MITOS IDENTIFIKASI GENDER DALAM IKLAN

14
MITOS IDENTIFIKASI GENDER DALAM IKLAN Analisis Mitologi Roland Barthes terhadap TVC Traveloka.com Versi “Cari Tiket Pesawat” dan “Cari Hotel” 1 Inamul Haqqi Hasan Abstract Traveloka.com, an online travel ticket booking service based in Jakarta, has launched its television commercials (TVC) in two versions, “Cari Tiket Pesawat” (a man looking for a flight ticket) and “Cari Hotel” (a woman looking for a hotel voucher). The separation of the versions into a man’s story and woman’s story with their own “identities” is an interesting topic to be analyzed with gender perspective. Roland Barthes’ two-order-of-signification method (or mythologies) can be used to show how the myths of gender identification (identity determining) constructed the TVCs by analyzing their connotations. The myths of gender identification constructed the Traveloka.com’s TVCs by the concept of role distribution, the stereotype of strong-man and weak-woman, subordination, and objectification of woman. Keywords: television commercial, gender, myth PENDAHULUAN Dalam konsep segmentasi dan positioning konvensional yang selama ini banyak dipakai oleh para praktisi periklanan, memanfaatkan identifikasi (penetapan identitas) berbasis jenis kelamin menjadi salah satu ramuan yang dipercaya ampuh. Pembedaan sifat, watak, sikap, peran, hingga kebiasaan- kebiasaan kecil antara laki-laki dan perempuan dikemas sedemikian rupa dengan harapan pesan iklan dapat tersampaikan secara efektif. Maka tidak mengherankan jika representasi figur laki-laki dan, khususnya, perempuan dalam berbagai iklan tampak identik. 1 Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Kreativisual: Jurnal Disain Komunikasi Visual DKV MSD Yogyakarta, vol. 2 no. 1 Februari 2015.

Transcript of MITOS IDENTIFIKASI GENDER DALAM IKLAN

MITOS IDENTIFIKASI GENDER DALAM IKLAN

Analisis Mitologi Roland Barthes terhadap TVC Traveloka.com

Versi “Cari Tiket Pesawat” dan “Cari Hotel”1

Inamul Haqqi Hasan

Abstract

Traveloka.com, an online travel ticket booking service based in Jakarta, has launched its television commercials (TVC) in two versions, “Cari Tiket Pesawat” (a man looking for a flight ticket) and “Cari Hotel” (a woman looking for a hotel voucher). The separation of the versions into a man’s story and woman’s story with their own “identities” is an interesting topic to be analyzed with gender perspective. Roland Barthes’ two-order-of-signification method (or mythologies) can be used to show how the myths of gender identification (identity determining) constructed the TVCs by analyzing their connotations. The myths of gender identification constructed the Traveloka.com’s TVCs by the concept of role distribution, the stereotype of strong-man and weak-woman, subordination, and objectification of woman. Keywords: television commercial, gender, myth

PENDAHULUAN

Dalam konsep segmentasi dan positioning konvensional yang selama ini

banyak dipakai oleh para praktisi periklanan, memanfaatkan identifikasi

(penetapan identitas) berbasis jenis kelamin menjadi salah satu ramuan yang

dipercaya ampuh. Pembedaan sifat, watak, sikap, peran, hingga kebiasaan-

kebiasaan kecil antara laki-laki dan perempuan dikemas sedemikian rupa dengan

harapan pesan iklan dapat tersampaikan secara efektif. Maka tidak mengherankan

jika representasi figur laki-laki dan, khususnya, perempuan dalam berbagai iklan

tampak identik.

1 Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Kreativisual: Jurnal Disain Komunikasi Visual DKV

MSD Yogyakarta, vol. 2 no. 1 Februari 2015.

Tanpa kajian kritis mengenai identifikasi tersebut, ia akan dianggap

sebagai sesuatu yang alamiah dan tidak perlu dipertanyakan karena memang

sudah seharusnya (taken for granted). Padahal jika ditinjau secara biologis,

perbedaan jenis kelamin (sex) laki-laki dan perempuan hanyalah terletak pada

organ reproduksi, kemudian ciri sekunder seperti payudara pada perempuan dan

jakun pada laki-laki, serta hormon dan komposisi kimiawi dalam tubuh. Artinya,

konsep atau imaji kita tentang perbedaan karakter maupun peran laki-laki dan

perempuan sesungguhnya bukanlah alamiah. Itulah yang disebut dengan gender,

suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang

dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2007: 8).

Identifikasi gender pada akhirnya merupakan stereotip (pelabelan) yang

terus hidup dalam budaya, sistem, atau ideologi patriarki. Sylvia Walby (2014:

28) mendefinisikan patriarki sebagai sebuah sistem struktur sosial dan praktik-

praktik di mana laki-laki mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi

perempuan. Walby menekankan istilah “struktur sosial” untuk menolak

determinisme biologis sebagaimana masih sering terjadi kerancuan antara sex dan

gender.

Kerancuan antara yang alamiah dan yang kultural tentang identifikasi

gender di atas dapat kita sebut sebagai “mitos”, yaitu unsur penting yang dapat

mengubah sesuatu yang kultural atau historis menjadi alamiah dan mudah

dimengerti (Hoed, 2011: 68). Mitos di Indonesia seringkali diidentikkan dengan

hal-hal gaib dan keramat yang hanya hidup dalam budaya tradisional. Namun,

dalam pengertiannya yang mutakhir, mitos juga hidup dalam peradaban modern

maupun posmodern. Mitos bagi Barthes (2006: 295) adalah sebuah mode

pertandaan (a mode of signification) yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian

selanjutnya.

Untuk membedah bagaimana mitos identifikasi gender beroperasi dalam

iklan, penulis mengambil studi kasus iklan televisi (TV Commercial/TVC)

Traveloka.com yang terdiri dari versi “Cari Tiket Pesawat” dan “Cari Hotel.”

Traveloka.com adalah salah satu e-commerce (perdagangan elektronik) Indonesia

yang bergerak di bidang agensi tiket pesawat. Penyedia layanan booking tiket

pesawat dan hotel secara online tersebut didirikan oleh Ferry Unardi, seorang

mantan software engineer Microsoft, yang di-launching pada Oktober 2012

(http://swa.co.id/entrepreneur/ferry-unardi-mengibarkan-traveloka-dari-titik-nol).

Awalnya perusahaan tersebut hanya mengandalkan media sosial untuk promosi,

akan tetapi di akhir 2014 mereka memperluas strategi medianya dengan

meluncurkan iklan televisi dalam dua versi sebagaimana disebut di atas.

Pemilihan TVC Traveloka.com sebagai objek kajian ini didasari tiga

alasan. Pertama, kebaruan. TVC ini dirilis pada bulan Oktober 2014, sehingga

diharapkan dapat mewakili kecenderungan narasi dan sinematik TVC saat ini.

Kedua, adanya dua versi iklan yang merupakan bentuk segregasi (pemisahan)

antara “cerita laki-laki” dan “cerita perempuan,” sehingga tepat untuk dikaji

dengan perspektif gender. Ketiga, berdasarkan produk yang ditawarkan, TVC ini

menyasar segmentasi kelas menengah perkotaan, sehingga diharapkan dapat

memberikan gambaran bagaimana mitos gender bekerja pada kalangan yang

dianggap rasional tersebut.

Sebagai pisau analisis, akan digunakan metode pertandaan dua lapis (two

order of signification), atau mitologi, yang diperkenalkan oleh Roland Barthes.

Pada akhirnya, kajian ini hendak menjawab suatu rumusan masalah yaitu

bagaimana mitos identifikasi gender membentuk penokohan laki-laki dan

perempuan dalam TVC Traveloka.com?

MITOLOGI ROLAND BARTHES

Roland Barthes (1915-1980) adalah salah satu tokoh semiotika yang juga

dikenal sebagai kritikus kebudayaan kontemporer. Ia adalah seorang Saussurean

(penerus tradisi semiologi Ferdinand de Saussure), sehingga untuk pembahasan

teori mitologi Barthes perlu dilandasi dengan teori semiologi Saussure.

Ferdinand de Saussure (1857-1913) merupakan seorang ahli linguistik

yang berasal dari Genewa, Swiss. Ia mengembangkan konsep linguistik sinkronik,

yaitu memandang bahasa sebagai suatu sistem yang eksis pada satu titik tertentu.

Konsep linguistik sinkronik Saussure adalah dikotomi yang terdiri dari langue dan

parole, sintagmatik dan paradigmatik, serta penanda dan petanda (Budiman, 2011:

24). Dikotomi penanda dan petanda inilah yang menjadi konsep dasar Saussure

dalam kajian tanda. Saussure memandang bahasa sebagai suatu sistem tanda, yaitu

suatu keterjalinan tanda-tanda menurut suatu aturan tertentu yang memungkinkan

bahasa menjalankan fungsi hakikinya sebagai sarana representasi dan komunikasi

(Widada, 2009: 17).

Tanda (sign) terhimpun dari penanda (Inggris: signifier, Prancis:

signifiant) dan petanda (Inggris: signified, Prancis: signifie). Penanda merupakan

citra akustik (acoustic image), yaitu aspek material tanda yang bersifat sensoris

atau dapat diindrai. Sedangkan petanda adalah aspek mental dari tanda-tanda,

yang juga sering disebut dengan konsep, yaitu konsep-konsep ideasional yang

berada dalam benak (Budiman, 2011: 30).

Roland Barthes mengembangkan semiologi Saussure di atas menjadi

konsep E-R-C, yang dipinjamnya dari teori Louis Hjelmslev (seorang Saussurean

sebelum Barthes), dan sistem pertandaan berlapis. E adalah expression yang

sepadan dengan penanda, C adalah content yang sepadan dengan petanda, dan R

adalah relation yaitu relasi antara E dan C. Dalam konsepsi Saussure, sistem

pertandaan terjadi jika ada elemen E dan C serta ada R antara E dan C tersebut,

disingkat ERC (Budiman, 2011: 39). Oleh Barthes, pertandaan tersebut disebut

dengan denotasi. Selanjutnya, sistem denotasi itu hanya akan menjadi elemen E

dalam sistem pertandaan lain yang lebih luas, yaitu sistem konotasi. Pada

akhirnya muncul dua pertandaan yang bersebelahan tapi tidak bersatu, atau

dengan kata lain, berlapis (Barthes, 2012: 91).

Gambar 1. Bagan Sistem Pertandaan Berlapis

Dalam bukunya yang berjudul Mythologies, Barthes menyebutkan bahwa

dalam pertandaan lapis kedua (konotasi) tersebut berlaku “mitos”. John Fiske

menjelaskan bahwa mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau

memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan

produk kelas sosial yang telah memiliki suatu dominasi (Wibowo, 2013: 22).

Semantara bagi Van Zoest, mitos adalah suatu wahana di mana suatu ideologi

berwujud. Sejalan dengan Barthes, ia menyebutkan untuk menemukan ideologi

dalam suatu teks adalah dengan meneliti konotasi-konotasi di dalamnya (ibid, 22).

PEMBAHASAN

Analisis TVC Traveloka.com berdurasi 30 detik ini akan dilakukan dengan

mendeskripsikan denotasi dan konotasi masing-masing versi, kemudian akan

dikomparasikan untuk mengkaji mitos atau ideologi gender dalam konotasi

tersebut.

TVC versi “Cari Tiket Pesawat”

Gambar 2. Screen capture TVC versi “Cari Tiket Pesawat”

Denotasi: Seorang laki-laki, berbadan gemuk, sedang berada di ruangan

kantor hendak membeli tiket pesawat secara online. Ia membuka situs agen-

ticket.com di komputer kerjanya dan memesan tiket pesawat Jakarta-Bali seharga

Rp 199.900. Tiba-tiba, ia mendengar suara seorang laki-laki entah dari mana

berbunyi “cek, cek, satu, cek” dilanjutkan dengan keluarnya empat tangan dari

layar monitor diiringi suara beberapa orang mengatakan “duit bagasi” berulang-

ulang. Tangan-tangan tersebut mengambil uang dari saku si laki-laki dan ia pun

berusaha mencegah/melawan dengan tangannya.

Melalui animasi teks diceritakan biaya yang tadinya hanya Rp 199.900

menjadi Rp 400.000 karena tambahan biaya bagasi, fuel surcharge, pajak, dan

biaya transaksi. Dilengkapi dengan narasi yang mengatakan “Yang gini nggak

kejadian kalau pesen tiket pesawat di Traveloka.com, karena harga tiket yang

Anda bayarkan tanpa ada tambahan harga ini itu.” Laki-laki tersebut kemudian

digambarkan melakukan transaksi di Traveloka.com (secara virtual) dan akhirnya

ia bisa berwisata di pantai ditemani dua orang perempuan.

Konotasi. Dalam sebuah TVC, walaupun hanya berdurasi 30 detik,

banyak sekali konotasi yang dapat kita tangkap. Agar tidak terlalu melebar,

penulis mengacu pada struktur tiga babak yaitu fokus mengkaji konotasi-konotasi

dalam konstruksi pengenalan tokoh, permasalahan, dan penyelesaian.

Pertama, pengenalan tokoh. Si laki-laki adalah seseorang yang dapat kita

tangkap sebagai karyawan kantor [expression/E: baju dan setting ruang], berusia

30-an tahun [E: wajah dan badan], dengan tumpukan pekerjaan [E: banyaknya

kertas dan folder di belakangnya] yang membuatnya harus kerja lembur [E:

setting cahaya remang=malam hari]. Dari sini kita dapatkan premis mengapa ia

memesan tiket pesawat, yaitu untuk berlibur atau refreshing dari penatnya

pekerjaan kantor.

Kedua, permasalahan. Si laki-laki merasa senang [E: tersenyum] saat

mendapatkan tiket pesawat Jakarta-Bali seharga Rp 199.900, akan tetapi ternyata

harga tersebut belum termasuk biaya-biaya lain yang membuat harga yang harus

dibayarkan mencapai dua kali lipat. Jasa agen tiket online kompetitor

Traveloka.com [E: situs agen-ticket.com] yang seolah memberikan harga murah

ternyata justru merugikan karena nantinya akan menguras uang konsumennya

dengan berbagai hidden fee [E: tangan-tangan dari monitor yang mengambil

uang].

Ketiga, penyelesaian. Si laki-laki akhirnya melakukan pembelian tiket

pesawat melalui Traveloka.com dan ia pun merasa bahagia [E: ekspresi wajah dan

gesture] karena dapat berwisata [E: penggunaan baju pantai] dengan biaya yang

terprediksi, tanpa tambahan biaya “ini itu.” Klimaks kebahagiaannya adalah saat

ia berada di pantai ditemani dua perempuan seolah ia seorang raja bersama

dayang-dayangnya [E: laki-laki dalam posisi tiduran, salah satu perempuan duduk

di sampingnya menyuapinya].

TVC Versi “Cari Hotel”

Gambar 3. Screen capture TVC versi “Cari Hotel”

Denotasi: Seorang perempuan berada di ruang makan sedang menelepon

seseorang sambil menangis dan bercerita, “aku diduain lagi.” Ia kemudian

mengambil komputer tablet yang berada di dekatnya, membuka situs agen-

hotel.com, dan mengklik sebuah banner bertuliskan PAKET LIBURAN Rp

399.900. Setelah meletakkan komputer tabletnya, ia kembali menempelkan

telepon genggamnya ke telinga dan melanjutkan pembicaraan dengan bertanya,

“gimana dong?”

Tiba-tiba, keluar sebuah tangan dari layar komputer tablet menuju dompet

yang terletak di dekatnya dan membuka dompet tersebut. Kemudian bertambah

menjadi tiga tangan yang mengambil uang tunai dan kartu kredit dari dalam

dompet. Mengetahui hal itu, si perempuan berteriak setengah menangis dengan

bunyi “aaa… aaa…” sambil memukul-mukulkan kedua tangannya ke meja.

Sebuah animasi teks menceritakan biaya yang tadinya hanya Rp 399.900

menjadi Rp 700.000 karena tambahan biaya transaksi, pajak, dan service charge.

Dilanjutkan dengan narasi yang mengatakan “Yang gini nggak kejadian kalau

pesen voucher hotel di Traveloka.com, karena harga voucher yang Anda bayarkan

tanpa ada tambahan harga ini itu.” Perempuan tersebut kemudian digambarkan

melakukan transaksi di Traveloka.com (secara virtual) lalu menyobek sebuah foto

seorang perempuan bersama seorang laki-laki dan melemparkannya. Sebagai

penutup, ia berada di dekat kaca besar di sebuah ruangan, melihat ke luar tampak

seorang laki-laki berdiri di balkon, lalu si perempuan membalikkan badan sambil

menarik gorden menutupi dirinya. Bersamaan dengan itu terdengan suara si

perempuan berbunyi “aaa…”

Konotasi. Pertama, seorang perempuan berusia sekitar 25-an tahun [E:

wajah], kelas menengah [E: menu sarapan, komputer tablet, kartu kredit]. Pada

pagi hari [E: menu sarapan, lampu masih menyala, cahaya dari jendela],

menelepon sahabatnya untuk curhat masalah kekasihnya yang selingkuh dengan

perempuan lain untuk yang kesekian kalinya [E: “aku diduain lagi,” umumnya

cerita masalah percintaan adalah dengan sahabat]. Jadi, premis awalnya adalah ia

mem-booking hotel untuk berwisata sebagai usaha “move on” atau melupakan

(mantan) kekasih dan perbuatannya yang menyakiti hati si perempuan.

Kedua, perempuan merasa sedikit terhibur [E: berhenti menangis sejenak

dan sedikit tersenyum] saat mendapati tawaran paket liburan menginap di Villa

Ella seharga Rp 399.900 dan ia pun memesannya. Namun, ternyata harga tersebut

belum termasuk biaya-biaya lain yang membuat harga yang harus dibayarkan

mencapai Rp 700.000. Jasa agen hotel online kompetitor Traveloka.com [E: situs

agen-hotel.com] yang seolah memberikan harga murah ternyata justru merugikan

karena nantinya akan ada tagihan-tagihan tambahan [E: tangan-tangan dari layar

yang mengambil uang] yang jumlahnya tidak sedikit. Hal itu membuat si

perempuan bertambah sedih bercampur jengkel [E: suara “aaa…,” eskpresi wajah,

dan tangan memukul-mukul meja].

Ketiga, perempuan akhirnya melakukan booking Villa Ella Ubud melalui

Traveloka.com dan ia pun merasa bahagia [E: ekspresi wajah, gesture, baju warna

kuning cerah] karena harga yang dibayarkan sudah mencakup biaya-biaya lain.

Karena kebahagiaan itu, ia sembuh dari sakit hati dan dapat melupakan mantan

kekasihnya [E: menyobek dan membuang fotonya bersama sang mantan kekasih

dengan ekspresi bahagia]. Bahkan, di villa tempat ia menginap, ia melihat dan

saling tatap dengan seorang laki-laki yang juga sendiri. Hal itu membuatnya

senang sekaligus malu-malu dan canggung [E: membalikkan badan, agak

menutup gorden, tersenyum lebar, suara “aaa…”].

Mitos Identifikasi Gender dalam TVC Traveloka.com

Jika kita kaji TVC di atas menggunakan perspektif periklanan, dapat kita

ketahui bahwa segementasinya adalah mereka yang terbiasa memesan tiket

pesawat atau reservasi kamar hotel secara online. Sedangkan tujuan

komunikasinya adalah menyampaikan bahwa kelebihan Traveloka.com terletak

pada harga yang ditawarkan di awal adalah harga final, tidak ada tambahan biaya

lain-lain di waktu selanjutnya. Tujuan komunikasi tersebut dipertajam dengan

positioning yang mengajak audiens membandingkan dengan kompetitornya,

bahwa para kompetitor mungkin menawarkan harga lebih murah, akan tetapi

nantinya konsumen akan diminta membayar tambahan biaya lain-lain yang

jumlahnya tidak sedikit. Pada akhirnya konsep tersebut dieksekusi dengan strategi

kreatif narasi dan sinematik sebagaimana yang sering kita saksikan di layar

televisi. Namun, penelitian ini bukan hendak membaca inti iklan, justru elemen-

elemen detail iklan, baik unsur naratif maupun sinematik, yang dikonstruksikan

oleh kretaor yang menjadi fokus kajian.

Pertama-tama, penulis akan memasukkan poin-poin dalam pembacaan

denotatif dan konotatif dari kedua versi iklan di atas dalam sebuah tabel sebagai

berikut:

Versi “Cari Tiket Pesawat”

(Laki-laki)

Versi “Cari Hotel”

(Perempuan)

Identitas tokoh Usia 30-an tahun

Karyawan kantor

Usia 25-an tahun

Profesi tidak diketahui

Masalah tokoh Penat karena pekerjaan Kekasihnya selingkuh

Usaha penyelesaian Berwisata Berwisata

Masalah penyelesaian Denotatif: tangan-tangan Denotatif: tangan-tangan

mengambil uang

Konotatif: banyak biaya

tambahan

mengambil uang

Konotatif: banyak biaya

tambahan

Respon (denotatif) Melawan dengan tangan Menangis

Solusi Memesan via Traveloka.com Memesan via

Traveloka.com

Hasil Bahagia, lepas dari pekerjaan

kantor

Bahagia, dapat

melupakan mantan

kekasihnya

Tambahan hasil Ditemani dua orang

perempuan Bertemu seorang laki-laki

Respon Menikmati Malu-malu

Dari tabel perbandingan di atas, dapat kita tangkap bahwa penokohan si

laki-laki dan si perempuan dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga membentuk

oposisi berbasis gender. Pertama, mengenai pekerjaan tokoh. Si laki-laki secara

jelas digambarkan sebagai perkerja sedangkan si perempuan di rumah, meskipun

juga tidak dapat disimpulkan bahwa ia tidak bekerja. Di sini terdapat mitos

pembagian peran bahwa laki-laki berada di ranah publik sedangkan perempuan di

ranah domestik. Mitos ini adalah bentuk ideologi patriarki tradisional yang

sebenarnya telah banyak ditinggalkan di era sekarang, tentu masih banyak juga

yang mempertahankan.

Kedua, tentang masalah yang dihadapi. Masalah si laki-laki datang dari

dunia kerjanya sedangkan si perempuan dari laki-laki (kekasihnya). Konstruksi

mitos yang bekerja adalah soal independensi laki-laki dan dependensi perempuan

dalam relasi gender. Dalam masyarakat yang patriarkis, perempuan dianggap

sebagai subordinat laki-laki, meminjam istilah Simone de Beauvoir, perempuan

adalah the second sex.

Ketiga, bentuk perlawanan. Si laki-laki berusaha melawan tangan-tangan

yang berusaha mengambil uang dengan tangannya sedangkan si perempuan hanya

menangis tanpa melakukan perlawanan. Ini adalah mitos dan stereotip gender

yang paling umum: laki-laki kuat perempuan lemah, laki-laki aktif perempuan

pasif. Keempat, si laki-laki menikmati ditemani dua perempuan dan si perempuan

malu-malu sekadar bertatapan dengan seorang laki-laki. Kita dapat melihat

bagaimana perempuan terobjektifikasi sebagai hiburan untuk laki-laki dan

sekaligus tersubordinasi menjadi “penunggu” dalam relasi percintaan lawan jenis.

PENUTUP

Dari pembahasan di atas, dapat kita cermati bahwa oposisi antara laki-laki

dan perempuan dalam TVC ini adalah sebuah oposisi biner atau oposisi yang

hierarkis, di mana salah satu pihak (laki-laki) lebih superior dibanding pihak lain

(perempuan). Superioritas laki-laki sebagai mitos identifikasi gender bekerja

dalam konstruksi narasi dan sinematik TVC Traveloka.com versi “Cari Tiket

Pesawat” dan versi “Cari Hotel” melalui konsep pembagian peran, stereotip

kekuatan laki-laki dan kelemahan perempuan, serta subordinasi dan objektifikasi

perempuan.

Dalam konsepsi Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis, konstruksi di

atas sejatinya adalah sebuah dominasi yang halus (eufemisme) yang disebutnya

sebagai “kekerasan simbolik.” Kekerasan simbolik adalah suatu bentuk kekerasan

yang halus dan tak tampak (the gentle, invisible form of violence) yang dibaliknya

menyembunyikan praktik dominasi (Fashri, 2014: 143). Karena eufemisasi atau

penghalusan itu, korban kekerasan simbolik seringkali tidak menyadari dan

menerimanya begitu saja. Bourdieu juga menegaskan bahwa bahasa, termasuk

bahasa verbal dan visual dalam iklan, tidak hanya berfungsi sebagai alat

komunikasi tetapi juga instrumen kekuasaan (ibid, 145).

Pada akhirnya, menjadi pilihan bagi insan kreatif di dunia periklanan

apakah ingin mewujudkan peradaban yang lebih adil gender, ataukah ingin tetap

melanggengkan mitos-mitos gender dan terus melakukan kekerasan simbolik.

DAFTAR PUSTAKA

Barthes, Roland. 2006. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika atau

Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi (diterjemahkan dari

Mythologies dan The Eiffel Tower and Other Mythologies oleh Ikramullah

Mahyuddin). Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.

Barthes, Roland. 2012. Elemen-elemen Semiologi (diterjemahkan dari Elements of

Semiology oleh Kahfie Nazaruddin). Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.

Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas.

Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.

Fakih, Mansour. 2007. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:

Insist Press.

Fashri, Fauzi. 2014. Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta:

Penerbit Jalasutra.

Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas

Bambu.

Majalah SWA Online. Ferry Unardi, Mengibarkan Traveloka dari Titik Nol.

http://swa.co.id/entrepreneur/ferry-unardi-mengibarkan-traveloka-dari-

titik-nol diakses pada 30 Maret 2015.

Walby, Sylvia. 2014. Teorisasi Patriarki (diterjemahkan dari Theorizing

Patriarchy oleh Mustika K. Prasela). Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.

Wibowo, Indiwan Setyo Wahyu. 2013. Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis

bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana

Media.

Widada, Rh. 2009. Saussure untuk Sastra: Sebuah Metode Kritik Sastra

Struktural. Yogyakarta: Jalasutra.

Video TVC dapat dilihat di saluran Traveloka di Youtube dengan alamat:

1. Versi “Cari Hotel” https://www.youtube.com/watch?v=jNXwDKohzfM

2. Versi “Cari Tiket Pesawat”

https://www.youtube.com/watch?v=ggQ12ySHMEc