Bab II tinjaauan pustaka DM kajian

33
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DIABETES MELLITUS (DM) Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit kronis yang terjadi apabila pankreas tidak dapat memproduksikan insulin yang mencukupi atau tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin yang dihasilkan oleh pankreas secara efektif . Hal ini mengakibatkan berlakunya peningkatan konsentrasi glukosa dia dalam darah atau sering dikenal hiperglikemia (WHO, 2009). 2.2. EPIDEMIOLOGI Berdasar studi populasi penderita DM di berbagai negara yang dilakukan WHO pada tahun 2000, Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dengan prevalensi 8,6 % dari total penduduk yaitu sekitar 8,4 juta. Begitu juga penelitian yang dilakukan Departemen Kesehatan bersama perhimpunan profesi, didapatkan bahwa prevalensi Diabetes sebesar 12,7 % dari seluruh penduduk. Sementara data Diabetes Atlas 2000 (IDF) tercantum perkiraan pasien DM di Indonesia adalah 5,6 juta dan pada tahun 2020 diperkirakan akan meningkat menjadi 8,2 juta. Hal ini semakin membuktikan bahwa penyakit DM merupakan masalah kesehatan yang sangat serius ( DepKes RI, 2006). DM menyebabkan kurang lebih 5% dari seluruh kematian global setiap tahun. Kira-kira 80% daripada populasi yang menderita DM adalah dari golongan umur pertenghan (45-64 tahun) dan bukan golongan usia lanjut (65 tahun keatas) dan berasal dari negara-negara yang berpendapatan rendah dan sederhana. DM dianggarkan akan meningkat melebihi 50% pada 10 tahun akan dating tanpa tindakan segera (WHO, 2009). Universitas Sumatera Utara

Transcript of Bab II tinjaauan pustaka DM kajian

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DIABETES MELLITUS (DM)

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit kronis yang terjadi

apabila pankreas tidak dapat memproduksikan insulin yang mencukupi atau tubuh

tidak dapat memanfaatkan insulin yang dihasilkan oleh pankreas secara efektif .

Hal ini mengakibatkan berlakunya peningkatan konsentrasi glukosa dia dalam

darah atau sering dikenal hiperglikemia (WHO, 2009).

2.2. EPIDEMIOLOGI

Berdasar studi populasi penderita DM di berbagai negara yang dilakukan

WHO pada tahun 2000, Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dengan

prevalensi 8,6 % dari total penduduk yaitu sekitar 8,4 juta. Begitu juga penelitian

yang dilakukan Departemen Kesehatan bersama perhimpunan profesi, didapatkan

bahwa prevalensi Diabetes sebesar 12,7 % dari seluruh penduduk. Sementara data

Diabetes Atlas 2000 (IDF) tercantum perkiraan pasien DM di Indonesia adalah

5,6 juta dan pada tahun 2020 diperkirakan akan meningkat menjadi 8,2 juta. Hal

ini semakin membuktikan bahwa penyakit DM merupakan masalah kesehatan

yang sangat serius ( DepKes RI, 2006).

DM menyebabkan kurang lebih 5% dari seluruh kematian global setiap

tahun. Kira-kira 80% daripada populasi yang menderita DM adalah dari golongan

umur pertenghan (45-64 tahun) dan bukan golongan usia lanjut (65 tahun keatas)

dan berasal dari negara-negara yang berpendapatan rendah dan sederhana. DM

dianggarkan akan meningkat melebihi 50% pada 10 tahun akan dating tanpa

tindakan segera (WHO, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.3. FAKTOR RESIKO

Menurut Wijayakusuma (2004), penyakit DM dapat disebabkan oleh beberapa hal :

a. Pola makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang

dibutuhkan oleh tubuh dapat memacu timbulnya DM. Hal ini disebabkan

jumlah atau kadar insulin oleh sel β pankreas mempunyai kapasitas

maksimum untuk disekresikan.

b. Orang yang gemuk (Obesitas) dengan berat badan melebihi 90 kg mempunyai

kecenderungan yang lebih besar untuk terserang DM dibandingkan dengan

orang yang tidak gemuk.

c. Faktor genetik yaitu seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM orang tua.

Biasanya, seseorang yang menderita DM mempunyai anggota keluarga yang

juga terkena.

d. Bahan-bahan kimia dan obat-obatan tertentu dapat mengiritasi pankreas yang

menyebabkan radang pankreas. Peradangan pada pankreas dapat

menyebabkan pankreas tidak berfungsi secara optimal dalam mensekresikan

hormon yang diperlukan untuk metabolism dalam tubuh, termasuk hormon

insulin.

e. Penyakit dan infeksi pada pankreas sebagai contoh mikroorganisme seperti

bakteri dan virus dapat menginfeksi pankreas sehingga menimbulkan radang

pankreas. Hal itu menyebabkan sel β pada pankreas tidak bekerja secara

optimal dalam mensekresi insulin.

2.4. KLASIFIKASI

Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia (PERKENI) 2006 adalah yang sesuai dengan anjuran klasifikasi DM

menurut American Diabetes Association (ADA) 1997, sebagai berikut :

1. Tipe I : Diabetes Mellitus tergantung insulin (IDDM).

Universitas Sumatera Utara

Diabetes Melitus Tipe I adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio

insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta penghasil insulin pada

pulau-pulau Langerhans pankreas (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke

defisiensi insulin absolute). IDDM dapat diderita oleh anak -anak maupun

orang dewasa. Pada DM tipe I, penderita menghasilkan sedikit insulin atau

sama sekali tidak menghasilkan insulin. DM tipe I biasanya dikarenakan oleh

autoimun atau idiopatik (tidak diketahui penyebabnya).

2. Tipe II : Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM).

Penyebab Diabetes Melllitus tipe II bervariasi mulai dari yang terutama

dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang

terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin. Terjadi setelah usia 30

-60 tahun, meningkat secara garadual. Dan DM tipe II jauh lebih besar

dibanding tipe I 90% kasus DM. Pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang

kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap

efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin relatif.

3. Diabetes Mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya.

Diabetes mellitus yang biasanya di curigai atau manifestasi yang menyebabkan

penyakit, seperti :

A. Defek genetik fungsi sel beta :

Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY)

DNA mitokondria

B. Defek genetik kerja insulin

C. Penyakit endokrin pankreas :

pankreatitis

tumor pankreas /pankreatektomi

pankreatopati fibrokalkulus

D. Endokrinopati :

Universitas Sumatera Utara

akromegali

sindrom Cushing

feokromositoma

E. Karena obat/zat kimia :

vacor, pentamidin, asam nikotinat

glukokortikoid, hormon tiroid

tiazid, dilantin, interferon alfa dan lain-lain

F. Infeksi :

Rubella congenital

Cytomegalovirus (CMV)

G. Sebab imunologi yang jarang : Antibodi Anti Insulin

H. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM :

sindrom Down

sindrom Kleinfelter,

sindrom Turner, dan lain-lain.

4. Gestational Diabetes Mellitus (GDM)

DM yang terjadi pada saat kehamilan trimester ke-2 dan ke-3. Terjadi

Intoleransi glukosa pada saat kehamilan.

2.5. PATOFISIOLOGI

2.5.1 Diabetes tipe 1

DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan

kerusakan sel-sel Beta pada pankreas secara selektif. Onset penyakit secara klinis

menandakan bahwa kerusakan sel-sel beta telah mencapai status terakhir.

Beberapa fitur mencirikan bahwa diabetes tipe merupakan penyakit autoimun. Ini

termasuk:

(a) Kehadiran sel-immuno kompeten dan sel aksesori di pulau pankreas yang

diinfiltrasi.

Universitas Sumatera Utara

(b) Asosiasi dari kerentanan terhadap penyakit dengan kelas II (respon imun)

gen mayor histokompatibilitas kompleks (MHC; leukosit manusia antigen

HLA).

(c) Kehadiran autoantibodies yang spesifik terhadap sel Islet of Lengerhans.

(d) Perubahan pada immunoregulasi sel-mediated T, khususnya di CD4 +

Kompartemen.

(e) Keterlibatan monokines dan sel Th1 yang memproduksi interleukin dalam

proses penyakit.

(f) Respons terhadap immunotherapy.

(g) Sering terjadi reaksi autoimun pada organ lain yang pada penderita

Diabetes tipe 1 atau anggota keluarga mereka.

Mekanisme yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh untuk berespon terhadap

sel-sel beta sedang dikaji secara intensif ( Al Homsi and Lukic, 1993).

2.5.2 Diabetes tipe 2

DM tipe 2 memiliki hubungan genetik lebih besar dari tipe 1 DM. Satu

studi populasi kembar yang berbasis di Finlandia telah menunjukkan rate

konkordansi pada kembar yang setinggi 40%. Efek lingkungan dapat menjadi

faktor yang menyebabkan tingkat konkordansi diabetes tibe 2 lebih tinggi

daripada tipe 1 DM. Studi genetika molekular pada DM tipe 2, menunjukkan

bahwa mutasi pada gen insulin mengakibatkan sintesis dan sekresi insulin yang

abnormal, keadaan ini disebut sebagai insulinopati. Sebagian besar pasien dengan

insulinopati menderita hiperinsulinemia, dan bereaksi normal terhadap

administrasi insulin eksogen. Gen reseptor insulin terletak pada kromosom yang

mengkodekan protein yang memiliki alfa dan subunit beta, termasuk domain

transmembran dan domain tirosin kinase. Mutasi mempengaruhi gen reseptor

insulin telah diidentifikasi dan asosiasi mutasi dengan DM tipe 2 dan resistensi

insulin tipe A telah dipastikan. Insulin resistensi tidak cukup untuk menyebabkan

overt glucose intolerance, tetapi dapat memainkan peranan yang signifikan dalam

kasus obesitas di mana terdapat penurunan fungsi insulin. Insulin resistensi

Universitas Sumatera Utara

mungkin merupakan event sekunder pada diabetes tipe 2, karena juga ditemukan

pada individual obese non-diabetic. Namun, gangguan dalam sekresi insulin

barulah faktor primer dalam diabetes tipe 2. Banyak faktor berkontribusi kepada

ketidakpekaan insulin, termasuk obesitas dan durasi obesitas, umur, kurangnya

latihan, peningkatan pengambilan lemak dan kurangnya serat dan faktor genetik.

Obesitas dapat disebabkan oleh faktor genetika bahkan faktor lingkungan, namun,

ini memiliki efek yang kuat pada pengembangan diabetes tipe 2 DM seperti yang

ditemukan di negara-negara barat dan beberapa etnis seperti Pima Indian. Evolusi

obesitas sehingga menjadi diabetes tipe 2 adalah seperti berikut:

(a) Augmentasi dari massa jaringan adiposa, yang menyebabkan peningkatan

oksidasi lipid.

(b) Insulin resistensi pada awal obesitas, dinampakkan dari klem euglycemic,

sebagai resistent terhadap penyimpanan glukosa insulinmediated dan

oksidasi. Seterusnya memblokir fungsi siklus glikogen.

(c) Meskipun sekresi insulin dipertahankan, namun, glikogen yang tidak

terpakai mencegah penyimpanan glukosa lebih lanjut dan mengarah ke

DM tipe 2.

(d) Kelehan sel beta yang menghasilkan insulin secara komplet.

Dari proses-proses ini, dapat dinyatakan bahwa obesitas lebih dari sekedar

faktor risiko sahaja, namun dapat memiliki efek kausal dalam pengembangan

diabetes tipe 2 (Al Homsi and Lukic, 1993).

2.6. GEJALA KLINIS

Penyakit Diabetes ini pada awalnya seringkali tidak dirasakan dan tidak disadari

oleh penderita. Beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat perhatian ialah:

Keluhan Klasik

a. Penurunan berat badan: Penurunan berat badan yang berlangsung dalam

waktu relatif singkat harus menimbulkan kecurigaan. Hal ini disebabkan

Universitas Sumatera Utara

glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel

kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan

hidup, sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain iaitu sel lemak

dan otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga

menjadi kurus.

b. Banyak kencing: Oleh karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi

akan menyebabkan banyak kencing. Kencing yang sering dan dalam

jumlah banyak akan sangat mengganggu penderita, terutama pada waktu

malam hari.

c. Banyak minum: Rasa haus sering dialami oleh penderita karena

banyaknya cairan yang keluar melalui kencing. Keadaan ini justru sering

disalah tafsirkan. Dikira sebab rasa haus ialah udara yang panas atau beban

kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus itu penderita minum

banyak.

d. Banyak makan: Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisme

menjadi glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan,

penderita selalu merasa lapar.

Keluhan lain :

a. Gangguan saraf tepi/kesemutan: Penderita mengeluh rasa sakit atau

kesemutan terutama pada kaki di waktu malam, sehingga mengganggu

tidur.

b. Gangguan penglihatan: Pada fase awal penyakit Diabetes sering dijumpai

gangguan penglihatan yang mendorong penderita untuk mengganti

kacamatanya berulang kali agar ia tetap dapat melihat dengan baik.

c. Gatal / Bisul: Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah

kemaluan atau daerah lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah payudara.

Sering pula dikeluhkan timbulnya bisul dan luka yang lama sembuhnya.

Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele seperti luka lecet karena

sepatu atau tertusuk peniti.

Universitas Sumatera Utara

d. Gangguan Ereksi: Ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak

secara terus terang dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan

budaya masyarakat yang masih merasa tabu membicarakan masalah seks,

apalagi menyangkut kemampuan atau kejantanan seseorang.

e. Keputihan: Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang

sering ditemukan dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang

dirasakan.

2.7. DIAGNOSIS

Diagnosa awal penyakit Diabetes bole dilakukan dengan tes darah yang relatif

memerlukan biaya yang murah. Menurut National Diabetes Information

Clearinghouse (NDIC) yang merupakan pusat servis kepada National Institute of

Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK), antara tes yang digunakan

untuk diagnosis diabetes adalah seperti berikut ( Harlan, 2008):

1) Fasting plasma glucose (FPG) test digunakan untuk mengukur glukosa darah

pada orang yang tidak makan apa-apa untuk minimal 8 jam. Tes ini

digunakan untuk mendeteksi diabetes dan pre-diabetes

2) Oral glucose tolerance test (OGTT) digunakan untuk mengukur glukosa

darah setelah seseorang puasa minimal 8 jam dan 2 jam setelah seseorang

diberi minuman yang mengandungi glukosa. Tes ini dapat digunakan

untuk mendiagnosa diabetes dan pre-diabetes.

3) Random plasma glucose test, disebut juga tes glukosa plasma kasual,

mengukur glukosa darah tanpa memperhatikan apa yang dikonsumsi oleh

orang yang sedang diuji. Tes ini, bersama dengan penilaian gejala,

digunakan untuk mendiagnosa diabetes tetapi bukan pre-diabetes.

Hasil pengujian yang menunjukkan bahwa seseorang menderita diabetes

harus dikonfirmasi dengan tes yang kedua pada hari yang berbeda.

Universitas Sumatera Utara

2.7.1. FPG Test

Tes FPG adalah ujian yang lebih disukai untuk mendiagnosis diabetes

karena nyaman dan biayaan yang rendah. Namun, tes ini akan melalaikan

beberapa diabetes atau pre-diabetes yang dapat ditemukan dengan OGTT. Tes

FPG adalah yang paling dapat dipercayai bila dilakukan di pagi hari. Hasil dan

interpretasi ditunjukkan pada Tabel. Orang dengan tingkat glukosa puasa setinggi

100 sampai 125 miligram per desiliter (mg/dL) menderita sejenis pre-diabetes

yang disebut sebagai gangguan glukosa puasa (IFG). Memiliki IFG berarti

seseorang memiliki peningkatan risiko diabetes tipe 2. Tingkat sekitar 126 ml/dL

atau lebih, dikonfirmasi dengan mengulang uji pada hari lain, berarti seseorang

menderita diabetes ( Harlan, 2008).

Tabel 2.1: Tabel Hasil Tes FPG dan Interprestasi

Hasil Glukosa Plasma (mg/dL) Diagnosis

99 dan ke bawah Normal

100 sampai 125 Pre-diabetes

126 dan ke atas Diabetes*

Keterenagan:

* harus dikonfirmasikan lagi dengan mengulangi tes pada hari yang berbeda.

2.7.2. OGTT

Penelitian telah menunjukkan bahwa OGTT lebih sensitif dibandingkan

dengan pengujian FPG untuk mendiagnosa pre-diabetes, tapi kurang nyaman

untuk administer. OGTT memerlukan puasa minimal 8 jam sebelum ujian.

Tingkat glukosa plasma diukur segera sebelum dan 2 jam setelah seseorang

minum cairan yang mengandung 75 gram glukosa yang dilarutkan dalam air.

Hasil dan interpretasi diperlihatkan pada Tabel 2.2.

Universitas Sumatera Utara

Jika kadar glukosa darah adalah antara 140 dan 199 mg/dL 2 jam setelah

minum glukosa (TGT). Setelah TGT, seperti memiliki IFG, berarti seseorang

memiliki peningkatan risiko diabetes tipe 2. Tingkat glukosa 2 jam 200 mg/dL

atau lebih, dikonfirmasi dengan mengulang uji pada hari lain, berarti seseorang

telah menderita diabetes ( Harlan, 2008).

Tabel 2.2: Tabel Hasil OGTT dan Interprestasi

Hasil Glukosa Plasma 2 Jam. (mg/dL) Diagnosa

139 dan ke bawah Normal

140-199 Pre-diabetes

200 dan ke atas Diabetes*

Keterangan:

* harus dikonfirmasikan lagi dengan mengulangi tes pada hari yang berbeda.

Diabetes kehamilan juga dapat didiagnosis berdasarkan nilai glukosa

plasma yang diukur selama OGTT, caranya adalah menggunakan 100 gram

glukosa dalam cairan untuk ujian. Kadar glukosa darah diperiksa empat kali

selama tes. Jika kadar glukosa darah di atas normal setidaknya dua kali pada saat

tes, wanita itu dikatakan menderita diabetes kehamilan. Tabel menunjukkan hasil

di atas normal untuk OGTT untuk diabetes kehamilan (Harlan, 2008).

Tabel 2.3: Tabel Hasil OGTT Diabetes Kehamilan dan Interpretasi

Hasil Glukosa Plasma (mg/dL) Diagnosis

Pada puasa 95 atau ke atas.

Pada 1 jam 180 atau ke atas.

Pada 2 jam 155 atau ke atas.

Pada 3 jam 140 atau ke atas.

Keterangan:

* Angka-angka ini untuk tes menggunakan minuman dengan 100 gram glukosa

Catatan: Beberapa laboratorium menggunakan nomor lain untuk tes ini.

Universitas Sumatera Utara

Menurut kriteria diagnostik Perkumpulan Endokrinologi Indonesia

(PERKENI) 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar

gula darah puasa ≥126 mg/dL pada plasma vena dan ≥100 mg/dL pada darah

kapiler sedangkan gula darah sewaktu ≥200 mg/dL pada plasma vena dan ≥200

mg/dL pada darah kapiler (PERKENI, 2006).

2.8. PENATALAKSANAAN

Tujuan :

1. Jangka pendek:menghilangkan keluhan/gejala diabetes dan mempertahankan

rasa nyaman dan sehat.

2. Jangka panjang: cegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun

neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas diabetes.

3. Cara:menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin. Mengingat mekanisme dasar

kelainan Diabetes tipe-2 adalah terdapatnya faktor genetik, tekanan darah,

resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara untuk

memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi harus tercermin pada

langkah pengelolaan.

4. Kegiatan: mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri

dan melakukan promosi perubahan perilaku.

Empat pilar utama dalam penatalaksanaan Diabetes Mellitus menurut

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Konsensus PERKENI, 2006) yang

meliputi :

a) Edukasi

b) Terapi gizi medis

c) Latihan jasmani

d) Intervensi farmakologis.

Pada dasarnya, pengelolaan diabetes dimulai dengan pengaturan makan disertai

dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila

Universitas Sumatera Utara

setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran

metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-

obat anti diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam

keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, diabetes dengan

stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera

diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan

sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar

glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah

mendapat pelatihan khusus untuk itu (PERKENI, 2006).

2.8.1. Edukasi

DM Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana telah

terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes

secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku

yang tidak sehat. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku,

membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang

berkenaan dengan:

Makan makann sehat

Kegiatan jsmani secara teratur

Menggunakan obat diabetes secara aman, teratur, dan pada waktu-

waktu yang spesifik

Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan

berbagai informasi yang ada

Melakukan perawatan kaki secara berkala

Mengelola diabetes dengan tepat

Mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan keterampilan

Dapar mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian

masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku

Universitas Sumatera Utara

hampir sama dengan proses edukasi dan memerlukan penilaian, perencanaan,

implementasi, dokumentasi, dan evaluasi (PERKENI, 2006).

2.8.2. Terapi medis gizi

Diabetes tipe 2 merupakan suatu penyakit dengan penyebab heterogen, sehingga

tidak ada satu cara makan khusus yang dapat mengatasi kelainan ini secara umum.

Perencanaan makan harus disesuaikan menurut masing-masing individu. Standar yang

dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal

kabohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:

Kabohidrat : 60 – 70%

Protein : 10 – 15%

Lemak : 20 – 25 %

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres

akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan

idaman. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali

kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk

wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktifitas, koreksi

status gizi, dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi stres akut sesuai dengan

kebutuhan.

Pada dasarnya kebutuhan kalori pada diabetes tidak berbeda dengan non

diabetes yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan untuk aktifitas baik fisik maupun

psikis dan untuk mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal

(PERKENI, 2006).

2.8.3. Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur. (3-4 kali

seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam

pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan harian seperti berjalan kaki ke pasar,

menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan Konsensus Pengelolaan dan

Universitas Sumatera Utara

Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Latihan jasmani

sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka

yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang

sudah mendapat komplikasi diabetes dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup

yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2006).

2.8.4. Pengelolaan farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum

tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.Sarana pengelolaan

farmakologis diabetes dapat berupa:

1. Obat hipoglikemik oral (OHO) yang dibagi menjadi 4 golongan mengikut cara

kerjanya (PERKENI, 2006):

A. pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid

B. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion

C. penghambat glukoneogenesis (metformin)

D. penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (acarbose)

A. Pemicu Sekresi Insulin

1. Sulfonilurea: Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan

sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien

dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada

pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia

berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal

dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan

penggunaan sulfonilurea kerja panjang (PERKENI, 2006).

2. Glinid: Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan

sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama.

Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat)

Universitas Sumatera Utara

dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah

pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati (PERKENI, 2006).

B. Penambah sensitivitas terhadap insulin

Tiazolidindion: Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan

pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu

reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan

resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,

sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion

dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat

memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien

yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara

berkala (PERKENI, 2006).

C. Penghambat glukoneogenesis

Metformin: Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa

hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.

Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin

dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin

> 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia

(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin

dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat

diberikan pada saat atau sesudah makan (PERKENI, 2006).

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,

sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.

Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang

paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. Mekanisme kerja OHO,

Universitas Sumatera Utara

efek samping utama, serta pengaruh obat terhadap penurunan A1C dapat dilihat

pada tabel (PERKENI, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.4 : Obat Hipoglikemik Oral

(Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di

Indonesia, 2006)

Universitas Sumatera Utara

2. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:

Penurunan berat badan yang cepat

Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

Ketoasidosis diabetik

Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

Hiperglikemia dengan asidosis laktat

Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal

Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA,stroke)

Kehamilan dengan DM gestasional yang tidak terkendali

Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Tabel 2.5 : Farmakokinetik insulin eksogen berdasar waktu kerja

(Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di

Indonesia, 2006)

Universitas Sumatera Utara

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis (PERKENI, 2006) yakni:

Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

Insulin kerja pendek (short acting insulin)

Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

Insulin kerja panjang (long acting insulin)

Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah(premixed insulin).

3. Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,

untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa

darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan

dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi

dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang

mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum

tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda

atau kombinasi OHO dengan insulin.

Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik di mana insulin tidak

memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan kombinasi tiga OHO.Untuk

kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO

dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang

diberikan pada malam hari menjelang tidur.

Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali

glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal

insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,

kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah

puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah

sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan

dan diberikan insulin saja ( PERKENI, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.9. KOMPLIKASI

Jika gula darah tidak terkontrol dengan baik beberapa tahun kemudian

akan timbul komplikasi. Komplikasi akibat diabetes yang timbul dapat berupa

komplikasi akut dan kronis.

2.9.1. Komplikasi akut

Komplikasi yang muncul secara mendadak. Keadaan bisa fatal jika tidak segera

ditangani. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah (Harrison, et al, 2005) :

a) Hipoglikemi

Menurut Fishbein dan Palumbo, hipoglikemia adalah suatu keadaan di mana

konsentrasi atau kadar gula di dalam darah terlalu rendah (<60mg/dl), yang

dapat terjadi pada pasien yang menerima suntikan insulin dan obat anti

diabetes. Hipoglikemia ini terjadi jika pemberian dosis insulin atau obat anti

diabetes tidak tepat, latihan fisik atau olah raga berlebihan, menunda jadwal

makan setelah minum obat, serta kebiasaan konsumsi alkohol.

b) Ketoasidosis

Pada diabetes melitus yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang

tinggi dan kadar hormon yang rendah, tubuh tidak dapat menggunakan

glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak

untuk sumber energi pemecahan lemak tersebut kemudian menghasilkan

badan-badan keton di dalam darah (ketosis). Ketosis ini menyebabkan derajat

keasaman (PH) dalam darah menurun (asidosis). Pada pasien dengan

ketoasidosis diabetik umumnya memilki riwayat asupan kalori (makanan)

yang berlebihan atau penghentian obat diabetes atau insulin. Gejala yang

timbul dapat berupa kadar gula darah tinggi (>240 mg/dl). Terdapat keton

dalam urin, buang air kecil banyak hingga dehidrasi, napas berbau aseton,

lemas hingga koma.

Universitas Sumatera Utara

c) Hiperosmolar Non-Ketotik (HONK)

Pada keadaan tertentu gula darah dapat sedemikian tingginya sehingga darah

menjadi kental. Dalam keadaan seperti ini dinamakan Hiperosmolar Non-

Ketotik (HNOK), atau Diabetic Hiperosmolar Syndrome (DHS). Kadar

glukosa darah dapat mencapai nilai 600mg/dl. Glukosa dapat menarik air

keluar sel dan selanjutnya keluar bersama urin, dan tubuh mengalami

dehidrasi. Penderita diabetes dalam keadaan ini menunjukkan gejala nafas

cepat dan dalam, banyak kencing, sangat haus, lemah, kaki dan tulang kram,

bingung, nadi cepat, kejang dan koma. Hiperglikemia dapat terjadi jika

masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang

didahului stress akut.

2.9.2. Komplikasi kronik

Komplikasi ini terjadi karena glukosa darah berada di atas normal

berlangsung secara selama bertahun-tahun. Komplikasi timbul secara perlahan,

kadang tidak diketahui, tetapi berangsur semakin berat dan membahayakan. Yang

termasuk dalam komplikasi kronik adalah (Harrison, et al, 2005):

1) Mikrovaskular

a. Penyakit Mata

i. Retinopati (nonproliferatif/proliferatif)

ii. Macular edema

b. Neuropati

i. Sensorik dan motorik (mononeuropati dan polineuropati)

ii. Autonomik

c. Nefropati

2) Makrovaskular

a. Penyakit arteri koronari

b. Penyakit vaskular perifer

c. Penyakit cerebrovaskular

Universitas Sumatera Utara

3) Lain-lain

a. Gastrointestinal

i. Gastroparesis

ii. Diare

b. Genitourinary

i. Uropati/disfungsi ereksi

ii. Ejakulasi retrograde

c. Dermatologi

d. Infeksi

e. Katarak

f. Glaukoma

2.10. TANAMAN BAWANG PUTIH

2.10.1 Pengenalan Bawang Putih

Menurut Santoso (2000) dalam Hernawan dan Setyawan (2003), bawang

putih merupakan tanaman herba parenial yang membentuk umbi lapis. Tanaman

ini tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak sampai setinggi 30-75 cm. Batang

yang nampak di atas permukaan tanah adalah batang semu yang terdiri dari

pelepah-pelepah daun. Sedangkan batang yang sebenarnya berada di dalam tanah.

Dari pangkal batang tumbuh akar berbentuk serabut kecil yang banyak dengan

panjang kurang dari 10 cm. Akar yang tumbuh pada batang pokok bersifat

rudimenter, berfungsi sebagai alat penghisap makanan.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 : Bawang Putih

(Sumber: http://wordpress.com)

Bawang putih membentuk umbi lapis berwarna putih. Sebuah umbi terdiri

dari 8–20 siung (anak bawang). Antara siung satu dengan yang lainnya dipisahkan

oleh kulit tipis dan liat, serta membentuk satu kesatuan yang kuat dan rapat. Di

dalam siung terdapat lembaga yang dapat tumbuh menerobos pucuk siung

menjadi tunas baru, serta daging pembungkus lembaga yang berfungsi sebagai

pelindung sekaligus gudang persediaan makanan. Bagian dasar umbi pada

hakikatnya adalah batang pokok yang mengalami rudimentasi (Santoso, 2000;

Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Helaian daun bawang putih berbentuk pita, panjang dapat mencapai 30–60

cm dan lebar 1–2,5 cm. Jumlah daun 7–10 helai setiap tanaman. Pelepah daun

panjang, merupakan satu kesatuan yang membentuk batang semu. Bunga

merupakan bunga majemuk yang tersusun membulat; membentuk infloresensi

payung dengan diameter 4–9 cm. Perhiasan bunga berupa tenda bunga dengan 6

tepala berbentuk bulat telur. Stamen berjumlah 6, dengan panjang filamen 4–5

mm, bertumpu pada dasar perhiasan bunga. Ovarium superior, tersusun atas 3

ruangan. Buah kecil berbentuk kapsul loculicidal (Becker dan Bakhuizen van den

Brink, 1963; Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Menurut Santoso (2000) dalam Hernawan dan Setyawan (2003), bawang

putih umumnya tumbuh di dataran tinggi, tetapi varietas tertentu mampu tumbuh

Universitas Sumatera Utara

di dataran rendah. Tanah yang bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu

dengan pH netral menjadi media tumbuh yang baik. Lahan tanaman ini tidak

boleh tergenang air. Suhu yang cocok untuk budidaya di dataran tinggi berkisar

antara 20–250C dengan curah hujan sekitar 1.200–2.400 mm pertahun, sedangkan

suhu untuk dataran rendah berkisar antara 27–300C.

a) Klasifikasi Ilmiah

Divisio : Spermatophyta

Sub divisio : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Bangsa : Liliales

Suku : Liliaceae

Marga : Allium

Jenis : Allium sativum

Nama umum : bawang putih

b) Nama binomial : Allium sativum L.

c) Nama daerah :

1. Sumatera : Bawang putih (Melayu), Lasun (Aceh), Dasun (Minangkabau),

Lasuna (Batak), Bacong landak (Lampung).

2. Jawa : Bawang bodas (Sunda), Bawang (Jawa), Babang pole (Madura).

3. Kalimantan : Bawang kasihong (Dayak).

4. Sulawesi : Lasuna kebo (Makasar), Lasuna pote (Bugis), Pia moputi

(Gorontalo).

5. Nusa Tenggara : Incuna.

Mengikut Mrs. M. Grieve dalam bukunya yang bertajuk " A Modern Herbal "

bawang putih boleh didapati di utara dan selatan Siberia dan kemudiannya

berkembang ke selatan Eropah dan ia juga dikatakan tumbuh secara liar di Sicily.

Menurut Mrs. M. Grieve, bawang putih juga ditanam secara meluas di negara-

negara Latin yang bersempadan dengan negara Mediteranean (Yacob, 1999).

Universitas Sumatera Utara

2.10.2 Metabolit Sekunder : Organo Sulfur

Amagase, et al, (2001) dalam Hernawan dan Setyawan (2003) menyatakan

metabolit sekunder yang terkandung di dalam umbi bawang putih membentuk

suatu sistem kimiawi yang kompleks serta merupakan mekanisme pertahanan diri

dari kerusakan akibat mikroorganisme dan faktor eksternal lainnya. Sistem

tersebut juga ikut berperan dalam proses perkembangbiakan tanaman melalui

pembentukan tunas. Selain itu, Challem (1995) dalam Hernawan dan Setyawan

(2003) pula menyatakan sebagaimana kebanyakan tumbuhan lain, bawang putih

mengandung lebih dari 100 metabolit sekunder yang secara biologi sangat

berguna. Menurut Ellmore dan Fekldberg (1994) dalam Hernawan dan Setyawan

(2003), senyawa ini kebanyakan mengandung belerang yang bertanggungjawab

atas rasa, aroma, dan sifat-sifat farmakologi bawang. Dua senyawa organosulfur

paling penting dalam umbi bawang putih, yaitu asam amino non-volatil γ-

glutamil-S- alk(en)il-L-sistein dan minyak atsiri S-alk(en)il- sistein sulfoksida

atau alliin.

Gambar 2.2 : γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein

(Sumber: Hernawan dan Setyawan, 2003)

Gambar 2.3 : Struktur kimia Alliin (Sumber: Hernawan dan Setyawan, 2003)

Dua senyawa di atas menjadi prekursor sebagian besar senyawa

organosulfur lainnya. Kadarnya dapat mencapai 82% dari keseluruhan senyawa

organosulfur di dalam umbi (Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan,

2003) . Senyawa γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein merupakan senyawa intermediet

Universitas Sumatera Utara

biosintesis pembentukan senyawa organosulfur lainnya, termasuk alliin. Senyawa

ini dibentuk dari jalur biosintesis asam amino. Dari γ-glutamil-S-alk(en)il-L-

sistein, reaksi enzimatis yang terjadi akan menghasilkan banyak senyawa turunan,

melalui dua cabang reaksi, yaitu jalur pembentukan thiosulfinat dan S- allil sistein

(SAC). Dari jalur pembentukan thiosulfinat akan dihasilkan senyawa allisin

(allisin). Selanjutnya dari jalur ini akan dibentuk kelompok allil sulfida, dithiin,

ajoene, dan senyawa sulfur lain. Proses reaksi pemecahan γ-glutamil-S-alk(en)il-

L-sistein berlangsung dengan bantuan enzim γ- glutamil - transpeptidase dan γ-

glutamil-peptidase oksidase, serta akan menghasilkan alliin (Song dan Milner,

2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Gambar 2.4 : Jalur Pemecahan γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein. (Sumber: Hernawan dan Setyawan, 2003)

Pada saat umbi bawang putih diiris-iris dan dihaluskan dalam proses

pembuatan ekstrak atau bumbu masakan, enzim allinase menjadi aktif dan

menghidrolisis alliin menghasilkan senyawa intermediet asam allil sulfenat .

Kondensasi asam tersebut menghasilkan allisin, asam piruvat, dan ion NH4+. Satu

miligram alliin ekuivalen dengan 0,45 mg allisin (Zhang, 1999). Pemanasan dapat

menghambat aktivitas enzim allinase. Pada suhu di atas 60oC, enzim ini inaktif

(Song dan Milner, 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5 : Reaksi pembentukan allicin. (Sumber: Hernawan dan Setyawan, 2003)

Asam amino alliin akan segera berubah menjadi allisin begitu umbi

diremas (Dreidger, 1996) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Allisin bersifat

tidak stabil (Amagase et al., 2001), sehingga mudah mengalami reaksi lanjut,

tergantung kondisi pengolahan atau faktor eksternal lain seperti penyimpanan,

suhu, dan lain-lain (Hernawan dan Setyawan, 2003)

Ekstraksi umbi bawang putih dengan etanol pada suhu di bawah 0oC, akan

menghasilkan alliin. Ekstraksi dengan etanol dan air pada suhu 25oC akan

menghasilkan allisin dan tidak menghasilkan alliin. Sedang ekstraksi dengan

metode distilasi uap (100oC) menyebabkan seluruh kandungan alliin berubah

menjadi senyawa allil sulfida (Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan,

2003). Oleh karena itu proses ekstraksi perlu dilakukan pada suhu kamar.

Pemanasan dapat menurunkan aktivitas anti-kanker ekstrak umbi bawang putih.

Pengolahan ekstrak dengan microwave selama 1 menit menyebabkan hilangnya

90% kinerja enzim allinase. Pemanasan dapat menyebabkan reaksi pembentukan

senyawa allil-sulfur terhenti (Song dan Milner, 2001) dalam (Hernawan dan

Setyawan, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.6 : Derivat allil sulfida

(Sumber: Hernawan dan Setyawan, 2003)

Universitas Sumatera Utara

Allisin (3) merupakan prekursor pembentukan allil sulfida, misalnya diallil

disulfida (DADS) (6), diallil trisulfida (DATS) (7), diallil sulfida (DAS) (8),

metallil sulfida (9), dipropil sulfida (10), dipropil disulfida (11), allil merkaptan

(12), dan allil metil sulfida (13). Kelompok alllil sulfida memiliki sifat dapat larut

dalam minyak. Oleh karena itu, untuk mengekstraknya digunakan pelarut non-

polar (Gupta dan Porter, 2001). Pembentukan kelompok ajoene, misalnya E-

ajoene (14) dan Z-ajoene (15), serta kelompok dithiin, misalnya 2-vinil-(4H)-1,3-

dithiin (16) dan 3-vinil-(4H)-1,2 dithiin (17), juga berawal dari pemecahan allisin

(3) (Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Senyawa organosulfur lain yang terkandung dalam umbi bawang putih

antara lain, S propilsistein (SPC) (18), S-etil-sistein (SEC) (19), dan Smetil-

sistein (SMC) (20). Umbi bawang putih juga mengandung senyawa organo-

selenium dan tellurium, antara lain Se-(metil)selenosistein (21), selenometionin

(22), dan selenosistein (23). Senyawa-senyawa di atas (18–23) mudah larut dalam

air (Gupta dan Porter, 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Beberapa

senyawa bioaktif flavonoid penting yang telah ditemukan antara lain: kaempferol-

3-O-β-Dglukopiranosa (24) dan iso-rhamnetin-3-O-β-Dglukopiranosa (25) (Kim

et al., 2000) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Senyawa frukto-peptida yang penting, yaitu Nα-(1-deoxy-Dfructose- 1-

yl)-L-arginin (26) (Ryu et al., 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Ekstrak segar umbi bawang putih dapat disimpan lama dalam ethanol 15–20%.

Penyimpanan selama sekitar 20 bulan pada suhu kamar akan menghasilkan AGE

(aged garlic extract). Selama penyimpanan, kandungan allisin (3) akan menurun

dan sebaliknya diikuti naiknya konsentrasi senyawasenyawa baru. Senyawa yang

dominan terkandung adalah S-alil sistein (4) dan S-allilmerkaptosistein (SAMC)

(27) (Banerjee dan Maulik, 2002; Amagase et al., 2001) dalam (Hernawan dan

Setyawan, 2003).

Selain dalam bentuk ekstrak padatan, umbi bawang putih dapat pula diolah

melalui distilasi uap menjadi minyak atsiri bawang putih yang banyak digunakan

Universitas Sumatera Utara

dalam pengobatan. Kandungan kimia minyak atsiri bawang ini secara umum

terdiri dari 57% diallil sufida (8), 37% allil metil sulfida (13), dan 6% dimetil

sulfida. Minyak bawang komersial umumnya mengandung 26% diallil disulfida

(6), 19% diallil trisulfida (7), 15% allil metil trisulfida, 13% allil metil disulfida,

8% diallil tetrasulfida, 6% allil metil tetrasulfida, 3% dimetil trisulfida, 4%

pentasulfida, dan 1% heksasulfida. Minyak bawang hasil maserasi mengandung

kelompok vinyl-dithiin 0,8 mg/g dan ajoena 0,1 mg/g, sedangkan ekstrak eter

mengandung vinyl-dithiin 5,7 mg/g, allil sulfida 1,4 mg/g, dan ajoena 0,4 mg/g

(Banerjee dan Maulik, 2002) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

2.10.3. Aktivitas Biologi dan Manfaat Bawang Putih

Para pakar kesehatan secara konsisten melakukan penggalian informasi

khasiat bawang putih melalui penelitian farmakologi laboratoris yang sistematis

(Rukmana, 1995). Tahapan pengujian, penelitian, dan pengembangan secara

sistematis perlu dilakukan agar pemanfaatan dan khasiat bawang putih dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Budhi, 1994), bukan sekedar pengetahuan

yang diperoleh secara turun temurun. Pembuatan catatan atau dokumentasi ilmiah

atas hasil penelitian tersebut dilakukan agar dapat terus dimanfaatkan dan

dikembangkan oleh generasi di masa depan (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Penelitian farmakologi tentang bawang putih telah banyak dilakukan, tidak

hanya secara in vivo (dengan hewan percobaan) tetapi juga in vitro (dalam tabung

kultur). Hal ini ditempuh untuk membuktikan khasiat dan aktivitas biologi dari

senyawa aktif bawang putih, sekaligus dosis dan kemungkinan efek sampingnya.

Berbagai penelitian yang telah dikembangkan untuk mengeksplorasi aktivitas

biologi umbi bawang putih yang terkait dengan farmakologi, antara lain sebagai

antidiabetes, anti-hipertensi, anti-kolesterol, antiatherosklerosis, anti-oksidan,

anti-agregasi sel platelet, pemacu fibrinolisis, anti-virus, antimikrobia, dan anti-

kanker (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Bawang Putih (Allium sativum) sebagai Anti-diabetes

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit fisiologis berupa perubahan

homeostasis glukosa yang menyebabkan kadar glukosa plasma darah di atas

normal. Kondisi ini sering disebut hiperglikemik (Maher, 2000). Berbagai jenis

tumbuhan obat telah dimanfaatkan untuk terapi penyakit tersebut. Banyak

penelitian telah sampai pada isolasi senyawa aktif tumbuhan yang mampu

memberikan efek hipoglikemik atau anti-diabetes, termasuk diantaranya umbi

bawang putih (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Efek hipoglikemik umbi bawang putih telah dibuktikan secara in vivo,

sedangkan secara in vitro belum dilakukan. Penelitian awal mengenai efek

hipoglikemik bawang putih dilakukan oleh Mathew dan Augusti (1973), dengan

melakukan isolasi allisin dan memberikannya pada tikus diabetes. Pada perlakuan

dengan dosis 250 mg/kb BB, diketahui allisin mampu menurunkan kadar glukosa

darah 60% lebih efektif daripada tolbutamid. Selanjutnya, Augusti (1975)

memberi perlakuan ekstrak umbi bawang putih pada kelinci yang diinduksi

diabetes menggunakan alloksan. Allisin dari ekstrak umbi bawang putih dapat

menurunkan kadar glukosa darah kelinci seperti halnya tolbutamid (obat sintetis

untuk penderita diabetes). Pada perkembangan berikutnya, semua penelitian yang

mengkaji efek hipoglikemik umbi bawang putih menunjukkan hasil positif

(Banerjee dan Maulik, 2002).

Sheela, et al. (1995) mengisolasi senyawa asam amino sulfoksida dari

bawang putih untuk kemudian diperlakukan pada tikus diabetes. Senyawa yang

berhasil diisolasi adalah S-metilsistein sulfoksida (SMCS) dan alliin atau S-

allilsistein sulfoksida. Perlakuan ekstrak selama sebulan menunjukkan penurunan

kadar glukosa darah yang signifikan. Alliin pada dosis 200 mg/kg BB mempunyai

unjuk kerja yang sama dengan glibenklamid (obat diabetes) dan hormon insulin.

Universitas Sumatera Utara

Perlakuan ekstrak minyak atsiri bawang putih pada tikus diabetes dapat

menurunkan kadar enzim fosfatase dalam sel darah merah, fosfatase asam dan

alkali, transferase alanin, transferase aspartat, dan amilase dalam serum darah.

Enzim-enzim tersebut berperan dalam metabolisme glukosa (Ohaeri, 2001) dalam

(Hernawan dan Setyawan, 2003). Perlakuan dengan ekstrak yang sama pada

manusia normal juga menunjukkan adanya aktivitas hipoglikemik pada serum

darah. Kadar glukosa darah para sukarelawan mengalami penurunan setelah diberi

perlakuan selama 11 minggu (Zhang, et al., 2001) dalam (Hernawan dan

Setyawan, 2003).

Mekanisme penurunan kadar glukosa darah oleh ekstrak bawang putih

masih belum diketahui secara jelas. Senyawa yang berperan telah diketahui yakni

allisin dan alliin (Augusti, 1975; Sheela et al., 1995). Kemungkinan masih

terdapat senyawa lain yang juga mampu menurunkan kadar glukosa darah pada

diabetes mellitus. Allisin dan alliin mampu menjadi agen anti-diabetes dengan

mekanisme perangsangan pankreas untuk mengeluarkan sekret insulinnya lebih

banyak (Banerjee dan Maulik, 2002).

2.10.4 Toksisitas dan efek samping

Beberapa literatur menyatakan adanya efek negatif konsumsi bawang

putih, namun sebagian besar tidak memiliki bukti yang cukup, hanya berupa studi

awal, studi kasus atau studi epidemiologi (Jesse, et al., 1997) dalam (Hernawan

dan Setyawan, 2003). Dugaan diet bawang putih terkait dengan kangker mulut

tidak benar, mengingat bawang putih bersifat anti kangker. Kangker tersebut

merupakan akibat cara menyikat gigi untuk menghilangkan bau menyengat yang

salah (Kabat, et al., 1989) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Salah satu kajian ilmiah dengan bukti cukup mengenai efek negatif

bawang putih adalah kajian hepatosit pada tikus. Penelitian menunjukkan bahwa

ekstrak bawang putih sangat bernilai untuk detoksifikasi dan antioksidasi pada

kadar 1 mM, namun pada kadar 5 mM secara nyata dapat menurunkan viabilitas

Universitas Sumatera Utara

sel, mengubah morfologi sel, dan menurunkan aktivitasnya (Sheen, et al., 1996)

dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Umbi bawang putih aman untuk dikonsumsi manusia pada takaran normal,

yakni kurang dari tiga umbi per hari. Pada takaran tersebut, toksisitas dan efek

samping konsumsi umbi bawang putih belum ada. Bahkan untuk wanita hamil dan

menyusui, umbi bawang putih tidak menunjukkan efek negatif. Pada kasus yang

jarang terjadi, bawang putih dapat menyebabkan alergi (Pizorno dan Murray,

2000; Yarnell, 1999; Lemiere, et al., 1996; Delaney dan Donnely, 1996; Burden,

et al., 1994) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Bawang putih juga tidak berefek negatif terhadap sekresi enzim

pencernaan (Sharatchandra, et al., 1995) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Efek positif konsumsi bawang putih jauh lebih tinggi dibandingkan efek

negatifnya. Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bawang putih merupakan

obat mujarap untuk meningkatkan vitalitas tubuh bagaikan ginseng (Jesse, et al.,

1997) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Universitas Sumatera Utara