Kontrol-Sosial-Lembaga-Swadaya-Masyarakat-LSM ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
Transcript of Kontrol-Sosial-Lembaga-Swadaya-Masyarakat-LSM ...
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Konsep
1. Kontrol Sosial
Kontrol sosial menurut Soekanto (Hanifah, 2013: 3) adalah proses yang
bersifat mendidik, mengajak atau memaksa warga masyarakat agar mematuhi
kaidah-kaidah sosial yang berlaku. Pengendalian sosial (kontrol sosial)
dimaksudkan agar anggota masyarakat mematuhi norma-norma sosial sehingga
tercipta keselarasan dalam kehidupan sosial.
Parson mendefinisakan kontrol sosial sebagai proses di dalam sistem sosial
yang cenderung mengimbangi tendesi penyimpangan. Definisi lain mengenai
kontrol sosial dikemukakan oleh Shibutani (Husein, 2011: 288) kontrol sosial
mengacu pada kenyataan bahwa perilaku manusia diatur untuk menanggapi atas
harapan yang penting bagi orang lain. Shibutani menggunakan istilah kontrol
sosial dalam arti yang umum. Seperti mengarahkan, menahan, mengatur dan
menguasai perilaku orang lain.
Peter L. Berger mengemukakan pengendalian sosial adalah berbagai cara
yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang membangkang.
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang
direncanakan maupun tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak,
membimbing dan memaksa warga untuk nilai dan kaidah yang berlaku. Tujuan
adanya kontrol sosial adalah agar masyarakat mau mematuhi aturan dan nilai
yang ada.
Menurut Roucek (Husein, 2011: 288) proses pengendalian sosial bisa dalam
tiga bentuk. Pertama yaitu antara individu dengan individu lainnya. Misalnya
seorang ibu menjelaskan tentang aturan di keluarganya agar anak berperilaku
sesuai dengan norma yang berlaku. Kedua yaitu kontrol sosial antara individu
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2
dengan kelompok. Ketiga yaitu kontrol sosial antara kelompok dan kelompok
lainnya.
Dalam melakukan kontrol sosial, diperlukan cara-cara yang tepat.
Berdasarkan dimensi sifatnya menurut Hamzah (2015: 125) upaya melakukan
kontrol sosial bisa dengan cara yang pertama dengan persuasif, yaitu mengajak
atau membimbing warga untuk bertindak atau berperilaku sesuai dengan norma
yang berlaku dalam masyarakat. Yang kedua dengan cara koersif, yaitu dengan
cara memaksa warga agar bersedia bertindak sesuai dengan norma yang berlaku.
Kontrol sosial juga bisa bersifat preventif atau dengan cara pencegahan agar
penyimpangan tidak terjadi. Artinya dengan antisipasi agar tak terjadi
kemungkinan-kemungkinan penyimpangan. Masyarakat bisa belajar dari
peristiwa-peristiwa tempat lain atau kejadian-kejadian terdahulu. Kontrol sosial
preventif bertujuan agar pemyimpangan dapat dicegah dan mengurangi resiko
serta dampak dari penyimpangan yang dilakukan. Sedangkan yang bersifat
represif adalah dengan cara mengembalikan ketertiban masyarakat yang pernah
terganggu ke keadaan semula yang lebih kondusif. Terkadang antisipasi bisa
terlewat sehingga terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan. Perlu
adanya tindakan represif dalam mengembalikan keadaan semula. Memperbaiki
keadaan seperti saat tidak ada penyimpangan. Selain itu juga ada dalam bentuk
Kuratif. Yaitu tindakan yang dilakukan bertujuan untuk memberikan penyadaran
kepada para pelaku penyimpangan agar menyadari kesalahannya dan mau
memperbaiki kondisinya. Harapannya agar tidak akan diulang kembali
penyimpangan tersebut di lain kesempatan.
Bisa dikatakan kontrol sosial adalah proses yang dilakukan oleh sekolompok
orang agar anggotanya dapat bertindak sesuai dengan harapan. Adapun agen-
agen kontrol sosial menurut (Hamzah, 2015: 125) adalah keluarga, lembaga,
polisi, tokoh masyarakat, adat dan lain-lain. Lembaga menjadi agen kontrol sosial
bagi masyarakat, dalam hal ini khususnya kepada anak jalanan. Cara yang
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3
dilakukan dengan persuasif atau ajakan kepada anak jalanan untuk tetap
mendapatkankan haknya dalam pendidikan. Agen menfasilitasi pendidikan untuk
anak jalanan dengan mengarahkan anak jalanan agar tetap belajar dalam kondisi
apapun, supaya anak jalanan mendapatkan pendidikan sesuai dengan harapan.
Selain kontrol sosial dari sebuah lembaga, ada kontrol sosial dalam lembaga
informal sebenarnya dapat melalui pola pengasuhan orang tua. Hal ini termasuk
tanggungjawab orang tua dalam mendidikan anaknya. Pola asuh orang tua
dianggap lebih efektif karena lebih alami sejak lahir hingga kemudian tumbuh
besar dan akan mempengaruhi karakteristik anak kedepannya. Hanya seringkali
pada kondisi anak-anak jalanan bentuk kontrol sosial orang tua ini masih sangat
kurang diterapkan. Lebih cenderung dibiarkan begitu saja karena desakan
ekonomi dan lain sebagainya.
Biasanya masyarakat itu sendiri telah menyediakan sanksi-sanksi apabila
terjadi penyimpangan. Baik itu bentuk sanksi yang ringan ataupun sanksi yang
berat. Sanksi dalam sosiologi adalah bentuk penderitaan yang secara sengaja
dibebankan oleh masyarakat kepada seorang warga masyarakat yang terbukti
melanggar atau menyimpang agar kelak tak terjadi penyimpangan lagi.
Ada tiga jenis sanksi yang digunakan dalam usaha melaksanakan kontrol
sosial. Yaitu sanksi yang bersifat fisik, sanksi yang bersifat psikologik dan sanksi
yang bersifat ekonomik. Ketiga sanksi tersebut kadangkala tidak dapat
dipisahkan harus diterapkan secara bersama-sama. Contohnya hakim
menjatuhkan pidana kepada terdakwah dengan penjara dan membayar denda, hal
itu sudah mencakup tiga hal sanksi tadi. Secara fisik, psikologik dan ekonomik
mencakup semua. Sebenarnya kontrol sosial juga bisa dilakukan dengan cara
yang lebih halus yaitu dengan dorongan-dorongan positif yang membantu
individu untuk meninggalkan hal-hal yang salah.
Cara pengendalian lainnya dapat dibedakan pada bentuk formal maupun
informal. Membujuk, mengolok-olok, mengucilkan termasuk dalam
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
4
pengendalian informal. Sedangkan dalam bentuk formalnya adalah diatur oleh
hukum-hukum terrulis atau aturan formal lainnya (Ahmad, 2015: 81).
2. Anak Jalanan
Anak jalanan adalah anak-anak yang tersisih, marginal dan teralienasi dari
perlakuan kasih sayang karena kebanyakan dalam usia relatif dini sudah harus
berhadapan dengan lingkungan yang keras dan tidak bersahabat (Suyanto, 2010:
185). Banyak kenyataan terjadi di berbagai kota, mereka berusaha bertahan hidup
dengan bekerja. Hal ini disebabkan karena kondisi keluarga yang kurang mampu.
Menurut Widiyanto (1991: 54) anak jalanan adalah anak-anak yang hidupnya
tergantung pada kehidupan jalanan dan tempat-tempat terbuka di perkotaan
dimana jalanan dalam konteks aktivitas ekonomi anak jalanan dapat diartikan
sebagai ruang publik atau terbuka. Mereka yang sebagian besar mencari nafkah
dan berkeliaran di jalanan atau tempat lainnya. Seringkali anak jalanan dianggap
sebagai pengganggu ketertiban umum dan membuat kota menjadi terlihat kotor.
Anak bisa didefinisikan secara berbeda dalam penelitian, yang dikatakan
sebagai anak adalah yang berusia antara 6-16 tahun dan masih dapat berkembang
secara fisik dan perlu dukungan dari lingkungan (Arumsari, 2013: 17). Menurut
UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, disebutkan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun. Selanjutnya menurut pemerintah dalam
hal ini Departemen Sosial anak jalanan adalah anak yang menghabiskan
waktunya untuk mencari nafkah di jalanan atau tempat umum lainnya. Jalanan
yang dimaksud bukan sebatas pinggir jalan, melainkan juga tempat-tempat lain
seperti pasar, terminal dan lain sebagainya. Anak jalanan berada dalam kondisi
yang tidak menguntungkan. Banyak dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan
banyak yang memberikan gambaran negatif tentang anak jalanan. Bukan
kemudian dipandang sebelah mata namun harus kita jaga bersama.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5
Beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya anak jalanan menurut
Deny (2013: 11) adalah sebagai berikut:
1. Adanya masalah keluarga seperti kemiskinan, pengangguran, perceraian
dan kekerasan dalam keluarga.
2. Adanya penggusuran keluarga miskin sehingga semakin tidak berdaya
dengan kebijakan yang diterapkan.
3. Kesenjangan pembangunan desa dan kota yang mengakibatkan urbanisasi
meningkat sehingga terlantar di jalanan.
4. Pembangunan yang mengorbankan tempat bermain anak.
5. Meningkatnya angka putus sekolah sehingga menjadikan anak harus
mencari nafkah.
6. Kurangnya kontrol sosial orang tua dalam memperhatikan anaknya.
Seringkali dalam masalah komunikasi dan memahami kondisi anak.
Dari faktor diatas bisa dikatakan kemiskinan adalah hal utama yang
mengakibatkan anak turun ke jalanan. Banyak diantara mereka yang akhirnya
bekerja di sektor informal untuk bekerja meskipun itu legal maupun illegal.
Kondisi seperti ini kemudian membentuk karakter anak jalanan yang sulit diatur
dan keras, akhirnya dipandang meresahkan masyarakat. Anak jalanan hidup
dibawah tekanan sebagai penganggu ketertiban.
Menurut Shalahuddin (2004) anak jalanan dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:
1. Children On The Street adalah anak-anak yang memiliki kegiatan
ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada
dua kelompok dalam kategori ini:
a. Anak-anak yang masih tinggal dengan orang tuanya dan masih
senantiasa pulang setiap hari.
b. Anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan
namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan
cara pulang berkala, atau dengan jadwal yang tidak rutin.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6
2. Children Of The Street. Anak-anak yang menghabiskan waktunya di
jalanan yang tidak memiliki hubungan dengan orang tua atau keluarga
lagi.
3. Children In The Street. Anak-anak yang menghabiskan waktunya di
jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup dari jalanan.
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia menambahkan satu lagi kategori
anak jalanan, yaitu anak yang berusia diatas 16 tahun berada di jalanan untuk
mencari kerja. Mereka biasanya adalah orang perantau yang mengikuti orang atau
saudaranya ke kota. Mereka biasanya mengamen, menjadi pedagang asongan dan
kuli bangunan. Beberapa kasus anak menjadi korban eskploitasi oleh pihak yang
tak bertanggungjawab. Anak diiming-imingi pekerjaan bergaji besar tapi pada
kenyataannya anak dipekerjakan di jalanan tanpa adanya rasa belas kasih.
Seseorang menjadi anak jalanan salah satunnya disebabkan oleh masalah
ekonomi. Banyak anak menjadi putus sekolah dan harus membantu orang tua.
Selain itu disebabkan karena masalah sosial, misalnya kondisi keluarga yang
kurang perhatian dan terjadi keretakan hubungan dalam keluarga. Pengaruh
lingkungan menjadikan anak lebih tertarik kepada teman-teman sebayanya yang
juga ada di jalanan. Anak cenderung merasa bisa hidup lebih bebas. Nilai anak
dalam keluarga juga bisa menjadi salah satu penyebab mengapa anak lebih
memilih hidup di jalanan. Anak dianggap sebagai tulang punggung keluarga dan
disuruh bekerja sejak kecil.
3. Pendidikan
Pendidikan menurut Iriyanto (2012: 97) adalah pondasi yang kokoh bagi
setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tatakelakuan.
Pendidikan merupakan sebuah proses belajar yang bertahap. Dalam pembukaan
UUD 1945 alinea IV dinyatakan bahwa tujuan negara adalah untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
merupakan upaya implementasi tuntutan reformasi bidang pendidikan. Dalam
undang-undang tersebut dicanangkan demokratisasi dan desentralisasi
pendidikan, peran serta masyarakat, kesetaraan dan keseimbangan jalur
pendidikan untuk peserta didik.
Pendidikan adalah pengendalian sosial yang sudah ada di tengah masyarakat.
Dalam pendidikan tidak hanya diajarkan sebuah pelajaran formal, namun juga
tentang kedisiplinan dan mematuhi peraturan yang ada. Agar orang bisa bertindak
tertib dan teratur sehingga menjadi orang yang bertanggungjawab.
Pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Dalam
bahasa Indonesia pendidikan berarti proses mendidik atau melakukan suatu
kegiatan yang mengandung proses komunikasi antara pendidik dan yang dididik.
Pendidikan juga berfungsi sebagai sesuatu yang akan membentuk cara berpikir
seseorang. Dengan pendidikan anak akan memilik cara berpikir yang terus
tumbuh secara bertahap. Anak sangat membutuhkan pendidikan untuk masa
depan yang lebih baik. Anak jalanan tidak bisa mengenyam pendidikan seringkali
dikarenakan masalah biaya dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi pola
pikir anak. Menurut Wangid (2009: 130) Anak idealnya harus mendapatkan kasih
sayang dan terus dididik untuk menjadi manusia yang merdeka secara lahir dan
batin, mendapatkan haknya sebagai anak, serta sehat jasmani dan rohani agar
menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggungjawab.
Pendidikan membuat manusia melalui proses tertentu menuju ke sesuatu yang
dituju dan diinginkan. Dengan pendidikan segala potensi akan terarah dan
terasah. Oleh karena itu perlunya mewujudkan pendidikan yang manusiawi.
Pendidikan adalah pondasi kokoh bagi semua masyarakat. Pendidikan adalah
proses belajar yang bertahap dan tidak terbatas pada lingkungan formal seperti
sekolah, namun dapat juga pada alam dan pengalaman hidup (Dwi, 2012: 98).
Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4 bahwa negara memprioritaskan anggaran
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Sistem pengelolaan
pendidikan tidak bisa berjalan sempurna ketika peran serta masyarakat diabaikan.
Masyarakat harus mendapatkan ruang agar dapat berperan dan terlibat dalam
mengatasi masalah pendidikan.
Seringkali pendidikan formal yang membutuhkan biaya tak sedikit menjadi
penghalang utama, menjadi alasan utama bagi anak jalanan dan orang tuanya
untuk tidak menjamah sekolah. Oleh sebab itu, anak jalanan memiliki pandangan
berbeda dengan lebih memprioritaskan bagaimana mendapatkan uang demi
memenuhi kebutuhannya. Hingga akhirnya taka da waktu lagi untuk belajar,
apalagi terbesit dalam pikirannya untuk bersekolah. Sudah terstigma bahwa
pendidikan itu mahal, kalaupun ada yang gratis, harus melalui tahap tes seleksi.
Kondisi anak jalanan dengan anak normal jelaslah berbeda. Secara kapasitas
berpikir terlebih berpikir tentang pelajaran sekolah. Jika dilihat memang tujuan
sekolah adalah agar anak menjadi pandai. Ketika anak sedang akan menuju ke
tahap pandai ternyata terhalang karena tak lulus tes seleksi. Perlu perhatian yang
lebih, karena seringkali yang mengakomodasi fasilitas pendidikan anak jalanan
adalah LSM-LSM, bukan pemerintah itu sendiri. Lebih sibuk dengan bagaimana
caranya agar pendidikan terlihat hebat, nyatanya masih menindas kalangan
bawah. Perhatiannya masih pada popularitas pendidikan yang tinggi, bukan pada
pemerataan pendidikan untuk seluruh kalangan masyarakat.
Aspek pendidikan juga terkait erat dengan politik, yaitu pada kebijakan
pendidikan. Menurut Rohman dan Wiyono merumuskan kebijakan pendidikan
yang akan berakses pada equality of opportunity, accessibility, equality dan
equity (Mulyadi, 2010: 14). Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor
20 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 4 ayat 1 yang menyatakan “bahwa
pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan bagi semua adalah salah satu
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9
tujuan pendidikan. Hakikat pendidikan adalah memandu peserta didik ke arah
realita sosial yang berintegrasi dengan masyarakat heterogen serta tidak
mengarah kepada ekslusifitas.
Melihat permasalahan-permasalahan tersebut maka muncullah sekolah-
sekolah nonformal yang memang ditujukan khusus untuk anak jalanan atau anak
berkebutuhan khusus. Diharapkan dari sekolah-sekolah nonformal ini dapat
mengurangi dan menghilangkan masalah pendidikan anak jalanan. Karena
sejatinya pendidikan tidak harus sama dan saklek. Terkadang sistem yang saklek
malah hanya membuat anak menjadi tidak kreatif. Akal pikiran anak bisa
berkelana lebih luas.
Manusia merupakan makhluk yang memiliki kemandirian jasmani dan
rohani. Dalam kemandirian tersebut manusia memiliki potensi untuk
berkembang. Maka diperlukan adanya pendidikan agar kebutuhan psikis dan
fisiknya dapat terpenuhi secara seimbang. Dengan pendidikan segala potensi
manusia akan lebih terarah dan terasah. Pendidikan harus memiliki tujuan yang
bagus demi perkembangan anak. Termasuk pendidikan yang bisa menjangkau
semua kalangan. Bukan hanya mereka yang memiliki biaya yang bisa bersekolah
dan mengenyam pendidikan, namun bagi anak-anak marginal atau anak jalanan
juga perlu mendapatkan perhatian pemerintah terutama. Pendidikan ada dua
macam, ada yang formal dan nonformal. Sekolah-sekolah resmi adalah contoh
pendidikan formal. Sedangkan yang nonformal biasanya seperti sekolah alam dan
lebih fleksibel. Sekolah nonformal inilah yang kebanyakan menjadi tempat
belajar anak-anak marginal. Sekolah tersebut yang terus berjasa dalam
menyelamatkan masa depan anak jalanan, dengan kondisi apapun dan
bagaimanapun, hambatan selalu ada dalam menjalankannya. Namun adanya
sekolah informal ini menjadi penting.
B. Penelitian Terdahulu
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10
Sebuah penelitian akan ada kaitan-kaitan dengan apa yang dulu juga pernah
diteliti oleh peneliti-peneliti terdahulu. Hanya saja kondisi akan terus berubah seiring
berjalannya waktu. Kondisi pada saat dahulu dengan saat sekarang bisa jadi berbada
sangat jauh, karena perubahan sosial dalam masyarakat pasti terjadi.
Kajian terdahulu untuk tulisan yang terkait dengan penelitian ini adalah,
pertama karya Jill Theresa Messing tentang Kontrol Sosial Kekerasan Keluarga
dalam judul aslinya The Social Control of Family Violence. Penelitian ini tentang
respons sosial yang berbeda terhadap penyalahgunaan anak. Bentuk kekerasan terjadi
di dalam keluarga. Penelitian ini menjelaskan tanggapan yang berbeda terhadap
bentuk-bentuk kekerasan keluarga melalui pemeriksaan historis untuk memerangi
pelecehan anak dan kekerasan pasangan. Penulis menerapkan teori kontrol sosial
untuk menganalisa perkembangan respon sosial. Dia berpendapat bahwa integrasi
layanan sosial dan sistem peradilan pidana paling baik melayani keluarga yang
mengalami kekerasan.
Kedua, Karya M. Hamzah tentang Peran Kontrol Sosial dalam Pengendalian
Perilaku Mahasiswa Kos Sekitar Kampus Universitas Mulawarman Samarinda.
Penelitian ini dilakukan di sekitar kampus Mulawarman Samarinda meliputi 3 Rukun
Tetangga (RT). Interakasi sosial antara mahasiswa kos dengan warga sekitar kampus
Universitas Mulawarman Samarinda merupakan dinamika tersendiri. Mahasiswa
yang memiliki berbagai karakter dan tentunya berbeda-beda tiap orang. Hal ini
membutuhkan kontrol sosial agar kehidupan warga tetap terjaga dengan tentram dan
harmonis. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh penulis menyimpulakn bahwa
bentuk-bentuk kontrol sosial dilihat dari dimensinya bersifat preventif dan represif.
Kontrol sosial preventif merupakan bentuk kontrol sosial yang dilakukan untuk
mencegah kejadian yang belum terjadi atau usaha yang dilakukan sebelum terjadinya
pelanggaran. Caranya dengan membuat peraturan yang disepakati bersama seluruh
pihak yang terlibat. Sedangkan kontrol sosial yang represif dilakukan dengan
penggerebekan untuk mengembalikan suasana kondusif. Terkait dengan perilaku
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11
mahasiswa Universitas Mulawarman Samarinda masih dalam sebatas kewajaran.
Sebagian besar mahasiswa dan warga selalu menjaga ketertiban dan keamanan.
Ketiga, Riki Taufiki tentang Pendidikan untuk Anak Pengemis, studi kasus
pada keluarga pengemis di Kota Banda Aceh. Permasalahan pengemis adalah
fenomena umum yang terjadi di belahan Indonesia. Fenomena ini sangat merisaukan
karena banyak anak-anak yang dilibatkan dalam mengemis, meskipun anak-anak
tersebut seharusnya sedang mengenyam pendidikan di sekolah. Dalam kajian ini
hasilnya adalah ada beberapa anak yang masih menempuh pendidikan SD dan ada
yang sudah tidak bersekolah. Orang tua pengemis menginginkan anaknya mengemis
sambil bersekolah. Orang tuanya juga belum bisa memberikan pendidikan yang
berkualitas. Saran pagi pemerintah setempat adalah menyediakan beasiswa bagi anak
pengemis yang kebanyakan mereka sudah berstatus yatim. Sehingga dengan
beasiswa anak diharapkan bisa memenuhi kebutuhan sekolahnya tanpa harus
mengemis.
Keempat, karya Sri Wahyuni tentang Pengubahan Konsep Diri Sebagai Kunci
Keberhasilan Pendidikan Anak Jalanan (2014). Penelitian ini bertujuan untuk
menemukan sebuah teori berdasarkan data yang akan menjelaskan keberhasilan dan
kegagalan bagi pendidikan anak jalanan. Hasilnya menjelaskan bahwa keberhasilan
pendidikan anak jalanan sangat dipengaruhi oleh konsep diri anak jalanan itu sendiri.
Lingkungan adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap konsep diri anak
jalanan. Kehadiran mereka tidak hanya disebabkan karena faktor kemiskinan atau
pertengkaran keluarga, tapi juga karena faktor lingkungan sosial. Hubungan darah
dan emosional antara orang tua dan anak dijadikan sebagai kepentingan ekonomi.
Orang tua memaksa anak untuk bekerja. Dengan kata lain, orang tua menuntut
pengabdian kepada anak-anak mereka untuk mendapatkan uang. Akibatnya anak
harus bekerja dan mengorbankan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Hal
semacam ini harus dihentikan dengan mengondisikan lingkungan sosial, agar anak
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12
secara bertahap berubah konsep dirinya yang seharusnya bisa menjadi anak yang
mendapatkan hak untuk mengenyam pendidikan.
Kelima, karya Asal Wahyuni Erlin Mulyadi dengan judul Ke(tidak)adilan
Sosial Dalam Kebijakan Pendidikan. Dalam karya ini disebutkan bahwa di Indonesia
terdapat sekitar 2,2 juta anak usia wajib belajar (7-15 tahun) belum dapat menikmati
pendidikan. Total sekitar 28,4 juta warga usia 7-25 tahun tidak memperoleh
pendidikan. Jumlah penduduk saat ini sekitar 250 juta jiwa, berarti sekitar lebih dari
10 persen tidak terjamah sebagai warga negara yang berhak mendapatkan
memperoleh pendidikan bermutu. Untuk mencapai pendidik untuk semua memang
tidak semudah membalikkan tangan. Pendidikan bagi semua memerlukan “huge
investement”. Langkah dalam menyikapi hal tersebut adalah dengan melakukan
koreksi dalam segala bentuk ketidakadilan sosial dalam kebijakan pendidikan.
Perspektif keadilan sosial dalam setiap tindakan kebijakan pendidikan di Indonesia
sangat diperlukan. Dalam melakukan kebijakan publik hal yang perlu
dipertimbangkan adalah mampu melakukan pemerataan kepada masyarakat.
Kebijakan public harus dapat diakses oleh seluruh masyarakat dan bersifat adil.
Kebijakan pendidikan di Indonesia belum membuahkan hasil yang optimal
karena masih banyak keganjilan dan distorsi dalam penyelenggaran pendidikan.
Kastanisasi dan komersialisasi dalam pendidikan merupakan fakta dalam
ketidakadilan dalam pendidikan. Hal ini menunjukkan lemahnya pemerintah dalam
mewujudkan pendidikan bagi semua. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi
setiap orang dan merupakan bagian dari proses sosial. Oleh karena itu, perubahan
dapat terjadi dan ditentukan oleh sistem pendidikan dan landasan ideologi dari
pendidikan itu sendiri. Sistem pendidikan yang berdasarkan pada ideologi komunis
atau sekuler akan melahirkan masyarakat komunis ataupun sekuler. Begitupula jika
pendidikan berperspektif ekonomi akan melahirkan generasi yang berorientasi
individualis, materialis, dan liberalis. Perspektif inklusi berorientasi pada perwujudan
keadilan sosial. Keberhasilan di bidang pendidikan akan terkait dengan kemajuan
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13
bidang-bidang lainnya. Upaya untuk memperbaiki kondisi pendidikan harus
dilakukan pendekatan yang integratif.
Keenam, karya Rizka Robaaniyahya dkk tentang Peran Lembaga Sosial
PPAP Seroja Dalam Memberikan Motivasi Belajar Kepada Anak Rawan di Kota
Solo. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa anak memerlukan perhatian yang lebih
daripada orang dewasa. Anak memiliki hak untuk keberlangsungan hidup,
mendapatkan pendidikan dan perhatian, dan hak untuk tumbuh kembang. Namun
pada kenyataannya pemenuhan hak-hak anak ini seringkali dilupakan. Salah satunya
adalah tentang pendidikan, masalah saat ini pada akses pendidikan yang masih
kurang merata, belum bisa didapatkan oleh semua golongan masyarakat.
Menurut data dari UNICEF (United Nations Children’s Fund) organisasi
dunia yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan anak serta ibu-ibu,
memajukan pendidikan bagi anak-anak dan melindungi dari penyakit-penyakit
berbahaya. Tahun 2012 jumlah anak putus sekolah di Indonesia berjumlah 2,3 juta
anak dan mengalami peningkatan pada tahun 2015 sejumlah 2,5 juta anak. Kondisi
ini memprihatinkan karena pada saat itu pemerintah sedang melakukan program 12
tahun wajib belajar. Kota Solo sendiri terdapat 763 anak yang putus sekolah pada
tahun 2014. Masih terjadi ketidakmerataan di Kota Solo. Keadaan ekonomi keluarga
yang terbatas menjadi salah satu penyebab anak tidak bisa bersekolah. Kemudian
mendorong anak untuk bekerja
Pada hasil penelitian ini cara yang dilakukan oleh seroja adalah memberikan
beasiswa kepada anak. Salah satu peran yang dilakukan oleh PPAP Seroja adalah
memberikan bantuan dana kepada anak rawan agar bisa bersekolah kembali.
Pemberian bantuan beasiswa ini juga ada syaratnya agar digunakan dengan baik,
yaitu anak harus bersekolah dan mengikuti setiap agenda dari PPAP Seroja. Selain
beasiswa ada lagi kegiatan menyisipkan motivasi dan materi belajar kepada anak.
Karena seringkali anak rawan kurang memiliki semangat dalam belajar atau
bersekolah. Program ini berdampak positif bagi kondisi anak rawan, semakin
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14
bertambah anak rawan yang mau belajar di PPAP Seroja. Selain itu persepsi anak
rawan juga berubah terhadap suasana kegiatan belajar di sekolah. Sebelumnya anak
rawan menganggap bahwa sekolah itu akan banyak aturan yang mengikat,
mengekang, banyak guru yang tidak bersahabat dan pandangan negatif lainnya.
Ketujuh, karya Gerich Joachim tahun 2013, ”The Inhibiting Function of Self-
Control and Social Control on Alcohol Consumption” membahas tentang Fungsi
Kontrol Diri dan Kontrol Sosial terhadap Konsumsi Alkohol. Penelitian berfokus
tentang penggunaan zat, perilaku kesehatan pada berbagai mekanisme kontrol, yang
tertanam dalam pengendalian diri (self-control) atau lingkungan sosial (kontrol
sosial), yang mencegah individu untuk tidak melakukan perilaku tidak sehat.
Penelitian ini membahas peran kedua jenis kontrol berkenaan dengan konsumsi
alkohol. Penelitian ini menunjukkan bahwa kedua tipe kontrol sosial tersebut
memiliki pengaruh yang saling independen serta saling mempengaruhi. Hasilnya
menunjukkan bahwa pengaruhnya akan lemah ketika tingkat kontrol dari instansi
lainnya tinggi. Ketika kontrol diri anak jalanan atau keluarga lemah, maka kontrol
sosial instansi bisa lebih tinggi. Penelitian ini lebih menekankan bagaimana kontrol
sosial dari Lembaga Seroja dalam menangani anak jalanan.
C. Landasan Teori
1. Teori Kontrol Sosial
Masyarakat memiliki beragam norma yang mengatur perilaku yang pantas.
Kontrol sosial adalah teknik dan strategi yang mencegah perilaku menyimpang
di masyarakat. Kontrol sosial ada di setiap kalangan masyarakat. Dalam keluarga
kita diajarkan banyak hal termasuk mematuhi orang tua. Di sekolah kita diajarkan
mematuhi norma yang berlaku. Di dunia pekerjaan kita juga harus mematuhi
aturan yang sudah ditentukan oleh instansi. Jika tidak ditaati sering terjadi
penyimpangan-penyimpangan. Kebanyakan dari kita menghormati dan
menerima norma sosial dasar. Tanpa berpikir kita mematuhi instruksi polisi,
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15
mengikuti aturan dalam pekerjaan sehari-hari. Kita sadari bahwa individu,
kelompok dan lembaga mengharapkan untuk bertindak benar. Teori kontrol
sosial berangkat dari pertanyaan dasar yang harus memperoleh kejelasan dari
teori itu, pertanyaan itu adalah, “Mengapa kita patuh dan taat pada norma-norma
masyarakat”. Pertanyaan tersebut mencerminkan suatu pemikiran bahwa
penyimpangan bukanlah suatu problematika, yang dipandang sebagai persoalan
pokok adalah ketaatan pada norma-norma masyarakat (Swardhana dkk., 2015:
41).
Menurut Travis Hirschi (Swardhana dkk., 2015: Ibid), teori kontrol sosial
yang dikemukakan dikenal dengan Ikatan Sosial (Social Bond). Penyebab
terjadinya penyimpangan karena macetnya integrase sosial. Kelompok yang
lemah ikatan sosialnya cenderung melanggar hukum karena merasa sedikit terikat
dengan hukum konvensional. Teori kontrol sosial berangkat dari asumsi bahwa
individu di masyarakat punya kecenderungan yang sama, kemungkinan menjadi
“baik” atau “jahat”. Baik jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung oleh
masyarakat itu sendiri. Ada empat elemen ikatan sosial yang terdapat dalam
masyarakat, yaitu:
Pertama, Attachment adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya
terhadap orang lain. Attachment ini sudah terbentuk maka orang tersebut akan
peka terhadap pikiran, perasaan dan kehendak orang lain. Sering diartikan secara
bebas dengan keterikatan. Yaitu keterikatan dengan orang tua, dengan sekolah
atau guru dan keterikatan dengan teman sebaya. Remaja yang sudah terikat
dengan orang tua mampu menahan diri untuk tidak melakukan pelanggaran
karena akan berakibat pada hubungan mereka. Dengan demikian ikatan kasih
sayang antara anak dan orang tua menjadi sebuah penghalang untuk melakukan
suatu tindakan yang menyimpang.
Kedua, Commitment adalah keterikatan seseorang pada subsistem
konvensional, seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Komitmen
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16
merupakan aspek rasional dalam ikatan sosial segala kegiatan yang dilakukan
oleh seseorang seperti sekolah, bekerja dan kegiatan dalam organisasi akan
mendatangkan manfaat bagi orang tersebut. Bisa berupa reputasi, harta benda dan
sebagainya. Jika individu berisiko kehilangan banyak yang berhubungan dengan
status, pekerjaan, dan kedudukan dalam masyarakat, kecil kemungkinan ia
melanggar hukum.
Ketiga, Involvement, merupakan aktivitas seseorang dalam subsistem. Jika
seseorang berperan aktif dalam organisasi kecil kemungkinan untuk melakukan
sebuah penyimpangan. Bila orang tersebut aktif dalam kegiatan maka orang
tersebut akan menghabiskan waktu dan tenaganya dalam kegiatan tersebut.
Dengan demikian segala aktivitas yang membawa manfaat akan mencegah orang
berbuat melanggar hukum.
Keempat, Belief, merupakan aspek moral yang ada dalam ikatan sosial. Belief
merupakan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan
seseorang terhadap norma-norma yang ada akan menimbulkan kepatuhan
terhadap norma tersebut. Kepercayaan seseorang terhadap norma akan
menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut. Kepatuhan terhadap norma
akan mengurangi hasrat untuk melanggar.
Dalam sosiologi, teori kontrol sosial digunakan untuk menggambarkan proses
yang menghasilkan dan melestarikan kehidupan sosial yang teratur.
Penyimpangan dianggap sebagai hasil dari kekurangan kontrol sosial yang secara
normal dipaksakan melalui institusi sosial. Seperti keluarga, agama dan
pendidikan.
Roucek berpendapat bahwa pengendalian sosial dapat diklasifikasikan
dengan berbagai cara. Menurutnya ada pengendalian sosial yang dijalankan oleh
institusi dan ada yang tidak, ada yang dilakukan secara lisan dan simbolik, ada
yang dilakukan secara kekerasan, hukuman, imbalan dan ada yang bersifat formal
maupun informal (Sunarto, 2004: 57).
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17
Kontrol sosial memiliki beberapa tujuan, yang pertama bertujuan agar
mematuhi nilai dan norma sosial yang berlaku. Bisa dikatakan mengarahkan
masyarakat agar mematuhi norma dan nilai yang berlaku agar tidak ada
penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat dan menganggu stabilitas sistem
sosial masyarakat setempat.
Kedua, pengendalian sosial bertujuan agar tercipta keserasian dan
kenyamanan dalam masyarakat. Jika pengendalian sosial benar-benar
dijalankan oleh seluruh masyarakat, akan tercipta kenyamanan dan keserasian.
Biasanya akan membuat pelaku jera dan takut ketika akan berbuat sesuatu yang
tidak diinginkan masyarakat. Ketiga, agar kembali mematuhi norma yang
berlaku. Apabila terjadi penyimpangan, salah satu hal yang dilakukan adalah
dengan memberikan sanksi bagi pelanggar aturan agar tidak mengulangi
pelanggaran yang sama.
Selain tujuan, pengendalian sosial juga memiliki beberapa sifat-sifatnya,
yaitu:
1. Preventif.
Preventif adalah sebuah pencegahan. Sebelum penyimpangan itu
terjadi, perlu adanya pencegahan sejak awal. Orang yang melakukan
pengendalian sosial preventif ini adalah orang yang paham dengan aturan
dan nilai yang berlaku. Diperlukan sosialisasi kepada masyarakat terkait
dengan nilai dan norma yang berlaku agar nantinya ditaati dan untuk
mencegah pemyimpangan buruk agar kehidupan sosial tetap kondusif.
Pengendalian preventif bisa dalam bentuk himbauan, sosialisasi dan
pembinaan oleh pihak yang bersangkutan
2. Represif.
Pengendalian represif adalah bentuk pengendalian dimana
mengembalikan kondisi kearah yang lebih baik setelah ada penyimpangan
yang terjadi. cara mengembalikan ke kondisi semula bisa dengan sanksi
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18
atau hukuman yang diberlakukan sesuai dengan pelanggaran yang
dilakukan agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya dan menaati aturan
yang ada.
3. Kuratif
Pengendalian sosial kuratif adalah pengendalian yang dilakukan setelah
terjadinya tindak penyimpangan sosial. Tindakan ini bertujuan untuk
memberikan penyadaran kepada para pelaku penyimpangan agar
menyadari kesalahannya dan mampu mempeprbaiki kehidupannya.
Sehingga setelah itu tidak mengulang kembali kesalahannya.
Ada beberapa cara pengendalian sosial agar masyarakat bisa tertib yaitu
dengan cara koersif dan persuasif (Varyani dkk, 2014: 4). Cara persuasif lebih
kepada usaha untuk mengajak agar masyarakat mematuhi norma dan tidak
berbuat menyimpang. Sedangkan koersif lebih menekankan kepada ancaman dan
kekerasan fisik agar pelaku jera dan tidak melakukan hal tersebut kembali.
Namun biasanya jika dilakukan dengan kekerasan akan menimbulkan reaksi
negatif.
Secara teoritis dimensi kontrol sosial dapat dieksplore sebagai berikut: proses
direncanakan-tidak direncanakan, proses sosialisasi (pendidikan
formal/nonformal) - sanksi (hukum). Sifat: mendidik - mengajak-memaksa untuk
mematuhi aturan. Sifat: preventif – kuratif - represif. Sifat: informal (ejekan,
gunjingan) - formal (aturan resmi). Cara: persuasive (paksaan). Teknik:
diciptakan suasana kondusif sehingga orang taat - dilaksanakan berulang-ulang.
Wujud: pemidanaan – kompensasi – terapi – konsiliasi. Aktor: kelompok
terhadap individu atau kelompok terhadap kelompok. Lembaga: sekolah,
pengadilan, media masa. Individu: tokoh masyarakat, hakim, orang tua (Haryono,
2004: 21).
Selo Soemardjan (Ahmad, 2015: 80) mengemukakan, dalam suatu
masyarakat secara relatif kondisinya dalam keadaan tentram. Cara-cara persuasif
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19
mungkin akan lebih efektif dibandingkan dengan cara paksaan atau koersif.
Karena di dalam masyarakat yang tentram, nilai dan norma sebagian besar telah
melembaga pada diri masyarakat masing-masing. Akan tetapi bukan berarti
bahwa tidak diperlukan cara paksaan. Sebaik apapun kondisi masyarakat akan
tetap ada kondisi orang menyimpang dan harus diatasi dengan cara paksaan agar
menaati aturan yang ada.
Dalam pencegahan pelanggaran, kontrol sosial bisa dilakukan secara
informal dan formal. Sering kita melihat orang memukul, menampar atau
menendang sebagai sarana kontrol sosial. Hukuman fisik seperti itu tidak tepat
menurut spesialis perkembangan anak karena mengajarkan anak memecahkan
masalah dengan kekerasan. Dengan kekerasan akan meningkat kedalam bentuk
yang lebih serius. Kontrol sosial formal dilakukan oleh agen yang berwenang,
seperti polisi, sekolah atau lembaga lain. Hal ini sebagai jalan terakahir ketika
sanksi informal tidak bisa membawa pada perilaku yang benar (Schaefer, 2012:
191). Teori kontrol menunjukkan hubungan kita dengan anggota masyarakat
untuk menyesuaikan norma yang ada. Menurut Travis Hirschi ikatan kepada
angora keluarga, teman dan sahabat akan mendorong untuk mengikuti norma
yang berlaku. Sosialisasi mengembangkan kontrol diri dengan baik sehingga
tidak perlu ditekan lebih untuk mematuhi norma.
Teori kontrol sosial pada dasarnya menjelaskan tentang kenakalan remaja
yang saat ini banyak terjadi. Dan ini akan membawa dampak hingga remaja
menjadi dewasa. Perilaku pada masa kanak-kanak akan berpengaruh besar dan
akan menjadi kebiasaan.
Kosongnya kontrol sosial akan mengakibatkan penyimpangan. Setiap
manusia cenderung untuk tidak mematuhi aturan yang ada dengan melakukan
pelanggaran hukum. Menurut Hirschi, bentuk pengingkaran aturan-aturan sosial
adalah kegagalan dalam mensosialisasi individu untuk bertindak sesuai dengan
aturan yang ada. Penyimpangan adalah bukti kegagalan kelompok sosial dalam
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20
mengikat individu atau dalam melakukan kontrol sosialnya. Seperti keluarga atau
sekolah yang belum maksimal dalam melakukan perannya. Kontrol sosial
internal lebih berpengaruh daripada kontrol sosial ekternal. Teori kontrol sosial
digunakan untuk menggambarkan proses yang melestarikan kehidupan sosial
yang teratur.
2. Teori Keagenan
Teori ini dari sinergi antara teori sosiologi, ekonomi dan teori organisasi.
Teori ini merupakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi
wewenang dan pihak yang menerima wewenang bisa dalam bentuk kontrak.
Dalam teori ini bisa jadi terjadi perbedaan kepentingan yang akan menimbulkan
kesenjangan informasi. Menurut teori ini, hubungan antara yang memberi
wewenang dengan yang menerima sulit tercapai karena saling beda dalam
kepentingannya. Hubungan agensi muncul ketika pemberi wewenang
mempekerjakan orang lain (agen) dan mendelegasikan wewenangnya.
Hubungan suatu agen teori adalah ketika ada satu atau lebih individu yang
mendelegasikan tanggungjawabnya kepada sebuah agen. Hak dan kewajibannya
ditentukan pada persetujuan bersama dalam hubungan pekerjaan. Teori agen
menjelaskan hubungan tersebut sebagai metafora sebuah kontrak. Agen di
kontrak untuk melaksanakan tugas-tugas dari principal. Dalam tugasnya agen
akan mendapatkan reward atas tanggungjawab yang sudah dilaksanakannya
(Ariyadi, 2013: 19).
Hubungan pemberi wewenang (prinsipal) dengan agen apabila tindakan yang
dilakukan seseorang memiliki dampak pada orang lain dan seseorang sangat
tergantung dengan tindakan orang lain tersebut (Halim & Syukriy, 2006: 54).
Menurut Lane, teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik.
Hubungan prinsipal dan agen merupakan pendekatan yang sangat penting untuk
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21
menganalisis kebijakan-kebijakan publik yang berkaitan dengan masalah
kontraktual.
Menurut Carr dan Brower (Halim & Syukriy: 2006) model keagenan yang
sederhana mengasumsikan dua pilihan dalam kontrak.
1. Behavior-based. Prinsipal harus memonitor perilaku agen
2. Outcome-based. Adanya insentif untuk memotivasi agen dalam mencapai
kepentingan prinsipal.
Menurut Coleman struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan
kelompok manusia atau masyarakat. Seseorang atau agen menjalankan peran
dengan menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Teori yang
ditulis oleh Jensen dan Meckling ini dibangun untuk memahami dan
memecahkan masalah yang muncul ketika ada informasi yang tidak lengkap
ketika akan melakukan kontrak. Prinsip utamanya menyatakan adanya hubungan
kerja antara pihak pemberi wewenang dengan yang menerima wewenang. Namun
pada hakikatnya hubungan ini akan sulit tercipta karena adanya kepentingan yang
berbeda.
Menurut Moe (Halim & Syukriy, 2006: 57), di pemerintahan terdapat
keterkaitan dalam sebuah kesepakatan antara prinsipal dan agen. Hubungan
keagenan salah satunya juga sebagai hubungan pendelegasian. Hubungannya
tidak selalu mencerminkan hirarki tapi dapat saja berupa hubungan
pendelegasian. Tersebab tidak mampunya pemerintah atau pemberi wewenang
menjangkau anak-anak jalanan yang belum terjamah, maka memerlukan agen
atau panjang tangan dari pemerintah dalam melakukan kontrol sosialnya. Pun
ketika pemeritah belum siap memberikan fasilitas pendidikan bagi anak jalanan,
tugas ini didelegasikan kepada agen untuk melakukan kontrol sosial atas
penyimpangan yang terjadi yaitu anak yang tidak bersekolah dan beraktivitas di
jalanan.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22
Dalam penelitian ini, agen bergerak dalam melakukan kontrol sosial atas
penyimpangan yang terjadi dalam ranah pendidikan anak jalanan. salah satunya
keluarga sebagai agen utama dalam melakukan kontrol sosial perilaku anak.
Orang tua memainkan peran dalam memandu anak-anak dan mengarahkan serta
mengembangkan pola pikir anak lewat pendidikan. Melalui keluarga diperlukan
sosialisasi sejak dini kepada anak-anak agar kelak ia bisa diterima ditengah
masyarakat.
Seperti keluarga, sekolah mempunyai mandat eksplisit untuk
menyosialisasikan orang-orang. Sekolah membangun kompetisi melalui sistem
yang sudah mencakup ganjanran dan hukuman, seperti nilai dan evaluasi guru.
Seorang anak mengalami kesulitan mempelajari keahlian baru. Akan tetapi
semakin dewasa semakin mampu melakukan penilain realistis terhadap
kemampuannya sendiri (Schaefer, 2012: 99). Fungsionalis menunjukkan bahwa
sekolah sebagai agen dalam melakukan sosialisasi, sedang melaksanakan
fungsinya mengajarkan anak nilai dan kebiasaan. Tokoh penganut teori konflik
menambahkan bahwa sekolah memecah belah di masyarakat khususnya pada
kelas sosial. Misalnya pendidikan tinggi sangat mahal meskipun banyak terdapat
bantuan beasiswa dan lain-lain. Siswa yang datang dari latar belakang mampu
bisa mendapatkan keuntungannya karena memiliki akses. Sedangkan anak muda
yang tidak beruntung tidak akan pernah menerima persiapan yang akan membuat
mereka berkualifikasi.
Selain ada keluarga dan sekolah, selanjutnya adalah teman sebaya. Menurut
Schaefer, cobalah untuk bertanya kepada anak-anak remaja, siapa yang paling
penting dalam hidupnya. Mereka akan cenderung menjawab teman. Ketika
keluarga kurang memperhatikan anak terutama pada saat masa tumbuh
kembangnya, keluarga akan dianggapnya kurang penting. Teman sebaya akan
memenuhi perannya sebagai significant others. Menurut Mead, anak muda akan
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23
mengasosiakan diri dengan mereka yang berusia kurang lebih sama yang
memiliki status sosial sama.
Hubungan agen ditemukan bahkan dalam tipe organisasi sosial yang
relatif sederhana, mulai dari pembagian tanggung jawab dalam keluarga inti
hingga timbal balik informal di antara anak-anak yang bermain. Tapi mereka
terutama mengakomodasi bentuk organisasi yang lebih kompleks. Agen
menjembatani jarak sosial dan fisik yang membatasi pertukaran sosial dengan
yang lain. Agen menghasut dan memfasilitasi bentuk aksi kolektif (Susan, 1984:
626).
Tak kalah penting juga sebuah instansi lembaga independen juga menjadi
agen dalam sosialisasi maupun melakukan kontrol sosial setiap penyimpangan
yang terjadi. Dalam melakukan peran kontrol sosialnya instansi berusaha
melakukan resosialisasi untuk melepaskan orientasi yang sudah terbangung
sebelumnya. Ketika anak jalan menganggap bahwa sekolah itu tidak perlu,
sekolah itu mahal, tidak perlu berpendidikan tinggi yang pada akhirnya menjadi
pengangguran dan lebih memilih untuk bekerja mencari uang. Sebuah instansi
yang bergerak untuk menyelamatkan masa depan anak dalam pendidikannya
akan berusaha meresosialisasinya. Dengan segala usaha dan cara yang dilakukan,
program yang telah disusun dan dengan bantuan beberapa pihak termasuk orang
tua agar berhasil melakukan kontrol sosial dari penyimpangan anak jalanan yang
dalam kondisi tidak mengenyam pendidikan. Sebab pentingnya pendidikan itulah
juga termaktub dalam undang-undang bahwa setiap warga negara berhak
mengenyam pendidikan, dari kalangan apapun, miskin kaya atau kelas
menengah. Resosialisasi akan efektif saat dilakukan atau muncul dalam sebuah
institusi. Erving Goffman menciptakan istilah institusi total yang mengatur segala
aspek dalam kehidupan seseorang.
D. Kerangka Pemikiran
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24
Anak-anak turun ke jalan, salah satunya disebabkan oleh faktor ekonomi,
dimana keluarga tidak bisa memenuhi kebutuhan materi termasuk dalam membiayai
pendidikan anak sehingga orang tua terlalu fokus mencari uang untuk memenuhi
kebutuhan hidup lain, pada akhirnya mengesampingkan kondisi pendidikan anak.
Biasanya lebih cenderung mengabaikan perhatian untuk anak. Anak dibiarkan
bergaul dengan siapapun tanpa ada kontrol. Bahkan ada anak-anak yang disuruh
melakukan pekerjaan berat demi memenuhi kebutuhan hidup.
Hal ini yang menjadikan anak tidak berada dalam dunianya. Mereka
seharusnya bisa merasakan dan mendapatkan pendidikan yang layak, namun karena
kondisi yang ada mengakibatkan anak harus terjun ke jalanan dalam rangka
memenuhi kebutuhannya. Tanpa adanya kontrol sosial dari orang tua atau keluarga
mengakibatkan anak melakukan perilaku-perilaku menyimpang, seperti kriminalitas,
mencuri, mengamen, merokok hingga mengonsumsi narkoba dan yang paling utama
adalah tentang kondisi pendidikan anak-anak jalanan. Sulitnya pendidikan bagi anak
jalanan karena memang kondisi yang berbeda dimana sebelumnya sebagian besar
dari mereka sudah putus sekolah, jika kapasitasnya dibandingkan dengan anak yang
sudah mengikuti sekolah secara normal jelas berbeda.
Pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi anak. Anak seharusnya bisa
bersekolah atau mendapatkan pendidikan yang layak demi nasib masa depan anak
yang lebih baik. Apalagi di era modern ini ilmu pengetahuan perkembang sangat
cepat, tanpa pendidikan yang memadai anak bakal kesulitan beradaptasi dengan
kondisi lingkungan dan mengakibatkan culture shock jika tidak diatasi dengan baik.
Pendidikan juga menjadi sarana dalam membentuk cara berpikir seseorang.. Dalam
menghadapi permasalahan tersebut diperlukan kontrol sosial oleh suatu agen, dimana
agen melakukan kontrol sosial atas kondisi-kondisi menyimpang yang terjadi.
Mengembalikan kepada kondisi semula dan utamanya melakukan pencegahan.
Penyimpangan dalam hal ini adalah kondisi dimana anak-anak jalanan yang kurang
diperhatikan pendidikannya dan peran pemerintah yang belum berhasil dalam
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25
menjalankan aturan-aturan yang ada. Akibatnya tak sedikit anak menjadi tak terarah,
apalagi tanpa adanya pengawasan dari orang tua. Potensi untuk terbawa ke dalam hal
negatif sangat besar.
Kontrol sosial yang dilakukan suatu agen bersifat preventif, kuratif dan
represif, yaitu dengan pencegahan agar tidak terjadi penyimpangan ataupun dengan
pengembalian ke dalam kondisi semula. Dari tiga sifat tersebut kontrol sosial bisa
dilakukan dengan dua cara, persuasif dan koersif, yaitu dengan ajakan atau dengan
paksaan. Perlu adanya agen yang terstruktur yang melakukan sebuah kontrol sosial.
Oleh karena itu, diharapkan adanya Lembaga PPAP Seroja ini dapat menjadi agen
dalam melakukan kontrol sosial terhadap anak-anak jalanan di Kota Surakarta.
Melalui program-program yang sudah dirancang secara terstruktur untuk mereduksi
penyimpangan yang dilakukan oleh anak-anak. Harapannya hasil yang didapatkan
akan membuat anak-anak jalanan kembali kepada perilaku normal dan dapat
mengenyam pendidikan dengan semestinya serta menjadi perhatian utama keluarga.
Akses pendidikan formal sulit
Putus sekolah Tidak ada biaya
Kondisi pendidikan
anak jalanan
Kontrol Sosial
Preventif Represif Kuratif
Agen kontrol sosial