ANANTIKA ANNISA-FKIK.pdf
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
6 -
download
0
Transcript of ANANTIKA ANNISA-FKIK.pdf
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN
ERITROSIN DAN RHODAMIN B PADA PANGAN JAJANAN ANAK
SEKOLAH YANG DIJUAL OLEH PEDAGANG DI SDN SEKELURAHAN
PONDOK BENDA TAHUN 2015
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat (SKM)
Anantika Anissa
1111101000068
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015 M/ 1437 H
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, Desember 2015
ANANTIKA ANISSA, NIM: 1111101000068
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN
ERITROSIN DAN RHODAMIN B PADA PANGAN JAJANAN ANAK
SEKOLAH YANG DIJUAL OLEH PEDAGANG DI SDN SEKELURAHAN
PONDOK BENDA TAHUN 2015
(xvii + 133 halaman, 27 tabel, 3 bagan, 5 lampiran)
ABSTRAK
Pangan jajanan dapat menjadi sumber asupan gizi dan energi bagi siswa
saat berada di sekolah oleh karena itu keamanan pangan jajanan sangat penting
namun masih ditemukan pangan jajanan yang tidak aman karena mengandung
bahan berbahaya, dalam hal ini pedagang pangan jajanan memiliki peranan yang
penting. Uji pendahuluan di 3 sekolah yaitu SDN Pondok Benda II, SDN Pondok
Benda III dan SDN Pondok Benda VI pada 3 pedagang PJAS, terdapat satu
pedagang dengan sampel pangan jajanan es merah yang mengandung Rhodamin
B. Kemudian pada pedagang lainnya ditemukan Eritrosin pada sampel minuman
merah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan anak sekolah
yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross
sectional. Populasi penelitian adalah seluruh pedagang pangan jajanan anak
sekolah SDN di Sekelurahan Pondok Benda yang berjumlah 34 orang dan sampel
dipilih dengan metode sampel jenuh dengan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu.
Analisis data dilakukan dengan dua cara yaitu univariat dan bivariat. Univariat
dilakukan dengan menampilkan tabel distribusi dan persentase dari setiap variabel
dan bivariat dilakukan dengan penguji Chi Square dengan nilai .
Hasil penelitian menunjukan 13,3% pangan jajanan anak sekolah
mengandung Eritrosin dan 13,3% lainya mengandung Rhodamin B serta tidak ada
hubungan yang signifikan antara pengetahuan, sikap, keterampilan, aksesibilitas,
peraturan sekolah, pengaruh sesama pedagang, pembinaan pengawasan petugas
kesehatan dan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada
pangan jajanan anak sekolah. Disarankan kepada Dinas Kesehatan Tangerang
Selatan untuk meningkatkan pengawasan dan pembinaan pada pedagang pangan
jajanan anak sekolah dan kepada pihak sekolah untuk menetapkan kebijakan dan
peraturan mengenai keamanan pangan jajanan anak sekolah.
Kata Kunci: Eritrosin, Rhodamin B, Pangan Jajanan Anak Sekolah, Perilaku
Daftar Bacaan: 92 (1990-2015)
iv
ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH
DEPARTMENT OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Undergraduate Thesis, December 2015
ANANTIKA ANISSA, NIM: 1111101000068
FACTORS ASSOCIATED TO THE USE OF ERYTHROSINE AND
RHODAMIN B ON STREET FOOD THAT SOLD BY VENDORS AT
ELEMENTARY SCHOOLS IN PONDOK BENDA VILLAGE, 2015 (xvii + 133 pages, 27 tables, 3 charts, 5 attachments)
ABSTARCT
Street food can be a source of nutrition and energy for students while
undergoing the learning activities in schools therefore street food safety is very
important although there are within cases of unsafe street food because of
hazardous materials, in this case vendors have an important role. Based on
preliminary test results over 3 schools, which are SDN Pondok Benda II, SDN
Pondok Benda III and SDN Pondok Benda VI to 3 vendors, there is a vendor with
street food samples (red ice syrup) containing Rhodamine B. Later, on other
vendor found Erythrosine on red beverage samples. The purpose of this study was
to determine the factors that related to the use of Erythrosine and Rhodamine B on
street food that sold by vendors at elementary schools in Pondok Benda village,
2015.
This is a quantitative research with cross sectional study design. The
population is all the street food vendors in elementary school of Pondok Benda
which amounts to 34 people, and samples selected by total sampling method with
the specific inclusion and exclusion criteria. Data analysis was done in two ways,
univariate and bivariate. Univariate done by displaying the distribution table and
the percentage of each variable and bivariate performed with Chi Square test with
a value of α = 0.05.
The results showed that 13.3% street food containing Erythrosine and the
other 13.3% street food containing Rhodamine B. There are no significant
correlation between knowledge of the vendor, attitude of the vendor, skills of the
vendor, accessibility in obtaining dyes, school rules, influence of fellow vendor,
guidance and supervision of health workers and school to the practice of using
Erythrosine and Rhodamine B on street food. Thus it can be recommendation to
Health Department of South Tangerang to improve guidance and supervision on
street food and to the school principal to establish policies and regulations
regarding the safety of street food.
Keywords: Erythrosine, Rhodamine B, Street Food, Behavior
References: 92 (1990-2015)
vii
Nama Lengkap : Anantika Anissa
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 29 Juni 1993
Alamat : Reni Jaya Jl. Maluku VIII Blok Q No.4, Pamulang
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Golongan Darah : O
No. Handphone : 0857 75305303
E-mail : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
2011-Sekarang : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2008-2011 : SMAN 3 Kota Tangerang Selatan
2005-2008 : SMPN 4 Kota Tangerang Selatan
1999-2005 : SDN Pondok Benda II
1998 : TK Cahaya Agung
PENGALAMAN KERJA
2014 : Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas Ciputat Timur
2014 : Orientasi Kerja di RS ANTAM
2015 : Praktek Kerja di Kantor Kesehatan Pelabuhan Soekarno Hatta
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini dengan baik.
Penulisan laporan skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Laporan ini ditulis untuk
memberikan keterangan terkait seluruh proses pembuatan skripsi yang berjudul
“Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin
B Pada Pangan Jajanan Anak Sekolah Yang Dijual Oleh Pedagang Di SDN
Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015”.
Dalam proses penyelesaian laporan ini penulis mendapatkan bantuan serta
dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh sebab itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Mamah Vonny, Kak Putra dan Kak Aria yang selalu mendoakan, memberikan
dukungan moril maupun materil dan kasih sayang serta Alm. Papah Chandra
yang pastinya juga selalu mendoakan;
2. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan;
3. Ibu Fajar Arianti, Ph.D selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat;
4. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku dosen pembimbing skripsi I yang
telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan,
dukungan, kritik dan saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi;
5. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS selaku dosen pembimbing skripsi II yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dukungan,
kritik dan saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi;
6. Bapak Dr. M. Farid Hamzens, M.Si selaku dosen penguji skripsi I yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, kritik dan
saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi;
7. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku dosen penguji skripsi II yang
telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, kritik dan
saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi;
ix
8. Ibu Dra. Raiyan, MKM, Apt selaku dosen penguji skripsi III yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, kritik dan
saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi;
9. Ibu Dr. Iting Shofwati, ST, M.KKK selaku dosen pembimbing akademik yang
memantau perkembangan akademik penulis dan memberikan pengarahan
selama masa kuliah;
10. Bapak Azib selaku staf program studi kesehatan masyarakat yang membantu
persiapan sidang proposal dan sidang skripsi;
11. Teman-teman peminatan kesehatan lingkungan angkatan 2011 (Ila, Cepol,
Inu, Rois, Shela, Betti, Niken, Onoy, Pewe, Hari, Chandra, Ayu, Awal,
Sarjeng, Lifi, Almen, Eka, Ukhfi, Ika, Ikoh, Mbak Feela, Epri dan Rahmatika)
yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan;
12. Adik-adik peminatan kesehatan lingkungan angkatan 2012 dan 2013 yang
selalu mendoakan dan memberikan dukungan;
13. Teman-teman program studi kesehatan masyarakat angkatan 2011 yang selalu
mendoakan dan memberikan dukungan;
14. Kak Anis selaku laboran di laboratorium kesehatan lingkungan yang
membantu dalam pengujian penelitian;
15. Ninoy dan Mbak Inten yang selalu mendoakan dan mendukung;
16. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan ini
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Pada penulisan laporan ini penulis menyadari masih terdapat kekurangan
yang harus diperbaiki, mengingat keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Untuk
itu kritik dan saran sangat diharapkan demi penyempurnaan pembuatan laporan
ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat. Aamiin.
Jakarta, Desember 2015
Penulis
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................... Error! Bookmark not defined.
ABSTRAK ............................................................................................................. iii
ABSTARCT ........................................................................................................... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN ........................ Error! Bookmark not defined.
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI .................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ................................................ Error! Bookmark not defined.
KATA PENGANTAR.......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv
DAFTAR BAGAN ............................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 7
1.3 Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 8
1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 10
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................. 10
1.4.2 Tujuan Khusus................................................................................. 10
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................... 12
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 14
2.1 Pewarna Pangan ........................................................................................ 14
2.1.1 Pengertian Pewarna Pangan ............................................................ 14
2.1.2 Tujuan Penambahan Pewarna Pangan ............................................. 14
2.1.3 Jenis Pewarna Pangan ..................................................................... 14
2.1.4 Pewarna Yang Dizinkan Pada Pangan ............................................ 22
2.1.5 Pewarna Yang Tidak Dizinkan Pada Pangan .................................. 23
2.2 Eritrosin .................................................................................................... 24
2.3 Rhodamin B .............................................................................................. 27
2.4 Dampak Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ..................................... 30
xi
2.4.1 Hiperaktivitas .................................................................................. 30
2.4.2 Kanker ............................................................................................. 32
2.5 Pangan Jajanan Anak Sekolah .................................................................. 34
2.5.1 Pengertian Pangan Jajanan Anak Sekolah ...................................... 34
2.5.2 Jenis Pangan Jajanan Anak Sekolah ............................................... 34
2.6 Keamanan Pangan .................................................................................... 35
2.7 Kasus-Kasus Penggunaan Pewarna Sintetik............................................. 38
2.8 Perilaku ..................................................................................................... 50
2.8.1 Predisposisi (Predisposing) ............................................................. 51
2.8.2 Pemungkin (Enabling) .................................................................... 56
2.8.3 Penguat (Reinforcing) ..................................................................... 57
2.9 Kerangka Teori ......................................................................................... 61
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................. 62
3.1 Kerangka Konsep ..................................................................................... 62
3.2 Definisi Operasional ................................................................................. 65
3.3 Hipotesis ................................................................................................... 67
BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 68
4.1 Desain Penelitian ...................................................................................... 68
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................. 68
4.3 Populasi dan Sampel ................................................................................. 68
4.3.1 Populasi ........................................................................................... 68
4.3.2 Sampel ............................................................................................. 69
4.4 Sumber Data Penelitian ............................................................................ 71
4.4.1 Data Primer ..................................................................................... 71
4.4.2 Data Sekunder ................................................................................. 72
4.5 Instrumen Penelitian ................................................................................. 72
4.6 Cara Pengumpulan Data ........................................................................... 74
4.6.1 Wawancara ...................................................................................... 74
4.6.2 Uji Laboratorium ............................................................................. 75
4.7 Pengolahan Data ....................................................................................... 78
4.8 Analisis Data ............................................................................................ 81
xii
4.8.1 Univariat .......................................................................................... 81
4.8.2 Bivariat ............................................................................................ 81
BAB V HASIL ...................................................................................................... 83
5.1 Analisis Univariat ..................................................................................... 83
5.2.1 Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B .......................................... 83
5.2.2 Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan Tentang Pewarna ............. 84
5.2.3 Sikap Pedagang Pangan Jajanan Terhadap Penggunaan Pewarna .. 84
5.2.4 Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan ......................................... 85
5.2.5 Aksesibilitas Pedagang Pangan Jajanan .......................................... 85
5.2.6 Peraturan Sekolah Tentang Keamanan Pangan ............................... 86
5.2.7 Pengaruh Sesama Pedagang Pangan Jajanan .................................. 86
5.2.8 Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan ............................ 87
5.2.9 Pembinaan dan Pengawasan Sekolah .............................................. 88
5.2 Analisis Bivariat ....................................................................................... 88
5.2.1 Hubungan Pengetahuan Dengan Penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B ................................................................................................... 88
5.2.2 Hubungan Sikap Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B . 89
5.2.3 Hubungan Keterampilan Dengan Penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B ................................................................................................... 90
5.2.4 Hubungan Aksesibilitas Dengan Penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B ................................................................................................... 91
5.2.5 Hubungan Peraturan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B ................................................................................................... 91
5.2.6 Hubungan Pengaruh Sesama Pedagang Dengan Penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B ............................................................................. 92
5.2.7 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Dengan
Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ......................................................... 93
5.2.8 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Dengan
Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ......................................................... 94
BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 96
6.1 Keterbatasan Penelitian ............................................................................ 96
6.2 Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.................................................... 96
xiii
6.2.1 Penggunaan Eritrosin ...................................................................... 96
6.2.2 Penggunaan Rhodamin B ................................................................ 98
6.3 Perilaku ................................................................................................... 102
6.3.1 Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan ........................................ 102
6.3.2 Sikap Pedagang Pangan Jajanan ................................................... 105
6.3.3 Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan ....................................... 108
6.3.4 Aksesibilitas Memperoleh Pewarna Pangan ................................. 110
6.3.5 Peraturan Sekolah .......................................................................... 113
6.3.6 Pengaruh Sesama Pedagang .......................................................... 115
6.3.7 Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan .......................... 117
6.3.8 Pembinaan dan Pengawasan Sekolah ............................................ 120
BAB VII SIMPULAN dan SARAN ................................................................... 122
7.1 Simpulan ................................................................................................. 122
7.2 Saran ....................................................................................................... 125
7.2.1 Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan .................................... 125
7.2.2 Sekolah .......................................................................................... 126
7.2.3 Pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ......................... 126
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 127
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kelas-Kelas Zat Warna Sintesis ...................................................................... 17
Tabel 2.2 Perbedaan Antara Lakes dan Dyes .................................................................. 20
Tabel 2.3 Batas Maksimum Penggunaan Eritrosin ......................................................... 25
Tabel 3.1 Definisi Operasional........................................................................................ 65
Tabel 4.1 Sampel Pengan Jajanan Anak sekolah ............................................................ 70
Tabel 4.2 Variabel Pertanyaan ........................................................................................ 72
Tabel 4.3 Hasil Uji Validitas Kuesioner ......................................................................... 73
Tabel 4.4 Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner...................................................................... 74
Tabel 4.5 Indikator Perubahan Warna Serat Wol ........................................................... 78
Tabel 5.1a Distribusi Frekuensi Penggunaan Eritrosin Di SDN Sekelurahan
Pondok Benda Tahun 2015 ............................................................................................. 83
Tabel 5.1b Distribusi Frekuensi Penggunaan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan
Pondok Benda Tahun 2015 ............................................................................................. 83
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan Tentang
Pewarna Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ............................................ 84
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Sikap Pedagang Pangan Jajanan Terhadap
Penggunaan Pewarna Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ....................... 84
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan Di SDN
Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ........................................................................ 85
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Aksesibilitas Pedagang Pangan Jajanan Di SDN
Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ........................................................................ 86
xv
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Peraturan Sekolah Terhadap Usaha Pangan Jajanan
Di Sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 .............................................. 86
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Pengaruh Sesama Pedagang Pangan Jajanan Di
SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ............................................................... 87
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Di
SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ............................................................... 87
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Di SDN
Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ........................................................................ 88
Tabel 5.10 Hubungan Pengetahuan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin
B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ....................................................... 88
Tabel 5.11 Hubungan Sikap Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di
SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ............................................................... 89
Tabel 5.12 Hubungan Keterampilan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin
B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ....................................................... 90
Tabel 5.13 Hubungan Aksesibilitas Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin
B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ....................................................... 91
Tabel 5.14 Hubungan Peraturan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ..................................... 92
Tabel 5.15 Hubungan Pengaruh Sesama Pedagang Dengan Penggunaan Eritrosin
dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 .............................. 93
Tabel 5.16 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Dengan
Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda
Tahun 2015 ...................................................................................................................... 94
Tabel 5.17 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Dengan Penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ............... 95
xvi
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Tiga Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku ................................................... 60
Bagan 2.2 Kerangka Teori .............................................................................................. 61
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ........................................................................................... 64
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner
Lampiran 2 Hasil Laboratorium (Spektrofotometri UV-Visibel dan Serat Wol)
Lampiran 3 Foto-Foto Kegiatan
Lampiran 4 Output SPSS Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Lampiran 5 Output SPSS Crosstab, Chi Square Tests dan Odd Ratio Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia untuk dapat
bertahan hidup. Pada pangan dapat terkandung berbagai jenis zat gizi yang
bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia. Zat-zat gizi
tersebut antara lain karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.
Meskipun begitu, pangan tidak hanya bermanfaat bagi pertumbuhan dan
perkembangan tubuh manusia saja namun pangan juga dapat menjadi media
transmisi penyakit apabila pangan tersebut tercemar akibat faktor lingkungan
maka mutu dan keamanan pangan perlu dijaga agar masyarakat dapat
terlindungi dari hal merugikan dan membahayakan kesehatan tubuh oleh
karena itu dibuatlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan (Kementerian
Kesehatan, 2010).
Menurut Pasal 1 ayat (7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2004, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis,
kimia, benda-benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan manusia. Namun sampai saat ini masih ditemukan
pangan yang tidak memenuhi persyaratan (TMS) secara mutu, kebersihan
maupun keamanan sehingga dapat menimbulkan dampak tidak baik bagi
2
kesehatan. Salah satu contoh pangan yang sering tidak memenuhi syarat
adalah pangan jajanan anak sekolah (PJAS).
Badan Pengawasan Obat dan Makanan pada tahun 2011 menemukan
sebesar 35,46% sampel pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi
persyaratan keamanan dan mutu pangan, pada tahun 2012 sebesar 23,89%
dan pada tahun 2013 sebesar 19,21%. Penyebab pangan jajanan anak sekolah
tersebut tidak memenuhi persyaratan adalah penggunaan bahan tambahan
pangan (BTP) yang melebihi batas, mengandung cemaran logam berat yang
melebihi batas, kualitas mikrobiologis yang tidak memenuhi syarat dan
menggunakan bahan kimia berbahaya (BPOM, 2011; 2012; 2013).
Balai POM Serang yang memiliki cakupan kerja seluruh wilayah
administrasi Provinsi Banten dari tahun 2011-2013 termasuk dalam
kelompok Balai Besar/Balai POM yang sering mengalami kejadian luar biasa
(KLB) keracunan pangan. Salah satu asal penyebab kejadian luar biasa
keracunan pangan tersebut adalah pangan jajanan (BPOM, 2011; 2012;
2013).
Salah satu penyebab utama pangan jajanan anak sekolah tidak
memenuhi persyaratan yang paling umum yaitu penggunaan bahan kimia
berbahaya. Jenis pangan jajanan anak sekolah yang paling sering masuk
dalam kategori tidak memenuhi persyaratan yaitu minuman es, minuman
berwarna/sirup, bakso dan jelly/agar-agar. Agen yang paling sering
menyebabkan tidak memenuhi persyaratan salah satunya yaitu AKK (angka
kapang khamir: pewarna tekstil) (Info DATIN, 2015).
3
Di Indonesia ketentuan pewarna diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan, Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 37 Tahun 2013 tentang
batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan pewarna serta
Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 386
Tahun 1990 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan
berbahaya dalam obat, makanan dan kosmetika.
Pada tahun 2011-2013, BPOM masih menemukan sampel pangan
jajanan anak sekolah yang mengandung pewarna bukan untuk pangan seperti
Rhodamin B, Methanil Yellow serta Auramin. Hasil tersebut menunjukan
bahwa penggunaan pewarna sintetik berbahaya pada pangan jajanan anak
sekolah masih kerap dilakukan oleh pedagang dimungkinkan karena anak
sekolah dasar dalam memilih pangan jajanan mempertimbangkan daya tarik
warna (Kristianto dkk, 2009). Begitu pula dengan Pujiasuti (2002) yang
menyatakan alasan pemilihan produk berwarna antara lain lebih menarik dan
lebih murah. Menurut Nuraini (2007), warna mempunyai peran psikologis
yang sangat kuat ketika anak-anak akan memilih produk pangan.
Selain BPOM, Ardiarini dan Gunanti (2004) menemukan sampel
minuman jajanan SDN Dukuh Mananggal yang mengandung Tartrazin,
Rhodamin B dan Sunset Yellow. Nisma dan Setyawati (2014) menemukan
sampel pangan jajanan SD di wilayah Kotamadya Jakarta Timur mengandung
Rhodamin B, Karmoisin, Eritrosin dan Ponceau 4R.
4
Survei Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan menyatakan bahwa
sampai dengan tahun 2012 sebesar 32% PJAS positif menggunakan bahan
kimia bukan untuk pangan terdiri dari 29% mengandung boraks, 16%
mengandung formalin dan 38% mengandung Metanil Yellow dan Rhodamin
B. Tahun 2013 sebesar 16% terdiri dari 3% mengandung boraks, 7%
mengandung formalin dan 14% Metanil Yellow dan Rhodamin B serta tahun
2014 sebesar 13% terdiri dari 7% mengandung boraks, 11% mengandung
formalin dan 2% Metanil Yellow dan Rhodamin B (Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan, 2012; 2015). Data tersebut menunjukan bahwa
penggunaan pewarna bukan untuk pangan memiliki persentase yang paling
besar dalam pencemaran bahan kimia pada pangan jajanan dibandingkan
dengan boraks dan formalin.
Pasal 3 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan
Makanan Nomor 37 Tahun 2013 menyatakan bahwa Eritrosin dapat
digunakan pada pangan dengan batas maksimum 20-300mg/kg. Karunia
(2013) menyatakan Eritrosin tidak dapat dipakai dalam produk minuman
karena mudah diendapkan oleh asam dan hal tersebut sejalan dengan
peraturan BPOM yang tidak mencantumkan kategori minuman dalam
penggunaan Eritrosin. Arisman (2008) berpendapat Eritrosin tidak dianjurkan
untuk pangan. Meskipun diperbolehkan untuk digunakan pada pangan
sebaiknya kita menghindari penggunaannya sebab pewarna sintetik tidak baik
untuk kesehatan jika terus dikonsumsi, apalagi oleh anak-anak yang sedang
5
dalam masa pertumbuhan. Sedangkan Rhodamin B merupakan pewarna yang
dilarang penggunaannya pada pangan (PP No. 28 Tahun 2004).
Eritrosin dapat mengakibatkan reaksi alergi seperti nafas pendek,
dada sesak, sakit kepala, dan iritasi kulit (Karunia, 2013). Kemudian pewarna
sintetik juga dapat mengakibatkan hiperaktif pada anak (FDA, 2011).
Sedangkan Rhodamin B dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan, iritasi
kulit dan iritasi mata serta kanker jika penggunaan jangka panjang (Praja,
2015). Oleh karena efek yang dapat ditimbulkan maka masyarakat perlu
dilindungi dari pangan yang menggunakan bahan tambahan pangan yang
belebihan dan bahan tambahan bukan untuk pangan.
Pangan jajanan anak sekolah yang mengandung bahan tambahan
berbahaya tidak lepas dari perilaku pedagang dalam mengolah atau menjual
pangan jajanan. Pedagang pangan jajanan berperan penting dalam penyediaan
pangan jajanan yang sehat dan bergizi serta terjamin keamanannya (Yasmin
dkk, 2010). Menurut Green dkk (1991), terdapat tiga faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku seseorang yaitu faktor predisposisi, faktor
pemungkin dan faktor penguat. Faktor predisposisi termasuk diantaranya
pengetahuan, sikap, keyakinan dan nilai. Faktor pemungkin termasuk
diantaranya keterampilan, sumber daya. Faktor penguat termasuk diantaranya
dukungan sosial dan pengaruh teman.
Sugiyatmi (2006) menyatakan pedagang yang memiliki pengetahuan
dan sikap dengan kategori kurang kebanyakan melakukan praktek pembuatan
pangan jajanan dengan kategori kurang baik. Selain itu sulitnya akses bahan
6
tambahan pangan dengan harga terjangkau juga berkontribusi dalam
penyalahgunaan bahan kimia berbahaya (Rahayu dkk, 2012). Hal lain yang
juga dapat mempengaruhi perilaku pedagang pangan jajanan adalah peraturan
keamanan pangan jajanan (Wijaya, 2009) serta pembinaan dan pengawasan
petugas kesehatan dalam penjualan pangan jajanan (Sugiyatmin, 2006;
Mujianto, 2005).
Kota Tangerang Selatan meskipun tergolong daerah otonom baru
namun memiliki kondisi pendidikan yang relatif maju karena di Kecamatan
Pondok Aren, Ciputat dan Pamulang banyak tersebar sekolah dan perguruan
tinggi. Kecamatan Pamulang merupakan kecamatan dengan jumlah SDN
terbanyak kedua di Tangerang Selatan direncanakan menjadi pusat kegiatan
pendidikan, salah satunya di Kelurahan Pondok Benda (Bappeda Tangerang
Selatan, 2012; 2011). Sebagai kelurahan yang direncanakan menjadi pusat
kegiatan pendidikan, Kelurahan Pondok Benda harus menyediakan fasilitas
yang memadai agar siswa dapat belajar dengan baik. Salah satu fasilitas
tersebut adalah kantin sekolah namun umumnya sekolah dasar negeri tidak
memiliki kantin sehingga siswa jajanan pada pedagang PJAS di sekitar
lingkungan sekolah. Pangan yang berasal dari pedagang di sekitar sekolah
apabila tidak ditangani secara benar berpotensi menyebabkan penyakit
(BPOM, 2012b). Oleh karena itu peneliti ingin meneliti perilaku pedagang
pangan jajanan dengan keamanan pangan jajanan di SDN sekelurahan
Pondok Benda terkait dengan penggunaan pewarna sintetik.
7
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti pada bulan
Januari tahun 2015 di delapan SDN di Kelurahan Pondok Benda Kecamatan
Pamulang Kota Tangerang Selatan, pangan jajanan yang dijajakan di sekitar
sekolah antara lain sosis, saos, kue, jelly serta minuman berwarna maunpun
es dimana beberapa pangan jajanan tersebut mungkin menggunakan pewarna
sintetik berbahaya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil uji pendahuluan yang dilakukan di 3 sekolah yaitu
SDN Pondok Benda II, SDN Pondok Benda III dan SDN Pondok Benda VI
pada 3 pedagang pangan jajanan anak sekolah ditemukan pedagang dengan
sampel pangan jajanan es merah yang positif mengandung Rhodamin B
kemudian pada pedagang lainnya ditemukan sampel minuman merah yang
positif mengandung Eritrosin namun Eritrosin tidak dapat digunakan pada
minuman, selain itu masih pada pedagang yang sama ditemukan sampel
minuman yang mengandung Orange SS oleh karena itu peneliti tertarik untuk
meneliti faktor-faktor perilaku yang mempengaruhi pedagang menggunakan
pewarna sintetik seperti pengetahuan, sikap, keterampilan, aksesibilitas,
peraturan, pengaruh sesama pedagang, pembinaan dan pengawasan serta
hubungannya dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan
jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok
Benda Tahun 2015.
8
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana praktek pedagang pangan jajanan anak sekolah dalam
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan yang
dijajakan di SDN Sekelurahan Pondok Benda?
2. Bagaimana pengetahuan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN
Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna?
3. Bagaimana sikap pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN
Sekelurahan Pondok Benda terhadap penggunaan pewarna?
4. Bagaimana keterampilan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN
Sekelurahan Pondok Benda dalam mengolah pangan jajanan yang
dijajakan?
5. Bagaimana aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN
Sekelurahan Pondok Benda dalam memperoleh pewarna?
6. Bagaimana peraturan yang diterapkan oleh sekolah terkait kebijakan
berjualan pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok
Benda?
7. Bagaimana pengaruh sesama pedagang pangan jajanan anak sekolah di
SDN Sekelurahan Pondok Benda terkait penggunaan bahan pangan
jajanan anak sekolah?
8. Bagaimana pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan mengenai
pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda?
9. Bagaimana pembinaan dan pengawasan oleh sekolah mengenai pangan
jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda?
9
10. Bagaimana hubungan antara pengetahuan pedagang pangan jajanan anak
sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B?
11. Bagaimana hubungan antara sikap pedagang pangan jajanan anak sekolah
di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B?
12. Bagaimana hubungan antara keterampilan pedagang pangan jajanan anak
sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin
dan Rhodamin B?
13. Bagaimana hubungan antara aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak
sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin
dan Rhodamin B?
14. Bagaimana hubungan antara peraturan sekolah di SDN Sekelurahan
Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B?
15. Bagaimana hubungan antara pengaruh sesama pedagang pangan jajanan
anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B?
16. Bagaimana hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh petugas
kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang
pangan jajanan anak sekolah?
17. Bagaimana hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh sekolah
dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan
jajanan anak sekolah?
10
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan anak
sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok Benda
Tahun 2015.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui praktek pedagang pangan jajanan anak sekolah dalam
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan yang
dijajakan di SDN Sekelurahan Pondok Benda.
2. Mengetahui pengetahuan pedagang pangan jajanan anak sekolah di
SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna.
3. Mengetahui sikap pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN
Sekelurahan Pondok Benda terhadap penggunaan pewarna.
4. Mengetahui keterampilan pedagang pangan jajanan anak sekolah di
SDN Sekelurahan Pondok Benda dalam mengolah pangan jajanan
yang dijajakan.
5. Mengetahui aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak sekolah di
SDN Sekelurahan Pondok Benda dalam memperoleh pewarna.
6. Mengetahui peraturan yang diterapkan oleh sekolah terkait
kebijakan berjualan pangan jajanan anak sekolah di SDN
Sekelurahan Pondok Benda.
11
7. Mengetahui pengaruh sesama pedagang pangan jajanan anak
sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda terkait penggunaan
bahan pangan jajanan anak sekolah.
8. Mengetahui pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan
mengenai pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan
Pondok Benda.
9. Mengetahui pembinaan dan pengawasan oleh sekolah mengenai
pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda.
10. Mengetahui hubungan antara pengetahuan pedagang pangan
jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai
pewarna dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.
11. Mengetahui hubungan antara sikap pedagang pangan jajanan anak
sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna
dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.
12. Mengetahui hubungan antara keterampilan pedagang pangan
jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.
13. Mengetahui hubungan antara aksesibilitas pedagang pangan
jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.
14. Mengetahui hubungan antara peraturan sekolah di SDN
Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B.
12
15. Mengetahui hubungan antara pengaruh sesama pedagang pangan
jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.
16. Mengetahui hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh
petugas kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B
oleh pedagang pangan jajanan anak sekolah.
17. Mengetahui hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh
sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh
pedagang pangan jajanan anak sekolah.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi mengenai perkembangan usaha pangan
jajanan di lingkungan sekolah. Informasi ini penting dalam rangka
penentuan sikap dan kebijakan dalam pembinaan dan pengawasan
keamanan pangan jajanan.
2. Sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
untuk meningkatkan kewaspadaan dan pengawasan terhadap pangan
jajanan yang dijual di lingkungan sekolah.
3. Pedagang pangan jajanan anak sekolah, hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi untuk mempraktekkan pengolahan pangan
yang baik dengan hanya menggunakan BTP yang diijinkan.
13
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Pangan jajanan dapat menjadi salah satu sumber asupan gizi dan
energi bagi siswa saat menjalani kegiatan pembelajaran di sekolah oleh
karena itu keamanan pangan jajanan sangat penting. Penelitian ini mengenai
faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin
B pada pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN
Sekelurahan Pondok Benda. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Agustus-
September Tahun 2015. Faktor independen adalah pengetahuan, sikap,
keterampilan, aksessibilitas, peraturan, pengaruh sesama pedagang serta
pembinaan dan pengawasan. Faktor dependen adalah penggunaan Eritrosin
dan Rhodamin B. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
desain studi cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh pedagang
pangan jajanan anak sekolah SDN di Sekelurahan Pondok Benda yang
berjumlah 34 orang. Sampel responden dipilih melalui metode sampel jenuh
dengan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu sedangkan sampel pangan
jajanan anak sekolah dipilih melalui metode sampel aksidental. Analisis data
dilakukan cara univariat dan bivariat. Univariat dilakukan dengan distribusi
dan persentase serta bivariat dilakukan dengan penguji Chi Square dan nilai
.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pewarna Pangan
2.1.1 Pengertian Pewarna Pangan
Menurut Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang bahan tambahan
pangan, pewarna (colour) adalah bahan tambahan pangan berupa
pewarna alami dan pewarna sintetik, yang ketika ditambahkan atau
diaplikasikan pada pangan mampu memberi atau memperbaiki warna.
2.1.2 Tujuan Penambahan Pewarna Pangan
Penambahan bahan pewarna pangan mempunyai beberapa
tujuan, diantaranya (Cahanar dan Suhanda, 2006):
1. Memberi kesan menarik bagi konsumen;
2. Menyeragamkan dan menstabilkan warna;
3. Menutupi perubahan warna akibat proses pengolahan dan
penyimpanan.
2.1.3 Jenis Pewarna Pangan
Terdapat banyak jenis bahan pewarna, tetapi tidak semua
pewarna itu dapat digunakan pada pangan. Ada dua jenis pewarna
pangan, yaitu pewarna alami dan pewarna buatan atau sintetik
(Suryatin, 2008).
15
2.1.3.1 Pewarna Alami
Pewarna alami adalah pewarna yang dibuat melalui
proses ekstraksi, isolasi atau derivatisasi (sintesis parsial) dari
tumbuhan, hewan, mineral atau sumber alami lain, termasuk
pewarna identik alami (Pasal 4 Permenkes RI Nomor 33
Tahun 2012). Pewarna alam juga dapat disebut dengan
pigmen alami yaitu segolongan senyawa yang terdapat dalam
produk yang berasal dari hewan atau tumbuhan (deMan,
1997). Food and Drug Administration (FDA) menggolongkan
pewarna alami ke dalam golongan zat warna yang tidak perlu
mendapat sertifikat atau uncertified color (Winarno, 1992).
Pigmen alam mencakup pigmen yang sudah terdapat
dalam pangan dan pigmen yang terbentuk pada pemanasan,
penyimpanan atau pemrosesan. Dengan beberapa kekecualian,
pigmen alam dapat dipilah ke dalam empat golongan yaitu
senyawa tetrapirol (klrofil, hem dan bilin), turunan isoprenoid
(karetenoid), turunan benzopiran (antosianin dan flavonoid)
dan senyawa jadian (melanoidin dan karamel) (deMan, 1997).
Penelitian toksikologi pewarna alami masih agak sulit
karena zat warna ini umumnya terdiri dari campuran dengan
senyawa-senyawa alami lainnya. Misalnya, untuk zat warna
alami asal tumbuhan, bentuk dan kadarnya berbeda-beda,
16
dipengaruhi faktor jenis tumbuhan, iklim, tanah, umur dan
faktor-faktor lainnya (Sutrisno, 2006).
Kemudian terdapat pula zat warna yang identik dengan
zat warna alami. Zat warna ini masih satu golongan dengan
kelompok zat warna alami, hanya zat warna ini dihasilkan
dengan cara sintesis kimia, bukan dengan cara ekstraksi atau
isolasi. Jadi pewarna identik alami adalah pigmen-pigmen
yang dibuat secara sintetik yang struktur kimianya identik
dengan pewarna-pewarna alami. Yang termasuk golongan ini
adalah karotenoid murni antara lain canthaxanthin (merah),
apo-karoten (merah-oranye), beta-karoten (oranye-kuning).
Semua pewarna-pewarna ini memiliki batas-batas konsentrasi
maksimum penggunaan, terkecuali beta-karoten yang boleh
digunakan dalam jumlah tidak terbatas (Sutrisno, 2006).
2.1.3.2 Pewarna Sintetik
Menurut Suryatin (2008), pewarna buatan atau sintetik
adalah bahan yang dibuat secara kimia oleh pabrik industri
kimia. Pewarna ini biasanya dijual di pasaran dengan tanda
khusus pada label atau kemasannya. Food and Drug
Administration menggolongkan pewarna sintetik ke dalam
golongan zat warna yang perlu mendapat sertifikat atau
certified color (Winarno, 1992).
17
Food and Drug Administration dalam Nuraini (2007),
kemudian mengelompokkan bahan pewarna sintetik menjadi 3
kategori, yaitu FD&C color atau bahan pewarna untuk
pangan, obat-obatan dan kosmetika; D&C color atau bahan
pewarna untuk obat-obatan dan kosmetika dan Ext D&C color
atau bahan pewarna untuk obat-obatan dan kosmetika dalam
jumlah yang dibatasi.
Berdasarkan rumus kimianya zat warna sintetik dalam
pangan dapat digolongkan dalam beberapa kelas yaitu azo,
triarilmetana, quinolin, xanten dan indigoid (Joint FAO/WHO
Expert Committee on Food Additives dalam Sutrisno, 2006).
Tabel 2.1 Kelas-kelas zat warna sintesis
No. Nama Warna
Azo
1. Tartrazin Kuning
2. Sunset Yellow FCF Oranye
3. Allura Red AC Merah (Kekuningan)
4. Ponceau 4R Merah
5. Red 2G Merah
6. Azorubine Merah
7. Fast Red E Merah
8. Amaranth Merah (Kebiruan)
9. Brilliant Black BN Ungu
10. Brown FK Kuning coklat
11. Brown HT Coklat
Triarylmethane
1. Brilliant Blue FCF Biru
2. Patent Blue V Biru
3. Green S Biru kehijauan
4. Fast Green FCF Hijau
Quinoline
1. Quinoline Yellow Kuning kehijauan
Xantene
1. Erythrosine Merah
18
No. Nama Warna
Indigotine
1. Indigotine Biru kemerahan
Sumber: Sutrisno (2006)
Berdasarkan sifat kelarutannya, pewarna pangan dapat
dikelompokkan menjadi dyes dan lakes (Sartono, 2014).
1. Dyes
Dyes adalah zat warna yang umumnya larut air dan
larutannya dapat mewarnai. Dyes dapat diperjual belikan
dalam bentuk serbuk, granula, cairan, campuran warna,
pasta dan dispersi. Dyes tidak dapat larut hampir dalam
semua jenis pelarut-pelarut organik. Jika akan dipakai
dalam pangan yang tidak mengandung air atau dalam
bentuk kering, zat warna ini dapat dilarutkan dulu dalam
air, propilenglikol, gliserin atau alkohol (Sutrisno, 2006).
Terdapat empat kelompok dalam dyes yaitu Azo
dyes (yaitu Amaranth, Tartrazine, Sunset Yellow dan
Panceau SX), Triphenylmethane dyes (yaitu Fast Green,
Benzylviolet 4B dan Briliant Blue), Fluorescein (yaitu
Erythrosine), dan Sulfonated Indigo (yaitu Indigotin atau
Indigo Carmine) (Sutrisno, 2006).
Zat warna ini stabil untuk berbagai macam
penggunaan dalam pangan bahkan dalam bentuk kering
tidak terlihat adanya kerusakan akan tetapi ketidakstabilan
zat warna ini terjadi jika dalam pangan tersebut terkandung
19
bahan-bahan pereduksi atau pangan tersebut berprotein
dan diproses dalam retort pada suhu tinggi serta jika zat
warna tersebut kontak dengan metal (seng, timah,
alumunium, tembaga). Zat warna azo dan triarilmetana
akan berubah warnanya menjadi pucat. Dalam minuman
yang mengandung asam askorbat (bahan pereduksi) dalam
batas tertentu dapat dicegah perubahan warnanya dengan
menambahkan EDTA (Sutrisno, 2006).
Dyes pada umumnya dapat digunakan untuk
mewarnai minuman berkarbonat, minuman ringan, roti dan
kue-kue, dry mixes, confectionery, produk-produk susu,
kulit sosis, dan lain-lain. Tiap jenis penggunaan
memerlukan dyes dalam bentuk tertentu, misalnya bentuk
serbuk atau granula untuk mewarnai minuman ringan,
pasta atau dispersi untuk roti, kue dan confectionery dan
cairan untuk dairy products (Sutrisno, 2006).
2. Lakes
Lakes adalah pewarna yang dibuat dari gabungan
dyes dengan radikal basa (Al atau Ca) yang dilapisi dengan
hidrat alumina. Lapisan alumina atau Al(OH)3 tidak larut
dalam air sehingga lakes tidak larut dalam air, alkohol dan
minyak. Kandungan dyes pada lakes disebut Pure Dyes
Content (PDC). Untuk dyes pewarna primer, kandungan
20
dyes tidak boleh kurang dari 85%, umumnya 90-93% dyes
murni. Tidak ditentukan kandungan dyes minimum tetapi
umumnya sekitar 10-40% dyes murni, semakin tinggi
kadar dyes maka akan dihasilkan warna yang lebih tua.
(Sutrisno, 2006).
Lakes mempunyai stabilitas yang lebih baik
daripada dyes. Lakes stabil terhadap pengaruh cahaya,
kimia, panas serta pH 3,5-9,5 dan diluar pH tersebut maka
lapisan alumina pecah dan dyes yang dikandungnya lepas.
Akan tetapi harga lakes lebih mahal daripada dyes
(Sutrisno, 2006).
Umumnya lakes digunakan dalam produk-produk
pangan yang mengandung minyak dan dalam produk yang
kadar airnya rendah sehingga tidak cukup untuk
melarutkan dyes misalnya tablet, tablet yang diberi
pelapisan, icing, pelapis fondant, pelapis-pelapis
berminyak, campuran adonan kue dan donut, permen,
permen karet. Dyes mewarnai lakes adalah dengan
membentuk dispersi yang menyebar pada bahan yang
diwarnai (Sutrisno, 2006).
Tabel 2.2 Perbedaan antara lakes dan dyes
Sifat-Sifat Lakes Dyes
Kelarutan Tidak larut dalam
kebanyakan
pelarut
Larut dalam air,
propyleneglycol,
gliserin
21
Sifat-Sifat Lakes Dyes
Metoda
pewarnaan
Dengan disperse Dengan pelarutan
Kandungan dyes 10 – 40% Warna primer
(90 – 93%)
Pemakaian 0.1 – 0.3% 0.01 – 0.03%
Ukuran partikel Rata-rata 5
mikron
12 – 200 mesh
Stabilitas:
Cahaya
Panas
Lebih baik
Baik
Lebih baik
Baik
Kekuatan
pewarnaan
Tidak
proporsional
dengan kadar
dyes
Proporsional
dengan kadar dyes
Warna Bervariasi
dengan kadar
dyes
Konstan
Sumber: Sutrisno (2006)
Pewarna sintetik mempunyai berbagai kelebihan antara
lain harga jauh lebih murah dibandingkan pewarna alami,
stabilitas dari pewarna sintetik lebih baik sehingga warnanya
tetap cerah walaupun telah melalui proses pengolahan dan
pemanasan dan kekuatan warna lebih tinggi serta memberikan
efek warna lebih seragam sehingga penggunaannya lebih luas
(Nuraini, 2007).
Pewarna sintetik lebih beragam dan banyak jumlahnya
bila dibandingkan dengan pewarna alami namun sangat
berbahaya bagi kesehatan tubuh bahkan bisa menjadi pemicu
tumbuhnya sel kanker atau karsinogenik. Pewarna sintetik
tidak memiliki nilai gizi sehingga pengunaanya dapat
menimbulkan gangguan kesehatan (Fibrianto, 2008). Selain
22
itu, pewarna sintetik dapat menimbulkan alergi (Khoiri, 2007).
Oleh karena itu penggunaan pewarna sintetik untuk pangan
harus dibatasi jumlahnya karena pada saat proses
pembuatannya menggunakan bahan kimia asam sulfat atau
asam nitrat yang sering terkontaminasi arsen atau logam berat
lainnya (Nuraini, 2007).
Selain itu, pewarna sintetik juga telah menjadi
kontroversi di Amerika Serikat sejak 1970-an ketika dr.
Benjamin Feingold menyatakan hubungan antara perilaku dan
konsumsi pewarna sintetik pada anak-anak. Untuk anak-anak
yang rentan dengan Attention Deficit/Hyperactivity Disorder
(ADHD) atau masalah perilaku lainnya menunjukkan bahwa
kondisi mereka mungkin diperburuk oleh paparan sejumlah
zat dalam pangan namun tidak terbatas pada pewarna sintetik
saja. Temuan dari uji klinis yang terkait menunjukkan bahwa
efek dari perilaku mereka muncul karena intoleransi pewarna
sintetik dan tidak untuk setiap sifat neurotoksik yang melekat
(Food and Drug Administration, 2011).
2.1.4 Pewarna Yang Dizinkan Pada Pangan
Menurut Pasal 3 ayat (2 dan 3) Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun
2013 tentang batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan
pewarna, pewarna yang dizinkan di Indonesia adalah sebagai berikut:
23
1. Pewarna Alami
Kurkumin, Riboflavin, Karmin dan ekstrak cochineal,
Klorofil, Klorofil dan klorofilin tembaga kompleks, Karamel I,
Karamel III amonia proses, Karamel IV amonia sulfit proses,
Karbon tanaman, Beta-karoten (sayuran), Ekstrak anato (berbasis
biksin), Karotenoid, Merah bit, Antosianin dan Titanium dioksida.
2. Pewarna Sintetik
Tartrazin, Kuning Kuinolin, Kuning FCF, Karmoisin,
Ponceau 4R, Eritrosin, Merah Allura, Indigotin, Biru Berlian FCF,
Hijau FCF dan Coklat HT.
2.1.5 Pewarna Yang Tidak Dizinkan Pada Pangan
Berdasarkan Lampiran I dan II Keputusan Direktur Jenderal
Pengawasan Obat Dan Makanan Nomor 386 Tahun 1990 tentang zat
warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dalam obat,
makanan dan kosmetika, pewarna yang dilarang adalah Auramine,
Alkanet, Butter Yellow, Black 7984, Burn Unber, Chrysoidine,
Chrysoine S, Citrus Red No.2, Chocolate Brown FB, Fast Red E, Fast
Yellow, Guinea Green, Indanthrene Blue RS, Magenta, Methanil
Yellow, Oil Orange SS, Oil Orange XO, Oil Orange AB, Oil Yellow
AB, Orange G, Orange GGN, Orange RN, Orchid and Orcein,
Ponceau 3R, Ponceau SX, Ponceau 6R, Rhodamine B, Sudan I, Scarlet
GN dan Violet 6 B, Jingga K1 (C.I. Pigment Orange 5, D&C Orange
No. 17), Merah K3 (C. I Pigment Red 53, D&C Red No. 8), Merah K4
24
(C. I. Pigment Red 53:1, D&C Red No. 9), Merah K10 (D&C Red No.
9, C.I. Food Red 15) dan Merah K11.
2.2 Eritrosin
Eritrosin pada dasarnya terdiri dari garam disodium dari 9-(o-
carboxyphenyl)-6-hidroksi-2,4,5,7-tetraiodo-3-isoxanthone monohydrate dan
digabung bersama dengan air, natrium klorida dan/atau natrium sulfat sebagai
pokok komponen tidak berwarna. Nama lain Eritrosin adalah CI Food Red
14, FD&C Red No. 3, CI (1975) No. 45430 INS No. 127 (FAO, 1993).
Sebagai tambahan pangan, Eritrosin memiliki nomor E E127 (Praja, 2015).
Eritrosin merupakan pewarna sintetik yang termasuk dalam golongan xanten
(Sutomo, 2008). Serapan maksimum Eritrosin adalah pada 530nm dalam
larutan air dan tunduk pada fotodegredasi (Praja, 2015).
Menurut Pasal 3 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2013 tentang batas
maksimum penggunaan bahan tambahan pangan pewarna, Eritrosin memiliki
Acceptable Daily Intake (ADI) sebesar 0-0,1mg/kg berat badan sedangkan
batas penggunaan pada pangan adalah 20-300mg/kg namun Arisman (2008)
berpendapat bahwa Eritrosin sebaiknya tidak digunakan untuk pangan.
Berikut adalah batas maksimum penggunaan Eritrosin berdasarkan kategori
pangan tertetntu:
25
Tabel 2.3 Batas Maksimum Penggunaan Eritrosin
Kategori Pangan Batas
Maksimum
(mg/kg)
Buah bergula 100
Produk buah untuk isi pastri 100
Kembang gula keras / permen keras 25
Kembang gula / permen lunak 25
Kembang gula karet / permen karet 25
Dekorasi (bakery), topping (non-buah) dan saus manis 100
Premiks untuk roti tawar dan produk bakeri tawar 20
Keik, kukis dan pai (isi buah atau custard,vla) 300
Premiks untuk produk bakeri istimewa (keik, panekuk) 20
Produk olahan daging (ungags dan hewan buruan) yang utuh /
potongan
30
Produk olahan daging (unggas dan hewan buruan) yang
dihaluskan
30
Sumber: Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
37 Tahun 2013
Eritrosin merupakan pewarna sintetik berupa tepung coklat,
larutannya dalam alkohol 95% menghasilkan warna merah sedangkan
larutannya dalam air berwarna cherry-pink jika ditambahkan pada pangan
namun Eritrosin tidak dapat dipakai dalam produk minuman karena Eritrosin
mudah diendapkan oleh asam (Karunia, 2013).
Eritrosin umumnya digunakan dalam pengolahan beberapa permen, es
loli dan bahkan lebih banyak digunakan dalam menghias kue gel. Pewarna ini
juga digunakan untuk mewarnai kacang pistachio (Praja, 2015).
Eritrosin yang digunakan sebagai pewarna permen anak-anak
berpengaruh kuat sebagai neurocompetitive dopamine inhibitor ketika
dipajakan pada otak tikus percobaan, pengurangan laju dopamine turnover
inilah yang menyebabkan utama hipersensitivitas anak. Peneliti lain
menemukan keterkaitan Eritrosin dengan reduksi noradrenalin, selain
26
berkemungkinan bersifat karsinogenik (Arisman, 2008). Begitu pula menurut
Karunia (2013) jika mengonsumsi Eritrosin dalam dosis tinggi dapat bersifat
kasinogen. Selain itu juga dapat mengakibatkan reaksi alergi seperti nafas
pendek, dada sesak, sakit kepala, dan iritasi kulit. Kemudian studi lebih lanjut
melaporkan penurunan aktivitas motorik dan serotonergik akibat Eritrosin
dimulai dari tingkat dosis oral tunggal 10 mg/kg.
Selain itu, Eritrosin juga dapat membuat anak menjadi hiperaktif dan
menimbulkan efek kurang baik pada otak dan perilaku (Nasir, 2010). Karunia
(2013) juga mengatakan efek samping lain Eritrosin yaitu meningkatnya
hiperaktivitas. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat The Hyperactive
Childrens Support Group yang menyatakan bahwa ada hubungan antara
Eritrosin dan gangguan perilaku hiperaktif pada anak-anak (United Kingdom
Food Guide, 2013).
Pendapat-pendapat tersebut mungkin didasarkan pada penelitian yang
baru-baru ini dilakukan pada Eritrosin bersama dengan beberapa pewarna
lainnya telah dibahas karena keterkaitannya dengan hiperaktivitas pada anak-
anak misalnya oleh McCann pada tahun 2007. Tanpa memberikan rincian
atau referensi untuk penyelidikan tertentu, Tema Nord pada tahun 2002
menyatakan bahwa “Eritrosin telah dilaporkan dalam menginduksi hiperaktif
pada anak-anak, tetapi hal ini belum sepenuhnya didemonstrasikan”
(European Commission, 2010). Sebagaimana adanya efek hiperaktif, Tanaka
pada tahun 2001 melaporkan efek samping pada parameter neurobehavioural
27
dengan NOAEL 0,0015% dalam pangan (22,35 mg/kg bb/hari untuk laki-laki
dan 27,86 mg/kg bb/hari untuk wanita) (European Commission, 2010).
Eritrosin selain sebagai pewarna pangan juga dapat digunakan dalam
pencetakan tinta atau sebagai noda biologis, agen pengungkap plak gigi serta
sebagai sensitizer untuk film orthochromatic dalam dunia fotografi (Praja,
2015).
2.3 Rhodamin B
Rhodamin B memiliki nomor indeks 45170 (C.I.Food Red 15)
berwarna merah dan sangat beracun dan berfluorensi bila terkena cahaya
matahari. Pewarna ini terbuat dari dietillaminophenol dan phatalic anchidria
dimana kedua bahan baku ini sangat toksik bagi manusia (Djarismawati dkk,
2004). Rhodamin B juga memiliki banyak nama sinonim antara lain D dan C
Red No. 19, ADC Rhodamin B, Aizen Rhodamin dan Brilliant Pink B
(Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor,
2005).
Rhodamin B berbentuk kristal hijau atau serbuk ungu kemerah-
merahan, sangat mudah larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah
kebiru-biruan dan berfluorensi kuat. Selain mudah larut dalam air juga larut
dalam alkohol, HCl dan NaOH. Kelarutan Rhodamin B pada air adalah 50g/L
namun kelarutan dalam asam asetat larutan (30%) adalah 400g/L. Air keran
yang diklorinasi terurai dengan Rhodamin B. Rhodamin B cenderung
menyerap plastik dan harus disimpan dalam wadah gelas (Praja, 2015).
28
Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umumnya digunakan
sebagai pewarna tekstil. Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun
2004, Rhodamin B merupakan zat warna tambahan yang dilarang
penggunaannya dalam produk-produk pangan. Rhodamin B dapat
menyebabkan iritasi saluran pernapasan, iritasi kulit, iritasi mata, iritasi
saluran pencernaan, keracunan, gangguan hati dan dapat menyebabkan
kanker (Praja, 2015).
Rhodamin B bersifat karsinogenik sehingga dalam penggunaan
jangka panjang dapat menyebabkan kanker. Uji toksisitas Rhodamin B telah
dilakukan terhadap mencit dan tikus dengan injeksi subkutan dan secara oral.
Rhodamin B dapat menyebabkan karsinogenik pada tikus ketika diinjeksi
subkutan, yaitu timbul sarcoma lokal. Sedangkan didapatkan LD50 pada 89,5
mg/kg yang ditandai dengan gejala adanya pembesaran hati, ginjal dan limfa
diikuti perubahan anatomi berupa pembesaran organnya (Merck Index dalam
Utami dkk, 2009). Toksisitas Rhodamin B adalah ORL-RAT LDLO
500mg.kg-1
(Praja, 2015).
Rhodamin B tergolong dalam pewarna sintetik yang diperbolehkan
untuk pewarna barang hasil industri seperti plastik, tekstil, kertas, keramik,
ubin dan sebagainya (Wasis dan Irianto, 2008). Selain itu Rhodamin B juga
biasanya dipakai dalam laboratorium sebagai pereaksi untuk identifikasi Pb,
Bi, Co, Au, Mg dan Th (Praja, 2015).
Rhodamin B merupakan senyawa kimia dan juga pewarna sehingga
sering digunakan sebagai pewarna, pelacak dalam air untuk menentukan laju
29
dan arah aliran serta transportasi. Pewarna Rhodamin berpedar sehingga
dapat dideteksi dengan mudah dan murah dengan instrumen yang disebut
fluorometers. Pewarna Rhodamin digunakan secara ekstensif dalam aplikasi
bioteknologi seperti mikroskop fluoresensi, sitometri, fluoresensi,
spektroskopi korelasi dan ELISA (Praja, 2015).
Rhodamin B digunakan dalam biologi sebagai pewarnaan zat warna
neon, kadang-kadang dikombinasikan dengan Auramine O, sebagai
Auramine-Rhodamin noda untuk menunjukan asam cepat organisme
terutama Mycobacterium (Praja, 2015).
Rhodamin B bersifat racun jika digunakan dalam pewarna pangan dan
dapat memicu pertumbuhan zat karsinogenik yang menyebabkan munculnya
penyakit kanker (Wasis dan Irianto, 2008). Penggunaan zat pewarna ini
dilarang di Eropa mulai tahun 1984 karena Rhodamin B termasuk karsinogen
yang kuat. Dampak negatif lainnya yaitu dapat menyebabkan ganguan fungsi
hati. Efeknya tidak akan dirasakan saat ini tetapi akan terasa setelah sepuluh
atau dua puluh tahun kemudian (Himpunan Alumni Fakultas Teknologi
Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2005).
. Meskipun telah dilarang penggunaannya ternyata masih ada
produsen yang sengaja menambahkan Rhodamin B untuk produknya (Praja,
2015). Rhodamin B terkadang digunakan sebagai bahan tambahan pewarna
pangan hasil olahan industri kecil atau industri rumah tangga. Sebagai
gambaran zat pewarna ini sering digunakan pada produk seperti sirup, limun,
es mambo, bakpao, es cendol, es kelapa, kue basah dan pangan kipang.
30
Bahkan kerupuk ditambahkan Rhodamin B agar warna kerupuk lebih cerah
dan menarik. Produk pangan lainnya yang perlu mendapatkan perhatian yakni
saus dan sambal kemasan (Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor, 2005).
2.4 Dampak Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B
2.4.1 Hiperaktivitas
Hiperaktivitas dikenal juga sebagai Attention Deficit Disorder
(ADD) atau Attention Deficit Hyperactivitity Disorder (ADHD)
(Thompson, 2002). Kondisi ini disebut sebagai gangguan hiperkinetik.
Dahulu kondisi ini sering disebut Minimal Brain Dysfunction
Syndrome (Fadhli, 2010). Tingkah laku individu-individu yang
mengalami gangguan hiperaktivitas tidak dapat dikontrol (Semiun,
2006).
Istilah hiperaktif atau ADD biasanya digunakan untuk
menggambarkan anak yang masih muda, yang dianggap sangat aktif,
terlalu menuruti kata hati, kurang dapat berkonsentrasi atau anak yang
sulit diatur. Namun sebagian besar anak kecil umumnya mempunyai
tingkat aktivitas tinggi dan sulit diatur, tanpa harus menjadi hiperaktif.
Hal itu seringkali menyulitkan orang tua bahkan tenaga kesehatan
dalam mengidentifikasi. Derajat hiperaktif pada anak berbeda-beda.
Beberapa anak mungkin menderita hiperaktif sedang sementara anak
lain menderita hiperaktif tingkat tinggi (Thompson, 2002).
31
Seorang anak untuk dapat disebut memiliki gangguan
hiperaktif harus ada tiga gejala utama yang nampak dalan perilakunya
yaitu inatensi, hiperaktif dan impulsif. Inatensi adalah pemusatan
perhatian yang kurang baik atau kegagalan seorang anak dalam
memberikan perhatian secara utuh (Fadhli, 2010). Impulsif adalah
kecenderungan bertindak tiba-tiba tanpa berpikir disebabkan
ketidakmampuannya mengendalikan dorongan (Gichara, 2008).
Berbagai tipe hiperkinetik atau ADHD adalah tipe sulit
berkonsentrasi, tipe hiperaktif-impulsif dan tipe kombinasi. Anak-anak
dengan ADHD biasanya menampakkan perilaku yang dapat
dikelompokkan dalam 2 kategori utama yaitu kurangnya kemampuan
memusatkan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas (Fadhli, 2010).
Ada beberapa teori tentang penyebab seorang anak menjadi
hiperaktif akan tetapi belum ditemukan satupun penyebab pastinya.
Salah satunya adalah pangan, zat penambah pangan seperti pewarna
(Thompson, 2002). Semiun (2006) juga menegaskan bahan-bahan
tambahan pangan seperti pewarna dapat menjadi penyebab hiperaktif
pada anak. Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Feingold pada
1975 dan 1976, sekitar 50% dari anak-anak yang hiperaktif dapat
berfungsi lagi secara normal ketika diberikan pangan yang tidak
mengandung bahan tambahan. Tetapi dalam penelitian-penelitian yang
telah dikontrol, anak-anak yang hiperaktif diberikan pangan yang
mengandung bahan-bahan tambahan atau placebo ditemukan bahwa
32
kasus-kasus hiperaktivitas yang disebabkan oleh bahan-bahan
tambahan itu hanya sekitar 5%. Dari penelitian itu jelas bahwa akibat
dari bahan-bahan tambahan pangan tidak begitu kuat seperti yang
dipikirkan (walaupun begitu tidak bisa diabaikan pengaruhnya dalam
menimbulkan gangguan hiperaktivitas). Pangan tertentu belum terbukti
bisa menyebabkan hiperaktif namun sebaiknya menghentikan
pemberian pangan dan minuman olahan yang mengandung pewarna
atau pengawet (Thompson, 2002).
2.4.2 Kanker
Kanker merupakan penyakit yang berawal dari kerusakan gen,
materi genetika atau DNA sel. Satu sel saja mengalami kerusakan
genetika sudah cukup untuk menghasilkan sel kanker atau neoplasma.
Sel yang gennya rusak itu dapat menjadi liar dan berkembang biak atau
tumbuh terus tanpa henti dari satu sel menjadi beribu-ribu bahkan
jutaan sel sehingga membentuk jaringan baru. Akhirnya terbentuklah
jaringan tumor atau kanker (Mardiah dkk, 2006).
Gen dalam sel ada yang disebut gen kanker (oncogen) dan gen
penekan tumor (tumor suppressor gen). Bila salah satu atau kedua gen
ini mengalami perubahan atau kerusakan maka kedua gen ini dapat
menjadi salah kaprah lalu menjadi sal kanker atau tumor dan mulai
melakukan pertumbuhan sel dengan tidak terkendali. Sebenarnya,
dalam sel ada juga gen yang bertugas memperbaiki gen yang rusak,
gen ini disebut gen pembentul (repair gen) namun bila gen ini juga
33
rusak maka tidak ada lagi yang dapat memperbaiki (Mardiah dkk,
2006).
Penyakit kanker ada yang jinak dan ganas, kanker jinak disebut
dengan tumor. Sebenarnya tidak semua gen sel yang rusak langsung
menjadi kanker karena mungkin saja menjadi tumor namun kapan dan
mengapa sel yang rusak itu memilih menjadi tumor saja atau langsung
menjadi kanker atau menjadi tumor dulu lalu berubah menjadi kanker
belum diketahui secara pasti. Dari banyak laporan hasil penelitian
ilmiah diketahui bahwa semakin parah kerusakan gen dalam sel maka
semakin besar pula kemunginan menjadi kanker (Mardiah dkk, 2006).
Pemicu kanker dapat beragam, salah satunya dari pangan yang
kita konsumsi. Senyawa pemicu kanker yang terdapat dalam bahan
pangan dapat berupa bahan tambahan pangan yang sering digunakan
dalam proses olahan industri pangan. Apabila senyawa pemicu kanker
yang terdapat dalam bahan pangan dikonsumsi sehari-hari,
dikhawatirkan sedikit demi sedikit terakumulasi dalam tubuh sehingga
dosis sekecil apapun dalam waktu cukup lama akan berbahaya bagi
kesehatan (Mardiah dkk, 2006).
Hasil penelitian Zakaria dkk pada tahun 1996 terhadap pangan
jajanan tercemar food additives atau bahan tambahan pangan (seperti
salah satunya pewarna) yang dikonsumsi remaja menunjukan bahwa
pangan jajanan tersebut merupakan penyebab terbentuknya radikal
bebas dalam tubuh. Bahan pewarna amaranth yang memberikan warna
34
merah dan tartrazin yang memeberikan warna kuning pada produk
pangan juga mengindikasikan karsinogenik (Mardiah dkk, 2006).
2.5 Pangan Jajanan Anak Sekolah
2.5.1 Pengertian Pangan Jajanan Anak Sekolah
Menurut Pasal 1 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 942
Tahun 2003 tentang pedoman persyaratan higiene sanitasi makanan
jajanan, makanan jajanan atau pangan jajanan adalah makanan dan
minuman yang diolah oleh pengrajin pangan di tempat penjualan dan
atau disajikan sebagai pangan siap santap untuk dijual bagi umum
selain yang disajikan jasa boga, rumah makan/restoran dan hotel.
2.5.2 Jenis Pangan Jajanan Anak Sekolah
Berikut adalah jenis-jenis pangan jajanan anak sekolah menurut
Kementerian Kesehatan RI (2011):
1. Pangan Sepinggan
Pangan sepinggan merupakan kelompok pangan utama, yang dapat
disiapkan di rumah terlebih dahulu atau disiapkan di tempat
penjualan. Contoh pangan sepinggan seperti gado-gado, nasi uduk,
siomay, bakso, mi ayam, lontong sayur dan lain-lain.
2. Pangan camilan
Pangan camilan adalah pangan yang dikonsumsi diantara dua
waktu makan. Pangan camilan terdiri dari:
35
a. Pangan camilan basah, seperti pisang goreng, lemper, lumpia,
risoles, dan lain-lain. Pangan camilan ini dapat disiapkan di
rumah terlebih dahulu atau disiapkan di tempat penjualan.
b. Pangan camilan kering, seperti produk ekstrusi (brondong),
keripik, biskuit, kue kering, dan lain-lain. Pangan camilan ini
umumnya diproduksi oleh industri pangan baik industri besar,
industri kecil dan industri rumah tangga.
3. Minuman
Kelompok minuman yang biasanya dijual meliputi:
a. Air minum, baik dalam kemasan maupun yang disiapkan
sendiri
b. Minuman ringan, dalam kemasan misalnya teh, minuman sari
buah, minuman berkarbonasi dan lain-lain; disiapkan sendiri
oleh kantin, misalnya es sirup dan teh; serta minuman campur
seperti es buah, es cendol, es doger dan lain-lain.
2.6 Keamanan Pangan
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia
serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat
sehingga aman untuk dikonsumsi (Pasal 1 UU No. 18 Tahun 2012).
Keamanan pangan diselenggarakan untuk menjaga pangan tetap
aman, higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama,
36
keyakinan, dan budaya masyarakat. Salah satu kegiatan penyelengaraan
keamanan pangan dilakukan melalui pengaturan terhadap bahan tambahan
pangan. Setiap orang yang melakukan produksi pangan untuk diedarkan
dilarang menggunakan bahan tambahan pangan yang melampaui ambang
batas maksimal yang ditetapkan dan/atau bahan yang dilarang digunakan
sebagai bahan tambahan pangan (Pasal 67, 69, 75 UU No. 18 Tahun 2012).
Pencemaran pangan dapat terjadi apabila higiene dan sanitasi
pengolahan pangan tidak cermat. Namun pencemaran bisa juga terjadi akibat
vektor, mikroorganisme dan berbagi jenis bahan kimia. Keracunan pangan
oleh bahan kimia erat kaitannya dengan proses produksi dan distribusinya.
Dalam proses produksi sering terjadi kelalaian bahkan kesengajaan
menggunakan bahan kimia sebagai zat tambahan dalam pangan seperti zat
pewarna, zat pengawet dan sebagainya (Nurmaini, 2001).
Macam kontaminan yang sering terdapat dalam pangan dapat
dibedakan menjadi 3 yaitu kontaminan biologis, kimiawi dan fisik
(Purnawijayanti, 2001).
1. Kontaminan biologis adalah organisme hidup yang menimbulkan
kontaminasi dalam pangan. Organisme hidup yang sering menjadi
kontaminan atau pencemaran bervariasi mulai dari yang berukuran cukup
besar seperti serangga sampai yang amat kecil seperti mikroorganisme.
Jenis mikroorganisme yang sering menjadi pencemar bagi pangan adalah
bakteri, fungi, parasite dan virus.
37
2. Kontaminan kimia adalah berbagai macam bahan atau unsur kimia yang
menimbulkan pencemaran atau kontaminasi pada bahan pangan. Berbagai
jenis bahan dan unsur kimia berbahaya dapat berada dalam pangan
melalui beberapa cara antara lain terlarutnya lapisan alat pengolahan,
logam yang terakumulasi pada produk perairan, sisa antibiotik / pupuk /
insektisida / pestisida / herbisida pada tanaman atau hewan dan bahan
pembersih atau sanitaiser kimia pada peralatan pengolahan pangan yang
tidak bersih pembilasannya.
3. Kontaminan fisik adalah benda-benda asing yang terdapat dalam pangan
padahal benda-benda tersebut bukan menjadi bagian dari bahan pangan
tersebut. Contohnya terdapatnya paku, pecahan kaca, serpihan logam, isi
stapler, lidi, kerikil, rambut dan benda-benda lainnya. Benda-benda ini
merupakan kontaminan fisik yang selain menurunkan nilai estetis pangan
juga dapat menimbulkan luka serius bila tertelan.
Menurut Anwar dalam Nurlaela (2011), terjadinya kontaminasi dapat
dibagi dalam tiga cara, yaitu:
1. Kontaminasi langsung (direct contamination) yaitu adanya bahan
pencemar yang masuk ke dalam pangan secara langsung karena
ketidaktahuan atau kelalaian baik disengaja maupun tidak disengaja.
Contohnya, potongan rambut masuk ke dalam nasi, penggunaan pewarna
kain dan sebagainya.
2. Kontaminasi silang (cross contamination) yaitu kontaminasi yang terjadi
secara tidak langsung sebagai akibat ketidaktahuan dalam pengolahan
38
pangan. Contohnya, pangan mentah bersentuhan dengan pangan masak,
pangan bersentuhan dengan pakaian atau peralatan kotor, misalnya piring,
mangkok, pisau atau talenan.
3. Kontaminasi ulang (recontamination) yaitu kontaminasi yang terjadi
terhadap pangan yang telah dimasak sempurna. Contohnya, nasi yang
tercemar dengan debu atau lalat karena tidak ditutup.
2.7 Kasus-Kasus Penggunaan Pewarna Sintetik
Penelitian Pujiasuti (2002) menyatakan 54,5% responden memiliki
praktek kategori kurang dalam pemakaian bahan tambahan pangan.
Kristianto dkk (2009) menyatakan bahwa 18,5% pangan jajanan anak sekolah
di Kota Batu tidak memenuhi syarat keamanan karena penggunaan Rhodamin
B. Ardiarini dan Gunanti (2004) menemukan Rhodamin B pada es potong
merah dan es sari buah rasa kopi krim. Meskipun begitu Damayanthi dkk
(2013) menyatakan terdapat 77,8% penjaja PJAS yang melakukan praktek
keamanan pangan dalam kategori sedang.
Umumnya penyebab utama pangan jajanan anak sekolah tidak
memenuhi persyaratan yaitu bahan tambahan pangan berlebihan dan
penggunaan bahan berbahaya. Jenis pangan jajanan anak sekolah yang paling
sering masuk dalam kategori tidak memenuhi persyaratan yaitu minuman es,
minuman berwarna/sirup, bakso dan jelly/agar-agar. Kemudian salah satu
agen yang paling sering menyebabkan tidak memenuhi persyaratan yaitu
AKK (angka kapang khamir: pewarna tekstil) (Info DATIN, 2015).
39
Di Indonesia ketentuan pewarna diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan, Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 37 Tahun 2013 tentang
batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan pewarna serta
Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 386
Tahun 1990 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan
berbahaya.
Meskipun pemerintah telah mengatur penggunaan pewarna untuk
pangan masih banyak produsen pangan terutama pengusaha kecil yang
menggunakan bahan-bahan pewarna yang dilarang, misalnya pewarna untuk
tekstil atau cat karena mempunyai warna lebih cerah, lebih stabil selama
penyimpanan serta harganya lebih murah (Himpunan Alumni Fakultas
Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2005). Rahayu dkk (2012)
mengatakan masih ditemukan penyalahgunaan bahan kimia berbahaya seperti
pewarna tekstil mengindikasikan adanya ketidakpedulian maupun
ketidaktahuan produsen akan bahaya bahan tersebut.
Menurut Tamaroh dalam Nurlaela (2011), faktor yang terpenting pada
keamanan pangan adalah pedagang pangan. Pedagang pangan yang
berpendidikan rendah akan melaksanakan tugasnya hanya mengandalkan
kebiasaan yang dimilikinya tanpa mengetahui alasan yang benar yang
melatarbelakangi tindakannya. Perilaku pedagang yang tidak mendukung
tentunya akan menimbulkan masalah terhadap keamanan pangan. Padahal
40
pedagang pangan jajanan berperan penting dalam penyediaan pangan jajanan
yang sehat dan bergizi serta terjamin keamanannya (Yasmin dkk, 2010).
Penelitian Ardiarini dan Gunanti (2004) menyatakan 75% penjual
minuman jajanan menggunakan pewarna sintetik karena harga pewama
sintetik tidak mahal, praktis dan mudah diperoleh di toko kecil. Penggunaan
pewarna sintetik dapat menghemat waktu dan biaya. Menurut Sari (2008)
karena pewarna sintetik dijual dengan harga yang jauh lebih murah
dibandingkan dengan pewarna alami maka menjadi perhatian produsen,
mengingat daya beli masyarakat Indonesia yang masih cukup rendah.
Sulitnya akses bahan tambahan pangan dengan harga terjangkau oleh
industri rumah tangga juga berkontribusi pada penyalahgunaan bahan kimia
berbahaya. Bahan kimia yang tidak diizinkan untuk pangan dengan mudah
dan murah diperoleh dari pengecer yang tidak bertanggung jawab (Rahayu
dkk. 2012). Begitu pula menurut Pujiasuti (2002) bahwa faktor ketersediaan
bahan tambahan tanpa ada label “BTP” memiliki kemungkinan
mempengaruhi pembelian bahan tambahan tersebut di toko-toko setempat.
Hal tersebut menunjukan bahwa faktor ekonomi dan akses memiliki peran
dalam pengambilan keputusan oleh pedagang dalam melakukan pengolahan
pangan. Aminah dan Hidayah (2012) menyatakan penggunaan bahan
pewarna alami memang tidak ada resiko kesehatan namun untuk
mendapatkannya tidak mudah serta tidak praktis dan pewama alami kurang
stabil.
41
Penambahan pewarna sintetik dalam minuman jajanan diakui seluruh
penjual dapat memberikan kesan menarik pada produk akhir sehingga
minuman jajanan yang dijual dapat laku > 90% per hari (Ardiarini dan
Gunanti, 2004). Kemudian Aminah dan Hidayah (2012) menyatakan 76%
responden menggunakan bahan pewarna sembarang dalam produk pangan
asal produk menarik sehingga konsumen tertarik. Hal tersebut menunjukan
bahwa penggunaan pewarna sintetik oleh pedagang mungkin dikarenakan
anak sekolah dasar dalam memilih pangan jajanan mempertimbangkan daya
tarik warna (Kristianto dkk, 2009), begitu pula dengan Pujiasuti (2002) yang
menyatakan alasan pemilihan produk berwarna antara lain lebih menarik dan
lebih murah. Diperkuat dengan Nuraini (2007) bahwa warna mempunyai
peran psikologis yang sangat kuat ketika anak-anak akan memilih produk
pangan. Selain itu, menurut Pujiasuti (2002) 86% produsen menyatakan
penggunaan pewarna karena permintaan konsumen.
Pewama pangan yang dijual di pasaran baik yang berbentuk liquid
dan bubuk pada umumnya tidak ada petunjuk ukuran penggunaannya, hal ini
membuat para produsen pangan jajanan hanya mengira-ngira pemakaianya
sehingga produknya menarik. Oleh karena itu meskipun menggunakan
pewarna yang diijinkan tetapi kadarnya harus dibatasi sebab bila tidak
terkontrol penggunaannya maka akan berefek tidak baik terhadap kesehatan
(Aminah dan Hidayah, 2012).
Menurut Rahayu dkk (2012), indsutri kecil perlu memiliki
pengetahuan dalam proses produksi pangan yang aman dan bermutu agar
42
tidak mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan
orang lain. Handayani dan Kurniawati dalam Wariyah dan Dewi (2013),
faktor yang menyebabkan pedagang pangan jajanan memakai bahan
tambahan antara lain adalah pengetahuan mereka yang rendah terhadap bahan
tambahan pangan dan bahan berbahaya walaupun faktor ketidakpedulian juga
mungkin terjadi. Begitu pula dengan BPOM (2012a) yang menyatakan bahwa
pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan dapat
mengindikasikan kurangnya pengetahuan tentang keamanan pangan. Selain
itu, faktor kepedulian atau kesadaran para pembuat, penjual dan pembeli
pangan jajanan anak sekolah juga dapat mempengaruhi adanya pangan
jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan. Menurut Rahayu dkk
(2012), ketidakpedulian dan ketidaktahuan produsen bisa disebabkan karena
masih ada industri rumah tangga yang tidak pernah dibina yaitu sebesar
34,2%.
Penelitian Sugiyatmi (2006) menyatakan 64,6% dari pembuat pangan
jajanan tradisional yang dijual di pasar-pasar Kota Semarang memiliki
pengetahuan dalam kategori kurang tentang bahaya pewarna terlarang. Begitu
pula dengan Ardiarini dan Gunanti (2004) yang mengatakan 75% penjual
memiliki pengetahuan yang tergolong rendah terhadap pewarna sintetik.
Utami dkk (2009) menyatakan bahwa 36,80% pedagang dapat membedakan
pewarna alami atau sintetik; 5,30% pedagang mengetahui pewarna sintetik
yang diijinkan; 10,50% pedagang mengetahui pewarna sintetik yang tidak
diijinkan penggunaannya dalam pangan dan kesadaran pedagang akan bahaya
43
dari pewarna sintetik cukup rendah yaitu 43%. Namun Damayanthi dkk
(2013) menyatakan 77,8% pengetahuan penjaja PJAS di SDN D tentang
keamanan pangan dalam kategori sedang dan hal tersebut sejalan dengan
Pujiasuti (2002) yang juga menyatakan 40,9% responden memiliki
pengetahuan dalam kategori sedang tentang pemakaian bahan tambahan
pangan.
Sugiyatmi (2006) menyatakan pembuat pangan jajanan yang memiliki
pengetahuan dengan kategori kurang kebanyakan melakukan praktek
pembuatan pangan dengan kategori tidak baik. Hal tersebut terbukti dengan
adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan praktek
pembuatan pangan jajanan. Namun Pujiasuti (2002) menyatakan bahwa tidak
ada hubungan antara pengetahuan produsen dengan pemakaian bahan
tambahan pangan dan Damayanthi dkk (2013) juga menyatakan terdapat
hubungan negatif antara pengetahuan tentang gizi dan keamanan pangan
dengan praktek keamanan pangan.
Utami dkk (2009) menyatakan rendahnya pengetahuan pedagang
tentang pewarna alami dan sintetik serta pewarna yang tidak diijinkan sangat
dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah pendidikan. Hasil survei
menunjukkan 47,37% pedagang tidak berpendidikan. Ardiarini dan Gunanti
(2004), 75% penjual memiliki tingkat pendidikan setingkat Sekolah Dasar
dan 25% penjual tidak mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Menurut
Utomo dalam Ardiarini dan Gunanti (2004), pendidikan berpengaruh pada
44
faktor sosial ekonomi seperti pendapatan, pekerjaan, lifestyle, perumahan dan
tempat tinggal serta pangan yang dikonsumsi dan disajikan.
Seiring perkembangan teknologi informasi, pengetahuan tentang
bahaya pewarna pangan terlarang atau yang berlebihan tidak harus
didapatkan melalui pendidikan formal. Para pedagang bisa mendapatkan
informasi tentang bahaya pewarna pangan melalui media elekktronik
sehingga mereka memahami resiko yang mereka dapatkan dan berikan ketika
menggunakan pewarna pangan yang dilarang. Hal ini membuktikan bahwa
walaupun tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi tetapi mereka bisa
memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai pewarna pangan (Pertiwi
dkk, 2014).
Meskipun begitu, menurut Pujiasuti (2002) masih terdapat lebih dari
50% responden yang belum pernah mendapatkan informasi mengenai bahan
tambahan pangan secara khusus. Hanya 16% yang pernah mendapatkan
informasi dari kebupaten, kelurahan, sekolah dan perindustrian serta 5%
lainnya mendapat informasi dari teman dan keluarga. Rahayu dkk (2012) pun
menyatakan bahwa informasi mengenai keberadaan bahan tambahan pangan
di pasaran belum diketahui oleh sebagian besar industri rumah tangga.
Sedangkan bahan kimia berbahaya masih beredar dan hal ini berkontribusi
terhadap penyalahgunaan bahan kimia berbahaya.
Pengetahuan keamanan pangan yang diketahui oleh para pedagang
umumnya diperoleh dari informasi lisan dari mulut ke mulut, penyuluhan di
PKK (bagi yang perempuan). Namun untuk mengaplikasikan pengetahuan
45
yang telah diperoleh secara lisan tersebut sulit, mengingat produsen ingin
menampilkan dagangannya lebih menarik dengan cita rasa yang tinggi
dengan biaya produksi yang rendah. Dalam penggunaan bahan tambahan
pangan masih perlu mendapatkan perhatian baik jenisnya maupun ukurannya.
Bahan tambahan yang digunakan harus bahan tambahan khusus pangan dan
ukurannya sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini
adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Aminah dan
Hidayah, 2012).
Sugiyatmi (2006) menyatakan 68,8% dari pembuat pangan jajanan
memiliki sikap terhadap penggunaan pewarna terlarang dalam kategori
kurang. Namun Pertiwi dkk (2014) menyatakan bahwa 100% penjual pangan
jajanan memiliki sikap yang positif terhadap penggunaan pewarna pada
pangan, Pujiasuti (2002) yang menyatakan 50% responden memiliki sikap
dalam kategori baik tentang pemakaian bahan tambahan pangan serta
Damayanthi dkk (2013) yang mengatakan 77,8% penjaja PJAS di SDN D
memiliki sikap dalam kategori sedang terhadap keamanan pangan.
Sugiyatmi (2006) menyatakan pembuat pangan jajanan yang memiliki
sikap dengan kategori kurang kebanyakan melakukan praktek pembuatan
pangan dengan kategori tidak baik. Hal tersebut terbukti dengan adanya
hubungan yang signifikan antara sikap dengan praktek pembuatan pangan
jajanan. Namun Damayanthi dkk (2013) menyatakan bahwa tidak terdapat
hubungan antara sikap terhadap gizi dan keamanan pangan dengan praktek
46
keamanan pangan dan Pujiasuti (2002) juga mengatakan tidak ada hubungan
antara sikap produsen dengan pemakaian bahan tambahan pangan.
Selain pengetahuan dan sikap pedagang pangan jajanan, pengaruh
orang lain juga dapat memberikan masukan terhadap bahan tambahan yang
akan digunakan dalam pangan. Menurut Pujiasuti (2002) sebesar 38,6%
produsen mendapatkan informasi mengenai bahan tambahan pangan untuk
produk jualannya dari penjual bahan tambahan dan 27,3% lainnya dari teman
serta sisanya dari orang tua dan saudara.
Keterampilan atau kemampuan seseorang dalam mempersiapkan
pangan dan memasak memiliki potensi untuk mempengaruhi kesejahteraan
dan kesehatan (EUFIC, 2005). Oleh karena itu peningkatan keterampilan
pedagang pangan jajanan perlu dilakukan. Menurut Rahayu dkk (2012),
indsutri kecil perlu memiliki keterampilan dalam proses produksi pangan
yang aman dan bermutu, yang diimbangi dengan akhlak dan budi pekerti
untuk tidak mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan
mengorbankan orang lain. Serta terdapat pula produsen yang mempunyai
kemauan untuk tidak menggunakan bahan tambahan yang dilarang untuk
pangan namun tidak punya kemampuan yang ditunjukan dengan tingkat
pengetahuan (Pujiasuti, 2002).
Mujianto dkk (2005) menyatakan 64% pedagang pangan jajanan di
Kecamatan Pondok Gede tidak pernah mendapatkan pembinaan dan hampir
dari seluruh penjaja PJAS yang diteliti tidak pernah mengikuti pelatihan atau
training terkait gizi maupun keamanan pangan (Damayanthi dkk. 2013).
47
83% pedagang pangan tidak pernah mendapatkan pengawasan (Mujianto
dkk, 2005). 80% pedagang PJAS belum pernah mengikuti penyuluhan
tentang pengolahan pangan yang baik (Wariyah dan Dewi, 2013). Pujiasuti
(2002) berpendapat bahwa belum adanya program khusus untuk pembinaan
berkaitan dengan pemakaian bahan tambahan pangan.
Menurut Sugiyatmi (2006), terjadinya pencemaran pewarna pada
pangan jajanan tradisional karena ketidaktahuan pembuat pangan jajanan
mengenai pewarna yang digunakan dalam pembuatan pangan. Oleh karena
itu untuk mengatasi terjadinya pencemaran bahan toksik pewarna tidak cukup
bila hanya diberi larangan, perlu dilakukan pembinaan secara teratur kepada
pembuat pangan jajanan tradisional untuk meningkatkan kualitas pangan
jajanan dan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan pewarna terlarang,
termasuk pengawasan terhadap pewarna yang dijual di warung-warung atau
toko-toko.
Mujianto dkk (2005) menyatakan 90% pedagang yang tidak diberikan
pembinaan mempunyai kecenderungan menggunakan bahan tambahan
pangan terlarang 2 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pedagang yang
telah menerima pembinaan, dengan demikian pedagang yang tidak mendapat
pembinaan dapat menjadi faktor resiko untuk terjadinya perilaku penggunaan
bahan tambahan pangan terlarang. 90% pedagang yang tidak diberikan
pengawasan mempunyai kecenderungan menggunakan bahan tambahan
pangan terlarang 1,58 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pedagang
yang telah diberikan pengawasan.
48
Pemerintah adalah pihak yang secara resmi mempunyai kewenangan
untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pangan. Kewenangan
ini berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 942 Tahun 2003 tentang
Persyaratan Higiene Sanitasi Pangan Jajanan pada bab VII pasal 15 tertulis
pembinaan dan pengawasan pangan jajanan dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan Pasal 17 tertulis dalam melaksanakan pembinaan dan
pengawasan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengikut sertakan instansi
terkait, pihak pengusaha, organisasi, profesi, asosiasi, paguyuban dan atau
lembaga swadaya masyarakat serta pasal 19 tertulis ketentuan pembinaan dan
pengawasan pangan jajanan ditetapkan lebih lanjut oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Mujianto dkk, 2005).
Kurang terkontrolnya pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah
mungkin terjadi karena terlalu banyak industri rumah tangga dan hampir
setiap orang warga berhak membuat produk pangan atau berwirausaha
dibidang pangan, maka hal ini juga akan menyebabkan kurang terjangkau
oleh BPOM untuk melakukan pembinaan keseluruh industri rumah tangga.
Untuk melakukan inspeksi mendadak dipasar-pasar khususnya pada pangan
jajanan juga terlalu berat, menginggat berbagai macam jenis pangan yang
dijajakan dari berbagai industri rumah tangga meskipun Direktorat Survailens
Penyuluhan Keamanan Pangan (SPKP) telah melakukan usaha membentuk
jaringan di 400 kabupaten kota seluruh Indonesia dalam rangka pembinaan
industri skala rumah tangga (Aminah dan Hidayah, 2012).
49
Peraturan tentang keamanan pangan di lingkungan sekolah juga
penting untuk dilakukan. Wijaya (2009) menyatakan semua sekolah di Kota
dan Kabupaten Bogor mempunyai peraturan mengenai PJAS namun sebagian
besar hanya secara lisan. Peraturan umumnya mengenai kebersihan pangan
jajanan, kedisiplinan penjaja PJAS dan penggunaan BTP. Namun penelitian
Damayanthi dkk (2013), hanya 1 dari 7 sekolah yang menetapkan peraturan
bagi pedagang yang berjualan di kantin yaitu tidak mengizinkan untuk
menggunakan BTP berupa pemanis, pewarna maupun penyedap rasa. Selain
itu jenis pangan yang dijual selalu diperiksa setiap minggunya oleh pengurus
yayasan.
Menurut Wijaya (2009), peraturan masih belum diterapkan secara
optimal karena sebagian besar praktek keamanan PJAS masih berkategori
kurang dan responden masih menggunakan BTP. Sebagian besar penerapan
peraturan mengenai PJAS berkategori sedang dan hanya satu sekolah yang
terkategori baik karena memiliki komite sekolah yang diduga berpartisipasi
dalam pembentukan peraturan mengenai PJAS. Berdasarkan hasil uji korelasi
diketahui bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara penerapan peraturan
dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan serta tidak ada hubungan
yang nyata antara penerapan peraturan dengan praktek keamanan pangan.
Penerapan peraturan memiliki persepsi yang berbeda-beda sebesar 51,1%
penjaja PJAS tidak mengetahui adanya peraturan yang dibuat oleh pihak
sekolah, hal ini diduga bahwa peraturan mengenai PJAS masih kurang
disosialisasikan oleh pihak sekolah ke penjaja PJAS (Wijaya, 2009).
50
2.8 Perilaku
Tiga faktor yang mempengaruhi perilaku individu atau kelompok,
termasuk tindakan dalam kaitannya dengan lingkungan yaitu faktor
predisposisi atau faktor yang memberikan alasan dan motivasi untuk perilaku,
faktor pemungkin atau faktor yang memfasilitasi motivasi untuk
direalisasikan, faktor penguat atau faktor yang memberikan imbalan atau
insentif secara berlanjut bagi perilaku dan kontribusi untuk persistensi atau
pengulangan (Green dkk, 1991).
Perilaku tertentu dapat dijelaskan sebagai pengaruh dari ketiga jenis
faktor tersebut. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perilaku tunggal atau
tindakan yang disebabkan oleh hanya satu faktor. Tetapi bagi kebanyakan
orang, tiga kondisi (predisposisi, pemungkin dan penguat) harus selaras untuk
perilaku terjadi dan terus berlangsung. Terdapat beberapa hubungan antara
ketiga jenis faktor ini yang dapat mempengaruhi perilaku melalui berbagai
cara (Green dkk, 1991).
Biasanya, urutan perilaku seperti berikut seseorang memiliki alasan
awal, dorongan atau motivasi (faktor predisposisi) untuk melakukan tindakan.
Ini merupakan faktor pertama dalam rantai kausal yang mungkin berguna
untuk memulai perilaku tetapi tidak akan cukup untuk menyelesaikannya
kecuali orang tersebut memiliki sumber daya dan keterampilan yang
diperlukan untuk melaksanakan perilaku. Motivasi diikuti dengan pengerahan
atau penggunaan sumber daya untuk mengaktifkan (faktor pemungkin)
tindakan. Hal ini biasanya menghasilkan perilaku yang diikuti oleh reaksi
51
terhadap perilaku yang emosional, fisik atau sosial (faktor penguat).
Dorongan memperkuat perilaku, sumber daya masa depan dan motivasi.
Tersedianya faktor pemungkin memberikan isyarat serta mempertinggi
kesadaran dan faktor-faktor predisposisi perilaku lainnya (Green dkk, 1991).
2.8.1 Predisposisi (Predisposing)
Faktor predisposisi termasuk pengetahuan, sikap, keyakinan,
nilai-nilai dan persepsi seseorang atau kelompok yang berhubungan
dengan motivasi untuk bertindak. Faktor predisposisi juga meliputi
dimensi kognitif dan afektif dari mengetahui, merasa percaya,
menghargai dan memiliki rasa percaya diri atau rasa keberhasilan.
Keterampilan yang ada dapat muncul melalui faktor efikasi diri,
mempengaruhi seseorang untuk mengambil tindakan. Sejauh mana
orang, organisasi atau komunitas memiliki keterampilan dan kapasitas
tertentu dapat mempengaruhi mereka untuk mengambil tindakan
tertentu tetapi keterampilan sebagai faktor pemungkin. Umumnya,
faktor predisposisi sebagai preferensi pribadi mengantarkan seorang
individu atau kelompok pada pilihan perilaku atau lingkungan dan
pengalaman pendidikan atau organisasi. Preferensi ini dapat
mendukung atau menghambat perilaku. Berbagai faktor demografi
seperti status sosial ekonomi, usia, jenis kelamin dan ukuran keluarga
dapat mempengaruhi perilaku (Green dkk, 1991).
52
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui
proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang
didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng (Sunaryo, 2004).
Pengetahuan biasanya dibedakan menjadi tiga macam yaitu
tahu bahwa, tahu bagaimana dan tahu tentang namun dapat
ditambahkan satu jenis pengetahuan yang serumpun yaitu tahu
mengapa (Keraf dan Dua, 2001).
a. Tahu bahwa adalah pengetahuan tentang informasi tertentu,
tahu bahwa sesuatu terjadi, tahu bahwa ini atau itu demikian
adanya, bahwa apa yang dikatakan benar. Jenis pengetahuan ini
disebut pengetahuan teoritis, pengetahuan ilmiah walaupun
masih pada tingkat yang tidak begitu mendalam. Pengetahuan
ini berkaitan dengan keberhasilan dalam mengumpulkan
informasi atau data tertentu.
b. Tahu bagaimana adalah jenis pengetahuan yang menyangkut
bagaimana melakukan sesuatu. Pengetahuan ini berkaitan
dengan keterampilan atau keahlian dan kemahiran dalam
melakukan sesuatu. Pengetahuan jenis ini dapat disebut juga
pengetahuan praktis. Pengetahuan ini punya landasan teoritis
53
namun konsep teoritis diaplikasikan menjadi pengetahuan
praktis.
c. Tahu tentang adalah sesuatu yang sangat spesifik menyangkut
pengetahuan akan sesuatu atau seseorang melalui pengalaman
atau pengenalan pribadi secara langsung terhadap objek.
Pengetahuan ini dapat disebut juga pengetahuan berdasarkan
pengenalan atau pengetahuan langsung yang bersifat personal.
Ciri pengetahuan model ini adalah tingkat objektivitas cukup
tinggi namun tidak bisa dipungkiri unsur subjektif tetap cukup
kuat, mampu membuat penilaian tertentu atas objek dan
bersifat singular atau hanya berkaitan dengan barang atau objek
khusus.
d. Tahu mengapa berkaitan dengan tahu bahwa namun lebih
mendalam dan serius karena tahu mengapa berkaitan dengan
penjelasan. Penjelasan ini tak hanya berhenti pada informasi
yang ada sebagaimananya tahu bahwa melainkan masuk ke
balik informasi atau data yang ada. Tahu mengapa lebih kritis
bahkan sampai tingkat mengkaitkan dan menyusun hubungan-
hubungan yang tak kelihatan antara berbagai informasi yang
ada. Tahu mengapa lebih jauh untuk mengetahui mengapa
sesuatu terjadi. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan paling
tinggi dan mendalam dan merupakan pengetahuan ilmiah.
54
2. Sikap
Sikap adalah istilah yang mencerminkan rasa seperti
senang, tidak senang atau perasaaan biasa-biasa saja (netral) dari
seseorang terhadap sesuatu. “Sesuatu” itu bisa benda, kejadian,
situasi, orang-orang atau kelompok. Kalau yang timbul terhadap
sesuatu itu adalah perasaan senang, maka disebut sikap positif,
sedangkan kalau perasaan tak senang, sikap negatif. Kalau tidak
timbul perasaan apa-apa, berarti sikapnya netral (Sarwono, 2009).
Sikap mengandung suatu penilaian emosional atau afektif,
pengetahuan tentang objek atau kognitif dan kecenderungan
bertindak atau konatif (Maulana, 2007).
a. Afektif menunjukan dimensi emosional subjektif individu
terhadap objek, baik bersifat positif (rasa senang) maupun
negatif (rasa tidak senang). Reaksi emosional banyak
dipengaruhi oleh apa yang kita percayai sebagai sesuatu yang
benar terhadap objek tersebut (Maulana, 2007).
b. Kognitif atau komponen perceptual berisi kepercayaan yang
berhubungan dengan persepsi individu terhadap objek dengan
apa yang dilihat dan diketahui, pandangan, keyakinan, pikiran,
pengalaman pribadi, kebutuhan emosional dan informasi dari
orang lain (Maulana, 2007).
c. Konatif merupakan kecendurungan bertindak terhadap objek
yang dihadapinya (Maulana, 2007).
55
Sikap tidak sama dengan perilaku dan perilaku tidak selalu
mencerminkan sikap seseorang. Individu sering memperlihatkan
tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Akan tetapi sikap
dapat menimbulkan pola-pola cara berpikir yang dapat
mempengaruhi tindakan. Sikap seseorang dapat berubah dengan
diperolehnya tambahan informasi tentang objek tertentu melalui
persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (Maulana, 2007).
3. Keyakinan
Keyakinan adalah mempercayai atau mempunyai komitmen
terhadap sesuatu atau seseorang. Secara umum keyakinan spiritual
merupakan upaya seseorang untuk memahami tempat seseorang
dikehidupan, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya dalam
hubungannya dengan lingkungan secara menyeluruh (Hamid,
2008). Keyakinan merupakan salah satu komponen pembentuk
sikap (Jain, 2014).
4. Nilai
Budaya, perspektif antar generasi mengenai konsekuensi
mengenai permasalahan yang mencerminkan nilai-nilai yang
dipegang. Nilai cenderung mengelompok pada etnis dan lintas
generasi dari orang-orang yang berbagi sejarah umum dan
geografi. Mereka memberikan „dasar‟ pada individu yang akhirnya
digunakan untuk membenarkan tindakan mereka dalam istilah
moral atau etika. Nilai mendasari benar dan salah, baik dan buruk
56
dari pandangan masyarakat pada perilaku tertentu. Nilai-nilai
pribadi yang tak terpisahkan terkait dengan pilihan perilaku (Green
dkk, 2005). Nilai yang dipegang individu mempengaruhi
pembentukan sikap (Homer dan Kahle, 1988).
2.8.2 Pemungkin (Enabling)
Faktor pemungkin adalah keterampilan, sumber daya atau
hambatan yang dapat membantu atau menghalangi perubahan perilaku
yang diinginkan serta perubahan lingkungan. Faktor pemungkin dapat
dilihat sebagai pemicu atau hambatan yang utamanya diciptakan oleh
kekuatan masyarakat atau sistem. Fasilitas dan sumber daya pribadi
atau masyarakat mungkin cukup atau tidak memadai, seperti
pendapatan atau asuransi kesehatan, serta hukum dan undang-undang
dapat mendukung atau membatasi. Keterampilan yang dibutuhkan
untuk perilaku yang diinginkan terjadi juga memenuhi syarat sebagai
faktor pemungkin. Faktor pemungkin mencakup semua faktor yang
memungkinkan perubahan yang diinginkan dalam perilaku atau
lingkungan. Faktor pemungkin juga termasuk keterampilan baru bahwa
seseorang, organisasi atau komunitas untuk melakukan perubahan
perilaku atau lingkungan (Green dkk, 1991).
1. Ketersediaan sumber daya
Fasilitas, sarana, prasarana yang mendukung atau yang
menfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat
(Notoatmodjo, 2010b).
57
2. Aksesibilitas
Masyarakat mempunyai perilaku harus terakses atau
terjangkau transportasi serta sarana dan prasarana atau fasilitas
pelayanan kesehatan (Green dkk, 1991).
3. Peraturan
Adanya kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan oleh
pembuat kebijakan yang mendukung atau menguntungkan
kesehatan (Notoatmodjo, 2010b).
4. Keterampilan
Keterampilan kesehatan pribadi seperti perawatan diri dan
pendidikan di sekolah kesehatan serta keterampilan dalam
mempengaruhi masyarakat seperti melalui aksi sosial dan
perubahan organisasi (Green dkk, 1991).
2.8.3 Penguat (Reinforcing)
Faktor penguat adalah konsekuensi dari tindakan yang
menentukan apakah pelaku menerima umpan balik positif (atau
negatif) dan didukung secara sosial setelah terjadi. Faktor penguat
termasuk dukungan sosial, pengaruh teman, saran dan umpan balik
dari penyedia layanan kesehatan. Faktor penguat juga mencakup
konsekuensi fisik perilaku, yang mungkin terpisah dari konteks sosial
(Green dkk, 1991).
Manfaat sosial (seperti pengakuan), manfaat fisik (seperti
kemudahan, kenyamanan, menghilangkan ketidaknyamanan atau
58
sakit), imbalan nyata (seperti manfaat ekonomi atau penghindaran
biaya) dan membayangkan atau pengganti imbalan (seperti perbaikan
penampilan, harga diri atau pergaulan dengan orang yang dikagumi
yang menunjukkan perilaku) semua memperkuat perilaku. Faktor
penguat juga mencakup konsekuensi yang merugikan dari perilaku
atau "hukuman" yang dapat menyebabkan hilangnya perilaku positif.
Perilaku negatif adalah balasan dari perilaku dengan menghilangkan
sesuatu yang tidak menyenangkan (Green dkk, 1991).
Mengantisipasi penguatan (atau hukuman) dapat terjadi
sebelum perilaku. Seperti penguatan yang di antisipasi dapat
mempengaruhi kinerja perilaku selanjutnya. Penerimaan sosial (atau
penolakan) dapat menjadi faktor penguat (Green dkk, 1991).
1. Pengaruh petugas kesehatan
Petugas kesehatan atau tenaga kesehatan adalah setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Upaya Kesehatan
adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam
bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
59
penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh Pemerintah dan/atau
masyarakat (Pasal 1 UU No. 36 Tahun 2014).
2. Pengaruh teman
Pengaruh teman sekelompok adalah kemampuan
memengaruhi perilaku individu di antara anggota kelompok
berdasarkan norma-norma kelompok, kesadaran kelompok atas apa
yang merupakan hal atau cara benar untuk melakukan hal-hal serta
kebutuhan untuk dinilai dan diterima oleh kelompok (Pearce dan
Robinson, 2008).
3. Pengaruh orang tua
Orang tua mempunyai kemampuan secara langsung dan
tidak langsung untuk mempengaruhi semua aspek pada lingkungan
anak mereka baik secara fisik, kognitif, sosial, budaya dan ekonomi
serta utamanya perilaku aktifitas fisik. Pengaruh atau dukungan
langsung termasuk memberikan kendaraan atau dukungan
keuangan, berperan sebagai panutan atau menawarkan diri untuk
terlibat dalam aktifitas fisik bersama. Dukungan tidak langsung
termasuk dukungan emosional seperti semangat dan pujian
(Wenthe, 2007).
60
Bagan 2.1
Tiga Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
Faktor Predisposisi
Pengetahuan
Sikap
Keyakinan
Nilai dll
Faktor Penguat
Petugas Kesehatan
Teman
Orang tua dll
Faktor Pemungkin
Ketersediaan Sumber Daya
Aksesibilitas
Peraturan
Keterampilan dll
Perilaku
(Tindakan)
Sumber: Green dkk (1991)
61
2.9 Kerangka Teori
Bagan 2.2
Kerangka Teori
Pengetahuan
Ketersediaan Sumber Daya
Petugas Kesehatan
Penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B Pada Pangan
Jajanan Anak Sekolah
Sikap
Keyakinan
Nilai
Aksesibilitas
Peraturan
Keterampilan
Sesama Pedagang
Orang Tua
Keterangan:
Diteliti
Tidak Diteliti
Institusi Pendidikan
Predisposisi
Pemungkin
Penguat
62
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan
jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok
Benda. Variabel independen terdiri dari pengetahuan, sikap, keterampilan,
aksesibilitas, peraturan sekolah terkait usaha pangan jajanan, pengaruh
sesama pedagang pangan jajanan serta pembinaan dan pengawasan oleh
petugas kesehatan dan sekolah sedangkan variabel dependen dari penelitian
ini adalah penggunaan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan
jajanan anak sekolah.
Adapun variabel lain yang tidak dilakukan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Keyakinan, dikarenakan menurut Jain (2014) keyakinan merupakan salah
satu komponen pembentuk sikap oleh karena variabel sikap akan diteliti
dalam penelitian ini maka variabel keyakinan tidak diteliti sebagaimana
secara tidak langsung variabel sikap dapat menggambarkan keyakinan
yang tertanam pada orang tersebut.
2. Nilai, dikarenakan menurut Homer dan Kahle (1988) nilai-nilai yang
dipegang individu mempengaruhi pembentukan sikap sehingga peneliti
menggabungkannya dalam variabel sikap sebab secara tidak langsung
variabel sikap dapat menggambarkan nilai yang tertanam pada orang
tersebut.
63
3. Ketersediaan sumber daya, dikarenakan peneliti menggabungkannya
dalam variabel aksesibilitas sebab aksesibilitas dapat berarti teraksesnya
atau terjangkaunya sumber daya (yaitu, pewarna sintetik).
4. Orang tua, dikarenakan pada umumnya para orang tua akan selalu
mengajarkan hal-hal yang baik kepada anak-anaknya sehingga peneliti
tidak meneliti variabel ini.
Sedangkan dampak hanya akan dibahas berdasarkan literatur dikarenakan
tujuan penggunaan pewarna sintetik pada pedagang umumnya sama yaitu
untuk mengurangi biaya produksi sehingga pengeluaran lebih sedikit dan
mendapat keuntungan lebih besar.
64
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan
Penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B Pada Pangan
Jajanan Anak Sekolah
Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan
Sikap Pedagang Pangan Jajanan
Peraturan Sekolah
Pengaruh Sesama Pedagang
Aksesibilitas Pewarna
Pembinaan dan Pengawasan
Petugas Kesehatan
Pembinaan dan Pengawasan
Sekolah
65
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Variabel Dependen
1. Penggunaan Eritrosin
dan Rhodamin B Pada
Pangan Jajanan Anak
Sekolah
Ada atau tidak adanya Eritrosin
dan Rhodamin B pada pangan
jajanan anak sekolah.
Uji
Laboratorium
Spektrofotometri
UV-Visibel dan
serat wol
0. Ya
1. Tidak
Nominal
Variabel Independen
2. Pengetahuan Kemampuan pedagang pangan
jajanan dalam menjawab
pertanyaan tentang pewarna
sintetik beserta dampaknya.
Wawancara Kuesioner 0. Kurang = 0-5
1. Sedang = 6-7
2. Baik = 8-10
(Sugiyatmi, 2006)
Ordinal
3. Sikap Pernyataan yang menunjukkan
kepedulian / ketidakpedulian
pedagang terhadap risiko dan
bahaya penggunaan pewarna
sintetik pada pangan jajanan.
Wawancara Kuesioner 0. Kurang = 0-5
1. Sedang = 6-7
2. Baik = 8-10
(Sugiyatmi, 2006)
Ordinal
4. Keterampilan Kemampuan pedagang dalam
mengolah sendiri bahan baku dan
bahan tambahan pangan menjadi
pangan jajanan.
Wawancara Kuesioner 0. Ya
1. Tidak
Nominal
5. Aksesibilitas Pernyataan yang menunjukkan
mudah / sulitnya pedagang
pangan jajanan dalam
Wawancara Kuesioner 0. Mudah
1. Sulit
Nominal
66
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
memperoleh pewarna (misalnya
ketersediaan, akses dan harga).
6. Peraturan Pernyataan yang menunjukkan
ada / tidak adanya peraturan /
kebijakan sekolah terkait dengan
persyaratan pangan jajanan.
Wawancara Kuesioner 0. Tidak Ada
1. Ada
Nominal
7. Pengaruh Sesama
Pedagang
Pernyataan yang menunjukkan
ada / tidak adanya pengaruh
sesama pedagang dalam menjual
pangan jajanan.
Wawancara Kuesioner 0. Ada
1. Tidak Ada
Nominal
8. Pembinaan dan
Pengawasan Petugas
Kesehatan
Pernyataan yang menunjukkan
pernah / tidak pernahnya petugas
kesehatan melakukan pembinaan
dan pengawasan pangan jajanan.
Wawancara Kuesioner 0. Tidak Pernah
1. Pernah
Nominal
9. Pembinaan dan
Pengawasan Sekolah
Pernyataan yang menunjukkan
pernah / tidak pernahnya sekolah
melakukan pembinaan dan
pengawasan penjualan pangan
jajanan.
Wawancara Kuesioner 0. Tidak Pernah
1. Pernah
Nominal
67
3.3 Hipotesis
1. Ada hubungan antara pengetahuan pedagang pangan jajanan anak sekolah
dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.
2. Ada hubungan antara sikap pedagang pangan jajanan anak sekolah
dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.
3. Ada hubungan antara keterampilan pedagang pangan jajanan anak
sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.
4. Ada hubungan antara aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak sekolah
dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.
5. Ada hubungan antara peraturan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B.
6. Ada hubungan antara pengaruh sesama pedagang pangan jajanan anak
sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.
7. Ada hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan
dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan
jajanan anak sekolah.
8. Ada hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh sekolah dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan jajanan
anak sekolah.
68
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan
pendekatan Cross Sectional. Dalam penelitian ini akan dipelajari faktor-
faktor yang berhubungan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada
pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan
Pondok Benda Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di seluruh SDN Sekelurahan Pondok Benda
Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan yaitu SDN Pondok Benda I,
SDN Pondok Benda II, SDN Pondok Benda III, SDN Pondok Benda IV,
SDN Pondok Benda V, SDN Pondok Benda VI, SDN Parakan I dan SDN
Parakan II dengan waktu penelitian pada bulan Agustus-September Tahun
2015.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang pangan
jajanan SDN di Sekelurahan Pondok Benda Kecamatan Pamulang
Kota Tangerang Selatan yang berjumlah 34 orang.
69
4.3.2 Sampel
1. Sampel Responden
Pedagang pangan jajanan anak sekolah yang akan dijadikan
sebagai sampel responden dalam penelitian ini akan ditentukan
dengan cara estimasi (Lemeshow dkk, 1997):
Keterangan:
Berdasarkan perhitungan rumus tersebut diperoleh besar
sampel minimum adalah 14 pedagang namun karena jumlahnya
yang relatif kecil maka sampel dipilih dengan metode sampel jenuh
yaitu teknik penarikan sampel apabila semua anggota populasi
digunakan sebagai sampel (Lusiana dkk, 2015) dengan kriteria
inklusi pedagang pangan jajanan bersedia menjadi responden dan
kriteria eksklusi pedagang pangan jajanan yang berjualan tidak
tetap di lokasi penelitian. Pada akhirnya besar sampel yang
memenuhi kriteria dalam penelitian adalah 30 pedagang pangan
jajanan.
70
2. Sampel Pangan Jajanan Anak Sekolah
Sampel pangan jajanan anak sekolah dipilih dengan metode
accidental sampling yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan
kebetulan (Lusiana dkk, 2015). Pangan jajanan yang secara
kebetulan ditemukan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila
pangan jajanan tersebut pada waktu menentukan sampel cocok
dengan yang diperlukan sebagai sumber data.
Tabel 4.1 Sampel Pangan Jajanan Anak Sekolah
Responden Pangan Jajanan
1 Es Teh
2 Es Campur
3 Es Potong I
Es Potong II
4 Es Mambo I
5 Bakso
Saos Bakso
6 Lenting
7 Batagor I
Saos Batagor
8 Minuman Merah I
9 Batagor II
Saos Batagor
10 Cilung
Saos Cilung
11 Telur Goreng I
Saos Telur Goreng
12 Selendang Mayang
13 Sosis
14 Es Mambo II
15
16
Telur Goreng II
Saos Telur Goreng
Es Pipih I
Es Pipih II
Es Pipih III
17 Batagor III
71
Responden Pangan Jajanan
Saos Batagor
18 Es Doger I
19 Kerupuk Gulali
Gulali
20 Telur Puyuh Goreng
Saos Telur Puyuh Goreng
21 Bakso, Mie
Saos Bakso, Mie
22 Ayam Tepung
Saos Ayam Tepung
23 Siomay I
Saos Siomay
24 Minuman Merah II
Minuman Oranye
Minuman Kuning
25 Minuman Merah III
26 Cilok
Saos Cilok
27 Minuman Merah IV
28 Es Doger II
29 Es Dawet
30 Siomay II
Saos Siomay
4.4 Sumber Data Penelitian
4.4.1 Data Primer
Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari data hasil uji
laboratorium dan data hasil kuesioner tentang pengetahuan pedagang
pangan jajanan, sikap pedagang pangan jajanan, keterampilan
pedagang pangan jajanan, akses pedagang pangan jajanan, peraturan
sekolah terkait usaha pangan jajanan, pengaruh sesama pedagang
dalam menjalankan usaha pangan jajanan serta pembinaan dan
pengawasan oleh petugas kesehatan dan sekolah terhadap pangan
jajanan.
72
4.4.2 Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini antara lain adalah data
jejaring keamanan pangan jajanan anak sekolah dari Dinas Kesehatan
Kota Tangerang Selatan, data daftar SD di Kecamatan Pamulang
Sekelurahan Pondok Benda dari Dinas Pendidikan Kota Tangerang
Selatan.
4.5 Instrumen Penelitian
Dalam pengumpulan data penelitian digunakan beberapa instrumen
penelitian, yaitu:
1. Kuesioner. Kuesioner merupakan hasil modifikasi dari kuesioner
Sugiyatmi (2006) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor
Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks dan Pewarna Pada Pangan
Jajanan Tradisional Yang Dijual Di Pasar-Pasar Kota Semarang”.
Tabel 4.2 Variabel Pertanyaan
Variabel Pertanyaan
Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Pada PJAS I1
Pengetahuan B1-B10
Sikap C1-C10
Keterampilan D1
Aksesibilitas E1-E3
Peraturan F1
Pengaruh Sesama Pedagang G1
Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan H1
Pembinaan dan Pengawasan Sekolah H2
a. Uji Validitas
Uji validitas dilakukan dengan rumus korelasi bivariat
pearson. Hasil pengujian validitas dapat dilihat pada kolom corrected
item-total correlation dimana nilai r hitung yang terdapat pada kolom
73
tersebut dibandingkan dengan nilai R tabel. Item kuesioner dalam uji
validitas dikatakan valid jika nilai R hitung > R tabel pada signifikasi
5%. Sebaliknya item dikatakan tidak valid jika nilai R tabel > R
hitung pada signifikasi 5% (Hastono, 2006). Adapun hasil uji
validitas sebagaimana data dalam tabel berikut:
Tabel 4.3 Hasil Uji Validitas Kuesioner
Nomor
Item
Rhitung Rtabel 5%
(N=15)
Keterangan
B1 0,740 0,514 Valid
B2 0,644 0,514 Valid
B3 0,772 0,514 Valid
B4 0,639 0,514 Valid
B5 0,774 0,514 Valid
B6 0,672 0,514 Valid
B7 0,690 0,514 Valid
B8 0,576 0,514 Valid
B9 0,697 0,514 Valid
B10 0,750 0,514 Valid
C1 0,788 0,514 Valid
C2 0,875 0,514 Valid
C3 0,788 0,514 Valid
C4 0,596 0,514 Valid
C5 0,875 0,514 Valid
C6 0,788 0,514 Valid
C7 0,875 0,514 Valid
C8 0,596 0,514 Valid
C9 0,788 0,514 Valid
C10 0,875 0,514 Valid
D1 1 0,514 Valid
E1 1 0,514 Valid
F1 0,828 0,514 Valid
F2 0,715 0,514 Valid
G 1 0,514 Valid
H1 0,632 0,514 Valid
H2 0,632 0,514 Valid
Hasil perhitungan uji validitas sebagaimana tabel di atas
menunjukan bahwa seluruh pertanyaan dalam kuesioner penelitian ini
74
valid dan dapat digunakan sebagai instrument penelitian karena nilai
Rhitung > Rtabel pada signifikasi 5%.
b. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan rumus alpha.
Hasil pengujian reliabilitas dapat dapat dilihat pada kolom
Cronbach’s alpha. Instrumen dapat dikatakan reliabel jika nilai apha
lebih besar dari R tabel (Hastono, 2006).
Adapun hasil uji reliabilitas sebagaimana data dalam tabel berikut:
Tabel 4.4 Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner
Rhitung Rtabel 5%
(N=15)
Keterangan
0,906 0,514 Reliabel
Hasil uji reliabilitas diperoleh nilai koefisien reliabilitas
kuesioner sebesar 0,906. Berdasarkan nilai koefisien reliabilitas
tersebut dapat disimpulkan bahwa kuesioner dalam penelitian ini
reliable atau konsisten sehingga dapat digunakan sebagai instrument
penelitian.
2. Lembar hasil analisis kandungan pewarna sintetik pada pangan jajanan,
3. Seperangkat alat dan bahan analisis kimia untuk mengidentifikasi
kandungan pewarna sintetik pada pangan jajanan.
4.6 Cara Pengumpulan Data
4.6.1 Wawancara
Wawancara, digunakan untuk menggali data tentang
pengetahuan pedagang pangan jajanan, sikap pedagang pangan
75
jajanan, akses pedagang pangan jajanan, keterampilan pedagang
pangan jajanan, peraturan sekolah terkait usaha pangan jajanan,
pengaruh sesama pedagang dalam menjalankan usaha pangan jajanan
serta pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan dan sekolah
terhadap pangan jajanan.
4.6.2 Uji Laboratorium
Uji laboratorium pada penelitian ini digunakan untuk
memperoleh data ada atau tidaknya pewarna sintetik serta kadar
pewarna sintetik dalam pangan jajanan anak sekolah. Analisis
kandungan pewarna sintetik ini dilakukan dengan Spektrofotometri
UV-Visibel dan serat wol.
1. Spektrofotometri UV-Visibel
Spektrofotometri UV-Visibel yang digunakan adalah merek
Perkin Elmer Lambda 25 dengan jangkauan 190-1100 nm,
bandwidth 1 nm dan metode operasional seperti pemindaian,
pemrograman panjang gelombang, analisis kuantitatif, pemindaian
analisis kuantitatif dan lain-lain. Fitur-fitur yang ada antara lain
pengoperasian sinar ganda, throughput yang besar, penyimpangan
lampu fiber optik rendah, memiliki beragam aksesoris dan
peralatan serta berperangkat lunak WinLab UV. Keunggulannya
yaitu dapat menganalisis semua jenis farmakope, cocok untuk
semua jenis sampel cairan serta memiliki stabilitas, akurasi dan
kemampuan memroduksi yang tinggi (PerkinElmer, 2015).
76
Pengukuran zat pewarna sintetik pada analisa kuantitatif
menggunakan metode Spektrofotometri UV-Visibel (Depkes RI
dalam Sumarlin, 2010).
a. Preparasi Standar
Standar Rhodamin B (0 ppm – 10 ppm)
Memipet masing-masing 1107,4µl dan 2214,8 standar
tartrazine 451,5 ppm ke dalam labu takar 100 ml.
Menambahkan aquades masing-masing menjadi 100 ml
kemudian di kocok. Deret standar ini mengandung 0, 1, 2.5, 5,
7.5 dan 10 ppm Rhodamin B.
b. Preparasi Sampel
Metode preparasi sampel pada analisa kuantitatif dengan
Spektrofotometri menggunakan metode preparasi analisa
kualitatif (Kromatografi kertas), yaitu:
1) Memasukan ±10 ml sampel cair atau 10-25 gram sampel
padatan ke dalam gelas piala 100 ml.
2) Diasamkan dengan menambahkan 5 ml asam asetat 10 %.
3) Masukan dan rendam benang wol ke dalam sampel
tersebut.
4) Panaskan dan diamkan sampai mendidih (±10 menit).
5) Ambil benang wol, dicuci dengan air dan dibilas dengan
aquades.
77
6) Tambahkan 25 ml amoniak 10 % ke dalam benang wol
yang telah dibilas tersebut.
7) Panaskan benang wol sampai warna yang tertarik pada
benang wool luntur kembali.
8) Warna yang telah ditarik dari benang wol dan masih larut
dalam amoniak kemudian di analisa dengan
spektrofotometer UV-Visibel.
Perhitungan:
FP = Faktor Pengenceran
2. Serat Wol
Prinsip kerja serat wol digunakan untuk analisis zat warna
karena sifatnya yang dapat mengabsorpsi zat warna baik yang asam
maupun yang basa. Serat wol dan sutera mengandung protein
amfoter yang mempunyai afinitas terhadap asam maupun basa
dengan bentuk garam. Dengan mengamati perubahan warna dari
benang wol yang telah dicelup dalam berbagai pereaksi maka jenis
zat warna dapat ditentukan (Hanafi dan Zulkarnain, 2009).
Alat dan bahan yang digunakan adalah Piala gelas,
Lempeng tetes, Pipet tetes, Hot Plate Stirer, Benang Wol, HCl
10%, NaOH 10%, HCl pekat, H2SO4 pekat, NH4OH 12% dan
78
contoh bahan pangan yang mengandung zat warna sintetik. Dan
berikut adalah cara kerjanya, (Hanafi dan Zulkarnain, 2009):
a. 30-50ml contoh berupa cairan (untuk padatan 25g contoh
dihomogenkan dengan air kemudian diambil 30-50ml)
diasamkan dengan sedikit HCl 10%;
b. Masukan benang wol (kurang lebih 20cm) ke dalam larutan,
didihkan selama 30 menit;
c. Benang wol diangkat, cuci dengan air dingin;
d. Keringkan, potong menjadi 4 bagian;
e. Tempatkan keempat potongan benang wol diatas lempengan
tetes kemudian tiap potongan ditetesi dengan satu zat yang
berbeda, yaitu NaOH 10%, HCl pekat, H2SO4 pekat dan
NH4OH 12%;
f. Amati perubahan warna, bandingkan dengan standar warna.
Tabel 4.5 Indikator Perubahan Warna Serat Wol
Bahan
Pewarna
Sintetik
HCl Pekat H2SO4 Jenuh NaOH 10% NH4OH
Eritrosin Jingga-kuning Jingga-kuning Tidak berubah Tidak berubah
Rhodamin B Jingga Kuning Biru Biru
Sumber: Hanafi dan Zulkarnain (2009)
4.7 Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan oleh peneliti kemudian akan diolah
dengan menggunakan program komputer meliputi:
79
1. Editing
Editing adalah kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian
kuesioner. Apabila ada jawaban-jawaban yang belum lengkap, kalau
memungkinkan perlu dilakukan pengambilan data ulang untuk
melengkapi jawaban-jawaban tersebut. Tetapi apabila tidak
memungkinkan maka pertanyaan yang jawabnya tidak lengkap tidak
diolah atau dimasukan dalam pengolahan “data missing”.
2. Coding
Setelah semua kuesioner di edit atau di sunting, selanjutnya
dilakukan pengkodean atau “coding”, yakni mengubah data berbentuk
kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan. Koding atau
pemberian kode ini sangat berguna dalam memasukan data (data entry).
Berikut adalah pengkodean pada masing-masing variabel:
a. Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan jajanan
“Ya” = “[0]” dan “Tidak” = “[1]”.
b. Pengetahuan pedagang pangan jajanan tentang pewarna sintetik,
“Kurang” = “[0]” jika responden dapat menjawab pertanyaan dengan
benar sebesar 0-5 item; “Sedang” = “[1]” jika responden dapat
menjawab pertanyaan dengan benar sebesar 6-7 item dan “Baik” =
“[2]” jika responden dapat menjawab pertanyaan dengan benar
sebesar 8-10 item.
c. Sikap pedagang pangan jajanan terhadap penggunaan pewarna
sintetik, “Kurang” = “[0]” jika responden dapat menjawab pertanyaan
80
dengan benar sebesar 0-5 item; “Sedang” = “[1]” jika responden dapat
menjawab pertanyaan dengan benar sebesar 6-7 item dan “Baik” =
“[2]” jika responden dapat menjawab pertanyaan dengan benar
sebesar 8-10 item.
d. Keterampilan pedagang dalam mengolah sendiri pengan jajanannya,
“Ya” = “[0]” = dan “Tidak” = “[1]”.
e. Aksesibilitas pedagang dalam memperoleh pewarna, “Mudah” = “[0]”
dan “Sulit” = “[1]”.
f. Peraturan sekolah terkait persyaratan pangan jajanan, “Tidak Ada” =
“[0]” dan “Ada” = “[1]”.
g. Pengaruh sesama pedagang dalam menjual pangan jajanan, “Ada” =
“[0]” dan “Tidak Ada” = “[1]”.
h. Pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan terhadap pangan
jajanan, “Tidak Pernah” = “[0]” dan “Pernah” = “[1]”.
i. Pembinaan dan pengawasan oleh sekolah terhadap pangan jajanan,
“Tidak Pernah” = “[0]” dan “Pernah” = “[1]”.
3. Entry
Data yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang
dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program
atau “software” komputer.
81
4. Cleaning
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai
dimasukan perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-
kemungkinan kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan
sebagainya kemudian dilakukan pembentulan atau koreksi. Proses ini
disebut pembersihan data (data cleaning).
4.8 Analisis Data
4.8.1 Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan pengetahuan pedagang pangan jajanan, sikap
pedagang pangan jajanan, keterampilan pedagang dalam mengolah
pangan jajanan, aksesibilitas pedagang pangan jajanan, peraturan
sekolah, pengaruh sesama pedagang, pembinaan dan pengawasan oleh
petugas kesehatan dan sekolah serta penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel
distribusi dan persentase.
4.8.2 Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
hubungan antara variabel bebas yaitu pengetahuan, sikap,
keterampilan, aksessibilitas, peraturan, pengaruh teman serta
pembinaan dan pengawasan dengan variabel terikat yaitu penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B. Analisis yang digunakan adalah uji Chi
Square dengan nilai . Interpretasi hasil analisis yaitu apabila
82
nilai P ≤ disimpulkan terdapat hubungan yang signifikan antar
variabel dan apabila P > disimpulkan tidak terdapat hubungan yang
signifikan antar variabel (Hastono dan Sabri, 2010).
Rumus Chi Square: ∑
83
BAB V
HASIL
5.1 Analisis Univariat
5.2.1 Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B
Distribusi penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan
jajanan di SDN Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada
Tabel 5.1
Tabel 5.1a
Distribusi Frekuensi Penggunaan Eritrosin Di SDN Sekelurahan
Pondok Benda Tahun 2015
Kategori Frekuensi Persentase (%)
Ya 4 13,3
Tidak 26 86,7
Total 30 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa dari 30 sampel pangan
jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di sekitar SDN
Sekelurahan Pondok Benda sebesar 13,3% sampel mengandung
Eritrosin yaitu minuman berwarna merah.
Tabel 5.1b
Distribusi Frekuensi Penggunaan Rhodamin B Di SDN
Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015
Kategori Frekuensi Persentase (%)
Ya 4 13,3
Tidak 26 86,7
Total 30 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa dari 30 sampel pangan
jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di sekitar SDN
84
Sekelurahan Pondok Benda sebesar 13,3% sampel mengandung
Rhodamin B yaitu sosis, kerupuk gulali dan es mambo.
5.2.2 Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan Tentang Pewarna
Distribusi pengetahuan pedagang pangan jajanan di SDN
Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.2
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan Di
SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015
Kategori Frekuensi Persentase (%)
Baik 9 30
Sedang 14 46,7
Kurang 7 23,3
Total 30 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa 46,7% pedagang pangan
jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda
memiliki pengetahuan umum tentang pewarna dalam kategori sedang
seperti tujuan penggunaan pewarna dan jenis pewarna.
5.2.3 Sikap Pedagang Pangan Jajanan Terhadap Penggunaan Pewarna
Distribusi sikap pedagang pangan jajanan di SDN Sekelurahan
Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.3
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Sikap Pedagang Pangan Jajanan Di SDN
Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015
Kategori Frekuensi Persentase (%)
Baik 17 56,7
Sedang 11 36,7
Kurang 2 6,6
Total 30 100
85
Data dalam tabel menunjukkan bahwa 56,7% pedagang pangan
jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda
memiliki sikap tentang penggunaan pewarna dalam kategori baik
seperti tidak boleh menggunakan pewarna sembarangan, pewarna kain
berdampak buruk bagi kesehatan jika digunaka pada pangan dan
pewarn alami lebih baik daripada pewarna buatan.
5.2.4 Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan
Distribusi keterampilan pedagang pangan jajanan di SDN
Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.4
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan Di
SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015
Kategori Frekuensi Persentase (%)
Ya 7 23,3
Tidak 23 76,7
Total 30 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa 76,7% pedagang pangan
jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda tidak
memiliki keterampilan dalam membuat sendiri pangan jajanan yang
dijualnya, umumnya mereka menjual pangan jajanan yang sudah jadi
atau bisa disebut sebagai penjaja pangan jajanan.
5.2.5 Aksesibilitas Pedagang Pangan Jajanan
Distribusi aksesibilitas pedagang pangan jajanan di SDN
Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.5
86
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Aksesibilitas Pedagang Pangan Jajanan Di
SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015
Kategori Frekuensi Persentase (%)
Mudah 28 93,3
Sulit 2 6,7
Total 30 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa 93,3% pedagang pangan
jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda
menyatakan mudah untuk mengakses pewarna baik dari ketersediaan
yang selalu ada, harga yang terjangkau dan jarak yang dekat.
5.2.6 Peraturan Sekolah Tentang Keamanan Pangan
Distribusi peraturan sekolah di SDN Sekelurahan Pondok
Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.6
Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Peraturan Sekolah Di Sekitar SDN
Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015
Kategori Frekuensi Persentase (%)
Ada 7 23,3
Tidak Ada 23 76,7
Total 30 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa 76,7% pedagang pangan
jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda
menyatakan tidak ada peraturan dari sekolah terkait keamanan pangan
jajanan jika berjualan di sekitaran lingkungan sekolah.
5.2.7 Pengaruh Sesama Pedagang Pangan Jajanan
Distribusi pengaruh sesama pedagang pangan jajanan di SDN
Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.7
87
Tabel 5.7
Distribusi Frekuensi Pengaruh Sesama Pedagang Pangan Jajanan
Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015
Kategori Frekuensi Persentase (%)
Ya 6 20
Tidak 24 80
Total 30 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa 80% pedagang pangan
jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda
menyatakan tidak ada pengaruh dari sesama pedagang dalam
penggunaan bahan pangan jajanan.
5.2.8 Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan
Distribusi pembinaan dan pengawasan petugas kesehatan di
SDN Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.8
Tabel 5.8
Distribusi Frekuensi Pembinaan dan Pengawasan Petugas
Kesehatan Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015
Kategori Frekuensi Persentase (%)
Pernah 16 53,3
Tidak Pernah 14 46,7
Total 30 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa 53,3% pedagang pangan
jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda
menyatakan pernah ada pembinaan dan pengawasan dari petugas
kesehatan seperti pengujian kandungan kimia pada sampel pangan
jajanan.
88
5.2.9 Pembinaan dan Pengawasan Sekolah
Distribusi pembinaan dan pengawasan sekolah di SDN
Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.9
Tabel 5.9
Distribusi Frekuensi Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Di SDN
Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015
Kategori Frekuensi Persentase (%)
Pernah 6 20
Tidak Pernah 24 80
Total 30 100
Data dalam tabel menunjukkan bahwa 80% pedagang pangan
jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda
menyatakan tidak pernah ada pembinaan dan pengawasan dari pihak
sekolah terhadap pangan jajanan yang dijual.
5.2 Analisis Bivariat
5.2.1 Hubungan Pengetahuan Dengan Penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B
Hubungan pengetahuan dengan penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel 5.10
Tabel 5.10a
Hubungan Pengetahuan Dengan Penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015
Pengetahuan Penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B
Total pValue OR
Ya Tidak
N % N % N % 0,666 0,625
Kurang 5 23,8 16 76,2 21 100
Baik 3 33,3 6 66,7 9 100
Total 8 26,7 26 73,3 30 100
89
*catatan: terdapat penggabungan pengetahuan kategori sedang menjadi kurang
Hasil pengujian hubungan pengetahuan dengan penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-square diperoleh pValue
= 0,666 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara pengetahuan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B, artinya proporsi pedagang pangan jajanan
yang memiliki pengetahuan kategori baik maupun kategori kurang
tidak banyak berbeda.
5.2.2 Hubungan Sikap Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B
Hubungan sikap dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B
ditunjukkan seperti pada Tabel 5.11
Tabel 5.11
Hubungan Sikap Dengan Penggunaan Eritrosin Di SDN
Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015
Sikap Penggunaan Eritrosin Total pValue OR
Ya Tidak
N % N % N % 0,698 1,444
Kurang 4 30,8 9 69,2 13 100
Baik 4 23,5 13 76,5 17 100
Total 8 26,7 22 73,3 30 100
*catatan: terdapat penggabungan pengetahuan kategori sedang menjadi kurang
Hasil pengujian hubungan sikap dengan penggunaan Eritrosin
dan Rhodamin B menggunakan Chi-square diperoleh pValue = 0,698
yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
sikap pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan
90
Rhodamin B, artinya proporsi pedagang pangan jajanan yang memiliki
sikap kategori baik maupun kategori kurang tidak banyak berbeda.
5.2.3 Hubungan Keterampilan Dengan Penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B
Hubungan antara keterampilan dengan penggunaan Eritrosin
dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel 5.12
Tabel 5.12
Hubungan Keterampilan Dengan Penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015
Keterampilan Penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B
Total pValue OR
Ya Tidak
N % N % N % 0,638 0,381
Ya 1 14,3 6 85,7 7 100
Tidak 7 30,4 16 69,6 23 100
Total 8 26,7 22 73,3 30 100
Hasil pengujian hubungan keterampilan dengan penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-square diperoleh pValue
= 0,638 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara keterampilan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B, artinya proporsi pedagang pangan jajanan
yang memiliki keterampilan kategori membuat sendiri maupun tidak
membuat sendiri banyak berbeda.
91
5.2.4 Hubungan Aksesibilitas Dengan Penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B
Hubungan antara aksesibilitas dengan penggunaan Eritrosin
dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel 5.13
Tabel 5.13
Hubungan Aksesibilitas Dengan Penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015
Aksesibilitas Penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B
Total pValue OR
Ya Tidak
N % N % N % 1 0,714
Mudah 8 28,6 20 71,4 28 100
Sulit 0 0 2 100 2 100
Total 4 26,7 26 73,3 30 100
Hasil pengujian hubungan aksesibilitas dengan penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-square diperoleh pValue
= 1 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara aksesibilitas dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B,
artinya proporsi pedagang pangan jajanan yang memiliki aksesibilitas
kategori mudah maupun kategori sulit tidak banyak berbeda.
5.2.5 Hubungan Peraturan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B
Hubungan antara peraturan sekolah dengan penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel 5.14
92
Tabel 5.14
Hubungan Peraturan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015
Peraturan
Sekolah
Penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B
Total pValue OR
Ya Tidak
N % N % N % 0,345 0,370
Tidak Ada 5 21,7 18 78,3 23 100
Ada 3 42,9 4 57,1 7 100
Total 8 26,7 22 73,3 30 100
Hasil pengujian hubungan peraturan sekolah dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-square
diperoleh pValue = 0,345 yang menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara peraturan sekolah dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B, artinya proporsi sekolah yang
tidak memiliki peraturan keamanan pangan maupun memiliki
peraturan keamanan pangan tidak banyak berbeda.
5.2.6 Hubungan Pengaruh Sesama Pedagang Dengan Penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B
Hubungan antara pengaruh sesama pedagang dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel
5.15
93
Tabel 5.15
Hubungan Pengaruh Sesama Pedagang Dengan Penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda
Tahun 2015
Pengaruh
Sesama
Pedagang
Penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B
Total pValue OR
Ya Tidak
N % N % N % 0,287 0,185
Ada 0 0 5 100 5 100
Tidak Ada 8 32 17 68 25 100
Total 8 26,7 22 73,3 30 100
Hasil pengujian hubungan peraturan sekolah dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-square
diperoleh pValue = 0,287 yang menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara pengaruh sesama pedagang dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B, artinya proporsi ada pengaruh
sesama pedagang maupun tidak ada pengaruh sesama pedagang tidak
banyak berbeda.
5.2.7 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan
Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B
Hubungan antara pembinaan dan pengawasan petugas
kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ditunjukkan
seperti pada Tabel 5.16
94
Tabel 5.16
Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan
Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN
Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015
Pembinaan dan
Pengawasan
Petugas
Kesehatan
Penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B
Total pValue OR
Ya Tidak
N % N % N % 1 1,2
Tidak Pernah 4 28,6 10 71.4 14 100
Pernah 4 25 12 75 16 100
Total 8 26,7 22 73,3 30 100
Hasil pengujian hubungan pembinaan dan pengawasan petugas
kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B
menggunakan Chi-square diperoleh pValue = 1 yang menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pembinaan dan
pengawasan petugas kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B, artinya proporsi tidak pernah ada pembinaan dan
pengawasan petugas kesehatan maupun pernah ada pembinaan dan
pengawasan petugas kesehatan tidak banyak berbeda.
5.2.8 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Dengan
Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B
Hubungan antara pembinaan dan pengawasan sekolah dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel
5.17
95
Tabel 5.17
Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Dengan
Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan
Pondok Benda Tahun 2015
Pembinaan dan
Pengawasan
Sekolah
Penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B
Total pValue OR
Ya Tidak
N % N % N % 0,645 0,667
Tidak Pernah 6 25 18 75 24 100
Pernah 2 33,3 4 66,7 6 100
Total 8 26,7 22 73,3 30 100
Hasil pengujian hubungan pembinaan dan pengawasan sekolah
dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-
square diperoleh pValue = 0,645 yang menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara pembinaan dan pengawasan sekolah
dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B, artinya proporsi tidak
pernah ada pembinaan dan pengawasan sekolah maupun pernah ada
pembinaan dan pengawasan sekolah tidak banyak berbeda.
96
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini tidak mengidentifikasi dampak kesehatan yang ditimbulkan
akibat mengonsumsi pangan jajanan yang mengandung Eritrosin dan
Rhodamin B karena untuk mengidentifikasi dampak kesehatan dari
mengonsumsi pewarna sintetik ini membutuhkan jangka waktu yang
panjang.
2. Penelitian ini hanya meneliti pangan jajanan anak sekolah yang dijual
oleh pedagang saat itu dan tidak menggali lebih dalam dimana pangan
jajanan itu diproduksi.
3. Hasil penelitian sangat dipengaruhi kejujuran responden dalam menjawab
kuesioner dan jawaban juga responden tergantung pada pemahaman
responden terhadap pertanyaan pada kuesioner.
6.2 Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B
6.2.1 Penggunaan Eritrosin
Penggunaan Eritrosin di Indonesia sampai dengan saat ini
masih diperbolehkan namun dengan syarat tidak melebihi batas
maksimal yang telah ditentukan dalam Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor 37 Tahun 2013 pada Pasal 3 ayat
(3). Eritrosin boleh digunakan untuk makanan dengan batas maksimal
tertentu namun Eritrosin tidak digunakan pada minuman. Karunia
(2013) menegaskan bahwa Eritrosin tidak dapat dipakai dalam produk
97
minuman karena mudah diendapkan oleh asam. Berdasarkan hasil
analisis univariat pada tabel 5.1a dari 30 responden diketahui bahwa
13,3% pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan
Pondok Benda dinyatakan menggunakan Eritrosin. Peneliti lainnya,
Nisma dan Setyawati (2014) menemukan sampel pangan jajanan SD di
wilayah Kotamadya Jakarta Timur mengandung Rhodamin B dan
Eritrosin.
Pasal 3 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan
Makanan Nomor 37 Tahun 2014 menyatakan penggunaan Eritrosin
masih diperbolehkan dengan batas antara 20-300mg/kg tergantung
pada kategori pangan tertentu. Berbeda dengan BPOM, Arisman
(2008) berpendapat bahwa Eritrosin sebagai pewarna yang tidak
dianjurkan untuk pangan. Meskipun diperbolehkan untuk pangan
sebaiknya kita menghindari penggunaan pewarna sintetik apapun
sebab pewarna sintetik tidak baik untuk kesehatan jika terus
dikonsumsi, apalagi oleh anak-anak yang sedang dalam masa
pertumbuhan.
Ditemukan keterkaitan Eritrosin dengan reduksi noradrenalin
selain berkemungkinan bersifat karsinogenik (Arisman, 2008). Begitu
pula menurut Karunia (2013) jika mengonsumsi Eritrosin dalam dosis
tinggi dapat bersifat kasinogen dan juga dapat mengakibatkan reaksi
alergi seperti nafas pendek, dada sesak, sakit kepala, serta iritasi kulit.
Eritrosin juga berpengaruh kuat sebagai neurocompetitive dopamine
98
inhibitor ketika dipajankan pada otak tikus percobaan, pengurangan
laju dopamine turnover inilah yang menyebabkan utama
hipersensitivitas anak. Selain itu Eritrosin dapat menyebabkan
hiperaktif dan menimbulkan efek kurang baik pada otak dan perilaku
(Nasir, 2010). Menurut Saputro dalam Novriana dkk (2013), prevalensi
penderita hiperaktif di Indonesia pada anak usia sekolah (yaitu, 3-18
tahun) sebesar 15,8% dari 3006 anak. Kemudian prevalensi penderita
hiperaktif pada anak laki-laki dan anak perempuan berbeda yaitu
35,2% untuk anak laki-laki dan 18,3% untuk anak perempuan.
6.2.2 Penggunaan Rhodamin B
Penggunaan Rhodamin B pada pangan di Indonesia tidak
diijinkan karena dapat berdampak buruk pada kesehatan. Berdasarkan
hasil analisis univariat pada tabel 5.1b dari 30 responden diketahui
bahwa 13,3% pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan
Pondok Benda dinyatakan menggunakan Rhodamin B.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan menyatakan bahwa
tahun 2011-2013 selalu ditemukan sampel pangan jajanan anak
sekolah yang mengandung bahan kimia berbahaya untuk pangan
berupa Rhodamin B, Methanil Yellow dan Auramin (BPOM, 2011;
2012; 2013). Peneliti lainnya, Ardiarini dan Gunanti (2004)
menyatakan terdapat sampel minuman jajanan SDN Dukuh Mananggal
yang mengandung Rhodamin B. Nisma dan Setyawati (2014)
menemukan sampel pangan jajanan SD di wilayah Kotamadya Jakarta
99
Timur mengandung Rhodamin B dan Eritrosin. Kristianto dkk (2009)
menyatakan 18,5% jajanan anak sekolah di Kota Batu tidak memenuhi
syarat keamanan karena penggunaan bahan berbahaya Rhodamin B.
Ardiarini dan Gunanti (2004) pun menemukan Rhodamin B pada es
potong merah dan es sari buah rasa kopi krim.
Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umum
digunakan sebagai pewarna tekstil. Rhodamin B bersifat karsinogenik
sehingga dalam penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan
kanker. Uji toksisitas Rhodamin B telah dilakukan terhadap mencit dan
tikus dengan injeksi subkutan dan secara oral. Rhodamin B dapat
menyebabkan karsinogenik pada tikus ketika diinjeksi subkutan, yaitu
timbul sarcoma lokal. Sedangkan didapatkan LD50 89,5 mg/kg yang
ditandai dengan gejala adanya pembesaran hati, ginjal, dan limfa
diikuti perubahan anatomi berupa pembesaran organnya (Merck Index
dalam Utami dkk, 2009).
Rhodamin B bersifat racun jika digunakan dalam pewarna
pangan dan dapat memicu pertumbuhan zat karsinogenik yang
menyebabkan munculnya penyakit kanker (Wasis dan Irianto, 2008).
Penggunaan zat pewarna ini dilarang di Eropa mulai tahun 1984 karena
Rhodamin B termasuk karsinogen yang kuat. Dampak lainnya yaitu
dapat menyebabkan ganguan fungsi hati. Efeknya tidak akan dirasakan
saat ini tetapi akan terasa setelah sepuluh atau dua puluh tahun
kemudian (Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut
100
Pertanian Bogor, 2005). Prevalensi kanker di Indonesia tahun 2013
sebesar 1,4‰ sedangkan prevalensi kanker di Provinsi Banten yaitu
1‰ atau 11.523 (Riskesdas, 2013).
Penggunaan pewarna sintetik berbahaya pada pangan jajanan anak
sekolah masih kerap dilakukan oleh pedagang dimungkinkan karena anak
sekolah dasar dalam memilih pangan jajanan mempertimbangkan daya tarik
warna (Kristianto dkk, 2009). Menurut Nuraini (2007) warna mempunyai
peran psikologis yang sangat kuat ketika anak-anak akan memilih produk
pangan. Pujiasuti (2002) menyatakan alasan pemilihan produk berwarna
antara lain lebih menarik dan lebih murah serta 86% produsen menyatakan
penggunaan pewarna karena permintaan konsumen. Selain itu, penambahan
pewarna sintetik dalam minuman jajanan diakui penjual dapat memberikan
kesan menarik pada produk akhir sehingga minuman jajanan yang dijual
dapat laku > 90% per hari (Ardiarini dan Gunanti, 2004).
Menurut Rahayu dkk (2012), masih ditemukan penyalahgunaan bahan
kimia berbahaya seperti pewarna tekstil pada pangan dan kadar yang
berlebihan akibat pewama pangan yang dijual di pasaran baik yang berbentuk
liquid dan bubuk pada umumnya tidak ada petunjuk ukuran penggunaannya,
hal ini membuat para produsen pangan jajanan hanya mengira-ngira
pemakaianya sehingga produknya menarik.
Untuk mencegah meluasnya penggunaan bahan tambahan non pangan
dan kadar yang berlebihan pada pangan maka diharapkan pemerintah untuk
meningkatkan program keamanan pangan jajanan anak sekolah, menyediakan
101
Peralatan Uji Cepat (Rapid Test Kit) yang dapat digunakan semua pihak
untuk mengetahui kandungan bahan kimia berbahaya pada pangan, tetap
melaksanakan pengawasan keamanan pangan terhadap BTP dan bahan kimia
berbahaya yang disalahgunakan sebagai BTP, meningkatkan edukasi tentang
gizi dan keamanan pangan berupa Training of Trainer (TOT) kepada guru
UKS agar dapat memberikan pembinaan mengenai keamanan pangan
terhadap para siswa, orangtua dan penyedia PJAS (pengelola kantin, penjaja
PJAS, IRTP produsen PJAS) serta melakukan pembinaan penyedia PJAS
tentang Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) dan praktek penggunaan
BTP secara baik dan benar (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009).
Sekolah sebagai tempat pedagang pangan jajanan anak sekolah
biasanya berada sebaiknya menetapkan kebijakan dan peraturan mengenai
keamanan PJAS serta menyediakan sarana dan prasarana pendukung
keamanan pangan di sekolah yang memadai, melakukan pengawasan
terhadap penyediaan PJAS baik di kantin sekolah maupun di luar sekolah
dengan memperhatikan jenis pangan yang dijual serta kebersihan tempat
penyedia PJAS dan penjajanya, memberikan edukasi bagi pengelola kantin
dan penjaja PJAS mengenai keamanan pangan serta memberikan pengertian
dan pengetahuan kepada siswa mengenai cara memilih pangan jajanan yang
baik serta dampak negatif apabila jajan di sembarang tempat (BPOM RI & 30
Balai Besar/Balai POM, 2009).
102
6.3 Perilaku
6.3.1 Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses
sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu (Sunaryo,
2004). Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.2 dari 30
responden diketahui bahwa 46,7% dari pedagang pangan jajanan di
sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda memiliki pengetahuan tentang
pewarna dalam kategori sedang. Damayanthi dkk (2013) juga
menyatakan 77,8% pengetahuan penjaja PJAS di SDN D tentang
keamanan pangan dalam kategori sedang dan Pujiasuti (2002)
menyatakan 40,9% responden memiliki pengetahuan dalam kategori
sedang tentang pemakaian BTP. Namun Sugiyatmi (2006) menyatakan
64,6% pembuat pangan jajanan tradisional yang dijual di pasar-pasar
Kota Semarang memiliki pengetahuan dalam kategori kurang tentang
bahaya pewarna terlarang. Begitu pula dengan Ardiarini dan Gunanti
(2004) yang mengatakan 75% penjual memiliki pengetahuan yang
tergolong rendah terhadap pewarna sintetik.
Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai
hubungan pengetahuan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.10 diperoleh pValue = 0,666
yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
pengetahuan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin
dan Rhodamin B. Begitu pula Pujiasuti (2002) yang menyatakan
103
bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan produsen dengan
pemakaian bahan tambahan pangan dan Damayanthi dkk (2013)
menyatakan hubungan negatif antara pengetahuan tentang gizi dan
keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan. Namun
Sugiyatmi (2006) menyatakan ada hubungan yang signifikan antara
pengetahuan tentang bahaya pewarna terlarang dengan praktek
pembuatan pangan jajanan.
Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan penggunaan
Eritrosin maupun Rhodamin B dalam penelitian ini dapat
dimungkinkan karena pengetahuan yang dimiliki oleh pedagang
pangan jajanan hanya pada tingkat tahu namun tidak memahaminya
dengan baik. Menurut Keraf dan Dua (2001), pengetahuan tersebut
termasuk dalam kategori tahu bahwa yaitu pengetahuan tentang
informasi tertentu, tahu bahwa sesuatu terjadi, tahu bahwa ini atau itu
demikian adanya, bahwa apa yang dikatakan benar. Jenis pengetahuan
ini disebut pengetahuan teoritis atau pengetahuan ilmiah walaupun
masih pada tingkat yang tidak begitu mendalam oleh karena itu bisa
saja tidak disertai dengan perilaku yang baik pula.
Menurut Utami dkk (2009) rendahnya pengetahuan pedagang
tentang pewarna alami dan sintetik serta pewarna yang tidak diijinkan
dipengaruhi salah satunya oleh pendidikan, survei menunjukan 47,37%
pedagang tidak berpendidikan. Ardiarini dan Gunanti (2004)
mengatakan tingkat pendidikan 75% penjual adalah setingkat Sekolah
104
Dasar dan 25% penjual tidak mengenyam pendidikan di bangku
sekolah. Menurut Utomo dalam Ardiarini dan Gunanti (2004),
pendidikan berpengaruh pada faktor sosial ekonomi seperti
pendapatan, pekerjaan, lifestyle, perumahan dan tempat tinggal serta
pangan yang dikonsumsi dan disajikan.
Handayani dan Kurniawati dalam Wariyah dan Dewi (2013),
selain pengetahuan yang rendah terhadap bahan tambahan pangan dan
bahan berbahaya, faktor ketidakpedulian juga mempengaruhi pedagang
pangan jajanan dalam pemakaian bahan tambahan. Begitu pula dengan
BPOM (2012a) yang menyatakan bahwa pangan jajanan anak sekolah
yang tidak memenuhi persyaratan dapat mengindikasikan kurangnya
pengetahuan tentang keamanan pangan namun faktor kepedulian atau
kesadaran para pembuat, penjual dan pembeli pangan jajanan anak
sekolah juga dapat mempengaruhi.
Menurut Rahayu dkk (2012), indsutri kecil perlu memiliki
pengetahuan dalam proses produksi pangan yang aman dan bermutu
agar tidak mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan
mengorbankan orang lain. Menurut Aminah dan Hidayah (2012),
umumnya pengetahuan keamanan pangan yang diketahui oleh para
pedagang diperoleh dari informasi lisan dari mulut ke mulut,
penyuluhan di PKK (bagi yang perempuan) namun untuk
mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh secara lisan
tersebut sulit, mengingat produsen ingin menampilkan dagangannya
105
lebih menarik dengan cita rasa yang tinggi dengan biaya produksi yang
rendah. Penggunaan bahan tambahan pangan masih perlu mendapatkan
perhatian baik jenisnya maupun ukurannya, bahan tambahan yang
digunakan harus khusus pangan dan ukurannya sesuai dengan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah. Rahayu dkk (2012) pun menyatakan
informasi mengenai keberadaan bahan tambahan pangan di pasaran
belum diketahui oleh sebagian besar industri rumah tangga. Sedangkan
bahan kimia berbahaya masih beredar dan hal ini berkontribusi
terhadap penyalahgunaan bahan kimia berbahaya.
Tinggi rendahnya pengetahuan pedagang pangan jajanan
tergantung pada informasi terkait keamanan pangan jajanan yang
mereka dapatkan oleh karena itu pemerintah maupun pihak sekolah
diharapkan dapat meningkatkan program keamanan pangan jajanan
anak sekolah dengan melakukan Training of Trainer (TOT) kepada
penyedia PJAS (pengelola kantin, penjaja PJAS, IRTP produsen PJAS)
mengenai keamanan pangan, melakukan pembinaan penyedia PJAS
tentang Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) serta praktek
penggunaan BTP (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009).
6.3.2 Sikap Pedagang Pangan Jajanan
Sikap adalah istilah yang mencerminkan rasa seperti senang,
tidak senang atau biasa-biasa saja (netral) dari seseorang terhadap
sesuatu (Sarwono, 2009). Berdasarkan hasil analisis univariat pada
tabel 5.3 dari 30 responden diketahui bahwa 56,7% dari pedagang
106
pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda memiliki
sikap dalam kategori baik terhadap penggunaan pewarna. Hal yang
sama ditunjukan Pertiwi dkk (2014) bahwa 100% penjual pangan
jajanan memiliki sikap yang positif terhadap penggunaan pewarna
pada pangan. Begitu pula Pujiasuti (2002) yang menyatakan 50%
responden memiliki sikap dalam kategori baik tentang pemakaian
bahan tambahan pangan. Berbeda dengan Sugiyatmi (2006) yang
menyatakan 68,8% dari pembuat pangan jajanan memiliki sikap dalam
kategori kurang terhadap penggunaan pewarna terlarang.
Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai
hubungan sikap pedagang pangan jajanan dengan penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.11 diperoleh pValue = 0,698
yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
sikap pedagang jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.
Damayanthi dkk (2013) juga berpendapat bahwa tidak terdapat
hubungan antara sikap terhadap gizi dan keamanan pangan dengan
praktek keamanan pangan dan Pujiasuti (2002) mengatakan tidak ada
hubungan antara sikap produsen dengan pemakaian bahan tambahan
pangan. Namun Sugiyatmi (2006) menyatakan ada hubungan yang
signifikan antara sikap tentang penggunaan pewarna terlarang dengan
praktek pembuatan pangan jajanan.
Menurut Maulana (2007), sikap tidak sama dengan perilaku
dan perilaku tidak selalu mencerminkan sikap seseorang. Individu
107
sering memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya.
Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan
informasi tentang objek tertentu melalui persuasi serta tekanan dari
kelompok sosialnya. Oleh karena itu sikap yang baik belum tentu dapat
diiringi dengan perilaku yang baik pula, terdapat hal-hal lain yang
dapat memperngaruhi perilaku seseorang. Akan tetapi sikap dapat
menimbulkan pola-pola cara berpikir yang dapat mempengaruhi
tindakan.
Sikap mengandung suatu penilaian emosional atau afektif,
pengetahuan tentang objek atau kognitif dan kecenderungan bertindak
atau konatif (Maulana, 2007). Dalam hal ini responden yang memiliki
sikap yang baik dapat dikarenakan sisi afektifnya atau dimensi
emosional responden terhadap pewarna pangan yang bersifat positif
dan pewarna bukan untuk pangan yang bersifat negatif sehingga
menghasilkan sikap yang baik namun tidak memiliki kecendurungan
bertindak positif terhadap objek yang dihadapinya. Selain itu sebagian
besar pedagang pangan menjual pangan jajanan atau menggunakan
bahan pelengkap yang sudah jadi sehingga kurang dapat dilihat
korelasi antara sikap dan perilakunya.
Meskipun dalam penelitian ini 56,7% pedagang pangan jajanan
memiliki sikap dalam kategori baik namun jika diteliti jawaban
pedagang pangan jajanan satu per satu maka akan ditemukan adanya
sikap kurang baik seperti penggunaan pewarna kain pada pangan
108
bukanlah masalah, penggunaan pewarna terlarang pada pangan tidak
berbahaya pada kesehatan, penggunaan pewarna yang berlebihan boleh
digunakan saat pembuatan pangan. Dalam variabel sikap ini dapat
terlihat pula nilai yang dimiliki oleh pedagang seperti pedagang
memilih bahwa dalam pembuatan pangan boleh menggunakan
pewarna apa saja asalkan dapat membantu meningkatkan keuntungan
penjualan.
Beragamnya sikap pedagang pangan jajanan dalam menanggapi
penggunaan pewarna sintetik dapat dikarena pengetahuan yang mereka
miliki dan sikap yang mereka paksakan sebagai pembenaran meskipun
mereka tahu hal tersebut salah oleh karena itu pemerintah maupun
pihak sekolah diharapkan dapat meningkatkan program keamanan
pangan jajanan anak sekolah dengan melakukan Training of Trainer
(TOT) kepada penyedia PJAS (pengelola kantin, penjaja PJAS, IRTP
produsen PJAS) mengenai keamanan pangan, melakukan pembinaan
penyedia PJAS tentang Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) serta
praktek penggunaan BTP (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM,
2009).
6.3.3 Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan
Keterampilan pedagang pangan jajanan adalah kemampuan
pedagang dalam mengolah atau membuat sendiri pangan jajanan yang
dijualnya. Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.4 dari 30
responden diketahui bahwa 76,7% dari pedagang pangan jajanan di
109
sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda tidak membuat sendiri pangan
jajanan yang dijualnya, umumnya mereka menjual pangan jajanan
yang sudah siap santap atau bisa disebut sebagai penjaja.
Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai
hubungan keterampilan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.12 diperoleh pValue = 0,638
yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
keterampilan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin
dan Rhodamin B. Tidak berhubungan penelitian ini dapat dikarenakan
umumnya pedagang hanya menjajakan pangan jajanan siap santap,
tidak membuat sendiri pangan jajanan yang dijualnya.
Keterampilan atau kemampuan seseorang dalam
mempersiapkan pangan dan memasak memiliki potensi untuk
mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan (EUFIC, 2005). Oleh
karena itu peningkatan keterampilan pedagang pangan jajanan perlu
dilakukan. Menurut Rahayu dkk (2012), indsutri kecil perlu memiliki
keterampilan dalam proses produksi pangan yang aman dan bermutu,
yang diimbangi dengan akhlak dan budi pekerti untuk tidak
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan
orang lain. Serta terdapat pula produsen yang mempunyai kemauan
untuk tidak menggunakan bahan tambahan yang dilarang untuk pangan
namun tidak punya kemampuan yang ditunjukan dengan tingkat
110
pengetahuan (Pujiasuti, 2002). Dengan demikian perlu dikembangkan
pelatihan terstruktur bagi indsutri kecil.
Umumnya pedagang yang mengolah sendiri pangan jajanannya
mendapatkan keahliannya dengan belajar sendiri atau otodidak dan
biasanya kurang memperhatikan keamanan dalam praktek pengolahan
pangan oleh karena itu pemerintah maupun pihak sekolah diharapkan
dapat meningkatkan program keamanan pangan jajanan anak sekolah
dengan melakukan Training of Trainer (TOT) kepada penyedia PJAS
(pengelola kantin, penjaja PJAS, IRTP produsen PJAS) mengenai
keamanan pangan, melakukan pembinaan penyedia PJAS tentang Cara
Produksi Pangan yang Baik (CPPB) serta praktek penggunaan BTP.
Pedagang pangan jajanan anak sekolah hanya boleh menggunakan
BTP yang berlabel “BTP” serta tidak menggunakan pewarna dan
bahan berbahaya yang dilarang penggunaannya pada pangan seperti
Rhodamin B dan Methanyl Yellow (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai
POM, 2009).
6.3.4 Aksesibilitas Memperoleh Pewarna Pangan
Aksesibilitas adalah kemampuan pedagang pangan jajanan
dalam mengakses atau menjangkau pewarna pangan baik aspek jarak,
daya beli dan ketersediaan. Berdasarkan hasil analisis univariat pada
tabel 5.5 dari 30 responden diketahui bahwa 93,3% pedagang pangan
jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda menyatakan akses
untuk memperoleh pewarna termasuk dalam kategori mudah baik dari
111
ketersediaan yang hampir selalu ada, harga yang terjangkau dan jarak
tempuh yang dekat. Umumnya kemudahan pedagang pangan jajanan
dalam mengakses pewarna karena di toko atau warung yang mereka
datangi menyediakan pewarna yang mereka inginkan.
Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai
hubungan aksesibilitas pedagang dengan penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B pada tabel 5.13 diperoleh pValue = 1 yang menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aksesibilitas dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.
Meskipun pemerintah telah mengatur penggunaan pewarna
untuk pangan masih banyak produsen terutama pengusaha kecil yang
menggunakan pewarna yang dilarang dan berbahaya misalnya pewarna
untuk tekstil atau cat karena mempunyai warna lebih cerah, lebih stabil
selama penyimpanan serta harganya lebih murah (Himpunan Alumni
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2005). Hal
tersebut sejalan dengan penelitian Ardiarini dan Gunanti (2004) yang
menyatakan sebesar 75% penjual minuman jajanan menyatakan
penggunaan pewarna sintetik karena harga pewama sintetik tidak
mahal dan tergolong praktis dan mudah diperoleh di toko kecil bila
dibandingkan dengan pewarna alami. Sari (2008) mengatakan pewarna
sintetik dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan
dengan pewarna alami maka menjadi perhatian oleh produsen,
mengingat daya beli masyarakat Indonesia yang masih cukup rendah.
112
Hal tersebut menunjukan bahwa faktor ekonomi juga memiliki peran
dalam pengambilan keputusan oleh pedagang dalam melakukan
pengolahan pangan.
Sulitnya akses bahan tambahan pangan dengan harga yang
terjangkau oleh industri rumah tangga juga berkontribusi pada
penyalahgunaan bahan kimia berbahaya. Sedangkan bahan kimia yang
tidak diizinkan untuk pangan dengan mudah dan murah diperoleh dari
pengecer yang tidak bertanggung jawab (Rahayu dkk. 2012). Begitu
pula menurut Pujiasuti (2002) bahwa faktor ketersediaan bahan
tambahan tanpa ada label “BTP” memiliki kemungkinan pengaruh
pembelian bahan tambahan tersebut di toko-toko setempat. Hal
tersebut menunjukan bahwa faktor ekonomi dan akses memiliki peran
dalam pengambilan keputusan oleh pedagang dalam melakukan
pengolahan pangan. Aminah dan Hidayah (2012) menyatakan bahwa
76% responden menggunakan bahan pewarna sembarang dalam
produk pangan asal produk menarik sehingga konsumen tertarik.
Penggunaan bahan pewarna alami memang tidak ada resiko kesehatan,
namun untuk mendapatkan bahan pewarna alami, khususnya didaerah
perkotaan sekarang ini tidak mudah, disamping itu juga tidak praktis
dan pewama alami kurang stabil.
Mudahnya pedagang pangan jajanan dalam memperoleh
pewarna sintetik membuat kejadian pangan jajanan yang tidak aman
semakin marak oleh karena itu pemerintah harus meningkatkan
113
program keamanan pangan jajanan anak sekolah melalui kerjasama
secara terpadu, melaksanakan pengawasan keamanan pangan terhadap
BTP dan bahan kimia berbahaya yang disalahgunakan sebagai BTP.
Pedagang PJAS harusnya hanya menggunakan BTP yang berlabel
“BTP” serta tidak boleh menggunakan pewarna dan bahan berbahaya
yang dilarang penggunaannya pada pangan seperti Rhodamin B dan
Methanyl Yellow (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009).
6.3.5 Peraturan Sekolah
Adanya kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh pihak
sekolah dapat membantu dalam menjaga keamanan pangan jajanan
yang dijual di sekitar sekolah sehingga dapat melindungi siswa dari
pangan yang tidak aman. Berdasarkan hasil analisis univariat pada
tabel 5.6 dari 30 responden diketahui bahwa 76,7% dari pedagang
pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda menyatakan
pihak sekolah tidak menerapkan peraturan terkait keamanan pangan
namun terdapat pedagang pangan jajanan yang menyatakan ada
peraturan dari pihak sekolah terkait kebersihan lingkungan sekolah dari
sampah-sampah bekas pangan jajanan bukan tentang keamanan
pangan.
Pedagang pangan jajanan yang menyatakan bahwa ada
peraturan dari pihak sekolah untuk menjual pangan jajanan yang sehat
namun pedagang pangan jajanan lainnya yang berjualan di lokasi yang
sama menyatakan bahwa tidak ada peraturan dari sekolah terkait
114
keamanan pangan jajanan, hal tersebut mungkin dikarenakan
sosialisasi yang kurang merata. Begitu pula Wijaya (2009) yang
menyatakan penerapan peraturan ditanggapi oleh penjaja PJAS
berbeda-beda bahkan 51.1% responden tidak mengetahui adanya
peraturan yang dibuat oleh pihak sekolah dan masih kurangnya
disosialisasikan oleh pihak sekolah ke penjaja PJAS.
Hasil penelitian Damayanthi dkk (2013), hanya terdapat 1 dari
7 sekolah yang menetapkan peraturan bagi pedagang yang berjualan di
kantin yaitu tidak mengizinkan untuk menggunakan BTP (pemanis,
pewarna maupun penyedap rasa) serta jenis pangan yang dijual selalu
diperiksa setiap minggunya oleh pengurus yayasan. Wijaya (2009)
menyatakan semua sekolah di Kota dan Kabupaten Bogor mempunyai
peraturan mengenai PJAS namun sebagian besar sekolah hanya
memiliki peraturan secara lisan. Peraturan umumnya mengenai
kebersihan pangan jajanan, kedisiplinan penjaja PJAS dan penggunaan
BTP namun hanya satu sekolah yang terkategori baik dalam penerapan
peraturan mengenai PJAS, sekolah tersebut memiliki komite sekolah
yang diduga berpartisipasi dalam pembentukan peraturan mengenai
PJAS.
Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai
hubungan peraturan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B pada tabel 5.14 diperoleh pValue = 0,345 yang
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
115
peraturan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.
Wijaya (2009) pun menyatakan bahwa tidak adanya hubungan yang
nyata antara penerapan peraturan dengan pengetahuan gizi dan
keamanan pangan dan tidak adanya hubungan yang nyata antara
penerapan peraturan dengan praktek keamanan pangan. Sekalipun ada
peraturan namun masih belum diterapkan secara optimal karena
sebagian besar praktek keamanan PJAS responden berkategori kurang
dan responden masih menggunakan BTP oleh karena itu dibutuhkan
pembinaan.
Banyak produsen dan pengusaha kecil yang menggunakan
bahan-bahan yang dilarang dan berbahaya bagi kesehatan dapat
dikarenakan pengawasan terhadap pangan jajanan yang kurang atau
tidak adanya peraturan yang ditetapkah oleh sekolah terkait keamanan
pangan menyebabkan praktek penggunakan BTP yang berlebihan atau
bahan berbahaya lainnya oleh karena itu kepala sekolah sebaiknya
berperan dalam menetapkan kebijakan dan peraturan mengenai
keamanan PJAS di lingkungan sekolah serta menyediakan sarana dan
prasarana pendukung keamanan pangan di sekolah yang memadai
(BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009).
6.3.6 Pengaruh Sesama Pedagang
Pengaruh teman adalah kemampuan memengaruhi perilaku
individu di antara anggota kelompok berdasarkan norma-norma
kelompok, kesadaran kelompok atas apa yang merupakan hal atau cara
116
benar untuk melakukan hal-hal serta kebutuhan untuk dinilai dan
diterima oleh kelompok (Pearce dan Robinson, 2008). Berdasarkan
hasil analisis univariat pada tabel 5.7 dari 30 responden diketahui
bahwa 80% dari pedagang pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan
Pondok Benda menyatakan tidak saling berdiskusi mengenai bahan-
bahan yang digunakan dalam membuat pangan jajanan. Umumnya
pedagang pangan jajanan hanya berdiskusi mengenai hal sehari-hari
namun tidak berdiskusi tentang bahan apa yang digunakan dalam
pangan jajanan yang dijualnya. Pujiasuti (2002) menyatakan sebesar
38,6% produsen mendapatkan informasi mengenai bahan tambahan
pangan untuk produk jualannya dari penjual bahan tambahan dan
27,3% lainnya dari teman serta sisanya dari orang tua dan saudara.
Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai
hubungan pengaruh sesama pedagang pangan jajanan dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.15 diperoleh
pValue = 0,287 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara pengaruh sesama pedagang dengan penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B.
Kurangnya pengetahuan pedagang pangan jajanan membuat
mereka tidak bisa membuat keputusan baik oleh karena itu ada baiknya
pemerintah meningkatkan edukasi tentang gizi dan keamanan pangan
berupa Training of Trainer (TOT) kepada penyedia PJAS (pengelola
kantin, penjaja PJAS, IRTP produsen PJAS), pembinaan Cara Produksi
117
Pangan yang Baik (CPPB) dan praktek penggunaan BTP (BPOM RI &
30 Balai Besar/Balai POM, 2009).
6.3.7 Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan adalah orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan untuk melakukan upaya kesehatan seperti kegiatan
untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
dalam bentuk pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan (Pasal 1
UU No. 36 Tahun 2014). Berdasarkan hasil analisis univariat pada
tabel 5.8 dari 30 responden diketahui bahwa 53,3% dari pedagang
pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda menyatakan
pernah terdapat pembinaan dan pengawasan dari petugas kesehatan
terkait keamanan pangan jajanan anak sekolah. Mujianto dkk (2005)
menyatakan 64% pedagang pangan jajanan di Kecamatan Pondok
Gede tidak pernah mendapatkan pembinaan dan 83% pedagang pangan
tidak pernah mendapatkan pengawasan. Damayanthi dkk (2013) juga
menyatakan hampir dari seluruh penjaja PJAS tidak pernah mengikuti
pelatihan atau training terkait gizi maupun keamanan pangan.
Kemudian Wariyah dan Dewi (2013), 80% pedagang PJAS belum
pernah mengikuti penyuluhan tentang pengolahan pangan yang baik.
Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai
hubungan pembinaan dan pengawasan petugas kesehatan dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.16 diperoleh
pValue = 1 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
118
signifikan antara pembinaan dan pengawasan petugas kesehatan
dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.
Mujianto dkk (2005) menyatakan pedagang yang tidak
diberikan pembinaan mempunyai kecenderungan menggunakan bahan
tambahan terlarang 2 kali lebih besar jika dibandingkan dengan
pedagang yang telah menerima pembinaan dan pedagang yang tidak
diberikan pengawasan mempunyai kecenderungan menggunakan
bahan tambahan terlarang 1,58 kali lebih besar jika dibandingkan
dengan pedagang yang telah diberikan pengawasan. Hal tersebut
menunjukan pedagang yang tidak mendapat pembinaan dan
pengawasan menjadi faktor resiko penggunaan bahan tambahan
terlarang.
Pemerintah adalah pihak yang secara resmi mempunyai
kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pangan. Kewenangan ini berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 942 Tahun 2003 tentang Persyaratan Higiene Sanitasi Pangan
Jajanan pada pasal 15 tertulis pembinaan dan pengawasan pangan
jajanan dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pada pasal
17 tertulis dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota mengikut sertakan instansi terkait, pihak
pengusaha, organisasi, profesi, asosiasi, paguyuban dan atau lembaga
swadaya masyarakat (Mujianto dkk, 2005).
119
Kurang terkontrolnya pembinaan dan pengawasan oleh
pemerintah mungkin terjadi karena terlalu banyak industri rumah
tangga maka menyebabkan kurang terjangkau oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan untuk melakukan pembinaan keseluruh industri
rumah tangga. Untuk melakukan inspeksi mendadak dipasar-pasar
khususnya pada pangan jajanan juga terlalu berat, menginggat berbagai
macam jenis pangan yang dijajakan dari berbagai industri rumah
tangga meskipun Direktorat Survailens Penyuluhan Keamanan Pangan
(SPKP) telah rnelakukan usaha membentuk jaringan di 400 kabupaten
kota seluruh Indonesia dalam rangka pembinaan industri skala rumah
tangga (Aminah dan Hidayah, 2012).
Adapun dalam penelitian ini juga diketahui bahwa sebesar 79%
pedagang pangan jajanan menyatakan bersedia ikut serta dalam acara
penyuluhan dan kursus mengenai keamanan pangan jajanan apabila
kelak diadakan oleh pemerintah dan LSM, dengan persyaratan tidak
mengambil waktu berdagang mereka dan lokasi yang terjangkau. Pada
dasarnya para pedagang pangan jajanan mempunyai keinginan untuk
melakukan praktek pengolahan pangan yang baik hanya saja mereka
tidak memiliki sumber daya yang sesuai untuk melaksanakan
keinginannya.
Pembinaan dan pengawasan dapat dilakukan dengan
menyediakan Peralatan Uji Cepat (Rapid Test Kit) yang dapat
digunakan semua pihak untuk mengetahui kandungan bahan kimia
120
berbahaya pada pangan, melaksanakan pengawasan BTP dan bahan
kimia berbahaya yang disalahgunakan sebagai BTP, pembinaan
penyedia PJAS tentang Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) serta
praktek penggunaan BTP (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM,
2009).
6.3.8 Pembinaan dan Pengawasan Sekolah
Pembinaan dan pengawasan pihak sekolah terhadap pangan
jajanan yang dijual di sekitar dapat membantu menjaga siswa terhindar
dari bahaya pangan yang tidak aman. Berdasarkan hasil analisis
univariat pada tabel 5.9 dari 30 responden diketahui bahwa 80% dari
pedagang pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda
menyatakan tidak pernah ada pembinaan dan pengawasan dari pihak
sekolah terhadap pangan jajanan yang dijual. Namun pada di antara
mereka yang menyatakan pernah ada pengawasan dari sekolah
sedangkan pedagang lainnya di lokasi yang sama menyatakan tidak
pernah ada pengawasan dari pihak sekolah, perbedaan tersebut dapat
dimungkin karena tidak meratanya pengawasan yang dilakukan oleh
pihak sekolah.
Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai
hubungan pembinaan dan pengawasan sekolah dengan penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.17 diperoleh pValue = 0,645
yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
121
pembinaan dan pengawasan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan
Rhodamin B.
Selain itu 70% pedagang pangan jajanan juga menyatakan
bahwa pihak sekolah tidak pernah melakukan pendataan terhadap
meraka yang berjualan di lingkungan sekitar sekolah padahal jika
pihak sekolah melakukan pendataan dapat lebih memudahkan dalam
pengawasan dan pembinaan pedagang pangan jajanan sehingga
pencegahan kejadian kesakitan akibat pangan jajanan yang tidak aman
dapat terlaksana.
Pembinaan dan pengawasan memiliki peranan yang cukup
penting dalam mengendalikan peredaran pangan jajanan yang tidak
aman sehingga diharapkan pihak sekolah dapat menetapkan kebijakan
dan peraturan mengenai keamanan PJAS di lingkungan sekolah,
menyediakan sarana dan prasarana pendukung keamanan pangan di
sekolah yang memadai, melakukan pengawasan terhadap penyediaan
PJAS baik di kantin sekolah maupun di luar sekolah dengan
memperhatikan jenis pangan yang dijual serta kebersihan tempat
penyedia PJAS dan penjaja PJAS serta menyediakan alat Uji Cepat
(Rapid Test Kit) untuk pengujian sederhana (BPOM RI & 30 Balai
Besar/Balai POM, 2009).
122
BAB VII
SIMPULAN dan SARAN
7.1 Simpulan
1. Pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di sekitar SDN
Sekelurahan Pondok Benda yang menggunakan Eritrosin sebesar 13,3%
(Minuman berwarna merah) dan yang menggunakan Rhodamin B sebesar
13,3% (Sosis, Kerupuk Gulali dan Es Mambo).
2. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan
Pondok Benda memiliki pengetahuan umum tentang pewarna dalam
kategori sedang sebesar 46,7% mungkin dikarenakan pedagang
sebelumnya pernah mendapatkan informasi pewarna pangan.
3. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan
Pondok Benda memiliki sikap dalam kategori baik terhadap penggunaan
pewarna sebesar 56,7% mungkin dikarenakan pengetahuan umum
pedagang tentang pewarna sudah dalam kategori sedang sehingga
menghasilkan sikap yang positif.
4. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan
Pondok Benda yang tidak memiliki keterampilan membuat sendiri pangan
jajanan yang dijualnya sebesar 76,7% mungkin dikarenakan banyak yang
menjual pangan jajanan yang siap santap atau penjaja pangan jajanan.
5. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan
Pondok Benda yang menyatakan mudah untuk mengakses pewarna
sintetik sebesar 93,3% mungkin dikarenakan ketersediaannya yang selalu
123
konsisten, harganya yang terjangkau dan lokasi pembelian yang berjarak
dekat.
6. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan
Pondok Benda yang menyatakan pihak sekolah tidak menerapkan
peraturan mengenai keamanan pangan sebesar 76,7% mungkin
dikarenakan pedagang pangan jajanan tidak masuk dalam wilayah
sekolah.
7. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan
Pondok Benda yang menyatakan tidak ada pengaruh dari pedagang lain
mengenai penggunaan bahan-bahan dalam membuat pangan jajanan
sebesar 80% mungkin dikarenakan pengaruh lebih besar umumnya
berasal dari pedagang yang menjual pewarna.
8. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan
Pondok Benda yang menyatakan pernah ada pembinaan dan pengawasan
dari petugas kesehatan sebesar 53,3% dikarenakan kegiatan tersebut
merupakan kewajiban pemerintah untuk melindungi masyarakat.
9. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan
Pondok Benda yang menyatakan tidak pernah ada pembinaan dan
pengawasan dari pihak sekolah sebesar 80% mungkin dikarenakan
kegiatan tersebut merupakan kewajiban sehingga pihak sekolah tidak
perlu melakukannya.
10. Tidak ada hubungan antara pengetahuan pedagang pangan jajanan anak
sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin
124
dikarenakan pengetahuan yang dimiliki pedagang hanya pada tingkatan
“Tahu” namun tidak memahaminya sehingga prakteknya berlawanan
dengan pengetahuannya.
11. Tidak ada hubungan antara sikap pedagang jajanan anak sekolah dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin dikarenakan sikap yang
dimiliki pedagang hanya pada “Afektif” yaitu secara emosional
mengetahui pewarna bukan untuk pangan tidak baik namun tidak diikuti
dengan “Konatif” yaitu kecenderungan bertindak sehingga prakteknya
berlawanan dengan sikapnya.
12. Tidak ada hubungan antara keterampilan pedagang pangan jajanan anak
sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin
dikarenakan banyak pedagang yang menjual pangan jajanan siap santap.
13. Tidak ada hubungan antara aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak
sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin
dikarenakan hampir semua pedagang menyatakan mudah dalam
mengakses pewarna sehingga data menjadi homogen dan tidak dapat
dilihat perbedaan yang signifikan.
14. Tidak ada hubungan antara peraturan sekolah dengan penggunaan
Eritrosin dan Rhodamin B mungkin dikarenakan tidak adanya atau tidak
meratanya penyebaran informasi mengenai peraturan keamanan PJAS.
15. Tidak ada hubungan antara pengaruh sesama pedagang pangan jajanan
anak sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin
dikarenakan pengaruh terbesar ada pada pedagang yang menjual pewarna.
125
16. Tidak ada hubungan antara pembinaan dan pengawasan petugas
kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin
dikarenakan tidak meratanya pelaksanaan kegiatan tersebut.
17. Tidak ada hubungan antara pembinaan dan pengawasan sekolah dengan
penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin dikarenakan umumnya
tidak ada sekolah yang melaksanaan kegiatan tersebut.
7.2 Saran
7.2.1 Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
1. Meningkatkan program keamanan PJAS melalui kerjasama secara
terpadu dan melibatkan lintas sektor (Kemenkes, BPOM).
2. Menyediakan Peralatan Uji Cepat (Rapid Test Kit) yang dapat
digunakan semua pihak untuk mengetahui kandungan bahan kimia
berbahaya pada pangan sehingga pengujian dapat dilakukan
dengan efisien dan efektif karena dilaksanaan langsung di lokasi.
3. Tetap melaksanakan pengawasan keamanan pangan terhadap BTP
dan bahan kimia berbahaya yang disalahgunakan sebagai BTP
karena mudah didapat terutama di pasar dan warung kelontong.
4. Meningkatkan edukasi tentang gizi dan keamanan pangan dengan
Training of Trainer (TOT) kepada guru UKS agar dapat
memberikan pembinaan mengenai keamanan pangan terhadap para
siswa, orangtua dan penyedia PJAS (pengelola kantin, penjaja
PJAS, IRTP produsen PJAS) di lingkungan sekolah.
126
5. Melakukan pembinaan penyedia PJAS tentang Cara Produksi
Pangan yang Baik (CPPB) serta praktek penggunaan BTP secara
baik dan benar.
7.2.2 Sekolah
1. Menetapkan kebijakan dan peraturan mengenai keamanan PJAS di
lingkungan sekolah serta menyediakan sarana dan prasarana
pendukung keamanan pangan di sekolah yang memadai.
2. Melakukan pengawasan PJAS di kantin sekolah maupun di luar
sekolah terhadap jenis PJAS yang dijual, kebersihan tempat
penyedia PJAS serta penjajanya.
3. Memberikan edukasi bagi pengelola kantin dan penjaja PJAS
mengenai keamanan pangan.
4. Memberikan pengertian dan pengetahuan kepada siswa mengenai
cara memilih pangan jajanan yang baik serta dampak negatif
apabila jajan di sembarang tempat.
7.2.3 Pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
Pedagang PJAS hanya menggunakan Bahan Tambahan
Pangan (BTP) yang mengandung label “BTP” serta tidak boleh
menggunakan bahan kimia berbahaya yang dilarang penggunaannya
pada pangan seperti Rhodamin B, Methanyl Yellow, Formalin dan
Boraks.
127
DAFTAR PUSTAKA
Aminah dan Hidayah. 2012. Pengetahuan Keamanan Pangan Penjual Pangan
Jajanan Di Lingkungan Sekolah Sekelurahan Wonodri Kecamatan
Semarang Selatan Kota Semarang. Jurnal Litbang Universitas
Muhammadiyah Semarang. Hal 18-25.
Ardiarini dan Gunanti. 2004. Kajian Keamanan Pangan Ditinjau Dari Kandungan
Pewarna Sintetik Dan Pemanis Buatan Dalam Minuman Jajanan (Studi
pada SDN Dukuh Menanggal 111425 Gayungan Surabaya). Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan (Vol.7 No.1, Juni), hal 65-75.
Arisman. 2008. Buku Ajar Ilmu Gizi: Keracunan Pangan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Hal 66-67.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia & 30 Balai Besar / Balai
POM. 2009. Food Watch: Sistem Keamanan Pangan Terpadu Pangan
Jajanan Anak Sekolah (Vol.1). Direktorat Surveilan Dan Penyuluhan
Keamanan Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan Dan
Bahan Berbahaya.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2009.
Prosiding Lokakarya jejaring Intelijen Pangan (JIP) – Program Nasional
Peningkatan Keamanan Pangan jajanan. Direktorat Surveilan Dan
Penyuluhan Keamanan Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan
Pangan Dan Bahan Berbahaya.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2012a. Aksi
Nasional Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah Yang Aman,
Bermutu dan Bergizi: Laporan Kemajuan Semester I Tahun 2012.
Direktorat Surveilan Dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Deputi Bidang
Pengawasan Keamanan Pangan Dan Bahan Berbahaya.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2012b. Peran
Komunitas Sekolah Untuk Penjaminan Keamanan Pangan. Direktorat
Surveilan Dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Deputi Bidang Pengawasan
Keamanan Pangan Dan Bahan Berbahaya.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2011. Laporan
Tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2012. Laporan
Tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2013. Laporan
Tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
128
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan. 2012.
Rencana Kerja Pambangunan Daerah Tahun 2013. Diakses Melalui
http://www.tangerangselatankota.go.id/ Pada 6 Januari 2015 Pukul 20.00
WIB
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan. 2011.
Rencana Strategis Tangerang Selatan Tahun 2011-2016. Diakses Melalui
http://www.tangerangselatankota.go.id/ Pada 6 Januari 2015 Pukul 20.00
WIB
Cahanar dan Suhanda. 2006. Makan Sehat Hidup Sehat. Jakarta: Penerbit Buku
Gramedia. Hal 185.
Damayanthi dkk. 2013. Pendidikan Gizi Informal Kepada Penjaja Pangan Untuk
Peningkatan Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah Dasar. Penelitian
Gizi dan Pangan (Vo. 36, No. 1, Juni), hal 20-30.
deMan, John M. 1997. Kimia Pangan. Bandung: Penerbit ITB. Hal 253.
Djarismawati dkk. 2004. Pengetahuan dan Perilaku Pedagang Cabe Merah Giling
Dalam Penggunaan Rhodamin B Di Pasar Tradisional Di DKI Jakarta.
Jurnal Ekologi Kesehatan (Vol. 3, No. 1, April), hal 7-12.
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2012. Cerdas Dalam Memilih Pangan
Jajanan. Diakses Melalui http://dinkes.tangerangselatankota.go.id/ Pada 23
Desember 2014 Pukul 19.07 WIB
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2015. Data Pangan Jajanan Tahun
2011-2014.
Dinas Pendidikan Kota Tangerang Selatan. 2013. SD Negeri dan Swasta. Diakses
melalui http://dindik.tangerangselatankota.go.id/ Pada 20 Desember 2014
Pukul 10.54 WIB
European Commission. 2010. Opinion On CI 45430 (Erythrosine). Health &
Consumers. Directorate C: Public Health and Risk Assessment. Unit C7 -
Risk Assessment. Scientific Committee on Consumer Safety (SCCS)
mengadopsi dari pertemuan pleno ke-7 pada 22 Juni 2010.
European Food International Council (EUFIC). 2005. The Determinants of Food
Choice. Diakses melalui http://www.eufic.org/article/en/expid/review-
food-choice/ Pada 11 Oktober 2015 Pukul 11.15 WIB
Fadhli, Aulia. 2010. Buku Pintar Kesehatan Anak. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Anggrek. Hal 39-40.
Fibrianto, Dian Nur. 2008. Panduan Kimia Praktis SMP. Jogyakarta: Pustaka
Widyatama. Hal 47.
129
Food and Agriculture Organization (FAO). 1993. Eritrosin. Dipersiapkan pada
Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) Ke-41.
Diterbitkan dalam Family Nurse Practitioner (FNP).
Food and Drug Administration (FDA). 2011. Certified Color Additives in Food
and Possible Association with Attention Deficit Hyperactivity Disorder in
Children. Dipersiapkan untuk pertemuan FDA/CFSAN Food Advisory
Committee pada 30-31 Maret 2011.
Gichara, Jenny. 2008. Mengatasi Perilaku Buruk Anak. Malang: Kawan Pustaka.
Hal 28.
Green, Lawrence dkk. 1991. Health Promotion Planning: An Educational and
Environment Approach. America: Mayfield Publishing Company. Hal 28-
30.
Green, Lawrence dkk. 2005. Health Program Planning: An Educational and
Ecological Approach. America: McGraw-Hill. Hal 158-159.
Hamid, Achir Yani. 2008. Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC. Hal 3.
Hanafi dan Zulkarnain. 2009. Penuntun Praktikum Kimia Pangan. Departemen
Perindustrian Republik Indonesia. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri.
Bogor: Akademi Kimia Analisis. Hal 26-27 dan 50-51.
Hastono, Sutanto Priyo. 2006. Analisis Data. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal
60 dan 62.
Hastono dan Sabri. 2010. Statistik Kesehatan. Jakarta Utara: Rajagrafindo
Persada. Hal 147.
________. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian
Bogor. 2005. Manfaat Dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor. Hal
5-6, 32, 40, 42-44.
Homer dan Kahle. 1988. A Structural Equation Test of the Value-Attitude-
Behavior Hierarchy. Journal of Personality and Social Psychology (Vol.
54, No. 4), Hal 638-646.
Info DATIN. 2015. Situasi Pangan Jajanan Anak Sekolah. Pusat Data dan
Informasi. Kementerian Kesehatan RI. ISSN 2442-7659
Jain, Vishal. 2014. 3D Model of Attitude. International Journal of Advanced
Research in Management and Social Sciences (Vol. 3, No. 3, Maret), Hal
1-12.
Karimah, Fitrah dkk. 2014. Analisis Zat Pewarna Sintetik Pada Pangan Jajanan Di
SD Kompleks Lariangbangi Makassar. Repository Universitas
Hasanuddin.
130
Karunia, Fanisa Bustani. 2013. Kajian Penggunaan Zat Adiktif Pangan (Pemanis
dan Pewarna) Pada Kudapan Bahan Pangan Lokal Di Pasar Kota
Semarang. Food Science and Culinary Education Journal (Vol. 2, No. 2,
November), Hal 72-78.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Modul Pelatihan Fasilitator Peningkatan
Higiene Sanitasi Pangan Di Sekolah. Direktorat Bina Gizi. Direktorat
Jenderal Bina Gizi Dan Kesehatan Ibu Dan Anak.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Keamanan Pangan Di Sekolah Dasar.
Direktorat Bina Gizi. Direktorat Jenderal Bina Gizi Dan Kesehatan Ibu
Dan Anak.
Keraf dan Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Penerbit Kanisuis. Hal 33-
36.
Khalfani. 2014. Mega Bank Soal SMP Kelas 1, 2 dan 3. Jakarta Selatan: Kawah
Media. Hal 454.
Khoiri, Imam. 2007. Intisari IPA Kimia SMP. Jakarta: Kawan Pustaka. Hal 64.
Kristianto dkk. 2009. Faktor Determinan Pemilihan Pangan Jajanan pada Siswa
Sekolah Dasar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (Vol. 7, No. 11,
Juni), hal 489-494.
Lemeshow dkk. 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan (Edisi Bahasa
Indonesia). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 54.
Lusiana, Novita; Rika Andriyani & Miratu Megasari. 2015. Buku Ajar
Metodologi Penelitian Kebidanan. Yogyakarta: Deepublish. Hal 42.
Mardiah dkk. 2006. Pangan Antikanker. Tangerang: PT. Kawan Pustaka. Hal 4, 8-
10, 18, 21-22.
Maulana, Heri. 2007. Promosi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hal 196-199.
Mujianto dkk. 2005. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Boraks
Pada Bakso Di Kecamatan Pondok Gede-Bekasi. Buletin Penelitian
Kesehatan (Vol. 33, No. 4), Hal 152-161.
Nasir, Muhammad. 2010. Rahasia Kecerdasan Anak: Memaksimalkan
Perkembangan Otak. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hal 172.
Nisma dan Setyawati. 2014. Analisis Zat Pewarna Merah Pada Pangan Jajanan
Anak-Anak Yang Dijual Di Sekolah Dasar Di Wilayah Kotamadya Jakarta
Timur. Farmasains (Vol. 2, No. 3, April), hal 143-149.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010a. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta. Hal 37-38.
131
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010b. Promosi Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Hal
27-29 dan 35.
Novriana dkk. 2013. Prevalensi Gangguan Pemusatan perhatian dan
Hiperaktifvitas Pada Siswa dan Siswi Sekolah Dasar Negeri Kecamatan
Padang Timur. Jurnal Kesehatan Andalas (Vol. 3, No.2), hal 141-146.
Nuraini, Henny. 2007. Memilih & Membuat Jajanan Anak Yang Sehat & Halal.
Jakarta: Qultum Media. Hal 42-43 dan 45.
Nurlaela, Euis. 2011. Keamanan Pangan dan Perilaku pedagang Pangan Di
Instalasi Gizi Rumah Sakit. Media Gizi Masyarakat Indonesia (Vol.1,
No.1, Agustus), hal 1-7.
Nurmaini. 2001. Pencemaran Pangan Secara Kimia dan Biologi. Program Studi
Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas
Sumatera Utara. USU Digital Library.
Pearce dan Robinson. 2008. Edisi Bahasa Indonesia dari Strategic Management:
Formulation, Implementation and Control 10th
Edition. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat. Hal 482.
PerkinElmer Inc. 2015. Lambda 25 UV/Vis Systems. Diakses Melalui
http://www.perkinelmer.com/catalog/family/id/LAMBDA+25+UV+Vis+S
ystems Pada 13 Oktober 2015 Pukul 10.10 WIB
Pertiwi, dkk. 2014. Analisis Kandungan Zat Pewarna Sintetik Rhodamin B Dan
Methanyl Yellow Pada Jajanan Anak Di Sdn Kompleks Mangkura Kota
Makassar. Junal Universitas Hasanuddin Makassar.
Praja, Deny Indra. 2015. Zat Aditif Pangan: Manfaat dan Bahayanya. Yogyakarta:
Penerbit Garudhawaca. Hal 35-38 dan 46-47.
Pujiasuti, Zeta Rina. 2002. Tesis: Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan
Pemakaian Bahan Tambahan Pangan (BTP) Pada Produk Kerupuk Di
Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Program Studi Magister Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponogoro
Semarang.
Purnawijayanti, Hiasinta. 2001. Sanitasi Higiene Dan Keselamatan Kerja Dalam
Pengolahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius. Hal 51-51, 58-59.
Rahayu dkk. 2012. Makalah: Keamanan Pangan Dalam Rangka Peningkatan Daya
Saing Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Untuk Penguatan Ekonomi
Nasional. Disampaikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 20-21
November.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.
Lembaran Negara RI Tahun 2012, No. 227. Sekretariat Negara. Jakarta.
132
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan. Lembaran Negara RI Tahun 2012, No. 227. Sekretariat
Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun
2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan. Lembaran Negara RI
Tahun 2004, No. 107. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33
Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan. Berita Negara RI Tahun
2012, No. 157. Jakarta.
Republik Indonesia. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pewarna. Berita Negara RI Tahun
2013, No. 801. Jakarta.
Republik Indonesia. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat Dan
Makanan Nomor 386 Tahun 1990 tentang zat warna tertentu yang
dinyatakan sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan dan
kosmetika. Berita Negara RI. Jakarta.
Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
942 Tahun 2003 Tentang Pedoman Persyaratan Higiene Sanitasi Pangan
Jajanan. Jakarta.
Republik Indonesia. Riset Dasar Kesehatan 2013. Kementerian Kesehatan RI.
Jakarta.
Sari, Reni Wulan. 2008. Dangerous Junk Food. Yogyakarta: O2. Hal 64.
Sartono. 2014. Rangkuman Ilmu Alam Superlengkap. Jakarta Selatan: Panda
Media. Hal 218.
Sarwono, Sarlito. 2009. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajagrafindo
Persada. Hal 86 dan 201.
Semiun, Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal
157.
Sugiyatmi, Sri. 2006. Analisis Faktor-Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik
Boraks dan Pewarna Pada Pangan Jajanan Tradisional Yang Dijual Di
Pasar-Pasar Kota Semarang. Tesis. Program Pasca Sarjana, Magister
Kesehatan Lingkungan, Universitas Diponogoro.
Sumarlin, La Ode. 2010. Identifikasi Pewarna Sintetik Pada Produk Pangan Yang
Beredar di Jakarta dan Ciputat. Jurnal Universitas Islam Negeri Jakarta
Syarif Hidayatullah Jakarta. Hal 274-283.
133
Sunarya dan Setiabudi. 2007. Mudah dan Aktif Belajar Kimia. Bandung: PT. Setia
Purna Inves. Hal 196.
Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hal 25.
Suryatin, Budi. 2008. Kimia VIII Untuk Sekolah Menengah Pertama dan MTs
Kelas VIII. Jakarta: Grasindo (Gramedia Widiasarana Indonesia). Hal 58-
59 dan 61.
Sutomo, Budi. Sukses Wirausaha Jajan Pasar Favorit. Jakarta: Karya Pustaka. Hal
12.
Sutrisno. 2006. Pewarna Pangan. Program Studi Teknik Pangan, Fakultas Ilmu
Keperawatan dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Semarang. Diakses
melalui http://tekpan.unimus.ac.id/wp-
content/uploads/2013/07/PEWARNA-PANGAN.pdf Pada 15 Oktober
2015 Pukul 15.17 WIB
Thompson, June. 2002. Toddlercare. United Kingdom: HarperCollins Publisher.
Hal 88-89.
United Kingdom Food Guide. 2013. Eritrosin. Diakses Melalui
http://www.ukfoodguide.net/e127.htm Pada 4 Mei 2015 Pukul 20.13 WIB
Utami, Wahyu dkk. 2009. Analisis Rhodamin B Dalam Jajanan Pasar Dengan
Metode Kromatografi Lapis Tipis. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi
(Vol.10, No.2), hal 148-155.
Yasmin, Ghaida dkk. 2010. Perilaku Penjaja Pangan jajanan Terkait Gizi Dan
Keamanan Pangan Di Jakarta dan Sukabumi. Jurnal Gizi dan Pangan
(Vol.5 No.3), hal 148-157.
Wariyah dan Dewi. 2013. Penggunaan Pengawet dan Pemanis Buatan Pada
Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di Wilayah Kabupaten Kulon
Progo-DIY. Agritech (Vol. 33, No. 2, Mei), Hal 146-153.
Wasis dan Irianto. 2008. Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Sekawan Cipta Karya.
Hal 117.
Wenthe, Phyllis. 2007. The Predisposing, Reinforcing and Enabling Factors
Associated With Physical Activity And Sedentary Behavior In Males And
Females During Early Adolescence. United States: ProQuest LLC. Hal 50.
Wijaya, Rika. 2009. Skripsi: Penerapan Peraturan dan Praktek Keamanan Pangan
Jajanan Anak Sekolah Di Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor.
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institusi
Pertanian Bogor.
Winarno, F.D. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia. Hal 184 dan 187.
Lampiran 1
PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Saya, Anantika Anissa mahasiswi Peminatan Kesehatan Lingkungan
Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta meminta kesediaan anda untuk menjadi responden dalam
penelitian saya yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Pada Pangan Jajanan Anak Sekolah
Yang Dijual Oleh Pedagang Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun
2015”. Informasi terkait data pribadi yang anda berikan dalam kuesioner ini akan
dijamin kerahasiaannya oleh peneliti. Oleh karena itu agar responden yang terpilih
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner ini dengan jujur. Atas
perhatian dan partisipasinya saya ucapkan terima kasih.
Responden Peneliti
Anantika Anissa
Identitas Responden
A1 Nama Responden
A2 Pendidikan Terakhir
1. Tidak tamat SD
2. Tamat SD
3. Tamat SMP
4. Tamat SMA
[ ]
A3 Lama Usaha
Pengetahuan Mengenai Pewarna Sintetik
B1 Apakah tujuan pemberian pewarna pada pembuatan pangan?
1. Agar pangan menjadi lebih sedap
2. Agar pangan menjadi lebih awet
3. Agar pangan menjadi lebih menarik
[ ]
B2 Dalam pembuatan pangan, bolehkah menggunakan sembarang
pewarna?
1. Tidak boleh
2. Boleh asal sedikit
3. Boleh asal bukan yang dilarang
[ ]
B3 Manakah diantara pewarna-pewarna ini yang paling baik dalam
pembuatan pangan?
1. Pewarna alam
2. Pewarna buatan
3. Pewarna kain
[ ]
B4 Adakah pewarna yang membahayakan kesehatan?
1. Tidak ada pewarna yang membahayakan kesehatan
2. Pewarna-pewarna tertentu membahayakan kesehatan
3. Semua pewarna membahayakan kesehatan
[ ]
B5 Pewarna dalam pembuatan pangan termasuk golongan bahan
apa?
1. Bahan pokok
2. Bahan tambahan
3. Bahan yang dilarang
[ ]
B6 Bolehkah dalam pembuatan pangan ditambahkan pewarna?
1. Tidak boleh
2. Boleh asal sedikit
3. Boleh asal bukan yang dilarang dan tidak berlebihan
[ ]
B7 Apakah jenis pewarna pangan yang diperbolehkan digunakan di
Indonesia?
1. Pewarna alami
2. Pewarna buatan
3. Pewarna buatan dan alami
[ ]
B8 Terbuat dari apakah pewarna buatan itu?
1. Tumbuhan
2. Bahan kimia
3. Campuran tumbuhan dan bahan kimia
[ ]
B9 Bolehkah pewarna buatan ditambahkan dalam pembuatan
pangan?
1. Tidak boleh
2. Boleh asal sedikit
3. Boleh asal bukan yang dilarang dan tidak berlebihan
[ ]
B10 Bagaimana pengaruh pewarna buatan bagi kesehatan?
1. Baik bagi kesehatan
2. Tidak ada pengaruhnya bagi kesehatan
3. Buruk bagi kesehatan dalam jumlah yang berlebih
[ ]
Sikap Terhadap Risiko Penggunaan Pewarna Sintetik Pada Pangan Jajanan
Pilihlah salah satu jawaban dari pernyataan-pernyataan dibawah ini
S = Setuju
TS = Tidak Setuju
No. Pertanyaan S TS
C1 Penggunaan pewarna terlarang pada pangan
berbahaya bagi kesehatan.
C2 Penggunaan pewarna yang berlebihan boleh
digunakan dalam pembuatan pangan
meskipun berpengaruh buruk pada kesehatan
pembeli.
C3 Dalam pembuatan pangan boleh
menggunakan sembarang pewarna.
C4 Pewarna kain berpengaruh buruk pada
kesehatan jika digunakan untuk pangan.
C5 Dalam pembuatan pangan boleh
menggunakan pewarna yang murah harganya
karena dapat menghemat biaya belanja
walaupun berbahaya bagi tubuh.
C6 Dalam pembuatan pangan boleh
menggunakan pewarna apa saja asalkan bisa
membantu meningkatkan keuntungan
berjualan.
C7 Pewarna alami lebih baik digunakan pada
pangan walaupun harga mahal.
C8 Pewarna yang berlebihan sebaiknya dihindari
dalam pembuatan pangan sebab dapat
berdampak buruk bagi kesehatan.
C9 Penggunaan pewarna pada pangan dilakukan
supaya pembeli lebih tertarik untuk membeli
jadi wajar kalo pakai pewarna berlebihan.
C10 Dampak kesehatan akibat pewarna pada
pangan yang telah dibeli menjadi urusan
pembeli.
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
Keterampilan
D1 Apakah anda membuat sendiri pangan jajanan yang dijual?
a. Ya
[ ]
b. Tidak
Aksesibilitas
E1 Dimana anda memperoleh pewarna tersebut? [ ]
E2 Untuk mendapatkan pewarna mudah atau sulit? [ ]
E2 Harga pewarna yang gunakan harganya murah atau mahal? [ ]
Peraturan
F1 Apakah terdapat peraturan dari pihak sekolah terkait dengan
keamanan pangan?
a. Ada
b. Tidak Ada
[ ]
Pengaruh Sesama Pedagang
G1 Apakah ada sesama pedagang pangan jajanan pernah memberi
saran atau masukan atau pengaruh tentang penggunaan bahan
tertentu?
a. Ada
b. Tidak Ada
[ ]
Pembinaan dan Pengawasan
H1 Apakah pangan jajanan yang dibuat pernah diperiksa oleh
petugas Dinas Kesehatan?
a. Pernah
b. Tidak Pernah
[ ]
H2 Bagaimana dengan pihak sekolah, apakah mereka pernah
memeriksa pangan jajanan yang dibuat?
a. Pernah
b. Tidak Pernah
[ ]
H3 1. Apakah pernah ada petugas (misalnya petugas kelurahan /
puskesmas) yang mencatat usaha pangan jajanan yang
dijual?
2. Bagaimana dengan pihak sekolah, apakah pernah ada yang
mencatat usaha pangan jajanan yang dijual?
3. Apakah pernah mendapatkan kursus atau penyuluhan
tentang pembuatan pangan jajanan? Kalau pernah berapa
kali dan siapa yang mengadakan?
4. Apabila ada kursus atau penyuluhan tentang pembuatan
pangan jajanan apakah mau mengikutinya?
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
Praktek Penggunaan Pewarna
I1 1. Dalam membuat pangan jajanan apakah menggunakan
pewarna?
Bila jawaban “ya”, lanjutkan ke pertanyaan nomor 2 s/d 3.
Bila jawaban “tidak”, lanjutkan ke pertanyaan nomor 4.
2. Kenapa menggunakan pewarna dalam pangan jajanan?
3. Pewarna jenis apa yang gunakan dalam pangan jajanan?
4. Bagaimana jika pangan jajanan yang anda dijual
mengandung bahan berbahaya atau kadarnya melebihi batas
maksimal yang diperbolehkan meskipun bukan anda yang
membuat sendiri pangan jajanan tersebut?
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
Lampiran 2
Hasil Analisis Kandungan Pewarna Sintetik
(Spektrofotometri UV-Visibel dan Serat Wol)
Responden Pangan Jajanan Praktek
1 Es Teh -
2 Es Campur -
3 Es Potong I
- Es Potong II
4 Es Mambo I Rhodamin B
5 Bakso
- Saos Bakso
6 Lenting -
7 Batagor I
- Saos Batagor
8 Minuman Merah I Eritrosin
9 Batagor II
- Saos Batagor
10 Cilung
- Saos Cilung
11 Telur Goreng I
- Saos Telur Goreng
12 Selendang Mayang -
13 Sosis Rhodamin B
14 Es Mambo II Rhodamin B
15 Telur Goreng II
- Saos Telur Goreng
16
Es Pipih I
- Es Pipih II
Es Pipih III
17 Batagor III
- Saos Batagor
18 Es Doger I -
19 Kerupuk Gulali -
Gulali Rhodamin B
20 Telur Puyuh Goreng
- Saos Telur Puyuh Goreng
21 Bakso, Mie -
Responden Pangan Jajanan Praktek
Saos Bakso, Mie
22 Ayam Tepung
- Saos Ayam Tepung
23 Siomay I
- Saos Siomay
24
Minuman Merah II Eritrosin
Minuman Oranye -
Minuman Kuning
25 Minuman Merah III Eritrosin
26 Cilok
- Saos Cilok
27 Minuman Merah IV Eritrosin
28 Es Doger II -
29 Es Dawet -
30 Siomay II
- Saos Siomay
Lampiran 3
Suasana
Penjualan PJAS
Suasana
Penjualan PJAS Suasana Penjualan
PJAS Suasana Penjualan
PJAS
Cara Kerja
Metode Kualitatif
Cara Kerja
Metode
Kualitatif
Cara Kerja
Metode Kualitatif
Cara Kerja
Metode Kualitatif
Contoh Perubahan Warna Contoh Perubahan Warna
Contoh Perubahan Warna Contoh Perubahan Warna
Spektrofotometri Lambda 25 Spectroscopy Cells
Lampiran 4
Correlations
B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9 B10 TOTB
B1 Pearson Correlation 1 .221 .533* .352 .823** .687** .469 .174 .276 .645** .740**
Sig. (2-tailed) .428 .041 .199 .000 .005 .078 .536 .320 .009 .002
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
B2 Pearson Correlation .221 1 .684** .629* .365 .033 .411 .532* .405 .361 .644**
Sig. (2-tailed) .428 .005 .012 .181 .907 .128 .041 .134 .186 .010
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
B3 Pearson Correlation .533* .684** 1 .899** .638* .378 .211 .533* .394 .642** .772**
Sig. (2-tailed) .041 .005 .000 .010 .165 .451 .041 .146 .010 .001
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
B4 Pearson Correlation .352 .629* .899** 1 .415 .185 .198 .454 .294 .555* .639*
Sig. (2-tailed) .199 .012 .000 .124 .510 .480 .089 .287 .032 .010
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
B5 Pearson Correlation .823** .365 .638* .415 1 .602* .314 .341 .326 .794** .774**
Sig. (2-tailed) .000 .181 .010 .124 .018 .255 .213 .236 .000 .001
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
B6 Pearson Correlation .687** .033 .378 .185 .602* 1 .449 .047 .597* .534* .672**
Sig. (2-tailed) .005 .907 .165 .510 .018 .093 .868 .019 .040 .006
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
B7 Pearson Correlation .469 .411 .211 .198 .314 .449 1 .331 .586* .285 .690**
Sig. (2-tailed) .078 .128 .451 .480 .255 .093 .229 .022 .303 .004
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
B8 Pearson Correlation .174 .532* .533* .454 .341 .047 .331 1 .356 .310 .576*
Sig. (2-tailed) .536 .041 .041 .089 .213 .868 .229 .192 .260 .025
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
B9 Pearson Correlation .276 .405 .394 .294 .326 .597* .586* .356 1 .332 .697**
Sig. (2-tailed) .320 .134 .146 .287 .236 .019 .022 .192 .227 .004
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
B10 Pearson Correlation .645** .361 .642** .555* .794** .534* .285 .310 .332 1 .750**
Sig. (2-tailed) .009 .186 .010 .032 .000 .040 .303 .260 .227 .001
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
TOTB Pearson Correlation .740** .644** .772** .639* .774** .672** .690** .576* .697** .750** 1
Sig. (2-tailed) .002 .010 .001 .010 .001 .006 .004 .025 .004 .001
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 TOTC
C1 Pearson Correlation 1 .472 1.000** .189 .472 1.000** .472 .189 1.000** .472 .788**
Sig. (2-tailed) .075 .000 .500 .075 .000 .075 .500 .000 .075 .000
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
C2 Pearson Correlation .472 1 .472 .464 1.000** .472 1.000** .464 .472 1.000** .875**
Sig. (2-tailed) .075 .075 .081 .000 .075 .000 .081 .075 .000 .000
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
C3 Pearson Correlation 1.000** .472 1 .189 .472 1.000** .472 .189 1.000** .472 .788**
Sig. (2-tailed) .000 .075 .500 .075 .000 .075 .500 .000 .075 .000
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
C4 Pearson Correlation .189 .464 .189 1 .464 .189 .464 1.000** .189 .464 .596*
Sig. (2-tailed) .500 .081 .500 .081 .500 .081 .000 .500 .081 .019
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
C5 Pearson Correlation .472 1.000** .472 .464 1 .472 1.000** .464 .472 1.000** .875**
Sig. (2-tailed) .075 .000 .075 .081 .075 .000 .081 .075 .000 .000
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
C6 Pearson Correlation 1.000** .472 1.000** .189 .472 1 .472 .189 1.000** .472 .788**
Sig. (2-tailed) .000 .075 .000 .500 .075 .075 .500 .000 .075 .000
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
C7 Pearson Correlation .472 1.000** .472 .464 1.000** .472 1 .464 .472 1.000** .875**
Sig. (2-tailed) .075 .000 .075 .081 .000 .075 .081 .075 .000 .000
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
C8 Pearson Correlation .189 .464 .189 1.000** .464 .189 .464 1 .189 .464 .596*
Sig. (2-tailed) .500 .081 .500 .000 .081 .500 .081 .500 .081 .019
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
C9 Pearson Correlation 1.000** .472 1.000** .189 .472 1.000** .472 .189 1 .472 .788**
Sig. (2-tailed) .000 .075 .000 .500 .075 .000 .075 .500 .075 .000
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
C10 Pearson Correlation .472 1.000** .472 .464 1.000** .472 1.000** .464 .472 1 .875**
Sig. (2-tailed) .075 .000 .075 .081 .000 .075 .000 .081 .075 .000
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
TOTC
Pearson Correlation .788** .875** .788** .596* .875** .788** .875** .596* .788** .875** 1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .019 .000 .000 .000 .019 .000 .000
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Correlations
D1
TOTALD1
D1 Pearson Correlation 1 1.000**
Sig. (2-tailed) .000
N 15 15
TOTAL
D1
Pearson Correlation 1.000** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 15 15
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-
tailed).
Correlations
E1
TOTAL
E1
E1 Pearson Correlation 1 1.000**
Sig. (2-tailed) .000
N 15 15
TOTAL
E1
Pearson Correlation 1.000** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 15 15
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations
H1 H2 TOTALH
H1 Pearson Correlation 1 -.200 .632*
Sig. (2-tailed) .475 .011
N 15 15 15
H2 Pearson Correlation -.200 1 .632*
Sig. (2-tailed) .475 .011
N 15 15 15
TOTALH
Pearson Correlation .632* .632* 1
Sig. (2-tailed) .011 .011
N 15 15 15
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Correlations
F1 F2 TOTALF
F1 Pearson Correlation 1 .200 .828**
Sig. (2-tailed) .474 .000
N 15 15 15
F2 Pearson Correlation .200 1 .715**
Sig. (2-tailed) .474 .003
N 15 15 15
TOTAL
F
Pearson Correlation .828** .715** 1
Sig. (2-tailed) .000 .003
N 15 15 15
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha
Based on Standardized Items N of Items
.906 .905 27
Correlations
G1 TOTALG
G1 Pearson Correlation 1 1.000**
Sig. (2-tailed) .000
N 15 15
TOTALG Pearson Correlation 1.000** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 15 15
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Lampiran 5
Pengetahuan * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B
Crosstab
praktek
Total Ya Tidak
pengetahuan1 Kurang Count 5 16 21
% within pengetahuan1 23.8% 76.2% 100.0%
Baik Count 3 6 9
% within pengetahuan1 33.3% 66.7% 100.0%
Total Count 8 22 30
% within pengetahuan1 26.7% 73.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .292a 1 .589
Continuity Correctionb .008 1 .928
Likelihood Ratio .285 1 .593
Fisher's Exact Test .666 .453
Linear-by-Linear Association .282 1 .595
N of Valid Casesb 30
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.40.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for pengetahuan1
(Kurang / Baik) .625 .113 3.461
For cohort praktek = Ya .714 .215 2.371
For cohort praktek = Tidak 1.143 .679 1.923
N of Valid Cases 30
Sikap * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B
Crosstab
praktek
Total Ya Tidak
sikap1 Kurang Count 4 9 13
% within sikap1 30.8% 69.2% 100.0%
Baik Count 4 13 17
% within sikap1 23.5% 76.5% 100.0%
Total Count 8 22 30
% within sikap1 26.7% 73.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-
sided) Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .197a 1 .657
Continuity Correctionb .001 1 .978
Likelihood Ratio .196 1 .658
Fisher's Exact Test .698 .485
Linear-by-Linear Association .191 1 .662
N of Valid Casesb 30
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.47.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for sikap1 (Kurang / Baik)
1.444 .284 7.341
For cohort praktek = Ya 1.308 .401 4.268
For cohort praktek = Tidak .905 .578 1.417
N of Valid Cases 30
Keterampilan * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B
keterampilan * praktek Crosstabulation
praktek
Total Ya Tidak
keterampilan Ya Count 1 6 7
Expected Count 1.9 5.1 7.0
% within keterampilan 14.3% 85.7% 100.0%
% within praktek 12.5% 27.3% 23.3%
% of Total 3.3% 20.0% 23.3%
Tidak Count 7 16 23
Expected Count 6.1 16.9 23.0
% within keterampilan 30.4% 69.6% 100.0%
% within praktek 87.5% 72.7% 76.7%
% of Total 23.3% 53.3% 76.7%
Total Count 8 22 30
Expected Count 8.0 22.0 30.0
% within keterampilan 26.7% 73.3% 100.0%
% within praktek 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 26.7% 73.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .716a 1 .398
Continuity Correctionb .128 1 .720
Likelihood Ratio .786 1 .375
Fisher's Exact Test .638 .377
Linear-by-Linear Association .692 1 .406
N of Valid Casesb 30
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.87.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for keterampilan (Ya / Tidak)
.381 .038 3.784
For cohort praktek = Ya .469 .069 3.192
For cohort praktek = Tidak 1.232 .821 1.849
N of Valid Cases 30
Aksesibilitas * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B
Crosstab
praktek
Total Ya Tidak
aksesibilitas Mudah Count 8 20 28
% within aksesibilitas 28.6% 71.4% 100.0%
Sulit Count 0 2 2
% within aksesibilitas .0% 100.0% 100.0%
Total Count 8 22 30
% within aksesibilitas 26.7% 73.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-
sided) Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .779a 1 .377
Continuity Correctionb .003 1 .956
Likelihood Ratio 1.292 1 .256
Fisher's Exact Test 1.000 .531
Linear-by-Linear Association .753 1 .385
N of Valid Casesb 30
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .53.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
For cohort praktek = Tidak .714 .565 .903
N of Valid Cases 30
Peraturan * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B
Crosstab
praktek
Total Ya Tidak
peraturan Tidak Ada Count 5 18 23
% within peraturan 21.7% 78.3% 100.0%
Ada Count 3 4 7
% within peraturan 42.9% 57.1% 100.0%
Total Count 8 22 30
% within peraturan 26.7% 73.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.224a 1 .269
Continuity Correctionb .382 1 .536
Likelihood Ratio 1.149 1 .284
Fisher's Exact Test .345 .261
Linear-by-Linear Association 1.183 1 .277
N of Valid Casesb 30
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.87.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for peraturan (Tidak Ada / Ada)
.370 .062 2.230
For cohort praktek = Ya .507 .160 1.609
For cohort praktek = Tidak 1.370 .696 2.695
N of Valid Cases 30
Teman * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B
Crosstab
praktek
Total Ya Tidak
teman Ya Count 0 5 5
% within teman .0% 100.0% 100.0%
Tidak Count 8 17 25
% within teman 32.0% 68.0% 100.0%
Total Count 8 22 30
% within teman 26.7% 73.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 2.182a 1 .140
Continuity Correctionb .852 1 .356
Likelihood Ratio 3.451 1 .063
Fisher's Exact Test .287 .185
Linear-by-Linear Association 2.109 1 .146
N of Valid Casesb 30
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.33.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
For cohort praktek = Tidak 1.471 1.124 1.924
N of Valid Cases 30
Petugas Kesehatan * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B
Crosstab
praktek
Total Ya Tidak
p.kesehatan Tidak Pernah Count 4 10 14
% within p.kesehatan 28.6% 71.4% 100.0%
Pernah Count 4 12 16
% within p.kesehatan 25.0% 75.0% 100.0%
Total Count 8 22 30
% within p.kesehatan 26.7% 73.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .049a 1 .825
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .049 1 .825
Fisher's Exact Test 1.000 .574
Linear-by-Linear Association .047 1 .828
N of Valid Casesb 30
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.73.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for p.kesehatan (Tidak
Pernah / Pernah) 1.200 .237 6.065
For cohort praktek = Ya 1.143 .349 3.741
For cohort praktek = Tidak .952 .616 1.472
N of Valid Cases 30
Sekolah * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B
Crosstab
praktek
Total Ya Tidak
sekolah Tidak Pernah Count 6 18 24
% within sekolah 25.0% 75.0% 100.0%
Pernah Count 2 4 6
% within sekolah 33.3% 66.7% 100.0%
Total Count 8 22 30
% within sekolah 26.7% 73.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .170a 1 .680
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .165 1 .685
Fisher's Exact Test .645 .520
Linear-by-Linear Association .165 1 .685
N of Valid Casesb 30
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.60.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for sekolah (Tidak Pernah / Pernah)
.667 .097 4.605
For cohort praktek = Ya .750 .199 2.827
For cohort praktek = Tidak 1.125 .611 2.073
N of Valid Cases 30