komponen kimia dari kulit batang dan kayu - Repository Unja

139
KOMPONEN KIMIA DARI KULIT BATANG DAN KAYU GARCINIA FORBESII KING DAN AKTIVITAS SITOTOKSIKNYA CHEMICAL CONSTITUENTS FROM THE STEM BARK AND WOOD OF GARCINIA FORBESII KING AND THEIR CYTOTOXIC ACTIVITY O l e h Madyawati Latief L3L050060 DISERTASI Untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu MIPA/Kimia Pada Universitas Padjadjaran Dengan wibawa Rektor Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA Sesuai dengan Keputusan Senat Komisi I / Guru Besar Universitas Dipertahankan pada tanggal 11 Agustus 2008 Di Universitas Padjadjaran PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2 0 0 8

Transcript of komponen kimia dari kulit batang dan kayu - Repository Unja

KOMPONEN KIMIA DARI KULIT BATANG DAN KAYU

GARCINIA FORBESII KING DAN AKTIVITAS

SITOTOKSIKNYA

CHEMICAL CONSTITUENTS FROM THE STEM BARK AND

WOOD OF GARCINIA FORBESII KING AND THEIR

CYTOTOXIC ACTIVITY

O l e h

Madyawati Latief

L3L050060

DISERTASI

Untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu MIPA/Kimia

Pada Universitas Padjadjaran

Dengan wibawa Rektor Universitas Padjadjaran

Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA

Sesuai dengan Keputusan Senat Komisi I / Guru Besar Universitas

Dipertahankan pada tanggal 11 Agustus 2008

Di Universitas Padjadjaran

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2 0 0 8

KOMPONEN KIMIA DARI KULIT BATANG DAN KAYU

GARCINIA FORBESII KING DAN AKTIVITAS

SITOTOKSIKNYA

CHEMICAL CONSTITUENTS FROM THE STEMBARK AND

WOOD OF GARCINIA FORBESII KING AND THEIR

CYTOTOXIC ACTIVITY

Oleh

Madyawati Latief

L3L 050060

DISERTASI

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian

guna memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu MIPA/Kimia.

Ini telah disetujui oleh Tim Promotor pada tanggal

seperti tertera di bawah ini

Bandung, 12 Agustus 2008

Prof. Dr. Supriyatna Soetardjo KETUA TIM PROMOTOR

Prof. Dr. Dachriyanus Prof. Dr. Husein H. Bahti ANGGOTA TIM PROMOTOR ANGGOTA TIM PROMOTOR

iii

KOMPONEN KIMIA DARI KULIT BATANG DAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Karya tulis saya disertasi ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk

mendapatkan gelar akademik doktor baik di Universitas Padjadjaran

maupun di perguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan hasil penelitian saya sendiri

tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Promotor.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis

atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas

dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama

pengarang atau dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari

terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah

diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang

berlaku diperguruan tinggi ini.

Bandung, 12 Agustus 2008.

Yang membuat pernyataan,

(Madyawati Latief)

NPM L3L050060

iv

ABSTRACT

Two compounds from the stembark (1,5 kg) and three compounds from the wood

(1,5 kg) of Garcinia forbesii King have been isolated. Fractionation and

purification have been done with column chromatography and recristalization

techniques. The structures of these compounds were determined by spectroscopic

data analysis, including UV, IR, 1D- and 2D- NMRs. Based on spectroscopic

analysis, the compounds have been identified as: 1,3,5-trihydroxy-2-

methoxyxanthone (compound 1, 6 mg), 1,3,5-trihydroxy-7-methoxy-8-(3,7-methyl-

2,6-octadienyl)xanthone (compound 2, 12 mg); garcinisidone A (compound 3, 22

mg); stigmasta-5,22-dien-3-ol (compound 4, 18 mg); and 2-methoxybut-2-

enedioic-acid (compound 5, 15 mg). Compound 1, 2, ,3 dan 5 are first reported

as chemical constituents from G. forbesii, compound 4 is usually founded in the

plant. The crude extract were evaluated by the brine shrimp lethality test (BSLT)

by using Artemia salina Leach as bioindicator. The isolated compounds were

evaluated for their cytotoxic effect against human breast cancer cell line T47D.

Cell survival was evaluated by SRB (Sulforhodamin B) method using Cis

platin Pt(NH3)2Cl2 as positive control. Compound 1,3,5-trihydroxy-2-methoxy

xanthone (1) and 1,3,5-trihydroxy-7-methoxy-8-(3,7-methyl-2,6-octadienyl)

xanthone (2) are moderate active compound (IC50 values 11,9 and 13,6µg/mL),

garcinisidone A (3) was active cytotoxic against T47D IC50 values 5,1 µg/mL

(IC50 5-10 µg/mL). Stigmasta- 5,22-dien-3-ol (4) and 2-methoxybut-2-enedioic-

acid (5) were inactive with IC50 values 62,4 and 50,4 µg/mL (IC50 > 30

µg/mL). From the viewpoint of structure-activity relationships, the activity of

the isolated compoundsis primarily influenced by the presence of prenyl and

hydroxyl groups. Position of the prenyl and hydroxyl groups on the molecule

play an important role in producing inhibitory effect on cell line T47D

v

ABSTRAK

Telah diisolasi dua senyawa dari kulit batang (1,5 kg) dan tiga senyawa dari

bagian kayu (1,5 kg) Garcinia forbesii King. Pemisahan dan pemurnian dilakukan

dengan metode kromatografi kolom dan rekristalisasi. Penetapan struktur

ditentukan berdasarkan data spektroskopi meliputi UV, IR, NMR 1 dan 2

dimensi. Berdasarkan analisis spektroskopi kelima senyawa yang diperoleh yaitu:

1,3,5-trihidroksi-2-metoksisanton (senyawa 1, 6 mg); 1,3,5-trihidroksi-7-metoksi-

8-(3,7-dimetiloktan-2,6-dienil)santon (senyawa 2, 12 mg); garsinisidon A

(senyawa 3, 22 mg); stigmasta-5,22-dien-3-ol (senyawa 4, 18 mg); dan asam 2-

metoksibut-2-endioat (senyawa 5, 15 mg). Senyawa 1, 2, 3, dan 5 merupakan

senyawa yang pertama kali dilaporkan diisolasi dari G. forbesii, sedangkan

senyawa 4, meskipun belum ada laporannya dari G. forbesii, tetapi merupakan

senyawa yang umum terdapat pada tumbuhan. Terhadap ekstrak kasar telah

dilakukan uji toksisitas dengan metode BSLT (brine shrimp lethality test)

dengan bio indikator larva udang Artemia salina Leach. Uji sitotoksik untuk

senyawa hasil isolasi dilakukan terhadap sel kanker payudara manusia T47D

dengan metode SRB (Sulforhodamin B) dan sebagai kontrol positif digunakan

Cis platin Pt(NH3)2Cl2. Hasil uji aktivitas sitotoksik menunjukkan bahwa

senyawa 1,3,5-trihidroksi-2-metoksisanton (1) dan 1,3,5-trihidroksi-7-metoksi-8-

(3,7-dimetiloktan-2,6-dienil)santon (2), mempunyai nilai IC50 11,9 dan 13,6

µg/mL yang termasuk kriteria senyawa dengan tingkat aktivitas sitotoksik sedang;

untuk senyawa garsinisidon A (3) dengan IC50 5,1 µg/mL, tingkat aktivitas

sitotoksiknya termasuk kriteria aktif (IC50 5-10 µg/mL). Senyawa berikutnya

stigmasta-5,22-dien-3-ol (4) dan asam 2-metoksibut-2-endioat (5) mempunyai

IC50 62,4 dan 50,4 µg/ml, digolongkan sebagai senyawa yang tidak aktif

sitotoksik (IC50 > 30 µg/mL). Dari hubungan struktur molekul dan aktivitas

diketahui bahwa sifat sitotoksik senyawa hasil isolasi terutama dipengaruhi oleh

adanya gugus prenil dan hidroksil. Posisi gugus prenil dan hidroksil pada molekul

juga berperan penting dalam menghambat aktivitas galur sel kanker payudara

manusia T47D.

vi

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur senantiasa Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan

disertasi dengan judul Komponen Kimia dari Kulit Batang dan Kayu Garcinia

forbesii King dan Aktivitas Sitotoksiknya.

Dalam penulisan disertasi ini, Penulis banyak mendapat masukan dan bantuan

dari berbagai pihak berupa ide, gagasan maupun materi. Untuk itu dengan

kerendahan hati, perkenankan Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan

yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Supriyatna Sutardjo, Prof. Dr. Husein H.

Bahti, dan Prof. Dr. Dachriyanus sebagai Tim Promotor yang telah banyak

membantu dan membimbing Penulis dalam penelitian dan penulisan disertasi.

Penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada Rektor, Dekan Fakultas

Pertanian, Ketua Jurusan Budidaya Pertanian, dan Ketua Program Studi Ilmu

Tanah Universitas Jambi, yang telah memberikan izin kepada Penulis untuk

mengikuti program doktor di Universitas Padjadjaran Bandung.

Ucapan yang sama Penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Padjadjaran,

Direktur Program Pascasarjana, dan Ketua Program Doktor Pascasarjana Unpad

yang telah memberikan kesempatan pada Penulis untuk mengikuti program doktor

di Universitas Padjadjaran Bandung.

Selanjutnya terimakasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan pada

Depdiknas RI, atas beasiswa BPPS yang diberikan, sehingga Penulis dapat

menjalani pendidikan dengan lancar.

vii

Kepada Pimpinan Laboratorium Pnelitian Bahan Alam dan Lingkungan

Pascasarjana FMIPA Jurusan Kimia Universitas Padjadjaran, Laboratorium

Penelitian Farmasi FMIPA Universitas Andalas, Laboratorium Kimia Puspiptek

Serpong, LIPI Bandung, Laboratorium Kimia ITB, dan Laboratorium

Instrumentasi UPI, serta Herbarium ANDA Universitas Andalas Padang, Penulis

mengucapkan terimakasih atas fasilitas yang diberikan.

Ucapan terimakasih yang tak terhingga juga Penulis sampaikan kepada

Prof. Dr. Syamsul Arifin Achmad, Dr.Muhamad Hanafi, Prof. Dr. Muljadji Agma,

Prof. Dr. O. Suprijana, Dr. Zainudin, dan Prof. Dr. Erri Noviar Megantara yang

telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan disertasi. Penulis juga

menyampaikan penghargaan kepada Professor Emeritus Dr. R. Hadiman atas

diskusi dan sarannya yang berharga.

Ucapan terimakasih juga Penulis sampaikan pada Sofa, S.Si, yang telah

membantu penulis dalam pengukuran spektrum, juga kepada Indah, S.Si dan Dr.

Linar yang membantu dalam pengujian aktivitas sitotoksik. Kemudian untuk

rekan-rekan satu tim, Muharni, M.Si, Elfita, M.Si dan Darwati, M.Si, terimakasih

tak terhingga Penulis ucapkan atas kerelaannya membantu Penulis selama

pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi.

Kepada Ayahanda H.M. Latief Pilliang (almarhum) dan Ibunda Hj. Farida, BA

ucapan terimaksih yang setulusnya Penulis haturkan atas pengorbanannya selama

ini. Seterusnya kepada ayahanda H. Agus Nanang Akhmad dan Ibunda Hj. Siti

Sabariah, serta semua saudaraku, terimakasih atas doa dukungannya untuk

keberhasilan Penulis.

viii

Terimakasih yang paling dalam Penulis sampaikan, untuk suamiku tercinta

Drs. Hambali, M.Si, yang selalu setia mendampingi dan mendorong Penulis

untuk menyelesaikan pendidikan tepat waktu, terlebih buat buah hatiku tersayang

Muhammad Yusuf Hanad, Qatrunnada Arraudah Hanad, dan Qanita Naurah

Hanad yang menjadi sumber semangat dan inspirasi Penulis dalam menempuh

pendidikan ini.

Akhirnya kepada berbagai pihak yang tiada mungkin dapat Penulis sebut satu

demi satu, kepada mereka Penulis sampaikan ucapan terimakasih teriring doa

semoga budi baiknya menjadi ibadah dan mendapat ganjaran pahala dari Allah

SWT, Amin.

Bandung, 12 Agustus 2008.

Madyawati Latief

ix

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ...................................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iii

ABSTRACT ................................................................................................ iv

ABSTRAK ................................................................................................ v

KATA PENGANTAR .............................................................................. vi

DAFTAR ISI ............................................................................................. ix

DAFTAR TABEL ..................................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiii

DAFTAR LAMBANG ............................................................................. xvi

DAFTAR SINGKATAN .......................................................................... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xviii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian .................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 2

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ........................................... 3

1.4 Kegunaan Penelitian ........................................................... 3

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

HIPOTESIS .............................................................................

4

2.1. Kajian Pustaka .................................................................... 4

2.1.1 Morfologi Garcinia forbesii King ...................................... 4

2.1.2 Kegunaan tumbuhan Garcinia ........................................... 4

2.1.3 Kandungan kimia genus Garcinia .................................... 6

2.1.4 Biosintesis senyawa santon dan depsidon ........................ 21

2.1.5 Pemisahan dan pemurnian senyawa dari G. forbesii ........ 23

2.1.6 Senyawa sitotoksik dari genus Garcinia ............................ 24

x

2.1.7 Sitotoksik dan metode ujinya ............................................. 25

2.2 Kerangka Pemikiran ........................................................... 28

2.3 Hipotesis ............................................................................ 29

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN ................................... 30

3.1 Waktu dan Tempat ............................................................. 30

3.2 Bahan dan Alat ................................................................... 30

3.3 Prosedur Penelitian ............................................................. 31

3.3.1 Pengambilan sampel ........................................................... 31

3.3.2 Persiapan sampel ................................................................ 31

3.3.3 Ekstraksi kulit batang dan kayu G. forbesii ...................... 33

3.3.4 Pemisahan dan pemurnian ekstrak metanol kulit batang G.

forbesii ................................................................................

33

3.3.5 Pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat kulit batang

G. forbesii ..........................................................................

35

3.3.6 Pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat kayu

G. forbesii ..........................................................................

36

3.3.6 Uji toksisitas dengan metode BSLT ................................... 38

3.3.7 Uji sitotoksik dengan metode SRB .................................... 39

3.3.8 Analisis spektroskopi ......................................................... 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 42

4.1 Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Hasil Isolasi ............. 42

4.1.1 Pemisahan dan pemurnian senyawa dari kulit batang

G. forbesii ..........................................................................

42

4.1.2 Pemisahan dan pemurnian senyawa dari kayu G.

forbesii .....................................................................

43

4.2 Toksisitas Ekstrak Kulit Batang dan Kayu G. forbesii ..... 44

4.3 Penentuan Struktur Molekul Senyawa Hasil Isolasi dari

Kulit Batang dan Kayu G. forbesii ....................................

45

4.4 Usulan Biogenesis Senyawa Hasil Isolasi .......................... 79

4.5 Uji Aktifitas Sitotoksik Senyawa Hasil Isolasi .................. 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 90

5.1 Kesimpulan ......................................................................... 90

5.2 Saran ................................................................................... 91

xi

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 92

LAMPIRAN .............................................................................................. 99

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Nilai LC50 hasil uji BSLT terhadap ekstrak kulit batang

dan kayu G. forbesii ..........................................................

44

Tabel 4.2 Data 1H,13C NMR, DEPT, HMBC, HMQC, dan COSY

senyawa 1 dalam DMSO-d6 ..............................................

49

Tabel 4.3 Data 1H,13C NMR, DEPT, HMBC, HMQC, dan COSY

senyawa 2 dalm CD3OD .....................................................

57

Tabel 4.4 Data 1H,13C NMR, DEPT, HMBC, HMQC, dan COSY

senyawa 3 dalam CDCl3 .....................................................

65

Tabel 4.5 Data spektroskopi NMR 1D senyawa garsinisidon A (3)

(CDCl3, 1H-NMR 500 MHz, 13C-NMR 125 MHz) dan

senyawa garsinisidon A pembanding (3*) (DMSO-d6, 1H

NMR 600 MHz, 13C NMR 150 MHz) ................................

71

Tabel 4.6 Data 13C NMR senyawa stigmasta-5,22-dien-3-ol (4)

(CDCl3, 1H-NMR 500 MHz, 13C-NMR 125 MHz) dan

senyawa stigmasta 5,22-dien-3-ol pembanding (4*)

(CDCl3, 1H-NMR 300 MHz, 13C-NMR 360

MHz)........................................................................

75

Tabel 4.7 Nilai IC50 senyawa uji dari kulit batang dan Kayu

G. forbesii dan senyawa pembanding (Cis platin) .........

84

Tabel 4.8 Nilai IC50 senyawa uji dari Genus Garcinia ...................... 85

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Pohon (A), daun (B), dan kulit batang (C) G. forbesii 5

Gambar 2.2 Biosintesis santon dan depsidon ..................................... 22

Gambar 2.3 Alur biosintesis santon dengan prekursor maklurin ....... 23

Gambar 3.1 Prosedur penelitian ........................................................ 32

Gambar 3.2 Skema pemisahan dan pemurnian ekstrak metanol kulit

batang G. forbesii ................................

35

Gambar 3.3 Skema pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat

kulit batang G. forbesii ...............................................

36

Gambar 3.4 Skema pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat

kayu G. forbesi ............................................................

38

Gambar 3.5 Tahapan uji toksisitas dengan metode BSLT .............. 39

Gambar 3.6 Skema kerja uji sitotoksik dengan metode SRB ........... 41

Gambar 4.1 Spektrum ultraviolet senyawa 1 dalam 1 mg/10 mL

MeOH dan dengan pereaksi geser NaOH .....................

46

Gambar 4.2 Spektrum 1H NMR senyawa 1 (DMSO, 500 MHz) ...... 47

Gambar 4.3 Potongan spektrum 1H-NMR senyawa 1 untuk proton

aromatik pada daerah geseran kimia antara 7,25-7,54

ppm (DMSO, 500 MHz .................................................

47

Gambar 4.4 Spektrum 13C NMR senyawa 1 (DMSO, 125 MHz) ..... 48

Gambar 4.5 Spektrum HMBC sebagian senyawa 1 untuk korelasi

proton H 3,75 ppm dengan C 130,7 ppm (C-2)

(DMSO, 500 MHz) ........................................................

50

Gambar 4.6 Spektrum HMBC sebagian senyawa 1 untuk korelasi

proton H 12,95 ppm (OH-1) dengan 102,3 (C-9a),

130,7 (C-2), dan 154,1 (C-1) (DMSO, 500 MHz) ........

51

Gambar 4.7 Spektrum HMBC sebagian senyawa 1 untuk korelasi

empat proton aromatik pada δH 6,52 (H-4), 7,25

(H-7), 7,30 (H-6), dan 7,54 (H-8) dengan karbon

(DMSO, 500 MHz) ......................................................

52

xiv

Gambar 4.8 Lanjutan spektrum HMBC sebagian senyawa 1` untuk

korelasi empat proton aromatik pada δH 6,52 (H-4),

7,25 (H-7), 7,30 (H-6), dan 7,54 (H-8) dengan karbon

(DMSO, 500 MHz) .......................................................

52

Gambar 4.9 Struktur Molekul senyawa 1 .......................................... 53

Gambar 4.10 Korelasi HMBC senyawa 1 ........................................... 53

Gambar 4.11 Spektrum ultraviolet senyawa 2 dalam 1 mg/10 mL

MeOH dan dengan penambahan pereaksi geser NaOH 54

Gambar 4.12 Spektrum inframerah senyawa 2 .................................. 55

Gambar 4.13 Spektrum 1H NMR senyawa 2 (CD3OD, 500 MHz) ..... 56

Gambar 4.14 Spektrum 13C NMR senyawa 2 (CD3OD, 125 MHz) .... 56

Gambar 4.15 Spektrum HMBC sebagian senyawa 2 untuk korelasi

proton H 3,75 ppm dengan C 143,6 ppm (C-7) dan

proton pada H 4,05 ppm dengan C 110,8 ppm (C-8),

123,9 ppm (C-2’), 143,6 ppm (C-7), 134,1 ppm (C-3’),

dan 137,3 ppm (C-8a) (CD3OD, 500 MHz) ................

58

Gambar 4.16 Spektrum HMBC sebagian senyawa 2 untuk korelasi

proton H 1,49; 1,52; 1,79; 1,95; dan 2,03 ppm dengan

karbon (CD3OD, 500 MHz) ..........................................

59

Gambar 4.17 Lanjutan spektrum HMBC sebagian senyawa 2 untuk

korelasi proton H 1,49; 1,52; 1,79; 1,95; dan 2,03 ppm

dengan karbon (CD3OD, 500 MHz) .............................

60

Gambar 4.18 Struktur Molekul senyawa 2 .......................................... 61

Gambar 4.19 Korelasi HMBC senyawa 2 ........................................... 62

Gambar 4.20 Spektrum ultraviolet senyawa 3 dalam 1 mg/10 mL

MeOH dan dengan penambahan pereaksi geser NaOH 62

Gambar 4.21 Spektrum inframerah senyawa 3 .................................. 63

Gambar 4.22 Spektrum 1H NMR senyawa 3 (CDCl3, 500 MHz) ....... 64

Gambar 4.23 Spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk korelasi

satu gugus hidroksil (OH-1) pada δH 11,29 ppm

(CDCl3, 500 MHz) ........................................................

66

Gambar 4.24 Spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk korelasi

dua gugus hidroksil pada δH 5,57 (OH-7), 6,29 (OH-3),

dan 2 proton aromatik (H-4 dan H-6) (CDCl3, 500

MHz) .............................................................................

67

xv

Gambar 4.25 Lanjutan spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk

korelasi dua gugus hidroksil pada δH 5,57 (OH-7),

6,29 (OH-3), dan 2 proton aromatik (H-4 dan H-6)

(CDCl3, 500 MHz) ........................................................

68

Gambar 4.26 Spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk korelasi

antara dua proton metilen pada dua gugus prenil dan

satu proton metoksi (OCH3-8) (CDCl3, 500 MHz) ....... 69

Gambar 4.27 Lanjutan spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk

korelasi antara dua proton metilen pada dua gugus

prenil dan satu proton metoksi (OCH3-8) (CDCl3, 500

MHz) ..............................................................................

69

Gambar 4.28 Struktur Molekul senyawa 3 .......................................... 70

Gambar 4.29 Korelasi HMBC senyawa 3 ........................................... 72

Gambar 4.30 Spektrum inframerah senyawa 4 ................................... 73

Gambar 4.31 Spektrum 1H NMR senyawa 4 (CDCl3, 500 MHz) ...... 73

Gambar 4.32 Spektrum 13C NMR senyawa 4 (CDCl3, 125 MHz) .... 74

Gambar 4.33 Struktur molekul senyawa 4 .......................................... 76

Gambar 4.34 Spektrum ultraviolet senyawa 5 dalam 1 mg/10 mL

MeOH ........................................................................... 76

Gambar 4.35 Spektrum inframerah senyawa 5 ................................... 77

Gambar 4.36 Spektrum 1H NMR senyawa 5 (CDCl3, 500 MHz) ........ 78

Gambar 4.37 Spektrum 13C NMR senyawa 5 (CDCl3, 125 MHz)......... 78

Gambar 4.38 Struktur molekul senyawa 5 .......................................... 79

Gambar 4.39 Skema usulan biogenesis senyawa santon dan depsidon

dari G. forbesii ..............................................................

82

Gambar 4.40 Hubungan konsentrasi senyawa uji dan senyawa

pembanding terhadap % inhibisi ................................... 83

Gambar 4.35 Struktur molekul dari senyawa uji dan senyawa

pembanding ...................................................................

86

xvi

DAFTAR LAMBANG

Lambang Nama Pemakaian

pertama kali

Pada halaman

δ Abjad yunani sama dengan d

Geseran kimia (ppm)

46

λ Panjang gelombang maksimum (nm) 46

ε Abjad yunani sama dengan e

Tetapan distingsi molar

46

J Tetapan kopling (Hz) 46

νmaks Bilangan gelombang maksimum (cm-1) 63

xvii

DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Nama Pemakaian

pertama kali

pada halaman

BSLT Brine Shrimp Lethality Test 38

COSY Correlated spectroscopy 45

cm Centimeter 33

d Doublet 55

dd Double doublet 46

DEPT Distortionless enhancement by polarization transfer 45

DMSO Dimetilsulfoksida 30

DMEM Dubelcco’s Modified Eagle Medium 30

ED50 Equivalent dosage 24

EDTA Etilen diamin tetra asetat 30

F Fraksi 34

FTIR Fourier Transform Infrared 31

g Gram 33

HMQC Hetero nuclear multiple quantum coherence 45

HMBC Hetero nuclear multiple bond conectivity 45

IC50 Inhibitory concentration 24

IR Infrared 41

kg kilogram 31

KVC Kromatografi Vakum Cair 24

KKG Kromatografi Kolom Grafitasi 34

KLT Kromatografi Lapis Tipis 33

LC50 Lethal Concentration 2

mL Mililiter (10-3 liter) 2

µg Mikrogram 2

MHz Mega Hertz (106 Hertz) 31

MTT Microculture Tetrazolium 28

NCI National Cancer Institute 27 1H NMR Proton Resonansi Magnet Inti 41 13C NMR Karbon Resonansi Magnet Inti 41

NMR 2D Resonansi Magnet Inti Dua Dimensi 41

NaCl Natrium Clorida 30

PBS Phosphate Buffered Saline 30

SRB Sulforhodamin B 30

s singlet 46

t triplet 46

TCA Trichloroacetic Acid 30

UV Ultraviolet 41

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Spektrum DEPT senyawa 1 ............................................ 99

Lampiran 2 Spektrum HMQC senyawa 1 (DMSO, 1H-500 MHz, 13C-

125 MHz)......................................................

100

Lampiran 3 Lanjutan spektrum HMQC senyawa 1 (DMSO, 1H-500

MHz, 13C-125 MHz) ......................................................

101

Lampiran 4 Spektrum COSY senyawa 1 (DMSO, 1H-500 MHz) ...... 102

Lampiran 5 Potongan spektrum 1H-NMR senyawa 2 untuk proton

aromatik pada daerah geseran kimia antara 1,49-2,03

ppm (CD3OD, 500 MHz)............................................

103

Lampiran 6 Potongan spektrum 1H-NMR senyawa 2 untuk proton

aromatik pada daerah geseran kimia antara 4,05-6,69

ppm (CD3OD, 500 MHz) ...............................................

104

Lampiran 7 Spektrum DEPT senyawa 2 ............................................. 105

Lampiran 8 Spektrum HMQC senyawa 2 untuk proton pada geseran

kimia δH 1,49 – 2,03 ppm (CD3OD, 1H-500 MHz, 13C-

125 MHz) .........................................................................

106

Lampiran 9 Spektrum HMQC senyawa 2 untuk proton pada geseran

kimia δH 3,75 dan 4,05 ppm(CD3OD, 1H-500 MHz, 13C-

125 MHz)...........................................................................

107

Lampiran 10 Spektrum HMQC senyawa 2 untuk proton pada geseran

kimia daerah 4,99 – 6,69 ppm (CD3OD, 1H-500

MHz, 13C-125 MHz) .......................................................

108

Lampiran 11 Spektrum COSY sebagian senyawa 2 untuk proton pada

δH 5,17 dan 4,05 ppm .....................................................

109

Lampiran 12 Spektrum COSY sebagian senyawa 2 untuk proton

pada δH 2,03 dan 4,99 ppm ...........................................

110

Lampiran 13 Spektrum COSY sebagian senyawa 2 untuk proton pada

δH 2,03 dan 1,95 ppm (CD3OD, 1H-500 MHz) ...............

111

Lampiran 14 Ekspansi spektrum 1H-NMR senyawa 3 untuk proton

pada geseran kimia 1,6-1,8 ppm (CDCl3, 500 MHz) ......

112

Lampiran 15 Ekspansi spektrum 1H-NMR senyawa 3 untuk proton

pada geseran kimia 5,1-6,7 ppm (CDCl3, 500 MHz) ......

113

xix

Lampiran 16 Spektrum 13C NMR Senyawa 3 ...................................... 114

Lampiran 17 Spektrum DEPT 135 senyawa 3 ...................................... 117

Lampiran 18 Spektrum COSY sebagian senyawa 3 untuk proton pada

δH 5,20; 5,17; 3,46; 3,37; dan 1,79 ppm .........................

116

Lampiran 19 Ekspansi spektrum 1H NMR senyawa 4 untuk geseran

kimia 0,64 – 0,95 ppm (CDCl3, 500 MHz) .....................

117

Lampiran 20 Ekspansi spektrum 1H NMR senyawa 4 untuk geseran

kimia 3,51 ppm (CDCl3, 500 MHz) ................................

118

Lampiran 21 Ekspansi spektrum 1H NMR senyawa 4 untuk geseran

kimia 4,97 – 5,33 ppm (CDCl3, 500 MHz) .....................

119

Lampiran 22 Potongan spektrum DEPT 135 senyawa 4 untuk karbon

pada daerah geseran kimia antara 12,1-24,5 ppm

(CDCl3, 125 MHz) .........................................................

120

Lampiran 23 Potongan spektrum DEPT 135 senyawa 4 untuk karbon

pada daerah geseran kimia antara 25,5-42,4 ppm

(CDCl3, 125 MHz) ..........................................................

121

Lampiran 24 Potongan spektrum DEPT 135 senyawa 4 untuk karbon

pada daerah geseran kimia antara 50,2-138,4 ppm

(CDCl3, 125 MHz) ..........................................................

122

Lampiran 25 Nilai absorban sampel (A1) pada berbagai konsentrasi

dengan metoda SRB .......................................................

123

Lampiran 26 Nilai persen inhibisi senyawa uji (% I) pada berbagai

Konsentrasi dengan metode SRB ....................................

124

Lampiran 27 Riwayat Hidup ................................................................. 125

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tumbuhan genus Garcinia atau manggis-manggisan tersebar di daerah tropis

seperti India, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Tumbuhan ini dimanfaatkan

masyarakat sebagai bahan makanan, kosmetik, dan obat-obatan (Whitmore, 1973;

Goh et al., 1991).

Genus ini merupakan kelompok tumbuhan yang menarik, baik dari segi

kandungan kimia maupun bioaktivitasnya. Telah dilaporkan berbagai senyawa

yang terdapat dalam tumbuhan ini seperti golongan santon, flavonoid, benzofenon,

depsidon, triterpen, dan asam fenolat. Senyawa- senyawa tersebut mempunyai

berbagai macam bioaktivitas seperti antimikroba, anti-inflamasi, antioksidan,

antikanker, dan anti-HIV (Kosela et al., 2000; Mackeen et al., 2000).

Salah satu spesies genus Garcinia adalah Garcinia forbesii King. Tumbuhan ini

belum banyak dikenal dan juga belum banyak dimanfaatkan. Berdasarkan

penelusuran literatur dilaporkan adanya senyawa 1,3,7-trihidroksi-2-(3-metilbut-2-

enil)santon, piranojakareubin dan forbesanton yang diisolasi dari G. forbesii

(Harrison et al., 1993), selanjutnya Wah et al. (1996) memperoleh pula senyawa

forbesion dari tumbuhan ini. Dari kedua penelitian ini belum dilaporkan mengenai

bioaktivitas senyawa hasil isolasi tersebut.

Pada genus Garcinia banyak ditemukan senyawa yang memiliki aktivitas

sitotoksik seperti senyawa santon dari G. hanburyi, G. griffithii, dan G. fusca

(Asano, et al., 1995; Ito et al., 2003; Dachriyanus et al., 2004). Dari spesies

2

G. bracteata dan G. gaudichaudii diperoleh pula senyawa sitotoksik santon

terprenilasi. Sedangkan dari G. xanthochymus dan G. multiflora diperoleh senyawa

sitotoksik benzofenon (Cao et al., 1998; Thoison et al., 2000; Chiang et al., 2003,

dan Baggett et al., 2005). Selanjutnya Xu et al. (2000) mendapatkan senyawa

depsidon terprenilasi yang bersifat toksik dari G. parvifolia.

Berdasarkan data literatur tersebut, maka tumbuhan G. forbesii berpeluang

mengandung senyawa sitotoksik. Hal ini diperkuat oleh hasil uji pendahuluan

yang memperlihatkan bahwa ekstrak kasar metanol dari kulit batang dan kayu G.

forbesii toksik terhadap larva udang Artemia salina Leach dengan LC50 masing-

masing 60,2 dan 75,2 μg/mL, yang mengindikasikan bahwa kedua ekstrak toksik

terhadap larva udang A. salina, karena mempunyai nilai LC50 < 1000 μg/ mL

(Madyawati et al., 2008).

Mengingat tumbuhan ini belum banyak diteliti dan dilaporkan manfaatnya,

maka sangat menarik untuk meningkatkan nilai tambah tumbuhan ini melalui

kajian kimia dan biologi dengan meneliti kandungan kimia dan aktivitas sitotoksik

G. forbesii.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan studi literatur dan uji pendahuluan, maka rumusan masalah yang

diajukan adalah sebagai berikut :

1) Apakah kulit batang dan kayu G. forbesii mengandung senyawa sitotoksik

dan bagaimana struktur molekulnya.

2) Bagaimana bentuk struktur molekul yang dapat meningkatkan aktivitas

sitotoksik.

3

3) Bagaimana tingkat aktivitas sitotoksik senyawa tersebut terhadap sel

kanker.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi

senyawa kimia dari kulit batang dan kayu G. forbesii, mempelajari senyawa kimia

yang dihasilkan dari spesies ini, dan menguji aktivitas sitotoksik serta mengkaji

hubungan struktur dan aktivitas senyawa hasil isolasi.

1.3.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari profil kimia dari spesies

G. forbesii dan melihat hubungan biogenesis antar senyawa yang dihasilkan, juga

untuk mengetahui aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker serta hubungan struktur

dan aktivitas senyawa hasil isolasi dari kulit batang dan kayu G. forbesii.

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang dapat diperoleh dengan selesainya penelitian ini adalah :

1) Dapat menambah informasi tentang senyawa kimia dan aktivitas biologi

dari genus Garcinia umumnya dan G. forbesii khususnya.

2) Senyawa sitotoksik yang diisolasi diharapkan menjadi lead compound

untuk dikembangkan sebagai senyawa antikanker.

3) Senyawa hasil isolasi dapat dijadikan sebagai model molekul.

4) Diketahuinya kaitan biogenesis serta hubungan struktur dan aktivitas dari

senyawa hasil isolasi.

5) Secara tidak langsung dapat melestarikan tumbuhan G. forbesii.

4

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Morfologi Garcinia forbesii King.

Tumbuhan G. forbesii tumbuh di daerah dataran rendah sampai perbukitan.

Tumbuhan ini termasuk dalam famili Guttiferae dan genus Garcinia.

G. forbesii berupa pohon kecil atau sedang dengan tinggi mencapai 18 m dan

lingkar batang mencapai 90 cm. Kulit batang bagian dalam tipis dengan getah

berwarna kuning. Daun berbentuk elips dengan ukuran antara 12 x 6 sampai 19

x 8 cm, kedua ujung melancip, tipis seperti kertas. Tulang daun sekunder sejajar.

Bunga memiliki 4 sepal dan petal, bunga jantan membentuk kelompok kecil

terletak di belakang daun, mempunyai banyak benang sari, bunga betina terletak di

belakang daun, buahnya berbentuk seperti apel, berwarna merah dan banyak

mengandung air (Whitmore, 1973). Pohon, daun, dan kulit batang G. forbesii,

dapat dilihat pada Gambar 2.1.

2.1.2. Kegunaan tumbuhan Garcinia

Tumbuhan genus Garcinia telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di

berbagai tempat sebagai obat tradisional, seperti buah G. indica digunakan untuk

mengobati disentri (John, 1984) dan buah G. cola sebagai antiseptik (Iwu et al.,

1990). Di Cina dan Borneo, daun G. gaudichaudii digunakan untuk mengobati luka

(Wu et al., 2001). Di Indonesia dan Malaysia, buah maupun daun G. griffithii

banyak digunakan dalam pengobatan setelah melahirkan (Devehat et al., 2002). Di

Taiwan, G. mangostana banyak dimanfaatkan secara tradisional dalam pengobatan

5

Cina, untuk mengobati berbagai penyakit seperti disentri, diare, gonorhea, dan

penyakit kulit lainnya (Chiang et al., 2003). Buah G. xantochymus digunakan

untuk mengobati infeksi kulit, luka, diare, dan disentri. Kulit batang G. dulcis

digunakan sebagai obat antiinflammasi, jus buah sebagai ekspektoran, dan daun

serta biji digunakan sebagai obat limpatitis (Bagget et al., 2005; Deachathai et al.,

2005).

C

A B

Gambar 2.1. Pohon (A), daun (B), dan kulit batang (C) G. forbesii

6

Selain sebagai obat tradisional, genus Garcinia juga banyak dimanfaatkan untuk

penggunaan lain seperti; tumbuhan G. forbesii untuk rempah-rempah dan bahan

bangunan (Burkil, 1966), serta kayu G. celebica dimanfaatkan untuk bahan

bangunan (Heyne, 1987). Buah G. mangostana dan G. pedunculata dimanfaatkan

sebagai makanan (Maikhuri and Gangwar, 1993; Chairungslilerd et al., 1996),

sedangkan daun G. cowa digunakan untuk tonik (Ilham et al., 1995).

2.1.3. Kandungan kimia genus Garcinia

Laporan penelitian tentang kandungan senyawa kimia dari genus Garcinia

mengungkapkan berbagai senyawa kimia yang dimiliki oleh tumbuhaan ini

seperti golongan santon, depsidon, benzofenon, steroid, dan terpenoid (Ampofo

and Waterman, 1986; Mackeen et al., 2000).

2.1.3.1. Senyawa golongan santon

Santon merupakan senyawa metabolit sekunder yang umumnya terdapat pada

beberapa famili tumbuhan, fungi dan lumut. Pada tumbuhan tingkat tinggi, hampir

sebagian besar santon ditemukan pada dua famili yaitu Guttiferae dan

Gentianaceae. Santon teroksigenasi sederhana banyak terdapat pada kedua famili

tumbuhan tersebut. Tetapi untuk famili Guttiferae, kelompok senyawa yang

banyak ditemukan adalah santon terprenilasi. Inti santon berbentuk simetris, hal

ini berhubungan dengan jalur biogenetik dalam tumbuhan tinggi. Penomoran

karbon dilakukan menurut konvensi biosintesisnya, untuk karbon nomor 1-4,

berada pada cincin A yang berasal dari alur turunan asetat, dan karbon nomor

5-8 adalah untuk cincin B yang berasal dari alur sikimat (Bennett and Lee,1989,

Peres and Nagem, 1997).

7

O

O OH

HO O

O OH

HO

O

O OH

OH(6) (7) (8)

Senyawa santon dapat dikelompokkan atas santon teroksigenasi sederhana,

glikosida santon dan santon terprenilasi. Santon teroksigenasi sederhana dapat

dikelompokkan lagi berdasarkan tingkat oksigenasinya (Peres and Nagem, 1997).

Santon teroksigenasi sederhana, yang berada dalam bentuk monooksigenasi

santon, belum ditemukan pada genus Garcinia. Tetapi untuk bentuk dioksigenasi

santon, telah ada yang diisolasi dari genus Garcinia. Diantaranya adalah senyawa

1,6-dihidroksisanton (6) dari kulit batang G. vieillardii (Hay et al., 2004a), 1,7-

dihidroksisanton (7) yang diisolasi dari kulit batang G. griffithii (Dachriyanus et

al., 2004; Nilar et al., 2005), dan senyawa 1,5-dihidroksisanton (8) dari kulit

batang G. polyantha (Lannang et al., 2005).

Senyawa trioksigenasisanton banyak ditemukan pada genus Garcinia. Pola

oksigenasinya kebanyakan adalah 1,5,8-, 1,4,7-, dan 2,3,5-. Beberapa

senyawa trioksigenasi santon yang telah diisolasi tersebut adalah seperti yang

dilaporkan Iinuma et al. (1995) yaitu 1,5-dihidroksi-3-metoksisanton (9) dan

1,4,5-trihidroksisanton (10) dari kulit akar G. subelliptica, seterusnya

ditemukan pula senyawa 1,7-dihidroksi-3-metoksisanton (11) dari G.

eugenifolia dan 6-deoksisojakareubin (12) dari G. livingstonei (Peresand

Nagem, 1997). Kemudian 1,3,5-trihidroksisanton (13) diperoleh dari G.

smeathmannii (Komguem et al., 2005).

8

O

O

OO

OH

OH

O

O

OCH3O

OH

OH(17) (18)

O

O OH

OH

OCH3O

O OH

OH OH

O

O OH

OCH3

HO

(9) (10) (11)

O

O OH

OCH3

HO O OH

OH

OHO

(12) (13)

O

O

OH

OH

OCH3

H3CO O

O

OH

OH

O

O OH

HO

OHHOOHHO

(14) (15) (16)

Bentuk tetraoksigenasi santon pertama kali diperoleh dari genus

Haploclathra. Dari tiga spesiesnya didapatkan 17 senyawa santon yang

berbeda, termasuk pola 1,3,5,6- dan 1,3,7,8- tetraoksigenasi santon.

Sementara pola yang berbeda diperoleh dari genus Garcinia yaitu 2,5-

dihidroksi-1,6-dimetoksisanton (14) diisolasi dari G. thwaitesii (Gunatilaka et

al., 1983), kemudian 1,3,5,6-tetrahidroksisanton (15) dan 1,3,6,7-

tetrahidroksisanton (16) diperoleh dari kulit batang G. griffithiii (Nilar et al.,

2005). Selanjutnya senyawa piranojakareubin (17) dan forbesanton (18)

diperoleh Harrison et al. (1993) dari G. forbesii.

9

O

OH

OCH3

OCH3

OCH3

H3CO

O

(19)

Pola oksigenasi santon berikutnya yaitu pentaoksigenasisanton. Bentuk ini

jarang ditemukan pada famili Guttiferae, tetapi banyak terdapat pada famili

Gentianaceae. Senyawa pentaoksigenasi santon yang telah dilaporkan pada

famili Guttiferae terutama dari genus Garcinia yaitu dulcissanton (19) dari

bunga G. dulcis (Deachathai et al., 2005).

Senyawa santon dengan pola santon teralkilasi pada famili Guttiferae

biasanya dalam bentuk subsitusi mono atau di-C5. Bentuk gugus C5 yang

tersubsitusi umumnya adalah 3-metilbut-2-enil atau 1,1-dimetilprop-2-enil,

dan sering juga terjadi siklisasi dengan orto hidroksil sehingga membentuk

senyawa 2,2-dimetilpiran (dihidropiran). Kadang-kadang terjadi hidroksilasi

atau hidrasi pada rantai samping. Subsituen C10 lazimnya berupa gabungan

dua prenil membentuk geranil atau lavandulil. Pola oksigenasi santon

teralkilasi kurang bervariasi dibandingkan dengan senyawa tanpa alkilasi.

Empat pola yang banyak terjadi, yaitu 1,3,5-, 1,3,7-, 1,3,5,6-, dan 1,3,6,7- di-

dan pentaoksigenasi (Bennet and Lee, 1989).

Bentuk trioksigenasisanton mono-C5 banyak diisolasi dari genus Garcinia.

Senyawa 1,3,7-trimetoksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon (20), 1-hidroksi-3,7-

dimetoksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon (21), 1,7-dihidroksi-3-metoksi-2-(3-

metilbut-2-enil)santon (22), 1,5-dihidroksi-3-metoksi-2-(3-metilbut-2-

10

O

OCH3

OCH3

O

H3CO

O

OH

OCH3

O

H3CO

(20) (21)

O

OH

OCH3

O

HO

O

OH

OCH3

O

OH

O

OH

OCH3

O

OCH3(22) (23) (24)

O

OCH3

OCH3

O

OCH3

(25)

O

HO

OH

OH

O

O

O OH

OH

OH

(26) (27)

enil)santon (23), 1-hidroksi-3,5-dimetoksi-2-(3-metilbut-2-enil)-santon (24)

dan 1,3,5-trimetoksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon (25) telah diisolasi dari kulit

buah G. mangostana (Sen et al., 1983). Harrison et al. (1993) melaporkan pula

adanya senyawa 1,3,7-trihidroksi-2-(3-metilbut-2-enil)-santon (26) dari

cabang G. forbesii dan senyawa 1,4,8-trihidroksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon

(27) didapatkan dari kulit batang G. polyantha (Lannang et al., 2005).

Pola selanjutnya adalah kelompok senyawa trioksigenasisanton di-C5.

Jenis senyawa ini antara lain diperoleh dari G. quadrifaria, yaitu senyawa

1,3,5-trihidroksi-4,8-di(3-metilbut-2-enil) santon (28). Kemudian didapatkan

juga senyawa garsinon A (29) dan 6-deoksi-γ-mangostin (30) yang diisolasi

dari G. mangostana (Bennett and Lee, 1989). Diserens et al. (1992)

mendapatkan senyawa 1,3,5-trihidroksi-4-(3,7-dimetiloktan-2,6-dienil)santon

11

O

OH

OH

O

OH

O

OH

OHHO

O

O

OH

OH

O

HO

(28) (29) (30)

O

O OH

OH

OH O

OH

OHOH

O

O

OCH3

OCH3OCH3

O

(31) (32) (33)

O

OHO

OH OH

O

OHO

OH

OH

(34) (35)

(31) dari kulit akar G. livingstonei. Selanjutnya Minami et al. (1994)

melaporkan tiga senyawa yang diisolasi dari G. subelliptica yaitu 1,4,5-

trihidroksi-3,6-di(3-metilbut-2-enil)santon (32) dan 1,4,5-trimetoksi-3,6-di(3-

metilbut-2-enil)santon (33), dan garsiniasanton (34). Kemudian Nguyen dan

Harrison (2000) memperoleh pula senyawa subelliptinon B (35) dari G.

vilersiana.

Senyawa jenis tetraoksigenasisanton mono-C5 yang telah diisolasi adalah

senyawa 1,5,8-trihidroksi-3-metoksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon (36) dari G.

mangostana (Bennet and Lee, 1989), 1,2,6-trihidroksi-5-metoksi-7-(3-

metilbut-2-enil)santon (37) dari G. xanthocymus (Chanmahasathien et al.,

2003a), dan kowasanton (38) dari buah G. cowa (Panthong et al., 2006).

12

O

O OH

OCH3

OH

OH

O

O OH

OCH3

OH

HO O

OH

OCH3HO

O

OCH3(36) (37) (38)

O

CH3H3C

O

O

H3CCH3

OH

OH

CH3

H3C

O

O

O OH

HO

H3CO

O O

O OH

OHHO

H3CO

(39) (40) (41)

Pada genus Garcinia dijumpai pula pola tetraoksigenasisanton di-C5.

Beberapa penelitian tentang jenis senyawa ini antara lain; forbesion (39)

dari G. forbesii (Wah et al., 1996), 5,9-dihidroksi-8-metoksi-2,2,-dimetil-7-

(3-metilbut-2-enil)2H,6H-piran[3,2-b]santen-6-on (40) dari G. cowa

(Dachriyanus, 2001a), α-mangostin (41) dari G. parvifolia (Dachriyanus et al.,

2001b), fuskasanton C (42) dan 1,3,6-trihidroksi-2,8-di(3-metilbut-2-enil)-7-

metoksisanton (43) dari G. fusca (Ito et al., 2003), dan 2,8-di(3-metilbut-2-

enil)-7-karboksi-1,3,-dihidroksisanton (44) dari G. mangostana

(Gopalakrishnan and Balaganesan, 2000).

Selanjutnya 1-hidroksi-8-(2-hidroksi-3-metilbut-3-enil)-3,6,7-trimetoksi-2-

(3-metilbut-2-enil)santon (45), 1,6-dihidroksi-8-(2-hidroksi-3-metilbut-3-

enil)-3,7-dimetoksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon (46), dan 1,6-dihidroksi-2-(2-

hidroksi-3-metilbut-3-enil)-3,7-dimetoksi-8-(3-metilbut-2-enil)santon (47)

ditemukan dari hati kayu G. mangostana (Nilar and Harrison, 2002),

rubrasanton (48) dari G. cowa (Wahyuni et al., 2004) dan G. parvifolia

(Kardono et al., 2006).

13

O

O OH

OCH3H3CO

H3CO

O

O OH

OHHO

H3CO

O

O OH

OH

HOOC

(42) (43) (44)

O

OH

OCH3H3CO

OHO

H3CO

O

OH

OCH3HO

OHO

H3CO

(45) (46)

O

OH

OCH3HO

O

H3CO

OHO

H3CO

HO

OH

OH

O

(47) (48)

Tetraoksigenasisanton tri-C5 juga merupakan golongan santon teralkilasi,

senyawa dengan pola ini antara lain ialah nervosanton (49) dari G.

nervosa (Bennett and Lee, 1989) dan 7-O-metilgarsinon E (50) dari batang G.

cowa (Likhitwitayawuid et al., 1997). Senyawa gaundikaudion E (51) dan

asam gaundikaudik A (52) ditemukan dari daun G. gaundichaudii (Cao et al.,

1998). Selanjutnya Ito et al. (2003a) memperoleh senyawa 1,3,5-trihidroksi-

2,5-8-tri(3-metilbut-2-enil)-7-metoksisanton (53) dari G. fusca, sedangkan

14

O

O OH

OHHO

OH

O

O

OH

OH

HO

O

(55) (56)

O

O

O O

HOH

OHO

O

O OH

OHHO

H3CO

O

O OH

OHHO

OH

CHO

(53) (54)(52)

O

O

O O

HOH

OHO

CHO

(51)

O OH

OHO OH

OH

O OH

OHO OH

H3CO

(49) (50)

senyawa 1,3,5,6-tetrahidroksi-4,7,8-tri(3-metilbut-2-enil)santon (54)

dari kayu G. xanthocymus (Chanmahasathien et al., 2003b), dan kemudian

Chiang et al. (2003) memperoleh garsinianon A (55) dan B (56) dari batang G.

multiflora.

Selain tipe-tipe santon yang telah disebutkan sebelumnya, ada pula

senyawa santon yang dikelompokkan atas santon yang lebih komplek, seperti

senyawa griffipavisanton (57) dari kulit G. griffithii dan G. parvifolia (Xu

et al., 1998). Begitu pula dari daun G. bracteata, Thoison et al. (2000)

memperoleh enam senyawa santon yang terprenilasi yaitu, braktatin (58),

15

O

O

OO

OH

OH

HO

OH

OH

HO

OH

OH

O

OOH

HO O OO

OOH

O OO

(58)(57) (59)

O

OOCH3

HO O OO

OOCH3

O OO O

OOCH3

O OHO

HOCH3

O

OOCH3

HO

O

O

(60) (61) (62) (63)

O

OH

OH

O

OH

GlyO

(64)

Isobraktin (59), 1-O-metilbraktatin (60), 1-O-metilisobraktatin (61), 1-O-

metil-8-metoksi-8,8a-dihidrobraktatin (62), dan 1-O-metilneobraktatin (63).

Jenis santon glikosida merupakan pola santon yang juga ditemukan pada

Guttiferae. Bentuk santon glikosida ini ada dua yaitu O- dan C-glikosilsanton,

tetapi untuk Guttiferae hanya ditemukan dalam bentuk glikosilsanton, hanya

pada famili Gentianaceae, kedua bentuk ini ditemukan. Dari genus Garcinia,

glikosida santon yang diperoleh yaitu 1,3,6,7-tetrahidroksi-O-glikosilsanton

(64) dari G. mangostana (Bennet and Lee, 1989).

16

O

OOH

OH

H3COHO

HOO

O

OOH

OH

H3COHO

HOO

O

OOH

OH

H3COHO

HOO

HO

(65) (66) (67)

O

OOH

OHHO

HOO

O

O

O

OOH

HO

H3CO

O

O

O

OOH

O

HO(68) (69) (70)

O

O

OOH

O

O

HOO

O

OH

OOH

O

HO

O

O

OH

OOH

HOOCH3

(71) (72) (73)

2.1.3.2. Senyawa golongan depsidon

Depsidon merupakan jenis senyawa yang mempunyai jembatan eter antara

dua cincin aromatik yang berdampingan dalam molekul depsida

(Manitto, 1992). Jenis senyawa ini telah ada yang ditemukan pada genus

Garcinia, seperti garsidepsidon A (65), B (66), C (67), dan D (68) dari daun

G. parvifolia (Xu et al., 2000), senyawa garsinisidon B (69), C (70), D (71), E

(72) dan F (73) dari daun G. neglecta dan G. puat (Ito et al., 2001). Permana

et al. (2001) melaporkan juga isolasi senyawa depsidon dari akar G.

atroviridis yaitu senyawa atrovirisidon (74), berikutnya dilaporkan pula

isolasi senyawa depsidon yaitu garsinisidon A (3) dari kulit batang G. assigu

(Ito et al., 1997).

17

O

O

OH

H3COHO

HOO

O

O

H3CO

OH

OHO

HO

(74) (3)

HO

OH

OH

HO

O

HO

OCH3

OCH3

HO

OOH

(78) (79)

HO

OCH3

OCH3HO

H3CO

O

HO

OCH3

OHHO

HO

O

HO

OH

OHHO

HO

O

(75) (76) (77)

2.1.3.3. Senyawa golongan benzofenon

Senyawa benzofenon merupakan kelompok senyawa yang menarik karena

mempunyai hubungan biosintesis dengan senyawa santon. Golongan benzofenon

ini dapat dikelompokkan atas benzofenon teroksigenasi dan benzofenon terprenilasi

(Bennett and Lee, 1989).

Benzofenon teroksigenasi telah banyak dilaporkan dari genus Garcinia, seperti

senyawa 4’,6-dihidroksi-2,3’,4-trimetoksibenzofenon (75) dan 2’,3’,6-trihidroksi-

2,4-dimetoksibenzofenon (76) dari kayu G. subelliptica (Minami et al., 1994;

Minami et al., 1998), 4,6,3’,4’-tetrahidroksi-2-metoksibenzofenon (77), maklurin

(78), dan 2,4,6,3’-tetrahidroksibenzofenon (79) dari batang G. multiflora (Chiang et

al., 2003).

18

HO

O

H

H

O

O

HO

O OH

OH

O

H

O

OH

HO O

OHO

(83) (84) (85)

O

O

OCH3

HO

O

OH

HO

OHOH

HO O

O OH

OH

HO O

(80) (81) (82)

Pola benzofenon yang biasa ditemui pada genus Garcinia yaitu benzofenon

terprenilasi. Beberapa laporan penelitian tentang isolasi senyawa ini adalah

dari Spino et al. (1995) yang memperoleh senyawa mirtiafenon-B atau 6-hidroksi-

2,4-dimetoksi-3,5-bis(3-metil-2-butenil)benzofenon (80). Yamaguchi et al. (2000)

memperoleh senyawa poliisoprenil benzofenon yaitu senyawa garsinol (81),

sedangkan guttiferon I (82) ditemukan dari kulit batang G. griffithii (Nilar

et al., 2005), lagi pula garsinielipton FA (83) dan FB (84) dari perikap G.

subelliptica (Wu et al., 2005). Selanjutnya senyawa guttiferon H (85),

gambogenon (86), aristofenon A (87), santosimol (88), guttiferon E (89),

siklosantosimol (90), dan isosantosimol (91) diisolasi dari buah G.

xanthochymus (Baggett et al., 2005). Kemudian diisolasi pula senyawa

serofenon C (92) dari daun dan batang G. bracteata (Thoison et al., 2005).

19

O

OH

HO O

OHO

O

OH

HO O

OHO

HO

OH

HO

O O

O

(86) (87) (88)

O

OH

HO O

OHO

O

OH

HO O

OO

(89) (90)

O

OH

HO O

OO

O

OH O

OH

O

(91) (92)

2.1.3.4. Senyawa steroid dan terpenoid

Kelompok senyawa kimia lain yang juga terdapat pada genus Garcinia adalah

golongan steroid dan terpenoid, yang merupakan senyawa minor pada genus

Garcinia. Golongan steroid yang telah diisolasi dari kulit batang G. speciosa

telah dilaporkan oleh Vieira et al. (2004) yaitu metil(24E)-3α,23α(=R)-

dihidroksi-17,14-friedelanostan-8,14,24-trien-26-oat (93), metil(24E)-3α,16α-

23α(=6R,23R)-epoksi-7,4-friedolan-8,14,24-trien-26-oat (94), metil(24E)-3α,23α-

dihidroksi-8α,9α-epoksi-15-okso-17,14-friedolanostan-24-en-26-oat (95),

20

CH3

OCH3

OH

HO

O

CH3

OCH3

HO

O

O CH3

OCH3

OH

HO

O

O

O

(93) (94) (95)

CH3

OCH3

OH

HO

O

O

OH

O

OH

HO

OOCH3

O

OH

HO

O

(96) (97) (98)

OH

O

OHO

H

O

H

O

HO

CH3

OH

HO

(99) (100) (101)

O

HOH

H

H

HO

H

H

H

H

HO

(102) (103) (104)

metil(24E)-3α,23α-dihidroksi-15-okso-17,15-friedolanostan-8(14),24-dien-26-oat

(96), asam (25R)-3β-hidroksi-23-okso-9,16-lanostadien-26-oat (97), metil(25R)-

3β-hidroksi-23-okso-9,16-lanostandien-26-oat (98), asam (25R)-3α-hidroksi-23-

okso-9,16-lanostandien-26-oat (99), 3β,9α-dihidroksilanost-24-en-26-ol (100), dan

β-sitosterol (101).

Senyawa golongan terpenoid yang diisolasi dari genus Garcinia antara lain

adalah senyawa triterpen 3β-hidroksi-26-nor-9,19-siklolanost-23-en-25-on (102)

yang diisolasi dari daun G. mangostana (Parveen et al., 1991), lupeol (103) dan β-

amirin (104) diisolasi oleh Nguyen dan Harrison (2000) dari kulit G. vilersiana.

21

COOH COOH HO COOH

Jalur sikimat Jalur asetatmalonat

3 x malonil

Co A

HO

O OH

OH

HO

O

O OH

OH

HO

O

OO

OH

OH

HO

BenzofenonSantonDepsidon

2.1.4. Biosintesis senyawa santon dan depsidon

Biosintesis senyawa golongan santon dan depsidon mempunyai kaitan yang

erat. Santon diusulkan dari prekursor benzofenon yang terbentuk dari

penggabungan dua jalur yaitu jalur shikimat melalui meta hidroksi benzoat dan

jalur asetat malonat menggunakan tiga unit malonil Co A. Biosintesis benzofenon

sendiri diusulkan dari poliketida yang umumnya untuk yang berasal dari

mikroorganisme. Biosintesis depsidon juga berasal dari jalur poliketida. Dengan

demikian terdapat kaitan yang erat antara santon dan depsidon melaui prekursor

benzofenon (Manitto, 1992). Skema alur biosintesis santon dan depsidon dapat

dilihat pada Gambar 2.2.

22

Gambar 2.2. Biosintesis santon dan depsidon

Usulan penggunaan meta hidroksi benzoat ternyata kurang tepat untuk

prekursor para hidroksi santon, sehingga diusulkan 2,3’,4,4’,6-

pentahidroksibenzofenon (maklurin) sebagai prekursor santon yang umum.

Kopling oksidatif dari benzofenon dapat memberikan 1,3,5- dan 1,3,7-

trihidroksisanton, dan maklurin yang dibentuk melalui 4’-hidroksilasi dari

senyawa benzofenon yang menghasilkan 1,3,5,6- dan 1,3,6,7-

tetrahidroksisanton.

Sebagai alternatif untuk melihat bahwa santon dibentuk oleh benzofenon,

maka diusulkan bahwa pola oksigenasi santon merupakan modifikasi setelah

pembentukan awal santon dari benzofenon maklurin. Turunan maklurin

1,3,5,6- dan 1,3,6,7-tetraoksigenasi santon mengarahkan pada semua pola

oksigenasi, berturut-turut dengan oksidasi dan atau reduksi. Sebagai contoh,

reduksi posisi 6 dari santon menghasilkan 1,3,5- dan 1,3,7-trioksigenasi

santon. Studi biosintesis secara lebih mendalam memperlihatkan bahwa 1,3,5-

dan 1,3,7-trioksigenasi santon, sesuai untuk posisi santon dasar yang dibentuk

melalui kopling oksidatif langsung benzofenon dengan tiga tahap melalui

maklurin. Sebagai alternatif, 1,3,5,6- dan 1,3,6,7-tetraoksigenasisanton,

dibentuk melalui oksigenasi posisi 6 dari 1,3,5- dan 1,3,7-trioksigenasisanton.

23

HO

O

HO

OH

OH

O

O

HO

OH

OHO

O OH

OH

OH

HO

O

HO

OH

OH

O

O

HO

OH

OHO

O OH

OH

HO

HO

OH

1,3,5-trihidroksisanton (13) 1,3,7-trihidroksisanton

maklurin (77)

HO

1,3,6,7-tetrahidroksisanton (16)1,3,5,6-tetrahidroksisanton (15)

Alur biosintesis santon dengan maklurin sebagai prekursor disajikan pada

Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Alur biosintesis santon dengan prekursor maklurin

2.1.5. Pemisahan dan Pemurnian Senyawa dari G. forbesii

Dari tumbuhan G. forbesii, pada bagian rantingnya Harrison et al. (1993) telah

memperoleh tiga senyawa dari golongan santon yaitu 1,3,7-trihidroksi-2-(3-

metilbut-2-enil)santon, piranojakareubin, dan forbesanton.

Senyawa tersebut diperoleh dari ekstrak metanol yang disolvasi dengan etil

asetat dan dicuci dengan air, larutan organiknya selanjutnya dipisahkan dengan

kromatografi vakum cair (KVC) dengan eluen etil asetat - n-heksan secara

bergradien. Bagian yang kurang polar dimurnikan dengan KLT preparatif (EtOAc

– n-heksan, 1:19, silika gel) dan HPLC (ODS, Me2CO – H2O, 3:1) menghasilkan

24

piranojakareubin dan forbesanton. Bagian yang polar dipisahkan dengan KVC dan

dimurnikan juga melalui KVC (EtOAc – n-heksan) menghasilkan senyawa 1,3,7-

trihidroksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon.

2.1.6. Senyawa Sitotoksik dari genus Garcinia

Senyawa sitotoksik dari genus Garcinia ini cukup banyak ditemukan,

antara lain dari golongan santon yaitu dari ekstrak daun G. gaundichaudii

didapatkan senyawa gaundikaudion E (51) disamping asam gaundikaudik A

(52) yang aktif terhadap sel P-388, WEHI 1460, MOLT4, HePG2 dan LL/2

dengan ED50 berkisar dari 0,5 – 8 µg/mL (Cao et al., 1998). Selain itu

dari G. griffithii juga dilaporkan adanya senyawa griffipavisanton (57) yang

toksik terhadap sel kanker P-388, LL/2 dan WEHI164, dengan nilai ED50

berturut-turut adalah 3,40; 6,80; dan 4,60 µg/mL (Xu et al., 1998).

Selanjutnya Thoison et al. (2000) melaporkan pula enam buah senyawa

santon terprenilasi dari G. bracteata yaitu braktatin (58), isobraktatin (59), 1-

O-metilbraktatin (60), 1-O-metilisobraktatin (61), 1-O-metil-8-metoksi-8,8a-

dihidrobraktatin (62), dan 1-O-metilneobraktatin (63), yang mempunyai

aktivitas sitotoksik terhadap sel KB, dengan nilai IC50 masing-masing adalah

0,4; 1,5; 0,3; 0,8; 1,5; dan 0,2 μg/mL. Dari kulit batang G. multiflora diisolasi

dua senyawa sitotoksik yaitu garsinianon A (55) dan garsinianon B (56) yang

memiliki LD50 7,7 dan 25,8 µM terhadap uji BSLT (Chiang et al., 2003).

Senyawa 1,7-dihidroksisanton (7) yang diisolasi dari G. griffitii juga

memperlihatkan toksisitasnya terhadap sel kanker payudara (MCF-7) dengan

nilai IC50 8,45 µg/mL (Dachriyanus et al.,2004).

25

Dari golongan depsidon juga diperoleh senyawa yang bersifat toksik,

seperti dilaporkan oleh Xu et al. (2000) yang mendapatkan tiga senyawa

sitotoksik golongan depsidon dari daun G. parvifolia, yaitu garsidepsidon A

(65), garsidepsidon B (66), dan garsidepsidon C (67). Ketiga senyawa

tersebut aktif terhadap sel kanker P-388, dengan ED50 berturut–turut 2,36;

2,42; dan 3,20 µg/mL. Dari ekstrak daun G. neglecta dan G. puat diperoleh

empat senyawa yaitu garsinisidon B (69), garsinisidon C (70), garsinisidon D

(71), dan garsinisidon E (72), dan keempat senyawa tersebut memiliki

aktivitas sitotoksik terhadap sel raji (Ito et al., 2001).

Wu et al. (2005) melaporkan adanya senyawa benzofenon dari tumbuhan

G. subelliptica yaitu garsiniellipton FB (84), yang toksik terhadap sel MCF-7,

Hep-3B dan HT-29, nilai IC50 masing-masing adalah 6,8; 6,3; dan 11,2

µg/mL. Selanjutnya Bagget et al., (2005) juga telah mengisolasi senyawa

golongan benzofenon dari G. xanthocymus yaitu guttiferon H (85) dan

gambogenon (86). Kedua senyawa ini memperlihatkan toksisitas terhadap

sel SW-480.

2.1.7. Sitotoksik dan Metode Ujinya

2.1.7.1. Sitotoksik

Dalam penelitian untuk mencari senyawa antikanker/antitumor, dikenal tiga

istilah yaitu sitotoksik, antitumor, dan antikanker. Masing-masing mempunyai

pengertian yang berbeda, sitotoksik diartikan toksik terhadap sel. Pada pengertian

ini berlaku untuk sel normal ataupun sel kanker. Sementara pengertian toksik

sendiri menurut Gossel dan Bricker (1990) dapat diartikan berbahaya bagi makhluk

26

hidup, sehingga suatu senyawa kimia dikatakan toksik apabila dapat menimbulkan

efek kerusakan pada organisme hidup.

Sitotoksik dikelompokkan menjadi :

a. Sitostatik yaitu aktivitas yang dapat menghentikan pertumbuhan sel.

Aktivitas ini biasanya bersifat reversibel,

b. Sitosidal, merupakan aktivitas yang membunuh sel.

Menurut NCI sitotoksik adalah toksisitas secara in vitro terhadap sel tumor,

sedangkan antitumor dan antineoplastik harus secara in vivo (Collegate and

Molyneux, 1993). Istilah antitumor adalah material termasuk senyawa yang

memiliki efek melawan suatu model tumor pada tingkat uji in vivo, dan antikanker

adalah yang sudah menunjukkan aktivitasnya secara efektif di dalam klinik, artinya

harus sudah melalui uji klinik dengan manusia (Suganda, 1999). Sitotoksik

merupakan aktivitas yang sangat erat kaitannya dengan aktivitas antineoplasma,

baik antitumor maupun antikanker. Karena setiap senyawa uji yang memiliki

aktivitas antineoplasma memperlihatkan respon positif dalam pengujian yang

dilakukan terhadap sel dalam biakan.

Penelitian sitotoksik suatu senyawa ini berguna sebagai penelitian pendahuluan

dalam pencarian senyawa antitumor dari bahan alam hayati. Senyawa-senyawa

yang lolos pada penapisan akan dapat dilanjutkan pengujiannya terhadap sel kanker

yang lebih spesifik. Untuk mengetahui apakah suatu senyawa tersebut berpotensi

sebagai senyawa sitotoksik, diukur dari kekuatan sitotoksiknya berdasarkan nilai

ED50 atau IC50. Menurut NCI nilai ED50 yaitu konsentrasi yang dibutuhkan untuk

menghambat pertumbuhan sel sebesar 50%. Sedangkan IC50 yaitu zat dalam

27

medium yang dapat menghambat pertumbuhan sel sebesar 50% selama masa

inkubasi 48 jam (Sumatra, 1998).

2.1.7.2. Metode uji sitotoksik

Pengujian sitotoksik dapat dilakukan dengan berbagai metode uji seperti

berikut :

1) Metode SRB (Sulforhodamin B) dikembangkan oleh National Cancer Institute

T47D (Skehan et al., 1990; Chai and Pezzuto, 1997). Metode ini

menggunakan sistim pewarnaan dengan SRB, dan selanjutnya intensitas warna

yang dihasilkan diukur dengan menggunakan ELISA plate reader pada panjang

gelombang 515 nm. Persen viabilitas dihitung dengan cara sebagai berikut:

Persen viabilitas dihitung sebagai berikut :

A1 – A0

x 100 = % viabilitas

A2 – A0

Selanjutnya % inhibisi dapat dihitung sebagai berikut:

1 - % viabilitas = % inhibisi

Keterangan:

A0 = absorban blanko

A1 = absorban sampel

A2 = absorban kontrol Sedangkan IC50 dapat dihitung dengan cara analisis regresi linear antara persen

viabilitas dan konsentrasi. Metode SRB ini mepunyai kelebihan dari metode uji

lain karena lebih sensitif dan cepat (Skehan et al., 1990).

2) Microculture Tetrazolium (MTT assay). Pada metode ini digunakan reagen

berupa garam tetrazolium, yaitu 3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium

bromida atau disebut juga dengan reagen MTT. Pengujian ini berdasarkan

28

kemampuan enzim reduktase mitokondria dehidrogenase yang dihasilkan oleh

sel aktif untuk mengubah larutan garam tetrazolium menjadi suatu produk

formazan yang tidak larut dalam air (Mosman, 1993; Scudiero et al., 1988).

3) XTT assay

Metode ini sama dengan metode MTT assay tetapi pereaksi yang digunakan

adalah Natrium 3’-[1-[(fenilamino)-karbonil]-3,4-tetrazolium]-bis(4-metoksi-6-

nitro)benzen-asam sulfonat hidrat. yang menghasilkan produk formazan yang

larut dalam air (Roehm et al., 1991).

3) Metode tripan biru

Metode ini dilakukan dengan cara mensuspensikan sel dalam larutan tripan

biru, kemudian dihitung dengan menggunakan haemocytometer. Sel yang

aktif/hidup akan terlihat bersinar dan sel yang mati berwarna biru gelap jika

diamati di bawah mikroskop (Shier., 1991).

2.2. Kerangka Pemikiran

Tumbuhan genus Garcinia merupakan tumbuhan yang kaya dengan kandungan

metabolit sekunder seperti santon, flavonoid , benzofenon, lakton, depsidon, dan

asam fenolat Kandungan metabolit sekunder dari genus ini memiliki beragam

aktivitas biologis, salah satunya adalah sitotoksik. Penelitian yang mengarah

kepada pencarian senyawa sitotoksik dari tumbuhan genus ini memperlihatkan

bahwa senyawa yang dihasilkan dari genus ini banyak yang bersifat sitotoksik

antara lain terhadap sel kanker P 388 (sel kanker murin leukemia), MCF 7

(sel kanker payudara), sel WEHI 1460, MOLT4, HePG2 dan LL/2. Senyawa-

senyawa yang bersifat sitotoksik dari genus Garcinia ini tersebut umumnya

29

adalah yang mempunyai gugus hidroksil dan prenil. Bentuk struktur molekul

tersebut merupakan senyawa yang banyak ditemukan pada genus ini. Hal ini

menunjukkan bahwa genus Garcinia menpunyai potensi besar menghasilkan

senyawa sitotoksik.

Sebagai salah satu spesies dari genus Garcinia, maka tumbuhan G.

forbesii juga mempunyai potensi untuk diteliti kandungan kimia dan

bioaktivitasnya. Peluang ini didasarkan atas adanya hubungan kemotaksonomi

serta pembuktian toksisitas melaui uji pendahuluan dengan BSLT, maka

pencarian senyawa sitotoksik dari kulit batang dan kayu G. forbesii menarik

untuk dilakukan.

2.3. Hipotesis

Berdasarkan uraian sebelumnya, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

adalah :

1) Dalam ekstrak kulit batang dan kayu G. forbesii terdapat senyawa

sitotoksik.

2) Tingkat aktivitas sitotoksik dipengaruhi oleh adanya gugus hidroksil dan

prenil dari senyawa uji.

3) Senyawa sitotoksik tersebut menunjukkan tingkat keaktifan yang berbeda

terhadap sel kanker.

30

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dimulai sejak bulan April 2006 sampai sekarang. Pelaksanaan

penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian Jurusan Kimia FMIPA Unpad.

Sebagian penelitian juga dilakukan di Laboratorium penelitian Jurusan Farmasi

Unand. Pengukuran spektroskopi dilakukan di Unpad, ITB. UPI, dan LIPI

Serpong.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan alam dan berbagai

bahan kimia. Bahan alam berupa kulit batang dan kayu G. forbesii. Bahan

kimia yang digunakan terdiri dari berbagai pelarut organik (n-heksan, etil asetat,

dan metanol), Si gel 60 GF254 (Merck), Si gel 60G (70-230 Mesh) (Merck), plat

KLT Kiesel gel 60 F254 0,25 mm 20x20 cm, dan reagen penampak noda. Bahan

untuk uji sitotoksik terdiri dari larva udang A. salina, sel kanker payudara T47D,

dan dulbecco’s modified eagle medium (DMEM), DMSO, larutan NaCl 2%,

larutan PBS (bufer fosfat salin), larutan tripsin-EDTA, SRB (sulforhodamin B),

TCA (asam trikloro asetat), larutan basa tris, dan asam asetat.

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah berbagai alat gelas yang

umum dipakai di Laboratorium Kimia Organik, dan alat penunjang lainnya seperti

rotary evaporator, berbagai kolom kromatografi, spektrofotometer UV-Beckman

DU-700 , spektrometer NMR JEOL JNM ECA-500 yang bekerja pada 500 MHz

31

(1H) dan 125 MHz (13C), spektrofotometer Shimadzu FTIR 8400, Fisher-John

Melting Point Apparatus, dan peralatan uji sitotoksik (pipet mikro, gelas ukur,

inkubator, dan ELISA plate reader).

3.3. Prosedur Penelitian

Penelitian dilakukan menggunakan metode eksperimen laboratorium. Tahapan

kerja terdiri atas persiapan sampel, ekstraksi bertingkat, isolasi, uji aktivitas dan

karakterisasi struktur senyawa. Skema penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.

3.3.1. Pengambilan sampel

Sampel yang diambil adalah bagian kulit batang dan kayu tumbuhan G.

forbesii. Tumbuhan G. forbesii yang dipilih adalah yang sehat dan sudah

mengalami fase generatif. Tempat pengambilan sampel di daerah Sarasah Bonta,

Lembah Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Waktu pengambilan

pada bulan April 2006, pada musim hujan. Determinasi tumbuhan dilakukan di

Herbarium Universitas Andalas (ANDA) dan spesimennya juga disimpan di

Herbarium tersebut.

3.3.2. Persiapan sampel

Kulit batang dan kayu G. forbesii segar, masing-masing sebanyak 4 kg dan 3 kg,

dibersihkan, dan dipotong tipis, kemudian dikeringkan pada suhu kamar di ruangan

terbuka yang tidak terkena langsung cahaya matahari sampai berat sampel konstan.

Berat sampel kering yang diperoleh yaitu 2 kg (kulit batang G. forbesii) dan 1,7

kg (kayu G. forbesii). Selanjutnya masing-masing sampel digiling halus (100

mesh).

32

penghalusan, maserasi dengan n-heksan

penyaringan dan pemekatan

maserasi dengan etil asetat

penyaringan dan pemekatan

maserasi dengan MeOH

penyaringan dan

pemekatan

uji toksisitas dengan metode BSLT

kolom kromatografi vakum cair (KVC)

kromatografi lapis tipis (KLT)

-

kolom kromatografi gravitasi (KKG)

uji sitotoksik terhadap sel kanker

analisis spektroskopi

Gambar 3.1. Prosedur penelitian

Kulit batang/ kayu G. forbesii

Ekstrak pekat

n-Heksana

Ampas

Ekstrak pekat

Etil asetat Ampas

Ekstrak pekat

MeOH Ampas

Fraksi - fraksi

Senyawa x

isolat murni

33

3.3.3. Ekstraksi kulit batang dan kayu G. forbesii

Serbuk kulit batang dan kayu diekstraksi secara bertingkat berdasarkan tingkat

kepolaran yaitu menggunakan pelarut n-heksan (non polar), etil asetat

(semipolar), dan metanol (polar). Sebagai orientasi juga telah dilakukan ekstraksi

dengan diklorometan, ternyata pemisahan yang dilakukan dari ekstrak

diklorometan tersebut kurang baik, sehingga untuk ekstraksi dengan pelarut

semipolar dipilih pelarut etil asetat.

Selanjutnya tahap-tahap pengerjaan ekstraksi bertingkat yaitu dengan

mengekstraksi serbuk kulit batang dan kayu G. forbesii, masing-masing

dimaserasi berturut- turut dengan n-heksan, etil asetat, dan metanol, masing-

masing diulang 3 x 5 L (@ 3 hari), menghasilkan ekstrak n-heksan, etil asetat, dan

metanol. Masing-masing ekstrak dipekatkan in vacuo dan sebagai orientasi diuji

toksisitasnya dengan metoda BSLT dengan bioindikator larva udang A. salina.

Selanjutnya terhadap ekstrak dilakukan pemisahan dan pemurnian dengan

menggunakan teknik kromatografi kolom. Terhadap senyawa murni diuji aktivitas

sitotoksiknya menggunakan sel kanker payudara T47D.

3.3.4. Pemisahan dan pemurnian ekstrak metanol kulit batang G. forbesii

Ekstrak metanol kulit batang G. forbesii (30 gram) dipreadsorbsi dan

dimasukkan dalam kolom kromatografi vakum (θ 6 x 20 cm), dielusi dengan eluen

bergradien campuran n-heksan- etil asetat (9:1 sampai dengan 2:8) masing-masing

sebanyak 200 mL. Eluen ditampung dalam botol (± 200 mL), masing-masing

eluat di analisis dengan KLT menggunakan penampak noda lampu UV. Eluat

dengan pola noda yang sama digabung menjadi satu fraksi, dipekatkan dan

34

Ekstrak metanolkulit batang (30 g)

pemisahan dengan KVCelusi dengan n-heksana-etil asetat bergradien(9:1 ~ 2:8) @ 200 mLanalisis dengan KLT

pemisahan dengan KKGelusi dengan n-heksana-etil asetatbergradien (8:2 ~ 3:7) @ 200 mLanalisis dengan KLT

rekristalisasianalisis spektroskopi

F2.1 F2.2 F2.3 F2.4

Senyawa 1

F2.5

F2.3.1 F2.3.3F2.3.2

pemisahan dengan KKGelusi dengan n-heksana-etil asetatbergradien (8:2 ~ 2:8) @ 200 mLanalisis dengan KLT

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7

diperoleh tujuh fraksi gabungan F1 – F7. Fraksi F2 dipisahkan menggunakan

KKG (θ 2 x 70 cm), dengan eluen campuran n-heksan - etil asetat secara bergradien

(8:2 sampai dengan 3:7). Hasil elusi ditampung dalam vial (± 10 mL), kemudian

di KLT dan didapatkan 5 fraksi yaitu F2.1 – F2.5. Fraksi F2.3 dipisahkan kembali

dengan KKG (θ 1 x 70 cm), dengan eluen campuran n-heksan- etil asetat secara

bergradien (8:2 sampai dengan 2:8), kemudian dianalisis dengan KLT dan

diperoleh tiga fraksi F2.3.1 – F2.3.3. Fraksi F2.3.2 dimurnikan dengan teknik

rekristalisasi menghasilkan senyawa 1. Skema pemisahan dan pemurnian ekstrak

metanol kulit batang G. forbesii tertera pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Skema pemisahan dan pemurnian ekstrak metanol kulit batang G.

forbesii.

3.3.5. Pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat kulit batang

G. forbesii

35

Ekstrak etil asetatkulit batang (20 g)

pemisahan dengan KVCelusi dengan n-heksan-etil asetat bergradien(10:0 ~ 4:6) @ 200 mL

analisis dengan KLT

pemisahan dengan KKGelusi dengan n-heksan-etil asetatbergradien (8:2 ~ 1:9) @ 200 mLanalisis dengan KLT

pemisahan dengan KKGelusi dengan n-heksan-etil asetat bergradien(9:1 ~ 5:5) @ 200 mL

analisis dengan KLT

rekristalisasianalisis spektroskopi

F3.1 F3.2 F3.3 F3.4 F3.5

F3.2.2 F3.2.3F3.2.1 F3.2.4

Senyawa 2

F1 F2 F3 F4

Pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat kulit batang G. forbesii dilakukan

dengan menggunakan teknik kromatografi. Ekstrak etil asetat kulit batang G.

forbesii (20 g) dipersiapkan secara preadsorbsi dan dimasukkan dalam kolom

kromatografi vakum (θ 6 x 20 cm) dengan adsorben Si-gel, kemudian dielusi

menggunakan eluen campuran n-heksan- etil asetat secara bergradien (10:0 sampai

dengan 4:6). Hasil kolom ditampung dalam botol (± 200 mL), kemudian masing-

masing eluat dianalisis dengan KLT menggunakan penampak noda lampu UV.

Eluat dengan pola noda yang sama selanjutnya digabung menjadi satu fraksi dan

dipekatkan. Dari hasil analisis KLT diperoleh empat fraksi gabungan F1 – F4.

Selanjutnya terhadap F3 dilakukan pemisahan menggunakan KKG (θ 2 x 70 cm) ,

dengan eluen campuran n-heksan – etil asetat bergradien (8:2 sampai dengan 1:9).

Hasil kolom ditampung dalam vial (± 10 mL). Berdasarkan analisis KLT

didapatkan 5 fraksi yaitu F3.1 – F3.5. Fraksi F3.2 dipisahkan kembali dengan

KKG (θ 1 x 70 cm) menggunakan eluen campuran n-heksan-etil asetat bergradien

(9:1 sampai dengan 5:5), kemudian dianalisis dengan KLT dan didapatkan empat

fraksi F3.2.1 – F3.2.4. Fraksi F3.2.2 dimurnikan secara rekristalisasi menghasilkan

senyawa 2. Prosedur pemisahan dari ekstrak etil asetat kulit batang G. forbesii

ditunjukkan pada Gambar 3.3 berikut.

36

Gambar 3.3. Skema pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat kulit

batang G. forbesii.

3.3.6. Pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat kayu G. forbesii

Ekstrak etil asetat kayu G. forbesii (20 g) yang telah dipreadsorbsi dipisahkan

dengan KVC (θ 6 x 20 cm) dan dielusi dengan campuran pelarut n-heksan – etil

asetat secara bergradien (10:0 sampai dengan 0:10) dan eluen campuran etil

asetat-metanol (9:1, dan 8:2), dari analisis KLT diperoleh 8 fraksi gabungan F1 –

F8. Fraksi F2 selanjutnya dipisahkan dengan KKG (θ 2 x 70 cm) menggunakan

eluen campuran n-heksan – etil asetat (8:2, sampai dengan 1:9), lalu dianalisis

dengan KLT, menghasilkan empat fraksi kolom F2.1 – F2.4. Fraksi F2.2

seterusnya dipisahkan kembali dengan KKG (θ 1 x 70 cm) yang dielusi dengan

eluen campuran n-heksan – etil asetat (7:3 sampai dengan 4:6) menghasilkan

37

Ekstrak etil asetatkayu (20 g)

pemisahan dengan KVCelusi dengan n-heksana-etil asetat

(10:0 ~ 0:10)dan etil asetat-metanol (9:1 ~ 8:2)analisis dengan KLT

rekristalisasianalisis spektroskopi

rekristalisasianalisis spektroskopi

pemisahan dengan KKGelusi dengan n-heksan-etil asetat (8:2 ~ 1:9) @ 200 mLanalisis dengan KLT

pemisahan dengan KKGelusi dengan n-heksan-etil asetat (7:3 ~ 4:6)@ 200 mLanalisis dengan KLT

rekristalisasianalisis spektroskopi

senyawa 3

F2.4F2.3

F2.2.4

F2.2

F2.2.3

F7.2 F7.3

F2.2.1 F2.2.2

F7.1F5.1 F5.2 F5.3F2.1

pemisahan dengan KKGelusi dengan n-heksan-etil asetat (9:1 ~ 3:7)@ 200 mLanalisis dengan KLT

pemisahan dengan KKGelusi dengan n-heksan- etil asetat(9:1 ~ 2:8) @ 200 mLanalisis dengan KLT

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7

senyawa 4 senyawa 5

F8

F7.4 F7.5

empat fraksi kolom yaitu F2.2.1 – F2.2.4. Fraksi F2.2.3 setelah direkristalisasi

menghasilkan senyawa 3.

Fraksi F5 dipisahkan dengan KKG (θ 2 x 70 cm) menggunakan eluen

campuran n-heksan – etil asetat (9:1 sampai dengan 3:7), setelah dilakukan KLT

diperoleh 3 fraksi gabungan yaitu F5.1 – F5.3. Fraksi F5.1 kemudian dimurnikan

dengan teknik rekristalisasi, menghasilkan senyawa 4.

Fraksi F7 dipisahkan dengan KKG (θ 2 x 70) dan dielusi dengan eluen

campuran pelarut n-heksan – etil asetat secara bergradien (9:1 sampai dengan 2:8),

selanjutnya dilakukan KLT, diperoleh 5 fraksi gabungan yaitu F7.1 – F7.5. Fraksi

F7.2 seterusnya dimurnikan dengan rekristalisasi menghasilkan senyawa 5. Skema

pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat kayu G. forbesii ditampilkan pada

Gambar 3.4.

38

Gambar 3.4. Skema pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat kayu

G. forbesii.

3.3.7. Uji toksisitas dengan metode BSLT (Meyer, 1982)

Telur udang ditetaskan dalam larutan NaCl 2% selama 48 jam. Kemudian larva

udang ini siap digunakan untuk uji toksisitas. Selanjutnya larutan sampel

dipersiapkan dalam berbagai konsentrasi (1000, 100, dan 10 μg/mL). Larutan

kontrol juga dibuat dengan prosedur yang sama, tetapi tanpa menggunakan sampel.

Pengujian dilakukan dengan tiga ulangan. Kemudian larva udang dimasukkan ke

dalam larutan uji dan dibiarkan selama 24 jam. Kemudian dihitung jumlah rata-rata

larva udang yang mati dan yang hidup. Berdasarkan data yang

diperoleh LC50 dihitung dengan menggunakan metode Bliss. Skema uji toksisitas

39

- ditetaskan dalam larutanNaCl 2% selama 48 jam

telur udang

larva udang

-masukkan dalam larutan ujipada berbagai konsentrasi(1000, 100, dan 10 g/mL)dan kontrol

-biarkan 24 jam

larva udangsetelah 24 jam

- hitung rata-ratalarva udang yang matidan yang hidup

- analisis data dengan metodeBliss

nilai LC50

dengan metode BSLT ini disajikan pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5. Tahapan uji toksisitas dengan metode BSLT

3.3.8. Uji sitotoksik dengan metode SRB (sulforhodamin B)

Terhadap senyawa hasil isolasi dilakukan pengujian sitotoksik menggunakan

metode SRB. Alasan pemilihan metode uji SRB adalah karena metode ini lebih

sensitif dibandingkan metode uji sitotoksik yang lain (Skehan et al., 1990; Chai

and Pezzuto, 1997).

Posedur uji terdiri atas tahap-tahap berikut :

1) Persiapan sampel uji

Sampel dilarutkan dengan DMSO sampai konsentrasi 4 mg/4mL.

2) Persiapan sel kanker

40

Sel kanker yang digunakan dalam penelitian ini adalah sel kanker payudara

manusia T47D yang dikultur dalam dulbecco’s modified eagle medium

(DMEM) dengan penambahan 10% PBS, sel tersebut dikultur pada kondisi

suhu 37C dengan kelembaban 100% dan kandungan CO2 5% selama 3 hari

sampai sel kultur tersebut mengalami konfluen 60-70%. Setelah itu media lama

dibuang, diganti dengan media baru dan diinkubasi kembali selama 24 jam. Sel

kultur kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 1-2 kali dan disuspensikan

menggunakan larutan tripsin-EDTA. Sel yang telah tersuspensi ditambah

dengan media baru.

3) Bioassay

Sel yang telah siap uji sebanyak 190 L ditambah dengan sampel uji sebanyak

10 L kemudian diinkubasi selama 3-4 hari pada suhu 37C. Setelah itu sel

difiksasi dengan TCA 50%. Pewarnaan dilakukan menggunakan SRB 0,4% dalam

asam asetat 1% selama 30 menit. Warna SRB yang tidak terikat dibilas dengan

asam asetat 1% sedangkan yang terikat diekstraksi dengan basa tris (pH 10).

Intensitas warna yang dihasilkan diukur dengan menggunakan ELISA plate reader

pada panjang gelombang 515 nm.

Persen viabilitas dihitung sebagai berikut :

A1 – A0

x 100 = % viabilitas

A2 – A0

Selanjutnya % inhibisi dihitung sebagai berikut: 1 - % viabilitas = % inhibisi

Keterangan: A0 = absorban blanko A2 = absorban blanko

A1 = absorban sampel

41

sel kanker payudara T47D

- penambahan 10 L sampel uji pada berbagaikonsentrasi (0,16; 0,31; 0,63; 1,25; 2,5; 5; 10;dan 20 g/mL) dalam DMSO

warna SRB yang terikat diekstraksidengan basa tris (pH 10) dan warna SRB yangtidak terikat, dibilas dengan AcOH 1%

- pengukuran intensitas warnadengan Elisa plate reader

- kultur pada DMEM + 10% PBS

(37 oC, CO2 5 %, kelembaban 100%)

- konf luen 60-70%, diganti dengan media baru

- inkubasi 24 jam

- pencucian dengan PBS 1-2 kali

- suspensi dengan larutan tripsin-EDTA

- penambahan media baru.

sel kanker uji (190 mL)

sel pra inkubasi

- inkubasi (37 oC, 3-4 hari)

- f iksasi T CA 50%,

- pewarnaan SRB 0,4% dalam AcOH 1% (30 menit)

hasil pembacaan Elisa plate reader

Nilai IC50 dihitung dengan cara analisis regresi linear antara persen viabilitas

dan konsentrasi (Skehan et al., 1990). Skema kerja uji sitotoksik dijelaskan pada

Gambar 3.4 berikut.

Gambar 3.6. Skema kerja uji sitotoksik dengan metode SRB

3.3.9. Analisis Spektroskopi

Karakterisasi senyawa hasil isolasi meliputi pemeriksaan fisika seperti titik

leleh, serta analisis spektroskopi seperti UV, IR, 1H-NMR, 13C-NMR, dan NMR 2

D.

42

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Hasil Isolasi

4.1.1. Pemisahan dan pemurnian senyawa dari kulit batang G. forbesii

Serbuk kulit batang G forbesii (1,5 kg) dimaserasi berturut-turut dengan n-

heksan, etil asetat, dan metanol masing- masing diulangi sebanyak tiga kali

menghasilkan ekstrak n-heksan (33 g), etil asetat (30 g) dan metanol (65 g).

Sebanyak 30 g ekstrak metanol G. forbesii dipisahkan dengan KVC (Si gel 200

g) dan dielusi dengan campuran n-heksan – etil asetat yang ditingkatkan

kepolarannya secara bergradien (9:1 sampai dengan 2:8) menghasilkan 7 fraksi

gabungan F1 – F7 (masing-masing seberat 6,4; 1,3; 1,6; 3,0; 2,5; 5,7; dan 4,5 g).

Fraksi F2 dipisahkan dengan KKG dengan eluen campuran n-heksan – etil asetat

(8:2, sampai dengan 3:7) diperoleh 5 fraksi yaitu F2.1 – F2.5 masing-masing 275

mg, 141 mg, 110 mg, 230 mg, dan 243 mg. Fraksi kolom F2.3 dipisahkan dengan

KKG menggunakan eluen campuran n-heksan – etil asetat secara bergradien (8:2

sampai dengan 2:8) menghasilkan tiga fraksi yaitu F2.3.1 – F2.3.3 dengan berat

masing-masingnya 20 mg, 15 mg, dan 50 mg. Fraksi F3.2.2 setelah dimurnikan

dengan pencucian menggunakan n-heksan dan etil asetat menghasilkan senyawa 1

(6 mg).

Sebagian dari ekstrak etil asetat (20 g) difraksinasi dengan kolom vakum cair

(Si gel 200 g) dan dielusi dengan campuran n-heksan – etil asetat yang ditingkatkan

kepolarannya secara bergradien (10:0 sampai dengan 4:6) menghasilkan 4 fraksi

gabungan F1 – F4 masing-masing seberat 5,3; 4,0; 2,8; dan 4,7 g. Fraksi F3

43

dipisahkan lebih lanjut menggunakan kolom kromatografi gravitasi dengan Si gel

Merck G60 (70-230 Mesh) dan dielusi dengan campuran n-heksan – etil asetat

yang ditingkatkan kepolarannya secara bertahap (8:2 sampai dengan 1:9),

sehingga dari pemisahan ini diperoleh 5 fraksi gabungan yaitu F3.1 – F3.5

masing–masing 365 mg, 130 mg, 315 mg, 250 mg, dan 290 mg. Fraksi F3.2

dipisahkan kembali dengan kolom kromatografi gravitasi yang dielusi dengan

eluen campuran n-heksan – etil asetat yang ditingkatkan kepolarannya secara

bertahap (9:1 sampai dengan 5:5) menghasilkan 4 fraksi yaitu F3.2.1 – F3.2.4

masing-masing seberat 30 mg, 22 mg, 28 mg,, dan 23 mg. Selanjutnya fraksi

F3.2.2 dimurnikan dengan teknik rekristalisasi menggunakan eluen n-heksan dan

etil asetat menghasilkan senyawa 2 (12 mg).

4.1.2. Pemisahan dan pemurnian senyawa dari kayu G. forbesii

Serbuk kayu G forbesii (1,5 kg) dimaserasi berturut-turut dengan n-heksan, etil

asetat, dan metanol masing- masing tiga kali, menghasilkan ekstrak n-heksan (25

g), etil asetat (25 g), dan metanol ( 50 g).

Ekstrak etil asetat (20 g) difraksinasi dengan KVC dan dielusi dengan

campuran pelarut n-heksan–etil asetat yang ditingkatkan kepolarannya (10:0,

sampai 0:10) dan eluen campuran etil asetat-metanol (9:1 dan 8:2) akhirnya

diperoleh 8 fraksi gabungan F1 – F8 (2,1; 2,8; 1,4 2,0; 0,5; 2,2; 0,8; dan 1,1 g).

Fraksi F2 selanjutnya dikromatografi kolom dengan eluen campuran n-heksan –

etil asetat (8:2 sampai 1:9) menghasilkan empat fraksi F2.1 – F2.4, masing-masing

355 mg, 520 mg, 242 mg, dan 295 mg. Fraksi F2.2 selanjutnya dipisahkan kembali

dengan kolom kromatografi yang dielusi dengan eluen campuran n-heksan – etil

asetat (7:3 sampai dengan 4:6) menghasilkan empat fraksi yaitu F2.2.1 – F2.2.4

44

masing-masing 87 mg,70 mg, 35 mg dan 65 mg. F2.2.3 setelah direkristalisasi

menghasilkan senyawa 3 (22 mg).

Fraksi F5 dikromatografi kolom pula dengan eluen campuran n-heksan – etil

asetat (9:1 sampai 3:7) menghasilkan 3 fraksi yaitu F5.1 – F5.3 (32 mg, 45 mg dan

80 mg). Fraksi F5.1 setelah dimurnikan dengan teknik rekristalisasi menghasilkan

senyawa 4 (18 mg).

Dari fraksi F7 yang dielusi dengan eluen campuran pelarut n-heksan – etil

asetat yang ditingkatkan kepolarannya (9:1 - 2:8), diperoleh 3 fraksi kolom yaitu

F7.1 – F7.5 masing-masing 40 mg, 36 mg, 75 mg, 120 dan 246 mg. Fraksi F7.2

setelah dimurnikan dengan rekristalisasi menghasilkan senyawa 5 (15 mg).

4.2. Toksisitas Ekstrak Kulit Batang dan Kayu G. forbesii

Setelah dilakukan ekstraksi bertingkat terhadap sampel tumbuhan kulit batang

dan kayu G. forbesii, dihasilkan ekstrak n-heksan, etil asetat serta metanol dari

kedua bagian tumbuhan tersebut. Terhadap masing-masing ekstrak diuji sifat

toksiknya terhadap larva udang A. salina dengan metode BSLT. Kekuatan sifat

toksik ekstrak terhadap larva udang tersebut dinyatakan dengan LC50 yaitu

konsentrasi yang dapat mematikan 50 % larva udang A. salina. Nilai LC50 dari

masing-masing ekstrak dicantumkan pada Tabel 4.1 sebagai berikut.

Tabel 4.1. Nilai LC50 hasil uji BSLT terhadap ekstrak kulit batang dan kayu G.

forbesii

Ekstrak LC50 (μg/mL)

Kulit batang kayu

n- Heksan 95,3 112,3

Etil asetat 29,3 37,5

Metanol 52,4 56,1

45

Dari Tabel 4.1 terlihat bahwa semua ekstrak G. forbesii mempunyai sifat toksik

terhadap larva udang A. salina. Pengelompokan sifat toksik tersebut didasarkan

atas standar tingkat aktivitas oleh Meyer (1982) yang menyatakan bahwa suatu

sampel digolongkan toksik jika LC50 < 1000 μg/mL untuk ekstrak dan LC50 < 100

μg/mL untuk senyawa murni. Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari semua ekstrak,

yang mempunyai sifat toksik yang paling tinggi adalah dari ekstrak etil asetat baik

dari kulit batang maupun kayu G. forbesii. Hal ini berarti bahwa senyawa yang

bersifat aktif tertarik ke fraksi yang semi polar.

4.3. Penentuan Struktur Molekul Senyawa Hasil Isolasi dari Kulit Batang

dan Kayu G. forbesii

Struktur senyawa yang diperoleh dari hasil isolasi dianalisis dengan teknik

spektroskopi yang meliputi spektroskopi ultraviolet (UV), inframerah (IR),

resonansi magnet inti (NMR) 1 D dan 2D yang terdiri dari 1H NMR (1hidrogen

nuclear magnetic resonance), 13C NMR (13carbon nuclear magnetic resonance),

DEPT (distortionless enhancement by polarization transfer), HMBC (hetero

nuclear multiple bond conectivity), HMQC (hetero nuclear multiple quantum

coherence) dan COSY (correlated spectroscopy).

Spektrum HMQC digunakan untuk mengidentifikasi sinyal-sinyal karbon yang

mengikat hidrogen, spektrum HMBC menunjukkan korelasi proton dan karbon

yang berjarak dua atau tiga ikatan, dan spektrum COSY untuk mendapatkan

informasi penjodohan H-H (Friebolin, 1990; Nakanishi, 1990).

1) Penentuan struktur molekul senyawa 1

Senyawa 1 yang diperoleh berupa padatan amorf kuning, dengan titik leleh 255-

257o. Spektrum UV dalam 1mg/10 mL metanol seperti yang ditampilkan pada

46

Gambar 4.1 menunjukkan adanya serapan pada λmaks (log ε): 243 (5,69), 312

(5,39), and 361 nm (4,86), dan dengan pereaksi geser NaOH terjadi pergeseran

batokromik pada λmaks (log ε) : 254 (5,73), 357 nm (5,63) yang mengindikasikan

adanya transisi elektronik π → π* dan n → π*.

Gambar 4.1. Spektrum ultraviolet senyawa 1 dalam 1 mg/10 mL MeOH

dan dengan pereaksi geser NaOH

Spektrum 1H NMR (DMSO) seperti tertera pada Gambar 4.2, dan ekspansinya

untuk proton pada geseran kimia 7,25 sampai 7,54 ppm yang ditampilkan pada

Gambar 4.3, menunjukkan adanya sinyal empat proton aromatik pada δH 6,52 ppm

(1H, s); 7,24 ppm (1H, t, J = 8,0); 7,30 ppm (1H, dd, J = 1,8; 8,0), dan 7,54 ppm

(1H, dd, J = 1,8; 8,0). Sinyal proton metoksil muncul pada δH 3,75 ppm. Sinyal

proton yang muncul pada δH 12,95 ppm merupakan sinyal dari gugus hidroksil

terkelasi, yang merupakan karakteristik untuk senyawa santon.

47

O

O OH

OH

OH

1

2

345

6

78

4a

9a8a9

10a

OCH3

Gambar 4.2. Spektrum 1H NMR senyawa 1 (DMSO, 500 MHz)

Gambar 4.3. Potongan spektrum 1H-NMR senyawa 1 untuk proton aromatik pada

daerah geseran kimia antara 7,25-7,54 ppm (DMSO, 500 MHz)

Spektrum 13C NMR (Gambar 4.4) dan dengan teknik DEPT 135 (Lampiran 1)

serta didukung oleh spektrum HMQC (Lampiran 2 dan 3) menunjukkan adanya 14

48

sinyal karbon yang terdiri dari satu karbon CH3 yaitu pada δC 60,0 ppm (2-

OCH3); empat karbon metin aromatik yaitu pada δC 94,2 ppm (C-4); 120,5 ppm

(C-6); 124,0 ppm (C-7); dan 114,4 ppm (C-8); dan sembilan karbon kuarterner

yaitu pada δC 154,1 (C-1); 130,7 (C-2); 159,2 (C-3); 152,4 (C-4a); 146,2 (C-5);

120,4 (C-8a); 180,6 (C-9); 102,3 (C-9a); dan 144,9 ppm (C-10a) . Sinyal yang

khas untuk rangka santon muncul pada δC 180, 6 ppm yaitu sinyal untuk C

karbonil.

Gambar 4.4. Spektrum 13C NMR senyawa 1 (DMSO, 125 MHz)

Identifikasi sinyal-sinyal karbon dan proton lebih lanjut ditentukan

berdasarkan spektrum NMR dua dimensi yang ditabulasikan pada Tabel 4.2.

49

Tabel 4.2. Data 1H, 13C NMR, DEPT, HMBC dan COSY Senyawa 1 dalam

DMSO-d6

No C

HMQC

DEPT HMBC COSY H (ppm), integrasi,

multiplisitas, J (Hz)

C (ppm)

1 154,1 C

1-OH 12,95 (1H,s) C-1, C-2, C-9a

2 130,7 C

2-OCH3 3,75 (3H, s) 60,0 CH3 C-2

3 159,2 C

4 6,52 (1H, s) 94,2 CH C-2, C-3, C-4a,

C-9a

4a 152,4 C

5 146,2 C

6 7,30 (1H, dd; 1,8;

8,0)

120,5 CH C-8, C-10a

7 7,25 (1H, t; 8,0) 124,0 CH C-5, C-6 H-8

8 7,54 (1H, dd; 1,8;

8,0)

114,4 CH C-6, C-9, C-10a H-7

8a 120,4 C

9 180,6 C

9a 102,3 C

10a 144,9 C

Data pada Tabel 4.2 menunjukkan senyawa 1 memiliki 4 proton aromatik dan

dan satu gugus metoksil yang terikat pada rangka dasar santon. Dengan demikian

terdapat tiga gugus hidroksil yang terikat pula pada rangka dasar santon, namun

dua gugus hidroksil tidak muncul.

Spektrum HMBC seperti yang tertera pada Gambar 4.5 menunjukkan adanya

korelasi proton dengan karbon yang berjarak dua dan tiga ikatan. Proton metoksil

pada δH 3,75 (3H, s) berkorelasi dua ikatan dengan karbon pada δC 130,7 (C-2).

Hal ini menunjukkan bahwa gugus metoksil terikat pada karbon C-2.

50

Gambar 4.5. Spektrum HMBC sebagian senyawa 1 untuk korelasi proton

H 3,75 ppm dengan C 130,7 ppm (C-2) (DMSO, 500 MHz)

Sinyal proton yang berada pada medan sangat rendah yaitu pada δH 12,95 ppm,

merupakan sinyal proton untuk gugus hidroksil yang terkelasi yaitu terikat pada C-

1 spektrum HMBC (Gambar 4.6) menunjukkan bahwa proton ini berkorelasi dua

ikatan dengan δC 154,1 ppm (C-1) dan tiga ikatan dengan δC 130,7 (C-2) dan 102,3

(C-9a).

Dua sinyal proton aromatik pada δH 7.30 (1H, dd, J = 1,8; 8,0) dan 7.54 (1H,

dd, J = 1,8; 8,0) merupakan proton untuk H-6 and H-8. Proton H-6 berkorelasi

dengan karbon pada C 114,4 (C-8) dan 144,9 ppm (C-10a) dan proton H-8

mempunyai korelasi dengan karbon C 120,5 (C-6), 180,6 (C-9) dan 144,9 ppm (C-

10a). Sinyal pada δH 7,25 ppm (1 H, t, J = 8,0) merupakan sinyal proton aromatik

51

untuk H-7, dari spektrum COSY (Lampiran 4) diketahui sinyal proton pada geseran

kimia 7,25 ppm ini bertetangga dengan sinyal proton pada geseran kimia 7,54 ppm

(H-8). Dari spektrum HMBC terlihat bahwa sinyal ini berkorelasi dengan karbon

pada C 146,2 ppm (C-5) dan 120,5 ppm (C-6). Satu proton

Singlet aromatik lainnya pada δH 6.52 merupakan sinyal untuk H-4, sinyal ini

berkorelasi dengan karbon pada δC 130,7 (C-2); 152,4 (C-4a); 159,2 (C-3) dan

102,3 ppm (C-9a). Spektrum HMBC dari keempat sinyal proton aromatik tersebut

tertera pada Gambar 4.7 dan 4.8.

Gambar 4.6. Spektrum HMBC sebagian senyawa 1 untuk korelasi proton H

12,95 ppm (OH-1) dengan 102,3 (C-9a), 130,7 (C-2), dan 154,1

(C-1) (DMSO, 500 MHz)

52

Gambar 4.7. Spektrum HMBC sebagian senyawa 1 untuk korelasi empat

proton aromatik pada δH 6,52 (H-4), 7,25 (H-7), 7,30 (H-6), dan

7,54 (H-8) dengan karbon (DMSO, 500 MHz)

Gambar 4.8. Lanjutan spektrum HMBC sebagian senyawa 1` untuk korelasi

empat proton aromatik pada δH 6,52 (H-4), 7,25 (H-7), 7,30 (H-

6), dan 7,54 (H-8) dengan karbon (DMSO, 500 MHz)

53

O

O OH

OH

OH

1

2

345

6

78

4a

9a8a9

10a

OCH3

O

O OH

OH

OH

1

2

345

6

78

4a

9a8a9

10a

OCH3

Berdasarkan analisis spektrum UV 1H NMR, 13C NMR, DEPT, HMBC dan

COSY maka disimpulkan bahwa senyawa 1 adalah 1,3,5-trihidroksi-2-

metoksisanton (Gambar 4.9). Rumus molekul C14H10O6 dengan berat molekul 274

dan DBE = 10. Hal ini sesuai dengan struktur molekul senyawa 1 yang mempunyai

8 ikatan rangkap C=C yaitu 6 untuk rangka dasar santon, satu karbonil (C=O), dan

tiga cincin dari rangka dasar santon.

Senyawa 1 yang diisolasi ini sebelumnya juga pernah ditemukan oleh Mesquita

et al. (1975) dari kayu Tovomita pyrifolium (Guttiferae). Senyawa 1,3,5-trihidroksi-

2-metoksisanton ini juga dikenal dengan nama tovopirifolin C. Dari data literatur

diketahui titik leleh senyawa ini adalah 256-258O. Namun demikian untuk spesies

G. forbesii, senyawa 1 ini pertama kali diisolasi.

Gambar 4.9. Struktur molekul senyawa 1

Hubungan antara proton dengan karbon tetangganya yang berjarak 2 ikatan

dan 3 ikatan dalam spektrum HMBC senyawa 1 dapat dilihat pada Gambar 4.10.

Gambar 4.10. Korelasi HMBC senyawa 1

54

2) Penentuan struktur molekul senyawa 2

Senyawa 2 yang diperoleh berupa padatan amorf kuning, dengan titik leleh 210-

212 oC. Senyawa ini pada spektrum ultraviolet (UV) dalam 1 mg/10 mL MeOH

memperlihatkan serapan pada λmaks(log ε): 240 (5,34), 311 (5,15), dan 345 nm

(4,86), yang mengalami pergeseran batokromik pada penambahan pereaksi geser

NaOH dengan λmaks (log ε): 266 (5,14), 297 (4,82), dan 365 nm (5,33). Pola

spektrum UV tersebut mengindikasikan senyawa ini memiliki kromofor yang

mengalami perpanjangan konyugasi. Spektrum UV senyawa 2 tertera pada

Gambar 4.11.

Gambar 4.11. Spektrum ultraviolet senyawa 2 dalam 1 mg/10 mL MeOH dan

dengan penambahan pereaksi geser NaOH

.

Spektrum IR memperlihatkan adanya pita-pita serapan untuk gugus hidroksil

(3402 cm-1), C-H alifatik (2970, 2931 cm-1), karbonil terkelasi (1647 cm-1), dan

ikatan rangkap terkonyugasi untuk turunan benzen (1604, 1461 cm-1) dan

55

C-O eter ( 1164 cm-1) yang merupakan ciri spesifik untuk senyawa golongan

santon. Spektrum IR senyawa 2 ditampilkan pada Gambar 4.12 berikut.

Gambar 4.12. Spektrum inframerah senyawa 2

Dari spektrum 1H NMR seperti yang tertera pada Gambar 4.13, terlihat adanya

dua sinyal doublet dan satu sinyal singlet di daerah aromatik. Sinyal doublet yaitu

pada H 6,08 ppm (1H, d, J = 1,8 Hz) dan 6,18 ppm (1H, d, J = 1,8 Hz), yang

mengindikasikan kedua proton ini saling terkopling meta, berasal dari proton H-2

dan H-4. Sinyal singlet yang muncul pada geseran 6,69 ppm (1H, s) berasal dari

proton H-6. Sedangkan sinyal singlet lainnya pada H 3,75 ppm merupakan sinyal

untuk proton metoksil. Spektrum ekspansi 1H NMR senyawa 2 untuk daerah

geseran kimia 1,49-2,03 dan 4,05-6,69 ppm tertera pada Lampiran 5 dan 6.

Spektrum 13C NMR senyawa 2 dalam metanol (Gambar 4.14) menunjukkan

adanya 24 sinyal karbon, dari spektrum DEPT 135 (Lampiran 7) dan didukung

spektrum HMQC (Lampiran 8, 9, dan 10) diketahui bahwa ke-24 atom karbon

56

O

O OH

OH

1

2

345

6

78

4a

9a8a9

10a

OH

H3CO

1'2'

3'

4'

5'

6'

7'

8'

9'

10'

tersebut terdiri dari 4 atom karbon primer, 3 atom karbon sekunder, 5 atom karbon

tersier dan 12 atom karbon kuarterner. Hal ini menunjukkan sinyal untuk rangka

dasar santon yang khas dengan munculnya C karbonil pada C 181,7 ppm.

Gambar 4.13. Spektrum 1H NMR senyawa 2 (CD3OD, 500 MHz)

Gambar 4.14. Spektrum 13C NMR senyawa 2 (CD3OD, 125 MHz)

57

Penentuan struktur molekul senyawa 2 lebih lanjut ditentukan menggunakan

data spektroskopi NMR dua dimensi meliputi HMQC, HMBC dan COSY. Data

NMR dua dimensi senyawa 2 disajikan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Data 1H, 13C NMR, DEPT, HMBC, HMQC, dan COSY Senyawa 2

dalam CD3OD

No C

HMQC

DEPT HMBC COSY H (ppm), integrasi,

multiplisitas, J (Hz)

C (ppm)

1 163,5 C

2 6,08 (1H, d; 1,8) 97,4 CH C-1, C4, C-9a H-4

3 164,7 C

4 6,18 (1H, d; 1,8) 92,7 CH C-3, C-2, C-4a,

C-9a

H-2

4a 157,1 C

5 156,8

6 6,69 (1H,s) 101,5 CH C-7, C-8, C-10a

7 143,6 C

7-OCH3 3,75 (3H, s) 60,0 CH3 C-7

8 110,8 C

8a 137,3 C

9 181,7 C

9a 102,6 C

10a 155,5 C

1’ 4,05 (2H, d; 6,7) 25,6 CH2 C-7, C-8, C-2’, C-

3’, C-8a

H-2’

2’ 5,17 (1H, t; 6,7) 123,9 CH C-1’, C-4’, C-10’ H-1’

3’ 134,1 C

4’ 1,95 (2H, t; 7,3) 39,5 CH2 C-2’, C-3’, C-5’

C-10’

H-5’

5’ 2,03 (2H, dt; 7,3;

6,8 )

26,2 CH2 C-3’, C-4’, C-6’,

C-7’

H-4’,

H-6’

6’ 4,99 (1H, t; 6,8) 124,1 CH C-9’, C-10’, H-5’

7’ 130,6 C

8’ 1,49 (3H, s) 16,4 CH3 C-9’ H-9’

9’ 1,52 (3H, s) 24,4 CH3 C-6’, C-7’, C-8’, H-8’

10’ 1,79 (3H, s) 15,3 CH3 C-2’, C-3’, C-4’ H-2’

Pada spektrum HMBC (Gambar 4.15) terlihat adanya korelasi antara proton

metoksi pada H 3,75 ppm yang terikat atom karbon primer pada C 60,0 ppm

58

dengan karbon pada C 143,6 ppm (C-7), sehingga diketahui bahwa gugus metoksi

terikat pada C-7.

Dua sinyal triplet pada H 4,99 dan 5,17 ppm, menunjukkan sinyal yang khas

untuk proton vinilik yaitu H-6’ dan H-2’ yang bertetangga dengan proton metilen

masing-masing pada 2,03 ppm (H-5’) dan 4,05 ppm (H-1’). Dengan demikian

diketahui bahwa senyawa 2 memiliki gugus geranil. Data HMBC (Gambar 4.15)

menunjukkan bahwa sinyal 4,05 ppm (H-1’) berkorelasi dua ikatan dengan karbon

pada C 110,8 ppm (C-8) dan 123,9 ppm (C-2’) serta berkorelasi tiga ikatan

dengan karbon pada C 143,6 ppm (C-7); 134,1 ppm (C-3’); dan 137,3 ppm (C-8a),

sehingga diketahui bahwa gugus geranil tersebut terikat pada C-8.

Gambar 4.15. Spektrum HMBC sebagian senyawa 2 untuk korelasi proton H 3,75

ppm dengan C 143,6 ppm (C-7) dan proton pada H 4,05 ppm

dengan C 110,8 ppm (C-8); 123,9 ppm (C-2’), 143,6 ppm (C-7);

134,1 ppm (C-3’), dan 137,3 ppm (C-8a) (CD3OD, 500 MHz).

59

Dari spektrum COSY (Lampiran 11) menunjukkan bahwa sinyal pada 5,17

ppm berkorelasi dengan sinyal pada H 4,05 ppm. Sinyal doublet pada H 4,05

ppm menunjukkan dua proton pada H-1’ yang terkopling oleh proton H-2’ (Ji’-2’ =

6,7 Hz). Bergesernya sinyal ini ke daerah downfield diduga akibat posisinya yang

tersubsitusi pada cincin benzena.

Dua buah sinyal singlet yang muncul berdekatan pada H 1,49 dan 1,52 ppm,

masing-masing merupakan sinyal proton metil yang terdapat pada posisi H-8’ dan

H-9’. Dari spektrum HMBC (Gambar 4.16 dan 4.17) diketahui bahwa sinyal

proton pada 1,49 ppm berkorelasi dengan C-9’ (24,4 ppm), sedangkan sinyal pada

1,52 ppm ini berkorelasi dengan C-6’ (124,1), C-7’ (130,7), dan C-8’ (16,4).

Selanjutnya sinyal singlet pada H 1,79 ppm, merupakan sinyal metil pada posisi

H-10’. Sinyal ini berkorelasi dengan C-4’ (39,5 ppm), C-2’ (123,9 ppm), dan C-3’

(134,1 ppm).

Gambar 4.16. Spektrum HMBC sebagian senyawa 2 untuk korelasi proton H

1,49; 1,52; 1,79; 1,95; dan 2,03 ppm dengan karbon (CD3OD, 500

MHz)

60

Gambar 4.17. Lanjutan spektrum HMBC sebagian senyawa 2 untuk korelasi

proton H 1,49; 1,52; 1,79; 1,95; dan 2,03 ppm dengan karbon

(CD3OD, 500 MHz)

Sinyal triplet pada 4,99 ppm merupakan sinyal dari H-6’ yang terkopling

dengan 2 proton H-5’ dengan geseran kimia 2,03 ppm. Hal ini didukung oleh

spektrum COSY (Lampiran 12) yang menunjukkan bahwa kedua sinyal ini

berkorelasi. Spektrum COSY (Lampiran 13) mengindikasikan bahwa sinyal triplet

pada H 1,95 ppm berkorelasi dengan sinyal pada H 2,03 ppm (H-5’), diperkirakan

sinyal pada H 1,95 ppm tersebut berasal dari 2 proton H-4’ yang terkopling oleh

2 proton H-5’. Tiga sinyal atom karbon primer lainnya pada C 15,3 ppm; 16,4

ppm; dan 24,4 ppm merupakan gugus metil yang terikat pada posisi C-3’ dan C-7’.

61

O

O OH

OH

1

2

345

6

78

4a

9a8a9

10a

OH

H3CO

1'2'

3'

4'

5'

6'

7'

8'

9'

10'

O

O OH

OH

1

2

345

6

78

4a

9a8a9

10a

OH

H3CO

1'2'

3'

4'

5'

6'

7'

8'

9'

10'

Sinyal atom karbon sekunder muncul pada C 25,6; 26,2 dan 39,5 ppm,

berdasarkan spektrum 1H-13C NMR, sinyal ini diduga gugus metilen, masing-

masing pada posisi C-1’, C-4’ dan C-5’. Dari 5 buah sinyal atom karbon tersier, 3

diantaranya merupakan sinyal yang berasal dari gugus aromatik pada C 92,7; 97,4

dan 101,51 ppm masing-masing pada posisi C-4, C-2 dan C-6. Dua sinyal atom

karbon tersier lainnya pada 123,9 dan 124,1 ppm diduga berasal dari atom karbon

pada posisi C-2’ dan C-6’.

Berdasarkan analisis data spektroskopi UV, IR, NMR 1D dan 2D maka

senyawa 2 adalah 1,3,5-trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-dimetiloktan-2,6-dienil)santon

(Gambar 4.18). Rumus molekul C24H26O6 dengan berat molekul 410 dan DBE =

12. Hal ini sesuai dengan struktur molekul senyawa yang mempunyai 8 ikatan

rangkap C=C yaitu 6 untuk rangka dasar santon dan dua untuk satu unit geranil,

satu karbonil (C=O), serta tiga cincin dari rangka dasar santon.

Gambar 4.18. Struktur molekul senyawa 2

Hubungan antara proton dengan karbon tetangganya yang berjarak 2 ikatan dan

3 ikatan dalam spektrum HMBC dapat dilihat pada Gambar 4.19.

62

Gambar 4.19. Korelasi HMBC senyawa 2

3) Penentuan struktur molekul senyawa 3

Senyawa 3 hasil isolasi berbentuk padatan amorf berwarna putih. Spektrum

ultraviolet senyawa 3 dalam 1 mg/10 mL MeOH seperti yang terlihat pada Gambar

4.20 menunjukkan adanya serapan pada λmaks (log ε): 205 (5,83), 281 (5,26), dan

313 nm (4,88) dan mengalami pergeseran batokromik pada penambahan pereaksi

geser NaOH dengan λmaks (log ε): 208 (6,00), 245 (5,30), dan 315 nm (5,54).

Pola spektrum ini mengindikasikan bahwa senyawa 3 memiliki kromofor fenol

yang mengalami perpanjangan konyugasi.

Gambar 4.20. Spektrum ultraviolet senyawa 3 dalam 1 mg/10 mL MeOH dan

dengan penambahan pereaksi geser NaOH

63

Spektrum IR senyawa 3 memperlihatkan adanya pita-pita serapan pada νmaks

cm-1: 3363 (gugus hidroksil ), 2962-2854 (C-H alifatik), 1651 (C=O); 1624 dan

1481 (C=C aromatik) serta 1118 (C-O eter). Spektrum IR senyawa 3 ditampilkan

pada Gambar 4.21.

Gambar 4.21. Spektrum inframerah senyawa 3

Spektrum 1H NMR (Gambar 4.22) dan spektrum ekspansi 1H NMR (Lampiran

14 dan 15) menunjukkan adanya 2 proton aromatik singlet pada pergeseran kimia

δH 6,70 dan 6,27 ppm, satu proton metoksil pada 3,75 ppm, tiga proton hidroksil

pada δH 5,57; 6,29; dan 11,29 ppm, serta dua gugus prenil. Adanya dua gugus

prenil dapat diketahui dari munculnya sinyal untuk dua proton alilik pada δH 3,46

(2H, d, J = 6,8) dan 3,37 (2H, d, J = 7,3), dua proton vinilik yaitu pada δH 5,17 (

1H, t, J = 6,8) dan 5,20 (1H, t, J = 7,3) ppm dan empat gugus metil pada δH 1,67

(3H, s); 1,79 (3H, s); 1,73 (3H, s); dan 1,79 (3H, s) ppm.

64

O

O

H3CO

OH

OHO

1

2

34

5'

67

89 9a

11

11a

4a5a

1'

2'3'

4'

1''2''

3''

4''5''

HO

Gambar 4.22. Spektrum 1H NMR senyawa 3 (CDCl3, 500 MHz)

Spektrum 13C NMR (Lampiran 16) dan DEPT 135 (Lampiran 17)

memperlihatkan adanya 24 sinyal karbon yang terdiri dari empat karbon metil yaitu

pada δC 18,0; 18,1; 25,8 dan 25,9 ppm, satu karbon metoksil pada δC 61,9 ppm,

dua karbon metilen yaitu pada δC 24,2 dan 22,1 ppm, empat karbon metin yaitu

pada δC 105,4; 100,4; 121,3 dan 120,9 ppm, dan 13 karbon kuarterner yaitu pada δC

168,5; 162,6; 162,1; 159,8; 147,0; 146,9; 142,6; 136,2; 136,1; 133,3; 128,2; 111,1;

dan 98,8 ppm.

Identifikasi sinyal-sinyal karbon dan proton lebih lanjut ditetapkan berdasarkan

spektrum NMR 2D seperti tertera pada Tabel 4.4.

65

Tabel 4.4. Data 1H, 13C NMR, DEPT, HMBC dan COSY Senyawa 3 dalam

CDCl3

No C HMQC DEPT HMBC COSY

H (ppm), integrasi,

multiplisitas, J (Hz)

C

(ppm)

1 162,6 C

1-OH 11,29 (1H,s) C-1, C-2, C-11a

2 - 111,1 C H-3’

3 162,1 C

3-OH 6,29 (1H,s) C-4 OH-7

4 6,27 (1H,s) 100,4 CH C-2, C-3, C-4a, C-11a H-4

4a 159,8 C

5a 147,0 C

6 6,70 (1H,s) 105,4 CH C-7, C-8, C-9a H-4

7 146,9 C

7-OH 5,57 (1H,s) C-6, C-7 OH-3

8 142,6 C

8-OCH3 3,75 (3H,s), 61,9 CH3 C-8

9 128,2 C

9a 136,1 C

11 168,5 C

11a 98,8 C

1’ 3,37 (2H, d; 7,3) 22,1 CH2 C-1, C-2, C-2’, C-3’ H-4’,

H-2’

2’ 5,20 (1H, t; 7,3) 120,9 CH H-1’,

H-5’

3’ 136,2 C

4’ 1,73 (3H, s) 25,8 CH3 C-2’, C-3’, C-5’

5’ 1,79 (3H, s) 18,0 CH3 C-2’, C-3’, C-4’

1’’ 3,46 (2H, d; 6,8) 24,2 CH2 C-8, C-9, C-9a, C-2’’,

C-3’’

H-4’’,

H-2’’

2’’ 5,17 (1H,t; 6,8) 121,3 CH H-1’’,

H-5’’

3’’ 133,3 C

4’’ 1,67 (3H, s) 25,9 CH3 C-2’’, C-3’’, C-5’’

5’’ 1,79 (3H, s) 18,1 CH3 C-2’’, C-3’’, C-4’’

Spektrum HMBC (Gambar 4.23) menunjukkan korelasi dua ikatan antara

proton hidroksi pada δH 11,29 ppm dengan C-1 (162,6) dan korelasi tiga ikatan

dengan C-11a (98,8 ppm) dan C-2 (111,1 ppm), dengan demikian diketahui bahwa

gugus hidroksil terikat pada C-1. .

66

Gambar 4.23. Spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk korelasi satu gugus

hidroksil (OH-1) pada δH 11,29 ppm (CDCl3, 500 MHz)

Sinyal proton yang muncul pada δH 5,57 ppm merupakan sinyal untuk gugus

hidroksil pada C-7. Dari spektrum HMBC terlihat bahwa sinyal ini berkorelasi tiga

ikatan dengan karbon pada δC 105,4 ppm (C-6) dan korelasi dua ikatan dengan

karbon pada δC 146,9 ppm (C-7). Karbon C-6 ini mengikat proton yang muncul

pada δH 6,70 ppm, yang berkorelasi tiga ikatan dengan karbon pada δC 142,6 ppm

(C-8) dan 136,1 ppm (C-9a) serta berkorelasi dua ikatan dengan karbon pada δC

146,9 ppm (C-7).

Proton aromatik lainnya yang muncul pada geseran kimia δH 6,27 ppm terikat

dengan karbon pada δC 100,4 ppm (C-4), hal ini ditunjukkan oleh adanya korelasi

dua ikatan antara H-4 dengan karbon pada δC 162,1 ppm (C-3) dan 159,8 ppm (C-

4a) serta korelasi tiga ikatan dengan karbon pada δC 111,1 ppm (C-2) dan 98,8

67

ppm (C-11a). Proton hidroksil yang muncul pada δH 6,29 ppm terikat dengan

karbon pada δC 162,1 ppm (C-3), proton hidroksil ini berkorelasi tiga ikatan

dengan karbon pada δC 100,4 ppm (C-4). Spektrum HMBC untuk dua gugus

hidroksil dan 2 proton aromatik tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.24 dan 4.25.

Gambar 4.24. Spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk korelasi dua gugus

hidroksil pada δH 5,57 (OH-7), 6,29 (OH-3), dan 2 proton aromatik

(H-4 dan H-6) (CDCl3, 500 MHz)

68

Gambar 4.25. Lanjutan spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk korelasi dua

gugus hidroksil pada δH 5,57 (OH-7), 6,29 (OH-3), dan 2 proton

aromatik (H-4 dan H-6) (CDCl3, 500 MHz)

Gugus prenil yang terikat pada C-2, didukung oleh spektrum HMBC dengan

adanya korelasi dua ikatan antara H-1’ (3,37 ppm) dengan karbon pada δC 111,1

ppm (C-2) dan 120,9 ppm (C-2’), dan tiga ikatan dengan karbon pada δC 162,6

ppm (C-1), dan 136,2 ppm (C-3’). Gugus prenil lainnya yang terikat pada C-9,

ditunjukkan dengan adanya korelasi dua ikatan antara H-1’’ dengan karbon pada δC

128,2 ppm (C-9) dan 121,3 ppm (C-2’’), dan tiga ikatan dengan karbon pada δC

142,6 ppm (C-8), 136,1 ppm (C-9a), dan 133,3 ppm (C-3’’). Satu gugus metoksil

terikat dengan karbon pada δC 142,6 ppm (C-8) yang ditunjukkan dengan adanya

korelasi antara proton metoksil pada δH 3,75 ppm (3H,s) dengan karbon pada δC

142,6 ppm (C-8). Spektrum HMBC untuk korelasi dua proton metilen pada dua

69

gugus prenil dan satu proton metoksil dengan karbon ditunjukkan pada Gambar

4.26 dan 4.27.

Gambar 4.26. Spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk korelasi antara dua

proton metilen pada dua gugus prenil dan satu proton metoksi

(OCH3-8) (CDCl3, 500 MHz)

Gambar 4.27. Lanjutan spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk korelasi antara

dua proton metilen pada dua gugus prenil dan satu proton metoksi

(OCH3-8) (CDCl3, 500 MHz)

70

O

O

H3CO

OH

OHO

1

2

34

5'

67

89 9a

11

11a

4a5a

1'

2'3'

4'

1''2''

3''

4''5''

HO

Korelasi antara proton-proton pada gugus prenil ini juga diperkuat oleh

spektrum COSY. Spektrum COSY (Lampiran 18) memperlihatkan adanya

korelasi antara proton metin pada δH 5,17 ppm (H-2’’) dengan proton pada H1’’

dan H-5’’, juga untuk proton metin pada δH 5,20 ppm (H-2’ ) dengan proton pada

H-1’ dan H-5’.

Berdasarkan hasil analisis spektroskopi data dan dengan membandingkan data

tersebut dengan senyawa yang mirip yang telah dilaporkan dalam literatur (Tabel

4.5), dapat disimpulkan bahwa senyawa 3 adalah garsinisidon A (Gambar 4.28).

Rumus molekul senyawa 3 yaitu C24H26O7 dengan berat molekul 426 dan DBE =

12. Nilai DBE tersebut sesuai dengan struktur molekul senyawa 2 yang

mempunyai 8 ikatan rangkap C=C yaitu 6 untuk rangka dasar depsidon dan dua

untuk dua unit prenil, satu karbonil (C=O), serta tiga cincin dari rangka dasar

depsidon. Senyawa 3 ini telah ditemukan sebelumnya dari G. assigu, tetapi

merupakan senyawa yang baru pertama kali dilaporkan untuk speies G. forbesii.

Gambar 4.28. Struktur molekul senyawa 3

Tabel 4.5. Data spektroskopi NMR 1D senyawa garsinisidon A (3) (CDCl3, 1H-

NMR 500 MHz, 13C-NMR 125 MHz) dan senyawa garsinisidon A

pembanding (3*) (DMSO-d6, 1H NMR 600 MHz, 13C NMR 150 MHz)

71

No C H (ppm), integrasi, multiplisitas, J

(Hz)

C (ppm)

3 garsinisidon A* 3 garsinisidon A*

1 162,6 161,1

1-OH 11,29 (1H, s) 9,80

2 - 111,1 112,2

3 162,1 164,1

3-OH 6,29 (1H, s)

4 6,27 (1H, s) 6,26 100,4 99,60

4a 159,8 159,1

5a 147,0 145,6

6 6,70 (1H, s) 6,65 105,4 105,7

7 146,9 148,1

7-OH 5,57 (1H,s)

8 142,6 142,9

8-OCH3 3,75 (3H, s) 3,66 61,9 60,1

9 128,2 127,5

9a 136,1 134,4

11 168,5 167,2

11a 98,8 93,0

1’ 3,37 (2H; d;

7,3)

3,14 (2H; d; 7,0) 22,1 21,4

2’ 5,20 (1H; t;

8,55)

5,1 (m) 120,9 122,3

3’ 136,2 130,5

4’ 1,73 (3H, s) 1,58 (3H, s) 25,8 25,4

5’ 1,79 (3H, s) 1,67 (3H, s) 18,0 17,7

1’’ 3,46 (2H; d;

6,75)

3,33 (2H; d; 7,0) 24,2 23,5

2’’ 5,17(1H; t;

11,6)

5,08 (m) 121,3 121,8

3’’ 133,3 131,6

4’’ 1,67 (3H, s) 1,62 (3H, s) 25,9 25,5

5’’ 1,79 (3H, s) 1,74 (3H, s) 18,1 17,8

* literatur (Ito et al., 1997)

Data Tabel 4.5 menunjukkan kemiripan nilai geseran kimia yang tinggi antar

senyawa 3 hasil isolasi dengan senyawa pembanding pada liteatur.

Hubungan antara proton dengan karbon dalam spektrum HMBC secara lengkap

dapat dilihat pada Gambar 4.26.

72

O

O

H3CO

OH

OHO

1

2

34

5'

67

89 9a

11

11a

4a5a

1'

2'3'

4'

1''2''

3''

4''

5''

HO

Gambar 4.29. Korelasi HMBC senyawa 3

4) Penentuan struktur molekul senyawa 4

Senyawa 4 hasil isolasi berbentuk jarum, bewarna putih, dengan titik leleh 164-

166oC. Sinar UV senyawa ini tidak berfluoresensi, hal ini menunjukkan bahwa

pada senyawa murni hasil isolasi tidak terdapat transisi elektronik → * maupun

n → *. Uji fitokimia dengan Lieberman Burchard memberikan hasil yang positif

steroid dengan terbentuknya warna hijau. Spektrum IR senyawa 4 (Gambar 4.30)

memperlihatkan adanya pita-pita serapan pada νmaks cm-1: 3352 (OH); 2935-2866

(H alifatik); 1639 (C=C terisolasi); 1461 (siklopentana); 1380 (gugus isopropil);

1056 (regang C-O).

Analisis dengan 1H NMR (CDCl3; 500 MHz; δ ppm) seperti pada Gambar 4.31

dan ekspansinya pada Lampiran 19, 20, dan 21 menunjukkan adanya enam sinyal

gugus metil masing-masing muncul pada δH: 0,68; 0,78; 0,79; 0,81; 0,82; dan 0,84.

Sinyal pada 3, 51 (1H, m) merupakan sinyal proton metin alkohol sekunder.

Selanjutnya spektrum ini juga menunjukkan adanya sinyal untuk tiga proton

olefinik yang masing-masing muncul pada δH 5,00 ppm (1H, dd, J = 8,6; 6,1 Hz);

73

HO

H H

H1

26

3

15

5 6

17

8

27

10

11 1318

19

2021

23

24

25

2829

5,14 ppm (1H, dd, J = 8,6; 6,1 Hz); dan 5,33 (1H, d, J = 5,5 Hz). Hal ini

menunjukkan bahwa senyawa 4 memiliki dua ikatan rangkap C=C.

Gambar 4.30. Spektrum inframerah senyawa 4

Gambar 4.31. Spektrum 1H NMR senyawa 4 (CDCl3, 500 MHz)

Analisis dengan spektroskopi resonansi magnet inti karbon 13C-NMR (CDCl3;

125 MHz; ppm) seperti yang tertera pada Gambar 4.32 dan spektrum DEPT 135

74

(Lampiran 22, 23 dan 24) menunjukkan 29 sinyal karbon yang terdiri dari enam

karbon metil, sembilan karbon metilen, sebelas karbon metin, dan tiga atom

karbon kuarterner. Sinyal pada C: 12,1 dan 18,9 adalah untuk gugus metil yang

terikat rangka dasar steroid, sedangkan sinyal pada C: 19,5; 21,2; 21,3; dan 29,2

ppm merupakan sinyal untuk gugus metil yang terikat rantai samping; selanjutnya

pada geseran kimia 71,9 ppm adalah sinyal untuk C yang mengikat gugus OH,

kemudian sinyal pada geseran kimia 121,8; 129,3; 138,4; dan 140,8 ppm adalah

untuk C sp2.

Gambar 4.32. Spektrum 13C NMR senyawa 4 (CDCl3, 125 MHz)

Selain ditetapkan berdasarkan data spektroskopi, struktur molekul senyawa 4

ini dibandingkan dengan data NMR dari literatur yaitu senyawa stigmasta 5,22-

dien-3-ol dengan titik leleh 166o (Pouchert and Behnke, 1993). Perbandingan

data NMR senyawa 4 dengan literatur tertera pada Tabel 4.6.

75

Tabel 4.6. Data 13C NMR senyawa stigmasta-5,22-dien-3-ol (4) (CDCl3, 1H-

NMR 500 MHz, 13C-NMR 125 MHz) dan senyawa stigmasta 5,22-dien-

3-ol pembanding (4*) (CDCl3, 1H-NMR 300 MHz, 13C-NMR 360 MHz)

No

C H (ppm), integrasi, multiplisitas, J (Hz) C (ppm)

4 4* 4 4*

1 37,3 37,3

2 29,0 31,6

3 3,51 (1H, m) 3,52 (1H, m) 71,9 71,8

4 42,4 42,3

5 140,8 140,7

6 5,33 (1H,dd; 5,5) 5,35(1H, dd; 3,5) 121,8 121,7

7 31,7 33,9

8 36,2 36,1

9 50,2 50,1

10 36,5 36,5

11 21,1 21,2

12 39,8 39,7

13 42,3 42,2

14 56,9 56,8

15 24,5 24,3

16 28,3 28,9

17 56,0 56,0

18 12,3 12,2

19 19,5 19,4

20 40,6 40,5

21 21,3 23,1

22 5,14 (1H, dd; 8,6; 6,1) 5,12 (1H, dd; 8,7) 138,4 138,3

23 5,00 (1H, dd; 8,6; 6,1) 5,03 (1H, dd; 8,7) 129,3 129,3

24 51,3 51,2

25 32,0 31,9

26 19,1 19,0

27 19,9 21,1

28 25,5 25,4

29 12,1 12,0

* literatur (Pouchert and Behnke, 1993)

Tabel 4.6 menunjukkan kemiripan nilai geseran kimia yang tinggi antara

senyawa 4 hasil isolasi dengan senyawa pembanding di literatur.

Berdasarkan data spektroskopi inframerah, ultraviolet, dan NMR, juga setelah

dibandingkan dengan data sifat fisik serta data 1H dan 13C NMR senyawa

76

HO

H H

H1

26

3

15

5 6

17

8

27

10

11 1318

19

2021

23

24

25

2829

yang sama dari literatur, maka senyawa 4 adalah stigmasta-5,22-dien-3-ol

(Gambar 4.33).

Gambar 4.33. Struktur molekul senyawa 4

5) Penentuan struktur molekul senyawa 5

Senyawa 5 merupakan padatan amorf berwarna kuning. Spektrum ultraviolet

(Gambar 4.34) memperlihatkan serapan pada λmaks (log ε): 286 nm (4,76). Pola

spektrum ini menunjukkan adanya C=O terkonyugasi.

Gambar 4.34. Spektrum ultraviolet senyawa 5 dalam 1 mg/10 mL MeOH

77

OH

OCH3 O

OHO 1

23

4

Spektrum IR seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.35 memperlihatkan

serapan pada νmaks cm-1: 3363 (OH), 3058 (=C-H), 2950 (alifatik C-H), 1697,

1643 (C=O), 1593 (C=C konyugasi), dan 1107 (C-O eter).

Gambar 4.35. Spektrum inframerah senyawa 5

Spektrum 1H NMR (Gambar 4.36) memperlihatkan adanya dua sinyal proton

pada H 3,81 (3H, s) dan 5,85 ppm (1H, s). Sinyal pada H 3,81 ppm merupakan

sinyal untuk proton metoksil dan sinyal H 5,85 ppm adalah untuk proton metin

olefinik.

Spektrum 13C NMR (Gambar 4.37) menunjukkan adanya 5 sinyal karbon pada

C 56,5; 107,4; 157,3; 176,7; dan 186,9 ppm. Sinyal pada medan rendah δC 186,9

dan 176,7 ppm, merupakan sinyal untuk karbonil dari karboksilat. Sinyal pada δC

157,3 ppm, mengindikasikan adanya karbon kuarterner sp2, dan sinyal

pada δC 107,4 ppm adalah untuk karbon metin olefinik. Selain itu terdapat satu

sinyal untuk karbon metoksil pada δC 56,5 ppm.

78

OH

OCH3 O

OHO 1

23

4

Gambar 4.36. Spektrum 1H NMR senyawa 5 (CDCl3, 500 MHz)

Gambar 4.37. Spektrum 13C NMR senyawa 5 (CDCl3, 125 MHz)

Dari data spektroskopi, disimpulkan bahwa senyawa 5 memiliki dua gugus

karboksilat, satu gugus metoksil dan satu gugus metin olefinik dengan rumus

molekul C5H6O3 dan DBE = 3. Nilai DBE ini sesuai untuk dugaan stuktur yang

mempunyai tiga ikatan rangkap. Dengan demikian senyawa 5 adalah asam 2-

metoksibut-2-endioat. Struktur molekul senyawa tersebut ditampilkan pada

Gambar 4.38.

79

Gambar 4.38. Struktur molekul senyawa 5

4.4. Usulan Biogenesis Senyawa Santon dan Depsidon dari G. forbesii

Telah diisolasi dua senyawa santon dari kulit batang dan satu depsidon dari

kayu G. forbesii. Senyawa tersebut adalah 1,3,5-trihidroksi-2-metoksisanton (1);

1,3,5-trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-dimetiloktan-2,6-dienil)santon (2); dan

garsinisidon A (3). Berdasarkan penelusuran pustaka dari G. forbesii dilaporkan

telah diperoleh senyawa 1,3,7-trihidroksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon (26),

piranojakareubin (17), forbesanton (18) dan forbesion (39) dari bagian ranting G.

forbesii (Harrison et al., 1993; Wah et al., 1996).

Pembentukan cincin A dari santon diketahui berasal dari jalur asetat malonat

yaitu kondensasi dari tiga unit malonil CoA, sedangkan cincin B berasal dari jalur

sikimat. Untuk senyawa 1,3,5-trihidroksi-2-metoksisanton (1), pembentukan

cincin B berasal dari asam benzoat yang memiliki gugus m-hidroksi, sehingga

membentuk siklisasi dengan cincin A menghasilkan senyawa 1,3,5-

trihidroksisanton. Gugus metoksil pada C-2 berasal dari oksidasi terhadap senyawa

1,3,5-trihidroksisanton membentuk epoksida pada posisi C-2 dan C-3. Dengan

adanya katalis asam maka akan diikat oleh O epoksida, sehingga atom tersebut

bermuatan positif. Hal ini menyebabkan lepasnya H pada posisi C-2 membentuk

sistim aromatik kembali dan putusnya ikatan C-3-OH. Dengan demikian gugus OH

terikat pada posisi C-2. Reaksi metilasi pada C-2 ini menghasilkan senyawa 1,3,5-

trihidroksi-2-metoksisanton (1). Sedangkan pembentukan senyawa 1,3,5-

80

trihidroksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon (26) yaitu senyawa yang sudah ditemukan

sebelumnya dari G. forbesii, berasal dari prenilasi senyawa 1,3,5-trihidroksisanton

pada posisi C-2.

Selanjutnya untuk pembentukan senyawa 1,3,5-trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-

dimetiloktan-2,6-dienil)santon (2), cincin B berasal dari asam benzoat yang

memiliki dua gugus hidroksil, yang keduanya berada pada posisi meta. Reaksi

siklisasi antara gugus hidroksil pada posisi meta dengan gugus hidroksil posisi orto

pada cincin yang lain membentuk senyawa 1,3,5,7-tetrahidroksisanton.

Selanjutnya, geranilasi pada posisi C-8 yang disusul dengan metilasi pada C-7

membentuk senyawa 1,3,5-trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-dimetiloktan-2,6-

dienil)santon (2).

Selain itu, senyawa garsinisidon A (3), dan senyawa lainnya yang telah

diisolasi dari tumbuhan G. forbesii yaitu senyawa piranojakareubin (17),

forbesanton (18) dan forbesion (39), berasal dari prekursor maklurin. Senyawa

garsinisidon A (3) terbentuk melalui reaksi prenilasi dari senyawa 1,3,6,7-

tetrahidroksisanton pada C-2 dan C-8, yang dilanjutkan dengan metilasi pada

posisi C-7. Ester siklik pada cincin C terbentuk melalui reaksi oksidasi yang

melibatkan hidrogen peroksida hingga menghasilkan garsinisidon A (3).

Selanjutnya, pembentukan senyawa forbesanton (18) berasal dari prenilasi

senyawa 1,3,5,6-tetrahidroksisanton pada C-7, yang dilanjutkan dengan

siklisasi dan metilasi pada C-3. Begitu pula dengan senyawa piranojakareubin

(17), terbentuk dari prenilasi senyawa 1,3,5,6-tetrahidroksisanton pada C-7,

yang dilanjutkan dengan siklisasi, dan prenilasi kembali pada C-2, yang

dilanjutkan dengan siklisasi. Sementara itu pembentukan senyawa forbesion

81

(39) berasal dari prenilasi senyawa 1,3,5,6-tetrahidroksisanton pada C-4 dan

C-7, yang diikuti dengan dearomatisasi cincin B dan siklisasi. Selanjutnya

terjadi prenilasi pada C-5. Usulan biogenesis senyawa santon dan depsidon

dari tumbuhan G. forbesii tertera pada Gambar 4.39.

Berdasarkan struktur molekul senyawa yang sudah ditemukan pada tumbuhan

G. forbesii, terlihat adanya kemampuan yang tinggi dari tumbuhan tersebut dalam

merekayasa molekulnya. Terbukti dengan ditemukannya senyawa santon

sederhana, santon tergeranilasi, piranosanton, sampai suatu depsidon. Dari jalur

biogenesis yang diusulkan terdapat prekursor-prekursor yang secara teoritis

terkandung di dalam tumbuhan ini. Jika prekursor-prekursor ini dapat diisolasi,

maka akan melengkapi profil kimia dari G. forbesii dan dapat membuktikan jalur

biogenesis yang diusulkan. Dengan demikian maka jalur biosintesisnya dapat

dibuat dengan reaksi-reaksi kimia di laboratorium, sehingga mendukung

pengembangan lebih lanjut.

82

O

HO

HO

O

OO

SCoA

O

HO

HO

O

OO

siklisasi

[H]

O

HO

HO

OH

OHHO

O

HO

O

OO

SCoAOH

siklisasi

O

HO

O

O

OH

O

[H]

O

HO

OH

OH

OH

HO

siklisasi

O

HO

OH

OH

OH

O

O OH

OH

OH

O

siklisasi

O OH

OH

OH

O

O[O]

H+

O OH

OH

OH

O

OH+

H

O OH

OH

OH

O

OH

metilasi

O OH

OH

OH

O

OCH3

(1)

O

HO

OH

OH

OH

O

geranilasi

metilasi

O

H3CO

OH

OH

OH

O

(2)

O

HO

OH

OHO

siklisasi

prenilasi

O

HO

OH

OHO

(26)

O

HO

OH

OHO

siklisasi

siklisasi

OH (15)prenilasi

O

HO

OH

OHO

OH

siklisasi

O OH

OHO

OH

O

metilasi

O OH

OCH3O

OH

O

(18)

prenilasi

O OH

OHO

OH

O

siklisasi

O OH

OO

OH

O

(17)

O

HO

OH

OHO

HO

prenilasi

O

HO

OH

OHO

H3CO

(41)

O

HO

OH

OHO

H3CO

OH

OH

H3CO

HO O

OO

OH

OH

[O]

-H2O

(3)

(16)

dearomatisasisiklisasi

OO

O OH

OHO

prenilasi

OO

O OH

OHO

(39)

(77)

O

HO

OH

OHO

HO

metilasi

O

O OH

OH

OH

HO

prenilasi

Gambar 4.39. Skema usulan biogenesis senyawa santon dan depsidon dari

G. forbesii

83

4.5 Uji Aktivitas Sitotoksik Senyawa Hasil Isolasi

Aktivitas sitotoksik dari senyawa hasil isolasi diuji dengan metode SRB

(sulforhodamine B). Metode ini merupakan metode pengujian sitotoksik secara in

vitro yang dikembangkan oleh NCI (National Cancer Istitute). Metode SRB ini

sensitif dibandingkan dengan metode uji MTT serta XTT (Skehan et al., 1990).

Dalam pengujian ini digunakan sel kanker payudara manusia (human breast

cancer cell line, T47D). Senyawa pembanding yang digunakan adalah Cis Pt: Cis-

diaminplatinum(II)diklorida (Pt(NH3)2Cl2). Teknik pengukuran didasarkan atas

persentase viabilitas sel yaitu kemampuan sel untuk bertahan hidup. Dari nilai

persentase viabilitas dapat dikonversikan untuk melihat persentase inhibisinya

sehingga diketahui tingkat aktivitas sitotoksik senyawa uji. Grafik hubungan

konsentrasi senyawa uji dan senyawa pembanding terhadap % inhibisi sel dapat

dilihat pada Gambar 4.40.

Gambar 4.40. Hubungan konsentrasi senyawa uji dan senyawa pembanding

terhadap % inhibisi

84

Berdasarkan Gambar 4.40 tersebut diketahui bahwa semua senyawa uji

memberikan nilai persen inhibisi yang bervariasi. Semakin besar konsentrasi

senyawa uji, maka persentasi inhibisi semakin tinggi (semakin banyak sel uji yang

mati). Efektivitas senyawa uji ditentukan dengan nilai IC50, yaitu kemampuan

senyawa uji untuk dapat mematikan 50 % sel uji. Nilai IC50 masing-masing

senyawa uji ditampilkan pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7. Nilai IC50 senyawa uji dari kulit batang dan Kayu G. forbesii dan

senyawa pembanding (Cis platin).

No Senyawa Uji IC50

(µg/mL)

1. 1,3,5-Trihidroksi-2-metoksi santon (1) 11,9

2. 1,3,5,-Trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-dimetiloktan-2,6-

dienil)santon (2)

13,6

3. Garsinisidon A (3) 5,1

4. Stigmasta-5,22-dien-3-ol (4) 62,4

5. Asam 2-metoksibut-2-endioat (5) 50,4

6. Cis platin 0,3

Dari Tabel 4.7 tersebut, terlihat bahwa kelima senyawa hasil isolasi memberikan

nilai IC50 yang bervariasi. Berdasarkan penggolongan tingkat aktivitas sitotoksik

menurut Cao et al. (1998), untuk senyawa murni digolongkan sangat aktif apabila

memiliki nilai IC50 < 5 µg/mL, aktif 5-10 µg/mL, sedang 11-30 µg/mL dan tidak

aktif >30 µg/mL maka senyawa 1 dan 2 termasuk senyawa yang aktivitas

sitotoksiknya sedang, senyawa 3 termasuk kriteria yang aktif sitotoksik.

Sedangkan senyawa 4 dan 5 termasuk kelompok yang tidak aktif, karena

mempunyai nilai IC50 > 30 µg/mL.

85

Struktur molekul dan aktivitas biologi suatu senyawa mempunyai kaitan yang

erat. Aktivitas biologi biasanya sangat dipengaruhi oleh bentuk dari struktur

senyawa. Untuk mengetahui bagaimana kaitan struktur dan aktivitas biologi

tersebut, maka perlu dibandingkan dengan senyawa-senyawa lain lagi. Karena itu

dalam pengujian sitotoksik ini selain terhadap senyawa 1-5 dilakukan juga terhadap

senyawa lain yang diisolasi dari genus Garcinia yaitu senyawa D1, D2, D3 dan

D4 yang diisolasi dari kulit batang G. cornea dan G. cowa,senyawa B1, B2, dan

B3 dari kulit batang G. griffithii, dan senyawa A1, A2, dan A3 dari kulit

batang G. nigrolineata. Data nilai IC50 masing-masing senyawa uji tersebut

ditabulasikan pada Tabel 4.8. Sedangkan data absorban dan persentase inhibisi

tertera pada Lampiran 21 dan 22. Untuk struktur senyawa uji ditampilkan pada

Gambar 4.41.

Tabel 4.8. Nilai IC50 senyawa uji dari Genus Garcinia

No Senyawa Uji IC50 (µg/mL)

1. 1,3,5-trihidroksi-2-metoksisanton (1) 11,9

2.

1,3,5,-trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-dimetiloktan-2,6-

dienil)santon (2) 13,6

3. Garsinisidon A (3) 5,1

4. Stigmasta-5,22-dien-3-ol (4) 62,4

5. Asam 2-metoksibut-2-endioat (5) 50,4

6. Asam 3-okso-23-hidroksisikloart-24-en-26-oat (D1) 17,3

7. (-) epikatekin (D2) 3,6

8. Kowanin (D3) 10,4

9. Rubrasanton (D4) 13,5

10. 1,7 dihidroksisanton (B1) 13,1

11. 1,6-dihidroksi-3-metoksi-4,7-di-(3-metilbut-2-enil)santon (B2) 7,6

12.

1,5-dihidroksi-3,6-dimetoksi-2,7-di-(3-metilbut-2-enil)santon

(B3) 10,1

13. Isosantosimol (A1) 6,6

14.

1,7-dihidroksi-3-metoksi-4-(3-metilbut-2-enil)-6,6’-

Dimetilpirano(2’,3’:6,5)santon (A2) 9,8

15. 1,7-dihidroksi-6,6-dimetilpirano(2’,3’:6,5)santon (A3) 9,4

16. CP 0,3

86

O

O

OH

OH

OH

OCH3

(1)

H3CO

HO O

OO

OH

OH(3)

O

O OH

OH

OH

H3CO

(2)

OH

OCH3

O

OHO

(5)

COOH

O

HO

(D1)

O

OH

HO

OH

OH

OH

(D2)O

O

OH

OH

HO

H3CO

(D4)

HO

H H

H

(4)

HO

OH

O

O

O

O

(A1)

O O OCH3

OH

HO

O

O O

OH

HO

O

(A2) (A3)

O

O OH

HO

O

O OH

OCH3HO O

O OH

OCH3H3CO

OH(B1) (B2) (B3)

Pt

Cl

Cl

H3N

H3N

O

O

OH

OH

HO

H3CO

(D3)

(CP)

Gambar 4.41. Struktur molekul dari senyawa uji dan senyawa pembanding

87

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa nilai IC50 masing-masing senyawa sangat

bervariasi tergantung dari struktur molekul senyawa. Dari seluruh senyawa uji

yang menunjukkan aktivitas sitotoksik yang tertinggi dan tergolong sangat aktif

adalah senyawa (-) epikatekin (D2) dan garsinisidon A (3) dengan IC50 masing-masing

adalah 3,6 dan 5,1 µg/mL, dilanjutkan dengan senyawa Isosantosimol (A1),

1,6-dihidroksi-3-metoksi-4,7-di-(3-metilbut-2-enil)santon (B2); 1,7-dihidroksi-6,6-

dimetilpirano(2’,3’:6,5)santon (A3), dan dimetilpirano(2’,3’:6,5)santon (A2). Untuk

senyawa 1,5-dihidroksi-3,6-dimetoksi-2,7-di-(3-metilbut-2-enil)santon (B3), Kowanin

(D3), 1,3,5-trihidroksi-2-metoksisanton (1), 1,7 dihidroksisanton (B1), Rubrasanton (D4),

1,3,5,-trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-dimetiloktan-2,6-dienil)santon (2), dan Asam 3-

okso-23-hidroksisikloart-24-en-26-oat (D1) termasuk kategori senyawa aktif. Sedangkan

senyawa stigmasta-5,22-dien-3-ol (4) dan asam 2-metoksibut-2-endioat (5)

termasuk senyawa yang tidak aktif sitotoksik.

Aktivitas sitotoksik yang tertinggi yang diberikan oleh senyawa (-) epikatekin

(D2), dilihat dari struktur molekulnya diduga dipengaruhi oleh jumlah gugus hidroksil

yang dimiliki oleh senyawa ini, yaitu mempunyai lima gugus hidroksil, sementara

garsinisidon A (3) dengan 3 gugus hidroksil, aktivitas sitotoksiknya berada dibawah (-)

epikatekin (D2). Hal ini sesuai dengan pernyataan Ito et al. (2003) yang

menjelaskan bahwa gugus hidroksil merupakan faktor yang penting dalam

meningkatkan aktivitas sitotoksik suatu senyawa.

Selanjutnya bila sifat sitotoksik tersebut dikaitkan dengan gugus prenil yang

terikat, maka dapat terlihat bahwa senyawa A1, dengan 3 gugus prenil memberikan

aktivitas yang tinggi dibandingkan dengan senyawa lain yang mempunyai prenil

lebih sedikit yaitu 2 prenil atau 1 prenil seperti senyawa, A2, A3, B2, B3,dan D3,

88

pengecualian untuk senyawa 3, meskipun mempunyai 2 gugus prenil, tetapi

aktivitas sitotoksiknya lebih tinggi dari A1, hal ini diduga dipengaruhi oleh jumlah

gugus OH yang dimiliki oleh senyawa 3 yang lebih banyak dari senyawa A1. Dari

data ini menunjukkan bahwa dengan adanya gugus prenil juga mempengaruhi

peningkatan kekuatan sitotoksik senyawa uji. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari

Ito et al. (2001) dan Ito et al. (2003) yang menyatakan bahwa adanya rantai

samping gugus prenil sangat penting dalam meningkatkan aktivitas sitotoksik.

Kemudian dijelaskan juga bahwa adanya gugus geranil tidak memberikan

pengaruh terhadap kekuatan sitotoksik suatu senyawa, hal ini dinyatakan oleh

Baggett et al. (2005). Pernyataan ini dibuktikan dari aktivitas sitotoksik senyawa

D3, D4 dan 2 yang mempunyai aktivitas lebih rendah dibandingkan dengan

senyawa yang mempunyai gugus prenil, meskipun sama-sama mempunyai gugus

hidroksil.

Kekuatan sitotoksik selain dipengaruhi dua faktor yang telah disebutkan

sebelumnya yaitu gugus hidroksil dan prenil, juga ada faktor gugus fungsi lain

seperti asam karboksilat. Adanya gugus karboksilat ini cukup memberikan

pengaruh terhadap sifat sitotoksik suatu senyawa meskipun tidak terlalu tinggi. Hal

ini terlihat pada senyawa triterpen D1, berdasarkan nilai IC50 dikelompokkan pada

senyawa yang mempunyai sifat sitotoksik yang aktif. Sedangkan untuk senyawa 4

dan 5 termasuk klasifikasi senyawa yang tidak aktif, karena nilai IC50 > 20 µg/mL.

Sedangkan senyawa yang dijadikan pembanding, sebagai kontrol positif digunakan

cis-platin (NH3)2Cl2Pt, yang merupakan senyawa kompleks platina. Senyawa cis

platin ini merupakan senyawa yang telah dikenal sebagai senyawa antitumor

(Nogrady, 1992).

89

Pengaruh struktur terhadap sifat sitotoksik berkaitan dengan senyawa antitumor,

karena umumnya senyawa yang bersifat antitumor mempunyai struktur dengan

karakteristik tertentu, seperti adanya sistim lingkar, sistim lakton, sistim enon,

senyawa karbonil tidak jenuh, jembatan oksida dalam sistim siklik, dan gugus

hidroksil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutrisno (2000) yang menyebutkan

bahwa.gugus–gugus tersebut berperan dalam mempengaruhi aktivitas sitotoksik

senyawa kimia.

90

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1) Dari ekstrak kulit batang (1,5 kg) dan kayu (1,5 kg) G. forbesii diperoleh lima

senyawa. Senyawa 1 adalah 1,3,5-trihidroksi-2-metoksisanton (6 mg),

senyawa 2 yaitu 1,3,5-trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-dimetiloktan-2,6-dienil)

santon (12 mg). Selanjutnya senyawa 3 adalah garsinisidon A (22 mg),

sedangkan senyawa 4 dan 5 berturut- turut adalah stigmasta-5,22-dien-3-ol

(18 mg) dan asam 2-metoksibut-2-endioat (15 mg).

2) Kelima senyawa hasil isolasi tersebut merupakan senyawa yang baru pertama

dilaporkan terkandung dalam spesies tumbuhan G. forbesii. Dua dari senyawa

yang diperoleh telah ditemukan dari spesies lain, yaitu 1,3,5-trihidroksi-2-

metoksisanton (1) dari Tovomita pyrifolium, dan garsinisidon A (3) dari G.

assigu.

3) Hasil uji aktivitas sitotoksik menunjukkan bahwa tiga senyawa hasil isolasi

mempunyai aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker payudara manusia T47D

dengan kekuatan sitotoksik yang bervariasi. Senyawa senyawa 1 dan 2

termasuk senyawa yang aktivitas sitotoksiknya sedang (IC50 11,9 dan13,6)

senyawa 3 termasuk kriteria yang aktif (IC50 5,1 µg/mL), sedangkan senyawa

4 dan 5 termasuk kelompok yang tidak aktif, karena mempunyai nilai IC50 > 30

µg/mL (62,4 dan 50,4 µg/mL).

91

4) Aktivitas sitotoksik senyawa uji dipengaruhi oleh adanya gugus hidroksil dan

gugus prenil yang tersubsitusi pada cincin aromatik.

5) Secara biogenesis, kaitan struktur dari semua senyawa isolasi melibatkan

berbagai reaksi seperti reaksi metilasi, oksigenasi, prenilsi, geranilasi, dan

siklisasi.

5.2. Saran

1) Dengan diketahuinya potensi aktivitas sitotoksik dari senyawa asal G. forbesi,

1,3,5-trihidroksi-2-metoksisanton (1), 1,3,5-trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-

dimetiloktan-2,6-dienil)santon (2), dan garsinisidon A (3) merupakan

peluang pada bidang ilmu lain yang terkait untuk melakukan studi lanjutan

teraplikasi.

2) Adanya kesamaan senyawa yang diperoleh dari genus Garcinia dengan genus

lain yaitu Tovomita, merupakan tambahan informasi dalam pembelajaran

biogenesis dan kemotaksonomi.

3) Dengan terungkapnya kandungan kimia senyawa sitotoksik dari tumbuhan

langka G. forbesii, dapat digunakan sebagai dasar untuk masukan kepada

masyarakat/ pemerintah setempat dalam melestarikan keberadaan tumbuhan ini,

baik sebagai tanaman hutan reboisasi atau keperluan keanekaragaman hayati

bersama spesies Garcinia lainnya.

92

Lampiran 1. Spektrum DEPT senyawa 1

93

Lampiran 2. Spektrum HMQC senyawa 1 (DMSO, 1H-500 MHz, 13C-125 MHz)

94

Lampiran 3. Lanjutan spektrum HMQC senyawa 1 (DMSO, 1H-500 MHz, 13C-125

MHz)

95

Lampiran 4. Spektrum COSY senyawa 1 (DMSO, 1H-500 MHz)

96

Lampiran 5. Potongan spektrum 1H-NMR senyawa 2 untuk proton aromatik pada

daerah geseran kimia antara 1,49-2,03 ppm (CD3OD, 500 MHz)

97

Lampiran 6. Potongan spektrum 1H-NMR senyawa 2 untuk proton aromatik

pada daerah geseran kimia antara 4,05-6,69 ppm (CD3OD, 500

MHz)

98

Lampiran 7. Spektrum DEPT senyawa 2

99

Lampiran 8. Spektrum HMQC senyawa 2 untuk proton pada geseran kimia δH

1,49 – 2,03 ppm (CD3OD, 1H-500 MHz, 13C-125 MHz)

100

Lampiran 9. Spektrum HMQC senyawa 2 untuk proton pada geseran kimia δH

3,75 dan 4,05 ppm(CD3OD, 1H-500 MHz, 13C-125 MHz)

101

Lampiran 10. Spektrum HMQC senyawa 2 untuk proton pada geseran kimia

daerah 4,99 – 6,69 ppm (CD3OD, 1H-500 MHz, 13C-125 MHz)

102

Lampiran 11. Spektrum COSY sebagian senyawa 2 untuk proton pada δH 5,17

dan 4,05 ppm

103

Lampiran 12. Spektrum COSY sebagian senyawa 2 untuk proton pada δH 2,03

dan 4,99 ppm

104

Lampiran 13. Spektrum COSY sebagian senyawa 2 untuk proton pada δH 2,03

dan 1,95 ppm

105

Lampiran 14. Ekspansi spektrum 1H-NMR senyawa 3 untuk proton pada geseran

kimia 1,6-1,8 ppm (CDCl3, 500 MHz)

106

Lampiran 15. Ekspansi spektrum 1H-NMR senyawa 3 untuk proton pada geseran

kimia 5,1-6,7 ppm (CDCl3, 500 MHz)

107

Lampiran 16. Spektrum 13C NMR Senyawa 3

Lampiran 17. Spektrum DEPT 135 senyawa 3

108

Lampiran 18. Spektrum COSY sebagian senyawa 3 untuk proton pada δH 5,20;

5,17; 3,46; 3,37; dan 1,79 ppm

109

110

Lampiran 19. Ekspansi spektrum 1H NMR senyawa 4 untuk geseran kimia

0,64-0,95 ppm (CDCl3, 500 MHz)

111

Lampiran 20. Ekspansi spektrum 1H NMR senyawa 4 untuk geseran kimia 3,51

ppm (CDCl3, 500 MHz)

112

Lampiran 21. Ekspansi spektrum 1H NMR senyawa 4 untuk geseran kimia 4,97 –

5,33 ppm (CDCl3, 500 MHz)

113

Lampiran 22. Potongan spektrum DEPT 135 senyawa 4 untuk karbon pada

daerah geseran kimia antara 12,1-24,5 ppm (CDCl3, 125 MHz)

114

Lampiran 23. Potongan spektrum DEPT 135 senyawa 4 untuk karbon pada

daerah geseran kimia antara 25,5-42,4 ppm (CDCl3, 125 MHz)

115

Lampiran 24. Potongan spektrum DEPT 135 senyawa 4 untuk karbon pada

daerah geseran kimia antara 50,2-138,4 ppm (CDCl3, 125 MHz)

116

Lampiran 25. Nilai absorban sampel (A1) pada berbagai konsentrasi dengan

metoda SRB.

Absorban

Senyawa Uji

Konsentrasi (µg/mL)

0,16 0,31 0,63 1,25 2,5 5 10 20

Senyawa 1 0,434 0,417 0,398 0,380 0,351 0,327 0,306 0,286

Senyawa 2 0,448 0,423 0,399 0,385 0,365 0,338 0,319 0,296

Senyawa 3 0,399 0,376 0,356 0,339 0,320 0,298 0,255 0,193

Senyawa 4 0,607 0,601 0,588 0,577 0,557 0,542 0,521 0,516

Senyawa 5 0,621 0,584 0,574 0,563 0,533 0,523 0,508 0,491

Senyawa D1 0,607 0,521 0,456 0,388 0,374 0,366 0,353 0,333

Senyawa D2 0,400 0,363 0,349 0,317 0,298 0,267 0,235 0,210

Senyawa D3 0,444 0,434 0,415 0,393 0,353 0,320 0,283 0,266

Senyawa D4 0,534 0,501 0,464 0,425 0,395 0,360 0,320 0,281

Senyawa B1 0,494 0,476 0,435 0,402 0,373 0,338 0,318 0,289

Senyawa B2 0,457 0,398 0,385 0,369 0,327 0,302 0,259 0,230

Senyawa B3 0,507 0,477 0,438 0,397 0,318 0,296 0,278 0,258

Senyawa A1 0,542 0,505 0,398 0,371 0,338 0,264 0,197 0,139

Senyawa A2 0,571 0,518 0,459 0,416 0,382 0,324 0,262 0,204

Senyawa A3 0,436 0,416 0,386 0,374 0,350 0,316 0,285 0,254

CP 0,374 0,343 0,320 0,293 0,259 0,243 0,212 0,186

Keterangan : Nilai absorban kontrol (A2) = 0,633

117

Lampiran 26. Nilai persen inhibisi senyawa uji (% I) pada berbagai konsentrasi

dengan metoda SRB.

% I

Senyawa Uji

Konsentrasi (µg/mL)

0,16 0,31 0,63 1,25 2,5 5 10 20

Senyawa 1 31,47 34,08 37,19 39,9 44,63 48,38 51,58 54,79

Senyawa 2 29,04 33,13 36,81 39,13 42,38 46,66 49,46 53,24

Senyawa 3 36,87 40,59 43,67 46,4 49,4 52,86 59,65 69,55

Senyawa 4 4,16 5,12 7,09 8,81 12,01 14,3 17,74 18,4

Senyawa 5 1,88 7,67 9,3 11,1 15,8 17,4 19,8 22,5

Senyawa D1 4,04 16,77 27,98 38,73 40,91 42,1 44,24 47,44

Senyawa D2 36,75 42,65 44,85 49,88 52,99 57,82 62,93 66,79

Senyawa D3 29,89 31,47 34,36 37,95 44,29 49,43 55,33 57,88

Senyawa D4 15,67 20,83 26,74 32,8 37,65 43,11 49,39 55,61

Senyawa B1 21,97 24,8 31,26 36,56 41,02 46,67 49,77 54,39

Senyawa B2 27,8 37,05 39,24 41,7 48,27 52,27 59,03 63,64

Senyawa B3 19,9 24,63 30,81 37,25 49,72 53,24 56,03 59,19

Senyawa A1 14,29 20,21 37,13 41,47 46,57 58,29 68,82 77,91

Senyawa A2 9,78 18,12 27,4 34,22 39,68 48,86 58,63 67,84

Senyawa A3 31,16 34,22 38,97 40,95 44,67 49,98 54,92 59,83

CP 40,93 45,79 49,4 53.72 58,99 61,6 66,53 70,63

118

Lampiran 27.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Juni 1972 di Jambi, sebagai anak ketiga dari

enam bersaudara dari ayah H. M. Latief Piliang (almarhum) dan ibu Hj. Farida,

BA. Penulis menamatkan SD, SMP dan SMA di Jambi. Gelar sarjana strata 1 (S1)

diperoleh pada tahun 1995 pada Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian

Universitas Jambi. Pada tahun 1997 Penulis mendapat beasiswa proyek Due DIKTI

untuk meneruskan pendidikan pada Program Pascasarjana S2, Jurusan Kimia

Universitas Andalas, dan gelar Magister Sains diperoleh pada tahun 1999.

Selanjutnya pada tahun 2005 Penulis mendapatkan beasiswa BPPS untuk

mengikuti pendidikan pada program S3 dibawah bimbingan Prof. Dr. Supriyatna,

Prof. Dr. Husein H. Bahti dan Prof. Dr. Dachriyanus.

Sejak tahun 1999 hingga sekarang, Penulis menjadi staf pengajar di program

studi Ilmu Tanah Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas

Jambi.

Penulis menikah dengan Drs Hambali, M.Si, pada tahun 2000 dan dikarunia tiga

orang anak yaitu Muhammad Yusuf Hanad, Qatrunnada Arraudah Hanad, dan

Qanita Naurah Hanad.

Selama mengikuti program Doktor, Penulis telah mengikuti seminar-seminar

sebagai pemakalah pada :

• International Conference on Chemical Science, May 24-26, 2007,

Yogyakarta, Indonesia dengan judul Antioxidative Tetraoxygenated

Xanthone from the Stem bark of Garcinia forbesii King.

119

• Seminar Kebudayaan Indonesia Malaysia, 29-31 Mei 2007, UKM Malaysia,

dengan judul Senyawa Fridelin Dari Fraksi Aktif Antibakteri Daun Garcinia

celebica Linn. (Kandis).

• The Henk Timmerman International Seminar on Pharmaco Chemistry, July

10, 2007, Jakarta, dengan judul Antioxidant compound potency from the stem

bark of Kandis Hutan (Garcinia forbesii King.) as lead compound of drug.

• Seminar Nasional Kimia IX, 24 Juli 2007, Surabaya, dengan judul Fridelan-3-

on dari Kulit Batang Kandis (Garcinia celebica Linn.).

• Seminar Tjipto Utomo (STU) ITENAS 2007, Bandung, 30 Agustus 2007,

dengan judul Usaha Peningkatan Potensi Tumbuhan Kandis (Garcinia

celebica Linn.) Sebagai Obat Diare.

• International Seminar on Pharmaceutics. Bandung-Indonesia, October 31 –

November 1, 2007, dengan judul Antibacterial Agent from Kandis (Garcinia

celebica Linn.) for Disease of Diarrhoea.

• Simposium Nasional XVII Kimia Bahan Alam dan Kongres VIII Himpunan

Kimia Bahan Alam Indonesia, Pekanbaru 14-15 November 2007, dengan

judul Santon tergeranilasi dari kulit batang Garcinia forbesii King.

• International Seminar on the Role of Chemistry in Industry and Environment,

Held by Department of Chemistry, Andalas University in cooperation with

Indonesian Chemical Society Branch West Sumatera, Padang, 27-28

November 2007, dengan judul 2-methoxybut-2-enedioicacid from the wood

of Garcinia forbesii King.

Publikasi :

• Madyawati, L., Dachriyanus, Bahti, H. H., dan Soetardjo, S., 2007.

Kandungan Kimia dari Fraksi Aktif Antioksidan Ekstrak kulit Batang

Garcinia forbesii King. Jurnal farmasi Indonesia 05 (01) : 7 – 12.

• Madyawati, L., Dachriyanus, Bahti, H. H., dan Soetardjo, S., 2007. Aktivitas

Antioksidan Ekstrak Daun Garcinia celebica Linn. (Kandis). Jurnal farmasi

Indonesia 05 (02) : 84 – 89.

• Madyawati, L., Dachriyanus, Bahti, H. H., dan Soetardjo, S., 2008. Aktivitas

Sitotoksik Ekstrak Kulit Batang Dan Kayu Garcinia Forbesii King terhadap

Arthemia Salina Leach. Jurnal Percikan Universitas Jambi 85: 97-99.

120

• Uji Antimikroba Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa) terhadap bakteri dan

Jamur Penyebab penyakit pada Ternak Unggas. 2006. Biosfera 23 (3) : 137 –

143.