BAB II KAJIAN PUSTAKA - Repository UNJ
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA - Repository UNJ
17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teoritis
1. Kajian Evaluasi Pelatihan
a. Pengertian Pelatihan
Dewasa ini dapat terlihat persaingan yang semakin tajam di pasar
domestik maupun di tingkat internasional menuntut suatu perusahaan harus
memiliki daya saing lebih baik dibandingkan dengan perusahaan lainnya.
Keadaan ini akan membuat setiap perusahaan ingin memperoleh sumber daya
manusia yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat
memberikan hasil kerja maksimal. Untuk memperoleh karyawan / SDM
berkompetensi tinggi tersebut tentu tidaklah mudah, seorang manajer HRD
perlu menjalani proses penarikan dan pemilihan karyawan setelah itu
karyawan yang diterima akan mengikuti program pelatihan. Para karyawan
baru perlu diberikan pelatihan agar memiliki keterampilan yang sesuai dengan
kebutuhan dalam mengerjakan pekerjaannya.
Menurut Notoatmodjo (2009), pelatihan merupakan upaya untuk
mengembangkan sumber daya manusia, terutama untuk mengembangkan
kemampuan intelektual dan kepribadian manusia.1 Mengembangkan
kemampuan intelektual dan kepribadian merupakan dua hal yang mendasar
1 Soekidjo Notoatmodjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 16.
17
18
untuk dapat ditingkatkan melalui serangkaian program pelatihan. Definisi
tersebut dapat dilengkapi dengan pernyataan Kaswan (2011), yang
menyatakan bahwa pelatihan mungkin juga meliputi pengubahan sikap
sehingga karyawan dapat melakukan pekerjaannya dengan lebih efektif.2
Dessler (1997, dalam Subekhi dan Mohammad Jauhar, 2012)
mendefinisikan pelatihan sebagai proses mengajarkan karyawan baru atau
yang ada sekarang, keterampilan dasar yang mereka butuhkan untuk
menjalankan pekerjaan mereka.3 Penyelenggara pelatihan biasanya
menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan para karyawan untuk
dapat memperoleh atau mempelajari sikap dan kehlian, serta perilaku spesifik
yang berkaitan dengan tugas kerja karyawan. Di samping itu, dalam pelatihan
juga disediakan instruksi guna mengembangkan keahlian-keahlian yang dapat
langsung terpakai oleh karyawan, dalam rangka meningkatkan kinerja pada
jabatan yang diembannya saat itu. Dengan demikian, pelatihan berfungsi
sebagai salah satu upaya pengembangan sumber daya manusia dalam
organisasi.
Bangun (2012) dalam bukunya yang berjudul Manajemen Sumber
Daya Manusia menyebutkan bahwa pelatihan (training) adalah suatu proses
memperbaiki keterampilan kerja karyawan untuk membantu pencapaian tujuan
2 Kaswan, Pelatihan dan Pengembangan untuk Meningkatkan Kinerja SDM, (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 2. 3 Akhmad Subekhi & Mohammad Jauhar, Pengantar Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2012), h. 70.
19
perusahaan.4 Pada awalnya, pelatihan karyawan hanya diperuntukkan kepada
tenaga-tenaga operasional saja, agar memiliki keterampilan secara teknis.
Tetapi, kini pelatihan diberikan kepada setiap karyawan dalam perusahaan
termasuk karyawan administrasi dan tenaga manajerial. Manajemen
perusahaan telah menyadari betapa pentingnya pelatihan untuk dapat
meningkatkan kinerja dan kepuasan kerja. Pihak manajemen perusahaan saat
ini mengidentifikasi tujuan dan sasaran strategis bersama-sama dengan
karyawan guna mencapai tujuan perusahaan.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa pelatihan pada dasarnya bermakna sebagai serangkaian
upaya / intervensi yang dilakukan untuk memperoleh pengetahuan,
keterampilan, dan perubahan sikap yang dapat digunakan segera untuk
meningkatkan kinerja karyawan. Tidak hanya itu, pelatihan juga dilaksanakan
untuk mengatasi perubahan eksternal yang mempengaruhi kinerja perusahaan
dan untuk mewujudkan aspirasi stakeholders’ perusahaan dalam menghadapi
peluang yang baru.
b. Pengertian Evaluasi
Ada tiga istilah yang erat kaitannya dengan evaluasi, yaitu tes,
pengukuran, dan penilaian. Tes merupakan salah satu alat untuk melakukan
pengukuran, yaitu alat untuk mengumpulkan informasi karakteristik suatu
4 Wilson Bangun, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Erlangga, 2012), h. 202.
20
objek. Objek ini bisa berupa kemampuan peserta didik, sikap, minat, maupun
motivasi. Respon peserta tes terhadap sejumlah pertanyaan dapat
menggambarkan kemampuan dalam bidang tertentu. Tes merupakan bagian
tersempit dalam evaluasi. Pengukuran (measurement) merupakan proses
pengumpulan data atau informasi yang dilakukan secara objektif. Hasil
pengukuran berupa data kuantitatif tentang karakteristik atau keadaan individu.
Keadaan individu ini bisa berupa kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor.
Penilaian (assessment) memiliki makna yang berbeda dengan evaluasi.
Widoyoko (2013) mengatakan bahwa assessment atau penilaian dapat
diartikan sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran berdasarkan
kriteria maupun aturan-aturan tertentu.5 Dengan kata lain, penilaian
merupakan proses pengambilan keputusan yang bersifat kualitatif sesuai
dengan hasil pengukuran. Penilaian dilakukan berdasarkan kepada tujuan
yang ingin dicapai.
Evaluasi memiliki makna yang berbeda dengan penilaian,
pengukuran, dan tes. Daniel L. Stufflebeam dalam buku yang ditulisnya
dengan Anthony J. Shinkfield, mengungkapkan bahwa
“Evaluation is a process for giving attestations on such matters as reliability, effectiveness, cost-effectiveness, efficiency, safety, ease to use, and probity.”6
c.
5 Eko Putro Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 3. 6 Daniel L. Stufflebeam & Anthony J. Shinkfield, Evaluation Theory, Models, and Applications, (San Francisco: John Wiley & Sons, Inc., 2007), h. 4.
21
Evaluasi adalah sebuah proses untuk memberikan pengesahan pada
hal-hal seperti keandalan, efektivitas, efektivitas biaya, efisiensi, keamanan,
kemudahan penggunaan, dan kejujuran/ketulusan. Menurut rumusan tersebut
inti dari evaluasi adalah menyediakan afirmasi/penguatan serta informasi bagi
masyarakat yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
mengambil keputusan.
Definisi lain mengenai evaluasi disampaikan oleh Joint Committee on
Standards Educational Evaluation (1994) dalam Stufflebeam (2007), bahwa
“evaluation is systematic assessment of the worth or merit of an object.”7
Evaluasi adalah penilaian yang sistematis atas nilai atau manfaat dari suatu
objek. Definisi lain dikemukakan oleh Worthen dan Sanders (1973, dalam
Arikunto 2004). Dua ahli tersebut mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan
kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu; dalam mencari
sesuatu tersebut, juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam
menilai keberadaan program, produksi, prosedur, serta alternatif strategi yang
diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan.8
Dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa
evaluasi adalah upaya sistematis untuk mengumpulkan informasi dan data
mengenai suatu objek yang dievaluasi yang berguna dalam menilai dan
7 Ibid, h. 9. 8 Suharsimi Arikunto & Cepi Safruddin, Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan (Edisi Kedua), (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 1.
22
menentukan manfaat, kelayakan, ketercapaian, serta keberlanjutan dari objek
yang dievaluasi tersebut.
d. Pengertian Evaluasi Pelatihan
Kegiatan evaluasi berguna untuk mengetahui efektivitas dari objek
yang dievaluasi tersebut. Dalam hal ini, kata efektivitas merujuk pada hasil
yang diperoleh peserta setelah mengikuti pelatihan. Efektivitas pelatihan
mengacu kepada manfaat yang diperoleh perusahaan/organisasi dan peserta
pelatihan dari pelatihan.9 Efektivitas pelatihan juga membantu penyelenggara
atau penanggungjawab pelatihan dalam mengukur tingkat pencapaian tujuan
pelatihan. Agar penyelenggara mengetahui efektivitas pelatihan, maka perlu
dilakukan evaluasi pelatihan yang mencakup pengukuran hasil atau kriteria
spesifik untuk menentukan keunggulan pelatihan. Werner dan DeSimone
(2006, dalam Kaswan 2011) menyebutkan bahwa evaluasi pelatihan adalah
pengumpulan data secara sistematis terhadap informasi deskriptif dan
penilaian yang diperlukan untuk membuat keputusan pelatihan yang efektif
terkait dengan seleksi, adopsi, nilai, dan modifikasi aktivitas pembelajaran
yang bervariasi.10
Berdasarkan pengertian di atas, ada dua hal utama yang perlu
digarisbawahi. Pertama ialah saat melakukan evaluasi, baik informasi
9 Kaswan, Op.Cit., h.215. 10 Ibid., h.215.
23
deskriptif maupun informasi penilaian mungkin untuk dikumpulkan. Informasi
deskriptif memberikan gambaran tentang apa yang sedang dan telah terjadi.
Sementara informasi penilaian mengomunikasikan pendapat atau
kepercayaan tentang apa yang telah terjadi. Kedua adalah penilaian meliputi
pengumpulan informasi secara efektif menurut rencana yang ditentukan
sebelumnya untuk memastikan bahwa informasi itu cocok dan bermanfaat.
Informasi yang diperoleh harus sesuai dengan rencana pelatihan agar
informasi tersebut berguna dalam mendukung kegiatan pelatihan selanjutnya.
Dengan adanya evaluasi ini bukan berarti proses pelatihan telah berakhir
namun dengan evaluasi atau penilaian akan ditarik suatu kesimpulan apakah
peserta pelatihan sudah memahami setiap materi yang diberikan ataukah tidak
sama sekali.
Selanjutnya Noe (2010) mendefinisikan evaluasi pelatihan (training
evaluation) sebagai berikut,
“Training evaluation refers to process of collecting the outcomes needed to determine if training is effective”.11
Definisi tersebut menjelaskan bahwa evaluasi pelatihan mengacu
pada proses mengumpulkan hasil-hasil yang ingin didapatkan untuk
mengetahui apakah pelatihan tersebut efektif atau tidak. Efektivitas yang
dimaksudkan disini adalah manfaat yang didapatkan oleh perusahaan dan
11 Raymond A. Noe, Employee Training and Development: 5th edition, (New York: McGraw-Hill, 2010), h. 216.
24
peserta pelatihan dari pelatihan. Manfaat yang mungkin didapatkan oleh
peserta pelatihan melputi belajar keterampilan baru ataupun perilaku yang
baru. Manfaat yang mungkin akan didapatkan oleh perusahaan adalah
peningkatan penjualan ataupun lebih banyak pengguna yang merasa puas.
Jadi dapat disimpulkan bahwa evaluasi pelatihan merupakan suatu alat untuk
mengukur kefektifan suatu program pelatihan dengan cara menilai hasil dari
program pelatihan tersebut.
e. Tujuan Evaluasi Pelatihan
Tujuan dari pelatihan tentu menginginkan setiap pesertanya mampu
menguasai apa yang diberikan baik teori maupun praktek dari instruktur.
Evaluasi merupakan tahap dimana suatu hal yang telah dilakukan bersama
diteliti dan dinilai kelayakannya. Evaluasi pelatihan adalah proses untuk
mengetahui, menilai dan mencari informasi apakah peserta pelatihan bisa
mencerna dan mengikuti pelatihan dengan baik atau tidak. Dengan evaluasi ini
akan memberikan hasil yang lebih akurat dan efektif dari program yang telah
dilaksanakan. Berikut ini adalah tujuan evaluasi pelatihan yang dirangkum dari
berbagai sumber, yakni:
1) Menemukan dan menganalisa informasi mengenai pencapaian tujuan
dalam jangka pendek dan jangka panjang.
2) Mengetahui pengaruh program pelatihan terhadap kinerja hasil
implementasinya.
25
3) Mengetahui dengan cepat kemungkinan utnuk perbaikan dan
sinkronisasi program pelatihan sesuai dengan perkembangan situasi
dalam organisasi.
4) Mengetahui reaksi peserta terhadap sebagian atau keseluruhan
program pelatihan;
5) Mengetahui hasil pembelajaran peserta;
6) Mengantisipasi tindakan tertentu ketika diperlukan untuk mengambil
langkah-langkah perbaikan
7) Mengetahui hasil pelaksanaan pelatihan dan pengaruhnya terhadap
kinerja serta masalah-masalahnya;
8) Mengetahui opini pemimpin dan bawahan peserta mengenai hasil
pelatihan;
9) Mengetahui hubungan hasil pelatihan serta dampaknya bagi organisasi
di tempat peserta bekerja.
Beberapa tujuan evaluasi pelatihan yang telah disebutkan di atas
juga melandasi penulis dalam melakukan penelitian evaluasi pelatihan. Fokus
tujuan evaluasi pelatihan yang akan dilakukan penulis adalah pada hasil
pembelajaran khususnya pada aspek keterampilan instruktur (peserta
pelatihan) dalam melaksanakan pembelajaran tatap muka. Evaluasi pelatihan
yang akan dilakukan penulis menggunakan model evaluasi Donald L.
Kirkpatrick, berfokus pada level 2 (belajar). Evaluasi unjuk kerja ini
26
dilaksanakan untuk mengetahui tingkat penguasaan kompetensi instruktur
dalam melaksanakan pembelajaran tatap muka.
f. Model-model Evaluasi Pelatihan
Good (1973, dalam Sukardi 2012) mendefinisikan model sebagai
“A likeness that aid on in understanding a structure process used by scientist, when the phenomena studied would otherwise be indescribable.”12
Definisi tersebut mendefinisikan model sebagai suatu kemiripan yang
membantu dalam pemahaman struktur atau proses yang digunakan oleh ahli,
ketika fenomena dipelajaran untuk dapat diterangkan. Sedangkan model
evaluasi menurut Tayibnapis adalah model desain evaluasi yang dibuat oleh
para ahli-ahli atau pakar-pakar evaluasi yang biasanya dinamakan sama
dengan pembuatnya atau tahap pembuatannya.13 Model evaluasi dapat
dibedakan menurut jenis pertanyaannya, tujuannya, pendekatannya, dan
prosedur yang ditempuh. Masing-masing model memiliki kelebihan dan
kekurang, tidak ada model yang paling baik. Model yang digunakan tergantung
kepada untuk apa, di mana, dan kapan evaluasi tersebut akan digunakan.
Dalam ilmu evaluasi pelatihan, terdapat banyak model yang bisa
digunakan untuk mengevaluasi suatu pelatihan. Meskipun antara satu dengan
12 Sukardi, Evaluasi Pendidikan: Prinsip dan Operasionalnya, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 55. 13 Farida Yusuf Tayibnapis, Evaluasi Program dan Instrumen Evaluasi untuk Program Pendidikan dan Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 13.
27
yang lainnya berbeda-beda, namun maksudnya sama yaitu melakukan
kegiatan pengumpulan data atau informasi yang berkenaan dengan objek yang
dievaluasi, yang tujuannya untuk menyediakan bahan bagi pengambil
keputusan dalam menentukan tindak lanjut program pelatihan.
Ada beberapa model evaluasi pelatihan yang bisa digunakan oleh
evaluator. Berikut ini akan dipaparkan masing-masing modelnya.
1) Donald Kirkpatrick’s 4 Levels
Merupakan model evaluasi pelatihan yang pertama kali
dikembangkan oleh Donald L. Kirkpatrick (1959). Ia mendeskripsikan
modelnya menggunakan empat level evaluasi, yaitu reaksi,
pembelajaran, perilaku, dan hasil. Berikut ini adalah uraian dari masing-
masing level yang sudah diperbarui dan diperjelas oleh pihak Kirkpatrick
Partners (pengelola laman resmi untuk model evaluasi pelatihan
Kirkpatrick).
Gambar 2.1.
Model Evaluasi Pelatihan Kirkpatrick
Results
Behavior
Learning
Reaction
28
a) Level 1, Reaksi
Pada tahap pertama ini evaluasi terhadap pelatihan
difokuskan pada reaksi peserta terhadap penyelenggaraan program
pelatihan. Donald L. Kirkpatrick mengemukakan bahwa, “to what
degree participants react favorably to the training”,14 pada tingkatan
apa peserta bereaksi secara positif terhadap pelatihan. Inti dari
evaluasi pada tahap ini adalah mengukur bagaimana
reaksi/kepuasan dari mereka yang mengikuti program pelatihan.
Evaluasi diarahkan pada upaya untuk memperoleh data dan
informasi tentang rasa suka dan tidak suka peserta terhadap
penyelenggaraan program pelatihan.
Terdapat tiga aspek yang dinilai pada level reaksi, yaitu (1)
customer statisfaction, mengukur kepuasan peserta pelatihan yang
berkaitan dengan apa yang mereka pikirkan dan rasakan terkait
penyelenggaraan pelatihan. (2) Engagement mengukur sejauh
mana peserta terlibat dan berkontribusi secara aktif terhadap
pengalaman belajar. (3) Relevance berhubungan dengan sejauh
mana peserta pelatihan memiliki kesempatan untuk menggunakan
14 Kirkpatrick Partners, “The New World Kirkpatrick Models”, http://www.kirkpatrickpartners.com/OurPhilosophy/TheNewWorldKirkpatrickModel/tabis/303/Default.aspx, diakses pada tanggal 14 September 2014.
29
atau menerapkan apa yang mereka pelajari (pada pelatihan) di
tempat kerja.
Pada banyak organisasi, 100% upaya pelatihan ditujukan
untuk evaluasi level 1. Hal tersebut mudah dicapai karena evaluasi
level 1 mudah/simple, tidak mahal, dan memerlukan sedikit waktu
untuk mendesain instrument, mengumpulkan, serta menganalisis
datanya. Ada dua metode dasar yang digunakan untuk
mengumpulkan data level 1, yakni melalui kuesioner dan interview,
motode yang paling umum dan direkomendasikan untuk digunakan
ialah penyebaran kuesioner.
b) Level 2, Belajar
Tahap kedua dari model evaluasi yang dikemukakan oleh
Kirkpatrick difokuskan untuk memperoleh data dan informasi yang
terkait dengan hasil belajar peserta pelatihan. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Kirkpatrick, “to what degree participants acquire the
intended knowledge, skills, attitudes, confident, and commitment
based on their participation in a training event.”15 Seberapa jauh
peserta pelatihan mampu mempelajari kemampuan pengetahuan,
keterampilan, sikap, kepercayaan diri, dan komitmen yang telah
diajarkan selama mereka mengikuti program pelatihan. Pada tahap
15 Ibid.
30
ini hal yang sangat penting dilakukan adalah mencari informasi
tentang hasil belajar yang telah dicapai oleh peserta berdasarkan
partisipasi mereka dalam program pelatihan. Ada lima aspek yang
dinilai dalam level belajar, yakni:
(1) Pengetahuan, ditandai dengan kalimat “saya mengetahui”,
(2) Keterampilan, ditandai dengan kalimat “saya dapat
melakukan sekarang”,
(3) Sikap, ditandai dengan kalimat “saya percaya hal ini akan
bermanfaat untuk dilakukan saat di tempat kerja”,
(4) Kepercayaan diri, ditandai dengan kalimat “saya pikir saya
bisa melakukannya saat bekerja (di tempat kerja)”, dan
(5) Komitmen, dicirikan dengan kalimat “saya berniat untuk
melakukannya saat berkerja (di tempat kerja).
Tidak semua program pelatihan memerlukan pengukuran hasil
belajar. Program pelatihan yang sangat singkat (kurang dari dua
jam) biasanya tidak mempunyai mekanisme pengukuran hasil
belajar. Beberapa kriteria untuk menentukan suatu program
pelatihan memerlukan pengukuran hasil belajar adalah sebagai
berikut:
(1) Program pelatihan menunjukkan pengetahuan atau
keterampilan yang genting/penting (critical skills or
knowledge) yang harus diaplikasikan pada pekerjaan.
31
(2) Program pelatihan yang ditawarkan merupakan bagian dari
proses sertifikasi atau lisesnsi, dimana perolehan
keterampilan atau pengetahuan adalah hal yang penting.
(3) Program pelatihan dimana pihak sponsor atau klien tertarik
dalam menilai keberlanjutan hasil belajar.
(4) Saat pihak penyelenggara merencanakan level evaluasi
yang lebih tinggi (level 3 dan level 4) pada program
pelatihan.
Evaluasi level 2 dapat diukur dan diketahui hasilnya melalui
beberapa cara, yaitu:
(1) Pengukuran Hasil Belajar dengan Tes Formal
Pengujian adalah hal yang penting untuk mengukur hasil
belajar dalam evaluasi pelatihan. Penggunaan pretest dan
posttest sangat umum digunakan dalam evaluasi pelatihan.
Ada tiga cara yang bisa digunakan untuk mengelompokkan
jenis-jenis tes, yakni
a) Jenis tes yang didasarkan pada penggunaan media
untuk mengeola tes tersebut. media yang paling umum
adalah dipakai untuk tes adalah kertas dan pensil atau
tes tertulis (written test), tes kinerja yang menggunakan
alat simulasi, dan tes berbasis komputer yang
menggunakan komputer dan tampilan video.
32
b) Cara kedua adalah berdasarkan tujuan dan isi/materi.
Pada konteks ini, tes bisa dibagi menjadi tes bakat dan
tes hasil belajar. Tes bakat mengukur keterampilan
dasar atau kemampuan yang diperoleh untuk
mempelajari sebuah pekerjaan. Sementara itu, tes hasil
belajar menilai pengetahuan atau kompetensi sese-
orang dalam persoalan khusus.
c) Cara ketiga untuk mengklasifikasikan tes adalah
menurut desainnya. Jenis tes yang paling umum
digunakan adalah tes objektif, penilaian acuan norma
(PAN), penilaian acuan patokan (PAP), tes esai, ujian
lisan, dan tes kinerja.
Tes objektif mempunyai jawaban yang spesifik dan tepat
berdasarkan tujuan pelatihan, namun tidak dapat mengukur
sikap, perasaan, kreativitas, proses pemecahan masalah,
dan keahlian yang tidak terlihat lainnya. Bentuk tes yang
lebih bermanfaat adalah tes acuan patokan (criterion-
referrenced test). Dua jenis tes yang lazim digunakan dalam
program pelatihan adalah tes/penilaian acuan patokan dan
tes kinerja.
a) Penilaian acuan patokan adalah penilaian yang
didasarkan pada tujuan atau kompetensi yang
33
seharusnya dicapai. Pendekatan ini sering juga disebut
penilaian norma absolut.16 Jika ingin menggunakan
pendekatan ini, berarti guru harus membandingkan
hasil yang diperoleh peserta didik dengan sebuah
patokan atau kriteria yang absolut atau mutlak telah
ditetapkan sebelumnya. Contoh dalam kasus pelatihan
yang sedang diteliti, keberhasilan peserta pelatihan
ditentukan dengan kriteria penguasaan materi sebesar
80%. Peserta pelatihan dikategorikan berhasil apabila
menguasai atau minimal mencapai 80% dari tujuan atau
kompetensi yang seharusnya dikuasai. Apabila tingkat
penguasaannya masih kurang dari kriteria tersebut,
maka dinyatakan tidak berhasil. Pola penilaian acuan
patokan ini disebut juga dengan standar mutlak. Sistem
ini sangat bermanfaat dalam upaya meningkatkan
kualitas hasil belajar, sebab peserta pelatihan didorong
untuk mencapai standar yang telah ditentukan, serta
hasil belajarnya dapat diketahui secara langsung
derajat pencapaiannya.
b) Tes unjuk kerja atau pengujian kinerja memungkinkan
peserta untuk menunjukkan keahlian (dan terkadang
16 Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, Teknik, Prosedur, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 86.
34
pengetahuan atau sikap) yang telah dipelajari pada
kegiatan pelatihan. Penilaian unjuk kerja merupakan
penialaian yang dilakukan dengan mengamati kegiatan
peserta pelatihan dalam melakukan sesuatu. Lebih jauh
Stigins (1994, dalam Arifin 2009), mengemukakan tes
unjuk kerja adalah suatu tes yang peserta didiknya
diminta untuk melakukan kegiatan khusus dibawah
pengawasan penguji yang akan mengobservasi
penampilannya dan membuat keputusan tentang
kualitas hasil belajar yang didemonstrasikan.17 Peserta
didik bertindak sesuai dengan apa yang diperintahkan
dan ditanyakan. Penilaian ini cocok digunakan untuk
menilai ketercapaian kompetensi yang menuntut
peserta pelatihan melakukan aktivitas tertentu, seperti
praktik di laboratorium/bengkel, praktik olahraga,
praktik mengajar, dll.
Data tes unjuk kerja dapat diperoleh denggan
menggunakan skala penialaian (rating scale) ataupun
daftar cek (checklist). Keduanya dapat dipakai sebagai
lembar penilaian atau alat untuk observasi dalam
17 Ibid., h.149.
35
rangka pengukuran yang bebas waktunya, dalam arti
tidak dilakukan dalam suasana ujian secara formal.
(2) Pengukuran Hasil Belajar dengan Aktivitas Informal
Pendekatan ini cocok ketika penyelenggara pelatihan
merencanakan evaluasi pada level yang lebih tinggi. Pada
banyak kondisi, pengecekan/pengukuran informal terhadap
hasil belajar cukup dilakukan untuk memperoleh kepastian
bahwa peserta pelatihan telah mendapatkan perilaku yang
diharapkan. Pendekatan pengukuran hasil belajar dengan
aktivitas informal dapat dilakukan dengan beberapa cara,
yakni:
a) Latihan/aktivitas (exercises/activities)
Banyak program pelatihan melibatkan aktivitas atau
latihan yang di dalamnya terdapat masalah atau
persoalan yang harus diselidiki. Beberapa diantaranya
adalah aktivitas kelompok – yang mengembankan
kemampuan dalam kelompok –, sedangkan yang
lainnya adalah aktivitas/latihan untuk mengembangkan
keahlian individu.
Solusi terhadap maslah atau latihan bisa dibagikan
dengan kelompok dan masing-masing peserta bisa
melakukan penilaian diri berkaitan dengan tingkat
pengetahuan dan/ keterampilan yang telah diperoleh
36
melalui aktivitas tersebut. Hasil dari sebuah aktivitas
atau latihan bisa digunakan untuk proses peninjauan
ulang dan pemberian skor oleh instruktur. Kegiatan
tersebut menjadi bagian penilaian peserta dan
pengukuran hasil belajar secara keseluruhan.
b) Penilaian diri (self-assessment)
Peserta difasilitasi kesempatan untuk menilai
penerimaan mereka terhadap keterampilan dan
pengetahuan yang telah diberikan dipelatihan.
Beberapa teknik di bawah ini dapat membantu
memastikan proses penilaian diri berjalan efektif.
Penilaian diri harus dibuat tanpa nama sehingga
peserta bisa bebas mengeksprsikan penilaian yang
realistis dan akurat mengenai hal-hal yang telah
mereka pelajari.
Tujuan penilaian diri harus dijelaskan bersamaan
dengan rencana penggunaan data penilaian diri
tersebut.
Apabila tidak ada peningkatan atau penilaian diri
tidak memuaskan, harus ada penjelasan mengenai
makna dan implikasi dari penilaian diri tersebut.
37
c) Level 3, Perilaku
Perilaku atau behavior merupakan tahap evaluasi ketiga
dalam model evaluasi pelatihan empat tahap yang dikemukakan
oleh Kirkpatrick. Sebagaimana disampaikan bahwa, “to what degree
participants apply what they learned during training when they are
back on job.”18 Pada tahap evaluasi ini pengumpulan data dan
informasi ditujukan untuk mengetahui apakah terjadi proses transfer
of learning dalam diri peserta setelah mengikuti program pelatihan.
Konsep transfer of learning dalam hal ini terkait dengan kemampuan
peserta pelatihan dalam mengaplikasikan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang telah dipelajari selama pelatihan
kedalam dunia kerja.
Menurut Kirkpatrick, ada tiga hal penting yang harus
diperhatikan, yakni: (1) mantan peserta pelatihan tidak dapat
mengubah perilakukanya sampai dia memperoleh kesempatan
untuk melakukannya, (2) sangat sukar untuk memperkirakan kapan
perubahan itu akan terjadi, (3) bisa jadi mantan peserta pelatihan
menerapkan keterampilan barunya dalam pekerjaan sehari-hari
sekembalinya dari pelatihan, namun tidak melakukannya lagi
dikemudian hari.
18 Ibid.
38
d) Level 4, Hasil
Evaluasi terhadap hasil atau results merupakan evaluasi
program pelatihan tahap keempat. Kirkpatrick mengemukakan
bahwa, “to what degree targeted outcomes occur as a result of the
training event and subsequent reinforcement.”19 Pada tahap ini
evaluasi terhadap pelatihan dilakukan untuk mengukur kontribusi
program secara keseluruhan terhadap kinerja perusahaan.
Seberapa jauh program pelatihan yang telah diselenggarakan dapat
memberi manfaat terhadap perusahaan. Seberapa besar kontribusi
pelatihan terhadap efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas dan
pekerjaan dalam perusahaan. Beberapa pernyataan di atas
merupakan beberapa aspek yang perlu dicari jawabannya dalam
melakukan evaluasi program pelatihan pada tahap keempat.
2) Jack Phillips Return on Investment
Phillips – pada banyak buku dan artikelnya – telah melampaui
model level 4 milik Kirkpatrick. Phillips fokus pada pengukuran nyata dari
ROI atau Return on Investment (pembenaran dari biaya pelatihan
berdasarkan pengembalian investasi dan dampak organisasi).20
Pelatihan – dalam pengertian/konteks ini – telah berpindah dari
memuaskan peserta pelatihan menjadi meningkatkan kinerja organisasi.
19 Ibid. 20 Noe, Op.Cit., h.226.
39
Pelatihan/beasiswa diselenggarakan untuk memberikan dampak yang
positif pada organisasi.
Gambar 2.2.
Model ROI oleh Jack Phillips
Kini, banyak evaluator berpendapat bahwa model Kirkpatrick
bermanfaat untuk mengevaluasi: (a) apakah peserta menyukai pelatihan
mereka; (b) apakah peserta mempelajari sesuatu dari pelatihan; (c)
apakah pelatihan memberikan efek positif bagi organisasi, kelemahannya
(model Kirkpatrick) adalah model tersebut tidak bisa digunakan untuk
menentukan perbandingan biaya-manfaat pelatihan (ROI). Akibatnya,
para evaluator modern saat ini merekomendasikan untuk menambahkan
apa yang disebut level kelima (ROI level) pada model Kirkpatrick,
setidaknya untuk beberapa program.
3) Training Validation System
Fitz-enz (1994) mengembangkan sebuah sistem penilaian
pelatihan (Training Validation System atau TVS), yang empat langkah
40
prosesnya mirip dengan model Kirkpatrick pada langkah ketiga dan
keempat.
a. Langkah 1: simulation analysis atau analisis simulasi – langkah
ini mirip dengan sebuah analisis pelatihan secara mendalam.
Fitz-enz menyarankan agar jawaban manajer diselidiki secara
terus-menerus sampai ebberapa hasil nyata terlihat dan
terungkap dan bahwa pertanyaan awalnya fokus pada proses
kerja daripada pelatihan.
b. Langkah 2: interventions atau intervensi – langkah ini melibatkan
kegiatan menentukan diagnose masalah dan merancang
pelatihan.
c. Langkah 3: impact atau dampak – langkah ini menguji variabel
yang memberikan dampak pada kinerja.
d. Langkah 4: value atau nilai – langkah ini menempatkan nilai
moneter pada perubahan kinerja.
4) Nine Outcomes Model
Model yang layak digunakan lainnya adalah model “Nine
Outcomes” atau sembilan hasil, yang bertujuan untuk mengukur apakah
pelatihan telah berhasil. Dalam mengidentifikasi sembilan hasil (9
outcomes) tersebut, Donovan dan Townsend mengajukan sembilan
pertanyaan dengan fokus pada peserta pelatihan, yakni sebagai berikut.
41
a. Reaction to training (reaksi terhadap pelatihan) – apakah mereka
menyukai pelatihan?
b. Satisfaction with the organization of a training event (kepuasan
dengan pengelolaan acara pelatihan), seperti fasilitas, logistik,
makanan, dan lain-lain.
c. Knowledge acquisition (penerimaan pengetahuan) – apakah
mereka mempelajari sesuatu?
d. Skills improvement (peningkatan keterampilan) – dapatkah
mereka melakukan sesuatu yang baru atau yang lebih baik?
e. Attitude shift (perubahan sikap) – apakah mereka telah
mengubah pandangan mereka mengenai sesuatu?
f. Behavior change (perubahan perilaku) – apakah mereka telah
mengubah cara mereka dalam melakukan sesuatu setelah
(mengikuti) pelatihan?
g. Result (hasil) – bagaimana pelatihan mempengaruhi/
memberikan dampak pada faktor keberhasilan organisasi?
h. Return on Investment (pengembalian investasi) – untuk tingkat
apa pelatihan mengembalikan hasil yang lebih daripada
biayanya?
i. Psychological capital (modal psikologis) – bagaimana pelatihan
mempengaruhi citra perusahaan?
42
Pemilihan model evaluasi didasarkan pada komponen evaluasinya.
Pada penelitian ini model evaluasi yang digunakan adalah model evaluasi
pelatihan Kirkpatrick karena memiliki komponen pengukuran hasil belajar yang
terletak pada level 2. Model evaluasi Kirkpatrick juga berada dalam konteks
pelatihan, yakni khusus dirancang untuk melihat efektivitas sebuah pelatihan
yang nantinya akan berguna dalam memberikan rekomendasi bagi pengelola
pelatihan. Hal tersebut sesuai dengan tujuan evaluasi ini, yaitu untuk
mengetahui hasil belajar peserta pelatihan dalam hal kemampuan melaksana-
kan pembelajaran tatap muka. Evaluasi kali ini difokuskan pada kegiatan unjuk
kerja instruktur yang juga dapat mengindikasikan pemahaman dan
penguasaan mereka terhadap materi, baik itu secara pengetahuan dan
keterampilan yang telah diperoleh selama pelatihan. Dengan demikian, hasil
evaluasi level 2 dapat dijadikan bahan masukan dan refleksi terhadap
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan hasil pelatihan.
2. Kajian Instruktur
a. Pengertian Instruktur
Yusufhadi Miarso dalam Menyemai Benih Teknologi Pendidikan
mengemukakan pengakuan akan tenaga kependidikan berdasarkan Undang-
undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.21 Tenaga
21 Yusufhadi Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2004), h.50.
43
kependidikan meliputi tenaga pendidik (guru, dosen, tutor, dan fasilitator),
penglola satuan pendidikan, penilik, pengawas, pustakawan, laboran, teknisi
sumber belajar, peneliti dan pengembang dalam bidang pendidikan.
Gambar 2.3 memperlihatkan spektrum tenaga kependidikan
berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang ada dan yang
diusulkan dengan inti tenaga pendidik. Tenaga pendidik sendiri terdiri dari
tenaga pengajar (guru, dosen, tutor, fasilitator, dan widyaiswara), pembimbing
(guru pembimbing, penyuluh, fasilitator, dan widyaiswara), dan pelatih
(instruktur, tutor, pamong belajar, fasilitator, dan widyaiswara).
Gambar 2.3.
Spektrum Tenaga Kependidikan22
22 Ibid., h. 52.
44
Tenaga pendidik dikelilingi oleh sejumlah tenaga yang dapat
dibedakan dalam empat kategori, yaitu penyelenggara (pustakawan, laboran,
dan teknisi sumber belajar, dll), peneliti, pengembang (pengujian, kurikulum,
teknolog pendidikan, dll), dan pengelola (pengelola satuan, penilik, dan
pengawas) keempat kategori tersebut mempunyai fungsi utama untuk
menunjang pelaksanaan tugas tenaga pendidik.
Pada hakikatnya pelatih atau biasa disebut dengan instruktur adalah
tenaga pendidik, yang bertugas dan berfungsi melaksanakan pendidikan dan
pelatihan.23 Instruktur dapat juga dikatakan sebagai orang yang ditugaskan
memberikan pelatihan dan diangkat sebagai tenaga fungsional yang disebut
dengan widyaiswara. Peran dan tugasnya itu menuntut persyaratan kualifikasi
sebagai pelatih atau sebagai tenaga kependidikan. Pekerjaan kepelatihan
merupakan suatu pekerjaan professional yang harus dan hanya dilakukan oleh
orang yang sudah dipersiapkan sebagai tenaga professional. Hal itu
dikarenakan seorang instruktur menjadi ahli dalam melatih dan memiliki
dedikasi, loyalitas, dan berdisiplin yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya.
Tugas dan fungsinya sebagai tenaga kependidikan menuntut
kemampuannya sebagai tenaga profesional, kemampuan dalam proses
pembelajaran (kemampuan personal), kemampuan kepribadian, dan
kemampuan kemasyarakatan. Kemampuan-kemampuan itu mengandung
23 Oemar Hamalik, Manajemen Pelatihan Ketenaga Kerjaan: Pendekatan Terpadu Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h.144.
45
aspek-aspek pengetahuan, keterampilan, sikap, dan pengalaman di lapangan.
Persyaratan ini menyebabkan setiap instruktur harus mempelajari dan
menguasai:
1) Pengetahuan yang memadai dan mendalam terhadap bidang keilmuan
atau studi tertentu sesuai dengan bidang-bidang keilmuan yang
diterapkan dan dikembangkan dalam lembaga pelatihan tersebut.
Umumnya bidang-bidang keilmuan itu adalah yang banyak diterapkan
dalam program pelatihan di setiap organisasi, di mana lembaga
pelatihan tersebut bernaung. Pengetahuan ini diperoleh melalui
program pendidikan kesarjanaan di perguruan tinggi yang telah
ditempunya.
2) Kemampuan dalam bidang kependidikan dan keguruan, yakni berkena-
an dengan proses pembelajaran, berupa teori, praktik, dan pengalaman
lapangan.
3) Kemampuan kemasyarakatan adalah kemampuan yang diperlukan
dalam kehidupan antar manusia dan bermsyarakat, baik di lingkungan
lembaga pelatihan dan masyarakat, maupun dengan masyarakat luas.
4) Kemampuan kepribadian yang berkenaan dengan pribadi khususnya
yang dapat menunjang pekerjaan sebagai instruktur.
46
b. Peran Seorang Instruktur
Dalam setiap pelatihan, unsur dari setiap pelatih sangat berperan
dalam menciptakan baik buruuknya hasil dari pelatihan tersebut. Pelatih bukan
hanya sebagai pemberi materi bagi peserta tetapi juga harus dapat melakukan
bimbingan dengan baik. Menurut Hamalik, peran pelatih adalah sebagai
berikut.24
1) Peranan sebagai pengajar, menyampaikan pengetahuan dengan cara
menyajikan berbagai informasinya. Diperlukan berupa konsep-konsep,
fakta-fakta dan informasi lainnya yang memperkaya wawasan
pengetahuan para peserta.
2) Peranan sebagai pemimpin kelas, maka setiap pelatih perlu menyusun
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian selama
berlangsungnya proses pembelajaran.
3) Peranan sebagia pembimbing, pelatih perlu memberikan bantuan
kepada peserta yang mengalami kesulitan atau masalah khususnya
dalam kegiatan belajar, yang pada gilirannya diharapkan peserta lebih
aktif membimbing dirinya sendiri.
4) Peranan sebagai fasilitator, berperan menciptakan kondisi lingkungan
yang memungkinkan peserta belajar aktif.
5) Peranan sebagai peserta aktif, pelatih sering melaksanakan diksusi
kelompok dan kerja kelompok dalam rangka memecahkan masalah,
24 Ibid., h.145.
47
misalnya: merumuskan masalah, mencari data dan membuat
kesimpulan.
6) Peranan sebagai ekspeditor, melakukan pencarian, penjelajahan dan
penyediaan mengenai sumber-sumber yang diperlukan oleh kelas atau
kelompok peserta.
7) Peranan sebagai pembelajaran, beperan menyusun perencanaan
pembelajaran, mulai dari rencana materi pelatihan, perencanaan harian
dan perencanaan satuan acara pertemuan.
8) Peranan sebagai pengawas, pelatih harus mengawasi kelas secara
terus menerus supaya pembelajaran senantiasa terarah.
9) Peranan sebagai motivator, pelatih perlu terus menggerakkan motivasi
belajar para peserta, baik selama berlangsungnya proses pembelajaran
maupun di luar kelas pada setiap kesempatan yang ada.
10) Peranan sebagia evaluator, pelatih berkewajiban melakukan penilaian
pada awal pelatihan dan selama berlangsungnya proses pelatihan.
11) Peranan sebagai konselor, jika diperlukan dan memungkinkan maka
pelatih dapat juga memberikan penyuluhan tentang kesulitan pribadi
dan sosial.
12) Peranan sebagai penyidik sikap dan nilai, sistem nilai yang dijadikan
panutan hidup dan sikap para peserta pelatihan perlu diselidiki.
48
c. Kompetensi Instruktur
Penyelenggaraan pelatihan untuk tenaga pelatih, instruktur,
widyaiswara dan sejenisnya lebih rumit dibandingkan dengan penyelenggara-
an pelatihan untuk memberi bekal kemampuan teknis. Hal ini disebabkan
substansi materi yang mencakup kompetensi-kompetensi yang perlu dimiliki
seorang instruktur sangat kompleks. Pada tahun 1980, AECT bekerja sama
dengan NSPI (National Society for Performance of Instruction) membentuk
joint task force untuk menyusun standar dalam bidang desain dan
pengembangan instruksional, khususnya untuk perluan prosedur pendidikan
dan latihan sumber daya manusia. Pada tahun 1985, joint task force ini
kemudian dilebur dalam suatu lembaga baru yang disebut International Boards
of Standaring for Training, Performance and Instruction (IBSTPI). Lembaga ini
merumuskan kompetensi dasar bagi instruktur PSDM, yaitu:25
Tabel 2.1.
Kompetensi Dasar Bagi Instruktur PSDM
No. Indikator Kompetensi Deskripsi
1. Menganalisis bahan belajar dan
informasi pebelajar
Merupakan suatu proses pengumpulan
data untuk mengidentifikasi bidang-
bidang atau faktor-faktor apa saja yang
perlu disajikan sebagai bahan belajar di
dalam pelatihan yang sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan dari
pebelajar yang dilatih
25 Miarso, Op.Cit., h.55
49
2. Mempersiapkan tempat untuk
kegiatan instruksional
Kegiatan pelatihan bisa berjalan
dengan efektif apabila instruktur
mampu menyesuaikan tempat dengan
kegiatan instruksionalnya. Pembelajar-
an bisa berlangsung di luar atau di
dalam kelas, untuk itu instruktur harus
mampu menyiapkan tempat dan alat
bantu mengajar yang sesuai.
3. Menentukan dan mempertahan-
kan kredibilitas instruktur
Sebagai seorang instruktur perlu mem-
peroleh rasa kepercayaan dari penggu-
na. Apabila seorang instruktur dapat
dipercayai oleh setiap peserta didiknya
maka akan meningkatkan motivasi
belajar peserta. Kredibilitas instruktur
dapat dipertahankan apabila seorang
instruktur tetap berupaya untuk mening-
katkan kemampuannya.
4. Mengelola lingkungan belajar Suatu kondisi belajar yang optimal
dapat tercapai jika instruktur mampu
mengelola peserta dan sarana
pembelajaran serta mengendalikannya
dalam suasana yang menyenangkan
untuk mencapai tujuan pembelajaran.
5. Mendemonstrasikan keterampilan
berkomunikasi yang efektif
Dalam kegiatan pembelajaran,
berkomunikasi memainkan peranan
penting sebab dengan komunikasi yang
baik akan memberikan dampak yang
efektif terhadap penyampaian materi di
kelas. Seorang instruktur perlu
mendemon-strasikan keterampilan
komunikasi yang efektif agar peserta
pelatihan-nya dapat menerapkannya
50
sesuai dengan kondisi yang akan
dihadapi.
6. Mendemonstrasikan keterampilan
presentasi yang efektif
Yang dimaksud di dalam indikator ini
ialah penyajian informasi secara lisan
yang diorganisasi secara sistematik
untuk menunjukkan adanya hubungan
antara yang satu dengan yang lainnya.
Agar kegiatan presentasi berjalan
efektif perlu melibatkan sarana media
presentasi yang sesuai dengan tujuan
pembe-lajarannya.
7. Mendemonstrasikan keterampilan
dan teknik bertanya yang efektif
Dalam kegiatan pembelajaran, bertanya
memainkan peranan penting sebab
pertanyaan yang tersusun dengan baik
dan teknik pelontaran yang tepat pula
akan memberikan dampak yang posisitf
terhadap peserta pelatihan.
8. Merespon kebutuhan belajar
dengan senantiasa
mengusahakan uman balik
Umpan balik perlu diberikan untuk
membantu peserta didik mengetahui
sejauh mana kebenaran atau unjuk
kerja yang dihasilkan. Pemberian uman
balik akan lebih efektif apabila diberikan
langsung setelah peserta menampilkan
kinerjanya.
9. Memberikan penguatan dan
dorongan untuk belajar
Penguatan adalah segala bentuk
respon, apakah bersifat verbal maupun
nonverbal, yang merupakan bagian dari
modifikasi tingkah laku guru terhadap
tingkah laku siswa, yang bertujuan
untuk memberikan umpan balik atas
perbuatannya sebagai suatu tindak
51
dorongan ataupun koreksi untuk
belajar.
10. Menggunakan metode
instruksional dengan semestinya
Metode instruksional yang digunakan
oleh seorang instruktur haruslah sesuai
dengan tujuan pembelajaran yang
hendak dicapai. selain itu metode
instuksional juga dapat divariasikan
yang ditujukan untuk mengatasi
kebosanan peserta.
11. Menggunakan media
instruksional secara efektif
Dalam mempresentasikan materi pela-
jaran lazim bagi instruktur mengguna-
kan media instruksional. Agar penggu-
naan media tersebut efektif perlu diper-
hatikan materi yang akan disampaikan
dengan karakteristik media yang diper-
gunakan. Dengan penggunaan media
instruksional secara efektif akan dapat
memaksimalkan tercapainya tujuan
pembelajaran.
12. Mengevaluasi kinerja pembelajar Evaluasi kinerja pembelajar dimaksud-
kan untuk mendapatkan masukan
berdasarkan temuan hasil evaluasi
kinerja pembelajar sehingga instruktur
mampu memberikan masukan dan
pebaikan apabila masih memiliki
kekurangan.
13 Mengevaluasi pembelajaran Evaluasi pembelajaran dimaksudkan
untuk mendapatkan masukan
berdasarkan temuan hasil evaluasi
pembelajaran sehingga instruktur
mampu meningkatkan kualitas pembe-
lajaran di masa yang akan datang.
52
14. Melaporkan hasil penilaian Indikator ini berupakan kompetensi
terakhir yang harus dimiliki oleh
instruktur berkaitan dengan menyusun
laporan hasil penilaian. Laporan hasil
penilaian perlu dibuat selain sebagai
arsip/dokumentasi dari pelatihan yang
telah dilakukan tetapi juga untuk
keperluan yang lebih jauh lagi, seperti
penilaian kinerja pasca pelatihan.
Perumusan kompetensi instruktur oleh IBSTPI tersebut mengaharus-
kan instruktur bertanggung jawab terhadap pembelajaran yang berpusat pada
pebelajar dengan terlebih dahulu menganalisa pebelajar dan bahan belajar
yang sesuai dengan karakteristik pebelajar, mengelola lingkungan belajar,
berkomunikasi dan melakukan presentasi yang efektif. Selain itu, instruktur
diharuskan senantiasa memberikan bimbingan kepada pebelajar dengan
memberikan respon berupa umpan balik serta penguatan dan dorongan untuk
belajar. Pembelajaran harus dilakukan secara efektif dengan menggunakan
metode pembelajaran yang tepat dan ditunjang penggunaan media yang
sesuai dengan metode dan tujuan pembelajaran. Sebagai tahap akhir dari
rangkaian kegiatan sistematis, instruktur perlu melakukan evaluasi terhadap
kinerja instruktur dan pembelajaran yang telah dilaksanakan untuk kemudia
melaporkan hasil penilaian tersebut.
53
Secara spesifik, instruktur sebagai tenaga pendidik perlu menguasai
empat kemampuan dalam penampilan aktual kegiatan pembelajaran. Empat
kemampuan yang dimaksud adalah:26
1) Merencanakan proses pembelajaran,
2) Melaksanakan dan memimpin/mengelola pembelajaran,
3) Menilai kemajuan proses pembelajaran, dan
4) Menguasai materi pembelajaran.
Keempat kemampuan tersebut merupakan kemampuan yang
sepenuhnya harus dikuasai instruktur sebagai tenaga pendidik yang
professional. Lebih dalam lagi, seorang instruktur perlu menguasai
keterampilan dalam melaksanakan sebuah kegiatan pembelajaran.
Keterampilan dasar mengajar diperlukan bagi instruktur agar dapat
melaksanakan tugasnya dalam pengelolaan proses pembelajaran, sehingga
pembelajaran dapar berjalan dengan efektif dan efisien. Di samping itu
keterampilan dasar merupakan syarat mutlak seorang instruktur bisa
mengimplementasikan berbagai strategi pembelajaran yang akan
disampaikan. Keterampilan yang dimaksud adalah:27
1) Keterampilan bertanya yang mensyaratkan guru harus menguasai
teknik mengajukan pertanyaan yang cerdas, baik keterampilan bertanya
dasar maupun keterampilan bertanya lanjut.
26 Syaefudin, Pengembangan Profesi Guru, (Bandung: Alfabeta, 2009), h.30. 27 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), h.74.
54
2) Keterampilan memberi penguatan seorang guru perlu menguasai
keterampilan memberikan penguatan karena penguatan merupakan
dorongan bagi siswa untuk meningkatkan perhatian.
3) Keterampilan mengadakan variasi, baik variasi dalam gaya mengajar,
penggunaan media dan bahan pelajaran, dan pola interaksi dan
kegiatan
4) Keterampilan menjelaskan yang mensyaratkan guru untuk merefleksi
segala informasi sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Setidaknya,
penjelasan harus relevan dengan tujuan, materi, sesuai dengan
kemampuan dan latar belakang siswa, serta diberikan pada awal,
tengah, ataupun akhir pelajaran sesuai dengan keperluan.
5) Keterampilan membuka den menutup pelajaran, dalam konteks ini, guru
perlu mendesain situasi yang beragam sehingga kondisi kelas menjadi
dinamis.
6) Keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil hal terpenting dalam
proses ini adalah mencermati.aktivitas siswa dalam diskusi.
7) Keterampilan menglola kelas, mencakupi keterampilan yang
berhubungan dengan penciptaan dan pemeliharaan kondisi belajar
yang optimal, serta pengendalian kondisi belajar yang optimal.
8) Keterampilan mengajar perseorangan, keterampilan mengajar
perorangan yang mensyaratkan guru agar mengadakan pendekatan
secara pribadi, mengorganisasi-kan, membimbing dan memudahkan
55
belajar, serta merencanakan dan melaksana-kan kegiatan belajar-
mengajar.
Dari delapan keterampilan yang telah dijsebutkan di atas, yang paling
penting bagi instruktur adalah bagaimana cara instruktur dapat menerapkan
agar proses pembelajaran dapat berjalan efektif.
3. Kajian Pelaksanaan Pembelajaran
a. Teori Belajar dan Pembelajaran
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, belajar ialah suatu usaha
untuk memperoleh kepandaian atau ilmu.28 Kemp dan Dayton (1985, dalam
Prawiladilaga 2012) mengemukakan bahwa, belajar merupakan suatu proses
yang terjadi pada seseorang sebagai suatu pengalaman.29 Definisi tersebut
menyiratkan bahwa pengalaman adalah hal yang sangat berharga bagi
keberhasilan belajar seseorang. Salah satu definisi belajar lain yang senada
pernah diungkapkan oleh Gagne (1977, dalam Siregar dan Nara 2010).
Menurut Gagne, “Learning is relatively permanent change in behavior that
result from pastesperience or purposeful instruction”.30 Belajar adalah suatu
perubahan perilaku yang relatif menetap yang dihasilkan dari pengalaman
28 http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php Diakses tanggal 12 November 2015. 29 Dewi Salma Prawiradilaga, Wawasan Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), h.68. 30 Eveline Siregar dan Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.4.
56
masa lalu ataupun dari pembelajaran yang bertujuan/direncanakan. Pendapat
tersebut memperjelas bahwa pengalaman yang menjadi faktor seseorang
untuk belajar. Pengalaman diperoleh dari interaksi peserta didik dengan
lingkungan baik itu yang direncanakan ataupun tidak, di mana akan
menghasilkan perilaku yang relatif menetap dalam diri peserta didik.
Sedangkan Heinich, dkk (1993, dalam Prawiradilaga 2012)
mengemukakan definisi yang lebih spesifik tentang belajar. Mereka
berpendapat bahwa, belajar sebagai pengembangan pengetahuan, keahlian,
atau sikap ketika seseorang berinteraksi dengan informasi dan
lingkungannya.31 Menurut mereka, waktu dan tempat belajar tidak tertentu,
belajar bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Selain itu, pendapat ini juga
mengarahkan hakikat belajar yang harus mengembangkan aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor dari peserta didik.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan dari berbagai pendapat di
atas, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu usaha yang disengaja
dan disadari oleh seseorang/peserta didik untuk memperoleh perubahan
tingkah laku yang relatif menetap. Perubahan tingkah laku dari peserta didik
haruslah dapat mengembangkan aspek pengetahuan, keterampilan, dan
sikap. Agar memperoleh perubahan tingkah laku tersebut, diperlukan
31 Prawiradilaga, Op.Cit., h.68.
57
pengalaman yang memiliki tujuan dan direncanakan terlebih dahulu ketika
peserta didik berinteraksi dengan lingkungnnya.
Belajar dipandang sebagai kondisi yang terjadi di dalam diri peserta
didik (aspek internal). Namun, tidak dapat dipungkiri memerlukan aspek
eksternal yang merangsang agar peserta didik dapat belajar, yaitu melalui
kegiatan pembelajaran. Pembelajaran juga dapat mendukung dan
menghidupkan proses belajar. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 Tahun 2003, pembelajaran adalah proses interaksi siswa
dengan pendidik dan sumber belajar. Artinya bahwa pembelajaran sebagai
proses belajar yang dibagun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas
berpikir yang dapat mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya
meningkatkan penguasaan yang baik terhadap kompetensi.
Sementara Miarso (2004) mengemukakan bahwa pembelajaran
adalah usaha mengelola lingkungan dengan sengaja agar seseorang
membentuk diri secara positif dalam kondisi tertentu.32 Hal ini dimaksudkan
bahwa pembelajaran merupakan perubahan diri atau pembentukkan proses
belajar dari siswa untuk memperoleh hasil belajar yang merupakan hasil dari
suatu interaksi tindak belajar melalui lingkungan sekitar. Pembelajaran
dilaksanakan secara sengaja dan selaku pembelajar harus menetapkan tujuan
pembelajaran terlebih dahulu sebelum kegiatan pembelajaran berlangsung.
32 Miarso, Op.Cit., h.528.
58
Pembelajaran adalah kombinasi dari unsur-unsur manusiawi,
material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi
dalam mencapai tujuan.33 Manusia yang terlibat dalam sistem pembelajaran
terdiri dari siswa, guru, dan tenaga kependidikan lainnya, misalnya
pustakawan, laboran, teknolog pendidikan. Material meliputi buku-buku, papan
tulis, alat peraga, film, audio, dan video tape. Fasilitas dan perlengkapan terdiri
dari ruang kelas, perlengkapan audio visual, dan komputer. Prosedur meliputi
jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, ujian, dan sebagainya.
Pembelajaran tidak hanya melibatkan pembelajar sebagai kunci
keberhasilannya. Peserta didik juga perlu dilibatkan sehingga dapat bersinergi
dalam mencapai tujuan pembelajaran. Pendapat ini senada dengan yang
dikemukakan oleh Gagne, Briggs, dan Wager (dalam prawiradilaga 2012).
Mereka berpendapat bahwa pembelajaran sebagai suatu perangkat kegiatan
yang melibatkan peserta didik itu sendiri, dimana pada prosesnya terjadi
secara bertahap.34 Pembelajaran yang dimaksudkan adalah kegiatan-kegiatan
yang terangkum dengan memperhatikan persyaratan proses belajar yang
terjadi dalam diri peserta didik sebagai rangkaian persentuhan (contiguity),
pengulangan (repetition), dan penguatan (reinforcement). Ketiga rangkaian
tersebut dimaknai sebagai prinsi[ belajar terkait dengan keberadaan penyajian
stimulus dalam belajar yang harus didapatkan oleh peserta didik.
33 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h.57. 34 Dewi Salma Prawiradilaga, Op.Cit., h.84.
59
Dari beberapa definisi pembelajaran di atas, dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran merupakan suatu proses perubahan tingkah laku
seseorang melalui serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam
mendesain kegiatan pembelajaran agar dapat membawa siswa belajar dengan
memanfaatkan sumber-sumber sehingga mencapai hasil yang diinginkan.
Pembelajaran merupakan serangkaian usaha yang dilakukan oleh guru untuk
membantu siswa belajar sesuai dengan rencana yang telah dirancang
sebelumnya.
Dari definisi pembelajaran yang telah dikemukakan, maka dapat
disimpulkan beberepa ciri-ciri pembelajaran sebagai berikut:
1) Merupakan upaya sadar dan disengaja,
2) Pembelajaran harus membuat siswa belajar,
3) Tujuan harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses dilaksanakan,
4) Pelaksanaannya terkendali, baik isinya, waktu, proses, maupun
hasilnya.
b. Prinsip-prinsip Pembelajaran
Dalam melaksanakan pembelajaran, agar dapat dicapai hasil yang
lebih optimal perlu memperhatikan beberapa prinsip-prinsip pembelajaran.
Kata prinsip yang jika diartikan secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, adalah dasar yang menjadi pokok berpikir, bertindak, dan
60
sebagainya.35 Berdasarkan definisi tersebut, makna prinsip pembelajaran
adalah dasar-dasar yang menjadi acuan pembelajar dalam berpikir maupun
bertindak pada kegiatan pembelajaran untuk mencapai hasil pembelajaran
yang optimal. Prinsip-prinsip pembelajaran dibangun atas dasar prinsip-prinsip
yang ditarik dari teori psikologi terutama teori belajar dan hasil-hasil penelitian
dalam kegiatan pembelajaran. Prinsip pembelajaran bila diterapkan dalam
proses pengembangan dan pelaksanaan pembelajaran akan diperoleh hasil
yang lebih optimal. Selain itu akan meningkatkan kualitas pembelajaran
dengan cara memberikan dasar-dasar teori untuk membangun sistem
pembelajaran yang lebih berkualitas.
Fillbeck (dalam Siregar & Nara 2010), mengelompokkan prinsip
pembelajaran menjadi dua belas kelompok yang diantarany:36
1) Respon yang berakibat menyenangkan dalam pembelajaran,
implikasi:
a) Perlunya umpan balik positif dengan segera,
b) Keharusan peserta didik untuk aktif membuat respon,
c) Perlunya pemberian latihan (exercise) dan tes.
2) Kondisi atau tanda untuk menciptakan perilaku tertentu, implikasi:
a) Perlunya kejelasan mengenai standar kompetensi maupun
kompetensi dasar yang dirinci dalam indikator-indikatornya,
35 http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php Diakses tanggal 12 November 2015. 36 Eveline Siregar dan Hartini Nara, Op.Cit., h.12.
61
b) Penggunaan variasi metode dan media.
3) Pemberian akibat yang menyenangkan, implikasi:
a) Pemberian isi/materi pokok yang berguna,
b) Imbalan dan penghargaan terhadap keberhasilan pembelajaran,
c) Seringnya pemberian latihan dan tes.
4) Transfer pada situasi lain, implikasi:
a) Pemberian kegiatan belajar yang menyerupai dengan kondisi di
dunia nyata,
b) Pemberian contoh-contoh riil/nyata,
c) Penggunaan variasi metode dan media.
5) Generalisasi dan pembedaan sebagai dasar untuk belajar sesuatu
yang kompleks, implikasi:
a) Perlunya keseimbangan dalam memberikan contoh (baik-buruk,
positif-negatif, konkret-abstrak, dsb.),
b) Bukan menghafal detail subtansi, tetapi mengenalkan konsepsi
umum dan spesifik dari sebuah materi.
6) Pengaruh status mental terhadap perhatian dan ketekunan, implikasi:
a) Perlunya menarik/memusatkan perhatian pembelajaran,
b) Pelibatan peserta didik secara aktif sebagai pelaku bukan hanya
sebagai penerima.
7) Membagi kegiatan ke dalam langkah-langkah kecil, implikasi:
a) Penggunaan buku teks terprogram,
62
b) Pemenggalan kegiatan menjadi kecil-kecil, disertai latihan dan
umpan balik).
8) Pemodelan bagi materi yang kompleks, implikasi:
Penggunaan metode dan media yang dapat menggambarkan model
(simplifikasi) dari benda/kegiatan nyata.
9) Keterampilan tingkat tinggi terbentuk dari keterampilan-keterampilan
dasar, implikasi:
Standar kompetensi maupun kompetensi dasar hendaknya
dirumuskan seoperasional mungkin dan diturunkan/dijabarkan
melalui indikator-indikatornya.
10) Pemberian informasi tentang perkembangan kemampuan
pembelajaran, implikasi:
a) Urutan pembelajaran dimulai dari yang sederhana bertahap
menuju ke yang makin kompleks,
b) Kemajuan harus diinformasikan secara beruntun dan
berkesinambungan serta dalam waktu yang sesegera mungkin,
agar dapat dirasakan untuk tindak lanjut,
c) Penilaian yang dimaksud adalah penilaian kemajuan belajar,
bukan penilaian hasil belajar.
11) Variasi dalam kecepatan belajar, implikasi:
a) Pentingnya penguasaan materi prasyarat,
b) Kesempatan untuk maju menurut kecepatan masing-masing.
63
12) Persiapan/kesiapan, implikasi:
Pemberian kebebasan kepada peserta didik untuk memilih waktu,
cara, dan sumber belajar lain.
Melihat keduabelas prinsip pembelajaran yang sudah dipaparkan,
dapat disimpulkan bahwa penerapan prinsip tersebut dalam pembelajaran
merupakan pekerjaan yang kompleks. Namun, bila dilakukan dengan
seksama, pembelajaran diharapkan menjadi efektif dan efisien. Prinsip
pembelajaran lain yang dapat diterapkan dan sudah banyak diadopsi oleh para
ahli maupun praktisi dalam bidang pendidikan dan pelatihan, ialah prinsip yang
dikemukakan oleh Robert M. Gagne, nine events of instruction atau sembilan
tahapan memandu pembelajar atau disainer pembelajaran untuk
melaksanakan kegiatan tertentu dalam rangka menghidupkan kondisi internal
peserta terkait materi pelajaran tertentu. Pemaparan tentang prinsip nine
evants of instruction akan dijelaskan di bawah ini.
c. Prinsip Nine Events of Instruction
Menurut Gagne (1978), pembelajaran terdiri dari sebuah latar
peristiwa eksternal untuk mengakomodir peserta didik sehingga mendukung
proses belajar secara mandiri.37 Berdasarkan pendapat tersebut maka
peristiwa pembelajaran didisain agar memungkinkan untuk peserta didik agar
37 Robert M. Gagne & Leslie J. Briggs, Principles of Instructional Design: 2nd Edition, (Florida: Holt, Rinehart and Winston, 1978), h.155.
64
memproses dari awal sehingga menuju pecapaian kemampuan yang
diidentifikasi sebagai tujuan dan sasaran pembelajaran. Di beberapa contoh,
perisitiwa dalam belajar terjadi sebagai hasil alami dari interaksi peserta didik
dengan materi pembelajaran. Pada dasarnya interaksi tersebut merupakan
kegiatan yang telah diatur secara sengaja oleh pembelajar dan disainer
pembelajaran untuk mencapai hasil pembelajaran tertentu.
Beberapa peristiwa pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru
dalam melaksanakan pembelajaran dikemukan oleh Gagne dan Briggs dalam
bukunya yang berjudul Principles of Instructional Design (1978). Pristiwa
pembelajaran tersebut lebih dikenal dengan sebutan nine events of instruction
yang pada akhirnya menjadi suatu prinsip bagi pembelajar dan desainer
pembelajaran untuk merancang kegiatan pembelajaran. Prinsip tersebut telah
dimodifikasi untuk berbagai kepentingan sesuai dengan minat penggunanya.
Keistimewaan prinsip nine events of instruction terletak pada kelengkapan
pemikiran yang mencakup aspek motivasi eksternal, penyajian materi,
bimbingan bagi peserta didik, serta pemantauan hasil belajar.
Adapun prinsip nine events of instruction menurut Gagne & Briggs
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
65
Tabel 2.2
Sembilan peristiwa pembelajaran dan hubungannya dengan proses
belajar38
No. Peristiwa Pembelajaran Hubungan dengan Proses Belajar
1 Mendapatkan perhatian
(Gaining attention)
Peserta didik tidak selalu siap dan fokus pada
awal pembelajaran. Guru perlu menimbulkan
minat dan perhatian anak didik melalui
penyampaian sesuatu yang baru, aneh,
kontradiktif atau kompleks
2 Meninformasikan tujuan
pembelajaran (Informing
learners of objectives)
Hal ini dilakukan agar peserta didik tidak
menebak-nebak apa yang diharapkan dari
dirinya oleh guru. Mereka perlu mengetahui
unjuk kerja apa yang akan digunakan sebagai
indikator penguasaan pengetahuan atau
keterampilan
3 Merangsang kembali
pengethuan prasyarat
(Stimulating recall of prior
learning)
Banyak pengetahuan baru yang
merupakan kombinasi dari konsep, prinsip
atau informasi yang sebelumnya telah
dipelajari, untuk memudahkan
mempelajari materi baru
4 Menyampaikan materi
pelajaran (Presenting the
content)
Dalam menjelaskan materi pembelajaran,
menggunakan contoh, penekanan untuk
menunjukkan perbedaan atau bagian penting,
baik secara verbal maupun menggunakan
fitur tertentu (warna, huruf miring,
garisbawahi, dsb)
38 Ibid., h.157.
66
5 Menyediakan bimbingan
belajar (Providing learning
guidance)
Bimbingan diberikan melalui pertanyaan-
pertanyaan yang membimbing proses/alur
pikir peserta didik. Perlu diperhatikan agar
bimbingan tidak diberikan secara berlebihan
6 Memberikan kesempatan
untuk tampil (Eliciting
performance/practice)
Peserta didik diminta untuk menunjukkan apa
yang telah dipelajari, baik untuk meyakinkan
guru maupun dirinya sendiri
7 Menyediakan umpan balik
(Providing feedback)
Umpan balik perlu diberikan untuk membantu
peserta didik mengetahui sejauh mana
kebenaran atau unjuk kerja yang dihasilkan
8 Menilai penampilan/hasil
belajar (Assessing
performance)
Pengukuran hasil belajar dapat dilakukan
melalui tes maupun tugas. Perlu diperhatikan
validitas dan reliabilitas tes yang diberikan
dari hasil observasi guru
9 Meningkatkan pemahaman
dan menerapkannya
(Enhancing retention and
transfer to the job)
Retensi dapat ditingkatkan melalui latihan
berkali-kali menggunakan prinsip yang
dipelajari dalam konteks yang berbeda.
Kondisi/situasi pada saat transfer belajar
diharapkan terjadi, harus berbeda.
Memecahkan masalah dalam suasana di
kelas akan sangat berbeda dengan susasana
riil yang mengandung resiko
Berdasarkan tabel di atas, dapat dijelaskan prinsip nine events of
instruction menurut Gagne dan Briggs, seperti di bawah ini:
67
1) Mendapatkan perhatian (Gaining attention)
Pastikan peserta didik siap untuk belajar dan berpartisipasi dalam
kegiatan dengan menghadirkan stimulus untuk mendapatkan perhatian
mereka. Metode yang sering digunakan untuk mendapakan perhatian
peserta didik yaitu dengan menarik minat si peserta. Beberapa metode
yang dapat digunakan antara lain:
a) Seorang guru bisa saja mencoba menarik perhatian minat siswanya
dengan cara memberikan pertanyaan lisan,
b) Komunikasi yang sebagian atau bahkan sepenuhnya berupa non-
verbal seringkali digunakan untuk menarik perhatian peserta didik
dalam materi pelajaran, dan
c) Menampilkan gambar bergerak atau adegan televisi yang terlihat
tidak biasa sehingga memancing perhatian peserta didik.
Keterampilan guru dalam menarik perhatian peserta didik termasuk
ke dalam seni dari seorang guru, dimana di dalamnya melibatkan wawasan
pengetahuan guru terhadap peserta yang terlibat dalam pembelajaran.
2) Menginformasikan tujuan pembelajaran (Informing learners of
objectives)
Dalam beberapa hal, peserta didik haruslah mengetahui kinerja
seperti apa yang akan dijadikan indikator bahwa proses belajar telah
berhasil (tercapai). Ada kalanya tujuan (umum) belajar dinyatakan dengan
68
jelas, dan tidak memerlukan komunikasi khusus. Intinya adalah, peserta
didik tidak perlu repot menebak-nebak apa yang akan diajarkan oleh guru
nanti. Peserta didik justru perlu tahu apa yang akan dipelajarinya. Hal yang
terbaik adalah guru tidak boleh membiarkan peserta didiknya menerka-
nerka bahwa mereka sudah tahu apa yang akan dipelajarinya.
Mengkomunikasikan tujuan pembelajaran kepada peserta didik merupakan
hal yang terbaik yang dapat dilakukan oleh seorang guru. Terlebih lagi,
tindakan guru dalam menjelaskan tujuan pembelajaran justru membantu
guru agar tujuan pembelajaran tetap “berjalan” sesuai target.
3) Merangsang kembali pengetahuan prasyarat (Stimulating recall of
prior learning)
Belajar hal baru (new learning) merupakan penggabungan ide-ide.
Misalnya ketika kita akan mempelajari matematika tentang perkalian
bilangan. Jika kita ingin menguasai perkalian bilang 8, maka kita harus
menguasai perkalian bilangan 7, 6, dan seterusnya. Jika kita ingin berhasil
mempelajari suatu hal baru, maka ada komponen-komponen sebelumnya
yang harus kita kuasai terlebih dahulu. Ketika momen belajar ini
berlangsung, Kemampuan mengingat kembali (the recall) akan
pengetahuan belajar sebelumnya dapat dirangsang melalui penguatan
komunikasi berupa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan dapat dilakukan
dengan cara menanyakan satu-persatu ataupun secara menyebar.
69
4) Menyampaikan materi pelajaran (Presenting the content)
Rangsangan (stimulus) yang dimunculkan (dikomunikasikan)
kepada peserta didik akan melibatkan kinerja yang mewakili belajar itu
sendiri. Jika peserta didik diharuskan mempelajari rangkaian fakta,
misalnya peristiwa-peristiwa dalam pembelajaran, maka fakta-fakta inilah
yang nantinya akan disajikan, bisa dalam bentuk lisan maupun tulisan. Jika
peserta didik diberikan tugas membaca tulisan cetak, maka bahan materi
berupa cetaklah yang harus disajikan. Jika peserta didik harus mempelajari
cara merespon pertanyaan dalam bahasa Jepang, maka pertanyaan
bahasa Jepang lisan inilah yang harus disajikan kepada anak, bukan
pertanyaan bahasa Jepang secara tertulis. Apabila guru salah
menyajikan/memberikan stimulus yang tepat kepada anak, maka anak juga
akan salah mempelajari.
5) Menyediakan bimbingan belajar (Providing learning guidance)
Misalkan salah satu keinginan peserta didik untuk memperoleh
aturan dalam pelaksanaan pembelajaran. Guru dapat membimbing dengan
memberikan beberapa pertanyaan mengenai proses atau alur yang
dimaksud. Pertanyaan-pertanyaan yang bisa diberikaan dalah pertanyaan
yang membangun pengetahuan peserta dan tidak berlebihan. Guru dapat
membuat suatu strategi untuk membantu peserta didik dalam mencerna
materi melalui pemberian pertanyaan dan saran-saran tersebut. Metode
untuk memberikan bimbingan belajar dapat meliputi memberikan dukungan
70
pembelajaran yang diperlukan, menggunakan strategi pembelajaran yang
bervariasi, memberikan conton dan non-contoh, dan menyajikan studi
kasus, analogi, visual/gambar, dan metafora.
6) Memberikan kesempatan untuk tampil (Eliciting performance /
practice)
Setelah memperoleh bimbingan belajar yang cukup, kini peserta
didik perlu untuk menggabungkan pristiwa-pristiwa selama pembelajaran.
Guru perlu berusaha untuk mengaktifkan pengolahan pemikiran peserta
didik untuk membantu mereka menginternalisasi keterampilan serta
pengetahuan baru untuk mengonfirmasi pemahaman konsep yang benar.
Cara untuk mengaktifkan proses dapat dilakukan dengan meminta peserta
mengajukan pertanyaan, meminta peserta untuk memingat materi yang
telah disampaikan, memfasilitasi peserta didik untuk berlaborasi, dan
menyediakan kegiatan praktik yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.
7) Menyediakan umpan balik (Providing feedback)
Kegiatan selanjutnya adalah memberikan umpan balik terhadap
kinerja peserta didik. Pemberian uman balik akan lebih efektif apabila
diberikan langsung setelah peserta menampilkan kinerjanya. Tipe untuk
memberikan umpan balik diantaranya:
a) Umpan balik konfirmatori
71
Menginformasikan ke peserta didik untuk melakukan apa yang
seharusnya mereka lakukan
b) Umpan balik korektif dan perbaikan
Memberitahukan peserta didik mengenai keakuratan kinerja atau
respon mereka
c) Umpan balik remedial
Mengarahkan peserta didik ke arah yang seharusnya untuk
menemukan jawaban yang benar tetapi tidak secara langsung
memberikan jawaban yang benar
d) Umpan balik informatif
Menyediakan informasi yang bersifat baru, berbeda, penambahan,
dan saran untuk peserta didik dan menegaskan bahwa peserta telah
aktif mendengarkan. Informasi ini memungkinkan pula untuk
dibagikan lebih dari dua orang.
e) Umpan balik analitis
Memberikan saran pada peserta didik, rekomendasi, dan informasi
agar memperbaiki kinerjanya.
8) Menilai penampilan/hasil belajar (Assessing performance)
Indikasi langsung bahwa belajar (learning) yang diinginkan telah
terjadi yaitu ketika kinerja yang diinginkan telah muncul. Ini pada dasarnya
disebut penilaian hasil belajar. Mengenai hal itu, akan menimbulkan
pertanyaan yang lebih besar lagi terkait dengan reliabilitas (keajegan) dan
72
validitas (keabsahan) dari segala upaya sistematis yang dilakukan untuk
menilai hasil akhir ataupun mengevaluasi efektivitas sebuah pembelajaran.
Metode untuk melakukan pengujian antara lain:
a) Memberikan pretest untuk mengetahui penguasaan prasyarat,
b) Memberikan post-test untuk mengetahui sejauh mana peserta didik
menguasai konten yang diujikan,
c) Menanamkan pertanyaan yang mencakup seluruh pembelajarn
melalui pertanyaan lisan dan/atau tulis,
d) Mengidentifikasi kinerja normative (membandingkan peserta didik
satu dan lainnya).
9) Meningkatkan pemahaman dan menerapkannya (Enhancing
retention and transfer to the job)
Transfer belajar akan baik dilakukan dengan mengatur beberapa
jenis tugas baru untuk si peserta didik – yaitu tugas yang mana
membutuhkan penerapan keterampilan yang telah dipelajari dalam situasi
tertentu yang membedakan jauh dengan tugas di dalam belajar itu sendiri.
Menyusun kondisi-kondisi untuk mentransfer itu sama artinya dengan
memvariasikan kondisi/situasi secara keseluruhan lebih luas lagi. Hal
tersebut bisa saja tercapai, misalnya dengan menyuruh peserta didik untuk
menyusun beberapa kalimat yang mengharuskan peserta didik
menggunakan kata kerja dan kata ganti subjek. Kemudian dalam kondisi
73
berbeda lainnya, peserta didik juga bisa disuruh untuk menyusun kalimat
menggunakan kata ganti dan kata kerja, untuk menjelaskan suatu tindakan
yang terjadi pada gambar tertentu. Trik yang dilakukan oleh guru itu bisa
disebut mendesain jenis-jenis situasi “penerapan” untuk tujuan memastikan
terjadi adanya transfer belajar pada anak.
Kesembilan langkah di atas dapat disederhanakan menjadi empat
kegiatan besar, yaitu.39
1) Langkah satu sampai tiga merupakan kegiatan pengajar untuk
memotivasi pebelajar dengan berbagai cara. Menjelaskan tujuan
pembelajaran atau kompetensi yang akan mereka peroleh dari
penyajian materi nanti sangat diperlukan pebelajar karena mereka akan
belajar lebih terarah. Selain itu, sebaiknya seorang guru
menghubungkan materi yang akan dipelajari dengan materi yang telah
dikuasai sebelumnya. Usahakanlah semua kegiatan awal proses
belajar mengajar menjadi sesuatu yang menarik dan menimbulkan rasa
ingin tahu.
2) Langkah empat sampai dengan tujuh merupakan kegiatan penyajian
materi yang dilakukan oleh pengajar. Sewaktu menyajikan, pengajar
sebaiknya memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk merespon
atas penyajian dengan melaksanakan berbagai kegiatan yang
mendukung pemahaman materi, seperti kerja tim, bertanya,
39 Dewi Salma Prawiradilaga, Prinsip Desain Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2007), h.25.
74
berdemonstrasi, dan sebagainya. Kalau perlu, cobalah pikirkan suatu
teknik agar materi yang disampaikan mudah diingat dan diterapkan.
Sebagai contoh, guru dapat membuat singkatan tertentu yang tengah
dikenal di masyarakat, namun dikaitkan dengan materi yang akan
diajarkan.
3) Langkah delapan, yaitu tahap menilai hasil belajar sejauh mana
kompetensi dapat dikuasai atau belum. Pada langkah ini, apabila
pebelajar masih mengalami kesulitan atau hambatan, cobalah
diskusikan materi yang telah dibahas. Kalau perlu, cobalah berikan
ringkasan atau pengulangan materi tersebut. Penilaian dapat diberikan
dalam bentuk tes objektif atau tugas lain yang setara tingkat
kesulitannya.
4) Langkah sembilan merupakan upaya pengajar untuk memberikan tugas
terkait dengan materi yang telah dibahas tadi. Tugas yang diberikan
pada langkah sembilan ini dapat dianggap sebagai pengayaan agar
kompetensi lebih mengendap lagi dalam pikiran pebelajar.
d. Model-model Pembelajaran
Dewey (dalam Suyanto dan Jihad, 2013) mendefinisikan model
pembelajaran sebagai “a plan or pattern that we can use to design face-to-face
75
teaching in classroom or tutorial settings and to shape instructional material”.40
Definisi tersebut mengartikan model pembelajaran sebagai suatu rencana atau
pola yang dapat digunakan untuk merancang tatap muka di kelas atau
pembelajaran tambahan di luar kelas, serta untuk menyusun materi pembela-
jaran. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa: 1) model pembelajaran
merupakan kerangka dasar pembelajaran yang dapat diisi oleh beragam
muatan mata pelajaran sesuai dengan karakteristik kerangka dasarnya, 2)
model pembelajaran dapat muncul dalam beragam bentuk dan variasinya
sesuai dengan landasan filosofis dan pedagogis yang melatarbelakanginya.
Model pembelajaran dapat dijadikan pola atau pilihan, artinya para
pengajar baik itu guru maupun instruktur pelatihan boleh memilih model
pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pembelajar-
annya. Rusman (2011) membagi model-model pembelajaran inovatif menjadi
9 macam, yaitu:41
1) Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning), merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
40 Suyanto dan Asep Jihad, Menjadi Guru Profesional: Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru di Era Global, (Jakarta: Erlangga, 2013), h.134. 41 Rusman, Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.189.
76
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan dan pekerjaan
mereka sebagai anggota masyarakat.
2) Model Pembelajaran Kooperatif (cooperative learning), merupakan
bentuk pembelajaran dengan cara peserta didik belajar dan bekerja
dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya
terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang
bersifat heterogen.
3) Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM), adalah inovasi yang
paling signifikan dalam pendidikan. Kurikulum pembelajaran berbasis
masalah membantu untuk meningkatkan perkembangan keterampilan
belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis,
dan belajar aktif.
4) Model Pembelajaran Tematik, merupakan salah satu model dalam
pembelajaran terpadu (integrated instruction) yang merupakan suatu
sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa, baik secara individual
maupun kelompok, aktif menggali dan menemukan konsep serta
prinsip-prinsip keilmuan secara holistik, bermakna, dan autentik.
5) Model Pembelajaran Berbasis Komputer, merupakan kegiatan
pembelajaran yang dilakukan melalui sistem komputer. Pembelajaran
berbasis komputer sangat dipengaruhi oleh teori belajar kognitif model
pemrosesan informasi.
6) Model Pembelajaran Berbasis Web (E-Learning), merupakan
aplikasi teknologi web dalam dunia pembelajaran untuk sebuah proses
77
pendidikan. Model pembelajaran dirancang dengan mengintegrasikan
pembelajaran berbasis web dalam program pembelajaran konvensional
tatap muka.
7) Model Pembelajaran PAKEM (Partisipatif, Aktif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan), merupakan model pembelajaran dan menjadi
pendoman dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dengan pelaksanaan pembelajaran PAKEM, diharapkan
berkembangnya berbagai macam inovasi kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang partisipatif, aktif, kreatif, efektif,
dan menyenagkan.
8) Model Pembelajaran Mandiri, merupakan pembelajaran yang
memberikan keleluasan kepada siswa untuk dapat memilih atau
menetapkan sendiri waktu dan cara belajarnya sesuai dengan
ketentuan sistem kredit semester di sekolah.
9) Model Lesson Study, merupakan salah satu upaya pembinaan untuk
meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok
guru secara kolaboratif dan bersinambungan, dalam merencanakan,
melaksanakan, mengobservasi, dan melaporkan hasil refleksi kegiatan
pembelajaran.
Pengajar baik itu guru maupun instruktur pelatihan dituntut sikap
profesionalitasnya dalam meramu proses pembelajaran dengan model
pembelajaran yang sesuai. Selain itu, pengajar perlu menempatkan peserta
78
didik sebagai subyek pembelajaran bukan obyek pembelajaran, serta dapat
menggali pengetahuan peserta didik secara kongkret dan mandiri. Pada
kesempatan ini penulis hanya akan mengulas beberapa model pembelajaran
saja yang dapat digunakan di dalam kegiatan pelatihan.
1) Model Pembelajaran Langsung
Meski tidak ada sinonim dan pengajian yang berhubungan erat
dengan Model Pembelajaran Langsung, tetapi istilah model
pembelajaran langsung sering disebut juga dengan model pengajaran
aktiv (active teaching model), training model, mastery teaching, dan
explicit instruction. Pembelajaran langsung merupakan suatu model
yang bersifat teacher center. Menurut Arends (1997, dalam Trianto
2009), model pembelajaran langsung adalah salah satu pendekatan
pembelajaran yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar
siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan
prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan
pola kegiatan yang bertahap.42
Ada dua macam pengetahuan yang umumnya terlibat di dalam
model pembelajaran langsung, yakni pengetahuan deklaratif dan
pengetahuan procedural. Pengetahuan deklaratif (dapat diungkapkan
dengan kata-kata) adalah pengetahuan tentang sesuatu, sedangkan
42 Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), h.41.
79
pengetahuan procedural adalah pengetahuan tentang bagaimana
melakukan sesuatu. Satu contoh pengetahuan deklaratif misalnya
konsep tentang banyaknya kata dan baris yang ideal di dalam satu slide
media presentasi adalah 7x6 yang memiliki arti dalam satu baris
maksimal memiliki 7 kata, dan dalam satu slide presentasi maksimal
berisikan 6 baris. Pengetahuan prosedural yang berkaitan dengan
pengetahuan deklaratif di atas adalah bagaimana memperoleh tampilan
dari slide presentasi yang baik dengan menerapkan konsep tersebut.
Pada model pembelajaran langsung terdapat lima fase yang
sangat penting. Instruktur mengawali kegiatan pembelajaran dengan
dengan penjelasan tentang tujuan dan larar belakang pembelajaran,
serta mempersiapkan peserta pelatihan untuk menerima pemjelasan
instruktur. Menurut Kardi (1997, dalam Trianto 2009), pembelajaran
langsung dapat berbentuk ceramah, demonstrasi, pelatihan atau
praktik, dan kerja kelompok.43 Pembelajaran langsung digunakan untuk
menyampaikan pelajaran yang ditransformasikan langsung oleh
instruktur kepada peserta pelatihan. Penyusunan waktu yang
digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran harus seefisien
mungkin, sehingga instruktur dapat merancang dengan tepat aktivitas
pembelajaran yang akan dilakukan.
43 Ibid., h.43.
80
2) Model Pembelajaran Kolaboratif
Riset membuktikan bahwa para peserta didik, baik itu anak-anak
maupun orang dewasa, akan belajar lebih baik jika mereka secara aktif
terlibat dalam proses pembelajaran dalam suatu kelompok-kelompok
kecil. Peserta didik yang bekerja dalam kelompok-kelompok kecil
cenderung belajar lebih banyak tentang materi ajar dan mengingatnya
lebih lama dibandingkan jika materi ajar tersebut dihadirkan dalam
bentuk yang lain, misalnya berupa ceramah oleh guru atau dosen.
Dengan menerapkan model pembelajaran kolaboratif, peserta didik
merasa lebih puas terhadap hasil belajar yang mereka peroleh
dibandingkan dengan yang tidak menerapkan.
Perlu diketahui bahwa antara pembelajaran kolaboratif dengan
pembelajaran kooperatif sebenarnya sulit dipisahkan karena kemiripan-
nya, terutama karena kedua model tersebut melibatkan peserta didik
dalam diskusi kelompok. Keduanya mirip sekali, sehingga orang sering
mengatakan sebagai pembelajaran kooperatif saja, karena variasinya
yang lebih besar.44 Untuk menerapkan pembelajaran kolaboratif di kelas
pelatihan, instruktur tinggal melihat jumlah peserta pelatihan yang
terlibat, serta distrukturkan di dalam kelas atau tidak. Pembelajaran
kolaboratif dapat terjadi setiap saat, tidak harus di dalam kelas, missal
sekelompok peserta pelatihan yang saling membantu dalam mengerja-
44 Warsono dan Hariyanto, Pembelajaran Aktif: Teori dan Asesmen, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h.51.
81
kan proyek yang diberikan oleh instruktur. Bahkan dengan kemajuan
teknologi informasi, pembelajaran kolaboratif dapat terjadi antara
peserta pelatihan dengan rekan/narasumber mereka yang berada jauh
di luar kelas pelatihan. Dengan demikian pembelajaran kolaboratif tidak
harus dilaksanakan di dalam kelas dan pembelajaran tidak perlu
terstruktur ketat.
3) Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Model ini erat kaitannya dengan pendekatan kontekstual. Banyak
ahli yang menyebutnya sebagai metode pembelajaran tetapi banyak
juga yang menyebutnya sebagai model pembelajaran. Arends (dalam
Harsono dan Wariyanto 2012) berpendapat bahwa, pada esensinya
pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran yang
berlandaskan konstruktivisme dan mengakomodasikan kerteribatan
peserta didik dalam belajar serta terlibat dalam pemecahan masalah
yang kontekstual.45 Pembelajaran berbasis masalah merupakan model
pembelajaran yang efektif untuk melatih proses berpikir tingkat tinggi.
Pembelajaran ini membantu peserta pelatihan untuk memproses infor-
masi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan
mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini
cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun
pengetahuan kompleks.
45 Ibid, h. 147.
82
Tugas instruktur dalam pembelajaran berbasis masalah adalah
membantu peserta pelatihan merumuskan tugas-tugas, dan bukan
menyajikan tugas-tugas pelajaran. Objek pelajaran tidak dipelajari dari
buku, tetapi dari masalah yang ada disekitarnya. Selain manfaat, model
pembelajaran berbasis masalah juga memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan PBM sebagai suatu model pembelajaran
adalah: 1) realistic dengan kehidupan peserta pelatihan; konsep sesuai
dengan kebutuhan peserta pelatihan; 3) memupuk sifat inquiry peserta
pelatihan; 4) retensi konsep menjadi kuat; 5) memupuk kemampuan
problem solving. Selain kelebihan tersebut PBM juga memiliki beberapa
kekurangan antara lain: 1) persiapan pembelajaran (alat, problem,
konsep) yang kompleks; 2) sulitnya mencari problem yang relevan; 3)
sering terjadi miss-konsepsi; dan 4) banyak mengonsumsi waktu hanya
dalam proses penyelidikan.
Berdasarkan penjelasan tentang model-model pembelajaran dalam
pelatihan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan pelatihan yang
diteliti termasuk ke dalam penerapan model pembelajaran langsung. Model
pembelajaran langsung termasuk model yang sangat konvensional karena
masih bersifat teacher center. Tetapi model pembelajaran langsung masih
dinilai efektif apabila ingin merancang pembelajaran tentang pengetahuan
procedural dan pengetahuan deklarasi yang terstruktur dengan baik dan
dipelajari setahap demi setahap.
83
Adapun sintaks model pembelajaran langsung dapat disajikan dalam
lima tahap, seperti ditunjukkan pada tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3
Sintaks Model Pembelajaran Langsung
Fase Peran Instruktur
1. menyampaikan tujuan
dan mempersiapkan
peserta pelatihan
Instruktur menjelaskan tujuan, informasi latar
belakang pelajaran, pentingnya pelajaran,
mempersiapkan peserta pelatihan untuk belajar
2. mendemonstrasikan
pengetahuan atau
keterampilan
Instruktur mendemonstrasikan keterampilan atau
menyajikan informasi setahap demi setahap
3. membimbing pelatihan Instruktur memberikan pelatihan awal
4. mengecek pemahaman
dan pemberian umpan
balik
Mengecek apakah peserta pelatihan telah
berhasil melakukan tugas dengan baik, dan
memberikan umpan balik
5. memberi kesempatan
untuk pelatihan lanjutan
dan penerapan
Instruktur mempersiapkan kesempatan untuk
melakukan pelatihan lanjutan, dengan perhatian
khusus pada penerapan untuk situasi lebih
kompleks dalam tugasnya sehari-hari
Pada fase persiapan, instruktur memotivasi siswa agar siap
menerima presentasi materi pelatihan yang dilakukan melalui demons-trasi
tentang keterampilan tertentu. Pembelajaran dilakukan secara sistematis dan
terarah dan diakhiri pemberian kepada peserta pelatihan untuk melakukan
pelatihan dan pemberian umpan balik terhadap keberhasilan peserta
pelatihan.pada fase tersebut, instruktur perlu selalu memberikan kesempatan
kepada peserta pelatihan untuk menerapkan pengetahuan atau keterampilan
yang dipelajari ke dalam situasi kehidupan atau pekerjaan nyata.
84
e. Pelaksanaan Pembelajaran
Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara siswa
dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih
baik. Dalam interaksi tersebut, banyak faktor yang mempengaruhinya, baik
faktor internal yang datang dari dalam diri individu, maupun faktor eksternal
yang datang dari lingkungan. Dalam pembelajaran tugas seorang guru yang
paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang bagi
terjadinya perubahan prilaku dalam diri siswa. Umumnya pelaksanaan
pembelajaran mencakup tiga prosedur kegiatan, yaitu kegiatan membuka
pelajaran (pendahuluan), kegiatan inti, dan kegiatan menutup pelajaran
(kegiatan akhir dan tindak lanjut). Namun sebelum masuk kepada tahap
melaksanakan pembelajaran, seorang pengajar perlu untuk merencanakan
pelaksanaan pembelajaran.
Setelah pengajar mempersiapkan rencana pelaksanaan pembelajar-
an, barulah pembelajaran bisa dilaksanakan. Ketiga hal yang perlu diperhati-
kan dalam melaksanakan pembelajaran dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Kegiatan membuka pelajaran (pendahuluan)
Kegiatan membuka pelajaran/pendahuluan merupakan kegiatan
awal dari kegiatan pembelajaran yang sesungguhnya. Kegiatan membuka
tersebut dimaksudkan untuk memersiapkan peserta didik agar secara
mental siap mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan sikap baru.46
46 Atwi Suparman, Desain Instruktional Modern: Panduan Para Pengajar dan Inovator Pendidikan, (Jakarta: Erlangga, 2012), h.245.
85
Seorang pengajar yang baik tidak akan langsung begitu saja mengajak
peserta didiknya untuk membahas topik yang akan dibawakannya hari itu.
Pengajar harus bersedia mempergunakan sedikit waktu diawal untuk
membicarakan bersama peserta tentang topik yang akan dibawakannya.
Selain itu, pengajar yang baik harus berupaya untuk menaikkan motivasi
peserta didik untuk mempelajari materi pelajaran dengan cara menjelaskan
apa manfaat pembelajaran tersebut bagi kehidupan peserta didik.
Fungsi kegiatan pendahuluan ini akan tercermin dalam ketiga
langkah yang akan dijelaskan di bawah ini:47
a) Penjelasan singkat tenang isi pelajaran
Pada setiap awal kegiatan pembelajaran, peserta didik memiliki rasa
ingin tahu tentang apa yang akan dipelajarinya pada pertemuan saat itu.
Keingintahuan ini dapat terpenuhi apabila pengajar menjelaskan secara
singkat tentang apa yang akan dipelajari. Dengan demikian, pada wal
kegiatan belajarnya peserta didik telah mendapat gambaran secara
global tentang isi pelajaran yang akan dipelajarinya.
b) Penjelasan relevansi isi pembelajaran baru
Peserta didik akan lebih cepat dalam mempelajari sesuatu hal yang baru
bila sesuatu yang akan dipelajarinya itu dikaitkan dengan sesuatu yang
telah diketahui sebelumnya. Karena itu, pada tahap awal kegiatan
pembelajaran peserta didik perlu diberi penjelasan mengenai relevansi
47 Ibid., h.246.
86
pelajaran yang akan dipelajarinya dengan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap yang telah dikuasainya, atau relevansinya dengan pengala-
man pekerjaannya sehari-hari.
c) Penjelasan tentang tujuan pembelajaran
Peserta didik, terutama yang telah dewasa, akan belajar lebih cepat
apabila ia mendapatkan tanda-tanda yang mengarahkan proses belajar-
nya. Tanta-tanta tersebut antara lain berupa penjelasan tentang tujuan
pembelajaran. Tujuan pembelajaran berisi kemampuan yang akan
dicapai peserta didik pada akhir proses belajarnya. Dengan tanda-tanda
tersebut peserta didik mempunyai kemungkinan untuk mengorganisa-
sikan atau mengatur sendiri proses belajarnya dengan menggunakan
sumber-sumber belajar yang ada di lingkungannya. Dengan dimilikinya
pengetahuan tentang tujuan pembelajaran tersebut akan meningkatkan
motivasi peserta didik selama proses belajar.
Dengan dilakukannya ketiga kegiatan pendahuluan tersebut,
peserta didik telah memiliki gambaran global tentang isi pelajaran yang akan
dipelajarinya, kaitannya dengan pengalaman sehari-hari, termotivasi untuk
mempelajarinya, dan dapat mengorganisasikan kegiatan belajarnya sendiri.
Langkah-langkah dalam tahap pendahuluan tersebut dapat diputar balik
sesuai dengan keinginan dan suasana pembelajaran yang ingin dibangun
oleh pengajar.
87
2) Kegiatan inti
Setelah selesai tahap pendahuluan/pembuka, pengajar mulai
mulai memasuki tahap penyajian yang merupakan kegiatan inti. Penyajian
adalah subkomponen yang sering ditafsirkan secara awan sebagai
pengajaran yang sesungguhnya karena merupakan inti dari kegiatan
pembelajaran.48 Kegiatan inti memiliki tujuan untuk menanamkan,
mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan berkaitan dengan
materi yang disampaikan. Pelaksanaan kegiatan inti terkandung enam
pengertian pokok, yaitu: uraian, contoh dan noncontoh, latihan, tes formatif,
rangkuman, dan glosarium.49 Berikut akan diuraikan komponen dalam
kegiatan inti tersebut.
a) Uraian
Uraian adalah penjelasan tentang materi pelajaran yang menyangkut
teori, konsep, prinsip, dan prosedur yang akan dipelajari peserta
didik. Penjelasan tersebut berbentuk narasi dikombinasikan dengan
berbagai jenis media, tabel, grafik, dan sebagainya sesuai
kebutuhan. Dari seluruh rangkaian kegiatan pembelajaran,
subkomponen uraian menempati urutan terbanyak dalam hal volume
isi dan penggunaan waktu pembelajaran.
48 Ibid., h.248. 49 Ibid.
88
b) Contoh dan noncontoh
Contoh adalah benda, kegiatan, atau deskripsi yang
merepresentasikan secara kongkret dan praktis dari teori, konsep,
prinsip, dan prosedur yang terdapat dalam uraian. Contoh diangkat
dari realita dan peristiwa dalam kehidupan peserta didik dan
sekaligus sebagai wujud konkret dari materi pelajaran. Semakin
relevan contoh tersebut semakin jelas isi pelajaran bagi peserta didik.
Noncontoh adalah benda, kegiatan, atau deskripsi yang
merepresentasikan secara konkret dan praktis tentang
penyimpangan terhadap teori, konsep, prinsip, dan prosedur yang
sedang diuraikan. Noncontoh diangkat dari kesalahpengertian yang
biasa terjadi pada peserta didik. Pengungkapan noncontoh perlu
disertai penekanan yang jelas bagi peserta didik bahwa
kesalahpahaman tersebut berakibat negatif secara signifikan
terhadap kehidupan.
c) Latihan
Latihan adalah kegiatan peserta didik dalam rangka menerapkan
teori konsep, prinsip, atau prosedur yang sedang dipelajari ke dalam
praktik dan pemecahan masalah di pekerjaan atau kehidupannya
sehari-hari. Latihan ini merupakan bagian dari proses belajar peserta
didik, bukan tes. Dengan latihan, peserta didik belajar dengan aktif,
tidak hanya duduk membaca dan mendengarkan. Belajar secara aktif
akan mempercepat penguasaan peserta didik terhadap materi yang
89
sedang dipelajarinya. Latihan yang dilakukan oleh peserta didik
diikuti dengan bimbingan dan koreksi oleh pengajar atas kesalahan
yang dibuatnya serta petunjuk cara memperbaikinya. Latihan ini
diulang seperlunya sampai peserta didik dapat menerapkannya
dengan benar tanpa bantuan pengajar.
d) Tes formatif
Tes formatif adalah suatu set pertanyaan untuk dijawab, atau
seperangkat tugas untuk dilakukan dalam rangka mengukur tingkat
pencapaian dan kemajuan belajar peserta didik setelah
menyelesaikan suatu tahap pembelajaran. Tes ini dapat diajukan
secara tertulis atau lisan. Butir tes formatif diambil dari hasil
penyusunan alat penilaian hasil belajar yang telah dilakukan
sebelumnya, yaitu setelah perumusan tujuan instruksional khusus. Di
samping untuk mengukur pencapaian dan kemajuan peserta didik,
tes merupakan bagian dari bagian dari kegiatan belajar yang
membutuhkan respons secara aktif. Hasil tes formatif harus
diberitahukan dan diikuti dengan penjelasan tentang hasil kemajuan
peserta didik.
e) Rangkuman
Rangkuman adalah uraian singkat tentang pembulatanteori, kosep,
prinsip, dan prosedur yang telah selesai dilaksanakan dalam tahap
penyajian. Dengan rangkuman peserta didik diharapkan mendapat-
kan kebulatan dan kebutuhan isi pembelajaran.
90
f) Glosarium
Glosarium adalah daftar istilah teknis dan pengertian masing-masing
yang telah digunakan selama tahap penyajian. Manfaat glosarium
adalah menyegarkan kembali pengertian peserta didik tentang teori,
konsep, prinsip, dan prosedur yang telah dibahas selama penyajian.
Dengan adanya penyegaran, peserta didik tidak saja mempunyai
perbendaharaan istilah teknis, tetapi juga dapat mengaitkan berbagai
isi dan kegiatan pembelajaran yang telah dilaluinya.
3) Kegiatan menutup pelajaran
Kegiatan menutup pelajaran adalah subkomponen terakhir dalam
urutan kegiatan pembelajaran.50 Kegiatan menutup pelajaran dilakukan oleh
guru untuk mengakhiri pelajaran atau kegiatan belajar mengajar. Hal-hal
yang dilakukan dalam kegiatan menutup pelajaran terdiri dari:
a) Merangkum atau membuat garis besar persoalan yang dibahas,
b) Melakukan refleksi terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan
secara konsisten dan terprogram,
c) Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran,
d) Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran
remedi, program pengayaan, layanan konseling, dan memberikan
tugas baik secara individu maupun kelompok,
50 Ibid., h.250.
91
e) Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
Adapun tujuan dari dilaksanakannya kegiatan menutup pelajaran
oleh guru adalah untuk:
a) Memusatkan perhatian siswa pada akhir kegiatan pelajaran
b) Merangkum dan membuat garis besar persoalan yang baru saja
dibahas, sehingga siswa memperoleh gambaran yang jelas tentang
makna atau esensi persoalan tersebut
c) Mengkonsolidasikan siswa terhadap hal-hal pokok dalam pelajaran
agar informasi yang telah diterimanya dapat membangkitkan minat
untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan yang berguna
bagi penghidupannya nanti
d) Mengorganisasikan semua kegiatan atau pelajaran yang telah
dipelajari siswa menjadi satu kebulatan yang bermakna dalam
memahami esensi pelajaran tersebut.
4. Deskripsi Pelatihan Melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka
a. Deskripsi Singkat BBPLK CEVEST Bekasi
Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja (BBPLK) CEVEST Bekasi
adalah satu lembaga pelatihan kerja pemerintah dibawah naungan
Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia yang memiliki tanggung jawab
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan kerja.
Selain menyelenggarakan pelatihan bagi pencari kerja, BBPLK CEVEST turut
92
serta dalam mendorong lembaga-lembaga pelatihan kerja lainnya dengan cara
menyelenggarakan program pendidikan dasar instruktur. Kedua hal tersebut
bertujuan untuk menyiapkan tenaga kerja yang kompeten dan profesional agar
mampu bersaing dipasar kerja secara global.
Pada tahun 1985, Cevest diresmikan oleh Perdana Menteri Jepang
Mr. Zenko Suzuki, Menteri Tenaga Kerja Sudomo, dan Menteri Perindustrian
Hartarto, sebagai bentuk kerjasama antara Pemerintah Jepang dengan
Pemerintah Indonesia dalam rangka pengembangan SDM (pelatihan instruktur
dan pembinaan industri kecil) di kawasan ASEAN dengan nama The Center
For Vocational and Extension Service Training (CEVEST). Sejak saat itu
Cevest terhitung sudah lima kali melakukan pergantian nama mulai dari tahun
1986 dengan nama Diklat Instruktur CEVEST (Diklatin – CEVEST), tahun 1990
menjadi Balai Latihan Instruktur dan Pengembangan (BLIP), tahun 2001
menjadi Pusat Pengembangan Pelatihan Tenaga Kerja Industri Jasa (P3TKIJ),
tahun 2002 menjadi Pusat Pelatihan Kerja Tenaga Kerja Luar Negeri
(Puslatker TKLN). Hingga pada akhirnya ditahun 2006 menjadi Balai Besar
Pengembangan Latihan Kerja Luar Negeri (BBPLKLN) yang beralamat di Jl.
Guntur Raya No. 1, Kayuringin Jaya, Bekasi Selatan, Kota Bekasi.
Sebagai pusat pengembangan latihan kerja, BBPLKLN CEVEST
memiliki visi, misi, dan pelayanan yang tentunya dapat menunjang tugas
tersebut. Visi BBPLKLN adalah sebagai puasat unggulan, pusat
pengembangan, dan pusat pemberdayaan. Misi untuk menunjangnya adalah
93
meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, mengembangkan
sumber daya manusia dan pelatihan, mengembangkan program dan
manajemen pelatihan, melaksanakan pelatihan berbasis kompetensi,
melaksanakan uji kompetensi, memperluas jaringan kerja dengan lembaga
pelatihan dan lembaga penempatan kerja lainnya. Untuk melaksanakan tugas-
tugas tersebut, BBPLKLN CEVEST sesuai dengan struktur organisasi seperti
yang tertera di bawah:
Gambar 2.4.
Struktur Organisasi BBPLK CEVEST Bekasi
Pelatihan yang terdapat di BBPLKLN CEVEST merupakan pelatihan
berbasis kompetensi (PBK) yang diselenggarakan untuk masyarakat secara
umum yang mana peserta pelatihan mayoritas adalah pencari kerja. Pelatihan
94
Berbasis Kompetensi (PBK) yang didefinisikan di dalam Peraturan Menteri No.
8 tahun 2014 adalah pelatihan kerja yang menitik beratkan pada penguasaan
kemampuan kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap
sesuai dengan standar yang ditetapkan dan persyaratan ditempat kerja.51
Pelatihan berbasis kompetensi diperlukan karena secara tradisi atau
konvensional pelatihan yang selama ini terjadi hanya hanya menghasilkan
peserta pelatihan yang memiliki pengetahuan apa yang harus dilakukannya.
Sementara model yang berbasis kompetensi, setelah peserta selesai
mengikuti pelatihan diharapkan tidak saja sekadar tahu tetapi juga dapat
melakukan dan dapat bersikap sesuai apa yang harus dikerjakan olehnya di
tempat kerja. Selain bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi
kerja peserta, Cevest juga membantu dalam hal memberikan kesempatan dan
peluang kerja yang lebih besar kepada para pesertanya. Oleh karena itu,
program pelatihan dirancang sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan
lembaga yang ada disekitar sehingga ketika perusahaan/lembaga
membutuhkan tenaga kerja baru BBPLK CEVEST dapat menempatkan
peserta pelatihan sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Selain itu,
penyusunan program pelatihan berbasis kompetensi juga dapat berdasarkan
permintaan dari organisasi. Alur penyelenggaraan Pelatihan Berbasis
Kompetensi secara umum adalah sebagai berikut:
51 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, No. 8 Tahun 2014, Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Berbasis Kompetensi, Pasal 1 Ayat 7.
95
Gambar 2.5.
Alur Pelatihan Berbasis Kompetensi
b. Deskripsi Pelatihan Melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka
Pelatihan Melaksnakan Pembelajaran Tatap Muka (Face to Face
Training) merupakan salah satu program pelatihan yang diselenggarakan
96
dengan sasarannya adalah instruktur. Latar belakang dari diselenggarakannya
program pelatihan ini adalah adanya persaingan yang semakin ketat dengan
dideklarasikannya kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Dengan
adanya kesepakatan tersebut, instruktur dituntut untuk dapat mengoptimalkan
proses pelatihan sebagai sarana untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja
baik itu di pusat maupun di daerah. Oleh karena itu, pada pelatihan ini
instruktur akan dilatih tentang bagaimana cara melaksanakan pembelajaran
dalam pelatihan yang mereka kelola di Balai Latihan Kerja masing-masing.
Kemampuan instruktur dalam melaksanakan pembelajaran sangat vital untuk
di kuasai, karena tidak semua instruktur memahami bagaimana cara
melaksanakan pembelajaran yang efektif agar materi yang disampaikan
kepada peserta pelatihan dapat diterima dengan lebih optimal.
Pelatihan face-to-face diselenggarakan dengan 80 jam pelatihan,
atau sekitar 8 – 10 hari kerja. Pelatihan ini memiliki tujuan agar instruktur /
peserta pelatihan kompeten untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka
berdasarkan standar kompetensi metodologi pelatihan sesuai dengan
permintaan organisasi atau hasil identifikasi kebutuhan pelatihan. Tujuan
pelatihan tersebut akan mampu dicapai oleh peserta pelatihan setelah mereka
menguasai unit-unit kompetensi yang akan diajarkan dalam pelatihan tersebut.
unit kompetensi yang dimaksud, antara lain:
1) Mendesain media pembelajaran. 12 jam pelatihan. Tujuan pelatuhan:
Setelah selesai mengikuti pembelajaran ini diharapkan peserta
pelatihan kompeten Mendesain Media Pembelajaran berdasarkan Unit
97
Kompetensi masing-masing sesuai dengan rencana pembelajaran yang
dibuat.
2) Merencanakan dan mengorganisasikan asesmen. 12 jam pelatihan.
Tujuan pelatihan: Setelah mengikuti materi ini peserta mampu
menjelaskan dan memilih metode asesmen yang tepat, mempersiapkan
rencana asesmen, dan mengembangkan instrumen asesmen sesuai
dengan rencana asesmen.
3) Mengakses kompetensi. 16 jam pelatihan. Tujuan pelatihan: Setelah
mengikuti materi ini peserta pelatihan diharapkan kompeten untuk
melaksanakan penilaian praktik dan teori serta menjelaskan kesalahan
yang mungkin terjadi dalam melakukan penilaian sesuai dengan Unit
Kompetensi yang dipilih.
4) Merencanakan penyajian materi pelatihan. 16 jam pelatihan. Tujuan
pelatihan: Setelah selesai mengikuti pembelajaran ini diharapkan
peserta pelatihan kompeten Merencanakan Penyajian Materi
Pembelajaran berdasarkan SKKNI masing-masing minimal 1 tatap
muka sesuai dengan situasi pembelajaran peraturan yang berlaku.
5) Melaksanakan pelatihan tatap muka (face to face). 24 jam pelatihan.
Tujuan pelatihan: Setelah selesai mengikuti pembelajaran ini peserta
pelatihan kompeten memfasilitasi proses pembelajaran berdasarkan
rencana sesi selama 20 menit sesuai dengan situasi pembelajaran.
98
Penelitian evaluasi ini berfokus pada penilaian kegiatan unjuk kerja
instruktur yang dilaksanakan pada unit kompetensi kelima. Di atas telah tertulis
tujuan dari unit kompetensi kelima dimana untuk mencapai tujuan tersebut
instruktur/peserta pelatihan perlu melalui beberapa elemen kompetensi, yaitu:
1) menjalin hubungan kerja yang baik pada situasi pembelajaran, 2)
menerapkan bimbingan yang tepat dalam situasi pembelajaran, 3) memonitor
proses pembelajaran dalam situasi pembelajaran. Dari ketiga elemen
kompetensi tersebut, instruktur/peserta pelatihan diarahkan untuk dapat
melaksanakan kegiatan praktik melaksanakan pembelajaran sesuai dengan
situasi pembelajaran yang telah direncanakan sebelumnya. Praktik tersebut
selanjutnya diobservasi oleh assessor untuk mendapatkan nilai dengan
instrumen skala penilaian.
Praktik tes unjuk kerja adalah suatu tes yang peserta didiknya diminta
untuk melakukan kegiatan khusus dibawah pengawasan penguji yang akan
mengobservasi kinerjanya dan membuat keputusan tentang kualitas hasil
belajar yang didemonstrasikan. Sesuai dengan tema pelatihan, maka tes unjuk
kerja yang dilaksanakan adalah praktik melaksanakan pembelajaran tatap
muka dengan skala kecil (micro teaching). Peserta pelatihan akan menyiapkan
sendiri rencana pelaksanaan pembelajaran (session plan), materi pelajaran,
menentukan metode pembelajaran, mendesain media, dan evaluasi yang akan
dipraktikannya pada tahap micro teaching. Selanjutnya akan ada satu orang
assessor yang menilai unjuk kerja peserta pelatihan selama melakukan praktik.
99
Penilaian instruktur/peserta pelatihan face to face ditentukan dengan
kriteria penguasaan kompetensi minimum sebesar 80%. Peserta peltihan
dikategorikan berhasil atau sudah kompeten apabila nilai yang diberikan oleh
assessor sudah mencapai atau lebih dari nilai minimum dari tujuan atau
kompetensi yang seharusnya dicapai dalam pelatihan tersebut. Apabila tingkat
pencapaiannya masih kurang dari kriteria tersebut, maka dinyatakan belum
kompeten dan harus melakukan pengulangan.
B. Hasil Penelitian Yang Relevan
Untuk menunjang pelaksanaan penelitian ini, maka diperlukan
penelitian yang relevan dengan tema/judul penelitian yang akan dilaksanakan.
Hasil penelitian yang dianggap relevan dengan judul ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Niki Bun’yanun Sakinah dengan judul “Evaluasi Hasil Belajar
Pasca Diklat Teknis Umum Tata Naskah Dinas Di Pusdiklat Keuangan Umum”,
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Jakarta, 2015.
Penelitian tersebut penting dilakukan karena evaluasi tersebut
menghasilkan gambaran hasil belajar alumni peserta Diklat Teknis Umum Tata
Naskah Dinas. Tujuan penelitian tersebut untuk menilai perubahan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap alumni setelah mengikuti diklat.
Penelitian yang dilakukan dari bulan februari sampai dengan mei 2014 tersebut
100
menggunakan metode penelitian studi evaluasi dengan menggunakan model
evaluasi empat level Kirkpatrick yang berfokus pada level dua yaitu belajar.
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan
pengetahuan dan keterampilan peserta setelah mengikuti diklat. Hal tersebut
terlihat dari respon masing-masing kategori aspek penilaian dalam penelitian.
Rata-rata responden menyatakan mengalami peningkatan sebesar 40% pada
aspek pengetahuan, 66,67% pada aspek keterampilan, dan 50,41% pada
aspek sikap. Implikasi dari hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam
evaluasi hasil belajar selanjutnya.
C. Kerangka Berpikir
Instruktur merupakan salah satu komponen utama dalam
penyelenggaraan pelatihan. Keberadaan instruktur sangat vital, karena
sebagian besar proses berlangsungnya kegiatan pembelajaran dikelola oleh
instruktur. Kemampuan yang harus dimiliki oleh instruktur sangat kompleks,
selain mereka harus memiliki kepribadian yang baik seorang instruktur juga
harus memiliki kompetensi dalam menjalankan profesi yang mumpuni.
Instruktur harus dapat merencanakan, melaksanakan hingga melakukan
evaluasi terhadap pelatihan yang dipimpinnya. Melihat betapa pentingnya
peran dari seorang instruktur, maka diperlukan suatu upaya untuk
mempersiapkan sekaligus mengembangkan kompetensi yang dimiliki oleh
101
instruktur. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan program
pelatihan bagi instruktur.
Balai Besar Pengembangan dan Latihan Kerja (BBPLK) CEVEST
Bekasi adalah salah satu lembaga yang memiliki komitmen untuk melakukan
pengembangan kompetensi instruktur melalui program pelatihan. Terdapat
beberapa program pelatihan yang diselenggarakan dan salah satunya adalah
pelatihan Melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka (face to face training).
Sesuai dengan nama pelatihannya, maka program pelatihan ini memiliki tujuan
agar peserta pelatihan kompeten dalam melaksanakan pembelajaran tatap
muka berdasarkan standar kompetensi metodologi pelatihan sesuai dengan
permintaan organisasi atau hasil identifikasi kebutuhan pelatihan (TNA).
Sebagaimana program pelatihan berbasis kompetensi lainnya, pelatihan
instruktur tersebut juga menitikberatkan pada aspek keterampilan sehingga
peserta akan lebih banyak berlatih dan mempraktikkan hasil dari proses
pembelajaran. Salah satu kegiatan yang akan dilaksanakan adalah praktik
melaksanakan pembelajaran mikro (micro teaching) untuk menilai kompetensi
peserta dalam hal melaksanakan pembelajaran.
Biarpun tahap unjuk kerja yang dirancang adalah kegiatan micro
teaching, pengelola tetap mengupayakan agar kegiatan tersebut berlangsung
semirip mungkin dengan kegiatan pembelajaran yang sesungguhnya. Pada
tahap ini peserta diwajibkan untuk mempersiapkan segala keperluan
mengajar, seperti rencana pelaksanaan pembelajaran (session plan), media
102
pembelajaran, memilih metode yang tepat, dan menerapkan alat ukur penilaian
yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Peserta juga diwajibkan untuk
menerapkan empat langkah mengajar secara sistematis dan terencana yaitu
tahap pendahuluan / motivasi, tahap penyajian / elaborasi, tahap aplikasi /
konsolidasi, dan tahap evaluasi / tes. Keempat tahap yang telah disebutkan
sebelumnya merupakan standar kompetensi metodologi pelatihan yang harus
dimiliki oleh setiap instruktur.
Untuk dapat melakukan penilaian pada proses pelaksanaan pembe-
lajaran, diperlukan alat evaluasi pelatihan yang berfokus pada aspek
keterampilan. Kegiatan evaluasi ini berguna untuk memberikan gambaran
berupa penilaian dari unjuk kerja instruktur (peserta pelatihan) dalam
melaksanakan pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran terdiri dari tiga
tahap, yaitu kegiatan pembuka/pendahuluan, kegiatan inti/penyajian, dan
kegiatan penutup/tindak lanjut (hal 84). Untuk mendeskripsikan ketiga tahapan
tersebut agar menjadi lebih rinci, peneliti menggunakan prinsip nine events of
instruction yang dikemukakan oleh Robert M. Gagne (hal 63). Prinsip tersebut
dipilih karena dapat diterapkan pada pembelajaran langsung (face-to-face) dan
dapat membuat proses pembelajaran pada pelatihan menjadi lebih efektif.
Model evaluasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah model
evaluasi pelatihan Donald Kirkpatrick yang berfokus pada level 2 (belajar) dan
akan menilai aspek keterampilan instruktur (peserta pelatihan). Penilaian akan
dilakukan dengan mengevaluasi unjuk kerja instruktur (peserta pelatihan)
103
mengacu pada standar kompetensi yang telah ditetapkan. Nilai diperoleh dari
assessor yang melakukan pengamatan terhadap demonstrasi instruktur /
peserta pelatihan menggunakan instrumen penilaian yang telah dihasilkan
sebelumnya. Hasil yang diperoleh dari penilaian tersebut selanjutnya akan
dibandingkan dengan standar kompetensi minimum yang menunjukkan
pencapaian hasil belajar peserta. Selain itu, hasil evaluasi ini juga berguna
sebagai rekomendasi bagi pihak pengelola dalam mengupayakan pelaksana-
an pelatihan instruktur yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Dengan dilakukannya evaluasi dalam aspek keterampilan instruktur
(peserta pelatihan) diharapkan dapat menjadi sebuah umpan balik bagi ternilai
untuk dapat meningkatkan kompetensinya. Selain itu, penilaian ini juga dapat
menjadi rekomendasi pertimbangan untuk meningkatkan kualitas pelatihan
yang diselenggarakan di masa mendatang.