LIAZUL KHOLIFAH-fkik.pdf - Institutional Repository UIN Syarif ...

183
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA KELELAHAN PADA IBU MENYUSUI ≤ 6 BULAN DI KELURAHAN PISANGAN CIPUTAT TIMUR TAHUN 2013 SKRIPSI OLEH LIAZUL KHOLIFAH 108101000063 PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H./2013 M.

Transcript of LIAZUL KHOLIFAH-fkik.pdf - Institutional Repository UIN Syarif ...

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

TERJADINYA KELELAHAN PADA IBU MENYUSUI ≤ 6 BULAN

DI KELURAHAN PISANGAN CIPUTAT TIMUR

TAHUN 2013

SKRIPSI

OLEH

LIAZUL KHOLIFAH

108101000063

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1434 H./2013 M.

iii

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

Skripsi, Juli 2013

Liazul Kholifah, NIM. 108101000063

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Kelelahan pada Ibu

Menyusui ≤ 6 Bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur Tahun 2013

xiv + 140 halaman, 25 tabel, 10 gambar, 4 lampiran

ABSTRAK

Menyusui merupakan kegiatan yang dilakukan selama berjam-jam dan berkali-

kali setiap harinya oleh ibu pasca melahirkan. Satu gejala yang sering dilaporkan ibu

yang baru pertama kali menyusui bayinya yang membuat ibu memperpendek

lamanya dalam menyusui adalah kelelahan (fatigue). Kelelahan yang dirasakan oleh

ibu-ibu selama menyusui menurunkan produksi ASI selama bulan pertama

postpartum dan menjadi faktor yang utama untuk menyapih bayinya.Dari hal tersebut

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang

berhubungan dengan terjadinya kelelahan pada ibu menyusui ≤ 6 bulan di Kelurahan

Pisangan Ciputat Timur tahun 2013 tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross-

sectional. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh ibu menyusui ≤ 6

bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur berjumlah 38 orang berdasarkan data ibu

menyusui yang diperoleh dari seluruh posyandu di kelurahan pisangan. Variable yang

diteliti dalam penelitian ini adalah kelelahan pada saat menyusui, tingkat risiko

ergonomi postur menyusui, usia, kebiasaan merokok, status gizi, lama menyusui,

aktivitas fisik, dan faktor lingkungan (suhu, kebisingan, dan pencahayaan).

Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan metode wawancara, observasi dan

pengukuran langsung kepada responden.

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa 92.1% ibu menyusui mengalami kelelahan.

Sedangkan dari hasil analisis bivariat tidak ditemukan adanya hubungan yang

bermakna antara semua variabel independen yang diteliti dengan terjadinya

kelelahan.Meskipun demikian, seluruh postur yang digunakan ibu saat menyusui

termasuk kategori berisiko. Ibu yang mengalami risiko ergonomi sedang 15,8% dan

ibu yang risiko ergonomi tinggi 84,2%.Sehingga disarankan sebaiknya diberikan

pelatihan kepada ibu menyusui maupun calon ibu menyusui tentang postur menyusui

yang benar meliputi posisi menyusui, pemilihan tempat menyusui dan alat bantu

dalam proses menyusui.

Kata Kunci : Kelelahan, Menyusui, ≤ 6 Bulan

Daftar Bacaan : 57 (1985-2012)

iv

SYARIF HIDAYATULLAH ISLAMICSTATE UNIVERSITY OF JAKARTA

FACULTY OF MEDICIAN AND HEALTH SCIENCE

PUBLIC HEALTH PROGRAM Thesis, July 2013

Liazul Kholifah, NIM. 108101000063

THE FACTORS ASSOCIATED WITH THE OCCURRENCE OF FATIGUE

BY BREASTFEEDING MOTHER ≤ 6 MONTHS IN PISANGAN VILLAGE

EAST CIPUTAT IN 2013

xiv + 140 pages, 25 tables, 10 pictures, 4 appendices

ABSTRACT

Breastfeeding is an activity that was undertaken by mother after childbirth for

many hours and many times. One of the often reported phenomenons by first

breastfeeding mothers is fatigue, so it causes them to shorten the duration of

breastfeeding. The fatigue that they have been felt can decrease the ASI production

during the first month of postpartum, and it becomes the main reason for the

breastfeeding mothers to wean their baby soon. So that the researcher was interested

in conducting a research on the factors associated with the occurrence of fatigue by

breastfeeding mother ≤ 6 month in Pisangan village East Ciputat in 2013.

This research is a quantitative research that used cross-sectional design. The

population and sample of the research was all breastfeeding mothers ≤ 6 month in

Pisangan village East Ciputat. There were 38 breastfeeding mothers. The total of the

breastfeeding mothers was got from the data of all posyandu in Pisangan village.

Some of analyzed variables were the fatigue when give breastfeeding, the risk level

of ergonomicsbreastfeeding posture, age, smoking habit, nutrient status, the duration

of breastfeeding, physic activity, and environment factors (temperature, noise, and

exposure). Some methods of collecting data were interview, observation and direct

measurement to the respondent.

The research result showed that 92.1% of the breastfeeding mothers had

fatigue. Whereas based on the bivariate analysis was not found a significance

relationship among all independent variables with the occurrence of fatigue. But, the

all postures that were used by mother when give breastfeeding included risk category,

because 15.8 % mothers were medium ergonomics risk and 84.2% mothers were high

ergonomics risk. So it suggested giving some training to the breastfeeding mothers

and candidate of the breastfeeding mothers about the right way of breastfeeding

posture, such as breastfeeding position, site selection of breastfeeding and the

equipment used in breastfeeding.

Key Words : Fatigue, Breastfeeding, ≤ 6 month

Reading List : 57 (1985-2012)

v

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, atas rahmat-Nyalah penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Terjadinya Kelelahan Pada Ibu Menusui ≤ 6 Bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur

Tahun 2013”. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Baginda Rasulullah

Muhammad SAW yang membawa umatnya untuk senantiasa menapaki jalan yang

diridloi-Nya.

Skripsi merupakan tugas akhir perkuliahan berupa hasil penelitian yang

dilakukan oleh penulis untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan

banyak terima kasih kepada:

1. Keluarga Besar saya, Ayahanda dan Ibunda tercinta, serta Mas Amirullaifa, Mbak

Aslichah, Adek M. Ubaidillah Hasan, si-kecil Sa’adatul Ukhrowiyatul Hasanah

yang tak henti-hentinya mendoakan dan mensuport.

2. Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan besar

kepada penulis untuk dapat melanjutkan studi formal ke Perguruan Tinggi

3. MA Darul Ulum berasan yang telah membekali penulis dengan ilmu-ilmu dan

memberi kesempatan kepada penulis untuk ikut serta dalam program beasiswa ke

Perguruan Tinggi

4. Ma’had Manba’ul Ulum yang telah membekali penulis dengan ilmu-ilmu agama

5. Prof. Dr. (hc) dr. M.K. Tadjudin, Sp. And.; selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan (FKIK);

6. Ibu Febrianti, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat dan

stafnya;

7. Ibu Yuli Amran, SKM. MKM, selaku pembimbig I yang telah memberikan

bimbingan dan pengarahannya selama penyusunan skripsi ini;

vi

8. Ibu Iting Shofwati, ST. MKKK, selaku pembimbing II yang telah memberikan

bimbingan dan masukan selama penyusunan skripsi;

9. Penguji proposal skripsi, Ibu Ratri Cipta Ningtiyas, SKM. S.Sn.Kes, Ibu Raihana

N.Alkaff,M.MA dan Ibu Izzatu Millah,M.KKKyang telah membimbing dan

memberikan banyak koreksi dalam penyusunan skripsi;

10. Segenap bapak ibu dosen Kesehatan Masyarakat yang telah membagikan ilmu

pengetahuan dan memberikan pengarahannya selama prosesi akademi;

11. Staf Kesehatan Masyarakat dan FKIK yang membantu dalam hal administrasi

12. Pihak Kecamatan Ciputat Timur

13. Pihak Kelurahan Se-Kecamatan Ciputat Timur dan Ibu-Ibu kader yang dengan

senang hati telah membatu penulis dalam pengumpulan data

14. Sahabat-sahabati senaungan dan seperjuangan Dhevy, Eka, Eca, Tiwi, Iqbal,

Nadia, Ndud, Lilis yang telah membantu dalam pengumpulan data dan sharing

ilmu.

15. Sahabat-sahabati KOPRI PMII Cabang Ciputat yang selalu memberikan support.

16. Untuk para oponen dalam seminar proposal skripsi yang telah bersedia pusing

membaca dan memberi masukan untuk arah skripsi ini

17. Keluarga besar Stoopelth 2008 yang selalu menyemangati dan mengingatkan

18. Keluarga besar CSS MORA UIN JKT, khusunya Matrix’08

19. Serta kepada berbagai pihak yang turut mendukung dan membantu atas

terselesaikannya skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini, masih terdapat

banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun isi. Maka dari itu, penulis

berharap akan adanya penyusunan yang lebih baik untuk generasi mendatang.

Wassalamu’alaikum, Wr. Wb.

Jakarta, Juli 2013

Liazul Kholifah

vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : LIAZUL KHOLIFAH

Tempat, TanggalLahir : Banyuwangi, 10 Februari 1989

JenisKelamin : Perempuan

Alamat : Dsn. Sumberagung, Ds.

Rejoagung RT 01 RW 02

Kec. Srono, Kab. Banyuwangi,

Prop. JawaTimur

Domisili : AsramaPutri PMII

CabangCiputat, JlIbnuTaimia

IV no 195 KomplekDosen UIN

SyarifHodayatullahKec.

CiputatTimur, Kota Tangerang

Selatan

Agama : Islam

Status Pernikahan : BelumMenikah

NomorHandphone : +62 85719522778

Email :[email protected]

RIWAYAT PENDIDIKAN

2008 – Sekarang S1-Program StudiKesehatanMasyarakat,

FakultasKedokterandanIlmuKesehatanUniversitas Islam Negeri

(UIN) SyarifHidayatullah Jakarta

2005 – 2008 Madrasah Aliyah (MA) DarulUlumBanyuwangi

2002 – 2005 Madrasah Stanawiyah (Mts) DarulUlumBanyuwangi

1996 – 2002 MI AL-Ma’arif Banyuwangi

PENGALAMAN MAGANG

Februari-Maret 2012 Occupational Healt Station-HSE (Health, Safety, and Environment)

PT Pertamina RU V Balikpapan

viii

PENGALAMAN ORGANISASI

2006 – 2008 SekretarisBahstulMasailPonPesManbaulUlum

2006 – 2008 RoisJam’iyah Al-FalahPonPesManbaulUlum

2006 – 2008 KoordinatorDepartemenDakwahPonPesManbaulUlum

2008 – 2009 KetuaGedung A AsramaPutri UIN SyarifHidayatullah Jakarta

2009 – 2010 StafDepartemenKemahasiswaanBadanEksekutifMahasiswaJurusan

(BEM-J) KesehatanMasyarakat

2009 – 2011 SekretarisDepertemenKeislamanCommunity of Santri Scholars of

Ministry of Religious Affairs (CSS MoRA) UIN SyarifHidayatullah

Jakarta

2010 – 2012 Bendahara IBadanEksekutifMahasiswaJurusan (BEM-J)

KesehatanMasyarakat

2010 – 2011 Bendahara IPergerakanMahasiswa Islam Indonesia (PMII)

CabangCiputatKomisariatFakultasKedokterandanIlmuKesehatanKe

sehatanMasyarakat

2010 – 2011 SekretarisAsramaPutriPergerakanMahasiswa Islam Indonesia

CabangCiputat

2011 – 2012 SekretarisAsramaPutriPergerakanMahasiswa Islam Indonesia

CabangCiputat

2011 – 2012 BendaharaKorpPergerakanMahasiswa Islam Indonesia Putri

(KOPRI) CabangCiputat

2012 – 2013 KetuaKorpPergerakanMahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI)

CabangCiputat

2008 – Sekarang AnggotaCommunity of Santri Scholars of Ministry of Religious

Affairs (CSS MoRA)

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN

LEMBAR PERSETUJUAN.......................................................................................... i

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................................ ii

ABSTRAK .................................................................................................................. iii

KATA PENGANTAR ................................................................................................ iv

DAFTAR ISI ............................................................................................................... vi

DAFTAR TABEL ....................................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian ...................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ................................................................................. 6

1.3 Pertanyaan Penelitian ............................................................................................. 9

1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................................... 9

1.4.1 Tujuan Umum .............................................................................................. 9

1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................................................... 10

1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................................. 11

1.5.1 Bagi Ibu Menyusui .................................................................................... 11

1.5.2 Bagi Peneliti .............................................................................................. 11

1.6 Ruang Lingkup Penelitian .................................................................................... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelelahan Kerja .................................................................................................... 13

2.1.1 Pengertian Kelelahan Kerja ....................................................................... 13

2.1.2 Jenis Kelelahan Kerja ................................................................................ 15

2.1.3 Tanda Kelelahan Kerja .............................................................................. 17

2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kelelahan Kerja .................. 17

2.1.5 Proses Terjadinya Kelelahan Kerja ........................................................... 40

x

2.1.6 Akibat Kelelahan Kerja ............................................................................ 43

2.1.7 Penanggulangan Kelelahan Kerja ............................................................. 45

2.1.8 Pengukuran Kelelahan Kerja ..................................................................... 45

2.2 Metode Penilaian Tingkat Risiko Ergonomi ........................................................ 54

2.2.1 QEC (Quick Expssure Checklist) .............................................................. 55

2.2.2 REBA (Rapid Body Assement) .................................................................. 57

2.2.3 RULA (Rapid Upper Limb Assement)....................................................... 58

2.2.3.1 Prosedur Penilaian Pengukuran RULA .............................................. 64

2.3 Menyusui .............................................................................................................. 76

2.3.1 Keuntungan Menyusui ............................................................................... 76

2.3.2 Frekuensi dan Lama Menyusui ................................................................. 77

2.3.3 Posisi dan Perlekatan Menyusui ................................................................ 78

2.3.4 Langkah-Langkah Menyusui yang Benar.................................................. 82

2.4 Kerangka Teori..................................................................................................... 84

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN

HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep ................................................................................................. 86

3.2 Definisi Operasional............................................................................................. 89

3.3 Hipotesis ............................................................................................................... 92

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian .................................................................................................. 93

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................................. 93

4.3 Populasi dan Sampel ............................................................................................ 93

4.4 Metode Pengumpulan Data .................................................................................. 93

4.5 Instrumen Penelitian ............................................................................................ 45

4.6 Pengolahan Data................................................................................................. 106

4.7 Analisis Data ...................................................................................................... 107

xi

BAB VHASIL PENELITIAN

5.1 Analisis Univariat............................................................................................... 109

5.1.1 Gambaran Kelelahan pada Ibu Menyusui ≤ 6 Bulan di Kelurahan

Ciputat Timur Tahun 2013 ...................................................................... 109

5.1.2 Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kelelahan

pada Ibu Menyusui ≤ 6 Bulan di Kelurahan Ciputat Timur 2013 ........... 111

5.2 Analisis Bivariat

5.2.1 Hubungan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kelelahan

pada Ibu Menyusui ≤ 6 Bulan di Kelurahan Ciputat Timur 2013 ........... 114

BAB VIPEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian ...................................................................................... 118

6.2 Gambaran Kelelahan pada Ibu Menyusui ≤ 6 Bulan di Kelurahan Ciputat

Timur 2013 ......................................................................................................... 118

6.3 Analisis Faktor Karakteristik Individu (Usia, Status Gizi,Aktivitas Fisik)pada

Ibu Menyusui ≤ 6 Bulan di Kelurahan Ciputat Timur 2013 .............................. 121

6.3.1 Hubungan antara Usia dengan Terjadinya Kelelahan ............................ 121

6.3.2 Hubungan antara Status Gizi dengan Terjadinya Kelelahan .................. 123

6.3.3 Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Terjadinya Kelelahan ............ 125

6.3.4 Hubungan antara Lama Menyusui dengan Terjadinya Kelelahan ......... 116

6.4 Analisis Faktor Karakteristik Pekerjaan (Risiko Ergonomi Postur Menyusui,

Lama Menyusui, Lingkungan Menyusui)pada Ibu Menyusui ≤ 6 Bulan di

Kelurahan Ciputat Timur 2013 .......................................................................... 127

6.4.1 Hubungan antara Risiko Ergonomi Postur Menyusuidengan Terjadinya

Kelelahan ................................................................................................ 127

6.4.2 Hubungan antara Lama Menyusuidengan Terjadinya Kelelahan .......... 131

6.4.3 Hubungan antara Kebisingan dengan Terjadinya Kelelahan ................. 134

6.4.4 Hubungan antara Pencahayaan dengan Terjadinya Kelelahan ............... 135

6.4.5 Hubungan antara Suhu dengan Terjadinya Kelelahan ........................... 136

xii

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan ............................................................................................................ 138

7.2 Saran ................................................................................................................... 139

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xiii

DAFTAR TABEL

2.1 Kategori Atas Ambang IMT untuk Indonesia………………………… ........... 23

2.2 Kerugian Berat Badan yang Kurang Ideal…………. .............................................. 23

2.3 Kelebihan dan Kekurangan Metode Pengukuran Kelelahan Kerja ......................... 52

2.4 Kelebihan dan Kekurangan Metode Pengukuran Risiko Ergonomi Postur Kerja ... 61

2.5 Skor Bagian Lengan Atas (Upper Limb)………………………………………… . 65

2.6 Skor Bagian Lengan Bawah …………………………………………… ............... 66

2.7 Skor Bagian Pergelangan Tangan …………………… ........................................... 67

2.8 Worksheet RULA………………………… ............................................................ 69

2.9 Skor Aktivitas ………………………… ................................................................. 69

2.10 Skor Beban………………………… ...................................................................... 70

2.11 Skor Bagian Leher …………………………………………… .............................. 71

2.12 Skor Bagian Batang Tubuh ………………………… ............................................. 72

2.13 Skor Bagian Kaki ………………………… ............................................................ 73

2.14 Skor Grup B Trunk Postur Score………………………… ..................................... 73

2.15 Skor Aktivitas………………………… .................................................................. 74

2.16 Skor Beban………………………… ...................................................................... 74

2.17 Grand Total Score ………………………… .......................................................... 75

2.18 Kategori Tindakan RULA………………………… ............................................... 75

3.1 Definisi Operasional………………………… ........................................................ 89

4.1 Skor Final RULA……………………………………..………………………… . 103

5.1 Gambaran Distribusi Kelelahan pada Ibu Menyususi ≤6 Bulan di Kelurahan

Pisangan Ciputat Timur Tahun 2013………………………… ............................. 109

5.2 Gambaran Distribusi Kelelahan pada Ibu Menyususi ≤6 Bulan di Kelurahan

Pisangan Ciputat Timur Tahun 2013………………………… ............................. 110

5.3 Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Kebiasaan Merokok pada

Ibu Menyususi ≤6 Bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur

Tahun2013……………………… ......................................................................... 111

Nomor Tabel Halaman

xiv

5.4 Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Terjadinya Kelelahan pada Ibu Menyususi ≤6 Bulan di Kelurahan Pisangan

Ciputat Timur Tahun 2013………………………… ............................................ 112

5.5 Hubungan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kelelahan pada Ibu

Menyususi ≤6 Bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur Tahun

2013………………………… ............................................................................... 113

xv

DAFTAR GAMBAR

2.1 Range Pergerakan Lengan Atas ..................................................... 1165

2.2 Range Pergerakan Lengan Bawah ..................................................... 66

2.3 Range Pergerakan Pergelangan Tangan ............................................. 67

2.4 Range Pergerakan Pergelangan Tangan dengan Postur Alamiah ...... 68

2.5 Postur Tubuh Bagian Leher ............................................................... 71

2.6 Range Pergerakan Punggung ............................................................. 72

2.7 Range Pergerakan Kaki ...................................................................... 73

2.8 Posisi Cradle Hold ............................................................................. 81

2.9 Posisi Cross Cradle ............................................................................ 81

2.10 Posisi Football Hold .......................................................................... 81

Nomor Gambar Halaman

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Pernyataan Responden

Lampiran 2 : Kuesioner Penelitian

Lampiran 3 : Contoh Analisis RULA

Lampiran 4 : Output Olahan Analisis Univariat dan Bivariat

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut WHO (1991) yang dikutip oleh Rohman (2012)ASI (Air Susu Ibu)

merupakan pemberian air susu kepada bayi yang langsung berasal dari kelenjar

payudara ibu. Kandungan ASI adalah emulsi lemak dalam larutan protein,

laktosa, dan garam-garam organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjar

payudara ibu, yang berguna sebagai makanan yang utama bagibayi (Roesli,

2000).

Farrer (1999) menjelaskan manfaat pemberian ASI bagi bayi yaitu untuk

keamanan digesti bayi, ASI mengandung antibodi sehingga bayi yang mendapat

ASI umumnya jarang sakit dan jarang menderita alergi jika dibandingkan dengan

bayi yang mendapatkan susu formula, dan bayi yang disusui sendiri akan

memperoleh kesempatan didekap ibunya. Bagi ibu selain memberikan manfaat

fisik dengan membantu involusi uterus, mengurangi insiden kanker payudara,

menghemat waktu dan uang juga memberikan kepuasan emosional dengan

timbulnya persaan berhasil dalam pemenuhan tugas sebagai ibu.

Besarnyamanfaat ASI bagi bayi kemudian memunculkan program ASI

eksklusif. Di Indonesia, pemerintah telah menetapkan program pemberian ASI

eksklusif. Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI

Eksklusif dijelaskan bahwa ASI Eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada

2

bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan/atau

mengganti dengan makanan atau minuman lain. Sehingga menyusui menjadi

suatu aktivitas rutin ibu setelah melahirkan. Kemudian dalam Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 450/MENKES/SK/IV/2004 tentang

Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia.

Menurut Soejono (1985), menyusui merupakan pekerjaan biologik yang

mulia bagi semua jenis mamalia dan sebagai satu kesatuan dari fungsi

reproduksi. nutrisi pada bayi Menurut Health (2000) dalam Suryani (2012)

menyusui merupakan keterampilan yang dipelajari ibu dan bayi, dimana

keduanya membutuhkan waktu dan kesabaran untuk pemenuhan selama enam

bulan. Sehingga, menyusui merupakan kegiatan yang dilakukan selama berjam-

jam dan berkali-kali setiap harinya oleh ibu pasca melahirkan. Menurut U.S.

Departement of Health and Human Services Office on Woman’s Health (2006)

disebutkan bahwa menyusui dilakukan minimal 2 jam sekali, namun waktu

menyusui ini tidak boleh dijadwal secara ketat karena semakin sering bayi

menyusu, maka akan menstimulasi payudara ibu untuk memproduksi lebih

banyak ASI.

Setiap ibu yang menyusui harus berada pada posisi yang tepat dan dalam

kondisi nyaman karena hal ini akan mempengaruhi proses laktasi (Roesli, 2009).

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Soetjiningsih (1997) bahwa posisi

menyususi yang tidak benar dapat mengakibatkan puting susu menjadi lecet

sehingga ibu enggan untuk menyusui yang dapat berakibat produksi ASI

3

menurun dan bayi tidak puas menyusu. Selama kegiatan menyusui berlangsung,

ibu dipaksa untuk memposisikan diri dan bayi secara tepat agar proses menyusui

dapat berjalan lancar. Salah satu faktor yang mempengaruhi terhambatnya

menyusui adalah kurangnya bantuan agar posisi bayi terasa nyaman membuat

menyusui kurang menyenangkan (Welford, 2008:1 dalam Gunawan, 2012). Satu

gejala yang sering dilaporkan ibu yang baru pertama kali menyusui bayinya yang

membuat ibu memperpendek lamanya dalam menyusui adalah kelelahan

(fatigue) (Chapman,1998 dalam Rohman, 2012). Kelelahan yang dirasakan oleh

ibu-ibu selama menyusui menurunkan produksi ASI selama bulan pertama

postpartum dan menjadi faktor yang utama untuk menyapih bayinya (Rohman,

2012).

Kelelahan dapat mengganggu menyusui, sehingga intervensi

meminimalkan kelelahan adalah penting (Miligan A.R, Flenniken M.P & Pugh

C.L, 1996). Upaya untuk meminimalkan kelelahan ibu selama menyusui adalah

penelitian tentang “Positioning intervensi to minimize fatigue in breastfeeding

women“ (Miligan A.R, Flenniken M.P & Pugh C.L, 1996) yaitu dimana posisi

yang dipilih adalah posisi yang dapat memberikan ibu istirahat dan sedikit

mengeluarkan energi. Posisi yang paling banyak digunakan ibu saat menyusui

terutama pada masa-masa awal menyusui adalah posisi duduk berupa posisi

cradle hold, cross cradle, dan football hold(Widodo, 2011).Walaupun banyak

posisi menyusui yang telah menjadi standard keperawatan sebagai based

4

practice, namun posisi tersebut masih perlu divalidasi yang dapat menurunkan

kelelahan (Rohman, 2012).

Posisi ibu selama menyusui menentukan bagaimana postur tubuh ibu

selama kegiatan menyusui berlangsung. Edy dan Samad (2011) menyebutkan

bahwa postur tubuh merupakan salah satu dari hal yang paling sering

dihubungkan dengan faktor risiko ergonomi. Suryana (2001) dalam Rahmawati

dan Sugiharto (2011) menyatakan bahwa seorang pekerja bila bekerja tidak pada

posisi ergonomis, maka akan cepat merasa lelah, sering mengeluh sakit leher,

sakit pinggang, rasa semutan, pegal-pegal di lengan dan tungkai serta gangguan

kesehatan lainnya.

Ergonomi adalah ilmu tentang kerja, dimana mempertimbangkan faktor

manusia sebagai pelaku pekerjaan, bagaimana cara melakukan pekerjaan

tersebut, peralatan yang digunakan, tempat dilakukannya pekerjaan, dan aspek

psikososial dari situasi pekerjaan (Pheasant, 2003). Menurut Occupational Safety

and Health Administration (OSHA), ergonomi adalah ilmu yang mempelajari

tentang bagaimana menyesuaikan kondisi tempat kerja dan tuntutan pekerjaan

dengan kemampuan pekerja.

Menurut Suma’mur (1996) salah satu faktor yang berpengaruh terhadap

kesehatan kerja adalah yang berhubungan dengan ergonomi yaitu sikap dan cara

kerja (postur tubuh), kegelisahan kerja, beban kerja yang tidak adekuat,

monotonnya pekerjaan, jam kerjayang tidak sesuai, dan kerja yang berulang-

ulang. Pengaruh-pengaruh tersebut terkumpul di tubuh dan mengakibatkan

5

perasaan lelah. Menurut Siswanto (1999) dalam Mauludi (2010) bahwasanya

faktor penyebab kelelahan kerja adalah pengorganisasian kerja, faktor psikologis,

lingkungan kerja, status kesehatan dan status gizi. Sedangkan pendapat lain

mengatakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kelelahan adalah

kesegaran jasmani, kebiasaan merokok, masalah psikologis, status kesehatan,

jenis kelamin, status gizi, waktu kerja, beban kerja, usia, dan masalah lingkungan

kerja (Tarwaka dkk, 2004). Dalam penelitian Oentoro (2004) menunjukkan

bahwa faktor individu seperti umur, pendidikan, masa kerja, status perkawinan

dan status gizi mempunyai hubungan terhadap terjadinya kelelahan kerja.

Menurut Pearl Medic (2011) aktivitas fisik yang berlebihan merupakan salah

satu faktor terjadinya kelelahan. Hasil penelitian yang dilakukan Miligan A.R,

Flenniken M.P & Pugh C.L, (1996) salah satu faktor yang menyebabkan

terjadinya kelelahan pada ibu menyusui yaitu postur menyusui yang digunakan.

Pada ibu menyusui, kelelahan dapat mempengaruhi aktivitas proses

pemberian ASI. Jika ibu sering mengalami kelelahan, selain akan mengganggu

aktivitas pemberian ASI, juga akan memunculkan risiko terjadinya kesakitan

pada ibu atau berkembang menjadi MSDs karena aktivitas menyusui dilakukan

ibu berulang-ulang setiap hari.

Munculnya kelelahan pada saat menyusui diperkirakan disebabkan

karena prinsip ergonomi belum diterapkan dalam kegiatan menyusui yang

dilakukan oleh ibu menyusui pada umumnya, padahal menyusui merupakan

6

kegiatan sehari-hari ibu yang baru melahirkan. Sehingga masalah yang

kemudian muncul adalah kelelahan ibu selama kegiatan menyusui berlangsung

sebagai akibat dari posisi menyusui ibu yang bertahan selama 20-30 menit

berkali-kali setiap hari. Hal ini diperkuat dengan hasil studi pendahuluan yang

dilakukan pada bulan Januari terhadap 10 ibu menyusui di Kelurahan Pisangan.

Adapun berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 ibu

menyusui ≤ 6 bulan diketahui rata-rata ibu menyusui mengalami kelelahan

ringan 80% dan kelelahan menengah 20% artinya, dari 10 orang yang

diwawancarai diketahui seluruh ibu menyusui mengalami kelelahan dalam

meyusui. Meskipun tingkat kelelahannya berbeda-beda namun jika terjadi

secara berulang-ulang berakibat kepada kelelahan kronis yang mampu

mempengaruhi pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh dan jika

dipaksakan terus menerus kelelahan akan bertambah dan sangat menganggu

hingga menyebabkan kelelahan klinis yang berdampak pada peningkatan angka

sakit (Suma’mur, 1986).

Berdasarkan studi pendahuluan tersebut, maka peneliti ingin mengetahui

faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kelelahan pada ibu menyusui ≤ 6

bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013. Penelitian ini merupakan

penelitian di bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang diterpkan

pada aktivitas menyusui. Aktivitas menyusui merupakan pekerjaan rutin yang

dilakukan ibu-ibu pasca melahirkan pada umumnya. Perlunya penerapan K3

7

terutama aspek ergonomi pada aktivitas menyusui bertujuan untuk

meminimalisir risiko-risiko ergonomi pada ibu menyusui, terutama terkait

kelelahan posisi duduk ibu saat menyusui. Dengan adanya penelitian ini,

menunjukkan bahwa K3 dapat diterapkan dimana saja, dimana terdapat

aktivitas. Aktivitas yang diteliti di sini adalah aktivitas menyusui. Pada aktivitas

menyusui ini, K3 perlu diterapkan terutama kaitannya dengan aspek ergonomi.

Dengan demikian, maka risiko-risiko ergonomi pada ibu menyusui dapat

diminimalisir, terutama terjadinya kelelahan posisi duduk ibu saat menyusui.

Dengan adanya penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat untuk

memperbaiki posisi duduk ibu saat menyusui yang lebih ergonomis dimana

posisi ini yang paling banyak digunakan ibu saat menyusui sehingga dapat

membantu meningkatkan kelancaran pemberian ASI di Kelurahan Pisangan

Ciputat Timur

1.2 Rumusan Masalah

Menurut Health (2000) dalam Suryani (2012) menyusui merupakan

keterampilan yang dipelajari ibu dan bayi, dimana keduanya membutuhkan waktu

dan kesabaran untuk pemenuhan selama enam bulan. Sehingga,menyusui

merupakan kegiatan yang dilakukan selama berjam-jam dan berkali-kali setiap

harinya oleh ibu pasca melahirkan. Agar proses menyusui berjalan dengan lancar,

maka seorang ibu harus mempunyai keterampilan menyusui agar ASI dapat

mengalir dari payudara ibu ke bayi secara efektif. Keterampilan menyusui yang

8

baik meliputi postur menyusui dan perlekatan bayi pada payudara yang tepat. Edy

dan Samad (2011) menyebutkan bahwa postur tubuh merupakan salah satu dari

hal yang paling sering dihubungkan dengan faktor risiko ergonomi. Posisi yang

nyaman untuk menyusui sangat penting agar proses menyusui berjalan lancar.

Satu gejala yang sering dilaporkan ibu yang baru pertama kali menyusui bayinya

yang membuat ibu memperpendek lamanya dalam menyusui adalah kelelahan

(fatigue) (Chapman,1998 dalam Rohman, 2012). Prinsip ergonomi secara umum

belum diterapkan pada aktivitas menyusui, sehingga masalah yang kemudian

terjadi adalah kelelahanibu selama kegiatan menyusui berlangsung dan ini akan

mengganggu proses menyusui maupun proses laktasi.

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan diketahui dari 10 ibu menyusui

≤ 6 bulan yang diwawancarai di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur, diketahui

rata-rata seluruh ibu menyusui mengalami kelelahan saat meyusui. Kelelahan

(fatigue) merupakan satu gejala yang sering dilaporkan ibu yang baru pertama

kali menyusui bayinya yang membuat ibu memperpendek lamanya dalam

menyusui. Diperkirakan faktor pencetus terjadinya kelelahan dapat berasal dari

risiko ergonomi postur menyusui, usia, kebiasaan merokok, status gizi, aktivitas

fisik,lama menyusui, lingkungan kerja dan lingkungan kerja. Dengan demikian

diperlukan adanya suatu penelitian tentang faktor-faktor yang

berhubungandengan terjadinya kelelahan pada ibu menyusui ≤ 6 bulan di

Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013.

9

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kelelahan pada ibu menyusui ≤ 6 bulan di Kelurahan

Pisangan Ciputat Timur 2013?

2. Bagaimana gambaran faktor karakteristik individu(usia, kebiasaan merokok,

status gizi, aktivitasfisik) pada ibu menyusui ≤ 6 bulan di Kelurahan

Pisangan Ciputat Timur 2013?

3. Bagaimana gambaran faktor karakteristik pekerjaan (risiko ergonomi postur

menyusui, lama menyusui dan lingkungan menyusui) pada ibu menyusui ≤ 6

bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013?

4. Apakah ada hubungan antara faktor karakteristik individu (usia, kebiasaan

merokok, status gizi, aktivitas fisik) dengan kelelahan pada ibu menyusui ≤ 6

bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013?

5. Apakah ada hubungan antara faktor karakteristik pekerjaan (risiko ergonomi

postur menyusui, lama menyusui dan lingkungan menyusui) dengan

kelelahan pada ibu menyusui ≤ 6 bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat

Timur 2013?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya

kelelahan pada ibu menyusui ≤ 6 bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat

Timur 2013.

10

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran kelelahan pada ibu menyusui ≤ 6 bulan di

Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013.

2. Diketahuinyagambaran faktor karakteristik individu (usia, kebiasaan

merokok, status gizi, aktivitasfisik) pada ibu menyusui ≤ 6 bulan di

Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013.

3. Diketahuinyagambaran faktor karakteristik pekerjaan (risiko ergonomi

postur menyusui, lama menyusui dan lingkungan menyusui) pada ibu

menyusui ≤ 6 bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013.

4. Diketahuinya hubungan antara faktor karakteristik individu (usia,

kebiasaan merokok, status gizi, aktivitas fisik) dengan kelelahan pada

ibu menyusui ≤ 6 bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013.

5. Diketahuinya hubungan antara faktor karakteristik pekerjaan (risiko

ergonomi postur menyusui, lama menyusui dan lingkungan menyusui)

dengan kelelahan pada ibu menyusui ≤ 6 bulan di Kelurahan Pisangan

Ciputat Timur 2013.

11

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi IbuMenyusui

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi bagi para ibu

menyusui maupun calon ibu menyusui mengenai faktor-faktor yang

berhubungan denganterjadinya kelelahan sehingga dapat melakukan

upaya-upaya untuk mengurangi aspek kelelahan pada saat menyusui.

1.5.2 Bagi Peneliti

1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peneliti lain yang akan

melakukan penelitian terkait kejadian kelelahan.

2. Dapat mengaplikasikan ilmu dan pengetahuan terkait risiko ergonomi

yang telah didapatkan di perkuliahan pada tempat kerja yang

sesungguhnya.

3. Melatih pola pikir sistematis dalam menghadapi masalah-masalah

khusunya dalam bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan oleh mahasiswa peminatan Kesehatan dan

Keselamatan Kerja Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negri

Syarif Hidayatullah Jakarat yang dilakukan pada bulan Juni 2012 sampai Juli

2013. Adapun lokasinya di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur. Penelitian ini

merupakan salah satu garapan bidang K3 (Kesehatan Keselamatan Kerja) yang

bertujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya

12

kelelahan pada ibu menyusui ≤6 bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur

2013.

Penelitian ini bersifat kuantitaif dengan menggunakan desain studi cross

sectional dimana peneliti menggunakan data primer dan sekunder. Data primer

yaitu peneliti melakukan observasi langsung pada saat ibu menyusi, untuk melihat

potensi risiko terjadinya kelelahan dengan kriteria penilaian postur berdasarkan

metode Rapid Upper Limb Assessment (RULA) yaitu dengan pengukuran

langsung serta menggunakan kuesioner kepada ibu yang sedang menyusui ≤ 6

bulan untuk mengetahui variabel faktor krakteristik individu dan pekerjaan.

Sedangkan data sekunder yaitu data ibu menyusui dibawah sama dengan enam

bulan diperoleh dari posyandu dengan cara telaah dokumen.

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelelahan Kerja

2.1.1 Pengertian Kelelahan Kerja

Kelelahan dapat diartikan sebagai suatu kondisi menurunnya

efisiensi, performa kerja dan berkurangnya kekuatan atau ketahanan

fisik tubuh untuk terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan

(Wingnjosoebroto, 2003 dalam Virgy, 2011). Kelelahan adalah suatu

mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh menghindari kerusakan lebih

lanjut, sehingga dengan demikian terjadilah pemulihan (Suma’mur,

1989). Rizeddin (2000) dalam Nurhidayati (2009) menyatakan kelelahan

menurunkan kapasitas kerja dan ketahanan kerja yang ditandai oleh

sensasi lelah, motivasi menurun, aktivitas menurun. Menurut Grandjean

(1997) dalam Virgy (2011) kelelahan kerja merupakan gejala yang

ditandai adanya perasaan lelah dan kita akan merasa segan dan aktifitas

akan melemah serta ketidakseimbangan. Selain itu, keinginan untuk

berusaha melakukan kegiatan fisik dan mental akan berkurang karena

disertai perasaan berat, pening, capek. Istilah kelelahan menunjukkan

kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya

bermuara pada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta

ketahanan tubuh (Tarwaka et al,2004).

14

Menurut Cameron (1973) yang dikutip oleh Rahmawati (1998)

kelelahan kerja merupakan kriteria yang kompleks yang tidak hanya

menyangkut kelelahan fisiologis dan psikologis tetapi dominan

hubungannya dengan penurunan kinerja fisik, adanya perasaan lelah,

penurunan motivasi dan penurunan produktivitas kerja. Gambaran

mengenai gejala kelelahan (fatigue symptoms) secara subjektif dan

obyektif antara lain;

a. Perasaan lesu, ngantuk dan pusing

b. Kurang mampu berkonsentrasi

c. Berkurangnya tingkat kewaspadaan

d. Persepsi yang buruk dan lambat

e. Berkurangnya gairah untuk bekerja

f. Menurunnya kinerja jasmani dan rohani (Budiono dkk, 2003).

Beberapa gejala tersebut dapat menyebabkan penurunan efisiensi

dan efektivitas kerja fisik dan mental. Sejumlah gejala tersebut

manifestasinya timbul berupa keluhan oleh tenaga kerja dan seringnya

tenaga kerja tidak masuk kerja (Budiono dkk, 2003).

Kelelahan adalah aneka keadaan yang disertai penurunan efisiensi

dan ketahan dalam bekerja, yang dapat dosebabkan oleh :

a. Kelelahan sumber utamanya adalah mata (kelelahan visual).

b. Kelelahan fisik umum.

c. Kelelahan syaraf.

15

d. Kelelahan oleh lingkungan yang monoton.

e. Kelelahan oleh lingkungan kronis terus menerus sebagai faktor

secara menetap (Suma’mur, 1999).

Suma’mur (1996) menyatakan bahwa poduktifitas mulai

menurun setelah empat jam bekerja terus menerus (apapun jenis

pekerjaannya) yang disebabkan oleh menurunnya kadar gula didalam

darah. Itulah sebabnya istirahat sangat diperlukan minimal setengah jam

setelah empat jam bekerja terus menerus agar pekerja memperoleh

kesempatan untuk makan dan menambah energi yang diperlukan tubuh

untuk bekerja. Manuaba (1990) dalam Virgy (2011) menjelaskan bahwa

jam kerja berlebihan, jam kerja lembur diluar batas kemampuan akan

mempercepat timbulnya kelelahan, menurunkan ketepatan dan ketelitian.

Oleh karena itu setiap fungsi tubuh memerlukan keseimbangan yang

ritmis antara asupan energi dan pengganti energi (kerja-istirahat), maka

diperlukan adanya waktu istirahat pendek (15 menit setelah 1,5-2 jam

kerja) untuk mempertahankan efisiensi dan performa kerja (Virgy, 2011).

2.1.2 Jenis Kelelahan Kerja

Jenis kelelahan meliputi atas dua bagian:

a. Kelelahan Otot (Muscular Fatigue)

Kelelahan otot menurut Suma’mur (1999) adalah tremor pada

otot atau perasaan nyeri yang terdapat pada otot. Hasil percobaan yang

dilakukan para peneliti pada otot mamalia, menunjukkan kinerja otot

16

berkurang dengan meningkatnya ketegangan otot sehingga stimulasi

tidak lagi menghasilkan respon tertentu. Fenomena berkurangnya

kinerja otot setelah terjadinya tekanan melalui fisik untuk suatu waktu

tertentu disebut kelelahan otot secara fisiologis, dan gejala yang

ditunjukkan tidak hanya berupa berkurangnya tekanan fisik namun

juga pada makin rendahnya gerakan.

b. Kelelahan Umum

Pendapat Grandjean (1993) yang dikutip oleh Tarwaka, dkk

(2004), biasanya kelelahan umum ditandai dengan berkurangnya

kemauan untuk bekerja, yang sebabnya adalah pekerjaan yang

monoton, intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan,

Sebab-sebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi. Secara umum

gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai

perasaan yang sangat melelahkan. Kelelahan subjektif biasanya terjadi

pada akhir jam kerja, apabila beban kerja melebihi 30-40% dari tenaga

aerobik. Pengaruh-pengaruh ini seperti berkumpul didalam tubuh dan

mengakibatkan perasaan lelah (Suma’mur, 1996). Menurut Budiono

(2003), gejala umum kelelahan adalah suatu perasaan letih yang luar

biasa dan terasa aneh. Semua aktivitas menjadi terganggu dan

terhambat karena munculnya gejala kelelahan terebut. Tidak adanya

gairah untuk bekerja baik secara fisik maupun psikis, segalanya terasa

berat dan merasa mengantuk.

17

2.1.3 Tanda Kelelahan Kerja

Pada umumnya orang lelah menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut ;

a. Penurunan perhatian

b. Perlambatan dan hambatan persepsi

c. Lamban dan sukar berfikir

d. Penurunan kemampuan atau dorongan untuk bekerja

e. Kurangnya efisiensi kegiatan-kegiatan fisik dan mental

Jika menderita lelah berat secara terus menerus maka akan

mengakibatkan kelelahan kronis dengan gejala lelah sebelum bekerja. Jika

terus berlanjut dan menimbulkan sakit kepala, pusing, mual dan sebagainya

maka kelelahan itu dinamakan lelah klinis yang akan mengakibatkan malas

bekerja (Sedarmayanti 1996).

2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kelelahan Kerja

a. Postur Kerja

Postur tubuh dapat didefinisikan sebagai orientasi reaktif dari

bagian tubuh terhadap ruang. Untuk melakukan orientasi tubuh tersebut

selama beberapa rentang waktu dibutuhkan kerja otot untuk menyangga

atau menggerakkan tubuh. Postur yang diadopsi manusia saat melakukan

beberapa pekerjaan adalah hubungan antara dimensi tubuh sang pekerja

dengan dimensi beberapa benda dalam lingkungan kerjanya (Phesant,

1991).

18

Postur tubuh dalam kerja sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan

yang dilakukan, masing-masing posisi kerja mempunyai pengaruh yang

berbeda-beda terhadap tubuh. Pada pekerjaan yang dilakukan dengan

posisi duduk seperti halnya para ibu menyusui hanya menggunakan

bantal sebagai penompang cara kerjanya, tempat duduk yang dipakai

harus memungkinkan untuk melakukan variasi perubahan posisi, kursi

yang baik adalah kursi yang mengikuti lekuk punggung, siburan dan

tingginya dapat diatur (Setyawati,2001).

Posisi dalam bekerja sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan yang

dilakukan, masing-masing posisi kerja mempunyai pengaruh yang

berbeda-beda terhadap tubuh. Menurut Soeripto (1989), perencanaan dan

penyesuaian alat yang tepat bagi tenaga kerja dapat meningkatkan

produktivitas, menciptakan keselamatan dan kesehatan kerja serta

kelestarian lingkungan kerja, dan juga memperbaiki kualitas produk dari

suatu proses produksi. Posisi dalam bekerja memiliki hubungan yang

positif dengan timbulnya kelelahan kerja. Tidak peduli apakah pekerja

harus berdiri, duduk atau dalam sikap posisi kerja yang lain,

pertimbangan-pertimbangan ergonomis yang berkaitan dengan

sikap/posisi kerja akan sangat panting. Beberapa jenis pekerjaan akan

memerlukan sikap dan posisi tertentu yang kadang-kadang cenderung

untuk tidak mengenakkan. Kondisi kerja seperti ini memaksa pekerja

selalu berada pada sikap dan posisi kerja yang tidak nyaman dan kadang-

19

kadang juga harus berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini

tentu saja akan mengakibatkan pekerja cepat lelah, membuat banyak

kesalahan atau menderita cacat tubuh.

Sikap tubuh dalam bekerja harus memperhatikan :

1) Agar senantiasa diupayakan agar semua pekerjaan dilaksanakan

dengan sikap duduk dan sikap berdiri secara bergantian.

2) Segala posisi dan sikap tubuh yang tidak alami dihindarkan atau

diusahakan agar beban statis sekecil-kecilnya.

Menurut Grandjean (1988: 167) sifat pekerjaan yang monoton

(kurang bervariasi) merupakan salah satu faktor penyebab kelelahan

kerja. Waters dan Bhattacharya (1996) yang dikutip oleh Tarwaka dkk,

(2004) berpendapat agak lain, bahwa kontraksi otot baik statis maupun

dinamis dapat meyebabkan kelelahan otot setempat. Kelelahan tersebut

terjadi pada waktu ketahanan (Endurance time) otot terlampaui. Waktu

ketahanan otot tergantung pada jumlah tenaga yang dikembangkan oleh

otot sebagai suatu prosentase tenaga maksimum yang dapat dicapai oleh

otot. Kemudian pada saat kebutuhan metabolisme dinamis dan aktivitas

melampaui kapasitas energi yang dihasilkan oleh tenaga kerja, maka

kontraksi otot akan terpengaruh sehingga kelelahan seluruh badan terjadi.

b. Usia

Menurut Setyawati (1994) yang dikutip oleh Silastuti (2006)

faktor individu seperti umur juga dapat berpengaruh terhadap waktu

20

reaksi dan perasaan lelah tenaga kerja. Pada umur yang lebih tua terjadi

penurunan kekuatan otot, tetapi keadaan ini diimbangi dengan stabilitas

emosi yang lebih baik dibanding tenaga kerja yang berumur muda yang

dapat berakibat positif dalam melakukan pekerjaan. Menurut Hidayat

2003 dalam Mauludi 2010 mendapatkan bukti di Negara Jepang

menunjukkan bahwa pekerja yang berusia 40-50 tahun akan lebih cepat

menderita kekelahan kerja dibandingkan dengan pekerja relative lebih

muda. Dengan menanjaknya umur maka kemampuan jasmani dan

rohanipun akan menurun secara perlahan-lahan. Menurut Akerstedt et al

(2002) dalam Dewi (2006) bahwa kelelahan lebih cenderung terjadi pada

pekerja berumur kurang lebih sama dengan 49 tahun. Pada penelitian

Dewi (2006) diketahui bahwa responden yang paling banyak mengalami

kelelahan adalah pekerja yang berusia 25-35 tahun yaitu sebnyaka 26

orang (55,3%), pada penelitian ini didapatkan P-value 0,180 yang

menyatakan tidak adanya hubungan antara usia pekerjaan dengan

kelelahan kerja. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh J Hum lact

University of Kansas School of Nursing, Kansas City 66160-7502,

Amerika Serikat (1998) bahwa usia ibu berkorelasi positif dengan

kelelahan (r = 0,31-0,50, p <.05).

c. Kebiasaan Merokok

Menurut Mauludi (2010) semakin lama dan tingginya frekuensi

merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan. Hal ini

21

sebenarnya terkait erat dengan kondisi kesegaran tubuh seseorang.

Kebiasaan merokok akan dapat menurunkan kapasitas paru–paru,

sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan sebagai

akibatnya tingkat kesegaran juga menurun. Apabila yang bersangkutan

harus melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan

mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah, pembakaran

karbohidrat terhambat, terjadi tumpukan asam laktat dan akhirnya timbul

kelelahan (Tarwaka dkk, 2004). Seseorang dapat diakatan perokok ringan

apabila merokok kurang dari 10 batang perhari, dikatakan perokok sedang

apabila merokok 10-20 batang perhari dan dikatakan perokok berat

apabila merokok lebih dari 20 batang perhari (Bustan, 2000). Penentuan

derajat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah

rata-rata batang rokok dihisap sahari dikalikan lama merokok dalam

tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-

600), dan berat (>600) (PDPI, 2001 dalam Nugraha, 2010).

d. Status Gizi

Status gizi merupakan salah satu unsur yang menentukan kualitas

fisik dan kondisi fisik tenaga kerja sehingga berpengaruh terhadap

terjadinya kelelahan (Wignjosoebroto, 2003 dalam Virgy, 2011). Tubuh

memerlukan zat-zat dari makanan untuk pemeliharaan tubuh, perbaikan

kerusakan sel dan jaringan. Zat makanan tersebut diperlukan juga untuk

bekerja dan meningkat sepadan dengan lebih beratnya pekerjaan

22

(Suma’mur, 1996). Tingkat gizi, terutama bagi pekerja kasar dan berat

adalah faktor penentu derajat produktivitas kerjanya. Beban kerja yang

terlalu berat sering disertai penurunan berat badan (Suma’mur, 1996).

Status gizi ini bisa dihitung salah satunya adalah dengan

menghitung IMT dengan rumus:

Untuk mengetahui status gizi seseorang maka ada kategori

ambang batas IMT yang digunakan, seperti yang terlihat pada tabel 2.1

dibawah ini yang merupakan ambang IMT untuk Indonesia.

Tabel 2.1.

Kategori Atas Ambang IMT untuk Indonesia

Kategori IMT (Kg/M2)

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat <17,0

Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,1-18,4

Normal 18,5-25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1-27,0

Kelebihan berat badan tingkat bera ≥ 27,0

Sumber: Depkes, 2003

Menurut Pekik (2006) dalam Kasanah (2011) menyatakan bahwa

Indeks Masa Tubuh (IMT) mempunyai beberapa kelebihan yaitu

pengukuran sederhana dan mudah serta menentukan kelebihan dan

kekurangan berat badan. Indeks Masa Tubuh (IMT) ini tidak lepas dari

kekurangan yaitu hanya dapat digunakan untuk menentukan status gizi

orang dewasa (usia 18 tahun keatas).

Berat badan (kg)

IMT =

Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)

23

Tabel 2.2

Kerugian Berat Badan yang Kurang Ideal

Berat Badan Kerugian

Kurang (kurus) Penampilan cenderung kurang baik, mudah lelah, risiko

penyakit tinggi, wanita kurus yang hamil mempunyai risiko

tinggi melahirkan bayi dengan BBLR, kurang mampu bekerja

keras.

Kelebihan

(gemuk)

Penampilan kurang menarik, gerakan tidak gesit dan lamban,

risiko penyakit jantung, pada wanita dapat menyebabkan

gangguan haid.

Sumber: 1 Dewa Nyoman Supariasa, dkk., (2002:61) dalam Nurhidayati (2009)

Berat badan yang kurang ideal baik itu kurang ataupun kelebihan

dapat menimbulkan kerugian. Masalah kekurangan atau kelebihan gizi

pada orang dewasa (usia 18 tahun ke atas) merupakan masalah penting,

karena selain mempunyai risiko penyakit tertentu, juga dapat

mempengaruhi produktivitas kerja. Akibat kekurangan zat gizi, maka

simpanan zat gizi pada tubuh akan digunakan untuk memenuhi

kebutuhan. Bila hal ini berlangsung lama, maka simpanan zat gizi akan

habis dan terjadi kemerosotan jaringan, dengan meningkatnya defisiensi

zat gizi maka muncul perubahan biokimia dan rendahnya zat–zat gizi

dalam darah, berupa rendahnya tingkat Hb, serum vitamin A dan karoten.

Dapat pula terjadi peningkatan beberapa hasil metabolisme seperti asam

laktat dan piruvat pada kekurangan tiamin. Bila keadaan ini berlangsung

lama, akan mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi tubuh yang tanda-

tandanya, yaitu kelemahan, pusing, kelelahan, nafas pendek dan lain-lain

24

(Supariasa dkk., 200 dalam Mauludi, 2010). Sedangkan untuk orang yang

mempunyai kelebihan berat badan (gemuk) juga akan mudah mengalami

kelelahan karena, orang yang gemuk membutuhkan jumlah energi yang

lebih besar untuk membawa tubuhnya, seiring dengan kenaikan berat

badannya. (Almatsier 2004 )

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Eraliesa (2008)

dalam Mauludi (2010) terdapat hubungan antara status gizi dengan

tingkat kelelahan, dengan nilai P-valuenya 0,002. Hasil riset

menunjukkan bahwa secara klinis terdapat hubungan antara status gizi

seseorang dengan performa tubuh secara keseluruhan, orang yang berada

dalam kondisi gizi yang kurang baik dalam arti intake makanan dalam

tubuh kurang dari normal maka akan lebih mudah mengalami kelelahan

dalam melakukan pekerjaan (Oentoro, 2004).

e. Status Pernikahan

Status pernikahan menurut Konsey (1965) dalam Mauludi (2010),

membagi status pernikahan dalam tiga kelompok yaitu single, married,

dan post married. Kelompok single adalah kelompok yang tidak menikah

atau belum menikah. Kelompok married adalah kelompok yang sedang

berada dalam status pernikahan yang sah secara hukum, sedangkan

kelompok pos married adalah kelompok yang sudah pernah menikah

tetapi kemudian berpisah karena perceraian atau kematian. Pernikahan

menyebabkan meningkatnya tanggung jawab yang dapat membuat

25

pekerjaan tetap lebih berharga dan penting. Tugas-tugas perkembangan

yang dimiliki oleh orang yang sudah menikah menurut Sudirman (1987)

dalam Mauludi (2010):

1) Belajar hidup dengan pasangan dalam perkawinan.

2) Mulai hidup berkeluarga

3) Memelihara anak

4) Mengatur rumah tangga

5) Memulai dalam pekerjaan.

Seseorang yang sudah menikah dan memiliki keluarga maka akan

mengalami kelelahan akibat kerja dan setelah dirumah harus melyani

anak dan istrinya yang mana waktu tersebut digunakan untuk beristirahat

(Irma, 2009 dalam Mauludi, 2010). Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Eraliesa (2008) dalam Mauludi (2010) terdapat hubungan

antara status perkawinan dengan tingkat kelelahan, dengan nilai P-

valuenya 0,01.

f. Jam Kerja

Jam kerja waktu kerja bagi seseorang menentukan efisiensi dan

produktifitasnya. Lamanya seseoarang bekerja sehari secara baik pada

umumnya 6-8 jam. Sisanya 16-18 jam dipergunakan untuk kehidupan

dalam keluarga dan masyarakat, istirahat, tidur dan lain-lain.

Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan tersebut biasanya

tidak disertai efisiensi yang tinggi, bahkan biasanya terlihat penurunan

26

produktifitas serta kecenderuangan untuk timbulnya kelelahan, penyakit

dan kecelakaan kerja (Suma’mur, 1996). Menutut Suma’mur (1981)

bekerja merupakan proses anabolisme, yaitu mengurangi atau

menggunakan bagian-bagian tubuh yang telah dibangun sebelumnya.

Dalam keadaan demikian, sistem syaraf utama yang berfungsi adalah

komponen simpatis. Maka pada kondisi tersebut, aktifitas tidak dapat

dilakukan secara terus menerus, melainkan harus diselingi dengan

istirahat untuk memberikan kesempatan untuk membangun kembali

tenaga yang telah digunakan. Di Indonesia telah ditetapkan lamanya

waktu kerja sehari maksimum 8 jam kerja dan sisanya untuk

istirahat/kehidupan dalam keluarg adan masyarakat. Memperpanjang

waktu kerja lebih dari itu hanya akan menurunkan efisiensi kerja,

meningkatkan kelelahan kerja, kecelakaan dan penyakit akibat kerja

(Tarwaka et al, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Safitri (2008)

kelelahan banyak terjadi pada pekerja yang bekerja selama 10 jam perhari

yaitu sebnyak 13 orang (28,9%), dengan P-value 1,89 yang menyatakan

tidak ada hubungan antara jam kerja dengan kelelaha kerja. Sedangkan

pada penelitian lainnya kelelahan banyak dialami oleh pekerja yang

bekerja dibawah 7 jam perhari, dengan P-value 0,854 yang menyatakan

tidak ada hubungan antara jam kerja dengan kelelahan kerja

(Andiningsari, 2009).

27

g. Masa Kerja

Tekanan melalui fisik (beban kerja) pada suatu waktu tertentuk

mengakibatkan berkurangnya kinerja otot, gejala yang ditunjukkan juga

berupa pada makin rendahnya gerakan. Keadaaan ini tidak hanya

disebabkan oleh suatu sebab tunggal seperti terlalu kerasnya beban kerja,

namun juga oleh tekanan–tekanan yang terakumulasi setiap harinya pada

suatu masa yang panjang. Keadaan seperti ini yang berlarut–larut

mengakibatkan memburuknya kesehatan, yang disebut juga kelelahan

klinis atau kronis. Perasaan lelah pada keadaan ini kerap muncul ketika

bangun di pagi hari, justru sebelum saatnya bekerja, misalnya berupa

perasaan kebencian yang bersumber dari perasaan emosi (Budiono dkk,

2003). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Eraliesa (2008)

dalam Mauludi (2010) terdapat hubungan antara masa kerja dengan

tingkat kelelahan, dengan nilai pvaluenya 0,002.

h. Aktivitas Fisik

Menurut Almatsier (2004) mengatakan bahwa aktivitas fisik dapat

didefinisikan sebagai gerakan fisik yang dilakukan oleh otot tubuh dan

sistem penunjangnya. Menurut Depkes RI (2006) aktivitas fisik adalah

pergerakkan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga secara

sederhana minimal 30 menit dalam sehari selama 5 hari dalam seminggu

yang sangat penting bagi pemeliharaan fisik, mental, dan kualitas hidup

28

sehat. Aktivitas fisik juga dapat terjadi dalam melakukan aktivitas seperti

pekerjaan rumah, berkebun, melakukan hobi, rekreasi dan olahraga

(Allender & Spradley, 2001 dalam Achmanagara, 2012). Aktivitas fisik

yang berlebihan merupakan salah satu faktor terjadinya kelelahan (Pearl

Medic, 2011) Berbeda dengan hasil penelitian penelitian Mamuaja (2011)

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0,05) antara

tingkat kelelahan dengan tingkat aktivitas fisik hari kerja dan libur.

Aktivitas fisik yang benar dapat dilakukan secara bertahap hingga

mencapai 30 menit. Jika belum terbiasa dapat dimulai dengan beberapa

menit setiap hari dan ditingkatkan secara bertahap. Aktivitas fisik yang

dilakukan secara teratur mampu membakar kalori sehingga bermanfaat

untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan

pembuluh darah.

Total volume aktivitas fisik dapat ditentukan kuantitasnya dengan

satuan MET-hours perhari atau perminggu. Yaitu, intensitas semua

aktivitas yang berbeda selama periode pengkajian dinyatakan dalam

ekuivalen MET yang dikalikan dengan waktu yang digunakanbagi semua

aktivitas. Cara ini sering digunakan untuk menyatakan total volume

aktivitas fisik ketika menggunakan metode kuesioner (Gibney, 2009dalam

Parubak, 2011).

International Physical Activity Questionnare (IPAQ) dikembangkan

pertama kali di Geneva pada tahun 1998 kemudianterus diujikan validitas

29

dan realibilitasnya mencakup 12 negara pada6 benua hingga tahun 2002.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa metode pengukuran ini dapat

digunakan untuk monitoring dan sistem surveilans secara daerah, nasional

maupun internasional serta dapat digunakan untuk proyek penelitian dan

perencanaan dan evaluasi program kesehatan masyarakat.

IPAQ mengukur berbagai aktivitas yang mencakup:

1. aktivitas di waktu luang

2. aktivitas pekerjaan rumah tangga dan berkebun

3. aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan

4. Aktivitas yang berhubungan dengan transportasi.

IPAQ terdiri atas IPAQ short forms dan IPAQ long form. IPAQ

short forms adalah instrumen yang terutama didesain untuk mengukur

aktivitas fisik pada orang dewasa untuk usia di atas 15tahun. IPAQ short

forms berisi tentang 3 aktivitas spesifik utama yang terdapat dalam 4

domain di atas. Aktvitas fisik spesifik tersebut adalah berjalan, aktivitas

dengan intensitas sedang, dan aktivitas dengan intensitas keras. Aktvitas

fisik yang diukur dalam kuesioner ini adalah yang dilakukan minimal 10

menit dalam 1 kali kegiatan. IPAQ long forms mencakup 4 domain yang

diukur yaitu aktivitas di waktu luang, aktivitas pekerjaan rumah tangga

dan berkebun, aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan, aktivitas

yang berhubungan dengan transportasi.

30

Level MET setiap intensitas adalah berjalan sebanyak 3.3 METs,

aktivitas sedang sebanyak 4.0 METs, dan aktivitas keras sebanyak 8.0

METs. Total aktivitas fisik atau total MET/menit-minggu dihitung

dengan:

Berjalan (MET x menit x hari) + Sedang (MET x menit x hari) +

Keras (MET x menit x hari).

Contoh perhitungan total aktivitas fisik misalnya, seseorang

melakukan aktvitas fisik sebanyak 30 menit selama 5 hari:

Level METs METs x Durasi x Frekuensi

Berjalan 3.3 x 30 x 5 = 495 MET-menit/minggu

Sedang 4.0 x 30 x 5 = 600 MET-menit/minggu

Keras 8.0 x 30 x 5 = 1200 MET-menit/minggu

TOTAL = 2295 MET-menit/minggu

Kemudian total aktivitas fisik tersebut disesuaikan dengan kategori

di bawah ini (IPAQ, 2005) :

1. Ringan

Merupakan level terendah dalam aktivitas fisik. Seseorang yang

termasuk ke dalam kategori ini adalah apabila tidak melakukan aktivitas

fisik apapun atau tidak memenuhi kriteria aktivitas fisik sedang dan berat.

2. Sedang

Dikatakan termasuk dalam aktivitas fisik sedang jika memenuhi

kriteria berikut:

31

a. Melakukan aktivitas fisik dengan intensitas kuat minimal 20 menit

selama 3 hari atau lebih,

b. Atau melakukan aktivitas fisik dengan intenistas sedang selama

minimal 5 hari dan atau berjalan minimal 30 menit setiap hari,

atau kombinasi berjalan, aktivitas fisik dengan intenistas sedang

atau keras selama 5 hari atau lebih yang menghasilkan total

aktivitas fisik dengan minimal 600 MET-menit/minggu.

3. Berat

Dikatakan termasuk dalam aktivitas fisik berat jika memenuhi kriteria

berikut:

a. Melakukan aktivitas fisik dengan intensitas keras selama 3 hari

atau lebih yang menghasilkan total aktivitas fisik minimal

sebanyak 1500 MET-menit/minggu,

b. atau jika melakukan kombinasi berjalan, aktivitas fisik dengan

intenistas keras atau kuat selama 7 hari atau lebih yang

menghasilkan total aktivitas fisik minimal sebanyak 3000

METmenit/minggu.

i. Jenis Kelamin

Laki laki dan wanita berbeda dalam hal kemampuan fisiknya,

kekuatan kerja ototnya. Depnaker (1993) mengatakan bahwa menurut

pengalaman ternyata siklus biologi pada wanita tidak mempengaruhi

kemampuan fisik, melainkan lebih banyak bersifat sosial dan kultural.

32

Pria dan wanita berbeda dalam kemampuan fisiknya, kekuatan kerja

ototnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat melalui ukuran tubuh dan

kekuatan otot dari wanita relatif kurang jika dibandingkan pria. Kemudian

pada saat wanita sedang haid yang tidak normal (dysmenorrhoea), maka

akan dirasakan sakit sehingga akan lebih cepat lelah (Suma’mur, 1996).

j. Psikologis

Pekerjaan apapun akan menimbulkan reaksi psikologis bagi yang

melakukan pekerjaan itu. Reaksi tersebut dapat bersifat positif misalnya

senang, bergairah, dan merasa sejahtera atau reaksi yang bersifat negative

misalnya bosan, acuh, tidak serius, stress dan sebagainya (Notoatmodjo,

1997). Faktor psikologis memainkan peranan besar dalam menimbulkan

kelelahan (Suma’mur, 1986). Tenaga kerja yang mempunyai masalah

psikologis amatlah mudah mengidap suatu bentuk kelelahan kronis

(Budiono dkk., 2000). Salah satu penyebab dari reaksi psikologis adalah

pekerjaan yang monoton yaitu suatu kerja yang berhubungan dengan hal

yang sama dalam periode atau waktu yang tertentu, dan dalam jangka

waktu yang lama dan biasanya dilakukan oleh suatu produksi yang besar

(Budiono dkk, 2000). Rasa bosan merupakan manifestasi dari reaksi

suasana monoton (Nurminanto, 2003). Dalam hal ini kebosanan

merupakan ungkapan perasaan tidak enak secara umum, yakni perasaan

resah, kurang menyenangkan dan lelah (Anies, 2002). Rasa bosan dapat

dirasakan oleh siapa saja. Kebosanan biasanya banyak dialami oleh

33

pekerja dalam bidang industry misalnya saja operator mesin tenun, mesin

cetak dan sejenisnya yang sifatnya monoton dan berulang-ulang (Budiono

dkk, 2000 dalam Mauludi, 2010)

k. Keadaan Monoton

Kelelahan yang disebabkan oleh karena kerja statis berbeda

dengan kerja dinamis. Pada kerja otot statis, dengan pengerahan tenaga

50% dari kekuatan maksimum otot hanya dapat bekerja selama 1 menit.

Sedangkan pada pengerahan tenaga <20% kerja fisik dapat berlangsung

cukup lama. Tetapi pengerahan tenaga otot statis sebesar 15-20% akan

penyebabkan kelelahan dan nyeri jika pembebanan berlangsung

sepanjang hari (Tarwaka et al, 2004).

Menurut Nurmianto (2004) pembebanan otot secara statis jika

dipertahankan dalam waktu cukup lama akan mengakibatkan Repetition

Strain Injuries (RSI), yaitu nyeri otot, tulang, tendon, dan lain-lain yang

diakibatkan oleh jenis pekerjaan yang bersifat berulang (repetitive).

Menurut Marfu’ah (2007) pembebanan kerja fisik atau kerja otot

akibat gerakan otot, baik dinamis maupun statis dapat mempengaruhi

kelelahan tubuh. Kerja otot statis terjadi menetap untuk periode waktu

tertentu yang menyebabkan pembuluh darah tekanan dan perdaran darah

berkurang. Tidak adanya variasi kerja akan menimbulkan kejenuhan

kerja. Kejenuhan ini dapat terjadi karena pekerja melakukan pekerjaan

yang selalu sama setiap harinya, keadaan seperti ini cukup berpotensi

34

untuk menyebabkan terjadinya kelelahan kerja (Sisinta, 2005).Silaban

(1998) dalam Virgy (2011) mengemukakan bahwa kebosanan (kelelahan

mental) merupakan komponen penting dalam psikologis lingkungan kerja

yang disebabkan menghadapi pekerjaan yang berulang-ulang. Monoton

dan aktifitas yang tidak menyenangkan. Keadaan ini biasanya meningkat

pada pertengahan jam kerja dan menurun diakhir jam kerja.

l. Lingkungan Kerja

Di tempat kerja terdapat beberapa faktor yang mempengaruh

lingkungan keja seperti faktor fisik, faktor kimia, faktor biologis dan

faktor psikologis. Semua faktor tersebut dapat menimbulkan gangguan

terhadap suasana kerja dan berpengaruh terhadap kesehatan dan

keselamatan tenaga kerja (Tarwaka et al, 2004). Menurut Fitrani

(2000)dalam Umyati (2010) bahwa faktor lingkungan seperti suhu,

kebisingan, pencahayaan, dan vibrasi akan berpengaruh terhadap

kenyamanan fisik, sikap mental, dan kelelahan kerja.

Faktor-faktor lingkungan diantaranya, adalah:

1) Kebisingan

Menurut Suma’mur (1996) bunyi didengar sebagai rangasangan

pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis, dan manakala

bunyi-bunyi tersebut tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai

kebisingan. bunyi dinilai sebagi bising sangat relatif sekali, suatu

contoh misalnya music diskotik, bagi orang yang biasa mengunjungi

35

tempat itu tidak merasa suatu kebisingan, tetapi bagi orang-orang yang

tidak pernah berkunjung didiskotik akan merasa suatu kebisingan yang

menganggu (Gabriel, 1997dalam Mauludi, 2010).

Terdapat dua hal yang menentukan kualitas suatu bunyi, yaitu

frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah

getaran perdetik atau disebut hertz (Hz) dan intensitas atau arus enerti

persatuan luas biasanya dinyatakan dalam decibel (dB). Menurut

Sedarmayanti (2009) kebisingan merupakan bunyi yang tidak

dikehendaki oleh telinga karena dalam jangka panjang dapat

menganggu ketenangan bekerja, merusak pendengaran, dan

menimbulkan kesalahan komunikasi, bahkan kebisingan yang serius

dapat menyebabkan kematian. Menurut Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat

Kebisingan, tingkat kebisingan yang diperbolehkan untuk kawasan

perumahan dan pemukiman yaitu tidak lebih dari 55 dB. Menurut

Rusdjijati dan Widodo (2008), jika nilai kebisingan sudah melebihi

Nilai Ambang Batas yang ditetapkan, maka dapat mengakibatkan

ketidaknyamanan bagi manusia yang menerima kebisingan tersebut.

Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kebisingan di suatu

tempat. Menurut Mashuri (2007) dalam Anggrainiet. al (2012) ,

faktor-faktor tersebut terdiri dari jarak, serapan udara, angin, dan

permukaan bumi.

36

2) Penerangan

Penerangan ditempat kerja adalah salah satu sumber cahaya

yang menerangi benda-benda ditempat kerja. Banyak obyek kerja

beserta benda atau alat dan kondisi disekitar yang perlu dilihat oleh

tenaga kerja. Hal ini penting untuk menghindari kecelakaan yang

mungkin terjadi. Selain itu penerangan yang memadai memberikan

kesan pemandangan yang lebih baik dan keadaan lingkungan yang

menyegarkan (Suma’mur, 1996). Penerangan ditempat kerja

merupakan salah satu faktor yang perlu diupayakan

penyempurnaannya. Penerangan yang baik mendukung kesehatan

kerja dan memungkinkan tenaga kerja bekerja dengan lebih aman dan

nyaman, yang antara lain disebabkan karena mereka dapat melihat

objek yang dikerjakan dengan jelas, cepat dan tanpa upaya tambahan,

serta membantu menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan

menyenangkan.

Penerangan yang baik adalah adalah penerangan yang

memungkinkan tenaga kerja melihat pekerjaan dengan teliti, cepat dan

tanpa upaya yang tidak perlu serta membantu menciptakan lingkungan

kerja yang nikmat dan menyenangkan. Penerangan tempat kerja yang

tidak adekuat juga bisa menyebabkan kelelahan mata, akan tetapi

37

penerangan yang terlalu kuat dapat menyebabkan kesialuan. (Rasjid,

dkk 1989 dalam Virgy 2011)

Akibat-akibat penerangan yang buruk (Budiono dkk, 2003)

a) Kelelahan mata dengan berkurangnya daya efisiensi kerja

b) Kelelahan mental

c) Keluhan-keluhan pegal didaerah mata, dan sakit kepala sekitar

mata.

d) Kerusakan alat penglihatan.

e) Meningkatnya kecelakaan.

Standar intensitas penerangan perumahan dan lingkungan

pemukiman menurut Keputusan Menteri Kesehatan

(Kepmenkes) No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan

kesehatan perumahan adalah minimal 60 lux dan tidak

menyilaukan mata.

3) Getaran

Getaran adalah beresonansinya tubuh manusia akibat adanya

sumber getaran yang dapat menimbulkan gangguan berupa gangguan

kesehatan (Depnaker, 1993). Menurut Budiono dkk (2003) getaran

adalah gerakan yang teratur dari benda atau media dengan arah bolak-

balik dari kedudukan kesetimbangannya. Getaran terjadi saat mesin

atau alat dijalankan dengan motor, sehingga pengaruhnya bersifat

mekanis.

38

Pengaruh getaran pada tenaga kerja dapat dibedakan:

a) Gangguan kenikmatan dalam bekerja

b) Mempercepat terjadinya kelelahan

c) Gangguan kesehatan

4) Suhu

Suhu nikmat bekerja sekitar 24-26°C bagi orang-orang

Indonesia. Suhu dingin mengurangi efisiensi dengan keluhan kaku atau

kurangnya koordinasi otot. Suhu panas terutama berakibat menurunnya

prestasi kerja pikir. Penurunan sangat hebat sesudah 32°C. suhu panas

mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu

pengambilan keputusan, menganggu kecermatan kerja otak,

mengganggu koordinasi syaraf perasa dan motoris (Suma’mur, 1996).

Menurut Suma’mur (1992) pada suhu udara yang panas dan

lembab, makin tinggi kecepatan aliran udara malah akan makin

membebani tenaga kerja. Pada tempat kerja dengan suhu udara yang

panas maka akan menyebabkan proses pemerasan kringat. Beberapa

hal buruk berkaitan dengan kondisi demikian dapat dialami oleh

tenaga kerja, salah satunya kelelahan kerja. Pekerja yang mengalami

kondisi demikian, sulit untuk mampu bereproduksi tinggi. Akibat

kelelahan kerja tersebut, para pekerja menjadi kurang bergairah kerja,

daya tanggap dan rasa tanggung jawab menjadi rendah, sehingga

seringkali kurang memperhatikan kualitas produk kerjanya.

39

Standar suhu perumahan dan lingkungan pemukiman

menurut Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes)

No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan

perumahan yaitu 18-30°C.

2.1.5 Proses Terjadinya Kelelahan Kerja

Kelelahan terjadi karena terkumpulnya produk-produk sisa dalam

otot dan peredaran darah, dimana produk-produk sisa ini bersifat

membatasi kelangsungan aktivitas otot. Ataupun mungkin bisa dikatakan

bahwa produk sisa ini mempengaruhi serat-serat syaraf dan sistem syaraf

pusat sehingga menyebabkan orang menjadi lambat bekerja jika sudah

lelah.

Makanan yang mengandung glikogen, mengalir dalam ubuh melalui

peredaran darah. Setiap kontraksi dari otot akan selalu diikuti oleh reaksi

kimia (oksigen glukosa) yang merubah glikogen menjadi tenaga, panas dan

asam laktat (produk sisa). Dalam tubuh dikenal fase pemulihan, yaitu suatu

proses untuk merubah asam laktat menjadi glikogen kembali dengan

adanya oksigen dari pernafasan, sehingga memungkinka otot-otot bisa

bergerak secara montinu. Ini berarti keseimbangan kerja bisa dicapai

dengan baik apabila kerja fisiknya tidak terlalu berat. Pada dasarnya

kelelahan ini timbul karena terakumulasinya produk-produk sisa-sisa dalam

otot dan peredaran darah yang disebabkan tidak seimbangnya antara kerja

dan proses pemulihan.

40

Secara lebih jelas proses terjarjadinya kelelahan fisik adalah sebagai

berikut :

a. Oksidasi glukosa dalam otot menimbulkan CO2, saerolatic, phospat, dan

sebagainya, dimana zat-zat tersebut terikat dalam darah yang kemudian

dikeluarkan aktu bernafas. Kelelahan terjadi apabila pembentukan zat-zat

tersebut tidak seimbang dengan proses pengeluarannya sehingga timbul

penimbunan dalam jaringan otot yang menganggu kegiatan otot

selanjutnya.

b. Karbohidrat yang didapat dari makanan diubah menjadi glukosa dan

disimpan dihati dalam bentuk glikogen. Setiap 1 cm3 darah normal akan

membawa 1 mm glukosa, berarti setiap sirkulasi darah hanya membawa 0,1

% dari sejumlah glikogen yang ada dalam hati. Karena bekerja, persendia

glikogen dalam hati akan menipis dankelelahan akan timbul apabila

konsentrasi glikogen dalam hai tingal 0,7%.

c. Dalam keadaan normal, jumlah udara yang masuk melalui pernafasab kira-

kira 4 liter/menit, sedangkan dalam keadaan kerja keras dibutuhkan udara

sekitar 15 liter/menit. Ini berarti pada suatu tingkat kerja tertentu akan

dijumpai suatu keadaan diman jumlah oksigen yang masuk melalui

pernafasan lebih kecil dari tingkat kebutuhan. Jika ini terjadi maka

kelelahan akan timbul, karena reaksi oksidasi dalam tubuh yaitu untuk

mengurangi asam laktat menjadi H2O (air) dan CO2 (karbondioksida) agar

dikeluarkan dalam tubuh, menjadi tidk seimbang dengan pembentukan

41

asam laktat itu sendiri (asam laktat terakumulasi dalam oot atau dalam

peredaran darah) (Satalaksana, 1979).

Untuk kelelahan psikologis, para ahli meyakini bahwa keadaan dan

perasaan dan kelelahan yang timbul karena adanya rekasi fungsional dari

pusat kesadaran (Cortex cerebri) yang atas pengaruh dua sistem

antagonistic yaitu sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak

(aktivasi). Sistem penghambat ini terdapat dalam thalamus, dan bersifat

menurunkan kemampuan manusia untuk bereaksi. Sedangkan sistem

penggerak terdapat dalam formation retikulasi yang bersifat dapat

merangsang pusat-pusat vegatif untuk konversi ergitropis dari peralatan-

peralatan tubuh kearah bereaksi. Dengan demikian, keadaan seseorang

pada suatu saat sangat tergantung pada hasil kerja kedu sistem tersebut

(Satalaksana, 1979)

Apabila sistem penggerak lebih kuat dari sistem penghambat, maka

keadaan orang tersebut ada dalam keadaan segar untuk bekerja.

Sebaliknya, apabila sistem penghambat lebih kuat dati sistem penggerak

maka orang akan mengalami kelelahan. Itulah sebabnya, seseorang yang

sedang lelah dapat melakukan akifitas secara tiba-tiba apabila mengalami

sesuatu peristiwa yang tidak terduga (ketegangan emosi). Demikian juga

kerja yang monoton bisa menimbulkan kelelahan walaupun beban

kerjanya tidak seberapa. Hal ini disebabkan karena sistem penghambat

lebih kuat dari pada sistem penggerak. (Satalaksana, 1979)

42

2.1.6 Akibat Kelelahan Kerja

Perubahan fisiologis akibat kelelahan merupakan kerja mekanisme

prinsip tubuh mencakup sistem sirkulasi, sistem pencemaan, sistem otot,

sistem saraf dan sistem pemafasan. Kerja fisik yang terus menerus

mempengaruhi mekanisme tersebut baik sebagian maupun secara

keseluruhan (Setyawati, 1994). Gejala kelelahan kerja menurut Gilmer

(1966) dan Cameron (1973) yaitu menurun kesiagaan dan perhatian,

penurunan dan hambatan persepsi, cara berpikir atau perbuatan anti sosial,

tidak cocok dengan lingkungan, (depresi, kurang tenaga, kehilangan

inisiatif), dan gejala umum (sakit kepala, vertigo, gangguan fungsi paru dan

jantung, kehilangan nafsu makan, gangguan pencemaan, kecemasan,

pembahan tingkah laku, kegelisahan, dan kesukaran tidur). Kelelahan kerja

dapat menyebabkan prestasi kerja yang menurun, fungsi fisiologis motorik

dan neural yang menurun, badan terasa tidak enak, Semangat kerja yang

menurun (Bartley dan Chute, 1982).

Beberapa penelitian mendapatkan hasil, bahwasanya kelelahan

kerja berhubungan dengan faktor fisik, faktor pekerjaan dan faktor

individu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Atik Muftia pada bagian

produksi diperoleh ada hubungan antara penerangan dengan kelelahan

dengan nilai pvaluenya 0,032. Hasil penelitian yang dilakukan Paulina

(2008) pada proses produksi menunjukkan adanya hubungan tekanan panas

dengan kelelahan kerja dengan nilai pvaluenya 0,001, ada hubungan

43

antara umur dengan kelelahan kerja dengan nilai valuenya 0,0001 dan

ada hubungan antara masa kerja dengan kelelahan kerja dengan nilai

pvaluenya 0,0001.

2.1.7 Penanggulangan Kelelahan Kerja

Kelelahan disebabkan oleh banyak faktor. Yang terpenting adalah

bagaimana menangani setiap kelelahan yang muncul agar tidak menjadi

kronis. Agar dapat menangani kelelahan dengan tepat, maka harus

diketahui apa penyebab dari kelelahan tersebut (Tarwaka dkk, 2004).

Menurut Budiono (2000) dalam Maulidi (2010) Kelelahan dapat dikurangi

dengan berbagai cara:

a. Pengaturan jam kerja.

b. Pemberian kesempatan istirahat.

c. Adanya masa–masa libur dan rekreasi.

d. Penerapan ilmu ergonomi dalam bekerja.

e. Penggunaan musik ditempat kerja.

f. Memperkenalkan perubahan rancangan produk.

g. Merubah metoda kerja menjadi lebih efisien dan efektif.

h. Menciptakan suasana lingkungan kerja yang sehat, aman dan nyaman.

2.1.8 Pengukuran Kelelahan

Sampai saat ini belum ada metode pengukuran kelelahan yang baku

karena kelelahan merupakan suatu perasaan subjektif yang sulit diukur dan

diperlukan pendekatan secara multidisiplin (Grandjean, 1993) yang dikutip

44

oleh Tarwakadkk (2004). Namun demikian diantara sejumlah metode

pengukuran terhadap kelelahan yang ada, umumnya terbagi kedalam 5

kelompok yang berbeda, yaitu:

a. Kualitas dan Kuantitas Kerja yang Dilakukan

Pada metode ini, kualitas output digambarkan sebagai jumlah proses

kerja (waktu yang digunakan setiap item) atau proses operasi yang dilakukan

setiap unit waktu. Namun demikian banyak faktor yang harus

dipertimbangkan seperti; target produksi; faktor sosial; dan perilaku

psikologis dalam kerja. Sedangkan kualitas output (kerusakan produk,

penolakan produk) atau frekuensi kecelakaan dapat menggambarkan

terjadinya kelelahan, tetapi faktor tersebut bukanlah merupakan causal faktor

(Tarwaka dkk, 2004).

b. Pengujian Psikomotorik

Pada metode ini melibatkan fungsi persepsi, interpretasi dan reaksi

motor. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan pengukuran

waktu reaksi. Waktu reaksi adalah jangka waktu dari pemberian suatu

rangsang sampai kepada suatu saat kesadaran atau dilaksanakan kegiatan.

Dalam uji waktu reaksi dapat digunakan nyala lampu, denting suara,

sentuhan kulit atau goyangan badan. Terjadinya pemanjangan waktu reaksi

merupakan petunjuk adanya perlambatan pada proses faal syaraf dan otot.

Sanders dan Cormick (1987) yang dikutip oleh Tarwaka dkk (2004)

mengatakan bahwa waktu reaksi adalah waktu untuk membuat suatu respon

45

yang spesifik saat suatu stimulasi terjadi. Waktu reaksi terpendek biasanya

berkisar antara 150 s/d 200 milidetik. Waktu reaksi tergantung dari stimuli

yang dibuat; intensitas dan lamanya perangsangan; umur subjek; dan

perbedaan-perbedaan individu lainnya. Setyawati (1996) yang dikutip oleh

Tarwaka dkk (2004) melaporkan bahwa dalam uji waktu reaksi, ternyata

stimuli terhadap cahaya lebih signifikan daripada stimuli suara. Hal tersebut

disebabkan karena stimuli suara lebih cepat diterima oleh reseptor daripada

stimuli cahaya. Alat ukur waktu reaksi telah dikembangkan di Indonesia

biasanya menggunakan nyala lampu dan denting suara sebagai stimuli.

c. Mengukur Frekuensi Subjektif Kelipan Mata (Flicker Fusion Eyes)

Dalam kondisi yang lelah, kemampuan tenaga kerja untuk melihat

kelipan akan berkurang. Semakin lelah akan semakin panjang waktu yang

diperlukan untuk jarak antara dua kelipan. Uji kelipan, disamping untuk

mengukur kelelahan juga menunjukkan keadaan kewaspadaan tenaga kerja

(Tarwaka at al, 2004).

d. Perasaan Kelelahan Secara Subjektif (Subjektive Feelings of Fatigue)

Subjective Self Rating Tes dari Industrial Fatigue Research

Committee (IFRC) Jepang, merupakan salah satu kuesioner yang dapat untuk

mengukur tingkat kelelahan subjektif. Kuesioner tersebut berisi 30 daftar

pertanyaan yaitu:

1) Perasan berat dikepala

2) Menjadi lelah seluruh badan

46

3) Kaki merasa berat

4) Menguap

5) Merasa kacau pikiranm

6) Menjadi mengantuk

7) Merasa beban pada mata

8) Kaku dan canggung dalam gerakan

9) Tidak seimbang dalam berdiri.

10) Mau berbaring

11) Merasa susah berpikir.

12) Lelah bicara

13) Menjadi gugup

14) Tidak dapat berkonsentrasi

15) Tidak dapat memenuhi perhatian terhadap sesuatu.

16) Cenderung untuk lupa

17) Kurang kepercayaan.

18) Cemas terhadap sesuatu

19) Tak dapat mengontrol sikap

20) Tidak dapat tekun dalam pekerjaan.

21) Sakit kepala

22) Kekakuan di bahu

23) Merasa nyeri dipunggung

24) Merasa pernafasan tertekan

47

25) Haus

26) Suara serak

27) Merasa pening

28) Spasme dari kelopak mata.

29) Tremor pada nggota badan

30) Merasa kurang sehat.

Pertanyaan-pertanyaan 1-10 menunjukkan pelemahan kegiatan, 11-20

menunjukkan pelemahan motivasi dan 21-30 gambaran kelelahan fisik

akibat keadaan umum (Sumamur, 1986).

Metode pengukuran kelelahan menggunakan skala yang dikeluarkan

oleh Industrial Fatigue Committee (IFRC) atau dapat disebut Subjective

Syimtoms Test (SST) dimana berisi sejumlah pertanyaan yang berhubugan

dengan gejala-gejala kelelahan. Skala IFRC ini terdapat 30 gejala kelelahan

yang disususn dalam bentuk daftar pertanyaan. Jawaban untuk kuesioner

IFRC tersebut terbagi menjadi 4 kategori yaitu sangat sering (SS) dengan

diberi nilai 4, sering (S) dengan diberi nilai 3, kadang-kadang (K) dengan

diberi nilai 2, dan tidak pernah (TP) dengan diberi nilai 1. Dalam

menentukan tingkat kelelahan, jawaban tiap pertanyaan dijumlahkan

kemudian disesuaikan dengan kategori tertentu. Kategori yang diberikan

antara lain:

Nilai 30 : tidak lelah

Nilai 31-60 : kelelahan ringan

48

Nilai 61-90 : kelelahan menengah

Nilai 91-120 : kelelahan berat (Ariani 2009 dalamMauludi 2010)

e. Pengujian Mental

Pada metode ini konsentrasi merupakan salah satu pendekatan yang

dapat digunakan untuk menguji ketelitian dan kecepatan menyelesaikan

pekerjaan. Baurdon Wiersma Test, merupakan salah satu alat yang dapat

digunakan untuk menguji kecepatan, ketelitian dan konsentrasi. Hasil test

akan menunjukkan bahwa semakin lelah seseorang maka tingkat kecepatan,

ketelitian dan konsentrasi akan semakin rendah atau sebaliknya. Namun

demikian Bourdon Wiersma tes lebih tepat untuk mengukur kelelahan akibat

aktivitas atau pekerjaan yang lebih bersifat mental.

Menurut Grandjean (1985) yang dikutip oleh Setiarto (2002),

proses penerimaan rangsangan terjadi karena setiap rangsangan yang

datang dari luar tubuh akan melewati sistem aktivitas, yang kemudian

secara aktif menyiagakan korteks bereaksi. Dalam hal ini sistem aktivasi

retrikulasi befungsi sebagai distributor dan amplifier sinyal-sinyal tersebut.

Pada keadaan lelah secara neurofisiologis, korteks cerebri mengalami

penurunan aktivasi, terjadi perubahan pengarahan sehingga tubuh tidak

secara cepat menjawab sinyal-sinyal dari luar. Salah satu alat guna

mengetahui tingkat kelelahan adalah dengan Reaction Timer Test, yaitu alat

untuk mengukur tingkat kelelahan berdasarkan kecepatan waktu reaksi

seseorang terhadap rangsang cahaya dan rangsang suara. Pada keadaan yang

49

sehat, tenaga kerja akan lebih cepat merespon rangsang yang diberi dan

seseorang yang telah mengalami kelelahan akan lebih lama merespon

rangsang yang diberi (Koesyanto dan Tunggul, 2005 dalam Mauludi, 2010).

Menurut Koesyanto dan Tunggul (2005) dalam Mauludi (2010),

tingkat kelelahan kerja dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu reaksi yang

diukur dengan reactiontimer yaitu:

Normal(N) : Waktu reaksi 150.0-240.0 milidetik.

Kelelahan Kerja Ringan (KKR) : Waktu reaksi >240.0<410.0 milidetik .

Kelelahan Kerja Sedang (KKS) : Waktu reaksi 410.0<580.0 milidetik .

Kelelahan Kerja Berat (KKB) : Waktu reaksi >580.0 milidetik.

Dari uraian metode pengukuran tersebut memiliki kelebihan

maupun kekurangan yang disajikan dalam Tabel 2.4 dibawah ini:

Tabel 2.4

Kelebihan dan Kekurangan Metode Pengukuran Kelelahan Kerja

No. Metode Kelebihan Kekurangan

1 Kualitas dan

kuantitas kerja yang

dilakukan

Kuantitas output

digambarkan sebagai

jumlah proses kerja,

waktu yang digunakan

setiap item atau jumlah

operasi yang dilakuka

setiap unit waktu

- Banyak faktor yang harus

dipertimbangkan seperti

target produksi, faktor

sosial, dan perilaku

psikologis dalam kerja

- Terkadang kelelahan

membutuhkan

pertimbangan dalam

hubungannnya dengan

kualitas output (kerusakan

produk, penolakan

50

No. Metode Kelebihan Kekurangan

produk) atau frekuensi

kecelakaan dapat

menggambarkan terjadinya

kelelahan, tetapi faktor

tersebut bukanlah merupakan

causal faktor

2 Pengujian

psikomotorik

Dapat diamati secara

langsung seseorang

mengalami kelelahan

Pada pengukuran ini, waktu

reaksi tergantung dari stimuli

yang dibuat, intensitas dan

lamanya perangsangan, umur

subjek, dan perbedaan-

perbedaan individu lainnya,

serta muncul suatu kenyataan

bahwa pada uji ini seringkali

membuat permintaan yang

sulit pada subjek yang diteliti,

sehingga dapat

mengakibatkan peningkatan

ketertarikan, pada pandangan

sebelumnya, sangat

memungkinkan bila uji ini

akan menyebabkan beberapa

jenis kegiatan yang

berhubungan dengan

penggunaan otak, diamana

dapat memungkinkan untuk

menimbulkan kelelahan.

3 Mengukur

frekuensi subjektif

kelipan mata

(flicker fusion eyes

test)

Disamping untuk

mengukur kelelahan

juga menunjukkan

keadaan kewaspadaan

tenaga kerja

Bisa terjadi bias dalam

menentukan besar frekuensi

yang dihasilkan dalam

pengukuran.

4 Perasaan kelelahan

secara subjektif

Kelelahan dapat

dianalisis langsung dari

gejala-gejala yang

dirasakan oleh

seseorang

Pengukuran bersifat subjektif

5 Pengujian mental Pengukuran

berdasarkan pengujian

mental yaitu

didapatkan hasil test

Lebih tepat untuk mengukur

kelelahan secara objektif

akibat aktivitas atau

pekerjaan yang lebih bersifat

51

No. Metode Kelebihan Kekurangan

yang akan

menunjukkan bahwa

semakin lelah

seseorang maka tingkat

kecepatan, ketelitian

dan konsentrasi akan

semakin rendah atau

sebaliknya.

mental.

6 Reaction Timer Test Kelelahan dapat

dianalisis langsung dari

hasil kecepatan

merespon suatu

rangsangan yang

diberikan

Pengukuran bersifat objektif

Alat yang digunakan dalam mengukur kelelahan ibu menyusui

dalam penelitian ini adalah Subjective Self Rating Tes dari Industrial Fatigue

Research (IFRC) yang merupakan kuesioner yang dapat mengukur tingkat

kelelahan secara subjektif. Selain itu, Reaction Timer Test juga digunakan

untuk pengukuran kelelahan yang bersifat objektif. Kedua alat ukur ini

dipilih karena sesuai fungsinya dan tidak memerlukan waktu yang cukup

lama yang dapat mengganggu kegiatan ibu dalam melakukan aktifitasnya.

2.2 Metode Penilaian Tingkat Risiko Ergonomi

Ergonomi merupakan suatu ilmu dengan metode dan model untuk

menganalisis tugas, merancang kerja, memprediksi kinerja, mengumpulkan data

tentang kinerja manusia dan interaksi dengan alat-alat serta lingkungan pada

interaksi semua hal teresebut terjadi

52

Postur tubuh dapat didenefisikan sebagai orientasi reaktif dari bagian

tubuh terhadap ruang. Untuk melakukan orientasi tubu tersebut selama beberapa

rentang waktu dibutuhkan kerja otot untuk menyangga atau menggerakkan

tubuh. Postur yang diadopsi manusia saat melakukan beberapa pekerjaan adalah

hubungan antara dimensi tubuh pekerja dengan dimensi beberapa benda dalam

lingkungan kerjanya (Phesant, 1991).

Posisi dalam kerja sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan yang

dilakukan, masing-masing posisi kerja mempunyai pengaruh yang berbeda-beda

terhadap tubuh. Menurut Soeripto (1989), perencanaan dan penyesuaian alat

yang tepat bagi tenaga kerja serta kelestarian lingkungan kerja, dan juga

memperbaiki kualitas produk dari suatu proses produksi.

Dari poin-poin yang dapat dianalisis dan dievaluasi melalui metode

pengukuran risiko ergonomi (Risk Assesment Ergonomic), berguna juga untuk

mengetahui tingkat risiko kelelahan di tempat kerja. (Stanton et al, 2004 dalam

Umyati, 2010):

2.2.1 QEC (Quick Expssure Checklist)

Geoffrey David (2005),Quick Expssure Checklist (QEC) adalah

metode untuk mengukur risiko terkait faktor risiko MusculoskeletalWork-

Related Musculoskeletal Risk Faktors (WMSDs). Pekerjaan gangguan

muskuloskeletal terkait (WMSDs) adalah masalah kesehatan umum di

seluruh industri dunia dan penyebab utama kecacatan. WMSDs adalah

kondisisaraf, tendon, otot, dan mendukung struktur dari sistem

53

muskuloskeletal yang bisa menyebabkan kelelahan, ketidaknyamanan,

nyeri, pembengkakan lokal, atau mati rasa dan kesemutan.WMSDs

biasanya berkembang dari kumulatif ciderayang lama berbulan-bulan

bahkan bertahun-tahun akibat hubungan ke tingkatyang berlebihan fisik

dan psikososial stres di tempat kerja.

QEC melakukah pengukuran pada beberapa titik bagian tubuh

yaitu punggung, bahu dan lengan, pergelangan tanga serta Ieher. Selain

bagian tubuh tersebut, metode QEC juga melakukan pengukuran dengan

mempertimbangkan pada beban kerja dan waktu kerja. Beberapa ahli

mengernbangkan ahli metode ini pada beberapa perusahaan untuk hal-hal

berikut (Stanton et al, 2004 dalam Umyati, 2010):

a. Mengukur perbedaan risiko WMSDs pada sebelum dan sesudah

pekerjaan

b. Mengidentifikasi faktor risko untuk pekerjaan terkait cedera bagian

belakang.

c. Mengevaluasi level risiko untuk bagian tubuh yang berbeda.

d. Mengembangkan tempat kerja menjadi sarana dalam mengurang risiko

WMSDs dan mengurangi biaya yang dikeluarkan akibat WMSDs.

e. Membandingkan tingkat papaan yang diterima oleh dua pekerja atau

Iebih dengan pekerjaan yang sama, atau perbandingan risiko dengan

pekerjaan lainnya.

54

f. Meningkatkan kesadaran tingkat manajer, teknisi, desainer, kesehatan

dan pelaksana keselamatan terhadap faktor risiko ergonomi di tempat

keja.

Adapun kelebihan dalam menggunakan QEC adalah :

a. Mudah untuk diterapkan.

b. Membantu untuk melakukan perubahan ergonomi.

c. Selaras dengan metode pengukuran lainnya.

d. Melindungi bahaya fisik akibat WMSDs

e. Tidak perlu waktu lama untuk mempelajarinya.

f. Mempertimbangkan kombinasi bahaya yang ada di tempat kerja.

Adapun kekurangan dari metode ini adalah :

a. Metode ini hanya terfokus pada faktor fisik tempat kerja saja.

b. Skor/nilai paparan yang disarankan butuh validitas kembali.

c. Perlu pengembangan Iebih lanjut untuk memberikan pengukuran

yang tepat.

2.2.2 REBA (Rapid Body Assement)

REBA adalah metode yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan

Lynn McAtamney yang secara efektif digunakan untuk menilai postur tubuh

pekerja. Selain itu metode REBA memperhitungkan beban yang ditangani

dalam watu sistem kerja, coupling dan aktivitas yang dilakukan. Metode ini

relatif mudah digunakan karena untuk mengetahui nilai suatu anggota

tubuh tidak diperlukan besar sudut yang spesifik, hanya berupa range

55

sudut. Pada akhirnya nilai akhir dari REBA memberikan indikasi level

risiko dari suatu pekerjaan dan tindakan yang harus dilakukan/diambil

(Stanton et al, 2004 dalam Umyati, 2010).

REBA dapat digunakan untuk penilaian risiko ergonomi ditempat

kerja melalui analisis postural

a. Seluruh tubuh yang digunakan.

b. Posturstatis, dinamis, cepat berubah, atau tidak stabil.

c. Animate atau beban kerja yang sedang ditangani baik sering atau

jarang.

d. Modifikasi tempat kerja, peralatan, pelatihan, atau mengambil risiko

perilaku pekerja adalah sedang dipantau pre/post perubahan.

Kelebihan menggunakan metode REBA adalah sebagai alat

analisis postur yang cukup sensitive untuk postur kerja yang yang sukar

diprediksi dalam bidang perawatan kesehatan dan industri lainnya. REBA

melakukan assessment berdasarkan postur-postur yang terjadi dari

beberapa bagian tubuh dan melihat beban atau tenaga yang dikeluarkan

serta aktifitasnya. Perubahan nilai-nilai disediakan untuk setiap bagian

tubuh, yang dimaksud untuk memodifikasi nilai dasar jika terjadi

perubahan atau pertambahan faktor risiko dari setiap pergerakan atau

postur yang dilakukan.

56

2.2.3 RULA (Rapid Upper Limb Assement)

RULA adalah sebuah penilaian yang mudah terhadap beban otot

rangka pada anggota tubuh bagian atas (upper limb) yaitu leher dan tangan.

Selain itu, RULA merupakan sebuah metode untuk menilai risiko

ergonomi dengan melihat postur, frekuensi, durasi, dan gaya gerakan suatu

aktivitas kerja yang berulang berkaitan dengan penggunaan anggota tubuh

bagian atas: leher, punggung, pergelangan tangan (Victorian, 1985).

Metode ini di kembangkan untuk menganalisis risiko yang akan dialami

oleh seorang pekerja dalam melakukan aktivitas kerja yang memanfaatkan

anggota tubuh bagian atas (upperlimb). Metode ini menggunakan diagram

postur tubuh dan tiga tabel penilaian untuk memberikan evaluasi terhadap

faktor risiko yang akan dialami oleh pekerja. Faktor-faktor risiko yang

diselidiki dalam metode ini adalah yang telah dideskripsikan oleh McPhee’

dalam Stanton (2004) dalam Umyati (2010) sebagai faktor beban eksternal

(external load faktors) yang meliputi :

a. Jumlah gerakan

b. Kerja otot statis

c. Gaya

d. Postur kerja yang ditentukan oleh perlengkapan dan perabotan

e. Waktu kerja tanpa istirahat

Kelebihan RULA adalah dapat menilai postur kerja dan hubungan

tingkatan risiko dalam waktu singkat dan hanya menggunakan pulpen,

57

kertas dan busur. Selain itu, RULA dapat menilai sebagian tugas atau

postur individu atau kelompok tertentu, membandingkan keberadaan serta

tujuan desain tempat kerja untuk dilakukan suatu perubahan ergonomi dan

menyediakan pengukuran objektif yang perubahannya dapat disarankan

dan diinvestigasi dengan tujuan utama yaitu mengimplementasikan solusi

praktek terbaik. Sedangkan kekurangan RULA dalah tidak didesain untuk

menyediakan postur secara rinci dan membutuhkan tools lain untuk

investigasi ergonomi yang lebih rinci.

Dalam melakukan pengukuran metode RULA mernbagi bagian

tubuh menjadi dua grup yaitu grup A dan B. Grup A meliputi bagian

lengan atas dan bawah, serta pergelangan tangan. Sementara grup B

meliputi Ieher, punggung, dan kaki. Hal ini untuk memastikan bahwa

seluruh postur tubuh terekam, sehingga segala kejanggalan atau batasan

postur oIeh kaki, punggung atau Ieher yang mungkin saja mempengaruhi

postur anggota tubuh bagian atas dapat tercakup dalam penilaian.

58

Tabel 2.5

Kelebihan dan Kekurangan Metode Pengukuran Risiko Ergonomi Postur Kerja

Metode Kelebihan Kekurangan

QEC (Quick

Expssure

Checklist)

a. Mudah untuk diterapkan.

b. Membantu untuk melakukan

perubahan ergonomi.

c. Selaras dengan metode

pengukuran lainnya.

d. Melindungi bahaya fisik

akibat WMSDs

e. Tidak perlu waktu lama

untuk mempelajarinya.

f. Mempertimbangkan

kombinasi bahaya yang ada

di tempat kerja.

a. Metode ini hanya

terfokus pada faktor

fisik tempat kerja saja.

b. Skor/nilai paparan

yang disarankan butuh

validitas kembali.

c. Perlu pengembangan

Iebih lanjut untuk

memberikan

pengukuran yang

tepat.

REBA (Rapid

Body Assement)

a. Sebagai alat analisis postur

yang cukup sensitive untuk

postur kerja yang sukar

diprediksi dalam bidang

perawatan kesehatan dan

industry lainnya.

b. REBA melakukan

assessment berdasarkan

postur-postur yang terjadi

dari beberapa bagian tubuh

dan melihat beban atau

tenaga yang dikeluarkan serta

aktifitasnya.

c. Perubahan nilai-nilai

disediakan untuk setiap

bagian tubuh, yang dimaksud

untuk memodifikasi nilai

dasar jika terjadi perubahan

atau pertambahan

faktorrisiko dari setiap

pergerakan atau postur yang

dilakukan.

a. Hanya menilai

aspek postur dari

pekerja.

b. Tidak

mempertimbangkan

kondisi yang

dialami oleh

pekerja terutama

yang berkaitan

dengan faktor

psikososial.

c. Tidak menilai

kondisi lingkungan

kerja terutama yang

berkaitan dengan

vibrasi,

temperature, dan

jarak pandang.

59

Metode Kelebihan Kekurangan

RULA (Rapid

Upper Limb

Assement)

a. menilai postur kerja dan

hubungan tingkatan

risiko dalam waktu

singkat.

b. sebuah penilaian yang

mudah terhadap beban

otot rangka pada anggota

tubuh bagian atas (upper

limb) yaitu leher dan

tangan

c. membutuhkan peralatan

yang mudah didapat

seperti pulpen, kertas,

kamera digital, busur dan

timbangan.

d. Metode RULA tidak

membutuhkan waktu

yang lama untuk

melengkapi dan

melakukan scoring

general yang nantinya

akan di amati.

e. memberikan sebuah

kemudahan dalam

menghitung rating dari

beban kerja otot dalam

bekerja dimana orang

mempuntai risiko pada

bagian leher dan beban

kerja pada anggota tubuh

bagian atas.

f. dapat digunakan untuk

menilai sebagian tugas

atau postur individu atau

kelompok tertentu.

g. membandingkan

keberadaan serta tujuan

desain tempat kerja untuk

dilakukan suatu

perubahan ergonomi dan

menyediakan pengukuran

a. tidak didesain untuk

menyediakan postur

secara rinci dan

membutuhkan tools lain

untuk investigasi

ergonomi yang lebih

rinci.

60

objektif yang

perubahannya dapat

disarankan dan

diinvestigasi dengan

tujuan utama yaitu

mengimplementasikan

solusi praktek terbaik.

Pada penelitian ini, peneliti memilih menggunakan metode RULA

dalam hal pengukuran terhadap risiko ergonomi, selain saat pengukuran

tidak mernbutuhkan alat tambahan khusus diluar alat seperti kamera dan

busur, hal ini juga di karenakan:

a. Metode RULA tidak membutuhkan waktu yang lama untuk

melengkapi dan melakukan scoring general yang nantinya akan di

amati.

b. Dalam pengukuran postur tubuh, metode RULA merupakan metode

yang menerapkan pengukuran pada penggunaan anggota tubuh bagian

atas tubuh saat beraktivitas yaitu penilaian terhadap beban otot rangka

pada anggota tubuh bagian atas (upper limb) yaitu leher dan tangan.

Hal tersebut, sangat sesuai dengan posisi yang digunakan ibu saat

menyusui.

c. Saat dilakukan survey pendahuluan penilaian terhadap kelelahan fisik

yang dirasakan oleh ibu, hampir seluruh ibu saat menyusui bayinya,

hampir seluruh bagian atas tubuh terjadi kelelahan fisik seperti merasa

nyeri dibagian punggung dan bahu terasa kaku dll.

61

2.2.3.1 Prosedur Penilaian Pengukuran RULA

Penilaian pengukuran RULA terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama

adalah pengembangan untuk perekaman atau pencatatan postur kerja, tahap ke

dua adalah pengembangan sistem penskoran (scoring) dan ketiga adalah

pengembangan skala level tindakan yang memberikan suatu panduan terhadap

level risiko dan kebutuhan akan tindakan untuk melakukan pengukuran yang

lebih terperinci. Penilaian menggunakan RULA merupakan metode yang telah

dilakukan oleh Me Atamney dan Eorlett (1993).Tahap-tahap menggunakan

metode RULA adalah sebagai berikut:

a. Penilaian Postur Tubuh Grup A

Postur tubuh group A terdiri dari lengan atas (upper arm), lengan bawah

(lower arm), pergelangan atas (wrist) dan putaran pergelangan tangan (wrist

wirst)

1. Lengan Atas (Upper Arm)

Penilaian terhadap lengan atas adalah penilaian yang dilakukan terhadap

sudut yang dibentuk lengan atas pada saat melkukan aktivitas kerja. Sudut

yang dibentuk lengan atas pada saat melakukan aktivitas kerja. Sudut

yang dibentuk oleh lengan atas diukur menurut posisi batang tubuh.

Adapun postur lengan atas dapat dilihat pada gambar 2.1

62

Gambar 2.1 Range Pergerakan Lengan Atas (A) Postur Alamiah, (B) Postur

Extensiondan Flexion Dan (E) Postur Lengan Flexion

Rentang untuk lengan bawah dikembangkan dari penelitian

Granjeibun Tiehauer. Skor tersebut adalah:

Tabel 2.6 Skor Bagian Lengan Atas (Upper Arm)

Pergerakan Skor Skor Perubahan

20˚ (kedepan maupun ke belakang

dari tubuh)

1 +1 jika bahu naik dan +1

jika lengan berputar

bengkok +20˚ (kebelakang atau 20˚-45˚) 2

20˚-90˚ 3

+90˚ 4

2. Lengan Bawah (Lower Arm)

Penilaian terhadap lengan bawah adalah penilaian yang dilakukan

terhadap sudut yang dibentuk lengan bawah pada saat melakukan

63

aktivitas kerja. Sudut yang dibentuk oleh lengan bawah diukur menurut

posisi batang tubuh. Adapun postur lengan bawah (lower Arm) dapat

dilihat pada gambar 2.2

Gambar 2.2 Range Pergerakan Lengan Bawah (A) Postur Flexion

(B)Postur Alamiah dan (E) Postur +100˚

Panduan untuk pergelangan tangan dikembangkan dari penelitian

Health and Safety Exeeutive , digunakan untuk menghasilkan skorpostur

sebagai berikut:

Tabel 2.7 Skor Bagian Lengan Bawah

Pergerakan Skor Skor perubahan

60°-100° 1 Jika lengan bawah bekerja melewati

garis tengah atau keluar dari sisi tubuh <60°atau 100° 2

3. Pergelangan Atas (Wrist)

Penilaian terhadap pergelangan tangan adalah penilaian yang dilakukan

terhadap sudut yang dibentuk oleh pergelangan tangan pada saat

melakukan aktivitas kerja. Sudut yang dibentuk oleh pergelangan tangan

64

diukur menurut posisi lengan bawah. Adapun postur pergelangan tangan

dapat dilihat pada gambar 2.3

Gambar 2.3 Range Pergerakan Tangan (A), (B) Postur Flexion 15˚+,

(E)Postur 0˚-15˚ Flexionmaupun Extension, (E) Postur Extension 15˚

Putaran pergerakan tangan (pronation dan supination ) yang

dikeluarkan oleh health and safety exeeutive pada postur netral berdasar

pada Tiehauer. Skor tersebut adalah:

Tabel 2.8 Skor Bagian Pergelangan Tangan

Pergerakan Skor Skor perubahan

Posisi Netral 1 +1 jika pergelangan tangan

putaran menjauhi sisi tengah 0˚-15˚ (ke atas maupun ke bawah) 2

>15˚(ke atas maupun ke bawah) 3

4. Putaran Pergelangan Tangan (Wrist Wirst)

Adapunpostur putaran pergelangan tangan dapat dilihat pada gambar 2.4

65

Gambar 2.4. Range Pergerakan Pergelangan Tangan dengan Postur Alamiah

Untuk putaran pergelangan tangan (wrist twist) postur netral diberi skor:

1= posisi tengah dari putaran

2= pada atau dekat putaran

Nilai dari postur lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan

putaran pergelangan tangan dimasukkan kedalam tabel postur tubuh grup A

untuk memperoleh skor seperti terlihat pada tabel.

66

Tabel 2.9 Worksheet RULA

2. Penambahan Skor Aktivitas

Setelah diperoleh hasil skor untuk postur tubu grup A pada tebel 2.9, maka

hasil skor tersebut ditambahkan dengan skor aktivitas. Penambahan skor

aktivitas tersebut berdasarkan kategori yang dapat dilihat pada tabel 2.9

Tabel 2.10 Skor Aktivitas

Aktivitas Skor Keterangan

Postur static +1 Satu atau lebih bagian tubuh statis/diam

pengulangan +1 Tindakan dilakukan berulang-ulang

lebih dari 4 kali permenit

67

3. Penambahan skor beban

Setelah diperoleh hasil penambahan dengan skor aktivitas untuk postur

tubuh grup B pada tabel 2.9, maka hasil skor tersebut ditambahkan dengan

skor beban. Penambahan skor beban tersebut berdasarkan kategori yang

dapat dilihat pada tabel 2.11

Tabel 2.11 Skor Beban

Beban Skor Keterangan

<2 kg 0 +1 jika postur statis

dilakukan berulang-

ulang

2kg-10 kg 1

>10 kg 3

b. Penilaian Postur Tubuh B

Postur tubuh grup B terdiri dari leher (neck), batang tubuh (trunk), dan kaki

(legs).

1. Leher (neck)

Penilaian terhadap leher adalah penilaian yang dilakukan terhadap posisi leher

pada saat melkukan aktivitas kerja apakah harus melkukan kegiatan ekstensi

atau fleksi dengan sudut tertentu. Adapun postur leher dapat dilihat pada

gambar 2.5.

68

Gambar 2.5 Postur Tubuh Bagian Leher

Skor penilaian untuk leher dapat dilihat pada tabel 2.12

Tabel 2.12Skor Bagian Leher

Pergerakan Skor Skor Perubahan

0°-10° 1 +1 jika leher berputar/bengkok

+1 batang tubuh bengkok 10°-20° 2

>20° 3

Ekstensi 4

2. Batang Tubuh (Trunk)

Penilaian terhadap batang tubuh adalah penilaian yang dilakukan terhadap

sudut yang dibentuktulang belakang tubuh saat melakukan aktivitas kerja

dengan kemiringan yang sudah diklasifikasikan. Adapun klasifikasi

kemiringan batang tubuh saat melkukan aktivitas kerja dapat dilihat pada

gambar 2.6

69

Gambar 2.6.Range Pergerakan Punggung (A) Postur 20° - 60°Flexion, (B)

Postur Alamiah, (E) Postur 0° - 20°Flexion Dam (D) Postur 60°atau Lebih Flexion

Skor penilaian bagian batang tubuh dapat dilihat pada tabel 2.13

Tabel 2.13 Skor Bagian Batang Tubuh

Pergerakan Skor Skor Perubahan

Posisi normal (90°) 1 +1 jika leher

berputar/bengkok

+1 jika batang tubuh

bungkuk

0°-20° 2

20°-60° 3

>60° 4

3. Kaki (legs).

Penilaian terhadap kaki adalah penilaian yang dilakukan terhadap posisi kaki

pada saat melakukan aktivitas kerja apakah bekerja dengan posisi normal

/seimbang atau bertumpu pada satu kaki lurus. Adapun posisi kaki dapat

dilihat pada gambar 2.7

70

Gambar 2.7.Range Pergerakan Kaki (A) Kaki Tertopang, Bobot Tersebar

Meratadan (B) Kaki Tidak Tertopang, Bobot Tidak Tersebar Merata

Tabel 2.14 Skor Penilaian untuk Kaki

Pergerakan Skor

Posisi normal/seimbang 1

Tidak seimbang 2

Nilai dari skor postur tubuh leher, batang tubuh, dan kaki dimasukkan ke

Tabel2.14

Tabel 2.15 Skor Grup B Trunk Postur Score

71

4. Penambahan Skor Aktifitas

Setelah diperolehhasil skor untuk postur tubuh grup B pada tabel 2.15, maka

hasil skor tersebut ditambahkan dengan skor aktivitas. Penambahan skor

aktivitas tersebut berdasarkan kategori yang dapat dilihat pada tabel 2.16

Tabel 2.16 Skor Aktivitas

Aktivitas Skor Keterangan

Postur statik +1 Satu atau lebih bagian tubuh statis/diam

Pengulangan +1 Tindakan dilakukan berulang-ulag lebih

dari 4 kali permenit

5. Penambahan Skor Beban

Setelah diperoleh hasil penambahan dengan skor aktivitas untuk postur

tubuh grup B pada Tabel 2.16, maka hasil skor tersebut ditambahkan dengan

skor beban. Penambahan skor beban tersebut berdasarkan kategori yang

dapat dilihat pada Tabel 2.18

Tabel 2.17 Skor Beban

Beban Skor Keterangan

<2 kg 0 +1 jika postur statis dan

dilakukan berulang-

ulang

2 kg-10 kg 1

>10 kg 3

72

Tabel 2.18 Grand Total Score

Hasil skor dari tabel 2.17 tersebut diklasifikasikan kedalam beberapa

kategori level risiko pada tabel 2.19

Tabel 2.19 Kategori Tindakan RULA

Kategori Tindakan Level Risiko Tindakan

1-2 minimum Aman

3-4 Kecil Diperlukan beberapa aktu ke depan

5-6 Sedang Tindakan dalam waktu dekat

7 Tinggi Tindakan sekarang juga

73

2.3 Menyusui

Menurut Soejono (1985), menyusui merupakan pekerjaan biologik yang

mulia bagi semua jenis mamalia dan sebagai satu kesatuan dari fungsi

reproduksi. Menyusui merupakan ketrampilan yang dipelajarai ibu dan bayi,

dimana keduanya membutuhkan waktu dan kesabaran untuk pemenuhan nutrisi

pada bayi selama enam bulan (Health, 2000). Menurut Farrer (1999) menyususi

merupakan pekerjaan yang menyenangkan dan tidak terlalu memberatkan begitu

pekerjaan ini berhasil dilaksanankan.

2.3.1. Keuntungan dari Menyusui

Keuntungan menyusui meningkat seiring dengan meningkatnya

lama pemberian ASI sampai dua tahun atau lebih (Roesli, 2008). Farrer

(1999) menjelaskan manfaat menyusui bagi bayi yaitu untuk keamanan

digesti bayi, ASI mengandung antibodi sehingga bayi yang mendapat

ASI umumnya jarang sakit dan jarang menderita alergi jika dibandingkan

dengan bayi yang mendapatkan susu formula, dan bayi yang disusui

sendiri akan memperoleh kesempatan didekap ibunya. Bagi ibu selain

memberikan manfaat fisik dengan membantu involusi uterus, mengurangi

insiden kanker payudara, menghemat waktu dan uang juga memberikan

kepuasan emosional dengan timbulnya persaan berhasil dalam

pemenuhan tugas sebagai ibu. Sejalan dengan pendapatnya Roesli (2008)

manfaat menyusui bagi bayi yaitu ASI mengandung nutrisi yang optimal,

baik kuantitas maupun kualitasny, ASI meningkatnkan kesehatan bayi,

74

ASI meningkatkan kecerdasan bayi, ASI meningkatkan jalinan kasih

saying ibu-anak (bonding). Keuntungan menyusui bagi ibu yaitu

mengurangi risiko kanker payudara (ca mamma), mengurangi risiko

kanker indung telur (ca ovarium) dan kanker rahim (ca endometrium),

mengurangi risiko keropos tulang (osteoporosis), mengurangi risiko

rheumatoid arthritis, metode KB paling aman, mengurangi risiko

diabetes maternal, mengurangi stress dan gelisah, berat badan lebih cepat

kembali normal.

2.3.2 Frekuensi dan Lama Menyususi

Disebutkan dalam buku An Easy Guide to Breastfeeding bahwa

menyusui dilakukan minimal 2 jam sekali, namun waktu menyusui ini

tidak boleh dijadwal secara ketat karena semakin sering bayi menyusu,

maka akan menstimulasi payudara ibu untuk memproduksi lebih banyak

ASI.

Menurut Fredregill (2010) menyusui dilakukan selama bayi mau,

rata-rata 15 sampai 30 menit pada beberapa minggu pertama.

Soetjiningsih (1997) menyatakan bahwa setelah produksi ASI cukup, bayi

dapat disusukan pada kedua buah payudara secara bergantian, tiap

payudara sekitar 10-15 menit (tidak boleh lebih dari 20 menit) dan

Fredregill (2010) menyatakan bahwa untuk mengosongkan payudara,

sangat jarang dibutuhkan waktu lebih dari 20 menit per payudara.

Semakin sering menyusui, selain kebutuhan ASI bayi terpenuhi, juga

75

untuk memberikan isyarat kepada tubuh ibu untuk memproduksi ASI

lebih banyak sebagai persiapan kebutuhan pertumbuhan bayi.

2.3.3 Posisi dan Perlekatan Menyusui

Riksani dalam keajaiban ASI menyebutkan bahwa masalah dalam

menyusui muncul sebab bayi tidak diposisikan pada payudara secara

tepat. Terdapat berbagai macam posisi menyusui, namun posisi yang baik

adalah kepala dan badan bayi berada pada garis lurus sehingga bayi dapat

menyusu dengan nyaman. Selain itu posisi ibu juga harus nyaman.

Ada berbagai macam posisi menyusui yang baik dan perlu diketahui

oleh para ibu. Hal ini penting karena berkaitan dengan kenyamanan yang

didapat baik oleh ibu maupun bayi. Posisi menyusui yang baik dapat

menjaga kesehatan puting susu, menghindarkan luka lecet pada puting

sehingga memungkinkan bayi menyusu (mendapatkan susu) secara

efisien.

Menurut Widodo (2011) posisi yang paling banyak digunakan ibu

saat menyusui terutama pada masa-masa awal menyusui adalah posisi

duduk yang berupa posisi cradle hold, cross cradle, dan football hold.

a. Cradle Hold

Posisi ini adalah yang paling banyak dipraktekkan ibu menyusui.

Posisi ini baik digunakan untuk wanita yang baru saja operasi caesar, bayi

yang berusia satu bulan atau lebih, dan menyusui saat sedang bepergian

76

karena tidak terlalu memerlukan penyangga (lengan ibu sebagai

penyangga).

Cara:

1) Ibu duduk pada kursi berlengan yang nyaman, punggung tegak (boleh

disangga dengan bantal agar dapat bersandar dengan nyaman). Jaga

agar posisi tidak membungkuk karena akan cepat lelah.

2) punggung hingga bokong bayi ditempatkan pada lengan bawah ibu.

lengan yang digunakan adalah lengan pada sisi yang sama dengan

payudara yang akan digunakan untuk menyusui (lengan kanan saat

akan menyusui dengan payudara kanan).

3) Kepala dan leher bayi ditempatkan pada lekuk siku.

4) Dekatkan kepala (bibir) bayi pada payudara dengan mengangkat

lengan (bukan membungkuk).

b. Cross Cradle

Posisi ini baik digunakan pada hari-hari pertama setelah

melahirkan, ibu yang baru belajar menyusui, dan bayi prematur. Pada saat

ibu berada pada posisi ini, ibu sebaiknya duduk tegak dengan bayi

didekatkan pada payudara dan bukan ibu yang membungkuk untuk

mendekatkan payudara ke bayi.

Cara:

77

1) Ibu duduk pada kursi berlengan yang nyaman, punggungtegak (boleh

disangga dengan bantal agar dapat bersandar dengan nyaman). Jaga

agar posisi tidak membungkuk karena akan cepat lelah.

2) Tanganibu pada sisi yang berseberangan dengan payudara yang

menyusui, memegang kepala dan leher bayi (tangankanan digunakan

bila akan menyusui dengan payudara kiri, dan sebaliknya).

3) Punggung dan bokong bayi disangga dengan lengan bawah ibu pada

tangan yang sama.

4) Tangan dapat digunakan untuk mengarahkan bayi ke payudara.

c. Football Hold

Dinamakan football karena Anda memegang bayi seperti

memegang bola football pada sisi tubuh (di bawah ketiak). Posisi ini baik

untuk ibu yang baru menjalani operasi caesar (yang sudah boleh duduk),

bayi kembar, dan untuk ibu yang memiliki ukuran payudara sangat besar.

Cara:

1) Punggung hingga bokong bayi ditempatkan pada lengan bawah ibu,

dengan daerah bokong pada lipat siku ibu. Lengan yang digunakan

adalah lengan pada sisi yang sama dengan payudara yang akan

digunakan untuk menyusui (lengan kanan saat akan menyusui dengan

payudara kanan).

2) Lengan ibu tidak ditempatkan di depan tubuh, namun di samping

(seperti mengapit tas).

78

3) Telapaktangan ibu menyangga kepala dan leher bayi, seluruh tubuh

bayi menghadap ke payudara (sisi tubuh) ibu.

4) Letakkan penyangga (bantal atau bantal menyusui) pada sisi tubuh

yang digunakan, di bawah lengan ibu dan tubuh bayi.

Tanda ibu belum menyusui bayi dengan benar

Berikut ini merupakan tanda-tanda ibu belum menyusui bayi dengan

benar

1. Kepala bayi tidak lurus dengan badannya

2. Bayi hanya menyusu pada putting, tidak meyusu pada areola dengan

putting susu masuk jauh kedalam mulutnya

3. Bayi menyusu dengan ringan, cepat dan gugup tidak menyusu

dengan sungguh-sungguh dan teratur

4. Pipinya berkerut kearah dalam atau ibu mendengar suara “cik-cik”

5. Ibu tidak mendengar bayinya menelan secara teratur setelah produksi

susunya meningkat.

Gambar 2.4

Posisi Cradle Hold

Gambar 2.5

Posisi Cross Cradle

Gambar 2.6

Posisi Football Hold

79

2.3.4 Langkah-langkah Menyusui yang Benar

Menurut Soetjiningsih (1997) langkah-langkah menyusui yang

benar adalah sebagai berikut:

1. Sebelum menyusui ASI dikeluarkan sedikit, kemudian dioleskan pada

puting dan disekitar kalang payudara. Cara ini mempunyai manfaat

sebagai disinfektan dan menjaga kelembaban putting susu.

2. Bayi diletakkan menghadap perut ibu/payudara.

- Ibu duduk atau berbaring dengan santai, bila duduk lebih baik

menggunakan kursi yang rendah (agar kaki ibu tidak

menggantung) dan punggung ibu bersandar pada sandaran kursi.

- Bayi dipegang pada belakan bahunya dengan satu lengan, kepala

bayi terletak pada lengkung siku ibu (kepala tidak boleh

menengadah, dan bokong bayi ditahan dengan telapak tangan).

- Satu tangan bayi diletakkan dibelakang badan ibu, dan yang satu

di depan.

- Perut bayi menempel pada badan ibu, kepala bayi menghadap

payudara (tidak hanya membelokkan kepala bayi).

- Telinga dan lengan bayi terletak pada satu garis lurus.

- Ibu menatap bayi dengan kasih sayang.

3. Payudara dipegang dengan ibu jari diatas dan jari yang lain menopang

dibawah, jangan menekan putting susu atau kalang payudara saja.

80

4. Bayi diberi rangsangan agar membuka mulut (rooting reflex) dengan

cara:

- Menyentuh pipi dengan puting susu atau,

- Menyentuh sisi mulut bayi.

5. Setelah bayi membuka mulut, dengan cepat kepala bayi didekatkan

kepayudara ibu dan putting serta kalang payudara dimasukkan

kemulut bayi:

- Usahakan sebagian besar kalang payudara dapat masuk kemulut

bayi, sehingga putting susu berada dibawah langit-langit dan lidah

bayi akan menekan ASI keluar dari tempat penampungan ASI

yang terletak dibawah kalang payudara. Posisi yang salah

yaituapabila bayi hanya menghisap pada putting susu saja, akan

mengakibatkan masuk ASI yang tidak adekuat dan puting susu

lecet.

- Setelah bayi mulai menghisap payudara tak perlu dipegang atau

disangga lagi.

81

2.4 Kerangka Teori

Berdasarkan teori yang dikatakan oleh Suma’mur (1996) Grandjean

(1988), Siswanto (1999), Oentoro(2004), Tarwaka (2004) dan Milligan (1996)

mengenai beberapa faktor utama yang signifikan yang menyebabkan terjadinya

kelelahan, meliputi: risiko ergonomi postur kerja, masa kerja, status gizi,

status pernikahan, psikolgis, kebiasaa merokok, jenis kelamin, usia, beban

kerja, aktivitas fisik,jam kerja, monotonnya pekerjaandan penyebab yang

berkaitan dengan tempat kerja (suhu ruang kerja, penerangan, kebisingan,).

Berdasarkan teori yang telah disebutkan bahwasanya ada beberapa faktor-faktor

yang menyebabkan terjadinya kelelahan. Untuk lebih mudahnya dapat dilihat

kerangka teori di bawah ini.

82

Karakteristik Individu:

Karakteristik Pekerjaan:

Sumber : Modifikasi dari teori Grandjean (1988), Suma’mur (1996) , Budiono dkk

(2003), Oentoro(2004), Tarwaka et al (2004) dan Milligan (1996) .

Gambar 2.1

Kerangka teori

1. Jenis Kelamin

2. Usia

3. Kebiasaan Merokok

4. Status Gizi

5. Psikologis

6. Status Pernikahan

7. Aktivitas fisik

8. Masa kerja Kelelahan Kerja

1. Risiko Ergonomi

postur kerja

2. Keadaan Monoton

3. Jam Kerja

4. Lingkungan Kerja

- Suhu

- Kebisingan

- Pencahayaan

- Getaran

83

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep ini mengacu pada kerangka teori yang ada, dimana pada

variabel terikat (dependen) dan variabel bebas (independen). Variabel bebas

(dependen) yaitu risiko ergonomi postur menyusui, usia, kebiasaan

merokok,status gizi, jam kerja (lama menyusui),aktivitas fisik dan lingkungan

pekerjaan (suhu, kebisingan dan pencahayaan). sedangkan kelelahan ditetapkan

sebagai variabel terikat (independen).

Berkaitan dengan jenis pekerjaan yaitu menyusui merupakan jenis

pekerjaan yang statis yaitu bekerja dengan punggung, dan leher pada 20 derajat,

bekerja dengan menahan beban menggunakan lengan bawah 60-100 derajat.

Pada faktor pekerjaan diukur dengan menggunakan metode RULA yaitu metode

pengukuran risiko ergonomi berdasarkan postur, frekuensi, durasi, dan gaya

gerakan suatu aktivitas kerja yang berulang berkaitan dengan penggunaan

anggota tubuh bagian atas: leher, punggung, pergelangan tangan (Victorian,

1985).

Berdasarkan kerangka teori pada tinjauan pustaka, tidak semua masuk

dalam kerangka konsep, hal ini disebabkan bahwa faktor-faktor yang masuk

dalam kerangka konsep merupakan faktor-faktor terpenting yang harus diketahui

84

dan diamati lebih dahulu sebagai penyebab terjadinya kelelahan pada responden.

Adapun variabel-variabel lain yang tidak diteliti yaitu:

a. Jenis kelamin

Jenis kelamin tidak diteliti karena ditempat penelitian homogen atau seluruh

responden berjenis kelamin perempuan

b. Status pernikahan

Satatus pernikahan tidak diteliti karena homogenya itu seluruh ibu berstatus

menikah

c. Masakerja

Masa kerja tidak diteliti karena homogeny yaitu ibu yang menyusui dibawah

enam bulan

d. Psikologis

Faktor psikologis merupakan faktor yang subyektif sehingga sulit didapatkan

hasil yang pasti atau signifikan

e. Getaran

Variabel Getaran tidak diteliti karena dilingkungan pekerjaan tidak ditemukan

sumber getaran

85

Berdasarkan kerangka teori maka kerangka konsep yang digunakan dalam

penelitian ini seperti pada bagan 3.1.

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep

1. Tingkat Risiko

Ergonomi Postur

Menyusui

2. Usia

3. Kebiasaan Merokok

4. Status Gizi

5. Jam Kerja (Lama

Menyusui)

6. Aktivitas Fisik

7. Faktor Lingkungan

- Suhu

- Kebisingan

- Pencahayaan

Kelelahan pada

Saat Menyusui

86

3.1 Definisi Operasional

Tabel 3.1

Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

1. Kelelahan

pada Saat

Menyusui

Menurunnya kapasita dan ketahanan

menyusui yang ditandai oleh sensasi

lelah dan reaksi motoribu.

Reaction Timer Test

Pengukuran

lansung

0. Lelah (Waktu

reaksi >240.0

milidetik)

1. TidakLelah

(Waktu reaksi

≤240.0

milidetik.)

Ordinal

2 Risiko

Ergonomi

Postur

menyusui

Risikoposisi duduk saat menyusui

dengan melakukan penilaian dengan

melihat postur, gaya, gerakan suatu

aktifitas kerja,dan beban berdasarkan

metode RULA.

Observasi Form

penilaian

RULA,

Kamera

digital, dan

busur

derajat

Skor Ratio

3 Usia Jumlah tahun yang dihitung mulai dari

responden lahir hingga saat penelitian

berlangsung (Sisinta, 2005).

Kuesioner Wawancara Tahun Ratio

4 Lama

Menyusui

Total lama ibu menyusui dalam sehari.

Kuesioner Wawancara Jam Ratio

87

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

5 Kebiasaan

Merokok

Kegiatan atau aktifitas menghisap

batang rokok/merokok yang dilakukan

oleh ibu dilihat dari hasil jumlah rata-

rata batang rokok yang dihisap sehari

dikalikan lama merokok dalam tahun.

Kuesioner Wawancara 0. Merokok

1. Tidak

merokok

Ordinal

6 Status Gizi Kondisi status gizi ibu menyusui saat

dilakukan penelitian. Diukur

berdasarkan rasio antara berat badan

(dalam kilogram) dengan tinggi badan

(dalam meter) pangkat dua dengan

rumus BB/TB2. Hasilnya dibandingkan

dengan Tabel standar nilai IMT

menurut Depkes, 2003.

Kuesioner, Timbangan

BB digital untuk

dewasa,microtoisedank

alkulator

Pengukuran

lansung

kg/m2 Ratio

7 Aktivitas

fisik

Jumlah aktifitas yang dilakukan ibu

minimal 10menit dalam satu kali

kegiatan yang meliputi pekerjaan

rumahtangga.

Kuesioner Tabel

penilaian

aktivitas

fisik

METs Ratio

88

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

8 Suhu Tekanan udara yang ada di lingkungan

menyusui.

Mengukur Hygro meter °C Ratio

9 Kebisingan Dosispaparan kebisingan perhari yang

diperbolehkan dari tempat kerja (OHS,

2003dalam Umyati 2010).

Mengukur Sound

Level Meter

dB Ratio

10 Pencahayaan Sumber cahaya yang menerangi benda-

benda di tempatkerja (Budiono, dkk,

2003).

Mengukur Lux Meter Lux Ratio

89

89

3.2 Hipotesis

1. Ada hubungan antara faktor karakteristik individu (usia, kebiasaan merokok,

status gizi, aktivitasfisik) dengan kelelahan pada ibu menyusui ≤ 6 bulan di

Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013.

2. Ada hubungan antara faktor karakteristik pekerjaan (risiko ergonomi postur

menyusui, lama menyusui dan lingkungan menyusui) dengan kelelahan pada

ibu menyusui ≤ 6 bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013.

90

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross

sectional (potong lintang) karena pada penelitian ini variabel independen dan

dependen akan diamati pada waktu (periode) yang sama.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2012 - Juli 2013 di Kelurahan

Pisangan Ciputat Timur.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dan sampel penelitian ini adalah seluruh ibu menyusui ≤ 6 bulan

yang tidak bekerja di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur berjumlah 38 orang.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

4.4.1 Data primer, adapun data yang dikumpulkan usia, kebiasaan merokok,

status gizi, lama menyusui, aktivitas fisik,lingkungan pekerjaan (suhu,

pencahayaan, dan kebisingan), perasaan kelelahan secara subjektif dan

objektif, serta tingkat resiko ergonomi posisi menyusui. Data usia,

91

kebiasaan merokok, status gizi, lama menyusui, aktivitas fisik dilakukan

dengan melakukan pengisian kuesioner. Data lingkungan pekerjaan

(suhu, pencahayaan dan kebisingan) dilakukan dengan pengukuran

menggunakan alat ukur. Data risiko ergonomi postur menyusui dilakukan

dengan cara melakukan observasi langsung serta wawancara pada ibu

menyusui di tempat penelitian.

Sedangkan untuk kelelahan kerja dilakukakan dengan Reaction Timer

Test yang merupakan alat untuk mengukur tingkat kelelahan berdasarkan

kecepatan waktu reaksi terhadap rangsangan cahaya.Prinsip kerja dari alat

ini adalah memberikan rangsangan tunggal berupa signal cahaya atau

lampu yang kemudian direspon secepatnya oleh tenaga kerja, kemudian

dapat dihitug waktu reaksi tenaga kerja yang mencatat waktu yang

dibutuhkan untuk merespon signal tersebut. Pengukuran dilakukan

sebanyak lima kali, setiap hasil pengukuran dijumlahkan, kemudian

diambil nilai rata-ratanya. Selain itu juga dilakukan wawancara terhadap

kuesioner skala Industrial Fatigue Research Commite (IFRC) untuk

mengetahui gejala kelelahan kelelahan kerja yang diukur pada saat

sebelum bekerja dan pada saat setelah bekerja.Hal ini dilakukan untuk

membandingkan pengukuran secara objektif dengan hasil pengukuran

subjektif, namun ketika ada ketimpangan dalam hasil pengukuran

keduanya maka pengukuran secara objektiflah yang nantinya diambil.

92

4.4.2 Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelusuran dokumen,

catatan, dan laporan dari posyandu. Seperti populasi ibu menyususi

dibawah enam bulan di kelurahan pisangan.

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk pengumpulan data

(Notoatmodjo, 2002). Pada penelitian ini pengukuran variabel dilakukan dengan

menggunakan instrumen kuesioner yang terdiri dari bebrapa pertanyaan yang

berkaitan dengan variabel dependen dan independen. Pertanyaan dalam kuesioner

sesuai dengan variabel yang diteliti yaitu:

4.5.1 Pengukuran variabel kelelahan kerja secara objektif dilakukan

berdasarkan perhitungan reacion timer test yaitu hasil pengukuran

dibandingkan dengan standart pengukuran kelelahan kerja.

Tidak Lelah Waktu reaksi ≤240.0 milidetik.

Lelah Waktu reaksi >240.0milidetik .

Selain pengukuran secara subjektif juga dilakukan pengukuran

pembanding secara subjektif yaitu subjective self rating test dari

industrial fatigue research commite (IFRC) yang merupakan kuesioner

yang dapat untuk mengukur tingkat kelelahan subjektif yaitu pengukuran

yang mendukung hasil pengukuran subjektif yang dapat dilihat pada saat

wawancara. IFRC menggunakan sejumlah pertanyaan yang berhubungan

dengan gejala kelelahan. Skala ini mengandung 30 gejala kelelahan yang

dibuat dalam daftar pertanyaan. Jawaban dalam kuesioner tersebut dibagi

93

menjadi 4 bagian yaitu SS (Sangat Sering) dengan skor 4, S (Sering)

dengan skor 3, K (Kadang-kadang) dengan skor 2, dan TP (Tidak Pernah)

dengan skor 1. Skor yang diperoleh berkisar antara 1-60 tidak mengalami

kelelahan, 61-120 mengalami kelelahan.

4.5.2 Data usia diperoleh melalui wawancara kepada responden dengan

menggunakan instrumen kuesioner. Hasil yang didapat yaitu variabel

umur dalam tahun.

4.5.3 Lama menyusui diperoleh melalui wawancara kepada responden dengan

menggunakan instrumen kuesioner. Hasil yang didapat yaitu total lama

ibu menyusui dalam sehari.

4.5.4 Kebiasaan merokok, kesegaran jasmani diperoleh melalui wawancara

kepada responden dengan menggunakan instrumen kuesioner.

4.5.5 Variabel aktivitas fisik

Aktvitas fisik diukur dengan menggunakan kuesioner IPAQ long

forms yang berkaitan dengan aktivitas pekerjaan rumah tangga yang

dilakukan minimal 10 menit dalam 1 kali kegiatan yang merupakan

aktivitas fisik harian berdasarkan level intensitas.

Level MET setiap intensitas adalah berjalan sebanyak 3.3 METs,

aktivitas sedang sebanyak 4.0 METs, dan aktivitas keras sebanyak 8.0

METs. Total aktivitas fisik atau total MET/menit-minggu dihitung

dengan:

94

Berjalan (MET x menit x hari) + Sedang (MET x menit x hari) +

Keras (MET x menit x hari).

Kemudian total aktivitas fisik tersebut disesuaikan dengan kategori di

bawah ini (IPAQ, 2005) :

1. Ringan

Merupakan level terendah dalam aktivitas fisik. Seseorang yang

termasuk ke dalam kategori ini adalah apabila tidak melakukan

aktivitas fisik apapun atau tidak memenuhi kriteria aktivitas fisik

sedang dan berat.

2. Sedang

Dikatakan termasuk dalam aktivitas fisik sedang jika memenuhi

kriteria berikut:

a. Melakukan aktivitas fisik dengan intensitas kuat minimal 20

menit selama 3 hari atau lebih,

b. Atau melakukan aktivitas fisik dengan intenistas sedang selama

minimal 5 hari dan atau berjalan minimal 30 menit setiap hari,

atau kombinasi berjalan, aktivitas fisik dengan intenistas sedang

atau keras selama 5 hari atau lebih yang menghasilkan total

aktivitas fisik dengan minimal 600 MET-menit/minggu.

95

3. Berat

Dikatakan termasuk dalam aktivitas fisik berat jika memenuhi

kriteria berikut:

a. Melakukan aktivitas fisik dengan intensitas keras selama 3 hari atau

lebih yang menghasilkan total aktivitas fisik minimal sebanyak 1500

MET-menit/minggu,

b. atau jika melakukan kombinasi berjalan, aktivitas fisik dengan

intenistas keras atau kuat selama 7 hari atau lebih yang menghasilkan

total aktivitas fisik minimal sebanyak 3000 METmenit/minggu.

4.5.6 Pengukuran variabel satus gizi dengan pengukuran berat badan dan tinggi

badan dengan menggunakan timbangan digital dan mikrotoa. Kemudian

tahap selanjutnya adalah menghitung nilai IMT yaitu dengan rumus:

Kategori berat badan menurut IMT :

1.Berisiko ( <17,0-18,4 dan 25,1- ≥ 27,0)

2.Tidak berisiko(18.5-25,0)

a) Data berat badan

Data mengenai berat badan diperoleh dengan cara melakukan

penimbangan berat badan langsung menggunakan timbangan badan

Berat badan (kg)

IMT =

Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)

96

pada saat seblum beraktifitas. Langkah-langkah pengukuran gtersebut

adalah:

- Pastikan jarum pada dispali ada pada posisi nol

- Lepaskan sepatu atau alas kaki lainnya

- Berdiri diatas timbangan

- Baca hasil pada display yang ditunjjukkan oleh jarum metal.

b) Data tinggi badan

Data tinggi badan diperoleh melalui pengukuran tinggi badan langsung

menggunakan microtoise/alat pengukur tinggi badan.Kemudian catat

hasil pengukurannya.

4.5.7 Pengukuran variabel risiko ergonomi postur ibu menyusui: setelah

dilakukan observasi dengan pengambilan video menggunakan kamera

pada posisi menyusui kemudian diukur menggunakan busur dengan

menggunakan metode RULA dari masing-masing postur tubuh. Adapun

tahapan-tahapannya sebagai berikut

1. Mengobservasi postur menyusui dan menentukan nilai untuk

kelompok postur A sesuai dengan kriteria penilaian RULA yang terdiri

dari anggota tubuh:

a. lengan atas dengan skor yaitu:

1) Skor 1 = 20° ekstensi - 20° fleksi

2) Skor 2 = >200° ekstensi – 200- 450° fleksi

3) Skor 3 = 450-900

97

4) Skor 4 = >900

Skor +1 jika: bahu terangkat, atau lengan atas abduksi, dan -1 jika

lengan bawah disangga

b. Lengan bawah dengan skor yaitu:

1) Skor 1 = 60° -100°

2) Skor 2 = 0°-60° atau > 100°

Skor +1 jika lengan bawah menyilang ke garis tengah tubuh

(mideline) atau keluar

c. Pergelangan tangan dengan skor yaitu:

1) Skor 1 = 0°

2) Skor 2 = 0-15° fleksi atau ekstensi

3) Skor 3 = >15° fleksi atau ekstensi

Skor + 1 jika terjadi deviasi ulnar atau radial

d. Perputaran pergelangan tangan dengan skor yaitu:

1) Skor 1 = berputar kedalam

2) Skor 2 = berputar keluar

2. Memasukkan masing-masing nilai sekor untuk kelompok postur A yaitu

lengan atas, lengan bawah, dan pergelagan tangan, ke table A untuk

mengetahui skor postur A

3. Mengobservasi dan menentukan nilai penggunaan otot untuk kelompok

postur B sesuai dengan kriteria penilaian RULA dengan skor yaitu:

98

a. Skor 0 = dinamis, jika postur ditahan <1 menit atau jika gerakan

berulang kurang dari 4 kali permanit

b. Skor 1 = statis, jika postur ditahan >1 menit atau jika gerakan

berulang lebih dari 4 kali permenit.

4. Mengobservasi dan menentukan nilai beban untuk kelompok postur A

sesuai dengan kriteria penilaian RULA dengan skor yaitu:

a. Skor 0 = tidak ada beban atau berat beban <2kg secara intermittent

b. Skor 1 = berat beban 2-10 kg secara intermittent

c. Skor 2 = berat beban 2-10 kg secara statis atau berulang-ulang, atau

berat beban 10 kg atau lebih secara intermittent

d. Skor 3 = berat beban 10 kg statis atau berulang-ulang, atau gerakan

cepat (shock)

5. Menjumlahkan nilai skor kelompok postur A, dengan penggunaan otot,

dan beban untuk mengetahui skor A.

a. Memasukkan hasil skor A ketabel C, pada bagian kolom pertama

skor pergelangan tangan dan tangan, kemudian

b. Mengobservasi postur pekerja dan menentukan nilai untuk kelompok

postur B sesuai dengan kriteria penilaian RULA yang terdiri dari

anggota tubuh:

1) Leher dengan skor yaitu:

a) Skor 1 = 0-10°

b) Skor 2 = 10°-20°

99

c) Skor 3 = >20°

d) Skor 4 = ekstensi

Skor +1 jika leher berputar atau miring kesamping

2) Punggung dengan skor yaitu:

a) Skor 1 = 0-10°

b) Skor 2 = 10°-20°

c) Skor 3 = 20°-60°

d) Skor 4 = >60°

3) Kaki dengan skor yaitu:

a) Skor 1 = kaki yang disangga dan seimbang

b) Skor 2 = jika kaki tidak disangga dan tidak seimbang

6. Memasukkan masing-masing nilai skor untuk kelompok postur B yaitu

leher, punggung, dan kaki kedalam table B unuk mengetahui skor postur

B.

7. Mengobservasi dan menentukan nilai penggunaan otot untuk kelompok B

sesuai dengan kriteria penilaian RULA dengan skor yaitu:

a. Skor 0 = dinamis, jika postur ditahan <1 menit atau jika gerakan

berulang kurang dari 4 kali permenit

b. Skor 1 = statis, jika postur ditahan >1 menit atau jika gerakan

berulang lebih dari 4 kali permenit.

8. Mengobservasi dan menentukan nilai beban untuk kelompok B sesuai

dengan kriteria penilaian RULA dengan skor yaitu:

100

a. Skor 0 = tidak ada beban atau berat beban < 2 kg secara intermitten

b. Skor 1 = berat beban 2-10 kg secara intermitten

c. Skor 2 = berat beban 2-10 kg secara statis atau berulang-ulang, atau

berat beban 10 kg atau lebih secara intermitten

d. Skor 3 = berat beban 10 kg statis atau berulang-ulang, atau gerakan

cepat (shock).

9. Menjumlahkan nilai skor kelompok postur B, dengan menggunakan otot

dan beban, untuk mengetahui skor B.

10. Memasukkan hasil nilai skor B ke dalam table C, pada bagian baris

pertama skor leher, punggung, dan kaki.

11. Menentukan nilai skor final dengan menarik garis mendatar dari kolom

skor A dengan baris skor B dalam table C untuk mendapatkan nilai skor

final RULA.

12. Setelah mendapatkan nilai skor final, masukkan nilai pada kategori risiko

(action level) untuk menegetahui tingkat risikonya serta level perubahan.

Table 4.3

Skor final RULA

Nilai Skor RULA Action Level Level Perubahan

1-2 1 Dapat diterima

3-4 2 Investigasi lebih lanjut, mungkin

butuh perubahan

5-6 3 Investigasi lanjut, perubahan segera

7 4 Investigasi, menerapka perubahan

101

4.5.8 Pengukuran variabel suhu dengan menggunakan Termometer yaitu

dengan meletakkan termometer di tempat biasanya ibu menyusui, tunggu

hingga stabil.

4.5.9 Pengukuran variabel pencahayaan dengan menggunakan Lux meter.

Penggunaan alat ini yang harus benar-benar diperhatikan adalah alat

sensornya,karena sensornyalah yang akan mengukur kekuatan

penerangan suatu cahaya. Oleh karena itu sensor harus ditempatkan pada

daerah yang akan diukur tingkat kekuatan cahayanya (iluminasi) secara

tepat agar hasil yang ditampilkan pun akuarat.

Adapun prosedur penggunaan alat ini adalah sebagai berikut :

a) Geser tombol ”off/on” kearah On.

b) Pilih kisaran range yang akan diukur ( 2.000 lux, 20.000 lux atau

50.000 lux) pada tombol Range.

c) Arahkan sensor cahaya dengan menggunakan tangan pada permukaan

daerah yang akan diukur kuat penerangannya.

d) Lihat hasil pengukuran pada layar panel.

4.5.10 Pengukuran variabel kebisingan dengan menggunakan Sound Level

Meter. Adapun operasional pengukuran dapat dilakukan sebagai berikut.

a) Penentuan staindar yang akan diacu dalam survei.

102

b) Pemeriksaan instrumen. Hal ini meliputi pemeriksaan batere SLM dan

kaliberator, serta aksesories misalnya windscreen, rain cover, dan lain-

lain.

c) Kalibrasi instrumen dilakukan selama 1 menit sebelum dan sesudah

pengukuran berlangsung.

d) Pembuatan denah lokasi dan titik dimana pengukuran dilakukan yaitu

di tempat biasanya ibu menyusui.

e) Bila pengukuran dilakukan dengan free-field microphone (standar

IEC) maka SLM diarahkan lurus kesumber. Sedangkan jika mikropon

yang digunakan merupakan rendom incidence microphone (ANSI),

maka SLM harus diorientasikan sekitar 70˚-80˚ terhadap sumber

bising.

f) Dalam keadaan kebisingan berasal dari lebih dari satu arah, maka

sangat penting untuk memilih mikropon dan mounting yang tepat yang

memungkinkan untuk mencapai karakteristik omnidirectional terbaik.

g) Pemilihan weighting network yang sesuai.

h) Pemilihan respons detektor yang sesuai, F atau S untuk mendapatkan

pembacaan yang akurat.

i) Hindarkan refleksi baik dari tubuh operator maupun bloking suara dari

arah tertentu.

j) Saat pengukuran langsung, selalu perhatikan hal-hal berikut:

- Hindari pengukuran dekat bidang pemantul

103

- Lakukan pengukuran pada jarak yang tepat, sesuai dengan standart

baku mutu yang diacu

- Cek bising latar

- Pastikan tidak dapat perintang terhadap sumber bising yang diukur

- Selalu gunakan windshield (windscreen), dan

- Tolak pembacaan overloud.

4.6 Pengolahan Data

Pada proses pengolahan data terbagi menjadi tiga jenis pengolahan data yaitu

pengolahan variabel postur menyususi dengan metode RULA, variabel usia,

kebiasaan merokok, status gizi,lama menyusui,aktivitas fisik, perasaan kelelahan

secara subjektif dari hasil penyebaran kuesioner,variabel kelelahan secara objektif

dan kondisi lingkungan pekerjaan (suhu, kebisingan dan pencahayaan) dengan

melakukan pengukuran. Seluruh data yang terkumpul baik data primer maupun

data sekunder akan diolah melalui tahap-tahap sebagai berikut:

4.6.1 Mengkode data (data coding)

Kegiatan ini merupakan proses pendeskripsian data dan pemberian kode

pada jawaban responden, dilakukan pada pembuatan kuesioner untuk

mempermudah proses pemasukan dan pengolahan data selanjutnya.

4.6.2 Menyunting data (data editing)

104

Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data seperti

kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi pengisian setiap

jawaban kuesioner. Pemeriksaan ini dilakukan pada saat dilapangan.

4.6.3 Memasukkan data (data entry)

Memasukkan data dalam program software computer berdasarkan

klasifikasi dan variabel yang akan dianalisis.

4.6.4 Membersihkan data (data cleaning)

Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan data

tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan demikian data tersebut telah

siap diolah dan dianalisis.

4.7 Analisis Data

4.7.1 Analisis Univariat

Analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan persentase

dari setiap variabel independen dan dependen yang dikehendaki dari tabel

distribusi.

4.7.2 Analisis Bivariat

Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel

independen dan dependen dengan melakukan uji man-Whitney dan uji Chi

Square . Uji Mann-Whitney U digunakan untuk setiap kasus yang memiliki

skor pada dua variabel, variabel pengelompokan (variabel independen atau

kategoris) dan variabel tes (variabel dependen atau kuantitatif). Variabel

105

dependen dalam penelitian ini adalah kelelahan dan variabel dependen

dalam penelitian ini adalah variabel postur menyususi, variabel usia,

kebiasaan merokok, status gizi, lama menyusui, dan aktivitas fisik, untuk

variabel kebiasaan merokok dalam penelitian ini menggunakan uji

ChiSquare untuk menghubungkan variabel kategorik dan kategorik.

Variabel yang termasuk pada uji Chi Square yaitu variabel kebiasaan

merokok yang akan dihubungkan dengan variabel kelelahan dengan batas

kemaknaan P value ≤ 0,05 berarti ada hubungan yang bermakna secara

statistik dan P value> 0,05 berarti tidak ada hubungan yang bermakna

secara statistik (Apriani, 2003).

106

BAB V

HASIL

5.1. Analisis Univariat Pada analisis univariat ini akan digambarkan distribusi frekuensi dari

masing-masing variabel yang diteliti baik variable independen maupun variable

dependen.

5.1.1. Gambaran Kelelahan pada Ibu Menyusui ≤ 6 Bulan di Kelurahan

Pisangan Ciputat Timur 2013

Variabel kelelahan diukur dengan Reaction Timer Test yang

merupakan alat untuk mengukur tingkat kelelahan berdasarkan

kecepatan waktu reaksi terhadap rangsangan cahaya . Dalam analisis

data,kelelahan di kelompokkan menjadi dua kategori lelah

(waktureaksi>240.0 milidetik) dan tidak lelah (waktureaksi< 240.0

milidetik) Gambaran kelelahan posisi duduk ibu saat menyusui dengan

indikator Reaction Timer Test adalah sebagai berikut:

Tabel 5.1

Gambaran Distribusi Kelelahan pada Ibu Menyusui ≤ 6 Bulan di

Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013

Variabel Kategori Jumlah Persentase %

kelelahan Lelah

TidakLelah

35

3

92.1

7.9

Sumber : Data Primer Tahun 2013

107

Berdasarkan pengumpulan data dengan Reaction Timer Test

terdapat 92.1% ibu menyusui mengalami kelelahan.

Selain menggunakan Reaction Timer Test, variable kelelahan

juga diukur dengan menggunakan Subjective Syimtoms Test (SST) yang

berisi sejumlah pertanyaan yang berhubugan dengan gejala-gejala

kelelahan. Skala IFRC ini terdapat 30 gejala kelelahan yang disusun

dalam bentuk daftar pertanyaan. Hal ini di lakukan sebagai pembanding

antara pengukuran yang bersifat objektif dan subjektif.

Adapun gambaran kelelahan posisi duduk ibu saat menyusui

dengan indikator Subjective Syimtoms Test adalah sebagai berikut:

Tabel 5.2

Gambaran Distribusi Kelelahan pada Ibu Menyusui ≤ 6 Bulan di

Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013

Variabel Kategori Jumlah Persentase %

kelelahan Lelah

TidakLelah

34

4

89.5

10.5

Sumber : Data Primer Tahun 2013

Berdasarkan pengumpulan data dengan pengukuran Subjective

Syimtoms Test terdapat 89.5% ibu menyusui mengalami kelelahan.

108

5.1.2. Gambaran Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya

Kelelahan pada Ibu Menyusui ≤ 6 Bulan di Kelurahan Pisangan

Ciputat Timur 2013.

Variabel risiko postur menyusui diukur dengan menggunakan

metode RULA Dalam melakukan pengukuran metode RULA mernbagi

bagian tubuh menjadi dua grup yaitu grup A dan B. Grup A meliputi

bagian lengan atas dan bawah, serta pergelangan tangan. Sementara

grup B meliputi Ieher, punggung, dan kaki. Hal ini untuk memastikan

bahwa seluruh postur tubuh terekam, sehingga segala kejanggalan atau

batasan postur oleh kaki, punggung atau Ieher yang mungkin saja

mempengaruhi postur anggota tubuh bagian atas dapat tercakup dalam

penilaian dengan penentuan skor 1 sampai dengan 7.

Variabel usia diukur melalui wawancara kepada responden

dengan menggunakan instrumen kuesioner dan hasil yang didapat yaitu

variabel umur dalam tahun. variabel kebiasaan merokok, kesegaran

jasmani diperoleh melalui wawancara kepada responden dengan

menggunakan instrumen kuesioner. Variabel status gizi diperoleh

dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan dengan menggunakan

timbangan digital dan mikrotoa.

Gambaran faktor–faktor yang menpengaruhi kelelahan (risiko

ergonomi postur menyusui, usia, kebiasaan merokok, status gizi, lama

menyusui, aktivitas fisik, suhu, kebisingan dan pencahayaan) pada ibu

109

menyusui ≤ 6 bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013 dapat

dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.2

Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Faktor-Faktor yang

Menyebabkan Terjadinya Kelelahan pada Ibu Menyusui ≤ 6

Bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013.

Variabel Mean Median Std. Deviasi Minimum Maksimum

1. Faktor Individu

Usia Ibu (tahun) 27.34 25.50 6.248 18 43

Status Gizi (kg/m2) 25.3013 24.4000 5.18823 16.59 40.49

Aktivitasfisik (METs) 19015.15 17136 19342.72 1465.50 96390

2. Faktor Pekerjaan

Risiko Ergonomi

Postur Menyusui

6.84 7.00 0.370 6 7

Kebisingan (dB) 66.837 66.300 4.3113 60.6 81.4

Cahaya (lux) 130.050 64.750 1.8012 12.0 803.0

Suhu (oC) 32.566 32.000 1.7675 30.0 37.0

Lama Menyusui

(menit)

183.92 99 176.90 25 900

Sumber : Data Primer Tahun 2013

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai mean faktor

individu yaitu variable usia ibu adalah 27.34 tahun dengan nilai

minimum 18 tahun dan nilai maksimum 43 tahun. Karena variable usia

ibu homogen maka tidak dilakukan analisis lebih lanjut. Sedangkan

untuk status gizi nilai mean adalah 25.3013 kg/m2

dengan nilai

minimum 16.59 kg/m2

dan maksimum 40.49 kg/m2

dan nilai mean

variable aktivitas fisik ibu menyusui ≤ 6 bulan adalah 19015.15 METs,

dengan nilai minimum 1465.50 METs, dan maksimum 96390 METs

110

Sedangkan nilai mean foktor pekerjaan, yaitu faktor tingkat

risiko ergonomi postur menyusui adalah 6.84 dengan nilai minimum 6

dan maksimum 7, untuk nilai mean kebisingan 66.837 dB dengan nilai

minimum 60,6 dB dan maksimum 81.4 dB. Nilai mean pencahayaan

adalah 130.050 lux dengan nilai minimum 12.0 lux dan nilai maksimum

803.0 lux. Nilai mean suhu adalah 32.566oC dengan nilai minimum

30.0oC dan maksimum 37.0

oC. Sedangkan untuk variabel lama

menyusui ibu nilai meannya adalah 183.92 dengan nilai minimum 25

dan nilai maksimum 900.

Tabel 5.3

Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan

FaktorKebiasaanMerokokpadaIbuMenyusui ≤ 6 Bulan di

KelurahanPisanganCiputatTimur2013

Variabel Kategori Jumlah Persentase %

Kebiasaanmerokok Merokok

TidakMerokok

1

37

2,6

97,4

Sumber : Data Primer Tahun 2013

Dari tabel diatas terlihat bahwa ibu yang tidak merokok yang

paling banyak dengan nilai 97,4 %. Karena variable kebiasaan merokok

homogeny maka tidak dilakukan analisis lebih lanjut.

111

5.2. Analisis Bivariat

5.2.1. Hubungan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya

Kelelahan pada Ibu Menyusui ≤ 6 Bulan di Kelurahan Pisangan

Ciputat Timur 2013

Hubungan antara risiko ergonomi postur menyusui, usia, status

gizi, lama menyusui, aktivitas fisik, suhu, kebisingan, pencahayaan

dengan kelelahan pada ibu menyusui ≤ 6 bulan adalah sebagai berikut:

Tabel 5.4

Hubungan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya

Kelelahan pada Ibu Menyusui ≤ 6 Bulan di Kelurahan Pisangan

Ciputat Timur 2013.

Variabel N Mean

Rank

Mann-

Whitney U

P-

value

1.Faktor Individu

Usia Lelah 35 18.60 21.000 0.087

Tidaklelah 3 30.00

Status Gizi Lelah 35 18.67 44.000 0,645

Tidaklelah 3 29.67

AktivitasFisik Lelah 35 17.77 25.500 0,168

Tidaklelah 3 29.67

2.Faktor Pekerjaan

Risiko

ErgonomiPosturMenyusui

Lelah 35 19,29 43.000 0.441

Tidaklelah 3 22.50

Lama Menyusui Lelah 35 18.54 19.000 0,063

Tidaklelah 3 30.67

Suhu Lelah 35 19.46 51.000 0,934

Tidaklelah 3 20.00

Kebisingan Lelah 35 18.73 25.500 0.144

Tidaklelah 3 28.50

Pencahayaan Lelah 35 19.74 44.000 0.645

Tidaklelah 3 16.67

Sumber : Data Primer Tahun 2013

112

Berdasarkan perhitungan diatas dapat dilihat bahwa nilai mean

untuk ibu menyusui yang mengalami kelelahan lebih kecil dari pada

yang tidak mengalami kelelahan (18.60<30.00) dengan nilai P-value

0,087 yang lebih besar dari 0,05. Hal tersebut dapat disimpulkan tidak

ada hubungan antara usia ibu dengan terjadinya kelelahan.

Variabel status gizi berdasarkan perhitungan diatas dapat dilihat

bahwa nilai mean untuk ibu menyusui yang mengalami kelelahan lebih

besar dari pada yang tidak mengalami kelelahan (19.74>16.67) dengan

nilai P-value 0,645 yang lebih besar dari 0,05. Hal tersebut dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi ibu dengan

terjadinya kelelahan.

Variabel aktivitas fisik berdasarkan perhitungan diatas dapat

dilihat bahwa nilai mean untuk ibu menyusui yang mengalami

kelelahan lebih kecil dari pada yang tidak mengalami kelelahan

(17.77<26.50) dengan nilai P-value 0,168 yang lebih besar dari 0,05.

Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara

aktivitas fisik dengan terjadinya kelelahan.

Variabel risiko ergonomi postur menyusui berdasarkan

perhitungan diatas dapat dilihat nilai mean untuk ibu menyusui yang

mengalami kelelahan lebih kecil dari pada yang tidak mengalami

kelelahan (19,29 <22.50) dengan nilai P-value0,441 yang lebih besar

113

dari 0,05. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan

antara postur menyusui denganterjadinya

Variabel lama menyusui berdasarkan perhitungan diatas dapat

dilihat bahwa nilai mean untuk ibu menyusui yang mengalami

kelelahan lebih kecil dari pada yang tidak mengalami kelelahan

(18.54<30.67) dengan nilai P-value 0,063 yang lebih besar dari 0,05.

Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara lama

menyusui dengan terjadinya kelelahan.

Variabel suhu berdasarkan perhitungan diatas dapat dilihat

bahwa nilai mean untuk ibu menyusui yang mengalami kelelahan lebih

kecil dari pada yang tidak mengalami kelelahan (19.47<20.00) dengan

nilai P-value 0,934 yang lebih besar dari 0,05. Hal tersebut dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungana ntara suhu dengan terjadinya

kelelahan.

Variabel kebisingan berdasarkan perhitungan di atas dapat dilihat

bahwa nilai mean untuk ibu menyusui yang mengalami kelelahan lebih

kecil dari pada yang tidak mengalami kelelahan (18.73<28.50) dengan

nilai P-value 0,144 yang lebih besar dari 0,05. Hal tersebut dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kebisingan dengan

terjadinya kelelahan.

Variabel pencahayaan berdasarkan perhitungan di atas dapat

dilihat bahwa nilai mean untuk ibu menyusui yang mengalami

114

kelelahan lebih besar dari pada yang tidak mengalami kelelahan

(19.74>16.67) dengan nilai P-value 0,645 yang lebih besar dari

0,05.Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara

pencahayaan dengan terjadinya kelelahan.

115

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1. Keterbatasan Penelitian

a. Data kelelahan diukur dengan Reaction Timer Test . Sehingga responden

yang masih awam menekan klik kanan pada mouse mempengaruhi

pemanjangan waktu reaksi yang merupakan petunjuk adanya perlambatan

pada proses faal syaraf otot. sehingga mungkin saja terjadi bias.

b. Ketika dilakukan pengambilan video oleh pengumpul data, seringkali ibu

tidak berada pada sikap duduk alami saat menyusui.

6.2. Gambaran Kelelahan pada Ibu Menyusui ≤ 6 Bulan di Kelurahan Pisangan

Ciputat Timur 2013

Menyusui merupakan kegiatan yang dilakukan selama berjam-jam dan

berkali-kali setiap harinya oleh ibu pasca melahirkan. Disebutkan juga dalam

buku An Easy Guide to Breastfeeding bahwa menyusui dilakukan minimal 2

jam sekali, namun waktu menyusui ini tidak boleh dijadwal secara ketat karena

semakin sering bayi menyusu, maka akan menstimulasi payudara ibu untuk

memproduksi lebih banyak ASI. Sehingga kegiatan menyusui juga bisa disebut

kegiatan yang bersifat incidental yang membutuhkan kesabaran dan tenaga .

Satu gejala yang sering dilaporkan ibu yang baru pertama kali menyusui

bayinya yang membuat ibu memperpendek lamanya dalam menyusui adalah

116

kelelahan (fatigue) (Chapman,1998 dalam Rohman, 2012). Kelelahan yang

dirasakan oleh ibu-ibu selama menyusui menurunkan produksi ASI selama bulan

pertama postpartum dan menjadi faktor yang utama untuk menyapih bayinya

(Rohman, 2012). Kelelahan ini terjadi dimungkinkan karena postur yang

digunakan ibu yang menuntut beberapa bagian tubuh dalam kondisi postur

janggal. Selain faktor postur yang digunakan ketidaktentuan waktu menyusi juga

berisiko menimbulkan kelelahan hal ini sejalan dengan pendapatnya Manuaba

(1990) dalam Virgy (2011) menjelaskan bahwa jam kerja berlebihan, jam kerja

lembur diluar batas kemampuan akan mempercepat timbulnya kelelahan. Serta

beberapa faktor lain yang berisiko terjadinya kelelahan seperti lingkungan kerja

maupun karakteristik pekerja dalam hal ini adalah ibu menyusui.

Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh

menghindari kerusakan lebih lanjut, sehingga dengan demikian terjadilah

pemulihan (Suma’mur, 1989). Rizeddin (2000) dalam Nurhidayati (2009)

menyatakan kelelahan menurunkan kapasitas kerja dan ketahanan kerja yang

ditandai oleh sensasi lelah, motivasi menurun, aktivitas menurun. Menurut

Grandjean (1997) dalam Virgy (2011) kelelahan kerja merupakan gejala yang

ditandai adanya perasaan lelah dan kita akan merasa segan dan aktifitas akan

melemah serta ketidakseimbangan. Selain itu, keinginan untuk berusaha

melakukan kegiatan fisik dan mental akan berkurang karena disertai perasaan

berat, pening, capek. Istilah kelelahan menunjukkan kondisi yang berbeda-beda

117

dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara pada kehilangan efisiensi dan

penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh (Tarwaka et al, 2004).

Pengukuran kelelahan kerja melibatkan fungsi persepsi, interpretasi dan

reaksi motor. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan pengukuran

waktu reaksi. Waktu reaksi adalah jangka waktu dari pemberian suatu

rangsangan sampai kepada suatu saat kesadaran atau dilaksanakan kegiatan.

Dalam uji waktu reaksi dapat digunakan nyala lampu, denting suara, sentuhan

kulit atau goyangan badan. Pada metode yang dilakukakan menggunakan

Reaction Timer Test dengan nyala lampu. terjadinya pemanjangan waktu reaksi

merupakan petunjuk adanya perlambatan pada proses faal syaraf dan otot.

Hasil dari analisis univariat berdasarkan pengumpulan data dengan

Reaction Timer Test terdapat 92.1% ibu menyusui mengalami kelelahan.

Selain itu didukung dengan pengukuran menggunakan Subjective Syimtoms

Test (SST) yang berisi sejumlah pertanyaan yang berhubugan dengan gejala-

gejala kelelahan. Dari hasil pengukuran tersebut terdapat 89.5% ibu menyusui

mengalami kelelahan. Hal ini bisa terjadi dimungkinkan karena menyusui

dilakukan minimal 2 jam sekali dan bayi tidak diposisikan pada payudara

secara tepat yang meneyebabkan pembunggukan pada punggung. Selain itu

berat badan bayi juga mempengaruhi pembebanan pada lengan tangan ibu,

sehingga lengan tangan dituntut untuk menyangga dengan posisi statis selama

118

menyusui. Hal ini bisa dimungkinkan menjadi penyebab terjadinya kelelahan

pada ibu menyusui.

Sehingga diperlukan tindakan lebih lanjut, karena kelelahan yang

dirasakan oleh ibu selama menyusui menurunkan produksi ASI selama bulan

pertama postpartum dan menjadi faktor yang utama untuk menyapih bayinya

sehingga risiko pemenuhan ASI kepada bayi kurang terpenuhi. Ada beberapa

hal yang bisa dilakukan ibu untuk mengurangi terjadinya kelelahan saat

menyusui yaitu ibu memilih posisi paling nyaman yang dirasakan baik ibu dan

bayinya saat menyusui berlangsung dan menggunakan alat bantu seperti bantal

untuk menyangga dan menyesuaikan perletakan putting dan bayinya, selain itu

juga bisa menggunakan kursi yang ergonomis yang didesain kkkhusus untuk

ibu menyusui.

6.3. Analisis Faktor Karakteristik Individu (Usia, Status Gizi, Aktivitas Fisik)

pada Ibu Menyusui ≤ 6 Bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013.

6.3.1. Hubungan Usia dengan Kelelahan

Menurut Setyawati (1994) yang dikutip oleh Silastuti (2006)

faktor individu seperti umur juga dapat berpengaruh terhadap waktu

reaksi dan perasaan lelah tenaga kerja. Pada umur yang lebih tua terjadi

penurunan kekuatan otot, tetapi keadaan ini diimbangi dengan stabilitas

emosi yang lebih baik dibanding tenaga kerja yang berumur muda yang

dapat berakibat positif dalam melakukan pekerjaan. Menurut Akerstedt et

119

al (2002) dalam Dewi (2006) bahwa kelelahan lebih cenderung terjadi

pada pekerja berumur kurang lebih sama dengan 49 tahun.

Hasil dari analisis univariat bahwa rata-rata usia ibu adalah 27

tahun dengan nilai minimum 18 tahun dan nilai maksimum 43 tahun.

Hasil analisis hubungan antara usia dengan kelelahan pada ibu menyusui

dibawah enam bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013dengan

nilai signifikan 95% diperoleh bahwa nilai Mean Rank untuk ibu

menyusui yang mengalami kelelahan 18.60 dengan nilai P-value

sebesar 0,087 yang lebih besar dari 0,05, hal tersebut dapat disimpulkan

tidak ada hubungan antara usia ibu dengan terjadinya kelelahan. Hal ini

sejalan dengan penelitian Dewi (2006) yang menyatakan tidak adanya

hubungan antara usia dengan kelelahan kerja. Namun tidak sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh J Hum lact University of Kansas

School of Nursing, Kansas City 66160-7502, Amerika Serikat (1998)

yang menyatakan bahwa usia ibu berkorelasi positif dengan kelelahan.

Hal ini kemungkinan disebabkan karena rata-rata usia ibu menyusui

dibawah 40 tahun. Sesuai dengan teori Hidayat (2003) mendapatkan bukti

di Negara Jepang menunjukkan bahwa pekerja yang berusia 40-50 tahun

akan lebih cepat menderita kekelahan kerja dibandingkan dengan pekerja

relative lebih muda.

120

6.3.2. Hubungan antara Status Gizi dengan Kelelahan

Status gizi merupakan salah satu unsur yang menentukan kualitas

fisik dan kondisi fisik tenaga kerja sehingga berpengaruh terhadap

terjadinya kelelahan (Wignjosoebroto, 2003 dalam Virgy, 2011).

Berat badan yang kurang ideal baik itu kurang ataupun kelebihan

dapat menimbulkan kerugian. Orang yang mempunyai kelebihan berat

badan (gemuk) juga akan mudah mengalami kelelahan karena, menurut

Almatsier (2004) orang yang gemuk membutuhkan jumlah energi yang

lebih besar untuk membawa tubuhnya, seiring dengan kenaikan berat

badannya. Sehingga apabila orang yang mempunyai kelebihan berat

badan dibebani dengan beban yang lain, maka akan lebih besar lagi

jumlah energy yang dibutuhkannya. Masalah kekurangan atau kelebihan

gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun ke atas) merupakan masalah

penting, karena selain mempunyai resiko penyakit tertentu, juga dapat

mempengaruhi produktivitas kerja.

Status gizi orang dewasa diukur menggunakan IMT, Karena

responden dalam penelitian ini adalah ibu menyusui yang kesemuanya

berusia lebih dari 18 tahun keatas. Menurut Pekik (2006) dalam Kasanah

(2011) menyatakan bahwa Indeks Masa Tubuh (IMT) mempunyai

121

beberapa kelebihan yaitu pengukuran sederhana dan mudah serta

menentukan kelebihan dan kekurangan berat badan.

Hasil dari analisis univariat bahwa rata-rata status gizi ibu

menyusui dibawah enam bulan adalah 25.3013 dengan nilai minimum

16.59 dan maksimum 40.49 hal ini menunjukkan bahwa rata-rata status

gizi ibu menyusui dibawah enam bulan termasuk kategori kelebihan

berat badan tingkat ringan. Hal ini terjadi dimungkinkan karena faktor

pasca melahirkan.

Hasil analisis hubungan antara status gizi dengan kelelahan pada

ibu menyusui dibawah enam bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur

2013 dengan nilai signifikan 95% diperoleh bahwa nilai Mean Rank

untuk ibu menyusui yang mengalami kelelahan sebesar 19.74 dengan

nilai P-value sebesar 0,645 yang lebih besar dari 0,05, hal tersebut dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi ibu dengan

terjadinya kelelahan. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Eraliesa (2008) yang menyatakan bahwa terdapat

hubungan antara status gizi dengan tingkat kelelahan.

Menurut Wignjosoebroto, 2003 dalam Virgy, 2011 menyatakan

bahwa status gizi merupakan salah satu unsur yang menentukan kualitas

fisik dan kondisi fisik tenaga kerja sehingga berpengaruh terhadap

122

terjadinya kelelahan namun pada hasil penelitian kali ini diperoleh hasil

yang berbeda. Ketidaksesuaian tersebut dapat di mungkinkan adanya

faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini yang berpengaruh

terhadap kelelahan.

6.3.3. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kelelahan

Menurut Almatsier (2004) mengatakan bahwa aktivitas fisik dapat

didefinisikan sebagai gerakan fisik yang dilakukan oleh otot tubuh dan

sistem penunjangnya. Menurut Depkes RI (2006) aktivitas fisik adalah

pergerakkan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga secara

sederhana minimal 30 menit dalam sehari selama 5 hari dalam seminggu

yang sangat penting bagi pemeliharaan fisik, mental, dan kualitas hidup

sehat. Aktivitas fisik juga dapat terjadi dalam melakukan aktivitas seperti

pekerjaan rumah, berkebun, melakukan hobi, rekreasi dan olahraga

(Allender & Spradley, 2001 dalam Achmanagara, 2012). Aktivitas fisik

yang berlebihan merupakan salah satu faktor terjadinya kelelahan (Pearl

Medic, 2011). Dalam hal ini jenis aktivitas fisik yang dilakukan oleh ibu

menyusui adalah aktivitas rumah tangga yaitu seperti mengepel lantai dan

membersihkan rumah dengan banyak menggunakan tangan, menjemur

pakaian, mengelap kaca jendela, memindahkan barang ringan,

membereskan peralatan, membuang sampah, dan berbagai pekerjaan

rumah tangga sehari-hari.

123

Hasil dari analisis univariat bahwa rata-rata aktivitas fisik ibu

menyusui ≤ enam bulan adalah 19015.15 METs, dengan nilai minimum

1465.50 METs, dan maksimum 96390 METs. Hal ini menunjukkan

bahwa rata-rata aktivitas fisik ibu menyususi dibawah enam bulan

termasuk aktivitas fisik berat. Hal ini terjadi dimungkinkan karena selain

ibu bertugas mengerjakan seluruh tugas rumah tangga ibu juga dibebani

rutinitas rutinitas menyusui. Oleh karena itu, disaranakan setelah ibu

menyelesaikan pekerjaan baik itu rumah tangga maupun menyusui, ibu

dianjurkan untuk beristirahat minimal selama 15 menit untuk

mempertahankan efisiensi dan performa tubuh. Hal ini sesuai dengan

pendapat Manuaba (1990) dalam Virgy (2011) yang mengatakan bahwa

setiap fungsi tubuh memerlukan keseimbangan yang ritmis antara asupan

energy dan pengganti energy (kerja-istirahat), maka diperlukan adanya

waktu istirahat pendek (15 menit setelah 1,5-2 jam kerja) untuk

mempertahankan efisiensi dan performa kerja. Hasil analisis hubungan

antara aktivitas fisik dengan kelelahan pada ibu menyusui dibawah enam

bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013 dengan nilai signifikan

95% diperoleh bahwa nilai Mean Rank untuk ibu menyusui yang

mengalami kelelahan sebesar 17.77 dengan nilai P-value 0,168 yang

lebih besar dari 0,05. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada

hubungan antara aktivitas fisik dengan terjadinya kelelahan. Hasil ini

sejalan dengan penelitian Mamuaja (2011) menunjukkan bahwa tidak

124

terdapat hubungan yang nyata (p>0,05) antara tingkat kelelahan dengan

tingkat aktivitas fisik hari kerja dan libur. Hal ini disamakan dengan

aktivitas fisik hari kerja dan libur karena aktivitas fisik rumah tangga

dilakukan tanpa memandang status hari yang ada.

Ketidaksesuaian tersebut dapat dimungkinkan adanya faktor lain

yang tidak diteliti dalam penelitian ini yang berpengaruh terhadap

kelelahan.

6.4. Analisis Faktor Karakteristik Pekerjaan (Risiko Ergonomi Postur

Menyusui, Lama Menyusui dan Lingkungan Menyusui) pada Ibu Menyusui

≤ 6 Bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013

6.4.1. Hubungan antara Risiko Ergonomi Postur Menyusui dengan

Kelelahan

Kegiatan menyusui merupakan kegiatan yang membutuhkan

kesabaran karena lamanya waktu yang dibutuhkan dan bersifat incidental

karena tidak bisa dijadwalkan. Ada berbagai macam posisi menyusui

yang baik dan perlu diketahui oleh para ibu. Hal ini penting karena

berkaitan dengan kenyamanan yang didapat baik oleh ibu maupun bayi.

Namun biasanya ibu lebih memprioritaskan kenyamanan bayinya tanpa

mempertimbangkan kenyamanan postur yang digunakan.

Menurut Pheasant (2003), postur kerja dipengaruhi oleh

hubungan antara dimensi tubuh dan stasiun kerjanya (workstation).

Misalnya, tempat kerja yang terlalu tinggi untuk pekerja yang memiliki

125

tinggi badan rendah atau tempat kerja yang terlalu rendah untuk pekerja

dengan tinggi badan lebih. Berdasarkan penjelasan Pheasant (2003) ini

dapat dikatakan bahwa postur duduk ibu saat menyusui dengan posisi

duduk juga dipengaruhi oleh posisi duduk ibu itu sendiri, dimana ibu

harus menyesuaikan posisi ibu dengan bayi yang disusuinya supaya posisi

bayi pas dan tepat untuk menyusu.

Sumber kelelahan ibu saat menyusui antara lain dapat berasal dari

postur yang digunakan ibu yang menuntut beberapa bagian tubuh untuk

menopang beban yaitu pada lengan tangan serta pembungkukan

punggung dan leher yang terjadi karena ibu lebih fokus memperhatikan

proses laktasi bayi tanpa mempertimbangkan risiko postur yang

dipergunakan oleh ibu yang mampu menyebabkan kejanggalan seperti

kontraksi otot yang mampu memicu terjadinya kelelahan otot setempat.

Hal ini sejalan dengan pendapatnya Waters dan Bhattacharya (1996)

yang dikutip oleh Tarwaka dkk, (2004) berpendapat bahwa kontraksi otot

baik statis maupun dinamis dapat meyebabkan kelelahan otot setempat.

Kelelahan tersebut terjadi pada waktu ketahanan (Endurance time) otot

terlampaui. Waktu ketahanan otot tergantung pada jumlah tenaga yang

dikembangkan oleh otot sebagai suatu prosentase tenaga maksimum yang

dapat dicapai oleh otot. Kemudian pada saat kebutuhan metabolisme

dinamis dan aktivitas melampaui kapasitas energi yang dihasilkan oleh

126

tenaga kerja, maka kontraksi otot akan terpengaruh sehingga kelelahan

seluruh badan terjadi.

Hasil dari analisis univariat bahwa rata-rata risiko ergonomi

postur menyusui adalah 6,84 dengan nilai minimum 6 dan nilai

maksimum 7. Ibu yang mengalami risiko ergonomi sedang 15,8% dan

ibu yang risiko ergonomi tinggi 84,2%. Hal ini menyatakan bahwa posii

menyusui yang digunakan oleh seluruh ibu berisiko.

Postur duduk ibu berada pada level risiko sedang disebabkan

karena posisi lengan, pergelangan tangan, leher, dan punggung ibu. Ibu

membengkokkan lengan dan pergelangan tangan ibu ke bawah untuk

menyangga bayi. Leher ibu menunduk dan bengkok karena selama

aktivitas menyusui berlangsung ibu untuk memperhatikan keluarnya ASI

dari payudara ibu agar bayi tidak tersedak. Sedangkan sikap punggung

ibu menyesuaikan dengan ketepatan posisi bayi untuk menyusu. Hal ini

jika dibiarkan akan berisiko terjadinya kelelahan lanjut yang mampu

mengakibatkan MSDs (Musculosceletal Disorders).

Hasil analisis hubungan antara risiko ergonomi postur menyusui

dengan kelelahan pada ibu menyusui dibawah enam bulan di Kelurahan

Pisangan Ciputat Timur 2013 dengan nilai signifikan 95% diperoleh

bahwa nilai Mean Rank untuk ibu menyusui yang mengalami kelelahan

sebesar 19,29 dengan nilai P-value sebesar 0,441 yang lebih besar dari

127

0,05 hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara

postur menyusui dengan terjadinya kelelahan.

Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan antara

postur menyusui dengan kelelahan. Akan tetapi berdasarkan penilaian

RULA kegiatan menyusui tersebut masuk level risiko sedang dengan

nilai mean 6,87 yang membutuhkan tindakan dalam waktu dekat.

Menurut Soeripto (1989), perencanaan dan produktivitas, menciptakan

keselamatan dan kesehatan kerja serta kelestarian lingkungan kerja, dan

juga memperbaiki kualitas produk dari suatu proses produksi. Oleh

karena itu, upaya untuk menanggulangi risiko ergonomik tersebut dapat

dilakukan dengan penyediaan peralatan kerja yang sesuai dengan

antropometri ibu menyusui dan dalam hal ini adalah seperti kursi

kkhusus untuk ibu menyusui. Dengan demikian risiko ergonomi dapat

diminimalisasi. Selain itu perlu juga memberikan pelatihan kepada ibu

menyusui maupun calon ibu menyusui (ibu hamil) tentang cara menyusui

yang benar, yaitu dengan memperagakan posisi menyusui yang benar,

pemilihan tempat duduk atau alat bantu yang tepat untuk menyusui.

sehingga akan mengurangi risiko ergonomi bagi ibu selama menyusui.

Pelatihan sebaiknya diberikan sedini mungkin supaya ketika ibu hamil

menjadi ibu menyusui sudah dapat melakukan teknik menyusui yang

benar dari awal kegiatan atau proses menyusui dilakukan. Pelatihan dapat

128

diberikan melalui kelas ibu hamil khususnya masuk dalam materi

pemeberian ASI eklusif/Inisiasi Menyusui Dini (IMD), karena dalam

kelas ini ibu hamil akan belajar bersama, diskusi dan tukar pengalaman

tentang kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh dan sistematis serta

dapat dilaksanakan secara terjadwal dan berkesinambungan (Depkes RI,

2009).

6.4.2. Hubungan antara Lama Menyusui dengan Kelelahan

Menyusui merupakan kegiatan yang dilakukan selama berjam-jam

dan berkali-kali setiap harinya oleh ibu pasca melahirkan. Disebutkan

juga dalam buku An Easy Guide to Breastfeeding bahwa menyusui

dilakukan minimal 2 jam sekali, namun waktu menyusui ini tidak boleh

dijadwal secara ketat karena semakin sering bayi menyusu, maka akan

menstimulasi payudara ibu untuk memproduksi lebih banyak ASI.

Sehingga kegiatan menyusui merupakan kegiatan yang membutuhkan

waktu yang lama dan dilakukan berkali-kali dalam sehari baik malam

maupun siang. Hal ini mampu memicu terjadinya kelelahan karena

lamanya waktu yang dibutuhkan dan sering kalinya dilakukan tanpa

memandang waktu dengan posisi yang statis dan pembebanan pada

anggota badan sehingga beberapa bagian otot setempat yang digunakan

berisiko terjadinya kontraksi otot yang mampu memicu terjadiny

kelelahan.

129

Menurut Suma’mur (1981) bekerja merupakan proses anabolisme,

yaitu mengurangi atau menggunakan bagian-bagian tubuh yang telah

dibangun sebelumnya. Dalam keadaan demikian, sistem syaraf utama

yang berfungsi adalah komponen simpatis. Maka pada kondisi tersebut,

aktifitas tidak dapat dilakukan secara terus menerus, melainkan harus

diselingi dengan istirahat untuk memberikan kesempatan membangun

kembali tenaga yang telah digunakan. Meskipun menyusui merupakan

kegiatan yang sifatanya tidak dilakukan dalam sekali waktu namun

berjeda yang bisa digunakan untuk istirahat namun waktu istirahat

tersebut biasanya dimanfaatkan oleh ibu menyusui untuk melakukan

aktifitas rumah tangga seperti mengepel, menyapu, mencuci, menyetrika

dan lain sebagainya.

Lama kerja bagi seseorang menentukan efisiensi dan

produktifitasnya. Lamanya seseoarang bekerja sehari secara baik pada

umumnya 6-8 jam. Sisanya 16-18 jam dipergunakan untuk kehidupan

dalam keluarga dan masyarakat, istirahat, tidur dan lain-lain.

Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan tersebut biasanya

tidak disertai efisiensi yang tinggi, bahkan biasanya terlihat penurunan

produktifitas serta kecenderuangan untuk timbulnya kelelahan, penyakit

dan kecelakaan kerja (Suma’mur, 1996).

130

Di Indonesia telah ditetapkan lamanya waktu kerja sehari

maksimum 8 jam kerja (480 menit) dan sisanya untuk

istirahat/kehidupan dalam keluarga dan masyarakat. Manuaba (1990)

dalam Virgy (2011) menjelaskan bahwa jam kerja berlebihan, jam kerja

lembur diluar batas kemampuan akan mempercepat timbulnya kelelahan.

Hasil dari analisis univariat bahwa rata-rata status lama menyusui ibu

dibawah enam bulan adalah 183.92 menit dengan nilai minimum 25

menit dan nilai maksimum 900 menit. Hal ini menunnjukkan bahwa rata-

rata jam kerja ibu menyusui dibawah enam bulan termasuk kategori

aman.

Hasil analisis hubungan antara jam kerja dengan kelelahan pada

ibu menyusui dibawah enam bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur

2013 dengan nilai signifikan 95% diperoleh bahwa nilai Mean Rank

untuk ibu menyusui yang mengalami kelelahan sebesar 19.23 dengan

nilai P-value 0,063 yang lebih besar dari 0,05, hal tersebut dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara jam kerja dengan

terjadinya kelelahan.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Safitri

(2008) dan Andiningsari (2009) yang menyatakan tidak ada hubungan

antara jam kerja dengan kelelaha kerja. Hal ini dimungkinkan karena

rata-rata lama kegiatan menyusui dalam sehari masuk kategori aman.

Sehingga sudah sesuai dengan ketentuan yang sudah dianjurkan.

131

6.4.3. Hubungan antara Kebisingan dengan Kelelahan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lingkungan tempat ibu

menyusui dengan posisi duduk, kesemuanya memiliki tingkat kebisingan

lebih dari 55 dB yaitu nilai mean kebisingan 66.837 dB dengan nilai

minimum 60,6 dB dan maksimum 81.4 dB. Hal ini berarti bahwa

lingkungan tempat ibu menyusui berada di atas nilai ambang batas yang

diperbolehkan untuk wilayah pemukiman menurut Keputusan Menteri

Negara Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat

Kebisingan, tingkat kebisingan yang diperbolehkan untuk kawasan

perumahan dan pemukiman yaitu tidak lebih dari 55 dB. Menurut

Rusdjijati dan Widodo (2008), jika nilai kebisingan sudah melebihi Nilai

Ambang Batas yang ditetapkan, maka dapat mengakibatkan

ketidaknyamanan bagi manusia yang menerima kebisingan tersebut.

Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kebisingan di suatu

tempat. Menurut Mashuri (2007) dalam Anggraini et. al (2012) , faktor-

faktor tersebut terdiri dari jarak, serapan udara, angin, dan permukaan

bumi.

Tidak ada sumber kebisingan yang berarti di lingkungan tempat

tinggal responden. Rata-rata sumber kebisingan berasal dari keramaian

masyarakat (seperti suara anak-anak, orang-orang yang sedang

mengobrol, dan sebagainya). Namun, bagi tempat tinggal ibu yang

berada dekat dengan jalan raya, maka sumber kebisingannya selain dari

132

keramaian masyarakat juga dapat berasal dari lalu lintas kendaraan

bermotor.

Pada saat dilakukan pengumpulan data, adakalanya cuaca panas

dan adakalanya mendung. Hal ini mempengaruhi kondisi angin dan

udara. Udara yang bersuhu rendah akan lebih menyerap suara daripada

udara bersuhu tinggi. Selain itu juga, besarnya frekuensi bunyi yang

diterima juga dipengaruhi oleh arah angin. Arah angin yang menuju

pendengar akan mengakibatkan suara terdengar lebih keras, begitu juga

sebaliknya. (Mashuri, 2007 dalam Anggraini, 2012).

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara

kebisingan dengan kelelahan. Kemungkinan dengan tidak adanya

hubungan tersebut disebabkan oleh lamanya ibu tinggal di lingkungan

tersebut sehingga kemungkinan ibu sudah terbiasa dan lebih

berpengalaman untuk mengatur besarnya tenaga yang dikeluarkan oleh

karena seringnya melakukan pekerjaan tersebut, sehingga kelelahan tidak

terjadi pada saat menyusui berlangsung.

6.4.4. Hubungan antara Pencahayaan dengan Kelelahan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai mean pencahayaan

adalah 130.050 lux dengan nilai minimum 12.0 lux dan nilai maksimum

803.0 lux. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara

dalam Ruang Rumah, pencahayaan yang disyaratkan minimal 60 Lux. .

133

Nilai pencahayaan yang terukur di tempat ibu menyusui sesuai dengan

Nilai Ambang Batas yang ditetapkan.

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara

pencahayaan dengan kelelahan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena

aktivitas menyusui tidak dipengaruhi oleh tingkat pencahayaan karena

aktivitas menyusui tidak didominasi oleh penggunaan indera penglihatan

sebagaimana pada pekerja yang berhubungan dengan komputer selama

waktu kerjanya.

6.4.5. Hubungan antara Suhu dengan Kelelahan

Pada penelitian ini, nilai mean suhu adalah 32.566 o

C dengan

nilai minimum 31oC dan maksimum 37

oC. Menurut Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011

tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah, kadar yang

diisyaratkan untuk suhu di dalam rumah adalah antara 18-30oC. Nilai

suhu yang terukur di tempat ibu menyusui melebihi Nilai Ambang Batas

yang ditetapkan. Pada penelitian ini, tingginya suhu yang terukur

kemungkinan disebabkan karena faktor cuaca.

Menurut Suma’mur (1992) pada suhu udara yang panas dan

lembab, makin tinggi kecepatan aliran udara malah akan makin

membebani tenaga kerja. Pada tempat kerja dengan suhu udara yang

panas maka akan menyebabkan proses pemerasan kringat. Beberapa hal

134

buruk berkaitan dengan kondisi demikian dapat dialami oleh tenaga kerja,

salah satunya kelelahan kerja. Pekerja yang mengalami kondisi demikian,

sulit untuk mampu bereproduksi tinggi. Akibat kelelahan kerja tersebut,

para pekerja menjadi kurang bergairah kerja, daya tanggap dan rasa

tanggung jawab menjadi rendah, sehingga seringkali kurang

memperhatikan kualitas produk kerjanya.

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan

antara suhu dengan kelelahan. Kemungkinan dengan tidak adanya

hubungan tersebut disebabkan oleh lamanya ibu tinggal di lingkungan

tersebut sehingga kemungkinan ibu sudah terbiasa dan lebih

berpengalaman untuk mengatur besarnya tenaga yang dikeluarkan oleh

karena seringnya melakukan pekerjaan tersebut, sehingga kelelahan tidak

terjadi pada saat menyusui berlangsung.

135

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada ibu menyusui ≤ 6

bulan di Kelurahan Ciputat Timur 2013 diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Gambaran kelelahan postur menyusui pada ibu menyusui ≤ 6 bulan di

Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013 adalah rata-rata 92.1% ibu menyusui

mengalami kelelahan.

2. Gambaran rata-rata factor risiko ergonomic postur menyusui (risiko sedang =

6,87), usia (27 tahun), status gizi (25.3013 = kelebihan berat badan tingkat

ringan), lama menyusui (183.92 menit = kategori aman), aktivitas fisik

(19015.15 METs = aktivitas fisik berat), pencahayaan (130.050 lux= sesuai

peratuaran), suhu (32.566 oC= melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan),

kebisingan (66.837 dB = di atas nilai ambang batas yang diperbolehkan) pada

ibu menyusui ≤ 6 bulan di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013.

3. Tidak ada hubungan antara karakteristik individu (usia, status gizi, aktivitas

fisik dengan kelelahan pada ibu menyusui ≤ 6 bulan di Kelurahan Pisangan

Ciputat Timur 2013.

136

4. Tidak ada hubungan antara karakteristik pekerjaan (risiko ergonomic postur

menyusui, lama menyusui dan lingkungan menyusui) dengan kelelahan pada

ibu menyusui ≤ 6 bulandi Kelurahan Pisangan Ciputat Timur 2013.

7.2. Saran

Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah:

1. Bagi Ibu Menyusui

a. Saran yang dapat diberikan kepada ibu menyusui berdasarkan hasil

penelitian ini adalah memberikan pelatihan kepada ibu menyusui maupun

calon ibu menyusui (ibu hamil) tentang cara menyusui yang benar, yaitu

dengan memperagakan posisi menyusui yang benar, pemilihan tempat

duduk atau alat bantu yang tepat untuk menyusui. Sehingga akan

mengurangi risiko ergonomi bagi ibu selama menyusui. Pelatihan

sebaiknya diberikan sedinimungkin supaya ketika ibu hamil menjadi ibu

menyusui sudah dapat melakukan teknik menyusui yang benar dari awal

kegiatan atau proses menyusui dilakukan. Pelatihan dapat diberikan

melalui kelas ibu hamil.

b. Disarankan setelah ibu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga ibu

beristirahat minimal selama 15 menit untuk mempertahankan efisiensi

dan performa tubuh.

137

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Diharapkan peneliti selanjutnya dalam mengukur kelelahan menggunakan

Reaction Timer Test yang sesungguhnya, bukan dari layar komputer.

b. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian khusus

tentang desain kursi untuk ibu menyusui dengan mempertimbangkan

faktor ergonomi.

c. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melihat lebih jauh lagi hubungan

faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kelelahan saat menyusui

sehingga dapat diketahui dengan jelas mekanisme terjadinya kelelahan

ibu saat menyusui dan faktor apa saja yang mempengaruhi atau yang

paling berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan ibu saat menyusui.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia. 132-150

An Easy Guide to Breastfeeding. 2006. U.S. Departement of Health and Human

Services Office on Woman’s Health

Andiningsari, Pratiwi. 2009. Hubungan Faktor Internal Dan Ekternal Terhadap

Kelelahan Pada Pengemudi Travel X Trans Jakarta Trayek Jakarta-Bandung.

Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Anies. 2002. Bebagai Penyakit Akibat Lingkungan Kerja Dan Upaya

Penanggulangannya, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Auditya. 2011. Perlekatan Menyusu dan Berbagai Posisi Menyusui. Availabel:

http://informasitips.com diakses pada tanggal 27 Juni 2012

Battevi, Natale, Hedge. Handbook of Human Factor and Ergonomics. Availabel:

http://www.ergonomics.co.uk/Rula/Ergo/index.html diakses pada tanggal 7

September 2012

Budiono, dkk. 2003. Kelelahan (Fatigue) Pada Tenaga Kerja. Bunga Rampai

Hiperkes Dan Keselamatan Kerja. Edisi Ke-2. Semarang; Universitas

Diponegoro

Bustan. 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menula. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Depkes RI. 2006. Pusat Kesehatan Kerja. Promosi Kesehatan. Availabel:

http://www.depkes.go.id. diakses pada tanggal 22 Januari 2013

Depkes RI. 2009. Pegangan Fasilitator Kelas Ibu Hamil. Availabel:

http://www.depkes.go.id. diakses pada tanggal 25 Juli 2013

Dowell, Chad H & Tapp. Loren C. 2007. Evaluation of Heat Stress at a Glass Bottle

Manufacturer. Departement of Health and Human Service National Institude

for Occupational Safety and Health (NIOSH). Cincinati.ohio. [cited 2009 June

27th]. Availade : http:www.ctc.gov/niosh/hhe/reports/pdfs/2003-

0311.3052.Pdf.

Farrer, Helen. 1999. Perawatan Maternitas. Jakarta: EGC

Fredregill, Suzanne dan Ray Fredregill. 2010. The Everything Breastfeeding Book.

Second Edition. U.S.A: F+W Media Inc.

Gunawan, Agung Fadly. 2012. Nursing Care And Health Tips. Availabel:

http://agungfadlygunawan.blogspot.com/2012_08_01_archive.html diakses

pada tanggal 25 November 2012

http://www.bppsdmk.depkes.go.id/ diakses 14 januari 2013 pukul 11.56

J Hum lact University of Kansas School of Nursing, Kansas City 66160-7502,

Amerika Serikat 1998 Mother breastfeeding primiparae fatigue during the first

nine weeks postpartum.

Kasanah, Erni. 2011. Tingkat Pengetahuan Diet TKTP Dan Asupan Energy, Protein

Pada Pasien Rawat Jalan Dib Alai Pengobatan Penyakit Paru-Paru

Yogyakarta. Karya Ilmiah. Kementrian Kesehatan Republic Indonesia

Politeknik Kesehatan Yogyakarta.

Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No.829/Menkes/SK/VII/1999

Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

450/MENKES/SK/IV/2004 Tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara

Eksklusif pada Bayi di Indonesia

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 Tentang Baku

Mutu Kebisingan Untuk Perumahan Dan Pemukiman

Lisa, Schlein. 2008. Study Finds Early Breastfeeding Can Save Babies’ Lives.

Availabel: http://smartparent.wordpress.com/category/asi/page/9/. Diakses 28,

juni 2012

Manuaba. A. 1998. Bunga Rampai Ergonomi Vol 11. Program Studi Ergonomi

Fisiologi Kerja Universitas Udayana,

Marfu’ah, Umi. 2007. Ergonomi Cegah Terjadinya Penyakit Akibat Kerja. Majalah

KATIGA, Bisnis, K3

Mauludi, Noval. 2010. Factor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Pada

Pekerja Diproses Produksi Kantong Semen PBD (Paper Bag Devision)

PT.Indocement Tunggal Prakasa Tbk Citeureup Bogor. UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

Miligan, RA., Flenniken,PM.,& Pugh,LC. 1996. Positioning intervention to minimize

fatigue in breastfeeding women. Applied Nursing Research, Vol.9 no.2

(May).1996 : pp.67-70

Notoatmodjo, Soekidjo. 1997. Prinsip-Prinsip Dasar Kesehatan Masyarakat. Jakarta:

PT. Rineka Cipta

Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka

Cipta

Nugraha, Ika. 2010. Hubungan Derajat Berat Merokok Berdasarkan Indeks

Brinkman Dengan Derajat Berat PPOK. Akper Patria Husada Surakarta.

Available:

http://stikespku.ac.id/ejournal/index.php/profesi/article/download/15/13

Nurhidayati, Puti. 2009. Hubungan Antara Penerapan Shift Kerja Dengan Kelelahan

Kerja Pada Pekerja Dibagian Produksi PT.TIFICO, TBK. UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

Nurmianto, Eko. 2003. Ergonomi Konsep Dasar Dan Aplikasinya. Surabaya: Guna

Widya

Oentoro, S. 2004. Kampanye Atasi Kelelahan Mental Dan Fisik. Jakarta: UI Press

Parubak,Byzantine Wulandari, 2011, Hubungan Antara Kurangnya Aktivitas Fisik

Tubuh Terhadap Resiko Osteoporosis Pada Waktu Usia 45-65 Tahun

Dirumah Sakit Undata Palu.Universitas Tadulako

Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif

Pheasant, Stephen. 1991. Ergonomics, Work and health. Gaithersburg. Maryland

Preal Madic. 2011. Waspada Kelelahan Akibat Bekerja. Availabel:

http://www.mutiaramedicalservice.com/index.php?option=com_content&vie

w=article&id=71. diakses pada tanggal 22 Januari 2013

Roesli, Utami. 2000. Mengenal ASI Eksklusif . Jakarta: PT Niaga Swadaya

Roesli, Utami. 2009. Panduan Praktis Menyusui. Jakarta: Pustaka Bunda. Cet. I

Rohman, Abdul. 2012. Program Laktasi Intervensi Dalam Upaya Meningkatkan

Durasi Dan Mengurangi Kelelahan Saat Menyusui. Malang: Fakultas

Kedokteran Universitas Brawijaya

Safitri, Dian Sustana. 2008. Hubungan Antara Pola Kerja Dengan Kelelahn Kerja

Pada Karyawan Perusahaan Migas X Kalimantan Timur. Skripsi Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Saswita. Dewi. 2006. Analisis Tingkat Kelelahan Pada Pekerja Shift Di PT “X”

Citereup- Bogor. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Indonesia

Sedarmayanti. 2009. Tata Kerja Dan Produktiitas Kerja. Bandung: Mandar Maju

Setyawati, Ely. 2001. Identifikasi Factor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat

Kelelahan Kerja Pada Tenaga Kerja Wanita Bagian Produksi Jahit Garmen

PT.Billion Jakarta Pusat. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Indonesia

Silastuti, Ambar. 2006. Hubungan Antara Kelelahan Dengan Produktivitas Tenaga

Kerja Di Bagian Penjahitan Pt Bengawan Solo Garment Indonesia.

Uneversitas Negri Semarang.

Sisinta, Tiaraima. 2005. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Pada

Pekerja Di Departemen Weaving PT.ISTEM Tangerang. Skripsi Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Soeripto. 1989. Ergonomi Dan Produktifitas Kerja. Majalah Hiperkes Dan

Keselamatan Kerja. Vol XXII No. 1

Soetjiningsih. 1997. Seri Gizi Klinik, ASI:Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Cetakan I (Ed)

Suma’mur PK. 1999. Ergonomi Untuk Produktivitas Kerja. Jakarta: CV Haji

Masagung

Suma’mur. 1981, 1996. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta:

PT. Toko Gunung Agung

Suma’mur. 1989. Ergonomi untuk Produktivitas Kerja. Jakarta: Haji Mas Agung

Suma’mur. 1995. Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Gunung

Agung

Suryani. 2012. Manurung, Program Laktasi Intervensi Dalam Upaya Meningkatkan

Durasi Dan Mengurangi Kelelahan Saat Menyusui. Diambil dari

www.fik.ui.ac.id/pkko/files/tugas%20sim%20ppko.Doc. Diakses 28juni 2012

Tarwaka, Solichul, Bakri, Lilik Sudiajeng. 2004. Ergonomi Untuk Kesehatan Kerja

Dan Produktivitas. Surakarta: UNIBA Press.

Umyati. 2010. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Kerja Pada

Pekerja Penjahit Sector Usaha Informal Di Wilayah Ketapang Cipondoh

Tangerag Tahun 2009. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Victorian, 1985. Manual Handling. Melbourne. Vic 3000

Virgi, Sulistya. 2011, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Kerja

Pada Karyawan Di Instalasi Gizi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar

Rebo Jakarta. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Widodo, Ariani Dewi. 2011. Posisi Menyusui yang Nyaman Bagi Ibu dan Buah Hati.

Available: http://www.tanyadok.com/anak/posisi-menyusui-yang-nyaman-

bagi-ibu-dan-buah-hati. Diakses pada tanggal 16 Januari 2013 pukul 11.40

World Health Organization. 1991.Indicators for Assessing Breastfeeding Practices

Devision of Child Healt and Development, Geneva.

Lampiran 1: Pernyataan Persetujuan Menjadi Responden Penelitian

PENYATAAN PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Saya mahasiswa S1 Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Program Studi

Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan penelitian tentang “Faktor-Faktor Yang

Berhubungan Dengan Terjadinya Kelelahan Pada Ibu Menyusui ≤ 6 Bulan Di Kelurahan

Pisangan Ciputat Timur Tahun 2013”. Penelitian ini saya lakukan sebagai syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sehubungan dengan hal tersebut, saya meminta kesediaan Ibu untuk menjadi responden

dalam penelitian ini dimana akan diberikan kuesioner dan dilakukan observasi serta wawancara

mendalam terkait dengan aktivitas menyusui ibu. Semua informasi yang Ibu berikan dan peneliti

amati akan terjamin kerahasiaannya. Setelah Ibu membaca maksud dan kegiatan penelitian ini,

maka saya meminta Ibu untuk mengisi nama dan tanda tangan di bawah ini.

“Saya yang bertanda tangan di bawah ini bersedia menjadi responden pada penelitian ini dan

akan memberikan informasi yang diminta dengan sebenar-benarnya”.

Nama: ____________________________________________________________________

Tanda Tangan:

____________________________________________________________________

Atas kesediaan dan partisipasi Ibu, saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh

Ciputat, ______________2013

Hormat Saya,

Liazul Kholifah

Posyandu

No. Responden

Tanggal Pengumpulan Data: dd/mm/yyyy

Lampiran 2: Instrumen Penelitian

KUESIONER PENELITIAN

Pertanyaan 1

A. Informasi Umum Responden

A.1 Posisi yang digunakan ibu saat menyusui:

1) Duduk (Lanjut) 2) Berbaring (Selesai)

A.2 Apakah saat ini Ibu bekerja?

1) Iya (Selesai) 2) Tidak (Lanjut)

A.3 Nama Ibu : _______________________________

A.4 Tanggal Lahir Ibu : __ __ / __ __ / __ __ __ __

A.5 Tanggal Lahir Bayi : __ __ / __ __ / __ __ __ __

A.6 Bayi adalah anak ke- : __

A.7 Alamat : _________________________________

_________________________________

A.8 No. Telp./Hp : ________________________

B. Informasi Aktivitas Menyusui

B.1 Berapa kali Ibu menyusui dalam sehari: __ __ kali 99. Lupa/Tidak tahu

B.2 Jika saat ini, sudah berapa kali Ibu menyusui? __ __ kali 99. Lupa/Tidak tahu

B.3 Berapa lama Ibu menyusui dalam sehari per menyusui: __ __ menit 99. Lupa/Tidak tahu

C. Apa saja aktivitas Ibu sebelum menyusui saat ini? (Bacakan pilihan jawaban dan jawaban boleh lebih dari

satu)

No. Aktivitas Ya Tidak

C.1 Mencuci dengan tangan 1 2

C.2 Mencuci dengan mesin cuci 1 2

C.3 Menjemur pakaian 1 2

C.4 Memasak 1 2

C.5 Mengepel lantai 1 2

C.6 Menyapu lantai 1 2

C.7 Membersihkan halaman 1 2

C.8 Membereskan peralatan 1 2

C.9 Membersihkan rumah dengan banyak menggunakan tangan 1 2

C.10 Membuang sampah 1 2

C.11 Berkebun 1 2

C.12 Mengelap kaca jendela 1 2

C.13 Nonton TV 1 2

C.14 Mengantarkan anak ke sekolah dengan berjalan kaki 1 2

C.15 Mengantarkan anak ke sekolah dengan bersepeda 1 2

A1 ( )

A2 ( )

A4 ( )

A5 ( )

A6 ( )

B1 ( )

B2 ( )

B3 ( )

C1 ( )

C2 ( )

C3 ( )

C4 ( )

C5 ( )

C6 ( )

C7 ( )

C8 ( )

C9 ( )

C10 ( )

C11 ( )

C1l2( )

C13 ( )

C14 ( )

Posyandu

No. Responden

Tanggal Pengumpulan Data: dd/mm/yyyy

C.16 Bersosialisasi dengan tetangga sekitar 1 2

C.17 Mengikuti kegiatan di masyarakat 1 2

C.18 Lainnya, sebutkan ___________________ 1 2

D. Bagian ini tentang aktivitas fisik yang ibu lakukan dalam 7 hari terkhir di dalam dan di sekitar rumah,

seperti pekerjaan rumah tangga, pekerjaan berkebun di halaman, pekerjaan pemeliharaan umum, dan

merawat keluarga ibu.

D.1 Pikirkan hanya aktivitas fisik yang ibu lakukan selama setidaknya 10 menit pada suatu waktu.

Selama 7 hari terakhir, berapa hari ibu melakukan kegiatan fisik yang kuat seperti angkat

berat, memotong kayu, menyekop tanah/pasir, atau menggali di taman atau halaman?

_____ Hari per minggu

99. Tidak ada aktivitas yang berat di kebun atau halaman pertanyaan D.3.3

D.2 Berapa banyak waktu yang biasanya ibu habiskan pada salah satu dari hari-hari melakukan

kegiatan fisik yang kuat di kebun atau halaman?

_____ Jam per hari

_____ Menit per hari

D.3 Sekali lagi, pikirkan hanya aktivitas fisik yang ibu lakukan selama setidaknya 10 menit pada

suatu waktu. Selama 7 hari terakhir, berapa hari ibu melakukan aktivitas sedang seperti

membawa beban ringan, menyapu, mencuci jendela, dan menyapu di taman atau halaman?

_____ Hari per minggu

99. Tidak ada aktivitas sedang di kebun atau halaman pertanyaan D.3.5

D.4 Berapa banyak waktu yang biasanya ibu habiskan pada salah satu dari hari-hari melakukan

aktivitas fisik sedang di kebun atau halaman?

_____ Jam per hari

_____ Menit per hari

D.5 Sekali lagi, pikirkan hanya aktivitas fisik yang ibu lakukan selama setidaknya 10 menit pada

suatu waktu. Selama 7 hari terakhir, berapa hari ibu melakukan aktivitas sedang seperti

membawa beban ringan, mencuci jendela, menyikat lantai dan menyapu di dalam rumah ibu?

_____ Hari per minggu

99. Tidak ada aktivitas sedang di dalam rumah pertanyaan E1

D.6 Berapa banyak waktu yang Anda biasanya menghabiskan pada salah satu dari hari-hari

melakukan aktivitas fisik sedang dalam rumah ibu?

_____ Jam per hari

_____ Menit per hari

E. Status Merokok

E.1 Apakah Ibu pernah merokok?

1) Ya 2) Tidak, pertanyaan F1

C15 ( )

C16 ( )

C17 ( )

C18( )

D.1 ( )

D.2 ( )

D.3 ( )

D.4 ( )

D.5 ( )

D.6 ( )

E1 ( )

Posyandu

No. Responden

Tanggal Pengumpulan Data: dd/mm/yyyy

E.2 Jika iya, kapan terakhir kali Ibu merokok?

1) Hari ini 4) 1 tahun yang lalu

2) 1 minggu yang lalu 5) Lupa/Tidak tahu

3) 1 bulan yang lalu

E.3 Berapa batang rokok yang Ibu hisap setiap harinya? __ __ batang/hari 99. Lupa/Tidak tahu

E.4 Sejak umur berapa Ibu mulai merokok? __ __ tahun

F. Kelelahan

F.1 Pelemahan Kegiatan

No. Pertanyaan TP KK S SS

F.1 Apakah Ibu merasa berat di bagian kepala setelah

menyusui? 1 2 3 4

F.2 Apakah Ibu merasa lelah pada seluruh badan setelah

menyusui? 1 2 3 4

F.3 Apakah kaki Ibu merasa berat setelah menyusui? 1 2 3 4

F.4 Apakah Ibu menguap setelah menyusui? 1 2 3 4

F.5 Apakah pikiran Ibu terasa kacau setelah menyusui? 1 2 3 4

F.6 Apakah Ibu menjadi mengantuk setelah menyusui? 1 2 3 4

F.7

Apakah Ibu merasa ada beban pada mata (sakit di sekitar

mata, rasa berat pada kelopak mata, mata berair, penglihatan

kabur) setelah menyusui?

1 2 3 4

F.8 Apakah Ibu merasa canggung atau kaku dalam gerakan

setelah menyusui? 1 2 3 4

F.9 Apakah Ibu merasa sempoyongan/berdirinya tidak stabil

setelah menyusui? 1 2 3 4

F.10 Apakah Ibu ada perasaan ingin berbaring setelah menyusui? 1 2 3 4

F.2 Pelemahan Motivasi (Kesulitan Berkonsentrasi)

No. Pertanyaan TP KK S SS

F.1 Apakah Ibu merasa susah berpikir setelah menyusui? 1 2 3 4

F.2 Apakah Ibu merasa lelah berbicara setelah menyusui? 1 2 3 4

F.3 Apakah Ibu menjadi gugup setelah menyusui? 1 2 3 4

F.4 Apakah Ibu tidak bisa berkonsentrasi setelah menyusui? 1 2 3 4

F.5 Apakah Ibu tidak bisa memusatkan perhatian terhadap

sesuatu setelah menyusui? 1 2 3 4

F.6 Apakah Ibu mempunyai kecenderungan untuk lupa setelah

menyusui? 1 2 3 4

F.7 Apakah Ibu merasa kurang percaya diri setelah menyusui? 1 2 3 4

E2 ( )

E3 ( )

E4 ( )

F1 ( )

F2 ( )

F3 ( )

F4 ( )

F5 ( )

F6 ( )

F7 ( )

F8 ( )

F9 ( )

F10 ( )

F1 ( )

F2 ( )

F3 ( )

F4 ( )

F5 ( )

F6 ( )

Posyandu

No. Responden

Tanggal Pengumpulan Data: dd/mm/yyyy

F.8 Apakah Ibu merasa cenderung untuk membuat kesalahan

setelah menyusui? 1 2 3 4

F.9 Apakah Ibu merasa tidak bisa mengontrol sikap setelah

menyusui? 1 2 3 4

F.10 Apakah Ibu merasa tidak berenergi setelah menyusui? 1 2 3 4

F.3 Kelelahan Fisik

No. Pertanyaan TP KK S SS

F.1 Apakah Ibu merasa sakit kepala setelah menyusui? 1 2 3 4

F.2 Apakah Ibu merasa kaku di bagian bahu setelah menyusui? 1 2 3 4

F.3 Apakah Ibu merasa nyeri di punggung setelah menyusui? 1 2 3 4

F.4 Apakah nafas Ibu terasa tertekan setelah menyusui? 1 2 3 4

F.5 Apakah Ibu merasa sangat haus setelah menyusui? 1 2 3 4

F.6 Apakah suara Ibu terasa serak setelah menyusui? 1 2 3 4

F.7 Apakah Ibu merasa pening setelah menyusui? 1 2 3 4

F.8 Apakah kelopak mata Ibu terasa kaku setelah menyusui? 1 2 3 4

F.9 Apakah anggota badan Ibu terasa bergetar setelah

menyusui? 1 2 3 4

F.10 Apakah Ibu merasa kurang sehat setelah menyusui? 1 2 3 4

F7 ( )

F8 ( )

F9 ( )

F10 ( )

F1 ( )

F2 ( )

F3 ( )

F4 ( )

F5 ( )

F6 ( )

F7 ( )

F8 ( )

F9 ( )

F10 ( )

LEMBAR OBSERVASI

1. Lakukan “Reaction Timer Test” dan hasilnya masukkan ke dalam tabel berikut:

Rangsangan Waktu

Selisih Waktu Pengumpul Data Responden

1

2

3

4

5

Rata-rata

Posyandu

No. Responden

Tanggal Pengumpulan Data: dd/mm/yyyy

HASIL PENGUKURAN LANGSUNG

Faktor yang Diukur Hasil

Pengukuran

Tinggi Badan Ibu (cm)

Berat Badan Ibu (kg)

Indeks Massa Tubuh (IMT) Ibu

Berat Badan Bayi (kg)

Kebisingan (dB)

Suhu (oC)

Pencahayaan (Lux)

ANALISIS SETELAH PENGUMPULAN DATA

1. Skor Kelelahan:

a. Subjektif: __ __ __

b. Objektif: __ __ __

2. Berdasarkan skor kelelahan tersebut, maka tingkat kelelahan Ibu setelah menyusui adalah:

a. Subjektif:

1) Ringan

2) Sedang

3) Berat

b. Objektif:

1) Ringan

2) Sedang

3) Berat

3. Skor RULA: __ __

4. Dari skor RULA tersebut, maka level risiko Ibu saat menyusui dengan posisi duduk adalah:

1) Minimum: Skor 1-2

2) Kecil: Skor 3-4

3) Sedang: Skor 5-6

4) Tinggi: Skor 7

Posyandu

No. Responden

Tanggal Pengumpulan Data: dd/mm/yyyy

Lampiran 3: Contoh Analisis RULA

Langkah-langkah penilaian postur duduk ibu saat menyusui dengan metode RULA:

1. Diambil gambar postur duduk ibu saat menyusui melalui video.

2. Video yang telah direkam, kemudian dijadikan gambar-gambar sesuai dengan postur yang

diinginkan untuk dianalisis.

3. Ditentukan sudut-sudut bagian tubuh yang terbentuk dari postur duduk ibu saat menyusui

tersebut.

4. Ditentukan skor masing-masing bagian tubuh berdasarkan sudut yang dibentuk dan

ketentuan skor pada masing-masing bagian tubuh.

5. Skor tubuh grup A ditambahkan dengan skor aktivitas dan beban kemudian hasil

penjumlahannya dimasukkan ke dalam tabel C. Begitu juga dengan skor tubuh grup B

ditambahkan dengan skor aktivitas dan beban kemudian hasil penjumlahannya dimasukkan

ke dalam tabel C.

6. Diperoleh skor akhir RULA.

Contoh pada gambar di atas:

1. Skor Tubuh Grup A

a. Postur Lengan Atas

Sudut yang dibentuk adalah sebesar 35 derajat, sehingga skor untuk postur lengan atas

adalah 2.

b. Postur Lengan Bawah

Sudut yang dibentuk adalah sebesar 105 derajat, sehingga skor untuk postur lengan

bawah adalah 2.

c. Postur Pergelangan Tangan

Sudut yang dibentuk adalah sebesar 30 derajat dan menjauhi sisi tengah sehingga skor

untuk postur pergelangan tangan adalah 2 + 1 = 3

d. Putaran Pergelangan Tangan

Putaran pergelangan tangan ibu pada gambar di atas adalah dekat dari putaran, sehingga

skor untuk putaran pergelangan tangan adalah 2.

Masing-masing skor postur tubuh di atas dimasukkan ke dalam tabel A, yaitu sebagai

berikut:

Skor lengan atas

Skor lengan bawah

Skor pergelangan

tangan

Skor putaran

pergelangan tangan

Skor tubuh grup A gambar di atas adalah 4. Skor tersebut kemudian ditambahkan dengan

skor aktivitas dan skor beban.

a. Skor aktivitas untuk gambar di atas adalah 1 karena postur saat menyusui adalah merupakan

postur statis.

b. Skor beban pada gambar di atas adalah 2 karena berat beban objek adalah 4,54 kg dan postur

statis serta dilakukan berulang-ulang.

Jadi, skor tubuh grup A + skor aktivitas + skor beban = 4 + 1 + 2 = 7

2. Skor Tubuh Grup B

a. Postur Leher

Sudut yang dibentuk adalah sebesar 25 derajat dan leher menekuk, sehingga skor untuk

postur leher adalah 3 + 1 = 4

b. Postur Batang Tubuh

Sudut yang dibentuk adalah sebesar 0 derajat dan tidak terdapat sandaran. Selain itu,

posisi punggung ibu membungkuk, sehingga skor untuk postur batang tubuh adalah 2 + 1

= 3.

c. Postur Kaki

Kaki ibu pada gambar di atas berada pada posisi normal, sehingga skor untuk postur kaki

adalah 1.

Masing-masing skor postur tubuh di atas dimasukkan ke dalam tabel A, yaitu sebagai

berikut:

Skor tubuh grup A gambar di atas adalah 6. Skor tersebut kemudian ditambahkan dengan

skor aktivitas dan skor beban.

Skor leher

Skor batang

tubuh

Skor kaki

a. Skor aktivitas untuk gambar di atas adalah 1 karena karena postur saat menyusui adalah

merupakan postur statis.

b. Skor beban pada gambar di atas adalah 2 karena berat beban objek adalah 4,54 kg dan postur

statis serta dilakukan berulang-ulang.

Jadi, skor tubuh grup A + skor aktivitas + skor beban = 6 + 1 + 2 = 9

Skor A dan Skor B dimasukkan ke dalam tabel C berikut:

Diperoleh skor akhir RULA gambar di atas adalah 7, sehingga responden pada gambar di

atas berada pada level risiko tinggi dan dibutuhkan tindakan sekarang juga untuk mengurangi

risiko dan meminimalisir akibat dari risiko lebih lanjut.

Skor A

Skor B

Lampiran 4 : Output Olahan Analisis Univariat dan Bivariat

SCORES

+1 +2

+3 +4

+2 +

RULA Employee Assessment Worksheet based on RULA: a survey method for the investigation of work-related upper limb disorders, McAtamney & Corlett, Applied Ergonomics 1993, 24(2), 91-99

Wrist Twist Score

+3 +4 +1 +2

Step 9: Locate Neck Position: Step 9a: Adjust… If neck is twisted: +1 If neck is side bending: +1 Step 10: Locate Trunk Position:

Step 10a: Adjust… If trunk is twisted: +1 If trunk is side bending: +1

Step 11: Legs: If legs and feet are supported: +1 If not: +2

Step 12: Look-up Posture Score in Table B: Using values from steps 9-11 above, locate score in Table B

Step 13: Add Muscle Use Score If posture mainly static (i.e. held>10 minutes), Or if action repeated occurs 4X per minute: +1 Step 14: Add Force/Load Score If load < .4.4 lbs (intermittent): +0 If load 4.4 to 22 lbs (intermittent): +1 If load 4.4 to 22 lbs (static or repeated): +2 If more than 22 lbs or repeated or shocks: +3 Step 15: Find Column in Table C Add values from steps 12-14 to obtain Neck, Trunk and Leg Score. Find Column in Table C.

+1 +2

Add +1

+1 +2 +3 Add +1

A. Arm and Wrist Analysis B. Neck, Trunk and Leg Analysis

Step 1: Locate Upper Arm Position: Step 1a: Adjust… If shoulder is raised: +1 If upper arm is abducted: +1 If arm is supported or person is leaning: -1 Step 2: Locate Lower Arm Position: Step 2a: Adjust… If either arm is working across midline or out to side of body: Add +1 Step 3: Locate Wrist Position:

Step 3a: Adjust… If wrist is bent from midline: Add +1 Step 4: Wrist Twist: If wrist is twisted in mid-range: +1 If wrist is at or near end of range: +2 Step 5: Look-up Posture Score in Table A: Using values from steps 1-4 above, locate score in Table A Step 6: Add Muscle Use Score If posture mainly static (i.e. held>10 minutes), Or if action repeated occurs 4X per minute: +1

Step 7: Add Force/Load Score If load < .4.4 lbs (intermittent): +0 If load 4.4 to 22 lbs (intermittent): +1 If load 4.4 to 22 lbs (static or repeated): +2 If more than 22 lbs or repeated or shocks: +3

Step 8: Find Row in Table C Add values from steps 5-7 to obtain Wrist and Arm Score. Find row in Table C.

Upper Arm Score

Lower Arm Score

Wrist Score

Posture Score A

Muscle Use Score

Force/Load Score

Wrist & Arm Score

+1 +2 +3

+4

Posture Score B

Force/Load Score

Neck, Trunk & Leg Score

Muscle Use Score

Neck Score

Trunk Score

Leg Score

Final Score

Scoring: (final score from Table C) 1 or 2 = acceptable posture 3 or 4 = further investigation, change may be needed 5 or 6 = further investigation, change soon 7 = investigate and implement change

Task name: ________________________________ Reviewer:__________________________ Date: _______/_____/_____ provided by Practical Ergonomics

This tool is provided without warranty. The author has provided this tool as a simple means for applying the concepts provided in RULA . © 2004 Neese Consulting, Inc [email protected] (816) 444-1667

Table A: Wrist Posture Score 1 2 3 4

Upper Arm

Lower Arm

Wrist Twist

Wrist Twist

Wrist Twist

Wrist Twist

1 2 1 2 1 2 1 2

1 1 1 2 2 2 2 3 3 3 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 4 4

2 1 2 3 3 3 3 4 4 4 2 3 3 3 3 3 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 5 5

3 1 3 3 4 4 4 4 5 5 2 3 4 4 4 4 4 5 5 3 4 4 4 4 4 5 5 5

4 1 4 4 4 4 4 5 5 5 2 4 4 4 4 4 5 5 5 3 4 4 4 5 5 5 6 6

5 1 5 5 5 5 5 6 6 7 2 5 6 6 6 6 7 7 7 3 6 6 6 7 7 7 7 8

6 1 7 7 7 7 7 8 8 9 2 8 8 8 8 8 9 9 9 3 9 9 9 9 9 9 9 9

Table B: Trunk Posture Score Neck 1 2 3 4 5 6

Posture Legs Legs Legs Legs Legs Legs

Score 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

1 1 3 2 3 3 4 5 5 6 6 7 7

2 2 3 2 3 4 5 5 5 6 7 7 7

3 3 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 7

4 5 5 5 6 6 7 7 7 7 7 8 8

5 7 7 7 7 7 8 8 8 8 8 8 8

6 8 8 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9

1 2 3 4 5 6 7+ 1 1 2 3 3 4 5 5

2 2 2 3 4 4 5 5 3 3 3 3 4 4 5 6 4 3 3 3 4 5 6 6 5 4 4 4 5 6 7 7 6 4 4 5 6 6 7 7 7 5 5 6 6 7 7 7

8+ 5 5 6 7 7 7 7

Table C: Neck, trunk and leg score

Wris

t an

d Ar

m S

core