37th International Symposium on Intensive ... - Critical Care
NURFI USMIANTI ( 10340018 )
Transcript of NURFI USMIANTI ( 10340018 )
i
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN
PERKARA No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. TERHADAP ANAK
SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA
DI PENGADILAN NEGERI BANTUL YOGYAKARTA
SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH
GELAR SARJANA STRATA SATU DALAM ILMU HUKUM
OLEH:
NURFI USMIANTI
NIM: 10340018
PEMBIMBING:
1. BUDI RUHIATUDIN, S.H., M.Hum.
2. Dr. MAKHRUS MUNAJAT, M.Hum
ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
ii
ABSTRAK
Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana yang saat ini sudah
dikenal merebak di kalangan masyarakat. Pada dasarnya narkotika merupakan
obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun seiring perkembangan zaman,
penggunaan narkotika saat ini semakin meningkat karena tidak lagi dipergunakan
untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kesehatan, tetapi disalahgunakan oleh
berbagai kalangan bahkan oleh kalangan anak-anak. Seperti halnya orang dewasa,
anak yang terlibat dalam tindak pidana narkotika dapat dihukum apabila terbukti
melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun untuk penjatuhan sanksi dan proses
peradilannya mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak. Penelitian mengenai berkas putusan dari tahun 2008 sampai 2013
di Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta ada satu perkara yang ditangani
mengenai tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak yakni perkara No.
97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.
Dari hal tersebut timbul permasalahan mengenai bagaimana perlakuan yang
diterapkan hakim di persidangan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dan
dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana narkotika yang
dilakukan oleh anak pada perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. Untuk menjawab
permasalahan tersebut, penulis menggunakan pendekatan yuridis empiris di mana
beberapa Perundang-Undangan yang berkaitan dengan permasalahan ini dijadikan
sebagai bahan acuan untuk penelitian. Selain itu juga menggunakan analisis
kualitatif untuk menganalisis data yang diperoleh. Metode yang digunakan dalam
skripsi ini adalah metode berpikir induktif, yaitu kesimpulan dimulai dari
pernyataan atau fakta-fakta umum menuju khusus. Penelitian ini dilakukan di
Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta dan yang menjadi narasumber adalah
Hakim yang memutus perkara tersebut.
Adapun hasil penelitian ini bahwa perlakuan yang diterapkan kepada anak
di persidangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yang intinya anak diperlakukan khusus berbeda dengan orang
dewasa. Mengenai dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Bantul dalam
memutus perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl., hakim menggunakan dasar
pertimbangan yuridis dan non yuridis. Pertimbangan yuridis di sini meliputi surat
dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum, keterangan saksi, keterangan terdakwa,
barang bukti, tindakan pidana, dan pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika.
Sedangkan pertimbangan non yuridis didasarkan pada sosiologis, psikologis,
kriminologis, dan filosofis anak tersebut yang mana hakim melihat pada hasil
Penelitian Kemasyarakatan dari Petugas Badan Pemasyarakatan yang merupakan
pembimbing kemasyarakatan. Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut maka
hakim menjatuhkan pidana penjara 7 bulan. Penjatuhan pidana penjara tanpa
direhabilitasi menurut penulis kurang sesuai, karena jika anak tidak direhabilitasi
tidak menutup kemungkinan bahwa di kemudian hari akan mengulanginya lagi.
vii
MOTTO
Kemenangan yang seindah-indahnya dan sesukar-sukarnya yang
boleh direbut oleh manusia ialah menundukkan diri sendiri.
(Ibu Kartini)
Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua.
(Aristoteles)
Mereka berkata bahwa setiap orang membutuhkan tiga hal yang akan
membuat mereka berbahagia di dunia ini, yaitu : seseorang untuk
dicintai, sesuatu untuk dilakukan, dan sesuatu untuk diharapkan.
(Tom Bodett)
Hiduplah seperti pohon kayu yang lebat buahnya; hidup di tepi jalan
dan dilempari orang dengan batu, tetapi dibalas dengan buah.
(Abu Bakar Sibl)
viii
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بسم للا الر
إال اهلل وأشهد أن حممدا أحلمد هلل رب العاملني وبه نستعني على أمورالدنيا والدين. أشهد أن ال إلهرسول اهلل. والصالة والسالم على أشرف األنبياء واملرسلني سيدنا حممد وعلى أله وصحبه أمجعني.
أمابعد.
Puji syukur atas segala karunia yang diberikan Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmad, hidayah, serta inayah-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi berjudul Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan
Putusan Perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. terhadap Anak sebagai Pelaku
Tindak Pidana Narkotika di Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta tepat pada
waktunya. Tak lupa shalawat serta salam semoga selalu tercurah pada Nabi
Muhammad SAW, yang telah diutus untuk membawa rahmat kasih sayang bagi
alam semesta dan selalu dinantikan syafaatnya di yaumil qiyamah nanti.
Karya tulis ini merupakan skripsi yang diajukan kepada Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H). Selama penyusunan skripsi ini dan selama penulis belajar
di Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum, yang mana penulis
banyak mendapat bantuan, motivasi, tersedianya fasilitas-fasilitas yang diberikan,
serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih dan hormat kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Musa Asy’arie, selaku Rektor Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
ix
2. Bapak Noorhaidi Hasan, M.A., M.Phil., Ph.D., selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
3. Bapak Udiyo Basuki, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Bapak Ach Tahir, S.H.I., L.L.M., M.A., selaku Sekretaris
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
4. Bapak Ahmad Bahiej, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik, Bapak
Budi Ruhiatudin, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I, dan Bapak Dr.
Makhrus Munajat, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing II yang telah tulus
ikhlas meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan
pengarahan, dukungan, masukan, serta kritik-kritik yang membangun selama
proses penulisan skripsi ini.
5. Ibu Lindra Darnela, S.Ag., M.Hum. dan Bapak Ahmad Bahiej, S.H., M.Hum.
selaku penguji skripsi yang telah meluangkan tenaga dan pikiran untuk
menguji skripsi saya.
6. Bapak Sulistyo Muhammad Dwi Putro, S.H., dan Bapak Ayun Kristiyanto,
S.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta beserta staf
Pegawai yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini.
7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Tata Usaha Fakultas Syari’ah
dan Hukum yang khususnya Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang tidak dapat penulis sebut satu
persatu, yang telah tulus ikhlas membekali dan membimbing penulis untuk
x
memperoleh ilmu bermanfaat sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta tepat pada waktunya.
8. Orang tuaku Bapak Warsita dan Ibu Sudayem tersayang dan tercinta yang
selalu penulis banggakan. Terima kasih atas perhatian, curahan kasih
sayangnya kepada penulis, memberikan semangat, memberikan pengorbanan
tulus ikhlas, serta memberikan bantuan moril dan materiil yang diberikan
selama ini dengan tulus ikhlas.
9. Kakakku tercinta Eka Yulianti beserta Suami David Irwanto dan si kecil
Reyvan Andeka Pratama yang selalu memberikan nasihat, memberi keceriaan
dalam hidupku, mendoakan, dan menyayangi penulis. Dan juga adekku Nur
Fauzianti yang selalu penulis cintai dan banggakan, serta selalu memberi
keceriaan dalam hidup penulis.
10. Calon suamiku Novi, terima kasih sudah memberi warna dalam hidupku,
menemaniku selama 4 tahun lebih, membimbing, memberi semangat,
memberi dukungan, dan kasih sayang yang tulus. I will always love you....
11. Calon mertuaku Bapak Triyanto dan Ibu Dwiyati, serta calon adek iparku
Indriyanti terima kasih atas dukungan, perhatian, dan kasih sayang yang
kalian berikan.
12. Sahabat-sahabatku keluarga besar “Simbok’e, Rani Novita S, Nina Mustika
S, Novia Trisiana R, Latifa Mustafida, Nur Sulaiha, Rizka Nurul Izzati,
Zulfatin Khuriyah, Lenny Putri S, Amanda Tikha S, Miftachurrohmah,
Cempaka Indah, Winda Septiani, kalian memang sahabat yang memberi
xi
keceriaan di kampus yang tak kan penulis lupakan, dan seluruh teman-teman
Program Studi Ilmu Hukum Angkatan 2010 yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini baik
secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu.
Meskipun skripsi ini merupakan hasil kerja maksimal penulis, namun
penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna. Untuk itu dengan kerendahan
hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
sekalian. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan
kontribusi positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan
untuk perkembangan hukum pidana dan hukum acara pidana khususnya.
Yogyakarta, 01 Desember 2013
Yang menyatakan
NURFI USMIANTI
NIM : 10340018
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER .......................................................................................i
ABSTRAK ........................................................................................................ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ...........................................................iii
SURAT PERSETUJUAN SKRIPSI ...............................................................iv
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................vi
HALAMAN MOTTO ......................................................................................vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................viii
DAFTAR ISI .....................................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................1
B. Rumusan Masalah .....................................................................................4
C. Tujuan dan Kegunaan ...............................................................................4
D. Telaah Pustaka ..........................................................................................5
E. Kerangka Teoretik ....................................................................................8
F. Metode Penelitian ......................................................................................22
G. Sistematika Pembahasan ..........................................................................25
BAB II TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG
DILAKUKAN OLEH ANAK ................................................................27
A. Pengertian Narkotika dan Jenis-Jenis Narkotika ......................................27
1. Pengertian Narkotika ...........................................................................27
2. Jenis-Jenis Narkotika ...........................................................................30
xiii
B. Ketentuan-Ketentuan tentang Tindak Pidana Narkotika ..........................32
C. Pengertian Anak dan Pengertian Tindak Pidana yang Dilakukan
oleh Anak ..................................................................................................38
1. Pengertian Anak ...................................................................................38
2. Pengertian Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak ........................44
D. Faktor-Faktor Anak Melakukan Tindak Pidana Narkotika ......................49
1. Faktor Internal Pelaku ..........................................................................49
2. Faktor Eksternal ...................................................................................52
BAB III TINJAUAN UMUM PERADILAN ANAK DAN GAMBARAN
UMUM PENGADILAN NEGERI BANTUL YOGYAKARTA .........58
A. Peradilan Anak di Indonesia .....................................................................58
B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Penjara bagi
Anak ..........................................................................................................68
1. Pertimbangan Yuridis ..........................................................................69
2. Pertimbangan Non Yuridis ..................................................................77
C. Dampak Penerapan Sanksi bagi Anak Pelaku Tindak Pidana ..................83
D. Gambaran Umum Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta .......................85
1. Profil dan Sejarah .................................................................................85
2. Letak Geografis ....................................................................................87
3. Visi dan Misi ........................................................................................87
4. Struktur Organisasi ..............................................................................88
5. Tugas dan Fungsi .................................................................................89
xiv
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................95
A. Analisis Putusan Perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. ...........................95
1. Duduk Perkara .....................................................................................95
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum .........................................................97
3. Keterangan Saksi .................................................................................97
4. Keterangan Terdakwa ..........................................................................100
5. Barang Bukti ........................................................................................101
6. Putusan Pengadilan ..............................................................................102
a. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim ...............................................102
b. Amar Putusan ..................................................................................105
B. Pembahasan ..............................................................................................107
1. Perlakuan yang Diterapkan Hakim di Persidangan terhadap Anak
sebagai Pelaku Tindak Pidana .............................................................107
2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana
Narkotika yang Dilakukan oleh Anak pada Perkara No.
97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. ......................................................................115
BAB V PENUTUP ............................................................................................125
A. Kesimpulan ...............................................................................................125
B. Saran .........................................................................................................126
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................128
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan aset bangsa dan generasi penerus masa depan. Untuk
mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas maka tanggung jawab
bersama antara orang tua, masyarakat lingkungan tumbuh anak, aparat yang
terkait, lingkungan pendidikan baik formal maupun informal, serta negara.
Perkembangan zaman di segala bidang membawa pengaruh dalam pola
kehidupan baik berpengaruh positif maupun negatif. Salah satu pengaruh
negatif adalah adanya orang tua yang terlalu sibuk dengan kepentingan sendiri
tanpa memperhatikan kepentingan anak, sehingga kontak pribadi antara orang
tua dan anak tidak ada. Pola didik orang tua yang sibuk dengan urusannya
sendiri menciptakan suasana perkembangan kejiwaan yang tidak diinginkan
oleh anak, sehingga anak cenderung berperilaku salah. Hal tersebut tentu saja
akan mengganggu perkembangan anak dan tidak menutup kemungkinan akan
menimbulkan penyimpangan-penyimpangan.
Sholeh Soeaidy dan Zulkhair1 menyebutkan dalam bukunya bahwa
penyimpangan perilaku anak saat ini sudah tidak dapat lagi dikatakan biasa,
dan harus ada tindak lanjut yang serius dari semua pihak, karena di dalam
tindakan penyimpangan perilaku yang dilakukan anak tersebut sudah
menyebabkan jatuhnya korban. Maka dalam menghadapi masalah anak nakal,
orang tua dan masyarakat sekitarnya harus lebih bertanggung jawab terhadap
pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak tersebut.
1 Sholeh Soeaidy dan Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Novindo
Pustaka Mandiri, 2001), hlm. 23.
2
Masalah penyimpangan anak biasanya lebih dikenal dengan kenakalan
anak. Kenakalan anak yang terjadi tidak hanya sebatas membolos sekolah,
berbohong, ataupun mencoret-coret dinding akan tetapi sudah masuk dalam
kelompok kejahatan yang biasanya dilakukan oleh orang dewasa. Kejahatan-
kejahatan ini misalnya mengenai pencurian, pelecehan seksual, dan yang lebih
memprihatinkan lagi sudah merambah kepada penyalahgunaan narkotika.
Belakangan ini penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak semakin
merebak. Hal ini menjadi permasalahan serius karena narkotika pada dasarnya
diciptakan dengan berbagai jenis yang fungsinya untuk pengobatan penyakit
tertentu dan sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan. Apabila
narkotika tersebut digunakan tidak sebagaimana mestinya, pastinya akan
melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Walaupun pelaku kejahatan adalah anak-anak, yang mana menurut
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak adalah
yang berumur 8 (delapan) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun
namun dengan adanya tinjauan kembali dari Mahkamah Konstitusi maka
diubah menjadi berumur 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun,
tentu harus mendapat sanksi. Pemberian sanksi kepada pelaku kejahatan selain
untuk penegakan hukum juga untuk menjamin rasa keadilan baik korban dan
masyarakat yang telah dirugikan dengan adanya tindak pidana tersebut. Setiap
tindak pidana yang pelakunya masih anak-anak, harus ada pertimbangan serius
sebelum menjatuhkan sanksi pidana. Selain itu perlakuan terhadap anak di
persidangan harusnya diperlakukan khusus berbeda dengan perlakuan kepada
3
orang yang sudah dewasa. Perlakuan-perlakuan khusus tersebut sudah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan anak. Namun
dalam praktiknya masih ada penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
Contoh kasus mengenai tindak pidana narkotika yang dilakukan anak
yakni perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. di Pengadilan Negeri Bantul
Yogyakarta. Dalam perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl., Yanuar Nur Fajar als
Zanu bin Wijono (yang selanjutnya disebut terdakwa) melakukan tindak pidana
narkotika untuk dirinya sendiri. Putusan pengadilan menyatakan bahwa
terdakwa dipidana penjara selama 7 (tujuh) bulan. Walaupun sebelumnya
hakim telah melakukan pertimbangan-pertimbangan sebelum memutuskan,
hendaknya hakim tidak memberi hukuman pidana penjara namun direhabilitasi
demi masa depan anak agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Walaupun
saran dari Balai Pemasyarakatan menyebutkan anak tersebut diberikan pidana
penjara, namun hakim sebaiknya mempertimbangkan mengenai rehabilitasi
terhadap anak. Hal tersebut tentu saja memberikan kesempatan bagi anak untuk
menjadi lebih baik dan tidak mengulangi perbuatan tersebut di kemudian hari.
Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun tertarik untuk mengambil
judul penelitian Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
Perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. terhadap Anak sebagai Pelaku
Tindak Pidana Narkotika di Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta.
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, yang menjadi rumusan
masalah dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana perlakuan yang diterapkan hakim di persidangan terhadap anak
sebagai pelaku tindak pidana?
2. Apa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana narkotika
yang dilakukan oleh anak pada perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl?
C. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui perlakuan yang diterapkan hakim di persidangan
terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana.
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi
pidana narkotika yang dilakukan oleh anak pada perkara No.
97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.
2. Kegunaan
Kegunaan baik secara teoretis ataupun secara praktis yang didapat dari
penelitian ini adalah:
a. Kegunaan Teoretis
1) Memberikan sumbangan bagi pengembangan Ilmu Hukum pada
umumnya dan Hukum Pidana pada khususnya tentang pertimbangan
hakim menjatuhkan sanksi pidana narkotika yang dilakukan anak.
5
2) Memberikan alternatif pemikiran kepada Hakim Pengadilan Negeri
Bantul mengenai dasar pertimbangan dalam menjatuhkan sanksi
pidana narkotika yang dilakukan oleh anak.
b. Kegunaan Praktis
Kegunaan praktis di sini yakni berguna untuk mengembangkan
penalaran dan mengembangkan kemampuan peneliti dalam mengkritisi
persoalan hukum terutama tentang sistem pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan sanksi pidana narkotika yang dilakukan oleh anak.
D. Telaah Pustaka
Menurut Sardjono2, telaah pustaka sangat berguna bagi proses
pembahasan diadakannya penelitian ini. Fungsi kajian pustaka pada dasarnya
untuk menunjukkan bahwa fokus yang diangkat dalam diadakannya penelitian
belum pernah dikaji oleh peneliti sebelumnya. Beberapa literatur yang
dijadikan telaah pustaka membantu penyusun dalam melakukan penelitian ini
sedikit banyak memiliki keterkaitan dengan objek penelitian dan skripsi ini.
Adapun karya yang menjadi objek tersebut adalah sebagai berikut:
Penulis membaca buku karangan Maidin Gulltom3 yang berjudul
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di
Indonesia, yang mana buku ini memuat sistem peradilan anak di Indonesia.
2 Sardjono, dkk., Panduan Penulisan Skripsi, (Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Agama
Islam, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan kalijaga, 2008), hlm. 9.
3 Maidin Gultom. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak Di Indonesia, cet. Pertama (Bandung: Refika Aditama, 2006).
6
Selain itu dalam buku ini banyak teori-teori tentang perlindungan hukum anak
yang berhadapan dengan hukum.
Selain buku karangan Maidin Gultom, penulis juga membaca buku karya
Kusno Adi4 yang berjudul Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan
Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak. Dalam buku ini berisi penjelasan seputar
hukum acara peradilan anak, prosedur peradilan anak serta ketentuan-ketentuan
apa saja yang harus menjadi bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan terhadap terdakwa anak di bawah umur.
Karya tulis atau skripsi dari Lina Muakhiroh5 dengan judul “Sanksi
Pengguna Narkotika Oleh Anak (Studi Kasus Putusan Di Pengadilan Negeri
Yogyakarta Tahun 2002)”, yang mana skripsi ini mengkaji putusan tindak
pidana narkotika oleh anak selama tahun 2002 di Pengadilan Negeri
Yogyakarta yang dianalisis dari segi penjatuhan sanksi dan pertimbangan
hakim terhadap pengguna narkotika oleh anak serta membandingkannya
dengan perspektif hukum Islam. Sedangkan dalam penelitian yang saya tulis
lebih difokuskan pada satu kasus saja yakni pada perkara No.
97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. di Pengadilan Negeri Bantul yang mana penulis
menganalisis dari pelaksanaan putusan serta perlakuan yang diterapkan kepada
anak tersebut, dasar hakim dalam memutus perkara, dan saya tidak
membandingkannya dengan perspektif hukum Islam.
4 Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika
Oleh Anak, cet. Pertama, (Malang: UMM Press, 2009).
5 Lina Munakhiroh, “Sanksi Pengguna Narkotika Oleh Anak (Studi Kasus Putusan di
Pengadilan Negeri Yogyakarta Tahun 2002)”, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
7
Skripsi karya Vindriyanti6, “Pertanggungjawaban Pidana Pengguna
Narkotika (Studi Putusan No 91/PidB/2006/PNYk)” juga menjadi telaah
pustaka karena skripsi ini mengkaji pada putusan. Namun penelitiannya
dilakukan di Pengadilan Negeri Yogyakarta, yang mana dalam skripsi ini
menganalisis penjatuhan sanksi dan pertimbangan hakim terhadap pengguna
narkotika serta membandingkannya dengan perspektif hukum Islam dan
menganalisis perkara tersebut dari segi Undang-Undang No. 22 Tahun 1997
tentang Narkotika. Sedangkan dalam penelitian penulis, lebih fokus pada satu
perkara yakni perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. di Pengadilan Negeri
Bantul mengenai pelaksanaan putusan serta perlakuan yang diterapkan kepada
anak tersebut, dasar hakim dalam memutus perkara, dan tidak membandingkan
dengan perspektif hukum Islam serta tidak membandingkan dengan Undang-
Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Selanjutnya penulis juga menjadikan makalah milik Nashriana7 Dosen
Universitas Sriwijaya, “Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
Pidana Penjara terhadap Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkoba” sebagai telaah
pustaka. Makalah ini mengkaji pada perkara pidana narkoba yang dilakukan
anak mengenai pertimbangan hakim sehingga menjatuhkan pidana penjara, dan
upaya yang dapat dilakukan agar hakim lebih mengedepankan putusan yang
bersifat mengobati (rehabilitasi) dibanding dengan pidana penjara.
6 Vindriyanti, “Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Narkotika (Studi Putusan No
91/PidB/2006/PNYk)”, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2008.
7 Nashriana, “Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Penjara terhadap
Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkoba”, Makalah, Universitas Sriwijaya.
8
E. Kerangka Teoretik
1. Teori Pemidanaan
Pemidanaan secara sederhana diartikan dengan penghukuman.
Penghukuman yang dimaksud adalah berkaitan dengan penjatuhan pidana
dan alasan-alasan pembenar dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang
dengan putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap dinyatakan
secara sah, dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana.
Mengenai tujuan pemidanaan pada prinsipnya ada dalam berbagai
teori pemidanaan yang lazim digunakan. Adapun tiga teori pemidanaan
yang dijadikan alasan pembenar penjatuhan pidana adalah sebagai berikut:
a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen).
Teori ini dikenal dengan teori mutlak, teori imbalan, atau teori
pembalasan. Menurut Wirjono Prodjodikoro8, teori absolut ini memuat
penjelasan bahwa setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana tanpa
tawar-menawar. Maksudnya adalah apabila seseorang mendapat pidana
karena telah melakukan kejahatan maka pemberian pidana di sini
ditujukan sebagai bentuk pembalasan terhadap orang yang telah
melakukan kejahatan.
Ada banyak filsuf dan dan ahli hukum pidana yang menganut teori
ini, di antaranya ialah Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, dan JJ
Rousseau. Dari banyaknya tokoh penganut teori ini, Hegel merupakan
penganut yang terkenal. Menurut Hegel dalam bukunya Muladi dan
8 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama, 2008), hlm. 23.
9
Barda Nawawi9, berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis
sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.
Jadi, dalam teori ini pidana dapat disimpulkan sebagai bentuk
pembalasan yang diberikan oleh negara yang bertujuan menderitakan
penjahat akibat perbuatannya. Tujuan pemidanaan menurut Djoko
Prakoso10
sebagai pembalasan pada umumnya dapat menimbulkan rasa
puas bagi orang, yang dengan jalan menjatuhkan pidana yang setimpal
dengan perbuatan yang telah dilakukan.
b. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien).
Lahirnya teori ini menurut penulis merupakan suatu bentuk
penegasan terhadap teori absolut. Walaupun secara historis teori ini
bukanlah suatu bentuk penyempurnaan dari teori absolut yang hanya
menekankan pada pembalasan dalam penjatuhan hukuman terhadap
penjahat. Teori yang juga dikenal dengan nama teori nisbi ini menjadikan
dasar penjatuhan hukuman pada tujuan dan maksud hukuman sehingga
ditemukan manfaat dari suatu penghukuman.
Menurut Andi Hamzah11
, teori ini berprinsip penjatuhan pidana
guna menyelenggarakan tertib masyarakat yang bertujuan membentuk
suatu prevensi kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda: menakutkan,
memperbaiki, atau mebinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum dan
9 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
2010), hlm. 12.
10 Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 47.
11 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 34.
10
khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya
tidak melakukan delik.
Feurbach sebagai salah satu filsuf penganut aliran ini dalam
bukunya Djoko Prakoso12
berpendapat bahwa pencegahan tidak perlu
dilakukan dengan siksaan, akan tetapi cukup dengan memberikan
peraturan yang sedemikian rupa sehingga apabila orang setelah membaca
akan membatalkan niat jahatnya. Selain dengan pemberian ancaman
hukuman, prevensi umum juga dilakukan dengan cara penjatuhan
hukuman dan eksekusi. Eksekusi yang dimaksud dilangsungkan dengan
cara-cara yang kejam agar masyarakat umum takut dan tidak melakukan
hal yang serupa yang dilakukan oleh si penjahat.
Seiring perkembangan zaman, yang menjadi substansi tujuan
pemidanaan sesuai dengan prevensi umum banyak menuai kritikan. Pada
prevensi khusus, tujuan pemidanaan ditujukan pada pribadi si penjahat
agar tidak mengulangi perbuatannya. Van Hamel dalam bukunya Andi
Hamzah13
menunjukkan prevensi khusus suatu pidana ialah:
1) Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah
penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melakukan niat
buruknya.
2) Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki si terpidana.
3) Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin
diperbaiki.
4) Tujuan satu-satunya pidana ialah mempertahankan tertib hukum.
12 Djoko Prakoso, Hukum Penitensier ..., hlm. 47.
13 Andi Hamzah, Asas-Asas ..., hlm. 36.
11
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam teori relatif,
negara dalam kedudukannya sebagai pelindung masyarakat menekankan
penegakkan hukum dengan cara prenventif guna menegakkan tertib
hukum dalam masyarakat.
c. Teori gabungan (verenigingstheorien).
Teori gabungan merupakan suatu bentuk kombinasi dari teori
absolut dan teori relatif yang menggabungkan sudut pembalasan dan
pertahanan tertib hukum masyarakat. Dalam teori ini, unsur pembalasan
maupun pertahanan tertib hukum masyarakat tidaklah dapat diabaikan
antara satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan penekanan atau sudut dominan dalam peleburan kedua
teori tersebut ke dalam bentuk teori gabungan, teori ini dibedakan
menjadikan tiga bentuk yaitu, teori gabungan yang menitikberatkan unsur
pembalasan, teori gabungan teori gabungan yang menitikberatkan
pertahanan tertib masyarakat, dan teori gabungan yangmemposisikan
seimbang antara pembalasan dan pertahanan tertib masyarakat.
Menurut Wirjono Prodjodikoro14
, bagi pembentuk undang-undang
hukum pidana, bagi para jaksa dan hakim tidak perlu memilih salah satu
dari ketiga macam teori hukum pidana tersebut dalam menunaikan tugas.
Penulis dalam hal ini secara tegas menyatakan sepakat dengan apa yang
disampaikan Wirjono Prodjodikoro dikarenakan nilai-nilai keadilan
14 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum ...,hlm. 29.
12
bukanlah didasarkan dari teori apa yang dianut melainkan berdasarkan
unsur humanis yang berkenaan dengan kondisi masyarakat dan si
pembuat (penjahat) diproses melalui perpaduan logika dan hati yang
terlahir dalam sebuah nurani.
2. Teori Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang melekat pada
manusia yang mencerminkan dirinya sendiri, dan harus memperoleh
jaminan hukum. Hak tersebut dapat efektif apabila dapat dilindungi hukum.
Melindungi hak-hak dapat terjamin apabila hak-hak itu adalah bagian dari
hukum yang memuat prosedur hukum untuk melindungi hak-hak tersebut.
Mengenai pengertian HAM, A. Gunawan Setiardja15
memberikan
pendapat dalam bukunya sebagai berikut:
a. Definisi yuridis HAM menunjuk pada HAM yang dikodifikasikan dalam
naskah atau dokumen yang secara hukum mengikat baik dalam konstitusi
nasional maupun dalam perjanjian internasional.
b. Definisi politis HAM yang menunjuk pada pengertian politik, yaitu
proses dinamis dalam arti luas berkembangnya masyarakat suatu
masyarakat tertentu. Termasuk di dalamnya keputusan-keputusan yang
diambil dalam rangka kebijaksanaan pemerintah dalam upaya-upaya
mengorganisir sarana-sarana atau sumber-sumber untuk mencapai tujuan
tersebut. Hukum merupakan salah satu hasil terpenting dari proses politik
yang mana hukum berakar dalam keadaan politik konkret di masyarakat.
c. Definisi moral HAM yang menunjuk pada dimensi normatif HAM.
Makna etis HAM menyangkut pada problem esensial di mana klaim
individual harus diakui sebagai hak-hak yuridis atau hak-hak politik.
Pengertian klaim etis pada dasarnya mengandung di dalamnya suatu
pandangan teoretis menenai landasan norma-norma etis.
15 A. Gunawan Setiardja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila,
(Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 89-90.
13
Selain pendapat di atas, Komisi Nasional16
dalam hal ini telah
mengajukan dua argumen mengenai klaim universalitas paham HAM, yaitu:
a. Paham HAM adalah individualistik, yang berdasarkan pertimbangan:
1) Bahwa HAM memfokuskan kepada perhatian orang pada hak-haknya
sendiri saja. Masyarakat sekedar sebagai sarana pemenuhan kebutuhan
individual dan mengharap agar masyarakat dan negara memenuhi
tuntutan-ptuntutannya.
2) Paham HAM dilihat sebagai menempatkan individu, kelompok, dan
golongan masyarakat yang berhadapan dengan hukum bukan dalam
kesatuan dengannya. Masyarakat bukan menyatu dengan negara
melainkan perlu dilindungi terhadapnya.
b. Paham HAM bertolak dari suatu pengertian tentang otonomi manusia
yang tidak ditemukan di luar beberapa kebudayaan asing dan
bertentangan dengan agama. Menurut agama, manusia tidak otonom
melainkan dalam segalanya di bawah kehendak dan hukum Tuhan.
Klaim HAM atas keberlakuan universal menurut Maidin Gultom17
,
bahwa yang memiliki hak-hak itu adalah manusia sebagai manusia dan
bukan karena ciri-ciri tertentu yang dimilikinya. Mengenai paham HAM,
dikatakan bahwa manusia wajib diperlakukan dengan cara tertentu yang
mana segala perbedaan antara manusia yang satu dengan lain tidak dapat
mendasari perbedaan HAM walaupun manusia tersebut melanggar hukum.
Perundang-undangan yang ada di Indonesia telah memiliki sejumlah
legislasi yang mengatur secara khusus perlakuan terhadap orang-orang
(meliputi orang dewasa dan anak-anak) yang disangka, dituduh, dan
diputuskan secara hukum telah melanggar hukum pidana yang berlaku.
Berkaitan dengan jaminan pemenuhan Hak Asasi Manusia termasuk di
dalamnya hak-hak anak, instrumen lokal juga telah menetapkan Undang-
16 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1997), hlm. 52-54.
17 Maidin Gultom. Perlindungan Hukum terhadap Anak ...., hlm. 9.
14
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal
khusus yang mengatur tentang hak-hak anak adalah Pasal 52 sampai Pasal
66. Namun yang berkaitan dengan jaminan perlakuan terhadap anak-anak
yang berhadapan dengan hukum diatur secara khusus pada butir-butir Pasal
66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
dengan jelas menerangkan sebagai berikut:
(1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan
penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pada
pelaku tindak pidana yang masih anak-anak.
(3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan
hukum.
(4) Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh
dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapat perlakuan
secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan
pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa,
kecuali demi kepentingannya.
(6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan
hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku.
(7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan
memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak
memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
3. Teori Keadilan
Pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar
negara. Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara sampai sekarang
tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara
Indonesia. Bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila
15
yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang
berkeadilan sosial.
Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesialah yang menghargai,
mengakui, serta menerima Pancasila sebagai suatu bernilai. Pengakuan,
penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu
akan tampak merefleksikan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa
Indonesia. Apabila pengakuan, penerimaan, atau penghargaan tersebut
direfleksikan dalam sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa
Indonesia maka dalam hal ini sekaligus menjadi pengembannya dalam
sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia Indonesia. Oleh karenanya
Pancasila sebagai suatu sumber hukum tertinggi secara irasional dan sebagai
rasionalitasnya adalah sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia.
Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju
pada dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang menjadi persoalan
sekarang adalah apakah yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum
nasional yang bersumber pada Pancasila.
Kahar Masyhur18
dalam bukunya mengemukakan pendapat tentang
apakah yang dinamakan adil, terdapat tigal hal tentang pengertian adil.
a. “Adil” ialah : meletakan sesuatu pada tempatnya.
b. “Adil” ialah : menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain
tanpa kurang.
c. “Adil” ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa
lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama,
18 Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta: Kalam Mulia, 1985), hlm. 71.
16
dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai
dengan kesalahan dan pelanggaran”.
Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif
hukum nasional, Suhrawardi19
memberi pendapat bahwa terdapat hal
penting mengenai adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah
pengakuan dan perlakukan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada
pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban maka
dengan sendirinya kita mengakui “hak hidup”. Hak hidup tersebut harus
dipertahankan dengan cara bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan
tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan kerugian terhadap orang
lain, sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup).
Dengan pengakuan hak hidup orang lain maka dengan sendirinya
diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain tersebut untuk
mempertahankan hak hidupnya.
Konsep demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari
Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada
hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan hubungan yang
serasi antar manusia secara individu dan kelompok individu yang lainnya
sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab. Hubungan adil dan
beradab di sini menurut Purnadi Purbacaraka20
dapat diumpamakan sebagai
19 Suhrawardi K. Lunis, Etika Profesi Hukum, Cet. Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000),
hlm. 50.
20 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum,
(Jakarta: Rajawali, 1982), hlm. 83.
17
cahaya dan api, bila apinya besar maka cahayanya pun terang, jadi bila
peradabannya tinggi maka keadilanpun mantap.
Lebih lanjut menurut Kahar Mansyur21
, apabila dihubungkan dengan
“keadilan sosial” maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan
kemasyarakatan yang mana keadilan sosial dapat diartikan sebagai:
a. Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak.
b. Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusaha-
pengusaha.
c. Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu,
pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya dengan
tidak wajar.
Keadilan dan ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dari hidup dan
kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai
orang yang “main hakim sendiri”. Sebenarnya perbuatan tersebut sama
halnya dengan perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya terjadi
ketidakadilan, khususnya orang yang dihakimi itu. Keadilan sosial dalam
hal ini menyangkut kepentingan masyarakat dan dengan sendirinya individu
yang berkeadilan sosial tersebut harus menyisihkan kebebasan individunya
untuk kepentingan individu lainnya
Hukum nasional mengatur keadilan bagi semua pihak maka keadilan
di dalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang menserasikan
keadilan-keadilan yang bersifat umum di antara keadilan-keadilan individu.
Dalam keadilan ini lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-
21 Kahar Masyhur, Membina Moral ..., hlm. 71.
18
hak individu masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada di
dalam kelompok masyarakat hukum.
Hukum dan keadilan harus ditegakkan di mana harus berlandaskan
Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta
segala hukum dan peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan
dengan sumber hukum yang benar-benar sesuai dengan nilai kesadaran yang
hidup di masyarakat. Keadilan yang hendak ditegakkan di sini antara lain
adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Falsafah Pancasila, Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta nilai-nilai yang
terdapat dalam perundang-undangan yang lain. Penegakkan hukum dan
keadilan tentu saja akan menjadikan peradilan yang adil.
Pengertian peradilan yang adil adalah jauh lebih baik daripada
penerapan hukum atau perundang-undangan secara formal. Dalam
pengertian peradilan yang adil ini terkandung penghargaan akan hak
kemerdekaan seseorang warga negara. Meskipun seseorang warga negara
telah melakukan perbuatan yang tercela, namun hak-haknya sebagai warga
negara tidak boleh terhapuskan. Menurut Mardjono Reksodiputro22
,
peradilan yang adil mencakup tiga hal, yakni sebagai berikut:
a. Perlindungan terhadap sewenang-wenang dari pejabat negara.
b. Bahwa pengadilanlah yang berhak menentukan salah atau tidaknya
terdakwa.
c. Bahwa sidang pengadilan harus terbuka (kecuali sidang anak dan sidang
tentang kesusilaan).
d. Bahwa tersangka atau terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk
dapat membela diri sepenuh-penuhnya.
4. Teori Sistem Hukum
22 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta:
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1994), hlm. 32-33.
19
Teori sistem hukum ini dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman.
Sebagaimana dikutip Otje Salman dan Anton F. Susanto23
, Lawrence M.
Friedman mengatakan bahwa sistem hukum tersebut meliputi:
a. Struktur hukum (legal structure), yaitu bagian-bagian yang bergerak di
dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan
dalam sistem. Misalnya kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
b. Substansi Hukum (Legal Substance), yaitu hasil aktual yang diterbitkan
oleh sistem hukum, misal putusan hakim berdasarkan Undang-Undang.
c. Budaya Hukum (Legal Culture), yaitu sikap publik atau nilai-nilai
komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem
hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem
hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik
masyarakat.
Dengan demikian untuk dapat beroperasinya hukum dengan baik
maka hukum itu merupakan satu kesatuan yang dapat dipertegas sebagai
suatu yang mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem yang meliputi
tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-
lembaga, hak-hak, dan kewajiban-kewajiban. Selain itu juga mencakup isi
norma-norma hukum serta perumusannya maupun cara penegakannya yang
berlaku bagi pelaksanaan hukum maupun pencari keadilan. Dalam hukum
itu sendiri juga ada kultur yang pada dasarnya memuat nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-
konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan buruk.
Terkait dengan sistem hukum, Otje Salman mengatakan perlu ada
suatu mekanisme pengintegrasian hukum, bahwa pembangunan hukum
harus mencakup tiga aspek di atas, yang secara ilmuan berjalan melalui
23 Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan
Membuka Kembali, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm. 153.
20
langkah-langkah strategis, mulai dari perencanaan pembuatan aturan
(Legislation Planing), proses pembuatannya (law making procces), sampai
kepada penegakan hukum (law inforcement) yang dibangun melalui
kesadaran hukum (law awareness) masyarakat.24
Implementasi penegakan hukum Soerjono Soekanto juga mengatakan
ada beberapa faktor yang mempengaruhi berlakunya hukum. Faktor-faktor
tersebut adalah sebagai berikut:25
a. Faktor hukumnya sendiri.
b. Faktor penegak hukum.
c. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakkan hukum.
d. Faktor masyarakat.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya yang
merupakan esensi dari penegak hukum, juga menjadi tolok ukur dari pada
efektivitas penegakan hukum. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, Gunnar
Myrdal sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto26
, menulis sebagai Sof
Development di mana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan,
ternyata tidak efektif. Gejala semacam itu akan timbul apabila ada faktor
tertentu yang menjadi halangan. Faktor tersebut dapat berasal dari
pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan (Jastitabeken)
maupun golongan-golongan lain di dalam masyarakat.
24 Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum Mengingat,…, hlm. 154.
25 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 8.
26 Ibid, hlm. 127.
21
Agar sistem hukum dapat berfungsi dengan baik, menurut pendapat
Parson dalam bukunya Soerjono Soekanto,27
yang dapat menjadi semacam
alternatif, Beliau menyebut ada 4 (empat) hal yang harus diselesaikan
terlebih dahulu, yaitu:
a. Masalah legitimasi (yang menjadi landasan bagi penataan kepada aturan).
b. Masalah interprestasi (yang menyangkut soal penetapan hak dan
kewajiban subyek, melalui proses penerapan aturan tertentu).
c. Masalah sanksi (menegaskan sanksi apa, bagaimana penertapannya, dan
siapa yang menerapkannya).
d. Masalah yuridis yang menetapkan garis kewenangan bagi yang berkuasa
menegakkan norma hukum, dan golongan apa yang berhak diatur oleh
perangkat norma itu.
Teori sistem hukum digunakan untuk membahas permasalahan
mengenai pelaksanaan putusan dan dasar pertimbangan hakim dalam
memutus perkara tindak pidana narkotika. Dalam hal ini menurut Bambang
Waluyo28
hakim wajib memperhatikan faktor sebagai pemidanaan di
antaranya adalah sebagai berikut:
a. Kesalahan pembuat tindak pidana.
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana.
c. Cara melakukan tindak pidana.
d. Sikap batin pembuat tindak pidana.
e. Riwayat hidup dan keadaan sosial pembuat tindak pidana.
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana.
g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana.
h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban.
j. Apakah tindak pidana yang dilakukan dengan berencana.
27 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi ..., hlm. 15.
28 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 91.
22
Hal tersebut perlu diperhatikan agar putusan hakim lebih dapat
dipertanggungjawabkan dan agar penjatuhan pidana dirasakan adil bagi
korban, masyarakat, maupun pelaku yang telah melakukan tindak pidana.
F. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Empiris, yaitu
penelitian yang dilakukan secara langsung kepada narasumber dengan
mendasarkan pada data. Penelitian ini mengacu pada Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang narkotika, serta perundang-undangan lain yang
mengatur tentang anak dan tentang tindak pidana narkotika. Dari putusan
dan perundang-undangan tersebut yang kemudian dijadikan sebagai data
untuk wawancara dengan Hakim yang memutus perkara tindak pidana
narkotika di Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta.
2. Sumber Penelitian
a. Data Primer
Data primer ini diperoleh dari hasil penelitian di lapangan yakni di
wilayah hukum Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta yakni putusan No.
97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. dan wawancara dengan hakim yang memutus
perkara tindak pidana narkotika yang dilakukan anak.
23
b. Data Sekunder
Data sekunder ini diperoleh dari penelitian kepustakaan yang
berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari:
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan yang memiliki kekuatan
mengikat yang berkaitan dengan obyek penelitian. yakni:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
c) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
d) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak.
e) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
f) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
g) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
h) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
i) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
j) Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya:
a) Buku-buku literatur yang berkaitan dengan permasalahan.
24
b) Makalah-makalah khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana
narkotika yang dilakukan oleh anak serta peradilan anak.
c) Hasil-hasil penelitian para pakar hukum yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti.
d) Surat kabar.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan bagi bahan hukum primer dan sekunder, yang terdiri dari:
a) Kamus Hukum.
b) Kamus Bahasa Indonesia.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Bantul
Yogyakarta.
4. Penentuan Narasumber
Narasumber yang dijadikan objek pada penelitian ini adalah Hakim
yang memutus perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.
5. Alat dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan alat dan teknik sebagai berikut:
a. Alat yang digunakan yakni pedoman wawancara dan kamera.
b. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini yakni dengan teknik
wawancara (interview), yaitu dengan cara melakukan tanya jawab kepada
pihak-pihak yang terkait ataupun yang menangani dengan tindak pidana
ini, dalam hal ini yakni Hakim di Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta
25
yang memutus perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. Selain itu juga
menggunakan teknik kepustakaan, yaitu suatu teknik penelaahan
normatif dari beberapa peraturan perundang-undangan dan berkas
putusan pengadilan yang terkait dengan tindak pidana ini serta
penelahaan beberapa literatur yang sesuai dengan materi yang dibahas.
6. Analisis Data
Dalam mengelola dan menganalisis data yang diperoleh selama
penelitian menggunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif ini merupakan
analisis yang dilakukan dengan merangkai data yang dikumpulkan secara
sistematis sehingga didapat gambaran masalah atau suatu keadaan yang
diteliti. Selain itu juga memakai metode berpikir induktif, yaitu cara berpikir
yang menggunakan kata-kata yang bersifat umum dan kemudian diambil
faktor-faktor khusus sehingga diambil suatu suatu gambaran yang jelas
tentang masalah atau keadaan yang diteliti.
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
Pada bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka
teoritik, metode penelitian, serta sistematika pembahasan.
Pada bab kedua, pembahasan ditujukan pada teori mengenai tinjauan
umum tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak, yang meliputi
pengertian narkotika dan jenis-jenis narkotika, ketentuan-ketentuan tentang
26
tindak pidana narkotika, pengertian anak dan pengertian tindak pidana yang
dilakukan oleh anak, serta faktor-faktor anak melakukan tindak pidana
narkotika.
Pada bab ketiga, pembahasan ditujukan pada teori tentang tinjauan
umum peradilan anak dan gambaran umum Pengadilan Negeri Bantul
Yogyakarta, yang meliputi peradilan anak di Indonesia, dasar pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan pidana penjara bagi anak yang, dampak penerapan
sanksi bagi anak pelaku tindak pidana, serta gambaran umum Pengadilan
Negeri Bantul Yogyakarta.
Pada bab keempat, pembahasan ditujukan pada hasil penelitian dan
pembahasan yang berisi analisis putusan perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.
serta pembahasan tentang perlakuan yang diterapkan hakim di persidangan
terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dan dasar yang menjadi
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana narkotika yang
dilakukan oleh anak pada perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.
Pada bab kelima, bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian yang
berisikan kesimpulan dan saran. Dalam bab ini penulis akan menguraikan
mengenai kesimpulan dan saran terkait permasalahan yang ada.
1
BAB II
TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG
DILAKUKAN OLEH ANAK
A. Pengertian Narkotika dan Jenis-Jenis Narkotika
1. Pengertian Narkotika
Secara etimologi, narkotika berasal dari kata Narkoties yang sama
artinya dengan kata Narcosis yang berarti membius.29
Sifat dari zat tersebut
terutama berpengaruh terhadap otak sehingga menimbulkan perubahan pada
perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, dan halusinasi di samping
dapat digunakan dalam pembiusan.
Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba
atau narkotika adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan
rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang.30
Secara harfiah, narkotika berasal dari Bahasa Yunani dari kata Narke,
yang berarti beku, lumpuh, dan dungu.31
Sedangkan dalam Bahasa Inggris
berasal dari kata narcose atau narcosis yang berarti menidurkan.32
29 Moh. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm.
21.
30 Anton M. Mulyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet ii, (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), hlm. 609.
31 Wilson Nadaek, Korban Ganja dan Masalah Narkotika, (Bandung: Indonesia Publishing
House, 1983), hlm. 122.
32 Poerwadarminta, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Vers Luys, 1952), hlm. 112.
27
28
Menurut Farkomologi medis, “Narkotika adalah obat yang dapat
menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari daerah Visceral dan
dapat menimbulkan efek stupor (bengong masih sadar namun masih harus
digertak) serta adiksi”.33
Adiksi di sini mengandung arti ketagihan dan
menimbulkan ketergantungan pada pemakainya. Sifat ketagihan dalam
pengertian sekarang ini tidak hanya berupa ketergantungan seseorang
terhadap suatu obat atau zat baik secara fisik maupun psikis, akan tetapi
sudah masuk dalam pengertian yang meliputi corak hidup seseorang.34
Menurut Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam
Pasal 1 angka (1), disebutkan bahwa:
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sitensis maupun semi sitensis maupun semi sintesis yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bahan
tanaman baik yang sintesis maupun semi sintesisnya yang dapat
menyebabkan penurunan atau penambahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan.35
33 Wijaya A.W., Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, (Bandung:
Armico, 1985), hlm. 145.
34 Mardani, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana
Nasional, Ed. 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 79.
35 Kanwil Depdiknas DKI Jakarta, Kami Peduli Penanggulangan Bahaya Narkoba,
(Jakarta: 2003), hlm. 4.
29
Soedjono D. menyebutkan pengertian narkotika adalah zat yang bisa
menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan
dengan memasukkan ke dalam tubuh. Pengaruh-pengaruh tersebut berupa
pembiusan, hilangnya rasa sakit rangsangan semangat dan halusinasi atau
khayalan-khayalan. Sifat tersebut diketahui dan ditemui dalam dunia medis
bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia,
seperti di bidang pembedahan untuk menghilangkan rasa sakit.36
Hari Sasangka memberikan pendapat dalam bukunya sebagai
berikut:37
Pengertian narkotika secara umum adalah suatu zat yang dapat
menimbulkan perubahan perasaan, suasana pengamatan/penglihatan karena
zat tersebut mempengaruhi susunan syaraf pusat.
Narkotika pada mulanya merupakan zat atau obat yang sangat
bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun jika
disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan
dapat menimbulkan akibat yang merugikan bagi perseorangan atau
masyarakat khususnya generasi muda yang menyalahgunakan narkotika.
Hal ini akan merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika yang mengakibatkan bahaya lebih besar bagi kehidupan dan
nilai-nilai budaya bangsa yang akhirnya akan melemahkan ketahanan
nasional.
36 Soedjono Dirjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 3.
37 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, (Bandung: Mandar
Maju, 2003), hlm. 32 .
30
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa narkotika itu merupakan
zat yang dapat menenangkan syaraf, mengakibatkan tidak sadar,
menghilangkan rasa sakit dan nyeri, menimbulkan rasa mengantuk atau
merangsang, dapat menimbulkan efek stupor, serta dapat menimbulkan
adiksi atau kecanduan.
2. Jenis-Jenis Narkotika
Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak, seperti
candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka,
kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-
garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah,
atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat
dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina yang ditetapkan mentri
kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat
menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan, dan campuran-
campuran atau sediaan-sediaan yang mengandung garam-garam atau
turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang
alamiah atau olahan yang ditetapkan Menteri Kesehatan sebagai narkotika.
Berdasarkan rumusan undang-undang di atas, dapat ditarik
kesimpulan, bahwa tanaman atau barang ditetapkan sebagai narkoba atau
bukan setelah melalui uji klinis dan labotarium oleh Depertemen Kesehatan.
31
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
membagi narkotika menjadi tiga golongan, yaitu:
a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Contohnya antara lain: tanaman Papaver Somniferum L
dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya kecuali
bijinya, Opium mentah, Opium Masak, Tanaman koka, Daun koka,
Kokain mentah, Kokaina, serta Tanaman ganja.
b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/
atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Antara lain seperti:
Alfasetilmetadol, Alfameprodina, Alfametadol, Alfaprodina, Alfentanil,
Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya
termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-
oksida, serta Morfina.
c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan berakibat ketergantungan.
Jenis narkotika golongan III ini antara lain: Asetildihidrokodeina,
Dekstropropoksifena, Dihidrokodeina, Etilmorfina, serta Kodeina.
32
B. Ketentuan-Ketentuan tentang Tindak Pidana Narkotika
Sebelum dikeluarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, ketentuan tentang tindak pidana narkotika diatur dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Di mana dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tersebut tindak pidana
narkotika dibedakan menjadi dua macam, yakni:
1. Perbuatan terhadap orang lain yang mana diatur dalam Pasal 84 Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sebagai berikut:
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika
Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
b. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika
Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
c. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika
Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah);
2. Perbuatan untuk diri sendiri yang diatur dalam Pasal 85 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sebagai berikut:
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. menggunakan narkotika Golongan I bagi sendiri, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. menggunakan narkotika Golongan I bagi sendiri, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun;
33
c. menggunakan narkotika Golongan III bagi diri sendiri, dipidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun;
Penggunaan narkotika bagi diri sendiri mengandung arti bahwa
penggunaan tersebut dilakukan tanpa melalui pengawasan dokter, yang dalam
hal ini merupakan suatu perbuatan tanpa hak dan melawan hukum.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada
dasarnya mengklasifikasi pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika
menjadi dua, yaitu:
1. Pelaku tindak pidana yang berstatus sebagai pengguna terdapat dalam Pasal
116, Pasal 121, dan Pasal 127. Dari ketiga pasal tersebut, status pengguna
narkotika dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
a. Pengguna untuk diberikan kepada orang lain, yaitu Pasal 116 dan Pasal
121 sebagai berikut:
Pasal 116
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika
Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian
Narkotika Golonggan I untuk digunakan orang lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat
permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara
seumur, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum dimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
34
Pasal 121
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan
Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian
Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat
permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
b. Pengguna narkotika untuk dirinya sendiri yaitu pada Pasal 127 sebagai
berikut:
(1) Setiap Penyalah Guna:
b. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun;
c. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
d. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim
wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
54, Pasal 55, dan Pasal 103
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika,
Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
2. Bukan pengguna narkotika yang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika ini diklasifikasi lagi menjadi 4 (empat), yaitu:
35
1. Pemilik, yang diatur pada Pasal 111 dan Pasal 112 sebagai berikut:
Pasal 111
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,
memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1
(satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 112
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memilki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I
bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
2. Pengolah, yang diatur pada Pasal 113 sebagai berikut:
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
36
2. Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya melebihi 5 (lima) gran, pelaku dipidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
3. Pembawa dan Pengantar, yang diatur pada Pasal 114 dan Pasal 119
sebagai berikut:
Pasal 114
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual
beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
2. Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau
menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya 5 (lima) gram; pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 119
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual
beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
37
menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
4. Pengedar, yang diatur pada Pasal 129 sebagai berikut:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum:
a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekusor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekusor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekusor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
d. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekusor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
Perbedaan mendasar dari ketentuan pidana terhadap penyalahgunaan
narkotika pada kedua undang-undang tersebut yaitu mengenai aturan pidana
minimum dan maksimum. Yang mana aturan tersebut hanya ada di dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sedangkan di
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika hanya
mengatur mengenai ketentuan pidana maksimum. Selain itu, di dalam Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ketentuan pidana langsung
diikuti dengan kewajiban untuk memperhatikan ketentuan pasal mengenai
38
rehabilitasi yang tidak ada di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika.
C. Pengertian Anak dan Pengertian Tindak Pidana yang Dilakukan oleh
Anak
a. Pengertian Anak
Secara umum yang dikatakan anak adalah seseorang yang masih
berada dalam batas usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin.
Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk
dapat disebut sebagai anak. Batas usia anak di sini adalah pengelompokan
usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam hukum sehingga
anak beralih status menjadi dewasa yang dapat bertanggung jawab secara
mandiri terhadap perbuatan hukum yang dilakukan anak tersebut.
Mengenai pengertian anak itu sendiri sampai saat ini belum ada
keseragaman dan untuk segala bidang hukum secara yuridis belum ada
ketentuan yang pasti. Di bawah ini beberapa pengertian anak, yakni:
a. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia anak adalah keturunan insan
(manusia) yang kedua.38
Anak merupakan kelompok manusia muda yang
batas umurnya tidak selalu sama di berbagai negara. Di Indonesia yang
sering digunakan batasan umur anak adalah 0-18 tahun. Dengan
demikian bayi, balita, dan usia sekolah termasuk dalam kelompok anak.
38 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. ke-5 (Jakarta: Balai
Pustaka, 1976), hlm. 38.
39
Namun pada umumnya disepakati bahwa masa anak merupakan masa
yang dilalui setiap orang untuk menjadi dewasa.
b. Menurut The Minimun Age Convention Nomor 138 (1973), pengertian
tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah.
Sebaliknya dalam Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah
diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Kepres No. 39 Tahun 1990
disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun ke
bawah. Sementara itu UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk
yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun ke bawah.39
c. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kedewasaan
seseorang dikatakan pada umur 16 tahun. Hal ini dapat dilihat dalam
Pasal 45 yakni: “Dalam menuntut orang yang belum cukup umur
(minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas
tahun ....”.
d. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pengertian anak terdapat
dalam Pasal 330 KUHPerdata yang menyatakan, orang belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu)
tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan
sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka
tidak dapat kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
39 Abu Harairah, Kekerasan Terhadap Anak, cet. Ke-1, (Bandung: Nuansa, 2006), hlm. 19.
40
e. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seorang
anak dapat digolongkan sebagai anak dalam Undang-Undang ini ada
dalam beberapa pasal, di antaranya:
1) Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi, “Untuk melangsungkan perkawinan
seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus
mendapat izin kedua orang tua”.
2) Pasal 7 ayat (1) berbunyi, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
3) Dalam Pasal 47 ayat (1) disebutkan bahwa, “Anak yang belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”.
4) Dalam Pasal 50 ayat (1) disebutkan, “Anak yang belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada
di bawah kekuasaan wali”.
f. Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
yang dimaksud anak terdapat pada Pasal 1 angka 2 yakni, “Anak adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan
belum pernah kawin”.
g. Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
dalam Pasal 1 angka 1 merumuskan bahwa anak adalah orang dalam
41
perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
menikah.
h. Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
mendefinisikan anak dalam Pasal 1 angka 26 yakni anak adalah setiap
orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. Di samping itu
pengertian anak dalam Hukum Perburuhan menentukan batas umur
dalam tiga golongan sebagai berikut:
1) Golongan anak-anak adalah mereka yang berumur 6-14 tahun.
2) Golongan orang muda adalah mereka yang berumur lebih dari 14
tahun tetapi kurang dari 18 tahun.
3) Golongan orang dewasa adalah yang berumur lebih dari 18 tahun.
i. Dalam BAB I Pasal 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak juga disebutkan bahwasannya anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan. Kemudian pengertian anak yang terdapat dalam Pasal
1 ayat (1) dan (2) menyebutkan:
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan. ayat (1): memuat batas
antara belum dewasa dengan telah dewasa yaitu berumur 21 (dua puluh
satu) tahun kecuali, anak yang sudah kawin sebelum umur 21 tahun,
pendewasaan. ayat (2): menyebutkan bahwa pembubaran perkawinan
yang terjadi pada seseorang sebelum berusia 21 tahun, tidak mempunyai
pengaruh terhadap kedewasaan.
j. Dalam Hukum Adat, tidak ada ketentuan umur yang pasti untuk
memberikan batasan usia anak. Mengenai kapan seseorang disebut
42
dewasa digunakan ukuran yang umum yakni dapat bekerja sendiri, cakap
untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bertanggung jawab, serta dapat mengurus harta kekayaannya sendiri.
Menurut pendapat Soejono yang mengemukakan bahwa menurut hukum
adat “anak di bawah umur adalah mereka yang belum menunjukkan
tanda-tanda fisik yang konkrit bahwa ia telah dewasa”.40
k. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, Pasal 98 ayat (1), batas
usia anak yang mampu berdiri sendiri adalah 21 Tahun, sepanjang anak
tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.41
l. Dalam kehidupan ketatanegaraan, seseorang dianggap dewasa dan boleh
menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu pada usia 17 tahun.
m. Lain halnya kedewasaan seseorang menurut agama Islam, dianggap
baligh (dewasa) bagi laki-laki jika ia telah mimpi basah, dan usia 12
tahun bagi wanita atau jika ia telah datang bulan (haid) sebelum usia
tersebut. Status dan eksistensi anak telah diakui tidak hanya dalam
hukum tetapi didasarkan pengakuan oleh agama tentang hak anak itu
sendiri. Selain itu perlindungan dan pengakuan terhadap anak telah
dilakukan oleh pemerintahan Islam pertama yang dipimpin oleh Nabi
40 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara,
1990), hlm. 19.
41 Cik Hasan Bisri (ed) dkk., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia,
cet. ke-2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995), hlm. 170.
43
Muhammad S.A.W. yang mana Beliau pernah menegaskan melalui
hadisnya yang dikutip dari buku Syaikh Kamil sebagai berikut:42
“Orang tua diperbolehkan untuk menikahkan putrinya yang belum
baligh, baik ia masih gadis atau sudah janda. Karena itu putrinya sudah
mencapai usia akil baligh, maka ia boleh menikahi siapa saja yang
dikehendapi, tanpa harus meminta izin orang tuanya. Posisi orang tua
pada saat itu sama seperti posisi wali, yaitu tidak boleh menikahkannya
kecuali dengan izinnya, baik yang masih gadis atau sudah janda”,
diriwayatkan Abu Hanifah. Adapun syarat dari rukun akad nikah
keduanya telah mencapai usia akil baligh. Ciri dari masa baligh wanita
ditandai dengan haid.
Jika dicermati maka secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang
usia anak terletak pada skala 0 sampai 21 tahun. Penjelasannya mengenai
batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pada pertimbangan kepentingan
usaha kesejahteraan sosial, serta pertimbangan kematangan sosial,
kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umurnya
dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun.
Batasan untuk disebut anak sejak dikeluarkan dan ditetapkan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka ketentuan
dalam KUHP yang mengatur tentang penanganan anak yang melakukan
perbuatan pidana dinyatakan tidak berlaku lagi. Karena dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut telah mengatur ketentuan yang
diperbaharui mengenai penanganan bagi anak pelaku perbuatan pidana.
b. Pengertian Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak
42 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka A-Kautsar, 1998),
hlm. 381.
44
Menurut B. Simandjuntak,43
istilah kenakalan anak berasal dari
Amerika Serikat yaitu dari kata juvenile delinquency yang artinya:
“Kenakalan anak, kenakalan remaja, dan sebagainya”.
Istilah kenakalan anak ini pertama kali ditampilkan pada Badan
Peradilan Anak di Amerika Serikat dalam rangka membentuk suatu
Undang-Undang Peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam
pembahasannya ada kelompok yang menekankan segi pelanggaran
hukumnya, dan ada yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah
sudah menyimpang dari norma yang berlaku atau belum melanggar
hukum.44
Paul Moedikno dalam bukunya Romli Atmasasmita45
memberi
perumusan bahwa juvenile delinquency yaitu:
a. Semua perbuatan dari orang-orang yang dewasa merupakan suatu
kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency, seperti mencuri,
menganiaya, membunuh, dan sebagainya.
b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang
menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana
jengki tidak sopan, mode you can see, dan sebagainya.
c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial,
termasuk gelandangan, pengemis, dan lain-lain.
Menurut Fuad Hasan dalam bukunya Romli46
, yang dikatakan juvenile
delinquency adalah perbuatan antisosial yang dilakukan oleh remaja, yang
apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai
kejahatan.
43 B. Simandjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja (Etiplogi juvenile delinquency),
(Bandung: Alumni, 1979), hlm. 55.
44 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, ed.1, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2011), hlm. 25-26.
45 Paul Moedikno dalam Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak-Anak Remaja,
(Bandung: Armico, 1983), hlm. 22.
46 Fuad Hasan dalam Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan ..., hlm. 22.
45
R. Kusumanto Setyonegoro dalam bukunya Romli47
(1967) yang
mengemukakan pendapatnya terkait kenakalan anak sebagai berikut:
Tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan
pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik, oleh suatu
lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang
berkebudayaan tertentu. Apabila individu itu masih anak-anak maka sering
tingkah laku serupa itu disebut dengan istilah tingkah laku yang sukar atau
nakal. Jika ia berusaha adolescent atau preadolescent maka tingkah laku itu
sering disebut delinkuen; dan jika ia dewasa maka tingkah laku ini sering
kali disebut psikopatik dan jika terang-terangan melawan hukum disebut
kriminal.
Menurut Romli Atmasasmita,48
istilah delinquency tidak identik
dengan istilah kenakalan dan istilah juvenile tidak identik dengan istilah
anak. Istilah juvenile delinquency lebih luas artinya daripada istilah
kenakalan maupun istilah anak-anak. Maka dari itu Romli lebih cenderung
menggunakan istilah kenakalan anak daripada istilah kejahatan anak-anak.
Dalam hal ini Romli berpendapat bahwa juvenile delinquency adalah
sebagai berikut:
Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18
tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-
norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan
pribadi si anak yang bersangkutan.49
47 R. Kusumanto Setyonegoro dalam Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan ..., hlm. 23.
48 Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan ..., hlm. 17.
49 Ibid, hlm.23.
46
Pengertian delinquency menurut Simanjuntak adalah sebagai
berikut:50
a. Juvenile delinquency berarti perbuatan dan tingkah laku yang merupakan
perbuatan perkosaan terhadap norma hukum pidana dan pelanggaran-
pelanggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh para delinquent.
b. Juvenile delinquency itu adalah pelaku yang terdiri dari anak (berumur di
bawah 21 tahun (pubertas)), yang termasuk yurisdiksi pengadilan
anak/juvenile court.
Selanjutnya Kartini Kartono mengemukakan juvenile delinquency
adalah perilaku jahat atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan
gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang
disebabkan oleh satu bentuk tingkah laku yang menyimpang. Juvenile
berasal dari bahasa latin juvenilis artinya anak-anak, anak muda, ciri
karakteristik pada masa muda dan sifat-sifat khas pada periode remaja.
Sedangkan delinquent berasal dari kata latin delinquere yang artinya
terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-
sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, peneror, tidak
dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain. Biasanya delinquency
selalu berkonotasi serangan, pelanggaran, kejahatan, dan keganasan yang
dilakukan oleh anak muda di bawah usia 22 tahun.51
Soedjono Dirjosisworo mengatakan bahwa kenakalan anak mencakup
3 pengertian, yaitu:52
a. Perbuatan yang dilakukan orang dewasa merupakan tindak pidana
(kejahatan), akan tetapi bila dilakukan oleh anak-anak belum dewasa
dinamakan delinquency seperti pencurian, perampokan, dan
pembubuhan.
b. Perbuatan anak yang menyeleweng dari norma kelompok yang
menimbulkan keonaran seperti kebut-kebutan, perkelahian kelompok,
dan sebagainya.
50 Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Anak, cet.2, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 60.
51 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1998), hlm. 6.
52 Soedjono Dirjosisworo, Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Alumni, 1983), hlm.
150.
47
c. Anak-anak yang hidupnya membutuhkan bantuan dan perlindungan,
seperti anak-anak terlantar, yatim piatu, dan sebagainya, yang jika
dibiarkan berkeliaran dapat berkembang menjadi orang jahat.
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak tidak diberikan batasan mengenai kenakalan anak. Hanya batasan
Anak Nakal yang terdapat pada Pasal 1 butir 2, yang menyatakan bahwa
Anak Nakal adalah:
a. Anak yang melakukan tindak pidana;
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Kenakalan juga terdapat dalam KUHP BAB I Pasal 489 ayat 1 yang
berbunyi sebagai berikut: “Kenakalan terhadap orang atau barang, yang
dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan
denda paling banyak lima belas rupiah”.
Banyaknya definisi mengenai juvenile delinquency menggambarkan
bahwa terhadap pengertian juvenile delinquency tidak ada keseragaman.
Artinya bahwa definisi yang diberikan oleh setiap ahli tergantung dari sudut
mana seseorang memandangnya. Perbedaan definisi delikuensi
mengakibatkan timbulnya kesulitan dalam penentuan macam-macam jenis
tingkah laku yang termasuk perbuatan delinkuen.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa delikuensi
adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan adat istiadat atau
48
norma-norma hukum atau aturan tertentu yang berlaku di dalam kelompok
masyarakat atau negara di mana anak tersebut bertempat tinggal yang
bersifat anti sosial dan atau melawan hukum.
Tingkah laku yang menjurus pada juvenile delinquency menurut Alder
(1980) dalam bukunya Kartini Kartono adalah sebagai berikut:53
a. Kebut-kebutan di jalan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan
membahayakan jiwa sendiri dan orang lain.
b. Perilaku ugal-ugalan, berandal, urakan yang mengacaukan ketentraman
lingkungan sekitarnya. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan
dorongan primitif yang tidak terkendali serta suka menteror lingkungan.
c. Perkelahian antargeng, antarkelompok, antarsekolah, antarsuku
(tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa.
d. Membolos sekolah dan kemudian menggelandang sepanjang jalan atau
bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen
bermacam-macam kedurjanaan dan tindak asusila.
e. Kriminalitas anak, remaja, dan adolesens antara lain berupa perbuatan
mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas,
menjambret, menyerang, merampok, mengganggu, menggarong,
melakukan pembunuhan dengan menyembelih korbannya, mencekik,
meracun, tindak kekerasan dan pelanggaran lainnya.
f. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas,
atau orgi (mabuk-mabukan yang menimbulkan keadaan kacau balau)
yang mengganggu sekitarnya.
g. Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif sosial,
atau didorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan inferior,
menuntut pengakuan diri, depresi, rasa kesunyian, emosi, balas dendam,
kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita, dan lain-lain.
h. Kecanduan dan ketagihan Narkoba (obat bius, drug, opium, ganja) yang
erat kaitannya dengan kejahatan.
i. Tindakan-tindakan immoral seksual secara terang-terangan tanpa tedeng
aling-aling, tanpa malu dengan cara kasar. Ada seks dan cinta bebas
tanpa kendali (promiscuity) yang didorong oleh hiperseksualitas,
dorongan menuntut hak, dan usaha-usaha kompensasi lainnya yang
kriminal sifatnya.
j. Homoseksualitas, erotisme anak dan oral serta gangguan seksualitas
lainnya pada anak remaja disertai dengan tindakan-tindakan sadis.
k. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan bentuk taruhan
sehingga menimbulkan akses kriminalitas.
53 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 ..., hlm. 21-23.
49
l. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan
pembunuhan bayi-bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin.
m. Tindakan radikal dan ekstrem dengan jalan kekerasan, penculikan, dan
pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja.
n. Perbuatan a-sosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-
anak dan remaja psikopatik, neurotic, dan menderita gangguan jiwa
lainnya.
o. Tindak kejahatan disebabkan oleh penyakit tidur (encephalitics
lethargoical) dan ledakan meningtis serta post- encephalitics, juga luka
di kepala dengan kerusakan otak yang adakalanya membuahkan
kerusakan mental, sehingga orang yang bersangkutan tidak mampu
mengendalikan diri.
p. Penyimpangan tingkah laku yang disebabkan oleh kerusakan dan
karakter anak yang menuntut kompensasi, disebabkan adanya organ-
organ yang inferior.
D. Faktor-Faktor Anak Melakukan Tindak Pidana Narkotika
Terjadinya tindak pidana narkotika bahkan sampai ketergantungan secara
umum dapat dikatakan mempunyai faktor-faktor penyebab, yang dalam hal ini
dapat digolongkan menjadi dua, yakni:54
1. Faktor Internal Pelaku
Kebanyakan penyalahgunaan narkotika dimulai atau terdapat pada
masa remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologi,
psikologi, maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan untuk
menyalahgunakan narkotika. Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu
mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna narkotika. Ciri-
ciri tersebut antara lain:
a. Cenderung memberontak dan menolak otoritas.
b. Cenderung memiliki gangguan jiwa lain seperti depresi, cemas, psikotik,
serta keperibadian sosial.
54 Moh. Taufik Makarao, dkk, Tindak Pidana Narkotika ..., hlm. 53-56.
50
c. Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku.
d. Rasa kurang percaya diri (low selw-confidence), rendah diri dan memiliki
citra diri negatif (low self-esteem).
e. Sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif.
f. Mudah murung, pemalu, dan pendiam.
g. Mudah merasa bosan dan jenuh.
h. Keingintahuan yang besar untuk mencoba atau penasaran.
i. Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun).
j. Keinginan untuk mengikuti mode, karena dianggap sebagai lambang
keperkasaan dan kehidupan modern.
k. Keinginan untuk diterima dalam pergaulan.
l. Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga sulit
mengambil keputusan untuk menolak tawaran NAPZA dengan tegas.
m. Kemampuan komunikasi rendah.
n. Melarikan diri sesuatu (kebosanan, kegagalan, kekecewaan, kesepian,
kegetiran hidup, malu, dan lain-lain).
o. Putus sekolah.
p. Kurang menghayati iman kepercayaannya.
Dari ciri-ciri tersebut dapat dilihat bahwa penyebab kejiwaan
seseorang melakukan tindak pidana narkotika, antara lain dikarenakan:55
55 Moh. Taufik Makarao, dkk, Tindak Pidana Narkotika ..., hlm. 53.
51
a. Perasaan egois, merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap orang. Sifat ini
mendominasi perilaku seseorang secara sadar. Demikian juga bagi orang
yang berhubungan dengan narkotika. Rasa egois itu muncul dan
mendorong untuk memiliki atau menikmati secara penuh apa yang
mungkin dapat dihasilkan dari narkotika.
b. Kehendak ingin bebas. Sifat ini juga merupakan sifat dasar yang dimiliki
manusia. Kehendak bebas ini muncul dan terwujud ke dalam perilaku
setiap kali seseorang diimpit beban pikiran maupun perasaan. Dalam hal
ini, seseorang yang sedang dalam himpitan tersebut melakukan interaksi
dengan orang lain sehubungan dengan narkotika maka dengan mudah
orang tersebut akan terjerumus pada tindak pidana narkotika.
c. Kegoncangan jiwa, yang pada umumnya terjadi karena salah satu sebab
yang secara kejiwaan hal tersebut tidak mampu dihadapi. Dalam keadaan
labil, apabila ada pihak-pihak yang berkomunikasi dengannya mengenai
narkotika maka ia akan dengan mudah terlibat ke dalam tindak pidana
narkotika tersebut.
d. Rasa keingintahuan, yang pada umumnya lebih dominan terletak pada
manusia yang usianya masih muda. Perasaan ingin tahu bukan hanya
pada hal positif namun pada hal-hal yang sifatnya negatif. Maka rasa
ingin tahu terhadap narkotika ini juga dapat mendorong seseorang
melakukan perbuatan yang tergolong tindak pidana narkotika.
52
2. Faktor Eksternal
Faktor-faktor yang muncul dari luar atau biasa disebut eksternal ini
banyak sekali, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Faktor Keluarga
Dari kecil anak dibesarkan oleh keluarga, sebagian waktunya ada di
dalam keluarga. Maka sudah sepantasnya kalau kemungkinan besar
timbulnya tindak pidana narkotika itu berasal dari keluarga. Dalam hal
ini apabila keluarga yang dapat membina hubungan dengan baik akan
berpengaruh positif bagi perkembangan anak. Namun jika keluarga tidak
bisa membina hubungan baik pastinya akan berpengaruh negatif bagi
perkembangan anak. Berikut pengaruh dari keluarga yang dapat
menimbulkan tindak pidana narkotika bagi seseorang:
1) Komunikasi orang tua-anak kurang baik/efektif.
2) Hubungan dalam keluarga kurang harmonis.
3) Orang tua bercerai, berselingkuh atau kawin lagi.
4) Orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh.
5) Orang tua otoriter atau serba melarang.
6) Orang tua yang serba membolehkan (permisif).
7) Kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan.
8) Orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah narkotika.
9) Tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang
konsisten).
53
10) Kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam
keluarga.
11) Orang tua atau anggota keluarga menjadi penyalahguna narkotika.
b. Faktor Pendidikan/sekolah
Sebagai lembaga pendidikan, sekolah juga merupakan tempat
untuk membiasakan seseorang untuk hidup disiplin, tertib, teratur, dan
patuh. Sekolah juga merupakan wadah yang mempersiapkan potensi
pengembangan ilmu pengetahuan maupun tempat pembinaan mengatasi
kenakalan maupun penyimpangan lain.
Dalam hal ini jika guru tidak peduli pada anak didiknya maka anak
didiknya bisa melakukan pelanggaran dan penyimpangan. Tidak
pedulinya guru bisa saja terjadi ketika menyampaikan materi di kelas
kurang menarik maka anak akan cenderung bosan dan mereka membolos
kemudian bergabung dengan anak-anak lain yang tidak sekolah dan besar
peluangnya untuk menggunakan dan mengedarkan narkotika.
Selain itu, sekolah yang kurang disiplin, sekolah yang letaknya
dekat tempat hiburan dan penjual narkotika, sekolah yang kurang
memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri secara
kreatif dan positif, dan adanya murid pengguna narkotika akan memberi
pengaruh besar bagi seseorang melakukan tindak pidana narkotika.
c. Keadaan Ekonomi
54
Keadaan ekonomi pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi
dua, yakni keadaan ekonomi baik dan keadaan ekonomi kurang atau
miskin. Pada keadaan ekonomi baik maka orang dengan mudah
memenuhi kebutuhannya. Sebaliknya jika keadaan ekonomi kurang atau
miskin maka pemenuhan kebutuhan sulit dan orang akan berusaha untuk
dapat keluar dari himpitan ekonomi tersebut.
Hubungannya dengan narkotika, bagi orang-orang yang ekonomi
baik dapat mempercepat keinginan-keinginannya untuk mengetahui dan
menikmati tentang narkotika. Sedangkan bagi yang ekonominya kurang
atau miskin dapat juga melakukan hal tersebut namun kemungkinannya
lebih kecil daripada yang ekonominya baik.
Dalam hal ini narkotika bermacam-macam jenis dan harganya
maka dalam keadaan ekonomi yang bagaimanapun narkotika dapat
beredar dan dengan sendirinya tindak pidana narkotika itu dapat terjadi.
d. Pergaulan/Lingkungan
Pergaulan ini terdiri dari lingkungan tempat tinggal, sekolah atau
tempat kerja, dan lingkungan pergaulan lainnya. Beberapa lingkungan
tersebut dapat memberikan pengaruh negatif terhadap seseorang. Artinya
akibat yang ditimbulkan oleh interaksi dengan lingkungan tersebut
seseorang dapat melakukan perbuatan yang baik maupun yang buruk.
Apabila di lingkungan tersebut narkotika dengan mudah didapat maka
kecenderungan melakukan tindak pidana narkotika semakin besar.
55
Berteman dengan pemakai narkotika, tekanan atau ancaman dari
kelompok lain, tekanan dari pengedar narkotika, serta lemahnya
penegakan hukum di lingkungan tersebut dapat menjadi penyebab orang
tersebut melakukan tindak pidana narkotika.
e. Kemudahan
Kemudahan di sini dimaksud dengan semakin banyaknya beredar
jenis-jenis narkotika di pasar, mudahnya narkotika didapat di mana-mana
dengan harga terjangkau, banyak iklan minuman beralkohol dan rokok
yang menarik untuk dicoba, serta khasiat farakologik narkotika yang
menenangkan, menghilangkan nyeri, menidurkan, membuat teler, maka
semakin besar juga peluang terjadinya tindak pidana narkotika.
f. Kurangnya Pengawasan
Pengawasan dalam hal ini dimaksud untuk pengendalian terhadap
persediaan narkotika, penggunaan, dan peredarannya. Jadi tidak hanya
mencakup pengawasan yang dilakukan pemerintah, juga pengawasan
masyarakat. Pemerintah memegang peranan penting dalam membatasi
peredaran, produksi, dan pemakaian narkotika. Kurangnya pengawasan
maka pasar, produksi, dan populasi pemakai narkotika semakin banyak.
Di sisi lain, keluarga merupakan inti dari masyarakat baiknya dapat
melakukan pengawasan lebin intensif terhadap anggora keluarga untuk
tidak terlibat dalam perbuatan yang tergolong tindak pidana narkotika.
Kurangnya pengawasan tersebut maka tindak pidana narkotika bukan
merupakan perbuatan yang sulit untuk dilakukan.
56
g. Ketidaksenangan dengan Keadaan Sosial
Seseorang yang terhimpit keadaan sosial maka narkotika dapat
dijadikan sarana untuk melepaskan diri dari himpitan tersebut. Meskipun
sifatnya sementara, tetapi bagi sebagian orang yang memiliki wawasan,
uang, dan sebagainya tidak hanya menggunakan narkotika sebagai alat
melepaskan diri dari himpitan sosial namun dapat dijadikan alat bagi
pencapaian tujuan tertentu yang menurutnya merupakan kebutuhan.
Kedua faktor tersebut tidak selalu berjalan sendiri-sendiri dalam suatu
terjadinya tindak pidana narkotika, tetapi dapat saling mempengaruhi secara
bersamaan. Faktor-faktor tersebut memang tidak selau membuat seseorang
menjadi penyalahguna narkotika. Akan tetapi semakin banyak faktor di atas,
semakin besar kemungkinan seseorang menjadi penyalahguna narkotika.
Bagi anak, menurut Ida Listyarini Handoyo56
bahwa pada umumnya para
pengguna narkoba pada awalnya hanya iseng, ingin mencoba dan sebagainya.
Akan tetapi sifat senyawa narkoba yang dapat mengakibatkan ketagihan
membuat si pengguna tidak lepas dari jerat narkoba.
Sementara itu Hadiman57
menyatakan bahwa salah satu alasan
meningkatnya penyalahgunaan narkoba di kalangan anak-anak adalah
kurangnya pendidikan dasar tentang narkoba baik di kalangan orang tua dan
56 Ida Listryarini Handoyo, Narkoba Perlukah Mengenalnya, (Yogyakarta: Pakar Raya,
2004), hlm. 22.
57 Hadiman, Pengawasan Serta Peran Aktif Orangtua dan Aparat Dalam Penanggulangan
dan Penyalahgunaan Narkoba, (Jakarta: Badan Kerjasama Sosial Usaha Bersama Warga Tama,
2005), hlm. 2.
57
anak-anak. Terutama banyak orang tua tidak menyadari pengaruh narkoba
yang ada di masyarakat dan bahaya yang dihadapi anak-anak setiap harinya.
Menurut pendapat Gatot Supramono58
, saat ini kalangan anak muda
mudah terpengaruh ke dalam pemakaian narkoba. Terutama para remaja,
karena masa remaja merupakan masa seorang anak mengalami perubahan
dengan cepat di segala bidang, menyangkut perubahan tubuh, perasaan,
kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Mereka mudah dipengaruhi karena
dalam dirinya banyak perubahan dan tidak stabilnya emosi cenderung
menimbulkan perilaku yang nakal.
58 Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 4.
58
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PERADILAN ANAK DAN
GAMBARAN UMUM PENGADILAN NEGERI BANTUL
YOGYAKARTA
A. Peradilan Anak di Indonesia
Peradilan anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak merupakan peradilan yang diselenggarakan untuk
menangani perkara pidana khususnya perkara anak-anak. Dalam undang-
undang tersebut memang tidak secara tegas dinyatakan untuk menangani
perkara pidana khususnya bagi perkara anak-anak. Hanya saja di dalam Pasal 3
hanya disebutkan bahwa Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut
Sidang Anak, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam undang-undang
ini.
Namun karena dalam undang-undang tersebut mengatur mengenai
ketentuan-ketentuan pidana bagi anak baik bersifat formil dan materiil maka
sesungguhnya maksud dan tujuan dari pembentukan pengadilan ini untuk
mengadili pidana anak.
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
merupakan perundang-undangan khusus dari ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
59
maka secara khusus ketentuan yang mengatur masalah hukum pidana anak
sudah ditetapkan.
Sesuai dengan hal ini, Peradilan Anak merupakan Peradilan Khusus yang
mana merupakan spesialisasi di bawah Peradilan Umum. Peradilan Anak diatur
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang
tercantum pada Pasal 2 sebagai berikut:
Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di
lingkungan Peradilan Umum.
Sesuai Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak bahwa di Indonesia belum ada tempat bagi suatu Peradilan Anak yang
berdiri sendiri sebagai peradilan khusus. Peradilan Anak masih berada di
bawah lingkup Peradilan Umum. Walaupun penyelesaian perkara berada di
lingkungan Peradilan Umum, namun dapat ditunjuk hakim yang khusus
mengadili perkara-perkara anak.
Menurut Bambang Waluyo117
, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak mengatur banyak kekhususan, antara lain sebagai
berikut:
1. Batasan umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak nakal
sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetap belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
2. Aparat penegak hukum yang berperan dalam proses peradilan anak yaitu
penyidik anak, penuntut umum adalah penuntut umum anak, hakim adalah
hakim anak.
3. Hakim, penuntut umum, penyidik, dan penasihat hukum serta petugas
lainnya dalam sidang anak tidak memakai toga atau pakaian dinas.
4. Untuk melindungi kepentingan anak pada prinsipnya pemeriksaan perkara
anak dilakukan dalam sidang tertutup. Kecuali dalam hal tertentu dapat
117 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan ..., hlm. 103-105.
60
dilakukan dalam sidang terbuka, misalnya dalam perkara pelanggaran lalu
lintas dan pemeriksaan di tempat kejadian perkara.
5. Pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan hanya yang ditentukan dalam
undang-undang ini.
6. Ketentuan pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan
tindak pidana/anak nakal, antara lain sebagai berikut:
a. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling lama ½ (satu per dua)
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
b. Apabila melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan
paling lama 10 (sepuluh) tahun.
c. Apabila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak
pidana yang diancam pidana mati atau pidana seumur hidup maka anak
nakal tersebut dijatuhi tindakan menyerahkan kepada negara untuk
mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
d. Apabila belum mencapai 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana
yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara
seumur hidup maka anak nakal tersebut dijatuhi salah satu tindakan.
e. Pidana kurungan yang dapat dijatuhi paling lama ½ (satu per dua) dari
maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.
f. Pidana denda yang dapat dijatuhi paling banyak ½ (satu per dua) dari
maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.
g. Apabila pidana denda tidak dapat dibayarkan maka diganyi dengan wajib
latihan kerja dan lama latihan kerja paling lama 90 hari dal lama latihan
kerja tidak lebih dari 4 jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.
h. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh hakim paling lama 2 (dua) tahun.
Dibentuknya undang-undang ini disadari bahwa walaupun kenakalan
anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat,
namun hal tersebut diakui sebagai suatu gejala umum yang harus diterima
sebagai suatu fakta sosial. Oleh karena itu perlakuan terhadap anak nakal harus
dibedakan dengan perlakuan terhadap orang dewasa.
Dilihat dari sistematika, pengaturan sistem pemidanaan dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah merujuk pada
konsep RKUHP. Undang-Undang Pengadilan Anak berorientasi pada masalah
“perbuatan”, “pertanggungjawaban pidana/kesalahan”, serta “pidana/straf”.
61
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
yang dikategorikan sebagai seorang anak yang dapat diminta
pertanggungjawaban pidana adalah mereka yang sudah mencapai usia antara 8
(delapan) sampai 12 (dua belas) tahun. Hal ini terdapat perbedaan apabila
dibanding dengan peraturan dalam KUHP yang menentukan usia
pertanggungjawaban pidana bagi anak di bawah 16 tahun tanpa menentukan
batas usia minimum.
Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, batasan usia anak selain batasan mengenai umur juga
menggunakan konsep “belum kawin” sebagai salah satu kriteria konsep anak.
Dengan kata lain seseorang yang dianggap menjadi dewasa secara hukum jika
dia sudah kawin, walaupun usianya belum 18 tahun.
Konsepsi sudah kawin dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, seharusnya konsisten dengan gagasan yang
memberikan batasan perbuatan anak dapat dipertanggungjawabkan dengan
melihat usia. Hal in relevan dengan RKUHP yang menggunakan basis konsep
berdasarkan usia untuk menaikkan batas usia anak bisa dimintakan
pertanggungjawaban hukum, yakni dari 8 tahun menjadi 12 tahun.
Namun dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, tidak lagi mendefinisikan anak dengan konsep
kawin dan belum kawin. Konsep kawin atau belum kawin menurut Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tidak menentukan seorang dalam statusnya
secara hukum dewasa atau masih anak.
62
Dalam perjalanannya, pengaturan masalah hukum pidana anak
mengalami perkembangan. Pada tahun 1997 dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan kelemahan dan
kekurangannya. Secara substansial undang-undang ini tampak tidak terdapat
perubahan yang mendasar. Namun ada hal yang berbeda dengan sanksi pidana
yang diatur dalam KUHP, yakni selain menyangkut masalah jenis pidana
pokok dan pidana tambahan, dalam undang-undang ini diatur pula jenis
ancaman sanksi yang berupa tindakan. Dalam Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak antara lain ditegaskan bahwa
“Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini”. Selanjutnya dalam Pasal 23 ditegaskan
bahwa pidana pokok dan pidana tambahan terdiri atas:
1. Pidana Pokok
a. Pidana penjara;
b. Pidana kurungan;
c. Pidana denda; atau
d. Pidana pengawasan.
2. Pidana Tambahan
a. Perampasan barang; dan atau
b. Pembayaran ganti rugi.
Jenis sanksi yang berupa pidana, tindakan, dan pidana mati sebagai
pidana pokok dalam KUHP secara tegas bukan lagi merupakan jenis sanksi
yang dapat diancamkan. Adapun sanksi pidana pokok yang berupa pidana
pengawasan, pidana tambahan yang berupa perampasan barang, dan
pembayaran ganti rugi merupakan jenis pidana baru yang sebelumnya tidak
dikenal dalam rumusan KUHP. Dengan demikian, sanksi pidana yang diatur
63
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
mengalami perubahan.
Tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak nakal berdasarkan Pasal
24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang
berbunyi sebagai berikut:
1. Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, orangtua asuh;
b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan,
dan latihan kerja; atau
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja.
2. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan
teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
Untuk anak yang melakukan tindak pidana diancam dengan sanksi
pidana dan tindakan. Mengenai lamanya pidana diatur dalam Pasal 26, 27, dan
28, yaitu:
Pasal 26
(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak nakal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari
maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada
anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang
diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka terhadap Anak
nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.
(4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang
tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup,
maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
64
Pasal 27
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari
maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.
Pasal 28
(1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak 1/2
(satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.
(2) Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak
dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja.
(3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90
(sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat)
jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.
Selanjutnya pada Pasal 29 mengatur tentang Pidana Bersyarat/Pidana
Percobaan, yang mana pidana bersyarat dapat dijatuhkan apabila pidana
penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun. Untuk menjatuhkan pidana
bersyarat ini ditentukan baik syarat umum yakni bahwa anak nakal tidak akan
melakukan tindak pidana lagi selama menjalani pidana bersyarat, serta syarat
khusus yakni untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang
ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.
Waktu pidana bersyarat ini paling lama 3 (tiga) tahun.
Pada Pasal 30 mengatur tentang pidana pengawasan, yang mana lama
pidana ini paling singkat selama 3 (tiga) bulan dan paling lama selama 2 (dua)
tahun. Sedangkan dalam hal pembebasan bersyarat, Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menentukan apabila:
1. Telah menjalani pidana penjara selama 2/3 (dua per tiga) dari pidana yang
dijatuhkan, sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik,
yang terdapat pada Pasal 62 ayat (1).
65
2. Masa percobaan, sama dengan sisa pidana yang harus dijalankannya, yang
terdapat pada Pasal 62 ayat (3).
Dibandingkan dengan apa yang diatur dalam KUHP, masa percobaan
untuk anak waktunya jauh lebih singkat yaitu selama sisa pidana yang harus
dijalankan. Sedangkan dalam KUHP selain selama sisa pidana yang harus
dijalankan, ditambah satu tahun.
Nandang Sambas118
memberi pendapat bahwa Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan salah satu pengembangan
atau pembaharuan dalam sistem pemidanaan. Adapun yang menjadi tujuan
dikeluarkannya undang-undang tersebut antara lain memberi perlindungan bagi
masa depan anak demi tercapainya kesejahteraan anak.
Secara psikologis, menurut Maidin Gultom119
perlindungan terhadap
anak dengan tujuan memberikan perlindungan agar anak terhindar dari
kekerasan, keterlantaran, penganiayaan, tertekan, perlakuan tidak senonoh,
kecemasan, dan sebagainya. Atas dasar hal itu maka perlu ada hukum yang
melandasi sebagai pedoman dan sasaran tercapainya kesejahteraan dan
kepastian hukum guna menjamin perlakuan serta tindakan yang diambil
terhadap amal. Usaha mewujudkan kesejahteraan anak adalah bagian dari
meningkatkan pembinaan bagi semua anggota masyarakat, yang tidak terlepas
dari kelanjutan dan kelestarian peradaban bangsa, yang penting bagi masa
depan bangsa dan negara.
Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak ini ada ketentuan Pasal 67 sebagai ketentuan penutup yang secara
118 Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, cet. Pertama,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 86.
119 Maidin Gultom. Perlindungan Hukum terhadap Anak ...., hlm. 78.
66
lengkap menyatakan bahwa: “Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini,
maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Dilihat dari keseluruhan sistem pemidanaan, pencabutan atau penegasan
tidak berlakunya lagi ketiga pasal yang ada dalam KUHP tersebut dapat
menimbulkan permasalahan atau setidaknya menyebabkan sistem pemidanaan
terhadap anak tidak lagi merupakan satu kesatuan sistem yang utuh.
Pada Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHP hanya mengatur tentang
kewenangan hakim dalam menjatuhkan putusan tentang jenis-jenis sanksi yang
berupa pidana tindakan, serta lamanya pidana untuk anak yang melakukan
tindak pidana. Sedangkan sistem pemidanaan lainnya seperti tentang cara
pelaksanaan pemidanaan, percobaan, penyertaan, perbarengan, tenggang waktu
kadaluarsa penuntutan, dan pelaksanaan pidana, serta prinsip-prinsip umum
pemidanaan lainnya, sepanjang tidak ditentukan lain menurut undang-undang,
masih tetap berlaku ketentuan umum yang ada di dalam KUHP.
Dengan demikian aturan umum Buku I KUHP juga merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari sistem pemidanaan anak. Bahkan pengaturan tindak
pidana dalam aturan khusus di luar KUHP juga merupakan bagian/sub sistem
dari pemidanaan anak, karena di dalamnya memuat ketentuan unsur-unsur
untuk dapat dipidananya suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku termasuk
anak.
Dengan dicabutnya Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHP maka
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menjadi
67
aturan baru untuk semua pelaku anak yakni sebagai pengganti aturan umum
yang ada dalam KUHP. Selain itu sistem pemidanaan terhadap anak tidak lagi
menjadi satu kesatuan yang utuh. Melainkan sebagian diatur dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan sebagian lagi
masih diatur dalam KUHP.
Di dalam KUHP, pasal-pasal yang masih berlaku mengenai pidana
bersyarat yang terdapat pada Pasal 10 sampai Pasal 43, termasuk tentang cara
pelaksanaan pidana seperti tata cara pelaksanaan pidana bersyarat, pelepasan
bersyarat, hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 48. Selanjutnya mengenai
percobaan diatur dalam Pasal 53 dan Pasal 54, tentang penyertaan Pasal 55,
Pasal 56, dan Pasal 57, tentang pembantuan melakukan pelanggaran, tentang
perbarengan Pasal 63 sampai Pasal 65, alasan penghapus pidana, alasan
penghapus kewenangan menuntut dan menjalankan pidana, dan sebagainya.
Bahkan dalam aturan khusus yang diatur pada Buku II dan Buku III KUHP
juga masih berlaku untuk anak, termasuk pada pengulangan (recidive).
Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak ada ketentuan yang dirasakan memberatkan. Dikatakan memberatkan
karena ketentuan ini tidak konsisten antara Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak dengan KUHP. Antara lain masalah pengaturan
pidana bersyarat. Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, pidana bersyarat diterapkan hanya untuk pidana
penjara dan lamanya masa percobaan maksimum 3 tahun baik untuk kejahatan
68
maupun pelanggaran. Sedangkan menurut KUHP, pidana bersyarat dapat
dijatuhkan tidak hanya untuk pidana penjara, tetapi pidana kurungan, pidana
denda yang sangat berat, bahkan untuk pidana tambahan. Dalam KUHP untuk
masa percobaan dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran yang mana diatur
pada Pasal 14 huruf b.
Menyangkut masalah pembebasan bersyarat, walaupun pengaturan dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ada
keringanan dibandingkan dengan ketentuan KUHP, di mana masa percobaan
hanya ditetapkan selama sisa pidana yang harus dijalankannya, tanpa ditambah
satu tahun sebagaimana ditentukan dalam KUHP. Namun persyaratan yang
ditetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
disamakan dengan syarat yang ditetapkan KUHP. Padahal dilihat dari ancaman
pidana yang dijatuhkan terhadap anak, undang-undang menegaskan dikurangi
½ (satu per dua) untuk pidana sementara waktu, dan maksimal sepuluh tahun
untuk ancaman pidana seumur hidup atau pidana mati. Atas dasar tersebut,
sangat wajar apabila syarat pembebasan bersyarat tidak disamakan dengan
ketentuan orang dewasa sebagaimana ditentukan dalam KUHP.
B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Penjara bagi
Anak
Kusno Adi120
memberikan pendapat bahwa penggunaan hukum pidana
untuk menanggulangi penyalahgunaan narkotika pada akhirnya akan berujung
pada persoalan bagaimana hakim dalam menjatuhkan putusan. Dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana akan sangat menentukan
120 Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya...,hlm. 90.
69
apakah putusan hakim dianggap adil atau tidak dan apakah dapat
dipertanggungjawabkan atau tidak.
Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dapat digunakan
sebagai bahan analisis tentang orientasi yang dimiliki hakim dalam
menjatuhkan putusannya. Diketahuinya orientasi hakim dalam menjatuhkan
putusan juga sangat penting untuk melihat bagaimana putusan yang telah
dijatuhkan relevan dengan tujuan pemidanaan yang telah ditentukan. Secara
umum dapat dikatakan bahwa putusan hakim yang tidak didasarkan pada
orientasi yang benar dalam arti tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yang
ditentukan maka akan berdampak negatif pada proses penanggulangan
kejahatan itu sendiri dan tidak akan membawa manfaat bagi terpidana.
Penjatuhan putusan terhadap anak yang melakukan tindak pidana
narkotika maka hakim perlu membuat pertimbangan-pertimbangan. Dalam hal
ini hakim cenderung menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis dan
non-yuridis, yakni sebagai berikut:
1. Pertimbangan yuridis
Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang
didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan dan oleh
undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam
putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya sebagai berikut:
a. Dakwaan jaksa penuntut umum
70
Moh Taufik Makarao dan Suharsil121
berpendapat bahwa dakwaan
merupakan surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang
didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil
pemeriksaan di muka pengadilan.
Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan
itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan, yang dalam hal ini sesuai
dengan Pasal 143 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Penuntut umum
melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar
segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan”.
Dalam menyusun sebuah surat dakwaan, hal-hal yang harus
diperhatikan adalah syarat-syarat formil dan materilnya. Dakwaan berisi
identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu
dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang dilanggar
sebagaimana diatur pada Pasal 143 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:
Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan
ditandatangani serta berisi:
a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan.
Menurut Rusli,122
perumusan dakwaan didasarkan dari hasil
pemeriksaan pendahuluan yang dapat disusun tunggal, kumulatif,
121 Moh Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 65.
122 Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006), hal. 125.
71
alternatif maupun subsidair. Dakwaan disusun secara tunggal apabila
seseorang atau lebih mungkin melakukan satu perbuatan saja, misalnya
hanya sebagai pemakai. Namun, kalau lebih dari satu perbuatan misalnya
ketika tertangkap memakai narkotika ditemukan pula senjata api dalam
hal ini dakwaan disusun secara kumulatif. Oleh karena itu dalam
penyusunan dakwaan ini disusun sebagai dakwaan kesatu, kedua, ketiga
dan seterusnya.
Selanjutnya dakwaan alternatif disusun apabila penuntut umum
ragu untuk menentukan peraturan hukum pidana yang akan diterapkan
atas suatu perbuatan yang menurut pertimbangan telah terbukti. Surat
dakwaan yang tindak pidananya masing-masing dirumuskan dengan
memberikan pilihan kepada pengadilan untuk menentukan dakwaan
mana yang paling tepat untuk dipertanggungjawabkan oleh terdakwa
sehubungan dengan tindak pidana. Biasanya dalam surat dakwaan ada
kata “atau”.
Nikolas Simanjuntak menyatakan bahwa surat dakwaan
subsideritas adalah: 123
Surat dakwaan yang terdiri atas atau beberapa pasal dakwaan atau
berjenjang-jenjang berurutan mulai dari ancaman hukuman terberat
sampai kepada tindak pidana yang paling ringan. Subsidair disini
dimaksudkan sebagai susunan dakwaan pengganti dengan maksud
dakwaan subsidair menggantikan yang primair itu tidak terbukti
dipersidangan pengadilan. Jadi, jika dalam suatu dakwaan terdapat hanya
2 (dua) saja pasal yang didakwakan, maka yang pertama disebut primair
dan kedua disebut subsidair.
123 Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, (Jakarta: Ghalia,
2009), hal. 142.
72
b. Keterangan saksi
Keterangan saksi menurut Lilik Mulyadi adalah salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang merupakan keterangan dari saksi
mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,
dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.124
Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam
Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf a yang berbunyi:
(1) Alat bukti yang sah ialah :
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Menurut SM Amin,125
sepanjang keterangan itu mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri, dan harus
disampaikan dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah.
Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang
merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari
kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah.
Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah
de auditu testimonium.
Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan.
Oleh karena itu hakim harus cermat jangan sampai kesaksian demikian
124 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik, Dan
Permasalahannya, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 169.
125 SM. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri: Pelajaran Untuk Mahasiswa Pedoman
Untuk Pengacara Dan Hakim, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), hlm. 75.
73
itu menjadi pertimbangan dalam putusannya. Untuk itu sedini mungkin
harus diambil langkah-langkah pencegahan. Yakni dengan bertanya
langsung kepada saksi bahwa apakah yang dia terangkan itu merupakan
suatu peristiwa pidana yang dia dengar, dia lihat dan dia alami sendiri.
Apabila ternyata yang diterangkan itu suatu peristiwa pidana yang tidak
dia lihat, tidak dia dengar, dan tidak di alaminya sendiri sebaiknya hakim
membatalkan status kesaksiannya dan keterangannya tidak perlu lagi
didengar untuk menghindarkan kesaksian de auditu.
c. Keterangan terdakwa
Menurut Kuffal, berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e,
keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan
terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang
perbuatan yang dia lakukan atau diketahui sendiri atau dialami sendiri,
ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP.126
Dalam praktik, keterangan terdakwa sering dinyatakan dalam
bentuk pengakuan dan penolakan, baik sebagian maupun keseluruhan
terhadap dakwaan penuntut umum dan keterangan yang disampaikan
oleh para saksi. Keterangan terdakwa juga merupakan jawaban atas
pertanyaan baik yang diajukan oleh penuntut umum, hakim, maupun
penasehat hukum. Keterangan terdakwa dapat meliputi keterangan
berupa penolakan dan pengakuan atas semua yang didakwakan
kepadanya. Dengan demikian keterangan terdakwa yang dinyatakan
dalam bentuk penolakan atau penyangkalan sebagaimana sering dijumpai
dalam praktik persidangan, juga dinilai sebagai alat bukti.
126 Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Press, 2008), hlm.
25.
74
d. Barang-barang bukti
Menurut pendapat Ansori,127
barang bukti adalah barang yang
dipergunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau
barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Selain itu, Andi Hamzah128
memberikan pendapat bahwa barang-barang ini disita oleh penyidik
untuk dijadikan sebagai bukti dalam sidang pengadilan. Barang yang
digunakan sebagai bukti yang diajukan dalam sidang pengadilan
bertujuan untuk menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan
keterangan terdakwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Barang-barang bukti yang dibicarakan di sini adalah semua benda
yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh penuntut umum
di persidangan yang meliputi:129
1) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau
sebagian diduga atau diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil
dari tindak pidana.
2) Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana.
3) Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
tindak pidana.
4) Benda khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.
5) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak
pidana.
Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termasuk dalam
alat bukti karena menurut KUHAP menetapkan hanya lima macam alat
bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa. Walaupun barang bukti bukan sebagai alat bukti
namun penuntut umum menyebutkan barang bukti itu di dalam surat
127 Ansori Sabuan, dkk, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Angkasa, 1990), hlm. 182.
128 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 20.
129 Pasal 39 ayat (1), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
75
dakwaannya yang kemudian mengajukannya kepada hakim dalam
pemeriksaan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi bahkan bila
perlu hakim membuktikannya dengan membacakan atau memperlihatkan
surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta
keterangan seperlunya tentang hal itu.130
Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan
menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan
yang didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan
lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa
maupun para saksi.
e. Tuntutan pidana
Tambah Sambiring131
mengemukakan pendapatnya mengenai
tuntutan pidana sebagai berikut:
Tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis-jenis dan beratnya
pidana atau jenis-jenis tindakan yang dituntut oleh jaksa penuntut umum
untuk dijatuhkan oleh pengadilan kepada terdakwa, dengan menjelaskan
karena telah terbukti melakukan tindak pidana yang mana, jaksa penuntut
umum telah mengajukan tuntutan pidana tersebut di atas.
Lebih lanjut Tambah Sambiring berpendapat bahwa penyusunan
surat tuntutan oleh jaksa penuntut umum disesuaikan dengan dakwaan
jaksa penuntut umum dengan melihat proses pembuktian dalam
persidangan, yang disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang
130 Pasal 181 ayat (13) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
131 Tambah Sembiring, Proses Pemeriksaan Perkara Pidana Di Pengadilan Negeri,
(Medan: USU Press, 1993), hlm. 59.
76
digunakan oleh jaksa penuntut umum. Sebelum sampai pada tuntutannya
di dalam requisitoir itu biasanya penuntut umum menjelaskan satu demi
satu tentang unsur-unsur tindak pidana yang ia dakwakan kepada
terdakwa, dengan memberikan alasan tentang anggapannya tersebut.132
f. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika
Hal yang sering terungkap di persidangan adalah pasal-pasal yang
dikenakan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Pasal-pasal ini
bermula dan terlihat dalam surat dakwaan yang diformulasikan oleh
penuntut umum sebagai ketentuan hukum narkotika yang dilanggar oleh
terdakwa. Dalam persidangan, pasal-pasal dalam undang-undang
narkotika itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa.
Penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan
memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa
telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal
undang-undang tentang narkotika. Apabila ternyata perbuatan terdakwa
memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti
terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa melakukan perbuatan
seperti dalam pasal yang didakwakan kepadanya.
Menurut Pasal 197 huruf e KUHAP, salah satu yang harus dimuat
dalam surat putusan pemidanaan adalah pasal peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar pemidanaan. Pasal-pasal yang didakwakan
oleh penuntut umum menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
132 Tambah Sembiring, Proses Pemeriksaan...., hlm. 60.
77
menjatuhkan putusan. Keseluruhan putusan hakim memuat pertimbangan
tentang pasal-pasal dalam undang-undang narkotika yang dilanggar oleh
terdakwa. Tidak ada satu putusan yang mengabaikannya. Hal ini
dikarenakan pada setiap dakwaan penuntut umum, pasti menyebutkan
pasal-pasal yang dilanggar oleh terdakwa, yang berarti fakta tersebut
terungkap di persidangan menjadi fakta hukum.
2. Pertimbangan non yuridis
Di samping pertimbangan yang bersifat yuridis, menurut Bunadi133
hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat
non yuridis. Pertimbangan yuridis tidak cukup untuk menentukan nilai
keadilan dalam pemidanaan anak di bawah umur, tanpa ditopang dengan
pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis
dan filosofis.
Pertimbangan non-yuridis oleh hakim dibutuhkan oleh karena itu,
masalah tanggung jawab hukum yang dilakukan oleh anak di bawah umur
tidak cukup apabila hanya didasarkan pada segi normatif, visi kerugiannya
saja, tetapi faktor intern dan ekstern anak yang melatarbelakangi anak dalam
melakukan kenakalan atau kejahatan juga harus ikut dipertimbangkan secara
arif oleh hakim yang mengadili anak. Aspek sosiologis berguna untuk
mengkaji latar belakang sosial mengapa seorang anak melakukan suatu
tindak pidana, aspek psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis
133 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, (Bandung: Alumni, 2009), hlm.
93.
78
anak pada saat anak melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani
pidana sedangkan aspek kriminologi diperlukan untuk mengkaji sebab-
sebab seorang anak melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta
perilaku anak yang melakukan tindak pidana, dengan demikian hakim
diharapkan dapat memberikan putusan yang adil sesuai kebutuhan anak.
Menurut Bunadi,134
masalah perilaku, kejiwaan dan kondisi sosial
seseorang sangatlah sulit diukur secara eksak dan diselesaikan secara
zakelijk. Untuk itu, sebagai profil hukum pidana anak yang arif harus
mampu mengadakan pendekatan sosial (sosiological approach) yang sesuai
terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana untuk mengetahui
kondisi anak yang sebenarnya, misalnya: kelabilan jiwanya, tingkat
pendidikan, sosial ekonominya, sosial budayanya di rumah, di sekolah, dan
di masyarakat. Langkah ini perlu diambil agar hakim dapat membuat
keputusan yang sesuai, tidak merugikan perkembangan jiwa dan masa
depan anak.
Jika hakim dalam putusannya hanya mendasarkan pada pertimbangan
yuridis saja dapat menyebabkan kerugian terhadap kehidupan anak, yang
berarti hakim hanya memandang dari segi normatif saja, tetapi juga tindakan
hakim itu dapat disebut sebagai stigmatic maker's decision for children
(pembuat stigma keputusan untuk anak-anak).
Wagiati135
berpendapat bahwa sejak adanya sangkaan atau diadakan
penyidikan sampai diputuskan pidananya dan menjalani putusan tersebut,
anak harus didampingi oleh petugas sosial yang membuat Case Study
tentang anak dalam sidang. Pembuatan laporan sosial yang dilakukan oleh
sosial worker ini merupakan yang terpenting dalam sidang anak, yang sudah
berjalan ialah pembuatan Case Study oleh petugas Bimbingan
Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak.
134 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak..., hlm. 94.
135 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, cet. Ke-1, (Bandung: Refika Aditama, 2006),
hlm. 45.
79
Peran BAPAS yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan
(PK) juga dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak Bab IV Pasal 34 ayat 1 yang menyatakan bahwa
Pembimbing Kemasyarakatan bertugas:
a. Membantu memperlancar tugas penyidik, penuntut umum dan Hakim
dalam perkara anak nakal, baik didalam maupun di luar siding anak
dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan (LITMAS).
b. Membimbing, membantu dan mengurus anak nakal berdasarkan putusan
pengadilan yang menjatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana
denda diserahkan kepada Negara dan harus mengikuti latihan kerja atau
yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan.
Menurut Wagiati,136
adapun yang tercantum dalam case study ialah
gambaran keadaan si anak, berupa:
a. Masalah sosialnya;
b. Kepribadiannya;
c. Latar belakang kehidupannya, misalnya:
1) Riwayat sejak kecil;
2) Pergaulan di luar dan di dalam rumah;
3) Keadaan rumah tangga si anak;
4) Hubungan antara bapak, ibu, dan si anak;
5) Latar belakang saat dilakukannya tindak pidana tersebut.
Laporan hasil penelitian kemasyarakatan tersebut sebagai salah satu
bahan pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara anak. Dalam Pasal
59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan. Bunyi
Pasal 52 ayat (2), yaitu:
Putusan sebagaimana yang dimaksud dengan ayat (1) wajib
mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan.
136 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak..., hlm. 46.
80
Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan
tersebut karena dalam menentukan sanksi yang akan dijatuhkan kepada anak
nakal, hakim mempunyai pilihan antara lain menjatuhkan sanksi (Pasal 23)
atau mengambil tindakan (Pasal 24). Secara teoritis pilihan-pilihan sanksi
yang dapat dijatuhakan kepada anak adalah untuk mengambil keputusan
yang terbaik untuk anak. Anak yang berkonflik dengan hukum secara
sosiologis tidak dapat dinyatakan salah sendiri karena ia belum menyadari
akibat dari tindakannya dan belum dapat memilih mana tindakan yang baik
dan mana tindakan yang tidak baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Pelanggaran pidana oleh anak lebih merupakan kegagalan proses
sosialisasi dan lemahnya pengendalian sosial terhadap anak. Oleh karena itu
keputusan hakim dalam perkara anak harus mempertimbangkan keadaan
anak yang sesungguhnya atau realitas sosial anak tersebut, bukan hanya
melihat aspek pidananya saja.
Meskipun hakim wajib mempertimbangkan Laporan Penelitian
Kemasyarakatan, namun dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tidak
menjelaskan alasan laporan pembimbing kemasyarakatan ini diwajibkan
untuk dipertimbangkan hakim dalam mengambil keputusan. Hakim tidak
terikat penuh pada laporan penelitian tersebut, hanya saja merupakan bahan
pertimbangan bagi hakim untuk mengetahui latar belakang anak.
Hakim pengadilan dalam mengambil keputusan lebih terfokus pada
hasil pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Akan tetapi, pada Pasal 60
ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
81
Peradilan Pidana Anak yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menjelaskan bahwa hakim wajib
mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan apabila laporan
penelitian kemasyarakatan tidak dipertimbangkan dalam putusan hakim,
putusan batal demi hukum.137
Berdasarkan hal di atas, Maidin Gultom berpendapat bahwa:138
Hakim yang menangani perkara pidana anak sebisa mungkin
mengambil tindakan yang tidak memisahkan anak dari orang tua. Hakim
seharusnya benar-benar teliti dan mengetahui segala latar belakang anak
sebelum sidang dilakukan. Dalam mengambil putusan, hakim harus benar-
benar memperhatikan kedewasaan emosional, mental, dan intelektual anak.
Dihindarkan putusan hakim yang mengakibatkan penderitaan batin seumur
hidup atau dendam pada anak, atas kesadaran bahwa putusan hakim
bermotif perlindungan.
Selain pertimbangan secara yuridis dan non yuridis tersebut, Kusno
Adi139
menyebutkan dalam bukunya bahwa secara umum dasar pertimbangan
hakim yang digunakan untuk menjatuhkan berat dan ringannya pidana penjara
kepada anak yang menyalahgunakan narkotika adalah sebagai berikut:
1. Pertimbangan yang memberatkan:
a. Perbuatan terdakwa dianggap meresahkan masyarakat.
b. Perbuatan terdakwa merusak mental bangsa.
c. Perbuatan terdakwa merusak generasi bangsa.
d. Perbuatan terdakwa merusak moral dan kesehatan bangsa.
2. Pertimbangan yang bersifat meringankan:
e. Terdakwa mengaku terus terang.
f. Terdakwa belum pernah dihukum.
g. Terdakwa masih muda.
h. Terdakwa sopan dipersidangan.
137 Pasal 60 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
138 Maidin Gulltom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak ..., hlm. 120.
139 Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya..., hlm. 93.
82
i. Terdakwa masih berstatus sebagai siswa.
Apabila dasar pertimbangan yang digunakan hakim untuk menjatuhkan
jenis dan beratnya pidana kepada anak tersebut dianalisis maka menurut Paulus
akan menunjukkan berbagai kejanggalan sebagai berikut:140
1. Keputusan hakim menjatuhkan pidana penjara kepada anak berdasarkan
berbagai pertimbangan tersebut di atas menunjukkan bahwa hakim masih
memegang teguh paradigma klasik yang melihat hukum pidana hanya
berorientasi pada perbuatan. Karena perbuatan terdakwa dianggap
meresahkan masyarakat, merusak bangsa, merusak generasi penerus bangsa
maka hakim menyimpulkan bahwa anak yang bersangkutan perlu dijatuhi
hukuman penjara.
2. Orientasi hakim untuk menghukum masih sangat menonjol. Hal ini terlihat
dari kecenderungan hakim di dalam menentukan jenis sanksi pidana yang
dijatuhkan pada anak, di mana ada kecenderungan hakim menjatuhkan jenis
sanksi pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara) terhadap pelaku
anak, padahal pidana penjara yang dijatuhkan pada anak tersebut hampir
seluruhnya berupa pidana penjara jangka pendek. Putusan hakim yang
demikian menjadi sangat ironis mengingat terdakwa dewasa saja ada
kecenderungan untuk mengurangi bahkan menghindari penerapan pidana
perampasan kemerdekaan jangka pendek. Upaya menghindari penerapan
pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik atas alasan
ekonomis, kemanusiaan, maupun filosofis pemidanaan. Dengan demikian
penerapan pidana perampasan kemerdekaan termasuk pidana penjara jangka
pendek terhadap anak perlu dipertanyakan urgensinya dan efektifitasnya.
3. Kecenderungan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara pada anak yang
menyalahgunakan narkotika juga mengindikasikan bahwa hakim
mengabaikan realitas empiris, bahwa anak bukan saja sebagai pelaku tindak
pidana tetapi juga korban. Kecenderungan menjatuhkan pidana penjara
kepada pelaku anak yang menyalahgunakan narkotika dengan demikian
juga bermakna diabaikannya kepentingan anak sebagai korban.
4. Kecenderungan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada anak juga
mengindikasikan adanya penanggulangan yang bersifat parsial dalam hal
terjadinya penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak. Hakim seakan
tutup mata dan kurang memperhatikan terhadap kenyataan bahwa dampak
negatif penerapan sanksi pidana penjara terhadap anak justru bersifat kontra
produktif terhadap upaya pembinaan anak. Pendapat bahwa pidana penjara
bagi anak akan menjadi proses pembinaan bagi anak baru dapat diterima
sekalipun efektifitasnya masih diragukan manakala sarana dan prasarana
serta sumber daya manusia dalam lembaga telah memadai. Realitas
140 Paulus Hadisoeprapto, Juvenile Delinquency...., hlm. 101.
83
menunjukkan bahwa sarana dan prasarana di lembaga pemasyarakatan anak
sangat minim dan memprihatinkan.
C. Dampak Penerapan Sanksi bagi Anak Pelaku Tindak Pidana
Penerapan sanksi bagi anak sering menimbulkan persoalan yang
mendalam baik secara yuridis, sosiologis, maupun filosofis. Secara yuridis,
terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan pendekatan yang dilakukan
terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika. Secara konseptual anak yang
melakukan penyalahgunaan narkotika selain dikualifikasikan sebagai pelaku, ia
juga sebagai korban.
Keseimbangan perlakuan terhadap anak yang menyalahgunakan
narkotika antara anak sebagai pelaku tindak pidana dan sebagai korban harus
bersifat proporsional. Artinya dalam memperlakukan anak yang melakukan
penyalahgunaan narkotika semata-mata sebagai pelaku tindak pidana tidak
dibenarkan. Dengan konsep demikian maka keseimbangan perlakuan anak
sebagai pelaku dan sebagai korban perlu diprioritaskan.
Dalam beberapa teori, penerapan sanksi termasuk penerapan pidana
terhadap anak ternyata menimbulkan berbagai dampak negatif. Mengingat hal
tersebut maka penggunaan sanksi terhadap anak juga patut menjadi perhatian,
mengingat anak adalah subyek hukum yang bersifat sangat khusus yang
berbeda dengan subyek hukum orang dewasa pada umumnya yang juga
membutuhkan perlakuan khusus. Dalam artian penerapan sanksi pada orang
dewasa dianggap tidak efektif sebagai sarana penanggulangan kejahatan.
84
Penerapan sanksi terhadap anak menurut Made Sandhi141
biasanya
menimbulkan kerugian sebagai berikut:
1. Anak menjadi lebih ahli tentang kejahatan.
2. Anak diberi cap jahat oleh masyarakat yang disebut stigma.
3. Masyarakat menolak kehadiran mantan narapidana anak.
4. Masa depan anak suram.
Hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dampak negatif akibat
penerapan sanksi bagi anak dapat meliputi pemberian label atau cap jahat,
masyarakat menolak kehadirannya, dan dapat muncul sarana untuk transfer
kejahatan yang pada akhirnya akan melahirkan penjahat-penjahat baru yang
tentunya lebih ahli.
Berlawanan dari hal di atas, menurut Kusno Adi142
bahwa ada beberapa
pemahaman yang dapat menjadi kerangka dasar dalam menentukan kebijakan
adalah sebagai berikut:
2. Penerapan pidana bagi anak akan menimbulkan berbagai dampak negatif
justru akan menjadi faktor kriminogen. Dengan demikian penggunaan
hukum pidana sebagai sarana penanggulangan penyalahgunaan narkotika
yang dilakukan oleh anak justru menimbulkan implikasi yuridis yang sangat
serius. Kegagalan memberikan perlindungan kepada anak dari kemungkinan
menjadi residivis juga menjadi harga yang sangat mahal bagi masyarakat.
Mengingat anak pada hakikatnya merupakan penerus bangsa yang akan
meneruskan estafet kehidupan berbangsa dan bernegara.
3. Penerapan pidana bagi anak juga akan menjadi faktor viktimogen yang
sangat berpeluang menempatkan anak dalam penderitaan panjang akibat
pengalamannya dalam proses pemeriksaan peradilan, terlebih lagi dalam
profesionalisme aparat penegak hukum terhadap anak masih sangat
memprihatinkan. Dalam kondisi yang demikian, terjadinya viktimisasi
korban dalam proses peradilan anak yang biasanya disebut viktimisasi
struktural dalam proses peradilan pidana juga menjadi bahaya bagi anak
141 Made Sandhi Astuti, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana,
(Malang: IKIP, 1997), hlm. 117.
142 Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya..., hlm. 126-127.
85
sebab dampak negatif akibat proses ini justru bersifat paradoksal dengan
tujuan perlindungan anak.
Berdasarkan hal tersebut, dapat diprediksi bahwa penerapan pidana yang
demikian akan sangat membawa dampak negatif apabila diterapkan terhadap
anak. Sehingga di samping menjadi faktor kriminogen sekaligus akan
menimbulkan terjadinya viktimisasi struktural. Dalam pelaksanaan penjatuhan
pidananya dalam lembaga pemasyarakatan disadari bahwa masih lemah
pelaksanaan pembinaan di lembaga pemasyarakatan. Pembinaan anak didik
harus diletakkan pada konteks sistem peradilan pidana, yang bukan hanya
merupakan tugas dari lembaga pemasyarakatan anak. Mengingat selama ini apa
yang dilakukan pejabat korektif lebih banyak berorientasi ke dalam.
D. Gambaran Umum Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta
1. Profil dan Sejarah143
Terbentuknya Pengadilan Negeri Bantul tidak lepas dari peran
Pemerintah Daerah Tk. II Kabupaten Bantul dan DPRD Kabupaten Bantul
yang turut serta andil dalam menyediakan tanah untuk mendirikan Gedung
Pengadilan Negeri Bantul. Pada tahun 1978, tepatnya tanggal 29 September
1978 yang merupakan hari jadi Pengadilan Negeri Bantul yang pertama kali
bertempat di Gedung Balai Desa Pendowoharjo, Sewon, Bantul.
Hakim Pengadilan Negeri Bantul sebelum ada ketua yang definitif
diambilkan dari Pengadilan Negri Yogyakarta, sedang tenaga/karyawan ada
143 http://pn-bantul.go.id/page-profil-dan-sejarah.html, Diakses pada tanggal 06 Desember
2013 pukul 10.14 WIB.
86
2 (dua) pindahan dari Pengadilan Negeri Yogyakarta sebagai pionir yaitu
Bapak S.Pardjo, Bapak Noorman Handi, dibantu oleh 3 (tiga) orang Calon
Pegawai yang diangkat/ditempatkan di Pengadilan Negeri Bantul, yaitu Sdr.
Sutrisno, Sdr. Lanjiyono, Sdr. Dullahar Susisno, dan persidangannya hanya
melaksanaan sidang Tilang.
Setelah Ketua Pengadilan Negeri Bantul yang definitif dilantik dan
diambil sumpahnya yaitu : Bapak Sam’ani Soedjono, SH., dan Panitera
Kepala dijabat oleh Bapak M. Soegito, BA. Semula karyawan dari
Pengadilan Negeri Purworejo.
Mulai pertengahan tahun 1979 Pengadilan Negeri Bantul metambah
tenaga Hakim 4 (empat) orang antara lain sebagai berikut:
a. Judo Sumarto, SH. Semula Hakim PN Wonosari
b. Sutomohadi Dimyati, SH. Semula Hakim PN Pekalongan
c. Ny. Yetty E. Pardjono, SH. Semula Hakim PN Wates
d. George Lewerissa, Semula Hakim PN Tobelo.
Selain hakim-hakim di atas, dari tahun ke tahun selanjutnya menerima
pindahan-pindahan dari lain Pengadilan Negeri maupun dari Kantor Urusan
Tugas Belajar Departemen Kehakiman Yogyakarta, dan ada yang dari
Direktorat Jenderal Pembinaan badan-badan Peradilan Umum, serta
pengangkatan pegawai-pegawai baru atau calon pegawai yang didrop dari
Pusat/dari Jakarta, ditambah tenaga magang.
87
Dengan DIPA tahun Anggaran 1978/1979 No. 44/XIII/4/1978,
tanggal 1 April 1978, dibangun gedung Pengadilan Negeri Bantul dan
Rumah Dinas Ketua diatas tanah seluas 3.000 m², terdiri 2 (dua) lantai
terletak di Gise, Ringinharjo, Bantul, dan pada tanggal 6 Februari 1982
Gedung Pengadilan Negeri Bantul diresmikan oleh Bapak R. Soeroso, SH.
Dirjen Badilum Departemen Kehakiman.
2. Letak Geografis144
Wilayah Kabupaten Bantul terletak antara 110º 12΄ 34˝ sampai 110º
31΄ 08˝ Bujur Timur dan antara 7º 44΄ 04˝ sampai 8º 00΄ 27˝ Lintang
Selatan. Kabupaten Bantul merupakan salah satu Kabupaten dari 5
Kabupaten/Kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang
terletak di Pulau Jawa. Bagian utara berbatasan dengan Kota Yogyakarta
dan Kabupaten Sleman, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten
Gunungkidul, bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Kulonprogo dan
bagian selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.
3. Visi dan Misi145
a. Visi Mahkamah Agung adalah "TERWUJUDNYA BADAN
PERADILAN INDONESIA YANG AGUNG”
b. Misi Mahkamah Agung RI adalah:
144 http://pn-bantul.go.id/page-letak-geografis.html, Diakses pada tanggal 06 Desember
2013 pukul 10.20 WIB.
145 http://pn-bantul.go.id/page-visi-dan-misi.html, Diakses pada tanggal 06 Desember 2013
pukul 10.23 WIB.
88
1) Menjaga kemandirian badan peradilan.
2) Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari
keadilan.
3) Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan.
4) Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.
4. Struktur Organisasi146
Gambar : Bagan Struktur Organisasi
146 http://pn-bantul.go.id/page-struktur-organisasi.html, Diakses pada tanggal 06 Desember
2013 pukul 10.26 WIB.
89
5. Tugas Pokok dan Fungsi147
Pengadilan Negeri Bantul merupakan peradilan umum sebagai anak
satuan kerja dari Pengadilan Tinggi Yogyakarta di bawah Mahkamah
Agung Republik Indonesia mempunyai tugas pokok dan fungsi yang sama
yaitu sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelanggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang menerima, memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara yang masuk ditingkat pertama.
Adapun tugas pokok dan fungsi adalah sebagai berikut :
a. Ketua
1) Bersama-sama Wakil Ketua memimpin dan bertanggung jawab atas
terselenggaranya tugas Pengadilan secara baik dan lancar.
2) Membuat :
a) Perencanaan (planning, programming) dan perorganisasian
(organizing);
b) Pelaksanaan (implementatiaon dan executing);
c) Pengawasan (evaluation dan controlling); Yang baik, serasi, dan
selaras.
3) Melaksanakan pembagian tugas antara Ketua dengan Wakil Ketua
serta bekerja sama dengan baik.
4) Membagi dan menetapkan tugas dan tanggung jawab secara jelas
dalam rangka mewujudkan keserasian dan kerja sama antar sesama
pejabat/petugas yang bersangkutan.
5) Menyelenggarakan administrasi keuangan perkara dan mengawasi
keuangan rutin/pembangunan.
6) Melaksanakan pertemuan berskala sekurang-kurangnya sekali dalam
sebulan dengan para Hakim serta pejabat struktural, dan sekurang-
kurangnya sekali dalam 3 bulan dengan seluruh karyawan.
7) Membuat/menyusun legal data tentang putusan-putusan perkara
yang penting.
8) Memerintahkan, memimpin, dan mengawasi eksekusi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
147 http://pn-bantul.go.id/page-tugas-pokok-dan-fungsi.html, Diakses pada tanggal 06
Desember 2013 pukul 10.32 WIB.
90
9) Mengaktifkan Majelis Kerhormatan Hakim.
10) Melakukan pengawasan secara rutin terhadap pelaksanaan tugas dan
memberi petunjuk serta bimbingan yang diperlukan baik bagi para
Hakim maupun seluruh karyawan.
11) Melakukan pengawasan intern dan extern :
a) Intern : Pejabat peradilan, keuangan, dan material;
b) Extern : Pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap.
12) Menugaskan Hakim untuk membina dan mengawasi bidang hukum
tertentu.
13) Melakukan evaluasi atas hasil pengawasan dan memberikan
penilaian untuk kepentingan peningkatan jabatan.
14) Melaporkan evaluasi atas hasil pengawasan dan penilaiannya kepada
Mahkamah Agung.
15) Mengawasi pelaksanaan ciurt calender dengan ketentuan bahwa
setiap perkara pada asasnya harus diputus dalam waktu 6 bulan dan
mengumumkannya pada pertemuan berkala dengan para Hakim.
16) Mempersiapkan kader (kadernisasi) dalam rangka menghadapi alih
generasi.
17) Melakukan pembinaan terhadap organisasi KORPRI, Dharma Yukti
Karini. IKAHI, Koperasi.
18) Melakukan koordinasi antar sesama instansi di lingkungan penegak
hukum dan kerjasama dengan instansi-instansi lain serta dapat
memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasehat tentang hukun
kepada instansi pemerintah di daerahhnya apabila diminta.
19) Memperhatikan keluhan-keluhan yang timbul dari masyarakat dan
menanggapinya bila dipandang perlu.
20) Dalam Teknis Bidang Perdata:
a) Menetapkan/menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan
persidangan perkara.
b) Menetapkan panjar biaya perkara, dalam hal penggugat atau
tergugat tidak mampu, Ketua dapat mengizinkannya untuk
beracara secara prodeo.
c) Membagi perkara gugatan dan permohonan kepada Hakim untuk
disidangkan.
d) Dapat mendelegasikan wewenang kepada Wakil Ketua untuk
membagi perkara permohonan dan menunjuk Hakim untuk
menyidangkannya.
e) Menunjuk Hakim untuk mencatat gugatan atau permohonan
secara lisan.
f) Memerintahkan kepada Jurusita untuk melakukan pemanggilan,
agar terhadap termohon eksekusi dapat dilakukan teguran
(aanmaning) untuk memenuhi putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap, putusan sertamerta, putusan provisi, dan
pelaksanaan eksekusi lainnya.
g) Memerintahkan kepada Jurusita untuk melaksanakan somasi.
91
h) Berwenang menangguhkan eksekusi untuk jangka waktu tertentu
dalam hal ada gugatan perlawanan.
i) Berwenang menangguhkan eksekusi dalam hal ada permohonan
peninjauan kembali hana atas perintah Ketua Mahkamah Agung.
j) Menetapkan biaya Jurusita dan eksekusi.
k) Menetapkan pelaksanaan lelang, tempat pelaksanaan lelang,
Kantor Lembaga Negara sebagai pelaksana lelang.
l) Melaksanakan putusan serta merta dalam hal perkara dimohonkan
banding wajib meminta izin kepada Pengadilan Tinggi.
m) Melaksanakan putusan serta merta dalam hal perkara dimohonkan
kasasi wajib meminta izin kepada Mahkamah Agung.
n) Menyelesaikan permohonan kewarganegaraan.
o) Melakukan penyumpahan terhadap permohonan pewarganegaraan
yang telah memperoleh surat keputusan Presiden.
p) Menyediakan buku khusus untuk anggota Hakim Majelis yang
ingin menyatakan berbeda pendapat dengan kedua anggota
Hakim Majelis lainnya dalam memutus perkara serta
merahasiakannya.
21) Dalam Teknis Bidang Pidana:
a) Menetapkan/menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan
persidangan perkara dengan acara singkat dan cepat.
b) Membagi perkara dengan acara biasa, singkat, cepat,
praperadilan, dan ganti rugi kepada Hakim untuk disidangkan.
c) Menanda tangani surat penetapan penahanan perpanjangan
penahanan.
d) Membuat daftar Hakim dan Panitera Pengganti yang bertugas
pada hari sidang agar persidangan dapat dimulai tepat waktu.
e) Memerintahkan Jurusita untuk memberitahukan putusan verstek
kepada penyidik, isi putusan banding dan isi putusan kasasi
kepada terdakwa/pemohon banding/kasasi.
f) Menyerahkan berkas permohonan grasi kepada Hakim untuk
diproses.
b. Wakil Ketua
1) Membantu Ketua dalam membuat program kerja jangka pendek dan
jangka panjang, pelaksanaannya serta pengorganisasiannya.
2) Mewakili Ketua bila berhalangan.
3) Melaksanakan delegasi tugas dan wewenang dari Ketua.
4) Melakukan pengawasan intern untuk mengamati apakah pelaksanaan
tugas telah dikerjakan sesuai dengan rencana kerja dan ketentuan
yang berlaku serta melaporkan hasil pengawasan tersebut kepada
Ketua.
92
c. Hakim
1) Membantu pimpinan pengadilan dalam membuat program kerja
jangka pendek dan jangka panjang, pelaksanaannya serta
pengorganisasiannya.
2) Melakukan pengawasan yang ditugaskan Ketua untuk mengamati
apakah pelaksanaan tugas penyelenggara administrasi perkara perdata
dan pidana serta pelaksanaan eksekusi, dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan melaporkannya kepada Pimpinan
Pengadilan.
3) Melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan
putusan pidana di lembaga pemasyarakatan dan melaporkannya
kepada Mahkamah Agung.
4) Dalam Teknis Bidang Perdata:
a) Menetapkan hari sidang.
b) Menentapkan Aanmaning ke para pihak.
c) Bertanggung jawab atas pembuatan dan kebenaran berita acara
persidangan dan menanda tanganinya sebelum sidang berikutnya.
d) Menetapkan Sita Eksekusi.
e) Mengemukakan pendapat dalam musyawarah.
f) Menyiapkan dan memaraf naskah putusan lengkap untuk ucapan.
g) Wajib menanda tangani putusan yang sudah diucapkan dalam
persidangan.
h) Mempelajari dan mendiskusikan secara berkala, keputusan hukum
yang diterima.
5) Dalam Teknis Bidang Pidana:
a) Menetapkan hari sidang untuk perkara dengan acara biasa.
b) Menetapkan terdakwa ditahan, dikeluarkan dari tahanan atau
dirubah jenis penahanannya.
c) Bertanggung jawab atas pembuatan dan kebenaran berita acara
persidangan dan menanda tangani nya sebelum sidang selanjutnya.
d) Mengemukakan pendapat dalam musyawarah.
e) Menyiapkan dan memaraf naskah putusan lengkap untuk ucapan.
f) Wajib menanda tangani putusan yang sudah diucapkan dalam
persidangan.
g) Menghubungi BISPA agar menghadiri persidangan dalam hal
terdakwanya masih dibawah umur.
h) Memproses permohonan grasi.
i) Melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap keadaaan dan
perilaku narapidana yang berada dalam Lembaga Pemasyarakatan
serta melaporkannya kepada Mahkamah Agung.
d. Kesekretariatan148
148 http://pn-bantul.go.id/page-kesekretariatan.html, Diakses pada tanggal 06 Desember
2013 pukul 10.34 WIB.
93
Tugas pokok Sekretariat yakni memberikan pelayanan administrasi
umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Negeri. Dalam hal
ini fungsi Sekretariat mencakup 3 (tiga) hal yaitu:
1) Melakukan urusan kepegawaian
2) Melakukan urusan keuangan kecuali mengenai pengelolaan biaya
perkara/uang titipan pihak ketiga.
3) Melakukan urusan perlengkapan, rumah tangga, surat menyurat dan
barang inventaris milik negara dan mengelola perpustakaan
Bidang Sekretariatan ini dibagi dalam 3 (tiga) sub yaitu:
1) Urusan Kepegawaian mempunyai tugas melakukan urusan
kepegawaian.
2) Urusan Keuangan, mempunyai tugas melakukan urusan keuangan
kecuali mengenai pengelolaan biaya perkara/uang titipan pihak ketiga.
3) Urusan Umum, mempunyai tugas melakukan urusan surat menyurat,
perlengkapan, rumah tangga, perpustakaan dan barang inventaris
milik negara.
Masing-masing Urusan ini dipimpin oleh seorang Kepala Urusan.
e. Kepaniteraan149
Sesuai ketentuan pasal 2 Keputusan KMA-RI No.
KMA/004/SK/II/1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, tugas pokok Kepaniteraan
adalah memberikan pelayanan teknis di bidang administrasi perkara dan
administrasi peradilan lainnya berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Dalam hal ini fungsi Kepaniteraan mencakup 5 (lima) hal, yaitu:
1) Menyusun kegiatan administrasi perkara serta melaksanakan
koordinasi dan sinkronisasi yang berkaitan dengan persidangan.
149 http://pn-bantul.go.id/page-kepaniteraan.html, Diakses pada tanggal 06 Desember 2013
pukul 10.36 WIB.
94
2) Mengurus daftar perkara, administrasi perkara, admninistrasi
keuangan perkara dan administrasi pelaksanaan putusan perkara
perdata.
3) Mengurus daftar perkara, administrasi perkara dan administrasi
keuangan perkara pidana.
4) Penyusunan statistik perkara, dokumentasi perkara, laporan perkara
dan memberikan jasa pelayanan hukum bagi masyarakat.
5) Lain-lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Bidang Kepaniteraan dibagi dalam 3 sub bidang kepaniteraan yaitu:
1) Kepaniteraan Perdata, yang bertugas melakukan administrasi perkara,
mempersiapkan persidangan perkara, menyimpan berkas perkara yang
masih berjalan dan lain-lain yang berhubungan dengan perkara
perdata.
2) Kepaniteraan Pidana, yang bertugas melaksanakan administrasi
perkara mempersiapkan persidangan perkara, menyimpan berkas
perkara yang masih berjalan dan lain-lain yang berhubungan dengan
perkara pidana dan barang bukti.
3) Kepaniteraan Hukum, bertugas mengumpulkan, mengolah dan
mengkaji data, menyajikan statistik perkara, menyusun laporan
perkara, menyimpan arsip berkas perkara, administrasi
kewarganegaraan, pengesahan badan hukum dan administrasi yang
berkaitan dengan catatan sipil dan tugas lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Masing-masing Kepaniteraan tersebut dipimpin oleh seorang Panitera
Muda selaku kepala Sub Kepaniteraan.
95
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Putusan Perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.
1. Duduk Perkara
Terdakwa Yanuar Nur Fajar als Zanu bin Wijono pada hari Selasa
tanggal 20 September 2011 sekitar pukul 17.00 WIB bertempat di Depok
RT.002/- Kelurahan Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul
menggunakan Narkotika Golongan I secara hak atau melawan hukum.
Pada awalnya, hari Selasa Tanggal 20 September 2011 pada pukul
08.30 WIB Petugas Lalu Lintas Pospol Bakulan Polres Bantul mendapatkan
informasi dari masyarakat bahwa terdakwa Yanuar Nur Fajar als Zanu bin
Wijono diduga menyimpan narkotika jenis ganja. Dari informasi tersebut
Petugas Lalu Lintas Pospol Bakulan Polres Bantul melaporkan informasi
kepada Brigadir Winata Saputra, yang kemudian saksi Bayudi bersama
rekan-rekannya menindaklanjuti informasi tersebut.
Kemudian pada hari Selasa tanggal 20 September 2011 pukul 14.30
WIB di Jalan Raya Imogiri Timur tepatnya sebelah selatan Mako Brimob
Gondowulung, Bantul, Yogyakarta, Brigadir Winata Saputra beserta rekan-
rekannya berhasil menangkap terdakwa dan terdakwa mengaku masih
menyimpan daun ganja kering yang disimpan di rumahnya.
Berdasarkan keterangan terdakwa tersebut, pada hari Selasa tanggal
20 September 2011 pukul 17.00 WIB dilakukan penggeledahan di rumah
96
terdakwa. Petugas berhasil menemukan barang bukti berupa 1 (satu) batang
rokok yang dicampur dengan daun ganja yang disimpan dalam bekas
bungkus rokok Djarum Black Menthol warna hitam dengan berat ± 0,81
gram. Barang bukti tersebut merupakan jenis narkotika yang disimpan di
bawah tempat tidur kamar terdakwa. Selanjutnya terdakwa dan barang yang
ditemukan tersebut dibawa ke Satresnarkoba Polres Bantul guna
pemeriksaan lebih lanjut.
Sebelumnya terdakwa sudah menggunakan daun ganja yang dicampur
dengan tembakau rokok sebanyak 10 (sepuluh) batang yang diperoleh dari
saksi Redy Clara Cipta als Redy bin Purwadi. Ganja tersebut dihisap oleh
terdakwa bersama saksi Supriyo Hadi als Yoyok bin Sukari, saksi Redy
Clara Cipta als Redy bin Purwadi, dan saksi Sugiyarto als Benceng bin
Sarino pada hari Senin tanggal 19 September 2011 sekitar pukul 16.30 WIB
di rumah saksi Sugiyarto als Benceng bin Sarino sebanyak 4 (empat)
batang. Sedangkan sebanyak 6 (enam) batang lagi digunakan di Pantai
Depok, Parangtritis, Kretek, Bantul pada hari Senin tanggal 19 September
2011 pukul 19.00 WIB bersama saksi Redy Clara Cipta als Redy bin
Purwadi dan saksi Supriyo Hadi als Yoyok bin Sukari.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka Berita Acara Pemeriksaan
Urine Nomor : R/184/IX/2011/Biddokkes, hasil pemeriksaan urine terdakwa
a.n. Yanuar Nur Fajar als Zanu bin Wijono menunjukkan hasil
Cannabinoids/ Narkotika Positif (+).
97
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Dalam perkara Nomor 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. dakwaan yang
diajukan Penuntut Umum di persidangan adalah dengan dakwaan No. Reg :
PDM-46/BNTUL/08/2010 tanggal : 31 Agustus 2010 di sini terdapat 2
(dua) dakwaan, yakni dakwaan primair dan subsidair sebagai berikut:
a. Dakwaan primairnya yakni perbuatan terdakwa adalah kejahatan
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 111 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
b. Dakwaan subsidairnya yakni perbuatan terdakwa adalah kejahatan
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
3. Keterangan Saksi
Saksi-saksi yang menerangkan di bawah sumpah adalah sebagai berikut:
a. Saksi Bayudi
Bayudi memberikan kesaksian bahwa dia melakukan penangkapan
terhadap terdakwa pada Hari Selasa tanggal 20 September 2011 sekitar
pukul 14.30 WIB di jalan raya Imogiri Timur tepatnya sebelah selatan
Mako Brimob Gondowulung Bantul dan melakukan penggeledahan yang
kemudian ditemukan Handphone. Bayudi juga melakukan penggeledahan
di rumah terdakwa yang disaksikan juga oleh saksi Karsono selaku
98
Kadus dan ditemukan satu batang rokok di dalam bungkus rokok Djarum
Black Mentol warna hitam yang disimpan di bawah tempat tidur.
Setelah mendapatkan keterangan dari terdakwa, Bayudi bersama
rekannya membawa terdakwa ke Polres Bantul guna dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut. Menurut Bayudi, terdakwa menggunakan ganja
tersebut tidak dalam rangka pengobatan dan tanpa ijin dari pihak yang
berwenang.
b. Saksi Dadang Irawan
Dadang Irawan memberikan kesaksian bahwa dia ikut melakukan
penangkapan terhadap terdakwa pada Hari Selasa tanggal 20 September
2011 sekitar pukul 14.30 WIB di jalan raya Imogori Timur tepatnya
sebelah selatan Mako Brimob Gondowulung Bantul dan melakukan
penggeledahan yang kemudian ditemukan Handphone. Kemudian
Dadang juga ikut melakukan penggeledahan di rumah terdakwa yang
disaksikan juga oleh saksi Karsono selaku Kadus dan ditemukan satu
batang rokok di dalam bungkus rokok Djarum Black Mentol warna hitam
yang disimpan di bawah tempat tidur. Ganja tersebut adalah sisa yang
telah digunakan sebelumnya bersama dengan saksi Yoyok dan saksi
Sugiyarto.
Kemudian setelah mendapatkan keterangan dari terdakwa, Dadang
bersama rekannya membawa terdakwa ke Polres Bantul guna dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut. Menurut saksi, terdakwa menggunakan ganja
99
tersebut tidak dalam rangka pengobatan dan tanpa ijin dari pihak yang
berwenang.
c. Saksi Sugiyarto alias Benceng
Sugiyarto alias Benceng memberikan kesaksian bahwa dia
menggunakan ganja bersama dengan terdakwa pada Hari Senin tanggal
19 September 2011 sekitar pukul 16.30 WIB di rumahnya. Namun dia
tidak tahu ganja tersebut berasal dari mana, karena pada waktu itu
terdakwa hanya mengajaknya untuk menggunakan ganja tersebut. Ganja
tersebut digunakan bersama dengan terdakwa, Redy, dan saksi Yoyok
dengan cara ganja tersebut dicampur dengan rokok kemudian dibakar dan
dihisap secara bergantian sampai habis linting ganja tersebut. Sugiyarto
alias benceng di sini menyatakan tidak ditangkap polisi karena menurut
keterangan polisi di dalam dirinya tidak ditemukan barang bukti.
d. Saksi Supriyo Hadi alias Yoyok
Supriyo Hadi alias Yoyok memberikan kesaksian bahwa dia
menggunakan ganja tersebut dengan terdakwa, saksi Sugiyarto alias
Benceng, dan Redy di rumah saksi Sugiyarto alias Benceng pada Hari
Senin tanggal 19 September 2011 sekitar pukul 16.30 WIB. Kemudian
saksi kembali menggunakan ganja tersebut pada malam harinya sekitar
pukul 19.00 WIB habis 3 (tiga) linting, dan pada saat itu saksi Sugiyarto
alias Benceng tidak ikut, hanya terdakwa, saksi, dan saudara Redy. Ganja
tersebut digunakan dengan cara dicampur dengan rokok kemudian
dibakar dan dihisap secara bergantian sampai habis linting ganja tersebut.
100
Dalam hal ini saksi menyatakan bahwa menggunakan ganja tersebut
hanya diajak oleh terdakwa dan hanya coba-coba dan tidak ditangkap
oleh polisi karena menurut keterangan dari polisi di dalam diri saksi tidak
ditemukan barang bukti.
e. Saksi Karsono
Karsono memberikan kesaksian bahwa dia ikut menyaksikan
penggeledahan rumah milik Bapak Wijono (orang tua terdakwa) pada
Hari Selasa tanggal 20 September 2011 pukul 17.00 WIB di depok RT 02
Kel. Parangtritis Kec. Kretek. Karsono juga melihat petugas narkoba dari
Polres Bantul melakukan penggeledahan dan menemukan 1 (satu) batang
rokok yang disimpan dalam bungkus rokok Djarum Black Mentol warna
hitam dan disimpan dalam kamar terdakwa. Selain itu, Karsono juga
mengetahui terdakwa ditanya oleh petugas narkoba dari Polres Bantul
ganja tersebut adalah miliknya dan merupakan sisa dari penggunaan satu
hari sebelumnya.
4. Keterangan Terdakwa
Di persidangan telah didengar pula keterangan terdakwa yang pada
pokoknya adalah sebagai berikut:
Terdakwa mengaku bahwa ditangkap oleh petugas Sat Narkoba pada
hari Selasa tanggal 20 September 2011 sekitar pukul 14.30 WIB di Jalan
Imogiri Timur terpatnya sebelah selatan Mako Brimob Gondowulung
namun di dalam diri terdakwa tidak ditemukan barang bukti, dan pada saat
101
itu terdakwa mengakui jika masih menyimpan sisa daun ganja yang ada di
rumahnya.
Kemudian dilakukan penggeledahan di kamar terdakwa dan petugas
Sat Narkoba Polres Bantul menemukan 1 (satu) linting rokok yang telah
dicampur ganja kering yang diletakkan dalam bungkus rokok Djarum Black
Mentol disaksikan oleh Karsono selaku Kadus. Pada saat itu terdakwa
mengaku bahwa dia mendapatkan ganja tersebut dari Redy.
Terdakwa menggunakan ganja pada hari Senin tanggal 19 September
2011 sekira jam 16.30 WIB di rumah saksi Sugiyarto alias Benceng
bersama dengan saksi Sugiyarto, Redy, dan Supriyo Hadi. Dan
menggunakan kembali di Pantai Depok Parangtritis pada hari Senin tanggal
19 September 2011 sekitar pukul 19.00 WIB bersama dengan saksi Supriyo
Hadi dan Redy. Ganja tersebut digunakan dengan cara dicampur dengan
rokok kemudian dihisap seperti menghisap rokok dan dilakukan secara
bergiliran.
Sebelumnya terdakwa sudah pernah menggunakan ganja dan ganja
tersebut tidak ada ijin dari pihak yang berwenang. Terdakwa mengaku
bersalah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
5. Barang Bukti
Di persidangan Penuntut Umum juga telah mengajukan bukti berupa:
a. 1 (satu) batang rokok yang dicampur dengan daun ganja yang disimpan
dalam bekas bungkus rokok mentol warna hitam berat ± 0.81 gram.
102
b. 1 (satu) buah HP merk SAMSUNG model SGH C450 warna hitam
dengan nomor simcard 0877399033022.
6. Putusan Pengadilan
a. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim
Dasar pertimbangan hukum dari Hakim Pengadilan Negeri Bantul
Yogyakarta pada pokoknya adalah sebagai berikut:
Hakim mempertimbangkan dakwaan dari Penuntut Umum yang
mana didakwa dengan dakwaan subsidaritas melakukan tindak pidana
yang diatur dan diancam dalam dakwaan primair : Pasal 111 ayat (1)
Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika subsidair :
Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
Dakwaan Penuntut Umum bersifat subsidaritas maka hakim akan
mempertimbangkan dakwaan primair yaitu Pasal 111 ayat (1) Undang-
Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Yang mana unsur-
unsur dari Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika yaitu sebagai berikut:
1) Unsur setiap orang
2) Unsur secara hak tanpa melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan
3) Unsur Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman
103
Karena dakwaan primair tidak terbukti maka dipertimbangkan
dakwaan subsidair yaitu Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.
35 tahun 2009 tentang Narkotika yang mana unsur-unsur dari dakwaan
subsidair yaitu Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 tahun
2009 tentang Narkotika yaitu sebagai berikut:
1) Unsur setiap orang
2) Unsur penyalahguna
3) Unsur Narkotika Golongan I
4) Unsur bagi diri sendiri
Melihat unsur-unsur dari dakwaan dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a
tersebut terpenuhi maka Majelis Hakim berpendapat bahwa keseluruhan
unsur dalam dakwaan subsidair Penuntut Umum telah terbukti menurut
hukum.
Setelah semua unsur dalam dakwaan subsidair Penuntut Umum
tersebut telah terpenuhi, Majelis berkeyakinan bahwa Terdakwa telah
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan
tindak pidana sebagaimana termaktub dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana dan selama
persidangan, Majelis Hakim tidak menemukan adanya alasan pemaaf
maupun pembenar maka terdakwa dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya, sehingga sudah layak untuk dijatuhi pidana. Namun
104
karena terdakwa ditahan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan
hukum tetap maka dikurangi seluruh masa tahanan yang telah dijalani
Terdakwa dari pidana yang dijatuhkan kepadanya.
Selain itu Hakim juga mempertimbangkan barang bukti yang
diajukan dipersidangan yakni berupa 1 (satu) batang rokok yang
dicampur dengan daun ganja yang disimpan dalam bekas bungkus rokok
mentol warna hitam berat ± 0,81 gram, yang dirampas untuk
dimusnahkan dan 1 (satu) buah HP merk SAMSUNG model SGH C450
warna hitam dengan nomor simcard XL 0877399033022, yang
dikembalikan kepada terdakwa Yanuar Nur Fajar alias Zanu bin Wijono.
Sebelum menjatuhkan pidana kepada terdakwa maka Majelis akan
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan
terdakwa yakni sebagai berikut:
1) Hal-hal yang memberatkan adalah Terdakwa tidak mematuhi anjuran
Pemerintah untuk memerangi narkoba.
2) Hal-hal yang meringankan adalah sebagai berikut:
a) Terdakwa mengakui terus terang dan bersikap sopan di
persidangan.
b) Terdakwa menyesali perbuatannya.
c) Terdakwa belum pernah dihukum.
d) Terdakwa masih berusia muda sehingga diharapkan masih dapat
dibina.
105
Dikarenakan dalam perkara ini terdakwa masih tergolong anak atau
anak di bawah umur yang mana usia anak tersebut masih 17 tahun 08
bulan lebih 16 hari maka untuk membantu memperlancar proses
pemeriksaan perkara ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-
Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah dilakukan
Penelitian Kemasyarakatan oleh Petugas BAPAS selaku pembimbing
kemasyarakatan yang isinya terlampir dalam berkas ini. Dan hasil
Penelitian Kemasyarakatan tersebut di atas digunakan sebagai bahan
pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan.
Hakim juga mempertimbangkan bahwa pemidanaan bukanlah
bertujuan sebagai bentuk balas dendam melainkan bertujuan untuk
membangun kembali pola pengendalian diri bagi terdakwa. Sehingga
diharapkan terdakwa dapat kembali hidup dengan wajar di tengah-tengah
masyarakat. Maka pidana yang akan dijatuhkan pada diri terdakwa
sepatutnya dipandang tepat dan adil.
b. Amar Putusan
Sesuai dengan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika dan pasal-pasal yang ada dalam KUHAP
serta aturan-aturan lain yang bersangkutan dengan perkara ini maka
hakim memutuskan untuk mengadili sebagai berikut:
106
1) Menyatakan terdakwa Yanuar Nur Fajar als Zanu bin Wijono tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana dalam dakwaan primair.
2) Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan primair
tersebut.
3) Menyatakan terdakwa Yanuar Nur Fajar als Zanu bin Wijono telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri”
4) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 7 (tujuh) bulan.
5) Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa
akan dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan.
6) Memerintahkan supaya terdakwa tetap ditahan.
7) Memerintahkan barang bukti berupa:
1. 1 (satu) batang rokok yang dicampur dengan daun ganja yang
disimpan dalam bekas bungkus rokok mentol warna hitam berat ±
0.81 gram untuk dirampas untuk dimusnahkan.
2. 1 (satu) buah HP merk SAMSUNG model SGH C450 warna hitam
dengan nomor simcard 0877399033022 untuk dikembalikan
kepada terdakwa Yanuar Nur Fajar alias Zanu Bin Wijono.
8) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 2.000,-
(Dua Ribu Rupiah).
107
1. Pembahasan
1. Perlakuan yang Diterapkan Hakim di Persidangan terhadap Anak
sebagai Pelaku Tindak Pidana
Perlakuan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum di
Indonesia, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, segala hal yang menyangkut pelanggar hukum
pidana berusia anak hanya mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana pada pasal 45, 46, 47 (yang kemudian dinyatakan tidak berlaku
setelah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
ditetapkan).150
Bunyi pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:151
Pasal 45
Dalam menuntut orang yang belum cukup umur karena melakukan
perbuatan pidana sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat
menentukan; memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan ke orang
tuanya atau walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau
memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, tanpa
pidana apa pun, yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu
pelanggaran tersebut pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505,514,517-519,
526, 531, 532, 536 dan 540, serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan
salah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di
atas dan putusannya menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana.
Pasal 46
(1) Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan dalam
rumah pendidikan negara, supaya menerima pendidikan dari pemerintah
atau di kemudian hari dengan cara lain; atau diserahkan kepada seorang
tertentu atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal
untuk menyelenggarakan pendidikannya atau di kemudian hari, atas
150 Hasil wawancara dengan Sulistyo Muhammad Dwi Putro, S.H., Hakim Pengadilan
Negeri Bantul Yogyakarta, tanggal 26 Juni 2013.
151 Mulyatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana..., hlm. 22-23.
108
tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas paling
lama sampai umur delapan belas tahun.
(2) Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-
undang.
Pasal 47
(1) Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap
perbuatan pidananya dikurangi sepertiga.
(2) Jika perbuatan merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
(3) Pidana tambahan yang tersebut dalam pasal 10 sub b, nomor 1 dan 3
tidak dapat dijatuhkan.
Untuk menguatkan upaya perlindungan bagi anak yang berhadapan
dengan sistem peradilan ada sejumlah kebijakan yang bersifat operasional
yang biasa digunakan yakni sebagai berikut:152
a. Agreement Lisan 1957, yang mana merupakan kesepakatan antara
kepolisian, kejaksaan, Departemen Kehakiman dan Departemen Sosial,
untuk memberikan perlakukan “khusus bagi anak“ sebelum dan selama
pemeriksaan pengadilan maupun sesudah putusan pengadilan.
Pemeriksaan kasus anak dilakukan secara kekeluargaan dan dalam
penahanan, anak harus dipisahkan dari orang dewasa.
b. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1959, yang di
dalamnya menyebutkan bahwa persidangan anak harus dilakukan secara
tertutup.
c. Peraturan Menteri Kehakiman No. M 06-UM.01.06 Tahun 1983 Bab II,
Pasal 9-12, tentang Tata Tertib Sidang Anak, yang antara lain
152 Hasil wawancara dengan Ayun Kristiyanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Bantul
Yogyakarta, tanggal 02 Juli 2013.
109
menyebutkan bahwa sidang anak bersifat khusus bagi anak untuk
mewujudkan kesejahteraan anak maka sidang anak perlu dilakukan
dalam suasana kekeluargaan dengan mengutamakan kesejahteraan
masyarakat.
d. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1987, tanggal 16
November 1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak.
Selain itu menurut pendapat Bapak Ayun153
, Hakim mengacu pada
ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa hakim, penyidik, dan
penuntut umum yang menangani perkara anak harus mempunyai minat,
perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Maka dari itu dalam
menangani kasus anak, hakim memperlakukan anak seperti anak tidak
terkena masalah pidana.
Dalam hal ini hakim juga memperhatikan surat edaran dari Dirjen
Pemasyarakatan yakni Keputusan Menteri Kehakiman No. M.01-PW.07
Tahun 1997 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata Tertib Ruang Sidang
dan Keputusan Kehakiman No. M.01-PK.04.10-25 tahun 1998 tentang
Tugas, Kewajiban dan Syarat-syarat bagi Pembimbing Kemasyarakatan,154
153 Hasil wawancara dengan Ayun Kristiyanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Bantul
Yogyakarta, tanggal 02 Juli 2013.
154 Hasil wawancara dengan Ayun Kristiyanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Bantul
Yogyakarta, tanggal 02 Juli 2013.
110
yang dalam surat edaran tersebut berisi uraian untuk pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagai berikut:155
(1) Jangka waktu penahanan bagi anak yang relatif lebih pendek ketimbang
orang dewasa, yaitu:
a. Penyidik berhak menagan maximum 20 hari, dapat diperpanjang oleh
Penuntut Umum maximum 10 hari (Pasal 44).
b. Penuntut Umum berhak menahan paling lama 10 hari, dapat
diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri Maximum 15 hari (Pasal
46).
c. Hakim berhak menahan paling lama 15 hari, dapat diperpanjang oleh
Ketua pengadilan Negeri paling lama 30 hari (Pasal 47).
d. Hakim banding berhak menahan paling lama 15 hari, dapat
diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi paling lama 30 hari (Pasal
48).
e. Hakim kasasi berhak menahan paling lama 25 hari, dapat
diperpanjang oleh Mahkamah Agung paling lama 30 hari (Pasal 49).
f. Bilamana terdakwa menderita gangguan mental atau fisik yang berat,
dapat diberikan perpanjangan penahan selain yang disebutkan di atas
untuk masing-masing tingkat penahanannya paling lama 15 hari dan
dapat diperpanjang lagi 15 hari (Pasal 50).
(2) Pembimbing Kemasyarakatan BAPAS agar dapat memberikan pelayanan
pembuatan laporan Litmas atas permintaan Penyidik, Penuntut Umum
maupun Hakim, dengan cepat dan cermat, sehingga proses penyelesaian
perkara Anak Nakal tidak terhambat.
(3) Pembimbing Kemansyarakatan wajib hadir dalam persidangan Anak
(Pasal 55) dengan berpakaian khusus, yaitu celana panjang coklat, baju
coklat muda (krem), dasi panjang coklat tua, sepatu hitam dengan
memakai tanda pengenal pada saku tanpa memakai topi (bivach muts)
selama berada di Ruang Sidang (Keputusan Menteri Kehakiman RI
Nomor M-09.KP.10.10 Tahun 1997 tentang Lambang, Tanda Pangkat,
Tanda Jabatan dan Pakaian Dinas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
dan Imigrasi).
(4) Yang dapat dijatuhi pidana adalah Anak Nakal yang telah berusia 12
tahun, sedangkan yang telah berusia 8 tahun tetapi belum mencapai 12
tahun, hanya dapat dijatuhi tindakan oleh Hakim (Pasal 26 ayat 3 dan 4)..
(5) Anak Nakal yang belum berusia 8 tahun dapat diperiksa oleh penyidik
(Pasal 5) untuk menentukan:
a. Apakah yang bersangkutan dalam melakukan tindak pidana tersebut
bersama-sama dengan orang dewasa atau bersama-sama dengan
anggota ABRI.
b. Apakah anak tersebut masih bisa dibina oleh orang tuanya atau tidak.
155 Keputusan Kehakiman No. M.01-PK.04.10-25 tahun 1998 tentang Tugas, Kewajiban
dan Syarat-syarat bagi Pembimbing Kemasyarakatan.
111
c. - Apabila masih dapat dibina oleh orang tuanya anak nakal tersebut
dikembalikan kepada orang tuanya.
- Apabila ternyata tidak bisa dibina lagi maka yang bersangkutan
diserahkan kepada Departemen Sosial.
Dalam hal ini penyidik wajib mempertimbangkan laporan Litmas yang
dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan BAPAS.
(1) Penempatan tahanan/napi anak harus dipisahkan dari tahanan/napi
dewasa (Pasal 45 ayat 3 dan Pasal 60 ayat 1). Tahanan/napi yang sudah
berumur 18 tahun tetapi belum mencapai 21 tahun, harus dipisahkan
dengan mereka yang sudah berumur 21 tahun atau lebih (Pasal 61 ayat
2).
(2) Dalam menentukan perkara anak nakal, Hakim wajib memperhatikan
laporan Litmas dari Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 59).
Adanya sifat kekhususan dari sidang anak maka tata tertibnya pun
diatur secara berbeda dengan sidang pidana untuk orang dewasa. Mulai dari
penyelidikan oleh pihak kepolisian hingga pemeriksaan di persidangan dan
setelah putusan hakim. Urut-urutannya di pengadilan negeri menurut Bakap
Sulistyo selaku Hakim Pengadilan Negeri Bantul adalah sebagai berikut:156
a. Pengadilan mengadakan suatu registrasi tersendiri untuk perkara anak,
menetapkan hari-hari sidang tertentu, dan ruangan tertentu untuk perkara
tersebut.
b. Ketua Pengadilan menunjuk hakim yang mempunyai perhatian terhadap
masalah anak, hingga hakim tersebut, selain menyidangkan perkara biasa
juga menyidangkan perkara anak-anak.
c. Sidang anak dilakukan dengan hakim tunggal, kecuali dalam hal tertentu
oleh ketua pengadilan dapat dilakukan pemeriksaan dengan majelis
hakim.
156 Hasil wawancara dengan Sulistyo Muhammad Dwi Putro, S.H., Hakim Pengadilan
Negeri Bantul Yogyakarta, tanggal 26 Juni 2013.
112
d. Pemeriksaan dilakukan dengan sidang tertutup dan putusan diucapkan
dalam sidang terbuka. Ini untuk menjaga agar anak-anak tidak menjadi
sasaran publikasi pers, karena kalau sampai identitas anak dan
perkaranya dimuat di media maka akan membuat trauma bagi anak dan
secara psikologis akan mempengaruhi perkembangannya. Selain itu ia
dapat dikucilkan oleh masyarakat apabila diketahui sedang disidangkan.
e. Hakim, jaksa, maupun penasihat hukum tidak memakai toga. Ini
mencerminkan adanya asas kekeluargaan. Pemeriksaan perkara oleh
hakim harus dilakukan dengan lemah-lembut sehingga anak mempunyai
keberanian untuk menceritakan sebab-sebab tindakannya. Penyebab ini
penting untuk diketahui agar hakim dapat memberikan hukuman yang
tepat kepada anak, hingga diharapkan anak kembali ke jalan yang benar.
f. Pada sidang anak, orang tua, wali, atau orang tua asuh harus hadir. Hal
ini untuk menjaga agar orang tua tidak melupakan tanggung jawab
terhadap anaknya dan mendengar apa yang sesungguhnya terjadi.
Sehingga hubungan antara orang tua dan anak dapat diperbaiki.
g. Dalam sidang anak perlu hadirnya Pembimbing Kemasyarakatan dari
Balai Pemasyarakatan untuk memberikan laporan sosialnya.
Sebelum sidang dibuka, terlebih dahulu hakim memerintahkan
pembimbing kemasyarakatan untuk menyampaikan hasil penelitian
kemasyarakatan mengenai keadaan anak yang wajib dijadikan hakim
sebagai bahan pertimbangan memutuskan perkara. Selain itu hakim
113
menanyakan kepada Penuntut Umum mengenai orang tua/wali/orang tua
asuh apakah hadir di persidangan atau tidak. Hal ini dikarenakan kehadiran
orang tua/wali/orang tua asuh anak sangat diperlukan untuk mengetahui
latar belakang dan motif anak melakukan tindak pidana. Apabila orang
tua/wali/orang tua asuh tidak hadir maka siding ditunda sampai mereka
dapat menghadiri persidangan.157
Sesuai ketentuan dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, pada waktu pemeriksaan saksi, Hakim dapat
memerintahkan agar terdakwa dibawa keluar ruang sidang. Tetapi orang tua
/wali/orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan,
tetap hadir di dalam persidangan. Hal tersebut dimaksudkan untuk
menghindari adanya hal yang dapat mempengaruhi jiwa anak. Hakim harus
cermat dan teliti terhadap keadaan terdakwa, untuk dapat menentukan anak
harus keluar ruang sidang pengadilan atau tidak pada saat pemeriksaan
saksi. Jika diperkirakan keterangan saksi dapat mempengaruhi jiwa anak
maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari persidangan untuk
melindungi anak.
Setelah pemeriksaan saksi, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
terdakwa. Dalam melakukan pemeriksaan, Hakim dan petugas lainnya tidak
memakai pakaian seragam dengan tujuan untuk menghilangkan rasa takut
dalam diri anak.
157
Hasil wawancara dengan Ayun Kristiyanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Bantul
Yogyakarta, tanggal 02 Juli 2013.
114
Menurut Maidin Gultom,158
selama proses peradilan, hak-hak anak
harus dilindungi, yang meliputi asas praduga tak bersalah, hak untuk
memahami dakwaan, hak untuk diam, hak untuk menghadirkan orang
tua/wali/orang tua asuh, hak untuk berhadapan dan menguji silang kesaksian
atas dirinya dan hak untuk banding.
Penerapan hak-hak anak dalam proses peradilan merupakan suatu
hasil interaksi antara anak dengan keluarga, masyarakat, serta penegak
hukum yang saling mempengaruhi untuk meningkatkan kepedulian terhadap
perlindungan anak demi kesejahteraan anak.
Dalam tahap akhir yang merupakan tahap putusan hakim yang
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
sebelum Hakim mengambil keputusan, Hakim terlebih dahulu memberi
kesempatan kepada orang tua/wali/orang tua asuh untuk mengemukakan
segala hal yang bermanfaat bagi anak seperti saran dan nasihat. Hal tersebut
dimaksudkan supaya anak sebelum menjalani hukuman yang diputuskan
hakim tetap mendapat perhatian dari orang tua/wali/orang tua asuh.
Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak dapat berupa pidana atau
tindakan. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana
pokok yaitu pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, atau pidana
pengawasan, dan pidana tambahan yaitu perampasan barang-barang tertentu
dan atau pembayaran ganti rugi. Tindakan yang dapat dijatuhkan adalah
mengembalikan kepada orang tua/wali/orang tua asuh, menyerahkan kepada
negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, atau
158 Maidin Gultom. Perlindungan Hukum terhadap Anak ...., hlm. 134.
115
menyerahkan kepada Departemen Sosial atau organisasi sosial
kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja.159
2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana
Narkotika yang Dilakukan oleh Anak pada Perkara No.
97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.
Penjatuhan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika, di
Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta pada perkara No.
97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. menggunakan 3 (tiga) prinsip dasar yakni secara
yuridis, filosofis, serta sosiologis. Prinsip dasar yuridis menurut Bapak
Ayun selaku Hakim Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta adalah
pertimbangan yang didasarkan pada hukum yang berlaku. Sedangkan
prinsip dasar filosofis dan sosiologis biasa disebut sebagai prinsip non
yuridis di mana merupakan prinsip yang digunakan untuk menjatuhkan
putusan mempertimbangkan kondisi masyarakat serta psikologi anak harus
diperhatikan. Prinsip non yuridis ini diperlukan agar hakim tidak hanya
sebatas penjatuhan namun memperhatikan keadaan pelaku kejahatan
tersebut.160
Pertimbangan yuridis dan non yuridis terdapat pada putusan
Nomor 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. sebagai berikut:
159 Hasil wawancara dengan Ayun Kristiyanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Bantul
Yogyakarta, tanggal 02 Juli 2013.
160 Hasil wawancara dengan Ayun Kristiyanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Bantul
Yogyakarta, tanggal 02 Juli 2013.
116
a. Pertimbangan yuridis
Pertimbangan yuridis merupakan pertimbangan didasarkan pada
fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Pertimbangan secara yuridis
dalam putusan Nomor 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. adalah sebagai berikut:
1) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, yang mana terdakwa atas
perbuatannya didakwa dengan 2 (dua) dakwaan yakni dakwaan
primair yang diancam pidana dalam Pasal 111 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan dakwaan
subsidair yang diancam pidana dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dalam perkara ini, dakwaan subsidair yang terbukti di
persidangan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa
yakni tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 127 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Unsur dalam Pasal ini adalah:
a) Unsur setiap orang
b) Unsur penyalahguna
c) Unsur Narkotika Golongan I
d) Unsur bagi diri sendiri
Bahwa yang dimaksud dengan unsur setiap orang penyalahguna
adalah sebagai subjek hukum yang menyalahgunakan narkotika.
Subyek tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana
117
atas perbuatan yang dilakukannya namun tidak termasuk kategori
dalam Pasal 44 KUHP, yakni barang siapa mengerjakan suatu
perbuatan, tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban kepadanya
karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak
boleh dihukum.
2) Keterangan saksi, yang dalam perkara ini Jaksa Penuntut Umum
menghadirkan 5 (lima) saksi, yakni : saksi Bayudi, saksi Danang
Irawan, saksi Sugiyarto alias Benceng, saksi Supriyo Hadi alias
Yoyok, dan saksi Karsono. Yang mana dari keterangan 5 (lima) saksi
tersebut terdakwa menyatakan benar dan tidak keberatan.
3) Keterangan terdakwa, dalam perkara ini terdakwa mengakui memakai
Narkotika Golongan I untuk dirinya sendiri dan berjanji tidak akan
mengulanginya lagi.
4) Barang bukti, dalam perkara ini adalah:
a) 1 (satu) batang rokok yang dicampur dengan daun ganja yang
disimpan dalam bekas bungkus rokok mentol warna hitam berat ±
0.81 gram.
b) 1 (satu) buah HP merk SAMSUNG model SGH C450 warna hitam
dengan nomor simcard 0877399033022.
Dalam pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta
secara yuridis dalam perkara Nomor 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. mengenai
tindak pidana yang dilakukan oleh Yanuar Nur Fajar Alias Zanu Bin
118
Wijiyono, yaitu mengenai terjadinya Tindak Pidana Narkotika, isi
putusan tersebut berdasarkan keterangan para saksi dan keterangan
terdakwa dipersidangan serta dihubungkan dengan barang bukti yang
diajukan di persidangan yang mana unsur satu dengan yang lain saling
berhubungan. Maka dari itu unsur dalam Pasal 183 KUHAP terpenuhi
yakni sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dalam hal pemeriksaan keterangan saksi dan alat bukti yang
diajukan di depan persidangan, pertimbangan hukum hakim juga telah
sesuai dengan ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 184 ayat 1 (satu)
KUHAP, yaitu:
Alat bukti yang sah ialah:
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan Terdakwa;
b. Pertimbangan non yuridis
Pertimbangan non yuridis hakim dalam memutus perkara anak
yang melakukan tindak pidana narkotika dalam hal ini bersifat sosiologis,
psikologis, kriminologis, dan filosofis. Hakim Pengadilan Negeri Bantul
dalam menjatuhkan putusan terhadap anak merujuk pada pertimbangan
non yuridis yang dalam hal ini membaca laporan penelitian dari Badan
119
Pemasyarakatan (selanjutnya disebut BAPAS). Hakim menggunakan
hasil penelitian tersebut karena dalam penelitian sudah mencakup segi
sosiologis, psikologis, kriminologis, dan filosofis anak.161
Dalam perkara
No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. penelitian kemasyarakatan dari BAPAS
pada intinya memuat:
1) Identitas dari terdakwa dan orang tua/wali, serta susunan keluarga.
2) Masalah, yang isinya tentang tindak pidana, latar belakang, kronologi
terjadinya tindak pidana, serta akibat yang ditimbulkan.
3) Riwayat hidup.
4) Pandangan masa depan.
5) Tanggapan terdakwa terhadap masalah yang dialaminya.
6) Keadaan keluarga.
7) Keadaan lingkungan masyarakat.
8) Tanggapan pihak keluarga, korban, masyarakat, dan pemerintah
setempat.
9) Kesimpulan dan saran/pendapat.
Dari laporan penelitian kemasyarakatan BAPAS tersebut, yang
menjadi bahan pertimbangan Hakim adalah mengenai kesimpulan dan
saran/pendapat dari BAPAS. Hal ini dikarenakan semua yang termuat
dalam laporan penelitian BAPAS sudah tercakup di dalam kesimpulan
dan saran/pendapat.
161 Hasil wawancara dengan Ayun Kristiyanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Bantul
Yogyakarta, tanggal 02 Juli 2013.
120
Pada perkara Nomor 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. ini BAPAS dalam
membuat laporan penelitian memberi kesimpulan dan saran/pendapat
kepada Hakim Pengadilan Negeri Bantul sebagai berikut:
1) Kesimpulan
Yanuar Nur Fajar bin Wijono sebagai tersangka pelaku tindak
pidana Penyalahgunaan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal
111 dan atau Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika. Kejadian/kasus tersebut dilatarbelakangi oleh
faktor kurangnya kontrol orang tua atau keluarga terhadap pergaulan
klien yang cenderung negatif. Tindak pidana ini telah menjadi
pelajaran berharga bagi tersangka dan pihak keluarga serta
menimbulkan penyesalan dan rasa jera. Saat kejadian usianya baru 17
tahun 08 bulan lebih 16 hari sehingga masih memenuhi persyaratan
untuk menyelesaikan perkara ini dalam perspektif Pengadilan Anak.
Orang tua masih sanggup untuk mendidik dan mengawasi
anaknya agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Selain itu pihak
sekolah masih bersedia menerima klien kembali.
Pemerintah setempat berharap kepada penegak hukum agar
memberikan sanksi yang sifatnya pembinaan/bimbingan sehingga
klien sadar akan perbuatannya dan tidak mengulanginya lagi di
kemudian hari.
121
2) Saran/pendapat
Berdasarkan data dan kesimpulan di atas serta demi masa depan anak
maka Pembimbing Kemasyarakatan berpendapat bahwa klien atas
nama : Yanuar Nur Fajar Bin Wijono diberikan Pidana Penjara sesuai
dengan masa tahanan yang telah dijalaninya, dengan pertimbangan
terdakwa maupun orang tua diberikan kesempatan untuk memperbaiki
diri. Selain itu terdakwa masih anak di bawah umur dan masa
depannya masih panjang dan segera melanjutkan sekolahnya. Pihak
sekolah masih bersedia menerima klien dan siap bekerja sama dengan
pihak keluarga dalam hal pengawasan terhadap klien.
Laporan hasil penelitian kemasyarakatan tersebut hanya sebagai
salah satu bahan pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara anak.
Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagai berikut:
“Putusan sebagaiman yang dimaksud dengan ayat (1) wajib
mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan”.
Hakim mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan
tersebut karena dalam menetukan sanksi yang akan dijatuhkan kepada
anak nakal maka hakim mempunyai pilihan antara lain menjatuhkan
sanksi (sesuai Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak) atau mengambil tindakan (sesuai Pasal 24 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).
122
Meskipun Hakim wajib mempertimbangkan Laporan Penelitian
Kemasyarakatan, tetapi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak tidak menjelaskan alasan Laporan Pembimbing
Kemasyarakatan ini diwajibkan untuk dipertimbangkan Hakim dalam
mengambil keputusannya. Maka dari itu Hakim tidak terikat penuh pada
laporan penelitian tersebut, hanya merupakan bahan pertimbangan bagi
Hakim untuk mengetahui latar belakang anak melakukan kenakalan.
Hakim pengadilan dalam mengambil keputusan lebih terfokus pada hasil
pemeriksaan di depan sidang pengadilan.
Selain pertimbangan yuridis dan non yuridis tersebut di atas, Hakim
juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan
terdakwa di antaranya sebagai berikut:
1) Hal-hal yang memberatkan adalah Terdakwa tidak mematuhi anjuran
Pemerintah untuk memerangi narkoba.
2) Hal-hal yang meringankan adalah sebagai berikut:
a) Terdakwa mengakui terus terang dan bersikap sopan di persidangan.
b) Terdakwa menyesali perbuatannya.
c) Terdakwa belum pernah dihukum.
d) Terdakwa masih berusia muda sehingga diharapkan masih dapat
dibina.
123
Dari beberapa pertimbangan di atas maka Hakim dalam memutuskan
perkara Nomor 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl. bisa dikatakan tepat dan adil
karena tujuan dari pemidanaan bukan sebagai bentuk balas dendam
melainkan untuk membangun kembali pola pengendalian diri bagi terdakwa
sehingga diharapkan terdakwa dapat kembali hidup dengan wajar di tengah-
tengah masyarakat.
Pada kasus ini yang menjadi terdakwa adalah anak yang masih berusia
17 tahun 08 bulan lebih 16 hari yang mana anak tersebut merupakan korban
dari maraknya peredaran narkotika. Anak tersebut memakai narkotika juga
bukan hanya sekali, namun sudah berkali-kali. Seharusnya terdakwa selaku
korban dari penyalahgunaan narkotika mendapatkan perlindungan berupa
rehabilitasi bukan sebaliknya mendapatkan hukuman penjara. Karena
sebagai pemula, tindakan rehabilitasi sejak dini akan sangat membantu
terdakwa untuk mendapatkan hak kesehatan dan hak pendidikannya.
Walaupun putusan hakim tersebut dipandang tepat dan adil, namum
kedudukan pengguna/pecandu sebagai korban peredaran gelap narkotika
dalam sistem penegakan hukum pidana saat ini belum ditempatkan secara
adil bahkan cenderung terlupakan terutama pada anak sebagai pelaku tindak
pidana pengguna narkotika.
Dijatuhkan pidana penjara pada putusan No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.
tersebut dapat dikatakan menimbulkan efek pencegahan terhadap pihak-
pihak terkait. Walaupun saran dari BAPAS menganjurkan untuk dipidana
penjara namun tidak sepenuhnya Hakim mengambil keputusan sesuai
124
dengan laporan penelitian dari BAPAS. Karena putusan tersebut dapat
menjauhkan tujuan dari adanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika yang mengutamakan rehabilitasi bagi para
penyalahgunaan narkotika baik bagi pengguna/pecandu narkotika. Jika
terdakwa secara nyata adalah seorang pengguna/pecandu dan dalam
persidangan tetap dijatuhi sanksi pidana penjara maka itu tidak akan
menyelesaikan masalah. Kecanduan tidak akan sembuh dengan pidana
penjara, karena seorang pengguna/pecandu merupakan orang yang sakit
maka dia harus diobati.
125
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam rumusan masalah maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dalam menangani perkara tindak pidana yang dilakukan anak, hakim
memberikan perlakuan yang berbeda dengan pelaku tindak pidana orang
dewasa. Berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak yang
berhadapan hukum, Hakim Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta mengacu
pada Pasal 64 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Selain itu, perlakuan hakim terhadap anak yang
melakukan tindak pidana disesuaikan dengan ketentuan yang ada dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang mana
hakim, penyidik, dan penuntut umum yang menangani perkara anak harus
mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Selain
mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak tersebut, hakim juga memperhatikan surat edaran dari Dirjen
Pemasyarakatan yakni Keputusan Menteri Kehakiman No. M-01-PW.07
Tahun 1997 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata Tertib Ruang Sidang
serta Keputusan Kehakiman No. M.01-PK.04.10-25 Tahun 1998 tentang
Tugas, Kewajiban, dan Syarat-Syarat bagi Pembimbing Kemasyarakatan.
126
2. Dalam memutus perkara No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl., hakim menggunakan
dasar-dasar pertimbangan yuridis dan non yuridis. Pertimbangan yuridis
meliputi surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum, keterangan saksi,
keterangan terdakwa, barang bukti, tindakan pidana, dan pasal-pasal dalam
Undang-Undang Narkotika. Sedangkan pertimbangan non yuridis, hakim
membaca Laporan Penelitian Kemasyarakatan dari BAPAS selaku
pembimbing kemasyarakatan yang di dalam laporan tersebut sudah memuat
unsur-unsur sosiologis, psikologis, kriminologis, dan filosofis anak. Dengan
pertimbangan dasar yuridis dan non yuridis tersebut maka putusan hakim
semata-mata bukan sebagai bentuk balas dendam kepada anak melainkan
bertujuan untuk membangun kembali pengendalian diri anak yang
diharapkan ketika anak telah selesai menjalani putusan hakim, anak dapat
diterima dengan baik oleh masyarakat. Namun putusan dari hakim tersebut
kurang sesuai karena si anak mendapatkan hukuman pidana penjara bukan
rehabilitasi. Karena si anak memakai narkotika tidak hanya sekali saja. Jika
tidak mendapat rehabilitasi, si anak bisa memakai narkotika kembali apabila
sudah selesai menjalani hukuman. Sebagai pemula, tindakan rehabilitasi
sejak dini akan sangat membantu terdakwa untuk mendapatkan hak
kesehatan dan hak pendidikannya.
B. Saran
1. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
seharusnya tidak hanya memberi ancaman pidana berupa pidana penjara
saja, namun mengatur ancaman pidana alternatif seperti pidana kurungan
127
atau pidana denda. Karena pidana penjara dalam Undang-Undang Narkotika
hanya diberlakukan secara umum kepada orang yang melakukan tindak
pidana narkotika saja (tidak ada aturan khusus jika pelakunya anak-anak).
Walaupun di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak sudah mengatur kekhususan dalam Pasal 26 Ayat (1)
mengenai ancaman pidana penjara terhadap anak nakal. Hal ini akan
membuat putusan hakim terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika
hanya terpaku pada ancaman pidana penjara saja bukan pada hukuman yang
lain atau hak rehabilitasi. Dalam hal ini akan lebih baik jika hakim
memberikan putusan merehabilitasi anak dengan pertimbangan masa depan
anak masih panjang dan akan menutup kemungkinan si anak untuk
mengulangi perbuatannya lagi.
2. Agar orang tua, masyarakat, dan pemerintah dapat meningkatkan kesadaran
bahwa masalah dan perhatian terhadap anak semestinya tanggung jawab
bersama sehingga anak tidak terjerumus pada perbuatan kriminal.
3. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak maka segenap pihak yang terlibat dalam proses
peradilan pidana anak harus didorong sejak saat ini untuk lebih sensitif
terhadap kondisi anak.
128
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Adi, Kusno. Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana
Narkotika Oleh Anak. cet. Pertama. Malang: UMM Press. 2009.
Amin, SM. Hukum Acara Pengadilan Negeri: Pelajaran Untuk Mahasiswa
Pedoman Untuk Pengacara Dan Hakim. Jakarta: Pradnya Paramita.
1976.
Astuti, Made Sandhi. Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak
Pidana. Malang: IKIP. 1997.
Atmasasmita, Romli. Problema Kenakalan Anak-Anak Remaja. Bandung:
Armico. 1983.
A.W., Wijaya. Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika.
Bandung: Armico. 1985.
Bisri, Cik Hasan (ed) dkk. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di
Indonesia. cet. ke-2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1995.
Dirjosisworo, Soedjono. Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Alumni. 1983.
_________. Hukum Narkotika Indonesia. Bandung: Alumni. 1987.
Gulltom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia. cet. Pertama. Bandung: Refika Aditama.
2006.
Hadiman. Pengawasan Serta Peran Aktif Orangtua dan Aparat Dalam
Penanggulangan dan Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta: Badan
Kerjasama Sosial Usaha Bersama Warga Tama. 2005.
Hadisuprapto, Paulus. Juvenile Deliquency, Pemahaman dan
Penanggulangannya. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1997.
Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. 1994.
_________. Terminologi Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.
Handoyo, Ida Listryarini. Narkoba Perlukah Mengenalnya. Yogyakarta: Pakar
Raya. 2004.
Harairah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak. cet. Ke-1. Bandung: Nuansa. 2006.
129
Hidayat, Bunadi. Pemidanaan Anak Di Bawah Umur. Bandung: Alumni. 2009.
Kanwil Depdiknas DKI Jakarta. Kami Peduli Penanggulangan Bahaya Narkoba.
Jakarta: 2003.
Kartono, Kartini. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 1998.
Kuffal. Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum. Malang: UMM Press. 2008.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 1997.
Lunis, Suhrawardi K. Etika Profesi Hukum. Cet. Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
2000.
Makarao, Moh. Taufik. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia Indonesia.
2003.
Makarao, Moh Taufik dan Suhasril. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan
Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2010.
Mardani. Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Pidana Nasional. Ed. 1. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2008.
Masyhur, Kahar. Membina Moral dan Akhlak. Jakarta: Kalam Mulia. 1985.
Muhammad, Rusli. Potret Lembaga Pengadilan Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2006.
Muladi dan Barda Nawawi. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni. 2010.
Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik, Dan
Permasalahannya. Bandung: Alumni. 2007.
Nadaek, Wilson. Korban Ganja dan Masalah Narkotika. Bandung: Indonesia
Publishing House. 1983.
Nashriana. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia. ed.1. Jakarta:
Rajawali Pers. 2011.
Prakoso, Djoko. Hukum Penitensier di Indonesia. Yogyakarta: Liberty. 1988.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika
Aditama. 2008.
130
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. Renungan Tentang Filsafat Hukum.
Jakarta: Rajawali. 1982.
Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana.
Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI. 1994.
Sabuan, Ansori dkk. Hukum Acara Pidana. Bandung: Angkasa. 1990.
Salman, Otje dan Anton F. Susanto. Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali. Bandung: Refika Aditama. 2004.
Sambas, Nandang. Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia. cet.
Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010.
Sardjono, dkk. Panduan Penulisan Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan
Agama Islam, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. 2008.
Sasangka, Hari. Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana. Bandung:
Mandar Maju. 2003.
Simandjuntak, B. Latar Belakang Kenakalan Remaja (Etiplogi juvenile
delinquency). Bandung: Alumni. 1979.
Simanjuntak. Latar Belakang Kenakalan Anak. cet.2. Bandung: Alumni. 1979.
Simanjuntak, Nikolas. Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Jakarta:
Ghalia. 2009.
Supramono, Gatot. Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta: Djambatan. 2004.
Sembiring, Tambah. Proses Pemeriksaan Perkara Pidana Di Pengadilan Negeri.
Medan: USU Press. 1993.
Setiardja, A. Gunawan. Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila.
Yogyakarta: Kanisius. 1993.
Soeaidy, Sholeh dan Zulkhair. Dasar Hukum Perlindungan Anak. Jakarta:
Novindo Pustaka Mandiri. 2001.
Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2004.
Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi
Aksara. 1990.
131
Soetodjo, Wagiati. Hukum Pidana Anak. cet. Ke-1. Bandung: Refika Aditama.
2006.
Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka A-Kautsar.
1998.
Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.
Skripsi
Lina Munakhiroh. “Sanksi Pengguna Narkotika Oleh Anak (Studi Kasus Putusan
di Pengadilan Negeri Yogyakarta Tahun 2002)”. Skripsi tidak diterbitkan.
Fakultas Syariah. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2008.
Vindriyanti. “Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Narkotika (Studi Putusan
No. 91/PidB/2006/PNYk)”. Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Syariah. UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2008.
Makalah
Nashriana. “Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Penjara
terhadap Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkoba”. Makalah. Universitas
Sriwijaya.
Kamus
Mulyono, Anton M.. Kamus Besar Bahasa Indonesia. cet ii. Jakarta: Balai
Pustaka. 1988.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Vers Luys. 1952.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cet. ke-5. Jakarta:
Balai Pustaka. 1976.
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
Mulyatno. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, cet. 27. Jakarta: Bumi Aksara.
2008.
132
Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. cet. 39.
Jakarta: Pradnya Paramita. 2008.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 Tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor M.06-UM.01.06.
Sumber Lain
Hasil wawancara dengan Sulistyo Muhammad Dwi Putro, S.H., Hakim
Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta, tanggal 26 Juni 2013.
Hasil wawancara dengan Ayun Kristiyanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri
Bantul Yogyakarta, tanggal 02 Juli 2013.
http://pn-bantul.go.id/.html, Diakses pada tanggal 06 Desember 2013 pukul 10.14
sampai pukul 10.36 WIB.
164
LAMPIRAN
DAFTAR PERTANYAAN
HAKIM PENGADILAN NEGERI BANTUL YANG MEMUTUS PERKARA
No. 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl.
1. Apa saja jenis-jenis tindak pidana yang pada umumnya dilakukan oleh anak?
2. Kebanyakan usia berapa saja anak tersebut melakukan tindak pidana
tersebut?
3. Apa saja jenis sanksi yang telah atau pada umumnya dijatuhkan dalam kasus
tindak pidana yang dilakukan oleh anak?
4. Berdasarkan beberapa kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang
pernah terjadi, apa saja faktor penyebab anak melakukan tindak pidana?
5. Kebanyakan tindak pidana yang dilakukan oleh anak memiliki motif apa?
6. Bagaimana latar belakang anak (keluarga) yang melakukan tindak pidana?
7. Mengenai putusan pada nomor perkara 97/Pid.Sus/2011/PN.Btl, apa saja
faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut?
8. Perlakuan apa yang diperoleh anak selama menjalani proses persidangan?
9. Hak-hak apa saja yang diberikan kepada anak tersebut?
10. Seperti yang kita ketahui bahwa status narapidana pastinya akan melekat
kepada anak tersebut, dalam hal ini apa saja yang dilakukan untuk
membangun mental anak ketika si anak tersebut?
165
CURRICULUM VITAE
A. Identitas Diri
Nama : Nurfi Usmianti
Tempat dan Tanggal Lahir : Kulon Progo, 05 Agustus 1990
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Nama Ayah : Warsita, A.Ma.Pd.
Nama Ibu : Sudayem
Alamat Asal : Botokan RT 07, Jatirejo, Lendah, Kulon
Progo, Yogyakarta 55663
B. Riwayat Pendidikan
1. TK ABA Brosot I, Lulus Tahun 1997
2. SD Negeri I Lendah, Lulus Tahun 2003
3. SMP Negeri I Galur, Lulus Tahun 2006
4. SMA Negeri I Lendah, Lulus Tahun 2009
5. Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Lulus Tahun 2014
C. Pengalaman Organisasi
1. Bendahara OSIS di SMA Negeri I Lendah, Periode Tahun 2007-2008
2. Sekretaris OSIS di SMA Negeri I Lendah, Periode Tahun 2008-2009
3. Sekretaris Dewan Kerja Ambalan di SMA Negeri I Lendah, Periode
Tahun 2008-2009
4. Sekretaris FIRMAN di Masjid Al-Anwar Botokan, Periode Tahun 2009-
2014.