LAPORAN PENELITIAN MANAJEMEN WAKTU SISWA AKSELERASI SEMESTER II SMAN 17 MAKASSAR

43
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Program akselerasi adalah pemberian pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang mempunyai potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk dapat menyelesaikan program regular dalam waktu yang lebih singkat dibanding teman-temannya yang tidak mengambil program tersebut. Artinya peserta didik kelompok ini dapat menyelesaikan pendidikan di SD / MI dalam jangka waktu 5 tahun, di SMP/MTs atau SMA/MA dalam jangka waktu 2 tahun. Pada aplikasi riilnya, pelaksanaan program akselerasi selalu dibarengkan dengan program eskalasi atau pengayaan / pemberian waktu belajar tambahan untuk memperluas dan memperdalam materi pelajaran (Direktorat Pembinaan Pendidikan Luar Biasa, Dirjen mandikdasmen, Depdiknas RI, 2007: 33). Idealnya program akselerasi di suatu sekolah ini harus didukung oleh beberapa faktor penting, yaitu: 1

Transcript of LAPORAN PENELITIAN MANAJEMEN WAKTU SISWA AKSELERASI SEMESTER II SMAN 17 MAKASSAR

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Program akselerasi adalah pemberian pelayanan

pendidikan bagi peserta didik yang mempunyai potensi

kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk dapat

menyelesaikan program regular dalam waktu yang lebih

singkat dibanding teman-temannya yang tidak mengambil

program tersebut. Artinya peserta didik kelompok ini

dapat menyelesaikan pendidikan di SD / MI dalam jangka

waktu 5 tahun, di SMP/MTs atau SMA/MA dalam jangka

waktu 2 tahun. Pada aplikasi riilnya, pelaksanaan

program akselerasi selalu dibarengkan dengan program

eskalasi atau pengayaan / pemberian waktu belajar

tambahan untuk memperluas dan memperdalam materi

pelajaran (Direktorat Pembinaan Pendidikan Luar Biasa,

Dirjen mandikdasmen, Depdiknas RI, 2007: 33). Idealnya

program akselerasi di suatu sekolah ini harus didukung

oleh beberapa faktor penting, yaitu:

1

1. Peserta didik yang mengikuti program akselerasi

merupakan peserta didik pilihan, dengan kemampuan

intelegensi di atas rata-rata.

2. Peserta didik tersebut harus mempunyai kondisi

psikologi yang mendukung, pencapaian prestasi

belajar yang tinggi, antara lain : mempunyai

motivasi yang tinggi, tidak mengalami gangguan

mental dan emosional serta serta mempunyai kemampuan

berinteraksi atau beradaptasi sosial yang bagus.

3. Guru pada program akselerasi harus mempunyai sikap

positif yang membantu penyesuaian peserta didik

terhadap pelaksanaan program akselerasi.

4. Pelaksanaan program akselerasi harus didukung oleh

sarana dan prasarana pendidikan yang memadai

(Direktorat Pembinaan Pendidikan Luar Biasa,

Dirjenmandikdasmen, Depdiknas RI, 2007: 35).

Berdasarkan pengertian di atas, tersirat dengan

jelas bahwa siswa yang mengikuti program akselerasi

mempunyai beban belajar yang jauh lebih kompleks atau

banyak dibandingkan dengan siswa yang mengikuti program

2

reguler. Disamping itu, suasana kompetitif untuk meraih

prestasi belajar dalam kelas program akselerasi

tentunya juga lebih tinggi dibandingkan dengan yang ada

di kelas regular. Beban belajar yang berlebih serta

suasana kompetitif ini merupakan pemicu timbulnya

stress belajar yang cukup potensial bagi para siswa.

Oleh karenanya, para siswa yang mengikuti program

akselerasi ini haruslah mereka yang benar-benar

mempunyai manajemen waktu dan motivasi belajar yang

tinggi, sehingga dapat mengkuti semua kegiatan belajar

mengajar pada akselerasi ini mengingat kompleksitas

pembelajaran pada kelas akselerasi.

Kesuksesan atau kegagalan seseorang dapat dikatakan

sangat bergantung pada bagaimana keunggulannya dalam

menyikapi dan mengelola waktu. Manajemen waktu sendiri

seperti yang dikemukakan oleh Weihrich dan Koontz

(2008:8) diartikan sebagai suatu proses merancang dan

memelihara suatu lingkungan dimana orang-orang yang

bekerja sama di dalam suatu kelompok dapat mencapai

tujuan yang telah ditetapkan dengan seefisien mungkin.

3

Sebuah gambaran mengenai pengaturan waktu merupakan

dasar bagi seseorang khususnya siswa yang berada pada

kelas akselerasi dimana dorongan mereka untuk

menciptakan prestasi dan mempertahankannya lebih tinggi

dibandingkan siswa yang berada pada kelas regular.

Seseorang yang memiliki manajemen waktu yang baik, maka

cenderung akan lebih berfokus terhadap masalah yang

dihadapinya dan berusaha mencari berbagai cara untuk

memecahkan masalah yang dialaminya dan yakin bahwa hal-

hal yang menjadi masalah masih dapat berubah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana karakteristik anak akselerasi?

2. Apakah waktu 24 jam cukup untuk siswa yang mengikuti

kelas akselerasi?

3. Apakah siswa akselesari memiliki menerapkan

manajemen waktu?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui karakteristik anak akselerasi.

4

2. Mengetahui waktu 24 jam cukup untuk siswa yang

mengikuti kelas akselerasi.

3. Mengetahui tentang siswa akselesari memiliki

menerapkan manajemen waktu.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian dapat memberikan tambahan

teori dalam Psikologi Anak Berbakat yang berkaitan

dengan manajemen waktu siswa yang berada pada program

akselerasi.

2. Manfaat Praktis

5

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi

siswa yang berada pada program akselerasi tentang

manajemen waktu.

6

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Anak Berbakat

Batasan anak berbakat secara umum adalah “mereka

yang karena memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul

mampu memberikan prestasi yang tinggi”. Istilah yang

sering digunakan bagi anak-anak yang memiliki

kemampuan-kemampuan yang unggul atau anak yang tingkat

kecerdasannya di atas rata-rata anak normal,

diantaranya adalah; cerdas, cemerlang, superior,

supernormal, berbakat, genius, gifted, gifted and

talented, dan super. Hallahan dan Kauffman (1982:376)

mengemukakan “Besides the word ‘gifted’ a variety of other terms have

be en used to describ individuals who are superior in some way : “talented,

creative, genius, and precocious, for example”. Precocity menunjukkan

perkembangan yang sangat cepat. Beberapa anak gifted

memperlihatkan precocity dalam area perkembangan seperti;

bahasa, musik, atau kemampuan matematika.

7

Martison (Munandar, 1982:7) mengemukakan bahwa

anak berbakat ialah mereka yang diidentifikasi oleh

orang-orang profesional memiliki kemampuan yang sangat

menonjol, sehingga memberikan prestasi yang tinggi.

Anak-anak ini membutuhkan program pendidikan yang

berdiferensiasi dan atau pelayanan di luar jangkauan

program sekolah yang biasa, agar dapat mewujudkan

sumbangannya terhadap diri sendiri maupun terhadap

masyarakat. Coleman (1985) mengemukakan secara

konvensional anak berbakat adalah mereka yang tingkat

intellegensinya jauh di atas rata-rata anggota

kelompoknya, yaitu IQ = 120 ke atas. Sedangkan Renzulli

(1979) melalui teorinya yang disebut Three Dimensional

Model atau Three-ring Conception tentang keberbakatan.

Keberbakatan mencakup tiga dimensi yang saling

berkaitan, yaitu (a) kecakapan di atas rata-rata, (b)

kreativitas, dan (c) komitmen pada tugas.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat

disimpulkan bahwa anak berbakat itu disamping memiliki

kemampuan intelektual tinggi, juga menunjukkan

8

penonjolan kecakapan khusus yang bidangnya berbeda-beda

antara anak yang satu dengan anak lainnya. Anak ini

disebut juga “gifted and talented” yang berarti

berbakat intelektual. Di sini kita harus membedakan

antara bakat sebagai potensi bawaan dan bakat yang

telah terwujud dalam prestasi yang tinggi. Semua anak

berbakat mempunyai potensi yang ungul, tetapi tidak

semuanya telah berhasil mewujudkan potensi unggul

tersebut secara optimal.

Pengertian keberbakatan dalam pengembangannya

telah mengalami berbagai perubahan, dan kini pengertian

keberbakatan selain mencakup kemampuan intelektual

tinggi, juga menunjuk kepada kemampuan kreatif., bahkan

menurut Clark (Semiawan, 1994) kreativitas adalah

ekpresi tertinggi keberbakatan. Keberbakatan

dipengaruhi oleh berbagai unsur kebudayaan, bahkan bagi

sementara ahli sifat-sifat anak berbakat tersebut

bercirikan cultur bound (dibatasi oleh batasan

kebudayaan). Dengan demikian ada dua petunjuk kunci

9

dalam mengamati dan mengerti keberbakatan tersebut

yaitu:

1. Keberbakatan itu adalah ciri-ciri universal yang

khusus dan luar biasa yang dibawa sejak lahir maupun

yang merupakan hasil interaksi dari pengaruh

lingkungannya.

2. Keberbakatan itu ikut ditentukan oleh kebutuhan

maupun kecenderungan kebudayaan dimana seseorang

yang berbakat itu hidup. (Semiawan, 1994:40).

B. Akselerasi

Akselerasi adalah memberikan kesempatan kepada siswa

untuk menjalani kurikulum yang ada dengan lebih cepat

(Heward, 1996). Terdapat beberapa jenis dari akselerasi,

yaitu: (1) Memasuki sekolah formal pada usia dini; (2)

Loncat kelas; (3) Mengikuti bidang studi tertentu di

kelas yang lebih tinggi; (4) Kurikulum yang dipadatkan

atau dipersingkat; (5) Memasuki sekolah menengah atas dan

universitas secara bersamaan; (6) Memasuki universitas

lebih awal; (7) Bagaimanapun akselerasi ini dilakukan,

10

pada akhirnya peserta didik tetap menyelesaikan

pendidikan sekolah, namun dalam waktu yang lebih singkat.

Silverman (Heward, 1996) akselerasi adalah suatu

respon dalam menjawab kebutuhan belajar dengan lebih

cepat yang dimiliki oleh anak-anak berbakat. Penelitian

menunjukkan bahwa ketika akselerasi dijalankan dengan

tepat, maka ketertarikan siswa terhadap sekolah akan

meningkat, mencapai level prestasi akademis yang lebih

tinggi, memiliki perhatian terhadap prestasi, dan

menyelesaikan level pendidikan yang lebih tinggi dalam

waktu singkat, yang akan meningkatkan waktu untuk

berkarir di akhir sekolah.

Akselerasi dalah suatu sistem menyeluruh yang meliputi

berbagai cara yang cerdik, muslihat dan teknik untuk

mempercepat dan meningkatkan perancangan dan proses

belajar dan juga merupakan proses pembelajaran yang

alamiah, yang didasarkan pada cara orang belajar secara

alamiah. Akselerasi adalah sebuah sistem yang menyeluruh

untuk mempercepat dan meningkatkan rancangan dan proses

belajar. Berdasarkan pada penemuan/penelitian tentang

otak, yang membuktikan dan meningkatkan kembali

11

efektifitas belajar yang menghemat waktu dan biaya dalam

proses belajar. Jadi akselerasi hanya mempunyai satu

tujuan yakni mendapatkan hasil. Accelerated learning harus

dibedakan dengan pendekatan-pendekatan “kreatif” berisi

kesenangan-kesenangan dan permainan yang penuh muslihat

yang hanya menarik perhatian namun sering sia-sia.

Widyastono (Tarmidi & Hadiati, 2005) menyatakan ada

delapan hal yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan

program akselerasi, yaitu:

1. Masukan (input, intake) siswa diseleksi secara ketat

dengan menggunakan kriteria tertentu dan prosedur yang

dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria yang digunakan

adalah: (1) prestasi belajar, dengan indikator angka

raport, Nilai Ebtanas Murni (NEM), dan/atau hasil tes

prestasi akademik, berada 2 standar deviasi (SD) di

atas Mean populasi siswa; (2) skor psikotes, yang

meliputi: intelligency quotient (IQ) minimal 125,

kreativitas, tanggung jawab terhadap tugas (task

commitment), dan emotional quotient (EQ) berada 2 SD di

atas Mean populasi siswa; (3) kesehatan dan

kesemaptaan jasmani, jika diperlukan.

12

2. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum nasional

standar, namun dilakukan improvisasi alokasi waktunya

sesuai dengan tuntutan belajar peserta didik yang

memiliki kecepatan belajar serta motivasi belajar

lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan belajar dan

motivasi belajar siswa seusianya. Dalam hal ini,

misalnya SMA, yang biasanya memakan waktu selama 3

tahun, terdiri atas 6 semester, setiap tahun 2

semester; dipercepat menjadi selama 2 tahun, setiap

tahun terdiri atas 3 semester.

3. Tenaga kependidikan. Karena siswanya memiliki

kemampuan dan kecerdasan luar biasa, maka tenaga

kependidikan yang menanganinya terdiri atas tenaga

kependidikan yang unggul, baik dari segi penguasaan

materi pelajaran, penguasaan metode mengajar, maupun

komitmen dalam melaksanakan tugas.

4. Sarana-prasarana yang menunjang, yang disesuaikan

dengan kemampuan dan kecerdasan siswa, sehingga dapat

digunakan untuk memenuhi kebutuhan belajar serta

menyalurkan kemampuan dan kecerdasannya, termasuk

13

bakat dan minatnya, baik dalam kegiatan kurikuler

maupun ekstrakurikuler.

5. Dana. Untuk menunjang tercapainya tujuan yang telah

ditetapkan perlu adanya dukungan dana yang memadai,

termasuk perlunya disediakan insentif tambahan bagi

tenaga kependidikan yang terlibat, berupa uang maupun

fasilitas lainnya.

6. Manajemen,bersangkut paut dengan strategi dan

immplementasi seluruh sumberdaya yang ada dalam sistem

sekolah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Oleh sebab itu, bentuk manajemen pada sekolah dengan

sistem kelas percepatan, harus memiliki tingkat

fleksibilitas yang tinggi, realitas, dan berorientasi

jauh ke depan. Dengan demikian, pengelolaannya

didasari oleh komitmen, ketekunan, pemahaman yang

sama, kebersamaan antara semua pihak yang terlibat

dalam kegiatan ini.

7. Lingkungan belajar yang kondusif untuk berkembangnya

potensi keunggulan menjadi keunggulan yang nyata, baik

lingkungan dalam arti fisik maupun sosial psikologis

di sekolah, di masyarakat, dan di rumah.

14

8. Proses belajar-mengajar yang bermutu dan hasilnya

selalu dapat dipertanggungjawabkan (accountable) kepada

siswa, orangtua, lembaga, maupun masyarakat.

Somantri (2006), bagi siswa berbakat dengan kapasitas

intelektual di atas rata-rata, program akselerasi ini

memberikan beberapa keuntungan, antara lain:

1. Terpenuhinya kebutuhan kognisi siswa akan pelajaran

yang lebih menantang

2. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas siswa dalam

belajar

3. Memberikan kesempatan untuk memiliki “intellectual peers”

4. Menambah rasa percaya diri dan meningkatkan motivasi

siswa

5. Memberi kesempatan untuk menghemat waktu dalam

menempuh pendidikan, sehingga lebih banyak waktu untuk

mengembangkan minat, spesialisasi, dan karir.

Soemantri (2006) mengemukakan beberapa teknik-teknik

dalam kelas akselerasi, yaitu:

1. Teknik Persiapan

Tahap persiapan berkaitan dengan mempersiapkan

pembelajar untuk belajar. Ini adalah langkah penting

15

dalam belajar. Tanpa itu, pembelajaran akan lambat dan

bahkan bisa terhenti sama sekali. Namun, karena terlalu

bernafsu untuk merampungkan materi, kita sering

mengabaikan tahap ini sehingga mengganggu pembelajaran

yang baik. Persiapan pembelajaran itu seperti

mempersiapkan tanah untuk ditanami benih. Jika kita

melakukanny dengan benar, niscaya kita menciptakan

kondisi yang baik untuk pertumbuhan sehat. Tujuan dari

mempersiapkan pembelajaran adalah untuk:

a. Mengajak pembelajar keluar dari keadaan mental yang

pasif atau resisten

b. Menyingkirkan rintangan belajar

c. Merangsang minat dan rasa ingin tahu pembelajar

d. Memberi pembelajar perasaan positif mengenai, dan

hubungan yang bermakna dengan topik pelajaran

e. Menciptakan pembelajar aktif yang tergugah untuk

berfikir, belajar, mencipta dan tumbuh

f. Mengajak orang keluar dari keterasingan dan masuk ke

dalam komunitas belajar

2. Teknik Penyampaian

16

Tahap penyampaian dalam siklus pembelajaran

dimaksudkan untuk mempertemukan pembelajar dengan materi

belajar yang mengawali proses belajar secara positif dan

menarik. Ketika mendengar kata presentasi, secara

otomatis kita menghubungkan kata ini dengan sesuatu yang

dilakukan fasilitator, bukan pembelajar. Akan tetepi yang

dimaksudkan oleh Dave Meier dalam bukunya ini adalah

memcoba untuk mulai menghubungkan presentasi dengan

sesuai yang dilakukan fasilitator maupun pembelajar dalam

berbagai campuran bergantung pada situasinya. Presentasi

berarti pertemuan. Fasilitator dapat memimpin, tetapi

pembelajarlah yang harus menjalani pertemuan itu.

Jika kita memahami presentasi hanya semata-mata

sebagai sesuatu yang dilakukan fasilitator terhadap

pembelajar, tahap ini dalam siklus pembelajaran menjadi

tahap paling lemah. Rancangan pelatihan tradisional

memberikan tekanan paling besar pada presentasi

instruktur. Ke sanalah dipusatkan hampir seluruh usaha

dan biaya: ke sesuatu yang berpengaruh paling kecil pada pembelajaran.

Akan tetapi, kita terus saja mencurahkan seluruh usaha

kita untuk mengembangkan materi presentasi, pertunjukkan

17

power point, bentuan mengajar, selebaran, dan materi lain

yang tidak banyak manfaatnya bagi pembelaja. Kita

menempatkan, menurut perkiraan Dave Meier dalam bukunya

80% sumber daya kita untuk menunjang hal-hal yang

berpengaruh paling-paling 20% pada pembelajaran itu

sendiri.

Harus kita sadari bahwa pembelajaran berasal dari

keterlibatan aktif dan penuh seorang pembelajar dengan

pelajaran, dan bukan dari mendengarkan presentasi yang

tak habis-habisnya mengenai hal itu. (Belajar adalah

menciptakan pengetahuan, bukan menelan informasi).

Presentasi diadakan semata-mata untuk mengawali proses

belajar dan bukan dijadikan fokus utama. Tahap

penyampaian dalam belajar bukan hanya sesuatu yang

dilakukan fasilitator, melainkan sesuatu yang secara

aktif melibatkan pembelajar dalam menciptakan pengetahuan

disetiap langkahnya.

3. Teknik Pelatihan

Tahap pelatihan merupakan intisari dari accelerated

learning. Tanpa tahap penting ini tidak ada pembelajaran

menurut Dave. Tahap ini dalam siklus pembalajarann

18

berpengaruh terhadap 70% (atau lebih) pengalaman belajar

secara keseluruhan. Dalam tahap inilah pembelajarann yang

sebenarnya berlangsung. Bagaimanapun, apa yang difikirkan

dan dikatakan serta dilakukan pembelajarlah yang

menciptakan pembelajaran, dan bukan apa yang difikirkan,

dikatakan dan dilakukan instruktur. Peranan instruktur

hanyalah memprakarsai proses belajar, lalu menyingkir.

Dengan kata lain: tugas instruktur adalah menyusun

konteks tempat pembelajar dapat menciptakan isi yang

bermakna mengenai materi belajar yang sedang dibahas.

Peranan instruktur adalah mengajak pembelajar

berfikir, berkata dan berbuat menangani materi belajar

yang baru dengan cara yang dapat membantu mereka

memadukannya kedalam struktur pengetahuan, makna dan

ketrampilan yang sudah tertanam didalam diri. Menurut Win

Wenger bahwa yang dikatakan dan dilakukan pembelajar

itulah yang lebih penting daripada apa yang dikatakan dan

dilakukan oleh fasilitator bagi pembelajaran sejati.

Fasilitator selalu mengawasi dan menyuapi pembelajar

merupakan ancaram serius terhadap belajar.

19

Penelitian mengenai otak dan pembelajaran telah

mengungkapkan fakta yang mengejutkan: Jika sesuatu

dipelajari dengan sungguh-sungguh, struktur internal dari

sistem saraf kimiawi / listrik internal seseorang berubah.

Sesuatu yang baru tercipta di dalam diri seseorang

jaringan saraf baru - jalur kimiawi/elekris baru,

asosiasi baru, hubungan baru. Secara harfiah pembelajar

harus diberi waktu agar hal ini terjadi. Kalau tidak,

tidak ada yang menempel, tidak ada yang menyatu, tidak

ada yang benar-benar dipelajari. Pembelajaran adalah

perubahan. Jika tidak ada waktu untuk berubah maka

berarti tidak ada pembelajaran yang sejati.

4. Teknik Penampilan

Belajar adalah proses mengubah pengalaman menjadi

pengetahuan, pengetahuan menjadi pemahaman, pemahaman

menjadi kearifan dan kearifan menjadi tindakan. Nilai

setiap program belajar terungkap hanya dalam tahap ini

ketika pembelajaran diterapkan pada pekerjaan. Namun

banyak rancangan pelatihan mengabaikan tahap ini atau

bahkan menghapuskannya sama sekali. Penting untuk

disadari bahwa tahap ini bukan hanya tambahan, melainkan

20

menyatu dengan seluruh proses belajar. Tanpa tahap

penampilan yang kuat, tiga tahap sebelumnya dalam siklus

pembelajaran bisa jadi sia-sia sama sekali. Karena setiap

keberhasilan bergantung pada kelanjutannya.

Tujuan dari teknik penampilan ini adalah memastikan

bahwa pembelajaran tetap melekat dan berhasil diterapkan.

Setelah mengalami tiga tahap sebelumnya dalam proses

pembelajaran, kita perlu memastikan bahwa orang

melaksanakan pengetahuan dan ketrampilan baru mereka pada

pekerjaan mereka dengan cara-cara yang dapat menciptakan

nilai nyata bagi diri mereka sendiri, organisasi, dan

klien organisasi. Dalam istilah pertanian, penampilan

hasil sama dengan panen.

Guru merupakan faktor yang memiliki peran penting

dalam memberhasilkan kelas akselerasi. Dalam kelas

akselerasi peran guru mengelola pembelajaran lebih tepat

disebut sebagai fasilitator, yang menunjukkan bahwa

tanggungjawab akhir belajar ada pada anak untuk

mengaktualisasikan potensi dirinya. Namun begitu ada

beberapa hal yang dapat disebut sebagai kelemahan dalam

penerapan program akselerasi ini. Salah satunya adalah

21

materi ajar yang padat membuat guru kurang mampu

mengembangkan teknik mengajar yang kreatif sesuai dengan

karakteristik dan kebutuhan siswa berbakat.

C. Intelegensi

Chaplin (2011:253) mendefinisikan inteligensi

sebagai suatu kemampuan yang dimiliki oleh individu

dalam mnggunakan konsep, memahami hubungan dan

menyesuaikan diri terhadap berbagai situasi baru secara

tepat dan efektif. Ahmadi (2003:182) menyatakan bahwa

inteligensi digunakan dalam pemecahan suatu masalah

dengan menggunakan kecerdasan berpikir dan sifat-sifat

yang dapat dikategorikan sebagai perilaku cerdas.

Inteligensi dapat dilihat dari kesanggupan individu

dalam bersikap dan berperilaku secara cepat terhadap

situasi baru atau situasi yang telah diubah.

Munandar (Sobur, 2003:156) merumuskan inteligensi

menjadi tiga, yaitu kemampuan untuk berpikir abstrak,

menangkap hubungan-hubungan untuk belajar, dan

menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi yang baru.

22

Thorndike (Sobur, 2003:157) mendefinisikan inteligensi

sebagai kemampuan yang dimiliki individu dalam

memberikan respon yang diterima secara baik. Stern

(Sobur, 2003:158) mengemukakan bahwa inteligensi

merupakan kapasitas atau kemampuan umum yang dimiliki

individu dalam menyesuaikan diri secara sadar pada

situasi yang dihadapi. Kantowitz, Roediger, dan Elmes

(2008:343) mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan

intelektual yang hadir secara ilmiah dan memiliki cara

yang terbatas serta bias budaya.

Ahmadi (2003:182) membedakan tingkat-tingkat

inteligensi menjadi tiga, yaitu:

1. Inteligensi binatang

Inteligensi pada binatang secara umum lebih

terbatas dibandingkan dengan manusia karena terikat

pada suatu kongkrit. Kecerdasan yang dimiliki binatang

tidak dapat berkembang karena tidak berkembang pula

ilmu bahasa pada binatang. Percobaan pada kera yang

dilakukan oleh Kohler, ahli ilmu jiwa dari Jerman

menyatakan bahwa kera memiliki inteligensi, karena kera

23

dapat menyesuaikan dan menolong diri pada situasi yang

asing dan genting bagi kera.

2. Inteligensi anak-anak

Ineteligensi anak yang dimaksudkan adalah anak

yang berusia sekitar satu tahun dan belum dapat

berbicara, sehingga pada penelitian Buotan menyatakan

bahwa anak-anak memiliki inteligensi yang sama dengan

kera. Inteligensi anak secara umum dilihat dari

perkembangan bahasa yang dimiliki. Anak yang sudah

mampu berbicara disebut dengan manusia kecil, sedangkan

yang tidak disebut dengan usia simpanse.

3. Inteligensi manusia

Inteligensi manusia menunjukkan perbedaan yang

sangat signifikan dengan inteligensi kera. Perbedaan

tersebut dipengaruhi oleh penggunaan bahasa dan

penggunaan perkakas. Penggunaan bahasa memiliki

pengaruh yang sangat besar terhadap inteligensi karena

manusia dapat mengemukakan isi jiwa yang dirasakan,

seperti fantasi, perasaan, dan lain-lain. Penggunaan

24

perkakas merupakan perantara antara makhluk yang

berbuat dengan objek yang diperbuat.

Ahmadi (2003:187) membagi inteligensi menjadi dua,

yaitu:

1. Inteligensi terikat dan bebas

Inteligensi terikat merupakan inteligensi individu

yang bekerja pada lapangan pengamatan yang berhubungan

langsung dengan kebutuhan vital yang harus segera

dipuaskan. Inteligensi terikat terdapat pada binatang

dan anak-anak yang belum mampu berbahasa. Inteligensi

bebas merupakan inteligensi yang terdapat pada individu

yang telah mampu berbahasa sehingga selalu ingin

mengadakan perubahan-perubahan untuk mencapai suatu

tujuan.

2. Inteligensi menciptakan atau kreaktif dan meniru

atau eksekutif

Inteligensi menciptakan adalah kemampuan yang

dimiliki individu dalam menciptakan sesuatu yang baru.

Individu menciptakan inovasi baru yang sesuai dengan

kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan. Inteligensi meniru

25

adalah kemampuan yang dimiliki individu dalam meniru

dan mengikuti hasil kerja individu lain, baik yang

diucapkan secara lisan maupun yang tertulis.

Ahmadi (2003:187) menjelaskan faktor-faktor yang

menentukan inteligensi pada individu terbagi menjadi

dua bagian, yaitu pembawaan dan kematangan. Pembawaan

menentukan sulit atau tidak suatu individu dalam

menyelesaikan persoalan ketika berada pada situasi yang

memiliki tingkat kesukaran berlainan. Kematangan

berbanding lurus dengan proses pertumbuhan individu,

sehingga semakin matang individu maka akan semakin baik

inteligensi yang dimiliki.

Kalat (2008:337) mengemukakan model hirarki dalam

inteligensi yang terbagi menjadi dua, yaitu kecerdasan

fluid dan kecerdasan mengkristal. Kecerdasan fluid

merupakan kekuatan penalaran dalam menggunakan

informasi yang tersedia, mencakup kemampuan untuk

memahami hubungan, memecahkan masalah asing, dan

memperoleh pengetahuan baru. Kecerdasan mengkristal

26

terdiri dari keterampilan yang diperoleh dan kemampuan

untuk menerapkan pengetahuan dalam situasi tertentu.

D. Manajemen Waktu

Sebuah pemikiran bagaimana seharusnya manusia yang

hidup di dalam dunia ini berlaku arif terhadap waktu yang

ada. Mungkin kita sering mendengar istilah “Time is Money"

Motto ini juga adalah sebuah kiat bagaimana manusia untuk

Smart dalam menggunakan atau mengelola waktu (times of

management) yang seolah-olah sama dengan uang. Selama ada

waktu masih ada kesempatan untuk mendapatkan uang,

begitulah artinya sepintas lalu. Waktu merupakan sumber

daya yang paling langka, bila tidak dioptimalkan penataan

terhadapnya maka tidak akan mampu menata apapun, karena

waktu merupakan modal paling unik yang tidak mungkin

dapat diganti dan tidak mungkin dapat disimpan tanpa

digunakan (Jawwad, 2006:9).

Musuh terbesar dalam karier seorang manusia adalah

waktu. Waktu yang telah terlewat dengan sia-sia atau

percuma, tidak dapat kembali begitu saja dengan uang.

27

Oleh karena itu, manfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam

bekerja dan berkarya. Ingatlah pepatah lama, time is money.

Untuk itu dalam berkarier perlu adanya manajemen waktu

yang baik dimana produktivitas, efektivitas, dan

efisiensi sebagai tolok ukurnya (Argogalih, 2005).

Burnout Syndrome (Argogalih, 2005) pernah mengatakan

bahwa kecanduan kerja adalah gejala manajemen waktu yang

buruk. Seseorang yang selalu mengutamakan kesempurnaan

versi diri sendiri dalam bekerja umumnya tidak akan

pernah sama sekali mau melakukan delegasi. Dia tidak bisa

menerima 100% hasil pekerjaan orang lain ataupun percaya

orang lain. Dia tidak ingin semua hasil karyanya

terkontaminasi tangan orang lain, walau orang itu

bawahannya sendiri. Sikap seperti itu salah besar karena

memanfaatkan tenaga orang lain itu perlu, percaya

terhadap orang lain itu perlu.

Manajemen waktu dengan cepat menjadi lebih penting

baik dalam kehidupan pribadi individu maupun dalam

susunan perusahaan, termasuk dalam hal ini adalah dalam

bidang pendidikan terutama yang dilakukan guru dalam

28

pelaksanaan pembelajaran, khususnya yang berhubungan

dengan manajer, mulai dari administrator puncak sampai

pengawas di lini pertama. Pengelolaan waktu atau

manajemen waktu yang baik sangat bermanfaat dalam

pengertian penghematan biaya maupun pegawai. Drucker

(Timpe, 2002:10) mengatakan “Waktu adalah sumber yang paling

langka dan jika itu tidak dapat dikelola, maka hal lainpun tidak dapat

dikelola”. Maksudnya adalah untuk mempelajari aspek manusia

dari perubahan sikap menuju pengelolaan lebih baik dari

sumber waktu yang berharga.

Berdasarkan riset yang dilakukan Jithendra M. Mishra

dan Prabhakara Mishra (Timpe, 2002:11) menyimpulkan ada

lima bidang utama yang tidak boleh ditinggalkan dalam

pengelolaan waktu atau manajemen waktu. Pertama, kesadaran

bahwa sebagain besar waktu yang dihabiskan bersifat

kebiasaan; kedua, bahwa penentuan sasaran pribadi sangat

penting bagi manajemen yang benar; ketiga, prioritas harus

dikategorikan dan dikaji; keempat, bahwa komunikasi yang

baik dan benar sangat esensial; kelima, bahwa menangguhkan

29

mungkin merupakan halangan terbesar bagi pengelolaan

waktu.

Wilkinson (Timpe, 2004:11) menyatakan bahwa

sebenarnya, jika seseorang yang mengatur kehidupan dan

membuatnya menyenangkan, sebagai permulaan yang

dibutuhkan adalah mengatur waktu atau mengelola waktu

dengan baik, tidak perlu dipertanyakan lagi dalam

pengaturan waktu yang efektif merupakan kegiatan mendasar

dalam lingkup berbagai kehidupan. Pada kenyataannya,

sering terdapat perbedaan antara pencapai kehidupan

sejati dan orang sibuk, tidak pernah sampai pada titik

dimanapun. Sudah tidak perlu terkejut, kalau dalam

seluruh kegiatan pendidikan pengaturan waktu menjadi

sebuah kebutuhan. Namun jika ditinjau lebih dalam, akan

dapat dilihat bahwa sebenarnya pengaturan waktu tidak

jauh berbeda dengan manajeman diri.

Pada kenyataanya, apabila tidak dapat mengatur atau

mengelola waktu, tetapi dapat mengatur diri sendiri dalam

setiap kesempatan. Kebanyakan para ahli sepakat bahwa

sukses merupakan hasil dari kebiasaan. Oleh sebab itu,

30

langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperlancar

bagaimana seseorang menggunakan waktu, yakni dimulai

dengan kebiasaan mengendalikan diri. Kebiasaan ini

dimulai sebagai pembuatan keputusan secara sadar terutama

berkaitan dengan pengelolaan waktu atau manajemen waktu

yang biasanya diabaikan. Yager (2005:16) terdapat tujuh

prinsip manajemen waktu yang kreatif bahwa: selalu aktif

(bukan reaktif), tentukan sasaran, tentukan prioritas

dalam bertindak, pertahankan fokus, ciptakan tenggat

waktu yang realistis, dan lakukan sekarang juga (DO IT

NOW): D = Divide (bagi-bagilah tugas).O = Organize (atur

bagaimana melaksanakannya), I = Ignore (abaikan gangguan),T

= Take (ambil kesempatan),N = Now (sekarang harus

dijalankan),O = Opportunity (ambil kesempatan), W = Watch

out (waspada dengan waktu).

Hofmeister dan Lubke (1990:15) menyatakan bahwa konsep

managemen waktu yang paling umum adalah time on task (waktu

mengerjakan tugas) atau engaged time (waktu efektif dalam

pembelajaraan), pembagian waktu pembelajaran yang lain

adalah: (1) available time (waktu yang tersedia); (2) allocated

31

time (waktu dialokasikan dalam aktifitas pembelajaran);

(3) engaged time (waktu efektif dalam pembelajaran); (4)

academic learning time (waktu efektif perhari yang

dimanfaatkan dalam kegiatan pembelajaran).

Usaha mengembangkan kecakapan dengan melakukan

manajemen diri sendiri dan manajemen waktu, seorang guru

tidak hanya akan menjaga kesehatan serta prestasi

sendiri, ia juga meneladankan sikap baik dan meneladankan

kecakapan dalam manajemen diri serta manajemen waktu

berpengaruh kuat terhadap kompetensi profesional atau

kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran karena

manajemen waktu dalam pelaksanaan pembelajaran

mengasilkan guru efektif sebagai manifestasi guru yang

memiliki kompetensi profesional. Berkaitan dengan

pengelolaan waktu sangat penting karena dapat

meningkatkan kompetensi professional guru dalam

pelaksanaan pembelajaran dan dapat meningkatkan prestasi

siswa, sekaligus meningkatkan mutu pendidikan.

Pembahasan tentang manajemen waktu di atas dapat

disimpulkan bahwa pengelolaan waktu atau manajemen waktu

32

dalam pelaksanaan pembelajaran dapat diartikan sebagai

pengelolaan terhadap waktu dalam proses kegiatan

pelaksanaan pembelajaran selama 6 hari atau seminggu

untuk menyelesaikan tugas dan peningkatan keprofesionalan

mulai dari perencanaan terhadap penggunaan waktu,

mengorganisasikan terhadap penggunaan waktu dan

melaksanakan terhadap penggunaan waktu, pengwasan

terhadap penggunaan waktu dan usaha peningkatan

keprofesionalan.

33

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian yang digunakan dalam

penelitian kali ini adalah dengan menggunakan

pendekatan kualitatif berupa studi kasus dengan

observasi dan wawancara. Wawancara yang digunakan kali

ini adalah berupa Focus Group Discussion (FGD). Focus Group

Discussion adalah suatu proses pengumpulan informasi

suatu masalah tertentu yang sangat spesifik melalui

diskusi kelompok yang dipimpin oleh seorang narasumber

atau moderator yang secara halus mendorong peserta

untuk berani berbicara terbuka dan spontan tentang hal

yang dianggap penting yang berhubungan dengan topik

diskusi saat itu. Interaksi diantara peserta merupakan

dasar untuk memperoleh informasi. Peserta mempunyai

kesempatan yang sama untuk mengajukan dan memberikan

pernyataan, menanggapi, komentar maupun mengajukan

pertanyaan.

34

Sebagai alat penelitian, FGD dapat digunakan

sebagai metode primer maupun sekunder. FGD berfungsi

sebagai metode primer jika digunakan sebagai satu-

satunya metode penelitian atau metode utama (selain

metode lainnya) pengumpulan data dalam suatu penelitian

FGD sebagai metode penelitian sekunder umumnya

digunakan untuk melengkapi riset yang bersifat

kuantitatif dan atau sebagai salah satu teknik

triangulasi. Dalam kaitan ini baik berkedudukan sebagai

metode primer atau sekunder data yang diperoleh dari

FGD adalah data kualitatif.

Observasi adalah pengamatan yang bertujuan untuk

mendapatkan data tentang suatu masalah sehingga

diperoleh pemahaman atau pembuktian terhadap

informasi/keterangan yang diperoleh sebelumnya. Sebagai

metode ilmiah observasi biasa diartikan sebagai

pengamatan dan pencatatan fenomena-fenomena yang

diselidiki secara sistematik. Dalam arti yang luas

observasi sebenarnya tidak hanya terbatas kepada

35

pengamatan yang dilakukan baik secara langsung maupun

tidak langsung.

Pengamatan tidak langsung misalnya melalui

kuesioner dan tes. Pada dasarnya observasi bertujuan

untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari mengenai

aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang

terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat

dan perspektif mereka terlibat dalam kejadian yang

diamati tersebut. Deskripsi harus kuat, faktual,

sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai hal yang

tidak relevan.

Peserta wawancara berjumlah 5 orang. Awalnya

peserta wawancara berjumlah 6 orang, namun karena salah

satu dari mereka berhalangan untuk hadir. Peserta

wawancara berusia antar 13 – 15 tahun dengan dua orang

laki-laki dan 3 orang perempuan.

36

BAB IV

PEMBAHASAN

Silverman (Heward, 1996) akselerasi adalah suatu

respon dalam menjawab kebutuhan belajar dengan lebih

cepat yang dimiliki oleh anak-anak berbakat. Penelitian

menunjukkan bahwa ketika akselerasi dijalankan dengan

tepat, maka ketertarikan siswa terhadap sekolah akan

meningkat, mencapai level prestasi akademis yang lebih

tinggi, memiliki perhatian terhadap prestasi, dan

menyelesaikan level pendidikan yang lebih tinggi dalam

waktu singkat, yang akan meningkatkan waktu untuk

berkarir di akhir sekolah. Selain itu akselerasi adalah

memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjalani

kurikulum yang ada dengan lebih cepat (Heward, 1996).

Terdapat beberapa jenis dari akselerasi, yaitu: (1)

Memasuki sekolah formal pada usia dini; (2) Loncat kelas;

(3) Mengikuti bidang studi tertentu di kelas yang lebih

tinggi; (4) Kurikulum yang dipadatkan atau dipersingkat;

(5) Memasuki sekolah menengah atas dan universitas secara

bersamaan; (6) Memasuki universitas lebih awal; (7)

37

Bagaimanapun akselerasi ini dilakukan, pada akhirnya

peserta didik tetap menyelesaikan pendidikan sekolah,

namun dalam waktu yang lebih singkat.

Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas dapat

disimpulkan bahwa akselerasi adalah pemberian kesempatan

kepada siswa untuk menjalani kebutuhan belajar dengan

cepat. Dari beberapa subjek penelitian ada beberapa

subjek yang menjalani akselerasi dari SMP. Menurut

penilaian subjek kelas akselerasi adalah kelas yang lebih

diatas tingkatannya dari kelas regular. Kelas akselerasi

memiliki jam belajar yang lebih banyak dari kelas

regular, selain itu tugas yang diberikan pada siswa

akselerasi sangat jauh berbeda tingkatannya dibandingkan

dari kelas regular. Meskipun, siswa akselerasi lebih

membutuhkan waktu yang banyak hanya untuk mengerjakan

tugas-tugas sekolah, tapi sebagian besar dari mereka

masih aktif dalam kegiatan baik didalam sekolah maupun

diluar sekolah.

Siswa akselerasi secara tidak langsung harus dituntut

untuk memiliki manajemen waktu yang baik. Manajemen waktu

sangat berguna untuk menjadwalkan perencanaan dan

38

membantu siswa untuk mengatur waktu yang dimilikinya

sebaik mungkin. Manajemen waktu adalah tindakan atau

proses perencanaan dan secara sadar melakukan kontrol

atas jumlah waktu yang dihabiskan untuk kegiatan

tertentu, terutama untuk meningkatkan efektivitas,

efisiensi atau produktivitas. Manajemen waktu dapat

dibantu oleh berbagai keterampilan, peralatan dan teknik

yang digunakan untuk mengelola waktu dalam menyelesaikan

tugas-tugas tertentu, proyek dan tujuan sesuai dengan

tanggal jatuh tempo. Manajemen waktu meliputi cakupan

yang luas dari kegiatan dan termasuk dalam perencanaan,

mengalokasikan, menetapkan tujuan, delegasi, analisis

waktu yang dihabiskan, pemantauan, pengorganisasian,

penjadwalan dan prioritas.

Berdasarkan dari hasil penelitian kami, siswa

akselerasi merasa tidak cukup dengan waktu 24 jam dalam

sehari. Sebagian besar dari mereka telah memiliki

manajemen waktu tetapi tidak satu pun kegiatan yang

mereka lakukan dijalankan sesuai dengan jadwal yang telah

mereka buat.

39

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Silverman (Heward, 1996) akselerasi adalah suatu

respon dalam menjawab kebutuhan belajar dengan lebih

cepat yang dimiliki oleh anak-anak berbakat. Penelitian

menunjukkan bahwa ketika akselerasi dijalankan dengan

tepat, maka ketertarikan siswa terhadap sekolah akan

meningkat, mencapai level prestasi akademis yang lebih

tinggi, memiliki perhatian terhadap prestasi, dan

menyelesaikan level pendidikan yang lebih tinggi dalam

waktu singkat, yang akan meningkatkan waktu untuk

berkarir di akhir sekolah.

Berdasarkan, dapat disimpulkan bahwa siswa yang

masuk dalam kelas akseleresasi menganggap bahwa waktu

24 jam per hari itu tidak cukup untuk melakukan semua

aktifitas mereka, bahkan meskipun telah memiliki

manajemen waktu, tidak satu pun kegiatan yang mereka

40

lakukan dijalankan sesuai dengan jadwal yang telah

mereka buat.

B. Saran

Saran yang diberikan oleh peneliti untuk siswa

akseleresasi yaitu:

1. Membuat kembali menejemen waktu agar dapat

meminimalisir segala kegiatan yang dilakukan siswa

akselerasi dalam waktu 24 jam sehari.

2. Tetap melanjutkan kegiatan sesuai dengan yang

terencakan dalam program manajemen waktu.

3. Berusaha untuk menghindari prokastinasi dalam

melakukan kegiatan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. (2003). Psikologi umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaplin, J. P. (2011). Kamus lengkap psikologi. (Terjemahanoleh Kartini Kartono). Jakarta: Raja GrafindoPersada.

Coleman, L. J. (1985). Schooling the Gifted. USA. Addison-Wesley Publishing Company, Inc.

Davidson, J. (2001). Penurunan 10 Menit Manajemen Waktu.Yogyakarta: Andi Offset.

41

Hallahan, D. P. & Kauffman, J. M. (1982) ExceptionalChildren Introduction to Special Education. New York:Prentice-Hall, Inc.

Heward, W. L. (1996). Exceptional Children, Fifth Edition.New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Hofer, M., Schmid, S., Diets, F., Clausen, M.,Reinders, H. (2007). Individual Values,Motivational Conflicts, and Learning For School.Journal Learning and Instruction. 17, 17-28.

Jawwad, A. M (2006). Manajemen Waktu. (terjemahanKhozin Abu Faqih). Bandung: Syaamil Cipta Media.

Kalat, J. W. (2008). Introduction to psychology (8th ed.).Wadsworth: Thomson.

Kantowitz, B. H., Henry, L. R., & David, G. E. (2008).Experimental psychology (8th ed.). Wadsworth: CengageLearning.

Koontz., Weihrich. (2008). Sistem manajemen Manusia.Jakarta: Gramedia.

Munandar, U. (1982). Pemanduan Anak Berbakat. Jakarta: CVRajawali.

Renzulli, J.S., (1979), What Makes Giftednees : A.Reexamination of the Definition of the Gifted and Talented,California, Ventura Cauntry SuperintendentSchools Office.

Sobur, A. (2003). Psikologi umum. Bandung: PustakaSetia.

Somantri, T.Sutjihati (2006). Psikologi Anak Luar Biasa.Bandung: PT. Refika Aditama.

Semiawan, C. (1994). Perspektif Pendidikan Anak Berbakat.Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan,Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek

42

Pembinaan Dan Peningkatan Mutu TenagaKependidikan.

Tarmidi & Hadiati (2005). Prestasi Belajar Ditinjaudari Persepsi Siswa Terhadap Iklim Kelas padaSiswa yang Mengikuti Program Percepatan Belajar.Psikologia Volume 1 No. 1 Juni 2005. Medan: FakultasKedokteran USU.

43