MIGRASI SEBAGAI BENTUK ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

14
1 MIGRASI SEBAGAI BENTUK ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM 1 Oleh : Dyah Ita Mardiyaningsih Pendahuluan Perubahan iklim merupakan suatu yang harus terjadi dan tidak dapat dihindari sebagai dampak dari aktivitas manusia itu sendiri. Pernyataan tersebut merupakan hasil Laporan Kajian Keempat yang dilansir Panel antar Pemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC) pada tahun 2007 (Locatelli et al. 2009; Guzmán et al. 2009). Dampak tersebut merupakan bagian hasil penilaian yang mencakup ukuran populasi global dan pertumbuhan dalam proyeksi emisi tanpa membedakan antara tingkat emisi kelompok sosial atau demografis yang berbeda. Forum IPCC melihat isu-isu kependudukan terkait perubahan iklim bukan menjadi hal penting. Isu kependudukan terkait perubahan iklim lebih banyak muncul dalam pemberitaan sebagai bentuk kekhawatiran mengenai potensi migrasi besar-besaran akibat perubahan iklim (Guzmán et al. 2009). Dampak perubahan iklim yang saat ini sudah dirasakan dan diprediksi semakin meningkat dimasa depan secara global adalah kenaikan permukaan air laut, perubahan pola curah hujan dan konsekuensi terhadap produksi dan infrastruktur pertanian (Guzmán et al. 2009). Pada sektor pertanian di Indonesia, pengaruh perubahan dibedakan menjadi dua indikator yaitu kerentanan (kondisi yang mempengaruhi kemampuan beradaptasi) dan dampak (gangguan/kerugian/keuntungan). Dampak perubahan iklim pada sektor ini bersifat multi-dimensional karena terkait dengan berbagai hal yaitu sumberdaya manusia, infrastruktur pertanian, sistem produksi pertanian, ketahanan dan kemandirian pangan serta kesejahteraan petani (Balitbang Pertanian 2014). Penurunan produksi pertanian secara signifikan terjadi terutama disebabkan oleh perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu udara. Banjir dan kekeringan sebagai bentuk kejadian iklim ekstrim menyebabkan gagal panen meluas. Peningkatan permukaan air laut juga menyebabkan penciutan lahan sawah di daerah pesisir dan kerusakan tanaman akibat salinitas (Surmaini et al. 2011). Dampak- dampak tersebut terutama dirasakan oleh petani maupun masyarakat yang berlokasi di dataran rendah dan pesisir pantai yang merupakan wilayah paling rentan terkena dampak perubahan iklim. Salah satunya terjadi di Kota Semarang yang berbatasan dengan Laut Jawa yang sebagian masyarakatnya terisolir karena naiknya permukaan air laut sehingga mengalami kerugian secara sosial, ekonomi, lingkungan biografi dan lingkungan terbangun (Macchi 2008 dalam Hidayah 2009; Hidayah 2009). Kasus di Semarang hanya contoh dari sekian kasus yang dihadapi masyarakat akibat perubahan iklim di Indonesia. Tidak hanya di wilayah pesisir, petani yang tinggal di daerah dataran tinggi ataupun daerah pedalaman mengalami kondisi yang sama. Petani peladang di pedalaman Kalimantan Timur mengeluhkan berubahnya pola musim dan pola hujan sehingga kegagalan panen menjadi semakin sering terjadi bukan hanya karena kekeringan tetapi munculnya hama sejenis serangga di dalam tanah yang memakan tanaman muda dan serangan hama babi, tikus dan monyet pada tanaman yang hampir panen (Hadi et al. 2014). Penelitian Dharmawan et al. (2014) di dua desa di Kabupaten Banyuasin - Sumatera Selatan memperlihatkan variabilitas iklim ditandai dengan cuaca tak menentu memunculkan hama penyakit, seperti ‘patah leher’ atau ‘blast’ pada tanaman padi dan penyakit ‘bulei’ pada tanaman Jagung. Kondisi ini memparah kondisi ekonomi petani yang tidak memiliki mata 1 Tulisan ini merupakan bagian dari tugas akhir M.K. Dinamika Kependudukan (Program Studi Sosiologi Pedesaan-Institut Pertanian Bogor)

Transcript of MIGRASI SEBAGAI BENTUK ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

1

MIGRASI SEBAGAI BENTUK ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM1

Oleh : Dyah Ita Mardiyaningsih

Pendahuluan

Perubahan iklim merupakan suatu yang harus terjadi dan tidak dapat dihindari

sebagai dampak dari aktivitas manusia itu sendiri. Pernyataan tersebut merupakan hasil

Laporan Kajian Keempat yang dilansir Panel antar Pemerintah mengenai Perubahan

Iklim (IPCC) pada tahun 2007 (Locatelli et al. 2009; Guzmán et al. 2009). Dampak

tersebut merupakan bagian hasil penilaian yang mencakup ukuran populasi global dan

pertumbuhan dalam proyeksi emisi tanpa membedakan antara tingkat emisi kelompok

sosial atau demografis yang berbeda. Forum IPCC melihat isu-isu kependudukan terkait

perubahan iklim bukan menjadi hal penting. Isu kependudukan terkait perubahan iklim

lebih banyak muncul dalam pemberitaan sebagai bentuk kekhawatiran mengenai potensi

migrasi besar-besaran akibat perubahan iklim (Guzmán et al. 2009).

Dampak perubahan iklim yang saat ini sudah dirasakan dan diprediksi semakin

meningkat dimasa depan secara global adalah kenaikan permukaan air laut, perubahan pola

curah hujan dan konsekuensi terhadap produksi dan infrastruktur pertanian (Guzmán et al.

2009). Pada sektor pertanian di Indonesia, pengaruh perubahan dibedakan menjadi dua

indikator yaitu kerentanan (kondisi yang mempengaruhi kemampuan beradaptasi) dan

dampak (gangguan/kerugian/keuntungan). Dampak perubahan iklim pada sektor ini

bersifat multi-dimensional karena terkait dengan berbagai hal yaitu sumberdaya manusia,

infrastruktur pertanian, sistem produksi pertanian, ketahanan dan kemandirian pangan serta

kesejahteraan petani (Balitbang Pertanian 2014). Penurunan produksi pertanian secara

signifikan terjadi terutama disebabkan oleh perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu

udara. Banjir dan kekeringan sebagai bentuk kejadian iklim ekstrim menyebabkan gagal

panen meluas. Peningkatan permukaan air laut juga menyebabkan penciutan lahan sawah

di daerah pesisir dan kerusakan tanaman akibat salinitas (Surmaini et al. 2011). Dampak-

dampak tersebut terutama dirasakan oleh petani maupun masyarakat yang berlokasi di

dataran rendah dan pesisir pantai yang merupakan wilayah paling rentan terkena dampak

perubahan iklim. Salah satunya terjadi di Kota Semarang yang berbatasan dengan Laut

Jawa yang sebagian masyarakatnya terisolir karena naiknya permukaan air laut sehingga

mengalami kerugian secara sosial, ekonomi, lingkungan biografi dan lingkungan

terbangun (Macchi 2008 dalam Hidayah 2009; Hidayah 2009). Kasus di Semarang hanya

contoh dari sekian kasus yang dihadapi masyarakat akibat perubahan iklim di Indonesia.

Tidak hanya di wilayah pesisir, petani yang tinggal di daerah dataran tinggi ataupun daerah

pedalaman mengalami kondisi yang sama. Petani peladang di pedalaman Kalimantan

Timur mengeluhkan berubahnya pola musim dan pola hujan sehingga kegagalan panen

menjadi semakin sering terjadi bukan hanya karena kekeringan tetapi munculnya hama

sejenis serangga di dalam tanah yang memakan tanaman muda dan serangan hama babi,

tikus dan monyet pada tanaman yang hampir panen (Hadi et al. 2014). Penelitian

Dharmawan et al. (2014) di dua desa di Kabupaten Banyuasin - Sumatera Selatan

memperlihatkan variabilitas iklim ditandai dengan cuaca tak menentu memunculkan hama

penyakit, seperti ‘patah leher’ atau ‘blast’ pada tanaman padi dan penyakit ‘bulei’ pada

tanaman Jagung. Kondisi ini memparah kondisi ekonomi petani yang tidak memiliki mata

1 Tulisan ini merupakan bagian dari tugas akhir M.K. Dinamika Kependudukan (Program Studi Sosiologi

Pedesaan-Institut Pertanian Bogor)

2

pencaharian lain selain sebagai petani padi dan tanaman padi hanya diusahakan sekali

dalam setahun.

Dampak perubahan iklim tidak sepenuhnya merugikan masyarakat pada umunya

atau petani pada khususnya. Kasus di salah satu desa di Kabupaten Pangandaran

memperlihatkan bahwa perubahan pola hujan memberikan keuntungan bagi petani karena

dapat panen di luar musim sehingga mendapatkan harga komoditas yang lebih tinggi.

Lahan-lahan pertanian yang pada umumnya terkena banjir, karena musim kering yang

lebih panjang menjadi dapat ditanami sehingga petani dapat menanam padi lebih dari satu

kali dalam satu tahun (Dharmawan et al. 2014). Meskipun ada yang diuntungjan dengan

perubahan iklim, sebagian besar masyarakat yang terkena dampak perubahan iklim

dirugikan bahkan kasus di beberapa wilayah di luar Indonesia seperti Kepulauan Carteret,

Kepulauan Kiribati dan Bangladesh memaksa sebagian penduduknya melakukan migrasi

karena kehilangan tempat tinggal dan sumber mata pencaharian akibat meningkatnya

permukaan air laut (Leckie 2009). Bagaimana dengan kasus di Indonesia? Dengan

banyaknya dampak negatif dari perubahan iklim apakah mendorong masyarakat untuk

melakukan migrasi? Atau migrasi merupakan strategi alternatif dalam beradaptasi

terhadap perubahan sumber nafkah di pedesaan? Makalah ini mencoba untuk menjawab

hubungan antara migrasi dan perubahan iklim di Indonesia berdasarkan hasil studi literatur

atas penelitian tentang perubahan iklim di beberapa wilayah di Indonesia.

Migrasi dan Perubahan Iklim dalam Konsep

Migrasi seperti dalam istilah aslinya didefinisikan sebagai pergeseran yang

terlihat dan simultan baik pada lokus spasial maupun sosial. Istilah lain yang digunakan

sebelumnya adalah mobilitas sosial dan fisik yang gantikan dengan istilah mobilitas

teritorial yang salah satu bagiannya adalah migrasi. Sebagai bagian mobilitas teritorial,

migrasi didefinisikan sebagai perubahan tempat tinggal permanen atau semi permanen atau

transfer spasial dari satu unit sosial atau lingkungan ke unit sosial yang lain, yang

memecahkan ikatan sosial sebelumnya. Karena itu definisi konvensional migrasi dapat

digunakan untuk menjelaskan totalitas mobilitas teritorial dalam tahap awal dan menengah

dari transisi mobilitas. Sebuah langkah logis dalam mengejar transisi mobilitas akan

mengkonversi ruang fisik ke dalam ruang fungsional migran, melalui beberapa variasi peta

transformasi (Zelinsky 1971). Teori dasar ini mungkin tidak terlalu cocok jika dikaitkan

dengan migrasi yang terutama disebabkan oleh perubahan lingkungan dimana perubahan

iklim masuk di dalam kategorinya (Guzmán et al. 2009).

Migrasi memiliki memiliki tiga paradigma besar dalam ilmu geografi, yaitu : (1)

aksioma geografi yang melihat ada signifikansi pola spasial asli dalam peristiwa fisik dan

sosial di permukaan bumi; (2) gagasan difusi inovasi spasial; dan (3) prinsip usaha

minimal atau optimasi ekonomi yang melahirkan sejumlah hipotesis mengenai pengaturan

teritorial pada kegiatan ekonomi dan aktivitas lain yang terkait (Zelinsky 1971).

Berdasarkan paradigma yang pertama analisis hubungan migrasi dan perubahan ikim

sangat dimungkinkan dimana perubahan iklim merupakan bagian dari peristiwa fisik di

permukaan bumi. Pola spasial asli dalam konteks ini adalah mobilitas masyarakat yang

dipaksa harus pindah dari tempat asal menuju tempat baru. Dengan arti lain, proses

tersebut merupakan proses mobilitas teritorial meskipun menurut hipotensi mengenai

transisi migrasi oleh Zelinsky (1971) tidak seluruhnya dapat dipenuhi terutama terkait pola

keteraturan dalam pertumbuhan mobilitas pribadi melalui ruang-waktu karena mobilitas

yang terjadi lebih dikarenakan keterpaksaan. Namun ketika migrasi dianggap sebagai

strategi adaptasi terhadap perubahan kondisi fisik lingkungan di tempat asal, hipotesis

3

Zelinsky dapat digunakan sebagai alat analisis. Migrasi yang demikian menjadi fenomena

migrasi umum dimana arus migrasi berasal dari tempat dengan sumberdaya rendah

(pedesaan) ke tempat tujuan yang dianggap lebih makmur (kota).

Migrasi dan mobilitas dalam konteks perubahan iklim seringkali dianggap

sebagai masalah karena kegagalan populasi terutama di pedesaan beradaptasi sehingga

harus pindah/ meninggalkan rumah, aset dan kehilangan jaringan sosial yang berharga dan

ikatan keluarga. Di tempat tujuan para migran ini yang disebut dengan istilah pengungsi

yang melarikan diri konflik dan bencana merupakan bagian yang besar dari kaum miskin

kota, dan perlu waktu yang lama untuk mengintegrasikan ke dalam masyarakat lokal dan

mencari pekerjaan serta tempat tinggal (Guzmán et al. 2009). Salah satu kasus yang

menggambarkan hal ini terjadi di Afrika. Di Afrika migrasi dipandang sebagai sumber

penyebaran kejahatan dan HIV/AIDS, merangsang degradasi lahan dan memberikan

kontribusi terhadap kemiskinan perkotaan dan pedesaan (Black et al. 2006 dalam Tacoli

2009). Arus migrasi pada umumnya dari wilayah pedesaan keperkotaan dan cenderung

didominasi oleh kelompok termiskin, tidak memiliki keterampilan, modal finansial atau

jaringan sosial sehingga menjadi masalah baru di perkotaan. Arus migrasi internasional

diasumsikan dari negara miskin ke negara kaya, perubahan iklim mendorong mobilitas

melintasi perbatasan negara dari negara miskin ke negara kaya menjadi lebih tinggi

sehingga negara-negara kaya lebih waspada terhadap prospek jutaan pengungsi karena

perubahan iklim mendarat di tepi negaranya. Dengan persepsi migrasi sebagai masalah,

arah kebijakan yang pada umumnya dilakukan hanya mencoba untuk mempengaruhi

volume, arah dan jenis gerakan namun kurang mengakomodasi arus dan migran itu sendiri.

Migrasi dalam konteks mobilitas sebagai strategi mengurangi kerentanan dipandang

sebagai masalah. Pandangan itu terjadi karena beberapa kasus mobilitas di negara-negara

berpenghasilan rendah dan menengah menimbulkan masalah terutama di daerah tujuan

yang pada umumnya daerah perkotaan (Tacoli 2009).

Istilah migran untuk menunjuk orang yang melakukan mobilitas teritorial menjadi

tidak tepat untuk menggambarkan kelompok orang yang melakukan perpindahan karena

perubahan iklim. Istilah yang kemudian digunakan adalah 'environmental refugee' atau

pengungsi yang dipaksa pindah karena degradasi lingkungan salah satunya akibat

perubahan iklim. Istilah ini pertama kali secara resmi digunakan pada tahun 1970 dan

sangat dipengaruhi oleh asumsi neo-Malthusian bahwa pertumbuhan penduduk akan

menyebabkan migrasi dan konflik yang disebabkan oleh kelangkaan sumberdaya. Istilah

migrasi kemudian jarang digunakan dan digantikan dengan istilah mobilitas dimana

mobilitas tidak hanya meningkatkan ketahanan tetapi juga memungkinkan individu dan

rumah tangga untuk mengakumulasi aset. Hal tersebut kemudian mendorong mobilitas dan

diversifikasi pendapatan sebagai strategi penting untuk mengurangi kerentanan terhadap

risiko lingkungan (perubahan iklim) dan non-lingkungan, termasuk guncangan ekonomi

dan marjinalisasi sosial (Tacoli 2009).

Definisi konvensional migrasi membedakan dua jenis mobilitas yaitu mobilitas

permanen dan mobilitas tidak permanen yang kemudian membedakan mobilitas teritorial

sebagai migrasi dan sirkulasi (Zelinsky 1971). Pada kasus perubahan iklim yang memaksa

aktivitas migrasi, menurut Leckie (2009) jenis mobilitas dapat dikategorikan menjadi lima,

yaitu :

1. Pemindahan sementara: orang-orang yang mengungsi untuk waktu singkat karena

peristiwa iklim seperti badai, banjir, gelombang badai atau tsunami tetapi dapat

kembali ke rumahnya setelah kondisi tersebut berhenti.

4

2. Pemindahan lokal tetap : orang yang mengungsi secara lokal tapi permanen karena

perubahan yang tidak dapat dihindari di lingkungan hidupnya (kenaikan khususnya

permukaan laut, genangan pesisir dan kurangnya air bersih, dan semakin sering badai).

3. Pemindahan internal tetap : orang yang mengungsi di dalam perbatasan negara, tetapi

cukup jauh dari tempat tinggal asli yang tidak memungkinkan untuk kembali.

4. Pemindahan regional permanen : orang tidak dapat pindah dalam negara sendiri atau

tidak dapat akses dan bermigrasi ke negara-negara terdekat yang bersedia untuk

menawarkan perlindungan permanen.

5. Pemindahan inter-continental tetap: orang yang tidak ada mendapat solusi perpindahan

nasional atau regional dapat menerima perlindungan dari negara lain di benua lain,

seperti Maladewa yang bermigrasi ke London.

Perbedaan jenis mobilitas yang dilakukan oleh pengungsi tentu akan membedakan

penanganannya.

Perubahan Iklim di Indonesia

Perubahan iklim dipicu oleh tingginya emisi karbon akibat aktivitas manusia.

Sumber emisi karbon terbesar di dunia berasal dari enam sektor yaitu : perubahan fungsi

hutan, karbon buangan kendaraan bermotor, kebakaran, limbah pabrik, pertanian, dan

sektor industri. Pada tahun 2012, perubahan fungsi hutan menjadi non hutan merupakan

penyumbang emisi terbesar (48 %), transportasi (21 %), kebakaran (12 %), limbah pabrik

(11 %), pertanian (5 %), dan sektor industri (3 %) (Beritasatu.com 2012). . Di Indonesia

sektor pertanian menyumbang emisi sebesar 12% (51,20 juta ton CO2e) dari total emisi

sebesar 436,90 juta ton CO2e. tanpa memperhitungkan emisi dari degradasi hutan,

kebakaran gambut, dan drainase lahan gambut. Apabila emisi dari ketiga aktivitas tersebut

diperhitungkan, kontribusi sektor pertanian sekitar 8% (Surmaini et al. 2011). Dampak

perubahan iklim dapat dirasakan dengan kenaikan suhu bumi menjadi 0,8 derjat celcius

pada periode 2000-2010 sehingga sejumlah es di kutup utara mulai mencair dan

menyebabkan naiknya permukaan air laut (Beritasatu.com 2012).

Selain dari suhu, perubahan iklim dapat diamati dari perubahan curah hujan.

Wilayah Indonesia yang sangat luas memiliki berbagai variasi pola curah hujan dan iklim

sehingga tidak dapat dilihat hanya sebagai satu pola curah hujan. Oleh karena itu, tulisan

ini menggunakan provinsi untuk membedakan satu wilayah dengan wilayah yang lain

seperti terlihat pada Gambar 1. Berdasarkan salah satu stasiun klimatologi di masing-

masing provinsi (pada umumnya terdapat di bandar udara setiap provinsi), dalam jangka

waktu dua belas tahun (2000-2012) hampir di seluruh provinsi mengalami perubahan

jumlah curah hujan. Pada sebagian wilayah Pulau Sumatera dan Jawa, jumlah curah hujan

cenderung mengalami kenaikan. Anomali cuaca terjadi pada tahun 2010 dimana sebagian

provinsi mengalami penurunan curah hujan dan sebagian yang lainnya mengalami

kenaikan curah hujan. Hal ini terjadi karena pada tahun 2010 anomali cuaca berupa el nino

dan el nina yang terjadi secara bergantian. El nino adalah suatu gejala penyimpangan

kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut (sea surface

temperature-SST) di samudra Pasifik sekitar equator (equatorial pacific) khususnya di

bagian tengah dan timur (sekitar pantai Peru). Karena lautan dan atmosfer adalah dua

sistem yang saling terhubung, maka penyimpangan kondisi laut ini menyebabkan

terjadinya penyimpangan pada kondisi atmosfer yang pada akhirnya berakibat pada

terjadinya penyimpangan iklim. Dalam kondisi iklim normal, suhu permukaan laut di

sekitar Indonesia (pasifik equator bagian barat) umumnya hangat dan karenanya proses

penguapan mudah terjadi dan awan-awan hujan mudah terbentuk. Namun ketika fenomena

5

el-nino terjadi, saat suhu permukaan laut di pasifik equator bagian tengah dan timur

menghangat, justru perairan sekitar Indonesia umumnya mengalami penurunan suhu

(menyimpang dari biasanya). Akibatnya, terjadi perubahan pada peredaran masa udara

yang berdampak pada berkurangnya pembentukan awan-awan hujan di Indonesia dan

musim kering menjadi semakin panjang. La Nina adalah fenomena kebalikan dari El Nino

yaitu kondisi dimana suhu muka lautan di wilayah pantai Amerika Selatan mendingin

sementara suhu muka laut di perairan Indonesia menghangat sehingga tersedia cukup uap

air pembentuk hujan. Pada periode ini Indonesia memasuki masa basah dikarenakan

intensitas hujan yang meningkat dibanding normalnya (Supari 2014).

Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dalam http://www.bps.go.id/ index.php/Subjek/

view/151#subjekViewTab3 (download 01 Juni 2015)

Gambar 1. Pola curah hujan menurut provinsi di Indonesia tahun 2000-2012

Berdasarkan data historis kejadian hujan dan nilai SOI (Southern Oscilation

Index) untuk memprediksi El Nino dan La Nina, periode terjadi El Nino lebih sering

dibanding La Nina yaitu pada 1991, 1993, 1994, 1997/1998 dan 2007. La Nina tercatat

terjadi pada tahun 1998/1999, 2000 dan 2007/2008, 2009/2010 dan 2011. Provinsi yang

mengalami dampak cukup buruk dengan adanya kedua anomali iklim ini adalah Provinsi

Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada tahun 1997/1998 el nino di NTB menyebabkan 8,400

Ha tanaman padi mengalami kekeringan berat dan lebih kurang 1,400 Ha diantaranya

mengalami puso yang mengakibatkan menurunnya produksi pangan pada periode tersebut.

Data terbaru menunjukkan komoditas padi dan jagung juga mengalami penurunan produksi

akibat puso selama periode 2007-2009. Kerusakan tanaman padi terjadi di tahun 2008

(0,80%), tahun 2009 (0,41%) dan tahun 2007 (4,04%). Pada tahun 2007 tingkat kerusakan

terparah tanaman padi ditemukan di Bima (9,85%), Lombok Tengah (7,0%) dan diikuti

Dompu (5,39%) serta Sumbawa Barat (2,41%). Demikian pula pada kerusakan tanaman

jagung pada tahun 2008 (0,56%), tahun 2009 (0,18%) dan tahun 2007 (9,23%). Pada tahun

2007, tingkat kerusakan tertinggi tanaman jagung terdapat di Sumbawa Barat (40,65%)

diikuti Dompu (10,48%) (BPS, 2009: FSVA 2010 dalam BKP NTB dan WFP 2011).

Penelitian terdahulu menunjukkan jumlah bulan dengan curah hujan ekstrim

cenderung meningkat dalam 50 tahun terutama di kawasan pantai, data cuaca di Jawa

Timur selama 25−40 tahun mengindikasikan telah terjadi tren penurunan curah hujan

musiman dan tahunan, dan pada periode 1879−2006 di Tasikmalaya telah terjadi

6

penurunan jumlahcurah hujan dan perubahan pola hujan yang mengakibatkan pergeseran

awal musim dan masa tanam dan menurunkan potensi satu periode masa tanam padi

(Aldrian dan Djamil 2006; Boer dan Buono 2008; Runtunuwu dan Syahbuddin 2007 dalam

Surmaini et al. 2011). Perubahan-perubahan tersebut telah menurunkan ketersediaan air

pada beberapa waduk terutama di Jawa dan menyebabkan banyak lahan pertanian yang

tidak terairi (Surmaini et al. 2011).

Supangat (2013) menyatakan bahwa berdasarkan berbagai analisis indikator cuaca

dan iklim, perubahan iklim di Indonesia sudah terjadi dan menjadi ancaman tersendiri.

Analisis data menunjukkan gelombang maksimum di perairan Indonesia pada periode

monsun Asia berkisar antara 1-6 meter, bahkan Laut Jawa memiliki tinggi gelombang

maksimum mencapai 3,5 meter. Tingginya gelombang menambah risiko banjir di daerah

Pantai Utara Jawa (Pantura) terlebih pada saat puncak musim penghujan di Indonesia.

Gelombang ekstrem juga berdampak buruk terhadap distribusi barang antar pulau yang

banyak menggunakan transportasi laut. Perubahan iklim di Indonesia seperti diungkapkan

sebelumnya juga berdampak cukup besar terhadap produksi bahan pangan dari sektor

pertanian pangan maupun sektor kelautan. Indonesia bahkan berada pada peringkat 9 dari

10 negara paling rentan dari ancaman terhadap keamanan pangan akibat dampak

perubahan iklim pada sektor perikanan (Huelsenbeck, Oceana, 2012 dalam Supangat

2013).

Berdasarkan kasus-kasus dan hasil analisis terhadap data perubahan iklim, dengan

ancaman terhadap ketahannan pangan menunjukkan bahwa kemampuan petani maupun

nelayan dalam memproduksi bahan pangan menurun. Kondisi ini memperlihatkan bahwa

sumber nafkah petani maupun nelayan yang sangat tergantung dengan kondisi alam telah

terancam dan kemungkinan sebagai sudah hilang. Fenomena perubahan iklim secara

langsung maupun tidak langsung memaksa masyarakat untuk melakukan adaptasi terhadap

perubahan yang terjadi sehingga dapat mempertahankan pemenuhan kebutuhan hidupnya.

IPCC merujuk pada McCarthy et al. (2001) mendefinisikan adaptasi sebagai

suatu bentuk penyesuaian dalam sistem manusia atau alam dalam menanggapi

rangsang iklim yang sebenarnya atau yang diperkirakan atau efeknya, yang

meringankan kerusakan/kerugian atau mengeksploitasi kesempatan-kesempatan yang

menguntungkan. Indikator sensitivitas dan kapasitas adaptif terhadap perubahan iklim

pada skala nasional dapat digunakan menyusun peringkat negara-negara itu berdasarkan

kerentanan. Pendekatan induktif berbasis data menentukan sekumpulan indikator, Brooks

et al. (2005) membangun sederetan indikator kerentanan potensial yang berhubungan

dengan ekonomi, kesehatan dan nutrisi, pendidikan, infrastruktur, penguasaan,

geografi dan demografi, pertanian, ekologi, dan teknologi. Ada 11 indikator yang dipilih

karena memiliki korelasi kuat dengan mortalitas dari bencana yang berkaitan dengan iklim

(populasi dengan akses pada sanitasi, kemampuan baca penduduk yang berumur 15-24

tahun, mortalitas maternal, kemampuan baca penduduk yang berumur lebih dari 15

tahun, asupan kalori, suara dan akuntabilitas, kebebasan sipil, hak politik, efektivitas

pemerintahan, rasio kemampuan baca wanita ke pria, harapan hidup saat lahir).

Negara-negara yang terletak di subsahara Afrika dan yang akhir-akhir ini mengalami

konflik berdasarkan indikator tersebut merupakan negara paling rentan terhadap perubahan

iklim. Pendekatan lain berangkat dari asumsi tentang hubungan antara kerentanan dan

berbagai faktor lingkungan dan pembangunan seperti yang dilakukan oleh Adger dan

Vincent (2005) yang menerapkan Indeks Kerentanan Sosial (SVI)— suatu kumpulan

indeks sensitivitas manusia dan kapasitas adaptif terhadap perubahan iklim untuk

membuat peringkat kerentanan negara-negara Afrika dengan lima subindeks gabungan:

kesejahteraan ekonomi dan stabilitas, struktur demografi, stabilitas institusi dan kekuatan

7

infrastruktur publik, interkonektivitas global, serta ketergantungan pada sumberdaya alam

(Vincent 2004 dalam Locatelli et al. 2008).

Indonesia dengan wilayah kepulauan yang sangat besar dan memiliki keragaman

cuaca dan iklim sudah seharusnya sejak dini melakukan penelitian mengenai perubahan

iklim dan dampaknya. Indikator kerentanan yang telah dikembangkan di beberapa negara

perlu digunakan untuk memberikan peringkat kerentanan sehingga antisipasi terhadap

dampak perubahan iklim dapat segera dilakukan. Strategi adaptasi juga perlu segera

dilakukan terutama di tingkat nasional untuk mengantisipasi startegi adaptasi yang

dilakukan oleh individu atau rumahtangga yang sudah merasakan dampak perubahan iklim

dalam kehidupannya. Antisipasi menjadi penting terutama jika individu terpaksa harus

bermigrasi sehingga tidak menjadi permasalah baru di tempat tujuan.

Migrasi sebagai Strategi Adaptasi Perubahan Iklim

Migrasi dalam konteks perubahan iklim secara global masih menjadi perdebatan

antara migrasi sebagai sumber permasalahan atau migrasi sebagai strategi adaptasi dalam

menghadapi perubahan iklim. Berdasarkan hasil analisis Myers (2005) dan Stern Review

Team (2006) dalam Tacoli 2009, proyeksi angka populasi penduduk yang dipaksa untuk

pindah karena perubahan iklim pada tahun 2050 berkisar antara 200 juta sampai satu

miliar. Prediksi tersebut mencerminkan migrasi sebagai dampak dari kegagalan beradaptasi

dengan perubahan lingkungan fisik sehingga migran menjadi satu kelompok yang relatif

tidak dapat dibedakan karena semua membuat tanggapan darurat serupa dan pindah ke

tujuan acak termasuk tujuan internasional. Pada kondisi ini migrasi sebagai respons adaptif

untuk perubahan sosial-ekonomi, budaya dan lingkungan relatif tidak tepat sehingga

menjadi sangat penting untuk memahami dampaknya terhadap daerah pengirim dan tujuan

dan untuk mengembangkan kebijakan yang tepat.

Migrasi dalam konteks mobilitas sebagai strategi mengurangi kerentanan

dipandang sebagai masalah. Pandangan itu terjadi karena beberapa kasus mobilitas di

negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah menimbulkan masalah rerutama di

daerah tujuan (pada umumnya daerah perkotaan). Di Afrika misalkan, migrasi dipandang

sebagai sumber penyebaran kejahatan dan HIV/AIDS, merangsang degradasi lahan dan

memberikan kontribusi terhadap kemiskinan perkotaan dan pedesaan (Black et al., 2006

dalam Tacoli 2009). Arus migrasi pada umumnya dari wilayah pedesaan keperkotaan dan

cenderung didominasi oleh kelompok termiskin, tidak memiliki keterampilan, modal

finansial atau jaringan sosial sehingga menjadi masalah baru di perkotaan. Arus migrasi

internasional diasumsikan dari negara miskin ke negara kaya, perubahan iklim mendorong

mobilitas melintasi perbatasan negara dari negara miskin ke negara kaya menjadi lebih

tinggi sehingga negara-negara kaya lebih waspada terhadap prospek jutaan pengungsi

karena perubahan iklim mendarat di tepi negaranya. Dengan persepsi migrasi sebagai

masalah, arah kebijakan yang pada umumnya dilakukan hanya mencoba untuk

mempengaruhi volume, arah dan jenis gerakan namun kurang mengakomodasi arus dan

migran itu sendiri (Tacoli 2009).

Konteks perubahan iklim mendorong terjadinya perubahan radikal terkait

persepsi migrasi sebagai masalah. Perubahan persepsi migrasi dan pemahaman yang lebih

baik mengharapkan peran lembaga lokal dan nasional untuk bermain dalam membuat

mobilitas sebagai bagian dari solusi bukan masalah. Persepsi baru ini merupakan

kebutuhan mendesak terkait dengan perubahan iklim yang mendorong terjadinya migrasi.

Pemahaman dan memprediksi dampak perubahan iklim terhadap manusia sangat sulit

dilakukan namun dampak jangka panjang dapat dimediasi oleh kapasitas adaptif. Karena

8

itulah, analog perubahan iklim sebagai degradasi lingkungan (kekeringan, penggurunan

dan degradasi lahan, peristiwa cuaca ekstrim seperti banjir dan badai, dan kenaikan atau

penurunan permukaan batas laut) belum tentu mengakibatkan migrasi. Prediksi yang

dapat dilakukan hanya dapat melihat 50 tahun ke depan sehingga penilaian realistis

hubungan perubahan iklim dan migrasi memang sulit dilakukan. Di luar sulitnya membuat

prediksi, kebutuhan memahami migrasi sebagai salah satu strategi yang individu dan

rumah tangga gunakan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim menjadi penting.

Migrasi sebagai strategi adaptasi ini menjadi pilihan yang dilakukan oleh individu atau

rumahtangga pada titik dimana daerah asal sama sekali tidak mampu untuk memberikan

penghidupan atau tidak ada strategi lain yang dapat dilakukan (Tacoli 2009). Migrasi

kemudian menjadi bagian dari strategi nafkah individu atau rumahtangga.

Migrasi sebagai salah satu strategi nafkah bagi rumahtangga diperkenalkan oleh

Scoones (1998) sebagai kerangka analisis sistem penghidupan di pedesaan yang

berkelanjutan. Analisis tersebut terdiri dari tiga strategi mata pencaharian utama dengan

dinamika hasil yang berbeda, yaitu (1) intensifikasi/ekstensifikasi pertanian yang menjadi

strategi utama bagi rumahtangga terutama yang memiliki modal fisik berupa lahan

pertanian; (2) diversifikasi mata pencaharian (pola nafkah ganda) dimana rumahtanggan

melakukan pilihan aktif untuk melakukan beragam investasi untuk akumulasi dan

reinvestasi, dan diversifikasi ditujukan untuk mengatasi kesulitan sementara atau adaptasi

yang lebih permanen dari kegiatan mata pencaharian, ketika pilihan lain gagal untuk

memberikan penghidupan; dan (3) migrasi dibedakan dari penyebab (misalnya gerakan

sukarela dan tidak sukarela), efek (misalnya reinvestasi di bidang pertanian, perusahaan

atau konsumsi di lokasi rumah atau migrasi) dan pola pergerakan (misalnya ke atau dari

tempat yang berbeda). Ketiga strategi tersebut bisa dilakukan oleh seorang individu,

rumah tangga dan tingkat desa, serta di tingkat regional atau bahkan nasional. Pilihan

strategi ini tidak terlepas dari minimal lima modal yang dimiliki yang terdiri dari modal

alam, modal finansial, modal manusia, modal sosial dan modal fisik. Pilihan strategi

tergantung dari kemampuan untuk mengakses terhadap modal-modal tersebut yang dapat

diakumulasi dapat menjadi cadangan dan pembatas ketika tekanan dan guncangan

dirasakan seperti kekeringan yang berkepanjanganyang mempengaruhi kegiatan mata

pencaharian. Modal yang dimiki tersebut dapat diubah untuk mengurangi dampak stres

atau syok sehingga ketahanan keseluruhan sistem penghidupan dapat ditingkatkan.

Migrasi sudah sejak lama menjadi salah satu strategi nafkah bagi rumahtangga di

pedesaan di Indonesia. Strategi ini terutama dipilih oleh rumahtangga yang berasal dari

wilayah dengan sumberdaya kurang. Fenomena migrasi ini banyak dianalisis dengan

push-pull theory (teori dorong tarik) yang merupakan teori paling populer dimana alasan

seseorang meninggalkan daerah asal karena ada faktor-faktor pendorong, sementara alasan

untuk memilih daerah tujuan adalah faktor penarik (Rusli 1995). Pola migrasi di Indonesia

dalam kurun waktu 10 tahun (2000-2010) dapat dilihat pada Gambar 2.

Pada Gambar 2 terjadi kecenderungan jumlah imigran risen mengalami penurunan

pada tahun 2000 ke 2005 namun meningkat kembali pada tahun 2010. Provinsi yang

menjadi tujuan utama imigran relatif tidak berubah dalam kurun waktu 10 tahun di mana

Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten menjadi tujuan utama di Pulau Jawa dan Riau mnenjadi

tujuan utama di pulau Sumatera serta Kalimantan Timur menjadi tujuan utama di

Kalimantan. Wilayah Jawa menjadi tujuan utama karena menjadi pusat perekonomian

dan pendidikan sehingga banyak migran yang masuk ke wilayah ini baik berasal dari pulau

Jawa itu sendiri atau dari wilayah Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan

9

yang menjadi daerah asal para emigran. Riau dan Kalimantan Timur merupakan wilayah

tujuan baru bagi para emigran terutama dari Jawa dan Sulawesi Selatan yang diperlihatkan

dengan kecenderungan meningkatnya jumlah imigran dari tahun ke tahun. Aktivitas

ekonomi berupa pertambangan dan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar membuka

kesempatan kerja yang cukup tinggi terutama di Kalimantan Timur bagi tenaga kerja dari

luar wilayah ini sendiri yang dari sisi jumlah maupun kualitas sumberdaya manusia dapat

dikategorikan belum memadai. Riau meskipun dalam kurun waktu sepeluh tahun

menunjukkan penurunan jumlah imigran meskipun masih menjadi tujuan bagi pencari

kerja terutama untuk aktivitas ekonomi di perkebunan kelapa sawit. Apakah migrasi yang

dilakukan oleh para migran semata-mata untuk mendapat pekerjaan karena ketiadaan

pekerjaan di tempat asal atau ada faktor lain yang mendorongnya?

Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dalam http://www.bps.go.id/ index.php/Subjek/

view/151#subjekViewTab3 (diunduh 2015 Juni 01)

Gambar 2. Pola imigrasi dan emigrasi risen menurut provinsi di Indonesia tahun 2000,

2005, 2010.

10

Berdasarkan Gambar 2, pola migrasi risen menunjukkan fluktuasi dimana pada

tahun 2000 ada kecenderungan tinggi, menurun pada tahun 2005 dan meningkat kembali

pada tahun 2010. Jika dibandingkan dengan pola curah hujan sebagai salah satu indikator

perubahan iklim pola migrasi pada sebagian wilayah di Indonesia dapat dikaitkan dengan

kejadian perubahan iklim. Dengan membandingkan Gambar 1 dan 2, pada wilayah Jawa

Barat dan Banten sebagai daerah asal maupun tujuan migran yang cukup fluktuatif

memiliki pola yang hampir sama dengan pola curah hujan yang juga fluktuatif. Pada tahun

2010 ketika curah hujan mencapai titik tertinggi di Banten dan terendah di Jawa Barat

migrasi keluar daerah dari kedua wilayah menunjukkan jumlah yang relatif tinggi terlebih

jika dibandingkan jumlah emigran pada tahun 2005. Pada tahun 2010 dengan jumlah

curah hujan yang tinggi ada beberpa wilayah pesisir di Banten mengalami bencana banjir

dan sebagian wilayah di Jawa Barat terutama di dataran tinggi mengalami kekeringan.

Kondisi ini mendorong sebagian individu untuk melakukan migrasi dalam upaya untuk

mendapatkan penghasilan. Peningkatan curah hujan pada tahun 2012 terutama di Jawa

Barat juga menyebabkan banjir di beberapa wilayah seperti yang disampaikan oleh

Dharmawan et al. (2013) berdasarkan hasil penelitian di Kecamatan Padaherang,

Kabupaten Pangandaran. Curah hujan yang tinggi dan rusaknya hutan menyebabkan banjir

tahunan yang terjadi di beberapa desa di Kecamatan Padaherang semakin lama surut.

Banjir menyebabkan panen menjadi gagal dan genangan air menyebabkan lahan

persawahan tidak dapat ditanami. Rumahtangga petani di wilayah tersebut sebagian kecil

kemudian melakukan migrasi terutama di kota-kota besar di Jawa Barat dan DKI Jakarta

sebagai buruh bangunan. Berdasarkan kasus tersebut dapat dikatakan bahwa migrasi

secara tidak langsung didorong oleh perubahan iklim.

Di wilayah Provinsi Jawa Tengah terjadi kondisi yang sama dimana pada tahun

2010 terjadi peningkatan curah hujan yang tinggi telah menyebabkan bagian pesisir utara

mengalami bencana banjir, salah satunya di Kota Semarang. Penelitian Hidayah (2011)

melihat dampak perubahan iklim terhadap alasan/persepsi masyarakat Kota Semarang

untuk melakukan migrasi. Berdasarkan survei, masyarakat di wilayah penelitian lebih

memilih untuk bertahan di tempat tinggalnya sekarang. Persentase responden yang akan

bermigrasi hanya sebesar 2%. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendapatan yang rendah,

lokasi bekerja kepala keluarga yang berada di wilayah pesisir, serta masalah banjir itu

sendiri. Masyarakat saat ini merasa bahwa banjir yang terjadi belum terlalu

mengganggu aktivitas sehari-hari dalam kontek kebutuhan hidup (pendapatan) masih

dirasa mencukupi.

Hasil penelitian Hidayah (2011) membuktikan bahwa fluktuasi perubahan iklim

belum tentu sejajar dengan fluktuasi migrasi yang dilakukan penduduk. Namun demikian,

hasil tersebut menguatkan pendapat Tacoli (2009) yang menyatakan mobilitas/migrasi

sebagai strategi untuk mengurangi kerentanan terhadap risiko lingkungan akan terjadi jika

daya dukung lingkungan di tempat asal sudah tidak dapat mendukung kebutuhan hidupnya.

Sejauh kebutuhan hidup masih terpenuhi meskipun kondisi lingkungan tidak nyaman,

individu atau rumahtangga cenderung tidak melakukan migrasi. Scoones (2009) dalam

pemikirannya mengenai hubungan sistem nafkah dan perubahan lingkungan dijembatani

oleh pekerjaan yang menghasilkan pendapatan untuk bertahan hidup. Pengaturan di

pedesaan kemudian akan lebih mudah dipahami jika gambaran ekologinya yang dinamis,

sejarah perubahan yang panjang, gender dan diferensiasi sosial dan konteks budaya dapat

dimengerti. Tekanan terhadap sistem nafkah merupakan perluasan dari dampak

pembangunan dan perubahan lingkungan sehingga penekanan pada strategi dan adaptasi

mata pencaharian menjadi pilihan pendekatan terutama untuk menghubungkan

11

pengentasan kemiskinan dan pembangunan akibat guncangan dan tekanan lingkungan

jangka panjang.

Hubungan tekanan lingkungan dan kemiskinan dalam kasus perubahan iklim di

Indonesia coba dilihat dengan membandingkan jumlah curah hujan (Gambar 1) dan jumlah

penduduk miskin (Gambar 3) di Indoensia dalam kurun waktu 12 tahun. Berdasarkan

kedua gambar, terutama pada masa anomali iklim di tahun 2009/2010 terjadi

kecenderungan jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun

2000. Wilayah yang cenderung mengalami peningkatan kemiskinan adalah wilayah Jawa

dan Banten dimana kecenderungan jumlah curah hujan pada masa tersebut tinggi sekali

atau sangat rendah. Dengan kata lain, kemiskinan meningkat karena banyaknya bencana

(banjir atau kekeringan) sehingga pendapatan masyarakat cenderung turun yang

dimungkinkan karena lahan-lahan pertanian tidak dapat berproduksi dengan baik. Pada

tahun tersebut migrasi keluar dari wilayah ini juga cenderung meningkat. Di luar Jawa,

Provinsi Jambi pada tahun 2010 juga mengalami peningkatan jumlah penduduk miskin

yang sejajar dengan meningkatnya jumlah curah hujan meskipun tidak mendorong

terjadinya migrasi. Hal ini dimungkinkan karena Provinsi Jambi merupakan salah satu

daerah dengan perkebunan sawit yang cukup luas sehingga ketergantungan pada lahan

sawah yang kemungkinan terkena banjir cenderung rendah.

Sumber data: BKKBN (2013) dan BPS (2014)

Gambar 3. Indonesia: jumlah penduduk miskin menurut provinsi tahun 2000-2012

Berdasarkan kasus-kasus dan hubungan antara pola curah hujan, pola migrasi

dan jumlah penduduk miskin terlihat bahwa tekanan lingkungan dalam hal ini perubahan

iklim pada beberapa wilayah mendorong terjadinya migrasi ke luar daerah namun pada

wilayah yang lain tidak mempengaruhi pola migrasi. Jika dihubungkan dengan jumlah

penduduk miskin terjadi kecenderungan peningkatan jumlah penduduk miskin karena

perubahan iklim. Perubahan iklim dalam hal ini mendorong individu atau rumahtangga

untuk beradaptasi dan memilih strategi nafkah agar tetap bertahan hidup. Pilihan strategi

adaptasi terhadap variasi iklim dapat berbeda-beda yang menurut Dharmawan et al. (2014)

tergantung dari pemilikan livelihood capitals dengan lima variasi strategi, yaitu:

(1) intensifikasi pertanian bagi rumahtangga yang mengandalkan sektor pertanian sebagai

12

basis sumber nafkah dengan kepemilikan lahan yang cukup luas sebagai modal fisik;

(2) pola nafkah ganda bagi rumahtangga petani yang sudah tidak dapat mengandalkan

sektor pertanian karena modal fisik berupa lahan semakin sempit sehingga harus

memanfaatkan peluang ekonomi di luar pertanian untuk bertahan hidup; (3) migrasi ke luar

desa bagi rumahtangga petani yang tidak memiliki modal fisik berupa lahan dan tidak ada

alternatif sumbernafkah lain yang dapat diperoleh di dalam desa; (4) memanfaatkan

tabungan atau likuidasi barang-barang berharga bagi rumahtangga yang memiliki modal

finansial untuk bertahan sementara dari krisis atau berhutang bagi rumahtangga yang

memiliki modal sosial untuk menjaminkan kebutuhan hidupnya sementara dari pinjaman

pada pihak ketiga (perorangan atau lembaga); dan (4) pasrah atau mengharapkan bantuan

dari pihak lain dilakukan oleh rumahtangga yang tidak berdaya lagi untuk melakukan

apapun karena ketiadaan livelihoods capital.

Migrasi sebagai strategi nafkah bukan menjadi pilihan utama sepanjang modal

nafkah yang lain masih mampu menjamin kelangsungan hidup rumahtangga meskipun

terjadi krisis akibat perubahan iklim. Perubahan iklim akan medorong terjadinya migrasi

pada kasus di Indonesia jika rumahtangga tidak memiliki alternatif sumber nafkah di dalam

desa yang menjamin kelangsungan hidupnya. Kondisi tersebut pada umumnya terjadi di

desa-desa yang cenderung miskin sumberdaya yang akan semakin miskin akibat terjadinya

perubahan iklim yang menimbulkan kerusakan pada sumberdaya yang ada atau

ketidakpastian untuk mendapatkan manfaaat dari sumberdaya yang tersisa. Pada konteks

Indonesia, migrasi menjadi strategi adaptasi terhadap perubahan iklim dan bukan menjadi

permasalahan kependudukan karena perpindahan penduduk secara besar-besaran akibat

dampak negatif perubahan iklim seperti yang terjadi di Bangladesh dan Papua Nugini.

Namun demikian apapun penyebabnya, migrasi akan menimbulkan permasalahan baru di

lokasi tujuan jika jika asal migran adalah wilayah miskin dengan sumberdaya manusia

yang bermigrasi relatif tidak terampil. Antisipasi terhadap dampak migrasi sebagai proses

adaptasi terhadap perubahan iklim perlu dilakukan sejak dini oleh berbagai pihak baik di

lokasi asal migran maupun daerah-daerah yang berpotensi menjadi tujuan migrasi sehingga

tidak menimbulkan masalah baru.

Penutup

Perubahan iklim merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari dan

meningkatkan kerentanan di masyarakat dengan berbagai dampak negatif yang

ditimbulkannya, tidak terkecuali bagi masyarakat Indonesia. Fenpmena perubahan iklim di

Indonesia ditandai dengan semakin tingginya permukaan air laut sehingga menyebabkan

beberapa wilayah pesisir mengalami kerusakan lingkungan akibat banjir rob, perubahan

pola hujan menyebabkan ketidakpastian musim yang mendorong ketidakpastian nafkah

terutama bagi masyarakat pesisir dan pedesaan yang sangat tergantung alam,

meningkatnya suhu udara, dan munculnya berbagai hama pertanian maupun penyakit bagi

manusia. Kerentanan karena perubahan iklim tidak hanya terjadi karera bencana alam

yang ditimbulkan atau penyakit yang menyerang kesehatan manusia tetapi juga terhadap

keterjaminan nafkah bagi kelangsungan hidup rumahtangga dan masyarakat dalam jangka

panjang.

13

Pola jumlah curah hujan yang semakin bervariatif dan fenomena anomali iklim

yang semakin pendek jangka waktunya meningkatkan kerentanan rumahtangga yang

sumbernafkah utamanya tergantung dengan alam (petani dan nelayan). Kerentanan

semakin tinggi jika ketersediaan sumberdaya alam semakin terbatas (wilayah miskin)

sehingga masyarakat perlu melakukan strategi adaptasi untuk mengurangi kerentanan

akibat perubahan iklim. Strategi adaptasi ini yang dalam sosiologi nafkah dikenal sebagai

strategi nafkah yang dalam konteks hubungan antara perubahan iklim dan migrasi dapat

menjadi variabel antara. Migrasi sebagai salah satu bentuk strategi nafkah menjadi salah

satu strategi adaptasi bukan masalah dalam isu perubahan iklim.

Daftar Pustaka

[BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (ID). 2013. Profil

Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia Tahun 2013. Jakarta.

[BKP] Badan Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat (ID) dan [UN WFP]

United Nations World Food Programme. 2011. Strategi dan rencana aksi

ketahanan pangan menghadapi perubahan iklim.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Indonesia 2014. Jakarta (ID).

Dharmawan AH, Putri EIK, Mardianingsih DI, Tarigan H, Thirtawati. 2014. Mekanisme

adaptasi dan resiliensi masyarakat petani terhadap variabilitas iklim: studi kasus

masyarakat tani di Jawa Barat dan Sumatera Selatan [laporan akhir]. Bogor. PSP3-

LPPM IPB dan Balitbang Pertanian.

Dharmawan AH, Putri EIK, Mardianingsih DI, Amalia R. 2013. Krisis ekologi hutan yang

berdampak terhadap unsustainable livelihood system rumahtangga petani (studi

kasus hutan di Jawa Barat) [laporan akhir]. Bogor. PSP3-LPPM IPB dan DIKTI.

Enam sektor penyumbang terbesar emisi karbon [Internet]. [diunduh Juni 2015]. Tersedia

pada: http://www.beritasatu.com/iptek/49835-6-sektor-penyumbang-terbesar-emisi-

karbon.html.

Guzmán J M. Martine G. McGranahan G. Schensul D. Tacoli C (ed). 2009. Population

dynamics and climate change. UNFPA and IIED.

Hidayah N. 2009. Studi preferensi migrasi masyarakat Kota Semarang sebagai akibat

perubahan iklim global jangka menengah [tugas akhir]. Semarang (ID). Universitas

Diponegoro.

[KLH] Kementrian Lingkungan Hidup (ID). 2013. Pertemuan penanganan dampak

perubahan iklim KLH-NTT [Internet]. [diunduh Juni 2015]. Tersedia pada:

http://www.menlh.go.id/pertemuan-penanganan-dampak-perubahan-iklim-klh-ntt.

Leckie Scott. 2009. Climate-related disasters and displacement: homes for lost homes,

lands for lost lands. in Guzmán J M. Martine G. McGranahan G. Schensul D.

Tacoli C (ed). 2009. Population dynamics and climate change. UNFPA and IIED.

Litbang Pertanian. Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian [Internet].

[diunduh Juni 2015]. Tersedia pada:http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/Pedum

-Adaptasi-Perubahan-Iklim/II.-dampak-perubahan.pdf.

14

Locatelli B. Kanninen M. Brockhaus M. Colfer C.J.P. Murdiyarso D. dan Santoso H. 2008.

Facing an uncertain future: how forests and people can adapt to climate change.

Forest Perspectives. 5. Bogor (ID). CIFOR.

Rusli Said. 1995. Pengantar ilmu kependudukan. Jakarta (ID). LP3ES.

Scoones Ian. 1998. Sustainable rural livelihoods a framework for analysis. IDS Working

Paper 72.

Supari. 2014. Sejarah dampak el nino di Indonesia [Internet]. [diunduh Juni 2015].

Tersedia pada: http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Publikasi/Artikel/Sejarah_

Dampak_ El_Nino_di_Indonesia.bmkg.

Supangat A. 2013. Perubahan Iklim di Indonesia [Internet]. [diunduh Juni 2015]. Tersedia

pada:http://sains.kompas.com/read/2013/04/01/11290330/Perubahan.Iklim.di.Indo-

nesia

Surmaini E. Runtunuwu E. Las I. 2011. Upaya sektor pertanian dalam menghadapi

perubahan iklim. Jurnal Litbang Pertanian. 30(1):1-7.

Tacoli Cecilia. 2009. Crisis or adaptation? Migration and climate change in a context of

high mobility in Guzmán J M. Martine G. McGranahan G. Schensul D. Tacoli C

(ed). 2009. Population dynamics and climate change. UNFPA and IIED.

Zelinsky W. 1971. The hypothesis of the mobility transition. Geographical Review. 61

(2): 219-249.