1
MIGRASI SEBAGAI BENTUK ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM1
Oleh : Dyah Ita Mardiyaningsih
Pendahuluan
Perubahan iklim merupakan suatu yang harus terjadi dan tidak dapat dihindari
sebagai dampak dari aktivitas manusia itu sendiri. Pernyataan tersebut merupakan hasil
Laporan Kajian Keempat yang dilansir Panel antar Pemerintah mengenai Perubahan
Iklim (IPCC) pada tahun 2007 (Locatelli et al. 2009; Guzmán et al. 2009). Dampak
tersebut merupakan bagian hasil penilaian yang mencakup ukuran populasi global dan
pertumbuhan dalam proyeksi emisi tanpa membedakan antara tingkat emisi kelompok
sosial atau demografis yang berbeda. Forum IPCC melihat isu-isu kependudukan terkait
perubahan iklim bukan menjadi hal penting. Isu kependudukan terkait perubahan iklim
lebih banyak muncul dalam pemberitaan sebagai bentuk kekhawatiran mengenai potensi
migrasi besar-besaran akibat perubahan iklim (Guzmán et al. 2009).
Dampak perubahan iklim yang saat ini sudah dirasakan dan diprediksi semakin
meningkat dimasa depan secara global adalah kenaikan permukaan air laut, perubahan pola
curah hujan dan konsekuensi terhadap produksi dan infrastruktur pertanian (Guzmán et al.
2009). Pada sektor pertanian di Indonesia, pengaruh perubahan dibedakan menjadi dua
indikator yaitu kerentanan (kondisi yang mempengaruhi kemampuan beradaptasi) dan
dampak (gangguan/kerugian/keuntungan). Dampak perubahan iklim pada sektor ini
bersifat multi-dimensional karena terkait dengan berbagai hal yaitu sumberdaya manusia,
infrastruktur pertanian, sistem produksi pertanian, ketahanan dan kemandirian pangan serta
kesejahteraan petani (Balitbang Pertanian 2014). Penurunan produksi pertanian secara
signifikan terjadi terutama disebabkan oleh perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu
udara. Banjir dan kekeringan sebagai bentuk kejadian iklim ekstrim menyebabkan gagal
panen meluas. Peningkatan permukaan air laut juga menyebabkan penciutan lahan sawah
di daerah pesisir dan kerusakan tanaman akibat salinitas (Surmaini et al. 2011). Dampak-
dampak tersebut terutama dirasakan oleh petani maupun masyarakat yang berlokasi di
dataran rendah dan pesisir pantai yang merupakan wilayah paling rentan terkena dampak
perubahan iklim. Salah satunya terjadi di Kota Semarang yang berbatasan dengan Laut
Jawa yang sebagian masyarakatnya terisolir karena naiknya permukaan air laut sehingga
mengalami kerugian secara sosial, ekonomi, lingkungan biografi dan lingkungan
terbangun (Macchi 2008 dalam Hidayah 2009; Hidayah 2009). Kasus di Semarang hanya
contoh dari sekian kasus yang dihadapi masyarakat akibat perubahan iklim di Indonesia.
Tidak hanya di wilayah pesisir, petani yang tinggal di daerah dataran tinggi ataupun daerah
pedalaman mengalami kondisi yang sama. Petani peladang di pedalaman Kalimantan
Timur mengeluhkan berubahnya pola musim dan pola hujan sehingga kegagalan panen
menjadi semakin sering terjadi bukan hanya karena kekeringan tetapi munculnya hama
sejenis serangga di dalam tanah yang memakan tanaman muda dan serangan hama babi,
tikus dan monyet pada tanaman yang hampir panen (Hadi et al. 2014). Penelitian
Dharmawan et al. (2014) di dua desa di Kabupaten Banyuasin - Sumatera Selatan
memperlihatkan variabilitas iklim ditandai dengan cuaca tak menentu memunculkan hama
penyakit, seperti ‘patah leher’ atau ‘blast’ pada tanaman padi dan penyakit ‘bulei’ pada
tanaman Jagung. Kondisi ini memparah kondisi ekonomi petani yang tidak memiliki mata
1 Tulisan ini merupakan bagian dari tugas akhir M.K. Dinamika Kependudukan (Program Studi Sosiologi
Pedesaan-Institut Pertanian Bogor)
2
pencaharian lain selain sebagai petani padi dan tanaman padi hanya diusahakan sekali
dalam setahun.
Dampak perubahan iklim tidak sepenuhnya merugikan masyarakat pada umunya
atau petani pada khususnya. Kasus di salah satu desa di Kabupaten Pangandaran
memperlihatkan bahwa perubahan pola hujan memberikan keuntungan bagi petani karena
dapat panen di luar musim sehingga mendapatkan harga komoditas yang lebih tinggi.
Lahan-lahan pertanian yang pada umumnya terkena banjir, karena musim kering yang
lebih panjang menjadi dapat ditanami sehingga petani dapat menanam padi lebih dari satu
kali dalam satu tahun (Dharmawan et al. 2014). Meskipun ada yang diuntungjan dengan
perubahan iklim, sebagian besar masyarakat yang terkena dampak perubahan iklim
dirugikan bahkan kasus di beberapa wilayah di luar Indonesia seperti Kepulauan Carteret,
Kepulauan Kiribati dan Bangladesh memaksa sebagian penduduknya melakukan migrasi
karena kehilangan tempat tinggal dan sumber mata pencaharian akibat meningkatnya
permukaan air laut (Leckie 2009). Bagaimana dengan kasus di Indonesia? Dengan
banyaknya dampak negatif dari perubahan iklim apakah mendorong masyarakat untuk
melakukan migrasi? Atau migrasi merupakan strategi alternatif dalam beradaptasi
terhadap perubahan sumber nafkah di pedesaan? Makalah ini mencoba untuk menjawab
hubungan antara migrasi dan perubahan iklim di Indonesia berdasarkan hasil studi literatur
atas penelitian tentang perubahan iklim di beberapa wilayah di Indonesia.
Migrasi dan Perubahan Iklim dalam Konsep
Migrasi seperti dalam istilah aslinya didefinisikan sebagai pergeseran yang
terlihat dan simultan baik pada lokus spasial maupun sosial. Istilah lain yang digunakan
sebelumnya adalah mobilitas sosial dan fisik yang gantikan dengan istilah mobilitas
teritorial yang salah satu bagiannya adalah migrasi. Sebagai bagian mobilitas teritorial,
migrasi didefinisikan sebagai perubahan tempat tinggal permanen atau semi permanen atau
transfer spasial dari satu unit sosial atau lingkungan ke unit sosial yang lain, yang
memecahkan ikatan sosial sebelumnya. Karena itu definisi konvensional migrasi dapat
digunakan untuk menjelaskan totalitas mobilitas teritorial dalam tahap awal dan menengah
dari transisi mobilitas. Sebuah langkah logis dalam mengejar transisi mobilitas akan
mengkonversi ruang fisik ke dalam ruang fungsional migran, melalui beberapa variasi peta
transformasi (Zelinsky 1971). Teori dasar ini mungkin tidak terlalu cocok jika dikaitkan
dengan migrasi yang terutama disebabkan oleh perubahan lingkungan dimana perubahan
iklim masuk di dalam kategorinya (Guzmán et al. 2009).
Migrasi memiliki memiliki tiga paradigma besar dalam ilmu geografi, yaitu : (1)
aksioma geografi yang melihat ada signifikansi pola spasial asli dalam peristiwa fisik dan
sosial di permukaan bumi; (2) gagasan difusi inovasi spasial; dan (3) prinsip usaha
minimal atau optimasi ekonomi yang melahirkan sejumlah hipotesis mengenai pengaturan
teritorial pada kegiatan ekonomi dan aktivitas lain yang terkait (Zelinsky 1971).
Berdasarkan paradigma yang pertama analisis hubungan migrasi dan perubahan ikim
sangat dimungkinkan dimana perubahan iklim merupakan bagian dari peristiwa fisik di
permukaan bumi. Pola spasial asli dalam konteks ini adalah mobilitas masyarakat yang
dipaksa harus pindah dari tempat asal menuju tempat baru. Dengan arti lain, proses
tersebut merupakan proses mobilitas teritorial meskipun menurut hipotensi mengenai
transisi migrasi oleh Zelinsky (1971) tidak seluruhnya dapat dipenuhi terutama terkait pola
keteraturan dalam pertumbuhan mobilitas pribadi melalui ruang-waktu karena mobilitas
yang terjadi lebih dikarenakan keterpaksaan. Namun ketika migrasi dianggap sebagai
strategi adaptasi terhadap perubahan kondisi fisik lingkungan di tempat asal, hipotesis
3
Zelinsky dapat digunakan sebagai alat analisis. Migrasi yang demikian menjadi fenomena
migrasi umum dimana arus migrasi berasal dari tempat dengan sumberdaya rendah
(pedesaan) ke tempat tujuan yang dianggap lebih makmur (kota).
Migrasi dan mobilitas dalam konteks perubahan iklim seringkali dianggap
sebagai masalah karena kegagalan populasi terutama di pedesaan beradaptasi sehingga
harus pindah/ meninggalkan rumah, aset dan kehilangan jaringan sosial yang berharga dan
ikatan keluarga. Di tempat tujuan para migran ini yang disebut dengan istilah pengungsi
yang melarikan diri konflik dan bencana merupakan bagian yang besar dari kaum miskin
kota, dan perlu waktu yang lama untuk mengintegrasikan ke dalam masyarakat lokal dan
mencari pekerjaan serta tempat tinggal (Guzmán et al. 2009). Salah satu kasus yang
menggambarkan hal ini terjadi di Afrika. Di Afrika migrasi dipandang sebagai sumber
penyebaran kejahatan dan HIV/AIDS, merangsang degradasi lahan dan memberikan
kontribusi terhadap kemiskinan perkotaan dan pedesaan (Black et al. 2006 dalam Tacoli
2009). Arus migrasi pada umumnya dari wilayah pedesaan keperkotaan dan cenderung
didominasi oleh kelompok termiskin, tidak memiliki keterampilan, modal finansial atau
jaringan sosial sehingga menjadi masalah baru di perkotaan. Arus migrasi internasional
diasumsikan dari negara miskin ke negara kaya, perubahan iklim mendorong mobilitas
melintasi perbatasan negara dari negara miskin ke negara kaya menjadi lebih tinggi
sehingga negara-negara kaya lebih waspada terhadap prospek jutaan pengungsi karena
perubahan iklim mendarat di tepi negaranya. Dengan persepsi migrasi sebagai masalah,
arah kebijakan yang pada umumnya dilakukan hanya mencoba untuk mempengaruhi
volume, arah dan jenis gerakan namun kurang mengakomodasi arus dan migran itu sendiri.
Migrasi dalam konteks mobilitas sebagai strategi mengurangi kerentanan dipandang
sebagai masalah. Pandangan itu terjadi karena beberapa kasus mobilitas di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah menimbulkan masalah terutama di daerah tujuan
yang pada umumnya daerah perkotaan (Tacoli 2009).
Istilah migran untuk menunjuk orang yang melakukan mobilitas teritorial menjadi
tidak tepat untuk menggambarkan kelompok orang yang melakukan perpindahan karena
perubahan iklim. Istilah yang kemudian digunakan adalah 'environmental refugee' atau
pengungsi yang dipaksa pindah karena degradasi lingkungan salah satunya akibat
perubahan iklim. Istilah ini pertama kali secara resmi digunakan pada tahun 1970 dan
sangat dipengaruhi oleh asumsi neo-Malthusian bahwa pertumbuhan penduduk akan
menyebabkan migrasi dan konflik yang disebabkan oleh kelangkaan sumberdaya. Istilah
migrasi kemudian jarang digunakan dan digantikan dengan istilah mobilitas dimana
mobilitas tidak hanya meningkatkan ketahanan tetapi juga memungkinkan individu dan
rumah tangga untuk mengakumulasi aset. Hal tersebut kemudian mendorong mobilitas dan
diversifikasi pendapatan sebagai strategi penting untuk mengurangi kerentanan terhadap
risiko lingkungan (perubahan iklim) dan non-lingkungan, termasuk guncangan ekonomi
dan marjinalisasi sosial (Tacoli 2009).
Definisi konvensional migrasi membedakan dua jenis mobilitas yaitu mobilitas
permanen dan mobilitas tidak permanen yang kemudian membedakan mobilitas teritorial
sebagai migrasi dan sirkulasi (Zelinsky 1971). Pada kasus perubahan iklim yang memaksa
aktivitas migrasi, menurut Leckie (2009) jenis mobilitas dapat dikategorikan menjadi lima,
yaitu :
1. Pemindahan sementara: orang-orang yang mengungsi untuk waktu singkat karena
peristiwa iklim seperti badai, banjir, gelombang badai atau tsunami tetapi dapat
kembali ke rumahnya setelah kondisi tersebut berhenti.
4
2. Pemindahan lokal tetap : orang yang mengungsi secara lokal tapi permanen karena
perubahan yang tidak dapat dihindari di lingkungan hidupnya (kenaikan khususnya
permukaan laut, genangan pesisir dan kurangnya air bersih, dan semakin sering badai).
3. Pemindahan internal tetap : orang yang mengungsi di dalam perbatasan negara, tetapi
cukup jauh dari tempat tinggal asli yang tidak memungkinkan untuk kembali.
4. Pemindahan regional permanen : orang tidak dapat pindah dalam negara sendiri atau
tidak dapat akses dan bermigrasi ke negara-negara terdekat yang bersedia untuk
menawarkan perlindungan permanen.
5. Pemindahan inter-continental tetap: orang yang tidak ada mendapat solusi perpindahan
nasional atau regional dapat menerima perlindungan dari negara lain di benua lain,
seperti Maladewa yang bermigrasi ke London.
Perbedaan jenis mobilitas yang dilakukan oleh pengungsi tentu akan membedakan
penanganannya.
Perubahan Iklim di Indonesia
Perubahan iklim dipicu oleh tingginya emisi karbon akibat aktivitas manusia.
Sumber emisi karbon terbesar di dunia berasal dari enam sektor yaitu : perubahan fungsi
hutan, karbon buangan kendaraan bermotor, kebakaran, limbah pabrik, pertanian, dan
sektor industri. Pada tahun 2012, perubahan fungsi hutan menjadi non hutan merupakan
penyumbang emisi terbesar (48 %), transportasi (21 %), kebakaran (12 %), limbah pabrik
(11 %), pertanian (5 %), dan sektor industri (3 %) (Beritasatu.com 2012). . Di Indonesia
sektor pertanian menyumbang emisi sebesar 12% (51,20 juta ton CO2e) dari total emisi
sebesar 436,90 juta ton CO2e. tanpa memperhitungkan emisi dari degradasi hutan,
kebakaran gambut, dan drainase lahan gambut. Apabila emisi dari ketiga aktivitas tersebut
diperhitungkan, kontribusi sektor pertanian sekitar 8% (Surmaini et al. 2011). Dampak
perubahan iklim dapat dirasakan dengan kenaikan suhu bumi menjadi 0,8 derjat celcius
pada periode 2000-2010 sehingga sejumlah es di kutup utara mulai mencair dan
menyebabkan naiknya permukaan air laut (Beritasatu.com 2012).
Selain dari suhu, perubahan iklim dapat diamati dari perubahan curah hujan.
Wilayah Indonesia yang sangat luas memiliki berbagai variasi pola curah hujan dan iklim
sehingga tidak dapat dilihat hanya sebagai satu pola curah hujan. Oleh karena itu, tulisan
ini menggunakan provinsi untuk membedakan satu wilayah dengan wilayah yang lain
seperti terlihat pada Gambar 1. Berdasarkan salah satu stasiun klimatologi di masing-
masing provinsi (pada umumnya terdapat di bandar udara setiap provinsi), dalam jangka
waktu dua belas tahun (2000-2012) hampir di seluruh provinsi mengalami perubahan
jumlah curah hujan. Pada sebagian wilayah Pulau Sumatera dan Jawa, jumlah curah hujan
cenderung mengalami kenaikan. Anomali cuaca terjadi pada tahun 2010 dimana sebagian
provinsi mengalami penurunan curah hujan dan sebagian yang lainnya mengalami
kenaikan curah hujan. Hal ini terjadi karena pada tahun 2010 anomali cuaca berupa el nino
dan el nina yang terjadi secara bergantian. El nino adalah suatu gejala penyimpangan
kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut (sea surface
temperature-SST) di samudra Pasifik sekitar equator (equatorial pacific) khususnya di
bagian tengah dan timur (sekitar pantai Peru). Karena lautan dan atmosfer adalah dua
sistem yang saling terhubung, maka penyimpangan kondisi laut ini menyebabkan
terjadinya penyimpangan pada kondisi atmosfer yang pada akhirnya berakibat pada
terjadinya penyimpangan iklim. Dalam kondisi iklim normal, suhu permukaan laut di
sekitar Indonesia (pasifik equator bagian barat) umumnya hangat dan karenanya proses
penguapan mudah terjadi dan awan-awan hujan mudah terbentuk. Namun ketika fenomena
5
el-nino terjadi, saat suhu permukaan laut di pasifik equator bagian tengah dan timur
menghangat, justru perairan sekitar Indonesia umumnya mengalami penurunan suhu
(menyimpang dari biasanya). Akibatnya, terjadi perubahan pada peredaran masa udara
yang berdampak pada berkurangnya pembentukan awan-awan hujan di Indonesia dan
musim kering menjadi semakin panjang. La Nina adalah fenomena kebalikan dari El Nino
yaitu kondisi dimana suhu muka lautan di wilayah pantai Amerika Selatan mendingin
sementara suhu muka laut di perairan Indonesia menghangat sehingga tersedia cukup uap
air pembentuk hujan. Pada periode ini Indonesia memasuki masa basah dikarenakan
intensitas hujan yang meningkat dibanding normalnya (Supari 2014).
Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dalam http://www.bps.go.id/ index.php/Subjek/
view/151#subjekViewTab3 (download 01 Juni 2015)
Gambar 1. Pola curah hujan menurut provinsi di Indonesia tahun 2000-2012
Berdasarkan data historis kejadian hujan dan nilai SOI (Southern Oscilation
Index) untuk memprediksi El Nino dan La Nina, periode terjadi El Nino lebih sering
dibanding La Nina yaitu pada 1991, 1993, 1994, 1997/1998 dan 2007. La Nina tercatat
terjadi pada tahun 1998/1999, 2000 dan 2007/2008, 2009/2010 dan 2011. Provinsi yang
mengalami dampak cukup buruk dengan adanya kedua anomali iklim ini adalah Provinsi
Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada tahun 1997/1998 el nino di NTB menyebabkan 8,400
Ha tanaman padi mengalami kekeringan berat dan lebih kurang 1,400 Ha diantaranya
mengalami puso yang mengakibatkan menurunnya produksi pangan pada periode tersebut.
Data terbaru menunjukkan komoditas padi dan jagung juga mengalami penurunan produksi
akibat puso selama periode 2007-2009. Kerusakan tanaman padi terjadi di tahun 2008
(0,80%), tahun 2009 (0,41%) dan tahun 2007 (4,04%). Pada tahun 2007 tingkat kerusakan
terparah tanaman padi ditemukan di Bima (9,85%), Lombok Tengah (7,0%) dan diikuti
Dompu (5,39%) serta Sumbawa Barat (2,41%). Demikian pula pada kerusakan tanaman
jagung pada tahun 2008 (0,56%), tahun 2009 (0,18%) dan tahun 2007 (9,23%). Pada tahun
2007, tingkat kerusakan tertinggi tanaman jagung terdapat di Sumbawa Barat (40,65%)
diikuti Dompu (10,48%) (BPS, 2009: FSVA 2010 dalam BKP NTB dan WFP 2011).
Penelitian terdahulu menunjukkan jumlah bulan dengan curah hujan ekstrim
cenderung meningkat dalam 50 tahun terutama di kawasan pantai, data cuaca di Jawa
Timur selama 25−40 tahun mengindikasikan telah terjadi tren penurunan curah hujan
musiman dan tahunan, dan pada periode 1879−2006 di Tasikmalaya telah terjadi
6
penurunan jumlahcurah hujan dan perubahan pola hujan yang mengakibatkan pergeseran
awal musim dan masa tanam dan menurunkan potensi satu periode masa tanam padi
(Aldrian dan Djamil 2006; Boer dan Buono 2008; Runtunuwu dan Syahbuddin 2007 dalam
Surmaini et al. 2011). Perubahan-perubahan tersebut telah menurunkan ketersediaan air
pada beberapa waduk terutama di Jawa dan menyebabkan banyak lahan pertanian yang
tidak terairi (Surmaini et al. 2011).
Supangat (2013) menyatakan bahwa berdasarkan berbagai analisis indikator cuaca
dan iklim, perubahan iklim di Indonesia sudah terjadi dan menjadi ancaman tersendiri.
Analisis data menunjukkan gelombang maksimum di perairan Indonesia pada periode
monsun Asia berkisar antara 1-6 meter, bahkan Laut Jawa memiliki tinggi gelombang
maksimum mencapai 3,5 meter. Tingginya gelombang menambah risiko banjir di daerah
Pantai Utara Jawa (Pantura) terlebih pada saat puncak musim penghujan di Indonesia.
Gelombang ekstrem juga berdampak buruk terhadap distribusi barang antar pulau yang
banyak menggunakan transportasi laut. Perubahan iklim di Indonesia seperti diungkapkan
sebelumnya juga berdampak cukup besar terhadap produksi bahan pangan dari sektor
pertanian pangan maupun sektor kelautan. Indonesia bahkan berada pada peringkat 9 dari
10 negara paling rentan dari ancaman terhadap keamanan pangan akibat dampak
perubahan iklim pada sektor perikanan (Huelsenbeck, Oceana, 2012 dalam Supangat
2013).
Berdasarkan kasus-kasus dan hasil analisis terhadap data perubahan iklim, dengan
ancaman terhadap ketahannan pangan menunjukkan bahwa kemampuan petani maupun
nelayan dalam memproduksi bahan pangan menurun. Kondisi ini memperlihatkan bahwa
sumber nafkah petani maupun nelayan yang sangat tergantung dengan kondisi alam telah
terancam dan kemungkinan sebagai sudah hilang. Fenomena perubahan iklim secara
langsung maupun tidak langsung memaksa masyarakat untuk melakukan adaptasi terhadap
perubahan yang terjadi sehingga dapat mempertahankan pemenuhan kebutuhan hidupnya.
IPCC merujuk pada McCarthy et al. (2001) mendefinisikan adaptasi sebagai
suatu bentuk penyesuaian dalam sistem manusia atau alam dalam menanggapi
rangsang iklim yang sebenarnya atau yang diperkirakan atau efeknya, yang
meringankan kerusakan/kerugian atau mengeksploitasi kesempatan-kesempatan yang
menguntungkan. Indikator sensitivitas dan kapasitas adaptif terhadap perubahan iklim
pada skala nasional dapat digunakan menyusun peringkat negara-negara itu berdasarkan
kerentanan. Pendekatan induktif berbasis data menentukan sekumpulan indikator, Brooks
et al. (2005) membangun sederetan indikator kerentanan potensial yang berhubungan
dengan ekonomi, kesehatan dan nutrisi, pendidikan, infrastruktur, penguasaan,
geografi dan demografi, pertanian, ekologi, dan teknologi. Ada 11 indikator yang dipilih
karena memiliki korelasi kuat dengan mortalitas dari bencana yang berkaitan dengan iklim
(populasi dengan akses pada sanitasi, kemampuan baca penduduk yang berumur 15-24
tahun, mortalitas maternal, kemampuan baca penduduk yang berumur lebih dari 15
tahun, asupan kalori, suara dan akuntabilitas, kebebasan sipil, hak politik, efektivitas
pemerintahan, rasio kemampuan baca wanita ke pria, harapan hidup saat lahir).
Negara-negara yang terletak di subsahara Afrika dan yang akhir-akhir ini mengalami
konflik berdasarkan indikator tersebut merupakan negara paling rentan terhadap perubahan
iklim. Pendekatan lain berangkat dari asumsi tentang hubungan antara kerentanan dan
berbagai faktor lingkungan dan pembangunan seperti yang dilakukan oleh Adger dan
Vincent (2005) yang menerapkan Indeks Kerentanan Sosial (SVI)— suatu kumpulan
indeks sensitivitas manusia dan kapasitas adaptif terhadap perubahan iklim untuk
membuat peringkat kerentanan negara-negara Afrika dengan lima subindeks gabungan:
kesejahteraan ekonomi dan stabilitas, struktur demografi, stabilitas institusi dan kekuatan
7
infrastruktur publik, interkonektivitas global, serta ketergantungan pada sumberdaya alam
(Vincent 2004 dalam Locatelli et al. 2008).
Indonesia dengan wilayah kepulauan yang sangat besar dan memiliki keragaman
cuaca dan iklim sudah seharusnya sejak dini melakukan penelitian mengenai perubahan
iklim dan dampaknya. Indikator kerentanan yang telah dikembangkan di beberapa negara
perlu digunakan untuk memberikan peringkat kerentanan sehingga antisipasi terhadap
dampak perubahan iklim dapat segera dilakukan. Strategi adaptasi juga perlu segera
dilakukan terutama di tingkat nasional untuk mengantisipasi startegi adaptasi yang
dilakukan oleh individu atau rumahtangga yang sudah merasakan dampak perubahan iklim
dalam kehidupannya. Antisipasi menjadi penting terutama jika individu terpaksa harus
bermigrasi sehingga tidak menjadi permasalah baru di tempat tujuan.
Migrasi sebagai Strategi Adaptasi Perubahan Iklim
Migrasi dalam konteks perubahan iklim secara global masih menjadi perdebatan
antara migrasi sebagai sumber permasalahan atau migrasi sebagai strategi adaptasi dalam
menghadapi perubahan iklim. Berdasarkan hasil analisis Myers (2005) dan Stern Review
Team (2006) dalam Tacoli 2009, proyeksi angka populasi penduduk yang dipaksa untuk
pindah karena perubahan iklim pada tahun 2050 berkisar antara 200 juta sampai satu
miliar. Prediksi tersebut mencerminkan migrasi sebagai dampak dari kegagalan beradaptasi
dengan perubahan lingkungan fisik sehingga migran menjadi satu kelompok yang relatif
tidak dapat dibedakan karena semua membuat tanggapan darurat serupa dan pindah ke
tujuan acak termasuk tujuan internasional. Pada kondisi ini migrasi sebagai respons adaptif
untuk perubahan sosial-ekonomi, budaya dan lingkungan relatif tidak tepat sehingga
menjadi sangat penting untuk memahami dampaknya terhadap daerah pengirim dan tujuan
dan untuk mengembangkan kebijakan yang tepat.
Migrasi dalam konteks mobilitas sebagai strategi mengurangi kerentanan
dipandang sebagai masalah. Pandangan itu terjadi karena beberapa kasus mobilitas di
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah menimbulkan masalah rerutama di
daerah tujuan (pada umumnya daerah perkotaan). Di Afrika misalkan, migrasi dipandang
sebagai sumber penyebaran kejahatan dan HIV/AIDS, merangsang degradasi lahan dan
memberikan kontribusi terhadap kemiskinan perkotaan dan pedesaan (Black et al., 2006
dalam Tacoli 2009). Arus migrasi pada umumnya dari wilayah pedesaan keperkotaan dan
cenderung didominasi oleh kelompok termiskin, tidak memiliki keterampilan, modal
finansial atau jaringan sosial sehingga menjadi masalah baru di perkotaan. Arus migrasi
internasional diasumsikan dari negara miskin ke negara kaya, perubahan iklim mendorong
mobilitas melintasi perbatasan negara dari negara miskin ke negara kaya menjadi lebih
tinggi sehingga negara-negara kaya lebih waspada terhadap prospek jutaan pengungsi
karena perubahan iklim mendarat di tepi negaranya. Dengan persepsi migrasi sebagai
masalah, arah kebijakan yang pada umumnya dilakukan hanya mencoba untuk
mempengaruhi volume, arah dan jenis gerakan namun kurang mengakomodasi arus dan
migran itu sendiri (Tacoli 2009).
Konteks perubahan iklim mendorong terjadinya perubahan radikal terkait
persepsi migrasi sebagai masalah. Perubahan persepsi migrasi dan pemahaman yang lebih
baik mengharapkan peran lembaga lokal dan nasional untuk bermain dalam membuat
mobilitas sebagai bagian dari solusi bukan masalah. Persepsi baru ini merupakan
kebutuhan mendesak terkait dengan perubahan iklim yang mendorong terjadinya migrasi.
Pemahaman dan memprediksi dampak perubahan iklim terhadap manusia sangat sulit
dilakukan namun dampak jangka panjang dapat dimediasi oleh kapasitas adaptif. Karena
8
itulah, analog perubahan iklim sebagai degradasi lingkungan (kekeringan, penggurunan
dan degradasi lahan, peristiwa cuaca ekstrim seperti banjir dan badai, dan kenaikan atau
penurunan permukaan batas laut) belum tentu mengakibatkan migrasi. Prediksi yang
dapat dilakukan hanya dapat melihat 50 tahun ke depan sehingga penilaian realistis
hubungan perubahan iklim dan migrasi memang sulit dilakukan. Di luar sulitnya membuat
prediksi, kebutuhan memahami migrasi sebagai salah satu strategi yang individu dan
rumah tangga gunakan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim menjadi penting.
Migrasi sebagai strategi adaptasi ini menjadi pilihan yang dilakukan oleh individu atau
rumahtangga pada titik dimana daerah asal sama sekali tidak mampu untuk memberikan
penghidupan atau tidak ada strategi lain yang dapat dilakukan (Tacoli 2009). Migrasi
kemudian menjadi bagian dari strategi nafkah individu atau rumahtangga.
Migrasi sebagai salah satu strategi nafkah bagi rumahtangga diperkenalkan oleh
Scoones (1998) sebagai kerangka analisis sistem penghidupan di pedesaan yang
berkelanjutan. Analisis tersebut terdiri dari tiga strategi mata pencaharian utama dengan
dinamika hasil yang berbeda, yaitu (1) intensifikasi/ekstensifikasi pertanian yang menjadi
strategi utama bagi rumahtangga terutama yang memiliki modal fisik berupa lahan
pertanian; (2) diversifikasi mata pencaharian (pola nafkah ganda) dimana rumahtanggan
melakukan pilihan aktif untuk melakukan beragam investasi untuk akumulasi dan
reinvestasi, dan diversifikasi ditujukan untuk mengatasi kesulitan sementara atau adaptasi
yang lebih permanen dari kegiatan mata pencaharian, ketika pilihan lain gagal untuk
memberikan penghidupan; dan (3) migrasi dibedakan dari penyebab (misalnya gerakan
sukarela dan tidak sukarela), efek (misalnya reinvestasi di bidang pertanian, perusahaan
atau konsumsi di lokasi rumah atau migrasi) dan pola pergerakan (misalnya ke atau dari
tempat yang berbeda). Ketiga strategi tersebut bisa dilakukan oleh seorang individu,
rumah tangga dan tingkat desa, serta di tingkat regional atau bahkan nasional. Pilihan
strategi ini tidak terlepas dari minimal lima modal yang dimiliki yang terdiri dari modal
alam, modal finansial, modal manusia, modal sosial dan modal fisik. Pilihan strategi
tergantung dari kemampuan untuk mengakses terhadap modal-modal tersebut yang dapat
diakumulasi dapat menjadi cadangan dan pembatas ketika tekanan dan guncangan
dirasakan seperti kekeringan yang berkepanjanganyang mempengaruhi kegiatan mata
pencaharian. Modal yang dimiki tersebut dapat diubah untuk mengurangi dampak stres
atau syok sehingga ketahanan keseluruhan sistem penghidupan dapat ditingkatkan.
Migrasi sudah sejak lama menjadi salah satu strategi nafkah bagi rumahtangga di
pedesaan di Indonesia. Strategi ini terutama dipilih oleh rumahtangga yang berasal dari
wilayah dengan sumberdaya kurang. Fenomena migrasi ini banyak dianalisis dengan
push-pull theory (teori dorong tarik) yang merupakan teori paling populer dimana alasan
seseorang meninggalkan daerah asal karena ada faktor-faktor pendorong, sementara alasan
untuk memilih daerah tujuan adalah faktor penarik (Rusli 1995). Pola migrasi di Indonesia
dalam kurun waktu 10 tahun (2000-2010) dapat dilihat pada Gambar 2.
Pada Gambar 2 terjadi kecenderungan jumlah imigran risen mengalami penurunan
pada tahun 2000 ke 2005 namun meningkat kembali pada tahun 2010. Provinsi yang
menjadi tujuan utama imigran relatif tidak berubah dalam kurun waktu 10 tahun di mana
Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten menjadi tujuan utama di Pulau Jawa dan Riau mnenjadi
tujuan utama di pulau Sumatera serta Kalimantan Timur menjadi tujuan utama di
Kalimantan. Wilayah Jawa menjadi tujuan utama karena menjadi pusat perekonomian
dan pendidikan sehingga banyak migran yang masuk ke wilayah ini baik berasal dari pulau
Jawa itu sendiri atau dari wilayah Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan
9
yang menjadi daerah asal para emigran. Riau dan Kalimantan Timur merupakan wilayah
tujuan baru bagi para emigran terutama dari Jawa dan Sulawesi Selatan yang diperlihatkan
dengan kecenderungan meningkatnya jumlah imigran dari tahun ke tahun. Aktivitas
ekonomi berupa pertambangan dan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar membuka
kesempatan kerja yang cukup tinggi terutama di Kalimantan Timur bagi tenaga kerja dari
luar wilayah ini sendiri yang dari sisi jumlah maupun kualitas sumberdaya manusia dapat
dikategorikan belum memadai. Riau meskipun dalam kurun waktu sepeluh tahun
menunjukkan penurunan jumlah imigran meskipun masih menjadi tujuan bagi pencari
kerja terutama untuk aktivitas ekonomi di perkebunan kelapa sawit. Apakah migrasi yang
dilakukan oleh para migran semata-mata untuk mendapat pekerjaan karena ketiadaan
pekerjaan di tempat asal atau ada faktor lain yang mendorongnya?
Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dalam http://www.bps.go.id/ index.php/Subjek/
view/151#subjekViewTab3 (diunduh 2015 Juni 01)
Gambar 2. Pola imigrasi dan emigrasi risen menurut provinsi di Indonesia tahun 2000,
2005, 2010.
10
Berdasarkan Gambar 2, pola migrasi risen menunjukkan fluktuasi dimana pada
tahun 2000 ada kecenderungan tinggi, menurun pada tahun 2005 dan meningkat kembali
pada tahun 2010. Jika dibandingkan dengan pola curah hujan sebagai salah satu indikator
perubahan iklim pola migrasi pada sebagian wilayah di Indonesia dapat dikaitkan dengan
kejadian perubahan iklim. Dengan membandingkan Gambar 1 dan 2, pada wilayah Jawa
Barat dan Banten sebagai daerah asal maupun tujuan migran yang cukup fluktuatif
memiliki pola yang hampir sama dengan pola curah hujan yang juga fluktuatif. Pada tahun
2010 ketika curah hujan mencapai titik tertinggi di Banten dan terendah di Jawa Barat
migrasi keluar daerah dari kedua wilayah menunjukkan jumlah yang relatif tinggi terlebih
jika dibandingkan jumlah emigran pada tahun 2005. Pada tahun 2010 dengan jumlah
curah hujan yang tinggi ada beberpa wilayah pesisir di Banten mengalami bencana banjir
dan sebagian wilayah di Jawa Barat terutama di dataran tinggi mengalami kekeringan.
Kondisi ini mendorong sebagian individu untuk melakukan migrasi dalam upaya untuk
mendapatkan penghasilan. Peningkatan curah hujan pada tahun 2012 terutama di Jawa
Barat juga menyebabkan banjir di beberapa wilayah seperti yang disampaikan oleh
Dharmawan et al. (2013) berdasarkan hasil penelitian di Kecamatan Padaherang,
Kabupaten Pangandaran. Curah hujan yang tinggi dan rusaknya hutan menyebabkan banjir
tahunan yang terjadi di beberapa desa di Kecamatan Padaherang semakin lama surut.
Banjir menyebabkan panen menjadi gagal dan genangan air menyebabkan lahan
persawahan tidak dapat ditanami. Rumahtangga petani di wilayah tersebut sebagian kecil
kemudian melakukan migrasi terutama di kota-kota besar di Jawa Barat dan DKI Jakarta
sebagai buruh bangunan. Berdasarkan kasus tersebut dapat dikatakan bahwa migrasi
secara tidak langsung didorong oleh perubahan iklim.
Di wilayah Provinsi Jawa Tengah terjadi kondisi yang sama dimana pada tahun
2010 terjadi peningkatan curah hujan yang tinggi telah menyebabkan bagian pesisir utara
mengalami bencana banjir, salah satunya di Kota Semarang. Penelitian Hidayah (2011)
melihat dampak perubahan iklim terhadap alasan/persepsi masyarakat Kota Semarang
untuk melakukan migrasi. Berdasarkan survei, masyarakat di wilayah penelitian lebih
memilih untuk bertahan di tempat tinggalnya sekarang. Persentase responden yang akan
bermigrasi hanya sebesar 2%. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendapatan yang rendah,
lokasi bekerja kepala keluarga yang berada di wilayah pesisir, serta masalah banjir itu
sendiri. Masyarakat saat ini merasa bahwa banjir yang terjadi belum terlalu
mengganggu aktivitas sehari-hari dalam kontek kebutuhan hidup (pendapatan) masih
dirasa mencukupi.
Hasil penelitian Hidayah (2011) membuktikan bahwa fluktuasi perubahan iklim
belum tentu sejajar dengan fluktuasi migrasi yang dilakukan penduduk. Namun demikian,
hasil tersebut menguatkan pendapat Tacoli (2009) yang menyatakan mobilitas/migrasi
sebagai strategi untuk mengurangi kerentanan terhadap risiko lingkungan akan terjadi jika
daya dukung lingkungan di tempat asal sudah tidak dapat mendukung kebutuhan hidupnya.
Sejauh kebutuhan hidup masih terpenuhi meskipun kondisi lingkungan tidak nyaman,
individu atau rumahtangga cenderung tidak melakukan migrasi. Scoones (2009) dalam
pemikirannya mengenai hubungan sistem nafkah dan perubahan lingkungan dijembatani
oleh pekerjaan yang menghasilkan pendapatan untuk bertahan hidup. Pengaturan di
pedesaan kemudian akan lebih mudah dipahami jika gambaran ekologinya yang dinamis,
sejarah perubahan yang panjang, gender dan diferensiasi sosial dan konteks budaya dapat
dimengerti. Tekanan terhadap sistem nafkah merupakan perluasan dari dampak
pembangunan dan perubahan lingkungan sehingga penekanan pada strategi dan adaptasi
mata pencaharian menjadi pilihan pendekatan terutama untuk menghubungkan
11
pengentasan kemiskinan dan pembangunan akibat guncangan dan tekanan lingkungan
jangka panjang.
Hubungan tekanan lingkungan dan kemiskinan dalam kasus perubahan iklim di
Indonesia coba dilihat dengan membandingkan jumlah curah hujan (Gambar 1) dan jumlah
penduduk miskin (Gambar 3) di Indoensia dalam kurun waktu 12 tahun. Berdasarkan
kedua gambar, terutama pada masa anomali iklim di tahun 2009/2010 terjadi
kecenderungan jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun
2000. Wilayah yang cenderung mengalami peningkatan kemiskinan adalah wilayah Jawa
dan Banten dimana kecenderungan jumlah curah hujan pada masa tersebut tinggi sekali
atau sangat rendah. Dengan kata lain, kemiskinan meningkat karena banyaknya bencana
(banjir atau kekeringan) sehingga pendapatan masyarakat cenderung turun yang
dimungkinkan karena lahan-lahan pertanian tidak dapat berproduksi dengan baik. Pada
tahun tersebut migrasi keluar dari wilayah ini juga cenderung meningkat. Di luar Jawa,
Provinsi Jambi pada tahun 2010 juga mengalami peningkatan jumlah penduduk miskin
yang sejajar dengan meningkatnya jumlah curah hujan meskipun tidak mendorong
terjadinya migrasi. Hal ini dimungkinkan karena Provinsi Jambi merupakan salah satu
daerah dengan perkebunan sawit yang cukup luas sehingga ketergantungan pada lahan
sawah yang kemungkinan terkena banjir cenderung rendah.
Sumber data: BKKBN (2013) dan BPS (2014)
Gambar 3. Indonesia: jumlah penduduk miskin menurut provinsi tahun 2000-2012
Berdasarkan kasus-kasus dan hubungan antara pola curah hujan, pola migrasi
dan jumlah penduduk miskin terlihat bahwa tekanan lingkungan dalam hal ini perubahan
iklim pada beberapa wilayah mendorong terjadinya migrasi ke luar daerah namun pada
wilayah yang lain tidak mempengaruhi pola migrasi. Jika dihubungkan dengan jumlah
penduduk miskin terjadi kecenderungan peningkatan jumlah penduduk miskin karena
perubahan iklim. Perubahan iklim dalam hal ini mendorong individu atau rumahtangga
untuk beradaptasi dan memilih strategi nafkah agar tetap bertahan hidup. Pilihan strategi
adaptasi terhadap variasi iklim dapat berbeda-beda yang menurut Dharmawan et al. (2014)
tergantung dari pemilikan livelihood capitals dengan lima variasi strategi, yaitu:
(1) intensifikasi pertanian bagi rumahtangga yang mengandalkan sektor pertanian sebagai
12
basis sumber nafkah dengan kepemilikan lahan yang cukup luas sebagai modal fisik;
(2) pola nafkah ganda bagi rumahtangga petani yang sudah tidak dapat mengandalkan
sektor pertanian karena modal fisik berupa lahan semakin sempit sehingga harus
memanfaatkan peluang ekonomi di luar pertanian untuk bertahan hidup; (3) migrasi ke luar
desa bagi rumahtangga petani yang tidak memiliki modal fisik berupa lahan dan tidak ada
alternatif sumbernafkah lain yang dapat diperoleh di dalam desa; (4) memanfaatkan
tabungan atau likuidasi barang-barang berharga bagi rumahtangga yang memiliki modal
finansial untuk bertahan sementara dari krisis atau berhutang bagi rumahtangga yang
memiliki modal sosial untuk menjaminkan kebutuhan hidupnya sementara dari pinjaman
pada pihak ketiga (perorangan atau lembaga); dan (4) pasrah atau mengharapkan bantuan
dari pihak lain dilakukan oleh rumahtangga yang tidak berdaya lagi untuk melakukan
apapun karena ketiadaan livelihoods capital.
Migrasi sebagai strategi nafkah bukan menjadi pilihan utama sepanjang modal
nafkah yang lain masih mampu menjamin kelangsungan hidup rumahtangga meskipun
terjadi krisis akibat perubahan iklim. Perubahan iklim akan medorong terjadinya migrasi
pada kasus di Indonesia jika rumahtangga tidak memiliki alternatif sumber nafkah di dalam
desa yang menjamin kelangsungan hidupnya. Kondisi tersebut pada umumnya terjadi di
desa-desa yang cenderung miskin sumberdaya yang akan semakin miskin akibat terjadinya
perubahan iklim yang menimbulkan kerusakan pada sumberdaya yang ada atau
ketidakpastian untuk mendapatkan manfaaat dari sumberdaya yang tersisa. Pada konteks
Indonesia, migrasi menjadi strategi adaptasi terhadap perubahan iklim dan bukan menjadi
permasalahan kependudukan karena perpindahan penduduk secara besar-besaran akibat
dampak negatif perubahan iklim seperti yang terjadi di Bangladesh dan Papua Nugini.
Namun demikian apapun penyebabnya, migrasi akan menimbulkan permasalahan baru di
lokasi tujuan jika jika asal migran adalah wilayah miskin dengan sumberdaya manusia
yang bermigrasi relatif tidak terampil. Antisipasi terhadap dampak migrasi sebagai proses
adaptasi terhadap perubahan iklim perlu dilakukan sejak dini oleh berbagai pihak baik di
lokasi asal migran maupun daerah-daerah yang berpotensi menjadi tujuan migrasi sehingga
tidak menimbulkan masalah baru.
Penutup
Perubahan iklim merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari dan
meningkatkan kerentanan di masyarakat dengan berbagai dampak negatif yang
ditimbulkannya, tidak terkecuali bagi masyarakat Indonesia. Fenpmena perubahan iklim di
Indonesia ditandai dengan semakin tingginya permukaan air laut sehingga menyebabkan
beberapa wilayah pesisir mengalami kerusakan lingkungan akibat banjir rob, perubahan
pola hujan menyebabkan ketidakpastian musim yang mendorong ketidakpastian nafkah
terutama bagi masyarakat pesisir dan pedesaan yang sangat tergantung alam,
meningkatnya suhu udara, dan munculnya berbagai hama pertanian maupun penyakit bagi
manusia. Kerentanan karena perubahan iklim tidak hanya terjadi karera bencana alam
yang ditimbulkan atau penyakit yang menyerang kesehatan manusia tetapi juga terhadap
keterjaminan nafkah bagi kelangsungan hidup rumahtangga dan masyarakat dalam jangka
panjang.
13
Pola jumlah curah hujan yang semakin bervariatif dan fenomena anomali iklim
yang semakin pendek jangka waktunya meningkatkan kerentanan rumahtangga yang
sumbernafkah utamanya tergantung dengan alam (petani dan nelayan). Kerentanan
semakin tinggi jika ketersediaan sumberdaya alam semakin terbatas (wilayah miskin)
sehingga masyarakat perlu melakukan strategi adaptasi untuk mengurangi kerentanan
akibat perubahan iklim. Strategi adaptasi ini yang dalam sosiologi nafkah dikenal sebagai
strategi nafkah yang dalam konteks hubungan antara perubahan iklim dan migrasi dapat
menjadi variabel antara. Migrasi sebagai salah satu bentuk strategi nafkah menjadi salah
satu strategi adaptasi bukan masalah dalam isu perubahan iklim.
Daftar Pustaka
[BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (ID). 2013. Profil
Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia Tahun 2013. Jakarta.
[BKP] Badan Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat (ID) dan [UN WFP]
United Nations World Food Programme. 2011. Strategi dan rencana aksi
ketahanan pangan menghadapi perubahan iklim.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Indonesia 2014. Jakarta (ID).
Dharmawan AH, Putri EIK, Mardianingsih DI, Tarigan H, Thirtawati. 2014. Mekanisme
adaptasi dan resiliensi masyarakat petani terhadap variabilitas iklim: studi kasus
masyarakat tani di Jawa Barat dan Sumatera Selatan [laporan akhir]. Bogor. PSP3-
LPPM IPB dan Balitbang Pertanian.
Dharmawan AH, Putri EIK, Mardianingsih DI, Amalia R. 2013. Krisis ekologi hutan yang
berdampak terhadap unsustainable livelihood system rumahtangga petani (studi
kasus hutan di Jawa Barat) [laporan akhir]. Bogor. PSP3-LPPM IPB dan DIKTI.
Enam sektor penyumbang terbesar emisi karbon [Internet]. [diunduh Juni 2015]. Tersedia
pada: http://www.beritasatu.com/iptek/49835-6-sektor-penyumbang-terbesar-emisi-
karbon.html.
Guzmán J M. Martine G. McGranahan G. Schensul D. Tacoli C (ed). 2009. Population
dynamics and climate change. UNFPA and IIED.
Hidayah N. 2009. Studi preferensi migrasi masyarakat Kota Semarang sebagai akibat
perubahan iklim global jangka menengah [tugas akhir]. Semarang (ID). Universitas
Diponegoro.
[KLH] Kementrian Lingkungan Hidup (ID). 2013. Pertemuan penanganan dampak
perubahan iklim KLH-NTT [Internet]. [diunduh Juni 2015]. Tersedia pada:
http://www.menlh.go.id/pertemuan-penanganan-dampak-perubahan-iklim-klh-ntt.
Leckie Scott. 2009. Climate-related disasters and displacement: homes for lost homes,
lands for lost lands. in Guzmán J M. Martine G. McGranahan G. Schensul D.
Tacoli C (ed). 2009. Population dynamics and climate change. UNFPA and IIED.
Litbang Pertanian. Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian [Internet].
[diunduh Juni 2015]. Tersedia pada:http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/Pedum
-Adaptasi-Perubahan-Iklim/II.-dampak-perubahan.pdf.
14
Locatelli B. Kanninen M. Brockhaus M. Colfer C.J.P. Murdiyarso D. dan Santoso H. 2008.
Facing an uncertain future: how forests and people can adapt to climate change.
Forest Perspectives. 5. Bogor (ID). CIFOR.
Rusli Said. 1995. Pengantar ilmu kependudukan. Jakarta (ID). LP3ES.
Scoones Ian. 1998. Sustainable rural livelihoods a framework for analysis. IDS Working
Paper 72.
Supari. 2014. Sejarah dampak el nino di Indonesia [Internet]. [diunduh Juni 2015].
Tersedia pada: http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Publikasi/Artikel/Sejarah_
Dampak_ El_Nino_di_Indonesia.bmkg.
Supangat A. 2013. Perubahan Iklim di Indonesia [Internet]. [diunduh Juni 2015]. Tersedia
pada:http://sains.kompas.com/read/2013/04/01/11290330/Perubahan.Iklim.di.Indo-
nesia
Surmaini E. Runtunuwu E. Las I. 2011. Upaya sektor pertanian dalam menghadapi
perubahan iklim. Jurnal Litbang Pertanian. 30(1):1-7.
Tacoli Cecilia. 2009. Crisis or adaptation? Migration and climate change in a context of
high mobility in Guzmán J M. Martine G. McGranahan G. Schensul D. Tacoli C
(ed). 2009. Population dynamics and climate change. UNFPA and IIED.
Zelinsky W. 1971. The hypothesis of the mobility transition. Geographical Review. 61
(2): 219-249.
Top Related