LAPORAN PENELITIAN MANAJEMEN WAKTU SISWA AKSELERASI SEMESTER II SMAN 17 MAKASSAR
-
Upload
universitasnegerimakassar -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
Transcript of LAPORAN PENELITIAN MANAJEMEN WAKTU SISWA AKSELERASI SEMESTER II SMAN 17 MAKASSAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Program akselerasi adalah pemberian pelayanan
pendidikan bagi peserta didik yang mempunyai potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk dapat
menyelesaikan program regular dalam waktu yang lebih
singkat dibanding teman-temannya yang tidak mengambil
program tersebut. Artinya peserta didik kelompok ini
dapat menyelesaikan pendidikan di SD / MI dalam jangka
waktu 5 tahun, di SMP/MTs atau SMA/MA dalam jangka
waktu 2 tahun. Pada aplikasi riilnya, pelaksanaan
program akselerasi selalu dibarengkan dengan program
eskalasi atau pengayaan / pemberian waktu belajar
tambahan untuk memperluas dan memperdalam materi
pelajaran (Direktorat Pembinaan Pendidikan Luar Biasa,
Dirjen mandikdasmen, Depdiknas RI, 2007: 33). Idealnya
program akselerasi di suatu sekolah ini harus didukung
oleh beberapa faktor penting, yaitu:
1
1. Peserta didik yang mengikuti program akselerasi
merupakan peserta didik pilihan, dengan kemampuan
intelegensi di atas rata-rata.
2. Peserta didik tersebut harus mempunyai kondisi
psikologi yang mendukung, pencapaian prestasi
belajar yang tinggi, antara lain : mempunyai
motivasi yang tinggi, tidak mengalami gangguan
mental dan emosional serta serta mempunyai kemampuan
berinteraksi atau beradaptasi sosial yang bagus.
3. Guru pada program akselerasi harus mempunyai sikap
positif yang membantu penyesuaian peserta didik
terhadap pelaksanaan program akselerasi.
4. Pelaksanaan program akselerasi harus didukung oleh
sarana dan prasarana pendidikan yang memadai
(Direktorat Pembinaan Pendidikan Luar Biasa,
Dirjenmandikdasmen, Depdiknas RI, 2007: 35).
Berdasarkan pengertian di atas, tersirat dengan
jelas bahwa siswa yang mengikuti program akselerasi
mempunyai beban belajar yang jauh lebih kompleks atau
banyak dibandingkan dengan siswa yang mengikuti program
2
reguler. Disamping itu, suasana kompetitif untuk meraih
prestasi belajar dalam kelas program akselerasi
tentunya juga lebih tinggi dibandingkan dengan yang ada
di kelas regular. Beban belajar yang berlebih serta
suasana kompetitif ini merupakan pemicu timbulnya
stress belajar yang cukup potensial bagi para siswa.
Oleh karenanya, para siswa yang mengikuti program
akselerasi ini haruslah mereka yang benar-benar
mempunyai manajemen waktu dan motivasi belajar yang
tinggi, sehingga dapat mengkuti semua kegiatan belajar
mengajar pada akselerasi ini mengingat kompleksitas
pembelajaran pada kelas akselerasi.
Kesuksesan atau kegagalan seseorang dapat dikatakan
sangat bergantung pada bagaimana keunggulannya dalam
menyikapi dan mengelola waktu. Manajemen waktu sendiri
seperti yang dikemukakan oleh Weihrich dan Koontz
(2008:8) diartikan sebagai suatu proses merancang dan
memelihara suatu lingkungan dimana orang-orang yang
bekerja sama di dalam suatu kelompok dapat mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dengan seefisien mungkin.
3
Sebuah gambaran mengenai pengaturan waktu merupakan
dasar bagi seseorang khususnya siswa yang berada pada
kelas akselerasi dimana dorongan mereka untuk
menciptakan prestasi dan mempertahankannya lebih tinggi
dibandingkan siswa yang berada pada kelas regular.
Seseorang yang memiliki manajemen waktu yang baik, maka
cenderung akan lebih berfokus terhadap masalah yang
dihadapinya dan berusaha mencari berbagai cara untuk
memecahkan masalah yang dialaminya dan yakin bahwa hal-
hal yang menjadi masalah masih dapat berubah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik anak akselerasi?
2. Apakah waktu 24 jam cukup untuk siswa yang mengikuti
kelas akselerasi?
3. Apakah siswa akselesari memiliki menerapkan
manajemen waktu?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui karakteristik anak akselerasi.
4
2. Mengetahui waktu 24 jam cukup untuk siswa yang
mengikuti kelas akselerasi.
3. Mengetahui tentang siswa akselesari memiliki
menerapkan manajemen waktu.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian dapat memberikan tambahan
teori dalam Psikologi Anak Berbakat yang berkaitan
dengan manajemen waktu siswa yang berada pada program
akselerasi.
2. Manfaat Praktis
5
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi
siswa yang berada pada program akselerasi tentang
manajemen waktu.
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Anak Berbakat
Batasan anak berbakat secara umum adalah “mereka
yang karena memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul
mampu memberikan prestasi yang tinggi”. Istilah yang
sering digunakan bagi anak-anak yang memiliki
kemampuan-kemampuan yang unggul atau anak yang tingkat
kecerdasannya di atas rata-rata anak normal,
diantaranya adalah; cerdas, cemerlang, superior,
supernormal, berbakat, genius, gifted, gifted and
talented, dan super. Hallahan dan Kauffman (1982:376)
mengemukakan “Besides the word ‘gifted’ a variety of other terms have
be en used to describ individuals who are superior in some way : “talented,
creative, genius, and precocious, for example”. Precocity menunjukkan
perkembangan yang sangat cepat. Beberapa anak gifted
memperlihatkan precocity dalam area perkembangan seperti;
bahasa, musik, atau kemampuan matematika.
7
Martison (Munandar, 1982:7) mengemukakan bahwa
anak berbakat ialah mereka yang diidentifikasi oleh
orang-orang profesional memiliki kemampuan yang sangat
menonjol, sehingga memberikan prestasi yang tinggi.
Anak-anak ini membutuhkan program pendidikan yang
berdiferensiasi dan atau pelayanan di luar jangkauan
program sekolah yang biasa, agar dapat mewujudkan
sumbangannya terhadap diri sendiri maupun terhadap
masyarakat. Coleman (1985) mengemukakan secara
konvensional anak berbakat adalah mereka yang tingkat
intellegensinya jauh di atas rata-rata anggota
kelompoknya, yaitu IQ = 120 ke atas. Sedangkan Renzulli
(1979) melalui teorinya yang disebut Three Dimensional
Model atau Three-ring Conception tentang keberbakatan.
Keberbakatan mencakup tiga dimensi yang saling
berkaitan, yaitu (a) kecakapan di atas rata-rata, (b)
kreativitas, dan (c) komitmen pada tugas.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa anak berbakat itu disamping memiliki
kemampuan intelektual tinggi, juga menunjukkan
8
penonjolan kecakapan khusus yang bidangnya berbeda-beda
antara anak yang satu dengan anak lainnya. Anak ini
disebut juga “gifted and talented” yang berarti
berbakat intelektual. Di sini kita harus membedakan
antara bakat sebagai potensi bawaan dan bakat yang
telah terwujud dalam prestasi yang tinggi. Semua anak
berbakat mempunyai potensi yang ungul, tetapi tidak
semuanya telah berhasil mewujudkan potensi unggul
tersebut secara optimal.
Pengertian keberbakatan dalam pengembangannya
telah mengalami berbagai perubahan, dan kini pengertian
keberbakatan selain mencakup kemampuan intelektual
tinggi, juga menunjuk kepada kemampuan kreatif., bahkan
menurut Clark (Semiawan, 1994) kreativitas adalah
ekpresi tertinggi keberbakatan. Keberbakatan
dipengaruhi oleh berbagai unsur kebudayaan, bahkan bagi
sementara ahli sifat-sifat anak berbakat tersebut
bercirikan cultur bound (dibatasi oleh batasan
kebudayaan). Dengan demikian ada dua petunjuk kunci
9
dalam mengamati dan mengerti keberbakatan tersebut
yaitu:
1. Keberbakatan itu adalah ciri-ciri universal yang
khusus dan luar biasa yang dibawa sejak lahir maupun
yang merupakan hasil interaksi dari pengaruh
lingkungannya.
2. Keberbakatan itu ikut ditentukan oleh kebutuhan
maupun kecenderungan kebudayaan dimana seseorang
yang berbakat itu hidup. (Semiawan, 1994:40).
B. Akselerasi
Akselerasi adalah memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menjalani kurikulum yang ada dengan lebih cepat
(Heward, 1996). Terdapat beberapa jenis dari akselerasi,
yaitu: (1) Memasuki sekolah formal pada usia dini; (2)
Loncat kelas; (3) Mengikuti bidang studi tertentu di
kelas yang lebih tinggi; (4) Kurikulum yang dipadatkan
atau dipersingkat; (5) Memasuki sekolah menengah atas dan
universitas secara bersamaan; (6) Memasuki universitas
lebih awal; (7) Bagaimanapun akselerasi ini dilakukan,
10
pada akhirnya peserta didik tetap menyelesaikan
pendidikan sekolah, namun dalam waktu yang lebih singkat.
Silverman (Heward, 1996) akselerasi adalah suatu
respon dalam menjawab kebutuhan belajar dengan lebih
cepat yang dimiliki oleh anak-anak berbakat. Penelitian
menunjukkan bahwa ketika akselerasi dijalankan dengan
tepat, maka ketertarikan siswa terhadap sekolah akan
meningkat, mencapai level prestasi akademis yang lebih
tinggi, memiliki perhatian terhadap prestasi, dan
menyelesaikan level pendidikan yang lebih tinggi dalam
waktu singkat, yang akan meningkatkan waktu untuk
berkarir di akhir sekolah.
Akselerasi dalah suatu sistem menyeluruh yang meliputi
berbagai cara yang cerdik, muslihat dan teknik untuk
mempercepat dan meningkatkan perancangan dan proses
belajar dan juga merupakan proses pembelajaran yang
alamiah, yang didasarkan pada cara orang belajar secara
alamiah. Akselerasi adalah sebuah sistem yang menyeluruh
untuk mempercepat dan meningkatkan rancangan dan proses
belajar. Berdasarkan pada penemuan/penelitian tentang
otak, yang membuktikan dan meningkatkan kembali
11
efektifitas belajar yang menghemat waktu dan biaya dalam
proses belajar. Jadi akselerasi hanya mempunyai satu
tujuan yakni mendapatkan hasil. Accelerated learning harus
dibedakan dengan pendekatan-pendekatan “kreatif” berisi
kesenangan-kesenangan dan permainan yang penuh muslihat
yang hanya menarik perhatian namun sering sia-sia.
Widyastono (Tarmidi & Hadiati, 2005) menyatakan ada
delapan hal yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan
program akselerasi, yaitu:
1. Masukan (input, intake) siswa diseleksi secara ketat
dengan menggunakan kriteria tertentu dan prosedur yang
dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria yang digunakan
adalah: (1) prestasi belajar, dengan indikator angka
raport, Nilai Ebtanas Murni (NEM), dan/atau hasil tes
prestasi akademik, berada 2 standar deviasi (SD) di
atas Mean populasi siswa; (2) skor psikotes, yang
meliputi: intelligency quotient (IQ) minimal 125,
kreativitas, tanggung jawab terhadap tugas (task
commitment), dan emotional quotient (EQ) berada 2 SD di
atas Mean populasi siswa; (3) kesehatan dan
kesemaptaan jasmani, jika diperlukan.
12
2. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum nasional
standar, namun dilakukan improvisasi alokasi waktunya
sesuai dengan tuntutan belajar peserta didik yang
memiliki kecepatan belajar serta motivasi belajar
lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan belajar dan
motivasi belajar siswa seusianya. Dalam hal ini,
misalnya SMA, yang biasanya memakan waktu selama 3
tahun, terdiri atas 6 semester, setiap tahun 2
semester; dipercepat menjadi selama 2 tahun, setiap
tahun terdiri atas 3 semester.
3. Tenaga kependidikan. Karena siswanya memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa, maka tenaga
kependidikan yang menanganinya terdiri atas tenaga
kependidikan yang unggul, baik dari segi penguasaan
materi pelajaran, penguasaan metode mengajar, maupun
komitmen dalam melaksanakan tugas.
4. Sarana-prasarana yang menunjang, yang disesuaikan
dengan kemampuan dan kecerdasan siswa, sehingga dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan belajar serta
menyalurkan kemampuan dan kecerdasannya, termasuk
13
bakat dan minatnya, baik dalam kegiatan kurikuler
maupun ekstrakurikuler.
5. Dana. Untuk menunjang tercapainya tujuan yang telah
ditetapkan perlu adanya dukungan dana yang memadai,
termasuk perlunya disediakan insentif tambahan bagi
tenaga kependidikan yang terlibat, berupa uang maupun
fasilitas lainnya.
6. Manajemen,bersangkut paut dengan strategi dan
immplementasi seluruh sumberdaya yang ada dalam sistem
sekolah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Oleh sebab itu, bentuk manajemen pada sekolah dengan
sistem kelas percepatan, harus memiliki tingkat
fleksibilitas yang tinggi, realitas, dan berorientasi
jauh ke depan. Dengan demikian, pengelolaannya
didasari oleh komitmen, ketekunan, pemahaman yang
sama, kebersamaan antara semua pihak yang terlibat
dalam kegiatan ini.
7. Lingkungan belajar yang kondusif untuk berkembangnya
potensi keunggulan menjadi keunggulan yang nyata, baik
lingkungan dalam arti fisik maupun sosial psikologis
di sekolah, di masyarakat, dan di rumah.
14
8. Proses belajar-mengajar yang bermutu dan hasilnya
selalu dapat dipertanggungjawabkan (accountable) kepada
siswa, orangtua, lembaga, maupun masyarakat.
Somantri (2006), bagi siswa berbakat dengan kapasitas
intelektual di atas rata-rata, program akselerasi ini
memberikan beberapa keuntungan, antara lain:
1. Terpenuhinya kebutuhan kognisi siswa akan pelajaran
yang lebih menantang
2. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas siswa dalam
belajar
3. Memberikan kesempatan untuk memiliki “intellectual peers”
4. Menambah rasa percaya diri dan meningkatkan motivasi
siswa
5. Memberi kesempatan untuk menghemat waktu dalam
menempuh pendidikan, sehingga lebih banyak waktu untuk
mengembangkan minat, spesialisasi, dan karir.
Soemantri (2006) mengemukakan beberapa teknik-teknik
dalam kelas akselerasi, yaitu:
1. Teknik Persiapan
Tahap persiapan berkaitan dengan mempersiapkan
pembelajar untuk belajar. Ini adalah langkah penting
15
dalam belajar. Tanpa itu, pembelajaran akan lambat dan
bahkan bisa terhenti sama sekali. Namun, karena terlalu
bernafsu untuk merampungkan materi, kita sering
mengabaikan tahap ini sehingga mengganggu pembelajaran
yang baik. Persiapan pembelajaran itu seperti
mempersiapkan tanah untuk ditanami benih. Jika kita
melakukanny dengan benar, niscaya kita menciptakan
kondisi yang baik untuk pertumbuhan sehat. Tujuan dari
mempersiapkan pembelajaran adalah untuk:
a. Mengajak pembelajar keluar dari keadaan mental yang
pasif atau resisten
b. Menyingkirkan rintangan belajar
c. Merangsang minat dan rasa ingin tahu pembelajar
d. Memberi pembelajar perasaan positif mengenai, dan
hubungan yang bermakna dengan topik pelajaran
e. Menciptakan pembelajar aktif yang tergugah untuk
berfikir, belajar, mencipta dan tumbuh
f. Mengajak orang keluar dari keterasingan dan masuk ke
dalam komunitas belajar
2. Teknik Penyampaian
16
Tahap penyampaian dalam siklus pembelajaran
dimaksudkan untuk mempertemukan pembelajar dengan materi
belajar yang mengawali proses belajar secara positif dan
menarik. Ketika mendengar kata presentasi, secara
otomatis kita menghubungkan kata ini dengan sesuatu yang
dilakukan fasilitator, bukan pembelajar. Akan tetepi yang
dimaksudkan oleh Dave Meier dalam bukunya ini adalah
memcoba untuk mulai menghubungkan presentasi dengan
sesuai yang dilakukan fasilitator maupun pembelajar dalam
berbagai campuran bergantung pada situasinya. Presentasi
berarti pertemuan. Fasilitator dapat memimpin, tetapi
pembelajarlah yang harus menjalani pertemuan itu.
Jika kita memahami presentasi hanya semata-mata
sebagai sesuatu yang dilakukan fasilitator terhadap
pembelajar, tahap ini dalam siklus pembelajaran menjadi
tahap paling lemah. Rancangan pelatihan tradisional
memberikan tekanan paling besar pada presentasi
instruktur. Ke sanalah dipusatkan hampir seluruh usaha
dan biaya: ke sesuatu yang berpengaruh paling kecil pada pembelajaran.
Akan tetapi, kita terus saja mencurahkan seluruh usaha
kita untuk mengembangkan materi presentasi, pertunjukkan
17
power point, bentuan mengajar, selebaran, dan materi lain
yang tidak banyak manfaatnya bagi pembelaja. Kita
menempatkan, menurut perkiraan Dave Meier dalam bukunya
80% sumber daya kita untuk menunjang hal-hal yang
berpengaruh paling-paling 20% pada pembelajaran itu
sendiri.
Harus kita sadari bahwa pembelajaran berasal dari
keterlibatan aktif dan penuh seorang pembelajar dengan
pelajaran, dan bukan dari mendengarkan presentasi yang
tak habis-habisnya mengenai hal itu. (Belajar adalah
menciptakan pengetahuan, bukan menelan informasi).
Presentasi diadakan semata-mata untuk mengawali proses
belajar dan bukan dijadikan fokus utama. Tahap
penyampaian dalam belajar bukan hanya sesuatu yang
dilakukan fasilitator, melainkan sesuatu yang secara
aktif melibatkan pembelajar dalam menciptakan pengetahuan
disetiap langkahnya.
3. Teknik Pelatihan
Tahap pelatihan merupakan intisari dari accelerated
learning. Tanpa tahap penting ini tidak ada pembelajaran
menurut Dave. Tahap ini dalam siklus pembalajarann
18
berpengaruh terhadap 70% (atau lebih) pengalaman belajar
secara keseluruhan. Dalam tahap inilah pembelajarann yang
sebenarnya berlangsung. Bagaimanapun, apa yang difikirkan
dan dikatakan serta dilakukan pembelajarlah yang
menciptakan pembelajaran, dan bukan apa yang difikirkan,
dikatakan dan dilakukan instruktur. Peranan instruktur
hanyalah memprakarsai proses belajar, lalu menyingkir.
Dengan kata lain: tugas instruktur adalah menyusun
konteks tempat pembelajar dapat menciptakan isi yang
bermakna mengenai materi belajar yang sedang dibahas.
Peranan instruktur adalah mengajak pembelajar
berfikir, berkata dan berbuat menangani materi belajar
yang baru dengan cara yang dapat membantu mereka
memadukannya kedalam struktur pengetahuan, makna dan
ketrampilan yang sudah tertanam didalam diri. Menurut Win
Wenger bahwa yang dikatakan dan dilakukan pembelajar
itulah yang lebih penting daripada apa yang dikatakan dan
dilakukan oleh fasilitator bagi pembelajaran sejati.
Fasilitator selalu mengawasi dan menyuapi pembelajar
merupakan ancaram serius terhadap belajar.
19
Penelitian mengenai otak dan pembelajaran telah
mengungkapkan fakta yang mengejutkan: Jika sesuatu
dipelajari dengan sungguh-sungguh, struktur internal dari
sistem saraf kimiawi / listrik internal seseorang berubah.
Sesuatu yang baru tercipta di dalam diri seseorang
jaringan saraf baru - jalur kimiawi/elekris baru,
asosiasi baru, hubungan baru. Secara harfiah pembelajar
harus diberi waktu agar hal ini terjadi. Kalau tidak,
tidak ada yang menempel, tidak ada yang menyatu, tidak
ada yang benar-benar dipelajari. Pembelajaran adalah
perubahan. Jika tidak ada waktu untuk berubah maka
berarti tidak ada pembelajaran yang sejati.
4. Teknik Penampilan
Belajar adalah proses mengubah pengalaman menjadi
pengetahuan, pengetahuan menjadi pemahaman, pemahaman
menjadi kearifan dan kearifan menjadi tindakan. Nilai
setiap program belajar terungkap hanya dalam tahap ini
ketika pembelajaran diterapkan pada pekerjaan. Namun
banyak rancangan pelatihan mengabaikan tahap ini atau
bahkan menghapuskannya sama sekali. Penting untuk
disadari bahwa tahap ini bukan hanya tambahan, melainkan
20
menyatu dengan seluruh proses belajar. Tanpa tahap
penampilan yang kuat, tiga tahap sebelumnya dalam siklus
pembelajaran bisa jadi sia-sia sama sekali. Karena setiap
keberhasilan bergantung pada kelanjutannya.
Tujuan dari teknik penampilan ini adalah memastikan
bahwa pembelajaran tetap melekat dan berhasil diterapkan.
Setelah mengalami tiga tahap sebelumnya dalam proses
pembelajaran, kita perlu memastikan bahwa orang
melaksanakan pengetahuan dan ketrampilan baru mereka pada
pekerjaan mereka dengan cara-cara yang dapat menciptakan
nilai nyata bagi diri mereka sendiri, organisasi, dan
klien organisasi. Dalam istilah pertanian, penampilan
hasil sama dengan panen.
Guru merupakan faktor yang memiliki peran penting
dalam memberhasilkan kelas akselerasi. Dalam kelas
akselerasi peran guru mengelola pembelajaran lebih tepat
disebut sebagai fasilitator, yang menunjukkan bahwa
tanggungjawab akhir belajar ada pada anak untuk
mengaktualisasikan potensi dirinya. Namun begitu ada
beberapa hal yang dapat disebut sebagai kelemahan dalam
penerapan program akselerasi ini. Salah satunya adalah
21
materi ajar yang padat membuat guru kurang mampu
mengembangkan teknik mengajar yang kreatif sesuai dengan
karakteristik dan kebutuhan siswa berbakat.
C. Intelegensi
Chaplin (2011:253) mendefinisikan inteligensi
sebagai suatu kemampuan yang dimiliki oleh individu
dalam mnggunakan konsep, memahami hubungan dan
menyesuaikan diri terhadap berbagai situasi baru secara
tepat dan efektif. Ahmadi (2003:182) menyatakan bahwa
inteligensi digunakan dalam pemecahan suatu masalah
dengan menggunakan kecerdasan berpikir dan sifat-sifat
yang dapat dikategorikan sebagai perilaku cerdas.
Inteligensi dapat dilihat dari kesanggupan individu
dalam bersikap dan berperilaku secara cepat terhadap
situasi baru atau situasi yang telah diubah.
Munandar (Sobur, 2003:156) merumuskan inteligensi
menjadi tiga, yaitu kemampuan untuk berpikir abstrak,
menangkap hubungan-hubungan untuk belajar, dan
menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi yang baru.
22
Thorndike (Sobur, 2003:157) mendefinisikan inteligensi
sebagai kemampuan yang dimiliki individu dalam
memberikan respon yang diterima secara baik. Stern
(Sobur, 2003:158) mengemukakan bahwa inteligensi
merupakan kapasitas atau kemampuan umum yang dimiliki
individu dalam menyesuaikan diri secara sadar pada
situasi yang dihadapi. Kantowitz, Roediger, dan Elmes
(2008:343) mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan
intelektual yang hadir secara ilmiah dan memiliki cara
yang terbatas serta bias budaya.
Ahmadi (2003:182) membedakan tingkat-tingkat
inteligensi menjadi tiga, yaitu:
1. Inteligensi binatang
Inteligensi pada binatang secara umum lebih
terbatas dibandingkan dengan manusia karena terikat
pada suatu kongkrit. Kecerdasan yang dimiliki binatang
tidak dapat berkembang karena tidak berkembang pula
ilmu bahasa pada binatang. Percobaan pada kera yang
dilakukan oleh Kohler, ahli ilmu jiwa dari Jerman
menyatakan bahwa kera memiliki inteligensi, karena kera
23
dapat menyesuaikan dan menolong diri pada situasi yang
asing dan genting bagi kera.
2. Inteligensi anak-anak
Ineteligensi anak yang dimaksudkan adalah anak
yang berusia sekitar satu tahun dan belum dapat
berbicara, sehingga pada penelitian Buotan menyatakan
bahwa anak-anak memiliki inteligensi yang sama dengan
kera. Inteligensi anak secara umum dilihat dari
perkembangan bahasa yang dimiliki. Anak yang sudah
mampu berbicara disebut dengan manusia kecil, sedangkan
yang tidak disebut dengan usia simpanse.
3. Inteligensi manusia
Inteligensi manusia menunjukkan perbedaan yang
sangat signifikan dengan inteligensi kera. Perbedaan
tersebut dipengaruhi oleh penggunaan bahasa dan
penggunaan perkakas. Penggunaan bahasa memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap inteligensi karena
manusia dapat mengemukakan isi jiwa yang dirasakan,
seperti fantasi, perasaan, dan lain-lain. Penggunaan
24
perkakas merupakan perantara antara makhluk yang
berbuat dengan objek yang diperbuat.
Ahmadi (2003:187) membagi inteligensi menjadi dua,
yaitu:
1. Inteligensi terikat dan bebas
Inteligensi terikat merupakan inteligensi individu
yang bekerja pada lapangan pengamatan yang berhubungan
langsung dengan kebutuhan vital yang harus segera
dipuaskan. Inteligensi terikat terdapat pada binatang
dan anak-anak yang belum mampu berbahasa. Inteligensi
bebas merupakan inteligensi yang terdapat pada individu
yang telah mampu berbahasa sehingga selalu ingin
mengadakan perubahan-perubahan untuk mencapai suatu
tujuan.
2. Inteligensi menciptakan atau kreaktif dan meniru
atau eksekutif
Inteligensi menciptakan adalah kemampuan yang
dimiliki individu dalam menciptakan sesuatu yang baru.
Individu menciptakan inovasi baru yang sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan. Inteligensi meniru
25
adalah kemampuan yang dimiliki individu dalam meniru
dan mengikuti hasil kerja individu lain, baik yang
diucapkan secara lisan maupun yang tertulis.
Ahmadi (2003:187) menjelaskan faktor-faktor yang
menentukan inteligensi pada individu terbagi menjadi
dua bagian, yaitu pembawaan dan kematangan. Pembawaan
menentukan sulit atau tidak suatu individu dalam
menyelesaikan persoalan ketika berada pada situasi yang
memiliki tingkat kesukaran berlainan. Kematangan
berbanding lurus dengan proses pertumbuhan individu,
sehingga semakin matang individu maka akan semakin baik
inteligensi yang dimiliki.
Kalat (2008:337) mengemukakan model hirarki dalam
inteligensi yang terbagi menjadi dua, yaitu kecerdasan
fluid dan kecerdasan mengkristal. Kecerdasan fluid
merupakan kekuatan penalaran dalam menggunakan
informasi yang tersedia, mencakup kemampuan untuk
memahami hubungan, memecahkan masalah asing, dan
memperoleh pengetahuan baru. Kecerdasan mengkristal
26
terdiri dari keterampilan yang diperoleh dan kemampuan
untuk menerapkan pengetahuan dalam situasi tertentu.
D. Manajemen Waktu
Sebuah pemikiran bagaimana seharusnya manusia yang
hidup di dalam dunia ini berlaku arif terhadap waktu yang
ada. Mungkin kita sering mendengar istilah “Time is Money"
Motto ini juga adalah sebuah kiat bagaimana manusia untuk
Smart dalam menggunakan atau mengelola waktu (times of
management) yang seolah-olah sama dengan uang. Selama ada
waktu masih ada kesempatan untuk mendapatkan uang,
begitulah artinya sepintas lalu. Waktu merupakan sumber
daya yang paling langka, bila tidak dioptimalkan penataan
terhadapnya maka tidak akan mampu menata apapun, karena
waktu merupakan modal paling unik yang tidak mungkin
dapat diganti dan tidak mungkin dapat disimpan tanpa
digunakan (Jawwad, 2006:9).
Musuh terbesar dalam karier seorang manusia adalah
waktu. Waktu yang telah terlewat dengan sia-sia atau
percuma, tidak dapat kembali begitu saja dengan uang.
27
Oleh karena itu, manfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam
bekerja dan berkarya. Ingatlah pepatah lama, time is money.
Untuk itu dalam berkarier perlu adanya manajemen waktu
yang baik dimana produktivitas, efektivitas, dan
efisiensi sebagai tolok ukurnya (Argogalih, 2005).
Burnout Syndrome (Argogalih, 2005) pernah mengatakan
bahwa kecanduan kerja adalah gejala manajemen waktu yang
buruk. Seseorang yang selalu mengutamakan kesempurnaan
versi diri sendiri dalam bekerja umumnya tidak akan
pernah sama sekali mau melakukan delegasi. Dia tidak bisa
menerima 100% hasil pekerjaan orang lain ataupun percaya
orang lain. Dia tidak ingin semua hasil karyanya
terkontaminasi tangan orang lain, walau orang itu
bawahannya sendiri. Sikap seperti itu salah besar karena
memanfaatkan tenaga orang lain itu perlu, percaya
terhadap orang lain itu perlu.
Manajemen waktu dengan cepat menjadi lebih penting
baik dalam kehidupan pribadi individu maupun dalam
susunan perusahaan, termasuk dalam hal ini adalah dalam
bidang pendidikan terutama yang dilakukan guru dalam
28
pelaksanaan pembelajaran, khususnya yang berhubungan
dengan manajer, mulai dari administrator puncak sampai
pengawas di lini pertama. Pengelolaan waktu atau
manajemen waktu yang baik sangat bermanfaat dalam
pengertian penghematan biaya maupun pegawai. Drucker
(Timpe, 2002:10) mengatakan “Waktu adalah sumber yang paling
langka dan jika itu tidak dapat dikelola, maka hal lainpun tidak dapat
dikelola”. Maksudnya adalah untuk mempelajari aspek manusia
dari perubahan sikap menuju pengelolaan lebih baik dari
sumber waktu yang berharga.
Berdasarkan riset yang dilakukan Jithendra M. Mishra
dan Prabhakara Mishra (Timpe, 2002:11) menyimpulkan ada
lima bidang utama yang tidak boleh ditinggalkan dalam
pengelolaan waktu atau manajemen waktu. Pertama, kesadaran
bahwa sebagain besar waktu yang dihabiskan bersifat
kebiasaan; kedua, bahwa penentuan sasaran pribadi sangat
penting bagi manajemen yang benar; ketiga, prioritas harus
dikategorikan dan dikaji; keempat, bahwa komunikasi yang
baik dan benar sangat esensial; kelima, bahwa menangguhkan
29
mungkin merupakan halangan terbesar bagi pengelolaan
waktu.
Wilkinson (Timpe, 2004:11) menyatakan bahwa
sebenarnya, jika seseorang yang mengatur kehidupan dan
membuatnya menyenangkan, sebagai permulaan yang
dibutuhkan adalah mengatur waktu atau mengelola waktu
dengan baik, tidak perlu dipertanyakan lagi dalam
pengaturan waktu yang efektif merupakan kegiatan mendasar
dalam lingkup berbagai kehidupan. Pada kenyataannya,
sering terdapat perbedaan antara pencapai kehidupan
sejati dan orang sibuk, tidak pernah sampai pada titik
dimanapun. Sudah tidak perlu terkejut, kalau dalam
seluruh kegiatan pendidikan pengaturan waktu menjadi
sebuah kebutuhan. Namun jika ditinjau lebih dalam, akan
dapat dilihat bahwa sebenarnya pengaturan waktu tidak
jauh berbeda dengan manajeman diri.
Pada kenyataanya, apabila tidak dapat mengatur atau
mengelola waktu, tetapi dapat mengatur diri sendiri dalam
setiap kesempatan. Kebanyakan para ahli sepakat bahwa
sukses merupakan hasil dari kebiasaan. Oleh sebab itu,
30
langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperlancar
bagaimana seseorang menggunakan waktu, yakni dimulai
dengan kebiasaan mengendalikan diri. Kebiasaan ini
dimulai sebagai pembuatan keputusan secara sadar terutama
berkaitan dengan pengelolaan waktu atau manajemen waktu
yang biasanya diabaikan. Yager (2005:16) terdapat tujuh
prinsip manajemen waktu yang kreatif bahwa: selalu aktif
(bukan reaktif), tentukan sasaran, tentukan prioritas
dalam bertindak, pertahankan fokus, ciptakan tenggat
waktu yang realistis, dan lakukan sekarang juga (DO IT
NOW): D = Divide (bagi-bagilah tugas).O = Organize (atur
bagaimana melaksanakannya), I = Ignore (abaikan gangguan),T
= Take (ambil kesempatan),N = Now (sekarang harus
dijalankan),O = Opportunity (ambil kesempatan), W = Watch
out (waspada dengan waktu).
Hofmeister dan Lubke (1990:15) menyatakan bahwa konsep
managemen waktu yang paling umum adalah time on task (waktu
mengerjakan tugas) atau engaged time (waktu efektif dalam
pembelajaraan), pembagian waktu pembelajaran yang lain
adalah: (1) available time (waktu yang tersedia); (2) allocated
31
time (waktu dialokasikan dalam aktifitas pembelajaran);
(3) engaged time (waktu efektif dalam pembelajaran); (4)
academic learning time (waktu efektif perhari yang
dimanfaatkan dalam kegiatan pembelajaran).
Usaha mengembangkan kecakapan dengan melakukan
manajemen diri sendiri dan manajemen waktu, seorang guru
tidak hanya akan menjaga kesehatan serta prestasi
sendiri, ia juga meneladankan sikap baik dan meneladankan
kecakapan dalam manajemen diri serta manajemen waktu
berpengaruh kuat terhadap kompetensi profesional atau
kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran karena
manajemen waktu dalam pelaksanaan pembelajaran
mengasilkan guru efektif sebagai manifestasi guru yang
memiliki kompetensi profesional. Berkaitan dengan
pengelolaan waktu sangat penting karena dapat
meningkatkan kompetensi professional guru dalam
pelaksanaan pembelajaran dan dapat meningkatkan prestasi
siswa, sekaligus meningkatkan mutu pendidikan.
Pembahasan tentang manajemen waktu di atas dapat
disimpulkan bahwa pengelolaan waktu atau manajemen waktu
32
dalam pelaksanaan pembelajaran dapat diartikan sebagai
pengelolaan terhadap waktu dalam proses kegiatan
pelaksanaan pembelajaran selama 6 hari atau seminggu
untuk menyelesaikan tugas dan peningkatan keprofesionalan
mulai dari perencanaan terhadap penggunaan waktu,
mengorganisasikan terhadap penggunaan waktu dan
melaksanakan terhadap penggunaan waktu, pengwasan
terhadap penggunaan waktu dan usaha peningkatan
keprofesionalan.
33
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian yang digunakan dalam
penelitian kali ini adalah dengan menggunakan
pendekatan kualitatif berupa studi kasus dengan
observasi dan wawancara. Wawancara yang digunakan kali
ini adalah berupa Focus Group Discussion (FGD). Focus Group
Discussion adalah suatu proses pengumpulan informasi
suatu masalah tertentu yang sangat spesifik melalui
diskusi kelompok yang dipimpin oleh seorang narasumber
atau moderator yang secara halus mendorong peserta
untuk berani berbicara terbuka dan spontan tentang hal
yang dianggap penting yang berhubungan dengan topik
diskusi saat itu. Interaksi diantara peserta merupakan
dasar untuk memperoleh informasi. Peserta mempunyai
kesempatan yang sama untuk mengajukan dan memberikan
pernyataan, menanggapi, komentar maupun mengajukan
pertanyaan.
34
Sebagai alat penelitian, FGD dapat digunakan
sebagai metode primer maupun sekunder. FGD berfungsi
sebagai metode primer jika digunakan sebagai satu-
satunya metode penelitian atau metode utama (selain
metode lainnya) pengumpulan data dalam suatu penelitian
FGD sebagai metode penelitian sekunder umumnya
digunakan untuk melengkapi riset yang bersifat
kuantitatif dan atau sebagai salah satu teknik
triangulasi. Dalam kaitan ini baik berkedudukan sebagai
metode primer atau sekunder data yang diperoleh dari
FGD adalah data kualitatif.
Observasi adalah pengamatan yang bertujuan untuk
mendapatkan data tentang suatu masalah sehingga
diperoleh pemahaman atau pembuktian terhadap
informasi/keterangan yang diperoleh sebelumnya. Sebagai
metode ilmiah observasi biasa diartikan sebagai
pengamatan dan pencatatan fenomena-fenomena yang
diselidiki secara sistematik. Dalam arti yang luas
observasi sebenarnya tidak hanya terbatas kepada
35
pengamatan yang dilakukan baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Pengamatan tidak langsung misalnya melalui
kuesioner dan tes. Pada dasarnya observasi bertujuan
untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari mengenai
aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang
terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat
dan perspektif mereka terlibat dalam kejadian yang
diamati tersebut. Deskripsi harus kuat, faktual,
sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai hal yang
tidak relevan.
Peserta wawancara berjumlah 5 orang. Awalnya
peserta wawancara berjumlah 6 orang, namun karena salah
satu dari mereka berhalangan untuk hadir. Peserta
wawancara berusia antar 13 – 15 tahun dengan dua orang
laki-laki dan 3 orang perempuan.
36
BAB IV
PEMBAHASAN
Silverman (Heward, 1996) akselerasi adalah suatu
respon dalam menjawab kebutuhan belajar dengan lebih
cepat yang dimiliki oleh anak-anak berbakat. Penelitian
menunjukkan bahwa ketika akselerasi dijalankan dengan
tepat, maka ketertarikan siswa terhadap sekolah akan
meningkat, mencapai level prestasi akademis yang lebih
tinggi, memiliki perhatian terhadap prestasi, dan
menyelesaikan level pendidikan yang lebih tinggi dalam
waktu singkat, yang akan meningkatkan waktu untuk
berkarir di akhir sekolah. Selain itu akselerasi adalah
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjalani
kurikulum yang ada dengan lebih cepat (Heward, 1996).
Terdapat beberapa jenis dari akselerasi, yaitu: (1)
Memasuki sekolah formal pada usia dini; (2) Loncat kelas;
(3) Mengikuti bidang studi tertentu di kelas yang lebih
tinggi; (4) Kurikulum yang dipadatkan atau dipersingkat;
(5) Memasuki sekolah menengah atas dan universitas secara
bersamaan; (6) Memasuki universitas lebih awal; (7)
37
Bagaimanapun akselerasi ini dilakukan, pada akhirnya
peserta didik tetap menyelesaikan pendidikan sekolah,
namun dalam waktu yang lebih singkat.
Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa akselerasi adalah pemberian kesempatan
kepada siswa untuk menjalani kebutuhan belajar dengan
cepat. Dari beberapa subjek penelitian ada beberapa
subjek yang menjalani akselerasi dari SMP. Menurut
penilaian subjek kelas akselerasi adalah kelas yang lebih
diatas tingkatannya dari kelas regular. Kelas akselerasi
memiliki jam belajar yang lebih banyak dari kelas
regular, selain itu tugas yang diberikan pada siswa
akselerasi sangat jauh berbeda tingkatannya dibandingkan
dari kelas regular. Meskipun, siswa akselerasi lebih
membutuhkan waktu yang banyak hanya untuk mengerjakan
tugas-tugas sekolah, tapi sebagian besar dari mereka
masih aktif dalam kegiatan baik didalam sekolah maupun
diluar sekolah.
Siswa akselerasi secara tidak langsung harus dituntut
untuk memiliki manajemen waktu yang baik. Manajemen waktu
sangat berguna untuk menjadwalkan perencanaan dan
38
membantu siswa untuk mengatur waktu yang dimilikinya
sebaik mungkin. Manajemen waktu adalah tindakan atau
proses perencanaan dan secara sadar melakukan kontrol
atas jumlah waktu yang dihabiskan untuk kegiatan
tertentu, terutama untuk meningkatkan efektivitas,
efisiensi atau produktivitas. Manajemen waktu dapat
dibantu oleh berbagai keterampilan, peralatan dan teknik
yang digunakan untuk mengelola waktu dalam menyelesaikan
tugas-tugas tertentu, proyek dan tujuan sesuai dengan
tanggal jatuh tempo. Manajemen waktu meliputi cakupan
yang luas dari kegiatan dan termasuk dalam perencanaan,
mengalokasikan, menetapkan tujuan, delegasi, analisis
waktu yang dihabiskan, pemantauan, pengorganisasian,
penjadwalan dan prioritas.
Berdasarkan dari hasil penelitian kami, siswa
akselerasi merasa tidak cukup dengan waktu 24 jam dalam
sehari. Sebagian besar dari mereka telah memiliki
manajemen waktu tetapi tidak satu pun kegiatan yang
mereka lakukan dijalankan sesuai dengan jadwal yang telah
mereka buat.
39
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Silverman (Heward, 1996) akselerasi adalah suatu
respon dalam menjawab kebutuhan belajar dengan lebih
cepat yang dimiliki oleh anak-anak berbakat. Penelitian
menunjukkan bahwa ketika akselerasi dijalankan dengan
tepat, maka ketertarikan siswa terhadap sekolah akan
meningkat, mencapai level prestasi akademis yang lebih
tinggi, memiliki perhatian terhadap prestasi, dan
menyelesaikan level pendidikan yang lebih tinggi dalam
waktu singkat, yang akan meningkatkan waktu untuk
berkarir di akhir sekolah.
Berdasarkan, dapat disimpulkan bahwa siswa yang
masuk dalam kelas akseleresasi menganggap bahwa waktu
24 jam per hari itu tidak cukup untuk melakukan semua
aktifitas mereka, bahkan meskipun telah memiliki
manajemen waktu, tidak satu pun kegiatan yang mereka
40
lakukan dijalankan sesuai dengan jadwal yang telah
mereka buat.
B. Saran
Saran yang diberikan oleh peneliti untuk siswa
akseleresasi yaitu:
1. Membuat kembali menejemen waktu agar dapat
meminimalisir segala kegiatan yang dilakukan siswa
akselerasi dalam waktu 24 jam sehari.
2. Tetap melanjutkan kegiatan sesuai dengan yang
terencakan dalam program manajemen waktu.
3. Berusaha untuk menghindari prokastinasi dalam
melakukan kegiatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. (2003). Psikologi umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaplin, J. P. (2011). Kamus lengkap psikologi. (Terjemahanoleh Kartini Kartono). Jakarta: Raja GrafindoPersada.
Coleman, L. J. (1985). Schooling the Gifted. USA. Addison-Wesley Publishing Company, Inc.
Davidson, J. (2001). Penurunan 10 Menit Manajemen Waktu.Yogyakarta: Andi Offset.
41
Hallahan, D. P. & Kauffman, J. M. (1982) ExceptionalChildren Introduction to Special Education. New York:Prentice-Hall, Inc.
Heward, W. L. (1996). Exceptional Children, Fifth Edition.New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Hofer, M., Schmid, S., Diets, F., Clausen, M.,Reinders, H. (2007). Individual Values,Motivational Conflicts, and Learning For School.Journal Learning and Instruction. 17, 17-28.
Jawwad, A. M (2006). Manajemen Waktu. (terjemahanKhozin Abu Faqih). Bandung: Syaamil Cipta Media.
Kalat, J. W. (2008). Introduction to psychology (8th ed.).Wadsworth: Thomson.
Kantowitz, B. H., Henry, L. R., & David, G. E. (2008).Experimental psychology (8th ed.). Wadsworth: CengageLearning.
Koontz., Weihrich. (2008). Sistem manajemen Manusia.Jakarta: Gramedia.
Munandar, U. (1982). Pemanduan Anak Berbakat. Jakarta: CVRajawali.
Renzulli, J.S., (1979), What Makes Giftednees : A.Reexamination of the Definition of the Gifted and Talented,California, Ventura Cauntry SuperintendentSchools Office.
Sobur, A. (2003). Psikologi umum. Bandung: PustakaSetia.
Somantri, T.Sutjihati (2006). Psikologi Anak Luar Biasa.Bandung: PT. Refika Aditama.
Semiawan, C. (1994). Perspektif Pendidikan Anak Berbakat.Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan,Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek
42