Kompetisi dan Tumpang-tindih Relung antara Siamang (Symphalangus syndactylus) dan Mamalia Arboreal...

105
UNIVERSITAS INDONESIA KOMPETISI DAN TUMPANG-TINDIH RELUNG ANTARA SIAMANG (Symphalangus syndactylus) DAN MAMALIA ARBOREAL LAINNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN SKRIPSI MARSYA CHRISTYANTI 1006675991 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DEPARTEMEN BIOLOGI DEPOK JUNI 2014

Transcript of Kompetisi dan Tumpang-tindih Relung antara Siamang (Symphalangus syndactylus) dan Mamalia Arboreal...

UNIVERSITAS INDONESIA

KOMPETISI DAN TUMPANG-TINDIH RELUNG ANTARA

SIAMANG (Symphalangus syndactylus) DAN MAMALIA

ARBOREAL LAINNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT

BARISAN SELATAN

SKRIPSI

MARSYA CHRISTYANTI

1006675991

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

DEPARTEMEN BIOLOGI

DEPOK

JUNI 2014

UNIVERSITAS INDONESIA

KOMPETISI DAN TUMPANG-TINDIH RELUNG ANTARA

SIAMANG (Symphalangus syndactylus) DAN MAMALIA

ARBOREAL LAINNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT

BARISAN SELATAN

SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

MARSYA CHRISTYANTI

1006675991

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

DEPARTEMEN BIOLOGI

DEPOK

JUNI 2014

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Tritunggal karena hanya oleh

kasih karunia dan penyertaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini dapat dituntaskan karena dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh

karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Noviar Andayani, M.Sc. sebagai pembimbing I dan Dr. Nurul Laksmi

Winarni, M.Sc. sebagai pembimbing II yang telah membimbing penulis dari

awal pencetusan ide penelitian sampai akhir masa penulisan. Penulis

berterima kasih untuk seluruh masukan, gagasan, kritik, dukungan, dan

terutama inspirasi yang telah diberikan.

2. Drs. Wisnu Wardhana, M.Si. sebagai penguji I dan Dr.rer.nat. Yasman, M.Sc.

sebagai penguji II yang telah memberikan banyak masukan dan kritik dalam

rancangan penelitian dan penulisan hasil penelitian.

3. Dr. Anom Bowolaksono, M.Si. sebagai Penasihat Akademik atas bimbingan

dan dukungan selama masa perkuliahan.

4. Dr. Andi Salamah sebagai Ketua Prodi S1 Departemen Biologi FMIPA UI dan

Dr.rer.nat. Yasman, M.Sc. sebagai Ketua Departemen Biologi FMIPA UI.

5. Seluruh staf pengajar dan karyawan Departemen Biologi FMIPA UI atas

bantuan selama masa perkuliahan.

6. Dr. Susan Lappan untuk ilmu, kritik, dan saran dalam pembuatan rancangan

penelitian.

7. Wildlife Conservation Society-Indonesia Program yang telah memberikan

kesempatan untuk melakukan penelitian di Stasiun Penelitian Way Canguk.

Penulis berterima kasih kepada Pak Opo yang telah memberikan perizinan dan

saran untuk penelitian, Mas Seti sebagai asisten lapangan, dan Mas Gawik,

Mas Jayus, Mas Lazi, dan Mas Rahman yang telah membantu selama

pengambilan data di lapangan.

8. Nagao Environment Foundation yang telah memberikan beasiswa pendidikan.

v

9. Keluarga tercinta, yaitu Mama, Inangboru Merry, Inangboru Dame, Uda

Sintong, Ompung Doli, Ompung Boru, Rio, Athan, Hana, dan Yoshua yang

setia berdoa dan memberikan dukungan finansial.

10. Almarhum Ayah yang semasa hidupnya merupakan seorang petualang dan

pecinta alam. Jiwa petualang dan kisah hidupnya yang hanya penulis dengar

sebagai cerita selalu menjadi motivasi bagi penulis untuk tidak berhenti

mengeksplorasi alam.

11. Partner ekologi hewan, yaitu Sheherazade, Ardiantiono, Shafia Zahra, Pramita

Indrarini, dan Achmad Ridha Junaid, yang telah menjadi sahabat diskusi yang

menyenangkan; Dyna, Abinubli, Ricky, Ninda, Elisabeth, Ayu, Deka, Cindy

Kus, dan seluruh anggota keluarga B10GENESIS lainnya untuk persahabatan

dan kekeluargaan selama masa perkuliahan.

12. Teman-teman, junior, dan senior Biologi serta ketiga BSO (KSHL Comata,

OMPT Canopy, dan SIGMA-B UI), terutama Nuruliawati, Niken Ekatiwi,

Lucia, Kak Sasha, Kak Sisil, Kak Eman, Kak Wendy, untuk tumpahan ilmu,

diskusi, motivasi, dan pengalaman lapangan.

13. Teman-teman persekutuan dalam Kristus, yaitu Octy, Gina, Aviana, Livia,

Septi, Zendy, Inez, dan seluruh anggota Persekutuan Alumni SMAN 8 untuk

doa dan semangat.

Walaupun naskah ini tidak sempurna, penulis berharap hasil penelitian ini dapat

berkontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama untuk konservasi

biodiversitas hutan hujan tropis Indonesia.

Depok, 30 Juni 2014

Penulis

vii

ABSTRAK

Nama : Marsya Christyanti

Program Studi : S1 Biologi

Judul : Kompetisi dan Tumpang-tindih Relung antara Siamang

(Symphalangus syndactylus) dan Mamalia Arboreal

Lainnya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Siamang hidup berdampingan dengan berbagai spesies mamalia arboreal yang

berpotensi sebagai kompetitor di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

(TNBBS). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terjadi

kompetisi antara siamang dan mamalia arboreal lainnya serta mengetahui

tumpang-tindih relung berdasarkan penggunaan habitat dan pemilihan pakan di

antara komunitas mamalia arboreal di Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS.

Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari hingga April 2014 dengan dua

metode, yaitu metode focal instantaneous sampling untuk pengamatan perilaku

siamang dan metode transek garis untuk survei mamalia arboreal. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa siamang berkompetisi dengan simpai, bajing kelapa, dan

jelarang hitam. Tumpang-tindih relung terbesar terjadi antara siamang dengan

jelarang hitam berdasarkan pemilihan pakan (Ro = 0,418) dan penggunaan habitat

(Uji Wilcoxon, p-value > 0,05). Dari 57 interaksi interspesifik antara siamang

dan mamalia arboreal lainnya, terdapat 61,40% interaksi netral, 19,30% agresi,

dan 19,30% dominansi. Kesimpulan penelitian ini adalah kompetisi interferensi

dan eksploitatif terjadi antara siamang dan ketiga spesies mamalia arboreal serta

terdapat tumpang-tindih relung antara siamang dan ketiga spesies mamalia

arboreal.

Kata Kunci : kompetisi interspesifik, mamalia arboreal, relung, siamang.

xiii + 91 halaman : 14 gambar; 12 tabel; 7 lampiran

Daftar Acuan : 58 (1957--2013)

viii

ABSTRACT

Name : Marsya Christyanti

Study Program : S1 Biologi

Judul : Competition and Niche Overlap between Siamang

(Symphalangus syndactylus) and Other Arboreal

Mammals in Bukit Barisan Selatan National Park

Siamang coexists with various arboreal mammal species which are potential

competitors to siamang in Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP). The

aims of this study are to determine whether interspecific competition occurs

between siamang and other arboreal mammals and to determine niche overlap in

terms of habitat use and food selection among mammals community in Way

Canguk Research Station, BBSNP. Data collection was conducted on February

until April 2014 using two methods: focal instantaneous sampling to measure

siamang behavior and line transect method to survey coexisting mammals. The

result of this research suggests that siamang competes with banded langur,

plaintain squirrel, and black giant squirrel. Niche overlap is the highest between

siamang and black giant squirrel based on food preference (Ro = 0,418) and

habitat use (Uji Wilcoxon, p-value > 0,05). Among 57 interspecific interactions

between siamang and other arboreal mammals, 61,40% are netral interactions,

19,30% are agressions, and 19,30% are dominance interactions. This research

concludes that interference and exploitative competition occur between siamang

and three other arboreal mammals and there is niche overlap among them.

Keywords : interspecific competition, arboreal mammals, niche, siamang.

xiii + 91 pages : 14 pictures; 12 tables; 7 appendices

Daftar Acuan : 58 (1957--2013)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................ i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... iii

KATA PENGANTAR .............................................................................. iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................... vi

ABSTRAK ............................................................................................... vii

ABSTRACT ............................................................................................. viii

DAFTAR ISI ............................................................................................ ix

DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xi

DAFTAR TABEL .................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiii

1. PENDAHULUAN................................................................................ . 1

2. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 5

2.1. Kompetisi Interspesifik dan Relung ............................................. 5

2.2. Siamang ....................................................................................... 7

2.2.1. Klasifikasi siamang ............................................................ 7

2.2.2. Morfologi siamang............................................................. 7

2.2.3. Habitat dan distribusi ......................................................... 9

2.2.4. Perilaku ............................................................................. 10

2.2.5. Struktur sosial .................................................................... 11

2.2.6. Pakan ................................................................................. 12

2.2.7. Peran ekologis ................................................................... 13

2.3. Mamalia Arboreal ........................................................................ 14

2.3.1. Suku Tupaiidae .................................................................. 16

2.3.2. Suku Cercopithecidae ........................................................ 17

2.3.3. Suku Ursidae ..................................................................... 17

2.3.4. Suku Mustelidae ................................................................ 17

2.3.5. Suku Sciuridae ................................................................... 18

2.4. Stasiun Penelitian Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan ......................................................................................... 18

3. METODOLOGI PENELITIAN......................................................... 22

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................ 22

3.2. Alat, Bahan, dan Subjek Penelitian .............................................. 22

3.3. Cara Kerja ................................................................................... 23

3.3.1. Pengambilan data ............................................................... 23

3.3.2. Analisis data ...................................................................... 27

4. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................ 31

4.1. Tumpang-tindih Relung Berdasarkan Pakan ................................. 33

4.2. Tumpang-tindih Relung Berdasarkan Penggunaan Habitat ........... 36

x

4.3. Kompetisi Interspesifik antara Siamang dengan Tiga Spesies

Mamalia Arboreal ........................................................................ 43

4.4. Partisi Relung antara Siamang dan Kompetitornya ....................... 50

4.4.1. Partisi Relung antara Siamang dan Simpai ......................... 51

4.4.2. Partisi Relung antara Siamang dan Bajing Kelapa .............. 52

4.4.3. Partisi Relung antara Siamang dan Jelarang Hitam ............. 53

5. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ 54

5.1. Kesimpulan .................................................................................. 54

5.2. Saran ............................................................................................ 54

DAFTAR ACUAN..................................................................................... . 56

LAMPIRAN............................................................................................... . 62

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2.2. Siamang betina (kiri) dan siamang jantan (kanan) ............ 8

Gambar 2.2.3. Peta distribusi Hylobatidae di Asia Tenggara ................... 10

Gambar 2.2.6. Komposisi pakan siamang di TNBBS .............................. 12

Gambar 2.4(1) Lokasi Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS .............. 19

Gambar 2.4(2) Area penelitian tenggara (atas) dan area penelitian barat

laut (bawah) di Way Canguk ............................................ 21

Gambar 3.3.1. Wilayah jelajah beberapa kelompok siamang yang telah

terhabituasi di area penelitian selatan ............................... 26

Gambar 4. Tiga spesies mamalia arboreal dengan frekuensi pertemuan

tertinggi di area survei ...................................................... 32

Gambar 4.1(1) Diagram komposisi pakan tiga kelompok siamang subjek

penelitian ......................................................................... 33

Gambar 4.1(2) Diagram perbandingan komposisi pakan siamang, simpai,

bajing kelapa, dan jelarang hitam ..................................... 34

Gambar 4.2(1) Proyeksi variabel-variabel penggunaan habitat pada PC1

(sumbu-x) dan PC2 (sumbu-y) .......................................... 39

Gambar 4.2(2) Ordinasi penggunaan habitat oleh empat spesies mamalia

arboreal terhadap PC1 (sumbu-x) dan PC2 (sumbu-y) ...... 40

Gambar 4.2(3) Boxplot ketiga variabel yang berkorelasi tinggi dengan

PC1 dan PC2 .................................................................... 42

Gambar 4.3(1) Proyeksi variabel-variabel penggunaan habitat pada

sumbu PC1 dan PC2 ........................................................ 46

Gambar 4.3(2) Ordinasi data interaksi interspesifik pada sumbu PC1 dan

PC2 .................................................................................. 47

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.3. Daftar famili dan spesies mamalia di Way Canguk beserta

pola aktivitas dan arborealitas .......................................... 14

Tabel 3.2. Komposisi kelompok siamang subjek penelitian .............. 23

Tabel 3.3.2(1) Variabel penggunaan habitat yang dianalisis dengan PCA

untuk mengetahui tumpang-tindih relung di antara mamalia

arboreal ............................................................................ 28

Tabel 3.3.2(2) Variabel kondisi habitat yang dianalisis dengan PCA

untuk mengetahui perbedaan kondisi habitat yang

berhubungan dengan interaksi interspesifik ...................... 29

Tabel 4.1(1) Tabel ringkasan catatan spesies pakan dan tumpang-tindih

relung berdasarkan pemilihan pakan................................. 35

Tabel 4.1(2) Daftar spesies tumbuhan pakan siamang yang juga dimakan

oleh simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam ................. 36

Tabel 4.2(1) Ringkasan variabel-variabel penggunaan habitat .............. 37

Tabel 4.2(2) Hasil uji Kruskal-Wallis variabel penggunaan habitat

dengan faktor keempat spesies mamalia arboreal (siamang,

simpai, bajing kelabu, dan jelarang hitam)........................ 41

Tabel 4.3(1) Frekuensi interaksi interspesifik antara siamang dengan

mamalia arboreal lainnya ................................................. 44

Tabel 4.3(2) Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap kedua PC dan variabel

yang berkorelasi tinggi dengan PC1 dan PC2 ................... 47

Tabel 4.3(3) Perbandingan ukuran tubuh siamang, simpai, bajing

kelapa, dan jelarang hitam ................................................ 48

Tabel 4.3(4) Perbandingan laju penanganan buah antara siamang dan

jelarang hitam .................................................................. 50

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar sepuluh mamalia arboreal yang terdapat di ruang

jelajah siamang ...................................................................... 62

Lampiran 2. Daftar kategori dan spesies pakan siamang, simpai, bajing

kelapa, dan jelarang hitam ...................................................... 63

Lampiran 3. Perhitungan indeks tumpang-tindih Horn ............................... 66

Lampiran 4. Analisis variabel penggunaan habitat oleh siamang dan tiga

spesies mamalia arboreal menggunakan metode PCA ............ 72

Lampiran 5. Analisis penggunaan habitat dengan uji Kruskal-Wallis dan

uji Wilcoxon .......................................................................... 78

Lampiran 6. Analisis dengan metode PCA pada variabel kondisi habitat

yang memungkinkan terjadinya interaksi interspesifik ........... 82

Lampiran 7. Analisis kondisi habitat yang memfasilitasi interaksi

interspesifik dengan uji Kruskal-Wallis .................................. 89

1 Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

Kompetisi interspesifik terjadi jika dua spesies yang berbeda

menggunakan sumber daya yang sama dan hanya tersedia dalam jumlah terbatas.

Menurut MacArthur (1972: 21), mekanisme terjadinya kompetisi tidak terlihat

secara langsung, tetapi dapat disimpulkan dari bukti-bukti yang dapat ditemukan

di alam. Pada prinsipnya, dua spesies disebut berkompetisi jika peningkatan

populasi spesies yang satu berakibat pada penurunan populasi spesies yang lain

(Connell 1961: 715, 722; Krohne 2001: 223).

Subjek penelitian kompetisi interspesifik pada umumnya adalah spesies-

spesies berkerabat dekat yang hidup simpatrik, seperti yang dilaporkan antara lain

pada komunitas kadal di Amerika Utara, Afrika bagian selatan, dan Australia

Barat (Pianka 1973), burung dari famili Bucerotidae di Sumatra (Hadiprakarsa

2000), owa dengan siamang di Sumatra (Elder 2009), serta dua spesies marsupial

dari genus Didelphis di Amerika Selatan (Cáceres & Machado 2013). Hal

tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa kompetisi terkuat terjadi di antara

spesies-spesies yang berkerabat dekat dengan kebutuhan sumber daya yang serupa

(Tokeshi 1999: 155).

Organisme tidak hanya hidup berdampingan dengan spesies yang

berkerabat dekat, melainkan juga dengan spesies-spesies lain dari taksa yang lebih

luas. Kompetisi interspesifik juga dapat terjadi pada spesies-spesies berkerabat

jauh yang memanfaatkan sumber daya serupa, baik pakan maupun ruang.

Fenomena itu pernah dilaporkan oleh Estrada & Coates-Estrada (1985: 34--35)

yang menyatakan bahwa monyet howling (Alouatta palliata) dan serangga

herbivora mengalami kompetisi interspesifik secara asimetris untuk

memperebutkan sumber daya pakan berupa daun di hutan hujan tropis Los

Tuxtlas, Meksiko. Marshall dkk. (2009: 173--175, 181) juga pernah melaporkan

bahwa kompetitor paling berpengaruh terhadap owa kalimantan (Hylobates

albibarbis) bukanlah dari kelompok primata, melainkan bajing tiga warna

2

Universitas Indonesia

(Callosciurus prevostii) yang mengonsumsi buah muda yang menjadi pakan

primata tersebut.

Kompetisi interspesifik telah lama diduga berpengaruh terhadap

pembentukan struktur komunitas satwa. Walaupun hal tersebut masih sering

diperdebatkan hingga saat ini (Schoener 1983: 240; Krohne 2001: 279; Rohde

2013: 371), Beaudrot dkk. (2012: 182) secara tegas mengemukakan bahwa

interaksi interspesifik di dalam dan di antara kelompok-kelompok taksa yang

berbeda memiliki peran penting terhadap distribusi spesies dan struktur

komunitas. Dalam penelitiannya, Beaudrot dkk. (2012: 182) dan Beaudrot dkk.

(2013: 1061) menemukan bahwa struktur komunitas vertebrata di Kalimatan

dipengaruhi oleh competitive exclusion di antara spesies-spesies yang berkerabat

jauh. Oleh karena itu, penelitian mengenai kompetisi interspesifik di dalam suatu

komunitas penting dilakukan untuk memahami dinamika komunitas, terutama

untuk mengetahui bagaimana berbagai spesies berbagi sumber daya yang terbatas.

Siamang merupakan primata arboreal sejati yang menghuni hutan hujan

tropis Semenanjung Malaysia dan Sumatra. Sebagai primata arboreal sejati,

hampir seluruh aktivitas harian siamang dilakukan di lapisan tajuk tengah dan atas

(Gittins & Raemaekers 1980: 80--84; Markhamah 2007: 76). Siamang di

Semenanjung Malaysia dilaporkan lebih bersifat foliovora dibandingkan dengan

kerabatnya di Sumatra yang lebih banyak mengonsumsi buah (Gittins &

Raemaekers 1980: 90; Nurcahyo 1999: 24; O‟Brien dkk. 2003: 120). Komposisi

pakan siamang di Semenanjung Malaysia terdiri atas 43% daun, 22% buah

Ficus spp., 15% materi hewani, 14% buah pohon lain, dan 6% bunga (Gittins &

Raemaekers 1980: 90), sedangkan di Sumatra terdiri atas 52,07% buah, 42,62%

daun, dan 5,3% bunga (Nurcahyo 1999: 24).

Salah satu habitat siamang di Sumatra adalah Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan (TNBBS). Kepadatan siamang di dalam kawasan konservasi

tersebut cukup tinggi, yaitu 2,23 kelompok/km2. O‟Brien dkk. (2004: 278--279)

menyatakan bahwa TNBBS memiliki populasi siamang yang tinggi dibandingkan

lokasi lainnya di Semenanjung Malaysia dan Sumatra. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan di Stasiun Penelitian Way Canguk yang berada di

dalam TNBBS, siamang hidup berdampingan dengan 55 spesies mamalia lainnya

3

Universitas Indonesia

(Iqbal dkk. 2001: 13). Dari 26 famili mamalia yang terdapat di TNBBS,

setidaknya terdapat lima famili yang memiliki kemiripan cara hidup dengan

siamang, yaitu bersifat arboreal, frugivora, dan diurnal. Kelima famili mamalia

tersebut adalah Tupaiidae, Cercopithecidae, Ursidae, Mustelidae, dan Sciuridae

(Payne 1980: 266--267; Payne & Francis 1985; Iqbal dkk. 2001: 14).

Kompetisi terjadi ketika ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan suatu

spesies berkurang akibat aktivitas spesies lain, baik secara eksploitatif maupun

interferensi. Oleh karena itu, fauna yang bersifat arboreal, baik parsial maupun

sejati, berpotensi mengalami kompetisi dengan siamang (Payne 1980: 261).

Tubuh siamang yang besar dan populasi siamang yang tinggi di TNBBS menjadi

dasar untuk menduga bahwa siamang merupakan kompetitor yang dominan.

Penelitian mengenai kompetisi interspesifik di antara tiga spesies primata paling

melimpah di TNBBS telah dilakukan oleh Elder (tidak dipublikasikan). Namun,

interaksi kompetitif antara siamang dan satwa selain kelompok primata belum

banyak diketahui. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji potensi kompetisi

antara siamang dengan spesies-spesies mamalia arboreal di Stasiun Penelitian

Way Canguk.

Penelitian noneksperimental di alam untuk mengetahui terjadinya

kompetisi pada umumnya menggunakan pendekatan indeks tumpang-tindih

relung walaupun indeks tersebut tidak secara tegas mengindikasikan kompetisi

(Estrada & Coates-Estrada 1985: 35; Marshall dkk. 2009:181; Cáceres &

Machado 2013: 13). Tiga parameter umum untuk mendefinisikan relung adalah

penggunaan habitat, pemilihan pakan, dan pola aktivitas harian (Holt 1987: 111).

Melalui penelitian ini, tumpang-tindih relung di antara mamalia arboreal akan

dikaji dari segi penggunaan habitat dan pemilihan pakan, kemudian dianalisis

kaitannya dengan kompetisi. Pola aktivitas harian tidak menjadi bahasan karena

spesies-spesies mamalia subjek penelitian merupakan satwa diurnal.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah terjadi kompetisi antara

siamang dan mamalia arboreal lainnya serta mengetahui tumpang-tindih relung

berdasarkan penggunaan habitat dan pemilihan pakan di antara komunitas

mamalia arboreal di Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS. Berdasarkan

tujuan tersebut, hipotesis yang diajukan adalah terjadi kompetisi sumber daya

4

Universitas Indonesia

antara siamang dan mamalia arboreal lainnya serta terdapat tumpang-tindih relung

di antara komunitas mamalia arboreal dari segi penggunaan habitat dan pemilihan

pakan.

Penelitian tentang kompetisi interspesifik dalam cakupan taksa yang luas

penting dilakukan untuk memahami peran kompetisi dalam pembentukan suatu

komunitas. Pengetahuan tentang dinamika komunitas penting dalam manajemen

kawasan konservasi, misalnya dalam menentukan area prioritas konservasi, luas

kawasan, dan lokasi pelepasliaran satwa yang dikembalikan ke hutan tanpa

mengganggu komunitas yang ada. Jika kompetisi merupakan faktor penting

dalam komunitas, pengambilan keputusan dalam manajemen konservasi

sebaiknya tidak hanya didasarkan pada faktor abiotik, melainkan juga

mempertimbangkan interaksi interspesifik.

5 Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kompetisi Interspesifik dan Pembagian Relung

Kompetisi merupakan bentuk interaksi yang menarik untuk dikaji karena

memberikan dampak negatif kepada pihak-pihak yang terlibat. Kompetisi terbagi

menjadi dua tipe, yaitu kompetisi intraspesifik dan kompetisi interspesifik.

Kompetisi intraspesifik terjadi di antara individu dari spesies yang sama,

sedangkan kompetisi interspesifik terjadi pada spesies yang berbeda. Kedua

bentuk kompetisi tersebut terjadi oleh penyebab yang sama, yaitu perebutan

sumber daya (Caughley & Sinclair 1994: 110 & 131). Bagian yang akan dikaji

pada penelitian ini adalah kompetisi interspesifik.

Kompetisi interspesifik adalah interaksi di antara individu dari spesies

yang berbeda akibat penggunaan sumber daya yang sama dan terbatas. Kompetisi

dapat juga terjadi saat sumber daya yang tersedia tidak terbatas jika suatu spesies

melukai spesies lain dalam proses pencarian sumber daya (Birch 1957: 6).

Menurut MacArthur (1972: 21), dua spesies disebut berkompetisi jika

peningkatan populasi suatu spesies berdampak pada penurunan populasi spesies

yang lain. Contoh proses yang memungkinkan antara lain suatu spesies

mengurangi persediaan makanan spesies lain, kedua spesies saling berkelahi, atau

keberadaan suatu spesies meningkatkan predator spesies lainnya. Bukti kompetisi

biasanya tidak teramati secara langsung di alam (MacArthur 1972: 21).

Definisi kompetisi memberikan empat implikasi penting. Pertama,

kompetisi berpengaruh terhadap kesintasan individu-individu yang terlibat.

Pengaruh tersebut dapat terjadi dalam bentuk penurunan kemampuan bertahan

hidup, pertumbuhan, atau reproduksi. Kedua, penggunaan sumber daya yang

sama tidak secara langsung mengindikasikan kompetisi jika tidak diketahui bahwa

sumber daya tersebut terbatas. Ketiga, dua spesies tidak berkompetisi jika tidak

memiliki kemampuan untuk memengaruhi ketersediaan sumber daya untuk

spesies lain. Keempat, kompetisi dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu

6

Universitas Indonesia

kompetisi eksploitatif atau kompetisi interferensi (Caughley & Sinclair 1994:

131--132). Dalam kompetisi eksploitatif, individu dari suatu spesies mengambil

alih sumber daya yang digunakan oleh spesies lain, sedangkan kompetisi

interferensi terjadi secara langsung melalui perkelahian atau produksi racun

(Schoener 1983: 257).

Kompetisi sudah menjadi topik bahasan ahli ekologi sejak setidaknya

delapan dekade yang lalu. Penelitian eksperimental klasik yang menjadi dasar

teori kompetisi dilakukan oleh Connell (1961). Dalam penelitian tersebut,

Connell menemukan bahwa kompetisi interspesifik di antara dua spesies teritip,

yaitu Balanus dan Chthamalus, merupakan faktor terpenting yang memengaruhi

populasi Chthamalus dibandingkan faktor lainnya seperti predator dan kondisi

fisik. Keberadaan Balanus meningkatkan mortalitas dan menurunkan

kemampuan reproduksi Chthamalus (Connell 1961: 715, 722).

Kompetisi interspesifik memiliki kaitan yang erat dengan relung (Wiens

1989: 147). Konsep relung mulai berkembang sejak tahun 1917 dan telah banyak

terdapat definisi relung. Namun, definisi yang paling sering digunakan adalah

definisi yang diajukan oleh Hutchinson yang mendefinisikan relung secara

matematis sebagai “n-dimensional hypervolume” (Hutchinson 1957: 416).

Berdasarkan perumusan oleh Hutchinson tersebut, relung dapat diartikan sebagai

seluruh kisaran kondisi biotik dan abiotik yang memungkinkan suatu spesies

mempertahankan ukuran populasi yang stabil (Wiens & Graham 2005: 519).

Relung dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu relung fundamental dan relung nyata.

Relung fundamental adalah kondisi abiotik yang memungkinkan suatu spesies

bertahan hidup, sedangkan relung nyata adalah bagian dari relung fundamental

yang ditempati suatu spesies jika dibatasi oleh interaksi dengan organisme lain

(Hutchinson 1957: 416--418).

Kompetisi sering kali dikaitkan dengan tumpang-tindih relung antara dua

spesies. Tumpang-tindih yang besar dapat mengindikasikan kompetisi

interspesifik. Namun, terdapat perdebatan di antara ahli ekologi mengenai

hubungan tumpang-tindih relung dengan kompetisi interspesifik. Tumpang-tindih

relung yang besar dapat juga terjadi akibat toleransi interspesifik, sedangkan

tumpang-tindih yang kecil dapat terjadi karena dua spesies berkompetisi,

7

Universitas Indonesia

kemudian berusaha menempati relung yang berbeda untuk menghindari kompetisi

(Pianka 1974: 2141; Schoener 1983: 270). Walaupun demikian, indeks tumpang-

tindih relung sering digunakan sebagai pendekatan untuk memperkirakan

kompetisi (Estrada & Coates-Estrada 1985: 35; Marshall dkk. 2009:181; Cáceres

& Machado 2013: 13).

2.2. Siamang

Siamang merupakan salah satu spesies primata dari famili Hylobatidae,

yaitu salah satu famili dari kelompok primata yang bersifat diurnal, arboreal, dan

teritorial (Nowak 1999: 169, 171). Di antara kera lainnya, famili Hylobatidae

merupakan kelompok kera dengan ukuran tubuh terkecil sehingga disebut juga

kera kecil (lesser ape). Selain ukuran tubuh, perbedaan antara Hylobatidae

dengan kera lainnya--orangutan, gorila, dan simpanse--adalah gaya hidup yang

sepenuhnya arboreal, memiliki bantalan duduk (ischial callosities), dan tidak

membuat sarang untuk tidur (Bartlett 1999: 44).

2.2.1. Klasifikasi Siamang

Siamang dikelompokkan ke dalam genus Hylobates bersama owa bertubuh

kecil lainnya oleh beberapa ahli (Miller 1933: 159; Napier & Napier 1985: 161),

tetapi Brandon-Jones dkk. (2004: 153) mengelompokkannya ke dalam genus

tersendiri, yaitu Symphalangus. Genus Symphalangus hanya terdiri atas satu

spesies, yaitu S. syndactylus, dengan dua subspesies. Kedua subspesies siamang

dibedakan berdasarkan distribusinya. Symphalangus syndactylus syndactylus

Raffles (1821) terdistribusi di Sumatra, Indonesia, sedangkan S. syndactylus

continentis Thomas (1908) terdistribusi di Semenanjung Malaysia.

2.2.2. Morfologi Siamang

Siamang mudah dibedakan dengan spesies Hylobatidae lain karena

berukuran besar dan berwarna hitam pekat. Di antara anggota famili tersebut,

8

Universitas Indonesia

siamang merupakan spesies yang memiliki ukuran tubuh terbesar. Rentang

tangan siamang dapat mencapai 1,5 m, panjang tubuh termasuk kepala berkisar

antara 750--900 mm, dan berat tubuh sekitar 8--13 kg (Nowak 1999: 168). Tubuh

siamang ditutupi oleh rambut berwarna hitam, tetapi bagian kantung udara di

bawah dagu tidak tertutupi rambut (Napier & Napier 1985: 161).

Siamang tidak menunjukkan adanya dimorfisme seksual. Warna rambut,

ukuran tubuh, dan panjang gigi taring siamang jantan dan betina sama (Bartlett

1999: 45). Baik siamang jantan maupun betina juga memiliki kantung udara yang

berfungsi untuk vokalisasi. Walaupun tidak terdapat dimorfisme seksual, individu

jantan dan betina dapat dibedakan (Gambar 2.2.2.). Individu jantan memiliki

rambut skrotal, sedangkan individu betina tidak (Prasetyaningrum 2001: 30).

Gambar 2.2.2. Siamang betina (kiri) dan siamang jantan (kanan).

Keterangan:

Jenis kelamin siamang dapat dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya rambut

skrotal. Individu jantan memiliki rambut skrotal (a) di antara kedua kakinya.

[Sumber: Dokumentasi pribadi]

(a)

50 cm

9

Universitas Indonesia

Seperti spesies dari famili Hylobatidae lainnya, siamang memiliki

ekstremitas anterior yang lebih panjang daripada ekstremitas posterior sebagai

adaptasi untuk pergerakan brakiasi. Di antara spesies-spesies Hylobatidae

lainnya, siamang memiliki intermembral index terbesar, yaitu 145--152 (Miller

1933: 159). Ciri khas siamang yang tidak dimiliki oleh spesies Hylobatidae

lainnya adalah selaput antarjari yang menghubungkan jari kaki kedua dan ketiga

(LBN-LIPI 1982: 85; Nowak 1999: 168).

2.2.3. Habitat dan Distribusi

Siamang terdapat di Sumatra dan Semenanjung Malaysia (LBN-LIPI

1982: 85; Nowak 1999: 168). Siamang pada umumnya dapat ditemukan di

dataran rendah sampai daerah pegunungan setinggi 2000 m (LBN-LIPI 1982: 85).

Menurut Wilson & Wilson (1976: 17), siamang di Sumatra terdapat di rangkaian

Pegunungan Bukit Barisan yang terletak memanjang di bagian barat Sumatra

(Gambar 2.2.3.) dan lebih menyukai hutan dataran rendah dan perbukitan.

Siamang simpatrik dengan dua kerabat dekatnya, yaitu Hylobates agilis

dan H. lar, di rangkaian pegunungan bagian barat Sumatra, tetapi siamang tidak

ditemukan di dataran rendah bagian timur Sumatra. Siamang simpatrik dengan H.

agilis dari bagian selatan Sumatra sampai Simpangkiri, Aceh, dan Sungai

Wampu, Sumatra Utara, sedangkan daerah simpatrik siamang dengan H. lar

meliputi bagian utara dari Simpangkiri dan Sungai Wampu (Wilson & Wilson

1976: 17). Hasil studi O‟Brien (2004: 276--278) menunjukkan bahwa kepadatan

siamang berkorelasi negatif dengan kepadatan Hylobatidae yang simpatrik

dengannya. Kepadatan siamang tertinggi terdapat pada hutan dataran rendah

(< 300 mdpl), terendah di hutan ketinggian sedang, kemudian meningkat kembali

di hutan pegunungan. Sementara itu, kepadatan H. agilis tertinggi terdapat di

hutan ketinggian sedang. Kepadatan siamang menunjukkan peningkatan dari

lintang utara ke selatan, yaitu dari Semenanjung Malaysia ke Sumatra, sementara

kepadatan H. agilis cenderung berkurang (O'Brien 2004: 279).

10

Universitas Indonesia

Gambar 2.2.3. Peta distribusi Hylobatidae

di Asia Tenggara.

Keterangan:

Siamang terdistribusi di bagian barat

Sumatra dan Semenanjung Malaysia

(warna hijau).

[Sumber: www.gibbons.de]

2.2.4. Perilaku

Siamang merupakan primata diurnal, yaitu melakukan sebagian besar

aktivitas pada siang hari. Aktivitas harian siamang dimulai antara pukul 06.00--

07.00. Secara umum, aktivitas harian siamang dapat dibagi ke dalam lima

kategori, yaitu istirahat, makan, mencari makan, bergerak, dan perilaku sosial.

Aktivitas utama siamang adalah istirahat (56,80%) dan makan (25,96%).

Siamang paling aktif mencari makan pada pagi hari (07.00--08.00) dan sore hari

(14.00--16.00). Aktivitas bergerak terbagi ke dalam empat tipe, yaitu brakiasi,

memanjat, berjalan, dan melompat. Sebagian besar pergerakan siamang (81,64%)

dilakukan dengan cara brakiasi. Aktivitas sosial terdiri atas menggaruk individu

lain, calling, dan mengancam (Nurcahyo 1999: 23--34). Perilaku mengancam

11

Universitas Indonesia

jarang terjadi di antara individu dewasa dengan jenis kelamin yang berbeda.

Namun, individu dewasa terkadang menunjukkan perilaku agresi terhadap

individu pradewasa yang memiliki jenis kelamin sama (Chivers & Raemaekers

1980: 229; Nurcahyo 1999: 37).

2.2.5. Struktur sosial

Siamang hidup dalam kelompok keluarga (selanjutnya hanya disebut

kelompok) yang bersifat teritorial. Satu kelompok siamang pada umumnya terdiri

atas empat individu yang beranggotakan pasangan jantan dan betina dewasa serta

beberapa anak yang belum mandiri (Chivers 1974: 274; Gittins & Raemaekers

1980: 68). Siamang dan juga semua spesies dari famili Hylobatidae memiliki

ukuran kelompok yang kecil untuk mengurangi kompetisi antarindividu saat

mencari makanan. Semakin besar ukuran kelompok, kompetisi antarindividu juga

semakin besar. Sifat teritorial siamang berkaitan dengan distribusi sumber pakan

yang bervariasi dari waktu ke waktu. Walaupun mempertahankan suatu teritori

membutuhkan energi yang besar, siamang mendapatkan keuntungan berupa

jaminan persediaan makanan sepanjang tahun (Gittins & Raemaekers 1980: 101--

103).

Berbeda dengan primata dan bahkan sebagian besar mamalia lain, induk

jantan siamang terlibat dalam pengasuhan bayi. Menurut Gittins & Raemaekers

(1980: 70), selama satu tahun sejak kelahiran, bayi siamang diasuh oleh induk

betina, kemudian pada tahun kedua, bayi diasuh oleh induk jantan. Perilaku

tersebut berbeda dengan kerabat simpatriknya, yaitu owa ungko (Hylobates agilis)

yang hanya menunjukkan pengasuhan bayi oleh induk betina.

Siamang pada umumnya bersifat monogami. Namun, beberapa kelompok

poliandri ditemukan pada populasi siamang di Way Canguk. Menurut Lappan

(2008: 1314--1315), keberadaan individu jantan sekunder tidak berhubungan

dengan peningkatan total asuhan yang diterima bayi serta ikatan antara jantan dan

induk betina. Poliandri pada siamang diduga merupakan mekanisme untuk

mengurangi interval antarkelahiran pada siamang betina, dengan kata lain

meningkatkan kesuksesan reproduksi betina.

12

Universitas Indonesia

2.2.6. Pakan

Pakan siamang dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu bagian

reproduktif tumbuhan (bunga dan buah), bagian vegetatif tumbuhan (daun), serta

materi hewani (Gittins & Raemaekers 1980: 88). Siamang sering dideskripsikan

sebagai foliovora (Gittins & Raemaekers 1980: 100--101; Napier & Napier 1985:

161; Supriatna & Wahyono 2000: 294), tetapi siamang di Sumatra diketahui lebih

bersifat frugivora (Nurcahyo 1999: 37). Komposisi pakan siamang di TNBBS

(Gambar 2.2.6.) didominasi oleh buah dengan persentase sebesar 52,07%

(Nurcahyo 1999: 24).

Gambar 2.2.6. Komposisi pakan siamang di TNBBS.

[Sumber: Nurcahyo 1999:24]

Siamang menunjukkan preferensi terhadap buah Ficus spp. Siamang

cenderung memakan lebih banyak buah Ficus spp. pada pagi hari saat memulai

aktivitas. Hal tersebut diduga karena buah Ficus spp. menyediakan nutrisi yang

melimpah dan siap dicerna untuk memenuhi kebutuhan nutrisi setelah berpuasa

sepanjang malam (Gittins & Raemaekers 1980: 90--93). Persentase buah Ficus

Buah Daun Bunga

Tumbuhan lain 0.45% 0% 0%

Liana 1.28% 11.88% 0%

Pohon lain 18.91% 19.75% 5.30%

Ficus spp. 31.43% 10.99% 0%

0.00%

10.00%

20.00%

30.00%

40.00%

50.00%

60.00%

Tumbuhan lain

Liana

Pohon lain

Ficus spp.Ficus spp.

Ficus spp.

13

Universitas Indonesia

spp. dalam komposisi pakan siamang adalah 31,43% (Nurcahyo 1999: 24).

Spesies Ficus yang dikonsumsi siamang antara lain F. albipila, F. altissima, F.

caulocarpa, F. depressa, F. drupacea, F. elastica, F. stupenda, F. sundaica, F.

variegata, dan F. virens (Nurcahyo 1999: 24, 27; Rusmanto 2001: 18).

Menurut Nurcahyo (1999: 27) spesies tumbuhan selain Ficus spp. yang

diketahui merupakan pakan siamang adalah Actinodaphne nigrescens, Aglaia

odoratissima, Alseodaphne nigrescens, Anamirta cocculus, Antocephalus sp.,

Atuna racemosa, Bauhinia sp., Beilschmiedia lucida, Bridelia monoica, Cananga

odorata, Cryptocarya ferrea, Daemonorops sp., Diospyros truncata,

Dracontomelon dao, Durio sp., Dysoxylum caulostachyum, Eugenia jamboloides,

Garcinia sp., Horsfieldia bracteosa, Leuconotis eugenifolia, Michelia champaca,

Polyalthia spp., Popowia pisocarpa, Pterospermum sp., Shorea javanica,

Siphonodon celastrineus, Stelechocarpus burahol, dan Xerospermum

noronhianum. Sementara itu, Rusmanto (2001:18--20) mendata 43 spesies

tumbuhan yang dikonsumsi buahnya oleh siamang. Spesies-spesies tersebut

termasuk dalam famili Alangiaceae, Annonaceae, Arecaceae, Boraginaceae,

Clusiaceae, Combretaceae, Ebenaceae, Euphorbiaceae, Lauraceae, Meliaceae,

Menispermaceae, Moraceae, Myristicaceae, Myrtaceae, Olacaceae, Rhamnaceae,

Rutaceae, Sapotaceae, Sapindaceae, dan Vitaceae.

Puncak aktivitas makan siamang bersifat bimodal, yaitu antara pukul

07.00--08.00 dan 14.00--16.00. Aktivitas makan di pagi hari diduga berfungsi

untuk memenuhi kebutuhan energi untuk beraktivitas di siang hari. Sementara

itu, makanan yang dimakan pada sore hari berfungsi sebagai cadangan energi

untuk malam hari (Nurcahyo 1999: 26, 37).

2.2.7. Peran Ekologis

Siamang merupakan pemencar biji yang efektif. Siamang, seperti

Hylobatidae lainnya, tidak mengunyah atau menghancurkan biji dari buah yang

dimakan. Biji ditelan, kemudian dibuang secara utuh dalam bentuk feses

beberapa ratus meter dari pohon pakan (Gittins & Raemaekers 1980: 88).

Sebagian besar biji yang dimakan oleh siamang akan dipencarkan melalui proses

14

Universitas Indonesia

endozoochory (90,7%), sedangkan sebagian kecil akan hancur selama proses

pencernaan. Jarak pemencaran biji oleh siamang berkisar antara 0 hingga 632 m

dari pohon pakan (Rusmanto 2001: 17--25).

2.3. Mamalia Arboreal

Mamalia arboreal adalah mamalia yang mencari makan di tajuk hutan,

baik pada bagian bawah, tengah, maupun atas (Beaudrot dkk. 2013: 1056).

Mamalia arboreal meliputi berbagai famili, antara lain Pteropodidae, Tupaiidae,

Lorisidae, Cercopithecidae, Hylobatidae, Sciuridae, Muridae, Ursidae, dan

Viverridae (Payne 1980: 266--267). Mamalia arboreal yang bersifat nokturnal

terhindar dari kompetisi secara langsung dengan siamang akibat pembagian

relung secara temporal. Walaupun demikian, mamalia nokturnal dapat

menyebabkan kompetisi karena aktivitas makan mamalia nokturnal dapat

mengurangi ketersediaan sumber daya bagi mamalia arboreal diurnal (Estrada &

Coates-Estrada 1985: 35). Tabel 2.3. berisi daftar famili dan spesies seluruh

mamalia yang terdapat di Way Canguk. Dari tabel tersebut, terlihat spesies-

spesies mamalia arboreal dan diurnal yang menjadi subjek penelitian. Berikut

adalah paparan singkat famili mamalia arboreal diurnal selain Hylobatidae yang

terdapat di Way Canguk, TNBBS.

Tabel 2.3. Daftar famili dan spesies mamalia di Way Canguk beserta pola

aktivitas dan arborealitas.

Famili Spesies Nama Indonesia N/D A/T

Manidae Manis javanica Trenggiling leusing N T

Tupaiidae Tupaia tana Tupai tanah D T

Tupaia minor* Tupai kecil D A, T

Tupaia glis* Tupai akar D A, T

Cynocephalidae Cynocephalus

variegatus

Kubung malaya N A

Pteropodidae Cynopterus brachyotis Codot krawar N A

Pteropus vampyrus Kalong besar N A

Hipposideridae Hipposideros diadema Barong besar N A

Molossidae Chriromeles torquatus Kelelawar moncong-babi N A

15

Universitas Indonesia

Tabel 2.3. (lanjutan)

Tarsiidae Tarsius bancanus Krabuku ingkat N A

Lorisidae Nycticebus coucang Kukang bukang N A

Cercopithecidae Macaca fascicularis* Monyet kra D A

Macaca nemestrina* Monyet beruk D A, T

Presbytis melalophos* Simpai/cecah D A

Trachypithecus

cristatus*

Lutung kelabu D A

Hylobatidae Hylobates agilis* Owa ungko D A

Symphalangus

syndactylus*

Siamang D A

Caniidae Cuon alpinus Anjing ajag N T

Ursidae Helarctos malayanus* Beruang madu D, N A, T

Mustelidae Lutra sp. Berang-berang D, N T

Lutrogale sp. Berang-berang D, N T

Aonyx sp. Sero D T

Martes flavigula* Musang leher-kuning D, N A

Mustela nudipes Musang kepala-putih D, N T

Viverridae Arctitis binturong Binturong N A, T

Arctogalidia trivirgata Musang akar N A

Cynogale bennettii Musang air N T

Paguma larvata Musang galing N A

Paradoxurus

hermaphroditus

Musang luwak N A

Viverra tangalunga Tenggalung malaya N A, T

Felidae Felis bengalensis Kucing kuwuk N A, T

Pardofelis marmorata Kucing batu N A, T

Panthera tigris Harimau loreng N T

Elephantidae Elephas maximus Gajah asia D, N T

Tapiridae Tapirus indicus Tapir tenuk N T

Rhinocerotidae Dicerorhinus

sumatrensis

Badak sumatra D T

Suidae Sus barbatus Babi berjenggot N T

Sus scrofa Babi celeng N T

Tragulidae Tragulus javanicus Pelanduk kancil D, N T

Tragulus napu Pelanduk napu D, N T

Cervidae Cervus unicolor Rusa sambar D, N T

Muntiacus muntjak Kijang muncak D T

16

Universitas Indonesia

Tabel 2.3. (lanjutan)

Sciuridae Callosciurus notatus* Bajing kelapa D A

Lariscus insignis Bajing-tanah bergaris-tiga D T

Ratufa affinis* Jelarang bilalang D A

Ratufa bicolor* Jelarang hitam D A

Sundasciurus hippurus* Bajing ekor-kuda D A

Sundasciurus lowii Bajing ekor-pendek D T

Sundasciurus tenuis* Bajing bancirot D A, T

Pteromyidae Petaurista petaurista Bajing terbang raksasa

merah

N A

Erinaceidae Echinosorex gymnurus Rindil bulan N T

Muridae Rattus exulans Tikus ladang N T

Leopoldamys sabanus Tikus raksasa ekor

panjang

N A, T

Chiropodomys sp. Nyingnying N A

Maxomys surifer Tikus duri merah N T

Hystricidae Hystrix brachyura Landak raya N T

Keterangan:

N = nokturnal

D = diurnal

A = arboreal

T = terestrial

* = spesies yang menjadi subjek penelitian

[Sumber: Payne 1980: 266—267; Payne & Francis 1985; Iqbal dkk. 2001: 14]

2.3.1. Famili Tupaiidae

Mamalia yang tergolong Tupaiidae memiliki morfologi seperti bajing,

tetapi dengan moncong yang lebih panjang. Tupaiidae memiliki tungkai depan

dan belakang dengan ukuran yang hampir sama (Lawlor 1979: 73). Famili ini

merupakan famili endemik di kawasan Indomalaya. Sebagian besar spesies yang

termasuk famili Tupaiidae bersifat arboreal dan diurnal. Tupaiidae tergolong

omnivora karena memakan buah dan juga invertebrata (Lawlor 1979: 73; Corbet

& Hill 1992: 46). Tiga spesies Tupaiidae terdapat di Way Canguk, yaitu Tupaia

tana, T. minor, dan T. glis. Dari ketiga spesies tupaiidae tersebut, hanya T. tana

yang tidak bersifat arboreal.

17

Universitas Indonesia

2.3.2. Famili Cercopithecidae

Cercopithecidae terdapat di kawasan Indomalaya (enam spesies) dan

Afrika tropis (sepuluh spesies). Semua spesies merupakan primata diurnal dan

arboreal. Secara umum, Cercopithecidae merupakan omnivora. Buah-buahan

merupakan komponen utama pakan dengan tambahan materi hewani dan

dedaunan (Corbet & Hill 1992: 165). Empat spesies Cercopithecidae yang

terdapat di Way Canguk adalah Macaca fascicularis, M. nemestrina, Presbytis

melalophos, dan Trachypithecus cristatus.

2.3.3. Famili Ursidae

Hanya terdapat satu spesies Ursidae di Way Canguk, yaitu beruang madu

(Helarctos malayanus). Mamalia ini aktif pada malam dan siang hari serta

merupakan omnivora yang memakan sarang lebah, rayap, hewan kecil, dan buah.

Beruang tersebut bersifat terestrial dan arboreal (Payne & Francis 1985: 275--

276).

2.3.4. Famili Mustelidae

Mustelidae memiliki tubuh yang memanjang, berkaki pendek, dan bersifat

terestrial (Corbet & Hill 1992: 194). Famili ini beranggotakan berang-berang,

musang, dan luwak. Dari lima spesies yang terdapat di Way Canguk, hanya

Martes flavigula yang bersifat diurnal dan arboreal. Martes flavigula pada

dasarnya diurnal, tetapi terkadang beraktivitas di malam hari. Spesies tersebut

merupakan generalis yang memakan berbagai vertebrata dan invertebrata kecil,

sarang lebah, serta nektar (Payne & Francis 1985: 276--277).

2.3.5. Famili Sciuridae

Famili Sciuridae terdiri atas tiga kelompok, yaitu bajing terbang, bajing

pohon, dan bajing tanah. Bajing terbang memiliki membran di antara tungkai-

18

Universitas Indonesia

tungkainya yang berfungsi untuk gliding. Pada umumnya, bajing terbang bersifat

nokturnal. Berbeda dengan bajing terbang, bajing pohon bersifat diurnal dan

tidak memiliki membran gliding. Sebagai adaptasi terhadap cara hidup arboreal,

bajing terbang dan bajing pohon memiliki kepala berbentuk bulat dengan mata

yang besar, cakar melengkung dan tajam, ekor panjang, dan pergelangan kaki

dengan kemampuan rotasi yang sangat baik. Bajing tanah bersifat terestrial

sehingga memiliki adaptasi yang berbeda dengan bajing terbang dan bajing

pohon, yaitu kepala yang relatif datar, cakar lurus, ekor pendek, dan pergelangan

kaki yang tidak terspesialisasi. Bajing tanah pada umumnya bersifat diurnal.

Sciuridae memakan daun, biji, buah, kulit kayu, kacang, resin, jamur, dan nektar.

Beberapa spesies juga memakan serangga (Lawlor 1979: 160). Dari delapan

spesies Sciuridae di Way Canguk, terdapat lima spesies yang merupakan

kompetitor potensial bagi siamang, yaitu Callosciurus notatus, Ratufa affinis,

R. bicolor, Sundasciurus hippurus, dan S. tenuis (Iqbal dkk. 2001: 14).

2.4. Stasiun Penelitian Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), diresmikan pada tahun

1981, merupakan salah satu taman nasional yang terletak di Pulau Sumatra.

Taman nasional tersebut meliputi kawasan seluas 3.568 km2 dan terletak pada dua

provinsi, yaitu Lampung dan Bengkulu. Kawasan taman nasional berbentuk

memanjang dengan batas kawasan sepanjang lebih dari 700 km. Hal tersebut

menyebabkan perambahan untuk penebangan dan perkebunan lebih mudah

terjadi. Letak geografis TNBBS adalah 4o31'--5

o57' LS dan 103

o34'--104

o43' BT.

TNBBS terfragmentasi menjadi tiga blok besar hutan akibat pembangunan dua

jalan lintas di sebelah utara dan selatan taman nasional. TNBSS merupakan

habitat penting bagi mamalia besar Sumatra seperti harimau, badak, dan gajah

(WCS-IP 2001: 5).

19

Universitas Indonesia

Gambar 2.4(1) Lokasi Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS.

Keterangan:

Stasiun Penelitian Way Canguk terdiri atas dua area penelitian--area barat laut dan

tenggara--yang mencakup wilayah seluas 900 ha dengan tipe ekosistem hutan

hujan tropis dataran rendah.

[Sumber: WCS-IP 2001: 7]

Stasiun Penelitian Way Canguk terletak di bagian selatan TNBBS,

meliputi area seluas 900 ha, termasuk 165 ha yang terbakar akibat El Niño-

Southern Oscillation (ENSO) pada tahun 1997 (Gambar 2.4(1)). Letak geografis

stasiun penelitian ini adalah 5o39'325'' LS dan 104

o24'21'' BT dengan ketinggian

0--100 mdpl. Stasiun Penelitian Way Canguk diresmikan pada bulan Maret 1997.

Tujuan pembangunan stasiun penelitian adalah sebagai tempat penelitian lapangan

jangka panjang dan pelatihan lapangan (WCS-IP 2001: 7).

Area penelitian di Way Canguk terbagi menjadi dua area yang dipisahkan

oleh Sungai Way Canguk, yaitu area di bagian barat laut dengan luas 200 ha dan

area di bagian tenggara dengan luas 600 ha (Gambar 2.4(2)). Pada area

penelitian, terdapat jalur-jalur melintang dan membujur dengan jarak antarjalur

200 m. Sebagian besar area merupakan hutan primer yang masih baik. Dalam

area penelitian terdapat pula blok-blok hutan yang mengalami gangguan akibat

pembalakan liar dan penggunaan lahan untuk pertanian (WCS-IP 2001: 7--8).

20

Universitas Indonesia

Berdasarkan karakteristik vegetasi, hutan di area penelitian diklasifikasikan

menjadi empat tipe habitat: hutan yang masih utuh dengan tajuk pohon tertutup

dan banyak pohon berukuran besar; hutan yang masih utuh dengan tajuk pohon

tertutup dan banyak pohon berukuran kecil; hutan yang terganggu dengan tajuk

pohon terbuka dan beberapa pohon berukuran kecil; serta hutan terganggu dengan

tajuk pohon terbuka dan beberapa pohon berukuran besar (Hadiprakarsa &

O‟Brien 2000 lihat WCS-IP 2001: 7).

Menurut Iqbal dkk. (2001: 13--16), Way Canguk merupakan habitat bagi

56 spesies mamalia yang tergolong ke dalam 26 famili. Primata yang umum

dijumpai adalah owa ungko (H. agilis), siamang (S. syndactylus), cecah (Presbytis

melalophos), dan beruk (Macaca nemestrina), sedangkan primata yang jarang

dijumpai adalah lutung kelabu (Trachypithecus cristatus) dan monyet ekor

panjang (Macaca fascicularis). Beberapa spesies ungulata yang ada di Way

Canguk adalah kijang muncak (Muntiacus muntjak), rusa sambar (Cervus

unicolor), babi (Sus sp.), pelanduk kecil (Tragulus javanicus), dan pelanduk napu

(T. napu). Terdapat pula mamalia besar seperti gajah asia (Elephas maximus),

tapir tenuk (Tapirus indicus), dan badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis).

Keanekaragaman avifauna di Way Canguk meliputi kurang lebih 207

spesies burung dari 41 famili. Spesies burung yang umum adalah dari famili

Timaliidae (18 spesies), Pycnonotidae (17 spesies), Cuculidae (15 spesies),

Picidae (12 spesies), dan Nectarinidae (12 spesies). Selain itu, terdapat delapan

spesies burung rangkong (famili Bucerotidae) di Way Canguk (Prasetyaningrum

& Hadiprakarsa 2001: 19).

Way Canguk diketahui memiliki lebih dari 330 spesies pohon. Hutan di

Way Canguk merupakan mosaik antara hutan hutan primer, hutan sekunder, dan

hutan yang rusak. Hutan primer ditandai oleh spesies-spesies Dipterocarpaceae

seperti Dipterocarpus spp., Shorea spp., dan Anisoptera costata serta memiliki

tajuk yang tinggi dan rapat. Hutan sekunder pada umumnya dicirikan oleh

Bombax valetonii, Tetrameles nudiflora, dan Octomeles sumatrana yang tidak

dapat tumbuh maksimal di bawah naungan. Way Canguk merupakan habitat bagi

setidaknya delapan spesies Ficus spp. (Prasetyaningrum & Hadiprakarsa 2001:

21).

21

Universitas Indonesia

Gambar 2.4(2) Area penelitian tenggara (atas) dan area penelitian barat laut

(bawah) di Way Canguk.

Keterangan:

Perpotongan jalur-jalur melintang dan membujur membentuk petak-petak

berukuran 200 x 200 m. Sistem jalur tersebut memungkinkan pencatatan

koordinat secara manual berdasarkan sistem Kartesius.

[Sumber: WCS-IP 2001: 6]

22 Universitas Indonesia

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan selama tiga bulan pada Februari--April 2014 di

Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS, Lampung. Kawasan terbagi menjadi

dua area, yaitu area penelitian barat laut dan tenggara (lebih sering disebut area

selatan dan utara), tetapi pengambilan data hanya dilakukan di area selatan. Pada

area tersebut, terdapat beberapa kelompok siamang yang telah terhabituasi dengan

manusia.

3.2. Alat, Bahan, dan Subjek Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kamera [Canon PowerShot

SX40 HS], teropong binokular [Nikon], rangefinder [Nikon], dan jam tangan

digital [Eiger LS-88]. Bahan yang digunakan adalah pensil, lembar pengamatan,

pita penanda, dan kantung plastik zip lock. Subjek penelitian adalah tiga

kelompok siamang yang terdapat di area penelitian selatan dan mamalia arboreal

lain yang ditemukan di dalam ruang jelajah kelompok siamang. Kelompok

siamang yang dipilih merupakan kelompok yang seluruh ruang jelajahnya hutan

primer untuk menghindari bias akibat perbedaan struktur habitat. Komposisi

kelompok siamang yang dipilih sebagai subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel

3.2. Individu yang masih bayi tidak diamati karena masih bergantung pada

induknya.

23

Universitas Indonesia

Tabel 3.2. Komposisi kelompok siamang subjek penelitian.

Nama

Kelompok

Individu

ke- Jenis kelamin Kelompok usia Keterangan

Bimo 1 Jantan Dewasa Diamati

2 Betina Dewasa Diamati

3 Betina Pradewasa Diamati

4 Jantan Remaja besar Diamati

5 Jantan Bayi Tidak diamati

Freddie 1 Jantan Dewasa Diamati

2 Betina Dewasa Diamati

3 Betina Pradewasa Diamati

Gatot 1 Jantan Dewasa Diamati

2 Betina Dewasa Diamati

3 Betina Pradewasa Diamati

4 (belum diketahui) Bayi Tidak diamati

Keterangan:

Individu yang diamati adalah individu yang sudah tidak bergantung pada induk.

Individu ke-4 pada kelompok Gatot belum diketahui jenis kelaminnya.

3.3. Cara Kerja

3.3.1. Pengambilan data

Pengambilan data pada penelitian ini terbagi menjadi dua tahap, yaitu

pengamatan perilaku siamang dan survei mamalia arboreal. Data yang akan

diperoleh dari pengamatan perilaku siamang adalah komposisi pakan siamang,

penggunaan habitat, dan interaksi dengan mamalia arboreal lain. Data yang akan

diperoleh dari survei mamalia arboreal adalah frekuensi pertemuan setiap spesies

mamalia arboreal yang berada di ruang jelajah siamang, komposisi pakan, dan

penggunaan habitat.

1. Pengamatan perilaku siamang

Metode focal instantaneous sampling digunakan untuk pengamatan

perilaku siamang. Focal sampling merupakan metode yang dilakukan dengan

mengamati dan mencatat perilaku satu individu saja pada waktu yang ditentukan.

Instantaneous sampling dilakukan dengan mencatat perilaku yang terjadi pada

24

Universitas Indonesia

setiap interval waktu tertentu (Martin & Bateson 2007: 48--61). Selain itu,

metode ad libitum digunakan untuk mencatat interaksi interspesifik antara

siamang dan mamalia arboreal lainnya.

Subjek penelitian adalah tiga kelompok siamang yang seluruh ruang

jelajahnya hutan primer (Tabel 3.2.). Ketiga kelompok tersebut telah terhabituasi

terhadap manusia karena telah menjadi subjek penelitian perilaku sejak tahun

1998 (Nurcahyo 1999). Setiap kelompok siamang diikuti selama empat hari

berturut-turut. Satu hari sebelum memulai pengamatan perilaku, pengamat

mencari kelompok siamang dan mengikutinya hingga siamang kembali ke pohon

tidur. Hal tersebut dilakukan agar pencatatan perilaku keesokan harinya dapat

dimulai saat siamang baru memulai aktivitas, yaitu sekitar pukul 06.00.

Pengamatan dilakukan sampai siamang kembali ke pohon tidur dan berhenti

beraktivitas, yaitu sekitar pukul 17.00 (Chivers 1974: 23--24). Pengulangan

pengamatan perilaku dilakukan satu kali dengan urutan kelompok yang sama.

Waktu pengamatan dibagi menjadi interval-interval dengan periode satu

jam. Setiap satu jam, individu focal diganti secara sistematis. Hal tersebut

dilakukan untuk menghindari bias yang diakibatkan oleh faktor lingkungan,

seperti hari dengan curah hujan tinggi dan hari cerah. Dalam satu jam interval

pengamatan, perilaku individu focal dicatat setiap interval waktu lima menit.

Perilaku yang dicatat diklasifikasikan ke dalam lima kategori yang diadaptasi dari

Gittins & Raemaekers (1980: 96--97) dan O‟Brien & Kinnaird (1997: 326), yaitu

istirahat, makan, bergerak, vokalisasi, dan sosial.

Dua komponen utama dalam pengamatan perilaku siamang yang berfungsi

untuk menjawab pertanyaan penelitian adalah informasi mengenai penggunaan

habitat dan pemilihan pakan. Data penggunaan habitat dan pemilihan pakan akan

dicatat bersamaan dengan pengamatan perilaku. Variabel yang dicatat untuk

menjelaskan penggunaan habitat adalah tipe substrat, diameter substrat,

ketinggian siamang dari tanah, ketinggian pohon, jarak dari pusat tajuk, lebar

tajuk, fenofase pohon, skor fenofase, strata, dan kategori tajuk. Variabel

pemilihan pakan yang dicatat adalah kategori makanan dan spesies yang dimakan.

Jika memungkinkan, waktu yang dibutuhkan untuk menangani makanan juga

dicatat.

25

Universitas Indonesia

2. Survei mamalia arboreal

Survei mamalia arboreal dilakukan dengan metode transek garis. Metode

tersebut dilakukan dengan menyusuri jalur berbentuk garis lurus dan mencatat

jarak tegak lurus dari hewan yang ditemui ke garis transek (Rudran dkk. 1996:

89). Data yang dicatat adalah waktu pertemuan, spesies mamalia, jumlah

individu, jarak tegak lurus, koordinat, perilaku, dan penggunaan habitat. Jika

individu yang ditemukan sedang makan, kategori makanan dan spesies yang

dimakan dicatat. Waktu penanganan makanan dicatat jika memungkinkan.

Variabel penggunaan habitat dan pemilihan pakan sama seperti pada pengamatan

siamang.

Survei transek garis dilakukan di antara pukul 06.00--12.00 karena

sebagian besar mamalia arboreal lebih aktif pada pagi hari daripada sore hari.

Area survei mencakup wilayah jelajah ketiga kelompok siamang subjek

penelitian. Survei hanya dilakukan pada transek hutan primer. Pembatasan

wilayah pengamatan pada wilayah jelajah primata subjek penelitian juga telah

dilakukan oleh Estrada & Coates-Estrada (1985: 29). Jalur transek dapat dilihat

pada Gambar 3.3.1. Wilayah survei mencakup tiga jalur transek melintang

dengan panjang setiap transek 1,4 km.

26

Universitas Indonesia

Gambar 3.3.1. Wilayah jelajah beberapa kelompok siamang yang telah

terhabituasi di area penelitian selatan.

[Sumber: telah diolah kembali dari Prasetyaningrum 2001: 34 dan WCS-IP 2001: 6]

Legenda

Daerah bekas kebakaran

tahun 1997

Ruang jelajah siamang

subjek penelitian

Ruang jelajah kelompok

siamang yang tidak diamati

Jalur transek survei

mamalia

27

Universitas Indonesia

3.3.2. Analisis data

Analisis data dilakukan menggunakan dua metode utama, yaitu analisis

tumpang-tindih relung dan analisis komponen utama (PCA, Principal Component

Analysis). Analisis tumpang-tindih relung dilakukan dengan menghitung besar

indeks tumpang-tindih Horn. Rumus untuk menghitung indeks tersebut adalah:

𝑅𝑜 = 𝑝𝑖𝑗+𝑝𝑖𝑘 log 𝑝𝑖𝑗+𝑝𝑖𝑘 − 𝑝𝑖𝑗 log 𝑝𝑖𝑗 − 𝑝𝑖𝑘 log 𝑝𝑖𝑘

2 log 2

Keterangan:

Ro = Indeks tumpang-tindih Horn untuk spesies j dan k

pij = Proporsi sumber daya i dari sumber daya total yang digunakan spesies j

(spesies mamalia arboreal selain siamang)

pik = Proporsi sumber daya i dari sumber daya total yang digunakan spesies k

(siamang)

Indeks tersebut dipilih karena bias yang dihasilkan dari perhitungan tidak besar

dibandingkan indeks-indeks lainnya (Krebs 1989: 386--390). Perhitungan indeks

tumpang-tindih Horn dilakukan dengan perangkat lunak Microsoft Office Excel

2007.

Principal Component Analysis (PCA) adalah metode statistik yang

menggunakan transformasi ortogonal untuk mengonversikan kumpulan variabel

yang saling berkorelasi menjadi variabel baru yang disebut komponen utama (PC,

Principal Component). Variabel baru yang dihasilkan bersifat independen satu

sama lain. Kelebihan PCA adalah walaupun jumlah variabel berkurang, PC yang

dihasilkan tetap memiliki informasi mengenai hubungan antarvariabel. Reduksi

jumlah variabel menjadi PC memungkinkan analisis aspek ekologis difokuskan

pada beberapa variabel yang terpenting saja (Janžekovič & Novak 2012: 127).

Pada penelitian ini, PCA dilakukan untuk dua tujuan, yaitu (1) mengetahui

tumpang-tindih penggunaan habitat antara siamang dan mamalia arboreal lainnya

serta (2) mengetahui kondisi habitat yang berhubungan dengan interaksi

interspesifik. Analisis dilakukan menggunakan perangkat lunak R i386 3.0.2 dan

package vegan (Oksanen 2013: 8—11).

Untuk tujuan pertama, analisis dilakukan pada 12 variabel penggunaan

habitat yang terangkum dalam Tabel 3.3.2(1). Analisis dengan PCA

menghasilkan PC yang kemudian digunakan untuk memproyeksikan variabel

28

Universitas Indonesia

berdasarkan koefisien korelasinya dengan PC. Variabel dengan korelasi tinggi

(≥ 0,5) akan digunakan untuk menganalisis tumpang-tindih penggunaan habitat.

Setelah itu, data diordinasi pada scatter plot yang terdiri atas dua PC sebagai

sumbu-x dan sumbu-y. Pengelompokan titik data berdasarkan spesies mamalia

arboreal dilakukan dengan membuat elips dengan interval kepercayaan 95%.

Tumpang-tindih penggunaan habitat dapat diketahui secara visual berdasarkan

tumpang-tindih elips. Analisis tambahan, yaitu uji perbedaan rerata, dilakukan

pada PC dan variabel-variabel yang berkorelasi tinggi (≥ 0,5) dengan PC jika

terdapat tumpang-tindih elips. Tujuan uji tersebut adalah untuk mengetahui

apakah terdapat perbedaan signifikan penggunaan habitat berdasarkan variabel

tertentu. Jika distribusi data normal, uji yang digunakan adalah uji Anova dan uji

t. Jika distribusi data tidak normal, uji Kruskal-Wallis dan uji Wilcoxon

digunakan.

Tabel 3.3.2(1) Variabel penggunaan habitat yang dianalisis dengan PCA untuk

mengetahui tumpang-tindih relung di antara mamalia arboreal.

Kode Variabel Keterangan Tipe Variabel

Ds Diameter substrat Kontinu

Hdt Ketinggian dari tanah Kontinu

Hp Ketinggian pohon Kontinu

Ratio_H Rasio Hdt:Hp Kontinu

Rsp Jarak dari pusat tajuk Kontinu

Rt Jari-jari tajuk Kontinu

Ratio_R Rasio Rsp:Rt Kontinu

Substrat Tipe substrat Kategori

Fenofase Fenofase pohon Kategori

Skor Skor fenofase Kategori

Strata Strata hutan Kategori

Tajuk Kategori tajuk pohon Kategori

29

Universitas Indonesia

Untuk tujuan kedua, analisis dilakukan pada 19 variabel kondisi habitat

yang terangkum dalam Tabel 3.3.2(2). Tahap-tahap analisis hampir sama dengan

tahap analisis penggunaan habitat. Namun, untuk tujuan kedua, pengelompokan

titik data dilakukan berdasarkan tiga kategori interaksi interspesifik, yaitu:

1. netral (toleransi), jika siamang dan spesies lain dapat berada pada satu

pohon tanpa terjadi agresi,

2. dominansi, jika spesies lain menjauhi siamang tanpa terjadi perilaku

agresif dari siamang, dan

3. agresi, jika terjadi perilaku agresif antarspesies, termasuk mengusir dan

berkelahi.

Hasil PCA kemudian digambarkan dalam bentuk scatter plot yang di-overlay

dengan elips untuk menggambarkan pengelompokan interaksi berdasarkan

kondisi terjadinya. Jika terdapat perbedaan kondisi habitat yang menyebabkan

ketiga kategori interaksi, elips yang terbentuk tidak tumpang-tindih. Demikian

pula sebaliknya.

Tabel 3.3.2(2) Variabel kondisi habitat yang dianalisis dengan PCA untuk

mengetahui perbedaan kondisi habitat yang berhubungan

dengan interaksi interspesifik.

Kode Variabel Keterangan Tipe Variabel

D Jarak antara siamang dengan kompetitor Kontinu

Ds1 Diameter substrat siamang Kontinu

Ds2 Diamater substrat kompetitor Kontinu

Hdt1 Ketinggian siamang dari tanah Kontinu

Hdt2 Ketinggian kompetitor dari tanah Kontinu

Hp Ketinggian pohon Kontinu

Selisih_H Selisih ketinggian siamang dan kompetitor Kontinu

Rsp1 Jarak siamang dari pusat tajuk Kontinu

Rsp2 Jarak kompetitor dari pusat tajuk Kontinu

Rt Jari-jari tajuk Kontinu

Selisih_R Selisih jarak siamang dan kompetitor dari

pusat tajuk

Kontinu

Subs1 Tipe substrat siamang Kategori

Subs2 Tipe substrat kompetitor Kategori

30

Universitas Indonesia

Tabel 3.3.2(2) (lanjutan)

Fenofase Fenofase pohon Kategori

Skor Skor fenofase Kategori

Strata1 Strata siamang Kategori

Strata2 Strata kompetitor Kategori

Tajuk1 Kategori tajuk siamang Kategori

Tajuk2 Kategori tajuk Kategori

31 Universitas Indonesia

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan perilaku siamang telah dilakukan pada bulan Februari hingga

April 2014 dengan total 24 hari pengamatan dan meliputi 2.504 titik data yang

setara dengan 208,67 jam observasi. Selama periode pengamatan, terjadi dua

perubahan komposisi kelompok siamang. Pertama, individu pradewasa betina

dari kelompok Bimo memisahkan diri dari kelompoknya dan tidak diketahui

keberadaannya sampai akhir studi. Kedua, individu jantan dewasa pada kelompok

Freddie tercatat melakukan kopulasi dengan betina dewasa dan juga betina

pradewasa. Oleh karena itu, betina pradewasa tersebut selanjutnya dianggap

sebagai betina dewasa.

Survei mamalia arboreal telah dilakukan pada 23 hari pengamatan selama

periode penelitian. Hasil survei menunjukkan bahwa siamang hidup

berdampingan dengan sepuluh spesies mamalia arboreal (Lampiran 1). Namun,

hanya spesies yang melimpah yang dianalisis interaksinya dengan siamang.

Spesies yang hanya berjumlah sedikit tidak memberikan dampak kompetitif yang

besar. Mamalia arboreal yang akan dianalisis ditentukan berdasarkan frekuensi

pertemuan. Hewan dengan kelimpahan yang tinggi memiliki probabilitas

pertemuan yang besar sehingga frekuensi pertemuan merupakan indeks yang

dianggap representatif dan sederhana. Berdasarkan hasil survei (Lampiran 1),

mamalia arboreal dengan frekuensi pertemuan tertinggi (Gambar 4) adalah

Presbytis melalophos (51,16%), Callosciurus notatus (20,16%), dan Ratufa

bicolor (10,08%).

Dari kedua metode pengambilan data tersebut--pengamatan perilaku

siamang dan survei mamalia arboreal--telah diperoleh data yang dibutuhkan untuk

mencapai tujuan penelitian. Pemaparan hasil dan pembahasan dibagi menjadi

empat bagian, yaitu tumpang-tindih relung berdasarkan pakan, tumpang-tindih

relung berdasarkan penggunaan habitat, kompetisi interspesifik, dan partisi relung

antara siamang dan mamalia arboreal lainnya.

32

Universitas Indonesia

Gambar 4. Tiga spesies mamalia arboreal dengan frekuensi pertemuan tertinggi

di area survei.

Keterangan:

(a) = simpai (Presbytis melalophos)

(b) = bajing kelapa (Callosciurus notatus)

(c) = jelarang hitam (Ratufa bicolor)

[Sumber: Dokumentasi pribadi]

(a) (b)

(c) 20 cm

10 cm 20 cm

33

Universitas Indonesia

4.1. Tumpang-tindih Relung Berdasarkan Pakan

Komposisi pakan siamang terdiri atas 72,52% buah, 23,57% daun, 3,77%

bunga, dan 0,14% materi hewani (Gambar 4.1(1)). Hasil tersebut menunjukkan

bahwa siamang memiliki preferensi yang tinggi terhadap buah-buahan. Selama

dua bulan pengamatan, siamang tercatat memakan 23 spesies buah, 22 spesies

daun, dan lima spesies bunga. Frekuensi dan keanekaragaman spesies pakan

siamang dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan penelitian Nurcahyo (1999:

24) yang dilakukan di lokasi yang sama, komposisi pakan siamang terdiri atas

52,07% buah, 42,62% daun, dan 5,3% bunga. Proporsi buah yang lebih besar

terjadi karena saat penelitian ini dilakukan, terdapat beberapa pohon pakan

siamang yang berbuah lebat seperti Beilschmiedia dyctioneura, Sandoricum

koetjape, Ficus altissima, dan spesies-spesies dari famili Annonaceae. Siamang

memakan lebih banyak daun jika ketersediaan buah sedikit (Elder 2009: 153).

Gambar 4.1(1) Diagram komposisi pakan tiga kelompok siamang subjek

penelitian.

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Bimo Freddie Gatot Total

Invertebrata

Bunga

Daun

Buah

34

Universitas Indonesia

Gambar 4.1(2) Diagram perbandingan komposisi pakan siamang, simpai, bajing

kelapa, dan jelarang hitam.

Keterangan:

Angka menunjukkan jumlah data suatu spesies mamalia tercatat memakan

makanan dari kategori tertentu.

Komposisi pakan tiga spesies mamalia arboreal yang hidup di ruang

jelajah siamang dapat dilihat pada Gambar 4.1(2). Simpai diketahui memakan

73,91% buah dan 26,09% daun. Hasil tersebut berbeda dengan hasil yang

dilaporkan oleh Curtin (1980: 138) yang menyatakan bahwa simpai di Malaysia

memakan 48% buah dan 35% daun. Selama periode pengambilan data, bajing

kelapa hanya tercatat enam kali memakan buah dan satu kali memakan kayu

pohon. Berdasarkan hasil penelitian Payne (1980: 273) di hutan hujan tropis

Malaysia, komposisi pakan terbesar bajing kelapa adalah biji-bijian (> 40%),

dilanjutkan dengan kayu dan getah (30%), daun (25%), serta bunga dan materi

hewani. Jelarang hitam tercatat 12 kali memakan buah (92,31%) dan hanya sekali

memakan bunga (7,68%). Sifat frugivora jelarang hitam juga dilaporkan oleh

Payne (1980: 273--274) yang menyatakan bahwa hewan pengerat tersebut

memakan 81% buah. Perbedaan antara hasil pengamatan dengan literatur

kemungkinan besar disebabkan oleh jumlah sampel yang sedikit (< 30 per

Siamang Simpai Bajing Kelapa Jelarang Hitam

Kayu 0 0 1 0

Invertebrata 1 0 0 0

Bunga 27 0 0 1

Daun 168 6 0 0

Buah 520 17 6 12

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

35

Universitas Indonesia

spesies). Walaupun hasil pengamatan tidak meliputi seluruh variasi pakan, hasil

tersebut dianggap representatif untuk komponen pakan dominan ketiga spesies

mamalia arboreal.

Perhitungan indeks Horn dilakukan untuk mengetahui tumpang-tindih

relung antara siamang dan ketiga mamalia arboreal yang paling melimpah, yaitu

simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam. Kategori pakan materi hewani dan

kayu tidak diikutsertakan dalam perhitungan. Hasil perhitungan (Tabel 4.1(1) dan

Lampiran 3) menunjukkan bahwa tumpang-tindih relung terbesar terdapat di

antara siamang dan jelarang hitam (Ro = 0,418), sedangkan tumpang-tindih

terkecil terdapat di antara siamang dan simpai (Ro = 0,310). Spesies-spesies

tumbuhan pakan siamang yang juga merupakan sumber pakan bagi simpai, bajing

kelapa, dan jelarang hitam dirangkum pada Tabel 4.1(2). Berdasarkan tabel

tersebut, jumlah spesies pakan yang sama antara siamang dan simpai lebih banyak

daripada siamang dan jelarang hitam, tetapi indeks Horn menunjukkan

sebaliknya. Hal itu terjadi karena simpai memakan daun beberapa spesies

tumbuhan yang tidak dimakan oleh siamang.

Tabel 4.1(1) Tabel ringkasan catatan spesies pakan dan tumpang-tindih relung

berdasarkan pemilihan pakan.

Spesies Frekuensi

catatan

Jumlah

spesies

pakan

Jumlah spesies pakan

yang sama dengan

siamang

Indeks Horn

Siamang 715 50 - -

Simpai 23 13 6 0,310

Bajing kelapa 6 4 3 0,334

Jelarang hitam 13 7 4 0,418

36

Universitas Indonesia

Tabel 4.1(2) Daftar spesies tumbuhan pakan siamang yang juga dimakan oleh

simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam.

Kategori

pakan Spesies tumbuhan

Frekuensi catatan

Simpai Bajing

kelapa

Jelarang

hitam

Buah Adinandra acuminata 1 1

Beilschmiedia dyctioneura 3 2

Dracontomelon dao 1

Ficus altissima 3 3

Garcinia parvifolia 1

Mitrephora polypyrena 1

Neolamarckia cadamba 2

Sandoricum koetjape 4

Daun daun.liana.sp1* 1

daun.sp3* 1

Keterangan:

* Spesies tidak teridentifikasi

Data yang digunakan untuk menghitung indeks Horn merupakan data

komposisi pakan. Data komposisi pakan siamang diperoleh dari pengamatan

perilaku siamang dengan metode focal instantaneous sampling, sedangkan data

komposisi pakan simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam diperoleh saat

melakukan survei transek garis dan catatan ad libitum saat pengamatan siamang.

Oleh karena itu, frekuensi catatan food item siamang dan ketiga mamalia lainnya

berbeda dan hasil perhitungan indeks Horn dalam penelitian ini diduga lebih kecil

daripada tumpang-tindih relung yang sebenarnya. Walaupun bersifat

underestimate, perhitungan indeks Horn tetap bermanfaat sebagai perkiraan untuk

membandingkan tumpang-tindih relung secara relatif.

4.2. Tumpang-tindih Relung Berdasarkan Penggunaan Habitat

Siamang, simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam sering menggunakan

lapisan tajuk dan lapisan emergen hutan (Tabel 4.2(1)). Rerata ketinggian dari

permukaan tanah siamang (25,83 ± 0,34 m, 1 s.e., n = 656) lebih mirip dengan

jelarang hitam (26,04 ± 1,26 m, 1 s.e., n = 28) daripada dengan simpai (20,62 ±

1,16 m, 1 s.e., n = 34) dan bajing kelapa (20,59 ± 1,96 m, 1 s.e., n = 22). Substrat

37

Universitas Indonesia

yang paling sering digunakan oleh siamang, simpai, dan jelarang hitam adalah

cabang tersier, sedangkan bajing kelapa lebih sering menggunakan liana

(44,74%).

Tabel 4.2(1) Ringkasan variabel-variabel penggunaan habitat.

Variabel Siamang Simpai Bajing Kelapa

Jelarang Hitam

Variabel kontinu Rerata

Ds : diameter substrat (cm) 8,562 6,382 8,955 5,429

Hdt : ketinggian dari tanah (m) 25,83 20,62 20,59 26,04

Hp : ketinggian dari substrat (m) 32,30 25,85 25,68 32,50

Ratio_H : Rasio Hdt:Hp 0,8014 0,8167 0,7893 0,8085

Rsp : jarak dari pusat tajuk (m) 5,364 3,25 3,318 4,661

Rt : jari-jari tajuk (m) 8,569 6,324 6,682 8,036

Ratio_R : rasio Rsp:Rt 0,1146 0,4620 0,4770 0,5794

Variabel kategori

Substrat 1 : liana

2 : cabang tersier

3 : cabang sekunder

4 : cabang primer

5 : batang utama

14,35%

50,75%

13,55%

20,60%

0,75%

12,00%

52,00%

8,00%

26,00%

2,00%

44,74%

26,32%

5,26%

15,79%

7,89%

3,45%

62,07%

13,79%

20,69%

0,00%

Fenofase 0 : -

1 : daun baru

2 : bunga

3 : buah

66,98%

4,10%

0,83%

28,09%

70,00%

2,50%

0,00%

27,50%

71,79%

0,00%

0,00%

28,21%

46,88%

0,00%

3,13%

50,00%

Skor 0 : 0

1 : 1-25%

2 : 26--50%

3 : 51--75%

4 : 76--100%

60,32%

16,72%

11,61%

6,92%

4,43%

67,65%

14,71%

5,88%

11,76%

0,00%

71,05%

10,53%

7,89%

2,63%

7,89%

45,16%

35,48%

9,68%

6,45%

3,23%

Strata 1 : lantai hutan

2 : understorey layer

3 : middle canopy layer

4 : emergent layer

0,00%

0,56%

65,94% 33,49%

0,00%

2,67%

82,67% 14,67%

0,00%

23,08%

58,97% 17,95%

0,00%

0,00%

40,63% 59,38%

Tajuk 1 : bawah

2 : tengah

3 : atas

21,69%

61,28%

17,03%

16,95%

74,58%

8,47%

27,59%

62,07%

10,34%

18,75%

68,75%

12,50%

38

Universitas Indonesia

Hasil PCA pada 12 variabel yang mendeskripsikan penggunaan habitat

(Lampiran 4) menghasilkan dua PC, yaitu PC1 dan PC2, yang berkontribusi

terhadap 92,67% variansi total. Komponen utama yang dianalisis hanya kedua

PC tersebut karena PC3 hanya berperan sebesar 3,855% dari total variansi data.

Komponen yang berperan kurang dari 5% dapat diabaikan karena dianggap tidak

memiliki arti penting secara ekologis (Janžekovič & Novak 2012: 131). Oleh

karena itu, dua PC tersebut dianggap mewakili variasi penggunaan habitat pada

keempat spesies subjek penelitian. Komponen pertama (PC1) berkorelasi tinggi

dengan dua variabel, yaitu ketinggian pohon (Hp) dan ketinggian individu dari

permukaan tanah (Hdt). Komponen kedua (PC2) memiliki korelasi yang tinggi

dengan variabel diameter substrat (Ds). Gambar 4.2(1) menunjukkan proyeksi

variabel-variabel penggunaan habitat terhadap PC1 sebagai sumbu-x dan PC2

sebagai sumbu-y.

Ordinasi data pada sumbu PC1 dan PC2 (Gambar 4.2(2)) menunjukkan

bahwa siamang, simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam memiliki relung yang

saling bertumpang-tindih. Walaupun tidak terdapat pengelompokkan relung

secara visual (clustering) di antara keempat spesies mamalia tersebut, bajing

kelabu tampak memiliki kisaran relung terbesar dibandingkan ketiga spesies

lainnya. Sementara itu, jelarang hitam memiliki kisaran relung terkecil.

Uji Kruskal-Wallis (Lampiran 5) dilakukan untuk mengetahui perbedaan

penggunaan habitat di antara siamang, simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam.

Variabel yang diuji adalah PC1, PC2, dan variabel-variabel yang berkorelasi

tinggi dengan PC1 dan PC2, yaitu ketinggian pohon, ketinggian dari permukaan

tanah, dan diameter substrat. Uji dilakukan terpisah untuk masing-masing

variabel. Jika hasil uji Kruskal-Wallis menyatakan bahwa terdapat perbedaan, uji

Wilcoxon dilakukan untuk mengetahui spesies mamalia yang memiliki perbedaan

nilai rata-rata.

39

Universitas Indonesia

Gambar 4.2(1) Proyeksi variabel-variabel penggunaan habitat pada PC1

(sumbu-x) dan PC2 (sumbu-y).

Keterangan:

Ds1 = diameter substrat

Hdt = tinggi dari permukaan tanah

Hp = tinggi pohon

PC1 = komponen utama pertama

PC2 = komponen utama kedua

Rsp = jarak dari titik tengah tajuk

Rt = jari-jari tajuk pohon

40

Universitas Indonesia

Gambar 4.2(2) Ordinasi penggunaan habitat oleh empat spesies mamalia

arboreal terhadap PC1 (sumbu-x) dan PC2 (sumbu-y).

Keterangan:

elips abu-abu = relung simpai

elips hijau = relung jelarang hitam

elips kuning = relung bajing kelabu

elips merah = relung siamang

(s.d., 95% interval kepercayaan)

PC1 = komponen utama pertama

PC2 = komponen utama kedua

Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji Wilcoxon (Tabel 4.2(2)) menunjukkan

bahwa walaupun terdapat tumpang-tindih penggunaan habitat, keempat spesies

mamalia mengalami partisi relung pada beberapa dimensi relung. Siamang,

simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam tidak menunjukkan perbedaan signifikan

dalam penggunaan substrat (Kruskal-Wallis chi-squared = 7,1613, d.f. = 3,

41

Universitas Indonesia

p-value = 0,06693). Namun, terdapat perbedaan signifikan pada variabel

ketinggian pohon (Kruskal-Wallis chi-squared = 23,4439, d.f. = 3, p-value =

3,263e-05) dan ketinggian individu dari permukaan tanah (Kruskal-Wallis chi-

squared = 21,6214, d.f. = 3, p-value = 7,82e-05). Rerata ketinggian pohon yang

digunakan siamang adalah 32,30 ± 0,40 m (1 s.e., n = 656). Simpai dan bajing

kelapa menggunakan pohon dengan rerata ketinggian yang berbeda secara

signifikan dengan siamang (uji Wilcoxon, p-value < 0,05). Namun, jelarang

hitam menggunakan pohon dengan ketinggian yang tidak berbeda signifikan

dengan siamang (uji Wilcoxon, p-value > 0,05). Uji perbedaan rerata ketinggian

dari permukaan tanah juga menunjukkan hasil yang serupa. Rerata ketinggian dari

permukaaan tanah siamang dan jelarang hitam sama, tetapi berbeda secara

signifikan dengan simpai dan bajing kelapa. Hasil uji sesuai dengan visualisasi

distribusi data dengan diagram boxplot (Gambar 4.2(3)).

Tabel 4.2(2) Hasil uji Kruskal-Wallis variabel penggunaan habitat dengan faktor

keempat spesies mamalia arboreal.

Uji PC1 PC2 Hp Hdt Ds

Uji Kruskal-

Wallis

Kruskal-Wallis

chi-squared 24.5769 6.9063 23.4439 21.6214 7.1613

d.f. 3 3 3 3 3

p-value 1.893e-05*** 0.07495 3.263e-05*** 7.82e-05*** 0.06693

Uji Wilcoxon

(p-value)

S.syn-P.mel - - 0,000105*** 0,000316*** -

S.syn-C.not - - 0,002881** 0,002953** -

S.syn-R.bic - - 0,8688 0,7367 -

Keterangan:

C.not = Callosciurus notatus, bajing kelapa

Ds = diameter substrat

Hdt = tinggi dari permukaan tanah

Hp = tinggi pohon

P.mel = Presbytis melalophos, simpai

R.bic = Ratufa bicolor, jelarang hitam

S.syn = Symphalangus syndactylus, siamang

Kode signifikansi = 0 „***‟ 0,001 „**‟ 0,01 „*‟ 0,05

42

Universitas Indonesia

Gambar 4.2(3) Boxplot ketiga variabel yang berkorelasi tinggi dengan PC1 dan

PC2.

Keterangan:

Hp (ketinggian pohon) C.not P.mel R.bic S.syn

Minimal (garis terbawah) 12,00 12,00 18,00 12,00

Kuartil 1 (sisi terbawah persegi) 20,00 20,00 27,50 23,00

Median (garis tengah kotak) 23,00 22,50 31,50 33,00

Kuartil 2 (sisi teratas persegi) 35,50 29,75 37,25 41,00

Maksimal (garis teratas) 42,00 48,00 49,00 53,00

Hdt (ketinggian dari tanah) C.not P.mel R.bic S.syn

Minimal 10,00 12,00 15,00 9,00

Kuartil 1 14,50 15,25 21,75 18,00

Median 17,00 18,00 25,00 25,00

Kuartil 2 27,75 24,75 29,50 33,00

Maksimal 41,00 37,00 40,00 50,00

Hp (ketinggian pohon) Hdt (ketinggian dari tanah)

Ds (diameter substrat)

Ket

inggia

n (

m)

Ket

inggia

n (

m)

Dia

met

er (

cm)

43

Universitas Indonesia

Ds (diameter substrat) C.not P.mel R.bic S.syn

Minimal 1,00 1,00 1,00 1,00

Kuartil 1 2,25 2,25 3,00 3,00

Median 4,00 3,00 4,50 5,00

Kuartil 2 6,00 7,00 7,00 9,00

Maksimal 55,00 30,00 22,00 50,00

C.not = Callosciurus notatus, bajing kelapa

P.mel = Presbytis melalophos, simpai

R.bic = Ratufa bicolor, jelarang hitam

S.syn = Symphalangus syndactylus, siamang

4.3. Kompetisi Interspesifik antara Siamang dengan Tiga Spesies Mamalia

Arboreal

Organisme berbeda spesies yang hidup berdampingan di habitat yang

sama dan memiliki relung yang serupa berpotensi mengalami kompetisi. Oleh

karena itu, tumpang-tindih relung seringkali digunakan sebagai pendekatan untuk

mengetahui kompetisi interspesifik (Estrada & Coates-Estrada 1985: 35; Marshall

dkk. 2009:181; Cáceres & Machado 2013: 13). Kelebihan dari penelitian ini

adalah kompetisi tidak hanya disimpulkan secara tidak langsung melalui indeks

tumpang-tindih relung, melainkan juga disertai dengan observasi di lapangan

mengenai interaksi langsung yang terjadi antara dua spesies yang hidup

berdampingan. Pengamatan interaksi interspesifik berfungsi sebagai data

pelengkap untuk menganalisis hubungan antara tumpang-tindih relung dengan

kompetisi interspesifik. Walaupun demikian, penelitian ini memiliki beberapa

kekurangan. Pertama, penelitian hanya dilakukan selama dua bulan sehingga

kurang mencukupi untuk mendeteksi seluruh variasi temporal. Kedua, hasil

penelitian dapat meng-underestimate kompetisi antara siamang dengan kerabat

simpatriknya, yaitu owa ungko (Hylobates agilis) karena penelitian hanya

dilakukan pada skala kecil dan kepadatan owa ungko di area penelitian sangat

rendah.

Tiga spesies mamalia arboreal dengan frekuensi pertemuan tinggi dalam

ruang jelajah siamang, yaitu simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam, memiliki

relung yang bertumpang-tindih dengan siamang, baik dari segi penggunaan

44

Universitas Indonesia

habitat maupun pemilihan pakan. Tumpang-tindih relung tersebut memungkinkan

terjadinya kompetisi, baik secara langsung (kompetisi interferensi) maupun tidak

langsung (kompetisi eksploitatif).

Kompetisi interferensi terjadi saat siamang dan mamalia arboreal lain

mencari makanan di pohon yang sama dan menunjukkan agresi atau dominansi.

Selama pengamatan perilaku siamang, tercatat 57 interaksi antara siamang dan

spesies mamalia arboreal lainnya. Interaksi interspesifik tersebut meliputi 35

(61,40%) interaksi netral, 11 (19,30%) interaksi agresi, dan 11 (19,30%) interaksi

dominansi. Siamang tercatat berinteraksi dengan tujuh spesies mamalia arboreal

(Tabel 4.3(1)). Dari ketujuh spesies mamalia tersebut, frekuensi interaksi yang

tertinggi terjadi antara siamang dengan simpai (Presbytis melalophos, 22,81%, n

= 13). Mamalia arboreal yang cukup sering berinteraksi dengan siamang selain

simpai adalah bajing kelapa (Callosciurus notatus, 19,30%, n = 11), jelarang

hitam (Ratufa bicolor, 17,54%, n = 10), dan jelarang bilalang (Ratufa affinis,

12,28%, n = 7).

Tabel 4.3(1) Frekuensi interaksi interspesifik antara siamang dengan mamalia

arboreal lainnya.

Spesies Mamalia Frekuensi

Persentase Agresi Dominansi Netral Jumlah

Arctictis binturong

1 1 1,75%

Callosciurus notatus*

2 9 11 19,30%

Macaca fascicularis

1 1 1,75%

Presbytis melalophos* 7 1 5 13 22,81%

Ratufa affinis

6 1 7 12,28%

Ratufa bicolor* 1 2 7 10 17,54%

Sundasciurus hippurus 1

2 3 5,26%

Tidak teridentifikasi 2

9 11 19,30%

Jumlah 11

(19,30%)

11

(19,30%)

35

(61,40%)

57

Keterangan:

* = mamalia arboreal dengan frekuensi pertemuan tinggi di area survei.

Interaksi interspesifik dianalisis menggunakan metode PCA (Lampiran 6).

Data yang dianalisis hanya interaksi antara siamang dan tiga spesies mamalia

arboreal dengan frekuensi pertemuan tertinggi, yaitu simpai, bajing kelapa, dan

jelarang hitam. Hasil PCA menghasilkan tiga komponen utama, disebut PC1,

45

Universitas Indonesia

PC2, dan PC3, yang secara kumulatif berperan terhadap 88,62% dari total variansi

data. Komponen utama (PC) yang dipertimbangkan untuk diinterpretasikan hanya

tiga PC pertama karena PC keempat (PC4) hanya berperan sebesar 4,27% dari

total variansi data. Variabel yang memiliki korelasi tinggi dengan PC1 adalah

tinggi pohon (Hp), ketinggian siamang dari tanah (Hdt1), dan ketinggian

kompetitor dari tanah (Hdt2). Variabel yang memiliki korelasi tinggi dengan PC2

adalah diameter substrat siamang (Ds1) dan diameter substrat kompetitor (Ds2).

Komponen ketiga (PC3) berkorelasi tinggi dengan variabel-variabel yang sama

dengan PC2. Dalam pembahasan, PC3 tidak disertakan karena dianggap telah

diwakili oleh PC2. Gambar 4.3(1) memperlihatkan proyeksi antara variabel-

variabel penggunaan habitat dengan PC1 dan PC2. Semakin panjang vektor,

semakin besar kontribusi variabel yang diwakili vektor tersebut terhadap variansi

data. Semakin kecil sudut antara vektor dengan salah satu PC, semakin besar

korelasi antara variabel dengan PC tersebut.

Ordinasi pada sumbu PC1 dan PC2 (Gambar 4.3(2)) menunjukkan bahwa

elips yang terbentuk dari interaksi netral (s.d., 95% interval kepercayaan)

memiliki luas paling besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa interaksi netral

terjadi pada kondisi habitat yang lebih bervariasi dibandingkan interaksi agresi

dan dominansi. Uji Kruskal-Wallis dilakukan terhadap kedua PC dan variabel

yang berkorelasi tinggi dengan kedua PC untuk mengetahui perbedaan kondisi

habitat yang berhubungan dengan interaksi agresi, dominansi, dan netral

(Lampiran 7). Hasil uji menunjukkan bahwa untuk ketiga tipe interaksi, tidak

terdapat perbedaan kondisi habitat yang siginifikan (Tabel 4.3(2)).

46

Universitas Indonesia

Gambar 4.3(1) Proyeksi variabel-variabel kondisi habitat pada PC1 (sumbu-x)

dan PC2 (sumbu-y)

Keterangan:

D = jarak antara siamang dengan kompetitor

Ds1 = diameter substrat siamang

Ds2 = diameter substrat kompetitor

Hdt1 = ketinggian siamang dari tanah

Hdt2 = ketinggian kompetitor dari tanah

Hp = ketinggian pohon

PC1 = komponen utama pertama

PC2 = komponen utama kedua

Rsp1 = jarak siamang dari pusat tajuk

Rsp2 = jarak kompetitor dari pusat tajuk

Rt = jari-jari tajuk

47

Universitas Indonesia

Gambar 4.3(2) Ordinasi data interaksi interspesifik pada sumbu PC1 dan PC2.

Keterangan:

Elips biru = ordinasi interaksi dominansi

Elips hijau = ordinasi interaksi netral

Elips merah = ordinasi interaksi agresi

(s.d., 95% interval kepercayaan)

Tabel 4.3(2) Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap kedua PC dan variabel yang

berkorelasi tinggi dengan PC1 dan PC2.

Parameter PC1 PC2 Hdt1 Hdt2 Hp Ds1 Ds2

Kruskal-

Wallis chi-

squared

5,7899 0,8467 3,6357 3,7218 3,2466 2,1321 1,1768

d.f. 2 2 2 2 2 2 2

p-value 0,0553 0,8467 0,1624 0,1555 0,1972 0,3444 0,5552

Keterangan:

Ds1 = diameter substrat siamang

Ds2 = diameter substrat kompetitor

Hdt1 = ketinggian siamang dari tanah

Hdt2 = ketinggian kompetitor dari tanah Hp = ketinggian pohon

PC1 = komponen utama pertama

PC2 = komponen utama kedua

48

Universitas Indonesia

Perilaku agresi selalu diinisiasi oleh siamang dan ditujukan untuk

mengusir kompetitor dari sumber makanan. Siamang selalu memenangkan setiap

agresi karena memiliki ukuran tubuh yang lebih besar. Kompetitor siamang tidak

pernah tercatat memberikan respon perlawanan, melainkan selalu menjauh dengan

berpindah dahan atau berpindah ke pohon lain jika siamang melakukan agresi.

Kompetisi interferensi tidak hanya terjadi melalui perilaku agresi, tetapi juga

melalui interaksi dominansi. Kompetitor siamang pada umumnya akan merasa

terusik jika siamang mendekat walaupun siamang tidak menunjukkan perilaku

agresi. Hal tersebut menunjukkan bahwa mamalia arboreal lainnya mengenali

siamang sebagai kompetitor yang dominan. Ukuran tubuh siamang yang besar

merupakan faktor utama dominansi siamang terhadap mamalia arboreal lainnya.

Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian mengenai interaksi interspesifik di

antara mamalia arboreal di India. Menurut Sushma & Singh (2006: 488--489),

ukuran tubuh bukan faktor penting yang menyebabkan dominansi monyet bonnet

(Macaca radiata) terhadap monyet ekor singa (Macaca silenus) dan lutung Nilgiri

(Semnopithecus johnii), melainkan jumlah jantan dewasa dalam kelompok.

Ukuran tubuh siamang jauh lebih besar daripada ketiga mamalia arboreal lainnya

(Tabel 4.3(3)) sehingga dapat melebihi pengaruh jumlah individu.

Tabel 4.3(3) Perbandingan ukuran tubuh siamang, simpai, bajing kelapa, dan

jelarang hitam.

Spesies Ukuran tubuh Sumber

Siamang 800--900 mm Supriatna & Wahyono 2000: 293

Simpai 450--490 mm Supriatna & Wahyono 2000: 187

Bajing kelapa 175--223 mm Francis 2008: 331

Jelarang hitam 370--405 mm Francis 2008: 330

Interaksi netral antara siamang dan kompetitornya lebih sering terjadi

dibandingkan interaksi agresi dan dominansi. Siamang dan kompetitornya sering

berada pada pohon pakan yang sama tanpa terjadi perilaku interferensi sehingga

dapat diduga bahwa kompetisi interferensi yang terjadi antara siamang dan

mamalia arboreal tidak intens. Hasil PCA interaksi interspesifik tidak

menunjukkan adanya perbedaan kondisi habitat yang memfasilitasi interaksi

agresi, dominansi, dan toleransi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa interaksi

49

Universitas Indonesia

yang jarang terjadi (agresi dan dominansi) mungkin hanya bersifat sporadis.

Walaupun demikian, tidak terlihatnya pola yang memengaruhi interaksi mungkin

disebabkan oleh sedikitnya jumlah sampel interaksi (n = 57).

Interaksi interspesifik pada umumnya terjadi di pohon yang berbuah

(62,50% agresi, 60% dominansi, dan 90,48% netral, Lampiran 6). Menurut

Nurcahyo (1999: 37), siamang terkadang menunjukkan perilaku agresi terhadap

kompetitor, yaitu owa, beruk, rangkong, atau punai, jika buah sedikit. Namun,

berdasarkan pengamatan, perilaku agresi juga dapat terjadi saat kelimpahan buah

tinggi. Sebanyak 50% agresi terjadi di pohon dengan skor buah 50%--75%,

sementara hanya 12,50% agresi terjadi di pohon yang berbuah sedikit (1%--25%).

Interaksi dominansi dan netral juga tidak cenderung terjadi pada pohon dengan

kelimpahan buah tertentu (Lampiran 6).

Kompetisi eksploitatif terjadi jika perilaku suatu spesies mengurangi

ketersediaan sumber daya yang dapat digunakan oleh spesies lain. Estimasi

tumpang-tindih penggunaan sumber daya makanan menunjukkan bahwa spesies

yang paling berpotensi sebagai kompetitor bagi siamang adalah jelarang hitam.

Dibandingkan dengan simpai dan bajing kelapa, jelarang hitam lebih bersifat

frugivora. Oleh karena itu, komposisi pakan jelarang hitam lebih mirip dengan

siamang yang juga bersifat frugivora. Berdasarkan pengamatan di lapangan,

siamang membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk penanganan makanan

daripada jelarang hitam (Tabel 4.3(4)). Oleh karena itu, jumlah buah yang

tersedia bagi jelarang hitam akibat perilaku makan siamang lebih sedikit

dibandingkan sebaliknya. Dalam hal ini, dampak negatif kompetisi terhadap

jelarang hitam lebih besar. Pemilihan kategori makanan juga dapat memberikan

dampak kompetitif. Siamang diketahui memakan bunga Homalium grandiflorum,

sedangkan jelarang hitam memakan buahnya. Pemilihan kategori makanan yang

berbeda tersebut dapat menyebabkan pengurangan jumlah buah yang tersedia bagi

jelarang hitam.

50

Universitas Indonesia

Tabel 4.3(4) Perbandingan laju penanganan buah antara siamang dan

jelarang hitam.

Spesies Makanan

Laju Penanganan Buah (detik per buah)

Jelarang Hitam Siamang

Rerata Standar

Deviasi n Rerata

Standar

Deviasi n

Adinandra acuminata 30,333 8,505 3 6,197 2,354 6

Beilschmiedia dyctioneura 43,500 2,121 2 16,158 4,586 19

Ficus altissima 39,000 - 1 9,286 1,010 2

Sandoricum koetjape 100,000 43,841 2 25,628 14,192 7

Keterangan:

n = jumlah sampel (jumlah observasi)

Perbedaan preferensi kematangan buah juga merupakan salah satu

mekanisme kompetisi eksploitatif. Berdasarkan penelitian Marshall dkk. (2009:

181) di Kalimantan, bajing tiga warna (Callosciurus prevostii) lebih menyukai

buah dan biji yang belum matang sehingga mengurangi jumlah buah yang tersedia

untuk owa kalimantan (Hylobates albibarbis). Perilaku makan yang demikian

memberikan dampak kompetisi secara asimetris karena bajing tiga warna hanya

mengalami dampak kompetitif yang kecil dari owa kalimantan. Siamang di

TNBBS diketahui lebih menyukai buah yang matang. Salah satu kompetitor

siamang, yaitu bajing kelapa, pernah tercatat memakan buah yang belum matang

seperti buah Adinandra acuminata dan Garcinia parvifolia. Hal tersebut dapat

menyebabkan ketersediaan buah matang bagi siamang berkurang. Namun, hal

tersebut tampaknya tidak memberikan dampak kompetitif yang besar bagi

siamang. Hal ini akan dibahas lebih mendalam pada bagian 4.4.2.

4.4. Partisi Relung antara Siamang dan Kompetitornya

Siamang dan tiga spesies mamalia arboreal kompetitornya mengalami

tumpang-tindih relung, tetapi dapat hidup berdampingan di habitat yang sama

dengan populasi yang cukup tinggi. Menurut Sushma & Singh (2006: 489), jika

dua spesies memiliki tumpang-tindih relung yang tinggi dan kisaran relung yang

sempit, kemungkinan besar tidak dapat hidup berdampingan. Namun, dua spesies

dengan tumpang-tindih relung tinggi dan memiliki kisaran relung yang lebar dapat

51

Universitas Indonesia

hidup berdampingan karena mampu mengurangi kompetisi dengan memanfaatkan

sumber daya yang beragam dan tidak digunakan oleh kompetitornya. Siamang,

simpai, bajing kelabu, dan jelarang hitam dapat hidup berdampingan karena

terjadi partisi relung, baik berdasarkan penggunaan habitat maupun pemilihan

pakan.

4.4.1. Partisi Relung antara Siamang dan Simpai

Simpai merupakan salah satu spesies primata yang termasuk ke dalam

subfamili Colobinae, yaitu kelompok monyet pemakan daun. Komposisi pakan

Presbytis melalophos berdasarkan penelitian di Malaysia adalah 42,8% buah,

14,6% bunga, dan 42,6% daun (MacKinnon & MacKinnon 1980: 178) atau 48%

buah, 35% daun, dan 6% bunga (Curtin 1980:138). Karena memiliki preferensi

yang cukup tinggi pada daun, simpai mengalami tumpang-tindih relung

berdasarkan makanan yang rendah dengan siamang. Jika kelimpahan buah

rendah, simpai dapat memperbanyak konsumsi daun-daunan untuk mengurangi

kompetisi dengan frugivora lainnya, termasuk dengan siamang. Simpai memiliki

saluran pencernaan yang lebih kompleks dibandingkan primata lainnya dan

kelenjar air liur yang mampu memproduksi saliva dalam jumlah yang banyak.

Selain itu, saluran pencernaan simpai berukuran besar dan terdiri dari empat

ruang. Pada dua ruang pertama, terdapat bakteri simbion yang berfungsi

membantu pencernaan selulosa (Oates dkk. 1994 lihat Francesca dkk. 2006: 20).

Adaptasi anatomi tersebut memungkinkan simpai mencerna selulosa pada daun

dengan lebih efisien. Simpai juga diketahui memakan buah yang tidak dimakan

oleh siamang, yaitu Strombosia javanica.

Berdasarkan penggunaan habitat secara vertikal, simpai menggunakan

pohon dengan ketinggian rata-rata yang lebih rendah daripada siamang.

Perbedaan tersebut mengurangi kompetisi dalam hal penggunaan ruang. Anatomi

dan perilaku lokomosi simpai memungkinkan simpai untuk menjelajah

menggunakan substrat berukuran kecil yang terletak pada strata hutan bagian

bawah (Bennett & Davies 1994: 155). Massa tubuh siamang yang besar

menyebabkan siamang sulit bergerak menggunakan substrat yang kecil. Curtin

52

Universitas Indonesia

(1980: 141--143) juga menyatakan hasil yang serupa, yaitu simpai lebih sering

menjelajah dan makan pada strata tajuk hutan dan understorey layer, bahkan

terkadang ditemukan mencari makan di lantai hutan.

4.4.2. Partisi Relung antara Siamang dan Bajing Kelapa

Bajing kelapa merupakan spesies mamalia arboreal dengan kisaran relung

yang paling lebar dibandingkan dengan siamang, simpai, dan jelarang hitam.

Ukuran tubuh bajing kelapa yang kecil memungkinkan bajing kelapa

menggunakan seluruh bagian strata hutan. Seperti simpai, bajing kelapa lebih

sering ditemukan di ketinggian yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan

siamang. Payne (1980: 272) juga melaporkan hasil yang serupa. Bajing kelapa di

Kuala Lompat, Malaysia, dapat ditemukan pada ketinggian 0--37 meter, tetapi

lebih sering ditemukan pada bagian bawah hutan (6--12 meter). Dengan

demikian, pembagian relung berdasarkan penggunaan ruang terjadi melalui

penggunaan ketinggian yang lebih bervariasi dan preferensi pada bagian bawah

hutan oleh bajing kelapa.

Berdasarkan pemilihan pakan, bajing kelapa memiliki preferensi pakan

yang lebih bervariasi daripada siamang. Siamang lebih menyukai buah yang

berdaging, tetapi tidak pernah tercatat memakan biji-bijian. Sementara itu, bajing

kelapa diketahui memakan kedua kategori makanan tersebut (Payne 1980: 273).

Selain itu, siamang lebih sering memakan buah yang matang, sedangkan bajing

memakan buah yang matang dan belum matang (Payne 1980: 273). Perbedaan

pemilihan kematangan buah di satu sisi dapat menyebabkan kompetisi

eksploitatif. Spesies yang lebih menyukai buah yang belum matang dapat

mengurangi ketersediaan makanan bagi spesies yang lebih menyukai buah matang

(Marshall dkk. 2009: 181). Namun, di sisi lain dapat mengurangi probabilitas

terjadinya kompetisi interferensi karena kedua mamalia tersebut akan mengincar

buah dengan kematangan yang berbeda saat berada di satu pohon pakan.

Berdasarkan pengamatan, bajing kelapa dan siamang pernah tercatat makan di

pohon yang sama, yaitu Adinandra acuminata dan Garcinia parvifolia. Pada

kedua observasi tersebut, siamang hanya memakan buah yang sudah matang,

53

Universitas Indonesia

sedangkan bajing kelapa tercatat memakan buah yang belum matang. Selain

berdasarkan karakteristik buah dan kematangan buah, perbedaan pemilihan pakan

pada bajing dan siamang juga tampak pada tipe makanan minor. Bajing kelapa

diketahui memakan madu dan kayu pohon. Siamang tidak pernah tercatat

memakan kedua kategori makanan tersebut.

4.4.3. Partisi Relung antara Siamang dan Jelarang Hitam

Jelarang hitam merupakan kompetitor yang paling berpotensial bagi

siamang dibandingkan dua spesies kompetitor lainnya karena menunjukkan

penggunaan habitat dan pemilihan pakan paling serupa dengan siamang. Jelarang

hitam sering ditemukan pada tajuk pohon yang tinggi dan jarang ditemukan pada

ketinggian di bawah 15 meter. Ukuran tubuh jelarang hitam yang relatif besar

dibandingkan spesies bajing lainnya dapat menjadi penghalang untuk

menggunakan substrat berukuran kecil yang banyak terdapat pada understorey

layer. Hasil serupa juga dikemukakan oleh Payne (1980: 272). Jelarang hitam di

Kuala Lompat, Malaysia, lebih sering ditemukan pada lapisan tajuk tengah dan

atas.

Seperti siamang, jelarang hitam merupakan mamalia yang memiliki

preferensi tinggi pada buah. Komposisi pakan jelarang hitam di Kuala Lompat,

Malaysia, didominasi oleh buah dengan proporsi 81% (Payne 1980: 274).

Berdasarkan pengamatan, jelarang hitam memakan buah dengan kematangan yang

sama dengan siamang. Kemiripan preferensi sumber makanan yang demikian

meningkatkan potensi kompetisi antara siamang dan jelarang hitam. Namun,

jelarang hitam mampu memanfaatkan buah berkulit keras yang tidak dimakan

oleh siamang, seperti Homalium grandifolium. Pada keadaan keterbatasan buah,

jelarang hitam dapat memanfaatkan buah yang tidak disukai oleh siamang.

Berdasarkan penelitian Payne (1980: 275) di Kuala Lompat, perbedaan utama

komposisi pakan antara siamang dan jelarang hitam adalah konsumsi daun yang

tinggi pada siamang, sedangkan daun hanya menyusun 0,5% dari komposisi

pakan jelarang hitam. Berdasarkan penelitian ini, jelarang hitam tidak pernah

tercatat memakan daun.

54 Universitas Indonesia

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Kompetisi interferensi dan eksploitatif terjadi antara siamang dan tiga

spesies mamalia arboreal, yaitu simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam.

Kompetisi yang terjadi di antara keempat spesies tersebut tidak kuat

sehingga masih memungkinkan keempat spesies tersebut hidup

berdampingan.

2. Terdapat tumpang-tindih relung antara siamang dan simpai, bajing kelapa,

serta jelarang hitam, baik berdasarkan penggunaan habitat maupun

pemilihan pakan. Di antara ketiga spesies mamalia arboreal tersebut,

siamang dan jelarang hitam memiliki tumpang-tindih relung yang terbesar.

Walaupun demikian, terdapat pula partisi pada beberapa dimensi relung,

yaitu keragaman sumber makanan dan penggunaan strata secara vertikal.

5.2. Saran

1. Untuk mengetahui dampak kompetisi interspesifik terhadap komunitas

mamalia arboreal, perlu dilakukan penelitian dalam skala yang lebih besar

yang mencakup berbagai gradien lingkungan dan gradien kepadatan

mamalia.

2. Vertebrata arboreal lainnya, seperti burung frugivora, diduga berkompetisi

dengan siamang. Oleh karena itu, penelitian mengenai pengaruh aktivitas

vertebrata arboreal terhadap ketersediaan makanan bagi siamang perlu

dilakukan.

3. Penelitian skala lokal yang dilakukan dalam jangka waktu yang lama

dibutuhkan untuk mengetahui apakah terjadi pergeseran relung (niche

shift) akibat pergantian musim.

55

Universitas Indonesia

4. Upaya konservasi yang dapat dilakukan untuk melestarikan mamalia

arboreal adalah dengan memastikan bahwa terdapat pohon-pohon bertajuk

tinggi dan kontinu sebagai ruang gerak dan sumber daya makanan. Oleh

karena itu, harus dipastikan tidak terjadi penebangan pohon secara ilegal.

56 Universitas Indonesia

DAFTAR ACUAN

Bartlett, T. 1999. The gibbons. Dalam: Dolhinow, P. & A. Fuentes (eds.). 1999.

The nonhuman primates. Mayfield Publishing Company, California: 44--

49.

Beaudrot, L., M.J. Struebig, E. Meijaard, S. van Balen, S. Husson & A.J.

Marshall. 2013. Co-occurence patterns of Bornean vertebrates suggest

competitive exclusion is strongest among distantly related species.

Oecologia 173: 1053--1062.

Beaudrot, L., M.J. Struebig, E. Meijaard, S. van Balen, S. Husson, C.F. Young &

A.J. Marshall. 2012. Interspecific interactions between primates, birds,

bats, and squirrels may affect community composition on Borneo.

American Journal of Primatology 75(2): 170--185.

Bennett, E.L. & A.G. Davies. 1994. The ecology of Asian colobines. Dalam:

Davies, A.G. & J.F. Oates. (eds.). 1994. Colobine monkeys: Their ecology,

behaviour and evolution. Cambridge University Press, Cambridge: 129--

172.

Birch, L.C. 1957. The meaning of competition. The American Naturalist 91(856):

5--18.

Brandon-Jones, D., A.A. Eudey, T. Geissmann, C.P. Groves, D.J. Melnick, J.C.

Morales, M. Shekelle & C.B. Stewart. 2004. Asian primate classification.

International Journal of Primatology 25(1): 97--164.

Cáceres, N.C. & A.F. Machado. 2013. Spatial, dietary and temporal niche

dimensions in ecological segregation of two sympatric, congeneric

marsupial species. The Open Ecology Journal 6: 10--23.

Caughley, G. & A.R.E. Sinclair. 1994. Wildlife ecology and management.

Blackwell Science, Oxford: 334 hlm.

Chivers, D.J. 1974. The siamang in Malaya: A field study of a primate in tropical

rain forest. S. Karger AG, Basel: xiii + 331 hlm.

57

Universitas Indonesia

Chivers, D.J. & J.J. Raemaekers. 1980. Long-term changes in behaviour. Dalam:

Chivers, D.J. (ed.). 1980. Malayan forest primates: Ten years' study in

tropical rain forest. Plenum Press, New York: 209--260.

Connell, J.H. 1961. The influence of interspecific competition and other factors in

the distribution of the barnacle Chthamalus stellatus. Ecology 42(4): 710--

723.

Corbet, G.B. & J.E. Hill. 1992. The mammals of the Indomalayan region: A

systematic review. Oxford University Press, New York: 488 hlm.

Curtin, S.H. 1980. Dusky and banded leaf monkeys. Dalam: Chivers, D.J. (ed.).

1980. Malayan forest primates: Ten years' study in tropical rain forest.

Plenum Press, New York: 107--146.

Elder, A.A. 2009. Hylobatids diets revisited: The importance of body mass, fruit

availability, and interspecific competition. Dalam: Lappan, S. & D.J.

Whittaker (eds.). 2009. The gibbons: New perspectives on small ape

socioecology and population biology. Springer Science+Business Media,

New York: 133--159.

Estrada, A. & R. Coates-Estrada. 1985. A preliminary study of resource overlap

between howling monkeys (Alouatta palliata) and other arboreal mammals

in the tropical rain forest of Los Tuxtlas, Mexico. American Journal of

Primatology 9: 27--37.

Francesca, B., S. Gary, P. Polina & S. Roscoe. 2006. Cytotaxonomy of colobinae

primates with reference to reciprocal chromosome painting of Colobus

guereza and humans. Dalam: Sineo, L. & R. Stanyon. (eds.). 2006.

Primate cytogenetics and comparative genomics. Firenze University Press,

Firenze: 19--32.

Francis, C.M. 2008. A field guide to the mammals of South-east Asia. New

Holland Publishers (UK) Ltd., London: 397 hlm.

Gittins, S.P. & J.J. Raemaekers. 1980. Siamang, lar and agile gibbons. Dalam:

Chivers, D.J. (ed.). 1980. Malayan forest primates: Ten years' study in

tropical rain forest. Plenum Press, New York: 63--105.

Hadiprakarsa, Y. 2000. Studi komposisi pakan jenis-jenis burung rangkong (Aves:

Bucerotidae) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Skripsi

58

Universitas Indonesia

S1 Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Pakuan, Bogor: xiv + 71 hlm.

Holt, R.D. 1987. On the relation between niche overlap and competition: The

effect of incommensurable niche dimensions. Oikos 48(1): 110--114.

Hutchinson, G.E. 1957. Concluding remarks. Cold Spring Harbor Symposia on

Quantitative Biology 22: 415--427.

Iqbal, M., M.D. Prasetyaningrum & Y. Hadiprakarsa. 2001. Sekilas flora dan

fauna. Dalam: WCS-IP. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dalam

ruang dan waktu: Laporan penelitian 2000--2001. WCS-IP/PHKA,

Bogor: 12--28.

Janžekovič, F. & T. Novak. 2012. PCA-A powerful method for analyze ecological

niches. Dalam: Sanguansat, P. (ed.). 2012. Principal component analysis-

Multidisciplinary applications. InTech, Rijeka: 127--142.

Krebs, C.J. 1989. Ecological methodology. Benjamin/Cummings, California.

Krohne, D.T. 2001. General ecology 2nd. Brooks/Cole, Pacific Grove: xvi + 512

hlm.

Lappan, S. 2008. Male care of infants in a siamang (Symphalangus syndactylus)

pupolation including socially monogamous and polyandrous groups.

Behav Ecol Sociobiol 62(8): 1307--1317.

Lawlor, T.E. 1979. Handbook to the orders and families of living mammals. Mad

River Press, Eureka, California: 327 hlm.

LBN-LIPI. 1982. Beberapa jenis mamalia. LBN-LIPI, Bogor: 117 hlm.

MacArthur, R.H. 1972. Geographical ecology: Patterns in the distribution of

species. Harper & Row, Publishers, Inc., New York: xviii + 269 hlm.

MacKinnon, J.R. & K.S. MacKinnon. 1980. Niche differentiation in a primate

community. Dalam: Chivers, D.J. (ed.). 1980. Malayan forest primates:

Ten years' study in tropical rain forest. Plenum Press, New York: 167--

190.

Markhamah, S. 2007. Pola pergerakan siamang (Hylobates syndactylus) di Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan. Skripsi S1 Konservasi Sumber Daya

Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: xv +

124 hlm.

59

Universitas Indonesia

Marshall, A.J., C.H. Cannon & M. Leighton. 2009. Competition and niche overlap

between gibbons (Hylobates albibarbis) and other frugivorous vertebrates

in Gunung Palung National Park, West Kalimantan, Indonesia. Dalam:

Lappan, S. & D.J. Whittaker (eds.). 2009. The gibbons: New perspectives

on small ape socioecology and population biology. Springer

Science+Business Media, New York: 161--188.

Martin, P. & P. Bateson. 2007. Measuring behaviour: An introductory guide.

Cambridge University Press, Cambridge: xi + 176 hlm.

Miller, G.S. 1933. The classification of the gibbons. Journal of Mammalogy 14:

158—159.

Napier, J.R. & P.H. Napier. 1985. The natural history of the primates. MIT Press,

Cambridge : 200 hlm.

Nowak, R.M. 1999. Walker's primates of the world. The Johns Hopkins

University Press, Baltimore: 225 hlm.

Nurcahyo, A. 1999. Studi perilaku harian siamang (Hylobates syndactylus) di

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Skripsi S1 Konservasi

Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta: xii + 58 hlm.

O‟Brien, T.G. & M.F. Kinnaird. 1997. Behavior, diet, and movements of the

sulawesi crested black macaque (Macaca nigra). International Journal of

Primatology 18(3): 321--351.

O‟Brien, T.G., M.F. Kinnaird, A. Nurcahyo, M. Iqbal & M. Rusmanto. 2004.

Abundance and distribution of sympatric gibbons in a threatened Sumatran

rain forest. International Journal of Primatology 25(2): 267--284.

O‟Brien, T.G., M.F. Kinnaird, A. Nurcahyo, M. Prasetyaningrum & M. Iqbal.

2003. Fire, demography and the persistence of siamang (Symphalangus

syndactylus: Hylobatidae) in a Sumatran rainforest. Animal conservation

6: 115--121.

Oksanen, J. 2013. Multivariate Analysis of Ecological Communities in R: vegan

tutorial. 43 hlm. http://cc.oulu.fi/~jarioksa/opetus/metodi/vegantutor.pdf,

18 Februari 2014, pk. 17.45 WIB.

60

Universitas Indonesia

Payne, J. & C.M. Francis. 1985. A field guide to the mammals of Borneo. The

Sabah Society, Sabah: 332 hlm.

Payne, J.B. 1980. Competitors. Dalam: Chivers, D.J. (ed.). 1980. Malayan forest

primates: Ten years' study in tropical rain forest. Plenum Press, New

York: 261--277.

Pianka, E.R. 1973. The structure of lizard communities. Annual Review of

Ecology and Systematics 4: 53--74.

Pianka, E.R. 1974. Niche overlap and diffuse competition. Proceedings of the

National Academy of Sciences of the United States of America 71(5):

2141--2145.

Prasetyaningrum, M.D. 2001. Studi populasi siamang (Hylobates syndactylus) dan

owa (H. agilis). Dalam: WCS-IP. 2001. Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan dalam ruang dan waktu: Laporan penelitian 2000--2001. WCS-

IP/PHKA, Bogor: 29--34.

Prasetyaningrum, M.D. & Y. Hadiprakarsa. 2001. Sekilas flora dan fauna. Dalam:

WCS-IP. 2001. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dalam ruang dan

waktu: Laporan penelitian 2000--2001. WCS-IP/PHKA, Bogor: 12--28.

Rohde, K. 2013. The importance of interspecific competition in regulating

communities, equilibrium vs. nonequilibrium. Dalam: Rohde, K. (ed.).

2013. The balance of nature and human impact. Cambridge University

Press, Cambridge: 371--383.

Rudran, R., T.H. Kunz, C. Southwell, P. Jarman & A.P. Smith. 1996.

Observational techniques for nonvolant mammals. Dalam: Wilson, D.E.,

F.R. Cole, J.D. Nichols, R. Rudran & M.S. Foster. (eds.). 1996. Measuring

and monitoring biological diversity: Standard methods for mammals.

Smithsonian Institution Press, Washington:81—104.

Rusmanto, M. 2001. Pemencaran biji oleh siamang (Hylobates syndactylus,

Rafles 1821) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung,

Sumatra, Indonesia. Skripsi S1 Biologi Fakultas Biologi Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta: xviii + 87 hlm.

Schoener, T.W. 1983. Field experiments on interspecific competition. The

American Naturalist 122(2): 240--285.

61

Universitas Indonesia

Supriatna, J. & E.H. Wahyono. 2000. Panduan lapangan primata Indonesia.

Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: xxii + 332 hlm.

Sushma, H.S. & M. Singh. 2006. Resource partitioning and interspecific

interactions among sympatric rain forest arboreal mammals of the Western

Ghats, India. Behavioral Ecology 17(3): 479--490.

Tokeshi, M. 1999. Species coexistence: Ecological and evolutionary perspectives.

Blackwell Science Ltd., Tokyo: vii + 439 hlm.

WCS-IP. 2001. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dalam ruang dan waktu:

Laporan penelitian 2000--2001. WCS-IP/PHKA, Bogor: 149 hlm.

Wiens, J.A. 1989. The ecology of bird communities. Press Syndicate of the

University of Cambridge, Cambridge: xvii + 539 hlm.

Wiens, J.J. & C.H. Graham. 2005. Niche conservatism: Integrating evolution,

ecology, and conservation biology. Annual Review of Ecology, Evolution,

and Systematics 36: 519--539.

Wilson, C.C. & W.L. Wilson. 1976. Behavioral and morphological variation

among primate populations in Sumatra. Yearbook of Physical

Anthropology 20: 207--233.

62

Universitas Indonesia

Lampiran 1

Daftar sepuluh mamalia arboreal yang terdapat di ruang jelajah siamang

Famili Nama Spesies Frekuensi

Pertemuan

Persentase

Frekuensi

Hylobatidae Hylobates agilis 6 4,65%

Cercopithecidae Macaca fascicularis 2 1,55%

Macaca nemestrina 7 5,43%

Presbytis melalophos 66 51,16%

Ursidae Helarctos malayanus 1 0,78%

Sciuridae Callosciurus notatus 26 20,16%

Ratufa affinis 3 2,33%

Ratufa bicolor 13 10,08%

Sundasciurus hippurus 2 1,55%

Sundasciurus tenuis 1 0,78%

- sp1 1 0,78%

- sp2 1 0,78%

Jumlah 129

Lampiran 2

Daftar kategori dan spesies pakan siamang, simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam

Kategori Famili Nama Spesies Kode

Frekuensi

Bajing

kelapa Simpai

Jelarang

hitam Siamang

Bunga

0 0 1 27

Annonaceae Cananga odorata Baill. C.odo 0 0 1 0

Annonaceae Mitrephora polypyrena Miq. M.pol 0 0 0 1

Flacourtiaceae Homalium grandiflorum Benth. H.gra 0 0 0 5

Moraceae Antiaris toxicaria A.tox 0 0 0 9

bunga.liana.sp2 liana.sp2 0 0 0 10

bunga.liana.sp1 liana.sp1 0 0 0 2

Buah

6 17 12 520

Anacardiaceae

Dracontomelon dao (Blanco) Merr. &

Rolfe D.dao 0 1 0 56

Annonaceae buah.liana.sp4 liana.sp4 0 0 0 1

Annonaceae buah.liana.sp5 liana.sp5 0 0 0 1

Annonaceae Mitrephora polypyrena Miq. M.pol 0 1 0 90

Annonaceae Polyalthia lateriflora King P.lat 0 0 0 3

Celastraceae Bhesa paniculata Arn. B.fan 0 1 0 2

Clusiaceae Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. G.par 1 0 0 61

Flacourtiaceae Homalium grandiflorum Benth. H.gra 0 0 1 0

63

Un

ivers

itas In

do

nesia

Lampiran 2 (lanjutan)

Lauraceae Beilschmiedia dyctioneura B.dic 0 3 2 64

Lauraceae Litsea sp. Litsea.sp. 0 0 0 9

Meliaceae Sandoricum koetjape Merr. S.kat 0 0 4 55

Moraceae Antiaris toxicaria A.tox 0 0 0 27

Moraceae Artocarpus dadah Miq. A.dad 0 0 0 3

Moraceae Ficus altissima Bl. F.alt 3 0 3 34

Olacaceae Strombosia javanica Bl. S.jav 0 8 1 0

Rubiaceae Neolamarckia cadamba N.cad 0 3 0 4

Sapindaceae Xerospermum noronhianum (Blume) Blume X.nor 0 0 0 2

Theaceae Adinandra acuminata A.acu 1 0 1 48

Vitaceae Cissus repens C.rep 0 0 0 38

Benalu benalu 0 0 0 8

buah.liana.sp2 buah.liana.sp2 0 0 0 1

buah.liana.sp3 buah.liana.sp3 0 0 0 6

buah.liana.sp6 buah.liana.sp6 0 0 0 4

Liana anggur liana.anggur 0 0 0 2

Liana sirih liana.sirih 0 0 0 1

C.sp1 1 0 0 0

Daun

0 6 0 168

Annonaceae Meiogyne virgata Miq. M.vir 0 0 0 2

Annonaceae Mitrephora polypyrena Miq. M.pol 0 0 0 17

Annonaceae Polyalthia grandiflora P.gra 0 0 0 26

Annonaceae Stelechocarpus burahol Bl. S.bur 0 0 0 19

Un

ivers

itas In

do

nesia

64

Lampiran 2 (lanjutan)

Celastraceae Lophopetalum javanicum L.jav 0 1 0 0

Ebenaceae Diospyros sp. Diospyros 0 0 0 1

Lauraceae Litsea umbellata (Lour.) Merr. L.umb 0 1 0 0

Moraceae Antiaris toxicaria A.tox 0 0 0 2

Moraceae Artocarpus anisophyllus Miq. A.ani 0 0 0 6

Moraceae Ficus altissima Bl. F.alt 0 0 0 14

Moraceae Ficus caulocarpa Miq. F.cau 0 0 0 13

Moraceae Ficus globosa F.glo 0 0 0 4

Moraceae Ficus microcarpa Linn.f. F.mic 0 0 0 3

Moraceae Ficus stupenda F.stu 0 0 0 14

Polygalaceae Xantophyllum flavescens X.fla 0 1 0 0

Sterculiaceae Pterospermum javanicum P.jav 0 0 0 3

Sterculiaceae Pterygota alata P.ala 0 1 0 0

daun.liana.sp1 daun.liana.sp1 0 1 0 28

daun.liana.sp2 daun.liana.sp2 0 0 0 2

daun.liana.sp3 daun.liana.sp3 0 0 0 4

daun.liana.sp8 daun.liana.sp8 0 0 0 1

Liana kupu-kupu liana.kupu 0 0 0 3

Liana sirih liana.sirih(?) 0 0 0 1

daun.sp1 0 0 0 1

daun.sp2 0 0 0 1

daun.sp3 0 1 0 3

Total

6 23 13 715

Un

ivers

itas In

do

nesia

65

66

Universitas Indonesia

Lampiran 3

Perhitungan indeks tumpang-tindih Horn

Tujuan :

Mengetahui tumpang-tindih relung antara siamang dan ketiga kompetitornya

berdasarkan penggunaan sumber makanan.

Rumus :

𝑅𝑜 = 𝑝𝑖𝑗+𝑝𝑖𝑘 log 𝑝𝑖𝑗+𝑝𝑖𝑘 − 𝑝𝑖𝑗 log 𝑝𝑖𝑗 − 𝑝𝑖𝑘 log 𝑝𝑖𝑘

2 log 2

Keterangan :

Ro = Indeks tumpang-tindih Horn untuk spesies j dan k

pij = Proporsi sumber daya i dari sumber daya total yang digunakan spesies j

pik = Proporsi sumber daya i dari sumber daya total yang digunakan spesies k

Perhitungan :

Telah diketahui keragaman dan frekuensi penggunaan sumber makanan siamang,

simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam. Data terdapat pada Lampiran 1.

Dengan menggunakan Microsoft Excel 2007, matriks berikut dibuat:

Lampiran 3 (lanjutan)

Spesies Makanan pij pik pij + pik (pij+pik).log(pij+pik)

pik.log(pik) pik.log(pik)

C.not P.mel R.bic S.syn A B C A B C A B C

Bunga

Cananga odorata

Baill. 0,00 0,00 0,08 0,00 0,00 0,00 0,08 0,00 0,00 -0,20 0,00 0,00 0,00 -0,20

Mitrephora

polypyrena Miq. 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00

Homalium

grandiflorum Benth. 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,03 -0,03 -0,03 -0,03 0,00 0,00 0,00

Antiaris toxicaria 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,06 -0,06 -0,06 -0,06 0,00 0,00 0,00

bunga.liana.sp2 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,06 -0,06 -0,06 -0,06 0,00 0,00 0,00

bunga.liana.sp1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00

Buah

Dracontomelon dao

(Blanco) Merr. &

Rolfe 0,00 0,04 0,00 0,08 0,08 0,12 0,08 -0,20 -0,26 -0,20 -0,20 0,00 -0,14 0,00

buah.liana.sp4 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00

buah.liana.sp5 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00

Mitrephora

polypyrena Miq. 0,00 0,04 0,00 0,13 0,13 0,17 0,13 -0,26 -0,30 -0,26 -0,26 0,00 -0,14 0,00

Polyalthia

lateriflora King 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00

Bhesa paniculata

Arn. 0,00 0,04 0,00 0,00 0,00 0,05 0,00 -0,02 -0,14 -0,02 -0,02 0,00 -0,14 0,00

Garcinia parvifolia

(Miq.) Miq. 0,17 0,00 0,00 0,09 0,25 0,09 0,09 -0,35 -0,21 -0,21 -0,21 -0,30 0,00 0,00

Un

ivers

itas In

do

nesia

67

Un

ivers

itas In

do

nesia

Lampiran 3 (lanjutan)

Homalium

grandiflorum Benth. 0,00 0,00 0,08 0,00 0,00 0,00 0,08 0,00 0,00 -0,20 0,00 0,00 0,00 -0,20

Beilschmiedia

dyctioneura 0,00 0,13 0,15 0,09 0,09 0,22 0,24 -0,22 -0,33 -0,34 -0,22 0,00 -0,27 -0,29

Litsea sp. 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,06 -0,06 -0,06 -0,06 0,00 0,00 0,00

Sandoricum

koetjape Merr. 0,00 0,00 0,31 0,08 0,08 0,08 0,38 -0,20 -0,20 -0,37 -0,20 0,00 0,00 -0,36

Antiaris toxicaria 0,00 0,00 0,00 0,04 0,04 0,04 0,04 -0,12 -0,12 -0,12 -0,12 0,00 0,00 0,00

Artocarpus dadah

Miq. 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00

Ficus altissima Bl. 0,50 0,00 0,23 0,05 0,55 0,05 0,28 -0,33 -0,14 -0,36 -0,14 -0,35 0,00 -0,34

Strombosia javanica Bl. 0,00 0,35 0,08 0,00 0,00 0,35 0,08 0,00 -0,37 -0,20 0,00 0,00 -0,37 -0,20

Neolamarckia cadamba 0,00 0,13 0,00 0,01 0,01 0,14 0,01 -0,03 -0,27 -0,03 -0,03 0,00 -0,27 0,00

Xerospermum noronhianum

(Blume) Blume 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00

Adinandra

acuminata 0,17 0,00 0,08 0,07 0,23 0,07 0,14 -0,34 -0,18 -0,28 -0,18 -0,30 0,00 -0,20

Cissus repens 0,00 0,00 0,00 0,05 0,05 0,05 0,05 -0,16 -0,16 -0,16 -0,16 0,00 0,00 0,00

Benalu 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,05 -0,05 -0,05 -0,05 0,00 0,00 0,00

buah.liana.sp2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00

buah.liana.sp3 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,04 -0,04 -0,04 -0,04 0,00 0,00 0,00

buah.liana.sp6 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,03 -0,03 -0,03 -0,03 0,00 0,00 0,00

Liana anggur 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00

68

Un

ivers

itas In

do

nesia

Lampiran 3 (lanjutan)

Liana sirih 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00

C.sp1 0,17 0,00 0,00 0,00 0,17 0,00 0,00 -0,30 0,00 0,00 0,00 -0,30 0,00 0,00

Daun

Meiogyne virgata Miq. 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00

Mitrephora polypyrena Miq. 0,00 0,00 0,00 0,02 0,02 0,02 0,02 -0,09 -0,09 -0,09 -0,09 0,00 0,00 0,00

Polyalthia grandiflora 0,00 0,00 0,00 0,04 0,04 0,04 0,04 -0,12 -0,12 -0,12 -0,12 0,00 0,00 0,00

Stelechocarpus burahol Bl. 0,00 0,00 0,00 0,03 0,03 0,03 0,03 -0,10 -0,10 -0,10 -0,10 0,00 0,00 0,00

Lophopetalum javanicum 0,00 0,04 0,00 0,00 0,00 0,04 0,00 0,00 -0,14 0,00 0,00 0,00 -0,14 0,00

Diospyros sp. 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00

Litsea umbellata

(Lour.) Merr. 0,00 0,04 0,00 0,00 0,00 0,04 0,00 0,00 -0,14 0,00 0,00 0,00 -0,14 0,00

Antiaris toxicaria 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00

Artocarpus

anisophyllus Miq. 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,04 -0,04 -0,04 -0,04 0,00 0,00 0,00

Ficus altissima Bl. 0,00 0,00 0,00 0,02 0,02 0,02 0,02 -0,08 -0,08 -0,08 -0,08 0,00 0,00 0,00

Ficus caulocarpa

Miq. 0,00 0,00 0,00 0,02 0,02 0,02 0,02 -0,07 -0,07 -0,07 -0,07 0,00 0,00 0,00

Ficus globosa 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,03 -0,03 -0,03 -0,03 0,00 0,00 0,00

Ficus microcarpa

Linn.f. 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00

Ficus stupenda 0,00 0,00 0,00 0,02 0,02 0,02 0,02 -0,08 -0,08 -0,08 -0,08 0,00 0,00 0,00

69

Lampiran 3 (lanjutan)

Xantophyllum

flavescens 0,00 0,04 0,00 0,00 0,00 0,04 0,00 0,00 -0,14 0,00 0,00 0,00 -0,14 0,00

Pterospermum

javanicum 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00

Pterygota alata 0,00 0,04 0,00 0,00 0,00 0,04 0,00 0,00 -0,14 0,00 0,00 0,00 -0,14 0,00

daun.liana.sp1 0,00 0,04 0,00 0,04 0,04 0,08 0,04 -0,13 -0,21 -0,13 -0,13 0,00 -0,14 0,00

daun.liana.sp2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00

daun.liana.sp3 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,03 -0,03 -0,03 -0,03 0,00 0,00 0,00

daun.liana.sp8 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00

Liana kupu-kupu 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00

Liana sirih 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00

daun.sp1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00

daun.sp2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00

daun.sp3 0,00 0,04 0,00 0,00 0,00 0,05 0,00 -0,02 -0,15 -0,02 -0,02 0,00 -0,14 0,00

Total -3,92 -4,84 -4,34 -3,15 -1,24 -2,13 -1,78

Keterangan:

A = pasangan bajing kelapa (j) dengan siamang (k)

B = pasangan simpai (j) dengan siamang (k)

C = pasangan jelarang hitam (j) dengan siamang (k)

C.not = Callosciurus notatus, bajing kelapa

P.mel = Presbytis melalophos, simpai

R.bic = Ratufa bicolor, jelarang hitam

S.syn = Symphalangus syndactylus, siamang

Un

ivers

itas In

do

nesia

70

71

Universitas Indonesia

Lampiran 3 (lanjutan)

A. Tumpang tindih relung antara siamang dengan bajing kelapa

𝑅𝑜 =(−3,92)− −1,24 −(−3,15)

2 log 2= 0,34

B. Tumpang tindih relung antara siamang dengan simpai

𝑅𝑜 =(−4,84)− −2,13 −(−3,15)

2 log 2= 0,32

C. Tumpang tindih relung antara siamang dengan jelarang hitam

𝑅𝑜 =(−4,34)− −1,78 −(−3,15)

2 log 2= 0,42

Catatan:

Indeks Horn yang disajikan pada Tabel 4.1.3 sedikit berbeda dengan hasil

perhitungan di atas karena angka-angka yang tertera pada Lampiran 4 dibulatkan

sampai dua angka di belakang koma.

72

Universitas Indonesia

Lampiran 4

Analisis variabel penggunaan habitat oleh siamang dan tiga spesies mamalia

arboreal menggunakan metode PCA

Tujuan:

1. Mengetahui tumpang-tindih relung antara siamang dan ketiga

kompetitornya.

2. Mengetahui variabel habitat yang memengaruhi penggunaan habitat oleh

siamang dan ketiga kompetitornya.

Perangkat Lunak :

R i386 3.0.2 dan package vegan

Cara Kerja:

(Kode perintah tercetak dengan tinta merah, sedangkan hasil pengolahan data dari

software R tercetak dengan tinta biru.)

> nicheall<-na.omit(read.csv("d://my documents//k u l i a h//a skripsi bro//data//skripsi-attempt-1//nichesiamangall.csv", fill=T, header=T)) > niche.pca<-prcomp(nicheall[,9:20]) > summary(niche.pca) Importance of components: PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6 PC7 Standard deviation 13.9355 9.2861 3.41570 2.42504 1.53839 0.9691 0.79045 Proportion of Variance 0.6417 0.2849 0.03855 0.01943 0.00782 0.0031 0.00206 Cumulative Proportion 0.6417 0.9267 0.96522 0.98465 0.99247 0.9956 0.99764 PC8 PC9 PC10 PC11 PC12 Standard deviation 0.66907 0.42907 0.24117 0.15538 0.02815 Proportion of Variance 0.00148 0.00061 0.00019 0.00008 0.00000 Cumulative Proportion 0.99912 0.99973 0.99992 1.00000 1.00000 > plot(niche.pca)

73

Universitas Indonesia

Lampiran 4 (lanjutan)

> niche.pca$rotation[,1:2] PC1 PC2 Substrat -0.0019856484 0.053837401 Ds 0.2831382598 0.945322157 Hdt 0.5780518105 -0.217643046 Hp 0.7134523632 -0.161807935 Ratio_H 0.0002579607 -0.002510699 Rsp 0.1579014648 -0.172241415 Rt 0.2223206755 0.003974630 Ratio_R -0.0032768882 -0.001820082 Fenofase 0.0238857352 -0.002303395 Skor 0.0272532737 0.008357209 Strata 0.0306110878 -0.002568085 Tajuk 0.0070813153 -0.011957716 > niche.rda<-rda(nicheall[,9:20]) > niche.rda Call: rda(X = nicheall[, 9:20]) Inertia Rank Total 302.6 Unconstrained 302.6 12 Inertia is variance

niche.pca

Va

ria

nce

s

05

01

00

15

0

74

Universitas Indonesia

Lampiran 4 (lanjutan) Eigenvalues for unconstrained axes: PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6 PC7 PC8 1.942e+02 8.623e+01 1.167e+01 5.881e+00 2.367e+00 9.391e-01 6.248e-01 4.477e-01 PC9 PC10 PC11 PC12 1.841e-01 5.816e-02 2.414e-02 7.923e-04 > biplot(niche.rda, display="sp")

> biplot(niche.rda, display="sites") > ordiellipse(niche.rda, nicheall$Kode_sp, conf=0.95, draw="line", show.groups="S.syn", col="red", lwd=2) > ordiellipse(niche.rda, nicheall$Kode_sp, conf=0.95, draw="line", show.groups="P.mel", col="grey", lwd=2) > ordiellipse(niche.rda, nicheall$Kode_sp, conf=0.95, draw="line", show.groups="C.not", col="yellow", lwd=2) > ordiellipse(niche.rda, nicheall$Kode_sp, conf=0.95, draw="line", show.groups="R.bic", col="green", lwd=2) >

75

Universitas Indonesia

Lampiran 4 (lanjutan)

Ringkasan variabel-variabel penggunaan habitat yang dianalisis dengan

metode PCA

Kode Variabel Seluruh

Data

Siamang Simpai Bajing

Kelapa

Jelarang

Hitam

Ds

Min.

Median

Mean

Max.

SD

1,000

5,000

8,355

55,000

9,629

1,000

5,000

8,562

50,000

9,733

1,000

3,000

6,382

30,000

7,177

1,000

4,000

8,955

55,000

13,542

1,000

4,500

5,429

22,000

4,316

76

Universitas Indonesia

Lampiran 4 (lanjutan)

Hdt

Min.

Median

Mean

Max.

SD

9,00

25,00

25,44

50,00

8.60

9,00

25,00

25,83

50,00

8.63

12,00

18,00

20,62

37,00

6.79

10,00

17,00

20,59

41,00

9.17

15,00

25,00

26,04

40,00

6.69

Hp

Min.

Median

Mean

Max.

SD

12,00

32,00

31,81

53,00

10.19

12,0

33,0

32,3

53,0

10.14

12,00

22,50

25,85

48,00

10.27

12,00

23,00

25,68

42,00

9.17

18,00

31,50

32,50

49,00

8.54

Ratio_H

Min.

Median

Mean

Max.

SD

0,2560

0,8050

0,8020

1,1880

0.1023

0,2560

0,8050

0,8014

1,1880

0.1031

0,6250

0,8118

0,8167

1,000

0.0904

0,4762

0,7899

0,7893

0,9762

0.1111

0,5625

0,8205

0,8085

0,9756

0.0922

Rsp

Min.

Median

Mean

Max.

SD

0,00

5,00

5,18

17,00

3.79

0,000

5,000

5,364

17,000

3.816

0,00

2,00

3,25

16,00

3.74

0,000

3,000

3,318

9,000

2.662

0,000

4,500

4,661

11,000

2.906

Rt

Min.

Median

Mean

Max.

SD

2,000

8,000

8,389

17,000

3.783

2,000

8,000

8,569

17,000

3.709

2,000

5,000

6,324

17,000

4.663

2,000

6,000

6,682

14,000

3.643

2,000

8,000

8,036

17,000

3.501

Ratio_R

Min.

Median

Mean

Max.

SD

0,000

0,1100

0,1589

1,000

0.171

0,0260

0,1030

0,1146

0,4580

0.0617

0,0000

0,3667

0,4620

1,0000

0.3287

0,0000

0,4615

0,4770

1,000

0.2924

0,0000

0,5470

0,5794

1,0000

0.2887

Substrat

1 : liana

2 : cabang tersier

3 : cabang sekunder

4 : cabang primer

5 : batang utama

14,72%

50,48%

13,26%

20,64%

0,90%

14,35%

50,75%

13,55%

20,60%

0,75%

12,00%

52,00%

8,00%

26,00%

2,00%

44,74%

26,32%

5,26%

15,79%

7,89%

3,45%

62,07%

13,79%

20,69%

0,00%

77

Universitas Indonesia

Lampiran 4 (lanjutan)

Fenofase

0 : -

1 : daun baru

2 : bunga

3 : buah

66,91%

3,96%

0,82%

28,31%

66,98%

4,10%

0,83%

28,09%

70,00%

2,50%

0,00%

27,50%

71,79%

0,00%

0,00%

28,21%

46,88%

0,00%

3,13%

50,00%

Skor

0 : 0

1 : 1-25%

2 : 26--50%

3 : 51--75%

4 : 76--100%

60,50%

16,81%

11,37%

6,98%

4,34%

60,32%

16,72%

11,61%

6,92%

4,43%

67,65%

14,71%

5,88%

11,76%

0,00%

71,05%

10,53%

7,89%

2,63%

7,89%

45,16%

35,48%

9,68%

6,45%

3,23%

Strata

1 : lantai hutan

2 : understorey layer

3 : middle canopy layer

4 : emergent layer

0,00%

0,98%

66,01%

33,01%

0,00%

0,56%

65,94%

33,49%

0,00%

2,67%

82,67%

14,67%

0,00%

23,08%

58,97%

17,95%

0,00%

0,00%

40,63%

59,38%

Tajuk

1 : bawah

2 : tengah

3 : atas

21,61%

61,73%

16,67%

21,69%

61,28%

17,03%

16,95%

74,58%

8,47%

27,59%

62,07%

10,34%

18,75%

68,75%

12,50%

78

Universitas Indonesia

Lampiran 5

Analisis penggunaan habitat dengan uji Kruskal-Wallis dan uji Wilcoxon

Tujuan :

Mengetahui perbedaan penggunaan habitat antara siamang dan tiga spesies

mamalia arboreal lainnya.

Perangkat Lunak :

R i386 3.0.2

Hipotesis :

1. Uji Kruskal-Wallis

Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata variabel penggunaan habitat di

antara keempat spesies mamalia.

Ha : Setidaknya terdapat satu spesies yang memiliki rerata variabel

penggunaan habitat berbeda secara signifikan dengan spesies lainnya.

2. Uji Wilcoxon

Ho : Rerata variabel penggunaan habitat antara siamang dan salah satu

mamalia arboreal lainnya (simpai/bajing kelapa/jelarang hitam) tidak

berbeda secara signifikan.

Ha : Rerata variabel penggunaan habitat antara siamang dan salah satu

mamalia arboreal lainnya (simpai/bajing kelapa/jelarang hitam) berbeda

secara signifikan.

Kriteria pengambilan keputusan:

p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima

p-value ≥ 0,05 : Ho diterima

Kode signifikansi = 0 „***‟ 0,001 „**‟ 0,01 „*‟ 0,05

79

Universitas Indonesia

Lampiran 5 (lanjutan)

Cara Kerja :

(Kode perintah tercetak dengan tinta merah, hasil pengolahan data dari software R

tercetak dengan tinta biru, dan keterangan tercetak dengan tinta hitam.)

> nicheall<-na.omit(read.csv("d://my documents//k u l i a h//a skripsi bro//data//skripsi-attempt-1//nichesiamangall.csv", fill=T, header=T)) > niche.pca<-prcomp(nicheall[,9:20]) > nichepc<-niche.pca$x[,1:2] > head(nicheall) Tgl Jam Cuaca Kode_sp Masalah Data X Y Substrat Ds Hdt Hp 3 27/02/2014 7:28 CB P.mel sip bs 1093 177 4 30 30 48 5 27/02/2014 8:02 CB P.mel sip bs 1093 177 2 6 35 48 6 27/02/2014 12:21 CB P.mel sip bs 1117 265 3 20 35 48 7 27/02/2014 12:53 CB P.mel sip bs 1117 265 3 30 33 48 10 03/03/2014 9:37 CB R.bic sip bs 1427 86 2 3 23 25 11 03/03/2014 9:49 CB C.not sip bs 1427 86 4 6 21 25 Ratio_H Rsp Rt Ratio_R Fenofase Skor Strata Tajuk 3 0.6250000 5 17 0.2941176 3 3 4 1 5 0.7291667 16 17 0.9411765 3 3 4 2 6 0.7291667 5 17 0.2941176 3 3 4 2 7 0.6875000 7 17 0.4117647 3 3 4 1 10 0.9200000 5 9 0.5555556 3 3 3 2 11 0.8400000 4 9 0.4444444 3 3 3 2 > dataniche<-nicheall[,1:4] > dataniche.pc<-cbind(dataniche, nichepc) > summary(nicheall$Kode_sp) C.not P.mel R.bic S.syn 22 34 28 656 > kruskal.test(PC1~Kode_sp, data=dataniche.pc) Kruskal-Wallis rank sum test data: PC1 by Kode_sp Kruskal-Wallis chi-squared = 24.5769, df = 3, p-value = 1.893e-05***

Kesimpulan: p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima

Ha : Setidaknya terdapat satu spesies yang memiliki rerata PC1 berbeda secara signifikan

dengan spesies lainnya.

> kruskal.test(PC2~Kode_sp, data=dataniche.pc) Kruskal-Wallis rank sum test data: PC2 by Kode_sp Kruskal-Wallis chi-squared = 6.9063, df = 3, p-value = 0.07495

Kesimpulan:

p-value ≥ 0,05 : Ho diterima

Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata PC2 di antara keempat spesies mamalia.

> kruskal.test(Hdt~Kode_sp, data=nicheall) Kruskal-Wallis rank sum test data: Hdt by Kode_sp Kruskal-Wallis chi-squared = 21.6214, df = 3, p-value = 7.82e-05***

Kesimpulan: p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima

Ha : Setidaknya terdapat satu spesies yang memiliki rerata ketinggian dari tanah (Hdt) yang

berbeda secara signifikan dengan spesies lainnya.

80

Universitas Indonesia

Lampiran 5 (lanjutan)

> kruskal.test(Hp~Kode_sp, data=nicheall) Kruskal-Wallis rank sum test data: Hp by Kode_sp Kruskal-Wallis chi-squared = 23.4439, df = 3, p-value = 3.263e-05***

Kesimpulan:

p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima

Ha : Setidaknya terdapat satu spesies yang memiliki rerata ketinggan pohon (Hp) berbeda

secara signifikan dengan spesies lainnya. > kruskal.test(Ds~Kode_sp, data=nicheall) Kruskal-Wallis rank sum test data: Ds by Kode_sp Kruskal-Wallis chi-squared = 7.1613, df = 3, p-value = 0.06693

Kesimpulan:

p-value ≥ 0,05 : Ho diterima

Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata diameter substrat (Ds) yang digunakan keempat

spesies mamalia. > siamang<-subset(nicheall, subset=Kode_sp=="siamang") > pmel<-subset(nicheall, subset=Kode_sp=="P.mel") > rbic<-subset(nicheall, subset=Kode_sp=="R.bic") > cnot<-subset(nicheall, subset=Kode_sp=="C.not") > wilcox.test(ssyn$Hdt, pmel$Hdt) Wilcoxon rank sum test with continuity correction data: ssyn$Hdt and pmel$Hdt W = 15230.5, p-value = 0.0003155*** alternative hypothesis: true location shift is not equal to 0

Kesimpulan:

p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima

Ha : Rerata ketinggian dari tanah (Hdt) antara siamang (ssyn) dan simpai (pmel) berbeda

secara signifikan.

> wilcox.test(ssyn$Hdt, cnot$Hdt) Wilcoxon rank sum test with continuity correction data: ssyn$Hdt and cnot$Hdt W = 9900, p-value = 0.002953** alternative hypothesis: true location shift is not equal to 0

Kesimpulan:

p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima

Ha : Rerata ketinggian dari tanah (Hdt) antara siamang (ssyn) dan bajing kelapa (cnot)

berbeda secara signifikan.

81

Universitas Indonesia

Lampiran 5 (lanjutan)

> wilcox.test(ssyn$Hdt, rbic$Hdt) Wilcoxon rank sum test with continuity correction data: ssyn$Hdt and rbic$Hdt W = 8839.5, p-value = 0.7367 alternative hypothesis: true location shift is not equal to 0

Kesimpulan:

p-value ≥ 0,05 : Ho diterima

Ha : Rerata ketinggian dari tanah (Hdt) antara siamang (ssyn) dan jelarang hitam (rbic) tidak

berbeda secara signifikan.

> wilcox.test(ssyn$Hp, pmel$Hp) Wilcoxon rank sum test with continuity correction data: ssyn$Hp and pmel$Hp W = 15530.5, p-value = 0.0001055*** alternative hypothesis: true location shift is not equal to 0

Kesimpulan:

p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima

Ha : Rerata ketinggian pohon (Hp) antara siamang (ssyn) dan simpai (pmel) berbeda secara

signifikan.

> wilcox.test(ssyn$Hp, cnot$Hp) Wilcoxon rank sum test with continuity correction data: ssyn$Hp and cnot$Hp W = 9899.5, p-value = 0.002881** alternative hypothesis: true location shift is not equal to 0

Kesimpulan:

p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima

Ha : Rerata ketinggian pohon (Hp) antara siamang (ssyn) dan bajing kelapa (cnot) berbeda

secara signifikan.

> wilcox.test(ssyn$Hp, rbic$Hp) Wilcoxon rank sum test with continuity correction data: ssyn$Hp and rbic$Hp W = 9015, p-value = 0.8688 alternative hypothesis: true location shift is not equal to 0

Kesimpulan:

p-value ≥ 0,05 : Ho diterima

Ha : Rerata ketinggian pohon (Hp) antara siamang (ssyn) dan jelarang hitam (rbic) tidak

berbeda secara signifikan.

82

Universitas Indonesia

Lampiran 6

Analisis dengan metode PCA pada variabel kondisi habitat yang memungkinkan

terjadinya interaksi interspesifik

Tujuan :

Mengetahui variabel habitat yang berkorelasi dengan interaksi interspesifik.

Perangkat Lunak :

R i386 3.0.2 dan package vegan

Cara Kerja :

(Kode perintah tercetak dengan tinta merah, sedangkan hasil pengolahan data dari

software R tercetak dengan tinta biru.)

> interaksi<-na.omit(read.csv("d://my documents//k u l i a h//a skripsi bro//data//skripsi-attempt-1//Interaction_3sp.csv", header=T, fill=T)) > names(interaksi) [1] "Interaksi" "Aktor" "Kompetitor" "D" "subs1" [6] "subs2" "Ds1" "Ds2" "Hdt1" "Hdt2" [11] "Hp" "Selisih_H" "Rsp1" "Rsp2" "Rt" [16] "Selisih_R" "Fenofase" "Skor" "Strata1" "Strata2" [21] "Tajuk1" "Tajuk2" > interaksi.pca<-prcomp(interaksi[,4:22]) > summary(interaksi.pca) Importance of components: PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6 PC7 Standard deviation 15.8685 10.4494 7.3218 4.46999 3.57433 2.59440 2.44518 Proportion of Variance 0.5383 0.2334 0.1146 0.04271 0.02731 0.01439 0.01278 Cumulative Proportion 0.5383 0.7716 0.8862 0.92894 0.95625 0.97064 0.98342 PC8 PC9 PC10 PC11 PC12 PC13 PC14 Standard deviation 1.6188 1.34773 1.27041 0.86659 0.59207 0.52131 0.34404 Proportion of Variance 0.0056 0.00388 0.00345 0.00161 0.00075 0.00058 0.00025 Cumulative Proportion 0.9890 0.99290 0.99635 0.99796 0.99871 0.99929 0.99954 PC15 PC16 PC17 PC18 PC19 Standard deviation 0.29267 0.25116 0.20065 0.15754 1.409e-17 Proportion of Variance 0.00018 0.00013 0.00009 0.00005 0.000e+00 Cumulative Proportion 0.99973 0.99986 0.99995 1.00000 1.000e+00 > plot(interaksi.pca) >

83

Universitas Indonesia

Lampiran 6 (lanjutan)

> interaksi.pca$rotation[,1:3] PC1 PC2 PC3 D 0.1347648329 -0.108057066 -0.198106903 subs1 0.0015323022 -0.043991367 0.012938780 subs2 0.0076229149 -0.039963847 -0.033635316 Ds1 0.2518960390 -0.661133681 0.677887426 Ds2 0.3303695556 -0.548335428 -0.633044902 Hdt1 0.4715382104 0.253772303 0.001483131 Hdt2 0.4419593371 0.322946337 0.206780825 Hp 0.5620645600 0.228304595 0.031654827 Selisih_H 0.0743502805 0.047338144 -0.104735100 Rsp1 0.1370547620 0.002941523 -0.107204342 Rsp2 0.1029155829 -0.089198360 0.062446794 Rt 0.1806088016 -0.113339083 -0.102984508 Selisih_R 0.0764117779 -0.016592248 -0.131441499 Fenofase 0.0159020433 -0.001478635 0.001999870 Skor 0.0248081044 -0.050403003 -0.026198877 Strata1 0.0257208317 0.002695748 0.014854767 Strata2 0.0257208317 0.002695748 0.014854767 Tajuk1 0.0059921538 0.007901747 -0.001797593 Tajuk2 -0.0004274147 0.016048566 0.005977499 > > library(vegan) Loading required package: permute Loading required package: lattice

interaksi.pca

Va

ria

nce

s

05

01

00

15

02

00

25

0

84

Universitas Indonesia

Lampiran 6 (lanjutan) This is vegan 2.0-10 > interaksi.rda<-rda(interaksi[,4:22]) > biplot(interaksi.rda, display="sp")

> biplot(interaksi.rda, display="sites") > ordiellipse(interaksi.rda, interaksi$Interaksi, conf=0.95, show.groups="Agresi", col="red", lwd=2) > ordiellipse(interaksi.rda, interaksi$Interaksi, conf=0.95, show.groups="Dominansi", col="blue", lwd=2) > ordiellipse(interaksi.rda, interaksi$Interaksi, conf=0.95, show.groups="Netral", col="green", lwd=2) >

85

Universitas Indonesia

Lampiran 6 (lanjutan)

Ringkasan variabel-variabel kondisi habitat yang dianalisis dengan metode

PCA

Kode Variabel Total Agresi Dominansi Netral

D

Min.

Median

Mean

Max.

1,000

4,000

5,043

20,000

1

2

2

3

1,0

3,0

2,4

3,0

2,000

5,000

5,889

20,000

86

Universitas Indonesia

Lampiran 6 (lanjutan)

Ds1

Min.

Median

Mean

Max.

2,000

3,000

7,174

30,000

3

14

14

25

2,00

2,50

3,25

6,00

2,00

3,50

7,85

30,00

Ds2

Min.

Median

Mean

Max.

1,000

3,000

7,304

30,000

3,00

16,00

14,67

25,00

1,0

4,0

3,8

6,0

2,0

3,0

8,0

30,0

Hdt1

Min.

Median

Mean

Max.

16,0

28,0

27,3

40,0

17

25

25

33

17,0

18,0

21,8

36,0

13,0

30,0

28,9

40,0

Hdt2

Min.

Median

Mean

Max.

16,00

29,00

27,35

41,00

17,00

25,00

25,14

33,00

15

18

21

34

14,00

30,00

28,76

41,00

Hp

Min.

Median

Mean

Max.

20,00

33,00

33,57

48,00

23,00

40,00

37,43

48,00

17,0

25,0

26,6

42,0

18,00

36,00

35,57

48,00

Selisih_H

Min.

Median

Mean

Max.

0,000

1,000

1,696

10,000

0,0000

0,0000

0,1429

1,0000

0,0

0,0

0,8

2,0

0,000

1,000

2,048

10,000

Rsp1

Min.

Median

Mean

Max.

1,000

6,000

6,565

17,000

2,000

5,000

5,714

14,000

0,0

4,0

3,4

7,0

1,000

7,000

7,524

17,000

Rsp2

Min.

Median

Mean

Max.

1,000

5,000

5,696

16,000

1,000

7,000

6,429

15,000

1,0

4,0

3,2

4,0

1,000

6,000

6,095

16,000

87

Universitas Indonesia

Lampiran 6 (lanjutan)

Rt

Min.

Median

Mean

Max.

3,000

8,000

9,087

17,000

7

10

12

17

3,0

6,0

5,6

9,0

3,00

8,00

9,81

17,00

Selisih_R

Min.

Median

Mean

Max.

0,000

1,000

2,261

10,000

0

1

1

2

0,0

1,0

1,4

3,0

0,000

2,000

2,857

12,000

Subs1

1 : liana

2 : cabang tersier

3 : cabang sekunder

4 : cabang primer

5 : batang utama

9,68%

61,29%

12,90%

16,13%

0,00%

16,67%

33,33%

33,33%

16,67%

0,00%

25,00%

50,00%

0,00%

25,00%

0,00%

4,76%

71,43%

9,52%

14,29%

0,00%

Subs2

1 : liana

2 : cabang tersier

3 : cabang sekunder

4 : cabang primer

5 : batang utama

6,67%

60,00%

10,00%

23,33%

0,00%

16,67%

16,67%

33,33%

33,33%

0,00%

0,00%

60,00%

0,00%

40,00%

0,00%

5,26%

73,68%

5,26%

15,79%

0,00%

Fenofase

0 : -

1 : daun baru

2 : bunga

3 : buah

17,65%

2,94%

0,00%

79,41%

37,50%

0,00%

0,00%

62,50%

20,00%

20,00%

0,00%

60,00%

9,52%

0,00%

0,00%

90,48%

Skor

0 : 0

1 : 1-25%

2 : 26--50%

3 : 51--75%

4 : 76--100%

17,65%

23,53%

17,65%

32,35%

8,82%

37,50%

12,50%

0,00%

50,00%

0,00%

20,00%

20,00%

40,00%

20,00%

0,00%

9,52%

28,57%

19,05%

28,57%

14,25%

Strata1

1 : lantai hutan

2 : understorey layer

3 : middle canopy layer

4 : emergent layer

0,00%

0,00%

42,42%

57,58%

0,00%

0,00%

28,57%

71,43%

0,00%

0,00%

100,00%

0,00%

0,00%

0,00%

33,33%

66,67%

Strata2

1 : lantai hutan

2 : understorey layer

3 : middle canopy layer

4 : emergent layer

0,00%

0,00%

48,28%

51,72%

0,00%

0,00%

50,00%

50,00%

0,00%

0,00%

100,00%

0,00%

0,00%

0,00%

35,00%

65,00%

88

Universitas Indonesia

Lampiran 6 (lanjutan)

Tajuk1

1 : bawah

2 : tengah

3 : atas

12,12%

69,70%

18,18%

57,14%

42,86%

0,00%

0,00%

80,00%

20,00%

0,00%

76,19%

23,81%

Tajuk2

1 : bawah

2 : tengah

3 : atas

13,79%

68,97%

17,24%

25,00%

75,00%

0,00%

0,00%

100,00%

0,00%

15,00%

60,00%

25,00%

89

Universitas Indonesia

Lampiran 7

Analisis kondisi habitat yang memfasilitasi interaksi interspesifik dengan uji

Kruskal-Wallis

Tujuan :

Mengetahui apakah terdapat perbedaan kondisi habitat yang memfasilitasi

terjadinya interaksi interspesifik.

Perangkat Lunak :

R i386 3.0.2

Hipotesis :

Ho : Tidak ada perbedaan signifikan antara rerata variabel kondisi habitat yang

memfasilitasi ketiga interaksi interspesifik (agresi, dominansi, dan netral).

Ha : Setidaknya terdapat satu tipe interaksi (agresi/dominansi/netral) yang terjadi

pada kondisi habitat yang berbeda secara signifikan dengan tipe interaksi

lainnya.

Kriteria pengambilan keputusan:

p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima

p-value ≥ 0,05 : Ho diterima

Kode signifikansi = 0 „***‟ 0,001 „**‟ 0,01 „*‟ 0,05

Cara Kerja :

(Kode perintah tercetak dengan tinta merah, hasil pengolahan data dari software R

tercetak dengan tinta biru, dan keterangan tercetak dengan tinta hitam.)

> interaksi<-na.omit(read.csv("d://my documents//k u l i a h//a skripsi bro//data//skripsi-attempt-1//Interaction_3sp.csv", header=T, fill=T)) > names(interaksi) [1] "Interaksi" "Aktor" "Kompetitor" "D" "subs1" [6] "subs2" "Ds1" "Ds2" "Hdt1" "Hdt2" [11] "Hp" "Selisih_H" "Rsp1" "Rsp2" "Rt" [16] "Selisih_R" "Fenofase" "Skor" "Strata1" "Strata2" [21] "Tajuk1" "Tajuk2" > interaksi.pca<-prcomp(interaksi[,4:22]) > tipeinteraksi<-interaksi[,1:3] > pc<-interaksi.pca$x[,1:2] > pc.tipeinteraksi<-cbind(tipeinteraksi, pc)

90

Universitas Indonesia

Lampiran 7 (lanjutan)

> head(pc.tipeinteraksi) Interaksi Aktor Kompetitor PC1 PC2 1 Dominansi S.syn-C.not C.not -11.776923 -4.019345 2 Netral SAF-C.not C.not -19.978802 -4.106872 3 Netral SAF-C.not C.not -18.511714 -2.664095 4 Netral S.syn-C.not C.not -16.856175 -7.073100 5 Netral S.syn-C.not C.not 8.991586 -12.712194 7 Netral AF-C.not C.not 16.267873 -14.041287 > kruskal.test(PC1~Interaksi, data=pc.tipeinteraksi) Kruskal-Wallis rank sum test data: PC1 by Interaksi Kruskal-Wallis chi-squared = 5.7899, df = 2, p-value = 0.0553

Kesimpulan:

p-value ≥ 0,05 : Ho diterima

Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata PC1 yang memfasilitasi ketiga interaksi

interspesifik.

> kruskal.test(PC2~Interaksi, data=pc.tipeinteraksi) Kruskal-Wallis rank sum test data: PC2 by Interaksi Kruskal-Wallis chi-squared = 0.3329, df = 2, p-value = 0.8467

Kesimpulan: p-value ≥ 0,05 : Ho diterima

Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata PC2 yang memfasilitasi ketiga interaksi

interspesifik.

> kruskal.test(Ds1~Interaksi, data=interaksi) Kruskal-Wallis rank sum test data: Ds1 by Interaksi Kruskal-Wallis chi-squared = 2.1321, df = 2, p-value = 0.3444

Kesimpulan:

p-value ≥ 0,05 : Ho diterima

Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata diameter substrat siamang (Ds1) yang

memfasilitasi ketiga interaksi interspesifik. > kruskal.test(Ds2~Interaksi, data=interaksi) Kruskal-Wallis rank sum test data: Ds2 by Interaksi Kruskal-Wallis chi-squared = 1.1768, df = 2, p-value = 0.5552

Kesimpulan:

p-value ≥ 0,05 : Ho diterima

Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata diameter substrat kompetitor (Ds2) yang

memfasilitasi ketiga interaksi interspesifik.

91

Universitas Indonesia

Lampiran 7 (lanjutan)

> kruskal.test(Hdt1~Interaksi, data=interaksi) Kruskal-Wallis rank sum test data: Hdt1 by Interaksi Kruskal-Wallis chi-squared = 3.6357, df = 2, p-value = 0.1624

Kesimpulan:

p-value ≥ 0,05 : Ho diterima

Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata ketinggian siamang dari tanah (Hdt1) yang

memfasilitasi ketiga interaksi interspesifik.

> kruskal.test(Hdt2~Interaksi, data=interaksi) Kruskal-Wallis rank sum test data: Hdt2 by Interaksi Kruskal-Wallis chi-squared = 3.7218, df = 2, p-value = 0.1555

Kesimpulan: p-value ≥ 0,05 : Ho diterima

Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata ketinggian kompetitor dari tanah (Hdt2) yang

memfasilitasi ketiga interaksi interspesifik.

> kruskal.test(Hp~Interaksi, data=interaksi) Kruskal-Wallis rank sum test data: Hp by Interaksi Kruskal-Wallis chi-squared = 3.2466, df = 2, p-value = 0.1972

Kesimpulan:

p-value ≥ 0,05 : Ho diterima

Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata ketinggian pohon yang memfasilitasi ketiga

interaksi interspesifik.