NURFI USMIANTI ( 10340018 )

184
i PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PERKARA No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI BANTUL YOGYAKARTA SKRIPSI DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU DALAM ILMU HUKUM OLEH: NURFI USMIANTI NIM: 10340018 PEMBIMBING: 1. BUDI RUHIATUDIN, S.H., M.Hum. 2. Dr. MAKHRUS MUNAJAT, M.Hum ILMU HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2014

Transcript of NURFI USMIANTI ( 10340018 )

i

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN

PERKARA No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. TERHADAP ANAK

SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

DI PENGADILAN NEGERI BANTUL YOGYAKARTA

SKRIPSI

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH

GELAR SARJANA STRATA SATU DALAM ILMU HUKUM

OLEH:

NURFI USMIANTI

NIM: 10340018

PEMBIMBING:

1. BUDI RUHIATUDIN, S.H., M.Hum.

2. Dr. MAKHRUS MUNAJAT, M.Hum

ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2014

ii

ABSTRAK

Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana yang saat ini sudah

dikenal merebak di kalangan masyarakat. Pada dasarnya narkotika merupakan

obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan

dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun seiring perkembangan zaman,

penggunaan narkotika saat ini semakin meningkat karena tidak lagi dipergunakan

untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kesehatan, tetapi disalahgunakan oleh

berbagai kalangan bahkan oleh kalangan anak-anak. Seperti halnya orang dewasa,

anak yang terlibat dalam tindak pidana narkotika dapat dihukum apabila terbukti

melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun untuk penjatuhan sanksi dan proses

peradilannya mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Peradilan Anak. Penelitian mengenai berkas putusan dari tahun 2008 sampai 2013

di Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta ada satu perkara yang ditangani

mengenai tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak yakni perkara No.

97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.

Dari hal tersebut timbul permasalahan mengenai bagaimana perlakuan yang

diterapkan hakim di persidangan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dan

dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana narkotika yang

dilakukan oleh anak pada perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. Untuk menjawab

permasalahan tersebut, penulis menggunakan pendekatan yuridis empiris di mana

beberapa Perundang-Undangan yang berkaitan dengan permasalahan ini dijadikan

sebagai bahan acuan untuk penelitian. Selain itu juga menggunakan analisis

kualitatif untuk menganalisis data yang diperoleh. Metode yang digunakan dalam

skripsi ini adalah metode berpikir induktif, yaitu kesimpulan dimulai dari

pernyataan atau fakta-fakta umum menuju khusus. Penelitian ini dilakukan di

Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta dan yang menjadi narasumber adalah

Hakim yang memutus perkara tersebut.

Adapun hasil penelitian ini bahwa perlakuan yang diterapkan kepada anak

di persidangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak yang intinya anak diperlakukan khusus berbeda dengan orang

dewasa. Mengenai dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Bantul dalam

memutus perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl., hakim menggunakan dasar

pertimbangan yuridis dan non yuridis. Pertimbangan yuridis di sini meliputi surat

dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum, keterangan saksi, keterangan terdakwa,

barang bukti, tindakan pidana, dan pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika.

Sedangkan pertimbangan non yuridis didasarkan pada sosiologis, psikologis,

kriminologis, dan filosofis anak tersebut yang mana hakim melihat pada hasil

Penelitian Kemasyarakatan dari Petugas Badan Pemasyarakatan yang merupakan

pembimbing kemasyarakatan. Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut maka

hakim menjatuhkan pidana penjara 7 bulan. Penjatuhan pidana penjara tanpa

direhabilitasi menurut penulis kurang sesuai, karena jika anak tidak direhabilitasi

tidak menutup kemungkinan bahwa di kemudian hari akan mengulanginya lagi.

iii

iv

v

vi

vii

MOTTO

Kemenangan yang seindah-indahnya dan sesukar-sukarnya yang

boleh direbut oleh manusia ialah menundukkan diri sendiri.

(Ibu Kartini)

Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua.

(Aristoteles)

Mereka berkata bahwa setiap orang membutuhkan tiga hal yang akan

membuat mereka berbahagia di dunia ini, yaitu : seseorang untuk

dicintai, sesuatu untuk dilakukan, dan sesuatu untuk diharapkan.

(Tom Bodett)

Hiduplah seperti pohon kayu yang lebat buahnya; hidup di tepi jalan

dan dilempari orang dengan batu, tetapi dibalas dengan buah.

(Abu Bakar Sibl)

viii

KATA PENGANTAR

حيم حمن الر بسم للا الر

إال اهلل وأشهد أن حممدا أحلمد هلل رب العاملني وبه نستعني على أمورالدنيا والدين. أشهد أن ال إلهرسول اهلل. والصالة والسالم على أشرف األنبياء واملرسلني سيدنا حممد وعلى أله وصحبه أمجعني.

أمابعد.

Puji syukur atas segala karunia yang diberikan Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmad, hidayah, serta inayah-Nya kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan skripsi berjudul Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan

Putusan Perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. terhadap Anak sebagai Pelaku

Tindak Pidana Narkotika di Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta tepat pada

waktunya. Tak lupa shalawat serta salam semoga selalu tercurah pada Nabi

Muhammad SAW, yang telah diutus untuk membawa rahmat kasih sayang bagi

alam semesta dan selalu dinantikan syafaatnya di yaumil qiyamah nanti.

Karya tulis ini merupakan skripsi yang diajukan kepada Fakultas Syari’ah

dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai syarat memperoleh gelar

Sarjana Hukum (S.H). Selama penyusunan skripsi ini dan selama penulis belajar

di Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum, yang mana penulis

banyak mendapat bantuan, motivasi, tersedianya fasilitas-fasilitas yang diberikan,

serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima

kasih dan hormat kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Musa Asy’arie, selaku Rektor Universitas Islam Negeri

(UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

ix

2. Bapak Noorhaidi Hasan, M.A., M.Phil., Ph.D., selaku Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga

Yogyakarta.

3. Bapak Udiyo Basuki, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Bapak Ach Tahir, S.H.I., L.L.M., M.A., selaku Sekretaris

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam

Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

4. Bapak Ahmad Bahiej, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik, Bapak

Budi Ruhiatudin, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I, dan Bapak Dr.

Makhrus Munajat, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing II yang telah tulus

ikhlas meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan

pengarahan, dukungan, masukan, serta kritik-kritik yang membangun selama

proses penulisan skripsi ini.

5. Ibu Lindra Darnela, S.Ag., M.Hum. dan Bapak Ahmad Bahiej, S.H., M.Hum.

selaku penguji skripsi yang telah meluangkan tenaga dan pikiran untuk

menguji skripsi saya.

6. Bapak Sulistyo Muhammad Dwi Putro, S.H., dan Bapak Ayun Kristiyanto,

S.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta beserta staf

Pegawai yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini.

7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Tata Usaha Fakultas Syari’ah

dan Hukum yang khususnya Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam

Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang tidak dapat penulis sebut satu

persatu, yang telah tulus ikhlas membekali dan membimbing penulis untuk

x

memperoleh ilmu bermanfaat sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam

Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta tepat pada waktunya.

8. Orang tuaku Bapak Warsita dan Ibu Sudayem tersayang dan tercinta yang

selalu penulis banggakan. Terima kasih atas perhatian, curahan kasih

sayangnya kepada penulis, memberikan semangat, memberikan pengorbanan

tulus ikhlas, serta memberikan bantuan moril dan materiil yang diberikan

selama ini dengan tulus ikhlas.

9. Kakakku tercinta Eka Yulianti beserta Suami David Irwanto dan si kecil

Reyvan Andeka Pratama yang selalu memberikan nasihat, memberi keceriaan

dalam hidupku, mendoakan, dan menyayangi penulis. Dan juga adekku Nur

Fauzianti yang selalu penulis cintai dan banggakan, serta selalu memberi

keceriaan dalam hidup penulis.

10. Calon suamiku Novi, terima kasih sudah memberi warna dalam hidupku,

menemaniku selama 4 tahun lebih, membimbing, memberi semangat,

memberi dukungan, dan kasih sayang yang tulus. I will always love you....

11. Calon mertuaku Bapak Triyanto dan Ibu Dwiyati, serta calon adek iparku

Indriyanti terima kasih atas dukungan, perhatian, dan kasih sayang yang

kalian berikan.

12. Sahabat-sahabatku keluarga besar “Simbok’e, Rani Novita S, Nina Mustika

S, Novia Trisiana R, Latifa Mustafida, Nur Sulaiha, Rizka Nurul Izzati,

Zulfatin Khuriyah, Lenny Putri S, Amanda Tikha S, Miftachurrohmah,

Cempaka Indah, Winda Septiani, kalian memang sahabat yang memberi

xi

keceriaan di kampus yang tak kan penulis lupakan, dan seluruh teman-teman

Program Studi Ilmu Hukum Angkatan 2010 yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu.

13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini baik

secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan

satu persatu.

Meskipun skripsi ini merupakan hasil kerja maksimal penulis, namun

penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna. Untuk itu dengan kerendahan

hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca

sekalian. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan

kontribusi positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan

untuk perkembangan hukum pidana dan hukum acara pidana khususnya.

Yogyakarta, 01 Desember 2013

Yang menyatakan

NURFI USMIANTI

NIM : 10340018

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN COVER .......................................................................................i

ABSTRAK ........................................................................................................ii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ...........................................................iii

SURAT PERSETUJUAN SKRIPSI ...............................................................iv

HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................vi

HALAMAN MOTTO ......................................................................................vii

KATA PENGANTAR ......................................................................................viii

DAFTAR ISI .....................................................................................................xii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................1

B. Rumusan Masalah .....................................................................................4

C. Tujuan dan Kegunaan ...............................................................................4

D. Telaah Pustaka ..........................................................................................5

E. Kerangka Teoretik ....................................................................................8

F. Metode Penelitian ......................................................................................22

G. Sistematika Pembahasan ..........................................................................25

BAB II TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG

DILAKUKAN OLEH ANAK ................................................................27

A. Pengertian Narkotika dan Jenis-Jenis Narkotika ......................................27

1. Pengertian Narkotika ...........................................................................27

2. Jenis-Jenis Narkotika ...........................................................................30

xiii

B. Ketentuan-Ketentuan tentang Tindak Pidana Narkotika ..........................32

C. Pengertian Anak dan Pengertian Tindak Pidana yang Dilakukan

oleh Anak ..................................................................................................38

1. Pengertian Anak ...................................................................................38

2. Pengertian Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak ........................44

D. Faktor-Faktor Anak Melakukan Tindak Pidana Narkotika ......................49

1. Faktor Internal Pelaku ..........................................................................49

2. Faktor Eksternal ...................................................................................52

BAB III TINJAUAN UMUM PERADILAN ANAK DAN GAMBARAN

UMUM PENGADILAN NEGERI BANTUL YOGYAKARTA .........58

A. Peradilan Anak di Indonesia .....................................................................58

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Penjara bagi

Anak ..........................................................................................................68

1. Pertimbangan Yuridis ..........................................................................69

2. Pertimbangan Non Yuridis ..................................................................77

C. Dampak Penerapan Sanksi bagi Anak Pelaku Tindak Pidana ..................83

D. Gambaran Umum Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta .......................85

1. Profil dan Sejarah .................................................................................85

2. Letak Geografis ....................................................................................87

3. Visi dan Misi ........................................................................................87

4. Struktur Organisasi ..............................................................................88

5. Tugas dan Fungsi .................................................................................89

xiv

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................95

A. Analisis Putusan Perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. ...........................95

1. Duduk Perkara .....................................................................................95

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum .........................................................97

3. Keterangan Saksi .................................................................................97

4. Keterangan Terdakwa ..........................................................................100

5. Barang Bukti ........................................................................................101

6. Putusan Pengadilan ..............................................................................102

a. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim ...............................................102

b. Amar Putusan ..................................................................................105

B. Pembahasan ..............................................................................................107

1. Perlakuan yang Diterapkan Hakim di Persidangan terhadap Anak

sebagai Pelaku Tindak Pidana .............................................................107

2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana

Narkotika yang Dilakukan oleh Anak pada Perkara No.

97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. ......................................................................115

BAB V PENUTUP ............................................................................................125

A. Kesimpulan ...............................................................................................125

B. Saran .........................................................................................................126

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................128

LAMPIRAN

xv

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan aset bangsa dan generasi penerus masa depan. Untuk

mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas maka tanggung jawab

bersama antara orang tua, masyarakat lingkungan tumbuh anak, aparat yang

terkait, lingkungan pendidikan baik formal maupun informal, serta negara.

Perkembangan zaman di segala bidang membawa pengaruh dalam pola

kehidupan baik berpengaruh positif maupun negatif. Salah satu pengaruh

negatif adalah adanya orang tua yang terlalu sibuk dengan kepentingan sendiri

tanpa memperhatikan kepentingan anak, sehingga kontak pribadi antara orang

tua dan anak tidak ada. Pola didik orang tua yang sibuk dengan urusannya

sendiri menciptakan suasana perkembangan kejiwaan yang tidak diinginkan

oleh anak, sehingga anak cenderung berperilaku salah. Hal tersebut tentu saja

akan mengganggu perkembangan anak dan tidak menutup kemungkinan akan

menimbulkan penyimpangan-penyimpangan.

Sholeh Soeaidy dan Zulkhair1 menyebutkan dalam bukunya bahwa

penyimpangan perilaku anak saat ini sudah tidak dapat lagi dikatakan biasa,

dan harus ada tindak lanjut yang serius dari semua pihak, karena di dalam

tindakan penyimpangan perilaku yang dilakukan anak tersebut sudah

menyebabkan jatuhnya korban. Maka dalam menghadapi masalah anak nakal,

orang tua dan masyarakat sekitarnya harus lebih bertanggung jawab terhadap

pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak tersebut.

1 Sholeh Soeaidy dan Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Novindo

Pustaka Mandiri, 2001), hlm. 23.

2

Masalah penyimpangan anak biasanya lebih dikenal dengan kenakalan

anak. Kenakalan anak yang terjadi tidak hanya sebatas membolos sekolah,

berbohong, ataupun mencoret-coret dinding akan tetapi sudah masuk dalam

kelompok kejahatan yang biasanya dilakukan oleh orang dewasa. Kejahatan-

kejahatan ini misalnya mengenai pencurian, pelecehan seksual, dan yang lebih

memprihatinkan lagi sudah merambah kepada penyalahgunaan narkotika.

Belakangan ini penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak semakin

merebak. Hal ini menjadi permasalahan serius karena narkotika pada dasarnya

diciptakan dengan berbagai jenis yang fungsinya untuk pengobatan penyakit

tertentu dan sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan. Apabila

narkotika tersebut digunakan tidak sebagaimana mestinya, pastinya akan

melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Walaupun pelaku kejahatan adalah anak-anak, yang mana menurut

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak adalah

yang berumur 8 (delapan) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun

namun dengan adanya tinjauan kembali dari Mahkamah Konstitusi maka

diubah menjadi berumur 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun,

tentu harus mendapat sanksi. Pemberian sanksi kepada pelaku kejahatan selain

untuk penegakan hukum juga untuk menjamin rasa keadilan baik korban dan

masyarakat yang telah dirugikan dengan adanya tindak pidana tersebut. Setiap

tindak pidana yang pelakunya masih anak-anak, harus ada pertimbangan serius

sebelum menjatuhkan sanksi pidana. Selain itu perlakuan terhadap anak di

persidangan harusnya diperlakukan khusus berbeda dengan perlakuan kepada

3

orang yang sudah dewasa. Perlakuan-perlakuan khusus tersebut sudah diatur

dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan anak. Namun

dalam praktiknya masih ada penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.

Contoh kasus mengenai tindak pidana narkotika yang dilakukan anak

yakni perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. di Pengadilan Negeri Bantul

Yogyakarta. Dalam perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl., Yanuar Nur Fajar als

Zanu bin Wijono (yang selanjutnya disebut terdakwa) melakukan tindak pidana

narkotika untuk dirinya sendiri. Putusan pengadilan menyatakan bahwa

terdakwa dipidana penjara selama 7 (tujuh) bulan. Walaupun sebelumnya

hakim telah melakukan pertimbangan-pertimbangan sebelum memutuskan,

hendaknya hakim tidak memberi hukuman pidana penjara namun direhabilitasi

demi masa depan anak agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Walaupun

saran dari Balai Pemasyarakatan menyebutkan anak tersebut diberikan pidana

penjara, namun hakim sebaiknya mempertimbangkan mengenai rehabilitasi

terhadap anak. Hal tersebut tentu saja memberikan kesempatan bagi anak untuk

menjadi lebih baik dan tidak mengulangi perbuatan tersebut di kemudian hari.

Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun tertarik untuk mengambil

judul penelitian Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. terhadap Anak sebagai Pelaku

Tindak Pidana Narkotika di Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta.

4

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, yang menjadi rumusan

masalah dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana perlakuan yang diterapkan hakim di persidangan terhadap anak

sebagai pelaku tindak pidana?

2. Apa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana narkotika

yang dilakukan oleh anak pada perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl?

C. Tujuan dan Kegunaan

1. Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui perlakuan yang diterapkan hakim di persidangan

terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi

pidana narkotika yang dilakukan oleh anak pada perkara No.

97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.

2. Kegunaan

Kegunaan baik secara teoretis ataupun secara praktis yang didapat dari

penelitian ini adalah:

a. Kegunaan Teoretis

1) Memberikan sumbangan bagi pengembangan Ilmu Hukum pada

umumnya dan Hukum Pidana pada khususnya tentang pertimbangan

hakim menjatuhkan sanksi pidana narkotika yang dilakukan anak.

5

2) Memberikan alternatif pemikiran kepada Hakim Pengadilan Negeri

Bantul mengenai dasar pertimbangan dalam menjatuhkan sanksi

pidana narkotika yang dilakukan oleh anak.

b. Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis di sini yakni berguna untuk mengembangkan

penalaran dan mengembangkan kemampuan peneliti dalam mengkritisi

persoalan hukum terutama tentang sistem pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan sanksi pidana narkotika yang dilakukan oleh anak.

D. Telaah Pustaka

Menurut Sardjono2, telaah pustaka sangat berguna bagi proses

pembahasan diadakannya penelitian ini. Fungsi kajian pustaka pada dasarnya

untuk menunjukkan bahwa fokus yang diangkat dalam diadakannya penelitian

belum pernah dikaji oleh peneliti sebelumnya. Beberapa literatur yang

dijadikan telaah pustaka membantu penyusun dalam melakukan penelitian ini

sedikit banyak memiliki keterkaitan dengan objek penelitian dan skripsi ini.

Adapun karya yang menjadi objek tersebut adalah sebagai berikut:

Penulis membaca buku karangan Maidin Gulltom3 yang berjudul

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di

Indonesia, yang mana buku ini memuat sistem peradilan anak di Indonesia.

2 Sardjono, dkk., Panduan Penulisan Skripsi, (Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Agama

Islam, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan kalijaga, 2008), hlm. 9.

3 Maidin Gultom. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana

Anak Di Indonesia, cet. Pertama (Bandung: Refika Aditama, 2006).

6

Selain itu dalam buku ini banyak teori-teori tentang perlindungan hukum anak

yang berhadapan dengan hukum.

Selain buku karangan Maidin Gultom, penulis juga membaca buku karya

Kusno Adi4 yang berjudul Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan

Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak. Dalam buku ini berisi penjelasan seputar

hukum acara peradilan anak, prosedur peradilan anak serta ketentuan-ketentuan

apa saja yang harus menjadi bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

putusan terhadap terdakwa anak di bawah umur.

Karya tulis atau skripsi dari Lina Muakhiroh5 dengan judul “Sanksi

Pengguna Narkotika Oleh Anak (Studi Kasus Putusan Di Pengadilan Negeri

Yogyakarta Tahun 2002)”, yang mana skripsi ini mengkaji putusan tindak

pidana narkotika oleh anak selama tahun 2002 di Pengadilan Negeri

Yogyakarta yang dianalisis dari segi penjatuhan sanksi dan pertimbangan

hakim terhadap pengguna narkotika oleh anak serta membandingkannya

dengan perspektif hukum Islam. Sedangkan dalam penelitian yang saya tulis

lebih difokuskan pada satu kasus saja yakni pada perkara No.

97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. di Pengadilan Negeri Bantul yang mana penulis

menganalisis dari pelaksanaan putusan serta perlakuan yang diterapkan kepada

anak tersebut, dasar hakim dalam memutus perkara, dan saya tidak

membandingkannya dengan perspektif hukum Islam.

4 Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika

Oleh Anak, cet. Pertama, (Malang: UMM Press, 2009).

5 Lina Munakhiroh, “Sanksi Pengguna Narkotika Oleh Anak (Studi Kasus Putusan di

Pengadilan Negeri Yogyakarta Tahun 2002)”, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah, UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.

7

Skripsi karya Vindriyanti6, “Pertanggungjawaban Pidana Pengguna

Narkotika (Studi Putusan No 91/PidB/2006/PNYk)” juga menjadi telaah

pustaka karena skripsi ini mengkaji pada putusan. Namun penelitiannya

dilakukan di Pengadilan Negeri Yogyakarta, yang mana dalam skripsi ini

menganalisis penjatuhan sanksi dan pertimbangan hakim terhadap pengguna

narkotika serta membandingkannya dengan perspektif hukum Islam dan

menganalisis perkara tersebut dari segi Undang-Undang No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika. Sedangkan dalam penelitian penulis, lebih fokus pada satu

perkara yakni perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. di Pengadilan Negeri

Bantul mengenai pelaksanaan putusan serta perlakuan yang diterapkan kepada

anak tersebut, dasar hakim dalam memutus perkara, dan tidak membandingkan

dengan perspektif hukum Islam serta tidak membandingkan dengan Undang-

Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Selanjutnya penulis juga menjadikan makalah milik Nashriana7 Dosen

Universitas Sriwijaya, “Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Pidana Penjara terhadap Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkoba” sebagai telaah

pustaka. Makalah ini mengkaji pada perkara pidana narkoba yang dilakukan

anak mengenai pertimbangan hakim sehingga menjatuhkan pidana penjara, dan

upaya yang dapat dilakukan agar hakim lebih mengedepankan putusan yang

bersifat mengobati (rehabilitasi) dibanding dengan pidana penjara.

6 Vindriyanti, “Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Narkotika (Studi Putusan No

91/PidB/2006/PNYk)”, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah, UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2008.

7 Nashriana, “Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Penjara terhadap

Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkoba”, Makalah, Universitas Sriwijaya.

8

E. Kerangka Teoretik

1. Teori Pemidanaan

Pemidanaan secara sederhana diartikan dengan penghukuman.

Penghukuman yang dimaksud adalah berkaitan dengan penjatuhan pidana

dan alasan-alasan pembenar dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang

dengan putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap dinyatakan

secara sah, dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana.

Mengenai tujuan pemidanaan pada prinsipnya ada dalam berbagai

teori pemidanaan yang lazim digunakan. Adapun tiga teori pemidanaan

yang dijadikan alasan pembenar penjatuhan pidana adalah sebagai berikut:

a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen).

Teori ini dikenal dengan teori mutlak, teori imbalan, atau teori

pembalasan. Menurut Wirjono Prodjodikoro8, teori absolut ini memuat

penjelasan bahwa setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana tanpa

tawar-menawar. Maksudnya adalah apabila seseorang mendapat pidana

karena telah melakukan kejahatan maka pemberian pidana di sini

ditujukan sebagai bentuk pembalasan terhadap orang yang telah

melakukan kejahatan.

Ada banyak filsuf dan dan ahli hukum pidana yang menganut teori

ini, di antaranya ialah Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, dan JJ

Rousseau. Dari banyaknya tokoh penganut teori ini, Hegel merupakan

penganut yang terkenal. Menurut Hegel dalam bukunya Muladi dan

8 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika

Aditama, 2008), hlm. 23.

9

Barda Nawawi9, berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis

sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.

Jadi, dalam teori ini pidana dapat disimpulkan sebagai bentuk

pembalasan yang diberikan oleh negara yang bertujuan menderitakan

penjahat akibat perbuatannya. Tujuan pemidanaan menurut Djoko

Prakoso10

sebagai pembalasan pada umumnya dapat menimbulkan rasa

puas bagi orang, yang dengan jalan menjatuhkan pidana yang setimpal

dengan perbuatan yang telah dilakukan.

b. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien).

Lahirnya teori ini menurut penulis merupakan suatu bentuk

penegasan terhadap teori absolut. Walaupun secara historis teori ini

bukanlah suatu bentuk penyempurnaan dari teori absolut yang hanya

menekankan pada pembalasan dalam penjatuhan hukuman terhadap

penjahat. Teori yang juga dikenal dengan nama teori nisbi ini menjadikan

dasar penjatuhan hukuman pada tujuan dan maksud hukuman sehingga

ditemukan manfaat dari suatu penghukuman.

Menurut Andi Hamzah11

, teori ini berprinsip penjatuhan pidana

guna menyelenggarakan tertib masyarakat yang bertujuan membentuk

suatu prevensi kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda: menakutkan,

memperbaiki, atau mebinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum dan

9 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,

2010), hlm. 12.

10 Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 47.

11 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 34.

10

khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya

tidak melakukan delik.

Feurbach sebagai salah satu filsuf penganut aliran ini dalam

bukunya Djoko Prakoso12

berpendapat bahwa pencegahan tidak perlu

dilakukan dengan siksaan, akan tetapi cukup dengan memberikan

peraturan yang sedemikian rupa sehingga apabila orang setelah membaca

akan membatalkan niat jahatnya. Selain dengan pemberian ancaman

hukuman, prevensi umum juga dilakukan dengan cara penjatuhan

hukuman dan eksekusi. Eksekusi yang dimaksud dilangsungkan dengan

cara-cara yang kejam agar masyarakat umum takut dan tidak melakukan

hal yang serupa yang dilakukan oleh si penjahat.

Seiring perkembangan zaman, yang menjadi substansi tujuan

pemidanaan sesuai dengan prevensi umum banyak menuai kritikan. Pada

prevensi khusus, tujuan pemidanaan ditujukan pada pribadi si penjahat

agar tidak mengulangi perbuatannya. Van Hamel dalam bukunya Andi

Hamzah13

menunjukkan prevensi khusus suatu pidana ialah:

1) Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah

penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melakukan niat

buruknya.

2) Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki si terpidana.

3) Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin

diperbaiki.

4) Tujuan satu-satunya pidana ialah mempertahankan tertib hukum.

12 Djoko Prakoso, Hukum Penitensier ..., hlm. 47.

13 Andi Hamzah, Asas-Asas ..., hlm. 36.

11

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam teori relatif,

negara dalam kedudukannya sebagai pelindung masyarakat menekankan

penegakkan hukum dengan cara prenventif guna menegakkan tertib

hukum dalam masyarakat.

c. Teori gabungan (verenigingstheorien).

Teori gabungan merupakan suatu bentuk kombinasi dari teori

absolut dan teori relatif yang menggabungkan sudut pembalasan dan

pertahanan tertib hukum masyarakat. Dalam teori ini, unsur pembalasan

maupun pertahanan tertib hukum masyarakat tidaklah dapat diabaikan

antara satu dengan yang lainnya.

Berdasarkan penekanan atau sudut dominan dalam peleburan kedua

teori tersebut ke dalam bentuk teori gabungan, teori ini dibedakan

menjadikan tiga bentuk yaitu, teori gabungan yang menitikberatkan unsur

pembalasan, teori gabungan teori gabungan yang menitikberatkan

pertahanan tertib masyarakat, dan teori gabungan yangmemposisikan

seimbang antara pembalasan dan pertahanan tertib masyarakat.

Menurut Wirjono Prodjodikoro14

, bagi pembentuk undang-undang

hukum pidana, bagi para jaksa dan hakim tidak perlu memilih salah satu

dari ketiga macam teori hukum pidana tersebut dalam menunaikan tugas.

Penulis dalam hal ini secara tegas menyatakan sepakat dengan apa yang

disampaikan Wirjono Prodjodikoro dikarenakan nilai-nilai keadilan

14 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum ...,hlm. 29.

12

bukanlah didasarkan dari teori apa yang dianut melainkan berdasarkan

unsur humanis yang berkenaan dengan kondisi masyarakat dan si

pembuat (penjahat) diproses melalui perpaduan logika dan hati yang

terlahir dalam sebuah nurani.

2. Teori Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang melekat pada

manusia yang mencerminkan dirinya sendiri, dan harus memperoleh

jaminan hukum. Hak tersebut dapat efektif apabila dapat dilindungi hukum.

Melindungi hak-hak dapat terjamin apabila hak-hak itu adalah bagian dari

hukum yang memuat prosedur hukum untuk melindungi hak-hak tersebut.

Mengenai pengertian HAM, A. Gunawan Setiardja15

memberikan

pendapat dalam bukunya sebagai berikut:

a. Definisi yuridis HAM menunjuk pada HAM yang dikodifikasikan dalam

naskah atau dokumen yang secara hukum mengikat baik dalam konstitusi

nasional maupun dalam perjanjian internasional.

b. Definisi politis HAM yang menunjuk pada pengertian politik, yaitu

proses dinamis dalam arti luas berkembangnya masyarakat suatu

masyarakat tertentu. Termasuk di dalamnya keputusan-keputusan yang

diambil dalam rangka kebijaksanaan pemerintah dalam upaya-upaya

mengorganisir sarana-sarana atau sumber-sumber untuk mencapai tujuan

tersebut. Hukum merupakan salah satu hasil terpenting dari proses politik

yang mana hukum berakar dalam keadaan politik konkret di masyarakat.

c. Definisi moral HAM yang menunjuk pada dimensi normatif HAM.

Makna etis HAM menyangkut pada problem esensial di mana klaim

individual harus diakui sebagai hak-hak yuridis atau hak-hak politik.

Pengertian klaim etis pada dasarnya mengandung di dalamnya suatu

pandangan teoretis menenai landasan norma-norma etis.

15 A. Gunawan Setiardja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila,

(Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 89-90.

13

Selain pendapat di atas, Komisi Nasional16

dalam hal ini telah

mengajukan dua argumen mengenai klaim universalitas paham HAM, yaitu:

a. Paham HAM adalah individualistik, yang berdasarkan pertimbangan:

1) Bahwa HAM memfokuskan kepada perhatian orang pada hak-haknya

sendiri saja. Masyarakat sekedar sebagai sarana pemenuhan kebutuhan

individual dan mengharap agar masyarakat dan negara memenuhi

tuntutan-ptuntutannya.

2) Paham HAM dilihat sebagai menempatkan individu, kelompok, dan

golongan masyarakat yang berhadapan dengan hukum bukan dalam

kesatuan dengannya. Masyarakat bukan menyatu dengan negara

melainkan perlu dilindungi terhadapnya.

b. Paham HAM bertolak dari suatu pengertian tentang otonomi manusia

yang tidak ditemukan di luar beberapa kebudayaan asing dan

bertentangan dengan agama. Menurut agama, manusia tidak otonom

melainkan dalam segalanya di bawah kehendak dan hukum Tuhan.

Klaim HAM atas keberlakuan universal menurut Maidin Gultom17

,

bahwa yang memiliki hak-hak itu adalah manusia sebagai manusia dan

bukan karena ciri-ciri tertentu yang dimilikinya. Mengenai paham HAM,

dikatakan bahwa manusia wajib diperlakukan dengan cara tertentu yang

mana segala perbedaan antara manusia yang satu dengan lain tidak dapat

mendasari perbedaan HAM walaupun manusia tersebut melanggar hukum.

Perundang-undangan yang ada di Indonesia telah memiliki sejumlah

legislasi yang mengatur secara khusus perlakuan terhadap orang-orang

(meliputi orang dewasa dan anak-anak) yang disangka, dituduh, dan

diputuskan secara hukum telah melanggar hukum pidana yang berlaku.

Berkaitan dengan jaminan pemenuhan Hak Asasi Manusia termasuk di

dalamnya hak-hak anak, instrumen lokal juga telah menetapkan Undang-

16 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1997), hlm. 52-54.

17 Maidin Gultom. Perlindungan Hukum terhadap Anak ...., hlm. 9.

14

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal

khusus yang mengatur tentang hak-hak anak adalah Pasal 52 sampai Pasal

66. Namun yang berkaitan dengan jaminan perlakuan terhadap anak-anak

yang berhadapan dengan hukum diatur secara khusus pada butir-butir Pasal

66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

dengan jelas menerangkan sebagai berikut:

(1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan

penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pada

pelaku tindak pidana yang masih anak-anak.

(3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan

hukum.

(4) Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh

dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat

dilaksanakan sebagai upaya terakhir.

(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapat perlakuan

secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan

pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa,

kecuali demi kepentingannya.

(6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan

hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya

hukum yang berlaku.

(7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan

memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak

memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

3. Teori Keadilan

Pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar

negara. Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara sampai sekarang

tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara

Indonesia. Bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila

15

yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang

berkeadilan sosial.

Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesialah yang menghargai,

mengakui, serta menerima Pancasila sebagai suatu bernilai. Pengakuan,

penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu

akan tampak merefleksikan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa

Indonesia. Apabila pengakuan, penerimaan, atau penghargaan tersebut

direfleksikan dalam sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa

Indonesia maka dalam hal ini sekaligus menjadi pengembannya dalam

sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia Indonesia. Oleh karenanya

Pancasila sebagai suatu sumber hukum tertinggi secara irasional dan sebagai

rasionalitasnya adalah sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia.

Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju

pada dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang menjadi persoalan

sekarang adalah apakah yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum

nasional yang bersumber pada Pancasila.

Kahar Masyhur18

dalam bukunya mengemukakan pendapat tentang

apakah yang dinamakan adil, terdapat tigal hal tentang pengertian adil.

a. “Adil” ialah : meletakan sesuatu pada tempatnya.

b. “Adil” ialah : menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain

tanpa kurang.

c. “Adil” ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa

lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama,

18 Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta: Kalam Mulia, 1985), hlm. 71.

16

dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai

dengan kesalahan dan pelanggaran”.

Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif

hukum nasional, Suhrawardi19

memberi pendapat bahwa terdapat hal

penting mengenai adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah

pengakuan dan perlakukan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada

pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban maka

dengan sendirinya kita mengakui “hak hidup”. Hak hidup tersebut harus

dipertahankan dengan cara bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan

tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan kerugian terhadap orang

lain, sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup).

Dengan pengakuan hak hidup orang lain maka dengan sendirinya

diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain tersebut untuk

mempertahankan hak hidupnya.

Konsep demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari

Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada

hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan hubungan yang

serasi antar manusia secara individu dan kelompok individu yang lainnya

sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab. Hubungan adil dan

beradab di sini menurut Purnadi Purbacaraka20

dapat diumpamakan sebagai

19 Suhrawardi K. Lunis, Etika Profesi Hukum, Cet. Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000),

hlm. 50.

20 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum,

(Jakarta: Rajawali, 1982), hlm. 83.

17

cahaya dan api, bila apinya besar maka cahayanya pun terang, jadi bila

peradabannya tinggi maka keadilanpun mantap.

Lebih lanjut menurut Kahar Mansyur21

, apabila dihubungkan dengan

“keadilan sosial” maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan

kemasyarakatan yang mana keadilan sosial dapat diartikan sebagai:

a. Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak.

b. Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusaha-

pengusaha.

c. Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu,

pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya dengan

tidak wajar.

Keadilan dan ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dari hidup dan

kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai

orang yang “main hakim sendiri”. Sebenarnya perbuatan tersebut sama

halnya dengan perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya terjadi

ketidakadilan, khususnya orang yang dihakimi itu. Keadilan sosial dalam

hal ini menyangkut kepentingan masyarakat dan dengan sendirinya individu

yang berkeadilan sosial tersebut harus menyisihkan kebebasan individunya

untuk kepentingan individu lainnya

Hukum nasional mengatur keadilan bagi semua pihak maka keadilan

di dalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang menserasikan

keadilan-keadilan yang bersifat umum di antara keadilan-keadilan individu.

Dalam keadilan ini lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-

21 Kahar Masyhur, Membina Moral ..., hlm. 71.

18

hak individu masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada di

dalam kelompok masyarakat hukum.

Hukum dan keadilan harus ditegakkan di mana harus berlandaskan

Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta

segala hukum dan peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan

dengan sumber hukum yang benar-benar sesuai dengan nilai kesadaran yang

hidup di masyarakat. Keadilan yang hendak ditegakkan di sini antara lain

adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Falsafah Pancasila, Undang-

Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta nilai-nilai yang

terdapat dalam perundang-undangan yang lain. Penegakkan hukum dan

keadilan tentu saja akan menjadikan peradilan yang adil.

Pengertian peradilan yang adil adalah jauh lebih baik daripada

penerapan hukum atau perundang-undangan secara formal. Dalam

pengertian peradilan yang adil ini terkandung penghargaan akan hak

kemerdekaan seseorang warga negara. Meskipun seseorang warga negara

telah melakukan perbuatan yang tercela, namun hak-haknya sebagai warga

negara tidak boleh terhapuskan. Menurut Mardjono Reksodiputro22

,

peradilan yang adil mencakup tiga hal, yakni sebagai berikut:

a. Perlindungan terhadap sewenang-wenang dari pejabat negara.

b. Bahwa pengadilanlah yang berhak menentukan salah atau tidaknya

terdakwa.

c. Bahwa sidang pengadilan harus terbuka (kecuali sidang anak dan sidang

tentang kesusilaan).

d. Bahwa tersangka atau terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk

dapat membela diri sepenuh-penuhnya.

4. Teori Sistem Hukum

22 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta:

Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1994), hlm. 32-33.

19

Teori sistem hukum ini dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman.

Sebagaimana dikutip Otje Salman dan Anton F. Susanto23

, Lawrence M.

Friedman mengatakan bahwa sistem hukum tersebut meliputi:

a. Struktur hukum (legal structure), yaitu bagian-bagian yang bergerak di

dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan

dalam sistem. Misalnya kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

b. Substansi Hukum (Legal Substance), yaitu hasil aktual yang diterbitkan

oleh sistem hukum, misal putusan hakim berdasarkan Undang-Undang.

c. Budaya Hukum (Legal Culture), yaitu sikap publik atau nilai-nilai

komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem

hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem

hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik

masyarakat.

Dengan demikian untuk dapat beroperasinya hukum dengan baik

maka hukum itu merupakan satu kesatuan yang dapat dipertegas sebagai

suatu yang mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem yang meliputi

tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-

lembaga, hak-hak, dan kewajiban-kewajiban. Selain itu juga mencakup isi

norma-norma hukum serta perumusannya maupun cara penegakannya yang

berlaku bagi pelaksanaan hukum maupun pencari keadilan. Dalam hukum

itu sendiri juga ada kultur yang pada dasarnya memuat nilai-nilai yang

mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-

konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan buruk.

Terkait dengan sistem hukum, Otje Salman mengatakan perlu ada

suatu mekanisme pengintegrasian hukum, bahwa pembangunan hukum

harus mencakup tiga aspek di atas, yang secara ilmuan berjalan melalui

23 Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan

Membuka Kembali, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm. 153.

20

langkah-langkah strategis, mulai dari perencanaan pembuatan aturan

(Legislation Planing), proses pembuatannya (law making procces), sampai

kepada penegakan hukum (law inforcement) yang dibangun melalui

kesadaran hukum (law awareness) masyarakat.24

Implementasi penegakan hukum Soerjono Soekanto juga mengatakan

ada beberapa faktor yang mempengaruhi berlakunya hukum. Faktor-faktor

tersebut adalah sebagai berikut:25

a. Faktor hukumnya sendiri.

b. Faktor penegak hukum.

c. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakkan hukum.

d. Faktor masyarakat.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya yang

merupakan esensi dari penegak hukum, juga menjadi tolok ukur dari pada

efektivitas penegakan hukum. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, Gunnar

Myrdal sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto26

, menulis sebagai Sof

Development di mana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan,

ternyata tidak efektif. Gejala semacam itu akan timbul apabila ada faktor

tertentu yang menjadi halangan. Faktor tersebut dapat berasal dari

pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan (Jastitabeken)

maupun golongan-golongan lain di dalam masyarakat.

24 Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum Mengingat,…, hlm. 154.

25 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 8.

26 Ibid, hlm. 127.

21

Agar sistem hukum dapat berfungsi dengan baik, menurut pendapat

Parson dalam bukunya Soerjono Soekanto,27

yang dapat menjadi semacam

alternatif, Beliau menyebut ada 4 (empat) hal yang harus diselesaikan

terlebih dahulu, yaitu:

a. Masalah legitimasi (yang menjadi landasan bagi penataan kepada aturan).

b. Masalah interprestasi (yang menyangkut soal penetapan hak dan

kewajiban subyek, melalui proses penerapan aturan tertentu).

c. Masalah sanksi (menegaskan sanksi apa, bagaimana penertapannya, dan

siapa yang menerapkannya).

d. Masalah yuridis yang menetapkan garis kewenangan bagi yang berkuasa

menegakkan norma hukum, dan golongan apa yang berhak diatur oleh

perangkat norma itu.

Teori sistem hukum digunakan untuk membahas permasalahan

mengenai pelaksanaan putusan dan dasar pertimbangan hakim dalam

memutus perkara tindak pidana narkotika. Dalam hal ini menurut Bambang

Waluyo28

hakim wajib memperhatikan faktor sebagai pemidanaan di

antaranya adalah sebagai berikut:

a. Kesalahan pembuat tindak pidana.

b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana.

c. Cara melakukan tindak pidana.

d. Sikap batin pembuat tindak pidana.

e. Riwayat hidup dan keadaan sosial pembuat tindak pidana.

f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana.

g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana.

h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban.

j. Apakah tindak pidana yang dilakukan dengan berencana.

27 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi ..., hlm. 15.

28 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 91.

22

Hal tersebut perlu diperhatikan agar putusan hakim lebih dapat

dipertanggungjawabkan dan agar penjatuhan pidana dirasakan adil bagi

korban, masyarakat, maupun pelaku yang telah melakukan tindak pidana.

F. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Empiris, yaitu

penelitian yang dilakukan secara langsung kepada narasumber dengan

mendasarkan pada data. Penelitian ini mengacu pada Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang narkotika, serta perundang-undangan lain yang

mengatur tentang anak dan tentang tindak pidana narkotika. Dari putusan

dan perundang-undangan tersebut yang kemudian dijadikan sebagai data

untuk wawancara dengan Hakim yang memutus perkara tindak pidana

narkotika di Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta.

2. Sumber Penelitian

a. Data Primer

Data primer ini diperoleh dari hasil penelitian di lapangan yakni di

wilayah hukum Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta yakni putusan No.

97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. dan wawancara dengan hakim yang memutus

perkara tindak pidana narkotika yang dilakukan anak.

23

b. Data Sekunder

Data sekunder ini diperoleh dari penelitian kepustakaan yang

berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari:

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan yang memiliki kekuatan

mengikat yang berkaitan dengan obyek penelitian. yakni:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

c) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

d) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak.

e) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

f) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

g) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak.

h) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

i) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

j) Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya:

a) Buku-buku literatur yang berkaitan dengan permasalahan.

24

b) Makalah-makalah khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana

narkotika yang dilakukan oleh anak serta peradilan anak.

c) Hasil-hasil penelitian para pakar hukum yang berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti.

d) Surat kabar.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan bagi bahan hukum primer dan sekunder, yang terdiri dari:

a) Kamus Hukum.

b) Kamus Bahasa Indonesia.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Bantul

Yogyakarta.

4. Penentuan Narasumber

Narasumber yang dijadikan objek pada penelitian ini adalah Hakim

yang memutus perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.

5. Alat dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan alat dan teknik sebagai berikut:

a. Alat yang digunakan yakni pedoman wawancara dan kamera.

b. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini yakni dengan teknik

wawancara (interview), yaitu dengan cara melakukan tanya jawab kepada

pihak-pihak yang terkait ataupun yang menangani dengan tindak pidana

ini, dalam hal ini yakni Hakim di Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta

25

yang memutus perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. Selain itu juga

menggunakan teknik kepustakaan, yaitu suatu teknik penelaahan

normatif dari beberapa peraturan perundang-undangan dan berkas

putusan pengadilan yang terkait dengan tindak pidana ini serta

penelahaan beberapa literatur yang sesuai dengan materi yang dibahas.

6. Analisis Data

Dalam mengelola dan menganalisis data yang diperoleh selama

penelitian menggunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif ini merupakan

analisis yang dilakukan dengan merangkai data yang dikumpulkan secara

sistematis sehingga didapat gambaran masalah atau suatu keadaan yang

diteliti. Selain itu juga memakai metode berpikir induktif, yaitu cara berpikir

yang menggunakan kata-kata yang bersifat umum dan kemudian diambil

faktor-faktor khusus sehingga diambil suatu suatu gambaran yang jelas

tentang masalah atau keadaan yang diteliti.

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

Pada bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka

teoritik, metode penelitian, serta sistematika pembahasan.

Pada bab kedua, pembahasan ditujukan pada teori mengenai tinjauan

umum tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak, yang meliputi

pengertian narkotika dan jenis-jenis narkotika, ketentuan-ketentuan tentang

26

tindak pidana narkotika, pengertian anak dan pengertian tindak pidana yang

dilakukan oleh anak, serta faktor-faktor anak melakukan tindak pidana

narkotika.

Pada bab ketiga, pembahasan ditujukan pada teori tentang tinjauan

umum peradilan anak dan gambaran umum Pengadilan Negeri Bantul

Yogyakarta, yang meliputi peradilan anak di Indonesia, dasar pertimbangan

hakim dalam menjatuhkan pidana penjara bagi anak yang, dampak penerapan

sanksi bagi anak pelaku tindak pidana, serta gambaran umum Pengadilan

Negeri Bantul Yogyakarta.

Pada bab keempat, pembahasan ditujukan pada hasil penelitian dan

pembahasan yang berisi analisis putusan perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.

serta pembahasan tentang perlakuan yang diterapkan hakim di persidangan

terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dan dasar yang menjadi

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana narkotika yang

dilakukan oleh anak pada perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.

Pada bab kelima, bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian yang

berisikan kesimpulan dan saran. Dalam bab ini penulis akan menguraikan

mengenai kesimpulan dan saran terkait permasalahan yang ada.

27

1

BAB II

TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG

DILAKUKAN OLEH ANAK

A. Pengertian Narkotika dan Jenis-Jenis Narkotika

1. Pengertian Narkotika

Secara etimologi, narkotika berasal dari kata Narkoties yang sama

artinya dengan kata Narcosis yang berarti membius.29

Sifat dari zat tersebut

terutama berpengaruh terhadap otak sehingga menimbulkan perubahan pada

perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, dan halusinasi di samping

dapat digunakan dalam pembiusan.

Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba

atau narkotika adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan

rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang.30

Secara harfiah, narkotika berasal dari Bahasa Yunani dari kata Narke,

yang berarti beku, lumpuh, dan dungu.31

Sedangkan dalam Bahasa Inggris

berasal dari kata narcose atau narcosis yang berarti menidurkan.32

29 Moh. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm.

21.

30 Anton M. Mulyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet ii, (Jakarta: Balai Pustaka,

1988), hlm. 609.

31 Wilson Nadaek, Korban Ganja dan Masalah Narkotika, (Bandung: Indonesia Publishing

House, 1983), hlm. 122.

32 Poerwadarminta, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Vers Luys, 1952), hlm. 112.

27

28

Menurut Farkomologi medis, “Narkotika adalah obat yang dapat

menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari daerah Visceral dan

dapat menimbulkan efek stupor (bengong masih sadar namun masih harus

digertak) serta adiksi”.33

Adiksi di sini mengandung arti ketagihan dan

menimbulkan ketergantungan pada pemakainya. Sifat ketagihan dalam

pengertian sekarang ini tidak hanya berupa ketergantungan seseorang

terhadap suatu obat atau zat baik secara fisik maupun psikis, akan tetapi

sudah masuk dalam pengertian yang meliputi corak hidup seseorang.34

Menurut Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam

Pasal 1 angka (1), disebutkan bahwa:

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman baik sitensis maupun semi sitensis maupun semi sintesis yang

dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bahan

tanaman baik yang sintesis maupun semi sintesisnya yang dapat

menyebabkan penurunan atau penambahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan

ketergantungan.35

33 Wijaya A.W., Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, (Bandung:

Armico, 1985), hlm. 145.

34 Mardani, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana

Nasional, Ed. 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 79.

35 Kanwil Depdiknas DKI Jakarta, Kami Peduli Penanggulangan Bahaya Narkoba,

(Jakarta: 2003), hlm. 4.

29

Soedjono D. menyebutkan pengertian narkotika adalah zat yang bisa

menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan

dengan memasukkan ke dalam tubuh. Pengaruh-pengaruh tersebut berupa

pembiusan, hilangnya rasa sakit rangsangan semangat dan halusinasi atau

khayalan-khayalan. Sifat tersebut diketahui dan ditemui dalam dunia medis

bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia,

seperti di bidang pembedahan untuk menghilangkan rasa sakit.36

Hari Sasangka memberikan pendapat dalam bukunya sebagai

berikut:37

Pengertian narkotika secara umum adalah suatu zat yang dapat

menimbulkan perubahan perasaan, suasana pengamatan/penglihatan karena

zat tersebut mempengaruhi susunan syaraf pusat.

Narkotika pada mulanya merupakan zat atau obat yang sangat

bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun jika

disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan

dapat menimbulkan akibat yang merugikan bagi perseorangan atau

masyarakat khususnya generasi muda yang menyalahgunakan narkotika.

Hal ini akan merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika yang mengakibatkan bahaya lebih besar bagi kehidupan dan

nilai-nilai budaya bangsa yang akhirnya akan melemahkan ketahanan

nasional.

36 Soedjono Dirjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 3.

37 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, (Bandung: Mandar

Maju, 2003), hlm. 32 .

30

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa narkotika itu merupakan

zat yang dapat menenangkan syaraf, mengakibatkan tidak sadar,

menghilangkan rasa sakit dan nyeri, menimbulkan rasa mengantuk atau

merangsang, dapat menimbulkan efek stupor, serta dapat menimbulkan

adiksi atau kecanduan.

2. Jenis-Jenis Narkotika

Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak, seperti

candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka,

kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-

garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah,

atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat

dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina yang ditetapkan mentri

kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat

menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan, dan campuran-

campuran atau sediaan-sediaan yang mengandung garam-garam atau

turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang

alamiah atau olahan yang ditetapkan Menteri Kesehatan sebagai narkotika.

Berdasarkan rumusan undang-undang di atas, dapat ditarik

kesimpulan, bahwa tanaman atau barang ditetapkan sebagai narkoba atau

bukan setelah melalui uji klinis dan labotarium oleh Depertemen Kesehatan.

31

Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

membagi narkotika menjadi tiga golongan, yaitu:

a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan

untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan

dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan

ketergantungan. Contohnya antara lain: tanaman Papaver Somniferum L

dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya kecuali

bijinya, Opium mentah, Opium Masak, Tanaman koka, Daun koka,

Kokain mentah, Kokaina, serta Tanaman ganja.

b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan

digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/

atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai

potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Antara lain seperti:

Alfasetilmetadol, Alfameprodina, Alfametadol, Alfaprodina, Alfentanil,

Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya

termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-

oksida, serta Morfina.

c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan

banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan berakibat ketergantungan.

Jenis narkotika golongan III ini antara lain: Asetildihidrokodeina,

Dekstropropoksifena, Dihidrokodeina, Etilmorfina, serta Kodeina.

32

B. Ketentuan-Ketentuan tentang Tindak Pidana Narkotika

Sebelum dikeluarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, ketentuan tentang tindak pidana narkotika diatur dalam Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Di mana dalam Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tersebut tindak pidana

narkotika dibedakan menjadi dua macam, yakni:

1. Perbuatan terhadap orang lain yang mana diatur dalam Pasal 84 Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sebagai berikut:

Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:

a. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika

Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.

750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);

b. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika

Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

c. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika

Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.

250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah);

2. Perbuatan untuk diri sendiri yang diatur dalam Pasal 85 Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sebagai berikut:

Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:

a. menggunakan narkotika Golongan I bagi sendiri, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. menggunakan narkotika Golongan I bagi sendiri, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 2 (dua) tahun;

33

c. menggunakan narkotika Golongan III bagi diri sendiri, dipidana penjara

paling lama 1 (satu) tahun;

Penggunaan narkotika bagi diri sendiri mengandung arti bahwa

penggunaan tersebut dilakukan tanpa melalui pengawasan dokter, yang dalam

hal ini merupakan suatu perbuatan tanpa hak dan melawan hukum.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada

dasarnya mengklasifikasi pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika

menjadi dua, yaitu:

1. Pelaku tindak pidana yang berstatus sebagai pengguna terdapat dalam Pasal

116, Pasal 121, dan Pasal 127. Dari ketiga pasal tersebut, status pengguna

narkotika dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu:

a. Pengguna untuk diberikan kepada orang lain, yaitu Pasal 116 dan Pasal

121 sebagai berikut:

Pasal 116

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan

Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika

Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh

miliar rupiah).

(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian

Narkotika Golonggan I untuk digunakan orang lain sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat

permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara

seumur, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum dimaksud

pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

34

Pasal 121

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan

Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan

Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua

belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00

(delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00

(delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian

Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat

permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara

seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

b. Pengguna narkotika untuk dirinya sendiri yaitu pada Pasal 127 sebagai

berikut:

(1) Setiap Penyalah Guna:

b. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana

penjara paling lama 4 (empat) tahun;

c. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana

penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

d. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana

penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim

wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

54, Pasal 55, dan Pasal 103

(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika,

Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial.

2. Bukan pengguna narkotika yang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika ini diklasifikasi lagi menjadi 4 (empat), yaitu:

35

1. Pemilik, yang diatur pada Pasal 111 dan Pasal 112 sebagai berikut:

Pasal 111

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,

memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan

Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana

dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama

12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.

800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk

tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1

(satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana

dengan pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling

singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan

pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 112

1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memilki,

menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I

bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4

(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda

paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan

paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

2. Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau

menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku

dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun

dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditambah 1/3 (sepertiga).

2. Pengolah, yang diatur pada Pasal 113 sebagai berikut:

1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,

mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan

paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

36

2. Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau

menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau

melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman

beratnya melebihi 5 (lima) gran, pelaku dipidana dengan pidana mati,

pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5

(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda

maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3

(sepertiga).

3. Pembawa dan Pengantar, yang diatur pada Pasal 114 dan Pasal 119

sebagai berikut:

Pasal 114

1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk

dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual

beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana

dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan

pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)

2. Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau

menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau

melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman

beratnya 5 (lima) gram; pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana

seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 119

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk

dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual

beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama

12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.

800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

37

menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan

pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling

singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan

pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditambah 1/3 (sepertiga).

4. Pengedar, yang diatur pada Pasal 129 sebagai berikut:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp.

5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak atau

melawan hukum:

a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekusor

Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekusor

Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi

perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekusor

Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

d. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekusor

Narkotika untuk pembuatan Narkotika.

Perbedaan mendasar dari ketentuan pidana terhadap penyalahgunaan

narkotika pada kedua undang-undang tersebut yaitu mengenai aturan pidana

minimum dan maksimum. Yang mana aturan tersebut hanya ada di dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sedangkan di

dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika hanya

mengatur mengenai ketentuan pidana maksimum. Selain itu, di dalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ketentuan pidana langsung

diikuti dengan kewajiban untuk memperhatikan ketentuan pasal mengenai

38

rehabilitasi yang tidak ada di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

tentang Narkotika.

C. Pengertian Anak dan Pengertian Tindak Pidana yang Dilakukan oleh

Anak

a. Pengertian Anak

Secara umum yang dikatakan anak adalah seseorang yang masih

berada dalam batas usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin.

Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk

dapat disebut sebagai anak. Batas usia anak di sini adalah pengelompokan

usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam hukum sehingga

anak beralih status menjadi dewasa yang dapat bertanggung jawab secara

mandiri terhadap perbuatan hukum yang dilakukan anak tersebut.

Mengenai pengertian anak itu sendiri sampai saat ini belum ada

keseragaman dan untuk segala bidang hukum secara yuridis belum ada

ketentuan yang pasti. Di bawah ini beberapa pengertian anak, yakni:

a. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia anak adalah keturunan insan

(manusia) yang kedua.38

Anak merupakan kelompok manusia muda yang

batas umurnya tidak selalu sama di berbagai negara. Di Indonesia yang

sering digunakan batasan umur anak adalah 0-18 tahun. Dengan

demikian bayi, balita, dan usia sekolah termasuk dalam kelompok anak.

38 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. ke-5 (Jakarta: Balai

Pustaka, 1976), hlm. 38.

39

Namun pada umumnya disepakati bahwa masa anak merupakan masa

yang dilalui setiap orang untuk menjadi dewasa.

b. Menurut The Minimun Age Convention Nomor 138 (1973), pengertian

tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah.

Sebaliknya dalam Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah

diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Kepres No. 39 Tahun 1990

disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun ke

bawah. Sementara itu UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk

yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun ke bawah.39

c. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kedewasaan

seseorang dikatakan pada umur 16 tahun. Hal ini dapat dilihat dalam

Pasal 45 yakni: “Dalam menuntut orang yang belum cukup umur

(minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas

tahun ....”.

d. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pengertian anak terdapat

dalam Pasal 330 KUHPerdata yang menyatakan, orang belum dewasa

adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu)

tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan

sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka

tidak dapat kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.

39 Abu Harairah, Kekerasan Terhadap Anak, cet. Ke-1, (Bandung: Nuansa, 2006), hlm. 19.

40

e. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seorang

anak dapat digolongkan sebagai anak dalam Undang-Undang ini ada

dalam beberapa pasal, di antaranya:

1) Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi, “Untuk melangsungkan perkawinan

seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus

mendapat izin kedua orang tua”.

2) Pasal 7 ayat (1) berbunyi, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria

sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita

sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.

3) Dalam Pasal 47 ayat (1) disebutkan bahwa, “Anak yang belum

mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah

melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya

selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”.

4) Dalam Pasal 50 ayat (1) disebutkan, “Anak yang belum mencapai

umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan

perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada

di bawah kekuasaan wali”.

f. Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

yang dimaksud anak terdapat pada Pasal 1 angka 2 yakni, “Anak adalah

seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan

belum pernah kawin”.

g. Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

dalam Pasal 1 angka 1 merumuskan bahwa anak adalah orang dalam

41

perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi

belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah

menikah.

h. Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

mendefinisikan anak dalam Pasal 1 angka 26 yakni anak adalah setiap

orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. Di samping itu

pengertian anak dalam Hukum Perburuhan menentukan batas umur

dalam tiga golongan sebagai berikut:

1) Golongan anak-anak adalah mereka yang berumur 6-14 tahun.

2) Golongan orang muda adalah mereka yang berumur lebih dari 14

tahun tetapi kurang dari 18 tahun.

3) Golongan orang dewasa adalah yang berumur lebih dari 18 tahun.

i. Dalam BAB I Pasal 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak juga disebutkan bahwasannya anak adalah seseorang

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih

dalam kandungan. Kemudian pengertian anak yang terdapat dalam Pasal

1 ayat (1) dan (2) menyebutkan:

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun

termasuk anak yang masih dalam kandungan. ayat (1): memuat batas

antara belum dewasa dengan telah dewasa yaitu berumur 21 (dua puluh

satu) tahun kecuali, anak yang sudah kawin sebelum umur 21 tahun,

pendewasaan. ayat (2): menyebutkan bahwa pembubaran perkawinan

yang terjadi pada seseorang sebelum berusia 21 tahun, tidak mempunyai

pengaruh terhadap kedewasaan.

j. Dalam Hukum Adat, tidak ada ketentuan umur yang pasti untuk

memberikan batasan usia anak. Mengenai kapan seseorang disebut

42

dewasa digunakan ukuran yang umum yakni dapat bekerja sendiri, cakap

untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat

dan bertanggung jawab, serta dapat mengurus harta kekayaannya sendiri.

Menurut pendapat Soejono yang mengemukakan bahwa menurut hukum

adat “anak di bawah umur adalah mereka yang belum menunjukkan

tanda-tanda fisik yang konkrit bahwa ia telah dewasa”.40

k. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, Pasal 98 ayat (1), batas

usia anak yang mampu berdiri sendiri adalah 21 Tahun, sepanjang anak

tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah

melangsungkan perkawinan.41

l. Dalam kehidupan ketatanegaraan, seseorang dianggap dewasa dan boleh

menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu pada usia 17 tahun.

m. Lain halnya kedewasaan seseorang menurut agama Islam, dianggap

baligh (dewasa) bagi laki-laki jika ia telah mimpi basah, dan usia 12

tahun bagi wanita atau jika ia telah datang bulan (haid) sebelum usia

tersebut. Status dan eksistensi anak telah diakui tidak hanya dalam

hukum tetapi didasarkan pengakuan oleh agama tentang hak anak itu

sendiri. Selain itu perlindungan dan pengakuan terhadap anak telah

dilakukan oleh pemerintahan Islam pertama yang dipimpin oleh Nabi

40 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara,

1990), hlm. 19.

41 Cik Hasan Bisri (ed) dkk., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia,

cet. ke-2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995), hlm. 170.

43

Muhammad S.A.W. yang mana Beliau pernah menegaskan melalui

hadisnya yang dikutip dari buku Syaikh Kamil sebagai berikut:42

“Orang tua diperbolehkan untuk menikahkan putrinya yang belum

baligh, baik ia masih gadis atau sudah janda. Karena itu putrinya sudah

mencapai usia akil baligh, maka ia boleh menikahi siapa saja yang

dikehendapi, tanpa harus meminta izin orang tuanya. Posisi orang tua

pada saat itu sama seperti posisi wali, yaitu tidak boleh menikahkannya

kecuali dengan izinnya, baik yang masih gadis atau sudah janda”,

diriwayatkan Abu Hanifah. Adapun syarat dari rukun akad nikah

keduanya telah mencapai usia akil baligh. Ciri dari masa baligh wanita

ditandai dengan haid.

Jika dicermati maka secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang

usia anak terletak pada skala 0 sampai 21 tahun. Penjelasannya mengenai

batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pada pertimbangan kepentingan

usaha kesejahteraan sosial, serta pertimbangan kematangan sosial,

kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umurnya

dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun.

Batasan untuk disebut anak sejak dikeluarkan dan ditetapkan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka ketentuan

dalam KUHP yang mengatur tentang penanganan anak yang melakukan

perbuatan pidana dinyatakan tidak berlaku lagi. Karena dalam Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut telah mengatur ketentuan yang

diperbaharui mengenai penanganan bagi anak pelaku perbuatan pidana.

b. Pengertian Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak

42 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka A-Kautsar, 1998),

hlm. 381.

44

Menurut B. Simandjuntak,43

istilah kenakalan anak berasal dari

Amerika Serikat yaitu dari kata juvenile delinquency yang artinya:

“Kenakalan anak, kenakalan remaja, dan sebagainya”.

Istilah kenakalan anak ini pertama kali ditampilkan pada Badan

Peradilan Anak di Amerika Serikat dalam rangka membentuk suatu

Undang-Undang Peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam

pembahasannya ada kelompok yang menekankan segi pelanggaran

hukumnya, dan ada yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah

sudah menyimpang dari norma yang berlaku atau belum melanggar

hukum.44

Paul Moedikno dalam bukunya Romli Atmasasmita45

memberi

perumusan bahwa juvenile delinquency yaitu:

a. Semua perbuatan dari orang-orang yang dewasa merupakan suatu

kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency, seperti mencuri,

menganiaya, membunuh, dan sebagainya.

b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang

menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana

jengki tidak sopan, mode you can see, dan sebagainya.

c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial,

termasuk gelandangan, pengemis, dan lain-lain.

Menurut Fuad Hasan dalam bukunya Romli46

, yang dikatakan juvenile

delinquency adalah perbuatan antisosial yang dilakukan oleh remaja, yang

apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai

kejahatan.

43 B. Simandjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja (Etiplogi juvenile delinquency),

(Bandung: Alumni, 1979), hlm. 55.

44 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, ed.1, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2011), hlm. 25-26.

45 Paul Moedikno dalam Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak-Anak Remaja,

(Bandung: Armico, 1983), hlm. 22.

46 Fuad Hasan dalam Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan ..., hlm. 22.

45

R. Kusumanto Setyonegoro dalam bukunya Romli47

(1967) yang

mengemukakan pendapatnya terkait kenakalan anak sebagai berikut:

Tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan

pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik, oleh suatu

lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang

berkebudayaan tertentu. Apabila individu itu masih anak-anak maka sering

tingkah laku serupa itu disebut dengan istilah tingkah laku yang sukar atau

nakal. Jika ia berusaha adolescent atau preadolescent maka tingkah laku itu

sering disebut delinkuen; dan jika ia dewasa maka tingkah laku ini sering

kali disebut psikopatik dan jika terang-terangan melawan hukum disebut

kriminal.

Menurut Romli Atmasasmita,48

istilah delinquency tidak identik

dengan istilah kenakalan dan istilah juvenile tidak identik dengan istilah

anak. Istilah juvenile delinquency lebih luas artinya daripada istilah

kenakalan maupun istilah anak-anak. Maka dari itu Romli lebih cenderung

menggunakan istilah kenakalan anak daripada istilah kejahatan anak-anak.

Dalam hal ini Romli berpendapat bahwa juvenile delinquency adalah

sebagai berikut:

Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18

tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-

norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan

pribadi si anak yang bersangkutan.49

47 R. Kusumanto Setyonegoro dalam Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan ..., hlm. 23.

48 Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan ..., hlm. 17.

49 Ibid, hlm.23.

46

Pengertian delinquency menurut Simanjuntak adalah sebagai

berikut:50

a. Juvenile delinquency berarti perbuatan dan tingkah laku yang merupakan

perbuatan perkosaan terhadap norma hukum pidana dan pelanggaran-

pelanggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh para delinquent.

b. Juvenile delinquency itu adalah pelaku yang terdiri dari anak (berumur di

bawah 21 tahun (pubertas)), yang termasuk yurisdiksi pengadilan

anak/juvenile court.

Selanjutnya Kartini Kartono mengemukakan juvenile delinquency

adalah perilaku jahat atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan

gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang

disebabkan oleh satu bentuk tingkah laku yang menyimpang. Juvenile

berasal dari bahasa latin juvenilis artinya anak-anak, anak muda, ciri

karakteristik pada masa muda dan sifat-sifat khas pada periode remaja.

Sedangkan delinquent berasal dari kata latin delinquere yang artinya

terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-

sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, peneror, tidak

dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain. Biasanya delinquency

selalu berkonotasi serangan, pelanggaran, kejahatan, dan keganasan yang

dilakukan oleh anak muda di bawah usia 22 tahun.51

Soedjono Dirjosisworo mengatakan bahwa kenakalan anak mencakup

3 pengertian, yaitu:52

a. Perbuatan yang dilakukan orang dewasa merupakan tindak pidana

(kejahatan), akan tetapi bila dilakukan oleh anak-anak belum dewasa

dinamakan delinquency seperti pencurian, perampokan, dan

pembubuhan.

b. Perbuatan anak yang menyeleweng dari norma kelompok yang

menimbulkan keonaran seperti kebut-kebutan, perkelahian kelompok,

dan sebagainya.

50 Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Anak, cet.2, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 60.

51 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1998), hlm. 6.

52 Soedjono Dirjosisworo, Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Alumni, 1983), hlm.

150.

47

c. Anak-anak yang hidupnya membutuhkan bantuan dan perlindungan,

seperti anak-anak terlantar, yatim piatu, dan sebagainya, yang jika

dibiarkan berkeliaran dapat berkembang menjadi orang jahat.

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak tidak diberikan batasan mengenai kenakalan anak. Hanya batasan

Anak Nakal yang terdapat pada Pasal 1 butir 2, yang menyatakan bahwa

Anak Nakal adalah:

a. Anak yang melakukan tindak pidana;

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,

baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan

lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Kenakalan juga terdapat dalam KUHP BAB I Pasal 489 ayat 1 yang

berbunyi sebagai berikut: “Kenakalan terhadap orang atau barang, yang

dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan

denda paling banyak lima belas rupiah”.

Banyaknya definisi mengenai juvenile delinquency menggambarkan

bahwa terhadap pengertian juvenile delinquency tidak ada keseragaman.

Artinya bahwa definisi yang diberikan oleh setiap ahli tergantung dari sudut

mana seseorang memandangnya. Perbedaan definisi delikuensi

mengakibatkan timbulnya kesulitan dalam penentuan macam-macam jenis

tingkah laku yang termasuk perbuatan delinkuen.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa delikuensi

adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan adat istiadat atau

48

norma-norma hukum atau aturan tertentu yang berlaku di dalam kelompok

masyarakat atau negara di mana anak tersebut bertempat tinggal yang

bersifat anti sosial dan atau melawan hukum.

Tingkah laku yang menjurus pada juvenile delinquency menurut Alder

(1980) dalam bukunya Kartini Kartono adalah sebagai berikut:53

a. Kebut-kebutan di jalan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan

membahayakan jiwa sendiri dan orang lain.

b. Perilaku ugal-ugalan, berandal, urakan yang mengacaukan ketentraman

lingkungan sekitarnya. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan

dorongan primitif yang tidak terkendali serta suka menteror lingkungan.

c. Perkelahian antargeng, antarkelompok, antarsekolah, antarsuku

(tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa.

d. Membolos sekolah dan kemudian menggelandang sepanjang jalan atau

bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen

bermacam-macam kedurjanaan dan tindak asusila.

e. Kriminalitas anak, remaja, dan adolesens antara lain berupa perbuatan

mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas,

menjambret, menyerang, merampok, mengganggu, menggarong,

melakukan pembunuhan dengan menyembelih korbannya, mencekik,

meracun, tindak kekerasan dan pelanggaran lainnya.

f. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas,

atau orgi (mabuk-mabukan yang menimbulkan keadaan kacau balau)

yang mengganggu sekitarnya.

g. Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif sosial,

atau didorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan inferior,

menuntut pengakuan diri, depresi, rasa kesunyian, emosi, balas dendam,

kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita, dan lain-lain.

h. Kecanduan dan ketagihan Narkoba (obat bius, drug, opium, ganja) yang

erat kaitannya dengan kejahatan.

i. Tindakan-tindakan immoral seksual secara terang-terangan tanpa tedeng

aling-aling, tanpa malu dengan cara kasar. Ada seks dan cinta bebas

tanpa kendali (promiscuity) yang didorong oleh hiperseksualitas,

dorongan menuntut hak, dan usaha-usaha kompensasi lainnya yang

kriminal sifatnya.

j. Homoseksualitas, erotisme anak dan oral serta gangguan seksualitas

lainnya pada anak remaja disertai dengan tindakan-tindakan sadis.

k. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan bentuk taruhan

sehingga menimbulkan akses kriminalitas.

53 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 ..., hlm. 21-23.

49

l. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan

pembunuhan bayi-bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin.

m. Tindakan radikal dan ekstrem dengan jalan kekerasan, penculikan, dan

pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja.

n. Perbuatan a-sosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-

anak dan remaja psikopatik, neurotic, dan menderita gangguan jiwa

lainnya.

o. Tindak kejahatan disebabkan oleh penyakit tidur (encephalitics

lethargoical) dan ledakan meningtis serta post- encephalitics, juga luka

di kepala dengan kerusakan otak yang adakalanya membuahkan

kerusakan mental, sehingga orang yang bersangkutan tidak mampu

mengendalikan diri.

p. Penyimpangan tingkah laku yang disebabkan oleh kerusakan dan

karakter anak yang menuntut kompensasi, disebabkan adanya organ-

organ yang inferior.

D. Faktor-Faktor Anak Melakukan Tindak Pidana Narkotika

Terjadinya tindak pidana narkotika bahkan sampai ketergantungan secara

umum dapat dikatakan mempunyai faktor-faktor penyebab, yang dalam hal ini

dapat digolongkan menjadi dua, yakni:54

1. Faktor Internal Pelaku

Kebanyakan penyalahgunaan narkotika dimulai atau terdapat pada

masa remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologi,

psikologi, maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan untuk

menyalahgunakan narkotika. Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu

mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna narkotika. Ciri-

ciri tersebut antara lain:

a. Cenderung memberontak dan menolak otoritas.

b. Cenderung memiliki gangguan jiwa lain seperti depresi, cemas, psikotik,

serta keperibadian sosial.

54 Moh. Taufik Makarao, dkk, Tindak Pidana Narkotika ..., hlm. 53-56.

50

c. Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku.

d. Rasa kurang percaya diri (low selw-confidence), rendah diri dan memiliki

citra diri negatif (low self-esteem).

e. Sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif.

f. Mudah murung, pemalu, dan pendiam.

g. Mudah merasa bosan dan jenuh.

h. Keingintahuan yang besar untuk mencoba atau penasaran.

i. Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun).

j. Keinginan untuk mengikuti mode, karena dianggap sebagai lambang

keperkasaan dan kehidupan modern.

k. Keinginan untuk diterima dalam pergaulan.

l. Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga sulit

mengambil keputusan untuk menolak tawaran NAPZA dengan tegas.

m. Kemampuan komunikasi rendah.

n. Melarikan diri sesuatu (kebosanan, kegagalan, kekecewaan, kesepian,

kegetiran hidup, malu, dan lain-lain).

o. Putus sekolah.

p. Kurang menghayati iman kepercayaannya.

Dari ciri-ciri tersebut dapat dilihat bahwa penyebab kejiwaan

seseorang melakukan tindak pidana narkotika, antara lain dikarenakan:55

55 Moh. Taufik Makarao, dkk, Tindak Pidana Narkotika ..., hlm. 53.

51

a. Perasaan egois, merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap orang. Sifat ini

mendominasi perilaku seseorang secara sadar. Demikian juga bagi orang

yang berhubungan dengan narkotika. Rasa egois itu muncul dan

mendorong untuk memiliki atau menikmati secara penuh apa yang

mungkin dapat dihasilkan dari narkotika.

b. Kehendak ingin bebas. Sifat ini juga merupakan sifat dasar yang dimiliki

manusia. Kehendak bebas ini muncul dan terwujud ke dalam perilaku

setiap kali seseorang diimpit beban pikiran maupun perasaan. Dalam hal

ini, seseorang yang sedang dalam himpitan tersebut melakukan interaksi

dengan orang lain sehubungan dengan narkotika maka dengan mudah

orang tersebut akan terjerumus pada tindak pidana narkotika.

c. Kegoncangan jiwa, yang pada umumnya terjadi karena salah satu sebab

yang secara kejiwaan hal tersebut tidak mampu dihadapi. Dalam keadaan

labil, apabila ada pihak-pihak yang berkomunikasi dengannya mengenai

narkotika maka ia akan dengan mudah terlibat ke dalam tindak pidana

narkotika tersebut.

d. Rasa keingintahuan, yang pada umumnya lebih dominan terletak pada

manusia yang usianya masih muda. Perasaan ingin tahu bukan hanya

pada hal positif namun pada hal-hal yang sifatnya negatif. Maka rasa

ingin tahu terhadap narkotika ini juga dapat mendorong seseorang

melakukan perbuatan yang tergolong tindak pidana narkotika.

52

2. Faktor Eksternal

Faktor-faktor yang muncul dari luar atau biasa disebut eksternal ini

banyak sekali, di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Faktor Keluarga

Dari kecil anak dibesarkan oleh keluarga, sebagian waktunya ada di

dalam keluarga. Maka sudah sepantasnya kalau kemungkinan besar

timbulnya tindak pidana narkotika itu berasal dari keluarga. Dalam hal

ini apabila keluarga yang dapat membina hubungan dengan baik akan

berpengaruh positif bagi perkembangan anak. Namun jika keluarga tidak

bisa membina hubungan baik pastinya akan berpengaruh negatif bagi

perkembangan anak. Berikut pengaruh dari keluarga yang dapat

menimbulkan tindak pidana narkotika bagi seseorang:

1) Komunikasi orang tua-anak kurang baik/efektif.

2) Hubungan dalam keluarga kurang harmonis.

3) Orang tua bercerai, berselingkuh atau kawin lagi.

4) Orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh.

5) Orang tua otoriter atau serba melarang.

6) Orang tua yang serba membolehkan (permisif).

7) Kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan.

8) Orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah narkotika.

9) Tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang

konsisten).

53

10) Kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam

keluarga.

11) Orang tua atau anggota keluarga menjadi penyalahguna narkotika.

b. Faktor Pendidikan/sekolah

Sebagai lembaga pendidikan, sekolah juga merupakan tempat

untuk membiasakan seseorang untuk hidup disiplin, tertib, teratur, dan

patuh. Sekolah juga merupakan wadah yang mempersiapkan potensi

pengembangan ilmu pengetahuan maupun tempat pembinaan mengatasi

kenakalan maupun penyimpangan lain.

Dalam hal ini jika guru tidak peduli pada anak didiknya maka anak

didiknya bisa melakukan pelanggaran dan penyimpangan. Tidak

pedulinya guru bisa saja terjadi ketika menyampaikan materi di kelas

kurang menarik maka anak akan cenderung bosan dan mereka membolos

kemudian bergabung dengan anak-anak lain yang tidak sekolah dan besar

peluangnya untuk menggunakan dan mengedarkan narkotika.

Selain itu, sekolah yang kurang disiplin, sekolah yang letaknya

dekat tempat hiburan dan penjual narkotika, sekolah yang kurang

memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri secara

kreatif dan positif, dan adanya murid pengguna narkotika akan memberi

pengaruh besar bagi seseorang melakukan tindak pidana narkotika.

c. Keadaan Ekonomi

54

Keadaan ekonomi pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi

dua, yakni keadaan ekonomi baik dan keadaan ekonomi kurang atau

miskin. Pada keadaan ekonomi baik maka orang dengan mudah

memenuhi kebutuhannya. Sebaliknya jika keadaan ekonomi kurang atau

miskin maka pemenuhan kebutuhan sulit dan orang akan berusaha untuk

dapat keluar dari himpitan ekonomi tersebut.

Hubungannya dengan narkotika, bagi orang-orang yang ekonomi

baik dapat mempercepat keinginan-keinginannya untuk mengetahui dan

menikmati tentang narkotika. Sedangkan bagi yang ekonominya kurang

atau miskin dapat juga melakukan hal tersebut namun kemungkinannya

lebih kecil daripada yang ekonominya baik.

Dalam hal ini narkotika bermacam-macam jenis dan harganya

maka dalam keadaan ekonomi yang bagaimanapun narkotika dapat

beredar dan dengan sendirinya tindak pidana narkotika itu dapat terjadi.

d. Pergaulan/Lingkungan

Pergaulan ini terdiri dari lingkungan tempat tinggal, sekolah atau

tempat kerja, dan lingkungan pergaulan lainnya. Beberapa lingkungan

tersebut dapat memberikan pengaruh negatif terhadap seseorang. Artinya

akibat yang ditimbulkan oleh interaksi dengan lingkungan tersebut

seseorang dapat melakukan perbuatan yang baik maupun yang buruk.

Apabila di lingkungan tersebut narkotika dengan mudah didapat maka

kecenderungan melakukan tindak pidana narkotika semakin besar.

55

Berteman dengan pemakai narkotika, tekanan atau ancaman dari

kelompok lain, tekanan dari pengedar narkotika, serta lemahnya

penegakan hukum di lingkungan tersebut dapat menjadi penyebab orang

tersebut melakukan tindak pidana narkotika.

e. Kemudahan

Kemudahan di sini dimaksud dengan semakin banyaknya beredar

jenis-jenis narkotika di pasar, mudahnya narkotika didapat di mana-mana

dengan harga terjangkau, banyak iklan minuman beralkohol dan rokok

yang menarik untuk dicoba, serta khasiat farakologik narkotika yang

menenangkan, menghilangkan nyeri, menidurkan, membuat teler, maka

semakin besar juga peluang terjadinya tindak pidana narkotika.

f. Kurangnya Pengawasan

Pengawasan dalam hal ini dimaksud untuk pengendalian terhadap

persediaan narkotika, penggunaan, dan peredarannya. Jadi tidak hanya

mencakup pengawasan yang dilakukan pemerintah, juga pengawasan

masyarakat. Pemerintah memegang peranan penting dalam membatasi

peredaran, produksi, dan pemakaian narkotika. Kurangnya pengawasan

maka pasar, produksi, dan populasi pemakai narkotika semakin banyak.

Di sisi lain, keluarga merupakan inti dari masyarakat baiknya dapat

melakukan pengawasan lebin intensif terhadap anggora keluarga untuk

tidak terlibat dalam perbuatan yang tergolong tindak pidana narkotika.

Kurangnya pengawasan tersebut maka tindak pidana narkotika bukan

merupakan perbuatan yang sulit untuk dilakukan.

56

g. Ketidaksenangan dengan Keadaan Sosial

Seseorang yang terhimpit keadaan sosial maka narkotika dapat

dijadikan sarana untuk melepaskan diri dari himpitan tersebut. Meskipun

sifatnya sementara, tetapi bagi sebagian orang yang memiliki wawasan,

uang, dan sebagainya tidak hanya menggunakan narkotika sebagai alat

melepaskan diri dari himpitan sosial namun dapat dijadikan alat bagi

pencapaian tujuan tertentu yang menurutnya merupakan kebutuhan.

Kedua faktor tersebut tidak selalu berjalan sendiri-sendiri dalam suatu

terjadinya tindak pidana narkotika, tetapi dapat saling mempengaruhi secara

bersamaan. Faktor-faktor tersebut memang tidak selau membuat seseorang

menjadi penyalahguna narkotika. Akan tetapi semakin banyak faktor di atas,

semakin besar kemungkinan seseorang menjadi penyalahguna narkotika.

Bagi anak, menurut Ida Listyarini Handoyo56

bahwa pada umumnya para

pengguna narkoba pada awalnya hanya iseng, ingin mencoba dan sebagainya.

Akan tetapi sifat senyawa narkoba yang dapat mengakibatkan ketagihan

membuat si pengguna tidak lepas dari jerat narkoba.

Sementara itu Hadiman57

menyatakan bahwa salah satu alasan

meningkatnya penyalahgunaan narkoba di kalangan anak-anak adalah

kurangnya pendidikan dasar tentang narkoba baik di kalangan orang tua dan

56 Ida Listryarini Handoyo, Narkoba Perlukah Mengenalnya, (Yogyakarta: Pakar Raya,

2004), hlm. 22.

57 Hadiman, Pengawasan Serta Peran Aktif Orangtua dan Aparat Dalam Penanggulangan

dan Penyalahgunaan Narkoba, (Jakarta: Badan Kerjasama Sosial Usaha Bersama Warga Tama,

2005), hlm. 2.

57

anak-anak. Terutama banyak orang tua tidak menyadari pengaruh narkoba

yang ada di masyarakat dan bahaya yang dihadapi anak-anak setiap harinya.

Menurut pendapat Gatot Supramono58

, saat ini kalangan anak muda

mudah terpengaruh ke dalam pemakaian narkoba. Terutama para remaja,

karena masa remaja merupakan masa seorang anak mengalami perubahan

dengan cepat di segala bidang, menyangkut perubahan tubuh, perasaan,

kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Mereka mudah dipengaruhi karena

dalam dirinya banyak perubahan dan tidak stabilnya emosi cenderung

menimbulkan perilaku yang nakal.

58 Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 4.

58

58

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PERADILAN ANAK DAN

GAMBARAN UMUM PENGADILAN NEGERI BANTUL

YOGYAKARTA

A. Peradilan Anak di Indonesia

Peradilan anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997

tentang Pengadilan Anak merupakan peradilan yang diselenggarakan untuk

menangani perkara pidana khususnya perkara anak-anak. Dalam undang-

undang tersebut memang tidak secara tegas dinyatakan untuk menangani

perkara pidana khususnya bagi perkara anak-anak. Hanya saja di dalam Pasal 3

hanya disebutkan bahwa Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut

Sidang Anak, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam undang-undang

ini.

Namun karena dalam undang-undang tersebut mengatur mengenai

ketentuan-ketentuan pidana bagi anak baik bersifat formil dan materiil maka

sesungguhnya maksud dan tujuan dari pembentukan pengadilan ini untuk

mengadili pidana anak.

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

merupakan perundang-undangan khusus dari ketentuan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Setelah

berlakunya Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

59

maka secara khusus ketentuan yang mengatur masalah hukum pidana anak

sudah ditetapkan.

Sesuai dengan hal ini, Peradilan Anak merupakan Peradilan Khusus yang

mana merupakan spesialisasi di bawah Peradilan Umum. Peradilan Anak diatur

dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang

tercantum pada Pasal 2 sebagai berikut:

Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di

lingkungan Peradilan Umum.

Sesuai Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak bahwa di Indonesia belum ada tempat bagi suatu Peradilan Anak yang

berdiri sendiri sebagai peradilan khusus. Peradilan Anak masih berada di

bawah lingkup Peradilan Umum. Walaupun penyelesaian perkara berada di

lingkungan Peradilan Umum, namun dapat ditunjuk hakim yang khusus

mengadili perkara-perkara anak.

Menurut Bambang Waluyo117

, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak mengatur banyak kekhususan, antara lain sebagai

berikut:

1. Batasan umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak nakal

sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetap belum mencapai umur 18

(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

2. Aparat penegak hukum yang berperan dalam proses peradilan anak yaitu

penyidik anak, penuntut umum adalah penuntut umum anak, hakim adalah

hakim anak.

3. Hakim, penuntut umum, penyidik, dan penasihat hukum serta petugas

lainnya dalam sidang anak tidak memakai toga atau pakaian dinas.

4. Untuk melindungi kepentingan anak pada prinsipnya pemeriksaan perkara

anak dilakukan dalam sidang tertutup. Kecuali dalam hal tertentu dapat

117 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan ..., hlm. 103-105.

60

dilakukan dalam sidang terbuka, misalnya dalam perkara pelanggaran lalu

lintas dan pemeriksaan di tempat kejadian perkara.

5. Pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan hanya yang ditentukan dalam

undang-undang ini.

6. Ketentuan pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan

tindak pidana/anak nakal, antara lain sebagai berikut:

a. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling lama ½ (satu per dua)

ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

b. Apabila melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau

pidana penjara seumur hidup maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan

paling lama 10 (sepuluh) tahun.

c. Apabila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak

pidana yang diancam pidana mati atau pidana seumur hidup maka anak

nakal tersebut dijatuhi tindakan menyerahkan kepada negara untuk

mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

d. Apabila belum mencapai 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana

yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara

seumur hidup maka anak nakal tersebut dijatuhi salah satu tindakan.

e. Pidana kurungan yang dapat dijatuhi paling lama ½ (satu per dua) dari

maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.

f. Pidana denda yang dapat dijatuhi paling banyak ½ (satu per dua) dari

maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.

g. Apabila pidana denda tidak dapat dibayarkan maka diganyi dengan wajib

latihan kerja dan lama latihan kerja paling lama 90 hari dal lama latihan

kerja tidak lebih dari 4 jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.

h. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh hakim paling lama 2 (dua) tahun.

Dibentuknya undang-undang ini disadari bahwa walaupun kenakalan

anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat,

namun hal tersebut diakui sebagai suatu gejala umum yang harus diterima

sebagai suatu fakta sosial. Oleh karena itu perlakuan terhadap anak nakal harus

dibedakan dengan perlakuan terhadap orang dewasa.

Dilihat dari sistematika, pengaturan sistem pemidanaan dalam Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah merujuk pada

konsep RKUHP. Undang-Undang Pengadilan Anak berorientasi pada masalah

“perbuatan”, “pertanggungjawaban pidana/kesalahan”, serta “pidana/straf”.

61

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

yang dikategorikan sebagai seorang anak yang dapat diminta

pertanggungjawaban pidana adalah mereka yang sudah mencapai usia antara 8

(delapan) sampai 12 (dua belas) tahun. Hal ini terdapat perbedaan apabila

dibanding dengan peraturan dalam KUHP yang menentukan usia

pertanggungjawaban pidana bagi anak di bawah 16 tahun tanpa menentukan

batas usia minimum.

Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, batasan usia anak selain batasan mengenai umur juga

menggunakan konsep “belum kawin” sebagai salah satu kriteria konsep anak.

Dengan kata lain seseorang yang dianggap menjadi dewasa secara hukum jika

dia sudah kawin, walaupun usianya belum 18 tahun.

Konsepsi sudah kawin dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, seharusnya konsisten dengan gagasan yang

memberikan batasan perbuatan anak dapat dipertanggungjawabkan dengan

melihat usia. Hal in relevan dengan RKUHP yang menggunakan basis konsep

berdasarkan usia untuk menaikkan batas usia anak bisa dimintakan

pertanggungjawaban hukum, yakni dari 8 tahun menjadi 12 tahun.

Namun dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, tidak lagi mendefinisikan anak dengan konsep

kawin dan belum kawin. Konsep kawin atau belum kawin menurut Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tidak menentukan seorang dalam statusnya

secara hukum dewasa atau masih anak.

62

Dalam perjalanannya, pengaturan masalah hukum pidana anak

mengalami perkembangan. Pada tahun 1997 dikeluarkan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan kelemahan dan

kekurangannya. Secara substansial undang-undang ini tampak tidak terdapat

perubahan yang mendasar. Namun ada hal yang berbeda dengan sanksi pidana

yang diatur dalam KUHP, yakni selain menyangkut masalah jenis pidana

pokok dan pidana tambahan, dalam undang-undang ini diatur pula jenis

ancaman sanksi yang berupa tindakan. Dalam Pasal 22 Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak antara lain ditegaskan bahwa

“Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang

ditentukan dalam Undang-Undang ini”. Selanjutnya dalam Pasal 23 ditegaskan

bahwa pidana pokok dan pidana tambahan terdiri atas:

1. Pidana Pokok

a. Pidana penjara;

b. Pidana kurungan;

c. Pidana denda; atau

d. Pidana pengawasan.

2. Pidana Tambahan

a. Perampasan barang; dan atau

b. Pembayaran ganti rugi.

Jenis sanksi yang berupa pidana, tindakan, dan pidana mati sebagai

pidana pokok dalam KUHP secara tegas bukan lagi merupakan jenis sanksi

yang dapat diancamkan. Adapun sanksi pidana pokok yang berupa pidana

pengawasan, pidana tambahan yang berupa perampasan barang, dan

pembayaran ganti rugi merupakan jenis pidana baru yang sebelumnya tidak

dikenal dalam rumusan KUHP. Dengan demikian, sanksi pidana yang diatur

63

dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

mengalami perubahan.

Tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak nakal berdasarkan Pasal

24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang

berbunyi sebagai berikut:

1. Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:

a. mengembalikan kepada orang tua, wali, orangtua asuh;

b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan,

dan latihan kerja; atau

c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial

kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan

latihan kerja.

2. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan

teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.

Untuk anak yang melakukan tindak pidana diancam dengan sanksi

pidana dan tindakan. Mengenai lamanya pidana diatur dalam Pasal 26, 27, dan

28, yaitu:

Pasal 26

(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak nakal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari

maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada

anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.

(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,

belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang

diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka terhadap Anak

nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.

(4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,

belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang

tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup,

maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

64

Pasal 27

Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari

maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.

Pasal 28

(1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak 1/2

(satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.

(2) Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak

dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja.

(3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90

(sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat)

jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.

Selanjutnya pada Pasal 29 mengatur tentang Pidana Bersyarat/Pidana

Percobaan, yang mana pidana bersyarat dapat dijatuhkan apabila pidana

penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun. Untuk menjatuhkan pidana

bersyarat ini ditentukan baik syarat umum yakni bahwa anak nakal tidak akan

melakukan tindak pidana lagi selama menjalani pidana bersyarat, serta syarat

khusus yakni untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang

ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.

Waktu pidana bersyarat ini paling lama 3 (tiga) tahun.

Pada Pasal 30 mengatur tentang pidana pengawasan, yang mana lama

pidana ini paling singkat selama 3 (tiga) bulan dan paling lama selama 2 (dua)

tahun. Sedangkan dalam hal pembebasan bersyarat, Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menentukan apabila:

1. Telah menjalani pidana penjara selama 2/3 (dua per tiga) dari pidana yang

dijatuhkan, sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik,

yang terdapat pada Pasal 62 ayat (1).

65

2. Masa percobaan, sama dengan sisa pidana yang harus dijalankannya, yang

terdapat pada Pasal 62 ayat (3).

Dibandingkan dengan apa yang diatur dalam KUHP, masa percobaan

untuk anak waktunya jauh lebih singkat yaitu selama sisa pidana yang harus

dijalankan. Sedangkan dalam KUHP selain selama sisa pidana yang harus

dijalankan, ditambah satu tahun.

Nandang Sambas118

memberi pendapat bahwa Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan salah satu pengembangan

atau pembaharuan dalam sistem pemidanaan. Adapun yang menjadi tujuan

dikeluarkannya undang-undang tersebut antara lain memberi perlindungan bagi

masa depan anak demi tercapainya kesejahteraan anak.

Secara psikologis, menurut Maidin Gultom119

perlindungan terhadap

anak dengan tujuan memberikan perlindungan agar anak terhindar dari

kekerasan, keterlantaran, penganiayaan, tertekan, perlakuan tidak senonoh,

kecemasan, dan sebagainya. Atas dasar hal itu maka perlu ada hukum yang

melandasi sebagai pedoman dan sasaran tercapainya kesejahteraan dan

kepastian hukum guna menjamin perlakuan serta tindakan yang diambil

terhadap amal. Usaha mewujudkan kesejahteraan anak adalah bagian dari

meningkatkan pembinaan bagi semua anggota masyarakat, yang tidak terlepas

dari kelanjutan dan kelestarian peradaban bangsa, yang penting bagi masa

depan bangsa dan negara.

Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak ini ada ketentuan Pasal 67 sebagai ketentuan penutup yang secara

118 Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, cet. Pertama,

(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 86.

119 Maidin Gultom. Perlindungan Hukum terhadap Anak ...., hlm. 78.

66

lengkap menyatakan bahwa: “Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini,

maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Dilihat dari keseluruhan sistem pemidanaan, pencabutan atau penegasan

tidak berlakunya lagi ketiga pasal yang ada dalam KUHP tersebut dapat

menimbulkan permasalahan atau setidaknya menyebabkan sistem pemidanaan

terhadap anak tidak lagi merupakan satu kesatuan sistem yang utuh.

Pada Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHP hanya mengatur tentang

kewenangan hakim dalam menjatuhkan putusan tentang jenis-jenis sanksi yang

berupa pidana tindakan, serta lamanya pidana untuk anak yang melakukan

tindak pidana. Sedangkan sistem pemidanaan lainnya seperti tentang cara

pelaksanaan pemidanaan, percobaan, penyertaan, perbarengan, tenggang waktu

kadaluarsa penuntutan, dan pelaksanaan pidana, serta prinsip-prinsip umum

pemidanaan lainnya, sepanjang tidak ditentukan lain menurut undang-undang,

masih tetap berlaku ketentuan umum yang ada di dalam KUHP.

Dengan demikian aturan umum Buku I KUHP juga merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari sistem pemidanaan anak. Bahkan pengaturan tindak

pidana dalam aturan khusus di luar KUHP juga merupakan bagian/sub sistem

dari pemidanaan anak, karena di dalamnya memuat ketentuan unsur-unsur

untuk dapat dipidananya suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku termasuk

anak.

Dengan dicabutnya Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHP maka

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menjadi

67

aturan baru untuk semua pelaku anak yakni sebagai pengganti aturan umum

yang ada dalam KUHP. Selain itu sistem pemidanaan terhadap anak tidak lagi

menjadi satu kesatuan yang utuh. Melainkan sebagian diatur dalam Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan sebagian lagi

masih diatur dalam KUHP.

Di dalam KUHP, pasal-pasal yang masih berlaku mengenai pidana

bersyarat yang terdapat pada Pasal 10 sampai Pasal 43, termasuk tentang cara

pelaksanaan pidana seperti tata cara pelaksanaan pidana bersyarat, pelepasan

bersyarat, hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana

sebagaimana diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 48. Selanjutnya mengenai

percobaan diatur dalam Pasal 53 dan Pasal 54, tentang penyertaan Pasal 55,

Pasal 56, dan Pasal 57, tentang pembantuan melakukan pelanggaran, tentang

perbarengan Pasal 63 sampai Pasal 65, alasan penghapus pidana, alasan

penghapus kewenangan menuntut dan menjalankan pidana, dan sebagainya.

Bahkan dalam aturan khusus yang diatur pada Buku II dan Buku III KUHP

juga masih berlaku untuk anak, termasuk pada pengulangan (recidive).

Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak ada ketentuan yang dirasakan memberatkan. Dikatakan memberatkan

karena ketentuan ini tidak konsisten antara Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak dengan KUHP. Antara lain masalah pengaturan

pidana bersyarat. Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, pidana bersyarat diterapkan hanya untuk pidana

penjara dan lamanya masa percobaan maksimum 3 tahun baik untuk kejahatan

68

maupun pelanggaran. Sedangkan menurut KUHP, pidana bersyarat dapat

dijatuhkan tidak hanya untuk pidana penjara, tetapi pidana kurungan, pidana

denda yang sangat berat, bahkan untuk pidana tambahan. Dalam KUHP untuk

masa percobaan dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran yang mana diatur

pada Pasal 14 huruf b.

Menyangkut masalah pembebasan bersyarat, walaupun pengaturan dalam

ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ada

keringanan dibandingkan dengan ketentuan KUHP, di mana masa percobaan

hanya ditetapkan selama sisa pidana yang harus dijalankannya, tanpa ditambah

satu tahun sebagaimana ditentukan dalam KUHP. Namun persyaratan yang

ditetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

disamakan dengan syarat yang ditetapkan KUHP. Padahal dilihat dari ancaman

pidana yang dijatuhkan terhadap anak, undang-undang menegaskan dikurangi

½ (satu per dua) untuk pidana sementara waktu, dan maksimal sepuluh tahun

untuk ancaman pidana seumur hidup atau pidana mati. Atas dasar tersebut,

sangat wajar apabila syarat pembebasan bersyarat tidak disamakan dengan

ketentuan orang dewasa sebagaimana ditentukan dalam KUHP.

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Penjara bagi

Anak

Kusno Adi120

memberikan pendapat bahwa penggunaan hukum pidana

untuk menanggulangi penyalahgunaan narkotika pada akhirnya akan berujung

pada persoalan bagaimana hakim dalam menjatuhkan putusan. Dasar

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana akan sangat menentukan

120 Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya...,hlm. 90.

69

apakah putusan hakim dianggap adil atau tidak dan apakah dapat

dipertanggungjawabkan atau tidak.

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dapat digunakan

sebagai bahan analisis tentang orientasi yang dimiliki hakim dalam

menjatuhkan putusannya. Diketahuinya orientasi hakim dalam menjatuhkan

putusan juga sangat penting untuk melihat bagaimana putusan yang telah

dijatuhkan relevan dengan tujuan pemidanaan yang telah ditentukan. Secara

umum dapat dikatakan bahwa putusan hakim yang tidak didasarkan pada

orientasi yang benar dalam arti tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yang

ditentukan maka akan berdampak negatif pada proses penanggulangan

kejahatan itu sendiri dan tidak akan membawa manfaat bagi terpidana.

Penjatuhan putusan terhadap anak yang melakukan tindak pidana

narkotika maka hakim perlu membuat pertimbangan-pertimbangan. Dalam hal

ini hakim cenderung menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis dan

non-yuridis, yakni sebagai berikut:

1. Pertimbangan yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang

didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan dan oleh

undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam

putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya sebagai berikut:

a. Dakwaan jaksa penuntut umum

70

Moh Taufik Makarao dan Suharsil121

berpendapat bahwa dakwaan

merupakan surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang

didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil

pemeriksaan di muka pengadilan.

Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan

itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan, yang dalam hal ini sesuai

dengan Pasal 143 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Penuntut umum

melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar

segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan”.

Dalam menyusun sebuah surat dakwaan, hal-hal yang harus

diperhatikan adalah syarat-syarat formil dan materilnya. Dakwaan berisi

identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu

dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang dilanggar

sebagaimana diatur pada Pasal 143 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:

Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan

ditandatangani serta berisi:

a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;

b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang

didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu

dilakukan.

Menurut Rusli,122

perumusan dakwaan didasarkan dari hasil

pemeriksaan pendahuluan yang dapat disusun tunggal, kumulatif,

121 Moh Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek,

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 65.

122 Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2006), hal. 125.

71

alternatif maupun subsidair. Dakwaan disusun secara tunggal apabila

seseorang atau lebih mungkin melakukan satu perbuatan saja, misalnya

hanya sebagai pemakai. Namun, kalau lebih dari satu perbuatan misalnya

ketika tertangkap memakai narkotika ditemukan pula senjata api dalam

hal ini dakwaan disusun secara kumulatif. Oleh karena itu dalam

penyusunan dakwaan ini disusun sebagai dakwaan kesatu, kedua, ketiga

dan seterusnya.

Selanjutnya dakwaan alternatif disusun apabila penuntut umum

ragu untuk menentukan peraturan hukum pidana yang akan diterapkan

atas suatu perbuatan yang menurut pertimbangan telah terbukti. Surat

dakwaan yang tindak pidananya masing-masing dirumuskan dengan

memberikan pilihan kepada pengadilan untuk menentukan dakwaan

mana yang paling tepat untuk dipertanggungjawabkan oleh terdakwa

sehubungan dengan tindak pidana. Biasanya dalam surat dakwaan ada

kata “atau”.

Nikolas Simanjuntak menyatakan bahwa surat dakwaan

subsideritas adalah: 123

Surat dakwaan yang terdiri atas atau beberapa pasal dakwaan atau

berjenjang-jenjang berurutan mulai dari ancaman hukuman terberat

sampai kepada tindak pidana yang paling ringan. Subsidair disini

dimaksudkan sebagai susunan dakwaan pengganti dengan maksud

dakwaan subsidair menggantikan yang primair itu tidak terbukti

dipersidangan pengadilan. Jadi, jika dalam suatu dakwaan terdapat hanya

2 (dua) saja pasal yang didakwakan, maka yang pertama disebut primair

dan kedua disebut subsidair.

123 Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, (Jakarta: Ghalia,

2009), hal. 142.

72

b. Keterangan saksi

Keterangan saksi menurut Lilik Mulyadi adalah salah satu alat

bukti dalam perkara pidana yang merupakan keterangan dari saksi

mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,

dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.124

Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam

Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf a yang berbunyi:

(1) Alat bukti yang sah ialah :

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Menurut SM Amin,125

sepanjang keterangan itu mengenai suatu

peristiwa pidana yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri, dan harus

disampaikan dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah.

Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang

merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari

kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah.

Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah

de auditu testimonium.

Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan.

Oleh karena itu hakim harus cermat jangan sampai kesaksian demikian

124 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik, Dan

Permasalahannya, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 169.

125 SM. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri: Pelajaran Untuk Mahasiswa Pedoman

Untuk Pengacara Dan Hakim, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), hlm. 75.

73

itu menjadi pertimbangan dalam putusannya. Untuk itu sedini mungkin

harus diambil langkah-langkah pencegahan. Yakni dengan bertanya

langsung kepada saksi bahwa apakah yang dia terangkan itu merupakan

suatu peristiwa pidana yang dia dengar, dia lihat dan dia alami sendiri.

Apabila ternyata yang diterangkan itu suatu peristiwa pidana yang tidak

dia lihat, tidak dia dengar, dan tidak di alaminya sendiri sebaiknya hakim

membatalkan status kesaksiannya dan keterangannya tidak perlu lagi

didengar untuk menghindarkan kesaksian de auditu.

c. Keterangan terdakwa

Menurut Kuffal, berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e,

keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan

terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang

perbuatan yang dia lakukan atau diketahui sendiri atau dialami sendiri,

ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP.126

Dalam praktik, keterangan terdakwa sering dinyatakan dalam

bentuk pengakuan dan penolakan, baik sebagian maupun keseluruhan

terhadap dakwaan penuntut umum dan keterangan yang disampaikan

oleh para saksi. Keterangan terdakwa juga merupakan jawaban atas

pertanyaan baik yang diajukan oleh penuntut umum, hakim, maupun

penasehat hukum. Keterangan terdakwa dapat meliputi keterangan

berupa penolakan dan pengakuan atas semua yang didakwakan

kepadanya. Dengan demikian keterangan terdakwa yang dinyatakan

dalam bentuk penolakan atau penyangkalan sebagaimana sering dijumpai

dalam praktik persidangan, juga dinilai sebagai alat bukti.

126 Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Press, 2008), hlm.

25.

74

d. Barang-barang bukti

Menurut pendapat Ansori,127

barang bukti adalah barang yang

dipergunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau

barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Selain itu, Andi Hamzah128

memberikan pendapat bahwa barang-barang ini disita oleh penyidik

untuk dijadikan sebagai bukti dalam sidang pengadilan. Barang yang

digunakan sebagai bukti yang diajukan dalam sidang pengadilan

bertujuan untuk menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan

keterangan terdakwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Barang-barang bukti yang dibicarakan di sini adalah semua benda

yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh penuntut umum

di persidangan yang meliputi:129

1) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau

sebagian diduga atau diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil

dari tindak pidana.

2) Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak

pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana.

3) Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan

tindak pidana.

4) Benda khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.

5) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak

pidana.

Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termasuk dalam

alat bukti karena menurut KUHAP menetapkan hanya lima macam alat

bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan

keterangan terdakwa. Walaupun barang bukti bukan sebagai alat bukti

namun penuntut umum menyebutkan barang bukti itu di dalam surat

127 Ansori Sabuan, dkk, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Angkasa, 1990), hlm. 182.

128 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 20.

129 Pasal 39 ayat (1), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

75

dakwaannya yang kemudian mengajukannya kepada hakim dalam

pemeriksaan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi bahkan bila

perlu hakim membuktikannya dengan membacakan atau memperlihatkan

surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta

keterangan seperlunya tentang hal itu.130

Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan

menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan

yang didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan

lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa

maupun para saksi.

e. Tuntutan pidana

Tambah Sambiring131

mengemukakan pendapatnya mengenai

tuntutan pidana sebagai berikut:

Tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis-jenis dan beratnya

pidana atau jenis-jenis tindakan yang dituntut oleh jaksa penuntut umum

untuk dijatuhkan oleh pengadilan kepada terdakwa, dengan menjelaskan

karena telah terbukti melakukan tindak pidana yang mana, jaksa penuntut

umum telah mengajukan tuntutan pidana tersebut di atas.

Lebih lanjut Tambah Sambiring berpendapat bahwa penyusunan

surat tuntutan oleh jaksa penuntut umum disesuaikan dengan dakwaan

jaksa penuntut umum dengan melihat proses pembuktian dalam

persidangan, yang disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang

130 Pasal 181 ayat (13) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

131 Tambah Sembiring, Proses Pemeriksaan Perkara Pidana Di Pengadilan Negeri,

(Medan: USU Press, 1993), hlm. 59.

76

digunakan oleh jaksa penuntut umum. Sebelum sampai pada tuntutannya

di dalam requisitoir itu biasanya penuntut umum menjelaskan satu demi

satu tentang unsur-unsur tindak pidana yang ia dakwakan kepada

terdakwa, dengan memberikan alasan tentang anggapannya tersebut.132

f. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika

Hal yang sering terungkap di persidangan adalah pasal-pasal yang

dikenakan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Pasal-pasal ini

bermula dan terlihat dalam surat dakwaan yang diformulasikan oleh

penuntut umum sebagai ketentuan hukum narkotika yang dilanggar oleh

terdakwa. Dalam persidangan, pasal-pasal dalam undang-undang

narkotika itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa.

Penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan

memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa

telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal

undang-undang tentang narkotika. Apabila ternyata perbuatan terdakwa

memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti

terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa melakukan perbuatan

seperti dalam pasal yang didakwakan kepadanya.

Menurut Pasal 197 huruf e KUHAP, salah satu yang harus dimuat

dalam surat putusan pemidanaan adalah pasal peraturan perundang-

undangan yang menjadi dasar pemidanaan. Pasal-pasal yang didakwakan

oleh penuntut umum menjadi dasar pertimbangan hakim dalam

132 Tambah Sembiring, Proses Pemeriksaan...., hlm. 60.

77

menjatuhkan putusan. Keseluruhan putusan hakim memuat pertimbangan

tentang pasal-pasal dalam undang-undang narkotika yang dilanggar oleh

terdakwa. Tidak ada satu putusan yang mengabaikannya. Hal ini

dikarenakan pada setiap dakwaan penuntut umum, pasti menyebutkan

pasal-pasal yang dilanggar oleh terdakwa, yang berarti fakta tersebut

terungkap di persidangan menjadi fakta hukum.

2. Pertimbangan non yuridis

Di samping pertimbangan yang bersifat yuridis, menurut Bunadi133

hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat

non yuridis. Pertimbangan yuridis tidak cukup untuk menentukan nilai

keadilan dalam pemidanaan anak di bawah umur, tanpa ditopang dengan

pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis

dan filosofis.

Pertimbangan non-yuridis oleh hakim dibutuhkan oleh karena itu,

masalah tanggung jawab hukum yang dilakukan oleh anak di bawah umur

tidak cukup apabila hanya didasarkan pada segi normatif, visi kerugiannya

saja, tetapi faktor intern dan ekstern anak yang melatarbelakangi anak dalam

melakukan kenakalan atau kejahatan juga harus ikut dipertimbangkan secara

arif oleh hakim yang mengadili anak. Aspek sosiologis berguna untuk

mengkaji latar belakang sosial mengapa seorang anak melakukan suatu

tindak pidana, aspek psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis

133 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, (Bandung: Alumni, 2009), hlm.

93.

78

anak pada saat anak melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani

pidana sedangkan aspek kriminologi diperlukan untuk mengkaji sebab-

sebab seorang anak melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta

perilaku anak yang melakukan tindak pidana, dengan demikian hakim

diharapkan dapat memberikan putusan yang adil sesuai kebutuhan anak.

Menurut Bunadi,134

masalah perilaku, kejiwaan dan kondisi sosial

seseorang sangatlah sulit diukur secara eksak dan diselesaikan secara

zakelijk. Untuk itu, sebagai profil hukum pidana anak yang arif harus

mampu mengadakan pendekatan sosial (sosiological approach) yang sesuai

terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana untuk mengetahui

kondisi anak yang sebenarnya, misalnya: kelabilan jiwanya, tingkat

pendidikan, sosial ekonominya, sosial budayanya di rumah, di sekolah, dan

di masyarakat. Langkah ini perlu diambil agar hakim dapat membuat

keputusan yang sesuai, tidak merugikan perkembangan jiwa dan masa

depan anak.

Jika hakim dalam putusannya hanya mendasarkan pada pertimbangan

yuridis saja dapat menyebabkan kerugian terhadap kehidupan anak, yang

berarti hakim hanya memandang dari segi normatif saja, tetapi juga tindakan

hakim itu dapat disebut sebagai stigmatic maker's decision for children

(pembuat stigma keputusan untuk anak-anak).

Wagiati135

berpendapat bahwa sejak adanya sangkaan atau diadakan

penyidikan sampai diputuskan pidananya dan menjalani putusan tersebut,

anak harus didampingi oleh petugas sosial yang membuat Case Study

tentang anak dalam sidang. Pembuatan laporan sosial yang dilakukan oleh

sosial worker ini merupakan yang terpenting dalam sidang anak, yang sudah

berjalan ialah pembuatan Case Study oleh petugas Bimbingan

Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak.

134 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak..., hlm. 94.

135 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, cet. Ke-1, (Bandung: Refika Aditama, 2006),

hlm. 45.

79

Peran BAPAS yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan

(PK) juga dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak Bab IV Pasal 34 ayat 1 yang menyatakan bahwa

Pembimbing Kemasyarakatan bertugas:

a. Membantu memperlancar tugas penyidik, penuntut umum dan Hakim

dalam perkara anak nakal, baik didalam maupun di luar siding anak

dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan (LITMAS).

b. Membimbing, membantu dan mengurus anak nakal berdasarkan putusan

pengadilan yang menjatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana

denda diserahkan kepada Negara dan harus mengikuti latihan kerja atau

yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan.

Menurut Wagiati,136

adapun yang tercantum dalam case study ialah

gambaran keadaan si anak, berupa:

a. Masalah sosialnya;

b. Kepribadiannya;

c. Latar belakang kehidupannya, misalnya:

1) Riwayat sejak kecil;

2) Pergaulan di luar dan di dalam rumah;

3) Keadaan rumah tangga si anak;

4) Hubungan antara bapak, ibu, dan si anak;

5) Latar belakang saat dilakukannya tindak pidana tersebut.

Laporan hasil penelitian kemasyarakatan tersebut sebagai salah satu

bahan pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara anak. Dalam Pasal

59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan. Bunyi

Pasal 52 ayat (2), yaitu:

Putusan sebagaimana yang dimaksud dengan ayat (1) wajib

mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan.

136 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak..., hlm. 46.

80

Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan

tersebut karena dalam menentukan sanksi yang akan dijatuhkan kepada anak

nakal, hakim mempunyai pilihan antara lain menjatuhkan sanksi (Pasal 23)

atau mengambil tindakan (Pasal 24). Secara teoritis pilihan-pilihan sanksi

yang dapat dijatuhakan kepada anak adalah untuk mengambil keputusan

yang terbaik untuk anak. Anak yang berkonflik dengan hukum secara

sosiologis tidak dapat dinyatakan salah sendiri karena ia belum menyadari

akibat dari tindakannya dan belum dapat memilih mana tindakan yang baik

dan mana tindakan yang tidak baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.

Pelanggaran pidana oleh anak lebih merupakan kegagalan proses

sosialisasi dan lemahnya pengendalian sosial terhadap anak. Oleh karena itu

keputusan hakim dalam perkara anak harus mempertimbangkan keadaan

anak yang sesungguhnya atau realitas sosial anak tersebut, bukan hanya

melihat aspek pidananya saja.

Meskipun hakim wajib mempertimbangkan Laporan Penelitian

Kemasyarakatan, namun dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tidak

menjelaskan alasan laporan pembimbing kemasyarakatan ini diwajibkan

untuk dipertimbangkan hakim dalam mengambil keputusan. Hakim tidak

terikat penuh pada laporan penelitian tersebut, hanya saja merupakan bahan

pertimbangan bagi hakim untuk mengetahui latar belakang anak.

Hakim pengadilan dalam mengambil keputusan lebih terfokus pada

hasil pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Akan tetapi, pada Pasal 60

ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

81

Peradilan Pidana Anak yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menjelaskan bahwa hakim wajib

mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan apabila laporan

penelitian kemasyarakatan tidak dipertimbangkan dalam putusan hakim,

putusan batal demi hukum.137

Berdasarkan hal di atas, Maidin Gultom berpendapat bahwa:138

Hakim yang menangani perkara pidana anak sebisa mungkin

mengambil tindakan yang tidak memisahkan anak dari orang tua. Hakim

seharusnya benar-benar teliti dan mengetahui segala latar belakang anak

sebelum sidang dilakukan. Dalam mengambil putusan, hakim harus benar-

benar memperhatikan kedewasaan emosional, mental, dan intelektual anak.

Dihindarkan putusan hakim yang mengakibatkan penderitaan batin seumur

hidup atau dendam pada anak, atas kesadaran bahwa putusan hakim

bermotif perlindungan.

Selain pertimbangan secara yuridis dan non yuridis tersebut, Kusno

Adi139

menyebutkan dalam bukunya bahwa secara umum dasar pertimbangan

hakim yang digunakan untuk menjatuhkan berat dan ringannya pidana penjara

kepada anak yang menyalahgunakan narkotika adalah sebagai berikut:

1. Pertimbangan yang memberatkan:

a. Perbuatan terdakwa dianggap meresahkan masyarakat.

b. Perbuatan terdakwa merusak mental bangsa.

c. Perbuatan terdakwa merusak generasi bangsa.

d. Perbuatan terdakwa merusak moral dan kesehatan bangsa.

2. Pertimbangan yang bersifat meringankan:

e. Terdakwa mengaku terus terang.

f. Terdakwa belum pernah dihukum.

g. Terdakwa masih muda.

h. Terdakwa sopan dipersidangan.

137 Pasal 60 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak.

138 Maidin Gulltom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak ..., hlm. 120.

139 Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya..., hlm. 93.

82

i. Terdakwa masih berstatus sebagai siswa.

Apabila dasar pertimbangan yang digunakan hakim untuk menjatuhkan

jenis dan beratnya pidana kepada anak tersebut dianalisis maka menurut Paulus

akan menunjukkan berbagai kejanggalan sebagai berikut:140

1. Keputusan hakim menjatuhkan pidana penjara kepada anak berdasarkan

berbagai pertimbangan tersebut di atas menunjukkan bahwa hakim masih

memegang teguh paradigma klasik yang melihat hukum pidana hanya

berorientasi pada perbuatan. Karena perbuatan terdakwa dianggap

meresahkan masyarakat, merusak bangsa, merusak generasi penerus bangsa

maka hakim menyimpulkan bahwa anak yang bersangkutan perlu dijatuhi

hukuman penjara.

2. Orientasi hakim untuk menghukum masih sangat menonjol. Hal ini terlihat

dari kecenderungan hakim di dalam menentukan jenis sanksi pidana yang

dijatuhkan pada anak, di mana ada kecenderungan hakim menjatuhkan jenis

sanksi pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara) terhadap pelaku

anak, padahal pidana penjara yang dijatuhkan pada anak tersebut hampir

seluruhnya berupa pidana penjara jangka pendek. Putusan hakim yang

demikian menjadi sangat ironis mengingat terdakwa dewasa saja ada

kecenderungan untuk mengurangi bahkan menghindari penerapan pidana

perampasan kemerdekaan jangka pendek. Upaya menghindari penerapan

pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik atas alasan

ekonomis, kemanusiaan, maupun filosofis pemidanaan. Dengan demikian

penerapan pidana perampasan kemerdekaan termasuk pidana penjara jangka

pendek terhadap anak perlu dipertanyakan urgensinya dan efektifitasnya.

3. Kecenderungan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara pada anak yang

menyalahgunakan narkotika juga mengindikasikan bahwa hakim

mengabaikan realitas empiris, bahwa anak bukan saja sebagai pelaku tindak

pidana tetapi juga korban. Kecenderungan menjatuhkan pidana penjara

kepada pelaku anak yang menyalahgunakan narkotika dengan demikian

juga bermakna diabaikannya kepentingan anak sebagai korban.

4. Kecenderungan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada anak juga

mengindikasikan adanya penanggulangan yang bersifat parsial dalam hal

terjadinya penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak. Hakim seakan

tutup mata dan kurang memperhatikan terhadap kenyataan bahwa dampak

negatif penerapan sanksi pidana penjara terhadap anak justru bersifat kontra

produktif terhadap upaya pembinaan anak. Pendapat bahwa pidana penjara

bagi anak akan menjadi proses pembinaan bagi anak baru dapat diterima

sekalipun efektifitasnya masih diragukan manakala sarana dan prasarana

serta sumber daya manusia dalam lembaga telah memadai. Realitas

140 Paulus Hadisoeprapto, Juvenile Delinquency...., hlm. 101.

83

menunjukkan bahwa sarana dan prasarana di lembaga pemasyarakatan anak

sangat minim dan memprihatinkan.

C. Dampak Penerapan Sanksi bagi Anak Pelaku Tindak Pidana

Penerapan sanksi bagi anak sering menimbulkan persoalan yang

mendalam baik secara yuridis, sosiologis, maupun filosofis. Secara yuridis,

terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan pendekatan yang dilakukan

terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika. Secara konseptual anak yang

melakukan penyalahgunaan narkotika selain dikualifikasikan sebagai pelaku, ia

juga sebagai korban.

Keseimbangan perlakuan terhadap anak yang menyalahgunakan

narkotika antara anak sebagai pelaku tindak pidana dan sebagai korban harus

bersifat proporsional. Artinya dalam memperlakukan anak yang melakukan

penyalahgunaan narkotika semata-mata sebagai pelaku tindak pidana tidak

dibenarkan. Dengan konsep demikian maka keseimbangan perlakuan anak

sebagai pelaku dan sebagai korban perlu diprioritaskan.

Dalam beberapa teori, penerapan sanksi termasuk penerapan pidana

terhadap anak ternyata menimbulkan berbagai dampak negatif. Mengingat hal

tersebut maka penggunaan sanksi terhadap anak juga patut menjadi perhatian,

mengingat anak adalah subyek hukum yang bersifat sangat khusus yang

berbeda dengan subyek hukum orang dewasa pada umumnya yang juga

membutuhkan perlakuan khusus. Dalam artian penerapan sanksi pada orang

dewasa dianggap tidak efektif sebagai sarana penanggulangan kejahatan.

84

Penerapan sanksi terhadap anak menurut Made Sandhi141

biasanya

menimbulkan kerugian sebagai berikut:

1. Anak menjadi lebih ahli tentang kejahatan.

2. Anak diberi cap jahat oleh masyarakat yang disebut stigma.

3. Masyarakat menolak kehadiran mantan narapidana anak.

4. Masa depan anak suram.

Hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dampak negatif akibat

penerapan sanksi bagi anak dapat meliputi pemberian label atau cap jahat,

masyarakat menolak kehadirannya, dan dapat muncul sarana untuk transfer

kejahatan yang pada akhirnya akan melahirkan penjahat-penjahat baru yang

tentunya lebih ahli.

Berlawanan dari hal di atas, menurut Kusno Adi142

bahwa ada beberapa

pemahaman yang dapat menjadi kerangka dasar dalam menentukan kebijakan

adalah sebagai berikut:

2. Penerapan pidana bagi anak akan menimbulkan berbagai dampak negatif

justru akan menjadi faktor kriminogen. Dengan demikian penggunaan

hukum pidana sebagai sarana penanggulangan penyalahgunaan narkotika

yang dilakukan oleh anak justru menimbulkan implikasi yuridis yang sangat

serius. Kegagalan memberikan perlindungan kepada anak dari kemungkinan

menjadi residivis juga menjadi harga yang sangat mahal bagi masyarakat.

Mengingat anak pada hakikatnya merupakan penerus bangsa yang akan

meneruskan estafet kehidupan berbangsa dan bernegara.

3. Penerapan pidana bagi anak juga akan menjadi faktor viktimogen yang

sangat berpeluang menempatkan anak dalam penderitaan panjang akibat

pengalamannya dalam proses pemeriksaan peradilan, terlebih lagi dalam

profesionalisme aparat penegak hukum terhadap anak masih sangat

memprihatinkan. Dalam kondisi yang demikian, terjadinya viktimisasi

korban dalam proses peradilan anak yang biasanya disebut viktimisasi

struktural dalam proses peradilan pidana juga menjadi bahaya bagi anak

141 Made Sandhi Astuti, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana,

(Malang: IKIP, 1997), hlm. 117.

142 Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya..., hlm. 126-127.

85

sebab dampak negatif akibat proses ini justru bersifat paradoksal dengan

tujuan perlindungan anak.

Berdasarkan hal tersebut, dapat diprediksi bahwa penerapan pidana yang

demikian akan sangat membawa dampak negatif apabila diterapkan terhadap

anak. Sehingga di samping menjadi faktor kriminogen sekaligus akan

menimbulkan terjadinya viktimisasi struktural. Dalam pelaksanaan penjatuhan

pidananya dalam lembaga pemasyarakatan disadari bahwa masih lemah

pelaksanaan pembinaan di lembaga pemasyarakatan. Pembinaan anak didik

harus diletakkan pada konteks sistem peradilan pidana, yang bukan hanya

merupakan tugas dari lembaga pemasyarakatan anak. Mengingat selama ini apa

yang dilakukan pejabat korektif lebih banyak berorientasi ke dalam.

D. Gambaran Umum Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta

1. Profil dan Sejarah143

Terbentuknya Pengadilan Negeri Bantul tidak lepas dari peran

Pemerintah Daerah Tk. II Kabupaten Bantul dan DPRD Kabupaten Bantul

yang turut serta andil dalam menyediakan tanah untuk mendirikan Gedung

Pengadilan Negeri Bantul. Pada tahun 1978, tepatnya tanggal 29 September

1978 yang merupakan hari jadi Pengadilan Negeri Bantul yang pertama kali

bertempat di Gedung Balai Desa Pendowoharjo, Sewon, Bantul.

Hakim Pengadilan Negeri Bantul sebelum ada ketua yang definitif

diambilkan dari Pengadilan Negri Yogyakarta, sedang tenaga/karyawan ada

143 http://pn-bantul.go.id/page-profil-dan-sejarah.html, Diakses pada tanggal 06 Desember

2013 pukul 10.14 WIB.

86

2 (dua) pindahan dari Pengadilan Negeri Yogyakarta sebagai pionir yaitu

Bapak S.Pardjo, Bapak Noorman Handi, dibantu oleh 3 (tiga) orang Calon

Pegawai yang diangkat/ditempatkan di Pengadilan Negeri Bantul, yaitu Sdr.

Sutrisno, Sdr. Lanjiyono, Sdr. Dullahar Susisno, dan persidangannya hanya

melaksanaan sidang Tilang.

Setelah Ketua Pengadilan Negeri Bantul yang definitif dilantik dan

diambil sumpahnya yaitu : Bapak Sam’ani Soedjono, SH., dan Panitera

Kepala dijabat oleh Bapak M. Soegito, BA. Semula karyawan dari

Pengadilan Negeri Purworejo.

Mulai pertengahan tahun 1979 Pengadilan Negeri Bantul metambah

tenaga Hakim 4 (empat) orang antara lain sebagai berikut:

a. Judo Sumarto, SH. Semula Hakim PN Wonosari

b. Sutomohadi Dimyati, SH. Semula Hakim PN Pekalongan

c. Ny. Yetty E. Pardjono, SH. Semula Hakim PN Wates

d. George Lewerissa, Semula Hakim PN Tobelo.

Selain hakim-hakim di atas, dari tahun ke tahun selanjutnya menerima

pindahan-pindahan dari lain Pengadilan Negeri maupun dari Kantor Urusan

Tugas Belajar Departemen Kehakiman Yogyakarta, dan ada yang dari

Direktorat Jenderal Pembinaan badan-badan Peradilan Umum, serta

pengangkatan pegawai-pegawai baru atau calon pegawai yang didrop dari

Pusat/dari Jakarta, ditambah tenaga magang.

87

Dengan DIPA tahun Anggaran 1978/1979 No. 44/XIII/4/1978,

tanggal 1 April 1978, dibangun gedung Pengadilan Negeri Bantul dan

Rumah Dinas Ketua diatas tanah seluas 3.000 m², terdiri 2 (dua) lantai

terletak di Gise, Ringinharjo, Bantul, dan pada tanggal 6 Februari 1982

Gedung Pengadilan Negeri Bantul diresmikan oleh Bapak R. Soeroso, SH.

Dirjen Badilum Departemen Kehakiman.

2. Letak Geografis144

Wilayah Kabupaten Bantul terletak antara 110º 12΄ 34˝ sampai 110º

31΄ 08˝ Bujur Timur dan antara 7º 44΄ 04˝ sampai 8º 00΄ 27˝ Lintang

Selatan. Kabupaten Bantul merupakan salah satu Kabupaten dari 5

Kabupaten/Kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang

terletak di Pulau Jawa. Bagian utara berbatasan dengan Kota Yogyakarta

dan Kabupaten Sleman, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten

Gunungkidul, bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Kulonprogo dan

bagian selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.

3. Visi dan Misi145

a. Visi Mahkamah Agung adalah "TERWUJUDNYA BADAN

PERADILAN INDONESIA YANG AGUNG”

b. Misi Mahkamah Agung RI adalah:

144 http://pn-bantul.go.id/page-letak-geografis.html, Diakses pada tanggal 06 Desember

2013 pukul 10.20 WIB.

145 http://pn-bantul.go.id/page-visi-dan-misi.html, Diakses pada tanggal 06 Desember 2013

pukul 10.23 WIB.

88

1) Menjaga kemandirian badan peradilan.

2) Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari

keadilan.

3) Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan.

4) Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.

4. Struktur Organisasi146

Gambar : Bagan Struktur Organisasi

146 http://pn-bantul.go.id/page-struktur-organisasi.html, Diakses pada tanggal 06 Desember

2013 pukul 10.26 WIB.

89

5. Tugas Pokok dan Fungsi147

Pengadilan Negeri Bantul merupakan peradilan umum sebagai anak

satuan kerja dari Pengadilan Tinggi Yogyakarta di bawah Mahkamah

Agung Republik Indonesia mempunyai tugas pokok dan fungsi yang sama

yaitu sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk

menyelanggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang menerima, memeriksa, memutus

dan menyelesaikan perkara yang masuk ditingkat pertama.

Adapun tugas pokok dan fungsi adalah sebagai berikut :

a. Ketua

1) Bersama-sama Wakil Ketua memimpin dan bertanggung jawab atas

terselenggaranya tugas Pengadilan secara baik dan lancar.

2) Membuat :

a) Perencanaan (planning, programming) dan perorganisasian

(organizing);

b) Pelaksanaan (implementatiaon dan executing);

c) Pengawasan (evaluation dan controlling); Yang baik, serasi, dan

selaras.

3) Melaksanakan pembagian tugas antara Ketua dengan Wakil Ketua

serta bekerja sama dengan baik.

4) Membagi dan menetapkan tugas dan tanggung jawab secara jelas

dalam rangka mewujudkan keserasian dan kerja sama antar sesama

pejabat/petugas yang bersangkutan.

5) Menyelenggarakan administrasi keuangan perkara dan mengawasi

keuangan rutin/pembangunan.

6) Melaksanakan pertemuan berskala sekurang-kurangnya sekali dalam

sebulan dengan para Hakim serta pejabat struktural, dan sekurang-

kurangnya sekali dalam 3 bulan dengan seluruh karyawan.

7) Membuat/menyusun legal data tentang putusan-putusan perkara

yang penting.

8) Memerintahkan, memimpin, dan mengawasi eksekusi sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

147 http://pn-bantul.go.id/page-tugas-pokok-dan-fungsi.html, Diakses pada tanggal 06

Desember 2013 pukul 10.32 WIB.

90

9) Mengaktifkan Majelis Kerhormatan Hakim.

10) Melakukan pengawasan secara rutin terhadap pelaksanaan tugas dan

memberi petunjuk serta bimbingan yang diperlukan baik bagi para

Hakim maupun seluruh karyawan.

11) Melakukan pengawasan intern dan extern :

a) Intern : Pejabat peradilan, keuangan, dan material;

b) Extern : Pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum

tetap.

12) Menugaskan Hakim untuk membina dan mengawasi bidang hukum

tertentu.

13) Melakukan evaluasi atas hasil pengawasan dan memberikan

penilaian untuk kepentingan peningkatan jabatan.

14) Melaporkan evaluasi atas hasil pengawasan dan penilaiannya kepada

Mahkamah Agung.

15) Mengawasi pelaksanaan ciurt calender dengan ketentuan bahwa

setiap perkara pada asasnya harus diputus dalam waktu 6 bulan dan

mengumumkannya pada pertemuan berkala dengan para Hakim.

16) Mempersiapkan kader (kadernisasi) dalam rangka menghadapi alih

generasi.

17) Melakukan pembinaan terhadap organisasi KORPRI, Dharma Yukti

Karini. IKAHI, Koperasi.

18) Melakukan koordinasi antar sesama instansi di lingkungan penegak

hukum dan kerjasama dengan instansi-instansi lain serta dapat

memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasehat tentang hukun

kepada instansi pemerintah di daerahhnya apabila diminta.

19) Memperhatikan keluhan-keluhan yang timbul dari masyarakat dan

menanggapinya bila dipandang perlu.

20) Dalam Teknis Bidang Perdata:

a) Menetapkan/menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan

persidangan perkara.

b) Menetapkan panjar biaya perkara, dalam hal penggugat atau

tergugat tidak mampu, Ketua dapat mengizinkannya untuk

beracara secara prodeo.

c) Membagi perkara gugatan dan permohonan kepada Hakim untuk

disidangkan.

d) Dapat mendelegasikan wewenang kepada Wakil Ketua untuk

membagi perkara permohonan dan menunjuk Hakim untuk

menyidangkannya.

e) Menunjuk Hakim untuk mencatat gugatan atau permohonan

secara lisan.

f) Memerintahkan kepada Jurusita untuk melakukan pemanggilan,

agar terhadap termohon eksekusi dapat dilakukan teguran

(aanmaning) untuk memenuhi putusan yang telah berkekuatan

hukum tetap, putusan sertamerta, putusan provisi, dan

pelaksanaan eksekusi lainnya.

g) Memerintahkan kepada Jurusita untuk melaksanakan somasi.

91

h) Berwenang menangguhkan eksekusi untuk jangka waktu tertentu

dalam hal ada gugatan perlawanan.

i) Berwenang menangguhkan eksekusi dalam hal ada permohonan

peninjauan kembali hana atas perintah Ketua Mahkamah Agung.

j) Menetapkan biaya Jurusita dan eksekusi.

k) Menetapkan pelaksanaan lelang, tempat pelaksanaan lelang,

Kantor Lembaga Negara sebagai pelaksana lelang.

l) Melaksanakan putusan serta merta dalam hal perkara dimohonkan

banding wajib meminta izin kepada Pengadilan Tinggi.

m) Melaksanakan putusan serta merta dalam hal perkara dimohonkan

kasasi wajib meminta izin kepada Mahkamah Agung.

n) Menyelesaikan permohonan kewarganegaraan.

o) Melakukan penyumpahan terhadap permohonan pewarganegaraan

yang telah memperoleh surat keputusan Presiden.

p) Menyediakan buku khusus untuk anggota Hakim Majelis yang

ingin menyatakan berbeda pendapat dengan kedua anggota

Hakim Majelis lainnya dalam memutus perkara serta

merahasiakannya.

21) Dalam Teknis Bidang Pidana:

a) Menetapkan/menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan

persidangan perkara dengan acara singkat dan cepat.

b) Membagi perkara dengan acara biasa, singkat, cepat,

praperadilan, dan ganti rugi kepada Hakim untuk disidangkan.

c) Menanda tangani surat penetapan penahanan perpanjangan

penahanan.

d) Membuat daftar Hakim dan Panitera Pengganti yang bertugas

pada hari sidang agar persidangan dapat dimulai tepat waktu.

e) Memerintahkan Jurusita untuk memberitahukan putusan verstek

kepada penyidik, isi putusan banding dan isi putusan kasasi

kepada terdakwa/pemohon banding/kasasi.

f) Menyerahkan berkas permohonan grasi kepada Hakim untuk

diproses.

b. Wakil Ketua

1) Membantu Ketua dalam membuat program kerja jangka pendek dan

jangka panjang, pelaksanaannya serta pengorganisasiannya.

2) Mewakili Ketua bila berhalangan.

3) Melaksanakan delegasi tugas dan wewenang dari Ketua.

4) Melakukan pengawasan intern untuk mengamati apakah pelaksanaan

tugas telah dikerjakan sesuai dengan rencana kerja dan ketentuan

yang berlaku serta melaporkan hasil pengawasan tersebut kepada

Ketua.

92

c. Hakim

1) Membantu pimpinan pengadilan dalam membuat program kerja

jangka pendek dan jangka panjang, pelaksanaannya serta

pengorganisasiannya.

2) Melakukan pengawasan yang ditugaskan Ketua untuk mengamati

apakah pelaksanaan tugas penyelenggara administrasi perkara perdata

dan pidana serta pelaksanaan eksekusi, dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku dan melaporkannya kepada Pimpinan

Pengadilan.

3) Melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan

putusan pidana di lembaga pemasyarakatan dan melaporkannya

kepada Mahkamah Agung.

4) Dalam Teknis Bidang Perdata:

a) Menetapkan hari sidang.

b) Menentapkan Aanmaning ke para pihak.

c) Bertanggung jawab atas pembuatan dan kebenaran berita acara

persidangan dan menanda tanganinya sebelum sidang berikutnya.

d) Menetapkan Sita Eksekusi.

e) Mengemukakan pendapat dalam musyawarah.

f) Menyiapkan dan memaraf naskah putusan lengkap untuk ucapan.

g) Wajib menanda tangani putusan yang sudah diucapkan dalam

persidangan.

h) Mempelajari dan mendiskusikan secara berkala, keputusan hukum

yang diterima.

5) Dalam Teknis Bidang Pidana:

a) Menetapkan hari sidang untuk perkara dengan acara biasa.

b) Menetapkan terdakwa ditahan, dikeluarkan dari tahanan atau

dirubah jenis penahanannya.

c) Bertanggung jawab atas pembuatan dan kebenaran berita acara

persidangan dan menanda tangani nya sebelum sidang selanjutnya.

d) Mengemukakan pendapat dalam musyawarah.

e) Menyiapkan dan memaraf naskah putusan lengkap untuk ucapan.

f) Wajib menanda tangani putusan yang sudah diucapkan dalam

persidangan.

g) Menghubungi BISPA agar menghadiri persidangan dalam hal

terdakwanya masih dibawah umur.

h) Memproses permohonan grasi.

i) Melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap keadaaan dan

perilaku narapidana yang berada dalam Lembaga Pemasyarakatan

serta melaporkannya kepada Mahkamah Agung.

d. Kesekretariatan148

148 http://pn-bantul.go.id/page-kesekretariatan.html, Diakses pada tanggal 06 Desember

2013 pukul 10.34 WIB.

93

Tugas pokok Sekretariat yakni memberikan pelayanan administrasi

umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Negeri. Dalam hal

ini fungsi Sekretariat mencakup 3 (tiga) hal yaitu:

1) Melakukan urusan kepegawaian

2) Melakukan urusan keuangan kecuali mengenai pengelolaan biaya

perkara/uang titipan pihak ketiga.

3) Melakukan urusan perlengkapan, rumah tangga, surat menyurat dan

barang inventaris milik negara dan mengelola perpustakaan

Bidang Sekretariatan ini dibagi dalam 3 (tiga) sub yaitu:

1) Urusan Kepegawaian mempunyai tugas melakukan urusan

kepegawaian.

2) Urusan Keuangan, mempunyai tugas melakukan urusan keuangan

kecuali mengenai pengelolaan biaya perkara/uang titipan pihak ketiga.

3) Urusan Umum, mempunyai tugas melakukan urusan surat menyurat,

perlengkapan, rumah tangga, perpustakaan dan barang inventaris

milik negara.

Masing-masing Urusan ini dipimpin oleh seorang Kepala Urusan.

e. Kepaniteraan149

Sesuai ketentuan pasal 2 Keputusan KMA-RI No.

KMA/004/SK/II/1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan

Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, tugas pokok Kepaniteraan

adalah memberikan pelayanan teknis di bidang administrasi perkara dan

administrasi peradilan lainnya berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Dalam hal ini fungsi Kepaniteraan mencakup 5 (lima) hal, yaitu:

1) Menyusun kegiatan administrasi perkara serta melaksanakan

koordinasi dan sinkronisasi yang berkaitan dengan persidangan.

149 http://pn-bantul.go.id/page-kepaniteraan.html, Diakses pada tanggal 06 Desember 2013

pukul 10.36 WIB.

94

2) Mengurus daftar perkara, administrasi perkara, admninistrasi

keuangan perkara dan administrasi pelaksanaan putusan perkara

perdata.

3) Mengurus daftar perkara, administrasi perkara dan administrasi

keuangan perkara pidana.

4) Penyusunan statistik perkara, dokumentasi perkara, laporan perkara

dan memberikan jasa pelayanan hukum bagi masyarakat.

5) Lain-lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Bidang Kepaniteraan dibagi dalam 3 sub bidang kepaniteraan yaitu:

1) Kepaniteraan Perdata, yang bertugas melakukan administrasi perkara,

mempersiapkan persidangan perkara, menyimpan berkas perkara yang

masih berjalan dan lain-lain yang berhubungan dengan perkara

perdata.

2) Kepaniteraan Pidana, yang bertugas melaksanakan administrasi

perkara mempersiapkan persidangan perkara, menyimpan berkas

perkara yang masih berjalan dan lain-lain yang berhubungan dengan

perkara pidana dan barang bukti.

3) Kepaniteraan Hukum, bertugas mengumpulkan, mengolah dan

mengkaji data, menyajikan statistik perkara, menyusun laporan

perkara, menyimpan arsip berkas perkara, administrasi

kewarganegaraan, pengesahan badan hukum dan administrasi yang

berkaitan dengan catatan sipil dan tugas lain berdasarkan peraturan

perundang-undangan.

Masing-masing Kepaniteraan tersebut dipimpin oleh seorang Panitera

Muda selaku kepala Sub Kepaniteraan.

95

95

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Putusan Perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.

1. Duduk Perkara

Terdakwa Yanuar Nur Fajar als Zanu bin Wijono pada hari Selasa

tanggal 20 September 2011 sekitar pukul 17.00 WIB bertempat di Depok

RT.002/- Kelurahan Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul

menggunakan Narkotika Golongan I secara hak atau melawan hukum.

Pada awalnya, hari Selasa Tanggal 20 September 2011 pada pukul

08.30 WIB Petugas Lalu Lintas Pospol Bakulan Polres Bantul mendapatkan

informasi dari masyarakat bahwa terdakwa Yanuar Nur Fajar als Zanu bin

Wijono diduga menyimpan narkotika jenis ganja. Dari informasi tersebut

Petugas Lalu Lintas Pospol Bakulan Polres Bantul melaporkan informasi

kepada Brigadir Winata Saputra, yang kemudian saksi Bayudi bersama

rekan-rekannya menindaklanjuti informasi tersebut.

Kemudian pada hari Selasa tanggal 20 September 2011 pukul 14.30

WIB di Jalan Raya Imogiri Timur tepatnya sebelah selatan Mako Brimob

Gondowulung, Bantul, Yogyakarta, Brigadir Winata Saputra beserta rekan-

rekannya berhasil menangkap terdakwa dan terdakwa mengaku masih

menyimpan daun ganja kering yang disimpan di rumahnya.

Berdasarkan keterangan terdakwa tersebut, pada hari Selasa tanggal

20 September 2011 pukul 17.00 WIB dilakukan penggeledahan di rumah

96

terdakwa. Petugas berhasil menemukan barang bukti berupa 1 (satu) batang

rokok yang dicampur dengan daun ganja yang disimpan dalam bekas

bungkus rokok Djarum Black Menthol warna hitam dengan berat ± 0,81

gram. Barang bukti tersebut merupakan jenis narkotika yang disimpan di

bawah tempat tidur kamar terdakwa. Selanjutnya terdakwa dan barang yang

ditemukan tersebut dibawa ke Satresnarkoba Polres Bantul guna

pemeriksaan lebih lanjut.

Sebelumnya terdakwa sudah menggunakan daun ganja yang dicampur

dengan tembakau rokok sebanyak 10 (sepuluh) batang yang diperoleh dari

saksi Redy Clara Cipta als Redy bin Purwadi. Ganja tersebut dihisap oleh

terdakwa bersama saksi Supriyo Hadi als Yoyok bin Sukari, saksi Redy

Clara Cipta als Redy bin Purwadi, dan saksi Sugiyarto als Benceng bin

Sarino pada hari Senin tanggal 19 September 2011 sekitar pukul 16.30 WIB

di rumah saksi Sugiyarto als Benceng bin Sarino sebanyak 4 (empat)

batang. Sedangkan sebanyak 6 (enam) batang lagi digunakan di Pantai

Depok, Parangtritis, Kretek, Bantul pada hari Senin tanggal 19 September

2011 pukul 19.00 WIB bersama saksi Redy Clara Cipta als Redy bin

Purwadi dan saksi Supriyo Hadi als Yoyok bin Sukari.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka Berita Acara Pemeriksaan

Urine Nomor : R/184/IX/2011/Biddokkes, hasil pemeriksaan urine terdakwa

a.n. Yanuar Nur Fajar als Zanu bin Wijono menunjukkan hasil

Cannabinoids/ Narkotika Positif (+).

97

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Dalam perkara Nomor 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. dakwaan yang

diajukan Penuntut Umum di persidangan adalah dengan dakwaan No. Reg :

PDM-46/BNTUL/08/2010 tanggal : 31 Agustus 2010 di sini terdapat 2

(dua) dakwaan, yakni dakwaan primair dan subsidair sebagai berikut:

a. Dakwaan primairnya yakni perbuatan terdakwa adalah kejahatan

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 111 ayat (1)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika.

b. Dakwaan subsidairnya yakni perbuatan terdakwa adalah kejahatan

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

3. Keterangan Saksi

Saksi-saksi yang menerangkan di bawah sumpah adalah sebagai berikut:

a. Saksi Bayudi

Bayudi memberikan kesaksian bahwa dia melakukan penangkapan

terhadap terdakwa pada Hari Selasa tanggal 20 September 2011 sekitar

pukul 14.30 WIB di jalan raya Imogiri Timur tepatnya sebelah selatan

Mako Brimob Gondowulung Bantul dan melakukan penggeledahan yang

kemudian ditemukan Handphone. Bayudi juga melakukan penggeledahan

di rumah terdakwa yang disaksikan juga oleh saksi Karsono selaku

98

Kadus dan ditemukan satu batang rokok di dalam bungkus rokok Djarum

Black Mentol warna hitam yang disimpan di bawah tempat tidur.

Setelah mendapatkan keterangan dari terdakwa, Bayudi bersama

rekannya membawa terdakwa ke Polres Bantul guna dilakukan

pemeriksaan lebih lanjut. Menurut Bayudi, terdakwa menggunakan ganja

tersebut tidak dalam rangka pengobatan dan tanpa ijin dari pihak yang

berwenang.

b. Saksi Dadang Irawan

Dadang Irawan memberikan kesaksian bahwa dia ikut melakukan

penangkapan terhadap terdakwa pada Hari Selasa tanggal 20 September

2011 sekitar pukul 14.30 WIB di jalan raya Imogori Timur tepatnya

sebelah selatan Mako Brimob Gondowulung Bantul dan melakukan

penggeledahan yang kemudian ditemukan Handphone. Kemudian

Dadang juga ikut melakukan penggeledahan di rumah terdakwa yang

disaksikan juga oleh saksi Karsono selaku Kadus dan ditemukan satu

batang rokok di dalam bungkus rokok Djarum Black Mentol warna hitam

yang disimpan di bawah tempat tidur. Ganja tersebut adalah sisa yang

telah digunakan sebelumnya bersama dengan saksi Yoyok dan saksi

Sugiyarto.

Kemudian setelah mendapatkan keterangan dari terdakwa, Dadang

bersama rekannya membawa terdakwa ke Polres Bantul guna dilakukan

pemeriksaan lebih lanjut. Menurut saksi, terdakwa menggunakan ganja

99

tersebut tidak dalam rangka pengobatan dan tanpa ijin dari pihak yang

berwenang.

c. Saksi Sugiyarto alias Benceng

Sugiyarto alias Benceng memberikan kesaksian bahwa dia

menggunakan ganja bersama dengan terdakwa pada Hari Senin tanggal

19 September 2011 sekitar pukul 16.30 WIB di rumahnya. Namun dia

tidak tahu ganja tersebut berasal dari mana, karena pada waktu itu

terdakwa hanya mengajaknya untuk menggunakan ganja tersebut. Ganja

tersebut digunakan bersama dengan terdakwa, Redy, dan saksi Yoyok

dengan cara ganja tersebut dicampur dengan rokok kemudian dibakar dan

dihisap secara bergantian sampai habis linting ganja tersebut. Sugiyarto

alias benceng di sini menyatakan tidak ditangkap polisi karena menurut

keterangan polisi di dalam dirinya tidak ditemukan barang bukti.

d. Saksi Supriyo Hadi alias Yoyok

Supriyo Hadi alias Yoyok memberikan kesaksian bahwa dia

menggunakan ganja tersebut dengan terdakwa, saksi Sugiyarto alias

Benceng, dan Redy di rumah saksi Sugiyarto alias Benceng pada Hari

Senin tanggal 19 September 2011 sekitar pukul 16.30 WIB. Kemudian

saksi kembali menggunakan ganja tersebut pada malam harinya sekitar

pukul 19.00 WIB habis 3 (tiga) linting, dan pada saat itu saksi Sugiyarto

alias Benceng tidak ikut, hanya terdakwa, saksi, dan saudara Redy. Ganja

tersebut digunakan dengan cara dicampur dengan rokok kemudian

dibakar dan dihisap secara bergantian sampai habis linting ganja tersebut.

100

Dalam hal ini saksi menyatakan bahwa menggunakan ganja tersebut

hanya diajak oleh terdakwa dan hanya coba-coba dan tidak ditangkap

oleh polisi karena menurut keterangan dari polisi di dalam diri saksi tidak

ditemukan barang bukti.

e. Saksi Karsono

Karsono memberikan kesaksian bahwa dia ikut menyaksikan

penggeledahan rumah milik Bapak Wijono (orang tua terdakwa) pada

Hari Selasa tanggal 20 September 2011 pukul 17.00 WIB di depok RT 02

Kel. Parangtritis Kec. Kretek. Karsono juga melihat petugas narkoba dari

Polres Bantul melakukan penggeledahan dan menemukan 1 (satu) batang

rokok yang disimpan dalam bungkus rokok Djarum Black Mentol warna

hitam dan disimpan dalam kamar terdakwa. Selain itu, Karsono juga

mengetahui terdakwa ditanya oleh petugas narkoba dari Polres Bantul

ganja tersebut adalah miliknya dan merupakan sisa dari penggunaan satu

hari sebelumnya.

4. Keterangan Terdakwa

Di persidangan telah didengar pula keterangan terdakwa yang pada

pokoknya adalah sebagai berikut:

Terdakwa mengaku bahwa ditangkap oleh petugas Sat Narkoba pada

hari Selasa tanggal 20 September 2011 sekitar pukul 14.30 WIB di Jalan

Imogiri Timur terpatnya sebelah selatan Mako Brimob Gondowulung

namun di dalam diri terdakwa tidak ditemukan barang bukti, dan pada saat

101

itu terdakwa mengakui jika masih menyimpan sisa daun ganja yang ada di

rumahnya.

Kemudian dilakukan penggeledahan di kamar terdakwa dan petugas

Sat Narkoba Polres Bantul menemukan 1 (satu) linting rokok yang telah

dicampur ganja kering yang diletakkan dalam bungkus rokok Djarum Black

Mentol disaksikan oleh Karsono selaku Kadus. Pada saat itu terdakwa

mengaku bahwa dia mendapatkan ganja tersebut dari Redy.

Terdakwa menggunakan ganja pada hari Senin tanggal 19 September

2011 sekira jam 16.30 WIB di rumah saksi Sugiyarto alias Benceng

bersama dengan saksi Sugiyarto, Redy, dan Supriyo Hadi. Dan

menggunakan kembali di Pantai Depok Parangtritis pada hari Senin tanggal

19 September 2011 sekitar pukul 19.00 WIB bersama dengan saksi Supriyo

Hadi dan Redy. Ganja tersebut digunakan dengan cara dicampur dengan

rokok kemudian dihisap seperti menghisap rokok dan dilakukan secara

bergiliran.

Sebelumnya terdakwa sudah pernah menggunakan ganja dan ganja

tersebut tidak ada ijin dari pihak yang berwenang. Terdakwa mengaku

bersalah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

5. Barang Bukti

Di persidangan Penuntut Umum juga telah mengajukan bukti berupa:

a. 1 (satu) batang rokok yang dicampur dengan daun ganja yang disimpan

dalam bekas bungkus rokok mentol warna hitam berat ± 0.81 gram.

102

b. 1 (satu) buah HP merk SAMSUNG model SGH C450 warna hitam

dengan nomor simcard 0877399033022.

6. Putusan Pengadilan

a. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim

Dasar pertimbangan hukum dari Hakim Pengadilan Negeri Bantul

Yogyakarta pada pokoknya adalah sebagai berikut:

Hakim mempertimbangkan dakwaan dari Penuntut Umum yang

mana didakwa dengan dakwaan subsidaritas melakukan tindak pidana

yang diatur dan diancam dalam dakwaan primair : Pasal 111 ayat (1)

Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika subsidair :

Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika.

Dakwaan Penuntut Umum bersifat subsidaritas maka hakim akan

mempertimbangkan dakwaan primair yaitu Pasal 111 ayat (1) Undang-

Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Yang mana unsur-

unsur dari Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika yaitu sebagai berikut:

1) Unsur setiap orang

2) Unsur secara hak tanpa melawan hukum menanam, memelihara,

memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan

3) Unsur Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman

103

Karena dakwaan primair tidak terbukti maka dipertimbangkan

dakwaan subsidair yaitu Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.

35 tahun 2009 tentang Narkotika yang mana unsur-unsur dari dakwaan

subsidair yaitu Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 tahun

2009 tentang Narkotika yaitu sebagai berikut:

1) Unsur setiap orang

2) Unsur penyalahguna

3) Unsur Narkotika Golongan I

4) Unsur bagi diri sendiri

Melihat unsur-unsur dari dakwaan dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a

tersebut terpenuhi maka Majelis Hakim berpendapat bahwa keseluruhan

unsur dalam dakwaan subsidair Penuntut Umum telah terbukti menurut

hukum.

Setelah semua unsur dalam dakwaan subsidair Penuntut Umum

tersebut telah terpenuhi, Majelis berkeyakinan bahwa Terdakwa telah

terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan

tindak pidana sebagaimana termaktub dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana dan selama

persidangan, Majelis Hakim tidak menemukan adanya alasan pemaaf

maupun pembenar maka terdakwa dapat mempertanggungjawabkan

perbuatannya, sehingga sudah layak untuk dijatuhi pidana. Namun

104

karena terdakwa ditahan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan

hukum tetap maka dikurangi seluruh masa tahanan yang telah dijalani

Terdakwa dari pidana yang dijatuhkan kepadanya.

Selain itu Hakim juga mempertimbangkan barang bukti yang

diajukan dipersidangan yakni berupa 1 (satu) batang rokok yang

dicampur dengan daun ganja yang disimpan dalam bekas bungkus rokok

mentol warna hitam berat ± 0,81 gram, yang dirampas untuk

dimusnahkan dan 1 (satu) buah HP merk SAMSUNG model SGH C450

warna hitam dengan nomor simcard XL 0877399033022, yang

dikembalikan kepada terdakwa Yanuar Nur Fajar alias Zanu bin Wijono.

Sebelum menjatuhkan pidana kepada terdakwa maka Majelis akan

mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan

terdakwa yakni sebagai berikut:

1) Hal-hal yang memberatkan adalah Terdakwa tidak mematuhi anjuran

Pemerintah untuk memerangi narkoba.

2) Hal-hal yang meringankan adalah sebagai berikut:

a) Terdakwa mengakui terus terang dan bersikap sopan di

persidangan.

b) Terdakwa menyesali perbuatannya.

c) Terdakwa belum pernah dihukum.

d) Terdakwa masih berusia muda sehingga diharapkan masih dapat

dibina.

105

Dikarenakan dalam perkara ini terdakwa masih tergolong anak atau

anak di bawah umur yang mana usia anak tersebut masih 17 tahun 08

bulan lebih 16 hari maka untuk membantu memperlancar proses

pemeriksaan perkara ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-

Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah dilakukan

Penelitian Kemasyarakatan oleh Petugas BAPAS selaku pembimbing

kemasyarakatan yang isinya terlampir dalam berkas ini. Dan hasil

Penelitian Kemasyarakatan tersebut di atas digunakan sebagai bahan

pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan.

Hakim juga mempertimbangkan bahwa pemidanaan bukanlah

bertujuan sebagai bentuk balas dendam melainkan bertujuan untuk

membangun kembali pola pengendalian diri bagi terdakwa. Sehingga

diharapkan terdakwa dapat kembali hidup dengan wajar di tengah-tengah

masyarakat. Maka pidana yang akan dijatuhkan pada diri terdakwa

sepatutnya dipandang tepat dan adil.

b. Amar Putusan

Sesuai dengan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35

Tahun 2009 tentang Narkotika dan pasal-pasal yang ada dalam KUHAP

serta aturan-aturan lain yang bersangkutan dengan perkara ini maka

hakim memutuskan untuk mengadili sebagai berikut:

106

1) Menyatakan terdakwa Yanuar Nur Fajar als Zanu bin Wijono tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

sebagaimana dalam dakwaan primair.

2) Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan primair

tersebut.

3) Menyatakan terdakwa Yanuar Nur Fajar als Zanu bin Wijono telah

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri”

4) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 7 (tujuh) bulan.

5) Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa

akan dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan.

6) Memerintahkan supaya terdakwa tetap ditahan.

7) Memerintahkan barang bukti berupa:

1. 1 (satu) batang rokok yang dicampur dengan daun ganja yang

disimpan dalam bekas bungkus rokok mentol warna hitam berat ±

0.81 gram untuk dirampas untuk dimusnahkan.

2. 1 (satu) buah HP merk SAMSUNG model SGH C450 warna hitam

dengan nomor simcard 0877399033022 untuk dikembalikan

kepada terdakwa Yanuar Nur Fajar alias Zanu Bin Wijono.

8) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 2.000,-

(Dua Ribu Rupiah).

107

1. Pembahasan

1. Perlakuan yang Diterapkan Hakim di Persidangan terhadap Anak

sebagai Pelaku Tindak Pidana

Perlakuan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum di

Indonesia, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, segala hal yang menyangkut pelanggar hukum

pidana berusia anak hanya mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana pada pasal 45, 46, 47 (yang kemudian dinyatakan tidak berlaku

setelah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

ditetapkan).150

Bunyi pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:151

Pasal 45

Dalam menuntut orang yang belum cukup umur karena melakukan

perbuatan pidana sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat

menentukan; memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan ke orang

tuanya atau walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau

memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, tanpa

pidana apa pun, yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu

pelanggaran tersebut pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505,514,517-519,

526, 531, 532, 536 dan 540, serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan

salah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di

atas dan putusannya menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana.

Pasal 46

(1) Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan dalam

rumah pendidikan negara, supaya menerima pendidikan dari pemerintah

atau di kemudian hari dengan cara lain; atau diserahkan kepada seorang

tertentu atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal

untuk menyelenggarakan pendidikannya atau di kemudian hari, atas

150 Hasil wawancara dengan Sulistyo Muhammad Dwi Putro, S.H., Hakim Pengadilan

Negeri Bantul Yogyakarta, tanggal 26 Juni 2013.

151 Mulyatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana..., hlm. 22-23.

108

tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas paling

lama sampai umur delapan belas tahun.

(2) Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-

undang.

Pasal 47

(1) Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap

perbuatan pidananya dikurangi sepertiga.

(2) Jika perbuatan merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati

atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling

lama lima belas tahun.

(3) Pidana tambahan yang tersebut dalam pasal 10 sub b, nomor 1 dan 3

tidak dapat dijatuhkan.

Untuk menguatkan upaya perlindungan bagi anak yang berhadapan

dengan sistem peradilan ada sejumlah kebijakan yang bersifat operasional

yang biasa digunakan yakni sebagai berikut:152

a. Agreement Lisan 1957, yang mana merupakan kesepakatan antara

kepolisian, kejaksaan, Departemen Kehakiman dan Departemen Sosial,

untuk memberikan perlakukan “khusus bagi anak“ sebelum dan selama

pemeriksaan pengadilan maupun sesudah putusan pengadilan.

Pemeriksaan kasus anak dilakukan secara kekeluargaan dan dalam

penahanan, anak harus dipisahkan dari orang dewasa.

b. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1959, yang di

dalamnya menyebutkan bahwa persidangan anak harus dilakukan secara

tertutup.

c. Peraturan Menteri Kehakiman No. M 06-UM.01.06 Tahun 1983 Bab II,

Pasal 9-12, tentang Tata Tertib Sidang Anak, yang antara lain

152 Hasil wawancara dengan Ayun Kristiyanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Bantul

Yogyakarta, tanggal 02 Juli 2013.

109

menyebutkan bahwa sidang anak bersifat khusus bagi anak untuk

mewujudkan kesejahteraan anak maka sidang anak perlu dilakukan

dalam suasana kekeluargaan dengan mengutamakan kesejahteraan

masyarakat.

d. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1987, tanggal 16

November 1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak.

Selain itu menurut pendapat Bapak Ayun153

, Hakim mengacu pada

ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa hakim, penyidik, dan

penuntut umum yang menangani perkara anak harus mempunyai minat,

perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Maka dari itu dalam

menangani kasus anak, hakim memperlakukan anak seperti anak tidak

terkena masalah pidana.

Dalam hal ini hakim juga memperhatikan surat edaran dari Dirjen

Pemasyarakatan yakni Keputusan Menteri Kehakiman No. M.01-PW.07

Tahun 1997 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata Tertib Ruang Sidang

dan Keputusan Kehakiman No. M.01-PK.04.10-25 tahun 1998 tentang

Tugas, Kewajiban dan Syarat-syarat bagi Pembimbing Kemasyarakatan,154

153 Hasil wawancara dengan Ayun Kristiyanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Bantul

Yogyakarta, tanggal 02 Juli 2013.

154 Hasil wawancara dengan Ayun Kristiyanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Bantul

Yogyakarta, tanggal 02 Juli 2013.

110

yang dalam surat edaran tersebut berisi uraian untuk pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagai berikut:155

(1) Jangka waktu penahanan bagi anak yang relatif lebih pendek ketimbang

orang dewasa, yaitu:

a. Penyidik berhak menagan maximum 20 hari, dapat diperpanjang oleh

Penuntut Umum maximum 10 hari (Pasal 44).

b. Penuntut Umum berhak menahan paling lama 10 hari, dapat

diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri Maximum 15 hari (Pasal

46).

c. Hakim berhak menahan paling lama 15 hari, dapat diperpanjang oleh

Ketua pengadilan Negeri paling lama 30 hari (Pasal 47).

d. Hakim banding berhak menahan paling lama 15 hari, dapat

diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi paling lama 30 hari (Pasal

48).

e. Hakim kasasi berhak menahan paling lama 25 hari, dapat

diperpanjang oleh Mahkamah Agung paling lama 30 hari (Pasal 49).

f. Bilamana terdakwa menderita gangguan mental atau fisik yang berat,

dapat diberikan perpanjangan penahan selain yang disebutkan di atas

untuk masing-masing tingkat penahanannya paling lama 15 hari dan

dapat diperpanjang lagi 15 hari (Pasal 50).

(2) Pembimbing Kemasyarakatan BAPAS agar dapat memberikan pelayanan

pembuatan laporan Litmas atas permintaan Penyidik, Penuntut Umum

maupun Hakim, dengan cepat dan cermat, sehingga proses penyelesaian

perkara Anak Nakal tidak terhambat.

(3) Pembimbing Kemansyarakatan wajib hadir dalam persidangan Anak

(Pasal 55) dengan berpakaian khusus, yaitu celana panjang coklat, baju

coklat muda (krem), dasi panjang coklat tua, sepatu hitam dengan

memakai tanda pengenal pada saku tanpa memakai topi (bivach muts)

selama berada di Ruang Sidang (Keputusan Menteri Kehakiman RI

Nomor M-09.KP.10.10 Tahun 1997 tentang Lambang, Tanda Pangkat,

Tanda Jabatan dan Pakaian Dinas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan

dan Imigrasi).

(4) Yang dapat dijatuhi pidana adalah Anak Nakal yang telah berusia 12

tahun, sedangkan yang telah berusia 8 tahun tetapi belum mencapai 12

tahun, hanya dapat dijatuhi tindakan oleh Hakim (Pasal 26 ayat 3 dan 4)..

(5) Anak Nakal yang belum berusia 8 tahun dapat diperiksa oleh penyidik

(Pasal 5) untuk menentukan:

a. Apakah yang bersangkutan dalam melakukan tindak pidana tersebut

bersama-sama dengan orang dewasa atau bersama-sama dengan

anggota ABRI.

b. Apakah anak tersebut masih bisa dibina oleh orang tuanya atau tidak.

155 Keputusan Kehakiman No. M.01-PK.04.10-25 tahun 1998 tentang Tugas, Kewajiban

dan Syarat-syarat bagi Pembimbing Kemasyarakatan.

111

c. - Apabila masih dapat dibina oleh orang tuanya anak nakal tersebut

dikembalikan kepada orang tuanya.

- Apabila ternyata tidak bisa dibina lagi maka yang bersangkutan

diserahkan kepada Departemen Sosial.

Dalam hal ini penyidik wajib mempertimbangkan laporan Litmas yang

dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan BAPAS.

(1) Penempatan tahanan/napi anak harus dipisahkan dari tahanan/napi

dewasa (Pasal 45 ayat 3 dan Pasal 60 ayat 1). Tahanan/napi yang sudah

berumur 18 tahun tetapi belum mencapai 21 tahun, harus dipisahkan

dengan mereka yang sudah berumur 21 tahun atau lebih (Pasal 61 ayat

2).

(2) Dalam menentukan perkara anak nakal, Hakim wajib memperhatikan

laporan Litmas dari Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 59).

Adanya sifat kekhususan dari sidang anak maka tata tertibnya pun

diatur secara berbeda dengan sidang pidana untuk orang dewasa. Mulai dari

penyelidikan oleh pihak kepolisian hingga pemeriksaan di persidangan dan

setelah putusan hakim. Urut-urutannya di pengadilan negeri menurut Bakap

Sulistyo selaku Hakim Pengadilan Negeri Bantul adalah sebagai berikut:156

a. Pengadilan mengadakan suatu registrasi tersendiri untuk perkara anak,

menetapkan hari-hari sidang tertentu, dan ruangan tertentu untuk perkara

tersebut.

b. Ketua Pengadilan menunjuk hakim yang mempunyai perhatian terhadap

masalah anak, hingga hakim tersebut, selain menyidangkan perkara biasa

juga menyidangkan perkara anak-anak.

c. Sidang anak dilakukan dengan hakim tunggal, kecuali dalam hal tertentu

oleh ketua pengadilan dapat dilakukan pemeriksaan dengan majelis

hakim.

156 Hasil wawancara dengan Sulistyo Muhammad Dwi Putro, S.H., Hakim Pengadilan

Negeri Bantul Yogyakarta, tanggal 26 Juni 2013.

112

d. Pemeriksaan dilakukan dengan sidang tertutup dan putusan diucapkan

dalam sidang terbuka. Ini untuk menjaga agar anak-anak tidak menjadi

sasaran publikasi pers, karena kalau sampai identitas anak dan

perkaranya dimuat di media maka akan membuat trauma bagi anak dan

secara psikologis akan mempengaruhi perkembangannya. Selain itu ia

dapat dikucilkan oleh masyarakat apabila diketahui sedang disidangkan.

e. Hakim, jaksa, maupun penasihat hukum tidak memakai toga. Ini

mencerminkan adanya asas kekeluargaan. Pemeriksaan perkara oleh

hakim harus dilakukan dengan lemah-lembut sehingga anak mempunyai

keberanian untuk menceritakan sebab-sebab tindakannya. Penyebab ini

penting untuk diketahui agar hakim dapat memberikan hukuman yang

tepat kepada anak, hingga diharapkan anak kembali ke jalan yang benar.

f. Pada sidang anak, orang tua, wali, atau orang tua asuh harus hadir. Hal

ini untuk menjaga agar orang tua tidak melupakan tanggung jawab

terhadap anaknya dan mendengar apa yang sesungguhnya terjadi.

Sehingga hubungan antara orang tua dan anak dapat diperbaiki.

g. Dalam sidang anak perlu hadirnya Pembimbing Kemasyarakatan dari

Balai Pemasyarakatan untuk memberikan laporan sosialnya.

Sebelum sidang dibuka, terlebih dahulu hakim memerintahkan

pembimbing kemasyarakatan untuk menyampaikan hasil penelitian

kemasyarakatan mengenai keadaan anak yang wajib dijadikan hakim

sebagai bahan pertimbangan memutuskan perkara. Selain itu hakim

113

menanyakan kepada Penuntut Umum mengenai orang tua/wali/orang tua

asuh apakah hadir di persidangan atau tidak. Hal ini dikarenakan kehadiran

orang tua/wali/orang tua asuh anak sangat diperlukan untuk mengetahui

latar belakang dan motif anak melakukan tindak pidana. Apabila orang

tua/wali/orang tua asuh tidak hadir maka siding ditunda sampai mereka

dapat menghadiri persidangan.157

Sesuai ketentuan dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak, pada waktu pemeriksaan saksi, Hakim dapat

memerintahkan agar terdakwa dibawa keluar ruang sidang. Tetapi orang tua

/wali/orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan,

tetap hadir di dalam persidangan. Hal tersebut dimaksudkan untuk

menghindari adanya hal yang dapat mempengaruhi jiwa anak. Hakim harus

cermat dan teliti terhadap keadaan terdakwa, untuk dapat menentukan anak

harus keluar ruang sidang pengadilan atau tidak pada saat pemeriksaan

saksi. Jika diperkirakan keterangan saksi dapat mempengaruhi jiwa anak

maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari persidangan untuk

melindungi anak.

Setelah pemeriksaan saksi, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan

terdakwa. Dalam melakukan pemeriksaan, Hakim dan petugas lainnya tidak

memakai pakaian seragam dengan tujuan untuk menghilangkan rasa takut

dalam diri anak.

157

Hasil wawancara dengan Ayun Kristiyanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Bantul

Yogyakarta, tanggal 02 Juli 2013.

114

Menurut Maidin Gultom,158

selama proses peradilan, hak-hak anak

harus dilindungi, yang meliputi asas praduga tak bersalah, hak untuk

memahami dakwaan, hak untuk diam, hak untuk menghadirkan orang

tua/wali/orang tua asuh, hak untuk berhadapan dan menguji silang kesaksian

atas dirinya dan hak untuk banding.

Penerapan hak-hak anak dalam proses peradilan merupakan suatu

hasil interaksi antara anak dengan keluarga, masyarakat, serta penegak

hukum yang saling mempengaruhi untuk meningkatkan kepedulian terhadap

perlindungan anak demi kesejahteraan anak.

Dalam tahap akhir yang merupakan tahap putusan hakim yang

diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Berdasarkan ketentuan dalam

Pasal 59 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

sebelum Hakim mengambil keputusan, Hakim terlebih dahulu memberi

kesempatan kepada orang tua/wali/orang tua asuh untuk mengemukakan

segala hal yang bermanfaat bagi anak seperti saran dan nasihat. Hal tersebut

dimaksudkan supaya anak sebelum menjalani hukuman yang diputuskan

hakim tetap mendapat perhatian dari orang tua/wali/orang tua asuh.

Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak dapat berupa pidana atau

tindakan. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana

pokok yaitu pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, atau pidana

pengawasan, dan pidana tambahan yaitu perampasan barang-barang tertentu

dan atau pembayaran ganti rugi. Tindakan yang dapat dijatuhkan adalah

mengembalikan kepada orang tua/wali/orang tua asuh, menyerahkan kepada

negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, atau

158 Maidin Gultom. Perlindungan Hukum terhadap Anak ...., hlm. 134.

115

menyerahkan kepada Departemen Sosial atau organisasi sosial

kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan

latihan kerja.159

2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana

Narkotika yang Dilakukan oleh Anak pada Perkara No.

97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.

Penjatuhan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika, di

Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta pada perkara No.

97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. menggunakan 3 (tiga) prinsip dasar yakni secara

yuridis, filosofis, serta sosiologis. Prinsip dasar yuridis menurut Bapak

Ayun selaku Hakim Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta adalah

pertimbangan yang didasarkan pada hukum yang berlaku. Sedangkan

prinsip dasar filosofis dan sosiologis biasa disebut sebagai prinsip non

yuridis di mana merupakan prinsip yang digunakan untuk menjatuhkan

putusan mempertimbangkan kondisi masyarakat serta psikologi anak harus

diperhatikan. Prinsip non yuridis ini diperlukan agar hakim tidak hanya

sebatas penjatuhan namun memperhatikan keadaan pelaku kejahatan

tersebut.160

Pertimbangan yuridis dan non yuridis terdapat pada putusan

Nomor 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. sebagai berikut:

159 Hasil wawancara dengan Ayun Kristiyanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Bantul

Yogyakarta, tanggal 02 Juli 2013.

160 Hasil wawancara dengan Ayun Kristiyanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Bantul

Yogyakarta, tanggal 02 Juli 2013.

116

a. Pertimbangan yuridis

Pertimbangan yuridis merupakan pertimbangan didasarkan pada

fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Pertimbangan secara yuridis

dalam putusan Nomor 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. adalah sebagai berikut:

1) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, yang mana terdakwa atas

perbuatannya didakwa dengan 2 (dua) dakwaan yakni dakwaan

primair yang diancam pidana dalam Pasal 111 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan dakwaan

subsidair yang diancam pidana dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Dalam perkara ini, dakwaan subsidair yang terbukti di

persidangan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa

yakni tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 127 ayat (1)

huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Unsur dalam Pasal ini adalah:

a) Unsur setiap orang

b) Unsur penyalahguna

c) Unsur Narkotika Golongan I

d) Unsur bagi diri sendiri

Bahwa yang dimaksud dengan unsur setiap orang penyalahguna

adalah sebagai subjek hukum yang menyalahgunakan narkotika.

Subyek tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana

117

atas perbuatan yang dilakukannya namun tidak termasuk kategori

dalam Pasal 44 KUHP, yakni barang siapa mengerjakan suatu

perbuatan, tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban kepadanya

karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak

boleh dihukum.

2) Keterangan saksi, yang dalam perkara ini Jaksa Penuntut Umum

menghadirkan 5 (lima) saksi, yakni : saksi Bayudi, saksi Danang

Irawan, saksi Sugiyarto alias Benceng, saksi Supriyo Hadi alias

Yoyok, dan saksi Karsono. Yang mana dari keterangan 5 (lima) saksi

tersebut terdakwa menyatakan benar dan tidak keberatan.

3) Keterangan terdakwa, dalam perkara ini terdakwa mengakui memakai

Narkotika Golongan I untuk dirinya sendiri dan berjanji tidak akan

mengulanginya lagi.

4) Barang bukti, dalam perkara ini adalah:

a) 1 (satu) batang rokok yang dicampur dengan daun ganja yang

disimpan dalam bekas bungkus rokok mentol warna hitam berat ±

0.81 gram.

b) 1 (satu) buah HP merk SAMSUNG model SGH C450 warna hitam

dengan nomor simcard 0877399033022.

Dalam pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta

secara yuridis dalam perkara Nomor 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. mengenai

tindak pidana yang dilakukan oleh Yanuar Nur Fajar Alias Zanu Bin

118

Wijiyono, yaitu mengenai terjadinya Tindak Pidana Narkotika, isi

putusan tersebut berdasarkan keterangan para saksi dan keterangan

terdakwa dipersidangan serta dihubungkan dengan barang bukti yang

diajukan di persidangan yang mana unsur satu dengan yang lain saling

berhubungan. Maka dari itu unsur dalam Pasal 183 KUHAP terpenuhi

yakni sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Dalam hal pemeriksaan keterangan saksi dan alat bukti yang

diajukan di depan persidangan, pertimbangan hukum hakim juga telah

sesuai dengan ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 184 ayat 1 (satu)

KUHAP, yaitu:

Alat bukti yang sah ialah:

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan Terdakwa;

b. Pertimbangan non yuridis

Pertimbangan non yuridis hakim dalam memutus perkara anak

yang melakukan tindak pidana narkotika dalam hal ini bersifat sosiologis,

psikologis, kriminologis, dan filosofis. Hakim Pengadilan Negeri Bantul

dalam menjatuhkan putusan terhadap anak merujuk pada pertimbangan

non yuridis yang dalam hal ini membaca laporan penelitian dari Badan

119

Pemasyarakatan (selanjutnya disebut BAPAS). Hakim menggunakan

hasil penelitian tersebut karena dalam penelitian sudah mencakup segi

sosiologis, psikologis, kriminologis, dan filosofis anak.161

Dalam perkara

No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. penelitian kemasyarakatan dari BAPAS

pada intinya memuat:

1) Identitas dari terdakwa dan orang tua/wali, serta susunan keluarga.

2) Masalah, yang isinya tentang tindak pidana, latar belakang, kronologi

terjadinya tindak pidana, serta akibat yang ditimbulkan.

3) Riwayat hidup.

4) Pandangan masa depan.

5) Tanggapan terdakwa terhadap masalah yang dialaminya.

6) Keadaan keluarga.

7) Keadaan lingkungan masyarakat.

8) Tanggapan pihak keluarga, korban, masyarakat, dan pemerintah

setempat.

9) Kesimpulan dan saran/pendapat.

Dari laporan penelitian kemasyarakatan BAPAS tersebut, yang

menjadi bahan pertimbangan Hakim adalah mengenai kesimpulan dan

saran/pendapat dari BAPAS. Hal ini dikarenakan semua yang termuat

dalam laporan penelitian BAPAS sudah tercakup di dalam kesimpulan

dan saran/pendapat.

161 Hasil wawancara dengan Ayun Kristiyanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Bantul

Yogyakarta, tanggal 02 Juli 2013.

120

Pada perkara Nomor 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. ini BAPAS dalam

membuat laporan penelitian memberi kesimpulan dan saran/pendapat

kepada Hakim Pengadilan Negeri Bantul sebagai berikut:

1) Kesimpulan

Yanuar Nur Fajar bin Wijono sebagai tersangka pelaku tindak

pidana Penyalahgunaan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal

111 dan atau Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI No. 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika. Kejadian/kasus tersebut dilatarbelakangi oleh

faktor kurangnya kontrol orang tua atau keluarga terhadap pergaulan

klien yang cenderung negatif. Tindak pidana ini telah menjadi

pelajaran berharga bagi tersangka dan pihak keluarga serta

menimbulkan penyesalan dan rasa jera. Saat kejadian usianya baru 17

tahun 08 bulan lebih 16 hari sehingga masih memenuhi persyaratan

untuk menyelesaikan perkara ini dalam perspektif Pengadilan Anak.

Orang tua masih sanggup untuk mendidik dan mengawasi

anaknya agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Selain itu pihak

sekolah masih bersedia menerima klien kembali.

Pemerintah setempat berharap kepada penegak hukum agar

memberikan sanksi yang sifatnya pembinaan/bimbingan sehingga

klien sadar akan perbuatannya dan tidak mengulanginya lagi di

kemudian hari.

121

2) Saran/pendapat

Berdasarkan data dan kesimpulan di atas serta demi masa depan anak

maka Pembimbing Kemasyarakatan berpendapat bahwa klien atas

nama : Yanuar Nur Fajar Bin Wijono diberikan Pidana Penjara sesuai

dengan masa tahanan yang telah dijalaninya, dengan pertimbangan

terdakwa maupun orang tua diberikan kesempatan untuk memperbaiki

diri. Selain itu terdakwa masih anak di bawah umur dan masa

depannya masih panjang dan segera melanjutkan sekolahnya. Pihak

sekolah masih bersedia menerima klien dan siap bekerja sama dengan

pihak keluarga dalam hal pengawasan terhadap klien.

Laporan hasil penelitian kemasyarakatan tersebut hanya sebagai

salah satu bahan pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara anak.

Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagai berikut:

“Putusan sebagaiman yang dimaksud dengan ayat (1) wajib

mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan”.

Hakim mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan

tersebut karena dalam menetukan sanksi yang akan dijatuhkan kepada

anak nakal maka hakim mempunyai pilihan antara lain menjatuhkan

sanksi (sesuai Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak) atau mengambil tindakan (sesuai Pasal 24 Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).

122

Meskipun Hakim wajib mempertimbangkan Laporan Penelitian

Kemasyarakatan, tetapi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak tidak menjelaskan alasan Laporan Pembimbing

Kemasyarakatan ini diwajibkan untuk dipertimbangkan Hakim dalam

mengambil keputusannya. Maka dari itu Hakim tidak terikat penuh pada

laporan penelitian tersebut, hanya merupakan bahan pertimbangan bagi

Hakim untuk mengetahui latar belakang anak melakukan kenakalan.

Hakim pengadilan dalam mengambil keputusan lebih terfokus pada hasil

pemeriksaan di depan sidang pengadilan.

Selain pertimbangan yuridis dan non yuridis tersebut di atas, Hakim

juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan

terdakwa di antaranya sebagai berikut:

1) Hal-hal yang memberatkan adalah Terdakwa tidak mematuhi anjuran

Pemerintah untuk memerangi narkoba.

2) Hal-hal yang meringankan adalah sebagai berikut:

a) Terdakwa mengakui terus terang dan bersikap sopan di persidangan.

b) Terdakwa menyesali perbuatannya.

c) Terdakwa belum pernah dihukum.

d) Terdakwa masih berusia muda sehingga diharapkan masih dapat

dibina.

123

Dari beberapa pertimbangan di atas maka Hakim dalam memutuskan

perkara Nomor 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. bisa dikatakan tepat dan adil

karena tujuan dari pemidanaan bukan sebagai bentuk balas dendam

melainkan untuk membangun kembali pola pengendalian diri bagi terdakwa

sehingga diharapkan terdakwa dapat kembali hidup dengan wajar di tengah-

tengah masyarakat.

Pada kasus ini yang menjadi terdakwa adalah anak yang masih berusia

17 tahun 08 bulan lebih 16 hari yang mana anak tersebut merupakan korban

dari maraknya peredaran narkotika. Anak tersebut memakai narkotika juga

bukan hanya sekali, namun sudah berkali-kali. Seharusnya terdakwa selaku

korban dari penyalahgunaan narkotika mendapatkan perlindungan berupa

rehabilitasi bukan sebaliknya mendapatkan hukuman penjara. Karena

sebagai pemula, tindakan rehabilitasi sejak dini akan sangat membantu

terdakwa untuk mendapatkan hak kesehatan dan hak pendidikannya.

Walaupun putusan hakim tersebut dipandang tepat dan adil, namum

kedudukan pengguna/pecandu sebagai korban peredaran gelap narkotika

dalam sistem penegakan hukum pidana saat ini belum ditempatkan secara

adil bahkan cenderung terlupakan terutama pada anak sebagai pelaku tindak

pidana pengguna narkotika.

Dijatuhkan pidana penjara pada putusan No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.

tersebut dapat dikatakan menimbulkan efek pencegahan terhadap pihak-

pihak terkait. Walaupun saran dari BAPAS menganjurkan untuk dipidana

penjara namun tidak sepenuhnya Hakim mengambil keputusan sesuai

124

dengan laporan penelitian dari BAPAS. Karena putusan tersebut dapat

menjauhkan tujuan dari adanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika yang mengutamakan rehabilitasi bagi para

penyalahgunaan narkotika baik bagi pengguna/pecandu narkotika. Jika

terdakwa secara nyata adalah seorang pengguna/pecandu dan dalam

persidangan tetap dijatuhi sanksi pidana penjara maka itu tidak akan

menyelesaikan masalah. Kecanduan tidak akan sembuh dengan pidana

penjara, karena seorang pengguna/pecandu merupakan orang yang sakit

maka dia harus diobati.

125

125

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam rumusan masalah maka

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dalam menangani perkara tindak pidana yang dilakukan anak, hakim

memberikan perlakuan yang berbeda dengan pelaku tindak pidana orang

dewasa. Berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak yang

berhadapan hukum, Hakim Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta mengacu

pada Pasal 64 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia. Selain itu, perlakuan hakim terhadap anak yang

melakukan tindak pidana disesuaikan dengan ketentuan yang ada dalam

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang mana

hakim, penyidik, dan penuntut umum yang menangani perkara anak harus

mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Selain

mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak tersebut, hakim juga memperhatikan surat edaran dari Dirjen

Pemasyarakatan yakni Keputusan Menteri Kehakiman No. M-01-PW.07

Tahun 1997 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata Tertib Ruang Sidang

serta Keputusan Kehakiman No. M.01-PK.04.10-25 Tahun 1998 tentang

Tugas, Kewajiban, dan Syarat-Syarat bagi Pembimbing Kemasyarakatan.

126

2. Dalam memutus perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl., hakim menggunakan

dasar-dasar pertimbangan yuridis dan non yuridis. Pertimbangan yuridis

meliputi surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum, keterangan saksi,

keterangan terdakwa, barang bukti, tindakan pidana, dan pasal-pasal dalam

Undang-Undang Narkotika. Sedangkan pertimbangan non yuridis, hakim

membaca Laporan Penelitian Kemasyarakatan dari BAPAS selaku

pembimbing kemasyarakatan yang di dalam laporan tersebut sudah memuat

unsur-unsur sosiologis, psikologis, kriminologis, dan filosofis anak. Dengan

pertimbangan dasar yuridis dan non yuridis tersebut maka putusan hakim

semata-mata bukan sebagai bentuk balas dendam kepada anak melainkan

bertujuan untuk membangun kembali pengendalian diri anak yang

diharapkan ketika anak telah selesai menjalani putusan hakim, anak dapat

diterima dengan baik oleh masyarakat. Namun putusan dari hakim tersebut

kurang sesuai karena si anak mendapatkan hukuman pidana penjara bukan

rehabilitasi. Karena si anak memakai narkotika tidak hanya sekali saja. Jika

tidak mendapat rehabilitasi, si anak bisa memakai narkotika kembali apabila

sudah selesai menjalani hukuman. Sebagai pemula, tindakan rehabilitasi

sejak dini akan sangat membantu terdakwa untuk mendapatkan hak

kesehatan dan hak pendidikannya.

B. Saran

1. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

seharusnya tidak hanya memberi ancaman pidana berupa pidana penjara

saja, namun mengatur ancaman pidana alternatif seperti pidana kurungan

127

atau pidana denda. Karena pidana penjara dalam Undang-Undang Narkotika

hanya diberlakukan secara umum kepada orang yang melakukan tindak

pidana narkotika saja (tidak ada aturan khusus jika pelakunya anak-anak).

Walaupun di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak sudah mengatur kekhususan dalam Pasal 26 Ayat (1)

mengenai ancaman pidana penjara terhadap anak nakal. Hal ini akan

membuat putusan hakim terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika

hanya terpaku pada ancaman pidana penjara saja bukan pada hukuman yang

lain atau hak rehabilitasi. Dalam hal ini akan lebih baik jika hakim

memberikan putusan merehabilitasi anak dengan pertimbangan masa depan

anak masih panjang dan akan menutup kemungkinan si anak untuk

mengulangi perbuatannya lagi.

2. Agar orang tua, masyarakat, dan pemerintah dapat meningkatkan kesadaran

bahwa masalah dan perhatian terhadap anak semestinya tanggung jawab

bersama sehingga anak tidak terjerumus pada perbuatan kriminal.

3. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak maka segenap pihak yang terlibat dalam proses

peradilan pidana anak harus didorong sejak saat ini untuk lebih sensitif

terhadap kondisi anak.

128

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Adi, Kusno. Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana

Narkotika Oleh Anak. cet. Pertama. Malang: UMM Press. 2009.

Amin, SM. Hukum Acara Pengadilan Negeri: Pelajaran Untuk Mahasiswa

Pedoman Untuk Pengacara Dan Hakim. Jakarta: Pradnya Paramita.

1976.

Astuti, Made Sandhi. Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak

Pidana. Malang: IKIP. 1997.

Atmasasmita, Romli. Problema Kenakalan Anak-Anak Remaja. Bandung:

Armico. 1983.

A.W., Wijaya. Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika.

Bandung: Armico. 1985.

Bisri, Cik Hasan (ed) dkk. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di

Indonesia. cet. ke-2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1995.

Dirjosisworo, Soedjono. Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Alumni. 1983.

_________. Hukum Narkotika Indonesia. Bandung: Alumni. 1987.

Gulltom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak Di Indonesia. cet. Pertama. Bandung: Refika Aditama.

2006.

Hadiman. Pengawasan Serta Peran Aktif Orangtua dan Aparat Dalam

Penanggulangan dan Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta: Badan

Kerjasama Sosial Usaha Bersama Warga Tama. 2005.

Hadisuprapto, Paulus. Juvenile Deliquency, Pemahaman dan

Penanggulangannya. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1997.

Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. 1994.

_________. Terminologi Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.

Handoyo, Ida Listryarini. Narkoba Perlukah Mengenalnya. Yogyakarta: Pakar

Raya. 2004.

Harairah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak. cet. Ke-1. Bandung: Nuansa. 2006.

129

Hidayat, Bunadi. Pemidanaan Anak Di Bawah Umur. Bandung: Alumni. 2009.

Kanwil Depdiknas DKI Jakarta. Kami Peduli Penanggulangan Bahaya Narkoba.

Jakarta: 2003.

Kartono, Kartini. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta: Raja Grafindo

Persada. 1998.

Kuffal. Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum. Malang: UMM Press. 2008.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama. 1997.

Lunis, Suhrawardi K. Etika Profesi Hukum. Cet. Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

2000.

Makarao, Moh. Taufik. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia Indonesia.

2003.

Makarao, Moh Taufik dan Suhasril. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan

Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2010.

Mardani. Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Pidana Nasional. Ed. 1. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2008.

Masyhur, Kahar. Membina Moral dan Akhlak. Jakarta: Kalam Mulia. 1985.

Muhammad, Rusli. Potret Lembaga Pengadilan Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo

Persada. 2006.

Muladi dan Barda Nawawi. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:

Alumni. 2010.

Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik, Dan

Permasalahannya. Bandung: Alumni. 2007.

Nadaek, Wilson. Korban Ganja dan Masalah Narkotika. Bandung: Indonesia

Publishing House. 1983.

Nashriana. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia. ed.1. Jakarta:

Rajawali Pers. 2011.

Prakoso, Djoko. Hukum Penitensier di Indonesia. Yogyakarta: Liberty. 1988.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika

Aditama. 2008.

130

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. Renungan Tentang Filsafat Hukum.

Jakarta: Rajawali. 1982.

Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana.

Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI. 1994.

Sabuan, Ansori dkk. Hukum Acara Pidana. Bandung: Angkasa. 1990.

Salman, Otje dan Anton F. Susanto. Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan

Membuka Kembali. Bandung: Refika Aditama. 2004.

Sambas, Nandang. Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia. cet.

Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010.

Sardjono, dkk. Panduan Penulisan Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan

Agama Islam, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. 2008.

Sasangka, Hari. Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana. Bandung:

Mandar Maju. 2003.

Simandjuntak, B. Latar Belakang Kenakalan Remaja (Etiplogi juvenile

delinquency). Bandung: Alumni. 1979.

Simanjuntak. Latar Belakang Kenakalan Anak. cet.2. Bandung: Alumni. 1979.

Simanjuntak, Nikolas. Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Jakarta:

Ghalia. 2009.

Supramono, Gatot. Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta: Djambatan. 2004.

Sembiring, Tambah. Proses Pemeriksaan Perkara Pidana Di Pengadilan Negeri.

Medan: USU Press. 1993.

Setiardja, A. Gunawan. Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila.

Yogyakarta: Kanisius. 1993.

Soeaidy, Sholeh dan Zulkhair. Dasar Hukum Perlindungan Anak. Jakarta:

Novindo Pustaka Mandiri. 2001.

Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.

Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2004.

Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi

Aksara. 1990.

131

Soetodjo, Wagiati. Hukum Pidana Anak. cet. Ke-1. Bandung: Refika Aditama.

2006.

Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka A-Kautsar.

1998.

Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.

Skripsi

Lina Munakhiroh. “Sanksi Pengguna Narkotika Oleh Anak (Studi Kasus Putusan

di Pengadilan Negeri Yogyakarta Tahun 2002)”. Skripsi tidak diterbitkan.

Fakultas Syariah. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2008.

Vindriyanti. “Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Narkotika (Studi Putusan

No. 91/PidB/2006/PNYk)”. Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Syariah. UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2008.

Makalah

Nashriana. “Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Penjara

terhadap Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkoba”. Makalah. Universitas

Sriwijaya.

Kamus

Mulyono, Anton M.. Kamus Besar Bahasa Indonesia. cet ii. Jakarta: Balai

Pustaka. 1988.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Vers Luys. 1952.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cet. ke-5. Jakarta:

Balai Pustaka. 1976.

Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP).

Mulyatno. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, cet. 27. Jakarta: Bumi Aksara.

2008.

132

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. cet. 39.

Jakarta: Pradnya Paramita. 2008.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 Tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor M.06-UM.01.06.

Sumber Lain

Hasil wawancara dengan Sulistyo Muhammad Dwi Putro, S.H., Hakim

Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta, tanggal 26 Juni 2013.

Hasil wawancara dengan Ayun Kristiyanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri

Bantul Yogyakarta, tanggal 02 Juli 2013.

http://pn-bantul.go.id/.html, Diakses pada tanggal 06 Desember 2013 pukul 10.14

sampai pukul 10.36 WIB.

133

134

135

136

137

138

139

140

141

142

143

144

145

146

147

148

149

150

151

152

153

154

155

156

157

158

159

160

161

162

163

164

LAMPIRAN

DAFTAR PERTANYAAN

HAKIM PENGADILAN NEGERI BANTUL YANG MEMUTUS PERKARA

No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.

1. Apa saja jenis-jenis tindak pidana yang pada umumnya dilakukan oleh anak?

2. Kebanyakan usia berapa saja anak tersebut melakukan tindak pidana

tersebut?

3. Apa saja jenis sanksi yang telah atau pada umumnya dijatuhkan dalam kasus

tindak pidana yang dilakukan oleh anak?

4. Berdasarkan beberapa kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang

pernah terjadi, apa saja faktor penyebab anak melakukan tindak pidana?

5. Kebanyakan tindak pidana yang dilakukan oleh anak memiliki motif apa?

6. Bagaimana latar belakang anak (keluarga) yang melakukan tindak pidana?

7. Mengenai putusan pada nomor perkara 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl, apa saja

faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut?

8. Perlakuan apa yang diperoleh anak selama menjalani proses persidangan?

9. Hak-hak apa saja yang diberikan kepada anak tersebut?

10. Seperti yang kita ketahui bahwa status narapidana pastinya akan melekat

kepada anak tersebut, dalam hal ini apa saja yang dilakukan untuk

membangun mental anak ketika si anak tersebut?

165

CURRICULUM VITAE

A. Identitas Diri

Nama : Nurfi Usmianti

Tempat dan Tanggal Lahir : Kulon Progo, 05 Agustus 1990

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Nama Ayah : Warsita, A.Ma.Pd.

Nama Ibu : Sudayem

Alamat Asal : Botokan RT 07, Jatirejo, Lendah, Kulon

Progo, Yogyakarta 55663

B. Riwayat Pendidikan

1. TK ABA Brosot I, Lulus Tahun 1997

2. SD Negeri I Lendah, Lulus Tahun 2003

3. SMP Negeri I Galur, Lulus Tahun 2006

4. SMA Negeri I Lendah, Lulus Tahun 2009

5. Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam

Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Lulus Tahun 2014

C. Pengalaman Organisasi

1. Bendahara OSIS di SMA Negeri I Lendah, Periode Tahun 2007-2008

2. Sekretaris OSIS di SMA Negeri I Lendah, Periode Tahun 2008-2009

3. Sekretaris Dewan Kerja Ambalan di SMA Negeri I Lendah, Periode

Tahun 2008-2009

4. Sekretaris FIRMAN di Masjid Al-Anwar Botokan, Periode Tahun 2009-

2014.