MENGOPTIMALKAN BRANCHLESS BANKING MELALUI FREE ACCOUNT REGISTRATION DAN ADOPSI KREDIT MIKRO GRAMEEN...

47
Mengoptimalkan Branchless Banking melalui Free Account Registration dan Adopsi Kredit Mikro Grameen Bank Campus Knowledge Competition 2014 Diusulkan oleh: Lamhot J.M. Siagian Institut Teknologi Del

Transcript of MENGOPTIMALKAN BRANCHLESS BANKING MELALUI FREE ACCOUNT REGISTRATION DAN ADOPSI KREDIT MIKRO GRAMEEN...

Mengoptimalkan Branchless

Banking melalui Free Account

Registration dan Adopsi Kredit

Mikro Grameen Bank Campus Knowledge Competition 2014

Diusulkan oleh: Lamhot J.M. Siagian Institut Teknologi Del

i

JUDUL HALAMAN

LOMBA KARYA TULIS BANK INDONESIA -

CAMPUS KNOWLEDGE COMPETITION 2014

MENGOPTIMALKAN BRANCHLESS BANKING MELALUI

FREE ACCOUNT REGISTRATION DAN ADOPSI

KREDIT MIKRO GRAMEEN BANK

Diusulkan Oleh:

11112044 Lamhot J.M. Siagian

Untuk:

Bank Indonesia

Institut Teknologi Del

Laguboti-Sumatera Utara

2014

ii

LEMBAR PENGESAHAN

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala

nikmat dan karunia-Nya, sehingga karya tulis yang berjudul ” Mengoptimalkan

Branchless Banking melalui Free Account Registration dan Adopsi Kredit Mikro

Grameen Bank” dapat terselesaikan. Rendahnya tingkat literasi di wilayah

Indonesia menjadi pemicu lambatnya pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan

besarnya peranan perbankan dalam mengelola keuangan. Selain itu Bank turut

memberikan keefisienan dan kontribusi yang besar pada kegiatan perekonomian

dalam era tekno-ekonomi.

Rendahnya tingkat literasi dipengaruhi kondisi geografis dan tingginya

prosentasi penduduk yang berdomisili di pedesaan mencapai 50%. Angka ini

merupakan hal yang perlu diperhatikan, karena sebagian besar dari mereka berada

dalam garis kemiskinan. Rendahnya pendapatan penduduk desa membuat mereka

tidak mampu membutuhi kehidupan dan pada akhirnya menimbulkan kemiskinan

berkelanjutan. Salah satu faktor penyebab kemiskinan adalah kurangnya layanan

lembaga keuangan sebagai media intermediasi. Dengan latar belakang tersebut

maka diperlukan suatu langkah agar masyarakat desa juga turut merasakan

layanan lembaga keuangan. Maka langkah yang perlu dilakukan adalah

menerapkan kebijakan keuangan inklusi.

Kebijakan keuangan inklusi (financial inclusion) telah membuat program

baru Branchless Banking sebagai salah satu terobosan dalam menjangkau

penduduk pedesaan yang tidak memiliki akses akan lembaga keuangan. Namun

kinerja program Branchless Banking tentunya tentunya tidak akan optimal jika

jumlah nasabah di pedesaan sedikit. Maka tentunya diperlukan suatu program

dalam menumbuhkan minat masyarakat menjadi Nasabah. Dengan latar belakang

rendahnya tingkat melek keuangan, maka perlu dilakukan stimulus. Stimulus ini

adalah mewajibkan masyarakat mendaftar menjadi Nasabah di Bank bagi pemilik

e-KTP. Dengan pembebasan biaya registrasi, dan mendapatkan buku tabungan

gratis tentunya akan semakin meningkatkan minat menabung masyarakat. Dengan

keadaan masyarakat sudah mengenal Bank secara baik, maka langkah selanjutnya

adalah mengadopsi Sistem Kredit Mikro Greemen Bank sebagai ide inovatif

dalam mengentas kemiskinan di pedesaan.

Penulis mengucapakan terimakasih untuk semua pihak yang telah

berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung. Terakhir penulis berharap,

semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca secara khusus bagi

Bank Indonesia.

Laguboti, 23 Agustus 2014

Penulis

Lamhot J.M. Siagian

NIM 11112044

iv

ABSTRAK

Judul : Mengoptimalkan Branchless Banking melalui Free Account

Registration dan Adopsi Kredit Mikro Grameen Bank

Branchless Banking memiliki potensi besar dalam meningkatkan fungsi

perbankan sebagai lembaga intermediasi khususnya distribusi layanan keuangan

untuk masyarakat kurang mampu maupun masyarakat yang berada di wilayah

rural yang tidak terjangkau oleh kantor-kantor Bank. Dalam mengentaskan

kemiskinan, pengangguran, dan kesejangan ekonomi, Branchless Banking

tentunya harus diimbangi dengan kinerja yang optimal. Namun yang menjadi

kendala dalam perluasan Branchless Banking adalah sedikitnya jumlah nasabah

dan sulitnya menemukan agen yang sesuai kriteria perbankan. Pemilihan agen

juga semakin dipersulit karena kurangnya minat masyarakat desa untuk menjadi

Agen. Maka langkah yang paling efektif menghindari terputusnya akses bank

yaitu dengan melakukan koordinasi dengan pemerintah. Langkah awal yang perlu

dilakukan yaitu pemerintah mewajibkan penduduk yang terdaftar e-KTP untuk

memiliki nomor rekening. Langkah kedua, pihak bank melakukan edukasi

Finacial Literacy kepada seluruh penduduk yang belum memiliki rekening.

Langkah ketiga, pihak perbankan memberikan registrasi rekening secara gratis

(Free Account Registration) dengan memilih jenis rekening TabungKu. Langkah

keempat, memilih aparatur desa menjadi Agen sebagai solusi menghindari

putusnya akses bank di desa dan sekaligus mengurangi kasus informasi asimetrik

dari nasabah. Langkah kelima mengadopsi sistem kredit mikro Bank Grameen,

untuk mengatasi sulitnya akses modal bagi penduduk menengah ke bawah.

Dengan sistem kredit yang mudah, cepat, dan bunga rendah tentunya akan

meminimalisasi keberadaan para rentenir di desa. Dan untuk memperluas akses

kredit bagi nasabah yang mampu, pemerintah harus meningkatkan sertifikasi asset

milik penduduk desa. Keberadaan Branchless Banking di desa juga perlu

disesuaikan dengan kehidupan di desa, sebagai tahap awal pengenalan Branchless

Banking. Untuk mencapai keungan inklusi melalui Branchless Banking maka

perlu meningkatkan regulasi Mobile Money, Financial Identification Number

(FIN), dan Consumer Protection melalui kepastian hukum bagi nasabah dan

Agen. Jika keseluruhan program tersebut terimplementasi dengan baik tentunya

akan signifikan dalam proses pertumbuhan ekonomi secara merata.

Kata Kunci : Registasi rekening gratis, Bank tanpa Kantor, Bank Grameen,

Kredit Mikro, Agen

v

ABSTRACT

Title : Optimizing Branchless Banking through Free Account

Registration and to Addopt Grameen Bank Microcredit

Branchless Banking has great potential in improving the banking function as

intermediary in particular the distribution of financial services for disadvantaged

communities and the people who are in rural areas not covered by the Bank

offices. In alleviating poverty, unemployment, and economic imbalance,

Branchless Banking should be balanced with optimal performance. However, the

constraints in the expansion of Branchless Banking is the least number of

customers and the difficulty of finding an appropriate agent banking criteria. The

selection of an agent is also made more difficult because of the lack of interest of

the villagers to be an agent. So the most effective measures to maintain

uninterrupted access to a bank that is in coordination with the government. The

first step, which needs to be done is the government requires residents who

registered the e-KTP card to have an account number. The second step, the bank

doing the Financial Literacy education to all residents who do not have accounts.

The third step, the banks provide registration for free accounts by selecting the

type of account TabungKu. The fourth step, choose the village officials to be

agents as a solution to avoid breaking the bank in the village and access while

reducing cases of asymmetric information from the customer. The fifth step is

adopting the Grameen Bank micro-credit system, to overcome the difficulty of

access to capital for middle to lower population. With the credit system that is

easy, fast, and low interest rates will certainly minimize the existence of the

moneylenders in the village. And to expand access to credit for customers who

can afford it, the government should improve the certification of the assets

belonging to the villagers. The existence of Branchless Banking in the village also

needs to be adapted to the life in the village, as the early stages of the introduction

of Branchless Banking. To achieve the financial inclusion through Branchless

Banking it is necessary to improve the regulation of Mobile Money, Financial

Identification Number (FIN), and Consumer Protection through legal certainty for

customers and agents. If the entire program is implemented properly will certainly

significant in the process of economic growth evenly.

Key word : Free Account Registration, Branchless Banking, Grameen

Bank, Microcredit, Agent

vi

DAFTAR ISI

JUDUL HALAMAN ................................................................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii ABSTRAK ............................................................................................................. iv DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... ix BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1 1.2 Identifikasi Masalah ................................................................................ 5 1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................... 5 1.4 Manfaaat Penulisan ................................................................................. 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 6 2.1 Kerangka Teoritis .................................................................................... 6

2.1.1 Perbedaan Mayarakat Desa dan Kota ................................................. 6 2.1.2 Stimulasi melalui Kebijakan Publik .................................................... 6 2.1.3 Fenomena Pedesaan dan Branchless Banking .................................... 8

2.1.4 Keuangan Mikro Dikaitkan dengan Sistem Grameen Bank ............. 11

2.2 Kerangka Konseptual ............................................................................ 13 BAB 3 METODE PENULISAN ....................................................................... 16

3.1 Jenis Penulisan ...................................................................................... 16

3.2 Sumber data Penulisan .......................................................................... 16 3.3 Teknik Pengumpulan Data .................................................................... 16

3.4 Alat Pengumpulan Data ........................................................................ 17 3.5 Analisis Data ......................................................................................... 17

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 18

4.1 Sistem Kebijakan Publik ....................................................................... 18 4.2 Usulan Kebijakan Publik Mewajibkan Memiliki Nomor Rekening bagi

Pemilik e-KTP .................................................................................................. 18

4.2.1 Masalah Kebijakan (Input) ................................................................ 18 4.2.2 Proses Pembuatan Kebijakan Publik (Process). ............................... 19 4.2.3 Tujuan Kebijakan Publik (Output) .................................................... 19

4.2.4 Dampaknya terhadap kelompok sasaran (Impacts)........................... 20 4.3 Pemilihan Agen Branchless Banking di Desa ....................................... 20 4.4 Adopsi Kredit Mikro Sistem Gremeen Bank ........................................ 22 4.5 Mengoptimalkan Layanan Branchless Banking ................................... 25

BAB 5 PENUTUP ............................................................................................. 27

5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 27 5.2 Saran ...................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 29

DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................................. 30 LAMPIRAN .......................................................................................................... 31

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.Perbedaan Masyarakat Desa dan Kota ....................................................... 6

Tabel 2.Pilar dan Program Strategi Nasional Keuangan Inklusi .......................... 14

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.Usulan Solusi Mengoptimalkan Branchless Banking. ........................... 2

Gambar 2.Keadaan Penduduk Desa dan Branchless Banking. ............................... 9 Gambar 3.Rekomendasi sistem Branchless Banking di Desa. .............................. 10 Gambar 4.Usulan Prosedur Meningkatkan Animo Nasabah. ............................... 15 Gambar 5.Kriteria Menjadi Agen. ........................................................................ 21 Gambar 6.Usulan Susunan Kepengurusan Branchless Banking Desa. ................. 22

Gambar 7.Alur Dana Kredit Mikro Grameen Bank. ............................................. 23

Gambar 8.Usulan Sistem Peminjaman seperti Arisan. ......................................... 24 Gambar 9.Usulan Inovasi Layanan Branchless Banking. ..................................... 28

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.Rentenir Berkedok Koperasi Simpan Pinjam .................................... 31

Lampiran 2.Jumlah Penduduk Miskin Menurut Pulau, September 2012 ............. 31 Lampiran 3.Banyak Masyarakat Terbelit Utang dengan Rentenir ........................ 32 Lampiran 4.Bank Agen Membuat Nasabah di Desa Tak Grogi Bertransaksi ...... 33 Lampiran 5.Agen Sang Ujung Tombak ................................................................ 34 Lampiran 6.Permasalahan lembaga keuangan di desa .......................................... 35

Lampiran 7.Identifikasi Isu Akses Terhadap Sistem Keuangan ........................... 35

Lampiran 8.Pembagian Masyarakat miskin .......................................................... 35 Lampiran 9.Model Kinerja Branchless Banking ................................................... 36

Lampiran 10.Proses Kebijakan Publik .................................................................. 36 Lampiran 11.Surat Pengantar ................................................................................ 37

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Berdasarkan data yang tercatat bahwa sebagian besar penduduk Indonesia

berdomisili di pedesaan.1 Dengan demikian pertumbuhan ekonomi di desa

diharapkan mampu berkembang dengan baik. Namun pada kenyataannya

persentase penduduk miskin yang berdomisili di desa mencapai 64%.2 Jika di

telaah, kemiskinan dapat dipengaruhi dua hal yang saling berkaitan yaitu antara

ketersediaan fasilitas dan kondisi sosial budaya. Jika fasilitas terpenuhi namun

tidak sesuai dengan sosial budaya akan berujung pada kurang optimalnya fasilitas.

Maka untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di desa tentunya harus

memperhatikan kesesuaian antara fasilitas dengan kondisi sosial budaya.

Salah satu fasilitas yang paling mempengaruhi pertumbuhan perekonomian suatu

negara adalah lembaga keuangan. Hal ini dapat dilihat dari besarnya persentase

kepemilikan rekening di negara-negara maju (Eropa, Amerika Serikat, dan

negara-negara OECD) berbanding lurus dengan tingkat pendapatan per kapita

(GDP per kapita) yang rata-rata di atas US$ 20 ribu. Semakin tinggi GDP per

kapita, semakin tinggi pula persentase kepemilikan rekening pada lembaga

keuangan formal.3

Survei World Bank menyatakan bahwa tingkat literasi keuangan Indonesia

(kepemilikan rekening) hanya 20% sementara negara ASEAN lainnya seperti

Filipina 27%, Malaysia 66%, Thailand 73%, dan Singapura 98%. Data ini,

membuktikan bahwa indonesia merupakan negara yang tingkat literasinya

terendah di regional(Asia Tenggara). Padahal hal ini berseberangan dengan visi

Bank Indonesia yang baru yaitu “Menjadi lembaga bank sentral yang kredibeldan

terbaik di regional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang di miliki serta

pencapaian inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil”. Maka langkah yang

paling memungkinkan untuk mencapai misi Bank Indonesia adalah memperluas

akses lembaga keuangan.

Ditinjau dari penelitian yang menyatakan bahwa akses ke sistem keuangan formal

hanya menjangkau sekitar separuh penduduk indonesia (World Bank, 2010).

Melalui dua hasil penelitian World Bank, dapat diketahui bahwa, perluasan akses

akan lembaga keuangan sendiri sudah mencapai 50% namun hanya 20% saja

masyarakat Indonesia yang sudah memiliki nomor rekening. Maka dapat

1 Badan Pusat Statistik, Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah sebanyak 237.641.326

jiwa, yang mencakup mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 118.320.256

jiwa (49, 79 %) dan di daerah perdesaan sebanyak 119.321.070 jiwa (50, 21 %). 2 Diolah dari data Susenas Maret 2012 dan September 2012, jumlah penduduk miskin per september

2012 adalah 28,59 juta jiwa. Sebanyak 18,08 juta jiwa adalah penduduk desa. 3 http://www.infobanknews.com/, Kepala Ekonom BNI: Strategi Implementasi Program Inklusi

Keuangan di Indonesia. Tanggal akses 23 Juli 2014

2

disimpulkan, bahwa ada sekitar 30% penduduk yang sudah memiliki akses akan

fasilitas lembaga keuangan, namun belum menggunakan layanan keuangan.

Jika dibandingkan, perluasan akses keuangan jauh tertinggal dengan layanan

kesehatan dan pendidikan. Demi mencapai perluasan akses keuangan maka perlu

mengoptimalkan program Keuangan Inklusi. Semua strategi dalam program

financial inclusion harus mencapai pada empat indikator utama keberhasilan (key

performance indicators). Pertama, akses, yang menggambarkan kemampuan dan

keterjangkauan masyarakat dalam menggunakan lembaga keuangan formal.

Kedua, pemakaian, yang menggambarkan tingkat penggunaan masyarakat

terhadap jasa dan produk keuangan formal. Ketiga, kualitas, yang

menggambarkan kesesuaian antara produk yang ditawarkan oleh lembaga

keuangan formal dengan yang diinginkan oleh masyarakat selaku nasabah.

Keempat, kesejahteraan, yang menggambarkan implikasi atau dampak langsung

dan tidak langsung dari penyediaan produk/jasa keuangan yang mudah diakses

terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat. Dalam mencapai empat

Indikator ini tentunya program Branchless Banking harus beradaptasi dengan

kondisi penduduk desa.

Branchless

Banking

Tidak

Ada

Ada

Optimal

Kurang

Optimal

Sulitnya akses

Kredit bagi

penduduk miskin

Nasabah

Kurang

Nasabah

Sedikit/tidak adapenyebab

Solusi

Solusi

Registrasi Rekening gratis

(free account registration)

Solusi

Kredit Mikro

Sistem Greemen

Bank

Nasabah Banyak

Layanan Sesuai &

Agen profesional

penyebabAgen Sulit

ditemukan

Melibatkan

Aparatur desaSolusi

Layanan

Kurang sesuaicontoh

Akses

Akses

Gambar 1.Usulan Solusi Mengoptimalkan Branchless Banking.

Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai keuangan, dapat memperkecil

peluang pertumbuhan Branchless Banking di desa. Untuk itu edukasi keuangan

harus digencarkan di pedesaan. Akses keuangan terhadap penduduk desa juga

semakin dipersempit lantaran biaya registrasi, potongan, dan kurang sesuainya

layanan. Akibatnya, masyarakat desa menilai bahwa Bank hanya sanggup

digunakan oleh golongan menengah keatas.4 Hal ini dapat dilihat melalui data

pemilik rekening di desa, rata-rata hanya pegawai dan pelaku usaha. Selain itu,

sebanyak 40% dari nasabah di Indonesia ternyata mempergunakan rekening hanya

untuk menerima gaji atau upah. Kurangnya pemahaman akan custumer di

pedesaan tentunya akan mempengaruhi keoptimalan kinerja Bank.

4 Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan penduduk Bonandolok I dan Bonandolok II,

Kecamatan Balige, Sumatera Utara.

3

Pada satu desa maupun keluruhan sebenarnya memungkinkan jika didirikan

Branchlesss Banking namun dengan satu syarat seluruh penduduk telah terdaftar

menjadi nasabah5. Program Branchless Bangking akan lebih optimal jika seluruh

masyarakat terdaftar sebagai nasabah. Untuk itu sebelum memperluas akses

perbankan, perlu dibuat suatu kebijakan dari pemerintah untuk mewajibkan

memiliki nomor rekening. Kebijakan ini tentunya harus distimulus dengan cara

mendaftarkan seluruh penduduk yang sudah memiliki KTP menjadi nasabah

secara gratis. Pada era tekno-ekonomi peranan Bank sangat membantu dalam

segala sektor untuk meningkatkan efisiensi regulasi keuangan. Jika penduduk desa

tidak diberi stimulus, maka akan sulit meyakinkan mereka menjadi nasabah.

Penggunaan perbankan dinilai perlu, karena segala sektor kian memaksa

penduduk untuk menggunakan layanan perbankan, tentunya jika tidak diikuti akan

menimbulkan lambatnya pertumbuhan ekonomi. Melalui stimulus kepada

penduduk diharapkan mampu merubah pola pikir masyarakat secara keseluruhan.

Strategi percepatan penanggulangan kemiskinan seperti yang diatur dalam

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan

Penanggulangan Kemiskinan dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya

adalah melalui peningkatan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin serta

pengembangan dan jaminan keberlanjutan usaha mikro dan kecil. Karena,

umumnya petani di perdesaan berada pada skala usaha mikro yang memiliki luas

lahan lebih kecil dari 0,3 hektar. Kemiskinan di perdesaan merupakan masalah

pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus menjadi

prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial. Oleh

karenanya pembangunan ekonomi nasional berbasis pertanian dan perdesaan

secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada pengurangan

penduduk miskin (Kementrian Pertanian, 2010).

Kegiatan perekonomian di pedesaan masih didominasi oleh usaha-usaha skala

mikro dan kecil dengan pelaku utama para petani, buruh tani, pedagang sarana

produksi dan hasil pertanian, pengolah hasil pertanian, serta industri rumah tangga

(Hamid, 1986). Keterbatasan modal menyebabkan aktivitas ekonomi tidak

berjalan, tidak berjalannya aktivitas ekonomi menyebabkan masyarakat berada

dalam posisi kemiskinan (Ellis dan Biggs, 2001: 439).

Rendahnya penyaluran kredit UMKM di Indonesia menyebabkan lambatnya

pertumbuhan ekonomi. Dari data yang diperoleh bahwa 59% peredaran kredit

UMKM masih berfokus pada pulau jawa, 20 % pada pulau sumatera, 7% pada

pulau Kalimantan, 2 % pada wilayah Papua, 5 % pada wilayah Bali, dan 7% pada

wilayah Sulawesi.6 Melihat data ini wajar jika tingkat perekonomian di Pulau

Jawa lebih maju dibandingkan propinsi lainnya. Jika perluasan kredit digencarkan

maka tingkat pertumbuhan ekonomi tentunya akan semakin merata.

5 Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Cabang BRI Balige, Sumatera Utara. 6 Bank Indonesia,diolah,2013

4

Suku Bunga Dasar Kredit Mikro di Indonesia saat ini relatif sangat tinggi dengan

prosedur yang rumit. Hal ini tergambar dari suku bunga dasar Kredit Mikro Bank

ada yang mencapai 40,61 %.7 Mayarakat menilai bahwa bank kini melebihi para

rentenir, dan bila pihak Bank Indonesia tidak menindak kejadian ini dapat

menyebabkan turunnya kepercayaan masyarakat dalam menggunakan jasa

perbankan. Untuk itu Branchless Banking di desa diharapkan mampu memerangi

keberadaan rentenir, maupun keuangan informal yang berkedok rentenir (Lihat

Lampiran 1). Karena, kasus rentenir juga kerap menyebabkan masyarakat kecil

terjerat (Lihat Lampiran 3).

Dengan memperhatikan keberhasilan negara Bangladesh dalam mengentas

kemiskinan melalui perbankan, tentunya Indonesia juga dapat mengadopsinya.

Sistem Kredit Mikro yang merupakan kunci keberhasilan pengetasan kemiskinan

di negara tersebut. Branchless Banking masih memiliki keterbatasan dalam hal

penyaluran sistem kredit kepada masyarakat luas. Agen Branchless Banking

belum sepenuhnya mampu memutuskan pemberian pinjaman kepada penduduk.

Hadirnya program Branchless Banking seharusnya dapat menjadi jawaban atas

kebutuhan kredit mikro penduduk miskin di pedesaan dengan sistem Grameen

Bank.

Pengoptimalan branchless banking merupakan sebuah harapan baru bagi

pertumbuhan perekonomian nasional. Untuk itu diperlukan pembaharuan yang

bersifat menyeluruh dan merata dalam memperluas sayap perbankan di Indonesia.

Keberadaan branchless banking adalah tantangan besar bagi perbankan, jika

program merugikan rakyat dan menimbulkan berbagai kasus tentunya akan

merusak reputasi perbankan terkait. Hal tersebut merupakan isu yang perlu

dihindari mengingat akan menurunkan animo masyarakat menggunakan jasa

perbankan. Untuk itu perlu digencarkan perlindungan terhadap nasabah(costumer

protection).

Maraknya kasus perbankan merupakan sebagai implikasi dari Informasi yang

asimetris (asymmetric information) dari nasabah. Kekhawatiran ini juga tentunya

akan muncul seiringan dengan perkembangan branchless banking. Dimana pelaku

utama yang mengelola Branchless Banking berasal dari luar bank atau disebut

sebagai Agen. Agen yang disebut sebagai Unit Perantara Layanan Keuangan

(UPLK) tentunya memiliki risiko yang besar (lihat Gambar 5). Melihat banyaknya

persyaratan dan kriteria yang harus dipenuhi menjadi Agen Bank, tentunya akan

semakin mempersempit perluasan Bank di pesesaan. Kurangnya, Sumber Daya

Manusia(SDM) yang sesuai kriteria dan rendahnya minat penduduk desa menjadi

Agen menjadi kendala besar dalam perluasan Branchless Banking. Menghindari

tertutupnya akses bank lantaran kendala ini, maka sebagai tahap awal dan merata

7 http://www.bi.go.id/id/perbankan/suku-bunga-dasar Suku Bunga Dasar Kredit Data Posisi

Akhir Mei 2014. Tanggal akses 23 Juli 2014

5

program branchless banking di Indonesia memerlukan dukungan aparatur desa

sebagai pengganti agen.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penulis mengidentifikasi beberapa masalah sebagai

berikut:

1. Rendahnya jumlah penduduk desa yang terdaftar sebagai nasabah pada bank

akan mempengaruhi keoptimalan Branchless Banking.

2. Sulitnya akses kredit mikro bagi golongan menengah kebawah dapat

memicu kesenjangan ekonomi.

3. Sistem kredit yang lambat, rumit, dan bunga yang tinggi dapat menurunkan

minat kreditor di desa.

4. Walaupun sistem pinjam pada keuangan informal mudah dan cepat, namun

sering juga ditemui permasalahan karena bunga yang tinggi, pembukuan

tidak sesuai, dan kurang kredibel.

5. Penggunaan jasa perbankan akan sulit diterapkan di pedesaan jika tidak

diberikan stimulus secara langsung.

6. Sulitnya mendapatkan agen yang sesuai kriteria perbankan di desa menutup

akses branchless banking di desa.

7. Biaya registrasi, potongan tinggi, kerumitan layanan dan prosedur,

menurunkan animo masyarakat menggunakan jasa perbankan.

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah sebagaimana telah diuraikan

di atas, maka penelitian memiliki tujuan:

1. Mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di Indonesia.

2. Mengatasi kesulitan pihak Bank dalam mencari Agen di pedesaan.

3. Meningkatkan jumlah nasabah di Indonesia secara merata.

4. Mengurangi kasus Informasi yang asimetris (asymmetric information)

nasabah.

5. Memudahkan penduduk menengah ke bawah untuk mendapatkan kredit.

6. Meminimalisasi keberadaan keuangan informal yang merugikan

masyarakat.

7. Menyederhanakan prosedur layanan Branchless Banking sesuai kedaan

nasabah.

8. Mencapai stabilitas sistem keuangan dan inklusi keuangan(financial

inclusion).

1.4 Manfaaat Penulisan

Dilakukannya penelitian mengenai Mengoptimalkan Branchless Banking melalui

Free Account Registration dan Adopsi Kredit Mikro Grameen Bank dapat

memberikan manfaat, sebagai berikut:

1. Secara teoritis bagi kalangan industri dan praktisi bidang keuangan untuk

lebih memahami langkah mengoptimalkan kinerja branchless Banking.

2. Secara praktis dapat digunakan sebagai masukan dalam mengurangi risiko

kegagalan Branchless Banking.

6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teoritis

2.1.1 Perbedaan Mayarakat Desa dan Kota

Masyarakat pada umumnya dapat dibedakan antara masyarakat desa (rural

community) dan masyarakat kota (urban community) yang masing-masing punya

karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan

fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda,

bahkan kadang-kadang dikatakan “berlawanan”. Perbedaan ciri antara kedua

sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai

berikut:

Tabel 1.Perbedaan Masyarakat Desa dan Kota

Masyarakat Pedesaan Masyarakat Kota

Perilaku homogen Perilaku heterogen

Perilaku dilandasi oleh konsep

kekeluargaan dan kebersamaan

Perilaku dilandasi oleh konsep

pengendalian diri dan kelembagaan

Perilaku berorientasi pada tradisi dan

status

Perilaku berorientasi pada rasionalitas

dan fungsi

Isolasi sosial, sehingga statik Mobilitas sosial, sehingga dinamik

Kesatuan dan keutuahan kultur Kebauran dan diversifikasi kultur

Banyak ritual dan nilai-nilai sakral Birokrasi fungsional dan nilai-nilai

sirkular

Kolektivisme Individualisme

Masyarakat desa dan masyarakat perkotaan memiliki hubungan simbiosis. Dalam

hal ini masyarakat kota memiliki ketergantungan terhadap masyarakat pedesaan

sebagai sumber bahan dasar. Namun faktanya, terlalu sering masyarakat pedesaan

justru mengalami tekanan dari masyarakat perkotaan, hal ini disebabkan

masyarakat kota yang telah memasuki sistem kapitalis modern, semetara

masyarakat desa tetap tidak mengalami perubahan dari sistem sosialis. Sulitnya

masyarakat desa mengalami perkembangan disebabkan tidak memiliki wawasan

yang berkembang sebab taraf pendidikan yang mereka miliki pun cenderung

rendah. Hal ini dominan diakibatkan karena lokasi yang terisolasi, dan sulitnya

komunikasi dengan dunia luar. Terisolasi artinya terpencilnya wilayah karena jauh

dari jangkauan lalu lintas sehingga menyebabkan minimnya hubungan sosial

dengan pihak lain. Namun di sisi lain masyarakat desa dipaksa untuk mengikuti

perkembangan sistem yang terdapat di negara ini. Desa juga menjadi tolak ukur

dari miskin atau tidaknya suatu negara, karena sampai saat ini desa merupakan

kantong kemiskinan yang paling besar (Eko, 2005).

2.1.2 Stimulasi melalui Kebijakan Publik

Kebijakan publik diartikan sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk

seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam hal ini hanya

7

pemerintah yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan

tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh

pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada

masyarakat.8 Definisi kebijakan publik menurut Easton ini dapat diklasifikasikan

sebagai suatu proses management, yang merupakan fase dari serangkaian kerja

pejabat publik. Dalam hal ini hanya pemerintah yang mempunyai andil

untuk melakukan tindakan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah

publik, sehingga definisi ini juga dapat diklasifikasikan dalam bentuk intervensi

pemerintah.

Kebijakan publik adalah sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-

badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan

tersebut adalah:

1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai

tindakan tindakan yang berorientasi pada tujuan.

2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah.

3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh

pemerintah jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk

dilakukan.

4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan

tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau

bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk

tidak melakukan sesuatu.

5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan

pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.9

Definisi ini juga dapat diklasifikasikan sebagai decision making ketika

kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif (tindakan pemerintah

mengenai segala sesuatu masalah) atau negatif (keputusan pemerintah untuk tidak

melakukan sesuatu). Menurut Robert Eyestone, secara luas kebijakan publik dapat

didefinsikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya.

Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai democratic governance, dimana

didalamnya terdapat interaksi negara dengan rakyatnya dalam rangka mengatasi

persoalan publik.10

Untuk memahami proses perumusan kebijakan publik (Lihat Lampiran 10) :

1. Sebuah isu publik (masalah publik) yang menyangkut masalah orang banyak

dan tidak dapat diselesaikan menurut penyelesaian dari pemerintah.

8 Drs.Hessel NogiS. Tangkilisan,MSi, “Teori dan Konsep KebijakanPublik” dalam Kebijakan

Publik yang Membumi, konsep, strategi dan kasus, Yogyakarta: Lukman Offset dan

YPAPI,2003, hal2. 9 Ibid. 10BudiWinarno,“Apakah Kebijakan Publik?”dalam Teori dan Proses Kebijakan Publik,

Yogyakarta:Media Pressindo, 2002, hal 15.

8

2. Pemerintah merumuskan kebijakan publik untuk menyelesaikan masalah

tersebut

3. Kebijakan publik diimplementasikan atau dilaksanakan oleh pemerintah dan

warga negara / masyarakat secara bersama – sama.

4. Setelah kebijakan publik dibuat, dilakukan evaluasi. Apakah bisa menyele-

saikan masalah atau justru sebaliknya.

Pemberian stimulus melalui kebijakan publik merupakan salah satu jawaban

untuk menarik seluruh masyarakat menjadi nasabah. Stimulus kepada penduduk

secara universal terkhusus bagi penduduk desa merupakan kebijakan efisien.

Melihat rendahnya kesadaran penduduk desa dalam menggunakan jasa perbankan,

maka pemberian stimulus diikuti sosialisasi keuangan dapat merubah pola pikir

mereka.. Keberhasilan kebijakan publik dari pemerintah dapat dilihat berdasarkan

kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai berhasil, seperti:

1. Pemberian elpiji gratis, Kebijakan tersebut berhasil mengubah penggunaan

bahan bakar minyak tanah menjadi gas secara signifikan dan merata di

seluruh wilayah kota dan desa.

2. Keberhasilan stimulus pemberian imunisasi gratis juga memberikan

dampak yang signifikan dalam bidang kesehatan.

3. Stimulus Program wajib belajar 9 tahun dengan bantuan dana BOS,

terbukti meningkatkan kesadaran masyarakat untuk bersekolah.

4. Pemberlakuan e-KTP dengan registrasi gratis, yang meningkatkan animo

masyarakat menggunakan KTP.

2.1.3 Fenomena Pedesaan dan Branchless Banking

Pengentasan kemiskinan merupakan salah satu agenda pembangunan nasional

yang digalakkan pemerintah selama ini. Dalam mengentaskan kemiskinan objek

utamanya adalah penduduk desa. Mengingat bahwa jumlah penduduk miskin

lebih dominan di pedesaan (Lihat Lampiran 2). Sesuai dengan pencitraan

pedesaan pada umumnya, komunitas pedesaan identik dengan para petani dan

kehidupan para petani. Oleh karena itu kehidupan pedesaan tidak lepas dari

perilaku ekonomi yang khas dari keluarga petani, yaitu pola ekonomi yang

berorientasi subsisten (Scott, 1981). Namun demikian, para pelaku usaha ini pada

umumnya masih dihadapkan pada permasalahan klasik yaitu terbatasnya

ketersediaan modal. Sebagai unsur esensial dalam mendukung peningkatan

produksi dan taraf hidup masyarakat pedesaan, keterbatasan modal dapat

membatasi ruang gerak aktivitas sektor pertanian pada pedesaan.

Branchless Banking dibutuhkan karena menjadi salah satu instrumen

pengembangan pasar keuangan mikro. Secara pragmatis, pasar keuangan mikro

merupakan aspek keuangan dari semua proses ekonomi di segmen mikro yang

meliputi segala sesuatu yang menyangkut tabungan dan kredit usaha. Pendek kata,

pada pasar keuangan mikro terdapat potensi besar dalam hal penawaran

(tabungan) dan permintaan (kredit). Berdirinya Branchless Banking merupakan

jawaban dari kurang pekanya lembaga keuangan formal dalam merangkul

9

UMKM, sehingga peranannya bisa dibilang sebagai katup penyelamat dalam

proses pembangunan ekonomi pedesaan.

Consultative Group to Assist the Poor (CGAP) memberikan definisi branchless

banking, sebagai pemberian jasa keuangan yang dilakukan di luar kantor cabang

Bank konvensional dengan menggunakan teknologi informasi dan kominikasi

serta Agen ritel bukan Bank.11 Branchless Banking didefinisikan “a distribution

channel strategy used for deliveryng financial services without relying on Bank

branches”.12

Branchless Banking memiliki potensi besar dalam meningkatkan fungsi Bank

sebagai lembaga intermediasi khususnya bagi masyarakat kurang mampu maupun

masyarakat yang berada di daerah(Lihat Lampiran 9). Keberadaan Agen di daerah

terpencil akan menurunkan biaya yang seharusnya dikeluarkan bank, seperti biaya

fisik kantor, biaya kehadiran fisik nasabah, biaya seluruh pegawai, biaya

operasional, dan biaya mobiler kantor. Hadirnya Agen Branchless Banking dan

kondisi tempat layanan tidak lagi membuat grogi masyarakat pedesaan (Lihat

Lampiran 4). Kehadiran Branchless Banking juga mengurangi antrian, dan

merupakan alternatif yang memungkinkan memberikan penyelesaian terhadap

permasalahan penanganan transaksi-transaksi yang bernilai kecil. Hal ini

merupakan alasan penduduk desa selama ini sehingga enggan menabung di bank.

Alasan tidak

menabung

Tingginya biaya admnistrasi dan bunga

Registarsi Menjadi nasabah mahal

Kurang mengerti layanan

Kurangnya edukasi keuangan

Tidak mau tahu

Alasan tidak

meminjam

Pendidikan rendah

Pemahaman mengenai teknologi rendah

Pola pikir yang tertutup

Golongan Menengah/Kebawah

Tidak melek KeunganKeadaan

$

Branchless

Banking

Masyarakat Pedesaan

Mendatangi

Agunan

Lambat

Bunga tinggi

Syarat yang rumit dan

sangat berisiko

*Berdasarkan hasil wawancara dan memadukan data dari berbagai referensi.

Gambar 2.Keadaan Penduduk Desa dan Branchless Banking.

Hampir 80% penduduk desa memiliki profesi sebagai petani, dan sebagian besar

dari mereka juga merupakan masyarakat menengah kebawah dalam garis

kemiskinan. Jika lembaga keuangan membawa sistem dan struktur yang sama

11 “CGAP defines Branchless Banking as delivery of financial services outside conventional Bank

branches using information and communications technologies and retail Agents”

sumber:http://www.cpga.org diakses pada 23 Juli 2014 12 http://en.wikepidia.org diakses pada 7 Agustus 2014

10

antara lembaga keuangan di desa dengan di kota maka akan mempengaruhi

keberadaan Branchless Banking. Jika dari segi profesi di wilayah kota kebanyakan

berprofesi sebagai pengusaha dan pegawai menetap. Penduduk kota juga memiliki

perilaku yang lebih terbuka dan dinamis. Jika di bandingkan dengan pola pikir dan

kehidupan sehari-hari masyarakat desa, ini tentunya akan menghasilkan layanan

yang berbeda. Petani belum sepenuhnya memahami layanan seperti di kota karena

adanya batasan pengetahuan mengenai teknologi dan kurang sesuai dengan

profesi sebagai petani(Lihat Lampiran 6).

Jasa perbankan di kota lebih mudah di tangani karena nasabah mayoritas melek

mengenai keuangan dan merupakan salah satu tuntutan untuk mencapai

keefisisienan regulasi keuangan di kota. Bank lebih berkembang di wilayah kota,

karena seluruh pegawai pada umumnya harus memiliki rekening bank untuk

menerima gaji. Selain itu penggunaan bank sangat marak digunakan untuk

keperluan transfer, kredit dan bisnis online. Penggunaan jasa perbankan di kota

merupakan sebuah tuntutan karena situasi dan keadaan ekonomi. Jika

dibandingkan dengan kehidupan di desa, menggunakan layanan perbankan justru

bukan suatu tuntutan namun lebih mengarah pada kesadaran (Lihat Lampiran 8).

$

Branchless

Banking

Sistem Pinjam

Sistem

Pembayaran

Sistem

Menabung

Sistem

Penarikan

Sistem

Pengiriman

Pengenalan Branchless

Banking

Ide kreatif menarik

minat penduduk desaRegitrasi buku

tabungan gratis

Kredit Tanpa

Agunan

Penawaran

AgenMengerti Bahasa

daerah tersebut

Mampu menarik

nasabah menabung

Berdomisili di desa

Melek KeuanganNasabah

Desa

Cepat

Bunga ringan

Prosedur peminjaman mudah

Minimalisasi seluruh biaya

operasional untuk meningkatkan

Branchless Banking di desa

Gambar 3.Rekomendasi sistem Branchless Banking di Desa.

Menurut BF.Hololitz bahwa untuk membangun suatu masyarakat yang

ekonominya terbelakang itu harus dapat menyediakan suatu sistem perangsang

yang dapat menarik suatu aktivitas warga masyarakat itu dan harus sedemikian

rupa sehingga dapat memperbesar kegiatan orang bekerja, memperbesar keinginan

orang untuk menghemat, menabung, keberanian mengambil risiko, dalam

mengubah secara revolusioner cara-cara yang lama yang kurang produktif.

Pada Tabel 1.Perbedaan Masyarakat Desa dan Kota, dapat dilihat bahwa ada

perbedaan mendasar antara penduduk desa dan kota. Dengan memperhatikan

perilaku homogen penduduk desa, memiliki kecenderungan sifat kolektiv

11

(berkumpul). Selain itu kedidupan di desa bersifat tertutup dan statis dapat

mempengaruhi efisiensi layanan Branchless Banking di desa.

Yustika (2008) melihat secara umum persoalan lembaga keuangan di perdesaan

dapat didentifikasikan menjadi tiga aspek berikut:

1. Masalah akses kredit

2. Posisi tawar dan informasi masyarakat perdesaan yang sangat rendah

menyebabkan rawan terhadap praktik manipulasi dari lembaga keuangan

formal maupun semi-formal

3. Informasi yang asimetris (asymmetric information) dari pemberi

pinjaman/kredit terhadap peminjam (borrower).

2.1.4 Keuangan Mikro Dikaitkan dengan Sistem Grameen Bank

Menurut definisi yang dipakai dalam Microcredit Summit (1997), kredit mikro

adalah program pemberian kredit berjumlah kecil ke warga paling miskin untuk

membiayai proyek yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang

memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya.13 Lembaga

Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia menurut Bank Pembangunan Asia dan

Bank Dunia (Gunawan, 2007) memiliki ciri utama, yaitu:

1. Menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan yang relevan atau sesuai

dengan kebutuhan riil masyarakat

2. Melayani kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah

3. Menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel

agar lebih mudah dijangkau oleh masyarakat miskin yang membutuhkan.

Lembaga keuangan mikro memiliki kelebihan yang paling nyata, yaitu

prosedurnya yang sederhana, tanpa agunan, hubungannya yang cair (personal

relationship), dan waktu pengembalian kredit yang fleksibel (negotiable

repayment). Karakteristik itu sangat sesuai dengan ciri pelaku ekonomi di

perdesaan (khususnya di sektor pertanian) yang memiliki asset terbatas, tingkat

pendidikan rendah dan siklus pendapatan yang tidak teratur (bergantung panen).

Karakter perdesaaan seperti itulah yang ditangkap dengan baik oleh pelaku

lembaga keuangan mikro, sehingga eksistensinya mudah diterima oleh masyarakat

kecil. Tetapi kelemahan utama dari lembaga keuangan mikro, yakni tingkat bunga

kredit yang sangat tinggi, harus diperbaiki sebab keberadaannya cenderung

eksploitatif kepada masyarakat miskin.

Penelitian yang dilakukan oleh A.Prasetyantoko (dekan Unika Atmajaya) dan Jay

Rosengard, Profesor dari Harvard Kennedy School (HKS) pada 2011 terhadap

lalu sektor mikro :

1. Sulitnya mencari pinjaman

2. Kekurangan likuiditas.

Namun hambatan ini hanya bersifat anomali disebabkan perbankan Indonesia

sangat likuid, solven dan profitable, sementara stabilitas makro ekonomi juga

13 “programmes extend small loans to very poor for sel-employment projects that generate income,

alowing them to care for themselves and their family” (Kompas, 15 Maret 2005) ,Tanggal Akses

24 Juli 2014.

12

baik. Fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi tidak berjalan seperti yang

diharapkan. Secara mikro, kredit ke sektor mikro begitu minim. Fakta ini

memiliki implikasi yakni:

1. Tidak ada sektor usaha menengah yang kuat di Indonesia. Struktur dunia

usaha di Indonesia begitu rapuh, kosong di bagian tengahnya (missing

middle).

2. Kesenjangan terus akan terjadi, mengingat pertumbuhan ekonomi

cenderung memperbanyak jumlah orang ultra-kaya (highly net worth

individuals).

Akibatnya sektor mikro di Indonesia mengalami credit crunch. Artinya, meskipun

likuditas ada, tetapi bank enggan menyalurkan kredit ke sektor tersebut. Karena

mengelola keuangan mikro sulit, tidak bisa mengikuti prinsip prinsip yang lazim

digunakan pada kredit besar. Secara teoritis, kredit mikro memiliki ciri yang

sangat menonjol, yaitu informasi yang tersedia mengenai debitur sangat minim.

Itulah yang dinamakan sebagai asymmetric information atau informasi yang tidak

simetris. Perbankan memilih untuk menghindari sektor mikro kalaupun ada, suku

bunganya menjadi sangat tinggi.

Dari banyak studi sudah diketahui bahwa lemahnya akses kredit bagi penduduk

termiskin memang terletak pada kendala penyediaan agunan. Ketika tidak

memiliki agunan maka, cara yang termudah bagi mereka untuk mendapatkan

pinjaman uang yang tidak bertele-tele adalah dari rentenir. Rentenir memang

memiliki beberapa keunggulan diantaranya gigih menjaring nasabah, aktif dan

rajin memberi kredit dan tentu saja juga rajin menagih. Hal yang tidak betele-tele

itu penting bagi sebagian besar masyarakat Bangladesh yang miskin dan masih

buta huruf. Gaya rentenir ini yang coba diterapkan oleh Prof. Yunus dalam

Grameen Bank. Akan tetapi bukan semata-mata melegalkan rentenir karena ada

perbedaan mendasar. Perbedaan paling mendasar adalah Grameen Bank hanya

mengenal tiga jenis kredit yaitu, kredit untuk menciptakan pendapatan (income

generating) yang produktif, kredit untuk membangun rumah dan kredit musiman

untuk menanam tanaman musiman. Dalam kasus rentenir yang paling dominan

adalah kredit untuk konsumsi yang sama sekali tidak produktif.

Suku bunga yang diterapkan juga tidak mencekik. Grameen Bank menerapkan

suku bunga yang sama dengan suku bunga komersial, yaitu 20% per tahun.

Bandingkan dengan rentenir yang bisa menetapkan bunga sampai 10% per bulan

bahkan sampai 10% per hari. Ciri mendasar terakhir adalah tidak melakukan

ekspansi besar-besaran seperti layaknya rentenir. Meskipun menyebar cabang di

mana-mana tetapi Grameen Bank tetap menjaga plafon kredit bagi setiap

peminjam. Ini bedanya dengan rentenir yang berekspansi besar-besaran hanya

untuk meraih untung besar.

Berdasarkan hal-hal di atas, Grameen Bank mampu "menyulap" citra orang

miskin yang dianggap pemalas, tak bisa dipercaya, tak bertanggung jawab soal

keuangan, menjadi sebaliknya. Itu bukan omong kosong, sebab data statistik

menunjukkan 99% kredit nasabah Grameen dikembalikan tepat waktu. Ini

13

menjadikan Grameen Bank salah satu dari sedikit bank dengan kredit macet

terkecil di dunia.

Keuangan mikro masih memilik prospek yang menjanjikan berdasarkan karena

jumlah unit usaha yang tergolong dalam usaha mikro berjumlah 98,88% terhadap

total entitas bisnis yang ada. Berdasarkan kriteria yang ada dalam UU No.

20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), kriteria unit usaha

yang bisa digolongkan sebagai usaha besar hanya 0,01%, sementara yang masuk

dalam kategori usaha menengah hanya 0,08 persen. Meskipun entitasnya banyak,

namun kontribusi usaha mikro di Indonesia masih sangat kecil, baik dari sisi

sumbangan terhadap PDB maupun sumbangan pada ekspor. Padahal, usaha mikro

menyerap tenaga kerja cukup banyak, yaitu 91,03 persen. Dilihat dari populasinya

yang besar, jelas usaha mikro adalah wilayah yang belum terjamah. Memang

untuk menjangkaunya sulit, karena medannya memang berbeda. Usaha mikro

cenderung bersifat informal, sehingga untuk menetapkan syarat harus memiliki

izin usaha, agak sulit dilakukan. Dan, karena itu, umumnya sektor mikro tidak

terjamah oleh kredit dari sektor perbankan modern. Mereka biasanya mengakses

sumber kredit yang bersifat informal pula, seperti pinjaman ke saudara, koperasi,

credit unions dan bahkan ke rentenir (lintah darat). Mereka rela membayar bunga

pinjaman kredit yang begitu tinggi, karena memang mereka tidak mampu

mengakses kredit dengan persyaratan formal. Mereka ini adalah kelompok

informal, jadi sumber keuangannya juga bersifat informal. Solusinya adalah

menginformalkan, sebab mereka tidak memiliki jaminan. Perbankan modern

harus bekerja sama dengan lembaga-lembaga seperti koperasi, asosiasi, dan

sebagainya sebagai penyalur (channeling).

Sebagai unsur esensial dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup

masyarakat pedesaan, keterbatasan modal dapat membatasi ruang gerak aktivitas

sektor pertanian dan pedesaan (Hamid, 1986). Dalam jangka panjang, kelangkaan

modal bisa menjadi entry point terjadinya siklus rantai kemiskinan pada

masyarakat pedesaan yang sulit untuk diputus.

2.2 Kerangka Konseptual

Branchless Banking merupakan salah satu program dalam Evolusi Kerangka

Kebijakan Financial Inclusion. Sebagai salah satu program yang terkait dengan

kebijakan keungan inklusi tentunya, tujuan Branchless Banking juga harus

berdampingan dengan tujuan Strategi Nasional Keungan Inklusi. Tujuan Strategi

Nasional Keungan Inklusi(SNKI) adalah mencapai kesejahteraan ekonomi melalui

pengurangan kemiskinan, pemerataan pendapatan dan stabilitas sistem keuangan

di Indonesia dengan menciptakan sistem keuangan yg dapat diakses oleh seluruh

lapisan masyarakat.

Menurut SNKI“Keuangan inklusif didefinisikan sebagai hak setiap individu untuk

memiliki akses penuh terhadap layanan keuangan yang berkualitas secara tepat

waktu, nyaman, jelas dan dengan biaya terjangkau sebagai penghormatan penuh

14

atas martabat pribadinya. Layanan keuangan diberikan bagi seluruh segmen

masyrakat, dengan perhatian khusus pada kelompok miskin berpenghasilan

rendah, miskin produktif, pekerja migran, dan masyarakat yang tinggal di daerah

terpencil”. Maka untuk mencapai tujuan keuangan inklusi ada 6 pilar yang perlu

diperhatikan dan ditingkatkan berdasarkan tabel berikut:

Tabel 2.Pilar dan Program Strategi Nasional Keuangan Inklusi

*Sumber: Strategi Nasional Keungan Inklusi, Bank Indonesia 2013.

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa Bank Indonesia telah memberikan

keseriusan untuk menjangkau para penduduk rural melalui 6 pilar dan program-

program. Tentunya, demi pencapaian suatu tujuan diperlukan inovasi yang

bersifat optimal. Maka berlandaskan 6 pilar dan tujuan Keuangan Inklusi, penulis

mengusulkan beberapa ide dalam mengoptimalkan kinerja Branchless Banking.

Adapun beberapa ide tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mengusulkan pentingnya koordinasi antara pemerintah dan pihak Bank

Indonesia. Mengingat salah satu nilai strategis bank Indonesia yaitu

Coordination & Teamwork, berdasarkan hal tersebut pemerintah

merupakan stakeholder eksternal yang memiliki peranan penting dalam

menetapkan suatu kebijakan dan selanjutnya untuk dilaksanakan

penduduk. Oleh sebab itu, penulis merekomendasikan agar pemerintah

mewajibkan penduduk yang telah terdaftar e-KTP untuk memiliki nomor

rekening. Sebagai tindak lanjut dari usulan tersebut penulis

merekomendasikan layanan Registrasi Nomor Rekening gratis (Free

Account Registration) untuk menarik seluruh masyarakat menjadi nasabah.

2. Mengusulkan mengadopsi Kredit Mikro sistem Bank Grameen pada

Branchless Baanking. Mempertimbangkan salah satu nilai strategis Bank

Indonesia yaitu Public Interest. Pemberian kredit ini bertujuan untuk

memudahkan akses permodalan bagi kalangan menengah kebawah.

3. Mengusulkan Aparatur desa sebagai Agen, hal ini dinilai sangat penting

untuk mempertahankan eksistensi dan kepercayaan publik pada

Branchless Banking di pedesaan. Dengan mempertimbangkan nilai

strategis Bank Indonesia yaitu Trust and Integrity, maka memilih aparatur

desa sebagai agen akan menjaga nama baik perbankan. Kurangnya minat

dan sulitnya ditemukan agen yang sesuai kriteria perbankan di desa,

merupakan kendala dalam perluasan Branchless Banking. Melalui aparatur

desa sebagai agen, tentunya mereka lebih memahami seluk-beluk

No. Pilar Program

1. Eduksi Keungan Edukasi :Pelajar dan Masyarakat lain

2. Fasilitas Keuangan Publik PKH, Jamkesmas, BLT, Bansos, BLSM

3. Pemetaan Informasi Keungan Financial Identity Number (FIN), Informasi

harga komoditi melalui HP

4. Kebijakan/Peraturan

Pendukung

Multilicensing, Kebijakan branchless

banking, Kebijakan kredit UMKM

5. Fasilitas Intermediasi dan

Distribusi

TabunganKu, Branchless banking,

Pembiayaan Start-Up

6. Perlindungan Konsumen Mediasi Perbankan,Transparansi Produk

15

penduduk sehingga akan mengurangi kejadian informasi yang asimentrik

dari nasabah.

4. Untuk mempermudah akses kredit bagi penduduk mampu di pedesaan,

Mengusulkan pihak bank indonesia melakukan koordinasi dengan

pemerintah daerah agar mensertifikasi seluruh asset penduduk.

Usulan atau rekomendasi mengoptimalkan kinerja Branchless Banking juga telah

mengacu pada dimensi financial inclusion.Karena, keberhasilan Branchless

Banking dalam bidang perbankan tidak sebatas hanya memperluas akses. Sebagai

salah satu program financial inclusion, tentunya keberhasilan pencapaian

Branchless Banking dapat dinilai berdasarkan dimensi keuangan inklusi. Adapun

dimensi keuangan inklusi meliputi empat hal yaitu:

1. Akses (access)

2. Penggunaan (usage)

3. Kualitas (quality)

4. Dampak (impact)

$

Branchless

Banking

Mengeluarkan kebijakan

Wajib Memiliki normor

rekening pemilik e-KTP

Edukasi Keungan

Dengan bahasa

daerah

Pemerintah

Koordinasi

Penduduk

Desa

Pihak Bank

Menyediakan

Memerintah

Layanan Gratis Registrasi

menjadi nasabah + Buku

rekening

Mengikuti

Tertarik menabung

karena sudah

ada rekening

Kredit Mikro Sistem

Grameen Bank

layananAkses Mudah

Gambar 4.Usulan Prosedur Meningkatkan Animo Nasabah.

Branchless Banking akan optimal, jika seluruh masyarakat terdaftar sebagai

nasabah(access). Dengan layanan yang mudah, cepat, kredibel dan bunga rendah

tentunya akan meningkatkan penggunaan jasa perbankan(usage). Jika Branchless

Banking ingin menarik minat penduduk menggunakan layanan keuangan harus

meningkatkan kualitas layanan yang sesuai kebutuhan nasabah(quality). Jika

seluruh program berjalan dengan baik, tentunya keberadaan Branchless Banking

akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional (impact). Maka usulan

registrasi Akun Gratis(Freee Account Registration) bertujuan untuk meningkatkan

akses perbankan. Dan Adopsi Kredit Mikro Sistem Bank Grameen akan

mendorong kualitas layanan, penggunaan layanan dan memberikan dampak yang

baik.

16

BAB 3 METODE PENULISAN

3.1 Jenis Penulisan

Penulisan karya tulis dilakukan melalui penelitian ilmiah, artinya suatu metode

yang bertujuan unntuk mempelajari satu atau beberapa gejala, dengan

menganalisisnya dan mengadakan pemeriksaan mendalam terhadap fakta tersebut,

untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang

ditimbulkan oleh fakta tersebut.

Pada setiap kegiatan yang bersifat ilmiah selalu didasarkan pada metode

penelitian tertentu, karena hasil penelitian yang akan dituangkan dalam tulisan

berwujud karya ilmiah haruslah bersifat obyektif, dalam arti pemikiran maupun

materi pembahasan seharusnya dapat diuji kebenarannya secara logis, sistematis,

dan sesuai dengan data maupun fakta.

Untuk mendapatkan data yang diperlukan, penelitian ini menggunkan metode

penelitian kepustakaan(library research), yaitu suatu cara mengumpulkan data

sekunder dengan melakukan studi kepustakaan. Studi kepustakaan juga dilakukan

dengan penelusuran bahan-bahan terkait pada perpustakaan maupun internet.

Disamping itu penelitian ini juga dipertajam dengan melakukan pengamatan

langsung dan melakukan wawancara dengan pejabat-pejabat perbankan,

masyarakat pedesaan dan instansi terkait jika dinilai perlu.

Penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian yang berbentuk deskriptif,

yaitu penelitian yang menguraikan sifat-sifat dan keadaan sebenarnya dari suatu

objek penelitian. Tujuannya adalah mengumpulkan fakta dan menguraikannya

secara menyeluruh dan teliti sesuai dengan persoalan yang akan dipecahkan.

3.2 Sumber data Penulisan

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari orang dan benda. Orang sebagai

informan dalam arti sebagai subjek yang mengemukakan data-data yang

dibutuhkan oleh peneliti, sedangkan benda merupakan sumber data dalam bentuk

dokumen seperti artikel dan berita yang mendukung tercapainya tujuan penelitian.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan materi terkait dengan penulisan karya tulis ini dilakukan dengan

metode pengumpulan materi penulisan sebagai berikut:

1. Studi pustaka

Penulis akan melakukan penelaahan studi pustaka guna mendapatkan

materi penulisan baik berupa bahan pustaka dari buku maupun, dari web

site. Bahan-bahan penulisan karya tulis tersebut diusahakan akan

didapatkan melalui sumber utama, namun juga tidak terbatas dan dapat

dikumpulkan melalui perpustakaan, media massa cetak maupun elektronik,

seminar, jurnal, penelitian dan internet.

2. Diskusi/Pembicaraan

17

Diskusi dan pembicaraan dilakukan oleh penulis terhadap pelaku

perbankan seperti kepala bank, staff keuangan, dan masyarakat pedesaaan.

Dalam diskusi dengan pihak Bank penulis menyampaikan beberapa

pertanyaan terkait kendala dalam perluasan jaringan perbankan hingga

daerah terpencil. Sementara penulis juga melakukan pembicaraan baik

individual maupun kelompok kepada masyarakat pedesaan yang belum

mengenal maupun yang sudah mengenal perbankan. Tujuan diskusi ini

untuk mengetahui secara terperinci mengenai kebutuhan akan lembaga

keuangan yang aman dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa.

3.4 Alat Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan, guna menjawab permasalahan sebagaimana

tersebut di atas, disamping mempelajari literatur yang ada hubungannya dengan

obyek penelitian, juga dilakukan penelitian lapangan untuk memperoleh data

primer sebagai pendukung data sekunder.

Alat yang digunakan dalam pengumpulan data dari penelitian kepustakaan (data

sekunder) adalah dengan studi dokumen dari berbagai referensi buku, internet

maupun penelitaian terkait. Sedangkan alat yang digunakan dalam pengumpulan

data penelitian lapangan (data primer) adalah dengan menggunakan metode

wawancara. Objek wawancara adalah para pelaku yang terlibat secara langsung

maupun tidak langsung dalam penerapan rogram Branchless Banking.

3.5 Analisis Data

Pengelolaan data dilakukan dengan jalan mengumpulkan, menseleksi dan

mengklarifikasi data secara sistematis, logis, dan obyektif. Pendekatan yang

dilakukan bersifat abstraksi artinya data yang berhasil dikumpulkan dilakukan

klarifikasi dan seleksi untuk kemudian dicari data khususnya yang berkaitan

dengan obyek penulisan.

Mengingat penelitian ini merupakan penelitian mengenai program Branchless

Banking yang bersifat deskriftif eksploratif, maka analisis data dilakukan secara

kualitatif. Analisis deskriptif eksploratif artinya menggunakan data untuk

menggambarkan secara rinci dan tepat tentang suatu fenomena atau gejala tertentu

yang menjadi obyek penelitian. Sedangkan yang dimaksud dengan analisis

kualitatif adalah bahwa data yang diperoleh dari hasil penelitian dikelompokkan

untuk diseleksi menurut kualitas kebenaran dan tingkat validitasnya.

18

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sistem Kebijakan Publik

Yang dimaksud dengan sistem kebijakan publik, menurut Mustopadidjaja AR

(Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja AR. 1988), adalah keseluruhan pola

kelembagaan dalam pembuatan kebijakan publik yang melibatkan hubungan

diantara 4 elemen (unsur), yaitu:

1. Input : masalah Kebijakan Publik Masalah Kebijakan Publik ini timbul

karena adanya faktor

lingkungan kebijakan publik yaitu suatu keadaan yang melatar belakangi

atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya “masalah kebijakan publik”

tersebut, yang berupa tuntutantuntutan, keinginan-keinginan masyarakat

atau tantangan dan peluang, yang diharapkan segera diatasi melalui suatu

kebijakan publik.

2. Process(proses): pembuatan Kebijakan Publik. Proses pembuatan

kebijakan publik itu bersifat politis, di mana dalam proses tersebut terlibat

berbagai kelompok kepentingan yang berbeda-beda, bahkan ada yang

saling bertentangan.

3. Output: Kebijakan Publik, yang berupa serangkaian tindakan yang

dimaksudkan untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan tertentu

seperti yang diinginkan oleh kebijakan publik.

4. Impacts(dampak), yaitu dampaknya terhadap kelompoksasaran (target

groups). Kelompok sasaran (target groups) adalah orang-orang,

kelompok-kelompok orang, atau organisasi-organisasi, yang perilaku atau

keadaannya ingin dipengaruhi atau diubah oleh kebijakan publik tersebut.

4.2 Usulan Kebijakan Publik Mewajibkan Memiliki Nomor Rekening bagi

Pemilik e-KTP

Berdasarkan penjelasan Sistem Kebijakan publik pada sub-bab sebelumnya maka,

dalam memecahkan permasalahan ekonomi melalui kebijakan publik mewajibkan

memiliki nomor rekening bagi pemilik e-KTP, dapat dilakukan berdasarkan 4

elemen berikut:

4.2.1 Masalah Kebijakan (Input)

Tercatat sebagai pemilik rekening tabungan bank, adalah cara praktis mendapat

akses layanan keuangan. Namun pada kenyataanya tingkat literasi keuangan di

Indonesia jauh dari dari harapan. Fakta ini mendorong Bank Indonesia

memperluas cakupan layanan perbankan, termasuk dengan penerapan branchless

banking atau uang elektronik. Penyebaran branchless banking tentunya harus

diimbangi dengan peningkatan jumlah nasabah dalam mengoptimalkan

keberadaan Branchless Banking. Penduduk desa merupakan target utama

perbankan dalam program Branchless Banking.

Seperti penjelasan sebelumnya bahwa penduduk desa pada umumnya memiliki

pola pikir yang lebih tertutup. Hal tersebut menjadi faktor penghambat untuk

19

menarik penduduk desa menjadi nasabah. Selain itu penduduk miskin yang belum

terdaftar menjadi nasabah memiliki beberapa alasan mengapa tidak menjadi

nasabah (Lihat Lampiran 7). Tentunya pihak bank terkait tidak akan mengambil

resiko membentuk Branchless Banking sementara tidak sebanding dengan

pemasukan yang didapatkan. Untuk menghindari pihak bank lepas tangan dalam

memperluas jaringan branchless banking tentunya perlu dilakukan tindakan agar

seluruh masyarakat terdaftar menjadi nasabah.

Financial inclusion bertujuan untuk menjangkau kalangan pra-mikro atau

masyarakat yang bahkan tidak memiliki pekerjaan dan tidak pernah memiliki

usaha apapun. Riset Bank Dunia tahun 2011 berhasil menjawab masalah mengapa

masyarakat berpenghasilan rendah belum membutuhkan layanan perbankan atau

lembaga keuangan, yakni :

1. Merasa belum memiliki uang yang cukup

2. Belum memiliki pekerjaan tetap / pengangguran

3. Tidak memeroleh manfaat bila berhubungan dengan bank

4. Merasa tidak layak meminjam

5. Tidak membutuhkan kredit

6. Tidak memiliki jaminan untuk memeroleh pinjaman

7. Tidak memiliki kemampuan untuk membayar cicilan utang

8. Tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang sistem pinjaman di bank

9. Tidak akan memeroleh manfaat dari kredit bank

4.2.2 Proses Pembuatan Kebijakan Publik (Process).

Edukasi Financial Literacy kurang optimal jika tidak diiringi dengan terdaftarnya

penduduk sebagai nasabah. Kejadian ini dapat dilihat berdasarkan upaya-upaya

yang dilakukan perbankan untuk menarik masyarakat menjadi nasabah, namun

tidak begitu optimal. Ada baiknya pemerintah dan Bank Indonesia harus saling

berkoordinasi dalam menjalankan kebijakan financial inclusion. Pemerintah

sebagai pemangambil keputusan harus memberikan stimulus kepada seluruh

penduduk untuk mewajibkan memiliki rekening bank, dan tindak lanjut dari

kebijakan tersebut adalah pihak bank akan meregistrasi seluruh penduduk tanpa

menggunakan biaya (free account registration).(Lihat Lampiran 8) Kebijakan free

account registration, tentunya akan dipermudah dengan mengintegrasikan data

nasabah melalui e-KTP. Program pengembangan Financial Identification

Number(FIN) Bank Indonesia juga akan lebih terintegrasi dengan kebijakan free

account registration dalam mendorong perluasan efisiensi akses keuangan.

4.2.3 Tujuan Kebijakan Publik (Output)

Adapun tujuan dari kebijakan publik mewajibkan masyarakat memiliki nomor

rekening bagi pemilik e-KTP adalah:

1. Meningkatkan tingkat literasi di Indonesia secara merata.

2. Meningkatkan efisiensi perluasan akses keuangan di Indonesia.

3. Meningkatkan minat penduduk menggunakan jasa perbankan.

20

4.2.4 Dampaknya terhadap kelompok sasaran (Impacts).

Adapun dampak jika seluruh masyarakat telah terdaftar sebagai nasabah adalah

sebagai berikut:

1. Memudahkan pemerintah dalam memberikan bantuan berupa uang melalui

rekening kepada masyarakat, dengan demikian akan mengurangi

kemungkinan terjadinya KKN oleh aparatur terkait.

2. Memudahkan berbagai pihak untuk mendapatkan data statistik terkait

keuangan seluruh masyarakat.

3. Mempermudah melakukan inovasi layanan.

4. Meningkatkan efisiensi regulasi keuangan.

5. Menstimulus perkembangan tekno-ekonomi di tengah pasar digital yang

semakin menjamur.

6. Media paling efektif dalam mendidik seluruh masyarakat Indonesia

mengenai pengelolaan keuangan(praktik langsung edukasi keuangan).

7. Berpotensi mengurangi tingkat penganguran baik di kota maupun di desa.

8. Memunculkan era baru dalam dunia perbankan yang lebih maju dan

modern secara merata.

9. Mendorong perkembangan bidang pendidikan, kesehatan, perdagangan,

perindustrian, pertanian dan bidang lainnya secara merata.

10. Mempercepat proses pengentasan kemiskinan secara merata.

11. Mengoptimalkan kinerja bank.

12. Melancarkan aliran keuangan yang tentunya akan mengurangi kesenjangan

antara kota dan desa maupun antara penduduk kaya dan miskin.

4.3 Pemilihan Agen Branchless Banking di Desa

Terbatasanya jangkauan pihak bank mengenai situasi dan permasalahan di desa,

menjadi salah satu jawaban bahwa perlu kerjasama antara pihak bank dan

pemerintah. Mengingat bahwa lembaga keuangan dan pemerintah memiliki visi

yang sama dalam peningkatan kesejahteraan penduduk. Maka dalam mencapai

keoptimalan perluasan Branchless Banking tidak semata hanya tugas bank.

Pemerintah desa dapat dilibatkan dalam hal pengawasan dan menyediakan data

terkait penduduk desa, demi tercapainya inklusi keuangan. Tercipta sinergi yang

baik antara lembaga pemeritahan dengan keuangan tentunya akan menghasilkan

kinerja yang lebih baik.

Menurut Scott (1981), persoalan yang berlaku pada masyarakat pedesaan adalah

rasionalitas sosial yang lebih mementingkan kebersamaan ketimbang persaingan.

Penetrasi dari luar, baik menyangkut aspek kelembagaan maupun teknologi justru

akan menimbulkan resistensi. Selama ini permasalahan proses pembangunan

pedesaan adalah tidak terbangunnya kelembagaan sektor ekonomi sebagai

instrumen untuk mengatasi kelangkaan modal (lack capital) di wilayah pedesaan.

Menurut Syahyuti (2004) peran kelembagaan dalam pembangunan pedesaan

merupakan pintu masuk agar suatu lembaga dapat berdiri dan diterima, khususnya

di dalam aspek ekonomi. Revitalisasi kelembagaan ekonomi dinilai penting, agar

kelembagan ini bisa kembali terlegitimasi dalam setiap individu yang berada

didalamnya, bisa menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging), jika rasa

21

memiliki ini sudah muncul, setiap individu akan berpartisipasi dan kelembagaan

ini akan berkembang sehingga potensial untuk bisa mensejahterakan masyarakat

karena didalamnya sudah ada pembagian peran dan tanggung jawab dalam

memenuhi kebutuhan ekonomi mereka

Kriteria menjadi agen

Individu/

Perusahaan

Memiliki Kartu

Identitas diri

Perusahaan harus

memiliki identitas legalMemiliki rekening cash

Rp.500.000-10.000.000

Agen harus pada padat

aktivitas

Lokasi tidak terlalu

jauh dari cabang

Tidak termasuk

dalam daftar black

list Bank Indonesia

Wajib memiliki

handphone

Jaringan selular

tersedia di tempathighly educated

dikenal masyarakat

setempat

memiliki likuiditas

baik

paham soal customer due

dilligence(CDD) dan prinsip

know your customer (KYC) saat

membuka rekening layanan. Gambar 5.Kriteria Menjadi Agen.14

Menjadi agen merupakan peran terpenting dalam pengoperasian Branchless

Banking(Lihat Lampiran 5). Besarnya peranan dan risiko Agen dalam menangani

branchless banking, tentunya akan menjadi kendala dalam pemilihan agen. Akan

sulit menemukan kriteria agen yang sesuai dengan kemauan bank pada wilayah

pedesaan. Kurangnya pemahaman tekonologi dan pendidikan menjadi faktor

pertimbangan dalam pemilihan agen. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang

dapat memilih agen yang berkualitas dan bertanggung jawab. Untuk menghindari,

putusnya jaringan branchless banking karena sulitnya mendapatkan agen. Maka

pihak bank harus bekerjasama dengan pemerintah desa dalam menjalankan

program branchless banking. Mengingat bahwa kurangnya sistem keamanan, dan

jauhnya jarak kantor bank dengan Branchless Banking berpeluang menimbulkan

kasus kejahatan. Jika ditinjau bahwa suatu desa paling sedikit sudah terdiri dari

kepala desa, sekretaris desa, dan bendahara desa. Sekretaris desa merupakan orang

yang paling sesuai diunjuk sebagai agen branchless banking. Sekretaris desa yang

sebenarnya menangani segala administrasi masyarakat desa. Namun pemerintah

dapat memberikan penugasan kepada sekretaris desa menangani branchless

banking di desa.

14Berdasarkan kriteria menjadi agen dari Bank Indonesia maupun bank yang terkait pilot project

program branchless banking.

22

Lembaga keuangan

Pemerintah(Bank Daerah)

Kepala Desa

(Pengawas

Branchless

Banking)

Sekretaris Desa

(Pengganti Agen)

Program

Branchless

Banking

Bendahara Desa

(Pengelola Kredit

Mikro)

Masyarakat

(Nasabah) Gambar 6.Usulan Susunan Kepengurusan Branchless Banking Desa.

Selain itu, tempat pengoperasian branchless Banking dapat menggunakan kantor

kepala desa hal ini untuk memudahkan masyarakat dalam menjangkaunya.

Adapun alasan mengapa sekretaris desa layak dijadikan sebagai agen Branchless

Banking di pedesaan adalah:

1. Sekretaris desa lebih dikenal masyarakat desa.

2. Sekretaris desa mengetahui seluk-beluk masyarakat desa sehingga

memudahkan dalam pengelolaan branchless banking.

3. Sekretaris desa akan lebih mudah di training untuk menangani branchless

banking.

4. Masyarakat desa akan lebih percaya untuk menggunakan jasa Bank jika,

orang yang mengelola telah memiliki status yang jelas.

5. Dengan menunjuk sekretaris desa sebagai agen di desa akan mengurangi

berbagai risiko karena telah memiliki status yang jelas.

4.4 Adopsi Kredit Mikro Sistem Gremeen Bank

Seperti penjelasan mengenai sistem Kredit Mikro Grameen Bank tanpa agunan

merupakan salah satu contoh yang pelu di adopsi. Dengan latar belakang

penduduk desa yang miskin, tentunya Kredit Mikro tanpa agunan akan

meningkatkan jumlah masyarakat kecil yang meminjam. Semakin meningkatnya

jumlah penduduk desa yang meminjam untuk keperluan pengembangan usaha dan

kebutuhan lainnya tentunya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat desa

Prinsip Grameen Bank patut ditimbang sebagai satu alternatif metodologis dalam

mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Pemberian kompensasi Bantuan

Langsung Tunai (BLT) diibaratkan sebagai “obat flu” tapi digunakan untuk

mengobati sakit kanker. Nampaknya, pemerintah belum banyak ‘belajar’ dari

desain dan implementasi BLT pasca kenaikan harga BBM Oktober 2005. Hal ini

bisa dilihat dari meningkatnya persentase penduduk miskin Indonesia yang

meningkat dari 16% tahun 2005 menjadi 17,8% tahun 2006. Program ini

ibaratnya bukan merupakan obat yang bisa menyembuhkan orang miskin dari

kemiskinan, tetapi hanya sekadar perpanjangan nafas saja. BLT juga mendidik

orang Indonesia menjadi malas bekerja. Karena mereka hanya menadahkan

tangan saja mengharapkan dana BLT. Program ini juga cenderung membentuk

23

pola perilaku konsumtif masyarakat, bukan produktif, karena langsung habis

dibelanjakan.

Kredit bentuk

kelompok

Sistem Kredit Mikro

Grameen Bank Sekretaris Desa

(Agen Branchless

Banking)

Bendahara Desa

(Penyalur Kredit)

Modal Kerja Bisnis Investasi

Aliran Dana

Pinjaman

Koordinasi

Branchless

Banking

Gambar 7.Alur Dana Kredit Mikro Grameen Bank.

Alternatifnya, dana BLT yang mencapai triliunan rupiah tersebut sebaiknya

digunakan untuk dana bantuan modal bagi usaha mikro, baik dalam bentuk dana

bergulir, kredit tanpa agunan dan tanpa bunga, maupun hibah. Karena usaha

mikro inilah yang menjadi andalan bagi penduduk miskin untuk bertahan hidup.

Menurut Sensus Ekonomi tahun 2006, usaha mikro mencapai 83,3% dari total

22,7 juta usaha, yang menyerap tenaga kerja kurang lebih sebesar 62,5% dari 49,7

juta orang.

Hakikat BLT pada dasarnya “give a man a fish, and he may just eat”: berikan si

miskin seekor ikan dan ia hanya dapat makan. Sedang hakikat Grameen Bank

adalah “teach him to catch fish, and he may feed himself”: ajari bagaimana si

miskin menangkap ikan dan ia dapat menghidupi dirinya sendiri.15 Ditinjau dari

potensial ekonomi berfungsi wilayah desa berfungsi sebagai lumbung bahan

mentah(raw material) dan tenaga kerja (man power) yang menjadi modal utama

penggerak perekonomian. Peningkatan kredit mikro tentunya dapat menjadi cikal

bakal berdirinya “rural industries”. Dengan berdirinya industri desa di bidang

pertanian, maka akan meningkatkan produktivitas hasil pertanian desa.

Terciptanya perekonomian yang seimbang antar penduduk kota dan desa, akan

membawa Indonesia pada jalur ekonomi yang stabil dan kuat.

Agen Branchless Banking dalam menangani kredit mikro dengan sistem

Grameeen Bank harus memiliki persyaratan sebagai berikut:

1. Mampu menggunakan komputer maupun alat komunikasi sebagai alat

dalam mengelola kredit.

2. Memahami status dan identitas nasabah sebagai salah satu syarat penting

dalam proses peminjaman.

3. Memiliki tanggung jawab dalam menagih iuran kredit secara rutin.

4. Menyalurkan kredit dengan prosedur yang sederhana.

5. Bersikap jujur dan transparant.

15 Analisis: Grameen Bank, dikutip dari tulisan, Prof.Mudrajad Kuncoro.PhD, Ketua Jurusan Ilmu

Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Pimpinan redaksi Jurnal Ekonomi & Bisnis

Indonesia.

24

Anggota

1

Anggota

5

Anggota

4Anggota

3

Anggota

2

Satu perwakilan yang meminjam

setiap minggunya membayar Cicilan

Maret-April

(5 juta+10%)

Rp.115.000/minggu

Peminjaman bergilir seperti Arisan : Contoh

Satu Kelompok terdiri dari 6 orang

Jumlah pinjaman per-orang 5 juta(6x5=30 juta)

Batas pengembalian 2 bulan(6x2= 1 tahun )/

peminjam

5.500.000/2 bulan(10% bunga)

Anggota lain tidak boleh meminjam, selama

anggota yang masih meminjam belum lunas

Pembayaran 1 kali seminggu

Rp.5.500.000/8 minggu=687.500/6 orang

Rp.115.000/ perminggu

Tanpa agunan(jaminan),Hanya berupa surat

keterangan peminjaman

Januari-Februari

(5 juta+10%)

Anggota 6

Sangat Membutuhkan

Membutuhkan

Kurang Membutuhkan

Tingakatan Peminjam:

Gambar 8.Usulan Sistem Peminjaman seperti Arisan.

Grameen Bank memberikan kredit kecil tanpa agunan yang bisa digunakan untuk

kegiatan produksi (income generating). Sebuah bank yang hanya mau

memberikan kredit kecil bagi orang miskin apalagi tanpa mensyaratkan adanya

jaminan, adalah sesuatu yang tidak umum dalam sistem moneter di mana pun.

Juga di Bangladesh tentunya, karena kedua hal ini sama sekali tidak diatur oleh

Undang-Undang Perbankan di Bangladesh.Perbankan tidak bersedia melayani

kebutuhan kredit masyarakat kecil atau orang-orang miskin karena:

1. Orang-orang miskin tidak mempunyai barang-barang atau kekayaan yang

dapat dijadikan agunan pinjamannya.

2. Mereka tidak dapat mengisi berbagai formulir yang rumit karena sebagian

besar dari mereka tidak dapat membaca dan menulis.

3. Perbankan lebih suka melayani kebutuhan kredit berskala besar daripada

yang kecil-kecilan yang banyak jumlahnya sehingga memerlukan banyak

pekerjaan dan mengandung resiko tinggi.

4. Perbankan takut bunga pinjaman yang diterima tidak dapat menutup biaya

pelayanan pinjaman kecil yang banyak jumlahnya tersebut.

25

Peminjaman bergilir merupakan merupakan hal yang sudah biasa diterapakaan

dalam kehidupan masyarakat pedesaan layaknya arisan. Adapun prosedur kredit

mikro sistem Grameen Bank adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat membentuk kelompok kecil yang terdiri dari 5 orang lebih

yang akan menerima pinjaman.

2. Setiap anggota kelompok berhak menerima pinjaman secara bergiliran

sesuai prioritas.

3. Pembayaran uang yang dipinjam dilakukan setiap minggunya oleh setiap

anggota. Jika terjadi macet pembayaran akan diberikan sanksi disiplin

namun tidak diberikan berupa tambahan pembayaran.

Corak kehidupan desa didasarkan pada ikatan kekeluargaan yang erat. Masyarakat

merupakan suatu ”gemainshaft” yang memiliki unsur gotong royong yang kuat.

Hal ini dapat dimengerti karena penduduk desa merupakan “face group” dimana

mereka salaing mengenal betul seolah-olah mengenal dirinya. Maka dari

kebiasaan masyarakat desa ini tentunya mendukung sistem kredit collateral

(jaminan bersama dalam peminjaman uang). Disiplin, ini juga yang ingin

dibudayakan dalam Grameen Bank. Dalam setiap lima peminjam dibentuk satu

kelompok sehingga terjadi tanggung renteng. Ketika masih ada anggota yang

menunggak kredit maka yang lain bertanggung jawab. Maka muncul suatu

keharusan untuk menumbuhkan rasa solidaritas dan disiplin dalam kelompok

yang pada akhirnya akan menekan kredit macet.

4.5 Mengoptimalkan Layanan Branchless Banking

Dalam mencapai 4 indikator dalam pelaksanaan kebijakan Keuangan Inklusi,

maka perlu dilakukan pemahaman terhadap costumer (nasabah). Layanan

Branchless Banking di pedesaan tentunya harus lebih disesuaikan dengan sosial

budaya masyarakat. Bahkan istilah-istilah perbankan sangat sulit dimengerti

penduduk desa. Pihak Bank harus serius memperhatikan secara detil keadaan

nasabah untuk mencapai keoptimalan kinerja Branchless Banking. Misalnya

ketika menyampaikan istilah “KREDIT”, sebagian besar penduduk desa belum

memahami apa artinya. Ketika pihak bank membuat selebaran, brosur maupun

iklan terkait jasa perbankan di daerah tentunya akan mempengaruhi animo

penduduk desa. Rendahnya pendidikan dan kentalnya budaya menjadi faktor

penghambat perluasan akses jasa perbankan. Bahasa Daerah salah satu pemicu

sulitnya dalam melakukan edukasi keuangan di pedesaan. Untuk itu pemberian

edukasi maupun informasi terkait layanan seyogyanya harus menggunakan bahasa

yang sederhana bila perlu menggunakan bahasa daerah masing-masing. Hal ini

dinilai perlu sebagai langkah awal mengoptimalkan program edukasi keuang di

beberapa daerah.(Lihat Gambar 4).

Untuk itu kehadiran Branchless diharapkan mampu memberi solusi terhadap

masyarakat desa. Melalui pilar financial inclusion keberadaan branchless banking

tentunya harus mencapai langkah-langkah berikut:

26

1. Edukasi Financial Literacy atau akses terhadap layanan keuangan dengan

memberi informasi kepada masyarakat yang belum tersentuh akan

pentingnya memiliki akses

2. Elegibility atau kelayakan para nasabah agar dapat memeroleh produk

yang bisa dijangkau oleh nasabah mikro

3. Regulasi yang mendorong pemda melakukan sertifikasi sehingga para

nasabah layak mendapat pinjaman

4. Mendorong intermediasi yang lebih cepat dimana lembaga keuangan

memformulasikan kredit yang mudah diserap pengusaha mikro

5. Peningkatan saluran distribusi, yakni memperkenalkan layanan.

Sistem menabung seperti di perkotaan jika dijalankan di wilayah pedesaan, maka

tidak akan memberikan keefesienan pada perekonomian rakyat. Hal ini karena

masyarakat desa yang sebagian besar hidup pas-pasan, bahkan untuk mencukupi

kebutuhan sehari-hari saja susah dipenuhi. Untuk itu program menabung,

masyarakat pedesaan harus di stimulus dengan cara-cara yang lebih kreatif dan

dapat memberi manfaat langsung bagi masyarakat desa. Setelah mereka betul-

betul memahaminya baru dapat di biarkan seperti masyarakat kota. Penyuluhan

saja tidak cukup namun harus ada berupa praktek yang dapat mendorong mereka

untuk lebih giat menabung.

Strong growth is not necessarily inclusive. But, inclusive g rowth is a more

sustained and optimal growth. Pernyataan ini disampaikan oleh Darmin Nasution,

Gubernur Bank Indonesia pada Bankers Dinners November 2012. Industri

perbankan nasional perlu terus didorong untuk memperkuat ketahanan, efisiensi,

dan peranannya dalam intermediasi termasuk didalamnya adalah perlu asan akses

masyarakat dengan biaya yang lebih terjangkau melalui program keuangan

inklusif. Program ini harus dilakukan melalui dua sisi yakni:

1. Penawaran (perluasan akses layanan perbankan dengan biaya terjangkau)

2. Permintaan (penyediaan produk perbankan yang sesuai dengan kebutuhan

masyarakat berpenghasilan rendah).

Keuangan informal merupakan lembaga keuangan yang paling diminati

masyarakat menengah kebawah. Hal ini disebabkan karena kemudahan dan proses

yang cepat dalam pencairan dana ketika melakukan peminjaman. Namun yang

menjadi kekhawatiran akan a keuangan informal adalah sebagai berikut:

1. Tingginya tingkat bunga yang sangat memberatkan masyarakat kecil.

2. Status hukum lembaga keuangan informal belum jelas.

3. Pembukuan keuangan informal belum sebaik keuangan formal.

4. Perlindungan terhadap konsumen masih sangat rendah.

Untuk itu kehadiran Branchless Banking senantiasa harus menghindari kelemahan

keuangan informal untuk meningkatkan minat penduduk desa menggunakan jasa

perbankan.

27

BAB 5 PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan analisa sebagaimana yang diuraikan dalam bab- bab

terdahulu dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemberian akses modal bagi masyarakat menengah ke bawah akan

menstimulus produktivitas usaha kecil menengah, dan secara tidak langsung

akan menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan

ekonomi.

2. Pengusulan melibatkan aparatur desa menjadi Agen menjadi solusi efektif

ditengah sulitnya menemukan agen yang sesuai kriteria dan rendahnya

animo masyarakat desa menjadi Agen.

3. Melalui pengusulan kebijakan dari pemerintah mewajibkan seluruh pemilik

e-KTP memiliki nomor rekening, dan diikuti dengan pengusulan layanan

Registrasi Akun Gratis(Free Account Registration) akan meningkatkan

jumlah nasabah di Indonesia secara merata.

4. Pengusulan memilih aparatur desa menjadi Agen akan mengurangi kasus

Informasi yang asimetris (asymmetric information) dari nasabah.

5. Pengusulan adopsi sistem Kredit Mikro Grameen Bank melalui Branchless

Banking akan mengatasi sulitnya akses kredit mikro bagi penduduk miskin

dan meminimalisasi keberadaan keuangan informal yang merugikan

masyarakat.

6. Pengusulan Registrasi Akun Gratis(Free Account Registration) secara tidak

langsung akan mendorong nasabah menggunakan jasa perbankan dan

meningkatkan pemahaman nasabah dalam mengelola keuangan.

7. Jika program kredit mikro Grameen Bank berhasil, tentunya akan

memperlancar pembayaran yang akan berujung pada tercapainya Stabilitas

Sistem Keuangan.

5.2 Saran

Dalam mengoptimalkan program Branchless Banking maka penulis

merekomendasikan beberapa ide sebagai berikut:

1. Pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan keuangan harus diterapkan

sejak dini, untuk itu lembaga keuangan desa juga harus membuka akses

menabung mulai dari Sekolah Dasar sebagai pengganti asuransi pendidikan,

maupun kesehatan anak pedesaan kelak. Karena orang tua sering kewalahan

dan akhirnya tidak menyekolahkan anak lantaran terkendala di biaya atau

meminjam karena sakit.

2. Permulaaan pengenalan branchless banking tentunya akan lebih optimal jika

di sesuaikan dengan situasi di desa dan menyederhanakan segala bentuk

layanan Branchless Banking. Untuk itu layanan Branchless Banking di kota

dengan di desa harus disesuaikan, jika penduduk desa sudah mulai memahami

sistem dan layanan Branchless Banking maka, sistem perbankan dapat

dikomersialkan seperti di kota.

28

3. Untuk mengatasi masalah keterbatasan jaminan pinjaman, khususnya bagi

pengusaha mikro dan kecil, maka program dukungan subsidi sertifikasi hak

atas tanah masih perlu ditingkatkan. Bersamaan dengan itu perlu ditingkatkan

skim penjaminan kredit, khususnya untuk mendukung kebutuhan modal

investasi, terutama melalui penguatan lembaga penjaminan kredit, termasuk

perluasan jangkauan pelayanan di daerah. Berkaitan dengan itu, penjaminan

kredit juga masih perlu didukung oleh kebijakan dan strategi

pengembangannya disertai dengan dukungan landasan hukumnya.

4. Rekomendasi implementasi kebijakan financial inclusion melalui Branchless

Banking, Gambar 9 merupakan salah satu bentuk koordinasi kebijakan,

program, serta inisiatif yang sudah ada demi mencapai tujuan inklusi

keungan. Adapun langkah-langkah inovasi layanan Branchless Banking

adalah sebagai berikut:

1. Melakukan edukasi dan sosialisasi(Edukasi Financial Literacy) sebelum

dan sesudah menjadi nasabah Bank.

2. Tabunganku, sebagai jenis tabungan untuk free Account Registration,

karena bunga rendah.

3. Mengoptimalkan layanan dengan di dukung regulasi Mobile Money karena

penggunaan handphone dewasa ini telah tersebar hingga pelosok.

4. Memfasilitasi sertifikasi tanah di desa, untuk memudahkan peminjaman

bagi nasabah mampu.

5. Mengembangkan Financial Identification Number (FIN).

6. Meminimalisasi Asymmetric Information melalui pemilihan Aparatur desa

menjadi agen.

7. Adopsi sistem kredit mikro Gramameen Bank bagi nasabah yang miskin.

8. Meningkatkan Consumer Protection bagi seluruh nasabah

TabungKu

Edukasi Financial

Literacy

Sertifikasi

Tanah

mewajibkan

memiliki rekening

Free Account

Registration

Consumer

Protection

Financial

Identification

Number (FIN)

Pemerintah Penduduk

$

Branchless

Banking e-KTP

Nasabah

Nasabah

Mampu

Nasabah

Miskin

Kredit Mikro sistem

Grameen Bank

Kredit

Individual

Gambar 9.Usulan Inovasi Layanan Branchless Banking.

29

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik(BPS).2013.Berita Resmi Statistik No. 06/01/Th. XVI, 2.

BPS.Jakarta.

Dunn, William N.1994. Public Policy Analysis: An Introduction, Englewood Cliff.

Prentice Hall, Inc.

Eko, Sutoro (ed). 2005. Manifesto Pembaharuan Desa. APMD Press: Yogyakarta.

Ellis, Frank dan Stephen Biggs.2001. Evolving Themes in Rural Development

1950s-2000s. Development Policy Review, Vol. 19, No. 4: 437-448.

Hamid, E.S. 1986. Rekaman dari Seminar. Dalam Kredit Pedesaan di Indonesia.

Mubyarto dan Edy Suandi Hamid (Eds.). BPFE Yogyakarta.

Mustopadidjaja AR.1992. Studi Kebijaksanaan, Jakarta. Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Nurtjipto.2012. Aspek Hukum Penggunaan Agen dalam Kegiatan Branchless

Banking di Perbankan Indonesia.Jakarta :Universitas Indonesia.

Pantoro, Setyo. 2008. Pendekatan Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro

(LKM) dan Implikasinya. Koran-rakyat-online.

Scott, James C. 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia

Tenggara. LP3ES. Jakarta.

Sumodiningarat, Gunawan. 2003. Peranan Lembaga Keuangan Mikro dalam

Menanggulangi Kemiskinan Terkait dengan Kebijakan Otonomi Daerah.

Artikel Tahun II no. 1 Jurnal Ekonomi Pertanian.

Supartoyo, Y.H dan Kasmiati.2011. Branchless Banking mewujudkan Keuangan

Inklusif Sebagai Alternatif Solusi Inovatif Menanggulangi Kemiskinan:

Review dan Rekomendasi.Bogor:Institut Pertanian Bogor.

Syahyuti, 2004. Strategi dan Tantangan dalam Pengembangan -Gabungan Petani

(GAPOKTAN) Sebagai Kelembagaan Ekonomi di Pedesaan. Pusat Analisis

Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Yustika, Ahmad Erani. 2008. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan

Strategi. Bayumedia Publishing: Jakarta.

Yunus, Muhammad.2007,Bank Kaum Miskin; Kisah Yunus dan Grameen Bank

Memerangi Kemiskinan. Marjin Kiri :Jakarta.

30

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Personal Identities

Name : Lamhot J.M. Siagian

Place of Birth : Lumban gala-gala, Balige-Toba Samosir

Date of Birth : July 24, 1994

Address : Jl. Sisingamangaraja Asrama Putra

Insitut Teknologi Del, Desa

Sitoluama-Laguboti, North Sumatera

22381

Gender : Male

Marital Status : Single

Religion : Christian

Email : [email protected]

[email protected]

Phone : 082366502420

Formal Education

Higher Education : Del Institut of Technology, Diploma III Engineering of

Informatics 2012- ongoing

Senior High School : SMA RK Bintang Timur 1 Balige 2009 - 2012

Junior High School : SMP RK Serdang Murni Lubuk Pakam 2006 -2009

Elementary School : SD Negeri 173541 Bonandolok-Balige 2001 - 2006

Social Task

1. Vice-Leader PIK-KRR SMA Bintang Timur 1 Balige 2010-2011

2. Vice-Leader GOD Voice SMA Bintang Timur 1 Balige 2010-2011

3. Leader PIK-KRR SMA Bintang Timur 1 Balige 2011-2012

4. Leader GOD Voice SMA Bintang Timur 1 Balige 2011-2012

5. Vice-Leader of Del Healthy Club 2012-2013

6. Leader of Del Healthy Club 2012-2014

7. Vice-Treasurer 12’ Generation, Del Institut of Technology

8. Treasurer XI2 Science Class SMA Bintang Timur Balige 2010-2011

9. Treasurer XII2 Science Class SMA Bintang Timur Balige 2011-2012

31

LAMPIRAN

Lampiran 1.Rentenir Berkedok Koperasi Simpan Pinjam

Warga Kabupaten Bandung, terutama yang tinggal di pelosok desa diminta waspada

jika kedatangan orang yang menawarkan pinjaman uang. Mereka kemungkinan besar

adalah para rentenir. Sejumlah warga di Desa Cibodas, Kecamatan Pasirjambu, sudah

menjadi korban. Beberapa dari mereka bahkan terpaksa kehilangan rumah untuk

menutup utang mereka kepada para rentenir tersebut.Ketua Yayasan Bakti Anak

Negeri, Muhammad Ijudin Rahmat, mengatakan, modus para rentenir ini adalah

menawarkan bantuan berupa pinjaman uang dengan syarat-syarat yang

mudah."Mereka memberi pinjaman dengan cepat dan tak berbelit-belit. Namun,

mereka menerapkan bunga yang sangat tinggi hingga akhirnya banyak warga banyak

terlilit utang mengalami kebangkrutan," kata Ijudin, seusai mengikrarkan gerakan

antirentenir di Kampung Suraja, Desa Cibodas, Minggu (2/2).

Ia berharap, gerakan ini dapan memberikan wawasan kepada masyarakat. "Kami juga

memberikan pendampingan kepada masyarakat umum atau pelaku usaha mikro kecil

menengah. Jika membutuhkan bantuan modal bisa mengakses bantuan permodalan

resmi," ujarnya."Sekarang banyak koperasi simpan pinjam padahal pengelolanya juga

rentenir. Jadi warga harus berhati-hati jika akan meminjam uang. Jangan sampai

nantinya malah merugikan warga juga," katanya."Mereka datang menawarkan

pinjaman uang dengan persyaratan mudah. Namun, ternyata malah membuat

peminjamnya bangkrut. Anggota koperasi kami juga ada beberapa orang yang menjadi

korban rentenir," ujar Jajang.

Ahmad Ramadhan (35), warga Kampung Sukarajin, RT 7/3, Desa Gandasari,

Kecamatan Katapang, menuturkan mengatakan telanjur menjadi nasabah rentenir

sejak beberapa tahun lalu. Menurutnya meminjam uang kepada rentenir tidak

membutuhkan banyak persyaratan."Saya punya usaha warung. Ingin nambah modal.

Tapi kalau ke bank atau koperasi syaratnya ribet. Jadi memilih pinjem ke rentenir

walau nanti bayar cicilannya lumayan berat," kata Ahmad.Untuk melunasi

pinjamannya yang hanya Rp 2 juta, setiap hari Ahmad harus membayar cicilan Rp 60

ribu selama 40 hari. Pinjaman tersebut harus lunas tepat waktu. Jika tidak akan ada

denda yang berlipat-lipat.(aa)

Sumber: www.Tribunnews.com diringkas , tanggal akses 23 Juli 2013.

32

Lampiran 2.Jumlah Penduduk Miskin Menurut Pulau, September 2012

Lampiran 3.Banyak Masyarakat Terbelit Utang dengan Rentenir

..Ia mengakui saat ini banyak masyarakat di Meranti yang terbelit utang dengan

para rentenir dan tengkulak berkedok koperasi. “Kita sangat setuju kalau

koperasi-koperasi resmi dihidupkan kembali. Tahun depan kita anggarkan secara

maksimal, tapi mohon juga usulan kami nanti disambut baik DPRD Meranti

sehingga masyarakat kita dapat segera terbantu,” tukas Syamsuar.

Pembina Pedagang Pasar, Ardiansyah, yang juga anggota Komisi III DPRD

Kepulauan Meranti, meminta DisperindagkopUKM Meranti memaksimalkan

pemanfaatan uang koperasi untuk membantu masyarakat yang ekonominya

lemah.“Dinas koperasi tolonglah bantu perekonomian masyarakat, banyak

pedagang kecil dan menengah kekurangan modal, tolonglah dibantu,” kata

Ardiansyah.

Permintaan ini bukan tanpa alasan, akibat tidak dibantunya dana untuk pedangan

kecil dan menengah, tambah Ardiansyah, sehingga memaksakan pedagang itu

menggunakan jasa simpan pinjam yang mengatasnamakan koperasi padahal lebih

tepatnya disebut rentenir. Sebab, setelah menggunakan jasa rentenir itu, tak jarang

masyarakat mengeluh dengan bunga yang sangat tinggi, capai 25 persen.

“Selama ini mereka (pedagang, red) meminjam uang dengan rentenir. Kita sendiri

tahu besarnya bunga dari rentenir itu bisa mencapai 25 persen, kalau koperasi

resmikan palingan cuma 3 persen dan ini akan sangat membantu masyarakat.

Untuk itu kami minta tolonglah dimaksimalkan pemanfaatan uang itu untuk

masyarakat yang membutuhkan, tolong bantu ekonomi masyarakat,” pinta

legislator yang akrab disapa Jack itu. (JG)

Sumber: http://www.riaukepri.com/ tanggal akses 24 Juli 2014.

33

Lampiran 4.Bank Agen Membuat Nasabah di Desa Tak Grogi Bertransaksi

Pengembangan layanan branchless banking atau yang sering disebut bank agen

oleh beberapa perbankan di Indonesia dinilai Gubernur Bank Indonesia, Darmin

Nasution, akan membawa perbaikan bagi kondisi sosial masyarakat.Selain itu ke

depan akan membantu kemajuan perekonomian negara. "Ini semua baik melalui

sistem pembayaran maupun branchless banking kita bisa melahirkan 3 perbaikan,"

ujar dia di Jakarta, Rabu (15/5/2013).Dia menyebutkan perbaikan pertama,

mengatasi sedikit banyak kelemahan dalam infrastruktur fisik. Lewat branchless

banking akan memperluas ruang jangkauan perbankan seseorang. Sebab, nasabah

cukup bertransaksi melalui pesan singkat

Perbaikan kedua, tutur Darmin, terkait posisi tawar. "Itu bisa memperbaiki posisi

tawar petani kita yang nantinya sedikit banyak akan mengurangi monopilistik

maupun oligopolistik," tegas dia. Ketiga, keberadaan branchless banking dinilai

merupakan transformasi awal yg akan membawa dampak besar bagi masyarakat.

Sebab ini menjadi prasarana perkembangan yang berkesinambungan demi

mewujudkan masyarakat maju.Selain itu, keberadaan branchless banking adalah

layanan yang dapat merubah pola pikir masyarakat pedesaan terhadap perbankan.

"Saudara-saudara kita di pedesaan melihat kantor bank dengan pintu tertutup dia

sudah grogi. Tapi kalau ke warung atau pedagang pulsa yang dia sudah kenal itu

lain, dia bisa akrab.

Branchles banking nanti akan seperti itu," tegas Gubernur BI yang akan habis

masa jabatannya tersebut. Perlu diketahui, branchless banking merupakan layanan

sistem pembayaran dan perbankan terbatas yang ditujukan untuk memenuhi

kepentingan ekonomi masyarakat unbanked dan underbanked, seperti layanan

transfer dana, pembayaran, tabungan, dan pembiayaan peroduktif. Dalam hal ini,

pemberian layanan dilakukan tidak melalui kantor fisik bank atau perusahaan

telekomunikasi namun dengan menggunakan sarana teknologi dan jasa pihak

ketiga yang disebut sebagai Unit Perantara Layanan Keuangan (UPLK) dan juga

melalui Tempat Penguangan Tunai (TPT). (Yas/Nur)

Sumber:www.liputan6.com. Tanggal Akses: 24 Juli 2014

34

Lampiran 5.Agen Sang Ujung Tombak

35

Lampiran 6.Permasalahan lembaga keuangan di desa

Jumlah masyarakat desa

119.321.070 jiwa (50,21 %)

dan 14,70 % miskin

Rp,00

Bank

Profesi utama di desa adalah petani

menengah ke bawah

62,5% penduduk miskin di Indonesia

tinggal di pedesaan.

Perilaku, sosial, budaya, pendidikan,

profesi, pendapatan, pola pikir, dan

keadaan lingkungan desa

Akses hanya menjangkau

50% penduduk indonesia

(World Bank,2010).

Penduduk Desa

Strategi:

Cepat

Biaya potongan ringan

Prosedur mudah

Edukasi keuangan

faktor

penghambat

Kurang modal dan

pengetahuan pengelolaan uang

faktor

Mengatasi

*Berdasarkan data dari masyarakat, staff lembaga keuangan, dan media massa.

Lampiran 7.Identifikasi Isu Akses Terhadap Sistem Keuangan

Masyarakat

Memiliki AksesTidak Memiliki

Akses

Tidak MampuTidak Mau

Merasa tidak perluAlasan agama,

budaya, dllTidak cukup

pendapatanRisiko terlalu

tinggi

Persyaratan tidak

memenuhi dll.

* Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Financial Inclusion

Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Juni 2013. Lampiran 8.Pembagian Masyarakat miskin

Masyarakat Miskin

Miskin Absolut Sulit di arahkan Kepedulian sedikit Sangat sulit menerima hal baru

Miskin Stimulus Mengikuti apa yang terjadi Mudah diarahkan karena berfikir positif Tidak telalu sulit menerima hal baru

$

Lembaga

Keuangan

s * Eko Listiyanto, Peneliti INDEF http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/

(diolah).

36

Lampiran 9.Model Kinerja Branchless Banking

Lampiran 10.Proses Kebijakan Publik

*Sumber: http://asefts63.files.wordpress.com/2012/10/proses-pembentukan-kp.png.

Tanggal Akses 23 Agustus 2014.

37

Lampiran 11.Surat Pengantar