terkait lainnya.
Ketepatan penerjemahan pesan dalam kalimat-kalimat contoh diatas, pada
dasarnya merupakan tujuan yang penting dalam penerjemahan tradisional dengan
Arab pegon ini. Akan tetapi ketepatan penerjemahan pesan atau isi tersebut harus
dikontrol dengan menerjemahkan unsur-unsur teks yang lainnya, yaitu linguistik
dan ekstralinguistik.
Timbul kesan bahwa terjemahan semacam ini lebih mementingkan bentuk
atau persamaan bentuk linguistiknya, terutama apabila dilihat dari penampilannya
namun sebenarnya terjemahan semacam ini juga sangat memperhatikan isi atau
pesan yang terkandung didalamnya.
Dalam setiap terjemahan tradisional yang menggunakan Arab pegon selalu
mencantumkan teks sumber. Mencantumkan teks bahasa sumber dalam terjemahan
ini adalah sebuah upaya strategis untuk menanggulangi kelemahan hasil karya
terjemahan pada umumnya, sebab sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli,
tidak ada karya terjemahan yang dapat mewakili bahasa sumber secara lengkap.
Dengan demikian seorang pembaca hasil karya terjemahan dapat diberi
kesempatan untuk dapat melakukan koreksi terhadap karya terjemahan yang
sedang dibacanya tanpa harus dengan susah payah melacak teks sumbernya. Oleh
karena itu, terjemahan ini memberikan kesempatan untuk dapat menangkap isi atau
pesan yang diperkirakan dapat berbeda dengan penerjemah yang lain, namun tetap
bersumber pada teks yang sama.
Pencantuman teks sumber dan penampakan unsur-unsur teks sumber dalam
bahasa sasaran, dapat dijadikan tolak ukur penilaian kemampuan penerjemahan
yang dilakukan oleh santri. Dengan tetap mencantumkan teks asli dan
menampakkan semua piranti yang dipakai dalam menerjemahkan, maka
terjemahan tradisional ini dapat memberikan kesempatan terhadap kemungkinan
munculnya arti dan makna yang berbeda. Sehingga terjemahan semacam ini tidak
saja sebagai referensi pesan yang diterima oleh santri yang membacanya, akan
tetapi juga sebagai bahan perbandingan bagi pesan yang ditemukannya sendiri
melalui teks asli yang ikut terbaca bersamaan dengan membaca karya yang
diterjemahkan.
Beberapa hal yang terdapat dalam terjemahan tradisional dengan Arab pegon
ini;63 (1) simbol-simbol linguistik, (2) bahasa-bahasa simbolik (3) penampakan
gramatika bahasa sumber dalam bahasa sasaran, yang sekaligus membedakannya
dari pendekatan penerjemahan yang lain. 63 Aly Abubkar Basalamah, Op.Cit, h. 69
Berikut simbol-simbol yang digunakan dalam terjemahan kitab kuning dengan Arab pegon:No Simbol
bacaanTempat Variasi tata bahasa Penempatan struktur
1 2 3 4 5ب .1
Bayane
Atas Tanda ‘atf bayan/bayan (leksikal)
عمر من غيره و زيدا ايت روبكر
2. بدR
upane
Atas Tanda badal (leksikal) نصفة غيف الر كلت ا
تم .3A
pane
Atas Tanda tamyiz (leksikal)
علما زيد كثير
4. جPira-pira
Bawah Tanda jamak (morfologis)
العلوم تعلمت
ج .5M
angka
Atas Tanda jawab (leksikal)
تنجح تجتهد ان
ج .6M
angka
Atas Tanda ‘atf dengan fa dan tsumma (leksikal)
المدرس ثم التلميد حضر
7. ماH
ale
Atas Tanda hal (leksikal) لسا جا لب الطا قراء
خ .8Ik
u
Atas Tanda khabar (leksikal)
ته بدا قديمة صفة ة الحيا
ص .9Kang
Atas Tanda sifat (leksikal) صفة عن ه المنز لله الحمدالحدوث
ظ .10Ing dhalem
Atas Tanda zarf (leksikal) والخميس عمر يصوم
ع .11K
rana
Atas Tanda maf’ul liajlih (leksikal)
تعلما المعهد الى دهبت
عط .12 Atas Tanda ma’tuf dan ma’tuf alaih (leksikal)
لدل با المتصف الفقير يقولوالتقصير
غة .13S
enajan
Atas Tanda ghayah (leksikal)
ولوكنتم قيكم مال الموت انمشيده بروج في
14. فA
pa
Atas Tanda fa’il bukan orang (leksikal)
رة السيا تسير
سن .15S
apa
Atas Tanda fail orang (‘aqil)
مجتهدا لب الطا تعلم
م .16 Atas Tanda mubtada’ ئم قا زيد
Utawi
(leksikal)
مف .17I
ng
Atas Tanda maf’ul bih (leksikal)
عمرا زيد ضرب
18. نفO
ra
Atas Tanda nafi (leksikal) تعملون عما فل بغا الله وما
19. مطK
elawan
Atas Tanda maf’ul mutlaq (leksikal)
نصرا بكرا لد خا نصر
تعق .20 Atas Tanda ta’aluq المسجد في ان القر ات قر21. ..
Kelakohan
Bawah Tanda dhomir sya’n leksikal (leksikal)
اللله اال اله ال انه علم فا
Adapun bahasa simbolik yang digunakan dalam terjemahan ini adalah
kosakata bahasa Jawa khas yang dapat menunjuk pada variasi gramatikal bahasa
sumber, yaitu bahasa Arab. Maksud dari bahasa Jawa khas adalah bahasa Jawa
tersebut tidak seperti bahasa Jawa yang digunakan sehari-hari, artinya tidak
fungfsional dalam aturan bahsa Jawa yang baku.
Berikut adalah bahasa-bahasa simbolik yang sering digunakan dalam
terjemahan kitab kuning dengan Arab pegon ini;
1. apane =tamyiz=sintaksis=apanya
2. anging pesthine=qasr=retorika=hanya
3. bayane=bayan=sintaksis=jelasnya
4. hale=hal=sintaksis=keadaannya
5. ing dhalem=zarf=sintaksis=di dalam
6. iku=khabar=sintaksis=itu
7. kang=sifat naat=sintaksis=yang
8. ing=maf’ul bih=sintaksis=obyek penderita
9. kelawan=maf’ul mutlaq=sintaksis=dengan
10. kelakoohan=dhamir sya’n=sintaksis=bahwasanya
11. apa/sapa=fa’il=sintaksis=apa/siapa
12. rupane=badal=sintaksis=atau/bermula
13. utawi=mubtada’=sintaksis=atau/bermula
14. yento=masdar mu’awal=morfologis=itulah
15. pengulangan =ta’aluq=sintaksis
Dalam menghadapi teks kitab kuning seperti ini, seseorang
yang ingin menerjemahkannya dengan Arab pegon terlebih
dahulu harus menguasai seluk beluk bahasa Arab dan cara
mengungkapkan pesan atau isinya. Penguasaan bahasa Arab tidak
saja karena bahasa Arab sebagai bahasa teks kitab kuning, namun
karena beberapa ciri bahasa Arab harus dapat mewarnai bahasa
sasaran.
C. Problem Pembelajaran Kitab Kuning dengan Arab Pegon
1. Problem Penerjemahan dengan Arab Pegon
Belajar membaca kitab kuning, berarti belajar bahasa asing. Dalam mempelajari bahasa asing, salah satu kegiatannya adalah menerjemah. Menurut pandangan tata bahasa tradisional tentang belajar bahasa,25 menerjemahkan dianggap metode yang paling efktif untuk meningkatkan kemampuan penguasaan terhadap bahasa yang dipelajari. Prinsip lain yang terpenuhi dalam melaksanakan terjemahan ialah bahwa ragam bahasa yang diutamakan dan perlu dipelajari adalah bahasa tulis. Dengan tulisan, seorang pelajar bahasa dapat terhindar dari pencemaran, sehingga apa yang dipelajari masih merupakan bahasa yang murni.
Menurut Henry Guntur Tarigan64, metode tarjamah tata bahasa pada
hakikatnya mencakup; telaah eksplisit, kaidah tata bahasa dan kosakata serta
penggunaan terjemahan. Dengan demikian terjemahan tata bahasa adalah suatu
cara menelaah bahasa yang mendekati bahasa tersebut, pertama-tama melalui
analisis kaidah bahasa secara terperinci diikuti oleh penerapan pengetahuan ini
pada tugas penerjemahan kalimat-kalimat dan teks-teks kedalam dan dari bahasa
25 Syahruddin Keseng, Linguistik Terapan: Pengantar Menuju Pengajaran Bahasa yang Sukses, Jakarta, Depdikbud, 1989, h. 84 64 Henry Guntur Tarigan,Op.Cit h.105-106.
sasaran. Oleh karena itu, membaca dan menulis merupakan fokus utama atau
sasaran pokok.
Dalam penerjemahan kitab kuning, hal yang lebih ditekankan kepada
penerjemah (dalam hal ini adalah santri) dari bahasa sasaran ke bahasa ibu adalah
membaca teks-teks Arab namun belum sampai pada keterampilan menulis kitab
yang berbahasa Arab. Masih menurut Henry Guntur Tarigan, bahwa dalam metode
terjamah tata bahasa, bahasa asli atau bahasa ibu merupakan media pengajaran
bahasa yang dipakai untuk menjelaskan butir-butir atau hal-hal baru yang
memudahkan pembuatan perbandingan antara bahasa asing dan bahasa ibu. Oleh
karena itu pula, bahasa Jawa (yang merupkan bahasa ibu) dipakai dalam
penerjemahan kitab kuning di pesantren dalam pengajaran kitab kuning.65
Menerjemahkan adalah menyampaikan berita yang terkandung dalam bahasa
sumber ke dalam bahasa penerima atau bahasa sasaran agar isinya benar-benar
mendekati aslinya. Sedangkan tujuan penerjemahan yaitu menyampaikan berita ke
dalam bahasa penerima (bahasa sasaran), yang berarti apa yang diterjemahkan
harus dapat dimengerti dan tidak di salah fahami oleh orang-orang yang akan
mendengarkan atau membaca hasil terjemahan tersebut.66
Kemampuan menerjemahkan teks berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa
khususnya dalam pengajaran kitab kuning didalam pondok pesantren, menuntut
berbagai pengetahuan prasyarat yang harus dimiliki oleh para santri. Beragam
pengetahuan tentang penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon telah
disebutkan pada bagian sebelum ini. Hal tersebut tentu saja menimbulkan berbagai
problem pada santri, meskipun setiap santri tentu tidak mengalami problem yang
sama.
65 Zamakhsyari Dhofier, Op.Cit, h. 5166 E. Sadtono, Op. Cit, h. 9
Problem-problem penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon yang penulis
temukan selama melakukan penelitian pada Madrasah Salafiyah III ini, pada
dasarnya terbagi menjadi dua katagori, yaitu problematika linguistik dan non
linguistik.
a. Problematika Linguistik
(1). Problem morfologis
Morfologi merupakan cabang linguistik yang mempelajari bentuk-bentuk kata
dan perubahan bentuk kata serta makna akibat perubahan bentuk itu.67 Dalam
bahasa Arab, morfologi identik dengan ilmu shorof yang merupakan cabang
linguistik yang mempelajari perubahan bentuk kata dari satu wazan menjadi
beberapa wazan lainnya yang membawa konsekuensi pada perubahan makna.68
Umumnya kesalahan penerjemahan terletak pada kesalahan menentukan
katagori jenis kata tertentu yang dilambangkan dengan kesalahan membaca
(memberi syakal/harokat). Kesalahan membaca ini jelas membawa konsekuensi
pada penentuan makna yang salah, yang berakibat pada kesalahan penerjemahan
secara keseluruhan.
(2). Problem sintaksis
Sintaksis merupakan bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan
seluk beluk wacana, kalimat, klausa dan frase.69 Dalam linguistik bahasa Arab,
sintaksis dikenal dengan sebutan ilmu nahwu , yaitu linguistik yang mempelajari
tentang kalimat serta segala hal yang berkaitan dengannya.
Kesalahan sintaksis dalam proses penerjemahan umumnya berkaitan dengan
kesalahan menentukan peran kata atau frase dalam hubungan sintaksis tertentu.
Dengan kata lain, kesalahan sintaksis lebih sering disebabkan karena 67 Mansoer Pateda, Linguistik:Sebuah Pengantar, Bandung, Angkasa, 1990, h. 71.68 Abdul Munif, Op. Cit, h. 5 69 Ramlan, Ilmu Bahasa Indonesia-Sintaksis, Yogyakarta, UP Karyono, 1981,h. 1
ketidakmampuan atau kesalahan dalam melakukan analisis bahasa sumber yang
dalam hal ini adalah bahasa Arab. Seperti diketahui, bahwa analisis bahasa
sumber merupakan langkah awal dalam proses penerjemahan yang harus
dilakukan oleh penerjemah sebelum ia melakukan restrukturisasi (penyusunan
kembali) isi atau pesan dari materi terjemahan dalam bahasa sasaran. Kesalahan
dalam melakukan analisis kalimat bahasa sumber akan berakibat pada kesalahan
pemahaman terhadap isi atau pesan yang diterjemahkan, yang nantinya akan
diwujudkan dalam hasil terjemahan bahasa sasaran.
Pada umumnya, kesalahan yang banyak dilakukan adalah kesalahan dalam
menentukan jenis kalimat dan kedudukan kata atau frase dalam sebuah kalimat.
Misalnya kata mana yang menduduki posisi subjek (musnad ilaih), predikat
(musnad), objek (maf’ul bih) atau keterangan. Kesalahan tersebut antara lain
diwujudkan dengan kesalahan I’rob, yakni kesalahan dalam memberi
harokat/syakal huruf terakhir suatu kata dalam sebuah kalimat.
(3). Problem semantik
Semantik merupakan cabang sistematika bahasa yang menyelidiki tentang
makna atau arti.70 Dalam bahasa Arab, semantik identik dengan ilmu dalali yaitu
ilmu yang mempelajari hubungan antara lambang dengan maknanya atau arti yang
dimaksud oleh lambang bahasa tersebut. Dalam semantik dikenal adanya dua
makna, yaitu makna leksikal dan makna kontekstual atau gramatikal. Makna
leksikal adalah makna yang diperoleh dari kamus, sedangkan makna kontekstuaal
atau gramatikal adalah makna yang diperoleh akibat proses gramatikal tertentu
atau berada dalam konteks tertentu.
70 JD. Parera, Teori Semantik, Erlangga, Jakarta, 1991, h. 3
Problematika semantik dalam penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon
ini pada umumnya berkaitan dengan kesalahan menentukan padaan kata yang
tepat dalam bahasa sasaran.
(4). Problematika restrukturisasi
Yang dimaksud dengan problematika restrukturisasi adalah kesulitan-ksulitan
yang dihadapi santri ketika berusaha melakukan penyusunan kembali makna atau
isi terjemahan yang berupa Arab pegon dan diterjemahkan secara terpisah-pisah
kedalam bahasa sasaran. Pada umumnya kesalahan yang dilakukan pada tahap ini
karena masih adanya interferensi struktur bahasa Arab sebagi bahasa sumber ke
dalam bahasa Jawa atau Nusantara sebagai bahasa sasaran..
b. Problem non linguistik
Selain faktor linguistik, juga ada beberapa faktor non linguistik yang menjadi
problem dalam proses penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon;
1. Banyak santri yang belum menguasai bahasa sumber (bahasa Arab) dengan
baik.71
2. Belum dikuasainya bahasa sasaran dengan lebih baik, dalam hal ini
menyangkut bahasa Jawa yang digunakan.
Umumnya para santri bukan saja datang dari lingkungan daerah Jawa saja,
namun banyak juga dari mereka yang berasal dari daerah luar Jawa yang
belum tentu dapat berbahasa Jawa. Hal ini tentu saja menyulitkan santri dalam
mengikuti setiap pengajaran kitab kuning, karena meskipun ada beberapa
ustadz yang ketika mengajar sudah menggunakan dua bahasa (Jawa-
Nusantara) namun umumnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.
3. Adanya perbedaan dalam tata cara penulisan antara huruf Arab yang
berbahasa Arab dengan penulisan Arab pegon. 71 Ali Audah, Op.Cit, h. 5
Berbeda dengan penerjemahan antar bahasa yang menggunakan huruf yang
sama, penerjemahan dari bahasa Arab ke selain bahasa Arab tentu meminta
perhatian tersendiri, termasuk masalah hurufnya. Diantaranya yaitu;
C ي ,contohnya ج : جها جي فو جي سو
G : contohnya, نا كو
NG غكغ ,contohnya غ : وو لم عدا ا
NYA ب : لمي ,contohnya ث 72ديدا
Deskrates رث : ديكا
Goebbels بلس : غو
Pengajaran جران : فعا
Problem mengenai perbedaan bahasa juga perbedaan huruf ini, sudah mulai
diperkenalkan juga sedikit diajarkan pada kelas awal di Madrasah Salafiyah
III. Namun menurut beberapa orang santri, hal tersebut belum begitu
maksimal karena pengenalan huruf yang ada dengan apa yang digunakan oleh
santri belum berjalan teratur. Masing-masing santri dalam menggunakan Arab
pegon ini berbeda, sehingga apa yang ditulis oleh satu santri belum tentu dapat
dibaca oleh santri yang lain. Hal ini memang bukanlah masalah yang besar,
namun kurang lebih akan dapat menghambat proses jalannya sistem belajar
mengajar antar sesama santri karena masing-masing Arab pegon yang
digunakan masih bersifat individu. Misalnya saja dalam penulisan kata
kebijaksanaan, ada santri yang menulisnya dengan , كبجكسنا sedangkan
menurut buku pedoman membaca Arab Melayu karangan Romdoni
kebijaksanaan ditulis dengan ن 73كبجقسنا
72 Romdoni, Pedoman membaca Arab Melayu, Intimedia, Jakarta, 2004, h. v73 Romdoni, Op.Cit, h. 66.
Agar problem ini dapat mudah diatasi, agaknya para pengguna Arab pegon
mulai sekarang harus sudah mulai berfikir untuk membuat kamus khusus Arab
pegon untuk para santrinya.
4. Isi atau materi dari bentuk naskah yang diterjemahkan.
Sebuah teks yang berisi permasalahan tertentu pada salah satu bidang tertentu,
tentu berbeda dengan bidang yang lainnya. Menyangkut.perbedaan corak,
gaya penuturan dan istilah-istilah teknis yang digunakan dalam bidang disiplin
yang berbeda.
Misalnya saja ketika santri harus menerjemahkan kitab yang berisi tentang
ilmu tasawuf tentu berbeda ketika menerjemahkan kitab yang berisi tentang
ilmu balaghoh atau yang lainnya. Masing-masing memiliki perbedaan dan
pula harus dilakukan pendekatan yang berbeda agar santri akhirnya mampu
meenerjemahkan kitab tersebut dengan baik dan benar..
5. Kondisi pada saat menerjemahkan
Proses penerjemahan yang dilakukan dengan tergesa-gesa tentu akan berbeda
hasilnya dengan proses penerjemahan yang dilakukan dengan tenang dan
waktu yang cukup.Misalnya saja pada saat pengajian bandongan, jika para
santri yang mengikuti pengajian tersebut dapat serius mengikuti pengajaran
yang diberikan tentu saja akan berdampak positif bagi perkembangan
keilmuan para santri.
2. Problem Pemahaman Isi Teks secara Utuh
Apakah penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon dapat
memberikan pemahaman yang utuh terhadap isi teks?. Pertanyaan seperti itulah
yang seringkali dilontarkan oleh orang-orang yang khususnya berada di luar
pesantren.
Faktor pemahaman dalam setiap proses belajar-mengajar termasuk proses
penggunaan Arab pegon dalam terjemahan kitab kuning, merupakan salah satu
tujuan pokok. Setiap santri selalu mengharapkan bahwa apa yang dipelajarinya
dapat membuat pengetahuan keilmuannya bertambah, namun ternyata tidak semua
santri dapat sukses mendapatkannya. Ada saja problem yang muncul sehingga
santri harus terus bekerja keras untuk dapat memahami isi teks secara utuh setiap
terjemahan Arab pegon pada kitab kuning yang dipelajarinya.
Timbulnya problem pemahaman isi teks secara utuh ini dikarenakan
adanya perbedaan pada setiap individu santri. Diantaranya; faktor
perkembangan kemampuan dasar, ada santri yang cerdas namun ada juga
yang sedang-sedang saja dan ada pula yang lamban dalam menerima
pelajaran, faktor lingkungan, termasuk lingkungan pendidikan yang
menimbulkan perbedaan seperti dalam cara berfikir antara pelajar dan
mahasiswa, juga faktor kepribadian, contohnya perbedaan minat dan bakat
sehingga ada anak yang rajin tetapi juga ada anak yang malas.73Perlu adanya
perhatian terhadap perbedaan individu, sesuai dengan minat dan
kemampuan santri yang ingin belajar kitab kuning.
Di kalangan santri sendiri, khususnya pada santri Madrasah Salafiyah III,
Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, terdapat beberapa permasalahan yang
membuat sebagian santri belum mampu memahami isi teks kitab kuning yang
dipelajarinya secara utuh, yaitu;
5. Mutu Pengajaran.74
73 H. Tyar Yusuf dan Drs. Syaiful Anwar, Op.Cit, h. 103.74 S. Nasution, Op.Cit, h. 40
Di dalam pesantren terdapat dua macam pola pengajaran tradisional, yaitu
bandongan dan sorogan yang didalamnya tercakup kelebihan dan kekurangannya.
Namun, jika dilihat dari kapasitas jumlah muridnya, penggunan pengajaran sistem
bandongan didalam pesantren akan memberikan dampak tersendiri. Pada
pengajaran bandongan, yang mengikutinya adalah sebagian santri atau keseluruhan
santri dengan jumlah diatas 40 orang.
Hal yang harus diperhatikan oleh seorang ustadz pengajar adalah
keseluruhan santri, dalam satu jam pengajian yang terdiri kurang dari 60 menit,
akan sulit bagi ustadz untuk memberi waktu yang cukup bagi setiap anak. Ustadz
mencoba menyesuaikan pengajarannya dengan kemampuan santri rata-rata, namun
apakah hal itu juga disadari oleh setiap ustadz?. Menurut penuturan beberapa
santri, ia sering merasa kesulitan saat mengikuti pengajian bandongan yang
ustadznya dianggap terlalu cepat mema’nani kitab.
Menurut Dr. Henry Guntur Tarigan, ada 4 segi dalam keterampilan berbahasa,
yaitu:75 (1) keterampilan menyimak, (2) keterampilan berbicara, (3) keterampilan
membaca, (4) keterampilan menulis. Menyimak dan membaca merupakan
keterampilan pemahaman yang disebut juga dengan ketrampilan reseptif.
Sedangkan berbicara dan menulis (mengarang) merupakan keterampilan
pengungkapan pikiran yang disebut juga dengan keterampilan produktif.76 Ke-
empat ketrampilan diatas juga terdiri atas tingkah laku bahasa lisan yaitu berbicara
dan menyimak serta tingkah laku bahasa tulis yaitu menulis dan membaca.77
75 Henry Guntur Tarigan, Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, Bandung, Angkasa, 1984, h.176 Sri Utari dan Subyakto Nababan, Metodologi Pengajaran Berbahasa, Jakarta, Depdikbud, 1988, h. 132.77 Fuad Abdul Hamid, Proses Belajar Mengajar Bahasa, Jakarta, Depdikbud, 1987, h. I
Pengajaran membaca kitab merupakan pengajaran bahasa tulis yang bersifat
reseptif, namun demikian bukan berarti pasif. Karena dalam membaca kitab, santri
dituntut untuk memahami teks-teks Arab yang dibacanya. Sebagaimana dikatakan
Dra. Juwairiyah Dahlan, bahwa dalam mempelajari bahasa Arab siswa akan
memahami bahasa Arab (tulisannya) terlebih dahulu sebelum tulisan itu dibacanya,
bukannya membaca baru kemudian memahaminya.78 Hal ini disebabkan penulisan
huruf Arab biasanya tanpa disertai harokat, sedangkan harokat pada huruf akhir
akan sangat menentukan pemahaman, arti dan maksudnya.
2. Persoalan penggunaan bahasa
Meskipun penggunaan Arab pegon ini hanya menggunakan bahasa Jawa yang
banyak digunakan sehari-hari dan tampak mudah dipahami, namun bagi orang
yang berada di luar Jawa atau yang tidak menggunakan bahasa Jawa tetaplah
merasa kesulitan.
3. Kecepatan menangkap pelajaran
Setiap santri merupakan individu yang berbeda-beda, ada santri yang cepat
menangkap pelajaran, namun ada pula yang lamban menerimanya. Menghadapi
keadaan yang seperti ini, jelas memerlukan sistem pengajaran yang berbeda
dengan kemampuan penangkapan yang berbeda.
Penggunaan sistem pengajaran sorogan di pesantren yang merupakan salah
satu sistem pengajaran individual yang ada, jelas dapat dikembangkan lagi sesuai
daya kreatifitas pengajar yang ada. Disamping bentuk pengajaran sorogan,
menurut Drs. Roestiyah N.K, ada beberapa penyajian pengajaran individual lain
yang mungkin dapat diterapkan pada santri.79
1. Perencanaan belajar bebas (Individu Study Plan)
7 Juwairiyah Dahlan, MA,Op.Cit ,h 45. 79 Roestiyah N.K,Op.Cit, h. 54.
Dalam hal ini ada persetujuan antara seorang santri dengan seorang ustadz dalam
penentuan persetujuan secara garis besar, siswa menyiapkan sendiri bentuk ujian
akhir, tidak ada peraturan yang mengikat tentang bagaimana menyiapkan ujian
tersebut, ada ujian atau tidak terserah santri.
6. Belajar sendiri yang terarah (Self Directif Study)
Tujuan khusus disetujui bersama antara santri dan ustadz, tetapi tidak ada
ketentuan bagaimana santri belajar, ustadz mungkin memberikan daftar tujuan
instruksional khusus, mungkin juga memberikan daftar bacaan yang perlu atau
sumber-sumber lain tetapi siswa tidak harus mempergunakannya apabila dia lulus,
dan dia memperoleh kredit untuk itu.
7. Program pemusatan belajar (Learner-Centered Program)
Dalam penyajian ini santri yang menentukan untuk kepentingan dirinya, apa
tujuannya, bagaimana dia akan belajar dan sesudah itu tugas apa yang akan
dilakukannya kemudian.
8. Melangkah sendiri (Self Pacing)
Siswa menentukan sendiri langkah-langkah belajarnya, ustadz menentukan tujuan
instruksional dan semua siswa harus memenuhi tuntutan rumusan tujuan
instruksional itu, mungkin santri memakai materi yang sama untuk mencapai
tujuan pelajaran, hanya saja kecepatan perkembangan masing-masing yang
berbeda.
9. Siswa menentukan pengajaran (Student Determinded Instruction)
Dalam hal ini santri menentukan instruksi sistem sendiri, memungkinkan santri
untuk memilih tujuan instruksional, memilih materi pelajaran, struktur, sumber
atau latihan-latihan yang digunakan, memilih dan menentukan jadwal mata
pelajaran apa yang akan diambil, menentukan sendiri langkah-langkah dalam
memenuhi setiap tujuan instruksional, mengevaluasi sendiri apakah tujuan-tujuan
instruksional tersebut dianggap tepat untuknya, juga pengajaran yang lebih tepat
baginya.
Prinsip pembelajaran adalah melakukan kegiatan, tidak ada
belajar yang tanpa aktivitas.80 Prinsip aktivitas dalam pengajaran
meliputi aktivitas mengajar yang dilakukan oleh ustadz dan
santri. Dalam pandangan ilmu jiwa modern, aktivitas mengajar
hanyalah sebatas tugas guru untuk mengatur lingkungan belajar
sebaik-baiknya, mengarahkan dan membimbing santri agar dapat
belajar dan mengembangkan kemampuannya secara kreatif.
Sehingga aktivitas belajar lebih dominan dibanding aktivitas
mengajar yang membawa impliksi bahwa siswalah yang aktif
mengembangkan aktivitasnya sendiri.
Aktivitas belajar santri dalam pengajaran sorogan meliputi
kegaiatan fisik maupun mental. Aktifitas fisik dapat dilakukan
santri dengan keterlibatannya secara langsung dalam membaca
kitab kuning, sedangkan aktivitas mental berupa aktivitas berfikir.
Demikian juga sebaliknya, ketika santri belajar membaca kitab,
maka pikiran harus tertuju dan terpusat pada bacaan.
Peran aktif santri dalam pengajaran sorogan memungkinkan
santri mendapat pengalaman secara langsung. Terutama sekali
pengetahuan tentang bahasa Arab yang sangat berguna bagi
santri ketika meembaca teks-teks berbahasa arab, serta dapat
meningkatkan kemampuan membaca teks-teks berbahasa Arab.
80 Sardiman, A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, cet ke-5, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994, h. 109.
4. Ketekunan santri
Ketekunan itu nyata dari jumlah waktu yang diberikan oleh santri untuk
mempelajari sesuatu. Jika santri memberikan waktu yang kurang dari yang
diperlukan utuk mempelajarinya, maka ia tidak akan menguasai bahan itu
sepenuhnya. Ketekunan belajar ini tampaknya bertalian dengan sikap dan minat
terhadap pelajaran. Bila suatu pelajaran karena sesuatu hal tidak menarik minatnya,
maka tentu sulit bagi santri untuk dapat menangkap apa yang diajarkan.81
5. Waktu yang tersedia untuk belajar
Dalam sistem pendidikan di pesantren, meskipun kurikulum yang diterapkan
tidak selalu juga menentukan waktu tertentu untuk pelajaran tertentu, namun tetep
ditentukan misalnya untuk satu semester atau satu tahun. Maksudnya, agar bahan
yang sama dikuasai semua murid dalam jangka waktu yang sama. Padahal,
menentukan satu waktu yang sama untuk bahan yang sama tidak akan sesuai bagi
semua murid berhubungan dengan perbedaan individual. Bagi murid yang pandai
waktu itu mungkin terlampau lama, sedangkan untuk murid yang tidak terlalu
pandai waktu yang ditentukan itu mungkin tidak cukup.
Apa yang harus dipelajari santri di pondok pesantren mungkin saja sama
banyaknya dengan apa yang dipelajari santri pada aktivitasnya di luar pesantren,
misalnya untuk santri yang juga berstatus sebagai pelajar atau santri yang juga
menjalankan tugasnya sebagai mahasiswa. Ada juga santri yang aktif namun ada
yang tidak aktif, semuanya ikut berpengaruh pada pemahaman santri terhadap
penerimaan pengajaran kitab yang menuntut pemahaman atas apa yang tertuang
dalam isi teks kitab tersebut. Selain karena dibutuhkan waktu yang cukup, juga
dibutuhkan konsentrasi yang tinggi. .
81 S. Nasution, Op.Cit , h. 46
3.Problem Mengkomunikasikan Pemahaman Kepada Orang Lain Atas Pembacaan Kitab
Kuning yang Menggunakan Arab pegon
Pembelajaran bahasa Arab di Indonesia, dilihat dari tujuannya
nampaknya bisa dibedakan ke dalam dua katagori, yaitu belajar bahasa Arab
sebagai tujuan dan belajar bahasa Arab sebagai alat.82 Bahasa Arab sebagai
tujuan berarti siswa yang memepelajari bahasa Arab diharapkan mampu
menguasai bahasa Arab secara aktif, baik dalam kemampuan muhadastah,
istima’, qiro’ah maupun kitabah. Dengan dimilikinya empat kemampuan
berbahasa tersebut, maka siswa diharapkan mampu berkomunikasi secara
lisan maupun tertulis dalam bahasa Arab yang berarti mampu berbahasa
Arab secara aktif maupun pasif.
Bahasa merupakan bagian integral dari pendidikan, bahasa membawa budaya
secara psikologis, membentuk suatu masyarakat bahasa. Bahasa bukan hanya suatu
alat pembentuk pola-pola perilaku individu untuk mencapai suatu basis
konformitas sosial, namun merupakan suatu alat pengembangan sumber daya fisik
dengan meningkatkan kapasitas produktif manusia. Fungsi utama suatu bahasa,
termasuk bahasa Arab, adalah alat untuk mengungkapkan makna-makna (pikiran,
perasaan, ide, gagasan dan sebagainya).
Problem apa sajakah yang muncul ketika santri berusaha
mengkomunikasikan pemahaman kepda orang lain atas pembacan kitab
kuning yang menggunakan Arab pegon?. Pertanyaan seperti ini muncul
karena penulis melihat fenomena yang selama ini ada di pesantren, dimana
santri yang lebih dari dua kali mempelajari satu kitab yang sama pun belum
82 Abdul Munif, Op.Cit, h. 2
tentu memahami, mengerti, dan belum tentu dapat menyampaikan apa yang
selama ini dipelajarinya.
Jangankan memahami satu kitab, memahami satu paragraf dari satu
uraian yang diajarkan oleh ustadz pun terkadang masih sulit dilakukan. Hal
ini semakin terlihat ketika berlangsung pengajian bandongan, seorang ustadz
dalam satu kali pertemuan membaca hingga satu lembar penuh salah satu
kitab, padahal dalam satu lembar saja terdapat puluhan kalimat dan belasan
paragraf. Untuk ustadz yang jeli, biasanya dalam satu kali pertemuan satu
jam tersebut, seorang ustadz berusaha membaca sedikit kemudian
menerjemahkan, menerangkan struktur kalimatnya dan menerangkan isi
pesan didalamnya, bahkan ada juga yang sampai mendiskusikannya. Namun
sayangnya hal ini jarang terjadi. Akibatnya santri saat mengikuti pengajian
bandongan banyak yang terlihat tidak serius, terlihat sambil mengantuk atau
bercanda meskipun ada juga santri yang serius.
Untuk pengajian sorogan, sistem yang diterapkan cukup membuat santri
mau mempelajari kitab kuning lebih mendalam, namun sayangnya intensitas
waktunya yang hanya 8x dalam sebulan. Berikut adalah penjabaran dari
beberapa problem yang dialami santri ketika berusaha mengkumunikasikan
pemahaman kepada orang lain atas pembacaan kitab kuning yang
menggunakan Arab pegon;
1. Problem gramatika bahasa
Agar dapat menerjemahkan kitab dengan baik, terlebih dahulu harus mempelajari tata
bahasa bahasa Arab, termasuk nahwu-shorof, namun tidak semua santri
menguasainya. Padahal.tanpa pemahaman keduanya, sangat sulit untuk
dapat menerjemahkan kitab kuning dengan baik dan benar.
2. Problem penggunaan metode terjemahan kata demi kata
Dalam penggunaan terjemahan jenis ini, urutan kata-kata bahasa sumber
dipertahankan dan kosakatanya diterjemahkan apa adanya berdasarkan
kamus. Kegunaan utama terjemahan kata demi kata adalah untuk
memahami sistem dan struktur bahasa sumber. Penggunaan terjemahan
jenis ini memang baik, namun sangat berpengaruh pada ketrampilan
pemahaman pada santri, sehingga umumnya santri ketika diharuskan
mengutarakan kembali uraian tentang apa yang diterjemahkan, mereka
lamban dan merasa kesulitan.
3. Problem dengan bahasa yang digunakan
Bahasa pada prinsipnya dugunakan oleh para pemakainya sebagai pembawa pesan
yang ingin disampaikan kepada orang lain. Namun hal ini tidak akan
dapat terpenuhi jika para pemakai bahasa tersebut (santri) tidak
mengetahui arti serta makna dari bahasa yang digunakan. Arab pegon
merupakan tulisan dengan aksara Arab menggunakan bahasa Jawa,
digunakan pada pesantren-pesantren tradisional yang ada di Jawa.
Penggunaan bahasa Jawa bagi orang Jawa maupun yang mengerti bahasa
Jawa bukanlah suatu problem, namun bagi yang sama sekali tidak
mengerti bahasa Jawa hal tersebut merupakan problem yang sangat
besar. Hal seperti ini tentu dapat diminimalisir dengan penggunaan dwi
bahasa yaitu Jawa-Indonesia pada setiap kali proses belajar mengajar
kitab kuning.
4. Adanya kesulitan materi
Meskipun para santri telah lama belajar kitab kuning dan sudah pernah
memperoleh pendidikan dari beberapa pesantren, namun kesulitan materi kitab
tetap dialami. Ada beberapa tingkatan dalam materi yang digunakan, yaitu
mudah, sedang dan sulit. Ada beberapa kitab yang didalamnya berisi tingkatan
gramatikal yang lebih rumit dibanding dengan kitab yang lain, adapula yang
tingkat balaghohnya sangat tinggi sehingga untuk dapat mempelajarinya
terlebih dahulu santri harus memulainya dengan kitab lain yang balaghohnya
lebih rendah.
Ada beragam cara yang dapat mempermudah para santri dalam mengatasi
kesulitan materi juga lebih mempermudah komunikasi,83 yaitu;
(1). Belajar kelompok, belajar bersama dan saling membantu dalam pelajaran.
Santri sering lebih paham akan apa yang disampaikan temannya daripada oleh
ustadz. Bahasa yang digunakan oleh santri lebih mudah ditangkap santri lain,
maka memanfaatkan bantuan santri dapat meningkatkan pemahaman dan
penguasaan bahan yang dipelajari.
(2). Bantuan tutor, yaitu orang yang dapat membantu santri secara individual.
(3).Adanya kitab penunjang selain kitab yang diajarkan, hal ini dapat
memberikan pemahaman lebih kepada santri selain apa yang sedang
dipelajarinya.
5. Kesanggupan untuk memahami pengajaran
Jika santri tidak dapat memahami apa yang dikatakan atau disampaikan oleh
ustadznya, atau apabila ustadz tidak dapat berkomunikasi dengan santrinya,
maka besar kemungkinan santri tidak dapat menguasai kitab yang diajarkan.
Karena kemampuan santri untuk menguasai suatu kitab banyak bergantung
pada kemampuannya untuk memahami ucapan ustadznya.
83 S. Nasution, Op.Cit, h. 43
Adapun asas-asas atau prinsip-prinsip secara umum yang harus diperhatikan
dalam setiap belajar mengajar;84 pertama, motivasi; dalam kegiatan belajar
mengajar, keyakinan akan tujuan serta minat belajar anak harus dibangkitkan
terlebih dahulu sesuai dengan tingkat perkembangan kematangannya. Kedua,
keingintahuan; pada dasarnya anak didik selalu ingin tahu segala sesuatu
disekitarnya. Keingintahuan ini akan berkembang juga, jika didukung oleh
lingkungan yang bersikap terbuka. Hubungan yang akrab antara ustadz dan
santri dapat mengembangkan rasa keingintahuannya. Ketiga, mengalami
sendiri; anak didik atau santri adalah manusia hidup yang pada dasarnya
memiliki dorongan kuat untuk bekerja aktif. Aktifitas ini bisa dikembangkan
jika didukung oleh lingkungan yang melibatkan santri dalam belajar. Keempat,
pemecahan masalah; dengan mengalami sendiri dapat menimbulkan
bermacam-macam pertanyaan bagi mereka yang telah berkembang
keingintahuannya. Menimbulkan dan mengembangkan pertanyaan dalam
kegiatan belajar-mengajar berarti mengembangkan kemampuan anak untuk
mmengembangkan kemampuan anak untuk menemukan masalah kemudian
memecahkannya. Untuk itulah bimbingan sangat diperlukan dalam
penmgembangan kemampuan memecahkan masalah ini. Kelima, analisis
sintesis; erat hubungannya dengan pemecahan masalah adalah asas analisis
sintesis. Dalam memahami sesuatu, berfikir analisis sintesis sangat penting agr
diperoleh pengetahuan tentang sesuatu. Berfikir analisis dilakukan untuk
menemukan ciri-ciri sesuatu, sedangkan berfikir analisis dilakukan untuk
menyatakan hubungan dari ciri-ciri tersebuty dalam suatu pernyataan yang
utuh. Oleh karena itu, analisis sintesis sangat menunjang dalam berfikir kritis.
84 S. Effendi, Beberapa Pokok Pikiran tentang Pengajaran Bahasa, (Pengajaran Bahasa Arab dan Sastra), Nomor I/I/1975, h. 9-11.
Keenam, perbedaan individual; anak didik bukanlah manusia yang memiliki
kesamaan, baik dalam kemampuan maupun kematangan. Setiap anak didik
memiliki tingkat kemampuan belajar tersendiri atau tingkat kesiapan berfikir
abstrak tersendiri pula.
D. Kelebihan dan kekurangan penggunaan Arab pegon bagi pemahaman isi teks pada
santri
Arab pegon yang sangat kental dengan khasanah budaya Jawa ini, meskipun
telah ratusan tahun bahkan melampaui beberapa abad, diantara pro-kontra
antara kelompok pesantren tradisional yang tetap memakainya dengan
pesantren yang dianggap modern-tanpa Arab pegon, pastilah memiliki alasan
masing-masing yang membuat keduanya tetap mempertahankan atau
menghilangkan.
Ada kelebihan juga terdapat kekurangan dalam penggunaan Arab pegon ini,
diantaranya yaitu;.
1. Beberapa kelebihan dalam penggunaan Arab pegon;
(1). Salah satu kelebihan dari penggunaan terjamahan ini adalah ditampakkannya semua
unsur teks dalam bahasa sasaran, sehingga kalimat yang diterjemah dapat
membuat santri paham pada struktur tata bahasanya secara lebih detail.
(2). Santri bisa mengetahui kedudukan kalimat dalam setiap tulisan.
(3). Meenggunakan simbol-simbol linguistik tertentu, sehingga mempermudah
untuk mengetahui kedudukan kalimat.
(4).Mendapatkan banyak kosakata. Hal ini bisa diamati karena dalam membaca
kitab satu fasal saja, mencapai ratusan kosakata, apalagi jika beberapa fasal.
(5). Para santri dapat menghayati dzauqul arabiyah. (rasa bahasa). Hal ini akan
sangat berpengaruh terhadap pemahaman santri akan nilai makna yang terkandung
didalamnya kitab.
(6). Keunikan yang patut dilestarikan. Menggunakan Arab pegon berarti sedikit banyak
kita telah berusaha menjaga kelestarian khasanah budaya Nusantara,
khususnya budaya bahasa Jawa.
2. Kekurangan atau kelemahan dalam penggunan Arab pegon;
(1). Membutuhkan waktu yang lama.
Untuk dapat memahami satu paragraf saja, seorang santri diharuskan membaca
serta menerjemahkan dengan menggunakan beragam unsur,
mencakup unsur struktur bahasa (nahwu-shorof), kosakata,
balaghohnya, serta isi kandungannya.
(2). Membutuhkan tenaga pengajar yang banyak.
Apabila proses belajar-mengajar kitab kuning ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman penuh kepda santri, maka nyata
dibutuhkan tenaga pengajar yang cukup banyak untuk jumlah
santri yang berlimpah. Karena jika melihat sistem pengajaran
yang ada yaitu bandongan dan sorogan, maka yang dinilai lebih
teliti dalam memberikan pengajaran kepada santri adalah
pengajian sorogan. Namun sorogan ini membutuhkan waktu yang
lama, tenaga pengajar yang banyak juga kedisiplinan tinggi dalam
belajar.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menguraikan dan menganalisis proses penerjemahan kitab kuning
dengan menggunakan Arab pegon pada santri Madrasah Salafiyah III, Komplek
Q, Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, maka penulis dapat menyimpulkan
hal-hal sebagai berikut:
1. Proses penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon ini mengungkap tiga
hal, yaitu (1) isi atau pesan (2) unsur linguistik teks dan (3) unsur
ekstralinguistik teks.
2. Problematika penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon yang timbul
pada santri terbagi menjadi dua katagori, yaitu (1) Problem linguistik,
mencakup morfologis, sintaksis, semantik, dan restrukturisasi. (2)
Problem non linguistik, mencakup kurangnya penguasaan bahasa sumber dan
bahasa sasaran, perbedaan tata cara penulisan antara huruf Arab yang
berbahasa Arab dengan penulisan Arab pegon, kesulitan materi kitab yang
diterjemah, serta kondisi pada saat menerjemahkan.
3. Setiap santri selalu mengharapkan bahwa apa yang dipelajarinya dapat
membuat pengetahuan keilmuannya bertambah, namun ternyata tidak semua
santri dapat sukses mendapatkannya. Problem yang dialami santri dalam hal
ini yaitu; mutu pengajaran, persoalan penggunaan bahasa, kecepatan
menangkap pelajaran, ketekunan santri, waktu yang tersedia untuk belajar.
4. Problem yang muncul ketika santri mengkomunikasikan pemahamannya
kepada orang lain atas pembacaan kitab kuning yang menggunakan Arab
pegon, yaitu; problem gramatika bahasa, penggunaan metode terjemahan kata
demi kata, bahasa yang digunakan, kesulitan materi, dan kesanggupan untuk
memahami pengajaran.
5. Kelebihan penggunaan Arab pegon yaitu;
a. Memperlihatkan semua unsur teks yang ada
b. Santri dapat mengetahui kedudukan kalimat dalam setiap tulisan
c. Menggunakan simbol-simbol linguistik tertentu yang memudahkan santri
mengetahui kedudukan kalimat
d. Mendapatkan banyak kosakata
e. Para santri dapat menghayati dzauqul arabiyah. (rasa bahasa)
f. Menggunakan Arab pegon berarti sedikit banyak kita telah berusaha
menjaga kelestarian khasanah budaya Nusantara, khususnya budaya
bahasa Jawa.
6. Kekurangannya penggunaan Arab pegon, yaitu membutuhkan waktu yang
lama dan tenaga pengajar yang banyak
B. Saran-saran
1. Pimpinan Pondok Pesantren;
Mempertahankan serta mengembangkan berlangsungnya proses pengajaran kitab
kuning dengan menggunakan Arab pegon.
2. Pimpinan Madrasah Salafiyah III;
a. Mengembangkan pelaksanaan pengajaran kitab kuning dengan
metode–metode baru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan
pesantren.
b. Membuat tata tertib yang mengatur kedisiplinan serta mengontrol
pelaksanaannya dan melakukan tindakan tegas bagi yang melanggar.
c. Meningkatkan kinerja kepengurusan madrasah, khususnya yang
menangani masalah kegiatan belajar-mengajar.
3. Para ustadz
a. Hendaknya dalam mengajar kitab kuning, para ustadz agar lebih
memperhatikan keadaan santrinya, termasuk memperhatikan para
santri yang belum mengerti bahasa Jawa.
b. Menjaga kedisiplinan dalam mengajar kitab kuning.
4. Para Santri
Menggunakan kesempatan menimba ilmu dengan sebaik-baiknya.
C. Kata Penutup
Matur sembah nuwun kepada Allah penguasa bumi raya yang telah memberi
kemudahan dan jalan terang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan,
untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
mambantu dalam penulisan skripsi ini.
Yogyakarta, 14 Nopember 2004
Penyusun
Tafsiyatun Rohanah
DAFTAR PUSTAKA
A, Djunaidi, Syakur, Pondok Pesantren Putri Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta Madrasah Salafiyah III, Lana Usaha Press, Yogyakarta, 2002
Abdul Fuad, Hamid, Proses Belajar Mengajar Bahasa, Jakarta, Depdikbud, 1987
Abdurrahman, Dudung, Pengantar Metodologi Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah, Yogyakarta, IKFA Prees, 1998
Abubakar Aly, Basalamah, “Memahami Kitab Kuning Melalui Terjemahan Tradisional (Suatu Pendekatan Tradisional terjemahan Pondok Pesantren)”, Pesantren, Nomor Perdana, 1984
Alpandie, Imansyah, Didaktik Metodik Pendidikan Umum, Usaha Nasional, Surabaya, 1984
A.M, Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta, Raja Grafindo Persada, Cet ke-5, 1994
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Bina Aksara, Jakarta, 1989
Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat:Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995
Chaer, Abdul, Linguistik umum, , Jakarta Rineka Cipta, 1994
Chozin A, Nasuha, Epistemologi Kitab Kuning, Jurnal Pesantren. No.1/Vo l.
VI/1989
Dahlan, Juwairiyah, Metode Belajar Mengajar Bahasa arab, Surabaya, Penerbit Al-Ikhlas, 1992
Dawam M, Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Yogyakarta, 1995
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES Cet.,ke-4, 1994
Effendi, S., Beberapa Pokok Pikiran tentang Pengajaran Bahasa, (Pengajaran Bahasa Arab dan Sastra), Nomor I/I/1975
Fatkhan, Muh, Sinkretisme Jawa-Islam, Jurnal Religi. Vol. I/ No 2, Juli 2002
Gazalba, Siti, Masyarakat Islam (Pengantar Sosiologi dan Sosiografi), Bulan Bintang, Jakarta, 1976
Guntur Henry, Tarigan, Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, Bandung, Angkasa, 1984
__________________,Metodologi Pengajaran Bahasa, Jakarta, Depdikbud, 1989
Hadi, Sutrisno, Metodologi research I, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM
Hamid, Ismail, Kesusasteraan Indonesia Lama Bercorak Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1989
Hartono, Belajar Menerjemahkan, UMM Press, Malang Cet ke-2, 2003
William A, Haviland (terj), Antropologi Jilid 2, Erlangga, Jakarta, edisi ke-4,1993
Hidayah, Irfatul, Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama dalam Proses Marginalisasi Budaya Lokal, Jurnal Religi, Vol. II, No. 2 Juli-Desember 2003
Israr, C, Sejarah Kesenian Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, h. 27.
Keseng, Syahruddin, Linguistik Terapan: Pengantar Menuju Pengajaran Bahasa yang Sukses, Jakarta, Depdikbud, 1989
Katalog Pameran Manuskrip Nusantara, Yogyakarta, September 2004
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta, Balai Pustaka, 1994
____________, Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta, Gramedia, 1976
____________ , Pengantar Antropologi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1996
Kompas, Melihat palembang dari naskah kuno, Senin 29 september 2003
Lexy J, Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, Cet ke-11, 2000
Lombard, Denys, Nusa jawa:Silang Budaya Jilid I, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000
Marsono, Pergumulan Islam dalam Sistem Nilai Budaya Jawa,Religi,VolII, NO.2, Juli-Desember 2003
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, 1994
Mochtar, Affandi, Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi; Pesantren Tradisi Kitab Kuning Sebuah Observasi Umum, Bandung, Pustaka Hidayah, 1999
Munif, Abdul, Problem Penerjemahan Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia; Suatu
Pendekatan Error Analysis, Makalah Program Diskusi Ilmiah dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, 2000
Nasution, S, Berbagai pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Jakarta, Bumi Aksara, Cet ke-7, 2000
Nasution, S, Metode Reseach: Penelitian Ilmiah, Jakarta, Bumi Aksara, 2002
N.K, Roestiyah, Masalah Pengajaran sebagai Suatu Sistem, Jakarta, Rineka Cipta,1994
N.K, Roestiyah, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta, Rineka Cipta, 1991
Parera, JD., Teori Semantik, Erlangga, Jakarta, 1991
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al barry,Kamus ilmiah populer, Surabaya, Penerbit Arkola 1994
Pateda, Mansoer, Linguistik:Sebuah Pengantar, Bandung, Angkasa, 1990
Purwadi, Kamus Jawa-Indonesia, Jakarta, Pustaka Widyatama, 2003
Ramlan, Ilmu Bahasa Indonesia-Sintaksis, Yogyakarta, UP Karyono, 1981
Riyadi, Slamet, Tradisi Kehidupan Sastra di Kesultanan Yogyakarta, Gama Media, Yogyakarta, 2002
Romdoni, Pedoman Membaca Arab Melayu, Intimedia, Jakarta, 2004
Sandtono, E, Pedoman Penerjemahan, Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1985
Saudah, Ali, Makalah Penerjemahan Arab-Indonesia dan Masalahnya, Panitia Pertemuan Ilmiah Nasional Bahasa Arab I, Malang, 1999
Surakhmad, Winarno, Metodologi Pengajaran Nasional, Jemmars, Jakarta, 1979
Taufiq dan Idris BA, Mengenal Kebudayaan Islam,PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1983
Utari, Sri, dan Subyakto Nababan, Metodologi Pengajaran Berbahasa, Jakarta, Depdikbud, 1988
Utomo, Wahyu, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternative Masa Depan, Jakarta,Gema Insan Press, Cet. Ke-4, 1997
Yusuf, Tayar dan Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, Jakarta, Rajawali Press, 1994
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Serat Menak berhuruf Arab pegon…………………………………100
Lampiran II : Hikayat Bayan Budiman………………………………………….…101
Lampiran III : Daftar Naskah Tulisan Tangan Arab-Melayu………………….102
Lampiran IV : Siroj Al-Ma’rifah……………………………………………………..106
Lampiran V : Kitab Fatkhul Qorib al-Mujib………………………………………107
Lampiran VI : Salinan Catatan Milik Salah Satu Santri………………………..108
Lampiran VII : Bukti Seminar Proposal………………………………………....109Lampiran VIII : Surat Keterangan/Ijin dari BAPEDA……………………………110
Lampiran IX : Permohonan Izin Riset Kepada kepala Madrasah Salafiyah III…111
Lampiran X : Surat Pernyataan Riset dari Madrasah Salafiyah III…………….112
Lampiran XI : Permohonan Izin riset Kepada Gubernur………………………..113
Lampiran XII : Sertifikat KKN…………………………………………………..114
Lampiran XIII : Sertifikat PPL II…………………………………………………115