14 II. KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Perkembangan ...

49
14 II. KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Perkembangan Agama dan Moral a. Teori Perkembangan Agama dan Moral Makna agama dan keyakinan beragama berubah sepanjang jalan perkembangan, sebagian besar teori agama memiliki landasan teori perkembangan kognitif Piaget (Bridges & A.Moree, 2002). Fokus dari teori-teori ini adalah pada struktur pemikiran keagamaan karena berubah dari waktu ke waktu, bukan pada isi keyakinan agama, yang paling terkenal di antara teori-teori ini adalah teori Elkind, Goldman, Fowler, dan Oser. Teori-teori ini memiliki kesamaan bahwa pemikiran keagamaan, dalam hubungannya dengan bidang pemikiran lainnya, bergerak dari sesuatu yang konkret dan keyakinan literal di masa kanak-kanak ke pemikiran keagamaan yang lebih abstrak di masa remaja. Teori-teori perkembangan keagamaan yang dielaborasi oleh Elkind, Fowler, dan Oser, serta perspektif teoritis keterikatan Kirkpatrick tentang perkembangan perbedaan individu dalam agama. Berikut akan dijelaskan beberapa teori tentang perkembangan agama dan moral yaitu: 1) Studi Elkind tentang perkembangan agama Pada masa remaja dan dewasa, individu-individu memahami bahwa setiap agama yang berbeda memiliki keyakinan dasar yang berbeda, termasuk keyakinan yang berbeda tentang sifat Allah (atau para dewa) dan manusia, dan hubungan antara keduanya yang diungkapkan melalui ibadah, doa, dan kegiatan kehidupan sehari-hari. Ketika remaja dan dewasa mereka lebih sadar dalam beragama dan beribadah, patuh

Transcript of 14 II. KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Perkembangan ...

14

II. KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Perkembangan Agama dan Moral

a. Teori Perkembangan Agama dan Moral

Makna agama dan keyakinan beragama berubah sepanjang jalan

perkembangan, sebagian besar teori agama memiliki landasan teori perkembangan

kognitif Piaget (Bridges & A.Moree, 2002). Fokus dari teori-teori ini adalah pada

struktur pemikiran keagamaan karena berubah dari waktu ke waktu, bukan pada isi

keyakinan agama, yang paling terkenal di antara teori-teori ini adalah teori Elkind,

Goldman, Fowler, dan Oser. Teori-teori ini memiliki kesamaan bahwa pemikiran

keagamaan, dalam hubungannya dengan bidang pemikiran lainnya, bergerak dari

sesuatu yang konkret dan keyakinan literal di masa kanak-kanak ke pemikiran

keagamaan yang lebih abstrak di masa remaja.

Teori-teori perkembangan keagamaan yang dielaborasi oleh Elkind, Fowler,

dan Oser, serta perspektif teoritis keterikatan Kirkpatrick tentang perkembangan

perbedaan individu dalam agama. Berikut akan dijelaskan beberapa teori tentang

perkembangan agama dan moral yaitu:

1) Studi Elkind tentang perkembangan agama

Pada masa remaja dan dewasa, individu-individu memahami bahwa setiap

agama yang berbeda memiliki keyakinan dasar yang berbeda, termasuk keyakinan

yang berbeda tentang sifat Allah (atau para dewa) dan manusia, dan hubungan antara

keduanya yang diungkapkan melalui ibadah, doa, dan kegiatan kehidupan sehari-hari.

Ketika remaja dan dewasa mereka lebih sadar dalam beragama dan beribadah, patuh

15

terhadap perintah-perintah di dalam agama mereka dan menganggap agama penting

dalam kehidupan mereka. Elkind pada tahun (1964; 1970) dalam artikelnya

menemukan bahwa pemahaman seperti itu tentang kepercayaan dan praktik

keagamaan tidak hadir pada anak-anak, tetapi lebih berkembang di masa kanak-kanak.

Elkind menyatakan bahwa ada tiga tahap perkembangan agama di masa kanak-kanak

dan remaja yang sejajar dengan tahap pra-operasional, operasional konkret, dan

operasional formal perkembangan kognitif yang dijelaskan oleh Piaget.

2) Teori pengembangan Iman Fowler

Fowler mengembangkan teori pengembangan iman seperti teori Elkind,

mencakup serangkaian tahapan yang sebagian besar mengikuti teori tahap

perkembangan kognitif Piaget. Teori ini juga sangat dipengaruhi oleh teori psikososial

Eric Erikson tentang pengembangan identitas ego. Sebagaimana didefinisikan oleh

Fowler, Iman adalah proses dinamis dari komitmen yang memusatkan kepercayaan

dan kesetiaan kita, ketergantungan dan kepercayaan diri pada realitas kehidupan.

Fowler menyarankan bahwa iman berkembang dalam konteks hubungan antar pribadi,

dan kapasitas dan kebutuhan akan iman adalah sifat bawaan manusia. Iman mencakup

iman religius, tetapi iman juga dapat mencakup kepercayaan dan kesetiaan pada pusat

nilai termasuk keluarga, negara, dan lainnya.

3) Teori Oser

Teori Oser berfokus pada pengembangan penilaian agama. Oser

mendefinisikan penilaian agama sebagai alasan yang menghubungkan realitas sebagai

pengalaman dengan sesuatu di luar realitas yang berfungsi untuk memberikan makna

dan arah tujuan hidup (Bridges & A.Moree, 2002). Oser sangat tertarik pada perubahan

16

perkembangan dalam penjelasan yang dimiliki anak-anak dan orang dewasa untuk

pengalaman, baik pribadi maupun yang diamati, yang tampaknya bertentangan dengan

kepercayaan agama. Oleh karena itu penilaian agama melibatkan jawaban yang

ditemukan oleh individu untuk mereka sendiri yang mendamaikan iman agama dan

kenyataan yang tampaknya bertentangan dengan iman itu.

Oser menggambarkan lima tahap dalam pengembangan penilaian agama, tiga

diantaranya merupakan tahap-tahap penalaran yang dicapai pada masa kanak-kanak

dan remaja, dan yang keempat berkembang dalam minoritas individu di masa remaja.

Tahap 1, pandangan anak-anak tentang Tuhan sangat konkret dan literal. Tuhan dilihat

sebagai terlibat langsung dalam peristiwa sehari-hari di dunia, sebagai penyebab

semua peristiwa dan sebagai menciptakan semua hal. Tuhan harus dipatuhi karena

ketidaktaatan membawa hukuman langsung, seperti kecelakaan atau sakit. Pada saat

yang sama, individu dipandang memiliki pengaruh minimal terhadap Tuhan. Bentuk

penilaian religius ini sejajar dengan tahap paling awal dari penalaran moral pra-

konvensional seperti yang dijelaskan oleh Colby dan Kohlberg (1987), di mana hukum

dan peraturan harus dipatuhi terutama untuk menghindari hukuman.

Pada tahap 2 dan 3, anak-anak dan remaja yang lebih tua memandang Tuhan

dengan cara yang kurang menghukum. Tuhan dapat dipengaruhi oleh perilaku baik

seorang individu, dengan doa, dan kepatuhan pada ritual dan praktik keagamaan.

Terlihat sebagai bukti dalam kehidupan yang sehat dan bahagia, murka Tuhan atas

kegagalannya untuk campur tangan di saat terjadi perselisihan. Pada saat yang sama,

Tuhan juga dipandang lebih kecil kemungkinannya untuk campur tangan secara

konkret dan langsung dalam urusan manusia.

17

Pada tahap 4 dan 5, individu yang mempertahankan iman dapat kembali kepada

Tuhan sebagai pencipta akhir yang merupakan sumber kebebasan dan kehidupan, dan

yang keberadaannya membuat hidup bermakna. Teori Oser tidak menyarankan bahwa

semua penilaian agama yang diperlihatkan oleh seorang individu akan selalu berada

pada tahap yang sama, atau bahwa semua individu pada usia yang sama akan

menunjukkan tingkat penilaian agama yang sama.

4) Teori Kirkpatrick

Kirkpatrick mengusulkan bahwa kepercayaan dan praktik keagamaan individu

dipengaruhi oleh orang tua mereka, dan kualitas hubungan ikatan orangtua-anak.

Menurut Kirkpatrick (Bridges & A.Moree, 2002) anak-anak yang hubungan dengan

orang tuanya aman cenderung untuk mengadopsi kepercayaan agama orang tua

mereka. Lebih lanjut, berdasarkan pada teori kelekatan, Kirkpatrick menyarankan

bahwa hubungan individu dengan Tuhan dapat dianggap sebagai hubungan kelekatan.

Seperti halnya hubungan kelekatan yang dibangun antara pengasuh dengan bayi,

diharapkan akan sangat mempengaruhi karakteristik kualitas hubungan dengan Tuhan.

Hubungan yang baik dengan orang tua yang beragama, dapat ditiru oleh anak

bagaimana orang tua mereka beragama dengan tingkat religiusitas yang tinggi dan

kepercayaan pada Tuhan. Begitu sebaliknya hubungan yang tidak aman dengan orang

tua, akan membuat anak atheis dan meragukan kepercayaan mereka pada Tuhan. Pada

masa remaja atau dewasa, seseorang dapat beralih ke hubungan pribadi dengan Tuhan

dalam upaya untuk mendapatkan keamanan yang tidak tersedia bagi mereka dari

hubungan keterikatan awal mereka.

18

5) Penilaian moral oleh Piaget

Didalam karya klasik Piaget (Crain, 2014:193), The Moral Judgment of Child

(1932), Piaget memberi perhatian khusus kepada cara anak memahami aturan

permainan marbel. Piaget mengamati bagaimana cara anak-anak memainkan

permainan itu sesungguhnya, dan dia menemukan bahwa antara usia empat sampai

tujuh tahun, anak-anak bermain dengan cara egosentris. Mereka tidak mengerti

menang dan kalah, bahkan mereka akan berkata satu sama lain “aku menang dan kamu

menang juga.” Namun setelah usia tujuh tahun, anak-anak mulai berusaha mengikuti

aturan umum permainan dan berusaha menang menurut aturan-aturan tersebut.

Piaget meneliti pemikiran anak-anak tentang aturan. Dititik ini Piaget

menemukan bahwa anak-anak selama beberapa tahun sampai usia 10 tahun percaya

bahwa aturan sudah baku dan tidak bisa diubah. Jika aturan diubah maka

permainannya harus berubah juga. Setelah usia 10 tahun lebih, anak-anak jadi lebih

relatif terhadap aturan. Aturan dilihat sebagai cara-cara yang sama disetujui untuk

memainkan permainan. Mereka tidak lagi melihat aturan sebagai hal yang baku, dan

mereka menyatakan bahwa aturan bisa dirubah selama setiap orang di dalam

permainan setuju.

Konsepsi yang berbeda-beda tentang aturan ini mengisyaratkan dua sikap

moral mendasar yaitu heteronomi moral dan otonomi moral (Crain, 2014:194).

Heteronomi moral adalah sebuah kepatuhan yang kaku terhadap aturan-aturan yang

dipaksakan orang dewasa, anak berasumsi bahwa terdapat sebuah hukuman yang mesti

mereka ikuti. Moralitas kedua, yaitu berasal dari anak yang lebih tua usianya yang

disebut otonomi moral. Moralitas ini menganggap aturan-aturan yang dibuat untuk

19

kesetaraan demi kerja sama yang baik yang memungkinkan individu bersikap dan

berprilaku sesuai control dirinya.

Piaget percaya kalau heteronomi moral terikat pada egosentrisme, anak-anak

memandang aturan dari perspektif tunggal, yaitu perspektif orang dewasa yang

berkuasa atas dirinya. Sebagai suatu bentuk egosentrisme, heteronomi moral baru bisa

ditaklukkan sekitar usia 10 tahun atau lebih. Piaget mengingatkan bahwa heteronomi

adalah suatu bentuk pikiran egosentris dari anak. Anak-anak perlu terlibat di dalam

hubungan yang baik dengan bermain bersama teman-teman sebayanya.

Berdasarkan beberapa teori tentang perkembangan agama dan moral seperti

teori Elkind, Fowler, Oser, Kirkpatrick, dan Piaget semuanya merujuk sesuai pada

tahap perkembangan anak usia dini. Teori perkembangan agama dan moral juga sama

dengan teori yang lainnya yang juga merujuk pada teori Piaget.

b. Hakikat Perkembangan Agama dan Moral Anak Usia Dini

Golck dan Stark (Dewi, 2017) mendefinisikan agama sebagai simbol,

keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terpusat pada persoalan-persoalan

hidup. Tipologi Glock dan Stark dengan ajaran Islam, dan menurut mereka tipologi

tersebut mampu menjelaskan konsep beribadah secara menyeluruh dalam ajaran Islam,

yang melibatkan seluruh aspek kehidupan dalam beribadah kepada Allah. Dimensi

religiusitas tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Dimensi ideologis/ keyakinan (akidah), sejauh mana seorang muslim mempercayai

ajaran-ajaran yang sifatnya fundamental dan dogmatis dalam Islam, seperti; rukun

iman.

20

2. Dimensi intelektual/ pengetahuan (ilmu), sejauh mana pengetahuan yang dipahami

oleh setiap muslim berkaitan dengan dasar-dasar keyakinan, ritual, kitabsuci, dan

tradisi-tradisi yang dilakukan.

3. Dimensi ritual/ praktik agama (syariah), berkaitan dalam menjalankan ibadah,

misal; sholat lima waktu, membaca Al-Quran, puasa, dan lainnya.

4. Dimensi penghayatan/ eksperiensial, berkaitan dengan pengalaman-pengalaman

keagamaan, seperti; persepsi, perasaan, dan sensasi ketika melakukan komunikasi

dalam suatu esensi ketuhanan.

5. Dimensi konsekuensial/pengalaman (akhlak), bagaimana seorang muslim

berperilaku di dunia dengan motivasi oleh nilai religius internal. Diibaratkan bahwa

dimensi ini merupakan hasil dari proses identifikasi terhadap keyakinan

keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang yang diekspresikan

dalam tindakan perilakunya sehari-hari.

Mendefinisikan agama ada dua pendekatan, yaitu pendekatan substantif dan

pendekatan fungsional (Syamsudin, 2016). Pendekatan substantif lebih menekankan

apa itu agama, sedangkan pendekatan fungsional lebih menekankan apa guna agama

bagi pemeluknya. Pendekatan substantif menyebut agama identik dengan Tuhan yang

maha suci, sedangkan pendekatan fungsional menyebut agama sebagai ruang bagi

ekspresi manusia untuk menyatukan diri atau memecah belah umat manusia. Pola

definisi agama ada empat yaitu; personal fungsional, personal substansial, sosial

fungsional, dan sosial substansial (Syamsudin, 2017). Definisi agama memakai pola

personal fungsional menjadi agama sebagai pemenuhan tujuan spiritual individu, pola

personal substansial menjadi agama sebagai kesadaran personal tentang yang sakral.

21

Pola definisi agama yang tepat untuk anak usia dini adalah personal fungsional,

yaitu anak memenuhi rasa ingin tahunya tentang yang gaib melalui apa yang

bermanfaat atau berbahaya bagi dirinya melalui pengalaman langsung. Berdasarkan

pengalaman langsung itulah anak-anak akan mengenal dan menghayati perilaku positif

yang bersumber dari ajaran agama yang dianutnya. (Syamsudin, 2016). Makna agama

yang dipahami anak-anak tidak sama dengan makna agama yang dipahami oleh orang

dewasa, terlebih lagi perbedaan rasa beragama diantara keduanya. Rasa beragama

berbeda dengan pengetahuan tentang agama, baik orang dewasa maupun anak-anak.

Perbedaannya adalah, pengetahuan agama adalah informasi tentang agama yang

bersumber dari kitab suci, sedangkan rasa beragama adalah buah dari pengetahuan

terhadap agama tersebut. Menurut Dzakiyah Darajat (Suyadi, 2010:125) anak-anak

sudah mempunyai rasa beragama melalui perkembangan bahasa yang diucapkan

orangtua atau orang dewasa sekelilingnya.

Munculnya agama dalam diri anak berawal dari mengenal Tuhan melalui kata-

kata. Pada awalnya anak bersikap acuh tak acuh terhadap kata Tuhan tersebut. Namun

seiring dengan perkembangan otaknya, kemudian didukung oleh fungsi mata yang

mulai mampu menatap ekspresi kepatuhan orang dewasa kepada Tuhan, anak mulai

gelisah dan ragu-ragu. Kegelisahan tersebut disebabkan karena anak-anak belum

mempunyai pengalaman empiris mengenai Tuhan sama sekali, sedangkan ia sendiri

menyaksikan ekspresi kepatuhan orang-orang dewasa kepada Tuhan. (Suyadi,

2010:128).

Saat anak-anak menaruh perhatian pada kata Tuhan, sejak itulah ia sedikit demi

sedikit mempunyai pengalaman empiris mengenai agama. Biasanya, pada awal-awal

22

perhatiannya pada kata Tuhan, pengalaman tersebut bersifat tidak menyenangkan.

Contoh: ketika anak melihat orang dewasa beribadah dengan penuh ketaatan, anak

mempersepsikan bahwa Tuhan adalah menakutkan yang harus ditaati; ketika anak

mendengar bahwa orang yang bersalah atau berdosa akan dihukum di neraka, dan anak

mempersepsikan Tuhan sebagai hakim yang kejam. Begitu seterusnya, sehingga anak-

anak gelisah hatinya. Saat hatinya gelisah anak-anak berusaha untuk menolak

kehadiran Tuhan dalam dirinya. Namun, perasaan tersebut semakin ditolak justru

semakin kuat mempengaruhi dirinya.

Freud (Suyadi, 2010:128) mengatakan “Mengingkari kenyataan yang

menyakitkan hati adalah satu fase pertengahan antara menekan dan menerima.” Freud

memberi argumen bahwa mengingkari pengalaman pahit membuahkan ketenangan

dalam hati. Artinya, semakin kuat seseorang menolak sesuatu, semakin kuat ia

memikirkannya, walaupun hanya untuk ditolak. Oleh karena itu, semakin kuat anak-

anak menolak kata Tuhan justru semakin kuat mereka untuk menerimanya. Ketika

persepsi anak sampai pada sifat-sifat positif Tuhan (Maha Pengampun, Maha

Pemurah, Maha Penyayang, dan lain-lain), maka hatinya menjadi tenang. Selanjutnya,

ia akan menerima kehadiran Tuhan dalam dirinya. Sejak itulah Tuhan muncul dari

dalam diri anak. Dengan demikian, munculnya Tuhan dalam diri anak bermula dari

faktor luar (bahasa) yang mempengaruhinya dan kemudian diterima oleh anak melalui

pengalamannya (Suyadi, 2010:129).

Perkembangan moral sangat erat kaitannya dengan budi pekerti, sikap sopan

santun, dan kemauan dalam melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.

Moral adalah ukuran baik buruknya seseorang sebagai pribadi, masyarakat maupun

23

warga negara. Sedangkan pendidikan moral adalah suatu proses pendekatan yang

digunakan secara komprehensif untuk menjadikan anak bermoral (Suryana, 2016:50).

Dengan adanya nilai-nilai moral yang tertanam dari keluarga, diajarkan di sekolah oleh

guru dan masyarakat diharapkan setiap anak dapat memparaktikkan nilai moral dalam

totalitas kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Modal nilai moral yang sudah ada

pada anak memudahkan anak untuk mewujudkan kehidupan bersama dalam

mewujudkan masyarakat yang ideal.

Hubungan akhlak dengan moral tidak dapat dipisahkan, moral adalah keadaan

batin yang menentukan perilaku manusia dalam bersikap, bertingkah laku dan

perbuatannya. Dalam agama Islam, moral dikenal dengan akhlaq al karimah, yaitu

kesopanan yang tinggi dan keyakinan terhadap baik dan buruk, pantas dan tidak pantas

yang tergambar dalam perbuatan lahir manusia (Inawati, 2017). Sikap dan perbuatan

manusia diharapkan sesuai dengan nilai agama dan norma masyarakat. Nilai agama

dan akhlak (moral) sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa.

Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa hakikat perkembangan agama

dan moral anak usia dini dimulai dari munculnya Tuhan dalam diri anak dan diikuti

dengan sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan ajaran agamanya. Anak memiliki

rasa beragama melalui perkembangan bahasa dari orang disekelilingnya. Agama dan

moral erat kaitannya dengan budi pekerti seorang anak, sikap sopan santun dan

kemauan dalam melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Kaitan

dalam penelitian ini adalah rasa beragama anak dimulai dari lingkungan, oleh karena

itu stimulasi lingkungan sangat dibutuhkan anak untuk menumbuhkan rasa beragama

mereka dari usia dini.

24

c. Tahapan Perkembangan Agama dan Moral Anak Usia Dini

Menurut Harms (Akbar, 2019:55) membagi tahapan perkembangan agama

pada anak menjadi tiga, yaitu:

1. Tahap fairytale (tingkat dongeng)

Tahap ini dialami anak usia 3-6 tahun. Pada tahapan ini anak membangun konsep

ketuhanan berdasarkan khayalannya, misalnya mengenl Tuhan sebagai raksasa,

hantu, malaikat bersayap, dan sebagainya.

2. Tahap realistis (tingkat kenyataan)

Tahap ini dialami anak usia 7-12 tahun. Pada tahapan ini anak lebih cendrung

mengenal agama dengan lebih konkret. Tuhan dan malaikat bagi anak adalah sosok

penampakan yang nyata, bagaikan manusia yang memberikan pengaruh besar bagi

kehidupan di bumi. Konsep ini dapat timbul dari pengajaran agama, pengalaman

dan dari orang dewasa lainnya.

3. Tahap individualistik (tingkat individu)

Pada tahap ini, anak sudah mulai menentukan pilihan terhadap suatu model agama

tertentu. Tahap ini dialami oleh anak usia 13-18 tahun yang terbagi atas dua

golongan. (a) konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif yang didapat

anak dari lingkungan sekitar, sehingga dipengaruhi oleh sebagian kecil fantasi. (b)

konsep ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang

bersifat personal (perorangan) yang didapat dari pemikiran pribadi berdasarkan

pengalaman yang didapat anak.

25

David Elkind mengembangkan teori Piaget ke dalam pola perkembangan

keagamaan pada anak. Elkind (Akbar, 2019:55) empat kebutuhan mental yang

muncul ketika anak tumbuh dewasa, yaitu:

1. Pencarian untuk konservasi, anak menganggap bahwa hidup ini adalah abadi.

2. Tahap pencarian representasi, tahap ini dimulai saat anak prasekolah. Hal

terpenting dalam tahap ini adalah gambaran perkembangan mental dan bahasa.

3. Pencarian relasi, pada tahap ini anak telah memiliki kematangan mental

sehingga ia dapat merasakan hubungan dengan Tuhan.

4. Pencarian tentang pemahaman, pada tahap ini anak menyerap jalinan

persahabatan dan kemampuan berteori telah berkembang.

Menurut Piaget dalam teori perkembangan moral menyimpulkan bahwa

anak melewati dua tahap yang berbeda dalam cara mereka berfikir tentang moralitas

(Akbar, 2019:60; Santrock, 2007:117) yaitu:

1. Moralitas Heteronom (dari usia 2 – 7 tahun)

Pada tahap ini anak belum dapat menalar atau menilai suatu aturan yang

berlaku di sekitar anak, sehingga anak masih memandang kaku pada aturan

tersebut. Anak memandang perilaku benar dan salah bukan berdasarkan

motivasi dari dalam dirinya, melainkan dari konsekuensi yang didapatnya.

2. Moralitas Otonom (setelah usia 7 tahun)

Pada tahap ini anak mulai mengalami tahap moralitas otonomi.

Memandang suatu aturan tidak kaku lagi dan berkembang secara bertahap

seiring dengan perkembangan kognitifnya, yaitu berpikir abstrak, memahami

dan memecahkan masalah berdasarkan asumsi, dalil, atau teori tertentu.

26

Misalnya, jika pada tahap sebelumnya anak menganggap berbohong adalah

salah dalam segala situasi, maka pada tahap ini anak memandang berbohong

tidak selamanya salah. Perbuatan ini dianggap benar jika terdapat alasan yang

dapat diterima.

Menurut Kohlberg (Akbar, 2019:61; Crain, 2014:231; Santrock, 2007:120),

mengembangkan teori yang dikemukakan oleh Piaget menjadi tiga tahapan

perkembangan moral pada anak yaitu:

1. Tahap moralitas pra-konvensional

Tahap ini dialami oleh anak usia 4-9 tahun. Ciri khas yang terdapat pada tahap ini

adalah anak tunduk pada aturan yang berlaku di lingkungan. Perilaku pada diri anak

dikendalikan oleh akibat yang muncul pada perilaku tersebut, yaitu hadiah dan

hukuman. Contoh: anak tidak mau memukul adiknya karena takut dimarahi orang

tuanya, serta anak berperilaku baik agar mendapat hadiah atau pujian dari orang

tua.

2. Tahap konvensional

Tahap ini dialami oleh anak usia 9-13 tahun. Pada tahap ini perilaku anak timbul

dari kesepakatan yang dibuat bersama lingkungan anak sebagai bentuk penyesuaian

diri. Contoh: anak melakukan perbuatan tertentu karena ingin diterima atau bermain

bersama teman sebayanya.

3. Tahap pascakonvensional

Tahap ini dialami oleh anak di atas usia 13 tahun yang telah mampu mengendalikan

perilakunya dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dipegangnya. Anak

memutuskan suatu tindakan moral alternatif dan menjajaki pilihan-pilihan. Pada

27

tahap ini, anak diharapkan mampu membentuk keyakinannya sendiri dan bisa

menerima jika ada orang lain yang memiliki keyakinan yang berbeda yang tidak

mudah untuk diubah atau dipengaruhi oleh orang lain.

Beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya setiap

tahapan perkembangan agama dan moral pada anak usia dini memiliki tahapan yang

disesuaikan dengan usia dan karakteristik perkembangan anak usia dini.

Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat memiliki pengaruh yang besar

terhadap setiap tahapan yang dialami oleh anak.

d. Karakteristik Perkembangan Agama dan Moral Anak Usia Dini

Keberagamaan pada anak usia dini berkembang melalui pengalaman dari

lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Pengalaman anak yang bersifat

keagaaman akan membawa pada sikap, perilaku dan tindakan yang sesuai dengan

ajaran agamanya. Sifat dan bentuk pemahaman keagamaan pada anak usia dini,

Mansur (Akbar, 2019:56) adalah sebagai berikut:

1. Tidak mendalam (Unreflective), ajaran agama yang diterima dari lingkungan akan

dipahami anak sekedarnya. Artinya anak akan merasa puas dengan keterangan yang

diberikan meskipun kurang masuk akal.

2. Egosentris, seiring dengan pertumbuhan yang dialami, egosentris pada anak akan

semakin meningkat sejalan dengan pengalaman yang diperolehnya. Sehingga,

konsep keagamaan dipahami anak berdasarkan kesenangan pribadinya dan

menonjolkan kepentingan dirinya.

3. Antrophomorphis, artinya anak memahami konsep ketuhanan seperti manusia. Bagi

anak, Tuhan adalah sosok yang memiliki wajah, hidung, tangan dan sebagainya.

28

4. Verbal dan ritualis, perkembangan keberagamaan anak muncul seiring dengan

pembiasaaan yang diberikan kepadanya. Kehidupan beragama pada anak muncul

dengan cara menghapal kalimat-kalimat keagamaan serta tuntutan perilaku dari

lingkungan.

5. Imitatif, anak melakukan kegiatan keagamaan berdasarkan hal-hal yang dilihatnya

di lingkungan kemudian ditiru oleh anak. Contoh ketika orangtua melakukan ibadah

anak menirukan gerakan ibadah tersebut sesuai dengan yang dilihatnya. Sifat peniru

pada anak menjadi pengaruh yang besar dalam pendidikan keagamaan pada anak

usia dini.

6. Rasa heran, sifat keagamaan pada anak adalah rasa heran. Artinya anak merasa

kagum pada keindahan sesuatu. Rasa kagum pada anak adalah rasa kagum pada

keindahan yang bersifat lahiriah. Sehingga untuk mengembangkan nilai keagamaan

pada anak, dapat disalurkan melalui berbagai cara yang menimbulkan rasa kagum

pada diri anak, seperti bercerita.

Selain itu, rasa keberagamaan pada anak dapat timbul melalui dua hal (Akbar,

2019:57), yaitu:

1. Rasa ketergantungan, manusia memiliki empat keinginan sejak dilahirkan, yaitu

keinginan perlindungan, pengalaman baru, mendapatkan tanggapan dan dikenal.

Melalui keinginan inilah manusia hidup dalam ketergantungan. Melalui

pengalaman yang diperoleh dari kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan

tersebut, akan terbentuk rasa keagamaan pada diri anak.

29

2. Insting keagamaan, bayi yang baru lahir telah memiliki insting keagamaan. Namun

insting tersebut belum berfungsi dengan matang karena beberapa fungsi kejiwaan

yang menopang insting tersebut belum sempurna.

Robert W.Crapps (Akbar, 2019:58) menjelaskan proses pendidikan agama

pada anak usia dini terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Pembinaan pribadi anak

Orangtua merupakan pembina pribadi pertama dalam hidup anak. Melalui

proses pendidikan orangtua maupun guru dapat melakukan pembinaan pada

anak baik melalui pendidikan formal maupun informal. Setiap pengalaman yang

diperoleh anak melalui penglihatan, pendengaran, maupun perilaku yang

diperoleh anak, akan membentuk pembinaan pribadi pada anak.

2. Perkembangan agama pada anak

Pengalaman keagaaman pada anak akan membentuk sikap dan perilaku

yang sesuai dengan agama yang dianutnya. Pendidikan agama bagi anak usia

dini sebaiknya ditanamkan bersamaan dengan pertumbuhan pribadinya, bahkan

sejak anak berada dalam kandungan.

3. Pembiasaaan pendidikan pada anak

Dalam menanamkan sikap terpuji pada anak, tidak cukup bila hanya

penjelasan saja, melainkan perlu adanya proses pembiasaan. Pembiasaan dan

latihan akan membawa anak pada perilaku yang baik. Agama akan lebih

memiliki arti pada anak apabila dijelaskan dengan cara yang lebih dekat pada

anak dalam kehidupan sehari-hari dan lebih konkret.

30

e. Capaian Perkembangan Agama dan Moral Anak Usia 5-6 Tahun

Sesuai Peraturan Menteri dan Kebudayaan No.146 Tahun 2014, bahwa

perkembangan agama dan moral adalah salah satu aspek perkembangan yang perlu

distimulasi sejak usia dini. Pengembangan nilai agama dan moral mencakup

perwujudan suasana belajar untuk berkembangnya perilaku baik yang bersumber dari

nilai agama dan moral, serta bersumber dari kehidupan bermasyarakat. Capaian

perkembangan nilai agama dan moral anak usia 5 – 6 tahun dalam Peraturan Menteri

dan Kebudayaan No.146 Tahun 2014 (KD 3.1dan 3.2) yaitu mengenal kegiatan

beribadah sehari – hari dan mengenal perilaku baik sebagai cerminan akhlak mulia.

KD 3.1 dan 3.2 merujuk pada Kompetensi Inti (KI-3) kompetensi inti pengetahuan.

Diawali dari pengetahuan anak tentang agama dan moral, yang memutuskan untuk

anak bertindak dan berperilaku baik atau buruk berdasarkan pengetahuan dan

pengalamannya. Hal ini sesuai dengan tahapan perkembangan moral dan agama yang

memiliki tiga komponen yaitu: komponen kognitif (knowing), afektif (sikap moral),

dan tindakan moral (action) (Wiyani, 2013).

2. Teori Belajar Behaviorisme

Teori belajar behaviorisme adalah teori belajar yang menekankan pada peran

lingkungan yang dapat diramalkan dalam memunculkan perilaku yang teramati

(Papalia, Olds, & Feldman, 2009:48). Pandangan behaviorist memandang bahwa

lingkungan sangat berpengaruh. Mereka percaya bahwa manusia di semua umur

belajar mengenai dunia dengan cara sama, dengan bereaksi terhadap kondisi atau

aspek dari lingkungan mereka yang dianggap menyenangkan, menyakitkan atau

31

mengancam. Penelitian perilaku berfokus pada belajar mengasosiasikan (associative

learning), dimana hubungan mental dibentuk antara dua rangsangan atau peristiwa

sensoris. Dua bentuk belajar mengasosiasikan adalah classical conditioning dan

operant conditioning.

Classical conditioning, Psikolog Rusia bernama Ivan Pavlov (Papalia & Ruth

Duskin Feldman, 2015:33) membuat berbagai eksprerimen perihal anjing belajar

mengeluarkan air liurnya saat mendengar suara bel berbunyi sebagai tanda waktu

makan. Eksperimen ini menjadi dasar untuk pengkondisian klasikal (classical

conditioning). Pengkondisian klasikal yakni respon (dalam kasus ini, air liur) terhadap

stimulus (suara bel) membangkitkan (setelah dilakukan berulang kali) asosiasi dengan

stimulus yang normalnya memperoleh respon (makanan)

Behaviorist dari Amerika, John B.Watson (1878-1959), melakukan sejenis

teori respons stimulasi kepada anak, menyatakan bahwa dia dapat mencetak semua

bayi dengan cara yang dia pilih. Dia menulis pengaruh generasi dari orangtua untuk

melaksanakan prinsip teori belajar dalam pengasuhan anak. Di satu demonstrasi awal

dan yang paling terkenal dari pengkondisian klasikal pada manusia, yaitu dia melatih

bayi 11 bulan yang dikenal sebagai “Albert kecil” untuk takut pada objek putih yang

berbulu. Albert terpapar suara keras ketika mulai mengguncang seekor tikus, suara

ramai menakutkan dan membuat Albert menangis. Setelah berulang memasangkan

tikus dengan suara ramai yang keras, Albert merengek dengan ketakutan ketika

melihat seekor tikus. Albert juga mulai menunjukkan respons takut pada kelinci putih

dan kucing. Pengkondisian klasikal terjadi sepanjang kehidupan, suka dan tidak suka

terhadap makanan tertentu mungkin sebagai hasil dari belajar pengkondisian. Respon

32

takut terhadap objek seperti mobil atau anjing mungkin merupakan hasil dari suatu

kecelakaan atau pengalaman buruk (Papalia & Ruth Duskin Feldman, 2015:33).

Operant conditioning, belajar berdasarkan asosiasi perilaku dengan

konsekuensinya. Seorang psikolog dari Amerika Serikat bermana B.F Skinner,

merumuskan prinsip-prinsip operant conditioning, lebih banyak melakukan penelitian

dengan menggunakan tikus dan merpati. Skinner mengatakan bahwa prinsip yang

sama berlaku bagi manusia. Ia menemukan bahwa suatu organisme akan cendrung

mengulang sebuah respons yang telah diperkuat (reinforced) dengan akibat-akibat

yang menarik dan akan menekan sebuah respons yang telah dihukum. Penguatan

(reinforcement) adalah proses ketika perilaku diperkuat, meningkatkan kecendrungan

bahwa perilaku akan diulang. Penguatan bisa positif atau negatif, penguatan positif

terdiri atas pemberian ganjaran seperti makanan, bonus, atau pujian. Penguatan negatif

terkadang hampir sama dengan hukuman. Hukuman (punishment) dalam operant

conditioning, suatu proses melemahkan dan menurunkan pengulangan suatu perilaku

(Papalia & Ruth Duskin Feldman, 2015:34).

Penguatan paling efektif ketika dengan segera mengiringi suatu perilaku, jika

tidak lagi mendapatkan penguatan, pada akhirnya suatu respon anak memudar, yaitu

kembali ke tingkat semula. Modifikasi perilaku atau terapi perilaku merupakan suatu

bentuk operant conditioning yang digunakan untuk menghilangkan perilaku yang

tidak diinginkan atau mengajari perilaku positif secara bertahap. Hal tersebut terutama

efektif diantara orang-orang kebutuhan khusus, gangguan mental, atau emosional.

Skinner memiliki penerapan yang terbatas, karena fokusnya pada prinsip-prinsip

33

perkembangan yang luas, dan tidak memadai untuk menangani perbedaan dalam

perilaku (Papalia et al., 2009:50).

Berdasarkan penjelasan di atas, teori yang digunakan dalam penelitian ini

adalah teori belajar behaviorisme. Teori belajar behaviorisme berpusat pada

lingkungan, peran lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku yang muncul

pada anak. Pemberian stimulus-respon yang sering dilakukan atau berulang-ulang

pada lingkungan sekitar anak membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna.

Pemberian stimulus berupa media buku cerita bergambar yang memiliki ukuran besar,

warna-warna menarik, ilustrasi gambar cerita, dan memiliki bahasa Minang, membuat

anak merasa tertarik dan merespon dengan baik. Penerimaan respon yang baik

terhadap buku cerita bergambar membuat anak antusias mengikuti alur cerita sampai

selesai, dan menyimpan informasi penting atau pesan moral dalam cerita dapat

tersampaikan dengan baik dan melekat pada pengetahuan anak.

3. Media Pembelajaran

a. Pengertian Media Pembelajaran

Kata “media” berasal dari bahasa Latin “medius” dan merupakan bentuk jamak

dari kata “medium” yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media

merupakan sesuatu yang bersifat meyakinkan pesan dan dapat merangsang pikiran,

perasaan, dan kemauan anak sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada

diri anak tersebut. Media merupakan bagian yang melekat atau tidak terpisahkan dari

proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Secara garis besar media

adalah alat bantu sebagai penyalur pesan atau penyampaian informasi seperti manusia,

34

materi, buku teks, lingkungan sekolah atau kejadian yang membangun kondisi

membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap guna

mencapai tujuan pembelajaran (Aqib, 2013;50 Arsyad, 2013:3; Djamarah, 2010:121).

Dengan adanya media, pembelajaran akan lebih menarik, interaktif, dan

menyenangkan sehingga secara tidak langsung kualitas pembelajaran pun dapat

ditingkatkan ke arah yang lebih baik (Fadlillah, 2014:205).

Secara lebih khusus, pengertian media dalam proses belajar mengajar diartikan

sebagai alat-alat grafis, fotografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan

menyusun kembali informasi visual atau verbal. Batasan lain telah dikemukakan pula

oleh para ahli dan lembaga, diantaranya adalah berikut: (a) AECT (Association of

Education and Communication Technology) memberikan batasan tentang media

sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau

informasi. (b) Henich dan kawan-kawan dalam mengemukakan istilah medium

sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima. Televisi,

film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan-bahan cetakan,

dan sejenisnya adalah media. Apabila media itu membawa pesan-pesan atau informasi

yang bertujuan pembelajaran atau mengandung maksud pembelajaran maka media itu

disebut media pembelajaran.

Media pembelajaran (Kustandi, Cecep dan Bambang, 2011:9) adalah alat yang

dapat membantu proses belajar mengajar dan berfungsi untuk memperjelas makna

pesan yang disampaikan, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran lebih baik dan

sempurna. Media pembelajaran merupakan suatu bagian yang integral dari suatu

proses pendidikan di sekolah. Media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik

35

digunakan untuk menyampaikan isi materi pembelajaran, sebagai sumber belajar yang

mengandung materi instruksional di lingkungan anak yang memotivasi anak untuk

belajar.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran

adalah alat yang dapat membantu proses belajar mengajar, berfungsi untuk

memperjelas makna pesan yang disampaikan, dan bertujuan untuk mengefektifkan dan

mengefisien proses pembelajaran itu sendiri, sehingga dapat mencapai tujuan

pembelajaran dengan lebih baik dan sempurna.

b. Jenis Media Pembelajaran

Menurut (Djamarah, 2010:124-126) membagi jenis-jenis media dilihat dari

jenisnya: (a) Media auditif adalah media yang hanya mengandalkan kemampuan suara

saja, seperti: radio, casette recoder. (b) Media visual adalah media yang hanya

mengandalkan indra penglihatan, menampilkan gambar seperti foto, gambar, lukisan

dan cetakan. (c) Media audiovisual adalah media yang mempunyai unsur suara dan

unsur gambar.

Menurut (Wati, 2016:5) jenis media pembelajaran dibagi menjadi, (1) Media

visual, yaitu memiliki beberapa unsur berupa garis, bentuk, warna, dapat ditampilkan

dalam dua bentuk, menampilkan gambar diam atau symbol bergerak. (2) Media audio

visual, media yang dapat menampilkan unsur gambar dan suara secara bersamaan pada

saat mengkomunikasikan pesan atau informasi. (3) Komputer, sebuah perangkat yang

memiliki aplikasi-aplikasi yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran,

menggunakan software atau perangkat lunak sebagai media untuk berinteraksi dalam

proses pembelajaran (4) Microsoft power point, (5) Internet, (6) Multimedia.

36

Media dilihat dari daya liputnya, dibagi menjadi: (a) Media dengan daya liput

luas dan serentak, tidak terbatas oleh tempat dan ruang serta dapat menjangkau jumlah

anak didik yang banyak dalam waktu yang sama. Contoh: radio dan televisi. (b) Media

dengan daya liput yang terbatas oleh ruang dan tempat, membutuhkan ruang dan

tempat yang khusus seperti film, sound slide, film rangkai, yang harus menggunakan

tempat yang tertutup dan gelap. (c) Media untuk pengajaran indidual, penggunaannya

untuk seorang diri. Contoh: modul berprogram dan pengajaran melalui computer.

Media dilihat dari bahan pembuatannya, dibagi menjadi: (a) Media sederhana,

bahan dasarnya mudah diperoleh, harganya murah dan mudah digunakan. (b) Media

kompleks, bahan dan alat pembuatannya sulit diperoleh serta mahal harganya, sulit

membuatnya, dan penggunaannya memerlukan keterampilan yang memadai. Jenis-

jenis media pendidikan (Eliyawati, 2005:113-117) membagi ke dalam 3 bagian yaitu:

(1) media visual, adalah media yang hanya dapat dilihat. Jenis media visual ini paling

sering digunakan guru pada lembaga pendidikan anak usia dini untuk membantu

menyampaikan isi dari tema pendidikan. (2) media audio, adalah media yang

mengandung pesan dalam bentuk auditif (hanya dapat didengar) yang dapat

merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan anak untuk mempelajari isi

tema, melatih yang berhubungan dengan aspek keterampilan mendengarkan. (3) media

audio-visual, adalah kombinasi dari media audia dan visual. Dengan menggunakan

media ini maka penyajian pesan sesuai dengan tema kegiatan pada anak akan semakin

lengkap dan optimal.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis

media pendidikan terbagi 3 yaitu, media visual (dilihat), media audio (didengar), dan

37

media audiovisual (dilihat dan didengar). Penggunaan masing-masing media

tergantung pada kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran

agar mendapatkan hasil yang optimal.

c. Fungsi Media Pembelajaran

Media mempunyai fungsi (Djamarah, 2010:122) sebagai alat bantu dalam

proses belajar mengajar, untuk membelajarkan anak didik demi tercapainya tujuan

pengajaran. Hal ini dilandasi bahwa proses belajar mengajar dengan bantuan media

mempertinggi kegiatan belajar anak didik dalam tengggang waktu yang cukup lama.

Itu berarti kegiatan belajar anak didik dengan bantuan media akan menghasilkan

proses dan hasil belajar yang lebih baik dari pada tanpa bantuan media.

Fungsi media pembelajaran Levie dan Lentz (Kustandi, Cecep dan Bambang, 2011:21)

khususnya media visual dibagi menjadi: (1) Fungsi atensi yaitu menarik dan

mengarahkan perhatian anak untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan

dengan makna visual. (2) Fungsi afektif dilihat dari tingkat kenikmatan anak ketika

belajar (atau membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual dapat

menggugah emosi dan sikap siswa. (3) Fungsi kognitif media visual terlihat dari

temuan penelitian yang mengungkapkan bahwa lambang visual atau gambar

memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau

pesan yang terkandung dalam gambar. (4) Fungsi kompensatoris, yaitu untuk

mengakomodasi siswa yang lemah dan lambat menerima serta memahami isi pelajaran

yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal.

Menurut Kemp dan Dayton (Kustandi, Cecep dan Bambang, 2011:23) media

pembelajaran memiliki tiga fungsi utama apabila media itu digunakan perorangan,

38

kelompok, atau kelompok yang besar jumlahnya, yaitu dalam hal: (1) Memotivasi

minat atau tindakan, dapat direalisasikan dengan teknik drama atau hiburan. (2)

Menyajikan informasi, (3) Memberikan instruksi, berfungsi sebagai pengantar,

ringkasan laporan, atau pengetahuan latar belakang. Penyajian dapat berbentuk

hiburan, drama atau teknik motivasi. Sejalan dengan (Rahmawati & Rukiyati, 2018)

bahwa stimulasi melalui media yang tepat sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan

anak dapat meningkatkan kemampuan kognitif anak.

Secara perkembangan bahwa anak-anak mengalami kesulitan dalam

memusatkan perhatian mereka pada konten yang menonjol secara perseptual, dengan

media dapat menghubungkan pengetahuan mereka dengan konten yang ada di dalam

media (Piotrowski & Valkenburg, 2015)

d. Prinsip Media Pembelajaran

Prinsip penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan

pertimbangan guru diantaranya: a) pemilihan media pembelajaran, b) objektifitas

media pembelajaran, c) memahami kelebihan setiap media pembelajaran, d)

memahami karakteristik setiap media pembelajaran, e) faktor yang mempengaruhi

penggunaan media pembelajaran. Menurut Sudirman (Djamarah, 2010:126)

mengemukakan beberapa prinsip dalam pemilihan media pengajaran yaitu: (a) tujuan

pemilihan, memilih media yang akan digunakan harus berdasarkan maksud dan tujuan

yang jelas, (b) karakteristik media pengajaran, setiap media mempunyai karakteristik

tertentu, baik dilihat dari segi keampuhannya, cara pembuatannya, maupun cara

penggunaannya, (c) alternatif pilihan, guru bisa menentukan pilihan media mana yang

akan digunakan apabila terdapat media yang dapat diperbandingkan.

39

Walker dan Hess (Arsyad, 2013:219) memberikan beberapa kriteria dalam

penentuan media pembelajaran berdasarkan kualitas, yaitu:

1. Kualitas isi dan tujuan, yaitu antara media pembelajaran yang dibuat atau dipakai

dapat memenuhi isi dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Berisikan

ketepatan, kepentingan, kelengkapan, keseimbangan, minat/perhatian, kesesuaian

dengan situasi anak.

2. Kualitas instruksional, yaitu cara penyajian atau materi yang ada dalam media

pembelajaran berisikan tentang memberikan kesempatan belajar, memberikan

bantuan untuk belajar, memberikan motivasi, fleksibilitas instruksionalnya,

mempunyai hubungan dengan program pembelajaran lainnya, memberikan dampak

bagi anak, serta membawa dampak bagi guru dan pembelajarannya.

3. Kualitas teknis/ kelayakan tampilan, yaitu terkait dengan tampilan fisik dan

ketahanan media pembelajaran yang akan digunakan. Berisikan tentang

keterbacaan teks, mudah digunakan, kualitas tampilan, dan sebagainya.

4. Buku Cerita Bergambar

a. Pengertian Buku Cerita Bergambar

Buku merupakan media yang sangat berperan penting dalam dunia pendidikan,

yakni meningkatkan peserta didik dalam berbagai aspek yang positif. Sebagaimana

pepatah mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia. Hal tersebut dapat diartikan

bahwa buku merupakan salah satu jalan untuk menentukan kemajuan dunia. Buku

yang diberikan kepada peserta didik harus sesuai dengan tingkat pendidikan (Fatimah,

2017).

40

Cerita merupakan wahana yang ampuh untuk mewujudkan pertemuan antara

emosi, pemahaman dan mental. Keasyikan dalam menyelami substansi cerita, apalagi

pencerita dapat menyelami materinya sehingga memasuki dunia minat anak tersebut,

dan menghasilkan penghayatan pengalaman yang paling mendalam. Terjadi

pertemuan tersebut merupakan peluang untuk menginkorporasikan segi-segi

pedagogis dalam ceritera tersebut, sehingga tanpa disadari cerita tersebut

mempengaruhi perkembangan pribadinya, membentuk sipak-sikap moral dan

keteladanan (Semiawan, 2008:34).

Horatius (Musfiroh, 2008:31) cerita adalah dulce et utile yang artinya

menyenangkan dan bermanfaat, anak senang menjadi penikmat cerita, karena

memberikan sisi kehidupan manusia, pengalaman hidup manusia dan bahan lainnya.

Cerita adalah karangan yang mengisahkan sesuatu benar-benar terjadi ataupun hayalan

bertujuan menghibur serta memberikan informasi kepada penikmatnya dalam

bentuknya bisa prosa atau puisi (Eliza, 2017). Cerita bergambar merupakan suatu

bahan ajar pembelajaran yang dapat menggambarkan atau mengintegrasikan

kehidupan sehari-hari anak. Dan dapat menjadi bahan ajar yang menyenangkan bagi

guru dan orang tua (Marlina: 2017).

Buku bergambar adalah buku bacaan cerita anak yang di dalamnya terdapat

gambar-gambarnya. Buku bergambar Huck (Nurgiyantoro, 2016:153) menunjuk pada

buku yang menyampaikan pesan lewat dua cara, yaitu lewat ilustrasi dan tulisan.

Ilustrasi (gambar) dan tulisan yang sama-sama dimaksudkan untuk menyampaikan

pesan tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan secara bersama dan saling mendukung

untuk mengungkapkan pesan. Jadi keduanya diikat oleh tuntutan untuk menyampaikan

41

pesan secara lebih baik dan kuat lewat dua cara yang berbeda, tetapi saling

menguatkan.

Sejalan dengan pendapat di atas, Mitchell (Nurgiyantoro, 2016:153) buku

cerita bergambar adalah buku yang menampilkan gambar dan teks, keduanya saling

berhubungan. Baik gambar maupun teks secara sendiri belum cukup untuk

mengungkapkan cerita secara lebih mengesankan, dan keduanya saling membutuhkan

untuk saling mengisi dan melengkapi. Dengan demikian pembacaan buku cerita

bergambar akan terasa lebih lengkap dan kongkret jika dilakukan dengan melihat

gambar dan membaca teks narasi lewat huruf-huruf, dan hubungan antara gambar dan

tulisan harus ada kesesuaian antara gambar-gambar cerita dengan alur teks dan tokoh

yang dikisahkan.

Lukens (Nurgiyantoro, 2016:154) menguatkan bahwa ilustrasi gambar dan

tulisan merupakan dua media yang berbeda, tetapi dalam buku cerita bergambar

keduanya secara bersama membentuk perpaduan. Gambar-gambar akan membuat

tulisan verbal menjadi lebih kelihatan, kongkret, dan sekaligus memperkaya makna

teks. Dalam buku cerita bergambar, gambar yang ditampilkan harus mencerminkan

alur dan karakter tokoh dan setiap ilustrasi tokoh dan alur cerita yang ditunjukkan

mengandung aspek-aspek latar yang mendukungnya Huck (Nurgiyantoro, 2016:154).

Sejalan dengan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa buku cerita

bergambar adalah buku yang didalamnya terdapat gambar dan tulisan yang saling

mewakilkan isi dalam cerita buku bergambar tersebut. Gambar cerita tersebut harus

menarik dan komunikatif. Kaitan dalam penelitian ini juga membuat ilustrasi gambar

yang memiliki tulisan di bawah gambar.

42

b. Jenis-jenis Buku Bergambar

Buku bergambar (picture book) dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis,

Rothlei dan Meinbach, 1991 dalam (Santoso, 2008) yaitu:

1. Buku abjad (alphabet book), dalam buku alphabet setiap huruf alphabet dikaitkan

dengan ilustrasi objek yang diawali dengan huruf. Ilustrasi harus jelas berkaitan

dengan huruf-huruf kunci dan gambar objek serta. Buku alfabet berfungsi untuk

membantu anak, menstimulasi, dan membantu pengembangan kosakata.

2. Buku mainan (toys book), menggunakan cara penyajian isi yang tidak biasa. Buku

mainan terdiri dari buku kartu papan, buku pakaian, dan buku pipet tangan. Buku

mainan ini mengarahkan anak-anak untuk memahami teks, dapat mengeksplorasi

konsep nomor, kata bersajak dan alur cerita.

3. Buku konsep (concept books), adalah buku yang menyajikan konsep dengan

menggunakan satu atau lebih contoh untuk membantu pemahaman konsep yang

sedang dikembangkan. Konsep-konsep ditekankan pengajarannya melalui alur

cerita atau dijelaskan secara repetisi dan perbandingan.

4. Buku bergambar tanpa kata (wordless picture books), buku untuk menyajikan cerita

melalui ilustrasi gambar saja. Buku bergambar tanpa kata terdiri dari berbagai

bentuk, seperti buku humor, buku informasi, atau buku fiksi. Mempunyai beberapa

keunggulan misalnya untuk mengembangkan bahasa dan tulisan lisan secara

produktif yang mengikuti gambar.

5. Buku cerita bergambar, memuat pesan melalui ilustrasi dan teks tertulis. Kedua

elemen ini merupakan elemen penting yang memuat berbagai tema

43

Kesimpulannya adalah dari beberapa jenis buku bergambar masing-masingnya

memiliki kelebihan dan kekurangan. Semua tergantung kepada tujuan yang ingin

dicapai. Pada penelitian ini jenis buku bergambar yang akan digunakan adalah buku

cerita bergambar yang memiliki ilustrasi gambar dan tulisan, tulisan yang memakai

dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Minang. Buku cerita bergambar yang

memiliki tulisan, gambar, dan warna yang menarik akan membuat anak menjadi lebih

antusias dalam mendengarkan cerita yang ada dalam buku tersebut.

c. Karakteristik Buku Cerita Bergambar

Buku cerita bergambar untuk anak memiliki khas tersendiri, memiliki bahasa

dan ilustrasi yang terintegrasi dengan baik. Diharapkan anak mampu untuk

mengartikan atau menginterpretasikan gambar dengan teks yang dibacakan oleh orang

dewasa. Lukens (Ambarwati, 2016) menjelaskan tulisan dan gambar dalam buku cerita

bergambar memiliki hubungan yang sangat erat menjelaskan secara verbal tentang apa

yang mereka lihat dan memperluas makna yang membuat anak mampu untuk

berimajinasi dengan suguhan gambar yang diberikan.

Menurut Lukens (Ambarwati, 2016) delapan elemen sastra buku bergambar

yang perlu diperhatikan adalah karakter, plot, tema, latar, sudut pandang, gaya, ritme

dan tone. Hal utama yang perlu diperhatikan dalam penggunaan teks pada buku cerita

bergambar adalah pemilihan gambar yang dapat mengaitkan kata dalam teks.

Karakteristik buku cerita yang sesuai bagi anak (Rahayu, 2017:89) diantaranya: (1)

bacaannya disukai, (2) topik menarik perhatian anak, (3) disesuaikan dengan tingkat

perkembangan anak, (4) menghubungkan pengalaman dan ketertarikan anak, (5)

penulisan cerita sangat bersahabat dan menjadi kesukaan anak, (6) ilustrasi cerita

44

sangat relevan pada latar belakang keluarga dan budaya anak, yakni ilustarsi cerita

memperkenalkan pada anak tentang latar belakang kebudayaan dan keluarga serta

pengalaman baru, (7) isi cerita merupakan kesukaan anak yang selalu ingin didengar,

(8) bahasa dan gambar mampu memberikan informasi serta ide baru bagi anak.

Menurut (Nurgiyantoro, 2016:156-157) ada beberapa kriteria dalam buku

cerita bergambar diantaranya:

1. Posisi dan format gambar

Letak gambar pada halaman-halaman dalam buku pada umumnya bervariasi,

misalnya ada di atas teks, di bawah teks, di sela-sela teks atau diapit oleh teks.

Penataan gambar-gambar itu memperhitungkan aspek keindahan tampilan, menarik

perhatian, enak dipandang, dan secara mudah mata anak beralih dari teks ke gambar

dan dari gambar ke teks. Pada buku cerita bergambar untuk anak, penampilan

gambar biasanya lebih mencolok, lebih besar, lebih realistik, dan menempati

separuh halaman atas.

2. Bahasa buku bergambar

Kata – kata dan teks dalam buku cerita bergambar sama pentingnya dengan

gambar ilustrasi. Membantu anak mengembangkan sensitivitas awal ke imajinasi

dalam penggunaan bahasa. Bahasa untuk bacaan anak harus sederhana. Hal inilah

letak pentingnya gambar ilustrasi untuk menutupi kekurangan anak dalam hal

bahasa.

3. Isi buku bergambar

Tema dan persoalan yang dikisahkan dalam buku cerita bergambar dapat berupa

persoalan kehidupan manusia. Berbagai persoalan kehidupan yang diangkat

45

menjadi cerita anak harus berangkat dari kacamata anak sehingga isi cerita tersebut

komunikatif bagi pembaca atau pendengar anak-anak.

Ada beberapa karakteristik buku cerita bergambar untuk anak usia dini,

karakteristik tersebut menjadi pembeda antara buku cerita orang dewasa dan buku

cerita anak-anak. Karakteristik seperti posisi dan format gambar, bahasa buku cerita

bergambar dan isi buku cerita bergambar menjadi daya tarik bagi anak untuk mau

melihat dan menjadi titik fokus anak ketika buku cerita tersebut dibacakan.

d. Elemen-elemen Sastra dalam Buku Cerita Bergambar untuk Anak

Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bacaan buku cerita

bergambar untuk anak diantaranya (Ambarwati, 2016; Musfiroh, 2008:33-43;

Nurgiyantoro, 2016:68-92) yaitu :

1. Tema, dapat dipahami sebagai sebuah makna yang mengikat keseluruhan unsur

cerita. Tema juga dipahami sebagai gagasan atau ide utama dari sebuah tulisan.

Pengungkapan tema untuk cerita anak usia dini dapat diungkapkan secara langsung

dan cerita yang disuguhkan sebaiknya memiliki tema tunggal.

2. Amanat, ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam

cerita. Amanat untuk cerita anak-anak sebaiknya ditampilkan secara eksplisit baik

dinyatakan melalui para tokoh, maupun oleh penceritanya.

3. Alur, adalah peristiwa naratif yang disusun dalam serangkaian waktu. Alur

merupakan aspek utama yang harus dipertimbangkan dalam menentukan menarik

tidaknya cerita dan memiliki kekuatan untuk mengajak anak secara total untuk

mengikuti cerita. Alur berkaitan dengan isi cerita. dan urutan penyajian cerita. Alur

46

untuk anak usia dini lebih baik menggunakan alur maju yang menggambarkan

cerita secara urut dan runtun.

4. Tokoh, adalah pelaku cerita lewat berbagai aksi yang dilakukan. Penokohan dapat

menunjuk pada tokoh dan perwatakan tokoh. Dalam bacaan cerita anak tokoh dapat

berupa manusia, binatang atau makhluk dan objek lain seperti makhluk halus (peri,

hantu) dan tetumbuhan. Tokoh-tokoh selain manusia biasanya dapat bertingkahlaku

dan berpikir sebagaimana halnya manusia. Mereka adalah personifikasi karakter

manusia. Tokoh cerita yang hadir dapat diidentifikasikan tentang aksi, tingkahlaku,

kata-kata, filosofi, bentuk

5. Sudut pandang, merupakan salah satu sarana cerita. Sudut pandang berbicara

tentang siapa yang menceritakan atau dari kaca mata siapa cerita dikisahkan. Secara

garis besar sudut pandang dikategorikan menjadi dua, yaitu sudut pandang orang

pertama dan sudut pandang orang ketiga. Penggunaan sudut pandang orang ke tiga

memudahkan anak untuk mengidentifikasi, dan memahami cerita, karena mereka

terbantu oleh pencerita yang memberitahu hal-hal yang menyangkut tokoh,

peristiwa dan hal-hal yang melatarbelakanginya.

6. Latar, adalah tempat dimana dan kapan kejadian di dalam cerita berlangsung.

Setting waktu yang tepat sesuai dengan tingkat perkembangan bahasaa anak seperti

besok dan sekarang. Rincian waktu sebaiknya dihindari agar anak tidak terbebani

mengingat detil waktu sehingga melupkan amanat cerita.

7. Sarana Kebahasaan, berisi kata-kata yang sederhana, tepat, mudah diingat anak,

tidak bermakna ganda dan tidak bermakna konotatif. Struktur kalimat terdiri 5-7

47

kata dalam satu kalimat. Kalimat yang panjang biasanya dipecah menjadi beberapa

anak kalimat.

8. Ilustrasi, adalah gambar-gambar yang menyertai cerita dalam buku sastra anak.

Antara tulisan dan ilustrasi gambar saling mengisi dan melengkapi untuk

mendukung makna secara keseluruhan. Ilustrasi buku cerita anak harus menarik

dengan gambar-gambar yang jelas, berwarna-warni, komunikatif, dan ditampilkan

secara variatif pada hampir tiap halaman. Penggunaan warna yang berbeda akan

menciptakan emosional yang baik untuk anak dalam membangkitkan suasana hati

dan membantu penyampaikan pesan yang ingin disampaikan dalam buku cerita

bergambar.

9. Warna, untuk buku cerita bergambar anak-anak lebih menyukai warna-warna cerah

dari pada hitam seperti (kuning, biru, hijau, dan orange) (Treiman & Nicole

Rosales, 2016). Percampuran dari warna-warna yang menarik dan terang membuat

anak menjadi lebih bersemangat dan bisa menjadi titik fokus anak untuk mau

melihat buku cerita bergambar tersebut.

10. Ukuran dan bentuk huruf, dalam studi (Neumann, Summerfield, & David L, 2014)

menunjukkan bahwa pembaca pemula atau anak-anak lebih cendrung dan suka

melihat huruf dan buku yang lebih besar dibanding buku dan ukuran huruf yang

lebih kecil. Penggunaan tulisan untuk disetiap halaman pada buku cerita bergambar

untuk anak, sebaiknya disusun secara horizontal. Hal ini didukung oleh penelitian

(Treiman, Mulqueeny, & Kessler, 2015) menemukan bahwa 92% buku cerita

bergambar untuk anak pra sekolah di Amerika Serikat memiliki tulisan yang

disusun secara horizontal.

48

11. Format bacaan memegang peran penting untuk memotivasi anak membaca sebuah

buku cerita, walau format bukan bagian dari cerita. Bagian format buku adalah

bentuk, ukuran, desain sampul, desain halaman, kualitas kertas, dan model

penjilidan. Ketepatan sebuah format tidak hanya ditentukan oleh salah satu atau

beberapa aspek saja, melainkan perpaduan dari keseluruhan aspek format dan

bahkan juga isi bacaan cerita. Desain sampul yang terdiri dari gambar dan tulisan

harus terlihat menarik, berkaitan dengan adegan tertentu dalam isi cerita. Ukuran

huruf juga penting untuk buku bacaan anak, ditulis dengan huruf-huruf yang relatif

besar. Panjang pendek cerita atau jumlah halaman juga penting untuk

dipertimbangkan dalam pemilihan bacaan anak (Beeck, 2015; Colwell, 2013).

Berdasarkan uraian di atas kaitannya dengan pengembangan produk buku

cerita bergambar yang dikembangkan, yaitu; menggunakan tema surau, dengan

tokoh utama seorang anak laki-laki yang berusia 5 tahun, menggunakan sudut

pandang orang ketiga dengan sebutan untuk tokoh utama Ridwan, menggunakan

alur maju mulai dari si tokoh utama belum mengenal budaya mengaji ke surau

sampai dengan si tokoh utama belajar mengaji di surau, dan menggunakan latar

tempat di Ranah Minang dengan menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Indonesia

dan bahasa Minang. Ukuran buku yang dipilih yaitu A3 dengan landasan bahwa

anak-anak menyukai buku yang berukuran besar dan memiliki warna yang menarik.

49

e. Fungsi Buku Cerita Bergambar

Beberapa fungsi dari buku cerita bergambar, Mitchell (Nurgiyantoro, 2016:159)

bagi anak sebagai berikut:

1. Buku cerita bergambar dapat membantu anak terhadap pengembangan dan

perkembangan emosi. Anak akan merasa terfasilitasi dan menerima dirinya sendiri

dan orang lain, serta untuk mengekpresikan berbagai emosinya, seperti rasa takut,

senang, sedih, bahagia. Berbagai sikap dan reaksi emosi anak perlu mendapat

rangsangan untuk penyaluran agar perkembangan emosi berjalan secara wajar dan

terkontrol. Pemahaman dan penerimaan terhadap keadaan diri sendiri dan orang

lain perlu dikembangkan lewat pembelajaran, dan salah satunya adalah lewat buku

cerita bergambar.

2. Buku cerita bergambar dapat membantu anak untuk belajar tentang dunia,

meyadarkan anak tentang keberadaan dunia di tengah masyarakat dan alam. Lewat

buku cerita bergambar anak dapat belajar tentang kehidupan masyarakat, baik

dalam perspektif sejarah masa lalu maupun masa kini, belajar tentang keadaan

geografi dan kehidupan alam, flora, dan fauna. Hal ini dapat menyadarkan anak

tentang kehidupan yang lebih luas dan menambah pengalaman hidup yang penting

dalam perkembangan dirinya.

3. Buku cerita bergambar dapat membantu anak belajar tentang oranglain, lewat buku

cerita bergambar yang menampilkan kehidupan keluarga, para tetangga, kawan

sebaya, pergaulan di sekolah, dan lain-lain yang mengisahkan relasi kehidupan

antar manusia dapat membelajarkan anak untuk bersikap dan bertingkahlaku,

verbal dan nonverbal, yang benar sesuai dengan tuntutan kehidupan sosial-budaya

50

masyarakat. Demikian pula halnya dengan perasaan anak yang juga dapat

terbangun lewat hubungan antar sesama. Jadi pada hakikatnya lewat buku cerita

bergambar anak belajar tentang kehidupan yang disajikan secara lebih konkret

lewat kata-kata dan gambar ilustrasi.

4. Buku cerita bergambar dapat membantu anak untuk memperoleh kesenangan. Ini

merupakan salah satu hal terpenting dalam pemberian buku bacaan jenis ini, yaitu

memberikan kesenangan dan kenikmatan batiniah. Kenikmatan batiniah

merupakan salah satu hal yang harus terpenuhi dalam kehidupan manusia. Tidak

hanya kebutuhan fisik saja, perkembangan kejiwaan dapat berlangsung secara

seimbang dan harmonis. Hal ini dapat diperoleh lewat cerita dan gambar-gambar

yang menarik, bagus dan cendrung realistic, dan hal-hal lucu yang merangsang anak

untuk tertawa senang.

5. Buku cerita bergambar dapat membantu anak untuk mengapresiasi keindahan. Baik

cerita secara verbal maupun gambar-gambar ilustrasi. Keindahan cerita verbal

dapat diperoleh antara lain lewat kemenarikan plot dan karakter tokoh, sedangkan

gambar-gambar ilustrasi lewat ketepatan pelukisan objek, komposisi warna, dan

berbagai aksi yang menarik. Objek yang menawarkan keindahan perlu di apresiasi,

gihargai, dinikmati, dan kegiatan tersebut diperoleh lewat pembelajaran. Dalam diri

anak sudah terdapat bakat keindahan, namun ia tidak akan berkembang secara

maksimal jika tidak secara sengaja dirangsang dan dipacu untuk berkembang. Sikap

menghargai keindahan itu sendiri akan dapat menunjang pengembangan sikap dan

perilaku halus pada diri anak.

51

6. Buku cerita bergambar dapat membantu anak untuk menstimulasi imajinasi. Lewat

cerita verbal imajinasi sudah terkembangkan, tetapi dengan ditambah gambar-

gambar ilustrasi yang mendukung cerita akan semakin dikonkretkan dan diperkuat.

Hal ini tidak saja memperkuat pemahaman terhadap cerita, tetapi juga daya

imajinasi.

f. Kelebihan Buku Cerita Bergambar

Kelebihan cerita bergambar terletak pada adanya gambar yang menyertai cerita,

dimana gambar merupakan sesuatu yang menarik bagi anak-anak dan dapat membantu

anak-anak yang belum lancar membaca tulisan untuk memahami isi cerita. Gambar

dapat memberikan penjelasan mengenai sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan

kata-kata yang sifatnya abstrak seperti suasana atau konsep. Tulisan tanpa gambar

dapat mengahasilkan imajinasi dengan interpretasi-interpretasi visual yang berbeda

tergantung dari intelegensi dan latar belakang yang berbeda, namun dengan adanya

gambar yang melengkapi tulisan, perbedaan interpretasi tersebut dapat dibatasi

sehingga informasi mengenai suatu objek dapat tersampaikan jauh lebih jelas (Istanto,

2000).

Pada penelitian ini kelebihan buku cerita bergambar yang peneliti kembangkan

yaitu dengan ukuran yang besar (A3) dan alur cerita yang dekat dengan anak, dengan

memasukkan unsur budaya Minangkabau yang memberikan kesan tersendiri, berbeda

dengan buku cerita bergambar yang lainnya. Desain gambar da nisi cerita yang

disesuaikan dengan kebutuhan dan mempertimbangkan indikator-indikator

pembelajaran yang akan dicapai.

52

5. Budaya Minangkabau

a. Sejarah Perkembangan Surau di Minangkabau

Istilah Melayu-Indonesia “surau” adalah kata yang luas penggunaannya di

Asia Tenggara. Istilah ini sudah lama digunakan di Minangkabau, Sumatera Selatan,

Semenanjung Malaysia, Sumatera Tengan dan Patani (Thailand Selatan). Secara

bahasa “surau” berarti tempat atau ”tempat penyembahan”. Menurut pengertian

asalnya surau adalah bangunan kecil yang dibangun untuk penyembahan arwah nenek

moyang. Karena alasan inilah surau paling awal biasanya dibangun di puncak bukit

atau tempat yang lebih tinggi dari lingkungannya (Zein, 2011).

Surau merupakan lembaga pendidikan tertua di Minangkabau, bahkan sebelum

Islam masuk ke Minang surau sudah ada. Datangnya Islam, surau juga mengalami

proses Islamisasi, tanpa harus mengalami perubahan nama. Selanjutnya surau makin

berkembang di Minangkabau. Disamping fungsinya sebagai tempat beribadah

(sholat), tempat mengajarkan Al-Quran dan Hadits serta ilmu lainnya, juga sebagai

tempat musyawarah, mengajarkan adat, sopan santun, ilmu bela diri (silat Minang) dan

juga sebagai tempat tidur bagi pemuda yang mulai remaja dan bagi laki-laki tua yang

sudah bercerai (Zein, 2011).

Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan islam, hanya saja fungsi

keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh Syekh

Burhanuddin Ulakan Pariaman. Surau ada yang berbentuk masjid, tetapi tidak sama

dengan masjid. Surau di Minangkabau tidak dilakukan sholat jumat, sementara masjid

tempat dilaksanakannya sholat jumat (Zein, 2011).

53

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sejarah perkembangan

surau di mulai dari sebelum Islam masuk. Surau yang memilki arti “tempat

penyembahan” arwah nenek moyang. Setelah islam masuk di Minangkabau istilah

surau mengalami proses islamisasi, dan tetap menggunakan surau yang berarti tempat

melakukan ibadah (sholat), belajar Al-quran dan hadits, belajar adat, ilmu bela diri

(silek Minang) dan belajar agama islam.

b. Peranan Surau di Minangkabau

Struktur surau di Minangkabau setelah kedatangan islam secara umum dibagi

ke dalam dua kategori, yaitu surau gadang (besar) dan surau ketek (kecil). Surau

gadang adalah surau yang dapat menampung 80 sampai 100 murid atau lebih. Surau

gadang tidak hanya berfungsi sebagai rumah ibadah dan mengaji seperi yang berlaku

pada surau ketek, tetapi yang lebih penting adalah surau ini dijadikan sebagai pusat

aktivitas pendidikan agama. Sedangkan surau ketek (kecil) adalah surau yang hanya

menampung 20 orang murid. Surau ketek ini dapat disamakan dengan langgar atau

musholla (Natsir, 2012).

Peranan surau di Minangkabau diantaranya sebagai lembaga pendidikan

agama, adat dan budaya, serta sebagai sentral aktivitas masyarakat. Surau merupakan

aset lokal yang menjadi milik bersama bagi masyarakat. Surau difungsikan dalam

segala aktivitas kemasyarakatan yang tidak hanya menyangkut persoalan agama,

namun juga penyelenggaraan aktivitas adat dan budaya. Namun seiring dengan

perkembangan masyarakat, fungsi surau sebagai sentral aktivitas menjadi berkurang.

Masyarakat lebih memandang surau hanya sebagai lembaga pendidikan agama dari

54

pada lembaga pendidikan adat, budaya dan sentral lembaga aktivitas masyarakat

(Natsir, 2012).

c. Karakterisik Sistem Pendidikan Surau

Karakteristik sistem pendidikan surau dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu

(Zein, 2011):

1. Klasifikasi surau berdasarkan jumlah murid

Berdasarkan jumlah murid surau terbagi ke dalam tiga kategori yaitu, surau

kecil, surau sedang dan surau besar. Surau kecil dapat menampung 20 murid,

dikenal dengan istilah surau mengaji (surau tempat belajar membaca Al-Quran dan

melakukan sholat). Surau kategori ini lebih kurang sama dengan “langgar” atau

mushalla. Surau sedang sengaja didirikan untuk tempat pendidikan agama dalam

pengertian yang lebih luas. Dengan kata lain surau sedang bukan hanya sekedar

tempat ibadah yang dilakukan sebagai surau mengaji, namun sebagai pusat

pendidikan agama yang lebih luas dalam berbagai aspek yang diajarkan ke murid-

muridnya. Surau besar yang dapat menampung antara 100 sampai 1000 murid, yang

sebagai lembaga pendidikan lengkap yang merupakan komplek bangunan yang

terdiri dari Mesjid, bangunan untuk tempat belajar dan surau-surau kecil yang

sekaligus menjadi pemondokan murid-murdi yang belajar di surau. Contohnya

seperti Surau Ulakan yang didirikan oleh Syekh Burhanuddin.

2. Klasifikasi surau dari segi fungsinya

Surau dapat dibedakan menjadi surau nagari, surau suku, dan surau paham

keagamaan. Surau nagari merupakan institusi agama di samping masjid yang

menjadi persyaratan sebuah nagari. Surau suku adalah tempat penghulu/ ninik

55

mamak suku dalam pembinaan sopan santun anak kemenakan, maka surau suku

merupakan simbol budi. Suaru paham keagamaan, berbentuk pusat pengajaran dan

ibadat suatu paham tarekat, misal Surau Pasia Lubuk Nyiur, Surau Tanjung Limau

Sundai, dengan ulamanya adalah surau tarekat yang amat berpengaruh.

3. Kepemimpinan dalam sistem pendidikan surau

Tuanku Syekh adalah personifikasi yang digunakan dari suatu surau itu

sendiri. Karena itu, prestise surau banyak bergantung pada pengetahuan, kesalehan,

dan karisma Tuanku Syekh. Tuanku Syekh tidak hanya berperan sebagai guru,

tetapi juga sekaligus pemimpin spiritual mereka yang ingin belajar memperdalam

ibadahnya.

4. Murid dalam sistem pendidikan surau

Orang yang belajar di surau disebut murid. Ini mencerminkan sifat alamiah

surau awal, karena istilah murid adalah terminologi sufi yang merujuk pada

pengikut baru yang bermaksud mengamalkan tarekat. Murid menerima pengajaran

dari Syekh, dan Syekh memahami murid-muridnya dalam mengajari mereka sesuai

dengan tingkat kemampuan intelektual masing-masing.

5. Isi/materi. metode dan literatur keagamaan sistem pendidikan surau

Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem

pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih seputar

belajar huruf hijayyah, dan membaca Al-Quran, disamping ilmu-ilmu keislaman

lainnya, seperti keimanan, akhlak dan ibadah. Keterkaitan antara isi ecrita dengan

budaya Minangkabau terletak pada tema cerita tentang surau. Surau merupakan

56

lembaga pendidikan Islam Minangkabau yang telah menjadi simbol masyarakat

Minangkabau yang religius.

6. Pengembangan Buku Cerita Bergambar Berbasis Budaya Minangkabau

untuk Meningkatkan Pengetahuan Agama dan Moral Anak Usia 5-6 Tahun

Buku cerita bergambar yang dikembangkan menjadi dua seri ini (Seri 1

“Ayo ke Surau, dan Seri 2 “Ini Surauku”) disesuaikan dengan kebutuhan di

lapangan. Di desain dengan jalan cerita dengan mempertimbangkan indikator-

indikator yang akan dicapai. Pembuatan buku cerita bergambar ini didasari oleh

Teori Behaviorime, yang berpandangan bahwa stimulasi dari lingkungan sangat

berperan penting dalam mengembangkan nilai agama dan moral anak.

Perkembangan nilai agama dan moral anak melalui tiga tahapan yaitu: kognitif

(knowing), afektif (sikap moral), dan tindakan moral (action), (Akbar, 2019:133;

Wiyani, 2013:87). Tahapan pertama adalah kognitif (knowing), berhubungan

dengan pengetahuan anak dalam perilaku baik dan buruk berdasarkan ajaran agama

Islam.

Pentingnya komponen kognitif (knowing) didasari bahwa yang perlu anak

ketahui sebelum anak memiliki sikap afektif dan tindakan moral adalah anak harus

memiliki pengetahuan terlebih dahulu tentang pengetahun agama dan moral. Anak

akan bisa mengkonfirmasi pada pengalaman-pengalamannya untuk dapat

membedakan perbuatan baik dan buruk berdasarkan pengetahuan yang didapat

sebelumnya (Santrock, 2007:277). Peran dari faktor kognitif menggambarkan

bagaimana kognisi menjembatani pengetahuan, pengalaman dan lingkungan dalam

57

memunculkan perilaku moral. Berdasarkan hal ini maka buku cerita bergambar

tepat diberikan untuk menambah atau meningkatkan pengetahuan anak tentang

agama dan moral. Buku cerita bergambar yang memiliki tulisan dan ilustrasi

gambar yang menarik akan mendukung proses pembelajaran yang menyenangkan

dan membantu anak dalam proses memahami dan memperkaya pengalaman dari

rangkaian cerita (Nihwan, 2018).

Buku cerita bergambar yang didesain dengan memasukkan unsur budaya

Minangkabau memilki beberapa tujuan diantaranya, yaitu: 1) untuk mengenalkan

budaya Minangkabau (budaya mengaji di surau) kepada anak-anak, 2) untuk

memberikan pengetahuan tentang sholat wajib melalui cerita mengaji di surau, 3)

memasukkan bahasa Minang dan bahasa Indonesia dalam cerita buku bergambar,

4) belum adanya buku cerita bergambar yang memasukkan bahasa Minang ke

dalam cerita anak-anak untuk meningkatkan pengetahuan agama dan moral anak.

Pemilihan buku cerita bergambar yang berukuran besar (A3) didukung oleh

(Neumann et al., 2014) yang menunjukkan bahwa anak-anak lebih cendrung dan

lebih suka melihat buku yang lebih besar dibanding buku yang kecil.

B. KAJIAN PENELITIAN YANG RELEVAN

1. Penelitian yang dilakukan oleh (Kusnilawati; Fauziddin, 2018) yang berjudul

“Meningkatkan Aspek Perkembangan Nilai Agama dan Moral Ank Usia Dini

dengan Penerapan Metode Bercerita Islami”. Penelitian ini menunjukkan bahwa

melalui metode bercerita tema islami dapat meningkatkan perkembangan agama

dan moral anak usia 5-6 tahun. Metode bercerita adalah suatu cara penanaman nilai-

58

nilai kepada anak dengan menggunakan kepribadian tokoh-tokoh melalui

penuturan hikayat, legenda, dongeng dan sejarah lokal. Sejalan dengan penelitian

ini memilki persamaan dalam mengembangkan perkembangan agama dan moral

anak melalui bercerita, namun perbedaannya yaitu menggunakan buku cerita

bergambar berbasis budaya Minangkabau.

2. Penelitian yang dilakukan oleh (Rahimah & Izzaty, 2018) yang berjudul

“Developing Picture Story Book Media for Building the Self-Awareness of Early

Childhood Children”. Penelitian ini menunjukkan bahwa media buku cerita

bergambar yang dikembangkan layak digunakan dalam pembentukan kesadaran

diri anak usia dini. Pada hasil temuan catatan lapangan terdapat dinamika

pembelajaran yang kompleks dengan menggunakan buku cerita bergambar. Hasil

perhitungan posttest menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Persamaan dalam penelitian ini yaitu

menggunakan media buku cerita bergambar, namun perbedaannya terdapat pada

aspek perkembangan, dalam penelitian relevan ini meningkatkan kesadaran diri

anak, sedangkan dalam penelitian ini mengembangkan pengetahuan agama dan

moral anak.

3. Penelitian yang dilakukan oleh (Eliza, 2017) yang berjudul “Pengembangan Model

Pembelajaran Karakter Berbasis Cerita Tradisional Minagkabau untuk Anak Usia

Dini”. Penelitian ini membahas pengembangan model pembelajaran karakter

berbasis nilai-nilai kearifan lokal budaya Minangkabau. Berdasarkan data yang

telah terkumpul banyak cerita, legenda, dongeng yang dikumpulkan yang

mengandung nilai-nilai kearifan Minangkabau yang dapat membentuk karakter

59

anak. Persamaan penelitian relevan dengan penelitian ini yaitu sama-sama

mengangkat cerita yang terintegrasi dengan kearifan lokal yaitu budaya

Minangkabau. Perbedaannya yaitu pada penelitian relevan menggunakan model

pembelajaran karakter, sedangkan pada penelitian ini menggunakan media buku

cerita bergambar.

C. KERANGKA PIKIR

Budaya tidak terlepas dari ajaran nilai agama dan moral, yang memiliki banyak

nilai-nilai keteladanan dan mengatur nilai-nilai kehidupan. Sesuai dengan falsafah adat

Minangkabau “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabbullah”. Makna dari

ungkapan tersebut adalah bahwa budaya Minangkabau menjadikan ajaran Islam

sebagai sendi utama dalam mengamalkan adat, dan kebiasaan masyarakat Minang.

Salah satunya yaitu budaya mengaji di surau, yang merupakan lembaga pendidikan

Islam tradisional Minangkabau yang memiliki peran sebagai lembaga pendidikan

agama, pendidikan adat dan sebagai pusat aktivitas masyarakat (Zein, 2011). Nilai-

nilai budaya yang sudah dianggap baik dapat dijadikan materi atau sumber pendidikan

(Rukiyati & Purwastuti, 2016). Pentingnya mengenalkan kesadaran budaya bagi anak-

anak adalah untuk mereka mempelajari nilai-nilai kehidupan, dan nilai moral yang

dapat dijadikan sebagai basis pendidikan di sekolah (Morrisson, 2015:800).

Tahapan perkembangan agama dan moral memiliki tiga komponen, yaitu:

komponen kognitif (knowing), afektif (sikap moral), dan tindakan moral (action)

(Akbar, 2019:133; Wiyani, 2013:87). Komponen kognitif berhubungan dengan

kemampuan dalam mengetahui perilaku baik dan buruk yang sesuai dengan ajaran

60

agama yang diterima oleh anak. Aspek afektif berhubungan dengan kemampuan anak

dalam merasakan dan mencintai berbagai perilaku yang baik berdasarkan ajaran agama

yang diterima oleh anak. Aspek tindakan moral berhubungan dengan kemampuan anak

dalam memilih melakukan perbuatan baik dan menghindari perbuatan yang buruk

berdasarkan aturan yang didasari oleh ajaran agama (Nurjanah, 2018).

Pentingnya komponen kognitif (knowing) didasari bahwa yang perlu anak

ketahui sebelum anak memiliki sikap afektif dan tindakan moral adalah anak harus

memiliki pengetahuan terlebih dahulu tentang pengetahun agama dan moral. Anak

akan bisa mengkonfirmasi pada pengalaman-pengalamannya untuk dapat

membedakan perbuatan baik dan buruk berdasarkan pengetahuan yang didapat

sebelumnya (Santrock, 2007:277). Peran dari faktor kognitif menggambarkan

bagaimana kognisi menjembatani pengetahuan, pengalaman dan lingkungan dalam

memunculkan perilaku moral. Sejalan dengan (Heiphetz, Strohminger, Gelman, &

Young, 2018) bahwa untuk mencapai karakteristik moral yang menjadi identitas

seseorang, akan berubah seiring waktu secara substansial yang dimainkan oleh kognisi

moral.

Permasalahan mengenai pengetahuan agama dan moral anak yang dipengaruhi

oleh lingkungan tempat tinggal, seperti: anak berbicara dengan suara keras, berdoa

dengan berteriak, dan tidak mau melakukan aktivitas keagamaan (sholat dan mengaji).

Anak akan mencontoh dan meniru apa yang mereka lihat di lingkungan sekitarnya.

Peran orangtua dan orang dewasa lainnya diperlukan untuk bisa memberikan contoh

dan perilaku yang baik, serta memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang agama

dan moral yang baik bagi anak.

61

Melihat hal tersebut bahwa pengetahuan anak-anak mengenai agama dan moral

sangat penting, berawal dari pengetahuan lah yang akan membuat anak mampu untuk

memilih perbuatan yang benar dan salah. Salah satu cara yang dapat meningkatkan

pengetahuan anak tentang agama dan moral adalah lewat bercerita. Sesuai dengan

tahapan perkembangan agama dan moral anak menurut Harms (Akbar, 2019:55) pada

usia 3-6 tahun anak mengalami tahap fairytale (dongeng), dimana pada tahap ini anak

akan senang jika mereka dibacakan cerita. Rothlein (Santoso, 2008) bercerita

menggunakan media buku cerita bergambar akan membantu anak-anak dalam proses

memahami dan memperkaya pengalaman dari cerita yang diberikan. Penyajian

ilustrasi gambar yang besar dan sesuai dengan karakteristik anak akan menambah

antusias dan semangat anak-anak untuk mendengarkan cerita. Gambar sebagai visual

dengan desain dan warna yang menarik akan mendukung proses pembelajaran yang

menyenangkan (Nihwan, 2008). Buku cerita bergambar untuk anak harus

menggunakan kalimat yang sederhana, memiliki teks, dan menggunakan kalimat aktif

(Nurgiyantoro; 2016-156).

Pengembangan buku cerita bergambar berbasis budaya Minangkabau

merupakan salah satu solusi bagi pendidik dalam meningkatkan pengetahuan agama

dan moral anak lewat budaya lokal (budaya mengaji di surau). Buku cerita yang

didesain sesuai kebutuhan anak dengan ukuran besar (A3), dan isi cerita yang

disesuaikan dengan kurikulum 2013, indikator 3.1 (mengenal kegiatan beribadah

sehari-hari) dan indikator 3.2 (mengenal perilaku baik sebagai cerminan akhlak mulia).

Buku cerita yang akan dikembangkan memiliki dua seri cerita dengan tema yang sama

yaitu budaya mengaji di surau, yang saling berkaitan antara seri 1 dan seri 2.

62

D. PERTANYAAN PENELITIAN

Berdasarkan kerangka pikir yang didukung dengan kajian teori maka dapat

dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu:

1. Apa saja materi yang terdapat pada buku cerita bergambar berbasis budaya

Minangkabau?

a. Apa nilai budaya yang terdapat dalam buku cerita bergambar?

b. Apa indikator yang terdapat dalam buku cerita bergambar?

c. Menggunakan bahasa yang seperti apa untuk anak usia 5-6 tahun?

d. Ilutrasi gambar yang seperti apa membuat anak dapat tertarik?

e. Apakah cerita antara seri 1 dan 2 saling terkait?

2. Bagaimana kelayakan pengembangan media buku cerita bergambar berbasis

budaya Minangkabau?

a. Bagaimana kelayakan media buku cerita bergambar berbasis budaya

Minangkabau ditinjau dari aspek materi?

b. Bagaimana kelayakan media buku cerita bergambar berbasis budaya

Minangkabau ditinjau dari aspek media?

3. Bagaimana keefektivan media buku cerita bergambar berbasis budaya

Minangkabau untuk meningkatkan pengetahuan agama dan moral anak usia 5-6

tahun?

a. Bagaimana hasil pre-test pengetahuan agama dan moral anak sebelum

menggunakan buku cerita bergambar berbasis budaya Minangkabau?

b. Bagaimana hasil post-test pengetahuan agama dan moral anak sesudah

menggunakan buku cerita bergambar berbasis budaya Minangkabau?