Makalah Farmasi DM Syamsudduha G9911006 Copy

34
MAKALAH FARMASI DIABETES MELITUS: Oleh : Syamsudduha G9911006 Pembimbing: Dyah Poerwohastuti, S.Farm., Apt KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI

Transcript of Makalah Farmasi DM Syamsudduha G9911006 Copy

MAKALAH FARMASI

DIABETES MELITUS:

Oleh :

Syamsudduha

G9911006

Pembimbing:

Dyah Poerwohastuti, S.Farm., Apt

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI

SURAKARTA

2014

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi pada saluran napas akut merupakan penyakit

yang umum terjadi pada masyarakat, yang juga merupakan

salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi pada

balita dan penyebab kematian bayi kedua setelah

gangguan perinatal (WHO, 2008). Salah satu infeksi

saluran napas akut yang paling sering terjadi adalah

rhinitis akut.

Rhinitis akut adalah radang akut mukosa nasi yang

ditandai dengan gejala-gejala rhinorea, obstruksi nasi,

bersin-bersin dan disertai gejala umum malaise dan suhu

tubuh naik (Adams dkk, 2007). Tidak ada terapi spesifik

untuk rhinitis akut selain istirahat dan pemberian

obat-obat simptomatis seperti analgetika, antipiretik

dan dekongestan. Antibiotik hanya diberikan bila

terdapat infeksi sekunder oleh bakteri (Soepardi dkk,

2007).

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA)

1.Definisi

Istilah ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan

Akut diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris

Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi

tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan dan

akut. Infeksi adalah masuk dan berkembangbiaknya

agen infeksi pada jaringan tubuh manusia yang

berakibat terjadinya kerusakan sel atau jaringan

yang patologis. Saluran pernapasan adalah organ

mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ

adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga

tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi

yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Dengan

demikian ISPA adalah infeksi saluran pernafasan

yang dapat berlangsung sampai 14 hari, dimana

secara klinis tanda dan gejala akut akibat infeksi

terjadi di setiap bagian saluran pernafasan tidak

lebih dari 14 hari (WHO, 2008).

2.Klasifikasi

i. Klasifikasi Berdasar Lokasi Anatomis

Berdasarkan lokasi anatomis (WHO, 2008);

3

1)Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian Atas

(ISPaA)

Infeksi yang menyerang hidung sampai

epiglotis, misalnya rhinitis akut, faringitis

akut, sinusitus akut dan sebagainya.

2)Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian Bawah

(ISPbA).

Dinamakan sesuai dengan organ saluran

pernafasan mulai dari bagian bawah epiglotis

sampai alveoli paru misalnya trakhetis,

bronkhitis akut, pneumoni dan sebagainya.

Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut

(ISPbA) dikelompokkan dalam dua kelompok umur

yaitu (1) pneumonia pada anak umur 2 bulan

hingga 5 tahun dan (2) pneumonia pada bayi

muda yang berumur kurang dari dua bulan.

a) Pneumonia pada anak umur 2 bulan hingga

5 tahun

Klasifikasi pneumonia pada anak umur 2

bulan hingga 5 tahun dengan gejala

klinisnya terdiri dari:

a.1. Pneumonia sangat berat, batuk atau

kesulitan bernapas yang disertai dengan

sinusitis sental, tidak dapat minum,

adanya tarikan dinding dada.

4

a.2. Pneumonia berat, batuk atau kesulitan

bernapas, tarikan dinding dada tanpa

disertai sianosis dan dapat minum.

a.3. Pneumonia, batuk atau kesulitan bernapas

dan pernapasan cepat tanpa penarikan

dinding dada.

a.4. Bukan pneumonia, batuk atau kesulitan

bernapas tanpa pernapasan cepat atau

penarikan dinding dada.

b) Pneumonia pada bayi muda yang berumur

kurang dari 2 bulan

Klasifikasi pneumonia pada bayi muda

yang berumur kurang dari 2 bulan terdiri

dari:

b.1. Pneumonia berat. Pada kelompok umur ini

gambaran klinis pneumonia, sepsis dan

meningitis dapat disertai gejala klinis

pernapasan yang tidak spesifik untuk

masing-masing infeksi,maka gejala klinis

yang tampak dapat saja diduga salah satu

dari tiga infeksi serius tersebut,

yaitu: berhenti menyusu, kejang, rasa

kantuk yang tidak wajar atau sulit

bangun, stidor pada anak yang tenang,

mengi (wheezing), demam (380C) atau suhu

tubuh yang rendah (dibawah 35,50 C),

pernapasan cepat, penarikan dinding

5

dada, sianosis sentral, serangan apnea,

distensi abdomen dan abdomen tegang.

b.2. Bukan pneumonia. Jika bernapas dengan

frekuensi kurang dari 60 kali permenit

dan tidak terdapat tanda pneumonia.

ii. Klasifikasi ISPA pada Batita

1)Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan

bernafas yang disertai dengan sianosis

sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan

dinding dada, anak kejang dan sulit

dibangunkan.

2)Pneumonia berat: batuk atau kesulitan

bernafas dan penarikan dinding dada, tetapi

tidak disertai sianosis sentral dan dapat

minum.

3)Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas)

dan pernafasan cepat tanpa penarikan dinding

dada. Pernafasan cepat adalah 40 kali per

menit atau lebih pada usia 12 bulan hingga 5

tahun.

4)Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk

(atau kesulitan bernafas) tanpa pernafasan

cepat atau penarikan dinding dada.

3.Etiologi

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis

bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA

6

misalnya dari genus Streptococcus, Haemophylus,

Stafilococcus, Pneumococcus, Bordetella, dan Corynebakterium.

Virus penyebab ISPA antara lain grup Mixovirus

(virus influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus),

Enterovirus (Coxsackie virus, echovirus), Adenovirus, Rhinovirus,

Herpesvirus, Sitomegalovirus, virus Epstein-Barr. Jamur

penyebab ISPA antara lain Aspergillus sp, Candidia

albicans, Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum,

Coccidioides immitis, Cryptococcus neoformans.

Selain itu juga ISPA dapat disebabkan oleh

karena inspirasi asap kendaraan bermotor, Bahan

Bakar Minyak/BBM biasanya minyak tanah dan, cairan

amonium pada saat lahir.

4.Gejala

Penyakit ISPA meliputi hidung, telinga,

tenggorokan (faring), trakhea, bronkus dan paru.

Tanda dan gejala penyakit ISPA pada anak dapat

menimbulkan bermacam-macam tanda dan gejala

seperti batuk, kesulitan bernapas, sakit

tenggorokan, pilek, demam dan sakit telinga.

Sebagian besar dari gejala saluran pernapasan

hanya bersifat ringan seperti batuk dan pilek

tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik.

Namun sebagian anak akan menderita radang paru

(pneumonia) bila infeksi paru ini tidak diobati

dengan anti biotik akan menyebabkan kematian.

7

i. Gejala dari ISPA Ringan

Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan

jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala

sebagai berikut:

1) Batuk

2) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu

mengeluarkan suara (misalnya pada waktu

berbicara atau menangis)

3) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus

dari hidung

4) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370

C

ii. Gejala dari ISPA Sedang

Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang

jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai

satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

1) Pernafasan cepat (fast breathing) sesuai umur

yaitu : untuk kelompok umur kurang dari 2

bulan frekuensi nafas 60 kali per menit

atau lebih dan kelompok umur 2 bulan - < 5

tahun : frekuensi nafas 50 kali atau lebih

untuk umur 2 - < 12 bulan dan 40 kali per

menit atau lebih pada umur 12 bulan - <5

tahun

2) Suhu lebih dari 390 C (diukur dengan

termometer)

3) Tenggorokan berwarna merah

8

4) Timbul bercak-bercak merah pada kulit

menyerupai bercak campak

5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari

lubang telinga

6) Pernafasan berbunyi seperti mengorok

(mendengkur)

iii. Gejala dari ISPA Berat

Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat

jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan atau

ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-

gejala sebagai berikut:

1) Bibir atau kulit membiru

2) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun

3) Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok

dan anak tampak gelisah

4) Sela iga tertarik ke dalam pada waktu

bernafas

5) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit

atau tidak teraba

6) Tenggorokan berwarna merah

5.Cara Penularan

Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui

udara yang telah tercemar, bibit penyakit masuk

kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu

maka penyakit ISPA ini termasuk golongan Air Borne

Disease.

9

Penularan melalui udara dimaksudkan adalah

cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan

penderita maupun dengan benda terkontaminasi.

Sebagian besar penularan melalui udara dapat pula

menular melalui kontak langsung, namun tidak

jarang penyakit yang sebagian besar penularannya

adalah karena menghisap udara yang mengandung

unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab.

Adanya bibit penyakit di udara umumnya

berbentuk aerosol yakni suatu suspensi yang

melayang di udara, dapat seluruhnya berupa bibit

penyakit atau hanya sebagian daripadanya. Adapun

bentuk aerosol dari penyebab penyakit tersebut ada

dua, yakni droplet nuclei dan dust.

Droplet nuclei adalah partikel yang sangat kecil

sebagai sisa droplet yang mengering.

Pembentukannya dapat melalui berbagai cara, antara

lain dengan melalui evaporasi droplet yang

dibatukkan atau yang dibersinkan ke udara. Droplet

nuclei juga dapat terbentuk dari aerolisasi

materi-materi penyebab infeksi di dalam

laboratorium. Karena ukurannya yang sangat kecil,

bentuk ini dapat tetap berada di udara untuk waktu

yang cukup lama dan dapat diisap pada waktu

bernafas dan masuk ke alat pernafasan.

Dust adalah bentuk partikel dengan berbagai

ukuran sebagai hasil dari resuspensi partikel yang

10

menempel di lantai, di tempat tidur serta yang

tertiup angin bersama debu lantai/tanah.

B. RHINITIS AKUT

1.Definisi

Rhinitis akut adalah radang akut mukosa nasi

yang ditandai dengan gejala-gejala rhinorea,

obstruksi nasi, bersin-bersin dan disertai gejala

umum malaise dan suhu tubuh naik (Adams et al,

2007).

2.Etiologi

Rhinitis disebabkan oleh infeksi virus

(Rhinovirus, Myxovirus, virus Coxsakie dan virus

ECHO) atau infeksi bakteri terutama Haemophylus

Influensa, Steptococcus, Pneumococcus, dan sebagainya

(Adams, 2007; Sobol, 2007; Soepardi, 2007).

Di samping virulensi, faktor predisposisi

memegang peranan penting yaitu faktor eksternal

atau lingkungan yang terpenting adalah faktor

dingin atau perubahan temperatur dari panas ke

dingin yang mendadak, dan faktor internal meliputi

daya tahan tubuh yang menurun dan daya tahan lokal

cavum nasi (Moore, 2003).

11

3.Patofisiologi

Pada rhinitis terjadi perubahan pada mukosa

nasi meliputi stadium permulaan yang diikuti

stadium resolusi. Pada stadium permulaan terjadi

vasokonstrinsik yang akan diikuti vasodilatasi,

udem dan meningkatnya aktifitas kelenjar

seromucious dan goblet sel, kemudian terjadi

infiltrasi leukosit dan desguamasi epitel. Secret

mula-mula encer, jernih kemudian berubah menjadi

kental dan lekat (mukoid) berwarna kuning

mengandung nanah dan bakteri (makopurulent).

Toksin yang berbentuk terbentuk terserap dalam

darah dan lymphe, menimbulkan gejala-gejala umum.

Pada stadium resolusi terjadi proliferasi sel

epithel yang telah rusak dan mukosa menjadi normal

kembali (Adams, 2007; Dhingran, 2007; Rolla,

2009).

4.Stadium dan Gejala

Stadium rhinitis akut adalah sebagai berikut :

a. Stadium prodormal / iskemik 

Berlangsung beberapa jam sesudah masa inkubasi

1-3 hari, dengan gejala panas, kering,

gatal pada hidung serta bersin – bersin

b. Stadium hiperemi / katharal

Ditandai dengan hidung tersumbat, ingus encer,

demam dan nyeri kepala.

c. Stadium infeksi sekunder

12

Dalam stadium ini, sumbatan hidung semakin

memberat, sekret menjadi kuning dan lebih

kental.

d. Stadium resolusi/convalescence

Akan terjadi kesembuhan setelah 5 – 10 hari

(Adams, 2007).

Gejala awal rhinitis akut pada stadium

prodromal memang mirip dengan rhinitis alergika

tetapi yang memebedakannya antara lain adanya

gejala umum pada rhinitis akut dan sekret yang

kemudian berubah menjadi kental pada rhinits akut

(Dhigran, 2007; Soepardi, 2007).

5.Tatalaksana

Tidak ada terapi spesifik untuk rhinitis akut

selain istirahat dan pemberian obat-obat

simptomatis seperti analgetika, antipiretik dan

dekongestan. Antibiotik hanya diberikan bila

terdapat infeksi sekunder oleh bakteri (Soepardi

dkk, 2007)

6.Prognosis

Ad vitam : bonam

Ad functional : bonam

Ad sanam : bonam.

13

BAB III

ILUSTRASI KASUS

A. ANAMNESIS

1.Identitas Pasien

a. Nama : Nn. AR

b. Umur : 20 tahun

c. Jenis Kelamin : Perempuan

d. Agama : Islam

e. Alamat : Manahan, Surakarta

f. Pekerjaan : Mahasiswa

g. Suku/ras : Jawa

h. No. RM : 012538xx

i. Tanggal Pemeriksaan : 15 Juli 2014

2.Keluhan Utama

Pasien datang dengan keluhan hidung buntu.

3.Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan hidung buntu di

kedua sisi sejak 2 hari sebelum diperiksa. Keluhan

hidung buntu makin lama makin memberat dan membuat

pasien kesulitan bernafas melalui hidung ketika

posisi badan sedang terlentang/saat akan tidur.

Untuk bernafas melalui hidung pasien harus merubah

posisi menjadi duduk tegak terlebih dahulu. Pasien

belum pernah memeriksakan maupun memberikan

14

penanganan ataupun pengobatan terhadap keluhan

hidung buntu.

Keluhan hidung buntu pada pasien disertai

dengan keluar cairan / ingus berwarna putih

bening, tidak berbau dan konsistensinya cair.

Ingus keluar terus menerus dari kedua lubang

hidung dan makin lama makin banyak. Pasien juga

mengeluhkan sering bersin-bersin sejak 4 hari

sebelum diperiksa. Selain itu pasien juga merasa

penciumannya terganggu. Nyeri pada daerah sekitar

hidung, pipi, nyeri di belakang mata dan dahi

tidak dirasakan. Pasien mengalami demam dan sakit

kepala sejak 4 hari sebelum diperiksa. Demam

dirasakan terus menerus, sedangkan sakit kepala

dirasakan hilang timbul. Batuk (-), nyeri

tenggorok (-), nyeri ketika menelan (-), keluhan

di telinga (-), terasa ada cairan di tenggorok

(-).

4.Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat penyakit lain (hipertensi, DM) :

disangkal

Riwayat trauma di bagian kepala :

disangkal

Riwayat operasi di bagian THT-KL :

disangkal

15

5.Lingkungan

Saat ini di keluarga dan lingkungan tidak ada

yang menderita gejala yang sama. Namun beberapa

teman di kampus pasien juga mengalami gejala yang

sama.

6.Gaya Hidup

Diet : rutin, 3 kali sehari

Olah raga : jarang, 1-3 kali per bulan

Istirahat : tidur < 6 jam sehari

Merokok : disangkal

Konsumsi alkohol : disangkal

Konsumsi NAPZA : disangkal

B. PEMERIKSAAN FISIK UMUM

Kesadaran : GSC E4 V5 M6, composmentis

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Tanda vital

Tekanan darah : 110 / 70 mmHg

Frekuensi nadi : 72 kali/menit

Frekuensi napas : 16 kali/menit

Suhu : 37,6 oC

Thoraks : Pengembangan dinding dada

simetris kanan-kiri,

retraksi dinding dada (-)

Jantung : Bunyi jantung I dan II reguler,

bising (-)

16

Paru : Suara dasar vesikuler (+/+),

sonor/sonor, suara

tambahan (-)

Abdomen : nyeri tekan (-), hepar dan lien

tidak teraba, bising

usus dalam batas normal.

C. PEMERIKSAAN THT – KL

1. Telinga

Dextra Sinistra

Daun telinga

Canalis

auricularis

Membrane

timpani

Tragus pain

Hearing loss

Discharge

Normotia

Lapang

Intak

-

-

-

Normotia

Lapang

Intak

-

-

-

Tes

Pendengaran:

Pemeriksaan

Rinne

Pemeriksaan

Weber

Pemeriksaan

Swabach

+ / +

Tidak ada lateralisasi

Kanan dan kiri sama dengan

pemeriksa

17

2. Hidung

Dextra Sinistra

Cavum nasi

Discharge

Concha

inferior

Meatus nasi

medius

Meatus nasi

inferior

Septum nasi

Provokasi lesi

Nyeri pada

daerah

Sinus

frontalis

Sinus

maksilaris

Sinus

sfenoidalis

Sinus

ethmoidalis

Os nasal

Sempit

+, serous

Hipertrofi

Sde

Sde

Deviasi (-)

-

-

-

-

-

Krepitasi (-)

Sempit

+, serous

Hipertrofi

Sde

Sde

Deviasi (-)

-

-

-

-

-

Krepitasi (-)

3. Mulut

18

a. Bibir : kelembaban cukup, sianosis (-), nodul

(-)

b. Ginggiva : udem (-), anemis (-), perdarahan

(-)

c. Gigi : gigi karies (-), gigi tanggal (-)

d. Lidah : papil lidah atrofi (-), geographic tongue

(-)

e. KGB : pembesaran (-), nyeri tekan (-).

4. Tenggorok

Dextra Sinistra

Tonsil

Faring

Adenoid

Lain-lain

T1, hiperemis

(-)

DPP tenang

Hipertrofi (-)

Uvula di tengah

T1, hiperemis

(-)

DPP tenang

Hipertrofi (-)

Uvula di tengah

D. DIAGNOSIS BANDING

Rhinitis akut

Rhinitis vasomotorik

Rhinitis alergi

E. DIAGNOSIS

Rhinitis akut

F. RENCANA PENANGANAN

19

Skin prick test setelah 5 hari bebas obat untuk

mengetahui alergi.

G. TATA LAKSANA

Non Medikamentosa

Edukasi pasien untuk merubah gaya hidup menjadi

lebih sehat dan perbanyak istirahat.

Edukasi pasien bahwa penyakit yang diderita

merupakan self limiting dissease dan obat yang diberikan

hanya mengurangi gejala, bukan menghilangkan

penyebab. Bila keluhan tidak membaik dalam 5

hari, kontrol ke dokter untuk evaluasi obat dan

gejala penyakit dan rencana penanganan.

Medikamentosa

Resep medikamentosa

Puskesmas Manahan

Manahan, Surakarta15 Juli 2014

Dokter : dr. Isna Noor R

R/ Parasetamol mg 500

Nalgestan tab I

M.f.l.a pulv da in cap dtd No. XV

prn (1-3) dd cap I p.c∫

20

Pro : Nn. AR (20 tahun)

Alamat: Manahan, Surakarta

H. PROGNOSIS

Ad vitam : bonam

Ad fungtionam : bonam

Ad sanam : bonam.

21

BAB IV

PEMBAHASAN

A. NALGESTAN

1.FENILPROPANOLAMIN

1. Pengertian

Fenilpropanolamin adalah obat golongan

adrenergic agonis yang digunakan sebagai

dekongestan karena memiliki efek vasokonstritor

yang dihasilkan dari efek alfa adrenergic. Efek

yang ditimbulkan mirip perangsangan saraf

adrenergik. Sebagai obat adrenergic yang

bekerja langsung pada reseptor adrenergic di

membrane sel efektor

2. Farmakodinamik

Fenilpropanolamin adalah simpatomimetik

kerja tak langsung yang memiliki mekanisme aksi

yang sama dengan efedrin tapi kurang aktif

sebagai stimulant di CNS. Fenilpropanolamin

efektif bila diberikan secara oral masa kerja

panjang, tetapi efek pada perangsangan di SSP

kurang. Fenilpropanolamin berkeja pada reseptor

α, β1,dan β2. Efek perifer melalui kerja

langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Efek

kardiovaskular sama pada efek epinefrin.

Tekanan sistolik meningkat dan biasanya tekanan

diastolik juga meningkat.

22

3. Farmakokinetik

Pada pemberian oral obat ini cepat

diabsorbsi dari traktus

gastrointestinal,konsentrasi plasma dicapai

sekitar 1 sampai 2 jam setelah dosis oral.

Fenilpropanolamin di metabolisme di hati dalam

bentuk metabolit aktif hidroxilat dan 80% - 90%

diekskresikan tidak dalam bentuk lain ( tidak

berubah) di urin dalam waktu 24 jam.

4. Indikasi

Fenilpropanolamin diberikan untuk

meringankan gejala hidung tersumbat yang

disebakan oleh alergi atau flu.

5. Kontra Indikasi

Dikontraindikasikan untuk pasien yang

mengunakan bersamaan dengan penghambat MAO,

aterosklerosis, hipertensi, hipersensitif pada

simpatomimetika.

6. Efek Samping

Kegelisahan, kelelahan, insomnia,

kepeningan, mual,

hipertensi, tachycardia, arrhythmias.

7. Posologi

Dosis dewasa adalah 25 mg setiap 6 jam,

dosis maksimal adalah 100 mg per hari. Dosis

23

untuk anak 2- 6 tahun 6,25 per 4 jam, jangan

lebih dari 37,5 mg dalam 24 jam. Dosis anak

usia 6-12 tahun adalah 12,5 mg per 4 jam ,

tidak melebihi 75 mg per 24 jam

2.CHLORPHENIRAMINE MALEAT

1. Pengertian

CTM (Chlorpheniramin Maleat) merupakan

golongan antagonis reseptor-H1 (H1-blokers atau

antihistaminika) generasi pertama yang bekerja

mengantagonis histamin dengan jalan memblok

reseptor H1 di otot licin dari dinding

pembuluh, bonchi, saluran cerna, kandung kemih,

dan rahim. Antihistamin H1 merupakan obat yang

dapat menanggulangi gejala hipersensitivitas

secara efektif, terutama bersin dan gatal-gatal

di mata (Tjay dan Rahardja, 2007).

2. Farmakodinamik

Chlorpheniramine mengikat reseptor H1 dengan

cara antagonis kompetitif reversible pada sel

efektor di saluran gastrointestinal, pembuluh

darah dan saluran pernapasan (Katzung, 2001).

3. Farmakokinetik

Chlorpeniramine maleat diabsorpsi baik

melalui pemakaian oral, walaupun obat ini

mengalami metabolisme substansial pada mukosa

gastrointestinal sebelum diabsorpsi dan

24

mengalami reaksi first pass metabolisme di

hati. Data menunjukkan sebesar 25 – 45% dan 35

– 60% dosis tunggal peroral Chlorpeniramine

maleat tablet dan sediaan cair berturut – turut

melewati sirkulasi sistemik sebagai obat tak

berubah (parent drug). Bioavaibilitas sediaan

lepas lambat dari obat ini dikurangi dengan

membandingkan bioavaibilitas pada sediaan

tablet dan cair Chlorpeniramine maleat (Mc

Evoy, 2002). Chlorpeniramine maleat diabsorpsi

relatif lambat dari saluaran pencernaan,

konsentrasi puncak plasma diketahui sekitar 2,5

sampai 6 jam setelah dosis per oral (Sweetman,

2002).

Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal dan

hati yang normal, waktu paruh eliminasi

chlorpeniramine maleat yaitu 12 – 43 jam, pada

anak – anak dengan fungsi hati dan ginjal yang

normal, waktu paruh eliminasinya antara 9,6 –

13,1 jam. Pada pasien dengan kerusakan ginjal

kronis dengan hemodialisis, waktu paruh

chlorpeniramine maleat antara 280 – 330 jam

(McEvoy, 2002).

Chlorpeniramine maleat terdistribusi pada

saliva dan sejumlah kecil obat maupun

metabolitnya terdistribusi ke empedu. Secara

invitro, chlorpeniramine maleat kira – kira

25

terikat pada protein plasma sebesar 69 – 72%

(McEvoy, 2002).

Chlorpeniramine dan metabolit –

metabolitnya diekskresi secara lengkap melalui

urin. Ekskresi melalui urin dari

chlorpeniramine dan metabolit – metabolitnya

yang merupakan hasil dari N-dealkilasi

bervariasi terhadap pH urin dan aliran urin.

Penelitian menunjukkan pada orang sehat dengan

fungsi ginjal dan hati yang normal menunjukkan

20% dari dosis tunggal peroral diekskresikan

melalui urin dalam bentuk tak berubah, 20%

sebagai monodesmetilchlorpeniramine, dan 5%

sebagai didesmetilchlorpeniramin (McEvoy,

2002).

4. Indikasi

Pengobatan pada gejala-gejala alergis,

seperti: bersin, rinorrhea, urticaria,

pruritis, dll.

5. Kontra Indikasi

a. Pada pasien dengan hipersensitif terhadap

antihistamin.

b. Pada pasien dengan glaukoma sudut sempit.

c. Pada pasien dengan riwayat asma .

d. Pada pasien dengan terapi obat golongan

MAOIs.

26

e. Pada neonatal dan ibu menyusui (McEvoy,

2002)

6. Efek Samping

Pada sistem pencernaan dapat menyebabkan

mual, muntah, diare, anoreksia. Pada sistem

pernapasan, obat ini dapat menekan sistem

pernapasan dan mengentalkan sekresi bronkial..

Pada saluran kencing, menimbulkan penurunan

sekresi urin. Pada ginjal dapat menyebabkan

poliuria dan pada sistem sirkulasi sitemik

dapat mengakibatkan bradikardia (Katzung,

2001). Menyebabkan sedatif ringan yang

disebabkan oleh depresi SSP dan daya anti

kolinergis (Tjay dan Rahardja, 2007).

B. PARASETAMOL

1.Pengertian

Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat

analgetik non narkotik dengan cara kerja

menghambat sintesis prostaglandin terutama di

Sistem Syaraf Pusat (SSP) . Parasetamol digunakan

secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk

sediaan tunggal sebagai analgetik-antipiretik

maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan

obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual

bebas. (Darsono, 2002)

2.Farmakodinamik

27

Efek analgesik Parasetamol serupa dengan

Salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi

nyeri ringan sampai sedang. (Gunawan, 2007).

Secara sentral diduga Parasetamol bekerja pada

hipotalamus sedangkan secara perifer, menghambat

pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi,

mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap

rangsang mekanik atau kimiawi. Efek antipiretik

dapat menurunkan suhu demam. Pada keadaan demam,

diduga termostat di hipotalamus terganggu sehingga

suhu badan lebih tinggi.

Parasetamol bekerja dengan mengembalikan

fungsi termostat ke keadaan normal. Pembentukan

panas tidak dihambat tetapi hilangnya panas

dipermudah dengan bertambahnya aliran darah ke

perifer dan pengeluaran keringat. Efek penurunan

suhu demam diduga terjadi karena penghambatan

terbentuknya prostaglandin (Zubaidi, 1980).

Semua obat analgetik non opioid bekerja

melalui penghambatan siklooksigenase. Parasetamol

menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam

arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu.

Setiap obat menghambat siklooksigenase secara

berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase

pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang

menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik

yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan

28

panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan

pada siklooksigenase perifer. Inilah yang

menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau

mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang.

Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang

ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini

menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa

prostaglandin dan bukan blokade langsung

prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen

endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin,

tetapi demam yang ditimbulkan akibat pemberian

prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula

peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti latihan

fisik. (Gunawan, 2007)

Parasetamol mempunyai daya kerja analgetik,

antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti

radang dan tidak menyebabkan iritasi serta

peradangan lambung. Hal ini disebabkan Parasetamol

bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid

sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit

yang melepaskan peroksid sehingga efek anti

inflamasinya tidak bermakna. (Katzung, 2001)

3.Farmakokinetik

Parasetamol diabsorpsi dengan cepat dan

hamper sempurna dalam saluran cerna.

Konsentrasi dalam plasma mencapai puncak dalam

30 sampai 60 menit, waktu paruh dalam plasma

29

sekitar 2 jam. Indeks terapi parasetamol berada

diantara 5-20μg/ml. Parasetamol sedikit terikat

dengan protein plasma dan sebagian

dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati.

Sebagian parasetamol (80%) dikonjugasi dengan

asam glukuronat dan sebagian kecillainnya

dengan asam sulfat, yang secara farmakologi

tidak aktif (Katzung,2001).

Kurang dari 5% parasetamol diekskresikan

dalam bentuk tidak berubah. Parasetamol

mengalami metabolism menghasilkan suatu

metabolit minor tetapi sangat aktif dan penting

pada dosis besar yaitu NAPQI karena toksik

terhadap hati dan ginjal. Pada jumlah toksik

atau adanya penyakit hati, waktu paruhnya

meningkat menjadi dua kali lipat atau lebih

(Katzung, 2001).

4.Indikasi

Parasetamol merupakan pilihan lini pertama

bagi penanganan demam dan nyeri sebagai

antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan

bagi nyeri yang ringan sampai sedang (Gunawan,

2007).

5.Kontraindikasi

Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan

penderita hipersensitif terhadap obat ini.

(Gunawan, 2007)

30

6.Efek Samping

Reaksi alergi terhadap derivate para-

aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa

eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat

berupa demam dan lesi pada mukosa.

Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik,

terutama pada pemakaian kronik. Anemia hemolitik

dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimmune,

defisiensi enzim G6PD dan adanya metabolit yang

abnormal.

Methemoglobinemia dan Sulfhemoglobinemia jarng

menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena

hanya kira-kira 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb.

Methemoglobinemia baru merupakan masalah pada

takar lajak.

Insidens nefropati analgesik berbanding lurus

dengan penggunaan Fenasetin. Tetapi karena

Fenasetin jarang digunakan sebagai obat tunggal,

hubungan sebab akibat sukar disimpulkan.

Eksperimen pada hewan coba menunjukkan bahwa

gangguan ginjal lebih mudah terjadi akibat

Asetosal daripada Fenasetin. Penggunaan semua

jenis analgesik dosis besar secara menahun

terutama dalam kombinasi dapat menyebabkan

nefropati analgetik.

7.Sediaan dan Posologi

31

Parasetamol tersedi sebagai obat tunggal,

berbentuk tablet 500mg atau sirup yang mengandung

120mg/5ml. Selain itu Parasetamol terdapat sebagai

sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet

maupun cairan. Dosis Parasetamol untuk dewasa

300mg-1g per kali, dengan maksimum 4g per hari,

untuk anak 6-12 tahun: 150-300 mg/kali, dengan

maksimum 1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun:

60mg/kali, pada keduanya diberikan maksimum 6 kali

sehari (Gunawan, 2007)

C. INTERAKSI OBAT

Pasien diberi terapi medikamentosa Parasetamol

500 mg dan Nalgestan 1 tablet yang dicampur dan

dijadikan satu dalam wadah kapsul. Tiap tablet

Nalgestan mengandung fenilpropanolamin hidroklorida

15 mg dan chlorpheniramine maleat 2 mg. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa jika parasetamol dan

fenilpropanolamin hidroklorida diberikan bersama

maka kadar puncak dalam plasma kedua obat tersebut

lebih kecil, sedangkan t1/2β fenilpropanolamin

hidroklorida lebih besar dari pada jika diberikan

secara tersendiri (Rusdiana dkk, 2012).

32

DAFTAR PUSTAKA

Adams GL, Boies LR, Higler PH (2007). Buku ajar penyakit THT.Edisi VI. Jakarta: EGC.

Darsono L (2002). Diagnosis dan terapi intoksikasi salisilat dan parasetamol. http://cls.maranatha.edu. Diakses tanggal 16 Juli 2014.

Dhingran PL (2007) Disease of ear nose and throat. 4th Ed. New Delhi, India: Elsevier.

Katzung BG (2001). Farmakologi dasar dan klinik. Buku1. Jakarta : Salemba Medika.

McEvoy A dan Gerald K (2002). AHFS Drug Book 4,American Society of Health System Pharmacist.

Moore KL, Anne AMR (2003). Anatomi klinis dasar. Jakarta: Hipokrates.

Rolla LT (2009). Acute rhinitis. The eclectic practice of medicine. Henriette’s Herbal.

Rusdiana T, Sjuib F, Asyarie S. 2012. Interaksi farmakokinetik kombinasi obat parasetamol dan fenilpropanolamin hidroklorida sebagai komponen obat flu. Bandung: Unpad.

Sobol SE (2007). Sinusitis acute medical treatment. http://www.emedicine.com/ ent/topic377.htm. Diaksestanggal 16 Juli 2014.

Soepardi EA (2007). Buku ajar ilmu penyakit telinga, hidung, tenggorokkan, kepala, leher. Edisi VI. Jakarta : FK UI.

33

Sweetman SC (2002). Martindale The Complete DrugReference Thirty-Third Edition. London Chicago:Pharmaceutical Press.

Tjay TH dan Rahardja K (2007). Obat-obat PentingKhasiat Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya.Jakarta: PT Elex Media Computindo.

WHO (2002). Infeksi saluran pernapasan akut.

34