Bab II tinjaauan pustaka DM kajian
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Bab II tinjaauan pustaka DM kajian
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DIABETES MELLITUS (DM)
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit kronis yang terjadi
apabila pankreas tidak dapat memproduksikan insulin yang mencukupi atau tubuh
tidak dapat memanfaatkan insulin yang dihasilkan oleh pankreas secara efektif .
Hal ini mengakibatkan berlakunya peningkatan konsentrasi glukosa dia dalam
darah atau sering dikenal hiperglikemia (WHO, 2009).
2.2. EPIDEMIOLOGI
Berdasar studi populasi penderita DM di berbagai negara yang dilakukan
WHO pada tahun 2000, Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dengan
prevalensi 8,6 % dari total penduduk yaitu sekitar 8,4 juta. Begitu juga penelitian
yang dilakukan Departemen Kesehatan bersama perhimpunan profesi, didapatkan
bahwa prevalensi Diabetes sebesar 12,7 % dari seluruh penduduk. Sementara data
Diabetes Atlas 2000 (IDF) tercantum perkiraan pasien DM di Indonesia adalah
5,6 juta dan pada tahun 2020 diperkirakan akan meningkat menjadi 8,2 juta. Hal
ini semakin membuktikan bahwa penyakit DM merupakan masalah kesehatan
yang sangat serius ( DepKes RI, 2006).
DM menyebabkan kurang lebih 5% dari seluruh kematian global setiap
tahun. Kira-kira 80% daripada populasi yang menderita DM adalah dari golongan
umur pertenghan (45-64 tahun) dan bukan golongan usia lanjut (65 tahun keatas)
dan berasal dari negara-negara yang berpendapatan rendah dan sederhana. DM
dianggarkan akan meningkat melebihi 50% pada 10 tahun akan dating tanpa
tindakan segera (WHO, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.3. FAKTOR RESIKO
Menurut Wijayakusuma (2004), penyakit DM dapat disebabkan oleh beberapa hal :
a. Pola makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang
dibutuhkan oleh tubuh dapat memacu timbulnya DM. Hal ini disebabkan
jumlah atau kadar insulin oleh sel β pankreas mempunyai kapasitas
maksimum untuk disekresikan.
b. Orang yang gemuk (Obesitas) dengan berat badan melebihi 90 kg mempunyai
kecenderungan yang lebih besar untuk terserang DM dibandingkan dengan
orang yang tidak gemuk.
c. Faktor genetik yaitu seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM orang tua.
Biasanya, seseorang yang menderita DM mempunyai anggota keluarga yang
juga terkena.
d. Bahan-bahan kimia dan obat-obatan tertentu dapat mengiritasi pankreas yang
menyebabkan radang pankreas. Peradangan pada pankreas dapat
menyebabkan pankreas tidak berfungsi secara optimal dalam mensekresikan
hormon yang diperlukan untuk metabolism dalam tubuh, termasuk hormon
insulin.
e. Penyakit dan infeksi pada pankreas sebagai contoh mikroorganisme seperti
bakteri dan virus dapat menginfeksi pankreas sehingga menimbulkan radang
pankreas. Hal itu menyebabkan sel β pada pankreas tidak bekerja secara
optimal dalam mensekresi insulin.
2.4. KLASIFIKASI
Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia (PERKENI) 2006 adalah yang sesuai dengan anjuran klasifikasi DM
menurut American Diabetes Association (ADA) 1997, sebagai berikut :
1. Tipe I : Diabetes Mellitus tergantung insulin (IDDM).
Universitas Sumatera Utara
Diabetes Melitus Tipe I adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio
insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta penghasil insulin pada
pulau-pulau Langerhans pankreas (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke
defisiensi insulin absolute). IDDM dapat diderita oleh anak -anak maupun
orang dewasa. Pada DM tipe I, penderita menghasilkan sedikit insulin atau
sama sekali tidak menghasilkan insulin. DM tipe I biasanya dikarenakan oleh
autoimun atau idiopatik (tidak diketahui penyebabnya).
2. Tipe II : Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM).
Penyebab Diabetes Melllitus tipe II bervariasi mulai dari yang terutama
dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin. Terjadi setelah usia 30
-60 tahun, meningkat secara garadual. Dan DM tipe II jauh lebih besar
dibanding tipe I 90% kasus DM. Pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang
kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap
efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin relatif.
3. Diabetes Mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya.
Diabetes mellitus yang biasanya di curigai atau manifestasi yang menyebabkan
penyakit, seperti :
A. Defek genetik fungsi sel beta :
Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY)
DNA mitokondria
B. Defek genetik kerja insulin
C. Penyakit endokrin pankreas :
pankreatitis
tumor pankreas /pankreatektomi
pankreatopati fibrokalkulus
D. Endokrinopati :
Universitas Sumatera Utara
akromegali
sindrom Cushing
feokromositoma
E. Karena obat/zat kimia :
vacor, pentamidin, asam nikotinat
glukokortikoid, hormon tiroid
tiazid, dilantin, interferon alfa dan lain-lain
F. Infeksi :
Rubella congenital
Cytomegalovirus (CMV)
G. Sebab imunologi yang jarang : Antibodi Anti Insulin
H. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM :
sindrom Down
sindrom Kleinfelter,
sindrom Turner, dan lain-lain.
4. Gestational Diabetes Mellitus (GDM)
DM yang terjadi pada saat kehamilan trimester ke-2 dan ke-3. Terjadi
Intoleransi glukosa pada saat kehamilan.
2.5. PATOFISIOLOGI
2.5.1 Diabetes tipe 1
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan
kerusakan sel-sel Beta pada pankreas secara selektif. Onset penyakit secara klinis
menandakan bahwa kerusakan sel-sel beta telah mencapai status terakhir.
Beberapa fitur mencirikan bahwa diabetes tipe merupakan penyakit autoimun. Ini
termasuk:
(a) Kehadiran sel-immuno kompeten dan sel aksesori di pulau pankreas yang
diinfiltrasi.
Universitas Sumatera Utara
(b) Asosiasi dari kerentanan terhadap penyakit dengan kelas II (respon imun)
gen mayor histokompatibilitas kompleks (MHC; leukosit manusia antigen
HLA).
(c) Kehadiran autoantibodies yang spesifik terhadap sel Islet of Lengerhans.
(d) Perubahan pada immunoregulasi sel-mediated T, khususnya di CD4 +
Kompartemen.
(e) Keterlibatan monokines dan sel Th1 yang memproduksi interleukin dalam
proses penyakit.
(f) Respons terhadap immunotherapy.
(g) Sering terjadi reaksi autoimun pada organ lain yang pada penderita
Diabetes tipe 1 atau anggota keluarga mereka.
Mekanisme yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh untuk berespon terhadap
sel-sel beta sedang dikaji secara intensif ( Al Homsi and Lukic, 1993).
2.5.2 Diabetes tipe 2
DM tipe 2 memiliki hubungan genetik lebih besar dari tipe 1 DM. Satu
studi populasi kembar yang berbasis di Finlandia telah menunjukkan rate
konkordansi pada kembar yang setinggi 40%. Efek lingkungan dapat menjadi
faktor yang menyebabkan tingkat konkordansi diabetes tibe 2 lebih tinggi
daripada tipe 1 DM. Studi genetika molekular pada DM tipe 2, menunjukkan
bahwa mutasi pada gen insulin mengakibatkan sintesis dan sekresi insulin yang
abnormal, keadaan ini disebut sebagai insulinopati. Sebagian besar pasien dengan
insulinopati menderita hiperinsulinemia, dan bereaksi normal terhadap
administrasi insulin eksogen. Gen reseptor insulin terletak pada kromosom yang
mengkodekan protein yang memiliki alfa dan subunit beta, termasuk domain
transmembran dan domain tirosin kinase. Mutasi mempengaruhi gen reseptor
insulin telah diidentifikasi dan asosiasi mutasi dengan DM tipe 2 dan resistensi
insulin tipe A telah dipastikan. Insulin resistensi tidak cukup untuk menyebabkan
overt glucose intolerance, tetapi dapat memainkan peranan yang signifikan dalam
kasus obesitas di mana terdapat penurunan fungsi insulin. Insulin resistensi
Universitas Sumatera Utara
mungkin merupakan event sekunder pada diabetes tipe 2, karena juga ditemukan
pada individual obese non-diabetic. Namun, gangguan dalam sekresi insulin
barulah faktor primer dalam diabetes tipe 2. Banyak faktor berkontribusi kepada
ketidakpekaan insulin, termasuk obesitas dan durasi obesitas, umur, kurangnya
latihan, peningkatan pengambilan lemak dan kurangnya serat dan faktor genetik.
Obesitas dapat disebabkan oleh faktor genetika bahkan faktor lingkungan, namun,
ini memiliki efek yang kuat pada pengembangan diabetes tipe 2 DM seperti yang
ditemukan di negara-negara barat dan beberapa etnis seperti Pima Indian. Evolusi
obesitas sehingga menjadi diabetes tipe 2 adalah seperti berikut:
(a) Augmentasi dari massa jaringan adiposa, yang menyebabkan peningkatan
oksidasi lipid.
(b) Insulin resistensi pada awal obesitas, dinampakkan dari klem euglycemic,
sebagai resistent terhadap penyimpanan glukosa insulinmediated dan
oksidasi. Seterusnya memblokir fungsi siklus glikogen.
(c) Meskipun sekresi insulin dipertahankan, namun, glikogen yang tidak
terpakai mencegah penyimpanan glukosa lebih lanjut dan mengarah ke
DM tipe 2.
(d) Kelehan sel beta yang menghasilkan insulin secara komplet.
Dari proses-proses ini, dapat dinyatakan bahwa obesitas lebih dari sekedar
faktor risiko sahaja, namun dapat memiliki efek kausal dalam pengembangan
diabetes tipe 2 (Al Homsi and Lukic, 1993).
2.6. GEJALA KLINIS
Penyakit Diabetes ini pada awalnya seringkali tidak dirasakan dan tidak disadari
oleh penderita. Beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat perhatian ialah:
Keluhan Klasik
a. Penurunan berat badan: Penurunan berat badan yang berlangsung dalam
waktu relatif singkat harus menimbulkan kecurigaan. Hal ini disebabkan
Universitas Sumatera Utara
glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel
kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan
hidup, sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain iaitu sel lemak
dan otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga
menjadi kurus.
b. Banyak kencing: Oleh karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi
akan menyebabkan banyak kencing. Kencing yang sering dan dalam
jumlah banyak akan sangat mengganggu penderita, terutama pada waktu
malam hari.
c. Banyak minum: Rasa haus sering dialami oleh penderita karena
banyaknya cairan yang keluar melalui kencing. Keadaan ini justru sering
disalah tafsirkan. Dikira sebab rasa haus ialah udara yang panas atau beban
kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus itu penderita minum
banyak.
d. Banyak makan: Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisme
menjadi glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan,
penderita selalu merasa lapar.
Keluhan lain :
a. Gangguan saraf tepi/kesemutan: Penderita mengeluh rasa sakit atau
kesemutan terutama pada kaki di waktu malam, sehingga mengganggu
tidur.
b. Gangguan penglihatan: Pada fase awal penyakit Diabetes sering dijumpai
gangguan penglihatan yang mendorong penderita untuk mengganti
kacamatanya berulang kali agar ia tetap dapat melihat dengan baik.
c. Gatal / Bisul: Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah
kemaluan atau daerah lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah payudara.
Sering pula dikeluhkan timbulnya bisul dan luka yang lama sembuhnya.
Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele seperti luka lecet karena
sepatu atau tertusuk peniti.
Universitas Sumatera Utara
d. Gangguan Ereksi: Ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak
secara terus terang dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan
budaya masyarakat yang masih merasa tabu membicarakan masalah seks,
apalagi menyangkut kemampuan atau kejantanan seseorang.
e. Keputihan: Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang
sering ditemukan dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang
dirasakan.
2.7. DIAGNOSIS
Diagnosa awal penyakit Diabetes bole dilakukan dengan tes darah yang relatif
memerlukan biaya yang murah. Menurut National Diabetes Information
Clearinghouse (NDIC) yang merupakan pusat servis kepada National Institute of
Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK), antara tes yang digunakan
untuk diagnosis diabetes adalah seperti berikut ( Harlan, 2008):
1) Fasting plasma glucose (FPG) test digunakan untuk mengukur glukosa darah
pada orang yang tidak makan apa-apa untuk minimal 8 jam. Tes ini
digunakan untuk mendeteksi diabetes dan pre-diabetes
2) Oral glucose tolerance test (OGTT) digunakan untuk mengukur glukosa
darah setelah seseorang puasa minimal 8 jam dan 2 jam setelah seseorang
diberi minuman yang mengandungi glukosa. Tes ini dapat digunakan
untuk mendiagnosa diabetes dan pre-diabetes.
3) Random plasma glucose test, disebut juga tes glukosa plasma kasual,
mengukur glukosa darah tanpa memperhatikan apa yang dikonsumsi oleh
orang yang sedang diuji. Tes ini, bersama dengan penilaian gejala,
digunakan untuk mendiagnosa diabetes tetapi bukan pre-diabetes.
Hasil pengujian yang menunjukkan bahwa seseorang menderita diabetes
harus dikonfirmasi dengan tes yang kedua pada hari yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
2.7.1. FPG Test
Tes FPG adalah ujian yang lebih disukai untuk mendiagnosis diabetes
karena nyaman dan biayaan yang rendah. Namun, tes ini akan melalaikan
beberapa diabetes atau pre-diabetes yang dapat ditemukan dengan OGTT. Tes
FPG adalah yang paling dapat dipercayai bila dilakukan di pagi hari. Hasil dan
interpretasi ditunjukkan pada Tabel. Orang dengan tingkat glukosa puasa setinggi
100 sampai 125 miligram per desiliter (mg/dL) menderita sejenis pre-diabetes
yang disebut sebagai gangguan glukosa puasa (IFG). Memiliki IFG berarti
seseorang memiliki peningkatan risiko diabetes tipe 2. Tingkat sekitar 126 ml/dL
atau lebih, dikonfirmasi dengan mengulang uji pada hari lain, berarti seseorang
menderita diabetes ( Harlan, 2008).
Tabel 2.1: Tabel Hasil Tes FPG dan Interprestasi
Hasil Glukosa Plasma (mg/dL) Diagnosis
99 dan ke bawah Normal
100 sampai 125 Pre-diabetes
126 dan ke atas Diabetes*
Keterenagan:
* harus dikonfirmasikan lagi dengan mengulangi tes pada hari yang berbeda.
2.7.2. OGTT
Penelitian telah menunjukkan bahwa OGTT lebih sensitif dibandingkan
dengan pengujian FPG untuk mendiagnosa pre-diabetes, tapi kurang nyaman
untuk administer. OGTT memerlukan puasa minimal 8 jam sebelum ujian.
Tingkat glukosa plasma diukur segera sebelum dan 2 jam setelah seseorang
minum cairan yang mengandung 75 gram glukosa yang dilarutkan dalam air.
Hasil dan interpretasi diperlihatkan pada Tabel 2.2.
Universitas Sumatera Utara
Jika kadar glukosa darah adalah antara 140 dan 199 mg/dL 2 jam setelah
minum glukosa (TGT). Setelah TGT, seperti memiliki IFG, berarti seseorang
memiliki peningkatan risiko diabetes tipe 2. Tingkat glukosa 2 jam 200 mg/dL
atau lebih, dikonfirmasi dengan mengulang uji pada hari lain, berarti seseorang
telah menderita diabetes ( Harlan, 2008).
Tabel 2.2: Tabel Hasil OGTT dan Interprestasi
Hasil Glukosa Plasma 2 Jam. (mg/dL) Diagnosa
139 dan ke bawah Normal
140-199 Pre-diabetes
200 dan ke atas Diabetes*
Keterangan:
* harus dikonfirmasikan lagi dengan mengulangi tes pada hari yang berbeda.
Diabetes kehamilan juga dapat didiagnosis berdasarkan nilai glukosa
plasma yang diukur selama OGTT, caranya adalah menggunakan 100 gram
glukosa dalam cairan untuk ujian. Kadar glukosa darah diperiksa empat kali
selama tes. Jika kadar glukosa darah di atas normal setidaknya dua kali pada saat
tes, wanita itu dikatakan menderita diabetes kehamilan. Tabel menunjukkan hasil
di atas normal untuk OGTT untuk diabetes kehamilan (Harlan, 2008).
Tabel 2.3: Tabel Hasil OGTT Diabetes Kehamilan dan Interpretasi
Hasil Glukosa Plasma (mg/dL) Diagnosis
Pada puasa 95 atau ke atas.
Pada 1 jam 180 atau ke atas.
Pada 2 jam 155 atau ke atas.
Pada 3 jam 140 atau ke atas.
Keterangan:
* Angka-angka ini untuk tes menggunakan minuman dengan 100 gram glukosa
Catatan: Beberapa laboratorium menggunakan nomor lain untuk tes ini.
Universitas Sumatera Utara
Menurut kriteria diagnostik Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(PERKENI) 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar
gula darah puasa ≥126 mg/dL pada plasma vena dan ≥100 mg/dL pada darah
kapiler sedangkan gula darah sewaktu ≥200 mg/dL pada plasma vena dan ≥200
mg/dL pada darah kapiler (PERKENI, 2006).
2.8. PENATALAKSANAAN
Tujuan :
1. Jangka pendek:menghilangkan keluhan/gejala diabetes dan mempertahankan
rasa nyaman dan sehat.
2. Jangka panjang: cegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun
neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas diabetes.
3. Cara:menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin. Mengingat mekanisme dasar
kelainan Diabetes tipe-2 adalah terdapatnya faktor genetik, tekanan darah,
resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara untuk
memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi harus tercermin pada
langkah pengelolaan.
4. Kegiatan: mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri
dan melakukan promosi perubahan perilaku.
Empat pilar utama dalam penatalaksanaan Diabetes Mellitus menurut
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Konsensus PERKENI, 2006) yang
meliputi :
a) Edukasi
b) Terapi gizi medis
c) Latihan jasmani
d) Intervensi farmakologis.
Pada dasarnya, pengelolaan diabetes dimulai dengan pengaturan makan disertai
dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila
Universitas Sumatera Utara
setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran
metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-
obat anti diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam
keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, diabetes dengan
stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera
diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan
sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar
glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah
mendapat pelatihan khusus untuk itu (PERKENI, 2006).
2.8.1. Edukasi
DM Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana telah
terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes
secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku
yang tidak sehat. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku,
membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang
berkenaan dengan:
Makan makann sehat
Kegiatan jsmani secara teratur
Menggunakan obat diabetes secara aman, teratur, dan pada waktu-
waktu yang spesifik
Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan
berbagai informasi yang ada
Melakukan perawatan kaki secara berkala
Mengelola diabetes dengan tepat
Mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan keterampilan
Dapar mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian
masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku
Universitas Sumatera Utara
hampir sama dengan proses edukasi dan memerlukan penilaian, perencanaan,
implementasi, dokumentasi, dan evaluasi (PERKENI, 2006).
2.8.2. Terapi medis gizi
Diabetes tipe 2 merupakan suatu penyakit dengan penyebab heterogen, sehingga
tidak ada satu cara makan khusus yang dapat mengatasi kelainan ini secara umum.
Perencanaan makan harus disesuaikan menurut masing-masing individu. Standar yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
kabohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
Kabohidrat : 60 – 70%
Protein : 10 – 15%
Lemak : 20 – 25 %
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres
akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan
idaman. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali
kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk
wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktifitas, koreksi
status gizi, dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi stres akut sesuai dengan
kebutuhan.
Pada dasarnya kebutuhan kalori pada diabetes tidak berbeda dengan non
diabetes yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan untuk aktifitas baik fisik maupun
psikis dan untuk mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal
(PERKENI, 2006).
2.8.3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur. (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan harian seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan Konsensus Pengelolaan dan
Universitas Sumatera Utara
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka
yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang
sudah mendapat komplikasi diabetes dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup
yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2006).
2.8.4. Pengelolaan farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.Sarana pengelolaan
farmakologis diabetes dapat berupa:
1. Obat hipoglikemik oral (OHO) yang dibagi menjadi 4 golongan mengikut cara
kerjanya (PERKENI, 2006):
A. pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
B. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
C. penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (acarbose)
A. Pemicu Sekresi Insulin
1. Sulfonilurea: Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada
pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal
dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan
penggunaan sulfonilurea kerja panjang (PERKENI, 2006).
2. Glinid: Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat)
Universitas Sumatera Utara
dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati (PERKENI, 2006).
B. Penambah sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidindion: Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan
pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu
reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat
memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien
yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara
berkala (PERKENI, 2006).
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin: Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
> 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan (PERKENI, 2006).
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang
paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. Mekanisme kerja OHO,
Universitas Sumatera Utara
efek samping utama, serta pengaruh obat terhadap penurunan A1C dapat dilihat
pada tabel (PERKENI, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 : Obat Hipoglikemik Oral
(Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia, 2006)
Universitas Sumatera Utara
2. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA,stroke)
Kehamilan dengan DM gestasional yang tidak terkendali
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Tabel 2.5 : Farmakokinetik insulin eksogen berdasar waktu kerja
(Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia, 2006)
Universitas Sumatera Utara
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis (PERKENI, 2006) yakni:
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah(premixed insulin).
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang
mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum
tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda
atau kombinasi OHO dengan insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik di mana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan kombinasi tiga OHO.Untuk
kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO
dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang
diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan
dan diberikan insulin saja ( PERKENI, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.9. KOMPLIKASI
Jika gula darah tidak terkontrol dengan baik beberapa tahun kemudian
akan timbul komplikasi. Komplikasi akibat diabetes yang timbul dapat berupa
komplikasi akut dan kronis.
2.9.1. Komplikasi akut
Komplikasi yang muncul secara mendadak. Keadaan bisa fatal jika tidak segera
ditangani. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah (Harrison, et al, 2005) :
a) Hipoglikemi
Menurut Fishbein dan Palumbo, hipoglikemia adalah suatu keadaan di mana
konsentrasi atau kadar gula di dalam darah terlalu rendah (<60mg/dl), yang
dapat terjadi pada pasien yang menerima suntikan insulin dan obat anti
diabetes. Hipoglikemia ini terjadi jika pemberian dosis insulin atau obat anti
diabetes tidak tepat, latihan fisik atau olah raga berlebihan, menunda jadwal
makan setelah minum obat, serta kebiasaan konsumsi alkohol.
b) Ketoasidosis
Pada diabetes melitus yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang
tinggi dan kadar hormon yang rendah, tubuh tidak dapat menggunakan
glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak
untuk sumber energi pemecahan lemak tersebut kemudian menghasilkan
badan-badan keton di dalam darah (ketosis). Ketosis ini menyebabkan derajat
keasaman (PH) dalam darah menurun (asidosis). Pada pasien dengan
ketoasidosis diabetik umumnya memilki riwayat asupan kalori (makanan)
yang berlebihan atau penghentian obat diabetes atau insulin. Gejala yang
timbul dapat berupa kadar gula darah tinggi (>240 mg/dl). Terdapat keton
dalam urin, buang air kecil banyak hingga dehidrasi, napas berbau aseton,
lemas hingga koma.
Universitas Sumatera Utara
c) Hiperosmolar Non-Ketotik (HONK)
Pada keadaan tertentu gula darah dapat sedemikian tingginya sehingga darah
menjadi kental. Dalam keadaan seperti ini dinamakan Hiperosmolar Non-
Ketotik (HNOK), atau Diabetic Hiperosmolar Syndrome (DHS). Kadar
glukosa darah dapat mencapai nilai 600mg/dl. Glukosa dapat menarik air
keluar sel dan selanjutnya keluar bersama urin, dan tubuh mengalami
dehidrasi. Penderita diabetes dalam keadaan ini menunjukkan gejala nafas
cepat dan dalam, banyak kencing, sangat haus, lemah, kaki dan tulang kram,
bingung, nadi cepat, kejang dan koma. Hiperglikemia dapat terjadi jika
masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang
didahului stress akut.
2.9.2. Komplikasi kronik
Komplikasi ini terjadi karena glukosa darah berada di atas normal
berlangsung secara selama bertahun-tahun. Komplikasi timbul secara perlahan,
kadang tidak diketahui, tetapi berangsur semakin berat dan membahayakan. Yang
termasuk dalam komplikasi kronik adalah (Harrison, et al, 2005):
1) Mikrovaskular
a. Penyakit Mata
i. Retinopati (nonproliferatif/proliferatif)
ii. Macular edema
b. Neuropati
i. Sensorik dan motorik (mononeuropati dan polineuropati)
ii. Autonomik
c. Nefropati
2) Makrovaskular
a. Penyakit arteri koronari
b. Penyakit vaskular perifer
c. Penyakit cerebrovaskular
Universitas Sumatera Utara
3) Lain-lain
a. Gastrointestinal
i. Gastroparesis
ii. Diare
b. Genitourinary
i. Uropati/disfungsi ereksi
ii. Ejakulasi retrograde
c. Dermatologi
d. Infeksi
e. Katarak
f. Glaukoma
2.10. TANAMAN BAWANG PUTIH
2.10.1 Pengenalan Bawang Putih
Menurut Santoso (2000) dalam Hernawan dan Setyawan (2003), bawang
putih merupakan tanaman herba parenial yang membentuk umbi lapis. Tanaman
ini tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak sampai setinggi 30-75 cm. Batang
yang nampak di atas permukaan tanah adalah batang semu yang terdiri dari
pelepah-pelepah daun. Sedangkan batang yang sebenarnya berada di dalam tanah.
Dari pangkal batang tumbuh akar berbentuk serabut kecil yang banyak dengan
panjang kurang dari 10 cm. Akar yang tumbuh pada batang pokok bersifat
rudimenter, berfungsi sebagai alat penghisap makanan.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 : Bawang Putih
(Sumber: http://wordpress.com)
Bawang putih membentuk umbi lapis berwarna putih. Sebuah umbi terdiri
dari 8–20 siung (anak bawang). Antara siung satu dengan yang lainnya dipisahkan
oleh kulit tipis dan liat, serta membentuk satu kesatuan yang kuat dan rapat. Di
dalam siung terdapat lembaga yang dapat tumbuh menerobos pucuk siung
menjadi tunas baru, serta daging pembungkus lembaga yang berfungsi sebagai
pelindung sekaligus gudang persediaan makanan. Bagian dasar umbi pada
hakikatnya adalah batang pokok yang mengalami rudimentasi (Santoso, 2000;
Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).
Helaian daun bawang putih berbentuk pita, panjang dapat mencapai 30–60
cm dan lebar 1–2,5 cm. Jumlah daun 7–10 helai setiap tanaman. Pelepah daun
panjang, merupakan satu kesatuan yang membentuk batang semu. Bunga
merupakan bunga majemuk yang tersusun membulat; membentuk infloresensi
payung dengan diameter 4–9 cm. Perhiasan bunga berupa tenda bunga dengan 6
tepala berbentuk bulat telur. Stamen berjumlah 6, dengan panjang filamen 4–5
mm, bertumpu pada dasar perhiasan bunga. Ovarium superior, tersusun atas 3
ruangan. Buah kecil berbentuk kapsul loculicidal (Becker dan Bakhuizen van den
Brink, 1963; Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).
Menurut Santoso (2000) dalam Hernawan dan Setyawan (2003), bawang
putih umumnya tumbuh di dataran tinggi, tetapi varietas tertentu mampu tumbuh
Universitas Sumatera Utara
di dataran rendah. Tanah yang bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu
dengan pH netral menjadi media tumbuh yang baik. Lahan tanaman ini tidak
boleh tergenang air. Suhu yang cocok untuk budidaya di dataran tinggi berkisar
antara 20–250C dengan curah hujan sekitar 1.200–2.400 mm pertahun, sedangkan
suhu untuk dataran rendah berkisar antara 27–300C.
a) Klasifikasi Ilmiah
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Liliales
Suku : Liliaceae
Marga : Allium
Jenis : Allium sativum
Nama umum : bawang putih
b) Nama binomial : Allium sativum L.
c) Nama daerah :
1. Sumatera : Bawang putih (Melayu), Lasun (Aceh), Dasun (Minangkabau),
Lasuna (Batak), Bacong landak (Lampung).
2. Jawa : Bawang bodas (Sunda), Bawang (Jawa), Babang pole (Madura).
3. Kalimantan : Bawang kasihong (Dayak).
4. Sulawesi : Lasuna kebo (Makasar), Lasuna pote (Bugis), Pia moputi
(Gorontalo).
5. Nusa Tenggara : Incuna.
Mengikut Mrs. M. Grieve dalam bukunya yang bertajuk " A Modern Herbal "
bawang putih boleh didapati di utara dan selatan Siberia dan kemudiannya
berkembang ke selatan Eropah dan ia juga dikatakan tumbuh secara liar di Sicily.
Menurut Mrs. M. Grieve, bawang putih juga ditanam secara meluas di negara-
negara Latin yang bersempadan dengan negara Mediteranean (Yacob, 1999).
Universitas Sumatera Utara
2.10.2 Metabolit Sekunder : Organo Sulfur
Amagase, et al, (2001) dalam Hernawan dan Setyawan (2003) menyatakan
metabolit sekunder yang terkandung di dalam umbi bawang putih membentuk
suatu sistem kimiawi yang kompleks serta merupakan mekanisme pertahanan diri
dari kerusakan akibat mikroorganisme dan faktor eksternal lainnya. Sistem
tersebut juga ikut berperan dalam proses perkembangbiakan tanaman melalui
pembentukan tunas. Selain itu, Challem (1995) dalam Hernawan dan Setyawan
(2003) pula menyatakan sebagaimana kebanyakan tumbuhan lain, bawang putih
mengandung lebih dari 100 metabolit sekunder yang secara biologi sangat
berguna. Menurut Ellmore dan Fekldberg (1994) dalam Hernawan dan Setyawan
(2003), senyawa ini kebanyakan mengandung belerang yang bertanggungjawab
atas rasa, aroma, dan sifat-sifat farmakologi bawang. Dua senyawa organosulfur
paling penting dalam umbi bawang putih, yaitu asam amino non-volatil γ-
glutamil-S- alk(en)il-L-sistein dan minyak atsiri S-alk(en)il- sistein sulfoksida
atau alliin.
Gambar 2.2 : γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein
(Sumber: Hernawan dan Setyawan, 2003)
Gambar 2.3 : Struktur kimia Alliin (Sumber: Hernawan dan Setyawan, 2003)
Dua senyawa di atas menjadi prekursor sebagian besar senyawa
organosulfur lainnya. Kadarnya dapat mencapai 82% dari keseluruhan senyawa
organosulfur di dalam umbi (Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan,
2003) . Senyawa γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein merupakan senyawa intermediet
Universitas Sumatera Utara
biosintesis pembentukan senyawa organosulfur lainnya, termasuk alliin. Senyawa
ini dibentuk dari jalur biosintesis asam amino. Dari γ-glutamil-S-alk(en)il-L-
sistein, reaksi enzimatis yang terjadi akan menghasilkan banyak senyawa turunan,
melalui dua cabang reaksi, yaitu jalur pembentukan thiosulfinat dan S- allil sistein
(SAC). Dari jalur pembentukan thiosulfinat akan dihasilkan senyawa allisin
(allisin). Selanjutnya dari jalur ini akan dibentuk kelompok allil sulfida, dithiin,
ajoene, dan senyawa sulfur lain. Proses reaksi pemecahan γ-glutamil-S-alk(en)il-
L-sistein berlangsung dengan bantuan enzim γ- glutamil - transpeptidase dan γ-
glutamil-peptidase oksidase, serta akan menghasilkan alliin (Song dan Milner,
2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).
Gambar 2.4 : Jalur Pemecahan γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein. (Sumber: Hernawan dan Setyawan, 2003)
Pada saat umbi bawang putih diiris-iris dan dihaluskan dalam proses
pembuatan ekstrak atau bumbu masakan, enzim allinase menjadi aktif dan
menghidrolisis alliin menghasilkan senyawa intermediet asam allil sulfenat .
Kondensasi asam tersebut menghasilkan allisin, asam piruvat, dan ion NH4+. Satu
miligram alliin ekuivalen dengan 0,45 mg allisin (Zhang, 1999). Pemanasan dapat
menghambat aktivitas enzim allinase. Pada suhu di atas 60oC, enzim ini inaktif
(Song dan Milner, 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5 : Reaksi pembentukan allicin. (Sumber: Hernawan dan Setyawan, 2003)
Asam amino alliin akan segera berubah menjadi allisin begitu umbi
diremas (Dreidger, 1996) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Allisin bersifat
tidak stabil (Amagase et al., 2001), sehingga mudah mengalami reaksi lanjut,
tergantung kondisi pengolahan atau faktor eksternal lain seperti penyimpanan,
suhu, dan lain-lain (Hernawan dan Setyawan, 2003)
Ekstraksi umbi bawang putih dengan etanol pada suhu di bawah 0oC, akan
menghasilkan alliin. Ekstraksi dengan etanol dan air pada suhu 25oC akan
menghasilkan allisin dan tidak menghasilkan alliin. Sedang ekstraksi dengan
metode distilasi uap (100oC) menyebabkan seluruh kandungan alliin berubah
menjadi senyawa allil sulfida (Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan,
2003). Oleh karena itu proses ekstraksi perlu dilakukan pada suhu kamar.
Pemanasan dapat menurunkan aktivitas anti-kanker ekstrak umbi bawang putih.
Pengolahan ekstrak dengan microwave selama 1 menit menyebabkan hilangnya
90% kinerja enzim allinase. Pemanasan dapat menyebabkan reaksi pembentukan
senyawa allil-sulfur terhenti (Song dan Milner, 2001) dalam (Hernawan dan
Setyawan, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Allisin (3) merupakan prekursor pembentukan allil sulfida, misalnya diallil
disulfida (DADS) (6), diallil trisulfida (DATS) (7), diallil sulfida (DAS) (8),
metallil sulfida (9), dipropil sulfida (10), dipropil disulfida (11), allil merkaptan
(12), dan allil metil sulfida (13). Kelompok alllil sulfida memiliki sifat dapat larut
dalam minyak. Oleh karena itu, untuk mengekstraknya digunakan pelarut non-
polar (Gupta dan Porter, 2001). Pembentukan kelompok ajoene, misalnya E-
ajoene (14) dan Z-ajoene (15), serta kelompok dithiin, misalnya 2-vinil-(4H)-1,3-
dithiin (16) dan 3-vinil-(4H)-1,2 dithiin (17), juga berawal dari pemecahan allisin
(3) (Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).
Senyawa organosulfur lain yang terkandung dalam umbi bawang putih
antara lain, S propilsistein (SPC) (18), S-etil-sistein (SEC) (19), dan Smetil-
sistein (SMC) (20). Umbi bawang putih juga mengandung senyawa organo-
selenium dan tellurium, antara lain Se-(metil)selenosistein (21), selenometionin
(22), dan selenosistein (23). Senyawa-senyawa di atas (18–23) mudah larut dalam
air (Gupta dan Porter, 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Beberapa
senyawa bioaktif flavonoid penting yang telah ditemukan antara lain: kaempferol-
3-O-β-Dglukopiranosa (24) dan iso-rhamnetin-3-O-β-Dglukopiranosa (25) (Kim
et al., 2000) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).
Senyawa frukto-peptida yang penting, yaitu Nα-(1-deoxy-Dfructose- 1-
yl)-L-arginin (26) (Ryu et al., 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).
Ekstrak segar umbi bawang putih dapat disimpan lama dalam ethanol 15–20%.
Penyimpanan selama sekitar 20 bulan pada suhu kamar akan menghasilkan AGE
(aged garlic extract). Selama penyimpanan, kandungan allisin (3) akan menurun
dan sebaliknya diikuti naiknya konsentrasi senyawasenyawa baru. Senyawa yang
dominan terkandung adalah S-alil sistein (4) dan S-allilmerkaptosistein (SAMC)
(27) (Banerjee dan Maulik, 2002; Amagase et al., 2001) dalam (Hernawan dan
Setyawan, 2003).
Selain dalam bentuk ekstrak padatan, umbi bawang putih dapat pula diolah
melalui distilasi uap menjadi minyak atsiri bawang putih yang banyak digunakan
Universitas Sumatera Utara
dalam pengobatan. Kandungan kimia minyak atsiri bawang ini secara umum
terdiri dari 57% diallil sufida (8), 37% allil metil sulfida (13), dan 6% dimetil
sulfida. Minyak bawang komersial umumnya mengandung 26% diallil disulfida
(6), 19% diallil trisulfida (7), 15% allil metil trisulfida, 13% allil metil disulfida,
8% diallil tetrasulfida, 6% allil metil tetrasulfida, 3% dimetil trisulfida, 4%
pentasulfida, dan 1% heksasulfida. Minyak bawang hasil maserasi mengandung
kelompok vinyl-dithiin 0,8 mg/g dan ajoena 0,1 mg/g, sedangkan ekstrak eter
mengandung vinyl-dithiin 5,7 mg/g, allil sulfida 1,4 mg/g, dan ajoena 0,4 mg/g
(Banerjee dan Maulik, 2002) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).
2.10.3. Aktivitas Biologi dan Manfaat Bawang Putih
Para pakar kesehatan secara konsisten melakukan penggalian informasi
khasiat bawang putih melalui penelitian farmakologi laboratoris yang sistematis
(Rukmana, 1995). Tahapan pengujian, penelitian, dan pengembangan secara
sistematis perlu dilakukan agar pemanfaatan dan khasiat bawang putih dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Budhi, 1994), bukan sekedar pengetahuan
yang diperoleh secara turun temurun. Pembuatan catatan atau dokumentasi ilmiah
atas hasil penelitian tersebut dilakukan agar dapat terus dimanfaatkan dan
dikembangkan oleh generasi di masa depan (Hernawan dan Setyawan, 2003).
Penelitian farmakologi tentang bawang putih telah banyak dilakukan, tidak
hanya secara in vivo (dengan hewan percobaan) tetapi juga in vitro (dalam tabung
kultur). Hal ini ditempuh untuk membuktikan khasiat dan aktivitas biologi dari
senyawa aktif bawang putih, sekaligus dosis dan kemungkinan efek sampingnya.
Berbagai penelitian yang telah dikembangkan untuk mengeksplorasi aktivitas
biologi umbi bawang putih yang terkait dengan farmakologi, antara lain sebagai
antidiabetes, anti-hipertensi, anti-kolesterol, antiatherosklerosis, anti-oksidan,
anti-agregasi sel platelet, pemacu fibrinolisis, anti-virus, antimikrobia, dan anti-
kanker (Hernawan dan Setyawan, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Bawang Putih (Allium sativum) sebagai Anti-diabetes
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit fisiologis berupa perubahan
homeostasis glukosa yang menyebabkan kadar glukosa plasma darah di atas
normal. Kondisi ini sering disebut hiperglikemik (Maher, 2000). Berbagai jenis
tumbuhan obat telah dimanfaatkan untuk terapi penyakit tersebut. Banyak
penelitian telah sampai pada isolasi senyawa aktif tumbuhan yang mampu
memberikan efek hipoglikemik atau anti-diabetes, termasuk diantaranya umbi
bawang putih (Hernawan dan Setyawan, 2003).
Efek hipoglikemik umbi bawang putih telah dibuktikan secara in vivo,
sedangkan secara in vitro belum dilakukan. Penelitian awal mengenai efek
hipoglikemik bawang putih dilakukan oleh Mathew dan Augusti (1973), dengan
melakukan isolasi allisin dan memberikannya pada tikus diabetes. Pada perlakuan
dengan dosis 250 mg/kb BB, diketahui allisin mampu menurunkan kadar glukosa
darah 60% lebih efektif daripada tolbutamid. Selanjutnya, Augusti (1975)
memberi perlakuan ekstrak umbi bawang putih pada kelinci yang diinduksi
diabetes menggunakan alloksan. Allisin dari ekstrak umbi bawang putih dapat
menurunkan kadar glukosa darah kelinci seperti halnya tolbutamid (obat sintetis
untuk penderita diabetes). Pada perkembangan berikutnya, semua penelitian yang
mengkaji efek hipoglikemik umbi bawang putih menunjukkan hasil positif
(Banerjee dan Maulik, 2002).
Sheela, et al. (1995) mengisolasi senyawa asam amino sulfoksida dari
bawang putih untuk kemudian diperlakukan pada tikus diabetes. Senyawa yang
berhasil diisolasi adalah S-metilsistein sulfoksida (SMCS) dan alliin atau S-
allilsistein sulfoksida. Perlakuan ekstrak selama sebulan menunjukkan penurunan
kadar glukosa darah yang signifikan. Alliin pada dosis 200 mg/kg BB mempunyai
unjuk kerja yang sama dengan glibenklamid (obat diabetes) dan hormon insulin.
Universitas Sumatera Utara
Perlakuan ekstrak minyak atsiri bawang putih pada tikus diabetes dapat
menurunkan kadar enzim fosfatase dalam sel darah merah, fosfatase asam dan
alkali, transferase alanin, transferase aspartat, dan amilase dalam serum darah.
Enzim-enzim tersebut berperan dalam metabolisme glukosa (Ohaeri, 2001) dalam
(Hernawan dan Setyawan, 2003). Perlakuan dengan ekstrak yang sama pada
manusia normal juga menunjukkan adanya aktivitas hipoglikemik pada serum
darah. Kadar glukosa darah para sukarelawan mengalami penurunan setelah diberi
perlakuan selama 11 minggu (Zhang, et al., 2001) dalam (Hernawan dan
Setyawan, 2003).
Mekanisme penurunan kadar glukosa darah oleh ekstrak bawang putih
masih belum diketahui secara jelas. Senyawa yang berperan telah diketahui yakni
allisin dan alliin (Augusti, 1975; Sheela et al., 1995). Kemungkinan masih
terdapat senyawa lain yang juga mampu menurunkan kadar glukosa darah pada
diabetes mellitus. Allisin dan alliin mampu menjadi agen anti-diabetes dengan
mekanisme perangsangan pankreas untuk mengeluarkan sekret insulinnya lebih
banyak (Banerjee dan Maulik, 2002).
2.10.4 Toksisitas dan efek samping
Beberapa literatur menyatakan adanya efek negatif konsumsi bawang
putih, namun sebagian besar tidak memiliki bukti yang cukup, hanya berupa studi
awal, studi kasus atau studi epidemiologi (Jesse, et al., 1997) dalam (Hernawan
dan Setyawan, 2003). Dugaan diet bawang putih terkait dengan kangker mulut
tidak benar, mengingat bawang putih bersifat anti kangker. Kangker tersebut
merupakan akibat cara menyikat gigi untuk menghilangkan bau menyengat yang
salah (Kabat, et al., 1989) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).
Salah satu kajian ilmiah dengan bukti cukup mengenai efek negatif
bawang putih adalah kajian hepatosit pada tikus. Penelitian menunjukkan bahwa
ekstrak bawang putih sangat bernilai untuk detoksifikasi dan antioksidasi pada
kadar 1 mM, namun pada kadar 5 mM secara nyata dapat menurunkan viabilitas
Universitas Sumatera Utara
sel, mengubah morfologi sel, dan menurunkan aktivitasnya (Sheen, et al., 1996)
dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).
Umbi bawang putih aman untuk dikonsumsi manusia pada takaran normal,
yakni kurang dari tiga umbi per hari. Pada takaran tersebut, toksisitas dan efek
samping konsumsi umbi bawang putih belum ada. Bahkan untuk wanita hamil dan
menyusui, umbi bawang putih tidak menunjukkan efek negatif. Pada kasus yang
jarang terjadi, bawang putih dapat menyebabkan alergi (Pizorno dan Murray,
2000; Yarnell, 1999; Lemiere, et al., 1996; Delaney dan Donnely, 1996; Burden,
et al., 1994) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).
Bawang putih juga tidak berefek negatif terhadap sekresi enzim
pencernaan (Sharatchandra, et al., 1995) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).
Efek positif konsumsi bawang putih jauh lebih tinggi dibandingkan efek
negatifnya. Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bawang putih merupakan
obat mujarap untuk meningkatkan vitalitas tubuh bagaikan ginseng (Jesse, et al.,
1997) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).
Universitas Sumatera Utara