Structure and Dynamics of the Arboreal Termite Community in New Guinean Coconut Plantations21
Kompetisi dan Tumpang-tindih Relung antara Siamang (Symphalangus syndactylus) dan Mamalia Arboreal...
Transcript of Kompetisi dan Tumpang-tindih Relung antara Siamang (Symphalangus syndactylus) dan Mamalia Arboreal...
UNIVERSITAS INDONESIA
KOMPETISI DAN TUMPANG-TINDIH RELUNG ANTARA
SIAMANG (Symphalangus syndactylus) DAN MAMALIA
ARBOREAL LAINNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT
BARISAN SELATAN
SKRIPSI
MARSYA CHRISTYANTI
1006675991
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
DEPARTEMEN BIOLOGI
DEPOK
JUNI 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
KOMPETISI DAN TUMPANG-TINDIH RELUNG ANTARA
SIAMANG (Symphalangus syndactylus) DAN MAMALIA
ARBOREAL LAINNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT
BARISAN SELATAN
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
MARSYA CHRISTYANTI
1006675991
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
DEPARTEMEN BIOLOGI
DEPOK
JUNI 2014
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Tritunggal karena hanya oleh
kasih karunia dan penyertaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini dapat dituntaskan karena dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Noviar Andayani, M.Sc. sebagai pembimbing I dan Dr. Nurul Laksmi
Winarni, M.Sc. sebagai pembimbing II yang telah membimbing penulis dari
awal pencetusan ide penelitian sampai akhir masa penulisan. Penulis
berterima kasih untuk seluruh masukan, gagasan, kritik, dukungan, dan
terutama inspirasi yang telah diberikan.
2. Drs. Wisnu Wardhana, M.Si. sebagai penguji I dan Dr.rer.nat. Yasman, M.Sc.
sebagai penguji II yang telah memberikan banyak masukan dan kritik dalam
rancangan penelitian dan penulisan hasil penelitian.
3. Dr. Anom Bowolaksono, M.Si. sebagai Penasihat Akademik atas bimbingan
dan dukungan selama masa perkuliahan.
4. Dr. Andi Salamah sebagai Ketua Prodi S1 Departemen Biologi FMIPA UI dan
Dr.rer.nat. Yasman, M.Sc. sebagai Ketua Departemen Biologi FMIPA UI.
5. Seluruh staf pengajar dan karyawan Departemen Biologi FMIPA UI atas
bantuan selama masa perkuliahan.
6. Dr. Susan Lappan untuk ilmu, kritik, dan saran dalam pembuatan rancangan
penelitian.
7. Wildlife Conservation Society-Indonesia Program yang telah memberikan
kesempatan untuk melakukan penelitian di Stasiun Penelitian Way Canguk.
Penulis berterima kasih kepada Pak Opo yang telah memberikan perizinan dan
saran untuk penelitian, Mas Seti sebagai asisten lapangan, dan Mas Gawik,
Mas Jayus, Mas Lazi, dan Mas Rahman yang telah membantu selama
pengambilan data di lapangan.
8. Nagao Environment Foundation yang telah memberikan beasiswa pendidikan.
v
9. Keluarga tercinta, yaitu Mama, Inangboru Merry, Inangboru Dame, Uda
Sintong, Ompung Doli, Ompung Boru, Rio, Athan, Hana, dan Yoshua yang
setia berdoa dan memberikan dukungan finansial.
10. Almarhum Ayah yang semasa hidupnya merupakan seorang petualang dan
pecinta alam. Jiwa petualang dan kisah hidupnya yang hanya penulis dengar
sebagai cerita selalu menjadi motivasi bagi penulis untuk tidak berhenti
mengeksplorasi alam.
11. Partner ekologi hewan, yaitu Sheherazade, Ardiantiono, Shafia Zahra, Pramita
Indrarini, dan Achmad Ridha Junaid, yang telah menjadi sahabat diskusi yang
menyenangkan; Dyna, Abinubli, Ricky, Ninda, Elisabeth, Ayu, Deka, Cindy
Kus, dan seluruh anggota keluarga B10GENESIS lainnya untuk persahabatan
dan kekeluargaan selama masa perkuliahan.
12. Teman-teman, junior, dan senior Biologi serta ketiga BSO (KSHL Comata,
OMPT Canopy, dan SIGMA-B UI), terutama Nuruliawati, Niken Ekatiwi,
Lucia, Kak Sasha, Kak Sisil, Kak Eman, Kak Wendy, untuk tumpahan ilmu,
diskusi, motivasi, dan pengalaman lapangan.
13. Teman-teman persekutuan dalam Kristus, yaitu Octy, Gina, Aviana, Livia,
Septi, Zendy, Inez, dan seluruh anggota Persekutuan Alumni SMAN 8 untuk
doa dan semangat.
Walaupun naskah ini tidak sempurna, penulis berharap hasil penelitian ini dapat
berkontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama untuk konservasi
biodiversitas hutan hujan tropis Indonesia.
Depok, 30 Juni 2014
Penulis
vii
ABSTRAK
Nama : Marsya Christyanti
Program Studi : S1 Biologi
Judul : Kompetisi dan Tumpang-tindih Relung antara Siamang
(Symphalangus syndactylus) dan Mamalia Arboreal
Lainnya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Siamang hidup berdampingan dengan berbagai spesies mamalia arboreal yang
berpotensi sebagai kompetitor di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
(TNBBS). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terjadi
kompetisi antara siamang dan mamalia arboreal lainnya serta mengetahui
tumpang-tindih relung berdasarkan penggunaan habitat dan pemilihan pakan di
antara komunitas mamalia arboreal di Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS.
Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari hingga April 2014 dengan dua
metode, yaitu metode focal instantaneous sampling untuk pengamatan perilaku
siamang dan metode transek garis untuk survei mamalia arboreal. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa siamang berkompetisi dengan simpai, bajing kelapa, dan
jelarang hitam. Tumpang-tindih relung terbesar terjadi antara siamang dengan
jelarang hitam berdasarkan pemilihan pakan (Ro = 0,418) dan penggunaan habitat
(Uji Wilcoxon, p-value > 0,05). Dari 57 interaksi interspesifik antara siamang
dan mamalia arboreal lainnya, terdapat 61,40% interaksi netral, 19,30% agresi,
dan 19,30% dominansi. Kesimpulan penelitian ini adalah kompetisi interferensi
dan eksploitatif terjadi antara siamang dan ketiga spesies mamalia arboreal serta
terdapat tumpang-tindih relung antara siamang dan ketiga spesies mamalia
arboreal.
Kata Kunci : kompetisi interspesifik, mamalia arboreal, relung, siamang.
xiii + 91 halaman : 14 gambar; 12 tabel; 7 lampiran
Daftar Acuan : 58 (1957--2013)
viii
ABSTRACT
Name : Marsya Christyanti
Study Program : S1 Biologi
Judul : Competition and Niche Overlap between Siamang
(Symphalangus syndactylus) and Other Arboreal
Mammals in Bukit Barisan Selatan National Park
Siamang coexists with various arboreal mammal species which are potential
competitors to siamang in Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP). The
aims of this study are to determine whether interspecific competition occurs
between siamang and other arboreal mammals and to determine niche overlap in
terms of habitat use and food selection among mammals community in Way
Canguk Research Station, BBSNP. Data collection was conducted on February
until April 2014 using two methods: focal instantaneous sampling to measure
siamang behavior and line transect method to survey coexisting mammals. The
result of this research suggests that siamang competes with banded langur,
plaintain squirrel, and black giant squirrel. Niche overlap is the highest between
siamang and black giant squirrel based on food preference (Ro = 0,418) and
habitat use (Uji Wilcoxon, p-value > 0,05). Among 57 interspecific interactions
between siamang and other arboreal mammals, 61,40% are netral interactions,
19,30% are agressions, and 19,30% are dominance interactions. This research
concludes that interference and exploitative competition occur between siamang
and three other arboreal mammals and there is niche overlap among them.
Keywords : interspecific competition, arboreal mammals, niche, siamang.
xiii + 91 pages : 14 pictures; 12 tables; 7 appendices
Daftar Acuan : 58 (1957--2013)
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... iii
KATA PENGANTAR .............................................................................. iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................... vi
ABSTRAK ............................................................................................... vii
ABSTRACT ............................................................................................. viii
DAFTAR ISI ............................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xi
DAFTAR TABEL .................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiii
1. PENDAHULUAN................................................................................ . 1
2. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 5
2.1. Kompetisi Interspesifik dan Relung ............................................. 5
2.2. Siamang ....................................................................................... 7
2.2.1. Klasifikasi siamang ............................................................ 7
2.2.2. Morfologi siamang............................................................. 7
2.2.3. Habitat dan distribusi ......................................................... 9
2.2.4. Perilaku ............................................................................. 10
2.2.5. Struktur sosial .................................................................... 11
2.2.6. Pakan ................................................................................. 12
2.2.7. Peran ekologis ................................................................... 13
2.3. Mamalia Arboreal ........................................................................ 14
2.3.1. Suku Tupaiidae .................................................................. 16
2.3.2. Suku Cercopithecidae ........................................................ 17
2.3.3. Suku Ursidae ..................................................................... 17
2.3.4. Suku Mustelidae ................................................................ 17
2.3.5. Suku Sciuridae ................................................................... 18
2.4. Stasiun Penelitian Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan ......................................................................................... 18
3. METODOLOGI PENELITIAN......................................................... 22
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................ 22
3.2. Alat, Bahan, dan Subjek Penelitian .............................................. 22
3.3. Cara Kerja ................................................................................... 23
3.3.1. Pengambilan data ............................................................... 23
3.3.2. Analisis data ...................................................................... 27
4. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................ 31
4.1. Tumpang-tindih Relung Berdasarkan Pakan ................................. 33
4.2. Tumpang-tindih Relung Berdasarkan Penggunaan Habitat ........... 36
x
4.3. Kompetisi Interspesifik antara Siamang dengan Tiga Spesies
Mamalia Arboreal ........................................................................ 43
4.4. Partisi Relung antara Siamang dan Kompetitornya ....................... 50
4.4.1. Partisi Relung antara Siamang dan Simpai ......................... 51
4.4.2. Partisi Relung antara Siamang dan Bajing Kelapa .............. 52
4.4.3. Partisi Relung antara Siamang dan Jelarang Hitam ............. 53
5. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ 54
5.1. Kesimpulan .................................................................................. 54
5.2. Saran ............................................................................................ 54
DAFTAR ACUAN..................................................................................... . 56
LAMPIRAN............................................................................................... . 62
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.2.2. Siamang betina (kiri) dan siamang jantan (kanan) ............ 8
Gambar 2.2.3. Peta distribusi Hylobatidae di Asia Tenggara ................... 10
Gambar 2.2.6. Komposisi pakan siamang di TNBBS .............................. 12
Gambar 2.4(1) Lokasi Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS .............. 19
Gambar 2.4(2) Area penelitian tenggara (atas) dan area penelitian barat
laut (bawah) di Way Canguk ............................................ 21
Gambar 3.3.1. Wilayah jelajah beberapa kelompok siamang yang telah
terhabituasi di area penelitian selatan ............................... 26
Gambar 4. Tiga spesies mamalia arboreal dengan frekuensi pertemuan
tertinggi di area survei ...................................................... 32
Gambar 4.1(1) Diagram komposisi pakan tiga kelompok siamang subjek
penelitian ......................................................................... 33
Gambar 4.1(2) Diagram perbandingan komposisi pakan siamang, simpai,
bajing kelapa, dan jelarang hitam ..................................... 34
Gambar 4.2(1) Proyeksi variabel-variabel penggunaan habitat pada PC1
(sumbu-x) dan PC2 (sumbu-y) .......................................... 39
Gambar 4.2(2) Ordinasi penggunaan habitat oleh empat spesies mamalia
arboreal terhadap PC1 (sumbu-x) dan PC2 (sumbu-y) ...... 40
Gambar 4.2(3) Boxplot ketiga variabel yang berkorelasi tinggi dengan
PC1 dan PC2 .................................................................... 42
Gambar 4.3(1) Proyeksi variabel-variabel penggunaan habitat pada
sumbu PC1 dan PC2 ........................................................ 46
Gambar 4.3(2) Ordinasi data interaksi interspesifik pada sumbu PC1 dan
PC2 .................................................................................. 47
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.3. Daftar famili dan spesies mamalia di Way Canguk beserta
pola aktivitas dan arborealitas .......................................... 14
Tabel 3.2. Komposisi kelompok siamang subjek penelitian .............. 23
Tabel 3.3.2(1) Variabel penggunaan habitat yang dianalisis dengan PCA
untuk mengetahui tumpang-tindih relung di antara mamalia
arboreal ............................................................................ 28
Tabel 3.3.2(2) Variabel kondisi habitat yang dianalisis dengan PCA
untuk mengetahui perbedaan kondisi habitat yang
berhubungan dengan interaksi interspesifik ...................... 29
Tabel 4.1(1) Tabel ringkasan catatan spesies pakan dan tumpang-tindih
relung berdasarkan pemilihan pakan................................. 35
Tabel 4.1(2) Daftar spesies tumbuhan pakan siamang yang juga dimakan
oleh simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam ................. 36
Tabel 4.2(1) Ringkasan variabel-variabel penggunaan habitat .............. 37
Tabel 4.2(2) Hasil uji Kruskal-Wallis variabel penggunaan habitat
dengan faktor keempat spesies mamalia arboreal (siamang,
simpai, bajing kelabu, dan jelarang hitam)........................ 41
Tabel 4.3(1) Frekuensi interaksi interspesifik antara siamang dengan
mamalia arboreal lainnya ................................................. 44
Tabel 4.3(2) Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap kedua PC dan variabel
yang berkorelasi tinggi dengan PC1 dan PC2 ................... 47
Tabel 4.3(3) Perbandingan ukuran tubuh siamang, simpai, bajing
kelapa, dan jelarang hitam ................................................ 48
Tabel 4.3(4) Perbandingan laju penanganan buah antara siamang dan
jelarang hitam .................................................................. 50
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar sepuluh mamalia arboreal yang terdapat di ruang
jelajah siamang ...................................................................... 62
Lampiran 2. Daftar kategori dan spesies pakan siamang, simpai, bajing
kelapa, dan jelarang hitam ...................................................... 63
Lampiran 3. Perhitungan indeks tumpang-tindih Horn ............................... 66
Lampiran 4. Analisis variabel penggunaan habitat oleh siamang dan tiga
spesies mamalia arboreal menggunakan metode PCA ............ 72
Lampiran 5. Analisis penggunaan habitat dengan uji Kruskal-Wallis dan
uji Wilcoxon .......................................................................... 78
Lampiran 6. Analisis dengan metode PCA pada variabel kondisi habitat
yang memungkinkan terjadinya interaksi interspesifik ........... 82
Lampiran 7. Analisis kondisi habitat yang memfasilitasi interaksi
interspesifik dengan uji Kruskal-Wallis .................................. 89
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
Kompetisi interspesifik terjadi jika dua spesies yang berbeda
menggunakan sumber daya yang sama dan hanya tersedia dalam jumlah terbatas.
Menurut MacArthur (1972: 21), mekanisme terjadinya kompetisi tidak terlihat
secara langsung, tetapi dapat disimpulkan dari bukti-bukti yang dapat ditemukan
di alam. Pada prinsipnya, dua spesies disebut berkompetisi jika peningkatan
populasi spesies yang satu berakibat pada penurunan populasi spesies yang lain
(Connell 1961: 715, 722; Krohne 2001: 223).
Subjek penelitian kompetisi interspesifik pada umumnya adalah spesies-
spesies berkerabat dekat yang hidup simpatrik, seperti yang dilaporkan antara lain
pada komunitas kadal di Amerika Utara, Afrika bagian selatan, dan Australia
Barat (Pianka 1973), burung dari famili Bucerotidae di Sumatra (Hadiprakarsa
2000), owa dengan siamang di Sumatra (Elder 2009), serta dua spesies marsupial
dari genus Didelphis di Amerika Selatan (Cáceres & Machado 2013). Hal
tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa kompetisi terkuat terjadi di antara
spesies-spesies yang berkerabat dekat dengan kebutuhan sumber daya yang serupa
(Tokeshi 1999: 155).
Organisme tidak hanya hidup berdampingan dengan spesies yang
berkerabat dekat, melainkan juga dengan spesies-spesies lain dari taksa yang lebih
luas. Kompetisi interspesifik juga dapat terjadi pada spesies-spesies berkerabat
jauh yang memanfaatkan sumber daya serupa, baik pakan maupun ruang.
Fenomena itu pernah dilaporkan oleh Estrada & Coates-Estrada (1985: 34--35)
yang menyatakan bahwa monyet howling (Alouatta palliata) dan serangga
herbivora mengalami kompetisi interspesifik secara asimetris untuk
memperebutkan sumber daya pakan berupa daun di hutan hujan tropis Los
Tuxtlas, Meksiko. Marshall dkk. (2009: 173--175, 181) juga pernah melaporkan
bahwa kompetitor paling berpengaruh terhadap owa kalimantan (Hylobates
albibarbis) bukanlah dari kelompok primata, melainkan bajing tiga warna
2
Universitas Indonesia
(Callosciurus prevostii) yang mengonsumsi buah muda yang menjadi pakan
primata tersebut.
Kompetisi interspesifik telah lama diduga berpengaruh terhadap
pembentukan struktur komunitas satwa. Walaupun hal tersebut masih sering
diperdebatkan hingga saat ini (Schoener 1983: 240; Krohne 2001: 279; Rohde
2013: 371), Beaudrot dkk. (2012: 182) secara tegas mengemukakan bahwa
interaksi interspesifik di dalam dan di antara kelompok-kelompok taksa yang
berbeda memiliki peran penting terhadap distribusi spesies dan struktur
komunitas. Dalam penelitiannya, Beaudrot dkk. (2012: 182) dan Beaudrot dkk.
(2013: 1061) menemukan bahwa struktur komunitas vertebrata di Kalimatan
dipengaruhi oleh competitive exclusion di antara spesies-spesies yang berkerabat
jauh. Oleh karena itu, penelitian mengenai kompetisi interspesifik di dalam suatu
komunitas penting dilakukan untuk memahami dinamika komunitas, terutama
untuk mengetahui bagaimana berbagai spesies berbagi sumber daya yang terbatas.
Siamang merupakan primata arboreal sejati yang menghuni hutan hujan
tropis Semenanjung Malaysia dan Sumatra. Sebagai primata arboreal sejati,
hampir seluruh aktivitas harian siamang dilakukan di lapisan tajuk tengah dan atas
(Gittins & Raemaekers 1980: 80--84; Markhamah 2007: 76). Siamang di
Semenanjung Malaysia dilaporkan lebih bersifat foliovora dibandingkan dengan
kerabatnya di Sumatra yang lebih banyak mengonsumsi buah (Gittins &
Raemaekers 1980: 90; Nurcahyo 1999: 24; O‟Brien dkk. 2003: 120). Komposisi
pakan siamang di Semenanjung Malaysia terdiri atas 43% daun, 22% buah
Ficus spp., 15% materi hewani, 14% buah pohon lain, dan 6% bunga (Gittins &
Raemaekers 1980: 90), sedangkan di Sumatra terdiri atas 52,07% buah, 42,62%
daun, dan 5,3% bunga (Nurcahyo 1999: 24).
Salah satu habitat siamang di Sumatra adalah Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan (TNBBS). Kepadatan siamang di dalam kawasan konservasi
tersebut cukup tinggi, yaitu 2,23 kelompok/km2. O‟Brien dkk. (2004: 278--279)
menyatakan bahwa TNBBS memiliki populasi siamang yang tinggi dibandingkan
lokasi lainnya di Semenanjung Malaysia dan Sumatra. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan di Stasiun Penelitian Way Canguk yang berada di
dalam TNBBS, siamang hidup berdampingan dengan 55 spesies mamalia lainnya
3
Universitas Indonesia
(Iqbal dkk. 2001: 13). Dari 26 famili mamalia yang terdapat di TNBBS,
setidaknya terdapat lima famili yang memiliki kemiripan cara hidup dengan
siamang, yaitu bersifat arboreal, frugivora, dan diurnal. Kelima famili mamalia
tersebut adalah Tupaiidae, Cercopithecidae, Ursidae, Mustelidae, dan Sciuridae
(Payne 1980: 266--267; Payne & Francis 1985; Iqbal dkk. 2001: 14).
Kompetisi terjadi ketika ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan suatu
spesies berkurang akibat aktivitas spesies lain, baik secara eksploitatif maupun
interferensi. Oleh karena itu, fauna yang bersifat arboreal, baik parsial maupun
sejati, berpotensi mengalami kompetisi dengan siamang (Payne 1980: 261).
Tubuh siamang yang besar dan populasi siamang yang tinggi di TNBBS menjadi
dasar untuk menduga bahwa siamang merupakan kompetitor yang dominan.
Penelitian mengenai kompetisi interspesifik di antara tiga spesies primata paling
melimpah di TNBBS telah dilakukan oleh Elder (tidak dipublikasikan). Namun,
interaksi kompetitif antara siamang dan satwa selain kelompok primata belum
banyak diketahui. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji potensi kompetisi
antara siamang dengan spesies-spesies mamalia arboreal di Stasiun Penelitian
Way Canguk.
Penelitian noneksperimental di alam untuk mengetahui terjadinya
kompetisi pada umumnya menggunakan pendekatan indeks tumpang-tindih
relung walaupun indeks tersebut tidak secara tegas mengindikasikan kompetisi
(Estrada & Coates-Estrada 1985: 35; Marshall dkk. 2009:181; Cáceres &
Machado 2013: 13). Tiga parameter umum untuk mendefinisikan relung adalah
penggunaan habitat, pemilihan pakan, dan pola aktivitas harian (Holt 1987: 111).
Melalui penelitian ini, tumpang-tindih relung di antara mamalia arboreal akan
dikaji dari segi penggunaan habitat dan pemilihan pakan, kemudian dianalisis
kaitannya dengan kompetisi. Pola aktivitas harian tidak menjadi bahasan karena
spesies-spesies mamalia subjek penelitian merupakan satwa diurnal.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah terjadi kompetisi antara
siamang dan mamalia arboreal lainnya serta mengetahui tumpang-tindih relung
berdasarkan penggunaan habitat dan pemilihan pakan di antara komunitas
mamalia arboreal di Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS. Berdasarkan
tujuan tersebut, hipotesis yang diajukan adalah terjadi kompetisi sumber daya
4
Universitas Indonesia
antara siamang dan mamalia arboreal lainnya serta terdapat tumpang-tindih relung
di antara komunitas mamalia arboreal dari segi penggunaan habitat dan pemilihan
pakan.
Penelitian tentang kompetisi interspesifik dalam cakupan taksa yang luas
penting dilakukan untuk memahami peran kompetisi dalam pembentukan suatu
komunitas. Pengetahuan tentang dinamika komunitas penting dalam manajemen
kawasan konservasi, misalnya dalam menentukan area prioritas konservasi, luas
kawasan, dan lokasi pelepasliaran satwa yang dikembalikan ke hutan tanpa
mengganggu komunitas yang ada. Jika kompetisi merupakan faktor penting
dalam komunitas, pengambilan keputusan dalam manajemen konservasi
sebaiknya tidak hanya didasarkan pada faktor abiotik, melainkan juga
mempertimbangkan interaksi interspesifik.
5 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kompetisi Interspesifik dan Pembagian Relung
Kompetisi merupakan bentuk interaksi yang menarik untuk dikaji karena
memberikan dampak negatif kepada pihak-pihak yang terlibat. Kompetisi terbagi
menjadi dua tipe, yaitu kompetisi intraspesifik dan kompetisi interspesifik.
Kompetisi intraspesifik terjadi di antara individu dari spesies yang sama,
sedangkan kompetisi interspesifik terjadi pada spesies yang berbeda. Kedua
bentuk kompetisi tersebut terjadi oleh penyebab yang sama, yaitu perebutan
sumber daya (Caughley & Sinclair 1994: 110 & 131). Bagian yang akan dikaji
pada penelitian ini adalah kompetisi interspesifik.
Kompetisi interspesifik adalah interaksi di antara individu dari spesies
yang berbeda akibat penggunaan sumber daya yang sama dan terbatas. Kompetisi
dapat juga terjadi saat sumber daya yang tersedia tidak terbatas jika suatu spesies
melukai spesies lain dalam proses pencarian sumber daya (Birch 1957: 6).
Menurut MacArthur (1972: 21), dua spesies disebut berkompetisi jika
peningkatan populasi suatu spesies berdampak pada penurunan populasi spesies
yang lain. Contoh proses yang memungkinkan antara lain suatu spesies
mengurangi persediaan makanan spesies lain, kedua spesies saling berkelahi, atau
keberadaan suatu spesies meningkatkan predator spesies lainnya. Bukti kompetisi
biasanya tidak teramati secara langsung di alam (MacArthur 1972: 21).
Definisi kompetisi memberikan empat implikasi penting. Pertama,
kompetisi berpengaruh terhadap kesintasan individu-individu yang terlibat.
Pengaruh tersebut dapat terjadi dalam bentuk penurunan kemampuan bertahan
hidup, pertumbuhan, atau reproduksi. Kedua, penggunaan sumber daya yang
sama tidak secara langsung mengindikasikan kompetisi jika tidak diketahui bahwa
sumber daya tersebut terbatas. Ketiga, dua spesies tidak berkompetisi jika tidak
memiliki kemampuan untuk memengaruhi ketersediaan sumber daya untuk
spesies lain. Keempat, kompetisi dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu
6
Universitas Indonesia
kompetisi eksploitatif atau kompetisi interferensi (Caughley & Sinclair 1994:
131--132). Dalam kompetisi eksploitatif, individu dari suatu spesies mengambil
alih sumber daya yang digunakan oleh spesies lain, sedangkan kompetisi
interferensi terjadi secara langsung melalui perkelahian atau produksi racun
(Schoener 1983: 257).
Kompetisi sudah menjadi topik bahasan ahli ekologi sejak setidaknya
delapan dekade yang lalu. Penelitian eksperimental klasik yang menjadi dasar
teori kompetisi dilakukan oleh Connell (1961). Dalam penelitian tersebut,
Connell menemukan bahwa kompetisi interspesifik di antara dua spesies teritip,
yaitu Balanus dan Chthamalus, merupakan faktor terpenting yang memengaruhi
populasi Chthamalus dibandingkan faktor lainnya seperti predator dan kondisi
fisik. Keberadaan Balanus meningkatkan mortalitas dan menurunkan
kemampuan reproduksi Chthamalus (Connell 1961: 715, 722).
Kompetisi interspesifik memiliki kaitan yang erat dengan relung (Wiens
1989: 147). Konsep relung mulai berkembang sejak tahun 1917 dan telah banyak
terdapat definisi relung. Namun, definisi yang paling sering digunakan adalah
definisi yang diajukan oleh Hutchinson yang mendefinisikan relung secara
matematis sebagai “n-dimensional hypervolume” (Hutchinson 1957: 416).
Berdasarkan perumusan oleh Hutchinson tersebut, relung dapat diartikan sebagai
seluruh kisaran kondisi biotik dan abiotik yang memungkinkan suatu spesies
mempertahankan ukuran populasi yang stabil (Wiens & Graham 2005: 519).
Relung dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu relung fundamental dan relung nyata.
Relung fundamental adalah kondisi abiotik yang memungkinkan suatu spesies
bertahan hidup, sedangkan relung nyata adalah bagian dari relung fundamental
yang ditempati suatu spesies jika dibatasi oleh interaksi dengan organisme lain
(Hutchinson 1957: 416--418).
Kompetisi sering kali dikaitkan dengan tumpang-tindih relung antara dua
spesies. Tumpang-tindih yang besar dapat mengindikasikan kompetisi
interspesifik. Namun, terdapat perdebatan di antara ahli ekologi mengenai
hubungan tumpang-tindih relung dengan kompetisi interspesifik. Tumpang-tindih
relung yang besar dapat juga terjadi akibat toleransi interspesifik, sedangkan
tumpang-tindih yang kecil dapat terjadi karena dua spesies berkompetisi,
7
Universitas Indonesia
kemudian berusaha menempati relung yang berbeda untuk menghindari kompetisi
(Pianka 1974: 2141; Schoener 1983: 270). Walaupun demikian, indeks tumpang-
tindih relung sering digunakan sebagai pendekatan untuk memperkirakan
kompetisi (Estrada & Coates-Estrada 1985: 35; Marshall dkk. 2009:181; Cáceres
& Machado 2013: 13).
2.2. Siamang
Siamang merupakan salah satu spesies primata dari famili Hylobatidae,
yaitu salah satu famili dari kelompok primata yang bersifat diurnal, arboreal, dan
teritorial (Nowak 1999: 169, 171). Di antara kera lainnya, famili Hylobatidae
merupakan kelompok kera dengan ukuran tubuh terkecil sehingga disebut juga
kera kecil (lesser ape). Selain ukuran tubuh, perbedaan antara Hylobatidae
dengan kera lainnya--orangutan, gorila, dan simpanse--adalah gaya hidup yang
sepenuhnya arboreal, memiliki bantalan duduk (ischial callosities), dan tidak
membuat sarang untuk tidur (Bartlett 1999: 44).
2.2.1. Klasifikasi Siamang
Siamang dikelompokkan ke dalam genus Hylobates bersama owa bertubuh
kecil lainnya oleh beberapa ahli (Miller 1933: 159; Napier & Napier 1985: 161),
tetapi Brandon-Jones dkk. (2004: 153) mengelompokkannya ke dalam genus
tersendiri, yaitu Symphalangus. Genus Symphalangus hanya terdiri atas satu
spesies, yaitu S. syndactylus, dengan dua subspesies. Kedua subspesies siamang
dibedakan berdasarkan distribusinya. Symphalangus syndactylus syndactylus
Raffles (1821) terdistribusi di Sumatra, Indonesia, sedangkan S. syndactylus
continentis Thomas (1908) terdistribusi di Semenanjung Malaysia.
2.2.2. Morfologi Siamang
Siamang mudah dibedakan dengan spesies Hylobatidae lain karena
berukuran besar dan berwarna hitam pekat. Di antara anggota famili tersebut,
8
Universitas Indonesia
siamang merupakan spesies yang memiliki ukuran tubuh terbesar. Rentang
tangan siamang dapat mencapai 1,5 m, panjang tubuh termasuk kepala berkisar
antara 750--900 mm, dan berat tubuh sekitar 8--13 kg (Nowak 1999: 168). Tubuh
siamang ditutupi oleh rambut berwarna hitam, tetapi bagian kantung udara di
bawah dagu tidak tertutupi rambut (Napier & Napier 1985: 161).
Siamang tidak menunjukkan adanya dimorfisme seksual. Warna rambut,
ukuran tubuh, dan panjang gigi taring siamang jantan dan betina sama (Bartlett
1999: 45). Baik siamang jantan maupun betina juga memiliki kantung udara yang
berfungsi untuk vokalisasi. Walaupun tidak terdapat dimorfisme seksual, individu
jantan dan betina dapat dibedakan (Gambar 2.2.2.). Individu jantan memiliki
rambut skrotal, sedangkan individu betina tidak (Prasetyaningrum 2001: 30).
Gambar 2.2.2. Siamang betina (kiri) dan siamang jantan (kanan).
Keterangan:
Jenis kelamin siamang dapat dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya rambut
skrotal. Individu jantan memiliki rambut skrotal (a) di antara kedua kakinya.
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
(a)
50 cm
9
Universitas Indonesia
Seperti spesies dari famili Hylobatidae lainnya, siamang memiliki
ekstremitas anterior yang lebih panjang daripada ekstremitas posterior sebagai
adaptasi untuk pergerakan brakiasi. Di antara spesies-spesies Hylobatidae
lainnya, siamang memiliki intermembral index terbesar, yaitu 145--152 (Miller
1933: 159). Ciri khas siamang yang tidak dimiliki oleh spesies Hylobatidae
lainnya adalah selaput antarjari yang menghubungkan jari kaki kedua dan ketiga
(LBN-LIPI 1982: 85; Nowak 1999: 168).
2.2.3. Habitat dan Distribusi
Siamang terdapat di Sumatra dan Semenanjung Malaysia (LBN-LIPI
1982: 85; Nowak 1999: 168). Siamang pada umumnya dapat ditemukan di
dataran rendah sampai daerah pegunungan setinggi 2000 m (LBN-LIPI 1982: 85).
Menurut Wilson & Wilson (1976: 17), siamang di Sumatra terdapat di rangkaian
Pegunungan Bukit Barisan yang terletak memanjang di bagian barat Sumatra
(Gambar 2.2.3.) dan lebih menyukai hutan dataran rendah dan perbukitan.
Siamang simpatrik dengan dua kerabat dekatnya, yaitu Hylobates agilis
dan H. lar, di rangkaian pegunungan bagian barat Sumatra, tetapi siamang tidak
ditemukan di dataran rendah bagian timur Sumatra. Siamang simpatrik dengan H.
agilis dari bagian selatan Sumatra sampai Simpangkiri, Aceh, dan Sungai
Wampu, Sumatra Utara, sedangkan daerah simpatrik siamang dengan H. lar
meliputi bagian utara dari Simpangkiri dan Sungai Wampu (Wilson & Wilson
1976: 17). Hasil studi O‟Brien (2004: 276--278) menunjukkan bahwa kepadatan
siamang berkorelasi negatif dengan kepadatan Hylobatidae yang simpatrik
dengannya. Kepadatan siamang tertinggi terdapat pada hutan dataran rendah
(< 300 mdpl), terendah di hutan ketinggian sedang, kemudian meningkat kembali
di hutan pegunungan. Sementara itu, kepadatan H. agilis tertinggi terdapat di
hutan ketinggian sedang. Kepadatan siamang menunjukkan peningkatan dari
lintang utara ke selatan, yaitu dari Semenanjung Malaysia ke Sumatra, sementara
kepadatan H. agilis cenderung berkurang (O'Brien 2004: 279).
10
Universitas Indonesia
Gambar 2.2.3. Peta distribusi Hylobatidae
di Asia Tenggara.
Keterangan:
Siamang terdistribusi di bagian barat
Sumatra dan Semenanjung Malaysia
(warna hijau).
[Sumber: www.gibbons.de]
2.2.4. Perilaku
Siamang merupakan primata diurnal, yaitu melakukan sebagian besar
aktivitas pada siang hari. Aktivitas harian siamang dimulai antara pukul 06.00--
07.00. Secara umum, aktivitas harian siamang dapat dibagi ke dalam lima
kategori, yaitu istirahat, makan, mencari makan, bergerak, dan perilaku sosial.
Aktivitas utama siamang adalah istirahat (56,80%) dan makan (25,96%).
Siamang paling aktif mencari makan pada pagi hari (07.00--08.00) dan sore hari
(14.00--16.00). Aktivitas bergerak terbagi ke dalam empat tipe, yaitu brakiasi,
memanjat, berjalan, dan melompat. Sebagian besar pergerakan siamang (81,64%)
dilakukan dengan cara brakiasi. Aktivitas sosial terdiri atas menggaruk individu
lain, calling, dan mengancam (Nurcahyo 1999: 23--34). Perilaku mengancam
11
Universitas Indonesia
jarang terjadi di antara individu dewasa dengan jenis kelamin yang berbeda.
Namun, individu dewasa terkadang menunjukkan perilaku agresi terhadap
individu pradewasa yang memiliki jenis kelamin sama (Chivers & Raemaekers
1980: 229; Nurcahyo 1999: 37).
2.2.5. Struktur sosial
Siamang hidup dalam kelompok keluarga (selanjutnya hanya disebut
kelompok) yang bersifat teritorial. Satu kelompok siamang pada umumnya terdiri
atas empat individu yang beranggotakan pasangan jantan dan betina dewasa serta
beberapa anak yang belum mandiri (Chivers 1974: 274; Gittins & Raemaekers
1980: 68). Siamang dan juga semua spesies dari famili Hylobatidae memiliki
ukuran kelompok yang kecil untuk mengurangi kompetisi antarindividu saat
mencari makanan. Semakin besar ukuran kelompok, kompetisi antarindividu juga
semakin besar. Sifat teritorial siamang berkaitan dengan distribusi sumber pakan
yang bervariasi dari waktu ke waktu. Walaupun mempertahankan suatu teritori
membutuhkan energi yang besar, siamang mendapatkan keuntungan berupa
jaminan persediaan makanan sepanjang tahun (Gittins & Raemaekers 1980: 101--
103).
Berbeda dengan primata dan bahkan sebagian besar mamalia lain, induk
jantan siamang terlibat dalam pengasuhan bayi. Menurut Gittins & Raemaekers
(1980: 70), selama satu tahun sejak kelahiran, bayi siamang diasuh oleh induk
betina, kemudian pada tahun kedua, bayi diasuh oleh induk jantan. Perilaku
tersebut berbeda dengan kerabat simpatriknya, yaitu owa ungko (Hylobates agilis)
yang hanya menunjukkan pengasuhan bayi oleh induk betina.
Siamang pada umumnya bersifat monogami. Namun, beberapa kelompok
poliandri ditemukan pada populasi siamang di Way Canguk. Menurut Lappan
(2008: 1314--1315), keberadaan individu jantan sekunder tidak berhubungan
dengan peningkatan total asuhan yang diterima bayi serta ikatan antara jantan dan
induk betina. Poliandri pada siamang diduga merupakan mekanisme untuk
mengurangi interval antarkelahiran pada siamang betina, dengan kata lain
meningkatkan kesuksesan reproduksi betina.
12
Universitas Indonesia
2.2.6. Pakan
Pakan siamang dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu bagian
reproduktif tumbuhan (bunga dan buah), bagian vegetatif tumbuhan (daun), serta
materi hewani (Gittins & Raemaekers 1980: 88). Siamang sering dideskripsikan
sebagai foliovora (Gittins & Raemaekers 1980: 100--101; Napier & Napier 1985:
161; Supriatna & Wahyono 2000: 294), tetapi siamang di Sumatra diketahui lebih
bersifat frugivora (Nurcahyo 1999: 37). Komposisi pakan siamang di TNBBS
(Gambar 2.2.6.) didominasi oleh buah dengan persentase sebesar 52,07%
(Nurcahyo 1999: 24).
Gambar 2.2.6. Komposisi pakan siamang di TNBBS.
[Sumber: Nurcahyo 1999:24]
Siamang menunjukkan preferensi terhadap buah Ficus spp. Siamang
cenderung memakan lebih banyak buah Ficus spp. pada pagi hari saat memulai
aktivitas. Hal tersebut diduga karena buah Ficus spp. menyediakan nutrisi yang
melimpah dan siap dicerna untuk memenuhi kebutuhan nutrisi setelah berpuasa
sepanjang malam (Gittins & Raemaekers 1980: 90--93). Persentase buah Ficus
Buah Daun Bunga
Tumbuhan lain 0.45% 0% 0%
Liana 1.28% 11.88% 0%
Pohon lain 18.91% 19.75% 5.30%
Ficus spp. 31.43% 10.99% 0%
0.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
50.00%
60.00%
Tumbuhan lain
Liana
Pohon lain
Ficus spp.Ficus spp.
Ficus spp.
13
Universitas Indonesia
spp. dalam komposisi pakan siamang adalah 31,43% (Nurcahyo 1999: 24).
Spesies Ficus yang dikonsumsi siamang antara lain F. albipila, F. altissima, F.
caulocarpa, F. depressa, F. drupacea, F. elastica, F. stupenda, F. sundaica, F.
variegata, dan F. virens (Nurcahyo 1999: 24, 27; Rusmanto 2001: 18).
Menurut Nurcahyo (1999: 27) spesies tumbuhan selain Ficus spp. yang
diketahui merupakan pakan siamang adalah Actinodaphne nigrescens, Aglaia
odoratissima, Alseodaphne nigrescens, Anamirta cocculus, Antocephalus sp.,
Atuna racemosa, Bauhinia sp., Beilschmiedia lucida, Bridelia monoica, Cananga
odorata, Cryptocarya ferrea, Daemonorops sp., Diospyros truncata,
Dracontomelon dao, Durio sp., Dysoxylum caulostachyum, Eugenia jamboloides,
Garcinia sp., Horsfieldia bracteosa, Leuconotis eugenifolia, Michelia champaca,
Polyalthia spp., Popowia pisocarpa, Pterospermum sp., Shorea javanica,
Siphonodon celastrineus, Stelechocarpus burahol, dan Xerospermum
noronhianum. Sementara itu, Rusmanto (2001:18--20) mendata 43 spesies
tumbuhan yang dikonsumsi buahnya oleh siamang. Spesies-spesies tersebut
termasuk dalam famili Alangiaceae, Annonaceae, Arecaceae, Boraginaceae,
Clusiaceae, Combretaceae, Ebenaceae, Euphorbiaceae, Lauraceae, Meliaceae,
Menispermaceae, Moraceae, Myristicaceae, Myrtaceae, Olacaceae, Rhamnaceae,
Rutaceae, Sapotaceae, Sapindaceae, dan Vitaceae.
Puncak aktivitas makan siamang bersifat bimodal, yaitu antara pukul
07.00--08.00 dan 14.00--16.00. Aktivitas makan di pagi hari diduga berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan energi untuk beraktivitas di siang hari. Sementara
itu, makanan yang dimakan pada sore hari berfungsi sebagai cadangan energi
untuk malam hari (Nurcahyo 1999: 26, 37).
2.2.7. Peran Ekologis
Siamang merupakan pemencar biji yang efektif. Siamang, seperti
Hylobatidae lainnya, tidak mengunyah atau menghancurkan biji dari buah yang
dimakan. Biji ditelan, kemudian dibuang secara utuh dalam bentuk feses
beberapa ratus meter dari pohon pakan (Gittins & Raemaekers 1980: 88).
Sebagian besar biji yang dimakan oleh siamang akan dipencarkan melalui proses
14
Universitas Indonesia
endozoochory (90,7%), sedangkan sebagian kecil akan hancur selama proses
pencernaan. Jarak pemencaran biji oleh siamang berkisar antara 0 hingga 632 m
dari pohon pakan (Rusmanto 2001: 17--25).
2.3. Mamalia Arboreal
Mamalia arboreal adalah mamalia yang mencari makan di tajuk hutan,
baik pada bagian bawah, tengah, maupun atas (Beaudrot dkk. 2013: 1056).
Mamalia arboreal meliputi berbagai famili, antara lain Pteropodidae, Tupaiidae,
Lorisidae, Cercopithecidae, Hylobatidae, Sciuridae, Muridae, Ursidae, dan
Viverridae (Payne 1980: 266--267). Mamalia arboreal yang bersifat nokturnal
terhindar dari kompetisi secara langsung dengan siamang akibat pembagian
relung secara temporal. Walaupun demikian, mamalia nokturnal dapat
menyebabkan kompetisi karena aktivitas makan mamalia nokturnal dapat
mengurangi ketersediaan sumber daya bagi mamalia arboreal diurnal (Estrada &
Coates-Estrada 1985: 35). Tabel 2.3. berisi daftar famili dan spesies seluruh
mamalia yang terdapat di Way Canguk. Dari tabel tersebut, terlihat spesies-
spesies mamalia arboreal dan diurnal yang menjadi subjek penelitian. Berikut
adalah paparan singkat famili mamalia arboreal diurnal selain Hylobatidae yang
terdapat di Way Canguk, TNBBS.
Tabel 2.3. Daftar famili dan spesies mamalia di Way Canguk beserta pola
aktivitas dan arborealitas.
Famili Spesies Nama Indonesia N/D A/T
Manidae Manis javanica Trenggiling leusing N T
Tupaiidae Tupaia tana Tupai tanah D T
Tupaia minor* Tupai kecil D A, T
Tupaia glis* Tupai akar D A, T
Cynocephalidae Cynocephalus
variegatus
Kubung malaya N A
Pteropodidae Cynopterus brachyotis Codot krawar N A
Pteropus vampyrus Kalong besar N A
Hipposideridae Hipposideros diadema Barong besar N A
Molossidae Chriromeles torquatus Kelelawar moncong-babi N A
15
Universitas Indonesia
Tabel 2.3. (lanjutan)
Tarsiidae Tarsius bancanus Krabuku ingkat N A
Lorisidae Nycticebus coucang Kukang bukang N A
Cercopithecidae Macaca fascicularis* Monyet kra D A
Macaca nemestrina* Monyet beruk D A, T
Presbytis melalophos* Simpai/cecah D A
Trachypithecus
cristatus*
Lutung kelabu D A
Hylobatidae Hylobates agilis* Owa ungko D A
Symphalangus
syndactylus*
Siamang D A
Caniidae Cuon alpinus Anjing ajag N T
Ursidae Helarctos malayanus* Beruang madu D, N A, T
Mustelidae Lutra sp. Berang-berang D, N T
Lutrogale sp. Berang-berang D, N T
Aonyx sp. Sero D T
Martes flavigula* Musang leher-kuning D, N A
Mustela nudipes Musang kepala-putih D, N T
Viverridae Arctitis binturong Binturong N A, T
Arctogalidia trivirgata Musang akar N A
Cynogale bennettii Musang air N T
Paguma larvata Musang galing N A
Paradoxurus
hermaphroditus
Musang luwak N A
Viverra tangalunga Tenggalung malaya N A, T
Felidae Felis bengalensis Kucing kuwuk N A, T
Pardofelis marmorata Kucing batu N A, T
Panthera tigris Harimau loreng N T
Elephantidae Elephas maximus Gajah asia D, N T
Tapiridae Tapirus indicus Tapir tenuk N T
Rhinocerotidae Dicerorhinus
sumatrensis
Badak sumatra D T
Suidae Sus barbatus Babi berjenggot N T
Sus scrofa Babi celeng N T
Tragulidae Tragulus javanicus Pelanduk kancil D, N T
Tragulus napu Pelanduk napu D, N T
Cervidae Cervus unicolor Rusa sambar D, N T
Muntiacus muntjak Kijang muncak D T
16
Universitas Indonesia
Tabel 2.3. (lanjutan)
Sciuridae Callosciurus notatus* Bajing kelapa D A
Lariscus insignis Bajing-tanah bergaris-tiga D T
Ratufa affinis* Jelarang bilalang D A
Ratufa bicolor* Jelarang hitam D A
Sundasciurus hippurus* Bajing ekor-kuda D A
Sundasciurus lowii Bajing ekor-pendek D T
Sundasciurus tenuis* Bajing bancirot D A, T
Pteromyidae Petaurista petaurista Bajing terbang raksasa
merah
N A
Erinaceidae Echinosorex gymnurus Rindil bulan N T
Muridae Rattus exulans Tikus ladang N T
Leopoldamys sabanus Tikus raksasa ekor
panjang
N A, T
Chiropodomys sp. Nyingnying N A
Maxomys surifer Tikus duri merah N T
Hystricidae Hystrix brachyura Landak raya N T
Keterangan:
N = nokturnal
D = diurnal
A = arboreal
T = terestrial
* = spesies yang menjadi subjek penelitian
[Sumber: Payne 1980: 266—267; Payne & Francis 1985; Iqbal dkk. 2001: 14]
2.3.1. Famili Tupaiidae
Mamalia yang tergolong Tupaiidae memiliki morfologi seperti bajing,
tetapi dengan moncong yang lebih panjang. Tupaiidae memiliki tungkai depan
dan belakang dengan ukuran yang hampir sama (Lawlor 1979: 73). Famili ini
merupakan famili endemik di kawasan Indomalaya. Sebagian besar spesies yang
termasuk famili Tupaiidae bersifat arboreal dan diurnal. Tupaiidae tergolong
omnivora karena memakan buah dan juga invertebrata (Lawlor 1979: 73; Corbet
& Hill 1992: 46). Tiga spesies Tupaiidae terdapat di Way Canguk, yaitu Tupaia
tana, T. minor, dan T. glis. Dari ketiga spesies tupaiidae tersebut, hanya T. tana
yang tidak bersifat arboreal.
17
Universitas Indonesia
2.3.2. Famili Cercopithecidae
Cercopithecidae terdapat di kawasan Indomalaya (enam spesies) dan
Afrika tropis (sepuluh spesies). Semua spesies merupakan primata diurnal dan
arboreal. Secara umum, Cercopithecidae merupakan omnivora. Buah-buahan
merupakan komponen utama pakan dengan tambahan materi hewani dan
dedaunan (Corbet & Hill 1992: 165). Empat spesies Cercopithecidae yang
terdapat di Way Canguk adalah Macaca fascicularis, M. nemestrina, Presbytis
melalophos, dan Trachypithecus cristatus.
2.3.3. Famili Ursidae
Hanya terdapat satu spesies Ursidae di Way Canguk, yaitu beruang madu
(Helarctos malayanus). Mamalia ini aktif pada malam dan siang hari serta
merupakan omnivora yang memakan sarang lebah, rayap, hewan kecil, dan buah.
Beruang tersebut bersifat terestrial dan arboreal (Payne & Francis 1985: 275--
276).
2.3.4. Famili Mustelidae
Mustelidae memiliki tubuh yang memanjang, berkaki pendek, dan bersifat
terestrial (Corbet & Hill 1992: 194). Famili ini beranggotakan berang-berang,
musang, dan luwak. Dari lima spesies yang terdapat di Way Canguk, hanya
Martes flavigula yang bersifat diurnal dan arboreal. Martes flavigula pada
dasarnya diurnal, tetapi terkadang beraktivitas di malam hari. Spesies tersebut
merupakan generalis yang memakan berbagai vertebrata dan invertebrata kecil,
sarang lebah, serta nektar (Payne & Francis 1985: 276--277).
2.3.5. Famili Sciuridae
Famili Sciuridae terdiri atas tiga kelompok, yaitu bajing terbang, bajing
pohon, dan bajing tanah. Bajing terbang memiliki membran di antara tungkai-
18
Universitas Indonesia
tungkainya yang berfungsi untuk gliding. Pada umumnya, bajing terbang bersifat
nokturnal. Berbeda dengan bajing terbang, bajing pohon bersifat diurnal dan
tidak memiliki membran gliding. Sebagai adaptasi terhadap cara hidup arboreal,
bajing terbang dan bajing pohon memiliki kepala berbentuk bulat dengan mata
yang besar, cakar melengkung dan tajam, ekor panjang, dan pergelangan kaki
dengan kemampuan rotasi yang sangat baik. Bajing tanah bersifat terestrial
sehingga memiliki adaptasi yang berbeda dengan bajing terbang dan bajing
pohon, yaitu kepala yang relatif datar, cakar lurus, ekor pendek, dan pergelangan
kaki yang tidak terspesialisasi. Bajing tanah pada umumnya bersifat diurnal.
Sciuridae memakan daun, biji, buah, kulit kayu, kacang, resin, jamur, dan nektar.
Beberapa spesies juga memakan serangga (Lawlor 1979: 160). Dari delapan
spesies Sciuridae di Way Canguk, terdapat lima spesies yang merupakan
kompetitor potensial bagi siamang, yaitu Callosciurus notatus, Ratufa affinis,
R. bicolor, Sundasciurus hippurus, dan S. tenuis (Iqbal dkk. 2001: 14).
2.4. Stasiun Penelitian Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), diresmikan pada tahun
1981, merupakan salah satu taman nasional yang terletak di Pulau Sumatra.
Taman nasional tersebut meliputi kawasan seluas 3.568 km2 dan terletak pada dua
provinsi, yaitu Lampung dan Bengkulu. Kawasan taman nasional berbentuk
memanjang dengan batas kawasan sepanjang lebih dari 700 km. Hal tersebut
menyebabkan perambahan untuk penebangan dan perkebunan lebih mudah
terjadi. Letak geografis TNBBS adalah 4o31'--5
o57' LS dan 103
o34'--104
o43' BT.
TNBBS terfragmentasi menjadi tiga blok besar hutan akibat pembangunan dua
jalan lintas di sebelah utara dan selatan taman nasional. TNBSS merupakan
habitat penting bagi mamalia besar Sumatra seperti harimau, badak, dan gajah
(WCS-IP 2001: 5).
19
Universitas Indonesia
Gambar 2.4(1) Lokasi Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS.
Keterangan:
Stasiun Penelitian Way Canguk terdiri atas dua area penelitian--area barat laut dan
tenggara--yang mencakup wilayah seluas 900 ha dengan tipe ekosistem hutan
hujan tropis dataran rendah.
[Sumber: WCS-IP 2001: 7]
Stasiun Penelitian Way Canguk terletak di bagian selatan TNBBS,
meliputi area seluas 900 ha, termasuk 165 ha yang terbakar akibat El Niño-
Southern Oscillation (ENSO) pada tahun 1997 (Gambar 2.4(1)). Letak geografis
stasiun penelitian ini adalah 5o39'325'' LS dan 104
o24'21'' BT dengan ketinggian
0--100 mdpl. Stasiun Penelitian Way Canguk diresmikan pada bulan Maret 1997.
Tujuan pembangunan stasiun penelitian adalah sebagai tempat penelitian lapangan
jangka panjang dan pelatihan lapangan (WCS-IP 2001: 7).
Area penelitian di Way Canguk terbagi menjadi dua area yang dipisahkan
oleh Sungai Way Canguk, yaitu area di bagian barat laut dengan luas 200 ha dan
area di bagian tenggara dengan luas 600 ha (Gambar 2.4(2)). Pada area
penelitian, terdapat jalur-jalur melintang dan membujur dengan jarak antarjalur
200 m. Sebagian besar area merupakan hutan primer yang masih baik. Dalam
area penelitian terdapat pula blok-blok hutan yang mengalami gangguan akibat
pembalakan liar dan penggunaan lahan untuk pertanian (WCS-IP 2001: 7--8).
20
Universitas Indonesia
Berdasarkan karakteristik vegetasi, hutan di area penelitian diklasifikasikan
menjadi empat tipe habitat: hutan yang masih utuh dengan tajuk pohon tertutup
dan banyak pohon berukuran besar; hutan yang masih utuh dengan tajuk pohon
tertutup dan banyak pohon berukuran kecil; hutan yang terganggu dengan tajuk
pohon terbuka dan beberapa pohon berukuran kecil; serta hutan terganggu dengan
tajuk pohon terbuka dan beberapa pohon berukuran besar (Hadiprakarsa &
O‟Brien 2000 lihat WCS-IP 2001: 7).
Menurut Iqbal dkk. (2001: 13--16), Way Canguk merupakan habitat bagi
56 spesies mamalia yang tergolong ke dalam 26 famili. Primata yang umum
dijumpai adalah owa ungko (H. agilis), siamang (S. syndactylus), cecah (Presbytis
melalophos), dan beruk (Macaca nemestrina), sedangkan primata yang jarang
dijumpai adalah lutung kelabu (Trachypithecus cristatus) dan monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis). Beberapa spesies ungulata yang ada di Way
Canguk adalah kijang muncak (Muntiacus muntjak), rusa sambar (Cervus
unicolor), babi (Sus sp.), pelanduk kecil (Tragulus javanicus), dan pelanduk napu
(T. napu). Terdapat pula mamalia besar seperti gajah asia (Elephas maximus),
tapir tenuk (Tapirus indicus), dan badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis).
Keanekaragaman avifauna di Way Canguk meliputi kurang lebih 207
spesies burung dari 41 famili. Spesies burung yang umum adalah dari famili
Timaliidae (18 spesies), Pycnonotidae (17 spesies), Cuculidae (15 spesies),
Picidae (12 spesies), dan Nectarinidae (12 spesies). Selain itu, terdapat delapan
spesies burung rangkong (famili Bucerotidae) di Way Canguk (Prasetyaningrum
& Hadiprakarsa 2001: 19).
Way Canguk diketahui memiliki lebih dari 330 spesies pohon. Hutan di
Way Canguk merupakan mosaik antara hutan hutan primer, hutan sekunder, dan
hutan yang rusak. Hutan primer ditandai oleh spesies-spesies Dipterocarpaceae
seperti Dipterocarpus spp., Shorea spp., dan Anisoptera costata serta memiliki
tajuk yang tinggi dan rapat. Hutan sekunder pada umumnya dicirikan oleh
Bombax valetonii, Tetrameles nudiflora, dan Octomeles sumatrana yang tidak
dapat tumbuh maksimal di bawah naungan. Way Canguk merupakan habitat bagi
setidaknya delapan spesies Ficus spp. (Prasetyaningrum & Hadiprakarsa 2001:
21).
21
Universitas Indonesia
Gambar 2.4(2) Area penelitian tenggara (atas) dan area penelitian barat laut
(bawah) di Way Canguk.
Keterangan:
Perpotongan jalur-jalur melintang dan membujur membentuk petak-petak
berukuran 200 x 200 m. Sistem jalur tersebut memungkinkan pencatatan
koordinat secara manual berdasarkan sistem Kartesius.
[Sumber: WCS-IP 2001: 6]
22 Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan selama tiga bulan pada Februari--April 2014 di
Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS, Lampung. Kawasan terbagi menjadi
dua area, yaitu area penelitian barat laut dan tenggara (lebih sering disebut area
selatan dan utara), tetapi pengambilan data hanya dilakukan di area selatan. Pada
area tersebut, terdapat beberapa kelompok siamang yang telah terhabituasi dengan
manusia.
3.2. Alat, Bahan, dan Subjek Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kamera [Canon PowerShot
SX40 HS], teropong binokular [Nikon], rangefinder [Nikon], dan jam tangan
digital [Eiger LS-88]. Bahan yang digunakan adalah pensil, lembar pengamatan,
pita penanda, dan kantung plastik zip lock. Subjek penelitian adalah tiga
kelompok siamang yang terdapat di area penelitian selatan dan mamalia arboreal
lain yang ditemukan di dalam ruang jelajah kelompok siamang. Kelompok
siamang yang dipilih merupakan kelompok yang seluruh ruang jelajahnya hutan
primer untuk menghindari bias akibat perbedaan struktur habitat. Komposisi
kelompok siamang yang dipilih sebagai subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel
3.2. Individu yang masih bayi tidak diamati karena masih bergantung pada
induknya.
23
Universitas Indonesia
Tabel 3.2. Komposisi kelompok siamang subjek penelitian.
Nama
Kelompok
Individu
ke- Jenis kelamin Kelompok usia Keterangan
Bimo 1 Jantan Dewasa Diamati
2 Betina Dewasa Diamati
3 Betina Pradewasa Diamati
4 Jantan Remaja besar Diamati
5 Jantan Bayi Tidak diamati
Freddie 1 Jantan Dewasa Diamati
2 Betina Dewasa Diamati
3 Betina Pradewasa Diamati
Gatot 1 Jantan Dewasa Diamati
2 Betina Dewasa Diamati
3 Betina Pradewasa Diamati
4 (belum diketahui) Bayi Tidak diamati
Keterangan:
Individu yang diamati adalah individu yang sudah tidak bergantung pada induk.
Individu ke-4 pada kelompok Gatot belum diketahui jenis kelaminnya.
3.3. Cara Kerja
3.3.1. Pengambilan data
Pengambilan data pada penelitian ini terbagi menjadi dua tahap, yaitu
pengamatan perilaku siamang dan survei mamalia arboreal. Data yang akan
diperoleh dari pengamatan perilaku siamang adalah komposisi pakan siamang,
penggunaan habitat, dan interaksi dengan mamalia arboreal lain. Data yang akan
diperoleh dari survei mamalia arboreal adalah frekuensi pertemuan setiap spesies
mamalia arboreal yang berada di ruang jelajah siamang, komposisi pakan, dan
penggunaan habitat.
1. Pengamatan perilaku siamang
Metode focal instantaneous sampling digunakan untuk pengamatan
perilaku siamang. Focal sampling merupakan metode yang dilakukan dengan
mengamati dan mencatat perilaku satu individu saja pada waktu yang ditentukan.
Instantaneous sampling dilakukan dengan mencatat perilaku yang terjadi pada
24
Universitas Indonesia
setiap interval waktu tertentu (Martin & Bateson 2007: 48--61). Selain itu,
metode ad libitum digunakan untuk mencatat interaksi interspesifik antara
siamang dan mamalia arboreal lainnya.
Subjek penelitian adalah tiga kelompok siamang yang seluruh ruang
jelajahnya hutan primer (Tabel 3.2.). Ketiga kelompok tersebut telah terhabituasi
terhadap manusia karena telah menjadi subjek penelitian perilaku sejak tahun
1998 (Nurcahyo 1999). Setiap kelompok siamang diikuti selama empat hari
berturut-turut. Satu hari sebelum memulai pengamatan perilaku, pengamat
mencari kelompok siamang dan mengikutinya hingga siamang kembali ke pohon
tidur. Hal tersebut dilakukan agar pencatatan perilaku keesokan harinya dapat
dimulai saat siamang baru memulai aktivitas, yaitu sekitar pukul 06.00.
Pengamatan dilakukan sampai siamang kembali ke pohon tidur dan berhenti
beraktivitas, yaitu sekitar pukul 17.00 (Chivers 1974: 23--24). Pengulangan
pengamatan perilaku dilakukan satu kali dengan urutan kelompok yang sama.
Waktu pengamatan dibagi menjadi interval-interval dengan periode satu
jam. Setiap satu jam, individu focal diganti secara sistematis. Hal tersebut
dilakukan untuk menghindari bias yang diakibatkan oleh faktor lingkungan,
seperti hari dengan curah hujan tinggi dan hari cerah. Dalam satu jam interval
pengamatan, perilaku individu focal dicatat setiap interval waktu lima menit.
Perilaku yang dicatat diklasifikasikan ke dalam lima kategori yang diadaptasi dari
Gittins & Raemaekers (1980: 96--97) dan O‟Brien & Kinnaird (1997: 326), yaitu
istirahat, makan, bergerak, vokalisasi, dan sosial.
Dua komponen utama dalam pengamatan perilaku siamang yang berfungsi
untuk menjawab pertanyaan penelitian adalah informasi mengenai penggunaan
habitat dan pemilihan pakan. Data penggunaan habitat dan pemilihan pakan akan
dicatat bersamaan dengan pengamatan perilaku. Variabel yang dicatat untuk
menjelaskan penggunaan habitat adalah tipe substrat, diameter substrat,
ketinggian siamang dari tanah, ketinggian pohon, jarak dari pusat tajuk, lebar
tajuk, fenofase pohon, skor fenofase, strata, dan kategori tajuk. Variabel
pemilihan pakan yang dicatat adalah kategori makanan dan spesies yang dimakan.
Jika memungkinkan, waktu yang dibutuhkan untuk menangani makanan juga
dicatat.
25
Universitas Indonesia
2. Survei mamalia arboreal
Survei mamalia arboreal dilakukan dengan metode transek garis. Metode
tersebut dilakukan dengan menyusuri jalur berbentuk garis lurus dan mencatat
jarak tegak lurus dari hewan yang ditemui ke garis transek (Rudran dkk. 1996:
89). Data yang dicatat adalah waktu pertemuan, spesies mamalia, jumlah
individu, jarak tegak lurus, koordinat, perilaku, dan penggunaan habitat. Jika
individu yang ditemukan sedang makan, kategori makanan dan spesies yang
dimakan dicatat. Waktu penanganan makanan dicatat jika memungkinkan.
Variabel penggunaan habitat dan pemilihan pakan sama seperti pada pengamatan
siamang.
Survei transek garis dilakukan di antara pukul 06.00--12.00 karena
sebagian besar mamalia arboreal lebih aktif pada pagi hari daripada sore hari.
Area survei mencakup wilayah jelajah ketiga kelompok siamang subjek
penelitian. Survei hanya dilakukan pada transek hutan primer. Pembatasan
wilayah pengamatan pada wilayah jelajah primata subjek penelitian juga telah
dilakukan oleh Estrada & Coates-Estrada (1985: 29). Jalur transek dapat dilihat
pada Gambar 3.3.1. Wilayah survei mencakup tiga jalur transek melintang
dengan panjang setiap transek 1,4 km.
26
Universitas Indonesia
Gambar 3.3.1. Wilayah jelajah beberapa kelompok siamang yang telah
terhabituasi di area penelitian selatan.
[Sumber: telah diolah kembali dari Prasetyaningrum 2001: 34 dan WCS-IP 2001: 6]
Legenda
Daerah bekas kebakaran
tahun 1997
Ruang jelajah siamang
subjek penelitian
Ruang jelajah kelompok
siamang yang tidak diamati
Jalur transek survei
mamalia
27
Universitas Indonesia
3.3.2. Analisis data
Analisis data dilakukan menggunakan dua metode utama, yaitu analisis
tumpang-tindih relung dan analisis komponen utama (PCA, Principal Component
Analysis). Analisis tumpang-tindih relung dilakukan dengan menghitung besar
indeks tumpang-tindih Horn. Rumus untuk menghitung indeks tersebut adalah:
𝑅𝑜 = 𝑝𝑖𝑗+𝑝𝑖𝑘 log 𝑝𝑖𝑗+𝑝𝑖𝑘 − 𝑝𝑖𝑗 log 𝑝𝑖𝑗 − 𝑝𝑖𝑘 log 𝑝𝑖𝑘
2 log 2
Keterangan:
Ro = Indeks tumpang-tindih Horn untuk spesies j dan k
pij = Proporsi sumber daya i dari sumber daya total yang digunakan spesies j
(spesies mamalia arboreal selain siamang)
pik = Proporsi sumber daya i dari sumber daya total yang digunakan spesies k
(siamang)
Indeks tersebut dipilih karena bias yang dihasilkan dari perhitungan tidak besar
dibandingkan indeks-indeks lainnya (Krebs 1989: 386--390). Perhitungan indeks
tumpang-tindih Horn dilakukan dengan perangkat lunak Microsoft Office Excel
2007.
Principal Component Analysis (PCA) adalah metode statistik yang
menggunakan transformasi ortogonal untuk mengonversikan kumpulan variabel
yang saling berkorelasi menjadi variabel baru yang disebut komponen utama (PC,
Principal Component). Variabel baru yang dihasilkan bersifat independen satu
sama lain. Kelebihan PCA adalah walaupun jumlah variabel berkurang, PC yang
dihasilkan tetap memiliki informasi mengenai hubungan antarvariabel. Reduksi
jumlah variabel menjadi PC memungkinkan analisis aspek ekologis difokuskan
pada beberapa variabel yang terpenting saja (Janžekovič & Novak 2012: 127).
Pada penelitian ini, PCA dilakukan untuk dua tujuan, yaitu (1) mengetahui
tumpang-tindih penggunaan habitat antara siamang dan mamalia arboreal lainnya
serta (2) mengetahui kondisi habitat yang berhubungan dengan interaksi
interspesifik. Analisis dilakukan menggunakan perangkat lunak R i386 3.0.2 dan
package vegan (Oksanen 2013: 8—11).
Untuk tujuan pertama, analisis dilakukan pada 12 variabel penggunaan
habitat yang terangkum dalam Tabel 3.3.2(1). Analisis dengan PCA
menghasilkan PC yang kemudian digunakan untuk memproyeksikan variabel
28
Universitas Indonesia
berdasarkan koefisien korelasinya dengan PC. Variabel dengan korelasi tinggi
(≥ 0,5) akan digunakan untuk menganalisis tumpang-tindih penggunaan habitat.
Setelah itu, data diordinasi pada scatter plot yang terdiri atas dua PC sebagai
sumbu-x dan sumbu-y. Pengelompokan titik data berdasarkan spesies mamalia
arboreal dilakukan dengan membuat elips dengan interval kepercayaan 95%.
Tumpang-tindih penggunaan habitat dapat diketahui secara visual berdasarkan
tumpang-tindih elips. Analisis tambahan, yaitu uji perbedaan rerata, dilakukan
pada PC dan variabel-variabel yang berkorelasi tinggi (≥ 0,5) dengan PC jika
terdapat tumpang-tindih elips. Tujuan uji tersebut adalah untuk mengetahui
apakah terdapat perbedaan signifikan penggunaan habitat berdasarkan variabel
tertentu. Jika distribusi data normal, uji yang digunakan adalah uji Anova dan uji
t. Jika distribusi data tidak normal, uji Kruskal-Wallis dan uji Wilcoxon
digunakan.
Tabel 3.3.2(1) Variabel penggunaan habitat yang dianalisis dengan PCA untuk
mengetahui tumpang-tindih relung di antara mamalia arboreal.
Kode Variabel Keterangan Tipe Variabel
Ds Diameter substrat Kontinu
Hdt Ketinggian dari tanah Kontinu
Hp Ketinggian pohon Kontinu
Ratio_H Rasio Hdt:Hp Kontinu
Rsp Jarak dari pusat tajuk Kontinu
Rt Jari-jari tajuk Kontinu
Ratio_R Rasio Rsp:Rt Kontinu
Substrat Tipe substrat Kategori
Fenofase Fenofase pohon Kategori
Skor Skor fenofase Kategori
Strata Strata hutan Kategori
Tajuk Kategori tajuk pohon Kategori
29
Universitas Indonesia
Untuk tujuan kedua, analisis dilakukan pada 19 variabel kondisi habitat
yang terangkum dalam Tabel 3.3.2(2). Tahap-tahap analisis hampir sama dengan
tahap analisis penggunaan habitat. Namun, untuk tujuan kedua, pengelompokan
titik data dilakukan berdasarkan tiga kategori interaksi interspesifik, yaitu:
1. netral (toleransi), jika siamang dan spesies lain dapat berada pada satu
pohon tanpa terjadi agresi,
2. dominansi, jika spesies lain menjauhi siamang tanpa terjadi perilaku
agresif dari siamang, dan
3. agresi, jika terjadi perilaku agresif antarspesies, termasuk mengusir dan
berkelahi.
Hasil PCA kemudian digambarkan dalam bentuk scatter plot yang di-overlay
dengan elips untuk menggambarkan pengelompokan interaksi berdasarkan
kondisi terjadinya. Jika terdapat perbedaan kondisi habitat yang menyebabkan
ketiga kategori interaksi, elips yang terbentuk tidak tumpang-tindih. Demikian
pula sebaliknya.
Tabel 3.3.2(2) Variabel kondisi habitat yang dianalisis dengan PCA untuk
mengetahui perbedaan kondisi habitat yang berhubungan
dengan interaksi interspesifik.
Kode Variabel Keterangan Tipe Variabel
D Jarak antara siamang dengan kompetitor Kontinu
Ds1 Diameter substrat siamang Kontinu
Ds2 Diamater substrat kompetitor Kontinu
Hdt1 Ketinggian siamang dari tanah Kontinu
Hdt2 Ketinggian kompetitor dari tanah Kontinu
Hp Ketinggian pohon Kontinu
Selisih_H Selisih ketinggian siamang dan kompetitor Kontinu
Rsp1 Jarak siamang dari pusat tajuk Kontinu
Rsp2 Jarak kompetitor dari pusat tajuk Kontinu
Rt Jari-jari tajuk Kontinu
Selisih_R Selisih jarak siamang dan kompetitor dari
pusat tajuk
Kontinu
Subs1 Tipe substrat siamang Kategori
Subs2 Tipe substrat kompetitor Kategori
30
Universitas Indonesia
Tabel 3.3.2(2) (lanjutan)
Fenofase Fenofase pohon Kategori
Skor Skor fenofase Kategori
Strata1 Strata siamang Kategori
Strata2 Strata kompetitor Kategori
Tajuk1 Kategori tajuk siamang Kategori
Tajuk2 Kategori tajuk Kategori
31 Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan perilaku siamang telah dilakukan pada bulan Februari hingga
April 2014 dengan total 24 hari pengamatan dan meliputi 2.504 titik data yang
setara dengan 208,67 jam observasi. Selama periode pengamatan, terjadi dua
perubahan komposisi kelompok siamang. Pertama, individu pradewasa betina
dari kelompok Bimo memisahkan diri dari kelompoknya dan tidak diketahui
keberadaannya sampai akhir studi. Kedua, individu jantan dewasa pada kelompok
Freddie tercatat melakukan kopulasi dengan betina dewasa dan juga betina
pradewasa. Oleh karena itu, betina pradewasa tersebut selanjutnya dianggap
sebagai betina dewasa.
Survei mamalia arboreal telah dilakukan pada 23 hari pengamatan selama
periode penelitian. Hasil survei menunjukkan bahwa siamang hidup
berdampingan dengan sepuluh spesies mamalia arboreal (Lampiran 1). Namun,
hanya spesies yang melimpah yang dianalisis interaksinya dengan siamang.
Spesies yang hanya berjumlah sedikit tidak memberikan dampak kompetitif yang
besar. Mamalia arboreal yang akan dianalisis ditentukan berdasarkan frekuensi
pertemuan. Hewan dengan kelimpahan yang tinggi memiliki probabilitas
pertemuan yang besar sehingga frekuensi pertemuan merupakan indeks yang
dianggap representatif dan sederhana. Berdasarkan hasil survei (Lampiran 1),
mamalia arboreal dengan frekuensi pertemuan tertinggi (Gambar 4) adalah
Presbytis melalophos (51,16%), Callosciurus notatus (20,16%), dan Ratufa
bicolor (10,08%).
Dari kedua metode pengambilan data tersebut--pengamatan perilaku
siamang dan survei mamalia arboreal--telah diperoleh data yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan penelitian. Pemaparan hasil dan pembahasan dibagi menjadi
empat bagian, yaitu tumpang-tindih relung berdasarkan pakan, tumpang-tindih
relung berdasarkan penggunaan habitat, kompetisi interspesifik, dan partisi relung
antara siamang dan mamalia arboreal lainnya.
32
Universitas Indonesia
Gambar 4. Tiga spesies mamalia arboreal dengan frekuensi pertemuan tertinggi
di area survei.
Keterangan:
(a) = simpai (Presbytis melalophos)
(b) = bajing kelapa (Callosciurus notatus)
(c) = jelarang hitam (Ratufa bicolor)
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
(a) (b)
(c) 20 cm
10 cm 20 cm
33
Universitas Indonesia
4.1. Tumpang-tindih Relung Berdasarkan Pakan
Komposisi pakan siamang terdiri atas 72,52% buah, 23,57% daun, 3,77%
bunga, dan 0,14% materi hewani (Gambar 4.1(1)). Hasil tersebut menunjukkan
bahwa siamang memiliki preferensi yang tinggi terhadap buah-buahan. Selama
dua bulan pengamatan, siamang tercatat memakan 23 spesies buah, 22 spesies
daun, dan lima spesies bunga. Frekuensi dan keanekaragaman spesies pakan
siamang dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan penelitian Nurcahyo (1999:
24) yang dilakukan di lokasi yang sama, komposisi pakan siamang terdiri atas
52,07% buah, 42,62% daun, dan 5,3% bunga. Proporsi buah yang lebih besar
terjadi karena saat penelitian ini dilakukan, terdapat beberapa pohon pakan
siamang yang berbuah lebat seperti Beilschmiedia dyctioneura, Sandoricum
koetjape, Ficus altissima, dan spesies-spesies dari famili Annonaceae. Siamang
memakan lebih banyak daun jika ketersediaan buah sedikit (Elder 2009: 153).
Gambar 4.1(1) Diagram komposisi pakan tiga kelompok siamang subjek
penelitian.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Bimo Freddie Gatot Total
Invertebrata
Bunga
Daun
Buah
34
Universitas Indonesia
Gambar 4.1(2) Diagram perbandingan komposisi pakan siamang, simpai, bajing
kelapa, dan jelarang hitam.
Keterangan:
Angka menunjukkan jumlah data suatu spesies mamalia tercatat memakan
makanan dari kategori tertentu.
Komposisi pakan tiga spesies mamalia arboreal yang hidup di ruang
jelajah siamang dapat dilihat pada Gambar 4.1(2). Simpai diketahui memakan
73,91% buah dan 26,09% daun. Hasil tersebut berbeda dengan hasil yang
dilaporkan oleh Curtin (1980: 138) yang menyatakan bahwa simpai di Malaysia
memakan 48% buah dan 35% daun. Selama periode pengambilan data, bajing
kelapa hanya tercatat enam kali memakan buah dan satu kali memakan kayu
pohon. Berdasarkan hasil penelitian Payne (1980: 273) di hutan hujan tropis
Malaysia, komposisi pakan terbesar bajing kelapa adalah biji-bijian (> 40%),
dilanjutkan dengan kayu dan getah (30%), daun (25%), serta bunga dan materi
hewani. Jelarang hitam tercatat 12 kali memakan buah (92,31%) dan hanya sekali
memakan bunga (7,68%). Sifat frugivora jelarang hitam juga dilaporkan oleh
Payne (1980: 273--274) yang menyatakan bahwa hewan pengerat tersebut
memakan 81% buah. Perbedaan antara hasil pengamatan dengan literatur
kemungkinan besar disebabkan oleh jumlah sampel yang sedikit (< 30 per
Siamang Simpai Bajing Kelapa Jelarang Hitam
Kayu 0 0 1 0
Invertebrata 1 0 0 0
Bunga 27 0 0 1
Daun 168 6 0 0
Buah 520 17 6 12
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
35
Universitas Indonesia
spesies). Walaupun hasil pengamatan tidak meliputi seluruh variasi pakan, hasil
tersebut dianggap representatif untuk komponen pakan dominan ketiga spesies
mamalia arboreal.
Perhitungan indeks Horn dilakukan untuk mengetahui tumpang-tindih
relung antara siamang dan ketiga mamalia arboreal yang paling melimpah, yaitu
simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam. Kategori pakan materi hewani dan
kayu tidak diikutsertakan dalam perhitungan. Hasil perhitungan (Tabel 4.1(1) dan
Lampiran 3) menunjukkan bahwa tumpang-tindih relung terbesar terdapat di
antara siamang dan jelarang hitam (Ro = 0,418), sedangkan tumpang-tindih
terkecil terdapat di antara siamang dan simpai (Ro = 0,310). Spesies-spesies
tumbuhan pakan siamang yang juga merupakan sumber pakan bagi simpai, bajing
kelapa, dan jelarang hitam dirangkum pada Tabel 4.1(2). Berdasarkan tabel
tersebut, jumlah spesies pakan yang sama antara siamang dan simpai lebih banyak
daripada siamang dan jelarang hitam, tetapi indeks Horn menunjukkan
sebaliknya. Hal itu terjadi karena simpai memakan daun beberapa spesies
tumbuhan yang tidak dimakan oleh siamang.
Tabel 4.1(1) Tabel ringkasan catatan spesies pakan dan tumpang-tindih relung
berdasarkan pemilihan pakan.
Spesies Frekuensi
catatan
Jumlah
spesies
pakan
Jumlah spesies pakan
yang sama dengan
siamang
Indeks Horn
Siamang 715 50 - -
Simpai 23 13 6 0,310
Bajing kelapa 6 4 3 0,334
Jelarang hitam 13 7 4 0,418
36
Universitas Indonesia
Tabel 4.1(2) Daftar spesies tumbuhan pakan siamang yang juga dimakan oleh
simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam.
Kategori
pakan Spesies tumbuhan
Frekuensi catatan
Simpai Bajing
kelapa
Jelarang
hitam
Buah Adinandra acuminata 1 1
Beilschmiedia dyctioneura 3 2
Dracontomelon dao 1
Ficus altissima 3 3
Garcinia parvifolia 1
Mitrephora polypyrena 1
Neolamarckia cadamba 2
Sandoricum koetjape 4
Daun daun.liana.sp1* 1
daun.sp3* 1
Keterangan:
* Spesies tidak teridentifikasi
Data yang digunakan untuk menghitung indeks Horn merupakan data
komposisi pakan. Data komposisi pakan siamang diperoleh dari pengamatan
perilaku siamang dengan metode focal instantaneous sampling, sedangkan data
komposisi pakan simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam diperoleh saat
melakukan survei transek garis dan catatan ad libitum saat pengamatan siamang.
Oleh karena itu, frekuensi catatan food item siamang dan ketiga mamalia lainnya
berbeda dan hasil perhitungan indeks Horn dalam penelitian ini diduga lebih kecil
daripada tumpang-tindih relung yang sebenarnya. Walaupun bersifat
underestimate, perhitungan indeks Horn tetap bermanfaat sebagai perkiraan untuk
membandingkan tumpang-tindih relung secara relatif.
4.2. Tumpang-tindih Relung Berdasarkan Penggunaan Habitat
Siamang, simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam sering menggunakan
lapisan tajuk dan lapisan emergen hutan (Tabel 4.2(1)). Rerata ketinggian dari
permukaan tanah siamang (25,83 ± 0,34 m, 1 s.e., n = 656) lebih mirip dengan
jelarang hitam (26,04 ± 1,26 m, 1 s.e., n = 28) daripada dengan simpai (20,62 ±
1,16 m, 1 s.e., n = 34) dan bajing kelapa (20,59 ± 1,96 m, 1 s.e., n = 22). Substrat
37
Universitas Indonesia
yang paling sering digunakan oleh siamang, simpai, dan jelarang hitam adalah
cabang tersier, sedangkan bajing kelapa lebih sering menggunakan liana
(44,74%).
Tabel 4.2(1) Ringkasan variabel-variabel penggunaan habitat.
Variabel Siamang Simpai Bajing Kelapa
Jelarang Hitam
Variabel kontinu Rerata
Ds : diameter substrat (cm) 8,562 6,382 8,955 5,429
Hdt : ketinggian dari tanah (m) 25,83 20,62 20,59 26,04
Hp : ketinggian dari substrat (m) 32,30 25,85 25,68 32,50
Ratio_H : Rasio Hdt:Hp 0,8014 0,8167 0,7893 0,8085
Rsp : jarak dari pusat tajuk (m) 5,364 3,25 3,318 4,661
Rt : jari-jari tajuk (m) 8,569 6,324 6,682 8,036
Ratio_R : rasio Rsp:Rt 0,1146 0,4620 0,4770 0,5794
Variabel kategori
Substrat 1 : liana
2 : cabang tersier
3 : cabang sekunder
4 : cabang primer
5 : batang utama
14,35%
50,75%
13,55%
20,60%
0,75%
12,00%
52,00%
8,00%
26,00%
2,00%
44,74%
26,32%
5,26%
15,79%
7,89%
3,45%
62,07%
13,79%
20,69%
0,00%
Fenofase 0 : -
1 : daun baru
2 : bunga
3 : buah
66,98%
4,10%
0,83%
28,09%
70,00%
2,50%
0,00%
27,50%
71,79%
0,00%
0,00%
28,21%
46,88%
0,00%
3,13%
50,00%
Skor 0 : 0
1 : 1-25%
2 : 26--50%
3 : 51--75%
4 : 76--100%
60,32%
16,72%
11,61%
6,92%
4,43%
67,65%
14,71%
5,88%
11,76%
0,00%
71,05%
10,53%
7,89%
2,63%
7,89%
45,16%
35,48%
9,68%
6,45%
3,23%
Strata 1 : lantai hutan
2 : understorey layer
3 : middle canopy layer
4 : emergent layer
0,00%
0,56%
65,94% 33,49%
0,00%
2,67%
82,67% 14,67%
0,00%
23,08%
58,97% 17,95%
0,00%
0,00%
40,63% 59,38%
Tajuk 1 : bawah
2 : tengah
3 : atas
21,69%
61,28%
17,03%
16,95%
74,58%
8,47%
27,59%
62,07%
10,34%
18,75%
68,75%
12,50%
38
Universitas Indonesia
Hasil PCA pada 12 variabel yang mendeskripsikan penggunaan habitat
(Lampiran 4) menghasilkan dua PC, yaitu PC1 dan PC2, yang berkontribusi
terhadap 92,67% variansi total. Komponen utama yang dianalisis hanya kedua
PC tersebut karena PC3 hanya berperan sebesar 3,855% dari total variansi data.
Komponen yang berperan kurang dari 5% dapat diabaikan karena dianggap tidak
memiliki arti penting secara ekologis (Janžekovič & Novak 2012: 131). Oleh
karena itu, dua PC tersebut dianggap mewakili variasi penggunaan habitat pada
keempat spesies subjek penelitian. Komponen pertama (PC1) berkorelasi tinggi
dengan dua variabel, yaitu ketinggian pohon (Hp) dan ketinggian individu dari
permukaan tanah (Hdt). Komponen kedua (PC2) memiliki korelasi yang tinggi
dengan variabel diameter substrat (Ds). Gambar 4.2(1) menunjukkan proyeksi
variabel-variabel penggunaan habitat terhadap PC1 sebagai sumbu-x dan PC2
sebagai sumbu-y.
Ordinasi data pada sumbu PC1 dan PC2 (Gambar 4.2(2)) menunjukkan
bahwa siamang, simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam memiliki relung yang
saling bertumpang-tindih. Walaupun tidak terdapat pengelompokkan relung
secara visual (clustering) di antara keempat spesies mamalia tersebut, bajing
kelabu tampak memiliki kisaran relung terbesar dibandingkan ketiga spesies
lainnya. Sementara itu, jelarang hitam memiliki kisaran relung terkecil.
Uji Kruskal-Wallis (Lampiran 5) dilakukan untuk mengetahui perbedaan
penggunaan habitat di antara siamang, simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam.
Variabel yang diuji adalah PC1, PC2, dan variabel-variabel yang berkorelasi
tinggi dengan PC1 dan PC2, yaitu ketinggian pohon, ketinggian dari permukaan
tanah, dan diameter substrat. Uji dilakukan terpisah untuk masing-masing
variabel. Jika hasil uji Kruskal-Wallis menyatakan bahwa terdapat perbedaan, uji
Wilcoxon dilakukan untuk mengetahui spesies mamalia yang memiliki perbedaan
nilai rata-rata.
39
Universitas Indonesia
Gambar 4.2(1) Proyeksi variabel-variabel penggunaan habitat pada PC1
(sumbu-x) dan PC2 (sumbu-y).
Keterangan:
Ds1 = diameter substrat
Hdt = tinggi dari permukaan tanah
Hp = tinggi pohon
PC1 = komponen utama pertama
PC2 = komponen utama kedua
Rsp = jarak dari titik tengah tajuk
Rt = jari-jari tajuk pohon
40
Universitas Indonesia
Gambar 4.2(2) Ordinasi penggunaan habitat oleh empat spesies mamalia
arboreal terhadap PC1 (sumbu-x) dan PC2 (sumbu-y).
Keterangan:
elips abu-abu = relung simpai
elips hijau = relung jelarang hitam
elips kuning = relung bajing kelabu
elips merah = relung siamang
(s.d., 95% interval kepercayaan)
PC1 = komponen utama pertama
PC2 = komponen utama kedua
Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji Wilcoxon (Tabel 4.2(2)) menunjukkan
bahwa walaupun terdapat tumpang-tindih penggunaan habitat, keempat spesies
mamalia mengalami partisi relung pada beberapa dimensi relung. Siamang,
simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam tidak menunjukkan perbedaan signifikan
dalam penggunaan substrat (Kruskal-Wallis chi-squared = 7,1613, d.f. = 3,
41
Universitas Indonesia
p-value = 0,06693). Namun, terdapat perbedaan signifikan pada variabel
ketinggian pohon (Kruskal-Wallis chi-squared = 23,4439, d.f. = 3, p-value =
3,263e-05) dan ketinggian individu dari permukaan tanah (Kruskal-Wallis chi-
squared = 21,6214, d.f. = 3, p-value = 7,82e-05). Rerata ketinggian pohon yang
digunakan siamang adalah 32,30 ± 0,40 m (1 s.e., n = 656). Simpai dan bajing
kelapa menggunakan pohon dengan rerata ketinggian yang berbeda secara
signifikan dengan siamang (uji Wilcoxon, p-value < 0,05). Namun, jelarang
hitam menggunakan pohon dengan ketinggian yang tidak berbeda signifikan
dengan siamang (uji Wilcoxon, p-value > 0,05). Uji perbedaan rerata ketinggian
dari permukaan tanah juga menunjukkan hasil yang serupa. Rerata ketinggian dari
permukaaan tanah siamang dan jelarang hitam sama, tetapi berbeda secara
signifikan dengan simpai dan bajing kelapa. Hasil uji sesuai dengan visualisasi
distribusi data dengan diagram boxplot (Gambar 4.2(3)).
Tabel 4.2(2) Hasil uji Kruskal-Wallis variabel penggunaan habitat dengan faktor
keempat spesies mamalia arboreal.
Uji PC1 PC2 Hp Hdt Ds
Uji Kruskal-
Wallis
Kruskal-Wallis
chi-squared 24.5769 6.9063 23.4439 21.6214 7.1613
d.f. 3 3 3 3 3
p-value 1.893e-05*** 0.07495 3.263e-05*** 7.82e-05*** 0.06693
Uji Wilcoxon
(p-value)
S.syn-P.mel - - 0,000105*** 0,000316*** -
S.syn-C.not - - 0,002881** 0,002953** -
S.syn-R.bic - - 0,8688 0,7367 -
Keterangan:
C.not = Callosciurus notatus, bajing kelapa
Ds = diameter substrat
Hdt = tinggi dari permukaan tanah
Hp = tinggi pohon
P.mel = Presbytis melalophos, simpai
R.bic = Ratufa bicolor, jelarang hitam
S.syn = Symphalangus syndactylus, siamang
Kode signifikansi = 0 „***‟ 0,001 „**‟ 0,01 „*‟ 0,05
42
Universitas Indonesia
Gambar 4.2(3) Boxplot ketiga variabel yang berkorelasi tinggi dengan PC1 dan
PC2.
Keterangan:
Hp (ketinggian pohon) C.not P.mel R.bic S.syn
Minimal (garis terbawah) 12,00 12,00 18,00 12,00
Kuartil 1 (sisi terbawah persegi) 20,00 20,00 27,50 23,00
Median (garis tengah kotak) 23,00 22,50 31,50 33,00
Kuartil 2 (sisi teratas persegi) 35,50 29,75 37,25 41,00
Maksimal (garis teratas) 42,00 48,00 49,00 53,00
Hdt (ketinggian dari tanah) C.not P.mel R.bic S.syn
Minimal 10,00 12,00 15,00 9,00
Kuartil 1 14,50 15,25 21,75 18,00
Median 17,00 18,00 25,00 25,00
Kuartil 2 27,75 24,75 29,50 33,00
Maksimal 41,00 37,00 40,00 50,00
Hp (ketinggian pohon) Hdt (ketinggian dari tanah)
Ds (diameter substrat)
Ket
inggia
n (
m)
Ket
inggia
n (
m)
Dia
met
er (
cm)
43
Universitas Indonesia
Ds (diameter substrat) C.not P.mel R.bic S.syn
Minimal 1,00 1,00 1,00 1,00
Kuartil 1 2,25 2,25 3,00 3,00
Median 4,00 3,00 4,50 5,00
Kuartil 2 6,00 7,00 7,00 9,00
Maksimal 55,00 30,00 22,00 50,00
C.not = Callosciurus notatus, bajing kelapa
P.mel = Presbytis melalophos, simpai
R.bic = Ratufa bicolor, jelarang hitam
S.syn = Symphalangus syndactylus, siamang
4.3. Kompetisi Interspesifik antara Siamang dengan Tiga Spesies Mamalia
Arboreal
Organisme berbeda spesies yang hidup berdampingan di habitat yang
sama dan memiliki relung yang serupa berpotensi mengalami kompetisi. Oleh
karena itu, tumpang-tindih relung seringkali digunakan sebagai pendekatan untuk
mengetahui kompetisi interspesifik (Estrada & Coates-Estrada 1985: 35; Marshall
dkk. 2009:181; Cáceres & Machado 2013: 13). Kelebihan dari penelitian ini
adalah kompetisi tidak hanya disimpulkan secara tidak langsung melalui indeks
tumpang-tindih relung, melainkan juga disertai dengan observasi di lapangan
mengenai interaksi langsung yang terjadi antara dua spesies yang hidup
berdampingan. Pengamatan interaksi interspesifik berfungsi sebagai data
pelengkap untuk menganalisis hubungan antara tumpang-tindih relung dengan
kompetisi interspesifik. Walaupun demikian, penelitian ini memiliki beberapa
kekurangan. Pertama, penelitian hanya dilakukan selama dua bulan sehingga
kurang mencukupi untuk mendeteksi seluruh variasi temporal. Kedua, hasil
penelitian dapat meng-underestimate kompetisi antara siamang dengan kerabat
simpatriknya, yaitu owa ungko (Hylobates agilis) karena penelitian hanya
dilakukan pada skala kecil dan kepadatan owa ungko di area penelitian sangat
rendah.
Tiga spesies mamalia arboreal dengan frekuensi pertemuan tinggi dalam
ruang jelajah siamang, yaitu simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam, memiliki
relung yang bertumpang-tindih dengan siamang, baik dari segi penggunaan
44
Universitas Indonesia
habitat maupun pemilihan pakan. Tumpang-tindih relung tersebut memungkinkan
terjadinya kompetisi, baik secara langsung (kompetisi interferensi) maupun tidak
langsung (kompetisi eksploitatif).
Kompetisi interferensi terjadi saat siamang dan mamalia arboreal lain
mencari makanan di pohon yang sama dan menunjukkan agresi atau dominansi.
Selama pengamatan perilaku siamang, tercatat 57 interaksi antara siamang dan
spesies mamalia arboreal lainnya. Interaksi interspesifik tersebut meliputi 35
(61,40%) interaksi netral, 11 (19,30%) interaksi agresi, dan 11 (19,30%) interaksi
dominansi. Siamang tercatat berinteraksi dengan tujuh spesies mamalia arboreal
(Tabel 4.3(1)). Dari ketujuh spesies mamalia tersebut, frekuensi interaksi yang
tertinggi terjadi antara siamang dengan simpai (Presbytis melalophos, 22,81%, n
= 13). Mamalia arboreal yang cukup sering berinteraksi dengan siamang selain
simpai adalah bajing kelapa (Callosciurus notatus, 19,30%, n = 11), jelarang
hitam (Ratufa bicolor, 17,54%, n = 10), dan jelarang bilalang (Ratufa affinis,
12,28%, n = 7).
Tabel 4.3(1) Frekuensi interaksi interspesifik antara siamang dengan mamalia
arboreal lainnya.
Spesies Mamalia Frekuensi
Persentase Agresi Dominansi Netral Jumlah
Arctictis binturong
1 1 1,75%
Callosciurus notatus*
2 9 11 19,30%
Macaca fascicularis
1 1 1,75%
Presbytis melalophos* 7 1 5 13 22,81%
Ratufa affinis
6 1 7 12,28%
Ratufa bicolor* 1 2 7 10 17,54%
Sundasciurus hippurus 1
2 3 5,26%
Tidak teridentifikasi 2
9 11 19,30%
Jumlah 11
(19,30%)
11
(19,30%)
35
(61,40%)
57
Keterangan:
* = mamalia arboreal dengan frekuensi pertemuan tinggi di area survei.
Interaksi interspesifik dianalisis menggunakan metode PCA (Lampiran 6).
Data yang dianalisis hanya interaksi antara siamang dan tiga spesies mamalia
arboreal dengan frekuensi pertemuan tertinggi, yaitu simpai, bajing kelapa, dan
jelarang hitam. Hasil PCA menghasilkan tiga komponen utama, disebut PC1,
45
Universitas Indonesia
PC2, dan PC3, yang secara kumulatif berperan terhadap 88,62% dari total variansi
data. Komponen utama (PC) yang dipertimbangkan untuk diinterpretasikan hanya
tiga PC pertama karena PC keempat (PC4) hanya berperan sebesar 4,27% dari
total variansi data. Variabel yang memiliki korelasi tinggi dengan PC1 adalah
tinggi pohon (Hp), ketinggian siamang dari tanah (Hdt1), dan ketinggian
kompetitor dari tanah (Hdt2). Variabel yang memiliki korelasi tinggi dengan PC2
adalah diameter substrat siamang (Ds1) dan diameter substrat kompetitor (Ds2).
Komponen ketiga (PC3) berkorelasi tinggi dengan variabel-variabel yang sama
dengan PC2. Dalam pembahasan, PC3 tidak disertakan karena dianggap telah
diwakili oleh PC2. Gambar 4.3(1) memperlihatkan proyeksi antara variabel-
variabel penggunaan habitat dengan PC1 dan PC2. Semakin panjang vektor,
semakin besar kontribusi variabel yang diwakili vektor tersebut terhadap variansi
data. Semakin kecil sudut antara vektor dengan salah satu PC, semakin besar
korelasi antara variabel dengan PC tersebut.
Ordinasi pada sumbu PC1 dan PC2 (Gambar 4.3(2)) menunjukkan bahwa
elips yang terbentuk dari interaksi netral (s.d., 95% interval kepercayaan)
memiliki luas paling besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa interaksi netral
terjadi pada kondisi habitat yang lebih bervariasi dibandingkan interaksi agresi
dan dominansi. Uji Kruskal-Wallis dilakukan terhadap kedua PC dan variabel
yang berkorelasi tinggi dengan kedua PC untuk mengetahui perbedaan kondisi
habitat yang berhubungan dengan interaksi agresi, dominansi, dan netral
(Lampiran 7). Hasil uji menunjukkan bahwa untuk ketiga tipe interaksi, tidak
terdapat perbedaan kondisi habitat yang siginifikan (Tabel 4.3(2)).
46
Universitas Indonesia
Gambar 4.3(1) Proyeksi variabel-variabel kondisi habitat pada PC1 (sumbu-x)
dan PC2 (sumbu-y)
Keterangan:
D = jarak antara siamang dengan kompetitor
Ds1 = diameter substrat siamang
Ds2 = diameter substrat kompetitor
Hdt1 = ketinggian siamang dari tanah
Hdt2 = ketinggian kompetitor dari tanah
Hp = ketinggian pohon
PC1 = komponen utama pertama
PC2 = komponen utama kedua
Rsp1 = jarak siamang dari pusat tajuk
Rsp2 = jarak kompetitor dari pusat tajuk
Rt = jari-jari tajuk
47
Universitas Indonesia
Gambar 4.3(2) Ordinasi data interaksi interspesifik pada sumbu PC1 dan PC2.
Keterangan:
Elips biru = ordinasi interaksi dominansi
Elips hijau = ordinasi interaksi netral
Elips merah = ordinasi interaksi agresi
(s.d., 95% interval kepercayaan)
Tabel 4.3(2) Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap kedua PC dan variabel yang
berkorelasi tinggi dengan PC1 dan PC2.
Parameter PC1 PC2 Hdt1 Hdt2 Hp Ds1 Ds2
Kruskal-
Wallis chi-
squared
5,7899 0,8467 3,6357 3,7218 3,2466 2,1321 1,1768
d.f. 2 2 2 2 2 2 2
p-value 0,0553 0,8467 0,1624 0,1555 0,1972 0,3444 0,5552
Keterangan:
Ds1 = diameter substrat siamang
Ds2 = diameter substrat kompetitor
Hdt1 = ketinggian siamang dari tanah
Hdt2 = ketinggian kompetitor dari tanah Hp = ketinggian pohon
PC1 = komponen utama pertama
PC2 = komponen utama kedua
48
Universitas Indonesia
Perilaku agresi selalu diinisiasi oleh siamang dan ditujukan untuk
mengusir kompetitor dari sumber makanan. Siamang selalu memenangkan setiap
agresi karena memiliki ukuran tubuh yang lebih besar. Kompetitor siamang tidak
pernah tercatat memberikan respon perlawanan, melainkan selalu menjauh dengan
berpindah dahan atau berpindah ke pohon lain jika siamang melakukan agresi.
Kompetisi interferensi tidak hanya terjadi melalui perilaku agresi, tetapi juga
melalui interaksi dominansi. Kompetitor siamang pada umumnya akan merasa
terusik jika siamang mendekat walaupun siamang tidak menunjukkan perilaku
agresi. Hal tersebut menunjukkan bahwa mamalia arboreal lainnya mengenali
siamang sebagai kompetitor yang dominan. Ukuran tubuh siamang yang besar
merupakan faktor utama dominansi siamang terhadap mamalia arboreal lainnya.
Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian mengenai interaksi interspesifik di
antara mamalia arboreal di India. Menurut Sushma & Singh (2006: 488--489),
ukuran tubuh bukan faktor penting yang menyebabkan dominansi monyet bonnet
(Macaca radiata) terhadap monyet ekor singa (Macaca silenus) dan lutung Nilgiri
(Semnopithecus johnii), melainkan jumlah jantan dewasa dalam kelompok.
Ukuran tubuh siamang jauh lebih besar daripada ketiga mamalia arboreal lainnya
(Tabel 4.3(3)) sehingga dapat melebihi pengaruh jumlah individu.
Tabel 4.3(3) Perbandingan ukuran tubuh siamang, simpai, bajing kelapa, dan
jelarang hitam.
Spesies Ukuran tubuh Sumber
Siamang 800--900 mm Supriatna & Wahyono 2000: 293
Simpai 450--490 mm Supriatna & Wahyono 2000: 187
Bajing kelapa 175--223 mm Francis 2008: 331
Jelarang hitam 370--405 mm Francis 2008: 330
Interaksi netral antara siamang dan kompetitornya lebih sering terjadi
dibandingkan interaksi agresi dan dominansi. Siamang dan kompetitornya sering
berada pada pohon pakan yang sama tanpa terjadi perilaku interferensi sehingga
dapat diduga bahwa kompetisi interferensi yang terjadi antara siamang dan
mamalia arboreal tidak intens. Hasil PCA interaksi interspesifik tidak
menunjukkan adanya perbedaan kondisi habitat yang memfasilitasi interaksi
agresi, dominansi, dan toleransi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa interaksi
49
Universitas Indonesia
yang jarang terjadi (agresi dan dominansi) mungkin hanya bersifat sporadis.
Walaupun demikian, tidak terlihatnya pola yang memengaruhi interaksi mungkin
disebabkan oleh sedikitnya jumlah sampel interaksi (n = 57).
Interaksi interspesifik pada umumnya terjadi di pohon yang berbuah
(62,50% agresi, 60% dominansi, dan 90,48% netral, Lampiran 6). Menurut
Nurcahyo (1999: 37), siamang terkadang menunjukkan perilaku agresi terhadap
kompetitor, yaitu owa, beruk, rangkong, atau punai, jika buah sedikit. Namun,
berdasarkan pengamatan, perilaku agresi juga dapat terjadi saat kelimpahan buah
tinggi. Sebanyak 50% agresi terjadi di pohon dengan skor buah 50%--75%,
sementara hanya 12,50% agresi terjadi di pohon yang berbuah sedikit (1%--25%).
Interaksi dominansi dan netral juga tidak cenderung terjadi pada pohon dengan
kelimpahan buah tertentu (Lampiran 6).
Kompetisi eksploitatif terjadi jika perilaku suatu spesies mengurangi
ketersediaan sumber daya yang dapat digunakan oleh spesies lain. Estimasi
tumpang-tindih penggunaan sumber daya makanan menunjukkan bahwa spesies
yang paling berpotensi sebagai kompetitor bagi siamang adalah jelarang hitam.
Dibandingkan dengan simpai dan bajing kelapa, jelarang hitam lebih bersifat
frugivora. Oleh karena itu, komposisi pakan jelarang hitam lebih mirip dengan
siamang yang juga bersifat frugivora. Berdasarkan pengamatan di lapangan,
siamang membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk penanganan makanan
daripada jelarang hitam (Tabel 4.3(4)). Oleh karena itu, jumlah buah yang
tersedia bagi jelarang hitam akibat perilaku makan siamang lebih sedikit
dibandingkan sebaliknya. Dalam hal ini, dampak negatif kompetisi terhadap
jelarang hitam lebih besar. Pemilihan kategori makanan juga dapat memberikan
dampak kompetitif. Siamang diketahui memakan bunga Homalium grandiflorum,
sedangkan jelarang hitam memakan buahnya. Pemilihan kategori makanan yang
berbeda tersebut dapat menyebabkan pengurangan jumlah buah yang tersedia bagi
jelarang hitam.
50
Universitas Indonesia
Tabel 4.3(4) Perbandingan laju penanganan buah antara siamang dan
jelarang hitam.
Spesies Makanan
Laju Penanganan Buah (detik per buah)
Jelarang Hitam Siamang
Rerata Standar
Deviasi n Rerata
Standar
Deviasi n
Adinandra acuminata 30,333 8,505 3 6,197 2,354 6
Beilschmiedia dyctioneura 43,500 2,121 2 16,158 4,586 19
Ficus altissima 39,000 - 1 9,286 1,010 2
Sandoricum koetjape 100,000 43,841 2 25,628 14,192 7
Keterangan:
n = jumlah sampel (jumlah observasi)
Perbedaan preferensi kematangan buah juga merupakan salah satu
mekanisme kompetisi eksploitatif. Berdasarkan penelitian Marshall dkk. (2009:
181) di Kalimantan, bajing tiga warna (Callosciurus prevostii) lebih menyukai
buah dan biji yang belum matang sehingga mengurangi jumlah buah yang tersedia
untuk owa kalimantan (Hylobates albibarbis). Perilaku makan yang demikian
memberikan dampak kompetisi secara asimetris karena bajing tiga warna hanya
mengalami dampak kompetitif yang kecil dari owa kalimantan. Siamang di
TNBBS diketahui lebih menyukai buah yang matang. Salah satu kompetitor
siamang, yaitu bajing kelapa, pernah tercatat memakan buah yang belum matang
seperti buah Adinandra acuminata dan Garcinia parvifolia. Hal tersebut dapat
menyebabkan ketersediaan buah matang bagi siamang berkurang. Namun, hal
tersebut tampaknya tidak memberikan dampak kompetitif yang besar bagi
siamang. Hal ini akan dibahas lebih mendalam pada bagian 4.4.2.
4.4. Partisi Relung antara Siamang dan Kompetitornya
Siamang dan tiga spesies mamalia arboreal kompetitornya mengalami
tumpang-tindih relung, tetapi dapat hidup berdampingan di habitat yang sama
dengan populasi yang cukup tinggi. Menurut Sushma & Singh (2006: 489), jika
dua spesies memiliki tumpang-tindih relung yang tinggi dan kisaran relung yang
sempit, kemungkinan besar tidak dapat hidup berdampingan. Namun, dua spesies
dengan tumpang-tindih relung tinggi dan memiliki kisaran relung yang lebar dapat
51
Universitas Indonesia
hidup berdampingan karena mampu mengurangi kompetisi dengan memanfaatkan
sumber daya yang beragam dan tidak digunakan oleh kompetitornya. Siamang,
simpai, bajing kelabu, dan jelarang hitam dapat hidup berdampingan karena
terjadi partisi relung, baik berdasarkan penggunaan habitat maupun pemilihan
pakan.
4.4.1. Partisi Relung antara Siamang dan Simpai
Simpai merupakan salah satu spesies primata yang termasuk ke dalam
subfamili Colobinae, yaitu kelompok monyet pemakan daun. Komposisi pakan
Presbytis melalophos berdasarkan penelitian di Malaysia adalah 42,8% buah,
14,6% bunga, dan 42,6% daun (MacKinnon & MacKinnon 1980: 178) atau 48%
buah, 35% daun, dan 6% bunga (Curtin 1980:138). Karena memiliki preferensi
yang cukup tinggi pada daun, simpai mengalami tumpang-tindih relung
berdasarkan makanan yang rendah dengan siamang. Jika kelimpahan buah
rendah, simpai dapat memperbanyak konsumsi daun-daunan untuk mengurangi
kompetisi dengan frugivora lainnya, termasuk dengan siamang. Simpai memiliki
saluran pencernaan yang lebih kompleks dibandingkan primata lainnya dan
kelenjar air liur yang mampu memproduksi saliva dalam jumlah yang banyak.
Selain itu, saluran pencernaan simpai berukuran besar dan terdiri dari empat
ruang. Pada dua ruang pertama, terdapat bakteri simbion yang berfungsi
membantu pencernaan selulosa (Oates dkk. 1994 lihat Francesca dkk. 2006: 20).
Adaptasi anatomi tersebut memungkinkan simpai mencerna selulosa pada daun
dengan lebih efisien. Simpai juga diketahui memakan buah yang tidak dimakan
oleh siamang, yaitu Strombosia javanica.
Berdasarkan penggunaan habitat secara vertikal, simpai menggunakan
pohon dengan ketinggian rata-rata yang lebih rendah daripada siamang.
Perbedaan tersebut mengurangi kompetisi dalam hal penggunaan ruang. Anatomi
dan perilaku lokomosi simpai memungkinkan simpai untuk menjelajah
menggunakan substrat berukuran kecil yang terletak pada strata hutan bagian
bawah (Bennett & Davies 1994: 155). Massa tubuh siamang yang besar
menyebabkan siamang sulit bergerak menggunakan substrat yang kecil. Curtin
52
Universitas Indonesia
(1980: 141--143) juga menyatakan hasil yang serupa, yaitu simpai lebih sering
menjelajah dan makan pada strata tajuk hutan dan understorey layer, bahkan
terkadang ditemukan mencari makan di lantai hutan.
4.4.2. Partisi Relung antara Siamang dan Bajing Kelapa
Bajing kelapa merupakan spesies mamalia arboreal dengan kisaran relung
yang paling lebar dibandingkan dengan siamang, simpai, dan jelarang hitam.
Ukuran tubuh bajing kelapa yang kecil memungkinkan bajing kelapa
menggunakan seluruh bagian strata hutan. Seperti simpai, bajing kelapa lebih
sering ditemukan di ketinggian yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan
siamang. Payne (1980: 272) juga melaporkan hasil yang serupa. Bajing kelapa di
Kuala Lompat, Malaysia, dapat ditemukan pada ketinggian 0--37 meter, tetapi
lebih sering ditemukan pada bagian bawah hutan (6--12 meter). Dengan
demikian, pembagian relung berdasarkan penggunaan ruang terjadi melalui
penggunaan ketinggian yang lebih bervariasi dan preferensi pada bagian bawah
hutan oleh bajing kelapa.
Berdasarkan pemilihan pakan, bajing kelapa memiliki preferensi pakan
yang lebih bervariasi daripada siamang. Siamang lebih menyukai buah yang
berdaging, tetapi tidak pernah tercatat memakan biji-bijian. Sementara itu, bajing
kelapa diketahui memakan kedua kategori makanan tersebut (Payne 1980: 273).
Selain itu, siamang lebih sering memakan buah yang matang, sedangkan bajing
memakan buah yang matang dan belum matang (Payne 1980: 273). Perbedaan
pemilihan kematangan buah di satu sisi dapat menyebabkan kompetisi
eksploitatif. Spesies yang lebih menyukai buah yang belum matang dapat
mengurangi ketersediaan makanan bagi spesies yang lebih menyukai buah matang
(Marshall dkk. 2009: 181). Namun, di sisi lain dapat mengurangi probabilitas
terjadinya kompetisi interferensi karena kedua mamalia tersebut akan mengincar
buah dengan kematangan yang berbeda saat berada di satu pohon pakan.
Berdasarkan pengamatan, bajing kelapa dan siamang pernah tercatat makan di
pohon yang sama, yaitu Adinandra acuminata dan Garcinia parvifolia. Pada
kedua observasi tersebut, siamang hanya memakan buah yang sudah matang,
53
Universitas Indonesia
sedangkan bajing kelapa tercatat memakan buah yang belum matang. Selain
berdasarkan karakteristik buah dan kematangan buah, perbedaan pemilihan pakan
pada bajing dan siamang juga tampak pada tipe makanan minor. Bajing kelapa
diketahui memakan madu dan kayu pohon. Siamang tidak pernah tercatat
memakan kedua kategori makanan tersebut.
4.4.3. Partisi Relung antara Siamang dan Jelarang Hitam
Jelarang hitam merupakan kompetitor yang paling berpotensial bagi
siamang dibandingkan dua spesies kompetitor lainnya karena menunjukkan
penggunaan habitat dan pemilihan pakan paling serupa dengan siamang. Jelarang
hitam sering ditemukan pada tajuk pohon yang tinggi dan jarang ditemukan pada
ketinggian di bawah 15 meter. Ukuran tubuh jelarang hitam yang relatif besar
dibandingkan spesies bajing lainnya dapat menjadi penghalang untuk
menggunakan substrat berukuran kecil yang banyak terdapat pada understorey
layer. Hasil serupa juga dikemukakan oleh Payne (1980: 272). Jelarang hitam di
Kuala Lompat, Malaysia, lebih sering ditemukan pada lapisan tajuk tengah dan
atas.
Seperti siamang, jelarang hitam merupakan mamalia yang memiliki
preferensi tinggi pada buah. Komposisi pakan jelarang hitam di Kuala Lompat,
Malaysia, didominasi oleh buah dengan proporsi 81% (Payne 1980: 274).
Berdasarkan pengamatan, jelarang hitam memakan buah dengan kematangan yang
sama dengan siamang. Kemiripan preferensi sumber makanan yang demikian
meningkatkan potensi kompetisi antara siamang dan jelarang hitam. Namun,
jelarang hitam mampu memanfaatkan buah berkulit keras yang tidak dimakan
oleh siamang, seperti Homalium grandifolium. Pada keadaan keterbatasan buah,
jelarang hitam dapat memanfaatkan buah yang tidak disukai oleh siamang.
Berdasarkan penelitian Payne (1980: 275) di Kuala Lompat, perbedaan utama
komposisi pakan antara siamang dan jelarang hitam adalah konsumsi daun yang
tinggi pada siamang, sedangkan daun hanya menyusun 0,5% dari komposisi
pakan jelarang hitam. Berdasarkan penelitian ini, jelarang hitam tidak pernah
tercatat memakan daun.
54 Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Kompetisi interferensi dan eksploitatif terjadi antara siamang dan tiga
spesies mamalia arboreal, yaitu simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam.
Kompetisi yang terjadi di antara keempat spesies tersebut tidak kuat
sehingga masih memungkinkan keempat spesies tersebut hidup
berdampingan.
2. Terdapat tumpang-tindih relung antara siamang dan simpai, bajing kelapa,
serta jelarang hitam, baik berdasarkan penggunaan habitat maupun
pemilihan pakan. Di antara ketiga spesies mamalia arboreal tersebut,
siamang dan jelarang hitam memiliki tumpang-tindih relung yang terbesar.
Walaupun demikian, terdapat pula partisi pada beberapa dimensi relung,
yaitu keragaman sumber makanan dan penggunaan strata secara vertikal.
5.2. Saran
1. Untuk mengetahui dampak kompetisi interspesifik terhadap komunitas
mamalia arboreal, perlu dilakukan penelitian dalam skala yang lebih besar
yang mencakup berbagai gradien lingkungan dan gradien kepadatan
mamalia.
2. Vertebrata arboreal lainnya, seperti burung frugivora, diduga berkompetisi
dengan siamang. Oleh karena itu, penelitian mengenai pengaruh aktivitas
vertebrata arboreal terhadap ketersediaan makanan bagi siamang perlu
dilakukan.
3. Penelitian skala lokal yang dilakukan dalam jangka waktu yang lama
dibutuhkan untuk mengetahui apakah terjadi pergeseran relung (niche
shift) akibat pergantian musim.
55
Universitas Indonesia
4. Upaya konservasi yang dapat dilakukan untuk melestarikan mamalia
arboreal adalah dengan memastikan bahwa terdapat pohon-pohon bertajuk
tinggi dan kontinu sebagai ruang gerak dan sumber daya makanan. Oleh
karena itu, harus dipastikan tidak terjadi penebangan pohon secara ilegal.
56 Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
Bartlett, T. 1999. The gibbons. Dalam: Dolhinow, P. & A. Fuentes (eds.). 1999.
The nonhuman primates. Mayfield Publishing Company, California: 44--
49.
Beaudrot, L., M.J. Struebig, E. Meijaard, S. van Balen, S. Husson & A.J.
Marshall. 2013. Co-occurence patterns of Bornean vertebrates suggest
competitive exclusion is strongest among distantly related species.
Oecologia 173: 1053--1062.
Beaudrot, L., M.J. Struebig, E. Meijaard, S. van Balen, S. Husson, C.F. Young &
A.J. Marshall. 2012. Interspecific interactions between primates, birds,
bats, and squirrels may affect community composition on Borneo.
American Journal of Primatology 75(2): 170--185.
Bennett, E.L. & A.G. Davies. 1994. The ecology of Asian colobines. Dalam:
Davies, A.G. & J.F. Oates. (eds.). 1994. Colobine monkeys: Their ecology,
behaviour and evolution. Cambridge University Press, Cambridge: 129--
172.
Birch, L.C. 1957. The meaning of competition. The American Naturalist 91(856):
5--18.
Brandon-Jones, D., A.A. Eudey, T. Geissmann, C.P. Groves, D.J. Melnick, J.C.
Morales, M. Shekelle & C.B. Stewart. 2004. Asian primate classification.
International Journal of Primatology 25(1): 97--164.
Cáceres, N.C. & A.F. Machado. 2013. Spatial, dietary and temporal niche
dimensions in ecological segregation of two sympatric, congeneric
marsupial species. The Open Ecology Journal 6: 10--23.
Caughley, G. & A.R.E. Sinclair. 1994. Wildlife ecology and management.
Blackwell Science, Oxford: 334 hlm.
Chivers, D.J. 1974. The siamang in Malaya: A field study of a primate in tropical
rain forest. S. Karger AG, Basel: xiii + 331 hlm.
57
Universitas Indonesia
Chivers, D.J. & J.J. Raemaekers. 1980. Long-term changes in behaviour. Dalam:
Chivers, D.J. (ed.). 1980. Malayan forest primates: Ten years' study in
tropical rain forest. Plenum Press, New York: 209--260.
Connell, J.H. 1961. The influence of interspecific competition and other factors in
the distribution of the barnacle Chthamalus stellatus. Ecology 42(4): 710--
723.
Corbet, G.B. & J.E. Hill. 1992. The mammals of the Indomalayan region: A
systematic review. Oxford University Press, New York: 488 hlm.
Curtin, S.H. 1980. Dusky and banded leaf monkeys. Dalam: Chivers, D.J. (ed.).
1980. Malayan forest primates: Ten years' study in tropical rain forest.
Plenum Press, New York: 107--146.
Elder, A.A. 2009. Hylobatids diets revisited: The importance of body mass, fruit
availability, and interspecific competition. Dalam: Lappan, S. & D.J.
Whittaker (eds.). 2009. The gibbons: New perspectives on small ape
socioecology and population biology. Springer Science+Business Media,
New York: 133--159.
Estrada, A. & R. Coates-Estrada. 1985. A preliminary study of resource overlap
between howling monkeys (Alouatta palliata) and other arboreal mammals
in the tropical rain forest of Los Tuxtlas, Mexico. American Journal of
Primatology 9: 27--37.
Francesca, B., S. Gary, P. Polina & S. Roscoe. 2006. Cytotaxonomy of colobinae
primates with reference to reciprocal chromosome painting of Colobus
guereza and humans. Dalam: Sineo, L. & R. Stanyon. (eds.). 2006.
Primate cytogenetics and comparative genomics. Firenze University Press,
Firenze: 19--32.
Francis, C.M. 2008. A field guide to the mammals of South-east Asia. New
Holland Publishers (UK) Ltd., London: 397 hlm.
Gittins, S.P. & J.J. Raemaekers. 1980. Siamang, lar and agile gibbons. Dalam:
Chivers, D.J. (ed.). 1980. Malayan forest primates: Ten years' study in
tropical rain forest. Plenum Press, New York: 63--105.
Hadiprakarsa, Y. 2000. Studi komposisi pakan jenis-jenis burung rangkong (Aves:
Bucerotidae) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Skripsi
58
Universitas Indonesia
S1 Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Pakuan, Bogor: xiv + 71 hlm.
Holt, R.D. 1987. On the relation between niche overlap and competition: The
effect of incommensurable niche dimensions. Oikos 48(1): 110--114.
Hutchinson, G.E. 1957. Concluding remarks. Cold Spring Harbor Symposia on
Quantitative Biology 22: 415--427.
Iqbal, M., M.D. Prasetyaningrum & Y. Hadiprakarsa. 2001. Sekilas flora dan
fauna. Dalam: WCS-IP. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dalam
ruang dan waktu: Laporan penelitian 2000--2001. WCS-IP/PHKA,
Bogor: 12--28.
Janžekovič, F. & T. Novak. 2012. PCA-A powerful method for analyze ecological
niches. Dalam: Sanguansat, P. (ed.). 2012. Principal component analysis-
Multidisciplinary applications. InTech, Rijeka: 127--142.
Krebs, C.J. 1989. Ecological methodology. Benjamin/Cummings, California.
Krohne, D.T. 2001. General ecology 2nd. Brooks/Cole, Pacific Grove: xvi + 512
hlm.
Lappan, S. 2008. Male care of infants in a siamang (Symphalangus syndactylus)
pupolation including socially monogamous and polyandrous groups.
Behav Ecol Sociobiol 62(8): 1307--1317.
Lawlor, T.E. 1979. Handbook to the orders and families of living mammals. Mad
River Press, Eureka, California: 327 hlm.
LBN-LIPI. 1982. Beberapa jenis mamalia. LBN-LIPI, Bogor: 117 hlm.
MacArthur, R.H. 1972. Geographical ecology: Patterns in the distribution of
species. Harper & Row, Publishers, Inc., New York: xviii + 269 hlm.
MacKinnon, J.R. & K.S. MacKinnon. 1980. Niche differentiation in a primate
community. Dalam: Chivers, D.J. (ed.). 1980. Malayan forest primates:
Ten years' study in tropical rain forest. Plenum Press, New York: 167--
190.
Markhamah, S. 2007. Pola pergerakan siamang (Hylobates syndactylus) di Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan. Skripsi S1 Konservasi Sumber Daya
Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: xv +
124 hlm.
59
Universitas Indonesia
Marshall, A.J., C.H. Cannon & M. Leighton. 2009. Competition and niche overlap
between gibbons (Hylobates albibarbis) and other frugivorous vertebrates
in Gunung Palung National Park, West Kalimantan, Indonesia. Dalam:
Lappan, S. & D.J. Whittaker (eds.). 2009. The gibbons: New perspectives
on small ape socioecology and population biology. Springer
Science+Business Media, New York: 161--188.
Martin, P. & P. Bateson. 2007. Measuring behaviour: An introductory guide.
Cambridge University Press, Cambridge: xi + 176 hlm.
Miller, G.S. 1933. The classification of the gibbons. Journal of Mammalogy 14:
158—159.
Napier, J.R. & P.H. Napier. 1985. The natural history of the primates. MIT Press,
Cambridge : 200 hlm.
Nowak, R.M. 1999. Walker's primates of the world. The Johns Hopkins
University Press, Baltimore: 225 hlm.
Nurcahyo, A. 1999. Studi perilaku harian siamang (Hylobates syndactylus) di
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Skripsi S1 Konservasi
Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta: xii + 58 hlm.
O‟Brien, T.G. & M.F. Kinnaird. 1997. Behavior, diet, and movements of the
sulawesi crested black macaque (Macaca nigra). International Journal of
Primatology 18(3): 321--351.
O‟Brien, T.G., M.F. Kinnaird, A. Nurcahyo, M. Iqbal & M. Rusmanto. 2004.
Abundance and distribution of sympatric gibbons in a threatened Sumatran
rain forest. International Journal of Primatology 25(2): 267--284.
O‟Brien, T.G., M.F. Kinnaird, A. Nurcahyo, M. Prasetyaningrum & M. Iqbal.
2003. Fire, demography and the persistence of siamang (Symphalangus
syndactylus: Hylobatidae) in a Sumatran rainforest. Animal conservation
6: 115--121.
Oksanen, J. 2013. Multivariate Analysis of Ecological Communities in R: vegan
tutorial. 43 hlm. http://cc.oulu.fi/~jarioksa/opetus/metodi/vegantutor.pdf,
18 Februari 2014, pk. 17.45 WIB.
60
Universitas Indonesia
Payne, J. & C.M. Francis. 1985. A field guide to the mammals of Borneo. The
Sabah Society, Sabah: 332 hlm.
Payne, J.B. 1980. Competitors. Dalam: Chivers, D.J. (ed.). 1980. Malayan forest
primates: Ten years' study in tropical rain forest. Plenum Press, New
York: 261--277.
Pianka, E.R. 1973. The structure of lizard communities. Annual Review of
Ecology and Systematics 4: 53--74.
Pianka, E.R. 1974. Niche overlap and diffuse competition. Proceedings of the
National Academy of Sciences of the United States of America 71(5):
2141--2145.
Prasetyaningrum, M.D. 2001. Studi populasi siamang (Hylobates syndactylus) dan
owa (H. agilis). Dalam: WCS-IP. 2001. Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan dalam ruang dan waktu: Laporan penelitian 2000--2001. WCS-
IP/PHKA, Bogor: 29--34.
Prasetyaningrum, M.D. & Y. Hadiprakarsa. 2001. Sekilas flora dan fauna. Dalam:
WCS-IP. 2001. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dalam ruang dan
waktu: Laporan penelitian 2000--2001. WCS-IP/PHKA, Bogor: 12--28.
Rohde, K. 2013. The importance of interspecific competition in regulating
communities, equilibrium vs. nonequilibrium. Dalam: Rohde, K. (ed.).
2013. The balance of nature and human impact. Cambridge University
Press, Cambridge: 371--383.
Rudran, R., T.H. Kunz, C. Southwell, P. Jarman & A.P. Smith. 1996.
Observational techniques for nonvolant mammals. Dalam: Wilson, D.E.,
F.R. Cole, J.D. Nichols, R. Rudran & M.S. Foster. (eds.). 1996. Measuring
and monitoring biological diversity: Standard methods for mammals.
Smithsonian Institution Press, Washington:81—104.
Rusmanto, M. 2001. Pemencaran biji oleh siamang (Hylobates syndactylus,
Rafles 1821) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung,
Sumatra, Indonesia. Skripsi S1 Biologi Fakultas Biologi Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta: xviii + 87 hlm.
Schoener, T.W. 1983. Field experiments on interspecific competition. The
American Naturalist 122(2): 240--285.
61
Universitas Indonesia
Supriatna, J. & E.H. Wahyono. 2000. Panduan lapangan primata Indonesia.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: xxii + 332 hlm.
Sushma, H.S. & M. Singh. 2006. Resource partitioning and interspecific
interactions among sympatric rain forest arboreal mammals of the Western
Ghats, India. Behavioral Ecology 17(3): 479--490.
Tokeshi, M. 1999. Species coexistence: Ecological and evolutionary perspectives.
Blackwell Science Ltd., Tokyo: vii + 439 hlm.
WCS-IP. 2001. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dalam ruang dan waktu:
Laporan penelitian 2000--2001. WCS-IP/PHKA, Bogor: 149 hlm.
Wiens, J.A. 1989. The ecology of bird communities. Press Syndicate of the
University of Cambridge, Cambridge: xvii + 539 hlm.
Wiens, J.J. & C.H. Graham. 2005. Niche conservatism: Integrating evolution,
ecology, and conservation biology. Annual Review of Ecology, Evolution,
and Systematics 36: 519--539.
Wilson, C.C. & W.L. Wilson. 1976. Behavioral and morphological variation
among primate populations in Sumatra. Yearbook of Physical
Anthropology 20: 207--233.
62
Universitas Indonesia
Lampiran 1
Daftar sepuluh mamalia arboreal yang terdapat di ruang jelajah siamang
Famili Nama Spesies Frekuensi
Pertemuan
Persentase
Frekuensi
Hylobatidae Hylobates agilis 6 4,65%
Cercopithecidae Macaca fascicularis 2 1,55%
Macaca nemestrina 7 5,43%
Presbytis melalophos 66 51,16%
Ursidae Helarctos malayanus 1 0,78%
Sciuridae Callosciurus notatus 26 20,16%
Ratufa affinis 3 2,33%
Ratufa bicolor 13 10,08%
Sundasciurus hippurus 2 1,55%
Sundasciurus tenuis 1 0,78%
- sp1 1 0,78%
- sp2 1 0,78%
Jumlah 129
Lampiran 2
Daftar kategori dan spesies pakan siamang, simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam
Kategori Famili Nama Spesies Kode
Frekuensi
Bajing
kelapa Simpai
Jelarang
hitam Siamang
Bunga
0 0 1 27
Annonaceae Cananga odorata Baill. C.odo 0 0 1 0
Annonaceae Mitrephora polypyrena Miq. M.pol 0 0 0 1
Flacourtiaceae Homalium grandiflorum Benth. H.gra 0 0 0 5
Moraceae Antiaris toxicaria A.tox 0 0 0 9
bunga.liana.sp2 liana.sp2 0 0 0 10
bunga.liana.sp1 liana.sp1 0 0 0 2
Buah
6 17 12 520
Anacardiaceae
Dracontomelon dao (Blanco) Merr. &
Rolfe D.dao 0 1 0 56
Annonaceae buah.liana.sp4 liana.sp4 0 0 0 1
Annonaceae buah.liana.sp5 liana.sp5 0 0 0 1
Annonaceae Mitrephora polypyrena Miq. M.pol 0 1 0 90
Annonaceae Polyalthia lateriflora King P.lat 0 0 0 3
Celastraceae Bhesa paniculata Arn. B.fan 0 1 0 2
Clusiaceae Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. G.par 1 0 0 61
Flacourtiaceae Homalium grandiflorum Benth. H.gra 0 0 1 0
63
Un
ivers
itas In
do
nesia
Lampiran 2 (lanjutan)
Lauraceae Beilschmiedia dyctioneura B.dic 0 3 2 64
Lauraceae Litsea sp. Litsea.sp. 0 0 0 9
Meliaceae Sandoricum koetjape Merr. S.kat 0 0 4 55
Moraceae Antiaris toxicaria A.tox 0 0 0 27
Moraceae Artocarpus dadah Miq. A.dad 0 0 0 3
Moraceae Ficus altissima Bl. F.alt 3 0 3 34
Olacaceae Strombosia javanica Bl. S.jav 0 8 1 0
Rubiaceae Neolamarckia cadamba N.cad 0 3 0 4
Sapindaceae Xerospermum noronhianum (Blume) Blume X.nor 0 0 0 2
Theaceae Adinandra acuminata A.acu 1 0 1 48
Vitaceae Cissus repens C.rep 0 0 0 38
Benalu benalu 0 0 0 8
buah.liana.sp2 buah.liana.sp2 0 0 0 1
buah.liana.sp3 buah.liana.sp3 0 0 0 6
buah.liana.sp6 buah.liana.sp6 0 0 0 4
Liana anggur liana.anggur 0 0 0 2
Liana sirih liana.sirih 0 0 0 1
C.sp1 1 0 0 0
Daun
0 6 0 168
Annonaceae Meiogyne virgata Miq. M.vir 0 0 0 2
Annonaceae Mitrephora polypyrena Miq. M.pol 0 0 0 17
Annonaceae Polyalthia grandiflora P.gra 0 0 0 26
Annonaceae Stelechocarpus burahol Bl. S.bur 0 0 0 19
Un
ivers
itas In
do
nesia
64
Lampiran 2 (lanjutan)
Celastraceae Lophopetalum javanicum L.jav 0 1 0 0
Ebenaceae Diospyros sp. Diospyros 0 0 0 1
Lauraceae Litsea umbellata (Lour.) Merr. L.umb 0 1 0 0
Moraceae Antiaris toxicaria A.tox 0 0 0 2
Moraceae Artocarpus anisophyllus Miq. A.ani 0 0 0 6
Moraceae Ficus altissima Bl. F.alt 0 0 0 14
Moraceae Ficus caulocarpa Miq. F.cau 0 0 0 13
Moraceae Ficus globosa F.glo 0 0 0 4
Moraceae Ficus microcarpa Linn.f. F.mic 0 0 0 3
Moraceae Ficus stupenda F.stu 0 0 0 14
Polygalaceae Xantophyllum flavescens X.fla 0 1 0 0
Sterculiaceae Pterospermum javanicum P.jav 0 0 0 3
Sterculiaceae Pterygota alata P.ala 0 1 0 0
daun.liana.sp1 daun.liana.sp1 0 1 0 28
daun.liana.sp2 daun.liana.sp2 0 0 0 2
daun.liana.sp3 daun.liana.sp3 0 0 0 4
daun.liana.sp8 daun.liana.sp8 0 0 0 1
Liana kupu-kupu liana.kupu 0 0 0 3
Liana sirih liana.sirih(?) 0 0 0 1
daun.sp1 0 0 0 1
daun.sp2 0 0 0 1
daun.sp3 0 1 0 3
Total
6 23 13 715
Un
ivers
itas In
do
nesia
65
66
Universitas Indonesia
Lampiran 3
Perhitungan indeks tumpang-tindih Horn
Tujuan :
Mengetahui tumpang-tindih relung antara siamang dan ketiga kompetitornya
berdasarkan penggunaan sumber makanan.
Rumus :
𝑅𝑜 = 𝑝𝑖𝑗+𝑝𝑖𝑘 log 𝑝𝑖𝑗+𝑝𝑖𝑘 − 𝑝𝑖𝑗 log 𝑝𝑖𝑗 − 𝑝𝑖𝑘 log 𝑝𝑖𝑘
2 log 2
Keterangan :
Ro = Indeks tumpang-tindih Horn untuk spesies j dan k
pij = Proporsi sumber daya i dari sumber daya total yang digunakan spesies j
pik = Proporsi sumber daya i dari sumber daya total yang digunakan spesies k
Perhitungan :
Telah diketahui keragaman dan frekuensi penggunaan sumber makanan siamang,
simpai, bajing kelapa, dan jelarang hitam. Data terdapat pada Lampiran 1.
Dengan menggunakan Microsoft Excel 2007, matriks berikut dibuat:
Lampiran 3 (lanjutan)
Spesies Makanan pij pik pij + pik (pij+pik).log(pij+pik)
pik.log(pik) pik.log(pik)
C.not P.mel R.bic S.syn A B C A B C A B C
Bunga
Cananga odorata
Baill. 0,00 0,00 0,08 0,00 0,00 0,00 0,08 0,00 0,00 -0,20 0,00 0,00 0,00 -0,20
Mitrephora
polypyrena Miq. 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00
Homalium
grandiflorum Benth. 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,03 -0,03 -0,03 -0,03 0,00 0,00 0,00
Antiaris toxicaria 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,06 -0,06 -0,06 -0,06 0,00 0,00 0,00
bunga.liana.sp2 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,06 -0,06 -0,06 -0,06 0,00 0,00 0,00
bunga.liana.sp1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00
Buah
Dracontomelon dao
(Blanco) Merr. &
Rolfe 0,00 0,04 0,00 0,08 0,08 0,12 0,08 -0,20 -0,26 -0,20 -0,20 0,00 -0,14 0,00
buah.liana.sp4 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00
buah.liana.sp5 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00
Mitrephora
polypyrena Miq. 0,00 0,04 0,00 0,13 0,13 0,17 0,13 -0,26 -0,30 -0,26 -0,26 0,00 -0,14 0,00
Polyalthia
lateriflora King 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00
Bhesa paniculata
Arn. 0,00 0,04 0,00 0,00 0,00 0,05 0,00 -0,02 -0,14 -0,02 -0,02 0,00 -0,14 0,00
Garcinia parvifolia
(Miq.) Miq. 0,17 0,00 0,00 0,09 0,25 0,09 0,09 -0,35 -0,21 -0,21 -0,21 -0,30 0,00 0,00
Un
ivers
itas In
do
nesia
67
Un
ivers
itas In
do
nesia
Lampiran 3 (lanjutan)
Homalium
grandiflorum Benth. 0,00 0,00 0,08 0,00 0,00 0,00 0,08 0,00 0,00 -0,20 0,00 0,00 0,00 -0,20
Beilschmiedia
dyctioneura 0,00 0,13 0,15 0,09 0,09 0,22 0,24 -0,22 -0,33 -0,34 -0,22 0,00 -0,27 -0,29
Litsea sp. 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,06 -0,06 -0,06 -0,06 0,00 0,00 0,00
Sandoricum
koetjape Merr. 0,00 0,00 0,31 0,08 0,08 0,08 0,38 -0,20 -0,20 -0,37 -0,20 0,00 0,00 -0,36
Antiaris toxicaria 0,00 0,00 0,00 0,04 0,04 0,04 0,04 -0,12 -0,12 -0,12 -0,12 0,00 0,00 0,00
Artocarpus dadah
Miq. 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00
Ficus altissima Bl. 0,50 0,00 0,23 0,05 0,55 0,05 0,28 -0,33 -0,14 -0,36 -0,14 -0,35 0,00 -0,34
Strombosia javanica Bl. 0,00 0,35 0,08 0,00 0,00 0,35 0,08 0,00 -0,37 -0,20 0,00 0,00 -0,37 -0,20
Neolamarckia cadamba 0,00 0,13 0,00 0,01 0,01 0,14 0,01 -0,03 -0,27 -0,03 -0,03 0,00 -0,27 0,00
Xerospermum noronhianum
(Blume) Blume 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00
Adinandra
acuminata 0,17 0,00 0,08 0,07 0,23 0,07 0,14 -0,34 -0,18 -0,28 -0,18 -0,30 0,00 -0,20
Cissus repens 0,00 0,00 0,00 0,05 0,05 0,05 0,05 -0,16 -0,16 -0,16 -0,16 0,00 0,00 0,00
Benalu 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,05 -0,05 -0,05 -0,05 0,00 0,00 0,00
buah.liana.sp2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00
buah.liana.sp3 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,04 -0,04 -0,04 -0,04 0,00 0,00 0,00
buah.liana.sp6 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,03 -0,03 -0,03 -0,03 0,00 0,00 0,00
Liana anggur 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00
68
Un
ivers
itas In
do
nesia
Lampiran 3 (lanjutan)
Liana sirih 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00
C.sp1 0,17 0,00 0,00 0,00 0,17 0,00 0,00 -0,30 0,00 0,00 0,00 -0,30 0,00 0,00
Daun
Meiogyne virgata Miq. 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00
Mitrephora polypyrena Miq. 0,00 0,00 0,00 0,02 0,02 0,02 0,02 -0,09 -0,09 -0,09 -0,09 0,00 0,00 0,00
Polyalthia grandiflora 0,00 0,00 0,00 0,04 0,04 0,04 0,04 -0,12 -0,12 -0,12 -0,12 0,00 0,00 0,00
Stelechocarpus burahol Bl. 0,00 0,00 0,00 0,03 0,03 0,03 0,03 -0,10 -0,10 -0,10 -0,10 0,00 0,00 0,00
Lophopetalum javanicum 0,00 0,04 0,00 0,00 0,00 0,04 0,00 0,00 -0,14 0,00 0,00 0,00 -0,14 0,00
Diospyros sp. 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00
Litsea umbellata
(Lour.) Merr. 0,00 0,04 0,00 0,00 0,00 0,04 0,00 0,00 -0,14 0,00 0,00 0,00 -0,14 0,00
Antiaris toxicaria 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00
Artocarpus
anisophyllus Miq. 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,04 -0,04 -0,04 -0,04 0,00 0,00 0,00
Ficus altissima Bl. 0,00 0,00 0,00 0,02 0,02 0,02 0,02 -0,08 -0,08 -0,08 -0,08 0,00 0,00 0,00
Ficus caulocarpa
Miq. 0,00 0,00 0,00 0,02 0,02 0,02 0,02 -0,07 -0,07 -0,07 -0,07 0,00 0,00 0,00
Ficus globosa 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,03 -0,03 -0,03 -0,03 0,00 0,00 0,00
Ficus microcarpa
Linn.f. 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00
Ficus stupenda 0,00 0,00 0,00 0,02 0,02 0,02 0,02 -0,08 -0,08 -0,08 -0,08 0,00 0,00 0,00
69
Lampiran 3 (lanjutan)
Xantophyllum
flavescens 0,00 0,04 0,00 0,00 0,00 0,04 0,00 0,00 -0,14 0,00 0,00 0,00 -0,14 0,00
Pterospermum
javanicum 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00
Pterygota alata 0,00 0,04 0,00 0,00 0,00 0,04 0,00 0,00 -0,14 0,00 0,00 0,00 -0,14 0,00
daun.liana.sp1 0,00 0,04 0,00 0,04 0,04 0,08 0,04 -0,13 -0,21 -0,13 -0,13 0,00 -0,14 0,00
daun.liana.sp2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00
daun.liana.sp3 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 -0,03 -0,03 -0,03 -0,03 0,00 0,00 0,00
daun.liana.sp8 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00
Liana kupu-kupu 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,02 -0,02 -0,02 0,00 0,00 0,00
Liana sirih 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00
daun.sp1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00
daun.sp2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01 -0,01 -0,01 0,00 0,00 0,00
daun.sp3 0,00 0,04 0,00 0,00 0,00 0,05 0,00 -0,02 -0,15 -0,02 -0,02 0,00 -0,14 0,00
Total -3,92 -4,84 -4,34 -3,15 -1,24 -2,13 -1,78
Keterangan:
A = pasangan bajing kelapa (j) dengan siamang (k)
B = pasangan simpai (j) dengan siamang (k)
C = pasangan jelarang hitam (j) dengan siamang (k)
C.not = Callosciurus notatus, bajing kelapa
P.mel = Presbytis melalophos, simpai
R.bic = Ratufa bicolor, jelarang hitam
S.syn = Symphalangus syndactylus, siamang
Un
ivers
itas In
do
nesia
70
71
Universitas Indonesia
Lampiran 3 (lanjutan)
A. Tumpang tindih relung antara siamang dengan bajing kelapa
𝑅𝑜 =(−3,92)− −1,24 −(−3,15)
2 log 2= 0,34
B. Tumpang tindih relung antara siamang dengan simpai
𝑅𝑜 =(−4,84)− −2,13 −(−3,15)
2 log 2= 0,32
C. Tumpang tindih relung antara siamang dengan jelarang hitam
𝑅𝑜 =(−4,34)− −1,78 −(−3,15)
2 log 2= 0,42
Catatan:
Indeks Horn yang disajikan pada Tabel 4.1.3 sedikit berbeda dengan hasil
perhitungan di atas karena angka-angka yang tertera pada Lampiran 4 dibulatkan
sampai dua angka di belakang koma.
72
Universitas Indonesia
Lampiran 4
Analisis variabel penggunaan habitat oleh siamang dan tiga spesies mamalia
arboreal menggunakan metode PCA
Tujuan:
1. Mengetahui tumpang-tindih relung antara siamang dan ketiga
kompetitornya.
2. Mengetahui variabel habitat yang memengaruhi penggunaan habitat oleh
siamang dan ketiga kompetitornya.
Perangkat Lunak :
R i386 3.0.2 dan package vegan
Cara Kerja:
(Kode perintah tercetak dengan tinta merah, sedangkan hasil pengolahan data dari
software R tercetak dengan tinta biru.)
> nicheall<-na.omit(read.csv("d://my documents//k u l i a h//a skripsi bro//data//skripsi-attempt-1//nichesiamangall.csv", fill=T, header=T)) > niche.pca<-prcomp(nicheall[,9:20]) > summary(niche.pca) Importance of components: PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6 PC7 Standard deviation 13.9355 9.2861 3.41570 2.42504 1.53839 0.9691 0.79045 Proportion of Variance 0.6417 0.2849 0.03855 0.01943 0.00782 0.0031 0.00206 Cumulative Proportion 0.6417 0.9267 0.96522 0.98465 0.99247 0.9956 0.99764 PC8 PC9 PC10 PC11 PC12 Standard deviation 0.66907 0.42907 0.24117 0.15538 0.02815 Proportion of Variance 0.00148 0.00061 0.00019 0.00008 0.00000 Cumulative Proportion 0.99912 0.99973 0.99992 1.00000 1.00000 > plot(niche.pca)
73
Universitas Indonesia
Lampiran 4 (lanjutan)
> niche.pca$rotation[,1:2] PC1 PC2 Substrat -0.0019856484 0.053837401 Ds 0.2831382598 0.945322157 Hdt 0.5780518105 -0.217643046 Hp 0.7134523632 -0.161807935 Ratio_H 0.0002579607 -0.002510699 Rsp 0.1579014648 -0.172241415 Rt 0.2223206755 0.003974630 Ratio_R -0.0032768882 -0.001820082 Fenofase 0.0238857352 -0.002303395 Skor 0.0272532737 0.008357209 Strata 0.0306110878 -0.002568085 Tajuk 0.0070813153 -0.011957716 > niche.rda<-rda(nicheall[,9:20]) > niche.rda Call: rda(X = nicheall[, 9:20]) Inertia Rank Total 302.6 Unconstrained 302.6 12 Inertia is variance
niche.pca
Va
ria
nce
s
05
01
00
15
0
74
Universitas Indonesia
Lampiran 4 (lanjutan) Eigenvalues for unconstrained axes: PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6 PC7 PC8 1.942e+02 8.623e+01 1.167e+01 5.881e+00 2.367e+00 9.391e-01 6.248e-01 4.477e-01 PC9 PC10 PC11 PC12 1.841e-01 5.816e-02 2.414e-02 7.923e-04 > biplot(niche.rda, display="sp")
> biplot(niche.rda, display="sites") > ordiellipse(niche.rda, nicheall$Kode_sp, conf=0.95, draw="line", show.groups="S.syn", col="red", lwd=2) > ordiellipse(niche.rda, nicheall$Kode_sp, conf=0.95, draw="line", show.groups="P.mel", col="grey", lwd=2) > ordiellipse(niche.rda, nicheall$Kode_sp, conf=0.95, draw="line", show.groups="C.not", col="yellow", lwd=2) > ordiellipse(niche.rda, nicheall$Kode_sp, conf=0.95, draw="line", show.groups="R.bic", col="green", lwd=2) >
75
Universitas Indonesia
Lampiran 4 (lanjutan)
Ringkasan variabel-variabel penggunaan habitat yang dianalisis dengan
metode PCA
Kode Variabel Seluruh
Data
Siamang Simpai Bajing
Kelapa
Jelarang
Hitam
Ds
Min.
Median
Mean
Max.
SD
1,000
5,000
8,355
55,000
9,629
1,000
5,000
8,562
50,000
9,733
1,000
3,000
6,382
30,000
7,177
1,000
4,000
8,955
55,000
13,542
1,000
4,500
5,429
22,000
4,316
76
Universitas Indonesia
Lampiran 4 (lanjutan)
Hdt
Min.
Median
Mean
Max.
SD
9,00
25,00
25,44
50,00
8.60
9,00
25,00
25,83
50,00
8.63
12,00
18,00
20,62
37,00
6.79
10,00
17,00
20,59
41,00
9.17
15,00
25,00
26,04
40,00
6.69
Hp
Min.
Median
Mean
Max.
SD
12,00
32,00
31,81
53,00
10.19
12,0
33,0
32,3
53,0
10.14
12,00
22,50
25,85
48,00
10.27
12,00
23,00
25,68
42,00
9.17
18,00
31,50
32,50
49,00
8.54
Ratio_H
Min.
Median
Mean
Max.
SD
0,2560
0,8050
0,8020
1,1880
0.1023
0,2560
0,8050
0,8014
1,1880
0.1031
0,6250
0,8118
0,8167
1,000
0.0904
0,4762
0,7899
0,7893
0,9762
0.1111
0,5625
0,8205
0,8085
0,9756
0.0922
Rsp
Min.
Median
Mean
Max.
SD
0,00
5,00
5,18
17,00
3.79
0,000
5,000
5,364
17,000
3.816
0,00
2,00
3,25
16,00
3.74
0,000
3,000
3,318
9,000
2.662
0,000
4,500
4,661
11,000
2.906
Rt
Min.
Median
Mean
Max.
SD
2,000
8,000
8,389
17,000
3.783
2,000
8,000
8,569
17,000
3.709
2,000
5,000
6,324
17,000
4.663
2,000
6,000
6,682
14,000
3.643
2,000
8,000
8,036
17,000
3.501
Ratio_R
Min.
Median
Mean
Max.
SD
0,000
0,1100
0,1589
1,000
0.171
0,0260
0,1030
0,1146
0,4580
0.0617
0,0000
0,3667
0,4620
1,0000
0.3287
0,0000
0,4615
0,4770
1,000
0.2924
0,0000
0,5470
0,5794
1,0000
0.2887
Substrat
1 : liana
2 : cabang tersier
3 : cabang sekunder
4 : cabang primer
5 : batang utama
14,72%
50,48%
13,26%
20,64%
0,90%
14,35%
50,75%
13,55%
20,60%
0,75%
12,00%
52,00%
8,00%
26,00%
2,00%
44,74%
26,32%
5,26%
15,79%
7,89%
3,45%
62,07%
13,79%
20,69%
0,00%
77
Universitas Indonesia
Lampiran 4 (lanjutan)
Fenofase
0 : -
1 : daun baru
2 : bunga
3 : buah
66,91%
3,96%
0,82%
28,31%
66,98%
4,10%
0,83%
28,09%
70,00%
2,50%
0,00%
27,50%
71,79%
0,00%
0,00%
28,21%
46,88%
0,00%
3,13%
50,00%
Skor
0 : 0
1 : 1-25%
2 : 26--50%
3 : 51--75%
4 : 76--100%
60,50%
16,81%
11,37%
6,98%
4,34%
60,32%
16,72%
11,61%
6,92%
4,43%
67,65%
14,71%
5,88%
11,76%
0,00%
71,05%
10,53%
7,89%
2,63%
7,89%
45,16%
35,48%
9,68%
6,45%
3,23%
Strata
1 : lantai hutan
2 : understorey layer
3 : middle canopy layer
4 : emergent layer
0,00%
0,98%
66,01%
33,01%
0,00%
0,56%
65,94%
33,49%
0,00%
2,67%
82,67%
14,67%
0,00%
23,08%
58,97%
17,95%
0,00%
0,00%
40,63%
59,38%
Tajuk
1 : bawah
2 : tengah
3 : atas
21,61%
61,73%
16,67%
21,69%
61,28%
17,03%
16,95%
74,58%
8,47%
27,59%
62,07%
10,34%
18,75%
68,75%
12,50%
78
Universitas Indonesia
Lampiran 5
Analisis penggunaan habitat dengan uji Kruskal-Wallis dan uji Wilcoxon
Tujuan :
Mengetahui perbedaan penggunaan habitat antara siamang dan tiga spesies
mamalia arboreal lainnya.
Perangkat Lunak :
R i386 3.0.2
Hipotesis :
1. Uji Kruskal-Wallis
Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata variabel penggunaan habitat di
antara keempat spesies mamalia.
Ha : Setidaknya terdapat satu spesies yang memiliki rerata variabel
penggunaan habitat berbeda secara signifikan dengan spesies lainnya.
2. Uji Wilcoxon
Ho : Rerata variabel penggunaan habitat antara siamang dan salah satu
mamalia arboreal lainnya (simpai/bajing kelapa/jelarang hitam) tidak
berbeda secara signifikan.
Ha : Rerata variabel penggunaan habitat antara siamang dan salah satu
mamalia arboreal lainnya (simpai/bajing kelapa/jelarang hitam) berbeda
secara signifikan.
Kriteria pengambilan keputusan:
p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima
p-value ≥ 0,05 : Ho diterima
Kode signifikansi = 0 „***‟ 0,001 „**‟ 0,01 „*‟ 0,05
79
Universitas Indonesia
Lampiran 5 (lanjutan)
Cara Kerja :
(Kode perintah tercetak dengan tinta merah, hasil pengolahan data dari software R
tercetak dengan tinta biru, dan keterangan tercetak dengan tinta hitam.)
> nicheall<-na.omit(read.csv("d://my documents//k u l i a h//a skripsi bro//data//skripsi-attempt-1//nichesiamangall.csv", fill=T, header=T)) > niche.pca<-prcomp(nicheall[,9:20]) > nichepc<-niche.pca$x[,1:2] > head(nicheall) Tgl Jam Cuaca Kode_sp Masalah Data X Y Substrat Ds Hdt Hp 3 27/02/2014 7:28 CB P.mel sip bs 1093 177 4 30 30 48 5 27/02/2014 8:02 CB P.mel sip bs 1093 177 2 6 35 48 6 27/02/2014 12:21 CB P.mel sip bs 1117 265 3 20 35 48 7 27/02/2014 12:53 CB P.mel sip bs 1117 265 3 30 33 48 10 03/03/2014 9:37 CB R.bic sip bs 1427 86 2 3 23 25 11 03/03/2014 9:49 CB C.not sip bs 1427 86 4 6 21 25 Ratio_H Rsp Rt Ratio_R Fenofase Skor Strata Tajuk 3 0.6250000 5 17 0.2941176 3 3 4 1 5 0.7291667 16 17 0.9411765 3 3 4 2 6 0.7291667 5 17 0.2941176 3 3 4 2 7 0.6875000 7 17 0.4117647 3 3 4 1 10 0.9200000 5 9 0.5555556 3 3 3 2 11 0.8400000 4 9 0.4444444 3 3 3 2 > dataniche<-nicheall[,1:4] > dataniche.pc<-cbind(dataniche, nichepc) > summary(nicheall$Kode_sp) C.not P.mel R.bic S.syn 22 34 28 656 > kruskal.test(PC1~Kode_sp, data=dataniche.pc) Kruskal-Wallis rank sum test data: PC1 by Kode_sp Kruskal-Wallis chi-squared = 24.5769, df = 3, p-value = 1.893e-05***
Kesimpulan: p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima
Ha : Setidaknya terdapat satu spesies yang memiliki rerata PC1 berbeda secara signifikan
dengan spesies lainnya.
> kruskal.test(PC2~Kode_sp, data=dataniche.pc) Kruskal-Wallis rank sum test data: PC2 by Kode_sp Kruskal-Wallis chi-squared = 6.9063, df = 3, p-value = 0.07495
Kesimpulan:
p-value ≥ 0,05 : Ho diterima
Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata PC2 di antara keempat spesies mamalia.
> kruskal.test(Hdt~Kode_sp, data=nicheall) Kruskal-Wallis rank sum test data: Hdt by Kode_sp Kruskal-Wallis chi-squared = 21.6214, df = 3, p-value = 7.82e-05***
Kesimpulan: p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima
Ha : Setidaknya terdapat satu spesies yang memiliki rerata ketinggian dari tanah (Hdt) yang
berbeda secara signifikan dengan spesies lainnya.
80
Universitas Indonesia
Lampiran 5 (lanjutan)
> kruskal.test(Hp~Kode_sp, data=nicheall) Kruskal-Wallis rank sum test data: Hp by Kode_sp Kruskal-Wallis chi-squared = 23.4439, df = 3, p-value = 3.263e-05***
Kesimpulan:
p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima
Ha : Setidaknya terdapat satu spesies yang memiliki rerata ketinggan pohon (Hp) berbeda
secara signifikan dengan spesies lainnya. > kruskal.test(Ds~Kode_sp, data=nicheall) Kruskal-Wallis rank sum test data: Ds by Kode_sp Kruskal-Wallis chi-squared = 7.1613, df = 3, p-value = 0.06693
Kesimpulan:
p-value ≥ 0,05 : Ho diterima
Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata diameter substrat (Ds) yang digunakan keempat
spesies mamalia. > siamang<-subset(nicheall, subset=Kode_sp=="siamang") > pmel<-subset(nicheall, subset=Kode_sp=="P.mel") > rbic<-subset(nicheall, subset=Kode_sp=="R.bic") > cnot<-subset(nicheall, subset=Kode_sp=="C.not") > wilcox.test(ssyn$Hdt, pmel$Hdt) Wilcoxon rank sum test with continuity correction data: ssyn$Hdt and pmel$Hdt W = 15230.5, p-value = 0.0003155*** alternative hypothesis: true location shift is not equal to 0
Kesimpulan:
p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima
Ha : Rerata ketinggian dari tanah (Hdt) antara siamang (ssyn) dan simpai (pmel) berbeda
secara signifikan.
> wilcox.test(ssyn$Hdt, cnot$Hdt) Wilcoxon rank sum test with continuity correction data: ssyn$Hdt and cnot$Hdt W = 9900, p-value = 0.002953** alternative hypothesis: true location shift is not equal to 0
Kesimpulan:
p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima
Ha : Rerata ketinggian dari tanah (Hdt) antara siamang (ssyn) dan bajing kelapa (cnot)
berbeda secara signifikan.
81
Universitas Indonesia
Lampiran 5 (lanjutan)
> wilcox.test(ssyn$Hdt, rbic$Hdt) Wilcoxon rank sum test with continuity correction data: ssyn$Hdt and rbic$Hdt W = 8839.5, p-value = 0.7367 alternative hypothesis: true location shift is not equal to 0
Kesimpulan:
p-value ≥ 0,05 : Ho diterima
Ha : Rerata ketinggian dari tanah (Hdt) antara siamang (ssyn) dan jelarang hitam (rbic) tidak
berbeda secara signifikan.
> wilcox.test(ssyn$Hp, pmel$Hp) Wilcoxon rank sum test with continuity correction data: ssyn$Hp and pmel$Hp W = 15530.5, p-value = 0.0001055*** alternative hypothesis: true location shift is not equal to 0
Kesimpulan:
p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima
Ha : Rerata ketinggian pohon (Hp) antara siamang (ssyn) dan simpai (pmel) berbeda secara
signifikan.
> wilcox.test(ssyn$Hp, cnot$Hp) Wilcoxon rank sum test with continuity correction data: ssyn$Hp and cnot$Hp W = 9899.5, p-value = 0.002881** alternative hypothesis: true location shift is not equal to 0
Kesimpulan:
p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima
Ha : Rerata ketinggian pohon (Hp) antara siamang (ssyn) dan bajing kelapa (cnot) berbeda
secara signifikan.
> wilcox.test(ssyn$Hp, rbic$Hp) Wilcoxon rank sum test with continuity correction data: ssyn$Hp and rbic$Hp W = 9015, p-value = 0.8688 alternative hypothesis: true location shift is not equal to 0
Kesimpulan:
p-value ≥ 0,05 : Ho diterima
Ha : Rerata ketinggian pohon (Hp) antara siamang (ssyn) dan jelarang hitam (rbic) tidak
berbeda secara signifikan.
82
Universitas Indonesia
Lampiran 6
Analisis dengan metode PCA pada variabel kondisi habitat yang memungkinkan
terjadinya interaksi interspesifik
Tujuan :
Mengetahui variabel habitat yang berkorelasi dengan interaksi interspesifik.
Perangkat Lunak :
R i386 3.0.2 dan package vegan
Cara Kerja :
(Kode perintah tercetak dengan tinta merah, sedangkan hasil pengolahan data dari
software R tercetak dengan tinta biru.)
> interaksi<-na.omit(read.csv("d://my documents//k u l i a h//a skripsi bro//data//skripsi-attempt-1//Interaction_3sp.csv", header=T, fill=T)) > names(interaksi) [1] "Interaksi" "Aktor" "Kompetitor" "D" "subs1" [6] "subs2" "Ds1" "Ds2" "Hdt1" "Hdt2" [11] "Hp" "Selisih_H" "Rsp1" "Rsp2" "Rt" [16] "Selisih_R" "Fenofase" "Skor" "Strata1" "Strata2" [21] "Tajuk1" "Tajuk2" > interaksi.pca<-prcomp(interaksi[,4:22]) > summary(interaksi.pca) Importance of components: PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6 PC7 Standard deviation 15.8685 10.4494 7.3218 4.46999 3.57433 2.59440 2.44518 Proportion of Variance 0.5383 0.2334 0.1146 0.04271 0.02731 0.01439 0.01278 Cumulative Proportion 0.5383 0.7716 0.8862 0.92894 0.95625 0.97064 0.98342 PC8 PC9 PC10 PC11 PC12 PC13 PC14 Standard deviation 1.6188 1.34773 1.27041 0.86659 0.59207 0.52131 0.34404 Proportion of Variance 0.0056 0.00388 0.00345 0.00161 0.00075 0.00058 0.00025 Cumulative Proportion 0.9890 0.99290 0.99635 0.99796 0.99871 0.99929 0.99954 PC15 PC16 PC17 PC18 PC19 Standard deviation 0.29267 0.25116 0.20065 0.15754 1.409e-17 Proportion of Variance 0.00018 0.00013 0.00009 0.00005 0.000e+00 Cumulative Proportion 0.99973 0.99986 0.99995 1.00000 1.000e+00 > plot(interaksi.pca) >
83
Universitas Indonesia
Lampiran 6 (lanjutan)
> interaksi.pca$rotation[,1:3] PC1 PC2 PC3 D 0.1347648329 -0.108057066 -0.198106903 subs1 0.0015323022 -0.043991367 0.012938780 subs2 0.0076229149 -0.039963847 -0.033635316 Ds1 0.2518960390 -0.661133681 0.677887426 Ds2 0.3303695556 -0.548335428 -0.633044902 Hdt1 0.4715382104 0.253772303 0.001483131 Hdt2 0.4419593371 0.322946337 0.206780825 Hp 0.5620645600 0.228304595 0.031654827 Selisih_H 0.0743502805 0.047338144 -0.104735100 Rsp1 0.1370547620 0.002941523 -0.107204342 Rsp2 0.1029155829 -0.089198360 0.062446794 Rt 0.1806088016 -0.113339083 -0.102984508 Selisih_R 0.0764117779 -0.016592248 -0.131441499 Fenofase 0.0159020433 -0.001478635 0.001999870 Skor 0.0248081044 -0.050403003 -0.026198877 Strata1 0.0257208317 0.002695748 0.014854767 Strata2 0.0257208317 0.002695748 0.014854767 Tajuk1 0.0059921538 0.007901747 -0.001797593 Tajuk2 -0.0004274147 0.016048566 0.005977499 > > library(vegan) Loading required package: permute Loading required package: lattice
interaksi.pca
Va
ria
nce
s
05
01
00
15
02
00
25
0
84
Universitas Indonesia
Lampiran 6 (lanjutan) This is vegan 2.0-10 > interaksi.rda<-rda(interaksi[,4:22]) > biplot(interaksi.rda, display="sp")
> biplot(interaksi.rda, display="sites") > ordiellipse(interaksi.rda, interaksi$Interaksi, conf=0.95, show.groups="Agresi", col="red", lwd=2) > ordiellipse(interaksi.rda, interaksi$Interaksi, conf=0.95, show.groups="Dominansi", col="blue", lwd=2) > ordiellipse(interaksi.rda, interaksi$Interaksi, conf=0.95, show.groups="Netral", col="green", lwd=2) >
85
Universitas Indonesia
Lampiran 6 (lanjutan)
Ringkasan variabel-variabel kondisi habitat yang dianalisis dengan metode
PCA
Kode Variabel Total Agresi Dominansi Netral
D
Min.
Median
Mean
Max.
1,000
4,000
5,043
20,000
1
2
2
3
1,0
3,0
2,4
3,0
2,000
5,000
5,889
20,000
86
Universitas Indonesia
Lampiran 6 (lanjutan)
Ds1
Min.
Median
Mean
Max.
2,000
3,000
7,174
30,000
3
14
14
25
2,00
2,50
3,25
6,00
2,00
3,50
7,85
30,00
Ds2
Min.
Median
Mean
Max.
1,000
3,000
7,304
30,000
3,00
16,00
14,67
25,00
1,0
4,0
3,8
6,0
2,0
3,0
8,0
30,0
Hdt1
Min.
Median
Mean
Max.
16,0
28,0
27,3
40,0
17
25
25
33
17,0
18,0
21,8
36,0
13,0
30,0
28,9
40,0
Hdt2
Min.
Median
Mean
Max.
16,00
29,00
27,35
41,00
17,00
25,00
25,14
33,00
15
18
21
34
14,00
30,00
28,76
41,00
Hp
Min.
Median
Mean
Max.
20,00
33,00
33,57
48,00
23,00
40,00
37,43
48,00
17,0
25,0
26,6
42,0
18,00
36,00
35,57
48,00
Selisih_H
Min.
Median
Mean
Max.
0,000
1,000
1,696
10,000
0,0000
0,0000
0,1429
1,0000
0,0
0,0
0,8
2,0
0,000
1,000
2,048
10,000
Rsp1
Min.
Median
Mean
Max.
1,000
6,000
6,565
17,000
2,000
5,000
5,714
14,000
0,0
4,0
3,4
7,0
1,000
7,000
7,524
17,000
Rsp2
Min.
Median
Mean
Max.
1,000
5,000
5,696
16,000
1,000
7,000
6,429
15,000
1,0
4,0
3,2
4,0
1,000
6,000
6,095
16,000
87
Universitas Indonesia
Lampiran 6 (lanjutan)
Rt
Min.
Median
Mean
Max.
3,000
8,000
9,087
17,000
7
10
12
17
3,0
6,0
5,6
9,0
3,00
8,00
9,81
17,00
Selisih_R
Min.
Median
Mean
Max.
0,000
1,000
2,261
10,000
0
1
1
2
0,0
1,0
1,4
3,0
0,000
2,000
2,857
12,000
Subs1
1 : liana
2 : cabang tersier
3 : cabang sekunder
4 : cabang primer
5 : batang utama
9,68%
61,29%
12,90%
16,13%
0,00%
16,67%
33,33%
33,33%
16,67%
0,00%
25,00%
50,00%
0,00%
25,00%
0,00%
4,76%
71,43%
9,52%
14,29%
0,00%
Subs2
1 : liana
2 : cabang tersier
3 : cabang sekunder
4 : cabang primer
5 : batang utama
6,67%
60,00%
10,00%
23,33%
0,00%
16,67%
16,67%
33,33%
33,33%
0,00%
0,00%
60,00%
0,00%
40,00%
0,00%
5,26%
73,68%
5,26%
15,79%
0,00%
Fenofase
0 : -
1 : daun baru
2 : bunga
3 : buah
17,65%
2,94%
0,00%
79,41%
37,50%
0,00%
0,00%
62,50%
20,00%
20,00%
0,00%
60,00%
9,52%
0,00%
0,00%
90,48%
Skor
0 : 0
1 : 1-25%
2 : 26--50%
3 : 51--75%
4 : 76--100%
17,65%
23,53%
17,65%
32,35%
8,82%
37,50%
12,50%
0,00%
50,00%
0,00%
20,00%
20,00%
40,00%
20,00%
0,00%
9,52%
28,57%
19,05%
28,57%
14,25%
Strata1
1 : lantai hutan
2 : understorey layer
3 : middle canopy layer
4 : emergent layer
0,00%
0,00%
42,42%
57,58%
0,00%
0,00%
28,57%
71,43%
0,00%
0,00%
100,00%
0,00%
0,00%
0,00%
33,33%
66,67%
Strata2
1 : lantai hutan
2 : understorey layer
3 : middle canopy layer
4 : emergent layer
0,00%
0,00%
48,28%
51,72%
0,00%
0,00%
50,00%
50,00%
0,00%
0,00%
100,00%
0,00%
0,00%
0,00%
35,00%
65,00%
88
Universitas Indonesia
Lampiran 6 (lanjutan)
Tajuk1
1 : bawah
2 : tengah
3 : atas
12,12%
69,70%
18,18%
57,14%
42,86%
0,00%
0,00%
80,00%
20,00%
0,00%
76,19%
23,81%
Tajuk2
1 : bawah
2 : tengah
3 : atas
13,79%
68,97%
17,24%
25,00%
75,00%
0,00%
0,00%
100,00%
0,00%
15,00%
60,00%
25,00%
89
Universitas Indonesia
Lampiran 7
Analisis kondisi habitat yang memfasilitasi interaksi interspesifik dengan uji
Kruskal-Wallis
Tujuan :
Mengetahui apakah terdapat perbedaan kondisi habitat yang memfasilitasi
terjadinya interaksi interspesifik.
Perangkat Lunak :
R i386 3.0.2
Hipotesis :
Ho : Tidak ada perbedaan signifikan antara rerata variabel kondisi habitat yang
memfasilitasi ketiga interaksi interspesifik (agresi, dominansi, dan netral).
Ha : Setidaknya terdapat satu tipe interaksi (agresi/dominansi/netral) yang terjadi
pada kondisi habitat yang berbeda secara signifikan dengan tipe interaksi
lainnya.
Kriteria pengambilan keputusan:
p-value < 0,05 : Ho ditolak, Ha diterima
p-value ≥ 0,05 : Ho diterima
Kode signifikansi = 0 „***‟ 0,001 „**‟ 0,01 „*‟ 0,05
Cara Kerja :
(Kode perintah tercetak dengan tinta merah, hasil pengolahan data dari software R
tercetak dengan tinta biru, dan keterangan tercetak dengan tinta hitam.)
> interaksi<-na.omit(read.csv("d://my documents//k u l i a h//a skripsi bro//data//skripsi-attempt-1//Interaction_3sp.csv", header=T, fill=T)) > names(interaksi) [1] "Interaksi" "Aktor" "Kompetitor" "D" "subs1" [6] "subs2" "Ds1" "Ds2" "Hdt1" "Hdt2" [11] "Hp" "Selisih_H" "Rsp1" "Rsp2" "Rt" [16] "Selisih_R" "Fenofase" "Skor" "Strata1" "Strata2" [21] "Tajuk1" "Tajuk2" > interaksi.pca<-prcomp(interaksi[,4:22]) > tipeinteraksi<-interaksi[,1:3] > pc<-interaksi.pca$x[,1:2] > pc.tipeinteraksi<-cbind(tipeinteraksi, pc)
90
Universitas Indonesia
Lampiran 7 (lanjutan)
> head(pc.tipeinteraksi) Interaksi Aktor Kompetitor PC1 PC2 1 Dominansi S.syn-C.not C.not -11.776923 -4.019345 2 Netral SAF-C.not C.not -19.978802 -4.106872 3 Netral SAF-C.not C.not -18.511714 -2.664095 4 Netral S.syn-C.not C.not -16.856175 -7.073100 5 Netral S.syn-C.not C.not 8.991586 -12.712194 7 Netral AF-C.not C.not 16.267873 -14.041287 > kruskal.test(PC1~Interaksi, data=pc.tipeinteraksi) Kruskal-Wallis rank sum test data: PC1 by Interaksi Kruskal-Wallis chi-squared = 5.7899, df = 2, p-value = 0.0553
Kesimpulan:
p-value ≥ 0,05 : Ho diterima
Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata PC1 yang memfasilitasi ketiga interaksi
interspesifik.
> kruskal.test(PC2~Interaksi, data=pc.tipeinteraksi) Kruskal-Wallis rank sum test data: PC2 by Interaksi Kruskal-Wallis chi-squared = 0.3329, df = 2, p-value = 0.8467
Kesimpulan: p-value ≥ 0,05 : Ho diterima
Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata PC2 yang memfasilitasi ketiga interaksi
interspesifik.
> kruskal.test(Ds1~Interaksi, data=interaksi) Kruskal-Wallis rank sum test data: Ds1 by Interaksi Kruskal-Wallis chi-squared = 2.1321, df = 2, p-value = 0.3444
Kesimpulan:
p-value ≥ 0,05 : Ho diterima
Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata diameter substrat siamang (Ds1) yang
memfasilitasi ketiga interaksi interspesifik. > kruskal.test(Ds2~Interaksi, data=interaksi) Kruskal-Wallis rank sum test data: Ds2 by Interaksi Kruskal-Wallis chi-squared = 1.1768, df = 2, p-value = 0.5552
Kesimpulan:
p-value ≥ 0,05 : Ho diterima
Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata diameter substrat kompetitor (Ds2) yang
memfasilitasi ketiga interaksi interspesifik.
91
Universitas Indonesia
Lampiran 7 (lanjutan)
> kruskal.test(Hdt1~Interaksi, data=interaksi) Kruskal-Wallis rank sum test data: Hdt1 by Interaksi Kruskal-Wallis chi-squared = 3.6357, df = 2, p-value = 0.1624
Kesimpulan:
p-value ≥ 0,05 : Ho diterima
Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata ketinggian siamang dari tanah (Hdt1) yang
memfasilitasi ketiga interaksi interspesifik.
> kruskal.test(Hdt2~Interaksi, data=interaksi) Kruskal-Wallis rank sum test data: Hdt2 by Interaksi Kruskal-Wallis chi-squared = 3.7218, df = 2, p-value = 0.1555
Kesimpulan: p-value ≥ 0,05 : Ho diterima
Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata ketinggian kompetitor dari tanah (Hdt2) yang
memfasilitasi ketiga interaksi interspesifik.
> kruskal.test(Hp~Interaksi, data=interaksi) Kruskal-Wallis rank sum test data: Hp by Interaksi Kruskal-Wallis chi-squared = 3.2466, df = 2, p-value = 0.1972
Kesimpulan:
p-value ≥ 0,05 : Ho diterima
Ho : Tidak ada perbedaan signifikan rerata ketinggian pohon yang memfasilitasi ketiga
interaksi interspesifik.