KOMPONEN KIMIA DARI KULIT BATANG DAN KAYU
GARCINIA FORBESII KING DAN AKTIVITAS
SITOTOKSIKNYA
CHEMICAL CONSTITUENTS FROM THE STEM BARK AND
WOOD OF GARCINIA FORBESII KING AND THEIR
CYTOTOXIC ACTIVITY
O l e h
Madyawati Latief
L3L050060
DISERTASI
Untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu MIPA/Kimia
Pada Universitas Padjadjaran
Dengan wibawa Rektor Universitas Padjadjaran
Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA
Sesuai dengan Keputusan Senat Komisi I / Guru Besar Universitas
Dipertahankan pada tanggal 11 Agustus 2008
Di Universitas Padjadjaran
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2 0 0 8
KOMPONEN KIMIA DARI KULIT BATANG DAN KAYU
GARCINIA FORBESII KING DAN AKTIVITAS
SITOTOKSIKNYA
CHEMICAL CONSTITUENTS FROM THE STEMBARK AND
WOOD OF GARCINIA FORBESII KING AND THEIR
CYTOTOXIC ACTIVITY
Oleh
Madyawati Latief
L3L 050060
DISERTASI
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
guna memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu MIPA/Kimia.
Ini telah disetujui oleh Tim Promotor pada tanggal
seperti tertera di bawah ini
Bandung, 12 Agustus 2008
Prof. Dr. Supriyatna Soetardjo KETUA TIM PROMOTOR
Prof. Dr. Dachriyanus Prof. Dr. Husein H. Bahti ANGGOTA TIM PROMOTOR ANGGOTA TIM PROMOTOR
iii
KOMPONEN KIMIA DARI KULIT BATANG DAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis saya disertasi ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik doktor baik di Universitas Padjadjaran
maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan hasil penelitian saya sendiri
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Promotor.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang atau dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang
berlaku diperguruan tinggi ini.
Bandung, 12 Agustus 2008.
Yang membuat pernyataan,
(Madyawati Latief)
NPM L3L050060
iv
ABSTRACT
Two compounds from the stembark (1,5 kg) and three compounds from the wood
(1,5 kg) of Garcinia forbesii King have been isolated. Fractionation and
purification have been done with column chromatography and recristalization
techniques. The structures of these compounds were determined by spectroscopic
data analysis, including UV, IR, 1D- and 2D- NMRs. Based on spectroscopic
analysis, the compounds have been identified as: 1,3,5-trihydroxy-2-
methoxyxanthone (compound 1, 6 mg), 1,3,5-trihydroxy-7-methoxy-8-(3,7-methyl-
2,6-octadienyl)xanthone (compound 2, 12 mg); garcinisidone A (compound 3, 22
mg); stigmasta-5,22-dien-3-ol (compound 4, 18 mg); and 2-methoxybut-2-
enedioic-acid (compound 5, 15 mg). Compound 1, 2, ,3 dan 5 are first reported
as chemical constituents from G. forbesii, compound 4 is usually founded in the
plant. The crude extract were evaluated by the brine shrimp lethality test (BSLT)
by using Artemia salina Leach as bioindicator. The isolated compounds were
evaluated for their cytotoxic effect against human breast cancer cell line T47D.
Cell survival was evaluated by SRB (Sulforhodamin B) method using Cis
platin Pt(NH3)2Cl2 as positive control. Compound 1,3,5-trihydroxy-2-methoxy
xanthone (1) and 1,3,5-trihydroxy-7-methoxy-8-(3,7-methyl-2,6-octadienyl)
xanthone (2) are moderate active compound (IC50 values 11,9 and 13,6µg/mL),
garcinisidone A (3) was active cytotoxic against T47D IC50 values 5,1 µg/mL
(IC50 5-10 µg/mL). Stigmasta- 5,22-dien-3-ol (4) and 2-methoxybut-2-enedioic-
acid (5) were inactive with IC50 values 62,4 and 50,4 µg/mL (IC50 > 30
µg/mL). From the viewpoint of structure-activity relationships, the activity of
the isolated compoundsis primarily influenced by the presence of prenyl and
hydroxyl groups. Position of the prenyl and hydroxyl groups on the molecule
play an important role in producing inhibitory effect on cell line T47D
v
ABSTRAK
Telah diisolasi dua senyawa dari kulit batang (1,5 kg) dan tiga senyawa dari
bagian kayu (1,5 kg) Garcinia forbesii King. Pemisahan dan pemurnian dilakukan
dengan metode kromatografi kolom dan rekristalisasi. Penetapan struktur
ditentukan berdasarkan data spektroskopi meliputi UV, IR, NMR 1 dan 2
dimensi. Berdasarkan analisis spektroskopi kelima senyawa yang diperoleh yaitu:
1,3,5-trihidroksi-2-metoksisanton (senyawa 1, 6 mg); 1,3,5-trihidroksi-7-metoksi-
8-(3,7-dimetiloktan-2,6-dienil)santon (senyawa 2, 12 mg); garsinisidon A
(senyawa 3, 22 mg); stigmasta-5,22-dien-3-ol (senyawa 4, 18 mg); dan asam 2-
metoksibut-2-endioat (senyawa 5, 15 mg). Senyawa 1, 2, 3, dan 5 merupakan
senyawa yang pertama kali dilaporkan diisolasi dari G. forbesii, sedangkan
senyawa 4, meskipun belum ada laporannya dari G. forbesii, tetapi merupakan
senyawa yang umum terdapat pada tumbuhan. Terhadap ekstrak kasar telah
dilakukan uji toksisitas dengan metode BSLT (brine shrimp lethality test)
dengan bio indikator larva udang Artemia salina Leach. Uji sitotoksik untuk
senyawa hasil isolasi dilakukan terhadap sel kanker payudara manusia T47D
dengan metode SRB (Sulforhodamin B) dan sebagai kontrol positif digunakan
Cis platin Pt(NH3)2Cl2. Hasil uji aktivitas sitotoksik menunjukkan bahwa
senyawa 1,3,5-trihidroksi-2-metoksisanton (1) dan 1,3,5-trihidroksi-7-metoksi-8-
(3,7-dimetiloktan-2,6-dienil)santon (2), mempunyai nilai IC50 11,9 dan 13,6
µg/mL yang termasuk kriteria senyawa dengan tingkat aktivitas sitotoksik sedang;
untuk senyawa garsinisidon A (3) dengan IC50 5,1 µg/mL, tingkat aktivitas
sitotoksiknya termasuk kriteria aktif (IC50 5-10 µg/mL). Senyawa berikutnya
stigmasta-5,22-dien-3-ol (4) dan asam 2-metoksibut-2-endioat (5) mempunyai
IC50 62,4 dan 50,4 µg/ml, digolongkan sebagai senyawa yang tidak aktif
sitotoksik (IC50 > 30 µg/mL). Dari hubungan struktur molekul dan aktivitas
diketahui bahwa sifat sitotoksik senyawa hasil isolasi terutama dipengaruhi oleh
adanya gugus prenil dan hidroksil. Posisi gugus prenil dan hidroksil pada molekul
juga berperan penting dalam menghambat aktivitas galur sel kanker payudara
manusia T47D.
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur senantiasa Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan
disertasi dengan judul Komponen Kimia dari Kulit Batang dan Kayu Garcinia
forbesii King dan Aktivitas Sitotoksiknya.
Dalam penulisan disertasi ini, Penulis banyak mendapat masukan dan bantuan
dari berbagai pihak berupa ide, gagasan maupun materi. Untuk itu dengan
kerendahan hati, perkenankan Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Supriyatna Sutardjo, Prof. Dr. Husein H.
Bahti, dan Prof. Dr. Dachriyanus sebagai Tim Promotor yang telah banyak
membantu dan membimbing Penulis dalam penelitian dan penulisan disertasi.
Penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada Rektor, Dekan Fakultas
Pertanian, Ketua Jurusan Budidaya Pertanian, dan Ketua Program Studi Ilmu
Tanah Universitas Jambi, yang telah memberikan izin kepada Penulis untuk
mengikuti program doktor di Universitas Padjadjaran Bandung.
Ucapan yang sama Penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Padjadjaran,
Direktur Program Pascasarjana, dan Ketua Program Doktor Pascasarjana Unpad
yang telah memberikan kesempatan pada Penulis untuk mengikuti program doktor
di Universitas Padjadjaran Bandung.
Selanjutnya terimakasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan pada
Depdiknas RI, atas beasiswa BPPS yang diberikan, sehingga Penulis dapat
menjalani pendidikan dengan lancar.
vii
Kepada Pimpinan Laboratorium Pnelitian Bahan Alam dan Lingkungan
Pascasarjana FMIPA Jurusan Kimia Universitas Padjadjaran, Laboratorium
Penelitian Farmasi FMIPA Universitas Andalas, Laboratorium Kimia Puspiptek
Serpong, LIPI Bandung, Laboratorium Kimia ITB, dan Laboratorium
Instrumentasi UPI, serta Herbarium ANDA Universitas Andalas Padang, Penulis
mengucapkan terimakasih atas fasilitas yang diberikan.
Ucapan terimakasih yang tak terhingga juga Penulis sampaikan kepada
Prof. Dr. Syamsul Arifin Achmad, Dr.Muhamad Hanafi, Prof. Dr. Muljadji Agma,
Prof. Dr. O. Suprijana, Dr. Zainudin, dan Prof. Dr. Erri Noviar Megantara yang
telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan disertasi. Penulis juga
menyampaikan penghargaan kepada Professor Emeritus Dr. R. Hadiman atas
diskusi dan sarannya yang berharga.
Ucapan terimakasih juga Penulis sampaikan pada Sofa, S.Si, yang telah
membantu penulis dalam pengukuran spektrum, juga kepada Indah, S.Si dan Dr.
Linar yang membantu dalam pengujian aktivitas sitotoksik. Kemudian untuk
rekan-rekan satu tim, Muharni, M.Si, Elfita, M.Si dan Darwati, M.Si, terimakasih
tak terhingga Penulis ucapkan atas kerelaannya membantu Penulis selama
pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi.
Kepada Ayahanda H.M. Latief Pilliang (almarhum) dan Ibunda Hj. Farida, BA
ucapan terimaksih yang setulusnya Penulis haturkan atas pengorbanannya selama
ini. Seterusnya kepada ayahanda H. Agus Nanang Akhmad dan Ibunda Hj. Siti
Sabariah, serta semua saudaraku, terimakasih atas doa dukungannya untuk
keberhasilan Penulis.
viii
Terimakasih yang paling dalam Penulis sampaikan, untuk suamiku tercinta
Drs. Hambali, M.Si, yang selalu setia mendampingi dan mendorong Penulis
untuk menyelesaikan pendidikan tepat waktu, terlebih buat buah hatiku tersayang
Muhammad Yusuf Hanad, Qatrunnada Arraudah Hanad, dan Qanita Naurah
Hanad yang menjadi sumber semangat dan inspirasi Penulis dalam menempuh
pendidikan ini.
Akhirnya kepada berbagai pihak yang tiada mungkin dapat Penulis sebut satu
demi satu, kepada mereka Penulis sampaikan ucapan terimakasih teriring doa
semoga budi baiknya menjadi ibadah dan mendapat ganjaran pahala dari Allah
SWT, Amin.
Bandung, 12 Agustus 2008.
Madyawati Latief
ix
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ...................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iii
ABSTRACT ................................................................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .............................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiii
DAFTAR LAMBANG ............................................................................. xvi
DAFTAR SINGKATAN .......................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xviii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Penelitian .................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 2
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ........................................... 3
1.4 Kegunaan Penelitian ........................................................... 3
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN
HIPOTESIS .............................................................................
4
2.1. Kajian Pustaka .................................................................... 4
2.1.1 Morfologi Garcinia forbesii King ...................................... 4
2.1.2 Kegunaan tumbuhan Garcinia ........................................... 4
2.1.3 Kandungan kimia genus Garcinia .................................... 6
2.1.4 Biosintesis senyawa santon dan depsidon ........................ 21
2.1.5 Pemisahan dan pemurnian senyawa dari G. forbesii ........ 23
2.1.6 Senyawa sitotoksik dari genus Garcinia ............................ 24
x
2.1.7 Sitotoksik dan metode ujinya ............................................. 25
2.2 Kerangka Pemikiran ........................................................... 28
2.3 Hipotesis ............................................................................ 29
BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN ................................... 30
3.1 Waktu dan Tempat ............................................................. 30
3.2 Bahan dan Alat ................................................................... 30
3.3 Prosedur Penelitian ............................................................. 31
3.3.1 Pengambilan sampel ........................................................... 31
3.3.2 Persiapan sampel ................................................................ 31
3.3.3 Ekstraksi kulit batang dan kayu G. forbesii ...................... 33
3.3.4 Pemisahan dan pemurnian ekstrak metanol kulit batang G.
forbesii ................................................................................
33
3.3.5 Pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat kulit batang
G. forbesii ..........................................................................
35
3.3.6 Pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat kayu
G. forbesii ..........................................................................
36
3.3.6 Uji toksisitas dengan metode BSLT ................................... 38
3.3.7 Uji sitotoksik dengan metode SRB .................................... 39
3.3.8 Analisis spektroskopi ......................................................... 41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 42
4.1 Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Hasil Isolasi ............. 42
4.1.1 Pemisahan dan pemurnian senyawa dari kulit batang
G. forbesii ..........................................................................
42
4.1.2 Pemisahan dan pemurnian senyawa dari kayu G.
forbesii .....................................................................
43
4.2 Toksisitas Ekstrak Kulit Batang dan Kayu G. forbesii ..... 44
4.3 Penentuan Struktur Molekul Senyawa Hasil Isolasi dari
Kulit Batang dan Kayu G. forbesii ....................................
45
4.4 Usulan Biogenesis Senyawa Hasil Isolasi .......................... 79
4.5 Uji Aktifitas Sitotoksik Senyawa Hasil Isolasi .................. 83
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 90
5.1 Kesimpulan ......................................................................... 90
5.2 Saran ................................................................................... 91
xi
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 92
LAMPIRAN .............................................................................................. 99
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Nilai LC50 hasil uji BSLT terhadap ekstrak kulit batang
dan kayu G. forbesii ..........................................................
44
Tabel 4.2 Data 1H,13C NMR, DEPT, HMBC, HMQC, dan COSY
senyawa 1 dalam DMSO-d6 ..............................................
49
Tabel 4.3 Data 1H,13C NMR, DEPT, HMBC, HMQC, dan COSY
senyawa 2 dalm CD3OD .....................................................
57
Tabel 4.4 Data 1H,13C NMR, DEPT, HMBC, HMQC, dan COSY
senyawa 3 dalam CDCl3 .....................................................
65
Tabel 4.5 Data spektroskopi NMR 1D senyawa garsinisidon A (3)
(CDCl3, 1H-NMR 500 MHz, 13C-NMR 125 MHz) dan
senyawa garsinisidon A pembanding (3*) (DMSO-d6, 1H
NMR 600 MHz, 13C NMR 150 MHz) ................................
71
Tabel 4.6 Data 13C NMR senyawa stigmasta-5,22-dien-3-ol (4)
(CDCl3, 1H-NMR 500 MHz, 13C-NMR 125 MHz) dan
senyawa stigmasta 5,22-dien-3-ol pembanding (4*)
(CDCl3, 1H-NMR 300 MHz, 13C-NMR 360
MHz)........................................................................
75
Tabel 4.7 Nilai IC50 senyawa uji dari kulit batang dan Kayu
G. forbesii dan senyawa pembanding (Cis platin) .........
84
Tabel 4.8 Nilai IC50 senyawa uji dari Genus Garcinia ...................... 85
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Pohon (A), daun (B), dan kulit batang (C) G. forbesii 5
Gambar 2.2 Biosintesis santon dan depsidon ..................................... 22
Gambar 2.3 Alur biosintesis santon dengan prekursor maklurin ....... 23
Gambar 3.1 Prosedur penelitian ........................................................ 32
Gambar 3.2 Skema pemisahan dan pemurnian ekstrak metanol kulit
batang G. forbesii ................................
35
Gambar 3.3 Skema pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat
kulit batang G. forbesii ...............................................
36
Gambar 3.4 Skema pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat
kayu G. forbesi ............................................................
38
Gambar 3.5 Tahapan uji toksisitas dengan metode BSLT .............. 39
Gambar 3.6 Skema kerja uji sitotoksik dengan metode SRB ........... 41
Gambar 4.1 Spektrum ultraviolet senyawa 1 dalam 1 mg/10 mL
MeOH dan dengan pereaksi geser NaOH .....................
46
Gambar 4.2 Spektrum 1H NMR senyawa 1 (DMSO, 500 MHz) ...... 47
Gambar 4.3 Potongan spektrum 1H-NMR senyawa 1 untuk proton
aromatik pada daerah geseran kimia antara 7,25-7,54
ppm (DMSO, 500 MHz .................................................
47
Gambar 4.4 Spektrum 13C NMR senyawa 1 (DMSO, 125 MHz) ..... 48
Gambar 4.5 Spektrum HMBC sebagian senyawa 1 untuk korelasi
proton H 3,75 ppm dengan C 130,7 ppm (C-2)
(DMSO, 500 MHz) ........................................................
50
Gambar 4.6 Spektrum HMBC sebagian senyawa 1 untuk korelasi
proton H 12,95 ppm (OH-1) dengan 102,3 (C-9a),
130,7 (C-2), dan 154,1 (C-1) (DMSO, 500 MHz) ........
51
Gambar 4.7 Spektrum HMBC sebagian senyawa 1 untuk korelasi
empat proton aromatik pada δH 6,52 (H-4), 7,25
(H-7), 7,30 (H-6), dan 7,54 (H-8) dengan karbon
(DMSO, 500 MHz) ......................................................
52
xiv
Gambar 4.8 Lanjutan spektrum HMBC sebagian senyawa 1` untuk
korelasi empat proton aromatik pada δH 6,52 (H-4),
7,25 (H-7), 7,30 (H-6), dan 7,54 (H-8) dengan karbon
(DMSO, 500 MHz) .......................................................
52
Gambar 4.9 Struktur Molekul senyawa 1 .......................................... 53
Gambar 4.10 Korelasi HMBC senyawa 1 ........................................... 53
Gambar 4.11 Spektrum ultraviolet senyawa 2 dalam 1 mg/10 mL
MeOH dan dengan penambahan pereaksi geser NaOH 54
Gambar 4.12 Spektrum inframerah senyawa 2 .................................. 55
Gambar 4.13 Spektrum 1H NMR senyawa 2 (CD3OD, 500 MHz) ..... 56
Gambar 4.14 Spektrum 13C NMR senyawa 2 (CD3OD, 125 MHz) .... 56
Gambar 4.15 Spektrum HMBC sebagian senyawa 2 untuk korelasi
proton H 3,75 ppm dengan C 143,6 ppm (C-7) dan
proton pada H 4,05 ppm dengan C 110,8 ppm (C-8),
123,9 ppm (C-2’), 143,6 ppm (C-7), 134,1 ppm (C-3’),
dan 137,3 ppm (C-8a) (CD3OD, 500 MHz) ................
58
Gambar 4.16 Spektrum HMBC sebagian senyawa 2 untuk korelasi
proton H 1,49; 1,52; 1,79; 1,95; dan 2,03 ppm dengan
karbon (CD3OD, 500 MHz) ..........................................
59
Gambar 4.17 Lanjutan spektrum HMBC sebagian senyawa 2 untuk
korelasi proton H 1,49; 1,52; 1,79; 1,95; dan 2,03 ppm
dengan karbon (CD3OD, 500 MHz) .............................
60
Gambar 4.18 Struktur Molekul senyawa 2 .......................................... 61
Gambar 4.19 Korelasi HMBC senyawa 2 ........................................... 62
Gambar 4.20 Spektrum ultraviolet senyawa 3 dalam 1 mg/10 mL
MeOH dan dengan penambahan pereaksi geser NaOH 62
Gambar 4.21 Spektrum inframerah senyawa 3 .................................. 63
Gambar 4.22 Spektrum 1H NMR senyawa 3 (CDCl3, 500 MHz) ....... 64
Gambar 4.23 Spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk korelasi
satu gugus hidroksil (OH-1) pada δH 11,29 ppm
(CDCl3, 500 MHz) ........................................................
66
Gambar 4.24 Spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk korelasi
dua gugus hidroksil pada δH 5,57 (OH-7), 6,29 (OH-3),
dan 2 proton aromatik (H-4 dan H-6) (CDCl3, 500
MHz) .............................................................................
67
xv
Gambar 4.25 Lanjutan spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk
korelasi dua gugus hidroksil pada δH 5,57 (OH-7),
6,29 (OH-3), dan 2 proton aromatik (H-4 dan H-6)
(CDCl3, 500 MHz) ........................................................
68
Gambar 4.26 Spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk korelasi
antara dua proton metilen pada dua gugus prenil dan
satu proton metoksi (OCH3-8) (CDCl3, 500 MHz) ....... 69
Gambar 4.27 Lanjutan spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk
korelasi antara dua proton metilen pada dua gugus
prenil dan satu proton metoksi (OCH3-8) (CDCl3, 500
MHz) ..............................................................................
69
Gambar 4.28 Struktur Molekul senyawa 3 .......................................... 70
Gambar 4.29 Korelasi HMBC senyawa 3 ........................................... 72
Gambar 4.30 Spektrum inframerah senyawa 4 ................................... 73
Gambar 4.31 Spektrum 1H NMR senyawa 4 (CDCl3, 500 MHz) ...... 73
Gambar 4.32 Spektrum 13C NMR senyawa 4 (CDCl3, 125 MHz) .... 74
Gambar 4.33 Struktur molekul senyawa 4 .......................................... 76
Gambar 4.34 Spektrum ultraviolet senyawa 5 dalam 1 mg/10 mL
MeOH ........................................................................... 76
Gambar 4.35 Spektrum inframerah senyawa 5 ................................... 77
Gambar 4.36 Spektrum 1H NMR senyawa 5 (CDCl3, 500 MHz) ........ 78
Gambar 4.37 Spektrum 13C NMR senyawa 5 (CDCl3, 125 MHz)......... 78
Gambar 4.38 Struktur molekul senyawa 5 .......................................... 79
Gambar 4.39 Skema usulan biogenesis senyawa santon dan depsidon
dari G. forbesii ..............................................................
82
Gambar 4.40 Hubungan konsentrasi senyawa uji dan senyawa
pembanding terhadap % inhibisi ................................... 83
Gambar 4.35 Struktur molekul dari senyawa uji dan senyawa
pembanding ...................................................................
86
xvi
DAFTAR LAMBANG
Lambang Nama Pemakaian
pertama kali
Pada halaman
δ Abjad yunani sama dengan d
Geseran kimia (ppm)
46
λ Panjang gelombang maksimum (nm) 46
ε Abjad yunani sama dengan e
Tetapan distingsi molar
46
J Tetapan kopling (Hz) 46
νmaks Bilangan gelombang maksimum (cm-1) 63
xvii
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan Nama Pemakaian
pertama kali
pada halaman
BSLT Brine Shrimp Lethality Test 38
COSY Correlated spectroscopy 45
cm Centimeter 33
d Doublet 55
dd Double doublet 46
DEPT Distortionless enhancement by polarization transfer 45
DMSO Dimetilsulfoksida 30
DMEM Dubelcco’s Modified Eagle Medium 30
ED50 Equivalent dosage 24
EDTA Etilen diamin tetra asetat 30
F Fraksi 34
FTIR Fourier Transform Infrared 31
g Gram 33
HMQC Hetero nuclear multiple quantum coherence 45
HMBC Hetero nuclear multiple bond conectivity 45
IC50 Inhibitory concentration 24
IR Infrared 41
kg kilogram 31
KVC Kromatografi Vakum Cair 24
KKG Kromatografi Kolom Grafitasi 34
KLT Kromatografi Lapis Tipis 33
LC50 Lethal Concentration 2
mL Mililiter (10-3 liter) 2
µg Mikrogram 2
MHz Mega Hertz (106 Hertz) 31
MTT Microculture Tetrazolium 28
NCI National Cancer Institute 27 1H NMR Proton Resonansi Magnet Inti 41 13C NMR Karbon Resonansi Magnet Inti 41
NMR 2D Resonansi Magnet Inti Dua Dimensi 41
NaCl Natrium Clorida 30
PBS Phosphate Buffered Saline 30
SRB Sulforhodamin B 30
s singlet 46
t triplet 46
TCA Trichloroacetic Acid 30
UV Ultraviolet 41
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Spektrum DEPT senyawa 1 ............................................ 99
Lampiran 2 Spektrum HMQC senyawa 1 (DMSO, 1H-500 MHz, 13C-
125 MHz)......................................................
100
Lampiran 3 Lanjutan spektrum HMQC senyawa 1 (DMSO, 1H-500
MHz, 13C-125 MHz) ......................................................
101
Lampiran 4 Spektrum COSY senyawa 1 (DMSO, 1H-500 MHz) ...... 102
Lampiran 5 Potongan spektrum 1H-NMR senyawa 2 untuk proton
aromatik pada daerah geseran kimia antara 1,49-2,03
ppm (CD3OD, 500 MHz)............................................
103
Lampiran 6 Potongan spektrum 1H-NMR senyawa 2 untuk proton
aromatik pada daerah geseran kimia antara 4,05-6,69
ppm (CD3OD, 500 MHz) ...............................................
104
Lampiran 7 Spektrum DEPT senyawa 2 ............................................. 105
Lampiran 8 Spektrum HMQC senyawa 2 untuk proton pada geseran
kimia δH 1,49 – 2,03 ppm (CD3OD, 1H-500 MHz, 13C-
125 MHz) .........................................................................
106
Lampiran 9 Spektrum HMQC senyawa 2 untuk proton pada geseran
kimia δH 3,75 dan 4,05 ppm(CD3OD, 1H-500 MHz, 13C-
125 MHz)...........................................................................
107
Lampiran 10 Spektrum HMQC senyawa 2 untuk proton pada geseran
kimia daerah 4,99 – 6,69 ppm (CD3OD, 1H-500
MHz, 13C-125 MHz) .......................................................
108
Lampiran 11 Spektrum COSY sebagian senyawa 2 untuk proton pada
δH 5,17 dan 4,05 ppm .....................................................
109
Lampiran 12 Spektrum COSY sebagian senyawa 2 untuk proton
pada δH 2,03 dan 4,99 ppm ...........................................
110
Lampiran 13 Spektrum COSY sebagian senyawa 2 untuk proton pada
δH 2,03 dan 1,95 ppm (CD3OD, 1H-500 MHz) ...............
111
Lampiran 14 Ekspansi spektrum 1H-NMR senyawa 3 untuk proton
pada geseran kimia 1,6-1,8 ppm (CDCl3, 500 MHz) ......
112
Lampiran 15 Ekspansi spektrum 1H-NMR senyawa 3 untuk proton
pada geseran kimia 5,1-6,7 ppm (CDCl3, 500 MHz) ......
113
xix
Lampiran 16 Spektrum 13C NMR Senyawa 3 ...................................... 114
Lampiran 17 Spektrum DEPT 135 senyawa 3 ...................................... 117
Lampiran 18 Spektrum COSY sebagian senyawa 3 untuk proton pada
δH 5,20; 5,17; 3,46; 3,37; dan 1,79 ppm .........................
116
Lampiran 19 Ekspansi spektrum 1H NMR senyawa 4 untuk geseran
kimia 0,64 – 0,95 ppm (CDCl3, 500 MHz) .....................
117
Lampiran 20 Ekspansi spektrum 1H NMR senyawa 4 untuk geseran
kimia 3,51 ppm (CDCl3, 500 MHz) ................................
118
Lampiran 21 Ekspansi spektrum 1H NMR senyawa 4 untuk geseran
kimia 4,97 – 5,33 ppm (CDCl3, 500 MHz) .....................
119
Lampiran 22 Potongan spektrum DEPT 135 senyawa 4 untuk karbon
pada daerah geseran kimia antara 12,1-24,5 ppm
(CDCl3, 125 MHz) .........................................................
120
Lampiran 23 Potongan spektrum DEPT 135 senyawa 4 untuk karbon
pada daerah geseran kimia antara 25,5-42,4 ppm
(CDCl3, 125 MHz) ..........................................................
121
Lampiran 24 Potongan spektrum DEPT 135 senyawa 4 untuk karbon
pada daerah geseran kimia antara 50,2-138,4 ppm
(CDCl3, 125 MHz) ..........................................................
122
Lampiran 25 Nilai absorban sampel (A1) pada berbagai konsentrasi
dengan metoda SRB .......................................................
123
Lampiran 26 Nilai persen inhibisi senyawa uji (% I) pada berbagai
Konsentrasi dengan metode SRB ....................................
124
Lampiran 27 Riwayat Hidup ................................................................. 125
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tumbuhan genus Garcinia atau manggis-manggisan tersebar di daerah tropis
seperti India, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Tumbuhan ini dimanfaatkan
masyarakat sebagai bahan makanan, kosmetik, dan obat-obatan (Whitmore, 1973;
Goh et al., 1991).
Genus ini merupakan kelompok tumbuhan yang menarik, baik dari segi
kandungan kimia maupun bioaktivitasnya. Telah dilaporkan berbagai senyawa
yang terdapat dalam tumbuhan ini seperti golongan santon, flavonoid, benzofenon,
depsidon, triterpen, dan asam fenolat. Senyawa- senyawa tersebut mempunyai
berbagai macam bioaktivitas seperti antimikroba, anti-inflamasi, antioksidan,
antikanker, dan anti-HIV (Kosela et al., 2000; Mackeen et al., 2000).
Salah satu spesies genus Garcinia adalah Garcinia forbesii King. Tumbuhan ini
belum banyak dikenal dan juga belum banyak dimanfaatkan. Berdasarkan
penelusuran literatur dilaporkan adanya senyawa 1,3,7-trihidroksi-2-(3-metilbut-2-
enil)santon, piranojakareubin dan forbesanton yang diisolasi dari G. forbesii
(Harrison et al., 1993), selanjutnya Wah et al. (1996) memperoleh pula senyawa
forbesion dari tumbuhan ini. Dari kedua penelitian ini belum dilaporkan mengenai
bioaktivitas senyawa hasil isolasi tersebut.
Pada genus Garcinia banyak ditemukan senyawa yang memiliki aktivitas
sitotoksik seperti senyawa santon dari G. hanburyi, G. griffithii, dan G. fusca
(Asano, et al., 1995; Ito et al., 2003; Dachriyanus et al., 2004). Dari spesies
2
G. bracteata dan G. gaudichaudii diperoleh pula senyawa sitotoksik santon
terprenilasi. Sedangkan dari G. xanthochymus dan G. multiflora diperoleh senyawa
sitotoksik benzofenon (Cao et al., 1998; Thoison et al., 2000; Chiang et al., 2003,
dan Baggett et al., 2005). Selanjutnya Xu et al. (2000) mendapatkan senyawa
depsidon terprenilasi yang bersifat toksik dari G. parvifolia.
Berdasarkan data literatur tersebut, maka tumbuhan G. forbesii berpeluang
mengandung senyawa sitotoksik. Hal ini diperkuat oleh hasil uji pendahuluan
yang memperlihatkan bahwa ekstrak kasar metanol dari kulit batang dan kayu G.
forbesii toksik terhadap larva udang Artemia salina Leach dengan LC50 masing-
masing 60,2 dan 75,2 μg/mL, yang mengindikasikan bahwa kedua ekstrak toksik
terhadap larva udang A. salina, karena mempunyai nilai LC50 < 1000 μg/ mL
(Madyawati et al., 2008).
Mengingat tumbuhan ini belum banyak diteliti dan dilaporkan manfaatnya,
maka sangat menarik untuk meningkatkan nilai tambah tumbuhan ini melalui
kajian kimia dan biologi dengan meneliti kandungan kimia dan aktivitas sitotoksik
G. forbesii.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan studi literatur dan uji pendahuluan, maka rumusan masalah yang
diajukan adalah sebagai berikut :
1) Apakah kulit batang dan kayu G. forbesii mengandung senyawa sitotoksik
dan bagaimana struktur molekulnya.
2) Bagaimana bentuk struktur molekul yang dapat meningkatkan aktivitas
sitotoksik.
3
3) Bagaimana tingkat aktivitas sitotoksik senyawa tersebut terhadap sel
kanker.
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1. Maksud
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi
senyawa kimia dari kulit batang dan kayu G. forbesii, mempelajari senyawa kimia
yang dihasilkan dari spesies ini, dan menguji aktivitas sitotoksik serta mengkaji
hubungan struktur dan aktivitas senyawa hasil isolasi.
1.3.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari profil kimia dari spesies
G. forbesii dan melihat hubungan biogenesis antar senyawa yang dihasilkan, juga
untuk mengetahui aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker serta hubungan struktur
dan aktivitas senyawa hasil isolasi dari kulit batang dan kayu G. forbesii.
1.4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang dapat diperoleh dengan selesainya penelitian ini adalah :
1) Dapat menambah informasi tentang senyawa kimia dan aktivitas biologi
dari genus Garcinia umumnya dan G. forbesii khususnya.
2) Senyawa sitotoksik yang diisolasi diharapkan menjadi lead compound
untuk dikembangkan sebagai senyawa antikanker.
3) Senyawa hasil isolasi dapat dijadikan sebagai model molekul.
4) Diketahuinya kaitan biogenesis serta hubungan struktur dan aktivitas dari
senyawa hasil isolasi.
5) Secara tidak langsung dapat melestarikan tumbuhan G. forbesii.
4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Morfologi Garcinia forbesii King.
Tumbuhan G. forbesii tumbuh di daerah dataran rendah sampai perbukitan.
Tumbuhan ini termasuk dalam famili Guttiferae dan genus Garcinia.
G. forbesii berupa pohon kecil atau sedang dengan tinggi mencapai 18 m dan
lingkar batang mencapai 90 cm. Kulit batang bagian dalam tipis dengan getah
berwarna kuning. Daun berbentuk elips dengan ukuran antara 12 x 6 sampai 19
x 8 cm, kedua ujung melancip, tipis seperti kertas. Tulang daun sekunder sejajar.
Bunga memiliki 4 sepal dan petal, bunga jantan membentuk kelompok kecil
terletak di belakang daun, mempunyai banyak benang sari, bunga betina terletak di
belakang daun, buahnya berbentuk seperti apel, berwarna merah dan banyak
mengandung air (Whitmore, 1973). Pohon, daun, dan kulit batang G. forbesii,
dapat dilihat pada Gambar 2.1.
2.1.2. Kegunaan tumbuhan Garcinia
Tumbuhan genus Garcinia telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di
berbagai tempat sebagai obat tradisional, seperti buah G. indica digunakan untuk
mengobati disentri (John, 1984) dan buah G. cola sebagai antiseptik (Iwu et al.,
1990). Di Cina dan Borneo, daun G. gaudichaudii digunakan untuk mengobati luka
(Wu et al., 2001). Di Indonesia dan Malaysia, buah maupun daun G. griffithii
banyak digunakan dalam pengobatan setelah melahirkan (Devehat et al., 2002). Di
Taiwan, G. mangostana banyak dimanfaatkan secara tradisional dalam pengobatan
5
Cina, untuk mengobati berbagai penyakit seperti disentri, diare, gonorhea, dan
penyakit kulit lainnya (Chiang et al., 2003). Buah G. xantochymus digunakan
untuk mengobati infeksi kulit, luka, diare, dan disentri. Kulit batang G. dulcis
digunakan sebagai obat antiinflammasi, jus buah sebagai ekspektoran, dan daun
serta biji digunakan sebagai obat limpatitis (Bagget et al., 2005; Deachathai et al.,
2005).
C
A B
Gambar 2.1. Pohon (A), daun (B), dan kulit batang (C) G. forbesii
6
Selain sebagai obat tradisional, genus Garcinia juga banyak dimanfaatkan untuk
penggunaan lain seperti; tumbuhan G. forbesii untuk rempah-rempah dan bahan
bangunan (Burkil, 1966), serta kayu G. celebica dimanfaatkan untuk bahan
bangunan (Heyne, 1987). Buah G. mangostana dan G. pedunculata dimanfaatkan
sebagai makanan (Maikhuri and Gangwar, 1993; Chairungslilerd et al., 1996),
sedangkan daun G. cowa digunakan untuk tonik (Ilham et al., 1995).
2.1.3. Kandungan kimia genus Garcinia
Laporan penelitian tentang kandungan senyawa kimia dari genus Garcinia
mengungkapkan berbagai senyawa kimia yang dimiliki oleh tumbuhaan ini
seperti golongan santon, depsidon, benzofenon, steroid, dan terpenoid (Ampofo
and Waterman, 1986; Mackeen et al., 2000).
2.1.3.1. Senyawa golongan santon
Santon merupakan senyawa metabolit sekunder yang umumnya terdapat pada
beberapa famili tumbuhan, fungi dan lumut. Pada tumbuhan tingkat tinggi, hampir
sebagian besar santon ditemukan pada dua famili yaitu Guttiferae dan
Gentianaceae. Santon teroksigenasi sederhana banyak terdapat pada kedua famili
tumbuhan tersebut. Tetapi untuk famili Guttiferae, kelompok senyawa yang
banyak ditemukan adalah santon terprenilasi. Inti santon berbentuk simetris, hal
ini berhubungan dengan jalur biogenetik dalam tumbuhan tinggi. Penomoran
karbon dilakukan menurut konvensi biosintesisnya, untuk karbon nomor 1-4,
berada pada cincin A yang berasal dari alur turunan asetat, dan karbon nomor
5-8 adalah untuk cincin B yang berasal dari alur sikimat (Bennett and Lee,1989,
Peres and Nagem, 1997).
7
O
O OH
HO O
O OH
HO
O
O OH
OH(6) (7) (8)
Senyawa santon dapat dikelompokkan atas santon teroksigenasi sederhana,
glikosida santon dan santon terprenilasi. Santon teroksigenasi sederhana dapat
dikelompokkan lagi berdasarkan tingkat oksigenasinya (Peres and Nagem, 1997).
Santon teroksigenasi sederhana, yang berada dalam bentuk monooksigenasi
santon, belum ditemukan pada genus Garcinia. Tetapi untuk bentuk dioksigenasi
santon, telah ada yang diisolasi dari genus Garcinia. Diantaranya adalah senyawa
1,6-dihidroksisanton (6) dari kulit batang G. vieillardii (Hay et al., 2004a), 1,7-
dihidroksisanton (7) yang diisolasi dari kulit batang G. griffithii (Dachriyanus et
al., 2004; Nilar et al., 2005), dan senyawa 1,5-dihidroksisanton (8) dari kulit
batang G. polyantha (Lannang et al., 2005).
Senyawa trioksigenasisanton banyak ditemukan pada genus Garcinia. Pola
oksigenasinya kebanyakan adalah 1,5,8-, 1,4,7-, dan 2,3,5-. Beberapa
senyawa trioksigenasi santon yang telah diisolasi tersebut adalah seperti yang
dilaporkan Iinuma et al. (1995) yaitu 1,5-dihidroksi-3-metoksisanton (9) dan
1,4,5-trihidroksisanton (10) dari kulit akar G. subelliptica, seterusnya
ditemukan pula senyawa 1,7-dihidroksi-3-metoksisanton (11) dari G.
eugenifolia dan 6-deoksisojakareubin (12) dari G. livingstonei (Peresand
Nagem, 1997). Kemudian 1,3,5-trihidroksisanton (13) diperoleh dari G.
smeathmannii (Komguem et al., 2005).
8
O
O
OO
OH
OH
O
O
OCH3O
OH
OH(17) (18)
O
O OH
OH
OCH3O
O OH
OH OH
O
O OH
OCH3
HO
(9) (10) (11)
O
O OH
OCH3
HO O OH
OH
OHO
(12) (13)
O
O
OH
OH
OCH3
H3CO O
O
OH
OH
O
O OH
HO
OHHOOHHO
(14) (15) (16)
Bentuk tetraoksigenasi santon pertama kali diperoleh dari genus
Haploclathra. Dari tiga spesiesnya didapatkan 17 senyawa santon yang
berbeda, termasuk pola 1,3,5,6- dan 1,3,7,8- tetraoksigenasi santon.
Sementara pola yang berbeda diperoleh dari genus Garcinia yaitu 2,5-
dihidroksi-1,6-dimetoksisanton (14) diisolasi dari G. thwaitesii (Gunatilaka et
al., 1983), kemudian 1,3,5,6-tetrahidroksisanton (15) dan 1,3,6,7-
tetrahidroksisanton (16) diperoleh dari kulit batang G. griffithiii (Nilar et al.,
2005). Selanjutnya senyawa piranojakareubin (17) dan forbesanton (18)
diperoleh Harrison et al. (1993) dari G. forbesii.
9
O
OH
OCH3
OCH3
OCH3
H3CO
O
(19)
Pola oksigenasi santon berikutnya yaitu pentaoksigenasisanton. Bentuk ini
jarang ditemukan pada famili Guttiferae, tetapi banyak terdapat pada famili
Gentianaceae. Senyawa pentaoksigenasi santon yang telah dilaporkan pada
famili Guttiferae terutama dari genus Garcinia yaitu dulcissanton (19) dari
bunga G. dulcis (Deachathai et al., 2005).
Senyawa santon dengan pola santon teralkilasi pada famili Guttiferae
biasanya dalam bentuk subsitusi mono atau di-C5. Bentuk gugus C5 yang
tersubsitusi umumnya adalah 3-metilbut-2-enil atau 1,1-dimetilprop-2-enil,
dan sering juga terjadi siklisasi dengan orto hidroksil sehingga membentuk
senyawa 2,2-dimetilpiran (dihidropiran). Kadang-kadang terjadi hidroksilasi
atau hidrasi pada rantai samping. Subsituen C10 lazimnya berupa gabungan
dua prenil membentuk geranil atau lavandulil. Pola oksigenasi santon
teralkilasi kurang bervariasi dibandingkan dengan senyawa tanpa alkilasi.
Empat pola yang banyak terjadi, yaitu 1,3,5-, 1,3,7-, 1,3,5,6-, dan 1,3,6,7- di-
dan pentaoksigenasi (Bennet and Lee, 1989).
Bentuk trioksigenasisanton mono-C5 banyak diisolasi dari genus Garcinia.
Senyawa 1,3,7-trimetoksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon (20), 1-hidroksi-3,7-
dimetoksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon (21), 1,7-dihidroksi-3-metoksi-2-(3-
metilbut-2-enil)santon (22), 1,5-dihidroksi-3-metoksi-2-(3-metilbut-2-
10
O
OCH3
OCH3
O
H3CO
O
OH
OCH3
O
H3CO
(20) (21)
O
OH
OCH3
O
HO
O
OH
OCH3
O
OH
O
OH
OCH3
O
OCH3(22) (23) (24)
O
OCH3
OCH3
O
OCH3
(25)
O
HO
OH
OH
O
O
O OH
OH
OH
(26) (27)
enil)santon (23), 1-hidroksi-3,5-dimetoksi-2-(3-metilbut-2-enil)-santon (24)
dan 1,3,5-trimetoksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon (25) telah diisolasi dari kulit
buah G. mangostana (Sen et al., 1983). Harrison et al. (1993) melaporkan pula
adanya senyawa 1,3,7-trihidroksi-2-(3-metilbut-2-enil)-santon (26) dari
cabang G. forbesii dan senyawa 1,4,8-trihidroksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon
(27) didapatkan dari kulit batang G. polyantha (Lannang et al., 2005).
Pola selanjutnya adalah kelompok senyawa trioksigenasisanton di-C5.
Jenis senyawa ini antara lain diperoleh dari G. quadrifaria, yaitu senyawa
1,3,5-trihidroksi-4,8-di(3-metilbut-2-enil) santon (28). Kemudian didapatkan
juga senyawa garsinon A (29) dan 6-deoksi-γ-mangostin (30) yang diisolasi
dari G. mangostana (Bennett and Lee, 1989). Diserens et al. (1992)
mendapatkan senyawa 1,3,5-trihidroksi-4-(3,7-dimetiloktan-2,6-dienil)santon
11
O
OH
OH
O
OH
O
OH
OHHO
O
O
OH
OH
O
HO
(28) (29) (30)
O
O OH
OH
OH O
OH
OHOH
O
O
OCH3
OCH3OCH3
O
(31) (32) (33)
O
OHO
OH OH
O
OHO
OH
OH
(34) (35)
(31) dari kulit akar G. livingstonei. Selanjutnya Minami et al. (1994)
melaporkan tiga senyawa yang diisolasi dari G. subelliptica yaitu 1,4,5-
trihidroksi-3,6-di(3-metilbut-2-enil)santon (32) dan 1,4,5-trimetoksi-3,6-di(3-
metilbut-2-enil)santon (33), dan garsiniasanton (34). Kemudian Nguyen dan
Harrison (2000) memperoleh pula senyawa subelliptinon B (35) dari G.
vilersiana.
Senyawa jenis tetraoksigenasisanton mono-C5 yang telah diisolasi adalah
senyawa 1,5,8-trihidroksi-3-metoksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon (36) dari G.
mangostana (Bennet and Lee, 1989), 1,2,6-trihidroksi-5-metoksi-7-(3-
metilbut-2-enil)santon (37) dari G. xanthocymus (Chanmahasathien et al.,
2003a), dan kowasanton (38) dari buah G. cowa (Panthong et al., 2006).
12
O
O OH
OCH3
OH
OH
O
O OH
OCH3
OH
HO O
OH
OCH3HO
O
OCH3(36) (37) (38)
O
CH3H3C
O
O
H3CCH3
OH
OH
CH3
H3C
O
O
O OH
HO
H3CO
O O
O OH
OHHO
H3CO
(39) (40) (41)
Pada genus Garcinia dijumpai pula pola tetraoksigenasisanton di-C5.
Beberapa penelitian tentang jenis senyawa ini antara lain; forbesion (39)
dari G. forbesii (Wah et al., 1996), 5,9-dihidroksi-8-metoksi-2,2,-dimetil-7-
(3-metilbut-2-enil)2H,6H-piran[3,2-b]santen-6-on (40) dari G. cowa
(Dachriyanus, 2001a), α-mangostin (41) dari G. parvifolia (Dachriyanus et al.,
2001b), fuskasanton C (42) dan 1,3,6-trihidroksi-2,8-di(3-metilbut-2-enil)-7-
metoksisanton (43) dari G. fusca (Ito et al., 2003), dan 2,8-di(3-metilbut-2-
enil)-7-karboksi-1,3,-dihidroksisanton (44) dari G. mangostana
(Gopalakrishnan and Balaganesan, 2000).
Selanjutnya 1-hidroksi-8-(2-hidroksi-3-metilbut-3-enil)-3,6,7-trimetoksi-2-
(3-metilbut-2-enil)santon (45), 1,6-dihidroksi-8-(2-hidroksi-3-metilbut-3-
enil)-3,7-dimetoksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon (46), dan 1,6-dihidroksi-2-(2-
hidroksi-3-metilbut-3-enil)-3,7-dimetoksi-8-(3-metilbut-2-enil)santon (47)
ditemukan dari hati kayu G. mangostana (Nilar and Harrison, 2002),
rubrasanton (48) dari G. cowa (Wahyuni et al., 2004) dan G. parvifolia
(Kardono et al., 2006).
13
O
O OH
OCH3H3CO
H3CO
O
O OH
OHHO
H3CO
O
O OH
OH
HOOC
(42) (43) (44)
O
OH
OCH3H3CO
OHO
H3CO
O
OH
OCH3HO
OHO
H3CO
(45) (46)
O
OH
OCH3HO
O
H3CO
OHO
H3CO
HO
OH
OH
O
(47) (48)
Tetraoksigenasisanton tri-C5 juga merupakan golongan santon teralkilasi,
senyawa dengan pola ini antara lain ialah nervosanton (49) dari G.
nervosa (Bennett and Lee, 1989) dan 7-O-metilgarsinon E (50) dari batang G.
cowa (Likhitwitayawuid et al., 1997). Senyawa gaundikaudion E (51) dan
asam gaundikaudik A (52) ditemukan dari daun G. gaundichaudii (Cao et al.,
1998). Selanjutnya Ito et al. (2003a) memperoleh senyawa 1,3,5-trihidroksi-
2,5-8-tri(3-metilbut-2-enil)-7-metoksisanton (53) dari G. fusca, sedangkan
14
O
O OH
OHHO
OH
O
O
OH
OH
HO
O
(55) (56)
O
O
O O
HOH
OHO
O
O OH
OHHO
H3CO
O
O OH
OHHO
OH
CHO
(53) (54)(52)
O
O
O O
HOH
OHO
CHO
(51)
O OH
OHO OH
OH
O OH
OHO OH
H3CO
(49) (50)
senyawa 1,3,5,6-tetrahidroksi-4,7,8-tri(3-metilbut-2-enil)santon (54)
dari kayu G. xanthocymus (Chanmahasathien et al., 2003b), dan kemudian
Chiang et al. (2003) memperoleh garsinianon A (55) dan B (56) dari batang G.
multiflora.
Selain tipe-tipe santon yang telah disebutkan sebelumnya, ada pula
senyawa santon yang dikelompokkan atas santon yang lebih komplek, seperti
senyawa griffipavisanton (57) dari kulit G. griffithii dan G. parvifolia (Xu
et al., 1998). Begitu pula dari daun G. bracteata, Thoison et al. (2000)
memperoleh enam senyawa santon yang terprenilasi yaitu, braktatin (58),
15
O
O
OO
OH
OH
HO
OH
OH
HO
OH
OH
O
OOH
HO O OO
OOH
O OO
(58)(57) (59)
O
OOCH3
HO O OO
OOCH3
O OO O
OOCH3
O OHO
HOCH3
O
OOCH3
HO
O
O
(60) (61) (62) (63)
O
OH
OH
O
OH
GlyO
(64)
Isobraktin (59), 1-O-metilbraktatin (60), 1-O-metilisobraktatin (61), 1-O-
metil-8-metoksi-8,8a-dihidrobraktatin (62), dan 1-O-metilneobraktatin (63).
Jenis santon glikosida merupakan pola santon yang juga ditemukan pada
Guttiferae. Bentuk santon glikosida ini ada dua yaitu O- dan C-glikosilsanton,
tetapi untuk Guttiferae hanya ditemukan dalam bentuk glikosilsanton, hanya
pada famili Gentianaceae, kedua bentuk ini ditemukan. Dari genus Garcinia,
glikosida santon yang diperoleh yaitu 1,3,6,7-tetrahidroksi-O-glikosilsanton
(64) dari G. mangostana (Bennet and Lee, 1989).
16
O
OOH
OH
H3COHO
HOO
O
OOH
OH
H3COHO
HOO
O
OOH
OH
H3COHO
HOO
HO
(65) (66) (67)
O
OOH
OHHO
HOO
O
O
O
OOH
HO
H3CO
O
O
O
OOH
O
HO(68) (69) (70)
O
O
OOH
O
O
HOO
O
OH
OOH
O
HO
O
O
OH
OOH
HOOCH3
(71) (72) (73)
2.1.3.2. Senyawa golongan depsidon
Depsidon merupakan jenis senyawa yang mempunyai jembatan eter antara
dua cincin aromatik yang berdampingan dalam molekul depsida
(Manitto, 1992). Jenis senyawa ini telah ada yang ditemukan pada genus
Garcinia, seperti garsidepsidon A (65), B (66), C (67), dan D (68) dari daun
G. parvifolia (Xu et al., 2000), senyawa garsinisidon B (69), C (70), D (71), E
(72) dan F (73) dari daun G. neglecta dan G. puat (Ito et al., 2001). Permana
et al. (2001) melaporkan juga isolasi senyawa depsidon dari akar G.
atroviridis yaitu senyawa atrovirisidon (74), berikutnya dilaporkan pula
isolasi senyawa depsidon yaitu garsinisidon A (3) dari kulit batang G. assigu
(Ito et al., 1997).
17
O
O
OH
H3COHO
HOO
O
O
H3CO
OH
OHO
HO
(74) (3)
HO
OH
OH
HO
O
HO
OCH3
OCH3
HO
OOH
(78) (79)
HO
OCH3
OCH3HO
H3CO
O
HO
OCH3
OHHO
HO
O
HO
OH
OHHO
HO
O
(75) (76) (77)
2.1.3.3. Senyawa golongan benzofenon
Senyawa benzofenon merupakan kelompok senyawa yang menarik karena
mempunyai hubungan biosintesis dengan senyawa santon. Golongan benzofenon
ini dapat dikelompokkan atas benzofenon teroksigenasi dan benzofenon terprenilasi
(Bennett and Lee, 1989).
Benzofenon teroksigenasi telah banyak dilaporkan dari genus Garcinia, seperti
senyawa 4’,6-dihidroksi-2,3’,4-trimetoksibenzofenon (75) dan 2’,3’,6-trihidroksi-
2,4-dimetoksibenzofenon (76) dari kayu G. subelliptica (Minami et al., 1994;
Minami et al., 1998), 4,6,3’,4’-tetrahidroksi-2-metoksibenzofenon (77), maklurin
(78), dan 2,4,6,3’-tetrahidroksibenzofenon (79) dari batang G. multiflora (Chiang et
al., 2003).
18
HO
O
H
H
O
O
HO
O OH
OH
O
H
O
OH
HO O
OHO
(83) (84) (85)
O
O
OCH3
HO
O
OH
HO
OHOH
HO O
O OH
OH
HO O
(80) (81) (82)
Pola benzofenon yang biasa ditemui pada genus Garcinia yaitu benzofenon
terprenilasi. Beberapa laporan penelitian tentang isolasi senyawa ini adalah
dari Spino et al. (1995) yang memperoleh senyawa mirtiafenon-B atau 6-hidroksi-
2,4-dimetoksi-3,5-bis(3-metil-2-butenil)benzofenon (80). Yamaguchi et al. (2000)
memperoleh senyawa poliisoprenil benzofenon yaitu senyawa garsinol (81),
sedangkan guttiferon I (82) ditemukan dari kulit batang G. griffithii (Nilar
et al., 2005), lagi pula garsinielipton FA (83) dan FB (84) dari perikap G.
subelliptica (Wu et al., 2005). Selanjutnya senyawa guttiferon H (85),
gambogenon (86), aristofenon A (87), santosimol (88), guttiferon E (89),
siklosantosimol (90), dan isosantosimol (91) diisolasi dari buah G.
xanthochymus (Baggett et al., 2005). Kemudian diisolasi pula senyawa
serofenon C (92) dari daun dan batang G. bracteata (Thoison et al., 2005).
19
O
OH
HO O
OHO
O
OH
HO O
OHO
HO
OH
HO
O O
O
(86) (87) (88)
O
OH
HO O
OHO
O
OH
HO O
OO
(89) (90)
O
OH
HO O
OO
O
OH O
OH
O
(91) (92)
2.1.3.4. Senyawa steroid dan terpenoid
Kelompok senyawa kimia lain yang juga terdapat pada genus Garcinia adalah
golongan steroid dan terpenoid, yang merupakan senyawa minor pada genus
Garcinia. Golongan steroid yang telah diisolasi dari kulit batang G. speciosa
telah dilaporkan oleh Vieira et al. (2004) yaitu metil(24E)-3α,23α(=R)-
dihidroksi-17,14-friedelanostan-8,14,24-trien-26-oat (93), metil(24E)-3α,16α-
23α(=6R,23R)-epoksi-7,4-friedolan-8,14,24-trien-26-oat (94), metil(24E)-3α,23α-
dihidroksi-8α,9α-epoksi-15-okso-17,14-friedolanostan-24-en-26-oat (95),
20
CH3
OCH3
OH
HO
O
CH3
OCH3
HO
O
O CH3
OCH3
OH
HO
O
O
O
(93) (94) (95)
CH3
OCH3
OH
HO
O
O
OH
O
OH
HO
OOCH3
O
OH
HO
O
(96) (97) (98)
OH
O
OHO
H
O
H
O
HO
CH3
OH
HO
(99) (100) (101)
O
HOH
H
H
HO
H
H
H
H
HO
(102) (103) (104)
metil(24E)-3α,23α-dihidroksi-15-okso-17,15-friedolanostan-8(14),24-dien-26-oat
(96), asam (25R)-3β-hidroksi-23-okso-9,16-lanostadien-26-oat (97), metil(25R)-
3β-hidroksi-23-okso-9,16-lanostandien-26-oat (98), asam (25R)-3α-hidroksi-23-
okso-9,16-lanostandien-26-oat (99), 3β,9α-dihidroksilanost-24-en-26-ol (100), dan
β-sitosterol (101).
Senyawa golongan terpenoid yang diisolasi dari genus Garcinia antara lain
adalah senyawa triterpen 3β-hidroksi-26-nor-9,19-siklolanost-23-en-25-on (102)
yang diisolasi dari daun G. mangostana (Parveen et al., 1991), lupeol (103) dan β-
amirin (104) diisolasi oleh Nguyen dan Harrison (2000) dari kulit G. vilersiana.
21
COOH COOH HO COOH
Jalur sikimat Jalur asetatmalonat
3 x malonil
Co A
HO
O OH
OH
HO
O
O OH
OH
HO
O
OO
OH
OH
HO
BenzofenonSantonDepsidon
2.1.4. Biosintesis senyawa santon dan depsidon
Biosintesis senyawa golongan santon dan depsidon mempunyai kaitan yang
erat. Santon diusulkan dari prekursor benzofenon yang terbentuk dari
penggabungan dua jalur yaitu jalur shikimat melalui meta hidroksi benzoat dan
jalur asetat malonat menggunakan tiga unit malonil Co A. Biosintesis benzofenon
sendiri diusulkan dari poliketida yang umumnya untuk yang berasal dari
mikroorganisme. Biosintesis depsidon juga berasal dari jalur poliketida. Dengan
demikian terdapat kaitan yang erat antara santon dan depsidon melaui prekursor
benzofenon (Manitto, 1992). Skema alur biosintesis santon dan depsidon dapat
dilihat pada Gambar 2.2.
22
Gambar 2.2. Biosintesis santon dan depsidon
Usulan penggunaan meta hidroksi benzoat ternyata kurang tepat untuk
prekursor para hidroksi santon, sehingga diusulkan 2,3’,4,4’,6-
pentahidroksibenzofenon (maklurin) sebagai prekursor santon yang umum.
Kopling oksidatif dari benzofenon dapat memberikan 1,3,5- dan 1,3,7-
trihidroksisanton, dan maklurin yang dibentuk melalui 4’-hidroksilasi dari
senyawa benzofenon yang menghasilkan 1,3,5,6- dan 1,3,6,7-
tetrahidroksisanton.
Sebagai alternatif untuk melihat bahwa santon dibentuk oleh benzofenon,
maka diusulkan bahwa pola oksigenasi santon merupakan modifikasi setelah
pembentukan awal santon dari benzofenon maklurin. Turunan maklurin
1,3,5,6- dan 1,3,6,7-tetraoksigenasi santon mengarahkan pada semua pola
oksigenasi, berturut-turut dengan oksidasi dan atau reduksi. Sebagai contoh,
reduksi posisi 6 dari santon menghasilkan 1,3,5- dan 1,3,7-trioksigenasi
santon. Studi biosintesis secara lebih mendalam memperlihatkan bahwa 1,3,5-
dan 1,3,7-trioksigenasi santon, sesuai untuk posisi santon dasar yang dibentuk
melalui kopling oksidatif langsung benzofenon dengan tiga tahap melalui
maklurin. Sebagai alternatif, 1,3,5,6- dan 1,3,6,7-tetraoksigenasisanton,
dibentuk melalui oksigenasi posisi 6 dari 1,3,5- dan 1,3,7-trioksigenasisanton.
23
HO
O
HO
OH
OH
O
O
HO
OH
OHO
O OH
OH
OH
HO
O
HO
OH
OH
O
O
HO
OH
OHO
O OH
OH
HO
HO
OH
1,3,5-trihidroksisanton (13) 1,3,7-trihidroksisanton
maklurin (77)
HO
1,3,6,7-tetrahidroksisanton (16)1,3,5,6-tetrahidroksisanton (15)
Alur biosintesis santon dengan maklurin sebagai prekursor disajikan pada
Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Alur biosintesis santon dengan prekursor maklurin
2.1.5. Pemisahan dan Pemurnian Senyawa dari G. forbesii
Dari tumbuhan G. forbesii, pada bagian rantingnya Harrison et al. (1993) telah
memperoleh tiga senyawa dari golongan santon yaitu 1,3,7-trihidroksi-2-(3-
metilbut-2-enil)santon, piranojakareubin, dan forbesanton.
Senyawa tersebut diperoleh dari ekstrak metanol yang disolvasi dengan etil
asetat dan dicuci dengan air, larutan organiknya selanjutnya dipisahkan dengan
kromatografi vakum cair (KVC) dengan eluen etil asetat - n-heksan secara
bergradien. Bagian yang kurang polar dimurnikan dengan KLT preparatif (EtOAc
– n-heksan, 1:19, silika gel) dan HPLC (ODS, Me2CO – H2O, 3:1) menghasilkan
24
piranojakareubin dan forbesanton. Bagian yang polar dipisahkan dengan KVC dan
dimurnikan juga melalui KVC (EtOAc – n-heksan) menghasilkan senyawa 1,3,7-
trihidroksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon.
2.1.6. Senyawa Sitotoksik dari genus Garcinia
Senyawa sitotoksik dari genus Garcinia ini cukup banyak ditemukan,
antara lain dari golongan santon yaitu dari ekstrak daun G. gaundichaudii
didapatkan senyawa gaundikaudion E (51) disamping asam gaundikaudik A
(52) yang aktif terhadap sel P-388, WEHI 1460, MOLT4, HePG2 dan LL/2
dengan ED50 berkisar dari 0,5 – 8 µg/mL (Cao et al., 1998). Selain itu
dari G. griffithii juga dilaporkan adanya senyawa griffipavisanton (57) yang
toksik terhadap sel kanker P-388, LL/2 dan WEHI164, dengan nilai ED50
berturut-turut adalah 3,40; 6,80; dan 4,60 µg/mL (Xu et al., 1998).
Selanjutnya Thoison et al. (2000) melaporkan pula enam buah senyawa
santon terprenilasi dari G. bracteata yaitu braktatin (58), isobraktatin (59), 1-
O-metilbraktatin (60), 1-O-metilisobraktatin (61), 1-O-metil-8-metoksi-8,8a-
dihidrobraktatin (62), dan 1-O-metilneobraktatin (63), yang mempunyai
aktivitas sitotoksik terhadap sel KB, dengan nilai IC50 masing-masing adalah
0,4; 1,5; 0,3; 0,8; 1,5; dan 0,2 μg/mL. Dari kulit batang G. multiflora diisolasi
dua senyawa sitotoksik yaitu garsinianon A (55) dan garsinianon B (56) yang
memiliki LD50 7,7 dan 25,8 µM terhadap uji BSLT (Chiang et al., 2003).
Senyawa 1,7-dihidroksisanton (7) yang diisolasi dari G. griffitii juga
memperlihatkan toksisitasnya terhadap sel kanker payudara (MCF-7) dengan
nilai IC50 8,45 µg/mL (Dachriyanus et al.,2004).
25
Dari golongan depsidon juga diperoleh senyawa yang bersifat toksik,
seperti dilaporkan oleh Xu et al. (2000) yang mendapatkan tiga senyawa
sitotoksik golongan depsidon dari daun G. parvifolia, yaitu garsidepsidon A
(65), garsidepsidon B (66), dan garsidepsidon C (67). Ketiga senyawa
tersebut aktif terhadap sel kanker P-388, dengan ED50 berturut–turut 2,36;
2,42; dan 3,20 µg/mL. Dari ekstrak daun G. neglecta dan G. puat diperoleh
empat senyawa yaitu garsinisidon B (69), garsinisidon C (70), garsinisidon D
(71), dan garsinisidon E (72), dan keempat senyawa tersebut memiliki
aktivitas sitotoksik terhadap sel raji (Ito et al., 2001).
Wu et al. (2005) melaporkan adanya senyawa benzofenon dari tumbuhan
G. subelliptica yaitu garsiniellipton FB (84), yang toksik terhadap sel MCF-7,
Hep-3B dan HT-29, nilai IC50 masing-masing adalah 6,8; 6,3; dan 11,2
µg/mL. Selanjutnya Bagget et al., (2005) juga telah mengisolasi senyawa
golongan benzofenon dari G. xanthocymus yaitu guttiferon H (85) dan
gambogenon (86). Kedua senyawa ini memperlihatkan toksisitas terhadap
sel SW-480.
2.1.7. Sitotoksik dan Metode Ujinya
2.1.7.1. Sitotoksik
Dalam penelitian untuk mencari senyawa antikanker/antitumor, dikenal tiga
istilah yaitu sitotoksik, antitumor, dan antikanker. Masing-masing mempunyai
pengertian yang berbeda, sitotoksik diartikan toksik terhadap sel. Pada pengertian
ini berlaku untuk sel normal ataupun sel kanker. Sementara pengertian toksik
sendiri menurut Gossel dan Bricker (1990) dapat diartikan berbahaya bagi makhluk
26
hidup, sehingga suatu senyawa kimia dikatakan toksik apabila dapat menimbulkan
efek kerusakan pada organisme hidup.
Sitotoksik dikelompokkan menjadi :
a. Sitostatik yaitu aktivitas yang dapat menghentikan pertumbuhan sel.
Aktivitas ini biasanya bersifat reversibel,
b. Sitosidal, merupakan aktivitas yang membunuh sel.
Menurut NCI sitotoksik adalah toksisitas secara in vitro terhadap sel tumor,
sedangkan antitumor dan antineoplastik harus secara in vivo (Collegate and
Molyneux, 1993). Istilah antitumor adalah material termasuk senyawa yang
memiliki efek melawan suatu model tumor pada tingkat uji in vivo, dan antikanker
adalah yang sudah menunjukkan aktivitasnya secara efektif di dalam klinik, artinya
harus sudah melalui uji klinik dengan manusia (Suganda, 1999). Sitotoksik
merupakan aktivitas yang sangat erat kaitannya dengan aktivitas antineoplasma,
baik antitumor maupun antikanker. Karena setiap senyawa uji yang memiliki
aktivitas antineoplasma memperlihatkan respon positif dalam pengujian yang
dilakukan terhadap sel dalam biakan.
Penelitian sitotoksik suatu senyawa ini berguna sebagai penelitian pendahuluan
dalam pencarian senyawa antitumor dari bahan alam hayati. Senyawa-senyawa
yang lolos pada penapisan akan dapat dilanjutkan pengujiannya terhadap sel kanker
yang lebih spesifik. Untuk mengetahui apakah suatu senyawa tersebut berpotensi
sebagai senyawa sitotoksik, diukur dari kekuatan sitotoksiknya berdasarkan nilai
ED50 atau IC50. Menurut NCI nilai ED50 yaitu konsentrasi yang dibutuhkan untuk
menghambat pertumbuhan sel sebesar 50%. Sedangkan IC50 yaitu zat dalam
27
medium yang dapat menghambat pertumbuhan sel sebesar 50% selama masa
inkubasi 48 jam (Sumatra, 1998).
2.1.7.2. Metode uji sitotoksik
Pengujian sitotoksik dapat dilakukan dengan berbagai metode uji seperti
berikut :
1) Metode SRB (Sulforhodamin B) dikembangkan oleh National Cancer Institute
T47D (Skehan et al., 1990; Chai and Pezzuto, 1997). Metode ini
menggunakan sistim pewarnaan dengan SRB, dan selanjutnya intensitas warna
yang dihasilkan diukur dengan menggunakan ELISA plate reader pada panjang
gelombang 515 nm. Persen viabilitas dihitung dengan cara sebagai berikut:
Persen viabilitas dihitung sebagai berikut :
A1 – A0
x 100 = % viabilitas
A2 – A0
Selanjutnya % inhibisi dapat dihitung sebagai berikut:
1 - % viabilitas = % inhibisi
Keterangan:
A0 = absorban blanko
A1 = absorban sampel
A2 = absorban kontrol Sedangkan IC50 dapat dihitung dengan cara analisis regresi linear antara persen
viabilitas dan konsentrasi. Metode SRB ini mepunyai kelebihan dari metode uji
lain karena lebih sensitif dan cepat (Skehan et al., 1990).
2) Microculture Tetrazolium (MTT assay). Pada metode ini digunakan reagen
berupa garam tetrazolium, yaitu 3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium
bromida atau disebut juga dengan reagen MTT. Pengujian ini berdasarkan
28
kemampuan enzim reduktase mitokondria dehidrogenase yang dihasilkan oleh
sel aktif untuk mengubah larutan garam tetrazolium menjadi suatu produk
formazan yang tidak larut dalam air (Mosman, 1993; Scudiero et al., 1988).
3) XTT assay
Metode ini sama dengan metode MTT assay tetapi pereaksi yang digunakan
adalah Natrium 3’-[1-[(fenilamino)-karbonil]-3,4-tetrazolium]-bis(4-metoksi-6-
nitro)benzen-asam sulfonat hidrat. yang menghasilkan produk formazan yang
larut dalam air (Roehm et al., 1991).
3) Metode tripan biru
Metode ini dilakukan dengan cara mensuspensikan sel dalam larutan tripan
biru, kemudian dihitung dengan menggunakan haemocytometer. Sel yang
aktif/hidup akan terlihat bersinar dan sel yang mati berwarna biru gelap jika
diamati di bawah mikroskop (Shier., 1991).
2.2. Kerangka Pemikiran
Tumbuhan genus Garcinia merupakan tumbuhan yang kaya dengan kandungan
metabolit sekunder seperti santon, flavonoid , benzofenon, lakton, depsidon, dan
asam fenolat Kandungan metabolit sekunder dari genus ini memiliki beragam
aktivitas biologis, salah satunya adalah sitotoksik. Penelitian yang mengarah
kepada pencarian senyawa sitotoksik dari tumbuhan genus ini memperlihatkan
bahwa senyawa yang dihasilkan dari genus ini banyak yang bersifat sitotoksik
antara lain terhadap sel kanker P 388 (sel kanker murin leukemia), MCF 7
(sel kanker payudara), sel WEHI 1460, MOLT4, HePG2 dan LL/2. Senyawa-
senyawa yang bersifat sitotoksik dari genus Garcinia ini tersebut umumnya
29
adalah yang mempunyai gugus hidroksil dan prenil. Bentuk struktur molekul
tersebut merupakan senyawa yang banyak ditemukan pada genus ini. Hal ini
menunjukkan bahwa genus Garcinia menpunyai potensi besar menghasilkan
senyawa sitotoksik.
Sebagai salah satu spesies dari genus Garcinia, maka tumbuhan G.
forbesii juga mempunyai potensi untuk diteliti kandungan kimia dan
bioaktivitasnya. Peluang ini didasarkan atas adanya hubungan kemotaksonomi
serta pembuktian toksisitas melaui uji pendahuluan dengan BSLT, maka
pencarian senyawa sitotoksik dari kulit batang dan kayu G. forbesii menarik
untuk dilakukan.
2.3. Hipotesis
Berdasarkan uraian sebelumnya, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah :
1) Dalam ekstrak kulit batang dan kayu G. forbesii terdapat senyawa
sitotoksik.
2) Tingkat aktivitas sitotoksik dipengaruhi oleh adanya gugus hidroksil dan
prenil dari senyawa uji.
3) Senyawa sitotoksik tersebut menunjukkan tingkat keaktifan yang berbeda
terhadap sel kanker.
30
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dimulai sejak bulan April 2006 sampai sekarang. Pelaksanaan
penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian Jurusan Kimia FMIPA Unpad.
Sebagian penelitian juga dilakukan di Laboratorium penelitian Jurusan Farmasi
Unand. Pengukuran spektroskopi dilakukan di Unpad, ITB. UPI, dan LIPI
Serpong.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan alam dan berbagai
bahan kimia. Bahan alam berupa kulit batang dan kayu G. forbesii. Bahan
kimia yang digunakan terdiri dari berbagai pelarut organik (n-heksan, etil asetat,
dan metanol), Si gel 60 GF254 (Merck), Si gel 60G (70-230 Mesh) (Merck), plat
KLT Kiesel gel 60 F254 0,25 mm 20x20 cm, dan reagen penampak noda. Bahan
untuk uji sitotoksik terdiri dari larva udang A. salina, sel kanker payudara T47D,
dan dulbecco’s modified eagle medium (DMEM), DMSO, larutan NaCl 2%,
larutan PBS (bufer fosfat salin), larutan tripsin-EDTA, SRB (sulforhodamin B),
TCA (asam trikloro asetat), larutan basa tris, dan asam asetat.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah berbagai alat gelas yang
umum dipakai di Laboratorium Kimia Organik, dan alat penunjang lainnya seperti
rotary evaporator, berbagai kolom kromatografi, spektrofotometer UV-Beckman
DU-700 , spektrometer NMR JEOL JNM ECA-500 yang bekerja pada 500 MHz
31
(1H) dan 125 MHz (13C), spektrofotometer Shimadzu FTIR 8400, Fisher-John
Melting Point Apparatus, dan peralatan uji sitotoksik (pipet mikro, gelas ukur,
inkubator, dan ELISA plate reader).
3.3. Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan menggunakan metode eksperimen laboratorium. Tahapan
kerja terdiri atas persiapan sampel, ekstraksi bertingkat, isolasi, uji aktivitas dan
karakterisasi struktur senyawa. Skema penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
3.3.1. Pengambilan sampel
Sampel yang diambil adalah bagian kulit batang dan kayu tumbuhan G.
forbesii. Tumbuhan G. forbesii yang dipilih adalah yang sehat dan sudah
mengalami fase generatif. Tempat pengambilan sampel di daerah Sarasah Bonta,
Lembah Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Waktu pengambilan
pada bulan April 2006, pada musim hujan. Determinasi tumbuhan dilakukan di
Herbarium Universitas Andalas (ANDA) dan spesimennya juga disimpan di
Herbarium tersebut.
3.3.2. Persiapan sampel
Kulit batang dan kayu G. forbesii segar, masing-masing sebanyak 4 kg dan 3 kg,
dibersihkan, dan dipotong tipis, kemudian dikeringkan pada suhu kamar di ruangan
terbuka yang tidak terkena langsung cahaya matahari sampai berat sampel konstan.
Berat sampel kering yang diperoleh yaitu 2 kg (kulit batang G. forbesii) dan 1,7
kg (kayu G. forbesii). Selanjutnya masing-masing sampel digiling halus (100
mesh).
32
penghalusan, maserasi dengan n-heksan
penyaringan dan pemekatan
maserasi dengan etil asetat
penyaringan dan pemekatan
maserasi dengan MeOH
penyaringan dan
pemekatan
uji toksisitas dengan metode BSLT
kolom kromatografi vakum cair (KVC)
kromatografi lapis tipis (KLT)
-
kolom kromatografi gravitasi (KKG)
uji sitotoksik terhadap sel kanker
analisis spektroskopi
Gambar 3.1. Prosedur penelitian
Kulit batang/ kayu G. forbesii
Ekstrak pekat
n-Heksana
Ampas
Ekstrak pekat
Etil asetat Ampas
Ekstrak pekat
MeOH Ampas
Fraksi - fraksi
Senyawa x
isolat murni
33
3.3.3. Ekstraksi kulit batang dan kayu G. forbesii
Serbuk kulit batang dan kayu diekstraksi secara bertingkat berdasarkan tingkat
kepolaran yaitu menggunakan pelarut n-heksan (non polar), etil asetat
(semipolar), dan metanol (polar). Sebagai orientasi juga telah dilakukan ekstraksi
dengan diklorometan, ternyata pemisahan yang dilakukan dari ekstrak
diklorometan tersebut kurang baik, sehingga untuk ekstraksi dengan pelarut
semipolar dipilih pelarut etil asetat.
Selanjutnya tahap-tahap pengerjaan ekstraksi bertingkat yaitu dengan
mengekstraksi serbuk kulit batang dan kayu G. forbesii, masing-masing
dimaserasi berturut- turut dengan n-heksan, etil asetat, dan metanol, masing-
masing diulang 3 x 5 L (@ 3 hari), menghasilkan ekstrak n-heksan, etil asetat, dan
metanol. Masing-masing ekstrak dipekatkan in vacuo dan sebagai orientasi diuji
toksisitasnya dengan metoda BSLT dengan bioindikator larva udang A. salina.
Selanjutnya terhadap ekstrak dilakukan pemisahan dan pemurnian dengan
menggunakan teknik kromatografi kolom. Terhadap senyawa murni diuji aktivitas
sitotoksiknya menggunakan sel kanker payudara T47D.
3.3.4. Pemisahan dan pemurnian ekstrak metanol kulit batang G. forbesii
Ekstrak metanol kulit batang G. forbesii (30 gram) dipreadsorbsi dan
dimasukkan dalam kolom kromatografi vakum (θ 6 x 20 cm), dielusi dengan eluen
bergradien campuran n-heksan- etil asetat (9:1 sampai dengan 2:8) masing-masing
sebanyak 200 mL. Eluen ditampung dalam botol (± 200 mL), masing-masing
eluat di analisis dengan KLT menggunakan penampak noda lampu UV. Eluat
dengan pola noda yang sama digabung menjadi satu fraksi, dipekatkan dan
34
Ekstrak metanolkulit batang (30 g)
pemisahan dengan KVCelusi dengan n-heksana-etil asetat bergradien(9:1 ~ 2:8) @ 200 mLanalisis dengan KLT
pemisahan dengan KKGelusi dengan n-heksana-etil asetatbergradien (8:2 ~ 3:7) @ 200 mLanalisis dengan KLT
rekristalisasianalisis spektroskopi
F2.1 F2.2 F2.3 F2.4
Senyawa 1
F2.5
F2.3.1 F2.3.3F2.3.2
pemisahan dengan KKGelusi dengan n-heksana-etil asetatbergradien (8:2 ~ 2:8) @ 200 mLanalisis dengan KLT
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7
diperoleh tujuh fraksi gabungan F1 – F7. Fraksi F2 dipisahkan menggunakan
KKG (θ 2 x 70 cm), dengan eluen campuran n-heksan - etil asetat secara bergradien
(8:2 sampai dengan 3:7). Hasil elusi ditampung dalam vial (± 10 mL), kemudian
di KLT dan didapatkan 5 fraksi yaitu F2.1 – F2.5. Fraksi F2.3 dipisahkan kembali
dengan KKG (θ 1 x 70 cm), dengan eluen campuran n-heksan- etil asetat secara
bergradien (8:2 sampai dengan 2:8), kemudian dianalisis dengan KLT dan
diperoleh tiga fraksi F2.3.1 – F2.3.3. Fraksi F2.3.2 dimurnikan dengan teknik
rekristalisasi menghasilkan senyawa 1. Skema pemisahan dan pemurnian ekstrak
metanol kulit batang G. forbesii tertera pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2. Skema pemisahan dan pemurnian ekstrak metanol kulit batang G.
forbesii.
3.3.5. Pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat kulit batang
G. forbesii
35
Ekstrak etil asetatkulit batang (20 g)
pemisahan dengan KVCelusi dengan n-heksan-etil asetat bergradien(10:0 ~ 4:6) @ 200 mL
analisis dengan KLT
pemisahan dengan KKGelusi dengan n-heksan-etil asetatbergradien (8:2 ~ 1:9) @ 200 mLanalisis dengan KLT
pemisahan dengan KKGelusi dengan n-heksan-etil asetat bergradien(9:1 ~ 5:5) @ 200 mL
analisis dengan KLT
rekristalisasianalisis spektroskopi
F3.1 F3.2 F3.3 F3.4 F3.5
F3.2.2 F3.2.3F3.2.1 F3.2.4
Senyawa 2
F1 F2 F3 F4
Pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat kulit batang G. forbesii dilakukan
dengan menggunakan teknik kromatografi. Ekstrak etil asetat kulit batang G.
forbesii (20 g) dipersiapkan secara preadsorbsi dan dimasukkan dalam kolom
kromatografi vakum (θ 6 x 20 cm) dengan adsorben Si-gel, kemudian dielusi
menggunakan eluen campuran n-heksan- etil asetat secara bergradien (10:0 sampai
dengan 4:6). Hasil kolom ditampung dalam botol (± 200 mL), kemudian masing-
masing eluat dianalisis dengan KLT menggunakan penampak noda lampu UV.
Eluat dengan pola noda yang sama selanjutnya digabung menjadi satu fraksi dan
dipekatkan. Dari hasil analisis KLT diperoleh empat fraksi gabungan F1 – F4.
Selanjutnya terhadap F3 dilakukan pemisahan menggunakan KKG (θ 2 x 70 cm) ,
dengan eluen campuran n-heksan – etil asetat bergradien (8:2 sampai dengan 1:9).
Hasil kolom ditampung dalam vial (± 10 mL). Berdasarkan analisis KLT
didapatkan 5 fraksi yaitu F3.1 – F3.5. Fraksi F3.2 dipisahkan kembali dengan
KKG (θ 1 x 70 cm) menggunakan eluen campuran n-heksan-etil asetat bergradien
(9:1 sampai dengan 5:5), kemudian dianalisis dengan KLT dan didapatkan empat
fraksi F3.2.1 – F3.2.4. Fraksi F3.2.2 dimurnikan secara rekristalisasi menghasilkan
senyawa 2. Prosedur pemisahan dari ekstrak etil asetat kulit batang G. forbesii
ditunjukkan pada Gambar 3.3 berikut.
36
Gambar 3.3. Skema pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat kulit
batang G. forbesii.
3.3.6. Pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat kayu G. forbesii
Ekstrak etil asetat kayu G. forbesii (20 g) yang telah dipreadsorbsi dipisahkan
dengan KVC (θ 6 x 20 cm) dan dielusi dengan campuran pelarut n-heksan – etil
asetat secara bergradien (10:0 sampai dengan 0:10) dan eluen campuran etil
asetat-metanol (9:1, dan 8:2), dari analisis KLT diperoleh 8 fraksi gabungan F1 –
F8. Fraksi F2 selanjutnya dipisahkan dengan KKG (θ 2 x 70 cm) menggunakan
eluen campuran n-heksan – etil asetat (8:2, sampai dengan 1:9), lalu dianalisis
dengan KLT, menghasilkan empat fraksi kolom F2.1 – F2.4. Fraksi F2.2
seterusnya dipisahkan kembali dengan KKG (θ 1 x 70 cm) yang dielusi dengan
eluen campuran n-heksan – etil asetat (7:3 sampai dengan 4:6) menghasilkan
37
Ekstrak etil asetatkayu (20 g)
pemisahan dengan KVCelusi dengan n-heksana-etil asetat
(10:0 ~ 0:10)dan etil asetat-metanol (9:1 ~ 8:2)analisis dengan KLT
rekristalisasianalisis spektroskopi
rekristalisasianalisis spektroskopi
pemisahan dengan KKGelusi dengan n-heksan-etil asetat (8:2 ~ 1:9) @ 200 mLanalisis dengan KLT
pemisahan dengan KKGelusi dengan n-heksan-etil asetat (7:3 ~ 4:6)@ 200 mLanalisis dengan KLT
rekristalisasianalisis spektroskopi
senyawa 3
F2.4F2.3
F2.2.4
F2.2
F2.2.3
F7.2 F7.3
F2.2.1 F2.2.2
F7.1F5.1 F5.2 F5.3F2.1
pemisahan dengan KKGelusi dengan n-heksan-etil asetat (9:1 ~ 3:7)@ 200 mLanalisis dengan KLT
pemisahan dengan KKGelusi dengan n-heksan- etil asetat(9:1 ~ 2:8) @ 200 mLanalisis dengan KLT
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7
senyawa 4 senyawa 5
F8
F7.4 F7.5
empat fraksi kolom yaitu F2.2.1 – F2.2.4. Fraksi F2.2.3 setelah direkristalisasi
menghasilkan senyawa 3.
Fraksi F5 dipisahkan dengan KKG (θ 2 x 70 cm) menggunakan eluen
campuran n-heksan – etil asetat (9:1 sampai dengan 3:7), setelah dilakukan KLT
diperoleh 3 fraksi gabungan yaitu F5.1 – F5.3. Fraksi F5.1 kemudian dimurnikan
dengan teknik rekristalisasi, menghasilkan senyawa 4.
Fraksi F7 dipisahkan dengan KKG (θ 2 x 70) dan dielusi dengan eluen
campuran pelarut n-heksan – etil asetat secara bergradien (9:1 sampai dengan 2:8),
selanjutnya dilakukan KLT, diperoleh 5 fraksi gabungan yaitu F7.1 – F7.5. Fraksi
F7.2 seterusnya dimurnikan dengan rekristalisasi menghasilkan senyawa 5. Skema
pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat kayu G. forbesii ditampilkan pada
Gambar 3.4.
38
Gambar 3.4. Skema pemisahan dan pemurnian ekstrak etil asetat kayu
G. forbesii.
3.3.7. Uji toksisitas dengan metode BSLT (Meyer, 1982)
Telur udang ditetaskan dalam larutan NaCl 2% selama 48 jam. Kemudian larva
udang ini siap digunakan untuk uji toksisitas. Selanjutnya larutan sampel
dipersiapkan dalam berbagai konsentrasi (1000, 100, dan 10 μg/mL). Larutan
kontrol juga dibuat dengan prosedur yang sama, tetapi tanpa menggunakan sampel.
Pengujian dilakukan dengan tiga ulangan. Kemudian larva udang dimasukkan ke
dalam larutan uji dan dibiarkan selama 24 jam. Kemudian dihitung jumlah rata-rata
larva udang yang mati dan yang hidup. Berdasarkan data yang
diperoleh LC50 dihitung dengan menggunakan metode Bliss. Skema uji toksisitas
39
- ditetaskan dalam larutanNaCl 2% selama 48 jam
telur udang
larva udang
-masukkan dalam larutan ujipada berbagai konsentrasi(1000, 100, dan 10 g/mL)dan kontrol
-biarkan 24 jam
larva udangsetelah 24 jam
- hitung rata-ratalarva udang yang matidan yang hidup
- analisis data dengan metodeBliss
nilai LC50
dengan metode BSLT ini disajikan pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5. Tahapan uji toksisitas dengan metode BSLT
3.3.8. Uji sitotoksik dengan metode SRB (sulforhodamin B)
Terhadap senyawa hasil isolasi dilakukan pengujian sitotoksik menggunakan
metode SRB. Alasan pemilihan metode uji SRB adalah karena metode ini lebih
sensitif dibandingkan metode uji sitotoksik yang lain (Skehan et al., 1990; Chai
and Pezzuto, 1997).
Posedur uji terdiri atas tahap-tahap berikut :
1) Persiapan sampel uji
Sampel dilarutkan dengan DMSO sampai konsentrasi 4 mg/4mL.
2) Persiapan sel kanker
40
Sel kanker yang digunakan dalam penelitian ini adalah sel kanker payudara
manusia T47D yang dikultur dalam dulbecco’s modified eagle medium
(DMEM) dengan penambahan 10% PBS, sel tersebut dikultur pada kondisi
suhu 37C dengan kelembaban 100% dan kandungan CO2 5% selama 3 hari
sampai sel kultur tersebut mengalami konfluen 60-70%. Setelah itu media lama
dibuang, diganti dengan media baru dan diinkubasi kembali selama 24 jam. Sel
kultur kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 1-2 kali dan disuspensikan
menggunakan larutan tripsin-EDTA. Sel yang telah tersuspensi ditambah
dengan media baru.
3) Bioassay
Sel yang telah siap uji sebanyak 190 L ditambah dengan sampel uji sebanyak
10 L kemudian diinkubasi selama 3-4 hari pada suhu 37C. Setelah itu sel
difiksasi dengan TCA 50%. Pewarnaan dilakukan menggunakan SRB 0,4% dalam
asam asetat 1% selama 30 menit. Warna SRB yang tidak terikat dibilas dengan
asam asetat 1% sedangkan yang terikat diekstraksi dengan basa tris (pH 10).
Intensitas warna yang dihasilkan diukur dengan menggunakan ELISA plate reader
pada panjang gelombang 515 nm.
Persen viabilitas dihitung sebagai berikut :
A1 – A0
x 100 = % viabilitas
A2 – A0
Selanjutnya % inhibisi dihitung sebagai berikut: 1 - % viabilitas = % inhibisi
Keterangan: A0 = absorban blanko A2 = absorban blanko
A1 = absorban sampel
41
sel kanker payudara T47D
- penambahan 10 L sampel uji pada berbagaikonsentrasi (0,16; 0,31; 0,63; 1,25; 2,5; 5; 10;dan 20 g/mL) dalam DMSO
warna SRB yang terikat diekstraksidengan basa tris (pH 10) dan warna SRB yangtidak terikat, dibilas dengan AcOH 1%
- pengukuran intensitas warnadengan Elisa plate reader
- kultur pada DMEM + 10% PBS
(37 oC, CO2 5 %, kelembaban 100%)
- konf luen 60-70%, diganti dengan media baru
- inkubasi 24 jam
- pencucian dengan PBS 1-2 kali
- suspensi dengan larutan tripsin-EDTA
- penambahan media baru.
sel kanker uji (190 mL)
sel pra inkubasi
- inkubasi (37 oC, 3-4 hari)
- f iksasi T CA 50%,
- pewarnaan SRB 0,4% dalam AcOH 1% (30 menit)
hasil pembacaan Elisa plate reader
Nilai IC50 dihitung dengan cara analisis regresi linear antara persen viabilitas
dan konsentrasi (Skehan et al., 1990). Skema kerja uji sitotoksik dijelaskan pada
Gambar 3.4 berikut.
Gambar 3.6. Skema kerja uji sitotoksik dengan metode SRB
3.3.9. Analisis Spektroskopi
Karakterisasi senyawa hasil isolasi meliputi pemeriksaan fisika seperti titik
leleh, serta analisis spektroskopi seperti UV, IR, 1H-NMR, 13C-NMR, dan NMR 2
D.
42
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Hasil Isolasi
4.1.1. Pemisahan dan pemurnian senyawa dari kulit batang G. forbesii
Serbuk kulit batang G forbesii (1,5 kg) dimaserasi berturut-turut dengan n-
heksan, etil asetat, dan metanol masing- masing diulangi sebanyak tiga kali
menghasilkan ekstrak n-heksan (33 g), etil asetat (30 g) dan metanol (65 g).
Sebanyak 30 g ekstrak metanol G. forbesii dipisahkan dengan KVC (Si gel 200
g) dan dielusi dengan campuran n-heksan – etil asetat yang ditingkatkan
kepolarannya secara bergradien (9:1 sampai dengan 2:8) menghasilkan 7 fraksi
gabungan F1 – F7 (masing-masing seberat 6,4; 1,3; 1,6; 3,0; 2,5; 5,7; dan 4,5 g).
Fraksi F2 dipisahkan dengan KKG dengan eluen campuran n-heksan – etil asetat
(8:2, sampai dengan 3:7) diperoleh 5 fraksi yaitu F2.1 – F2.5 masing-masing 275
mg, 141 mg, 110 mg, 230 mg, dan 243 mg. Fraksi kolom F2.3 dipisahkan dengan
KKG menggunakan eluen campuran n-heksan – etil asetat secara bergradien (8:2
sampai dengan 2:8) menghasilkan tiga fraksi yaitu F2.3.1 – F2.3.3 dengan berat
masing-masingnya 20 mg, 15 mg, dan 50 mg. Fraksi F3.2.2 setelah dimurnikan
dengan pencucian menggunakan n-heksan dan etil asetat menghasilkan senyawa 1
(6 mg).
Sebagian dari ekstrak etil asetat (20 g) difraksinasi dengan kolom vakum cair
(Si gel 200 g) dan dielusi dengan campuran n-heksan – etil asetat yang ditingkatkan
kepolarannya secara bergradien (10:0 sampai dengan 4:6) menghasilkan 4 fraksi
gabungan F1 – F4 masing-masing seberat 5,3; 4,0; 2,8; dan 4,7 g. Fraksi F3
43
dipisahkan lebih lanjut menggunakan kolom kromatografi gravitasi dengan Si gel
Merck G60 (70-230 Mesh) dan dielusi dengan campuran n-heksan – etil asetat
yang ditingkatkan kepolarannya secara bertahap (8:2 sampai dengan 1:9),
sehingga dari pemisahan ini diperoleh 5 fraksi gabungan yaitu F3.1 – F3.5
masing–masing 365 mg, 130 mg, 315 mg, 250 mg, dan 290 mg. Fraksi F3.2
dipisahkan kembali dengan kolom kromatografi gravitasi yang dielusi dengan
eluen campuran n-heksan – etil asetat yang ditingkatkan kepolarannya secara
bertahap (9:1 sampai dengan 5:5) menghasilkan 4 fraksi yaitu F3.2.1 – F3.2.4
masing-masing seberat 30 mg, 22 mg, 28 mg,, dan 23 mg. Selanjutnya fraksi
F3.2.2 dimurnikan dengan teknik rekristalisasi menggunakan eluen n-heksan dan
etil asetat menghasilkan senyawa 2 (12 mg).
4.1.2. Pemisahan dan pemurnian senyawa dari kayu G. forbesii
Serbuk kayu G forbesii (1,5 kg) dimaserasi berturut-turut dengan n-heksan, etil
asetat, dan metanol masing- masing tiga kali, menghasilkan ekstrak n-heksan (25
g), etil asetat (25 g), dan metanol ( 50 g).
Ekstrak etil asetat (20 g) difraksinasi dengan KVC dan dielusi dengan
campuran pelarut n-heksan–etil asetat yang ditingkatkan kepolarannya (10:0,
sampai 0:10) dan eluen campuran etil asetat-metanol (9:1 dan 8:2) akhirnya
diperoleh 8 fraksi gabungan F1 – F8 (2,1; 2,8; 1,4 2,0; 0,5; 2,2; 0,8; dan 1,1 g).
Fraksi F2 selanjutnya dikromatografi kolom dengan eluen campuran n-heksan –
etil asetat (8:2 sampai 1:9) menghasilkan empat fraksi F2.1 – F2.4, masing-masing
355 mg, 520 mg, 242 mg, dan 295 mg. Fraksi F2.2 selanjutnya dipisahkan kembali
dengan kolom kromatografi yang dielusi dengan eluen campuran n-heksan – etil
asetat (7:3 sampai dengan 4:6) menghasilkan empat fraksi yaitu F2.2.1 – F2.2.4
44
masing-masing 87 mg,70 mg, 35 mg dan 65 mg. F2.2.3 setelah direkristalisasi
menghasilkan senyawa 3 (22 mg).
Fraksi F5 dikromatografi kolom pula dengan eluen campuran n-heksan – etil
asetat (9:1 sampai 3:7) menghasilkan 3 fraksi yaitu F5.1 – F5.3 (32 mg, 45 mg dan
80 mg). Fraksi F5.1 setelah dimurnikan dengan teknik rekristalisasi menghasilkan
senyawa 4 (18 mg).
Dari fraksi F7 yang dielusi dengan eluen campuran pelarut n-heksan – etil
asetat yang ditingkatkan kepolarannya (9:1 - 2:8), diperoleh 3 fraksi kolom yaitu
F7.1 – F7.5 masing-masing 40 mg, 36 mg, 75 mg, 120 dan 246 mg. Fraksi F7.2
setelah dimurnikan dengan rekristalisasi menghasilkan senyawa 5 (15 mg).
4.2. Toksisitas Ekstrak Kulit Batang dan Kayu G. forbesii
Setelah dilakukan ekstraksi bertingkat terhadap sampel tumbuhan kulit batang
dan kayu G. forbesii, dihasilkan ekstrak n-heksan, etil asetat serta metanol dari
kedua bagian tumbuhan tersebut. Terhadap masing-masing ekstrak diuji sifat
toksiknya terhadap larva udang A. salina dengan metode BSLT. Kekuatan sifat
toksik ekstrak terhadap larva udang tersebut dinyatakan dengan LC50 yaitu
konsentrasi yang dapat mematikan 50 % larva udang A. salina. Nilai LC50 dari
masing-masing ekstrak dicantumkan pada Tabel 4.1 sebagai berikut.
Tabel 4.1. Nilai LC50 hasil uji BSLT terhadap ekstrak kulit batang dan kayu G.
forbesii
Ekstrak LC50 (μg/mL)
Kulit batang kayu
n- Heksan 95,3 112,3
Etil asetat 29,3 37,5
Metanol 52,4 56,1
45
Dari Tabel 4.1 terlihat bahwa semua ekstrak G. forbesii mempunyai sifat toksik
terhadap larva udang A. salina. Pengelompokan sifat toksik tersebut didasarkan
atas standar tingkat aktivitas oleh Meyer (1982) yang menyatakan bahwa suatu
sampel digolongkan toksik jika LC50 < 1000 μg/mL untuk ekstrak dan LC50 < 100
μg/mL untuk senyawa murni. Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari semua ekstrak,
yang mempunyai sifat toksik yang paling tinggi adalah dari ekstrak etil asetat baik
dari kulit batang maupun kayu G. forbesii. Hal ini berarti bahwa senyawa yang
bersifat aktif tertarik ke fraksi yang semi polar.
4.3. Penentuan Struktur Molekul Senyawa Hasil Isolasi dari Kulit Batang
dan Kayu G. forbesii
Struktur senyawa yang diperoleh dari hasil isolasi dianalisis dengan teknik
spektroskopi yang meliputi spektroskopi ultraviolet (UV), inframerah (IR),
resonansi magnet inti (NMR) 1 D dan 2D yang terdiri dari 1H NMR (1hidrogen
nuclear magnetic resonance), 13C NMR (13carbon nuclear magnetic resonance),
DEPT (distortionless enhancement by polarization transfer), HMBC (hetero
nuclear multiple bond conectivity), HMQC (hetero nuclear multiple quantum
coherence) dan COSY (correlated spectroscopy).
Spektrum HMQC digunakan untuk mengidentifikasi sinyal-sinyal karbon yang
mengikat hidrogen, spektrum HMBC menunjukkan korelasi proton dan karbon
yang berjarak dua atau tiga ikatan, dan spektrum COSY untuk mendapatkan
informasi penjodohan H-H (Friebolin, 1990; Nakanishi, 1990).
1) Penentuan struktur molekul senyawa 1
Senyawa 1 yang diperoleh berupa padatan amorf kuning, dengan titik leleh 255-
257o. Spektrum UV dalam 1mg/10 mL metanol seperti yang ditampilkan pada
46
Gambar 4.1 menunjukkan adanya serapan pada λmaks (log ε): 243 (5,69), 312
(5,39), and 361 nm (4,86), dan dengan pereaksi geser NaOH terjadi pergeseran
batokromik pada λmaks (log ε) : 254 (5,73), 357 nm (5,63) yang mengindikasikan
adanya transisi elektronik π → π* dan n → π*.
Gambar 4.1. Spektrum ultraviolet senyawa 1 dalam 1 mg/10 mL MeOH
dan dengan pereaksi geser NaOH
Spektrum 1H NMR (DMSO) seperti tertera pada Gambar 4.2, dan ekspansinya
untuk proton pada geseran kimia 7,25 sampai 7,54 ppm yang ditampilkan pada
Gambar 4.3, menunjukkan adanya sinyal empat proton aromatik pada δH 6,52 ppm
(1H, s); 7,24 ppm (1H, t, J = 8,0); 7,30 ppm (1H, dd, J = 1,8; 8,0), dan 7,54 ppm
(1H, dd, J = 1,8; 8,0). Sinyal proton metoksil muncul pada δH 3,75 ppm. Sinyal
proton yang muncul pada δH 12,95 ppm merupakan sinyal dari gugus hidroksil
terkelasi, yang merupakan karakteristik untuk senyawa santon.
47
O
O OH
OH
OH
1
2
345
6
78
4a
9a8a9
10a
OCH3
Gambar 4.2. Spektrum 1H NMR senyawa 1 (DMSO, 500 MHz)
Gambar 4.3. Potongan spektrum 1H-NMR senyawa 1 untuk proton aromatik pada
daerah geseran kimia antara 7,25-7,54 ppm (DMSO, 500 MHz)
Spektrum 13C NMR (Gambar 4.4) dan dengan teknik DEPT 135 (Lampiran 1)
serta didukung oleh spektrum HMQC (Lampiran 2 dan 3) menunjukkan adanya 14
48
sinyal karbon yang terdiri dari satu karbon CH3 yaitu pada δC 60,0 ppm (2-
OCH3); empat karbon metin aromatik yaitu pada δC 94,2 ppm (C-4); 120,5 ppm
(C-6); 124,0 ppm (C-7); dan 114,4 ppm (C-8); dan sembilan karbon kuarterner
yaitu pada δC 154,1 (C-1); 130,7 (C-2); 159,2 (C-3); 152,4 (C-4a); 146,2 (C-5);
120,4 (C-8a); 180,6 (C-9); 102,3 (C-9a); dan 144,9 ppm (C-10a) . Sinyal yang
khas untuk rangka santon muncul pada δC 180, 6 ppm yaitu sinyal untuk C
karbonil.
Gambar 4.4. Spektrum 13C NMR senyawa 1 (DMSO, 125 MHz)
Identifikasi sinyal-sinyal karbon dan proton lebih lanjut ditentukan
berdasarkan spektrum NMR dua dimensi yang ditabulasikan pada Tabel 4.2.
49
Tabel 4.2. Data 1H, 13C NMR, DEPT, HMBC dan COSY Senyawa 1 dalam
DMSO-d6
No C
HMQC
DEPT HMBC COSY H (ppm), integrasi,
multiplisitas, J (Hz)
C (ppm)
1 154,1 C
1-OH 12,95 (1H,s) C-1, C-2, C-9a
2 130,7 C
2-OCH3 3,75 (3H, s) 60,0 CH3 C-2
3 159,2 C
4 6,52 (1H, s) 94,2 CH C-2, C-3, C-4a,
C-9a
4a 152,4 C
5 146,2 C
6 7,30 (1H, dd; 1,8;
8,0)
120,5 CH C-8, C-10a
7 7,25 (1H, t; 8,0) 124,0 CH C-5, C-6 H-8
8 7,54 (1H, dd; 1,8;
8,0)
114,4 CH C-6, C-9, C-10a H-7
8a 120,4 C
9 180,6 C
9a 102,3 C
10a 144,9 C
Data pada Tabel 4.2 menunjukkan senyawa 1 memiliki 4 proton aromatik dan
dan satu gugus metoksil yang terikat pada rangka dasar santon. Dengan demikian
terdapat tiga gugus hidroksil yang terikat pula pada rangka dasar santon, namun
dua gugus hidroksil tidak muncul.
Spektrum HMBC seperti yang tertera pada Gambar 4.5 menunjukkan adanya
korelasi proton dengan karbon yang berjarak dua dan tiga ikatan. Proton metoksil
pada δH 3,75 (3H, s) berkorelasi dua ikatan dengan karbon pada δC 130,7 (C-2).
Hal ini menunjukkan bahwa gugus metoksil terikat pada karbon C-2.
50
Gambar 4.5. Spektrum HMBC sebagian senyawa 1 untuk korelasi proton
H 3,75 ppm dengan C 130,7 ppm (C-2) (DMSO, 500 MHz)
Sinyal proton yang berada pada medan sangat rendah yaitu pada δH 12,95 ppm,
merupakan sinyal proton untuk gugus hidroksil yang terkelasi yaitu terikat pada C-
1 spektrum HMBC (Gambar 4.6) menunjukkan bahwa proton ini berkorelasi dua
ikatan dengan δC 154,1 ppm (C-1) dan tiga ikatan dengan δC 130,7 (C-2) dan 102,3
(C-9a).
Dua sinyal proton aromatik pada δH 7.30 (1H, dd, J = 1,8; 8,0) dan 7.54 (1H,
dd, J = 1,8; 8,0) merupakan proton untuk H-6 and H-8. Proton H-6 berkorelasi
dengan karbon pada C 114,4 (C-8) dan 144,9 ppm (C-10a) dan proton H-8
mempunyai korelasi dengan karbon C 120,5 (C-6), 180,6 (C-9) dan 144,9 ppm (C-
10a). Sinyal pada δH 7,25 ppm (1 H, t, J = 8,0) merupakan sinyal proton aromatik
51
untuk H-7, dari spektrum COSY (Lampiran 4) diketahui sinyal proton pada geseran
kimia 7,25 ppm ini bertetangga dengan sinyal proton pada geseran kimia 7,54 ppm
(H-8). Dari spektrum HMBC terlihat bahwa sinyal ini berkorelasi dengan karbon
pada C 146,2 ppm (C-5) dan 120,5 ppm (C-6). Satu proton
Singlet aromatik lainnya pada δH 6.52 merupakan sinyal untuk H-4, sinyal ini
berkorelasi dengan karbon pada δC 130,7 (C-2); 152,4 (C-4a); 159,2 (C-3) dan
102,3 ppm (C-9a). Spektrum HMBC dari keempat sinyal proton aromatik tersebut
tertera pada Gambar 4.7 dan 4.8.
Gambar 4.6. Spektrum HMBC sebagian senyawa 1 untuk korelasi proton H
12,95 ppm (OH-1) dengan 102,3 (C-9a), 130,7 (C-2), dan 154,1
(C-1) (DMSO, 500 MHz)
52
Gambar 4.7. Spektrum HMBC sebagian senyawa 1 untuk korelasi empat
proton aromatik pada δH 6,52 (H-4), 7,25 (H-7), 7,30 (H-6), dan
7,54 (H-8) dengan karbon (DMSO, 500 MHz)
Gambar 4.8. Lanjutan spektrum HMBC sebagian senyawa 1` untuk korelasi
empat proton aromatik pada δH 6,52 (H-4), 7,25 (H-7), 7,30 (H-
6), dan 7,54 (H-8) dengan karbon (DMSO, 500 MHz)
53
O
O OH
OH
OH
1
2
345
6
78
4a
9a8a9
10a
OCH3
O
O OH
OH
OH
1
2
345
6
78
4a
9a8a9
10a
OCH3
Berdasarkan analisis spektrum UV 1H NMR, 13C NMR, DEPT, HMBC dan
COSY maka disimpulkan bahwa senyawa 1 adalah 1,3,5-trihidroksi-2-
metoksisanton (Gambar 4.9). Rumus molekul C14H10O6 dengan berat molekul 274
dan DBE = 10. Hal ini sesuai dengan struktur molekul senyawa 1 yang mempunyai
8 ikatan rangkap C=C yaitu 6 untuk rangka dasar santon, satu karbonil (C=O), dan
tiga cincin dari rangka dasar santon.
Senyawa 1 yang diisolasi ini sebelumnya juga pernah ditemukan oleh Mesquita
et al. (1975) dari kayu Tovomita pyrifolium (Guttiferae). Senyawa 1,3,5-trihidroksi-
2-metoksisanton ini juga dikenal dengan nama tovopirifolin C. Dari data literatur
diketahui titik leleh senyawa ini adalah 256-258O. Namun demikian untuk spesies
G. forbesii, senyawa 1 ini pertama kali diisolasi.
Gambar 4.9. Struktur molekul senyawa 1
Hubungan antara proton dengan karbon tetangganya yang berjarak 2 ikatan
dan 3 ikatan dalam spektrum HMBC senyawa 1 dapat dilihat pada Gambar 4.10.
Gambar 4.10. Korelasi HMBC senyawa 1
54
2) Penentuan struktur molekul senyawa 2
Senyawa 2 yang diperoleh berupa padatan amorf kuning, dengan titik leleh 210-
212 oC. Senyawa ini pada spektrum ultraviolet (UV) dalam 1 mg/10 mL MeOH
memperlihatkan serapan pada λmaks(log ε): 240 (5,34), 311 (5,15), dan 345 nm
(4,86), yang mengalami pergeseran batokromik pada penambahan pereaksi geser
NaOH dengan λmaks (log ε): 266 (5,14), 297 (4,82), dan 365 nm (5,33). Pola
spektrum UV tersebut mengindikasikan senyawa ini memiliki kromofor yang
mengalami perpanjangan konyugasi. Spektrum UV senyawa 2 tertera pada
Gambar 4.11.
Gambar 4.11. Spektrum ultraviolet senyawa 2 dalam 1 mg/10 mL MeOH dan
dengan penambahan pereaksi geser NaOH
.
Spektrum IR memperlihatkan adanya pita-pita serapan untuk gugus hidroksil
(3402 cm-1), C-H alifatik (2970, 2931 cm-1), karbonil terkelasi (1647 cm-1), dan
ikatan rangkap terkonyugasi untuk turunan benzen (1604, 1461 cm-1) dan
55
C-O eter ( 1164 cm-1) yang merupakan ciri spesifik untuk senyawa golongan
santon. Spektrum IR senyawa 2 ditampilkan pada Gambar 4.12 berikut.
Gambar 4.12. Spektrum inframerah senyawa 2
Dari spektrum 1H NMR seperti yang tertera pada Gambar 4.13, terlihat adanya
dua sinyal doublet dan satu sinyal singlet di daerah aromatik. Sinyal doublet yaitu
pada H 6,08 ppm (1H, d, J = 1,8 Hz) dan 6,18 ppm (1H, d, J = 1,8 Hz), yang
mengindikasikan kedua proton ini saling terkopling meta, berasal dari proton H-2
dan H-4. Sinyal singlet yang muncul pada geseran 6,69 ppm (1H, s) berasal dari
proton H-6. Sedangkan sinyal singlet lainnya pada H 3,75 ppm merupakan sinyal
untuk proton metoksil. Spektrum ekspansi 1H NMR senyawa 2 untuk daerah
geseran kimia 1,49-2,03 dan 4,05-6,69 ppm tertera pada Lampiran 5 dan 6.
Spektrum 13C NMR senyawa 2 dalam metanol (Gambar 4.14) menunjukkan
adanya 24 sinyal karbon, dari spektrum DEPT 135 (Lampiran 7) dan didukung
spektrum HMQC (Lampiran 8, 9, dan 10) diketahui bahwa ke-24 atom karbon
56
O
O OH
OH
1
2
345
6
78
4a
9a8a9
10a
OH
H3CO
1'2'
3'
4'
5'
6'
7'
8'
9'
10'
tersebut terdiri dari 4 atom karbon primer, 3 atom karbon sekunder, 5 atom karbon
tersier dan 12 atom karbon kuarterner. Hal ini menunjukkan sinyal untuk rangka
dasar santon yang khas dengan munculnya C karbonil pada C 181,7 ppm.
Gambar 4.13. Spektrum 1H NMR senyawa 2 (CD3OD, 500 MHz)
Gambar 4.14. Spektrum 13C NMR senyawa 2 (CD3OD, 125 MHz)
57
Penentuan struktur molekul senyawa 2 lebih lanjut ditentukan menggunakan
data spektroskopi NMR dua dimensi meliputi HMQC, HMBC dan COSY. Data
NMR dua dimensi senyawa 2 disajikan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Data 1H, 13C NMR, DEPT, HMBC, HMQC, dan COSY Senyawa 2
dalam CD3OD
No C
HMQC
DEPT HMBC COSY H (ppm), integrasi,
multiplisitas, J (Hz)
C (ppm)
1 163,5 C
2 6,08 (1H, d; 1,8) 97,4 CH C-1, C4, C-9a H-4
3 164,7 C
4 6,18 (1H, d; 1,8) 92,7 CH C-3, C-2, C-4a,
C-9a
H-2
4a 157,1 C
5 156,8
6 6,69 (1H,s) 101,5 CH C-7, C-8, C-10a
7 143,6 C
7-OCH3 3,75 (3H, s) 60,0 CH3 C-7
8 110,8 C
8a 137,3 C
9 181,7 C
9a 102,6 C
10a 155,5 C
1’ 4,05 (2H, d; 6,7) 25,6 CH2 C-7, C-8, C-2’, C-
3’, C-8a
H-2’
2’ 5,17 (1H, t; 6,7) 123,9 CH C-1’, C-4’, C-10’ H-1’
3’ 134,1 C
4’ 1,95 (2H, t; 7,3) 39,5 CH2 C-2’, C-3’, C-5’
C-10’
H-5’
5’ 2,03 (2H, dt; 7,3;
6,8 )
26,2 CH2 C-3’, C-4’, C-6’,
C-7’
H-4’,
H-6’
6’ 4,99 (1H, t; 6,8) 124,1 CH C-9’, C-10’, H-5’
7’ 130,6 C
8’ 1,49 (3H, s) 16,4 CH3 C-9’ H-9’
9’ 1,52 (3H, s) 24,4 CH3 C-6’, C-7’, C-8’, H-8’
10’ 1,79 (3H, s) 15,3 CH3 C-2’, C-3’, C-4’ H-2’
Pada spektrum HMBC (Gambar 4.15) terlihat adanya korelasi antara proton
metoksi pada H 3,75 ppm yang terikat atom karbon primer pada C 60,0 ppm
58
dengan karbon pada C 143,6 ppm (C-7), sehingga diketahui bahwa gugus metoksi
terikat pada C-7.
Dua sinyal triplet pada H 4,99 dan 5,17 ppm, menunjukkan sinyal yang khas
untuk proton vinilik yaitu H-6’ dan H-2’ yang bertetangga dengan proton metilen
masing-masing pada 2,03 ppm (H-5’) dan 4,05 ppm (H-1’). Dengan demikian
diketahui bahwa senyawa 2 memiliki gugus geranil. Data HMBC (Gambar 4.15)
menunjukkan bahwa sinyal 4,05 ppm (H-1’) berkorelasi dua ikatan dengan karbon
pada C 110,8 ppm (C-8) dan 123,9 ppm (C-2’) serta berkorelasi tiga ikatan
dengan karbon pada C 143,6 ppm (C-7); 134,1 ppm (C-3’); dan 137,3 ppm (C-8a),
sehingga diketahui bahwa gugus geranil tersebut terikat pada C-8.
Gambar 4.15. Spektrum HMBC sebagian senyawa 2 untuk korelasi proton H 3,75
ppm dengan C 143,6 ppm (C-7) dan proton pada H 4,05 ppm
dengan C 110,8 ppm (C-8); 123,9 ppm (C-2’), 143,6 ppm (C-7);
134,1 ppm (C-3’), dan 137,3 ppm (C-8a) (CD3OD, 500 MHz).
59
Dari spektrum COSY (Lampiran 11) menunjukkan bahwa sinyal pada 5,17
ppm berkorelasi dengan sinyal pada H 4,05 ppm. Sinyal doublet pada H 4,05
ppm menunjukkan dua proton pada H-1’ yang terkopling oleh proton H-2’ (Ji’-2’ =
6,7 Hz). Bergesernya sinyal ini ke daerah downfield diduga akibat posisinya yang
tersubsitusi pada cincin benzena.
Dua buah sinyal singlet yang muncul berdekatan pada H 1,49 dan 1,52 ppm,
masing-masing merupakan sinyal proton metil yang terdapat pada posisi H-8’ dan
H-9’. Dari spektrum HMBC (Gambar 4.16 dan 4.17) diketahui bahwa sinyal
proton pada 1,49 ppm berkorelasi dengan C-9’ (24,4 ppm), sedangkan sinyal pada
1,52 ppm ini berkorelasi dengan C-6’ (124,1), C-7’ (130,7), dan C-8’ (16,4).
Selanjutnya sinyal singlet pada H 1,79 ppm, merupakan sinyal metil pada posisi
H-10’. Sinyal ini berkorelasi dengan C-4’ (39,5 ppm), C-2’ (123,9 ppm), dan C-3’
(134,1 ppm).
Gambar 4.16. Spektrum HMBC sebagian senyawa 2 untuk korelasi proton H
1,49; 1,52; 1,79; 1,95; dan 2,03 ppm dengan karbon (CD3OD, 500
MHz)
60
Gambar 4.17. Lanjutan spektrum HMBC sebagian senyawa 2 untuk korelasi
proton H 1,49; 1,52; 1,79; 1,95; dan 2,03 ppm dengan karbon
(CD3OD, 500 MHz)
Sinyal triplet pada 4,99 ppm merupakan sinyal dari H-6’ yang terkopling
dengan 2 proton H-5’ dengan geseran kimia 2,03 ppm. Hal ini didukung oleh
spektrum COSY (Lampiran 12) yang menunjukkan bahwa kedua sinyal ini
berkorelasi. Spektrum COSY (Lampiran 13) mengindikasikan bahwa sinyal triplet
pada H 1,95 ppm berkorelasi dengan sinyal pada H 2,03 ppm (H-5’), diperkirakan
sinyal pada H 1,95 ppm tersebut berasal dari 2 proton H-4’ yang terkopling oleh
2 proton H-5’. Tiga sinyal atom karbon primer lainnya pada C 15,3 ppm; 16,4
ppm; dan 24,4 ppm merupakan gugus metil yang terikat pada posisi C-3’ dan C-7’.
61
O
O OH
OH
1
2
345
6
78
4a
9a8a9
10a
OH
H3CO
1'2'
3'
4'
5'
6'
7'
8'
9'
10'
O
O OH
OH
1
2
345
6
78
4a
9a8a9
10a
OH
H3CO
1'2'
3'
4'
5'
6'
7'
8'
9'
10'
Sinyal atom karbon sekunder muncul pada C 25,6; 26,2 dan 39,5 ppm,
berdasarkan spektrum 1H-13C NMR, sinyal ini diduga gugus metilen, masing-
masing pada posisi C-1’, C-4’ dan C-5’. Dari 5 buah sinyal atom karbon tersier, 3
diantaranya merupakan sinyal yang berasal dari gugus aromatik pada C 92,7; 97,4
dan 101,51 ppm masing-masing pada posisi C-4, C-2 dan C-6. Dua sinyal atom
karbon tersier lainnya pada 123,9 dan 124,1 ppm diduga berasal dari atom karbon
pada posisi C-2’ dan C-6’.
Berdasarkan analisis data spektroskopi UV, IR, NMR 1D dan 2D maka
senyawa 2 adalah 1,3,5-trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-dimetiloktan-2,6-dienil)santon
(Gambar 4.18). Rumus molekul C24H26O6 dengan berat molekul 410 dan DBE =
12. Hal ini sesuai dengan struktur molekul senyawa yang mempunyai 8 ikatan
rangkap C=C yaitu 6 untuk rangka dasar santon dan dua untuk satu unit geranil,
satu karbonil (C=O), serta tiga cincin dari rangka dasar santon.
Gambar 4.18. Struktur molekul senyawa 2
Hubungan antara proton dengan karbon tetangganya yang berjarak 2 ikatan dan
3 ikatan dalam spektrum HMBC dapat dilihat pada Gambar 4.19.
62
Gambar 4.19. Korelasi HMBC senyawa 2
3) Penentuan struktur molekul senyawa 3
Senyawa 3 hasil isolasi berbentuk padatan amorf berwarna putih. Spektrum
ultraviolet senyawa 3 dalam 1 mg/10 mL MeOH seperti yang terlihat pada Gambar
4.20 menunjukkan adanya serapan pada λmaks (log ε): 205 (5,83), 281 (5,26), dan
313 nm (4,88) dan mengalami pergeseran batokromik pada penambahan pereaksi
geser NaOH dengan λmaks (log ε): 208 (6,00), 245 (5,30), dan 315 nm (5,54).
Pola spektrum ini mengindikasikan bahwa senyawa 3 memiliki kromofor fenol
yang mengalami perpanjangan konyugasi.
Gambar 4.20. Spektrum ultraviolet senyawa 3 dalam 1 mg/10 mL MeOH dan
dengan penambahan pereaksi geser NaOH
63
Spektrum IR senyawa 3 memperlihatkan adanya pita-pita serapan pada νmaks
cm-1: 3363 (gugus hidroksil ), 2962-2854 (C-H alifatik), 1651 (C=O); 1624 dan
1481 (C=C aromatik) serta 1118 (C-O eter). Spektrum IR senyawa 3 ditampilkan
pada Gambar 4.21.
Gambar 4.21. Spektrum inframerah senyawa 3
Spektrum 1H NMR (Gambar 4.22) dan spektrum ekspansi 1H NMR (Lampiran
14 dan 15) menunjukkan adanya 2 proton aromatik singlet pada pergeseran kimia
δH 6,70 dan 6,27 ppm, satu proton metoksil pada 3,75 ppm, tiga proton hidroksil
pada δH 5,57; 6,29; dan 11,29 ppm, serta dua gugus prenil. Adanya dua gugus
prenil dapat diketahui dari munculnya sinyal untuk dua proton alilik pada δH 3,46
(2H, d, J = 6,8) dan 3,37 (2H, d, J = 7,3), dua proton vinilik yaitu pada δH 5,17 (
1H, t, J = 6,8) dan 5,20 (1H, t, J = 7,3) ppm dan empat gugus metil pada δH 1,67
(3H, s); 1,79 (3H, s); 1,73 (3H, s); dan 1,79 (3H, s) ppm.
64
O
O
H3CO
OH
OHO
1
2
34
5'
67
89 9a
11
11a
4a5a
1'
2'3'
4'
1''2''
3''
4''5''
HO
Gambar 4.22. Spektrum 1H NMR senyawa 3 (CDCl3, 500 MHz)
Spektrum 13C NMR (Lampiran 16) dan DEPT 135 (Lampiran 17)
memperlihatkan adanya 24 sinyal karbon yang terdiri dari empat karbon metil yaitu
pada δC 18,0; 18,1; 25,8 dan 25,9 ppm, satu karbon metoksil pada δC 61,9 ppm,
dua karbon metilen yaitu pada δC 24,2 dan 22,1 ppm, empat karbon metin yaitu
pada δC 105,4; 100,4; 121,3 dan 120,9 ppm, dan 13 karbon kuarterner yaitu pada δC
168,5; 162,6; 162,1; 159,8; 147,0; 146,9; 142,6; 136,2; 136,1; 133,3; 128,2; 111,1;
dan 98,8 ppm.
Identifikasi sinyal-sinyal karbon dan proton lebih lanjut ditetapkan berdasarkan
spektrum NMR 2D seperti tertera pada Tabel 4.4.
65
Tabel 4.4. Data 1H, 13C NMR, DEPT, HMBC dan COSY Senyawa 3 dalam
CDCl3
No C HMQC DEPT HMBC COSY
H (ppm), integrasi,
multiplisitas, J (Hz)
C
(ppm)
1 162,6 C
1-OH 11,29 (1H,s) C-1, C-2, C-11a
2 - 111,1 C H-3’
3 162,1 C
3-OH 6,29 (1H,s) C-4 OH-7
4 6,27 (1H,s) 100,4 CH C-2, C-3, C-4a, C-11a H-4
4a 159,8 C
5a 147,0 C
6 6,70 (1H,s) 105,4 CH C-7, C-8, C-9a H-4
7 146,9 C
7-OH 5,57 (1H,s) C-6, C-7 OH-3
8 142,6 C
8-OCH3 3,75 (3H,s), 61,9 CH3 C-8
9 128,2 C
9a 136,1 C
11 168,5 C
11a 98,8 C
1’ 3,37 (2H, d; 7,3) 22,1 CH2 C-1, C-2, C-2’, C-3’ H-4’,
H-2’
2’ 5,20 (1H, t; 7,3) 120,9 CH H-1’,
H-5’
3’ 136,2 C
4’ 1,73 (3H, s) 25,8 CH3 C-2’, C-3’, C-5’
5’ 1,79 (3H, s) 18,0 CH3 C-2’, C-3’, C-4’
1’’ 3,46 (2H, d; 6,8) 24,2 CH2 C-8, C-9, C-9a, C-2’’,
C-3’’
H-4’’,
H-2’’
2’’ 5,17 (1H,t; 6,8) 121,3 CH H-1’’,
H-5’’
3’’ 133,3 C
4’’ 1,67 (3H, s) 25,9 CH3 C-2’’, C-3’’, C-5’’
5’’ 1,79 (3H, s) 18,1 CH3 C-2’’, C-3’’, C-4’’
Spektrum HMBC (Gambar 4.23) menunjukkan korelasi dua ikatan antara
proton hidroksi pada δH 11,29 ppm dengan C-1 (162,6) dan korelasi tiga ikatan
dengan C-11a (98,8 ppm) dan C-2 (111,1 ppm), dengan demikian diketahui bahwa
gugus hidroksil terikat pada C-1. .
66
Gambar 4.23. Spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk korelasi satu gugus
hidroksil (OH-1) pada δH 11,29 ppm (CDCl3, 500 MHz)
Sinyal proton yang muncul pada δH 5,57 ppm merupakan sinyal untuk gugus
hidroksil pada C-7. Dari spektrum HMBC terlihat bahwa sinyal ini berkorelasi tiga
ikatan dengan karbon pada δC 105,4 ppm (C-6) dan korelasi dua ikatan dengan
karbon pada δC 146,9 ppm (C-7). Karbon C-6 ini mengikat proton yang muncul
pada δH 6,70 ppm, yang berkorelasi tiga ikatan dengan karbon pada δC 142,6 ppm
(C-8) dan 136,1 ppm (C-9a) serta berkorelasi dua ikatan dengan karbon pada δC
146,9 ppm (C-7).
Proton aromatik lainnya yang muncul pada geseran kimia δH 6,27 ppm terikat
dengan karbon pada δC 100,4 ppm (C-4), hal ini ditunjukkan oleh adanya korelasi
dua ikatan antara H-4 dengan karbon pada δC 162,1 ppm (C-3) dan 159,8 ppm (C-
4a) serta korelasi tiga ikatan dengan karbon pada δC 111,1 ppm (C-2) dan 98,8
67
ppm (C-11a). Proton hidroksil yang muncul pada δH 6,29 ppm terikat dengan
karbon pada δC 162,1 ppm (C-3), proton hidroksil ini berkorelasi tiga ikatan
dengan karbon pada δC 100,4 ppm (C-4). Spektrum HMBC untuk dua gugus
hidroksil dan 2 proton aromatik tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.24 dan 4.25.
Gambar 4.24. Spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk korelasi dua gugus
hidroksil pada δH 5,57 (OH-7), 6,29 (OH-3), dan 2 proton aromatik
(H-4 dan H-6) (CDCl3, 500 MHz)
68
Gambar 4.25. Lanjutan spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk korelasi dua
gugus hidroksil pada δH 5,57 (OH-7), 6,29 (OH-3), dan 2 proton
aromatik (H-4 dan H-6) (CDCl3, 500 MHz)
Gugus prenil yang terikat pada C-2, didukung oleh spektrum HMBC dengan
adanya korelasi dua ikatan antara H-1’ (3,37 ppm) dengan karbon pada δC 111,1
ppm (C-2) dan 120,9 ppm (C-2’), dan tiga ikatan dengan karbon pada δC 162,6
ppm (C-1), dan 136,2 ppm (C-3’). Gugus prenil lainnya yang terikat pada C-9,
ditunjukkan dengan adanya korelasi dua ikatan antara H-1’’ dengan karbon pada δC
128,2 ppm (C-9) dan 121,3 ppm (C-2’’), dan tiga ikatan dengan karbon pada δC
142,6 ppm (C-8), 136,1 ppm (C-9a), dan 133,3 ppm (C-3’’). Satu gugus metoksil
terikat dengan karbon pada δC 142,6 ppm (C-8) yang ditunjukkan dengan adanya
korelasi antara proton metoksil pada δH 3,75 ppm (3H,s) dengan karbon pada δC
142,6 ppm (C-8). Spektrum HMBC untuk korelasi dua proton metilen pada dua
69
gugus prenil dan satu proton metoksil dengan karbon ditunjukkan pada Gambar
4.26 dan 4.27.
Gambar 4.26. Spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk korelasi antara dua
proton metilen pada dua gugus prenil dan satu proton metoksi
(OCH3-8) (CDCl3, 500 MHz)
Gambar 4.27. Lanjutan spektrum HMBC sebagian senyawa 3 untuk korelasi antara
dua proton metilen pada dua gugus prenil dan satu proton metoksi
(OCH3-8) (CDCl3, 500 MHz)
70
O
O
H3CO
OH
OHO
1
2
34
5'
67
89 9a
11
11a
4a5a
1'
2'3'
4'
1''2''
3''
4''5''
HO
Korelasi antara proton-proton pada gugus prenil ini juga diperkuat oleh
spektrum COSY. Spektrum COSY (Lampiran 18) memperlihatkan adanya
korelasi antara proton metin pada δH 5,17 ppm (H-2’’) dengan proton pada H1’’
dan H-5’’, juga untuk proton metin pada δH 5,20 ppm (H-2’ ) dengan proton pada
H-1’ dan H-5’.
Berdasarkan hasil analisis spektroskopi data dan dengan membandingkan data
tersebut dengan senyawa yang mirip yang telah dilaporkan dalam literatur (Tabel
4.5), dapat disimpulkan bahwa senyawa 3 adalah garsinisidon A (Gambar 4.28).
Rumus molekul senyawa 3 yaitu C24H26O7 dengan berat molekul 426 dan DBE =
12. Nilai DBE tersebut sesuai dengan struktur molekul senyawa 2 yang
mempunyai 8 ikatan rangkap C=C yaitu 6 untuk rangka dasar depsidon dan dua
untuk dua unit prenil, satu karbonil (C=O), serta tiga cincin dari rangka dasar
depsidon. Senyawa 3 ini telah ditemukan sebelumnya dari G. assigu, tetapi
merupakan senyawa yang baru pertama kali dilaporkan untuk speies G. forbesii.
Gambar 4.28. Struktur molekul senyawa 3
Tabel 4.5. Data spektroskopi NMR 1D senyawa garsinisidon A (3) (CDCl3, 1H-
NMR 500 MHz, 13C-NMR 125 MHz) dan senyawa garsinisidon A
pembanding (3*) (DMSO-d6, 1H NMR 600 MHz, 13C NMR 150 MHz)
71
No C H (ppm), integrasi, multiplisitas, J
(Hz)
C (ppm)
3 garsinisidon A* 3 garsinisidon A*
1 162,6 161,1
1-OH 11,29 (1H, s) 9,80
2 - 111,1 112,2
3 162,1 164,1
3-OH 6,29 (1H, s)
4 6,27 (1H, s) 6,26 100,4 99,60
4a 159,8 159,1
5a 147,0 145,6
6 6,70 (1H, s) 6,65 105,4 105,7
7 146,9 148,1
7-OH 5,57 (1H,s)
8 142,6 142,9
8-OCH3 3,75 (3H, s) 3,66 61,9 60,1
9 128,2 127,5
9a 136,1 134,4
11 168,5 167,2
11a 98,8 93,0
1’ 3,37 (2H; d;
7,3)
3,14 (2H; d; 7,0) 22,1 21,4
2’ 5,20 (1H; t;
8,55)
5,1 (m) 120,9 122,3
3’ 136,2 130,5
4’ 1,73 (3H, s) 1,58 (3H, s) 25,8 25,4
5’ 1,79 (3H, s) 1,67 (3H, s) 18,0 17,7
1’’ 3,46 (2H; d;
6,75)
3,33 (2H; d; 7,0) 24,2 23,5
2’’ 5,17(1H; t;
11,6)
5,08 (m) 121,3 121,8
3’’ 133,3 131,6
4’’ 1,67 (3H, s) 1,62 (3H, s) 25,9 25,5
5’’ 1,79 (3H, s) 1,74 (3H, s) 18,1 17,8
* literatur (Ito et al., 1997)
Data Tabel 4.5 menunjukkan kemiripan nilai geseran kimia yang tinggi antar
senyawa 3 hasil isolasi dengan senyawa pembanding pada liteatur.
Hubungan antara proton dengan karbon dalam spektrum HMBC secara lengkap
dapat dilihat pada Gambar 4.26.
72
O
O
H3CO
OH
OHO
1
2
34
5'
67
89 9a
11
11a
4a5a
1'
2'3'
4'
1''2''
3''
4''
5''
HO
Gambar 4.29. Korelasi HMBC senyawa 3
4) Penentuan struktur molekul senyawa 4
Senyawa 4 hasil isolasi berbentuk jarum, bewarna putih, dengan titik leleh 164-
166oC. Sinar UV senyawa ini tidak berfluoresensi, hal ini menunjukkan bahwa
pada senyawa murni hasil isolasi tidak terdapat transisi elektronik → * maupun
n → *. Uji fitokimia dengan Lieberman Burchard memberikan hasil yang positif
steroid dengan terbentuknya warna hijau. Spektrum IR senyawa 4 (Gambar 4.30)
memperlihatkan adanya pita-pita serapan pada νmaks cm-1: 3352 (OH); 2935-2866
(H alifatik); 1639 (C=C terisolasi); 1461 (siklopentana); 1380 (gugus isopropil);
1056 (regang C-O).
Analisis dengan 1H NMR (CDCl3; 500 MHz; δ ppm) seperti pada Gambar 4.31
dan ekspansinya pada Lampiran 19, 20, dan 21 menunjukkan adanya enam sinyal
gugus metil masing-masing muncul pada δH: 0,68; 0,78; 0,79; 0,81; 0,82; dan 0,84.
Sinyal pada 3, 51 (1H, m) merupakan sinyal proton metin alkohol sekunder.
Selanjutnya spektrum ini juga menunjukkan adanya sinyal untuk tiga proton
olefinik yang masing-masing muncul pada δH 5,00 ppm (1H, dd, J = 8,6; 6,1 Hz);
73
HO
H H
H1
26
3
15
5 6
17
8
27
10
11 1318
19
2021
23
24
25
2829
5,14 ppm (1H, dd, J = 8,6; 6,1 Hz); dan 5,33 (1H, d, J = 5,5 Hz). Hal ini
menunjukkan bahwa senyawa 4 memiliki dua ikatan rangkap C=C.
Gambar 4.30. Spektrum inframerah senyawa 4
Gambar 4.31. Spektrum 1H NMR senyawa 4 (CDCl3, 500 MHz)
Analisis dengan spektroskopi resonansi magnet inti karbon 13C-NMR (CDCl3;
125 MHz; ppm) seperti yang tertera pada Gambar 4.32 dan spektrum DEPT 135
74
(Lampiran 22, 23 dan 24) menunjukkan 29 sinyal karbon yang terdiri dari enam
karbon metil, sembilan karbon metilen, sebelas karbon metin, dan tiga atom
karbon kuarterner. Sinyal pada C: 12,1 dan 18,9 adalah untuk gugus metil yang
terikat rangka dasar steroid, sedangkan sinyal pada C: 19,5; 21,2; 21,3; dan 29,2
ppm merupakan sinyal untuk gugus metil yang terikat rantai samping; selanjutnya
pada geseran kimia 71,9 ppm adalah sinyal untuk C yang mengikat gugus OH,
kemudian sinyal pada geseran kimia 121,8; 129,3; 138,4; dan 140,8 ppm adalah
untuk C sp2.
Gambar 4.32. Spektrum 13C NMR senyawa 4 (CDCl3, 125 MHz)
Selain ditetapkan berdasarkan data spektroskopi, struktur molekul senyawa 4
ini dibandingkan dengan data NMR dari literatur yaitu senyawa stigmasta 5,22-
dien-3-ol dengan titik leleh 166o (Pouchert and Behnke, 1993). Perbandingan
data NMR senyawa 4 dengan literatur tertera pada Tabel 4.6.
75
Tabel 4.6. Data 13C NMR senyawa stigmasta-5,22-dien-3-ol (4) (CDCl3, 1H-
NMR 500 MHz, 13C-NMR 125 MHz) dan senyawa stigmasta 5,22-dien-
3-ol pembanding (4*) (CDCl3, 1H-NMR 300 MHz, 13C-NMR 360 MHz)
No
C H (ppm), integrasi, multiplisitas, J (Hz) C (ppm)
4 4* 4 4*
1 37,3 37,3
2 29,0 31,6
3 3,51 (1H, m) 3,52 (1H, m) 71,9 71,8
4 42,4 42,3
5 140,8 140,7
6 5,33 (1H,dd; 5,5) 5,35(1H, dd; 3,5) 121,8 121,7
7 31,7 33,9
8 36,2 36,1
9 50,2 50,1
10 36,5 36,5
11 21,1 21,2
12 39,8 39,7
13 42,3 42,2
14 56,9 56,8
15 24,5 24,3
16 28,3 28,9
17 56,0 56,0
18 12,3 12,2
19 19,5 19,4
20 40,6 40,5
21 21,3 23,1
22 5,14 (1H, dd; 8,6; 6,1) 5,12 (1H, dd; 8,7) 138,4 138,3
23 5,00 (1H, dd; 8,6; 6,1) 5,03 (1H, dd; 8,7) 129,3 129,3
24 51,3 51,2
25 32,0 31,9
26 19,1 19,0
27 19,9 21,1
28 25,5 25,4
29 12,1 12,0
* literatur (Pouchert and Behnke, 1993)
Tabel 4.6 menunjukkan kemiripan nilai geseran kimia yang tinggi antara
senyawa 4 hasil isolasi dengan senyawa pembanding di literatur.
Berdasarkan data spektroskopi inframerah, ultraviolet, dan NMR, juga setelah
dibandingkan dengan data sifat fisik serta data 1H dan 13C NMR senyawa
76
HO
H H
H1
26
3
15
5 6
17
8
27
10
11 1318
19
2021
23
24
25
2829
yang sama dari literatur, maka senyawa 4 adalah stigmasta-5,22-dien-3-ol
(Gambar 4.33).
Gambar 4.33. Struktur molekul senyawa 4
5) Penentuan struktur molekul senyawa 5
Senyawa 5 merupakan padatan amorf berwarna kuning. Spektrum ultraviolet
(Gambar 4.34) memperlihatkan serapan pada λmaks (log ε): 286 nm (4,76). Pola
spektrum ini menunjukkan adanya C=O terkonyugasi.
Gambar 4.34. Spektrum ultraviolet senyawa 5 dalam 1 mg/10 mL MeOH
77
OH
OCH3 O
OHO 1
23
4
Spektrum IR seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.35 memperlihatkan
serapan pada νmaks cm-1: 3363 (OH), 3058 (=C-H), 2950 (alifatik C-H), 1697,
1643 (C=O), 1593 (C=C konyugasi), dan 1107 (C-O eter).
Gambar 4.35. Spektrum inframerah senyawa 5
Spektrum 1H NMR (Gambar 4.36) memperlihatkan adanya dua sinyal proton
pada H 3,81 (3H, s) dan 5,85 ppm (1H, s). Sinyal pada H 3,81 ppm merupakan
sinyal untuk proton metoksil dan sinyal H 5,85 ppm adalah untuk proton metin
olefinik.
Spektrum 13C NMR (Gambar 4.37) menunjukkan adanya 5 sinyal karbon pada
C 56,5; 107,4; 157,3; 176,7; dan 186,9 ppm. Sinyal pada medan rendah δC 186,9
dan 176,7 ppm, merupakan sinyal untuk karbonil dari karboksilat. Sinyal pada δC
157,3 ppm, mengindikasikan adanya karbon kuarterner sp2, dan sinyal
pada δC 107,4 ppm adalah untuk karbon metin olefinik. Selain itu terdapat satu
sinyal untuk karbon metoksil pada δC 56,5 ppm.
78
OH
OCH3 O
OHO 1
23
4
Gambar 4.36. Spektrum 1H NMR senyawa 5 (CDCl3, 500 MHz)
Gambar 4.37. Spektrum 13C NMR senyawa 5 (CDCl3, 125 MHz)
Dari data spektroskopi, disimpulkan bahwa senyawa 5 memiliki dua gugus
karboksilat, satu gugus metoksil dan satu gugus metin olefinik dengan rumus
molekul C5H6O3 dan DBE = 3. Nilai DBE ini sesuai untuk dugaan stuktur yang
mempunyai tiga ikatan rangkap. Dengan demikian senyawa 5 adalah asam 2-
metoksibut-2-endioat. Struktur molekul senyawa tersebut ditampilkan pada
Gambar 4.38.
79
Gambar 4.38. Struktur molekul senyawa 5
4.4. Usulan Biogenesis Senyawa Santon dan Depsidon dari G. forbesii
Telah diisolasi dua senyawa santon dari kulit batang dan satu depsidon dari
kayu G. forbesii. Senyawa tersebut adalah 1,3,5-trihidroksi-2-metoksisanton (1);
1,3,5-trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-dimetiloktan-2,6-dienil)santon (2); dan
garsinisidon A (3). Berdasarkan penelusuran pustaka dari G. forbesii dilaporkan
telah diperoleh senyawa 1,3,7-trihidroksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon (26),
piranojakareubin (17), forbesanton (18) dan forbesion (39) dari bagian ranting G.
forbesii (Harrison et al., 1993; Wah et al., 1996).
Pembentukan cincin A dari santon diketahui berasal dari jalur asetat malonat
yaitu kondensasi dari tiga unit malonil CoA, sedangkan cincin B berasal dari jalur
sikimat. Untuk senyawa 1,3,5-trihidroksi-2-metoksisanton (1), pembentukan
cincin B berasal dari asam benzoat yang memiliki gugus m-hidroksi, sehingga
membentuk siklisasi dengan cincin A menghasilkan senyawa 1,3,5-
trihidroksisanton. Gugus metoksil pada C-2 berasal dari oksidasi terhadap senyawa
1,3,5-trihidroksisanton membentuk epoksida pada posisi C-2 dan C-3. Dengan
adanya katalis asam maka akan diikat oleh O epoksida, sehingga atom tersebut
bermuatan positif. Hal ini menyebabkan lepasnya H pada posisi C-2 membentuk
sistim aromatik kembali dan putusnya ikatan C-3-OH. Dengan demikian gugus OH
terikat pada posisi C-2. Reaksi metilasi pada C-2 ini menghasilkan senyawa 1,3,5-
trihidroksi-2-metoksisanton (1). Sedangkan pembentukan senyawa 1,3,5-
80
trihidroksi-2-(3-metilbut-2-enil)santon (26) yaitu senyawa yang sudah ditemukan
sebelumnya dari G. forbesii, berasal dari prenilasi senyawa 1,3,5-trihidroksisanton
pada posisi C-2.
Selanjutnya untuk pembentukan senyawa 1,3,5-trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-
dimetiloktan-2,6-dienil)santon (2), cincin B berasal dari asam benzoat yang
memiliki dua gugus hidroksil, yang keduanya berada pada posisi meta. Reaksi
siklisasi antara gugus hidroksil pada posisi meta dengan gugus hidroksil posisi orto
pada cincin yang lain membentuk senyawa 1,3,5,7-tetrahidroksisanton.
Selanjutnya, geranilasi pada posisi C-8 yang disusul dengan metilasi pada C-7
membentuk senyawa 1,3,5-trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-dimetiloktan-2,6-
dienil)santon (2).
Selain itu, senyawa garsinisidon A (3), dan senyawa lainnya yang telah
diisolasi dari tumbuhan G. forbesii yaitu senyawa piranojakareubin (17),
forbesanton (18) dan forbesion (39), berasal dari prekursor maklurin. Senyawa
garsinisidon A (3) terbentuk melalui reaksi prenilasi dari senyawa 1,3,6,7-
tetrahidroksisanton pada C-2 dan C-8, yang dilanjutkan dengan metilasi pada
posisi C-7. Ester siklik pada cincin C terbentuk melalui reaksi oksidasi yang
melibatkan hidrogen peroksida hingga menghasilkan garsinisidon A (3).
Selanjutnya, pembentukan senyawa forbesanton (18) berasal dari prenilasi
senyawa 1,3,5,6-tetrahidroksisanton pada C-7, yang dilanjutkan dengan
siklisasi dan metilasi pada C-3. Begitu pula dengan senyawa piranojakareubin
(17), terbentuk dari prenilasi senyawa 1,3,5,6-tetrahidroksisanton pada C-7,
yang dilanjutkan dengan siklisasi, dan prenilasi kembali pada C-2, yang
dilanjutkan dengan siklisasi. Sementara itu pembentukan senyawa forbesion
81
(39) berasal dari prenilasi senyawa 1,3,5,6-tetrahidroksisanton pada C-4 dan
C-7, yang diikuti dengan dearomatisasi cincin B dan siklisasi. Selanjutnya
terjadi prenilasi pada C-5. Usulan biogenesis senyawa santon dan depsidon
dari tumbuhan G. forbesii tertera pada Gambar 4.39.
Berdasarkan struktur molekul senyawa yang sudah ditemukan pada tumbuhan
G. forbesii, terlihat adanya kemampuan yang tinggi dari tumbuhan tersebut dalam
merekayasa molekulnya. Terbukti dengan ditemukannya senyawa santon
sederhana, santon tergeranilasi, piranosanton, sampai suatu depsidon. Dari jalur
biogenesis yang diusulkan terdapat prekursor-prekursor yang secara teoritis
terkandung di dalam tumbuhan ini. Jika prekursor-prekursor ini dapat diisolasi,
maka akan melengkapi profil kimia dari G. forbesii dan dapat membuktikan jalur
biogenesis yang diusulkan. Dengan demikian maka jalur biosintesisnya dapat
dibuat dengan reaksi-reaksi kimia di laboratorium, sehingga mendukung
pengembangan lebih lanjut.
82
O
HO
HO
O
OO
SCoA
O
HO
HO
O
OO
siklisasi
[H]
O
HO
HO
OH
OHHO
O
HO
O
OO
SCoAOH
siklisasi
O
HO
O
O
OH
O
[H]
O
HO
OH
OH
OH
HO
siklisasi
O
HO
OH
OH
OH
O
O OH
OH
OH
O
siklisasi
O OH
OH
OH
O
O[O]
H+
O OH
OH
OH
O
OH+
H
O OH
OH
OH
O
OH
metilasi
O OH
OH
OH
O
OCH3
(1)
O
HO
OH
OH
OH
O
geranilasi
metilasi
O
H3CO
OH
OH
OH
O
(2)
O
HO
OH
OHO
siklisasi
prenilasi
O
HO
OH
OHO
(26)
O
HO
OH
OHO
siklisasi
siklisasi
OH (15)prenilasi
O
HO
OH
OHO
OH
siklisasi
O OH
OHO
OH
O
metilasi
O OH
OCH3O
OH
O
(18)
prenilasi
O OH
OHO
OH
O
siklisasi
O OH
OO
OH
O
(17)
O
HO
OH
OHO
HO
prenilasi
O
HO
OH
OHO
H3CO
(41)
O
HO
OH
OHO
H3CO
OH
OH
H3CO
HO O
OO
OH
OH
[O]
-H2O
(3)
(16)
dearomatisasisiklisasi
OO
O OH
OHO
prenilasi
OO
O OH
OHO
(39)
(77)
O
HO
OH
OHO
HO
metilasi
O
O OH
OH
OH
HO
prenilasi
Gambar 4.39. Skema usulan biogenesis senyawa santon dan depsidon dari
G. forbesii
83
4.5 Uji Aktivitas Sitotoksik Senyawa Hasil Isolasi
Aktivitas sitotoksik dari senyawa hasil isolasi diuji dengan metode SRB
(sulforhodamine B). Metode ini merupakan metode pengujian sitotoksik secara in
vitro yang dikembangkan oleh NCI (National Cancer Istitute). Metode SRB ini
sensitif dibandingkan dengan metode uji MTT serta XTT (Skehan et al., 1990).
Dalam pengujian ini digunakan sel kanker payudara manusia (human breast
cancer cell line, T47D). Senyawa pembanding yang digunakan adalah Cis Pt: Cis-
diaminplatinum(II)diklorida (Pt(NH3)2Cl2). Teknik pengukuran didasarkan atas
persentase viabilitas sel yaitu kemampuan sel untuk bertahan hidup. Dari nilai
persentase viabilitas dapat dikonversikan untuk melihat persentase inhibisinya
sehingga diketahui tingkat aktivitas sitotoksik senyawa uji. Grafik hubungan
konsentrasi senyawa uji dan senyawa pembanding terhadap % inhibisi sel dapat
dilihat pada Gambar 4.40.
Gambar 4.40. Hubungan konsentrasi senyawa uji dan senyawa pembanding
terhadap % inhibisi
84
Berdasarkan Gambar 4.40 tersebut diketahui bahwa semua senyawa uji
memberikan nilai persen inhibisi yang bervariasi. Semakin besar konsentrasi
senyawa uji, maka persentasi inhibisi semakin tinggi (semakin banyak sel uji yang
mati). Efektivitas senyawa uji ditentukan dengan nilai IC50, yaitu kemampuan
senyawa uji untuk dapat mematikan 50 % sel uji. Nilai IC50 masing-masing
senyawa uji ditampilkan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7. Nilai IC50 senyawa uji dari kulit batang dan Kayu G. forbesii dan
senyawa pembanding (Cis platin).
No Senyawa Uji IC50
(µg/mL)
1. 1,3,5-Trihidroksi-2-metoksi santon (1) 11,9
2. 1,3,5,-Trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-dimetiloktan-2,6-
dienil)santon (2)
13,6
3. Garsinisidon A (3) 5,1
4. Stigmasta-5,22-dien-3-ol (4) 62,4
5. Asam 2-metoksibut-2-endioat (5) 50,4
6. Cis platin 0,3
Dari Tabel 4.7 tersebut, terlihat bahwa kelima senyawa hasil isolasi memberikan
nilai IC50 yang bervariasi. Berdasarkan penggolongan tingkat aktivitas sitotoksik
menurut Cao et al. (1998), untuk senyawa murni digolongkan sangat aktif apabila
memiliki nilai IC50 < 5 µg/mL, aktif 5-10 µg/mL, sedang 11-30 µg/mL dan tidak
aktif >30 µg/mL maka senyawa 1 dan 2 termasuk senyawa yang aktivitas
sitotoksiknya sedang, senyawa 3 termasuk kriteria yang aktif sitotoksik.
Sedangkan senyawa 4 dan 5 termasuk kelompok yang tidak aktif, karena
mempunyai nilai IC50 > 30 µg/mL.
85
Struktur molekul dan aktivitas biologi suatu senyawa mempunyai kaitan yang
erat. Aktivitas biologi biasanya sangat dipengaruhi oleh bentuk dari struktur
senyawa. Untuk mengetahui bagaimana kaitan struktur dan aktivitas biologi
tersebut, maka perlu dibandingkan dengan senyawa-senyawa lain lagi. Karena itu
dalam pengujian sitotoksik ini selain terhadap senyawa 1-5 dilakukan juga terhadap
senyawa lain yang diisolasi dari genus Garcinia yaitu senyawa D1, D2, D3 dan
D4 yang diisolasi dari kulit batang G. cornea dan G. cowa,senyawa B1, B2, dan
B3 dari kulit batang G. griffithii, dan senyawa A1, A2, dan A3 dari kulit
batang G. nigrolineata. Data nilai IC50 masing-masing senyawa uji tersebut
ditabulasikan pada Tabel 4.8. Sedangkan data absorban dan persentase inhibisi
tertera pada Lampiran 21 dan 22. Untuk struktur senyawa uji ditampilkan pada
Gambar 4.41.
Tabel 4.8. Nilai IC50 senyawa uji dari Genus Garcinia
No Senyawa Uji IC50 (µg/mL)
1. 1,3,5-trihidroksi-2-metoksisanton (1) 11,9
2.
1,3,5,-trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-dimetiloktan-2,6-
dienil)santon (2) 13,6
3. Garsinisidon A (3) 5,1
4. Stigmasta-5,22-dien-3-ol (4) 62,4
5. Asam 2-metoksibut-2-endioat (5) 50,4
6. Asam 3-okso-23-hidroksisikloart-24-en-26-oat (D1) 17,3
7. (-) epikatekin (D2) 3,6
8. Kowanin (D3) 10,4
9. Rubrasanton (D4) 13,5
10. 1,7 dihidroksisanton (B1) 13,1
11. 1,6-dihidroksi-3-metoksi-4,7-di-(3-metilbut-2-enil)santon (B2) 7,6
12.
1,5-dihidroksi-3,6-dimetoksi-2,7-di-(3-metilbut-2-enil)santon
(B3) 10,1
13. Isosantosimol (A1) 6,6
14.
1,7-dihidroksi-3-metoksi-4-(3-metilbut-2-enil)-6,6’-
Dimetilpirano(2’,3’:6,5)santon (A2) 9,8
15. 1,7-dihidroksi-6,6-dimetilpirano(2’,3’:6,5)santon (A3) 9,4
16. CP 0,3
86
O
O
OH
OH
OH
OCH3
(1)
H3CO
HO O
OO
OH
OH(3)
O
O OH
OH
OH
H3CO
(2)
OH
OCH3
O
OHO
(5)
COOH
O
HO
(D1)
O
OH
HO
OH
OH
OH
(D2)O
O
OH
OH
HO
H3CO
(D4)
HO
H H
H
(4)
HO
OH
O
O
O
O
(A1)
O O OCH3
OH
HO
O
O O
OH
HO
O
(A2) (A3)
O
O OH
HO
O
O OH
OCH3HO O
O OH
OCH3H3CO
OH(B1) (B2) (B3)
Pt
Cl
Cl
H3N
H3N
O
O
OH
OH
HO
H3CO
(D3)
(CP)
Gambar 4.41. Struktur molekul dari senyawa uji dan senyawa pembanding
87
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa nilai IC50 masing-masing senyawa sangat
bervariasi tergantung dari struktur molekul senyawa. Dari seluruh senyawa uji
yang menunjukkan aktivitas sitotoksik yang tertinggi dan tergolong sangat aktif
adalah senyawa (-) epikatekin (D2) dan garsinisidon A (3) dengan IC50 masing-masing
adalah 3,6 dan 5,1 µg/mL, dilanjutkan dengan senyawa Isosantosimol (A1),
1,6-dihidroksi-3-metoksi-4,7-di-(3-metilbut-2-enil)santon (B2); 1,7-dihidroksi-6,6-
dimetilpirano(2’,3’:6,5)santon (A3), dan dimetilpirano(2’,3’:6,5)santon (A2). Untuk
senyawa 1,5-dihidroksi-3,6-dimetoksi-2,7-di-(3-metilbut-2-enil)santon (B3), Kowanin
(D3), 1,3,5-trihidroksi-2-metoksisanton (1), 1,7 dihidroksisanton (B1), Rubrasanton (D4),
1,3,5,-trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-dimetiloktan-2,6-dienil)santon (2), dan Asam 3-
okso-23-hidroksisikloart-24-en-26-oat (D1) termasuk kategori senyawa aktif. Sedangkan
senyawa stigmasta-5,22-dien-3-ol (4) dan asam 2-metoksibut-2-endioat (5)
termasuk senyawa yang tidak aktif sitotoksik.
Aktivitas sitotoksik yang tertinggi yang diberikan oleh senyawa (-) epikatekin
(D2), dilihat dari struktur molekulnya diduga dipengaruhi oleh jumlah gugus hidroksil
yang dimiliki oleh senyawa ini, yaitu mempunyai lima gugus hidroksil, sementara
garsinisidon A (3) dengan 3 gugus hidroksil, aktivitas sitotoksiknya berada dibawah (-)
epikatekin (D2). Hal ini sesuai dengan pernyataan Ito et al. (2003) yang
menjelaskan bahwa gugus hidroksil merupakan faktor yang penting dalam
meningkatkan aktivitas sitotoksik suatu senyawa.
Selanjutnya bila sifat sitotoksik tersebut dikaitkan dengan gugus prenil yang
terikat, maka dapat terlihat bahwa senyawa A1, dengan 3 gugus prenil memberikan
aktivitas yang tinggi dibandingkan dengan senyawa lain yang mempunyai prenil
lebih sedikit yaitu 2 prenil atau 1 prenil seperti senyawa, A2, A3, B2, B3,dan D3,
88
pengecualian untuk senyawa 3, meskipun mempunyai 2 gugus prenil, tetapi
aktivitas sitotoksiknya lebih tinggi dari A1, hal ini diduga dipengaruhi oleh jumlah
gugus OH yang dimiliki oleh senyawa 3 yang lebih banyak dari senyawa A1. Dari
data ini menunjukkan bahwa dengan adanya gugus prenil juga mempengaruhi
peningkatan kekuatan sitotoksik senyawa uji. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari
Ito et al. (2001) dan Ito et al. (2003) yang menyatakan bahwa adanya rantai
samping gugus prenil sangat penting dalam meningkatkan aktivitas sitotoksik.
Kemudian dijelaskan juga bahwa adanya gugus geranil tidak memberikan
pengaruh terhadap kekuatan sitotoksik suatu senyawa, hal ini dinyatakan oleh
Baggett et al. (2005). Pernyataan ini dibuktikan dari aktivitas sitotoksik senyawa
D3, D4 dan 2 yang mempunyai aktivitas lebih rendah dibandingkan dengan
senyawa yang mempunyai gugus prenil, meskipun sama-sama mempunyai gugus
hidroksil.
Kekuatan sitotoksik selain dipengaruhi dua faktor yang telah disebutkan
sebelumnya yaitu gugus hidroksil dan prenil, juga ada faktor gugus fungsi lain
seperti asam karboksilat. Adanya gugus karboksilat ini cukup memberikan
pengaruh terhadap sifat sitotoksik suatu senyawa meskipun tidak terlalu tinggi. Hal
ini terlihat pada senyawa triterpen D1, berdasarkan nilai IC50 dikelompokkan pada
senyawa yang mempunyai sifat sitotoksik yang aktif. Sedangkan untuk senyawa 4
dan 5 termasuk klasifikasi senyawa yang tidak aktif, karena nilai IC50 > 20 µg/mL.
Sedangkan senyawa yang dijadikan pembanding, sebagai kontrol positif digunakan
cis-platin (NH3)2Cl2Pt, yang merupakan senyawa kompleks platina. Senyawa cis
platin ini merupakan senyawa yang telah dikenal sebagai senyawa antitumor
(Nogrady, 1992).
89
Pengaruh struktur terhadap sifat sitotoksik berkaitan dengan senyawa antitumor,
karena umumnya senyawa yang bersifat antitumor mempunyai struktur dengan
karakteristik tertentu, seperti adanya sistim lingkar, sistim lakton, sistim enon,
senyawa karbonil tidak jenuh, jembatan oksida dalam sistim siklik, dan gugus
hidroksil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutrisno (2000) yang menyebutkan
bahwa.gugus–gugus tersebut berperan dalam mempengaruhi aktivitas sitotoksik
senyawa kimia.
90
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1) Dari ekstrak kulit batang (1,5 kg) dan kayu (1,5 kg) G. forbesii diperoleh lima
senyawa. Senyawa 1 adalah 1,3,5-trihidroksi-2-metoksisanton (6 mg),
senyawa 2 yaitu 1,3,5-trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-dimetiloktan-2,6-dienil)
santon (12 mg). Selanjutnya senyawa 3 adalah garsinisidon A (22 mg),
sedangkan senyawa 4 dan 5 berturut- turut adalah stigmasta-5,22-dien-3-ol
(18 mg) dan asam 2-metoksibut-2-endioat (15 mg).
2) Kelima senyawa hasil isolasi tersebut merupakan senyawa yang baru pertama
dilaporkan terkandung dalam spesies tumbuhan G. forbesii. Dua dari senyawa
yang diperoleh telah ditemukan dari spesies lain, yaitu 1,3,5-trihidroksi-2-
metoksisanton (1) dari Tovomita pyrifolium, dan garsinisidon A (3) dari G.
assigu.
3) Hasil uji aktivitas sitotoksik menunjukkan bahwa tiga senyawa hasil isolasi
mempunyai aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker payudara manusia T47D
dengan kekuatan sitotoksik yang bervariasi. Senyawa senyawa 1 dan 2
termasuk senyawa yang aktivitas sitotoksiknya sedang (IC50 11,9 dan13,6)
senyawa 3 termasuk kriteria yang aktif (IC50 5,1 µg/mL), sedangkan senyawa
4 dan 5 termasuk kelompok yang tidak aktif, karena mempunyai nilai IC50 > 30
µg/mL (62,4 dan 50,4 µg/mL).
91
4) Aktivitas sitotoksik senyawa uji dipengaruhi oleh adanya gugus hidroksil dan
gugus prenil yang tersubsitusi pada cincin aromatik.
5) Secara biogenesis, kaitan struktur dari semua senyawa isolasi melibatkan
berbagai reaksi seperti reaksi metilasi, oksigenasi, prenilsi, geranilasi, dan
siklisasi.
5.2. Saran
1) Dengan diketahuinya potensi aktivitas sitotoksik dari senyawa asal G. forbesi,
1,3,5-trihidroksi-2-metoksisanton (1), 1,3,5-trihidroksi-7-metoksi-8-(3,7-
dimetiloktan-2,6-dienil)santon (2), dan garsinisidon A (3) merupakan
peluang pada bidang ilmu lain yang terkait untuk melakukan studi lanjutan
teraplikasi.
2) Adanya kesamaan senyawa yang diperoleh dari genus Garcinia dengan genus
lain yaitu Tovomita, merupakan tambahan informasi dalam pembelajaran
biogenesis dan kemotaksonomi.
3) Dengan terungkapnya kandungan kimia senyawa sitotoksik dari tumbuhan
langka G. forbesii, dapat digunakan sebagai dasar untuk masukan kepada
masyarakat/ pemerintah setempat dalam melestarikan keberadaan tumbuhan ini,
baik sebagai tanaman hutan reboisasi atau keperluan keanekaragaman hayati
bersama spesies Garcinia lainnya.
96
Lampiran 5. Potongan spektrum 1H-NMR senyawa 2 untuk proton aromatik pada
daerah geseran kimia antara 1,49-2,03 ppm (CD3OD, 500 MHz)
97
Lampiran 6. Potongan spektrum 1H-NMR senyawa 2 untuk proton aromatik
pada daerah geseran kimia antara 4,05-6,69 ppm (CD3OD, 500
MHz)
99
Lampiran 8. Spektrum HMQC senyawa 2 untuk proton pada geseran kimia δH
1,49 – 2,03 ppm (CD3OD, 1H-500 MHz, 13C-125 MHz)
100
Lampiran 9. Spektrum HMQC senyawa 2 untuk proton pada geseran kimia δH
3,75 dan 4,05 ppm(CD3OD, 1H-500 MHz, 13C-125 MHz)
101
Lampiran 10. Spektrum HMQC senyawa 2 untuk proton pada geseran kimia
daerah 4,99 – 6,69 ppm (CD3OD, 1H-500 MHz, 13C-125 MHz)
105
Lampiran 14. Ekspansi spektrum 1H-NMR senyawa 3 untuk proton pada geseran
kimia 1,6-1,8 ppm (CDCl3, 500 MHz)
106
Lampiran 15. Ekspansi spektrum 1H-NMR senyawa 3 untuk proton pada geseran
kimia 5,1-6,7 ppm (CDCl3, 500 MHz)
108
Lampiran 18. Spektrum COSY sebagian senyawa 3 untuk proton pada δH 5,20;
5,17; 3,46; 3,37; dan 1,79 ppm
110
Lampiran 19. Ekspansi spektrum 1H NMR senyawa 4 untuk geseran kimia
0,64-0,95 ppm (CDCl3, 500 MHz)
112
Lampiran 21. Ekspansi spektrum 1H NMR senyawa 4 untuk geseran kimia 4,97 –
5,33 ppm (CDCl3, 500 MHz)
113
Lampiran 22. Potongan spektrum DEPT 135 senyawa 4 untuk karbon pada
daerah geseran kimia antara 12,1-24,5 ppm (CDCl3, 125 MHz)
114
Lampiran 23. Potongan spektrum DEPT 135 senyawa 4 untuk karbon pada
daerah geseran kimia antara 25,5-42,4 ppm (CDCl3, 125 MHz)
115
Lampiran 24. Potongan spektrum DEPT 135 senyawa 4 untuk karbon pada
daerah geseran kimia antara 50,2-138,4 ppm (CDCl3, 125 MHz)
116
Lampiran 25. Nilai absorban sampel (A1) pada berbagai konsentrasi dengan
metoda SRB.
Absorban
Senyawa Uji
Konsentrasi (µg/mL)
0,16 0,31 0,63 1,25 2,5 5 10 20
Senyawa 1 0,434 0,417 0,398 0,380 0,351 0,327 0,306 0,286
Senyawa 2 0,448 0,423 0,399 0,385 0,365 0,338 0,319 0,296
Senyawa 3 0,399 0,376 0,356 0,339 0,320 0,298 0,255 0,193
Senyawa 4 0,607 0,601 0,588 0,577 0,557 0,542 0,521 0,516
Senyawa 5 0,621 0,584 0,574 0,563 0,533 0,523 0,508 0,491
Senyawa D1 0,607 0,521 0,456 0,388 0,374 0,366 0,353 0,333
Senyawa D2 0,400 0,363 0,349 0,317 0,298 0,267 0,235 0,210
Senyawa D3 0,444 0,434 0,415 0,393 0,353 0,320 0,283 0,266
Senyawa D4 0,534 0,501 0,464 0,425 0,395 0,360 0,320 0,281
Senyawa B1 0,494 0,476 0,435 0,402 0,373 0,338 0,318 0,289
Senyawa B2 0,457 0,398 0,385 0,369 0,327 0,302 0,259 0,230
Senyawa B3 0,507 0,477 0,438 0,397 0,318 0,296 0,278 0,258
Senyawa A1 0,542 0,505 0,398 0,371 0,338 0,264 0,197 0,139
Senyawa A2 0,571 0,518 0,459 0,416 0,382 0,324 0,262 0,204
Senyawa A3 0,436 0,416 0,386 0,374 0,350 0,316 0,285 0,254
CP 0,374 0,343 0,320 0,293 0,259 0,243 0,212 0,186
Keterangan : Nilai absorban kontrol (A2) = 0,633
117
Lampiran 26. Nilai persen inhibisi senyawa uji (% I) pada berbagai konsentrasi
dengan metoda SRB.
% I
Senyawa Uji
Konsentrasi (µg/mL)
0,16 0,31 0,63 1,25 2,5 5 10 20
Senyawa 1 31,47 34,08 37,19 39,9 44,63 48,38 51,58 54,79
Senyawa 2 29,04 33,13 36,81 39,13 42,38 46,66 49,46 53,24
Senyawa 3 36,87 40,59 43,67 46,4 49,4 52,86 59,65 69,55
Senyawa 4 4,16 5,12 7,09 8,81 12,01 14,3 17,74 18,4
Senyawa 5 1,88 7,67 9,3 11,1 15,8 17,4 19,8 22,5
Senyawa D1 4,04 16,77 27,98 38,73 40,91 42,1 44,24 47,44
Senyawa D2 36,75 42,65 44,85 49,88 52,99 57,82 62,93 66,79
Senyawa D3 29,89 31,47 34,36 37,95 44,29 49,43 55,33 57,88
Senyawa D4 15,67 20,83 26,74 32,8 37,65 43,11 49,39 55,61
Senyawa B1 21,97 24,8 31,26 36,56 41,02 46,67 49,77 54,39
Senyawa B2 27,8 37,05 39,24 41,7 48,27 52,27 59,03 63,64
Senyawa B3 19,9 24,63 30,81 37,25 49,72 53,24 56,03 59,19
Senyawa A1 14,29 20,21 37,13 41,47 46,57 58,29 68,82 77,91
Senyawa A2 9,78 18,12 27,4 34,22 39,68 48,86 58,63 67,84
Senyawa A3 31,16 34,22 38,97 40,95 44,67 49,98 54,92 59,83
CP 40,93 45,79 49,4 53.72 58,99 61,6 66,53 70,63
118
Lampiran 27.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Juni 1972 di Jambi, sebagai anak ketiga dari
enam bersaudara dari ayah H. M. Latief Piliang (almarhum) dan ibu Hj. Farida,
BA. Penulis menamatkan SD, SMP dan SMA di Jambi. Gelar sarjana strata 1 (S1)
diperoleh pada tahun 1995 pada Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian
Universitas Jambi. Pada tahun 1997 Penulis mendapat beasiswa proyek Due DIKTI
untuk meneruskan pendidikan pada Program Pascasarjana S2, Jurusan Kimia
Universitas Andalas, dan gelar Magister Sains diperoleh pada tahun 1999.
Selanjutnya pada tahun 2005 Penulis mendapatkan beasiswa BPPS untuk
mengikuti pendidikan pada program S3 dibawah bimbingan Prof. Dr. Supriyatna,
Prof. Dr. Husein H. Bahti dan Prof. Dr. Dachriyanus.
Sejak tahun 1999 hingga sekarang, Penulis menjadi staf pengajar di program
studi Ilmu Tanah Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Jambi.
Penulis menikah dengan Drs Hambali, M.Si, pada tahun 2000 dan dikarunia tiga
orang anak yaitu Muhammad Yusuf Hanad, Qatrunnada Arraudah Hanad, dan
Qanita Naurah Hanad.
Selama mengikuti program Doktor, Penulis telah mengikuti seminar-seminar
sebagai pemakalah pada :
• International Conference on Chemical Science, May 24-26, 2007,
Yogyakarta, Indonesia dengan judul Antioxidative Tetraoxygenated
Xanthone from the Stem bark of Garcinia forbesii King.
119
• Seminar Kebudayaan Indonesia Malaysia, 29-31 Mei 2007, UKM Malaysia,
dengan judul Senyawa Fridelin Dari Fraksi Aktif Antibakteri Daun Garcinia
celebica Linn. (Kandis).
• The Henk Timmerman International Seminar on Pharmaco Chemistry, July
10, 2007, Jakarta, dengan judul Antioxidant compound potency from the stem
bark of Kandis Hutan (Garcinia forbesii King.) as lead compound of drug.
• Seminar Nasional Kimia IX, 24 Juli 2007, Surabaya, dengan judul Fridelan-3-
on dari Kulit Batang Kandis (Garcinia celebica Linn.).
• Seminar Tjipto Utomo (STU) ITENAS 2007, Bandung, 30 Agustus 2007,
dengan judul Usaha Peningkatan Potensi Tumbuhan Kandis (Garcinia
celebica Linn.) Sebagai Obat Diare.
• International Seminar on Pharmaceutics. Bandung-Indonesia, October 31 –
November 1, 2007, dengan judul Antibacterial Agent from Kandis (Garcinia
celebica Linn.) for Disease of Diarrhoea.
• Simposium Nasional XVII Kimia Bahan Alam dan Kongres VIII Himpunan
Kimia Bahan Alam Indonesia, Pekanbaru 14-15 November 2007, dengan
judul Santon tergeranilasi dari kulit batang Garcinia forbesii King.
• International Seminar on the Role of Chemistry in Industry and Environment,
Held by Department of Chemistry, Andalas University in cooperation with
Indonesian Chemical Society Branch West Sumatera, Padang, 27-28
November 2007, dengan judul 2-methoxybut-2-enedioicacid from the wood
of Garcinia forbesii King.
Publikasi :
• Madyawati, L., Dachriyanus, Bahti, H. H., dan Soetardjo, S., 2007.
Kandungan Kimia dari Fraksi Aktif Antioksidan Ekstrak kulit Batang
Garcinia forbesii King. Jurnal farmasi Indonesia 05 (01) : 7 – 12.
• Madyawati, L., Dachriyanus, Bahti, H. H., dan Soetardjo, S., 2007. Aktivitas
Antioksidan Ekstrak Daun Garcinia celebica Linn. (Kandis). Jurnal farmasi
Indonesia 05 (02) : 84 – 89.
• Madyawati, L., Dachriyanus, Bahti, H. H., dan Soetardjo, S., 2008. Aktivitas
Sitotoksik Ekstrak Kulit Batang Dan Kayu Garcinia Forbesii King terhadap
Arthemia Salina Leach. Jurnal Percikan Universitas Jambi 85: 97-99.
Top Related