ANANTIKA ANNISA-FKIK.pdf

168
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN ERITROSIN DAN RHODAMIN B PADA PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH YANG DIJUAL OLEH PEDAGANG DI SDN SEKELURAHAN PONDOK BENDA TAHUN 2015 SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Anantika Anissa 1111101000068 PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/ 1437 H

Transcript of ANANTIKA ANNISA-FKIK.pdf

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN

ERITROSIN DAN RHODAMIN B PADA PANGAN JAJANAN ANAK

SEKOLAH YANG DIJUAL OLEH PEDAGANG DI SDN SEKELURAHAN

PONDOK BENDA TAHUN 2015

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan

Masyarakat (SKM)

Anantika Anissa

1111101000068

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2015 M/ 1437 H

ii

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

iii

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

Skripsi, Desember 2015

ANANTIKA ANISSA, NIM: 1111101000068

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN

ERITROSIN DAN RHODAMIN B PADA PANGAN JAJANAN ANAK

SEKOLAH YANG DIJUAL OLEH PEDAGANG DI SDN SEKELURAHAN

PONDOK BENDA TAHUN 2015

(xvii + 133 halaman, 27 tabel, 3 bagan, 5 lampiran)

ABSTRAK

Pangan jajanan dapat menjadi sumber asupan gizi dan energi bagi siswa

saat berada di sekolah oleh karena itu keamanan pangan jajanan sangat penting

namun masih ditemukan pangan jajanan yang tidak aman karena mengandung

bahan berbahaya, dalam hal ini pedagang pangan jajanan memiliki peranan yang

penting. Uji pendahuluan di 3 sekolah yaitu SDN Pondok Benda II, SDN Pondok

Benda III dan SDN Pondok Benda VI pada 3 pedagang PJAS, terdapat satu

pedagang dengan sampel pangan jajanan es merah yang mengandung Rhodamin

B. Kemudian pada pedagang lainnya ditemukan Eritrosin pada sampel minuman

merah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan

dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan anak sekolah

yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross

sectional. Populasi penelitian adalah seluruh pedagang pangan jajanan anak

sekolah SDN di Sekelurahan Pondok Benda yang berjumlah 34 orang dan sampel

dipilih dengan metode sampel jenuh dengan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu.

Analisis data dilakukan dengan dua cara yaitu univariat dan bivariat. Univariat

dilakukan dengan menampilkan tabel distribusi dan persentase dari setiap variabel

dan bivariat dilakukan dengan penguji Chi Square dengan nilai .

Hasil penelitian menunjukan 13,3% pangan jajanan anak sekolah

mengandung Eritrosin dan 13,3% lainya mengandung Rhodamin B serta tidak ada

hubungan yang signifikan antara pengetahuan, sikap, keterampilan, aksesibilitas,

peraturan sekolah, pengaruh sesama pedagang, pembinaan pengawasan petugas

kesehatan dan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada

pangan jajanan anak sekolah. Disarankan kepada Dinas Kesehatan Tangerang

Selatan untuk meningkatkan pengawasan dan pembinaan pada pedagang pangan

jajanan anak sekolah dan kepada pihak sekolah untuk menetapkan kebijakan dan

peraturan mengenai keamanan pangan jajanan anak sekolah.

Kata Kunci: Eritrosin, Rhodamin B, Pangan Jajanan Anak Sekolah, Perilaku

Daftar Bacaan: 92 (1990-2015)

iv

ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH

DEPARTMENT OF ENVIRONMENTAL HEALTH

Undergraduate Thesis, December 2015

ANANTIKA ANISSA, NIM: 1111101000068

FACTORS ASSOCIATED TO THE USE OF ERYTHROSINE AND

RHODAMIN B ON STREET FOOD THAT SOLD BY VENDORS AT

ELEMENTARY SCHOOLS IN PONDOK BENDA VILLAGE, 2015 (xvii + 133 pages, 27 tables, 3 charts, 5 attachments)

ABSTARCT

Street food can be a source of nutrition and energy for students while

undergoing the learning activities in schools therefore street food safety is very

important although there are within cases of unsafe street food because of

hazardous materials, in this case vendors have an important role. Based on

preliminary test results over 3 schools, which are SDN Pondok Benda II, SDN

Pondok Benda III and SDN Pondok Benda VI to 3 vendors, there is a vendor with

street food samples (red ice syrup) containing Rhodamine B. Later, on other

vendor found Erythrosine on red beverage samples. The purpose of this study was

to determine the factors that related to the use of Erythrosine and Rhodamine B on

street food that sold by vendors at elementary schools in Pondok Benda village,

2015.

This is a quantitative research with cross sectional study design. The

population is all the street food vendors in elementary school of Pondok Benda

which amounts to 34 people, and samples selected by total sampling method with

the specific inclusion and exclusion criteria. Data analysis was done in two ways,

univariate and bivariate. Univariate done by displaying the distribution table and

the percentage of each variable and bivariate performed with Chi Square test with

a value of α = 0.05.

The results showed that 13.3% street food containing Erythrosine and the

other 13.3% street food containing Rhodamine B. There are no significant

correlation between knowledge of the vendor, attitude of the vendor, skills of the

vendor, accessibility in obtaining dyes, school rules, influence of fellow vendor,

guidance and supervision of health workers and school to the practice of using

Erythrosine and Rhodamine B on street food. Thus it can be recommendation to

Health Department of South Tangerang to improve guidance and supervision on

street food and to the school principal to establish policies and regulations

regarding the safety of street food.

Keywords: Erythrosine, Rhodamine B, Street Food, Behavior

References: 92 (1990-2015)

v

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPS

vi

vii

Nama Lengkap : Anantika Anissa

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 29 Juni 1993

Alamat : Reni Jaya Jl. Maluku VIII Blok Q No.4, Pamulang

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Golongan Darah : O

No. Handphone : 0857 75305303

E-mail : [email protected]

RIWAYAT PENDIDIKAN

2011-Sekarang : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2008-2011 : SMAN 3 Kota Tangerang Selatan

2005-2008 : SMPN 4 Kota Tangerang Selatan

1999-2005 : SDN Pondok Benda II

1998 : TK Cahaya Agung

PENGALAMAN KERJA

2014 : Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas Ciputat Timur

2014 : Orientasi Kerja di RS ANTAM

2015 : Praktek Kerja di Kantor Kesehatan Pelabuhan Soekarno Hatta

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini dengan baik.

Penulisan laporan skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Laporan ini ditulis untuk

memberikan keterangan terkait seluruh proses pembuatan skripsi yang berjudul

“Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin

B Pada Pangan Jajanan Anak Sekolah Yang Dijual Oleh Pedagang Di SDN

Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015”.

Dalam proses penyelesaian laporan ini penulis mendapatkan bantuan serta

dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh sebab itu pada

kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Mamah Vonny, Kak Putra dan Kak Aria yang selalu mendoakan, memberikan

dukungan moril maupun materil dan kasih sayang serta Alm. Papah Chandra

yang pastinya juga selalu mendoakan;

2. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan;

3. Ibu Fajar Arianti, Ph.D selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat;

4. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku dosen pembimbing skripsi I yang

telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan,

dukungan, kritik dan saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi;

5. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS selaku dosen pembimbing skripsi II yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dukungan,

kritik dan saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi;

6. Bapak Dr. M. Farid Hamzens, M.Si selaku dosen penguji skripsi I yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, kritik dan

saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi;

7. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku dosen penguji skripsi II yang

telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, kritik dan

saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi;

ix

8. Ibu Dra. Raiyan, MKM, Apt selaku dosen penguji skripsi III yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, kritik dan

saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi;

9. Ibu Dr. Iting Shofwati, ST, M.KKK selaku dosen pembimbing akademik yang

memantau perkembangan akademik penulis dan memberikan pengarahan

selama masa kuliah;

10. Bapak Azib selaku staf program studi kesehatan masyarakat yang membantu

persiapan sidang proposal dan sidang skripsi;

11. Teman-teman peminatan kesehatan lingkungan angkatan 2011 (Ila, Cepol,

Inu, Rois, Shela, Betti, Niken, Onoy, Pewe, Hari, Chandra, Ayu, Awal,

Sarjeng, Lifi, Almen, Eka, Ukhfi, Ika, Ikoh, Mbak Feela, Epri dan Rahmatika)

yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan;

12. Adik-adik peminatan kesehatan lingkungan angkatan 2012 dan 2013 yang

selalu mendoakan dan memberikan dukungan;

13. Teman-teman program studi kesehatan masyarakat angkatan 2011 yang selalu

mendoakan dan memberikan dukungan;

14. Kak Anis selaku laboran di laboratorium kesehatan lingkungan yang

membantu dalam pengujian penelitian;

15. Ninoy dan Mbak Inten yang selalu mendoakan dan mendukung;

16. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan ini

yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Pada penulisan laporan ini penulis menyadari masih terdapat kekurangan

yang harus diperbaiki, mengingat keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Untuk

itu kritik dan saran sangat diharapkan demi penyempurnaan pembuatan laporan

ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat. Aamiin.

Jakarta, Desember 2015

Penulis

x

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ................................... Error! Bookmark not defined.

ABSTRAK ............................................................................................................. iii

ABSTARCT ........................................................................................................... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN ........................ Error! Bookmark not defined.

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI .................................................................... v

RIWAYAT HIDUP ................................................ Error! Bookmark not defined.

KATA PENGANTAR.......................................................................................... viii

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv

DAFTAR BAGAN ............................................................................................... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 7

1.3 Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 8

1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 10

1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................. 10

1.4.2 Tujuan Khusus................................................................................. 10

1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................... 12

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 14

2.1 Pewarna Pangan ........................................................................................ 14

2.1.1 Pengertian Pewarna Pangan ............................................................ 14

2.1.2 Tujuan Penambahan Pewarna Pangan ............................................. 14

2.1.3 Jenis Pewarna Pangan ..................................................................... 14

2.1.4 Pewarna Yang Dizinkan Pada Pangan ............................................ 22

2.1.5 Pewarna Yang Tidak Dizinkan Pada Pangan .................................. 23

2.2 Eritrosin .................................................................................................... 24

2.3 Rhodamin B .............................................................................................. 27

2.4 Dampak Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ..................................... 30

xi

2.4.1 Hiperaktivitas .................................................................................. 30

2.4.2 Kanker ............................................................................................. 32

2.5 Pangan Jajanan Anak Sekolah .................................................................. 34

2.5.1 Pengertian Pangan Jajanan Anak Sekolah ...................................... 34

2.5.2 Jenis Pangan Jajanan Anak Sekolah ............................................... 34

2.6 Keamanan Pangan .................................................................................... 35

2.7 Kasus-Kasus Penggunaan Pewarna Sintetik............................................. 38

2.8 Perilaku ..................................................................................................... 50

2.8.1 Predisposisi (Predisposing) ............................................................. 51

2.8.2 Pemungkin (Enabling) .................................................................... 56

2.8.3 Penguat (Reinforcing) ..................................................................... 57

2.9 Kerangka Teori ......................................................................................... 61

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................. 62

3.1 Kerangka Konsep ..................................................................................... 62

3.2 Definisi Operasional ................................................................................. 65

3.3 Hipotesis ................................................................................................... 67

BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 68

4.1 Desain Penelitian ...................................................................................... 68

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................. 68

4.3 Populasi dan Sampel ................................................................................. 68

4.3.1 Populasi ........................................................................................... 68

4.3.2 Sampel ............................................................................................. 69

4.4 Sumber Data Penelitian ............................................................................ 71

4.4.1 Data Primer ..................................................................................... 71

4.4.2 Data Sekunder ................................................................................. 72

4.5 Instrumen Penelitian ................................................................................. 72

4.6 Cara Pengumpulan Data ........................................................................... 74

4.6.1 Wawancara ...................................................................................... 74

4.6.2 Uji Laboratorium ............................................................................. 75

4.7 Pengolahan Data ....................................................................................... 78

4.8 Analisis Data ............................................................................................ 81

xii

4.8.1 Univariat .......................................................................................... 81

4.8.2 Bivariat ............................................................................................ 81

BAB V HASIL ...................................................................................................... 83

5.1 Analisis Univariat ..................................................................................... 83

5.2.1 Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B .......................................... 83

5.2.2 Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan Tentang Pewarna ............. 84

5.2.3 Sikap Pedagang Pangan Jajanan Terhadap Penggunaan Pewarna .. 84

5.2.4 Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan ......................................... 85

5.2.5 Aksesibilitas Pedagang Pangan Jajanan .......................................... 85

5.2.6 Peraturan Sekolah Tentang Keamanan Pangan ............................... 86

5.2.7 Pengaruh Sesama Pedagang Pangan Jajanan .................................. 86

5.2.8 Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan ............................ 87

5.2.9 Pembinaan dan Pengawasan Sekolah .............................................. 88

5.2 Analisis Bivariat ....................................................................................... 88

5.2.1 Hubungan Pengetahuan Dengan Penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B ................................................................................................... 88

5.2.2 Hubungan Sikap Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B . 89

5.2.3 Hubungan Keterampilan Dengan Penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B ................................................................................................... 90

5.2.4 Hubungan Aksesibilitas Dengan Penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B ................................................................................................... 91

5.2.5 Hubungan Peraturan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B ................................................................................................... 91

5.2.6 Hubungan Pengaruh Sesama Pedagang Dengan Penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B ............................................................................. 92

5.2.7 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Dengan

Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ......................................................... 93

5.2.8 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Dengan

Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ......................................................... 94

BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 96

6.1 Keterbatasan Penelitian ............................................................................ 96

6.2 Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.................................................... 96

xiii

6.2.1 Penggunaan Eritrosin ...................................................................... 96

6.2.2 Penggunaan Rhodamin B ................................................................ 98

6.3 Perilaku ................................................................................................... 102

6.3.1 Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan ........................................ 102

6.3.2 Sikap Pedagang Pangan Jajanan ................................................... 105

6.3.3 Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan ....................................... 108

6.3.4 Aksesibilitas Memperoleh Pewarna Pangan ................................. 110

6.3.5 Peraturan Sekolah .......................................................................... 113

6.3.6 Pengaruh Sesama Pedagang .......................................................... 115

6.3.7 Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan .......................... 117

6.3.8 Pembinaan dan Pengawasan Sekolah ............................................ 120

BAB VII SIMPULAN dan SARAN ................................................................... 122

7.1 Simpulan ................................................................................................. 122

7.2 Saran ....................................................................................................... 125

7.2.1 Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan .................................... 125

7.2.2 Sekolah .......................................................................................... 126

7.2.3 Pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ......................... 126

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 127

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kelas-Kelas Zat Warna Sintesis ...................................................................... 17

Tabel 2.2 Perbedaan Antara Lakes dan Dyes .................................................................. 20

Tabel 2.3 Batas Maksimum Penggunaan Eritrosin ......................................................... 25

Tabel 3.1 Definisi Operasional........................................................................................ 65

Tabel 4.1 Sampel Pengan Jajanan Anak sekolah ............................................................ 70

Tabel 4.2 Variabel Pertanyaan ........................................................................................ 72

Tabel 4.3 Hasil Uji Validitas Kuesioner ......................................................................... 73

Tabel 4.4 Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner...................................................................... 74

Tabel 4.5 Indikator Perubahan Warna Serat Wol ........................................................... 78

Tabel 5.1a Distribusi Frekuensi Penggunaan Eritrosin Di SDN Sekelurahan

Pondok Benda Tahun 2015 ............................................................................................. 83

Tabel 5.1b Distribusi Frekuensi Penggunaan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan

Pondok Benda Tahun 2015 ............................................................................................. 83

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan Tentang

Pewarna Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ............................................ 84

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Sikap Pedagang Pangan Jajanan Terhadap

Penggunaan Pewarna Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ....................... 84

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan Di SDN

Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ........................................................................ 85

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Aksesibilitas Pedagang Pangan Jajanan Di SDN

Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ........................................................................ 86

xv

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Peraturan Sekolah Terhadap Usaha Pangan Jajanan

Di Sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 .............................................. 86

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Pengaruh Sesama Pedagang Pangan Jajanan Di

SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ............................................................... 87

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Di

SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ............................................................... 87

Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Di SDN

Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ........................................................................ 88

Tabel 5.10 Hubungan Pengetahuan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin

B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ....................................................... 88

Tabel 5.11 Hubungan Sikap Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di

SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ............................................................... 89

Tabel 5.12 Hubungan Keterampilan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin

B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ....................................................... 90

Tabel 5.13 Hubungan Aksesibilitas Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin

B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ....................................................... 91

Tabel 5.14 Hubungan Peraturan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ..................................... 92

Tabel 5.15 Hubungan Pengaruh Sesama Pedagang Dengan Penggunaan Eritrosin

dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 .............................. 93

Tabel 5.16 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Dengan

Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda

Tahun 2015 ...................................................................................................................... 94

Tabel 5.17 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Dengan Penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ............... 95

xvi

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Tiga Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku ................................................... 60

Bagan 2.2 Kerangka Teori .............................................................................................. 61

Bagan 3.1 Kerangka Konsep ........................................................................................... 64

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner

Lampiran 2 Hasil Laboratorium (Spektrofotometri UV-Visibel dan Serat Wol)

Lampiran 3 Foto-Foto Kegiatan

Lampiran 4 Output SPSS Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

Lampiran 5 Output SPSS Crosstab, Chi Square Tests dan Odd Ratio Penelitian

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia untuk dapat

bertahan hidup. Pada pangan dapat terkandung berbagai jenis zat gizi yang

bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia. Zat-zat gizi

tersebut antara lain karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.

Meskipun begitu, pangan tidak hanya bermanfaat bagi pertumbuhan dan

perkembangan tubuh manusia saja namun pangan juga dapat menjadi media

transmisi penyakit apabila pangan tersebut tercemar akibat faktor lingkungan

maka mutu dan keamanan pangan perlu dijaga agar masyarakat dapat

terlindungi dari hal merugikan dan membahayakan kesehatan tubuh oleh

karena itu dibuatlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28

Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan (Kementerian

Kesehatan, 2010).

Menurut Pasal 1 ayat (7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 28 Tahun 2004, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang

diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis,

kimia, benda-benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan

membahayakan kesehatan manusia. Namun sampai saat ini masih ditemukan

pangan yang tidak memenuhi persyaratan (TMS) secara mutu, kebersihan

maupun keamanan sehingga dapat menimbulkan dampak tidak baik bagi

2

kesehatan. Salah satu contoh pangan yang sering tidak memenuhi syarat

adalah pangan jajanan anak sekolah (PJAS).

Badan Pengawasan Obat dan Makanan pada tahun 2011 menemukan

sebesar 35,46% sampel pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi

persyaratan keamanan dan mutu pangan, pada tahun 2012 sebesar 23,89%

dan pada tahun 2013 sebesar 19,21%. Penyebab pangan jajanan anak sekolah

tersebut tidak memenuhi persyaratan adalah penggunaan bahan tambahan

pangan (BTP) yang melebihi batas, mengandung cemaran logam berat yang

melebihi batas, kualitas mikrobiologis yang tidak memenuhi syarat dan

menggunakan bahan kimia berbahaya (BPOM, 2011; 2012; 2013).

Balai POM Serang yang memiliki cakupan kerja seluruh wilayah

administrasi Provinsi Banten dari tahun 2011-2013 termasuk dalam

kelompok Balai Besar/Balai POM yang sering mengalami kejadian luar biasa

(KLB) keracunan pangan. Salah satu asal penyebab kejadian luar biasa

keracunan pangan tersebut adalah pangan jajanan (BPOM, 2011; 2012;

2013).

Salah satu penyebab utama pangan jajanan anak sekolah tidak

memenuhi persyaratan yang paling umum yaitu penggunaan bahan kimia

berbahaya. Jenis pangan jajanan anak sekolah yang paling sering masuk

dalam kategori tidak memenuhi persyaratan yaitu minuman es, minuman

berwarna/sirup, bakso dan jelly/agar-agar. Agen yang paling sering

menyebabkan tidak memenuhi persyaratan salah satunya yaitu AKK (angka

kapang khamir: pewarna tekstil) (Info DATIN, 2015).

3

Di Indonesia ketentuan pewarna diatur dalam Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan, Peraturan

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 37 Tahun 2013 tentang

batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan pewarna serta

Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 386

Tahun 1990 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan

berbahaya dalam obat, makanan dan kosmetika.

Pada tahun 2011-2013, BPOM masih menemukan sampel pangan

jajanan anak sekolah yang mengandung pewarna bukan untuk pangan seperti

Rhodamin B, Methanil Yellow serta Auramin. Hasil tersebut menunjukan

bahwa penggunaan pewarna sintetik berbahaya pada pangan jajanan anak

sekolah masih kerap dilakukan oleh pedagang dimungkinkan karena anak

sekolah dasar dalam memilih pangan jajanan mempertimbangkan daya tarik

warna (Kristianto dkk, 2009). Begitu pula dengan Pujiasuti (2002) yang

menyatakan alasan pemilihan produk berwarna antara lain lebih menarik dan

lebih murah. Menurut Nuraini (2007), warna mempunyai peran psikologis

yang sangat kuat ketika anak-anak akan memilih produk pangan.

Selain BPOM, Ardiarini dan Gunanti (2004) menemukan sampel

minuman jajanan SDN Dukuh Mananggal yang mengandung Tartrazin,

Rhodamin B dan Sunset Yellow. Nisma dan Setyawati (2014) menemukan

sampel pangan jajanan SD di wilayah Kotamadya Jakarta Timur mengandung

Rhodamin B, Karmoisin, Eritrosin dan Ponceau 4R.

4

Survei Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan menyatakan bahwa

sampai dengan tahun 2012 sebesar 32% PJAS positif menggunakan bahan

kimia bukan untuk pangan terdiri dari 29% mengandung boraks, 16%

mengandung formalin dan 38% mengandung Metanil Yellow dan Rhodamin

B. Tahun 2013 sebesar 16% terdiri dari 3% mengandung boraks, 7%

mengandung formalin dan 14% Metanil Yellow dan Rhodamin B serta tahun

2014 sebesar 13% terdiri dari 7% mengandung boraks, 11% mengandung

formalin dan 2% Metanil Yellow dan Rhodamin B (Dinas Kesehatan Kota

Tangerang Selatan, 2012; 2015). Data tersebut menunjukan bahwa

penggunaan pewarna bukan untuk pangan memiliki persentase yang paling

besar dalam pencemaran bahan kimia pada pangan jajanan dibandingkan

dengan boraks dan formalin.

Pasal 3 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan

Makanan Nomor 37 Tahun 2013 menyatakan bahwa Eritrosin dapat

digunakan pada pangan dengan batas maksimum 20-300mg/kg. Karunia

(2013) menyatakan Eritrosin tidak dapat dipakai dalam produk minuman

karena mudah diendapkan oleh asam dan hal tersebut sejalan dengan

peraturan BPOM yang tidak mencantumkan kategori minuman dalam

penggunaan Eritrosin. Arisman (2008) berpendapat Eritrosin tidak dianjurkan

untuk pangan. Meskipun diperbolehkan untuk digunakan pada pangan

sebaiknya kita menghindari penggunaannya sebab pewarna sintetik tidak baik

untuk kesehatan jika terus dikonsumsi, apalagi oleh anak-anak yang sedang

5

dalam masa pertumbuhan. Sedangkan Rhodamin B merupakan pewarna yang

dilarang penggunaannya pada pangan (PP No. 28 Tahun 2004).

Eritrosin dapat mengakibatkan reaksi alergi seperti nafas pendek,

dada sesak, sakit kepala, dan iritasi kulit (Karunia, 2013). Kemudian pewarna

sintetik juga dapat mengakibatkan hiperaktif pada anak (FDA, 2011).

Sedangkan Rhodamin B dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan, iritasi

kulit dan iritasi mata serta kanker jika penggunaan jangka panjang (Praja,

2015). Oleh karena efek yang dapat ditimbulkan maka masyarakat perlu

dilindungi dari pangan yang menggunakan bahan tambahan pangan yang

belebihan dan bahan tambahan bukan untuk pangan.

Pangan jajanan anak sekolah yang mengandung bahan tambahan

berbahaya tidak lepas dari perilaku pedagang dalam mengolah atau menjual

pangan jajanan. Pedagang pangan jajanan berperan penting dalam penyediaan

pangan jajanan yang sehat dan bergizi serta terjamin keamanannya (Yasmin

dkk, 2010). Menurut Green dkk (1991), terdapat tiga faktor yang dapat

mempengaruhi perilaku seseorang yaitu faktor predisposisi, faktor

pemungkin dan faktor penguat. Faktor predisposisi termasuk diantaranya

pengetahuan, sikap, keyakinan dan nilai. Faktor pemungkin termasuk

diantaranya keterampilan, sumber daya. Faktor penguat termasuk diantaranya

dukungan sosial dan pengaruh teman.

Sugiyatmi (2006) menyatakan pedagang yang memiliki pengetahuan

dan sikap dengan kategori kurang kebanyakan melakukan praktek pembuatan

pangan jajanan dengan kategori kurang baik. Selain itu sulitnya akses bahan

6

tambahan pangan dengan harga terjangkau juga berkontribusi dalam

penyalahgunaan bahan kimia berbahaya (Rahayu dkk, 2012). Hal lain yang

juga dapat mempengaruhi perilaku pedagang pangan jajanan adalah peraturan

keamanan pangan jajanan (Wijaya, 2009) serta pembinaan dan pengawasan

petugas kesehatan dalam penjualan pangan jajanan (Sugiyatmin, 2006;

Mujianto, 2005).

Kota Tangerang Selatan meskipun tergolong daerah otonom baru

namun memiliki kondisi pendidikan yang relatif maju karena di Kecamatan

Pondok Aren, Ciputat dan Pamulang banyak tersebar sekolah dan perguruan

tinggi. Kecamatan Pamulang merupakan kecamatan dengan jumlah SDN

terbanyak kedua di Tangerang Selatan direncanakan menjadi pusat kegiatan

pendidikan, salah satunya di Kelurahan Pondok Benda (Bappeda Tangerang

Selatan, 2012; 2011). Sebagai kelurahan yang direncanakan menjadi pusat

kegiatan pendidikan, Kelurahan Pondok Benda harus menyediakan fasilitas

yang memadai agar siswa dapat belajar dengan baik. Salah satu fasilitas

tersebut adalah kantin sekolah namun umumnya sekolah dasar negeri tidak

memiliki kantin sehingga siswa jajanan pada pedagang PJAS di sekitar

lingkungan sekolah. Pangan yang berasal dari pedagang di sekitar sekolah

apabila tidak ditangani secara benar berpotensi menyebabkan penyakit

(BPOM, 2012b). Oleh karena itu peneliti ingin meneliti perilaku pedagang

pangan jajanan dengan keamanan pangan jajanan di SDN sekelurahan

Pondok Benda terkait dengan penggunaan pewarna sintetik.

7

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti pada bulan

Januari tahun 2015 di delapan SDN di Kelurahan Pondok Benda Kecamatan

Pamulang Kota Tangerang Selatan, pangan jajanan yang dijajakan di sekitar

sekolah antara lain sosis, saos, kue, jelly serta minuman berwarna maunpun

es dimana beberapa pangan jajanan tersebut mungkin menggunakan pewarna

sintetik berbahaya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan hasil uji pendahuluan yang dilakukan di 3 sekolah yaitu

SDN Pondok Benda II, SDN Pondok Benda III dan SDN Pondok Benda VI

pada 3 pedagang pangan jajanan anak sekolah ditemukan pedagang dengan

sampel pangan jajanan es merah yang positif mengandung Rhodamin B

kemudian pada pedagang lainnya ditemukan sampel minuman merah yang

positif mengandung Eritrosin namun Eritrosin tidak dapat digunakan pada

minuman, selain itu masih pada pedagang yang sama ditemukan sampel

minuman yang mengandung Orange SS oleh karena itu peneliti tertarik untuk

meneliti faktor-faktor perilaku yang mempengaruhi pedagang menggunakan

pewarna sintetik seperti pengetahuan, sikap, keterampilan, aksesibilitas,

peraturan, pengaruh sesama pedagang, pembinaan dan pengawasan serta

hubungannya dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan

jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok

Benda Tahun 2015.

8

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana praktek pedagang pangan jajanan anak sekolah dalam

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan yang

dijajakan di SDN Sekelurahan Pondok Benda?

2. Bagaimana pengetahuan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN

Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna?

3. Bagaimana sikap pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN

Sekelurahan Pondok Benda terhadap penggunaan pewarna?

4. Bagaimana keterampilan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN

Sekelurahan Pondok Benda dalam mengolah pangan jajanan yang

dijajakan?

5. Bagaimana aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN

Sekelurahan Pondok Benda dalam memperoleh pewarna?

6. Bagaimana peraturan yang diterapkan oleh sekolah terkait kebijakan

berjualan pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok

Benda?

7. Bagaimana pengaruh sesama pedagang pangan jajanan anak sekolah di

SDN Sekelurahan Pondok Benda terkait penggunaan bahan pangan

jajanan anak sekolah?

8. Bagaimana pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan mengenai

pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda?

9. Bagaimana pembinaan dan pengawasan oleh sekolah mengenai pangan

jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda?

9

10. Bagaimana hubungan antara pengetahuan pedagang pangan jajanan anak

sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B?

11. Bagaimana hubungan antara sikap pedagang pangan jajanan anak sekolah

di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B?

12. Bagaimana hubungan antara keterampilan pedagang pangan jajanan anak

sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin

dan Rhodamin B?

13. Bagaimana hubungan antara aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak

sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin

dan Rhodamin B?

14. Bagaimana hubungan antara peraturan sekolah di SDN Sekelurahan

Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B?

15. Bagaimana hubungan antara pengaruh sesama pedagang pangan jajanan

anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B?

16. Bagaimana hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh petugas

kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang

pangan jajanan anak sekolah?

17. Bagaimana hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh sekolah

dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan

jajanan anak sekolah?

10

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan anak

sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok Benda

Tahun 2015.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui praktek pedagang pangan jajanan anak sekolah dalam

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan yang

dijajakan di SDN Sekelurahan Pondok Benda.

2. Mengetahui pengetahuan pedagang pangan jajanan anak sekolah di

SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna.

3. Mengetahui sikap pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN

Sekelurahan Pondok Benda terhadap penggunaan pewarna.

4. Mengetahui keterampilan pedagang pangan jajanan anak sekolah di

SDN Sekelurahan Pondok Benda dalam mengolah pangan jajanan

yang dijajakan.

5. Mengetahui aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak sekolah di

SDN Sekelurahan Pondok Benda dalam memperoleh pewarna.

6. Mengetahui peraturan yang diterapkan oleh sekolah terkait

kebijakan berjualan pangan jajanan anak sekolah di SDN

Sekelurahan Pondok Benda.

11

7. Mengetahui pengaruh sesama pedagang pangan jajanan anak

sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda terkait penggunaan

bahan pangan jajanan anak sekolah.

8. Mengetahui pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan

mengenai pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan

Pondok Benda.

9. Mengetahui pembinaan dan pengawasan oleh sekolah mengenai

pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda.

10. Mengetahui hubungan antara pengetahuan pedagang pangan

jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai

pewarna dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

11. Mengetahui hubungan antara sikap pedagang pangan jajanan anak

sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna

dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

12. Mengetahui hubungan antara keterampilan pedagang pangan

jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

13. Mengetahui hubungan antara aksesibilitas pedagang pangan

jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

14. Mengetahui hubungan antara peraturan sekolah di SDN

Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B.

12

15. Mengetahui hubungan antara pengaruh sesama pedagang pangan

jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

16. Mengetahui hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh

petugas kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

oleh pedagang pangan jajanan anak sekolah.

17. Mengetahui hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh

sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh

pedagang pangan jajanan anak sekolah.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, hasil penelitian ini diharapkan

dapat memberikan informasi mengenai perkembangan usaha pangan

jajanan di lingkungan sekolah. Informasi ini penting dalam rangka

penentuan sikap dan kebijakan dalam pembinaan dan pengawasan

keamanan pangan jajanan.

2. Sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

untuk meningkatkan kewaspadaan dan pengawasan terhadap pangan

jajanan yang dijual di lingkungan sekolah.

3. Pedagang pangan jajanan anak sekolah, hasil penelitian ini diharapkan

dapat memberikan informasi untuk mempraktekkan pengolahan pangan

yang baik dengan hanya menggunakan BTP yang diijinkan.

13

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Pangan jajanan dapat menjadi salah satu sumber asupan gizi dan

energi bagi siswa saat menjalani kegiatan pembelajaran di sekolah oleh

karena itu keamanan pangan jajanan sangat penting. Penelitian ini mengenai

faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin

B pada pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN

Sekelurahan Pondok Benda. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Agustus-

September Tahun 2015. Faktor independen adalah pengetahuan, sikap,

keterampilan, aksessibilitas, peraturan, pengaruh sesama pedagang serta

pembinaan dan pengawasan. Faktor dependen adalah penggunaan Eritrosin

dan Rhodamin B. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan

desain studi cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh pedagang

pangan jajanan anak sekolah SDN di Sekelurahan Pondok Benda yang

berjumlah 34 orang. Sampel responden dipilih melalui metode sampel jenuh

dengan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu sedangkan sampel pangan

jajanan anak sekolah dipilih melalui metode sampel aksidental. Analisis data

dilakukan cara univariat dan bivariat. Univariat dilakukan dengan distribusi

dan persentase serta bivariat dilakukan dengan penguji Chi Square dan nilai

.

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pewarna Pangan

2.1.1 Pengertian Pewarna Pangan

Menurut Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang bahan tambahan

pangan, pewarna (colour) adalah bahan tambahan pangan berupa

pewarna alami dan pewarna sintetik, yang ketika ditambahkan atau

diaplikasikan pada pangan mampu memberi atau memperbaiki warna.

2.1.2 Tujuan Penambahan Pewarna Pangan

Penambahan bahan pewarna pangan mempunyai beberapa

tujuan, diantaranya (Cahanar dan Suhanda, 2006):

1. Memberi kesan menarik bagi konsumen;

2. Menyeragamkan dan menstabilkan warna;

3. Menutupi perubahan warna akibat proses pengolahan dan

penyimpanan.

2.1.3 Jenis Pewarna Pangan

Terdapat banyak jenis bahan pewarna, tetapi tidak semua

pewarna itu dapat digunakan pada pangan. Ada dua jenis pewarna

pangan, yaitu pewarna alami dan pewarna buatan atau sintetik

(Suryatin, 2008).

15

2.1.3.1 Pewarna Alami

Pewarna alami adalah pewarna yang dibuat melalui

proses ekstraksi, isolasi atau derivatisasi (sintesis parsial) dari

tumbuhan, hewan, mineral atau sumber alami lain, termasuk

pewarna identik alami (Pasal 4 Permenkes RI Nomor 33

Tahun 2012). Pewarna alam juga dapat disebut dengan

pigmen alami yaitu segolongan senyawa yang terdapat dalam

produk yang berasal dari hewan atau tumbuhan (deMan,

1997). Food and Drug Administration (FDA) menggolongkan

pewarna alami ke dalam golongan zat warna yang tidak perlu

mendapat sertifikat atau uncertified color (Winarno, 1992).

Pigmen alam mencakup pigmen yang sudah terdapat

dalam pangan dan pigmen yang terbentuk pada pemanasan,

penyimpanan atau pemrosesan. Dengan beberapa kekecualian,

pigmen alam dapat dipilah ke dalam empat golongan yaitu

senyawa tetrapirol (klrofil, hem dan bilin), turunan isoprenoid

(karetenoid), turunan benzopiran (antosianin dan flavonoid)

dan senyawa jadian (melanoidin dan karamel) (deMan, 1997).

Penelitian toksikologi pewarna alami masih agak sulit

karena zat warna ini umumnya terdiri dari campuran dengan

senyawa-senyawa alami lainnya. Misalnya, untuk zat warna

alami asal tumbuhan, bentuk dan kadarnya berbeda-beda,

16

dipengaruhi faktor jenis tumbuhan, iklim, tanah, umur dan

faktor-faktor lainnya (Sutrisno, 2006).

Kemudian terdapat pula zat warna yang identik dengan

zat warna alami. Zat warna ini masih satu golongan dengan

kelompok zat warna alami, hanya zat warna ini dihasilkan

dengan cara sintesis kimia, bukan dengan cara ekstraksi atau

isolasi. Jadi pewarna identik alami adalah pigmen-pigmen

yang dibuat secara sintetik yang struktur kimianya identik

dengan pewarna-pewarna alami. Yang termasuk golongan ini

adalah karotenoid murni antara lain canthaxanthin (merah),

apo-karoten (merah-oranye), beta-karoten (oranye-kuning).

Semua pewarna-pewarna ini memiliki batas-batas konsentrasi

maksimum penggunaan, terkecuali beta-karoten yang boleh

digunakan dalam jumlah tidak terbatas (Sutrisno, 2006).

2.1.3.2 Pewarna Sintetik

Menurut Suryatin (2008), pewarna buatan atau sintetik

adalah bahan yang dibuat secara kimia oleh pabrik industri

kimia. Pewarna ini biasanya dijual di pasaran dengan tanda

khusus pada label atau kemasannya. Food and Drug

Administration menggolongkan pewarna sintetik ke dalam

golongan zat warna yang perlu mendapat sertifikat atau

certified color (Winarno, 1992).

17

Food and Drug Administration dalam Nuraini (2007),

kemudian mengelompokkan bahan pewarna sintetik menjadi 3

kategori, yaitu FD&C color atau bahan pewarna untuk

pangan, obat-obatan dan kosmetika; D&C color atau bahan

pewarna untuk obat-obatan dan kosmetika dan Ext D&C color

atau bahan pewarna untuk obat-obatan dan kosmetika dalam

jumlah yang dibatasi.

Berdasarkan rumus kimianya zat warna sintetik dalam

pangan dapat digolongkan dalam beberapa kelas yaitu azo,

triarilmetana, quinolin, xanten dan indigoid (Joint FAO/WHO

Expert Committee on Food Additives dalam Sutrisno, 2006).

Tabel 2.1 Kelas-kelas zat warna sintesis

No. Nama Warna

Azo

1. Tartrazin Kuning

2. Sunset Yellow FCF Oranye

3. Allura Red AC Merah (Kekuningan)

4. Ponceau 4R Merah

5. Red 2G Merah

6. Azorubine Merah

7. Fast Red E Merah

8. Amaranth Merah (Kebiruan)

9. Brilliant Black BN Ungu

10. Brown FK Kuning coklat

11. Brown HT Coklat

Triarylmethane

1. Brilliant Blue FCF Biru

2. Patent Blue V Biru

3. Green S Biru kehijauan

4. Fast Green FCF Hijau

Quinoline

1. Quinoline Yellow Kuning kehijauan

Xantene

1. Erythrosine Merah

18

No. Nama Warna

Indigotine

1. Indigotine Biru kemerahan

Sumber: Sutrisno (2006)

Berdasarkan sifat kelarutannya, pewarna pangan dapat

dikelompokkan menjadi dyes dan lakes (Sartono, 2014).

1. Dyes

Dyes adalah zat warna yang umumnya larut air dan

larutannya dapat mewarnai. Dyes dapat diperjual belikan

dalam bentuk serbuk, granula, cairan, campuran warna,

pasta dan dispersi. Dyes tidak dapat larut hampir dalam

semua jenis pelarut-pelarut organik. Jika akan dipakai

dalam pangan yang tidak mengandung air atau dalam

bentuk kering, zat warna ini dapat dilarutkan dulu dalam

air, propilenglikol, gliserin atau alkohol (Sutrisno, 2006).

Terdapat empat kelompok dalam dyes yaitu Azo

dyes (yaitu Amaranth, Tartrazine, Sunset Yellow dan

Panceau SX), Triphenylmethane dyes (yaitu Fast Green,

Benzylviolet 4B dan Briliant Blue), Fluorescein (yaitu

Erythrosine), dan Sulfonated Indigo (yaitu Indigotin atau

Indigo Carmine) (Sutrisno, 2006).

Zat warna ini stabil untuk berbagai macam

penggunaan dalam pangan bahkan dalam bentuk kering

tidak terlihat adanya kerusakan akan tetapi ketidakstabilan

zat warna ini terjadi jika dalam pangan tersebut terkandung

19

bahan-bahan pereduksi atau pangan tersebut berprotein

dan diproses dalam retort pada suhu tinggi serta jika zat

warna tersebut kontak dengan metal (seng, timah,

alumunium, tembaga). Zat warna azo dan triarilmetana

akan berubah warnanya menjadi pucat. Dalam minuman

yang mengandung asam askorbat (bahan pereduksi) dalam

batas tertentu dapat dicegah perubahan warnanya dengan

menambahkan EDTA (Sutrisno, 2006).

Dyes pada umumnya dapat digunakan untuk

mewarnai minuman berkarbonat, minuman ringan, roti dan

kue-kue, dry mixes, confectionery, produk-produk susu,

kulit sosis, dan lain-lain. Tiap jenis penggunaan

memerlukan dyes dalam bentuk tertentu, misalnya bentuk

serbuk atau granula untuk mewarnai minuman ringan,

pasta atau dispersi untuk roti, kue dan confectionery dan

cairan untuk dairy products (Sutrisno, 2006).

2. Lakes

Lakes adalah pewarna yang dibuat dari gabungan

dyes dengan radikal basa (Al atau Ca) yang dilapisi dengan

hidrat alumina. Lapisan alumina atau Al(OH)3 tidak larut

dalam air sehingga lakes tidak larut dalam air, alkohol dan

minyak. Kandungan dyes pada lakes disebut Pure Dyes

Content (PDC). Untuk dyes pewarna primer, kandungan

20

dyes tidak boleh kurang dari 85%, umumnya 90-93% dyes

murni. Tidak ditentukan kandungan dyes minimum tetapi

umumnya sekitar 10-40% dyes murni, semakin tinggi

kadar dyes maka akan dihasilkan warna yang lebih tua.

(Sutrisno, 2006).

Lakes mempunyai stabilitas yang lebih baik

daripada dyes. Lakes stabil terhadap pengaruh cahaya,

kimia, panas serta pH 3,5-9,5 dan diluar pH tersebut maka

lapisan alumina pecah dan dyes yang dikandungnya lepas.

Akan tetapi harga lakes lebih mahal daripada dyes

(Sutrisno, 2006).

Umumnya lakes digunakan dalam produk-produk

pangan yang mengandung minyak dan dalam produk yang

kadar airnya rendah sehingga tidak cukup untuk

melarutkan dyes misalnya tablet, tablet yang diberi

pelapisan, icing, pelapis fondant, pelapis-pelapis

berminyak, campuran adonan kue dan donut, permen,

permen karet. Dyes mewarnai lakes adalah dengan

membentuk dispersi yang menyebar pada bahan yang

diwarnai (Sutrisno, 2006).

Tabel 2.2 Perbedaan antara lakes dan dyes

Sifat-Sifat Lakes Dyes

Kelarutan Tidak larut dalam

kebanyakan

pelarut

Larut dalam air,

propyleneglycol,

gliserin

21

Sifat-Sifat Lakes Dyes

Metoda

pewarnaan

Dengan disperse Dengan pelarutan

Kandungan dyes 10 – 40% Warna primer

(90 – 93%)

Pemakaian 0.1 – 0.3% 0.01 – 0.03%

Ukuran partikel Rata-rata 5

mikron

12 – 200 mesh

Stabilitas:

Cahaya

Panas

Lebih baik

Baik

Lebih baik

Baik

Kekuatan

pewarnaan

Tidak

proporsional

dengan kadar

dyes

Proporsional

dengan kadar dyes

Warna Bervariasi

dengan kadar

dyes

Konstan

Sumber: Sutrisno (2006)

Pewarna sintetik mempunyai berbagai kelebihan antara

lain harga jauh lebih murah dibandingkan pewarna alami,

stabilitas dari pewarna sintetik lebih baik sehingga warnanya

tetap cerah walaupun telah melalui proses pengolahan dan

pemanasan dan kekuatan warna lebih tinggi serta memberikan

efek warna lebih seragam sehingga penggunaannya lebih luas

(Nuraini, 2007).

Pewarna sintetik lebih beragam dan banyak jumlahnya

bila dibandingkan dengan pewarna alami namun sangat

berbahaya bagi kesehatan tubuh bahkan bisa menjadi pemicu

tumbuhnya sel kanker atau karsinogenik. Pewarna sintetik

tidak memiliki nilai gizi sehingga pengunaanya dapat

menimbulkan gangguan kesehatan (Fibrianto, 2008). Selain

22

itu, pewarna sintetik dapat menimbulkan alergi (Khoiri, 2007).

Oleh karena itu penggunaan pewarna sintetik untuk pangan

harus dibatasi jumlahnya karena pada saat proses

pembuatannya menggunakan bahan kimia asam sulfat atau

asam nitrat yang sering terkontaminasi arsen atau logam berat

lainnya (Nuraini, 2007).

Selain itu, pewarna sintetik juga telah menjadi

kontroversi di Amerika Serikat sejak 1970-an ketika dr.

Benjamin Feingold menyatakan hubungan antara perilaku dan

konsumsi pewarna sintetik pada anak-anak. Untuk anak-anak

yang rentan dengan Attention Deficit/Hyperactivity Disorder

(ADHD) atau masalah perilaku lainnya menunjukkan bahwa

kondisi mereka mungkin diperburuk oleh paparan sejumlah

zat dalam pangan namun tidak terbatas pada pewarna sintetik

saja. Temuan dari uji klinis yang terkait menunjukkan bahwa

efek dari perilaku mereka muncul karena intoleransi pewarna

sintetik dan tidak untuk setiap sifat neurotoksik yang melekat

(Food and Drug Administration, 2011).

2.1.4 Pewarna Yang Dizinkan Pada Pangan

Menurut Pasal 3 ayat (2 dan 3) Peraturan Kepala Badan

Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun

2013 tentang batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan

pewarna, pewarna yang dizinkan di Indonesia adalah sebagai berikut:

23

1. Pewarna Alami

Kurkumin, Riboflavin, Karmin dan ekstrak cochineal,

Klorofil, Klorofil dan klorofilin tembaga kompleks, Karamel I,

Karamel III amonia proses, Karamel IV amonia sulfit proses,

Karbon tanaman, Beta-karoten (sayuran), Ekstrak anato (berbasis

biksin), Karotenoid, Merah bit, Antosianin dan Titanium dioksida.

2. Pewarna Sintetik

Tartrazin, Kuning Kuinolin, Kuning FCF, Karmoisin,

Ponceau 4R, Eritrosin, Merah Allura, Indigotin, Biru Berlian FCF,

Hijau FCF dan Coklat HT.

2.1.5 Pewarna Yang Tidak Dizinkan Pada Pangan

Berdasarkan Lampiran I dan II Keputusan Direktur Jenderal

Pengawasan Obat Dan Makanan Nomor 386 Tahun 1990 tentang zat

warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dalam obat,

makanan dan kosmetika, pewarna yang dilarang adalah Auramine,

Alkanet, Butter Yellow, Black 7984, Burn Unber, Chrysoidine,

Chrysoine S, Citrus Red No.2, Chocolate Brown FB, Fast Red E, Fast

Yellow, Guinea Green, Indanthrene Blue RS, Magenta, Methanil

Yellow, Oil Orange SS, Oil Orange XO, Oil Orange AB, Oil Yellow

AB, Orange G, Orange GGN, Orange RN, Orchid and Orcein,

Ponceau 3R, Ponceau SX, Ponceau 6R, Rhodamine B, Sudan I, Scarlet

GN dan Violet 6 B, Jingga K1 (C.I. Pigment Orange 5, D&C Orange

No. 17), Merah K3 (C. I Pigment Red 53, D&C Red No. 8), Merah K4

24

(C. I. Pigment Red 53:1, D&C Red No. 9), Merah K10 (D&C Red No.

9, C.I. Food Red 15) dan Merah K11.

2.2 Eritrosin

Eritrosin pada dasarnya terdiri dari garam disodium dari 9-(o-

carboxyphenyl)-6-hidroksi-2,4,5,7-tetraiodo-3-isoxanthone monohydrate dan

digabung bersama dengan air, natrium klorida dan/atau natrium sulfat sebagai

pokok komponen tidak berwarna. Nama lain Eritrosin adalah CI Food Red

14, FD&C Red No. 3, CI (1975) No. 45430 INS No. 127 (FAO, 1993).

Sebagai tambahan pangan, Eritrosin memiliki nomor E E127 (Praja, 2015).

Eritrosin merupakan pewarna sintetik yang termasuk dalam golongan xanten

(Sutomo, 2008). Serapan maksimum Eritrosin adalah pada 530nm dalam

larutan air dan tunduk pada fotodegredasi (Praja, 2015).

Menurut Pasal 3 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan

Makanan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2013 tentang batas

maksimum penggunaan bahan tambahan pangan pewarna, Eritrosin memiliki

Acceptable Daily Intake (ADI) sebesar 0-0,1mg/kg berat badan sedangkan

batas penggunaan pada pangan adalah 20-300mg/kg namun Arisman (2008)

berpendapat bahwa Eritrosin sebaiknya tidak digunakan untuk pangan.

Berikut adalah batas maksimum penggunaan Eritrosin berdasarkan kategori

pangan tertetntu:

25

Tabel 2.3 Batas Maksimum Penggunaan Eritrosin

Kategori Pangan Batas

Maksimum

(mg/kg)

Buah bergula 100

Produk buah untuk isi pastri 100

Kembang gula keras / permen keras 25

Kembang gula / permen lunak 25

Kembang gula karet / permen karet 25

Dekorasi (bakery), topping (non-buah) dan saus manis 100

Premiks untuk roti tawar dan produk bakeri tawar 20

Keik, kukis dan pai (isi buah atau custard,vla) 300

Premiks untuk produk bakeri istimewa (keik, panekuk) 20

Produk olahan daging (ungags dan hewan buruan) yang utuh /

potongan

30

Produk olahan daging (unggas dan hewan buruan) yang

dihaluskan

30

Sumber: Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor

37 Tahun 2013

Eritrosin merupakan pewarna sintetik berupa tepung coklat,

larutannya dalam alkohol 95% menghasilkan warna merah sedangkan

larutannya dalam air berwarna cherry-pink jika ditambahkan pada pangan

namun Eritrosin tidak dapat dipakai dalam produk minuman karena Eritrosin

mudah diendapkan oleh asam (Karunia, 2013).

Eritrosin umumnya digunakan dalam pengolahan beberapa permen, es

loli dan bahkan lebih banyak digunakan dalam menghias kue gel. Pewarna ini

juga digunakan untuk mewarnai kacang pistachio (Praja, 2015).

Eritrosin yang digunakan sebagai pewarna permen anak-anak

berpengaruh kuat sebagai neurocompetitive dopamine inhibitor ketika

dipajakan pada otak tikus percobaan, pengurangan laju dopamine turnover

inilah yang menyebabkan utama hipersensitivitas anak. Peneliti lain

menemukan keterkaitan Eritrosin dengan reduksi noradrenalin, selain

26

berkemungkinan bersifat karsinogenik (Arisman, 2008). Begitu pula menurut

Karunia (2013) jika mengonsumsi Eritrosin dalam dosis tinggi dapat bersifat

kasinogen. Selain itu juga dapat mengakibatkan reaksi alergi seperti nafas

pendek, dada sesak, sakit kepala, dan iritasi kulit. Kemudian studi lebih lanjut

melaporkan penurunan aktivitas motorik dan serotonergik akibat Eritrosin

dimulai dari tingkat dosis oral tunggal 10 mg/kg.

Selain itu, Eritrosin juga dapat membuat anak menjadi hiperaktif dan

menimbulkan efek kurang baik pada otak dan perilaku (Nasir, 2010). Karunia

(2013) juga mengatakan efek samping lain Eritrosin yaitu meningkatnya

hiperaktivitas. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat The Hyperactive

Childrens Support Group yang menyatakan bahwa ada hubungan antara

Eritrosin dan gangguan perilaku hiperaktif pada anak-anak (United Kingdom

Food Guide, 2013).

Pendapat-pendapat tersebut mungkin didasarkan pada penelitian yang

baru-baru ini dilakukan pada Eritrosin bersama dengan beberapa pewarna

lainnya telah dibahas karena keterkaitannya dengan hiperaktivitas pada anak-

anak misalnya oleh McCann pada tahun 2007. Tanpa memberikan rincian

atau referensi untuk penyelidikan tertentu, Tema Nord pada tahun 2002

menyatakan bahwa “Eritrosin telah dilaporkan dalam menginduksi hiperaktif

pada anak-anak, tetapi hal ini belum sepenuhnya didemonstrasikan”

(European Commission, 2010). Sebagaimana adanya efek hiperaktif, Tanaka

pada tahun 2001 melaporkan efek samping pada parameter neurobehavioural

27

dengan NOAEL 0,0015% dalam pangan (22,35 mg/kg bb/hari untuk laki-laki

dan 27,86 mg/kg bb/hari untuk wanita) (European Commission, 2010).

Eritrosin selain sebagai pewarna pangan juga dapat digunakan dalam

pencetakan tinta atau sebagai noda biologis, agen pengungkap plak gigi serta

sebagai sensitizer untuk film orthochromatic dalam dunia fotografi (Praja,

2015).

2.3 Rhodamin B

Rhodamin B memiliki nomor indeks 45170 (C.I.Food Red 15)

berwarna merah dan sangat beracun dan berfluorensi bila terkena cahaya

matahari. Pewarna ini terbuat dari dietillaminophenol dan phatalic anchidria

dimana kedua bahan baku ini sangat toksik bagi manusia (Djarismawati dkk,

2004). Rhodamin B juga memiliki banyak nama sinonim antara lain D dan C

Red No. 19, ADC Rhodamin B, Aizen Rhodamin dan Brilliant Pink B

(Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor,

2005).

Rhodamin B berbentuk kristal hijau atau serbuk ungu kemerah-

merahan, sangat mudah larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah

kebiru-biruan dan berfluorensi kuat. Selain mudah larut dalam air juga larut

dalam alkohol, HCl dan NaOH. Kelarutan Rhodamin B pada air adalah 50g/L

namun kelarutan dalam asam asetat larutan (30%) adalah 400g/L. Air keran

yang diklorinasi terurai dengan Rhodamin B. Rhodamin B cenderung

menyerap plastik dan harus disimpan dalam wadah gelas (Praja, 2015).

28

Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umumnya digunakan

sebagai pewarna tekstil. Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun

2004, Rhodamin B merupakan zat warna tambahan yang dilarang

penggunaannya dalam produk-produk pangan. Rhodamin B dapat

menyebabkan iritasi saluran pernapasan, iritasi kulit, iritasi mata, iritasi

saluran pencernaan, keracunan, gangguan hati dan dapat menyebabkan

kanker (Praja, 2015).

Rhodamin B bersifat karsinogenik sehingga dalam penggunaan

jangka panjang dapat menyebabkan kanker. Uji toksisitas Rhodamin B telah

dilakukan terhadap mencit dan tikus dengan injeksi subkutan dan secara oral.

Rhodamin B dapat menyebabkan karsinogenik pada tikus ketika diinjeksi

subkutan, yaitu timbul sarcoma lokal. Sedangkan didapatkan LD50 pada 89,5

mg/kg yang ditandai dengan gejala adanya pembesaran hati, ginjal dan limfa

diikuti perubahan anatomi berupa pembesaran organnya (Merck Index dalam

Utami dkk, 2009). Toksisitas Rhodamin B adalah ORL-RAT LDLO

500mg.kg-1

(Praja, 2015).

Rhodamin B tergolong dalam pewarna sintetik yang diperbolehkan

untuk pewarna barang hasil industri seperti plastik, tekstil, kertas, keramik,

ubin dan sebagainya (Wasis dan Irianto, 2008). Selain itu Rhodamin B juga

biasanya dipakai dalam laboratorium sebagai pereaksi untuk identifikasi Pb,

Bi, Co, Au, Mg dan Th (Praja, 2015).

Rhodamin B merupakan senyawa kimia dan juga pewarna sehingga

sering digunakan sebagai pewarna, pelacak dalam air untuk menentukan laju

29

dan arah aliran serta transportasi. Pewarna Rhodamin berpedar sehingga

dapat dideteksi dengan mudah dan murah dengan instrumen yang disebut

fluorometers. Pewarna Rhodamin digunakan secara ekstensif dalam aplikasi

bioteknologi seperti mikroskop fluoresensi, sitometri, fluoresensi,

spektroskopi korelasi dan ELISA (Praja, 2015).

Rhodamin B digunakan dalam biologi sebagai pewarnaan zat warna

neon, kadang-kadang dikombinasikan dengan Auramine O, sebagai

Auramine-Rhodamin noda untuk menunjukan asam cepat organisme

terutama Mycobacterium (Praja, 2015).

Rhodamin B bersifat racun jika digunakan dalam pewarna pangan dan

dapat memicu pertumbuhan zat karsinogenik yang menyebabkan munculnya

penyakit kanker (Wasis dan Irianto, 2008). Penggunaan zat pewarna ini

dilarang di Eropa mulai tahun 1984 karena Rhodamin B termasuk karsinogen

yang kuat. Dampak negatif lainnya yaitu dapat menyebabkan ganguan fungsi

hati. Efeknya tidak akan dirasakan saat ini tetapi akan terasa setelah sepuluh

atau dua puluh tahun kemudian (Himpunan Alumni Fakultas Teknologi

Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2005).

. Meskipun telah dilarang penggunaannya ternyata masih ada

produsen yang sengaja menambahkan Rhodamin B untuk produknya (Praja,

2015). Rhodamin B terkadang digunakan sebagai bahan tambahan pewarna

pangan hasil olahan industri kecil atau industri rumah tangga. Sebagai

gambaran zat pewarna ini sering digunakan pada produk seperti sirup, limun,

es mambo, bakpao, es cendol, es kelapa, kue basah dan pangan kipang.

30

Bahkan kerupuk ditambahkan Rhodamin B agar warna kerupuk lebih cerah

dan menarik. Produk pangan lainnya yang perlu mendapatkan perhatian yakni

saus dan sambal kemasan (Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor, 2005).

2.4 Dampak Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

2.4.1 Hiperaktivitas

Hiperaktivitas dikenal juga sebagai Attention Deficit Disorder

(ADD) atau Attention Deficit Hyperactivitity Disorder (ADHD)

(Thompson, 2002). Kondisi ini disebut sebagai gangguan hiperkinetik.

Dahulu kondisi ini sering disebut Minimal Brain Dysfunction

Syndrome (Fadhli, 2010). Tingkah laku individu-individu yang

mengalami gangguan hiperaktivitas tidak dapat dikontrol (Semiun,

2006).

Istilah hiperaktif atau ADD biasanya digunakan untuk

menggambarkan anak yang masih muda, yang dianggap sangat aktif,

terlalu menuruti kata hati, kurang dapat berkonsentrasi atau anak yang

sulit diatur. Namun sebagian besar anak kecil umumnya mempunyai

tingkat aktivitas tinggi dan sulit diatur, tanpa harus menjadi hiperaktif.

Hal itu seringkali menyulitkan orang tua bahkan tenaga kesehatan

dalam mengidentifikasi. Derajat hiperaktif pada anak berbeda-beda.

Beberapa anak mungkin menderita hiperaktif sedang sementara anak

lain menderita hiperaktif tingkat tinggi (Thompson, 2002).

31

Seorang anak untuk dapat disebut memiliki gangguan

hiperaktif harus ada tiga gejala utama yang nampak dalan perilakunya

yaitu inatensi, hiperaktif dan impulsif. Inatensi adalah pemusatan

perhatian yang kurang baik atau kegagalan seorang anak dalam

memberikan perhatian secara utuh (Fadhli, 2010). Impulsif adalah

kecenderungan bertindak tiba-tiba tanpa berpikir disebabkan

ketidakmampuannya mengendalikan dorongan (Gichara, 2008).

Berbagai tipe hiperkinetik atau ADHD adalah tipe sulit

berkonsentrasi, tipe hiperaktif-impulsif dan tipe kombinasi. Anak-anak

dengan ADHD biasanya menampakkan perilaku yang dapat

dikelompokkan dalam 2 kategori utama yaitu kurangnya kemampuan

memusatkan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas (Fadhli, 2010).

Ada beberapa teori tentang penyebab seorang anak menjadi

hiperaktif akan tetapi belum ditemukan satupun penyebab pastinya.

Salah satunya adalah pangan, zat penambah pangan seperti pewarna

(Thompson, 2002). Semiun (2006) juga menegaskan bahan-bahan

tambahan pangan seperti pewarna dapat menjadi penyebab hiperaktif

pada anak. Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Feingold pada

1975 dan 1976, sekitar 50% dari anak-anak yang hiperaktif dapat

berfungsi lagi secara normal ketika diberikan pangan yang tidak

mengandung bahan tambahan. Tetapi dalam penelitian-penelitian yang

telah dikontrol, anak-anak yang hiperaktif diberikan pangan yang

mengandung bahan-bahan tambahan atau placebo ditemukan bahwa

32

kasus-kasus hiperaktivitas yang disebabkan oleh bahan-bahan

tambahan itu hanya sekitar 5%. Dari penelitian itu jelas bahwa akibat

dari bahan-bahan tambahan pangan tidak begitu kuat seperti yang

dipikirkan (walaupun begitu tidak bisa diabaikan pengaruhnya dalam

menimbulkan gangguan hiperaktivitas). Pangan tertentu belum terbukti

bisa menyebabkan hiperaktif namun sebaiknya menghentikan

pemberian pangan dan minuman olahan yang mengandung pewarna

atau pengawet (Thompson, 2002).

2.4.2 Kanker

Kanker merupakan penyakit yang berawal dari kerusakan gen,

materi genetika atau DNA sel. Satu sel saja mengalami kerusakan

genetika sudah cukup untuk menghasilkan sel kanker atau neoplasma.

Sel yang gennya rusak itu dapat menjadi liar dan berkembang biak atau

tumbuh terus tanpa henti dari satu sel menjadi beribu-ribu bahkan

jutaan sel sehingga membentuk jaringan baru. Akhirnya terbentuklah

jaringan tumor atau kanker (Mardiah dkk, 2006).

Gen dalam sel ada yang disebut gen kanker (oncogen) dan gen

penekan tumor (tumor suppressor gen). Bila salah satu atau kedua gen

ini mengalami perubahan atau kerusakan maka kedua gen ini dapat

menjadi salah kaprah lalu menjadi sal kanker atau tumor dan mulai

melakukan pertumbuhan sel dengan tidak terkendali. Sebenarnya,

dalam sel ada juga gen yang bertugas memperbaiki gen yang rusak,

gen ini disebut gen pembentul (repair gen) namun bila gen ini juga

33

rusak maka tidak ada lagi yang dapat memperbaiki (Mardiah dkk,

2006).

Penyakit kanker ada yang jinak dan ganas, kanker jinak disebut

dengan tumor. Sebenarnya tidak semua gen sel yang rusak langsung

menjadi kanker karena mungkin saja menjadi tumor namun kapan dan

mengapa sel yang rusak itu memilih menjadi tumor saja atau langsung

menjadi kanker atau menjadi tumor dulu lalu berubah menjadi kanker

belum diketahui secara pasti. Dari banyak laporan hasil penelitian

ilmiah diketahui bahwa semakin parah kerusakan gen dalam sel maka

semakin besar pula kemunginan menjadi kanker (Mardiah dkk, 2006).

Pemicu kanker dapat beragam, salah satunya dari pangan yang

kita konsumsi. Senyawa pemicu kanker yang terdapat dalam bahan

pangan dapat berupa bahan tambahan pangan yang sering digunakan

dalam proses olahan industri pangan. Apabila senyawa pemicu kanker

yang terdapat dalam bahan pangan dikonsumsi sehari-hari,

dikhawatirkan sedikit demi sedikit terakumulasi dalam tubuh sehingga

dosis sekecil apapun dalam waktu cukup lama akan berbahaya bagi

kesehatan (Mardiah dkk, 2006).

Hasil penelitian Zakaria dkk pada tahun 1996 terhadap pangan

jajanan tercemar food additives atau bahan tambahan pangan (seperti

salah satunya pewarna) yang dikonsumsi remaja menunjukan bahwa

pangan jajanan tersebut merupakan penyebab terbentuknya radikal

bebas dalam tubuh. Bahan pewarna amaranth yang memberikan warna

34

merah dan tartrazin yang memeberikan warna kuning pada produk

pangan juga mengindikasikan karsinogenik (Mardiah dkk, 2006).

2.5 Pangan Jajanan Anak Sekolah

2.5.1 Pengertian Pangan Jajanan Anak Sekolah

Menurut Pasal 1 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 942

Tahun 2003 tentang pedoman persyaratan higiene sanitasi makanan

jajanan, makanan jajanan atau pangan jajanan adalah makanan dan

minuman yang diolah oleh pengrajin pangan di tempat penjualan dan

atau disajikan sebagai pangan siap santap untuk dijual bagi umum

selain yang disajikan jasa boga, rumah makan/restoran dan hotel.

2.5.2 Jenis Pangan Jajanan Anak Sekolah

Berikut adalah jenis-jenis pangan jajanan anak sekolah menurut

Kementerian Kesehatan RI (2011):

1. Pangan Sepinggan

Pangan sepinggan merupakan kelompok pangan utama, yang dapat

disiapkan di rumah terlebih dahulu atau disiapkan di tempat

penjualan. Contoh pangan sepinggan seperti gado-gado, nasi uduk,

siomay, bakso, mi ayam, lontong sayur dan lain-lain.

2. Pangan camilan

Pangan camilan adalah pangan yang dikonsumsi diantara dua

waktu makan. Pangan camilan terdiri dari:

35

a. Pangan camilan basah, seperti pisang goreng, lemper, lumpia,

risoles, dan lain-lain. Pangan camilan ini dapat disiapkan di

rumah terlebih dahulu atau disiapkan di tempat penjualan.

b. Pangan camilan kering, seperti produk ekstrusi (brondong),

keripik, biskuit, kue kering, dan lain-lain. Pangan camilan ini

umumnya diproduksi oleh industri pangan baik industri besar,

industri kecil dan industri rumah tangga.

3. Minuman

Kelompok minuman yang biasanya dijual meliputi:

a. Air minum, baik dalam kemasan maupun yang disiapkan

sendiri

b. Minuman ringan, dalam kemasan misalnya teh, minuman sari

buah, minuman berkarbonasi dan lain-lain; disiapkan sendiri

oleh kantin, misalnya es sirup dan teh; serta minuman campur

seperti es buah, es cendol, es doger dan lain-lain.

2.6 Keamanan Pangan

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk

mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain

yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia

serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat

sehingga aman untuk dikonsumsi (Pasal 1 UU No. 18 Tahun 2012).

Keamanan pangan diselenggarakan untuk menjaga pangan tetap

aman, higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama,

36

keyakinan, dan budaya masyarakat. Salah satu kegiatan penyelengaraan

keamanan pangan dilakukan melalui pengaturan terhadap bahan tambahan

pangan. Setiap orang yang melakukan produksi pangan untuk diedarkan

dilarang menggunakan bahan tambahan pangan yang melampaui ambang

batas maksimal yang ditetapkan dan/atau bahan yang dilarang digunakan

sebagai bahan tambahan pangan (Pasal 67, 69, 75 UU No. 18 Tahun 2012).

Pencemaran pangan dapat terjadi apabila higiene dan sanitasi

pengolahan pangan tidak cermat. Namun pencemaran bisa juga terjadi akibat

vektor, mikroorganisme dan berbagi jenis bahan kimia. Keracunan pangan

oleh bahan kimia erat kaitannya dengan proses produksi dan distribusinya.

Dalam proses produksi sering terjadi kelalaian bahkan kesengajaan

menggunakan bahan kimia sebagai zat tambahan dalam pangan seperti zat

pewarna, zat pengawet dan sebagainya (Nurmaini, 2001).

Macam kontaminan yang sering terdapat dalam pangan dapat

dibedakan menjadi 3 yaitu kontaminan biologis, kimiawi dan fisik

(Purnawijayanti, 2001).

1. Kontaminan biologis adalah organisme hidup yang menimbulkan

kontaminasi dalam pangan. Organisme hidup yang sering menjadi

kontaminan atau pencemaran bervariasi mulai dari yang berukuran cukup

besar seperti serangga sampai yang amat kecil seperti mikroorganisme.

Jenis mikroorganisme yang sering menjadi pencemar bagi pangan adalah

bakteri, fungi, parasite dan virus.

37

2. Kontaminan kimia adalah berbagai macam bahan atau unsur kimia yang

menimbulkan pencemaran atau kontaminasi pada bahan pangan. Berbagai

jenis bahan dan unsur kimia berbahaya dapat berada dalam pangan

melalui beberapa cara antara lain terlarutnya lapisan alat pengolahan,

logam yang terakumulasi pada produk perairan, sisa antibiotik / pupuk /

insektisida / pestisida / herbisida pada tanaman atau hewan dan bahan

pembersih atau sanitaiser kimia pada peralatan pengolahan pangan yang

tidak bersih pembilasannya.

3. Kontaminan fisik adalah benda-benda asing yang terdapat dalam pangan

padahal benda-benda tersebut bukan menjadi bagian dari bahan pangan

tersebut. Contohnya terdapatnya paku, pecahan kaca, serpihan logam, isi

stapler, lidi, kerikil, rambut dan benda-benda lainnya. Benda-benda ini

merupakan kontaminan fisik yang selain menurunkan nilai estetis pangan

juga dapat menimbulkan luka serius bila tertelan.

Menurut Anwar dalam Nurlaela (2011), terjadinya kontaminasi dapat

dibagi dalam tiga cara, yaitu:

1. Kontaminasi langsung (direct contamination) yaitu adanya bahan

pencemar yang masuk ke dalam pangan secara langsung karena

ketidaktahuan atau kelalaian baik disengaja maupun tidak disengaja.

Contohnya, potongan rambut masuk ke dalam nasi, penggunaan pewarna

kain dan sebagainya.

2. Kontaminasi silang (cross contamination) yaitu kontaminasi yang terjadi

secara tidak langsung sebagai akibat ketidaktahuan dalam pengolahan

38

pangan. Contohnya, pangan mentah bersentuhan dengan pangan masak,

pangan bersentuhan dengan pakaian atau peralatan kotor, misalnya piring,

mangkok, pisau atau talenan.

3. Kontaminasi ulang (recontamination) yaitu kontaminasi yang terjadi

terhadap pangan yang telah dimasak sempurna. Contohnya, nasi yang

tercemar dengan debu atau lalat karena tidak ditutup.

2.7 Kasus-Kasus Penggunaan Pewarna Sintetik

Penelitian Pujiasuti (2002) menyatakan 54,5% responden memiliki

praktek kategori kurang dalam pemakaian bahan tambahan pangan.

Kristianto dkk (2009) menyatakan bahwa 18,5% pangan jajanan anak sekolah

di Kota Batu tidak memenuhi syarat keamanan karena penggunaan Rhodamin

B. Ardiarini dan Gunanti (2004) menemukan Rhodamin B pada es potong

merah dan es sari buah rasa kopi krim. Meskipun begitu Damayanthi dkk

(2013) menyatakan terdapat 77,8% penjaja PJAS yang melakukan praktek

keamanan pangan dalam kategori sedang.

Umumnya penyebab utama pangan jajanan anak sekolah tidak

memenuhi persyaratan yaitu bahan tambahan pangan berlebihan dan

penggunaan bahan berbahaya. Jenis pangan jajanan anak sekolah yang paling

sering masuk dalam kategori tidak memenuhi persyaratan yaitu minuman es,

minuman berwarna/sirup, bakso dan jelly/agar-agar. Kemudian salah satu

agen yang paling sering menyebabkan tidak memenuhi persyaratan yaitu

AKK (angka kapang khamir: pewarna tekstil) (Info DATIN, 2015).

39

Di Indonesia ketentuan pewarna diatur dalam Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan, Peraturan

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 37 Tahun 2013 tentang

batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan pewarna serta

Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 386

Tahun 1990 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan

berbahaya.

Meskipun pemerintah telah mengatur penggunaan pewarna untuk

pangan masih banyak produsen pangan terutama pengusaha kecil yang

menggunakan bahan-bahan pewarna yang dilarang, misalnya pewarna untuk

tekstil atau cat karena mempunyai warna lebih cerah, lebih stabil selama

penyimpanan serta harganya lebih murah (Himpunan Alumni Fakultas

Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2005). Rahayu dkk (2012)

mengatakan masih ditemukan penyalahgunaan bahan kimia berbahaya seperti

pewarna tekstil mengindikasikan adanya ketidakpedulian maupun

ketidaktahuan produsen akan bahaya bahan tersebut.

Menurut Tamaroh dalam Nurlaela (2011), faktor yang terpenting pada

keamanan pangan adalah pedagang pangan. Pedagang pangan yang

berpendidikan rendah akan melaksanakan tugasnya hanya mengandalkan

kebiasaan yang dimilikinya tanpa mengetahui alasan yang benar yang

melatarbelakangi tindakannya. Perilaku pedagang yang tidak mendukung

tentunya akan menimbulkan masalah terhadap keamanan pangan. Padahal

40

pedagang pangan jajanan berperan penting dalam penyediaan pangan jajanan

yang sehat dan bergizi serta terjamin keamanannya (Yasmin dkk, 2010).

Penelitian Ardiarini dan Gunanti (2004) menyatakan 75% penjual

minuman jajanan menggunakan pewarna sintetik karena harga pewama

sintetik tidak mahal, praktis dan mudah diperoleh di toko kecil. Penggunaan

pewarna sintetik dapat menghemat waktu dan biaya. Menurut Sari (2008)

karena pewarna sintetik dijual dengan harga yang jauh lebih murah

dibandingkan dengan pewarna alami maka menjadi perhatian produsen,

mengingat daya beli masyarakat Indonesia yang masih cukup rendah.

Sulitnya akses bahan tambahan pangan dengan harga terjangkau oleh

industri rumah tangga juga berkontribusi pada penyalahgunaan bahan kimia

berbahaya. Bahan kimia yang tidak diizinkan untuk pangan dengan mudah

dan murah diperoleh dari pengecer yang tidak bertanggung jawab (Rahayu

dkk. 2012). Begitu pula menurut Pujiasuti (2002) bahwa faktor ketersediaan

bahan tambahan tanpa ada label “BTP” memiliki kemungkinan

mempengaruhi pembelian bahan tambahan tersebut di toko-toko setempat.

Hal tersebut menunjukan bahwa faktor ekonomi dan akses memiliki peran

dalam pengambilan keputusan oleh pedagang dalam melakukan pengolahan

pangan. Aminah dan Hidayah (2012) menyatakan penggunaan bahan

pewarna alami memang tidak ada resiko kesehatan namun untuk

mendapatkannya tidak mudah serta tidak praktis dan pewama alami kurang

stabil.

41

Penambahan pewarna sintetik dalam minuman jajanan diakui seluruh

penjual dapat memberikan kesan menarik pada produk akhir sehingga

minuman jajanan yang dijual dapat laku > 90% per hari (Ardiarini dan

Gunanti, 2004). Kemudian Aminah dan Hidayah (2012) menyatakan 76%

responden menggunakan bahan pewarna sembarang dalam produk pangan

asal produk menarik sehingga konsumen tertarik. Hal tersebut menunjukan

bahwa penggunaan pewarna sintetik oleh pedagang mungkin dikarenakan

anak sekolah dasar dalam memilih pangan jajanan mempertimbangkan daya

tarik warna (Kristianto dkk, 2009), begitu pula dengan Pujiasuti (2002) yang

menyatakan alasan pemilihan produk berwarna antara lain lebih menarik dan

lebih murah. Diperkuat dengan Nuraini (2007) bahwa warna mempunyai

peran psikologis yang sangat kuat ketika anak-anak akan memilih produk

pangan. Selain itu, menurut Pujiasuti (2002) 86% produsen menyatakan

penggunaan pewarna karena permintaan konsumen.

Pewama pangan yang dijual di pasaran baik yang berbentuk liquid

dan bubuk pada umumnya tidak ada petunjuk ukuran penggunaannya, hal ini

membuat para produsen pangan jajanan hanya mengira-ngira pemakaianya

sehingga produknya menarik. Oleh karena itu meskipun menggunakan

pewarna yang diijinkan tetapi kadarnya harus dibatasi sebab bila tidak

terkontrol penggunaannya maka akan berefek tidak baik terhadap kesehatan

(Aminah dan Hidayah, 2012).

Menurut Rahayu dkk (2012), indsutri kecil perlu memiliki

pengetahuan dalam proses produksi pangan yang aman dan bermutu agar

42

tidak mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan

orang lain. Handayani dan Kurniawati dalam Wariyah dan Dewi (2013),

faktor yang menyebabkan pedagang pangan jajanan memakai bahan

tambahan antara lain adalah pengetahuan mereka yang rendah terhadap bahan

tambahan pangan dan bahan berbahaya walaupun faktor ketidakpedulian juga

mungkin terjadi. Begitu pula dengan BPOM (2012a) yang menyatakan bahwa

pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan dapat

mengindikasikan kurangnya pengetahuan tentang keamanan pangan. Selain

itu, faktor kepedulian atau kesadaran para pembuat, penjual dan pembeli

pangan jajanan anak sekolah juga dapat mempengaruhi adanya pangan

jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan. Menurut Rahayu dkk

(2012), ketidakpedulian dan ketidaktahuan produsen bisa disebabkan karena

masih ada industri rumah tangga yang tidak pernah dibina yaitu sebesar

34,2%.

Penelitian Sugiyatmi (2006) menyatakan 64,6% dari pembuat pangan

jajanan tradisional yang dijual di pasar-pasar Kota Semarang memiliki

pengetahuan dalam kategori kurang tentang bahaya pewarna terlarang. Begitu

pula dengan Ardiarini dan Gunanti (2004) yang mengatakan 75% penjual

memiliki pengetahuan yang tergolong rendah terhadap pewarna sintetik.

Utami dkk (2009) menyatakan bahwa 36,80% pedagang dapat membedakan

pewarna alami atau sintetik; 5,30% pedagang mengetahui pewarna sintetik

yang diijinkan; 10,50% pedagang mengetahui pewarna sintetik yang tidak

diijinkan penggunaannya dalam pangan dan kesadaran pedagang akan bahaya

43

dari pewarna sintetik cukup rendah yaitu 43%. Namun Damayanthi dkk

(2013) menyatakan 77,8% pengetahuan penjaja PJAS di SDN D tentang

keamanan pangan dalam kategori sedang dan hal tersebut sejalan dengan

Pujiasuti (2002) yang juga menyatakan 40,9% responden memiliki

pengetahuan dalam kategori sedang tentang pemakaian bahan tambahan

pangan.

Sugiyatmi (2006) menyatakan pembuat pangan jajanan yang memiliki

pengetahuan dengan kategori kurang kebanyakan melakukan praktek

pembuatan pangan dengan kategori tidak baik. Hal tersebut terbukti dengan

adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan praktek

pembuatan pangan jajanan. Namun Pujiasuti (2002) menyatakan bahwa tidak

ada hubungan antara pengetahuan produsen dengan pemakaian bahan

tambahan pangan dan Damayanthi dkk (2013) juga menyatakan terdapat

hubungan negatif antara pengetahuan tentang gizi dan keamanan pangan

dengan praktek keamanan pangan.

Utami dkk (2009) menyatakan rendahnya pengetahuan pedagang

tentang pewarna alami dan sintetik serta pewarna yang tidak diijinkan sangat

dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah pendidikan. Hasil survei

menunjukkan 47,37% pedagang tidak berpendidikan. Ardiarini dan Gunanti

(2004), 75% penjual memiliki tingkat pendidikan setingkat Sekolah Dasar

dan 25% penjual tidak mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Menurut

Utomo dalam Ardiarini dan Gunanti (2004), pendidikan berpengaruh pada

44

faktor sosial ekonomi seperti pendapatan, pekerjaan, lifestyle, perumahan dan

tempat tinggal serta pangan yang dikonsumsi dan disajikan.

Seiring perkembangan teknologi informasi, pengetahuan tentang

bahaya pewarna pangan terlarang atau yang berlebihan tidak harus

didapatkan melalui pendidikan formal. Para pedagang bisa mendapatkan

informasi tentang bahaya pewarna pangan melalui media elekktronik

sehingga mereka memahami resiko yang mereka dapatkan dan berikan ketika

menggunakan pewarna pangan yang dilarang. Hal ini membuktikan bahwa

walaupun tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi tetapi mereka bisa

memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai pewarna pangan (Pertiwi

dkk, 2014).

Meskipun begitu, menurut Pujiasuti (2002) masih terdapat lebih dari

50% responden yang belum pernah mendapatkan informasi mengenai bahan

tambahan pangan secara khusus. Hanya 16% yang pernah mendapatkan

informasi dari kebupaten, kelurahan, sekolah dan perindustrian serta 5%

lainnya mendapat informasi dari teman dan keluarga. Rahayu dkk (2012) pun

menyatakan bahwa informasi mengenai keberadaan bahan tambahan pangan

di pasaran belum diketahui oleh sebagian besar industri rumah tangga.

Sedangkan bahan kimia berbahaya masih beredar dan hal ini berkontribusi

terhadap penyalahgunaan bahan kimia berbahaya.

Pengetahuan keamanan pangan yang diketahui oleh para pedagang

umumnya diperoleh dari informasi lisan dari mulut ke mulut, penyuluhan di

PKK (bagi yang perempuan). Namun untuk mengaplikasikan pengetahuan

45

yang telah diperoleh secara lisan tersebut sulit, mengingat produsen ingin

menampilkan dagangannya lebih menarik dengan cita rasa yang tinggi

dengan biaya produksi yang rendah. Dalam penggunaan bahan tambahan

pangan masih perlu mendapatkan perhatian baik jenisnya maupun ukurannya.

Bahan tambahan yang digunakan harus bahan tambahan khusus pangan dan

ukurannya sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini

adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Aminah dan

Hidayah, 2012).

Sugiyatmi (2006) menyatakan 68,8% dari pembuat pangan jajanan

memiliki sikap terhadap penggunaan pewarna terlarang dalam kategori

kurang. Namun Pertiwi dkk (2014) menyatakan bahwa 100% penjual pangan

jajanan memiliki sikap yang positif terhadap penggunaan pewarna pada

pangan, Pujiasuti (2002) yang menyatakan 50% responden memiliki sikap

dalam kategori baik tentang pemakaian bahan tambahan pangan serta

Damayanthi dkk (2013) yang mengatakan 77,8% penjaja PJAS di SDN D

memiliki sikap dalam kategori sedang terhadap keamanan pangan.

Sugiyatmi (2006) menyatakan pembuat pangan jajanan yang memiliki

sikap dengan kategori kurang kebanyakan melakukan praktek pembuatan

pangan dengan kategori tidak baik. Hal tersebut terbukti dengan adanya

hubungan yang signifikan antara sikap dengan praktek pembuatan pangan

jajanan. Namun Damayanthi dkk (2013) menyatakan bahwa tidak terdapat

hubungan antara sikap terhadap gizi dan keamanan pangan dengan praktek

46

keamanan pangan dan Pujiasuti (2002) juga mengatakan tidak ada hubungan

antara sikap produsen dengan pemakaian bahan tambahan pangan.

Selain pengetahuan dan sikap pedagang pangan jajanan, pengaruh

orang lain juga dapat memberikan masukan terhadap bahan tambahan yang

akan digunakan dalam pangan. Menurut Pujiasuti (2002) sebesar 38,6%

produsen mendapatkan informasi mengenai bahan tambahan pangan untuk

produk jualannya dari penjual bahan tambahan dan 27,3% lainnya dari teman

serta sisanya dari orang tua dan saudara.

Keterampilan atau kemampuan seseorang dalam mempersiapkan

pangan dan memasak memiliki potensi untuk mempengaruhi kesejahteraan

dan kesehatan (EUFIC, 2005). Oleh karena itu peningkatan keterampilan

pedagang pangan jajanan perlu dilakukan. Menurut Rahayu dkk (2012),

indsutri kecil perlu memiliki keterampilan dalam proses produksi pangan

yang aman dan bermutu, yang diimbangi dengan akhlak dan budi pekerti

untuk tidak mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan

mengorbankan orang lain. Serta terdapat pula produsen yang mempunyai

kemauan untuk tidak menggunakan bahan tambahan yang dilarang untuk

pangan namun tidak punya kemampuan yang ditunjukan dengan tingkat

pengetahuan (Pujiasuti, 2002).

Mujianto dkk (2005) menyatakan 64% pedagang pangan jajanan di

Kecamatan Pondok Gede tidak pernah mendapatkan pembinaan dan hampir

dari seluruh penjaja PJAS yang diteliti tidak pernah mengikuti pelatihan atau

training terkait gizi maupun keamanan pangan (Damayanthi dkk. 2013).

47

83% pedagang pangan tidak pernah mendapatkan pengawasan (Mujianto

dkk, 2005). 80% pedagang PJAS belum pernah mengikuti penyuluhan

tentang pengolahan pangan yang baik (Wariyah dan Dewi, 2013). Pujiasuti

(2002) berpendapat bahwa belum adanya program khusus untuk pembinaan

berkaitan dengan pemakaian bahan tambahan pangan.

Menurut Sugiyatmi (2006), terjadinya pencemaran pewarna pada

pangan jajanan tradisional karena ketidaktahuan pembuat pangan jajanan

mengenai pewarna yang digunakan dalam pembuatan pangan. Oleh karena

itu untuk mengatasi terjadinya pencemaran bahan toksik pewarna tidak cukup

bila hanya diberi larangan, perlu dilakukan pembinaan secara teratur kepada

pembuat pangan jajanan tradisional untuk meningkatkan kualitas pangan

jajanan dan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan pewarna terlarang,

termasuk pengawasan terhadap pewarna yang dijual di warung-warung atau

toko-toko.

Mujianto dkk (2005) menyatakan 90% pedagang yang tidak diberikan

pembinaan mempunyai kecenderungan menggunakan bahan tambahan

pangan terlarang 2 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pedagang yang

telah menerima pembinaan, dengan demikian pedagang yang tidak mendapat

pembinaan dapat menjadi faktor resiko untuk terjadinya perilaku penggunaan

bahan tambahan pangan terlarang. 90% pedagang yang tidak diberikan

pengawasan mempunyai kecenderungan menggunakan bahan tambahan

pangan terlarang 1,58 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pedagang

yang telah diberikan pengawasan.

48

Pemerintah adalah pihak yang secara resmi mempunyai kewenangan

untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pangan. Kewenangan

ini berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 942 Tahun 2003 tentang

Persyaratan Higiene Sanitasi Pangan Jajanan pada bab VII pasal 15 tertulis

pembinaan dan pengawasan pangan jajanan dilakukan oleh Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota dan Pasal 17 tertulis dalam melaksanakan pembinaan dan

pengawasan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengikut sertakan instansi

terkait, pihak pengusaha, organisasi, profesi, asosiasi, paguyuban dan atau

lembaga swadaya masyarakat serta pasal 19 tertulis ketentuan pembinaan dan

pengawasan pangan jajanan ditetapkan lebih lanjut oleh Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota (Mujianto dkk, 2005).

Kurang terkontrolnya pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah

mungkin terjadi karena terlalu banyak industri rumah tangga dan hampir

setiap orang warga berhak membuat produk pangan atau berwirausaha

dibidang pangan, maka hal ini juga akan menyebabkan kurang terjangkau

oleh BPOM untuk melakukan pembinaan keseluruh industri rumah tangga.

Untuk melakukan inspeksi mendadak dipasar-pasar khususnya pada pangan

jajanan juga terlalu berat, menginggat berbagai macam jenis pangan yang

dijajakan dari berbagai industri rumah tangga meskipun Direktorat Survailens

Penyuluhan Keamanan Pangan (SPKP) telah melakukan usaha membentuk

jaringan di 400 kabupaten kota seluruh Indonesia dalam rangka pembinaan

industri skala rumah tangga (Aminah dan Hidayah, 2012).

49

Peraturan tentang keamanan pangan di lingkungan sekolah juga

penting untuk dilakukan. Wijaya (2009) menyatakan semua sekolah di Kota

dan Kabupaten Bogor mempunyai peraturan mengenai PJAS namun sebagian

besar hanya secara lisan. Peraturan umumnya mengenai kebersihan pangan

jajanan, kedisiplinan penjaja PJAS dan penggunaan BTP. Namun penelitian

Damayanthi dkk (2013), hanya 1 dari 7 sekolah yang menetapkan peraturan

bagi pedagang yang berjualan di kantin yaitu tidak mengizinkan untuk

menggunakan BTP berupa pemanis, pewarna maupun penyedap rasa. Selain

itu jenis pangan yang dijual selalu diperiksa setiap minggunya oleh pengurus

yayasan.

Menurut Wijaya (2009), peraturan masih belum diterapkan secara

optimal karena sebagian besar praktek keamanan PJAS masih berkategori

kurang dan responden masih menggunakan BTP. Sebagian besar penerapan

peraturan mengenai PJAS berkategori sedang dan hanya satu sekolah yang

terkategori baik karena memiliki komite sekolah yang diduga berpartisipasi

dalam pembentukan peraturan mengenai PJAS. Berdasarkan hasil uji korelasi

diketahui bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara penerapan peraturan

dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan serta tidak ada hubungan

yang nyata antara penerapan peraturan dengan praktek keamanan pangan.

Penerapan peraturan memiliki persepsi yang berbeda-beda sebesar 51,1%

penjaja PJAS tidak mengetahui adanya peraturan yang dibuat oleh pihak

sekolah, hal ini diduga bahwa peraturan mengenai PJAS masih kurang

disosialisasikan oleh pihak sekolah ke penjaja PJAS (Wijaya, 2009).

50

2.8 Perilaku

Tiga faktor yang mempengaruhi perilaku individu atau kelompok,

termasuk tindakan dalam kaitannya dengan lingkungan yaitu faktor

predisposisi atau faktor yang memberikan alasan dan motivasi untuk perilaku,

faktor pemungkin atau faktor yang memfasilitasi motivasi untuk

direalisasikan, faktor penguat atau faktor yang memberikan imbalan atau

insentif secara berlanjut bagi perilaku dan kontribusi untuk persistensi atau

pengulangan (Green dkk, 1991).

Perilaku tertentu dapat dijelaskan sebagai pengaruh dari ketiga jenis

faktor tersebut. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perilaku tunggal atau

tindakan yang disebabkan oleh hanya satu faktor. Tetapi bagi kebanyakan

orang, tiga kondisi (predisposisi, pemungkin dan penguat) harus selaras untuk

perilaku terjadi dan terus berlangsung. Terdapat beberapa hubungan antara

ketiga jenis faktor ini yang dapat mempengaruhi perilaku melalui berbagai

cara (Green dkk, 1991).

Biasanya, urutan perilaku seperti berikut seseorang memiliki alasan

awal, dorongan atau motivasi (faktor predisposisi) untuk melakukan tindakan.

Ini merupakan faktor pertama dalam rantai kausal yang mungkin berguna

untuk memulai perilaku tetapi tidak akan cukup untuk menyelesaikannya

kecuali orang tersebut memiliki sumber daya dan keterampilan yang

diperlukan untuk melaksanakan perilaku. Motivasi diikuti dengan pengerahan

atau penggunaan sumber daya untuk mengaktifkan (faktor pemungkin)

tindakan. Hal ini biasanya menghasilkan perilaku yang diikuti oleh reaksi

51

terhadap perilaku yang emosional, fisik atau sosial (faktor penguat).

Dorongan memperkuat perilaku, sumber daya masa depan dan motivasi.

Tersedianya faktor pemungkin memberikan isyarat serta mempertinggi

kesadaran dan faktor-faktor predisposisi perilaku lainnya (Green dkk, 1991).

2.8.1 Predisposisi (Predisposing)

Faktor predisposisi termasuk pengetahuan, sikap, keyakinan,

nilai-nilai dan persepsi seseorang atau kelompok yang berhubungan

dengan motivasi untuk bertindak. Faktor predisposisi juga meliputi

dimensi kognitif dan afektif dari mengetahui, merasa percaya,

menghargai dan memiliki rasa percaya diri atau rasa keberhasilan.

Keterampilan yang ada dapat muncul melalui faktor efikasi diri,

mempengaruhi seseorang untuk mengambil tindakan. Sejauh mana

orang, organisasi atau komunitas memiliki keterampilan dan kapasitas

tertentu dapat mempengaruhi mereka untuk mengambil tindakan

tertentu tetapi keterampilan sebagai faktor pemungkin. Umumnya,

faktor predisposisi sebagai preferensi pribadi mengantarkan seorang

individu atau kelompok pada pilihan perilaku atau lingkungan dan

pengalaman pendidikan atau organisasi. Preferensi ini dapat

mendukung atau menghambat perilaku. Berbagai faktor demografi

seperti status sosial ekonomi, usia, jenis kelamin dan ukuran keluarga

dapat mempengaruhi perilaku (Green dkk, 1991).

52

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui

proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu.

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang

didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng (Sunaryo, 2004).

Pengetahuan biasanya dibedakan menjadi tiga macam yaitu

tahu bahwa, tahu bagaimana dan tahu tentang namun dapat

ditambahkan satu jenis pengetahuan yang serumpun yaitu tahu

mengapa (Keraf dan Dua, 2001).

a. Tahu bahwa adalah pengetahuan tentang informasi tertentu,

tahu bahwa sesuatu terjadi, tahu bahwa ini atau itu demikian

adanya, bahwa apa yang dikatakan benar. Jenis pengetahuan ini

disebut pengetahuan teoritis, pengetahuan ilmiah walaupun

masih pada tingkat yang tidak begitu mendalam. Pengetahuan

ini berkaitan dengan keberhasilan dalam mengumpulkan

informasi atau data tertentu.

b. Tahu bagaimana adalah jenis pengetahuan yang menyangkut

bagaimana melakukan sesuatu. Pengetahuan ini berkaitan

dengan keterampilan atau keahlian dan kemahiran dalam

melakukan sesuatu. Pengetahuan jenis ini dapat disebut juga

pengetahuan praktis. Pengetahuan ini punya landasan teoritis

53

namun konsep teoritis diaplikasikan menjadi pengetahuan

praktis.

c. Tahu tentang adalah sesuatu yang sangat spesifik menyangkut

pengetahuan akan sesuatu atau seseorang melalui pengalaman

atau pengenalan pribadi secara langsung terhadap objek.

Pengetahuan ini dapat disebut juga pengetahuan berdasarkan

pengenalan atau pengetahuan langsung yang bersifat personal.

Ciri pengetahuan model ini adalah tingkat objektivitas cukup

tinggi namun tidak bisa dipungkiri unsur subjektif tetap cukup

kuat, mampu membuat penilaian tertentu atas objek dan

bersifat singular atau hanya berkaitan dengan barang atau objek

khusus.

d. Tahu mengapa berkaitan dengan tahu bahwa namun lebih

mendalam dan serius karena tahu mengapa berkaitan dengan

penjelasan. Penjelasan ini tak hanya berhenti pada informasi

yang ada sebagaimananya tahu bahwa melainkan masuk ke

balik informasi atau data yang ada. Tahu mengapa lebih kritis

bahkan sampai tingkat mengkaitkan dan menyusun hubungan-

hubungan yang tak kelihatan antara berbagai informasi yang

ada. Tahu mengapa lebih jauh untuk mengetahui mengapa

sesuatu terjadi. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan paling

tinggi dan mendalam dan merupakan pengetahuan ilmiah.

54

2. Sikap

Sikap adalah istilah yang mencerminkan rasa seperti

senang, tidak senang atau perasaaan biasa-biasa saja (netral) dari

seseorang terhadap sesuatu. “Sesuatu” itu bisa benda, kejadian,

situasi, orang-orang atau kelompok. Kalau yang timbul terhadap

sesuatu itu adalah perasaan senang, maka disebut sikap positif,

sedangkan kalau perasaan tak senang, sikap negatif. Kalau tidak

timbul perasaan apa-apa, berarti sikapnya netral (Sarwono, 2009).

Sikap mengandung suatu penilaian emosional atau afektif,

pengetahuan tentang objek atau kognitif dan kecenderungan

bertindak atau konatif (Maulana, 2007).

a. Afektif menunjukan dimensi emosional subjektif individu

terhadap objek, baik bersifat positif (rasa senang) maupun

negatif (rasa tidak senang). Reaksi emosional banyak

dipengaruhi oleh apa yang kita percayai sebagai sesuatu yang

benar terhadap objek tersebut (Maulana, 2007).

b. Kognitif atau komponen perceptual berisi kepercayaan yang

berhubungan dengan persepsi individu terhadap objek dengan

apa yang dilihat dan diketahui, pandangan, keyakinan, pikiran,

pengalaman pribadi, kebutuhan emosional dan informasi dari

orang lain (Maulana, 2007).

c. Konatif merupakan kecendurungan bertindak terhadap objek

yang dihadapinya (Maulana, 2007).

55

Sikap tidak sama dengan perilaku dan perilaku tidak selalu

mencerminkan sikap seseorang. Individu sering memperlihatkan

tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Akan tetapi sikap

dapat menimbulkan pola-pola cara berpikir yang dapat

mempengaruhi tindakan. Sikap seseorang dapat berubah dengan

diperolehnya tambahan informasi tentang objek tertentu melalui

persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (Maulana, 2007).

3. Keyakinan

Keyakinan adalah mempercayai atau mempunyai komitmen

terhadap sesuatu atau seseorang. Secara umum keyakinan spiritual

merupakan upaya seseorang untuk memahami tempat seseorang

dikehidupan, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya dalam

hubungannya dengan lingkungan secara menyeluruh (Hamid,

2008). Keyakinan merupakan salah satu komponen pembentuk

sikap (Jain, 2014).

4. Nilai

Budaya, perspektif antar generasi mengenai konsekuensi

mengenai permasalahan yang mencerminkan nilai-nilai yang

dipegang. Nilai cenderung mengelompok pada etnis dan lintas

generasi dari orang-orang yang berbagi sejarah umum dan

geografi. Mereka memberikan „dasar‟ pada individu yang akhirnya

digunakan untuk membenarkan tindakan mereka dalam istilah

moral atau etika. Nilai mendasari benar dan salah, baik dan buruk

56

dari pandangan masyarakat pada perilaku tertentu. Nilai-nilai

pribadi yang tak terpisahkan terkait dengan pilihan perilaku (Green

dkk, 2005). Nilai yang dipegang individu mempengaruhi

pembentukan sikap (Homer dan Kahle, 1988).

2.8.2 Pemungkin (Enabling)

Faktor pemungkin adalah keterampilan, sumber daya atau

hambatan yang dapat membantu atau menghalangi perubahan perilaku

yang diinginkan serta perubahan lingkungan. Faktor pemungkin dapat

dilihat sebagai pemicu atau hambatan yang utamanya diciptakan oleh

kekuatan masyarakat atau sistem. Fasilitas dan sumber daya pribadi

atau masyarakat mungkin cukup atau tidak memadai, seperti

pendapatan atau asuransi kesehatan, serta hukum dan undang-undang

dapat mendukung atau membatasi. Keterampilan yang dibutuhkan

untuk perilaku yang diinginkan terjadi juga memenuhi syarat sebagai

faktor pemungkin. Faktor pemungkin mencakup semua faktor yang

memungkinkan perubahan yang diinginkan dalam perilaku atau

lingkungan. Faktor pemungkin juga termasuk keterampilan baru bahwa

seseorang, organisasi atau komunitas untuk melakukan perubahan

perilaku atau lingkungan (Green dkk, 1991).

1. Ketersediaan sumber daya

Fasilitas, sarana, prasarana yang mendukung atau yang

menfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat

(Notoatmodjo, 2010b).

57

2. Aksesibilitas

Masyarakat mempunyai perilaku harus terakses atau

terjangkau transportasi serta sarana dan prasarana atau fasilitas

pelayanan kesehatan (Green dkk, 1991).

3. Peraturan

Adanya kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan oleh

pembuat kebijakan yang mendukung atau menguntungkan

kesehatan (Notoatmodjo, 2010b).

4. Keterampilan

Keterampilan kesehatan pribadi seperti perawatan diri dan

pendidikan di sekolah kesehatan serta keterampilan dalam

mempengaruhi masyarakat seperti melalui aksi sosial dan

perubahan organisasi (Green dkk, 1991).

2.8.3 Penguat (Reinforcing)

Faktor penguat adalah konsekuensi dari tindakan yang

menentukan apakah pelaku menerima umpan balik positif (atau

negatif) dan didukung secara sosial setelah terjadi. Faktor penguat

termasuk dukungan sosial, pengaruh teman, saran dan umpan balik

dari penyedia layanan kesehatan. Faktor penguat juga mencakup

konsekuensi fisik perilaku, yang mungkin terpisah dari konteks sosial

(Green dkk, 1991).

Manfaat sosial (seperti pengakuan), manfaat fisik (seperti

kemudahan, kenyamanan, menghilangkan ketidaknyamanan atau

58

sakit), imbalan nyata (seperti manfaat ekonomi atau penghindaran

biaya) dan membayangkan atau pengganti imbalan (seperti perbaikan

penampilan, harga diri atau pergaulan dengan orang yang dikagumi

yang menunjukkan perilaku) semua memperkuat perilaku. Faktor

penguat juga mencakup konsekuensi yang merugikan dari perilaku

atau "hukuman" yang dapat menyebabkan hilangnya perilaku positif.

Perilaku negatif adalah balasan dari perilaku dengan menghilangkan

sesuatu yang tidak menyenangkan (Green dkk, 1991).

Mengantisipasi penguatan (atau hukuman) dapat terjadi

sebelum perilaku. Seperti penguatan yang di antisipasi dapat

mempengaruhi kinerja perilaku selanjutnya. Penerimaan sosial (atau

penolakan) dapat menjadi faktor penguat (Green dkk, 1991).

1. Pengaruh petugas kesehatan

Petugas kesehatan atau tenaga kesehatan adalah setiap

orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta

memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di

bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan

kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Upaya Kesehatan

adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang

dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk

memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam

bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan

59

penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh Pemerintah dan/atau

masyarakat (Pasal 1 UU No. 36 Tahun 2014).

2. Pengaruh teman

Pengaruh teman sekelompok adalah kemampuan

memengaruhi perilaku individu di antara anggota kelompok

berdasarkan norma-norma kelompok, kesadaran kelompok atas apa

yang merupakan hal atau cara benar untuk melakukan hal-hal serta

kebutuhan untuk dinilai dan diterima oleh kelompok (Pearce dan

Robinson, 2008).

3. Pengaruh orang tua

Orang tua mempunyai kemampuan secara langsung dan

tidak langsung untuk mempengaruhi semua aspek pada lingkungan

anak mereka baik secara fisik, kognitif, sosial, budaya dan ekonomi

serta utamanya perilaku aktifitas fisik. Pengaruh atau dukungan

langsung termasuk memberikan kendaraan atau dukungan

keuangan, berperan sebagai panutan atau menawarkan diri untuk

terlibat dalam aktifitas fisik bersama. Dukungan tidak langsung

termasuk dukungan emosional seperti semangat dan pujian

(Wenthe, 2007).

60

Bagan 2.1

Tiga Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku

Faktor Predisposisi

Pengetahuan

Sikap

Keyakinan

Nilai dll

Faktor Penguat

Petugas Kesehatan

Teman

Orang tua dll

Faktor Pemungkin

Ketersediaan Sumber Daya

Aksesibilitas

Peraturan

Keterampilan dll

Perilaku

(Tindakan)

Sumber: Green dkk (1991)

61

2.9 Kerangka Teori

Bagan 2.2

Kerangka Teori

Pengetahuan

Ketersediaan Sumber Daya

Petugas Kesehatan

Penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B Pada Pangan

Jajanan Anak Sekolah

Sikap

Keyakinan

Nilai

Aksesibilitas

Peraturan

Keterampilan

Sesama Pedagang

Orang Tua

Keterangan:

Diteliti

Tidak Diteliti

Institusi Pendidikan

Predisposisi

Pemungkin

Penguat

62

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan

jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok

Benda. Variabel independen terdiri dari pengetahuan, sikap, keterampilan,

aksesibilitas, peraturan sekolah terkait usaha pangan jajanan, pengaruh

sesama pedagang pangan jajanan serta pembinaan dan pengawasan oleh

petugas kesehatan dan sekolah sedangkan variabel dependen dari penelitian

ini adalah penggunaan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan

jajanan anak sekolah.

Adapun variabel lain yang tidak dilakukan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Keyakinan, dikarenakan menurut Jain (2014) keyakinan merupakan salah

satu komponen pembentuk sikap oleh karena variabel sikap akan diteliti

dalam penelitian ini maka variabel keyakinan tidak diteliti sebagaimana

secara tidak langsung variabel sikap dapat menggambarkan keyakinan

yang tertanam pada orang tersebut.

2. Nilai, dikarenakan menurut Homer dan Kahle (1988) nilai-nilai yang

dipegang individu mempengaruhi pembentukan sikap sehingga peneliti

menggabungkannya dalam variabel sikap sebab secara tidak langsung

variabel sikap dapat menggambarkan nilai yang tertanam pada orang

tersebut.

63

3. Ketersediaan sumber daya, dikarenakan peneliti menggabungkannya

dalam variabel aksesibilitas sebab aksesibilitas dapat berarti teraksesnya

atau terjangkaunya sumber daya (yaitu, pewarna sintetik).

4. Orang tua, dikarenakan pada umumnya para orang tua akan selalu

mengajarkan hal-hal yang baik kepada anak-anaknya sehingga peneliti

tidak meneliti variabel ini.

Sedangkan dampak hanya akan dibahas berdasarkan literatur dikarenakan

tujuan penggunaan pewarna sintetik pada pedagang umumnya sama yaitu

untuk mengurangi biaya produksi sehingga pengeluaran lebih sedikit dan

mendapat keuntungan lebih besar.

64

Bagan 3.1

Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan

Penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B Pada Pangan

Jajanan Anak Sekolah

Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan

Sikap Pedagang Pangan Jajanan

Peraturan Sekolah

Pengaruh Sesama Pedagang

Aksesibilitas Pewarna

Pembinaan dan Pengawasan

Petugas Kesehatan

Pembinaan dan Pengawasan

Sekolah

65

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur

Variabel Dependen

1. Penggunaan Eritrosin

dan Rhodamin B Pada

Pangan Jajanan Anak

Sekolah

Ada atau tidak adanya Eritrosin

dan Rhodamin B pada pangan

jajanan anak sekolah.

Uji

Laboratorium

Spektrofotometri

UV-Visibel dan

serat wol

0. Ya

1. Tidak

Nominal

Variabel Independen

2. Pengetahuan Kemampuan pedagang pangan

jajanan dalam menjawab

pertanyaan tentang pewarna

sintetik beserta dampaknya.

Wawancara Kuesioner 0. Kurang = 0-5

1. Sedang = 6-7

2. Baik = 8-10

(Sugiyatmi, 2006)

Ordinal

3. Sikap Pernyataan yang menunjukkan

kepedulian / ketidakpedulian

pedagang terhadap risiko dan

bahaya penggunaan pewarna

sintetik pada pangan jajanan.

Wawancara Kuesioner 0. Kurang = 0-5

1. Sedang = 6-7

2. Baik = 8-10

(Sugiyatmi, 2006)

Ordinal

4. Keterampilan Kemampuan pedagang dalam

mengolah sendiri bahan baku dan

bahan tambahan pangan menjadi

pangan jajanan.

Wawancara Kuesioner 0. Ya

1. Tidak

Nominal

5. Aksesibilitas Pernyataan yang menunjukkan

mudah / sulitnya pedagang

pangan jajanan dalam

Wawancara Kuesioner 0. Mudah

1. Sulit

Nominal

66

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur

memperoleh pewarna (misalnya

ketersediaan, akses dan harga).

6. Peraturan Pernyataan yang menunjukkan

ada / tidak adanya peraturan /

kebijakan sekolah terkait dengan

persyaratan pangan jajanan.

Wawancara Kuesioner 0. Tidak Ada

1. Ada

Nominal

7. Pengaruh Sesama

Pedagang

Pernyataan yang menunjukkan

ada / tidak adanya pengaruh

sesama pedagang dalam menjual

pangan jajanan.

Wawancara Kuesioner 0. Ada

1. Tidak Ada

Nominal

8. Pembinaan dan

Pengawasan Petugas

Kesehatan

Pernyataan yang menunjukkan

pernah / tidak pernahnya petugas

kesehatan melakukan pembinaan

dan pengawasan pangan jajanan.

Wawancara Kuesioner 0. Tidak Pernah

1. Pernah

Nominal

9. Pembinaan dan

Pengawasan Sekolah

Pernyataan yang menunjukkan

pernah / tidak pernahnya sekolah

melakukan pembinaan dan

pengawasan penjualan pangan

jajanan.

Wawancara Kuesioner 0. Tidak Pernah

1. Pernah

Nominal

67

3.3 Hipotesis

1. Ada hubungan antara pengetahuan pedagang pangan jajanan anak sekolah

dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

2. Ada hubungan antara sikap pedagang pangan jajanan anak sekolah

dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

3. Ada hubungan antara keterampilan pedagang pangan jajanan anak

sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

4. Ada hubungan antara aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak sekolah

dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

5. Ada hubungan antara peraturan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B.

6. Ada hubungan antara pengaruh sesama pedagang pangan jajanan anak

sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

7. Ada hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan

dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan

jajanan anak sekolah.

8. Ada hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh sekolah dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan jajanan

anak sekolah.

68

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan

pendekatan Cross Sectional. Dalam penelitian ini akan dipelajari faktor-

faktor yang berhubungan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada

pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan

Pondok Benda Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di seluruh SDN Sekelurahan Pondok Benda

Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan yaitu SDN Pondok Benda I,

SDN Pondok Benda II, SDN Pondok Benda III, SDN Pondok Benda IV,

SDN Pondok Benda V, SDN Pondok Benda VI, SDN Parakan I dan SDN

Parakan II dengan waktu penelitian pada bulan Agustus-September Tahun

2015.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang pangan

jajanan SDN di Sekelurahan Pondok Benda Kecamatan Pamulang

Kota Tangerang Selatan yang berjumlah 34 orang.

69

4.3.2 Sampel

1. Sampel Responden

Pedagang pangan jajanan anak sekolah yang akan dijadikan

sebagai sampel responden dalam penelitian ini akan ditentukan

dengan cara estimasi (Lemeshow dkk, 1997):

Keterangan:

Berdasarkan perhitungan rumus tersebut diperoleh besar

sampel minimum adalah 14 pedagang namun karena jumlahnya

yang relatif kecil maka sampel dipilih dengan metode sampel jenuh

yaitu teknik penarikan sampel apabila semua anggota populasi

digunakan sebagai sampel (Lusiana dkk, 2015) dengan kriteria

inklusi pedagang pangan jajanan bersedia menjadi responden dan

kriteria eksklusi pedagang pangan jajanan yang berjualan tidak

tetap di lokasi penelitian. Pada akhirnya besar sampel yang

memenuhi kriteria dalam penelitian adalah 30 pedagang pangan

jajanan.

70

2. Sampel Pangan Jajanan Anak Sekolah

Sampel pangan jajanan anak sekolah dipilih dengan metode

accidental sampling yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan

kebetulan (Lusiana dkk, 2015). Pangan jajanan yang secara

kebetulan ditemukan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila

pangan jajanan tersebut pada waktu menentukan sampel cocok

dengan yang diperlukan sebagai sumber data.

Tabel 4.1 Sampel Pangan Jajanan Anak Sekolah

Responden Pangan Jajanan

1 Es Teh

2 Es Campur

3 Es Potong I

Es Potong II

4 Es Mambo I

5 Bakso

Saos Bakso

6 Lenting

7 Batagor I

Saos Batagor

8 Minuman Merah I

9 Batagor II

Saos Batagor

10 Cilung

Saos Cilung

11 Telur Goreng I

Saos Telur Goreng

12 Selendang Mayang

13 Sosis

14 Es Mambo II

15

16

Telur Goreng II

Saos Telur Goreng

Es Pipih I

Es Pipih II

Es Pipih III

17 Batagor III

71

Responden Pangan Jajanan

Saos Batagor

18 Es Doger I

19 Kerupuk Gulali

Gulali

20 Telur Puyuh Goreng

Saos Telur Puyuh Goreng

21 Bakso, Mie

Saos Bakso, Mie

22 Ayam Tepung

Saos Ayam Tepung

23 Siomay I

Saos Siomay

24 Minuman Merah II

Minuman Oranye

Minuman Kuning

25 Minuman Merah III

26 Cilok

Saos Cilok

27 Minuman Merah IV

28 Es Doger II

29 Es Dawet

30 Siomay II

Saos Siomay

4.4 Sumber Data Penelitian

4.4.1 Data Primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari data hasil uji

laboratorium dan data hasil kuesioner tentang pengetahuan pedagang

pangan jajanan, sikap pedagang pangan jajanan, keterampilan

pedagang pangan jajanan, akses pedagang pangan jajanan, peraturan

sekolah terkait usaha pangan jajanan, pengaruh sesama pedagang

dalam menjalankan usaha pangan jajanan serta pembinaan dan

pengawasan oleh petugas kesehatan dan sekolah terhadap pangan

jajanan.

72

4.4.2 Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini antara lain adalah data

jejaring keamanan pangan jajanan anak sekolah dari Dinas Kesehatan

Kota Tangerang Selatan, data daftar SD di Kecamatan Pamulang

Sekelurahan Pondok Benda dari Dinas Pendidikan Kota Tangerang

Selatan.

4.5 Instrumen Penelitian

Dalam pengumpulan data penelitian digunakan beberapa instrumen

penelitian, yaitu:

1. Kuesioner. Kuesioner merupakan hasil modifikasi dari kuesioner

Sugiyatmi (2006) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor

Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks dan Pewarna Pada Pangan

Jajanan Tradisional Yang Dijual Di Pasar-Pasar Kota Semarang”.

Tabel 4.2 Variabel Pertanyaan

Variabel Pertanyaan

Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Pada PJAS I1

Pengetahuan B1-B10

Sikap C1-C10

Keterampilan D1

Aksesibilitas E1-E3

Peraturan F1

Pengaruh Sesama Pedagang G1

Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan H1

Pembinaan dan Pengawasan Sekolah H2

a. Uji Validitas

Uji validitas dilakukan dengan rumus korelasi bivariat

pearson. Hasil pengujian validitas dapat dilihat pada kolom corrected

item-total correlation dimana nilai r hitung yang terdapat pada kolom

73

tersebut dibandingkan dengan nilai R tabel. Item kuesioner dalam uji

validitas dikatakan valid jika nilai R hitung > R tabel pada signifikasi

5%. Sebaliknya item dikatakan tidak valid jika nilai R tabel > R

hitung pada signifikasi 5% (Hastono, 2006). Adapun hasil uji

validitas sebagaimana data dalam tabel berikut:

Tabel 4.3 Hasil Uji Validitas Kuesioner

Nomor

Item

Rhitung Rtabel 5%

(N=15)

Keterangan

B1 0,740 0,514 Valid

B2 0,644 0,514 Valid

B3 0,772 0,514 Valid

B4 0,639 0,514 Valid

B5 0,774 0,514 Valid

B6 0,672 0,514 Valid

B7 0,690 0,514 Valid

B8 0,576 0,514 Valid

B9 0,697 0,514 Valid

B10 0,750 0,514 Valid

C1 0,788 0,514 Valid

C2 0,875 0,514 Valid

C3 0,788 0,514 Valid

C4 0,596 0,514 Valid

C5 0,875 0,514 Valid

C6 0,788 0,514 Valid

C7 0,875 0,514 Valid

C8 0,596 0,514 Valid

C9 0,788 0,514 Valid

C10 0,875 0,514 Valid

D1 1 0,514 Valid

E1 1 0,514 Valid

F1 0,828 0,514 Valid

F2 0,715 0,514 Valid

G 1 0,514 Valid

H1 0,632 0,514 Valid

H2 0,632 0,514 Valid

Hasil perhitungan uji validitas sebagaimana tabel di atas

menunjukan bahwa seluruh pertanyaan dalam kuesioner penelitian ini

74

valid dan dapat digunakan sebagai instrument penelitian karena nilai

Rhitung > Rtabel pada signifikasi 5%.

b. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan rumus alpha.

Hasil pengujian reliabilitas dapat dapat dilihat pada kolom

Cronbach’s alpha. Instrumen dapat dikatakan reliabel jika nilai apha

lebih besar dari R tabel (Hastono, 2006).

Adapun hasil uji reliabilitas sebagaimana data dalam tabel berikut:

Tabel 4.4 Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner

Rhitung Rtabel 5%

(N=15)

Keterangan

0,906 0,514 Reliabel

Hasil uji reliabilitas diperoleh nilai koefisien reliabilitas

kuesioner sebesar 0,906. Berdasarkan nilai koefisien reliabilitas

tersebut dapat disimpulkan bahwa kuesioner dalam penelitian ini

reliable atau konsisten sehingga dapat digunakan sebagai instrument

penelitian.

2. Lembar hasil analisis kandungan pewarna sintetik pada pangan jajanan,

3. Seperangkat alat dan bahan analisis kimia untuk mengidentifikasi

kandungan pewarna sintetik pada pangan jajanan.

4.6 Cara Pengumpulan Data

4.6.1 Wawancara

Wawancara, digunakan untuk menggali data tentang

pengetahuan pedagang pangan jajanan, sikap pedagang pangan

75

jajanan, akses pedagang pangan jajanan, keterampilan pedagang

pangan jajanan, peraturan sekolah terkait usaha pangan jajanan,

pengaruh sesama pedagang dalam menjalankan usaha pangan jajanan

serta pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan dan sekolah

terhadap pangan jajanan.

4.6.2 Uji Laboratorium

Uji laboratorium pada penelitian ini digunakan untuk

memperoleh data ada atau tidaknya pewarna sintetik serta kadar

pewarna sintetik dalam pangan jajanan anak sekolah. Analisis

kandungan pewarna sintetik ini dilakukan dengan Spektrofotometri

UV-Visibel dan serat wol.

1. Spektrofotometri UV-Visibel

Spektrofotometri UV-Visibel yang digunakan adalah merek

Perkin Elmer Lambda 25 dengan jangkauan 190-1100 nm,

bandwidth 1 nm dan metode operasional seperti pemindaian,

pemrograman panjang gelombang, analisis kuantitatif, pemindaian

analisis kuantitatif dan lain-lain. Fitur-fitur yang ada antara lain

pengoperasian sinar ganda, throughput yang besar, penyimpangan

lampu fiber optik rendah, memiliki beragam aksesoris dan

peralatan serta berperangkat lunak WinLab UV. Keunggulannya

yaitu dapat menganalisis semua jenis farmakope, cocok untuk

semua jenis sampel cairan serta memiliki stabilitas, akurasi dan

kemampuan memroduksi yang tinggi (PerkinElmer, 2015).

76

Pengukuran zat pewarna sintetik pada analisa kuantitatif

menggunakan metode Spektrofotometri UV-Visibel (Depkes RI

dalam Sumarlin, 2010).

a. Preparasi Standar

Standar Rhodamin B (0 ppm – 10 ppm)

Memipet masing-masing 1107,4µl dan 2214,8 standar

tartrazine 451,5 ppm ke dalam labu takar 100 ml.

Menambahkan aquades masing-masing menjadi 100 ml

kemudian di kocok. Deret standar ini mengandung 0, 1, 2.5, 5,

7.5 dan 10 ppm Rhodamin B.

b. Preparasi Sampel

Metode preparasi sampel pada analisa kuantitatif dengan

Spektrofotometri menggunakan metode preparasi analisa

kualitatif (Kromatografi kertas), yaitu:

1) Memasukan ±10 ml sampel cair atau 10-25 gram sampel

padatan ke dalam gelas piala 100 ml.

2) Diasamkan dengan menambahkan 5 ml asam asetat 10 %.

3) Masukan dan rendam benang wol ke dalam sampel

tersebut.

4) Panaskan dan diamkan sampai mendidih (±10 menit).

5) Ambil benang wol, dicuci dengan air dan dibilas dengan

aquades.

77

6) Tambahkan 25 ml amoniak 10 % ke dalam benang wol

yang telah dibilas tersebut.

7) Panaskan benang wol sampai warna yang tertarik pada

benang wool luntur kembali.

8) Warna yang telah ditarik dari benang wol dan masih larut

dalam amoniak kemudian di analisa dengan

spektrofotometer UV-Visibel.

Perhitungan:

FP = Faktor Pengenceran

2. Serat Wol

Prinsip kerja serat wol digunakan untuk analisis zat warna

karena sifatnya yang dapat mengabsorpsi zat warna baik yang asam

maupun yang basa. Serat wol dan sutera mengandung protein

amfoter yang mempunyai afinitas terhadap asam maupun basa

dengan bentuk garam. Dengan mengamati perubahan warna dari

benang wol yang telah dicelup dalam berbagai pereaksi maka jenis

zat warna dapat ditentukan (Hanafi dan Zulkarnain, 2009).

Alat dan bahan yang digunakan adalah Piala gelas,

Lempeng tetes, Pipet tetes, Hot Plate Stirer, Benang Wol, HCl

10%, NaOH 10%, HCl pekat, H2SO4 pekat, NH4OH 12% dan

78

contoh bahan pangan yang mengandung zat warna sintetik. Dan

berikut adalah cara kerjanya, (Hanafi dan Zulkarnain, 2009):

a. 30-50ml contoh berupa cairan (untuk padatan 25g contoh

dihomogenkan dengan air kemudian diambil 30-50ml)

diasamkan dengan sedikit HCl 10%;

b. Masukan benang wol (kurang lebih 20cm) ke dalam larutan,

didihkan selama 30 menit;

c. Benang wol diangkat, cuci dengan air dingin;

d. Keringkan, potong menjadi 4 bagian;

e. Tempatkan keempat potongan benang wol diatas lempengan

tetes kemudian tiap potongan ditetesi dengan satu zat yang

berbeda, yaitu NaOH 10%, HCl pekat, H2SO4 pekat dan

NH4OH 12%;

f. Amati perubahan warna, bandingkan dengan standar warna.

Tabel 4.5 Indikator Perubahan Warna Serat Wol

Bahan

Pewarna

Sintetik

HCl Pekat H2SO4 Jenuh NaOH 10% NH4OH

Eritrosin Jingga-kuning Jingga-kuning Tidak berubah Tidak berubah

Rhodamin B Jingga Kuning Biru Biru

Sumber: Hanafi dan Zulkarnain (2009)

4.7 Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan oleh peneliti kemudian akan diolah

dengan menggunakan program komputer meliputi:

79

1. Editing

Editing adalah kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian

kuesioner. Apabila ada jawaban-jawaban yang belum lengkap, kalau

memungkinkan perlu dilakukan pengambilan data ulang untuk

melengkapi jawaban-jawaban tersebut. Tetapi apabila tidak

memungkinkan maka pertanyaan yang jawabnya tidak lengkap tidak

diolah atau dimasukan dalam pengolahan “data missing”.

2. Coding

Setelah semua kuesioner di edit atau di sunting, selanjutnya

dilakukan pengkodean atau “coding”, yakni mengubah data berbentuk

kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan. Koding atau

pemberian kode ini sangat berguna dalam memasukan data (data entry).

Berikut adalah pengkodean pada masing-masing variabel:

a. Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan jajanan

“Ya” = “[0]” dan “Tidak” = “[1]”.

b. Pengetahuan pedagang pangan jajanan tentang pewarna sintetik,

“Kurang” = “[0]” jika responden dapat menjawab pertanyaan dengan

benar sebesar 0-5 item; “Sedang” = “[1]” jika responden dapat

menjawab pertanyaan dengan benar sebesar 6-7 item dan “Baik” =

“[2]” jika responden dapat menjawab pertanyaan dengan benar

sebesar 8-10 item.

c. Sikap pedagang pangan jajanan terhadap penggunaan pewarna

sintetik, “Kurang” = “[0]” jika responden dapat menjawab pertanyaan

80

dengan benar sebesar 0-5 item; “Sedang” = “[1]” jika responden dapat

menjawab pertanyaan dengan benar sebesar 6-7 item dan “Baik” =

“[2]” jika responden dapat menjawab pertanyaan dengan benar

sebesar 8-10 item.

d. Keterampilan pedagang dalam mengolah sendiri pengan jajanannya,

“Ya” = “[0]” = dan “Tidak” = “[1]”.

e. Aksesibilitas pedagang dalam memperoleh pewarna, “Mudah” = “[0]”

dan “Sulit” = “[1]”.

f. Peraturan sekolah terkait persyaratan pangan jajanan, “Tidak Ada” =

“[0]” dan “Ada” = “[1]”.

g. Pengaruh sesama pedagang dalam menjual pangan jajanan, “Ada” =

“[0]” dan “Tidak Ada” = “[1]”.

h. Pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan terhadap pangan

jajanan, “Tidak Pernah” = “[0]” dan “Pernah” = “[1]”.

i. Pembinaan dan pengawasan oleh sekolah terhadap pangan jajanan,

“Tidak Pernah” = “[0]” dan “Pernah” = “[1]”.

3. Entry

Data yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang

dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program

atau “software” komputer.

81

4. Cleaning

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai

dimasukan perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-

kemungkinan kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan

sebagainya kemudian dilakukan pembentulan atau koreksi. Proses ini

disebut pembersihan data (data cleaning).

4.8 Analisis Data

4.8.1 Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan pengetahuan pedagang pangan jajanan, sikap

pedagang pangan jajanan, keterampilan pedagang dalam mengolah

pangan jajanan, aksesibilitas pedagang pangan jajanan, peraturan

sekolah, pengaruh sesama pedagang, pembinaan dan pengawasan oleh

petugas kesehatan dan sekolah serta penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel

distribusi dan persentase.

4.8.2 Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya

hubungan antara variabel bebas yaitu pengetahuan, sikap,

keterampilan, aksessibilitas, peraturan, pengaruh teman serta

pembinaan dan pengawasan dengan variabel terikat yaitu penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B. Analisis yang digunakan adalah uji Chi

Square dengan nilai . Interpretasi hasil analisis yaitu apabila

82

nilai P ≤ disimpulkan terdapat hubungan yang signifikan antar

variabel dan apabila P > disimpulkan tidak terdapat hubungan yang

signifikan antar variabel (Hastono dan Sabri, 2010).

Rumus Chi Square: ∑

83

BAB V

HASIL

5.1 Analisis Univariat

5.2.1 Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

Distribusi penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan

jajanan di SDN Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada

Tabel 5.1

Tabel 5.1a

Distribusi Frekuensi Penggunaan Eritrosin Di SDN Sekelurahan

Pondok Benda Tahun 2015

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Ya 4 13,3

Tidak 26 86,7

Total 30 100

Data dalam tabel menunjukkan bahwa dari 30 sampel pangan

jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di sekitar SDN

Sekelurahan Pondok Benda sebesar 13,3% sampel mengandung

Eritrosin yaitu minuman berwarna merah.

Tabel 5.1b

Distribusi Frekuensi Penggunaan Rhodamin B Di SDN

Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Ya 4 13,3

Tidak 26 86,7

Total 30 100

Data dalam tabel menunjukkan bahwa dari 30 sampel pangan

jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di sekitar SDN

84

Sekelurahan Pondok Benda sebesar 13,3% sampel mengandung

Rhodamin B yaitu sosis, kerupuk gulali dan es mambo.

5.2.2 Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan Tentang Pewarna

Distribusi pengetahuan pedagang pangan jajanan di SDN

Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.2

Tabel 5.2

Distribusi Frekuensi Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan Di

SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Baik 9 30

Sedang 14 46,7

Kurang 7 23,3

Total 30 100

Data dalam tabel menunjukkan bahwa 46,7% pedagang pangan

jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda

memiliki pengetahuan umum tentang pewarna dalam kategori sedang

seperti tujuan penggunaan pewarna dan jenis pewarna.

5.2.3 Sikap Pedagang Pangan Jajanan Terhadap Penggunaan Pewarna

Distribusi sikap pedagang pangan jajanan di SDN Sekelurahan

Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.3

Tabel 5.3

Distribusi Frekuensi Sikap Pedagang Pangan Jajanan Di SDN

Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Baik 17 56,7

Sedang 11 36,7

Kurang 2 6,6

Total 30 100

85

Data dalam tabel menunjukkan bahwa 56,7% pedagang pangan

jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda

memiliki sikap tentang penggunaan pewarna dalam kategori baik

seperti tidak boleh menggunakan pewarna sembarangan, pewarna kain

berdampak buruk bagi kesehatan jika digunaka pada pangan dan

pewarn alami lebih baik daripada pewarna buatan.

5.2.4 Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan

Distribusi keterampilan pedagang pangan jajanan di SDN

Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.4

Tabel 5.4

Distribusi Frekuensi Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan Di

SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Ya 7 23,3

Tidak 23 76,7

Total 30 100

Data dalam tabel menunjukkan bahwa 76,7% pedagang pangan

jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda tidak

memiliki keterampilan dalam membuat sendiri pangan jajanan yang

dijualnya, umumnya mereka menjual pangan jajanan yang sudah jadi

atau bisa disebut sebagai penjaja pangan jajanan.

5.2.5 Aksesibilitas Pedagang Pangan Jajanan

Distribusi aksesibilitas pedagang pangan jajanan di SDN

Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.5

86

Tabel 5.5

Distribusi Frekuensi Aksesibilitas Pedagang Pangan Jajanan Di

SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Mudah 28 93,3

Sulit 2 6,7

Total 30 100

Data dalam tabel menunjukkan bahwa 93,3% pedagang pangan

jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda

menyatakan mudah untuk mengakses pewarna baik dari ketersediaan

yang selalu ada, harga yang terjangkau dan jarak yang dekat.

5.2.6 Peraturan Sekolah Tentang Keamanan Pangan

Distribusi peraturan sekolah di SDN Sekelurahan Pondok

Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.6

Tabel 5.6

Distribusi Frekuensi Peraturan Sekolah Di Sekitar SDN

Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Ada 7 23,3

Tidak Ada 23 76,7

Total 30 100

Data dalam tabel menunjukkan bahwa 76,7% pedagang pangan

jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda

menyatakan tidak ada peraturan dari sekolah terkait keamanan pangan

jajanan jika berjualan di sekitaran lingkungan sekolah.

5.2.7 Pengaruh Sesama Pedagang Pangan Jajanan

Distribusi pengaruh sesama pedagang pangan jajanan di SDN

Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.7

87

Tabel 5.7

Distribusi Frekuensi Pengaruh Sesama Pedagang Pangan Jajanan

Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Ya 6 20

Tidak 24 80

Total 30 100

Data dalam tabel menunjukkan bahwa 80% pedagang pangan

jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda

menyatakan tidak ada pengaruh dari sesama pedagang dalam

penggunaan bahan pangan jajanan.

5.2.8 Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan

Distribusi pembinaan dan pengawasan petugas kesehatan di

SDN Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.8

Tabel 5.8

Distribusi Frekuensi Pembinaan dan Pengawasan Petugas

Kesehatan Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Pernah 16 53,3

Tidak Pernah 14 46,7

Total 30 100

Data dalam tabel menunjukkan bahwa 53,3% pedagang pangan

jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda

menyatakan pernah ada pembinaan dan pengawasan dari petugas

kesehatan seperti pengujian kandungan kimia pada sampel pangan

jajanan.

88

5.2.9 Pembinaan dan Pengawasan Sekolah

Distribusi pembinaan dan pengawasan sekolah di SDN

Sekelurahan Pondok Benda ditunjukkan seperti pada Tabel 5.9

Tabel 5.9

Distribusi Frekuensi Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Di SDN

Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Pernah 6 20

Tidak Pernah 24 80

Total 30 100

Data dalam tabel menunjukkan bahwa 80% pedagang pangan

jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda

menyatakan tidak pernah ada pembinaan dan pengawasan dari pihak

sekolah terhadap pangan jajanan yang dijual.

5.2 Analisis Bivariat

5.2.1 Hubungan Pengetahuan Dengan Penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B

Hubungan pengetahuan dengan penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel 5.10

Tabel 5.10a

Hubungan Pengetahuan Dengan Penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015

Pengetahuan Penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B

Total pValue OR

Ya Tidak

N % N % N % 0,666 0,625

Kurang 5 23,8 16 76,2 21 100

Baik 3 33,3 6 66,7 9 100

Total 8 26,7 26 73,3 30 100

89

*catatan: terdapat penggabungan pengetahuan kategori sedang menjadi kurang

Hasil pengujian hubungan pengetahuan dengan penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-square diperoleh pValue

= 0,666 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan

antara pengetahuan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B, artinya proporsi pedagang pangan jajanan

yang memiliki pengetahuan kategori baik maupun kategori kurang

tidak banyak berbeda.

5.2.2 Hubungan Sikap Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

Hubungan sikap dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

ditunjukkan seperti pada Tabel 5.11

Tabel 5.11

Hubungan Sikap Dengan Penggunaan Eritrosin Di SDN

Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015

Sikap Penggunaan Eritrosin Total pValue OR

Ya Tidak

N % N % N % 0,698 1,444

Kurang 4 30,8 9 69,2 13 100

Baik 4 23,5 13 76,5 17 100

Total 8 26,7 22 73,3 30 100

*catatan: terdapat penggabungan pengetahuan kategori sedang menjadi kurang

Hasil pengujian hubungan sikap dengan penggunaan Eritrosin

dan Rhodamin B menggunakan Chi-square diperoleh pValue = 0,698

yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara

sikap pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan

90

Rhodamin B, artinya proporsi pedagang pangan jajanan yang memiliki

sikap kategori baik maupun kategori kurang tidak banyak berbeda.

5.2.3 Hubungan Keterampilan Dengan Penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B

Hubungan antara keterampilan dengan penggunaan Eritrosin

dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel 5.12

Tabel 5.12

Hubungan Keterampilan Dengan Penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015

Keterampilan Penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B

Total pValue OR

Ya Tidak

N % N % N % 0,638 0,381

Ya 1 14,3 6 85,7 7 100

Tidak 7 30,4 16 69,6 23 100

Total 8 26,7 22 73,3 30 100

Hasil pengujian hubungan keterampilan dengan penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-square diperoleh pValue

= 0,638 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan

antara keterampilan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B, artinya proporsi pedagang pangan jajanan

yang memiliki keterampilan kategori membuat sendiri maupun tidak

membuat sendiri banyak berbeda.

91

5.2.4 Hubungan Aksesibilitas Dengan Penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B

Hubungan antara aksesibilitas dengan penggunaan Eritrosin

dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel 5.13

Tabel 5.13

Hubungan Aksesibilitas Dengan Penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015

Aksesibilitas Penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B

Total pValue OR

Ya Tidak

N % N % N % 1 0,714

Mudah 8 28,6 20 71,4 28 100

Sulit 0 0 2 100 2 100

Total 4 26,7 26 73,3 30 100

Hasil pengujian hubungan aksesibilitas dengan penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-square diperoleh pValue

= 1 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan

antara aksesibilitas dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B,

artinya proporsi pedagang pangan jajanan yang memiliki aksesibilitas

kategori mudah maupun kategori sulit tidak banyak berbeda.

5.2.5 Hubungan Peraturan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B

Hubungan antara peraturan sekolah dengan penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel 5.14

92

Tabel 5.14

Hubungan Peraturan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015

Peraturan

Sekolah

Penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B

Total pValue OR

Ya Tidak

N % N % N % 0,345 0,370

Tidak Ada 5 21,7 18 78,3 23 100

Ada 3 42,9 4 57,1 7 100

Total 8 26,7 22 73,3 30 100

Hasil pengujian hubungan peraturan sekolah dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-square

diperoleh pValue = 0,345 yang menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara peraturan sekolah dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B, artinya proporsi sekolah yang

tidak memiliki peraturan keamanan pangan maupun memiliki

peraturan keamanan pangan tidak banyak berbeda.

5.2.6 Hubungan Pengaruh Sesama Pedagang Dengan Penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B

Hubungan antara pengaruh sesama pedagang dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel

5.15

93

Tabel 5.15

Hubungan Pengaruh Sesama Pedagang Dengan Penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda

Tahun 2015

Pengaruh

Sesama

Pedagang

Penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B

Total pValue OR

Ya Tidak

N % N % N % 0,287 0,185

Ada 0 0 5 100 5 100

Tidak Ada 8 32 17 68 25 100

Total 8 26,7 22 73,3 30 100

Hasil pengujian hubungan peraturan sekolah dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-square

diperoleh pValue = 0,287 yang menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara pengaruh sesama pedagang dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B, artinya proporsi ada pengaruh

sesama pedagang maupun tidak ada pengaruh sesama pedagang tidak

banyak berbeda.

5.2.7 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan

Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

Hubungan antara pembinaan dan pengawasan petugas

kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ditunjukkan

seperti pada Tabel 5.16

94

Tabel 5.16

Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan

Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN

Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015

Pembinaan dan

Pengawasan

Petugas

Kesehatan

Penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B

Total pValue OR

Ya Tidak

N % N % N % 1 1,2

Tidak Pernah 4 28,6 10 71.4 14 100

Pernah 4 25 12 75 16 100

Total 8 26,7 22 73,3 30 100

Hasil pengujian hubungan pembinaan dan pengawasan petugas

kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

menggunakan Chi-square diperoleh pValue = 1 yang menunjukkan

bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pembinaan dan

pengawasan petugas kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B, artinya proporsi tidak pernah ada pembinaan dan

pengawasan petugas kesehatan maupun pernah ada pembinaan dan

pengawasan petugas kesehatan tidak banyak berbeda.

5.2.8 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Dengan

Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

Hubungan antara pembinaan dan pengawasan sekolah dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ditunjukkan seperti pada Tabel

5.17

95

Tabel 5.17

Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Dengan

Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan

Pondok Benda Tahun 2015

Pembinaan dan

Pengawasan

Sekolah

Penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B

Total pValue OR

Ya Tidak

N % N % N % 0,645 0,667

Tidak Pernah 6 25 18 75 24 100

Pernah 2 33,3 4 66,7 6 100

Total 8 26,7 22 73,3 30 100

Hasil pengujian hubungan pembinaan dan pengawasan sekolah

dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B menggunakan Chi-

square diperoleh pValue = 0,645 yang menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara pembinaan dan pengawasan sekolah

dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B, artinya proporsi tidak

pernah ada pembinaan dan pengawasan sekolah maupun pernah ada

pembinaan dan pengawasan sekolah tidak banyak berbeda.

96

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini tidak mengidentifikasi dampak kesehatan yang ditimbulkan

akibat mengonsumsi pangan jajanan yang mengandung Eritrosin dan

Rhodamin B karena untuk mengidentifikasi dampak kesehatan dari

mengonsumsi pewarna sintetik ini membutuhkan jangka waktu yang

panjang.

2. Penelitian ini hanya meneliti pangan jajanan anak sekolah yang dijual

oleh pedagang saat itu dan tidak menggali lebih dalam dimana pangan

jajanan itu diproduksi.

3. Hasil penelitian sangat dipengaruhi kejujuran responden dalam menjawab

kuesioner dan jawaban juga responden tergantung pada pemahaman

responden terhadap pertanyaan pada kuesioner.

6.2 Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

6.2.1 Penggunaan Eritrosin

Penggunaan Eritrosin di Indonesia sampai dengan saat ini

masih diperbolehkan namun dengan syarat tidak melebihi batas

maksimal yang telah ditentukan dalam Peraturan Kepala Badan

Pengawas Obat dan Makanan Nomor 37 Tahun 2013 pada Pasal 3 ayat

(3). Eritrosin boleh digunakan untuk makanan dengan batas maksimal

tertentu namun Eritrosin tidak digunakan pada minuman. Karunia

(2013) menegaskan bahwa Eritrosin tidak dapat dipakai dalam produk

97

minuman karena mudah diendapkan oleh asam. Berdasarkan hasil

analisis univariat pada tabel 5.1a dari 30 responden diketahui bahwa

13,3% pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan

Pondok Benda dinyatakan menggunakan Eritrosin. Peneliti lainnya,

Nisma dan Setyawati (2014) menemukan sampel pangan jajanan SD di

wilayah Kotamadya Jakarta Timur mengandung Rhodamin B dan

Eritrosin.

Pasal 3 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan

Makanan Nomor 37 Tahun 2014 menyatakan penggunaan Eritrosin

masih diperbolehkan dengan batas antara 20-300mg/kg tergantung

pada kategori pangan tertentu. Berbeda dengan BPOM, Arisman

(2008) berpendapat bahwa Eritrosin sebagai pewarna yang tidak

dianjurkan untuk pangan. Meskipun diperbolehkan untuk pangan

sebaiknya kita menghindari penggunaan pewarna sintetik apapun

sebab pewarna sintetik tidak baik untuk kesehatan jika terus

dikonsumsi, apalagi oleh anak-anak yang sedang dalam masa

pertumbuhan.

Ditemukan keterkaitan Eritrosin dengan reduksi noradrenalin

selain berkemungkinan bersifat karsinogenik (Arisman, 2008). Begitu

pula menurut Karunia (2013) jika mengonsumsi Eritrosin dalam dosis

tinggi dapat bersifat kasinogen dan juga dapat mengakibatkan reaksi

alergi seperti nafas pendek, dada sesak, sakit kepala, serta iritasi kulit.

Eritrosin juga berpengaruh kuat sebagai neurocompetitive dopamine

98

inhibitor ketika dipajankan pada otak tikus percobaan, pengurangan

laju dopamine turnover inilah yang menyebabkan utama

hipersensitivitas anak. Selain itu Eritrosin dapat menyebabkan

hiperaktif dan menimbulkan efek kurang baik pada otak dan perilaku

(Nasir, 2010). Menurut Saputro dalam Novriana dkk (2013), prevalensi

penderita hiperaktif di Indonesia pada anak usia sekolah (yaitu, 3-18

tahun) sebesar 15,8% dari 3006 anak. Kemudian prevalensi penderita

hiperaktif pada anak laki-laki dan anak perempuan berbeda yaitu

35,2% untuk anak laki-laki dan 18,3% untuk anak perempuan.

6.2.2 Penggunaan Rhodamin B

Penggunaan Rhodamin B pada pangan di Indonesia tidak

diijinkan karena dapat berdampak buruk pada kesehatan. Berdasarkan

hasil analisis univariat pada tabel 5.1b dari 30 responden diketahui

bahwa 13,3% pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan

Pondok Benda dinyatakan menggunakan Rhodamin B.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan menyatakan bahwa

tahun 2011-2013 selalu ditemukan sampel pangan jajanan anak

sekolah yang mengandung bahan kimia berbahaya untuk pangan

berupa Rhodamin B, Methanil Yellow dan Auramin (BPOM, 2011;

2012; 2013). Peneliti lainnya, Ardiarini dan Gunanti (2004)

menyatakan terdapat sampel minuman jajanan SDN Dukuh Mananggal

yang mengandung Rhodamin B. Nisma dan Setyawati (2014)

menemukan sampel pangan jajanan SD di wilayah Kotamadya Jakarta

99

Timur mengandung Rhodamin B dan Eritrosin. Kristianto dkk (2009)

menyatakan 18,5% jajanan anak sekolah di Kota Batu tidak memenuhi

syarat keamanan karena penggunaan bahan berbahaya Rhodamin B.

Ardiarini dan Gunanti (2004) pun menemukan Rhodamin B pada es

potong merah dan es sari buah rasa kopi krim.

Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umum

digunakan sebagai pewarna tekstil. Rhodamin B bersifat karsinogenik

sehingga dalam penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan

kanker. Uji toksisitas Rhodamin B telah dilakukan terhadap mencit dan

tikus dengan injeksi subkutan dan secara oral. Rhodamin B dapat

menyebabkan karsinogenik pada tikus ketika diinjeksi subkutan, yaitu

timbul sarcoma lokal. Sedangkan didapatkan LD50 89,5 mg/kg yang

ditandai dengan gejala adanya pembesaran hati, ginjal, dan limfa

diikuti perubahan anatomi berupa pembesaran organnya (Merck Index

dalam Utami dkk, 2009).

Rhodamin B bersifat racun jika digunakan dalam pewarna

pangan dan dapat memicu pertumbuhan zat karsinogenik yang

menyebabkan munculnya penyakit kanker (Wasis dan Irianto, 2008).

Penggunaan zat pewarna ini dilarang di Eropa mulai tahun 1984 karena

Rhodamin B termasuk karsinogen yang kuat. Dampak lainnya yaitu

dapat menyebabkan ganguan fungsi hati. Efeknya tidak akan dirasakan

saat ini tetapi akan terasa setelah sepuluh atau dua puluh tahun

kemudian (Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut

100

Pertanian Bogor, 2005). Prevalensi kanker di Indonesia tahun 2013

sebesar 1,4‰ sedangkan prevalensi kanker di Provinsi Banten yaitu

1‰ atau 11.523 (Riskesdas, 2013).

Penggunaan pewarna sintetik berbahaya pada pangan jajanan anak

sekolah masih kerap dilakukan oleh pedagang dimungkinkan karena anak

sekolah dasar dalam memilih pangan jajanan mempertimbangkan daya tarik

warna (Kristianto dkk, 2009). Menurut Nuraini (2007) warna mempunyai

peran psikologis yang sangat kuat ketika anak-anak akan memilih produk

pangan. Pujiasuti (2002) menyatakan alasan pemilihan produk berwarna

antara lain lebih menarik dan lebih murah serta 86% produsen menyatakan

penggunaan pewarna karena permintaan konsumen. Selain itu, penambahan

pewarna sintetik dalam minuman jajanan diakui penjual dapat memberikan

kesan menarik pada produk akhir sehingga minuman jajanan yang dijual

dapat laku > 90% per hari (Ardiarini dan Gunanti, 2004).

Menurut Rahayu dkk (2012), masih ditemukan penyalahgunaan bahan

kimia berbahaya seperti pewarna tekstil pada pangan dan kadar yang

berlebihan akibat pewama pangan yang dijual di pasaran baik yang berbentuk

liquid dan bubuk pada umumnya tidak ada petunjuk ukuran penggunaannya,

hal ini membuat para produsen pangan jajanan hanya mengira-ngira

pemakaianya sehingga produknya menarik.

Untuk mencegah meluasnya penggunaan bahan tambahan non pangan

dan kadar yang berlebihan pada pangan maka diharapkan pemerintah untuk

meningkatkan program keamanan pangan jajanan anak sekolah, menyediakan

101

Peralatan Uji Cepat (Rapid Test Kit) yang dapat digunakan semua pihak

untuk mengetahui kandungan bahan kimia berbahaya pada pangan, tetap

melaksanakan pengawasan keamanan pangan terhadap BTP dan bahan kimia

berbahaya yang disalahgunakan sebagai BTP, meningkatkan edukasi tentang

gizi dan keamanan pangan berupa Training of Trainer (TOT) kepada guru

UKS agar dapat memberikan pembinaan mengenai keamanan pangan

terhadap para siswa, orangtua dan penyedia PJAS (pengelola kantin, penjaja

PJAS, IRTP produsen PJAS) serta melakukan pembinaan penyedia PJAS

tentang Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) dan praktek penggunaan

BTP secara baik dan benar (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009).

Sekolah sebagai tempat pedagang pangan jajanan anak sekolah

biasanya berada sebaiknya menetapkan kebijakan dan peraturan mengenai

keamanan PJAS serta menyediakan sarana dan prasarana pendukung

keamanan pangan di sekolah yang memadai, melakukan pengawasan

terhadap penyediaan PJAS baik di kantin sekolah maupun di luar sekolah

dengan memperhatikan jenis pangan yang dijual serta kebersihan tempat

penyedia PJAS dan penjajanya, memberikan edukasi bagi pengelola kantin

dan penjaja PJAS mengenai keamanan pangan serta memberikan pengertian

dan pengetahuan kepada siswa mengenai cara memilih pangan jajanan yang

baik serta dampak negatif apabila jajan di sembarang tempat (BPOM RI & 30

Balai Besar/Balai POM, 2009).

102

6.3 Perilaku

6.3.1 Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses

sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu (Sunaryo,

2004). Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.2 dari 30

responden diketahui bahwa 46,7% dari pedagang pangan jajanan di

sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda memiliki pengetahuan tentang

pewarna dalam kategori sedang. Damayanthi dkk (2013) juga

menyatakan 77,8% pengetahuan penjaja PJAS di SDN D tentang

keamanan pangan dalam kategori sedang dan Pujiasuti (2002)

menyatakan 40,9% responden memiliki pengetahuan dalam kategori

sedang tentang pemakaian BTP. Namun Sugiyatmi (2006) menyatakan

64,6% pembuat pangan jajanan tradisional yang dijual di pasar-pasar

Kota Semarang memiliki pengetahuan dalam kategori kurang tentang

bahaya pewarna terlarang. Begitu pula dengan Ardiarini dan Gunanti

(2004) yang mengatakan 75% penjual memiliki pengetahuan yang

tergolong rendah terhadap pewarna sintetik.

Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai

hubungan pengetahuan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.10 diperoleh pValue = 0,666

yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara

pengetahuan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin

dan Rhodamin B. Begitu pula Pujiasuti (2002) yang menyatakan

103

bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan produsen dengan

pemakaian bahan tambahan pangan dan Damayanthi dkk (2013)

menyatakan hubungan negatif antara pengetahuan tentang gizi dan

keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan. Namun

Sugiyatmi (2006) menyatakan ada hubungan yang signifikan antara

pengetahuan tentang bahaya pewarna terlarang dengan praktek

pembuatan pangan jajanan.

Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan penggunaan

Eritrosin maupun Rhodamin B dalam penelitian ini dapat

dimungkinkan karena pengetahuan yang dimiliki oleh pedagang

pangan jajanan hanya pada tingkat tahu namun tidak memahaminya

dengan baik. Menurut Keraf dan Dua (2001), pengetahuan tersebut

termasuk dalam kategori tahu bahwa yaitu pengetahuan tentang

informasi tertentu, tahu bahwa sesuatu terjadi, tahu bahwa ini atau itu

demikian adanya, bahwa apa yang dikatakan benar. Jenis pengetahuan

ini disebut pengetahuan teoritis atau pengetahuan ilmiah walaupun

masih pada tingkat yang tidak begitu mendalam oleh karena itu bisa

saja tidak disertai dengan perilaku yang baik pula.

Menurut Utami dkk (2009) rendahnya pengetahuan pedagang

tentang pewarna alami dan sintetik serta pewarna yang tidak diijinkan

dipengaruhi salah satunya oleh pendidikan, survei menunjukan 47,37%

pedagang tidak berpendidikan. Ardiarini dan Gunanti (2004)

mengatakan tingkat pendidikan 75% penjual adalah setingkat Sekolah

104

Dasar dan 25% penjual tidak mengenyam pendidikan di bangku

sekolah. Menurut Utomo dalam Ardiarini dan Gunanti (2004),

pendidikan berpengaruh pada faktor sosial ekonomi seperti

pendapatan, pekerjaan, lifestyle, perumahan dan tempat tinggal serta

pangan yang dikonsumsi dan disajikan.

Handayani dan Kurniawati dalam Wariyah dan Dewi (2013),

selain pengetahuan yang rendah terhadap bahan tambahan pangan dan

bahan berbahaya, faktor ketidakpedulian juga mempengaruhi pedagang

pangan jajanan dalam pemakaian bahan tambahan. Begitu pula dengan

BPOM (2012a) yang menyatakan bahwa pangan jajanan anak sekolah

yang tidak memenuhi persyaratan dapat mengindikasikan kurangnya

pengetahuan tentang keamanan pangan namun faktor kepedulian atau

kesadaran para pembuat, penjual dan pembeli pangan jajanan anak

sekolah juga dapat mempengaruhi.

Menurut Rahayu dkk (2012), indsutri kecil perlu memiliki

pengetahuan dalam proses produksi pangan yang aman dan bermutu

agar tidak mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan

mengorbankan orang lain. Menurut Aminah dan Hidayah (2012),

umumnya pengetahuan keamanan pangan yang diketahui oleh para

pedagang diperoleh dari informasi lisan dari mulut ke mulut,

penyuluhan di PKK (bagi yang perempuan) namun untuk

mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh secara lisan

tersebut sulit, mengingat produsen ingin menampilkan dagangannya

105

lebih menarik dengan cita rasa yang tinggi dengan biaya produksi yang

rendah. Penggunaan bahan tambahan pangan masih perlu mendapatkan

perhatian baik jenisnya maupun ukurannya, bahan tambahan yang

digunakan harus khusus pangan dan ukurannya sesuai dengan yang

telah ditetapkan oleh pemerintah. Rahayu dkk (2012) pun menyatakan

informasi mengenai keberadaan bahan tambahan pangan di pasaran

belum diketahui oleh sebagian besar industri rumah tangga. Sedangkan

bahan kimia berbahaya masih beredar dan hal ini berkontribusi

terhadap penyalahgunaan bahan kimia berbahaya.

Tinggi rendahnya pengetahuan pedagang pangan jajanan

tergantung pada informasi terkait keamanan pangan jajanan yang

mereka dapatkan oleh karena itu pemerintah maupun pihak sekolah

diharapkan dapat meningkatkan program keamanan pangan jajanan

anak sekolah dengan melakukan Training of Trainer (TOT) kepada

penyedia PJAS (pengelola kantin, penjaja PJAS, IRTP produsen PJAS)

mengenai keamanan pangan, melakukan pembinaan penyedia PJAS

tentang Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) serta praktek

penggunaan BTP (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009).

6.3.2 Sikap Pedagang Pangan Jajanan

Sikap adalah istilah yang mencerminkan rasa seperti senang,

tidak senang atau biasa-biasa saja (netral) dari seseorang terhadap

sesuatu (Sarwono, 2009). Berdasarkan hasil analisis univariat pada

tabel 5.3 dari 30 responden diketahui bahwa 56,7% dari pedagang

106

pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda memiliki

sikap dalam kategori baik terhadap penggunaan pewarna. Hal yang

sama ditunjukan Pertiwi dkk (2014) bahwa 100% penjual pangan

jajanan memiliki sikap yang positif terhadap penggunaan pewarna

pada pangan. Begitu pula Pujiasuti (2002) yang menyatakan 50%

responden memiliki sikap dalam kategori baik tentang pemakaian

bahan tambahan pangan. Berbeda dengan Sugiyatmi (2006) yang

menyatakan 68,8% dari pembuat pangan jajanan memiliki sikap dalam

kategori kurang terhadap penggunaan pewarna terlarang.

Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai

hubungan sikap pedagang pangan jajanan dengan penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.11 diperoleh pValue = 0,698

yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara

sikap pedagang jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

Damayanthi dkk (2013) juga berpendapat bahwa tidak terdapat

hubungan antara sikap terhadap gizi dan keamanan pangan dengan

praktek keamanan pangan dan Pujiasuti (2002) mengatakan tidak ada

hubungan antara sikap produsen dengan pemakaian bahan tambahan

pangan. Namun Sugiyatmi (2006) menyatakan ada hubungan yang

signifikan antara sikap tentang penggunaan pewarna terlarang dengan

praktek pembuatan pangan jajanan.

Menurut Maulana (2007), sikap tidak sama dengan perilaku

dan perilaku tidak selalu mencerminkan sikap seseorang. Individu

107

sering memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya.

Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan

informasi tentang objek tertentu melalui persuasi serta tekanan dari

kelompok sosialnya. Oleh karena itu sikap yang baik belum tentu dapat

diiringi dengan perilaku yang baik pula, terdapat hal-hal lain yang

dapat memperngaruhi perilaku seseorang. Akan tetapi sikap dapat

menimbulkan pola-pola cara berpikir yang dapat mempengaruhi

tindakan.

Sikap mengandung suatu penilaian emosional atau afektif,

pengetahuan tentang objek atau kognitif dan kecenderungan bertindak

atau konatif (Maulana, 2007). Dalam hal ini responden yang memiliki

sikap yang baik dapat dikarenakan sisi afektifnya atau dimensi

emosional responden terhadap pewarna pangan yang bersifat positif

dan pewarna bukan untuk pangan yang bersifat negatif sehingga

menghasilkan sikap yang baik namun tidak memiliki kecendurungan

bertindak positif terhadap objek yang dihadapinya. Selain itu sebagian

besar pedagang pangan menjual pangan jajanan atau menggunakan

bahan pelengkap yang sudah jadi sehingga kurang dapat dilihat

korelasi antara sikap dan perilakunya.

Meskipun dalam penelitian ini 56,7% pedagang pangan jajanan

memiliki sikap dalam kategori baik namun jika diteliti jawaban

pedagang pangan jajanan satu per satu maka akan ditemukan adanya

sikap kurang baik seperti penggunaan pewarna kain pada pangan

108

bukanlah masalah, penggunaan pewarna terlarang pada pangan tidak

berbahaya pada kesehatan, penggunaan pewarna yang berlebihan boleh

digunakan saat pembuatan pangan. Dalam variabel sikap ini dapat

terlihat pula nilai yang dimiliki oleh pedagang seperti pedagang

memilih bahwa dalam pembuatan pangan boleh menggunakan

pewarna apa saja asalkan dapat membantu meningkatkan keuntungan

penjualan.

Beragamnya sikap pedagang pangan jajanan dalam menanggapi

penggunaan pewarna sintetik dapat dikarena pengetahuan yang mereka

miliki dan sikap yang mereka paksakan sebagai pembenaran meskipun

mereka tahu hal tersebut salah oleh karena itu pemerintah maupun

pihak sekolah diharapkan dapat meningkatkan program keamanan

pangan jajanan anak sekolah dengan melakukan Training of Trainer

(TOT) kepada penyedia PJAS (pengelola kantin, penjaja PJAS, IRTP

produsen PJAS) mengenai keamanan pangan, melakukan pembinaan

penyedia PJAS tentang Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) serta

praktek penggunaan BTP (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM,

2009).

6.3.3 Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan

Keterampilan pedagang pangan jajanan adalah kemampuan

pedagang dalam mengolah atau membuat sendiri pangan jajanan yang

dijualnya. Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.4 dari 30

responden diketahui bahwa 76,7% dari pedagang pangan jajanan di

109

sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda tidak membuat sendiri pangan

jajanan yang dijualnya, umumnya mereka menjual pangan jajanan

yang sudah siap santap atau bisa disebut sebagai penjaja.

Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai

hubungan keterampilan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.12 diperoleh pValue = 0,638

yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara

keterampilan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin

dan Rhodamin B. Tidak berhubungan penelitian ini dapat dikarenakan

umumnya pedagang hanya menjajakan pangan jajanan siap santap,

tidak membuat sendiri pangan jajanan yang dijualnya.

Keterampilan atau kemampuan seseorang dalam

mempersiapkan pangan dan memasak memiliki potensi untuk

mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan (EUFIC, 2005). Oleh

karena itu peningkatan keterampilan pedagang pangan jajanan perlu

dilakukan. Menurut Rahayu dkk (2012), indsutri kecil perlu memiliki

keterampilan dalam proses produksi pangan yang aman dan bermutu,

yang diimbangi dengan akhlak dan budi pekerti untuk tidak

mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan

orang lain. Serta terdapat pula produsen yang mempunyai kemauan

untuk tidak menggunakan bahan tambahan yang dilarang untuk pangan

namun tidak punya kemampuan yang ditunjukan dengan tingkat

110

pengetahuan (Pujiasuti, 2002). Dengan demikian perlu dikembangkan

pelatihan terstruktur bagi indsutri kecil.

Umumnya pedagang yang mengolah sendiri pangan jajanannya

mendapatkan keahliannya dengan belajar sendiri atau otodidak dan

biasanya kurang memperhatikan keamanan dalam praktek pengolahan

pangan oleh karena itu pemerintah maupun pihak sekolah diharapkan

dapat meningkatkan program keamanan pangan jajanan anak sekolah

dengan melakukan Training of Trainer (TOT) kepada penyedia PJAS

(pengelola kantin, penjaja PJAS, IRTP produsen PJAS) mengenai

keamanan pangan, melakukan pembinaan penyedia PJAS tentang Cara

Produksi Pangan yang Baik (CPPB) serta praktek penggunaan BTP.

Pedagang pangan jajanan anak sekolah hanya boleh menggunakan

BTP yang berlabel “BTP” serta tidak menggunakan pewarna dan

bahan berbahaya yang dilarang penggunaannya pada pangan seperti

Rhodamin B dan Methanyl Yellow (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai

POM, 2009).

6.3.4 Aksesibilitas Memperoleh Pewarna Pangan

Aksesibilitas adalah kemampuan pedagang pangan jajanan

dalam mengakses atau menjangkau pewarna pangan baik aspek jarak,

daya beli dan ketersediaan. Berdasarkan hasil analisis univariat pada

tabel 5.5 dari 30 responden diketahui bahwa 93,3% pedagang pangan

jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda menyatakan akses

untuk memperoleh pewarna termasuk dalam kategori mudah baik dari

111

ketersediaan yang hampir selalu ada, harga yang terjangkau dan jarak

tempuh yang dekat. Umumnya kemudahan pedagang pangan jajanan

dalam mengakses pewarna karena di toko atau warung yang mereka

datangi menyediakan pewarna yang mereka inginkan.

Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai

hubungan aksesibilitas pedagang dengan penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B pada tabel 5.13 diperoleh pValue = 1 yang menunjukkan

bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aksesibilitas dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

Meskipun pemerintah telah mengatur penggunaan pewarna

untuk pangan masih banyak produsen terutama pengusaha kecil yang

menggunakan pewarna yang dilarang dan berbahaya misalnya pewarna

untuk tekstil atau cat karena mempunyai warna lebih cerah, lebih stabil

selama penyimpanan serta harganya lebih murah (Himpunan Alumni

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2005). Hal

tersebut sejalan dengan penelitian Ardiarini dan Gunanti (2004) yang

menyatakan sebesar 75% penjual minuman jajanan menyatakan

penggunaan pewarna sintetik karena harga pewama sintetik tidak

mahal dan tergolong praktis dan mudah diperoleh di toko kecil bila

dibandingkan dengan pewarna alami. Sari (2008) mengatakan pewarna

sintetik dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan

dengan pewarna alami maka menjadi perhatian oleh produsen,

mengingat daya beli masyarakat Indonesia yang masih cukup rendah.

112

Hal tersebut menunjukan bahwa faktor ekonomi juga memiliki peran

dalam pengambilan keputusan oleh pedagang dalam melakukan

pengolahan pangan.

Sulitnya akses bahan tambahan pangan dengan harga yang

terjangkau oleh industri rumah tangga juga berkontribusi pada

penyalahgunaan bahan kimia berbahaya. Sedangkan bahan kimia yang

tidak diizinkan untuk pangan dengan mudah dan murah diperoleh dari

pengecer yang tidak bertanggung jawab (Rahayu dkk. 2012). Begitu

pula menurut Pujiasuti (2002) bahwa faktor ketersediaan bahan

tambahan tanpa ada label “BTP” memiliki kemungkinan pengaruh

pembelian bahan tambahan tersebut di toko-toko setempat. Hal

tersebut menunjukan bahwa faktor ekonomi dan akses memiliki peran

dalam pengambilan keputusan oleh pedagang dalam melakukan

pengolahan pangan. Aminah dan Hidayah (2012) menyatakan bahwa

76% responden menggunakan bahan pewarna sembarang dalam

produk pangan asal produk menarik sehingga konsumen tertarik.

Penggunaan bahan pewarna alami memang tidak ada resiko kesehatan,

namun untuk mendapatkan bahan pewarna alami, khususnya didaerah

perkotaan sekarang ini tidak mudah, disamping itu juga tidak praktis

dan pewama alami kurang stabil.

Mudahnya pedagang pangan jajanan dalam memperoleh

pewarna sintetik membuat kejadian pangan jajanan yang tidak aman

semakin marak oleh karena itu pemerintah harus meningkatkan

113

program keamanan pangan jajanan anak sekolah melalui kerjasama

secara terpadu, melaksanakan pengawasan keamanan pangan terhadap

BTP dan bahan kimia berbahaya yang disalahgunakan sebagai BTP.

Pedagang PJAS harusnya hanya menggunakan BTP yang berlabel

“BTP” serta tidak boleh menggunakan pewarna dan bahan berbahaya

yang dilarang penggunaannya pada pangan seperti Rhodamin B dan

Methanyl Yellow (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009).

6.3.5 Peraturan Sekolah

Adanya kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh pihak

sekolah dapat membantu dalam menjaga keamanan pangan jajanan

yang dijual di sekitar sekolah sehingga dapat melindungi siswa dari

pangan yang tidak aman. Berdasarkan hasil analisis univariat pada

tabel 5.6 dari 30 responden diketahui bahwa 76,7% dari pedagang

pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda menyatakan

pihak sekolah tidak menerapkan peraturan terkait keamanan pangan

namun terdapat pedagang pangan jajanan yang menyatakan ada

peraturan dari pihak sekolah terkait kebersihan lingkungan sekolah dari

sampah-sampah bekas pangan jajanan bukan tentang keamanan

pangan.

Pedagang pangan jajanan yang menyatakan bahwa ada

peraturan dari pihak sekolah untuk menjual pangan jajanan yang sehat

namun pedagang pangan jajanan lainnya yang berjualan di lokasi yang

sama menyatakan bahwa tidak ada peraturan dari sekolah terkait

114

keamanan pangan jajanan, hal tersebut mungkin dikarenakan

sosialisasi yang kurang merata. Begitu pula Wijaya (2009) yang

menyatakan penerapan peraturan ditanggapi oleh penjaja PJAS

berbeda-beda bahkan 51.1% responden tidak mengetahui adanya

peraturan yang dibuat oleh pihak sekolah dan masih kurangnya

disosialisasikan oleh pihak sekolah ke penjaja PJAS.

Hasil penelitian Damayanthi dkk (2013), hanya terdapat 1 dari

7 sekolah yang menetapkan peraturan bagi pedagang yang berjualan di

kantin yaitu tidak mengizinkan untuk menggunakan BTP (pemanis,

pewarna maupun penyedap rasa) serta jenis pangan yang dijual selalu

diperiksa setiap minggunya oleh pengurus yayasan. Wijaya (2009)

menyatakan semua sekolah di Kota dan Kabupaten Bogor mempunyai

peraturan mengenai PJAS namun sebagian besar sekolah hanya

memiliki peraturan secara lisan. Peraturan umumnya mengenai

kebersihan pangan jajanan, kedisiplinan penjaja PJAS dan penggunaan

BTP namun hanya satu sekolah yang terkategori baik dalam penerapan

peraturan mengenai PJAS, sekolah tersebut memiliki komite sekolah

yang diduga berpartisipasi dalam pembentukan peraturan mengenai

PJAS.

Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai

hubungan peraturan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B pada tabel 5.14 diperoleh pValue = 0,345 yang

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara

115

peraturan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

Wijaya (2009) pun menyatakan bahwa tidak adanya hubungan yang

nyata antara penerapan peraturan dengan pengetahuan gizi dan

keamanan pangan dan tidak adanya hubungan yang nyata antara

penerapan peraturan dengan praktek keamanan pangan. Sekalipun ada

peraturan namun masih belum diterapkan secara optimal karena

sebagian besar praktek keamanan PJAS responden berkategori kurang

dan responden masih menggunakan BTP oleh karena itu dibutuhkan

pembinaan.

Banyak produsen dan pengusaha kecil yang menggunakan

bahan-bahan yang dilarang dan berbahaya bagi kesehatan dapat

dikarenakan pengawasan terhadap pangan jajanan yang kurang atau

tidak adanya peraturan yang ditetapkah oleh sekolah terkait keamanan

pangan menyebabkan praktek penggunakan BTP yang berlebihan atau

bahan berbahaya lainnya oleh karena itu kepala sekolah sebaiknya

berperan dalam menetapkan kebijakan dan peraturan mengenai

keamanan PJAS di lingkungan sekolah serta menyediakan sarana dan

prasarana pendukung keamanan pangan di sekolah yang memadai

(BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009).

6.3.6 Pengaruh Sesama Pedagang

Pengaruh teman adalah kemampuan memengaruhi perilaku

individu di antara anggota kelompok berdasarkan norma-norma

kelompok, kesadaran kelompok atas apa yang merupakan hal atau cara

116

benar untuk melakukan hal-hal serta kebutuhan untuk dinilai dan

diterima oleh kelompok (Pearce dan Robinson, 2008). Berdasarkan

hasil analisis univariat pada tabel 5.7 dari 30 responden diketahui

bahwa 80% dari pedagang pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan

Pondok Benda menyatakan tidak saling berdiskusi mengenai bahan-

bahan yang digunakan dalam membuat pangan jajanan. Umumnya

pedagang pangan jajanan hanya berdiskusi mengenai hal sehari-hari

namun tidak berdiskusi tentang bahan apa yang digunakan dalam

pangan jajanan yang dijualnya. Pujiasuti (2002) menyatakan sebesar

38,6% produsen mendapatkan informasi mengenai bahan tambahan

pangan untuk produk jualannya dari penjual bahan tambahan dan

27,3% lainnya dari teman serta sisanya dari orang tua dan saudara.

Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai

hubungan pengaruh sesama pedagang pangan jajanan dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.15 diperoleh

pValue = 0,287 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

signifikan antara pengaruh sesama pedagang dengan penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B.

Kurangnya pengetahuan pedagang pangan jajanan membuat

mereka tidak bisa membuat keputusan baik oleh karena itu ada baiknya

pemerintah meningkatkan edukasi tentang gizi dan keamanan pangan

berupa Training of Trainer (TOT) kepada penyedia PJAS (pengelola

kantin, penjaja PJAS, IRTP produsen PJAS), pembinaan Cara Produksi

117

Pangan yang Baik (CPPB) dan praktek penggunaan BTP (BPOM RI &

30 Balai Besar/Balai POM, 2009).

6.3.7 Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan

Petugas kesehatan adalah orang yang mengabdikan diri dalam

bidang kesehatan untuk melakukan upaya kesehatan seperti kegiatan

untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

dalam bentuk pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan (Pasal 1

UU No. 36 Tahun 2014). Berdasarkan hasil analisis univariat pada

tabel 5.8 dari 30 responden diketahui bahwa 53,3% dari pedagang

pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda menyatakan

pernah terdapat pembinaan dan pengawasan dari petugas kesehatan

terkait keamanan pangan jajanan anak sekolah. Mujianto dkk (2005)

menyatakan 64% pedagang pangan jajanan di Kecamatan Pondok

Gede tidak pernah mendapatkan pembinaan dan 83% pedagang pangan

tidak pernah mendapatkan pengawasan. Damayanthi dkk (2013) juga

menyatakan hampir dari seluruh penjaja PJAS tidak pernah mengikuti

pelatihan atau training terkait gizi maupun keamanan pangan.

Kemudian Wariyah dan Dewi (2013), 80% pedagang PJAS belum

pernah mengikuti penyuluhan tentang pengolahan pangan yang baik.

Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai

hubungan pembinaan dan pengawasan petugas kesehatan dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.16 diperoleh

pValue = 1 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

118

signifikan antara pembinaan dan pengawasan petugas kesehatan

dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

Mujianto dkk (2005) menyatakan pedagang yang tidak

diberikan pembinaan mempunyai kecenderungan menggunakan bahan

tambahan terlarang 2 kali lebih besar jika dibandingkan dengan

pedagang yang telah menerima pembinaan dan pedagang yang tidak

diberikan pengawasan mempunyai kecenderungan menggunakan

bahan tambahan terlarang 1,58 kali lebih besar jika dibandingkan

dengan pedagang yang telah diberikan pengawasan. Hal tersebut

menunjukan pedagang yang tidak mendapat pembinaan dan

pengawasan menjadi faktor resiko penggunaan bahan tambahan

terlarang.

Pemerintah adalah pihak yang secara resmi mempunyai

kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap

pangan. Kewenangan ini berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 942 Tahun 2003 tentang Persyaratan Higiene Sanitasi Pangan

Jajanan pada pasal 15 tertulis pembinaan dan pengawasan pangan

jajanan dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pada pasal

17 tertulis dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota mengikut sertakan instansi terkait, pihak

pengusaha, organisasi, profesi, asosiasi, paguyuban dan atau lembaga

swadaya masyarakat (Mujianto dkk, 2005).

119

Kurang terkontrolnya pembinaan dan pengawasan oleh

pemerintah mungkin terjadi karena terlalu banyak industri rumah

tangga maka menyebabkan kurang terjangkau oleh Badan Pengawas

Obat dan Makanan untuk melakukan pembinaan keseluruh industri

rumah tangga. Untuk melakukan inspeksi mendadak dipasar-pasar

khususnya pada pangan jajanan juga terlalu berat, menginggat berbagai

macam jenis pangan yang dijajakan dari berbagai industri rumah

tangga meskipun Direktorat Survailens Penyuluhan Keamanan Pangan

(SPKP) telah rnelakukan usaha membentuk jaringan di 400 kabupaten

kota seluruh Indonesia dalam rangka pembinaan industri skala rumah

tangga (Aminah dan Hidayah, 2012).

Adapun dalam penelitian ini juga diketahui bahwa sebesar 79%

pedagang pangan jajanan menyatakan bersedia ikut serta dalam acara

penyuluhan dan kursus mengenai keamanan pangan jajanan apabila

kelak diadakan oleh pemerintah dan LSM, dengan persyaratan tidak

mengambil waktu berdagang mereka dan lokasi yang terjangkau. Pada

dasarnya para pedagang pangan jajanan mempunyai keinginan untuk

melakukan praktek pengolahan pangan yang baik hanya saja mereka

tidak memiliki sumber daya yang sesuai untuk melaksanakan

keinginannya.

Pembinaan dan pengawasan dapat dilakukan dengan

menyediakan Peralatan Uji Cepat (Rapid Test Kit) yang dapat

digunakan semua pihak untuk mengetahui kandungan bahan kimia

120

berbahaya pada pangan, melaksanakan pengawasan BTP dan bahan

kimia berbahaya yang disalahgunakan sebagai BTP, pembinaan

penyedia PJAS tentang Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) serta

praktek penggunaan BTP (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM,

2009).

6.3.8 Pembinaan dan Pengawasan Sekolah

Pembinaan dan pengawasan pihak sekolah terhadap pangan

jajanan yang dijual di sekitar dapat membantu menjaga siswa terhindar

dari bahaya pangan yang tidak aman. Berdasarkan hasil analisis

univariat pada tabel 5.9 dari 30 responden diketahui bahwa 80% dari

pedagang pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda

menyatakan tidak pernah ada pembinaan dan pengawasan dari pihak

sekolah terhadap pangan jajanan yang dijual. Namun pada di antara

mereka yang menyatakan pernah ada pengawasan dari sekolah

sedangkan pedagang lainnya di lokasi yang sama menyatakan tidak

pernah ada pengawasan dari pihak sekolah, perbedaan tersebut dapat

dimungkin karena tidak meratanya pengawasan yang dilakukan oleh

pihak sekolah.

Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai

hubungan pembinaan dan pengawasan sekolah dengan penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.17 diperoleh pValue = 0,645

yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara

121

pembinaan dan pengawasan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan

Rhodamin B.

Selain itu 70% pedagang pangan jajanan juga menyatakan

bahwa pihak sekolah tidak pernah melakukan pendataan terhadap

meraka yang berjualan di lingkungan sekitar sekolah padahal jika

pihak sekolah melakukan pendataan dapat lebih memudahkan dalam

pengawasan dan pembinaan pedagang pangan jajanan sehingga

pencegahan kejadian kesakitan akibat pangan jajanan yang tidak aman

dapat terlaksana.

Pembinaan dan pengawasan memiliki peranan yang cukup

penting dalam mengendalikan peredaran pangan jajanan yang tidak

aman sehingga diharapkan pihak sekolah dapat menetapkan kebijakan

dan peraturan mengenai keamanan PJAS di lingkungan sekolah,

menyediakan sarana dan prasarana pendukung keamanan pangan di

sekolah yang memadai, melakukan pengawasan terhadap penyediaan

PJAS baik di kantin sekolah maupun di luar sekolah dengan

memperhatikan jenis pangan yang dijual serta kebersihan tempat

penyedia PJAS dan penjaja PJAS serta menyediakan alat Uji Cepat

(Rapid Test Kit) untuk pengujian sederhana (BPOM RI & 30 Balai

Besar/Balai POM, 2009).

122

BAB VII

SIMPULAN dan SARAN

7.1 Simpulan

1. Pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di sekitar SDN

Sekelurahan Pondok Benda yang menggunakan Eritrosin sebesar 13,3%

(Minuman berwarna merah) dan yang menggunakan Rhodamin B sebesar

13,3% (Sosis, Kerupuk Gulali dan Es Mambo).

2. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan

Pondok Benda memiliki pengetahuan umum tentang pewarna dalam

kategori sedang sebesar 46,7% mungkin dikarenakan pedagang

sebelumnya pernah mendapatkan informasi pewarna pangan.

3. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan

Pondok Benda memiliki sikap dalam kategori baik terhadap penggunaan

pewarna sebesar 56,7% mungkin dikarenakan pengetahuan umum

pedagang tentang pewarna sudah dalam kategori sedang sehingga

menghasilkan sikap yang positif.

4. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan

Pondok Benda yang tidak memiliki keterampilan membuat sendiri pangan

jajanan yang dijualnya sebesar 76,7% mungkin dikarenakan banyak yang

menjual pangan jajanan yang siap santap atau penjaja pangan jajanan.

5. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan

Pondok Benda yang menyatakan mudah untuk mengakses pewarna

sintetik sebesar 93,3% mungkin dikarenakan ketersediaannya yang selalu

123

konsisten, harganya yang terjangkau dan lokasi pembelian yang berjarak

dekat.

6. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan

Pondok Benda yang menyatakan pihak sekolah tidak menerapkan

peraturan mengenai keamanan pangan sebesar 76,7% mungkin

dikarenakan pedagang pangan jajanan tidak masuk dalam wilayah

sekolah.

7. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan

Pondok Benda yang menyatakan tidak ada pengaruh dari pedagang lain

mengenai penggunaan bahan-bahan dalam membuat pangan jajanan

sebesar 80% mungkin dikarenakan pengaruh lebih besar umumnya

berasal dari pedagang yang menjual pewarna.

8. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan

Pondok Benda yang menyatakan pernah ada pembinaan dan pengawasan

dari petugas kesehatan sebesar 53,3% dikarenakan kegiatan tersebut

merupakan kewajiban pemerintah untuk melindungi masyarakat.

9. Pedagang pangan jajanan anak sekolah di sekitar SDN Sekelurahan

Pondok Benda yang menyatakan tidak pernah ada pembinaan dan

pengawasan dari pihak sekolah sebesar 80% mungkin dikarenakan

kegiatan tersebut merupakan kewajiban sehingga pihak sekolah tidak

perlu melakukannya.

10. Tidak ada hubungan antara pengetahuan pedagang pangan jajanan anak

sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin

124

dikarenakan pengetahuan yang dimiliki pedagang hanya pada tingkatan

“Tahu” namun tidak memahaminya sehingga prakteknya berlawanan

dengan pengetahuannya.

11. Tidak ada hubungan antara sikap pedagang jajanan anak sekolah dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin dikarenakan sikap yang

dimiliki pedagang hanya pada “Afektif” yaitu secara emosional

mengetahui pewarna bukan untuk pangan tidak baik namun tidak diikuti

dengan “Konatif” yaitu kecenderungan bertindak sehingga prakteknya

berlawanan dengan sikapnya.

12. Tidak ada hubungan antara keterampilan pedagang pangan jajanan anak

sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin

dikarenakan banyak pedagang yang menjual pangan jajanan siap santap.

13. Tidak ada hubungan antara aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak

sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin

dikarenakan hampir semua pedagang menyatakan mudah dalam

mengakses pewarna sehingga data menjadi homogen dan tidak dapat

dilihat perbedaan yang signifikan.

14. Tidak ada hubungan antara peraturan sekolah dengan penggunaan

Eritrosin dan Rhodamin B mungkin dikarenakan tidak adanya atau tidak

meratanya penyebaran informasi mengenai peraturan keamanan PJAS.

15. Tidak ada hubungan antara pengaruh sesama pedagang pangan jajanan

anak sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin

dikarenakan pengaruh terbesar ada pada pedagang yang menjual pewarna.

125

16. Tidak ada hubungan antara pembinaan dan pengawasan petugas

kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin

dikarenakan tidak meratanya pelaksanaan kegiatan tersebut.

17. Tidak ada hubungan antara pembinaan dan pengawasan sekolah dengan

penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B mungkin dikarenakan umumnya

tidak ada sekolah yang melaksanaan kegiatan tersebut.

7.2 Saran

7.2.1 Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

1. Meningkatkan program keamanan PJAS melalui kerjasama secara

terpadu dan melibatkan lintas sektor (Kemenkes, BPOM).

2. Menyediakan Peralatan Uji Cepat (Rapid Test Kit) yang dapat

digunakan semua pihak untuk mengetahui kandungan bahan kimia

berbahaya pada pangan sehingga pengujian dapat dilakukan

dengan efisien dan efektif karena dilaksanaan langsung di lokasi.

3. Tetap melaksanakan pengawasan keamanan pangan terhadap BTP

dan bahan kimia berbahaya yang disalahgunakan sebagai BTP

karena mudah didapat terutama di pasar dan warung kelontong.

4. Meningkatkan edukasi tentang gizi dan keamanan pangan dengan

Training of Trainer (TOT) kepada guru UKS agar dapat

memberikan pembinaan mengenai keamanan pangan terhadap para

siswa, orangtua dan penyedia PJAS (pengelola kantin, penjaja

PJAS, IRTP produsen PJAS) di lingkungan sekolah.

126

5. Melakukan pembinaan penyedia PJAS tentang Cara Produksi

Pangan yang Baik (CPPB) serta praktek penggunaan BTP secara

baik dan benar.

7.2.2 Sekolah

1. Menetapkan kebijakan dan peraturan mengenai keamanan PJAS di

lingkungan sekolah serta menyediakan sarana dan prasarana

pendukung keamanan pangan di sekolah yang memadai.

2. Melakukan pengawasan PJAS di kantin sekolah maupun di luar

sekolah terhadap jenis PJAS yang dijual, kebersihan tempat

penyedia PJAS serta penjajanya.

3. Memberikan edukasi bagi pengelola kantin dan penjaja PJAS

mengenai keamanan pangan.

4. Memberikan pengertian dan pengetahuan kepada siswa mengenai

cara memilih pangan jajanan yang baik serta dampak negatif

apabila jajan di sembarang tempat.

7.2.3 Pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

Pedagang PJAS hanya menggunakan Bahan Tambahan

Pangan (BTP) yang mengandung label “BTP” serta tidak boleh

menggunakan bahan kimia berbahaya yang dilarang penggunaannya

pada pangan seperti Rhodamin B, Methanyl Yellow, Formalin dan

Boraks.

127

DAFTAR PUSTAKA

Aminah dan Hidayah. 2012. Pengetahuan Keamanan Pangan Penjual Pangan

Jajanan Di Lingkungan Sekolah Sekelurahan Wonodri Kecamatan

Semarang Selatan Kota Semarang. Jurnal Litbang Universitas

Muhammadiyah Semarang. Hal 18-25.

Ardiarini dan Gunanti. 2004. Kajian Keamanan Pangan Ditinjau Dari Kandungan

Pewarna Sintetik Dan Pemanis Buatan Dalam Minuman Jajanan (Studi

pada SDN Dukuh Menanggal 111425 Gayungan Surabaya). Buletin

Penelitian Sistem Kesehatan (Vol.7 No.1, Juni), hal 65-75.

Arisman. 2008. Buku Ajar Ilmu Gizi: Keracunan Pangan. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Hal 66-67.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia & 30 Balai Besar / Balai

POM. 2009. Food Watch: Sistem Keamanan Pangan Terpadu Pangan

Jajanan Anak Sekolah (Vol.1). Direktorat Surveilan Dan Penyuluhan

Keamanan Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan Dan

Bahan Berbahaya.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2009.

Prosiding Lokakarya jejaring Intelijen Pangan (JIP) – Program Nasional

Peningkatan Keamanan Pangan jajanan. Direktorat Surveilan Dan

Penyuluhan Keamanan Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan

Pangan Dan Bahan Berbahaya.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2012a. Aksi

Nasional Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah Yang Aman,

Bermutu dan Bergizi: Laporan Kemajuan Semester I Tahun 2012.

Direktorat Surveilan Dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Deputi Bidang

Pengawasan Keamanan Pangan Dan Bahan Berbahaya.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2012b. Peran

Komunitas Sekolah Untuk Penjaminan Keamanan Pangan. Direktorat

Surveilan Dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Deputi Bidang Pengawasan

Keamanan Pangan Dan Bahan Berbahaya.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2011. Laporan

Tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2012. Laporan

Tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2013. Laporan

Tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.

128

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan. 2012.

Rencana Kerja Pambangunan Daerah Tahun 2013. Diakses Melalui

http://www.tangerangselatankota.go.id/ Pada 6 Januari 2015 Pukul 20.00

WIB

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan. 2011.

Rencana Strategis Tangerang Selatan Tahun 2011-2016. Diakses Melalui

http://www.tangerangselatankota.go.id/ Pada 6 Januari 2015 Pukul 20.00

WIB

Cahanar dan Suhanda. 2006. Makan Sehat Hidup Sehat. Jakarta: Penerbit Buku

Gramedia. Hal 185.

Damayanthi dkk. 2013. Pendidikan Gizi Informal Kepada Penjaja Pangan Untuk

Peningkatan Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah Dasar. Penelitian

Gizi dan Pangan (Vo. 36, No. 1, Juni), hal 20-30.

deMan, John M. 1997. Kimia Pangan. Bandung: Penerbit ITB. Hal 253.

Djarismawati dkk. 2004. Pengetahuan dan Perilaku Pedagang Cabe Merah Giling

Dalam Penggunaan Rhodamin B Di Pasar Tradisional Di DKI Jakarta.

Jurnal Ekologi Kesehatan (Vol. 3, No. 1, April), hal 7-12.

Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2012. Cerdas Dalam Memilih Pangan

Jajanan. Diakses Melalui http://dinkes.tangerangselatankota.go.id/ Pada 23

Desember 2014 Pukul 19.07 WIB

Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2015. Data Pangan Jajanan Tahun

2011-2014.

Dinas Pendidikan Kota Tangerang Selatan. 2013. SD Negeri dan Swasta. Diakses

melalui http://dindik.tangerangselatankota.go.id/ Pada 20 Desember 2014

Pukul 10.54 WIB

European Commission. 2010. Opinion On CI 45430 (Erythrosine). Health &

Consumers. Directorate C: Public Health and Risk Assessment. Unit C7 -

Risk Assessment. Scientific Committee on Consumer Safety (SCCS)

mengadopsi dari pertemuan pleno ke-7 pada 22 Juni 2010.

European Food International Council (EUFIC). 2005. The Determinants of Food

Choice. Diakses melalui http://www.eufic.org/article/en/expid/review-

food-choice/ Pada 11 Oktober 2015 Pukul 11.15 WIB

Fadhli, Aulia. 2010. Buku Pintar Kesehatan Anak. Yogyakarta: Penerbit Pustaka

Anggrek. Hal 39-40.

Fibrianto, Dian Nur. 2008. Panduan Kimia Praktis SMP. Jogyakarta: Pustaka

Widyatama. Hal 47.

129

Food and Agriculture Organization (FAO). 1993. Eritrosin. Dipersiapkan pada

Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) Ke-41.

Diterbitkan dalam Family Nurse Practitioner (FNP).

Food and Drug Administration (FDA). 2011. Certified Color Additives in Food

and Possible Association with Attention Deficit Hyperactivity Disorder in

Children. Dipersiapkan untuk pertemuan FDA/CFSAN Food Advisory

Committee pada 30-31 Maret 2011.

Gichara, Jenny. 2008. Mengatasi Perilaku Buruk Anak. Malang: Kawan Pustaka.

Hal 28.

Green, Lawrence dkk. 1991. Health Promotion Planning: An Educational and

Environment Approach. America: Mayfield Publishing Company. Hal 28-

30.

Green, Lawrence dkk. 2005. Health Program Planning: An Educational and

Ecological Approach. America: McGraw-Hill. Hal 158-159.

Hamid, Achir Yani. 2008. Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa.

Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC. Hal 3.

Hanafi dan Zulkarnain. 2009. Penuntun Praktikum Kimia Pangan. Departemen

Perindustrian Republik Indonesia. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri.

Bogor: Akademi Kimia Analisis. Hal 26-27 dan 50-51.

Hastono, Sutanto Priyo. 2006. Analisis Data. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal

60 dan 62.

Hastono dan Sabri. 2010. Statistik Kesehatan. Jakarta Utara: Rajagrafindo

Persada. Hal 147.

________. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian

Bogor. 2005. Manfaat Dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor. Hal

5-6, 32, 40, 42-44.

Homer dan Kahle. 1988. A Structural Equation Test of the Value-Attitude-

Behavior Hierarchy. Journal of Personality and Social Psychology (Vol.

54, No. 4), Hal 638-646.

Info DATIN. 2015. Situasi Pangan Jajanan Anak Sekolah. Pusat Data dan

Informasi. Kementerian Kesehatan RI. ISSN 2442-7659

Jain, Vishal. 2014. 3D Model of Attitude. International Journal of Advanced

Research in Management and Social Sciences (Vol. 3, No. 3, Maret), Hal

1-12.

Karimah, Fitrah dkk. 2014. Analisis Zat Pewarna Sintetik Pada Pangan Jajanan Di

SD Kompleks Lariangbangi Makassar. Repository Universitas

Hasanuddin.

130

Karunia, Fanisa Bustani. 2013. Kajian Penggunaan Zat Adiktif Pangan (Pemanis

dan Pewarna) Pada Kudapan Bahan Pangan Lokal Di Pasar Kota

Semarang. Food Science and Culinary Education Journal (Vol. 2, No. 2,

November), Hal 72-78.

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Modul Pelatihan Fasilitator Peningkatan

Higiene Sanitasi Pangan Di Sekolah. Direktorat Bina Gizi. Direktorat

Jenderal Bina Gizi Dan Kesehatan Ibu Dan Anak.

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Keamanan Pangan Di Sekolah Dasar.

Direktorat Bina Gizi. Direktorat Jenderal Bina Gizi Dan Kesehatan Ibu

Dan Anak.

Keraf dan Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Penerbit Kanisuis. Hal 33-

36.

Khalfani. 2014. Mega Bank Soal SMP Kelas 1, 2 dan 3. Jakarta Selatan: Kawah

Media. Hal 454.

Khoiri, Imam. 2007. Intisari IPA Kimia SMP. Jakarta: Kawan Pustaka. Hal 64.

Kristianto dkk. 2009. Faktor Determinan Pemilihan Pangan Jajanan pada Siswa

Sekolah Dasar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (Vol. 7, No. 11,

Juni), hal 489-494.

Lemeshow dkk. 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan (Edisi Bahasa

Indonesia). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 54.

Lusiana, Novita; Rika Andriyani & Miratu Megasari. 2015. Buku Ajar

Metodologi Penelitian Kebidanan. Yogyakarta: Deepublish. Hal 42.

Mardiah dkk. 2006. Pangan Antikanker. Tangerang: PT. Kawan Pustaka. Hal 4, 8-

10, 18, 21-22.

Maulana, Heri. 2007. Promosi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC. Hal 196-199.

Mujianto dkk. 2005. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Boraks

Pada Bakso Di Kecamatan Pondok Gede-Bekasi. Buletin Penelitian

Kesehatan (Vol. 33, No. 4), Hal 152-161.

Nasir, Muhammad. 2010. Rahasia Kecerdasan Anak: Memaksimalkan

Perkembangan Otak. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hal 172.

Nisma dan Setyawati. 2014. Analisis Zat Pewarna Merah Pada Pangan Jajanan

Anak-Anak Yang Dijual Di Sekolah Dasar Di Wilayah Kotamadya Jakarta

Timur. Farmasains (Vol. 2, No. 3, April), hal 143-149.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010a. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka

Cipta. Hal 37-38.

131

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010b. Promosi Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Hal

27-29 dan 35.

Novriana dkk. 2013. Prevalensi Gangguan Pemusatan perhatian dan

Hiperaktifvitas Pada Siswa dan Siswi Sekolah Dasar Negeri Kecamatan

Padang Timur. Jurnal Kesehatan Andalas (Vol. 3, No.2), hal 141-146.

Nuraini, Henny. 2007. Memilih & Membuat Jajanan Anak Yang Sehat & Halal.

Jakarta: Qultum Media. Hal 42-43 dan 45.

Nurlaela, Euis. 2011. Keamanan Pangan dan Perilaku pedagang Pangan Di

Instalasi Gizi Rumah Sakit. Media Gizi Masyarakat Indonesia (Vol.1,

No.1, Agustus), hal 1-7.

Nurmaini. 2001. Pencemaran Pangan Secara Kimia dan Biologi. Program Studi

Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas

Sumatera Utara. USU Digital Library.

Pearce dan Robinson. 2008. Edisi Bahasa Indonesia dari Strategic Management:

Formulation, Implementation and Control 10th

Edition. Jakarta: Penerbit

Salemba Empat. Hal 482.

PerkinElmer Inc. 2015. Lambda 25 UV/Vis Systems. Diakses Melalui

http://www.perkinelmer.com/catalog/family/id/LAMBDA+25+UV+Vis+S

ystems Pada 13 Oktober 2015 Pukul 10.10 WIB

Pertiwi, dkk. 2014. Analisis Kandungan Zat Pewarna Sintetik Rhodamin B Dan

Methanyl Yellow Pada Jajanan Anak Di Sdn Kompleks Mangkura Kota

Makassar. Junal Universitas Hasanuddin Makassar.

Praja, Deny Indra. 2015. Zat Aditif Pangan: Manfaat dan Bahayanya. Yogyakarta:

Penerbit Garudhawaca. Hal 35-38 dan 46-47.

Pujiasuti, Zeta Rina. 2002. Tesis: Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan

Pemakaian Bahan Tambahan Pangan (BTP) Pada Produk Kerupuk Di

Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Program Studi Magister Ilmu

Kesehatan Masyarakat, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponogoro

Semarang.

Purnawijayanti, Hiasinta. 2001. Sanitasi Higiene Dan Keselamatan Kerja Dalam

Pengolahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius. Hal 51-51, 58-59.

Rahayu dkk. 2012. Makalah: Keamanan Pangan Dalam Rangka Peningkatan Daya

Saing Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Untuk Penguatan Ekonomi

Nasional. Disampaikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 20-21

November.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.

Lembaran Negara RI Tahun 2012, No. 227. Sekretariat Negara. Jakarta.

132

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga

Kesehatan. Lembaran Negara RI Tahun 2012, No. 227. Sekretariat

Negara. Jakarta.

Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun

2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan. Lembaran Negara RI

Tahun 2004, No. 107. Sekretariat Negara. Jakarta.

Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33

Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan. Berita Negara RI Tahun

2012, No. 157. Jakarta.

Republik Indonesia. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum

Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pewarna. Berita Negara RI Tahun

2013, No. 801. Jakarta.

Republik Indonesia. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat Dan

Makanan Nomor 386 Tahun 1990 tentang zat warna tertentu yang

dinyatakan sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan dan

kosmetika. Berita Negara RI. Jakarta.

Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

942 Tahun 2003 Tentang Pedoman Persyaratan Higiene Sanitasi Pangan

Jajanan. Jakarta.

Republik Indonesia. Riset Dasar Kesehatan 2013. Kementerian Kesehatan RI.

Jakarta.

Sari, Reni Wulan. 2008. Dangerous Junk Food. Yogyakarta: O2. Hal 64.

Sartono. 2014. Rangkuman Ilmu Alam Superlengkap. Jakarta Selatan: Panda

Media. Hal 218.

Sarwono, Sarlito. 2009. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajagrafindo

Persada. Hal 86 dan 201.

Semiun, Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal

157.

Sugiyatmi, Sri. 2006. Analisis Faktor-Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik

Boraks dan Pewarna Pada Pangan Jajanan Tradisional Yang Dijual Di

Pasar-Pasar Kota Semarang. Tesis. Program Pasca Sarjana, Magister

Kesehatan Lingkungan, Universitas Diponogoro.

Sumarlin, La Ode. 2010. Identifikasi Pewarna Sintetik Pada Produk Pangan Yang

Beredar di Jakarta dan Ciputat. Jurnal Universitas Islam Negeri Jakarta

Syarif Hidayatullah Jakarta. Hal 274-283.

133

Sunarya dan Setiabudi. 2007. Mudah dan Aktif Belajar Kimia. Bandung: PT. Setia

Purna Inves. Hal 196.

Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC. Hal 25.

Suryatin, Budi. 2008. Kimia VIII Untuk Sekolah Menengah Pertama dan MTs

Kelas VIII. Jakarta: Grasindo (Gramedia Widiasarana Indonesia). Hal 58-

59 dan 61.

Sutomo, Budi. Sukses Wirausaha Jajan Pasar Favorit. Jakarta: Karya Pustaka. Hal

12.

Sutrisno. 2006. Pewarna Pangan. Program Studi Teknik Pangan, Fakultas Ilmu

Keperawatan dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Semarang. Diakses

melalui http://tekpan.unimus.ac.id/wp-

content/uploads/2013/07/PEWARNA-PANGAN.pdf Pada 15 Oktober

2015 Pukul 15.17 WIB

Thompson, June. 2002. Toddlercare. United Kingdom: HarperCollins Publisher.

Hal 88-89.

United Kingdom Food Guide. 2013. Eritrosin. Diakses Melalui

http://www.ukfoodguide.net/e127.htm Pada 4 Mei 2015 Pukul 20.13 WIB

Utami, Wahyu dkk. 2009. Analisis Rhodamin B Dalam Jajanan Pasar Dengan

Metode Kromatografi Lapis Tipis. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi

(Vol.10, No.2), hal 148-155.

Yasmin, Ghaida dkk. 2010. Perilaku Penjaja Pangan jajanan Terkait Gizi Dan

Keamanan Pangan Di Jakarta dan Sukabumi. Jurnal Gizi dan Pangan

(Vol.5 No.3), hal 148-157.

Wariyah dan Dewi. 2013. Penggunaan Pengawet dan Pemanis Buatan Pada

Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di Wilayah Kabupaten Kulon

Progo-DIY. Agritech (Vol. 33, No. 2, Mei), Hal 146-153.

Wasis dan Irianto. 2008. Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Sekawan Cipta Karya.

Hal 117.

Wenthe, Phyllis. 2007. The Predisposing, Reinforcing and Enabling Factors

Associated With Physical Activity And Sedentary Behavior In Males And

Females During Early Adolescence. United States: ProQuest LLC. Hal 50.

Wijaya, Rika. 2009. Skripsi: Penerapan Peraturan dan Praktek Keamanan Pangan

Jajanan Anak Sekolah Di Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor.

Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institusi

Pertanian Bogor.

Winarno, F.D. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia. Hal 184 dan 187.

Lampiran 1

PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya, Anantika Anissa mahasiswi Peminatan Kesehatan Lingkungan

Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta meminta kesediaan anda untuk menjadi responden dalam

penelitian saya yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Pada Pangan Jajanan Anak Sekolah

Yang Dijual Oleh Pedagang Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun

2015”. Informasi terkait data pribadi yang anda berikan dalam kuesioner ini akan

dijamin kerahasiaannya oleh peneliti. Oleh karena itu agar responden yang terpilih

dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner ini dengan jujur. Atas

perhatian dan partisipasinya saya ucapkan terima kasih.

Responden Peneliti

Anantika Anissa

Identitas Responden

A1 Nama Responden

A2 Pendidikan Terakhir

1. Tidak tamat SD

2. Tamat SD

3. Tamat SMP

4. Tamat SMA

[ ]

A3 Lama Usaha

Pengetahuan Mengenai Pewarna Sintetik

B1 Apakah tujuan pemberian pewarna pada pembuatan pangan?

1. Agar pangan menjadi lebih sedap

2. Agar pangan menjadi lebih awet

3. Agar pangan menjadi lebih menarik

[ ]

B2 Dalam pembuatan pangan, bolehkah menggunakan sembarang

pewarna?

1. Tidak boleh

2. Boleh asal sedikit

3. Boleh asal bukan yang dilarang

[ ]

B3 Manakah diantara pewarna-pewarna ini yang paling baik dalam

pembuatan pangan?

1. Pewarna alam

2. Pewarna buatan

3. Pewarna kain

[ ]

B4 Adakah pewarna yang membahayakan kesehatan?

1. Tidak ada pewarna yang membahayakan kesehatan

2. Pewarna-pewarna tertentu membahayakan kesehatan

3. Semua pewarna membahayakan kesehatan

[ ]

B5 Pewarna dalam pembuatan pangan termasuk golongan bahan

apa?

1. Bahan pokok

2. Bahan tambahan

3. Bahan yang dilarang

[ ]

B6 Bolehkah dalam pembuatan pangan ditambahkan pewarna?

1. Tidak boleh

2. Boleh asal sedikit

3. Boleh asal bukan yang dilarang dan tidak berlebihan

[ ]

B7 Apakah jenis pewarna pangan yang diperbolehkan digunakan di

Indonesia?

1. Pewarna alami

2. Pewarna buatan

3. Pewarna buatan dan alami

[ ]

B8 Terbuat dari apakah pewarna buatan itu?

1. Tumbuhan

2. Bahan kimia

3. Campuran tumbuhan dan bahan kimia

[ ]

B9 Bolehkah pewarna buatan ditambahkan dalam pembuatan

pangan?

1. Tidak boleh

2. Boleh asal sedikit

3. Boleh asal bukan yang dilarang dan tidak berlebihan

[ ]

B10 Bagaimana pengaruh pewarna buatan bagi kesehatan?

1. Baik bagi kesehatan

2. Tidak ada pengaruhnya bagi kesehatan

3. Buruk bagi kesehatan dalam jumlah yang berlebih

[ ]

Sikap Terhadap Risiko Penggunaan Pewarna Sintetik Pada Pangan Jajanan

Pilihlah salah satu jawaban dari pernyataan-pernyataan dibawah ini

S = Setuju

TS = Tidak Setuju

No. Pertanyaan S TS

C1 Penggunaan pewarna terlarang pada pangan

berbahaya bagi kesehatan.

C2 Penggunaan pewarna yang berlebihan boleh

digunakan dalam pembuatan pangan

meskipun berpengaruh buruk pada kesehatan

pembeli.

C3 Dalam pembuatan pangan boleh

menggunakan sembarang pewarna.

C4 Pewarna kain berpengaruh buruk pada

kesehatan jika digunakan untuk pangan.

C5 Dalam pembuatan pangan boleh

menggunakan pewarna yang murah harganya

karena dapat menghemat biaya belanja

walaupun berbahaya bagi tubuh.

C6 Dalam pembuatan pangan boleh

menggunakan pewarna apa saja asalkan bisa

membantu meningkatkan keuntungan

berjualan.

C7 Pewarna alami lebih baik digunakan pada

pangan walaupun harga mahal.

C8 Pewarna yang berlebihan sebaiknya dihindari

dalam pembuatan pangan sebab dapat

berdampak buruk bagi kesehatan.

C9 Penggunaan pewarna pada pangan dilakukan

supaya pembeli lebih tertarik untuk membeli

jadi wajar kalo pakai pewarna berlebihan.

C10 Dampak kesehatan akibat pewarna pada

pangan yang telah dibeli menjadi urusan

pembeli.

[ ]

[ ]

[ ]

[ ]

[ ]

[ ]

[ ]

[ ]

[ ]

[ ]

Keterampilan

D1 Apakah anda membuat sendiri pangan jajanan yang dijual?

a. Ya

[ ]

b. Tidak

Aksesibilitas

E1 Dimana anda memperoleh pewarna tersebut? [ ]

E2 Untuk mendapatkan pewarna mudah atau sulit? [ ]

E2 Harga pewarna yang gunakan harganya murah atau mahal? [ ]

Peraturan

F1 Apakah terdapat peraturan dari pihak sekolah terkait dengan

keamanan pangan?

a. Ada

b. Tidak Ada

[ ]

Pengaruh Sesama Pedagang

G1 Apakah ada sesama pedagang pangan jajanan pernah memberi

saran atau masukan atau pengaruh tentang penggunaan bahan

tertentu?

a. Ada

b. Tidak Ada

[ ]

Pembinaan dan Pengawasan

H1 Apakah pangan jajanan yang dibuat pernah diperiksa oleh

petugas Dinas Kesehatan?

a. Pernah

b. Tidak Pernah

[ ]

H2 Bagaimana dengan pihak sekolah, apakah mereka pernah

memeriksa pangan jajanan yang dibuat?

a. Pernah

b. Tidak Pernah

[ ]

H3 1. Apakah pernah ada petugas (misalnya petugas kelurahan /

puskesmas) yang mencatat usaha pangan jajanan yang

dijual?

2. Bagaimana dengan pihak sekolah, apakah pernah ada yang

mencatat usaha pangan jajanan yang dijual?

3. Apakah pernah mendapatkan kursus atau penyuluhan

tentang pembuatan pangan jajanan? Kalau pernah berapa

kali dan siapa yang mengadakan?

4. Apabila ada kursus atau penyuluhan tentang pembuatan

pangan jajanan apakah mau mengikutinya?

[ ]

[ ]

[ ]

[ ]

Praktek Penggunaan Pewarna

I1 1. Dalam membuat pangan jajanan apakah menggunakan

pewarna?

Bila jawaban “ya”, lanjutkan ke pertanyaan nomor 2 s/d 3.

Bila jawaban “tidak”, lanjutkan ke pertanyaan nomor 4.

2. Kenapa menggunakan pewarna dalam pangan jajanan?

3. Pewarna jenis apa yang gunakan dalam pangan jajanan?

4. Bagaimana jika pangan jajanan yang anda dijual

mengandung bahan berbahaya atau kadarnya melebihi batas

maksimal yang diperbolehkan meskipun bukan anda yang

membuat sendiri pangan jajanan tersebut?

[ ]

[ ]

[ ]

[ ]

Lampiran 2

Hasil Analisis Kandungan Pewarna Sintetik

(Spektrofotometri UV-Visibel dan Serat Wol)

Responden Pangan Jajanan Praktek

1 Es Teh -

2 Es Campur -

3 Es Potong I

- Es Potong II

4 Es Mambo I Rhodamin B

5 Bakso

- Saos Bakso

6 Lenting -

7 Batagor I

- Saos Batagor

8 Minuman Merah I Eritrosin

9 Batagor II

- Saos Batagor

10 Cilung

- Saos Cilung

11 Telur Goreng I

- Saos Telur Goreng

12 Selendang Mayang -

13 Sosis Rhodamin B

14 Es Mambo II Rhodamin B

15 Telur Goreng II

- Saos Telur Goreng

16

Es Pipih I

- Es Pipih II

Es Pipih III

17 Batagor III

- Saos Batagor

18 Es Doger I -

19 Kerupuk Gulali -

Gulali Rhodamin B

20 Telur Puyuh Goreng

- Saos Telur Puyuh Goreng

21 Bakso, Mie -

Responden Pangan Jajanan Praktek

Saos Bakso, Mie

22 Ayam Tepung

- Saos Ayam Tepung

23 Siomay I

- Saos Siomay

24

Minuman Merah II Eritrosin

Minuman Oranye -

Minuman Kuning

25 Minuman Merah III Eritrosin

26 Cilok

- Saos Cilok

27 Minuman Merah IV Eritrosin

28 Es Doger II -

29 Es Dawet -

30 Siomay II

- Saos Siomay

Lampiran 3

Suasana

Penjualan PJAS

Suasana

Penjualan PJAS Suasana Penjualan

PJAS Suasana Penjualan

PJAS

Cara Kerja

Metode Kualitatif

Cara Kerja

Metode

Kualitatif

Cara Kerja

Metode Kualitatif

Cara Kerja

Metode Kualitatif

Contoh Perubahan Warna Contoh Perubahan Warna

Contoh Perubahan Warna Contoh Perubahan Warna

Spektrofotometri Lambda 25 Spectroscopy Cells

Lampiran 4

Correlations

B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9 B10 TOTB

B1 Pearson Correlation 1 .221 .533* .352 .823** .687** .469 .174 .276 .645** .740**

Sig. (2-tailed) .428 .041 .199 .000 .005 .078 .536 .320 .009 .002

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

B2 Pearson Correlation .221 1 .684** .629* .365 .033 .411 .532* .405 .361 .644**

Sig. (2-tailed) .428 .005 .012 .181 .907 .128 .041 .134 .186 .010

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

B3 Pearson Correlation .533* .684** 1 .899** .638* .378 .211 .533* .394 .642** .772**

Sig. (2-tailed) .041 .005 .000 .010 .165 .451 .041 .146 .010 .001

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

B4 Pearson Correlation .352 .629* .899** 1 .415 .185 .198 .454 .294 .555* .639*

Sig. (2-tailed) .199 .012 .000 .124 .510 .480 .089 .287 .032 .010

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

B5 Pearson Correlation .823** .365 .638* .415 1 .602* .314 .341 .326 .794** .774**

Sig. (2-tailed) .000 .181 .010 .124 .018 .255 .213 .236 .000 .001

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

B6 Pearson Correlation .687** .033 .378 .185 .602* 1 .449 .047 .597* .534* .672**

Sig. (2-tailed) .005 .907 .165 .510 .018 .093 .868 .019 .040 .006

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

B7 Pearson Correlation .469 .411 .211 .198 .314 .449 1 .331 .586* .285 .690**

Sig. (2-tailed) .078 .128 .451 .480 .255 .093 .229 .022 .303 .004

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

B8 Pearson Correlation .174 .532* .533* .454 .341 .047 .331 1 .356 .310 .576*

Sig. (2-tailed) .536 .041 .041 .089 .213 .868 .229 .192 .260 .025

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

B9 Pearson Correlation .276 .405 .394 .294 .326 .597* .586* .356 1 .332 .697**

Sig. (2-tailed) .320 .134 .146 .287 .236 .019 .022 .192 .227 .004

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

B10 Pearson Correlation .645** .361 .642** .555* .794** .534* .285 .310 .332 1 .750**

Sig. (2-tailed) .009 .186 .010 .032 .000 .040 .303 .260 .227 .001

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

TOTB Pearson Correlation .740** .644** .772** .639* .774** .672** .690** .576* .697** .750** 1

Sig. (2-tailed) .002 .010 .001 .010 .001 .006 .004 .025 .004 .001

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Correlations

C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 TOTC

C1 Pearson Correlation 1 .472 1.000** .189 .472 1.000** .472 .189 1.000** .472 .788**

Sig. (2-tailed) .075 .000 .500 .075 .000 .075 .500 .000 .075 .000

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

C2 Pearson Correlation .472 1 .472 .464 1.000** .472 1.000** .464 .472 1.000** .875**

Sig. (2-tailed) .075 .075 .081 .000 .075 .000 .081 .075 .000 .000

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

C3 Pearson Correlation 1.000** .472 1 .189 .472 1.000** .472 .189 1.000** .472 .788**

Sig. (2-tailed) .000 .075 .500 .075 .000 .075 .500 .000 .075 .000

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

C4 Pearson Correlation .189 .464 .189 1 .464 .189 .464 1.000** .189 .464 .596*

Sig. (2-tailed) .500 .081 .500 .081 .500 .081 .000 .500 .081 .019

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

C5 Pearson Correlation .472 1.000** .472 .464 1 .472 1.000** .464 .472 1.000** .875**

Sig. (2-tailed) .075 .000 .075 .081 .075 .000 .081 .075 .000 .000

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

C6 Pearson Correlation 1.000** .472 1.000** .189 .472 1 .472 .189 1.000** .472 .788**

Sig. (2-tailed) .000 .075 .000 .500 .075 .075 .500 .000 .075 .000

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

C7 Pearson Correlation .472 1.000** .472 .464 1.000** .472 1 .464 .472 1.000** .875**

Sig. (2-tailed) .075 .000 .075 .081 .000 .075 .081 .075 .000 .000

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

C8 Pearson Correlation .189 .464 .189 1.000** .464 .189 .464 1 .189 .464 .596*

Sig. (2-tailed) .500 .081 .500 .000 .081 .500 .081 .500 .081 .019

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

C9 Pearson Correlation 1.000** .472 1.000** .189 .472 1.000** .472 .189 1 .472 .788**

Sig. (2-tailed) .000 .075 .000 .500 .075 .000 .075 .500 .075 .000

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

C10 Pearson Correlation .472 1.000** .472 .464 1.000** .472 1.000** .464 .472 1 .875**

Sig. (2-tailed) .075 .000 .075 .081 .000 .075 .000 .081 .075 .000

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

TOTC

Pearson Correlation .788** .875** .788** .596* .875** .788** .875** .596* .788** .875** 1

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .019 .000 .000 .000 .019 .000 .000

N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Correlations

D1

TOTALD1

D1 Pearson Correlation 1 1.000**

Sig. (2-tailed) .000

N 15 15

TOTAL

D1

Pearson Correlation 1.000** 1

Sig. (2-tailed) .000

N 15 15

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-

tailed).

Correlations

E1

TOTAL

E1

E1 Pearson Correlation 1 1.000**

Sig. (2-tailed) .000

N 15 15

TOTAL

E1

Pearson Correlation 1.000** 1

Sig. (2-tailed) .000

N 15 15

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Correlations

H1 H2 TOTALH

H1 Pearson Correlation 1 -.200 .632*

Sig. (2-tailed) .475 .011

N 15 15 15

H2 Pearson Correlation -.200 1 .632*

Sig. (2-tailed) .475 .011

N 15 15 15

TOTALH

Pearson Correlation .632* .632* 1

Sig. (2-tailed) .011 .011

N 15 15 15

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Correlations

F1 F2 TOTALF

F1 Pearson Correlation 1 .200 .828**

Sig. (2-tailed) .474 .000

N 15 15 15

F2 Pearson Correlation .200 1 .715**

Sig. (2-tailed) .474 .003

N 15 15 15

TOTAL

F

Pearson Correlation .828** .715** 1

Sig. (2-tailed) .000 .003

N 15 15 15

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha

Based on Standardized Items N of Items

.906 .905 27

Correlations

G1 TOTALG

G1 Pearson Correlation 1 1.000**

Sig. (2-tailed) .000

N 15 15

TOTALG Pearson Correlation 1.000** 1

Sig. (2-tailed) .000

N 15 15

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Lampiran 5

Pengetahuan * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

Crosstab

praktek

Total Ya Tidak

pengetahuan1 Kurang Count 5 16 21

% within pengetahuan1 23.8% 76.2% 100.0%

Baik Count 3 6 9

% within pengetahuan1 33.3% 66.7% 100.0%

Total Count 8 22 30

% within pengetahuan1 26.7% 73.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .292a 1 .589

Continuity Correctionb .008 1 .928

Likelihood Ratio .285 1 .593

Fisher's Exact Test .666 .453

Linear-by-Linear Association .282 1 .595

N of Valid Casesb 30

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.40.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for pengetahuan1

(Kurang / Baik) .625 .113 3.461

For cohort praktek = Ya .714 .215 2.371

For cohort praktek = Tidak 1.143 .679 1.923

N of Valid Cases 30

Sikap * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

Crosstab

praktek

Total Ya Tidak

sikap1 Kurang Count 4 9 13

% within sikap1 30.8% 69.2% 100.0%

Baik Count 4 13 17

% within sikap1 23.5% 76.5% 100.0%

Total Count 8 22 30

% within sikap1 26.7% 73.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-

sided) Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .197a 1 .657

Continuity Correctionb .001 1 .978

Likelihood Ratio .196 1 .658

Fisher's Exact Test .698 .485

Linear-by-Linear Association .191 1 .662

N of Valid Casesb 30

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.47.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for sikap1 (Kurang / Baik)

1.444 .284 7.341

For cohort praktek = Ya 1.308 .401 4.268

For cohort praktek = Tidak .905 .578 1.417

N of Valid Cases 30

Keterampilan * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

keterampilan * praktek Crosstabulation

praktek

Total Ya Tidak

keterampilan Ya Count 1 6 7

Expected Count 1.9 5.1 7.0

% within keterampilan 14.3% 85.7% 100.0%

% within praktek 12.5% 27.3% 23.3%

% of Total 3.3% 20.0% 23.3%

Tidak Count 7 16 23

Expected Count 6.1 16.9 23.0

% within keterampilan 30.4% 69.6% 100.0%

% within praktek 87.5% 72.7% 76.7%

% of Total 23.3% 53.3% 76.7%

Total Count 8 22 30

Expected Count 8.0 22.0 30.0

% within keterampilan 26.7% 73.3% 100.0%

% within praktek 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 26.7% 73.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .716a 1 .398

Continuity Correctionb .128 1 .720

Likelihood Ratio .786 1 .375

Fisher's Exact Test .638 .377

Linear-by-Linear Association .692 1 .406

N of Valid Casesb 30

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.87.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for keterampilan (Ya / Tidak)

.381 .038 3.784

For cohort praktek = Ya .469 .069 3.192

For cohort praktek = Tidak 1.232 .821 1.849

N of Valid Cases 30

Aksesibilitas * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

Crosstab

praktek

Total Ya Tidak

aksesibilitas Mudah Count 8 20 28

% within aksesibilitas 28.6% 71.4% 100.0%

Sulit Count 0 2 2

% within aksesibilitas .0% 100.0% 100.0%

Total Count 8 22 30

% within aksesibilitas 26.7% 73.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-

sided) Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .779a 1 .377

Continuity Correctionb .003 1 .956

Likelihood Ratio 1.292 1 .256

Fisher's Exact Test 1.000 .531

Linear-by-Linear Association .753 1 .385

N of Valid Casesb 30

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .53.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

For cohort praktek = Tidak .714 .565 .903

N of Valid Cases 30

Peraturan * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

Crosstab

praktek

Total Ya Tidak

peraturan Tidak Ada Count 5 18 23

% within peraturan 21.7% 78.3% 100.0%

Ada Count 3 4 7

% within peraturan 42.9% 57.1% 100.0%

Total Count 8 22 30

% within peraturan 26.7% 73.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.224a 1 .269

Continuity Correctionb .382 1 .536

Likelihood Ratio 1.149 1 .284

Fisher's Exact Test .345 .261

Linear-by-Linear Association 1.183 1 .277

N of Valid Casesb 30

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.87.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for peraturan (Tidak Ada / Ada)

.370 .062 2.230

For cohort praktek = Ya .507 .160 1.609

For cohort praktek = Tidak 1.370 .696 2.695

N of Valid Cases 30

Teman * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

Crosstab

praktek

Total Ya Tidak

teman Ya Count 0 5 5

% within teman .0% 100.0% 100.0%

Tidak Count 8 17 25

% within teman 32.0% 68.0% 100.0%

Total Count 8 22 30

% within teman 26.7% 73.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 2.182a 1 .140

Continuity Correctionb .852 1 .356

Likelihood Ratio 3.451 1 .063

Fisher's Exact Test .287 .185

Linear-by-Linear Association 2.109 1 .146

N of Valid Casesb 30

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.33.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

For cohort praktek = Tidak 1.471 1.124 1.924

N of Valid Cases 30

Petugas Kesehatan * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

Crosstab

praktek

Total Ya Tidak

p.kesehatan Tidak Pernah Count 4 10 14

% within p.kesehatan 28.6% 71.4% 100.0%

Pernah Count 4 12 16

% within p.kesehatan 25.0% 75.0% 100.0%

Total Count 8 22 30

% within p.kesehatan 26.7% 73.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .049a 1 .825

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .049 1 .825

Fisher's Exact Test 1.000 .574

Linear-by-Linear Association .047 1 .828

N of Valid Casesb 30

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.73.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for p.kesehatan (Tidak

Pernah / Pernah) 1.200 .237 6.065

For cohort praktek = Ya 1.143 .349 3.741

For cohort praktek = Tidak .952 .616 1.472

N of Valid Cases 30

Sekolah * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

Crosstab

praktek

Total Ya Tidak

sekolah Tidak Pernah Count 6 18 24

% within sekolah 25.0% 75.0% 100.0%

Pernah Count 2 4 6

% within sekolah 33.3% 66.7% 100.0%

Total Count 8 22 30

% within sekolah 26.7% 73.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .170a 1 .680

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .165 1 .685

Fisher's Exact Test .645 .520

Linear-by-Linear Association .165 1 .685

N of Valid Casesb 30

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.60.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for sekolah (Tidak Pernah / Pernah)

.667 .097 4.605

For cohort praktek = Ya .750 .199 2.827

For cohort praktek = Tidak 1.125 .611 2.073

N of Valid Cases 30