Kontrol-Sosial-Lembaga-Swadaya-Masyarakat-LSM ...

26
commit to user library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Konsep 1. Kontrol Sosial Kontrol sosial menurut Soekanto (Hanifah, 2013: 3) adalah proses yang bersifat mendidik, mengajak atau memaksa warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah sosial yang berlaku. Pengendalian sosial (kontrol sosial) dimaksudkan agar anggota masyarakat mematuhi norma-norma sosial sehingga tercipta keselarasan dalam kehidupan sosial. Parson mendefinisakan kontrol sosial sebagai proses di dalam sistem sosial yang cenderung mengimbangi tendesi penyimpangan. Definisi lain mengenai kontrol sosial dikemukakan oleh Shibutani (Husein, 2011: 288) kontrol sosial mengacu pada kenyataan bahwa perilaku manusia diatur untuk menanggapi atas harapan yang penting bagi orang lain. Shibutani menggunakan istilah kontrol sosial dalam arti yang umum. Seperti mengarahkan, menahan, mengatur dan menguasai perilaku orang lain. Peter L. Berger mengemukakan pengendalian sosial adalah berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang membangkang. Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang direncanakan maupun tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak, membimbing dan memaksa warga untuk nilai dan kaidah yang berlaku. Tujuan adanya kontrol sosial adalah agar masyarakat mau mematuhi aturan dan nilai yang ada. Menurut Roucek (Husein, 2011: 288) proses pengendalian sosial bisa dalam tiga bentuk. Pertama yaitu antara individu dengan individu lainnya. Misalnya seorang ibu menjelaskan tentang aturan di keluarganya agar anak berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku. Kedua yaitu kontrol sosial antara individu

Transcript of Kontrol-Sosial-Lembaga-Swadaya-Masyarakat-LSM ...

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Konsep

1. Kontrol Sosial

Kontrol sosial menurut Soekanto (Hanifah, 2013: 3) adalah proses yang

bersifat mendidik, mengajak atau memaksa warga masyarakat agar mematuhi

kaidah-kaidah sosial yang berlaku. Pengendalian sosial (kontrol sosial)

dimaksudkan agar anggota masyarakat mematuhi norma-norma sosial sehingga

tercipta keselarasan dalam kehidupan sosial.

Parson mendefinisakan kontrol sosial sebagai proses di dalam sistem sosial

yang cenderung mengimbangi tendesi penyimpangan. Definisi lain mengenai

kontrol sosial dikemukakan oleh Shibutani (Husein, 2011: 288) kontrol sosial

mengacu pada kenyataan bahwa perilaku manusia diatur untuk menanggapi atas

harapan yang penting bagi orang lain. Shibutani menggunakan istilah kontrol

sosial dalam arti yang umum. Seperti mengarahkan, menahan, mengatur dan

menguasai perilaku orang lain.

Peter L. Berger mengemukakan pengendalian sosial adalah berbagai cara

yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang membangkang.

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang

direncanakan maupun tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak,

membimbing dan memaksa warga untuk nilai dan kaidah yang berlaku. Tujuan

adanya kontrol sosial adalah agar masyarakat mau mematuhi aturan dan nilai

yang ada.

Menurut Roucek (Husein, 2011: 288) proses pengendalian sosial bisa dalam

tiga bentuk. Pertama yaitu antara individu dengan individu lainnya. Misalnya

seorang ibu menjelaskan tentang aturan di keluarganya agar anak berperilaku

sesuai dengan norma yang berlaku. Kedua yaitu kontrol sosial antara individu

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2

dengan kelompok. Ketiga yaitu kontrol sosial antara kelompok dan kelompok

lainnya.

Dalam melakukan kontrol sosial, diperlukan cara-cara yang tepat.

Berdasarkan dimensi sifatnya menurut Hamzah (2015: 125) upaya melakukan

kontrol sosial bisa dengan cara yang pertama dengan persuasif, yaitu mengajak

atau membimbing warga untuk bertindak atau berperilaku sesuai dengan norma

yang berlaku dalam masyarakat. Yang kedua dengan cara koersif, yaitu dengan

cara memaksa warga agar bersedia bertindak sesuai dengan norma yang berlaku.

Kontrol sosial juga bisa bersifat preventif atau dengan cara pencegahan agar

penyimpangan tidak terjadi. Artinya dengan antisipasi agar tak terjadi

kemungkinan-kemungkinan penyimpangan. Masyarakat bisa belajar dari

peristiwa-peristiwa tempat lain atau kejadian-kejadian terdahulu. Kontrol sosial

preventif bertujuan agar pemyimpangan dapat dicegah dan mengurangi resiko

serta dampak dari penyimpangan yang dilakukan. Sedangkan yang bersifat

represif adalah dengan cara mengembalikan ketertiban masyarakat yang pernah

terganggu ke keadaan semula yang lebih kondusif. Terkadang antisipasi bisa

terlewat sehingga terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan. Perlu

adanya tindakan represif dalam mengembalikan keadaan semula. Memperbaiki

keadaan seperti saat tidak ada penyimpangan. Selain itu juga ada dalam bentuk

Kuratif. Yaitu tindakan yang dilakukan bertujuan untuk memberikan penyadaran

kepada para pelaku penyimpangan agar menyadari kesalahannya dan mau

memperbaiki kondisinya. Harapannya agar tidak akan diulang kembali

penyimpangan tersebut di lain kesempatan.

Bisa dikatakan kontrol sosial adalah proses yang dilakukan oleh sekolompok

orang agar anggotanya dapat bertindak sesuai dengan harapan. Adapun agen-

agen kontrol sosial menurut (Hamzah, 2015: 125) adalah keluarga, lembaga,

polisi, tokoh masyarakat, adat dan lain-lain. Lembaga menjadi agen kontrol sosial

bagi masyarakat, dalam hal ini khususnya kepada anak jalanan. Cara yang

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3

dilakukan dengan persuasif atau ajakan kepada anak jalanan untuk tetap

mendapatkankan haknya dalam pendidikan. Agen menfasilitasi pendidikan untuk

anak jalanan dengan mengarahkan anak jalanan agar tetap belajar dalam kondisi

apapun, supaya anak jalanan mendapatkan pendidikan sesuai dengan harapan.

Selain kontrol sosial dari sebuah lembaga, ada kontrol sosial dalam lembaga

informal sebenarnya dapat melalui pola pengasuhan orang tua. Hal ini termasuk

tanggungjawab orang tua dalam mendidikan anaknya. Pola asuh orang tua

dianggap lebih efektif karena lebih alami sejak lahir hingga kemudian tumbuh

besar dan akan mempengaruhi karakteristik anak kedepannya. Hanya seringkali

pada kondisi anak-anak jalanan bentuk kontrol sosial orang tua ini masih sangat

kurang diterapkan. Lebih cenderung dibiarkan begitu saja karena desakan

ekonomi dan lain sebagainya.

Biasanya masyarakat itu sendiri telah menyediakan sanksi-sanksi apabila

terjadi penyimpangan. Baik itu bentuk sanksi yang ringan ataupun sanksi yang

berat. Sanksi dalam sosiologi adalah bentuk penderitaan yang secara sengaja

dibebankan oleh masyarakat kepada seorang warga masyarakat yang terbukti

melanggar atau menyimpang agar kelak tak terjadi penyimpangan lagi.

Ada tiga jenis sanksi yang digunakan dalam usaha melaksanakan kontrol

sosial. Yaitu sanksi yang bersifat fisik, sanksi yang bersifat psikologik dan sanksi

yang bersifat ekonomik. Ketiga sanksi tersebut kadangkala tidak dapat

dipisahkan harus diterapkan secara bersama-sama. Contohnya hakim

menjatuhkan pidana kepada terdakwah dengan penjara dan membayar denda, hal

itu sudah mencakup tiga hal sanksi tadi. Secara fisik, psikologik dan ekonomik

mencakup semua. Sebenarnya kontrol sosial juga bisa dilakukan dengan cara

yang lebih halus yaitu dengan dorongan-dorongan positif yang membantu

individu untuk meninggalkan hal-hal yang salah.

Cara pengendalian lainnya dapat dibedakan pada bentuk formal maupun

informal. Membujuk, mengolok-olok, mengucilkan termasuk dalam

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4

pengendalian informal. Sedangkan dalam bentuk formalnya adalah diatur oleh

hukum-hukum terrulis atau aturan formal lainnya (Ahmad, 2015: 81).

2. Anak Jalanan

Anak jalanan adalah anak-anak yang tersisih, marginal dan teralienasi dari

perlakuan kasih sayang karena kebanyakan dalam usia relatif dini sudah harus

berhadapan dengan lingkungan yang keras dan tidak bersahabat (Suyanto, 2010:

185). Banyak kenyataan terjadi di berbagai kota, mereka berusaha bertahan hidup

dengan bekerja. Hal ini disebabkan karena kondisi keluarga yang kurang mampu.

Menurut Widiyanto (1991: 54) anak jalanan adalah anak-anak yang hidupnya

tergantung pada kehidupan jalanan dan tempat-tempat terbuka di perkotaan

dimana jalanan dalam konteks aktivitas ekonomi anak jalanan dapat diartikan

sebagai ruang publik atau terbuka. Mereka yang sebagian besar mencari nafkah

dan berkeliaran di jalanan atau tempat lainnya. Seringkali anak jalanan dianggap

sebagai pengganggu ketertiban umum dan membuat kota menjadi terlihat kotor.

Anak bisa didefinisikan secara berbeda dalam penelitian, yang dikatakan

sebagai anak adalah yang berusia antara 6-16 tahun dan masih dapat berkembang

secara fisik dan perlu dukungan dari lingkungan (Arumsari, 2013: 17). Menurut

UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, disebutkan bahwa anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 tahun. Selanjutnya menurut pemerintah dalam

hal ini Departemen Sosial anak jalanan adalah anak yang menghabiskan

waktunya untuk mencari nafkah di jalanan atau tempat umum lainnya. Jalanan

yang dimaksud bukan sebatas pinggir jalan, melainkan juga tempat-tempat lain

seperti pasar, terminal dan lain sebagainya. Anak jalanan berada dalam kondisi

yang tidak menguntungkan. Banyak dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan

banyak yang memberikan gambaran negatif tentang anak jalanan. Bukan

kemudian dipandang sebelah mata namun harus kita jaga bersama.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5

Beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya anak jalanan menurut

Deny (2013: 11) adalah sebagai berikut:

1. Adanya masalah keluarga seperti kemiskinan, pengangguran, perceraian

dan kekerasan dalam keluarga.

2. Adanya penggusuran keluarga miskin sehingga semakin tidak berdaya

dengan kebijakan yang diterapkan.

3. Kesenjangan pembangunan desa dan kota yang mengakibatkan urbanisasi

meningkat sehingga terlantar di jalanan.

4. Pembangunan yang mengorbankan tempat bermain anak.

5. Meningkatnya angka putus sekolah sehingga menjadikan anak harus

mencari nafkah.

6. Kurangnya kontrol sosial orang tua dalam memperhatikan anaknya.

Seringkali dalam masalah komunikasi dan memahami kondisi anak.

Dari faktor diatas bisa dikatakan kemiskinan adalah hal utama yang

mengakibatkan anak turun ke jalanan. Banyak diantara mereka yang akhirnya

bekerja di sektor informal untuk bekerja meskipun itu legal maupun illegal.

Kondisi seperti ini kemudian membentuk karakter anak jalanan yang sulit diatur

dan keras, akhirnya dipandang meresahkan masyarakat. Anak jalanan hidup

dibawah tekanan sebagai penganggu ketertiban.

Menurut Shalahuddin (2004) anak jalanan dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:

1. Children On The Street adalah anak-anak yang memiliki kegiatan

ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada

dua kelompok dalam kategori ini:

a. Anak-anak yang masih tinggal dengan orang tuanya dan masih

senantiasa pulang setiap hari.

b. Anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan

namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan

cara pulang berkala, atau dengan jadwal yang tidak rutin.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6

2. Children Of The Street. Anak-anak yang menghabiskan waktunya di

jalanan yang tidak memiliki hubungan dengan orang tua atau keluarga

lagi.

3. Children In The Street. Anak-anak yang menghabiskan waktunya di

jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup dari jalanan.

Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia menambahkan satu lagi kategori

anak jalanan, yaitu anak yang berusia diatas 16 tahun berada di jalanan untuk

mencari kerja. Mereka biasanya adalah orang perantau yang mengikuti orang atau

saudaranya ke kota. Mereka biasanya mengamen, menjadi pedagang asongan dan

kuli bangunan. Beberapa kasus anak menjadi korban eskploitasi oleh pihak yang

tak bertanggungjawab. Anak diiming-imingi pekerjaan bergaji besar tapi pada

kenyataannya anak dipekerjakan di jalanan tanpa adanya rasa belas kasih.

Seseorang menjadi anak jalanan salah satunnya disebabkan oleh masalah

ekonomi. Banyak anak menjadi putus sekolah dan harus membantu orang tua.

Selain itu disebabkan karena masalah sosial, misalnya kondisi keluarga yang

kurang perhatian dan terjadi keretakan hubungan dalam keluarga. Pengaruh

lingkungan menjadikan anak lebih tertarik kepada teman-teman sebayanya yang

juga ada di jalanan. Anak cenderung merasa bisa hidup lebih bebas. Nilai anak

dalam keluarga juga bisa menjadi salah satu penyebab mengapa anak lebih

memilih hidup di jalanan. Anak dianggap sebagai tulang punggung keluarga dan

disuruh bekerja sejak kecil.

3. Pendidikan

Pendidikan menurut Iriyanto (2012: 97) adalah pondasi yang kokoh bagi

setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tatakelakuan.

Pendidikan merupakan sebuah proses belajar yang bertahap. Dalam pembukaan

UUD 1945 alinea IV dinyatakan bahwa tujuan negara adalah untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

7

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional

merupakan upaya implementasi tuntutan reformasi bidang pendidikan. Dalam

undang-undang tersebut dicanangkan demokratisasi dan desentralisasi

pendidikan, peran serta masyarakat, kesetaraan dan keseimbangan jalur

pendidikan untuk peserta didik.

Pendidikan adalah pengendalian sosial yang sudah ada di tengah masyarakat.

Dalam pendidikan tidak hanya diajarkan sebuah pelajaran formal, namun juga

tentang kedisiplinan dan mematuhi peraturan yang ada. Agar orang bisa bertindak

tertib dan teratur sehingga menjadi orang yang bertanggungjawab.

Pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Dalam

bahasa Indonesia pendidikan berarti proses mendidik atau melakukan suatu

kegiatan yang mengandung proses komunikasi antara pendidik dan yang dididik.

Pendidikan juga berfungsi sebagai sesuatu yang akan membentuk cara berpikir

seseorang. Dengan pendidikan anak akan memilik cara berpikir yang terus

tumbuh secara bertahap. Anak sangat membutuhkan pendidikan untuk masa

depan yang lebih baik. Anak jalanan tidak bisa mengenyam pendidikan seringkali

dikarenakan masalah biaya dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi pola

pikir anak. Menurut Wangid (2009: 130) Anak idealnya harus mendapatkan kasih

sayang dan terus dididik untuk menjadi manusia yang merdeka secara lahir dan

batin, mendapatkan haknya sebagai anak, serta sehat jasmani dan rohani agar

menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggungjawab.

Pendidikan membuat manusia melalui proses tertentu menuju ke sesuatu yang

dituju dan diinginkan. Dengan pendidikan segala potensi akan terarah dan

terasah. Oleh karena itu perlunya mewujudkan pendidikan yang manusiawi.

Pendidikan adalah pondasi kokoh bagi semua masyarakat. Pendidikan adalah

proses belajar yang bertahap dan tidak terbatas pada lingkungan formal seperti

sekolah, namun dapat juga pada alam dan pengalaman hidup (Dwi, 2012: 98).

Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4 bahwa negara memprioritaskan anggaran

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

8

pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Sistem pengelolaan

pendidikan tidak bisa berjalan sempurna ketika peran serta masyarakat diabaikan.

Masyarakat harus mendapatkan ruang agar dapat berperan dan terlibat dalam

mengatasi masalah pendidikan.

Seringkali pendidikan formal yang membutuhkan biaya tak sedikit menjadi

penghalang utama, menjadi alasan utama bagi anak jalanan dan orang tuanya

untuk tidak menjamah sekolah. Oleh sebab itu, anak jalanan memiliki pandangan

berbeda dengan lebih memprioritaskan bagaimana mendapatkan uang demi

memenuhi kebutuhannya. Hingga akhirnya taka da waktu lagi untuk belajar,

apalagi terbesit dalam pikirannya untuk bersekolah. Sudah terstigma bahwa

pendidikan itu mahal, kalaupun ada yang gratis, harus melalui tahap tes seleksi.

Kondisi anak jalanan dengan anak normal jelaslah berbeda. Secara kapasitas

berpikir terlebih berpikir tentang pelajaran sekolah. Jika dilihat memang tujuan

sekolah adalah agar anak menjadi pandai. Ketika anak sedang akan menuju ke

tahap pandai ternyata terhalang karena tak lulus tes seleksi. Perlu perhatian yang

lebih, karena seringkali yang mengakomodasi fasilitas pendidikan anak jalanan

adalah LSM-LSM, bukan pemerintah itu sendiri. Lebih sibuk dengan bagaimana

caranya agar pendidikan terlihat hebat, nyatanya masih menindas kalangan

bawah. Perhatiannya masih pada popularitas pendidikan yang tinggi, bukan pada

pemerataan pendidikan untuk seluruh kalangan masyarakat.

Aspek pendidikan juga terkait erat dengan politik, yaitu pada kebijakan

pendidikan. Menurut Rohman dan Wiyono merumuskan kebijakan pendidikan

yang akan berakses pada equality of opportunity, accessibility, equality dan

equity (Mulyadi, 2010: 14). Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor

20 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 4 ayat 1 yang menyatakan “bahwa

pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak

diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai

kultural, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan bagi semua adalah salah satu

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

9

tujuan pendidikan. Hakikat pendidikan adalah memandu peserta didik ke arah

realita sosial yang berintegrasi dengan masyarakat heterogen serta tidak

mengarah kepada ekslusifitas.

Melihat permasalahan-permasalahan tersebut maka muncullah sekolah-

sekolah nonformal yang memang ditujukan khusus untuk anak jalanan atau anak

berkebutuhan khusus. Diharapkan dari sekolah-sekolah nonformal ini dapat

mengurangi dan menghilangkan masalah pendidikan anak jalanan. Karena

sejatinya pendidikan tidak harus sama dan saklek. Terkadang sistem yang saklek

malah hanya membuat anak menjadi tidak kreatif. Akal pikiran anak bisa

berkelana lebih luas.

Manusia merupakan makhluk yang memiliki kemandirian jasmani dan

rohani. Dalam kemandirian tersebut manusia memiliki potensi untuk

berkembang. Maka diperlukan adanya pendidikan agar kebutuhan psikis dan

fisiknya dapat terpenuhi secara seimbang. Dengan pendidikan segala potensi

manusia akan lebih terarah dan terasah. Pendidikan harus memiliki tujuan yang

bagus demi perkembangan anak. Termasuk pendidikan yang bisa menjangkau

semua kalangan. Bukan hanya mereka yang memiliki biaya yang bisa bersekolah

dan mengenyam pendidikan, namun bagi anak-anak marginal atau anak jalanan

juga perlu mendapatkan perhatian pemerintah terutama. Pendidikan ada dua

macam, ada yang formal dan nonformal. Sekolah-sekolah resmi adalah contoh

pendidikan formal. Sedangkan yang nonformal biasanya seperti sekolah alam dan

lebih fleksibel. Sekolah nonformal inilah yang kebanyakan menjadi tempat

belajar anak-anak marginal. Sekolah tersebut yang terus berjasa dalam

menyelamatkan masa depan anak jalanan, dengan kondisi apapun dan

bagaimanapun, hambatan selalu ada dalam menjalankannya. Namun adanya

sekolah informal ini menjadi penting.

B. Penelitian Terdahulu

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

Sebuah penelitian akan ada kaitan-kaitan dengan apa yang dulu juga pernah

diteliti oleh peneliti-peneliti terdahulu. Hanya saja kondisi akan terus berubah seiring

berjalannya waktu. Kondisi pada saat dahulu dengan saat sekarang bisa jadi berbada

sangat jauh, karena perubahan sosial dalam masyarakat pasti terjadi.

Kajian terdahulu untuk tulisan yang terkait dengan penelitian ini adalah,

pertama karya Jill Theresa Messing tentang Kontrol Sosial Kekerasan Keluarga

dalam judul aslinya The Social Control of Family Violence. Penelitian ini tentang

respons sosial yang berbeda terhadap penyalahgunaan anak. Bentuk kekerasan terjadi

di dalam keluarga. Penelitian ini menjelaskan tanggapan yang berbeda terhadap

bentuk-bentuk kekerasan keluarga melalui pemeriksaan historis untuk memerangi

pelecehan anak dan kekerasan pasangan. Penulis menerapkan teori kontrol sosial

untuk menganalisa perkembangan respon sosial. Dia berpendapat bahwa integrasi

layanan sosial dan sistem peradilan pidana paling baik melayani keluarga yang

mengalami kekerasan.

Kedua, Karya M. Hamzah tentang Peran Kontrol Sosial dalam Pengendalian

Perilaku Mahasiswa Kos Sekitar Kampus Universitas Mulawarman Samarinda.

Penelitian ini dilakukan di sekitar kampus Mulawarman Samarinda meliputi 3 Rukun

Tetangga (RT). Interakasi sosial antara mahasiswa kos dengan warga sekitar kampus

Universitas Mulawarman Samarinda merupakan dinamika tersendiri. Mahasiswa

yang memiliki berbagai karakter dan tentunya berbeda-beda tiap orang. Hal ini

membutuhkan kontrol sosial agar kehidupan warga tetap terjaga dengan tentram dan

harmonis. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh penulis menyimpulakn bahwa

bentuk-bentuk kontrol sosial dilihat dari dimensinya bersifat preventif dan represif.

Kontrol sosial preventif merupakan bentuk kontrol sosial yang dilakukan untuk

mencegah kejadian yang belum terjadi atau usaha yang dilakukan sebelum terjadinya

pelanggaran. Caranya dengan membuat peraturan yang disepakati bersama seluruh

pihak yang terlibat. Sedangkan kontrol sosial yang represif dilakukan dengan

penggerebekan untuk mengembalikan suasana kondusif. Terkait dengan perilaku

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

mahasiswa Universitas Mulawarman Samarinda masih dalam sebatas kewajaran.

Sebagian besar mahasiswa dan warga selalu menjaga ketertiban dan keamanan.

Ketiga, Riki Taufiki tentang Pendidikan untuk Anak Pengemis, studi kasus

pada keluarga pengemis di Kota Banda Aceh. Permasalahan pengemis adalah

fenomena umum yang terjadi di belahan Indonesia. Fenomena ini sangat merisaukan

karena banyak anak-anak yang dilibatkan dalam mengemis, meskipun anak-anak

tersebut seharusnya sedang mengenyam pendidikan di sekolah. Dalam kajian ini

hasilnya adalah ada beberapa anak yang masih menempuh pendidikan SD dan ada

yang sudah tidak bersekolah. Orang tua pengemis menginginkan anaknya mengemis

sambil bersekolah. Orang tuanya juga belum bisa memberikan pendidikan yang

berkualitas. Saran pagi pemerintah setempat adalah menyediakan beasiswa bagi anak

pengemis yang kebanyakan mereka sudah berstatus yatim. Sehingga dengan

beasiswa anak diharapkan bisa memenuhi kebutuhan sekolahnya tanpa harus

mengemis.

Keempat, karya Sri Wahyuni tentang Pengubahan Konsep Diri Sebagai Kunci

Keberhasilan Pendidikan Anak Jalanan (2014). Penelitian ini bertujuan untuk

menemukan sebuah teori berdasarkan data yang akan menjelaskan keberhasilan dan

kegagalan bagi pendidikan anak jalanan. Hasilnya menjelaskan bahwa keberhasilan

pendidikan anak jalanan sangat dipengaruhi oleh konsep diri anak jalanan itu sendiri.

Lingkungan adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap konsep diri anak

jalanan. Kehadiran mereka tidak hanya disebabkan karena faktor kemiskinan atau

pertengkaran keluarga, tapi juga karena faktor lingkungan sosial. Hubungan darah

dan emosional antara orang tua dan anak dijadikan sebagai kepentingan ekonomi.

Orang tua memaksa anak untuk bekerja. Dengan kata lain, orang tua menuntut

pengabdian kepada anak-anak mereka untuk mendapatkan uang. Akibatnya anak

harus bekerja dan mengorbankan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Hal

semacam ini harus dihentikan dengan mengondisikan lingkungan sosial, agar anak

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

secara bertahap berubah konsep dirinya yang seharusnya bisa menjadi anak yang

mendapatkan hak untuk mengenyam pendidikan.

Kelima, karya Asal Wahyuni Erlin Mulyadi dengan judul Ke(tidak)adilan

Sosial Dalam Kebijakan Pendidikan. Dalam karya ini disebutkan bahwa di Indonesia

terdapat sekitar 2,2 juta anak usia wajib belajar (7-15 tahun) belum dapat menikmati

pendidikan. Total sekitar 28,4 juta warga usia 7-25 tahun tidak memperoleh

pendidikan. Jumlah penduduk saat ini sekitar 250 juta jiwa, berarti sekitar lebih dari

10 persen tidak terjamah sebagai warga negara yang berhak mendapatkan

memperoleh pendidikan bermutu. Untuk mencapai pendidik untuk semua memang

tidak semudah membalikkan tangan. Pendidikan bagi semua memerlukan “huge

investement”. Langkah dalam menyikapi hal tersebut adalah dengan melakukan

koreksi dalam segala bentuk ketidakadilan sosial dalam kebijakan pendidikan.

Perspektif keadilan sosial dalam setiap tindakan kebijakan pendidikan di Indonesia

sangat diperlukan. Dalam melakukan kebijakan publik hal yang perlu

dipertimbangkan adalah mampu melakukan pemerataan kepada masyarakat.

Kebijakan public harus dapat diakses oleh seluruh masyarakat dan bersifat adil.

Kebijakan pendidikan di Indonesia belum membuahkan hasil yang optimal

karena masih banyak keganjilan dan distorsi dalam penyelenggaran pendidikan.

Kastanisasi dan komersialisasi dalam pendidikan merupakan fakta dalam

ketidakadilan dalam pendidikan. Hal ini menunjukkan lemahnya pemerintah dalam

mewujudkan pendidikan bagi semua. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi

setiap orang dan merupakan bagian dari proses sosial. Oleh karena itu, perubahan

dapat terjadi dan ditentukan oleh sistem pendidikan dan landasan ideologi dari

pendidikan itu sendiri. Sistem pendidikan yang berdasarkan pada ideologi komunis

atau sekuler akan melahirkan masyarakat komunis ataupun sekuler. Begitupula jika

pendidikan berperspektif ekonomi akan melahirkan generasi yang berorientasi

individualis, materialis, dan liberalis. Perspektif inklusi berorientasi pada perwujudan

keadilan sosial. Keberhasilan di bidang pendidikan akan terkait dengan kemajuan

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

bidang-bidang lainnya. Upaya untuk memperbaiki kondisi pendidikan harus

dilakukan pendekatan yang integratif.

Keenam, karya Rizka Robaaniyahya dkk tentang Peran Lembaga Sosial

PPAP Seroja Dalam Memberikan Motivasi Belajar Kepada Anak Rawan di Kota

Solo. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa anak memerlukan perhatian yang lebih

daripada orang dewasa. Anak memiliki hak untuk keberlangsungan hidup,

mendapatkan pendidikan dan perhatian, dan hak untuk tumbuh kembang. Namun

pada kenyataannya pemenuhan hak-hak anak ini seringkali dilupakan. Salah satunya

adalah tentang pendidikan, masalah saat ini pada akses pendidikan yang masih

kurang merata, belum bisa didapatkan oleh semua golongan masyarakat.

Menurut data dari UNICEF (United Nations Children’s Fund) organisasi

dunia yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan anak serta ibu-ibu,

memajukan pendidikan bagi anak-anak dan melindungi dari penyakit-penyakit

berbahaya. Tahun 2012 jumlah anak putus sekolah di Indonesia berjumlah 2,3 juta

anak dan mengalami peningkatan pada tahun 2015 sejumlah 2,5 juta anak. Kondisi

ini memprihatinkan karena pada saat itu pemerintah sedang melakukan program 12

tahun wajib belajar. Kota Solo sendiri terdapat 763 anak yang putus sekolah pada

tahun 2014. Masih terjadi ketidakmerataan di Kota Solo. Keadaan ekonomi keluarga

yang terbatas menjadi salah satu penyebab anak tidak bisa bersekolah. Kemudian

mendorong anak untuk bekerja

Pada hasil penelitian ini cara yang dilakukan oleh seroja adalah memberikan

beasiswa kepada anak. Salah satu peran yang dilakukan oleh PPAP Seroja adalah

memberikan bantuan dana kepada anak rawan agar bisa bersekolah kembali.

Pemberian bantuan beasiswa ini juga ada syaratnya agar digunakan dengan baik,

yaitu anak harus bersekolah dan mengikuti setiap agenda dari PPAP Seroja. Selain

beasiswa ada lagi kegiatan menyisipkan motivasi dan materi belajar kepada anak.

Karena seringkali anak rawan kurang memiliki semangat dalam belajar atau

bersekolah. Program ini berdampak positif bagi kondisi anak rawan, semakin

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

bertambah anak rawan yang mau belajar di PPAP Seroja. Selain itu persepsi anak

rawan juga berubah terhadap suasana kegiatan belajar di sekolah. Sebelumnya anak

rawan menganggap bahwa sekolah itu akan banyak aturan yang mengikat,

mengekang, banyak guru yang tidak bersahabat dan pandangan negatif lainnya.

Ketujuh, karya Gerich Joachim tahun 2013, ”The Inhibiting Function of Self-

Control and Social Control on Alcohol Consumption” membahas tentang Fungsi

Kontrol Diri dan Kontrol Sosial terhadap Konsumsi Alkohol. Penelitian berfokus

tentang penggunaan zat, perilaku kesehatan pada berbagai mekanisme kontrol, yang

tertanam dalam pengendalian diri (self-control) atau lingkungan sosial (kontrol

sosial), yang mencegah individu untuk tidak melakukan perilaku tidak sehat.

Penelitian ini membahas peran kedua jenis kontrol berkenaan dengan konsumsi

alkohol. Penelitian ini menunjukkan bahwa kedua tipe kontrol sosial tersebut

memiliki pengaruh yang saling independen serta saling mempengaruhi. Hasilnya

menunjukkan bahwa pengaruhnya akan lemah ketika tingkat kontrol dari instansi

lainnya tinggi. Ketika kontrol diri anak jalanan atau keluarga lemah, maka kontrol

sosial instansi bisa lebih tinggi. Penelitian ini lebih menekankan bagaimana kontrol

sosial dari Lembaga Seroja dalam menangani anak jalanan.

C. Landasan Teori

1. Teori Kontrol Sosial

Masyarakat memiliki beragam norma yang mengatur perilaku yang pantas.

Kontrol sosial adalah teknik dan strategi yang mencegah perilaku menyimpang

di masyarakat. Kontrol sosial ada di setiap kalangan masyarakat. Dalam keluarga

kita diajarkan banyak hal termasuk mematuhi orang tua. Di sekolah kita diajarkan

mematuhi norma yang berlaku. Di dunia pekerjaan kita juga harus mematuhi

aturan yang sudah ditentukan oleh instansi. Jika tidak ditaati sering terjadi

penyimpangan-penyimpangan. Kebanyakan dari kita menghormati dan

menerima norma sosial dasar. Tanpa berpikir kita mematuhi instruksi polisi,

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

mengikuti aturan dalam pekerjaan sehari-hari. Kita sadari bahwa individu,

kelompok dan lembaga mengharapkan untuk bertindak benar. Teori kontrol

sosial berangkat dari pertanyaan dasar yang harus memperoleh kejelasan dari

teori itu, pertanyaan itu adalah, “Mengapa kita patuh dan taat pada norma-norma

masyarakat”. Pertanyaan tersebut mencerminkan suatu pemikiran bahwa

penyimpangan bukanlah suatu problematika, yang dipandang sebagai persoalan

pokok adalah ketaatan pada norma-norma masyarakat (Swardhana dkk., 2015:

41).

Menurut Travis Hirschi (Swardhana dkk., 2015: Ibid), teori kontrol sosial

yang dikemukakan dikenal dengan Ikatan Sosial (Social Bond). Penyebab

terjadinya penyimpangan karena macetnya integrase sosial. Kelompok yang

lemah ikatan sosialnya cenderung melanggar hukum karena merasa sedikit terikat

dengan hukum konvensional. Teori kontrol sosial berangkat dari asumsi bahwa

individu di masyarakat punya kecenderungan yang sama, kemungkinan menjadi

“baik” atau “jahat”. Baik jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung oleh

masyarakat itu sendiri. Ada empat elemen ikatan sosial yang terdapat dalam

masyarakat, yaitu:

Pertama, Attachment adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya

terhadap orang lain. Attachment ini sudah terbentuk maka orang tersebut akan

peka terhadap pikiran, perasaan dan kehendak orang lain. Sering diartikan secara

bebas dengan keterikatan. Yaitu keterikatan dengan orang tua, dengan sekolah

atau guru dan keterikatan dengan teman sebaya. Remaja yang sudah terikat

dengan orang tua mampu menahan diri untuk tidak melakukan pelanggaran

karena akan berakibat pada hubungan mereka. Dengan demikian ikatan kasih

sayang antara anak dan orang tua menjadi sebuah penghalang untuk melakukan

suatu tindakan yang menyimpang.

Kedua, Commitment adalah keterikatan seseorang pada subsistem

konvensional, seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Komitmen

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

merupakan aspek rasional dalam ikatan sosial segala kegiatan yang dilakukan

oleh seseorang seperti sekolah, bekerja dan kegiatan dalam organisasi akan

mendatangkan manfaat bagi orang tersebut. Bisa berupa reputasi, harta benda dan

sebagainya. Jika individu berisiko kehilangan banyak yang berhubungan dengan

status, pekerjaan, dan kedudukan dalam masyarakat, kecil kemungkinan ia

melanggar hukum.

Ketiga, Involvement, merupakan aktivitas seseorang dalam subsistem. Jika

seseorang berperan aktif dalam organisasi kecil kemungkinan untuk melakukan

sebuah penyimpangan. Bila orang tersebut aktif dalam kegiatan maka orang

tersebut akan menghabiskan waktu dan tenaganya dalam kegiatan tersebut.

Dengan demikian segala aktivitas yang membawa manfaat akan mencegah orang

berbuat melanggar hukum.

Keempat, Belief, merupakan aspek moral yang ada dalam ikatan sosial. Belief

merupakan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan

seseorang terhadap norma-norma yang ada akan menimbulkan kepatuhan

terhadap norma tersebut. Kepercayaan seseorang terhadap norma akan

menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut. Kepatuhan terhadap norma

akan mengurangi hasrat untuk melanggar.

Dalam sosiologi, teori kontrol sosial digunakan untuk menggambarkan proses

yang menghasilkan dan melestarikan kehidupan sosial yang teratur.

Penyimpangan dianggap sebagai hasil dari kekurangan kontrol sosial yang secara

normal dipaksakan melalui institusi sosial. Seperti keluarga, agama dan

pendidikan.

Roucek berpendapat bahwa pengendalian sosial dapat diklasifikasikan

dengan berbagai cara. Menurutnya ada pengendalian sosial yang dijalankan oleh

institusi dan ada yang tidak, ada yang dilakukan secara lisan dan simbolik, ada

yang dilakukan secara kekerasan, hukuman, imbalan dan ada yang bersifat formal

maupun informal (Sunarto, 2004: 57).

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

Kontrol sosial memiliki beberapa tujuan, yang pertama bertujuan agar

mematuhi nilai dan norma sosial yang berlaku. Bisa dikatakan mengarahkan

masyarakat agar mematuhi norma dan nilai yang berlaku agar tidak ada

penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat dan menganggu stabilitas sistem

sosial masyarakat setempat.

Kedua, pengendalian sosial bertujuan agar tercipta keserasian dan

kenyamanan dalam masyarakat. Jika pengendalian sosial benar-benar

dijalankan oleh seluruh masyarakat, akan tercipta kenyamanan dan keserasian.

Biasanya akan membuat pelaku jera dan takut ketika akan berbuat sesuatu yang

tidak diinginkan masyarakat. Ketiga, agar kembali mematuhi norma yang

berlaku. Apabila terjadi penyimpangan, salah satu hal yang dilakukan adalah

dengan memberikan sanksi bagi pelanggar aturan agar tidak mengulangi

pelanggaran yang sama.

Selain tujuan, pengendalian sosial juga memiliki beberapa sifat-sifatnya,

yaitu:

1. Preventif.

Preventif adalah sebuah pencegahan. Sebelum penyimpangan itu

terjadi, perlu adanya pencegahan sejak awal. Orang yang melakukan

pengendalian sosial preventif ini adalah orang yang paham dengan aturan

dan nilai yang berlaku. Diperlukan sosialisasi kepada masyarakat terkait

dengan nilai dan norma yang berlaku agar nantinya ditaati dan untuk

mencegah pemyimpangan buruk agar kehidupan sosial tetap kondusif.

Pengendalian preventif bisa dalam bentuk himbauan, sosialisasi dan

pembinaan oleh pihak yang bersangkutan

2. Represif.

Pengendalian represif adalah bentuk pengendalian dimana

mengembalikan kondisi kearah yang lebih baik setelah ada penyimpangan

yang terjadi. cara mengembalikan ke kondisi semula bisa dengan sanksi

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

atau hukuman yang diberlakukan sesuai dengan pelanggaran yang

dilakukan agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya dan menaati aturan

yang ada.

3. Kuratif

Pengendalian sosial kuratif adalah pengendalian yang dilakukan setelah

terjadinya tindak penyimpangan sosial. Tindakan ini bertujuan untuk

memberikan penyadaran kepada para pelaku penyimpangan agar

menyadari kesalahannya dan mampu mempeprbaiki kehidupannya.

Sehingga setelah itu tidak mengulang kembali kesalahannya.

Ada beberapa cara pengendalian sosial agar masyarakat bisa tertib yaitu

dengan cara koersif dan persuasif (Varyani dkk, 2014: 4). Cara persuasif lebih

kepada usaha untuk mengajak agar masyarakat mematuhi norma dan tidak

berbuat menyimpang. Sedangkan koersif lebih menekankan kepada ancaman dan

kekerasan fisik agar pelaku jera dan tidak melakukan hal tersebut kembali.

Namun biasanya jika dilakukan dengan kekerasan akan menimbulkan reaksi

negatif.

Secara teoritis dimensi kontrol sosial dapat dieksplore sebagai berikut: proses

direncanakan-tidak direncanakan, proses sosialisasi (pendidikan

formal/nonformal) - sanksi (hukum). Sifat: mendidik - mengajak-memaksa untuk

mematuhi aturan. Sifat: preventif – kuratif - represif. Sifat: informal (ejekan,

gunjingan) - formal (aturan resmi). Cara: persuasive (paksaan). Teknik:

diciptakan suasana kondusif sehingga orang taat - dilaksanakan berulang-ulang.

Wujud: pemidanaan – kompensasi – terapi – konsiliasi. Aktor: kelompok

terhadap individu atau kelompok terhadap kelompok. Lembaga: sekolah,

pengadilan, media masa. Individu: tokoh masyarakat, hakim, orang tua (Haryono,

2004: 21).

Selo Soemardjan (Ahmad, 2015: 80) mengemukakan, dalam suatu

masyarakat secara relatif kondisinya dalam keadaan tentram. Cara-cara persuasif

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

mungkin akan lebih efektif dibandingkan dengan cara paksaan atau koersif.

Karena di dalam masyarakat yang tentram, nilai dan norma sebagian besar telah

melembaga pada diri masyarakat masing-masing. Akan tetapi bukan berarti

bahwa tidak diperlukan cara paksaan. Sebaik apapun kondisi masyarakat akan

tetap ada kondisi orang menyimpang dan harus diatasi dengan cara paksaan agar

menaati aturan yang ada.

Dalam pencegahan pelanggaran, kontrol sosial bisa dilakukan secara

informal dan formal. Sering kita melihat orang memukul, menampar atau

menendang sebagai sarana kontrol sosial. Hukuman fisik seperti itu tidak tepat

menurut spesialis perkembangan anak karena mengajarkan anak memecahkan

masalah dengan kekerasan. Dengan kekerasan akan meningkat kedalam bentuk

yang lebih serius. Kontrol sosial formal dilakukan oleh agen yang berwenang,

seperti polisi, sekolah atau lembaga lain. Hal ini sebagai jalan terakahir ketika

sanksi informal tidak bisa membawa pada perilaku yang benar (Schaefer, 2012:

191). Teori kontrol menunjukkan hubungan kita dengan anggota masyarakat

untuk menyesuaikan norma yang ada. Menurut Travis Hirschi ikatan kepada

angora keluarga, teman dan sahabat akan mendorong untuk mengikuti norma

yang berlaku. Sosialisasi mengembangkan kontrol diri dengan baik sehingga

tidak perlu ditekan lebih untuk mematuhi norma.

Teori kontrol sosial pada dasarnya menjelaskan tentang kenakalan remaja

yang saat ini banyak terjadi. Dan ini akan membawa dampak hingga remaja

menjadi dewasa. Perilaku pada masa kanak-kanak akan berpengaruh besar dan

akan menjadi kebiasaan.

Kosongnya kontrol sosial akan mengakibatkan penyimpangan. Setiap

manusia cenderung untuk tidak mematuhi aturan yang ada dengan melakukan

pelanggaran hukum. Menurut Hirschi, bentuk pengingkaran aturan-aturan sosial

adalah kegagalan dalam mensosialisasi individu untuk bertindak sesuai dengan

aturan yang ada. Penyimpangan adalah bukti kegagalan kelompok sosial dalam

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

mengikat individu atau dalam melakukan kontrol sosialnya. Seperti keluarga atau

sekolah yang belum maksimal dalam melakukan perannya. Kontrol sosial

internal lebih berpengaruh daripada kontrol sosial ekternal. Teori kontrol sosial

digunakan untuk menggambarkan proses yang melestarikan kehidupan sosial

yang teratur.

2. Teori Keagenan

Teori ini dari sinergi antara teori sosiologi, ekonomi dan teori organisasi.

Teori ini merupakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi

wewenang dan pihak yang menerima wewenang bisa dalam bentuk kontrak.

Dalam teori ini bisa jadi terjadi perbedaan kepentingan yang akan menimbulkan

kesenjangan informasi. Menurut teori ini, hubungan antara yang memberi

wewenang dengan yang menerima sulit tercapai karena saling beda dalam

kepentingannya. Hubungan agensi muncul ketika pemberi wewenang

mempekerjakan orang lain (agen) dan mendelegasikan wewenangnya.

Hubungan suatu agen teori adalah ketika ada satu atau lebih individu yang

mendelegasikan tanggungjawabnya kepada sebuah agen. Hak dan kewajibannya

ditentukan pada persetujuan bersama dalam hubungan pekerjaan. Teori agen

menjelaskan hubungan tersebut sebagai metafora sebuah kontrak. Agen di

kontrak untuk melaksanakan tugas-tugas dari principal. Dalam tugasnya agen

akan mendapatkan reward atas tanggungjawab yang sudah dilaksanakannya

(Ariyadi, 2013: 19).

Hubungan pemberi wewenang (prinsipal) dengan agen apabila tindakan yang

dilakukan seseorang memiliki dampak pada orang lain dan seseorang sangat

tergantung dengan tindakan orang lain tersebut (Halim & Syukriy, 2006: 54).

Menurut Lane, teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik.

Hubungan prinsipal dan agen merupakan pendekatan yang sangat penting untuk

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

menganalisis kebijakan-kebijakan publik yang berkaitan dengan masalah

kontraktual.

Menurut Carr dan Brower (Halim & Syukriy: 2006) model keagenan yang

sederhana mengasumsikan dua pilihan dalam kontrak.

1. Behavior-based. Prinsipal harus memonitor perilaku agen

2. Outcome-based. Adanya insentif untuk memotivasi agen dalam mencapai

kepentingan prinsipal.

Menurut Coleman struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan

kelompok manusia atau masyarakat. Seseorang atau agen menjalankan peran

dengan menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Teori yang

ditulis oleh Jensen dan Meckling ini dibangun untuk memahami dan

memecahkan masalah yang muncul ketika ada informasi yang tidak lengkap

ketika akan melakukan kontrak. Prinsip utamanya menyatakan adanya hubungan

kerja antara pihak pemberi wewenang dengan yang menerima wewenang. Namun

pada hakikatnya hubungan ini akan sulit tercipta karena adanya kepentingan yang

berbeda.

Menurut Moe (Halim & Syukriy, 2006: 57), di pemerintahan terdapat

keterkaitan dalam sebuah kesepakatan antara prinsipal dan agen. Hubungan

keagenan salah satunya juga sebagai hubungan pendelegasian. Hubungannya

tidak selalu mencerminkan hirarki tapi dapat saja berupa hubungan

pendelegasian. Tersebab tidak mampunya pemerintah atau pemberi wewenang

menjangkau anak-anak jalanan yang belum terjamah, maka memerlukan agen

atau panjang tangan dari pemerintah dalam melakukan kontrol sosialnya. Pun

ketika pemeritah belum siap memberikan fasilitas pendidikan bagi anak jalanan,

tugas ini didelegasikan kepada agen untuk melakukan kontrol sosial atas

penyimpangan yang terjadi yaitu anak yang tidak bersekolah dan beraktivitas di

jalanan.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

Dalam penelitian ini, agen bergerak dalam melakukan kontrol sosial atas

penyimpangan yang terjadi dalam ranah pendidikan anak jalanan. salah satunya

keluarga sebagai agen utama dalam melakukan kontrol sosial perilaku anak.

Orang tua memainkan peran dalam memandu anak-anak dan mengarahkan serta

mengembangkan pola pikir anak lewat pendidikan. Melalui keluarga diperlukan

sosialisasi sejak dini kepada anak-anak agar kelak ia bisa diterima ditengah

masyarakat.

Seperti keluarga, sekolah mempunyai mandat eksplisit untuk

menyosialisasikan orang-orang. Sekolah membangun kompetisi melalui sistem

yang sudah mencakup ganjanran dan hukuman, seperti nilai dan evaluasi guru.

Seorang anak mengalami kesulitan mempelajari keahlian baru. Akan tetapi

semakin dewasa semakin mampu melakukan penilain realistis terhadap

kemampuannya sendiri (Schaefer, 2012: 99). Fungsionalis menunjukkan bahwa

sekolah sebagai agen dalam melakukan sosialisasi, sedang melaksanakan

fungsinya mengajarkan anak nilai dan kebiasaan. Tokoh penganut teori konflik

menambahkan bahwa sekolah memecah belah di masyarakat khususnya pada

kelas sosial. Misalnya pendidikan tinggi sangat mahal meskipun banyak terdapat

bantuan beasiswa dan lain-lain. Siswa yang datang dari latar belakang mampu

bisa mendapatkan keuntungannya karena memiliki akses. Sedangkan anak muda

yang tidak beruntung tidak akan pernah menerima persiapan yang akan membuat

mereka berkualifikasi.

Selain ada keluarga dan sekolah, selanjutnya adalah teman sebaya. Menurut

Schaefer, cobalah untuk bertanya kepada anak-anak remaja, siapa yang paling

penting dalam hidupnya. Mereka akan cenderung menjawab teman. Ketika

keluarga kurang memperhatikan anak terutama pada saat masa tumbuh

kembangnya, keluarga akan dianggapnya kurang penting. Teman sebaya akan

memenuhi perannya sebagai significant others. Menurut Mead, anak muda akan

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

mengasosiakan diri dengan mereka yang berusia kurang lebih sama yang

memiliki status sosial sama.

Hubungan agen ditemukan bahkan dalam tipe organisasi sosial yang

relatif sederhana, mulai dari pembagian tanggung jawab dalam keluarga inti

hingga timbal balik informal di antara anak-anak yang bermain. Tapi mereka

terutama mengakomodasi bentuk organisasi yang lebih kompleks. Agen

menjembatani jarak sosial dan fisik yang membatasi pertukaran sosial dengan

yang lain. Agen menghasut dan memfasilitasi bentuk aksi kolektif (Susan, 1984:

626).

Tak kalah penting juga sebuah instansi lembaga independen juga menjadi

agen dalam sosialisasi maupun melakukan kontrol sosial setiap penyimpangan

yang terjadi. Dalam melakukan peran kontrol sosialnya instansi berusaha

melakukan resosialisasi untuk melepaskan orientasi yang sudah terbangung

sebelumnya. Ketika anak jalan menganggap bahwa sekolah itu tidak perlu,

sekolah itu mahal, tidak perlu berpendidikan tinggi yang pada akhirnya menjadi

pengangguran dan lebih memilih untuk bekerja mencari uang. Sebuah instansi

yang bergerak untuk menyelamatkan masa depan anak dalam pendidikannya

akan berusaha meresosialisasinya. Dengan segala usaha dan cara yang dilakukan,

program yang telah disusun dan dengan bantuan beberapa pihak termasuk orang

tua agar berhasil melakukan kontrol sosial dari penyimpangan anak jalanan yang

dalam kondisi tidak mengenyam pendidikan. Sebab pentingnya pendidikan itulah

juga termaktub dalam undang-undang bahwa setiap warga negara berhak

mengenyam pendidikan, dari kalangan apapun, miskin kaya atau kelas

menengah. Resosialisasi akan efektif saat dilakukan atau muncul dalam sebuah

institusi. Erving Goffman menciptakan istilah institusi total yang mengatur segala

aspek dalam kehidupan seseorang.

D. Kerangka Pemikiran

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

Anak-anak turun ke jalan, salah satunya disebabkan oleh faktor ekonomi,

dimana keluarga tidak bisa memenuhi kebutuhan materi termasuk dalam membiayai

pendidikan anak sehingga orang tua terlalu fokus mencari uang untuk memenuhi

kebutuhan hidup lain, pada akhirnya mengesampingkan kondisi pendidikan anak.

Biasanya lebih cenderung mengabaikan perhatian untuk anak. Anak dibiarkan

bergaul dengan siapapun tanpa ada kontrol. Bahkan ada anak-anak yang disuruh

melakukan pekerjaan berat demi memenuhi kebutuhan hidup.

Hal ini yang menjadikan anak tidak berada dalam dunianya. Mereka

seharusnya bisa merasakan dan mendapatkan pendidikan yang layak, namun karena

kondisi yang ada mengakibatkan anak harus terjun ke jalanan dalam rangka

memenuhi kebutuhannya. Tanpa adanya kontrol sosial dari orang tua atau keluarga

mengakibatkan anak melakukan perilaku-perilaku menyimpang, seperti kriminalitas,

mencuri, mengamen, merokok hingga mengonsumsi narkoba dan yang paling utama

adalah tentang kondisi pendidikan anak-anak jalanan. Sulitnya pendidikan bagi anak

jalanan karena memang kondisi yang berbeda dimana sebelumnya sebagian besar

dari mereka sudah putus sekolah, jika kapasitasnya dibandingkan dengan anak yang

sudah mengikuti sekolah secara normal jelas berbeda.

Pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi anak. Anak seharusnya bisa

bersekolah atau mendapatkan pendidikan yang layak demi nasib masa depan anak

yang lebih baik. Apalagi di era modern ini ilmu pengetahuan perkembang sangat

cepat, tanpa pendidikan yang memadai anak bakal kesulitan beradaptasi dengan

kondisi lingkungan dan mengakibatkan culture shock jika tidak diatasi dengan baik.

Pendidikan juga menjadi sarana dalam membentuk cara berpikir seseorang.. Dalam

menghadapi permasalahan tersebut diperlukan kontrol sosial oleh suatu agen, dimana

agen melakukan kontrol sosial atas kondisi-kondisi menyimpang yang terjadi.

Mengembalikan kepada kondisi semula dan utamanya melakukan pencegahan.

Penyimpangan dalam hal ini adalah kondisi dimana anak-anak jalanan yang kurang

diperhatikan pendidikannya dan peran pemerintah yang belum berhasil dalam

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

menjalankan aturan-aturan yang ada. Akibatnya tak sedikit anak menjadi tak terarah,

apalagi tanpa adanya pengawasan dari orang tua. Potensi untuk terbawa ke dalam hal

negatif sangat besar.

Kontrol sosial yang dilakukan suatu agen bersifat preventif, kuratif dan

represif, yaitu dengan pencegahan agar tidak terjadi penyimpangan ataupun dengan

pengembalian ke dalam kondisi semula. Dari tiga sifat tersebut kontrol sosial bisa

dilakukan dengan dua cara, persuasif dan koersif, yaitu dengan ajakan atau dengan

paksaan. Perlu adanya agen yang terstruktur yang melakukan sebuah kontrol sosial.

Oleh karena itu, diharapkan adanya Lembaga PPAP Seroja ini dapat menjadi agen

dalam melakukan kontrol sosial terhadap anak-anak jalanan di Kota Surakarta.

Melalui program-program yang sudah dirancang secara terstruktur untuk mereduksi

penyimpangan yang dilakukan oleh anak-anak. Harapannya hasil yang didapatkan

akan membuat anak-anak jalanan kembali kepada perilaku normal dan dapat

mengenyam pendidikan dengan semestinya serta menjadi perhatian utama keluarga.

Akses pendidikan formal sulit

Putus sekolah Tidak ada biaya

Kondisi pendidikan

anak jalanan

Kontrol Sosial

Preventif Represif Kuratif

Agen kontrol sosial

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

Gambar 2.1: Kerangka Pemikiran